Etika Digital Seorang Muslim dalam Era Post-Truth

Etika Digital Seorang Muslim dalam Era Post-Truth

Muhammad Malik Nahar*

 

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh, waba’du.

Sahabat al-Rasikh rahimakumullāh, kini kita hidup di tengah arus informasi yang sangat cepat dan mudah diakses. Namun, kemudahan ini sering membuat informasi tersebar tanpa penyaringan, sehingga emosi dan opini pribadi lebih dipercaya daripada fakta. Akibatnya, banyak yang sulit membedakan antara kebenaran dan kebohongan, hingga muncul krisis kepercayaan dan bias dalam menilai suatu peristiwa. Inilah yang disebut era post-truth. Islam sebagai agama yang syamil dan kamil telah mengajarkan bagaimana seorang Muslim seharusnya bersikap dalam menghadapi kondisi ini.

Mengenal Post-Truth

Istilah post-truth sendiri bukanlah sesuatu yang baru. Istilah ini telah populer pada tahun 2016 ketika Oxford Dictionaries menjadikannya “Word of the Year.” Post-truth berarti situasi ketika suatu fakta kurang berpengaruh dibanding emosi atau opini pribadi.[1] Dalam kondisi ini, kebohongan bisa diterima luas jika sesuai dengan pandangan seseorang.

Dalam teori komunikasi dikenal dengan teori agenda-setting yang menjelaskan bahwa media bisa menentukan isu apa yang dianggap penting oleh publik. Demikian juga dengan teori framing yang menjelaskan cara penyajian isu bisa membentuk cara orang memahaminya. Di era post-truth, dua teori ini sering dipakai untuk menggiring opini terhadap isu yand disajikan oleh media, baik itu sengaja atau tidak.[2]

Berpikir Kritis Sebelum Percaya

Allâh telah menegaskan dalam sebuah ayat,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِن جَآءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوٓا۟ أَن تُصِيبُوا۟ قَوْمًۢا بِجَهَٰلَةٍ فَتُصْبِحُوا۟ عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَٰدِمِينَ

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS Al-Hujurat [49]: 6).

Makna fatabayyanu adalah perintah untuk meneliti dan memastikan kebenaran setiap berita yang kita terima, karena bisa jadi informasi itu bohong dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Seorang Muslim yang bijak harus membiasakan diri memeriksa sumber sebelum mempercayai atau menyebarkan informasi. Dalam media sosial, ini berarti tidak tergesa menekan tombol “bagikan” sebelum yakin kebenarannya, serta tidak mudah menilai atau berkomentar tanpa tabayyun. Inilah pesan firman Allâh dalam konteks era post-truth.

Menjadi Sumber Kebaikan

Penelitian dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) menunjukkan bahwa berita palsu 70% lebih sering dibagikan dibanding berita benar. [3] Salah satu penyebabnya adalah perilaku impulsif dan kecenderungan berpikir intuitif, bukan analitis. [4]  Perilaku impulsif membuat seseorang bertindak spontan tanpa pertimbangan matang. Jika banyak pengguna media sosial bersikap demikian, kekacauan informasi di ruang digital pun tak terelakkan.

Dari Abu Hurairah, Rasûlullâh ﷺ bersabda,

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أَوْ لِيَصْمُتْ

Siapa saja yang beriman kepada Allâh dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam. (HR Bukhari, no. 6018, 6019, 6136, 6475 dan Muslim, no. 47).

Bahwasanya ketika suatu informasi berpotensi memecah belah, maka diam adalah pilihan terbaik. Ketika sebuah komentar tidak membawa manfaat, menahan jari untuk tidak mengetik adalah bentuk kebijaksanaan.

Seorang Muslim yang bijak hendaknya selalu menjadi sumber kebaikan bagi sesama, bukan penyebab kepanikan, provokasi, atau ujaran kebencian yang memperkeruh keadaan. Setiap ucapan dan tindakan akan dimintai pertanggungjawaban.

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar zNabi ﷺ bersabda,

كُلُّكُمْ رَاعٍ فَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ،

Ketahuilah, setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR Bukhari no. 2554 dan Muslim no. 1829).[5]

Kepemimpinan yang dimaksud dalam hadits tersebut tidak hanya terbatas pada jabatan atau kekuasaan, tetapi juga mencakup tanggung jawab pribadi atas setiap tindakan, termasuk dalam bermedia sosial. Sebab, ra’iyyah bermakna amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allâh — mencakup setiap kata yang kita tulis, setiap informasi yang kita sebarkan, dan setiap pengaruh yang muncul dari apa yang kita unggah.

Meneladani Akhlak Digital Seorang Muslim

Menjaga ucapan di dunia nyata sama pentingnya dengan menjaga tulisan di dunia maya. Apa yang kita ketik, komentari, dan bagikan adalah representasi dari siapa diri kita sesungguhnya. Dalam hal ini, ulama salaf telah memberikan nasihat yang sangat dalam tentang hubungan antara hati dan ucapan.

Yahya bin Mu’adz v berkata: “Hati itu bagaikan periuk dalam dada yang menampung isinya, sedangkan lisan itu bagaikan gayung. Lihatlah kualitas seseorang ketika ia berbicara, karena lisannya akan mengambil apa yang ada dari dalam periuk hatinya baik itu manis, asam, segar, asin, atau selainnya. Rasa (kualitas) hatinya akan tampak dari perkataan lisannya.”[6]

Ungkapan ini mengajarkan bahwa tulisan mencerminkan isi hati. Hati yang bersih melahirkan kata yang menenangkan, sedangkan hati yang keruh memicu konflik. Karena itu, membersihkan hati menjadi langkah awal dalam berakhlak digital. Seorang Muslim hendaknya menimbang setiap kata yang ditulis sebagaimana menimbang ucapan. Media sosial bisa menjadi ladang pahala bila digunakan untuk menyebar ilmu dan kebaikan, namun bisa pula menjadi sumber dosa bila dipakai untuk mencaci, memprovokasi, atau menebar fitnah.

Maka, hendaklah seorang muslim menjadi pemimpin bagi lisannya dan jari-jarinya sendiri, karena dalam dunia digital saat ini, kebijaksanaan bermakna siapa yang paling mampu menahan diri, yakni hanya berkata yang baik, atau jika tidak mampu maka ia diam. Semoga Allâh ﷻ menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang berhati bersih, berucap baik, dan menebar maslahat dalam setiap ruang baik di dunia nyata maupun di ruang maya. Wallâhu a’lam bish-shawab.

 

* Mahasiswa Ahwal Syakhshiyyah Internasional Program

Maraji’ :

[1] Oxford Languages.  “Word of the Year 2016.” https://languages.oup.com/word-of-the-year/2016/. Diakses pada 20 Oktober 2025.

[2] Adhimurti Citra Amalia. “Teori Agenda Setting dan Framing dalam Media Relations” https://binus.ac.id/malang/2020/04/teori-agenda-setting-dan-framing-dalam-media-relations/. Diakses pada 5 Oktober 2025.

[3] Massachusetts Institute of Technology (MIT). “The Spread of False and True Information Online: Frequently Asked Questions.” https://www.media.mit.edu/projects/the-spread-of-false-and-true-info-online/frequently-asked-questions/. Diakses pada 22 Oktober 2025.

[4]Beauvais C. “Fake news: Why do we believe it?” Joint Bone Spine. 2022 Jul;89(4):105371. doi: 10.1016/j.jbspin.2022.105371.

[5] Kementerian Agama Republik Indonesia. “Teladan Tanggung Jawab Umar bin Khattab kepada Rakyatnya.” https://kemenag.go.id/hikmah/teladan-tanggung-jawab-umar-bin-khattab-kepada-rakyatnya-P4VBw. Diakses pada 22 Oktober 2025.

[6] Abu Nu’aim al-Aṣbahānī. Hilyatul Auliya’ wa Ṭabaqāt al-Aṣfiyā’. Kairo: Dār al-Sa’ādah. 1974 M. Cet. ke-1. h.63.

Download Buletin klik di sini

Sebarkan Salam, Tebarkan Senyum

Sebarkan Salam, Tebarkan Senyum

Nabila Mumtazah Priyatna

 

Tinggal di lingkungan yang dipenuhi beragam manusia membuat kita tak mungkin menghindar dari interaksi dengan mereka. Sebagai seorang Muslim, menyapa sesama—baik yang dikenal maupun tidak—merupakan bagian dari akhlak mulia yang diajarkan Islam. Di Indonesia, kebiasaan menyapa di jalan telah menjadi budaya turun-temurun yang dilakukan oleh siapa pun, di mana pun. Biasanya, sapaan itu disertai dengan salam dan senyuman tulus—sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi ﷺ.

Akhlak Nabi

Dari Jarir, ia berkata:

مَا حَجَبَنِى النَّبِىُّ ﷺ مُنْذُ أَسْلَمْتُ، وَلاَ رَآنِى إِلاَّ تَبَسَّمَ فِى وَجْهِى

Nabi tidak menghalangiku sejak aku memberi salam dan beliau selalu menampakkan senyum padaku” (HR Bukhari no. 6089 dan Muslim no. 2475).

Dalam Al-Qur’an, Lukman mewasiatkan kepada anaknya:

وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِى ٱلْأَرْضِ مَرَحًا ۖ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ

Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri” (QS Lukman [31]: 18).[1]

Dari Abu Hurairah z, Rasulullah ﷺ bersabda:

لا تَدْخُلُونَ الجَنَّةَ حتَّى تُؤْمِنُوا، ولا تُؤْمِنُوا حتَّى تَحابُّوا، أوَلا أدُلُّكُمْ علَى شيءٍ إذا فَعَلْتُمُوهُ تَحابَبْتُمْ؟ أفْشُوا السَّلامَ بيْنَكُمْ

Tidak akan masuk surga hingga kalian beriman. Dan kalian tidak dikatakan beriman hingga kalian saling mencintai. Maukah aku tunjukkan sesuatu yang jika dilakukan akan membuat kalian saling mencintai? Sebarkan salam diantara kalian” (HR Muslim, no.54).[2]

Salam yang dimaksud disini adalah ucapan tahiyyah (penghormatan) yaitu “Assalâmu’alaikum Warahmatullâhi Wabarakâtuh.” Ini adaalah ucapan yang diajarkan oleh Rasulullah ﷺ dan didalamnya terdapat syiar Islam yang mulia serta doa untuk orang yang diberikan salam.

Kepada Siapa Kita Mengucapkan Salam?

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bahwasanya ada seseorang yang bertanya pada Nabi ﷺ,

أَىُّ الإِسْلاَمِ خَيْرٌ قَالَ: تُطْعِمُ الطَّعَامَ، وَتَقْرَأُ السَّلاَمَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ، وَعَلَى مَنْ لَمْ تَعْرِفْ.

Amalan islam apa yang paling baik?” Beliau ﷺ lantas menjawab, “Memberi makan (kepada orang yang butuh) dan mengucapkan salam kepada orang yang engkau kenali dan kepada orang yang tidak engkau kenali.” (HR Bukhari no. 6236).

Dari Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ bersabda:

يُسَلِّمُ الصَّغِيرُ عَلَى الْكَبِيرِ، وَالْمَارُّ عَلَى الْقَاعِدِ، وَالْقَلِيلُ عَلَى الْكَثِيرِ

Yang muda hendaklah memberi salam pada yang tua. Yang berjalan (lewat) hendaklah memberi salam kepada orang yang dudukYang sedikit hendaklah memberi salam pada orang yang lebih banyak.” (HR Bukhari no. 6231).[3]

Ketika bertemu atau berpapasan dengan dosen, maka hendaknya kita yang mendahulukan salam. Namun, apabila bertemu dengan adek tingkat dan dia tidak mengucapkan salam, maka alangkah baiknya jika kita mendahulukan untuk mengucapkan salam agar pahala dari mengucapkan salam ini tetap ada dan terjalin ikatan ukhuwan antar sesama.

Ucapkan Salam Dengan Sempurna

Allah ﷻ berfirman:

وَإِذَا حُيِّيتُم بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا۟ بِأَحْسَنَ مِنْهَآ أَوْ رُدُّوهَآ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍ حَسِيبًا

Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa).” (QS An-Nisa’ [4]: 86).

Salam merupakan ucapan penghormatan. Jika saudara kita mengucapkan salam dengan ‘Assalâmu’alaikum’ maka kita jawab dengan ‘Wa’alaikumussalâm’ atau ‘Wa’alaikumussalâm warahmatullâh’. Begitu juga apabila saudara kita mengucapkan salam dengan suara yang lirih maka jawab dengan suara yang jelas dan apabila saudara kita mengucapkan salam dengan tersenyum maka balaslah dengan senyum juga atau dengan jabatan tangan.

Hal ini dimaksudkan juga untuk salam dalam bentuk pesan singkat agar tetap menulisaknnya dengan lengkap tanpa mempersingkatnya agar tetap mengandung doa dan penghormatan yang dibawa dari kalimat salam.

Menjawab Salam Ketika Mendapat Kiriman Salam

Menitipkan salam atau mendapat titipan salam sudah menjadi hal yang biasa  dilakukan oleh masyarakat terutama ketika kita bertemu dengan seseorang yang juga mengenal orang lain yang kita kenal. Seperti menitipkan salam untuk orangtua teman lewat teman kita atau sebaliknya kita mendapatkan kiriman salam dari seseorang yang tidak bisa bertemu dengan kita. Lalu, bagaimana cara kita menjawab kiriman salam tersebut?

Dari kakeknya seorang lelaki dari dari Bani Numair z, ia berkata:

بَعَثَنِي أَبِي إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: ائْتِهِ فَأَقْرِئْهُ السَّلَامَ. قَالَ: فَأَتَيْتُهُ فَقُلْتُ: إِنَّ أَبِي يُقْرِئُكَ السَّلَامَ. فَقَالَ: عَلَيْكَ السَّلَامُ وَعَلَى أَبِيكَ السَّلَامُ.

Ayahku mengutusku untuk menemui Rasulullah , Nabi bersabda: “Datangkan ia”. Lalu aku mengucapkan salam kepada Nabi dan mendatanginya. Lalu aku berkata: “Ayahku mengirim salam untukmu wahai Nabi”. Nabi bersabda: “Wa’alaikassalâm wa’ala abîkas salâm” (semoga keselamatan untukmu dan untuk ayahmu). (HR Abu Daud no. 5231, dihasankan Al Albani dalam Shahih Abi Daud).

Intinya, menjawab salam untuk yang mengirim salam dan yang menyampaikan salam. Bisa dijawab dengan: “Wa’alaikassalâm wa’alaihissalâm”, atau “Wa’alaika wa’alaihissalâm”, atau semacamnya.[4]

Hukum Mengucapkan Salam Kepada Lawan Jenis

Allah ﷻ berfirman:

قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا۟ مِنْ أَبْصَٰرِهِمْ وَيَحْفَظُوا۟ فُرُوجَهُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرٌۢ بِمَا يَصْنَعُونَ. وَقُل لِّلْمُؤْمِنَٰتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَٰرِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya. Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.’ Katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.’” (QS An-Nur [24]: 30-31).

Lalu bagaimana dengan anjuran menybarkan salam? Tentu menyebarkan salam ditujukan kepada siapapun, laki-laki maupun perempuan. Sebagaimana hadits diatas perintahnya bersifat umum.

Dari Asma’ bintu Yazid, ia berkata:

مَرَّ عَلَيْنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي نِسْوَةٍ فَسَلَّمَ عَلَيْنَا

“Nabi pernah melewati para wanita, beliau mengucapkan salam kepada kami (wanita).” (HR Abu Daud no. 5204, disahihkan Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Daud).

Namun, kebolehan untuk mengucapkan salam kepada lawan jenis ini dengan syarat tidak timbul fitnah (godaan) di antara mereka. Oleh karena itu, Ibnu Hajar Al-Asqalani v mengatakan di dalam kitab Fathhul Bari,

Ibnu Bathal menukil perkataan Al-Muhallab,

سَلَامُ الرِّجَالِ عَلَى النِّسَاءِ وَالنِّسَاءِ عَلَى الرِّجَالِ جَائِزٌ إِذَا أُمِنَتِ الْفِتْنَةُ.

Ucapan salam lelaki kepada wanita atau wanita kepada lelaki hukumnya boleh, jika aman dari fitnah.”[5]

Wanita yang dimaksudkan disini adalah wanita muda, sedangkan kepada wanita yang sudah tua maka mengucapkan salam kepadanya diperbolehkan.

 

Mahasiswa Prodi Ahwal Syakhshiyah IP FIAI UII

Maraji’ :

[1] Muhammad Abduh Tuasikal. ”Bermuka Manis di Hadapan Orang Lain.” Bermuka Manis di Hadapan Orang Lain – Rumaysho.Com. Diakses pada 9 Oktober 2025.

[2] Yulian Purnama. ”Fikih Seputar Menebarkan Salam.” https://muslim.or.id/53926-fikih-seputar-menebarkan-salam.html. Diakses pada 9 Oktober 2025.

[3] Muhammad Abduh Tuasikal. ”Ucapan Salam, Amalan Mulia yang Ditinggalkan.” https://rumaysho.com/182-ucapan-salam-amalan-mulia-yang-ditinggalkan.html. diakses pada 9 Oktober 2025.

[4] Yulian Purnama. ”Fikih Seputar Menebarkan Salam.” https://muslim.or.id/53926-fikih-seputar-menebarkan-salam.html. Diakses pada 9 Oktober 2025.

[5] Yulian Purnama. ”Hukum Mengucapkan Salam kepada Lawan Jenis.” https://muslim.or.id/69758-hukum-mengucapkan-salam-kepada-lawan-jenis.html. Diakses pada 9 Oktober 2025.

Download Buletin klik di sini

Penyebab Sulitnya Ilmu Masuk Ke Dalam Hati

Penyebab Sulitnya Ilmu Masuk Ke Dalam Hati

Nur Laelatul Qodariyah*

 

Pembaca Al-Rasikh yang diberkahI Allâh ﷻ, pernahkah kalian merasakan sulitnya belajar memahami dan mencerna suatu ilmu yang sedang dipelajari? bahkan untuk mempelajari satu kalimat saja itu sangat sulit, bukan kalian saja yang merasakannya sulitnya belajar, para ulama zaman dulu juga pernah merasakannya. Penulis teringat dengan salah satu ulama yang berjuang untuk tetap belajar walaupun dirinya dikenal dengan murid yang bodoh dan tertinggal di madrasahnya, dikisahkan beliau ini sudah lama belajar namun belum juga paham, pada akhirnya beliau sempat menyerah dan ingin kembali kerumahnya, namun kyainya berpesan untuk tetap belajar.

Kemudian beliau pulang ke rumahnya dan di tengah perjalannya hujan deras menimpa dan beliau harus meneduh di gua, beliau ini tidak sengaja mendengar suara yang ternyata tetasan dan gemercik air hujan itu mengenai batu besar. Batu itu berlubang karena telah bertahun-tahun terkena tetesan air hujan.

Dari kejadian hal tersebut beliau berfikir masa saya sebagai manusia kalah dengan batu, padahal akal dan pikiran saya tidak sekeras batu, beliau merenung. Kemudian beliau balik dan menuntut ilmu kembali, beliau adalah Ibnu Hajar al ‘Asqani, seorang ahli hadits dari Mazhab Syafi’i terkemuka. Karaya beliau yang sering menjadi bahan referensi antgara lain; Fath al-Bari, Bulûgh al-Maram, Tahdzib al-Tahdzib, dan lainnya.[1] Dari kisah beliau dapat kita renungkan bahwa mencari ilmu itu kuncinya adalah sabar dan berusaha untuk belajar bagaimana kita bisa mudah dalam belajar meski sulit untuk dilakukan.

Ilmu adalah Cahaya

Ilmu adalah cahaya yang datangnya dari Allâh ﷻ untuk menerangi dan memberikan kita nafas panjang agar selalu mengingat dan memberikan kita petunjuk tentang arah dan tujuan kita berlayar.  Dasar untuk menuntut ilmu adalah dengan niat untuk memulai, agar kita bisa selalu konsisten dan hati kita bisa menerima tentang apa yang akan kita pelajari. Bukan hanya sekedar mempelajari namun juga memasukannya ke dalam hati, agar terus berkomitmen dan menjaga daripada ilmu yang akan masuk ke dalam diri kita.

Karena ilmu pengetahuan itu bisa membedakan kita antara yang benar dan yang salah, bisa memberikan petunjuk dan pedoman yang benar agar kita bisa bertakwa dan juga menjauhi larangan-Nya. Ilmu adalah bekal yang tidak akan pernah mati dan tidak akan pernah habis masanya, satu-satunya cara agar bisa memprotect kita dari segala sesuatu yang sebelumnya belum kita ketahui.

Cara agar kita bisa mendekatkan diri kepada Allâh ﷻ dan cara bagaimana kita bisa berdoa dengan adab-adab yang benar, bukankah itu perlu adanya ilmu? Tidak mungkin kita bisa mengetahui sesuatu tanpa sebelumnya kita pelajari? itu mustahil, kecuali atas kehendak Allâh ﷻ. Sebagai manusia kita diwajibkan untuk menuntut Ilmu hal itu sudah dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Hadits.

Allâh ﷻ berfirman:

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS Al-Mujadilah [58]: 11).[2]

Dalam riwayat disebutkan dari sahabat Anas bin Malik, Rasâlullâh ﷺ bersabda,

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim” (HR Ibnu Majah no. 224).[3]

Sebab Ilmu Sulit Digapai

Ada beberapa hal yang perlu kita pahami, bahwa ada sebab-sebab yang dapat menghalangi datangnya ilmu dan membuatnya sulit untuk kita pahami, di antaranya ialah:

  1. Niat yang Rusak

Niat adalah dasar atau permulaan, jika niatnya salah atau rusak maka keseluruhannya juga akan rusak juga.

Dari Amirul Mukminin, Abu Hafsh ‘Umar bin Al-Khattab, ia berkata bahwa ia mendengar Rasûlullâh ﷺ bersabda:

إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى

“Sesungguhnya setiap amal itu tergantung pada niatnya. Dan bagi seseorang adalah apa yang ia niatkan.” (HR Bukhari, no. 1 dan Muslim, no. 1907).[4]

Oleh karena itu mulai sekarang perbaiki niat kita dan obati niat kita dengan mencari ilmu itu niatnya karena Allâh ﷻ, ilmu apapun itu niat kita ditujukan kepada Allâh ﷻ, jika niatnya itu hanya untuk perolehan dunia maka apa yang akan diperoleh nanti itupun sesuai dengan apa yang diniatkan.

  1. Banyak Alasan untuk tidak memulai karena sibuk

Sampai kapan kita akan diperbudak dengan kata sibuk dan capek, sesibuk-sibuknya kamu tidak mungkin kerja itu tanpa istirahat, apalagi di era modern sekarang yang tidak ada kata perbudakan seperti zaman dulu, ditambah berkembangnya teknologi. Apakah berbagai kesibukan yang ada merupakan salah satu penyebab penghalang dirimu untuk menuntut ilmu? saya rasa tidak. Karena jika Allâh ﷻ buka pintu hatinya, ia akan bisa me manage waktunya untuk menuntut ilmu dan hadir di majelis-majelis ilmu.[5]

  1. Bosan dalam menuntut ilmu

Salah satu penghalang untuk menuntut ilmu adalah dengan merasa bosan, ada kalanya seorang penuntut ilmu itu mengalami rasa bosan. Tetapi bukan berarti rasa bosan tersebut itu membuat kita itu mati untuk bergerak. Mati untuk berusaha melawan rasa bosan itu. Tidak masalah jika setiap hari waktu yang digunakan untuk belajar itu hanya 15 menit atau 30 menit. Hal tersebut lebih baik kan daripada tidak sama sekali dilakukan, atau bahkan berhenti untuk belajar lagi.

  1. Menilai dirinya sudah bisa

Salah satu penyakit yang bisa menghalangi kita untuk teus mengexplore dan menuntut ilmu adalah dengan merasa bisa dengan apa yang baru kita pelajari, padahal ilmu pengetahuan itu sangat luas, bukan hanya luas tapi sesuatu ilmu yang baru kita pelajari perlu kita ulang agar tidak lupa dan menetap dihati, bukan seperti masuk telinga kanan keluar telinga kiri.

  1. Tidak mau mengamalkan ilmu

Ilmu itu harus disebarkan jangan di tahan, semakin kamu mengamalkannya dan mengajarkannya, maka ilmu yang kamu peroleh tersebut akan menjadi berkah dan dengan cara mengamalkannya secara tidak langsung kamu juga belajar mengulang dan memperkuat ilmumu agar tidak lupa.

 

* Alumni Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia

Maraji’ :

[1] Arip Suprasetio. “Mengenal Perjuangan Ibnu Hajar al ‘Asqalani dalam menuntut ilmu.” https://jatman.or.id/mengenal-perjuangan-ibnu-hajar-al-asqalani-dalam-menuntut-ilmu , diakses pada Selasa 14 Oktober 2025.

[2] Anang Susilo, “Keutamaan Menuntut Ilmu dalam Islam.” http://fcep.uii.ac.id/wp-content/uploads/2023/08/Anang-Susilo_Keutamaan-Menuntut-Ilmu-dalam-Islam.pdf. Diakses pada 15 Oktober 2025.

[3] Fatharani Fariha. “Keutamaan Menuntut Ilmu Agama.” https://muslimah.or.id/10472-keutamaan-menuntut-ilmu-agama.html. Diakses pada 15 Oktober 2025.

[4] Muhammad Abduh Tuasikal. “Hadits Arbain 01: Setiap Amal Tergantung Pada Niatnya.” https://rumaysho.com/16311-hadits-arbain-01-setiap-amalan-tergantung-pada-niat.html. Diakses pada 15 Oktober 2025.

[5] Yazid bin Abdul Qadir Jawas. “Penghalang-Penghalang dalam Menuntut Ilmu.” https://almanhaj.or.id/3280-penghalang-penghalang-dalam-menuntut-ilmu-1.html. Diakses pada 15 Oktober 2025.

Download Buletin klik di sini

Bermanfaat atau Dimanfaatkan Orang Lain?

Bermanfaat atau Dimanfaatkan Orang Lain?

Raden Miftakhurozak Budi Nugraha*

 

Bismillâhi walhamdulillâh wash shalâtu was salâmu ‘ala rasûlillâh

Sahabat Al-Rasikh yang berbahagia. Dalam ajaran Islam, manusia senantiasa berhubungan dengan dua hal penting, yaitu menjaga hubungan dengan Allah (ḥablun minallāh) dan menjaga hubungan dengan sesama manusia (ḥablun minannās). Menjaga hubungan dengan Allah dapat dilakukan dengan memaksimalkan ibadah kepada-Nya sesuai dengan syariat yang telah ditetapkan dalam ajaran Islam. Adapun menjaga hubungan dengan sesama manusia berkaitan erat dengan menjaga perilaku, akhlak, serta berbuat baik kepada orang lain.

Berbuat baik kepada sesama sejalan dengan sabda Rasûlullâh ﷺ. Dari Jabir bin ‘Abdillah , Rasûlullâh ﷺ bersabda:

المؤْمِنُ يَأْلَفُ وَيُؤْلَفُ وَلاَ خَيْرَ فِيْمَنْ لاَ يَأْلَفُ وَلاَ يُؤْلَفُ وَخَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ

Seorang mukmin itu adalah orang yang bisa menerima dan diterima orang lain, dan tidak ada kebaikan bagi orang yang tidak bisa menerima dan tidak bisa diterima orang lain. Dan sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Awsath, no. 5949).[1]

Terdapat banyak cara untuk menjadi pribadi yang bermanfaat bagi orang lain; membantu mereka yang sedang kesulitan, menyebarkan ilmu yang bermanfaat, menjaga kelestarian lingkungan dan alam, bahkan menyapa dengan senyuman pun termasuk kebaikan yang bernilai ibadah.

Namun, di sisi lain, muncul kekhawatiran yang wajar secara manusiawi, yakni ketika kebaikan yang kita lakukan justru dimanfaatkan oleh orang lain. Lalu, di manakah garis batas antara ketulusan dalam membantu dengan situasi ketika seseorang dimanfaatkan hingga merugikan diri sendiri? Pertanyaan inilah yang sering menjadi ujian bagi keikhlasan dan kebijaksanaan dalam berbuat baik.

Bahaya Perbuatan Zalim

Meskipun Islam meninggikan derajat orang yang memberi manfaat, agama ini tidak mengajarkan kepasrahan buta yang membuka peluang bagi terjadinya eksploitasi, seolah-olah menjadi objek yang dimanfaatkan.

Secara terminologis, kata “dimanfaatkan” menggambarkan suatu kondisi di mana ada pihak yang berbuat zalim—yakni melakukan tindakan aniaya atau ketidakadilan—terhadap orang lain. Ketika seseorang dengan sengaja dan berulang kali mengambil keuntungan dari kebaikan orang lain hingga merugikannya, maka ia telah jatuh ke dalam perbuatan zalim yang dikecam dalam Islam.[2]

Islam memandang perbuatan zalim sebagai salah satu dosa besar. Dalam firman Allâh ﷻ surah Saba’ ayat 42. Allâh ﷻ berfirman:

وَنَقُولُ لِلَّذِينَ ظَلَمُوا۟ ذُوقُوا۟ عَذَابَ ٱلنَّارِ ٱلَّتِى كُنتُم بِهَا تُكَذِّبُونَ

Dan Kami katakan kepada orang-orang yang zalim: “Rasakanlah olehmu azab neraka yang dahulunya kamu dustakan itu”. (QS Saba’ [34]: 42)

Orang yang berbuat zalim akan mendapatkan balasan dari Allâh ﷻ, bisa berupa dijauhkannya dari nikmat Allâh ﷻ, mengalami kebangkrutan saat hari kiamat, mendapatkan hal buruk karena doa dari orang yang dizalimi.[3]

Niat Ikhlas Sebagai Pembeda Utama

Perbedaan antara perbuatan baik yang benar-benar bermanfaat dengan kondisi dimanfaatkan terletak pada niat yang melandasinya. Islam mengajarkan bahwa amal yang tulus harus dilakukan semata-mata untuk mencari ridha Allâh ﷻ, bukan karena ingin dipuji, dihargai, atau memperoleh imbalan dari manusia.

Sebaliknya, situasi “dimanfaatkan” sering kali berakar dari niat yang tidak sepenuhnya murni. Seseorang mungkin membantu bukan karena lillāhi ta’ālā, melainkan karena dorongan rasa sungkan, ingin diterima, atau takut mengecewakan orang lain. Ketika bantuan diberikan dengan niat seperti ini, hati menjadi rentan terhadap kekecewaan dan rasa diperlakukan tidak adil, terutama saat balasan atau penghargaan yang diharapkan tidak juga datang.

Menemukan Keseimbangan (Tawazun)

Pada akhirnya, kunci dari semua ini adalah prinsip At-Tawazun (keseimbangan), yang merupakan jantung dari ajaran Islam. Seorang Muslim dituntut untuk menyeimbangkan berbagai hak dan kewajiban dalam hidupnya: hak Allâh ﷻ untuk diibadahi, hak sesama manusia untuk dibantu, dan hak diri sendiri untuk dijaga.

Kebaikan yang ekstrem hingga merusak diri sendiri, menelantarkan keluarga, dan mengabaikan kewajiban-kewajiban primer lainnya bukanlah bentuk kedermawanan yang dipuji dalam Islam. Kebaikan yang sejati adalah kebaikan yang cerdas dan proporsional, yang dilakukan dalam koridor keseimbangan, di mana semua hak dapat terpenuhi secara harmonis.[4]

Menjadi Bermanfaat Namun Tetap Menjaga ‘Izzah

Menjaga ‘izzah (kemuliaan, kehormatan, dan harga diri) sambil tetap menjadi pribadi yang bermanfaat adalah inti dari karakter seorang mukmin yang kuat. Menjadi seseorang yang bermanfaat untuk orang lain namun ’Izzah tetap terjaga bisa dilakukan dengan membangun kesadaran bahwa segala yang kita lakukan harus diniatkan untuk beribadah kepada Allâh ﷻ, dan segala hal baik yang kita lakukan tidak membutuhkan validasi dari makhluk. Memberikan bantuan kepada orang lain harus disesuaikan dengan kapasitas yang kita miliki dan jangan memaksakan diri. Mengucapkan permohonan maaf bahwa kita tidak punya kapasitas pada hal itu lebih menenangkan dan lebih terhormat daripada berjanji lalu gagal memenuhinya.

Tegas dalam menetapkan batasan sangat penting untuk menjaga diri kita dari terganggunya kesehatan mental (mudah merasa marah, cemas, dan benci), menjaga keikhlasan karena kita tidak menolong berdasarkan rasa keterpaksaan, dan bisa menjadi sarana untuk mendidik orang lain agar lebih mandiri dan bertanggung jawab. Cara praktis menetapkan batasan namun dengan cara yang santun yaitu dengan mengenali batasan diri terlebih dahulu (batasan energi, waktu, finansial, atau emosi), gunakan komunikasi yang jelas dan jujur, serta kita bisa menawarkan alternatif lain. Tindakan tanpa ’Izzah dapat membuat kita cepat merasa lelah namun takut untuk menolak, sedangkan tindakan dengan ’Izzah, artinya kita berani menolak dengan bahasa yang santun karena keterbatasan diri.

Dengan demikian, seorang Muslim diajak untuk senantiasa melakukan rekalibrasi atas niat dan tindakannya. Menolak untuk dimanfaatkan bukanlah tanda kikir atau egois, melainkan sebuah wujud ketaatan pada prinsip keadilan dan penjagaan diri yang telah digariskan oleh Allah dan Rasulullah ﷺ. Kebaikan yang hakiki adalah kebaikan yang memberdayakan, bukan yang melumpuhkan; sebuah kebaikan yang mengangkat derajat si penerima tanpa pernah merendahkan kehormatan dan martabat si pemberi. Inilah esensi dari menjadi bermanfaat dalam bingkai Islam yang seimbang dan sempurna.

 

* Tenaga kependidikan administrasi DLA UII

Maraji’ :

[1] Diriwayatkan oleh Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Awsath, no. 5949). Syaikh Al-Albani menghasankan dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 426.

[2] Yulian Purnama, S.Kom. “Janganlah Berbuat Zalim!”.https://muslim.or.id/53105-janganlah-berbuat-zalim.html/. Diakses pada 11 September 2025.

[3] Yayasan Al-Ma’soem Bandung. “Lima Bahaya dari Perbuatan Zalim”. https://almasoem.sch.id/saling-doa/lima-bahaya-dari-perbuatan-zalim/. Diakses pada 11 September 2025.

[4] Nabila Putri Ocktavia, Rizqdwan Dhuhakbar Hendyutama, Hasan Rama Sagita. “Mengenal Konsep Keseimbangan Hidup Dalam Islam: Menjaga Harmoni Antara Spiritual dan Duniawi”. https://informatics.uii.ac.id/2023/09/29/mengenal-konsep-keseimbangan-hidup-dalam-islam-menjaga-harmoni-antara-spiritual-dan-duniawi/. Diakses pada 11 September 2025

Download Buletin klik di sini

Maksiat Menghalangi Datangnya Rezeki

Maksiat Menghalangi Datangnya Rezeki

Abdullah

 

Setiap manusia mendambakan hidup yang lapang, rezeki yang berkah, serta urusan yang dimudahkan oleh Allâh ﷻ. Namun, kenyataannya tidak jarang kita merasa hidup terasa berat, rezeki seret, dan berbagai urusan seperti tertutup jalannya. Padahal, secara lahiriah kita sudah berusaha keras, bekerja siang malam, bahkan menguras tenaga dan pikiran. Tetapi, hasil yang didapatkan sering kali tidak sebanding dengan jerih payah yang dikeluarkan.

Sebaliknya, ada juga keadaan di mana seseorang merasa rezekinya lancar dan pekerjaannya dipermudah. Namun, kelancaran itu tidak menghadirkan kebaikan: hidupnya jauh dari ketenteraman, keluarganya penuh masalah, dan harta yang melimpah tidak menambah kebahagiaan. Hal itu menunjukkan hilangnya keberkahan dalam rezeki.

Dalam situasi seperti ini, penting bagi kita untuk melakukan introspeksi diri. Sebab, rezeki sejatinya bukan hanya persoalan kerja keras, melainkan juga terkait erat dengan keberkahan dari Allâh ﷻ. Dan salah satu penghalang terbesar turunnya keberkahan adalah dosa dan maksiat yang dilakukan manusia.

Maksiat sebagai Penghalang Rezeki

Rasûlullâh ﷺ telah mengingatkan bahwa dosa dan maksiat memiliki dampak langsung terhadap rezeki seorang hamba. Dalam hadits yang diriwayatkan dari Dari Tsauban radhiyallāhu ‘anhu, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda:

إِنَّ الْعَبْدَ لَيُحْرَمُ الرِّزْقَ بِالذَّنْبِ يُصِيبُهُ

“Sungguh, seorang hamba akan terhalang dari rezeki karena dosa yang diperbuatnya.”
(HR Ahma)[1]

Hadits ini menunjukkan bahwa dosa bukan hanya memengaruhi kondisi spiritual seseorang, tetapi juga urusan dunianya, termasuk rezeki. Seseorang bisa saja berusaha sekuat tenaga, tetapi dosanya dapat menjadi penghalang turunnya pertolongan Allâh.

Dampak Dosa terhadap Rezeki

Ibn Qayyim al-Jauziyyah (w. 751 H) dalam al-Jawāb al-Kāfī liman sa’ala ‘an ad-Dawā’ asy-Syāfī menjelaskan:

وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّهَا تَحْرِمُ الْعَبْدَ الرِّزْقَ، فَإِنَّ الْعَبْدَ يُحْرَمُ الرِّزْقَ بِالذَّنْبِ يُصِيبُهُ، كَمَا أَنَّ التَّقْوَى تَجْلِبُ الرِّزْقَ، فَتَرْكُ التَّقْوَى يَحْرِمُهُ الرِّزْقَ.

“Di antara akibat dosa adalah terhalangnya rezeki. Sebagaimana takwa mendatangkan rezeki, maka meninggalkannya (karena maksiat) akan menghalangi datangnya rezeki.”[2]

Penjelasan ini sejalan dengan kenyataan hidup: ada orang yang bekerja keras namun hasilnya terasa sempit, sedangkan ada yang bertakwa meski secara lahir sederhana, tetapi kehidupannya lapang dan berkah.

Iman dan Takwa, Kunci Keberkahan Rezeki

Al-Qur’an menegaskan bahwa keimanan dan ketakwaan merupakan kunci terbukanya pintu-pintu keberkahan. Allâh ﷻ berfirman:

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَـٰكِن كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُم بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

“Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka disebabkan apa yang telah mereka kerjakan.” (QS Al-A‘raf [7]: 96).

Ibn Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ayat ini mengandung janji Allâh kepada siapa pun yang beriman dan bertakwa: pintu rezeki dan keberkahan akan dibukakan baginya. Namun, bila mereka ingkar dan bermaksiat, maka keberkahan itu akan dicabut.[3]

Maksiat dan Hilangnya Keberkahan

Harta yang banyak tidak selalu menjadi tanda keberkahan. Bisa jadi seseorang memiliki kekayaan melimpah, tetapi hidupnya jauh dari kebahagiaan, keluarganya berantakan, atau hartanya justru menjadi jalan menuju kebinasaan. Inilah hakikat rezeki yang tidak berkah.

Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasûlullâh ﷺ bersabda:

لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ

“Kekayaan itu bukan karena banyaknya harta benda, tetapi kekayaan sejati adalah kaya hati.”
(HR Bukhari, no. 6446 dan Muslim, no. 1051).[4]

Hadits ini mengajarkan bahwa rezeki yang berkah adalah rezeki yang menenangkan jiwa, bukan sekadar menumpuk materi. Maksiat, sebaliknya, menghilangkan ketenangan hati dan menutup pintu keberkahan.

Contoh dalam Kehidupan Nyata

  1. Korupsi dan harta haram. Seseorang mungkin kaya raya dari hasil korupsi atau bisnis haram. Namun, hatinya gundah, hidupnya penuh kekhawatiran, dan keluarganya tidak harmonis. KPK menyebut korupsi merusak kehidupan sosial, menimbulkan keresahan, dan menghancurkan harapan masyarakat.[5]
  2. Keluarga yang jauh dari agama. Ada keluarga yang secara materi tercukupi, tetapi anak-anaknya terjerumus dalam pergaulan buruk, karena keberkahan dicabut akibat dosa. Dalam Jurnal Edu-Riligia menyebutkan bahwa pendidikan agama dalam keluarga secara signifikan mempengaruhi akhlak remaja. Remaja dengan latar belakang keluarga yang lemah nilai agamanya cenderung menunjukkan perilaku menyimpang dibanding yang dibesarkan dengan pendidikan agama yang kuat.[6] Penelitian lain, menegaskan lingkungan keluarga beragama menjaga kestabilan anak.[7]
  3. Usaha kecil tapi berkah. Sebaliknya, ada pedagang sederhana yang jujur dan bertakwa, meski penghasilannya tidak banyak, tetapi hidupnya cukup, tenteram, dan penuh rasa syukur. Salah satu media online menampilkan kisah UMKM sederhana yang jujur dan tekun, meski modal kecil tetapi usahanya berkembang, membawa kecukupan dan manfaat bagi sekitar.[8]

Jalan Keluar: Taubat dan Takwa

Islam mengajarkan bahwa jalan keluar dari berbagai kesulitan hidup akibat dosa adalah dengan kembali kepada Allâh ﷻ melalui taubat yang tulus dan meningkatkan ketakwaan. Taubat bukan hanya sekadar meninggalkan maksiat, tetapi juga memperbaiki hubungan dengan Allâh, memperbanyak amal saleh, serta menjaga hati agar tetap bersih. Dengan cara inilah seorang hamba membuka pintu rahmat Allâh yang luas, karena setiap langkah menuju-Nya akan dibalas dengan kemudahan dan pertolongan.

Allâh ﷻ menegaskan dalam firman-Nya,

وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا. وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ

Barangsiapa bertakwa kepada Allâh, niscaya Dia akan memberikan jalan keluar baginya, dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.” (QS Ath-Thalaq [65]: 2–3).

Ayat ini menegaskan bahwa takwa adalah kunci keberkahan hidup. Rezeki yang halal dan mencukupi tidak hanya ditentukan oleh usaha lahiriah, tetapi juga oleh kebersihan hati dan ketaatan kepada Allâh. Dengan takwa, seorang hamba dijanjikan kemudahan, kecukupan, dan keberkahan dalam hidupnya.

Dari uraian di atas dapat ditarik beberapa pelajaran penting:

  1. Rezeki bukan hanya hasil kerja keras, tetapi sangat bergantung pada keberkahan dari Allâh ﷻ.
  2. Maksiat dan dosa menjadi penghalang utama rezeki, sebagaimana ditegaskan dalam hadits Rasulullah ﷺ (HR Ahmad).
  3. Dosa menghapus keberkahan dan mendatangkan kesempitan hidup, sebagaimana penjelasan Ibn Qayyim dalam al-Jawāb al-Kāfī.
  4. Iman dan takwa mendatangkan keberkahan dari langit dan bumi, sebagaimana firman Allâh dalam surah Al-A‘raf ayat 96.
  5. Taubat, takwa, dan memperbaiki ibadah adalah kunci terbukanya pintu rezeki yang penuh berkah.

Oleh karena itu, jika kita mendambakan kelapangan rezeki dan hidup yang penuh keberkahan, langkah pertama yang harus kita lakukan adalah bertaubat kepada Allâh ﷻ, memperbaiki diri, dan menjauhi segala bentuk maksiat. Rezeki yang halal dan berkah tidak hanya mencukupi kebutuhan lahiriah, tetapi juga menenangkan hati, mempererat keluarga, dan mendekatkan kita kepada Allâh ﷻ.

Semoga Allâh ﷻ senantiasa melimpahkan kepada kita rezeki yang halal, baik, dan penuh keberkahan. Allāhumma āmin.

Maraji’ :

[1] Musnad Ahmad. Beirut: Mu’assasah ar-Risālah. 2001. Juz 5. h. 277.

[2] Ibn Qayyim. al-Jawāb al-Kāfī. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah. 2007. h. 67.

[3] Ibn Katsir. Tafsir al-Qur’ān al-‘Azhīm. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah. 1998. Juz 2. h. 293.

[4] Al-Bukhārī dalam Shahih al-Bukhārī, Kitāb ar-Riqāq no. 6446, dan Muslim dalam Shahih Muslim, Kitāb az-Zakāh no. 1051.

[5] Aditya Mulyana. “Rusaknya Kehidupan Sosial karena Korupsi”

https://aclc.kpk.go.id/aksi-informasi/Eksplorasi/20230818-rusaknya-kehidupan-sosial-karena-korupsi?utm_source=chatgpt.com. Diakses pada 02 Oktober 2025.

[6] Ade Yunita Tri Harlin, Ramlan Padang. “Pengaruh Pendidikan Agama Islam Dalam Keluarga”. https://jurnal.uinsu.ac.id/index.php/eduriligia/article/view/22239?utm_source=chatgpt.com. Diakses pada 02 Oktober 2025.

[7] Pramesta Rahmata dan Syinta Pebriyanti Aufa. “Dampak Lingkungan Keluarga Terhadap Kondisi Psikologis Anak dan Kehidupan Beragama”. https://jipkm.com/index.php/islamologi/article/view/182?utm_source=chatgpt.com. Diakses pada 02 Oktober 2025.

[8] Aditya Mulyana. “Kisah Inspiratif Wirausahawan Muda Indonesia yang Manfaatkan Ekosistem Digital”. https://money.kompas.com/read/2023/06/16/175656126/berangkat-dari-usaha-rumahan-ini-kisah-inspiratif-wirausahawan-muda-indonesia?utm_source=chatgpt.com. Diakses pada 02 Oktober 2025.

Download Buletin klik di sini

Allâh Tak Pernah Pergi, Kita yang Terlalu Sibuk untuk Menoleh

Allâh Tak Pernah Pergi, Kita yang Terlalu Sibuk untuk Menoleh

Isan*

 

Sahabat, pernahkah merasa lelah, bukan karena fisik, tapi hati? Hampa, bingung, kosong. Ramai bersama teman, namun jiwa tetap sepi. Scroll media sosial pun tak menenangkan. Shalat kadang hanya formalitas, doa terasa hambar, padahal kebutuhannya banyak tapi doanya kilat. Seakan bicara ke dinding. Lalu muncul pertanyaan: “Apa Allâh masih sayang padaku? Atau aku yang terlalu jauh?”

Allâh Dekat, Kita yang Menjauh

Di era yang serba cepat, scroll media sosial tanpa henti, overthinking, quarter life crisis, tugas menumpuk dan banyak diantara kita yang merasa kosong. Kadang muncul rasa: “Dosaku banyak, ibadahku berantakan. Masihkah Allâh mau menerimaku?” Padahal Allâh ﷻ berfirman:

وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ ٱلْوَرِيدِ

“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS Qâf [50]: 16)

Allâh ﷻ tak pernah pergi. Bahkan di titik terendah kita, Allâh ﷻ tetap dekat. Rasûlullâh ﷺ juga pernah dituduh ditinggalkan oleh Tuhannya ketika wahyu terlambat turun. Namun Allâh ﷻ menegaskan:

وَٱلضُّحَىٰ. وَٱلَّيْلِ إِذَا سَجَىٰ. مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلَىٰ.

“Demi waktu Dhuha dan demi malam apabila telah sunyi, Tuhanmu tidak meninggalkan engkau (Muhammad) dan tidak (pula) membencimu.” (QS ad-Duha [93]: 1-3)[1]

Allah Selalu Menanti

Kitalah yang sering berpaling. Namun Allâh ﷻ selalu menunggu. Dalam hadis qudsi disebutkan,

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِىُّ ﷺ يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِى بِى، وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِى، فَإِنْ ذَكَرَنِى فِى نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِى نَفْسِى، وَإِنْ ذَكَرَنِى فِى مَلأٍ ذَكَرْتُهُ فِى مَلأٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ، وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَىَّ بِشِبْرٍ تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا، وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَىَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ بَاعًا، وَإِنْ أَتَانِى يَمْشِى أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً

Dari Abu Hurairah z, ia berkata bahwa Nabi ﷺ bersabda, “Allah Ta’ala berfirman: Aku sesuai persangkaan hamba-Ku. Aku bersamanya ketika ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku saat bersendirian, Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku. Jika ia mengingat-Ku di suatu kumpulan, Aku akan mengingatnya di kumpulan yang lebih baik daripada pada itu (kumpulan malaikat). Jika ia mendekat kepada-Ku sejengkal, Aku mendekat kepadanya sehasta. Jika ia mendekat kepada-Ku sehasta, Aku mendekat kepadanya sedepa. Jika ia datang kepada-Ku dengan berjalan (biasa), maka Aku mendatanginya dengan berjalan cepat.” (HR Bukhari no. 6970 dan Muslim no. 2675).

Sahabat, ternyata begitu besarnya cinta Allâh ﷻ kepada hamba-Nya. Kita hanya butuh sedikit melangkah untuk kembali, tapi Allâh ﷻ membalasnya dengan berlari menuju kita.

Jangan Takut dengan Masa Lalu

Banyak yang merasa tak pantas karena dosa. Tapi Allâh ﷻ menegaskan:

قُلْ يَٰعِبَادِىَ ٱلَّذِينَ أَسْرَفُوا۟ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا۟ مِن رَّحْمَةِ ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يَغْفِرُ ٱلذُّنُوبَ جَمِيعًا

“Katakanlah (Muhammad), ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang telah melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya.” (QS Az-Zumar [39]: 53)

Allâh ﷻ melihat potensi kita, bukan hanya kesalahan kita. Rahmat-Nya lebih luas dari dosa-dosa kita.

Allâh Mendengar Bisikan Hati

Pernahkah kita menangis diam-diam, berbisik: “Ya Allâh, tolong aku…”? Allâh ﷻ mendengar bahkan sebelum kata itu terucap. Allâh ﷻ berfirman:

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِى عَنِّى فَإِنِّى قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ ٱلدَّاعِ إِذَا دَعَانِ

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah): sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia berdoa kepada-Ku.” (QS Al-Baqarah [1]: 186)

Doa adalah kekuatan luar biasa. Dari Tsaubān maulā Rasûlullâh ﷺ, ia berkata, Rasûlullâh ﷺ bersabda:

لَا يَرُدُّ الْقَضَاءَ إِلَّا الدُّعَاءُ، وَلَا يَزِيدُ فِي الْعُمُرِ إِلَّا الْبِرُّ

Tidak ada yang dapat menolak takdir kecuali doa, dan tidak ada yang dapat menambah umur kecuali kebajikan.” (HR At-Tirmiżī no. 2139 dan Ibnu Mājah no. 90).[2]

Namun, doa juga bagian dari takdir. Allâh ﷻ telah menetapkan sebab dan akibat, termasuk perubahan melalui doa.

Kapan Harus Kembali?

Hidup tak pernah menjanjikan “nanti”. Kematian bisa datang kapan saja. Karena itu, kembali kepada Allâh ﷻ bukan untuk orang suci, tapi untuk siapa pun yang sadar hidup ini sementara.

Allâh ﷻ berfirman:

وَسَارِعُوٓا۟ إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا ٱلسَّمَٰوَٰتُ وَٱلْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

“Bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi…” (QS Ali ‘Imran [3]: 133)

Langkah Untuk Kembali?

Banyak sekali cara untuk bisa kembali kepada-Nya, diantaranya sebagai berikut:

  • Taubat dengan benar. Allâh ﷻ berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا

Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya).” (QS At-Tahrim [66]: 8)

  • Perbaiki shalat. Allâh ﷻ berfirman:

إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ تَنْهَىٰ عَنِ ٱلْفَحْشَآءِ وَٱلْمُنكَرِ

“Sesungguhnya shalat itu dapat mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar.” (QS Al-Ankabut [29]: 45)

  • Dekat dengan al-Qur’an. Allâh ﷻ berfirman:

وَنُنَزِّلُ مِنَ ٱلْقُرْءَانِ مَا هُوَ شِفَآءٌ وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ

“Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman…” (QS Al-Isra’ [17]: 82)

  • Doa yang tulus. Dari Salman al-Farisi z, dari Nabi ﷺ, bahwa beliau ﷺ bersabda:

إِنَّ اللَّهَ حَيِيٌّ كَرِيمٌ يَسْتَحِي إِذَا رَفَعَ الرَّجُلُ إِلَيْهِ يَدَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا خَائِبَتَيْنِ

Sesungguhnya Allah Maha pemalu dan pemurah. Dia malu bila seorang lelaki mengangkat kedua tangannya kepada-Nya lalu Dia mengembalikannya dalam keadaan kosong dan hampa” (HR Abu Daud no. 1488 dan at-Tirmidzi no. 3556)[3]

  • Cari lingkungan yang baik. Dari Abu Hurairah z, Rasûlullâh ﷺ bersabda:

الْمَرْءُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ

Seseorang akan mencocoki kebiasaan teman karibnya. Oleh karenanya, perhatikanlah siapa yang akan menjadi teman karib kalian”. (HR Abu Daud no. 4833, dan Tirmidzi no. 2378).[4]

  • Konsisten dengan hal-hal kecil terlebih dahulu. Dari ‘Aisyah, ia berkata, Rasûlullâh ﷺ bersabda:

أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ

Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walaupun itu sedikit.” ’Aisyah pun ketika melakukan suatu amalan selalu berkeinginan keras untuk merutinkannya. (HR. Muslim no. 783).

Tidak ada kata “terlambat” untuk memulai dan kembali, tidak ada kata “terlalu kotor” untuk bisa diterima. Mari sama-sama terus saling mengingatkan dalam kebaikan dan sama-sama bersegera berbuat baik. Kita yang butuh Allâh ﷻ, bukan Allâh ﷻ yang butuh kita. Jangan menunggu sempurna untuk bisa kembali pulang, pulanglah sekarang dengan segala kekurangan.

* Mahasiswa Prodi Pendidikan Agama Islam FIAI UII, Angkatan 2021

Maraji’ :

[1] Salahuddin Sopu. “Allah Itu Dekat, Kitalah Yang Menjauh” https://uin-alauddin.ac.id/tulisan/detail/allah-itu-dekat-kitalah-yang-menjauh. Diakses pada 20 September 2025.

[2] Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dalam kitab Al-Qadar, bab “Tidak ada yang dapat menolak takdir kecuali doa” (no. 2139), dari hadis Salman radhiyallahu ‘anhu. Dinyatakan hasan oleh Al-Albani dalam As-Silsilah As-Sahihah (no. 154) dan dalam Sahih Al-Jami’ (no. 7687). M.Saifudin Hakim. “Fatwa Syekh Muhmmad Ali Farkus” https://muslim.or.id/103578-fatwa-ulama-apakah-doa-dapat-mengubah-takdir.html. Diakses pada 20 September 2025.

[3] Diriwayatkan oleh Abu Daud: 1488 dan at-Tirmidzi: 3556 dan beliau mengatakan: hasan gharib. Dishahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Daud dan Shahih at-Tirmidzi.

[4] Diriwayatkan oleh Abu Daud no. 4833, Tirmidzi no. 2378, Ahmad 2/344, Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan. Lihat Shahihul Jâmi’ 3545.

Download Buletin klik di sini

Saat Dunia Tak Adil, Allâh Siapkan Akhirat

Saat Dunia Tak Adil, Allâh Siapkan Akhirat

Muhammad Ardan Halim*

 

Hari ini kita hidup di tengah hiruk pikuk negeri yang terasa makin berat. Berita tentang korupsi, hukum yang tajam ke bawah tapi tumpul ke atas, janji-janji pemimpin yang diingkari, sampai suara rakyat yang sering diabaikan semua membuat kita merasa dunia ini tidak adil.

Kenapa yang salah justru bebas melenggang, sementara yang jujur sering terhimpit? Kenapa keadilan terasa seperti barang mahal yang sulit dijangkau? Pertanyaan-pertanyaan seperti inilah yang kerap muncul di benak.

Namun, dalam semua kegelisahan itu, ada satu hal yang pasti Allâh tidak pernah lalai. Ketidakadilan dunia hanya sementara, karena keadilan sejati telah Allâh siapkan di akhirat kelak.

Allāh ﷻ berfirman:

وَلَا تَحْسَبَنَّ اللَّهَ غَافِلًا عَمَّا يَعْمَلُ الظَّالِمُونَ ۚ إِنَّمَا يُؤَخِّرُهُمْ لِيَوْمٍ تَشْخَصُ فِيهِ الْأَبْصَارُ

“Dan janganlah sekali-kali kamu mengira bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim. Sesungguhnya Allah memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata mereka terbelalak.” (QS. Ibrāhīm [14]: 42)

Dunia Tempat Ujian, Bukan Tempat Balasan

Ketidakadilan yang kita saksikan sejatinya adalah bagian dari ujian hidup. Dunia bukanlah tempat balasan akhir, melainkan untuk menguji kejujuran iman. Melalui ujian itu, Allāh ﷻ ingin melihat apakah kita tetap teguh berpegang pada kebenaran, atau justru tergoda ikut dalam arus kezaliman.

Allāh ﷻ berfirman:

أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ

Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan berkata: ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji?” (QS. Al ‘Ankabut [29]: 2)

Ujian ini hadir dalam banyak bentuk, baik yang menyenangkan maupun yang menyulitkan. Allāh ﷻ berfirman:

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۗ وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً ۖ وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (QS. Al Anbiya’ [21]: 35)

Ibnu ‘Abbās zmenafsirkan, manusia akan diuji dengan kesulitan dan kesenangan, kesehatan dan penyakit, kekayaan dan kemiskinan, ketaatan dan maksiat, petunjuk dan kesesatan. Semuanya adalah cobaan.[1]

Karena itu, ketidakadilan yang hadir dalam hidup sejatinya merupakan salah satu bentuk ujian. Ia menguji sejauh mana kita mampu bersabar, tetap berpegang pada kebenaran, serta memperjuangkan keadilan tanpa ikut terjerumus pada kezaliman. Dunia memang bukan tempat balasan, melainkan medan ujian. Sedangkan balasan sejati baik bagi yang bersabar maupun yang berbuat zalim akan terwujud di akhirat.

Akhirat: Hari Keadilan yang Sempurna

Di dunia, orang zalim bisa saja lolos dari jeratan hukum dengan uang atau kekuasaan. Namun di akhirat, tidak ada seorang pun yang mampu menghindar dari keadilan Allāh ﷻ.

Sekecil apa pun sebuah kezhaliman, meski disembunyikan rapat-rapat, Allāh ﷻ tetap mengetahuinya. Allāh ﷻ berfirman:

إِنَّ اللَّهَ لَطِيفٌ خَبِيرٌ

“Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.”  (QS. Luqmān [31]: 16)

Makna lathīf adalah bahwa ilmu Allāh ﷻ menjangkau hal-hal paling tersembunyi, sekecil apapun. Sedangkan khabīr menunjukkan bahwa Allah mengetahui setiap jejak perbuatan, bahkan yang terjadi di kegelapan malam paling pekat. (Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, 11:55)[2]

Karena itu, keadilan Allāh ﷻ berbeda dari keadilan manusia. Allāh ﷻ tidak akan menghukum tanpa alasan yang benar, dan Dia tidak akan membalas kecuali setelah menerangkan mana yang hak dan mana yang batil.[3]

Allāh ﷻ berfirman:

وَنَضَعُ الْمَوَازِينَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيَامَةِ فَلَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئًا وَإِنْ كَانَ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ أَتَيْنَا بِهَا وَكَفَى بِنَا حَاسِبِينَ

“Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tidak seorang pun akan dirugikan walau seberat biji sawi sekalipun. Dan cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan.” (QS. Al Anbiyā’ [21]: 47)

Setiap amal, sekecil apapun, akan dihitung. Semua kezhaliman yang luput dari hukum dunia pasti akan mendapatkan balasan setimpal di akhirat, karena keadilan Allāh ﷻ adalah keadilan yang sempurna.[4]

Sikap Mukmin Menghadapi Ketidakadilan

Dari Abu Hurairah z, ia berkata bahwa Rasûlullâh ﷺ bersabda:

الدُّنْيَا سِجْنُ الْمُؤْمِنِ وَجَنَّةُ الْكَافِرِ

Dunia adalah penjara bagi orang beriman dan surga bagi orang kafir.” (HR. Muslim no. 2392)

Hadis ini menegaskan bahwa dunia memang terasa berat bagi orang beriman. Mereka bagaikan berada dalam penjara, sebab harus menahan diri dari syahwat yang diharamkan, menjauhi keburukan, dan tetap istiqamah dalam ketaatan. Imam Nawawi menjelaskan, ketika mukmin meninggal dunia, barulah ia bebas dari keterbatasan itu dan memperoleh kenikmatan abadi yang Allāh ﷻ janjikan. Sebaliknya, dunia yang terasa nikmat bagi orang kafir hanyalah “surga sementara”, karena setelah mati ia akan menghadapi azab yang kekal.[5]

Maka menghadapi ketidakadilan dunia, seorang mukmin tidak boleh hanyut dalam kebencian, apalagi ikut berbuat curang hanya karena melihat banyak yang melakukannya. Tugas kita adalah bersabar, tetap berpegang pada kebenaran, dan terus berbuat baik meski dunia tampak semrawut. Kesabaran di dunia inilah yang kelak menjadi tiket menuju surga.

Penutup

Dunia memang sering terasa tidak adil, tetapi Allāh ﷻ menjanjikan bahwa akhirat adalah tempat keadilan yang sempurna. Karena itu, jangan sampai kita terjebak dalam putus asa atau bahkan ikut berbuat zalim. Justru saat diuji, kita dituntut untuk memperkuat iman, bersabar, dan tetap teguh di jalan kebaikan.

Rasulullah ﷺ bersabda:

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللَّهُ بِمَا آتَاهُ

Sungguh sangat beruntung orang yang telah masuk Islam, diberikan rizki yang cukup dan Allah menjadikannya merasa puas (Qana’ah) dengan apa yang diberikan kepadanya.” (HR. Muslim no. 1054)

Hadis ini menegaskan bahwa kebahagiaan sejati bukan pada banyaknya harta atau jabatan, melainkan pada iman, qana’ah, dan cinta kepada Allāh ﷻ serta hari akhirat. Islam pun mengajarkan untuk mencintai akhirat dan hidup dengan zuhud—bukan meninggalkan dunia, tapi tidak berlebihan mencintainya.[6]

Sebab dunia hanyalah jalan, bukan tujuan. Ketidakadilan di sini hanya sementara, sedangkan keadilan Allāh ﷻ di akhirat pasti ditegakkan dengan sempurna. Di sanalah setiap jiwa akan dibalas sesuai dengan amalnya, tanpa ada yang terlewat sedikit pun. Wallāhu a‘lam.

 

* Mahasiswa Prodi Ahwal Syakhshiyah UII 2022 dan aktif sebagai pengurus Takmir Masjid Ulil Albab UII

Maraji’ :

[1] Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas – “Dunia Ini Adalah Tempat Cobaan Dan Ujian (1)”https://almanhaj.or.id/15047-dunia-ini-adalah-tempat-cobaan-dan ujian1.html – Diakses 15 September 2025.

[2] Muhammad Abduh Tuasikal, MSc  “Nasehat Lukman pada Anaknya (5), Setiap Perbuatan Akan Dibalashttps://rumaysho.com/2373-nasehat-lukman-pada-anaknya-5-setiap-perbuatan-akan-dibalas.html
Diakses 15 September 2025.

[3] Ustadz Ratno Abu Muhammad  –  “Apa Perbedaan Keadilan Allah dan Keadilan Manusia”https://bimbinganislam.com/apa-perbedaan-keadilan-allah-dan-keadilan-manusia/ – Diakses 15 September 2025.

[4] Ustadz Ratno Abu Muhammad  –  “Apa Perbedaan Keadilan Allah dan Keadilan Manusia”https://bimbinganislam.com/apa-perbedaan-keadilan-allah-dan-keadilan-manusia/ – Diakses 15 September 2025.

[5] Muhammad Abduh Tuasikal, MSc“Dunia itu Penjara bagi Orang Mukmin” –  https://rumaysho.com/11513-dunia-itu-penjara-bagi-orang-mukmin.html – Diakses 15 September 2025.

[6] Muhammad Al Hudrizi – “Keutamaan Cinta Akhirat dan Zuhud dalam Kehidupan Dunia” https://dsp.uii.ac.id/keutamaan-cinta-akhirat-dan-zuhud-dalam-kehidupan-dunia/ – Diakses 15 September 2025.

Download Buletin klik di sini

Ujian Hidup Itu Pasti Ada

Ujian Hidup Itu Pasti Ada

Much Diki Mualimin*

 

Manusia di dunia ini tidak mungkin bisa lepas dari yang namanya ujian, karena setiap orang yang hidup pasti pernah merasakan ujian atau cobaan, sebagaimana Allâh ﷻ berfirman:

أَحَسِبَ ٱلنَّاسُ أَن يُتْرَكُوٓا۟ أَن يَقُولُوٓا۟ ءَامَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ

“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?”. (QS.  Al Ankabut [29]: 2)

Kemudian Allâh ﷻ melanjutkan firmanNya,

وَلَقَدْ فَتَنَّا ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ ۖ فَلَيَعْلَمَنَّ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ صَدَقُوا۟ وَلَيَعْلَمَنَّ ٱلْكَٰذِبِينَ

“Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta”.  (QS. Al Ankabut [29]: 3)

Hikmahnya akan terlihat mana orang-orang yang bersungguh-sungguh menjalankan keimanannya dan mana orang yang hanya berlagak beriman.[1]

Ujian adalah Sunnatullah

Cobaan dan ujian merupakan suatu hal yang sudah menjadi Sunnatullah di kehidupan ini, Allâh ﷻ berfiman:

لَقَدْ خَلَقْنَا ٱلْإِنسَٰنَ فِى كَبَدٍ

“Sungguh, Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah”. (QS. Al Balad [90]: 4)

Oleh karena itu, di kehidupan dunia ini tidak ada yang namanya kebahagiaan yang bertahan lama, kebahagiaan yang kekal hakikatnya hanya bisa didapat ketika di surga kelak.

Adapun ujian atau cobaan itu dapat menimpa siapapun manusianya baik yang mukmin maupun yang kafir. Adapun bagi seorang mukmin akan mendapatkan kabar gembira yang tidak didapatkan oleh orang kafir. Allâh ﷻ berfirman:

وَلَا تَهِنُوا۟ فِى ٱبْتِغَآءِ ٱلْقَوْمِ ۖ إِن تَكُونُوا۟ تَأْلَمُونَ فَإِنَّهُمْ يَأْلَمُونَ كَمَا تَأْلَمُونَ ۖ وَتَرْجُونَ مِنَ ٱللَّهِ مَا لَا يَرْجُونَ ۗ وَكَانَ ٱللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا

“Janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar mereka (musuhmu). Jika kamu menderita kesakitan, maka sesungguhnya merekapun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kamu menderitanya, sedang kamu mengharap dari pada Allah apa yang tidak mereka harapkan. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. An Nisa [3]: 104).

Ayat diatas menerangkan antara mukmin dan kafir pasti akan sama-sama merasakan ujian, ketika mukmin memiliki masalah maka kafir juga pernah mengalami masalah, ketika mukmin sakit maka orang kafir juga sakit, dan sebagainya. Disinilah letak perbedaannya ujian antara mukmin dengan kafir yakni, mukmin tidak perlu merasa lemah adanya ujian tersebut karena seorang mukmin akan teristimewakan dengan diberikan ganjaran yang ada di sisi Allâh ﷻ, sedangkan orang-orang kafir mereka tidak mendapatkan ganjaran samasekali.[2]

Disebutkan dalam riwayat dari Abu Hurairah zdari Nabi ﷺ bersabda:

مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حُزْنٍ وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاه

“Tidaklah seorang muslim itu ditimpa musibah baik berupa rasa lelah, rasa sakit, rasa khawatir, rasa sedih, gangguan atau rasa gelisah sampaipun duri yang melukainya melainkan dengannya Allah akan mengampuni dosa-dosanya”. (HR. Al-Bukhari, no. 5641 dan Muslim, no. 2573)[3]

Dari Abu Hurairah h, ia berkata. Rasulullah ﷺ bersabda:

مَا يَزَالُ الْبَلَاءُ بِالْمُؤْمِنِ وَالْمُؤْمِنَةِ فِي نَفْسِهِ وَوَلَدِهِ وَمَالِهِ حَتَّى يَلْقَى اللَّهَ وَمَا عَلَيْهِ خَطِيئَة

“Cobaan tetap akan menimpa atas diri orang mukmin dan mukminah, anak dan juga hartanya, sehingga dia bersua Allah dan pada dirinya tidak ada lagi satu kesalahan pun”. (Isnadnya Hasan, At-Tirmidzy, no. 2510. Dia menyatakan, ini hadits hasan shahih, Ahmad 2/287, Al-Hakim 1/346, dishahihkan Adz-Dzahaby)[4]

Kiat Menghadapi Ujian

Adapun kiat yang tepat yang bisa dilakukan dalam menghadapi ujian atau cobaan yang dialami oleh seorang Muslim kuncinya adalah ketaqwaan kepada Allâh ﷻ, yakni mentaati perintah Allah serta menjauhi apapun yang dilarang Allah dengan menjaga diri dari perbuatan yang bisa membawa kepada hukumanNya. Adapun sikap yang menunjukkan ketakwaan ketika menghadapi ujian diantaranya bersabar, tawakal, dan menerima dengan lapang dada atas ketetapan Allâh ﷻ sehingga seseorang tidak akan mengeluh dan stres ketika sedang dilanda cobaan.

Allâh ﷻ berfiman:

مَآ أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ ٱللَّهِ ۗ وَمَن يُؤْمِنۢ بِٱللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُۥ ۚ وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌ

“Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa (seseorang) kecuali dengan izin Allah; barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk ke (dalam) hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS.  At Taghabun [64]: 11).

Imam Ibnu Katsir r menjelaskan maknanya,

“Seseorang yang ditimpa musibah dan dia meyakini bahwa musibah tersebut merupakan ketentuan dan takdir Allâh ﷻ, kemudian dia bersabar dan mengharapkan (balasan pahala), disertai (perasaan) tunduk berserah diri kepada ketentuan Allâh ﷻ tersebut, maka Allâh ﷻ akan memberikan petunjuk ke (dalam) hatinya dan menggantikan musibah dunia yang menimpanya dengan petunjuk dan keyakinan yang benar dalam hatinya, bahkan bisa jadi Allâh ﷻ akan menggantikan apa yang hilang darinya dengan sesuatu yang lebih baik baginya”.[5]

Kisah Yang Patut Direnungkan  

Dari Ibnu ‘Abbas k menceritakan, seorang wanita berkulit hitam mendatangi Rasûlullâh ﷺ sembari berkata, “Aku terkena penyakit gila (ayan). Aku khawatir auratku tersingkap karenanya. Tolong berdoalah untuk kebaikanku.”

Rasûlullâh ﷺ (kala itu) menjawab, “Kalau engkau mau, bersabarlah saja (dengan penyakit itu), maka engkau akan memperoleh surga. Kalau tidak, aku akan berdoa kepada Allâh ﷻ supaya menyembuhkanmu”.

Ia menyahut, “Saya mau bersabar saja. (Tetapi) aku khawatir auratku terlihat (oleh manusia). Karena itu, berdoalah kepada Allâh ﷻ supaya auratku tidak tersingkap,” Kemudian Rasûlullâh ﷺ berdoa untuk memenuhi permintaan yang ia perlukan itu. (HR. al-Bukhari, no. 5652. Lihat Fat-hul-Bari, 13/23)[6]

Kalimat penutup, prinsip yang mestinya dimiliki oleh seorang Muslim adalah yang namanya hidup pasti tidak lepas dari ujian. Ketika seorang hamba diuji oleh Allâh ﷻ kemudian mengimani akan ujian tersebut, maka ujian itu tidak akan disia-siakan oleh Allâh ﷻ, mukmin akan diampuni dosa-dosanya atau setidaknya dia akan mendapat kabar gembira lainnya.

Sebagaimana Allâh ﷻ berfriman:

وَٱلَّذِينَ صَبَرُوا۟ ٱبْتِغَآءَ وَجْهِ رَبِّهِمْ وَأَقَامُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَأَنفَقُوا۟ مِمَّا رَزَقْنَٰهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً وَيَدْرَءُونَ بِٱلْحَسَنَةِ ٱلسَّيِّئَةَ أُو۟لَٰٓئِكَ لَهُمْ عُقْبَى ٱلدَّارِ. جَنَّٰتُ عَدْنٍ يَدْخُلُونَهَا وَمَن صَلَحَ مِنْ ءَابَآئِهِمْ وَأَزْوَٰجِهِمْ وَذُرِّيَّٰتِهِمْ ۖ وَٱلْمَلَٰٓئِكَةُ يَدْخُلُونَ عَلَيْهِم مِّن كُلِّ بَابٍ. سَلَٰمٌ عَلَيْكُم بِمَا صَبَرْتُمْ ۚ فَنِعْمَ عُقْبَى ٱلدَّارِ.

“Dan orang yang sabar karena mengharap keridhaan Tuhannya, melaksanakan shalat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik), (yaitu) surga-surga ‘Adn, mereka masuk ke dalamnya bersama dengan orang yang saleh dari nenek moyangnya, pasangan-pasangannya dan anak cucunya, sedangkan para malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu ; (sambil mengucapkan), “Selamat sejahtera atasmu karena kesabaranmu.” Maka alangkah nikmatnya tempat kesudahan itu.” (QS. Ar Ra’d [13]: 22-24).

* Alumni Fakultas Ilmu Agama Islam UII

Maraji’ :

[1] Tafsir Ibnu Katsir, 4/263, Tahqiq Sami bin Muhammad as-Salamah, cet. III Daar Thaybah, th. 1426 H.

Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas. “Dunia Ini Adalah Tempat Cobaan Dan Ujian”. https://almanhaj.or.id/15047-dunia-ini-adalah-tempat-cobaan-dan-ujian1.html#_ftn10. Diakses pada 18 Mei 2025

[2] Ighâtsatul Lahfân, hal. 421-422 – Mawâridul Amân. Abdullah Taslim, Lc., MA. “Sikap Seorang Muslim dalam Menghadapi Musibah”. https://muslim.or.id/5026-sikap-seorang-muslim-dalam-menghadapi-musibah.html. Diakses pada 18 Mei 2025

Copyright © 2025 muslim.or.id

[3] Mahful Safarudin, Lc. “Duri pun Jadi Penggugur Dosamu – Seri 40 Hadits Tentang Musibah dan Cobaan”. https://pesantrenalirsyad.org/duri-pun-jadi-penggugur-dosamu-seri-40-hadits-tentang-musibah-dan-cobaan-6-40/. Diakses pada 18 Mei 2025

[4] Majdi As-Sayyid Ibrahim. “Keutamaan Sabar Menghadapi Cobaan”.

https://almanhaj.or.id/222-keutamaan-sabar-menghadapi-cobaan.html#_ftnref5. Diakses pada 18 Mei 2025

[5] Tafsir Ibnu Katsir, 8/137. Abdullah Taslim, Lc., MA. “Sikap Seorang Muslim dalam Menghadapi Musibah”. Sumber: https://muslim.or.id/5026-sikap-seorang-muslim-dalam-menghadapi-musibah.html. Diakses pada 18 Mei 2025

[6] Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XI/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta. “Ummu Zufar al-Habasyiyyah Radhiyallahu Anhuma ; Ia Meraih Jannah Dengan Kesabaran”. https://almanhaj.or.id/3109-ummu-zufar-al-habasyiyyah-radhiyallahu-anhuma-ia-meraih-jannah-dengan-kesabaran.html. Diakses pada 18 Mei 2025

Download Buletin klik di sini

Doa: Energi Sakti untuk Meraih Mimpi

Doa: Energi Sakti untuk Meraih Mimpi

Muhammad Abdul Aziz*

 

Bismilllâh…

Dalam perjalanan hidup, setiap individu memiliki impian dan tujuan yang ingin dicapai. Namun, seringkali kita lupa bahwa ada kekuatan tak terlihat yang dapat membantu mewujudkan mimpi-mimpi tersebut, yaitu doa. Dalam perspektif Islam, doa bukan sekadar ritual, melainkan manifestasi dari ketergantungan total seorang hamba kepada Sang Pencipta.

Menurut Ibnu Qayyim Al-Jawziyyah dalam kitabnya Ad-Da’ wa Ad-Dawa’, menjelaskan bahwa doa adalah inti dari ibadah dan bentuk pengakuan seorang hamba atas kebutuhan dan kelemahannya di hadapan Allāh ﷻ. Beliau berkata: “Doa adalah permintaan kepada Allah untuk mendatangkan manfaat atau menolak bahaya, yang disertai dengan rasa rendah hati dan kebutuhan yang mendalam kepada-Nya.”[1]

Adapun menurut Ibnu Taimiyyah di Majmu’ Al-Fatawa, menjelaskan bahwa doa merupakan ibadah yang paling agung karena doa mencerminkan tauhid dalam bentuk paling murni. Beliau berkata: “Doa adalah inti dari ibadah, karena ia merupakan bentuk penyerahan diri kepada Allah dengan penuh cinta dan pen        gharapan, serta penolakan terhadap segala bentuk ketergantungan selain kepada-Nya.”[2]

Hakikat Doa dalam Islam

Doa merupakan sarana komunikasi langsung antara hamba dan Allāh ﷻ. Melalui doa, seorang Muslim mengakui kelemahan dan ketidakberdayaannya, serta menyadari bahwa segala sesuatu bergantung pada kehendak-Nya. Sebagaimana dijelaskan dalam artikel “Menyelami Makna Hakikat Doa dalam Islam” oleh Universitas Islam Indonesia, doa diharapkan dapat menyadarkan manusia untuk selalu mengingat Allah sebagai tempat meminta ampunan dan pertolongan.[3]

Al Qur’an menegaskan pentingnya berdoa dalam surah Ghafir ayat 60:

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُوْنِيْٓ اَسْتَجِبْ لَكُمْ .

“Dan Tuhanmu berfirman, ‘Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.” (QS. Ghafir [40]: 60).

Ayat ini menunjukkan bahwa Allāh ﷻ memerintahkan hamba-Nya untuk berdoa dan menjanjikan pengabulan atas doa tersebut.

Do’a juga merupakan intinya ibadah, sebagaimana Rasulullah ﷺ bersabda:

الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ.

Doa itu adalah inti ibadah.” (HR. Tirmidzi, no. 3372; Abu Dawud, no. 1479).

Hadits ini menyatakan bahawa do’a merupakan salah satu bentuk ibadah paling utama, karena di dalam doa terkandung pengakuan akan kekuasaan Allah dan ketidakberdayaan hamba di hadapan-Nya. Doa menjadi manifestasi tauhid seorang Muslim.

Doa sebagai Energi Positif

Doa memiliki peran penting dalam membangkitkan semangat dan motivasi seseorang untuk meraih impian. Dengan berdoa, seseorang menanamkan keyakinan bahwa Allāh ﷻ akan membimbing dan memberikan kekuatan dalam menghadapi berbagai tantangan. Hal ini sejalan dengan pandangan yang disampaikan dalam artikel “Manfaat Doa bagi Kehidupan Seorang Muslim” oleh Kementerian Agama Kota Magelang, yang menyatakan bahwa dalam berdoa, seorang hamba bermunajat kepada Tuhannya, mengakui kelemahan dan ketidakberdayaannya, serta mengungkapkan rasa butuhnya kepada Pencipta.[4]

Selain itu, doa juga dapat menjadi sumber ketenangan batin. Ketika seseorang menyerahkan segala urusan kepada Allāh ﷻ melalui doa, hati menjadi lebih tenang dan pikiran lebih fokus dalam berusaha mencapai tujuan. Ketenangan ini penting dalam menjaga konsistensi dan ketekunan dalam meraih mimpi.

Keterkaitan Doa dan Usaha

Islam mengajarkan keseimbangan antara doa dan usaha. Doa tanpa usaha adalah kesia-siaan, begitu pula usaha tanpa doa adalah kesombongan. Keterkaitan antara doa dan usaha dalam Islam sangat erat, dan keduanya saling melengkapi. Dalam Al-Qur’an, salahsatu ayat yang menunjukkan bahwa doa harus diiringi dengan usaha atau ikhtiar adalah dalam Al-Insyirah, Allāh ﷻ berfirman:

فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ، وَإِلَىٰ رَبِّكَ فَارْغَبْ.

“Maka apabila engkau telah selesai (dari sesuatu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan lain). Dan hanya kepada Tuhanmulah engkau berharap.” (QS. Al-Insyirah: [94]: 7-8).

Ayat ini menegaskan bahwa seorang Muslim harus tetap berusaha keras menyelesaikan setiap tugas dengan sebaik-baiknya. Setelah usaha dilakukan, seorang hamba harus menyerahkan hasilnya kepada Allāh ﷻ melalui doa dan tawakal.

Juga dalam hadits, Rasulullah ﷺ bersabda:

ادْعُوا اللَّهَ وَأَنْتُمْ مُوقِنُونَ بِالإِجَابَةِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ لاَ يَسْتَجِيبُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لاَهٍ.

Berdoalah kepada Allah dengan keyakinan akan dikabulkan, dan ketahuilah bahwa Allah tidak mengabulkan doa dari hati yang lalai.” (HR. Tirmidzi, no. 3479).

Hadis ini mengajarkan bahwa doa harus disertai dengan keyakinan dan kesungguhan, serta diiringi dengan usaha nyata. Artikel “Ikhtiar dan Doa” oleh Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta menekankan pentingnya berdoa sebelum dan sesudah berikhtiar, agar diberikan petunjuk dan keberkahan dalam usaha yang dilakukan.[5]

Doa dalam Mewujudkan Impian

Setiap impian memerlukan perencanaan dan tindakan konkret. Namun, dengan melibatkan doa dalam setiap langkah, seorang Muslim menunjukkan tawakal dan penyerahan diri kepada Allah SWT. Doa menjadi penguat jiwa saat menghadapi rintangan, serta pengingat bahwa ada kekuatan Maha Besar yang selalu menyertai.

Dalam artikel “Gunakan The Power of Dream” oleh narasipost, disebutkan bahwa kemampuan untuk bermimpi, berimajinasi, dan menetapkan tujuan yang ingin dicapai dalam hidup harus selalu dikaitkan dengan upaya meraih ridha Allāh ﷻ.[6] Dengan demikian, doa menjadi komponen vital dalam proses mewujudkan impian tersebut.

Penutup

Para ulama salaf sepakat bahwa doa adalah manifestasi dari ketergantungan manusia kepada Allāh ﷻ. Ia merupakan bentuk ibadah yang agung, mengandung zikir, pengharapan, dan penyerahan diri yang ikhlas. Selain itu, doa mencerminkan pengakuan tauhid, mengingat hanya Allah yang dapat memenuhi segala kebutuhan hamba-Nya.

Doa adalah energi tak terlihat yang memiliki kekuatan luar biasa dalam membantu seseorang meraih impian. Dengan memahami hakikat doa, menjadikannya sebagai sumber motivasi, serta mengintegrasikannya dengan usaha nyata, seorang Muslim dapat mencapai tujuan hidupnya dengan lebih bermakna. Semoga kita senantiasa menjadikan doa sebagai bagian tak terpisahkan dari setiap langkah dalam meraih mimpi, dengan keyakinan bahwa Allāh ﷻ selalu mendengar dan mengabulkan doa hamba-Nya yang bersungguh-sungguh.

* Dai Standardisasi MUI

Maraji’ :

[1] Ibnu Qayyim, Ad-Da’ wa Ad-Dawa’. Mesir: Dar Al-Fikr. 1992 M. Cet k-1. h. 18.

[2] Ibnu Taimiyyah, Majmu’ Al-Fatawa, Mesir: Darul fikr. 1980 M. Jilid 35, h. 11.

[3] Universitas Islam Indonesia. ”Menyelami Makna Hakikat Doa dalam Islam” https://www.uii.ac.id/menyelami-makna-hakikat-doa-dalam-islam/. Diakses pada 27 Januari 2025.

[4] Azizah Herawati. “Manfaat Doa bagi Kehidupan Seorang Muslim” https://magelang.kemenag.go.id/manfaat-doa-bagi-kehidupan-seorang-muslim/?utm_source=chatgpt.com. Diakses pada 27 Januari 2025.

[5] Prof. Dr. Masri Mansoer, MA. ”Ikhtiar dan Doa” https://www.uinjkt.ac.id/id/ikhtiar-dan-doa?. Diakses pada 27 Januari 2025.

[6] Isty Daiyah. “The Power of Dream” https://narasipost.com/motivasi/05/2024/the-power-of-dream/. Diakses pada 27 Januari 2025.

Download Buletin klik di sini

Memerdekakan Manusia

Memerdekakan Manusia

Fathurrahmân*

 

Bismillâhi walhamdulillâh wash shalâtu was salâmu ‘ala rasûlillâh,

Sahabat Ar Rasikh yang mencintai Allâh ﷻ dan semoga pula dicintai Allâh ﷻ. Bukalah kembali lembaran-lembaran buku sejarah tentang perjuangan para pahlawan kemerdekan Indonesia melawan penjajah. Tidak sedikit kalimat takbir sebagai simbol kekuatan iman, yang digunakan saat melawan penjajah sebagai seruan heroik untuk membangkitkan semangat dan keberanian rakyat. “Allâhu Akbar” yang bermakna Allâh ﷻ lebih besar dari segala sesuatu (selain Allâh ﷻ), termasuk segala kekuatan duniawi, kekuatan militer penjajah dan lainnya.

Syaikh Muhammad Shalih Al ‘Utsaimin menjelaskan makna lafadz “Allâhu Akbar”,

مَعْنَاهَا: أَنَّ اللهَ تَعَالَى أَكْبَرُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ فِي ذَاتِهِ وَ أَسْمَائِهِ وَ صِفَاتِهِ وَ كُلِّ مَا تَحْتَمِلُهُ هَذَهِ الْكَلِمَةُ مِنْ مَعْنَى

“Maknanya adalah bahwa Allah Ta’ala lebih besar dari segala sesuatu, dalam Dzat, nama-nama dan sifat-sifat-Nya serta seluruh makna yang tercakup di dalam lafadz ini”[1]

Para pejuang kaum Muslimin meninggikan suara takbir “Allâhu Akbar!” dalam pertempuran untuk membakar semangat melawan Inggris. Menjadikan takbir simbol kekuatan spiritual (tauhid) dan peneguh hati dalam perjuangan memerdekakan manusia. Pada akhirnya mereka hanya patuh dan tunduk kepada Yang Maha Esa Allâh ﷻ yang telah menganugerahkan kemerdekaan ini.

Merdeka itu Tidak Tunduk Pada Makhluk

Ketahuilah memerdekakan manusia berarti membebaskan diri dari pelbagai belenggu ketundukan kepada selain Allâh ﷻ dan mengakui hanya Allâh ﷻ sesembahan yang berhak diibadahi dengan benar. Ketika seseorang menghambakan diri kepada selain Allâh ﷻ, maka pada hakikatnya ia telah memperbudak dirinya, menjadi manusia yang terjajah, terkekang, terbelenggu dan tidak bebas. Islam datang dalam rangka memerdekakan manusia menjadi manusia mulia.

Memerdekakan manusia berarti tidak menghambakan pada makhluk; orang saleh, malaikat, benda-benda yang diagungkan dan semisalnya. Perhatikan tatkala kita membaca lembaran-lembaran firman Allâh ﷻ dalam Al Qur’an. Maka perintah pertama yang akan kita dapatkan adalah perintah untuk menyembah kepada Allâh ﷻ semata. Allâh ﷻ berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ. الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelum kamu, agar kamu bertakwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu. Karena itu, janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al Baqarah [2]: 21-22)

Dalam ayat ini, ketika memerintahkan manusia agar beribadah kepada-Nya semata, Allâh ﷻ berdalil bahwa Dia-lah satu-satunya Dzat yang telah memelihara mereka dengan berbagai jenis kenikmatan, yang telah menciptakan mereka setelah sebelumnya tidak ada, dan memberikan nikmat kepada mereka dengan nikmat dzahir maupun batin. Sehingga Allâh ﷻ pun melarang manusia untuk mengadakan sekutu-sekutu bagi Allâh ﷻ dari para makhluk-Nya, sehingga mereka menyembahnya sebagaimana menyembah Allâh ﷻ dan mencintainya sebagaimana mencintai Allâh ﷻ. Padahal sesembahan-sesembahan selain Allâh ﷻ itu juga makhluk yang diberi rezeki dan dipelihara oleh Allâh ﷻ, tidak memiliki sedikit pun di langit maupun di bumi, dan mereka juga tidak mampu mendatangkan manfaat atau menolak bahaya.[2]

Merdeka Itu Mengesakan

Memerdekakan manusia berarti mentauhidkan Allah yang merupakan hak Allah yang wajib kita tunaikan. Dari Mu’adz bin Jabal, Nabi ﷺ bersabda:

يَامُعَاذُ ، أَتَدْرِيْ مَا حَقُّ اللهِ عَلَى الْعِبَادِ ، وَمَا حَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللهِ ؟ قُلْتُ : اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ ؛ قَالَ : حَقُّ اللهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوْهُ وَلَا يُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا ، وَحَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللهِ أَنْ لَا يُعَذِّبَ مَنْ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا. قُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ ، أَفَلَا أُبَشِّرُ النَّاسَ ؟ قَالَ : لَا تُبَشِّرْهُمْ فَيَتَّكِلُوْا

“Wahai Mu’adz! Tahukah Engkau apa hak Allah yang wajib ditunaikan oleh para hamba? Dan apa hak para hamba yang akan ditunaikan oleh Allah? Mu’adz menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”. Beliau bersabda, “Hak Allah yang wajib ditunaikan oleh para hamba-Nya ialah mereka beribadah hanya kepada-Nya semata dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Sedangkan hak para hamba yang akan ditunaikan oleh Allah ialah bahwa Allah tidak akan mengadzab orang yang tidak berbuat syirik sedikit pun”. Mu’adz bertanya, “Wahai Rasûlullah! Apakah kabar gembira ini sebaiknya aku sampaikan kepada orang-orang?” Nabi menjawab, “Jangan sampaikan! Aku khawatir mereka akan mengandalkan hal ini saja (sehingga tidak beramal).” (HR. Bukhari no. 2856 dan Muslim no. 30)

Merdeka Itu Mempersembahkan Ibadah Pada Yang Berhak

Memerdekakan manusia berarti mempersembahkan segala bentuk ibadah hanya kepada Allâh ﷻ semata dan meninggalkan semua bentuk ibadah kepada selain Allâh ﷻ. Karena tujuan kita diciptakan oleh Allâh ﷻ di dunia ini adalah agar kita mentauhidkan-Nya. Allâh ﷻ berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ مَا أُرِيدُ مِنْهُمْ مِنْ رِزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَنْ يُطْعِمُونِ إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ

“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezeki yang mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.” (QS. adz-Dzariyat [51]: 56-58)

Menikmati Kemerdekaan dengan Ketaatan

Beginilah cara menikmati kemerdekaan dengan ketaatan kepada Allâh ﷻ Pemilik langit dan bumi berserta isinya, dan inilah cara memerdekakan manusia. Maka syukurilah setiap ketaatan yang Allâh ﷻ berikan kepada hamba pilihan yang dikehendaki-Nya untuk menikmati kemerdekaan. Tidak semua orang mendapatkan nikmat kemerdekaan yang sesungguhnya.

Bersyukur adalah cara paling tepat menikmati kemerdekaan. Hakikat syukur menurut Ibnul Qayyim v adalah,

الثَّنَاءُ عَلَى النِّعَمِ وَمَحَبَّتُهُ وَالعَمَلُ بِطَاعَتِهِ

“Memuji atas nikmat dan mencintai nikmat tersebut, serta memanfaatkan nikmat untuk ketaatan.”[3]

Abu Hazim menjelaskan,

وَأَمَّا مَنْ شَكَرَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يَشْكُرْ بِجَمِيْعِ أَعْضَائِهِ : فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ رَجُلٍ لَهُ كَسَاءِ فَأًَخَذَ بِطَرْفِهِ ، فَلَمْ يَلْبَسْهُ ، فَلَمْ يَنْفَعْهُ ذَلِكَ مِنَ البَرَدِ ، وَالحَرِّ ، وَالثَّلْجِ ، وَالمَطَرِ” .

“Siapa saja yang bersyukur dengan lisannya, namun tidak bersyukur dengan anggota badan lainnya, itu seperti seseorang yang mengenakan pakaian. Ia ambil ujung pakaian saja, tidak ia kenakan seluruhnya. Maka pakaian tersebut tidaklah manfaat untuknya untuk melindungi dirinya dari dingin, panas, salju dan hujan.”[4]

 

* Ketua Dewan Masjid Indonesia Ranting Sardonoharjo Ngaglik

Maraji’ :

[1] Muhammad Shalih Al ‘Utsaimin. Syarhul Mumti’ 3/28.

[2] Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di. Taisir Karimir Rahman, h. 45.

[3] Ibnul Qayyim. Thariq Al Hijratain. h. 508.

[4] Ibu Rajab. Jami’ Al ‘Ulum wa Al-Hikam. 2:84. Disebutkan dalam Muhammad Abduh Tuasikal. “Cara Kita Bersyukur”. https://rumaysho.com/28995-cara-kita-bersyukur-jika-tidak-memenuhi-rukun-syukur-ini-tidak-disebut-bersyukur.html. Diakses pada 28 Agustus 2025.

Download Buletin klik di sini