Menyiapkan Ruang Ikhlas Dalam Menggapai Ridha Allāh

Menyiapkan Ruang Ikhlas Dalam Menggapai Ridha Allāh

Uun Zahrotunnisa*

 

Bismillāhi wal ḥamdulillāh, waṣ ṣalātu was salāmu ‘alā rasūlillāhi, wa ba’du,

Sahabat Ar Rasikh yang diberkahi Allâh ﷻ, manusia dihadapkan pada dua pilihan yakni, menghindari atau menghadapi cobaan yang Allāh ﷻ berikan. Manusia yang berfikir akan meyakini bahwa Allāh ﷻ tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya[1]. Manusia dianjurkan untuk tidak berputus asa dari rahmat-Nya[2], karena cobaan termasuk bentuk rahmat Allāh ﷻ. Setiap cobaan tentu ada hikmah untuk menjadikan manusia berbenah, maka salah satu jalannya adalah dengan menyiapkan ruang ikhlas dalam perjalan hidup menggapai ridha Allāh ﷻ, menanamkan rasa, menerima, dan menghadapinya.

Mengulas Makna Ikhlas

Ikhlas dalam bahasa Arab merupakan bentuk masdar (kata dasar) dari akhlasa-yukhlisu-ikhlasun yang artinya murni, bersih, jernih, bebas dari sesuatu, tidak bercampur dengan sesuatu yang lainnya.  Ikhlas menurut beberapa ulama Al Ghazali dimaknai sebagai suatu amalan yang dilakukan demi mengharapkan surga dari Allāh ﷻ.[3]

Menurut Abu Thalib al-Makki, ikhlas merupakan pemurnian agama dari hawa nafsu dan perilaku yang menyimpang, pemurnian amal dari berbagai macam penyakit dan noda yang tersembunyi, pemurnian dari kata-kata yang tidak bermanfaat, serta pemurnian budi pekerti sesuai dengan kehendak Allāh ﷻ.[4]

Dapat disimpulkan bahwa makna ikhlas adalah wujud dari kesucian hati dalam beribadah dan beramal semata-mata karena mengharap ridha dari Allāh ﷻ, berorientasi pada cerminan batin dalam rangka beribadah kepada Allāh ﷻ, serta menghindarkan hati dari perbuatan yang tidak disukai Allāh ﷻ.

Ikhlas ialah, menghendaki keridhaan Allāh ﷻ dalam suatu amal, membersihkannya dari segala individu maupun duniawi. Tidak ada yang melatarbelakangi suatu amal, kecuali karena Allah dan demi hari akhirat. Tidak ada noda yang mencampuri suatu amal.

Landasan niat yang ikhlas adalah memurnikan niat karena Allāh ﷻ semata. Setiap bagian dari perkara duniawi yang sudah mencemari amal kebaikan, sedikit atau banyak, dan apabila hati kita bergantung kepadanya, maka kemurniaan amal itu ternoda dan hilang keikhlasannya. Karena itu, orang yang jiwanya terkalahkan oleh perkara duniawi, mencari kedudukan dan popularitas, maka tindakan dan perilakunya mengacu pada sifat tersebut, sehingga ibadah yang ia lakukan tidak akan murni, seperti shalat, puasa, menuntut ilmu, berdakwah dan lainnya.[5]

Klasifikasi Tingkat Keikhlasan

Seseorang dapat dikatakan memiliki rasa ikhlas apabila perbuatan yang dilakukan diniatkan semata-mata hanya mengharap ridha dari Allāh ﷻ. Keikhlasan memiliki beberapa tingkatan, dua diantaranya adalah khawas dan khawas al khawas.[6]

Tingkatan ikhlas khawas adalah bentuk ikhlas yang mana seorang hamba tidak akan mengharapkan apapun dari Allāh ﷻ setelah melakukan kebaikan dengan tujuan murni hanya ingin mendekatkan diri kepada Allāh ﷻ.

Contohnya, suatu hari dalam perjalanan seorang mukmin yang akan mendirikan salat Jum’at di masjid tidak sengaja bertemu dengan seorang pengemis yang meringis kelaparan dan meminta uang untuk membeli makan, kemudian mukmin tersebut memberinya uang dengan harapan pengemis tersebut tidak lagi kelaparan. Sesampainya di masjid mukmin tersebut kemudian berdo’a apabila ia menyedekahkan sebagian hartanya untuk fakir miskin adalah sebagai bentuk penghambaan diri kepada Allāh ﷻ tanpa mengharapkan apapun.

Allāh ﷻ berfirman,

إِنَّآ أَخْلَصْنَٰهُم بِخَالِصَةٍ ذِكْرَى ٱلدَّارِ

Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang Tinggi, yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat.” (QS. Shād [38]: 46).[7]

Kemudian tingkatan ikhlas kedua yaitu khawas al khawas, merupakan sikap ikhlas yang mana dilakukan oleh seorang hamba yang menyerahkan seluruh keputusan dari usaha yang dilakukan berdasarkan pada ketetapan Allāh ﷻ.

Contoh, seorang mahasiswa memiliki cita-cita ingin mendapatkan nilai yang sempurna dalam ujian akhir semester, lalu ia berusaha dengan ikhtiar belajar dengan tekun, kemudian ia berdo’a untuk menyerahkan hasil ikhtiarnya kepada Allāh ﷻ karena ia sadar bahwa hasil dari ikhtiar yang selama ini diusahakan sepenuhnya akan menjadi kehendak Allāh ﷻ.

Kesadaran itu kemudian yang akan memberikan pemahaman kepada diri seseorang bahwa segala sesuatu adalah milik Allāh ﷻ dan sudah menjadi keputusan final bagi Allāh ﷻ. Sehingga, tugas manusia adalah melakukan ikhtiar dengan sebaik-baiknya. Ikhlas merupakan salah satu bukti keagungan Allāh ﷻ dalam mengajarkan kepada hamba-Nya, bahwa sesungguhnya ikhlas merupakan bentuk dari penguatan ajaran ketauhidan (keesaan) kepada Allāh ﷻ yang tertanam dalam hati umat Islam.

Keikhlasan sebagai Kunci Mendapat Ridha Allāh

Bentuk penghambaan dari seorang muslim dapat terlihat bagaimana seseorang dapat memaknai keikhlasan itu sendiri. Keikhlasan tidak hanya berbicara soal memberi, menerima dan merelakan apa yang seharusnya menjadi kepemilikan pribadi menjadi milik orang lain. Keikhlasan mengajarkan manusia merenungi dan meyakini bahwa Allāh ﷻ adalah sebenar-benar pemilik dan berkuasa atas dunia dan seisinya.

Apapun dan kapanpun Allāh ﷻ berkehendak, maka sesuatu yang awalnya dimiliki oleh seseorang itu kemudian dapat beralih, sesuatu yang awalnya ada menjadi tidak ada, semua itu tidak ada yang tidak mungkin terjadi. Dengan kebesaran-Nya semua akan terjadi diluar prediksi manusia. Itulah sebabnya kita mengenal istilah sebaik – baiknya manusia merencaknakan, tuhan yang menentukan. Ketika seorang mukmin memiliki niat yang baik yaitu ingin memuliakan saudaranya dengan ikhtiar yang dimiliki, terkadang Allāh ﷻ tidak mewujudkan niat baik tersebut.

Hikmahnya adalah bisa saja Allāh ﷻ sedang menghindarkan kita dari sesuatu yang tidak baik. Manusia tidak diajarkan untuk mengulik setiap sebab dari tidak terwujudnya rencana manusia, akan tetapi manusia diajarkan untuk mengambil hikmah dari setiap ketentuan yang Allāh ﷻ tetapkan. Agar senantiasa mengingat bahwa dunia itu fana, dan rasa ikhlas adalah ruang yang dapat membuat hati manusia tenang tanpa memikirkan apa yang bukan menjadi ranah manusia.

* Alumni Program Studi Ahwal Syakhshiyah Universitas Islam Indonesia Yogyakarta

Maraji’ :

[1] QS Al-Baqarah [2]: 286.

[2] QS. Az Zumar [39]: 53.

[3] Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin. Jakarta: C.V. Faizan, 1989., h. 61.

[4] Lu’lu’atul Chizanah, Ikhlas, Prososial? Studi Komparasi Berdasar Caps, dalam Jurmal Psikologi Islam, Vol. 8, No. 2 (Tahun 2011), h. 146.

[5] Yazid bin Abdul Qadir Jawas. “Pengertian Ikhlas”. https://almanhaj.or.id/11937-pengertian-ikhlas-2.html. Diakses pada 1 Juli 2025.

[6] Ikhlas dalam Perspektif Al-Qur’an (Analisis Terhadap Konstruk Ikhlas Melalui Metode Tafsir Tematik), Taufiqurrohman, Eduprof: Islamic Education Journal, 280.

[7] K. A. RI, Al-Qur’an Terjemahan dan Tajwid, 1 ed. Bandung: Sygma Creative Media Corps, 2014.

Download Buletin klik di sini

Anakmu juga Butuh Kasih Sayangmu

Anakmu juga Butuh Kasih Sayangmu

Nur Laelatul Qodariyah*

 

Sahabat ar Rasikh yang diberkahi Allāh ﷻ, anak merupakan salah satu berkah yang diberikan Allāh ﷻ, kepada sesiapa yang dikehendakinya. Anak juga bukan ajang untuk dijadikan alat investasi di hari tua atau bisa kita sebut di zaman modern ini adalah generasi sandwich. Berbakti kepada orang tua itu memang wajib, bukan berarti sebagai anak lupa akan jasa orang tua yang telah merawat kita.

Anak Butuh Kasih Sayang

Anak juga membutuhkan kasih sayang terhadap kedua orang tuanya, kadang anak hanya disuruh meminta maaf kepada orang tua tetapi orang tua tidak pernah meminta maaf atau mengajarkan kenapa kita harus saling meminta maaf ketika salah. Hal ini sangat penting sekali sebagai orang tua, karena jika di posisi tersebut anak akan merasa dirinya tertekan dan merasa rendah-serendahnya bentakannya akan serasa ancaman baginya, padahal mungkin niatnya baik. Karena sikap orang tua adalah cerminan terhadap anaknya kelak.

Islam tidak memisahkan antara pendidikan dan kasih sayang. Bahkan kasih sayang adalah pilar utama dalam tarbiyah (pendidikan). Anak-anak akan lebih mudah menerima nasihat, disiplin, dan nilai-nilai agama bila dibalut dengan cinta bukan amarah.

Bagaimana Rasūlullāh ﷺ mengasuh dua anak kecil, Usamah bin Zaid dan Al-Hasan bin Ali dengan asuhan cinta. Dari Usamah bin Zaid dari Nabi ﷺ bahwa beliau memeluk dirinya dan Al-Hasan lalu bersabda,

اللَّهُمَّ إِنِّي أُحِبُّهُمَا فَأَحِبَّهُمَا أَوْ كَمَا قَال

“Ya Allah, sungguh aku mencintai keduanya maka itu cintailah keduanya”, atau sebagaimana beliau sabdakan” (HR. Al-Bukhari).[1]

Anakmu juga butuh kasih sayang, tidak terlepas dari sibuknya urusan pekerjaan sehingga kurangnya kasih sayang anak kepada orang tuanya, kadang orang tua yang berada di rumah pun lupa bagaimana cara memberikan kasih sayangnya kepada anak-anaknya. Untuk bisa mendidik dan memberikan kasih sayang pada anak tidak cukup dengan kehadiran fisik orang tua. Tetapi dengan adanya hadirnya fisik tersebut kemudian didukung oleh kedekatan dan kehangatan dalam keluarga bisa memenuhi kebutuhan kasih sayang yang dalam kepada anak.[2]

Kadang bentakan atau nasihat yang dilontarkan orang tua kepada anak membuat anak merasa itu adalah sesuatu yang menakutkan jika dilakukan, memang baik tujuan dari nasihat tersebut, tetapi malah hal itu membuat mental anak menjadi lemah dan kurang percaya diri. Sebagai orang tua memberikan edukasi selembut-lembutnya adalah cara yang baik untuk diajarkan. Jika anak salah jangan membuat anak itu semakin bersalah dengan rasa amarah atau bentakan, tetapi gunakan kajadian tersebut dengan berdialog dan menjelaskan akibat dan sebab tanpa harus menggurui anak tersebut.

Jangan sampai anak kita sendiri curhat kepada orang lain tetapi sangat tertutup dengan kita sebagai orang tua, itu sangat berbahaya sekali. Kita sebagai orang tua harusnya memberikan rasa aman, ketika ada sesuatu kejadian dan bisa terbuka satu sama lainnya. Itulah yang membuka rasa kasih dan sayang terhadap orang tua dan anak.

Memberi Kasih Sayang Tanpa Syarat

Rasūlullāh ﷺ, memerintahkan kepada orang tua untuk menjadi suri teladan dengan bersikap baik dan berperilaku jujur kepada anak. Apabila anak-anak melihat kedua orangtuannya bersikap jujur maka anak akan tumbuh dengan kejujuran dan seterusnya. Dan kemudian anak-anak akan bertanya jika orang tua melakukan sesuatu alasan dan sebab, itu semua karena proses dari pertumbuhan anak-anak.

Begitu pula jika orang tua melaksanakan salat-salat sunnah dan mematuhi sunnah-sunnah Rasūlullāh ﷺ. Menurut Marhijanto (1998), anak akan menjadi saleh jika yang membesarkannya juga saleh, apapun perkembangan anak, anak-anak dipengaruhi oleh tingkah laku kedua orang tua dalam keluarga. Jika ayah dan ibu sering berbicara kotor maka anakpun akan mudah berkata kotor.

Dari Ibnu Abbas, ia berkata, Rasūlullāh ﷺ bersabda,

عَلِّمُوا، وَيَسِّرُوا، وَلَا تُعَسِّرُوا، وَإِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْكُتْ.

Ajarilah, permudahlah, jangan engkau persulit, berilah kabar gembira, jangan kau beri ancaman. Apabila salah seorang dari kalian marah, hendaknya diam.” (HR. Ahmad, hasan lighairihi).[3]

Dari hadits diatas dapat memberikan kita pelajaran bahwa, setiap ancaman, gertakan, amarah tidak selalu berdampak baik pada perkembangan anak, semakin sering menggunakan metode itu anak akan semakin tertekan.

Daripada membentak beritahu dengan selembut-lembutnya, arahkan anakmu karena dia samasekali tidak tahu dengan apa yang dilakukannya. Kelola emosinya beritahu kenapa melakukan ini tidak boleh. Namun jangan pernah mengancamnya dan membuat dia takut tanpa kecuali jika sudah diberitahu berkali-kali itupun kurang pas jika mengancam seorang anak kecil yang belum tahu apapun tentang dunia ini.

Memberi Waktu Yang Tepat dalam Melakukan Pengarahan

Kedua orang tua harus memastikan waktu yang tepat untuk memberi pengarahan dan pengertian kepada anak, karena waktu yang tidak tepat dalam memberikan pengarahan maka akan menjadi angin belaka yang tidak akan dicerna anak-anak. Contoh simpelnya jangan memberikan nasihat kepada anak yang marah, karena yang mereka butuhkan bukan nasihat atau arahan namun pengertian dalam kondisi tersebut anak tidak akan pernah menerima nasihat kita dan akan jadi sia-sia dan akibatnya malah diluar ekspektasi kita sebagai orang tua. Rasūlullāh ﷺ mempersembahkan kepada kita ketiga waktu yang cocok untuk memberikan pengarahan kepada anak-anak;[4] yaitu Dalam perjalanan, waktu makan, waktu anak sakit.

Bersikap Adil Terhadap Anak-Anak

Kadang-kadang anak merasa dirinya tidak disayang lebih daripada saudaranya, dengan hal ini orangtua harus konsisten dan adil dalam memberikan sesuatu kepada anak-anaknya entah itu perhatian atau lain-lainnya, karena hal ini sangat berpengaruh terhadap sikap bakti dan ketaatan anak kepada orangtuanya. Rasūlullāh ﷺ, sendiri melarang keras kepada orangtua yang tidak adil kepada anak-anaknya itu. oleh sebab itu tidak ada hentinya belajar walaupun sudah memiliki anak, jangan pernah merasa dewasa karena sudah memiliki anak sehingga apapun yang dilakukan terasa benar. Tapi belajarlah sampai kamu tau betapa pentingya memiliki anak telah terpenuhi kasih sayangnya terhadap orangtuanya.

* Alumni Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia.

Maraji’ :

[1] Sa’id Abu Ukkasyah (2016) “Sepuluh Bahasa Cinta dalam Mendidik Anak.” https://muslim.or.id/29129-sepuluh-bahasa-cinta-dalam-mendidik-anak-4.html. Diakses pada 23 Juni 2025.

[2] Tim siap nikah, “ Ingat! Bukan Cuma Materi, Anak Juga Butuh Kasih Sayang” dikutip dari siapnikah.org diakses pada tanggal 23 Juni 2025

[3] Herawati, Kamisah, “Mendidik Anak Ala Rasulullah (Propethic Parenting)”, Journal of Education Science (JES)

[4] Herawati, Kamisah, “Mendidik Anak Ala Rasulullah. h. 36.

Download Buletin klik di sini

Tak Menjadi Pelit Meski di Masa Sempit

Tak Menjadi Pelit Meski di Masa Sempit

Erry Satya P.*

 

Di tahun 2025 ini, kita dihadapkan pada kondisi ekonomi global yang penuh ketidakpastian. Konflik antar negara yang tak kunjung reda, disertai perang dagang antar negara adidaya, telah mengguncang stabilitas ekonomi dunia. Di dalam negeri, situasi pun tak kalah mencemaskan. Pemberitaan mengenai gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang kian masif membuat para pekerja hidup dalam bayang-bayang kecemasan.[1] Masyarakat kelas menengah dan bawah yang selama ini bertahan, semakin terdesak oleh kenaikan harga kebutuhan pokok.

Biaya hidup melonjak, sementara daya beli masyarakat kian melemah. Kondisi ini membuat banyak orang merasa seolah tak ada ruang bernapas, terhimpit oleh beban ekonomi yang semakin berat. Di tengah suasana yang penuh ketidakpastian, masih adakah ruang dalam diri kita untuk tetap berbagi atau bersedekah dengan sesama? Pertanyaan ini juga semakin mengemuka di tengah maraknya tren frugal living sebagai respons atas kesempitan ekonomi tersebut.[2]

Mewaspadai Tipu Daya Setan, Sifat Kikir lagi Pelit

Sesungguhnya apabila kita cermati, setan tidak pernah mengenal kata lelah untuk menjauhkan manusia dari perbuatan baik. Jika ia gagal menggoda manusia untuk menyekutukan Allāh ﷻ atau bermaksiat, maka jurus kedua adalah menghalanginya untuk menambah pundi-pundi amal saleh.[3]

Salah satu tipu daya setan yang kerap dihembuskan kepada manusia di masa sulit adalah ketakutan akan kekurangan harta dan kemiskinan. Terlebih setan paham betul bahwa manusia memiliki kecenderungan bersifat kikir.

Sebagaimana Allāh ﷻ berfirman,

إِنَّ ٱلْإِنسَـٰنَ خُلِقَ هَلُوعًا.  إِذَا مَسَّهُ ٱلشَّرُّ جَزُوعًا. وَإِذَا مَسَّهُ ٱلْخَيْرُ مَنُوعًا

“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat gelisah. Apabila ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila mendapat kebaikan ia amat kikir.” (QS. Al-Ma’arij [70]: 19–21)

Dalam ayat ini, Allāh ﷻ berupaya menunjukkan beberapa tabiat buruk manusia yakni condong kepada kekikiran, mencintai harta, dan mengingkari nikmat.[4] Meski demikian sifat tersebut sejatinya dapat dilawan dengan berbekal keyakinan, ketakwaan, dan pembiasaan beramal saleh.

Di ayat lain, Allāh ﷻ mengingatkan akan tipu daya setan ini,

ٱلشَّيْطَٰنُ يَعِدُكُمُ ٱلْفَقْرَ وَيَأْمُرُكُم بِٱلْفَحْشَآءِ ۖ وَٱللَّهُ يَعِدُكُم مَّغْفِرَةً مِّنْهُ وَفَضْلًا

“Setan menjanjikan (menakut-nakuti kamu dengan) kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat keji, sedangkan Allah menjanjikan ampunan dan karunia dari-Nya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 268)

Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir menekankan bahwa setan memiliki misi untuk menghalangi manusia dari kebaikan. Dalam konteks ayat ini, setan menakut-nakuti manusia dengan kemungkinan kemiskinan jika mereka bersedekah atau berinfak. Setan memengaruhi hati manusia agar mereka berpikir bahwa harta yang dikeluarkan tidak akan tergantikan, sehingga manusia memilih kikir atau enggan berinfak.[5]

Membiasakan Berbagi Dari Hal Yang Kecil

Ketika kita sudah menyadari jebak tipu daya setan serta kecenderungan sifat manusia tersebut, maka kita juga perlu mengambil langkah untuk menyiasatinya. Merujuk pada ilmu psikologi kognitif, perilaku manusia diyakini dapat diarahkan sesuai dengan yang diinginkan melalui latihan bertahap secara kontinyu.[6]

Menurut pemerhati psikologi Islam, Indra Kusuma, secara psikologis, sikap pelit lahir dari adanya mentalitas kelangkaan. Dasarnya, hal tersebut berbasis pada rasa takut atas kekurangan sesuatu. Sehingga seakan dia kekurangan, dia seolah-olah hanya memiliki sesuatu yang terbatas.[7]

Oleh karena itu, agar kita tidak berat dalam berbagi, maka tanamkanlah perilaku untuk memulainya mulai dari hal-hal kecil namun dilakukan setiap hari. Berdonasi setiap selesai salat shubuh, memberi tip kepada pengemudi ojek daring, maupun berbagi masakan kepada tetangga bisa menjadi langkah awal yang bisa kita tempuh. Jangan lupa, selalu niatkan amal tersebut semata-mata untuk mencari ridha Allāh ﷻ. agar kita semakin dikuatkan oleh-Nya.

Selain itu, bukankah Allāh ﷻ mencintai hamba-Nya yang istiqamah dalam beramal meski nilainya masih sedikit atau belum banyak. Sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadits, dari Aisyah, Rasūlullāh ﷺ bersabda,

أَحَبُّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ

“Amal yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling terus-menerus (kontinu/istiqamah), walaupun sedikit.” (HR. Bukhari no. 6464, Muslim no. 783)

Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitabnya Fath al-Bari juga menjelaskan, dengan melakukan amal secara rutin meskipun sedikit maka akan berkesinambunganlah ketaatan dalam bentuk dzikir, merasa diawasi oleh Allāh ﷻ, menjaga keikhlasan, dan hati senantiasa terhubung kepada Allāh ﷻ. Berbeda halnya dengan amal yang sekaligus banyak dan berat. Hingga sesuatu yang sedikit tetapi rutin lebih cepat penambahannya daripada banyak tetapi terputus.[8]

Meminta Perlindungan Allāh dari Sifat Kikir

Ketika sudah meniatkan diri untuk istiqamah berbagi, lengkapi ikhtiar kita dengan senantiasa meminta perlindungan kepada Allāh ﷻ. Seperti dicontohkan Rasūlullāh ﷺ riwayat Abu Dawud, Hasan Shahih, di mana beliau berdoa,

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ الْجُبْنِ وَالْبُخْلِ

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari rasa gelisah dan sedih, dari kelemahan dan kemalasan, dari sifat pengecut dan bakhil (kikir)…”

Selalu membersamai amal kita dengan doa ini merupakan wujud keyakinan akan kuasa Allāh ﷻ serta kepasrahan diri bahwa manusia selalu membutuhkan pertolongan-Nya.

Penutup

Allāh ﷻ berfirman,

وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَيْءٍۢ مِّنَ ٱلْخَوْفِ وَٱلْجُوعِ وَنَقْصٍۢ مِّنَ ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِ ۗ وَبَشِّرِ ٱلصَّٰبِرِينَ

“Dan sungguh akan Kami uji kalian dengan sedikit rasa takut, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah [2]: 155)

Berkaca pada ayat di atas, sesungguhnya ujian kesempitan hidup dalam hal ekonomi adalah bagian dari sunnatullāh untuk menguji hamba-hamba-Nya. Melalui ujian kesempitan, bukan berarti menjadi pembenar bagi diri kita untuk menjadi kikir dan menunda-nunda berbagi terhadap sesama. Namun demikian, dengan istikamah berbagi berlandaskan niat ikhlas, kita dengan sadar meyakini bahwa Allāh ﷻ dengan kuasa-Nya akan mencukupkan rezeki kita.  Semoga Allāh ﷻ senantiasa meringankan hati kita untuk istiqamah berbagi meski hidup sedang dilanda kesempitan.

* Tenaga Kependidikan FTI UII

Maraji’ :

[1] M. Tatam Wijaya (2024). “Sifat dan Tabiat Buruk Manusia dalam Al-Quran.” https://nu.or.id/tasawuf-akhlak/sifat-dan-tabiat-buruk-manusia-dalam-al-quran-gXrYV. Diakses pada 11 Mei 2025.

[2] Sarini (2025). “Apa Bedanya Frugal Living dan Pelit?https://rri.co.id/lain-lain/1229490/apa-bedanya-frugal-living-dan-pelit. Diakses pada 11 Mei 2025.

[3] Muhammad Abduh Tuasikal (2016). “6 Tahapan Setan Menyesatkan Manusia.” https://rumaysho.com/12973-6-tahapan-setan-menyesatkan-manusia.html. Diakses pada 11 Mei 2025.

[4] M. Tatam Wijaya (2024). “Sifat dan Tabiat Buruk Manusia dalam Al-Quran.” https://nu.or.id/tasawuf-akhlak/sifat-dan-tabiat-buruk-manusia-dalam-al-quran-gXrYV. Diakses pada 9 Mei 2025.

[5] Hidayatullah.com (2024). “Rintangan dalam Bersedekah: Tafsir Surat Al-Baqarah:268.” https://hidayatullah.com/kajian/2024/12/09/285936/rintangan-dalam-bersedekah-tafsir-surat-al-baqarah268.html. Diakses pada 9 Mei 2025.

[6] Siloam Hospitals (2024). “Mengenal Terapi Perilaku Kognitif untuk Atasi Masalah Mental.” https://www.siloamhospitals.com/informasi-siloam/artikel/apa-itu-terapi-perilaku-kognitif. Diakses pada 9 Mei 2025.

[7] Imas Damayanti (2022). “Sikap Pelit, ini Penjelasan Secara Psikologis.” https://khazanah.republika.co.id/berita/re0bwy313/sikap-pelit-ini-penjelasan-secara-psikologis. Diakses pada 9 Mei 2025.

[8] Bahron Ansori (2020). “Melestarikan Amal Kebaikan.” https://minanews.net/melestarikan-amal-kebaikan/. Diakses pada 9 Mei 2025.

Download Buletin klik di sini

Menjaga Lisan, Menjaga Kehormatan

Menjaga Lisan, Menjaga Kehormatan

Muhammad Ardan Halim*

 

Bismillāhi wal amdulillāh, waṣ ṣalātu was salāmu ‘alā rasūlillāhi, wa ba’du,

Lisan adalah nikmat besar dari Allah, tetapi bisa menjadi sumber petaka bila tak dijaga. Banyak orang tergelincir ke dalam dosa bukan karena perbuatannya, melainkan karena ucapannya. Dalam Islam, menjaga lisan merupakan bagian penting dari akhlak seorang Muslim.

Dari Abu Hurairah, Rasūlullāh ﷺ bersabda,

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ﷺ قَالَ: مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أَوْ لِيَصْمُتْ،

Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR. Bukhari, no. 6018, 6019, 6136, 6475 dan Muslim, no. 47)[1]

Imam Nawawi menjelaskan bahwa menurut Imam Syafi’i, seseorang sebaiknya berpikir sebelum berbicara. Jika ucapan itu diyakini tidak membawa mudharat, maka boleh disampaikan. Namun jika berpotensi merugikan atau menimbulkan keraguan, lebih baik diam. Sebagian ulama bahkan berkata, “Andai kalian yang membiayai tinta malaikat pencatat amal, tentu kalian akan lebih banyak diam daripada bicara.”[2]

Maka setiap kata yang keluar akan dicatat oleh malaikat, dan akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat. Allāh ﷻ berfirman,

مَّا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ

“Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qāf [50]: 18)

Dalam tafsir ringkas Kementerian Agama RI terkait ayat di atas, dijelaskan bahwa tidak ada suatu kata yang diucapkannya, yang mengandung kebaikan maupun kejahatan, melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap mencatat dengan sangat teliti.[3] Hal ini menegaskan bahwa menjaga lisan bukan hanya soal etika, tetapi merupakan bentuk tanggung jawab keimanan yang harus dijaga setiap saat.

Bahaya Lisan yang Tidak Dijaga

Lisan yang tak dijaga bisa menyebabkan dosa besar. Ghibah, fitnah, ucapan kasar, dan dusta, bukan hanya merusak kehormatan diri, tetapi juga memicu permusuhan dan konflik sosial. Dalam masyarakat, tak sedikit perpecahan yang berawal dari ucapan yang tidak dijaga.[4]

Dari Abu Hurairah, ia berkata,

سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ الْجَنَّةَ فَقَالَ، تَقْوَى اللَّهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ. وَسُئِلَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ فَقَالَ، الْفَمُ وَالْفَرْجُ.

Rasūlullāh ditanya mengenai perkara yang banyak memasukkan seseorang ke dalam surga, beliau menjawab, “Takwa kepada Allah dan berakhlak yang baik.” Beliau ditanya pula mengenai perkara yang banyak memasukkan orang dalam neraka, jawab beliau, “Perkara yang disebabkan karena mulut dan kemaluan.” (HR. Tirmidzi no. 2004 dan Ibnu Majah no. 4246).[5]

Hadits ini menjadi peringatan keras bahwa lisan bisa menjadi sebab utama seseorang terjatuh ke dalam neraka, meskipun ia dikenal rajin beribadah. Ibadah lahiriah seperti salat, puasa, dan zakat, tidak akan cukup jika tidak diiringi dengan akhlak yang baik, terutama dalam menjaga lisan.

Adab Menjaga Lisan

Menjaga lisan tidak berarti membungkam diri, tetapi berbicara dengan niat yang baik, isi yang benar, dan cara yang santun. Di antara adabnya:[6]

  • Berbicara dengan Jujur. Kejujuran merupakan salah satu prinsip utama dalam lisan seorang Muslim. Sebaliknya, kebohongan termasuk dosa besar dalam Islam yang dapat merusak hubungan antar sesama serta menghilangkan rasa percaya. Oleh karena itu, setiap ucapan harus didasari oleh kebenaran dan kejujuran.
  • Menjauhi ghibah (menggunjing). Islam dengan tegas melarang ghibah, sebagaimana firman Allāh ﷻ,

وَلَا تَجَسَّسُوا۟ وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ

“Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik kepadanya?” (QS. al-Ḥujurāt [49]: 12)

Perumpamaan ini menggambarkan betapa tercelanya perbuatan ghibah dalam pandangan Islam. Selain menyakiti hati orang lain, ghibah juga merusak ukhuwah dan merugikan diri sendiri.

  • Bertutur Kata dengan Lembut. Islam mendorong umatnya untuk berbicara dengan sopan dan lembut. Ucapan yang santun dapat menciptakan suasana yang tenang, mempererat hubungan, dan menghindarkan dari konflik atau kesalahpahaman. Kelembutan dalam lisan mencerminkan kedewasaan dan kebijaksanaan seseorang.
  • Menghindari bicara sia-sia. Bicara yang sia-sia hanya membuang waktu tanpa memberi nilai,

Dari Abu Hurairah, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda,

مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ

Di antara kebaikan islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat” (HR. Tirmidzi no. 2317, Ibnu Majah no. 3976)

Ini menunjukkan bahwa seorang Muslim seharusnya selektif dalam berbicara, menghindari ucapan yang sia-sia, dan lebih mengutamakan kata-kata yang membawa manfaat. Diam dalam hal yang tidak berguna lebih baik daripada berbicara tanpa arah.

Menjaga Lisan = Menjaga Diri

Imam Al-Ghazali dalam karya besarnya Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn menekankan pentingnya menjaga lisan. Menurutnya, lisan bukan hanya alat untuk berbicara, tetapi mencerminkan kondisi hati dan jiwa seseorang.[7] Jika hati bersih, lisan pun jujur dan lembut. Maka seorang muslim yang ingin menjaga kehormatannya harus menjaga lisannya.

Kita hidup di era digital, di mana lisan berpindah ke jari, maka menjaga lisan hari ini berarti juga menjaga tulisan di status, komentar, dan pesan. Jangan sampai kita mudah menyebarkan hoaks, mencaci orang yang berbeda pandangan, atau mengumbar aib secara publik.

Maka penting bagi kita untuk berpikir dua kali sebelum mengetik, sebagaimana kita diajarkan untuk berpikir sebelum berbicara. Etika digital adalah kelanjutan dari adab lisan. Jika lisan terjaga, kehormatan diri dan sesama pun akan terlindungi. Wallāhu a‘lam.

* Mahasiswa Hukum Islam UII 2022

Maraji’ :

[1] Muhammad Abduh Tuasikal. “Hadits Arbain #15: Berkata yang Baik, Memuliakan Tamu dan Tetangga” https://rumaysho.com/18958-hadits-arbain-15-berkata-yang-baik-memuliakan-tamu-dan-tetangga.html. Diakses 15 Juni 2025.

[2] Syaikh Abdul Muhsin Bin Hamd Al-‘Abbad Al-Badr. “Menjaga Lisan Agar Selalu Berbicara Baik”. https://almanhaj.or.id/3197-menjaga-lisan-agar-selalu-berbicara-baik.html. Diakses pada, Ahad, 15 Juni 2025.

[3] Tim TafsirWeb. “Surat Qaf Ayat 18 Arab, Latin, Terjemah dan Tafsir”. https://tafsirweb.com/9824-surat-qaf-ayat-18.html. Diakses pada, Ahad, 15 Juni 2025.

[4] Ferdiansyah Vahmi Ilmawan – “Menjaga Lisan Menurut Ajaran Islam” – https://informatics.uii.ac.id/2024/10/23/menjaga-lisan-menurut-ajaran-islam/. Diakses pada, Ahad, 15 Juni 2025.

[5] Muhammad Abduh Tuasikal.  “Amalan yang Paling Banyak Membuat Masuk Surga” https://rumaysho.com/7037-amalan-yang-paling-banyak-membuat-masuk-surga.html. Diakses pada, Ahad, 15 Juni 2025.

[6] Redaksi AQL Peduli. “Menjaga Lisan: Adab dan Etika dalam Berbicara”.  https://aqlpeduli.or.id/2024/06/24/menjaga-lisan-adab-dan-etika-dalam-berbicara/. Diakses pada, Ahad, 15 Juni 2025.

[7] Tim Redaksi Kemenag Lampung. “Menjaga Lisan dalam Perspektif Imam Ghazali: Relevansi di Era Digital” – https://lampung.kemenag.go.id/home/artikel/menjaga-lisan-dalam-perspektif-imam-ghazali-relevansi-di-era-digital. Diakses pada, Ahad, 15 Juni 2025.

Download Buletin klik di sini

Niat dan Hijrah: Pelajaran dari Sebuah Perjalanan Suci

Niat dan Hijrah: Pelajaran dari Sebuah Perjalanan Suci

Siti Amarah*

 

Sebagai seorang muslim, niat adalah fondasi terpenting dari segala amal perbuatan yang kita lakukan. Dari Amirul Mukminin, Abu Hafsh ‘Umar bin Al-Khattab, ia berkata bahwa ia mendengar Rasūlullāh ﷺ bersabda,

إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُولِهِ فهِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُوْلِهِ ومَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُها أو امرأةٍ يَنْكِحُهَا فهِجْرَتُهُ إلى ما هَاجَرَ إليهِ

Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.” (HR. Bukhari, no. 1 dan Muslim, no. 1907)

Hadits ini diriwayatkan berkenaan dengan peristiwa hijrah, yaitu saat sebagian sahabat Nabi ﷺ meninggalkan Makkah menuju Madinah demi mempertahankan iman dan menegakkan Islam. Hadits ini merupakan sebuah teguran dan peringatan karena diantara para muhajirin ada seorang laki-laki yang ikut berhijrah tidak dengan niat ikhlas karena Allāh ﷻ dan Rasul-Nya, namun karena ingin menikahi wanita bernama Ummu Qais. Maka, ia pun dikenal dengan julukan “Muhajir Ummu Qais”.[1]

Hal ini menunjukkan bahwa nilai sebuah amal tidak hanya dinilai dari bentuk lahiriah, tapi terutama dari niat yang tersembunyi di dalam hati. Dua orang bisa melakukan perbuatan yang sama, namun pahalanya bisa sangat berbeda, tergantung kepada apa yang menjadi tujuannya.

Lalu Apa saja Hikmah yang Bisa Kita Ambil?

Hijrah adalah Simbol Perubahan

Di zaman ini, kita dapat memaknai hijrah dengan berbagai macam bentuk. Hijrah tidak hanya melulu mengenai perpindahan secara fisik, namun juga mengandung makna simbolis yang sangat dalam, yaitu perubahan total menuju kebaikan dan ketundukan kepada Allāh ﷻ. Jika tempat kerja kita sekarang berkaitan dengan kemaksiatan yang tidak diridhoi oleh Allāh ﷻ, maka pindah pekerjaan dengan segala resiko dan tantangannya pun dapat dikategorikan sebagai bentuk Hijrah.

Dari Abdullah bin Umar, dari Nabi ﷺ beliau bersabda,

وَالمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ

Orang yang berhijrah itu adalah orang yang meninggalkan apa yang Allah larang.” (HR. Bukhari no. 10)[2]

Hijrah mengajarkan bahwa perubahan itu perlu pengorbanan, seperti yang dilakukan para sahabat. Hijrah butuh tekad dan niat yang ikhlas, karena niat adalah fondasi perubahan. Perubahan harus dibarengi iman dan tindakan nyata, bukan hanya niat kosong.

Luruskan Niat dalam Segala Amal

Momen hijrah ini pun hendaknya selalu kita jadikan sebagai pengingat bagi kita untuk memperbaharui niat sebagai penentu utama kualitas amal. Bahkan amal sebesar hijrah pun, jika niatnya duniawi, maka hanya dunia yang ia dapat.

Tiga hal pokok amal perbuatan itu mencakup hati (niat), lisan (ucapan), perbuatan (anggota tubuh). Dalam buku “Syarh Arba’in An-Nawawiyyah” ketika menjelaskan hadits pertama tentang niat mengutip pernyataan imam Syafi’i “Hadits ini (Innamal a’malu binniyyat) mencakup sepertiga ilmu, dan termasuk 70 bab dalam fikih.”[3]

Sebagaimana bangunan tidak akan berdiri tanpa fondasi, demikian pula amal tidak akan bermakna tanpa niat karena menentukan sah atau tidaknya amal, menentukan besar atau kecilnya pahala, menjadikan amal biasa bernilai ibadah (seperti makan, tidur, bekerja jika diniatkan karena Allāh), serta membedakan amal duniawi dan ukhrawi.

Sebagai gambaran tentang seberapa besar pentingnya niat, disebutkan dari Ibnu ‘Abbas, dari Rasūlullāh ﷺ bersabda, tentang hadits yang beliau riwayatkan dari Rabb-nya Tabaraka wa Ta’ala. Beliau bersabda,

إِنَّ اللهَ كَتَبَ الحَسَنَاتِ وَالسَّيئَاتِ، ثُمَّ بَيَّنَ ذَلِكَ: فَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً،

Sesungguhnya Allah menulis kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan kemudian menjelaskannya. Barangsiapa yang berniat melakukan kebaikan lalu tidak mengerjakannya, maka Allah menulis itu di sisi-Nya sebagai satu kebaikan yang sempurna,” (HR. Bukhari, no. 6491 dan Muslim, no. 131 di kitab sahih keduanya dengan lafaz ini).[4]

Niat Baik Sudah Diganjar, Meskipun Belum Dilakukan

Niat yang tulus karena Allāh ﷻ meskipun amal belum dikerjakan ia sudah mendapatkan pahala disisi Allāh ﷻ. Ketika perang tabuk terjadi, ada beberapa sahabat yang tidak dapat ikut berperang. Mereka sangat ingin ikut, tapi tidak mampu secara fisik atau materi. Disebutkan dalam suatu riwayat dari Jabir, ia berkata, dalam suatu peperangan (perang tabuk) kami pernah bersama Nabi ﷺ, lalu beliau bersabda,

إِنَّ بِالْمَدِينَةِ لَرِجَالاً مَا سِرْتُمْ مَسِيرًا وَلاَ قَطَعْتُمْ وَادِيًا إِلاَّ كَانُوا مَعَكُمْ حَبَسَهُمُ الْمَرَضُ

Sesungguhnya di Madinah ada beberapa orang yang tidak ikut melakukan perjalanan perang, juga tidak menyeberangi suatu lembah, namun mereka bersama kalian (dalam pahala). Padahal mereka tidak ikut berperang karena kedapatan uzur sakit.” (HR. Muslim no. 1911).

Juga ada hadits dari Anas bin Malik, bahwa Nabi ﷺ dalam suatu peperangan berkata,

إِنَّ أَقْوَامًا بِالْمَدِينَةِ خَلْفَنَا، مَا سَلَكْنَا شِعْبًا وَلاَ وَادِيًا إِلاَّ وَهُمْ مَعَنَا فِيهِ، حَبَسَهُمُ الْعُذْرُ

Sesungguhnya ada beberapa orang di Madinah yang ditinggalkan tidak ikut peperangan. Namun mereka bersama kita ketika melewati suatu lereng dan lembah. Padahal mereka terhalang uzur sakit ketika itu.” (HR. Bukhari no. 2839).[5]

Nilai amal tidak hanya dinilai dari aksi fisik, tapi dari keikhlasan hati dan niat tulus dengan keinginan yang kuat.

Keikhlasan adalah Fondasi Ibadah

Allāh ﷻ hanya menerima amal yang dilakukan dengan tulus karena-Nya. Allāh ﷻ berfirman,

وَمَآ أُمِرُوٓا۟ إِلَّا لِيَعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ وَيُقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤْتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ ٱلْقَيِّمَةِ

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama dan (juga) agar melaksanakan salat dan menunaikan zakat. Dan yang demikian itulah agama yang lurus (benar).” (QS. Al-Bayyinah [98]: 5)

Dalam Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa ayat ini menegaskan bahwa inti ajaran semua nabi adalah tauhid dan ikhlas dalam beribadah hanya kepada Allāh ﷻ, tanpa syirik sedikit pun. Kata “mukhlishīna lahud dīn” menunjukkan bahwa amal tidak diterima kecuali jika dilakukan dengan ikhlas. Kata “Hunafā-a” bermakna menyimpang dari kebatilan menuju kebenaran, yaitu meninggalkan penyembahan berhala menuju mentauhidkan Allāh ﷻ.[6]

Penutup

Hijrah adalah tonggak berdirinya peradaban Islam di Madinah. Dan hadits tentang niat adalah fondasi bagi setiap amal Muslim. Semoga setiap langkah kita hari ini, besar atau kecil, senantiasa dibimbing dengan niat yang lurus, ikhlas karena Allāh ﷻ.

* Kepala Urusan Pelayanan Pusat Bantuan Sosial & Kesehatan DSDM UII

Maraji’ :

[1] Farid Nurman. Syarah Al-Arba’in An-Nawawiyah (Buku 1) Gudang Bacaan. 2015 M. h. 12.

[2] Ibnu Hajar al-Ashqalani. Fath al-Bari, jilid 11, bab “Maa Haajara Maa Naha-Allahu ‘Anhu”.

[3] Farid Nurman. Syarah Al-Arba’in An-Nawawiyah. h. 19.

[4] Muhammad Nashiruddin al-Albany. Tarjamah Riyadus Shalihin. Surabaya: Duta Ilmu. 2005 M. Cet.k-2. h. 40.

[5] Muhammad Abduh Tuasikal. “Sudah Berniat Beramal Namun Terhalang Udzur” https://rumaysho.com/3423-sudah-berniat-beramal-namun-terhalang-uzur.html. Diakses pada 17 Juni 2025.

[6] Surat Al-Bayyinah Ayat 5 https://tafsirweb.com/12921-surat-al-bayyinah-ayat-5.html. Diakses pada 17 Juni 2025.

Download Buletin klik di sini

Kilas Balik Kalender Umat Islam

Kilas Balik Kalender Umat Islam

Isna Yunita*

 

Sejarah Kelender Hijriah

Sejarah munculnya Kalender hijriah berasal dari masyarakat Arab, dimana sebelumnya masyarakat Arab memberi nama berdasarkan peristiwa tertentu, akhirnya pada masa gubernur Abu Musa di wilayah Basrah yang pada saat itu beliau sering mendapatkan surat perintah yang berkaitan dengan waktu dari Umar bin Khattab sedangkan pada waktu itu belum ada acuan waktu, dan menyebabkan surat perintah yang diberikan Umar Bin Khattab sulit untuk dipahami, karena kejadian yang terus berulang diadakan suatu konferensi untuk menetapkan bilangan tahun. Berdasarkan konferensi yang diadakan oleh para sahabat di putuskan bahwa tahun pertama Hijriah dimulai sejak Nabi Muhammad ﷺ berhijrah ke Madinah, ketetapan ini berdasarkan usulan yang diajukan oleh Ali bin Abi Thalib dengan 3 filosofi diantaranya,

  1. Masa Nabi hijrah ke Madinah adalah masa pembeda antara fase jahiliyah dan haq
  2. Allah memberikan penghargaan bagi orang-orang yang berhijrah sebagaimana banyaknya ayat Al-Qur’an mengenai hal tersebut
  3. Umat Islam sepanjang zaman diharapkan selalu memiliki semangat hijriah, yaitu jiwa dinamis yang tidak terpaku pada suatu zaman keadaan dan ingin berhijrah pada kondisi yang lebih baik.[1]

Keputusan ini ditetapkan pada tanggal 20 Jumadil Awal Akhir tahun 17 H pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab. Selain itu para sahabat juga bersepakat bahwa tahun hijriah dimulai dari bulan Muharram, pendapat mereka bahwa bulan Dzulhijjah menjadi bulan terakhir, karena selesai melaksanakan ibadah haji manusia kembali mengerjakan urusan masing-masing.

Kalender Islam dalam Al-Qur’an dan Hadis

Sejak awal ayat Al-Qur’an Allah ﷻ telah menetapkan jumlah bilangan bulan dalam Al-Qur’an sebanyak 12 bulan, sebagaimana kandungan Al-Qur’an dalam surah at-Taubah ayat 36,

إِنَّ عِدَّةَ ٱلشُّهُورِ عِندَ ٱللَّهِ ٱثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِى كِتَٰبِ ٱللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ مِنْهَآ أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلْقَيِّمُ ۚ فَلَا تَظْلِمُوا۟ فِيهِنَّ أَنفُسَكُمْ ۚ وَقَٰتِلُوا۟ ٱلْمُشْرِكِينَ كَآفَّةً كَمَا يُقَٰتِلُونَكُمْ كَآفَّةً ۚ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلْمُتَّقِينَ

“Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) ketetapan Allah (di Lauhulmahfuz) pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu padanya (empat bulan itu), dan perangilah orang-orang musyrik semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya. Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa.” (QS. At Taubah [9]: 36).

Hal ini juga diperkuat dengan hadis nabi. Dari Abu Bakroh, Nabi ﷺ bersabda,

الزَّمَانُ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا ، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ، ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ

Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 3197 dan Muslim no. 1679)

Berdasarkan ayat dan hadis di atas dapat disimpulkan bahwa dalil dalam menentukan jumlah bilangan 12 bulan dalam setahun merupakan ketentuan dan ketetapan Allah ﷻ,. Adapun urutan dan nama-nama bulan yang telah disepakati sebagai berikut; Muharram, Safar, Rabi’ al-Awwal, Rabi’ ats-Tsani, Jumada al-Awwal, Jumada ats-Tsani, Rajab, Sya’ban, Ramadhan, Syawwal, Dzul Qa’dah dan Dzul Hijjah.[2]

Pada penetapan kalender Hijriah, bulan menjadi objek utama dalam penetapannya, hal ini sebagaimana ayat Al-Qur’an. Allah ﷻ berfirman,

يَسْـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلْأَهِلَّةِ ۖ قُلْ هِىَ مَوَٰقِيتُ لِلنَّاسِ وَٱلْحَجِّ

“Mereka bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang bulan sabit. Katakanlah, “Itu adalah (penunjuk) waktu bagi manusia dan (ibadah) haji.” (QS. Al Baqarah [2]: 189).

Proses penetapan ini  berdasarkan munculnya hilal, hilal sendiri merupakan bulan sabit yang pertama kali muncul atau terlihat yang selanjutnya semakin membesar membentuk bulan purnama, dan kemudian kembali menipis dan pada akhirnya menghilang.[3]

Urgensi Kalender Hijriah bagi Umat Islam

Setiap muslim yang baik sudah seharusnya kita memanajemen waktu dengan baik, hal ini sejalan dengan pemaknaan secara tersirat ayat pada surah Al Ashr ayat 1-3. Allah ﷻ berfirman,

وَٱلْعَصْرِ. إِنَّ ٱلْإِنسَٰنَ لَفِى خُسْرٍ. إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلْحَقِّ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلصَّبْرِ

“Demi masa, sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh serta saling menasihati untuk kebenaran dan kesabaran.” (QS. al-‘Ashr [103]: 1-3).

Ayat di atas merupakan ayat yang dijadikan landasan terkait urgensi dari adanya kalender yang dapat dijadikan acuan dalam mengatur waktu, karena Allah ﷻ menyeru pada setiap hambanya untuk memanajamen waktu dengan baik dan akurat serta mengisinya dengan perbuatan yang baik berupa amal shalih.

Peran kalender hijriah yang paling fundamental ialah dalam menetapkan waktu ibadah, mislnya ibadah Haji, puasa Ramadhan, hari raya Idul Adha, dan waktu-waktu puasa yang telah di sunnahkan oleh Rasulullah n, sehingga dengan adanya kalender hijriah umat Islam dapat melaksanakan ibadah amal shalih sebagaimana ketentuan hari yang telah ditentukan kalender hijriah.

Manfaat lain jika seorang muslim mengacu pada kalender hijriah ialah dapat mengingat berbagai peristiwa penting dalam sejarah Islam, dan dapat menghayati waktu waktu atau peristiwa besar seperti malam turunnya Al-Qur’an dan peristiwa Isra’ Mi’raj. Dari kedua peristiwa penting tersebut seorang muslim dapat menjadikan keduanya sebagai sarana memperkuat iman, dan memperbanyak amal saleh, serta mengambil hikmah dari kedua peristiwa tersebut, mengingat bahwa kedua peristiwa tersebut merupakan peristiwa turunnya Al-Qur’an menandai awal turunnya ajaran Islam dan penyebarannya keseluruh dunia, serta Isra’ Mi’raj yang merupakan perjalanan Rasulullah n, dan menerima perintah untuk melaksanakan shalat lima waktu dalam sehari, tentunya waktu-waktu tersebut dapat terlihat jika seorang muslim mengacu pada kalender hijriah.[4]

* Alumni FIAI UII

Maraji’ :

[1] Musa Al Azhar. ”Kalender Hijriah dalam Al-Qur’an” dalam Jurnal Al Marshad (Astronomi Islam dan Ilmu-Ilmu berkaitan, Vol. 4 No. 2, Tahun 2018. h.234.

[2] Muhajir. “Sejarah Kalender Hijriah, Jurnal Cendikia Ilmiah” dalam Jurnal Cendikia Ilmiah, Vol. 3 No. 5, 2024. h. 4603.

[3] Masesyaroh. “Kalender Hijriyah Global Turki Upaya Mewujudkan Kepastian Transaksi Ekonomi Pada Lembaga Keuangan Syari’ah, Jurnal Al Hikmah” dalam Jurnal Al-Hikmah, Vol.3 No.1, 2017. h. 74.

[4] Ahmad Fauzan dkk. “Penetapan Awal Bulan Hijriyah dan Integritasinya dengan Perhitungan Matematika” dalam Jurnal Agama, Sosial, dan Budaya, Vol. 2, No 1, 2023. h. 115.

Download Buletin klik di sini

Ketika Do`a Belum Dikabulkan

Ketika Do`a Belum Dikabulkan

Nabila Mumtazah Priyatna*

 

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh, waba’du.

Di usia kita sekarang ini, tentu tak jarang kita menemui kesulitan dalam hidup. Barangkali, ada yang sedang diberikan cobaan yang membuatnya lelah. Ada yang sedang ditimpa masalah, skripsinya belum lanjut, tugasnya numpuk, belum lagi program kerja organisasi. Dengan segala hal yang membatasi diri itu kemudian kita memanjatkan doa. Karena manusia tidak pernah mampu memikul bebannya di Dunia sendirian. Kita butuh Allâh ﷻ. Kita minta pertolongan pada Allâh ﷻ. Tapi, pernahkah kita sadari, ternyata doa-doa yang senantiasa kita panjatkan itu tak kunjung dikabulkan oleh Allâh ﷻ?

Bahkan, kita menangis sambil memanjatkan doa. Tapi sekarang? Nihil. Tugas-tugas tidak juga terasa ringan, masalah belum juga selesai. Seolah Allâh ﷻ tidak menjawab apa yang kita minta dalam do`a. Sehingga muncul su`udzhan, “Sepertinya Allâh ﷻ tidak mau mengabulkan do`aku”. Na`udzubillah. Bukan karena Allah tidak sayang. Bukan karena Allah tidak mau mengabulkan do`a-do`a kita. Namun, kita yang tidak mengetahui apa yang baik untuk kita.

Allâh ﷻ berfirman,

وَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تُحِبُّوا۟ شَيْـًٔا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 216)

Husnudzhan kepada Allah

Allâh ﷻ maha mengetahui apa yang ada di diri kita, diri orang lain, bahkan diri kita di masa depan. Sedangkan kita tidak mengetahui diri kita sendiri. Ada yang meminta agar masalahnya segera diangkat, ternyata memang seperti itu cara Allah mencintainya. Ada yang meminta agar tugas-tugasnya diringankan, ternyata Allâh ﷻ ingin kita lebih banyak belajar. Maka, yang harus kita lakukan adalah husnudzhan dengan Allâh ﷻ. Karena dengan berbaik sangka kepada Allah merupakan tanda kuatnya iman kita. Sebagian ulama bersandar pada sabda Nabi ﷺ, yang diriwayatkan dari Wasilah bin Asqa’, dia berkata bahwa Rasûlullâh ﷺ bersabda,

قال اللهُ تَعَالَى: أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي فَلْيَظُنَّ بِي مَا شَاءَ

“Allah Ta’ala berfirman, ‘Aku sesuai persangkaan hamba-Ku. Maka, berprasangkalah kepada-Ku menurut apa yang dikehendakinya.’” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya no. 16.016)[1]

Cara Allah Mengabulkan Do`a

Setelah berbaik sangka, kita perlu mengetahui 3 cara Allah mengabulkan doa hamba-Nya. Dari ‘Ubadah bin Ash-Shamit, bahwa Rasûlullâh ﷺ bersabda,

مَا عَلَى الأرْضِ مُسْلِمٌ يَدْعُو الله تَعَالَى بِدَعْوَةٍ إِلاَّ آتَاهُ اللهُ إيَّاها، أَوْ صَرفَ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهَا، مَا لَمْ يَدْعُ بإثْمٍ، أَوْ قَطِيعَةِ رَحِمٍ، فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ القَومِ: إِذاً نُكْثِرُ قَالَ: اللهُ أكْثَرُ. رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ، وَقَالَ: حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيْحٌ. وَرَوَاهُ الحَاكِمُ مِنْ رِوَايَةِ أَبِي سَعِيْدٍ وَزَادَ فِيهِ: أَوْ يَدْخِرَ لَهُ مَِن الأَجْرِ مِثْلَهَا.

“Tidaklah seorang muslim berdoa kepada Allah dengan satu doa, melainkan pasti Allah memberikannya kepadanya, atau Allah menghindarkannya dari kejelekan yang sebanding dengan doanya, selama ia tidak mendoakan dosa atau memutuskan silaturahim.” Lalu seseorang berkata, “Kalau begitu, kita akan memperbanyak doa.” Beliau bersabda, “Allah lebih banyak memberi (dari apa yang kalian minta).” (HR. Tirmidzi, ia mengatakan bahwa hadits ini hasan sahih)[2]

Diriwayatkan juga oleh Al-Hakim dari Abu Sa’id, dan ia menambahkan, “Atau Allah menyimpan untuknya berupa pahala yang sebanding dengan doa tersebut.” (HR. Ahmad, 3:18; Al-Hakim, 1:493)[3].[4]

Waktu Dikabulkannya Do`a

Selain mengetahui bagaimana Allâh ﷻ mengabulkan do`a kita, hendaknya kita berdo`a di waktu-waktu mustajab sehingga do`a kita bisa segera dikabulkan. Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah dalam kitabnya yang berjudul “Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa” menyebutkan bahwa do`a akan dikabulkan jika di dalamnya terkumpul kehadiran hati, konsentrasi secara penuh terhadap apa yang diminta, dan bertepatan dengan salah satu dari enam waktu dikabulkannya doa, yaitu (1) sepertiga malam terakhir, (2) saat adzan, (3) antara adzan dan iqamah, (4) setelah melaksanakan shalat wajib, (5) saat imam naik mimbar di hari Jum`at, dan (6) hari Jum`at setelah waktu Ashar.[5]

Adab-Adab dalam Berdoa

Berikut beberapa adab yang harus diperhatikan ketika berdoa:[6]

  1. Berdoa dengan nama-nama Allâh ﷻ yang indah. Allâh ﷻ berfirman,

وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَا ۖ وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ ۚ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-A’raf [7]: 180)

  1. Menghadap kiblat dan mengangkat tangan. Dari Salman, bahwa Nabi ﷺ bersabda,

إِنَّ اللَّهَ حَيِيٌّ كَرِيمٌ يَسْتَحِي إِذَا رَفَعَ الرَّجُلُ إِلَيْهِ يَدَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا خَائِبَتَيْنِ

Sesungguhnya Allah Maha pemalu dan pemurah. Dia malu bila seorang lelaki mengangkat kedua tangannya kepada-Nya lalu Dia mengembalikannya dalam keadaan kosong dan hampa” (tidak dikabulkan)” (HR. Abu Daud no. 1488 dan at-Tirmidzi no. 3556 dan beliau mengatakan, hasan gharib)[7]

  1. Memulai doa dengan memuji Allâh ﷻ dan bershalawat kepada Nabi ﷺ. Nabi ﷺ bersabda,

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ، فَلْيَبْدَأْ بِتَمْجِيدِ رَبِّهِ جَلَّ وَعَزَّ، وَالثَّنَاءِ عَلَيْهِ، ثُمَّ يُصَلِّي عَلَى النَّبِيِّ ﷺ، ثُمَّ يَدْعُو بَعْدُ بِمَا شَاءَ

“Apabila kalian berdoa, hendaknya dia memulai dengan memuji dan mengagungkan Allah, kemudian bershalawat kepada Nabi ﷺ. Kemudian berdoalah sesuai kehendaknya.” (HR. Ahmad, Abu Daud, no. 1481 dan dishahihkan Al-Albani)

  1. Memantapkan hati dalam berdoa dan berkeyakinan untuk dikabulkan. Dari Abu Hurairah, Nabi ﷺ bersabda,

ادْعُوا اللَّهَ وَأَنْتُمْ مُوقِنُونَ بِالإِجَابَةِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ لاَ يَسْتَجِيبُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لاَهٍ

Berdo’alah kepada Allah dalam keadaan yakin akan dikabulkan, dan ketahuilah bahwa Allah tidak mengabulkan do’a dari hati yang lalai.” (HR. Tirmidzi no. 3479. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Tetap Terus Berdoa

Doa adalah senjata orang beriman. Ketika Dunia diam, doa melambung ke langit. Ia dipanjatkan dengan sembunyi dan datang dari arah yang tidak disangka. Doa itu menjadikan yang tidak ada menjadi ada dan menjadikan yang tidak mungkin menjadi mungkin. Maka, jangan berputus asa pada Allâh ﷻ. Teruslah meminta karena tidak ada sedikitpun yang dapat memberatkan Allâh ﷻ dan dengan berdoa itulah tanda cinta kita kepada Allâh ﷻ. Sebagaimana yang Nabi Zakariya katakan ketika beliau agar diberikan keturunan,

رَبِّ إِنِّى وَهَنَ ٱلْعَظْمُ مِنِّى وَٱشْتَعَلَ ٱلرَّأْسُ شَيْبًا وَلَمْ أَكُنۢ بِدُعَآئِكَ رَبِّ شَقِيًّا

“Ya Tuhanku, sungguh tulangku telah melemah dan kepalaku telah dipenuhi uban, sedang aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada-Mu.” (QS. Maryam [19]: 4).

 

* Mahasiswi Ahwal Syakhshiyah IP ‘23

Maraji’ :

[1] Adika Mianoki, “Berprasangka Baik Kepada Allah” https://muslim.or.id/95196-berperasangka-baik-kepada-allah.html. Diakses pada 3 Juni 2025.

[2]  HR. Tirmidzi, no. 3573 dan Al-Hakim, 1:493. Hadits ini disahihkan oleh Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaly dalam Bahjah An-Nazhirin, hadits no. 1501. https://rumaysho.com/23398-tiga-cara-allah-kabulkan-doa.html. Diakses pada 3 Juni 2025.

[3] Hadits ini disahihkan oleh Al-Hakim dan disepakati oleh Adz-Dzahabi. Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaly katakan bahwa sanad hadits ini hasan, perawinya tsiqqah selain ‘Ali bin ‘Ali yang dinilai shaduq.

[4] Imam An-Nawawi. Riyadhush Shalihin. Jakarta: Darul Haq. 2017 M. Cet.ke-4. h. 887-888.

[5] Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah. Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’. Jakarta: Pustaka Imam Syafi`i. 2016 M. Cet.ke-7. h. 20.

[6] Ammi Nur Baits, ”13 Adab dalam Berdoa” https://konsultasisyariah.com/9561-13-ada-dalam-berdoa.html. Diakses pada 3 Juni 2025.

[7] Dishahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Daud dan Shahih at-Tirmidzi.

Download Buletin klik di sini

Muslimah, Glow Up Aja Nggak Cukup!

Muslimah, Glow Up Aja Nggak Cukup!

Frihastama

 

Di tengah gempuran arus digital dan budaya populer yang semakin deras, istilah glow up menjadi tren yang banyak disukai. Ia identik dengan perubahan penampilan fisik menjadi lebih menarik, lebih cantik, dan lebih modis. Banyak perempuan berlomba-lomba memoles wajah, memperindah busana, dan menampilkan citra sempurna di media sosial. Namun ada hal yang kerap luput dari perhatian yaitu pertumbuhan diri secara utuh sebagai insan yang beriman. Glow up yang hanya fokus pada fisik akan menjadi kosong jika tidak diiringi dengan grow up yakni kedewasaan dalam berpikir, bersikap, dan beragama.

Kualitas Dibangun dari Hati

Islam merupakan agama yang mencintai keindahan, dan memperhatikan penampilan adalah bagian dari adab. Akan tetapi kecantikan sejati bukan hanya terletak pada wajah dan pakaian, melainkan pada hati yang bersih dan akhlak yang mulia.

Hati seharusnya menjadi perhatian utama daripada lahiriyah. Karena baiknya hati, baik pula amalan lainnya. Karena hati yang bersih, amalan yang lain bisa diterima. Beda halnya jika memiliki hati yang rusak, terutama hati yang tercampur noda syirik. Karena itu perhatikanlah hatimu! [1]

Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,

إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ

Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk rupa dan harta kalian. Akan tetapi, Allah hanyalah melihat pada hati dan amalan kalian.” (HR. Muslim no. 2564).

Inilah yang menjadi pengingat bahwa menjadi muslimah yang baik bukanlah soal penampilan luar semata, melainkan tentang bagaimana kualitas diri dibangun dari dalam.

Tumbuh Secara Spiritual dan Intelektual

Pertumbuhan yang sesungguhnya mencakup banyak dimensi. Seorang muslimah harus bertumbuh secara spiritual dengan memperdalam pemahaman ilmu agama dan memperkuat hubungan dengan Allah. Ia juga perlu bertumbuh secara intelektual, karena Islam adalah agama yang memuliakan ilmu. Muslimah yang grow up akan memiliki semangat belajar, mampu berpikir kritis, dan tidak mudah terjebak dalam tren yang menyesatkan.[2] Namun, dalam prosesnya sering kali dihadapkan dengan pengaruh media sosial yang kerap mengaburkan nilai-nilai sejati dalam memaknai diri.

Fenomena media sosial saat ini menjadikan standar kecantikan sebagai tolok ukur harga diri. Banyak muslimah merasa tidak cukup cantik hanya karena tidak sesuai dengan standar dunia maya. Mereka sibuk mempercantik foto menggunakan filter, membeli produk kecantikan, dan memoles penampilan agar terlihat sempurna di layar ponsel. Namun di balik itu semua, sering kali hati merasa hampa. Validasi dari manusia tidak akan pernah cukup jika hati belum merasa cukup di hadapan Allah ﷻ. Oleh karena itu, penting bagi muslimah untuk menyadari bahwa hidup bukanlah hanya tentang mencari pujian manusia, melainkan meraih ridha Allah ﷻ.[3]

Berani Menghadapi Kenyataan Hidup

Tumbuh dewasa berarti berani menghadapi kenyataan hidup, berani menerima kritik, dan tidak terus-menerus hidup dalam bayang-bayang citra palsu. Seorang muslimah yang telah grow up tidak hanya menjaga penampilan luar, tetapi juga menjaga integritas dan kejujuran. Ia memahami bahwa dunia adalah tempat ujian, bukan panggung pertunjukan. Maka setiap hari harus menjadi ruang belajar dan perbaikan diri. Allah ﷻ berfirman,

ٱلَّذِى خَلَقَ ٱلْمَوْتَ وَٱلْحَيَوٰةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا ۚ وَهُوَ ٱلْعَزِيزُ ٱلْغَفُورُ

“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun” (QS. Al-Mulk [67]: 2).

Ayat ini menjadi penegas bahwa nilai utama seorang manusia terletak pada amal dan ketakwaannya, bukan sekedar pada penampilan dan popularitasnya.

Menjadi muslimah yang bertumbuh adalah bentuk rasa syukur atas nikmat iman dan hidayah. Dalam dunia yang penuh distraksi dan tuntutan, muslimah harus mampu berdiri tegak sebagai pribadi yang tangguh dan visioner. Ia tidak mudah terbawa arus, tidak menjadikan tren sebagai kiblat, dan tetap menjaga prinsip meski berbeda dengan lingkungan sekitarnya. Ia juga aktif memberi manfaat di tengah masyarakat, bukan hanya tampil di media sosial tetapi juga hadir nyata dalam kehidupan sosial.

Hidup ini terlalu singkat jika hanya digunakan untuk tampil cantik di layar. Kecantikan yang hanya sebatas visual tidak akan bertahan lama, sedangkan kedewasaan dan keimanan akan membimbing langkah hingga akhir hayat. Muslimah yang sejati adalah ia yang mampu menjadi cahaya, bukan hanya sekedar kilauan. Cahaya itu berasal dari hati yang jernih, ilmu yang benar, dan akhlak yang lembut. Tampil rapi dan menarik adalah anjuran Islam, tetapi jauh lebih utama jika dibarengi dengan kesadaran diri sebagai hamba yang beriman dan bertanggung jawab atas kehidupannya.[4]

Glow Up Aja Nggak Cukup!

Muslimah harus sadar bahwa setiap fase kehidupan adalah kesempatan untuk tumbuh. Jangan habiskan waktu hanya untuk glow up, sebab itu hanya satu sisi kecil dari keindahan diri. Berusahalah untuk grow up, menjadi perempuan yang matang secara spiritual, kuat secara mental, dan bijak dalam menghadapi realitas dunia. Dunia memerlukan lebih banyak muslimah yang berpikir besar, berjiwa pemimpin, dan menjadi teladan kebaikan. Karena pada akhirnya, bukan kecantikan yang akan ditanyakan oleh Allah ﷻ kelak, tetapi keikhlasan, ketekunan, dan kontribusi nyata dalam kebaikan.

Sehingga pertumbuhan sejati seorang muslimah bukan hanya soal pencapaian diri sendiri, melainkan juga tentang memberi manfaat bagi orang lain dan lingkungan sekitarnya. Semoga kita senantiasa diberi kekuatan dan petunjuk oleh Allah ﷻ untuk terus berkembang menjadi pribadi yang lebih baik, tidak hanya dalam penampilan, tetapi juga dalam iman, ilmu, dan amal. Âmîn.

Maraji’ :

[1] Muhammad Abduh Tuasikal. “Perhatikanlah Hatimu!”  https://rumaysho.com/3373-perhatikanlah-hatimu.html. Diakses pada 14 Mei 2025.

[2] Al-Hashimi, M. A. Pribadi Muslimah Ideal. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2002 M.

[3] Septiyani. A.  Menjadi Muslimah yang Dirindukan Surga. Yogyakarta: Anak Hebat Indonesia. 2024 M.

[4] Umi Azizah Khalil, SP. Muslimah Yang Dirindukan Surga. Yogyakarta: Araska Publisher. 2019 M.

Download Buletin klik di sini

3 Maksud Agung Disyariatkannya Ibadah Kurban

3 Maksud Agung Disyariatkannya Ibadah Kurban

 Yanayir Ahmad, S.T.*

 

Bismillâh, wasshalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâhi, waba’du.

Kurban Syiar Agama Allah

Kurban adalah salah satu syiar agama yang agung. Allāh ﷻ berfirman,

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنسَكًا لِّيَذْكُرُوا۟ ٱسْمَ ٱللَّهِ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُم مِّنۢ بَهِيمَةِ ٱلْأَنْعَٰمِ ۗ فَإِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَٰحِدٌ فَلَهُۥٓ أَسْلِمُوا۟ ۗ وَبَشِّرِ ٱلْمُخْبِتِينَ

Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka, maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah).” (QS. Al-Hajj [22]: 34)

Disyariatkannya ibadah kurban telah ditegaskan dalam Al-Qur’an, Sunnah Nabi ﷺ, serta ijma’ (kesepakatan) para ulama. Ia termasuk amalan paling utama yang dapat mendekatkan seorang hamba kepada Rabb-nya.

Tujuan Ibadah Kurban

Allāh ﷻ mensyariatkan ibadah kurban dengan tujuan yang agung dan hikmah-hikmah yang mulia. Di antara tujuan-tujuan agung itu adalah:

Pertama, Ibadah kurban adalah untuk mentauhidkan Allāh ﷻ semata serta mengikhlaskan ibadah hanya kepada-Nya.

Allāh ﷻ berfirman,

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَٱنْحَرْ

Maka dirikanlah shalat untuk Tuhanmu dan sembelihlah kurban.” (QS. Al-Kautsar [102]: 2)

Ketika shalat dan menyembelih kurban menjadi amal ibadah yang paling banyak dipersembahkan oleh orang-orang musyrik kepada berhala-berhala mereka, maka Allāh ﷻ khususkan dalam surat ini perintah kedua ibadah tersebut (shalat dan menyembelih kurban) dengan menyebutkan, “shalatlah untuk Tuhanmu dan sembelihlah kurban (juga untuk Tuhanmu),” karena maksud dan tujuan yang paling penting dari keduanya adalah, “Li Rabbika -untuk Tuhanmu”.

Oleh karena itu,  al-Qur’an tidak hanya menyebutkan, “Shalatlah dan sembelihlah kurban,” tanpa menisbatkan keduanya kepada Allāh ﷻ, yakni agar makna dan maksud utama dari perintah itu menjadi lebih jelas, yaitu, “Maka dirikanlah shalat hanya untuk Tuhanmu dan berkurbanlah juga hanya untuk tuhanmu, tanpa menyekutukannya dengan yang lain, sebagai pembeda atas keangkuhan orang-orang musyrik yang menjadikan shalat dan kurban mereka kepada selain Allah.”[1]

Sehingga shalat dan Kurban ini merupakan bukti tauhid kita kepada Allāh ﷻ. Dalam ayat lain Allāh ﷻ memerintahkan Nabi Muhammad ﷺ untuk mengatakan kepada orang-orang musyrik yang mereka menyembah selain Allāh ﷻ dan menyembelih kurban untuk selain Allāh ﷻ dengan berfirman,

قُلْ إِنَّ صَلَاتِى وَنُسُكِى وَمَحْيَاىَ وَمَمَاتِى لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِينَ

Katakanlah (wahai Muhammad): Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku, dan matiku, hanyalah untuk Allah Rabb semesta alam.” (QS. Al-An’am [6]: 162).

Untuk menegaskan bahwa Nabi Muhammad ﷺ berada di atas tauhid dan jauh berbeda keadaannya dengan mereka orang-orang musyrik.

Nabi Muhammad ﷺ pun ketika menyembelih hewan kurban, Beliau membaca basmalah dan bertakbir. Hal ini juga menunjukkan bahwa menyembelih adalah bentuk ibadah yang agung dan harus diiringi keikhlasan hanya untuk Allāh ﷻ.[2]

Sehingga, ketika kita memahami bahwa menyembelih merupakan bentuk ibadah, dan ibadah tidak boleh ditujukan untuk selain Allāh ﷻ, maka kita juga bisa memahami bahwa orang yang menyembelih hewan untuk selain Allāh ﷻ, berarti dia telah terjerumus ke dalam kesyirikan. Sama saja baik sembelihan itu ditujukan untuk jin, wali, penunggu laut, siluman, ataupun yang lainnya selain Allah, maka itu merupakan perbuatan syirik. Karena penyembelihan hanya boleh ditujukan untuk Allah semata.

Kedua, ibadah kurban adalah bentuk syukur atas nikmat Allāh ﷻ dan kebaikan-Nya kepada hamba-Nya.

Ketika Allah menyebutkan karunia-Nya kepada Nabi Muhammad  ﷺ, Allāh ﷻ berfirman,

إِنَّآ أَعْطَيْنَٰكَ ٱلْكَوْثَرَ

“Sesunnguhnya kami telah memberikanmu nikmat yang banyak,” (QS. Al-Kautsar [108]: 1)

Allāh ﷻ menyuruh Nabi-Nya untuk bersyukur kepada Allāh ﷻ atas setiap rezeki yang telah Allāh ﷻ karuniakan kepada para hamba-Nya. Sebagaimana firman Allāh ﷻ pada surah Al-Kautsar ayat 2. Pada ayat tersebut menunjukkan bahwa diantara bentuk bersyukur yang paling besar adalah dengan beramal shalih -baik amalan hati maupun anggota badan-.[3]

Allāh ﷻ berfirman,

ٱعْمَلُوٓا۟ ءَالَ دَاوُۥدَ شُكْرًا ۚ وَقَلِيلٌ مِّنْ عِبَادِىَ ٱلشَّكُورُ

Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih.” (QS. Saba’ [34]: 13).

Ketiga, tujuan besar dari kurban adalah memahamkan kita bahwa yang dinilai oleh Allāh ﷻ bukanlah rupa dan bentuk lahiriah, tapi hati dan amal perbuatan.

Allāh ﷻ berfirman,

لَن يَنَالَ ٱللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَآؤُهَا وَلَٰكِن يَنَالُهُ ٱلتَّقْوَىٰ مِنكُمْ ۚ كَذَٰلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا۟ ٱللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَىٰكُمْ ۗ وَبَشِّرِ ٱلْمُحْسِنِينَ

Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Hajj [22]: 37).

Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasūlullāh ﷺ bersabda,

إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ

Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk rupa dan harta kalian. Akan tetapi, Allah hanyalah melihat pada hati dan amalan kalian.” (HR. Muslim no. 2564).

Sesungguhnya tujuan utama dari ibadah kurban adalah untuk menanamkan ketakwaan dalam hati dan mengagungkan Dzat Yang Maha Mengetahui segala yang tersembunyi. Tuhan kita, Allāh ﷻ, adalah Dzat Yang Maha Kaya dari seluruh makhluk. Dia tidak membutuhkan apapun dari hewan-hewan kurban itu, tidak pula mendapatkan manfaat sedikit pun darinya. Yang Dia inginkan dari hamba-hamba-Nya hanyalah agar mereka bertakwa kepada-Nya, mentauhidkan-Nya, dan menyembah-Nya dengan sebenar-benarnya ibadah. Agar kehidupan mereka menjadi baik di dunia, dan mereka dimuliakan di akhirat. Sungguh, Allah Maha Kaya. Dia tidak butuh kepada mereka, tidak pula kepada sembelihan dan hewan kurban mereka.[4]

Terakhir, semoga setiap dari kita dimudahkan untuk menghadirkan makna-makna itu dalam hati, meski mungkin belum semua bisa berkurban secara fisik tahun ini. Bagi yang telah Allāh ﷻ beri kelapangan dan bisa berkurban, semoga Allāh ﷻ terima amalnya dan jadikan sebagai jalan mendekat diri kepada-Nya. Dan bagi yang belum mampu, semoga Allah bukakan jalan rezekinya, dan pertemukan dengan Hari Raya Idul Adha tahun depan dalam keadaan mampu dan lapang untuk berkurban, baik lahir dan batin. Āmīn yā Rabbal ‘ālamīn. Hanya Allah yang memberi taufiq. Washallāhu ‘alā muhammadin wa a’lā ālihi washahbihi wasallam.

* Alumni Teknik Elektro UII ’17

Maraji’ :

[1] Al-Muqbil, Umar bin Abdullah. Li Yaddabbaru Ayatih. Majmu’ah ke-2, Hal. 286, no. 572. https://archive.org/details/1_20200322/ليدبروا%20آياته/ليدبروا%20آياته%202/

[2] Islam Web. “ولكن-يناله-التقوى-منكم”. https://www.islamweb.net/ar/article/136641/ Diakses pada 5 Juni 2025.

[3] Al-Muqbil, Umar bin Abdullah. Li Yaddabbaru Ayatih. Majmu’ah ke-2, Hal. 285, no. 570. https://archive.org/details/1_20200322/ليدبروا%20آياته/ليدبروا%20آياته%202/

[4] Islam Web. “ولكن-يناله-التقوى-منكم”. https://www.islamweb.net/ar/article/136641/ Diakses pada 5 Juni 2025.

Download Buletin klik di sini

Idul Adha: Ketika Pengorbanan Nabi Ibrāhīm Relevan dengan Tantangan Masa Kini

Idul Adha: Ketika Pengorbanan Nabi Ibrāhīm Relevan dengan Tantangan Masa Kini

Winarno Budi Setyawan A.Ma., Pust*

 

Tinggal hitungan jam, umat Islam di seluruh dunia akan menyambut Idul Adha, sebuah momen sakral yang kaya akan makna. Di tengah hiruk pikuk kehidupan modern dan beragam tantangan yang kita hadapi, kisah pengorbanan Nabi Ibrāhīm p kembali menjadi mercusuar yang relevan, mengajarkan kita tentang nilai-nilai tauhid, keikhlasan, dan kepatuhan. Nabi Ibrāhīm p terpilih menjadi hamba Allāh ﷻ yang menghapus kesyirikan dan menghilangkan kebatilan-kabatilan yang sesat. Beliau diangkat menjadi Rasul, dan Allāh ﷻ memilihnya sebagai kekasih Allāh ﷻ pada masa berikutnya.

Namun lebih dari sekadar ritual penyembelihan hewan kurban, esensi Idul Adha menyimpan pelajaran yang mendalam dan sangat relevan dengan tantangan kehidupan modern.

Dakwah Tauhid Dilakukan dengan Santun

Nabi Ibrāhīm p dalam mendakwahkan tauhid kepada kaumnya dilakukan dengan sabar dan santun. Awal dakwah tauhid yang ia tegakkan, ialah diarahkan kepada ayahnya, karena ia seorang penyembah berhala dan yang paling berhak untuk diberi nasihat.[1]

Allāh ﷻ berfirman,

إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ يَا أَبَتِ لِمَ تَعْبُدُ مَا لَا يَسْمَعُ وَلَا يُبْصِرُ وَلَا يُغْنِي عَنْكَ شَيْئًا

Ingatlah ketika ia berkata kepada ayahnya; “Wahai Ayahku, mengapa engkau menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong engkau sedikitpun?”. (QS. Maryam [19]: 42).

Lihatlah, bagaimana Nabi Ibrāhīm p mendakwahkan tauhid kepada ayahnya dengan ungkapan sangat lembut dan ucapan yang baik untuk menjelaskan kebatilan dalam perbuatan syirik yang dilakukannya?![2] Penolakan ayahnya terhadap dakwah itu tidak menyurutkan semangat serta sikap sayang terhadap ayahnya dengan tetap akan memintakan ampunan, sekalipun permohonan ampun itu tidak dibenarkan oleh Allāh ﷻ. Disebutkan dalam firman-Nya,

وَمَا كَانَ اسْتِغْفَارُ إِبْرَاهِيمَ لِأَبِيهِ إِلَّا عَنْ مَوْعِدَةٍ وَعَدَهَا إِيَّاهُ فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُ أَنَّهُ عَدُوٌّ لِلَّهِ تَبَرَّأَ مِنْهُ ۚ إِنَّ إِبْرَاهِيمَ لَأَوَّاهٌ حَلِيمٌ

Dan permintaan ampun dari Ibrâhîm (kepada Allah) untuk ayahnya tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkan kepada ayahnya itu. Maka tatkala jelas bagi Ibrâhîm bahwa ayahnya adalah musuh Allah, maka Ibrâhîm berlepas diri darinya. Sesungguhnya Ibrâhîm adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun.” (QS. at-Taubah [9]: 114).

Kemudahan dakwah di era digital dalam menyampaikan nilai-nilai tauhid jangan dianggap sebelah mata, tetap mengedapankan kesabaran dan santun dalam berucap, berkomentar dan memberikan yang baik distatus media sosial, agar berdampak positif untuk generasi selanjutnya.

Pengorbanan di Tengah Godaan Konsumerisme

Kisah Nabi Ibrāhīm p yang rela mengorbankan putranya, Ismail, atas perintah Allāh ﷻ adalah bentuk kepatuhan mutlak terhadap Tuhan. Allāh ﷻ berfirman,

إِنَّ هَٰذَا لَهُوَ ٱلْبَلَٰٓؤُا۟ ٱلْمُبِينُ

“Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata.” (QS. ash-Shaffat [37]: 106).

Di era modern, tantangan kita bukan lagi menyembelih anak, melainkan menyembelih ego dan nafsu duniawi yang dipertuhankan. Dunia hari ini dipenuhi konsumerisme, individualisme, dan budaya instan, di mana nilai-nilai pengorbanan dan kesederhanaan mulai tergerus.

Keteguhan Iman dalam Ujian Hidup

Ada enam sikap utama yang dapat dijadikan pijakan saat menghadapi berbagai ujian kehidupan: bersabar sebagai fondasi ketahanan jiwa, memperkuat iman sebagai sumber kekuatan spiritual, senantiasa mengingat Allāh ﷻ sebagai penenteram hati, menerima dengan ikhlas setiap ketetapan Ilahi, melakukan introspeksi sebagai bentuk evaluasi diri, serta berikhtiar mencari jalan keluar secara bijak.[3]

Pemahaman ini menjadi relevan ketika dikaitkan dengan perjalanan spiritual Nabi Ibrāhīm p. Ia adalah teladan keteguhan iman dalam menghadapi beragam ujian berat: terusir dari kaumnya, menanti keturunan hingga usia senja, bahkan diperintahkan untuk menyembelih putra yang sangat dicintainya. Tidak ada pemberontakan dalam dirinya, yang ada hanyalah ketaatan total terhadap perintah Allāh ﷻ. Di sinilah pesan Idul Adha menemukan aktualisasinya bagi manusia modern.

Di tengah krisis ekonomi, tekanan sosial, maupun konflik batin akibat kondisi hidup, semangat Nabi Ibrāhīm p menegaskan bahwa iman yang kokoh adalah pelindung utama. Keimanan yang stabil akan menahan seseorang dari keputusasaan, memeliharanya dari kesombongan saat senang, dan menjaganya agar tetap berpijak di jalan yang lurus. Allāh ﷻ berfirman,

لِّيَشْهَدُوا۟ مَنَٰفِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا۟ ٱسْمَ ٱللَّهِ فِىٓ أَيَّامٍ مَّعْلُومَٰتٍ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُم مِّنۢ بَهِيمَةِ ٱلْأَنْعَٰمِ ۖ فَكُلُوا۟ مِنْهَا وَأَطْعِمُوا۟ ٱلْبَآئِسَ ٱلْفَقِيرَ

“…agar mereka menyebut nama Allah atas rezeki yang telah Allah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebagiannya dan beri makanlah orang yang sengsara dan fakir.” (QS. al-Hajj [22]: 28).

Relevansi Sosial: Solidaritas dan Kepedulian

Berbagai penelitian menyimpulkan bahwa praktik ibadah kurban tidak semata-mata berorientasi pada aspek spiritual atau ritual keagamaan, tetapi juga mengandung dimensi sosial yang mendalam. Pelaksanaan kurban mampu menciptakan ruang interaksi lintas kelas dan kelompok dalam masyarakat, yang pada akhirnya memperkuat kohesi sosial. Momentum ini menjadi ajang penguatan nilai gotong royong, kerja sama, serta rasa kepedulian terhadap sesama, terutama bagi mereka yang berada dalam kondisi ekonomi kurang beruntung.[4]

Lebih jauh, kegiatan kurban berfungsi sebagai mekanisme nyata dalam mereduksi kesenjangan sosial dan membangun solidaritas kolektif. Pembagian daging kurban memberikan kesempatan bagi masyarakat yang mampu untuk berkontribusi secara langsung dalam meningkatkan kesejahteraan sosial. Melalui kegiatan ini, nilai persaudaraan dan penghargaan antarindividu kian tumbuh, yang berdampak pada meningkatnya daya tahan sosial dan terciptanya lingkungan masyarakat yang inklusif serta harmonis.

Membebaskan Diri dari Ikatan Duniawi

Kehidupan yang kita jalani di dunia ini sejatinya hanyalah sebuah persinggahan fana, meskipun sering terasa panjang, melelahkan, dan bahkan menyesakkan. Ia tak lebih dari panggung permainan dan senda gurau semata, yang sangat berpotensi melalaikan kita dari kehidupan akhirat yang kekal abadi.[5]

Keterkaitan ini begitu kuat terrefleksikan dalam kisah agung Nabi Ibrāhīm p ketika ia bersiap mengorbankan Ismail. Tindakan tersebut bukan sekadar ritual, melainkan sebuah manifestasi radikal dari pembebasan diri dari belenggu ikatan duniawi. Ibrāhīm p menunjukkan bagaimana melepaskan diri dari keterikatan emosional terhadap apa pun yang bersifat materialistik baik itu harta, jabatan, bahkan figur-figur tercinta demi mencapai ketaatan mutlak kepada Allāh ﷻ.

Melalui pengorbanan ini, kita diajarkan bahwa ketulusan dalam mengikuti perintah Ilahi akan senantiasa berbuah kebaikan, sejalan dengan firman-Nya,

هَلْ جَزَآءُ ٱلْإِحْسَٰنِ إِلَّا ٱلْإِحْسَٰنُ

Tidak ada balasan bagi kebaikan selain kebaikan.” (QS. ar-Rahman [55]: 60).

Penutup

Idul Adha bukan hanya tentang menyembelih hewan. Ini adalah waktu untuk menyembelih keakuan, menajamkan iman, dan menumbuhkan solidaritas sosial. Kisah Nabi Ibrāhīm p hidup bukan di masa lalu, tetapi terus menginspirasi hari ini, saat kita diuji oleh gaya hidup yang penuh distraksi, egoisme, dan kehilangan makna spiritual. Mari jadikan semangat kurban sebagai jalan untuk memperkuat keimanan, ketaqwaan, jiwa, menyucikan hati, dan membangun masyarakat yang lebih adil dan berempati.

* Pustakawan Direktorat Perpustakaan UII E-mail: [email protected]

Maraji’ :

[1] Al-Bidâyah wan-Nihâyah, juz 1, h. 326. https://almanhaj.or.id/3475-meneladani-nabi-ibrahim-alaihissallam.html. Diakses pada 28 Mei 2025.

[2] Tafsir as-Sa`di, h. 444.  https://almanhaj.or.id/3475-meneladani-nabi-ibrahim-alaihissallam.html.

[3] A. Subagyo, “Enam Sikap Menghadapi Ujian,” Tadabbur Republika, 18 Mei 2023, https://tadabbur.republika.co.id/posts/110963/enam-sikap-menghadapi-ujian. Diakses pada 28 Mei 2025.

[4] E. Insani, L. U. Barakah, & S. R. Lubis, “Kurban Sebagai Sarana Penguatan Nilai-Nilai Kebersamaan dalam Masyarakat,” dalam Jurnal ARIPAFI, Vol. 02 No. 01 (2025), h. 107.

[5] Nuratika, Jadikan Allah sebagai Sandaran: Motivasi Hidup dalam Perspektif Islam Berdasarkan Filosofi Kehidupan (CV. DOTPLUS Publisher, 2020), cet. ke-1, h. 7.

Download Buletin klik di sini