Yuk Gerak, Jangan Mager
Yuk Gerak, Jangan Mager
Muhammad Insan Fathin, S.Si.*
Bismillāhi waṣ-ṣalātu was-salāmu ‘alā Rasūlillāh, wa ba‘du.
Pembaca yang semoga dirahmati Allâh ﷻ, Sering kali kita mendengar istilah mager (malas gerak) menjadi tren di tengah masyarakat. Namun tahukah kita, bahwa mager bukanlah sifat yang patut dibanggakan? Justru Rasûlullâh ﷺ setiap hari memohon perlindungan kepada Allâh dari sifat malas. Zaid bin Arqam berkata, Rasûlullâh ﷺ bersabda:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ، وَالْجُبْنِ وَالْبُخْلِ، وَالْهَرَمِ وَعَذَابِ الْقَبْرِ، اللَّهُمَّ آتِ نَفْسِي تَقْوَاهَا، وَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلَاهَا.
“Ya Allâh, aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan dan kemalasan, dari sifat pengecut dan kikir, dari kepikunan dan azab kubur. Ya Allâh, berilah jiwaku ketakwaannya dan sucikanlah ia. Engkau sebaik-baik Dzat yang menyucikannya, Engkau pelindung dan penolongnya.” (HR Muslim, no. 2722).[1]
Doa ini menunjukkan bahwa malas bukan sekadar kebiasaan buruk, tetapi penyakit jiwa yang harus dijauhi. Bahkan Rasûlullâh ﷺ tidak menginginkan sifat itu ada pada dirinya. Beliau mengajarkan agar setiap Muslim senantiasa bergerak, bersemangat, dan produktif dalam kebaikan, karena dalam pergerakan terdapat keberkahan, sementara dalam kemalasan terdapat kerusakan dan kehinaan.
Kemalasan Adalah Sifat Tercela
Sifat malas (terutama dalam beribadah) selalu identik dengan orang-orang yang Allâh ﷻ berikan kemurkaan. Di antara yang Allâh ﷻ sifati dengan kemalasan adalah orang-orang munafik. Allâh ﷻ berfirman:
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allâh, dan Allâh akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk salat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya di hadapan manusia. Dan mereka tidak mengingat Allâh kecuali sedikit sekali.” (QS An-Nisā’ [4]: 142).
Allâh ﷻ juga mensifati orang-orang kafir dengan rasa malas,
وَمَا مَنَعَهُمْ أَنْ تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقَاتُهُمْ إِلَّا أَنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَبِرَسُولِهِ وَلَا يَأْتُونَ الصَّلَاةَ إِلَّا وَهُمْ كُسَالَى وَلَا يُنْفِقُونَ إِلَّا وَهُمْ كَارِهُونَ
“Dan tidak ada yang menghalangi sedekah mereka diterima melainkan karena mereka kafir kepada Allâh dan Rasul-Nya, dan mereka tidak melaksanakan salat kecuali dengan malas, dan tidak pula menafkahkan (harta) mereka melainkan dengan rasa enggan.” (QS At-Taubah [9]: 54).
Orang-orang malas selalu mengikuti dan menuruti hawa nafsunya. Dari Abu Ya’la Syaddad bin Ausz, dari Nabi ﷺ bersabda:
الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ، وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللَّهِ.
“Orang yang cerdas adalah orang yang mengoreksi dirinya dan beramal untuk kehidupan setelah mati. Sedangkan orang yang lemah adalah yang menuruti hawa nafsunya dan berangan-angan kepada Allâh.” (HR Tirmidzi, no. 2459).[2]
Kemalasan Pangkal Keburukan
Hadis di atas menunjukkan bahwa orang yang senantiasa mengikuti hawa nafsunya akan menjadi orang yang lemah, dan orang yang malas adalah orang yang lemah. Disebutkan dalam kitab Tuhfatu al-Majdi as-Sharih fi Syarhi Kitabi al-Fashih, Abu Ja’far menjelaskan bahwa al-‘ajzu (kelemahan) adalah ketidakmampuan seseorang menggapai apa yang ia inginkan. Maka, kemalasan identik dengan kelemahan karena seorang yang malas akan terhalang dari apa yang ia inginkan.[3]
Orang yang terlena memenuhi hawa nafsunya akan terlena dengan kemalasan-kemalasan sehingga ia tidak mendapatkan apa yang baik baginya. Padahal, hawa nafsu diciptakan bagi manusia bukan untuk diikuti, melainkan untuk ujian bagi mereka. Karena hawa nafsu senantiasa mengajak kepada keburukan. Allâh ﷻ berfirman:
إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ
“Sesungguhnya nafsu itu benar-benar menyuruh kepada kejahatan.” (QS Yūsuf [12]: 53).
Ibnu Taymiyyah v menjelaskan bahwa manusia diuji dengan hawa nafsu dan diberi kemuliaan dengan akalnya. Barang siapa yang dapat mengendalikan hawa nafsunya, maka dia lebih mulia dari para malaikat (yang tidak diberi hawa nafsu). Adapun, barang siapa yang tidak dapat mengendalikan hawa nafsunya, maka dia lebih hina dari Binatang (yang tidak diberi akal). Hawa nafsu merupakan bagian dari ujian hidup manusia.[4]
Bersemangatlah untuk Melakukan Kebaikan
Karena itu, janganlah kita malas dalam menggapai cita dan kebaikan yang kita inginkan.
Ketika muncul keinginan untuk meraih sesuatu, bangkitlah dengan semangat! Jangan biarkan hawa nafsu menjerumuskan kita dalam kemalasan dan kelemahan. Rasûlullâh ﷺ telah memerintahkan kita untuk bersungguh-sungguh dalam hal yang bermanfaat. Dari Abu Hurairah z, Rasûlullâh ﷺ bersabda:
اِحْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ
“Bersemangatlah atas apa yang bermanfaat bagimu, meminta tolonglah kepada Allâh, dan jangan menjadi lemah (atas hal itu).” (HR Muslim, no. 2664).[5]
Hadis ini menegaskan bahwa seorang mukmin harus aktif dan produktif, berusaha keras dalam hal yang baik sambil mengandalkan pertolongan Allâh ﷻ . Perintah untuk bersemangat disandingkan dengan larangan jangan lemah, menunjukkan bahwa semangat dan kerja keras adalah lawan dari kemalasan, dan keduanya menentukan keberkahan hidup seorang hamba.
Agar Semangat Mulai Bergerak Saja Dahulu
Sebagian kita memeberikan alasan sedang tidak semangat untuk tikak melalukan aktivitas bermanfaat. Padahal menurut Imam Ibn al‑Qayyim dalam Madarijus-Salikin,
اَلْحَرَكَةُ أَصْلُ كُلِّ إِرَادَةٍ، وَالْعَزْمُ مَبْدَأُ كُلِّ حَرَكَةٍ.
“Gerakan adalah asal seluruh impian dan semangat itu ada pada permulaan seluruh gerakan.”[6]
Imam Ibn al-Qayyim ingin menegaskan bahwa bergerak pangkal semangat. Jadi, gerak saja dahulu agar semangat beraktifitas itu tumbuh. Jangan diam dan bermalas-malasan menunggu semangat tiba. Bisa jadi semangat itu tidak datang, kemudian waktu kita terbuang sia-sia karena diamnya kita. Imam asy-Syafi`i v berkata:
رَأَيْتُ وُقُوفَ الْمَاءِ يُفْسِدُهُ، إِنْ سَالَ طَابَ، وَإِنْ لَمْ يَجْرِ لَمْ يَطِبْ.
“Aku melihat bahwa air yang diam akan rusak. Jika ia mengalir, maka ia menjadi baik; tetapi jika ia tidak mengalir, maka ia tidak menjadi baik.[7]
Imam asy-Syafi’i v memberikan perumpamaan air yang mengalir akan tetap jernih dan baik, sedangkan air yang diam akan keruh dan rusak. Begitu pula manusia, jika ia hanya berdiam diri dalam kemalasan, maka ia tidak akan memperoleh kebaikan apa pun, bahkan akan merusak dirinya sendiri.
Ingatlah, hati dan jiwa manusia akan hidup bila terus bergerak dalam ketaatan dan amal kebaikan. Namun, ia akan lemah dan keruh bila dibiarkan tenggelam dalam kemalasan dan keengganan untuk berusaha. Maka, bergeraklah menuju ridha Allâh ﷻ , iringi setiap langkah dengan doa dan keyakinan bahwa pertolongan-Nya selalu menyertai orang yang bersemangat dalam kebaikan.
Semoga kita dapat memaksimalkan potensi dan bakat kita dengan bersemangat melakukan yang bermanfaat bagi kita.
* Aktivis dakwah
Maraji’ :
[1] Muslim bin al-Ḥajjāj. Ṣaḥīḥ Muslim. Beirut: Dār Ihyā’ at-Turāth al-‘Arabī. t.t. Kitāb ad-Du‘ā’, no. 2722.
[2] At-Tirmidzī, Muḥammad bin ‘Īsā. Sunan at-Tirmidzī. Beirut: Dār al-Gharb al-Islāmī. 1998. Cet. ke-1. No.2459.
[3] Ahmad bin Yusuf al-Labli. Tuhfatu al-Majdi as-Shāriḥ fī Syarḥi Kitābi al-Faṣīḥ. Tahqiq: Abdul Malik bin ‘Iyadh ats-Tsubaiti. 1997 M / 1418 H. Cet. ke-1. h. 69–70.
[4] Ibn Taymiyyah, Majmū‘ al-Fatāwā, jil. 10, h. 40. Riyadh: King Fahd Complex, 1416 H.
[5] Muslim, Abū al-Ḥusain Muslim bin al-Ḥajjāj al-Qusyairī an-Naisābūrī. Ṣaḥīḥ Muslim. Kitāb al-Qadar, no. 2664. Beirut: Dār al-Ma‘rifah.
[6] Ibnul Qayyim al-Jauziyyah. Madarij as-Sālikīn bayna Manāzil Iyyāka Na‘budu wa Iyyāka Nasta‘īn. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah. 1996 M / 1416 H. Cet. ke-1. Jilid 3. h. 326.
[7] Asy-Syāfi‘ī, Muḥammad bin Idrīs. Dīwān asy-Syāfi‘ī. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah. 2004. h. 45.
Download Buletin klik di sini










