Idul Adha: Ketika Pengorbanan Nabi Ibrāhīm Relevan dengan Tantangan Masa Kini
Idul Adha: Ketika Pengorbanan Nabi Ibrāhīm Relevan dengan Tantangan Masa Kini
Winarno Budi Setyawan A.Ma., Pust*
Tinggal hitungan jam, umat Islam di seluruh dunia akan menyambut Idul Adha, sebuah momen sakral yang kaya akan makna. Di tengah hiruk pikuk kehidupan modern dan beragam tantangan yang kita hadapi, kisah pengorbanan Nabi Ibrāhīm p kembali menjadi mercusuar yang relevan, mengajarkan kita tentang nilai-nilai tauhid, keikhlasan, dan kepatuhan. Nabi Ibrāhīm p terpilih menjadi hamba Allāh ﷻ yang menghapus kesyirikan dan menghilangkan kebatilan-kabatilan yang sesat. Beliau diangkat menjadi Rasul, dan Allāh ﷻ memilihnya sebagai kekasih Allāh ﷻ pada masa berikutnya.
Namun lebih dari sekadar ritual penyembelihan hewan kurban, esensi Idul Adha menyimpan pelajaran yang mendalam dan sangat relevan dengan tantangan kehidupan modern.
Dakwah Tauhid Dilakukan dengan Santun
Nabi Ibrāhīm p dalam mendakwahkan tauhid kepada kaumnya dilakukan dengan sabar dan santun. Awal dakwah tauhid yang ia tegakkan, ialah diarahkan kepada ayahnya, karena ia seorang penyembah berhala dan yang paling berhak untuk diberi nasihat.[1]
Allāh ﷻ berfirman,
إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ يَا أَبَتِ لِمَ تَعْبُدُ مَا لَا يَسْمَعُ وَلَا يُبْصِرُ وَلَا يُغْنِي عَنْكَ شَيْئًا
“Ingatlah ketika ia berkata kepada ayahnya; “Wahai Ayahku, mengapa engkau menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong engkau sedikitpun?”. (QS. Maryam [19]: 42).
Lihatlah, bagaimana Nabi Ibrāhīm p mendakwahkan tauhid kepada ayahnya dengan ungkapan sangat lembut dan ucapan yang baik untuk menjelaskan kebatilan dalam perbuatan syirik yang dilakukannya?![2] Penolakan ayahnya terhadap dakwah itu tidak menyurutkan semangat serta sikap sayang terhadap ayahnya dengan tetap akan memintakan ampunan, sekalipun permohonan ampun itu tidak dibenarkan oleh Allāh ﷻ. Disebutkan dalam firman-Nya,
وَمَا كَانَ اسْتِغْفَارُ إِبْرَاهِيمَ لِأَبِيهِ إِلَّا عَنْ مَوْعِدَةٍ وَعَدَهَا إِيَّاهُ فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُ أَنَّهُ عَدُوٌّ لِلَّهِ تَبَرَّأَ مِنْهُ ۚ إِنَّ إِبْرَاهِيمَ لَأَوَّاهٌ حَلِيمٌ
“Dan permintaan ampun dari Ibrâhîm (kepada Allah) untuk ayahnya tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkan kepada ayahnya itu. Maka tatkala jelas bagi Ibrâhîm bahwa ayahnya adalah musuh Allah, maka Ibrâhîm berlepas diri darinya. Sesungguhnya Ibrâhîm adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun.” (QS. at-Taubah [9]: 114).
Kemudahan dakwah di era digital dalam menyampaikan nilai-nilai tauhid jangan dianggap sebelah mata, tetap mengedapankan kesabaran dan santun dalam berucap, berkomentar dan memberikan yang baik distatus media sosial, agar berdampak positif untuk generasi selanjutnya.
Pengorbanan di Tengah Godaan Konsumerisme
Kisah Nabi Ibrāhīm p yang rela mengorbankan putranya, Ismail, atas perintah Allāh ﷻ adalah bentuk kepatuhan mutlak terhadap Tuhan. Allāh ﷻ berfirman,
إِنَّ هَٰذَا لَهُوَ ٱلْبَلَٰٓؤُا۟ ٱلْمُبِينُ
“Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata.” (QS. ash-Shaffat [37]: 106).
Di era modern, tantangan kita bukan lagi menyembelih anak, melainkan menyembelih ego dan nafsu duniawi yang dipertuhankan. Dunia hari ini dipenuhi konsumerisme, individualisme, dan budaya instan, di mana nilai-nilai pengorbanan dan kesederhanaan mulai tergerus.
Keteguhan Iman dalam Ujian Hidup
Ada enam sikap utama yang dapat dijadikan pijakan saat menghadapi berbagai ujian kehidupan: bersabar sebagai fondasi ketahanan jiwa, memperkuat iman sebagai sumber kekuatan spiritual, senantiasa mengingat Allāh ﷻ sebagai penenteram hati, menerima dengan ikhlas setiap ketetapan Ilahi, melakukan introspeksi sebagai bentuk evaluasi diri, serta berikhtiar mencari jalan keluar secara bijak.[3]
Pemahaman ini menjadi relevan ketika dikaitkan dengan perjalanan spiritual Nabi Ibrāhīm p. Ia adalah teladan keteguhan iman dalam menghadapi beragam ujian berat: terusir dari kaumnya, menanti keturunan hingga usia senja, bahkan diperintahkan untuk menyembelih putra yang sangat dicintainya. Tidak ada pemberontakan dalam dirinya, yang ada hanyalah ketaatan total terhadap perintah Allāh ﷻ. Di sinilah pesan Idul Adha menemukan aktualisasinya bagi manusia modern.
Di tengah krisis ekonomi, tekanan sosial, maupun konflik batin akibat kondisi hidup, semangat Nabi Ibrāhīm p menegaskan bahwa iman yang kokoh adalah pelindung utama. Keimanan yang stabil akan menahan seseorang dari keputusasaan, memeliharanya dari kesombongan saat senang, dan menjaganya agar tetap berpijak di jalan yang lurus. Allāh ﷻ berfirman,
لِّيَشْهَدُوا۟ مَنَٰفِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا۟ ٱسْمَ ٱللَّهِ فِىٓ أَيَّامٍ مَّعْلُومَٰتٍ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُم مِّنۢ بَهِيمَةِ ٱلْأَنْعَٰمِ ۖ فَكُلُوا۟ مِنْهَا وَأَطْعِمُوا۟ ٱلْبَآئِسَ ٱلْفَقِيرَ
“…agar mereka menyebut nama Allah atas rezeki yang telah Allah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebagiannya dan beri makanlah orang yang sengsara dan fakir.” (QS. al-Hajj [22]: 28).
Relevansi Sosial: Solidaritas dan Kepedulian
Berbagai penelitian menyimpulkan bahwa praktik ibadah kurban tidak semata-mata berorientasi pada aspek spiritual atau ritual keagamaan, tetapi juga mengandung dimensi sosial yang mendalam. Pelaksanaan kurban mampu menciptakan ruang interaksi lintas kelas dan kelompok dalam masyarakat, yang pada akhirnya memperkuat kohesi sosial. Momentum ini menjadi ajang penguatan nilai gotong royong, kerja sama, serta rasa kepedulian terhadap sesama, terutama bagi mereka yang berada dalam kondisi ekonomi kurang beruntung.[4]
Lebih jauh, kegiatan kurban berfungsi sebagai mekanisme nyata dalam mereduksi kesenjangan sosial dan membangun solidaritas kolektif. Pembagian daging kurban memberikan kesempatan bagi masyarakat yang mampu untuk berkontribusi secara langsung dalam meningkatkan kesejahteraan sosial. Melalui kegiatan ini, nilai persaudaraan dan penghargaan antarindividu kian tumbuh, yang berdampak pada meningkatnya daya tahan sosial dan terciptanya lingkungan masyarakat yang inklusif serta harmonis.
Membebaskan Diri dari Ikatan Duniawi
Kehidupan yang kita jalani di dunia ini sejatinya hanyalah sebuah persinggahan fana, meskipun sering terasa panjang, melelahkan, dan bahkan menyesakkan. Ia tak lebih dari panggung permainan dan senda gurau semata, yang sangat berpotensi melalaikan kita dari kehidupan akhirat yang kekal abadi.[5]
Keterkaitan ini begitu kuat terrefleksikan dalam kisah agung Nabi Ibrāhīm p ketika ia bersiap mengorbankan Ismail. Tindakan tersebut bukan sekadar ritual, melainkan sebuah manifestasi radikal dari pembebasan diri dari belenggu ikatan duniawi. Ibrāhīm p menunjukkan bagaimana melepaskan diri dari keterikatan emosional terhadap apa pun yang bersifat materialistik baik itu harta, jabatan, bahkan figur-figur tercinta demi mencapai ketaatan mutlak kepada Allāh ﷻ.
Melalui pengorbanan ini, kita diajarkan bahwa ketulusan dalam mengikuti perintah Ilahi akan senantiasa berbuah kebaikan, sejalan dengan firman-Nya,
هَلْ جَزَآءُ ٱلْإِحْسَٰنِ إِلَّا ٱلْإِحْسَٰنُ
“Tidak ada balasan bagi kebaikan selain kebaikan.” (QS. ar-Rahman [55]: 60).
Penutup
Idul Adha bukan hanya tentang menyembelih hewan. Ini adalah waktu untuk menyembelih keakuan, menajamkan iman, dan menumbuhkan solidaritas sosial. Kisah Nabi Ibrāhīm p hidup bukan di masa lalu, tetapi terus menginspirasi hari ini, saat kita diuji oleh gaya hidup yang penuh distraksi, egoisme, dan kehilangan makna spiritual. Mari jadikan semangat kurban sebagai jalan untuk memperkuat keimanan, ketaqwaan, jiwa, menyucikan hati, dan membangun masyarakat yang lebih adil dan berempati.
* Pustakawan Direktorat Perpustakaan UII E-mail: [email protected]
Maraji’ :
[1] Al-Bidâyah wan-Nihâyah, juz 1, h. 326. https://almanhaj.or.id/3475-meneladani-nabi-ibrahim-alaihissallam.html. Diakses pada 28 Mei 2025.
[2] Tafsir as-Sa`di, h. 444. https://almanhaj.or.id/3475-meneladani-nabi-ibrahim-alaihissallam.html.
[3] A. Subagyo, “Enam Sikap Menghadapi Ujian,” Tadabbur Republika, 18 Mei 2023, https://tadabbur.republika.co.id/posts/110963/enam-sikap-menghadapi-ujian. Diakses pada 28 Mei 2025.
[4] E. Insani, L. U. Barakah, & S. R. Lubis, “Kurban Sebagai Sarana Penguatan Nilai-Nilai Kebersamaan dalam Masyarakat,” dalam Jurnal ARIPAFI, Vol. 02 No. 01 (2025), h. 107.
[5] Nuratika, Jadikan Allah sebagai Sandaran: Motivasi Hidup dalam Perspektif Islam Berdasarkan Filosofi Kehidupan (CV. DOTPLUS Publisher, 2020), cet. ke-1, h. 7.
Download Buletin klik di sini