Etika Digital Seorang Muslim dalam Era Post-Truth
Etika Digital Seorang Muslim dalam Era Post-Truth
Muhammad Malik Nahar*
Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh, waba’du.
Sahabat al-Rasikh rahimakumullāh, kini kita hidup di tengah arus informasi yang sangat cepat dan mudah diakses. Namun, kemudahan ini sering membuat informasi tersebar tanpa penyaringan, sehingga emosi dan opini pribadi lebih dipercaya daripada fakta. Akibatnya, banyak yang sulit membedakan antara kebenaran dan kebohongan, hingga muncul krisis kepercayaan dan bias dalam menilai suatu peristiwa. Inilah yang disebut era post-truth. Islam sebagai agama yang syamil dan kamil telah mengajarkan bagaimana seorang Muslim seharusnya bersikap dalam menghadapi kondisi ini.
Mengenal Post-Truth
Istilah post-truth sendiri bukanlah sesuatu yang baru. Istilah ini telah populer pada tahun 2016 ketika Oxford Dictionaries menjadikannya “Word of the Year.” Post-truth berarti situasi ketika suatu fakta kurang berpengaruh dibanding emosi atau opini pribadi.[1] Dalam kondisi ini, kebohongan bisa diterima luas jika sesuai dengan pandangan seseorang.
Dalam teori komunikasi dikenal dengan teori agenda-setting yang menjelaskan bahwa media bisa menentukan isu apa yang dianggap penting oleh publik. Demikian juga dengan teori framing yang menjelaskan cara penyajian isu bisa membentuk cara orang memahaminya. Di era post-truth, dua teori ini sering dipakai untuk menggiring opini terhadap isu yand disajikan oleh media, baik itu sengaja atau tidak.[2]
Berpikir Kritis Sebelum Percaya
Allâh telah menegaskan dalam sebuah ayat,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِن جَآءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوٓا۟ أَن تُصِيبُوا۟ قَوْمًۢا بِجَهَٰلَةٍ فَتُصْبِحُوا۟ عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَٰدِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS Al-Hujurat [49]: 6).
Makna fatabayyanu adalah perintah untuk meneliti dan memastikan kebenaran setiap berita yang kita terima, karena bisa jadi informasi itu bohong dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Seorang Muslim yang bijak harus membiasakan diri memeriksa sumber sebelum mempercayai atau menyebarkan informasi. Dalam media sosial, ini berarti tidak tergesa menekan tombol “bagikan” sebelum yakin kebenarannya, serta tidak mudah menilai atau berkomentar tanpa tabayyun. Inilah pesan firman Allâh dalam konteks era post-truth.
Menjadi Sumber Kebaikan
Penelitian dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) menunjukkan bahwa berita palsu 70% lebih sering dibagikan dibanding berita benar. [3] Salah satu penyebabnya adalah perilaku impulsif dan kecenderungan berpikir intuitif, bukan analitis. [4] Perilaku impulsif membuat seseorang bertindak spontan tanpa pertimbangan matang. Jika banyak pengguna media sosial bersikap demikian, kekacauan informasi di ruang digital pun tak terelakkan.
Dari Abu Hurairah, Rasûlullâh ﷺ bersabda,
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أَوْ لِيَصْمُتْ
“Siapa saja yang beriman kepada Allâh dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam. (HR Bukhari, no. 6018, 6019, 6136, 6475 dan Muslim, no. 47).
Bahwasanya ketika suatu informasi berpotensi memecah belah, maka diam adalah pilihan terbaik. Ketika sebuah komentar tidak membawa manfaat, menahan jari untuk tidak mengetik adalah bentuk kebijaksanaan.
Seorang Muslim yang bijak hendaknya selalu menjadi sumber kebaikan bagi sesama, bukan penyebab kepanikan, provokasi, atau ujaran kebencian yang memperkeruh keadaan. Setiap ucapan dan tindakan akan dimintai pertanggungjawaban.
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar z, Nabi ﷺ bersabda,
كُلُّكُمْ رَاعٍ فَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ،
“Ketahuilah, setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR Bukhari no. 2554 dan Muslim no. 1829).[5]
Kepemimpinan yang dimaksud dalam hadits tersebut tidak hanya terbatas pada jabatan atau kekuasaan, tetapi juga mencakup tanggung jawab pribadi atas setiap tindakan, termasuk dalam bermedia sosial. Sebab, ra’iyyah bermakna amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allâh — mencakup setiap kata yang kita tulis, setiap informasi yang kita sebarkan, dan setiap pengaruh yang muncul dari apa yang kita unggah.
Meneladani Akhlak Digital Seorang Muslim
Menjaga ucapan di dunia nyata sama pentingnya dengan menjaga tulisan di dunia maya. Apa yang kita ketik, komentari, dan bagikan adalah representasi dari siapa diri kita sesungguhnya. Dalam hal ini, ulama salaf telah memberikan nasihat yang sangat dalam tentang hubungan antara hati dan ucapan.
Yahya bin Mu’adz v berkata: “Hati itu bagaikan periuk dalam dada yang menampung isinya, sedangkan lisan itu bagaikan gayung. Lihatlah kualitas seseorang ketika ia berbicara, karena lisannya akan mengambil apa yang ada dari dalam periuk hatinya baik itu manis, asam, segar, asin, atau selainnya. Rasa (kualitas) hatinya akan tampak dari perkataan lisannya.”[6]
Ungkapan ini mengajarkan bahwa tulisan mencerminkan isi hati. Hati yang bersih melahirkan kata yang menenangkan, sedangkan hati yang keruh memicu konflik. Karena itu, membersihkan hati menjadi langkah awal dalam berakhlak digital. Seorang Muslim hendaknya menimbang setiap kata yang ditulis sebagaimana menimbang ucapan. Media sosial bisa menjadi ladang pahala bila digunakan untuk menyebar ilmu dan kebaikan, namun bisa pula menjadi sumber dosa bila dipakai untuk mencaci, memprovokasi, atau menebar fitnah.
Maka, hendaklah seorang muslim menjadi pemimpin bagi lisannya dan jari-jarinya sendiri, karena dalam dunia digital saat ini, kebijaksanaan bermakna siapa yang paling mampu menahan diri, yakni hanya berkata yang baik, atau jika tidak mampu maka ia diam. Semoga Allâh ﷻ menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang berhati bersih, berucap baik, dan menebar maslahat dalam setiap ruang baik di dunia nyata maupun di ruang maya. Wallâhu a’lam bish-shawab.
* Mahasiswa Ahwal Syakhshiyyah Internasional Program
Maraji’ :
[1] Oxford Languages. “Word of the Year 2016.” https://languages.oup.com/word-of-the-year/2016/. Diakses pada 20 Oktober 2025.
[2] Adhimurti Citra Amalia. “Teori Agenda Setting dan Framing dalam Media Relations” https://binus.ac.id/malang/2020/04/teori-agenda-setting-dan-framing-dalam-media-relations/. Diakses pada 5 Oktober 2025.
[3] Massachusetts Institute of Technology (MIT). “The Spread of False and True Information Online: Frequently Asked Questions.” https://www.media.mit.edu/projects/the-spread-of-false-and-true-info-online/frequently-asked-questions/. Diakses pada 22 Oktober 2025.
[4]Beauvais C. “Fake news: Why do we believe it?” Joint Bone Spine. 2022 Jul;89(4):105371. doi: 10.1016/j.jbspin.2022.105371.
[5] Kementerian Agama Republik Indonesia. “Teladan Tanggung Jawab Umar bin Khattab kepada Rakyatnya.” https://kemenag.go.id/hikmah/teladan-tanggung-jawab-umar-bin-khattab-kepada-rakyatnya-P4VBw. Diakses pada 22 Oktober 2025.
[6] Abu Nu’aim al-Aṣbahānī. Hilyatul Auliya’ wa Ṭabaqāt al-Aṣfiyā’. Kairo: Dār al-Sa’ādah. 1974 M. Cet. ke-1. h.63.












