MEMULAI TAHUN BARU 1444 H DENGAN KETAATAN
MEMULAI TAHUN BARU 1444 H DENGAN KETAATAN
Oleh: Retno Farida, A.Md
*Kaur Keuangan DPPM UII
Bismillâhi walhamdulillâh wash-shalâtu was-salâmu ‘ala rasûlillâh,
Muharram adalah salah satu dari empat bulan suci dalam Islam, ada Dzulqa’dah, Dzulhijah, Muharram dan Rajab. Sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah ﷻ: “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram” (Q.S. At Taubah [9]: 36).
Diterangkan dalam hadis yang diriwayatkan dari sahabat Abu Bakrah, Nabi ﷺ bersabda: “Satu tahun ada 12 bulan. Empat bulan diantaranya adalah bulan haram (suci), tiga diantaranya beurutan, yaitu , Dzulhijah dan Muharram. Kemudian Rajab Mudhar yang diapit bulan Jumada (al akhir) dan Sya’ban” (HR. Bukhari dan Muslim).
Sungguh Bulan Muharram adalah salah satu bulan yang memiliki keutamaan di hadapan Allah, sehingga memasukinya termasuk memperoleh rahmat dari Allah yang perlu disyukuri, tentu saja wujud mensyukuri paling baik adalah dengan memperbanyak amal shalih di bulan haram. Memulai awal tahun dengan ketaatan, agar pasti dalam melangkah dan menatap masa depan dengan optimis.
Dalam kitab Kanzun Najah Was Surur karangan Asy-Syaikh Abdul Hamid Qudsi, disampaikan bahwa termasuk yang diminta dalam hari Asyura ialah melakukan berbagai amalan. Beberapa amalan yang tersebar dikalangan kaum muslimin ada yang berdasarkan hadits dha’if dan ada pula yang mungkar maudlu’, kecuali hadits puasa sebagaimana dikatakan oleh Al-Allamah AlAjhuri.[1]
Sejarah Amalan Puasa Muharram
Dalam sebuah hadits, Nabi Muhammad ` menyampaikan bahwa puasa Asyura adalah ibadah untuk merayakan kemenangan yang telah diberikan Allah kepada Nabi Musa dan kaum bani Israil dari Fir’aun yang biasanya dilakukan oleh orang Yahudi. Dari Ibnu ‘Abbas bahwa Nabi ﷺ ketika tiba di Madinah, Beliau mendapatkan mereka (orang Yahudi) malaksanakan shaum hari ‘Asyura (10 Muharam) dan mereka berkata; “Ini adalah hari raya, yaitu hari ketika Allah menyelamatkan Musa dan menenggelamkan Fir’aun. Lalu Nabi Musa mempuasainya sebagai wujud syukur kepada Allah”. Maka Beliau bersabda: “Akulah yang lebih utama (dekat) terhadap Musa dibanding mereka”. Maka Beliau berpuasa pada hari itu dan memerintahkan ummat Beliau untuk mempuasainya (HR. Bukhari).[2]
Rasulullah ` merasa bahwa umat Islam lebih berhak untuk merayakan kemenangan yang diberikan oleh Allah kepada Nabi Musa dan Bani Israil, kemudian dalam Hadits lain Nabi Muhammad ` memerintahkan untuk menyelisihi kebiasaan puasa yang dilakukan oleh kaum Yahudi, yaitu dengan menambah bilangan puasa menjadi dua hari. Selain tanggal 10 Muharram juga pada hari sebelumnya, yaitu tanggal sembilan Muharram, diperintahkan untuk berpuasa, yang kemudian dikenal dengan nama puasa Tasua. Sebagaimana tercantum dalam kitab Riyadhus Shalihin karangan Imam An-Nawawi.
Dari Ibnu Abbas berkata bahwa ketika Nabi ﷺ melakukan puasa hari ’Asyura dan memerintahkan kaum muslimin untuk melakukannya, pada saat itu ada yang berkata, “Wahai Rasulullah, hari ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashrani.” Lantas beliau mengatakan, “Apabila tiba tahun depan –insya Allah (jika Allah menghendaki)- kita akan berpuasa pula pada hari kesembilan.” Ibnu Abbas mengatakan, “Belum sampai tahun depan, Nabi ` sudah keburu meninggal dunia.” (HR. Muslim 4/1253)[3]
Keutamaan Puasa pada Bulan Muharram
Rasulullah ﷺ dalam sebuah hadits memerintahkan umatnya untuk berpuasa pada hari Asyura sebagaimana disebutkan dalam kitab Riyadhus Shalihin karangan Imam An-Nawawi yang diriwayatkan Imam Muslim. [4] Dari Ibnu Abbas a bahwasanya Rasulullah ﷺ berpuasa pada hari ‘Asyura (yaitu tanggal 10 bulan Muharram) dan memerintahkan umatnya untuk berpuasa pada hari itu pula. (HR Muttafaq ‘alaih 2/1251.)[5]
Masih dalam kitab yang sama, Imam An-Nawawi juga menyampaikan bahwa ibadah puasa Asyura pada bulan Muharram merupakan ibadah puasa yang diutamakan setelah ibadah puasa Bulan Ramadhan. Dari Abu Hurairah, katanya: “Rasulullah ﷺ bersabda: “Seutama-utama berpuasa sesudah bulan Ramadhan ialah dalam bulan Allah yang dimuliakan yakni Muharram dan seutama-utama shalat sesudah shalat wajib ialah shalatullail (yakni shalat sunnah di waktu malam).” (H.R Muslim 1/1246.)[6]
Sedangkan keutamaan puasa Asyura, disebutkan dalam kitab yang sama, bahwa jika puasa dimaksud dijalankan, akan menghapus kesalahan-kesalahan tahun yang lalu. Dari Abu Qatadah a bahwasanya Rasulullah ﷺ ditanya perihal berpuasa pada hari ‘Asyura (tanggal 10 Muharram), Beliau ` lalu bersabda: “Puasa pada hari itu dapat menutupi dosa tahun yang lampau.” (H.R Muslim 3/1252.)[7]
Resolusi Tahun Baru 1444 H
Setiap manusia yang dilahirkan di dunia ini mempunyai misi untuk sebanyak-banyaknya melakukan amalan ibadah kepada Allah ﷻ. Setiap hal yang dilakukan di dunia ini harus mempunyai maksud untuk beribadah kepada Allah ﷻ, baik itu belajar, bekerja, berorganisasi, bertukar pikiran dengan sesama manusia dan semua aktivitas lainnya tidak lain adalah diniatkan untuk beribadah kepada Allah ﷻ.
Melaksanakan ibadah kepada Allah ﷻ tentu harus terlebih dahulu memahami ilmu yang mendasarinya, ibadah tanpa berdasar ilmu dikhawatirkan akan berakhir dalam kesesatan. Allah ﷻ telah mengajarkan bagaimana ibadah kepadaNya dilakukan, baik yang tercantum dalam Al-Qur’an maupun dalam Hadits Rasulullah ﷺ, menjadi kewajiban kita semua untuk selalu belajar menyempurnakan tata cara beribadah yang kita lakukan.
Resolusi Tahun Baru 1444 H ini adalah dengan banyak melakukan ketaatan kepada Allah mulai dari puasa sunnah, sedekah, memperbanyak membaca al-Qur’an, dan amal shalihnya. Termasuk hal penting adalah meningkatkan pengetahuan atau ilmu dan pemahaman terhadap pelaksanaan ibadah kepada Allah ﷻ sesuai dengan sunnah Rasul-Nya dengan rajin menghadiri majelis ilmu.
Ilmu tidak akan diperoleh dengan sempurna dan baik tanpa hadir di majelis ilmu serta memperhatikan adab-adab dalam belajar. Bertambahnya pemahaman terhadap ilmu agama, akan meningkatkan kualitas dan kuantitas beribadah kepada Allah ﷻ. Sebagai pengejawantahan resolusi tahun baru 1444 H, diawali dengan pemahaman pengetahuan terhadap amal ibadah bulan muharram dan pelaksanaan ibadahnya. Wallahu A’lam bis Shawab.
[1] Asy-Syaikh Abdul Hamid Qudsi, Terjemah Kanzun Najah Was Surur : Keberuntungan dan Kegembiraan yang Tersimpan dalam Doa-doa yang Melapangkan Dada, Penerjemah: Zaid Husein Al-Hamid, Surabaya: Mutiara Ilmu, 2017. hal 21
[2] Muhammad Fuad Abdul Baqi, Shahih Bukhari Muslim, judul kitab asli: Al-Lu’lu Wal Marjan, cet 24, Bandung: Penerbit Jabal, 2021.
[3] Faishal bin Abdul Aziz Alu Mubarak, Riyadhus Shalihin dan Penjelasannya, Alih Bahasa: Arif Mahmudi, Jakarta: Ummul Qura, 2014. Judul Asli: Tathriz Riyadhus Shalihin. hal. 748
[4] Ibid. hal. 747-748
[5] Ibid. hal. 747-748
[6] Ibid. hal. 745-746
[7] Ibid, hal. 748
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!