KETENTUAN DALAM SHALAT BERJAMA’AH

KETENTUAN DALAM SHALAT BERJAMA’AH

Oleh: Shâhib al Rasîkh

 

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh ,

Memahami ketentuan shalat berjamaah sangat penting bagi kaum muslimin. Ketentuan shalat berjamaah bersifat baku artinya ketentuan tersebut harus berdasarkan dalil sesuai dengan penjelasan para ulama. Tidak ada rana kreasi dan inovasi dalam perkara ibadah.  Nabi n bersabda “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (H.R. Bukhari, no. 6008).

Shalat berjamaah merupakan shalat yang dikerjakan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama dan salah seorang dari mereka menjadi imam, sedangkan yang lainnya menjadi makmum. Shalat lima waktu sangat diutamakan untuk dikerjakan secara berjamaah, bukan sendiri-sendiri (munfarid). Dalam shalat jama’ah, ada beberapa ketentuan posisi imam dan makmum dengan rincian sebagai berikut:

  1. Jama’ah harus terdiri minimal dari dua unsur, yaitu seorang imam dan seorang makmum meski dengan anak-anak atau seorang wanita yang masih mahram pada saat berkhalwah (berduaan).[1] Disebutkan dalam hadits Jabir bin ‘Abdullah a, “Aku datang kemudian aku berdiri di sebelah kiri Rasulullâh n. Maka beliau memegang tanganku dan memutarku sehingga memposisikan diriku di sebelah kanannya. Setelah itu, datang Jabbar bin Shakr. Dia berwudhu kemudian datang dan berdiri disebelah kiri Rasulullâh n. Maka beliau memegang kedua tangan kami lalu mendorong kami sehingga memposisikan kami berada di belakang beliau.” (H.R. Muslim)[2]
  2. Jika hanya berdua (sesama laki-laki) menempatkan makmum di sebelah kanan imam. Hal tersebut didasarkan, pada hadits Ibnu Abbas c dia bercerita, “Aku pernah bermalam di tempat bibiku, Maimunah i, lalu Nabi n bangun dan menunaikan shalat malam, maka aku pun ikut mengerjakan shalat bersama beliau. Aku berdiri disebelah beliau lalu beliau memegang kepalaku seraya mendirikan aku disebelah kanan beliau.” (H.R. Muttafaq ‘alaih).[3]
  3. Posisi imam tepat di tengah-tengah depan barisan pertama. Disebutkan dalam hadits riwayat Abu Daud, “Posisikanlah imam di tengah-tengah dan rapatkanlah kerenggangan.”[4] Hadits tersebut meskipun di dalamnya terdapat kelemahan (dha’if), tetapi menurut para ulama layak diamalkan, yang disunnahkan adalah memposisikan imam di tengah-tengah di masjid. Ini merupakan sunnah amaliah yang ditujukan kepada kaum muslimin.”[5]
  4. Posisi perempuan yang menjadi makmum sendirian berada di belakang laki-laki (yang menjadi imam). Hal ini didasarkan pada hadits Anas a, di dalamnya disebutkan, “Aku membuat barisan di belakang beliau bersama anak yatim, sedangan wanita tua di belakang kami.”(H.R. al-Bukhâri dan Muslim)[6] Dalam hadits Anas a yang lainnya disebutkan: “Aku shalat di rumah kami bersama seorang anak yatim di belakang Nabi n, sedangkan ibuku dan Ummu Sulaim berada dibelakang kami.” (H.R. al-Bukhâri)[7]
  5. Posisi seorang perempuan bersama seorang perempuan sama seperti posisi seorang laki-laki dengan seorang laki-laki lainnya, yakni berada di sebelah kanannya.[8]
  6. Posisi kaum perempuan sejajar dalam barisan ke kanan dan ke kiri, sedangkan posisi imam perempuan berada di tengah-tengah barisan mereka. Inilah yang disunnahkan. Sebab, Ummu Salamah i jika mengimami kaum perempuan maka dia berdiri di tengah-tengah berisan mereka[9]. Demikian juga dengan ‘Aisyah i jika mengimami kaum perempuan, dia pun berdiri di tengah-teganh barisan mereka.[10] Sebab yang demikian itu lebih tertutup bagi perempuan. Seorang perempuan dituntut untuk menutup dirinya sedapat mungkin. Jika meraka berbaju kurang tertutup, imam mereka pun tetap berdiri di tengah-tengah mereka seraya men-jahr-kan (mengeraskan) bacaan dalam shalat jahriyah.
  7. Makmum mengetahui gerakan imam, lewat penglihatan atau pendengaran walaupun dari pengeras suara.[11] Sayyid Sabiq menyebutkan, Imam al-Bukhâri berkata, bahwa Hasan berkata, “Engkau tetap diperbolehkan shalat bersama imam, meskipun antara engkau dan imam dipisahkan oleh sungai.” Abu Miljas berkata, “Seseorang boleh bermakmum kepada imam, sekalipun antara makmum dan imam dipisahkan oleh jalan atau dinding, selama makmum masih mendengar takbiratul ihram yang dibaca oleh imam.”[12]
  8. Imam dan makmum berkumpul dalam satu satu masjid atau dibeberapa masjid yang pintunya terbuka atau terkunci tapi tidak terkunci mati.[13]
  9. Makmum mengikuti gerakan imam. Sebagaimana dalam sabda Rasulullah n: bahwa para sahabat shalat bersama Rasulullah n, ketika Rasulullah ruku’, maka para sahabat ikut ruku’. Ketika beliau mengangkat kepalanya seraya bangun dari ruku’ dengan berucap Sami’allâhu liman hamidah, maka kami terus berdiri sehingga kami melihat beliau benar-benar telah meletakkan wajahnya di atas lantai, baru kemudian kami mengikuti beliau (sujud).” (H.R. Muslim)
  10. Posisi laki-laki, anak-anak dan perempuan dari imam seabagi berikut:
  • Laki-laki berbaris dibelakang imam jika meraka terlambat (masbuq) untuk menempati barisan pertama.
  • Anak-anak membuat barisan di belakang laki-laki selama mereka tidak masbuq atau terhalang oleh sesuatu.
  • Para perempuan membuat barisan di belakang anak-anak. Dalil yang melandasi susunan tersebut adalah hadits Abu Mas’ud a, dia bercerita: “Rasulullah n pernah mengusap pundak-pundak kami di dalam shalat seraya bersabda: “Luruskanlah dan janganlah kalian tidak beraturan yang menyebabkan hati kalian bercerai berai, hendaklah berdiri di belakangku orang-orang dewasa dan berakal di antara kalian kemudian di susul yang berikutnya dan setelah itu disusul oleh yang berikutnya.” (H.R. Muslim)[14]

Dalam hadits ‘Abdullah bin Mas’ud a disebutkan, “Hendaklah berdiri di belakangku orang-orang dewasa dan berakal, kemudian disusul oleh yang berikutnya –sebanyak tiga kali- dan janganlah kalian membuat keributan seperti keributan di pasar.” (H.R. Muslim)[15]

Wa Allâhu a’lam.   

 

Mutiara Hikmah

Dari Abdullah bin Umar c, bahwa Rasulullah n bersabda,

مَنْ بَاتَ طَاهِرًا، بَاتَ فِي شِعَارِهِ مَلَكٌ، فَلَمْ يَسْتَيْقِظْ إِلَّا قَالَ الْمَلَكُ: اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِعَبْدِكَ فُلَانٍ، فَإِنَّهُ بَاتَ طَاهِرًا

“Barangsiapa yang tidur dalam keadaan suci, maka malaikat akan bersamanya di dalam pakaiannya. Dia tidak akan bangun hingga malaikat berdoa ‘Ya Allah, ampunilah hambamu si fulan karena tidur dalam keadaan suci.’” (H.R. Ibn Hibban 3/329. Syuaib Al-Arnauth mengatakan, Perawi hadis ini termasuk perawi kitab shahih. Hadis ini juga dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Shahih At Targhib wat Tarhib I/37)

 

 

 

Marâji’:

[1] Abu Bakr Jabir al-Jazairi, Minhaju al-Muslim, Bairut: Dâr al-Fikr, tt. (Terj.) Ensklopedi Muslim, Cet.Ke-5, (Jakarta: Darul Falah, 2003), hal. 324

[2] Shahih Muslim, kitab Shalâtu al-Musâfirîn, bab Shalâtu al-Nabiy r wa Du’âuhu bi al-Lail, no. 766.

[3] Muttafaq ‘alaih: al-Bukhâri, no. 117 dan 699 serta 992. Muslim, no. 82

[4] Abu Daud no. 681. Dinilai dhaif oleh Al-Albani di dalam kitab Dha’if Sunan Abi Daud, hal. 56, dia berkata: “Tetapi, separuh kedua dari hadits tersebut adalah benar.” Disebutkan dalam catatan kaki, Said bin ‘Ali bin Wahf al-Qathani, Shalâtu al-Mu’min, Mafhûm wa Fadhâil wa Âdâb wa Anwâ’ wa Ahkâm wa Kaifiyyah fî Dhauil al-Kitâb wa al-Sunnah –Ensiklopedi Shalat Menurut al-Qur’an dan al-Sunnah-, Jilid 2, Cet. ke-2 (Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i, 1433 H/ 2011), hal. 102

[5] Imama al-Syaukani, Nailu al-Authâr (II/422). Fatâwâ Ibni Bâz (XII/205). Al-Kâfi, Ibnu Qudamah (I/434). Disebutkan dalam catatan kaki, Said bin ‘Ali bin Wahf al-Qathani, Shalâtu al-Mu’min., hal. 102

[6] Said bin ‘Ali bin Wahf al-Qathani, Shalâtu ……, hal. 102

[7] Al-Bukhari, Kitab al-Adzân, bab al-Mar’ah wahdaha takûnu Shaffan, no. 727. Itu merupakan bagian akhir dari hadits no.380

[8] Ibnu ‘Utsaimin, al-Syarhu al-Mumti’ (IV/ 352)

[9] Diriwayatkan oleh al-Syafi’i dalam kitab al-Musnad (VI/82), ‘Abdurrazaq di dalam kitab al-Mushannaf, no.5082, Ibnu Abi Syaibah (II/88), al-Daraquthni (I/404), Ibnu Hazm di dalam kitab al-Muhallâ dan dia juga berhujjah dengannya (III/172). Disebutkan dalam catatan kaki, Said bin ‘Ali bin Wahf al-Qathani, Shalâtu al-Mu’min., hal. 104

[10] Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazaq di dalam kitab al-Mushannaf, no.5086, Ibnu Abi Syaibah (II/89), al-Daraquthni (I/404), al-Hakim (III/203), al-Bahaqi (III/131), Ibnu Hazm di dalam kitab al-Muhallâ dan dia juga berhujjah dengannya (III/171). Disebutkan dalam catatan kaki, Said bin ‘Ali bin Wahf al-Qathani, Shalâtu al-Mu’min., hal. 104

[11] Wahbah al-Zauhaili, al-Fiqhu al-Syâfi’i al-Muyassar. Bairut: Dâr al-Fikr, 2008. Cet.ke-1. (Terj.) Fiqih Imam Syafi’i. Jilid. 1 (Jakarta: Almahira, 2010), hal. 336-338

[12] Sayyid Sabiq, Fiqhu al-Sunnah,  Cet.ke-3. (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2011), hal. 420

[13] Abu Bakr Jabir al-Jazairi, Minhaju al-Muslim, Bairut: Dâr al-Fikr, tt. (Terj.) Ensklopedi Muslim, Cet.Ke-5, (Jakarta: Darul Falah, 2003), hal. 324

[14] Shahih Muslim, Kitab al-Shalâh, no.122 (432)

[15] Shahih Muslim, Kitab al-Shalâh, no.122 (432)

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *