HIDUP INI UNTUK MENGHAMBA

HIDUP INI UNTUK MENGHAMBA

Oleh : Abdul Muis, S.Kom

*Alumni Informatika FTI UII 2017

 

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu was-salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Derasnya arus modernisasi di berbagai aspek, meningkatnya gaya hidup, tingginya persaingan status sosial membuat sebagian besar individu lupa akan hakikat kehidupan. Fenomena tersebut didukung dengan perkembangan teknologi informasi yang memberikan kemudahan dalam segala hal, baik dalam sudut pandang positif ataupun sebaliknya. Terkadang dengan kemudahan yang ada tidak sedikit yang terjerumus dalam hiruk pikuknya dunia teknologi terutama media sosial. Tanpa disadari kemudahan dan kemewahan tersebut menjadi bumerang tersendiri.

Munculnya paham-paham pemikiran yang berseberangan dengan Islam memperparah fenomena yang ada. Dampaknya Aqidah dan jati diri Islam terkoyakkan. Misalnya saja adanya paham pemikiran Islam liberal. Paham ini berawal dari pengaruh pandangan hidup barat dan peradabannya yang hegemoni dan mendominasi semua bidang kehidupan. Islam liberal mencoba memberikan tafsiran Islam yang sesuai modernity atau kemordenan. Sehingga Islam harus sesuai dengan kemordenan. Jika terjadi konflik antara ajaran Islam dan pencapaian modernitas, yang harus dilakukan menurut penganut paham ini adalah bukanlah menolak modernitas, tetapi menafsirkan kembali ajaran tersebut[1].

Paham Islam liberal kemudian dipopulerkan oleh satu kumpulan para pemuda dengan menumbuhkan satu rangkaian kerja sama di dalam dan di luar negeri, yang mereka namakan sebagai ‘Jaringan Islam Liberal’ (JIL). Terlihat jelas bahwa pemikiran-pemikiran liberal yang dilontarkan oleh kelompok ini merupakan penyerapan dan pengaruh dari isu-isu pemikiran yang berkembang di dunia barat. Selain itu, paham pemikiran ini hendak menjadikan Islam sama seperti Kristen atau paham Yahudi di barat yang tunduk dengan kehidupan duniawi, dengan cara membebaskan umat Islam dari ajaran-ajaran yang sesungguhnya supaya sesuai dengan selera dan agenda barat[2].

Fakta tersebut tentu sangat bertentangan dengan Islam yang menundukkan umatnya kepada kehidupan akhirat melalui ibadah dan syariat yang sudah ditetapkan dengan berlandaskan al-Qur’an dan Sunnah.

Akhirat sebagai Prioritas

Islam adalah agama yang memprioritaskan segala sesuatu untuk kehidupan akhirat yang lebih tinggi derajat kenikmatan dan karunianya, berdasarkan firman Allah ﷻ “Dan pasti kehidupan akhirat lebih tinggi tingkatnya dan lebih besar keutamaannya.” (Q.S Al Isra’[17]:21).

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di salah satu pakar ilmu tafsir abad ke-14 dalam kitab tafsirnya (Tafsir As-Sa’di) beliau menjelaskan maksud ayat tersebut bahwa kenikmatan dunia dan kenikmatan akhirat tidak bisa dibandingkan dalam segala sudut. Alangkah jauh perbedaan antara orang-orang yang berada di istana-istana yang tinggi, aneka kelezatan yang bermacam-macam, beragam jenis kebaikan, rangkaian kebahagiaan dengan orang yang menggelepar-gelepar di dalam neraka Jahim, tersiksa dengan azab yang pedih, dan kemurkaan Rabb yang Maha Penyayang yang sudah mengenainya. Dan masing-masing dua kampung itu (dunia dan akhirat) di hadapan para penghuninya mempunyai sisi-sisi perbedaan yang tidak terhitung jumlah oleh seseorang[3]. Ayat ini cukuplah menjadi bukti bahwa kemewahan dan kegemerlapan kehidupan dunia tidaklah sebanding dengan karunia dan kebahagiaan kehidupan akhirat.

Jika dibuka kembali lembaran sejarah Islam yang sebenarnya bahwa misi pertama diutusnya semua nabi dan rasul mulai nabi Nuh sampai dengan nabi Muhammad ﷺ ialah menerangkan dan mengingatkan kembali penghambaan pada Allah ﷻ. Oleh karena itu, untuk membuktikan penghambaan pada Allah ﷻ  diperintahkannya shalat sebagai salah satu turunan dari ibadah. Bukti penghambaan ini diperjelas ketika membacanya dalam pelaksanaan shalat,  Kalimat tersebut diulang sebanyak tujuh belas kali setiap harinya ketika melaksanakan kewajiban yang lima kali sehari, “Hanya kepadamulah kami menyembah dan hanya kepadamulah kami memohon pertolongan” (Q.S al-Fatihah [1]: 5).

Ayat tersebut menegaskan bahwa umat manusia khususnya umat Islam adalah hamba utusan Allah ﷻ. Para ahli tafsir menjelaskan makna penghambaan dari ayat tersebut ialah hanya menghususkan ibadah kepada Allah ﷻ dengan bertauhid dan memohon pertolongan hanya kepada Allah ﷻ untuk urusan lainnya[4].

Penegasan Menghamba

Penegasan derajat sebagai hamba salah satunya tercantum dalam al-Qur’an, Allah ﷻ berfirman “Tidaklah aku ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (Q.S Adh-Dhariyat [51]: 56). Para ahli tafsir menjelaskan bahwa makna ibadah di ayat tersebut yaitu merendah, tunduk, dan menyerahkan diri kepada Allah ﷻ. Sebab makna ibadah secara bahasa adalah tunduk dan patuh[5].

Tunduknya kita pada Allah ﷻ semata-semata sebagai bentuk syukur terhadap segala nikmat yang diberikan. Berkurangnya ketundukan ataupun tidak patuhnya kita kepada Allah ﷻ, sama sekali tindak merendahkan derajat Allah ﷻ yang Maha Tinggi, karena sejatinya seorang hamba yang membutuhkan Rabbnya, bukan sebaliknya. Di ayat berikutnya Allah ﷻ mempertegas bahwa Dia tidak menghendaki hambanya sebagaimana seorang tuan yang memanfaatkan budaknya, akan tetapi Dia Maha Kaya dan Maha Pemberi Rezeki, sebagaimana firman-Nya, “Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan aku tidak menghendaki agar mereka memberiku makan. Sunggu Allah, Dialah  pemberi rezeki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh” (Q.S Adh-Dhariyat [51]:57-58).

Penghambaan kita kepada Allah ﷻ bukanlah berarti bentuk larangan untuk meninggalkan dunia sepenuhnya. Tentu tidak. Islam tidak melarang untuk bekerja, tidak melarang untuk menjadi kaya, berkarier mencapai jabatan tertinggi, mempunyai kedudukan dan ilmu yang tinggi serta lain semisalnya. Akan tetapi ayat tersebut mengingatkan bahwa kedudukan kita di muka bumi adalah sebagai hamba dan tugasnya untuk menghamba yang senantiasa meniatkan segala sesuatu sebagai ibadah berorientasi akhirat. Silakan bekerja, berkarier setinggi-tinginya, akan tetapi jangan lupa status kita adalah sebagai hamba yang berkewajiban menghamba dan status kehambaannya akan dimintai pertanggung jawaban di hadapan-Nya.[]

MARÂJI’:

[1] Dr.Adian Hussaini, Islam liberal: sejarah, konsepsi, penyimpangan, dan jawabannya – Adian Husaini, Nuim Hidayat – Google Books.

[2] I. Dan and P. Untuk, “Isu-Isu Sentral Dalam Pemikiran Islam Liberal : Kes,” pp. 1–16, 1999, Accessed: Aug. 19, 2022. [Online]. Available: https://insists.id/isu-isu-sentral-dalam-pemikiran-islam-liberal/.

[3] “Surat Al-Isra Ayat 21: Arab-Latin dan Artinya.” https://www.tafsirweb.com/4625-surat-al-isra-ayat-21.html (accessed Aug. 19, 2022)

[4] M. A. Tuasikal, “Tafsir Surat Al-Fatihah (Ayat 5): Memahami Iyyaka Na’budu Wa Iyyaka Nasta’iin – Rumaysho.Com.” https://rumaysho.com/24478-tafsir-surat-al-fatihah-ayat-5-memahami-iyyaka-nabudu-wa-iyyaka-nastaiin.html (accessed Aug. 19, 2022)

[5] “Surat Az-Zariyat Ayat 56: Arab-Latin dan Artinya.” https://www.tafsirweb.com/9952-surat-az-zariyat-ayat-56.html (accessed Aug. 19, 2022)

Download Buletin klik disini

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *