Agama adalah An-Nashihah: Makna yang Lebih Dalam dari Sekadar Nasihat

Agama adalah An-Nashihah: Makna yang Lebih Dalam dari Sekadar Nasihat

Akhukum, Yanayir Ahmad, S.T*

 

Bismillâh, wasshalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâhi, waba’du.

Sahabat Al-Rasikh yang semoga dirahmati oleh Allah, salah satu hadits agung yang sering dikutip sebagai dasar besar dalam agama kita adalah sabda Nabi ﷺ yang diriwayatkan Imam Muslim, dari Tamim ad-Dari z, bahwa Nabi ﷺ bersabda:

الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ قُلْنَا: لِمَنْ؟ قَالَ للهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُوْلِهِ وَلِأَئِمَّةِ المُسْلِمِيْنَ وَعَامَّتِهِمْ

“Agama itu adalah An-Nashihah.” Ketika para sahabat bertanya, “Untuk siapa?”, Nabi ﷺ menjawab, “Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum Muslimin, dan seluruh kaum Muslimin.” (HR Muslim, no. 55)

Makna An-Nashihah

Saat diterjemahkan secara langsung ke bahasa Indonesia, kata an-nashihah biasanya diartikan dengan “nasihat”, sehingga orang-orang kita seolah memahami maknanya terbatas pada tindakan memberi saran, menegur, atau mengarahkan (sebagaimana dalam KBBI). Namun, jika hadits tersebut dipahami dengan makna nasihat dalam KBBI  itu, maka akan muncul kesan janggal: apakah benar maksudnya kita “menasihati Allah”, “menasihati Al-Qur’an”, atau “menasihati Rasulullah”? Tentu bukan itu maksud Nabi ﷺ.

Para ulama menjelaskan bahwa makna An-Nashihah dalam hadits ini jauh lebih luas daripada sekadar “nasihat” dalam pemahaman bahasa Indonesia. Dalam bahasa Indonesia nasihat berarti anjuran atau saran, sementara dalam bahasa Arab, kata An-Nashihah di antaranya bermakna ketulusan dan kemurnian. Kata ini biasa digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang murni dan tidak tercampuri kecurangan.

Disebutkan oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz v, beliau menjelaskan bahwa kata An-Nashihah itu adalah “ketulusan dalam suatu perkara, perhatian terhadapnya, serta kesungguhan agar perkara itu ditunaikan secara sempurna dan utuh, tanpa penipuan, tanpa pengkhianatan, dan tanpa kelalaian. Dalam bahasa Arab dikatakan: dzahaba nāshiḥ, artinya: ‘tidak ada padanya kecurangan.’ Mereka juga berkata: ‘amal nāshiḥ, maksudnya: “pekerjaan yang tidak ada unsur penipuannya.”[1]

Maka, dengan memahami hal ini, yakni bahwa kata An-Nashihah dalam bahasa arab maknanya tidak sesempit makna kata nasihat dalam bahasa kita, barulah makna sabda Nabi ﷺ dapat kita pahami dengan lebih mudah: bahwa agama pada hakikatnya berdiri di atas prinsip “An-Nashihah”, yakni ketulusan dalam menunaikan seluruh hak-hak syariat, mulai dari hak Allah, hak kitab-Nya, hak Rasul-Nya, hingga hak para pemimpin dan seluruh kaum Muslimin.

Dari sini, barulah makna lanjutan hadits tersebut semoga menjadi lebih jelas dan mudah dipahami oleh kita. Berikut saya ringkaskan makna hadits di atas masih dari penjelasan Syaikh Bin Baz v:[2]

  1. An-Nashihah untuk Allah

Ketika Nabi ﷺ bersabda bahwa An-Nashihah untuk Allah, maksudnya adalah bahwa seorang hamba harus bersungguh-sungguh dalam menunaikan hak-hak Allah dengan penuh keikhlasan dan ketulusan. Ini mencakup keikhlasan dalam beribadah, mentauhidkan-Nya, beribadah hanya kepada-Nya semata, tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, serta tulus ikhlas melaksanakan kewajiban yang telah diperintahkan-Nya dengan sebaik-baiknya serta meninggalkan apa-apa yang telah diharamkan-Nya. Ia laksanakan itu semua atas dasar iman dan ilmu akan betapa agungnya hak Allah atas dirinya, sehingga ia berusaha menyempurnakan hak-hak Allah itu dengan sebaik-baiknya.

  1. An-Nashihah untuk Kitab-Nya

Adapun An-Nashihah untuk kitab-Nya, maknanya seorang hamba menunaikan hak-hak Al-Qur’an atas dirinya dengan tulus. Hal ini mencakup beriman bahwa Al-Qur’an adalah firman Allah (bukan makhluk), mempelajari kandungannya, mentadabburinya, serta tulus mengamalkan perintah-perintah dan menjauhi larangan-larangan yang ada di dalamnya.

  1. An-Nashihah untuk Rasul-Nya

Kemudian begitu juga, An-Nashihah untuk Rasul-Nya, maksudnya seorang hamba menunaikan hak-hak Rasulullah Muhammad ﷺ dengan tulus. Yakni mencakup menaati beliau, menjauhi larangannya, mengimani bahwasannya beliau adalah Rasulullah dengan penuh keyakinan dan bahwa beliau adalah penutup para Nabi dan Rasul. Termasuk menunaikan hak Rasul juga adalah membela sunnah beliau, mempelajari hadits-hadits beliau, dan menjaga batasan-batasan aturan syariat yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya ﷺ.

  1. An-Nashihah untuk para pemimpin kaum Muslimin

Begitu pula, An-Nashihah kepada para pemimpin kaum Muslimin, berarti menunaikan hak-hak mereka dengan tulus. Ini mencakup mendoakan mereka agar mendapat taufik, menaati mereka dalam perkara yang ma’ruf (baik), dan tidak memberontak mereka, dan tidak keluar dari ketaatan kepada mereka selama mereka tidak melakukan kekufuran yang nyata. Termasuk juga berarti memberikan peringatan atau teguran (amar ma’ruf nahi munkar) kepada mereka dengan cara yang baik, penuh kelembutan, dan melalui jalur yang benar —bukan dengan menebar fitnah, provokasi, atau menebar kebencian di tengah umat.

  1. An-Nashihah untuk seluruh kaum Muslimin

Dan terakhir, An-Nashihah kepada seluruh kaum Muslimin pun berarti juga menunaikan hak-hak mereka dengan tulus. Ini meliputi mengajari dan memahamkan mereka tentang Agama mereka, mengajak mereka kembali kepada Allah, serta menegakkan amar ma’ruf nahi munkar di tengah-tengah mereka.

Demikian secara ringkas makna hadits di atas. Maka, dengan memahami penjelasan ringkas ini, semoga kita menyadari bahwa sabda Nabi ﷺ tentang “Agama adalah An-Nashihah” tidaklah dipahami dengan makna sempit sebagaimana makna “nasihat” dalam KBBI. Tetapi dapat dipahami dengan makna yang lebih luas daripada itu, yakni An-Nashihah dengan makna segala yang berkaitan dengan menunaikan hak-hak kepada yang berhak mendapatkannya dengan tulus.

Inilah hakikat agama yang sering terluputkan: agama yang dibangun di atas ketulusan dan komitmen dalam menunaikan hak-hak kepada yang memang berhak mendapatkannya.

Semoga Allah memberi taufiq kepada kita semua, aamiin.

Maraji’ :

* Alumni Teknik Elektro UII ‘17

[1] Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz. “شرح حديث الدين النصيحة” https://binbaz.org.sa/fatwas/20174/شرححديثالدينالنصيحة . Diakses pada 25 November 2025.

[2] Ibid.

Download Buletin klik di sini

Langkah Memahami Akidah Yang Benar

Langkah Memahami Akidah Yang Benar

Tan Lie Yong

 

Sahabat pembaca Ar-Rasikh—aḥsanallâhu ilaikum—, pernahkah kita bertanya kepada diri sendiri: apa yang sebenarnya menjadi dasar dari seluruh amal ibadah kita? Mengapa seseorang bisa tetap tenang meski menghadapi ujian hidup, sementara yang lain mudah goyah oleh sedikit cobaan? Apakah cukup hanya beribadah tanpa memahami kepada siapa kita beribadah dan mengapa kita beribadah?

Pertanyaan-pertanyaan sederhana ini membawa kita pada satu hal mendasar dalam kehidupan seorang Muslim—akidah. Ia adalah fondasi yang menopang seluruh bangunan keimanan dan amal. Tanpa akidah yang benar, amal sebesar apa pun bisa kehilangan arah dan makna.

Akidah merupakan pondasi utama dalam kehidupan seorang Muslim. Ia menjadi dasar bagi seluruh amal dan penentu diterima atau tidaknya ibadah seseorang.[1] Karena itu, akidah yang lurus tidak hanya menuntun seseorang dalam beribadah, tetapi juga akan menumbuhkan keikhlasan, ketenangan hati,[2] dan keyakinan yang kokoh dalam menghadapi berbagai ujian kehidupan.

Lalu, bagaimana langkah agar kita dapat memahami akidah dengan benar dan mendalam sesuai tuntunan Islam? Berikut beberapa langkah yang dapat dilakukan:

  1. Mengenal Allâh dengan benar

Langkah pertama dalam memahami akidah adalah mengenal Allâh ﷻ (ma’rifatullâh), sebagaimana Dia memperkenalkan diri-Nya dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Tanpa mengenal Allâh ﷻ dengan benar, seseorang tidak akan mampu menempatkan ibadah, cinta, dan ketundukan pada tempat yang semestinya. Allâh ﷻ berfirman:

فَٱعْلَمْ أَنَّهُۥ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا ٱللَّهُ

“Maka ketahuilah (ilmuilah), bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (yang berhak diibadahi dengan benar) selain Allah.” (QS Muhammad [47]: 19).

Ayat ini mengandung makna mendalam, iman yang benar harus diawali dengan ilmu. Sebelum seseorang beribadah, ia perlu mengenal siapa yang disembah. Karena itu, mengenal Allâh bukan sekadar pengetahuan teoretis, melainkan pengenalan hati yang melahirkan cinta, rasa takut, harapan, dan penghambaan yang tulus kepada-Nya.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menegaskan, “Ilmu tentang Allâh, nama-nama, dan sifat-sifat-Nya merupakan puncak ilmu yang paling mulia, karena kemuliaan suatu ilmu tergantung pada objek yang dipelajari, dan tidak ada yang lebih mulia daripada mengenal Allâh.”[3]

  1. Belajar dari sumber yang otentik

Pemahaman akidah yang benar harus bersandar pada Al-Qur’an, hadis sahih, dan penjelasan ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Ketiga sumber ini menjadi pedoman dalam mengenal Allâh ﷻ, memahami keesaan-Nya, serta menafsirkan makna iman dengan benar.

Al-Qur’an adalah kalam Allâh ﷻ yang berisi fondasi keyakinan tentang siapa Allâh dan bagaimana beriman kepada-Nya. Hadis Nabi ﷺ menjadi penjelas praktis agar umat memahami wahyu secara utuh.

Para ulama Ahlus Sunnah seperti Imam Ahmad, Imam Asy-Syafi’i, dan Imam Abu Hanifah juga menegaskan pentingnya berpegang pada nash dan atsar, karena akidah tidak boleh dipisahkan dari Al-Qur’an dan Sunnah—cahaya yang tidak menyesatkan siapa pun yang berjalan di bawah petunjuknya.

Imam Asy-Syafi’i berkata:

مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ بِغَيْرِ دَلِيلٍ مِنَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ ضَلَّ.

“Barang siapa mencari ilmu agama tanpa dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah, maka ia akan tersesat dalam kebingungan.”[4]

Dalam hal ini, Imam al-Ghazali memberikan pernyataan:

مَنْ طَلَبَ الحَقَّ بِغَيْرِ نُورِ الوَحْيِ زَلَّ وَتَاهَ فِي مَتَاهَاتِ الشُّبُهَاتِ.

“Barang siapa mencari kebenaran tanpa cahaya wahyu, ia akan tergelincir dan tersesat dalam kebingungan serta keraguan.”[5]

  1. Memahami secara bertahap

Akidah bukanlah ilmu yang dapat dikuasai sekaligus dalam waktu singkat. Rasulullah ﷺ mendidik para sahabat secara bertahap; dimulai dari penguatan tauhid, kemudian dilanjutkan dengan penanaman iman kepada malaikat, kitab, rasul, hari akhir, serta takdir. Metode bertahap ini menunjukkan bahwa pemahaman akidah menuntut proses yang sabar, mendalam, dan berkelanjutan.

Oleh karena itu, belajar akidah sebaiknya dimulai dari hal-hal yang paling mendasar, antara lain:

  1. Memahami makna kalimat tauhid “Lā ilāha illallāh”. Sebagai inti pengesaan Allâh ﷻ dalam ibadah dan pengingkaran terhadap segala bentuk kesyirikan.
  2. Mengetahui bentuk-bentuk tauhid: rubūbiyyah (mengesakan Allâh ﷻ dalam perbuatan-Nya), ulūhiyyah (mengesakan Allâh ﷻ dalam ibadah), dan asmā’ wa ṣifāt (menetapkan nama dan sifat Allâh ﷻ sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Sunnah tanpa penyerupaan).
  3. Mengenali bahaya syirik dan bid’ah, karena keduanya dapat merusak kemurnian iman dan menjauhkan seseorang dari jalan yang lurus.

Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan Ālu Syaikh — salah satu ulama besar dalam bidang tauhid — menegaskan:

مَنْ لَمْ يَفْهَمْ مَعْنَى لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ لَمْ يَذُقْ حَلَاوَةَ الإِيمَانِ

“Barang siapa tidak memahami makna kalimat tauhid, maka ia tidak akan merasakan manisnya iman.”[6]

  1. Berguru pada ulama yang lurus aqidahnya

Dalam menuntut ilmu, terutama ilmu akidah, bimbingan guru yang memiliki sanad keilmuan yang jelas sangatlah penting. Akidah bukan sekadar teori yang dibaca, tetapi ilmu yang membutuhkan penjelasan dan pemahaman yang benar dari pembimbing yang terpercaya.

Para ulama menekankan pentingnya talaqqi, yaitu belajar langsung dari guru ahli yang memiliki silsilah ilmu bersambung hingga Rasulullah ﷺ. Melalui talaqqi, ilmu diwariskan bukan hanya secara intelektual, tetapi juga secara spiritual dan melalui adab. Ilmu dari guru bersanad menjaga seseorang dari kesalahan dalam memahami nash, serta menghindarkannya dari penyimpangan pemikiran yang sering muncul akibat belajar tanpa bimbingan.

Syaikh Ṣāliḥ al-Fauzān mengingatkan dengan tegas:

مَنْ أَخَذَ الْعِلْمَ مِنَ الْكُتُبِ ضَلَّ أَكْثَرَ مِمَّا يُصِيبُ

“Barang siapa mengambil ilmu hanya dari buku tanpa guru, maka ia akan menyimpang lebih banyak daripada ia memperoleh kebenaran.”[7]

  1. Mengamalkan ilmu dan berdoa agar teguh

Ilmu akidah tidak cukup hanya dipahami secara intelektual, tetapi harus diiringi dengan pengamalan dan doa. Akidah yang benar seharusnya menumbuhkan ketundukan hati, keikhlasan dalam beribadah, serta keteguhan dalam menghadapi berbagai ujian hidup. Ilmu tanpa amal bagaikan pohon tanpa buah, sementara amal tanpa dasar akidah yang lurus bagaikan bangunan tanpa fondasi.

Rasulullah ﷺ sendiri adalah teladan utama dalam menjaga kemurnian akidah melalui doa dan amal. Beliau sering memohon keteguhan hati kepada Allâh ﷻ dengan doa yang penuh makna:

يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ

“Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku di atas agama-Mu.” (HR At-Tirmidzi, no. 3522).

Doa ini menunjukkan bahwa keteguhan akidah bukan semata hasil pengetahuan, melainkan anugerah dari Allâh yang harus terus dijaga dengan doa dan amal saleh. Hati manusia bersifat lemah dan mudah berubah, sementara hidayah adalah karunia yang hanya Allâh ﷻ yang dapat menetapkannya.

Memahami akidah yang benar dimulai dari mengenal Allah, belajar dari sumber sahih, mengikuti bimbingan ulama, serta mengamalkan ilmunya. Dengan begitu, iman semakin kokoh dan hati tetap teguh dalam ketaatan kepada Allâh.

Maraji’ :

[1] Ibn Taimiyyah. Al-‘Aqidah al-Wasithiyyah. Riyadh: Dar al-Salam. 1996. h. 12–14.

[2] Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin. Syarh al-‘Aqidah al-Wasithiyyah. Madinah: Maktabah al-‘Ilm. 2004. h. 21.

[3] Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin. Syarh al-‘Aqidah al-Wasithiyyah. Madinah: Maktabah al-‘Ilm. 2004. h. 21.

[4] Al-Bayhaqi. Manaqib Asy-Syafi’i. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah. 1997. jilid I. h. 469.

[5] Imam al-Ghazali. Ihya’ ‘Ulum ad-Din. Beirut: Dar al-Ma’rifah. 1996. jilid I. h. 20.

[6] ‘Abdurrahman bin Hasan Ālu Syaikh. Fath al-Majīd Syarḥ Kitāb al-Tauḥīd. Riyadh: Dār al-Salām. 2002. h. 45.

[7] Ṣāliḥ al-Fauzān. Muqaddimah al-Tauḥīd. Riyadh: Maktabah al-Ma’ārif. 2010. h. 8.

Download Buletin klik di sini

Yuk Gerak, Jangan Mager

Yuk Gerak, Jangan Mager

Muhammad Insan Fathin, S.Si.*

 

Bismillāhi waṣ-ṣalātu was-salāmu ‘alā Rasūlillāh, wa ba‘du.

Pembaca yang semoga dirahmati Allâh ﷻ, Sering kali kita mendengar istilah mager (malas gerak) menjadi tren di tengah masyarakat. Namun tahukah kita, bahwa mager bukanlah sifat yang patut dibanggakan? Justru Rasûlullâh ﷺ setiap hari memohon perlindungan kepada Allâh dari sifat malas. Zaid bin Arqam berkata, Rasûlullâh ﷺ bersabda:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ، وَالْجُبْنِ وَالْبُخْلِ، وَالْهَرَمِ وَعَذَابِ الْقَبْرِ، اللَّهُمَّ آتِ نَفْسِي تَقْوَاهَا، وَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلَاهَا.

“Ya Allâh, aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan dan kemalasan, dari sifat pengecut dan kikir, dari kepikunan dan azab kubur. Ya Allâh, berilah jiwaku ketakwaannya dan sucikanlah ia. Engkau sebaik-baik Dzat yang menyucikannya, Engkau pelindung dan penolongnya.” (HR Muslim, no. 2722).[1]

Doa ini menunjukkan bahwa malas bukan sekadar kebiasaan buruk, tetapi penyakit jiwa yang harus dijauhi. Bahkan Rasûlullâh ﷺ tidak menginginkan sifat itu ada pada dirinya. Beliau mengajarkan agar setiap Muslim senantiasa bergerak, bersemangat, dan produktif dalam kebaikan, karena dalam pergerakan terdapat keberkahan, sementara dalam kemalasan terdapat kerusakan dan kehinaan.

Kemalasan Adalah Sifat Tercela

Sifat malas (terutama dalam beribadah) selalu identik dengan orang-orang yang Allâh ﷻ berikan kemurkaan. Di antara yang Allâh ﷻ sifati dengan kemalasan adalah orang-orang munafik. Allâh ﷻ berfirman:

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allâh, dan Allâh akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk salat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya di hadapan manusia. Dan mereka tidak mengingat Allâh kecuali sedikit sekali.” (QS An-Nisā’ [4]: 142).

Allâh ﷻ juga mensifati orang-orang kafir dengan rasa malas,

وَمَا مَنَعَهُمْ أَنْ تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقَاتُهُمْ إِلَّا أَنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَبِرَسُولِهِ وَلَا يَأْتُونَ الصَّلَاةَ إِلَّا وَهُمْ كُسَالَى وَلَا يُنْفِقُونَ إِلَّا وَهُمْ كَارِهُونَ

“Dan tidak ada yang menghalangi sedekah mereka diterima melainkan karena mereka kafir kepada Allâh dan Rasul-Nya, dan mereka tidak melaksanakan salat kecuali dengan malas, dan tidak pula menafkahkan (harta) mereka melainkan dengan rasa enggan.” (QS At-Taubah [9]: 54).

Orang-orang malas selalu mengikuti dan menuruti hawa nafsunya. Dari Abu Ya’la Syaddad bin Ausz, dari Nabi ﷺ bersabda:

الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ، وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللَّهِ.

“Orang yang cerdas adalah orang yang mengoreksi dirinya dan beramal untuk kehidupan setelah mati. Sedangkan orang yang lemah adalah yang menuruti hawa nafsunya dan berangan-angan kepada Allâh.” (HR Tirmidzi, no. 2459).[2]

Kemalasan Pangkal Keburukan

Hadis di atas menunjukkan bahwa orang yang senantiasa mengikuti hawa nafsunya akan menjadi orang yang lemah, dan orang yang malas adalah orang yang lemah. Disebutkan dalam kitab Tuhfatu al-Majdi as-Sharih fi Syarhi Kitabi al-Fashih, Abu Ja’far menjelaskan bahwa al-‘ajzu (kelemahan) adalah ketidakmampuan seseorang menggapai apa yang ia inginkan. Maka, kemalasan identik dengan kelemahan karena seorang yang malas akan terhalang dari apa yang ia inginkan.[3]

Orang yang terlena memenuhi hawa nafsunya akan terlena dengan kemalasan-kemalasan sehingga ia tidak mendapatkan apa yang baik baginya. Padahal, hawa nafsu diciptakan bagi manusia bukan untuk diikuti, melainkan untuk ujian bagi mereka. Karena hawa nafsu senantiasa mengajak kepada keburukan. Allâh ﷻ berfirman:

إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ

“Sesungguhnya nafsu itu benar-benar menyuruh kepada kejahatan.” (QS Yūsuf [12]: 53).

Ibnu Taymiyyah v menjelaskan bahwa manusia diuji dengan hawa nafsu dan diberi kemuliaan dengan akalnya. Barang siapa yang dapat mengendalikan hawa nafsunya, maka dia lebih mulia dari para malaikat (yang tidak diberi hawa nafsu). Adapun, barang siapa yang tidak dapat mengendalikan hawa nafsunya, maka dia lebih hina dari Binatang (yang tidak diberi akal). Hawa nafsu merupakan bagian dari ujian hidup manusia.[4]

Bersemangatlah untuk Melakukan Kebaikan

Karena itu, janganlah kita malas dalam menggapai cita dan kebaikan yang kita inginkan.
Ketika muncul keinginan untuk meraih sesuatu, bangkitlah dengan semangat! Jangan biarkan hawa nafsu menjerumuskan kita dalam kemalasan dan kelemahan. Rasûlullâh ﷺ telah memerintahkan kita untuk bersungguh-sungguh dalam hal yang bermanfaat. Dari Abu Hurairah z, Rasûlullâh ﷺ bersabda:

اِحْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ

“Bersemangatlah atas apa yang bermanfaat bagimu, meminta tolonglah kepada Allâh, dan jangan menjadi lemah (atas hal itu).” (HR Muslim, no. 2664).[5]

Hadis ini menegaskan bahwa seorang mukmin harus aktif dan produktif, berusaha keras dalam hal yang baik sambil mengandalkan pertolongan Allâh  ﷻ . Perintah untuk bersemangat disandingkan dengan larangan jangan lemah, menunjukkan bahwa semangat dan kerja keras adalah lawan dari kemalasan, dan keduanya menentukan keberkahan hidup seorang hamba.

Agar Semangat Mulai Bergerak Saja Dahulu

Sebagian kita memeberikan alasan sedang tidak semangat untuk tikak melalukan aktivitas bermanfaat. Padahal menurut Imam Ibn al‑Qayyim dalam Madarijus-Salikin,

اَلْحَرَكَةُ أَصْلُ كُلِّ إِرَادَةٍ، وَالْعَزْمُ مَبْدَأُ كُلِّ حَرَكَةٍ.

“Gerakan adalah asal seluruh impian dan semangat itu ada pada permulaan seluruh gerakan.”[6]

Imam Ibn al-Qayyim ingin menegaskan bahwa bergerak pangkal semangat. Jadi, gerak saja dahulu agar semangat beraktifitas itu tumbuh. Jangan diam dan bermalas-malasan menunggu semangat tiba. Bisa jadi semangat itu tidak datang, kemudian waktu kita terbuang sia-sia karena diamnya kita. Imam asy-Syafi`i v berkata:

رَأَيْتُ وُقُوفَ الْمَاءِ يُفْسِدُهُ، إِنْ سَالَ طَابَ، وَإِنْ لَمْ يَجْرِ لَمْ يَطِبْ.

“Aku melihat bahwa air yang diam akan rusak. Jika ia mengalir, maka ia menjadi baik; tetapi jika ia tidak mengalir, maka ia tidak menjadi baik.[7]

Imam asy-Syafi’i v memberikan perumpamaan air yang mengalir akan tetap jernih dan baik, sedangkan air yang diam akan keruh dan rusak. Begitu pula manusia, jika ia hanya berdiam diri dalam kemalasan, maka ia tidak akan memperoleh kebaikan apa pun, bahkan akan merusak dirinya sendiri.

Ingatlah, hati dan jiwa manusia akan hidup bila terus bergerak dalam ketaatan dan amal kebaikan. Namun, ia akan lemah dan keruh bila dibiarkan tenggelam dalam kemalasan dan keengganan untuk berusaha. Maka, bergeraklah menuju ridha Allâh  ﷻ , iringi setiap langkah dengan doa dan keyakinan bahwa pertolongan-Nya selalu menyertai orang yang bersemangat dalam kebaikan.

Semoga kita dapat memaksimalkan potensi dan bakat kita dengan bersemangat melakukan yang bermanfaat bagi kita.

 

* Aktivis dakwah

Maraji’ :

[1] Muslim bin al-Ḥajjāj. Ṣaḥīḥ Muslim. Beirut: Dār Ihyā’ at-Turāth al-‘Arabī. t.t. Kitāb ad-Du‘ā’, no. 2722.

[2] At-Tirmidzī, Muḥammad bin ‘Īsā. Sunan at-Tirmidzī. Beirut: Dār al-Gharb al-Islāmī. 1998. Cet. ke-1. No.2459.

[3] Ahmad bin Yusuf al-Labli. Tuhfatu al-Majdi as-Shāriḥ fī Syarḥi Kitābi al-Faṣīḥ. Tahqiq: Abdul Malik bin ‘Iyadh ats-Tsubaiti. 1997 M / 1418 H. Cet. ke-1. h. 69–70.

[4] Ibn Taymiyyah, Majmū‘ al-Fatāwā, jil. 10, h. 40. Riyadh: King Fahd Complex, 1416 H.

[5] Muslim, Abū al-Ḥusain Muslim bin al-Ḥajjāj al-Qusyairī an-Naisābūrī. Ṣaḥīḥ Muslim. Kitāb al-Qadar, no. 2664. Beirut: Dār al-Ma‘rifah.

[6] Ibnul Qayyim al-Jauziyyah. Madarij as-Sālikīn bayna Manāzil Iyyāka Na‘budu wa Iyyāka Nasta‘īn. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah. 1996 M / 1416 H. Cet. ke-1. Jilid 3. h. 326.

[7] Asy-Syāfi‘ī, Muḥammad bin Idrīs. Dīwān asy-Syāfi‘ī. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah. 2004. h. 45.

Download Buletin klik di sini

Tidak Harus Lebih Hebat dari Orang Lain

Tidak Harus Lebih Hebat dari Orang Lain

Muhammad Ardan Halim*

 

Pernahkah kamu merasa hidupmu berjalan lebih lambat dari orang lain? Saat teman-teman sudah lulus, bekerja, menikah, atau sukses, sementara kamu masih berjuang di tempat yang sama. Rasanya seperti tertinggal, padahal kamu pun sudah berusaha sekuat tenaga.

Perasaan itu wajar, tapi jangan dibiarkan berlarut. Membandingkan diri hanya akan membuat hati lelah dan lupa bersyukur. Ingat, setiap orang punya jalan dan waktunya masing-masing. Ada yang rezekinya datang cepat, ada yang harus menunggu lebih lama. Ada yang langsung mendapat pekerjaan setelah kuliah, ada yang masih mencari arah terbaik. Ada yang cepat bertemu jodoh, ada pula yang sedang Allah jaga dalam penantian. Semua berjalan sesuai takdir-Nya, penuh hikmah dan pelajaran.[1]

Mungkin hari ini terasa biasa saja, tapi setiap hari sejatinya membawa peluang baru untuk tumbuh dan memperbaiki diri. Tidak perlu langsung sempurna atau luar biasa cukup berusaha menjadi versi dirimu yang sedikit lebih baik dari kemarin.

Melawan Diri Sendiri, Bukan Orang Lain

Perjalanan hidup seorang mukmin sejatinya bukan untuk mengalahkan orang lain, tapi mengalahkan diri sendiri. Musuh terbesar bukan teman atau tetangga, melainkan hawa nafsu, rasa malas, iri, dan putus asa yang sering menahan langkah kita.

Namun perjuangan melawan diri sendiri sering terasa berat karena kita terlalu sibuk membandingkan hidup dengan orang lain. Padahal setiap orang punya jalan dan waktunya masing-masing. Berdamai dengan diri sendiri berarti belajar menerima kelebihan dan kekurangan yang Allah titipkan, tanpa terus menyalahkan diri atas hal yang tak bisa diubah. Kita belajar lebih jujur pada diri sendiri, tumbuh dengan cara yang sehat, dan mencintai diri apa adanya tanpa kehilangan semangat untuk terus memperbaiki diri.[2]

Dari Abu Hurairah z, ia berkata, Rasûlullâh ﷺ bersabda:

اُنْظُرُوْا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ، وَلاَ تَنْظُرُوْا إِلَى مَنْ فَوْقَكُمْ، فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لاَ تَزْدَرُوْا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ.

“Lihatlah kepada orang yang berada di bawah kalian, dan jangan melihat kepada orang yang berada di atas kalian, agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah yang telah diberikan kepada kalian.” (HR Al-Bukhâri no. 6490 dan Muslim no. 2963).

Hadis ini mengajarkan kita untuk fokus pada nikmat yang sudah ada. Dengan berhenti membandingkan dan mulai bersyukur, hati menjadi lebih tenang, hidup terasa cukup, dan langkah menuju kebaikan pun menjadi lebih ringan.[3]

Jadilah Lebih Baik Dari Kemarin

Dalam kehidupan ini, sering kita dengar sebuah nasihat sederhana namun bermakna: “Hari ini harus lebih baik dari kemarin, dan hari esok harus lebih baik dari hari ini.” Ungkapan ini bukan sekadar motivasi, tetapi mencerminkan ajaran Islam tentang pentingnya memperbaiki diri dari waktu ke waktu.[4]

Allâh ﷻ berfirman:

يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌۭ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍۢ ۖ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرٌۢ بِمَا تَعْمَلُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Hasyr [59]: 18)

Ayat tersebut mengajarkan pentingnya bagi setiap orang untuk merefleksikan perbuatannya dan berupaya memperbaiki diri. Pesan ini sejalan dengan nilai dalam Islam yang menekankan bahwa setiap hari merupakan peluang baru untuk meningkatkan kualitas iman dan amal. Umat Islam diajak untuk menyadari bahwa setiap kebaikan yang dilakukan hari ini akan menjadi bekal berharga untuk masa depan baik di dunia maupun di akhirat.[5]

Jika kemarin kita lalai dalam beribadah, hari ini cobalah memperbaikinya. Jika kemarin hati sering mengeluh, hari ini biasakan bersyukur lebih banyak. Bila kemarin kita sibuk membandingkan diri dengan orang lain, hari ini belajarlah menerima takdir dengan lapang dada. Karena keberuntungan sejati tidak datang dari luar diri, tapi tumbuh dari usaha untuk menjadi lebih baik di dalam diri.

Perubahan Kecil yang Bermakna

Setiap kebaikan, sekecil apa pun, bernilai besar di sisi Allah. Jangan pernah meremehkan langkah kecil menuju kebaikan, karena dari situlah lahir perubahan besar dalam hidup.

Dari ’Aisyah, beliau mengatakan bahwa, Rasûlullâh ﷺ bersabda:

أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ

Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walaupun itu sedikit.” (HR Muslim no. 783)

Hadits ini mengajarkan bahwa Allah lebih mencintai konsistensi daripada banyaknya amal yang dilakukan sekaligus lalu ditinggalkan. Tanda cinta kepada Allah ialah ketika seseorang berusaha menjaga amal salehnya secara istiqamah meskipun sederhana. Cinta itu juga membuat kita lebih menghargai perintah dan larangan-Nya, merasa tenang ketika bisa menaati-Nya, dan merasa bersalah bila tergelincir dalam maksiat.[6]

Mulailah dari hal-hal kecil yang bisa kamu perbaiki setiap hari. Jika kemarin shalat masih sering terlambat, hari ini cobalah untuk tepat waktu. Jika kemarin hati mudah iri, hari ini belajarlah untuk ridha. Jika kemarin banyak keluh kesah, hari ini perbanyaklah syukur.

Tidak perlu terburu-buru menjadi sempurna. Cukup melangkah sedikit demi sedikit menuju kebaikan. Karena di sisi Allah, setiap peningkatan sekecil apa pun tetap dihitung dan sangat berarti.

Dunia akan selalu menawarkan perbandingan, dan kita akan selalu menemukan orang yang lebih dari kita dalam berbagai hal. Namun, Allah tidak menilai siapa yang paling hebat dibandingkan orang lain, melainkan siapa yang terus memperbaiki diri dari waktu ke waktu.

Cukuplah kita bertanya pada diri sendiri setiap malam: “Apakah hari ini aku lebih baik dari kemarin?” Jika jawabannya “iya”, walau hanya sedikit, maka itulah kemenangan sejati seorang mukmin. Wallāhu a‘lam.

 

* Mahasiswa Prodi Ahwal Syakhshiyah UII 2022.

Maraji’ :

[1] Mufakat Al‑Banna Indonesia. “Jadilah Lebih Baik Dari Kemarin.” https://mufakatalbanna.or.id/jadilah-lebih-baik-dari-kemarin/. Diakses pada tanggal 20 Oktober 2025.

[2] Suko Wahyudi. “Berdamai dengan Diri Sendiri”, https://suaramuhammadiyah.id/read/berdamai-dengan-diri-sendiri –Diakses 20 Oktober 2025.

[3] Ibid.

[4] Muchlis. “Hari Ini Harus Lebih Baik dari Hari Kemarin dan Hari Esok Harus Lebih Baik dari Hari Ini.” https://badilag.mahkamahagung.go.id/pojok-dirjen/pojok-dirjen-badilag/hari-ini-harus-lebih-baik-dari-hari-kemarin-dan-hari-esok-harus-lebih-baik-dari-hari-ini-oleh-drs-h-muchlis-s-h-m-h-27-09. Diakses pada tanggal 20 Oktober 2025.

[5] Ibid.

[6] Fauzan Hidayat. “Enam Kiat Mengatasi Godaan Setan” – 2025. https://muslim.or.id/104373-enam-kiat-mengatasi-godaan-setan.html. Diakses pada tanggal 20 Oktober 2025.

Download Buletin klik di sini

Etika Digital Seorang Muslim dalam Era Post-Truth

Etika Digital Seorang Muslim dalam Era Post-Truth

Muhammad Malik Nahar*

 

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh, waba’du.

Sahabat al-Rasikh rahimakumullāh, kini kita hidup di tengah arus informasi yang sangat cepat dan mudah diakses. Namun, kemudahan ini sering membuat informasi tersebar tanpa penyaringan, sehingga emosi dan opini pribadi lebih dipercaya daripada fakta. Akibatnya, banyak yang sulit membedakan antara kebenaran dan kebohongan, hingga muncul krisis kepercayaan dan bias dalam menilai suatu peristiwa. Inilah yang disebut era post-truth. Islam sebagai agama yang syamil dan kamil telah mengajarkan bagaimana seorang Muslim seharusnya bersikap dalam menghadapi kondisi ini.

Mengenal Post-Truth

Istilah post-truth sendiri bukanlah sesuatu yang baru. Istilah ini telah populer pada tahun 2016 ketika Oxford Dictionaries menjadikannya “Word of the Year.” Post-truth berarti situasi ketika suatu fakta kurang berpengaruh dibanding emosi atau opini pribadi.[1] Dalam kondisi ini, kebohongan bisa diterima luas jika sesuai dengan pandangan seseorang.

Dalam teori komunikasi dikenal dengan teori agenda-setting yang menjelaskan bahwa media bisa menentukan isu apa yang dianggap penting oleh publik. Demikian juga dengan teori framing yang menjelaskan cara penyajian isu bisa membentuk cara orang memahaminya. Di era post-truth, dua teori ini sering dipakai untuk menggiring opini terhadap isu yand disajikan oleh media, baik itu sengaja atau tidak.[2]

Berpikir Kritis Sebelum Percaya

Allâh telah menegaskan dalam sebuah ayat,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِن جَآءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوٓا۟ أَن تُصِيبُوا۟ قَوْمًۢا بِجَهَٰلَةٍ فَتُصْبِحُوا۟ عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَٰدِمِينَ

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS Al-Hujurat [49]: 6).

Makna fatabayyanu adalah perintah untuk meneliti dan memastikan kebenaran setiap berita yang kita terima, karena bisa jadi informasi itu bohong dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Seorang Muslim yang bijak harus membiasakan diri memeriksa sumber sebelum mempercayai atau menyebarkan informasi. Dalam media sosial, ini berarti tidak tergesa menekan tombol “bagikan” sebelum yakin kebenarannya, serta tidak mudah menilai atau berkomentar tanpa tabayyun. Inilah pesan firman Allâh dalam konteks era post-truth.

Menjadi Sumber Kebaikan

Penelitian dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) menunjukkan bahwa berita palsu 70% lebih sering dibagikan dibanding berita benar. [3] Salah satu penyebabnya adalah perilaku impulsif dan kecenderungan berpikir intuitif, bukan analitis. [4]  Perilaku impulsif membuat seseorang bertindak spontan tanpa pertimbangan matang. Jika banyak pengguna media sosial bersikap demikian, kekacauan informasi di ruang digital pun tak terelakkan.

Dari Abu Hurairah, Rasûlullâh ﷺ bersabda,

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أَوْ لِيَصْمُتْ

Siapa saja yang beriman kepada Allâh dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam. (HR Bukhari, no. 6018, 6019, 6136, 6475 dan Muslim, no. 47).

Bahwasanya ketika suatu informasi berpotensi memecah belah, maka diam adalah pilihan terbaik. Ketika sebuah komentar tidak membawa manfaat, menahan jari untuk tidak mengetik adalah bentuk kebijaksanaan.

Seorang Muslim yang bijak hendaknya selalu menjadi sumber kebaikan bagi sesama, bukan penyebab kepanikan, provokasi, atau ujaran kebencian yang memperkeruh keadaan. Setiap ucapan dan tindakan akan dimintai pertanggungjawaban.

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar zNabi ﷺ bersabda,

كُلُّكُمْ رَاعٍ فَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ،

Ketahuilah, setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR Bukhari no. 2554 dan Muslim no. 1829).[5]

Kepemimpinan yang dimaksud dalam hadits tersebut tidak hanya terbatas pada jabatan atau kekuasaan, tetapi juga mencakup tanggung jawab pribadi atas setiap tindakan, termasuk dalam bermedia sosial. Sebab, ra’iyyah bermakna amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allâh — mencakup setiap kata yang kita tulis, setiap informasi yang kita sebarkan, dan setiap pengaruh yang muncul dari apa yang kita unggah.

Meneladani Akhlak Digital Seorang Muslim

Menjaga ucapan di dunia nyata sama pentingnya dengan menjaga tulisan di dunia maya. Apa yang kita ketik, komentari, dan bagikan adalah representasi dari siapa diri kita sesungguhnya. Dalam hal ini, ulama salaf telah memberikan nasihat yang sangat dalam tentang hubungan antara hati dan ucapan.

Yahya bin Mu’adz v berkata: “Hati itu bagaikan periuk dalam dada yang menampung isinya, sedangkan lisan itu bagaikan gayung. Lihatlah kualitas seseorang ketika ia berbicara, karena lisannya akan mengambil apa yang ada dari dalam periuk hatinya baik itu manis, asam, segar, asin, atau selainnya. Rasa (kualitas) hatinya akan tampak dari perkataan lisannya.”[6]

Ungkapan ini mengajarkan bahwa tulisan mencerminkan isi hati. Hati yang bersih melahirkan kata yang menenangkan, sedangkan hati yang keruh memicu konflik. Karena itu, membersihkan hati menjadi langkah awal dalam berakhlak digital. Seorang Muslim hendaknya menimbang setiap kata yang ditulis sebagaimana menimbang ucapan. Media sosial bisa menjadi ladang pahala bila digunakan untuk menyebar ilmu dan kebaikan, namun bisa pula menjadi sumber dosa bila dipakai untuk mencaci, memprovokasi, atau menebar fitnah.

Maka, hendaklah seorang muslim menjadi pemimpin bagi lisannya dan jari-jarinya sendiri, karena dalam dunia digital saat ini, kebijaksanaan bermakna siapa yang paling mampu menahan diri, yakni hanya berkata yang baik, atau jika tidak mampu maka ia diam. Semoga Allâh ﷻ menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang berhati bersih, berucap baik, dan menebar maslahat dalam setiap ruang baik di dunia nyata maupun di ruang maya. Wallâhu a’lam bish-shawab.

 

* Mahasiswa Ahwal Syakhshiyyah Internasional Program

Maraji’ :

[1] Oxford Languages.  “Word of the Year 2016.” https://languages.oup.com/word-of-the-year/2016/. Diakses pada 20 Oktober 2025.

[2] Adhimurti Citra Amalia. “Teori Agenda Setting dan Framing dalam Media Relations” https://binus.ac.id/malang/2020/04/teori-agenda-setting-dan-framing-dalam-media-relations/. Diakses pada 5 Oktober 2025.

[3] Massachusetts Institute of Technology (MIT). “The Spread of False and True Information Online: Frequently Asked Questions.” https://www.media.mit.edu/projects/the-spread-of-false-and-true-info-online/frequently-asked-questions/. Diakses pada 22 Oktober 2025.

[4]Beauvais C. “Fake news: Why do we believe it?” Joint Bone Spine. 2022 Jul;89(4):105371. doi: 10.1016/j.jbspin.2022.105371.

[5] Kementerian Agama Republik Indonesia. “Teladan Tanggung Jawab Umar bin Khattab kepada Rakyatnya.” https://kemenag.go.id/hikmah/teladan-tanggung-jawab-umar-bin-khattab-kepada-rakyatnya-P4VBw. Diakses pada 22 Oktober 2025.

[6] Abu Nu’aim al-Aṣbahānī. Hilyatul Auliya’ wa Ṭabaqāt al-Aṣfiyā’. Kairo: Dār al-Sa’ādah. 1974 M. Cet. ke-1. h.63.

Download Buletin klik di sini

Sebarkan Salam, Tebarkan Senyum

Sebarkan Salam, Tebarkan Senyum

Nabila Mumtazah Priyatna

 

Tinggal di lingkungan yang dipenuhi beragam manusia membuat kita tak mungkin menghindar dari interaksi dengan mereka. Sebagai seorang Muslim, menyapa sesama—baik yang dikenal maupun tidak—merupakan bagian dari akhlak mulia yang diajarkan Islam. Di Indonesia, kebiasaan menyapa di jalan telah menjadi budaya turun-temurun yang dilakukan oleh siapa pun, di mana pun. Biasanya, sapaan itu disertai dengan salam dan senyuman tulus—sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi ﷺ.

Akhlak Nabi

Dari Jarir, ia berkata:

مَا حَجَبَنِى النَّبِىُّ ﷺ مُنْذُ أَسْلَمْتُ، وَلاَ رَآنِى إِلاَّ تَبَسَّمَ فِى وَجْهِى

Nabi tidak menghalangiku sejak aku memberi salam dan beliau selalu menampakkan senyum padaku” (HR Bukhari no. 6089 dan Muslim no. 2475).

Dalam Al-Qur’an, Lukman mewasiatkan kepada anaknya:

وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِى ٱلْأَرْضِ مَرَحًا ۖ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ

Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri” (QS Lukman [31]: 18).[1]

Dari Abu Hurairah z, Rasulullah ﷺ bersabda:

لا تَدْخُلُونَ الجَنَّةَ حتَّى تُؤْمِنُوا، ولا تُؤْمِنُوا حتَّى تَحابُّوا، أوَلا أدُلُّكُمْ علَى شيءٍ إذا فَعَلْتُمُوهُ تَحابَبْتُمْ؟ أفْشُوا السَّلامَ بيْنَكُمْ

Tidak akan masuk surga hingga kalian beriman. Dan kalian tidak dikatakan beriman hingga kalian saling mencintai. Maukah aku tunjukkan sesuatu yang jika dilakukan akan membuat kalian saling mencintai? Sebarkan salam diantara kalian” (HR Muslim, no.54).[2]

Salam yang dimaksud disini adalah ucapan tahiyyah (penghormatan) yaitu “Assalâmu’alaikum Warahmatullâhi Wabarakâtuh.” Ini adaalah ucapan yang diajarkan oleh Rasulullah ﷺ dan didalamnya terdapat syiar Islam yang mulia serta doa untuk orang yang diberikan salam.

Kepada Siapa Kita Mengucapkan Salam?

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bahwasanya ada seseorang yang bertanya pada Nabi ﷺ,

أَىُّ الإِسْلاَمِ خَيْرٌ قَالَ: تُطْعِمُ الطَّعَامَ، وَتَقْرَأُ السَّلاَمَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ، وَعَلَى مَنْ لَمْ تَعْرِفْ.

Amalan islam apa yang paling baik?” Beliau ﷺ lantas menjawab, “Memberi makan (kepada orang yang butuh) dan mengucapkan salam kepada orang yang engkau kenali dan kepada orang yang tidak engkau kenali.” (HR Bukhari no. 6236).

Dari Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ bersabda:

يُسَلِّمُ الصَّغِيرُ عَلَى الْكَبِيرِ، وَالْمَارُّ عَلَى الْقَاعِدِ، وَالْقَلِيلُ عَلَى الْكَثِيرِ

Yang muda hendaklah memberi salam pada yang tua. Yang berjalan (lewat) hendaklah memberi salam kepada orang yang dudukYang sedikit hendaklah memberi salam pada orang yang lebih banyak.” (HR Bukhari no. 6231).[3]

Ketika bertemu atau berpapasan dengan dosen, maka hendaknya kita yang mendahulukan salam. Namun, apabila bertemu dengan adek tingkat dan dia tidak mengucapkan salam, maka alangkah baiknya jika kita mendahulukan untuk mengucapkan salam agar pahala dari mengucapkan salam ini tetap ada dan terjalin ikatan ukhuwan antar sesama.

Ucapkan Salam Dengan Sempurna

Allah ﷻ berfirman:

وَإِذَا حُيِّيتُم بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا۟ بِأَحْسَنَ مِنْهَآ أَوْ رُدُّوهَآ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍ حَسِيبًا

Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa).” (QS An-Nisa’ [4]: 86).

Salam merupakan ucapan penghormatan. Jika saudara kita mengucapkan salam dengan ‘Assalâmu’alaikum’ maka kita jawab dengan ‘Wa’alaikumussalâm’ atau ‘Wa’alaikumussalâm warahmatullâh’. Begitu juga apabila saudara kita mengucapkan salam dengan suara yang lirih maka jawab dengan suara yang jelas dan apabila saudara kita mengucapkan salam dengan tersenyum maka balaslah dengan senyum juga atau dengan jabatan tangan.

Hal ini dimaksudkan juga untuk salam dalam bentuk pesan singkat agar tetap menulisaknnya dengan lengkap tanpa mempersingkatnya agar tetap mengandung doa dan penghormatan yang dibawa dari kalimat salam.

Menjawab Salam Ketika Mendapat Kiriman Salam

Menitipkan salam atau mendapat titipan salam sudah menjadi hal yang biasa  dilakukan oleh masyarakat terutama ketika kita bertemu dengan seseorang yang juga mengenal orang lain yang kita kenal. Seperti menitipkan salam untuk orangtua teman lewat teman kita atau sebaliknya kita mendapatkan kiriman salam dari seseorang yang tidak bisa bertemu dengan kita. Lalu, bagaimana cara kita menjawab kiriman salam tersebut?

Dari kakeknya seorang lelaki dari dari Bani Numair z, ia berkata:

بَعَثَنِي أَبِي إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: ائْتِهِ فَأَقْرِئْهُ السَّلَامَ. قَالَ: فَأَتَيْتُهُ فَقُلْتُ: إِنَّ أَبِي يُقْرِئُكَ السَّلَامَ. فَقَالَ: عَلَيْكَ السَّلَامُ وَعَلَى أَبِيكَ السَّلَامُ.

Ayahku mengutusku untuk menemui Rasulullah , Nabi bersabda: “Datangkan ia”. Lalu aku mengucapkan salam kepada Nabi dan mendatanginya. Lalu aku berkata: “Ayahku mengirim salam untukmu wahai Nabi”. Nabi bersabda: “Wa’alaikassalâm wa’ala abîkas salâm” (semoga keselamatan untukmu dan untuk ayahmu). (HR Abu Daud no. 5231, dihasankan Al Albani dalam Shahih Abi Daud).

Intinya, menjawab salam untuk yang mengirim salam dan yang menyampaikan salam. Bisa dijawab dengan: “Wa’alaikassalâm wa’alaihissalâm”, atau “Wa’alaika wa’alaihissalâm”, atau semacamnya.[4]

Hukum Mengucapkan Salam Kepada Lawan Jenis

Allah ﷻ berfirman:

قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا۟ مِنْ أَبْصَٰرِهِمْ وَيَحْفَظُوا۟ فُرُوجَهُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرٌۢ بِمَا يَصْنَعُونَ. وَقُل لِّلْمُؤْمِنَٰتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَٰرِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya. Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.’ Katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.’” (QS An-Nur [24]: 30-31).

Lalu bagaimana dengan anjuran menybarkan salam? Tentu menyebarkan salam ditujukan kepada siapapun, laki-laki maupun perempuan. Sebagaimana hadits diatas perintahnya bersifat umum.

Dari Asma’ bintu Yazid, ia berkata:

مَرَّ عَلَيْنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي نِسْوَةٍ فَسَلَّمَ عَلَيْنَا

“Nabi pernah melewati para wanita, beliau mengucapkan salam kepada kami (wanita).” (HR Abu Daud no. 5204, disahihkan Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Daud).

Namun, kebolehan untuk mengucapkan salam kepada lawan jenis ini dengan syarat tidak timbul fitnah (godaan) di antara mereka. Oleh karena itu, Ibnu Hajar Al-Asqalani v mengatakan di dalam kitab Fathhul Bari,

Ibnu Bathal menukil perkataan Al-Muhallab,

سَلَامُ الرِّجَالِ عَلَى النِّسَاءِ وَالنِّسَاءِ عَلَى الرِّجَالِ جَائِزٌ إِذَا أُمِنَتِ الْفِتْنَةُ.

Ucapan salam lelaki kepada wanita atau wanita kepada lelaki hukumnya boleh, jika aman dari fitnah.”[5]

Wanita yang dimaksudkan disini adalah wanita muda, sedangkan kepada wanita yang sudah tua maka mengucapkan salam kepadanya diperbolehkan.

 

Mahasiswa Prodi Ahwal Syakhshiyah IP FIAI UII

Maraji’ :

[1] Muhammad Abduh Tuasikal. ”Bermuka Manis di Hadapan Orang Lain.” Bermuka Manis di Hadapan Orang Lain – Rumaysho.Com. Diakses pada 9 Oktober 2025.

[2] Yulian Purnama. ”Fikih Seputar Menebarkan Salam.” https://muslim.or.id/53926-fikih-seputar-menebarkan-salam.html. Diakses pada 9 Oktober 2025.

[3] Muhammad Abduh Tuasikal. ”Ucapan Salam, Amalan Mulia yang Ditinggalkan.” https://rumaysho.com/182-ucapan-salam-amalan-mulia-yang-ditinggalkan.html. diakses pada 9 Oktober 2025.

[4] Yulian Purnama. ”Fikih Seputar Menebarkan Salam.” https://muslim.or.id/53926-fikih-seputar-menebarkan-salam.html. Diakses pada 9 Oktober 2025.

[5] Yulian Purnama. ”Hukum Mengucapkan Salam kepada Lawan Jenis.” https://muslim.or.id/69758-hukum-mengucapkan-salam-kepada-lawan-jenis.html. Diakses pada 9 Oktober 2025.

Download Buletin klik di sini

Penyebab Sulitnya Ilmu Masuk Ke Dalam Hati

Penyebab Sulitnya Ilmu Masuk Ke Dalam Hati

Nur Laelatul Qodariyah*

 

Pembaca Al-Rasikh yang diberkahI Allâh ﷻ, pernahkah kalian merasakan sulitnya belajar memahami dan mencerna suatu ilmu yang sedang dipelajari? bahkan untuk mempelajari satu kalimat saja itu sangat sulit, bukan kalian saja yang merasakannya sulitnya belajar, para ulama zaman dulu juga pernah merasakannya. Penulis teringat dengan salah satu ulama yang berjuang untuk tetap belajar walaupun dirinya dikenal dengan murid yang bodoh dan tertinggal di madrasahnya, dikisahkan beliau ini sudah lama belajar namun belum juga paham, pada akhirnya beliau sempat menyerah dan ingin kembali kerumahnya, namun kyainya berpesan untuk tetap belajar.

Kemudian beliau pulang ke rumahnya dan di tengah perjalannya hujan deras menimpa dan beliau harus meneduh di gua, beliau ini tidak sengaja mendengar suara yang ternyata tetasan dan gemercik air hujan itu mengenai batu besar. Batu itu berlubang karena telah bertahun-tahun terkena tetesan air hujan.

Dari kejadian hal tersebut beliau berfikir masa saya sebagai manusia kalah dengan batu, padahal akal dan pikiran saya tidak sekeras batu, beliau merenung. Kemudian beliau balik dan menuntut ilmu kembali, beliau adalah Ibnu Hajar al ‘Asqani, seorang ahli hadits dari Mazhab Syafi’i terkemuka. Karaya beliau yang sering menjadi bahan referensi antgara lain; Fath al-Bari, Bulûgh al-Maram, Tahdzib al-Tahdzib, dan lainnya.[1] Dari kisah beliau dapat kita renungkan bahwa mencari ilmu itu kuncinya adalah sabar dan berusaha untuk belajar bagaimana kita bisa mudah dalam belajar meski sulit untuk dilakukan.

Ilmu adalah Cahaya

Ilmu adalah cahaya yang datangnya dari Allâh ﷻ untuk menerangi dan memberikan kita nafas panjang agar selalu mengingat dan memberikan kita petunjuk tentang arah dan tujuan kita berlayar.  Dasar untuk menuntut ilmu adalah dengan niat untuk memulai, agar kita bisa selalu konsisten dan hati kita bisa menerima tentang apa yang akan kita pelajari. Bukan hanya sekedar mempelajari namun juga memasukannya ke dalam hati, agar terus berkomitmen dan menjaga daripada ilmu yang akan masuk ke dalam diri kita.

Karena ilmu pengetahuan itu bisa membedakan kita antara yang benar dan yang salah, bisa memberikan petunjuk dan pedoman yang benar agar kita bisa bertakwa dan juga menjauhi larangan-Nya. Ilmu adalah bekal yang tidak akan pernah mati dan tidak akan pernah habis masanya, satu-satunya cara agar bisa memprotect kita dari segala sesuatu yang sebelumnya belum kita ketahui.

Cara agar kita bisa mendekatkan diri kepada Allâh ﷻ dan cara bagaimana kita bisa berdoa dengan adab-adab yang benar, bukankah itu perlu adanya ilmu? Tidak mungkin kita bisa mengetahui sesuatu tanpa sebelumnya kita pelajari? itu mustahil, kecuali atas kehendak Allâh ﷻ. Sebagai manusia kita diwajibkan untuk menuntut Ilmu hal itu sudah dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Hadits.

Allâh ﷻ berfirman:

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS Al-Mujadilah [58]: 11).[2]

Dalam riwayat disebutkan dari sahabat Anas bin Malik, Rasâlullâh ﷺ bersabda,

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim” (HR Ibnu Majah no. 224).[3]

Sebab Ilmu Sulit Digapai

Ada beberapa hal yang perlu kita pahami, bahwa ada sebab-sebab yang dapat menghalangi datangnya ilmu dan membuatnya sulit untuk kita pahami, di antaranya ialah:

  1. Niat yang Rusak

Niat adalah dasar atau permulaan, jika niatnya salah atau rusak maka keseluruhannya juga akan rusak juga.

Dari Amirul Mukminin, Abu Hafsh ‘Umar bin Al-Khattab, ia berkata bahwa ia mendengar Rasûlullâh ﷺ bersabda:

إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى

“Sesungguhnya setiap amal itu tergantung pada niatnya. Dan bagi seseorang adalah apa yang ia niatkan.” (HR Bukhari, no. 1 dan Muslim, no. 1907).[4]

Oleh karena itu mulai sekarang perbaiki niat kita dan obati niat kita dengan mencari ilmu itu niatnya karena Allâh ﷻ, ilmu apapun itu niat kita ditujukan kepada Allâh ﷻ, jika niatnya itu hanya untuk perolehan dunia maka apa yang akan diperoleh nanti itupun sesuai dengan apa yang diniatkan.

  1. Banyak Alasan untuk tidak memulai karena sibuk

Sampai kapan kita akan diperbudak dengan kata sibuk dan capek, sesibuk-sibuknya kamu tidak mungkin kerja itu tanpa istirahat, apalagi di era modern sekarang yang tidak ada kata perbudakan seperti zaman dulu, ditambah berkembangnya teknologi. Apakah berbagai kesibukan yang ada merupakan salah satu penyebab penghalang dirimu untuk menuntut ilmu? saya rasa tidak. Karena jika Allâh ﷻ buka pintu hatinya, ia akan bisa me manage waktunya untuk menuntut ilmu dan hadir di majelis-majelis ilmu.[5]

  1. Bosan dalam menuntut ilmu

Salah satu penghalang untuk menuntut ilmu adalah dengan merasa bosan, ada kalanya seorang penuntut ilmu itu mengalami rasa bosan. Tetapi bukan berarti rasa bosan tersebut itu membuat kita itu mati untuk bergerak. Mati untuk berusaha melawan rasa bosan itu. Tidak masalah jika setiap hari waktu yang digunakan untuk belajar itu hanya 15 menit atau 30 menit. Hal tersebut lebih baik kan daripada tidak sama sekali dilakukan, atau bahkan berhenti untuk belajar lagi.

  1. Menilai dirinya sudah bisa

Salah satu penyakit yang bisa menghalangi kita untuk teus mengexplore dan menuntut ilmu adalah dengan merasa bisa dengan apa yang baru kita pelajari, padahal ilmu pengetahuan itu sangat luas, bukan hanya luas tapi sesuatu ilmu yang baru kita pelajari perlu kita ulang agar tidak lupa dan menetap dihati, bukan seperti masuk telinga kanan keluar telinga kiri.

  1. Tidak mau mengamalkan ilmu

Ilmu itu harus disebarkan jangan di tahan, semakin kamu mengamalkannya dan mengajarkannya, maka ilmu yang kamu peroleh tersebut akan menjadi berkah dan dengan cara mengamalkannya secara tidak langsung kamu juga belajar mengulang dan memperkuat ilmumu agar tidak lupa.

 

* Alumni Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia

Maraji’ :

[1] Arip Suprasetio. “Mengenal Perjuangan Ibnu Hajar al ‘Asqalani dalam menuntut ilmu.” https://jatman.or.id/mengenal-perjuangan-ibnu-hajar-al-asqalani-dalam-menuntut-ilmu , diakses pada Selasa 14 Oktober 2025.

[2] Anang Susilo, “Keutamaan Menuntut Ilmu dalam Islam.” http://fcep.uii.ac.id/wp-content/uploads/2023/08/Anang-Susilo_Keutamaan-Menuntut-Ilmu-dalam-Islam.pdf. Diakses pada 15 Oktober 2025.

[3] Fatharani Fariha. “Keutamaan Menuntut Ilmu Agama.” https://muslimah.or.id/10472-keutamaan-menuntut-ilmu-agama.html. Diakses pada 15 Oktober 2025.

[4] Muhammad Abduh Tuasikal. “Hadits Arbain 01: Setiap Amal Tergantung Pada Niatnya.” https://rumaysho.com/16311-hadits-arbain-01-setiap-amalan-tergantung-pada-niat.html. Diakses pada 15 Oktober 2025.

[5] Yazid bin Abdul Qadir Jawas. “Penghalang-Penghalang dalam Menuntut Ilmu.” https://almanhaj.or.id/3280-penghalang-penghalang-dalam-menuntut-ilmu-1.html. Diakses pada 15 Oktober 2025.

Download Buletin klik di sini

Bermanfaat atau Dimanfaatkan Orang Lain?

Bermanfaat atau Dimanfaatkan Orang Lain?

Raden Miftakhurozak Budi Nugraha*

 

Bismillâhi walhamdulillâh wash shalâtu was salâmu ‘ala rasûlillâh

Sahabat Al-Rasikh yang berbahagia. Dalam ajaran Islam, manusia senantiasa berhubungan dengan dua hal penting, yaitu menjaga hubungan dengan Allah (ḥablun minallāh) dan menjaga hubungan dengan sesama manusia (ḥablun minannās). Menjaga hubungan dengan Allah dapat dilakukan dengan memaksimalkan ibadah kepada-Nya sesuai dengan syariat yang telah ditetapkan dalam ajaran Islam. Adapun menjaga hubungan dengan sesama manusia berkaitan erat dengan menjaga perilaku, akhlak, serta berbuat baik kepada orang lain.

Berbuat baik kepada sesama sejalan dengan sabda Rasûlullâh ﷺ. Dari Jabir bin ‘Abdillah , Rasûlullâh ﷺ bersabda:

المؤْمِنُ يَأْلَفُ وَيُؤْلَفُ وَلاَ خَيْرَ فِيْمَنْ لاَ يَأْلَفُ وَلاَ يُؤْلَفُ وَخَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ

Seorang mukmin itu adalah orang yang bisa menerima dan diterima orang lain, dan tidak ada kebaikan bagi orang yang tidak bisa menerima dan tidak bisa diterima orang lain. Dan sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Awsath, no. 5949).[1]

Terdapat banyak cara untuk menjadi pribadi yang bermanfaat bagi orang lain; membantu mereka yang sedang kesulitan, menyebarkan ilmu yang bermanfaat, menjaga kelestarian lingkungan dan alam, bahkan menyapa dengan senyuman pun termasuk kebaikan yang bernilai ibadah.

Namun, di sisi lain, muncul kekhawatiran yang wajar secara manusiawi, yakni ketika kebaikan yang kita lakukan justru dimanfaatkan oleh orang lain. Lalu, di manakah garis batas antara ketulusan dalam membantu dengan situasi ketika seseorang dimanfaatkan hingga merugikan diri sendiri? Pertanyaan inilah yang sering menjadi ujian bagi keikhlasan dan kebijaksanaan dalam berbuat baik.

Bahaya Perbuatan Zalim

Meskipun Islam meninggikan derajat orang yang memberi manfaat, agama ini tidak mengajarkan kepasrahan buta yang membuka peluang bagi terjadinya eksploitasi, seolah-olah menjadi objek yang dimanfaatkan.

Secara terminologis, kata “dimanfaatkan” menggambarkan suatu kondisi di mana ada pihak yang berbuat zalim—yakni melakukan tindakan aniaya atau ketidakadilan—terhadap orang lain. Ketika seseorang dengan sengaja dan berulang kali mengambil keuntungan dari kebaikan orang lain hingga merugikannya, maka ia telah jatuh ke dalam perbuatan zalim yang dikecam dalam Islam.[2]

Islam memandang perbuatan zalim sebagai salah satu dosa besar. Dalam firman Allâh ﷻ surah Saba’ ayat 42. Allâh ﷻ berfirman:

وَنَقُولُ لِلَّذِينَ ظَلَمُوا۟ ذُوقُوا۟ عَذَابَ ٱلنَّارِ ٱلَّتِى كُنتُم بِهَا تُكَذِّبُونَ

Dan Kami katakan kepada orang-orang yang zalim: “Rasakanlah olehmu azab neraka yang dahulunya kamu dustakan itu”. (QS Saba’ [34]: 42)

Orang yang berbuat zalim akan mendapatkan balasan dari Allâh ﷻ, bisa berupa dijauhkannya dari nikmat Allâh ﷻ, mengalami kebangkrutan saat hari kiamat, mendapatkan hal buruk karena doa dari orang yang dizalimi.[3]

Niat Ikhlas Sebagai Pembeda Utama

Perbedaan antara perbuatan baik yang benar-benar bermanfaat dengan kondisi dimanfaatkan terletak pada niat yang melandasinya. Islam mengajarkan bahwa amal yang tulus harus dilakukan semata-mata untuk mencari ridha Allâh ﷻ, bukan karena ingin dipuji, dihargai, atau memperoleh imbalan dari manusia.

Sebaliknya, situasi “dimanfaatkan” sering kali berakar dari niat yang tidak sepenuhnya murni. Seseorang mungkin membantu bukan karena lillāhi ta’ālā, melainkan karena dorongan rasa sungkan, ingin diterima, atau takut mengecewakan orang lain. Ketika bantuan diberikan dengan niat seperti ini, hati menjadi rentan terhadap kekecewaan dan rasa diperlakukan tidak adil, terutama saat balasan atau penghargaan yang diharapkan tidak juga datang.

Menemukan Keseimbangan (Tawazun)

Pada akhirnya, kunci dari semua ini adalah prinsip At-Tawazun (keseimbangan), yang merupakan jantung dari ajaran Islam. Seorang Muslim dituntut untuk menyeimbangkan berbagai hak dan kewajiban dalam hidupnya: hak Allâh ﷻ untuk diibadahi, hak sesama manusia untuk dibantu, dan hak diri sendiri untuk dijaga.

Kebaikan yang ekstrem hingga merusak diri sendiri, menelantarkan keluarga, dan mengabaikan kewajiban-kewajiban primer lainnya bukanlah bentuk kedermawanan yang dipuji dalam Islam. Kebaikan yang sejati adalah kebaikan yang cerdas dan proporsional, yang dilakukan dalam koridor keseimbangan, di mana semua hak dapat terpenuhi secara harmonis.[4]

Menjadi Bermanfaat Namun Tetap Menjaga ‘Izzah

Menjaga ‘izzah (kemuliaan, kehormatan, dan harga diri) sambil tetap menjadi pribadi yang bermanfaat adalah inti dari karakter seorang mukmin yang kuat. Menjadi seseorang yang bermanfaat untuk orang lain namun ’Izzah tetap terjaga bisa dilakukan dengan membangun kesadaran bahwa segala yang kita lakukan harus diniatkan untuk beribadah kepada Allâh ﷻ, dan segala hal baik yang kita lakukan tidak membutuhkan validasi dari makhluk. Memberikan bantuan kepada orang lain harus disesuaikan dengan kapasitas yang kita miliki dan jangan memaksakan diri. Mengucapkan permohonan maaf bahwa kita tidak punya kapasitas pada hal itu lebih menenangkan dan lebih terhormat daripada berjanji lalu gagal memenuhinya.

Tegas dalam menetapkan batasan sangat penting untuk menjaga diri kita dari terganggunya kesehatan mental (mudah merasa marah, cemas, dan benci), menjaga keikhlasan karena kita tidak menolong berdasarkan rasa keterpaksaan, dan bisa menjadi sarana untuk mendidik orang lain agar lebih mandiri dan bertanggung jawab. Cara praktis menetapkan batasan namun dengan cara yang santun yaitu dengan mengenali batasan diri terlebih dahulu (batasan energi, waktu, finansial, atau emosi), gunakan komunikasi yang jelas dan jujur, serta kita bisa menawarkan alternatif lain. Tindakan tanpa ’Izzah dapat membuat kita cepat merasa lelah namun takut untuk menolak, sedangkan tindakan dengan ’Izzah, artinya kita berani menolak dengan bahasa yang santun karena keterbatasan diri.

Dengan demikian, seorang Muslim diajak untuk senantiasa melakukan rekalibrasi atas niat dan tindakannya. Menolak untuk dimanfaatkan bukanlah tanda kikir atau egois, melainkan sebuah wujud ketaatan pada prinsip keadilan dan penjagaan diri yang telah digariskan oleh Allah dan Rasulullah ﷺ. Kebaikan yang hakiki adalah kebaikan yang memberdayakan, bukan yang melumpuhkan; sebuah kebaikan yang mengangkat derajat si penerima tanpa pernah merendahkan kehormatan dan martabat si pemberi. Inilah esensi dari menjadi bermanfaat dalam bingkai Islam yang seimbang dan sempurna.

 

* Tenaga kependidikan administrasi DLA UII

Maraji’ :

[1] Diriwayatkan oleh Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Awsath, no. 5949). Syaikh Al-Albani menghasankan dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 426.

[2] Yulian Purnama, S.Kom. “Janganlah Berbuat Zalim!”.https://muslim.or.id/53105-janganlah-berbuat-zalim.html/. Diakses pada 11 September 2025.

[3] Yayasan Al-Ma’soem Bandung. “Lima Bahaya dari Perbuatan Zalim”. https://almasoem.sch.id/saling-doa/lima-bahaya-dari-perbuatan-zalim/. Diakses pada 11 September 2025.

[4] Nabila Putri Ocktavia, Rizqdwan Dhuhakbar Hendyutama, Hasan Rama Sagita. “Mengenal Konsep Keseimbangan Hidup Dalam Islam: Menjaga Harmoni Antara Spiritual dan Duniawi”. https://informatics.uii.ac.id/2023/09/29/mengenal-konsep-keseimbangan-hidup-dalam-islam-menjaga-harmoni-antara-spiritual-dan-duniawi/. Diakses pada 11 September 2025

Download Buletin klik di sini

Maksiat Menghalangi Datangnya Rezeki

Maksiat Menghalangi Datangnya Rezeki

Abdullah

 

Setiap manusia mendambakan hidup yang lapang, rezeki yang berkah, serta urusan yang dimudahkan oleh Allâh ﷻ. Namun, kenyataannya tidak jarang kita merasa hidup terasa berat, rezeki seret, dan berbagai urusan seperti tertutup jalannya. Padahal, secara lahiriah kita sudah berusaha keras, bekerja siang malam, bahkan menguras tenaga dan pikiran. Tetapi, hasil yang didapatkan sering kali tidak sebanding dengan jerih payah yang dikeluarkan.

Sebaliknya, ada juga keadaan di mana seseorang merasa rezekinya lancar dan pekerjaannya dipermudah. Namun, kelancaran itu tidak menghadirkan kebaikan: hidupnya jauh dari ketenteraman, keluarganya penuh masalah, dan harta yang melimpah tidak menambah kebahagiaan. Hal itu menunjukkan hilangnya keberkahan dalam rezeki.

Dalam situasi seperti ini, penting bagi kita untuk melakukan introspeksi diri. Sebab, rezeki sejatinya bukan hanya persoalan kerja keras, melainkan juga terkait erat dengan keberkahan dari Allâh ﷻ. Dan salah satu penghalang terbesar turunnya keberkahan adalah dosa dan maksiat yang dilakukan manusia.

Maksiat sebagai Penghalang Rezeki

Rasûlullâh ﷺ telah mengingatkan bahwa dosa dan maksiat memiliki dampak langsung terhadap rezeki seorang hamba. Dalam hadits yang diriwayatkan dari Dari Tsauban radhiyallāhu ‘anhu, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda:

إِنَّ الْعَبْدَ لَيُحْرَمُ الرِّزْقَ بِالذَّنْبِ يُصِيبُهُ

“Sungguh, seorang hamba akan terhalang dari rezeki karena dosa yang diperbuatnya.”
(HR Ahma)[1]

Hadits ini menunjukkan bahwa dosa bukan hanya memengaruhi kondisi spiritual seseorang, tetapi juga urusan dunianya, termasuk rezeki. Seseorang bisa saja berusaha sekuat tenaga, tetapi dosanya dapat menjadi penghalang turunnya pertolongan Allâh.

Dampak Dosa terhadap Rezeki

Ibn Qayyim al-Jauziyyah (w. 751 H) dalam al-Jawāb al-Kāfī liman sa’ala ‘an ad-Dawā’ asy-Syāfī menjelaskan:

وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّهَا تَحْرِمُ الْعَبْدَ الرِّزْقَ، فَإِنَّ الْعَبْدَ يُحْرَمُ الرِّزْقَ بِالذَّنْبِ يُصِيبُهُ، كَمَا أَنَّ التَّقْوَى تَجْلِبُ الرِّزْقَ، فَتَرْكُ التَّقْوَى يَحْرِمُهُ الرِّزْقَ.

“Di antara akibat dosa adalah terhalangnya rezeki. Sebagaimana takwa mendatangkan rezeki, maka meninggalkannya (karena maksiat) akan menghalangi datangnya rezeki.”[2]

Penjelasan ini sejalan dengan kenyataan hidup: ada orang yang bekerja keras namun hasilnya terasa sempit, sedangkan ada yang bertakwa meski secara lahir sederhana, tetapi kehidupannya lapang dan berkah.

Iman dan Takwa, Kunci Keberkahan Rezeki

Al-Qur’an menegaskan bahwa keimanan dan ketakwaan merupakan kunci terbukanya pintu-pintu keberkahan. Allâh ﷻ berfirman:

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَـٰكِن كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُم بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

“Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka disebabkan apa yang telah mereka kerjakan.” (QS Al-A‘raf [7]: 96).

Ibn Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ayat ini mengandung janji Allâh kepada siapa pun yang beriman dan bertakwa: pintu rezeki dan keberkahan akan dibukakan baginya. Namun, bila mereka ingkar dan bermaksiat, maka keberkahan itu akan dicabut.[3]

Maksiat dan Hilangnya Keberkahan

Harta yang banyak tidak selalu menjadi tanda keberkahan. Bisa jadi seseorang memiliki kekayaan melimpah, tetapi hidupnya jauh dari kebahagiaan, keluarganya berantakan, atau hartanya justru menjadi jalan menuju kebinasaan. Inilah hakikat rezeki yang tidak berkah.

Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasûlullâh ﷺ bersabda:

لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ

“Kekayaan itu bukan karena banyaknya harta benda, tetapi kekayaan sejati adalah kaya hati.”
(HR Bukhari, no. 6446 dan Muslim, no. 1051).[4]

Hadits ini mengajarkan bahwa rezeki yang berkah adalah rezeki yang menenangkan jiwa, bukan sekadar menumpuk materi. Maksiat, sebaliknya, menghilangkan ketenangan hati dan menutup pintu keberkahan.

Contoh dalam Kehidupan Nyata

  1. Korupsi dan harta haram. Seseorang mungkin kaya raya dari hasil korupsi atau bisnis haram. Namun, hatinya gundah, hidupnya penuh kekhawatiran, dan keluarganya tidak harmonis. KPK menyebut korupsi merusak kehidupan sosial, menimbulkan keresahan, dan menghancurkan harapan masyarakat.[5]
  2. Keluarga yang jauh dari agama. Ada keluarga yang secara materi tercukupi, tetapi anak-anaknya terjerumus dalam pergaulan buruk, karena keberkahan dicabut akibat dosa. Dalam Jurnal Edu-Riligia menyebutkan bahwa pendidikan agama dalam keluarga secara signifikan mempengaruhi akhlak remaja. Remaja dengan latar belakang keluarga yang lemah nilai agamanya cenderung menunjukkan perilaku menyimpang dibanding yang dibesarkan dengan pendidikan agama yang kuat.[6] Penelitian lain, menegaskan lingkungan keluarga beragama menjaga kestabilan anak.[7]
  3. Usaha kecil tapi berkah. Sebaliknya, ada pedagang sederhana yang jujur dan bertakwa, meski penghasilannya tidak banyak, tetapi hidupnya cukup, tenteram, dan penuh rasa syukur. Salah satu media online menampilkan kisah UMKM sederhana yang jujur dan tekun, meski modal kecil tetapi usahanya berkembang, membawa kecukupan dan manfaat bagi sekitar.[8]

Jalan Keluar: Taubat dan Takwa

Islam mengajarkan bahwa jalan keluar dari berbagai kesulitan hidup akibat dosa adalah dengan kembali kepada Allâh ﷻ melalui taubat yang tulus dan meningkatkan ketakwaan. Taubat bukan hanya sekadar meninggalkan maksiat, tetapi juga memperbaiki hubungan dengan Allâh, memperbanyak amal saleh, serta menjaga hati agar tetap bersih. Dengan cara inilah seorang hamba membuka pintu rahmat Allâh yang luas, karena setiap langkah menuju-Nya akan dibalas dengan kemudahan dan pertolongan.

Allâh ﷻ menegaskan dalam firman-Nya,

وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا. وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ

Barangsiapa bertakwa kepada Allâh, niscaya Dia akan memberikan jalan keluar baginya, dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.” (QS Ath-Thalaq [65]: 2–3).

Ayat ini menegaskan bahwa takwa adalah kunci keberkahan hidup. Rezeki yang halal dan mencukupi tidak hanya ditentukan oleh usaha lahiriah, tetapi juga oleh kebersihan hati dan ketaatan kepada Allâh. Dengan takwa, seorang hamba dijanjikan kemudahan, kecukupan, dan keberkahan dalam hidupnya.

Dari uraian di atas dapat ditarik beberapa pelajaran penting:

  1. Rezeki bukan hanya hasil kerja keras, tetapi sangat bergantung pada keberkahan dari Allâh ﷻ.
  2. Maksiat dan dosa menjadi penghalang utama rezeki, sebagaimana ditegaskan dalam hadits Rasulullah ﷺ (HR Ahmad).
  3. Dosa menghapus keberkahan dan mendatangkan kesempitan hidup, sebagaimana penjelasan Ibn Qayyim dalam al-Jawāb al-Kāfī.
  4. Iman dan takwa mendatangkan keberkahan dari langit dan bumi, sebagaimana firman Allâh dalam surah Al-A‘raf ayat 96.
  5. Taubat, takwa, dan memperbaiki ibadah adalah kunci terbukanya pintu rezeki yang penuh berkah.

Oleh karena itu, jika kita mendambakan kelapangan rezeki dan hidup yang penuh keberkahan, langkah pertama yang harus kita lakukan adalah bertaubat kepada Allâh ﷻ, memperbaiki diri, dan menjauhi segala bentuk maksiat. Rezeki yang halal dan berkah tidak hanya mencukupi kebutuhan lahiriah, tetapi juga menenangkan hati, mempererat keluarga, dan mendekatkan kita kepada Allâh ﷻ.

Semoga Allâh ﷻ senantiasa melimpahkan kepada kita rezeki yang halal, baik, dan penuh keberkahan. Allāhumma āmin.

Maraji’ :

[1] Musnad Ahmad. Beirut: Mu’assasah ar-Risālah. 2001. Juz 5. h. 277.

[2] Ibn Qayyim. al-Jawāb al-Kāfī. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah. 2007. h. 67.

[3] Ibn Katsir. Tafsir al-Qur’ān al-‘Azhīm. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah. 1998. Juz 2. h. 293.

[4] Al-Bukhārī dalam Shahih al-Bukhārī, Kitāb ar-Riqāq no. 6446, dan Muslim dalam Shahih Muslim, Kitāb az-Zakāh no. 1051.

[5] Aditya Mulyana. “Rusaknya Kehidupan Sosial karena Korupsi”

https://aclc.kpk.go.id/aksi-informasi/Eksplorasi/20230818-rusaknya-kehidupan-sosial-karena-korupsi?utm_source=chatgpt.com. Diakses pada 02 Oktober 2025.

[6] Ade Yunita Tri Harlin, Ramlan Padang. “Pengaruh Pendidikan Agama Islam Dalam Keluarga”. https://jurnal.uinsu.ac.id/index.php/eduriligia/article/view/22239?utm_source=chatgpt.com. Diakses pada 02 Oktober 2025.

[7] Pramesta Rahmata dan Syinta Pebriyanti Aufa. “Dampak Lingkungan Keluarga Terhadap Kondisi Psikologis Anak dan Kehidupan Beragama”. https://jipkm.com/index.php/islamologi/article/view/182?utm_source=chatgpt.com. Diakses pada 02 Oktober 2025.

[8] Aditya Mulyana. “Kisah Inspiratif Wirausahawan Muda Indonesia yang Manfaatkan Ekosistem Digital”. https://money.kompas.com/read/2023/06/16/175656126/berangkat-dari-usaha-rumahan-ini-kisah-inspiratif-wirausahawan-muda-indonesia?utm_source=chatgpt.com. Diakses pada 02 Oktober 2025.

Download Buletin klik di sini

Allâh Tak Pernah Pergi, Kita yang Terlalu Sibuk untuk Menoleh

Allâh Tak Pernah Pergi, Kita yang Terlalu Sibuk untuk Menoleh

Isan*

 

Sahabat, pernahkah merasa lelah, bukan karena fisik, tapi hati? Hampa, bingung, kosong. Ramai bersama teman, namun jiwa tetap sepi. Scroll media sosial pun tak menenangkan. Shalat kadang hanya formalitas, doa terasa hambar, padahal kebutuhannya banyak tapi doanya kilat. Seakan bicara ke dinding. Lalu muncul pertanyaan: “Apa Allâh masih sayang padaku? Atau aku yang terlalu jauh?”

Allâh Dekat, Kita yang Menjauh

Di era yang serba cepat, scroll media sosial tanpa henti, overthinking, quarter life crisis, tugas menumpuk dan banyak diantara kita yang merasa kosong. Kadang muncul rasa: “Dosaku banyak, ibadahku berantakan. Masihkah Allâh mau menerimaku?” Padahal Allâh ﷻ berfirman:

وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ ٱلْوَرِيدِ

“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS Qâf [50]: 16)

Allâh ﷻ tak pernah pergi. Bahkan di titik terendah kita, Allâh ﷻ tetap dekat. Rasûlullâh ﷺ juga pernah dituduh ditinggalkan oleh Tuhannya ketika wahyu terlambat turun. Namun Allâh ﷻ menegaskan:

وَٱلضُّحَىٰ. وَٱلَّيْلِ إِذَا سَجَىٰ. مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلَىٰ.

“Demi waktu Dhuha dan demi malam apabila telah sunyi, Tuhanmu tidak meninggalkan engkau (Muhammad) dan tidak (pula) membencimu.” (QS ad-Duha [93]: 1-3)[1]

Allah Selalu Menanti

Kitalah yang sering berpaling. Namun Allâh ﷻ selalu menunggu. Dalam hadis qudsi disebutkan,

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِىُّ ﷺ يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِى بِى، وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِى، فَإِنْ ذَكَرَنِى فِى نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِى نَفْسِى، وَإِنْ ذَكَرَنِى فِى مَلأٍ ذَكَرْتُهُ فِى مَلأٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ، وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَىَّ بِشِبْرٍ تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا، وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَىَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ بَاعًا، وَإِنْ أَتَانِى يَمْشِى أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً

Dari Abu Hurairah z, ia berkata bahwa Nabi ﷺ bersabda, “Allah Ta’ala berfirman: Aku sesuai persangkaan hamba-Ku. Aku bersamanya ketika ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku saat bersendirian, Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku. Jika ia mengingat-Ku di suatu kumpulan, Aku akan mengingatnya di kumpulan yang lebih baik daripada pada itu (kumpulan malaikat). Jika ia mendekat kepada-Ku sejengkal, Aku mendekat kepadanya sehasta. Jika ia mendekat kepada-Ku sehasta, Aku mendekat kepadanya sedepa. Jika ia datang kepada-Ku dengan berjalan (biasa), maka Aku mendatanginya dengan berjalan cepat.” (HR Bukhari no. 6970 dan Muslim no. 2675).

Sahabat, ternyata begitu besarnya cinta Allâh ﷻ kepada hamba-Nya. Kita hanya butuh sedikit melangkah untuk kembali, tapi Allâh ﷻ membalasnya dengan berlari menuju kita.

Jangan Takut dengan Masa Lalu

Banyak yang merasa tak pantas karena dosa. Tapi Allâh ﷻ menegaskan:

قُلْ يَٰعِبَادِىَ ٱلَّذِينَ أَسْرَفُوا۟ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا۟ مِن رَّحْمَةِ ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يَغْفِرُ ٱلذُّنُوبَ جَمِيعًا

“Katakanlah (Muhammad), ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang telah melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya.” (QS Az-Zumar [39]: 53)

Allâh ﷻ melihat potensi kita, bukan hanya kesalahan kita. Rahmat-Nya lebih luas dari dosa-dosa kita.

Allâh Mendengar Bisikan Hati

Pernahkah kita menangis diam-diam, berbisik: “Ya Allâh, tolong aku…”? Allâh ﷻ mendengar bahkan sebelum kata itu terucap. Allâh ﷻ berfirman:

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِى عَنِّى فَإِنِّى قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ ٱلدَّاعِ إِذَا دَعَانِ

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah): sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia berdoa kepada-Ku.” (QS Al-Baqarah [1]: 186)

Doa adalah kekuatan luar biasa. Dari Tsaubān maulā Rasûlullâh ﷺ, ia berkata, Rasûlullâh ﷺ bersabda:

لَا يَرُدُّ الْقَضَاءَ إِلَّا الدُّعَاءُ، وَلَا يَزِيدُ فِي الْعُمُرِ إِلَّا الْبِرُّ

Tidak ada yang dapat menolak takdir kecuali doa, dan tidak ada yang dapat menambah umur kecuali kebajikan.” (HR At-Tirmiżī no. 2139 dan Ibnu Mājah no. 90).[2]

Namun, doa juga bagian dari takdir. Allâh ﷻ telah menetapkan sebab dan akibat, termasuk perubahan melalui doa.

Kapan Harus Kembali?

Hidup tak pernah menjanjikan “nanti”. Kematian bisa datang kapan saja. Karena itu, kembali kepada Allâh ﷻ bukan untuk orang suci, tapi untuk siapa pun yang sadar hidup ini sementara.

Allâh ﷻ berfirman:

وَسَارِعُوٓا۟ إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا ٱلسَّمَٰوَٰتُ وَٱلْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

“Bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi…” (QS Ali ‘Imran [3]: 133)

Langkah Untuk Kembali?

Banyak sekali cara untuk bisa kembali kepada-Nya, diantaranya sebagai berikut:

  • Taubat dengan benar. Allâh ﷻ berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا

Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya).” (QS At-Tahrim [66]: 8)

  • Perbaiki shalat. Allâh ﷻ berfirman:

إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ تَنْهَىٰ عَنِ ٱلْفَحْشَآءِ وَٱلْمُنكَرِ

“Sesungguhnya shalat itu dapat mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar.” (QS Al-Ankabut [29]: 45)

  • Dekat dengan al-Qur’an. Allâh ﷻ berfirman:

وَنُنَزِّلُ مِنَ ٱلْقُرْءَانِ مَا هُوَ شِفَآءٌ وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ

“Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman…” (QS Al-Isra’ [17]: 82)

  • Doa yang tulus. Dari Salman al-Farisi z, dari Nabi ﷺ, bahwa beliau ﷺ bersabda:

إِنَّ اللَّهَ حَيِيٌّ كَرِيمٌ يَسْتَحِي إِذَا رَفَعَ الرَّجُلُ إِلَيْهِ يَدَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا خَائِبَتَيْنِ

Sesungguhnya Allah Maha pemalu dan pemurah. Dia malu bila seorang lelaki mengangkat kedua tangannya kepada-Nya lalu Dia mengembalikannya dalam keadaan kosong dan hampa” (HR Abu Daud no. 1488 dan at-Tirmidzi no. 3556)[3]

  • Cari lingkungan yang baik. Dari Abu Hurairah z, Rasûlullâh ﷺ bersabda:

الْمَرْءُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ

Seseorang akan mencocoki kebiasaan teman karibnya. Oleh karenanya, perhatikanlah siapa yang akan menjadi teman karib kalian”. (HR Abu Daud no. 4833, dan Tirmidzi no. 2378).[4]

  • Konsisten dengan hal-hal kecil terlebih dahulu. Dari ‘Aisyah, ia berkata, Rasûlullâh ﷺ bersabda:

أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ

Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walaupun itu sedikit.” ’Aisyah pun ketika melakukan suatu amalan selalu berkeinginan keras untuk merutinkannya. (HR. Muslim no. 783).

Tidak ada kata “terlambat” untuk memulai dan kembali, tidak ada kata “terlalu kotor” untuk bisa diterima. Mari sama-sama terus saling mengingatkan dalam kebaikan dan sama-sama bersegera berbuat baik. Kita yang butuh Allâh ﷻ, bukan Allâh ﷻ yang butuh kita. Jangan menunggu sempurna untuk bisa kembali pulang, pulanglah sekarang dengan segala kekurangan.

* Mahasiswa Prodi Pendidikan Agama Islam FIAI UII, Angkatan 2021

Maraji’ :

[1] Salahuddin Sopu. “Allah Itu Dekat, Kitalah Yang Menjauh” https://uin-alauddin.ac.id/tulisan/detail/allah-itu-dekat-kitalah-yang-menjauh. Diakses pada 20 September 2025.

[2] Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dalam kitab Al-Qadar, bab “Tidak ada yang dapat menolak takdir kecuali doa” (no. 2139), dari hadis Salman radhiyallahu ‘anhu. Dinyatakan hasan oleh Al-Albani dalam As-Silsilah As-Sahihah (no. 154) dan dalam Sahih Al-Jami’ (no. 7687). M.Saifudin Hakim. “Fatwa Syekh Muhmmad Ali Farkus” https://muslim.or.id/103578-fatwa-ulama-apakah-doa-dapat-mengubah-takdir.html. Diakses pada 20 September 2025.

[3] Diriwayatkan oleh Abu Daud: 1488 dan at-Tirmidzi: 3556 dan beliau mengatakan: hasan gharib. Dishahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Daud dan Shahih at-Tirmidzi.

[4] Diriwayatkan oleh Abu Daud no. 4833, Tirmidzi no. 2378, Ahmad 2/344, Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan. Lihat Shahihul Jâmi’ 3545.

Download Buletin klik di sini