Menuju Ramadhan, Bulan Penuh Keutamaan

Menuju Ramadhan, Bulan Penuh Keutamaan

Abu Musa Agus Fadilla Sandi*

 

Bismillāhi wal ḥamdulillāh, waṣ ṣalātu was salāmu ‘alā rasūlillāhi, wa ba’du.

Marhaban Ya Ramadhan! Bulan Ramadhan akan segera tiba. Ramadhan adalah anugerah Allah yang selalu dinantikan. Para sahabat Rasulullah ﷺ menunjukkan betapa bahagianya memasuki bulan ini dengan saling memberitakan kepada sesama bahwa Ramadhan akan tiba. Begitupun para ulama salafus shalih yang dengan kerinduannya bermunajat jauh hari agar dapat disampaikan kepada bulan Ramadhan. Ma’la bin al-Fadhil v berkata, “Mereka (para salaf) berdoa kepada Allah selama enam bulan agar dapat mencapai bulan Ramadhan, dan mereka berdoa kepada Allah selama enam bulan agar diterima amal mereka.”[1]

Kerinduan dan kebahagian akan tibanya bulan Ramadhan tentu bukan tanpa sebab. Ini semua didasari kesadaran bahwa Ramadhan merupakan bulan yang sangat istimewa di dalam Islam. Allah ﷻ mengkhususkan bulan ini dengan banyak keutamaan di dalamnya, sehingga diharapkan para hamba-Nya dapat mengambil manfaat dan keberkahan dari padanya. Lalu, apa saja keutamaan dalam bulan Ramadhan?

 

Pertama, Bulan Puasa (Syahr Al-Shiyam)

Ramadhan adalah bulan yang di dalamnya disyariatkan ibadah puasa. Ibadah puasa pada bulan Ramadhan merupakan salah satu kewajiban dari rukun Islam. Allah ﷻ berfirman berkaitan dengan wajibnya ibadah puasa ini di dalam surah Al-Baqarah ayat 183 yang berbunyi,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah [2]: 183)

Puasa merupakan ibadah yang sangat istimewa, karena Allah ﷻ mengkhususkan ibadah puasa itu untuk-Nya dan Allah ﷻ pula lah yang akan langsung membalasnya. Dari Abu Hurairah zberkata, Rasulullah ﷺ bersabda,

قَالَ اللهُ كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا الصِّيَامَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ

“Allah berfirman, ‘Semua amal anak Adam untuknya kecuali puasa. Ia untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya.” (HR. Bukhari no. 1761 dan Muslim no. 1946)[2]

Kedua, Bulan Al-Qur’an (Syahr Al-Qur’an)

Ramadhan adalah bulan awal diturunkannya Al-Qur’an, sebagaimana firman Allah ﷻ,

شَهْرُ رَمَضَانَ ٱلَّذِىٓ أُنزِلَ فِيهِ ٱلْقُرْءَانُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَٰتٍ مِّنَ ٱلْهُدَىٰ وَٱلْفُرْقَانِ

“Bulan Ramadhan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan yang batil).…” (QS. Al-Baqarah [2]: 185).

Pada ayat yang lain, Allah ﷻ juga berfirman,

إِنَّآ أَنزَلْنَٰهُ فِى لَيْلَةِ ٱلْقَدْرِ

“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada Lailatulqadar.” (QS. Al-Qadr [97]: 1)

Ibn Rajab berkata bahwa salafus shalih banyak membaca Al-Qur’an di bulan Ramadhan, baik dalam shalat maupun di luar shalat. Qatadah mengkhatamkan Al-Qur’an setiap tujuh malam, tetapi di bulan Ramadhan setiap tiga malam, dan dalam sepuluh hari terakhir setiap malam. Ibn al-Hakam berkata bahwa Imam Malik ketika memasuki bulan Ramadhan, meninggalkan pembelajaran hadits dan diskusi ilmu, beliau hanya fokus membaca Al-Qur’an. Sufyan ats-Tsauri juga meninggalkan semua bentuk ibadah lainnya di Ramadhan dan mengkhususkan diri membaca Al-Qur’an.[3]

Bulan Menegakkan Ibadah (Syahr Al-Qiyam)

Bulan Ramadhan identik dengan bulan ditegakkannya ibadah, baik wajib maupun sunah, sepanjang siang hingga malam. Ibadah yang ditegakkan pada malam hari seperti salat tarawih dan witir disebut dengan qiyam al-lail. Rasulullah ﷺ mendorong umatnya agar melaksanakan qiyam al-lail, sebagaimana riwayat dari Abu Hurairah z, Rasulullah ﷺ bersabda,

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa melakukan qiyam Ramadhan karena iman dan mencari pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 37 dan Muslim no. 759).[4]

Di sisi lain, di dalam bulan Ramadhan ini juga terdapat lailatul qadr yang keutamaannya melebihi ibadah seribu bulan. Allah ﷻ berfirman,

لَيْلَةُ ٱلْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ. تَنَزَّلُ ٱلْمَلَٰٓئِكَةُ وَٱلرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ أَمْرٍ. سَلَٰمٌ هِىَ حَتَّىٰ مَطْلَعِ ٱلْفَجْرِ.

Lailatulqadar itu lebih baik daripada seribu bulan. Pada malam itu turun para malaikat dan Rūḥ (Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur semua urusan. Sejahteralah (malam) itu sampai terbit fajar.” (QS. Al-Qadr [97]: 3-5).

Ketika seorang hamba mampu meraih malam mulia ini, maka sejatinya ia dapat memiliki pahala bahkan melampui usianya.

Bulan Kerahiman, Pengampunan, dan Pembebasan (Syahr Al-Rahmah wal Ghufrân wal ‘Itq)

Bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh dengan rahmat, pengampunan, dan pembebasan dari neraka. Oleh karena itu, seorang muslim diharapkan menyadari pentingnya bulan ini dengan memanfaatkan setiap saatnya untuk beribadah dan berbuat kebajikan. Dengan demikian, semoga ia dapat meraih rahmat dari Rabb-nya, diampuni dosanya, dan dibebaskan dari neraka hingga.

Nabi ﷺ telah memberikan gambaran tentang betapa mulianya bulan Ramadhan ini melalui sabdanya berikut,

ﻗَﺪْ ﺟَﺎﺀَﻛُﻢْ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥُ، ﺷَﻬْﺮٌ ﻣُﺒَﺎﺭَﻙٌ، ﺍﻓْﺘَﺮَﺽَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﺻِﻴَﺎﻣَﻪُ، ﺗُﻔْﺘَﺢُ ﻓِﻴﻪِ ﺃَﺑْﻮَﺍﺏُ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ، ﻭَﺗُﻐْﻠَﻖُ ﻓِﻴﻪِ ﺃَﺑْﻮَﺍﺏُ ﺍﻟْﺠَﺤِﻴﻢِ، ﻭَﺗُﻐَﻞُّ ﻓِﻴﻪِ ﺍﻟﺸَّﻴَﺎﻃِﻴﻦُ، ﻓِﻴﻪِ ﻟَﻴْﻠَﺔٌ ﺧَﻴْﺮٌ ﻣِﻦْ ﺃَﻟْﻒِ ﺷَﻬْﺮٍ، ﻣَﻦْ ﺣُﺮِﻡَ ﺧَﻴْﺮَﻫَﺎ ﻓَﻘَﺪْ ﺣُﺮِﻡَ

Telah datang kepada kalian Ramadhan, bulan yang diberkahi. Allah mewajibkan atas kalian berpuasa padanya. Pintu-pintu surga dibuka padanya. Pintu-pintu Jahim (neraka) ditutup. Setan-setan dibelenggu. Di dalamnya terdapat sebuah malam yang lebih baik dibandingkan 1000 bulan. Siapa yang dihalangi dari kebaikannya, maka sungguh ia terhalangi.” (HR. Ahmad No. 385)[5]

Raihlah Keutaman dengan Kesungguhan!

Bulan Ramadhan dengan segala keutamaannya menjadi motivasi tersendiri bagi setiap muslim untuk berbahagia menyambut kedatangannya. Ramadhan adalah satu bulan yang telah Allah muliakan dengan menjadikannya sebagai bulan disyariatkannya puasa, bulan diturunkannya Al-Qur’an, bulan ditegakkannya ibadah dengan pahala berlimpah, pun sebagai bulan yang penuh kerahiman, pengampunan dan pembebasan.

Teruslah berdoa agar Allah menyampaikan kita pada bulan Ramadhan yang mulia. Satu bulan yang memiliki banyak keutamaan harusnya mendorong kita lebih memanfaatkan setiap masa bersamanya. Sebab, tidak ada yang tahu kapan lagi kita akan dapat bertemu! Semoga Allah membimbing kita dapat beribadah di dalamnya dengan kesungguhan, hingga nantinya meraih keutamaan yang dijanjikan. Allâhumma Âmîn.

Maraji’ :

* Pimpinan Ma’had Sabilul Qur’an (MSQ) Cibinong, Bogor

[1] Isma’il bin Muhammad al-Asbahani, At-Targhib wa at-Tarhib (Cairo: Dar al-Hadith, 1993), h. 354.

[2] “الدرر السنية – الموسوعة الحديثية – شروح الأحاديث,” dorar.net, diakses 23 Januari 2025. https://dorar.net/hadith/sharh/1608.

[3] Abū al-ʿAlāʾ Muḥammad ibn Ḥusayn ibn Yaʿqūb, Asrār al-Muḥibbīn fī Ramaḍān (Maktabat al-Taqwā wa Maktabat Shawq al-Ākhirah, 2005), h. 117.

[4] “الدرر السنية – الموسوعة الحديثية – شروح الأحاديث,” dorar.net, diakses 23 Januari 2025, https://dorar.net/hadith/sharh/1455.

[5] “الدرر السنية – الموسوعة الحديثية – شروح الأحاديث,” dorar.net, diakses 23 Januari 2025, https://dorar.net/hadith/sharh/92044.

Download Buletin klik di sini

Ramadhan Bulan yang Dinanti, Kesempatan yang Tak Terganti

Ramadhan Bulan yang Dinanti, Kesempatan yang Tak Terganti

Nizar Sadat*

 

Sahabat pembaca dimanapun berada, semoga selalu dalam lindungan dan keberkahan Allâh ﷻ. Tinggal menghitung hari menuju bulan suci, yaitu bulan Ramadhan, bulan yang selalu dinantikan oleh seluruh umat Islam di seluruh dunia. Bulan Ramadhan adalah bulan yang Istimewa untuk kaum muslimin, bulan ke-9 dari kalender hijriyah yang ditandai dengan kewajiban berpuasa bagi umat Islam, dan bulan ini sangat dipenuhi dengan keberkahan yang akan diberikan oleh Allâh ﷻ. Imam Ahmad dan Imam an-Nasa’i meriwayatkan sebuah hadits shahih dari Abu Hurairah z, suatu saat Rasûlullâh ﷺ memberikan kabar gembira kepada sahabatnya, beliau bersabda,

قَدْ جَاءَكُمْ رَمَضَانُ شَهْرٌ مُبَارَكٌ افْتَرَضَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ تُفْتَحُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَتُغْلَقُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَحِيمِ وَتُغَلُّ فِيهِ الشَّيَاطِينُ فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنَ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حُرِمَ خَيْرَهَا فَقَدْ حُرِمَ

“Sungguh telah datang kepada kalian bulan Ramadhan, bulan yang penuh berkah. Allah mewajibkan kepada kamu sekalian untuk berpuasa. Pada bulan itu pintu-pintu surga dibuka dan pintu neraka Jahanam dikunci, dan setan-setan dibelenggu. Pada bulan itu ada suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Maka siapa yang tidak berusaha untuk mendapatkan kebaikannya, maka luputlah semua kebaikannya.” (HR. Ahmad no. 8631)[1]

Lantas apa yang perlu dilakukan supaya tidak melewatkan kesempatan yang tak terganti?

Berdo’a agar Dipertemukan dengan Bulan Ramadhan

Seorang ulama dari kalangan tab’in Yahya bin Abi Katsir, bahwa beliau mengatakan, ‘Diantara doa sebagian sahabat ketika datang Ramadhan,

اَللَّهُمَّ سَلِّمْنـِي إِلَى رَمَضَانَ وَسَلِّمْ لِـي رَمَضَانَ وَتَسَلَّمْهُ مِنِّي مُتَقَبَّلاً

Ya Allah, antarkanlah aku hingga sampai Ramadhan, dan antarkanlah Ramadhan kepadaku, dan terimalah amal-amalku di bulan Ramadhan.”[2]

Berdo’a dengan niat untuk melakukan segala perbuatan baik dan untuk meningkatkan kualitas diri agar bisa dipertemukan dan tidak melewatkan kesempatan yang Istimewa ini.

Bertaubat dan Membersihkan Diri

Bulan Ramadhan adalah bulan kebersihan dan kesucian, maka dari itu bertaubat dan membersihkan diri baik adalah salah satu yang perlu dilakukan. Allâh ﷻ berfirman,

إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلتَّوَّٰبِينَ وَيُحِبُّ ٱلْمُتَطَهِّرِينَ

Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang menyucikan/membersihkan diri”. (QS. Al Baqarah [2]: 222).

Membersihkan diri baik fisik dan hati adalah hal yang tidak bisa dipisahkan, keduanya saling berkaitan satu sama lain, oleh karena itu dengan bertaubat dan membersihkan diri dengan harapan bisa menjalankan ibadah Puasa dengan penuh ketaqwaan kepada Allâh ﷻ. Bertaubat adalah salah satu bentuk tanda Syukur totalitas seorang muslim dalam menghadapi Ramadhan. Allâh ﷻ berfirman,

وَتُوبُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ ٱلْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung” (QS. An Nûr [24]: 31).

Mempersiapkan Ilmu tentang Puasa

Pada bulan Ramadhan, setiap muslim memiliki kewajiban untuk berpuasa dengan menahan lapar dan haus dari terbit fajar hingga terbenam matahari, tetapi banyak sekali orang yang menjalankan ibadah apapun tanpa mengetahui ilmu didalamnya dan hanya sekedar ibadah. Rasûlullâh ﷺ bersabda,

رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الجُوْعُ وَالعَطَشُ

Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga.” (HR. Ath Thabrani).[3]

Dari hadits diatas maka sudah seharusnya kita mengetahui segala hal yang baik dilakukan dan yang tidak baik dilakukan, banyak cara yang bisa dilakukan untuk mencari dan mempelajari ilmu tentang puasa, dengan mengikuti kajian, bertanya kepada ulama, dan menonton ceramah agar ibadah yang dilakukan tidak sia-sia dan bisa mendulang pahala yang tidak terhingga. Dalam riwayat Muslim, dari Abu Hurairah z, Rasûlullâh ﷺ bersabda,

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ

“Setiap amalan kebaikan anak Adam akan dilipatgandakan menjadi 10 hingga 700 kali dari kebaikan yang semisal. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman (yang artinya), “Kecuali puasa, amalan tersebut untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya karena dia telah meninggalkan syahwat dan makanannya demi Aku.” (HR. Bukhari no. 1904, 5927 dan Muslim no. 1151)

Meningkatkan Ketahanan Mental dan Spiritual

Pada bulan Ramadhan ketahanan mental orang yang menjalankan puasa akan diuji dengan berbagai macam ujian yang mungkin sebelumnya tidak ditemui di bulan-bulan sebelumnya. Allâh ﷻ  berfirman,

إِنَّمَا يُوَفَّى ٱلصَّٰبِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ

Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dibalas dengan pahala tanpa batas.” (QS. Az Zumar [39]: 10).

Sabar adalah salah satu senjata dalam menjaga mental dan meningkatkan spiritual dibulan Ramadhan, banyak hal yang harus dijaga pada bulan Ramadhan, baik dari perkataan dan perbuatan, dan banyak juga yang bisa dilakukan dengan cara menjaga kualitas ibadah dan hubungan kepada Allâh ﷻ.

Dari Abu Hurairah, Rasûlullâh ﷺ bersabda:

لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الأَكْلِ وَالشَّرَبِ ، إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ ، فَإِنْ سَابَّكَ أَحَدٌ أَوْ جَهُلَ عَلَيْكَ فَلْتَقُلْ : إِنِّي صَائِمٌ ، إِنِّي صَائِمٌ

Puasa bukanlah hanya menahan makan dan minum saja. Akan tetapi, puasa adalah dengan menahan diri dari perkataan lagwu dan rofats. Apabila ada seseorang yang mencelamu atau berbuat usil padamu, katakanlah padanya, “Aku sedang puasa, aku sedang puasa”. (HR. Ibnu Majah dan Hakim).[4]

Dengan memperkuat mental dan spiritual maka semakin kuat dan semakin baik untuk mengambil kesempatan yang tak akan terganti.

Para pembaca dimanapun berada, banyak sekali ladang pahala yang bisa diambil pada bulan Ramadhan, isi lah hari-hari sebelum bertemu bulan Ramadhan dengan amalan yang bermanfaat, bukan dengan perbuatan yang tidak bermanfaat, dan manfaatkanlah waktu menuju bulan Ramadhan sekaligus mempersiapkan agar tidak melewatkan kesempatan yang tak tergantikan.

Semoga Allâh ﷻ memberikan keberkahan dan petunjuk dalam menjalani kehidupan. Âmîn.

* Alumni FIAI UII

Maraji’ :

[1] HR. Ahmad dalam Al-Musnad (2/385). Dinilai Sahih oleh Al-Arna’uth dalam Takhrijul Musnad no. 8991.

[2] Ibnu Rajab. Lathaif Al-Ma’arif. h. 264.

[3] HR. Ath Thabrani dalam Al Kabir dan sanadnya tidak mengapa. Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targib wa At Tarhib no. 1084 mengatakan bahwa hadits ini shahih lighairihi –yaitu shahih dilihat dari jalur lainnya. https://rumaysho.com/469-jangan-biarkan-puasamu-sia-sia.html. Diakses pada 2 Februari 2025.

[4] HR. Ibnu Majah dan Hakim. Syaikh Al Albani dalam Shohih At Targib wa At Tarhib no. 1082 mengatakan bahwa hadits ini shohihhttps://rumaysho.com/469-jangan-biarkan-puasamu-sia-sia.html. Diakses pada 2 Februari 2025.

Download Buletin klik di sini

Keistimewaan Sya’ban Yang Terlupakan

Keistimewaan Sya’ban Yang Terlupakan

Putut Sutarwan*

 

Pembaca Al-Rasikh yang berbahagia, saat ini kita sudah berada di bulan Sya’ban 1446 H[1]. Perlu kiranya memahami keutamaan bulan Sya’ban dan amalan apa saja yang dapat mendekatkan diri kepada Allâh ﷻ. Nama Sya’ban berarti “pemisahan”, disebut demikian karena orang-orang Arab pergi berpencar dan berpisah pada bulan ini untuk mencari air.[2]

Bulan Sya’ban menjadi penanda akan segera tibanya bulan Ramadhan. Bulan Sya’ban adalah salah satu bulan yang penuh berkah dalam kalender Islam, keberadaannya diapit oleh dua bulan mulia, yaitu Rajab dan Ramadhan, terkadang keutamaan di bulan Sya’ban sering terlupakan padahal bulan ini memiliki keutamaan yang sangat besar dan menjadi waktu yang tepat bagi umat Islam untuk mempersiapkan diri secara spiritual menyambut Ramadhan. Berikut keutamaan bulan Sya’ban:

Bulan Puasa Sunnah

Sya’ban adalah bulan yang disukai Rasûlullâh ﷺ untuk memperbanyak puasa sunah. Bahkan beliau hampir berpuasa satu bulan penuh, kecuali satu atau dua hari di akhir bulan saja agar tidak mendahului Ramadhan dengan satu atau dua hari puasa sunnah.

Dari Aisyah xberkata, “Aku tidak pernah melihat Rasûlullâh ﷺ melakukan puasa satu bulan penuh kecuali puasa bulan Ramadhan dan aku tidak pernah melihat beliau lebih banyak berpuasa sunah melebihi (puasa sunah) di bulan Sya’ban.”[3] (HR. Bukhari no. 1969 dan Muslim no. 1156)

Dari Ummu Salamah xberkata, “Aku tidak pernah melihat Rasûlullâh ﷺ berpuasa dua bulan berturut-turut kecuali bulan Sya’ban dan Ramadhan.” (HR. Tirmidzi no. 726, An-Nasai 4/150, Ibnu Majah no.1648, dan Ahmad 6/293)

Imam Ash-Shan’ani berkata, “Hadits ini menunjukkan bahwa Rasûlullâh ﷺ mengistimewakan bulan Sya’ban dengan puasa sunnah lebih banyak dari bulan lainnya.” (Subulus Salam Syarh Bulughul Maram, 2/239)

Maksud berpuasa dua bulan berturut-turut di sini adalah berpuasa sunah pada sebagian besar bulan Sya’ban (sampai 27 atau 28 hari) lalu berhenti puasa sehari atau dua hari sebelum bulan Ramadhan, baru dilanjutkan dengan puasa wajib Ramadhan selama satu bulan penuh.

Hal ini selaras dengan hadits dari Aisyah berkata, “Aku tidak pernah melihat beliau ﷺ lebih banyak berpuasa sunah dari pada bulan Sya’ban. Beliau berpuasa di bulan Sya’ban seluruh harinya, yaitu beliau berpuasa satu bulan Sya’ban kecuali sedikit (beberapa) hari.” (HR. Muslim no. 1156 dan Ibnu Majah no. 1710).[4]

Kedudukan puasa sunah di bulan Sya’ban dari puasa wajib Ramadhan adalah seperti kedudukan shalat sunah qabliyah bagi shalat wajib. Puasa sunah di bulan Sya’ban akan menjadi persiapan yang tepat dan pelengkap bagi kekurangan puasa Ramadhan.

Bulan Menyirami Amal-Amal Saleh

Di bulan Ramadhan kita dianjurkan untuk menyirami amal-amal saleh dengan memperbanyak membaca Al-Qur’an, berdzikir, beristighfar, shalat tahajud dan witir, shalat dhuha, dan sedekah. Untuk mampu melakukan hal itu semua dengan ringan dan istiqamah (konsisten), diperlukan latihan dan pembiasaan diri. Di sinilah bulan Sya’ban menempati posisi yang sangat urgen sebagai waktu yang tepat untuk berlatih membiasakan diri beramal sunah secara tertib dan kontinyu.

Latihan dan pembiasaan diri ini bertujuan agar saat Ramadhan, kita bisa menjalani ibadah dengan penuh semangat dan keikhlasan. Tanaman iman dan amal saleh yang dirawat dengan baik sejak Sya’ban dan ditekuni selama Ramadhan insyâllâh membuahkan takwa yang sejati. Jadi, bulan Sya’ban bukan sekadar bulan biasa, melainkan waktu yang sangat penting untuk mempersiapkan diri menghadapi Ramadhan dengan optimal.

Abu Bakar Al-Balkhi v berkata, “Bulan Rajab adalah bulan menanam. Bulan Sya’ban adalah bulan menyirami tanaman. Dan bulan Ramadhan adalah bulan memanen hasil tanaman.” Beliau juga berkata, “Bulan Rajab itu bagaikan angin. Bulan Sya’ban itu bagaikan awan. Dan bulan Ramadhan itu bagaikan hujan.”[5]

Bulan Persiapan Menyambut Ramadhan

Bulan Sya’ban adalah bulan latihan, pembinaan dan persiapan diri agar menjadi orang yang sukses beramal saleh di bulan Ramadhan. Untuk mengisi bulan Sya’ban dan sekaligus sebagai persiapan menyambut bulan suci Ramadhan, ada beberapa hal yang selayaknya dikerjakan oleh setiap muslim.

Persiapan Iman. Bulan Sya’ban adalah waktu yang tepat untuk meningkatkan kualitas keimanan sebagai bekal menghadapi Ramadhan dengan memperkuat tauhid, mengingat kembali bahwa semua ibadah ditujukan hanya untuk Allah, sehingga hati lebih siap menjalani Ramadhan dengan penuh keikhlasan.

Persiapan Ilmu. Pemahaman yang benar tentang ibadah di bulan Ramadhan sangat penting agar ibadah dilakukan sesuai tuntunan syar’i, seperti (a) Mengetahui rukun, syarat, dan hal-hal yang membatalkan puasa agar ibadah menjadi sah dan sempurna. (b) Menyadari bahwa Ramadhan adalah bulan penuh rahmat, maghfirah, dan pembebasan dari neraka, sehingga termotivasi untuk beramal lebih baik. (c) Mengasah pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Qur’an untuk mendapatkan manfaat spiritual yang lebih mendalam selama Ramadhan.

Persiapan Mental. Mental yang kuat dibutuhkan agar mampu menjalani ibadah Ramadhan dengan konsisten dan penuh semangat dengan cara: (a) Membangun rutinitas yang mendukung, seperti bangun lebih awal untuk qiyamul lail atau sahur sunnah di bulan Sya’ban. (b) Berlatih sabar dan menghindari sikap mudah marah atau emosi negatif, karena Ramadhan mengajarkan pentingnya menahan diri. (c) Menentukan tujuan pribadi di bulan Ramadhan, seperti khatam Al-Qur’an, memperbaiki akhlak, atau meningkatkan kualitas shalat.

Persiapan yang matang di bulan Sya’ban sangat penting agar setiap Muslim dapat menyambut Ramadhan dengan kondisi spiritual, intelektual, dan mental yang optimal. Dengan persiapan yang baik, insyâllâh kita bisa menjalani bulan Ramadhan dengan lebih bermakna dan penuh berkah.

Wallâhu a’lam bish shawab.

*Directorate of Facilities and Infrastructure Universitas Islam Indonesia

Maraji’ :

[1] https://kbbi.kemdikbud.go.id/Cari/Etimologi?eid=80514. Diakses 29 Januari 2025.

[2] https://id.wikipedia.org/wiki/Syakban. Diakses 29 Januari 2025.

[3] Imam Bukhari, Shahih Bukhari, Daar Ibnu Katsir, Damaskus dan Beirut, th. 2002, Hal. 473 Hadis No. 1969

[4] https://pn-cilacap.go.id/index.php/en/beritapengumuman/seputar-pn-cilacap/636-keutamaan-dan-amalan-amalan-di-bulan-syaban. Diakses 29 Januari 2025.

[5] Ibnu Rajab. Lathaifu’l-Ma’arif. h. 138.

Download Buletin klik di sini

Sya’ban Telah Tiba

Sya’ban Telah Tiba

Al Katitanji

 

Waktu terus berjalan dan tak akan pernah kembali lagi. Rajab telah berlalu, tibalah Sya’ban dan akan menyusul Ramadhan, bulan yang istimewa dan penuh keberkahan di dalamnya. Sungguh beruntung orang yang mengisi hidupnya untuk memurnikan ibadah hanya kepada Allah ﷻ dan menjauhi kesyirikan terutama pada bulan-bulan yang mulia. Terus bersiap diri (isti’dad) menyambut bulan Ramadhan penuh berkah dan pahala besar dengan puasa dan amal shalih lainnya.

Penamaan Bulan Sya’ban

Saat ini kita berada di bulan Sya’ban (jawa: Ruwah), dinamakan bulan Sya’ban karena di saat penamaan bulan ini banyak orang Arab yang berpencar-pencar mencari air atau berpencar-pencar di gua-gua setelah lepas bulan Rajab. Ibnu Hajar Al-‘Asqalani mengatakan,

وَسُمِّيَ شَعْبَانُ لِتَشَعُّبِهِمْ فِيْ طَلَبِ الْمِيَاهِ أَوْ فِيْ الْغَارَاتِ بَعْدَ أَنْ يَخْرُجَ شَهْرُ رَجَبِ الْحَرَامِ

Dinamakan Sya’ban karena mereka berpencar-pencar mencari air atau di dalam gua-gua setelah bulan Rajab Al-Haram.”[1]

Sya’ban, Bulan Dinaikkan Amal Kebajikan

Inilah bulan dimana sebagian orang melalaikannya, seharusnya kita lebih bersemangat untuk beramal shalih karena pada bulan Sya’ban berbagai amal dinaikkan kehadapan Allâh ﷻ. Dari Usamah bin Zaid, beliau berkata, “Katakanlah wahai Rasûlullâh ﷺ, aku tidak pernah melihatmu berpuasa selama sebulan dari bulan-bulannya selain di bulan Syaban”. Rasûlullâh ﷺ bersabda,

ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ

Bulan Sya’ban adalah bulan di mana manusia mulai lalai yaitu di antara bulan Rajab dan Ramadhan. Bulan tersebut adalah bulan dinaikkannya berbagai amalan kepada Allah, Rabb semesta alam. Oleh karena itu, aku amatlah suka untuk berpuasa ketika amalanku dinaikkan.” (HR. An Nasâ’i no. 2357).[2]

Seharusnya kesempatan mulia ini tidak disia-siakan oleh siapapun. Sya’ban sebagai start awal menyambut Ramadhan. Seorang ulama dari kalangan tab’in Yahya bin Abi Katsir v, bahwa beliau mengatakan, ‘Diantara doa sebagian sahabat ketika datang Ramadhan,

اَللَّهُمَّ سَلِّمْنـِي إِلَى رَمَضَانَ وَسَلِّمْ لِـي رَمَضَانَ وَتَسَلَّمْهُ مِنِي مُتَقَبَّلاً

Ya Allah, antarkanlah aku hingga sampai Ramadhan, dan antarkanlah Ramadhan kepadaku, dan terimalah amal-amalku di bulan Ramadhan.”[3]

Kita dapat mengisi hari-hari yang kita lalui di bulan Sya’ban dengan memperbanyak amal shalih tanpa harus membatasi, di antara amal shalih yang bisa kita lakukan adalah:

Perbanyak Puasa

Nabi ﷺ mengisi bulan Sya’ban dengan memperbanyak berpuasa sebagai persiapan menghadapi bulan Ramadhan. Bahkan Nabi ﷺ sendiri banyak berpuasa ketika bulan Sya’ban dibanding bulan-bulan lainnya selain puasa wajib di bulan Ramadhan.

Dari ‘Aisyah, beliau mengatakan,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لاَ يُفْطِرُ، وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لاَ يَصُومُ. فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلاَّ رَمَضَانَ، وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِى شَعْبَانَ.

Rasulullah biasa berpuasa, sampai kami katakan bahwa beliau tidak berbuka. Beliau pun berbuka sampai kami katakan bahwa beliau tidak berpuasa. Aku tidak pernah sama sekali melihat Rasulullah berpuasa secara sempurna sebulan penuh selain pada bulan Ramadhan. Aku pun tidak pernah melihat beliau berpuasa yang lebih banyak daripada berpuasa di bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 1969 dan Muslim no. 1156)

‘Aisyah juga mengatakan,

لَمْ يَكُنِ النَّبِىُّ ﷺ يَصُومُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ، فَإِنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ

Nabi tidak biasa berpuasa pada satu bulan yang lebih banyak dari bulan Syaban. Nabi biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya.” (HR. Bukhari no. 1970 dan Muslim no. 1156)

Dalam lafazh Muslim, ‘Aisyah mengatakan,

كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلاَّ قَلِيلاً.

Nabi biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya. Namun beliau berpuasa hanya sedikit hari saja.” (HR. Muslim no. 1156)

Dari Ummu Salamah, beliau mengatakan,

أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ يَصُومُ مِنَ السَّنَةِ شَهْرًا تَامًّا إِلاَّ شَعْبَانَ يَصِلُهُ بِرَمَضَانَ.

Nabi dalam setahun tidak berpuasa sebulan penuh selain pada bulan Sya’ban, lalu dilanjutkan dengan berpuasa di bulan Ramadhan.” (HR. Abu Daud dan An Nasâ’i).[4]

Sibukkan Baca Al Qur’an

Ternyata salaf memberi petunjuk pada kita untuk memperbanyak membaca Qur’an sejak dari bulan Sya’ban, bukan hanya di bulan Ramadhan. Sebagaimana bulan Ramadhan kita dituntunkan untuk sibuk dengan Al Qur’an, maka sebagai pemanasan aktivitas mulia tersebut sudah seharusnya dimulai dari bulan Sya’ban.

Salamah bin Kahîl berkata,

كَانَ يُقَالُ شَهْرُ شَعْبَانَ شَهْرُ الْقُرَّاءِ.

Dahulu bulan Sya’ban disebut pula dengan bulan membaca Al Qur’an.”

Diriwayatkan bahwa ‘Amr bin Qois ketika memasuki bulan Sya’ban,

أَغْلَقَ حَانُوْتَهُ وَتَفَرَّغَ لِقِرَاءَةِ القُرْآنِ.

Beliau menutup tokonya dan lebih menyibukkan diri dengan Al Qur’an.[5]

Abu Bakr Al Balkhi berkata,

شَهْرُ رَجَبَ شَهْرُ الزَّرْعِ، وَشَهْرُ شَعْبَانَ شَهْرُ سُقْيِ الزَّرْعِ، وَشَهْرُ رَمَضَانَ شَهْرُ حَصَادِ الزَّرْعِ

Bulan Rajab saatnya menanam. Bulan Sya’ban saatnya menyiram tanaman dan bulan Ramadhan saatnya menuai hasil.”

Abu Bakr Al Balkhi juga berkata,

مَثَلُ شَهْرِ رَجَبٍ كَالرِّيْحِ، وَمَثُل شَعْبَانَ مَثَلُ الْغَيْمِ، وَمَثَلُ رَمَضَانَ مَثَلُ اْلمطَرِ، وَمَنْ لَمْ يَزْرَعْ وَيَغْرِسْ فِيْ رَجَبٍ، وَلَمْ يَسْقِ فِيْ شَعْبَانَ فَكَيْفَ يُرِيْدُ أَنْ يَحْصِدَ فِيْ رَمَضَانَ.

“Perumpamaan bulan Rajab adalah seperti angin, bulan Sya’ban seperti awan yang membawa hujan dan bulan Ramadhan seperti hujan. Barang siapa yang tidak menanam di bulan Rajab dan tidak menyiraminya di bulan Sya’ban bagaimana mungkin dia akan memanen hasilnya di bulan Ramadhan.”[6]

Anjuran Membayar Zakat

Tujuan utama membayar zakat di bulan Sya’ban adalah agar orang miskin dan lemah bisa menjalani ibadah puasa di bulan Ramadhan tanpa harus terlalu pusing atau merasa susah dengan mencari makanan di bulan Ramadhan.[7]

Ibnu Hajar Al-Asqalani menjelaskan,

رُوِيَ عَنْ بَعْضِ السَّلَفِ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا دَخَلَ شَعْبَانَ أَخْرَجُوْا زَكَاةَ أَمْوَالِهِمْ تَقْوِيَةُ لِلضَّعِيْفِ وَالمِسْكِيْنِ عَلَى صِيَامِ رَمَضَانَ

Diriwayatkan bahwa sebagian salaf mengeluarkan zakat harta mereka di bulan Sya’ban dengan tujuan agar kaum miskin dan dhu’afa mampu menjalani ibadah puasa di bulan Ramadhan.”[8]

Zakat harta atau zakat mal adalah zakat yang dikeluarkan setiap tahun, sehingga apabila harta kita terus di atas nishab, maka kita bisa rutin mengeluarkan zakat tepat di bulan Sya’ban setiap tahun.

Dari ‘Aisyah, beliau berkata, “Aku telah mendengar Rasûlullâh ﷺ bersabda,

ﻻَ ﺯَﻛَﺎﺓَ ﻓِﻲْ ﻣَﺎﻝٍ ﺣَﺘَّﻰ ﻳَﺤُﻮْﻝَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺍﻟْﺤَﻮْﻝُ

Tidak ada zakat pada harta sampai harta itu berlalu setahun lamanya.” (HR. Ibnu Majah, shahih).[9]

Akhirnya kita memohon kepada Allah, agar dikaruniakan pertolongan dan taufik-Nya. Ya Allah mudahkanlah kami beramal shalih di bulan Sya’ban, pertemukan kami dengan bulan Ramadhan dan terimalah amal-amal kami. Âmîn.

Maraji’ :

[1] Ibnu Hajar al Atsqalani. Fathul-Bâri IV/213, Bab Shaumi Sya’ban. Said Yai Ardiyansyah. “Optimalkan Ibadah di Bulan Sya’ban.” https://muslim.or.id/21581-optimalkan-ibadah-di-bulan-syaban.html. Diakses pada Kamis, 23 Rajab 1446/ 23 Januari 2025.

[2] Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.

[3] Ibnu Rajab. Lathaif Al-Ma’arif. h. 264.

[4] Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Muhammad Abduh Tuasikal. “Banyak Berpuasa di Bulan Sya’ban.” https://rumaysho.com/384-banyak-berpuasa-di-bulan-syaban.html. Diakses pada Kamis, 23 Rajab 1446/ 23 Januari 2025.

[5] Ibnu Rajab. Lathaifu’l-Ma’arif. h. 138.

[6] Ibid. h. 130.

[7] Raehanul Bahraen. “Anjuran Membayar Zakat di Bulan Sya’ban.” https://muslim.or.id/46434-anjuran-membayar-zakat-di-bulan-syaban.html. Diakses pada Kamis, 23 Rajab 1446/ 23 Januari 2025.

[8] Ibnu Hajar al Atsqalani. Fathul Bâri 13/311.

[9] Raehanul Bahraen. “Anjuran Membayar Zakat di Bulan Sya’ban.” https://muslim.or.id/46434-anjuran-membayar-zakat-di-bulan-syaban.html. Diakses pada Kamis, 23 Rajab 1446/ 23 Januari 2025.

Download Buletin klik di sini

Mindfulness dalam Shalat: Seni Khusyu’ untuk Self-Care

Mindfulness dalam Shalat: Seni Khusyu’ untuk Self-Care

Muhammad Abdul Aziz*

 

Bismillâh, alhamdulillâh wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh.

Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern, di mana stres dan kesibukan sering mendominasi, muncul kebutuhan mendesak untuk menemukan kedamaian batin. Salah satu cara yang paling mendalam dan bermakna untuk mencapainya adalah melalui shalat yang dilakukan dengan khusyuk. Mindfulness, atau kesadaran penuh, ternyata sangat selaras dengan ajaran Islam, terutama dalam praktik shalat. Dalam Islam, konsep serupa dikenal dengan khusyuk dalam shalat, yang tidak hanya berfungsi sebagai ibadah, tetapi juga sebagai bentuk self-care yang efektif. Shalat yang khusyuk bukan hanya ibadah, tetapi juga bentuk self-care yang mampu menenangkan hati, pikiran, dan jiwa.

Apa Itu Mindfulness dalam Shalat?

Mindfulness, menurut definisi umum, adalah keadaan di mana seseorang sepenuhnya hadir dan sadar akan apa yang sedang dilakukan, tanpa terganggu oleh pikiran masa lalu atau kekhawatiran tentang masa depan. Mindfulness adalah praktik kesadaran penuh terhadap apa yang sedang dilakukan saat ini. Dalam shalat, mindfulness tercermin melalui khusyuk, di mana seseorang fokus pada bacaan dan gerakan tanpa memikirkan hal lain. Dengan demikian, shalat menjadi sarana pelatihan mindfulness yang terinternalisasi dari esensi shalat itu sendiri[[1]].

Dalam konteks Islam, mindfulness diterjemahkan ke dalam konsep khusyuk, yaitu fokus penuh dalam shalat dengan menghadirkan hati dan pikiran kepada Allâh ﷻ.

Dengan khusyu’, seseorang yang shalat dapat menyatukan antara kebersihan lahiriyah dan kebersihan batiniyah, ketika dia berkata dalam ruku`nya,

خَشَع لَكَ َ سَمْعِي وَبَصَرِي وَمُخِّي وَعَظْمِي وَعَصَبِي.

”Khusyu’ kepadaMu pendengaranku, penglihatanku, otakku, tulangku dan otot-ototku”. (HR Muslim)[[2]].

Allâh ﷻ berfirman,

وَاِنَّ لَكُمْ فِى الْاَنْعَامِ لَعِبْرَةًۗ نُسْقِيْكُمْ مِّمَّا فِيْ بُطُوْنِهَا وَلَكُمْ فِيْهَا مَنَافِعُ كَثِيْرَةٌ وَّمِنْهَا تَأْكُلُوْنَ ۙ

“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya.” (QS. Al-Mu’minun [23]: 1-2).

Ayat ini menegaskan pentingnya khusyuk sebagai elemen kunci dalam shalat. Ketika seorang muslim shalat dengan khusyuk, ia tidak hanya menjalankan kewajiban agama, tetapi juga memasuki kondisi kesadaran penuh yang memberikan ketenangan jiwa.

Shalat sebagai Bentuk Self-Care

Self-care adalah upaya individu untuk menjaga kesehatannya, baik fisik maupun mental. Shalat yang dilakukan dengan khusyuk dapat menjadi bentuk self-care yang efektif dengan berbagai manfaat:

  1. Ketenangan Batin: Fokus penuh selama shalat membantu menenangkan pikiran dan mengurangi stres. Sebuah artikel menyebutkan bahwa shalat dengan khusyuk dapat memberikan ketenangan dalam jiwa[[3]].
  2. Peningkatan Konsentrasi: Melatih diri untuk tetap fokus selama shalat dapat meningkatkan kemampuan konsentrasi dalam aktivitas sehari-hari. Hal ini sejalan dengan konsep mindfulness yang bertujuan untuk meningkatkan fokus dan kesadaran penuh[[4]].
  3. Kesehatan Fisik: Gerakan shalat, seperti rukuk dan sujud, memiliki manfaat kesehatan, seperti meningkatkan aliran darah dan merelaksasi otot. Posisi rukuk dengan kepala lurus dan tulang belakang dapat menjaga kesempurnaan posisi tubuh dan aliran darah maksimal pada tubuh bagian tengah[[5]].

Tantangan Mencapai Khusyuk dalam Shalat

Meskipun manfaatnya begitu besar, mencapai khusyuk dalam shalat bukanlah hal yang mudah. Ada banyak tantangan yang dihadapi, seperti gangguan pikiran, lingkungan yang berisik, dan godaan teknologi. Salah satu penyebab utama kehilangan fokus adalah kecanduan pada media sosial, yang membuat pikiran sering melayang saat shalat. Allâh ﷻ memberikan solusi dalam Al-Qur’an. Allâh ﷻ berfirman,

وَاسْتَعِيْنُوْا بِالصَّبْرِ وَالصَّلٰوةِ ۗ وَاِنَّهَا لَكَبِيْرَةٌ اِلَّا عَلَى الْخٰشِعِيْنَۙ

“Dan mohonlah pertolongan (kepada Allâh ) dengan sabar dan shalat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.” (QS. Al-Baqarah [2]: 45).

Ayat ini menunjukkan bahwa khusyuk memerlukan latihan dan kesabaran. Dengan usaha yang sungguh-sungguh, setiap muslim dapat mencapainya.

Cara Meningkatkan Khusyuk dalam Shalat

Mencapai khusyuk dalam shalat memerlukan usaha dan latihan yang serius. Berikut adalah beberapa tips praktis untuk meningkatkan khusyuk dalam shalat:

  1. Memahami makna bacaan shalat. Salah satu cara untuk tetap fokus adalah dengan memahami arti dari setiap bacaan dalam shalat. Dengan begitu, hati dan pikiran lebih terhubung dengan apa yang diucapkan.
  2. Menjaga kebersihan hati. Hati yang bersih dari dosa dan penyakit hati seperti iri, dengki, atau sombong akan lebih mudah merasakan kehadiran Allâh ﷻ dalam shalat.
  3. Memilih tempat yang tenang. Lingkungan yang bebas dari gangguan, seperti suara berisik atau notifikasi ponsel, akan membantu menciptakan suasana yang mendukung khusyuk.
  4. Melakukan persiapan sebelum shalat. Mandi, berwudhu dengan sempurna, dan mempersiapkan diri secara mental sebelum shalat dapat membantu memasuki kondisi khusyuk dengan lebih mudah.

Penutup

Mindfulness dalam shalat, atau khusyuk, adalah seni yang membawa ketenangan jiwa dan mendekatkan diri kepada Allâh ﷻ. Selain sebagai kewajiban agama, shalat yang khusyuk juga menjadi bentuk self-care yang memberikan manfaat luar biasa bagi kesehatan mental, fisik, dan spiritual.

Untuk mencapai khusyuk, diperlukan latihan dan usaha terus-menerus. Dengan memahami bacaan shalat, menciptakan lingkungan yang kondusif, dan menjaga kebersihan hati, kita dapat merasakan keindahan shalat sebagai bentuk mindfulness Islami.

Mari jadikan shalat lebih dari sekadar rutinitas, tetapi sebagai momen istimewa untuk hadir sepenuhnya di hadapan Allâh ﷻ. Dengan demikian, kita tidak hanya memenuhi kewajiban sebagai muslim, tetapi juga merawat diri kita secara holistik. Sebab, sesungguhnya, shalat adalah hadiah Allâh ﷻ untuk kita, bukan hanya sebagai ibadah, tetapi juga sebagai sarana untuk mencapai ketenangan dan kebahagiaan sejati.

* Guru Pesantren Al-Irsyad Majalengka, Emai: [email protected].

Maraji’ :

[1]. Ahmad SuMaraji’ :yuthi & Victor Imaduddin Ahmad. “Shalat Sebagai Sarana Pelatihan Mindfulness: Jawaban untuk Tantangan Pendidikan Islam Menghadapi Theage of Complexity” dalam Jurnal Akademika Studi Islam, Volume 13, No 1, Tahun 2019. h.19.

[2] . Syaikh Abdul Bari ats Tsubaiti. ”Khusyu Dalam Shalat Dan Pengaruhnya Bagi Seorang Mukminhttps://almanhaj.or.id/10800-khusyu-dalam-shalat-dan-pengaruhnya-bagi-seorang-mukmin.html. Diakses pada 19 Januari 2025.

[3]. Muhyiddin. ”4 Manfaat Shalat Khusyuk yang Diungkap Alquran dan Hadits” https://islamdigest.republika.co.id/berita/qxim8i320/4-manfaat-shalat-khusyuk-yang-diungkap-alquran-dan-hadits. Diakses pada 19 Januari 2025.

[4] . Jiddu Krishnamurti. ”Mindfulness dari Perspektif Islam & Penerapan dalam mencapai Prestasihttps://fpsi.um-surabaya.ac.id/homepage/news_article?slug=mindfulness-dari-perspektif-islam-penerapan-dalam-mencapai-prestasi. Diakses pada 19 Januari 2025.

[5]. Siti Khuzaiyah. ”Shalat Khusyuk dan Dampaknya Bagi Kesehatan Manusia” https://pekalonganmu.com/V2/2020/05/06/shalat-khusyuk-dan-dampaknya-bagi-kesehatan-manusia/. Diakses pada 19 Januari 2025.

Download Buletin klik di sini

Ilmu sebagai Mahkota Generasi Ulul Albab

Ilmu sebagai Mahkota Generasi Ulul Albab

Uun Zahrotunnisa*

 

Bismillāhi wal ḥamdulillāh, waṣ ṣalātu was salāmu ‘alā rasūlillāhi, wa ba’du.

Rasūlullāh ﷺ memberikan teladan kepada umat manusia bahwa pendidikan merupakan tonggak kokohnya peradaban. Bagaimana tidak? Rasūlullāh ﷺ sebagai insan ulul albab pernah mengalami masa-masa sulit ketika hidup di tengah-tengah bangsa arab yang terkenal dengan masyarakat jahiliah, berdampingan dengan perilaku yang jauh dari moral.

Lahirnya Rasūlullāh ﷺ menjadi anugerah bagi alam semesta (raḥmatan lil ‘ālamīn). Rasūlullāh ﷺ sebagai khalifah pertama telah membawa lentera keislaman berlandaskan Al-Qur’an sebagai tuntunan hidup untuk meraih ketenangan serta kebahagiaan dunia dan akhirat. Ketenangan dan kebahagiaan dapat diraih dengan ilmu sebagai pedoman hidup dalam menentukan pilihan dan melakukan perbuatan. Manusia yang berpikir akan menemukan hakikat dari setiap perilaku yang dicontohkan oleh Rasūlullāh ﷺ sebagai cerminan akhlak yang Allāh ﷻ   ajarkan kepada Rasūlullāh ﷺ melalui perantara Al-Qur’an. Keutaman dan andil Al-Qur’an dalam mencerdaskan manusia, Allāh ﷻ berfirman,

الَّذِيْ عَلَّمَ بِالْقَلَمِۙ عَلَّمَ الْاِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْۗ

“Yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya” (QS. Al-‘Alaq [96]: 5).

Hakikat Ilmu Pengetahuan

Kata “ilmu” menurut M. Quraish Shihab, tokoh sekaligus mufasir Indonesia, disebutkan dalam Al-Qur’an sebanyak 854 kali[1]. Hal tersebut menunjukkan betapa pentingnya ilmu bagi peradaban manusia.

Abu Hamid bin Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali (1058-1111 M) mendefinisikan ilmu pengetahuan sebagai jenis dari penemuan suatu makna (ma’rifat al-ṣay’ ‘alā mahuwa bihi).[2] Al-Qur’an menerangkan bahwa ilmu memberikan tambahan keistimewaan kepada manusia berupa keunggulan daripada makhluk lain untuk menjalankan fungsi kekhalifahan (kepemimpinan).[3] Allāh ﷻ berfirman,

وَعَلَّمَ اٰدَمَ الْاَسْمَاۤءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلٰۤىِٕكَةِ فَقَالَ اَنْۢبِـُٔوْنِيْ بِاَسْمَاۤءِ هٰٓؤُلَاۤءِ اِنْ كُنْتُمْ صٰدِقِيْنَ. قَالُوْا سُبْحٰنَكَ لَا عِلْمَ لَنَآ اِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا ۗاِنَّكَ اَنْتَ الْعَلِيْمُ الْحَكِيْمُ

Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda) seluruhnya, kemudian Dia memperlihatkannya kepada para malaikat, seraya berfirman, “Sebutkan kepada-Ku nama-nama (benda) ini jika kamu benar! Mereka menjawab, “Maha Suci Engkau. Tidak ada pengetahuan bagi kami, selain yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Baqarah [2]: 31-32).

Makna Ulul Albab

Alam diciptakan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok makhluk hidup, melainkan juga sebagai sumber pengembangan ilmu pengetahuan. Menurut Al-Qur’an manusia memiliki potensi untuk menguak misteri di alam semesta sebagai wujud dari rasa syukur atas anugerah dari Allāh ﷻ. Seorang manusia yang mengandalkan kemampuan berpikir akan selalu mendapatkan jawaban-jawaban dari rasa keingintahuannya. Manusia dengan rasa keingintahuan yang tinggi disebut ulul albab.

Mengutip dari Ahmadi, kata Ulul Albab terdiri dari dua kata “Ulu” dan “Albab”. Kata “Ulu” erat kaitannya dengan “Ulul Ilm” artinya orang yang berwawasan, begitu pula maksudnya adalah orang yang dapat mengambil hikmah dari segala sesuatu yang terjadi dalam wujud nyata. Selanjutnya kata “Albab” berasal dari kata “lub” merupakan akar dari kata “labab” yang artinya kemurnian, kebajikan. Kemudian disepakati arti “Ulul Albab” sebagai orang berakal yang memiliki pemahaman secara mendalam.[4]

Anjuran Menuntut Imu dalam Al-Qur’an dan Hadis 

Al-Qur’an menjunjung tinggi orang-orang yang berfikir. Dalam artian berfikir untuk melakukan kebaikan dan menebar kemanfaatan di muka bumi. Banyak istilah dalam Al-Qur’an tentang urgensi berpikir yakni; tafakur (berfikir), tadabur (menghayati), tabassur (berwawasan), naẓar (melihat), tadakkur (mengingat), tafaqquh (memahami), ta’aqqul (berfikir). Selain itu Al-Qur’an juga menganjurkan umat Islam untuk senantiasa menuntut ilmu dimana saja agar mendapat pelajaran. Allāh ﷻ berfirman,

كِتٰبٌ اَنْزَلْنٰهُ اِلَيْكَ مُبٰرَكٌ لِّيَدَّبَّرُوْٓا اٰيٰتِهٖ وَلِيَتَذَكَّرَ اُولُوا الْاَلْبَابِ

(Al-Qur’an ini adalah) kitab yang Kami turunkan kepadamu. (Nabi Muhammad) yang penuh berkah supaya mereka menghayati ayat-ayatnya dan orang-orang yang berakal sehat mendapat pelajaran.” (QS. Ṣad [38]: 29).

Allāh ﷻ berfirman,

‎وَأَنْزَلَ اللَّهُ عَلَيْكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُنْ تَعْلَمُ ۚ وَكَانَ فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكَ عَظِيمًا

Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Kitab dan hikmah kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu.” (QS. An-Nisā’ [4]: 113).

Syaikh As-Sa’di v menyatakan bahwa hikmah akan membuahkan ilmu, bahkan amalan. Oleh karenanya, hikmah ditafsirkan dengan ilmu yang bermanfaat dan amalan saleh. Beliau v juga mengatakan, “Hikmah adalah ilmu yang benar dan pengetahuan akan berbagai hal dalam Islam. Orang yang memiliki hikmah akan mengetahui rahasia-rahasia di balik syari’at Islam. Jadi, orang bisa saja ‘alim (memiliki banyak ilmu), tetapi belum tentu memiliki hikmah. Hikmah berkonsekuensi memiliki ilmu dan amal. Hikmah dapat diartikan dengan ilmu dan amal saleh.[5] 

Karakteristik Golongan Ulul Albab

Berikut terdapat beberapa ciri-ciri golongan ulul albab yang dikategorikan berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an.

  1. Selalu berpikir kritis dan memiliki ketakwaan (QS. Al-Baqarah [2]: 179 & 197).
  2. Mengambil hikmah dari ayat-ayat yang diturunkan Allāh ﷻ melalui Al-Qur’an (QS. Al-Baqarah [2]: 269).
  3. Bersungguh-sungguh menimba ilmu (QS. Ali Imrān [3]: 7).
  4. Senantiasa merenungi peristiwa alam semesta (QS. Ali Imrān [3]: 190-191), Az- Zumar [39]: 21).
  5. Mengambil pelajaran dari sejarah umat terdahulu (QS. Yusuf [12]: 111).
  6. Mengamalkan qiyamul lail demi mendapat rahmat Allah (QS. Az-Zumar [39]: 9).

Pembaca yang budiman, semoga apa yang kita dengar tentang keshalihan Rasūlullāh ﷺ sebagai pembawa risalah islamiyah dapat menjadi teladan untuk senantiasa berperilaku dan bertutur kata sesuai dengan ajaran Al-Qur’an dan sunnahnya. Āmīn.

* Alumni Prodi Ahwal Syakhsiyyah FIAI UII 2019

Maraji’ :

[1] Tamlekha,”Al-Qur’an sebagai Sumber Ilmu Pengetahuan”, Basha’ir: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Tafsir, Vol. 1, No. 1, 2021, h. 108.

[2] Susanti, dkk. “Aliran Rasionalisme dan Empirisme dalam Kerangka Ilmu Pengetahuan”, Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin, Vol. 1, No.2, 2021, h. 62.

[3] M Deni Hidayatullah, “Makna Umum Al-Qur’an dan Kedudukannya sebagai Sumber Ilmu Pengetahuan”, Setyaki: Jurnal Studi Keagamaan Islam, Vol. 1 No. 1, 2023, h. 25.

[4] Ahmad, “Klasifikasi Pemahaman Dasar dan Analisis Semantik Ayat-Ayat Al-Qur’an serta Penerapannya dalam Pembentukan Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam”, IJ-ATL : International Journal of Arab Teaching and Learning, Vol. 1, No. 1, 2018, h. 38-39.

[5] Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Tafsir As-Sa’di. Penerbit Muassasah Ar-Risalah. Cet ke-2. 1433 H. H. 686. Sumber https://rumaysho.com/25914-arti-diberi-hikmah-dalam-al-quran.html.

Download Buletin klik di sini

Kaidah dalam Menyampaikan Nasihat

Kaidah dalam Menyampaikan Nasihat

Al Katitanji

 

Bismillāhi wal ḥamdulillāh, waṣ ṣalātu was salāmu ‘alā rasūlillāhi, wa ba’du.

Nasihat memiliki kedudukan yang sangat tinggi di dalam Islam. Disebutkan dalam hadis ketujuh dari hadis Arba’in An-Nawawiyyah. Dari sahabat Abu Raqayyah Tamim bin Aus ad Dāri, bahwasannya Rasūlullāh ﷺ bersabda,

الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ

Agama adalah nasihat.” (HR. Muslim, no. 55).

Pentingnya Nasihat

Dari penggalan hadis ini Rasūlullāh ﷺ menekankan akan pentingnyan nasihat, dilihat dari beberapa sisi:[1]

Pertama, susunan mubtada dan khabar pada kalimat الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ  (ad dīnu an naṣīḥah) keduanya ma’rifah. Pada umumnya mubtada bentuknya ma’rifah dan khabar bentuknya nakirah. Bila susunan mubtada dan khabar sama-sama ma’rifah memberikan faidah  الحَصْرُ(al ḥaṣru) yaitu pembatasan. Sehingga kita menerjemahkannya dengan ‘Agama itulah nasihat’. Seakan-akan agama tidak lain kecuali nasihat. Ini menunjukan betapa pentingnya nasihat sehingga Rasūlullāh ﷺ mengungkapkan bahwa agama kandungannya hanyalah nasihat.

Kedua, pembahasan agama sangatlah banyak. Namun dalam hadis ini Rasūlullāh ﷺ hanya mencukupkan menyebutkan ‘nasihat’ untuk menjelaskan agama. Dari sini dapat dipahami bahwa nasihat dalam agama adalah perkara yang sangat penting. Bahkan yang dipahami dari hadis ini adalah seakan-akan Rasūlullāh ﷺ mengatakan yang paling penting dari agama adalah nasihat. Oleh karenanya sebagian ulama mengatakan bahwa maknaالدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ  (ad dīnu an naṣīḥah) adalah ‘Nasihat itu adalah tiang agama.’[2]

Ketiga, di dalam sebagian Riwayat, Rasūlullāh ﷺ mengulang ucapan beliau, ‘Agama adalah nasihat.’ Sebanyak tiga kali.[3] Pengulangan ini menunjukan akan pentingnya nasihat di dalam agama Islam. Bahkan Imam Nawawi v mengatakan bahwasannya agama berkutat seputar nasihat.[4]

Yang Dimaksud Nasihat        

Makna nasihat secara istilah إِرَادَةُ الْخَيْرِ لِلْمَنْصُوْحِ لَه yaitu menghendaki kebaikan bagi yang dinasehati.[5] Al Khaṭṭabi, berkata,

النَّصِيْحَةُ كَلِمَةٌ يُعَبَّرُ بِهَا عَنْ جُمْلَةٍ هِيَ إِرَادَةُ الخَيرِْ لِلْمَنْصُوْحِ لَهُ

Nasihat adalah kalimat ungkapan yang bermakna mewujudkan kebaikan kepada yang ditujukan nasihat.”[6]

Penggunaan kata nasihat dalam bahasa Arab lebih luas dibandingkan penggunaannya dalam bahasa indonesia. Karena nasihat dalam bahasa Arab adalah segala bentuk menginginkan kebaikan untuk pihak yang dinasehati.

Sehingga makna nasihat kepada Allāh ﷻ  dalam hadis yang sedang kita bahas bukan berarti menasihati sebagaimana dalam pemaknaan bahasa indonesia tetapi melakukan yang terbaik di hadapan Allāh ﷻ. Diantaranya dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi laranganNya, diberi kenikmatan dia bersyukur, jika diberi ujian dia bersabar, jika berdosa dia segera bertaubat, sehingga menjadi orang yang terbaik di hadapan Allāh ﷻ. Menasihati Al-Quran dengan membacanya dan tidak sekedar mengoleksinya, dipelajari tafsirnya, diamalkan, meluruskan penafsiran-penafsiran yang keliru. Menasihati Rasūlullāh ﷺ dengan mengagungkan sunnah-sunnahnya, menjalankan perintah dan menjauhi larangannya, membangun kecintaan dan kebencian di atas ajaran Nabi ﷺ .[7]

Kaidah dalam Menyampaikan Nasihat

Dalam menyampaikan nasihat, ada beberapa kaidah yang harus diperhatikan di antaranya:[8]

Pertama, nasihat didasari niat ikhlas karena Allāh ﷻ. Hendaknya seseorang memberikan atau menyampaikan nasihat hanya mengharapkan rida Allāh ﷻ semata, karena setiap amalan sangat tergantung pada niat, dan sesorang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan. Dari Abu Hafṣ ‘Umar bin Khaṭṭab, dia berkata, ‘Aku mendengar Rasūlullāh ﷺ bersabda,

إنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

Sesungguhnya amal itu tergantung dari niatnya, dan setiap orang akan memperoleh apa yang dia niatkan.” (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907).

Kedua, nasihat didasari ilmu. Ilmu yang dimaksud adalah apa yang dibawa oleh Rasūlullāh ﷺ dan apa yang diwahyukan kepadanya. Orang yang menjalankan amar ma’ruf nahi munkar haruslah memiliki ilmu tentang hal yang ma’ruf dan yang mungkar serta dapat membedakan antara keduanya. Minimal seseorang harus menguasai apa yang hendak dinasihatkannya.

Ketiga, santun dan lemah lembut. Hendaklah menyampaikan nasihat dengan lemah lembut dan santun. Dengan kelembutan itulah hati akan lebih lapang sehingga mau menerima nasihat. Perhatikan bagaimana Allāh ﷻ perintahkan Nabi Mūsā dan Nabi Harun p agar bersikap lemah lembut terhadap penguasa yang kafir, sombong, dan melampaui batas pada masanya (Fir’aun). Allāh ﷻ berfirman,

فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ

“Hendaknya kalian berdua ucapkan perkataan yang lemah lembut, mudah-mudahan ia akan ingat (sadar) atau takut kepada Allāh” (QS. Ṭāhā [20]: 44).

Dalam ayat yang lain, Allāh ﷻ berfirman,

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظّاً غَلِيظَ الْقَلْبِ لاَنفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ

“Maka disebabkan rahmat dari Allāh-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (QS. Ali Imran [3]: 159)

Keempat, memilih cara yang tepat. Memberikan nasihat berbeda-beda sesuai dengan kondisi serta kepribadian seseorang. Ada orang yang perlu dinasihati secara langsung namun ada pula yang sebaliknya. Cara menasihati anak kecil berbeda dengan orang dewasa, dan menasihati orang yang punya kedudukan berbeda dengan yang tidak demikian. Umumnya, nasihat lebih mengena jika disampaikan melalui contoh dan keteladanan nyata.

Pemberi nasihat harus mengenal sosok seorang yang akan diberi nasihat sehingga tahu kapan harus berbicara dan kapan harus diam, juga kapan harus memberikan nasihat secara langsung dan kapan harus memberi nasihat secara tidak langsung kepadanya.

Kelima, bukan untuk mencela atau menyebar keburukan. Orang yang ingin memberikan tidak boleh memiliki tujuan untuk mencela dan membuka aib orang yang diberi nasihat, sedikit pun. Ia harus menyakinkan bahwa nasihatnya demi kebaikan orang itu, tidak ada tujuan di belakangnya selain mengharap keridaan Allāh ﷻ.

Keenam, menasihati secara rahasia. Nasihat itu sebaiknya disampaikan secara rahasia atau empat mata agar tidak menyakiti perasaan yang dinasihati. Dengan demikian, hatinya menjadi lapang dalam menerima nasihat dan mengambil manfaat darinya.

Imam asy Syafi’i v berkata, “Siapa yang memberikan nasihat kepada saudaranya secara sembunyi-sembunyi berarti telah benar-benar menasihatinya. Adapun siapa yang memberi nasihat secara terang-terangan berarti telah membuka aib dan mempermalukan orang yang dinasihatinya.”[9]

Ketujuh, bersabar. Seseorang wajib bersabar karena tidak semua orang nasihat mau menerima nasihat yang disampaikan orang lain begitu saja. Bahkan baru ada yang tergerak untuk mengamalkan nasihat tersebut setelah berlalu sekian tahun. Oleh karena itu, pemberi nasihat haruslah menyadari bahwa tugasnya hanya menyampaikan, sedangkan yang akan memberikan hidayah adalah Allāh ﷻ. Demikianlah disebutkan dalam Al Qur’an, Allāh ﷻ berfirman,

إِنَّكَ لَا تَهْدِى مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ يَهْدِى مَن يَشَآءُ ۚ وَهُوَ أَعْلَمُ بِٱلْمُهْتَدِينَ

Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (QS. Al Qaṣaṣ [28]: 56).

Demikian beberapa kaidah dalam memberikan nasihat. Semoga Allāh ﷻ memberikan taufik untuk mengamalkannya.

Maraji’ :

[1] Firanda Andirja. Syarah Al Arba’īn An Nawawiyyah. Jakarta: UFA Office. 2022. Cet ke-1. h. 116-117.

[2] Syarah al Arbain an Nawawiyah karya Ibnu Daqiq al ‘Id 1/50.

[3] HR. Ahmad no. 16947 dan dinyatakan sahih oleh al Arnauṭ.

[4] Lihat Syarah an Nawawi ‘alā Muslim 2/37.

[5] Tajul Arus 7/175 disebutkan dalam karya Firanda Andirja. Syarah Al Arba’īn An Nawawiyyah. Jakarta: UFA Office. 2022. Cet ke-1. h. 119.

[6] Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:219 disebutkan oleh Muhammad Abduh Tuasikal dalam https://rumaysho.com/17481-hadits-arbain-07-agama-adalah-nasihat.html. Diakses pada Kamis, 9 Rajab 1446/ 9 Januari 2025.

[7] https://bekalislam.firanda.com/?p=6563. Diakses pada Kamis, 9 Rajab 1446/ 9 Januari 2025.

[8] Ummu Iḥsan dan Abu Iḥsan Al Aṡari. Aktualisasi Akhlak Muslim; 13 Cara Mencapai Akhlak Mulia. Jakarta: Pustaka Imam Asyafi’i. 2014. Cet ke-2. h. 373-375.

[9] Muqaddimah Al Majmu’ Syarul Muażżab 1/31. Disebutkan dalam karya Ummu Iḥsan dan Abu Iḥsan Al Aṡari. Aktualisasi Akhlak Muslim; 13 Cara Mencapai Akhlak Mulia. Jakarta: Pustaka Imam Asyafi’i. 2014. Cet ke-2. h. 375.

Download Buletin klik di sini

Musim Hujan, Iman Tidak Boleh Berkurang

Musim Hujan, Iman Tidak Boleh Berkurang

Nizar Sadat*

 

Pembaca yang semoga dalam lindungan Allah ﷻ, ketahuilah bahwa Indonesia adalah negara tropis yang memiliki 2 musim sepanjang tahunnya, yaitu musim hujan dan musim kemarau. Maka dari itu, datangnya musim hujan adalah salah satu berkah yang diberikan oleh Allah ﷻ yang diturunkan untuk hambanya.

Dari Zaid bin Khalid Al-Juhani, Nabi Muhammad n melakukan shalat shubuh bersama kami di hudaibiyah setelah hujan turun pada malam harinya. Tatkala hendak pergi, beliau menghadap jama’ah shalat, lalu mengatakan “Apakah kalian mengetahui apa yang dikatakan Rabb kalian? “Kemudian mereka mengatakan, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”. Kemudian Rasulullah n bersabda,

أَصْبَحَ مِنْ عِبَادِى مُؤْمِنٌ بِى وَكَافِرٌ فَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ. فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِى وَكَافِرٌ بِالْكَوْكَبِ وَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِنَوْءِ كَذَا وَكَذَا. فَذَلِكَ كَافِرٌ بِى مُؤْمِنٌ بِالْكَوْكَبِ

Pada pagi hari, di antara hambaKu ada yang beriman kepadaKu dan ada yang kafir. Siapa yang mengatakan ‘Muthirna bi fadhlillahi wa rohmatih’ (Kita diberi hujan karena karunia dan rahmat Allah), maka dialah yang beriman kepadaku dan kufur terhadap bintang-bintang. Sedangkan yang mengatakan ‘Muthirna binnau kadza wa kadza’ (Kami diberi hujan karena sebab bintang ini dan ini), maka dialah yang kufur kepadaku dan beriman pada bintang-bintang.” (HR. Bukhari no. 846 dan Muslim no. 71).[1]

Maka dari itu, dari hadits diatas memiliki makna untuk orang yang beriman, datangnya hujan adalah suatu keberkahan yang dapat mengingatkannya kepada Rabb yang menciptakan hujan dan dzat mengatur musim hujan dan musim lainnya adalah Allah ﷻ. Lantas, apa saja yang harus dilakukan seorang muslim ketika musim hujan datang agar keimanannya tidak berkurang melainkan bertambah kepada Rabb-Nya?

Segalanya Diatur oleh Allah ﷻ

Allah ﷻ berfirman,

وَهُوَ ٱلَّذِى يُنَزِّلُ ٱلْغَيْثَ مِنۢ بَعْدِ مَا قَنَطُوا۟ وَيَنشُرُ رَحْمَتَهُۥ ۚ وَهُوَ ٱلْوَلِىُّ ٱلْحَمِيدُ

“Dialah Yang menurunkan hujan sesudah mereka berputus asa dan menyebarkan Rahmat-Nya. Dan Dialah Yang Maha Pelindung lagi Maha Terpuji.” (QS. as-Syura [42]: 28)

Dalam agama Islam, segala bentuk sesuatu apapun yang ada di seluruh alam semesta ini adalah bagian takdir dari Allah ﷻ, termasuk yang mengatur hujan turun adalah Allah ﷻ. Sangat disayangkan akhir-akhir ini banyak kejadian mengatas namakan seseorang untuk menurunkan atau menunda turunnya hujan. Sudah seharusnya menjadi mahkluk untuk senantiasa besyukur atas apa yang telah diberikan Allah ﷻ kepada hamba.

Segala sesuatu yang terjadi di alam ini berada dalam ketentuan Allah, Dia-lah Allah yang telah mengatur seluruh alam raya ini dengan sempurna tanpa cacat sedikitpun.  Allah ﷻ berfirman,

وَهُوَ ٱلَّذِى يُرْسِلُ ٱلرِّيَٰحَ بُشْرًۢا بَيْنَ يَدَىْ رَحْمَتِهِۦ ۖ حَتَّىٰٓ إِذَآ أَقَلَّتْ سَحَابًا ثِقَالًا سُقْنَٰهُ لِبَلَدٍ مَّيِّتٍ فَأَنزَلْنَا بِهِ ٱلْمَآءَ فَأَخْرَجْنَا بِهِۦ مِن كُلِّ ٱلثَّمَرَٰتِ ۚ كَذَٰلِكَ نُخْرِجُ ٱلْمَوْتَىٰ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

Dan Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); hingga apabila angin itu telah membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah itu, maka Kami keluarkan dengan sebab hujan itu pelbagai macam buah-buahan. Seperti itulah Kami membangkitkan orang-orang yang telah mati, mudah-mudahan Kamu mengambil pelajaran.” (QS. al-A’raf [7]: 57)

Allah ﷻ adalah sebaik-baiknya pengatur untuk seluruh alam semesta ini. Bisa dibayangkan segala sesuatu takaran yang ada di laut, gunung, sungai, danau, dan lain lain tidak sesuai takaran. Datangnya hujan bukan musibah melainkan berkah. Allah ﷻ berfirman,

إِنَّ ٱللَّهَ عِندَهُۥ عِلْمُ ٱلسَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ ٱلْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِى ٱلْأَرْحَامِ ۖ وَمَا تَدْرِى نَفْسٌ مَّاذَا تَكْسِبُ غَدًا ۖ وَمَا تَدْرِى نَفْسٌۢ بِأَىِّ أَرْضٍ تَمُوتُ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌۢ

“Sesungguhnya Allah memiliki pengetahuan tentang hari Kiamat, menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan dia kerjakan besok. (Begitu pula,) tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahateliti.”  (QS. Lukman [31]: 34)

Turun Hujan Adalah Waktu Mustajab untuk Berdo’a

Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni,[2] mengatakan, “Dianjurkan untuk berdo’a ketika turunnya hujan, seperti yang diriwayatkan dari Sahl bin Sa’d z, beliau berkata bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,

ثِنْتَانِ مَا تُرَدَّانِ الدُّعَاءُ عِنْدَ النِّدَاءِوَ تَحْتَ المَطَرِ

Dua do’a yang tidak akan ditolak: [1] do’a ketika adzan dan [2] do’a ketika ketika turunnya hujan.” (HR. Ath-Thabrani 6: 135 no. 5756 dan Al-Hakim no. 2534)[3]

Hujan adalah Rahmat sekaligus berkah yang diberikan oleh Allah ﷻ yang diberikan kepada seluruh mahkluk hidup yang ada dimuka bumi. Tiada kata yang pantas keluar dari lisan seorang hamba melainkan rasa syukur dan do’a kepada dzat yang maha Ghafur, dan do’a yang sangat baik dibaca ketika hujan turun agar bermanfaat dan berkah adalah sesuai anjuran Nabi ﷺ berdasarkan hadits dari Ummul Mukminin, ‘Aisyah,,x, “Nabi ﷺ ketika melihat turunnya hujan, beliau mengucapkan,

اللَّهُمَّ صَيِّباً نَافِعاً

Allâhumma shayyiban nâfi’an” [Ya Allah turunkanlah pada kami hujan yang bermanfaat].” (HR. Ahmad no. 24190, Bukhari no. 1032, dan An Nasâ’I no. 1523).

Semoga dengan turun nya hujan menjadikan semakin bersyukur dan bukan malah mengatakan kalimat yang tidak pantas diucapkan atau mengeluh. Justru manfaatkanlah momen hujan turun sebagai memperbanyak do’a kepda Allah ﷻ.

Menyadari Kebesaran Allah dan Menguatkan Keyakinan kepada-Nya

Hujan bukanlah sekedar fenomena alam yang terjadi dengan kebetulan, tapi hujan adalah salah satu bentuk ciptaan Allah ﷻ yang memiliki manfaat bukan hanya untuk manusia tapi untuk seluruh mahkluk hidup yang ada di dunia. Allah ﷻ berfirman,

إِذْ يُغَشِّيكُمُ ٱلنُّعَاسَ أَمَنَةً مِّنْهُ وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُم مِّنَ ٱلسَّمَآءِ مَآءً لِّيُطَهِّرَكُم بِهِۦ وَيُذْهِبَ عَنكُمْ رِجْزَ ٱلشَّيْطَٰنِ وَلِيَرْبِطَ عَلَىٰ قُلُوبِكُمْ وَيُثَبِّتَ بِهِ ٱلْأَقْدَامَ

“(Ingatlah) ketika Allah membuat kamu mengantuk sebagai penenteraman dari-Nya dan menurunkan air (hujan) dari langit kepadamu untuk menyucikan kamu dengan (hujan) itu, menghilangkan gangguan-gangguan setan dari dirimu, dan menguatkan hatimu serta memperteguh telapak kakimu.” (QS. al-Anfal [8]: 11)

Ketika hujan turun, tidak sedikit yang merasa bahwa hujan menjadi penenang untuk sebagian orang, setiap tetes air hujan yang turun ke bumi adalah bukti kasih sayang yang Allah ﷻ berikan dan bukti bahwa kebesaran Allah ﷻ. Hal ini seharusnya menjadikan keimanan seseorang menjadi semakin kuat akan kebesaran Allah ﷻ.

Para pembaca dimanapun berada, proses turunnya hujan adalah siklus yang menunjukan besarnya kekuatan Allah ﷻ. Banyak pelajaran positif yang bisa diambil dari hujan, datangnya musim hujan bukan malah mengurangi keimanan seorang hamba melainkan sudah seharusnya keimanan seorang hamba menjadi bertambah karena dari hujan Allah ﷻ menunjukan berkah, rahmat, dan kasih sayang kepada hambanya. Semoga kita bisa menjadi hamba yang senantiasa bersyukur dan menikmati setiap momen dengan penuh keimanan dan ketakwaan kepada Allah ﷻ.

Maraji’ :

* Mahasiswa FIAI UII

[1] Muhammad Abduh Tuasikal. “Doa Ketika Turun Hujan” https://rumaysho.com/3759-doa-ketika-turun-hujan.html. Diakses pada 15 Desember 2024.

[2] Al Mughni, 2/294. Dikutip dari Muhammad Abduh Tuasikal. “Turun Hujan Berdoa” https://rumaysho.com/1695-turun-hujan-berdoa.html. Diakses pada 15 Desember 2024.

[3] Dikeluarkan oleh Imam Syafi’i dalam Al Umm dan Al Baihaqi dalam Al Ma’rifah dari Makhul secara mursal. Dihasankan oleh Syekh Albani dalam kitabnya Shahih Al-Jami’, no. 3078).

Download Buletin klik di sini