HAKIKAT AKHLAK BAGI SEORANG MUSLIM

Oleh: Moh Mahfud*

 

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh ,

Masih ingatkah dengan petuah dari guru-guru kita tentang akhlak atau budi pekerti, mulai dari yang sifatnya anjuran, perintah, bahkan aturan yang tegas pun diterapkan demi terwujudnya akhlak mulia ini seperti halnya dalam pendidikan yang sering disebut dengan pendidikan karakter. Sampai-sampai ada adagium “kesopanan lebih tinggi nilainya dari kecerdasan”. Sebenarnya apa hakikat dari akhlak itu sendiri dan bagaimana hal-ihwalnya. Pada tulisan ini akan mencoba untuk sedikit membuat oretan kecil tentang hal ini barangkali bisa menghilangkan dahaga kita terkait akhlak.

 

Pengertian Akhlak

Akhlak dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah budi pekerti; kelakuan. Adapun adab dalam KBBI diartikan sebagai kehalusan dan kebaikan budi pekerti; kesopanan; dan akhlak. Dalam Bahasa Arab istilah akhlak ini mempunyai 2 term, yakni: khuluq dengan bentuk plural akhlaq yang bermakna tabiat atau budi pekerti,[1] dan adab yang bermakna kesopanan.[2]

Dari pengertian secara leksikal tersebut dapat dipahami bahwa ternyata akhlak dan adab merupakan serapan dari bahasa Arab. Sedangkan dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah moral, character dan attitude.

Sedangkan secara istilah akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan berbagai macam perbuatan dengan gampang dan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.[3] Karena pentingnya akhlak ini sampai-sampai Rasulullah bersabda, Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik.(H.R Bukhari)[4]

 

Akhlak adalah Tabiat

Pada dasarnya akhlak itu merupakan tabiat dalam diri seseorang, sehingga seseorang adakalanya diciptakan dalam tabiat pemaaf atau pemarah misalnya, karena memang Allah telah membagi akhlak setiap hamba-Nya sebagaimana Allah telah membagi mereka rezekinya[5]. Walaupun demikian, manusia itu masih bisa mengusahakan untuk berakhlak dengan selain akhlak aslinya sehingga ia bisa menerapkan akhlak-akhlak yang baik dan mulia, sebagaimana sabda Rasulullah kepada Muadz bin Jabal, “Perbaguslah akhlakmu bersama manusia”.[6]

Seseorang yang memiliki akhlak yang mulia (akhlakul karimah) maka yang muncul dalam dirinya adalah hal-hal yang membuat dia itu sejuk untuk dipandang, enak didengarkan perkataannya dan terasa nikmat berada di dekatnya.

Akhlak memang harus didahulukan dan diprioritaskan dari pada hal-hal yang lain karena dengan akhlak ini seseorang dalam segala hal akan tertuntun dengan baik, orang yang berilmu dengan akhlak akan membuat ilmunya menjadi penggeraknya untuk bisa terus mengamalkan ilmunya untuk dirinya sendiri maupun orang lain, orang yang bodoh dengan akhlaknya akan mendorongnya untuk terus semangat belajar dan tidak merasa gengsi atau sombong menerima ilmu dari siapapun walaupun dari orang yang lebih junior dari dirinya sendiri. Orang kaya yang berakhlak akan mendorongnya untuk senantiasa bersyukur dan bisa mendermakan hartanya ke jalan yang Allah ridhoi, orang yang miskin dengan akhlak akan menuntunnya untuk selalu bersabar dan mencegahnya dari meminta-minta atau melakukan hal-hal yang bisa membuat dirinya terhina, dan begitu seterusnya.

Sebaliknya, orang yang tidak memiliki akhlak, setinggi apapun ilmunya, sekaya apapun hartanya maka sungguh semua kelebihan yang ia miliki justru akan menjerumuskannya pada hal yang membuat dirinya terhina. Orang yang tidak memiliki akhlak yang mulia (berakhlak dengan akhlak yang tercela) sejatinya dalam dirinya terdapat najis ma’nawi (secara batin) yang membuat dia sulit atau bahkan tidak mungkin untuk bisa menggapai taqarrub Ilallah,[7]bahkan dalam kitab Ta’limul Muta’allim disebutkan secara tegas bahwa akhlak tercela itu adalah anjing ma’nawi yang dalam artian sama dengan anjing yang menyakiti siapapun yang ada di dekatnya, maka begitu pula akhlak tercela ini juga bisa menyakiti terhadap sang pemiliknya sendiri dan orang-orang yang ada di sekitanya.[8]

 

Cakupan Akhlak

Akhlak itu mempunyai cakupan yang luas, tidak hanya sebatas sopan, bertutur kata halus, dan semacamnya, tapi juga tak kalah pentingnya ialah kebersihan hati dan jiwa yang dari hal inilah akan tercermin perilaku yang luhur. Oleh karena itu, perlu kiranya disinggung di sini, sejauh mana akhlak kita kepada Allah (hablun minallah) dan akhlak kepada sesama manusia (hablun minannas).

Hubungan kita kepada Allahﷻ merupakan pilar utama dalam kehidupan kita, bagaimana kita beribadah kepada Allah dengan berupaya semaksimal mungkin untuk mendekati sempurna, husnuzhzhan dan selalu menerima terhadap takdir-Nya. Oleh karena itu akhlak kepada Allah maksudnya ialah menghambakan diri kepada Allah dengan sebenar-benarnya untuk menggapai nilai-nilai qurbah (kedekatan) kepada-Nya.[9] Akhlak kita kaitannya dengan hubungan dengan sesama manusia diperinci lagi, yakni kepada Rasulullah, kepada orang tua dan guru, dan kepada manusia pada umumnya.

 

Akhlak Kepada Rasulullah

Rasulullah merupakan manusia bahkan makhluk yang paling mulia, bagaimana mungkin kita tidak berakhlak terhadap beliau, yang mana di dalam al-Qur’an kedudukan mentaati Allah hampir selalu digandengkan dengan kewajiban mentaati beliau. Dalam artian tidak diterima taatnya seorang hamba kepada Allah sehingga ia juga taat kepada Rasul-Nya. Oleh karena itu, dalam ucapan kita harus berada di bawah ucapan beliau (Q.S. al-Hujurat [49]: 2), Ketika beliau sudah memutuskan sesuatu maka kita tidak diperkenankan mempunyai pilihan lain selain pilihan beliau (Q.S. al-Ahzab [33]: 36), bahkan kita dilarang untuk mempersunting (mantan) isteri-isteri beliau baik Ketika beliau masih hidup atau setelah beliau wafat (Q.S. al-Ahzab [33]: 53).

 

Akhlak Kepada Orang Tua

Orang tua merupakan sebab terbesar atas wujudnya kita di dunia ini, orang yang harus kita hormati dan muliakan setelah Allah dan Rasul-Nya. Kalau mau dirinci akhlak kita kepada orang tua dan guru maka tulisan yang ringkas ini tidak akan mampu untuk menghimpunnya, namun paling tidak di sini kami tegaskan bahwa perintah orang tua dan guru selama bukan dalam hal maksiat maka perintah tersebut wajib bagi kita untuk merealisasikannya. Begitu pula halnya dengan guru dan mertua kita, karena orang tua menjaga jasad/jasmani kita sementara guru menjaga ruh/rohani kita. Adapun mertua perlu kita hormati pula karena statusnya sama dengan kedua orang tua kita.

 

Akhlak Kepada Sesama

Manusia pada umumnya; selain yang telah disebutkan di atas, paling tidak kita bisa memahami sabda Nabi Muhammad, “Bukanlah termasuk golonganku orang yang tidak menyayangi yang lebih muda dan tidak memuliakan yang lebih tua” (H.R. Abu Daud dan Tirmidzi). Berarti kita harus memuliakan orang yang lebih tua usianya daripada kita dan menyayangi orang yang usianya lebih muda dari pada kita. Lalu, bagaimana dengan orang yang sebaya dengan kita?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut penulis mengutip pendapatnya al-Imam al-Ghazali. Menurut beliau ada tiga macam orang, yakni teman, kenalan, dan orang yang tidak kita kenal.[10] Kepada orang yang tidak kita kenal, maka tidak perlu terlalu masuk dalam pembicaraan mereka dan sebisa mungkin untuk tidak ada hajat terhadap mereka. Sedangkan pada kenalan dan teman kita maka tirulah kedua tangan kita yang mana satu tangan membantu tangan yang lain, saling berbagi, tidak ada saling mendahului (menyombongkan diri), dan tidak hidup sendiri-sendiri.

Dari hal tersebut di atas, maka sepantasnya bagi kita untuk menjaga akhlak kita dengan selalu berhiaskan dengan akhlak yang mulia dan membersihkan diri dari akhlak yang tercela. Sebagian ulama mengungkapkan bahwa akhlak (yang mulia) itu merupakan 2/3 dari agama. Karena orang yang tidak mempunyai akhlak atau adab maka dia tidak mempunyai syari’at, iman, dan tauhid. Para walinya Allah tidak mencapai derajat kewalian dikarenakan banyaknya amal ibadah, melainkan karena adab dan akhlak yang baik.[11] Bahkan, seorang budak dengan akhlak yang baik bisa mencapai derajatnya para raja.[12]

Semoga tulisan singkat ini bisa menggugah hati kita untuk senantiasa mengamalkan hadits Nabi Muhammad, “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya.” (H.R. Tirmidzi)[13]

 

Mutiara Hikmah

Dari Aisyah i berkata, “Saya mendengar Rasulullahn bersabda,

إِنَّ الْمُؤْمِنَ لَيُدْرِكُ بِحُسْنِ خُلُقِهِ دَرَجَةَ الصَّائِمِ الْقَائِمِ

Sesungguhnya seorang mukmin bisa meraih derajat orang yang rajin berpuasa dan shalat dengan sebab akhlaknya yang luhur.” (H.R. Ahmad no. 25013 dan Abu Dawud no. 4165)

 

Maraji’:

 

* Dosen STAI al-Falah Pamekasan

[1]Ahmad Warson Munawwir. 1997. al-Munawwir; Kamus Arab-Indonesia. Pustaka Progressif: Surabaya. hal. 364

[2]Ibid. hal. 13

[3]Al-Ghazali. Ihya’ Ulumiddin Jilid 3. Darul Ihya’ al-Kutubil al-Arabi: Indonesia. Hal. 52.

[4] H.R. Al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad no. 273 (Shahiihul Adabil Mufrad no. 207), Ahmad (II/381), dan al-Hakim (II/613), dari Abu Hurairah . Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 45).

[5]Al-Bukhari. Al-Adabul Mufrad. Hadits nomer 275.

[6] Ibnu Hajar al-Haytami. Fathul Mubin Bi Sayh al-Arba’in. hal 360.

[7]Muhammad Amin Kurdi. 2006. Tanwirul Qulub fi Mu’amalati ‘Allamil Ghuyub. Al-Haramain Jaya: Surabaya. hal. 429.

[8] Ibrahim. 2006. Syarah Ta’limul Muta’allim liz Zarniji. Al-Haramain Jaya: Surabaya. hal. 20.

[9]Ali Ahmad al-Jurjawi. Tt. Hikmatut Tasyri’ wa falsafatuhu Juz 2. Al-Haramain: Jeddah. hal. 417

[10] al-Ghazali. Bidayatul Hidayah. Al-Hidayah: Surabaya. hal. 90.

[11]Abdul Wahhab as-Sya’roni. Tt. Syarah al-Minahus Saniyyah. Al-Alawiyah: Semarang. hal. 16.

[12] Muhammad Nawawi. Tt. Tanqihul Qaul Syarah Lubabul Hadits. Al-Alawiyah: Semarang. hal. 50.

[13] H.R. Tirmidzi no. 1162. Dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 284.

 

Download Buletin klik disini

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *