Memerdekakan Manusia

Memerdekakan Manusia

Fathurrahmân*

 

Bismillâhi walhamdulillâh wash shalâtu was salâmu ‘ala rasûlillâh,

Sahabat Ar Rasikh yang mencintai Allâh ﷻ dan semoga pula dicintai Allâh ﷻ. Bukalah kembali lembaran-lembaran buku sejarah tentang perjuangan para pahlawan kemerdekan Indonesia melawan penjajah. Tidak sedikit kalimat takbir sebagai simbol kekuatan iman, yang digunakan saat melawan penjajah sebagai seruan heroik untuk membangkitkan semangat dan keberanian rakyat. “Allâhu Akbar” yang bermakna Allâh ﷻ lebih besar dari segala sesuatu (selain Allâh ﷻ), termasuk segala kekuatan duniawi, kekuatan militer penjajah dan lainnya.

Syaikh Muhammad Shalih Al ‘Utsaimin menjelaskan makna lafadz “Allâhu Akbar”,

مَعْنَاهَا: أَنَّ اللهَ تَعَالَى أَكْبَرُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ فِي ذَاتِهِ وَ أَسْمَائِهِ وَ صِفَاتِهِ وَ كُلِّ مَا تَحْتَمِلُهُ هَذَهِ الْكَلِمَةُ مِنْ مَعْنَى

“Maknanya adalah bahwa Allah Ta’ala lebih besar dari segala sesuatu, dalam Dzat, nama-nama dan sifat-sifat-Nya serta seluruh makna yang tercakup di dalam lafadz ini”[1]

Para pejuang kaum Muslimin meninggikan suara takbir “Allâhu Akbar!” dalam pertempuran untuk membakar semangat melawan Inggris. Menjadikan takbir simbol kekuatan spiritual (tauhid) dan peneguh hati dalam perjuangan memerdekakan manusia. Pada akhirnya mereka hanya patuh dan tunduk kepada Yang Maha Esa Allâh ﷻ yang telah menganugerahkan kemerdekaan ini.

Merdeka itu Tidak Tunduk Pada Makhluk

Ketahuilah memerdekakan manusia berarti membebaskan diri dari pelbagai belenggu ketundukan kepada selain Allâh ﷻ dan mengakui hanya Allâh ﷻ sesembahan yang berhak diibadahi dengan benar. Ketika seseorang menghambakan diri kepada selain Allâh ﷻ, maka pada hakikatnya ia telah memperbudak dirinya, menjadi manusia yang terjajah, terkekang, terbelenggu dan tidak bebas. Islam datang dalam rangka memerdekakan manusia menjadi manusia mulia.

Memerdekakan manusia berarti tidak menghambakan pada makhluk; orang saleh, malaikat, benda-benda yang diagungkan dan semisalnya. Perhatikan tatkala kita membaca lembaran-lembaran firman Allâh ﷻ dalam Al Qur’an. Maka perintah pertama yang akan kita dapatkan adalah perintah untuk menyembah kepada Allâh ﷻ semata. Allâh ﷻ berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ. الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelum kamu, agar kamu bertakwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu. Karena itu, janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al Baqarah [2]: 21-22)

Dalam ayat ini, ketika memerintahkan manusia agar beribadah kepada-Nya semata, Allâh ﷻ berdalil bahwa Dia-lah satu-satunya Dzat yang telah memelihara mereka dengan berbagai jenis kenikmatan, yang telah menciptakan mereka setelah sebelumnya tidak ada, dan memberikan nikmat kepada mereka dengan nikmat dzahir maupun batin. Sehingga Allâh ﷻ pun melarang manusia untuk mengadakan sekutu-sekutu bagi Allâh ﷻ dari para makhluk-Nya, sehingga mereka menyembahnya sebagaimana menyembah Allâh ﷻ dan mencintainya sebagaimana mencintai Allâh ﷻ. Padahal sesembahan-sesembahan selain Allâh ﷻ itu juga makhluk yang diberi rezeki dan dipelihara oleh Allâh ﷻ, tidak memiliki sedikit pun di langit maupun di bumi, dan mereka juga tidak mampu mendatangkan manfaat atau menolak bahaya.[2]

Merdeka Itu Mengesakan

Memerdekakan manusia berarti mentauhidkan Allah yang merupakan hak Allah yang wajib kita tunaikan. Dari Mu’adz bin Jabal, Nabi ﷺ bersabda:

يَامُعَاذُ ، أَتَدْرِيْ مَا حَقُّ اللهِ عَلَى الْعِبَادِ ، وَمَا حَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللهِ ؟ قُلْتُ : اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ ؛ قَالَ : حَقُّ اللهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوْهُ وَلَا يُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا ، وَحَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللهِ أَنْ لَا يُعَذِّبَ مَنْ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا. قُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ ، أَفَلَا أُبَشِّرُ النَّاسَ ؟ قَالَ : لَا تُبَشِّرْهُمْ فَيَتَّكِلُوْا

“Wahai Mu’adz! Tahukah Engkau apa hak Allah yang wajib ditunaikan oleh para hamba? Dan apa hak para hamba yang akan ditunaikan oleh Allah? Mu’adz menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”. Beliau bersabda, “Hak Allah yang wajib ditunaikan oleh para hamba-Nya ialah mereka beribadah hanya kepada-Nya semata dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Sedangkan hak para hamba yang akan ditunaikan oleh Allah ialah bahwa Allah tidak akan mengadzab orang yang tidak berbuat syirik sedikit pun”. Mu’adz bertanya, “Wahai Rasûlullah! Apakah kabar gembira ini sebaiknya aku sampaikan kepada orang-orang?” Nabi menjawab, “Jangan sampaikan! Aku khawatir mereka akan mengandalkan hal ini saja (sehingga tidak beramal).” (HR. Bukhari no. 2856 dan Muslim no. 30)

Merdeka Itu Mempersembahkan Ibadah Pada Yang Berhak

Memerdekakan manusia berarti mempersembahkan segala bentuk ibadah hanya kepada Allâh ﷻ semata dan meninggalkan semua bentuk ibadah kepada selain Allâh ﷻ. Karena tujuan kita diciptakan oleh Allâh ﷻ di dunia ini adalah agar kita mentauhidkan-Nya. Allâh ﷻ berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ مَا أُرِيدُ مِنْهُمْ مِنْ رِزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَنْ يُطْعِمُونِ إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ

“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezeki yang mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.” (QS. adz-Dzariyat [51]: 56-58)

Menikmati Kemerdekaan dengan Ketaatan

Beginilah cara menikmati kemerdekaan dengan ketaatan kepada Allâh ﷻ Pemilik langit dan bumi berserta isinya, dan inilah cara memerdekakan manusia. Maka syukurilah setiap ketaatan yang Allâh ﷻ berikan kepada hamba pilihan yang dikehendaki-Nya untuk menikmati kemerdekaan. Tidak semua orang mendapatkan nikmat kemerdekaan yang sesungguhnya.

Bersyukur adalah cara paling tepat menikmati kemerdekaan. Hakikat syukur menurut Ibnul Qayyim v adalah,

الثَّنَاءُ عَلَى النِّعَمِ وَمَحَبَّتُهُ وَالعَمَلُ بِطَاعَتِهِ

“Memuji atas nikmat dan mencintai nikmat tersebut, serta memanfaatkan nikmat untuk ketaatan.”[3]

Abu Hazim menjelaskan,

وَأَمَّا مَنْ شَكَرَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يَشْكُرْ بِجَمِيْعِ أَعْضَائِهِ : فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ رَجُلٍ لَهُ كَسَاءِ فَأًَخَذَ بِطَرْفِهِ ، فَلَمْ يَلْبَسْهُ ، فَلَمْ يَنْفَعْهُ ذَلِكَ مِنَ البَرَدِ ، وَالحَرِّ ، وَالثَّلْجِ ، وَالمَطَرِ” .

“Siapa saja yang bersyukur dengan lisannya, namun tidak bersyukur dengan anggota badan lainnya, itu seperti seseorang yang mengenakan pakaian. Ia ambil ujung pakaian saja, tidak ia kenakan seluruhnya. Maka pakaian tersebut tidaklah manfaat untuknya untuk melindungi dirinya dari dingin, panas, salju dan hujan.”[4]

 

* Ketua Dewan Masjid Indonesia Ranting Sardonoharjo Ngaglik

Maraji’ :

[1] Muhammad Shalih Al ‘Utsaimin. Syarhul Mumti’ 3/28.

[2] Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di. Taisir Karimir Rahman, h. 45.

[3] Ibnul Qayyim. Thariq Al Hijratain. h. 508.

[4] Ibu Rajab. Jami’ Al ‘Ulum wa Al-Hikam. 2:84. Disebutkan dalam Muhammad Abduh Tuasikal. “Cara Kita Bersyukur”. https://rumaysho.com/28995-cara-kita-bersyukur-jika-tidak-memenuhi-rukun-syukur-ini-tidak-disebut-bersyukur.html. Diakses pada 28 Agustus 2025.

Download Buletin klik di sini

Merdeka dalam Perspektif Tauhid

Merdeka dalam Perspektif Tauhid

Muhammad Abdul Aziz*

 

Bismillâhi wal hamdulillâh wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh, amma ba’d.

Sahabat Al-Rasikh yang berbahagia. Banyak orang mengira kemerdekaan itu hanya berarti lepas dari penjajahan fisik, seperti bebas dari kolonialisme Belanda atau imperialisme Barat. Padahal, Islam mengajarkan bahwa kemerdekaan yang sejati bukan hanya urusan politik, tetapi urusan hati dan keyakinan. Inilah yang disebut kemerdekaan dalam perspektif tauhid: menjadi hamba Allah semata, bukan hamba manusia, uang, popularitas, atau sistem dunia yang mengekang.

Tauhid adalah pengakuan bahwa hanya Allah yang berhak disembah, ditaati, dan dijadikan tempat bergantung.[1] Allâh ﷻ sudah menjelaskan dengan sangat gamblangnya di dalam Al Qur’an apa yang menjadi tujuan kita hidup di muka bumi ini. Cobalah kita membuka lembaran-lembaran Al Qur’an dan kita jumpai pada surah Adz Dzariyat ayat 56. Di sana, Allâh ﷻ berfirman,

وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat [51]: 56)

Ayat ini menegaskan misi hidup kita, mengabdi hanya kepada Allâh ﷻ. Jika kita memelihara tauhid, otomatis kita tidak akan diperbudak oleh sistem yang zalim. Sebaliknya, jika tauhid rapuh, kita mudah menjadi budak “tuhan-tuhan kecil” bernama kekuasaan, uang, atau tren.

Budak Modern: Ketika Sistem Menjadi Tuan

Di zaman sekarang, banyak yang mengira dirinya merdeka padahal masih “terjajah”. Bedanya, penjajahnya tidak memakai seragam militer, tapi memakai logo brand, algoritma media sosial, atau regulasi ekonomi global. Ada yang menjadi budak konsumerisme, rela berutang demi mengikuti gaya hidup yang dipromosikan iklan, ada yang menjadi budak popularitas, hidup demi likes dan followers, ada yang menjadi budak sistem kerja, kehilangan waktu untuk ibadah demi target KPI yang tak kenal ampun.

Dari Abu Hurairah, Rasûlullâh ﷺ bersabda,

تَعِسَ عَبْدُ الدِّينَارِ وَالدِّرْهَمِ وَالْقَطِيفَةِ وَالْخَمِيصَةِ، إِنْ أُعْطِىَ رَضِىَ، وَإِنْ لَمْ يُعْطَ لَمْ يَرْضَ

Celakalah hamba dinar, hamba dirham, hamba pakaian dan hamba mode. Jika diberi, ia ridha. Namun jika tidak diberi, ia pun tidak ridha.” (HR. Bukhari, no. 2887).[2]

Hadits ini menunjukkan bahwa siapa pun yang hatinya terikat pada harta dan kemewahan hingga melupakan Allah, hakikatnya adalah budak meskipun statusnya di KTP “warga negara merdeka”.

Merdeka dengan Menjadi Hamba Allâh

Kedengarannya paradoks: bagaimana mungkin merdeka justru dengan menjadi hamba?
Jawabannya sederhana: menjadi hamba Allâh ﷻ membebaskan kita dari perbudakan kepada selain-Nya. Imam Ibnul Qayyim berkata, “Seorang hamba tidak akan pernah merasakan kemerdekaan sejati sampai dia benar-benar menjadi hamba Allâh ﷻ semata.[3]

Syeikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin berkata,

العُبُوْدِيَّةُ لِلهِ هِيَ حَقِيْقَةُ الحُرِيًّةِ، فَمَنْ لَمْ يَتَعَبَدْ لَهُ، كَانَ عَابِدًا لِغَيْرِهِ

“Menjadi hamba Allah adalah kemerdekaan yang hakiki. Barangsiapa yang tidak menghamba kepada Allah, dia akan menjadi hamba kepada selain-Nya”.[4]

Logikanya seperti ini: kalau kita hanya tunduk pada Allâh ﷻ, kita tidak akan rela diatur oleh sistem yang melanggar syariat. Kalau Allâh ﷻ memerintahkan shalat, kita tidak peduli meski rapat kantor masih berlangsung. Kalau Allâh ﷻ melarang riba, kita tidak peduli meski bank menawarkan bunga tinggi. Sangat tegas sekali larangan tunduk kepada selain Allâh ﷻ. Allâh ﷻ berfirman,

وَلَا يَتَّخِذَ بَعۡضُنَا بَعۡضٗا أَرۡبَابٗا مِّن دُونِ ٱللَّهِ

“Dan janganlah sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah.” (QS. Ali ‘Imran [2]: 64).

Ayat ini bukan hanya soal menyembah berhala, tetapi juga larangan tunduk membabi buta pada aturan atau sistem yang menyalahi perintah Allâh ﷻ. Ayat ini juga menjelaskan agar kita hanya beribadah kepada Allah saja, tanpa mempersekutukan-Nya dengan apa pun.

Menolak Sistem yang Menjajah Iman

Merdeka dalam tauhid berarti punya keberanian menantang sistem jika bertentangan dengan syariat. Nabi Musa p menantang Fir’aun bukan semata soal politik, tapi karena Fir’aun menuntut rakyat menyembahnya. Rasûlullâh ﷺ menolak kompromi Quraisy yang menawarkan kekuasaan asal beliau mau menghentikan dakwah tauhid.[5]

Di era modern, bentuknya bisa berbeda: Menolak bekerja di industri yang jelas-jelas haram, menolak kompromi dengan hukum yang melegalkan maksiat, menolak narasi media yang mendistorsikan Islam. Ini semua adalah wujud izzah (kemuliaan) yang lahir dari tauhid.

Salah satu bentuk perbudakan sistem yang paling kejam adalah riba. Sistem ekonomi ribawi membuat manusia terjebak utang dan tergantung pada bank atau lembaga keuangan. Padahal Allâh ﷻ sudah mengingatkan,

وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰاۚ

“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah [2]: 275).

Merdeka secara ekonomi berarti membangun sistem keuangan yang sesuai syariat, sehingga umat tidak menjadi budak bunga dan utang.

Mengganti Tuhan-Tuhan Kecil dengan Allâh

Setiap manusia pasti punya “tuan”. Kalau bukan Allâh ﷻ, maka yang lain akan mengambil posisi itu: hawa nafsu, materi, bahkan opini publik. Al-Qur’an menggambarkan orang yang menjadikan nafsunya sebagai tuhan. Allâh ﷻ berfirman,

أَفَرَءَيۡتَ مَنِ ٱتَّخَذَ إِلَٰهَهُۥ هَوَىٰهُ

Tidakkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya?” (QS. Al-Jatsiyah [45]: 23).

Tuhan-tuhan kecil ini sering hadir dalam bentuk yang tak disadari. Ada yang menyembah popularitas, mengejar validasi publik lebih keras daripada mencari ridha Allâh ﷻ. Ada yang menghambakan diri kepada harta, rela mengorbankan prinsip demi angka di rekening. Ada pula yang terjebak dalam penghambaan terhadap sistem, ideologi, atau tokoh yang dielu-elukan, hingga mengabaikan kebenaran yang Allâh ﷻ turunkan.

Tauhid datang sebagai pembebas sejati. Ia memutus rantai ketergantungan pada segala yang fana, dan mengikat hati hanya kepada Yang Maha Kekal. Inilah kemerdekaan sejati yang dirasakan oleh para nabi dan orang-orang saleh: tidak tunduk kecuali kepada Allah, tidak takut kecuali kepada-Nya, dan tidak berharap kecuali dari-Nya.

Maka, kemerdekaan yang hakiki adalah ketika kita berhasil menurunkan semua tuhan-tuhan kecil dari singgasana hati, lalu menempatkan Allâh ﷻ sebagai satu-satunya Penguasa hidup. Sebab, hanya dengan itu kita bisa berjalan tegak di hadapan dunia, namun tetap bersujud rendah di hadapan Rabb semesta alam.

* Guru Pesantren, Emai: [email protected]

Maraji’ :

[1] Abdullah Karim. ”Realisasi Tauhid Dalam Kehidupan” https://www.uin-antasari.ac.id/realisasi-tauhid-dalam-kehidupan/. Diakses pada 14 Agustus 2025.

[2] Ibnu Hajar Al-Asqalani. Fath Al-Baari-Shahih al-Bukhari. Beirut: Daar Ibnu Katsir. 2002. jilid 4, hlm. 320.

[3] Laras Setiani. ”Kemerdekaan Yang Sesungguhnya” https://www.islampos.com/kemerdekaan-yang-sesungguhnya-237262/. Diakses pada 14 Agustus 2025.

[4] Al-Majmu’ Al-Fatawa Lil ‘Utsaimin, 8: 306.

[5] Dita Fitri Alverina. ”Kisah Kompromi Akidah yang Ditolak Tegas oleh Rasulullah SAW“ https://www.ngaderes.com/histori/35912161254/kisah-kompromi-akidah-yang-ditolak-tegas-oleh-rasulullah-saw/. Diakses pada 14 Agustus 2025.

Download Buletin klik di sini

Mengisi Kemerdekaan dengan Spirit Perjuangan dan Ketakwaan

 Mengisi Kemerdekaan dengan Spirit Perjuangan dan Ketakwaan

Jaenal Sarifudin*

 

Masyarakat di seantero penjuru tanah air tengah memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia kita tercinta. Suasana semarak dan gempita begitu terasa di bulan Agustus ini. Jalanan di perkotaan sampai di perkampungan dirias dengan berbagai umbul-umbul, bendera dan hiasan yang didominasi warna merah putih. Berbagai kegiatan dalam rangka menyemarakkan Dirgahayu RI diadakan. Masyarakat tengah mengekspresikan rasa kegembiraan akan anugerah kemerdekaan Republik ini. Dalam batas-batas tertentu, bergembira atas suatu nikmat adalah hal yang wajar, asal tidak keluar dari norma agama dan norma kepantasan.

Kemerdekaan adalah salah satu nikmat terbesar bangsa ini. Bebas dari penindasan dan belenggu penjajahan bangsa lain. Tentu nikmat yang agung ini harus senantiasa kita syukuri. Selama berabad-abad bangsa kita dijajah, dijadikan sebagai ‘sapi perahan’ bangsa lain. Lepasnya bangsa ini dari belenggu penjajahan tentu atas berkat rahmat Allāh ﷻ yang Maha Kuasa, sebagaimana disebutkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Bersyukur dilakukan dengan memuji asma Allāh dan dengan memberikan sembah pengabdian kepada-Nya.

Jihad Yang Sebenarnya Ikhlas Tanpa Pamrih 

Kita tentu harus berterimakasih dan jangan sekali-kali melupakan jasa para pahlawan yang telah mengorbankan jiwa dan raga mereka demi memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini. Mereka telah berjuang dengan ikhlas tanpa pamrih, mengusir kaum penjajah dengan gagah berani dan jiwa patriotik yang membaja.

Di antara para pahlawan bangsa ini sesungguhnya juga terdapat banyak tokoh ulama dan para santri pejuang yang turut gugur menjadi syuhada. Sebutlah nama misalnya Pangeran Diponegoro, Kyai Mojo, Tuanku Imam Bonjol, Tengku Cik Di Tiro, KH. Zaenal Mustafa dan seterusnya. Mereka adalah para tokoh agama yang selain mengajarkan ilmu agama di tengah masyarakat, juga mengobarkan semangat juang umat melawan penjajahan. Menggaungkan api jihad sebagai bagian dari perjuangan melawan kezhaliman. Mereka berdiri di garis terdepan memimpin langsung perjuangan.

Berjuang mempertahankan bangsa dari cengkeraman kaum imperialis adalah bagian dari jihad yang diganjar dengan syahid jika gugur di medan juang.

Dari Sa’id bin Zaid, Nabi ﷺ bersabda,

مَنْ قُتِلَ دُونَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ وَمَنْ قُتِلَ دُونَ أَهْلِهِ أَوْ دُونَ دَمِهِ أَوْ دُونَ دِينِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ

Siapa yang dibunuh karena membela hartanya maka ia syahid. Siapa yang dibunuh karena membela keluarganya maka ia syahid. Siapa yang dibunuh karena membela darahnya atau karena membela agamanya, ia syahid.” (HR. Abu Daud no. 4772 dan An Nasa’i no. 4099).

Jika gugur dalam mempertahankan harta individu saja terhitung mati syahid, tentu mempertahankan kedaulatan bangsa lebih layak lagi.

Mengisi Kemerdekaan Dengan Spirit Kepahlawanan

Di dalam mengisi kemerdekaan ini, spirit dan nilai-nilai kepahlawanan haruslah ditumbuhkan kembali dalam kehidupan kita. Semangat berjuang ditunjukkan dengan kesungguhan dan kegigihan kita dalam melaksanakan tugas, peran dan tanggungjawab sesuai bidang masing-masing. Bekerja secara jujur, berintegritas dan dilandasi dengan nilai-nilai spiritualitas yang tinggi.

Allāh ﷻ berfirman,

وَقُلِ ٱعْمَلُوا۟ فَسَيَرَى ٱللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُۥ وَٱلْمُؤْمِنُونَ ۖ وَسَتُرَدُّونَ إِلَىٰ عَٰلِمِ ٱلْغَيْبِ وَٱلشَّهَٰدَةِ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ

“Dan katakanlah, “Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. At-Taubah [9]: 105).

Semua seyogianya dilakukan dengan konsisten, amanah dan penuh dedikasi. Sesungguhnya salah satu hal yang akan mendatangkan ridha Allāh ﷻ adalah kesungguhan kita dalam menunaikan tugas dan kewajiban yang kita emban.

Nabi ﷺ bersabda,

إنّ الله يُحبّ إذَا عَمِلَ أحَدُكُم عَملاً أَنْ يُتقنَه

“Sesungguhnya Allah mencintai seseorang yang apabila bekerja, mengerjakannya secara profesional” (HR. Thabrani no. 891 dan Baihaqi no. 334).

Nilai-nilai patriotisme dan cinta tanah air adalah hal yang niscaya untuk dijaga pula agar senantiasa tumbuh di dalam jiwa. Sehingga membuahkan semangat perjuangan dan komitmen kebangsaan yang tinggi. Juga komitmen untuk menjaga persatuan yang menjadi modal terbesar meraih kejayaan dan cita-cita bangsa. Janganlah sampai terjadi, sesama anak bangsa saling bermusuhan hanya karena ambisi kekuasaan. Atau saling menjelekkan pihak lain yang tidak sejalan pilihan politiknya. Kita tentu malu kepada para pahlawan, yang bahkan rela mengorbankan segalanya, jiwa dan raganya untuk membela bangsa yang dicintainya.

Persatuan merupakan bagian dari nilai utama yang harus dijaga dan dipelihara. Bukankah pada haikikatnya umat manusia adalah bersaudara. Kita berasal dari moyang yang sama. Terlebih jika kita seagama, maka tauhid dan keyakinan akan mengikat kita dalam persaudaraan berbingkai keimanan.

Allāh ﷻ berfirman,

وَٱعْتَصِمُوا۟ بِحَبْلِ ٱللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا۟ ۚ وَٱذْكُرُوا۟ نِعْمَتَ ٱللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَآءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِۦٓ إِخْوَٰنًا وَكُنتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ ٱلنَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنْهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمْ ءَايَٰتِهِۦ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (QS. Ali Imran [3]: 103).

Ketakwaan Sebagai Pilar Kejayaan Bangsa

Kita tentu merindukan terwujudnya masyarakat Indonesia yang sejahtera lahir batin, makmur, tenteram dan sentosa. Pilar yang utama untuk mewujudkannya adalah keimanan dan ketakwaan.

Allāh ﷻ berfirman,

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ ٱلْقُرَىٰٓ ءَامَنُوا۟ وَٱتَّقَوْا۟ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَٰتٍ مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلْأَرْضِ وَلَٰكِن كَذَّبُوا۟ فَأَخَذْنَٰهُم بِمَا كَانُوا۟ يَكْسِبُونَ

Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, niscaya Kami akan membukakan untuk mereka berbagai keberkahan dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (para rasul dan ayat-ayat Kami). Maka, Kami menyiksa mereka disebabkan oleh apa yang selalu mereka kerjakan.” (QS. Al-A’raf [7]: 96).            

Keimanan dan ketakwaan di antaranya terefleksikan dalam tata aturan dan nilai yang hidup dan diamalkan dalam berbagai segi kehidupan. Para pejabat pemerintah dan warga negara memiliki komitmen yang tinggi akan nilai kejujuran dan integritas moral. Bukan sebaliknya, memanfaatkan kedudukan dan posisinya untuk hasrat pribadi dan kepentingan kelompoknya. Hal ini yang nampaknya masih begitu kentara dipraktikkan oleh banyak pejabat dan aparatur di negeri ini. Tidak terhitung banyaknya kasus korupsi yang dilakukan oleh para penyelenggara negara. Tentu hal tersebut menunjukkan betapa masih memprihatinkannya semangat kejuangan di dalam membangun bangsa yang ditunjukkan oleh para pejabat dan aparatur negara.

Di sisi lain, warga masyarakat pun masih banyak yang abai terhadap integritas dan nilai moral. Dalam praktik pemilu misalnya, masyarakat kita masih sangat mudah “dibeli” dan dieksploitasi untuk kepentingan tertentu. Masih mudah diadudomba dan dicekoki berbagai propaganda politik untuk kepentingan jangka pendek para oknum politisi yang tidak benar-benar berjuang untuk kemakmuran bangsa. Agaknya, ini merupakan bagian dari PR besar yang masih harus diselesaikan bangsa ini jika ingin mewujudkan keadilan sosial yang menjadi cita-cita bangsa. Pangkal persoalannya adalah bagaimana membangun integritas moral, ketakwaan sebagai landasan spiritual dan kesungguhan untuk berjuang bagi kemakmuran negeri ini. Wallahu a’lam.

 

* Mahasiswa DHI UII

Download Buletin klik di sini

Kalau Allāh ﷻ Sayang, Kenapa Aku Diuji?

Kalau Allāh ﷻ Sayang, Kenapa Aku Diuji?

Muhammad Ardan Halim*

 

Bismillāhi wal ḥamdulillāh, waṣ ṣalātu was salāmu ‘alā rasūlillāhi, wa ba’du,

Pernah nggak sih kita mikir: “Aku udah berusaha jadi orang baik, ibadah juga jalan… tapi kenapa ya, hidup malah makin berat?” Pertanyaan itu mungkin tidak pernah benar-benar kita ucapkan, tapi sering terlintas diam-diam di hati bahkan di hati mereka yang terlihat kuat dan saleh.

Kita bingung, kenapa justru di saat sedang serius mendekat kepada Allāh ﷻ, masalah malah datang bertubi-tubi? Kenapa rasa sakit terasa justru ketika kita sedang berusaha memperbaiki diri? Hati pun bertanya lirih, “Kalau Allāh ﷻ sayang, kenapa aku diuji?”

Selama manusia masih hidup, ujian adalah sesuatu yang tak mungkin dihindari. Setiap orang akan mengalaminya tak peduli seberapa bahagia, sukses, atau religius ia terlihat dari luar. Hanya saja, bentuk dan berat ujiannya berbeda-beda, karena Allāh ﷻ Maha Mengetahui kadar kemampuan masing-masing hamba-Nya. Dan satu yang pasti Allāh ﷻ tidak akan pernah membebani seseorang di luar batas kemampuannya.[1]

Ujian Merupakan Bentuk Cinta Allah

Ujian bukanlah tanda Allāh ﷻ membenci, justru sebaliknya itu bisa jadi bentuk kasih sayang dan cinta-Nya. Melalui ujian, Allāh ﷻ mendidik dan mengangkat derajat hamba-Nya, hanya saja, manusia sering salah paham. Kita mengira kesulitan adalah hukuman, padahal bisa jadi itu adalah jalan agar kita semakin bersyukur dan semakin dekat dengan-Nya.[2]

Dari Abu Hurairah secara marfu’ bahwa Rasūlullāh ﷺ bersabda,

مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْراً يُصِبْ مِنْهُ

Barang siapa yang dikehendaki oleh Allāh kebaikan maka Allah akan menimpakan musibah kepadanya.” (HR al Bukhari, no. 5645).

Hadits ini mengajarkan bahwa ujian adalah bagian dari proses kebaikan yang Allāh ﷻ kehendaki bagi hamba-Nya. Nikmat dan ujian datang sebagai bentuk cinta Allāh ﷻ kepada hamba-Nya. Keduanya menjadi wasilah untuk menguji sejauh mana iman kita, serta sebagai peringatan agar kita tidak lalai. Melalui ujian dan nikmat mengingatkan kita untuk merenung dan menyadari apa sebenarnya tujuan hidup ini. [3]

Dari Anas bin Malik, Rasūlullāh ﷺ bersabda,

إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلاَءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ فَمَنْ رَضِىَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ

“Sesungguhnya besarnya pahala sebanding dengan besarnya cobaan. Dan jika Allāh ﷻ mencintai suatu kaum, maka Dia akan menguji mereka. Barangsiapa ridha, maka baginya keridhaan Allah. Dan barangsiapa tidak ridha, maka baginya kemurkaan Allah.” (HR. At-Tirmidzi no. 2320, Ibnu Majah no. 4021 – sanad ha san)

Hadits ini menjadi pengingat bahwa cobaan besar bisa jadi tanda cinta besar dari Allah. Melalui ujian yang dihadapi, Allāh ﷻ ingin membersihkan dosa-dosa kita, meninggikan derajat kita, dan mendekatkan kita kepada-Nya.[4]

Lihatlah Orang-Orang yang Dicintai Allah: Mereka Juga Diuji.

Nabi Ayyub p, hamba yang paling sabar dalam menghadapi ujian. Beliau diuji bertubi-tubi: penyakit kulit menular hingga diasingkan, kehilangan dua belas anak dalam satu hari, dan seluruh hartanya lenyap saat ia sendiri sedang sakit. Namun, beliau tetap bersabar dan tidak pernah mengeluh.[5]

Nabi Yusuf p adalah contoh lain bahwa ujian bisa menimpa orang yang paling menjaga kehormatan dan keimanan. Ia dibenci oleh saudara-saudaranya, dibuang ke sumur, dijual sebagai budak, difitnah karena menjaga diri, hingga akhirnya dipenjara. Namun, semua itu dijalaninya dengan sabar dan tawakal.[6]

Rasūlullāh ﷺ, makhluk paling mulia, justru hidup paling berat: ditinggal orang tua sejak kecil, miskin, diusir dari tanah kelahirannya, bahkan difitnah gila dan tukang sihir, namun beliau tetap bersabar dan memaafkan.[7]

Apakah semua itu karena mereka dibenci Allah? Tentu tidak. Justru, ujian-ujian itu adalah bukti cinta dan perhatian dari Allah. Kisah para nabi mengajarkan kita bahwa ujian bukanlah tanda murka, melainkan bentuk kasih sayang-Nya.

Tanpa Ujian, Kita Mudah Lupa Diri

Kenyamanan memang menyenangkan, tapi sering kali membuat kita lalai. Justru saat diuji, kita jadi lebih khusyuk dalam shalat, lebih sering berdoa, dan lebih jujur dalam menilai diri sendiri.[8]

Allāh ﷻ berfirman,

أَحَسِبَ ٱلنَّاسُ أَن يُتْرَكُوٓا۟ أَن يَقُولُوٓا۟ ءَامَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ

“Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan berkata: ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji?” (QS. al-‘Ankabūt [29]: 2)

Ayat ini mengingatkan kita bahwa iman bukan sekadar ucapan, tetapi harus dibuktikan melalui sikap saat menghadapi ujian. Allāh ﷻ tidak akan membiarkan seseorang mengaku dirinya beriman tanpa diuji. Justru melalui ujian itulah ketulusan iman terlihat.[9]

Jangan Bandingkan Ujian, Bandingkan Reaksi

Setiap orang pasti akan menghadapi ujian dalam hidup, tapi ujian itu berbeda-beda, tergantung siapa orangnya. Mahasiswa punya ujian yang berbeda dengan orang tua, pengusaha diuji dengan cara yang tidak sama dengan penghafal Al-Qur’an. Maka, yang menjadi ukuran bukanlah seberapa berat ujian yang kita alami, melainkan bagaimana kita menyikapinya.

Allāh ﷻ berfirman,

وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَىْءٍ مِّنَ ٱلْخَوْفِ وَٱلْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِ ۗ وَبَشِّرِ ٱلصَّٰبِرِينَ

“Dan sungguh Kami akan menguji kalian dengan sedikit rasa takut, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah [2]: 155)

Allāh ﷻ menunjukkan kepada kita bahwa cara terbaik menghadapi ujian adalah dengan sabar dan takwa. Sebagaimana firman Allāh ﷻ dalam surat Ali ‘Imrân,

وَإِن تَصْبِرُوا۟ وَتَتَّقُوا۟ فَإِنَّ ذَٰلِكَ مِنْ عَزْمِ ٱلْأُمُورِ

“Jika kamu bersabar dan bertakwa, sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang (patut) diutamakan.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 186)

Sikap sabar dan takwa bukanlah pilihan namun kewajiban bagi setiap Muslim ketika diuji. Menariknya, dalam banyak ayat, Allāh ﷻ menggandengkan dua sikap ini (sabar dan takwa) sebagai satu kesatuan, ini bisa ditemukan dalam enam tempat berbeda dalam Al-Qur’an, seperti dalam surat Ali ‘Imran ayat 118, 125, dan 186; surat Yusuf ayat 90; surat An-Nahl ayat 125–128; dan surat Thaha ayat 132. Ini menunjukkan bahwa kesabaran dan ketakwaan adalah dua hal utama yang saling melengkapi dalam menghadapi ujian hidup.[10]

Penutup

Jadi, kalau kamu sedang diuji, jangan buru-buru menyangka Allāh ﷻ tidak sayang. Justru karena Allāh ﷻ menyayangi hamba-Nya, Dia mengujinya. Sebab Allāh ﷻ tahu kamu mampu, dan Dia ingin kamu naik derajat.

Maka, daripada terus bertanya “kenapa aku diuji?”, lebih baik kita bertanya “bagaimana aku merespons ujian ini?” Sebab kesabaran, doa, dan husnuzan adalah wujud cinta kita kepada Allāh ﷻ di tengah kesulitan. Wallāhu a‘lam.

* Mahasiswa Hukum Islam UII 2022.

Maraji’ :

[1] Dede Nurhasanah – “Ujian Sebagai Bentuk Kasih Sayang Allāh ﷻ Ta’ala” – https://islamrahmah.id/ujian-sebagai-bentuk-kasih-sayang-allah-taala/ – Diakses 15 Juni 2025.

[2] Gazzeta Raka Putra Setyawan – “Besarnya Kasih Sayang Allāh ﷻ Bag. 6: Ujian dan Musibah Tanda Kasih Sayang Allah”https://muslim.or.id/104377-besarnya-kasih-sayang-allah-bag-6-ujian-dan-musibah-tanda-kasih-sayang-allah.html – Diakses 15 Juni 2025.

[3] Giri Hadmoko– “Menyelami Nikmat dan Ujian Kehidupan Dunia: Meningkatkan Keimanan” https://fpscs.uii.ac.id/blog/2022/05/14/menyelami-nikmat-dan-ujian-kehidupan-dunia-meningkatkan-keimanan – Diakses 15 Juni 2025.

[4] Khazanah Islam – “Kenapa Allāh ﷻ Memberikan Cobaan yang Sangat Berat?”https://www.sekolahfinsa.com/2025/06/05/kenapa-allah-memberikan-cobaan-yang-sangat-berat – Diakses 15 Juni 2025.

[5] (QS. al-Anbiyā’ [21]: 83)

[6] Pondok Yatim – “Teladan dari Kesabaran dan Sifat Pemaaf Nabi Yusuf as”https://pondokyatim.or.id/artikel/teladan-dari-kesabaran-dan-sifat-pemaaf-nabi-yusuf-as – Diakses 15 Juni 2025.

[7] Fatiha Agyal S – “Dakwah dan Ujiannya”https://www.rumahamal.org/news/dakwah_dan_ujiannya – Diakses 15 Juni 2025.

[8] Raka – “Ujian Adalah Cara Allāh ﷻ Mendidik dan Mendekatkan Kita”https://mimikamuslim.com/artikel/detail/421 – Diakses 15 Juni 2025.

[9] Rokhmat S. Labib – “Ujian Kebenaran Iman (Tafsir Surat Al-‘Ankabūt: 2)”https://www.baitul-khair.or.id/2017/11/ujian-kebenaran-iman-tafsir-surat-al.html – Diakses 15 Juni 2025.

[10] Sa’id Yai Ardiansyah – “Setiap Muslim Akan Menghadapi Ujian dan Cobaan”https://almanhaj.or.id/22943-setiap-muslim-akan-menghadapi-ujian-dan-cobaan-2.html – Diakses 15 Juni 2025.

Download Buletin klik di sini

Belajar Percaya pada Waktu-Nya

Belajar Percaya pada Waktu-Nya

Giriani Ayu Sabilla*

 

Allah’s timing is always perfect. Delay is not denial, it’s preparation.” – Omar Suleiman[1]

Di tengah derasnya arus hidup, tugas yang menumpuk, impian yang terasa jauh, ujian yang datang silih berganti, kita seringkali terdorong untuk segera tahu hasilnya.

Kapan doa dikabulkan? Kapan jalan keluar ditemukan? Atau kapan kesedihan ini berakhir?

Segala pertanyaan dalam hati manusia tak selalu dijawab dengan kata, melainkan dengan pelajaran. Dan diantara pelajaran paling agung yang Allāh ﷻ ajarkan adalah kesabaran, yaitu sebuah kekuatan sunyi yang menguatkan saat semua jawaban terasa jauh.

Sabar bukanlah sikap pasif. Ia adalah perlawanan terdalam terhadap keputusasaan. Sabar adalah seni menunggu tanpa kehilangan harap. Sabar bukan hanya sekadar menahan diri, melainkan wujud tertinggi dari kepercayaan penuh kepada Allāh ﷻ. Sebab, apa yang tampak sebagai penundaan, sejatinya bukanlah bentuk penolakan. Ketika sesuatu belum tiba, bukan berarti kita dilupakan, melainkan sedang dipersiapkan, diperbaiki, dikuatkan, dan dimatangkan oleh-Nya.

Makna Sabar dalam Islam

Dalam Islam, sabar adalah pondasi kokoh bagi iman. Dari Abu Mâlik al-Hârits bin ‘Ashim al-Asy’ari, ia berkata, “Rasūlullāh ﷺ bersabda,

وَالصَّبْرُ ضِيَاءٌ

“Sabar adalah cahaya.” (HR. Muslim, no. 223)

Sabar adalah cahaya yang menerangi langkah seorang mukmin saat dunia menjadi gelap. Ia bukan hanya tentang menahan amarah atau tidak menangis saat datang musibah. Sabar mencakup seluruh aspek kehidupan: menahan diri dari dosa, tetap konsisten dalam ibadah, dan menerima takdir dengan hati yang ridha. Allāh ﷻ berfirman,

إِنَّمَا يُوَفَّى ٱلصَّٰبِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ

“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az-Zumar [39]: 10).[2]

Pahala tanpa batas adalah sebuah janji luar biasa dari Sang Pencipta untuk mereka yang memilih diam dalam ikhlas, bersujud dalam kesunyian, dan tersenyum dalam kepedihan.

Tiga Pilar Kesabaran

Dalam kajian Islam, kesabaran dibagi menjadi tiga dimensi utama, yaitu:

  • Kesabaran dalam menghadapi ujian

Penderitaan bukan sekadar beban melainkan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allāh ﷻ melalui keteguhan hati ketika cobaan datang.

  • Kesabaran dalam menahan hawa nafsu

Kemampuan menolak dorongan yang haram atau tak bermanfaat, meskipun godaan seringkali terasa sangat nyata.

  • Kesabaran dalam ketaatan

Konsistensi menjalankan ibadah, seperti shalat, dzikir, membaca Al-Qur’an meski batin lelah atau semangat meredup.

Ketiga bentuk sabar tersebut bukan hanya konsep teoritis yang indah di lisan, melainkan harus diaktualisasikan dalam keseharian[3]. Di dalam Al-Qur’an pun ditegaskan bahwa manusia diciptakan tergesa-gesa (QS. al-Anbiya [21]: 37). Sementara Allāh ﷻ memilih menunda sesuatu bukan karena lupa, melainkan karena Dia sedang membentuk pribadi kita dengan penuh hikmah agar ketika nikmat itu tiba, kita sudah siap menyambutnya dengan matang.

Contoh nyata terjadi dalam kisah Nabi Yusuf p. Setelah dikhianati, dijual, dan dipenjara, ia tidak langsung mendapatkan kemenangan. Tetapi, dibalik penundaan tersebut terbentuklah karakter mulia yang kelak mengantarkannya menjadi pemimpin bijak di Mesir. Penundaan itu bukan penghalang, melainkan tangga menuju kemuliaan.

Sabar Bukan Lemah, Tapi Tangguh

Di era sekarang, sabar sering disalahartikan. Orang yang sabar dianggap diam, pasrah, atau bahkan bodoh. Padahal sabar adalah bentuk kekuatan mental tertinggi[4].

Dari Abu Hurairah, Nabi ﷺ bersabda,

لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِى يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ

Yang namanya kuat bukanlah dengan pandai bergelut. Yang disebut kuat adalah yang dapat menguasai dirinya ketika marah.” (HR. Bukhari, no. 6114; Muslim, no. 2609)

Maka, sabar bukan ketidakmampuan. Ia adalah pilihan sadar untuk tidak bereaksi secara destruktif. Di dunia kampus, barangkali arti sabar adalah tidak menyebar aib teman meski tersakiti, tetap semangat belajar meski nilai tak kunjung memuaskan, dan tetap rendah hati meski banyak prestasi.

Doa: Nafas Orang Sabar

Orang yang sabar bukan orang yang tak pernah menangis. Mereka justru menangis lebih dalam tapi bukan karena putus asa, melainkan karena cinta kepada Rabb-nya. Doa menjadi pelipur lara, tempat kembali saat dunia tak memberi jawaban.

Terdapat sebuah doa yang diwariskan dari para salafush shalih yang lembut akan tetapi memiliki makna yang dalam,

اللَّهُمَّ رَضِّنِي بِقَضَائِكَ وَبَارِكْ لِي فِي قَدَرِكَ حَتَّى لَا أُحِبَّ تَعْجِيلَ شَيْءٍ أَخَّرْتَهُ وَلَا تَأْخِيرَ شَيْءٍ عَجَّلْتَهُ

“Ya Allah, jadikan aku ridha terhadap takdir-Mu dan berkahilah aku dalam keputusan-Mu, sehingga aku tidak tergesa meminta sesuatu yang Engkau tunda dan tidak menunda sesuatu yang Engkau segerakan.”

Sungguh, sabar adalah bentuk ibadah yang tak terlihat, tapi sangat dihargai di sisi Allāh ﷻ.

Buah Manis dari Kesabaran

Sabar bukan sekadar menahan diri dari amarah atau keluhan, tetapi sebuah bentuk ibadah batin yang Allāh ﷻ sangat muliakan. Dalam Al-Qur’an, Allāh ﷻ menjanjikan tiga anugerah agung bagi orang-orang yang bersabar, yaitu: cinta-Nya (QS. Ali ‘Imran [3]: 146), pertolongan-Nya (QS. al-Baqarah [2]: 214), dan pahala tanpa batas (QS. az-Zumar [39]: 10). Ini bukan janji biasa, melainkan jaminan langsung dari Allāh ﷻ bagi mereka yang tetap tegar di tengah ujian, tetap menjaga diri di tengah godaan, dan tetap taat di tengah kelelahan.

Kesabaran membuka pintu-pintu tak terduga. Bisa jadi, yang selama ini kita tunggu bukanlah rezeki dalam bentuk harta, melainkan ketenangan jiwa yang mahal nilainya. Allah mungkin tidak segera memberikan apa yang kita minta, tapi Dia sedang membentuk kita menjadi pribadi yang siap menerima karunia-Nya. Maka, bersabarlah. Karena dibalik setiap penantian, selalu ada hikmah yang sedang dipersiapkan oleh Sang Maha Bijaksana.

Jadi, dalam kehidupan yang serba cepat ini, kesabaran menjadi langka tapi justru paling dibutuhkan. Sabar bukanlah tanda kalah, tapi tanda kita percaya bahwa Allah sedang bekerja di balik layar kehidupan. Dan bukankah menunggu dengan sabar akan lebih menghargai hasil ketika ia datang?

Jika hari ini engkau merasa lelah, merasa tertinggal, atau merasa tidak dipahami, tenanglah. Engkau sedang dalam perjalanan menuju pematangan diri. Allāh ﷻ belum mengatakan “tidak”. Ia hanya berkata, “belum sekarang.”

Mari bersabar dengan elegan. Bersabar bukan karena tak punya pilihan, tapi karena kita tahu: Allāh ﷻ yang paling tahu waktu terbaik bagi kita.

 

* Pengajar (Yogyakarta)

Maraji’ :

[1] Omar Suleiman. “The Power of Patience: Learning to Trust Allah’s Timing”. https://www.youtube.com/watch?v=KwzytY32xlk/. Diakses pada 12 Juli 2025.

[2] Al-Qur’an dan Terjemahannya. Kementerian Agama Republik Indonesia. Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an. 2019.

[3] Patience: Solution for Life’s Sorrows. Abdur-Rahman ibn Hasan. Sunnah Online (digitally published), diterbitkan ulang Al-Ibanah. 2021.

[4] Sarah Gulfraz. “Keeping Sabr: Healing with Proven Sunnah Practices for Emotional Wellbeing and Mental Strength”. Mental Health in Islam Series, Tahun 2024.

Download Buletin klik di sini

Menyiapkan Ruang Ikhlas Dalam Menggapai Ridha Allāh

Menyiapkan Ruang Ikhlas Dalam Menggapai Ridha Allāh

Uun Zahrotunnisa*

 

Bismillāhi wal ḥamdulillāh, waṣ ṣalātu was salāmu ‘alā rasūlillāhi, wa ba’du,

Sahabat Ar Rasikh yang diberkahi Allâh ﷻ, manusia dihadapkan pada dua pilihan yakni, menghindari atau menghadapi cobaan yang Allāh ﷻ berikan. Manusia yang berfikir akan meyakini bahwa Allāh ﷻ tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya[1]. Manusia dianjurkan untuk tidak berputus asa dari rahmat-Nya[2], karena cobaan termasuk bentuk rahmat Allāh ﷻ. Setiap cobaan tentu ada hikmah untuk menjadikan manusia berbenah, maka salah satu jalannya adalah dengan menyiapkan ruang ikhlas dalam perjalan hidup menggapai ridha Allāh ﷻ, menanamkan rasa, menerima, dan menghadapinya.

Mengulas Makna Ikhlas

Ikhlas dalam bahasa Arab merupakan bentuk masdar (kata dasar) dari akhlasa-yukhlisu-ikhlasun yang artinya murni, bersih, jernih, bebas dari sesuatu, tidak bercampur dengan sesuatu yang lainnya.  Ikhlas menurut beberapa ulama Al Ghazali dimaknai sebagai suatu amalan yang dilakukan demi mengharapkan surga dari Allāh ﷻ.[3]

Menurut Abu Thalib al-Makki, ikhlas merupakan pemurnian agama dari hawa nafsu dan perilaku yang menyimpang, pemurnian amal dari berbagai macam penyakit dan noda yang tersembunyi, pemurnian dari kata-kata yang tidak bermanfaat, serta pemurnian budi pekerti sesuai dengan kehendak Allāh ﷻ.[4]

Dapat disimpulkan bahwa makna ikhlas adalah wujud dari kesucian hati dalam beribadah dan beramal semata-mata karena mengharap ridha dari Allāh ﷻ, berorientasi pada cerminan batin dalam rangka beribadah kepada Allāh ﷻ, serta menghindarkan hati dari perbuatan yang tidak disukai Allāh ﷻ.

Ikhlas ialah, menghendaki keridhaan Allāh ﷻ dalam suatu amal, membersihkannya dari segala individu maupun duniawi. Tidak ada yang melatarbelakangi suatu amal, kecuali karena Allah dan demi hari akhirat. Tidak ada noda yang mencampuri suatu amal.

Landasan niat yang ikhlas adalah memurnikan niat karena Allāh ﷻ semata. Setiap bagian dari perkara duniawi yang sudah mencemari amal kebaikan, sedikit atau banyak, dan apabila hati kita bergantung kepadanya, maka kemurniaan amal itu ternoda dan hilang keikhlasannya. Karena itu, orang yang jiwanya terkalahkan oleh perkara duniawi, mencari kedudukan dan popularitas, maka tindakan dan perilakunya mengacu pada sifat tersebut, sehingga ibadah yang ia lakukan tidak akan murni, seperti shalat, puasa, menuntut ilmu, berdakwah dan lainnya.[5]

Klasifikasi Tingkat Keikhlasan

Seseorang dapat dikatakan memiliki rasa ikhlas apabila perbuatan yang dilakukan diniatkan semata-mata hanya mengharap ridha dari Allāh ﷻ. Keikhlasan memiliki beberapa tingkatan, dua diantaranya adalah khawas dan khawas al khawas.[6]

Tingkatan ikhlas khawas adalah bentuk ikhlas yang mana seorang hamba tidak akan mengharapkan apapun dari Allāh ﷻ setelah melakukan kebaikan dengan tujuan murni hanya ingin mendekatkan diri kepada Allāh ﷻ.

Contohnya, suatu hari dalam perjalanan seorang mukmin yang akan mendirikan salat Jum’at di masjid tidak sengaja bertemu dengan seorang pengemis yang meringis kelaparan dan meminta uang untuk membeli makan, kemudian mukmin tersebut memberinya uang dengan harapan pengemis tersebut tidak lagi kelaparan. Sesampainya di masjid mukmin tersebut kemudian berdo’a apabila ia menyedekahkan sebagian hartanya untuk fakir miskin adalah sebagai bentuk penghambaan diri kepada Allāh ﷻ tanpa mengharapkan apapun.

Allāh ﷻ berfirman,

إِنَّآ أَخْلَصْنَٰهُم بِخَالِصَةٍ ذِكْرَى ٱلدَّارِ

Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang Tinggi, yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat.” (QS. Shād [38]: 46).[7]

Kemudian tingkatan ikhlas kedua yaitu khawas al khawas, merupakan sikap ikhlas yang mana dilakukan oleh seorang hamba yang menyerahkan seluruh keputusan dari usaha yang dilakukan berdasarkan pada ketetapan Allāh ﷻ.

Contoh, seorang mahasiswa memiliki cita-cita ingin mendapatkan nilai yang sempurna dalam ujian akhir semester, lalu ia berusaha dengan ikhtiar belajar dengan tekun, kemudian ia berdo’a untuk menyerahkan hasil ikhtiarnya kepada Allāh ﷻ karena ia sadar bahwa hasil dari ikhtiar yang selama ini diusahakan sepenuhnya akan menjadi kehendak Allāh ﷻ.

Kesadaran itu kemudian yang akan memberikan pemahaman kepada diri seseorang bahwa segala sesuatu adalah milik Allāh ﷻ dan sudah menjadi keputusan final bagi Allāh ﷻ. Sehingga, tugas manusia adalah melakukan ikhtiar dengan sebaik-baiknya. Ikhlas merupakan salah satu bukti keagungan Allāh ﷻ dalam mengajarkan kepada hamba-Nya, bahwa sesungguhnya ikhlas merupakan bentuk dari penguatan ajaran ketauhidan (keesaan) kepada Allāh ﷻ yang tertanam dalam hati umat Islam.

Keikhlasan sebagai Kunci Mendapat Ridha Allāh

Bentuk penghambaan dari seorang muslim dapat terlihat bagaimana seseorang dapat memaknai keikhlasan itu sendiri. Keikhlasan tidak hanya berbicara soal memberi, menerima dan merelakan apa yang seharusnya menjadi kepemilikan pribadi menjadi milik orang lain. Keikhlasan mengajarkan manusia merenungi dan meyakini bahwa Allāh ﷻ adalah sebenar-benar pemilik dan berkuasa atas dunia dan seisinya.

Apapun dan kapanpun Allāh ﷻ berkehendak, maka sesuatu yang awalnya dimiliki oleh seseorang itu kemudian dapat beralih, sesuatu yang awalnya ada menjadi tidak ada, semua itu tidak ada yang tidak mungkin terjadi. Dengan kebesaran-Nya semua akan terjadi diluar prediksi manusia. Itulah sebabnya kita mengenal istilah sebaik – baiknya manusia merencaknakan, tuhan yang menentukan. Ketika seorang mukmin memiliki niat yang baik yaitu ingin memuliakan saudaranya dengan ikhtiar yang dimiliki, terkadang Allāh ﷻ tidak mewujudkan niat baik tersebut.

Hikmahnya adalah bisa saja Allāh ﷻ sedang menghindarkan kita dari sesuatu yang tidak baik. Manusia tidak diajarkan untuk mengulik setiap sebab dari tidak terwujudnya rencana manusia, akan tetapi manusia diajarkan untuk mengambil hikmah dari setiap ketentuan yang Allāh ﷻ tetapkan. Agar senantiasa mengingat bahwa dunia itu fana, dan rasa ikhlas adalah ruang yang dapat membuat hati manusia tenang tanpa memikirkan apa yang bukan menjadi ranah manusia.

* Alumni Program Studi Ahwal Syakhshiyah Universitas Islam Indonesia Yogyakarta

Maraji’ :

[1] QS Al-Baqarah [2]: 286.

[2] QS. Az Zumar [39]: 53.

[3] Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin. Jakarta: C.V. Faizan, 1989., h. 61.

[4] Lu’lu’atul Chizanah, Ikhlas, Prososial? Studi Komparasi Berdasar Caps, dalam Jurmal Psikologi Islam, Vol. 8, No. 2 (Tahun 2011), h. 146.

[5] Yazid bin Abdul Qadir Jawas. “Pengertian Ikhlas”. https://almanhaj.or.id/11937-pengertian-ikhlas-2.html. Diakses pada 1 Juli 2025.

[6] Ikhlas dalam Perspektif Al-Qur’an (Analisis Terhadap Konstruk Ikhlas Melalui Metode Tafsir Tematik), Taufiqurrohman, Eduprof: Islamic Education Journal, 280.

[7] K. A. RI, Al-Qur’an Terjemahan dan Tajwid, 1 ed. Bandung: Sygma Creative Media Corps, 2014.

Download Buletin klik di sini

Anakmu juga Butuh Kasih Sayangmu

Anakmu juga Butuh Kasih Sayangmu

Nur Laelatul Qodariyah*

 

Sahabat ar Rasikh yang diberkahi Allāh ﷻ, anak merupakan salah satu berkah yang diberikan Allāh ﷻ, kepada sesiapa yang dikehendakinya. Anak juga bukan ajang untuk dijadikan alat investasi di hari tua atau bisa kita sebut di zaman modern ini adalah generasi sandwich. Berbakti kepada orang tua itu memang wajib, bukan berarti sebagai anak lupa akan jasa orang tua yang telah merawat kita.

Anak Butuh Kasih Sayang

Anak juga membutuhkan kasih sayang terhadap kedua orang tuanya, kadang anak hanya disuruh meminta maaf kepada orang tua tetapi orang tua tidak pernah meminta maaf atau mengajarkan kenapa kita harus saling meminta maaf ketika salah. Hal ini sangat penting sekali sebagai orang tua, karena jika di posisi tersebut anak akan merasa dirinya tertekan dan merasa rendah-serendahnya bentakannya akan serasa ancaman baginya, padahal mungkin niatnya baik. Karena sikap orang tua adalah cerminan terhadap anaknya kelak.

Islam tidak memisahkan antara pendidikan dan kasih sayang. Bahkan kasih sayang adalah pilar utama dalam tarbiyah (pendidikan). Anak-anak akan lebih mudah menerima nasihat, disiplin, dan nilai-nilai agama bila dibalut dengan cinta bukan amarah.

Bagaimana Rasūlullāh ﷺ mengasuh dua anak kecil, Usamah bin Zaid dan Al-Hasan bin Ali dengan asuhan cinta. Dari Usamah bin Zaid dari Nabi ﷺ bahwa beliau memeluk dirinya dan Al-Hasan lalu bersabda,

اللَّهُمَّ إِنِّي أُحِبُّهُمَا فَأَحِبَّهُمَا أَوْ كَمَا قَال

“Ya Allah, sungguh aku mencintai keduanya maka itu cintailah keduanya”, atau sebagaimana beliau sabdakan” (HR. Al-Bukhari).[1]

Anakmu juga butuh kasih sayang, tidak terlepas dari sibuknya urusan pekerjaan sehingga kurangnya kasih sayang anak kepada orang tuanya, kadang orang tua yang berada di rumah pun lupa bagaimana cara memberikan kasih sayangnya kepada anak-anaknya. Untuk bisa mendidik dan memberikan kasih sayang pada anak tidak cukup dengan kehadiran fisik orang tua. Tetapi dengan adanya hadirnya fisik tersebut kemudian didukung oleh kedekatan dan kehangatan dalam keluarga bisa memenuhi kebutuhan kasih sayang yang dalam kepada anak.[2]

Kadang bentakan atau nasihat yang dilontarkan orang tua kepada anak membuat anak merasa itu adalah sesuatu yang menakutkan jika dilakukan, memang baik tujuan dari nasihat tersebut, tetapi malah hal itu membuat mental anak menjadi lemah dan kurang percaya diri. Sebagai orang tua memberikan edukasi selembut-lembutnya adalah cara yang baik untuk diajarkan. Jika anak salah jangan membuat anak itu semakin bersalah dengan rasa amarah atau bentakan, tetapi gunakan kajadian tersebut dengan berdialog dan menjelaskan akibat dan sebab tanpa harus menggurui anak tersebut.

Jangan sampai anak kita sendiri curhat kepada orang lain tetapi sangat tertutup dengan kita sebagai orang tua, itu sangat berbahaya sekali. Kita sebagai orang tua harusnya memberikan rasa aman, ketika ada sesuatu kejadian dan bisa terbuka satu sama lainnya. Itulah yang membuka rasa kasih dan sayang terhadap orang tua dan anak.

Memberi Kasih Sayang Tanpa Syarat

Rasūlullāh ﷺ, memerintahkan kepada orang tua untuk menjadi suri teladan dengan bersikap baik dan berperilaku jujur kepada anak. Apabila anak-anak melihat kedua orangtuannya bersikap jujur maka anak akan tumbuh dengan kejujuran dan seterusnya. Dan kemudian anak-anak akan bertanya jika orang tua melakukan sesuatu alasan dan sebab, itu semua karena proses dari pertumbuhan anak-anak.

Begitu pula jika orang tua melaksanakan salat-salat sunnah dan mematuhi sunnah-sunnah Rasūlullāh ﷺ. Menurut Marhijanto (1998), anak akan menjadi saleh jika yang membesarkannya juga saleh, apapun perkembangan anak, anak-anak dipengaruhi oleh tingkah laku kedua orang tua dalam keluarga. Jika ayah dan ibu sering berbicara kotor maka anakpun akan mudah berkata kotor.

Dari Ibnu Abbas, ia berkata, Rasūlullāh ﷺ bersabda,

عَلِّمُوا، وَيَسِّرُوا، وَلَا تُعَسِّرُوا، وَإِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْكُتْ.

Ajarilah, permudahlah, jangan engkau persulit, berilah kabar gembira, jangan kau beri ancaman. Apabila salah seorang dari kalian marah, hendaknya diam.” (HR. Ahmad, hasan lighairihi).[3]

Dari hadits diatas dapat memberikan kita pelajaran bahwa, setiap ancaman, gertakan, amarah tidak selalu berdampak baik pada perkembangan anak, semakin sering menggunakan metode itu anak akan semakin tertekan.

Daripada membentak beritahu dengan selembut-lembutnya, arahkan anakmu karena dia samasekali tidak tahu dengan apa yang dilakukannya. Kelola emosinya beritahu kenapa melakukan ini tidak boleh. Namun jangan pernah mengancamnya dan membuat dia takut tanpa kecuali jika sudah diberitahu berkali-kali itupun kurang pas jika mengancam seorang anak kecil yang belum tahu apapun tentang dunia ini.

Memberi Waktu Yang Tepat dalam Melakukan Pengarahan

Kedua orang tua harus memastikan waktu yang tepat untuk memberi pengarahan dan pengertian kepada anak, karena waktu yang tidak tepat dalam memberikan pengarahan maka akan menjadi angin belaka yang tidak akan dicerna anak-anak. Contoh simpelnya jangan memberikan nasihat kepada anak yang marah, karena yang mereka butuhkan bukan nasihat atau arahan namun pengertian dalam kondisi tersebut anak tidak akan pernah menerima nasihat kita dan akan jadi sia-sia dan akibatnya malah diluar ekspektasi kita sebagai orang tua. Rasūlullāh ﷺ mempersembahkan kepada kita ketiga waktu yang cocok untuk memberikan pengarahan kepada anak-anak;[4] yaitu Dalam perjalanan, waktu makan, waktu anak sakit.

Bersikap Adil Terhadap Anak-Anak

Kadang-kadang anak merasa dirinya tidak disayang lebih daripada saudaranya, dengan hal ini orangtua harus konsisten dan adil dalam memberikan sesuatu kepada anak-anaknya entah itu perhatian atau lain-lainnya, karena hal ini sangat berpengaruh terhadap sikap bakti dan ketaatan anak kepada orangtuanya. Rasūlullāh ﷺ, sendiri melarang keras kepada orangtua yang tidak adil kepada anak-anaknya itu. oleh sebab itu tidak ada hentinya belajar walaupun sudah memiliki anak, jangan pernah merasa dewasa karena sudah memiliki anak sehingga apapun yang dilakukan terasa benar. Tapi belajarlah sampai kamu tau betapa pentingya memiliki anak telah terpenuhi kasih sayangnya terhadap orangtuanya.

* Alumni Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia.

Maraji’ :

[1] Sa’id Abu Ukkasyah (2016) “Sepuluh Bahasa Cinta dalam Mendidik Anak.” https://muslim.or.id/29129-sepuluh-bahasa-cinta-dalam-mendidik-anak-4.html. Diakses pada 23 Juni 2025.

[2] Tim siap nikah, “ Ingat! Bukan Cuma Materi, Anak Juga Butuh Kasih Sayang” dikutip dari siapnikah.org diakses pada tanggal 23 Juni 2025

[3] Herawati, Kamisah, “Mendidik Anak Ala Rasulullah (Propethic Parenting)”, Journal of Education Science (JES)

[4] Herawati, Kamisah, “Mendidik Anak Ala Rasulullah. h. 36.

Download Buletin klik di sini

Tak Menjadi Pelit Meski di Masa Sempit

Tak Menjadi Pelit Meski di Masa Sempit

Erry Satya P.*

 

Di tahun 2025 ini, kita dihadapkan pada kondisi ekonomi global yang penuh ketidakpastian. Konflik antar negara yang tak kunjung reda, disertai perang dagang antar negara adidaya, telah mengguncang stabilitas ekonomi dunia. Di dalam negeri, situasi pun tak kalah mencemaskan. Pemberitaan mengenai gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang kian masif membuat para pekerja hidup dalam bayang-bayang kecemasan.[1] Masyarakat kelas menengah dan bawah yang selama ini bertahan, semakin terdesak oleh kenaikan harga kebutuhan pokok.

Biaya hidup melonjak, sementara daya beli masyarakat kian melemah. Kondisi ini membuat banyak orang merasa seolah tak ada ruang bernapas, terhimpit oleh beban ekonomi yang semakin berat. Di tengah suasana yang penuh ketidakpastian, masih adakah ruang dalam diri kita untuk tetap berbagi atau bersedekah dengan sesama? Pertanyaan ini juga semakin mengemuka di tengah maraknya tren frugal living sebagai respons atas kesempitan ekonomi tersebut.[2]

Mewaspadai Tipu Daya Setan, Sifat Kikir lagi Pelit

Sesungguhnya apabila kita cermati, setan tidak pernah mengenal kata lelah untuk menjauhkan manusia dari perbuatan baik. Jika ia gagal menggoda manusia untuk menyekutukan Allāh ﷻ atau bermaksiat, maka jurus kedua adalah menghalanginya untuk menambah pundi-pundi amal saleh.[3]

Salah satu tipu daya setan yang kerap dihembuskan kepada manusia di masa sulit adalah ketakutan akan kekurangan harta dan kemiskinan. Terlebih setan paham betul bahwa manusia memiliki kecenderungan bersifat kikir.

Sebagaimana Allāh ﷻ berfirman,

إِنَّ ٱلْإِنسَـٰنَ خُلِقَ هَلُوعًا.  إِذَا مَسَّهُ ٱلشَّرُّ جَزُوعًا. وَإِذَا مَسَّهُ ٱلْخَيْرُ مَنُوعًا

“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat gelisah. Apabila ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila mendapat kebaikan ia amat kikir.” (QS. Al-Ma’arij [70]: 19–21)

Dalam ayat ini, Allāh ﷻ berupaya menunjukkan beberapa tabiat buruk manusia yakni condong kepada kekikiran, mencintai harta, dan mengingkari nikmat.[4] Meski demikian sifat tersebut sejatinya dapat dilawan dengan berbekal keyakinan, ketakwaan, dan pembiasaan beramal saleh.

Di ayat lain, Allāh ﷻ mengingatkan akan tipu daya setan ini,

ٱلشَّيْطَٰنُ يَعِدُكُمُ ٱلْفَقْرَ وَيَأْمُرُكُم بِٱلْفَحْشَآءِ ۖ وَٱللَّهُ يَعِدُكُم مَّغْفِرَةً مِّنْهُ وَفَضْلًا

“Setan menjanjikan (menakut-nakuti kamu dengan) kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat keji, sedangkan Allah menjanjikan ampunan dan karunia dari-Nya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 268)

Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir menekankan bahwa setan memiliki misi untuk menghalangi manusia dari kebaikan. Dalam konteks ayat ini, setan menakut-nakuti manusia dengan kemungkinan kemiskinan jika mereka bersedekah atau berinfak. Setan memengaruhi hati manusia agar mereka berpikir bahwa harta yang dikeluarkan tidak akan tergantikan, sehingga manusia memilih kikir atau enggan berinfak.[5]

Membiasakan Berbagi Dari Hal Yang Kecil

Ketika kita sudah menyadari jebak tipu daya setan serta kecenderungan sifat manusia tersebut, maka kita juga perlu mengambil langkah untuk menyiasatinya. Merujuk pada ilmu psikologi kognitif, perilaku manusia diyakini dapat diarahkan sesuai dengan yang diinginkan melalui latihan bertahap secara kontinyu.[6]

Menurut pemerhati psikologi Islam, Indra Kusuma, secara psikologis, sikap pelit lahir dari adanya mentalitas kelangkaan. Dasarnya, hal tersebut berbasis pada rasa takut atas kekurangan sesuatu. Sehingga seakan dia kekurangan, dia seolah-olah hanya memiliki sesuatu yang terbatas.[7]

Oleh karena itu, agar kita tidak berat dalam berbagi, maka tanamkanlah perilaku untuk memulainya mulai dari hal-hal kecil namun dilakukan setiap hari. Berdonasi setiap selesai salat shubuh, memberi tip kepada pengemudi ojek daring, maupun berbagi masakan kepada tetangga bisa menjadi langkah awal yang bisa kita tempuh. Jangan lupa, selalu niatkan amal tersebut semata-mata untuk mencari ridha Allāh ﷻ. agar kita semakin dikuatkan oleh-Nya.

Selain itu, bukankah Allāh ﷻ mencintai hamba-Nya yang istiqamah dalam beramal meski nilainya masih sedikit atau belum banyak. Sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadits, dari Aisyah, Rasūlullāh ﷺ bersabda,

أَحَبُّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ

“Amal yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling terus-menerus (kontinu/istiqamah), walaupun sedikit.” (HR. Bukhari no. 6464, Muslim no. 783)

Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitabnya Fath al-Bari juga menjelaskan, dengan melakukan amal secara rutin meskipun sedikit maka akan berkesinambunganlah ketaatan dalam bentuk dzikir, merasa diawasi oleh Allāh ﷻ, menjaga keikhlasan, dan hati senantiasa terhubung kepada Allāh ﷻ. Berbeda halnya dengan amal yang sekaligus banyak dan berat. Hingga sesuatu yang sedikit tetapi rutin lebih cepat penambahannya daripada banyak tetapi terputus.[8]

Meminta Perlindungan Allāh dari Sifat Kikir

Ketika sudah meniatkan diri untuk istiqamah berbagi, lengkapi ikhtiar kita dengan senantiasa meminta perlindungan kepada Allāh ﷻ. Seperti dicontohkan Rasūlullāh ﷺ riwayat Abu Dawud, Hasan Shahih, di mana beliau berdoa,

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ الْجُبْنِ وَالْبُخْلِ

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari rasa gelisah dan sedih, dari kelemahan dan kemalasan, dari sifat pengecut dan bakhil (kikir)…”

Selalu membersamai amal kita dengan doa ini merupakan wujud keyakinan akan kuasa Allāh ﷻ serta kepasrahan diri bahwa manusia selalu membutuhkan pertolongan-Nya.

Penutup

Allāh ﷻ berfirman,

وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَيْءٍۢ مِّنَ ٱلْخَوْفِ وَٱلْجُوعِ وَنَقْصٍۢ مِّنَ ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِ ۗ وَبَشِّرِ ٱلصَّٰبِرِينَ

“Dan sungguh akan Kami uji kalian dengan sedikit rasa takut, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah [2]: 155)

Berkaca pada ayat di atas, sesungguhnya ujian kesempitan hidup dalam hal ekonomi adalah bagian dari sunnatullāh untuk menguji hamba-hamba-Nya. Melalui ujian kesempitan, bukan berarti menjadi pembenar bagi diri kita untuk menjadi kikir dan menunda-nunda berbagi terhadap sesama. Namun demikian, dengan istikamah berbagi berlandaskan niat ikhlas, kita dengan sadar meyakini bahwa Allāh ﷻ dengan kuasa-Nya akan mencukupkan rezeki kita.  Semoga Allāh ﷻ senantiasa meringankan hati kita untuk istiqamah berbagi meski hidup sedang dilanda kesempitan.

* Tenaga Kependidikan FTI UII

Maraji’ :

[1] M. Tatam Wijaya (2024). “Sifat dan Tabiat Buruk Manusia dalam Al-Quran.” https://nu.or.id/tasawuf-akhlak/sifat-dan-tabiat-buruk-manusia-dalam-al-quran-gXrYV. Diakses pada 11 Mei 2025.

[2] Sarini (2025). “Apa Bedanya Frugal Living dan Pelit?https://rri.co.id/lain-lain/1229490/apa-bedanya-frugal-living-dan-pelit. Diakses pada 11 Mei 2025.

[3] Muhammad Abduh Tuasikal (2016). “6 Tahapan Setan Menyesatkan Manusia.” https://rumaysho.com/12973-6-tahapan-setan-menyesatkan-manusia.html. Diakses pada 11 Mei 2025.

[4] M. Tatam Wijaya (2024). “Sifat dan Tabiat Buruk Manusia dalam Al-Quran.” https://nu.or.id/tasawuf-akhlak/sifat-dan-tabiat-buruk-manusia-dalam-al-quran-gXrYV. Diakses pada 9 Mei 2025.

[5] Hidayatullah.com (2024). “Rintangan dalam Bersedekah: Tafsir Surat Al-Baqarah:268.” https://hidayatullah.com/kajian/2024/12/09/285936/rintangan-dalam-bersedekah-tafsir-surat-al-baqarah268.html. Diakses pada 9 Mei 2025.

[6] Siloam Hospitals (2024). “Mengenal Terapi Perilaku Kognitif untuk Atasi Masalah Mental.” https://www.siloamhospitals.com/informasi-siloam/artikel/apa-itu-terapi-perilaku-kognitif. Diakses pada 9 Mei 2025.

[7] Imas Damayanti (2022). “Sikap Pelit, ini Penjelasan Secara Psikologis.” https://khazanah.republika.co.id/berita/re0bwy313/sikap-pelit-ini-penjelasan-secara-psikologis. Diakses pada 9 Mei 2025.

[8] Bahron Ansori (2020). “Melestarikan Amal Kebaikan.” https://minanews.net/melestarikan-amal-kebaikan/. Diakses pada 9 Mei 2025.

Download Buletin klik di sini

Menjaga Lisan, Menjaga Kehormatan

Menjaga Lisan, Menjaga Kehormatan

Muhammad Ardan Halim*

 

Bismillāhi wal amdulillāh, waṣ ṣalātu was salāmu ‘alā rasūlillāhi, wa ba’du,

Lisan adalah nikmat besar dari Allah, tetapi bisa menjadi sumber petaka bila tak dijaga. Banyak orang tergelincir ke dalam dosa bukan karena perbuatannya, melainkan karena ucapannya. Dalam Islam, menjaga lisan merupakan bagian penting dari akhlak seorang Muslim.

Dari Abu Hurairah, Rasūlullāh ﷺ bersabda,

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ﷺ قَالَ: مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أَوْ لِيَصْمُتْ،

Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR. Bukhari, no. 6018, 6019, 6136, 6475 dan Muslim, no. 47)[1]

Imam Nawawi menjelaskan bahwa menurut Imam Syafi’i, seseorang sebaiknya berpikir sebelum berbicara. Jika ucapan itu diyakini tidak membawa mudharat, maka boleh disampaikan. Namun jika berpotensi merugikan atau menimbulkan keraguan, lebih baik diam. Sebagian ulama bahkan berkata, “Andai kalian yang membiayai tinta malaikat pencatat amal, tentu kalian akan lebih banyak diam daripada bicara.”[2]

Maka setiap kata yang keluar akan dicatat oleh malaikat, dan akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat. Allāh ﷻ berfirman,

مَّا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ

“Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qāf [50]: 18)

Dalam tafsir ringkas Kementerian Agama RI terkait ayat di atas, dijelaskan bahwa tidak ada suatu kata yang diucapkannya, yang mengandung kebaikan maupun kejahatan, melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap mencatat dengan sangat teliti.[3] Hal ini menegaskan bahwa menjaga lisan bukan hanya soal etika, tetapi merupakan bentuk tanggung jawab keimanan yang harus dijaga setiap saat.

Bahaya Lisan yang Tidak Dijaga

Lisan yang tak dijaga bisa menyebabkan dosa besar. Ghibah, fitnah, ucapan kasar, dan dusta, bukan hanya merusak kehormatan diri, tetapi juga memicu permusuhan dan konflik sosial. Dalam masyarakat, tak sedikit perpecahan yang berawal dari ucapan yang tidak dijaga.[4]

Dari Abu Hurairah, ia berkata,

سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ الْجَنَّةَ فَقَالَ، تَقْوَى اللَّهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ. وَسُئِلَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ فَقَالَ، الْفَمُ وَالْفَرْجُ.

Rasūlullāh ditanya mengenai perkara yang banyak memasukkan seseorang ke dalam surga, beliau menjawab, “Takwa kepada Allah dan berakhlak yang baik.” Beliau ditanya pula mengenai perkara yang banyak memasukkan orang dalam neraka, jawab beliau, “Perkara yang disebabkan karena mulut dan kemaluan.” (HR. Tirmidzi no. 2004 dan Ibnu Majah no. 4246).[5]

Hadits ini menjadi peringatan keras bahwa lisan bisa menjadi sebab utama seseorang terjatuh ke dalam neraka, meskipun ia dikenal rajin beribadah. Ibadah lahiriah seperti salat, puasa, dan zakat, tidak akan cukup jika tidak diiringi dengan akhlak yang baik, terutama dalam menjaga lisan.

Adab Menjaga Lisan

Menjaga lisan tidak berarti membungkam diri, tetapi berbicara dengan niat yang baik, isi yang benar, dan cara yang santun. Di antara adabnya:[6]

  • Berbicara dengan Jujur. Kejujuran merupakan salah satu prinsip utama dalam lisan seorang Muslim. Sebaliknya, kebohongan termasuk dosa besar dalam Islam yang dapat merusak hubungan antar sesama serta menghilangkan rasa percaya. Oleh karena itu, setiap ucapan harus didasari oleh kebenaran dan kejujuran.
  • Menjauhi ghibah (menggunjing). Islam dengan tegas melarang ghibah, sebagaimana firman Allāh ﷻ,

وَلَا تَجَسَّسُوا۟ وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ

“Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik kepadanya?” (QS. al-Ḥujurāt [49]: 12)

Perumpamaan ini menggambarkan betapa tercelanya perbuatan ghibah dalam pandangan Islam. Selain menyakiti hati orang lain, ghibah juga merusak ukhuwah dan merugikan diri sendiri.

  • Bertutur Kata dengan Lembut. Islam mendorong umatnya untuk berbicara dengan sopan dan lembut. Ucapan yang santun dapat menciptakan suasana yang tenang, mempererat hubungan, dan menghindarkan dari konflik atau kesalahpahaman. Kelembutan dalam lisan mencerminkan kedewasaan dan kebijaksanaan seseorang.
  • Menghindari bicara sia-sia. Bicara yang sia-sia hanya membuang waktu tanpa memberi nilai,

Dari Abu Hurairah, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda,

مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ

Di antara kebaikan islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat” (HR. Tirmidzi no. 2317, Ibnu Majah no. 3976)

Ini menunjukkan bahwa seorang Muslim seharusnya selektif dalam berbicara, menghindari ucapan yang sia-sia, dan lebih mengutamakan kata-kata yang membawa manfaat. Diam dalam hal yang tidak berguna lebih baik daripada berbicara tanpa arah.

Menjaga Lisan = Menjaga Diri

Imam Al-Ghazali dalam karya besarnya Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn menekankan pentingnya menjaga lisan. Menurutnya, lisan bukan hanya alat untuk berbicara, tetapi mencerminkan kondisi hati dan jiwa seseorang.[7] Jika hati bersih, lisan pun jujur dan lembut. Maka seorang muslim yang ingin menjaga kehormatannya harus menjaga lisannya.

Kita hidup di era digital, di mana lisan berpindah ke jari, maka menjaga lisan hari ini berarti juga menjaga tulisan di status, komentar, dan pesan. Jangan sampai kita mudah menyebarkan hoaks, mencaci orang yang berbeda pandangan, atau mengumbar aib secara publik.

Maka penting bagi kita untuk berpikir dua kali sebelum mengetik, sebagaimana kita diajarkan untuk berpikir sebelum berbicara. Etika digital adalah kelanjutan dari adab lisan. Jika lisan terjaga, kehormatan diri dan sesama pun akan terlindungi. Wallāhu a‘lam.

* Mahasiswa Hukum Islam UII 2022

Maraji’ :

[1] Muhammad Abduh Tuasikal. “Hadits Arbain #15: Berkata yang Baik, Memuliakan Tamu dan Tetangga” https://rumaysho.com/18958-hadits-arbain-15-berkata-yang-baik-memuliakan-tamu-dan-tetangga.html. Diakses 15 Juni 2025.

[2] Syaikh Abdul Muhsin Bin Hamd Al-‘Abbad Al-Badr. “Menjaga Lisan Agar Selalu Berbicara Baik”. https://almanhaj.or.id/3197-menjaga-lisan-agar-selalu-berbicara-baik.html. Diakses pada, Ahad, 15 Juni 2025.

[3] Tim TafsirWeb. “Surat Qaf Ayat 18 Arab, Latin, Terjemah dan Tafsir”. https://tafsirweb.com/9824-surat-qaf-ayat-18.html. Diakses pada, Ahad, 15 Juni 2025.

[4] Ferdiansyah Vahmi Ilmawan – “Menjaga Lisan Menurut Ajaran Islam” – https://informatics.uii.ac.id/2024/10/23/menjaga-lisan-menurut-ajaran-islam/. Diakses pada, Ahad, 15 Juni 2025.

[5] Muhammad Abduh Tuasikal.  “Amalan yang Paling Banyak Membuat Masuk Surga” https://rumaysho.com/7037-amalan-yang-paling-banyak-membuat-masuk-surga.html. Diakses pada, Ahad, 15 Juni 2025.

[6] Redaksi AQL Peduli. “Menjaga Lisan: Adab dan Etika dalam Berbicara”.  https://aqlpeduli.or.id/2024/06/24/menjaga-lisan-adab-dan-etika-dalam-berbicara/. Diakses pada, Ahad, 15 Juni 2025.

[7] Tim Redaksi Kemenag Lampung. “Menjaga Lisan dalam Perspektif Imam Ghazali: Relevansi di Era Digital” – https://lampung.kemenag.go.id/home/artikel/menjaga-lisan-dalam-perspektif-imam-ghazali-relevansi-di-era-digital. Diakses pada, Ahad, 15 Juni 2025.

Download Buletin klik di sini

Niat dan Hijrah: Pelajaran dari Sebuah Perjalanan Suci

Niat dan Hijrah: Pelajaran dari Sebuah Perjalanan Suci

Siti Amarah*

 

Sebagai seorang muslim, niat adalah fondasi terpenting dari segala amal perbuatan yang kita lakukan. Dari Amirul Mukminin, Abu Hafsh ‘Umar bin Al-Khattab, ia berkata bahwa ia mendengar Rasūlullāh ﷺ bersabda,

إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُولِهِ فهِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُوْلِهِ ومَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُها أو امرأةٍ يَنْكِحُهَا فهِجْرَتُهُ إلى ما هَاجَرَ إليهِ

Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.” (HR. Bukhari, no. 1 dan Muslim, no. 1907)

Hadits ini diriwayatkan berkenaan dengan peristiwa hijrah, yaitu saat sebagian sahabat Nabi ﷺ meninggalkan Makkah menuju Madinah demi mempertahankan iman dan menegakkan Islam. Hadits ini merupakan sebuah teguran dan peringatan karena diantara para muhajirin ada seorang laki-laki yang ikut berhijrah tidak dengan niat ikhlas karena Allāh ﷻ dan Rasul-Nya, namun karena ingin menikahi wanita bernama Ummu Qais. Maka, ia pun dikenal dengan julukan “Muhajir Ummu Qais”.[1]

Hal ini menunjukkan bahwa nilai sebuah amal tidak hanya dinilai dari bentuk lahiriah, tapi terutama dari niat yang tersembunyi di dalam hati. Dua orang bisa melakukan perbuatan yang sama, namun pahalanya bisa sangat berbeda, tergantung kepada apa yang menjadi tujuannya.

Lalu Apa saja Hikmah yang Bisa Kita Ambil?

Hijrah adalah Simbol Perubahan

Di zaman ini, kita dapat memaknai hijrah dengan berbagai macam bentuk. Hijrah tidak hanya melulu mengenai perpindahan secara fisik, namun juga mengandung makna simbolis yang sangat dalam, yaitu perubahan total menuju kebaikan dan ketundukan kepada Allāh ﷻ. Jika tempat kerja kita sekarang berkaitan dengan kemaksiatan yang tidak diridhoi oleh Allāh ﷻ, maka pindah pekerjaan dengan segala resiko dan tantangannya pun dapat dikategorikan sebagai bentuk Hijrah.

Dari Abdullah bin Umar, dari Nabi ﷺ beliau bersabda,

وَالمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ

Orang yang berhijrah itu adalah orang yang meninggalkan apa yang Allah larang.” (HR. Bukhari no. 10)[2]

Hijrah mengajarkan bahwa perubahan itu perlu pengorbanan, seperti yang dilakukan para sahabat. Hijrah butuh tekad dan niat yang ikhlas, karena niat adalah fondasi perubahan. Perubahan harus dibarengi iman dan tindakan nyata, bukan hanya niat kosong.

Luruskan Niat dalam Segala Amal

Momen hijrah ini pun hendaknya selalu kita jadikan sebagai pengingat bagi kita untuk memperbaharui niat sebagai penentu utama kualitas amal. Bahkan amal sebesar hijrah pun, jika niatnya duniawi, maka hanya dunia yang ia dapat.

Tiga hal pokok amal perbuatan itu mencakup hati (niat), lisan (ucapan), perbuatan (anggota tubuh). Dalam buku “Syarh Arba’in An-Nawawiyyah” ketika menjelaskan hadits pertama tentang niat mengutip pernyataan imam Syafi’i “Hadits ini (Innamal a’malu binniyyat) mencakup sepertiga ilmu, dan termasuk 70 bab dalam fikih.”[3]

Sebagaimana bangunan tidak akan berdiri tanpa fondasi, demikian pula amal tidak akan bermakna tanpa niat karena menentukan sah atau tidaknya amal, menentukan besar atau kecilnya pahala, menjadikan amal biasa bernilai ibadah (seperti makan, tidur, bekerja jika diniatkan karena Allāh), serta membedakan amal duniawi dan ukhrawi.

Sebagai gambaran tentang seberapa besar pentingnya niat, disebutkan dari Ibnu ‘Abbas, dari Rasūlullāh ﷺ bersabda, tentang hadits yang beliau riwayatkan dari Rabb-nya Tabaraka wa Ta’ala. Beliau bersabda,

إِنَّ اللهَ كَتَبَ الحَسَنَاتِ وَالسَّيئَاتِ، ثُمَّ بَيَّنَ ذَلِكَ: فَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً،

Sesungguhnya Allah menulis kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan kemudian menjelaskannya. Barangsiapa yang berniat melakukan kebaikan lalu tidak mengerjakannya, maka Allah menulis itu di sisi-Nya sebagai satu kebaikan yang sempurna,” (HR. Bukhari, no. 6491 dan Muslim, no. 131 di kitab sahih keduanya dengan lafaz ini).[4]

Niat Baik Sudah Diganjar, Meskipun Belum Dilakukan

Niat yang tulus karena Allāh ﷻ meskipun amal belum dikerjakan ia sudah mendapatkan pahala disisi Allāh ﷻ. Ketika perang tabuk terjadi, ada beberapa sahabat yang tidak dapat ikut berperang. Mereka sangat ingin ikut, tapi tidak mampu secara fisik atau materi. Disebutkan dalam suatu riwayat dari Jabir, ia berkata, dalam suatu peperangan (perang tabuk) kami pernah bersama Nabi ﷺ, lalu beliau bersabda,

إِنَّ بِالْمَدِينَةِ لَرِجَالاً مَا سِرْتُمْ مَسِيرًا وَلاَ قَطَعْتُمْ وَادِيًا إِلاَّ كَانُوا مَعَكُمْ حَبَسَهُمُ الْمَرَضُ

Sesungguhnya di Madinah ada beberapa orang yang tidak ikut melakukan perjalanan perang, juga tidak menyeberangi suatu lembah, namun mereka bersama kalian (dalam pahala). Padahal mereka tidak ikut berperang karena kedapatan uzur sakit.” (HR. Muslim no. 1911).

Juga ada hadits dari Anas bin Malik, bahwa Nabi ﷺ dalam suatu peperangan berkata,

إِنَّ أَقْوَامًا بِالْمَدِينَةِ خَلْفَنَا، مَا سَلَكْنَا شِعْبًا وَلاَ وَادِيًا إِلاَّ وَهُمْ مَعَنَا فِيهِ، حَبَسَهُمُ الْعُذْرُ

Sesungguhnya ada beberapa orang di Madinah yang ditinggalkan tidak ikut peperangan. Namun mereka bersama kita ketika melewati suatu lereng dan lembah. Padahal mereka terhalang uzur sakit ketika itu.” (HR. Bukhari no. 2839).[5]

Nilai amal tidak hanya dinilai dari aksi fisik, tapi dari keikhlasan hati dan niat tulus dengan keinginan yang kuat.

Keikhlasan adalah Fondasi Ibadah

Allāh ﷻ hanya menerima amal yang dilakukan dengan tulus karena-Nya. Allāh ﷻ berfirman,

وَمَآ أُمِرُوٓا۟ إِلَّا لِيَعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ وَيُقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤْتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ ٱلْقَيِّمَةِ

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama dan (juga) agar melaksanakan salat dan menunaikan zakat. Dan yang demikian itulah agama yang lurus (benar).” (QS. Al-Bayyinah [98]: 5)

Dalam Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa ayat ini menegaskan bahwa inti ajaran semua nabi adalah tauhid dan ikhlas dalam beribadah hanya kepada Allāh ﷻ, tanpa syirik sedikit pun. Kata “mukhlishīna lahud dīn” menunjukkan bahwa amal tidak diterima kecuali jika dilakukan dengan ikhlas. Kata “Hunafā-a” bermakna menyimpang dari kebatilan menuju kebenaran, yaitu meninggalkan penyembahan berhala menuju mentauhidkan Allāh ﷻ.[6]

Penutup

Hijrah adalah tonggak berdirinya peradaban Islam di Madinah. Dan hadits tentang niat adalah fondasi bagi setiap amal Muslim. Semoga setiap langkah kita hari ini, besar atau kecil, senantiasa dibimbing dengan niat yang lurus, ikhlas karena Allāh ﷻ.

* Kepala Urusan Pelayanan Pusat Bantuan Sosial & Kesehatan DSDM UII

Maraji’ :

[1] Farid Nurman. Syarah Al-Arba’in An-Nawawiyah (Buku 1) Gudang Bacaan. 2015 M. h. 12.

[2] Ibnu Hajar al-Ashqalani. Fath al-Bari, jilid 11, bab “Maa Haajara Maa Naha-Allahu ‘Anhu”.

[3] Farid Nurman. Syarah Al-Arba’in An-Nawawiyah. h. 19.

[4] Muhammad Nashiruddin al-Albany. Tarjamah Riyadus Shalihin. Surabaya: Duta Ilmu. 2005 M. Cet.k-2. h. 40.

[5] Muhammad Abduh Tuasikal. “Sudah Berniat Beramal Namun Terhalang Udzur” https://rumaysho.com/3423-sudah-berniat-beramal-namun-terhalang-uzur.html. Diakses pada 17 Juni 2025.

[6] Surat Al-Bayyinah Ayat 5 https://tafsirweb.com/12921-surat-al-bayyinah-ayat-5.html. Diakses pada 17 Juni 2025.

Download Buletin klik di sini