MUAMALAH DAN MAKNA KETAQWAAN KEPADA ALLAH

MUAMALAH DAN MAKNA KETAQWAAN KEPADA ALLAH

Oleh: Dr. Ariyanto, S.H., C.N., M.H.

 

Aturan Muamalah dalam Islam

Sebagai mahluk hidup yang diamanahi oleh Allah ﷻ untuk berbakti dan beribadah kepada Allah ﷻ, manusia tidak dapat terlepas dari kegiatan perdagangan, komunikasi, serta membangaun relasi dengan manusia lainnya, dan oleh karena itu Allah ﷻ Tuhan yang menciptakan kita semua telah memuat rambu-rambunya melaui Al-Qur’an, dan As-Sunnah yang dibawa oleh Nabi besar ummat Islam Muhammad ﷺ.  Aturan muamalah dalam Islam berhubungan dengan interaksi manusia dengan sesamanya. Dalam bermuamalah Islam telah megatur tentang hukum-hukumnya. Landasan utamanya berasal dari nas al-Quran dan hadis.

Allah ﷻ berfirman  dalam surah al-Mâidah ayat 3, “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”[1] (Q.S. al Mâidah [5]: 3)

Surat al Mâidah ayat 3 ini turun pada hari Arafah saat haji wada’ dan sesudahnya tidak turun lagi ayat mengenai halal dan haram. Asma binti Umais menceritakan, “Aku ikut haji bersama Rasulullah ﷺ dalam haji tersebut (haji wada’). Ketika kami sedang berjalan, tiba-tiba Malaikat Jibril datang kepada beliau dengan membawa wahyu. Maka Rasulullah ﷺ membungkuk di atas untanya. Unta itu hampir tidak kuat menopang diri Rasulullah ﷺ karena beratnya wahyu yang sedang turun …”

Pernah seorang Yahudi berkata kepada Khalifah Umar bin Khattab, “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya engkau biasa membaca ayat dalam kitabmu, seandainya hal itu diturunkan kepada kami orang-orang Yahudi, niscaya kami akan menjadikan hari itu sebagai hari raya.” “Ayat apakah itu?” Orang Yahudi tersebut lantas membaca firman-Nya: Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, Umar berkata, “Demi Allah, sesungguhnya aku benar-benar mengetahui ayat ini diturunkan kepada Rasulullah n pada sore hari Arafah yang jatuh pada hari Jum’at.”[2]

Makna Muamalah

Dalam bahasa Arab, muamalah memiliki makna  pergaulan atau interaksi manusia dengan makhluk lain. Dari perspektif bahasa, ruang lingkup muamalah tidak terbatas pada manusia semata, namun juga mahluk ciptaan Allah ﷻ lainnya. Sedangkan menurut istilah, muamalah adalah perkara syariat yang mengatur hubungan sesama manusia berkaitan dengan urusan harta, pernikahan, kriminalitas, warisan, utang-piutang, dan sebagainya, sebagaimana dikutip dari fikih Muamalah: Memahami Konsep dan Dialektika Kontemporer (2020) yang ditulis Syaikhu, Ariyadi, dan Norwili.[3]

Cakupan Muamalah dalam Islam

Cakupan muamalah dalam tataran asas yang umum adalah mencakup keadilan, kesimbangan, dan kebolehan (mubah). Ayat terkait persoalan muamalah dalam Islam tertera dalam banyak ayat Al-Quran, di antaranya adalah sebagai berikut.

  1. Qs. al-Mâidah ayat 1 tentang memenuhi akad perjanjian

Allah ﷻ berfirman:Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.[4] (QS. Al Maidah [5]: 1).

  1. Qs. al-Baqarah ayat 275 tentang haramnya riba

Dalam tafsir al-Muyassar dijelaskan, “Orang-orang yang bermuamalah dengan riba (yaitu tambahan dari modal pokok), mereka itu tidaklah bangkit berdiri di akhirat kelak dari kubur-kubur mereka, kecuali sebagaimana berdirinya orang-orang yang dirasuki setan karena penyakit gila. Hal itu karena sesungguhnya mereka mengatakan, “Sesungguhnya jual beli itu sama dengan praktek ribawi dalam kehalalan keduanya, karena masing-masing menyebabkan bertambahnya kekayaan.” Maka Allah mendustakan mereka dan menjelaskan bahwa Dia menghalalkan jual beli dan mengharamkan transaksi ribawi, karena dalam jual beli terdapat manfaat bagi orang-orang secara individual dan masyarakat, dan karena dalam praktek riba terkandung unsur pemanfaatan kesempatan dalam kesempitan, hilangnya harta dan kehancuran. Maka siapa saja yang telah sampai padanya larangan Allah terkait riba, lalu dia menghindarinya, maka baginya keuntungan yang telah berlalu sebelum ketetapan pengaraman. Tidak ada dosa atas dirinya padanya. Dan urusannya dikembalikan kepada Allah terkait apa yang akan terjadi pada dirinya pada masa yang akan datang. Apabila dia komitmen terus di atas taubatnya, maka Allah tidak akan menghilangkan pahala orang-orang yang berbuat baik. Dan barangsiapa kembali kepada praktek riba dan menjalankannya setelah sampai kepadanya larangan Allah tentang itu, maka sungguh dia pantas memperoleh siksaan dan hujjah telah tegak nyata di hadapannya. Oleh sebab itu, Allah berfirman, “Maka mereka itu adalah para penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”[5]

  1. Qs. al-Baqarah ayat 277 dari al-Baqarah tentang benefit yang akan didapat dari mengerjakan segala yang Ia perintahkan dan segala yang Ia larang.

Allah ﷻ berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati,” Q.S. al-Baqarah [2]: 277).

Dari cuplikan ayat-ayat di atas, jelaslah bahwa Allah ﷻ sangat mengutuk perilaku riba, yang mana riba merupakan dari kegiatan ekonomi yang dilakukan manusia, utamanya yang berkaitan dengan masalah utang-piutang. Kemudian, dalam ayat berikutnya yakni Q.S. Al-Baqarah ayat 277 Allah mengatakan bahwa orang yang beriman kepada Allah beserta Hukum-Hukum yang telah ditentukan oleh-Nya, maka kepada mereka itu tidak ada kekhawatiran dan tidak ada kesedihat dalam hatinya. Artinya kalau kita sebagai manusia menaati perintah Allah ﷻ dan menjauhi larangannya (bertaqwa kepada Allah) termasuk dalam persoalan muamalah, maka in sya Allah hidup kita akan penuh ketenangan, damai, tanpa ada kekhawatiran sedikitpun. Wa Allâhu a’lam.[]

Mutiara Hikmah

Dari Abu Hurairah, Nabi ﷺ bersabda:

مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ

“Sedekah tidaklah mengurangi harta.” (HR. Muslim no. 2558)

[1] Dikutip pada 27 Mei 2022 pada laman web :  https://tafsirweb.com/1887-surat-al-maidah-ayat-3.html.

[2] Muchlisin BK, Surat Al-Maidah Ayat 3, Terjemah, Tafsir, dan Kandungan, dikutip pada tanggal 27 Mei 2022 pada laman web : https://bersamadakwah.net/surat-al-maidah-ayat-3/.

[3] Abdul Hadi, Ayat-Ayat Al-Quran tentang Muamalah : Arab, Latin, dan Terjemahannya, dikutip pada tanggal 26 Mei 2022 melalui : https://tirto.id/ayat-ayat-al-quran-tentang-muamalah-arab-latin-dan-terjemahannya-gk9w .

[4] Dikutip dari terjemahan dari laman https://tafsirq.com/5-Al-Ma’idah/ayat-1. Pada tanggal 27 Mei 2022.

[5] Dikutio dari : https://tafsirweb.com/1041-surat-al-baqarah-ayat-275.html. Pada tanggal 27 Mei 2022.

Download Buletin klik disini

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *