Evaluasi Ibadah Kurban

Evaluasi Ibadah Kurban

Fathurrahman Juleha*

 

Bismillâhi wal hamdulillâh wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâhi, amma ba’d,

Kurban adalah ibadah harta paling mulia. Berkurban berarti mengeluarkan harta untuk mendekatkan diri kepada Allah ﷻ dan ini merupakan sebagus-bagus ibadah seorang hamba. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Ibadah harta yang paling mulia adalah kurban dan ibadah badan yang paling mulia adalah shalat.”[1]

Pentingnya melakukan evaluasi terhadap setiap amal ibadah yang kita lakukan termasuk ibadah kurban yang merupakan ibadah yang sifatnya tahunan. Apakah ibadah kurban kita sudah sesuai dengan syariat Islam atau semakin jauh dari ketentuan syariat. Jangan sampai harta yang kita keluarkan untuk membeli hewan kurban menjadi sia-sia atau tidak bernilai disisi Allah ﷻ lantaran kejahilan kita dalam mengejawantahkan ibadah mulia ini.

Evaluasi sebuah keniscayaan dalam setiap kegiatan, sebagai bahan pertimbangan dalam pelaksanaan ibadah kurban pada tahun yang akan datang, setidaknya yang perlu dievaluasi adalah (1) Evaluasi pengetahuan ilmu fikih kurban, (2) evaluasi persiapan kurban (3) evaluasi pelaksanaan kurban dan (4) evaluasi pendistribusian daging kurban.

Evaluasi Pengetahuan Ilmu Fikih Kurban

Di antara pengetahuan ilmu fikih kurban yang tidak banyak diketahui oleh kebanyakan orang adalah berkurban termasuk ibadah, memalingkan ibadah kurban kepada selain Allah adalah kesyirikan, dan daging sembelihannya adalah haram.[2] Maka tidak akan diterima ibadah seorang hamba hingga terpenuhi dua syarat yaitu (1) ikhlas karena Allah [3] dan (2) ittiba (sesuai dengan tuntunan Nabi n).[4] Maka ketika berkurban ingin mendapatkan pujian manusia, atau untuk berbangga diri dihadapan mereka, supaya dikatakan mampu dan dermawan atau niat-niat lain yang dapat merusak nilai ibadah itu sendiri.  

Ittiba’ tidak akan terwujud kecuali jika amalan sesuai dengan syariat di dalam enam perkara yaitu:

  • Jika seseorang beribadah kepada Allah Ta’ala dengan satu ibadah yang disertai dengan sebab yang tidak syar’i maka ibadah ini tertolak kepada pelakunya. Contohnya, ada orang yang acap kali sasi suro (masuk bulan Muharram) menyembelih hewan kurban supaya gunung tidak meletus atau melarungkan kepala kurban kelautan agar tidak terjadi sunami. Kurban pada asalnya adalah ibadah, namun jika dikaitkan dengan sebab ini maka menjadi amal kesyirikan, karena dibangun di atas sebab yang tidak ditetapkan secara syar’i.[5]
  • Jika seseorang beribadah kepada Allah Ta’ala dengan suatu ibadah yang jenisnya tidak disyariatkan, maka ibadah itu tidak diterima. Contohnya, menyembelih kuda sebagai hewan kurban. Karena hewan kurban hanya dari jenis binatang ternak onta, sapi dan kambing.
  • Seandainya ada seseorang yang ingin berkurban dengan ukuran hewan kurban yang sangat kurus nampak tulang rusuknya atau usianya belum sampai dikurbankan maka kurbannya tidak sah. Karena amalan (kurban) itu menyelisihi syari’at di dalam ukurannya.
  • Tata cara. Jika seseorang menyembelih kurban dengan cara menyetrum atau menusuk pada salah satu anggota badan hewan kurban maka kurbannya tidak akan sah dan menjadi bangkai. Karena amalannya menyelisihi syari’at di dalam kaifiyah (tatacara).
  • Seandainya seseorang menyembelih hewan kurban di bulan Rajab atau puasa Ramadhan di bulan syawwal atau wukuf di Arafah pada tanggal sembilan Dzulqa’idah, maka itu semua tidak akan sah karena menyelisihi syari’at di dalam waktu.
  • Jika seseorang melakukan i’tikaf di rumahnya, tidak di masjid atau dia wukuf pada tanggal sembilan Dzulhijjah di Muzdalifah, maka hal itu tidak sah karena menyelisihi syari’at di dalam tempat.[6]

Enam perkara ini dapat dijadikan sebagai batasan dalam setiap ibadah yang kita lakukan termasuk ibadah kurban. Tidak sedikit shahibul kurban yang belum memahami tentang fikih kurban, termasuk panitia kurban.

Di lapangan kita dapati hewan yang yang dikurbankan belum mencapai usia, cacat yang menyebabkan tidak sahnya kurban, kurus yang nampak tulang rusuknya[7] dan banyak lagi yang lainnya. Begitu pula kesalahan yang dilakukan panitia kurban sebagai wakil shahibul kurban, panitia menjual bagian hewan qurban karena kesulitan dalam pendistribusiannya, juru sembelih (jagal) dan juru kelet (skiner) mendapatkan upah berupa daging kurban dan persoalannya lainnya. Tindakan semacam ini menyelesihi syariat[8]. Sebagian ulama mengatakan kurbannya tidak sah[9]. Inilah pentingnya ilmu sebelum kita beramal saleh.

Evaluasi Persiapan dan Pelaksaaan Kurban

Persiapan kurban menjadi titik awal suksesnya pelaksanaan kurban. Pentingnya pengarahan sebelum mulai bertugas, koordinasi dan pembagian kerja (yang langsung terkait dengan hewan kurban dan daging). Ada banyak hal yang perlu dievaluasi pada persiapan kurban karena tidak sedikit panitia kurban yang abai dalam tugasnya dan terkadang tidak paham siapa melakukan apa.

Di antara kesalahan yang  nampak di lapangan adalah terlalu banyak panitia dan tidak jelas tugasnya sehingga lokasi kurban tidak kondusif, hal ini menyebabkan hewan kurban stress, lemahnya pengetahuan penanganan hewan kurban (handling) hingga banyak hewan kurban tidak terkendali menyebabkan kekacauan di lokasi kurban. Lemahnya panitia dalam pengetahuan fungsi peralatan sembelih. Belum lagi persoalan panitia kurban yang merokok di area lokasi kurban.

Yang tidak kalah penting adalah penataan lokasi kurban. Pisahkan lokasi zona merah meliputi; transit hewan kurban sebelum disembelih, lokasi penyembelihan, dan pengulitan. Zona hijau meliputi; pisah tulang, potong daging, pengepakan (packing). Petugas dari zona merah sebaiknya tidak masuk ke zona hijau tanpa membersihkan diri terlebih dahulu. Hal ini banyakan diabaikan oleh panitia kurban.

Evaluasi Pendistribusian Kurban

Karena lamanya proses mulai dari penyembelihan hewan kurban, pengulitan, pemisahan daging dari tulang, pencacahan daging dan tulang, pembersihan jeroan (brodot), penimbangan daging kurban sebelum didistribusikan dan distribusi daging kurban. Jika tidak dikoordinasikan dari awal akan lambat, yang seharusnya ini bisa dipercepat. Bukankah kita diperintahkan untuk bersegera menunaikan shalat ‘Idul Adha supaya dapat segera menyembelih hewan kurban kemudian menikmati hasil sembelihannya? Faktanya pendistribusian baru dibagikan setelah siang (ba’da zhuhur), bahkan tidak jarang waktu sudah sore (ashar) baru dibagikan.

Dari ‘Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya, ia berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ  nلاَ يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ وَلاَ يَأْكُلُ يَوْمَ الأَضْحَى حَتَّى يَرْجِعَ فَيَأْكُلَ مِنْ أُضْحِيَّتِهِ

“Rasulullah ﷺ biasa berangkat shalat ‘id pada hari Idul Fitri dan beliau makan terlebih dahulu. Sedangkan pada hari Idul Adha, beliau tidak makan lebih dulu kecuali setelah pulang dari shalat ‘id baru beliau menyantap hasil kurbannya.” (H.R. Ahmad 5: 352).[10]

Belum lagi distribusi daging kurban yang tidak mempertimbangkan antara jumlah hewan kurban dan jumlah mustahik. Jika ada kelebihan jumlah hewan kurban bisa didistribusikan pada mustahik lain sehingga memastikan daging kurban diberikan kepada yang berhak secara merata, tidak tumpang tindih serta mencerminkan kolektifitas dan kebersamaan. Bayangkan saja, bila ternyata satu kampung tertentu membutuhkan lima ekor kambing, dan dari warga setempat sudah terdapat dua ekor, maka hewan qurban yang dibutuhkan tinggal tiga ekor, sehingga hewan qurban dapat didistribusikan lebih luas dan lebih jauh kepada kampung yang selama ini kurang terjangkau.

Masih banyak lagi hal yang harus kita perbaiki dalam setiap ibadah kurban kita, maka teruslah belajar tanpa henti sampai ajal menjemput kita. Sebagai penutup, lakukan evaluasi secara bertahap dalam setiap kegiatan ibadah yang kita lakukan demi menyempurnakan ibadah yang sesuai dengan aturan syariat yang telah Allah tetapkan. Mulai dari pra pelaksanaan, saat pelaksanaan dan pasca pelaksanaan. Semoga Allah memberikan hidayah taufik kepada kita dan diberikan kesempatan untuk berkurban di tahun yang akan datang. Âmîn. Wa Allâhu a’lam bish shawwâb.[]

Marâji’:

* Juru Sembelih Halal Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta

[1] Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa 16/532 dalam Syahrul Fatwa bin Lukman, Fikih Praktis Ibadah Kurban berdasarkan al Qur’an dan as-Sunnah, Bekasi: Pustaka Syahrul Fatwa, 1442. h.13.

[2] Q.S. al Mâidah [5]: 3.

[3] Q.S. al-An’am [6]: 162-163.

[4] Dua syarat ini terangkum dalam firman Allah Q.S. al Kahfi [18]: 110.

[5] Contoh menyesuaikan dengan tema kurban.

[6] Syaikh Muhammad bin Shalihj al-Utsaimin, Syarh al Arbain an Nawawiyyah. (terj.) Syarah Hadits Imam Nawawi. Jakarta: Darul Haq, 2019. Cet.ke-1, h. 136-137

[7] HR. At-Tirmidzi no. 1417 dan Abu Dawud no. 2420. Hasan shahih

[8] Lihat pembahasan ini di dalam https://konsultasisyariah.com/8207-mengupah-penjagal-kurban-dengan-kulit-hewan-kurban.html

[9] Lihat pembahasan ini di dalam https://rumaysho.com/665-bolehkah-menjual-kulit-hasil-sembelihan-qurban.html

[10] Syaikh Syu’aib  Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan.

Download Buletin klik disini

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *