Toleransi Tanpa Menggadaikan Tauhid
Toleransi Tanpa Menggadaikan Tauhid
Khairul Fahmi
Pada bulan Desember, pusat-pusat perbelanjaan tidak hanya dipenuhi potongan harga, tetapi juga berbagai hiasan perayaan Natal umat Kristiani, seperti lampu warna-warni, pohon cemara buatan, dan ornamen khas lainnya. Hiasan tersebut wajar dipasang oleh pemilik toko yang merayakan hari Natal. Tidak ada yang salah dengan dengan apa yang dilakukan umat Kristiani tersebut dan sah sah saja, bahkan dalam Islam kita diajarkan untuk menghormati umat lain dalam melaksanakan Ibadah. Di Indonesia sendiri Undang-Undang telah menjamin setiap umat beragama menjalankan ibadah agamanya denga naman.
Apa yang salah dengan Desember?
Perdebatan di kalangan kaum muslim sering kali muncul di bulan Desember, yaitu tentang “Tasyabbuh”. Kata tasyabbuh berasal dari kata bahasa Arabتَشَبَّهَ – يَتَشَبَّهُ yang berarti meniru, mencontoh, mengidentikkan diri, menyerupakan diri. Jadi kata tasyabbuh bermakna peniruan, penyerupaan. Islam sangat menentang perbuatan tasyabbuh, hal ini sebagaimana dijelaskan Rasulullah dalam sabdanya.
Dari Ibnu Umar berkata, Rasûlullâh ﷺ bersabda:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka.” (HR Abu Dawud, no, 4031).[1]
Hadits ini sangat masyhur di kalangan umat Islam, sebagai dalil untuk tidak mencontoh, menyerupai orang-orang yang beragama lain. Konteks tasyabbuh yang sering menjadi perdebatan adalah seorang muslim atau muslimah berhijab, menggunakan pernak pernik Natal saat bekerja atau beraktifitas. Bahkan ada muslim yang mengikuti prosesi Ibadah Kaum Nasrani, dengan alasan diundang hadir dan sebagai bentuk toleransi antar sesama manusia.
Status Dalil Hadits
Sebelum menjabarkan lebih lanjut tentang maksud dari hadits di atas, ada baiknya kita ketahui dahulu jalur periwayatan dan derajat hadits tersebut. Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Abu Daud dalam sunannya pada bahasan Kitab Al-Libas. Hadits tentang tasyabbuh ini melalui periwayatan Utsman bin Abi Syaibah, dari Abul Nadr, dari Abdurrahman bin Tsabit, dari Hassan bin ‘Athiyyah dari Munib Al-Jurasyi dari sahabat Ibnu Umar dari Nabi Muhammad ﷺ.[2]
Para ulama hadits berbeda pandangan tentang derajat hadits, perbedaan pandangan ini dipicu oleh berbedanya cara menghukumi salah satu perawi yaitu Abdurrahman bin Tsabit bin Tsauban. Sebagian ulama menyatakan bahwa hadits ini statusnya lemah bahkan dihukumi dhaif. Akan tetapi sebagian yang lain memandang bahwa hadits tersebut derajatnya shahih, ini pendapat yang diambil oleh Syeikh Albani. Sebagian ulama yang lain menyebutnya statusnya Hasan, ini pendapat yang diambil oleh Ibnu Katsir.[3]
Kandungan Hadits
Guna menjawab pertanyaan yang sebelumnya terkait kekeliruan dan kesalahan yang dilakukan sebagian orang di bulan Desember, perlu kita pahami lebih detail makna atau penjelasan para ulama terkait hadits tasyabbuh tersebut.
Alhafidz Ibnu Katsir v menyatakan bahwa hadits–Man tasyabbaha bi qawmin fa huwa minhum–. Merupakan larangan dan ancaman yang keras untuk tidak menyerupai orang-orang kafir dalam berkata atau berbicara, dalam berprilaku, begitu juga tidak boleh menyerupai orang kafir dalam berpakaian. Selain itu hadits ini juga melarang setiap muslim untuk meniru atau menyerupai orang-orang kafir dalam peribadatan dan dalam menyelenggarakan hari Raya, serta segala perkara yang tidak disyariatkan kepada kaum muslim.
Imam As-Shan’ani v menyatakan bahwa hadits tersebut menunjukkah bahwa barang siapa meniru atau menyerupai orang fasik atau jahat, kafir, atau pengusung bid’ah pada semua hal yang menjadi ciri mereka, baik pakaian, tunggangan/kendaraan, atau tingkah laku, maka ia termasuk dari mereka.[4]
Para Ulama berbeda pendapat, jika seorang muslim menyerupai orang kafir dalam berpakaian, dan meyakini bahwa hal itu membuat seperti mereka, maka ia telah melakukan kekafiran. Jika ia tidak meyakini bahwa ia bagian dari mereka, para ulama berbeda pendapat, sebagian mengatakan bahwa mereka tetap melakukan kekafiran karena menyerupai orang-orang kafir, namun sebagian ulama yang lain menyebutkan bahwa ia belum melakukan kekafiran tetapi harus disanksi atau ditertibkan.[5]
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa hadits ini setidaknya mengisyaratkan larangan menyerupai orang-orang kafir, karena secara dzahirnya hadits menunjukkan bahwa meniru orang-orang kafir merupakan kekafiran. Dalam hal ini, Ibnu Taimiyah menyandarkan pada firman Allah ﷻ surah Al-Ma’idah ayat 51:
وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُۥ مِنْهُمْ
“Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.” (QS Al-Ma’idah [5]: 51).
Bagaimana Bersikap?
Saat ini, dengan dunia yang tanpa sekat dan batas, segala informasi dapat diketahui melalui media elektronik atau media sosial. Kebiasaan dan tren cara berpakaian remaja dan pemuda muslim mengikuti video-video yang sedang viral, tanpa mempertimbangan apakah hal tersebut sesuai dengan tuntunan dan ajaran Islam. Minimnya pengetahuan agama atau malasnya untuk belajar agama menjadi pemicu untuk mengikuti hal-hal yang sedang viral secara serampangan.
Pada bulan Desember, tidak jarang kita menjumpai di pusat-pusat perbelajaan atau beberapa tempat yang lain, di mana seorang muslim atau muslimah berhijab dengan tanpa ragu menggunakan pernak pernik Natal, padahal Natal itu sendiri merupakan hari raya untuk memperingat kelahiran Yesus, di mana Yesus sendiri dianggap sebagai Tuhan bagi umat kristiani. Selain itu, sering juga kita melihat dan mendengar ucapan “Selamat hari Natal” dari seorang muslim bagi umat Kristiani. Secara tidak langsung ucapan ini meyakini lahirnya seorang Tuhan, padahal seorang muslim mengimani bahwa Tuhan beranak dan tidak dipranakkan. Sikap menggunakan pernak pernik natal dan mengucapkan “Selamat Natal” menodai ketauhidan seorang muslim.
Berdasarkan penjelasan para ulama tentang hadits tasyabbuh, seorang muslim hendaknya menjauhkan diri dari perbuatan yang dapat menodai kemurnian tauhid, karena berpotensi menyeret kepada kekeliruan akidah. Sebagian ulama memang berpendapat bahwa tasyabbuh tidak selalu sampai pada tingkat kekafiran. Namun, sebagai bentuk kehati-hatian dan upaya menjaga kemurnian iman, seorang muslim sebaiknya menghindari menyerupai atau meniru umat Kristiani, terutama dalam hal pakaian dan atribut yang menjadi ciri khas ibadah atau hari raya mereka.
Selain itu, toleransi beragama tidak seharusnya dijadikan alasan untuk bersikap permisif terhadap perilaku yang justru merusak tauhid. Toleransi dapat diwujudkan melalui cara-cara yang dibenarkan syariat, seperti bersikap jujur dalam bermuamalah, ramah dalam pergaulan, tidak mengganggu pelaksanaan ibadah agama lain, serta menjaga ketertiban dan kedamaian bersama. Jangan sampai tauhid digadaikan demi hal-hal yang tidak perlu. Semoga Allah senantiasa memberikan taufik dan hidayah kepada kita agar tetap teguh menjaga kemurnian tauhid hanya untuk-Nya.
Maraji’ :
[1] Muhammad Abduh Tuasikal. “Mengikuti Gaya Orang Kafir (Tasyabbuh)”. https://rumaysho.com/3076-mengikuti-gaya-orang-kafir-tasyabbuh.html. Diakses pada 18 Desember 2025.
[2] Anonim. “Hadits Larangan Menyeruapai Suatu Kaum”. https://islamhariini.com/hadits-larangan-menyerupai-suatu-kaum/. Diakses pada 18 Desember 2025.
[3] Anonim. https://shamela.ws/book/35760/83. Diakses pada 18 Desember 2025.
[4] Anonim. “Hadits Larangan Menyeruapai Suatu Kaum”. https://islamhariini.com/hadits-larangan-menyerupai-suatu-kaum/. Diakses pada 18 Desember 2025.
[5] Anonim. https://shamela.ws/book/35760/84#p1. Diakses pada 18 Desember 2025.












