CINTA YANG PALSU
Oleh: Nailis Sa’dah, S.Hub.Int*
Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh,
Sahabat yang dirahmati Allah ﷻ. Kalian pasti pernah mendapatkan pertanyaan semacam ini, “Apakah kalian mencintai Allah?” Tentu jawabnya bilang “iya”. Pada realitanya jawaban “iya” merupakan jawaban klasik yang seakan menjadi jawaban formalitas dan menjadi jawaban wajib bagi umat Islam. Jawaban tersebut hanya sekedar ucapan dari mulut saja, tapi hati dan perasaan belum sepenuhnya mencintai Allah. Banyak orang yang mengaku cinta Allah, tetapi tingkah laku jauh dari hal-hal yang dicintai Allah. Lantas, bagaimana mungkin mengaku cinta Allah, tapi secara terang-terangan masih berbuat maksiat? Bagaimana mungkin mengaku mencintai Allah, tapi perintah dan laranganya masih diabaikan?
Cinta Kepada Allah ﷻ
Cinta (mahabbah) adalah kecenderungan hati pada sesuatu yang menyenangkan. Apabila merujuk pada cinta manusia kepada Tuhannya, maka Harun Nasution mendefinisikan cinta sebagai bentuk kepatuhan kepada Allah dan membenci sikap yang melawan-Nya, menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi dan mengkosongkan hati dari segala hal kecuali dari yang dikasihi, yaitu Allahﷻ. Pengertian di atas dapat dirangkum bahwa cinta adalah mengikuti perintah Allah ﷻ dan menjauhi larangannya, dan mengikuti ajaran yang dibawa Rasulullah ﷺ dengan ketulusan hati.[1] Sebagaimana firman Allah ﷻ, “Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, Ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Ali Imrân [3]: 31)
Berdasarkan penjelasan dari tafsir Al-Misbah, ayat diatas mengandung makna “Katakanlah, wahai Nabi Muhammad kepada mereka yang merasa mencintai Allah; jika kamu mencintai Allah, maka ikutlah aku, yakni laksanakan apa yang diperintahkan Allah melalui aku, yaitu beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa dan bertaqwa kepada-Nya. Jika itu kamu laksanakan, maka kamu telah masuk ke pintu gerbang meraih cinta Allah, dan jika kamu memelihara kesinambungan ketaatan kepadanya serta meningkatkan pengalaman kewajiban dengan melaksanakan sunnah-sunnah Nabi, niscaya Allah akan mencintai kamu dan mengampuni dosa-dosa kamu, semua itu karena Alah Maha Pengampun terhadap siapapun yang mengikuti Rasul dan lagi Maha Penyayang.”[2]
Jika memang cinta kita sejati, niscaya kita akan taat kepada-Nya, sebab orang yang cinta terhadap yang dicintai akan selalu patuh. Dengan demikian ukuran cinta adalah ketaatan kepada Allah, yaitu ketaatan yang tidak boleh ditunda, tidak juga dipikirkan apakah perintah itu perlu dipenuhi atau tidak.[3]
Pengakuan Palsu
Imam Hatim al-Asham radhiyallahu’anhu berkata, “Barang siapa mengaku cinta empat hal tanpa empat hal, maka pengakuan (cinta)nya itu palsu. Yaitu, mengaku cinta Allah, tapi selalu melakukan larangan-larangannya; mengaku cinta Rasul tapi membenci kaum fakir dan miskin; mengaku cinta surga tapi tidak jujur; mengaku takut api neraka tapi tidak berhenti berbuat dosa.”[4]
Pertama, banyak orang yang mengaku mencintai Allah, tapi masih saja berbuat maksiat. Istilah familiarnya yaitu “Shalat terus, maksiat jalan terus”. Padahal shalat adalah ibadah yang dapat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Sebagaimana firman Allah;
“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.” (Q.S. al-Ankabut [29]:45). Shalat dapat mencegah dari kemungkaran, jika shalat tersebut dilakukan degan sempurna. Banyak orang muslim yang hatiya tidak berubah dan masih melakukan perbuatan keji dan mungkar meskipun sudah melaksanakan shalat, dikarenakan shalat yang dilakukan hanya untuk memenuhi kewajiban bukan menjadi suatu kebutuhan.[5]
Kedua, Mengaku cinta Rasul tapi membenci kaum fakir miskin. Nabi Muhammad diciptakan Allah sebagai makhluk yang mulia, bukan hanya fisiknya tapi juga akhlaknya. Sangat wajar jika banyak sahabat dan umatnya yang mengidolakan dan mencintai Rasulullah ﷺ. Namun sayangnya, banyak orang yang mengaku cinta tanpa tahu bagaimana cara mencintai Rasul dengan tulus. Salah satu indikator ketulusan cinta kepada Rasulullah ﷺ adalah seberapa besar kecintaan kepada kaum fakir miskin. Rasulullah ﷺ memang terkenal senang bergaul dengan para fakir miskin. Sikap beliau ini diikuti oleh para sahabat, karena ada satu hadits Qudsi mengatakan, “Carilah karunia Allah dengan mendekati orang yang dekat dengan orang miskin. Karena pada merekalah Aku jadikan keridhaan-Ku.” Sehingga dalam satu hadits Rasulullah bersabda, “Segala sesuatu itu ada kuncinya dan kunci surga itu adalah mencintai anak yatim dan orang-orang miskin.” (H.R Ibnu Hiban)[6]
Ketiga, Mengaku cinta surga tapi tidak jujur. Setiap umat muslim pasti memiliki cita-cita masuk surga. Gambaran surga terdapat dalam surah Muhammad ayat 15: “Perumpamaan taman surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertaqwa; di sana ada sungai-sungai yang airnya tidak payau, dan sungai-sungai air susu yang tidak berubah rasanya, dan sungai-sungai khamar (anggur yang tidak memabukkan) yang lezat rasanya bagi peminumnya, dan sungai-sungai madu yang murni. Di dalamnya mereka memperoleh segala macam buah-buahan, dan ampunan dari Tuhan mereka. Samakah mereka dengan orang yang kekal dalam neraka, dan diberi minuman dengan air yang mendidih, sehingga ususnya terpotong-potong?” (Q.S. Muhammad [47]: 15)
Meskipun diiming-imingi dengan kenikamatan surga, masih banyak orang yang enggan meraihnya. Justru mereka tertipu dengan kenikmatan dunia yang sifatnya hanya sementara, bahkan rela menghalalkan segala cara meskipun didapatkan dengan tidak jujur. Sebagaimana para koruptor yang tidak jujur dengan amanah yang diembannya.
Keempat, Mengaku takut neraka, tapi masih berbuat dosa. Mendengar kata neraka yang terlintas adalah siksaan, tempat yang panas, dan mengerikan. Allah telah memberikan gambaran neraka terhadap orang Islam, yang telah tertuang dalam surah al-Hajj ayat 20-22: “Dengan (air mendidih) itu akan dihancur luluhkan segala apa yang ada dalam perut mereka dan juga kulit mereka”. Dan untuk mereka cambuk-cambuk dari besi. Setiap kali mereka hendak keluar dari neraka karena tersiksa, mereka dikembalikan (lagi) ke dalamnya. (kepada mereka dikatakan),”Rasakan azab yang membakar ini!” (Q.S. al-Hajj [22]: 20-22)
Cinta adalah Fitrah
Dengan demikian, cinta adalah fitrah yang diberikan oleh Allah ﷻ. Cinta itu sejatinya suci dan sejauh-jauhnya kita melupakan Allah ﷻ dengan melakukan maksiat, pasti terbesit perasaan rindu untuk kembali kepada Allah ﷻ. Namun jika hati kita tidak memiliki kerinduan untuk kembali kepada Allah ﷻ, sungguh kita telah sersesat sejauh-jauhnya. Perbuatan maksiat yang kita lakukan telah membelenggu dan mengotori mata hati, sehingga sulit melihat dan menerima hidayah Allah ﷻ. Andai hal tersebut memang benar-benar terjadi dan kita tidak merasa ingin kembali dan bertobat kepada Allah, sungguh hal ini sebuah kehinaan.[7]
Oleh karena itu, marilah saling berintrospeksi diri, memperbaiki iman, dan memperbaiki pemahaman terkait nilai-nilai ajaran Islam. Sehingga dapat melahirkan kesadaran baru dalam beragama.[]
Mutiara Hikmah
حُبُّكَ الشَّيْءَ يُعْمِي وَيُصِمُّ
“Kecintaan kepada sesuatu bisa membuat buta dan tuli” (Hadits mauquf dari Abu Ad Darda a)
* Alumnus Hubungungan Internasional FPSB UII
[1] Mustafa, Mujetaba. Konsep Mahabbah dalam Al-Qur’an (Kajian Tafsir Maudhu’i). Jurnal al-Asas, Vol. IV No. 1, April 2020
[2] Sulhadi, Asep. Cinta dalam Al-Qur’an: Sebuah kajian Tafsir Tematik. Jurnal Samawat. Volume 04 Nomor 01 Tahun 2020
[3] Ibid.
[4] Jauhari, Muhammad Idris. Pengakuan Palsu. https://al-amien.ac.id/pengakuan-palsu/. 2012
[5] Tuasikal, Muhammad Abduh. Benarkah Shalat dapat Mencegah dari Perbuatan Keji dan Mungkar?. https://rumaysho.com/3773-benarkah-shalat-dapat-mencegah-dari-perbuatan-keji-dan-mungkar.html. 2013.
[6] Jauhari, Muhammad Idris, Pengakuan Palsu.
[7] Shobur, Abdush & Haifa Zahra Anggawie. Sungguh, Allah Sangat Merindukan Kita. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. 2014.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!