Toleransi Tanpa Menggadaikan Tauhid

Toleransi Tanpa Menggadaikan Tauhid

Khairul Fahmi

 

Pada bulan Desember, pusat-pusat perbelanjaan tidak hanya dipenuhi potongan harga, tetapi juga berbagai hiasan perayaan Natal umat Kristiani, seperti lampu warna-warni, pohon cemara buatan, dan ornamen khas lainnya. Hiasan tersebut wajar dipasang oleh pemilik toko yang merayakan hari Natal. Tidak ada yang salah dengan dengan apa yang dilakukan umat Kristiani tersebut dan sah sah saja, bahkan dalam Islam kita diajarkan untuk menghormati umat lain dalam melaksanakan Ibadah. Di Indonesia sendiri Undang-Undang telah menjamin setiap umat beragama menjalankan ibadah agamanya denga naman.

Apa yang salah dengan Desember?

Perdebatan di kalangan kaum muslim sering kali muncul di bulan Desember,  yaitu tentang “Tasyabbuh”. Kata tasyabbuh berasal dari kata bahasa Arabتَشَبَّهَ – يَتَشَبَّهُ  yang berarti meniru, mencontoh, mengidentikkan diri, menyerupakan diri. Jadi kata tasyabbuh bermakna peniruan, penyerupaan. Islam sangat menentang perbuatan tasyabbuh, hal ini sebagaimana dijelaskan Rasulullah dalam sabdanya.

Dari Ibnu Umar berkata, Rasûlullâh ﷺ bersabda:

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka.” (HR Abu Dawud, no, 4031).[1]

Hadits ini sangat masyhur di kalangan umat Islam, sebagai dalil untuk tidak mencontoh, menyerupai orang-orang yang beragama lain. Konteks tasyabbuh yang sering menjadi perdebatan adalah seorang muslim atau muslimah berhijab, menggunakan pernak pernik Natal saat bekerja atau beraktifitas. Bahkan ada muslim yang mengikuti prosesi Ibadah Kaum Nasrani, dengan alasan diundang hadir dan sebagai bentuk toleransi antar sesama manusia.

Status Dalil Hadits

Sebelum menjabarkan lebih lanjut tentang maksud dari hadits di atas, ada baiknya kita ketahui dahulu jalur periwayatan dan derajat hadits tersebut. Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Abu Daud dalam sunannya pada bahasan Kitab Al-Libas. Hadits tentang tasyabbuh ini melalui periwayatan Utsman bin Abi Syaibah, dari Abul Nadr, dari Abdurrahman bin Tsabit, dari Hassan bin ‘Athiyyah dari Munib Al-Jurasyi dari sahabat Ibnu Umar dari Nabi Muhammad ﷺ.[2]

Para ulama hadits berbeda pandangan tentang derajat hadits, perbedaan pandangan ini dipicu oleh berbedanya cara menghukumi salah satu perawi yaitu Abdurrahman bin Tsabit bin Tsauban. Sebagian ulama menyatakan bahwa hadits ini statusnya lemah bahkan dihukumi dhaif. Akan tetapi sebagian yang lain memandang bahwa hadits tersebut derajatnya shahih, ini pendapat yang diambil oleh Syeikh Albani. Sebagian ulama yang lain menyebutnya statusnya Hasan, ini pendapat yang diambil oleh Ibnu Katsir.[3]

Kandungan Hadits

Guna menjawab pertanyaan yang sebelumnya terkait kekeliruan dan kesalahan yang dilakukan sebagian orang di bulan Desember, perlu kita pahami lebih detail makna atau penjelasan para ulama terkait hadits tasyabbuh tersebut.

Alhafidz Ibnu Katsir v menyatakan bahwa hadits–Man tasyabbaha bi qawmin fa huwa minhum–. Merupakan larangan dan ancaman yang keras untuk tidak menyerupai orang-orang kafir dalam berkata atau berbicara, dalam berprilaku, begitu juga tidak boleh menyerupai orang kafir dalam berpakaian. Selain itu hadits ini juga melarang setiap muslim untuk meniru atau menyerupai orang-orang kafir dalam peribadatan dan dalam menyelenggarakan hari Raya, serta segala perkara yang tidak disyariatkan kepada kaum muslim.

Imam As-Shan’ani v menyatakan bahwa hadits tersebut menunjukkah bahwa barang siapa meniru atau menyerupai orang fasik atau jahat, kafir, atau pengusung bid’ah pada semua hal yang menjadi ciri mereka, baik pakaian, tunggangan/kendaraan, atau tingkah laku, maka ia termasuk dari mereka.[4]

Para Ulama berbeda pendapat, jika seorang muslim menyerupai orang kafir dalam berpakaian, dan meyakini bahwa hal itu membuat seperti mereka, maka ia telah melakukan kekafiran. Jika ia tidak meyakini bahwa ia bagian dari mereka, para ulama berbeda pendapat, sebagian mengatakan bahwa mereka tetap melakukan kekafiran karena menyerupai orang-orang kafir, namun sebagian ulama yang lain menyebutkan bahwa ia belum melakukan kekafiran tetapi harus disanksi atau ditertibkan.[5]

Syekhul Islam Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa hadits ini setidaknya mengisyaratkan larangan menyerupai orang-orang kafir, karena secara dzahirnya hadits menunjukkan bahwa meniru orang-orang kafir merupakan kekafiran. Dalam hal ini, Ibnu Taimiyah menyandarkan pada firman Allah ﷻ surah Al-Ma’idah  ayat 51:

وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُۥ مِنْهُمْ

Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.” (QS Al-Ma’idah  [5]: 51).

Bagaimana Bersikap?

Saat ini, dengan dunia yang tanpa sekat dan batas, segala informasi dapat diketahui melalui media elektronik atau media sosial. Kebiasaan dan tren cara berpakaian remaja dan pemuda muslim mengikuti video-video yang sedang viral, tanpa mempertimbangan apakah hal tersebut sesuai dengan tuntunan dan ajaran Islam. Minimnya pengetahuan agama atau malasnya untuk belajar agama menjadi pemicu untuk mengikuti hal-hal yang sedang viral secara serampangan.

Pada bulan Desember, tidak jarang kita menjumpai di pusat-pusat perbelajaan atau beberapa tempat yang lain, di mana seorang muslim atau muslimah berhijab dengan tanpa ragu menggunakan pernak pernik Natal, padahal Natal itu sendiri merupakan hari raya untuk memperingat kelahiran Yesus, di mana Yesus sendiri dianggap sebagai Tuhan bagi umat kristiani. Selain itu, sering juga kita melihat dan mendengar ucapan “Selamat hari Natal” dari seorang muslim bagi umat Kristiani. Secara tidak langsung ucapan ini meyakini lahirnya seorang Tuhan, padahal seorang muslim mengimani bahwa Tuhan beranak dan tidak dipranakkan. Sikap menggunakan pernak pernik natal dan mengucapkan “Selamat Natal” menodai ketauhidan seorang muslim.

Berdasarkan penjelasan para ulama tentang hadits tasyabbuh, seorang muslim hendaknya menjauhkan diri dari perbuatan yang dapat menodai kemurnian tauhid, karena berpotensi menyeret kepada kekeliruan akidah. Sebagian ulama memang berpendapat bahwa tasyabbuh tidak selalu sampai pada tingkat kekafiran. Namun, sebagai bentuk kehati-hatian dan upaya menjaga kemurnian iman, seorang muslim sebaiknya menghindari menyerupai atau meniru umat Kristiani, terutama dalam hal pakaian dan atribut yang menjadi ciri khas ibadah atau hari raya mereka.

Selain itu, toleransi beragama tidak seharusnya dijadikan alasan untuk bersikap permisif terhadap perilaku yang justru merusak tauhid. Toleransi dapat diwujudkan melalui cara-cara yang dibenarkan syariat, seperti bersikap jujur dalam bermuamalah, ramah dalam pergaulan, tidak mengganggu pelaksanaan ibadah agama lain, serta menjaga ketertiban dan kedamaian bersama. Jangan sampai tauhid digadaikan demi hal-hal yang tidak perlu. Semoga Allah senantiasa memberikan taufik dan hidayah kepada kita agar tetap teguh menjaga kemurnian tauhid hanya untuk-Nya.

Maraji’ :

[1] Muhammad Abduh Tuasikal. “Mengikuti Gaya Orang Kafir (Tasyabbuh)”. https://rumaysho.com/3076-mengikuti-gaya-orang-kafir-tasyabbuh.html. Diakses pada 18 Desember 2025.

[2] Anonim. “Hadits Larangan Menyeruapai Suatu Kaum”. https://islamhariini.com/hadits-larangan-menyerupai-suatu-kaum/. Diakses pada 18 Desember 2025.

[3] Anonim. https://shamela.ws/book/35760/83. Diakses pada 18 Desember 2025.

[4] Anonim. “Hadits Larangan Menyeruapai Suatu Kaum”. https://islamhariini.com/hadits-larangan-menyerupai-suatu-kaum/. Diakses pada 18 Desember 2025.

[5] Anonim. https://shamela.ws/book/35760/84#p1. Diakses pada 18 Desember 2025.

Download Buletin klik di sini

Bencana Alam dan Amanah Kekhalifahan

Bencana Alam dan Amanah Kekhalifahan

Ulya Ema Fahima

 

Beberapa daerah di Indonesia akhir-akhir ini mengalami bencana yang tak terelakkan, seperti banjir di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Banjir tak segan dan tak malu menyapu rumah-rumah warga, merendam fasilitas umum, memutus akses komunikasi, memadamkan aliran listrik, bahkan merenggut ratusan korban jiwa. Air yang datang tidak sekadar membawa lumpur dan sampah, tetapi juga duka, trauma, dan kehancuran bagi banyak keluarga. Dalam hitungan jam, jerih payah bertahun-tahun bisa lenyap tanpa sisa.

Dari adanya musibah banjir dan tanah longsor yang terjadi dan meluluhlantakkan kehidupan ini, lalu siapakah yang harus bertanggung jawab? Apakah semata-mata ini kehendak alam, ataukah ada peran manusia di baliknya? Pertanyaan ini penting diajukan bukan untuk saling menyalahkan, melainkan sebagai pintu awal menuju kesadaran dan perbaikan.

Manusia sebagai Khalifah fil Ardh: Amanah Menjaga Bumi

Untuk menjawab hal tersebut, tentu kita sebagai manusia perlu melakukan introspeksi diri. Sebab manusialah yang hidup berdampingan langsung dengan alam, memanfaatkan sumber dayanya, dan menentukan arah pengelolaannya. Jika alam mulai “marah”, maka sejatinya itulah alarm atau pengingat bagi manusia. Kita semua wajib merenungi kembali bagaimana hubungan kita dengan Sang Pencipta dan dengan alam ciptaan-Nya. Maka, adanya bencana ini tidak dapat dipahami semata-mata sebagai azab atau takdir Allâh ﷻ yang berdiri sendiri, tetapi sangat erat kaitannya dengan perilaku manusia dalam memperlakukan alam.

Allâh ﷻ menjelaskan dalam Al-Qur’an mengenai tugas manusia di bumi, yakni sebagai khalifah fil ardh. Menjadi khalifah berarti manusia diberi amanah untuk mengatur, mengelola, dan menjaga ciptaan Allah SWT di bumi, termasuk alam dan seluruh ekosistemnya. Tugas kekhalifahan ini bukan hanya sekadar memanfaatkan dan mengambil sumber daya alam secara besar-besaran demi kepentingan ekonomi sesaat, melainkan amanah untuk menjaga keseimbangan, memelihara keberlanjutan, dan mewujudkan harmoni kehidupan.[1]

Relasi Manusia dan Alam

Relasi manusia dan alam sejatinya harus didasari prinsip keadilan, keberlanjutan, dan keseimbangan. Dalam perspektif Al-Qur’an, relasi ini tidak bersifat kaku, tetapi dinamis dan saling bergantung. Manusia membutuhkan alam untuk bertahan hidup, sementara alam membutuhkan manusia untuk dirawat dan dijaga. Ketika relasi ini timpang dengan kata lain manusia hanya mengambil tanpa memelihara, maka kerusakan menjadi keniscayaan.

Lebih lanjut mengenai relasi manusia dengan alam, Prof. M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa hubungan manusia dengan alam harus dilandasi nilai-nilai agama dan moralitas yang tinggi serta dibangun secara harmonis. Manusia sebagai khalifah di bumi memikul tanggung jawab etis dan spiritual untuk menjaga alam, bukan merusaknya. Relasi ini harus berpijak pada nilai keadilan, keseimbangan, dan keberlanjutan, bukan keserakahan dan eksploitasi.

Allâh ﷻ telah mengetahui potensi yang ada dalam diri manusia. Oleh karena itu, Allâh ﷻ memberikan amanat besar kepada manusia untuk menjadi khalifah fil ardh, yaitu pihak yang bertanggung jawab mengelola dan merawat bumi dengan bijaksana. Hal ini dijelaskan dalam Al-Qur’an, Allâh ﷻ berfirman:

اَلَمْ تَرَ اَنَّ اللّٰهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَّا فِى الْاَرْضِ وَالْفُلْكَ تَجْرِيْ فِى الْبَحْرِ بِاَمْرِهٖۗ وَيُمْسِكُ السَّمَاۤءَ اَنْ تَقَعَ عَلَى الْاَرْضِ اِلَّا بِاِذْنِهٖۗ اِنَّ اللّٰهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ

Tidakkah engkau memperhatikan bahwa Allah menundukkan bagimu apa yang ada di bumi dan kapal yang berlayar di lautan dengan perintah-Nya. Dan Dia menahan langit agar tidak jatuh ke bumi melainkan dengan izin-Nya. Sungguh, Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.” (QS Al-Hajj [22]: 65).

Ayat ini mengindikasikan bahwa alam memang ditundukkan untuk manusia sebagai bentuk rahmat dan kasih sayang Allâh ﷻ. Namun, penundukan ini bukan berarti kebebasan tanpa batas. Manusia tidak dibenarkan memperlakukan alam secara semena-mena tanpa mempertimbangkan dampak dan keberlanjutannya. Sebab, bumi bukan hanya milik generasi hari ini, melainkan juga amanah bagi generasi yang akan datang.[2]

Larangan Merusak Alam

Al-Qur’an dengan tegas mengingatkan manusia agar tidak membuat kerusakan di bumi, Allâh ﷻ berfirman:

وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا

“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya.” (QS. Al-A’raf [7]: 56).

Kerusakan ekologis yang terjadi hari ini seperti banjir, longsor merupakan bukti bahwa peringatan ini sering kali diabaikan. Bahkan Allâh ﷻ menegaskan dalam surah Ar-Rum ayat 41, Allâh ﷻ berfirman:

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِى النَّاسِ

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia sendiri.” (QS. Ar-Rum [30]: 41).

Ayat ini menegaskan bahwa banyak bencana ekologis bukan semata-mata fenomena alam, melainkan konsekuensi dari ulah manusia.

Etika Islam dalam Merawat Lingkungan

Rasûlullâh ﷺ juga memberikan teladan luar biasa dalam menjaga lingkungan. Dalam sebuah hadis disebutkan, dari Anas z dari Nabi ﷺ bersabda:

إِنْ قَامَتِ السَّاعَةُ وَفِي يَدِ أَحَدِكُمْ فَسِيلَةٌ، فَلْيَغْرِسْهَا

“Jika Kiamat terjadi, sementara di tangan salah seorang dari kalian ada bibit tanaman, maka jika ia mampu menanamnya sebelum Kiamat terjadi, hendaklah ia menanamnya.” (HR Ahmad 3/83,184, 191).[3]

Hadits ini mengajarkan optimisme, tanggung jawab, dan etika lingkungan yang mendalam. Bahkan di ambang kehancuran dunia sekalipun, Islam tetap memerintahkan perbuatan yang memberi manfaat dan kehidupan. Ini menunjukkan bahwa menjaga alam bukan sekadar urusan duniawi, tetapi bagian dari ibadah dan ketaatan kepada Allâh ﷻ.[4]

Kejadian banjir di Sumatera yang disertai hanyutnya ribuan kayu gelondongan menjadi bukti nyata adanya eksploitasi hutan secara masif dan tidak bertanggung jawab. Peristiwa ini memaksa kita menilik kembali relasi manusia dengan alam. Bencana tersebut bukan hanya fenomena meteorologis atau cuaca ekstrem, melainkan cermin kerusakan ekologis akibat keserakahan dan tata kelola yang abai terhadap amanah.

Dalam perspektif ekoteologi Islam, kondisi ini merupakan pelanggaran terhadap tugas manusia sebagai khalifah fil ardh. Maka, bencana alam seharusnya menjadi momentum taubat ekologis, yaitu pengakuan atas dosa terhadap alam sekaligus panggilan untuk berbenah, memperbaiki relasi dengan Allah, dengan sesama manusia, dan dengan alam semesta. Jadi, sebagai umat manusia yang baik dan memegang teguh iman dan islam, marilah kita senantiasa mencintai alam kita, dengan tidak membuang sampah sembarangan, tidak menebang pohon sembarangan, dan memanfaatkan sumber daya alam yang ada dengan tetap memperhatikan keseimbangan lingkungan kita.

Maraji’ :

[1] Muhammad Fajar Ali. “Relasi Manusia dan Alam dalam al-Qur’an: Studi Komparatif Tafsir Al-Azhar dan Tafsir Al-Mishbah.” dalam at-Ta’wil: Jurnal Pengkajian Al-Qur’an dan at-Turats. Volume. 03. No. 1. Tahun 2025. h. 1-18.

[2] Artikel cari ustadz. “Merefleksikan Hubungan Manusia dengan Alam.”

https://cariustadz.id/artikel/detail/merefleksikan-ulang-hubungan-manusia-dengan-alam. Diakses pada tanggal 19 Desember 2025.

[3] Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Ahmad (3/83,184, 191), Ath Thayalisi (hadits nomor 2078), Imam Bukhari dalam Al Adab Al Mufrad  no. 479 dan Ibnul Arabi di dalam kitabnya Al Mu’jam (1/21), yang dikutip dari hadits Hisyam bin Yazid dari Anas.

[4] Artikel Fakultas Ushuludin dan Adab UIN Sultan Maulana Hasanudin Banten. “Menjaga Alam, Menjaga Kehidupan: Refleksi Ekoteologi Islam atas Bencana Banjir Bandang. Diakses pada tanggal 19 Desember 2025.

Download Buletin klik di sini

Belajar dari Tahun yang Berlalu, Menata Diri Menyambut yang Baru

Belajar dari Tahun yang Berlalu, Menata Diri Menyambut yang Baru

Isna Yunita

 

Akhir tahun selalu menjadi momentum yang secara sosial dipahami sebagai titik peralihan: dari apa yang terjadi di masa lalu menuju harapan baru di masa depan. Dalam tradisi Islam, meskipun penanggalan hijriah tidak sama dengan sistem masehi, konsep muhasabah atau evaluasi diri tetap menjadi nilai dasar yang relevan kapan saja. Karena itu, menjelang akhir tahun, umat Islam dapat memanfaatkan suasana batin dan momentum budaya ini untuk memperkuat kembali spiritualitas, memperbaiki hubungan sosial, serta menata ulang tujuan hidup yang lebih bermakna.

Praktik muhasabah telah lama dibahas dalam tradisi intelektual Islam. Pembentukan etika dan karakter umat Islam memerlukan proses refleksi yang berkelanjutan agar umat mampu menjawab tantangan zaman secara etis dan rasional. Dengan demikian, refleksi akhir tahun tidak sekadar ritual emosional, melainkan bagian dari proses pembentukan manusia sempurna (insan kâmîl).

Muhasabah dalam Perspektif Islam

Muhasabah merupakan ajaran penting dalam pembinaan kepribadian dan pengembangan akhlak Islam. Al-Ghazali menekankan perlunya introspeksi diri sebagai jalan menuju insan kâmil, yaitu manusia yang seimbang secara intelektual, akhlak, dan spiritual. Melalui muhasabah yang jujur dan berkelanjutan, seseorang dapat menata niat, memperbaiki perilaku, serta membangun hubungan yang harmonis dengan Allah k, sesama, dan lingkungan.

Dengan kata lain muhasabah diri merupakan proses inti dan jalan praktis untuk mencapai derajat insan kâmîl. Pemikiran Al-Ghazâli ini menegaskan bahwa perjalanan menuju insan kâmil bukanlah tujuan instan, melainkan proses pembinaan diri yang terus-menerus, sehingga terbentuk pribadi yang berakhlak mulia, berkepribadian matang, dan mampu memberi manfaat bagi masyarakat.[1] Tanpa muhasabah, potensi stagnasi, kesombongan, dan lalai dari tujuan akhirat sangat tinggi, padahal insan kâmîl terus menyempurnakan diri hingga akhir hayat untuk bekal akhirat.

Hal ini juga sesuai dengan perintah Allah ﷻ untuk melakukan muhasabah diri sebagaimana dalam ayat Al Qur’an yang berbunyi:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرٌۢ بِمَا تَعْمَلُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Al Hasyr [59]: 18).

Akhir tahun menjadi saat yang tepat untuk melakukan refleksi diri, beberapa rekomendasi hal-hal yang bisa direfleksikan dalam ajaran agama Islam sebagai berikut:

  1. Hubungan dengan Allah ﷻ

Hubungan dengan Allah k juga disebut dengan hablun minallâh, apakah ibadah kita selama ini dilakukan secara konsisten? Sejauh mana kita menjaga kualitas salat, zikir, dan pembacaan Al Qur’an? Walaupun aktivitas dunia sering menyita perhatian, umat Islam diajak untuk kembali memperbaiki prioritas hidup dan hubungannya dengan sang Maha Pencipta.[2]

  1. Hubungan dengan Sesama Manusia

Penyebutan ini juga dikenal dengan hablun minannâs, relasi sosial sering kali menjadi cerminan keimanan. Konflik kecil, prasangka, dan ketidakpedulian terhadap lingkungan sosial perlu dievaluasi. Karena salah satu tantangan dari masa sekarang tidak hanya hal yang berkaitan dengan perubahan intelektual, tetapi juga peningkatan sensitivitas sosial, dengan kata lain memiliki kepekaan sosial berupa kemampuan untuk merasakan, memahami, dan merespons secara tepat terhadap situasi, perasaan, dan kebutuhan orang lain di sekitarnya.[3]

  1. Hubungan dengan Diri Sendiri

Muhasabah juga berhubungan dengan bagaimana seseorang menghargai dirinya, kesehatannya, kewarasannya, serta pendalaman spiritualnya. Dalam konteks masyarakat tekanan hidup kerap membuat manusia kehilangan arah. Refleksi akhir tahun dapat membantu membangun kembali kesadaran diri spiritual dan mental.

Akhir Tahun sebagai Momentum Muhasabah Diri

Banyak orang menjadikan akhir tahun sebagai momen untuk membuat resolusi. Dalam konteks Islam, resolusi bukan hanya tentang target duniawi seperti karier atau finansial, tetapi juga pembaruan niat dan orientasi ibadah. Untuk mencapainya perlu adanya muhasabah diri, sebagaimana menurut Ibnu Qayyim muhasabah terbagi menjadi dua bentuk utama, yaitu muhasabah sebelum melakukan suatu perbuatan dan muhasabah setelah perbuatan tersebut dilakukan.

  1. Muhasabah Sebelum Beramal

Muhasabah ini dilakukan dengan cara menahan diri sejenak sebelum bertindak, tidak tergesa-gesa melaksanakan suatu perbuatan hingga jelas baginya apakah perbuatan tersebut membawa kemaslahatan atau justru sebaliknya. Al-Hasan al-Bashri berkata, “Semoga Allah merahmati seorang hamba yang berhenti sejenak ketika terlintas dalam pikirannya suatu perbuatan. Jika perbuatan itu merupakan ketaatan kepada Allah, maka ia melaksanakannya, dan jika bukan, maka ia meninggalkannya.”

Hal ini selaras dengan firman Allah ﷻ

وَمَا تَشَآءُونَ إِلَّآ أَن يَشَآءَ ٱللَّهُ رَبُّ ٱلْعَٰلَمِينَ

“Dan kamu tidak dapat menghendaki (sesuatu) kecuali apabila dikehendaki oleh Allah, Tuhan seluruh alam.” (QS At-Takwîr [81]: 29).

  1. Muhasabah setelah beramal

Muhasabah jenis ini mencakup tiga bentuk introspeksi diri.

Pertama, mengevaluasi amalan ketaatan yang berkaitan dengan hak-hak Allah ﷻ, dengan menilai apakah ketaatan tersebut telah dilakukan sesuai dengan tuntunan dan kehendak-Nya atau masih terdapat kekurangan.

Kedua, melakukan introspeksi terhadap perbuatan-perbuatan yang sebenarnya lebih baik ditinggalkan daripada dilakukan, sehingga seseorang dapat memperbaiki sikap dan pilihannya ke depan.

Ketiga, melakukan muhasabah terhadap perkara-perkara yang bersifat mubah atau telah menjadi kebiasaan, dengan mempertanyakan tujuan di balik perbuatan tersebut. Apakah ia dilakukan semata-mata untuk mengharap ridhâ Allah k dan kehidupan akhirat sehingga mendatangkan keberuntungan, atau justru tanpa niat yang benar sehingga berpotensi mendatangkan kerugian.[4]

Akhir tahun memang hanya penanda waktu, tetapi bagi manusia, ia menyediakan ruang emosional dan psikologis untuk memulai kembali. Dalam perspektif Islam, muhasabah adalah sarana untuk memperbaiki diri, mempertebal iman, dan menata masa depan dengan nilai-nilai yang lebih kuat. Dengan menggabungkan refleksi pribadi, komitmen spiritual, dan kepedulian sosial, umat Islam dapat menjadikan akhir tahun sebagai momentum untuk melangkah lebih baik. Perubahan diri adalah bagian dari perjalanan panjang menuju pribadi beradab, moderat, dan berorientasi pada kemaslahatan. Semoga kita memasuki tahun yang baru dengan hati yang lebih jernih, iman yang lebih kuat, serta tekad untuk memberi manfaat bagi sesama. Âmîn.

Maraji’ :

[1] Rina Ariani dan Mahyudin Ritonga. “Analisis Pembinaan Karakter: Membangun Transformasi Insan Kamil Menurut Pemikiran Imam Al-Ghazali.” dalam JIMPI: Jurnal Inovatif Manajemen Pendidikan Agama Islam, Volume. 3. No. 2. Tahun 2024. h. 174-187.

[2] Artikel Hidayatullah. “Refleksi Diri dan Dekat dengan Allah.”

https://ibshidayatullah.sch.id/refleksi-diri-dan-dekat-dengan-allah/. Diakses pada tanggal 17 Desember 2025.

[3] Indra. “Analisis Hubungan Islam, Spritualitas, dan Perubahan Sosial.” dalam Tsaqafah: Jurnal Peradaban Islam. Volume. 14. No. 2. Tahun 2018. h. 348-362.

[4] Muru’atul Afifah dan Irma Nur ‘Aini. “Penerapan Muhasabah Diri untuk Meningkatkan Kualitas Akhlak Mahasantri Putri Idia Prenduan.” dalam Jurnal JURRAFI. Volume. 2. No. 1. Tahun 2023. h. 144-166.

Download Buletin klik di sini

Ketika Alam Berbicara, Apakah Kita Mendengarnya?

Ketika Alam Berbicara, Apakah Kita Mendengarnya?

Muhammad Ardan Halim*

 

Sahabat Ar Rasikh rahimakumullâh, beberapa hari terakhir, negeri ini kembali berduka. Hujan deras yang turun tanpa jeda memicu banjir bandang dan tanah longsor di berbagai wilayah Sumatra dan Aceh. Banyak keluarga kehilangan rumah, harta, bahkan orang-orang tercinta. Di antara gemuruh air yang meluap dan tanah yang bergerak, ada isyarat lembut yang sedang Allah sampaikan pada kita.

Bencana bukan sekadar peristiwa alam. Ia adalah pengingat, sebuah ketukan yang membuat kita berhenti sejenak, merenung, dan menyadari betapa kecilnya manusia di hadapan kuasa Allah ﷻ. Sesungguhnya bumi yang kita pijak ini juga hidup, ia “berbicara” ketika manusia lupa menjaga keseimbangan yang Allah amanahkan.

Allah ﷻ berfirman:

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, agar mereka merasakan sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS Ar-Rum [30]: 41).

Ayat ini menjelaskan bahwa banyak kerusakan dan musibah terjadi karena ulah manusia sendiri karena kita sering tidak menjaga keseimbangan alam dan mengabaikan ketentuan yang Allah ﷻ tetapkan.[1] Namun perlu dipahami, ayat ini bukanlah tuduhan kepada para korban, melainkan peringatan bagi kita semua. Allah ﷻ mengingatkan bahwa apa pun yang kita lakukan terhadap bumi dan lingkungan, cepat atau lambat akan membawa dampak, baik yang terlihat maupun yang tidak kita sadari.

Belajar dari Musibah: Bukan Tentang Menyalahkan, Tapi Menyadari

Setiap bencana membawa duka, tetapi Islam mengajarkan bahwa di balik setiap ujian selalu ada kebaikan yang Allah sisipkan. Dari Abu Hurairah z, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:

مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْراً يُصِبْ مِنْهُ.

Barangsiapa yang dikehendaki oleh Allah akan memperoleh kebaikan, maka Allah akan menimpakan musibah padanya (mengujinya)” (HR. Al Bukhari, no. 5645).

Ali Mustafa Ya’qub menjelaskan bahwa musibah yang menimpa umat dapat disebabkan oleh empat hal: sebagai ujian keimanan, peningkatan derajat di sisi Allah, bukti cinta Allah kepada hamba-Nya, atau teguran agar manusia kembali menyadari kekeliruannya.[2] Artinya, musibah bukan semata hukuman, melainkan bagian dari proses Allah mendidik, menguatkan, dan mengembalikan hamba kepada jalan-Nya.

Allah ﷻ berfirman:

مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا

“Tidak ada satu musibah pun yang menimpa di bumi dan tidak pula pada dirimu sendiri, melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya.” (QS Al-Hadid [57]: 22).

Ayat ini menenangkan hati kita bahwa setiap kejadian baik kesedihan maupun kebahagiaan telah ditetapkan dalam rencana Allah ﷻ  yang sempurna. Ketika seseorang menyadari hal ini, hatinya akan lebih mudah menerima musibah tanpa berlarut dalam penyesalan, karena semuanya berada dalam kendali Allah ﷻ yang Maha Bijaksana.[3]

Saat Alam Berbicara, Kita Diajak untuk Kembali

Ketika musibah dan bencana datang menghampiri kita, kadang yang dijadikan kambing hitam adalah alam, artinya alam itu murka. Ketika sakit datang, yang disalahkan pula konsumsi makanan, kurang olaharga dan seterusnya. Walau memang sebab-sebab tadi bisa jadi benar sebagai penyebab, namun jarang ada yang merenungkan bahwa karena dosa atau maksiat yang kita perbuat, akhirnya Allah ﷻ mendatangkan musibah.[4]

Allah ﷻ berfirman,

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ

Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS Asy Syura [42]: 30).

Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir v menjelaskan bahwa ayat ini adalah peringatan bagi manusia: kebanyakan musibah datang karena dosa yang mereka lakukan. Namun yang menakjubkan, Allah tidak membalas semua kesalahan itu. Sebagian besar justru Dia maafkan, bahkan sebelum hamba menyadarinya.[5]

Dengan kata lain, bencana bukan semata hukuman, tetapi panggilan halus dari Allah ﷻ agar manusia kembali mendekat, kembali sadar, dan kembali memperbaiki diri. Ketika alam “berbicara” melalui bencana, sebenarnya Allah ﷻ sedang mengingatkan kita bahwa ada yang perlu diperbaiki dalam hubungan kita dengan-Nya ataupun dengan amanah bumi yang kita jaga.

Menghadapi Musibah dengan Hati yang Lebih Taat

Mendekatkan diri kepada Allah ﷻ merupakan salah satu cara terbaik ketika seseorang tertimpa musibah. Ujian hidup sering kali menjadi pengingat agar kita kembali memperbaiki hubungan spiritual dengan-Nya. Berdoa, membaca Al-Qur’an, dan melaksanakan ibadah dengan lebih khusyuk menjadi sarana yang menenangkan sekaligus menguatkan hati.

Allah ﷻ berfirman

وَلَنَبۡلُوَنَّكُمۡ بِشَىۡءٍ مِّنَ الۡخَوۡفِ وَالۡجُوۡعِ وَنَقۡصٍ مِّنَ الۡاَمۡوَالِ وَالۡاَنۡفُسِ وَالثَّمَرٰتِؕ وَبَشِّرِ الصّٰبِرِيۡنَۙ‏

“Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS Al-Baqarah [2]: 155):

Ayat tersebut mengingatkan bahwa musibah adalah bagian dari sunnatullah dalam kehidupan manusia. Setiap ujian membawa pesan agar kita melakukan introspeksi, memperbaiki diri, dan meningkatkan ketaatan kepada Allah ﷻ. Dengan memperbanyak doa serta memperkuat ibadah, hati menjadi lebih tenang dan diri memperoleh kekuatan untuk menghadapi berbagai ujian yang mungkin datang di masa mendatang.[6]

Penutup: Apakah Kita Mendengar Panggilan Itu?

Bencana akan selalu ada. Namun yang terpenting adalah bagaimana hati kita menanggapinya. Apakah kita kembali kepada Allah ﷻ? Apakah kita lebih peduli? Apakah kita lebih bersyukur atas nikmat yang masih tersisa?

Mari bertanya pada diri sendiri: “Apakah musibah ini membuatku lebih dekat atau justru lebih jauh dari Allah ﷻ?”

Jika peristiwa tragis ini membuat kita lebih sadar, lebih peka, dan lebih taat, maka musibah itu telah menjadi rahmat terselubung.

Semoga Allah ﷻ merahmati saudara-saudara kita yang wafat, menyembuhkan yang terluka, menguatkan yang kehilangan, dan menjaga negeri ini dari bencana serupa.
Āmīn. Wallāhu a‘lam.

* Mahasiswa Prodi Hukum Keluarga (Ahwal Syakhshiyah) FIAI UII 2022

Maraji’ :

[1] Diyan Faturahman. “Menjaga Keseimbangan Alam.” Suara Muhammadiyah. https://web.suaramuhammadiyah.id/2020/04/05/menjaga-keseimbangan-alam/. Diakses pada 3 Desember 2025.

[2] Prof Dr H. Sofyan Sauri, MPd. “Tatkala Bumi Mulai Bergerak dan Mata Membelalak.” GontorNews. https://gontornews.com/tatkala-bumi-mulai-bergerak-dan-mata-membelalak/. Diakses pada 3 Desember 2025.

[3] BAZNAS. “Belajar Ikhlas Menerima Kenyataan Hidup: 7 Cara Menerima Tanpa Menyalahkan.” https://kabtrenggalek.baznas.go.id/artikel/show/belajar-ikhlas-menerima-kenyataan-hidup-7-cara-menerima-tanpa-menyalahkan/30575. Diakses pada 3 Desember 2025.

[4] Muhammad Abduh Tuasikal, MSc. “Musibah Datang Boleh Jadi Karena Dosa.” Rumaysho.com. https://rumaysho.com/2286-musibah-datang-boleh-jadi-karena-dosa.html. Diakses pada 3 Desember 2025.

[5] Ibid.

[6] Admin. “KETAHUI! INI SIKAP TERBAIK KETIKA TERTIMPA MUSIBAH.” Rumah Zakat. https://www.rumahzakat.org/sikap-ketika-tertimpa-musibah/. Diakses pada 3 Desember 2025.

Download Buletin klik di sini

Berpikir Itu Ibadah: Terapi Islami untuk Kesehatan Mental Gen Z

Berpikir Itu Ibadah: Terapi Islami untuk Kesehatan Mental Gen Z

Charlee Dhiaulhaq

 

Islam sebagai agama rahmatan lil-alamin yang berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah Rasûlullâh ﷺ yang menjadi pedoman utama kehidupan. Dalam praktik kontemplatifnya, Islam telah menuntut secara jelas dan selaras dengan kebutuhan fisik, jiwa maupun emosional umatnya. Refleksi Kesehatan mental Islami telah diajarkan melalui konsep berfikir tadabbur dan tafakkur. Konsep dari tadabbur dan tafakkur memberikan landasan dengan kesadaran berfikir di era modern namun dengan kematangan pemikiran yang lebih dalam dan beralaskan arah pemahaman Islami.

Sementara kesadaran berfikir dalam ilmu psikologi berfokus dengan mendasarkan pikiran pada kejadian atau momen saat ini untuk mengurangi stres dan mengatur emosi agar lebih stabil. Islam dengan perkembanganya telah lama menekankan kesadaran reflektif, namun dengan tujuan utama yaitu menghubungkan pikiran kembali dengan sang Pencipta melalui teologi konstruksi berfikir Islami.

Tadabbur

Tadabbur secara etimologis menunjuk pada aktivitas menelaah, menimbang, dan memahami suatu perkara beserta konsekuensi baik maupun buruknya. Istilah ini juga mencakup proses menelusuri hakikat, unsur-unsur penyebab, akibat, serta urutan peristiwa yang melingkupi sebuah makna. Bentuk lafaz tadabbur dalam pola tafa’ul memberikan nuansa pengulangan, penguatan makna, serta perkembangan bertahap dalam proses berpikir. Perintah untuk bertadabbur bersifat universal, mencakup manusia maupun jin, muslim ataupun nonmuslim, selama mereka memiliki kapasitas intelektual untuk belajar, menangkap pesan ilahi, serta mengaplikasikan kandungannya dalam kehidupan.[1]

Tadabbur bukan sekadar membaca ayat-ayat Al-Qur’an, melainkan melakukan pengamatan mendalam, pengkajian runtut, serta penyerapan makna secara emosional dan rasional. Melalui praktik ini, pembaca diharapkan mampu menangkap pesan moral, nilai spiritual, serta hikmah yang tersirat, sehingga Al-Qur’an tidak hanya menjadi bacaan ritual, tetapi sumber transformasi batin dan perilaku.

Tafakkur

Tafakur adalah pengerahan hati dengan mempikirkan apa yang terlihat dari suatu dalil atau tanda. Tafakkur lebih banyak digunakan di dalam Al-Qur’an pada obyek yang berhubungan dengan penalaran akan ciptaan Allâh ﷻ, dan memfikirkan keindahannya. Tafakkur adalah sebuah agenda refleksi atas tanda-tanda kuasa Allâh ﷻ di dunia baik berupa penciptaan alam, pengetahuan dan pengalaman, bahkan kejadian sehari-hari yang terjadi kepada kita.[2]

Tafakkur dipahami sebagai proses intelektual dan spiritual yang melibatkan aktivitas berpikir, merenung, serta penghayatan batin terhadap berbagai fenomena. Praktik ini menuntut kehati-hatian, sebab dalam tradisi Islam wilayah perenungan dibatasi hanya pada ciptaan Allâh ﷻ, bukan pada zat-Nya yang tidak dapat dijangkau akal manusia. Ketika tafakkur dilakukan oleh individu yang tidak beriman, hasil renungannya cenderung menjauhkan manusia dari pengenalan terhadap Allâh ﷻ.

Berbeda halnya dengan kelompok ulul albab, yakni insan yang memiliki kejernihan nalar dan keteguhan hati. Mereka menjalankan tafakkur tanpa mencampuradukkan logika dengan bisikan hawa nafsu atau gagasan yang dilarang syariat, sehingga hasil pemikirannya tetap berada dalam koridor kebenaran.

Allâh ﷻ berfirman,

إِنَّ فِى خَلْقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَٱخْتِلَٰفِ ٱلَّيْلِ وَٱلنَّهَارِ لَءَايَٰتٍ لِّأُو۟لِى ٱلْأَلْبَٰبِ. ٱلَّذِينَ يَذْكُرُونَ ٱللَّهَ قِيَٰمًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِى خَلْقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَٰطِلًا سُبْحَٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ.

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal”. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia. Mahasuci Engkau. Lindungilah kami dari azab neraka. (QS Ali Imran [3]: 190-191).

Menurut Syekh Muhammad Mutawalli As-Sya’rawi, ulul albab ialah orang-orang yang dianugerahi akal bersih, terbebas dari dorongan emosional yang menyesatkan, serta hati yang mampu menembus inti realitas, bukan sekadar terpaku pada apa yang tampak di permukaan. Dengan kemampuan ini, tafakkur menjadi sarana penyucian batin, penajaman visi, dan peneguhan iman, sehingga setiap renungan menghasilkan pemahaman yang jernih, terarah, serta selaras dengan petunjuk Allah.

Sisi Kesehatan

Temuan ilmu saraf modern menunjukkan bahwa dua bentuk refleksi Islami yaitu tadabbur dan tafakkur yang memiliki dampak positif terhadap kondisi mental. Dalam kajian neuroscience, aktivitas merenung secara terarah mampu menekan kinerja default mode network (DMN), yaitu jaringan otak yang aktif saat pikiran berputar tanpa kendali, penuh kekhawatiran, serta diliputi kecemasan.

Ketika DMN mereda, pikiran memperoleh ruang tenang, ritme mental melambat, dan persepsi terhadap situasi menjadi lebih jernih. Penelitian juga menjelaskan bahwa proses kontemplatif mampu menstabilkan emosi, menurunkan hormon stres seperti kortisol, serta menumbuhkan rasa nyaman yang menenangkan tubuh dan jiwa.

Aktivitas ini mengarahkan manusia untuk menata kembali arus kesadaran, mengamati pengalaman secara perlahan, memahami gejolak batin, serta menyerap makna hidup tanpa terburu-buru. Dari sudut pandang psikologi, proses refleksi semacam ini mengurangi kelelahan mental yang muncul akibat pikiran yang tidak tersusun.

Ketika seseorang memberi waktu untuk mengamati dirinya, kejernihan meningkat, ketegangan mereda, dan kemampuan bertahan menghadapi situasi sulit menjadi lebih kuat. Pemikiran spiritual yang dilakukan secara berulang turut memperkuat ketenangan batin, menumbuhkan kesabaran, serta memperjelas tujuan hidup.

Pada akhirnya Islam telah menawarkan cara pandang yang melampaui sekadar proses “berpikir mendalam dan teratur”. Konsep berpikir dalam Islam juga berfungsi sebagai penawar bagi kesehatan mental yang bersifat menyeluruh, bekerja sebagai ruang refleksi yang menenangkan pikiran, menstabilkan emosi, serta menyelaraskan hati.

Pada akhirnya, tadabbur dan tafakkur bukan sekadar aktivitas intelektual, melainkan ibadah yang menghidupkan hati dan menegakkan kembali keseimbangan jiwa. Di tengah krisis mental yang banyak melanda generasi modern, khususnya Gen Z, Islam telah menyediakan ruang kontemplatif yang tidak hanya menenangkan, tetapi juga mengarahkan pikiran menuju makna terdalam keberadaan. Saat seseorang menghubungkan proses berpikirnya dengan Allâh ﷻ, ia akan menemukan keteguhan, kejernihan, dan ketenteraman yang tidak dapat diberikan oleh apa pun selain-Nya. Dengan demikian, berpikir dalam bingkai iman bukan hanya jalan menuju kesehatan mental, tetapi juga jalan menuju kedewasaan spiritual dan kedekatan hakiki dengan Sang Pencipta.

Maraji’ :

[1] Zamroni Ishaq and Ihsan Maulana Hamid, ‘Konsep Dan Metode Tadabbur Dalam Al-Qur’an’, Ummul Qura Jurnal Institut Pesantren Sunan Drajat (INSUD) Lamongan 16, no. 2 (2021): 132–41, https://doi.org/10.55352/uq.v16i2.143.

[2] Uswatun Hasanah and Hartono Hartono, ‘Tafakkur Sebagai Konsepsi Menuju Keabadian Manusia Modern’, As-Syifa: Journal of Islamic Studies and History 1, no. 1 (2022): 01–24, https://doi.org/10.35132/assyifa.v1i1.192.

Download Buletin klik di sini

Tubuhmu Juga Punya Hak

Tubuhmu Juga Punya Hak

Frihastama

 

Dampak Kelelahan bagi Tubuh dan Pikiran

Masyarakat modern hidup dalam ritme yang semakin cepat. Pekerjaan datang silih berganti, tuntutan ekonomi kian berat, dan ukuran keberhasilan sering kali ditentukan oleh seberapa lama seseorang mampu bekerja tanpa henti. Lembur menjadi hal yang dianggap biasa, kurang tidur dinilai sebagai konsekuensi perjuangan, dan kelelahan sering dipahami sebagai tanda kesungguhan. Dalam situasi seperti ini, tubuh kerap dipaksa untuk terus bergerak tanpa diberi ruang untuk beristirahat.[1]

Kebiasaan bekerja tanpa mengenal waktu perlahan menggerus kesehatan. Tubuh yang lelah dipaksa tetap produktif, pikiran yang penat dituntut terus fokus, dan emosi yang tidak stabil dibiarkan menumpuk. Akibatnya, gangguan kesehatan fisik dan mental semakin sering muncul, mulai dari kelelahan kronis, gangguan tidur, stres berkepanjangan, hingga menurunnya kualitas hubungan sosial dan ibadah.[2] Fenomena ini menunjukkan bahwa tubuh kerap diperlakukan seolah tidak memiliki batas dan hak.

Dari sudut pandang kesehatan, istirahat merupakan kebutuhan dasar manusia. Tidur yang cukup membantu tubuh memulihkan energi, memperbaiki sel-sel yang rusak, dan menjaga kestabilan emosi. Kurangnya istirahat terbukti berdampak pada menurunnya daya tahan tubuh, meningkatnya risiko penyakit, serta gangguan konsentrasi dan suasana hati.[3] Oleh sebab itu, perhatian terhadap pola kerja dan waktu istirahat menjadi bagian penting dalam menjaga kualitas hidup.

Fenomena kerja berlebihan juga berdampak pada kehidupan sosial. Orang yang terlalu lelah cenderung mudah tersinggung, sulit mendengar, dan kurang empati terhadap orang lain. Hubungan keluarga menjadi renggang, komunikasi tidak sehat, dan konflik mudah muncul.[4] Kondisi ini menunjukkan bahwa kesehatan tubuh memiliki kaitan erat dengan keharmonisan relasi sosial.

Islam Mengajarkan Keseimbangan

Dalam perspektif Islam, tubuh tidak dipandang sekadar sebagai alat untuk bekerja dan mencari nafkah, melainkan amanah dari Allâh ﷻ yang harus dijaga.[5] Menjaga kesehatan jasmani menjadi bagian dari tanggung jawab seorang hamba agar mampu menjalankan perannya secara optimal, baik dalam urusan dunia maupun ibadah.

Rasulullâh ﷺ memberikan penegasan tentang hal ini melalui sabdanya. Dari ‘Abdullah bin ‘Umar x, Rasulullah ﷺ bersabda:

فَإِنَّ لِجَسَدِكَ عَلَيْكَ حَقًّا

“Sesungguhnya tubuhmu memiliki hak atas dirimu.” (HR Bukhari, no. 5199 dan Muslim, no. 1159)

Hadits ini menegaskan bahwa memenuhi kebutuhan tubuh, termasuk istirahat yang cukup, bukanlah bentuk kelalaian atau kemalasan, melainkan bagian dari tuntunan agama yang mengajarkan keseimbangan hidup agar manusia mampu menjaga kesehatan, menjalankan ibadah dengan lebih baik, dan menunaikan tanggung jawabnya secara berkelanjutan.

Prinsip tersebut sejalan dengan penegasan Al-Qur’an bahwa waktu istirahat merupakan bagian dari ketetapan Allâh ﷻ dalam kehidupan manusia. Allâh ﷻ berfirman:

وَمِنْ آيَاتِهِ مَنَامُكُمْ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَابْتِغَاؤُكُمْ مِنْ فَضْلِهِ ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَسْمَعُونَ

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah tidurmu di waktu malam dan siang hari serta usahamu mencari sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mau mendengarkan.” (QS Ar-Rūm [30]: 23).

Ayat ini menunjukkan bahwa bekerja dan beristirahat merupakan dua aktivitas yang sama-sama diakui dan diatur oleh Allâh ﷻ dalam tatanan kehidupan manusia. Keduanya ditempatkan secara seimbang sebagai bagian dari sunnatullah, sehingga mengabaikan salah satunya berarti keluar dari keseimbangan yang telah ditetapkan dan berpotensi menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan fisik, ketenangan jiwa, serta kualitas ibadah.

Bekerja keras dalam Islam tidak pernah dimaknai sebagai bekerja tanpa batas. Islam mendorong umatnya untuk berusaha secara sungguh-sungguh, namun tetap dalam bingkai keseimbangan antara kerja dan istirahat, antara aktivitas dunia dan kebutuhan diri, serta antara tuntutan materi dan ketenangan batin. Ketika keseimbangan ini terjaga, kualitas ibadah dan kesehatan jiwa dapat berjalan beriringan.

Kesadaran bahwa tubuh memiliki hak menuntut perubahan cara pandang. Istirahat tidak lagi dipahami sebagai kemalasan, melainkan sebagai bentuk tanggung jawab. Menghentikan pekerjaan sejenak bukan tanda menyerah, tetapi upaya menjaga amanah agar tubuh tetap mampu menjalankan fungsinya secara optimal.

Mengatur Waktu dan Menjaga Batas

Kesadaran ini juga menuntut kemampuan untuk mengelola waktu dan menetapkan batas yang sehat dalam bekerja. Dalam praktiknya, banyak orang merasa sulit berhenti karena tekanan ekonomi, tuntutan lingkungan kerja, atau dorongan untuk terus membuktikan diri. Padahal, mengenali batas kemampuan tubuh merupakan bagian dari kecerdasan hidup. Dengan perencanaan waktu yang lebih bijak, seseorang dapat mengatur ritme kerja, menyediakan waktu istirahat yang cukup, serta memberi ruang bagi pemulihan fisik dan mental. Langkah-langkah sederhana seperti jeda kerja, tidur teratur, dan waktu bersama keluarga menjadi investasi jangka panjang bagi kesehatan dan keberlanjutan produktivitas.

Pemahaman ini mengantarkan pada kesimpulan bahwa menjaga kesehatan merupakan bagian dari ketaatan kepada Allâh ﷻ. Tubuh yang sehat memungkinkan manusia bekerja dengan lebih baik, beribadah dengan lebih khusyuk, dan menjalin hubungan sosial yang lebih harmonis. Islam tidak mengajarkan umatnya untuk mengorbankan diri hingga hancur, melainkan mengarahkan pada jalan tengah yang penuh hikmah.

Semoga Allâh ﷻ membimbing kita untuk mampu bekerja dengan sungguh-sungguh tanpa melalaikan hak tubuh, memberi kita kesadaran untuk beristirahat ketika lelah, menenangkan jiwa yang penat, serta menjadikan kesehatan sebagai sarana untuk beribadah dan berbuat kebaikan di jalan-Nya. Āmīn yā Rabbal ‘ālamīn.

Maraji’ :

[1] World Health Organization. WHO guidelines on mental health at work. WHO. 2022.

[2] Ganster, D. C., & Rosen, C. C. (2013). “Work stress and employee health: A multidisciplinary review.” dalam  Journal of Management. Vol. 39. No. 5. Tahun 2023. h. 1085–1122.

[3] Hirshkowitz, M., et al. “National Sleep Foundation’s sleep time duration recommendations.” dalam Sleep Healt: The National Sleep Foundation’s. Vol. 1. No. 1. Tahun 2015. h. 40–43.

[4] Allen, T. D., French, K. A., Dumani, S., & Shockley, K. M. “A cross-national meta-analytic examination of predictors and outcomes associated with work–family conflict.” dalam  Journal of Applied Psychology. Vol. 105. No. 6. Tahun 2020. h. 539–576.

[5] Nasr, S. H. The heart of Islam: Enduring values for humanity. HarperCollins. 2002.

Download Buletin klik di sini

Agama adalah An-Nashihah: Makna yang Lebih Dalam dari Sekadar Nasihat

Agama adalah An-Nashihah: Makna yang Lebih Dalam dari Sekadar Nasihat

Akhukum, Yanayir Ahmad, S.T*

 

Bismillâh, wasshalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâhi, waba’du.

Sahabat Al-Rasikh yang semoga dirahmati oleh Allah, salah satu hadits agung yang sering dikutip sebagai dasar besar dalam agama kita adalah sabda Nabi ﷺ yang diriwayatkan Imam Muslim, dari Tamim ad-Dari z, bahwa Nabi ﷺ bersabda:

الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ قُلْنَا: لِمَنْ؟ قَالَ للهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُوْلِهِ وَلِأَئِمَّةِ المُسْلِمِيْنَ وَعَامَّتِهِمْ

“Agama itu adalah An-Nashihah.” Ketika para sahabat bertanya, “Untuk siapa?”, Nabi ﷺ menjawab, “Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum Muslimin, dan seluruh kaum Muslimin.” (HR Muslim, no. 55)

Makna An-Nashihah

Saat diterjemahkan secara langsung ke bahasa Indonesia, kata an-nashihah biasanya diartikan dengan “nasihat”, sehingga orang-orang kita seolah memahami maknanya terbatas pada tindakan memberi saran, menegur, atau mengarahkan (sebagaimana dalam KBBI). Namun, jika hadits tersebut dipahami dengan makna nasihat dalam KBBI  itu, maka akan muncul kesan janggal: apakah benar maksudnya kita “menasihati Allah”, “menasihati Al-Qur’an”, atau “menasihati Rasulullah”? Tentu bukan itu maksud Nabi ﷺ.

Para ulama menjelaskan bahwa makna An-Nashihah dalam hadits ini jauh lebih luas daripada sekadar “nasihat” dalam pemahaman bahasa Indonesia. Dalam bahasa Indonesia nasihat berarti anjuran atau saran, sementara dalam bahasa Arab, kata An-Nashihah di antaranya bermakna ketulusan dan kemurnian. Kata ini biasa digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang murni dan tidak tercampuri kecurangan.

Disebutkan oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz v, beliau menjelaskan bahwa kata An-Nashihah itu adalah “ketulusan dalam suatu perkara, perhatian terhadapnya, serta kesungguhan agar perkara itu ditunaikan secara sempurna dan utuh, tanpa penipuan, tanpa pengkhianatan, dan tanpa kelalaian. Dalam bahasa Arab dikatakan: dzahaba nāshiḥ, artinya: ‘tidak ada padanya kecurangan.’ Mereka juga berkata: ‘amal nāshiḥ, maksudnya: “pekerjaan yang tidak ada unsur penipuannya.”[1]

Maka, dengan memahami hal ini, yakni bahwa kata An-Nashihah dalam bahasa arab maknanya tidak sesempit makna kata nasihat dalam bahasa kita, barulah makna sabda Nabi ﷺ dapat kita pahami dengan lebih mudah: bahwa agama pada hakikatnya berdiri di atas prinsip “An-Nashihah”, yakni ketulusan dalam menunaikan seluruh hak-hak syariat, mulai dari hak Allah, hak kitab-Nya, hak Rasul-Nya, hingga hak para pemimpin dan seluruh kaum Muslimin.

Dari sini, barulah makna lanjutan hadits tersebut semoga menjadi lebih jelas dan mudah dipahami oleh kita. Berikut saya ringkaskan makna hadits di atas masih dari penjelasan Syaikh Bin Baz v:[2]

  1. An-Nashihah untuk Allah

Ketika Nabi ﷺ bersabda bahwa An-Nashihah untuk Allah, maksudnya adalah bahwa seorang hamba harus bersungguh-sungguh dalam menunaikan hak-hak Allah dengan penuh keikhlasan dan ketulusan. Ini mencakup keikhlasan dalam beribadah, mentauhidkan-Nya, beribadah hanya kepada-Nya semata, tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, serta tulus ikhlas melaksanakan kewajiban yang telah diperintahkan-Nya dengan sebaik-baiknya serta meninggalkan apa-apa yang telah diharamkan-Nya. Ia laksanakan itu semua atas dasar iman dan ilmu akan betapa agungnya hak Allah atas dirinya, sehingga ia berusaha menyempurnakan hak-hak Allah itu dengan sebaik-baiknya.

  1. An-Nashihah untuk Kitab-Nya

Adapun An-Nashihah untuk kitab-Nya, maknanya seorang hamba menunaikan hak-hak Al-Qur’an atas dirinya dengan tulus. Hal ini mencakup beriman bahwa Al-Qur’an adalah firman Allah (bukan makhluk), mempelajari kandungannya, mentadabburinya, serta tulus mengamalkan perintah-perintah dan menjauhi larangan-larangan yang ada di dalamnya.

  1. An-Nashihah untuk Rasul-Nya

Kemudian begitu juga, An-Nashihah untuk Rasul-Nya, maksudnya seorang hamba menunaikan hak-hak Rasulullah Muhammad ﷺ dengan tulus. Yakni mencakup menaati beliau, menjauhi larangannya, mengimani bahwasannya beliau adalah Rasulullah dengan penuh keyakinan dan bahwa beliau adalah penutup para Nabi dan Rasul. Termasuk menunaikan hak Rasul juga adalah membela sunnah beliau, mempelajari hadits-hadits beliau, dan menjaga batasan-batasan aturan syariat yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya ﷺ.

  1. An-Nashihah untuk para pemimpin kaum Muslimin

Begitu pula, An-Nashihah kepada para pemimpin kaum Muslimin, berarti menunaikan hak-hak mereka dengan tulus. Ini mencakup mendoakan mereka agar mendapat taufik, menaati mereka dalam perkara yang ma’ruf (baik), dan tidak memberontak mereka, dan tidak keluar dari ketaatan kepada mereka selama mereka tidak melakukan kekufuran yang nyata. Termasuk juga berarti memberikan peringatan atau teguran (amar ma’ruf nahi munkar) kepada mereka dengan cara yang baik, penuh kelembutan, dan melalui jalur yang benar —bukan dengan menebar fitnah, provokasi, atau menebar kebencian di tengah umat.

  1. An-Nashihah untuk seluruh kaum Muslimin

Dan terakhir, An-Nashihah kepada seluruh kaum Muslimin pun berarti juga menunaikan hak-hak mereka dengan tulus. Ini meliputi mengajari dan memahamkan mereka tentang Agama mereka, mengajak mereka kembali kepada Allah, serta menegakkan amar ma’ruf nahi munkar di tengah-tengah mereka.

Demikian secara ringkas makna hadits di atas. Maka, dengan memahami penjelasan ringkas ini, semoga kita menyadari bahwa sabda Nabi ﷺ tentang “Agama adalah An-Nashihah” tidaklah dipahami dengan makna sempit sebagaimana makna “nasihat” dalam KBBI. Tetapi dapat dipahami dengan makna yang lebih luas daripada itu, yakni An-Nashihah dengan makna segala yang berkaitan dengan menunaikan hak-hak kepada yang berhak mendapatkannya dengan tulus.

Inilah hakikat agama yang sering terluputkan: agama yang dibangun di atas ketulusan dan komitmen dalam menunaikan hak-hak kepada yang memang berhak mendapatkannya.

Semoga Allah memberi taufiq kepada kita semua, aamiin.

Maraji’ :

* Alumni Teknik Elektro UII ‘17

[1] Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz. “شرح حديث الدين النصيحة” https://binbaz.org.sa/fatwas/20174/شرححديثالدينالنصيحة . Diakses pada 25 November 2025.

[2] Ibid.

Download Buletin klik di sini

Langkah Memahami Akidah Yang Benar

Langkah Memahami Akidah Yang Benar

Tan Lie Yong

 

Sahabat pembaca Ar-Rasikh—aḥsanallâhu ilaikum—, pernahkah kita bertanya kepada diri sendiri: apa yang sebenarnya menjadi dasar dari seluruh amal ibadah kita? Mengapa seseorang bisa tetap tenang meski menghadapi ujian hidup, sementara yang lain mudah goyah oleh sedikit cobaan? Apakah cukup hanya beribadah tanpa memahami kepada siapa kita beribadah dan mengapa kita beribadah?

Pertanyaan-pertanyaan sederhana ini membawa kita pada satu hal mendasar dalam kehidupan seorang Muslim—akidah. Ia adalah fondasi yang menopang seluruh bangunan keimanan dan amal. Tanpa akidah yang benar, amal sebesar apa pun bisa kehilangan arah dan makna.

Akidah merupakan pondasi utama dalam kehidupan seorang Muslim. Ia menjadi dasar bagi seluruh amal dan penentu diterima atau tidaknya ibadah seseorang.[1] Karena itu, akidah yang lurus tidak hanya menuntun seseorang dalam beribadah, tetapi juga akan menumbuhkan keikhlasan, ketenangan hati,[2] dan keyakinan yang kokoh dalam menghadapi berbagai ujian kehidupan.

Lalu, bagaimana langkah agar kita dapat memahami akidah dengan benar dan mendalam sesuai tuntunan Islam? Berikut beberapa langkah yang dapat dilakukan:

  1. Mengenal Allâh dengan benar

Langkah pertama dalam memahami akidah adalah mengenal Allâh ﷻ (ma’rifatullâh), sebagaimana Dia memperkenalkan diri-Nya dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Tanpa mengenal Allâh ﷻ dengan benar, seseorang tidak akan mampu menempatkan ibadah, cinta, dan ketundukan pada tempat yang semestinya. Allâh ﷻ berfirman:

فَٱعْلَمْ أَنَّهُۥ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا ٱللَّهُ

“Maka ketahuilah (ilmuilah), bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (yang berhak diibadahi dengan benar) selain Allah.” (QS Muhammad [47]: 19).

Ayat ini mengandung makna mendalam, iman yang benar harus diawali dengan ilmu. Sebelum seseorang beribadah, ia perlu mengenal siapa yang disembah. Karena itu, mengenal Allâh bukan sekadar pengetahuan teoretis, melainkan pengenalan hati yang melahirkan cinta, rasa takut, harapan, dan penghambaan yang tulus kepada-Nya.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menegaskan, “Ilmu tentang Allâh, nama-nama, dan sifat-sifat-Nya merupakan puncak ilmu yang paling mulia, karena kemuliaan suatu ilmu tergantung pada objek yang dipelajari, dan tidak ada yang lebih mulia daripada mengenal Allâh.”[3]

  1. Belajar dari sumber yang otentik

Pemahaman akidah yang benar harus bersandar pada Al-Qur’an, hadis sahih, dan penjelasan ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Ketiga sumber ini menjadi pedoman dalam mengenal Allâh ﷻ, memahami keesaan-Nya, serta menafsirkan makna iman dengan benar.

Al-Qur’an adalah kalam Allâh ﷻ yang berisi fondasi keyakinan tentang siapa Allâh dan bagaimana beriman kepada-Nya. Hadis Nabi ﷺ menjadi penjelas praktis agar umat memahami wahyu secara utuh.

Para ulama Ahlus Sunnah seperti Imam Ahmad, Imam Asy-Syafi’i, dan Imam Abu Hanifah juga menegaskan pentingnya berpegang pada nash dan atsar, karena akidah tidak boleh dipisahkan dari Al-Qur’an dan Sunnah—cahaya yang tidak menyesatkan siapa pun yang berjalan di bawah petunjuknya.

Imam Asy-Syafi’i berkata:

مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ بِغَيْرِ دَلِيلٍ مِنَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ ضَلَّ.

“Barang siapa mencari ilmu agama tanpa dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah, maka ia akan tersesat dalam kebingungan.”[4]

Dalam hal ini, Imam al-Ghazali memberikan pernyataan:

مَنْ طَلَبَ الحَقَّ بِغَيْرِ نُورِ الوَحْيِ زَلَّ وَتَاهَ فِي مَتَاهَاتِ الشُّبُهَاتِ.

“Barang siapa mencari kebenaran tanpa cahaya wahyu, ia akan tergelincir dan tersesat dalam kebingungan serta keraguan.”[5]

  1. Memahami secara bertahap

Akidah bukanlah ilmu yang dapat dikuasai sekaligus dalam waktu singkat. Rasulullah ﷺ mendidik para sahabat secara bertahap; dimulai dari penguatan tauhid, kemudian dilanjutkan dengan penanaman iman kepada malaikat, kitab, rasul, hari akhir, serta takdir. Metode bertahap ini menunjukkan bahwa pemahaman akidah menuntut proses yang sabar, mendalam, dan berkelanjutan.

Oleh karena itu, belajar akidah sebaiknya dimulai dari hal-hal yang paling mendasar, antara lain:

  1. Memahami makna kalimat tauhid “Lā ilāha illallāh”. Sebagai inti pengesaan Allâh ﷻ dalam ibadah dan pengingkaran terhadap segala bentuk kesyirikan.
  2. Mengetahui bentuk-bentuk tauhid: rubūbiyyah (mengesakan Allâh ﷻ dalam perbuatan-Nya), ulūhiyyah (mengesakan Allâh ﷻ dalam ibadah), dan asmā’ wa ṣifāt (menetapkan nama dan sifat Allâh ﷻ sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Sunnah tanpa penyerupaan).
  3. Mengenali bahaya syirik dan bid’ah, karena keduanya dapat merusak kemurnian iman dan menjauhkan seseorang dari jalan yang lurus.

Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan Ālu Syaikh — salah satu ulama besar dalam bidang tauhid — menegaskan:

مَنْ لَمْ يَفْهَمْ مَعْنَى لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ لَمْ يَذُقْ حَلَاوَةَ الإِيمَانِ

“Barang siapa tidak memahami makna kalimat tauhid, maka ia tidak akan merasakan manisnya iman.”[6]

  1. Berguru pada ulama yang lurus aqidahnya

Dalam menuntut ilmu, terutama ilmu akidah, bimbingan guru yang memiliki sanad keilmuan yang jelas sangatlah penting. Akidah bukan sekadar teori yang dibaca, tetapi ilmu yang membutuhkan penjelasan dan pemahaman yang benar dari pembimbing yang terpercaya.

Para ulama menekankan pentingnya talaqqi, yaitu belajar langsung dari guru ahli yang memiliki silsilah ilmu bersambung hingga Rasulullah ﷺ. Melalui talaqqi, ilmu diwariskan bukan hanya secara intelektual, tetapi juga secara spiritual dan melalui adab. Ilmu dari guru bersanad menjaga seseorang dari kesalahan dalam memahami nash, serta menghindarkannya dari penyimpangan pemikiran yang sering muncul akibat belajar tanpa bimbingan.

Syaikh Ṣāliḥ al-Fauzān mengingatkan dengan tegas:

مَنْ أَخَذَ الْعِلْمَ مِنَ الْكُتُبِ ضَلَّ أَكْثَرَ مِمَّا يُصِيبُ

“Barang siapa mengambil ilmu hanya dari buku tanpa guru, maka ia akan menyimpang lebih banyak daripada ia memperoleh kebenaran.”[7]

  1. Mengamalkan ilmu dan berdoa agar teguh

Ilmu akidah tidak cukup hanya dipahami secara intelektual, tetapi harus diiringi dengan pengamalan dan doa. Akidah yang benar seharusnya menumbuhkan ketundukan hati, keikhlasan dalam beribadah, serta keteguhan dalam menghadapi berbagai ujian hidup. Ilmu tanpa amal bagaikan pohon tanpa buah, sementara amal tanpa dasar akidah yang lurus bagaikan bangunan tanpa fondasi.

Rasulullah ﷺ sendiri adalah teladan utama dalam menjaga kemurnian akidah melalui doa dan amal. Beliau sering memohon keteguhan hati kepada Allâh ﷻ dengan doa yang penuh makna:

يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ

“Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku di atas agama-Mu.” (HR At-Tirmidzi, no. 3522).

Doa ini menunjukkan bahwa keteguhan akidah bukan semata hasil pengetahuan, melainkan anugerah dari Allâh yang harus terus dijaga dengan doa dan amal saleh. Hati manusia bersifat lemah dan mudah berubah, sementara hidayah adalah karunia yang hanya Allâh ﷻ yang dapat menetapkannya.

Memahami akidah yang benar dimulai dari mengenal Allah, belajar dari sumber sahih, mengikuti bimbingan ulama, serta mengamalkan ilmunya. Dengan begitu, iman semakin kokoh dan hati tetap teguh dalam ketaatan kepada Allâh.

Maraji’ :

[1] Ibn Taimiyyah. Al-‘Aqidah al-Wasithiyyah. Riyadh: Dar al-Salam. 1996. h. 12–14.

[2] Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin. Syarh al-‘Aqidah al-Wasithiyyah. Madinah: Maktabah al-‘Ilm. 2004. h. 21.

[3] Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin. Syarh al-‘Aqidah al-Wasithiyyah. Madinah: Maktabah al-‘Ilm. 2004. h. 21.

[4] Al-Bayhaqi. Manaqib Asy-Syafi’i. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah. 1997. jilid I. h. 469.

[5] Imam al-Ghazali. Ihya’ ‘Ulum ad-Din. Beirut: Dar al-Ma’rifah. 1996. jilid I. h. 20.

[6] ‘Abdurrahman bin Hasan Ālu Syaikh. Fath al-Majīd Syarḥ Kitāb al-Tauḥīd. Riyadh: Dār al-Salām. 2002. h. 45.

[7] Ṣāliḥ al-Fauzān. Muqaddimah al-Tauḥīd. Riyadh: Maktabah al-Ma’ārif. 2010. h. 8.

Download Buletin klik di sini

Yuk Gerak, Jangan Mager

Yuk Gerak, Jangan Mager

Muhammad Insan Fathin, S.Si.*

 

Bismillāhi waṣ-ṣalātu was-salāmu ‘alā Rasūlillāh, wa ba‘du.

Pembaca yang semoga dirahmati Allâh ﷻ, Sering kali kita mendengar istilah mager (malas gerak) menjadi tren di tengah masyarakat. Namun tahukah kita, bahwa mager bukanlah sifat yang patut dibanggakan? Justru Rasûlullâh ﷺ setiap hari memohon perlindungan kepada Allâh dari sifat malas. Zaid bin Arqam berkata, Rasûlullâh ﷺ bersabda:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ، وَالْجُبْنِ وَالْبُخْلِ، وَالْهَرَمِ وَعَذَابِ الْقَبْرِ، اللَّهُمَّ آتِ نَفْسِي تَقْوَاهَا، وَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلَاهَا.

“Ya Allâh, aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan dan kemalasan, dari sifat pengecut dan kikir, dari kepikunan dan azab kubur. Ya Allâh, berilah jiwaku ketakwaannya dan sucikanlah ia. Engkau sebaik-baik Dzat yang menyucikannya, Engkau pelindung dan penolongnya.” (HR Muslim, no. 2722).[1]

Doa ini menunjukkan bahwa malas bukan sekadar kebiasaan buruk, tetapi penyakit jiwa yang harus dijauhi. Bahkan Rasûlullâh ﷺ tidak menginginkan sifat itu ada pada dirinya. Beliau mengajarkan agar setiap Muslim senantiasa bergerak, bersemangat, dan produktif dalam kebaikan, karena dalam pergerakan terdapat keberkahan, sementara dalam kemalasan terdapat kerusakan dan kehinaan.

Kemalasan Adalah Sifat Tercela

Sifat malas (terutama dalam beribadah) selalu identik dengan orang-orang yang Allâh ﷻ berikan kemurkaan. Di antara yang Allâh ﷻ sifati dengan kemalasan adalah orang-orang munafik. Allâh ﷻ berfirman:

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allâh, dan Allâh akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk salat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya di hadapan manusia. Dan mereka tidak mengingat Allâh kecuali sedikit sekali.” (QS An-Nisā’ [4]: 142).

Allâh ﷻ juga mensifati orang-orang kafir dengan rasa malas,

وَمَا مَنَعَهُمْ أَنْ تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقَاتُهُمْ إِلَّا أَنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَبِرَسُولِهِ وَلَا يَأْتُونَ الصَّلَاةَ إِلَّا وَهُمْ كُسَالَى وَلَا يُنْفِقُونَ إِلَّا وَهُمْ كَارِهُونَ

“Dan tidak ada yang menghalangi sedekah mereka diterima melainkan karena mereka kafir kepada Allâh dan Rasul-Nya, dan mereka tidak melaksanakan salat kecuali dengan malas, dan tidak pula menafkahkan (harta) mereka melainkan dengan rasa enggan.” (QS At-Taubah [9]: 54).

Orang-orang malas selalu mengikuti dan menuruti hawa nafsunya. Dari Abu Ya’la Syaddad bin Ausz, dari Nabi ﷺ bersabda:

الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ، وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللَّهِ.

“Orang yang cerdas adalah orang yang mengoreksi dirinya dan beramal untuk kehidupan setelah mati. Sedangkan orang yang lemah adalah yang menuruti hawa nafsunya dan berangan-angan kepada Allâh.” (HR Tirmidzi, no. 2459).[2]

Kemalasan Pangkal Keburukan

Hadis di atas menunjukkan bahwa orang yang senantiasa mengikuti hawa nafsunya akan menjadi orang yang lemah, dan orang yang malas adalah orang yang lemah. Disebutkan dalam kitab Tuhfatu al-Majdi as-Sharih fi Syarhi Kitabi al-Fashih, Abu Ja’far menjelaskan bahwa al-‘ajzu (kelemahan) adalah ketidakmampuan seseorang menggapai apa yang ia inginkan. Maka, kemalasan identik dengan kelemahan karena seorang yang malas akan terhalang dari apa yang ia inginkan.[3]

Orang yang terlena memenuhi hawa nafsunya akan terlena dengan kemalasan-kemalasan sehingga ia tidak mendapatkan apa yang baik baginya. Padahal, hawa nafsu diciptakan bagi manusia bukan untuk diikuti, melainkan untuk ujian bagi mereka. Karena hawa nafsu senantiasa mengajak kepada keburukan. Allâh ﷻ berfirman:

إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ

“Sesungguhnya nafsu itu benar-benar menyuruh kepada kejahatan.” (QS Yūsuf [12]: 53).

Ibnu Taymiyyah v menjelaskan bahwa manusia diuji dengan hawa nafsu dan diberi kemuliaan dengan akalnya. Barang siapa yang dapat mengendalikan hawa nafsunya, maka dia lebih mulia dari para malaikat (yang tidak diberi hawa nafsu). Adapun, barang siapa yang tidak dapat mengendalikan hawa nafsunya, maka dia lebih hina dari Binatang (yang tidak diberi akal). Hawa nafsu merupakan bagian dari ujian hidup manusia.[4]

Bersemangatlah untuk Melakukan Kebaikan

Karena itu, janganlah kita malas dalam menggapai cita dan kebaikan yang kita inginkan.
Ketika muncul keinginan untuk meraih sesuatu, bangkitlah dengan semangat! Jangan biarkan hawa nafsu menjerumuskan kita dalam kemalasan dan kelemahan. Rasûlullâh ﷺ telah memerintahkan kita untuk bersungguh-sungguh dalam hal yang bermanfaat. Dari Abu Hurairah z, Rasûlullâh ﷺ bersabda:

اِحْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ

“Bersemangatlah atas apa yang bermanfaat bagimu, meminta tolonglah kepada Allâh, dan jangan menjadi lemah (atas hal itu).” (HR Muslim, no. 2664).[5]

Hadis ini menegaskan bahwa seorang mukmin harus aktif dan produktif, berusaha keras dalam hal yang baik sambil mengandalkan pertolongan Allâh  ﷻ . Perintah untuk bersemangat disandingkan dengan larangan jangan lemah, menunjukkan bahwa semangat dan kerja keras adalah lawan dari kemalasan, dan keduanya menentukan keberkahan hidup seorang hamba.

Agar Semangat Mulai Bergerak Saja Dahulu

Sebagian kita memeberikan alasan sedang tidak semangat untuk tikak melalukan aktivitas bermanfaat. Padahal menurut Imam Ibn al‑Qayyim dalam Madarijus-Salikin,

اَلْحَرَكَةُ أَصْلُ كُلِّ إِرَادَةٍ، وَالْعَزْمُ مَبْدَأُ كُلِّ حَرَكَةٍ.

“Gerakan adalah asal seluruh impian dan semangat itu ada pada permulaan seluruh gerakan.”[6]

Imam Ibn al-Qayyim ingin menegaskan bahwa bergerak pangkal semangat. Jadi, gerak saja dahulu agar semangat beraktifitas itu tumbuh. Jangan diam dan bermalas-malasan menunggu semangat tiba. Bisa jadi semangat itu tidak datang, kemudian waktu kita terbuang sia-sia karena diamnya kita. Imam asy-Syafi`i v berkata:

رَأَيْتُ وُقُوفَ الْمَاءِ يُفْسِدُهُ، إِنْ سَالَ طَابَ، وَإِنْ لَمْ يَجْرِ لَمْ يَطِبْ.

“Aku melihat bahwa air yang diam akan rusak. Jika ia mengalir, maka ia menjadi baik; tetapi jika ia tidak mengalir, maka ia tidak menjadi baik.[7]

Imam asy-Syafi’i v memberikan perumpamaan air yang mengalir akan tetap jernih dan baik, sedangkan air yang diam akan keruh dan rusak. Begitu pula manusia, jika ia hanya berdiam diri dalam kemalasan, maka ia tidak akan memperoleh kebaikan apa pun, bahkan akan merusak dirinya sendiri.

Ingatlah, hati dan jiwa manusia akan hidup bila terus bergerak dalam ketaatan dan amal kebaikan. Namun, ia akan lemah dan keruh bila dibiarkan tenggelam dalam kemalasan dan keengganan untuk berusaha. Maka, bergeraklah menuju ridha Allâh  ﷻ , iringi setiap langkah dengan doa dan keyakinan bahwa pertolongan-Nya selalu menyertai orang yang bersemangat dalam kebaikan.

Semoga kita dapat memaksimalkan potensi dan bakat kita dengan bersemangat melakukan yang bermanfaat bagi kita.

 

* Aktivis dakwah

Maraji’ :

[1] Muslim bin al-Ḥajjāj. Ṣaḥīḥ Muslim. Beirut: Dār Ihyā’ at-Turāth al-‘Arabī. t.t. Kitāb ad-Du‘ā’, no. 2722.

[2] At-Tirmidzī, Muḥammad bin ‘Īsā. Sunan at-Tirmidzī. Beirut: Dār al-Gharb al-Islāmī. 1998. Cet. ke-1. No.2459.

[3] Ahmad bin Yusuf al-Labli. Tuhfatu al-Majdi as-Shāriḥ fī Syarḥi Kitābi al-Faṣīḥ. Tahqiq: Abdul Malik bin ‘Iyadh ats-Tsubaiti. 1997 M / 1418 H. Cet. ke-1. h. 69–70.

[4] Ibn Taymiyyah, Majmū‘ al-Fatāwā, jil. 10, h. 40. Riyadh: King Fahd Complex, 1416 H.

[5] Muslim, Abū al-Ḥusain Muslim bin al-Ḥajjāj al-Qusyairī an-Naisābūrī. Ṣaḥīḥ Muslim. Kitāb al-Qadar, no. 2664. Beirut: Dār al-Ma‘rifah.

[6] Ibnul Qayyim al-Jauziyyah. Madarij as-Sālikīn bayna Manāzil Iyyāka Na‘budu wa Iyyāka Nasta‘īn. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah. 1996 M / 1416 H. Cet. ke-1. Jilid 3. h. 326.

[7] Asy-Syāfi‘ī, Muḥammad bin Idrīs. Dīwān asy-Syāfi‘ī. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah. 2004. h. 45.

Download Buletin klik di sini

Tidak Harus Lebih Hebat dari Orang Lain

Tidak Harus Lebih Hebat dari Orang Lain

Muhammad Ardan Halim*

 

Pernahkah kamu merasa hidupmu berjalan lebih lambat dari orang lain? Saat teman-teman sudah lulus, bekerja, menikah, atau sukses, sementara kamu masih berjuang di tempat yang sama. Rasanya seperti tertinggal, padahal kamu pun sudah berusaha sekuat tenaga.

Perasaan itu wajar, tapi jangan dibiarkan berlarut. Membandingkan diri hanya akan membuat hati lelah dan lupa bersyukur. Ingat, setiap orang punya jalan dan waktunya masing-masing. Ada yang rezekinya datang cepat, ada yang harus menunggu lebih lama. Ada yang langsung mendapat pekerjaan setelah kuliah, ada yang masih mencari arah terbaik. Ada yang cepat bertemu jodoh, ada pula yang sedang Allah jaga dalam penantian. Semua berjalan sesuai takdir-Nya, penuh hikmah dan pelajaran.[1]

Mungkin hari ini terasa biasa saja, tapi setiap hari sejatinya membawa peluang baru untuk tumbuh dan memperbaiki diri. Tidak perlu langsung sempurna atau luar biasa cukup berusaha menjadi versi dirimu yang sedikit lebih baik dari kemarin.

Melawan Diri Sendiri, Bukan Orang Lain

Perjalanan hidup seorang mukmin sejatinya bukan untuk mengalahkan orang lain, tapi mengalahkan diri sendiri. Musuh terbesar bukan teman atau tetangga, melainkan hawa nafsu, rasa malas, iri, dan putus asa yang sering menahan langkah kita.

Namun perjuangan melawan diri sendiri sering terasa berat karena kita terlalu sibuk membandingkan hidup dengan orang lain. Padahal setiap orang punya jalan dan waktunya masing-masing. Berdamai dengan diri sendiri berarti belajar menerima kelebihan dan kekurangan yang Allah titipkan, tanpa terus menyalahkan diri atas hal yang tak bisa diubah. Kita belajar lebih jujur pada diri sendiri, tumbuh dengan cara yang sehat, dan mencintai diri apa adanya tanpa kehilangan semangat untuk terus memperbaiki diri.[2]

Dari Abu Hurairah z, ia berkata, Rasûlullâh ﷺ bersabda:

اُنْظُرُوْا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ، وَلاَ تَنْظُرُوْا إِلَى مَنْ فَوْقَكُمْ، فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لاَ تَزْدَرُوْا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ.

“Lihatlah kepada orang yang berada di bawah kalian, dan jangan melihat kepada orang yang berada di atas kalian, agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah yang telah diberikan kepada kalian.” (HR Al-Bukhâri no. 6490 dan Muslim no. 2963).

Hadis ini mengajarkan kita untuk fokus pada nikmat yang sudah ada. Dengan berhenti membandingkan dan mulai bersyukur, hati menjadi lebih tenang, hidup terasa cukup, dan langkah menuju kebaikan pun menjadi lebih ringan.[3]

Jadilah Lebih Baik Dari Kemarin

Dalam kehidupan ini, sering kita dengar sebuah nasihat sederhana namun bermakna: “Hari ini harus lebih baik dari kemarin, dan hari esok harus lebih baik dari hari ini.” Ungkapan ini bukan sekadar motivasi, tetapi mencerminkan ajaran Islam tentang pentingnya memperbaiki diri dari waktu ke waktu.[4]

Allâh ﷻ berfirman:

يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌۭ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍۢ ۖ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرٌۢ بِمَا تَعْمَلُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Hasyr [59]: 18)

Ayat tersebut mengajarkan pentingnya bagi setiap orang untuk merefleksikan perbuatannya dan berupaya memperbaiki diri. Pesan ini sejalan dengan nilai dalam Islam yang menekankan bahwa setiap hari merupakan peluang baru untuk meningkatkan kualitas iman dan amal. Umat Islam diajak untuk menyadari bahwa setiap kebaikan yang dilakukan hari ini akan menjadi bekal berharga untuk masa depan baik di dunia maupun di akhirat.[5]

Jika kemarin kita lalai dalam beribadah, hari ini cobalah memperbaikinya. Jika kemarin hati sering mengeluh, hari ini biasakan bersyukur lebih banyak. Bila kemarin kita sibuk membandingkan diri dengan orang lain, hari ini belajarlah menerima takdir dengan lapang dada. Karena keberuntungan sejati tidak datang dari luar diri, tapi tumbuh dari usaha untuk menjadi lebih baik di dalam diri.

Perubahan Kecil yang Bermakna

Setiap kebaikan, sekecil apa pun, bernilai besar di sisi Allah. Jangan pernah meremehkan langkah kecil menuju kebaikan, karena dari situlah lahir perubahan besar dalam hidup.

Dari ’Aisyah, beliau mengatakan bahwa, Rasûlullâh ﷺ bersabda:

أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ

Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walaupun itu sedikit.” (HR Muslim no. 783)

Hadits ini mengajarkan bahwa Allah lebih mencintai konsistensi daripada banyaknya amal yang dilakukan sekaligus lalu ditinggalkan. Tanda cinta kepada Allah ialah ketika seseorang berusaha menjaga amal salehnya secara istiqamah meskipun sederhana. Cinta itu juga membuat kita lebih menghargai perintah dan larangan-Nya, merasa tenang ketika bisa menaati-Nya, dan merasa bersalah bila tergelincir dalam maksiat.[6]

Mulailah dari hal-hal kecil yang bisa kamu perbaiki setiap hari. Jika kemarin shalat masih sering terlambat, hari ini cobalah untuk tepat waktu. Jika kemarin hati mudah iri, hari ini belajarlah untuk ridha. Jika kemarin banyak keluh kesah, hari ini perbanyaklah syukur.

Tidak perlu terburu-buru menjadi sempurna. Cukup melangkah sedikit demi sedikit menuju kebaikan. Karena di sisi Allah, setiap peningkatan sekecil apa pun tetap dihitung dan sangat berarti.

Dunia akan selalu menawarkan perbandingan, dan kita akan selalu menemukan orang yang lebih dari kita dalam berbagai hal. Namun, Allah tidak menilai siapa yang paling hebat dibandingkan orang lain, melainkan siapa yang terus memperbaiki diri dari waktu ke waktu.

Cukuplah kita bertanya pada diri sendiri setiap malam: “Apakah hari ini aku lebih baik dari kemarin?” Jika jawabannya “iya”, walau hanya sedikit, maka itulah kemenangan sejati seorang mukmin. Wallāhu a‘lam.

 

* Mahasiswa Prodi Ahwal Syakhshiyah UII 2022.

Maraji’ :

[1] Mufakat Al‑Banna Indonesia. “Jadilah Lebih Baik Dari Kemarin.” https://mufakatalbanna.or.id/jadilah-lebih-baik-dari-kemarin/. Diakses pada tanggal 20 Oktober 2025.

[2] Suko Wahyudi. “Berdamai dengan Diri Sendiri”, https://suaramuhammadiyah.id/read/berdamai-dengan-diri-sendiri –Diakses 20 Oktober 2025.

[3] Ibid.

[4] Muchlis. “Hari Ini Harus Lebih Baik dari Hari Kemarin dan Hari Esok Harus Lebih Baik dari Hari Ini.” https://badilag.mahkamahagung.go.id/pojok-dirjen/pojok-dirjen-badilag/hari-ini-harus-lebih-baik-dari-hari-kemarin-dan-hari-esok-harus-lebih-baik-dari-hari-ini-oleh-drs-h-muchlis-s-h-m-h-27-09. Diakses pada tanggal 20 Oktober 2025.

[5] Ibid.

[6] Fauzan Hidayat. “Enam Kiat Mengatasi Godaan Setan” – 2025. https://muslim.or.id/104373-enam-kiat-mengatasi-godaan-setan.html. Diakses pada tanggal 20 Oktober 2025.

Download Buletin klik di sini