Tugas Manusia di Bumi

Tugas Manusia di Bumi 

Despan Heryansyah*

 

Tujuan Menciptakan Manusia

Penulis ingin memulai tulisan ini dengan mengajukan sebuah pertanyaan klasik yang cukup menarik, untuk mengingatkan perjalanan hidup kita semua. Pertanyaan ini penting untuk selalu mengingatkan kita agar tidak terlalu jauh bertindak dan mengambil tindakan, yaitu sebetulnya untuk apa atau apa tujuan Allâh, Tuhan Yang Esa, menciptakan manusia di bumi ini? Apakah hanya untuk beribadah, berpuasa, shalat, sedekah, atau yang lainnya?[1]

Untuk menjawab pertanyaan ini, Allâh ﷻ sudah menjelaskan dengan sangat gamblangnya di dalam Al Qur’an apa yang menjadi tujuan manusia hidup di muka bumi ini. Allâh ﷻ berfirman,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat: 56)

Tugas Manusia Diciptakan

Sedangkan tugas manusia diciptakan adalah sebagai khalifah (الخليفة). Allâh ﷻ menjelaskannya dalam surah Al-Baqarah ayat 30,

وَاِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ ِانِّيْ جَاعِلٌ فِى الْاَرْضِ خَلِيْفَةًۗ قَالُوْٓا اَتَجْعَلُ فِيْهَا مَنْ يُّفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاۤءَۚ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَۗ قَالَ اِنِّيْٓ اَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ

“(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 30).

Kalau melihat ayat di atas, maka salah satu tugas manusia adalah sebagai khalifah (الخليفة). Makna dari khalifah adalah penerus bagi para pendahulu (malaikat), dan yang dimaksud dengan khalifah dalam ayat ini adalah Nabi Adam o. Kalimat ini ditujukan oleh Allâh ﷻ kepada pada malaikat bukan bertujuan untuk bermusyawarah atau meminta pendapat akan tetapi untuk mengeluarkan apa yang ada dalam diri mereka.[2]

Dalam terminologi yang lain khalifah itu adalah menjaga, memelihara, membimbing, mengantar semua ciptaan tuhan menuju tujuan penciptaannya.[3] Lalu apa tugas manusia sebagai khalifah itu?[4]

Allâh ﷻ menjawabnya dalam surah Hûd ayat 61,

وَإِلَىٰ ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَٰلِحًا ۚ قَالَ يَٰقَوْمِ ٱعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ مَا لَكُم مِّنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُۥ ۖ هُوَ أَنشَأَكُم مِّنَ ٱلْأَرْضِ وَٱسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا فَٱسْتَغْفِرُوهُ ثُمَّ تُوبُوٓا۟ إِلَيْهِ ۚ إِنَّ رَبِّى قَرِيبٌ مُّجِيبٌ

“Kepada (kaum) Samud (Kami utus) saudara mereka, Shalih. Dia berkata, “Wahai kaumku, sembahlah Allah! Sekali-kali tidak ada tuhan bagimu selain Dia. Dia telah menciptakanmu dari bumi (tanah) dan menjadikanmu pemakmurnya. Oleh karena itu, mohonlah ampunan kepada-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku sangat dekat lagi Maha Memperkenankan (doa hamba-Nya).” (QS. Hûd [11]: 61).

Satu kalimat yang penulis ingin garis bawahi dari ayat di atas, yaitu “Dia telah menciptakanmu dari bumi (tanah) dan menjadikanmu pemakmurnya”

Jadi tugas manusia sebagai khalifah itu adalah dengan memakmurkan bumi beserta isinya, memakmurkannya dengan cara memelihara apa yang ada dimuka bumi ini dengan baik termasuk membangun peradaban dimuka bumi. Maka tugas utama manusia ini adalah membangun bumi, membangun peradaban di muka bumi, bukan sekedar shalat, puasa, dan ibadah mahdhah lainnya.

Shalat Mencegah Perbuatan Keji dan Mungkar

Shalat itu cara yang membentengi manusia supaya dalam kegiatannya membangun bumi tidak melenceng, itu sebabnya Allâh ﷻ firmankan,

إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ تَنْهَىٰ عَنِ ٱلْفَحْشَآءِ وَٱلْمُنكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ ٱللَّهِ أَكْبَرُ ۗ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ

“…Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Ankabut [29]: 45).

Dengan tegas bahwa shalat itu menghalangi manusia melakukan perbuatan keji dan munkar, melakukan dosa. Maka shalat adalah sebagai kunci bukan sebagai tujuan akhir. Begitu juga dengan zakat, bukan sebagai tujuan akhir tapi karena ada keharusan bekerja maka zakat adalah untuk mensucikan hasil kerja itu.

Jadi kita bisa ibaratkan ada tujuan dekat dan ada tujuan jauh, sama seperti halnya orang yang bermain bola itu berlomba-lomba untuk mencetak goal, tapi mencetak gol itu sendiri bukanlah tujuan bermain bola, tujuan main bola adalah untuk memenangkan setiap pertandingan. Tujuan akhir kita adalah membangun peradaban di muka bumi, tetapi juga harus shalat, harus puasa, harus zakat dan kewajiban lainnya, untuk apa? Kunci untuk mencapai tujuan akhir itu, jadi jangan berhenti disana, ada banyak hal yang harus dilakukan untuk membangun peradaban di muka bumi, yang itu nilainya juga sebagai ibadah.

Ibadah Tidak Sekedar Ritual

Pesan menarik dari pandangan di atas bahwa kesalahan kebanyakan kita selama ini adalah menganggap ibadah itu hanya sebagai ibadah ritual semata, padahal sebenarnya ibadah itu sebagaimana yang disebutkan Syaikhul Islam,

الْعِبَادَة هِيَ اسْمٌ جَامِعٌ لِكُلِّ مَا يُحِبُّهُ اللهُ وَيَرْضَاهُ مِنَ الْأَقْوَالِ وَالأَعْمَالِ الْبَاطِنَةِ وَالظَّاهِرَةِ

“Ibadah adalah istilah yang digunakan untuk menyebut semua yang dicintai dan diridhai oleh Allah, baik berupa ucapan, atau perbuatan, yang dzahir maupun bathin.”[5]

ibadah itu adalah semua kegiatan yang direstui agama dalam konteks membangun bumi, membangun peradaban dimuka bumi.

Jadi kalau ada seorang driver grab yang tidak bisa shalat sunnah atau puasa sunnah, tidak perlu bersedih karena bekerja untuk memenuhi nafkah keluarga adalah kewajiban dan merupakan ibadah. Seseorang yang bekerja di sawah, perkebunan, perpustakaan, rumah sakit, dan seorang juru parkir yang bekerja untuk menghidupi keluarganya itu juga adalah dalam konteks membangun peradaban di bumi sehingga ia adalah ibadah.

Bahkan, ada ilustrasi yang menarik dari Quraish Shihab, ia mengatakan begini jika ada seorang karyawan yang dalam keadaan normal lalu bangun tengah malam dan shalat tahajjud, lalu besok paginya ia malas pergi kekantor untuk bekerja, padahal bekerja adalah kewajiban bagi dirinya, maka ia telah berdosa.[6]

Sekali lagi bekerja, membangun bumi, membangun peradaban, membangun keindahan, dan membangun kemakmuran adalah tugas manusia di muka bumi, yang dinilai sebagai ibadah yang utama oleh Allah dan rasulnya. Selain dilarang menyempitkan makna ibadah, kita juga tidak boleh dengan mudah menjustifikasi apa yang dilakukan oleh orang lain, terlebih merasa diri lebih baik dari pada dia.

Maraji’ :

* Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

[1] Sofyan Anwar Mufid, Ekologi Manusia. Bandung : Remaja Roesdakarya, 2010.

[2] https://tafsirweb.com/290-surat-al-baqarah-ayat-30.html.

[3] Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Qur,an; Kajian Tematik Ayat-ayat Hukum dalam Al Qur‟an, Jakarta, Penamadani, 2005, h. 121.

[4] Bandingkan Watsiqotul, sunardi, leo Agung, Peran Manusia Sebagai Khalifah Allah Di Muka Bumi Perspektif Ekologis Dalam Ajaran Islam, Jurnal Penelitian, Vol. 12, No. 2, Agustus 2018, h. 360.

[5] Syaihul Islam Ibnu Taimiyah. al-Ubudiyah, h. 2.

[6] M. Quraish Shihab, Khalifah; Peran Manusia di Bumi, Cetakan Pertama, Tangerang: PT Lentera Hati, 2020.

Download Buletin klik di sini

Dunning Kruger Effect

Dunning Kruger Effect

Ridho Frihastama

 

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering kali menjumpai orang-orang yang merasa tahu segalanya. Mereka gemar memberikan pendapat tanpa dasar yang jelas, merasa dirinya paling benar, dan tidak segan menghakimi orang lain.[1] Fenomena ini sangat relevan dalam masyarakat modern, di mana akses informasi yang melimpah sering kali tidak diiringi dengan hikmah dan kebijaksanaan. Dalam Islam, sikap seperti ini perlu mendapat perhatian, karena bertentangan dengan akhlak mulia yang diajarkan Rasûlullâh ﷺ.

Fenomena ini dikenal dalam psikologi sebagai efek Dunning-Kruger, sebuah bias kognitif di mana seseorang dengan pengetahuan atau keterampilan yang rendah dalam suatu bidang cenderung melebih-lebihkan kemampuannya. Efek Dunning-Kruger ini bisa menjadi pengingat penting bagi kita sebagai Muslim untuk selalu bersikap rendah hati dalam ilmu dan amal.

Allah ﷻ berfirman,

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِۦ عِلْمٌ ۚ إِنَّ ٱلسَّمْعَ وَٱلْبَصَرَ وَٱلْفُؤَادَ كُلُّ أُو۟لَٰٓئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔولًا

“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawaban.” (QS. Al-Isra’ [17]: 36).

Mengapa Orang Sok Tahu Muncul?

Efek Dunning-Kruger terjadi karena kurangnya kesadaran seseorang terhadap batasan ilmunya. Ketika seseorang baru mempelajari sesuatu, ia merasa sudah memahami keseluruhan topik, padahal sesungguhnya ia hanya menguasai permukaan.[2] Ketidaktahuan ini membuat mereka sulit untuk mengenali sejauh mana mereka belum tahu.

Dalam Islam, kita diajarkan untuk senantiasa mencari ilmu dengan penuh kerendahan hati. Rasûlullâh ﷺ bersabda,

Abu Hurairah z, ia berkata bahwa Rasûlullâh ﷺ bersabda,

وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ

Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim, no. 2699)

Namun, jika ilmu tidak disertai dengan akhlak dan kesadaran akan keterbatasan diri, ia dapat menjadi sumber keburukan. Orang yang sok tahu tidak hanya merugikan dirinya sendiri, tetapi juga bisa menyesatkan orang lain.

Dampak Negatif Sikap Sok Tahu

1. Merusak Hubungan Sosial: Orang sok tahu sering kali terlihat arogan, sehingga sulit diterima dalam lingkungan sosial. Sikap ini dapat memicu perselisihan, terutama jika mereka menyampaikan pendapat tanpa dasar yang kuat.

2. Potensi Dusta: Ada saja yang bisa dijadikan bahan pembicaraan. Padahal sebenarnya amat bahaya jika kita menyampaikan setiap apa yang kita dengar, karena terkadang informasi tersebut belum tentu kebenarannya. Maka perlu hati-hati dan selektif saat  hendak menyebarkan suatu informasi, apalagi baru sekedar kabar burung. Dari Abu Hurairah, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda,

كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ

Cukup seseorang dikatakan dusta, jika ia menceritakan segala apa yang ia dengar.” (HR. Muslim no. 5).[3]

3. Menghambat Proses Pembelajaran: Seseorang yang merasa sudah tahu segalanya cenderung tidak terbuka untuk belajar lebih lanjut. Padahal, dalam Islam, kita diajarkan bahwa menuntut ilmu adalah kewajiban sepanjang hayat.

Islam dan Kerendahan Hati dalam Ilmu

Islam sangat menekankan pentingnya kerendahan hati dalam menuntut ilmu. Rasûlullâh ﷺ adalah teladan sempurna dalam hal ini. Meskipun beliau adalah manusia paling mulia, beliau senantiasa menunjukkan sikap rendah hati dalam semua aspek kehidupan.

Allah ﷻ juga mengingatkan kita untuk selalu menyandarkan ilmu kita kepada-Nya, karena hanya Dia yang Maha Mengetahui,

وَيَسْـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلرُّوحِ ۖ قُلِ ٱلرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّى وَمَآ أُوتِيتُم مِّنَ ٱلْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا

“Dan mereka bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang roh. Katakanlah, “Roh itu termasuk urusan Tuhanku, sedangkan kamu tidak diberi pengetahuan kecuali hanya sedikit.” (QS. Al-Isra’ [17]: 85).

Ayat ini mengajarkan bahwa orang yang benar-benar berilmu adalah mereka yang sadar akan kebesaran Allah dan keterbatasan dirinya sendiri. Oleh karena itu, sikap rendah hati menjadi tanda seorang Muslim yang sejati.

Bagaimana Menghindari Sikap Sok Tahu?

  1. Perbanyak Belajar: Semakin banyak ilmu yang kita pelajari, semakin kita menyadari bahwa ilmu kita hanyalah setetes dari lautan ilmu Allah. Kesadaran ini akan melahirkan sikap rendah hati, karena kita memahami bahwa tidak ada sesuatu pun yang kita miliki tanpa izin dan karunia-Nya. Lebih dari itu, ilmu adalah cahaya yang membimbing manusia dalam menjalani kehidupan. Dengan ilmu, kita mampu membedakan yang benar dari yang salah, yang baik dari yang buruk. Maka, jangan pernah lelah untuk belajar, baik ilmu agama maupun ilmu dunia.
  2. Bersikap Rendah Hati: Ingatlah bahwa ilmu adalah amanah yang harus dijaga dan disampaikan dengan cara yang benar. Jangan pernah merasa lebih unggul dari orang lain karena ilmu yang kita miliki.
  3. Mencari Sumber yang Terpercaya: Di era banjir informasi saat ini, sangat penting bagi kita untuk lebih selektif mencari sumber informasi yang terpercaya dan dapat dipertanggungjawabkan sebelum membagikan kepada orang lain.
  4. Bersikap Terbuka terhadap Kritik: Bersikap Terbuka terhadap Kritik: Sebagai manusia yang tidak luput dari kekhilafan baik dari perkataan dan perbuatan. Kita kadang tidak terhindar dari kritik orang lain. Sehingga ketika kritik tersebut benar adanya, kita berusaha terima dengan lapang dada dan memperbaikinya, tetapi jika tidak benar maka cukup kita jadikan pengingat saja. Sikap ini menunjukkan kebesaran jiwa dan keinginan kita untuk terus belajar.

Sikap sok tahu bukanlah hal sepele. Ia dapat merusak diri sendiri, orang lain, dan bahkan masyarakat. Sebagai Muslim, kita harus senantiasa berhati-hati dalam berbicara dan bertindak.

Dari Abu Hurairah, Rasûlullâh ﷺ bersabda,

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أَوْ لِيَصْمُتْ

“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR. Bukhari, no. 6018, 6019, 6136, 6475 dan Muslim, no. 47)

Mari kita jadikan ayat-ayat Allah ﷻ dan sunnah Rasûlullâh ﷺ sebagai pedoman dalam menuntut ilmu dan berinteraksi dengan sesama. Dengan demikian, kita dapat terhindar dari sikap sok tahu yang merugikan dan menjadi pribadi yang lebih bijaksana, rendah hati, dan bermanfaat bagi orang lain.

Semoga Allâh senantiasa memberikan kita ilmu yang bermanfaat dan hati yang lapang untuk menerimanya. Âmîn.

Maraji’ :

[1] Tom Nichols. Matinya Kepakaran (The Death of Expertise). Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia). 2024. Cet.k-2. h. 17.

[2] Wahyudi, dkk. “Dunning Kruger Effect: Argumen Individu Mewujudkan Percaya Diri” dalam Jurnal Literaksi; Jurnal Manajemen Pendidikan. Vol.01, No.02, Tahun 2023.  h. 90.

[3] Muhammad Abduh Tuasikal. “Hati-Hati Share Berita Bisa Jadi Dituduh Dusta” https://rumaysho.com/10844-hati-hati-share-berita-bisa-jadi-dituduh-dusta.html. Diakses 20 Januari 2025.

Download Buletin klik di sini

Agar Silaturrahim Tak Ternoda Dosa

Agar Silaturrahim Tak Ternoda Dosa

Erry Satya Panunggal*

 

Ditilik dari asal katanya, silaturrahim berasal dari bahasa Arab, صِلَةُ الرَّحِمِ (shilaturrahîmi). Jika kita pecah, terdiri dari dua kata: silah, [arab: صِلَةُ] yang artinya hubungan dan rahim [arab: الرَّحِم] artinya rahim, tempat janin sebelum dilahirkan. Sehingga yang dimaksud silaturrahim adalah menjalin hubungan baik dengan kerabat, sanak, atau saudara yang masih memiliki hubungan rahim atau hubungan darah dengan kita.[1]

Ada juga makna lain dari silaturrahim, silah yang berarti “hubungan” dan rahim yang berarti “kasih sayang” atau “rahmat”[2]. Dalam Islam, silaturrahim bukan sekadar hubungan sosial, tetapi juga ibadah yang mendatangkan berkah serta keberkahan hidup.

Allâh ﷻ berfirman,

وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ٱلَّذِى تَسَآءَلُونَ بِهِۦ وَٱلْأَرْحَامَ

Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim.” (QS. An Nisâ’ [4]: 1).

Meski demikian, momen istimewa silaturrahim di bulan Syawal tersebut terkadang dapat ternoda oleh kekhilafan kita dalam menjaga lisan dan perilaku. Dalam artikel singkat ini, penulis ingin membagikan rambu-rambu yang perlu kita perhatikan agar ibadah silaturrahim kita tidak ternoda dengan dosa.

Memilih waktu berkunjung yang tepat

Salah satu adab yang patut dijaga adalah memperhatikan jam berkunjung yang tepat. Adab ini saling berkaitan dengan menghargai privasi tuan rumah, kesiapan, serta kenyamanan mereka dalam menerima tamu[3].

Sebelum memasuki rumah seseorang, kita diajarkan untuk meminta izin terlebih dahulu kepada pemilik rumah. Hal ini sebagaimana Allâh ﷻ berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَدْخُلُوا۟ بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّىٰ تَسْتَأْنِسُوا۟ وَتُسَلِّمُوا۟ عَلَىٰٓ أَهْلِهَا ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat.” (QS. An-Nûr [24]: 27)

Tidak menanyakan hal-hal yang bersifat privasi

Di tengah asyiknya bersilaturrahim bersama keluarga, secara tak sadar meluncur perkataan atau pertanyaan yang dapat melukai hati saudara kita. Seperti di antaranya menanyakan hal-hal yang sifatnya masuk ranah privasi bagi lawan bicara. Sebagai contoh, menanyakan kapan akan berkeluarga, kapan akan punya atau menambah momongan, kapan akan membeli kendaraan, dsb.

Menyikapi hal ini, perhatikan sabda Nabi ﷺ dari Abu Musa Al-Asy’aribeliau bertanya kepada Rasûlullâh ﷺ“Wahai Rasûlullâh! Siapakah kaum muslimin yang paling baik?”

Rasûlullâh ﷺ menjawab,

مَنْ سَلِمَ المُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ، وَيَدِهِ

Seorang muslim yang tidak mengganggu orang lain dengan lisan atau tangannya.” (HR. Bukhari no. 11 dan Muslim no. 42).

Maka penting menjaga lisan dari ucapan-ucapan yang dapat menyakitkan[4]. Topik pembicaraan yang ringan seperti nostalgia masa kecil di kampung halaman, kuliner, dan hobi bisa menjadi pembuka pembicaraan yang dapat mendekatkan kita kepada lawan bicara[5].

Menghindari ghibah

Fenomena kurang elok yang kerap muncul di ajang silaturrahim yakni dinormalisasikannya ghibah. Pada suatu konten media sosial, disorot perilaku para biang gosip tersebut yang menguliti dan membumbui aib sesama Muslim. Semakin pelan dan lirih mereka saling bercakap, maka semakin besar dan bombastis aib saudara yang menjadi bahan pergunjingan.

Allâh ﷻ melarang ghibah dengan perumpamaan yang sangat keras dalam Al-Qur’an,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱجْتَنِبُوا۟ كَثِيرًا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ ٱلظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا۟ وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurât [49]: 12).

Sedangkan Rasûlullâh ﷺ dengan arif mengingatkan bahwa ghibah dapat mengikis amal kebaikan yang sudah susah payah kita kumpulkan. Bahkan dijelaskan apabila kita sudah tidak memiliki amal kebaikan lagi, maka kita akan ditimpakan dengan dosa dari orang yang kita gunjingkan[6]. Oleh karena itu, kita dituntut bijak dalam meramu topik pembicaraan ketika bersilaturrahim dengan menghindari ghibah.

Menghargai hidangan dan pemberian tuan rumah

Di dalam Islam, seorang tuan rumah memang dianjurkan menyambut tamunya dengan sebaik-baiknya sebagai bagian dari adab memuliakan tamu. Sebaliknya, kita sebagai tamu juga dianjurkan untuk menghargai hidangan yang disuguhkan tuan rumah saat momen silaturrahim.

Salah satu bentuk menghargai hidangan adalah tidak mencela makanan yang disuguhkan kepada kita. Sebagaimana diriwayatkan dari sahabat Abu HurairahNabi ﷺ bersabda,

مَا عَابَ النَّبِيُّ ﷺ طَعَامًا قَطُّ إِنْ اشْتَهَاهُ أَكَلَهُ وَإِنْ كَرِهَهُ تَرَكَهُ

Nabi  tidak pernah mencela makanan sekali pun. Apabila beliau berselera (suka), beliau memakannya. Apabila beliau tidak suka, beliau pun meninggalkannya (tidak memakannya).” (HR. Bukhari no. 5409 dan Muslim no. 2064).

Sebagai tamu, tidak elok jika kita mengusulkan atau menentukan sesuatu untuk dihidangkan. Permintaan tamu itu bisa jadi membuat tuan rumah kesulitan untuk mengadakan hidangan itu. Jika tuan rumah menawarkan dua pilihan makanan kepadanya, hendaklah dia memilih makanan yang paling mudah di antara keduanya untuk disediakan tuan rumah.[7]

Saling memaafkan dan mendoakan ketika berpamitan

Meski telah memperhatikan adab dalam bersilaturrahim, namun sebagai manusia biasa sangat mungkin masih terjadi kekhilafan yang dapat menimbulkan kesalahpahaman. Untuk itu, ketika akan pamit pulang ketika bersilaturrahim, tidak mengapa jika kita meminta maaf kepada tuan rumah serta mendoakan hal-hal baik kepada mereka[8]. Dengan demikian, kita dapat menutup silaturrahim tersebut dengan mengharap turunnya kebaikan-kebaikan dari Allâh ﷻ.

*  Tendik Divisi Administrasi Akademik FTI UII

Maraji’ :

[1] Ammi Nur Baits. “Silaturrahmi ataukah Silaturrahim” https://konsultasisyariah.com/19840-silaturrahmi-ataukah-silaturahim.html. Diakses pada 27 Maret 2025.

[2] Muhammadiyah.or.id. Silaturrahim atau Silaturahim?. Diakses dari https://muhammadiyah.or.id/2021/06/silaturrahim-atau-silaturahim/. Diakses pada 27 Maret 2025.

[3] Muhammadiyah.or.id. Adab Bertamu. Diakses dari https://muhammadiyah.or.id/2020/08/adab-bertamu/ pada 27 Maret 2025.

[4] Syarifudin. “Kenapa Anda Perlu Menjaga Lisan Saat Silaturahim Lebaran?”. Diakses dari https://www.indonesiana.id/read/163567/kenapa-anda-perlu-menjaga-lisan-saat-silaturahim-lebaran. Diakses pada 27 Maret 2025.

[5] Ega Syakila. “9 Bahan Obrolan Menyenangkan, Cocok untuk Kumpul Lebaran!”. Diakses dari https://www.idntimes.com/men/attitude/ega-syakila/bahan-obrolan-menyenangkan-cocok-untuk-kumpul-lebaran. \. Diakses pada 27 Maret 2025.

[6] Fiqihmuamalah.com. BAHAYA GHIBAH: JAUHI SEBELUM TERLAMBAT. Diakses dari https://fiqihmuamalah.com/?p=2061. Diakses pada 27 Maret 2025.

[7] Ahmad Syalabi Ichsan (2020). Ketika Islam pun Mengatur Adab Sajikan Makanan untuk Tamu. Diakses dari https://khazanah.republika.co.id/berita/qbu22a320/ketika-islam-pun-mengatur-adab-sajikan-makanan-untuk-tamu. Diakses pada 27 Maret 2025.

[8] Diah Ayu Agustina (2024). Doa Rasulullah ketika Bertamu. Diakses dari https://bincangsyariah.com/zikir-dan-doa/doa-rasulullah-ketika-bertamu/. Diakses pada 27 Maret 2025.

Download Buletin klik di sini

Mewarnai Bulan Syawal Dengan Saling Meminta Maaf

Mewarnai Bulan Syawal Dengan Saling Meminta Maaf

Nur Laelatul Qodariyah*

 

Sahabat Al-Rasikh yang diberkahi Allâh ﷻ, berakhirnya Ramadhan ditandai dengan munculnya bulan Syawal dikarenakan 1 Syawal diperingati sebagai hari Raya Idhul Fitri. Sedih sekali ya kawan. Hari-hari yang kita lewatkan bersama Ramadhan terlalu singkat waktunya. Rasa-rasanya baru kemarin kita mengerjakan puasa, tapi tidak terasa sudah mencapai akhir dari pada Ramadhan. Aku akan pergi setelah bulan ini selesai, kepergianku jelas panjang karena harus melewati sebelas bulan lamannya, jika kau sangat merindukanku maka jangan lupa untuk berdoa agar kita bisa bertemu lagi di bulan Ramadhan selanjutnya. Sekali lagi seolah-olah Ramadhan berpesan kepada kita, jangan pernah abaikan diriku ini, karena banyak daripada kamu yang menginginkanku namun ajal belum bisa mempertemukan denganku (Ramadhan), minta ampunlah kepada Allâh ﷻ, karena banyak rahmat yang turun ketika bulan Ramadhan itu tiba.

Tolong jagalah aku, jangan pernah goyah dalam menggapai ridha dan rahmatnya Allah ﷻ, jika waktuku selesai, maka sempurnakanlah Ramadhan dengan menjaga diri daripada perbuatan maksiat, walaupun telah berakhirnya bulan Ramadhan dan muncul bulan Syawal sebagai hari kemenangan. Dimana kemenangan untuk selalu menjaga diri dari perbuatan yang tercela, kemenangan dalam berperang dalam nafsu. Begitu halnya dengan maaf. Kemenangan tersebut akan terasa kurang jika kita tidak saling meminta maaf.

Awal Untuk Saling Memaafkan

Secara terminologis kata memaafkan adalah maaf yang berasal dari bahasa Arab berarti al’afwu[1],    yang berarti mengenyahkan emosi dalam diri kita agar kebencian tidak merasuki jiwa adalah cara kita berupaya untuk pulih dengan cara memaafkan. Memang berat memaafkan seseorang yang membuat kita sakit, itu manusiawi. Dengan memaafkan akan menurunkan motivasi dalam membalas dendam dan menurunnya kerenggangan antar sesama.

Allâh ﷻ, berfirman,

خُذِ ٱلْعَفْوَ وَأْمُرْ بِٱلْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ ٱلْجَٰهِلِينَ

Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh” (QS. Al-A’râf [7]: 199).

Menjadi pemaaf bukan berarti menyerah dan mengalah akan suatu hal. Tetapi bagaiman jiwa kita mampu jujur dengan orang sekitar bahwa kita adalah manusia yang tidak sempurna dan penuh dengan dosa. Melepaskan sesuatu yang membuat kita sakit dan mengakui bahwa sebagai manusia kita itu lemah jika bukan Allâh ﷻ sebagai penguat kita. akan terasa melegakan bagi kita jika rasa sakit itu diganti dengan maaf dan mengikhlaskan sesuatu.

Memaafkan, Cara Menyembuhkan Luka Hati

Jangan hancur karena manusia, pilihlah pulih karena Allâh ﷻ, lapangkan hatimu dengan sujud dan maaf kepada-Nya sebelum kamu meminta maaf kepada manusia. Karena ketenangan hati terletak dari kemampuan hatimu untuk menerima semua takdir yang Allâh ﷻ kasih kepadamu seperti halnya mengenal keberadaan diri sendiri, terbuka dengan realita yang sebenarnya.[2] Jika nafasmu masih mengalir deras, maka bayangkan kasih sayangnya kepadamu juga seperti itu dan bahkan lebih daripada itu. Kemudian apakah Allâh ﷻ, memadamkan api ketika Nabi Ibrahim p dibakar? Tidak kan? Tapi Allâh ﷻ, mengubah api itu menjadi dingin. Jadi bukan masalahnya yang dihilangkan tapi bagaimana kamu bisa percaya dan mengikhlaskan sesuatu itu dengan maaf dan menerima.

Memaafkan Sebagai Sumber Kekuatan Hati

Jika efek daripada dendam adalah mengalirkan energi negatif, maka dengan memaafkan akan mengalirkan energi positif. Maka dengan itu buanglah hal-hal yang membuatmu sakit hati.[3] Sumber dari pada kuatnya hati adalah memaafkan semua yang membuatmu sakit. Dengan membuat hatimu kuat maka ketenangan batin akan tercipta dengan mudah. Pikiran, jiwa, fisikmu akan baik-baik saja. Sadarlah dan bangun untuk segera pulih. Memaafkan itu dekat dengan takwa.

Allâh ﷻ berfirman,

وَأَنْ تَعْفُوا أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى

“Dan jika kamu memaafkan itu lebih dekat kepada takwa” (QS. al-Baqarah [2]: 237).

Jika dunia terlalu jahat karena suatu keadaan maka lihatlah Nabi kita yaitu, Nabi Muhammad ﷺ, dengan berbagai macam ujian. Beliau mengajarkan untuk menjadi diri yang lembut, sehingga rasa sakit yang kamu rasakan tidak terus-terusan bersarang di hati melainkan untuk dibuang sejauh-jauhnya. Karena hati yang diciptakan oleh Allâh ﷻ, nilainya sangat tinggi melebihi berlian yang indah yang pernah kita lihat sebelumnya.

Orang yang memaafkan juga dianggap melakukan sedekah. Dari Ubadah bin Shamit, Nabi ﷺ bersabda,

مَا مِنْ رَجُلٍ يُجْرَحُ فِي جَسَدِهِ جِرَاحَةً فَيَتَصَدَّقُ بِهَا إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ عَنْهُ مِثْلَ مَا تَصَدَّقَ بِهِ

“Tidaklah seseorang yang badannya dilukai oleh orang lain, kemudian ia bersedekah dengan memaafkannya (tidak menuntut diyat), kecuali Allah akan hapuskan dosanya sebanding dengan pemaafan yang yang ia sedekahkan” (HR. Ahmad no.22701, dishahihkan al-Albani dalam Silsilah ash-Shahihah no.2273).

Oleh karena itu, sifat suka memaafkan adalah sifat yang seharusnya menjadi tabiat seseorang dan sifat yang seharusnya dipaksakan oleh seseorang kepada dirinya ketika ia dizalimi.[4]

Muliannya orang yang mampu memaafkan orang lain layaknya seperti debu yang menempel ke hati yang kemudian hilang dan dibersihkan dengan kehangatan hati oleh tali silaturrahim yang indah dalam kemenangan ini. Dengan begitu membersihkan hati dengan meminta maaf akan memperkuat hati untuk tetap kokoh dalam setiap rasa sakit oleh luka yang pernah dideritannya.

Manfaat Maaf

Manfaat maaf bagi meminta maaf, sebagai sarana untuk selalu intropeksi diri daripada kesalahan diri sendiri dan juga memberikan bentuk penyesalan dan sebagai pengembang diri sendiri lebih baik. kemudian akan lebih dihargai orang lain dan akan merasa lega daripada kesalahan yang dilakukannya tersebut. Dan bagi yang diberi maaf, akan mengurangi emosi negative yang selama ini ada dalam hati dan juga melatih diri agar hati mudah ikhlas.[5]

Jadi dihari yang mulia dan suci ini, segala macam unek-unek dan sarang penyakit yang ada pada qalbumu, maka rontokkanlah butiran-butiran tersebut agar rasa sakit yang menempel pada hati mulai lekas membaik. Kini saatnya untuk menambal luka dengam maaf dan mengikhlaskan apa yang telah terjadi pada diri kita sendiri.

Maraji’ :

* Alumni Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia.

[1] Anonim, Bab II tinjauan Pustaka (memaafkan), dikutip dari https://repository.uin-suska.ac.id/6874/3/BAB%20II.pdf. Diakses pada 23 Maret 2025.

[2] Christian Sireger, Menyembuhkan Luka Batin dengan Memaafkan, Jurnal: Humaniora, Vol. 3, No.2 (2012).

[3] Ulin Nihaya dkk., Konsep Memaafkan dalam Psikologi, Ijocap: Indonesian journal Of Counseling and Development, Vol.3, No.2 (2021).

[4] Yulian Purnama. “5 Faedah Seputar Memaafkan” https://konsultasisyariah.com/38747-5-faedah-seputar-memaafkan.html. Diakses pada 24 Maret 2025.

[5] Kumpaean, “Pengertian Maaf dan 11 Manfaatnya di kehidupan sehari-hari” dikutip dari https://kumparan.com diakses pada tanggal 24 Maret 2025

Download Buletin klik di sini

Istimewanya Sedekah di Bulan Ramadhan

Istimewanya Sedekah di Bulan Ramadhan

Marni Utami*

 

Bismillāhi wal ḥamdulillāh, waṣ ṣalātu was salāmu ‘alā rasūlillāhi, wa ba’du.

Hari-hari Ramadhan semangat-semangatnya untuk melakukan ketaatan. Bagaimana tidak, beribu keutamaan ditawarkan di bulan ini. Deretan diskon pahala diobral, ampunan Allâh ﷻ bertebaran memenuhi setiap ruang dan waktu. Salah satu pintu yang dibuka oleh Allâh ﷻ untuk meraih keuntungan besar dari bulan Ramadhan adalah melalui sedekah. Sedekah merupakan salah satu bentuk amalan sunah yang sangat dianjurkan untuk dilakukan oleh umat Islam. Amal sedekah sebagai bukti kepedulian terhadap sesama.

Makna Sedekah

Secara makna sedekah bisa diartikan sebagai segala bentuk pemberian, baik berupa harta atau materi maupun non-materi dan juga segala amal baik yang berguna bagi orang lain atau bahkan bagi diri sendiri. Allâh ﷻ memerintahkan hamba-hambanya untuk berinfak atau bersedekah kepada yang membutuhkan, dan Allâh ﷻ berjanji akan memberikan rezeki kepada orang yang bersedekah di jalan kebaikan. Allâh ﷻ berfirman,

مَّثَلُ ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَٰلَهُمْ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنۢبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِى كُلِّ سُنۢبُلَةٍ مِّا۟ئَةُ حَبَّةٍ ۗ وَٱللَّهُ يُضَٰعِفُ لِمَن يَشَآءُ ۗ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٌ

Perumpamaan orang-orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah adalah seperti (orang-orang yang menabur) sebutir biji (benih) yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan (pahala) bagi siapa yang Dia kehendaki. Allah Mahaluas lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al Baqarah [2]: 261).

Ayat ini menekankan bahwa infak di jalan Allah memiliki pahala yang sangat besar dan berlipat ganda. Dengan menggunakan perumpamaan biji yang menumbuhkan banyak tangkai, Allah menggambarkan betapa besar pahala yang akan diterima oleh orang-orang yang bersedekah dengan ikhlas.[1]

Disebutkan dalam riwayat dari Abu Hurairah z,, ia berkata Rasûlullâh ﷺ  bersabda,

كُلُّ سُلامَى مِنَ النَّاسِ عَلَيْهِ صَدَقةٌ، كُلَّ يَوْمٍ تَطلُعُ فِيْهِ الشَّمْسُ: تَعدِلُ بَينَ الاِثْنَيْنِ صَدَقَةٌ، وَتُعِيْنُ الرَّجُلَ فِي دَابَّتِهِ، فَتَحْمِلُهُ عَلَيْهَا، أَوْ تَرْفَعُ لَهُ عَلَيْهَا مَتَاعَهُ صَدَقةٌ، والكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ صَدَقةٌ، وبِكُلِّ خُطْوَةٍ تَمشِيْهَا إِلَى الصَّلاَةِ صَدَقةٌ، وتُمِيْطُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ صَدَقَةٌ.

Setiap persendian manusia ada sedekahnya setiap hari di mana matahari terbit di dalamnya, kamu mendamaikan diantara dua orang adalah sedekah, kamu membantu seseorang untuk menaikkannya di atas kendaraanya atau mengangkatkan barangnya diatasnya adalah sedekah, kalimat yang baik adalah sedekah, pada tiap-tiap langkah yang kamu tempuh menuju shalat adalah sedekah, dan kamu membuang gangguan dari jalan adalah sedekah.” (HR al-Bukhari, no. 2989 dan Muslim no. 1009).

Hadits tersebut menjelaskan bahwa sedekah tidak selalu berupa harta. Setiap perbuatan baik yang kita lakukan, jika diniatkan dengan ikhlas untuk mendapatkan ridha Allâh ﷻ adalah sedekah.

Keistimewaan Bersedekah

Bersedekah memiliki banyak keistimewaan, lebih-lebih di bulan Ramadhan di antaranya:[2]

  1. Sedekah merupakan bukti kebenaran iman seseorang. Rasûlullâh ﷺ bersabda,

الصَّدَقَةُ بُرْهَانٌ

“Sedekah itu adalah bukti (iman) yang nyata….” (HR. Muslim no. 223).

  1. Sedekah menghapus kesalahan dan dosa. Rasûlullâh ﷺ bersabda,

اَلصَّدَقَةُ تُطْفِئُ الْـخَطِيْئَةَ كَمَا يُطْفِئُ الْمَاءُ النَّارَ

“…Sedekah itu dapat menghapuskan kesalahan laksana air dapat memadamkan api…” (HR. Ahmad V/248, at-Tirmidzi, no. 2616).

  1. Sebagai sebab keselamatan dari panasnya hari kiamat. Rasûlullâh ﷺ tentang tujuh golongan yang dinaungi Allah pada hari Kiamat,

وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُـهُ مَا تُنْفِقُ يَمِيْنُهُ.

“… Dan seseorang yang bersedekah dengan suatu sedekah lalu ia menyembunyikannya hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan tangan kanannya.” (HR. Al-Bukhari no. 1423 dan Muslim no. 1031).

  1. Sedekah sebagai sebab mendapatkan pertolongan, kemenangan, dan rezeki. Dari Sa’d bin Abi Waqqash z, dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda,

هَلْ تُـنْصَرُوْنَ وَتُـرْزَقُوْنَ إِلَّا بِضُعَفَائِكُمْ.

Kalian hanyalah diberikan pertolongan dan diberikan rezeki dengan sebab (do’a) orang-orang lemah di antara kalian.” (HR. Al-Bukhari no. 2896).

  1. Sedekah sebagai sebab mendapatkan keberkahan, tambahan karunia, dan ganti yang lebih baik dari Allâh ﷻ. Dari Abu Hurairah z, ia berkata, “ Rasûlullâh ﷺ bersabda,

مَا مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ الْعِبَادُ فِيْهِ إِلَّا مَلَكَانِ يَنْزِلَان، فَيَقُوْلُ أَحَدُهُمَا: اَللهم أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا، وَيَقُوْلُ الْآخَرُ: اَللهم أَعْطِ مُمْسِكًا تَلَفًا.

Tidak ada hari di mana hamba berada di dalamnya kecuali ada dua malaikat yang turun.Salah satu dari keduanya berkata, ‘Ya Allah, berikanlah ganti kepada orang yang berinfak,’ sedang yang satunya lagi berkata, ‘Ya Allah, berikanlah kehancuran kepada orang yang tidak mau berinfak.” (HR. Al-Bukhari no. 1442 dan Muslim no. 1010).

  1. Sedekah dapat membersihkan harta dan mengikis kotoran-kotoran yang menimpanya karena perbuatan sia-sia, sumpah dusta, dan kelalaian. Rasûlullâh ﷺ bersabda,

يَا مَعْشَرَ التُّجَّارِ! إِنَّ هٰذَا الْبَيْعَ يَـحْضُرُهُ اللَّغْوُ وَالْـحَلِفُ، فَشُوْبُوْهُ بِالصَّدَقَةِ.

“Wahai para pedagang! Sesungguhnya perniagaan ini kerap kali diiringi dengan perbuatan sia-sia dan sumpah, maka bersihkanlah ia dengan sedekah.” (HR. Ahmad IV/6, 280, Abu Dawud no. 3326, an-Nasa-i VII/14, 15, 247 dan Ibnu Majah no. 2145).

  1. Sedekah dapat mengobati penyakit-penyakit jasmani. Rasûlullâh ﷺ bersabda,

دَاوُوْا مَرْضَاكُمْ بِالصَّدَقَةِ.

Obatilah orang yang sakit di antara kamu dengan bersedekah.” (Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr no. 3358).

  1. Orang yang bersedekah dapat memadamkan bagi dirinya panasnya alam kubur. Rasûlullâh ﷺ bersabda,

إِنَّ الصَّدَقَةَ لَتُطْفِئُ عَنْ أَهْلِهَا حَرَّ الْقُبُوْرِ، وَإِنَّمَا يَسْتَظِلُّ الْمُؤْمِنُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِـيْ ظِلِّ صَدَقَتِهِ.

Sesungguhnya sedekah itu memadamkan panasnya alam kubur bagi pelakunya.Dan sungguh, pada hari Kiamat, seorang mukmin akan bernaung di bawah naungan sedekahnya.” (HR. Ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabiir XVII/286, no. 788)

Adab dalam Bersedekah

Terdapat beberapa adab dalam bersedekah yang sebaiknya kita perhatikan, di antaranya:

  1. Ikhlas dalam bersedekah.
  2. Tidak menunda-nunda sedekah yang wajib hingga keluar waktunya.
  3. Mendahulukan sedekah yang wajib daripada sunnah.
  4. Hendaklah sedekah itu dari hasil yang baik.
  5. Memberi sedekah kepada orang yang membutuhkan.
  6. Mengeluarkan harta yang terbaik dalam bersedekah.
  7. Tidak mengungkit ngungkit dan menyakiti orang yang menerima sedekah.
  8. Mengagumi nikmat Allah dan mensyukurinya.
  9. Tidak memandang dirinya berjasa atas orang yang menerima sedekahnya.
  10. Tidak mengurungkan niat bersedekah karena keraguan.
  11. Merahasiakan sedekah kecuali untuk suatu kepentingan.
  12. Tidak mengambil kembali sedekahnya.[3]

Semoga di bulan Ramadan tahun ini kita mendapatkan ampunan dari segala dosa, mendapatkan keberkahan dan ketenangan hidup dari sedekah yang kita lakukan. Âmîn

* Tenaga Kependidikan di Direktorat Perpustakaan Universitas Islam Indonesia

Maraji’ :

[1] Kamaluddin, M. Keutamaan Sedekah: Prinsip Keadilan Sosial, Relevansi dan Implementasi – UIN Alauddin Makassar. https://uin-alauddin.ac.id/tulisan/detail/keutamaan-sedekah–prinsip-keadilan-sosial-relevansi-dan-implementasi-0624. Diakses pada 15 Februari 2025.

[2] Soebachman, Adiba A., Fajar N. Kisah-kisah Dahsyat 12 Amalan Super Ajaib. Yogyakarta: Kauna Pustaka. 2015. h. 13, dan Yazid bin Abdul Qadir Jawas “Bersedekah dan Memabantu Orang Yang Mengalami Kesulitan“. https://almanhaj.or.id/15202-bersedekah-dan-membantu-orang-yang-mengalami-kesulitan2.html. Diakses pada 15 Februari 2025.

[3] Arta Amaliah Nur Afifah, Riky Soleman, S. M. “Penafsiran Ayat Dan Hadits Sedekah Dalam Perspektif Islam” dalam Jurnal Ekonomi Syariah, Volume. 2(1), Hal. 1-15, Tahun 2022. h.7.

Download Buletin klik di sini

Peluang Menjemput Lailatul Qodar

Peluang Menjemput Lailatul Qodar

Dwi Erikawati*

 

Bulan Ramdhan merupakan bulan yang sangat istimewa penuh rahmat, berkah, dan maghfirah bagi seluruh umat Islam. Salah satu keistimewaan yang dimiliki bulan Ramdhan adalah lailatul qadar, yang disebutkan dalam Al-Quran sebagai malam yang lebih baik dari pada seribu bulan, yang jika dihitung maka nilainya sama dengan sekitar 83 tahun lebih 4 bulan.[1] Masyâ Allâh

Allâh ﷻ berfirman,

إِنَّآ أَنزَلْنَٰهُ فِى لَيْلَةِ ٱلْقَدْرِ. وَمَآ أَدْرَىٰكَ مَا لَيْلَةُ ٱلْقَدْرِ. لَيْلَةُ ٱلْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ. تَنَزَّلُ ٱلْمَلَٰٓئِكَةُ وَٱلرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ أَمْرٍ

سَلَٰمٌ هِىَ حَتَّىٰ مَطْلَعِ ٱلْفَجْرِ.

Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur’an) pada malam lailatul qadar. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan. Pada malam itu turun para Malaikat dan Roh (Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur semua urusan. Sejahteralah malam itu sampai terbit fajar.” (QS. Al-Qadr [97]: 1-5).

Konsep Lailatul Qadar

Hasil analisa terhadap pentafsiran Quraish Shihab terhadap surah al-Qadr di dalam Kitab Tafsir al-Misbah dapatlah ditegaskan bahawa konsep al-qadr terbahagi kepada tiga: [2]

  1. Lailatul qadr difahami sebagai malam penetapan Allâh l bagi perjalanan hidup manusia. Pendapat ini berdasarkan pada firman Allâh l,,

إِنَّآ أَنزَلْنَٰهُ فِى لَيْلَةٍ مُّبَٰرَكَةٍ ۚ إِنَّا كُنَّا مُنذِرِينَ

Sesungguhnya kami yang menurunkan al-Quran itu pada malam yang berkat, kerana Kami sentiasa memberi peringtan dan amaran”. (QS. Ad-Dhukan [44]: 3). Sebagian ulama berpendapat bahwa penetapan itu dalam tempo setahun. Maksud lailatul qadr itu bahwa Allâh l mengatur dan menetapkan khinthah dan strategi kepada Nabi-Nya, Muhammad ﷺ untuk menyeru manusia kepada jalan yang benar serta menetapkan takdir kepada seluruh alam.

  1. Lailatul qadr juga diartikan kepada kemuliaan. Malam tersebut adalah malam mulia yang tidak ada bandingan. Malam itu menjadi mulia kerana terpilih sebagai malam turunnya al-Quran yang menjadi permulaan kepada segala kemuliaan. kata al-Qadr berarti mulia seperti di dalam surah al-An’am ayat 91,

وَمَا قَدَرُوا۟ ٱللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِۦٓ إِذْ قَالُوا۟ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ عَلَىٰ بَشَرٍ مِّن شَىْءٍ

“Mereka itu tidak memuliakan Allah dengan kemuliaan yang sebenar tatkala mereka berkata Allah tidak menurunkan sesuatu pun kepada manusia”. (QS. al-An’am [6]: 91).

  1. Lailatul qadr juga dimaksudkan dengan sempit. Malam tersebut dikatakan malam yang sempit kerana ramainya malaikat turun ke bumi dengan izin Allâh l untuk mengatur segala urusan. Kata qadr yang berarti sempit digunakan dalam surah Ar-Ra’d ayat 26,

ٱللَّهُ يَبْسُطُ ٱلرِّزْقَ لِمَن يَشَآءُ وَيَقْدِرُ

“Allah melapangkan rezeki bagi mereka yang dikehendaki dan menyempitkannya bagi mereka yang dikehendaki”. (QS. Ar-Ra’d [13]: 26).

Kapan Lailatul Qadar Datang?

Pasti banyak yang betanya-tanya terkait kapan tepatnya lailatul qadar datang. Apabila ada pertanyaan ini tentu jawabannya adalah lailatul qadar adalah rahasia Allâh l. Al-Quran dan hadits tidak menyebutkan secara pasti tanggal dan waktunya lailatul qadar datang. Sehingga hal ini menjadi salah satu keistimewaan lailatul qadar yang mendorong umat Islam untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan mereka selama bulan Ramadhan.

Namun demikian, Rasûlullâh ﷺ memberikan beberapa petunjuk.[3] Lailatul qadar itu terjadi pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan, sebagaimana sabda Nabi ﷺ,

تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ

Carilah lailatul qadar pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari)

Terjadinya lailatul qadar di malam-malam ganjil itu lebih memungkinkan daripada malam-malam genap, sebagaimana sabda Nabi ﷺ,

تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْوِتْرِ مِنَ الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ

Carilah lailatul qadar di malam ganjil dari sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari)

Tanda-Tanda Lailatul Qadar

Sebagai tanda-tanda lailatul qadar dapat kita ketahui sebagai berikut:[4]

  1. Dipagi harinya, matahari terbit tidak memancarkan cahaya yang menyengat.

Rasûlullâh ﷺ bersabda “Matahari terbit pada harinya tidak mempunyai sinar” (HR. Muslim no. 1762). Dalam hadits lain disebutkan “Matahari terbit pagi hari dari malam qadar seperti baskom, tidak mempunyai sinar sampai meninggi” (HR. Abu Daud dan di sahihkan oleh Al-Albani dalam Sahih Abi Daud, 1/380)

  1. Malam yang cerah, tidak panas tidak juga dingin.

Dari Ibnu Abbas, Rasûlullâh ﷺ bersabda,

لَيْلَةُ القَدَرِ لَيْلَةٌ سَمْحَةٌ طَلَقَةٌ لَا حَارَةً وَلَا بَارِدَةً تُصْبِحُ الشَمْسُ صَبِيْحَتُهَا ضَعِيْفَةٌ حَمْرَاء

Lailatul qadar adalah malam yang penuh kemudahan dan kebaikan, tidak begitu panas, juga tidak begitu dingin, pada pagi hari matahari bersinar tidak begitu cerah dan nampak kemerah-merahan.” (HR. Ath Thoyalisi dan Al Baihaqi)[5]

  1. Tidak ada bintang jatuh, bulan pada malam itu seperti bulan purnama.

Rasûlullâh ﷺ bersabda “Sesungguhnya tanda lailatul qadar bahwasanya adalah malam yang bersih cerah, seakan-akan di dalamnya bulan terang tenang, tidak panas tidak juga dingin, dan tidak boleh bintang dijatuhkan di dalamnya sampai pagi, dan sesungguhnya tandanya adalah matahari pagi harinya terbit sejajar tidak mempunyai sinar seperti bulan pada malam purnama dan tidak halal bagi syetan untuk keluar bersamaan dengannya pada malam itu“. (HR. Ahmad, no.22765)

Amaliyah Pada Lailatul Qadar

Apa yang bisa kita lakukan untuk menjemput malam lailatul qadar? Sikap Rasûlullâh ﷺ dapat kita contoh pada sepuluh hari terakhir dari ramadhan sehingga kita bisa menjemput laiatul qadar, diantaranya:4

  1. Lebih bersungguh-sungguh dalam beribadah
  2. Menghidupkan malam dengan ibadah
  3. Membangunkan keluarga (Istri dan Anak-anak)
  4. Mengikat Tali Sarung
  5. I’tikaf (berdiam diri di dalam masjid, dengan niat beribadah kepada Allâh l, dilakukan oleh seseorang yang khusus, dengan syarat tertentu, dengan cara yang khusus, pada waktu yang tertentu)
  6. Memper banyak membaca doa. Hal ini berdasarkan sebuah riwayat dari Aisyah x beliau bertanya kepada Rasûlullâh ﷺ, “Wahai Rasulullah, jika aku bertepatan akan lailatul qadar, apakah yang aku baca?” beliau bersabda, “hendaknya kamu mengucapkan,

اللَّـهُـمَّ إنَّكَ عَفُوٌّ تُـحِبُّ العَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي

“Ya Allah, Sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf (dari kesalahan), mencintai maaf, maka maafkanlah aku (dari kesalahan-kesalahanku).” (HR. Ibnu Majah, no. 3982).

Semoga Allâh l menjadikan kita termasuk dalam golangan orang-orang yang dapat memanfaatkan Ramadhan dengan sebaik-baiknya, menjadikan kita termasuk ke dalam kelompok yang mendapatkan Lailatul Qadar. Allahumma Aamiin.

Maraji’ :

* Lab Terpadu – DLA Universitas Islam Indonesia

[1] A.R. Shohibul Ulum. Kumpulan Kultum Terlengkap & Terbaik Sepanjang Tahun. Yogyakarta: Mueeza. 2020. Cet 1. 153.

[2] Mohd Khairulazman Hj Abu Bakar. Konsep Lailatul Qadr Menurut Quraish Shihab di dalam Tafsir Al-Misbah. e-Proceedings of the Green Technology & Engineering. 2020. Virtual Conference, 630-636.

[3] Sumber https://rumaysho.com/489-mengenal-tanda-tanda-malam-lailatul-qadar.html. Diakses pada 7 Maret 2025.

[4] Ahmad Zainuddin Al Banjary. Pasti Dapat Lailatul Qadar. Ebook Sunnah. 2023. @AHMADZAINUDDINALBANJARY.

[5] HR. Ath Thoyalisi dan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman, lihat Jaami’ul Ahadits 18: 361. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Shahihul Jaami’ no. 5475.

Download Buletin klik di sini

Impresi Puasa Ramadhan Pada Kesehatan Mental

Impresi Puasa Ramadhan Pada Kesehatan Mental

Muhammad Abdul Aziz*

Bismillâhi wal hamdulillâh wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh, amma ba’d.

Sahabat Al-Rasikh yang budiman, puasa Ramadhan adalah salah satu ibadah utama umat Islam yang tidak hanya memiliki dimensi spiritual, tetapi juga dampak signifikan pada kesehatan fisik dan mental. Selama sebulan penuh, umat Muslim menahan diri dari makan, minum, serta hal-hal lain yang membatalkan puasa dari fajar hingga matahari terbenam. Namun, tahukah Anda bahwa puasa Ramadhan ternyata juga memiliki impresi mendalam pada kesehatan mental? Mari kita telusuri lebih dalam bagaimana puasa Ramadhan bisa menjadi “terapi alami” untuk pikiran dan jiwa dengan merujuk pada Al-Qur’an, Hadits, dan penelitian ilmiah.

Puasa dan Keseimbangan Emosional

Puasa Ramadhan bukan sekadar menahan lapar dan dahaga, tetapi juga melatih pengendalian diri (self-control) terhadap emosi dan perilaku[1]. Dalam psikologi, kemampuan mengendalikan diri erat kaitannya dengan keseimbangan emosional. Saat berpuasa, kita diajarkan untuk menghindari amarah, menjaga perkataan, dan bersikap sabar. Hal ini secara tidak langsung melatih otak untuk lebih tenang dan fokus.

Dari Abu Hurairah zdia berkata, Rasûlullâh ﷺ bersabda, (Allah ﷻ berfirman)

وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ وَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَصْخَبْ فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي امْرُؤٌ صَائِم.

Puasa adalah perisai. Jika salah seorang dari kalian sedang berpuasa, janganlah ia berkata kotor atau berteriak-teriak. Jika ada orang yang mencacinya atau memeranginya, hendaklah ia mengatakan, ‘Aku sedang berpuasa.” (HR. Bukhari no. 1904 dan Muslim no. 1151).

Hadits ini menunjukkan bahwa puasa melatih kita untuk mengendalikan emosi dan menjaga ketenangan hati.

Penelitian menunjukkan bahwa puasa dapat menurunkan kadar hormon stres seperti kortisol. Ketika tubuh tidak terus-menerus mencerna makanan, sistem saraf parasimpatis (yang bertanggung jawab untuk relaksasi) menjadi lebih aktif. Ini menjelaskan mengapa banyak orang merasa lebih tenang dan damai selama Ramadhan, meskipun menghadapi tantangan fisik seperti rasa lapar dan lelah[2].

Saat berpuasa, dianjurkan untuk lebih mengontrol emosi, lebih sabar, dan menahan amarah. Jika dilakukan dengan cara yang benar, berpuasa akan menjadi media untuk melatih pengendalian diri.[3]

Puasa sebagai “Reset” Mental

Dalam kehidupan modern yang serba cepat, otak kita sering kali dipenuhi dengan informasi berlebihan, tekanan pekerjaan, dan tuntutan sosial. Puasa Ramadhan bisa menjadi momen untuk “me-reset” pikiran. Dengan mengurangi aktivitas konsumsi (baik makanan maupun hal-hal duniawi), kita memberi ruang bagi otak untuk beristirahat dan memproses emosi dengan lebih baik.

Dalam al Qur’an Allah ﷻ berfirman,

وَأَنْ تَصُوْمُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ

Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 184).

Ayat ini mengisyaratkan bahwa puasa memiliki manfaat yang mendalam, termasuk bagi kesehatan mental.

Selain itu, puasa juga memicu produksi brain-derived neurotrophic factor (BDNF), protein yang berperan dalam pertumbuhan dan perlindungan sel-sel saraf. BDNF dikenal dapat meningkatkan mood, mengurangi gejala depresi, dan meningkatkan ketahanan mental[4]. Jadi, tidak heran jika banyak orang merasa lebih bahagia dan bersemangat setelah menjalani puasa Ramadhan.

Puasa dan Koneksi Spiritual

Salah satu aspek unik puasa Ramadhan adalah koneksi spiritual yang terjalin selama bulan suci ini. Ibadah seperti shalat tarawih, membaca Al-Qur’an, dan berzikir tidak hanya memperkuat hubungan dengan Sang Pencipta, tetapi juga memberikan ketenangan batin. Aktivitas spiritual ini merangsang produksi hormon serotonin dan endorfin, yang dikenal sebagai “hormon kebahagiaan.”

Rasulullah ﷺ bersabda,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.

Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan dengan penuh iman dan mengharap pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 38 dan Muslim no. 760).

Ketenangan batin yang dirasakan selama Ramadhan adalah salah satu bentuk rahmat Allah bagi orang yang berpuasa. Peneliti dari Americans College of Cardiology mengemukakan, “Berpuasa atau menyucikan jiwa dapat mengatasi niat-niat buruk seperti melanggar norma dalam diri.” Ia juga menambahkan bahwa saat puasa, seseorang akan menyadari hal-hal apa saja yang boleh dan tidak dilakukan. Hal itulah yang menumbuhkan semangat spiritual seseorang yang berpuasa.[5]

Studi ilmiah juga menunjukkan bahwa praktik spiritual seperti doa dapat mengurangi kecemasan dan meningkatkan kesejahteraan psikologis[6]. Dalam konteks Ramadhan, kombinasi antara puasa dan ibadah lainnya menciptakan efek sinergis yang memperkuat kesehatan mental.

Penutup

Puasa Ramadhan bukan hanya tentang menahan lapar dan dahaga, tetapi juga tentang merawat kesehatan mental secara holistik[7]. Dari menurunkan tingkat stres hingga meningkatkan koneksi spiritual dan sosial, puasa Ramadhan menawarkan banyak manfaat bagi kesejahteraan psikologis. Dengan memahami dan memanfaatkan momen ini secara optimal, kita bisa menjadikan Ramadhan sebagai bulan untuk memperbaiki diri, baik secara fisik, mental, maupun spiritual.

Sebagaimana firman Allah ﷻ dalam Al-Qur’an,

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ.

Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”(QS. Al-Baqarah [2]: 183).[8]

Ayat ini mengisyaratkan bahwa puasa tidak hanya berdampak pada fisik, tetapi juga pada ketakwaan dan keseimbangan jiwa.

Wallâhu a’lam bish shawab.

* DAI Standardisasi MUI. Komunikasi lebih lanjut melalui email: [email protected]

Maraji’ :

[1]. Abdul Muiz Ali. ”Hakikat Puasa dan Pengendalian Diri Selama Ramadhan” https://mui.or.id/baca/mui/hakikat-puasa-dan-pengendalian-diri-selama-ramadhan. Diakses pada 22 Februari 2025.

[2]. Hussin, N. M., Dkk. “Efficacy of Fasting and Calorie Restriction (FCR) on mood and depression among ageing men” dalam jurnal The Journal of Nutrition, Health & Aging, Volume 17, Issue 8, October 2013, h. 12.

[3] Tim RS Pondok Indah. “10 Manfaat Puasa Bagi Kesehatan Yang Wajib Diketahui”. https://www.rspondokindah.co.id/id/news/manfaat-puasa-bagi-kesehatan. Diakses pada 22 Februari 2025.

[4]. Mattson, M. P., Dkk.  “Impact of intermittent fasting on health and disease processes”. https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/27810402/. Diakses pada 22 Februari 2025.

[5] Humas BAZNAS. “Manfaat Puasa: Kesehatan, Spiritual, dan Kecerdasan”. https://baznas.go.id/artikel-show/Manfaat-Puasa:-Kesehatan,-Spiritual,-dan-Kecerdasan/350#:~:text=Manfaat%20Puasa%20secara%20Kesehatan%20Fisik,jauh%20dari%20amarah%20yang%20berlebihan. Diakses pada 22 Februari 2025.

[6]. Koenig, H. G. “Religion, spirituality, and health: The research and clinical implications” dalam Jurnal International Scholarly Research Network ISRN Psychiatry Volume 1, Tahun 2012, h. 3.

[7]. Muhbib Abdul Wahab. ”Ramadhan Sebagai Sistem Pendidikan Holistik Integratif” https://uinjkt.ac.id/index.php/id/ramadhan-sebagai-sistem-pendidikan-holistik-integratif. Diakses pada 22 Februari 2025.

[8]. Al-Quran Kemenag in MS. Word, 2005.

Download Buletin klik di sini

Ramadhan sebagai Bulan Perubahan yang Berkelanjutan

Ramadhan sebagai Bulan Perubahan yang Berkelanjutan

Yusuf Satrio Negoro*

 

Pernah gak sih terpikir, mengapa di bulan Ramadhan mayoritas muslimin di negeri kita ini lebih bersemangat untuk beramal di bulan ini dibandingkan bulan-bulan lainnya? Mungkin sebagian besar sudah mengetahui, bahwa di bulan ini terdapat satu malam, yang keutamaannya melebihi seribu bulan, begitupun dikarenakan keutamaan-keutamaan bulan ini yang begitu besar. Akan tetapi, mengapa hanya di bulan Ramadhan saja kita bersemangat? Mengapa tidak kita teruskan semangat ibadah kita di bulan-bulan berikutnya?

Ramadhan Sebagai Waktu Untuk Berlatih

Hikmah dan keutamaan yang begitu banyak dapat kita temui di bulan Ramadhan. Terutama perihal perintah diwajibkannya berpuasa. Puasa adalah satu-satunya ibadah yang mana Allâh ﷻ sendiri yang memberikan ganjaran tersebut, sebagaimana hadits qudsi yang disabdakan oleh Rasûlullâh ﷺ. Dari Abu Hurairah berkata, Rasûlullâh ﷺ bersabda,

قَالَ اللَّهُ: كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلا الصِّيَامَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ

Allah berfirman, ‘Semua amal anak Adam untuknya kecuali puasa. Ia untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya.” (HR. Bukhari, no. 1761 dan Muslim, no. 1946) [1]

Hadits tersebut menggambarkan betapa besar keutamaan ibadah puasa. Puasa juga memiliki banyak hikmah diantaranya; melatih kesabaran, mengajarkan kedalaman spiritual, proses penyadaran diri, pendidikan diri dan pembentukan karakter, dimensi sosial puasa, pengendalian pola makan, kesederhanaan dalam konsumsi,[2] dan masih banyak lagi.

Dari hikmah-hikmah tersebut dapat kita simpulkan bahwa berpuasa dapat memberikan dampak positif yang luar biasa bagi yang melaksanakannya dengan sungguh-sungguh. Dan tentunya, bagi orang yang benar-benar mengambil pelajaran atau hikmah dari berpuasa, pastinya hal tersebut akan membentuk dirinya menjadi sosok pribadi muslim yang sempurna. Anggaplah bahwa puasa ini bukan hanya sebagai rutinitas ibadah di setiap tahunnya, akan tetapi juga ajang untuk berlatih agar dapat menjadi pribadi muslim yang lebih baik.

Fokus Untuk Menggapai Output Dari Bulan Ramadhan

Kita telah merencanakan ibadah di bulan Ramadhan dengan sedemikian rupa. One day one juz, shalat malam, shalat dhuha, dan bentuk ibadah lainnya telah kita rancang. Tetapi terkadang kita lupa, apakah kegiatan di bulan Ramadhan ini dapat berkelanjutan hingga di bulan-bulan berikutnya? Sudah cukup kita terlalaikan oleh buaian hawa nafsu dan godaan setan.

Kita berlatih satu bulan penuh untuk dapat menekan hawa nafsu kita dari segala hal yang dilarang. Jika selama satu bulan kita bisa melawan hawa nafsu kita, maka sudah dipastikan kita harus lebih bisa menahan hawa nafsu kita setidaknya dari hal-hal yang diharamkan, dan menyibukkan diri kita dengan hal-hal yang lebih bermanfaat.

Maka, marilah kita tanamkan dalam diri kita dan ingatlah selalu, bahwa setelah bulan Ramadhan, ibadah-ibadah harian harus tetap maksimal, segala pekerjaan yang dikerjakan harus lebih optimal, akhlak harus lebih baik dibandingkan sebelumnya, kebiasaan memanfaatkan waktu harus tetap diterapkan. Dengan kita tetap  fokus  untuk meningkatkan kualitas ibadah kita di bulan ini, dan berniat untuk tetap menerapkannya di bulan-bulan lainnya, semoga menjadi dorongan bagi kita semua untuk dapat lebih baik kedepannya.

Waktunya Perubahan

Allâh ﷻ berfirman,

إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا۟ مَا بِأَنفُسِهِمْ

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum hingga kaum tersebut yang berusaha untuk mengubahnya sendiri” (QS. ar-Ra’d [13]: 11).

Dalam ayat ini dijelaskan, bahwa jika kita ingin mengubah keadaan kita yang saat ini untuk menjadi lebih baik, maka hal tersebut dimulai dari kita dengan usaha untuk dapat mengubahnya, setelah itu baru pertolongan Allah akan datang untuk mengubah keadaan tersebut. Apakah keadaan kita saat ini sudah seperti yang kita harapkan? Apakah amal kita saat ini sudah cukup untuk mengantarkan kita menuju surganya kelak? Apakah kita sudah menjadi sebaik-baik manusia yang baik akhlaknya dan bermanfaat bagi sesamanya? Jika masih ada yang belum, maka inilah saatnya kita berusaha untuk merubah diri kita menjadi pribadi yang kita harapkan, paling tidak lebih baik dari sebelumnya.

Bagaimana Caranya Untuk Bisa Berubah?

  1. Mengubah pola pikir

Dari hanya sekedar “bulan Ramadhan adalah saatnya kita banyak beramal saleh” menjadi “Aku harus bisa lebih rajin setelah usai bulan Ramadhan”. Kemudian, mengubah “Aku hanya berpuasa di bulan Ramadhan saja” menjadi “Aku akan berusaha untuk berpuasa sunnah”. Tanamkan selalu dalam pikiran hingga merasuki jiwa sehingga dapat membimbing diri kita menuju perubahan yang lebih baik.

  1. Paksa diri untuk melakukan yang terbaik

Tidak akan terciptanya perubahan dalam diri kita sebelum kita memaksa diri kita sendiri untuk berupaya. Kita harus berani untuk meninggalkan kenyamanan saat ini untuk menggapai apa yang kita harapkan. Berusahalah untuk menghilangkan kebiasaan buruk seperti bermalas-malasan, terlalu banyak makan, tidak disiplin, dan kebiasaan buruk lainnya. Kemudian beralihlah kepada kebiasaan-kebiasaan baik.

  1. Berusaha untuk tetap istiqamah dan jangan menyerah

Istiqamah adalah hal yang dirasa cukup sulit menurut kebanyakan orang. Tetapi bukan berarti mustahil bagi kita untuk dapat menerapkannya. Istiqamah erat kaitannya dengan kebiasaan dan kesenangan yang kita lakukan. Maka cobalah untuk dapat membiasakan serta cinta terhadap apa yang kita inginkan istiqamah di dalamnya. Dan ingat selalu “don’t giveup!”.

  1. Bersyukur serta tawakal

Setelah beragam upaya telah kita kerahkan untuk dapat berubah menjadi lebih baik. Maka, alangkah baiknya kita bersyukur atas upaya yang telah kita lakukan, kemudian kita serahkan kepada Allah segala hasilnya  nanti. Tawakal tidak membawa pesimis, tetapi justru optimis. Dengan berbekal keyakinan bahwa Allah pasti akan membalas segala amal kita, walaupun itu sekecil biji Zarah. Semoga Bermanfaat!

Maraji’ :

*Komunikasi lebih lanjut melalui email: [email protected]. Instansi Universitas Gadjah Mada.

[1] Muhammad bin Shalih al Utsaimin. Majalis Syahri Ramadan. h. 13. https://almanhaj.or.id/15914-firman-allah-taala-puasa-untukku-dan-aku-yang-akan-membalasnya.html. Diakses pada 1 Maret 2025.

[2] Ilham. “6 Hikmah Puasa di Bulan Ramadhan, Apa Saja?” https://muhammadiyah.or.id/2025/02/6-hikmah-puasa-di-bulan-Ramadhan-apa-saja/. Diakses pada 1 Maret 2025.

Download Buletin klik di sini

Mengasah Kesabaran di Tengah Ujian Kehidupan

Mengasah Kesabaran di Tengah Ujian Kehidupan

Raden Miftakhurozak Budi Nugraha*

 

Pembaca Al-Rasikh yang berbahagia, seperti yang kita ketahui, bahwa dinamika dan problematika kehidupan sudah pasti dialami oleh setiap makhluk hidup, terlebih lagi kita sebagai manusia. Allâh ﷻ pasti akan menguji setiap hamba-Nya dengan berbagai problematika.

Allâh ﷻ berfirman,

أَمْ حَسِبْتُمْ أَن تَدْخُلُوا۟ ٱلْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُم مَّثَلُ ٱلَّذِينَ خَلَوْا۟ مِن قَبْلِكُم

“Apakah kalian mengira bahwa kalian akan masuk ke dalam surga, padahal belum datang kepada kalian (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kalian?” (QS. Al-Baqarah [2]: 214).

Ujian dari Allâh ﷻ berlaku untuk setiap hamba-Nya yang dapat berupa rasa takut, rasa lapar, kekurangan harta, berkurangnya jiwa, dan kekurangan buah-buahan[1]. Keimanan, ketakwaan, dan kesabaran yang kokoh sangat dibutuhkan untuk menghadapi ujian yang selalu menerpa kita. Oleh karena itu, sebagai hamba yang beriman, kita harus selalu berbaik sangka kepada Allâh ﷻ dalam kondisi apapun. Kita juga harus yakin bahwa setiap ujian yang datang pasti ada solusi dan memiliki hikmah yang bisa dipetik [2].

Sebagai hamba Allâh ﷻ, kita telah diberikan solusi dalam menghadapi berbagai ujian yang datang. Salah satu modal utama yang harus dimiliki oleh orang mukmin adalah rasa sabar dan syukur. Sabar berasal dari kata “al-shabru,” yang artinya adalah kemampuan untuk mengendalikan diri dari godaan dan nikmat, baik yang menyedihkan maupun yang menyenangkan. Terkadang kita salah memersepsikan antara sabar dengan pasrah, padahal dua kata tersebut memiliki definisi yang berbeda. Sabar melibatkan usaha aktif dan rasa tawakkal kepada Allâh ﷻ setelah berusaha dengan maksimal, sedangkan pasrah diartikan sebagai sikap menyerahkan semua urusan kepada Allâh ﷻ tanpa melalui usaha maksimal.

Perasaan sabar dimiliki oleh setiap orang, namun kapasitas kesabaran setiap orang berbeda-beda. Oleh karena itu, salah satu tujuan Allâh ﷻ memberikan ujian kepada kita adalah untuk menguji kesabaran dan rasa syukur kita. Semakin tinggi tingkat kesabaran, maka semakin tinggi pula tingkat ujian yang diberikan. Sabar memiliki tiga tingkatan, yaitu sabar dalam menerima musibah, sabar dalam menjalankan perintah Allâh ﷻ, dan sabar dalam menjauhi kemaksiatan[3]. Islam mengajarkan bahwa sabar adalah salah satu sifat yang sangat dianjurkan.

Dalam Al-Qur’an, Allâh ﷻ berfirman,

وَٱصْبِرُوٓا۟ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلصَّٰبِرِينَ

“Dan bersabarlah, sesungguhnya Allâh ﷻ beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Anfal [8]: 46) [4].

Bentuk Cinta Terhadap Hamba

Jika seorang mukmin bisa bersabar atas ujian yang diberikan, ia akan berpeluang mendapatkan balasan pahala yang besar. Allâh ﷻ berjanji akan memberi ganjaran yang tak terhingga bagi orang yang bersabar. Selain itu, kita harus yakin bahwa ujian yang datang merupakan bentuk cinta Allâh ﷻ kepada kita.

Diriwayatkan dari Anas ibn Malik z dari Rasûlullâh ﷺ bersabda,

إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلَاءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السُّخْطُ

“Sesungguhnya besarnya pahala itu sesuai dengan besarnya cobaan. Dan sesungguhnya apabila Allah mencintai sebuah kaum niscaya Allah akan memberikan cobaan kepada mereka. Maka barangsiapa yang ridha (dengan ketetapan Allah –pent), maka Allah akan ridha kepadanya. Dan barangsiapa yang tidak ridha, maka Allahpun tidak akan ridha kepadanya.” (HR. At-Turmudzi, no. 2320 dan Ibnu Majah, no. 4021 dengan sanad yang hasan).[5]

Jika seseorang telah dicintai Allâh ﷻ, ia akan merasa tenang, damai, segala kebutuhannya akan terpenuhi, mendapatkan pertolongan-Nya saat di akhirat, dan semua permohonan baiknya akan dikabulkan.

Sebagai Pengingat Kehidupan Akhirat

Allâh ﷻ berfirman,

ٱلَّذِى خَلَقَ ٱلْمَوْتَ وَٱلْحَيَوٰةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا

Yang menciptakan mati dan hidup untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (QS. Al-Mulk [67]: 2).

Meyakini bahwa ujian yang datang merupakan salah satu bentuk pengingat bagi kita bahwa dunia itu hanya sementara, dan akhirat adalah kehidupan abadi. Cobaan dalam hidup merupakan bagian dari takdir Allâh ﷻ. Setiap cobaan pasti membawa hikmah yang berharga untuk meningkatkan keimanan dan mendekatkan diri kepada Allâh ﷻ, serta membersihkan jiwa kita dari dosa-dosa. Oleh karena itu, sebagai seorang mukmin, kita senantiasa harus selalu bersyukur dan bersabar dalam setiap ujian hidup.

Sarana Menghapus Dosa dan Membersihkan Jiwa

Ujian dan cobaan yang Allâh ﷻ berikan bisa dalam bentuk apapun, misalnya ujian dalam bentuk musibah yang tentunya tidak kita inginkan. Segala bentuk musibah yang kita alami dapat menjadi sarana untuk menghapus dosa-dosa dan membersihkan jiwa bagi kita yang mau bersabar. Ketika kita menghadapi musibah, kuncinya adalah sabar. Dengan sabar, kita bisa membuat hati lebih tenang, menerima takdir dengan lapang dada, dan mengajarkan kita untuk tetap teguh serta tidak berputus asa dari pertolongan Allâh ﷻ.

Allâh ﷻ berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱسْتَعِينُوا۟ بِٱلصَّبْرِ وَٱلصَّلَوٰةِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلصَّٰبِرِينَ

“Wahai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allâh ﷻ bersama orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah [2]: 153).[6]

Musibah yang menimpa kita sering kali membuat kita merenung dan melakukan introspeksi diri. Kita menjadi lebih sering melakukan muhasabah, tadabbur diri, berdzikir kepada Allâh ﷻ, dan taqarrub (pendekatan diri kepada Allâh ﷻ). Kita melakukan evaluasi terhadap diri sendiri, lalu mengubah perilaku yang dahulu menjadi pribadi yang lebih baik. Begitulah cara Allâh ﷻ untuk menghapus dosa dan membersihkan jiwa kita melalui ujian dan cobaan yang menimpa kita.

Marilah kita melatih kesabaran yang kita miliki sembari bertawakkal dan meminta tolong kepada Allâh ﷻ. Setiap ujian yang datang pasti ada solusi yang telah disediakan oleh Allâh ﷻ. Kita hanya perlu bersabar dan berikhtiar untuk mendapatkan solusi tersebut. Jika belum mendapatkan solusinya, minimal kita bisa mendapatkan ketenangan.

* Tenaga Kependidikan di Direktorat Layanan Akademik Universitas Islam Indonesia

Maraji’ :

[1] Ahmad. “Lima Macam Ujian dan Bala’ Manusia”. https://hidayatullah.com/kajian/oase-iman/2022/06/17/231845/lima-macam-ujian-dan-bala-manusia.html. Diakses 16 Februari 2025.

[2] Syamsul Arifin. ”Khutbah Jumat: Hakikat Cobaan atau Ujian di Dunia”. https://jombang.nu.or.id/khutbah/khutbah-jumat-hakikat-cobaan-atau-ujian-di-dunia-EMapm. Diakses 17 Febrari 2025.

[3] Mahbib Khoiron. “3 Tingkatan Sabar dalam Pandangan Syekh Ibnu Abid Dunya”. https://nu.or.id/tasawuf-akhlak/3-tingkatan-sabar-dalam-pandangan-syekh-ibnu-abid-dunya-w8kpZ. Diakses 18 Februari 2025

[4] Arif Muhammad Nurwijaya, S.Pd. “Kesabaran yang Terbatas?”. https://muslim.or.id/81860-kesabaran-yang-terbatas.html. Diakses 20 Februari 2025.

[5] Ustadz Mahful Safarudin, Lc. “Cobaan dan Ujian adalah Bukti Cinta – Seri 40 Hadits Tentang Musibah dan Cobaan (4/40)”. https://pesantrenalirsyad.org/cobaan-dan-ujian-adalah-bukti-cinta-seri-40-hadits-tentang-musibah-dan-cobaan-4-40/. Diakses 20 Februari 2025.

[6] dr. Adika Mianoki. Sp.S. ”Jadikanlah Sabar dan Shalat Sebagai Penolongmu”. https://muslim.or.id/60368-jadikanlah-sabar-dan-shalat-sebagai-penolongmu.html. Diakses 20 Februari 2025.

Download Buletin klik di sini

Meraih Keistimewaan Bulan Ramadhan

Meraih Keistimewaan Bulan Ramadhan

Adzkia Hulwia Hasanah*

 

Yang Shahih Shahih Aja

Tak jarang kita dengarkan beberapa ceramah menyampaikan terkait pembagian keutamaan bulan Ramadhan menjadi tiga bagian “Awwaluhu rahmah wa awsathuhu maghfiroh, wa âkhiruhu ‘itqu minannar” yang bermakna “Awal bulan Ramadhan adalah rahmat, pertengahannya adalah ampunan, sedangkan akhirnya adalah terbebas dari neraka”. Ungkapan tersebut merupakan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dan Ibnu Khuzaimah. Namun hadits tersebut adalah hadits dhaif yang disebabkan oleh sanad yang berasal pada satu sumber yang dhaif (Ali ibn Zaid ibn Jad’an) dengan riwayat perawi yang sangat dhaif (Yusuf bin Ziyad dari Ali ibn Zaid). Perlu kita ketahui bahwa boleh saja kita mengamalkan hadits tersebut sebagai motivasi untuk beramal shalih selama bulan Ramadhan dengan catatan tidak boleh diyakini kebenarannya secara utuh.[1]

Mencukupkan diri dengan hadits shahih dalam mengamalkan suatu amal itu lebih baik dan lebih terjamin kebenarannya, tidak hanya kebaikan yang dapat kita amalkan tetapi akan bertambah juga keberkahannya. Berikut salah satu hadits shahih yang membahas keutamaan bulan Ramadhan.

Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasûlullâh ﷺ  bersabda,

إِذَا كَانَ أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ صُفِّدَتْ الشَّيَاطِينُ وَمَرَدَةُ الْجِنِّ، وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ فَلَمْ يُفْتَحْ مِنْهَا بَابٌ، وَفُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ فَلَمْ يُغْلَقْ مِنْهَا بَابٌ، وَيُنَادِي مُنَادٍ يَا بَاغِيَ الْخَيْرِ أَقْبِلْ وَيَا بَاغِيَ الشَّرِّ أَقْصِرْ، وَلِلَّهِ عُتَقَاءُ مِنْ النَّارِ وَذَلكَ كُلُّ لَيْلَةٍ

Apabila telah datang malam pertama dari bulan Ramadhan, setan-setan dan dedengkot jin diikat, dan pintu-pintu neraka ditutup, maka tidak ada satu pun pintunya yang dibuka. Pintu-pintu Surga dibuka, maka tidak ada satu pun pintunya yang ditutup. Penyeru berseru, ‘Wahai para pencari kebaikan, bergegaslah. Wahai para pencari keburukan, berhentilah.’ Dan Allah memiliki orang-orang yang dibebaskan dari neraka, dan itu terjadi pada setiap malam”. (HR. Tirmidzi no. 682 dan Ibnu Majah no. 1642).

Memahami keutamaan bulan Ramadhan akan memberikan motivasi kepada kita untuk memaksimalkan ibadah di bulan Ramadhan baik pada ibadah wajib maupun sunnah di bulan Ramadhan.

Amalan Sunnah Saat Berpuasa

Dalam berpuasa, terdapat beberapa sunnah yang telah diajarkan oleh Rasûlullâh ﷺ  yaitu pertama adalah sahur dan mengakhirkan sahur. Sebagaimana Hadits dari Anas bin Malik, beliau berkata, Rasûlullâh ﷺ  bersabda,

تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِى السَّحُورِ بَرَكَةً

Makan sahurlah kalian karena dalam makan sahur terdapat keberkahan.” (HR. Bukhari no. 1922 dan Muslim no. 1095).

Kedua adalah menyegerakan berbuka. Seperti hadits yang diriwayatkan dari Sahl bin Sa’ad z, Rasûlullâh ﷺ bersabda,

لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ

Manusia akan senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka.” (HR. Bukhari no. 1957 dan Muslim no. 1098).

Ketiga, berbuka dengan kurma atau air putih. Ibnu Hajar Al Asqalani v membawakan dalam Bulughul Maram hadits no. 660. Dari Salman bin ‘Amir Adh Dhabbi z, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda,

إِذَا أَفْطَرَ أَحَدُكُمْ فَلْيُفْطِرْ عَلَى تَمْرٍ، فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيُفْطِرْ عَلَى مَاءٍ، فَإِنَّهُ طَهُورٌ

“Jika salah seorang di antara kalian berbuka, maka berbukalah dengan tamr (kurma kering). Jika tidak dapati kurma, maka berbukalah dengan air karena air itu mensucikan.” (HR Imam yang Lima [Ibnu Majah, Abu Daud, An Nasâi, Tirmidzi]).

Keempat, berderma di bulan Ramadhan, karena Rasûlullâh ﷺ lebih dermawan denghan kebaikan di bulan Ramadhan. Sahabat ‘Abdullah bin ‘Abbâs c menuturkan,

كَانَ النَّبِيُّ ﷺ أَجْوَدَ النَّاسِ، وَأَجْوَدُ مَا يَـكُوْنُ فِـيْ رَمَضَانَ حِيْنَ يَلْقَاهُ جِبْرِيْلُ، وَكَانَ جِبْرِيْلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ يَلْقَاهُ فِـيْ كُـّلِ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَـيُـدَارِسُهُ الْـقُـرْآنَ، فَلَرَسُوْلُ اللّٰـهِ ﷺ أَجْوَدُ بِالْـخَيْـرِ مِنَ الِرّيْحِ الْـمُرْسَلَةِ

“Nabi adalah orang yang paling dermawan dengan kebaikan, dan lebih dermawan lagi pada bulan Ramadhan ketika Jibril Alaihissallam bertemu dengannya. Jibril menemuinya setiap malam Ramadhân untuk menyimak bacaan Al-Qur’annya. Sungguh, Rasûlullâh lebih dermawan daripada angin yang berhembus.” (HR. Al-Bukhari, no. 1902, 3220, 3554, 4997 & Muslim, no. 2308).[2]

Apa Saja Amalan Selain Puasa?

Selain berpuasa, amalan yang dianjurkan di bulan Ramadhan adalah membaca Al-Qur’an. Al-Qur’an diturunkan pada bulan Ramadhan, sehingga dengan banyak membaca Al-Qur’an, mengamalkan dan mempelajarinya akan menambah pahala yang berlipat ganda.

Setelah membaca Al-Qur’an, amalan yang biasa kita lakukan dan bisa diikuti oleh setiap insan adalah shalat tarawih. Shalat tarawih merupakan shalat yang dilakukan Rasûlullâh ﷺ di bulan Ramadhan dengan jumlah sebelas raka’at seperti yang termaktub pada hadits Rasûlullâh ﷺ yang yang dijadikan dasar shalat tarawih.

Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Âisyah x berkata,

كَانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ يُصَلِّي فِيمَا بَيْنَ أَنْ يَفْرُغَ مِنْ صَلَاةِ الْعِشَاءِ -وَهِيَ الَّتِي يَدْعُو النَّاسُ الْعَتَمَةَ- إِلَى الْفَجْرِ، إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً، يُسَلِّمُ بَيْنَ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ، وَيُوتِرُ بِوَاحِدَةٍ،

Rasûlullâh  pernah shalat antara waktu setelah shalat isya’ (yang biasa disebut ‘atamah) hingga waktu fajar. Beliau melakukan sebelas rakaat, setiap dua rakaat beliau salam, dan beliau juga melakukan witir satu rakaat.”  (HR. Muslim No. 736).[3]

Meskipun dalam hadits tersebut tidak tertulis nama dari shalat tarawih, ada riwayat lain dari Âisyah x yang menyebutkan empat rakaat sekali salam, setiap dapat empat rakaat Rasûlullâh istirahat. Dari sinilah yang kemudian menjadikan shalat di malam Ramadhan ini disebut dengan shalat tarawih.[4]

Selain amalan-amalan yang telah disebutkan, kita juga dianjurkan untuk menghidupkan malam-malam terakhir pada bulan Ramadhan, terkhusus dalam rangka mencari lailatul qadr, yang mana pada malam itu semua pahala ibadah akan dilipat gandakan oleh Allâh ﷻ. Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim dan at Tirmidzi dari Aisyah x, bahwa ia berkata

تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ.

“Nabi melakukan i’tikaf pada sepuluh akhir di bulan Ramadhan dan bersabda: “Carilah Lailatul Qadr pada sepuluh malam terakhir pada bulan Ramadhan”.[5]

Dengan memahami keutamaan bulan Ramadhan dan mengamalkan sunnah dari Rasûlullâh ﷺ, semoga kita dapat meraih keberkahan, ampunan, dan Ridha dari Allâh ﷻ. Semoga di bulan Ramadhan ini menjadi momen yang baik bagi kita dan menjadikan kita pribadi yang lebih baik dari sebelumnya. Âmîn.

Maraji’ :

* Mahasiswi Prodi Pendidikan Agama Islam Universitas Islam Indonesia

[1] Mgr Sinomba Rambe, Jannatul Husna, Waharjani. “Hukum Mengamalkan Hadist Dhaif Dalam Fadhail A’mal” dalam Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, Vol.10 No.02, Tahun 2022. h.267]

[2] Lukman A. Irfan. Sekolah Ramadhan. Yogyakarta: Dewan Masjid Indonesia Kapanewon Berbah Sleman DIY. 2021 M. Cet.k-1. h. 44

[3] Firanda Andirja. “Jumlah Rakaat Shalat Tarawih”. https://bekalislam.firanda.com/?p=10610. Diakses pada 23 Februari 2025.

[4] H.Rajab. Fikih Ramadhan Perspektif Hadis. Surabaya: Pustaka Aksara. 2022 M. Cet.k-1. h.12

[5] Al-Manhaj. “Hadits Shahih Tentang I’tikaf Rasulullah”. https://almanhaj.or.id/55012-hadits-shahih-tentang-itikaf-rasulullah-shallallahu-alaihi-wa-sallam.html. Diakses pada 23 Februari 2025.

Download Buletin klik di sini