HUKUM SHALAT JAMAAH
Oleh: Shahib al Rasikh
Bismillâhi walhamdulillâh wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,
Shalat jama’ah lima waktu disyari’atkan dalam Islam bagi laki-laki dan perempuan yang mukallaf dan mampu, baik sedang tidak berpergian maupun sedang dalam perjalanan. Para ulama telah sepakat bahwa shalat di masjid merupakan ibadah yang sangat mulia. Akan tetapi para ulama berselisih pendapat tentang status hukum shalat jama’ah di masjid itu sendiri, apakah wajib ‘ain (wajib bagi masing-masing individu), atau wajib kifayah atau sunnah mu’akkad. Dalam hal ini ada empat pendapat, sebagai berikut:
- Hukumnya Fardhu Kifayah.
Demikian ini pendapat Imam Syafi’i, Abu Hanifah, jumhur ulama Syafi’iyah mutaqaddimîn (terdahulu), dan banyak ulama Hanafiyah maupun Malikiyah. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Zhahir nash (perkataan) Syafi’i, shalat berjamaah hukumnya fardhu kifayah. Inilah pendapat jumhur mutaqaddimîn dari ulama Syafi’iyah dan banyak ulama Hanafiyah serta Malikiyah.”[1]
Dalil-Dalilnya, sebagai berikut, hadits pertama, “Tidaklah ada tiga orang dalam satu perkampungan atau pedalaman tidak ditegakkan pada mereka shalat, kecuali Syaithan akan menguasainya. Berjama’ahlah kalian, karena serigala hanya memangsa kambing yang sendirian.” (HR Abu Dawud).[2] Al-Saib berkata: ”Yang dimaksud berjama’ah ialah jama’ah dalam shalat.” Hadits kedua, “Kembalilah kepada ahli kalian, lalu tegakkanlah shalat pada mereka, serta ajari dan perintahkan mereka (untuk shalat). Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat. Jika telah datang waktu shalat, hendaklah salah seorang kalian beradzan dan yang paling tua menjadi imam.” (HR al-Bukhâri dan Muslim).[3]
- Hukumnya syarat, tidak sah shalat tanpa berjama’ah, kecuali dengan udzur.
Demikian ini pendapat Zhahiriyah dan sebagian ulama hadits. Pendapat ini didukung oleh sejumlah ulama, diantaranya: Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, Ibnu Aqil dan Ibnu Abi Musa.
Diantara dalil-dalinya, ialah hadits pertama, “Barangsiapa yang mendengar adzan lalu tidak datang, maka tidak ada shalat baginya kecuali karena udzur.”(HR Ibnu Majah).[4] Hadits kedua, “Demi Dzat yang jiwaku ada ditangan-Nya, sungguh aku bertekad meminta dikumpulkan kayu bakar. Lalu dikeringkan (agar mudah dijadikan kayu bakar). Kemudian aku perintahkan shalat, lalu ada yang beradzan. Kemudian aku perintahkan seseorang untuk mengimami shalat, dan aku tidak berjama’ah untuk menemui orang-orang (lelaki yang tidak berjama’ah), lalu aku bakar rumah-rumah mereka.” (HR al-Bukhâri dan Muslim).[5]
- Hukumnya Sunnah Mu’akkad.
Demikian ini pendapat madzhab Hanafiyah dan Malikiyah. Imam Ibnu Abdil Barr menisbatkannya kepada kebanyakan ahli fiqih Iraq, Syam dan Hijaj. Diantara dalil-dalilnya sebagai berikut:
Hadits pertama, dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah ` bersabda,”Shalat berjama’ah mengungguli shalat sendirian dua puluh tujuh derajat.” (HR al-Bukhâri).[6] Hadits kedua, “Sesungguhnya, orang yang mendapat pahala paling besar dalam shalat ialah yang paling jauh jalannya, kemudian yang lebih jauh. Orang yang menunggu shalat sampai shalat bersama imam, lebih besar pahalanya dari orang yang shalat, kemudian tidur. Dalam riwayat Abu Kuraib, (disebutkan): sampai shalat bersama imam dalam jama’ah.” (HR Muslim ).[7]
- Hukumnya Wajib ‘Ain (Fardhu ‘Ain) dan Bukan Syarat.
Demikian ini pendapat Ibnu Mas’ud, Abu Musa al-Asy’ariy, Atha’ bin Abi Rabbah, al-Auza’i, Abu Tsaur, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, sebagian besar ulama Hanafiyah dan madzhab Hambali. Diantara dalil-dalilnya sebagai berikut,
Dalil-dalil dari firman Allahﷻ, “Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu), lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan se-raka’at), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bershalat, lalu bershalatlah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap-siaga dan menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus. Dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau karena karena kamu memang sakit; dan siap-siagalah kamu. Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu.” (Q.S. an-Nisâ’ [4]:102).
Dari ayat ini, Ibnul Qoyyim menjelaskan mengenai wajibnya shalat jama’ah: Allah memerintahkan untuk shalat dalam jama’ah –dan hukum asal perintah adalah wajib[8] yaitu Allah berfirman: (فَلْتَقُمْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ مَعَكَ), ”perintahkan segolongan dari mereka berdiri (shalat) bersamamu”-. Kemudian Allah mengulangi perintah-Nya lagi –dalam ayat (وَلْتَأْتِ طَائِفَةٌ أُخْرَى لَمْ يُصَلُّوا فَلْيُصَلُّوا مَعَكَ), ”dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat, perintahkan mereka shalat bersamamu”
Ini merupakan dalil bahwa shalat jama’ah hukumnya adalah fardhu ’ain karena dalam ayat ini Allah tidak menggugurkan perintah-Nya pada pasukan kedua setelah dilakukan oleh kelompok pertama. Seandainya shalat jama’ah itu sunnah, maka shalat ini tentu gugur karena ada udzur yaitu dalam keadaan takut. Seandainya pula shalat jama’ah itu fardhu kifayah maka sudah cukup dilakukan oleh kelompok pertama tadi. Maka dalam ayat ini, tegaslah bahwa shalat jama’ah hukumnya adalah fardhu ’ain dilihat dari tiga sisi: [1] Allah memerintahkan kepada kelompok pertama, [2] Selanjutnya diperintahkan pula pada kelompok kedua, [3] Tidak diberi keringanan untuk meninggalkannya meskipun dalam keadaan takut.”[9] Dalam ayat ini terdapat dalil yang tegas mengenai kewajiban shalat berjama’ah. Yakni tidak boleh ditinggalkan, sebagian lain berpendapat boleh bila ada udzur, seperti: ketakutan atau sakit.
Nabi ` memperingatkan keras pria yang meninggalkan shalat jama’ah yaitu ingin membakar rumah mereka. Tentu saja hal ini menunjukkan bahwa shalat jama’ah adalah wajib. Dalil-dalil dari sabda Rasulullah `, sebagai berikut, “Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh aku bertekad meminta dikumpulkan kayu bakar, lalu dikeringkan (agar mudah dijadikan kayu bakar). Kemudian aku perintahkan shalat, lalu ada yang beradzan. Kemudian aku perintahkan seseorang untuk mengimami shalat dan aku tidak berjama’ah untuk menemui orang-orang (lelaki yang tidak berjama’ah). Lalu aku bakar rumah-rumah mereka.” (HR al-Bukhâri dan Muslim).[10]
Ibnu Hajar dalam menafsirkan hadits ini menyatakan, “Adapun hadits bab (hadits di atas), maka zhahirnya menunjukkan, (bahwa) shalat berjama’ah fardhu ‘ain. Karena, seandainya hanya sunah, tentu tidak mengancam yang meninggalkannya dengan (ancaman) pembakaran tersebut. Juga tidak mungkin terjadi, atas orang yang meninggalkan fardhu kifayah, seperti pensyari’atan memerangi orang-orang yang meninggalkan fardhu kifayah.”[11]
Demikian juga Ibnu Daqiqil ‘Ied menyatakan, “Ulama yang berpendapat, bahwa shalat berjama’ah hukumnya fardhu ‘ain berhujah dengan hadits ini. Karena jika dikatakan fardhu kifayah, kewajiban itu dilaksanakan oleh Rasulullah dan orang yang bersamanya dan jika dikatakan sunnah, tentu tidaklah dibunuh orang yang meninggalkan sunah. Dengan demikian jelaslah, shalat jama’ah hukumnya fardhu ‘ain.”[12] “Seorang buta mendatangi Nabi ` dan berkata,“Wahai Rasulullah, aku tidak mempunyai seorang yang menuntunku ke masjid,” lalu dia meminta keringanan kepada Rasulullah ` sehingga dibolehkan shalat di rumah. Lalu Beliau rmemberikan keringanan kepadanya. Ketika ia meninggalkan Nabi `, langsung Rasulullah memanggilnya dan bertanya, “Apakah engkau mendengar panggilan adzan shalat?” Dia menjawab,“Ya.” Lalu Beliau berkata,“Penuhilah!”. (H.R. Muslim)[13]
Setelah menyampaikan hujjahnya dengan hadits ini, Ibnu Qudamah berkata, “Jika orang buta yang tidak memiliki orang untuk mengantarnya, tidak diberi keringanan, maka, (yang) selainnya lebih lagi.” [14]
“Tidaklah ada tiga orang dalam satu perkampungan atau pedalaman tidak ditegakkan pada mereka shalat, kecuali syaithan akan menguasainya. Berjama’ahlah kalian, karena serigala hanya memangsa kambing yang sendirian.” (HR Abu Dawud, al-Nasa’i dan Ahmad)[15]
Nash-nash ini menunjukkan wajibnya shalat berjama’ah. Pendapat ini dirajihkan oleh Lajnah Daimah Lil Buhuts wal Ifta’ (Komite Tetap Untuk Riset dan Fatwa Saudi Arabia)[16] dan Syaikh Prof. Dr. Shalih bin Ghanim al-Sadlan dalam kitabnya Shalat al-Jama’ah.[17] Demikian juga sejumlah ulama lainnya.[18]
[1] Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Atsqalani, Fathul Bari, jilid 2, hal. 26
[2] Abu Dawud dalam Sunannya, kitab al-Shalat, Bab al-Tasydid Fi Tarkil Jama’ah, no. 460, al-Nasa’i dalam Sunannya, kitab al-Imamah, Bab al-Tasydid Fi Tarkil Jama’ah, no.738 dan Ahmad dalam Musnadnya, no. 26242.
[3] Al-Bukhari dalam Shahihnya, kitab al-Adzan, Bab al-Adzan Lil Musafir Idza Kanu Jama’atan wal Iqamah Kadzalik, no. 595 dan Muslim dalam Shahihnya, kitab al-Masajid wa Mawadhi’ Ash Shalat, Bab Man Ahaqu bil Imamah, no. 1080.
[4] Ibnu Majah dalam Sunannya, kitab al-Masajid wal Jama’ah, Bab al-Taghlidz Fi At Takhalluf ‘Anil Jama’ah, no. 785. Hadits ini dishahihkan al-Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah, no. 631.
[5] Al-Bukhari dalam Shahihnya, kitab al-Adzan, Bab Wujubu Shalatil Jama’ah, no. 608 dan Muslim dalam Shahihnya, kitab al-Masajid wa Mawadhi’ Shalat, Bab Fadhlu Shalati al-Jama’ah wa Bayani al-Tasydid Fit Takhalluf ‘Anha, no. 1041.
[6] Al-Bukhari dalam shahihnya kitab al-Adzân, Bab Fadhlu shalatu al-Jama’ah no. 609.
[7] Muslim dalam shahihnya kitab al-Masâjid Wa Mawâdhi’ Shalat, bab Fadhlu Katsrati al-Khutha Ilal Masaajid, no.1064. Diriwayatkan oleh Ahmad dalam musnadnya no. 11380.
[8] Hal ini berdasarkan kaedah dalam Ilmu Ushul Fiqih yaitu hukum asal perintah adalah wajib.
[9] Ibnu Qoyyim Al Jauziyah, al- Shalah wa Hukmu Tarikiha, (Dar Al Imam Ahmad) hal. 110, dalam majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun VII/1420H/1999.M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta
[10] HR al-Bukhâri dan Muslim –Bukhari dalam Shahihnya kitab al-Adzan, bab Wujubu Shalati al-Jama’ah, no. 608 dan Muslim dalam Shahihnya, kitab al-Masajid wa Mawadhi’ Shalat, Bab Fadhlu Shalati al-Jama’ah wa Bayani al-Tasydid Fî al-Takhalluf ‘Anha (Keutamaan Shalat Jama’ah dan Penjelasan Mengenai Hukuman Keras bagi Orang yang Meninggalkannya), no. 1041.
[11] Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Atsqalani, Fathu al-Bâri, (II/125).
[12] Ihkamul Ahkam, (I/124).
[13] Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya, kitab Al Masajid wa Mawadhi’ Sholat, Bab Yajibu Ityanul Masjid ‘Ala Man Sami’a An Nida’ no. 1044.
[14] Ibnu Qudamah, al-Mughni (III/6).
[15] Abu Dawud dalam Sunannya, kitab al-Shalat, Bab al-Tasydid Fi Tarkil Jama’ah, no.460, al-Nasa’i dalam Sunannya, kitab al-Imamah, Bab al-Tasydid Fi Tarkil Jama’ah, no.738 dan Ahmad dalam Musnadnya, no. 26242.
[16] Fatawa Lajnah Daimah, 7/283.
[17] Ibid. hal. 72.
[18] Sebagian sub bab ini (hukum shalat jama’ah) diambil dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun VII/1420H/1999.M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!