Ilmu sebagai Mahkota Generasi Ulul Albab

Ilmu sebagai Mahkota Generasi Ulul Albab

Uun Zahrotunnisa*

 

Bismillāhi wal ḥamdulillāh, waṣ ṣalātu was salāmu ‘alā rasūlillāhi, wa ba’du.

Rasūlullāh ﷺ memberikan teladan kepada umat manusia bahwa pendidikan merupakan tonggak kokohnya peradaban. Bagaimana tidak? Rasūlullāh ﷺ sebagai insan ulul albab pernah mengalami masa-masa sulit ketika hidup di tengah-tengah bangsa arab yang terkenal dengan masyarakat jahiliah, berdampingan dengan perilaku yang jauh dari moral.

Lahirnya Rasūlullāh ﷺ menjadi anugerah bagi alam semesta (raḥmatan lil ‘ālamīn). Rasūlullāh ﷺ sebagai khalifah pertama telah membawa lentera keislaman berlandaskan Al-Qur’an sebagai tuntunan hidup untuk meraih ketenangan serta kebahagiaan dunia dan akhirat. Ketenangan dan kebahagiaan dapat diraih dengan ilmu sebagai pedoman hidup dalam menentukan pilihan dan melakukan perbuatan. Manusia yang berpikir akan menemukan hakikat dari setiap perilaku yang dicontohkan oleh Rasūlullāh ﷺ sebagai cerminan akhlak yang Allāh ﷻ   ajarkan kepada Rasūlullāh ﷺ melalui perantara Al-Qur’an. Keutaman dan andil Al-Qur’an dalam mencerdaskan manusia, Allāh ﷻ berfirman,

الَّذِيْ عَلَّمَ بِالْقَلَمِۙ عَلَّمَ الْاِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْۗ

“Yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya” (QS. Al-‘Alaq [96]: 5).

Hakikat Ilmu Pengetahuan

Kata “ilmu” menurut M. Quraish Shihab, tokoh sekaligus mufasir Indonesia, disebutkan dalam Al-Qur’an sebanyak 854 kali[1]. Hal tersebut menunjukkan betapa pentingnya ilmu bagi peradaban manusia.

Abu Hamid bin Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali (1058-1111 M) mendefinisikan ilmu pengetahuan sebagai jenis dari penemuan suatu makna (ma’rifat al-ṣay’ ‘alā mahuwa bihi).[2] Al-Qur’an menerangkan bahwa ilmu memberikan tambahan keistimewaan kepada manusia berupa keunggulan daripada makhluk lain untuk menjalankan fungsi kekhalifahan (kepemimpinan).[3] Allāh ﷻ berfirman,

وَعَلَّمَ اٰدَمَ الْاَسْمَاۤءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلٰۤىِٕكَةِ فَقَالَ اَنْۢبِـُٔوْنِيْ بِاَسْمَاۤءِ هٰٓؤُلَاۤءِ اِنْ كُنْتُمْ صٰدِقِيْنَ. قَالُوْا سُبْحٰنَكَ لَا عِلْمَ لَنَآ اِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا ۗاِنَّكَ اَنْتَ الْعَلِيْمُ الْحَكِيْمُ

Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda) seluruhnya, kemudian Dia memperlihatkannya kepada para malaikat, seraya berfirman, “Sebutkan kepada-Ku nama-nama (benda) ini jika kamu benar! Mereka menjawab, “Maha Suci Engkau. Tidak ada pengetahuan bagi kami, selain yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Baqarah [2]: 31-32).

Makna Ulul Albab

Alam diciptakan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok makhluk hidup, melainkan juga sebagai sumber pengembangan ilmu pengetahuan. Menurut Al-Qur’an manusia memiliki potensi untuk menguak misteri di alam semesta sebagai wujud dari rasa syukur atas anugerah dari Allāh ﷻ. Seorang manusia yang mengandalkan kemampuan berpikir akan selalu mendapatkan jawaban-jawaban dari rasa keingintahuannya. Manusia dengan rasa keingintahuan yang tinggi disebut ulul albab.

Mengutip dari Ahmadi, kata Ulul Albab terdiri dari dua kata “Ulu” dan “Albab”. Kata “Ulu” erat kaitannya dengan “Ulul Ilm” artinya orang yang berwawasan, begitu pula maksudnya adalah orang yang dapat mengambil hikmah dari segala sesuatu yang terjadi dalam wujud nyata. Selanjutnya kata “Albab” berasal dari kata “lub” merupakan akar dari kata “labab” yang artinya kemurnian, kebajikan. Kemudian disepakati arti “Ulul Albab” sebagai orang berakal yang memiliki pemahaman secara mendalam.[4]

Anjuran Menuntut Imu dalam Al-Qur’an dan Hadis 

Al-Qur’an menjunjung tinggi orang-orang yang berfikir. Dalam artian berfikir untuk melakukan kebaikan dan menebar kemanfaatan di muka bumi. Banyak istilah dalam Al-Qur’an tentang urgensi berpikir yakni; tafakur (berfikir), tadabur (menghayati), tabassur (berwawasan), naẓar (melihat), tadakkur (mengingat), tafaqquh (memahami), ta’aqqul (berfikir). Selain itu Al-Qur’an juga menganjurkan umat Islam untuk senantiasa menuntut ilmu dimana saja agar mendapat pelajaran. Allāh ﷻ berfirman,

كِتٰبٌ اَنْزَلْنٰهُ اِلَيْكَ مُبٰرَكٌ لِّيَدَّبَّرُوْٓا اٰيٰتِهٖ وَلِيَتَذَكَّرَ اُولُوا الْاَلْبَابِ

(Al-Qur’an ini adalah) kitab yang Kami turunkan kepadamu. (Nabi Muhammad) yang penuh berkah supaya mereka menghayati ayat-ayatnya dan orang-orang yang berakal sehat mendapat pelajaran.” (QS. Ṣad [38]: 29).

Allāh ﷻ berfirman,

‎وَأَنْزَلَ اللَّهُ عَلَيْكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُنْ تَعْلَمُ ۚ وَكَانَ فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكَ عَظِيمًا

Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Kitab dan hikmah kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu.” (QS. An-Nisā’ [4]: 113).

Syaikh As-Sa’di v menyatakan bahwa hikmah akan membuahkan ilmu, bahkan amalan. Oleh karenanya, hikmah ditafsirkan dengan ilmu yang bermanfaat dan amalan saleh. Beliau v juga mengatakan, “Hikmah adalah ilmu yang benar dan pengetahuan akan berbagai hal dalam Islam. Orang yang memiliki hikmah akan mengetahui rahasia-rahasia di balik syari’at Islam. Jadi, orang bisa saja ‘alim (memiliki banyak ilmu), tetapi belum tentu memiliki hikmah. Hikmah berkonsekuensi memiliki ilmu dan amal. Hikmah dapat diartikan dengan ilmu dan amal saleh.[5] 

Karakteristik Golongan Ulul Albab

Berikut terdapat beberapa ciri-ciri golongan ulul albab yang dikategorikan berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an.

  1. Selalu berpikir kritis dan memiliki ketakwaan (QS. Al-Baqarah [2]: 179 & 197).
  2. Mengambil hikmah dari ayat-ayat yang diturunkan Allāh ﷻ melalui Al-Qur’an (QS. Al-Baqarah [2]: 269).
  3. Bersungguh-sungguh menimba ilmu (QS. Ali Imrān [3]: 7).
  4. Senantiasa merenungi peristiwa alam semesta (QS. Ali Imrān [3]: 190-191), Az- Zumar [39]: 21).
  5. Mengambil pelajaran dari sejarah umat terdahulu (QS. Yusuf [12]: 111).
  6. Mengamalkan qiyamul lail demi mendapat rahmat Allah (QS. Az-Zumar [39]: 9).

Pembaca yang budiman, semoga apa yang kita dengar tentang keshalihan Rasūlullāh ﷺ sebagai pembawa risalah islamiyah dapat menjadi teladan untuk senantiasa berperilaku dan bertutur kata sesuai dengan ajaran Al-Qur’an dan sunnahnya. Āmīn.

* Alumni Prodi Ahwal Syakhsiyyah FIAI UII 2019

Maraji’ :

[1] Tamlekha,”Al-Qur’an sebagai Sumber Ilmu Pengetahuan”, Basha’ir: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Tafsir, Vol. 1, No. 1, 2021, h. 108.

[2] Susanti, dkk. “Aliran Rasionalisme dan Empirisme dalam Kerangka Ilmu Pengetahuan”, Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin, Vol. 1, No.2, 2021, h. 62.

[3] M Deni Hidayatullah, “Makna Umum Al-Qur’an dan Kedudukannya sebagai Sumber Ilmu Pengetahuan”, Setyaki: Jurnal Studi Keagamaan Islam, Vol. 1 No. 1, 2023, h. 25.

[4] Ahmad, “Klasifikasi Pemahaman Dasar dan Analisis Semantik Ayat-Ayat Al-Qur’an serta Penerapannya dalam Pembentukan Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam”, IJ-ATL : International Journal of Arab Teaching and Learning, Vol. 1, No. 1, 2018, h. 38-39.

[5] Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Tafsir As-Sa’di. Penerbit Muassasah Ar-Risalah. Cet ke-2. 1433 H. H. 686. Sumber https://rumaysho.com/25914-arti-diberi-hikmah-dalam-al-quran.html.

Download Buletin klik di sini

Kaidah dalam Menyampaikan Nasihat

Kaidah dalam Menyampaikan Nasihat

Al Katitanji

 

Bismillāhi wal ḥamdulillāh, waṣ ṣalātu was salāmu ‘alā rasūlillāhi, wa ba’du.

Nasihat memiliki kedudukan yang sangat tinggi di dalam Islam. Disebutkan dalam hadis ketujuh dari hadis Arba’in An-Nawawiyyah. Dari sahabat Abu Raqayyah Tamim bin Aus ad Dāri, bahawannya Rasūlullāh ﷺ bersabda,

الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ

Agama adalah nasihat.” (HR. Muslim, no. 55).

Pentingnya Nasihat

Dari penggalan hadis ini Rasūlullāh ﷺ menekankan akan pentingnyan nasihat, dilihat dari beberapa sisi:[1]

Pertama, susunan mubtada dan khabar pada kalimat الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ  (ad dīnu an naṣīḥah) keduanya ma’rifah. Pada umumnya mubtada bentuknya ma’rifah dan khabar bentuknya nakirah. Bila susunan mubtada dan khabar sama-sama ma’rifah memberikan faidah  الحَصْرُ(al ḥaṣru) yaitu pembatasan. Sehingga kita menerjemahkannya dengan ‘Agama itulah nasihat’. Seakan-akan agama tidak lain kecuali nasihat. Ini menunjukan betapa pentingnya nasihat sehingga Rasūlullāh ﷺ mengungkapkan bahwa agama kandungannya hanyalah nasihat.

Kedua, pembahasan agama sangatlah banyak. Namun dalam hadis ini Rasūlullāh ﷺ hanya mencukupkan menyebutkan ‘nasihat’ untuk menjelaskan agama. Dari sini dapat dipahami bahwa nasihat dalam agama adalah perkara yang sangat penting. Bahkan yang dipahami dari hadis ini adalah seakan-akan Rasūlullāh ﷺ mengatakan yang paling penting dari agama adalah nasihat. Oleh karenanya sebagian ulama mengatakan bahwa maknaالدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ  (ad dīnu an naṣīḥah) adalah ‘Nasihat itu adalah tiang agama.’[2]

Ketiga, di dalam sebagian Riwayat, Rasūlullāh ﷺ mengulang ucapan beliau, ‘Agama adalah nasihat.’ Sebanyak tiga kali.[3] Pengulangan ini menunjukan akan pentingnya nasihat di dalam agama Islam. Bahkan Imam Nawawi v mengatakan bahwasannya agama berkutat seputar nasihat.[4]

Yang Dimaksud Nasihat        

Makna nasihat secara istilah إِرَادَةُ الْخَيْرِ لِلْمَنْصُوْحِ لَه yaitu menghendaki kebaikan bagi yang dinasehati.[5] Al Khaṭṭabi, berkata,

النَّصِيْحَةُ كَلِمَةٌ يُعَبَّرُ بِهَا عَنْ جُمْلَةٍ هِيَ إِرَادَةُ الخَيرِْ لِلْمَنْصُوْحِ لَهُ

Nasihat adalah kalimat ungkapan yang bermakna mewujudkan kebaikan kepada yang ditujukan nasihat.”[6]

Penggunaan kata nasihat dalam bahasa Arab lebih luas dibandingkan penggunaannya dalam bahasa indonesia. Karena nasihat dalam bahasa Arab adalah segala bentuk menginginkan kebaikan untuk pihak yang dinasehati.

Sehingga makna nasihat kepada Allāh ﷻ  dalam hadis yang sedang kita bahas bukan berarti menasihati sebagaimana dalam pemaknaan bahasa indonesia tetapi melakukan yang terbaik di hadapan Allāh ﷻ. Diantaranya dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi laranganNya, diberi kenikmatan dia bersyukur, jika diberi ujian dia bersabar, jika berdosa dia segera bertaubat, sehingga menjadi orang yang terbaik di hadapan Allāh ﷻ. Menasihati Al-Quran dengan membacanya dan tidak sekedar mengoleksinya, dipelajari tafsirnya, diamalkan, meluruskan penafsiran-penafsiran yang keliru. Menasihati Rasūlullāh ﷺ dengan mengagungkan sunnah-sunnahnya, menjalankan perintah dan menjauhi larangannya, membangun kecintaan dan kebencian di atas ajaran Nabi ﷺ .[7]

Kaidah dalam Menyampaikan Nasihat

Dalam menyampaikan nasihat, ada beberapa kaidah yang harus diperhatikan di antaranya:[8]

Pertama, nasihat didasari niat ikhlas karena Allāh ﷻ. Hendaknya seseorang memberikan atau menyampaikan nasihat hanya mengharapkan rida Allāh ﷻ semata, karena setiap amalan sangat tergantung pada niat, dan sesorang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan. Dari Abu Hafṣ ‘Umar bin Khaṭṭab, dia berkata, ‘Aku mendengar Rasūlullāh ﷺ bersabda,

إنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

Sesungguhnya amal itu tergantung dari niatnya, dan setiap orang akan memperoleh apa yang dia niatkan.” (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907).

Kedua, nasihat didasari ilmu. Ilmu yang dimaksud adalah apa yang dibawa oleh Rasūlullāh ﷺ dan apa yang diwahyukan kepadanya. Orang yang menjalankan amar ma’ruf nahi munkar haruslah memiliki ilmu tentang hal yang ma’ruf dan yang mungkar serta dapat membedakan antara keduanya. Minimal seseorang harus menguasai apa yang hendak dinasihatkannya.

Ketiga, santun dan lemah lembut. Hendaklah menyampaikan nasihat dengan lemah lembut dan santun. Dengan kelembutan itulah hati akan lebih lapang sehingga mau menerima nasihat. Perhatikan bagaimana Allāh ﷻ perintahkan Nabi Mūsā dan Nabi Harun p agar bersikap lemah lembut terhadap penguasa yang kafir, sombong, dan melampaui batas pada masanya (Fir’aun). Allāh ﷻ berfirman,

فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ

“Hendaknya kalian berdua ucapkan perkataan yang lemah lembut, mudah-mudahan ia akan ingat (sadar) atau takut kepada Allāh” (QS. Ṭāhā [20]: 44).

Dalam ayat yang lain, Allāh ﷻ berfirman,

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظّاً غَلِيظَ الْقَلْبِ لاَنفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ

“Maka disebabkan rahmat dari Allāh-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (QS. Ali Imran [3]: 159)

Keempat, memilih cara yang tepat. Memberikan nasihat berbeda-beda sesuai dengan kondisi serta kepribadian seseorang. Ada orang yang perlu dinasihati secara langsung namun ada pula yang sebaliknya. Cara menasihati anak kecil berbeda dengan orang dewasa, dan menasihati orang yang punya kedudukan berbeda dengan yang tidak demikian. Umumnya, nasihat lebih mengena jika disampaikan melalui contoh dan keteladanan nyata.

Pemberi nasihat harus mengenal sosok seorang yang akan diberi nasihat sehingga tahu kapan harus berbicara dan kapan harus diam, juga kapan harus memberikan nasihat secara langsung dan kapan harus memberi nasihat secara tidak langsung kepadanya.

Kelima, bukan untuk mencela atau menyebar keburukan. Orang yang ingin memberikan tidak boleh memiliki tujuan untuk mencela dan membuka aib orang yang diberi nasihat, sedikit pun. Ia harus menyakinkan bahwa nasihatnya demi kebaikan orang itu, tidak ada tujuan di belakangnya selain mengharap keridaan Allāh ﷻ.

Keenam, menasihati secara rahasia. Nasihat itu sebaiknya disampaikan secara rahasia atau empat mata agar tidak menyakiti perasaan yang dinasihati. Dengan demikian, hatinya menjadi lapang dalam menerima nasihat dan mengambil manfaat darinya.

Imam asy Syafi’i v berkata, “Siapa yang memberikan nasihat kepada saudaranya secara sembunyi-sembunyi berarti telah benar-benar menasihatinya. Adapun siapa yang memberi nasihat secara terang-terangan berarti telah membuka aib dan mempermalukan orang yang dinasihatinya.”[9]

Ketujuh, bersabar. Seseorang wajib bersabar karena tidak semua orang nasihat mau menerima nasihat yang disampaikan orang lain begitu saja. Bahkan baru ada yang tergerak untuk mengamalkan nasihat tersebut setelah berlalu sekian tahun. Oleh karena itu, pemberi nasihat haruslah menyadari bahwa tugasnya hanya menyampaikan, sedangkan yang akan memberikan hidayah adalah Allāh ﷻ. Demikianlah disebutkan dalam Al Qur’an, Allāh ﷻ berfirman,

إِنَّكَ لَا تَهْدِى مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ يَهْدِى مَن يَشَآءُ ۚ وَهُوَ أَعْلَمُ بِٱلْمُهْتَدِينَ

Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (QS. Al Qaṣaṣ [28]: 56).

Demikian beberapa kaidah dalam memberikan nasihat. Semoga Allāh ﷻ memberikan taufik untuk mengamalkannya.

Maraji’ :

[1] Firanda Andirja. Syarah Al Arba’īn An Nawawiyyah. Jakarta: UFA Office. 2022. Cet ke-1. h. 116-117.

[2] Syarah al Arbain an Nawawiyah karya Ibnu Daqiq al ‘Id 1/50.

[3] HR. Ahmad no. 16947 dan dinyatakan sahih oleh al Arnauṭ.

[4] Lihat Syarah an Nawawi ‘alā Muslim 2/37.

[5] Tajul Arus 7/175 disebutkan dalam karya Firanda Andirja. Syarah Al Arba’īn An Nawawiyyah. Jakarta: UFA Office. 2022. Cet ke-1. h. 119.

[6] Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:219 disebutkan oleh Muhammad Abduh Tuasikal dalam https://rumaysho.com/17481-hadits-arbain-07-agama-adalah-nasihat.html. Diakses pada Kamis, 9 Rajab 1446/ 9 Januari 2025.

[7] https://bekalislam.firanda.com/?p=6563. Diakses pada Kamis, 9 Rajab 1446/ 9 Januari 2025.

[8] Ummu Iḥsan dan Abu Iḥsan Al Aṡari. Aktualisasi Akhlak Muslim; 13 Cara Mencapai Akhlak Mulia. Jakarta: Pustaka Imam Asyafi’i. 2014. Cet ke-2. h. 373-375.

[9] Muqaddimah Al Majmu’ Syarul Muażżab 1/31. Disebutkan dalam karya Ummu Iḥsan dan Abu Iḥsan Al Aṡari. Aktualisasi Akhlak Muslim; 13 Cara Mencapai Akhlak Mulia. Jakarta: Pustaka Imam Asyafi’i. 2014. Cet ke-2. h. 375.

Download Buletin klik di sini

Musim Hujan, Iman Tidak Boleh Berkurang

Musim Hujan, Iman Tidak Boleh Berkurang

Nizar Sadat*

 

Pembaca yang semoga dalam lindungan Allah ﷻ, ketahuilah bahwa Indonesia adalah negara tropis yang memiliki 2 musim sepanjang tahunnya, yaitu musim hujan dan musim kemarau. Maka dari itu, datangnya musim hujan adalah salah satu berkah yang diberikan oleh Allah ﷻ yang diturunkan untuk hambanya.

Dari Zaid bin Khalid Al-Juhani, Nabi Muhammad n melakukan shalat shubuh bersama kami di hudaibiyah setelah hujan turun pada malam harinya. Tatkala hendak pergi, beliau menghadap jama’ah shalat, lalu mengatakan “Apakah kalian mengetahui apa yang dikatakan Rabb kalian? “Kemudian mereka mengatakan, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”. Kemudian Rasulullah n bersabda,

أَصْبَحَ مِنْ عِبَادِى مُؤْمِنٌ بِى وَكَافِرٌ فَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ. فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِى وَكَافِرٌ بِالْكَوْكَبِ وَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِنَوْءِ كَذَا وَكَذَا. فَذَلِكَ كَافِرٌ بِى مُؤْمِنٌ بِالْكَوْكَبِ

Pada pagi hari, di antara hambaKu ada yang beriman kepadaKu dan ada yang kafir. Siapa yang mengatakan ‘Muthirna bi fadhlillahi wa rohmatih’ (Kita diberi hujan karena karunia dan rahmat Allah), maka dialah yang beriman kepadaku dan kufur terhadap bintang-bintang. Sedangkan yang mengatakan ‘Muthirna binnau kadza wa kadza’ (Kami diberi hujan karena sebab bintang ini dan ini), maka dialah yang kufur kepadaku dan beriman pada bintang-bintang.” (HR. Bukhari no. 846 dan Muslim no. 71).[1]

Maka dari itu, dari hadits diatas memiliki makna untuk orang yang beriman, datangnya hujan adalah suatu keberkahan yang dapat mengingatkannya kepada Rabb yang menciptakan hujan dan dzat mengatur musim hujan dan musim lainnya adalah Allah ﷻ. Lantas, apa saja yang harus dilakukan seorang muslim ketika musim hujan datang agar keimanannya tidak berkurang melainkan bertambah kepada Rabb-Nya?

Segalanya Diatur oleh Allah ﷻ

Allah ﷻ berfirman,

وَهُوَ ٱلَّذِى يُنَزِّلُ ٱلْغَيْثَ مِنۢ بَعْدِ مَا قَنَطُوا۟ وَيَنشُرُ رَحْمَتَهُۥ ۚ وَهُوَ ٱلْوَلِىُّ ٱلْحَمِيدُ

“Dialah Yang menurunkan hujan sesudah mereka berputus asa dan menyebarkan Rahmat-Nya. Dan Dialah Yang Maha Pelindung lagi Maha Terpuji.” (QS. as-Syura [42]: 28)

Dalam agama Islam, segala bentuk sesuatu apapun yang ada di seluruh alam semesta ini adalah bagian takdir dari Allah ﷻ, termasuk yang mengatur hujan turun adalah Allah ﷻ. Sangat disayangkan akhir-akhir ini banyak kejadian mengatas namakan seseorang untuk menurunkan atau menunda turunnya hujan. Sudah seharusnya menjadi mahkluk untuk senantiasa besyukur atas apa yang telah diberikan Allah ﷻ kepada hamba.

Segala sesuatu yang terjadi di alam ini berada dalam ketentuan Allah, Dia-lah Allah yang telah mengatur seluruh alam raya ini dengan sempurna tanpa cacat sedikitpun.  Allah ﷻ berfirman,

وَهُوَ ٱلَّذِى يُرْسِلُ ٱلرِّيَٰحَ بُشْرًۢا بَيْنَ يَدَىْ رَحْمَتِهِۦ ۖ حَتَّىٰٓ إِذَآ أَقَلَّتْ سَحَابًا ثِقَالًا سُقْنَٰهُ لِبَلَدٍ مَّيِّتٍ فَأَنزَلْنَا بِهِ ٱلْمَآءَ فَأَخْرَجْنَا بِهِۦ مِن كُلِّ ٱلثَّمَرَٰتِ ۚ كَذَٰلِكَ نُخْرِجُ ٱلْمَوْتَىٰ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

Dan Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); hingga apabila angin itu telah membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah itu, maka Kami keluarkan dengan sebab hujan itu pelbagai macam buah-buahan. Seperti itulah Kami membangkitkan orang-orang yang telah mati, mudah-mudahan Kamu mengambil pelajaran.” (QS. al-A’raf [7]: 57)

Allah ﷻ adalah sebaik-baiknya pengatur untuk seluruh alam semesta ini. Bisa dibayangkan segala sesuatu takaran yang ada di laut, gunung, sungai, danau, dan lain lain tidak sesuai takaran. Datangnya hujan bukan musibah melainkan berkah. Allah ﷻ berfirman,

إِنَّ ٱللَّهَ عِندَهُۥ عِلْمُ ٱلسَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ ٱلْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِى ٱلْأَرْحَامِ ۖ وَمَا تَدْرِى نَفْسٌ مَّاذَا تَكْسِبُ غَدًا ۖ وَمَا تَدْرِى نَفْسٌۢ بِأَىِّ أَرْضٍ تَمُوتُ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌۢ

“Sesungguhnya Allah memiliki pengetahuan tentang hari Kiamat, menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan dia kerjakan besok. (Begitu pula,) tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahateliti.”  (QS. Lukman [31]: 34)

Turun Hujan Adalah Waktu Mustajab untuk Berdo’a

Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni,[2] mengatakan, “Dianjurkan untuk berdo’a ketika turunnya hujan, seperti yang diriwayatkan dari Sahl bin Sa’d z, beliau berkata bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,

ثِنْتَانِ مَا تُرَدَّانِ الدُّعَاءُ عِنْدَ النِّدَاءِوَ تَحْتَ المَطَرِ

Dua do’a yang tidak akan ditolak: [1] do’a ketika adzan dan [2] do’a ketika ketika turunnya hujan.” (HR. Ath-Thabrani 6: 135 no. 5756 dan Al-Hakim no. 2534)[3]

Hujan adalah Rahmat sekaligus berkah yang diberikan oleh Allah ﷻ yang diberikan kepada seluruh mahkluk hidup yang ada dimuka bumi. Tiada kata yang pantas keluar dari lisan seorang hamba melainkan rasa syukur dan do’a kepada dzat yang maha Ghafur, dan do’a yang sangat baik dibaca ketika hujan turun agar bermanfaat dan berkah adalah sesuai anjuran Nabi ﷺ berdasarkan hadits dari Ummul Mukminin, ‘Aisyah,,x, “Nabi ﷺ ketika melihat turunnya hujan, beliau mengucapkan,

اللَّهُمَّ صَيِّباً نَافِعاً

Allâhumma shayyiban nâfi’an” [Ya Allah turunkanlah pada kami hujan yang bermanfaat].” (HR. Ahmad no. 24190, Bukhari no. 1032, dan An Nasâ’I no. 1523).

Semoga dengan turun nya hujan menjadikan semakin bersyukur dan bukan malah mengatakan kalimat yang tidak pantas diucapkan atau mengeluh. Justru manfaatkanlah momen hujan turun sebagai memperbanyak do’a kepda Allah ﷻ.

Menyadari Kebesaran Allah dan Menguatkan Keyakinan kepada-Nya

Hujan bukanlah sekedar fenomena alam yang terjadi dengan kebetulan, tapi hujan adalah salah satu bentuk ciptaan Allah ﷻ yang memiliki manfaat bukan hanya untuk manusia tapi untuk seluruh mahkluk hidup yang ada di dunia. Allah ﷻ berfirman,

إِذْ يُغَشِّيكُمُ ٱلنُّعَاسَ أَمَنَةً مِّنْهُ وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُم مِّنَ ٱلسَّمَآءِ مَآءً لِّيُطَهِّرَكُم بِهِۦ وَيُذْهِبَ عَنكُمْ رِجْزَ ٱلشَّيْطَٰنِ وَلِيَرْبِطَ عَلَىٰ قُلُوبِكُمْ وَيُثَبِّتَ بِهِ ٱلْأَقْدَامَ

“(Ingatlah) ketika Allah membuat kamu mengantuk sebagai penenteraman dari-Nya dan menurunkan air (hujan) dari langit kepadamu untuk menyucikan kamu dengan (hujan) itu, menghilangkan gangguan-gangguan setan dari dirimu, dan menguatkan hatimu serta memperteguh telapak kakimu.” (QS. al-Anfal [8]: 11)

Ketika hujan turun, tidak sedikit yang merasa bahwa hujan menjadi penenang untuk sebagian orang, setiap tetes air hujan yang turun ke bumi adalah bukti kasih sayang yang Allah ﷻ berikan dan bukti bahwa kebesaran Allah ﷻ. Hal ini seharusnya menjadikan keimanan seseorang menjadi semakin kuat akan kebesaran Allah ﷻ.

Para pembaca dimanapun berada, proses turunnya hujan adalah siklus yang menunjukan besarnya kekuatan Allah ﷻ. Banyak pelajaran positif yang bisa diambil dari hujan, datangnya musim hujan bukan malah mengurangi keimanan seorang hamba melainkan sudah seharusnya keimanan seorang hamba menjadi bertambah karena dari hujan Allah ﷻ menunjukan berkah, rahmat, dan kasih sayang kepada hambanya. Semoga kita bisa menjadi hamba yang senantiasa bersyukur dan menikmati setiap momen dengan penuh keimanan dan ketakwaan kepada Allah ﷻ.

Maraji’ :

* Mahasiswa FIAI UII

[1] Muhammad Abduh Tuasikal. “Doa Ketika Turun Hujan” https://rumaysho.com/3759-doa-ketika-turun-hujan.html. Diakses pada 15 Desember 2024.

[2] Al Mughni, 2/294. Dikutip dari Muhammad Abduh Tuasikal. “Turun Hujan Berdoa” https://rumaysho.com/1695-turun-hujan-berdoa.html. Diakses pada 15 Desember 2024.

[3] Dikeluarkan oleh Imam Syafi’i dalam Al Umm dan Al Baihaqi dalam Al Ma’rifah dari Makhul secara mursal. Dihasankan oleh Syekh Albani dalam kitabnya Shahih Al-Jami’, no. 3078).

Download Buletin klik di sini

Menyikapi Hawa Nafsu

Menyikapi Hawa Nafsu

Ridho Frihastama

 

Hawa nafsu adalah salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia yang sering menjadi ujian dalam setiap langkah kehidupan. Dalam Islam, hawa nafsu dipandang sebagai potensi yang perlu dikendalikan dengan bijak agar tidak menjerumuskan seseorang pada perilaku yang dilarang.

Dari An Nu’man bin Basyir, Nabi ﷺ bersabda,

أَلاَ وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ . أَلاَ وَهِىَ الْقَلْبُ

Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati (jantung)” (HR. Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599).

Dalam kaitannya dengan hawa nafsu, hati berfungsi sebagai pemimpin yang mengendalikan pikiran dan tindakan, oleh karena itu menjaga hati dari dorongan hawa nafsu adalah kewajiban setiap Muslim.

Pada zaman modern ini, pengaruh hawa nafsu semakin besar dengan hadirnya berbagai godaan yang datang melalui kemajuan teknologi dan media sosial. Fenomena-fenomena terkini yang terjadi di masyarakat menunjukkan bagaimana hawa nafsu dapat menuntun seseorang pada perilaku yang menyimpang.[1] Oleh karena itu, penting bagi umat Islam untuk menyikapi hawa nafsu dengan penuh kesadaran dan kedalaman pemahaman agama, terutama dalam menghadapi tantangan zaman sekarang.

Hawa Nafsu dalam Konteks Kehidupan Sehari-hari

Islam mengajarkan bahwa hawa nafsu bukanlah musuh yang harus dihancurkan, melainkan kekuatan yang harus diarahkan pada hal-hal yang baik dan bermanfaat. Namun, jika tidak dikendalikan dengan iman dan takwa, hawa nafsu dapat menjadi musuh yang besar. Allah ﷻ berfirman,

وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّىٰهَا. فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَىٰهَا. قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّىٰهَا. وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّىٰهَا.

“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepadanya jalan keburukan dan ketaqwaan. Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwa itu, dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.” (QS. Asy Syams [91]: 7-10)

Ayat ini mengingatkan kita bahwa manusia diciptakan dengan potensi untuk baik dan buruk, tergantung pada bagaimana kita mengelola hawa nafsu yang ada dalam diri kita.

Saat ini, banyak kasus yang muncul di masyarakat terkait dengan kurangnya kontrol terhadap hawa nafsu, seperti kecanduan media sosial, perjudian, pergaulan bebas, dan konsumsi berlebihan. Teknologi yang berkembang pesat, terutama dengan hadirnya internet dan media sosial, memperburuk keadaan ini. Manusia mudah terjebak dalam kecanduan terhadap hal-hal yang bersifat sementara, seperti,

  1. Kecanduan Media Sosial

Salah satu dampak paling nyata dari kurangnya pengendalian hawa nafsu adalah kecanduan media sosial. Banyak orang terjebak dalam perasaan ingin selalu mendapat perhatian dan pengakuan dari orang lain melalui “like” dan komentar positif.[2] Keinginan untuk mendapatkan pengakuan ini sering kali mendorong individu untuk menampilkan diri mereka secara tidak autentik, atau bahkan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai agama, hanya demi popularitas.

Islam mengajarkan untuk tidak terjebak dalam pujian duniawi yang sementara. Allah ﷻ berfirman
مَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الْآخِرَةِ نَزِدْ لَهُ فِي حَرْثِهِ ۖ وَمَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ نَصِيبٍ

Barangsiapa menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambahkan keuntungan itu baginya, dan barangsiapa menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian darinya (keuntungan dunia), tetapi dia tidak akan mendapat bagian di akhirat.” (QS. Asy-Syura [42]: 20).

Dalam hal ini, media sosial menjadi arena yang bisa membangkitkan hawa nafsu yang tidak terkendali, jika kita tidak menyikapinya dengan bijak. Kita harus selalu ingat bahwa pengakuan dari manusia bukanlah tujuan utama dalam hidup ini, tetapi ridha Allah ﷻ lah yang seharusnya menjadi prioritas.

  1. Kasus-Kasus Penyimpangan Seksual

Kasus penyimpangan seksual yang semakin marak belakangan ini juga merupakan dampak dari ketidakmampuan mengendalikan hawa nafsu. Baik dalam kehidupan nyata maupun dunia maya, banyak orang terjerumus dalam pergaulan bebas yang merusak martabat diri mereka dan merusak tatanan sosial. Penyalahgunaan media sosial, seperti pornografi dan prostitusi online, adalah contoh nyata bagaimana hawa nafsu yang tidak terkendali dapat merusak kehidupan sosial dan spiritual seseorang.

Dalam Islam, menjaga kesucian diri dan menjauhi perbuatan zina merupakan kewajiban. Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an,

وَلَا تَقْرَبُوا۟ ٱلزِّنَىٰٓ ۖ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةً وَسَآءَ سَبِيلًا

“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk” (QS. Al-Isra [17]: 32).

Dalam konteks ini, setiap Muslim harus menjaga diri dari godaan hawa nafsu yang dapat menjerumuskan mereka pada perbuatan dosa. Menjaga pandangan, berbicara dengan adab, serta menjaga batasan-batasan pergaulan adalah cara yang dapat dilakukan untuk menghindari perbuatan tercela ini.

  1. Konsumsi Berlebihan (Konsumerisme)

Dalam dunia yang serba modern ini, hawa nafsu juga seringkali terlihat dalam bentuk kecenderungan konsumtif yang berlebihan. Periklanan dan budaya konsumsi yang gencar dapat menggugah hawa nafsu manusia untuk terus membeli barang-barang yang tidak diperlukan. Meskipun hal ini tidak langsung merugikan orang lain, namun dampak psikologisnya cukup besar, yaitu timbulnya perasaan tidak puas dan keserakahan.[3] Islam mengajarkan prinsip kesederhanaan dalam hidup. Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an,

يَٰبَنِىٓ ءَادَمَ خُذُوا۟ زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا۟ وَٱشْرَبُوا۟ وَلَا تُسْرِفُوٓا۟ ۚ إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ ٱلْمُسْرِفِينَ

“Wahai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.”
(QS. Al-A’raf [7]: 31)

Dalam menghadapi arus kapitalisme yang ada, seorang Muslim diajarkan untuk bisa mengendalikan hawa nafsunya dalam hal konsumsi, memilih mana yang penting dan bermanfaat, serta tidak terjebak dalam budaya yang mengarah pada konsumsi berlebihan.

Mengendalikan Hawa Nafsu: Kunci Kehidupan yang Seimbang

Untuk menghadapi hawa nafsu yang kerap mengganggu, Islam memberikan berbagai cara untuk mengendalikannya. Pertama, dengan meningkatkan kualitas ibadah. Shalat yang khusyuk dan doa yang penuh kesadaran dapat membantu seseorang untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mengingatkan dirinya akan tujuan hidup yang sesungguhnya.

Kedua, dengan memperdalam ilmu agama. Mengetahui hakikat hidup dan tujuan diciptakannya manusia akan menuntun seseorang untuk mengarahkan hawa nafsunya pada tujuan yang lebih mulia. Seperti yang disebutkan dalam Al-Qur’an,

وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِۦ وَنَهَى ٱلنَّفْسَ عَنِ ٱلْهَوَىٰ

Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya,” (QS. An Naziât [79]: 40).

Ketiga, pentingnya memiliki teman yang baik dan lingkungan yang mendukung. Lingkungan yang positif dan teman yang memiliki prinsip agama yang kuat dapat membantu seseorang untuk tetap berada di jalan yang benar dan tidak terpengaruh oleh hawa nafsu yang buruk.

Menghadapi hawa nafsu di zaman yang serba penuh dengan godaan ini bukanlah perkara mudah. Namun, sebagai umat Islam, kita dituntut untuk senantiasa menjaga keseimbangan dalam hidup, mengendalikan hawa nafsu, dan tetap mengutamakan keridhaan Allah ﷻ dalam setiap aspek kehidupan. Dengan kesadaran dan pemahaman agama yang kuat, kita dapat menghadapi segala tantangan zaman ini dengan meminimalkan tergelincir dalam kesalahan. Hawa nafsu, jika tidak dikendalikan bisa membawa kehancuran, namun jika dikelola dengan bijak, ia bisa menjadi sumber kekuatan untuk meraih kebaikan dan kebahagiaan dunia dan akhirat. Semoga dengan menyadari pentingnya menjaga hawa nafsu, kita dapat senantiasa mengendalikan diri, menuntun hati pada jalan yang benar, dan selalu berada dalam lindungan rahmat Allah ﷻ. Âmîn.

Maraji’ :

[1] Rahmatiah. “Pemikiran Tentang Jiwa (Al-Nafs) dalam Filsafat Islam” dalam Jurnal Sulesana, Vol.11 No. 2, Tahun 2017. h. 40.

[2] Cal Newport. Digital Minimalism: Choosing a Focused Life in a Noisy World. New York: Portfolio/Penguin. 2019. h. 31.

[3] Asad Zaman. “Islamic Economics: A Survey of the Literature” dalam Munich Personal RePEc Archive. Tahun 2019. h. 24.

Download Buletin klik di sini

Refleksi Diri: Menemukan Makna di Balik Setiap Langkah

Refleksi Diri: Menemukan Makna di Balik Setiap Langkah

Ridho Frihastama*

 

Tahun berganti, waktu terus berjalan, dan setiap detik yang berlalu adalah kesempatan bagi kita untuk merenung dan melakukan refleksi diri. Di dalam Islam, refleksi diri bukan hanya sekadar menghitung pencapaian atau kegagalan, tetapi juga sebagai bagian dari proses spiritual untuk mendekatkan diri kepada Allah ﷻ. Oleh karena itu, dalam menghadapi fenomena yang terjadi selama setahun terakhir, marilah kita mengambil pelajaran yang dapat membimbing kita menuju masa depan yang lebih baik. Dalam tulisan ini, kita akan membahas pentingnya refleksi diri dalam kehidupan seorang Muslim, serta bagaimana kita bisa memanfaatkan waktu untuk memperbaiki diri dengan landasan ajaran Islam.

Fenomena Selama Setahun Terakhir: Perenungan atas Kehidupan

Setiap tahun memberikan warna tersendiri dalam kehidupan kita. Mungkin selama setahun terakhir, kita menghadapi berbagai ujian hidup, baik dalam bentuk kesulitan ekonomi, masalah keluarga, atau persoalan pribadi lainnya. Ada pula kebahagiaan yang kita raih, seperti pencapaian tujuan, pertumbuhan dalam karier, atau hubungan yang semakin erat dengan orang-orang terdekat. Semua pengalaman tersebut merupakan bagian dari perjalanan hidup yang tak terpisahkan.

Namun, seringkali kita terlalu sibuk mengejar dunia tanpa memberikan ruang untuk merenung. Padahal, dalam ajaran Islam, merenung dan mengintrospeksi diri merupakan langkah penting untuk mencapai kesempurnaan hidup.[1] Diriwayatkan dari Umar bin al-Khattab, beliau mengatakan,

حَاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوا، وَزِنُوها قَبْلَ أَنْ تُوزَنُوا، وَتَأهَّبُوا لِلْعَرْضِ الْأَكْبَرِ

“Hendaklah kalian menghisab diri kalian sebelum kalian dihisab, dan hendaklah kalian menimbang diri kalian sebelum kalian ditimbang, dan bersiap-siaplah untuk hari besar ditampakkannya amal” (HR. Tirmidzi)[2]

Hadis ini mengajarkan kita bahwa refleksi atas perbuatan kita di masa lalu sangat penting untuk memperbaiki diri. Refleksi diri bukan berarti berlarut-larut dalam penyesalan, tetapi untuk memperbaiki kelemahan dan memperkuat kelebihan yang kita miliki.

Refleksi Diri: Menghadapi Masa Lalu dengan Bijak

Menghadapi masa lalu dengan bijak adalah kunci untuk memulai tahun yang baru dengan lebih baik. Dalam Islam, Allah mengajarkan kita untuk tidak terjebak dalam penyesalan yang berkepanjangan, karena setiap kesalahan atau dosa dapat diampuni-Nya melalui taubat. Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an,

وَٱلَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا۟ فَٰحِشَةً أَوْ ظَلَمُوٓا۟ أَنفُسَهُمْ ذَكَرُوا۟ ٱللَّهَ فَٱسْتَغْفَرُوا۟ لِذُنُوبِهِمْ وَمَن يَغْفِرُ ٱلذُّنُوبَ إِلَّا ٱللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا۟ عَلَىٰ مَا فَعَلُوا۟ وَهُمْ يَعْلَمُونَ

“Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampunan atas dosa-dosa mereka—dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain Allah?—dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (QS. Ali Imran [3]: 135)

Ini adalah salah satu cara untuk menenangkan hati. Dengan mengingat Allah ﷻ dan memohon ampunan-Nya, kita bisa melepaskan beban masa lalu dan memulai perjalanan hidup yang baru dengan hati yang lebih ringan. Untuk itu, setiap Muslim harus berusaha memohon ampunan Allah ﷻ atas segala dosa yang dilakukan, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja.

Refleksi Diri dalam Menghadapi Masa Depan

Setelah merenungkan perjalanan hidup di masa lalu, langkah selanjutnya adalah menyambut masa depan dengan penuh harapan. Rasulullah ﷺ mengajarkan kita untuk tidak terlalu memikirkan masa depan yang belum pasti, tetapi tetap berusaha semaksimal mungkin dengan tawakkal kepada Allah ﷻ. Dalam sebuah hadis, beliau bersabda:

Berdoalah kepada Allah dalam keadaan yakin akan dikabulkan, dan ketahuilah bahwa Allah tidak mengabulkan doa dari hati yang lalai.” (HR. Tirmidzi).

Masa depan memang penuh ketidakpastian, tetapi kita diajarkan untuk tidak takut dan tidak khawatir berlebihan. Setiap hari adalah kesempatan baru untuk mendekatkan diri kepada Allah, untuk terus berusaha menjadi pribadi yang lebih baik, lebih sabar, lebih ikhlas dalam menjalani kehidupan.

Islam juga mengajarkan pentingnya menetapkan niat dan tujuan yang baik dalam setiap langkah hidup. Dalam hadis disebutkan dari Amirul Mukminin, Abu Hafsh ‘Umar bin Al-Khattab, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah ﷺ bersabda,

إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى

Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari, no. 1 dan Muslim, no. 1907).[3]

Oleh karena itu, menyambut masa depan dengan niat yang tulus untuk selalu berbuat baik dan mendekatkan diri kepada Allah adalah langkah yang tepat. Setiap amal yang dilakukan, baik yang besar maupun yang kecil, harus dilandasi dengan niat yang ikhlas untuk mencari ridha Allah ﷻ.

Tahun Baru: Waktu untuk Perubahan

Tahun baru menjadi momen yang baik untuk menetapkan resolusi dan bertekad untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Namun, dalam Islam, perubahan bukanlah hal yang hanya dilakukan pada awal tahun saja, tetapi setiap saat. Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an,

إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا۟ مَا بِأَنفُسِهِمْ

Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d [13]: 11).

Perubahan harus dimulai dari dalam diri. Perubahan yang dimaksud adalah peningkatan dalam ibadah, akhlak, dan hubungan dengan sesama manusia. Misalnya, jika kita merasa kurang dalam menjalankan shalat, maka saatnya untuk meningkatkan kualitas shalat kita. Jika kita merasa belum cukup sabar atau rendah hati, maka saatnya untuk melatih kesabaran dan kerendahan hati. Perubahan ini tentu tidak mudah, namun dengan doa dan usaha yang keras, Allah akan memberikan pertolongan.

Penutup: Refleksi Diri sebagai Sarana untuk Mendekatkan Diri kepada Allah

Sebagai penutup, refleksi diri adalah salah satu cara untuk menyadari betapa banyaknya karunia yang Allah berikan, serta untuk mengetahui kekurangan diri yang harus diperbaiki. Dalam Islam, hidup ini adalah ujian, dan setiap refleksi atas kehidupan yang kita jalani adalah sarana untuk meningkatkan kualitas iman dan amal kita. Dengan menyadari kesalahan dan terus memperbaiki diri, kita akan semakin dekat dengan tujuan utama kita sebagai hamba Allah, yaitu meraih ridha-Nya. Di awal tahun baru ini, marilah kita menyambutnya dengan hati yang bersih, penuh harapan, dan niat yang baik untuk menjadi pribadi yang lebih baik, tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk orang-orang di sekitar kita.

Semoga Allah ﷻ senantiasa membimbing kita dalam setiap langkah kehidupan ini, dan menjadikan kita hamba-hamba-Nya yang selalu berusaha untuk berbuat baik. Âmîn.

Maraji’ :

* Alumni Takmir Masjid Ulil Albab Universitas Islam Indonesia

[1] Ari Wahyudi. “Intropeksi Diri Akhlak yang Terlupa” https://muslim.or.id/8067-introspeksi-diri-akhlak-yang-terlupa.html. Diakses pada 15 Desember 2024.

[2] Diriwayatkan oleh At Tirmidzi dalam Shifatul Qiyamah, disebutkan oleh Imam Ahmad dalam kitab Zuhud-nya. Dan Ibnul Qayyim dalam Madarijus Salikin 1/319.

[3] Iman Al Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Al Iman, Bab Min Al Iman An Yuhibba Liakhihi Ma Yuhibbu Linafsihi, no. 13. Imam Muslim dalam Shahih-nya, kitab Al Iman, Bab Al Dalil ‘Ala Ana Min Khishal Al Iman An Yuhibba Liakhihi Al Muslim Ma Yuhibbu Linafsihi Min Al Khair, no. 45.

Download Buletin klik di sini

Jagalah Amanahmu

Jagalah Amanahmu

Ridho Frihastama

 

Amanah adalah konsep yang sangat mendalam dalam Islam. Dalam ajaran Islam, setiap individu memikul amanah yang harus dijaga dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Salah satu amanah terbesar yang diberikan kepada umat manusia adalah kepemimpinan. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menyaksikan fenomena adanya pemimpin yang menyalahgunakan kekuasaannya. Fenomena ini sangat memprihatinkan, karena dapat merugikan banyak pihak dan berpotensi merusak tatanan sosial yang ada. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memahami betapa besar tanggung jawab seorang pemimpin dalam Islam dan bagaimana menjaga amanah agar tidak disalahgunakan.

Konsep Amanah dalam Islam

Amanah dalam Islam bukan sekadar kepercayaan yang diberikan oleh sesama manusia, tetapi juga merupakan tanggung jawab yang datang dari Allah ﷻ. Allah ﷻ menciptakan manusia untuk menjadi khalifah di muka bumi, yang artinya manusia diberi tugas untuk mengelola dan memimpin alam semesta ini dengan bijaksana dan adil. Kepemimpinan adalah salah satu amanah yang diberikan kepada seseorang, baik itu pemimpin dalam lingkup keluarga, masyarakat, atau negara.

Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an,

إِنَّ ٱللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤَدُّوا۟ ٱلْأَمَٰنَٰتِ إِلَىٰٓ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ ٱلنَّاسِ أَن تَحْكُمُوا۟ بِٱلْعَدْلِ

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu menetapkan dengan adil.” (QS. An-Nisa [4]: 58).

Ayat ini menunjukkan bahwa amanah adalah hak yang harus disampaikan dengan adil kepada yang berhak. Dalam konteks kepemimpinan, amanah berarti tanggung jawab besar yang harus dilaksanakan dengan kejujuran, integritas, dan rasa tanggung jawab yang tinggi. Pemimpin yang menyalahgunakan amanahnya berarti tidak hanya telah mengecewakan rakyat atau umat yang dipimpinnya, tetapi juga melanggar ketentuan Allah ﷻ.

Fenomena Penyalahgunaan Kepemimpinan

Dalam sejarah kehidupan umat manusia, kita tidak jarang menyaksikan pemimpin yang menyalahgunakan kekuasaannya. Penyalahgunaan kekuasaan ini sering kali terjadi dalam bentuk korupsi, penindasan terhadap rakyat, penyalahgunaan wewenang, hingga penyalahgunaan jabatan untuk kepentingan pribadi atau golongan tertentu. Fenomena ini tidak hanya terjadi di level pemerintahan, tetapi juga dapat ditemukan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam organisasi, perusahaan, bahkan dalam keluarga.

Penyalahgunaan kepemimpinan sering kali muncul karena kurangnya kesadaran akan beratnya amanah yang dipikul, ketidakjujuran, dan rasa serakah. Hal ini tentu saja bertentangan dengan ajaran Islam yang sangat menekankan integritas dan keadilan dalam memimpin. Pemimpin yang tidak dapat menjaga amanahnya akan menghadapi pertanggungjawaban yang berat, baik di dunia maupun di akhirat.[1]

Tanggung Jawab Pemimpin dalam Islam

Islam sangat menekankan pentingnya amanah dalam kepemimpinan. Seorang pemimpin, baik di tingkat negara, masyarakat, atau keluarga, harus menjalankan tugasnya dengan penuh amanah dan tanggung jawab.

Dari ‘Abdullah bin ‘UmarNabi ﷺ bersabda,

كُلُّكُمْ رَاعٍ فَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ،

Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari no. 2554 dan Muslim no. 1829).[2]

Hadis ini menegaskan bahwa kepemimpinan adalah amanah yang akan diminta pertanggungjawaban di hadapan Allah. Pemimpin yang tidak menjalankan amanahnya dengan baik akan menghadapi konsekuensi yang sangat berat.[3] Tidak hanya itu, dalam hadis lain Rasulullah ﷺ juga menyebutkan bahwa pemimpin yang berlaku zalim dan menyalahgunakan kekuasaannya akan menghadapi azab yang pedih di akhirat kelak.

Dari Ma’qil Bin Yasâr berkata, aku mendengar Rasûlullâh ﷺ bersabda,

مَا مِنْ عَبْدِ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً, يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ, وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ, إِلَّا حَرَّمَ اَللَّهُ عَلَيْهِ اَلْجَنَّةَ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Tidaklah seorang hamba pun yang diberi amanah oleh Allâh untuk memimpin bawahannya yang pada hari kematiannya ia masih berbuat curang atau menipu rakyatnya, melainkan Allâh mengharamkan surga atasnya.” (HR. Bukhari, no. 7150 dan Muslim, no. 142).[4]

Bahaya Penyalahgunaan Amanah Kepemimpinan

Penyalahgunaan amanah oleh seorang pemimpin tidak hanya merugikan dirinya sendiri, tetapi juga berakibat pada kerugian yang besar bagi masyarakat atau umat yang dipimpinnya. Pemimpin yang tidak adil akan menciptakan ketidakpuasan, ketidakstabilan, dan ketegangan dalam masyarakat. Ketika pemimpin lebih mementingkan kepentingan pribadi atau golongan tertentu, maka kepercayaan rakyat kepada pemimpin akan hilang, yang dapat merusak tatanan sosial.

Dalam konteks negara, penyalahgunaan kekuasaan dapat mengarah pada korupsi, penindasan, dan ketidakadilan yang merugikan rakyat banyak. Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan kesejahteraan yang diajarkan dalam Islam. Islam sangat mengutuk praktik korupsi dan penindasan, serta mengajak umatnya untuk selalu berlaku adil dalam segala hal.

Menjaga Amanah Kepemimpinan

Untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan, seorang pemimpin harus selalu menjaga niatnya dan mengingat bahwa kekuasaan yang dimilikinya adalah amanah dari Allah yang harus dijaga dengan penuh tanggung jawab. Beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk menjaga amanah kepemimpinan antara lain:

  1. Berlandaskan pada prinsip keadilan dan kebenaran. Pemimpin harus selalu berusaha untuk berlaku adil dalam setiap keputusan yang diambil, tanpa memihak pada satu pihak atau golongan tertentu. Keputusan yang diambil haruslah berdasarkan pada kebenaran dan bukan kepentingan pribadi.
  2. Menjaga integritas dan kejujuran. Pemimpin harus memiliki integritas yang tinggi, yang tercermin dalam kejujuran dan transparansi dalam menjalankan tugas. Pemimpin yang jujur akan selalu memperoleh kepercayaan dari rakyat atau umat yang dipimpinnya.
  3. Meningkatkan akuntabilitas dan transparansi. Pemimpin harus memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil dapat dipertanggungjawabkan, baik kepada rakyat maupun kepada Allah. Hal ini dapat dilakukan dengan cara melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan dan memberikan laporan yang jelas tentang penggunaan sumber daya dan anggaran.
  4. Menjaga ketakwaan kepada Allah. Seorang pemimpin yang takut kepada Allah akan selalu menjaga amanah dengan baik. Ketakwaan akan menjadi pengingat bagi pemimpin untuk tidak tergoda oleh hawa nafsu dan keserakahan, serta untuk senantiasa berbuat adil dan mengutamakan kepentingan umat.

Akhirnya, setiap pemimpin harus menyadari bahwa amanah kepemimpinan akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat. Dalam kehidupan ini, kita hanya diberikan kesempatan untuk menjalankan amanah. Ketika dunia ini berakhir, kita akan diminta pertanggungjawaban atas setiap perbuatan kita, termasuk dalam hal kepemimpinan. Oleh karena itu, menjaga amanah adalah sebuah kewajiban yang tidak bisa dianggap remeh.

Menjaga amanah, khususnya dalam kepemimpinan, adalah tugas yang sangat berat namun sangat mulia. Pemimpin yang amanah akan membawa kebaikan bagi dirinya sendiri dan umat yang dipimpinnya. Penyalahgunaan kekuasaan hanya akan merugikan banyak pihak dan mengundang murka Allah. Semoga kita semua dapat menjaga amanah dengan sebaik-baiknya, menjalankan tugas kita dengan adil, dan senantiasa bertanggung jawab atas setiap keputusan yang kita ambil. Wallahu a’lam.

Maraji’ :

[1] Muhammad Abduh Tuasikal. “Jangan Mengkhianati Amanat” https://rumaysho.com/7919-jangan-mengkhianati-amanat.html. Diakses pada 15 Desember 2024.

[2] Shahih Bukhari, no. 893, dalam kitab “Al Ahkam Al Sulthaniyah Wa al wilayat Al diniyah” karya Mawardi, Abi al Hasan Ali Ibn Muhammad Ibn Habib al Basari al Baghdadi.

[3] Ibnu Kastir, Tafsir Al-Qur’anil ‘Adzim, [Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah, 1988], juz IV, h. 29.

[4] Hadits ini diriwayatkan oleh Imam al-Bukhâri dalam kitab al-Ahkâm bab manistur’iya ra’iyyatan falam yanshah, no. 7150.

Download Buletin klik di sini

Memahami Makna Kalimat Tauhid Lâ Ilâha Illallâh

Memahami Makna Kalimat Tauhid Lâ Ilâha Illallâh

Yanayir Ahmad, S.T*

 

Bismillâh, wasshalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâhi, waba’du.

Kalimat Ilâha Illallâh adalah inti dari ajaran Islam. Dengan kalimat ini, seseorang memproklamirkan keimanannya kepada Allah sebagai satu-satunya Tuhan yang berhak disembah. Kalimat ini memiliki kedudukan yang sangat agung dalam Islam, bahkan menjadi pembeda antara keimanan dan kekufuran. Namun, agar kalimat ini benar-benar bermanfaat bagi seseorang, ia harus memahami dan mengamalkan maknanya dengan benar.

Dalil tentang Lâ Ilâha Illallâh

Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an,

شَهِدَ ٱللَّهُ أَنَّهُۥ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ وَٱلْمَلَٰٓئِكَةُ وَأُو۟لُوا۟ ٱلْعِلْمِ قَآئِمًۢا بِٱلْقِسْطِ ۚ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلْعَزِيزُ ٱلْحَكِيمُ

“Allah menyatakan bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang berilmu juga menyatakan yang demikian itu. Tidak ada Tuhan yang berhak disembah melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Ali Imran [3]: 18).

Firman ini menunjukkan bahwa Allah ﷻ sendiri menyatakan keesaan-Nya sebagai satu-satunya yang berhak disembah, sebuah kebenaran yang juga diakui oleh para malaikat dan orang-orang yang berilmu, mempertegas bahwa ibadah hanya layak ditujukan kepada-Nya.

Dalam ayat lain, Allah ﷻ berfirman,

فَٱعْلَمْ أَنَّهُۥ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا ٱللَّهُ

“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah.” (QS. Muhammad [47]: 19).

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy v mengatakan dalam tafsirnya bahwa dalam ilmu harus ada pengakuan hati dan mengetahui makna yang diharuskan untuk diketahui, dan secara sempurnanya adalah mengamalkan keharusannya. Inilah ilmu yang diperintahkan oleh Allah, yaitu ilmu tentang mentauhidkan Allah ﷻ. Ilmu ini wajib ‘ain hukumnya atas setiap orang dan tidak bisa gugur bagi siapa pun juga, bahkan semua orang sangat memerlukannya.[1]

Makna Kalimat Lâ Ilâha Illallâh

Makna kalimat ini adalah “Tidak ada Tuhan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah.” Dengan memahami makna ini, kita menyadari bahwa ibadah hanya boleh ditujukan kepada Allah. Semua bentuk penyembahan kepada selain Allah adalah kesyirikan yang harus ditinggalkan.

Kesalahan dalam Memahami Makna Kalimat Tauhid

Terdapat beberapa makna Ilâha Illallâh yang tidak tepat yang sering disalahpahami oleh sebagian orang, berikut sebagiannya:

  1. Dimaknai dengan; “Tidak ada Tuhan (yang disembah) kecuali Allah.” Makna ini tidak tepat, karena seolah-olah berarti semua yang disembah, baik secara benar maupun salah, dianggap sebagai Allah. Pemahaman seperti ini bertentangan dengan ajaran tauhid yang menegaskan bahwa hanya Allah yang layak disembah dengan benar.
  2. Dimaknai dengan; “Tidak ada pencipta kecuali Allah.” Makna ini tidak keliru sebenarnya, tapi ini hanya mencakup sebagian dari makna kalimat Ilâha Illallâh saja, dan bukan makna ini yang jadi maksud utama. Kaum musyrikin zaman Nabi Muhammad ﷺ pun mengakui bahwa Allah adalah satu-satunya pencipta, tetapi mereka tetap menyekutukan Allah dalam ibadah. Jika makna ini saja yang diterima, perselisihan antara Nabi dan kaumnya tidak akan terjadi.
  3. Dimaknai dengan: “Tidak ada hukum kecuali hukum Allah.” Meskipun ini bagian dari konsekuensi tauhid, tapi kalau memaknainya dengan makna ini saja maka tidak cukup. Jika seseorang mengakui bahwa Allah adalah satu-satunya yang berhak menetapkan hukum, tetapi masih menyembah selain-Nya, maka tauhidnya belum sempurna.

Rukun Lâ Ilâha Illallâh

Kalimat lâ Ilâha Illallâh memiliki dua rukun utama:

  1. Penafian (yakni pada kalimat: Lâ Ilâha): Bagian ini menafikan ibadah dari segala sesuatu yang disembah selain Allah. Dengan kata lain, kita menolak segala bentuk penyembahan kepada berhala, manusia, jin, atau apapun selain Allah.
  2. Penetapan (yakni pada kalimat: Illallâh): Bagian ini menetapkan bahwa ibadah hanya boleh ditujukan kepada Allah semata, tanpa sekutu bagi-Nya. Semua bentuk penghambaan harus murni untuk Allah saja.

Dalil Tentang Kedua Rukun Kalimat Tauhid di Atas

Allah ﷻ berfirman,

فَمَن يَكْفُرْ بِٱلطَّٰغُوتِ وَيُؤْمِنۢ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱسْتَمْسَكَ بِٱلْعُرْوَةِ ٱلْوُثْقَىٰ لَا ٱنفِصَامَ لَهَا

“Barang siapa yang kufur kepada thagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh ia telah berpegang teguh kepada tali yang amat kuat.” (QS. Al-Baqarah [2]: 256).

Ayat ini menunjukkan bahwa penafian terhadap thagut (segala sesuatu yang disembah selain Allah) dan penetapan keimanan kepada Allah adalah inti dari kalimat tauhid.

Kisah Nabi Ibrahim juga memberikan contoh jelas. Ketika beliau berkata kepada ayahnya dan kaumnya,

وَإِذْ قَالَ إِبْرَٰهِيمُ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِۦٓ إِنَّنِى بَرَآءٌ مِّمَّا تَعْبُدُونَ. إِلَّا ٱلَّذِى فَطَرَنِى فَإِنَّهُۥ سَيَهْدِينِ

“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya, Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian sembah, kecuali Dia yang menciptakanku. Maka sesungguhnya Dia akan memberi petunjuk kepadaku.” (QS. Az-Zukhruf [43]: 26-27).

Ayat ini menunjukkan bahwa Nabi Ibrahim menafikan penyembahan terhadap selain Allah dan menetapkan hanya Allah yang layak disembah.

Kapan Kalimat Ini Bermanfaat?

Kalimat Ilâha Illallâh akan bermanfaat bagi seseorang jika memenuhi dua syarat utama:

  1. Memahami Maknanya: Seseorang harus memahami bahwa kalimat ini mengandung penafian segala bentuk ibadah kepada selain Allah dan penetapan ibadah hanya kepada-Nya.
  2. Mengamalkan Konsekuensinya: Memahami saja tidak cukup. Seseorang harus mengamalkan kalimat ini dengan meninggalkan segala bentuk kesyirikan dan hanya menyembah Allah semata.

Penutup

Kalimat Ilâha Illallâh adalah fondasi utama keimanan. Kalimat ini tidak cukup hanya diucapkan, tetapi juga harus dipahami dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Memahami makna yang benar dari kalimat ini sangat penting, karena kesalahpahaman dapat melemahkan, bahkan membatalkan keimanan seseorang. Oleh karena itu, mari kita pelajari dan renungkan makna kalimat tauhid ini dengan hati yang ikhlas, agar kita bisa menjalani hidup dengan sepenuhnya tunduk kepada Allah ﷻ, satu-satunya Tuhan yang berhak disembah. Semoga Allah ﷻ memberikan kita ilmu yang bermanfaat, pemahaman yang benar, dan keteguhan dalam menjalankan ajaran-Nya. Âmin. Wabillāhul taufiq. Washallāhu ‘alā muhammadin wa a’lā ālihi washahbihi wasallam.

Maraji’ :

* Alumni Teknik Elektro UII ’17

[1] Abdullah bin Ahmad Al-Huwail. At-Tauhid Al-Muyassar. Riyadh: Dar Atlas. 2015 M. Cet.k-4. Tulisan ini dikembangkan dari tulisan beliau dari halaman 13-14.

Download Buletin klik di sini

Menutup Akhir Tahun dengan Penuh Cinta: Perjalanan Menemukan Kebahagiaan

Menutup Akhir Tahun dengan Penuh Cinta: Perjalanan Menemukan Kebahagiaan

Nizar Sadat*

 

Sahabat pembaca yang semoga dalam lindungan Allah ﷻ. Disebutkan dalam riwayat dari Habib bin ‘Ubaid, dari Miqdam ibnu Ma’dy Kariba –dan Habib menjumpai Miqdam ibnu Ma’di Kariba-, ia berkata, Nabi ﷺ bersabda,

إِذَا أَحَبَّ أَحَدُكُمْ أَخَاهُ فَلْيُعْلِمْهُ أَنَّهُ أَحَبَّهُ

Jika salah seorang di antara kalian mencintai saudaranya hendaklah dia memberitahu saudaranya itu bahwa dia mencintainya.” (HR. Bukhari, Adabul Mufrod no. 421/542).[1]

Saat ini, momentum akhir tahun adalah saat yang tepat untuk mengevaluasi kebahagiaan dan cinta dalam hidup. Manusia bukan seperti hari, pekan, bulan maupun tahun yang terus berubah dan akan terus berubah untuk dapat dicintai. Melainkan cukup menjadi diri sendiri dengan segala kebaikan yang ada dalam dirinya.

Lantas bagaimana untuk menutup akhir tahun dengan penuh cinta?

Cinta bukan hanya tentang pasangan, antara laki-laki dan Perempuan. Erich Fromm Ahli Psikologi dan Filsafat dalam bukunya “The Art of Loving”, mengatakan bahwa cinta bukan hanya sekedar emosi atau perasaan spontan, tetapi sebuah keterampilan yang harus dipelajari dan dilatih.[2] Maka dari itu, melewati momen satu tahun kebelakang adalah bagian yang penting, dengan begitu kita dapat mensyukuri dan tidak menyesali momen-momen yang sudah berlalu satu tahun belakang.  

Banyak pelajaran yang bisa diambil dari satu tahun kebelakang, pelajaran yang sudah berlalu dihiasi dengan penuh suka dan duka. Terkadang kebahagiaan tidak selalu ditemukan setelah melewati hal yang besar, akan tetapi melalui hal-hal yang kecil kebahagiaan akan muncul jika manusia senantiasa bersyukur. Maka dari itu, ada beberapa hal yang perlu dilakukan untuk menutup akhir tahun dengan cinta dan menemukan kebahagiaan sehingga dapat menjalani tahun yang akan datang dengan penuh cinta dan bahagia.

Mensyukuri Pencapaian dan Pelajaran yang Didapat

Menutup tahun dengan bersyukur dan bahagia sudah seharusnya dilakukan oleh manusia, karena kebahagiaan terkadang datang dari hal yang kecil bahkan luput dari pandangan manusia. Allah ﷻ berfirman,

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

“(Ingatlah ketika tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), sesungguhnya azab-Ku benar-benar sangat keras.” (Q.S. Ibrahim [14]:7).[3]

Mulailah dari mensyukuri pencapaian yang kecil. Dari An Nu’man bin Basyir, Nabi ﷺ bersabda,

مَنْ لَمْ يَشْكُرِ الْقَلِيلَ لَمْ يَشْكُرِ الْكَثِيرَ

Barang siapa yang tidak mensyukuri yang sedikit, maka ia tidak akan mampu mensyukuri sesuatu yang banyak.” (HR. Ahmad, 4/278)[4]. Hadits ini benar sekali. Bagaimana mungkin seseorang dapat mensyukuri rizki yang banyak, rezeki yang sedikit dan tetap terus Allah beri sulit untuk disyukuri? Bagaimana mau disyukuri? Sadar akan nikmat tersebut saja mungkin tidak terbetik dalam hati.[5]

Jadilah Manusia Pemaaf

Dari Abu Hurairah zbahwa Rasulullah ﷺ bersabda,

وَمَا زَادَ اللهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ، إِلَّا عِزًّا، وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلَّا رَفَعَهُ اللهُ

Dan tidaklah Allah menambah bagi seorang hamba dengan pemberian maafnya (kepada saudaranya) kecuali kemuliaan (di dunia dan akhirat), serta tidaklah seseorang merendahkan diri karena Allah kecuali Dia akan meninggikan (derajat)nya (di dunia dan akhirat)”. (HR Muslim no. 2588)

Setiap manusia di dunia ini pasti pernah merasakan sakit hati atau terluka, baik melalui perbuatan maupun perkataan dari orang lain. Perasaan sakit hati itu adalah yang meninggalkan beban emosional, seperti mudah marah, dendam, rasa bersalah, dan kesedihan. Jika dibiarkan terus menerus maka hal ini akan menghalangi manusia akan bersyukur, merasakan cinta, dan kebahagiaan. Maka dari itu, hadits diatas sudah memberikan pelajaran bahwa dengan menjadi manusia yang pemaaf maka hadiahnya adalah kemuliaan baik di dunia maupun di akhirat.

Berbagi Cinta kepada Orang lain

Cara paling sederhana membawa kebahagiaan dalam hidup adalah dengan berbagi cinta kepada orang lain, berbagi cinta dalam hal ini bukan tentang hubungan romantis, akan tetapi tentang kasih sayang, hubungan baik dengan orang lain, dan berbagi kebaikan kepada orang lain.

Dari Abu Hamzah Anas bin Malikpembantu Rasulullah ﷺ, dari Nabi ﷺ bersabda,

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

Salah seorang di antara kalian tidaklah beriman (dengan iman sempurna) sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari, no. 13 dan Muslim, no. 45).[6]

Berbagi cinta kepada orang lain memiliki dua manfaat, yaitu membuat diri sendiri bahagia dan membuat orang lain bahagia juga. Selain menjadi orang yang beriman seperti sabda Nabi Muhammad ﷺ dalam hadits di atas, berbagi cinta juga dapat meningkatkan kebahagiaan, membentuk hubungan yang lebih baik, mengurangi stress, dan menjadi sumber inspirasi untuk orang lain.

Menetapkan Niat dan Harapan Baru

Kegagalan bukanlah akhir dari segalanya dan setiap awal yang baru selalu memberikan kesempatan untuk bisa merefleksikan masa lalu dan merancang yang akan datang. Menetapkan niat dan harapan untuk tahun baru yang akan datang bukan tentang resolusi saja tetapi tentang niat bagaimana manusia bisa menyelaraskan diri dengan tujuan kedepan.

Dari Amirul Mukminin, Abu Hafsh ‘Umar bin Al-Khattab, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah ﷺ bersabda,

إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى

Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari, no. 1 dan Muslim, no. 1907) [7].

Sesuai dengan hadits diatas, maka dengan niat yang jelas dan harapan yang kuat maka akan tercipta hidup yang lebih bermakna dan lebih bahagia. Menetapkan niat dan harapan baru adalah cara untuk menciptakan kehidupan yang lebih bermakna yang dilengkapi dengan cinta dan kebahagian.

Menutup akhir tahun ini dengan penuh cinta dan harapan baru di tahun yang akan untuk menemukan kebahagiaan berarti dapat mensyukuri pelajaran dan capaian yang sudah didapat, mampu menjadi manusia yang pemaaf, berbagi cinta kepada manusia lain, dan menetapkan niat dan harapan baru. Cinta yang sejati dimulai dari diri sendiri dan kebahagian harus ada untuk menemani setiap langkah yang akan berlalu. Wa Allâhu a’lam.

Maraji’ :

* Mahasiswa Prodi Pendidikan Agama Islam UII angkatan 2021.

[1] HR. Bukhari, dalam Adabul Mufrod no. 421/542, shahih kata Syaikh Al Albani. Disebutkan dalam Muhammad Abduh Tuasikal. “Aku Mencintaimu Karena Allah”  https://rumaysho.com/6319-aku-mencintaimu-karena-allah.html. Diakses pada 3 Desember 2024.

[2] Berliana Intan Maharani. “Kisah Abu Qilabah, Sahabat Nabi yang Selalu Bersyukur dan Sabar” https://www.detik.com/hikmah/kisah/d-6689231/kisah-abu-qilabah-sahabat-nabi-yang-selalu-bersyukur-dan-sabar/. Diakses pada 26 April 2023.

[3] Fromm E. The Art Of Loving. Gramedia Pustaka. 2020.

[4] Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan sebagaimana dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 667.

[5] Muhammad Abduh Tuasikal. “Bersyukur Dengan yang Sedikit” https://rumaysho.com/1975-bersyukur-dengan-yang-sedikit.html. Diakses pada 3 Desember 2024.

[6] Adiba A Soebachman. Pesan-Pesan Cinta Jalaludin Rumi. Araska; 2024.

[7] Iman Al Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Al Iman, Bab Min Al Iman An Yuhibba Liakhihi Ma Yuhibbu Linafsihi, no. 13. Imam Muslim dalam Shahih-nya, kitab Al Iman, Bab Al Dalil ‘Ala Ana Min Khishal Al Iman An Yuhibba Liakhihi Al Muslim Ma Yuhibbu Linafsihi Min Al Khair, no. 45.

Download Buletin klik di sini

Perilaku Imma’ah dalam Islam

Perilaku Imma’ah dalam Islam

Rofiqotun Nadilah*

 

Imma’ah atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan inkonsistensi atau ikut-ikutan (orang yang suka mengekor orang lain) merupakan suatu hal yang berkaitan dengan mentalitas atau sikap negatif yang harus kita hindari. Seseorang yang tidak mempunyai prinsip, ikut kesana-kemari mengikuti arah angin, sesuai dengan isu yang sedang beredar, atau sesuatu yang sedang viral dan menjadi trend, bahkan sesuatu yang berkembang sesuai dengan selera dan keinginannya. Tentu ini sebuah sikap yang tidak diharapkan dan tidak selayaknya dimiliki oleh seorang muslim. Bahkan dalam berbagai pandangan dan keyakinan pun, sifat ini adalah salah satu sifat yang tidak terpuji.

Dari Hudzaifah, ia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda,

لَا تَكُونُوا إِمَّعَةً تَقُولُونَ: إِنْ أَحْسَنَ النَّاسُ أَحْسَنَّا، وَإِنْ ظَلَمُوا ظَلَمْنَا، وَلَكِنْ وَطِّنُوا أَنْفُسَكُمْ إِنْ أَحْسَنَ النَّاسُ أَنْ تُحْسِنُوا، وَإِنْ أَسَاءُوا فَلَا تَظْلِمُوا

Janganlah kalian menjadi imma’ah! Kalian mengatakan: ‘Jika manusia-manusia berbuat baik, kami pun berbuat baik; jika mereka berbuat kezhaliman, kami juga akan berbuat zhalim’. Akan tetapi kokohkan diri kalian. Jika manusia berbuat baik, kalian juga berbuat baik. Jika mereka berbuat buruk, maka jangan kalian berlaku zhalim”. (HR. Tirmidzi, no.1930, beliau menyatakan haditsnya Hasan)

Dari hadits tersebut kita diingatkan untuk tidak berlaku imma’ah, yang mana sikap kita ditentukan oleh bagaimana orang-orang yang ada di sekitar kita. Hendaknya perkuatkan diri kita untuk tetap kokoh dalam berbuat kebaikan.[1]

Arus informasi yang semakin deras membuat gelombang trend silih berganti membanjiri aktivitas sehari-hari masyarakat di sekitar kita. Sifat imma’ah pun tumbuh subur bak jamur di musim hujan, mengisi jiwa-jiwa yang kosong akan prinsip iman dan identits diri. Contoh saja seorang penggemar terhadap artis idolanya, atau yang dikenal dengan istilah Celebrity Worship dimana hal tersebut dapat diartikan sebagai kecintaan berlebih terhadap idolanya.[2]

Saat sang idola menebarkan trend berpakaian terbuka, maka buru-burulah sang penggemar membeli pakaian yang sama dan ikut-ikutan terbuka. Tak peduli pantas atau tidak, tak peduli rapi dan sopan atau bahkan memalukan, terlebih khususnya pada wanita pun beramai-ramai berani membuka auratnya. Tak peduli harus seberapa dalam merogoh kocek untuk membeli baju-baju bermerk, tas-tas branded, alat elektronik mahal, atau kendaraan terbaru pun nekat dibeli hanya untuk mengikuti trend, demi gaya hidup bahkan hanya untuk sekedar pengakuan dari orang lain.

Mengapa Muncul dan Lahir Sifat Imma’ah?

Pertama, lemahnya keyakinan kepada Allah ﷻ. Saat ia melihat kebatilan semakin kuat serta memiliki kedudukan, sementara ia tidak yakin bahwa ia akan menang dan Allah ﷻ akan  memberikan pertolongan. Pada akhirnya ia lebih berpihak kepada kebatilan karena ragu akan pertolongan Allah ﷻ, ia memindahkan prinsipnya karena ia melihat tidak ada harapan. Padahal boleh jadi orang beriman diuji dan diberikan kekalahan, tapi ia tetap harus yakin bahwa Allah ﷻ pada akhirnya akan memberikan kemenangan bagi mereka yang berada di jalan kebenaran.

Kedua, berorientasi syahwat. Apabila orientasi hidup seseorang berupa terpenuhinya syahwat duniawi baik itu syahwat harta, syahwat popularitas, syahwat jabatan atau kedudukan, maka ia akan mengikuti segala penawaran yang membuka jalan untuk memenuhi keinginan-keinginan nafsunya. Ketika ia ditawarkan kesana dengan iming-iming yang besar sesuai dengan tujuan syahwatnya, maka ia akan ikut kesana. Lalu ternyata ada lagi yang menawarkan kesini dengan iming-iming yang besar dan sesuai dengan syahwatnya juga, dan akhirnya ia ikut kesini. Jadi, seseorang yang memiliki orientasi syahwat, maka sulit seseorang tersebut memiliki sifat konsisten, ia akan berubah-ubah, berbeda degan seseorang yang memiliki prinsip.

Ketiga, lemah pemahaman. Terkadang, seseorng yang memiliki keyakinan dan tidak disupport oleh pemahaman yang kuat dan bagus, maka ia akan rentan dihadapkan dengan syubhat. Sebagaimana seseorang yang telah memiliki keyakinan yang benar, lalu ia dihadapkan dengan suatu keyakinan lain yang disertai dengan dalih-dalih yang terkesan menarik. Karena tidak memiliki pemahaman yang baik, akhirnya ia meninggalkan dan ikut pandangan yang baru, padahal pandangan yang baru bisa saja buruk dan sesat. Maka, apabila seseorang memiliki keyakinan yang kuat disertai dengan pemahaman yang kuat, dia tidak akan mudah tergiur dengan tawaran-tawaran yang lain.

Keempat, tidak continue dalam pembinaan. Seseorang yang membiarkan dirinya tidak terawat ibarat tanaman yang awalnya cantik nan indah, dan berikutnya tidak lagi disiram dan dirawat dengan baik, maka bisa jadi ia akan layu dan bahkan mati. Sebagaimana keimanan kita, harusnya selalu dirawat, dibina dan jangan dibiarkan layu karena kita lalai. Apabila iman kita biarkan terbengkalai tidak terurus setiap hari, maka akan berpotensi besar terkena syubhat, lama kelamaan ia akan lemah. Pada akhirnya ia akan menanggalkan prinsipnya dan berpindah pada prinsip yang lain.

Kelima, terpedaya dengan nilai materialisme. Di zaman sekarang ini, nilai-nilai materialisme menjadi acuan kesuksesan dan keberhasilan. Seseorang dikatakan berhasil apabila ia memiliki rumah mewah, kendaraan mewah, jabatan yang tinggi, serta berpenampilan modis dengan menggunakan barang-barang branded. Itulah gambaran kehidupan materialistis yang hanya dilihat dari banyaknya harta seseorang namun mengenyampingkan bagaimana perilakunya, tidak peduli halalkah cara mereka dalam mencari harta atau bahkan sebaliknya. Sehingga tidak sedikit orang yang ingin seperti mereka, dan salah satu konsekuensinya ia harus meninggalkan prinsip-prinsipnya dan berpindah kepada pandangan-pandangan yang mengandung kebathilan.

Bagaimana Agar tidak Imma’ah?

Melihat sebab muncul dan lahirnya sifat imma’ah, maka ada beberapa hal yang harus kita lakukan, diantaranya: memperkuat keyakinan kita kepada Allah ﷻ dan ajaran-Nya. Salah satunya dengan banyak mengikuti majlis-majlis ilmu agar semakin sering kita medapatkan bimbingan, arahan dan peringatan. Maka hal tersebut akan menghadirkan kekuatan jiwa dan kekuatan hati kita untuk senantiasa selalu berada di jalan Allah ﷻ. Orientasi hidup kita haruslah akhirat. Bagaimana kita berfikir agar akhirat kita selamat dan akhirat kita bahagia, karena kehidupan akhirat adalah kehidupan yang hakiki.

Meningkatkan pemahaman terhadap ajaran Allah ﷻ agar tidak mudah terpedaya dengan argumentasi-argumentasi yang menyesatkan. Tidak pernah bosan dalam membina diri, baik secara pribadi dengan melakukan berbagai rangakian ibadah seperti dzikrullah, tilawah Al-Qur’an, atau juga dengan bantuan orang lain seperti ulama atau ustadz dan ustadzah agar kita kokoh dalam sikap dan prinsip kita. Terakhir, kita harus memahami hakikat dunia fana, bahwa kehidupan di dunia hanyalah sementara, sedangkan akhirat merupakan tempat kehidupan yang abadi.

Maraji’ :

* Alumni Fakultas Ilmu Agama Islam UII

[1] Adil Fathi Abdullah. Keep Positive Thinking: 20 Tips Membangun Kepribadian Islami (Faishal Hakim Halimy, Terjemahan). Depok: Gema Insani. 2014. h. 42.

[2] Fransiska Vania. “Gambaran Celebrity Worship pada Dewasa Awal Penggemar K-Pop” dalam Jurnal Psikologi Malahayati, Vol. 05 No. 02, Tahun 2023, h. 274.

Download Buletin klik di sini

Peran Akidah Dalam Mencegah Cyberbullying

Peran Akidah Dalam Mencegah Cyberbullying

Desi Rahmawati*

Fenomena Cyberbullying

Cyberbullying atau perundungan dunia maya merupakan tindakan perundungan atau bullying dengan menggunakan teknologi digital yang dapat berdampak pada fisik dan mental seseorang. Teknologi digital yang dimaksud seperti Twitter, Youtube, Whatsapp, Facebook, Instagram dan TikTok.

Cyberbullying merupakan tindakan berulang yang dilakukan oleh sekelompok orang atau individu terhadap seseorang dilatarbelakangi karena ketidaksamaan mindset atau amarah yang bertujuan untuk menakuti atau menghinanya. Cyberbullying tidak memandang usia dan gender korban, cyberbullying dapat terjadi pada lingkungan pendidikan, lingkungan kerja, masyarakat, komunitas, dan tempat lainnya.[1] Contoh cyberbullying yang sering terjadi menurut United Nations Children’s Fund (UNICEF):[2]

  1. Menyebarkan kebohongan atau memposting pada media sosial berkaitan dengan privasi seseorang
  2. Mengirimkan pesan yang tidak sopan atau menyakitkan melalui kolom komentar pada media sosial seseorang
  3. Mengatasnamakan dengan membuat akun palsu atau meretas akun seseorang serta mengirimkan pesan yang merugikan orang lain
  4. Mengucilkan dari game online atau grup pertemanan
  5. Memaksa untuk mengirimkan foto sensual atau dilibatkan dalam percakapan seksual
  6. Menghasut orang lain untuk mempermalukan atau melecehkan seseorang

Lalu, bagaimana jika kita pernah mengalami hal-hal di atas?

Apabila pernah mengalami tindakan-tindakan cyberbullying seperti di atas,

  1. Perbanyak istighfar dan bertaubat kepada Allah Swt, memohon perlindungan agar dijauhkan dari fitnah dan kesewenang-wenangan orang lain;
  2. Perbanyak muhasabah atas setiap perilaku yang dilakukan sebelumnya;
  3. Segera konsultasikan dengan orang terdekat yang dianggap dapat menjaga privasi untuk dilakukan penanganan lebih lanjut;
  4. Batasi diri dan bijak dalam menggunakan media sosial.

Akidah bagi Seorang Muslim

Akidah adalah kepercayaan yang timbul dari pengetahuan dan keyakinan. Orang yang “mengetahui” dan menempatkan kembali kepercayaan kuat akan Keesaan Allah, sifat-sifat-Nya, hukum-hukum-Nya, petunjuk wahyu dan aturan-aturan hukum Ilahi mengenai pahala dan siksa, disebut mu’min (orang beriman).[3]

Sebagai orang yang beriman, kita diwajibkan menghiasi diri kita dengan al akhlakul karimah atau sifat-sifat yang mulia dan menjauhkan diri kita dari al akhlakul mazmumah atau sifat-sifat yang tercela. Mukmin yang senantiasa menghiasi dirinya dengan al akhlakul karimah, maka sifat mulia tersebut akan mendorong dirinya untuk senantiasa melakukan hal yang bermanfaat dan positif bagi dirinya sendiri maupun orang lain, hal tersebut akan mendorong terciptanya kebahagiaan hidup baik saat di dunia ataupun di akhirat. Sebaliknya apabila terlalu menghiasi dengan sifat-sifat tercela, maka sifat tersebut akan mendorong dirinya melakukan hal-hal buruk yang membawa kemudharatan bagi dirinya maupun orang lain.

Tauhid bersandingan dengan akhlak. Orang yang sudah belajar tauhid, mempunyai ikatan yang lebih dekat dengan Allah. Aktivitasnya dijaga agar selalu baik, karena dilihat Allah, jadi mustahil mengeluarkan kata-kata kotor. Ikatan tersebut disebut dengan akad, semakin kuat ikatan tersebut disebut dengan Akidah. Umat Islam yang sudah mempunyai ikatan dekat dengan Allah, akhlaknya berubah, dari jahiliyah menjadi terbuka.

Akidah yang benar mempunyai kedudukan tinggi dalam Islam. Akidah yang benar akan memberikan kebaikan pada diri sendiri dan orang lain. Sebaiknya, akidah yang rusak akan membawa kepada keburukan. Seseorang yang mempunyai akidah yang kuat, akan beribadah kepada Allah ﷻ dengan Ikhlas, khusyuk, mengikuti sunnah Rasulullah ﷺ. Seseorang yang mempunyai akidah kuat, akan memiliki akhlak yang baik ketika dia bermuamalah dan bergaul dengan manusia.

Seseorang yang mempunyai akidah yang kokoh, akan tertanam pada dirinya sifat-sifat yang baik, sabar ketika mendapat musibah, bersyukur saat memperoleh nikmat dari Allah ﷻ, bertaubat dan beristighfar saat melakukan dosa. Akidah yang kuat, Allah l senantiasa menjaga hambanya dari syubhat dan kerancuan-kerancuan. Akidah yang kuat, Allah ﷻ akan menjaga seseorang dari musuh-musuh Islam, baik dari dalam maupun dari luar. Akidah yang kuat, ibarat seperti pohon yang kuat, mempunyai akar yang kokoh dan cabangnya menjulang ke atas. Belajar dan mengamalkan akidah yang benar adalah fardhu’ain, wajib bagi seorang musilm dan muslimah, mulai dari perkara-perkara mendasar. Dengan akidah, kita akan dimudahkan masuk ke dalam surga-Nya dan dijauhkan dari neraka.

Peran Akidah dalam Mencegah Cyberbullying

Islam jelas melarang terhadap perilaku menghujat dan merendahkan sesama makhluk ciptaan-Nya. Al Quran sebagai pedoman hidup manusia dalam semua aspek kehidupan. Larangan terhadap bullying dalam Al Quran dijelaskan dalam surah al Hujurat ayat 11,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّن قَوْمٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُونُوا۟ خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَآءٌ مِّن نِّسَآءٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّ ۖ وَلَا تَلْمِزُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا۟ بِٱلْأَلْقَٰبِ ۖ بِئْسَ ٱلِٱسْمُ ٱلْفُسُوقُ بَعْدَ ٱلْإِيمَٰنِ ۚ وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok), dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain, karena boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan), lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain, dan janganlah saling memanggil dengan panggilan-panggilan yang buruk. Seburuk-buruknya panggilan adalah panggilan yang buruk atau fasik setelah beriman. Dan barang siapa tidak melakukan taubat, mereka itulah termasuk orang-orang yang zhalim.” (QS. al Hujurât [49]: 11).

Dalam tafsir Ibnu Katsir, menjelaskan kata yaskhar (memperolok-olokkan) berarti menghina atau meremehkan mereka. Hal ini sangat dilarang, karena bisa saja orang yang diremehkan tersebut mempunyai kedudukan yang lebih tinggi di sisi Allah l dari pada orang yang meremehkannya.

Penjelasan di atas menggambarkan bahwa akhlak seseorang sudah diatur oleh Al Quran. Apabila keimanan seseorang sudah kuat, maka akan mempunyai ikatan yang lebih kuat kepada Allah ﷻ dan mendekatkan diri kepada-Nya. Selain itu, senantiasa menjaga perilakunya dari perbuatan-perbuatan tercela. Hal tersebut juga akan terimplementasikan dalam tindakan kesehariannya, salah satunya salam bermuamalah kepada sesama manusia baik secara dunia maya maupun tatap muka.

Dengan demikian, akidah mempunyai peran penting dalam mencegah terjadinya cyberbullying. Akidah mempunyai peran dalam pembentukan karakter seseorang. Oleh sebab itu, penting untuk menanamkan akidah sejak dini. Orang tua mempunyai peran penting dalam mengajarkan rukun-rukun iman yang menjadi nilai dasar dalam pembentukan akidah anak. Ketika akidah sudah melekat dalam diri anak, maka ia akan menjadi seseorang yang beriman dan mempunyai kepribadian kuat. Selain itu, segala sikap dan perbuatannya senantiasa dilakukan hanya karena Allah ﷻ.

Maraji’ :

* Staf Jurusan Studi Islam FIAI UII

[1] Annastasya dkk. “Cyberbullying di Media Sosial Instagram Ditinjau dari Perspektif Islam” dalam Jurnal Multidisiplin Ilmu, Vol. 1 No. 3, Tahun 2022. h.136.

[2] Unicef. “Cyberbullying: Apa itu dan Bagaimana Menghentikannya” https://www.unicef.org/indonesia/id/child-protection/apa-itu-cyberbullying. Diakses pada 30 Agustus 2024.

[3] Ananda Prathiwi. “Peran Akidah dalam Mencegah Cyberbullying di Media Sosial (Studi Analisis Terhadap Instagram Mahasiswa Prodi Akidah dan Filsafat Islam)” dalam Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman, Vol. 1 No. 1, Tahun 2021. h.61.

Download Buletin klik di sini