Idul Adha: Ketika Pengorbanan Nabi Ibrāhīm Relevan dengan Tantangan Masa Kini

Idul Adha: Ketika Pengorbanan Nabi Ibrāhīm Relevan dengan Tantangan Masa Kini

Winarno Budi Setyawan A.Ma., Pust*

 

Tinggal hitungan jam, umat Islam di seluruh dunia akan menyambut Idul Adha, sebuah momen sakral yang kaya akan makna. Di tengah hiruk pikuk kehidupan modern dan beragam tantangan yang kita hadapi, kisah pengorbanan Nabi Ibrāhīm p kembali menjadi mercusuar yang relevan, mengajarkan kita tentang nilai-nilai tauhid, keikhlasan, dan kepatuhan. Nabi Ibrāhīm p terpilih menjadi hamba Allāh ﷻ yang menghapus kesyirikan dan menghilangkan kebatilan-kabatilan yang sesat. Beliau diangkat menjadi Rasul, dan Allāh ﷻ memilihnya sebagai kekasih Allāh ﷻ pada masa berikutnya.

Namun lebih dari sekadar ritual penyembelihan hewan kurban, esensi Idul Adha menyimpan pelajaran yang mendalam dan sangat relevan dengan tantangan kehidupan modern.

Dakwah Tauhid Dilakukan dengan Santun

Nabi Ibrāhīm p dalam mendakwahkan tauhid kepada kaumnya dilakukan dengan sabar dan santun. Awal dakwah tauhid yang ia tegakkan, ialah diarahkan kepada ayahnya, karena ia seorang penyembah berhala dan yang paling berhak untuk diberi nasihat.[1]

Allāh ﷻ berfirman,

إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ يَا أَبَتِ لِمَ تَعْبُدُ مَا لَا يَسْمَعُ وَلَا يُبْصِرُ وَلَا يُغْنِي عَنْكَ شَيْئًا

Ingatlah ketika ia berkata kepada ayahnya; “Wahai Ayahku, mengapa engkau menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong engkau sedikitpun?”. (QS. Maryam [19]: 42).

Lihatlah, bagaimana Nabi Ibrāhīm p mendakwahkan tauhid kepada ayahnya dengan ungkapan sangat lembut dan ucapan yang baik untuk menjelaskan kebatilan dalam perbuatan syirik yang dilakukannya?![2] Penolakan ayahnya terhadap dakwah itu tidak menyurutkan semangat serta sikap sayang terhadap ayahnya dengan tetap akan memintakan ampunan, sekalipun permohonan ampun itu tidak dibenarkan oleh Allāh ﷻ. Disebutkan dalam firman-Nya,

وَمَا كَانَ اسْتِغْفَارُ إِبْرَاهِيمَ لِأَبِيهِ إِلَّا عَنْ مَوْعِدَةٍ وَعَدَهَا إِيَّاهُ فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُ أَنَّهُ عَدُوٌّ لِلَّهِ تَبَرَّأَ مِنْهُ ۚ إِنَّ إِبْرَاهِيمَ لَأَوَّاهٌ حَلِيمٌ

Dan permintaan ampun dari Ibrâhîm (kepada Allah) untuk ayahnya tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkan kepada ayahnya itu. Maka tatkala jelas bagi Ibrâhîm bahwa ayahnya adalah musuh Allah, maka Ibrâhîm berlepas diri darinya. Sesungguhnya Ibrâhîm adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun.” (QS. at-Taubah [9]: 114).

Kemudahan dakwah di era digital dalam menyampaikan nilai-nilai tauhid jangan dianggap sebelah mata, tetap mengedapankan kesabaran dan santun dalam berucap, berkomentar dan memberikan yang baik distatus media sosial, agar berdampak positif untuk generasi selanjutnya.

Pengorbanan di Tengah Godaan Konsumerisme

Kisah Nabi Ibrāhīm p yang rela mengorbankan putranya, Ismail, atas perintah Allāh ﷻ adalah bentuk kepatuhan mutlak terhadap Tuhan. Allāh ﷻ berfirman,

إِنَّ هَٰذَا لَهُوَ ٱلْبَلَٰٓؤُا۟ ٱلْمُبِينُ

“Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata.” (QS. ash-Shaffat [37]: 106).

Di era modern, tantangan kita bukan lagi menyembelih anak, melainkan menyembelih ego dan nafsu duniawi yang dipertuhankan. Dunia hari ini dipenuhi konsumerisme, individualisme, dan budaya instan, di mana nilai-nilai pengorbanan dan kesederhanaan mulai tergerus.

Keteguhan Iman dalam Ujian Hidup

Ada enam sikap utama yang dapat dijadikan pijakan saat menghadapi berbagai ujian kehidupan: bersabar sebagai fondasi ketahanan jiwa, memperkuat iman sebagai sumber kekuatan spiritual, senantiasa mengingat Allāh ﷻ sebagai penenteram hati, menerima dengan ikhlas setiap ketetapan Ilahi, melakukan introspeksi sebagai bentuk evaluasi diri, serta berikhtiar mencari jalan keluar secara bijak.[3]

Pemahaman ini menjadi relevan ketika dikaitkan dengan perjalanan spiritual Nabi Ibrāhīm p. Ia adalah teladan keteguhan iman dalam menghadapi beragam ujian berat: terusir dari kaumnya, menanti keturunan hingga usia senja, bahkan diperintahkan untuk menyembelih putra yang sangat dicintainya. Tidak ada pemberontakan dalam dirinya, yang ada hanyalah ketaatan total terhadap perintah Allāh ﷻ. Di sinilah pesan Idul Adha menemukan aktualisasinya bagi manusia modern.

Di tengah krisis ekonomi, tekanan sosial, maupun konflik batin akibat kondisi hidup, semangat Nabi Ibrāhīm p menegaskan bahwa iman yang kokoh adalah pelindung utama. Keimanan yang stabil akan menahan seseorang dari keputusasaan, memeliharanya dari kesombongan saat senang, dan menjaganya agar tetap berpijak di jalan yang lurus. Allāh ﷻ berfirman,

لِّيَشْهَدُوا۟ مَنَٰفِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا۟ ٱسْمَ ٱللَّهِ فِىٓ أَيَّامٍ مَّعْلُومَٰتٍ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُم مِّنۢ بَهِيمَةِ ٱلْأَنْعَٰمِ ۖ فَكُلُوا۟ مِنْهَا وَأَطْعِمُوا۟ ٱلْبَآئِسَ ٱلْفَقِيرَ

“…agar mereka menyebut nama Allah atas rezeki yang telah Allah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebagiannya dan beri makanlah orang yang sengsara dan fakir.” (QS. al-Hajj [22]: 28).

Relevansi Sosial: Solidaritas dan Kepedulian

Berbagai penelitian menyimpulkan bahwa praktik ibadah kurban tidak semata-mata berorientasi pada aspek spiritual atau ritual keagamaan, tetapi juga mengandung dimensi sosial yang mendalam. Pelaksanaan kurban mampu menciptakan ruang interaksi lintas kelas dan kelompok dalam masyarakat, yang pada akhirnya memperkuat kohesi sosial. Momentum ini menjadi ajang penguatan nilai gotong royong, kerja sama, serta rasa kepedulian terhadap sesama, terutama bagi mereka yang berada dalam kondisi ekonomi kurang beruntung.[4]

Lebih jauh, kegiatan kurban berfungsi sebagai mekanisme nyata dalam mereduksi kesenjangan sosial dan membangun solidaritas kolektif. Pembagian daging kurban memberikan kesempatan bagi masyarakat yang mampu untuk berkontribusi secara langsung dalam meningkatkan kesejahteraan sosial. Melalui kegiatan ini, nilai persaudaraan dan penghargaan antarindividu kian tumbuh, yang berdampak pada meningkatnya daya tahan sosial dan terciptanya lingkungan masyarakat yang inklusif serta harmonis.

Membebaskan Diri dari Ikatan Duniawi

Kehidupan yang kita jalani di dunia ini sejatinya hanyalah sebuah persinggahan fana, meskipun sering terasa panjang, melelahkan, dan bahkan menyesakkan. Ia tak lebih dari panggung permainan dan senda gurau semata, yang sangat berpotensi melalaikan kita dari kehidupan akhirat yang kekal abadi.[5]

Keterkaitan ini begitu kuat terrefleksikan dalam kisah agung Nabi Ibrāhīm p ketika ia bersiap mengorbankan Ismail. Tindakan tersebut bukan sekadar ritual, melainkan sebuah manifestasi radikal dari pembebasan diri dari belenggu ikatan duniawi. Ibrāhīm p menunjukkan bagaimana melepaskan diri dari keterikatan emosional terhadap apa pun yang bersifat materialistik baik itu harta, jabatan, bahkan figur-figur tercinta demi mencapai ketaatan mutlak kepada Allāh ﷻ.

Melalui pengorbanan ini, kita diajarkan bahwa ketulusan dalam mengikuti perintah Ilahi akan senantiasa berbuah kebaikan, sejalan dengan firman-Nya,

هَلْ جَزَآءُ ٱلْإِحْسَٰنِ إِلَّا ٱلْإِحْسَٰنُ

Tidak ada balasan bagi kebaikan selain kebaikan.” (QS. ar-Rahman [55]: 60).

Penutup

Idul Adha bukan hanya tentang menyembelih hewan. Ini adalah waktu untuk menyembelih keakuan, menajamkan iman, dan menumbuhkan solidaritas sosial. Kisah Nabi Ibrāhīm p hidup bukan di masa lalu, tetapi terus menginspirasi hari ini, saat kita diuji oleh gaya hidup yang penuh distraksi, egoisme, dan kehilangan makna spiritual. Mari jadikan semangat kurban sebagai jalan untuk memperkuat keimanan, ketaqwaan, jiwa, menyucikan hati, dan membangun masyarakat yang lebih adil dan berempati.

* Pustakawan Direktorat Perpustakaan UII E-mail: [email protected]

Maraji’ :

[1] Al-Bidâyah wan-Nihâyah, juz 1, h. 326. https://almanhaj.or.id/3475-meneladani-nabi-ibrahim-alaihissallam.html. Diakses pada 28 Mei 2025.

[2] Tafsir as-Sa`di, h. 444.  https://almanhaj.or.id/3475-meneladani-nabi-ibrahim-alaihissallam.html.

[3] A. Subagyo, “Enam Sikap Menghadapi Ujian,” Tadabbur Republika, 18 Mei 2023, https://tadabbur.republika.co.id/posts/110963/enam-sikap-menghadapi-ujian. Diakses pada 28 Mei 2025.

[4] E. Insani, L. U. Barakah, & S. R. Lubis, “Kurban Sebagai Sarana Penguatan Nilai-Nilai Kebersamaan dalam Masyarakat,” dalam Jurnal ARIPAFI, Vol. 02 No. 01 (2025), h. 107.

[5] Nuratika, Jadikan Allah sebagai Sandaran: Motivasi Hidup dalam Perspektif Islam Berdasarkan Filosofi Kehidupan (CV. DOTPLUS Publisher, 2020), cet. ke-1, h. 7.

Download Buletin klik di sini

Perempuan sebagai Madrasahtul ‘Ula

Perempuan sebagai Madrasahtul ‘Ula

Annas Hanifan Fitriansyah*

 

Perempuan adalah tombak bagi cemerlangnya generasi penerus yang akan datang, tidak heran jika kita pernah mendengar bahwa, kalau ingin menghancurkan suatu kaum maka hancurkan perempuannya dulu, begitu juga jika ingin membangun kehidupan yang cemerlang atau cerdas, maka bangunan itu bermula dari seorang perempuan. Yang biasa kita sebut dengan kata ibu. Seperti yang telah kita ketahui bahwa kodrat seorang perempuan adalah hamil, melahirkan dan menyusui. Tetapi bukan hanya itu, bagi seorang anak yang baru lahir di dunia tentu belum bisa melakukan apa-apa, layaknya seorang bayi yang Allāh ﷻ titipkan kepada orang tua untuk diasuhnya. Perkembangan dan pertumbuhan serta pengetahuan yang diperolehnya yang menentukan kehidupannya nanti.

Seseorang yang paling kuat di muka bumi inipun terlahir dari seorang rahim perempuan. Jika sebelumnya perempuan dianggap sebagai seseorang yang lemah maka itu salah. Sosok yang kita panggil sebagai seorang ibu itu senantiasa untuk selalu dihormati dan berbakti kepadanya.  karena kasih sayang seorang ibu itu jumlahnya tidak terbatas tak bisa kita balas dengan apapun itu, Sosok malaikat yang mengandung dan menyusui kita adalah seseorang yang berhati malaikat.[1]

Oleh karena itu, jagalah kita dari hal-hal yang membuat hati ibu kita sakit. Ada kalanya jika kalian menemui sesuatu yang membuat kalian sakit hati oleh ibumu sendiri atau perbedaan pendapat atau menurut kalian ibu kalian kurang adanya pengetahuan sehingga berselisih dan membuat kalian marah, maka sabarlah dan tetap berkata tutur yang baik-baik karena jika bukan karena beliau kita tidak bisa apa-apa dan tidak tahu akan sesuatu itu. Maka dengan hal tersebut lebih baik diam atau mencoba pelan-pelan untuk berbicara dengannya sebab kita tidak tahu bagaimana beratnya bagi mereka dan entah apa mimpi-mimpi mereka yang belum terwujud demi untuk kita sendiri.

Allāh ﷻ berfirman,

وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوٓا۟ إِلَّآ إِيَّاهُ وَبِٱلْوَٰلِدَيْنِ إِحْسَٰنًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ ٱلْكِبَرَ أَحَدُهُمَآ أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُل لَّهُمَآ أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu dan bapak. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engaku mengatakan kepada keduannya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik”  (QS. Al-Isra’ [17]: 23)

Madrasah Pertama Seorang Anak

Madrasah berasal dari bahasa Arab yang berarti sekolah. Sedangkan madrasah pertama bagi seorang anak adalah di rumah yang mana guru atau pendidik dalam sekolah tersebut adalah orangtuanya. Ibu adalah madrasah yang pertama, jika kamu menyiapkannya, berarti kamu menyiapkan lahirnya sebuah generasi yang baik budi pekertinya.[2]

Jika pendidikan anak di lingkungan keluarganya dilakukan dengan baik, maka tumbuh kembang anak akan optimal dan dapat melahirkan generasi berkualitas. Ketahuilah, bahwa setiap anak memiliki sifat yang berbeda-beda oleh karena itu jangan pernah membandingkan anak satu dengan yang lainnya hal itu akan berdampak buruk pada kondisi anak.

Anak adalah Cerminan Orang Tua

Mendidik anak merupakan tanggung jawab bersama kedua orang tua yang menjadi prioritas utama yang sangat penting diantara urusan yang lainnya. Jika anak dididik dengan baik, penuh kasih sayang, dan diberikan contoh yang positif, maka dia akan tumbuh menjadi anak yang baik, saleh/salehah, dan akan mendapatkan kebahagiaan dunia akhirat. Begitu juga sebaliknya, jika anak dididik dalam lingkungan keluarga yang keras dan penuh kekerasan, maka anak akan memiliki sifat apa yang ia alami dalam kehidupannya.

Anak-anak memiliki sifat peniru ulang, mereka akan meniru serta belajar dari apa yang ada disekitarnya, karena mereka berfikir bahwa apa yang dilakukan orang lain adalah hal yang benar untuk dilakukan. Dengan begitu keteladanan dari kedua orangtua menjadi sangat penting, termasuk perkembangan moral bagi anak,[3] karena anak lebih banyak menghabiskan waktu di rumah bersama orangtuanya, mereka akan menganggap setiap perilaku orangtua menjadi role model atau sosok peran yang mereka hormati dan sayangi sehingga akan menjadi contoh dan panutan baginya seperti sebuah pepatah yang mengatakan bahwa “buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”.

Peran Ibu Bagi Anaknya

Kita sebagai Perempuan Muslimah memiliki peran yang sangat besar sebagai seorang ibu dalam memberikan pengaruh terhadap perkembangan anaknya, ibu mempunyai tanggung jawab untuk memberikan yang terbaik kepada anaknya terutama dalam hal membentuk pribadi dan karakternya, karena anak merupakan amanah dan anugerah yang diberikan oleh Allāh ﷻ, sehingga apapun yang ibu lakukan terhadap anaknya, maka akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat.

Seperti yang pernah disinggung sebelumnya bahwa orang tua adalah peniru bagi anaknya, namun bagi seorang ibu itu memiliki porsi yang lebih besar dibandingkan seorang ayah dalam memberikan bekal pendidikan dan pengetahuan, karena ibu dan anak memiliki suatu keterikatan batin yang bahkan sudah ada sejak dalam kandungan, sehingga anak merasakan kedekatan dan kepercayaan khusus kepada seorang ibu. Untuk itu kualitas yang dimiliki seorang ibu dalam Pendidikan dan pengetahuan sangat berpengaruh dalam pembentukan yang diajarkan kepada anaknya.  Terutama dalam membangun karakter anak yang dapat kita lihat dalam nilai-nilai ajaran Agama bahwa seorang ibu dapat mengajarkan anaknya untuk memiliki sikap yang moderat (at-tawassuth), seimbang dalam segala hal (at-tawazun), berani menegakkan keadilan (al-itidal), dan toleransi (at-tasamuh) dalam melaksanakan kebaikan dan mencegah keburukan (amar ma’ruf nahi munkar).[4]

* Alumni Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia

Maraji’ :

[1] Nu Online Jateng, “Ibu Sebagai Madrasah Pertama”, dikutip dari https://jateng.nu.or.id/opini/ibu-sebagai-madrasah-pertama-Uwg0s diakses pada tanggal 15 Maret 2025

[2] Moh. Rivaldi Abdul, “Ibu Sebagai Madrasah Bagi Anaknya: Pemikiran Pendidikan R.A. Kartini,” Journal of Islamic Education Policy 5, no. 2 (2020): 1350, https://doi.org/10.30984/jiep.v5i2.1350

[3] Fitri Nuraeni dan Maesaroh Lubis, “Pola Asuh Orang Tua dan Implikasinya Terhadap Pembentukan Karakter Anak,” Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini Undiksha 10, no. 1 (2022): 45–56, https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/JJPAUD/article/view/46054.

[4] Direktur Bima KUA dan Keluarga Sakinah. Fondasi Keluarga Sakinah Bacaan Mandiri Calon Pengantin. Jakarta: Subdit Bina Keluarga Sakinah.2017

Download Buletin klik di sini

Mengambil Hikmah Dari Kisah Nabi Ibrahim

Mengambil Hikmah Dari Kisah Nabi Ibrahim

Willi Ashadi*

 

Dua diantara banyak keistimewaan Nabi Ibrāhīm adalah Nabi Ibrāhīm p merupakan salah satu Nabi utusan Allāh ﷻ yang mendapat julukan bapak para Nabi dan Rasul. Dari keturunan Nabi Ibrāhīm lahirlah banyak para nabi menjadi utusan Allāh ﷻ. Selain itu Nabi Ibrāhīm adalah seorang good father yang pantas di tauladani, dimana nabi Ibrāhīm sosok figur gemar memohon doa kepada Allāh ﷻ. Salah satu doa yang dipanjatkan oleh Nabi Ibrāhīm yaitu

رَبِّ هَبْ لِى مِنَ ٱلصَّٰلِحِينَ

(Rabbī Hablī Minashashālihīn). “Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh. (QS. Ash Shafat [37]: 100)

Geneologi Emas Nabi Ibrahim

Ibrahim, Sarah dan Ishaq

Nabi Ibrāhīm p adalah seorang nabi besar yang dijuluki Khalilullāh (kekasih Allah). Ia menikah dengan Sarah seorang perempuan salehah dan setia yang berasal dari suku bangsawan. Sarah dan Nabi Ibrāhīm hidup lama tanpa memiliki anak. Karena sangat ingin memiliki keturunan, Sarah merelakan Hajar untuk dinikahi oleh Nabi Ibrāhīm. Dari Hajar, lahirlah Nabi Ismāil.

Setelah bertahun-tahun, karena kesabaran dan keimanan yang kuat, ketika usia Sarah sudah sangat tua, Allāh ﷻ mengabarkan bahwa ia akan hamil. Meskipun sempat terkejut, Sarah menerima kabar itu dengan bahagia. Ia kemudian melahirkan Ishaq dan dari keturunannya lahirlah Ya’kub. Nabi Ishaq lahir saat Nabi Ibrāhīm dan Sarah sudah sangat tua. Ketika malaikat memberi kabar bahwa Sarah akan melahirkan, ia terkejut sekaligus bahagia karena merasa usianya sudah terlalu lanjut.[1]

Nabi Ishaq p dikenal sebagai sosok yang lembut, cerdas, dan penuh hikmah. Ia melanjutkan dakwah ayahnya, menyeru kaumnya untuk menyembah Allah dan menjauhi kemusyrikan. Dari keturunan Nabi Ishaq lahir para nabi Bani Israil, termasuk Ya’kub, Yusuf, Musa, Dawud, Sulaiman p, dan ‘Īsā, Ia merupakan mata rantai penting dalam silsilah para nabi samawi.

Ibrahim, Hajar dan Ismail

Siti Hajar adalah istri kedua Nabi Ibrāhīm yang diberikan oleh Raja Mesir sebagai hadiah kepada Sarah, istri pertama Nabi Ibrāhīm. Sarah kemudian merelakan Hajar untuk dinikahi oleh Nabi Ibrāhīm karena ia belum juga dikaruniai anak. Dari pernikahan itu, lahirlah Nabi Ismāil p yang kelak menjadi nenek moyang bangsa Arab dan Nabi Muhammad ﷺ. Nabi Ibrāhīm p memberi nama anaknya bernama Ismāil. Ismāil diambil dari Bahasa Hebrew (Ibrani) yang terdiri dari 2 kata yaitu Isma dan il. Isma artinya mendengar sedangkan il artinya tuhan. Jadi, Ismail bisa diartikan Tuhan mendengar doa dan permohonan Nabi Ibrāhīm p dikarenakan Nabi Ibrāhīm senantiasa berdoa Rabbī Hablī Minashashālihīn. Allāh ﷻ mengabulkan permohonan Nabi Ibrāhīm p dengan mengkaruniakan seorang anak dari rahim Hajar.[2]

Nabi Ibrāhīm p sangat senang akan kelahiran Ismāil. Ismāil merupakan seorang anak yang taat kepada Allāh ﷻ dan pribadi yang santun dan penyabar serta berbakti kepada orang tua.[3] Hal ini membuat Nabi Ibrāhīm p sangat mencintai Ismāil. Sampai pada akhirnya kecintaan Nabi Ibrāhīm p diuji oleh Allāh ﷻ, dimana Nabi Ibrāhīm p di perintahkan untuk berkorban (menyembelih) terhadap Ismāil. Allāh ﷻ berfirman,

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ ٱلسَّعْىَ قَالَ يَٰبُنَىَّ إِنِّىٓ أَرَىٰ فِى ٱلْمَنَامِ أَنِّىٓ أَذْبَحُكَ فَٱنظُرْ مَاذَا تَرَىٰ ۚ قَالَ يَٰٓأَبَتِ ٱفْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِىٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّٰبِرِينَ

“Ketika anak itu sampai pada (umur) ia sanggup bekerja bersamanya, ia (Ibrahim) berkata: “Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Pikirkanlah apa pendapatmu?” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu, Insha Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang orang yang sabar.” (QS Ash Shafat [37]: 102)

Menarik dari ayat ini adalah ada penyebutan kata fanzhur dan mādza tarā, dimana kedua kata tersebut memiliki arti yang sama yaitu melihat. Namun menurut ulama sekalipun artinya melihat, kata tarā memiliki makna lebih dalam lagi yaitu melihat dengan mata kepala dan mata batin. Sementara makna nazhara hanya diartikan melihat dengan mata kepala saja. Dalam dialog antara Nabi Ibrāhīm p dan Nabi Ismāil p terkait perintah kurban, Nabi Ismāil diminta untuk berpikir apa pendapatnya dengan perintah kurban tersebut dengan menggunakan mata kepala dan mata batin-nya (hati).

Mimpi yang dialami Nabi Ibrāhīm p selama 2 kali, yaitu pada tanggal 8 dan 9 Dzulhijjah. Peristiwa mimpi pertama pada tanggal 8 dzulhijjah disebut dengan yaumul tarwiyah sedangkan mimpi yang terjadi tanggal 9 Dzulhijjah disebut yaumul arafah dan tanggal 10 Dzulhijjah disebut dengan yaumul anhar. Oleh karena itu umat Islam dianjurkan untuk melakukan puasa sunnah tarwiyah dan puasa sunnah arafah tanggal 8-9 Dzulhijjah.

Yaumul Anhar

Pada tanggal 10 merupakan puncak berkurban dalam peristiwa Nabi Ibrāhīm p, dimana Nabi Ibrāhīm p melakukan penyembelihan. Allāh ﷻ berfirman,

وَفَدَيْنَٰهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ

“Kami menebusnya dengan seekor (hewan) sembelihan yang besar. (QS. As-shafat [37]: 107)

Pada ayat ini ditegaskan bahwa apa yang dialami Nabi Ibrāhīm p dan puteranya itu merupakan batu ujian yang amat berat. Memang hak Allāh ﷻ untuk menguji hamba yang dikehendaki-Nya dengan bentuk ujian yang dipilih-Nya berupa beban dan kewajiban yang berat. Bila ujian itu telah ditetapkan, tidak seorang pun yang dapat menolak dan menghindarinya. Di balik cobaan-cobaan yang berat itu, tentu terdapat hikmah dan rahasia yang tidak terjangkau oleh pikiran manusia. Nabi Ismāil p yang semula dijadikan kurban untuk menguji ketaatan Nabi Ibrāhīm, diganti Allāh ﷻ dengan seekor domba besar yang putih bersih dan tidak ada cacatnya. Peristiwa penyembelihan kambing oleh Nabi Ibrāhīm ini yang menjadi dasar ibadah kurban untuk mendekatkan diri kepada Allāh ﷻ, dilanjutkan oleh syariat Nabi Muhammad ﷺ.

Hikmah Pungkasan

Kisah Nabi Ibrāhīm p dan keluarganya merupakan simbol keteguhan iman dan pengorbanan dalam sejarah Islam. Nabi Ibrāhīm dan keluarganya juga mengisnpirasi bagi umat Islam bahwa puncak dari kecintaan kita kepada Allāh ﷻ adalah Keikhlasan dan Kesabaran. Hal ini tertuang dalam kisah ibadah qurban (Idul Adha). Dimana Nabi Ibrāhīm sangat mencintai Nabi Ismāil, namun Allāh ﷻ menguji kecintaannya dengan keluarga Nabi Ibrāhīm p dan Nabi Ibrāhīm p membuktikan bahwa cintanya kepada Allāh ﷻ melebihi segala sesuatu yang ada di dunia termasuk keluarganya. Hal ini tercermin dari pengorbanan Nabi Ibrāhīm menyembelih Nabi Ismāil .

Selain itu ada hikmah dalam proses penyembelihan dimana seorang penyembelih diharuskan untuk memotong 2 saluran urat nadi hewan kurban yaitu urat nadi yang mengalir ke makanan dan urat nadi yang mengalir ke pernafasan. Urat nadi yang mengalir ke makanan merupakan symbol manusia harus mengendalikan nafsu duniawi (nafsullawwamah) sementara urat nadi yang mengalir ke pernafasan merupakan symbol manusia harus mengendalikan nafsu syaitan (nafsu imaratu bis su’). Jika kedua nafsu tersebut dapat dikendalikan maka akan terwujudlah nafsul muthmainnah (jiwa yang tenang dan terkendali).[4]

Semoga kita bisa mengambil pelajaran dan hikmah dari kisah Nabi Ibrāhīm p dan keluarganya.

Maraji’ :

* Dosen Program Studi Hubungan Internasional UII Mahasiswa S3 departemen Ilmu Politik IIUM

[1] QS. Hud [11]: 71. Al Qur’anul Karim dan Terjemahannya, Universitas Islam Indonesia.

[2] QS. Ash Shafat [37]: 101. Al Qur’anul Karim dan Terjemahannya, Universitas Islam Indonesia.

[3] QS. Ash Shafat [37]: 102. Al Qur’anul Karim dan Terjemahannya, Universitas Islam Indonesia.

[4] Willi Ashadi Youtube Channel: kelas di mata kuliah Ulumul Qur’an bagi Mahasiswa Universitas Islam Indonesia Program Pesantren UII Yogyakarta-Indonesia.

Download Buletin klik di sini

Muslimah Harus Grow Up, Jangan Cuma Glow Up!

Muslimah Harus Grow Up, Jangan Cuma Glow Up!

Giriani Ayu Sabilla*

 

Di era digital saat ini, media sosial dipenuhi dengan tren kecantikan dan penampilan fisik yang menonjolkan istilah “glow up”—sebuah transformasi penampilan yang lebih menarik, modis, dan memesona. Banyak muslimah yang turut ambil bagian dalam tren ini dengan memperhatikan penampilan mereka, mulai dari gaya berhijab, perawatan kulit, hingga pakaian yang sedang populer. Tentu tidak salah jika seorang muslimah ingin tampil menarik dan rapi. Namun, menjadi cantik saja tidak cukup. Ada hal yang jauh lebih penting dan mendalam yang harus diupayakan oleh seorang muslimah, yaitu grow up—bertumbuh secara mental, spiritual, dan intelektual.

Apa Itu Grow Up?

Grow up bukan sekadar menjadi dewasa secara usia, tapi juga menunjukkan kedewasaana dalam berpikir, bersikap, dan bertindak. Seorang muslimah yang grow up adalah dia yang terus memperbaiki diri, memperluas ilmu, memperdalam iman, dan memperkuat peran sosialnya sebagai hamba Allāh ﷻ, anak, istri, ibu, maupun bagian dari masyarakat.

Di dalam Islam, pertumbuhan spiritual dan intelektual memiliki tempat yang tinggi. Allāh ﷻ berfirman,

يَرْفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمْ وَٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْعِلْمَ دَرَجَٰتٍ ۚ

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”[1] (QS. al-Mujadilah [58]: 11).

Ayat ini menegaskan bahwa keimanan dan ilmu adalah dua pilar penting dalam membentuk pribadi muslimah yang matang dan berkontribusi.

Glow Up Tanpa Grow Up: Sebuah Kekosongan

Jika seorang muslimah terlalu memusatkan perhatian pada aspek fisik semata dan mengabaikan pengembangan diri dari dalam, maka hal itu bisa menimbulkan kehampaan dalam batinnya. Banyak muslimah yang mungkin tampak anggun di luar, tapi mudah emosi, insecure, tidak percaya diri, atau bahkan kehilangan arah hidup. Kemungkinan besar, kondisi ini disebabkan oleh tidak berlangsungnya proses pertumbuhan batiniah secara konsisten.

Media sosial seringkali menjadi panggung pencitraan, sehingga fokus utama hanya pada “apa yang dilihat orang” bukan “apa yang dilihat Allah”. Amalan yang dibalas oleh Allāh ﷻ adalah amalan yang disertai niat yang ikhlas dan benar, bukan rupa atau apa yang nampak.

Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasūlullāh ﷺ bersabda,

إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ

Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk rupa dan harta kalian. Akan tetapi, Allah hanyalah melihat pada hati dan amalan kalian.” (HR. Muslim no. 2564).[2]

Glow up tanpa grow up bisa melahirkan kepribadian yang rapuh dan mudah goyah ketika menghadapi ujian hidup. Oleh karena itu, setiap muslimah perlu menjaga keseimbangan antara penampilan fisik dan pengembangan kepribadian dari dalam.

Tanda-tanda Muslimah yang Grow Up

Berikut beberapa ciri seorang muslimah yang sedang dalam proses grow up:

  1. Mau belajar dan terbuka terhadap nasihat

Seorang muslimah yang dewasa secara mental akan selalu haus ilmu. Ia membaca, mendengar kajian, dan memperbaiki pemahamannya terhadap agama dan kehidupan. Ia tidak mudah tersinggung, tetapi justru menjadikan masukan sebagai bahan evaluasi diri.

  1. Mampu mengelola emosi dan konflik

Ia tidak mudah marah, tetapi mampu menyelesaikan masalah dengan bijaksana dan santun. Ia menunjukkan kedewasaan emosional dengan tidak langsung bereaksi, tetapi berpikir terlebih dahulu sebelum bertindak.

  1. Punya tujuan hidup yang jelas

Ia tahu bahwa hidup bukan hanya untuk mengejar popularitas, tapi untuk beribadah dan memberi manfaat kepada sesama.

  1. Tidak bergantung pada validasi orang lain

Ia memahami bahwa nilai dirinya tidak ditentukan oleh jumlah likes atau komentar, tapi oleh akhlak dan amalnya.

  1. Aktif dalam peran sosial

Ia tidak hanya mempercantik diri, tapi juga menyibukkan diri dengan kegiatan bermanfaat—baik sebagai pelajar, professional, istri, ibu, atau relawan sosial.

  1. Lebih sadar akan tanggung jawab

Ia mulai menyadari peran dan tanggung jawabnya sebagai hamba Allāh ﷻ, anak, saudara, atau bagian dari masyarakat.

  1. Mengutamakan akhlak daripada penampilan

Penampilan tetap dijaga, tetapi akhlak dan etika menjadi prioritas utama dalam bersikap dan berinteraksi.

  1. Memilih lingkungan yang mendorong kebaikan

Ia lebih selektif dalam bergaul, mendekat kepada orang-orang yang membantunya menjadi pribadi yang lebih baik.[3]

Mengapa Grow Up itu Mendesak?

Muslimah hari ini adalah generasi masa depan. Jika ia tidak bertumbuh secara utuh, maka akan sulit melahirkan generasi yang kuat. Dunia yang semakin kompleks menuntut muslimah untuk tidak hanya tampil cantik, tapi juga tangguh secara mental, spiritual, dan intelektual.

Apalagi tantangan terhadap identitas muslimah semakin besar. Sekularisme, feminisme liberal, dan arus materialisme terus mengikis nilai-nilai Islam.[4] Tanpa proses grow up, seorang muslimah bisa mudah terseret arus dan kehilangan jati dirinya.

Glow Up dan Grow Up: Harus Seimbang

Glow up bukanlah hal yang salah. Bahkan dalam Islam, menjaga kebersihan dan penampilan adalah bagian dari keimanan. Namun, semua itu harus dikembalikan kepada niat dan tujuan yang benar. Glow up yang hanya untuk pamer atau menarik perhatian manusia bisa membawa kepada kehampaan. Tapi jika dilakukan sebagai bentuk syukur, menjaga amanah tubuh, dan membahagiakan pasangan (dalam pernikahan), maka bisa bernilai ibadah.

Sementara grow up adalah proses seumur hidup. Tidak ada kata berhenti untuk belajar dan memperbaiki diri. Muslimah yang terus grow up akan memiliki inner beauty yang memancar dan membuatnya dihormati, bukan sekadar dikagumi.

Jadi, wahai para muslimah, jangan hanya mengejar glow up—keindahan luar yang sementara. Tapi kejarlah grow up—pertumbuhan jiwa yang abadi. Tampil menarik itu baik, tapi menjadi pribadi Tangguh, cerdas, dan bertakwa jauh lebih utama. Karena sejatinya, nilai kita tidak ditentukan oleh seberapa cantik kita di mata manusia, tapi seberapa taat kita di mata Allāh ﷻ.

* Pengajar, Alumni Biologi UGM (Yogyakarta)

Maraji’ :

[1] Al-Qur’an dan Terjemahannya. Kementerian Agama Republik Indonesia. Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an. 2019.

[2] Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabi. 2007.

[3] Sri Mulyati. Pendidikan Akhlak dalam Islam. Jakarta: Kencana. 2018.

[4] Harun Nasution. Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran. Bandung: Mizan. 1995.

Download Buletin klik di sini

Riya` Yang Tak Terhindarkan

Riya` Yang Tak Terhindarkan

Nabila Mumtazah Priyatna*

 

Hakikat Manusia

Pada asalnya, manusia itu sangat senang dipuji. Manusia tentu akan sangat senang ketika dia mendapatkan pujian atas hal-hal yang dia lakukan tidak terkecuali atas ibadah yang dijalankan. Tanpa kita sadari, hal tersebut adalah perbuatan riya` yang pernah nabi sebutkan dalam haditsnya. Dari Mahmud bin Labid, Rasûlullâh ﷺ bersabda,

إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ الأَصْغَرُ. قَالُوا وَمَا الشِّرْكُ الأَصْغَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَالَ: الرِّيَاءُ يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِذَا جُزِىَ النَّاسُ.

Sesungguhnya yang paling kukhawatirkan akan menimpa kalian adalah syirik ashgor.” Para sahabat bertanya, “Apa itu syirik ashgor, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “(Syirik ashgor adalah) riya’. Allah Ta’ala berkata pada mereka yang berbuat riya’ pada hari kiamat ketika manusia mendapat balasan atas amalan mereka” (HR. Ahmad 5: 429. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).[1]

Yang Termasuk Dalam Riya` dan Hukumnya

Syekh Al-`Utsaimin dalam Kitabnya “Qaulul Mufid `ala Kitabi at-Tauhid” menuliskan bahwa makna dari riya` adalah melakukan agar dilihat oleh manusia. Riya` merupakan syirik asghar sebagaimana yang dikatakan oleh nabi pada hadits di atas tadi. Ini karena dalam ibadah yang seharusnya hanya ditujukan kepada Allah namun seseorang menujukannya kepada pujian dari manusia atau hanya sekedar ingin dilihat oleh manusia bahwa ia telah melakukan suatu amal ibadah.

Dari pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa yang termasuk dalam riya` adalah:

  1. Amal perbuatannya adalah ibadah, maka bukan riya` apabila seseorang membeli mobil baru kemudian dia memamerkannya kepada manusia.
  2. Berniat agar manusia memujinya, bukan riya` pula jika seseorang melakukan ibadah agar anaknya ikut melakukan ibadah tersebut.

Meninggalkan ibadah karena takut riya` juga merupakan riya`, Al Fudhail bin ‘Iyadh berkata dalam Majmu’atul Fatawa karya Ibnu Taimiyah v,

تَرْكُ الْعَمَلِ لِأَجْلِ النَّاسِ رِيَاءٌ وَالْعَمَلُ لِأَجْلِ النَّاسِ شِرْكٌ

Meninggalkan amalan karena manusia termasuk riya’ dan beramal karena manusia termasuk syirik.”[2]

Riya` pada asalnya adalah syirik asghar, apabila dilakukan sedikit dan jarang namun bisa menjadi syirik akbar jika dilakukan terus menerus. Apabila melakukan amalan memang  hanya untuk mendapat pujian dari manusia dan tidak mengharapkan wajah Allah maka sesungguhnya dia telah berbuat syirik akbar dan ibadahnya tidak diterima oleh Allah .[3]

Bahayanya Riya`

  1. Riya` adalah syirik asghar yang mana syirik adalah dosa terbesar meskipun kecil dan jarang dilakukan. Dari Abu Sa’id al Khudri, ia berkata Rasûlullâhﷺ bersabda,

أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِمَا هُوَ أَخْوَفُ عَلَيْكُمْ عِنْدِيْ مِنَ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالِ، قَالَ قُلْنَا بَلَى، فَقَالَ: الشِّرْكُ الْخَفِيُّ أَنْ يَقُوْمَ الرَّجُلُ يُصَلِّيْ فَيُزَيِّنُ صَلاَتَهُ لِمَا يَرَى مِنْ نَظَرِ رَجُلٍ

Maukah aku kabarkan kepada kalian sesuatu yang lebih tersembunyi di sisiku atas kalian daripada Masih ad Dajjal?” Dia berkata,“Kami mau,” maka Rasulullah berkata, yaitu syirkul khafi; yaitu seseorang shalat, lalu ia menghiasi (memperindah) shalatnya, karena ada orang yang memperhatikan shalatnya”.(HR. Ibnu Majah, no. 4204, hadits ini hasan-Shahih Ibnu Majah, no. 3389).

  1. Pelaku Riya` tidak akan mendapat ganjaran apa-apa entah di Dunia maupun di Akhirat sebab pujian manusia bukanlah sesuatu yang berharga yang akan memberinya manfaat maupun mudharat. Dari Ubay bin Ka’ab, ia berkata, Rasûlullâhﷺ bersabda,

بَشِّرْ هَذِهِ الأُمَّةَ بِالسَّنَاءِ وَالرِّفْعَةِ، وَالدِّيْنِ، وَالنَّصْرِ، وَالتَّمْكِيْنِ فِي الأَرْضِ، فَمَنْ عَمِلَ مِنْهُمْ عَمَلَ الأَخِرَةِ لِلدُّنْيَا، لَمْ يَكُنْ لَهُ فِي الأَخِرَةِ نَصِيْبٌ

Sampaikan kabar gembira kepada umat ini dengan keluhuran, kedudukan yang tinggi (keunggulan), agama, pertolongan dan kekuasaan di muka bumi. Barangsiapa di antara mereka melakukan amal akhirat untuk dunia, maka dia tidak akan mendapatkan bagian di akhirat”. (HR. Ahmad, V/134; dan Hakim, IV/318. Shahih, lihat Shahih Jami’ush Shaghiir, no. 2825).[4]

Dari Mana Datangnya Riya`?

Syekh Shalil Al-Fauzan berkata dalam kitab I`anatul Mustafid bi syarhi kitabi at-Tauhid bahwa riya` bisa datang dalam 3 kondisi:

  1. Riya` menjadi awal pendorong dalam melakukan ibadah yakni agar dipuji orang lain dari awal hingga akhir maka ibadahnya batil dan tidak diterima.
  2. Dari awal melakukan ibadah ikhlas mengharap wajah Allah namun di pertengahannya datang riya`, disini ada 2 keadaan:
  • Melawan riya` tersebut dan meniatkan kembali ibadahnya ikhlas kepada Allah maka riya` tersebut tidak membahayakan amal ibadahnya.
  • Tidak berusaha melawan riya` dan tetap muncul sampai akhir ibadahnya maka disini ada khilaf diantara ulama, sebagian mengatakan ibadahnya batal dan yang sebagiannya mengatakan sesuai kadar niatnya apakah lebih banyak ikhlas atau riya`.

Apabila muncul riya` setelah selesai ibadah, maka ini tidak mempengaruhi ibadahnya kecuali terus mengungkit-ungkitnya karena dosanya bisa sebanding dengan pahalanya. Tidak termasuk riya` orang yang mendengar pujian atas dirinya karena itu adalah kabar gembira dari ketaatan yang dia lakukan.[5]

Agar Kita Tidak Riya`

Terus mengingat keutamaan ikhlas dan keagungan Allah serta pahala yang Allah janjikan dari ibadah yang dilakukan. Hendaknya mengetahui bahwa manusia tidak memiliki manfaat atau mudharat dan berdoa kepada Allah agar hatinya terus ikhlas.

Kita perlu hati-hati ketika dipuji orang karena pujian ini bisa membuat diri kita semakin ujub dan sombong. Oleh karenanya, sahabat yang mulia Abu Bakr Ash Shiddiq, yang terbaik setelah Rasûlullâh ﷺ pun berdo’a pada Allah agar dirinya lebih baik dari pujian tersebut. Ia pun meminta pada Allah agar tidak disiksa karena sebab pujian tersebut. Karena Allah lebih tahu isi hati kita, juga diri kita lebih tahu lemahnya diri kita dibanding orang lain. Jadi jangan terlalu merasa takjub dengan sanjungan orang apalagi diucapkan di hadapan kita.

Ketika dipuji, Abu Bakr berdo’a,

اللَّهُمَّ أَنْتَ أَعْلَمُ مِنِّى بِنَفْسِى وَأَنَا أَعْلَمُ بِنَفْسِى مِنْهُمْ اللَّهُمَّ اجْعَلْنِى خَيْرًا مِمَّا يَظُنُّوْنَ وَاغْفِرْ لِى مَا لاَ يَعْلَمُوْنَ وَلاَ تُؤَاخِذْنِى بِمَا يَقُوْلُوْنَ

Ya Allah, Engkau lebih mengetahui keadaan diriku daripada diriku sendiri dan aku lebih mengetahui keadaan diriku daripada mereka yang memujiku. Ya Allah, jadikanlah diriku lebih baik dari yang mereka sangkakan, ampunilah aku terhadap apa yang mereka tidak ketahui dariku, dan janganlah menyiksaku dengan perkataan mereka.” (HR. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman, 4: 228, no.4876).[6]

Terdapat doa lain,

اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لاَ أَعْلَمُ

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari menyekutukan-Mu sedangkan aku mengetahuinya, dan aku memohon ampun terhadap apa yang tidak aku ketahui.” (HR. Bukhari, no. 716).[7]

* Mahasiswi Prodi Ahwal Syakhshiyah IP FIAI angkatan 2023

Maraji’ :

[1] Muhammad Abduh Tuasikal. “Riya’, Yang Paling Nabi Khawatirkan” https://rumaysho.com/2946-riya-yang-paling-nabi-khawatirkan.html. Diakses pada 2 Mei 2025.

[2] Syekh Shalih Al-Fauzan. I`anatul Mustafid bi Syarhi Kitabi At-Tauhid. Juz 2, Maktabah Syamilah, (2002), h. 90-91.

[3] Syekh Muhammad bin Shalih Al-`Utsaimin. Qaulul Mufid `Ala Kitabi At-Tauhid. Juz 2, Maktabah Syamilah, (2003), h. 124.

[4] Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas. “Bahaya Riya” https://almanhaj.or.id/11969-bahaya-riya-2.html. Diakses padaa 2 Mei 2025.

[5] Muhammad Abduh Tuasikal. “Meninggalkan Amalan Karena Manusia Termasuk Riya” https://muslim.or.id/19718-meninggalkan-amalan-karena-manusia-termasuk-riya.html. Diakses pada 2 Mei 2025.

[6] Jâmi’ul Ahadits, Jalaluddin As Suyuthi, 25: 145, Asy Syamilah. https://yufid.tv/51270-cara-terhindar-dari-riya-ustadz-dr-firanda-andirja-m-a-silsilah-amalan-hati-25.html. Diakses pada 2 Mei 2025.

[7] Adab Al-Mufrad dan dishahihkan oleh Al-Albani. https://bimbinganislam.com/doa-doa-agar-terhindar-dari-riya/. Diakses pada 2 Mei 2025.

Download Buletin klik di sini

Islam dalam Menanggapi Isu Married Is Scary

Islam dalam Menanggapi Isu Married Is Scary

Nur Laelatul Qodariyah*

 

Isu Married Is Scary

Sahabat Al-Rasikh yang diberkahi oleh Allâh ﷻ, pernikahan merupakan ikatan batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri. Dalam Islam, tuntunan-tuntunan terkait pernikahan sangat diperhatikan, karena syariat nikah diturunkan untuk menjaga kehormatan manusia, sesuai dengan martabatnya sebagai makhluk yang dimuliakan dengan iman, agama, dan akalnya.[1]

Namun dalam kalangan masyarakat saat ini beredarnya berita tentang isu married is scary atau diartikan dengan menikah itu menakutkan, memicu polemik yang negatif. Berdasarkan berbagai sumber isu married is scary muncul karena cerminan perubahan zaman dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Itu berarti secara tidak langsung keterbukaan informasi menjadi bentuk kesadaran yang tinggi dikalangan anak muda. Perubahan ini tidak selalu negatif.[2]

Meskipun munculnya isu ‘married is scary’ dapat dipandang positif karena mengajarkan kita untuk memilih pasangan dengan bijak dan tidak sembarangan, pandangan yang keliru mengenai pernikahan adalah anggapan bahwa pernikahan akan menjadi beban. Hal ini sering terjadi akibat pengaruh media sosial yang menggambarkan permasalahan dalam pernikahan, seperti keterlibatan mertua yang terlalu ikut campur, perselingkuhan, suami yang menganggur, dan lain sebagainya. Akibatnya, beberapa orang merasa lebih baik memilih untuk tetap sendiri daripada mengambil risiko salah memilih pasangan hidup.

Sebenarnya bukan karena pernikahan yang menakutkan, tapi orang yang nanti akan menemani kita sebagai salah satu penentu baik dan buruknya pernikahan. Ada banyak pernikahan yang sukses dan ada juga beberapa yang cerai hal ini menandakan bahwa bukan pernikahannya yang salah namun orangnya yang perlu kita seleksi mana baik dan buruknya nanti untuk kedepannya.

Obat Cinta adalah Menikah

Dalam pernikahan itu sendiri terkadang ada pahitnya dan manisnya, sehingga edukasi sebelum menikah penting sekali, hal ini mengacu ke pertanyaan sebelum menikah diantaranya, kesepakatan untuk tempat tinggal, jumlah nafkah yang diberi, tentang kesepakatan dan rencana kedepan dalam memiliki anak dan lain-lainnya. Jangan menganggap bahwa pernikahan itu hanya soal cinta. Nonono itu salah besar.

Allâh ﷻ, berfirman,

وَمِنْ ءَايَٰتِهِۦٓ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَٰجًا لِّتَسْكُنُوٓا۟ إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَءَايَٰتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan diantara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dia menjadikan diantaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.”  (QS. Ar-Rûm [21]: 21).

Banyak kalangan remaja yang terjebak dalam kata cinta namun menodai dari pada hakikat cinta itu sendiri, karena cinta yang benar itu seharusnya melindungi kedua orang dalam ikatan pernikahan, sehingga masing-masing pasangan bertanggung jawab dengan tugasnya masing-masing ketika berumah tangga.  Mencintai seseorang memang fitrah sebagai seorang manusia tidak disalahkan, namun perbuatannya yang dilarang di luar pernikahan itu yang tidak diperbolehkan, karena dampak paling besar kerugiannya itu bagi perempuan. Penulis disini bukan bermaksud membela salah satu pihak gender saja, namun dalam kenyataannya lebih banyak yang rugi disini adalah perempuan, karena perempuanlah yang mengandung, menyusui, dan melahirkan, oleh karena itu laki-laki bisa pergi tanpa tanggung jawab dan kehilangan apa-apa apalagi tanpa ada ikatan pernikahan.

Allâh ﷻ, itu sangat baik terhadap hamba-hambanya termasuk aturan yang telah dibuat oleh-Nya, karena Allâh ﷻ, ingin melindungi siapa-siapa saja agar tidak merugikan hambanya.

Sedangkan obat dari pada cinta adalah menikah, tapi apakah orang yang menikah harus cinta dulu? Jawabanya tidak, rumah tangga dibangun atas dasar ibadah kita kepada Allâh ﷻ, insyaAllâh seberat apapun masalahnya akan diselesaikan dengan baik-baik.  point utama dari pada pernikahan itu adalah tenang. Maka dari itu banyak daripada kita ketika menghadiri pesta pernikahan dengan berdoa semoga sakinah, mawadah, dan warahmah, bagi pasangan suami istri yang baru menikah.

Sakinah

Merujuk dari pada sakinah itu sendiri, berarti damai, tenang dan aman dalam rumah tangga. Setiap rumah tangga pasti memiliki masalahnya masing-masing, oleh karena itu calon suami dan istri harus mempersiapkan diri secara matang baik secara fisik maupun mental.[3] Kedamaian akan muncul jika komunikasi antara suami dan istri mampu menyamai. Di dalam Al-Qur’an pernikahan itu bukan tujuannya untuk cinta, melainkan damai tentram biar bisa hidup bersama-sama, hal ini fakta saya pernah mendengar pasangan yang sudah lama umurnya, katanya yang namanya cinta itu kadang naik dan turun. Oleh karena itu, jika ada orang mengatasnamakan cinta namun malah menyakiti kedua belah pihak tanda adanya pernikahan, maka itu suatu kebohongan. Cinta adalah bonus dalam pernikahan, semakin tenang dan damai dalam pernikahan yakin cinta itu akan ada untuk menambahkan rasa manis dari pada hubungan suami istri yang sudah halal.

Mawadah

Mawadah atau kasih sayang merupakan sesuatu yang terbentuk dari kehendak jiwa. Sedangkan menurut M. Quraish mawadah adalah cinta plus yang sejati. Bukan sekedar cinta yang akan pudar ketika hatinya lagi kesal. Tetapi karena mawadah tidak mudah memutuskan hubungan dengan begitu saja.  Maka dari itu ada pepatah yang mengatakan cinta sebelum menikah adalah sebuah ujian. Oleh sebab itu dua orang yang sedang dimabukan cinta kemudian sudah siap dan mampu dalam mental dan fisik maka jangan tunda untuk menikah segerakanlah itu

Warahmah

Warahmah atau rahmah kasih sayang yang sifatnya lebih lembut, maksudnya adalah dalam konteks ini saling memaafkan dan merawat pasangan dan kemudian menerima kekurangan satu lainnya, sedangkan menurut beberapa ulama rahmah itu mencakup belas kasih, toleransi dan keinginan untuk melindungi.

Jadi kesimpulannya adalah nikah itu bukan sesuatu yang ditakutkan atau sesuatu yang perlu disingkirkan, daripada takut menikah mending takut akan larangan-larangan yang telah Allâh ﷻ aturkan untuk kita, mungkin lebih tepatnya kita harus berhati-hati dalam memilih pasangan bukan takut pada perkara yang disunahkan.

* Alumni Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia

Maraji’ :

[1] Hamid Pongoliu, Keluarga Sakinah, Mawadah, Warahmah dalam Konsep Pernikahan Islam, Jurnal Pemikiran Hukum Islam, Vol.13, No.1

[2] CCN Indonesia, “Marriage Is Scary, Cerminan Perubahan Nilai yang tak Melulu Negatif”, dikutip dari cnnindonesia.com diakses pada tanggal 30 April 2025

[3] Berlia Sukmawati, Mu’ammar Khadafi, Family Achievement That Are Sakinah, Mawaddah, Warahmah, Milrev, Vol. 1, No. 2

Download Buletin klik di sini

Pemuda Muslim Masa Depan Islam

Pemuda Muslim Masa Depan Islam

Anwaruddin Ridho Novianto*

 

Peran Pemuda

Kita sebagai pemuda merupakan bagian penting dari suatu bangsa, negara, dan agama. Kita adalah generasi yang akan melanjutkan peradaban, menciptakan perubahan, dan menciptakan masa depan hingga akhir zaman. Jika kita melihat masa lalu, pemuda-pemuda pada zaman Rasulullah ﷺ telah mengambil peran besar dalam perkembangan Islam seperti Usamah bin Zaid seorang panglima perang, Zaid bin Tsabit penulis wahyu sekaligus penerjemah Rasulullah ﷺ dalam dakwah, dan lain-lain. Adapun setelah masa Rasulullah ﷺ kita memiliki sosok Muhammad Al Fatih yang pada umur 22 tahun dapat menaklukkan Konstantinopel dan secara tidak langsung mengubah sejarah dunia.[1]

Namun pada masa sekarang ini yang sangat dinamis, sulit sekali untuk membangkitkan semangat juang dan belajar yang sama seperti para pendahulu kita. Kurangnya mempelajari mendalami al Qur’an dan Sunnah yang menjadi penuntun umat muslim terhindar dari api neraka menjadi salah satu faktornya. Kita lebih memilih berselancar di media sosial, melihat tontonan yang kurang mendidik, bahkan meniru perilaku tidak senada syariat dengan alasan viral atau mengikuti tren.

Dalam hal perilaku, tata krama dan sopan santun menjadi sesuatu yang kurang diperhatikan seperti kurang menghormati orang tua, tidak sopan, dan sering berkata kasar atau jorok. Salah satu faktor pendorong krisis moral pemuda yaitu dipengaruhi oleh globalisasi yang membawa berbagai ideologi, pemikiran, budaya, dan teknologi ke masyarakat kita.[2]

Sosok Pemuda Muslim dalam Al-Qur’an

Pemuda sebagai salah satu bagian dari masyarakat dunia tidak bisa menghindari atau menghentikan globalisasi. Hal yang dapat dilakukan oleh kita yaitu memilih dan memilah apa saja yang bisa dimanfaatkan dan membuang apa saja yang tidak sesuai dengan nilai, norma, dan ajaran Islam. Dalam pandangan Islam, pemuda yang baik adalah yang berkarakter Asbabul Kahfi dan beriman. Pemuda dengan Ashbabul Kahfi akan mendapat kemuliaan di hadapan Allah ﷻ. Dikisahkan di dalam al-Qur’an surat ke-18 sekelompok pemuda yang disebut Ashabul Kahfii menghindari kezaliman penguasa demi mempertahankan akidah kepada Allah ﷻ. Mereka dipaksa untuk menyembah kepercayaan sang raja dan meninggalkan agama Allah ﷻ. Mereka menolak lalu bersembunyi di dalam gua seraya berdoa kepada Allah ﷻ yang tercatat dalam surah Al-Kahfi ayat 10. Allah ﷻ berfirman,

إِذ أَوَى الْفِتْيَةُ إِلَى الْكَهْفِ فَقَالُوا رَبَّنَا آتِنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا

“(Ingatlah) tatkala pemuda-pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua lalu mereka berdoa: “Wahai Tuhan kami berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini).” (QS. Al-Kahfi [18]: 10).

Kemudian Allah ﷻ buat mereka tertidur selama bertahun-tahun agar mereka terhindar dari bahaya dan keimanan mereka tetap terjaga. Kemudian Allah ﷻ bangunkan mereka dan menguji mereka untuk mencari tahu berapa lama mereka tertidur sebagaimana tercantum surah Al-Kahfi Al-Kahfi ayat 12. Allah ﷻ berfirman,

ثُمَّ بَعَثْنَاهُمْ لِنَعْلَمَ أَيُّ الْحِزْبَيْنِ أَحْصَى لِمَا لَبِثُوا أَمَدًا

Kemudian Kami bangkitkan mereka (dari tidurnya) untuk Kami menguji siapakah dari dua golongan di antara mereka yang lebih tepat kiraannya, tentang lamanya mereka hidup (dalam gua itu).” (QS. Al-Kahfi [18]: 12).

Saat mereka terbangun, kondisi sudah berubah yaitu tempat mereka sekarang sudah memeluk agama Allah dan mereka terbebas dari ancaman. Allah ﷻ menghendaki mereka selamat maka selamatlah jiwa dan keimanan mereka.[3]

Pelajaran Kisah Pemuda dalam Al Qur’an

Allah ﷻ menceritakan kisah Ashbabul Kahfi karena mereka merupakan pemuda terbaik pada masanya yang dapat dijadikan teladan bagi generasi muda berikutnya. Nilai penting yang dapat diambil adalah selalu beriman kepada Allah ﷻ dan berpegang teguh dengan apa yang mereka yakini. Mereka tidak menjadikan masa muda mereka untuk berfoya-foya melakukan hal yang sia-sia dan mendedikasikan masa muda mereka untuk beribadah. Nilai  keyakinan dan keimanan Ashbabul Kahfi yaitu memiliki keyakinan bahwa kita akan selalu merasa diawasi maka kita akan merasa malu untuk bermaksiat [4].

Karakter pemuda baik berikutnya yaitu pemuda yang mau dan berusaha menjadi pribadi yang baik tiap harinya secara konsisten dengan semangat istiqomah. Untuk menjadi pribadi pemuda yang lebih baik dengan selalu mempelajari dan mendalami al-Qur’an dan Sunnah serta mengamalkannya. Selain itu, pemuda juga harus aktif dan produktif dalam menjalankan perintah Allah. Arti dari aktif dan produktif yaitu melakukan kebaikan untuk dirinya dan mengajak kebaikan kepada orang lain. Kita sebagai pemuda juga harus bisa bekerja sama dalam kebaikan dan solutif memecahkan masalah dengan ilmu yang dimilikinya.

Peningkatan moral pemuda muslim dapat ditingkatkan juga dengan lingkungan yang mendukung. Lingkungan disekitarnya juga dapat membantu membentuk karakter pemuda muslim itu sendiri, terutama dari orang tua. Allah ﷻ memberikan petunjuk mengenai sikap keteladanan orang tua dalam mendidik anak-anaknya melalui penggambaran Luqman, seorang figur ayah yang bijaksana[5].

Kisah Luqman disebutkan dalam al-Qur’an surah Luqman ayat 13, ia mewasiatkan kepada anaknya untuk mendirikan shalat, mengajak mengerjakan kebaikan, mencegah kemungkaran, bersabar  jika diberi ujian, dan menjauhi sikap angkuh serta sombong. Dari kisah Luqman, kita mengetahui bahwa karakter pemuda di masyarakat tidak lepas dari didikan orang tua, guru, dan lingkungan sekitar. Madrasah pertama yang didapat oleh tiap anak berasal dari orang tuanya sehingga kebijaksanaan, pendidikan, dan pelajaran diberikan sepatutnya selaras dan sesuai syariat Islam. Berproses menjadi pemuda muslim yang lebih baik merupakan proses yang memerlukan waktu, kesabaran, dan konsistensi. Dengan dorongan dari internal dan eksternal, atas izin Allah ﷻ, akan ada selalu pemuda muslim masa depan islam yang mengamalkan syariat di tengah dinamika globalisasi. Wa Allâhu a’lam.

* Tendik Fakultas Bisnis dan Ekonomika.

Maraji’ :

[1] Humas SMA IT Ar Raihan, “Menjadi Pemuda Kebanggaan Rasulullah ”, https://smait.arraihan.org/menjadi-pemuda-kebanggaan-rasulullah-saw/. Diakses pada 26 Agustus 2024.

[2] Indriana Wijayanti, “Kemerosotan Nilai Moral yang Terjadi Pada Generasi Muda di Era Modern

[3] Abdul Manap, “Tidur Bertahun-tahun, Berikut Hikmah dan Teladan Kisah Pemuda Ashabul Kahfi”, https://jabar.nu.or.id/hikmah/tidur-bertahun-tahun-berikut-hikmah-dan-teladan-kisah-pemuda-ashabul-kahfi-bIOq8#. Diakses pada 26 Agustus 2024.

[4] AWP, “Pemuda Salah Satu Kunci Kesuksesan Bangsa”, https://www.uii.ac.id/pemuda-salah-satu-kunci-kesuksesan-bangsa/.  Diakses pada 26 Agustus 2024).

[5] Misbahul Wani. “Pemuda dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah: Pemuda Islam yang Berkualitas Tidak Lepas dari Pendidikan Orang Tua yang Totalitas” dalam Jurnal Studi Ilmu Al-Qur’an dan Al-Hadits, Volume 13, No. 1 Juni Tahun 2019. h.71 – 94.

Download Buletin klik di sini

Tugas Manusia di Bumi

Tugas Manusia di Bumi 

Despan Heryansyah*

 

Tujuan Menciptakan Manusia

Penulis ingin memulai tulisan ini dengan mengajukan sebuah pertanyaan klasik yang cukup menarik, untuk mengingatkan perjalanan hidup kita semua. Pertanyaan ini penting untuk selalu mengingatkan kita agar tidak terlalu jauh bertindak dan mengambil tindakan, yaitu sebetulnya untuk apa atau apa tujuan Allâh, Tuhan Yang Esa, menciptakan manusia di bumi ini? Apakah hanya untuk beribadah, berpuasa, shalat, sedekah, atau yang lainnya?[1]

Untuk menjawab pertanyaan ini, Allâh ﷻ sudah menjelaskan dengan sangat gamblangnya di dalam Al Qur’an apa yang menjadi tujuan manusia hidup di muka bumi ini. Allâh ﷻ berfirman,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat: 56)

Tugas Manusia Diciptakan

Sedangkan tugas manusia diciptakan adalah sebagai khalifah (الخليفة). Allâh ﷻ menjelaskannya dalam surah Al-Baqarah ayat 30,

وَاِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ ِانِّيْ جَاعِلٌ فِى الْاَرْضِ خَلِيْفَةًۗ قَالُوْٓا اَتَجْعَلُ فِيْهَا مَنْ يُّفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاۤءَۚ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَۗ قَالَ اِنِّيْٓ اَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ

“(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 30).

Kalau melihat ayat di atas, maka salah satu tugas manusia adalah sebagai khalifah (الخليفة). Makna dari khalifah adalah penerus bagi para pendahulu (malaikat), dan yang dimaksud dengan khalifah dalam ayat ini adalah Nabi Adam o. Kalimat ini ditujukan oleh Allâh ﷻ kepada pada malaikat bukan bertujuan untuk bermusyawarah atau meminta pendapat akan tetapi untuk mengeluarkan apa yang ada dalam diri mereka.[2]

Dalam terminologi yang lain khalifah itu adalah menjaga, memelihara, membimbing, mengantar semua ciptaan tuhan menuju tujuan penciptaannya.[3] Lalu apa tugas manusia sebagai khalifah itu?[4]

Allâh ﷻ menjawabnya dalam surah Hûd ayat 61,

وَإِلَىٰ ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَٰلِحًا ۚ قَالَ يَٰقَوْمِ ٱعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ مَا لَكُم مِّنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُۥ ۖ هُوَ أَنشَأَكُم مِّنَ ٱلْأَرْضِ وَٱسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا فَٱسْتَغْفِرُوهُ ثُمَّ تُوبُوٓا۟ إِلَيْهِ ۚ إِنَّ رَبِّى قَرِيبٌ مُّجِيبٌ

“Kepada (kaum) Samud (Kami utus) saudara mereka, Shalih. Dia berkata, “Wahai kaumku, sembahlah Allah! Sekali-kali tidak ada tuhan bagimu selain Dia. Dia telah menciptakanmu dari bumi (tanah) dan menjadikanmu pemakmurnya. Oleh karena itu, mohonlah ampunan kepada-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku sangat dekat lagi Maha Memperkenankan (doa hamba-Nya).” (QS. Hûd [11]: 61).

Satu kalimat yang penulis ingin garis bawahi dari ayat di atas, yaitu “Dia telah menciptakanmu dari bumi (tanah) dan menjadikanmu pemakmurnya”

Jadi tugas manusia sebagai khalifah itu adalah dengan memakmurkan bumi beserta isinya, memakmurkannya dengan cara memelihara apa yang ada dimuka bumi ini dengan baik termasuk membangun peradaban dimuka bumi. Maka tugas utama manusia ini adalah membangun bumi, membangun peradaban di muka bumi, bukan sekedar shalat, puasa, dan ibadah mahdhah lainnya.

Shalat Mencegah Perbuatan Keji dan Mungkar

Shalat itu cara yang membentengi manusia supaya dalam kegiatannya membangun bumi tidak melenceng, itu sebabnya Allâh ﷻ firmankan,

إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ تَنْهَىٰ عَنِ ٱلْفَحْشَآءِ وَٱلْمُنكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ ٱللَّهِ أَكْبَرُ ۗ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ

“…Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Ankabut [29]: 45).

Dengan tegas bahwa shalat itu menghalangi manusia melakukan perbuatan keji dan munkar, melakukan dosa. Maka shalat adalah sebagai kunci bukan sebagai tujuan akhir. Begitu juga dengan zakat, bukan sebagai tujuan akhir tapi karena ada keharusan bekerja maka zakat adalah untuk mensucikan hasil kerja itu.

Jadi kita bisa ibaratkan ada tujuan dekat dan ada tujuan jauh, sama seperti halnya orang yang bermain bola itu berlomba-lomba untuk mencetak goal, tapi mencetak gol itu sendiri bukanlah tujuan bermain bola, tujuan main bola adalah untuk memenangkan setiap pertandingan. Tujuan akhir kita adalah membangun peradaban di muka bumi, tetapi juga harus shalat, harus puasa, harus zakat dan kewajiban lainnya, untuk apa? Kunci untuk mencapai tujuan akhir itu, jadi jangan berhenti disana, ada banyak hal yang harus dilakukan untuk membangun peradaban di muka bumi, yang itu nilainya juga sebagai ibadah.

Ibadah Tidak Sekedar Ritual

Pesan menarik dari pandangan di atas bahwa kesalahan kebanyakan kita selama ini adalah menganggap ibadah itu hanya sebagai ibadah ritual semata, padahal sebenarnya ibadah itu sebagaimana yang disebutkan Syaikhul Islam,

الْعِبَادَة هِيَ اسْمٌ جَامِعٌ لِكُلِّ مَا يُحِبُّهُ اللهُ وَيَرْضَاهُ مِنَ الْأَقْوَالِ وَالأَعْمَالِ الْبَاطِنَةِ وَالظَّاهِرَةِ

“Ibadah adalah istilah yang digunakan untuk menyebut semua yang dicintai dan diridhai oleh Allah, baik berupa ucapan, atau perbuatan, yang dzahir maupun bathin.”[5]

ibadah itu adalah semua kegiatan yang direstui agama dalam konteks membangun bumi, membangun peradaban dimuka bumi.

Jadi kalau ada seorang driver grab yang tidak bisa shalat sunnah atau puasa sunnah, tidak perlu bersedih karena bekerja untuk memenuhi nafkah keluarga adalah kewajiban dan merupakan ibadah. Seseorang yang bekerja di sawah, perkebunan, perpustakaan, rumah sakit, dan seorang juru parkir yang bekerja untuk menghidupi keluarganya itu juga adalah dalam konteks membangun peradaban di bumi sehingga ia adalah ibadah.

Bahkan, ada ilustrasi yang menarik dari Quraish Shihab, ia mengatakan begini jika ada seorang karyawan yang dalam keadaan normal lalu bangun tengah malam dan shalat tahajjud, lalu besok paginya ia malas pergi kekantor untuk bekerja, padahal bekerja adalah kewajiban bagi dirinya, maka ia telah berdosa.[6]

Sekali lagi bekerja, membangun bumi, membangun peradaban, membangun keindahan, dan membangun kemakmuran adalah tugas manusia di muka bumi, yang dinilai sebagai ibadah yang utama oleh Allah dan rasulnya. Selain dilarang menyempitkan makna ibadah, kita juga tidak boleh dengan mudah menjustifikasi apa yang dilakukan oleh orang lain, terlebih merasa diri lebih baik dari pada dia.

Maraji’ :

* Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

[1] Sofyan Anwar Mufid, Ekologi Manusia. Bandung : Remaja Roesdakarya, 2010.

[2] https://tafsirweb.com/290-surat-al-baqarah-ayat-30.html.

[3] Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Qur,an; Kajian Tematik Ayat-ayat Hukum dalam Al Qur‟an, Jakarta, Penamadani, 2005, h. 121.

[4] Bandingkan Watsiqotul, sunardi, leo Agung, Peran Manusia Sebagai Khalifah Allah Di Muka Bumi Perspektif Ekologis Dalam Ajaran Islam, Jurnal Penelitian, Vol. 12, No. 2, Agustus 2018, h. 360.

[5] Syaihul Islam Ibnu Taimiyah. al-Ubudiyah, h. 2.

[6] M. Quraish Shihab, Khalifah; Peran Manusia di Bumi, Cetakan Pertama, Tangerang: PT Lentera Hati, 2020.

Download Buletin klik di sini

Dunning Kruger Effect

Dunning Kruger Effect

Ridho Frihastama

 

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering kali menjumpai orang-orang yang merasa tahu segalanya. Mereka gemar memberikan pendapat tanpa dasar yang jelas, merasa dirinya paling benar, dan tidak segan menghakimi orang lain.[1] Fenomena ini sangat relevan dalam masyarakat modern, di mana akses informasi yang melimpah sering kali tidak diiringi dengan hikmah dan kebijaksanaan. Dalam Islam, sikap seperti ini perlu mendapat perhatian, karena bertentangan dengan akhlak mulia yang diajarkan Rasûlullâh ﷺ.

Fenomena ini dikenal dalam psikologi sebagai efek Dunning-Kruger, sebuah bias kognitif di mana seseorang dengan pengetahuan atau keterampilan yang rendah dalam suatu bidang cenderung melebih-lebihkan kemampuannya. Efek Dunning-Kruger ini bisa menjadi pengingat penting bagi kita sebagai Muslim untuk selalu bersikap rendah hati dalam ilmu dan amal.

Allah ﷻ berfirman,

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِۦ عِلْمٌ ۚ إِنَّ ٱلسَّمْعَ وَٱلْبَصَرَ وَٱلْفُؤَادَ كُلُّ أُو۟لَٰٓئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔولًا

“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawaban.” (QS. Al-Isra’ [17]: 36).

Mengapa Orang Sok Tahu Muncul?

Efek Dunning-Kruger terjadi karena kurangnya kesadaran seseorang terhadap batasan ilmunya. Ketika seseorang baru mempelajari sesuatu, ia merasa sudah memahami keseluruhan topik, padahal sesungguhnya ia hanya menguasai permukaan.[2] Ketidaktahuan ini membuat mereka sulit untuk mengenali sejauh mana mereka belum tahu.

Dalam Islam, kita diajarkan untuk senantiasa mencari ilmu dengan penuh kerendahan hati. Rasûlullâh ﷺ bersabda,

Abu Hurairah z, ia berkata bahwa Rasûlullâh ﷺ bersabda,

وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ

Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim, no. 2699)

Namun, jika ilmu tidak disertai dengan akhlak dan kesadaran akan keterbatasan diri, ia dapat menjadi sumber keburukan. Orang yang sok tahu tidak hanya merugikan dirinya sendiri, tetapi juga bisa menyesatkan orang lain.

Dampak Negatif Sikap Sok Tahu

1. Merusak Hubungan Sosial: Orang sok tahu sering kali terlihat arogan, sehingga sulit diterima dalam lingkungan sosial. Sikap ini dapat memicu perselisihan, terutama jika mereka menyampaikan pendapat tanpa dasar yang kuat.

2. Potensi Dusta: Ada saja yang bisa dijadikan bahan pembicaraan. Padahal sebenarnya amat bahaya jika kita menyampaikan setiap apa yang kita dengar, karena terkadang informasi tersebut belum tentu kebenarannya. Maka perlu hati-hati dan selektif saat  hendak menyebarkan suatu informasi, apalagi baru sekedar kabar burung. Dari Abu Hurairah, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda,

كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ

Cukup seseorang dikatakan dusta, jika ia menceritakan segala apa yang ia dengar.” (HR. Muslim no. 5).[3]

3. Menghambat Proses Pembelajaran: Seseorang yang merasa sudah tahu segalanya cenderung tidak terbuka untuk belajar lebih lanjut. Padahal, dalam Islam, kita diajarkan bahwa menuntut ilmu adalah kewajiban sepanjang hayat.

Islam dan Kerendahan Hati dalam Ilmu

Islam sangat menekankan pentingnya kerendahan hati dalam menuntut ilmu. Rasûlullâh ﷺ adalah teladan sempurna dalam hal ini. Meskipun beliau adalah manusia paling mulia, beliau senantiasa menunjukkan sikap rendah hati dalam semua aspek kehidupan.

Allah ﷻ juga mengingatkan kita untuk selalu menyandarkan ilmu kita kepada-Nya, karena hanya Dia yang Maha Mengetahui,

وَيَسْـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلرُّوحِ ۖ قُلِ ٱلرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّى وَمَآ أُوتِيتُم مِّنَ ٱلْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا

“Dan mereka bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang roh. Katakanlah, “Roh itu termasuk urusan Tuhanku, sedangkan kamu tidak diberi pengetahuan kecuali hanya sedikit.” (QS. Al-Isra’ [17]: 85).

Ayat ini mengajarkan bahwa orang yang benar-benar berilmu adalah mereka yang sadar akan kebesaran Allah dan keterbatasan dirinya sendiri. Oleh karena itu, sikap rendah hati menjadi tanda seorang Muslim yang sejati.

Bagaimana Menghindari Sikap Sok Tahu?

  1. Perbanyak Belajar: Semakin banyak ilmu yang kita pelajari, semakin kita menyadari bahwa ilmu kita hanyalah setetes dari lautan ilmu Allah. Kesadaran ini akan melahirkan sikap rendah hati, karena kita memahami bahwa tidak ada sesuatu pun yang kita miliki tanpa izin dan karunia-Nya. Lebih dari itu, ilmu adalah cahaya yang membimbing manusia dalam menjalani kehidupan. Dengan ilmu, kita mampu membedakan yang benar dari yang salah, yang baik dari yang buruk. Maka, jangan pernah lelah untuk belajar, baik ilmu agama maupun ilmu dunia.
  2. Bersikap Rendah Hati: Ingatlah bahwa ilmu adalah amanah yang harus dijaga dan disampaikan dengan cara yang benar. Jangan pernah merasa lebih unggul dari orang lain karena ilmu yang kita miliki.
  3. Mencari Sumber yang Terpercaya: Di era banjir informasi saat ini, sangat penting bagi kita untuk lebih selektif mencari sumber informasi yang terpercaya dan dapat dipertanggungjawabkan sebelum membagikan kepada orang lain.
  4. Bersikap Terbuka terhadap Kritik: Bersikap Terbuka terhadap Kritik: Sebagai manusia yang tidak luput dari kekhilafan baik dari perkataan dan perbuatan. Kita kadang tidak terhindar dari kritik orang lain. Sehingga ketika kritik tersebut benar adanya, kita berusaha terima dengan lapang dada dan memperbaikinya, tetapi jika tidak benar maka cukup kita jadikan pengingat saja. Sikap ini menunjukkan kebesaran jiwa dan keinginan kita untuk terus belajar.

Sikap sok tahu bukanlah hal sepele. Ia dapat merusak diri sendiri, orang lain, dan bahkan masyarakat. Sebagai Muslim, kita harus senantiasa berhati-hati dalam berbicara dan bertindak.

Dari Abu Hurairah, Rasûlullâh ﷺ bersabda,

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أَوْ لِيَصْمُتْ

“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR. Bukhari, no. 6018, 6019, 6136, 6475 dan Muslim, no. 47)

Mari kita jadikan ayat-ayat Allah ﷻ dan sunnah Rasûlullâh ﷺ sebagai pedoman dalam menuntut ilmu dan berinteraksi dengan sesama. Dengan demikian, kita dapat terhindar dari sikap sok tahu yang merugikan dan menjadi pribadi yang lebih bijaksana, rendah hati, dan bermanfaat bagi orang lain.

Semoga Allâh senantiasa memberikan kita ilmu yang bermanfaat dan hati yang lapang untuk menerimanya. Âmîn.

Maraji’ :

[1] Tom Nichols. Matinya Kepakaran (The Death of Expertise). Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia). 2024. Cet.k-2. h. 17.

[2] Wahyudi, dkk. “Dunning Kruger Effect: Argumen Individu Mewujudkan Percaya Diri” dalam Jurnal Literaksi; Jurnal Manajemen Pendidikan. Vol.01, No.02, Tahun 2023.  h. 90.

[3] Muhammad Abduh Tuasikal. “Hati-Hati Share Berita Bisa Jadi Dituduh Dusta” https://rumaysho.com/10844-hati-hati-share-berita-bisa-jadi-dituduh-dusta.html. Diakses 20 Januari 2025.

Download Buletin klik di sini

Agar Silaturrahim Tak Ternoda Dosa

Agar Silaturrahim Tak Ternoda Dosa

Erry Satya Panunggal*

 

Ditilik dari asal katanya, silaturrahim berasal dari bahasa Arab, صِلَةُ الرَّحِمِ (shilaturrahîmi). Jika kita pecah, terdiri dari dua kata: silah, [arab: صِلَةُ] yang artinya hubungan dan rahim [arab: الرَّحِم] artinya rahim, tempat janin sebelum dilahirkan. Sehingga yang dimaksud silaturrahim adalah menjalin hubungan baik dengan kerabat, sanak, atau saudara yang masih memiliki hubungan rahim atau hubungan darah dengan kita.[1]

Ada juga makna lain dari silaturrahim, silah yang berarti “hubungan” dan rahim yang berarti “kasih sayang” atau “rahmat”[2]. Dalam Islam, silaturrahim bukan sekadar hubungan sosial, tetapi juga ibadah yang mendatangkan berkah serta keberkahan hidup.

Allâh ﷻ berfirman,

وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ٱلَّذِى تَسَآءَلُونَ بِهِۦ وَٱلْأَرْحَامَ

Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim.” (QS. An Nisâ’ [4]: 1).

Meski demikian, momen istimewa silaturrahim di bulan Syawal tersebut terkadang dapat ternoda oleh kekhilafan kita dalam menjaga lisan dan perilaku. Dalam artikel singkat ini, penulis ingin membagikan rambu-rambu yang perlu kita perhatikan agar ibadah silaturrahim kita tidak ternoda dengan dosa.

Memilih waktu berkunjung yang tepat

Salah satu adab yang patut dijaga adalah memperhatikan jam berkunjung yang tepat. Adab ini saling berkaitan dengan menghargai privasi tuan rumah, kesiapan, serta kenyamanan mereka dalam menerima tamu[3].

Sebelum memasuki rumah seseorang, kita diajarkan untuk meminta izin terlebih dahulu kepada pemilik rumah. Hal ini sebagaimana Allâh ﷻ berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَدْخُلُوا۟ بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّىٰ تَسْتَأْنِسُوا۟ وَتُسَلِّمُوا۟ عَلَىٰٓ أَهْلِهَا ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat.” (QS. An-Nûr [24]: 27)

Tidak menanyakan hal-hal yang bersifat privasi

Di tengah asyiknya bersilaturrahim bersama keluarga, secara tak sadar meluncur perkataan atau pertanyaan yang dapat melukai hati saudara kita. Seperti di antaranya menanyakan hal-hal yang sifatnya masuk ranah privasi bagi lawan bicara. Sebagai contoh, menanyakan kapan akan berkeluarga, kapan akan punya atau menambah momongan, kapan akan membeli kendaraan, dsb.

Menyikapi hal ini, perhatikan sabda Nabi ﷺ dari Abu Musa Al-Asy’aribeliau bertanya kepada Rasûlullâh ﷺ“Wahai Rasûlullâh! Siapakah kaum muslimin yang paling baik?”

Rasûlullâh ﷺ menjawab,

مَنْ سَلِمَ المُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ، وَيَدِهِ

Seorang muslim yang tidak mengganggu orang lain dengan lisan atau tangannya.” (HR. Bukhari no. 11 dan Muslim no. 42).

Maka penting menjaga lisan dari ucapan-ucapan yang dapat menyakitkan[4]. Topik pembicaraan yang ringan seperti nostalgia masa kecil di kampung halaman, kuliner, dan hobi bisa menjadi pembuka pembicaraan yang dapat mendekatkan kita kepada lawan bicara[5].

Menghindari ghibah

Fenomena kurang elok yang kerap muncul di ajang silaturrahim yakni dinormalisasikannya ghibah. Pada suatu konten media sosial, disorot perilaku para biang gosip tersebut yang menguliti dan membumbui aib sesama Muslim. Semakin pelan dan lirih mereka saling bercakap, maka semakin besar dan bombastis aib saudara yang menjadi bahan pergunjingan.

Allâh ﷻ melarang ghibah dengan perumpamaan yang sangat keras dalam Al-Qur’an,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱجْتَنِبُوا۟ كَثِيرًا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ ٱلظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا۟ وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurât [49]: 12).

Sedangkan Rasûlullâh ﷺ dengan arif mengingatkan bahwa ghibah dapat mengikis amal kebaikan yang sudah susah payah kita kumpulkan. Bahkan dijelaskan apabila kita sudah tidak memiliki amal kebaikan lagi, maka kita akan ditimpakan dengan dosa dari orang yang kita gunjingkan[6]. Oleh karena itu, kita dituntut bijak dalam meramu topik pembicaraan ketika bersilaturrahim dengan menghindari ghibah.

Menghargai hidangan dan pemberian tuan rumah

Di dalam Islam, seorang tuan rumah memang dianjurkan menyambut tamunya dengan sebaik-baiknya sebagai bagian dari adab memuliakan tamu. Sebaliknya, kita sebagai tamu juga dianjurkan untuk menghargai hidangan yang disuguhkan tuan rumah saat momen silaturrahim.

Salah satu bentuk menghargai hidangan adalah tidak mencela makanan yang disuguhkan kepada kita. Sebagaimana diriwayatkan dari sahabat Abu HurairahNabi ﷺ bersabda,

مَا عَابَ النَّبِيُّ ﷺ طَعَامًا قَطُّ إِنْ اشْتَهَاهُ أَكَلَهُ وَإِنْ كَرِهَهُ تَرَكَهُ

Nabi  tidak pernah mencela makanan sekali pun. Apabila beliau berselera (suka), beliau memakannya. Apabila beliau tidak suka, beliau pun meninggalkannya (tidak memakannya).” (HR. Bukhari no. 5409 dan Muslim no. 2064).

Sebagai tamu, tidak elok jika kita mengusulkan atau menentukan sesuatu untuk dihidangkan. Permintaan tamu itu bisa jadi membuat tuan rumah kesulitan untuk mengadakan hidangan itu. Jika tuan rumah menawarkan dua pilihan makanan kepadanya, hendaklah dia memilih makanan yang paling mudah di antara keduanya untuk disediakan tuan rumah.[7]

Saling memaafkan dan mendoakan ketika berpamitan

Meski telah memperhatikan adab dalam bersilaturrahim, namun sebagai manusia biasa sangat mungkin masih terjadi kekhilafan yang dapat menimbulkan kesalahpahaman. Untuk itu, ketika akan pamit pulang ketika bersilaturrahim, tidak mengapa jika kita meminta maaf kepada tuan rumah serta mendoakan hal-hal baik kepada mereka[8]. Dengan demikian, kita dapat menutup silaturrahim tersebut dengan mengharap turunnya kebaikan-kebaikan dari Allâh ﷻ.

*  Tendik Divisi Administrasi Akademik FTI UII

Maraji’ :

[1] Ammi Nur Baits. “Silaturrahmi ataukah Silaturrahim” https://konsultasisyariah.com/19840-silaturrahmi-ataukah-silaturahim.html. Diakses pada 27 Maret 2025.

[2] Muhammadiyah.or.id. Silaturrahim atau Silaturahim?. Diakses dari https://muhammadiyah.or.id/2021/06/silaturrahim-atau-silaturahim/. Diakses pada 27 Maret 2025.

[3] Muhammadiyah.or.id. Adab Bertamu. Diakses dari https://muhammadiyah.or.id/2020/08/adab-bertamu/ pada 27 Maret 2025.

[4] Syarifudin. “Kenapa Anda Perlu Menjaga Lisan Saat Silaturahim Lebaran?”. Diakses dari https://www.indonesiana.id/read/163567/kenapa-anda-perlu-menjaga-lisan-saat-silaturahim-lebaran. Diakses pada 27 Maret 2025.

[5] Ega Syakila. “9 Bahan Obrolan Menyenangkan, Cocok untuk Kumpul Lebaran!”. Diakses dari https://www.idntimes.com/men/attitude/ega-syakila/bahan-obrolan-menyenangkan-cocok-untuk-kumpul-lebaran. \. Diakses pada 27 Maret 2025.

[6] Fiqihmuamalah.com. BAHAYA GHIBAH: JAUHI SEBELUM TERLAMBAT. Diakses dari https://fiqihmuamalah.com/?p=2061. Diakses pada 27 Maret 2025.

[7] Ahmad Syalabi Ichsan (2020). Ketika Islam pun Mengatur Adab Sajikan Makanan untuk Tamu. Diakses dari https://khazanah.republika.co.id/berita/qbu22a320/ketika-islam-pun-mengatur-adab-sajikan-makanan-untuk-tamu. Diakses pada 27 Maret 2025.

[8] Diah Ayu Agustina (2024). Doa Rasulullah ketika Bertamu. Diakses dari https://bincangsyariah.com/zikir-dan-doa/doa-rasulullah-ketika-bertamu/. Diakses pada 27 Maret 2025.

Download Buletin klik di sini