MENJADI PRIBADI IKHLAS: SEBUAH REFLEKSI DIRI

MENJADI PRIBADI IKHLAS: SEBUAH REFLEKSI DIRI

Oleh Regita Safitri Wulandari*

 

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh,

Dalam keseharian kita, kata ikhlas sudah tidak asing lagi didengar oleh khalayak masyarakat dalam kehidupan. Kita sangat sering menggunakan kata ikhlas tersebut dalam kehidupan sehari hari, bisa untuk menyemangati diri sendiri maupun orang lain. Kata ikhlas juga sering diekspresikan ketika seseorang mengalami kesulitan dan kesusahan. Sudah semestinya sikap ikhlas bisa diterapkan dalam kehidupan sehari hari, apakah seseorang tersebut dalam keadaan susah maupun dalam keadaan stabil.

Dalam ajaran Islam, seorang muslim harus bersikap Ikhlas. Allah l berfirman dalam surah al-Bayyinah ayat 5: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus. (Q.S. al-Bayyinah [98]: 6)

Memang benar bahwa kata ikhlas sangat mudah diucapkan, tetapi akan sulit dilakukan bagi manusia. Untuk bisa menerapkan sikap ikhlas dalam kehidupan, tentunya tidak semudah membalikkan sebuah telapak tangan. Dibutuhkan sebuah perasaan yang tulus agar seseorang bisa mencapai apa yang dinamakan ikhlas. Walaupun sangatlah sulit untuk bisa diimplementasikan, namun bisa berhasil untuk dapat mengimplementasikan sikap ikhlas jika seseorang tersebut mengikhlaskan sesuatu hal karena Allah l. Jika ini bisa diterapkan, niscaya hati kita akan merasa tenang dan lega. Oleh karena itu, kita harus senantiasa untuk selalu menanamkan serta mengimplementasikan rasa ikhlas ini dalam kehidupan kita sehari-hari karena Allah l.

Makna Ikhlas

Secara etimologi ikhlas bermakna jujur, tulus, dan rela. Sementara dalam bahasa Arab, kata “ikhlas” merupakan bentuk mashdar dari kata “akhlasa” yang berasal dari sebuah kata yaitu kata “khalasa[1]. Dalam Al-Qur’an, kata “khalasa” disebutkan sebanyak 31 kali dengan berbagai macam bentuknya, sedangkan jumlah kalimat yang berbeda ada sebanyak 14 kalimat[2]. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ikhlas memiliki arti bersih hati, tulus hati. Dalam menjalin hubungan sesama manusia, ikhlas memiliki makna memberi pertolongan dengan ketulusan hati[3].

Para ulama menjelaskan pengertian ikhlas sebagai seluruh ibadah yang diniatkan dan ditujukan hanya kepada Allah l. Mengutip dari perkataan Al-Raghib dalam kitabnya yang berjudul Mufradat, menjelaskan bahwa ikhlas adalah menepikan segala sesuatu selain Allah l[4]. Sedangkan menurut Muhammad Abduh, ikhlas adalah ikhlas dalam beragama hanya untuk Allah l dengan selalu menghadap kepada-Nya, serta tidak mengakui kesamaan-Nya dengan makhluk apapun dan bukan dengan tujuan khusus layaknya menghindarkan diri dari malapetaka atau bertujuan untuk mendapatkan keuntungan serta tidak mengangkat selain dari-Nya sebagai pelindung[5].

Perumpamaan Ikhlas

Jika diperhatikan sekilas, makna ikhlas jika diibaratkan seperti seseorang yang tengah membersihkan beras dari kerikil di sekitar beras tersebut. Ketika beras sudah bersih dan di masak, maka saat memakannya akan terasa nikmat, tetapi jika diantara beras masih terdapat kerikil, maka saat memakannya tidak dapat terasa nikmat karena masih ada yang mengganjal dalam kenikmatan rasanya. Dari perumpamaan di atas, dapat dipahami bahwa ikhlas adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan masalah niat, hal ini disebabkan niat adalah titik penentu dalam menentukan amalan seseorang. Orang yang ikhlas, tidak akan dikatakan sebagai orang yang ikhlas sampai ia hanya mengesakan Allah l dari segala sesuatu, dan hanya Allah l yang ia inginkan[6].

Dari pemaparan sebelumnya, dapat kita ambil kesimpulan bahwa setiap kita mau melakukan suatu perbuatan haruslah diniatkan karena Allah l. Karena dengan selalu menanamkan rasa ikhlas dalam keseharian, kita akan selalu merasakan dampak yang sangat baik dalam hidup. Namun memang untuk bisa selalu menerapkan perasaan ikhlas ini tidaklah mudah, ditambah lagi karena kita sebagai manusia selalu memiliki hawa nafsu yang terkadang sulit untuk dikendalikan. Oleh karena itu, kita harus selalu mencoba untuk selalu mengimplementasikan perasaan ikhlas dalam melakukan segala hal hanya untuk mengharap ridho Allah l.

Kisah Keteladanan Pribadi Ikhlas

Umat Islam tidak perlu bingung mencari pribadi yang memberikan keteladanan dalam sikap Ikhlas. Di zaman Rasulullah n, ada seorang sahabat yang bisa kita jadikan teladan dalam mempraktekan pribadi yang mukhlasin (ikhlas). Ia adalah seorang sahabat nabi Muhammad n yang bernama Amrun bin Taghlib.  Amrun Bin Taghlib adalah salah satu sahabat Nabi Muhammad n yang namanya terdapat dalam beberapa hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Amrun bin Taghlib yang lahir di Basarah, menjadi salah satu sahabat Nabi yang ikut serta dalam perjuangan dakwah Rasulullah.[7]

Pada hadits yang melalui jalur Muhammad bin Al-Fadhal atau Abu An Nu’man, Jarir bin Hazim bin Zaid atau Abu An Nadhar, Al-Hasan bin Abi Al-Hasan Yasar atau Abu Sa’id, dan Amrun bin Taghlab, Rasulullah memaparkan mengenai keutamaan yang dimiliki oleh Amrun bin Taghlib. Di dalam hadits ini, Rasulullah membagikan hasil dari rampasan perang kepada sahabat Nabi. Namun tidak semua memperoleh bagian dari harta rampasan itu. Sebagian orang-orang yang tidak memperoleh harta rampasan perang itu merasa kecewa dan tidak puas dengan sikap yang diambil Rasulullah.[8]

Kemudian Rasulullah bersabda “Sungguh, ada orang yang kuberi dan ada yang tidak kuberi, namun yang tidak aku beri lebih aku sukai daripada yang aku beri, beberapa orang yang aku beri karena hati mereka masih ada keluh kesah dan ketakutan, dan beberapa orang yang aku percayakan kepada kecukupan yang telah Allah jadikan pada hati mereka, diantara mereka ialah Amrun bin Taglib”. Perkataan Rasulullah ini akhirnya didengar oleh Amrun bin Taghlib, ia kemudian mengatakan bahwa ucapan Rasulullah lebih ia cintai dan tidak ingin menukarnya dengan unta-unta merah (unta yang jenisnya paling mahal dan bagus).[9]

Dalam Syarah Riyadhus Shalihin Jilid 2 yang aslinya berjudul Bahjatun Naazhiriin Syarh Riyâdhish Shaalihin, Syekh Salim bin led Al-Hilali memaparkan diantara makna hadits itu, selain menjelaskan keutamaan dari Amrun bin Taghlib, juga mengajarkan kepada seorang muslim untuk selalu ridho terhadap rezeki yang didapat tanpa harus meminta serta tanpa harus memaksa. Selain itu kita juga bisa memetik hikmah bahwa harta kekayaan dan juga kenikmatan duniawi bukan menjadi tolak ukur kemuliaan dan kehormatan seseorang.[10] Semoga kita menjadi pribadi yang ikhlas dalam menjalani roda kehidupan di dunia. Amîn ya rabbal âlamîn.[]

Mutiara Hikmah

Allah l berfirman:

قُلْ اِنَّ صَلَاتِيْ وَنُسُكِيْ وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِيْ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَۙ

Katakanlah sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”. (QS. al-An’am [6]: 162)

Marâji:

* Penyusun mahasiswi Prodi Hubungan Internasional/ 2020 Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial

[1] Hasiah., Peranan Ikhlas dalam Perspektif Al-Qur’an, dalam Jurnal Darul ‘Ilmi Vol. 01, No.2, Juli 2013, hal. 22-27.

[2] Shofaussamawati.m Ikhlas Perspektif Al-Qur’an, dalam Jurnal Harmeunetik, Vol. 7, No.2, Desember 2013, hal. 333.

[3] Kristina, “Apa Itu Ikhlas? Begini Pengertiannya dalam Islam”, 28 Mei 2021, https://news.detik.com/berita/d-5585678/apa-itu-ikhlas-begini-pengertiannya-dalam-islam.

[4] Ibid.

[5] Hasiah., Peranan Ikhlas dalam Perspektif Al-Qur’an.., hal. 22-27.

[6] Ibid.

[7] Andrian Saputra, “Amru Bin Taghlib, Sahabat Nabi Muhammad yang Ikhlas”, 10 Januari 2021, https://republika.co.id/amp/q3vs4e430

[8] Ibid.

[9] Ibid.

[10] Ibid.

Download Buletin klik disini

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *