Ikhtibar Fear of Missing Out Latto-latto dan Perjanjian Hudaibiyah
Ikhtibar Fear of Missing Out Latto-latto dan Perjanjian Hudaibiyah
Uun Zahrotunnisa
*Mahasiswi Ahwal Syakhsiyyah UII
Bismillâhi walhamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,
Latto- latto, tidak asing dengan permainan satu ini yang saat ini digemari tidak hanya oleh anak-anak saja, bahkan remaja, hingga dewasa. Latto-latto adalah suatu permaninan yang terdiri dari sepasang pendulum yang bergantung pada seutas tali yang tengahnya diikatkan pada cincin yang menjadi tumpuan. Cara bermainnya kelihatannya cukup mudah, tapi ternyata butuh ketelatenan. Dengan mengayun-ayunkan bandul sampai terpantul antar kedua sisi tersebut hingga menimbulkan bunyi tok-tok-tok. Fenomena permainan latto-latto yang sedang hype ini tidak hanya terjadi akhir tahun 2022 melainkan sebelumnya pada tahun 1990-an.[1]
Popularitas benda yang sering kita lihat lewat di media sosial saat scrolling, atau ketika sedang naik motor melihat sekumpulan anak memainkan benda tersebut nampaknya menyentuh perhatian seseorang untuk kemudian mengundang rasa penasaran dan ujungnya antusias untuk memainkan bahkan sampai membelinya. Respon seperti itu yang bisa kita sebut sebagai Fear of Missing Out atau akrab disebut “Fomo”.
Selayang Pandang Fear of Missing Out (Fomo)
Dalam sebuah tulisan dijelaskan bahwa Fear of Missing Out (FOMO) atau takut ketinggalan trend adalah sebuah gejala yang dominan dirasakan ketika seseorang khawatir bahwa dirinya kurang update. Presepsi demikian membawa dampak yang cukup serius bagi kondisi psikis seseorang. Menjadi minder, dan tidak percaya diri dalam lingkup pergaulan. Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Zhoufan Zhang, Fernando R. Jimenez, dan Jhon E. Cicala menyatakan bahwa “Fomo mengacu pada kecemasan yang dirasakan pengguna media sosial ketika mereka menganggap rekan mereka melakukan mengalami, atau memiliki sesuatu yang bermanfaat, padahal sebenarnya tidak”.[2]
Tidak semua yang populer dan yang sedang tren dapat memberikan implikasi positif, tidak serta merta juga memandang bahwa hal tersebut memberikan konsekuensi negatif. Melainkan, alangkah baiknya sebagai muslim yang bijak seseorang dapat memilah mana yang dapat diikuti dan tidak. Fear of Missing Out (Fomo) juga pernah terjadi pada umat Islam jauh sebelum adanya globalisasi yang berkembang pesat. Kejadian tersebut adalah ketika banyak orang kemudian berbondong-bondong memutuskan untuk memeluk agama Islam pada masa Rasulullah ﷺ. Peristiwa perjanjian Hudaibiyah adalah saat dimana Allah ﷻ, menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ merupakan sosok diplomat ulung yang patut diteladani dalam menyebarluaskan Islam.
Perjanjian Hudaibiyah: Pengaruh Fear of Missing Out, hingga Orang Berbondong-Bondong Masuk Islam
Pasca Rasulullah n hijrah dari Makkah ke Madinah, pada tahun 6 H/ 628 M melaksanakan umrah ke Makkah, namun justru sesampainya di daerah Hudaibiyah mendapatkan penolakan dari kaum Quraisy untuk dapat menyentuh tanah Makkah, khawatir bahwa Nabi ﷺ akan melakukan penyerangan terhadap kaum Pagan Quraisy.[3] Namun, ketika beberapa kali mata-mata yang dikirim kepada Nabi ﷺ untuk menanyakan maksud keadatangan rombongannya dengan para pengikutnya di Madinah, jawabannya tetap sama yakni tak lain adalah melakukan ibadah umrah. Lalu, dikarenakan, masyarakat Makkah merasa terancam dengan kedatangan rombongan dari Madinah, akhirnya kaum Quraisy menawarkan sebuah perundingan kepada Rasulullah ﷺ, demi mencapai kesepakatan untuk kebaikan dan ketenangan bersama. Isi Perjanjian Hudaibiyah, diantaranya adalah sebagai berikut:
Pertama, gencatan senjata dilakukan selama 10 (sepuluh) tahun, begitu juga dengan tindakan buruk yang dilakukan antar pihak.
Kedua, masyarakat bebas untuk memilih untuk bergabung bersama Quraisy di Makkah, atau bersama Rasulullah ﷺ di Madinah.
Ketiga, kaum musyrik yang datang kepada nabi di Madinah tanpa seizin walinya di Makkah, maka akan dikembalikan ke Makkah. Demikian hal nya dengan penduduk Madinah yang keluar dari Madinah menuju Makkah, maka tidak akan diterima kembali ke Madinah.
Kempat, tahun ini Rasulullah ﷺ bersama rombongan dari Madinah tidak diperkenankan memasuki Makkah, dan dapat kembali ke Makkah tahun depan selama 3 (tiga) hari dan tidak membawa senjata kecuali pedang untuk menyembelih hewan.
Kelima, dalam pelaksanaan perjanjian ini harus dilaksanakan dengan hati yang tulus, penuh kesediaan dan tidak boleh adanya penyelewengan.[4]
Sepintas dalam poin-poin tersebut terdapat satu poin yang tidak menguntungkan Umat Islam, yaitu perjanjian keempat. Namun, secara keseluruhan perjanjian tersebut sesungguhnya menjadi pintu utama sekaligus menunjukkan siasat diplomasi Rasulullah ﷺ yang akhirnya membawa pada kesepakatan Perjanjian Hudaibiyah. Pada Poin pertama, dengan adanya gencatan senjata maka, aktifitas dakwah Rasulullah ﷺ bersama romobongan berlangsung aman. Poin kedua, mencerminkan fleksibelitas Rasulullah ﷺ memberikan kelonggaran kepada masyarakat untuk menilai kaum manakah yang menurut mereka aman. Poin ketiga, jika salah satu pihak dari masing-masing wilayah mengeluarkan diri dari daerahnya dan menuju antara ke Madinah atau Makkah, sudah dapat dipastikan tidak dapat kembali ke daerah asalnya karena dikhawatirkan akan membahayakan kaumnya.
Khalid bin Walid, sosok panglima perang kaum Quraisy pada tahun 8 H/ 629 M akhirnya memeluk Islam dengan mendatangi Rasulullah ﷺ di Madinah. Karakter Islam sebagai agama yang dibawa Rasullah ﷺ menjungjung tinggi humanisme, menghargai harkat dan martabat manusia khususnya perempuan serta karakteristik nabi yang taktis, lemah lembut, memiliki daya tarik (uswah hasanah) menjadi daya tarik bagi siapa pun untuk akhirnya berbondong-bondong masuk agama Islam.[5]
Perjanjian Hudaibiyah membawa implikasi serius untuk kemajuan agama Islam saat itu, sebab pasca adanya perjanjian tersebut jumlah orang yang masuk agama Islam bertambah pesat, selain itu Kota Makkah menjadi mudah ditaklukkan oleh pasukan muslim yang berjumlah 10.000 orang dengan tanpa perlawanan sekalipun dari penduduk setempat. Allah ﷻ berfirman: “Sungguh kami telah memberikan kemenangan yang nyata kepadamu. Supaya Allah memberikan pengampunan atas kesalahanmu yang lalu dan kemudian, dan menyempurnakan nikmat-Nya, dan membimbing engkau ke jalan yang lurus” (QS. Al-Fath [48]: 1-2).
Seorang penulis terkenal asal Inggris, Karen Armstrong bahkan mengakui kemenangan Islam saat itu dengan banyaknya orang-orang yang kemudian memeluk agama Islam. Mengutip dari tulisannya “Tiada suatu kemenangan dalam Islam sebelumnya. Selama dua tahun, berbondong-bondong manusia masuk Islam, lebih banyak dari tahun sebelumnya”.[6] Dari pernyataan yang diulang-ulang yaitu ketika manusia “berbondong-bondong masuk Islam” merupakan refleksi dari fenomena saat ini, yaitu ketika orang di zaman tersebut telah mengalami Fear of Missing Out (FOMO). Banyak manusia memeluk Islam karena melihat bukti konkrit bahwa agama Islam yang di wahyukan kepada Rasulullah ﷺ merupakan cerminan dari segala kebaikan yang akan membawa manusia menuju pintu keselamatan dari pada kepercayaan yang dianut oleh kaum Pagan Quraisy yang tentunya sangat bertolak belakang dengan naluri kemanusiaan.
Kalam Hikmah
Sirah nabi diatas harapannya dapat memberikan kaum muslimin sebuah pemahaman bahwa, ambisi untuk selalu mengikuti tren nampaknya perlu ditinjau dari aspek kemanfaatan yang timbul setelahnya. Fokus terhadap tujuan yang akan diraih, menyibukkan diri dengan sesuatu yang menguntungkan, dan konsisten dalam melalui setiap proses dalam mencapai target, mengurangi kegiatan scrolling media sosial yang berlebihan, hal tersebut dapat menjadi tips untuk menghindarkan diri dari gejala Fear of Missing Out. Critical Thinking atau kemampuan berfikir kritis terhadap sesuatu yang sedang hype dimasyarakat juga perlu ditingkatkan Tidak semua harus diikuti, cukup melihat dan memaknai dari segala hal yang hadir atau datang kembali karena dunia hanyalah fana, seperti roda yang berputar, semua akan kembali ke masanya.Wa-Allahu a’lam
[1] C. Indonesia, “Asal-usul Latto-latto, Mainan Dua Bandul “Berisik” yang Sedang Viral,” CNN Indonesia, 22 Desember 2022. [Online]. Available: https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20221229131709-277-893572/asal-usul-latto-latto-mainan-dua-bandul-berisik-yang-sedang-viral. [Accessed 1 Januari 2023].
[2] Zhoufan Zhang, Fernando R. Jimenez, John E. Cicala, “Fear of Missing Out Scale: A Self-Concept Perspective,” Wiley: Psychology & Marketing, Vols. -, no. -, p. 1622, 2020.
[3] M. A. Parinduri, “Perjanjian Hudaibiyah sebagai Pilar Pemersatu,” Buletin Taqwa Universitas Medan Area , p. 2, 18 Oktober 2019.
[4] A. Haif, “Perjanjian Hudaibiyah (Cerminan Kepiawaian Nabi Muhammad SAW. dalam Berdiplomasi),” Jurnal Rihlah, vol. 1, no. 2, p. 126, 2014.
[5] A. Iskandar, “Hikmah Dibalik Perjanjian Hudaibiyah,” Jurnal Studi Hadis Nusantara, vol. 1, no. 1, p. 45, 2019.
[6] K. Armstrong, Muhammad, A Biography of the Prophet. Terj. Sirikit Syah. Muhammad Sang Nabi, sebuah Biografi Kritis, Surabaya: -, 2001.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!