RAJIN KETIKA RAMADHAN, SETELAH RAMADHAN LALAI

RAJIN KETIKA RAMADHAN, SETELAH RAMADHAN LALAI

Oleh: Diki Muallim

 

Bismillah wasshalatu wassalamu ‘ala rasulillah, wa ba’du.

Saudaraku yang semoga dirahmati oleh Allah ﷻ, marilah kita renungi terlebih dahulu kandungan dalam surat al-Hadid ayat 16 ini. “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.”[1]

Ingatlah Tentang Ramadhan

Ingatlah tentang amalan shalih yang telah kita lakukan di bulan Ramadhan. Bulan yang baru saja telah kita lalui. Bulan bulan yang sangat mulia, banyak sekali keutamaan pada bulan Ramadhan salah satunya adalah menjadi bulan diturunkannya al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia, Allah ﷻ berfirman, “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu…”[2]

Bulan Ramadhan juga merupakan bulan dengan penuh keberkahan, Rasulullah ﷺ bersabada, “Telah datang kepada kalian Ramadhan, bulan yang diberkahi. Allah mewajibkan atas kalian berpuasa padanya. Pintu-pintu surga dibuka padanya. Pintu-pintu Jahim (neraka) ditutup. Setan-setan dibelenggu. Di dalamnya terdapat sebuah malam yang lebih baik dibandingkan 1000 bulan. Siapa yang dihalangi dari kebaikannya, maka sungguh ia terhalangi.”[3]

Banyak orang ketika sebelum Ramadhan ia hanya mengerjakan ibadah yang wajib-wajib saja, atau dengan sedikit mengerjakan ibadah sunnah, atau bahkan mengerjakan ibadah wajibpun masih ada yang ditinggalkan. Namun setelah memasuki bulan ramadhan mereka lebih giat lagi dalam beribadah, yang tadinya bolong-bolong sholat lima waktu menjadi lebih rajin menjalankan sholat lima waktu, yang tadinya hanya mengerjakan ibadah yang wajib-wajib saja atau dengan sedikit tambahan ibadah sunnah namun ketika di bulan ramadhan ia lebih banyak lagi menjalankan ibadah-ibadah sunnah dibanding sebelum bulan Ramadhan. Ada yang menghatamkan Al Qur’an bahkan menghatamkannya pun sampai berkali-kali, ada juga yang lebih rajin menjalankan sholat malam, dan berbagai macam ibadah lainnya.

Ingat Teguran Allah dalam surat al Hadid

Namun setelah melewati bulan Ramadhan ibadah tersebut mulai menurun, semangatnya tidak lagi seperti saat di bulan Ramadhan. Maka ingatlah Allah ﷻ menjelaskan pada firmannya dalam surat Al-Hadid ayat 16 tersebut sebagai teguran bagi kita dengan mengatakan “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka)…” yaitu menerima (pelajaran) Al-Qur’an dan mengamalkannya.

Bagi orang-orang yang beriman Al-Qur’an itu bisa memberi pengaruh dalam menambah keimanan mereka, Allah ﷻ berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.”[4]

Kemudian dalam surat Al-Hadid ayat 16 itu Allah ﷻ mengingatkan kita janganlah meniru atau mengikuti seperti jalannya orang-orang ahli kitab, “…dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.”

Orang-orang Ahli Kitab dahulu menerima Al-Kitab bersama mereka kemudian mereka melalaikannya lalu meninggalkannya dalam masa yang lama, kemudian hati mereka menjadi keras dan mereka pun menjadi orang-orang yang fasik. Pada ayat ini fasik yang dimaksud adalah bermakna kafir, sebagaimana Allah c menjelaskan, “Demikianlah telah tetap hukuman Tuhanmu terhadap orang-orang yang fasik, karena sesungguhnya mereka tidak beriman.”[5]

Seseorang jika telah melewati satu bulan Ramadhan, ia sudah merasakan nikmatnya ibadah dan telah merasakan manisnya iman dalam berbagai amaliyah di bulan Ramadhan. Ia sudah terbiasa dengan ketaatan dan terbiasa takut jika melakukan perbuatan dosa, jika kebiasaan-kebiasaan ini dia tinggalkan maka hal itu dinamakan kelalaian. Sama seperti halnya yang dilakukan oleh orang-orang Ahli Kitab dahulu yaitu membuat jarak, mereka menelantarkan pelajaran pada kitab yang turun pada mereka dan akhirnya mereka ditimpa dengan kekerasan hati kemudian menjadikan diri mereka sendiri orang-orang yang fasik.

Hikmah Yang Dapat Diambil

Hikmah dari adanya bulan Ramadhan yaitu untuk mendidik diri seseorang untuk menjadi taat. Dan ditegaskan dalam surat Al-Baqarah ayat 185 dimana disebutkan secara khusus keterkaitan antara bulan Ramadhan dengan Al-Qur’an yaitu “…bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)…”

Ini menunjukkan bahwa setiap muslim dan muslimah harus mengetahui bahwa Al-Qur’an itu untuk diamalkan supaya memberi warna dan pengaruh pada hidupnya, bukan hanya sebagai simbolis atau kebiasaan saja. Ketika bulan Ramadhan ia rajin beribadah namun ketika selesai Ramadhan hatinya kembali jauh dari ibadah. Karena yang demikian sama halnya seperti jalannya orang-orang Ahli Kitab sehingga mereka dikeraskan hatinya.

Pelajaran lain yang dapat diambil dalam surat Al-Hadid ayat 16 ini adalah penyakit keras hati yang menimpa Ahli Kitab disebabkan karena mereka melalaikan Al-Kitab yang diturunkan kepada mereka dalam jangka waktu yang sangat lama. Oleh karena itu jika seseorang memahami tuntunan Islam yang ada pada Al-Qur’an dan Hadits Nabi ﷺ maka hal itu pasti akan membuat dadanya terasa lapang (tidak menjadi keras hati), Allah ﷻ berfirman, “Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.”[6]

Allah ﷻ berfirman, “Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.”[7]

Maka tidak patut bagi seorang muslim jika sudah dimuliakan dengan ketaatan, akhlak yang baik, dan pendidikan yang berharga di bulan Ramadhan namun setelah selesai Ramadhan ia berganti dengan hal-hal yang buruk.

Kita memohon kepada Allah ﷻ yang memberikan anugrah kepada kita semua dengan keislaman, yang membuat kita mendapati awal Ramadhan kemudian akhir Ramadhan, semoga Allah ﷻ menyempurnakan nikmat untuk kita semua, menjadikan bulan Ramadhan selalu bermakna, berpengaruh di dalam jiwa dan kehidupan kita, dan semoga Allah ﷻ menggolongkan kita semua sebagai hamba-hambanya yang diterima puasanya, sholatnya, dan segala ketaatan yang kita lakukan di bulan Ramadhan, dan kita memohon kepada Allah supaya kita dijadikan sebagai orang-orang yang bertakwa, kedalam golongan orang-orang yang diterima amalannya dan orang-orang yang beruntung di sisi Allah ﷻ.

Mutiara Hikmah

Ibnu Katsir berkata, “Barangsiapa yang bersyukur, maka manfaat dan pahalanya akan kembali kepada dirinya sendiri. Sebagaimana Allah ﷻ berfirman,

‎وَمَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِأَنْفُسِهِمْ يَمْهَدُونَ

Dan barangsiapa yang beramal shalih maka untuk diri mereka sendirilah mereka menyiapkan (tempat yang menyenangkan).” (Q.S. Ar-Rûm [30]: 44). (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 6:114).

Marâji:

[1] Q.S. al-Hadid [57]:16

[2] Q.S. al-Baqarah [2]:185

[3] H.R. Ahmad dalam al-Musnad (2/385). Dinilai shahih oleh al-Arna’uth dalam Takhrijul Musnad (8991)

[4] Q.S. al-Anfal [8]: 2

[5] Q.S. Yunus [12]: 33

[6] Q.S. al-An’am [6]: 125

[7] Q.S. az-Zumar [39]: 22

Download Buletin klik disini

MADRASYAH RAMADHAN DAN FAEDAH PUASA SYAWAL

MADRASYAH RAMADHAN DAN FAEDAH PUASA SYAWAL

Oleh : Abdul Muis*

*Alumni Informatika UII 2017

 

Bismillâhi Walhamdulillâhi wash-shalâtu was-salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Ramadhan telah berlalu, bulan yang di dalamnya terdapat suatu malam, jika kita beribadah pada malam itu, maka kita akan mendapatkan keutamaan ibadah yang lebih baik daripada beribadah seribu bulan. Kita telah berpisah dengan bulan yang di dalamnya terdapat limpahan rahmat dan ampunan Allah ﷻ yang berlipat ganda. Kita telah ditinggalkan oleh bulan yang di dalamnya menutupi salah dan dosa. Kita telah ditinggalkan oleh bulan turunnya al-Qur’an pedoman umat manusia. Tidak ada yang dapat menjamin bahwa kita akan bertemu lagi dengan bulan yang penuh keberkahan itu.

Manusia dianggap mulia bukan karena hartanya, bukan karena jabatannya, bukan pula karena bentuk dan rupanya. Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada tubuh kamu dan tidak melihat kepada bentuk kamu, akan tetapi Allah melihat kepada hati dan perbuatan kamu.” (H.R Muslim)[1]. Sejatinya Ramadhan adalah madrasah yang mendidik kita supaya menjadi manusia bertaqwa. Apakah kita berhasil menjalani madrasah tersebut dan memperoleh gelar taqwa disisi Allah? Mesti ada empat unsur dalam diri kita, barulah kita layak disebut sebagai orang yang bertaqwa.

Pertama: Takut kepada Allah

Di siang hari bulan Ramadhan, kita menahan diri dari segala sesuatu yang halal, karena rasa takut kita pada Allah ﷻ. Maka diharapkan setelah Ramadhan kita mampu menahan diri dari segala yang haram, juga karena rasa takut kita kepada Allah. Kita tumbuhkan rasa takut sebulan penuh, supaya ia bersemayam dan kekal abadi di dalam hati sampai Ramadhan yang akan datang. Janji Allah ﷻ untuk orang-orang yang takut kepada-Nya yaitu seperti yang tercantum dalam surat Ar-Rahman ayat 46, Allah ﷻ berfirman “Dan bagi orang-orang yang takut akan saat menghadap Tuhannya ada dua syurga.” (Q.S Ar-Rahman [55]:46).

Kedua: Melaksanakan isi kandungan Al-Qur’an

Di bulan Ramadhan, bulan turunnya Al-Qur’an kita perbanyak tadarus Al-Qur’an. Maka mari kita amalkan isi dan kandungannya dalam kehidupan sehari-hari. Al-Qur’an bukan hanya sekedar untuk dibaca dan diperdengarkan, melainkan lebih dari itu, Al-Qur’an harus dijadikan sebagai pedoman kehidupan.

Ketiga: Ridha terhadap ketentuan Allah

Setelah kita berusaha, maka kita harus menerima ketentuan Allah. Jangan sampai hasrat dan ambisi mendorong kita menghalalkan segala cara mendapatkan apa yang kita inginkan. Di bulan ramadhan kita diajarakan mengenali hakikat hawa nafsu. Kalau kita sudah mengenalnya dengan baik, maka mudah bagi kita mengendalikannya dan tidak tertipu oleh nafsu.

Keempat: Mempersiapkan diri menghadapi kematian

Sudahkah kita persiapkan diri untuk menghadapi kematian? Rasulullah ﷺ bersabda, “yang mengiringi mayit itu ada tiga, yang dua kembali, sedangkan yang kekal hanya satu. Mayat itu diiringi keluarga, harta, dan amalnya.” (HR. At-Tirmidzi). Selama ini kita sibuk mengurus yang dua perkara tersebut ; harta dan keluarga, kita lalaikan yang satunya. Padahal yang satu itulah yang akan menemani kita. Kalau kita mengaku sebagai orang yang bertaqwa, maka mari kita siapkan diri kita menghadap hari kematian itu.

Allah bercerita tentang balasan yang telah disiapkan untuk orang-orang yang bertaqwa, Allah ﷻ berfirman “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa.” (Q.S Alimrân[3]:133)[2]

Kaum muslimin sejatinya memahami bahwa ibadah itu bukan hanya dilakukan di bulan Ramadhan saja. Karena memang kita harus melanjutkan amal bakda Ramadhan. Allah ﷻ  sangat menyukai amalan yang dilaksanakan secara kontinu. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah ﷺ pernah menemui ‘Aisyah dan di sisinya ada seorang wanita. Rasulullah ﷺ pun  bertanya, “siapa ini?” ‘Aisyah menjawab, “si fulanah yang terkenal luar biasa shalatnya.” Rasulullah ﷺ pun bersabda, “Jangan seperti itu. Hendaklah engkau beramal sesuai kemampuanmu. Demi Allah, Allah itu itu tidak bosan untuk menerima amalanmu hingga engkau sendiri yang bosan. Sesungguhnya amalan yang paling disukai oleh Allah adalah yang dikerjakan secara kontinu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Setelah berpuasa dan melakukan berbagai ibadah pada bulan Ramadhan, kita dipertemukan dengan bulan Syawal. Ada amalan yang mulia di bulan ini yaitu melakukan puasa Syawal selama enam hari, yang pahalanya seperti berpuasa di sebulan penuh. Kaum muslimin dianjurkan untuk melaksanakan ibadah ini. Di antara faedah melakukan ibadah puasa Syawal adalah sebagai berikut.

Menggenapkan ganjaran pahala berpuasa setahun penuh

Rasulullah ﷺ bersabda “Barang siapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia seperti berpuasa setahun penuh.” (HR. Muslim). Para ulama mengatakan bahwa berpuasa seperti setahun penuh asalnya karena setiap kebaikan semisal dengan sepuluh kebaikan. Bulan Ramadhan (puasa sebulan penuh) sama dengan berpuasa sepuluh bulan (30×10 = 300 hari = 10 bulan) dan puasa enam hari di bula Syawal sama dengan berpuasa selama 2 bula (6×10 = 60 hari = 2 bulan) (sitasi buku fiqih syawal)

Jadi seolah-olah jika seseorang melaksanakan puasa Syawal dan sebelumnya berpuasa sebulan penuh di bulan Ramadhan, dia seperti melaksanakan puasa setahun penuh. Hal ini dikuatkan oleh sabda Rasulullah ﷺ “Barang siapa berpuasa enam hari setelah Idul Fitri, maka dia seperti berpuasa setahun penuh. [Barang siapa berbuat satu kebaikan, maka baginya sepuluh kebaikan semisal].” (HR. Ibnu Majah).

Puasa Syawal dapat menyempurnakan kekurangan-kekurangan yang ada pada puasa wajib bulan Ramadhan sebagaimana shalat sunnah rawatib yang menyempurnakan ibadah shalat wajib. Dalam menjalani puasa Ramadhan sering kali ada kekurangan, maka untuk melengkapi kekurangan tersebut mesti disempurnakan dengan amalan sunnah yaitu puasa Syawal.

Sebagai tanda diterimanya amalan di bulan Ramadhan adalah Allah akan menunjuki pada amalan shalih selanjutnya, di antaranya puasa enam hari di bulan Syawal.

Sebagai bentuk syukur kepada Allah

Salah satu nikmat yang patut disyukuri adalah nikmat ampunan dosa yang begitu banyak di bulan Ramadhan. Bukankah kita telah mengetahui bahwa melalui amalan puasa dan shalat malam sebulan penuh adalah sebab datangnya ampunan Allah. Ibnu Rajab rahimahullah berkata “Tidak ada nikmat yang lebih besar dari anugerah pengampunan dari Allah.”[3].

Melalui puasa enam hari bulan Syawal secara tidak langsung Allah memberi hikmah kepada kita agar orang yang berpuasa tidak berpindah secara mendadak dari sikap menahan diri dari segala sesuatu yang bersifat fisik dan non-fisik kepada kebebasan tanpa ikatan, lalu memakan semua yang lezat dan baik kapan saja ia mau, karena peralihan secara mendadak menyebabkan efek negatif bagi fisik dan psikis. Semoga Allah ﷻ selalu memudahkan kita dalam melakukan ketaatan-ketaatan, amin.

Mutiara Hikmah

Rasulullah ﷺ bersabda,

إنَّ أَحَبَّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَدْوَمُهُ وَإِنْ قَلَّ

“Amal (ibadah) yang paling dicintai Allah l adalah amal yang paling terus-menerus dikerjakan meskipun sedikit.” (H.R. Al-Bukhari No. 6099 dan Muslim No. 783)

MARÂJI’:

[1] A. Somad, “somadmorocco.blogspot.com: Puasa 6 Hari di Bulan Syawwal,” 2010. http://somadmorocco.blogspot.com/2010/08/puasa-6-hari-di-bulan-syawwal.html (accessed May 12, 2022).

[2] A. Somad, “somadmorocco.blogspot.com: Khutbah Idul Fithri 1 Syawwal 1431H / 10 September 2010M.,” 2010. http://somadmorocco.blogspot.com/2010/09/khutbah-idul-fithri-1-syawwal-1431h-10.html (accessed May 12, 2022).

[3] M. A. Tuasikal, Fikih bulan syawal, Kedua. Pesantren Darush Sholihin, Dusun Warak RT.08 / RW.02, Desa Girisekar, Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, 55872: Rumaysho, 2021.

Download Buletin klik disini

TETAP ISTIQOMAH DALAM KEBAIKAN

TETAP ISTIQOMAH DALAM KEBAIKAN

Oleh : Nadya Rahma Restu Aulia*

*Ilmu Komunikasi FPSB

 

Bismillâhi Walhamdulillâhi wash-shalâtu was-salâmu ‘alâ rasûlillâh

Tak terasa satu bulan sudah kita melalui masa orientasi kebaikan untuk bisa mencapai derajat yang lebih mulia di sisi Allah. Godaan yang sesungguhnya akan mulai bermunculan ketika kita telah berpisah dengan bulan Ramadhan apakah kita akan tetap istiqomah dalam menjalankan amal kebaikan atau malah lengah dan tak terasa melakukan kekufuran demi kekufuran nauzubillahiminzalik. Ada baiknya kita tetap mempertahankan pembiasan baik yang selalu didawamkan selama bulan puasa.

Kebiasaan Baik Terus Berlanjut

Kebiasaan baik harus tetap berlanjut seperti halnya memakmurkan masjid tentunya ada kebaikan didalamnya. Terlebih Allah ﷻ telah berfirman dalam hadits qudsi tentang segolongan orang yang mendapatkan naungan kelak diakhirat, dimana tidak ada naungan kecuali naugan dari Allah ﷻ. Salah satunya adalah seorang pemuda yang hatinya senantiasa terpaut dengan masjid. Siapa yang tidak mau mendapatkan naungan Allah ﷻ kelak? Itu adalah cita-cita semua umat Islam, kita sebagai kaula muda sudah diberikan privilege untuk bisa memegang kunci naungan tersebut maka dari itu jangan menyia-nyiakan kesempatan ini selagi kita mampu untuk melakukannya.

Maka yang dulu senantiasa beri’tikaf di masjid maka di bulan syawal pun tidak ada salahnya untuk melanjutkan kebiasaan baik tersebut. Disamping dengan beri’tikaf kita bisa juga memakmurkan masjid dengan cara lain seperti mengajar mengaji anak-anak, mengikuti kajian- kajian yang sering dilaksanakan di masjid, mengikuti diskusi keilmuan dengan remaja masjid, dan tak lupa sering-seringlah membersihkan rumah Allah ini agar orang nyaman berlama-lama berdiam di masjid dan semakin banyak pula orang yang tertarik untuk mendatangi masjid jika masjid senantiasa ada dalam keadaan bersih.

Kemudian kebiasaan membaca istighfar pun melanjutkan jangan sampai terlewatkan karena sesungguhnya Rasulullah ﷺ saja semasa hidupnya tidak pernah terlewatkan untuk membaca istighfar sekurang-kurangnya 100x dalam sehari. Contoh positif yang diberikan oleh Rasulullah inilah yang harus kita ikuti jejaknya, karena perlu kita tahu jika seseorang tidak membaca istighfar minimal 2x dalam sehari maka sesungguhnya ia telah zhalim terhadap dirinya. Bagaimana tidak dikatakan zhalim? sebut saja jika seseorang telah melakukan 10x tindakan yang berdosa dalam satu hari namun ia sama sekali tidak memohon ampunan atas tindakan dosanya itu, maka tentu ia telah zhalim Terhadap dirinya sendiri. Disinilah letak pentingnya memperbanyak membaca istighfar untuk menghapus setiap dosa yang telah kita lakukan baik yang disadari maupun yang tidak disadari.

Tak lupa dalam hal menjaga hubungan baik dengan Allah l dan sesama manusia pun harus tetap dipertahankan karena kedua hal tersebutlah yang menjadi tolak ukur baik maupun buruknya akhlak kita. Baiklah kita sebutkan saja dua contoh tindakan konkret dari hablum minallah dan hablum minannas.

Tindakan Nyata dalam Amal Shalih

Hablum minallah salah satunya adalah dengan memperbanyak membaca al-Qur’an. Mengapa membaca al-Qur’an ini menjadi hal yang penting untuk dilakukan secara continue oleh umat Islam? karena sesungguhnya di dalam al- Qur’an terdapat obat (Fiihi syifaa ul li nass).

Obat apa yang sebetulnya dimaksudkan dalam ayat ini ? tentunya obat yang tidak diperjualbelikan di Apotek, obat yang tidak hanya mengobati sakit fisik, tapi obat yang bisa menenangkan hati yang dipenuhi kegundahan, menguatkan pikiran yang tidak luput dari ketakutan, dan menghapuskan bayangan-bayangan buruk masa depan yang kerap kali menimbulkan kecemasan. Obat ini tidak sembarang orang bisa mendapatkannya, hanya orang- orang yang senantiasa istiqomah membaca al-Qur’an lah yang bisa mendapatkan obat tersebut.

Adapun penerapan hablum minannas dalam kehidupan sehari-hari bisa kita lakukan dengan tolong-menolong kepada sesama manusia. Disamping tolong menolong sebetulnya ada hal lain yang memiliki urgensi yang tidak kalah pentingnya dalam membangun hubungan baik dengan sesama manusia yaitu perbanyak meminta maaf dan tidak sukar memaafkan. Mengapa maaf memaafkan ini dianggap sebagai hal yang penting? karena dosa yang manusia lakukan lebih banyak terbentuk dari dosa kepada sesama manusia maka dari itu perlu untuk meminta maaf kepada tetangga, saudara, dan juga orang tua secara berkala.

Mari kita umpamakan proses meminta maaf kepada Allah dan kepada manusia, pastinya akan lebih banyak jumlah kegiatan yang bisa kita lakukan untuk memohon maaf kepada Allah dibanding dengan sesama manusia. Kita lihat saja dari shalat 5 waktu, jika kita tambahkan dengan dzikir setelah shalat maka akan ada sekurang-kurangnya 5x waktu untuk memohon maaf kepada Allah atas tindakan atau kesalahan yang telah kita lakukan kepada Allah.  Sedangkan kepada manusia, mungkin hanya saat kita ingat saja atas kesalahan yang telah kita perbuat kepadanya maka dari itu penting untuk memperbanyak meminta maaf kepada sesama  manusia karena bisa saja ada tindakan dan ucapan yang bisa menyakiti hati namun tak kita sadari yang bisa memicu api yang lebih besar lagi jika kita tidak segera meminta maaf kepada orang-orang di sekitar kita.

Bersabar dalam Menghadapi Ujian

Dalam hal mengatur pola pikir kita agar senantiasa berpikir lebih positif dalam menghadapi berbagai ujian yang Allah ﷻ berikan kepada kita juga harus terus dilanjutkan. Laa Yukallifullahu Nafsan Illa Wus’ahaa (Q.S al-Baqarah [2] : 286) “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”.

Dari potongan ayat tersebut dapat kita simpulkan bahwa Allah memberikan ujian sesuai dengan kemampuan hambanya. Seberat apapun ujian yang Allah berikan kepada kita tidak mungkin akan sesulit dan seberat itu jika kita tidak mampu melaluinya. Yang berarti cobaan seberat apapun yang Allah berikan kepada kita sudah melalui takaran Allah sehingga menempatkan kita di posisi yang mampu melalui semua cobaan itu. Kita sebagai hamba-Nya seharusnya berbahagia ketika mendapatkan ujian tersebut karena hal itu menunjukkan bahwa Allah percaya pada kita, Allah memilih kita dari sekian juta umat manusia yang ada dimuka bumi ini, namun kitalah yang terpilih untuk memecahkan ujian yang sulit itu.

Sehingga dalam menghadapi semua cobaan itu kita hanya perlu bersabar karena di akhir kisah sulit tersebut akan terdapat hikmah yang bisa kita petik dan kita jadikan pelajaran untuk bisa lebih baik lagi dalam menjalani kehidupan di masa depan. Selain sabar kita juga harus bersyukur dengan adanya cobaan kita bisa lebih dekat lagi dengan Allah ﷻ. Pernah tidak terpikir oleh kita bahwa cobaan dan rintangan yang menghampiri kita adalah salah satu bentuk kasih sayang yang Allah ﷻ berikan kepada kita? Allah ﷻ sayang kepada kita sehingga Allah ﷻ menginginkan hamba-Nya bisa lebih dekat lagi dengan-Nya sehingga Allah ﷻ hadirkan ujian agar hamba-Nya bisa kembali mengingat Allah dan kembali mendekat pada-Nya. Sungguh maha baik sekali Allah ﷻ, manusia terkadang lalai dan lupa pada-Nya tapi Allah ﷻ tetap ingin dekat dengan hamba-Nya sejauh apapun hamba-Nya keluar dari jalur yang Allah tetapkan dalam ajaran-Nya.

Tiga Kunci Sukses

Akhirnya terdapat tiga kunci sukses dalam menghadapi ujian yang Allah ﷻ berikan yaitu “Ridho, Sabar, dan Syukur”. Ridho menerima ujian yang menimpa kita karena ujian itu sudah menjadi bagian dari suratan takdir yang Allah ﷻ gariskan Untuk kita. Sabar untuk menjalani ujian tersebut karena setiap ujian tidak ada yang tidak memiliki solusi dan akhir yang baik, yang perlu kita lakukan adalah sabar menunggu Kun Fayakun Allah ﷻ agar mendapat jawaban atas semua kesulitan yang menghampiri kita. Dan terakhir Syukur kita harus senantiasa bersyukur dengan cobaan yang Allah ﷻ berikan karena cobaan yang Allah ﷻ hadirkan untuk kita bukanlah bentuk kebencian Allah ﷻ atas kekhilafan yang dilakukan manusia melainkan bentuk kasih sayang agar hamba-Nya kembali ke jalan yang Allah ridhoi, kembali melakukan ketaatan kepada Allah ﷻ, dan berhenti melakukan kesalahan dan dosa yang dapat menjerumuskan kita pada jalan yang sesat.[]

Mutiara Hikmah

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash c, ia mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ berkata padanya,

يَا عَبْدَ اللَّهِ ، لاَ تَكُنْ مِثْلَ فُلاَنٍ ، كَانَ يَقُومُ اللَّيْلَ فَتَرَكَ قِيَامَ اللَّيْلِ

”Wahai ‘Abdullah, janganlah engkau seperti si fulan. Dulu dia biasa mengerjakan shalat malam, namun sekarang dia tidak mengerjakannya lagi.” (HR. Bukhari no. 1152)
Download Buletin klik disini

IDUL FITRI, SILATURAHMI DAN BERBAGI DI TENGAH PANDEMI

IDUL FITRI, SILATURAHMI DAN BERBAGI DI TENGAH PANDEMI

Oleh: Jaenal Sarifudin*

 

Setelah kaum muslimin menunaikan ibadah puasa Ramadhan selama sebulan penuh, tibalah saatnya merayakan kegembiraan berhari raya idul fitri. Kaum muslimin berbondong-bondong menuju ke tanah lapang dan masjid-masjid untuk menunaikan shalat ‘id. Memanjatkan rasa syukur, mengagungkan Allah ﷻ dengan mengumandangkan takbir, tahlil dan tahmid. Tuntas sudah kita menunaikan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan tahun ini. Tentu harapannya ibadah puasa yang ditunaikan berikut ibadah-ibadah yang mengiringinya seperti shalat tarawih, tadarus, sedekah dan iktikaf diterima oleh Allah ﷻ.

Ramadhan adalah madrasah ruhani, saat dimana spiritualitas dan keimanan kita ditempa. Idealnya setelah Ramadhan usai, keberagamaan kita pun akan semakin tercerahkan. Semakin meningkat ketaatan dan kualitas ibadah kita kepada Allah ﷻ. Ada sebuah ungkapan yang mengatakan, Idul fitri bukanlah milik mereka yang mengenakan baju baru, tetapi (kemenangan) Idul fitri adalah milik mereka yang ketaatannya bertambah”.

Merekatkan Silaturrahim dan Persaudaraan

Pada hakikatnya sesama manusia adalah bersaudara. Mereka dipersaudarakan dari asal-usul nenek moyang yang sama yaitu Adam dan Hawa. Allah ﷻ mengingatkan hal tersebut dalam firman-Nya: “Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam) dan Allah menciptakan pasangannya (Hawa) daripadanya, dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta dan periharalah hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.” (Q.S. an-Nisâ’ [4]: 1).

Ini adalah salah satu ayat al-Qur’an yang di antara kandungannya memerintahkan manusia untuk menjaga hubungan tali silaturrahim. Silaturrahim atau silaturrahmi berasal dari bahasa Arab silah yang berarti menyambung dan rahim atau rahmi yang bermakna kekeluargaan dan kasih sayang. Maka silaturrahim dapat dimaknai dengan menyambung hubungan kekeluargaan dan persaudaraan dalam bingkai kasih sayang. Silaturrahim merupakan salah satu ajaran agama yang sangat penting kedudukan dan maknanya. Ia merekatkan persaudaraan, kasih sayang dan menumbuhkan solidaritas sesama. Dengan tali silaturrahim manusia juga disatukan dalam ikatan persaudaraan kemanusiaan (ukhuwwah basyariyyah) yang dengannya akan terbangun kepekaan sosial dan penghargaan atas nilai-nilai kemanusiaan. Terlebih persaudaraan yang dibangun di atas pondasi keimanan dan agama (ukhuwwah Islamiyah), maka semestinya akan menjadi lebih rekat dan lebih kuat lagi. Nabi ﷺ bersabda; ”Seorang mukmin dengan mukmin lainnya adalah laksana suatu bangunan yang (setiap bagiannya) menguatkan satu sama lain.” (H.R. Muslim no. 4684).

Dalam suasana ‘idul fitri, silaturrahim dan halal bihalal menjadi bagian dari budaya luhur yang telah mengakar dalam tradisi keagamaan Islam di Indonesia dari masa ke masa. Hal ini dibangun atas sebuah pemahaman bahwa setelah ibadah puasa usai ditunaikan, harapannya dosa-dosa kita diampuni Allah ﷻ, sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ: ”Barangsiapa berpuasa Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharap ridha Allah maka akan diampuni dosanya yang telah lalu.” (H.R. Bukhari no. 38)[1].

Maka hal selanjutnya yang perlu dilakukan adalah upaya untuk menghapuskan dosa-dosa yang bersifat sosial, dosa-dosa kepada sesama manusia (haqqul adami). Menurut ajaran agama, dosa kepada sesama baru terhapus apabila kita meminta maaf dan menyelesaikan urusan tersebut dengan yang bersangkutan. Sehingga untuk tertunaikannya tujuan tersebut, sudah menjadi tradisi yang dilakukan oleh mayoritas masyarakat muslim di negeri ini untuk mengadakan acara halal bihalal atau syawalan.  Nabi ﷺ bersabda: ”Barangsiapa merasa berbuat zhalim kepada saudaranya terhadap kehormatannya atau sesuatu yang lain, hendaklah ia meminta halalnya (maafnya) pada hari ini (di dunia) sebelum datang hari yang tidak ada lagi dinar dan dirham (akhirat).” (H.R. Bukhari no. 2449).[2]

Isi acara syawalan sendiri tidak lain adalah silaturrahim dan berikrar untuk saling maaf memaafkan atas segenap kesalahan. Juga biasanya disertai pula dengan pengajian yang disampaikan oleh ustadz atau penceramah. Tentu hal ini merupakan sebuah tradisi yang baik. Meski untuk kondisi saat ini, di tengah situasi pandemi yang belum berakhir, barangkali belum sepenuhnya bisa dilaksanakan secara maksimal sebagaimana kondisi normal. Masih ada pembatasan-pembatasan tertentu yang ditetapkan pemerintah dan para ahli kesehatan, seperti keharusan untuk tetap menerapkan protokol kesehatan, utamanya memakai masker, untuk saling menjaga dari hal yang tidak diinginkan.

Dalam keadaan tertentu, silaturrahim secara fisik dengan bertatap muka mungkin juga belum bisa dilakukan sebagaimana mestinya karena berbagai kondisi dan keterbatasan. Misalnya karena kendala jarak yang jauh, belum bisa mudik atau ada halangan yang lain. Namun bukan berarti esensi, makna dan keutamaan silaturahmi tidak bisa didapatkan. Dalam kaidah fikih disebutkan bahwa al-kitabu ka al-khithabi, “tulisan itu berkedudukan seperti ucapan”. Kemudian juga kaidah li al-wasail hukm al-maqashid, “sarana menempati hukum tujuan”.[3] Dengan berdasarkan dua kaidah ini maka sesungguhnya tetap ada cara yang bisa ditempuh untuk tetap bersilaturrahim. Ucapan yang dikirim oleh seseorang melalui tulisan berupa surat, pesan melalui media sosial atau pun dengan bertelepon, video call, zoom meeting dan sarana lainnya pada hakikatnya adalah bentuk silaturahmi juga. Sehingga silaturahmi, halal bihalal dan syawalan tetap bisa dilakukan dengan banyak cara melalui fasilitas dan sarana yang ada, tidak harus selalu dengan perjumpaan fisik.

Empati Sosial

Di antara sabda Rasulullah ﷺ yang menekankan arti penting silaturrahim adalah,  “Sebarkanlah salam, sambunglah silaturrahim, berikanlah makan kepada orang yang kekurangan dan bangunlah untuk beribadah di waktu malam, niscaya engkau akan masuk surga dengan damai.” (H.R. Tirmidzi no. 2485). Dalam hadis ini, terdapat pesan Nabi yang dapat dipahami bahwa seharusnya silaturrahim juga dilanjutkan dengan kepedulian untuk berbagi pada sesama bagi mereka yang mampu. Sosok muslim ideal adalah yang shalih secara ritual dan shalih pula secara sosial. Pesan Nabi tersebut semestinya menjadi motivasi bagi siapapun yang berkecukupan untuk melanjutkan aktivitas silaturrahim pada kesadaran untuk berempati. Kesalehan sosial seseorang diuji dalam situasi seperti sekarang ini. Saat dimana banyak saudara-saudara kita terhimpit kesulitan secara ekonomi.

Diisyaratkan dalam kandungan hadits di atas bahwa barangsiapa yang menyempurnakan kesalehan pribadinya dengan kesalehan sosial, niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga dengan penuh kedamaian. Dalam sabdanya yang lain, Nabi juga menyampaikan bahwa mereka yang memelihara tali silaturrahim maka akan dipanjangkan usianya dan diberkahi rezekinya. Tentu akan semakin bertambah keberkahan rezeki seseorang manakala ia rajin bersedekah membantu sesama. Bagi mereka yang tidak berlebih secara materi pun sesungguhnya tetap memiliki kesempatan untuk bersedekah, karena pada hakikatnya, sebagaimana sabda Nabi bahwa “setiap perbuatan baik adalah sedekah”. (H.R. Bukhari, no. 6021). Sehingga setiap kontribusi yang dilakukan berupa kebaikan dan bantuan dalam bentuk apapun pada hakikatnya adalah juga bernilai sedekah.

Mutiara Hikmah

Rasulullah ﷺ bersabda:

لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعُ رَحِمٍ‏.‏

Tidak masuk surga orang yang memutus silaturahmi” (HR. Bukhari – Muslim).

Maraji:

* Mahasiswa FIAI UII

[1] Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Beirut, Darul Fikr, t.t.

[2] ibid

[3] Asjmuni Abdurrahman, Qoidah-Qoidah Fiqh, Jakarta, Bulan Bintang, 1986.

Download Buletin klik disini

MAKNA SILATURRAHIM DI HARI RAYA IDUL FITRI

MAKNA SILATURRAHIM DI HARI RAYA IDUL FITRI

Oleh: Nur Laelatul Qodariyah*

 

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh,

Saudaraku kaum muslimin yang dirahmati Allah ﷻ, telah sampai kita pada penghujung Ramadhan. Yang kemudian datanglah hari yang sering disebut sebagai hari yang suci yaitu hari raya idul fitri, maka dari itu masyarakat di Indonesia sering merayakan hari itu sebagai hari dimana untuk bisa menjalin silaturrahim dengan keluarga, kerabat maupun tetangga. Berbicara terkait  silaturrahim konteksnya tidak harus pada hari raya saja. Tetapi bisa dilakukan hari-hari biasa. Karena menjalin silaturrahim itu sangat penting, demi menjaga ketentraman bersama.

Menjalin silaturrahim di momen idul fitri ini merupakan salah satu harapan dan doa bagi seorang muslim agar dosa-dosa yang telah dilakukan baik itu kesalahan yang berkaitan dengan hubungannya dengan manusia maupun dengan Allah ﷻ bisa dimaafkan. Sehingga dengan itu akan menimbulkan perbuatan yang baik dalam hal kebersamaan dan juga dengan hubungannya dengan Allah  ﷻ. Oleh karena itu memutuskan tali silaturrahim sangat diancam dan dilarang oleh Allah ﷻ. Allah  ﷻ berfirman, “Maka apakah sekiranya kamu berkuasa, kamu akan berbuat kerusakan di bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan?. Mereka itulah orang-orang yang dikutuk Allah; lalu tuli (pendengarannya) dan dibutakan dengan penglihatannya.” (Q.S. Muhammad [47]:22-23)

Hakikat manusia merupakan makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lainnya, maka dari itu terlepas daripada hubungan muamalah yang dilakukan manusia pasti ada kalanya melakukan kesalahan yang tidak disadari bahwa hal itu menyakiti saudara kita sendiri. dengan menjalin silaturrahim dan mengakui kesalahan yang dilakukan hal itu bisa meleburkan atau menghapus dosa kita sendiri.

Mengunjungi kerabat

Berkunjung secara langsung dan menemui kerabat dekat merupakan salah satu contoh agar kita bisa mengetahui keadaan secara langsung. Bukan hanya kerabat dekat saja tetapi tetangga sekitar kita yang bersebelahan dianjurkan sekali untuk mengunjunginya secara langsung. Karena biasanya tetangga yang dekat dengan rumah kita itu memungkinkan terjadinya percecokan antar tetangga secara langsung maupun tidak langsung. Menurut Al-Ghazali, kerabat yang terdekat atau tetangga yang bersebelahan dengan rumah kita itu berpeluang menimbulkan percekcokan dan permusuhan yang mengakibatkan hubungan kekeluargaan terputus. Hal itu seperti istilah lebih baik hidup yang berjauhan tetapi saling mengunjungi satu sama lainnya daripada dekat tapi saling bermusuhan.[1]

Berikut hadits yang berkaitan dengan anjuran silaturrahim, “Seorang yang menyambung silaturrahim bukanlah seorang yang membalas kebaikan seorang dengan kebaikan semisal. Akan tetapi seorang yang menyambung silaturrahim adalah orang yang berusaha kembali menyambung silaturrahim setelah sebelumnya diputuskan oleh pihak lain”.[2]

Memaafkan serta ikhlas dan berlapang dada

Mungkin kita pernah merasakan rasa kecewa atau marah pada sesorang yang telah berbuat kesalahan terhadap kita atau bahkan ingkar janji pada suatu hal yang telah disepakati bersama. Memang tidak mudah untuk memaafkan seseorang yang telah melakukan sesuatu sehingga membuat kita sakit hati bahkan itu menimbulkan trauma yang berat bagi kita. Namun kita telah diajarkan oleh Allah ﷻ  untuk ikhlas dan memaafkan segala sesuatu yang menyebabkan kecewa akan suatu hal itu. Allah  ﷻitu maha adil, jika kau ihklas menerima kekecewaan dalam hidup dikarenakan seseorang dan kemudian mendekat kepada Allah ﷻ.

Suatu saat Allah  ﷻ pasti akan membalasmu dengan kebaikan-kebaikan atas rasa sabar dan ikhlas dalam menerima dan memaafkan seseorang. Dibalik rasa kecewa, rasa marahmu. Memaafkan merupakan salah satu kunci pahala yang bisa kamu dapatkan di dunia ini. Allah ﷻ berfirman, “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh.”  (Q.S. Al-A’raf [7] : (199).

Bisa dipahami bahwa memaafkan merupakan sesuatu yang mulia, karena memaafkan terciptalah kebersamaan lagi, dan menimbulkan ketentraman hati dan berlapang dada. Siapa tau jika kau menerima dan ikhlas dalam memaafkan orang lain. Allah ﷻ juga akan memaafkan kesalahanmu. Dengan itu munculah perasaan sifat saling menyayangi sesama saudara, dan membuka lembaran baru atau hubungan akan terjalin kembali dengan baik.[3]

Menjalin silaturrahim mencegah dari perbuatan berburuk sangka.

Ketika kita datang dan berkunjung kerumah saudara kita, tentu saja selain bercakap-cakap dan bersalam kita akan menemukan arti sebuah kebersamaan dan ketentraman dalam menjalin silaturrahim. Dengan itu sifat dan perbuatan berburuk sangka terhadap orang lain sewajarnya jauh dalam pikiran kita sendiri. hal itu bisa terjalin dan mengalir begitu saja dengan rasa bahagia bisa berkumpul bersama tanpa ada rasa untuk saling menjatuhkan satu sama lainnya.

Allah ﷻ berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari-cari  kesalahan orang lain, dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah Maha penerima Tobat. Maha Penyayang.” (Q.S. al-Hujurat [49]: 12).

Berdasarkan ayat diatas dapat dipahami bahwa, berburuk sangka atau bahkan menggunjing merupakan salah satu perbuatan yang bahaya. Bahkan sampai pada dianalogikan orang yang mengghibah sama halnya dengan memakan daging saudaranya sendiri. Dengan itu ketika kita berkunjung kemudian meminta maaf satu sama lainnya sehingga dengan menjalin silaturahmi akan tercipta kedekatan dan juga kekompakan bersama.

Terciptanya kerukunan bersama

Kebersamaan keluarga di hari raya idul fitri merupakan momen yang ditunggu-tunggu bagi keluarga untuk berkumpul bersama. Apalagi budaya kita yang diidentikan ketika lebaran sanak keluarga akan berbondong-bondong balik mudik ke kampung halamanya masing-masing. Oleh karena itu menjalin silaturahmi di hari raya idul fitri menjadi salah satu kesempatan untuk berkumpul bersama sanak saudara. Apalagi ditambah dengan sajian berbagai macam kue lebaran maupun opor, ketupat  sebagai pelengkap dalam mencapai keakraban bersama di hari kemenangan ini.

Makna hari Raya Idul Fitri

Setelah melewati puasa selama satu bulan, dan melewati berbagai tantangan agar dapat melawan hawa nafsu kita akan pada sampai hari dimana hari tersebut merupakan hari yang disucikan yaitu hari raya idul fitri. Selain itu di bulan ramadhan merupakan momen dimana kita bisa menemukan malam lailatul qadar yaitu malam yang lebih baik daripada seribu bulan.  sebelum hari raya idul fitri umat islam diwajibkan untuk membayar zakat, dengan membayar zakat kita akan lebih menghargai dan bersyukur atas pemberian dan karunia Allah ﷻ  kepada kita. selain itu momen hari raya idul fitri merupakan sebagai bentuk untuk membersihkan jiwa kita dari sifat iri, dengki terhadap orang lain.[4] Dengan itu semoga kita selalu diberikan keselamatan dunia dan akhirat dan mendapatkan syafaat Nabi Muhammad di yaumil akhir.

Mutiara Hikmah

Dari Abu Hurairah, Nabi ﷺ bersabda,

تَصَافَحُوْا يَذْهَبُ الغِلُّ ، وتَهَادَوْا تَحَابُّوا ، وَتَذْهَبُ الشَحْنَاءُ

Saling bersalamanlah (berjabat tanganlah) kalian, maka akan hilanglah kedengkian (dendam). Saling memberi hadiahlah kalian, maka kalian akan saling mencintai dan akan hilang kebencian.” (HR. Malik dalam Al-Muwatha’, 2/ 908/ 16. Syaikh Al-Albani menukilkan pernyataan dari Ibnu ‘Abdil Barr bahwa hadits ini bersambung dari beberapa jalur yang berbeda, semuanya hasan)

* Ahwal Al-Syakhshiyah FIAI UII, NIM: 19421133

[1] Lilik Ummi Kaltsum, ‘Hubungan Kekeluargaan Perspektif Al-Qur’an (Studi Term Silaturahmi Dengan Metode Tematis)’, Al-Bayan: Jurnal Studi Ilmu Al- Qur’an Dan Tafsir, 6.1 (2021), 20 <https://journal.uinsgd.ac.id/index.php/Al-Bayan/article/view/9539>.

[2] Syamsur Rizal, ‘Model Pembelajaran Hadist Integratif Dengan Tema Silaturahmi’, 1.1 (2019), 183 <https://ejournal.stitpn.ac.id/index.php/edisi/article/view/1339>.

[3] Moh Khasan, ‘Perspektif Islam Dan Psikologi Tentang Pemaafan’, At-Taqaddum, 9.1 (2017), 80 <https://doi.org/10.21580/at.v9i1.1788>.

[4] Ihyaul Ulumuddin, ‘Makna Perayaan Hari Raya Idul Fitri Dan Hari Natal’, 2010.

Download Buletin klik disini

BEKAL RINGKAS ZAKAT FITRI

BEKAL RINGKAS ZAKAT FITRI

Oleh: Hendi Oktohiba

 

Bismillahi walhamdulillahi wash-shalatu wassalamu ‘ala rasulillah

Hukum Zakat Fitri

Pembaca yang budiman, pada bulan Ramadhan ini, kita diwajibkan untuk menunaikan zakat fitri, sebagaimana hadits Ibnu Umar, ia berkata, “Rasulullah n mewajibkan zakat fitri dengan satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum bagi setiap muslim yang merdeka maupun budak, laki-laki maupun perempuan, anak kecil maupun dewasa. Zakat tersebut diperintahkan untuk dikeluarkan sebelum orang-orang keluar untuk melaksanakan shalat ‘ied.” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Seorang muslim yang ada kelebihan makanan pokok untuk dirinya dan keluarganya, mulai terkena kewajiban membayar zakat fitri jika ia bertemu bulan Ramadhan dan terbenamnya matahari (waktu maghrib) di malam hari raya Idul Fitri. Jika dia mendapati kedua waktu tersebut, maka wajib baginya membayar zakat fitri. Jadi, apabila seseorang meninggal sebelum maghrib hari terakhir bulan Ramadhan menjelang malam hari raya Idul Fitri, maka dia tidak punya kewajiban mengeluarkan zakat fitri. Tetapi jika dia meninggalnya setelah masuk waktu maghrib, maka dia sudah terkena kewajiban untuk mengeluarkan zakat fitri. Begitu juga apabila ada bayi yang lahir setelah masuk waktu maghrib pada malam hari raya Idul Fitri, maka tidak wajib dikeluarkan zakat fitri darinya.

Tetapi jika bayi itu lahir sebelum masuk waktu maghrib kemudian bayi tersebut menemui waktu maghrib malam hari raya Idul Fitri, maka wajib dikeluarkan zakat fitri darinya. Tadi adalah penjelasan waktu terkena wajibnya membayar zakat fitri. Meskipun begitu, zakat fitri boleh ditunaikan sejak awal Ramadhan dan dianggap sah serta sudah gugur kewajiban zakat fitrinya. Zakat fitri ditanggung oleh masing-masing individu, karena zakat fitri adalah zakat badan atau diri. Anak kecil yang tidak punya harta, zakat fitrinya ditanggung oleh orang tuanya.[1]

Bentuk dan Kadar Zakat Fitri

Bentuk zakat fitri adalah berupa makanan pokok seperti kurma, gandum, beras, kismis, dan semacamnya. Para ulama sepakat bahwa kadar wajib zakat fitri adalah satu sha’ dari semua bentuk zakat fitri kecuali untuk qamh (gandum) dan zabib (kismis) sebagian ulama membolehkan dengan setengah sha’.

Satu sha’ adalah ukuran takaran yang ada pada masa Nabi n. Ukuran satu sha’ jika diperkirakan dengan ukuran timbangan zaman sekarang adalah sekitar 3 kg. Ulama lainnya mengatakan bahwa satu sha’ kira-kira 2,157 kg. Artinya, jika zakat fitri dikeluarkan 2,5 kg seperti kebiasaan di negeri kita, sudah dianggap sah. Zakat fitri tidak boleh ditunaikan dalam bentuk uang, sebagaimana pendapat ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah.[2]

Golongan Orang Yang Berhak Menerima Zakat

Orang-orang yang berhak menerima zakat (mustahik) ada delapan golongan, yaitu: (1) Fakir, yaitu orang-orang yang tidak mampu memenuhi sesuatu yang merupakan bagian dari kebutuhan mereka. Misalnya, orang yang membutuhkan sepuluh, tetapi hanya mampu memenuhi dua atau bahkan tidak mampu sama sekali.

(2) Miskin, yaitu orang-orang yang tidak mampu memperoleh sesuatu yang bisa mencukupi kebutuhan mereka. Misalnya orang yang membutuhkan sepuluh, tetapi hanya mendapatkan delapan.[3]

(3) Amil Zakat, yaitu pengurus zakat dengan penunjukan pemerintah dan bukan mengangkat dirinya sendiri. Jadi, panitia atau sukarelawan yang mengumpulkan zakat atas inisiatif tanpa ditunjuk oleh pemerintah, seperti yang biasanya dilakukan oleh pengurus-pengurus masjid di negeri kita, tidak termasuk dalam mustahik. Kecuali jika mereka masuk dalam golongan mustahik yang lain, misalnya tergolong fakir, miskin, atau yang lainnya.

(4) Muallafatu Qulubuhum, yaitu orang-orang yang masih lemah keislamannya.

(5) Pembebasan Budak. Termasuk di dalamnya adalah pembebasan budak mukatab yaitu budak yang berjanji pada tuannya untuk memerdekakan dirinya dengan syarat melunasi pembayaran tertentu.

(6) Gharim, adalah orang-orang yang tidak mampu melunasi utang mereka. Dalam hal ini disyaratkan utang-utang tersebut untuk sesuatu yang mubah (boleh). Jika utang-utang tersebut untuk sesuatu yang haram, maka zakat tersebut tidak boleh diberikan kepadanya kecuali setelah ia bertaubat.

(7) Fi Sabilillah, yaitu orang-orang yang berperang untuk membela Islam dan tidak ada kompensasi untuk mereka dari baitul mal. Dalam pengertian lain, yaitu orang-orang yang dalam peperangan, sedangkan mereka tidak digaji oleh departemen atau lembaga terkait. [4] Jadi, fi sabilillah dalam mustahik zakat adalah orang yang harus memenuhi dua syarat yaitu a) berperang di medan peperangan membela Islam, b) tidak mendapatkan gaji dari negara.

(8) Ibnu Sabil, yaitu musafir yang ingin kembali ke negerinya, namun kehabisan biaya atau bekal untuk mengantarkan perjalanannya.[6]

Zakat fitri boleh diberikan kepada salah satu mustahik. [5] Karena penyebutan delapan golongan di atas hanya untuk membedakan jenis-jenis golongan mustahik, bukan untuk mengharuskan agar diberi semuanya. Zakat fitri boleh dibayarkan langsung kepada mustahik tanpa melalui amil zakat maupun panitia pengumpul zakat dan juga tidak perlu ada ijab kabul serta jabat tangan antara pembayar zakat (muzakki) dan penerima zakat (mustahik).

Golongan Orang Yang Tidak Berhak Menerima Zakat

Zakat fitri tidak boleh diberikan kepada lima golongan, yaitu, (1) Orang yang kaya harta atau berpenghasilan banyak. (2) Budak. (3) Bani Hasyim dan Bani Muththalib. (4) Orang kafir. (5) Orang yang nafkahnya menjadi tanggungan si muzakki dengan atas nama mustahik fakir dan miskin, contohnya yaitu suami wajib menafkahi istri dan anak-anaknya, berarti si suami sebagai muzakki haram untuk membayar zakat kepada istri dan anak-anaknya dengan atas nama mustahik fakir ataupun miskin.

Pembaca yang budiman, kita sebagai seorang muslim sudah semestinya paham dengan syariat zakat fitri, karena ini berkaitan dengan kewajiban seorang muslim dan hak orang lain. Semoga kita termasuk orang-orang yang selalu bertakwa kepada Allah dan dimasukkan ke dalam surga firdaus-Nya. Aamiin.

Mutiara Hikmah

Dari Ibnu Abbas, ia berkata,

فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ  nزَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِىَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِىَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ.

Rasulullah n mewajibkan zakat fithri untuk mensucikan orang yang berpuasa dari bersenda gurau dan kata-kata keji, dan juga untuk memberi makan miskin. Barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat maka zakatnya diterima dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat maka itu hanya dianggap sebagai sedekah di antara berbagai sedekah.” (HR. Abu Daud no. 1609 dan Ibnu Majah no. 1827)

Alumni FIAI

[1] Abul Wahid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad ibnu Rusyd. Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid. Alih bahasa Imam Ghazali Said dan Achmad Zaidun. Bidayatul Mujtahid Analisa Fiqih Para Mujtahid. Jakarta: Pustaka Amani. 2007 M. Jilid 1. Cet.k-3. hal. 622.

[2] Muhammad Abduh Tuasikal. Panduan Ramadhan Bekal Meraih Ramadhan Penuh Berkah. Sleman: Pustaka Muslim. 2014 M. Cet.k-7. hal. 78-79.

[3] Musthafa Dib al-Bugha. At-Tadzhib fi Adillah Matan al-Ghayah wa at-Taqrib. Alih bahasa D.A Pakihsati. Fikih Islam Lengkap Penjelasan Hukum-hukum Islam Madzhab Syafi’i. Solo: Media Zikir. 2009 M. hal. 206.

[4] Abdullah bin Muhammad bin Abdurahman bin Ishaq al-Sheikh. Lubabut Tafsir min Ibni Katsir. Alih bahasa M. Abdul Ghoffar. Tafsir Ibnu Katsir Jilid 4. Bogor: Pustaka Imam asy-Syafi’i. 2003 M. Cet.k-2. hal. 154.

[5] Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di. Manhajus Salikin wa Taudhihul Fiqhi fid Din. Alih bahasa Abu Ihsan al-Atsari. Pedoman Praktis Fiqih Setiap Muslim. Jakarta: Dar el-Hujjah. 2002 M. Cet.k-1. hal. 110.

Download Buletin klik disini

MENJADI TERBAIK DAN MERAIH KEBERKAHAN DI BULAN RAMADHAN

MENJADI TERBAIK DAN MERAIH KEBERKAHAN DI BULAN RAMADHAN

Oleh: Imanuddin Fadlurrahman[1]

 

Bismillâhi Walhamdulillâhi wash-shalâtu was-salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Dalam diri seorang muslim sesungguhnya telah ada DNA manusia-manusia terbaik. Entah status muslim yang didapatkan berdasarkan keturunan maupun melalui pencarian jati diri yang panjang. Yang jelas siapapun yang melekat padanya identitas keislaman, maka ditakdirkan menjadi golongan orang-orang terbaik. Al-Qur’an dengan sangat gamblang menyebutkan, “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf dan mencegah dari yang mungkar.” (Q.S. Ali ‘Imran [3]:110).

Para mufasir sepakat bahwa yang di maksud “kamu” di awal surah tersebut adalah umat Islam. Karena sesungguhnya Allah telah meletakkan ide yang independen mengenai konsep manusia terbaik jauh sebelum manusia diturunkan ke bumi. Manusia terbaik tersebut ada dengan prasayarat harus saling bersinergi satu sama lain sehingga mampu menjadi sebuah keutuhan yang membentuk umat terbaik. Lanjutan ayat diatas dikategorikan sebagai golongan yang memikul tanggung jawab menyuruh kebaikan sekaligus mencegah yang buruk. Manakala kedua tanggung jawab itu ditinggalkan, maka lepas pula status umat terbaik.Umat terbaik hadir karena adanya manusia-manusia terbaik yang membentuknya. Demikan halnya manusia terbaik lahir karena adanya himpunan yang baik yang mampu mendorong manusia untuk senantiasa melakukan perbuatan baik dan mencegah yang buruk.

Menjadi Umat Terbaik Melalui Momentum Bulan Ramadhan

Tak semua umat mampu menjadi uamat terbaik, sehingga ada syarat yang harus dimiliki oleh suatu umat untuk menyandang status umat terbaik, yakni umat Islam harus berusaha menegakkan amar makruf dan nahi mungkar. Sebagaimana Hamka menggambarkannya dalam Tafsir al-Azhar bahwa ayat 110 pada surah Ali Imran tersebut menegaskan hasil usaha yang nyata, yaitu kamu (baca; Umat Islam) yang dikeluarkan antara manusia di dunia ini. Dijelaskan sekali lagi, bahwa kamu mencapai derajat yang demikian tinggi, sebaik-baik umat, karena memenuhi ketiga syarat: amar ma’ruf, nahi munkar, iman kepada Allah.[2]

Menjadi umat Islam terbaik perlu adanya dorongan untuk memaksimalkan potensi iman yang ada dalam diri supaya  mampu menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar. Hal ini dapat dilakukan dengan cara melakukan pilar agama Islam yang keempat yaitu berpuasa dibulan Ramadhan.

Puasa di bulan Ramadhan membuat kondisi spiritual bagi orang-orang yang menjalankannya akan meningkat dan kembali fresh serta semakin kuat rasa kasih sayang terhadap sesama. Bagaimana tidak, sementara sebulan penuh kita dituntut lebih untuk saling bersilaturrahmi, ta’awun atau tolong menolong, dan menahan nafsu dan emosi sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah ﷺ dalam sabdanya :”Ada lima perkara yang membatalkan puasa seseorang: yaitu bohong, ghibah (membicarakan orang lain yang membuatnya tidak senang), mengadu domba, melihat orang lain dengan syahwat dan bersaksi atau bersumpah bohong.”(HR. Ad-Dailami)

Inilah persoalan yang harus dimengerti umat Islam agar mengetahui hakikat diri dan nilainya. Bulan Ramadhan dengan ibadah puasa sebagai menu utamanya adalah sebuah wadah yang siap membakar habis segala emosi merusak yang dapat menenggelamkan manusia ke dalam lumbung kemaksiatan. Ramadhan hadir untuk menyadarkan manusia bahwa mereka dilahirkan untuk maju ke garis depan dan memegang kendali kepemimpinan karena mereka adalah umat yang terbaik.

Manfaat Berpuasa

Terdapat banyak penelitian yang menjelaskan segudang manfaat dari melakukan ibadah puasa. Pertama, manfaat dalam bidang kesehatan. yaitu kesehatan jasmani, moral, maupun mental, Dalam sebuah hadits Rasulullah ﷺ bersabda: “Berpuasalah kalian maka akan menyehatkan kalian.” Juga dalam hadits lain yang artinya: “Bagi orang yang berpuasa ada dua kebahagian: kebahagian ketika berbuka dan kebahagiaan ketika bertemu Tuhannya.”(H.R. at-Thabrani no.174)

Kedua, manfaat alam bidang sosial yaitu membangun jiwa yang harmoni selaras dengan raga. Sebab dengan berpuasa seseorang akan mengambil jeda di dalam menjalankan hidupnya. Misal dengan tidak makan dan minum di siang hari merupakan salah satu cara untuk membangun sikap empati baik kepada sesama manusia dan makhluk hidup lain. Kemudian melalui momentum ramadhan ini dapat menjadi media untuk mempererat ukhuwah.[3]

Keberkahan di Bulan Ramadhan

            Bulan Ramadhan merupakan bulan yang penuh ampunan dan penuh keberkahan, sangat disayangkan jika sebagai umat Islam tidak memanfaatkan kesempatan ini dengan baik. Keberkahan yang ada di bulan ramadhan tidak hanya secara personal namun juga ada keberkahan dari berbagai bidang, yaitu bidang ekonomi, politik, sosial, etika dan budaya.

  1. Keberkahan Ekonomi

Secara ekonomi, Ramadhan memberi keberkahan bagi para pedagang. Pada bulan ini daya beli masyarakat meningkat dibandingkan dengan bulan-bulan sebelumnya. Masyarakat sangat antusias dengan kedatangan Ramadhan.

  1. Keberkahan Politik

Bulan Ramadhan tercatat memberikan keberkahan kepada Umat Islam dengan kemenangan dalam berbagai pertempuran. Banyak peristiwa-peristiwa monumental yang terjadi di bulan Ramadhan. Misalnya pada tahun ke-2 Hijrah, kaum muslimin mengukir kemenangan pada perang Badar. Di Bulan Ramadhan tahun ke-8 hijrah, Umat Islam berhasil menaklukkan Mekkah (fathu makkah). Ramadhan tahun ke-15 H, kaum muslimin mengalahkan imperium Persia dalam perang Qadisiah.[4]

  1. Keberkahan Sosial

Momen Ramadhan mengajarkan manusia untuk bermurah hati (dermawan), menolong dan mempunyai rasa empati kepada fakir miskin dan orang yang membutuhkan sehingga melalui momen ramadhan ini dapat menjalin hubungan sosial kepada sesama.

  1. Keberkahan Etika dan Budaya

Bulan Ramadhan juga memberikan keberkahan dalam etika dan budaya kita. Ibarat sebuah madrasah (sekolah), Ramadhan mendidik kita untuk berperilaku yang mulia dan membiasakan diri melakukan kebaikan. Pembiasaan yang dilakukan di bulan Ramadhan diharapkan lahir suatu budaya yang Islami, yaitu selalu berorientasi dalam mendatangkan kemaslahatan dan menghilangkan kemudharatan, baik dalam konteks pribadi maupun dalam konteks sosial.

Inilah makna Ramadhan. Sebuah tempat dalam setahun yang disiapkan oleh Allah untuk memperingatkan manusia bahwa mereka adalah umat terbaik. Maka sudah seharusnya orang-orang terbaik mengerjakan pekerjaan yang terbaik pula. Agar meraih setiap keberkahan di dalamnya yang membawanya menuju kemajuan yakni menjadi umat terbaik dengan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.

Mutiara Hikmah

Allah ﷻ berfirman,

وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ

“Kamu adalah umat terbaik yang dikeluarkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah.”(Q.S. Ali Imran[3]110).

Maraji’

[1] Santri Rumah Tahfidz Taruna Juara

[2] Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid IV, PT. Pustaka Panji Mas: Jakarta, 2004.

[3] Takdir Ali Mukti, 2000, Membangun Moralitas Bangsa Amar Ma’ruf Nah Munkar: dan Subyektif-Normatf ke Obyektif-Empiris, Yogyakarta: Mitra Pustaka

[4] Asa, Syu’bah, 2000, Dalam Cahaya Al-Qur’an (Tafsir Ayat-ayat Sosial-Politik), Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Download Buletin klik disini

RAMADHAN BULAN MUSTAJABAH

RAMADHAN BULAN MUSTAJABAH

Oleh: Siti Jamilah, MSI[1]

Bismillâhi Walhamdulillâhi wash-shalâtu was-salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Salah satu kemuliaan Ramadhan adalah bulan mustajabah, yaitu bulan dimana doa-doa yang kita panjatkan akan lebih mudah dikabukan oleh Allah. Di dalam al-Qur’an, salah satu ayat yang berbicara tentang berdoa juga berada dalam rangkaian ayat-ayat yang memerintahkan ibadah puasa Ramadhan, yaitu surat al-Baqarah ayat 186. Jika ayat 183 sampai 185 surat al-Baqarah berbicara tentang ibadah puasa Ramadhan, maka ayat 186 berbicara tentang berdoa. Ayat 187 juga kembali membicarakan seputar ibadah puasa. Tentu ini bukan tanpa sebuah maksud. Ada sebuah pesan yang hendak disampaikan di sana. Apabila ditinjau dari prespektif munasabah bainal ayat hal ini cukup mengisyaratkan bahwa bulan Ramadhan adalah kesempatan yang tepat untuk memanjatkan do’a kepada Allah, sehingga sangat disayangkan jika tidak memanfaatkan kesempatan ini dengan memperbanyak do’a kepada-Nya.

Allah ﷻ sangat senang ketika hamba-Nya berdo’a, bermunajat, dan meminta segala hajat kepada Allah ﷻ. Hal ini selaras dengan firman Allah ﷻ yang berbunyi; “Dan ketika hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku adalah dekat. Aku akan kabulkan permintaan orang yang meminta jika ia meminta (berdoa) kepada-Ku. Maka hendaklah mereka memenuhi seruan-Ku dan beriman kepada-Ku agar mereka mendapatkan petunjuk”. (Q.S. al- Baqarah [2: 186).

Adab-Adab dalam Berdo’a

Setiap orang yang berdoa tentu berharap bahwa apa yang dipanjatkannya akan dikabulkan Allah ﷻ. Agar doa kita mudah dikabulkan oleh Allah l, perhatikan adab-adab dalam berdoa, diantaranya:

  1. Memenuhi seruan Allah dengan sungguh-sungguh untuk menaati-Nya, karena sebab sebuah doa mudah dikabulkan adalah ketika taat kepada seruan Allah dengan menunaikan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
  2. Bersungguh-sungguh, khusyuk, husnuzhan dan yakin dalam berdoa. Dalam sebuah hadits qudsi disebutkan bahwa Allah sesuai dengan persangkaan (zhann) hamba-Nya terhadap-Nya. Apabila kita yakin dan husnuzhan bahwa Allah akan mengabulkan doa kita, mudah-mudahan apa yang kita minta akan mudah diijabah.
  3. Diantara adab saat berdoa juga adalah mengangkat kedua tangan dengan penuh harap. Menengadahkan kedua tangan dan tidak putus harapan, karena Allah tidak akan menyia-nyiakan hamba yang menyandarkan diri dan selalu berharap akan kemurahan-Nya.

Hal yang tidak kalah pentingnya agar doa kita mustajabah adalah bahwa kita harus menjaga kebersihan harta kita dan menghindarkan diri dari makan makanan yang haram. Sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah l surat al-Baqarah yang berbicara tentang larangan memakan harta yang batil (haram). Hal ini mengisyaratkan peran penting menjaga kebersihan harta dan makanan dari hal yang diharamkan, karena sebab doa tidak terkabul karena adanya hal yang haram masuk ke dalam tubuh. Dalam sebuah riwayat Rasulullah ﷺ juga pernah berpesan kepada salah seorang sahabat; “Baik-baiklah engkau dalam urusan makananmu (pastikan kehalalannya), niscaya doamu akan mudah terkabul.” (HR. Thabrani).

Urutan Bacaan dalam Berdo’a

Hal yang diperhatikan terkait sistematika bacaan saat berdoa sebelum memanjatkan hajat-hajat kita kepada Allah. Ada bacaan yang seyogianya kita baca yaitu:

  1. Awali do’a dengan lafadz basmalah, sebab setiap perkara baik yang tidak diawali dengan membaca basmalah akan menjadi kurang berkah.
  2. Memuji asma Allah membaca kalimat tahmid alhamdulillahi rabbil ‘alamiin dan membaca shalawat kepada Nabi. Allah ﷻ berfirman ; “Dan bagi Allah al-asma al-husna (nama-nama yang baik), maka berdoalah dengannya” (QS. Al-A’raf (7): 180).
  3. Membaca do’a untuk kedua orang tua, karena mendo’akan orang tua merupakan bentuk birrul walidain dan bentuk tawassul dengan amal shalih yang kita tunaikan sebelum berdoa. [2]
  4. Menyebutkan haja-hajat yang diinginkan, dalam berdoa boleh menggunakan menggunakan bahasa Arab maupun bahasa selainnya. Jika kita hafal, baik sekali memanjatkan doa dengan doa-doa yang diambil dari al-Qur’an atau hadits Nabi.
  5. Menutup do’a dengan bacaan shalawat dan tahmid

Satu dari Tiga Hal yang Akan Allah Berikan

Pembaca yang dirahmati oleh Allah ﷻ! Bahwasannya Allah Maha Mendengar atas setiap permohonan hamba-Nya. Rasulullah ﷻ bersabda, “Tidaklah seorang muslim berdoa kepada Allah dengan sebuah permohonan, selama tidak ada muatan dosa dalam doanya dan tidak pula ia termasuk orang yang memutus silaturrahmi, melainkan Allah akan memberikan untuknya salah satu dari tiga hal; bisa jadi akan disegerakan untuknya doanya (dikabulkan apa yang dimintanya), atau bisa jadi Allah akan menyimpankan untuk kebaikannya di akhirat, atau bisa jadi Allah akan menghindarkannya dari keburukan yang semisal dengan sebab doa itu.” (HR. Ahmad).

Hadits diatas Nabi ﷺ menyampaikan bahwa selama kita berdoa dengan benar, sungguh-sungguh dan tidak melakukan hal yang bertentangan dengan syariat saat berdoa serta kita bukan orang yang suka memutus tali silaturrahmi, niscaya Allah l akan memberikan salah satu dari tiga hal yang disebutkan dalam hadits di atas. Pertama, Allah  lakan mengabulkan doa kita dan disegerakan apa yang diminta di dunia. Kedua, Allah l akan menyimpan untuk kebaikan akhirat kita. Bisa jadi apa yang diminta akan dikabulkan di akhirat kelak atau akan diwujudkan sebagai simpanan pahala yang agung bagi kita. Ketiga, bisa jadi Allah l akan memberikan hal yang justru lebih kita butuhkan dengan sebab doa-doa kita meskipun mungkin bukan hal itu yang kita minta. Misalnya dihindarkannya kita dari keburukan, marabahaya, bencana dan seterusnya. Allah tentu yang Maha Tahu dengan kemaslahatan hamba-Nya.

Doa adalah Ibadah

Pada hakikatnya, doa adalah bagian dari ibadah. Sehingga pahala akan dicatatkan bagi mereka yang berdoa. Nabi bersabda dalam sebuah riwayat hadits; “Doa adalah ibadah.” (HR. Abu Dawud). Sesungguhnya berdoa juga merupakan nilai-nilai tauhid bahwa sebagai seorang hamba semestinya selalu bermohon dan menggantungkan harap kepada Allah. Salah satu asma Allah adalah Ash-Shamad, Dzat tempat kita meminta. Dengan kita banyak berdoa berarti kita telah benar-benar menempatkan Allah sebagai Ash-Shamad. Selain itu berdoa juga menunjukkan bentuk tawakkal hamba kepada Tuhannya. Segala sesuatu akan terwujud hanya atas izin dan perkenan Allah. Orang-orang yang beriman tentu seharusnya memasrahkan dan bertawakkal atas segala urusannya kepada Allah. Mereka yang benar-benar bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan meridloi dan merahmatinya. Tentu selain berdoa, memaksimalkan ikhtiar adalah hal yang harus ditunaikan oleh kita. Ikhtiar adalah bagian dari mekanisme sunnatullah yang mesti dijalani dengan sungguh-sungguh.

Mutiara Hikmah

Dari Abu Darda a, bahwa dia mendengar Rasulullah ﷺ bersabda,

مَا مِنْ عَبْدٍ مُسْلِمٍ يَدْعُو لِأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ، إِلَّا قَالَ الْمَلَكُ: وَلَكَ بِمِثْل

“Tidaklah seorang hamba muslim mendoakan saudaranya secara sembunyi (ghoib) melaikan ada malaikat yang mengatakan ‘Untukmu semisal itu.” (HR. Muslim : 2732)

Maraji’

[1] Penyuluh Agama Islam Kota Yogyakarta

[2] Labib MZ, 2010 Risalah Doa Pilihan, Surabaya: Bintang Usaha Jaya

Download Buletin klik disini

AMALAN YANG DAPAT MENJEMPUT MALAM LAILATUL QADAR

AMALAN YANG DAPAT MENJEMPUT MALAM LAILATUL QADAR

Oleh: Nur Laelatul Qodariyah[1]

 

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh,

Ramadhan bulan yang penuh berkah, bulan yang penuh ampunan. Sebagai seorang muslim, kita semua patut menyambut bulan ini dengan bergembira, dikarenakan bulan ini hanya ada 1 bulan diantara 12 Bulan. Bukankah itu merupakan hal spesial? Tentu saja hal itu sangat spesial. Mengingat dalam bulan ini banyak sekali berkah yang turun di muka bumi. Salah satunya Lailatul Qadar, yang mana merupakan malam lebih baik daripada seribu bulan.

Di bulan ini amalan yang dikerjakan akan dilipatgandakan oleh Allahﷻ. Orang muslim dianjurkan berlomba-lomba untuk melakukan sebuah kebaikan, agar apa yang telah dikerjakan akan mendapatkan ridho dari  Allah ﷻ. Ramadhan merupakan sebuah keelokan yang tidak terkira. Sehingga, kita senantiasa terus memperbaiki diri dari perkara-perkara yang dibenci oleh Allah ﷻ.[2] Jangan sampai kita menyesal di bulan Ramadhan hanya karena kesibukan dunia yang mengakibatkan kita lalai dalam urusan akhirat. Allah ﷻ berfirman, “Sesungguhnya kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?. Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun para malaikat dan Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” (Q.S. al-Qadr  [97]:1-5).[3]

Betapa dahsyatnya dan mulianya malam itu, sampai-sampai Allahk menurunkan ayat tersebut, sebagai tanda dan petunjuk bagi manusia untuk berlomba-lomba dalam mengejar kebaikan. Berdasarkan hadis dari Salim bin Abdullah bin Umar bahwa bapaknya berkata; saya mendengar Rasulullah ﷺbersabda berkenaan dengan Lailatul Qadr, “Beberapa orang diantara kalian, telah bermimpi bahwa Lailatul Qadr itu terakhir (dari ramadhan). Maka carilah ia pada sepuluh yang terakhir.” (HR.Muslim, no.1988).[4]

Amalan yang Dapat Menjemput Malam Lailatul Qadar

  1. Menghidupkan Malam

Dalam menjemput malam lailatul qadar dianjurkan untuk menghiasi diri dengan beribadah dan muhasabah diri lebih banyak lagi. Bagaimana mungkin bisa seseorang yang ingin mendapatkan malam lailatul qadar hanya bersantai dan berleha-leha saja? Tentu saja harus ada usaha yang kuat agar kita bisa menikmati malam yang penuh berkah itu. Allahﷻ tidak menyebutkan secara eksplisit kepada kita semua tentang waktu pasti turunnya lailatul qadar. Hal tersebut dikarenakan agar kita terus mencari kebaikan malam tersebut di bulan Ramadhan tanpa harus memilih di malam dan tanggal berapa untuk menghidupkan malam lailatul qadar.  Menghidupkan malam tersebut tidak hanya terpaku pada satu ibadah saja. Hal itu bisa merujuk pada ibadah-ibadah yang lainnya, seperti sholat, membaca qur’an, i’tikaf, berddzikir, berdo’a, dan sahur pun termasuk ibadah. [5]

  1. Memperbanyak Membaca Al-Qur’an

Membaca al-Qur’an merupakan sesuatu yang sudah menjadi makanan sehari-hari bagi kaum muslim. Otomatis prioritas dan target dalam tilawah al-Qur’an itu diperluas dan harusnya diperbanyak dalam membacanya. Misalnya yang awalnya satu hari 2 lembar, kini kita bisa meningkat menjadi 3 lembar. Sebenarnya tidak wajib mengkhatamkan al-Quran dalam satu hari, yang penting ada target dan keistiqomahan dalam membaca al-Qur’an. Sehingga bisa terwujudnya target yang sudah ditetapkan sebelumnya.[6]

  1. Melaksanakan Shalat Sunnah

Kita tidak akan pernah tahu tepatnya malam lailatul qadar itu datangnya di hari apa. Walaupun seperti itu, kita telah diberi petunjuk melalui hadist-hadist yang sudah terkenal keshahihannya, yaitu cari di 10 malam terakhir, entah malam ke-7, ke-5 dan seterusnya. Oleh karena,  itu hidupkanlah malam-malam terakhir bulan Ramadhan, karena  kita tidak akan pernah tahu apakah Ramadhan ini adalah Ramadhan terakhir kita atau bukan. Oleh sebab itu, perbanyaklah shalat di waktu bulan Ramadhan, terutama malam-malam terakhir bulan Ramadhan. Bisa shalat tahajud, shalat hajat, shalat taubat, dan shalat sunnah lainnya.  Berbicara terkait shalat sunnah, shalat tahajud merupakan shalat yang sangat dianjurkan (shalat sunnah mu’akkad)[7] Allah ﷻberfirman,

Hai orang-orang yang berselimut (Muhammad) bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit.” (Q.S. Al-Muzammil [73] : 1-3).

Shalat tahajud merupakan shalat yang dilakukan pada malam hari, terhitung dari mulai setelah shalat isya’ sampai sebelum shalat subuh.  Mayoritas ulama mengatakan bahwa shalat tahajud dilaksanakan setelah tidur, tetapi ada pula yang menyatakan bahwa tidak harus tidur terlebih dahulu. Pertanyaannya adalah, mengapa shalat tahajud itu menjadi shalat yang paling dianjurkan? Coba kita bayangkan untuk menjadi terbaik dimata Allahﷻ amalan yang dilakukan pun harus khusus. Bisa dibilang tidak semua orang bisa melaksanakan shalat di tengah malam. Di saat orang lain terlelap dalam tidurnya, orang yang melaksanakan tahajud itu sesungguhnya sedang bertasbih dan berddzikir dengan cara shalatnya, maka ketika seorang hamba berdoa di waktu mustajab tersebut, Allahﷻ pasti menjawab semua doa-doa dengan caraNya sendiri.

  1. Memperbanyak Dzikir

Dzikir merupakan sebuah media yang dapat mendekatkan diri kepada Allahﷻ. Dengan dzikir hati kita akan merasakan nyaman, tentram dan sejuk. Dengan mengingat Allahﷻ, setiap masalah yang sedang kita hadapi akan terasa ringan, dan pastinya kita akan menemui jalan atau solusi dalam masalah yang kita hadapi. Sama halnya dengan doa, mereka sama-sama memiliki keterkaitan yang sulit untuk dilepas begitu saja, ibaratnya seperti sampul buku dan isinya, saling melengkapi satu sama lain. Dzikir dalam pengertiannya dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu,[8]

  1. Dzikru bil lisan, yaitu dzikir yang dilaksanakan secara langsung dengan lisan. Dalam praktiknya biasanya menggunakan kalimat-kalimat tauhid  seperti, tahmid, tasbih, tahlil. Dengan ddzikir secara lisan berarti mengeluarkan suara, dan huruf yang dibacanya secara khusu’.
  2. Dzikru bil Qalbi, yaitu dzikir yang dilaksanakan dengan media bertafakur, dalam prosesnya dengan mengingat, merenungi segala sesuatu akan tanda-tanda kebesaran Allahﷻ dan juga rahasia illahiah yang tersirat melalui makhluk ciptaan-Nya. Tidak ada yang lebih indah dan menawan ketika kita bisa merenungi dan meresapi segala sesuatu yang telah diciptakanNya.
  3. Dzikru bil Jawarih, merupakan bentukan dzikir dengan menggabungkan segala kekuatan dan kemampuan yang terdapat dalam tubuh (jasmani), sebagai bentuk menaati dari seluruh perintah Allah yang sedapat mungkin bisa meninggalkan semua larangan yang dijauhkan oleh Allahﷻ.

Berkah dan rahmat yang selalu dicurahkan oleh Allahﷻ merupakan salah satu bentuk kasih sayangnya Allahﷻ kepada kita semua. Jangan pernah meremehkan dzikir dan doa. Keduanya merupakan sebuah senjata kaum muslim dalam melawan fitnahnya dunia saat ini. Yang terpenting adalah libatkanlah semua urusan kepada Allahﷻ. Jadikanlah momen bulan Ramadhan kali ini menjadi berkesan dalam meraih ridho illahi. Dengan begitu ibadah-ibadah yang kita lakukan pun akan terasa menyenangkan dan bahkan akan terasa nikmat.

Mutiara Hikmah

Dari Abu Hurairah z, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda,

مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa melaksanakan shalat pada malam lailatul qadar karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari, no. 1901)

Maraji’:

[1] Mahasiswa Progam Studi Ahwal Al-Syakhshiyah FIAI UII

[2] Asri Kusuma Dewanti, “Meraih Keberkahan Puasa Ramadan,” Universitas Muhammadiyah Malang, 2017, 1.

[3] Mutiara Tri Julifa, “Implementasi Masyarakat Terhadap Penafsiran Surat Al-Qadr” 4, no. 1 (2020):

[4] Ensiklopedi Hadis, (HR.Muslim, no.1988), shahih menurut ijma’ Ulama

[5] ahmad Zarkasih, Meraih Lailatul Qadar Haruslah I’tikaf, ed. Fatih, cetakan pe (jakarta: Rumah Fiqih Publishing, 2019).

[6] Eva Nugraha, “Ngalap Berkah Qur’an: Dampak Membaca Al-Qur’an Bagi Para Pembacanya,” Ilmu Ushuluddin 5 (2018): 119.

[7] Arif Kurniawan, “Dahsyatnya Shalat Sunnah Tahajjud Dan Dhuha Perspektif Yusuf Mansur,” Skripsi (2018).

[8] Muniruddin, “Bentuk Dzikir Dan Fungsinya Dalam Kehidupan Seorang Muslim,” Jurnal Pemberdayaan Masyarakat 6, no. 1 (2018): 17, https://doi.org/10.37064/jpm.v6i1.4982.

Download Buletin klik disini

DASAR HUKUM PUASA RAMADHAN

DASAR HUKUM PUASA RAMADHAN

Oleh: Umi Sholehah

 

Bismillâhi walhamdulillâh wash-shalâtu was-salâmu ‘ala rasûlillâh,

Pembaca yang dirahmati oleh Allah . Kini umat muslim tengah menjalankan ibadah yang selalu ditunggu-tunggu setiap satu tahun sekali yakni ibadah puasa di bulan Ramadhan. Dalam Islam, kita mengenal dua bentuk ibadah puasa, yakni puasa wajib dan puasa sunnah. Tentu saja, puasa Ramadhan tergolong ke dalam ibadah puasa wajib, yaitu ibadah yang harus dilaksanakan oleh seluruh umat muslim di dunia.

Puasa merupakan seluruh rangkaian yang istimewa, terutama di bulan Ramadhan. Terdapat banyak aspek yang dapat kita petik ketika menjalankannya. Puasa mengandung aspek sosial, melalui ibadah ini umat muslim dapat merasakan penderitaan orang lain yang tidak dapat memenuhi kebutuhan primernya yaitu kebutuhan pangan. Selain itu, puasa juga melatih kita untuk lebih mendekatkan diri kepada Allahk dengan cara memperbanyak ibadah. Lebih dari itu, puasa Ramadhan juga dapat membentuk kebiasaan yang baik seperti jujur, disiplin, sabar dan lain-lain. Keistimewaan lainnya ialah puasa juga dapat menghadirkan kesehatan yang paripurna, baik kesehatan fisik maupun mental.

Definisi Puasa

Sahabat pembaca yang berbahagia, secara etimologis puasa diartikan sebagai menahan. Sedangkan secara terminologi dalam Subul Al-Salam, para ulama fiqih mengartikan puasa adalah menahan diri dari makan, minum dan melakukan hubungan seksual suami istri, dan lain-lainnya, sepanjang hari menurut ketentuan syara’, disertai dengan menahan diri dari perkataan yang sia-sia (membual), perkataan yang jorok dan lainnya, baik yang diharamkan maupun yang dimakruhkan, pada waktu yang telah ditetapkan pula.[1] Dalam Islam, puasa adalah salah satu rukun Islam yang wajib dilaksanakan oleh seorang muslim yang mukallaf, yaitu dengan menahan diri dari segala yang membatalkan puasa mulai dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari, dan wajib dilakukan sesuai dengan syarat, rukun, dan larangan yang telah ditentukan.[2]

Dasar Hukum Wajib Puasa Ramadhan

Sahabat pembaca yang dirahmati oleh Allah . Kita ketahui bahwa semua yang Allah perintahkan untuk dilaksanakan oleh umat manusia tentu ada hukumnya, begitupun dengan puasa Ramadhan. Oleh sebab itu dasar hukum wajib puasa Ramadhan dapat kita jumpai melalui al-Quran, al-Sunnah, dan Ijma’ (kesepakatan ulama). Adapun dalil-dalilnya adalah sebagai berikut:

  1. Al-Quran

Dasar hukum puasa Ramadhan terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 183, Allah berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa” (Q.S. al-Baqarah [2]: 183)

Selanjutnya terdapat dalam surat al Baqarah ayat 185,  Allah berfirman,  berfirman:”Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 185),

Pada ayat diatas dijelaskan bahwa Allahk mewajibkan umat Islam untuk berpuasa. Puasa bulan Ramadhan merupakan salah satu rukun Islam yang diwajibkan pada tahun kedua Hijriyah, yaitu tahun kedua sesudah Nabi Muhammad` hijrah ke Madinah. Hukumnya fardu ‘ain atas tiap-tiap mukallaf (baligh dan berakal).[3]

  1. Al-Sunnah

Dasar hukum puasa Ramadhan terdapat dalam hadits dari Ibnu Umara ia berkata,”Orang-orang melihat terbitnya hilal (awal bulan), lalu saya memberitahukan kepada Rasulullah, bahwa saya melihatnya, maka beliau berpuasa dan menyuruh orang-orang untuk berpuasa.”(H.R. Abu Dawud dan disahkan oleh Hakim dan Ibnu Hibban).[4]

Selain itu, juga terdapat hadits lain yaitu telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id telah menceritakan kepada saya Isma’il bin Ja’far dari Abu Suhail dari bapaknya dari Thalhah bin ‘Ubaidullah z. Ada seorang ‘Arab Baduy datang kepada Rasulullah` dalam keadaan kepalanya penuh debu lalu berkata; “Wahai Rasulullah, kabarkan kepadaku apa yang telah Allah wajibkan buatku tentang shalat?”. Maka Beliau n menjawab: “Shalat lima kali kecuali bila kamu mau menambah dengan yang tathowwu’ (sunnat) “.

Orang itu bertanya lagi: “Lalu kabarkan kepadaku apa yang telah Allah wajibkan buatku tentang shaum (puasa)?”. Maka Beliau  menjawab: “Shaum di bulan Ramadhan kecuali bila kamu mau menambah dengan yang tathowwu’ (sunnat) “.”Dan shiyam (puasa) Ramadhan”.

Orang itu bertanya lagi: “Lalu kabarkan kepadaku apa yang telah Allah wajibkan buatku tentang zakat?”. Berkata, Tholhah bin ‘Ubaidullah z: Maka Rasulullah n menjelaskan kepada orang itu tentang syari-at-syari’at Islam.

Kemudian orang itu berkata: “Demi Dzat yang telah memuliakan anda, Aku tidak akan mengerjakan yang sunnah sekalipun, namun aku pun tidak akan mengurangi satupun dari apa yang telah Allah wajibkan buatku”. Maka Rasulullah n berkata: “Dia akan beruntung jika jujur menepatinya atau dia akan masuk surga jika jujur menepatinya” (H.R. Bukhari)[5]

  1. Ijma’ Ulama

Di dalam kitab Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid karya Ibnu Rusyd disebutkan bahwa dalil ijma’ tidak ada satu pun ulama yang meyangkal kewajiban puasa Ramadhan.[6] Kewajiban melaksanakan ibadah puasa Ramadhan merupakan suatu kewajiban yang tidak dapat ditawar-tawar mengenai hukumnya, karena didasarkan pada dalil-dalil yang mutawatir serta tidak diragukan lagi kesahihannya.

Berdasarkan penjelasan diatas, kita telah mengetahui dasar hukum kewajiban menjalankan ibadah puasa. Semoga dengan mengetahui dalil-dalil tersebut kita sebagai umat muslim dapat menjalankan ibadah puasa dengan khusyuk sehingga mendapatkan keberkahan dari puasa di bulan Ramadhan ini. Wallāhul muwāffiq ilā aqwāmit-thāriqWallahu a’lam

Mutiara Hikmah

Dari Abu Hurairah z, bahwasannya Rasulullah ﷺ bersabda,

وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ وَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَصْخَبْ فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي امْرُؤٌ صَائِمٌ

“Puasa itu adalah perisai, jika salah seorang dari kalian sedang berpuasa, maka janganlah mengucapkan ucapan kotor, dan jangan pula bertindak bodoh. Jika ada seseorang yang mencelanya atau mengganggunya, hendaklah mengucapkan: sesungguhnya aku sedang berpuasa.“ (H.R. Al Bukhari no.1904)

MARÂJI’:

[1] Hasan Saleh. Kajian Fiqh Nabawai dan Fiqh Kontemporer. Jakarta: Rajawali Pers. 2008,

hal.174-175.

[2] Muhaimin, B.A.,dkk. Fiqh. Semarang: Aneka Ilmu. 1995. hal. 51.

[3] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru  Algensindo. 2017. Cet. 80. hal. 220-221.

[4] Asqalani, Ibnu Hajar. Bulug al-Maram. Al-Ma’arif. hal. 131.

[5] Hadits Shahih al-Bukhari dalam Kitab Shaum, No.1758.

[6] Imas Damayanti dalam Republika.co.id, “Dalil Kewajiban Puasa Ramadhan Bagi Umat Islam”,  diakses pada tanggal 10 April 2022, pukul 13:15 WIB.

Download Buletin klik disini