ITSAR: ESENSI TERTINGGI ALTRUISME DALAM ISLAM
ITSAR: ESENSI TERTINGGI ALTRUISME DALAM ISLAM
Oleh: Muzakkir Fahmi
* Mahasiswa Prodi Kimia FMIPA 2021
Bismillâhi walhamdulillâhi washshalâtu wassalâmu ‘ala rasûlillâh.
Manusia adalah makhluk sosial. Sudah sepatutnya manusia saling membutuhkan satu sama lain dan tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh manusia lain. Seorang manusia tidak akan dapat mencapai apa yang ia inginkan tanpa bantuan dari manusia lain. Bahkan hanya dalam sekedar memenuhi kebutuhannya sehari-hari, manusia membutuhkan manusia lain untuk membantunya. Hal itu sudah mutlak dan berlaku bagi seluruh manusia di dunia. Tidak mengenal suatu kedudukan maupun kekayaan, setiap manusia pasti membutuhkan manusia lainnya.
Tolong-Menolong dalam Kebaikan
Salah satu contoh ciri-ciri perilaku manusia sebagai makhluk hidup adalah gotong royong dan tolong menolong. Gotong royong adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama untuk mencapai tujuan yang sama dan merasakan hasil dan manfaat secara bersama-sama dengan adil. Tolong menolong berasal dari kata dasar tolong yang memiliki arti membantu untuk meringankan beban penderitaan, kesukaran, dan sebagainya. Jadi tolong menolong adalah sikap saling membantu untuk meringankan kesulitan yang dirasakan orang lain.
Tolong menolong adalah budaya yang diajarkan oleh Rasulullah ﷺ, bahkan menjadi suatu perintah yang wajib dilakukan oleh semua manusia sebagai hamba Tuhan agar dapat mewujudkan kebaikan dan ketakwaan. Allah ﷻ berfirman: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksaan-Nya.” (Q.S. al-Ma’idah [5]: 2)
Makna Altruisme = al-Itsar
Tolong menolong adalah salah satu output dari karakteristik altruisme. Altruisme adalah sikap atau naluri untuk memperhatikan dan mengutamakan kepentingan orang lain tanpa memperdulikan dirinya sendiri. Secara etimologi, altruisme adalah istilah yang diambil dari beberapa kata dari berbagai bahasa. Kata autrui yang merupakan bahasa Spanyol berarti orang lain. Menurut Auguste Comte dalam bahasa Perancis, altruisme berasal dari kata alter yang berarti yang lain atau lain. Lebih jelasnya lagi dalam kamus ilmiah menerangkan bahwa istilah altruisme mempunyai arti suatu pandangan yang menekankan kewajiban manusia memberikan pengabdian, rasa cinta, dan tolong-menolong terhadap sesama.[1]
Altruisme sendiri adalah antonim dari egoisme. Taufik menyebutkan dalam bukunya Empati: Pendekatan Psikologi Sosial, Comte membedakan antara perilaku menolong yang altruis dengan perilaku menolong yang egois. Menurutnya dalam memberikan pertolongan, manusia memiliki dua motif, yaitu altruis dan egois. Kedua dorongan tersebut sama-sama ditujukan untuk memberikan pertolongan. Perilaku menolong yang egois memiliki tujuan yang justru mencari manfaat dari orang yang ditolong. Sedangkan perilaku menolong altruis adalah perilaku menolong yang ditujukan semata-mata untuk kebaikan orang yang ditolong. Altruisme dapat didefinisikan sebagai hasrat untuk menolong orang lain tanpa memikirkan kepentingan sendiri.[2]
Dalam buku Psikologi Sosial Islam, Fuad Nashori mengutip pernyataan Cohen. Menurutnya ada tiga ciri-ciri perilaku altruisme, yaitu: a. Empati, yaitu kemampuan untuk merasakan perasaan yang dialami oleh orang lain; b. Keinginan memberi, yaitu maksud hati untuk memenuhi kebutuhan orang lain; dan c. Sukarela, yaitu apa yang diberikan itu semata-mata untuk orang lain, tidak ada keinginan untuk memperoleh imbalan. Sedangkan oleh Fuad, menurut pernyataan Leeds, suatu tindakan dapat disebut perilaku altruisme apabila memenuhi tiga kriteria sebagai berikut: a. Tindakan tersebut bukan kepetingan pribadi; b. Tindakan tersebut dilakukan secara sukarela. c. Hasilnya baik bagi yang menolong maupun yang ditolong.[3]
Dalam Islam, altruisme dapat diartikan sebagai al-itsar. Itsar secara bahasa berasal dari bahasa Arab yang berarti ‘altruisme’, adalah mendahulukan orang lain dari pada dirinya sendiri. Seseorang disebut telah berpribadi itsar dalam kehidupan sehari-hari apabila telah mampu memandang kebutuhan dan kepentingan orang lain lebih penting dari pada kepentingan pribadinya sendiri. Itsar juga bisa diartikan sebagai suatu konsep perilaku sosial yang memberikan perlakuan kepada orang lain seperti perlakuan kepada dirinya sendiri. Secara garis besar, pengertian itsar adalah “tindakan mendahulukan orang lain atas dirinya sendiri dalam hal keduniaan dengan sukarela karena semata mengharapkan akhirat”.[4]
Puncak Itsar
Al-Jurjani dalam kitab asy-Syamali menambahkan kata kunci sekaligus memberi konteks yang jelas mengenai itsar yaitu, itsar sebagai ‘puncak ukhuwah’. Berdasarkan kata kunci ini maka dapat dipahami bahwa tindakan itsar tidak muncul secara tiba-tiba. Itsar tumbuh seiring tumbuhnya rasa persaudaraan, ukhuwwah, melalui pendidikan, latihan dan pembiasaan seiring pertumbuhan usia seseorang.[5]
Maka dapat dikatakan bahwa pribadi mu’tsir, yang memiliki itsar, dapat tumbuh dengan baik jika dilandasi tumbuhnya kondisi mental yang sehat, empatik, mampu dan percaya kepada diri dan orang lain. Dengan landasan ini seseorang mampu menjalin hubungan yang tulus, dan berkomunikasi dengan jujur, serta membangun persaudaraan yang dekat dengan orang lain. Sebab hanya dengan kondisi psikologis dan tingkat pemahaman tersebut seseorang mampu mencapai puncak persaudaraan yaitu itsar, yang ditandai dengan kerelaan bekerja sama, menolong dan berkorban untuk orang lain dengan tulus tanpa mengharapkan imbalan dari sesama, tetapi meniatkan dengan ikhlas hanya untuk Allah ﷻ.
Itsar juga adalah suatu keutamaan jiwa yang mana dengannya seseorang menahan sebagian dari kebutuhannya yang menjadi miliknya sampai ia memberikannya kepada mereka yang pantas mendapatkannya agar menghindarkan hati dari sifat kikir. Kikir adalah sifat tercela yang harus dijauhi oleh seorang Muslim. Rasulullah ` bersabda: “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang kikir dengan apa yang telah diberikan Allah kepada mereka dari karunia-Nya itu baik bagi mereka, justru itu buruk bagi mereka. Mereka akan menerima apa yang mereka pelit pada hari kiamat.”[6]
Kedermawanan adalah sifat menghabiskan banyak harta dengan mudah dari diri sendiri dalam hal-hal yang bernilai besar untuk manfaat besar terhadap maslahat khalayak umum. Kedermawanan juga merupakan output dari itsar agar menghindarkan hati dari penyakit. Seorang pria bertanya kepada Rasulullah ﷺ: “Apa aspek dalam Islam yang bermanfaat bagi orang lain?” Rasulullah ﷺ menjawab: “Menawarkan makanan dan salam damai kepada mereka yang engkau kenal dan kepada mereka yang tidak engkau kenal“. Al-Qur’an mendorong umat Islam untuk memberi makan orang lapar dan membelanjakan pada mereka yang membutuhkan[7], seperti firman Allah ﷻ: “Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang apa yang harus mereka infakkan. Katakanlah, “Harta apa saja yang kamu infakkan, hendaknya diperuntukkan bagi kedua orang tua, kerabat, anak yatim, orang miskin dan orang yang dalam perjalanan.” Dan kebaikan apa saja yang kamu kerjakan, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui..” (Q.S. al-Baqarah [2]: 215) Wallâhu a’lam bisshawwâb.[]
[1] Alif Zulfikar Adi Rizky. Hubungan antara Empati dengan Perilaku Altruisme pada Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya. Skripsi. Surabaya: Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya. 2021 M. hal. 10
[2]Ambar Putrisari Arum. Hubungan Antara Empati Dan Religiusitas Dengan Altruisme Pada Remaja. Skripsi. Yogyakarta: Universitas Mercu Buana Yogyakarta. 2018 M. hal. 11-12
[3] Khairil. Analisis Faktorial Dimensi Altruisme Pada Relawan Bencana Alam. Skripsi. Malang: Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. 2014 M. hal. 15-16
[4] Fina Hidayati. Konsep Altruisme Dalam Perspektif Ajaran Agama Islam (Itsar). Jurnal Psikoislamika Volume 13 Nomor 1 Tahun 2016. Malang: Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim. 2016 M. hal. 60
[5] Muhammad Sholeh. Hubungan Aspek-Aspek Kecerdasan Emosiaonal, Itsar dan Spiritualitas Dengan Kepuasan Kerja Guru. Tesis. Jakarta: Universitas Indonesia. 2011 M. hal. 62
[6] Ameur Fatma Menouar. Al-Itsar fii asy-Syari’ah al-Islamiyah. Tesis. Aljir: University of Algiers. 2001 M/1422 H. hal. 42
[7] Jacob Neusner, Altruism in World Religions. Washington D.C.: Georgetown University Press. hal. 70
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!