MENGENAL BAHAYA ‘ISTIDRAJ’

MENGENAL BAHAYA ‘ISTIDRAJ’

Oleh: Nur Laelatul Qodariyah

*Mahasiswi Prodi  Ahwal Al-Syakhshiyah FIAI UII

 

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu was-salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Saudaraku kaum muslimin yang dirahmati Allah ﷻ. Berbicara terkait kenikmatan tentu fokus paham kita pada rezeki, nikmat dunia, uang yang banyak, harta dan tahta yang berlimpah. betul sekali, semua yang disebutkan memang masuk dalam kategori nikmat. Namun nikmat bisa beribadah kepada Allah ﷻ , bisa berpuasa dengan lancar, berdzikir dengan khusu’, hal tersebut merupakan nikmat terbesar   yang patut kita syukuri.

Makna Istidraj

Mengenal istilah ‘Istidraj’, orang awam pasti belum memahami dengan terperinci terkait istilah tersebut. Istidraj secara bahasa diambil dari kata da-ra-ja (Arab: درج ) yang artinya naik dari satu tingkatan ke tingkatan selanjutnya. Sementara istidraj dari Allah kepada hamba dipahami sebagai ‘hukuman’ yang diberikan sedikit demi sedikit dan tidak diberikan langsung. Allah biarkan orang ini dan tidak disegerakan adzabnya. Allah ﷻ berfirman, “Nanti Kami akan menghukum mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui.” (Q.S. al-Qalam [68]: 44)[1]

Dapat dipahami bahwa, sebuah kenikmatan yang diberikan Allah ﷻ tidak akan lekang pada kasih sayangnya. Namun jika seseorang telah diberikan kenikmatan tetapi ia terus berbuat maksiat dan malah sering melalaikan perintahnya maka bisa jadi kenikmatan-kenikmatan yang terus bertambah itu merupakan salah satu murka Allah ﷻ, dan termasuk dalam kategori ‘Istidraj’.[2]

Sebagaimana kutipan dari Fadhullah al-Haa’iri dalam kalimat Ali Bin Abi Thalib, “Barangsiapa yang bersenang-senang dengan maksiat kepada Allah , niscaya Allah akan memberikan kepadanya kehinaan.[3]

Menurut Asy-Syaukani dalam kitabnya tafsir fathul qadir menyatakan bahwa, al istidraj berasal dari kata sanastadrijuhum yang berarti bertahap atau menerik secara berangsur-angsur. Sedangkan makna al-istidraj adalah melangkah sedikit demi sedikit sehingga dapat mencapai tujuan.

Semua tindakan maksiat yang Allah balas dengan nikmat, dan Allah membuat dia lupa untuk beristighfar, sehingga dia semakin dekat dengan adzab sedikit demi sedikit, selanjutnya Allah berikan semua hukumannya, itulah istidraj.[4]

Berdasarkan hadis dari Uqbah bin Amir dari Nabi ﷺ, beliau bersabda, “ Jika kalian melihat Allah memberikan dunia kepada seorang hamba pelaku maksiat dengan sesuatu yang ia sukai, maka sesungguhnya itu hanyalah merupakan istidraj” (H.R. Ahmad no.16673). Hasan menurut Syu’aib al-Arna’uth.

Sebagai seorang muslim, patutlah kita bersyukur jika mendapatkan musibah seperti rasa sakit, menderita, patah hati  dll.  Karena hal itu merupakan sebuah pertanda  bahwa kasih sayang Allah ﷻ kepada kita sangat besar. Sehingga kita menyadari bahwa mungkin saja karena dosa yang terlalu banyak hal itu dapat mengugurkan dosa-dosa dengan musibah yang kita terima jika sabar dan rendah hati dalam  menjalani ujian.

Tanda-Tanda ‘Istidraj

Salah satu tanda seseorang mendapatkan ‘istidraj adalah memperoleh kelancaran, kenyaman, ketenangan dalam hidup, tetapi nyatanya lalai dalam beribadah. Pasti kita sering menemukan beberapa contoh dari  orang yang mendapatkan kesenangan, kelancaran, kenyaman dan ketenangan  dalam hidup padahal jarang sekali melakukan ibadah atau bahkan tidak sama sekali melaksanakan ibadah. Maka dari hal tersebut perlu diwaspadai dan dicermati bahwa hal tersebut merupakan tanda-tanda ‘istidraj’. Karena dia tidak akan pernah tahu kesenangan dan kenyamanan itu sebagai bentuk nikmat ataukah azab yang nantinya pasti mendapatkan balasan yang seadil-adilnya.

Allah ﷻ berfirman: “ Maka ketika mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, kami pun membukakan semua pintu (kesenangan) untuk mereka. Sehingga ketika mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, kami siksa mereka secara tiba-tiba, maka ketika itu mereka terdiam putus asa”. (Q.S. al-Anam [6]: 44).

Dari ayat diatas dapat memberikan kita gambaran yang nyata bahwa, orang yang melupakan sebuah peringatan dari sebab dan akibat seperti menolak nasihat dari sebuah kesengsaraan maupun ancaman, serta melalaikan ibadah, maka daripada itu Allah ﷻ akan membuka sebuah pintu kesenangan dan kebahagiaan sebagai pintu ‘istidraj’. Jika seseorang ketika mendapatkan kebahagiaan kemudian ia sombong, dengan tersebut Allah ﷻ akan mengazabnya sesegera mungkin.[5]

Mendapatkan Kemewahan, Padahal Kikir dan Pelit

Harta, tahta dan segala kemewahan dunia bukanlah milik kita, segala sesuatu yang ada di bumi terutama dalam bentuk fisik pasti akan lenyap di dunia ini. Karena sejatinya hanya Allah ﷻ yang maha kekal abadi selama-lamanya. Untuk itu jika seseorang memperoleh harta yang berlimpah, kedudukan yang tinggi semua itu tidak berarti, jika masih mempunyai sifat kikir dan pelit dalam menggunakan hartanya untuk orang lain. Dunia dan isinya itu hanyalah sementara, ibaratnya sebuah tempat persinggahan sesaat, untuk itu manusia di dunia hakikatnya mencari bekal untuk hidup di akhirat. Karena di akhirat waktu lebih panjang daripada dunia ini yang sementara.

Rasulullah ﷺ mengingatkan, “Jika kamu melihat Allah memberikan kemewahan dunia kepada seseorang yang suka melanggar perintah-Nya, maka itu adalah istidraj.” (HR. Ahamd).[6] Dapat dipahami bahwa, kadang masyarakat awam cenderung ambigu untuk mengenal apa itu ‘istidraj’, dengan hal tersebut banyak manusia yang mengalami hal tersebut tidak sadar dan akhirnya tersesat dengan kenikmatan-kenikmatan yang terus berdatangan.[7]

‘Istidraj’ Menurut Tafsir Al-Misbah

Tafsir al-Misbah yang ditulis oleh M.Quraish Shihab menjelaskan konsep ‘istidraj’ adalah pemberian dari Allah ﷻ kepada manusia berupa kemudahan dalam segala urusan dunia, termasuk harta dan tahta serta kesehatan. Dengan hal tersebut hakikatnya ‘istidraj itu ialah azab yang diberikan Allah ﷻ kepada hambanya dengan segala bentuk  kenikmatan-kenikmatan dunia, serta kesenangan  lainnya sehingga semakin diberikan nikmat, maka seorang hamba tersebut akan semakin lalai dalam beribadah sehingga adanya jarak terhadap hubungan  seorang hamba dengan Allah ﷻ.

Jika kita mengenal kata murka merupakan sebuah hal bencana, kesengsaraan hidup, siksa. Hal itu berbanding dengan konsep ‘istidraj’, jadi yang dimaksud kenikmatan disini adalah bagaimana seorang hamba bisa menyadari dalam bentuk kesenangan, kenikmatan, kemudahan padahal sering melalaikan perintah Allah ﷻ sebagai ujian. Karena manusia ketika diberikan kesenangan dan kenikamatan dunia akan cenderung melalaikan dan melupakan siapa yang memberikan nikmat.[8] Dengan hal tersebut patut lah kita bersyukur jika masih diberikan cobaan yang sekiranya itu merupakan tanda-tanda yang bisa kita kenali bahwa itu merupakan dosa yang perlu kita perbaiki dan memohon ampun kepada Allah ﷻ karena sering melalaikan perintahnya.

Marâji:

[1] Al-Mu’jam Al-Lughah Al-Arabiyah, kata: da-ra-ja, disebutkan dalam Ammi Nur Baits, Makna Istidraj, https://konsultasisyariah.com/10940-makna-istidraj.html

[2] Bayu Arif Bimantoro, ‘Istidraj dalam Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nur, Skripsi S1,  Surabaya: UIN Sunan Ampel Surabaya, 2021, 2

[3] Ibid. hal.2

[4] Ammi Nur Baits, Makna Istidraj, https://konsultasisyariah.com/10940-makna-istidraj.html

[5] Bayu Arif Bimantoro, ‘Istidraj dalam Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nur, hal 4

[6] Jalaluddin as-Suyuti, Jilid. I: 26

[7] Dina Fitri Febriani and Muhammad Zubir, “Istidraj Dalam Al-Quran Perspektif Imam Al-Qurthubi,” Istinarah: Riset Keagamaan, Sosial Dan Budaya 2, no. 1 (2020): 78, doi:10.31958/istinarah.v2i1.2101.

[8] Ali Muzamil, John Supriyanto, and Apriyanti, “Istidraj Dalam Al-Qur’an Menurut Penafsiran M. Quraish Shihab Dalam Tafsir Al-Misbah,” Al-Misykah: Jurnal Kajian Al-Quran Dan Tafsir 1, no. 2 (1902): 109.

Download Buletin klik disini

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *