PEMUDA IDEAL DALAM PANDANGAN ISLAM

PEMUDA IDEAL DALAM PANDANGAN ISLAM

Oleh: Jaenal Sarifudin*

 

Bismillah, walhamdulillâh washshâlatu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh. Waba’du.

Ada kalimat hikmah menyebutkan, Syubbanul yaum rijalul ghad, pemuda hari ini adalah tokoh di masa depan. Demikian bunyi sebuah ungkapan dalam khazanah literatur Arab. Pemuda adalah harapan para orang tua. Bahkan harapan bangsa. Tempat melabuhkan dan menitipkan segenap asa, harapan dan cita-cita. Maka pemuda memiliki posisi yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Apa yang belum dapat dicapai oleh para orang tua dan generasi sebelumnya, para pemudalah yang diharapkan akan dapat memperjuangkan dan mampu untuk mewujudkannya. Bapak Proklamator RI, Ir. Soekarno pernah mengatakan; “Berilah aku sepuluh orang pemuda, niscaya akan kuguncang dunia”. Kalimat ini menggambarkan potensi dan kekuatan luar biasa yang ada pada diri para pemuda.

Memanfaatkan Masa Muda Untuk Hal yang Positif

Masa muda sering dikaitkan dengan kondisi fisik yang kuat dan prima. Juga semangat dan idealisme yang tinggi. Saat segala cita-cita dan keinginan masih membentang luas kesempatan untuk dapat mewujudkan dan menggapainya. Namun di sisi lain juga memiliki kerentanan dan tantangan yang menghadang pula. Tidak sedikit di antara mereka yang salah jalan karena kurangnya perhatian dan bimbingan. Juga kurangnya bekal ilmu dan lemahnya iman. Maka menjadi suatu hal yang niscaya dilakukan untuk membimbing mereka. Mengarahkan mereka dan menyalurkan semangat darah mudanya pada hal-hal yang positif dan bermanfaat. Sehingga masa muda benar-benar akan menjadi waktu yang produktif dan penuh kreativitas positif.

Salah satu pesan Nabi ﷺ dalam sabdanya adalah agar kita memanfaatkan masa muda sebelum datang masa tua. Pada masa muda lah seseorang akan dapat memaksimalkan potensi dirinya dengan sebaik-baiknya. Saat usia telah beranjak senja, tidak banyak hal yang dapat dilakukan karena berbagai keterbatasan. Nabi ﷺ bersabda:  “Manfaatkanlah lima perkara sebelum datang lima perkara, hidupmu sebelum matimu, waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, waktu sempatmu sebelum datang saat sibukmu, masa mudamu sebelum datang masa tuamu dan saat kecukupanmu sebelum datang saat kekuranganmu.” (HR. Al-Hakim)[1]

Teladan Ashabul Kahfi

Allah ﷻ mencintai para pemuda yang berjiwa idealis, penuh semangat daya juang dan tumbuh di dalam naungan keimanan dan ketakwaan kepada-Nya. Di dalam Al-Quran, di antaranya Allah ﷻ memberikan contoh pemuda yang memiliki karakter tersebut. Di antara mereka adalah Ashabul Kahfi, sekelompok pemuda shalih yang berani menentang tirani kezhaliman. Bahkan demi menyelamatkan iman dan tauhid, mereka rela meninggalkan kampung halaman dan bersembunyi di dalam sebuah goa. Ketika Allah ﷻ mengisahkan Ashabul Kahfi, Allah ﷻ memuji mereka dalam firman-Nya, Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambahkan untuk mereka petunjuk.” (QS. Al-Kahfi [18]: 13). Ashabul Kahfi adalah contoh citra pemuda bertakwa dan memiliki idealisme tinggi. Para pemuda yang rela berjuang dan berani menyuarakan kebenaran.

Dalam konteks semangat juang, sesungguhnya juga dapat kita kaitkan dengan sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Banyak pemuda pahlawan yang turut memperjuangkan kemerdekaan negeri ini. Mereka bahkan rela mengorbankan jiwa raga demi membela bangsa dari cengkeraman penindasan para penjajah. Sejarah mencatat, ribuan pemuda telah gugur menjadi syuhada dan kusuma bangsa yang harum namanya dikenang oleh generasi selanjutnya.

Pemuda yang Berada dalam Naungan Allah

Di dalam hadits riwayat Imam Al-Bukhari, Rasulullah ﷺ juga memuji pemuda yang beriman, taat beribadah dan memiliki semangat pengabdian tinggi. Nabi ﷺ menjanjikan bahwa kelak Allah ﷻ akan memberikan naungan pada hari kiamat bagi para pemuda yang tumbuh di dalam pengabdian dan ketaatan (syabb nasyaa fi ‘ibadatillah). Para pemuda yang selain memiliki karakter shalih, juga memiliki semangat pengabdian. Karena pada hakikatnya segala pengabdian, dedikasi, perjuangan dan kontribusi yang diberikan dengan ketulusan adalah bagian dari ibadah juga. Sehingga pemuda ideal menurut Islam adalah pemuda yang memiliki semangat beribadah dan juga semangat berjuang. Nabi ﷺ bersabda: “Ada tujuh golongan manusia yang akan mendapatkan naungan Allah pada hari di saat tidak ada naungan kecuali hanya naungan-Nya; Imam yang adil, pemuda yang tumbuh dalam pengabdian kepada Allah, orang yang hatinya selalu terpaut pada masjid, dua orang yang saling mencintai karena Allah, mereka berkumpul dan berpisah karena Allah, orang yang bersedekah sirri (dengan ikhlas) sehingga seolah tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya, seorang laki-laki yang dirayu oleh seorang perempuan yang terpandang lagi cantik jelita kemudian ia berkata sesungguhnya aku takut kepada Allah dan seseorang yang berdzikir menyebut nama Allah dalam keheningan seraya mengalir air matanya (karena takut kepada Allah).” (HR.  Al-Bukhari)[2]

Menjadi Pemuda yang Berilmu dan Beramal

Salah satu kunci untuk meraih kebahagiaan dan kesuksesan hidup adalah dengan ilmu. Imam Asy-Syafi’i menyatakan: “Barangsiapa menghendaki (kesuksesan) di dunia hendaklah ia membekali diri dengan ilmu. Dan barangsiapa menghendaki (kebahagiaan) di akhirat maka hendaklah ia membekali diri dengan ilmu.”[3] Idealnya, masa muda semestinya dimanfaatkan sebaik mungkin untuk belajar dengan sungguh-sungguh dalam mengarungi samudera ilmu pengetahuan. Pada masa muda, daya serap dan daya lekat ilmu jauh lebih kuat dibandingkan ketika seseorang belajar di saat usia sudah tidak muda lagi. Para ilmuwan, cendekiawan dan ulama pada umumnya adalah orang-orang yang mau berletih-letih dalam belajar di masa mudanya. Bahkan jika menengok sejarah hidup para ulama masa lampau, mereka sampai rela menempuh jarak perjalanan ratusan kilometer demi untuk mendapatkan ilmu dan riwayat.

Saat ini, kita telah mendapatkan banyak sekali fasilitas dan sarana yang memudahkan untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Lembaga pendidikan dan majlis-majlis ilmu begitu banyak. Khazanah pustaka juga begitu berlimpah, baik yang berwujud buku fisik maupun yang telah didigitalisasikan. Bahkan kita dapat dengan mudah mengakses beragam sumber pengetahuan tanpa harus keluar dari tempat tinggal kita dengan memanfaatkan fasilitas media. Kemudahan yang ditawarkan oleh kemajuan teknologi harus kita manfaatkan dengan baik. Bukan malah kemudian terseret dalam arus negatif akibat menggunakan fasilitas teknologi untuk hal-hal yang tidak bermanfaat dan sia-sia bahkan membawa dosa.

Kesungguhan dalam belajar (studi) dan menumbuhkan budaya literasi haruslah ditanamkan dalam kehidupan sehari-hari. Terlebih bagi para mahasiswa, itulah tugas utama yang harus ditunaikan dengan sebaik-baiknya. Belajar adalah amanah dari Allah l dan amanah dari para orang tua mereka. Orang yang tengah belajar dan menuntut ilmu pada hakikatnya tengah berjuang di jalan Allah ﷻ. Allah ﷻ niscaya akan memudahkan baginya meraih kesuksesan dan surga-Nya. Nabi bersabda; “Barangsiapa menempuh jalan dalam menuntut ilmu maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim).[1] Tentu setelah ilmu didapat, hal selanjutnya adalah mengaktualisasikan dan mengamalkan ilmu yang telah diperoleh. Citra pemuda ideal dalam Islam adalah pemuda yang berilmu dan juga beramal.[]

Marâji’:

* Mahasiswa FIAI Universitas Islam Indonesia

[1] Imam al-Hakim, Al-Mustadrak ‘ala Shahihain, Beirut, Darul Fikr, 2001.

[2] Muhammad  ibn Isma’il al-Bukhari, Sahih Bukhari, Beirut: Darul Fikr, t.t.

[3] Abi Zakariya an-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Juz I,  Beirut: Darul Fikr, 1996, hal. 36.

Download Buletin klik disini

HAKIKAT PERTEMANAN DALAM ISLAM

HAKIKAT PERTEMANAN DALAM ISLAM

Oleh : Awwahun Halim

*Ketua HAWASI & mahasiswa Akuntansi 2019

 

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu was-salâmu ‘alâ rasûlillâh,   

Setiap manusia pasti memiliki teman akrab yang senantiasa menemaninya baik itu dikala suka maupun duka, ada yang sudah berteman dari kecil hingga dewasa. Walaupun terkadang dalam pertemanan ada juga istilah seperti “menusuk dari belakang”. Akan tetapi hakikatnya setiap orang pasti memiliki teman akrab, atau biasa juga kita sebut dengan sahib karib. Sedangkan pada zaman serba digital ini kita sangat mudah sekali untuk mendapatkan teman dalam dunia maya, bahkan terkadang kita bisa lebih dekat dengan mereka dari pada dengan teman di sekitar kita.

Pertemanan dalam Al-Qur’an

Istilah pertemanan atau sahib ini sebenarnya sudah ada sejak zaman masa Jahiliyah. Jika membicarakan pertemanan pada masa jahiliyyah terdapat suatu kisah yang diabadikan dalam Al-Qur’an. Allah ﷻ berfirman: “Dan (ingatlah) pada hari (ketika) orang-orang zhalim menggigit dua jarinya, (menyesali perbuatannya) seraya berkata, “Wahai! Sekiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama Rasul. Wahai, celaka aku! Sekiranya (dulu) aku tidak menjadikan si fulan itu teman akrab(ku). Sungguh, dia telah menyesatkan aku dari peringatan (al-Qur’an) ketika (al-Qur’an) itu telah datang kepadaku, dan setan memang pengkhianat manusia.” (Q.S al-Furqân, [25]: 27-29)

Dimana asbabun nuzul dari ayat ini karena pada zaman jahiliyyah ada seorang dari orang Quraisy bernama Uqbah bin Abu Mu’aith, dimana dulu sering sekali mengikuti majelis Rasulullah ﷺ. Sehingga suatu saat berita bahwa Uqbah bin Abu Mu’aith yang sering ikut majelis Rasulullah ﷺ sampai ke teman dekat dari Uqbah bin Abu Mu’aith yaitu Ubay bin Khalaf yang saat itu sedang di Syam. Kemudian Ubay bin Khalaf pun langsung pulang ke Makkah untuk mengkonfirmasi berita tersebut. Kemudian setelah mengkonfirmasi berita tersebut Ubay bin Khalaf pun menyuruh Uqbah bin Abu Mu’aith untuk memilih apakah dia akan terus mengikuti dakwah Nabi atau memutuskan persahabatan antara mereka.

Setelah diberi pilihan tersebut maka Uqbah bin Abu Mu’aith lebih memberatkan pertemanan dari pada dakwah Rasulullah ﷺ sehingga untuk membuktikan pertemanannya Uqbah bin Abu Muaith pun sampai rela untuk melemparkan kotoran ke punggung Rasulﷺ. Akan tetapi di akhir hayatnya Uqbah bin Abu Muaith menyesali perbuatannya tersebut. Sebagaimana hal ini telah diabadikan di al-Qur’an, Allah ﷻ berfirman: “Dan (ingatlah) pada hari (ketika) orang-orang zhalim menggigit dua jarinya, (menyesali perbuatannya) seraya berkata, “Wahai! Sekiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama Rasul.” (Q.S. al-Furqan [25]: 27). Dimana pada akhirnya Uqbah bin Abu Muaith meninggal dunia dalam keadaan kafir di medan perang.[1]

Anjuran Nabi Untuk Memilah Dalam Pertemanan

Nabi Muhammad ﷺ telah mengajarkan kita bagaimana pertemanan yang baik itu. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Musa al-‘Asy’ari, Rasulullah ﷺ bersabda: “Permisalan teman duduk (berteman) dengan orang shalih dan orang yang buruk bagaikan berteman dengan pemilik minyak wangi dan pandai besi. Pemilik minyak wangi tidak akan merugikanmu; engkau bisa membeli (minyak wangi) darinya atau minimal engkau mendapat baunya. Adapun apabila engkau berteman dengan pandai besi, jika engkau tidak mendapati badan atau pakaianmu hangus terbakar, minimal engkau mendapat baunya yang tidak enak.” (HR. Bukhari no. 5534 dan Muslim, no.2628)[2]

Dimana Rasulullah ﷺ mengajarkan kepada kita supaya kita mencari teman yang baik. Imam An-Nawawi menjelaskan tentang hadits diatas bahwasanya hadits diatas menunjukkan keutamaan bergaul dengan teman yang shalih atau orang baik yang memiliki akhlak yang mulia, sikap wara’ (rendah hati). Dan hadits diatas juga terdapat larangan serta bahayanya bergaul dengan orang yang memiliki perilaku yang buruk dan yang memiliki sikap yang tercela.

Ibnu Hajar al-Asqalani juga menjelaskan tentang hadits diatas: “Hadits di ini menunjukkan larangan berteman dengan orang-orang yang dapat merusak agama maupun dunia kita. Hadits ini juga mendorong seseorang agar bergaul dengan orang-orang yang dapat memberikan manfaat dalam agama dan dunia.”

Berdasarkan hadits diatas dijelaskan juga beberapa manfaat dari berteman dengan orang baik diantaranya: 1) Kita diajak untuk melakukan kebaikan yang serupa. 2) Kita juga mendapatkan semangatnya dalam melakukan kebaikan. 3) Hal yang paling minim yaitu kita juga mendapatkan pujian dari berteman dengannya.

Selain itu kita juga dijelaskan bahayanya jika kita berteman dengan orang yang memiliki akhlak yang buruk semisal: 1) Kita jadi ikut ikutan melakukan keburukan yang serupa. 2) Kita mendapatkan getah dari apa yang dilakukan teman tersebut. 3) Hal yang paling minim yaitu kita mendapatkan sindiran dari masyarakat karena berteman dengannya.

Pribadi Rasulullah dalam Berteman

Dalam surah al-Qalam ayat 4 Allah ﷻ berfirman: “Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang luhur”. (Q.S. al-Qalam [68]: 4).  Rasulullah ` merupakan sosok panutan kita umat muslim seseorang yang memiliki setiap budi yang luhur. Bahkan setiap sahabat memiliki kesan yang sangat bagus dalam pergaulan beliau. Setiap pribadi Rasul dalam bergaul dengan para sahabat, kemudian para sahabat menceritakan kepada generasi selanjutnya, berikut contoh pribadi Rasulullah ﷺ salam dalam bergaul terdapat dalam suatu hadits Rasulullah ﷺ : “Hak seorang muslim terhadap sesama muslim ada enam, yaitu bila engkau berjumpa dengannya ucapkanlah salam; bila ia memanggilmu penuhilah; bila dia meminta nasehat kepadamu nasehatilah; bila dia bersin dan mengucapkan alhamdulillah bacalah yarhamukallah (artinya  semoga Allah memberikan rahmat kepadamu); bila dia sakit jenguklah; dan bila dia meninggal dunia hantarkanlah (jenazahnya)”. (H.R Muslim).[3]

Berdasarkan hadits diatas terdapat 6 dasar dalam bergaul yaitu: 1) Menjawab salam. 2) Menjenguk dan mendoakan teman yang sakit. 3) Memberi undangan dan menjawab undangan. 4) Memberi nasehat. 5) Mendoakan ketika ada teman yang bersin. 6) Mengantarkan jenazah.

Selain dari 6 dasar bergaul yang telah diajarkan oleh Rasulullah ﷺ, Beliau juga mengajarkan kita untuk selalu membantu setiap muslim yang sedang kesulitan dan menutup aib sesama muslim yang mana kita nanti juga akan dimudahkan dan ditutup aibnya oleh Allah ﷻ di dunia maupun di akhirat. Sebagaimana sabda Nabi `: “Barangsiapa yang melapangkan satu kesusahan dunia dari seorang Mukmin, maka Allâh melapangkan darinya satu kesusahan di hari Kiamat. Barangsiapa memudahkan (urusan) orang yang kesulitan (dalam masalah hutang), maka Allâh memudahkan baginya (dari kesulitan) di dunia dan akhirat. Barangsiapa menutupi (aib) seorang Muslim, maka Allâh akan menutup (aib)nya di dunia dan akhirat. Allâh senantiasa menolong seorang hamba selama hamba tersebut menolong saudaranya. Barangsiapa menempuh jalan untuk menuntut ilmu, maka Allâh akan mudahkan baginya jalan menuju Surga. Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allâh (masjid) untuk membaca Kitabullah dan mempelajarinya di antara mereka, melainkan ketenteraman akan turun atas mereka, rahmat meliputi mereka, Malaikat mengelilingi mereka, dan Allâh menyanjung mereka di tengah para Malaikat yang berada di sisi-Nya. Barangsiapa yang diperlambat oleh amalnya (dalam meraih derajat yang tinggi-red), maka garis keturunannya tidak bisa mempercepatnya.” (H.R Muslim no.2699)[4]

Oleh karena itu carilah untuk kalian teman yang baik yang senantiasa menasehati kita dikala sedang futur dalam beribadah, karena teman yang seperti ini lah yang dapat menuntun kita menuju surganya Allah ﷻ sebagaimana telah diriwayatkan oleh Imam Ibnul Mubarak: “Apabila penghuni surga telah masuk ke dalam Syurga, lalu mereka tidak menemukan Sahabat2 mereka yang selalu bersama mereka dahulu di dunia.Mereka bertanya tentang Sahabat mereka kepada Allah Ta’ala “Ya Rabb kami tidak melihat Sahabat Sahabat kami yang sewaktu di dunia shalat bersama kami, puasa bersama kami dan berjuang bersama kami?” Kemudian Allah Ta’ala berfirman “Pergilah ke neraka lalu keluarkan Sahabat-sahabatmu yang di dalam hatinya terdapat iman walaupun sebiji zarrah” (HR. Ibnul Mubarak dalam kitab ‘Az-Zuhd’)[5]

Marâji:

[1] Ibnu Katsir. Tafsir Ibnu Katsir. Bogor : Pustaka Imam Asy-Syafi’I, 2004. Jilid 6, hal. 108

[2] Imam Muslim, Shahih Muslim, No 2628

[3] Abu Zakariya Yahya bin Syaraf An-nawawi. Riyadhus Shalihin. Beirut, Maktabul Islami. hal.  143.

[4] Ibid. hal. 146.

[5] Sumber https://pundiamalhasanahumat.or.id/carilah-teman-yang-bisa-membawamu-ke-sorga/

Download Buletin klik disini

HAKIKAT KEMERDEKAAN

HAKIKAT KEMERDEKAAN

Oleh: Imaduddin Fadhlurrahman

*Santri Rumah Tahfidz Taruna Juara Yogyakarta.

 

Bismillâhi Walhamdulillâhi wash-shalâtu was-salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Bulan Agustus selalu lekat dengan hari kemerdekaan. Hal ini karena pada setiap tanggal 17 Agustus selalu diperingati sebagai peristiwa paling bersejerah bangsa ini, yakni hari kemerdekaan Negara Republik Indonesia sebagai peringatan karena telah merdeka dari belenggu penjajah. Semarak dan animo penyambutan hari kemerdekaan ditandai dengan bendera merah putih yang berkibar di sepanjang jalan dan spanduk dan umbul-umbul yang turut memenuhi ruas-ruas jalan. Ini adalah salah satu bukti masyarakat Indonesia dalam mengekspresikan cintanya kepada bangsa sekaligus menghormati jasa para pahlawan.

Islam sendiri mendorong umatnya untuk mencintai tanah air sebagai bentuk ketaatan kepada ulil amri dalam perakara kebaikan. Mencintai tanah air seperti halnya Rasulullah n mencintai Makkah dan Madinah karena kedua tempat tersebut adalah tanah airnya. Bentuk kecintaan tersebut ditunjukkan Rasulullah n dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh  Imam Bukhari yang berbunyi, “Ketika Rasulullah hendak datang dari bepergian, beliau mempercepat jalannya kendaraan yang ditunggangi setelah melihat dinding kota Madinah. Bahkan beliau sampai menggerak-gerakan binatang yang dikendarainya tersebut. Semua itu dilakukan sebagai bentuk kencintaan beliau terhadap tanah airnya.” (H.R. Bukhari)[1].

Hakekat Kemerdekaan Dalam Islam

Islam sesungguhnya memandang kemerdekaan sebagai sebuah bentuk kebebasan dari ketundukan kepada makhluk untuk bertindak sesuai dengan ajaran al-Quran dan Sunnah diatas pemahaman salafush shalih. Ini merupakan fitrah manusia sebagai makhluk yang diberikan kehendak bebas oleh Allah untuk menjadi khalifah, pemimpin di muka bumi.[2]

Konsep Islam terhadap kemerdekaan ialah perubahaan dari kegelapan menjadi terang-benderang, serta dari sesuatu yang buruk menuju ke arah yang lebih baik. Islam menjadikan konsep kemerdekaan menyentuh segala aspek kehidupan manusia, mencakup pula yang lahiriyah dan batiniyah. Artinya kemerdekaan akan diraih ketika seorang muslim mampu berada dalam fitrahnya, menjadi hamba Allah, khalifah di muka bumi.[3]

Beberapa contoh konsep kemerdekaan yang telah termaktub dalam al-Qur’an. Pertama, dapat dilihat dari kisah Nabi Ibrahim ketika membebaskan dirinya dari stereotip masyarakat yang keliru dalam kehidupan manusia. Pada surah al-Anam  ayat 76-79 dikisahkan tentang perjalanan spiritual Nabi Ibrahim yang mencari Tuhan sebagai upaya membebaskan hidupnya dari orientasi kehidupan yang keliru saat itu, namun tumbuh subur dalam lingkungan Nabi Ibrahim tinggal di mana masyarakat pada saat itu menyembah berhala sebagai tuhan. Bagi Nabi Ibrahim hal tersebut tidak sejalan dengan tali keimanannya karena telah melakukan bentuk pengahambaan yang justru menjatuhkan harkat dan martabat sebagai manusia.

Contoh kedua terkait memaknai kemerdekaan dapat pula dipetik pelajarannya dari kisah Nabi Musa ketika membebaskan bangsanya dari penindasan Firaun. Kekejiaan zaman pemerintaah Firaun membuatnya tidak segan membunuh dan memperbudak kaum laki-laki bangsa Isarel dan meninstakan kaum perempuan. Kezaliman inilah yang mendorong Nabi Musa untuk memimpin membebaskan bangsanya dari penindasan dan akhirnya meraih kemerdekaan sebagai bangsa yang mulia dan bermartabat sebagaimana tercantum dalam surah al-A’râf ayat 127, al-Baqarah ayat 59, dan Ibrahim ayat 6.[4]

Kisah Nabi Muhammad n adalah contoh berikutnya yang dapat dijadikan sumber yang tidak pernah habis untuk memaknai kemerdekaan bagi bangsa Indonesia baik secara holistik maupun secara integral. Bayangkan saja ketika Nabi Muhammad di utus 14 abad silam, beliau dihadapkan dengan zaman jahiliyah dengan kondisi masyarakat yang mengalami tiga bentuk penjajahan sekaligus mulai dari segi disorientasi kehidupan, penindasan ekonomi, dan kezaliman sosial.

Itu sebabnya Nabi Muhammad ﷺ sebagai utusan Allah ﷻ ditugaskan untuk membawa misi tauhid, yang tidak lain dan tidak bukan untuk memerdekakan dan membebaskan manusia dari segala bentuk penindasan manusia atas manusia yang lainnya. Sebagaimana dalam firmannya Allah ﷻ berfirman: “(inilah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari kegelapan cahaya yang terang benderang dengan izin Tuhan mereka.” (Q.S. Ibrahim [14]: 1).[5]

Memaknai Kemerdekaan Sebagai Sarana Mencintai Indonesia

Jika melihat definisi kemerdekaan dalam Islam baik secara historis dan terminologi, maka akan didapatkan satu benang merah bahwa pemaknaan atas kemerdekaan tersebut harus terwujud dalam tindakan-tindakan yang merepresentasikan tingkah laku kebaikan sehingga pada akhirnya akan melahirkan kecintaan terhadap bangsa Indonesia. Imam An-Nawawi menambahkan jika baik saja tidak cukup. Umat Islam harus pula mampu secara mandiri dan produktif di segala kebutuhan sehingga negara Indonesia yang merdeka akan terwujud dengan setiap warga negara yang mengusahakan sebaik mungkin di profesi yang digeluti masing-masing.[6]

Jika menjadi orang tua, maka menjadi orang tua yang bertanggwungjawab. Jika menjadi pejabat, maka menjadi pejabat yang jujur dan amanah. Jika menjadi pendidik, maka menjadi pendidik yang tulus dalam mengajar dan mangabdi terhadap masyarakat. Jika menjadi pelajar, maka menjadi pelajar yang rajin dalam menuntut ilmi di bidangnya masing-masing.

Maka buah dari kecintaan terhadap tanah air sejatinya akan tampak dari tingkah laku kita sebagai warga negara yang selalu berusaha baik dalam segala kondisi, tempat, dan berperilaku baik dengan akhlak yang mulia, serta senantiasa berusaha muntun bangsa Indonesia ke arah yang lebih baik. Oleh karena itu, sebagai pewaris kemerdekaan menjadi tugas bersama untuk memelihara semangat kemerdekaan dengan mengisinya dengan cita-cita kemerdekaan yaitu mewujudkan negara yang adil dan makmur sehingga mendapat limpahan dan rahmat dari Allah ﷻ dengan segala aktivitas yang kita lakukan.

Untuk menjadikan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang adil dan makmur, maka syarat yang harus dipenuhi ialah harus menjadi umat bertakwa, umat yang mau menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar. Dengan begitu, bangsa Indonesia akan berada jalurnya untuk menjadi negara yang aman dan tentram serta adil dan makmur. Sebagaimana Allah ﷻ berfirman “Jikalau sekiranga penduduk negeri beriman dan bertawa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.” (Q.S. al-A’râf [7]: 96).[7]

Marâji’:

[1] Takdir Ali Mukti, Membangun Moralitas Bangsa (Amar Ma’ruf Nah Munkar: dan Subyektif-Normatf ke Obyektif-Empiris), Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2000.

[2] Syu’bah Asa,  Dalam Cahaya Al-Qur’an (Tafsir Ayat-ayat Sosial-Politik), Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2000.

[3] Hilman Latief, dkk., Islam dan Urusan Kemanusiaan: Konflik, Perdamaiaan, dan Folantropi. Jakarta: Serambi, 2015

[4] Quraish Shihab,  Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1997.

[5] Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid IV, PT. Pustaka Panji Mas: Jakarta, 2004

[6] Aboebakar Atjeh,  Islam dan Kemerdekaan Beragama, Cirebon:  Toko Messir, 1970

[7] Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid IV, PT. Pustaka Panji Mas: Jakarta, 2004

Download Buletin klik disini

BAGAIMANA JIKA SELALU OVERTHINGKING?

BAGAIMANA JIKA SELALU OVERTHINGKING?

Penulis:

Hana Nabila Rizka, SE.

 

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh,

Kaum muslimin yang dimuliakan oleh Allah ﷻ, overthingking merupakan kondisi seseorang sering berfikir berlebihan. Seseorang yang sering berfikir berlebihan biasanya merisaukan keadaan yang akan terjadi, misalnya mempertimbangkan perkara tanpa henti. Ketika seseorang ingin memutuskan suatu tujuan, kemudian mempertanyakan keputusan tersebut, entah fikiran “bagaimana jika” atau “seharusnya” atau “jangan-jangan?” pasti sering mendominasi fikiran. Overthingking bagaikan hakim tak terlihat yang siap untuk menilai keputusan seseorang. Walaupun dilain sisi berfikir lebih dari satu kali itu baik, karena memutuskan sesuatu dengan matang, namun tidak dipungkiri ada dampak negatif dari overthingking karena membuang energi memikirkan secara berlebihan tanpa adanya tindakan nyata. Bahkan yang terburuk overthingking dapat menimbulkan kondisi kecemasan akut dimana berbagai macam emosional dalam diri kita muncul seperti rasa khawatir, marah, takut, was-was, cemas, dan sedih yang menimbulkan konflik internal di dalam diri seseorang baik fisik maupun mental.

Tanda-Tanda Overthingking

Beberapa gejala umum dapat ditandai bahwa individu tersebut adalah seorang overthinker diantaranya; Pertama, seseorang yang overthingking akan lebih banyak berfikir dibandingkan bertindak, sehingga orang yang overthingking akan selalu menganalisa, mengulang suatu pemikiran dan mengomentari hal yang akan dituju beserta dampaknya.

Kedua, sulit tidur dan jiwa terasa lelah, dalam tubuh manusia diantaranya memproduksi hormon kortisol ketika manusia terlalu banyak memikirkan sesuatu terlalu banyak dan membuat tertekan atau stres.1 Jika hormon ini terus diproduksi dapat mengakibatkan badan lelah.

Ketiga, merasa takut dengan masa depan dirinya, seseorang yang overthingking akan selalu berfikir skenario terburuk sehingga hal tersebut mampu mengembangkan pola pikir negatif. Keadaan itu terlalu mengkhawatirkan masa depan, takut untuk memulai atau jika sudah memulai ia tidak akan bisa menghargai segala sesuatu yang telah diraihnya.

Keempat, emosi yang naik turun, seseorang yang overthingking fikirannya mengalami ketegangan yang luar biasa, hal tersebut menjadikan dirinya mudah marah dan insecure. Bahkan dapat melampiaskan ketegangan berfikir itu untuk hal yang merugikan dirinya.

Islam dalam Memandang Overthingking

Dalam perspektif Islam, overthinking adalah fikiran-fikiran yang muncul dari perasaan takut. Ketakutan yang muncul akan berkembang menjadi lebih besar jika dibarengi dengan perasaan gelisah, cemas, adanya imajinasi dalam kondisi tertentu serta emosi. Overthinking bisa disebabkan karena adanya bisikan setan yang menjadikan manusia merasa buruk, selain itu juga disebabkan karena manusia belum sepenuhnya berserah diri (tawakkal) dan bergantung hanya kepada Allah ﷻ.  Sebagaimana yang dijelaskan pada tafsir al-Qur’an surah An-Nâs ayat 4 dan 5 yang artinya “Dari kejahatan (bisikan) setan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia”.2

Makna ayat tersebut menjelaskan bahwa dari kejahatan setan yang banyak bersembunyi berupa berbagai pikiran, angan-angan, dan khayalan yang tidak ada hakikatnya, yang dibisikkan pada hati manusia.3 Setan menjadikan perbuatan jahat tampak indah dalam pandangan manusia, sehingga manusia bersamangat untuk mengerjakannya.4 Setan berjalan pada peredaran darah manusia, sehingga terkadang bisikannya tidak dapat dirasakan oleh manusia. Begitu tersembunyinya godaan syaitan terhadap hati manusia, maka menjadi sangat lekat dengan prasangka.

Dalam Islam sendiri, terdapat konsep su’udzon yang bermakna berburuk sangka baik terhadap dirinya sendiri, orang lain dan Allah ﷻ. Sikap ini muncul karena sering terburu-buru menilai atau memikirkan suatu kejadian yang belum tentu jelas, dalam arti seseorang bersikap kurang tegas dan bijaksana dalam menyikapi suatu kejadian. Prasangka buruk yang terus berulang dapat menyebabkan ketidakbersyukuran terhadap dirinya sendiri ataupun lingkungannya, perilaku tersebut juga akan semakin menjauhkan diri dari akhlak terpuji yang telah diajarkan di dalam Islam, misalnya tidak bersegera dalam kebaikan hanya karena keraguan atau ketergantungannya kepada selain Allah ﷻ. Padahal Allah ﷻ memerintahkan kepada kita untuk menjauhi prasangka (Q.S. al-Hujurat [49] : 12).

Konsep Islam Dalam Menghadapi Overthingking

Kaum muslimin yang dimuliakan oleh Allah ﷻ, Islam adalah agama yang sempurna, menjadi sumber dari segala sumber syariat mengenai akhlak terpuji, baik hubungan dengan Allah ﷻ, sesama manusia, maupun dengan sesama makhluk hidup, dan juga alam yang diciptakan oleh Allah ﷻ. Dalam menghadapi overthingking Islam memberikan faidah:

Pertama, Islam mengajarkan kepada hamba-Nya untuk senantiasa berpikir husnudzon, bukan berpikir buruk kepada orang lain terutama kepada takdir yang telah Allah ﷻ  tetapkan. Prasangka baik kepada Allah ﷻ akan mendatangkan kemuliaan untuk diri kita di sisi-Nya. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits qudsi yang diriwayatkan oleh bukhari dan muslim sebagai berikut, “Dari Abu Hurairah z, Rasulullah bersabda “Allah berfirman; Aku sebagaimana prasangka hamba-Ku kepada-Ku, dan Aku akan bersamanya selama ia berdoa kepada-Ku. Jika ia mengingat-Ku dalam dirinya maka Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku, jika ia mengingat-Ku dalam sekumpulan orang maka Aku akan mengingatnya dalam sekumpulan yang lebih baik darinya. Jika ia mendekat kepada-Ku satu jengkal maka Aku akan mendekat kepada-Nya satu hasta, jika ia mendekat kepada-Ku satu hasta maka Aku akan mendekat kepadanya satu depa, dan jika ia mendatangi-Ku dengan berjalan maka Aku akan mendatanginya dengan berlari.” (HR Bukhari dan Muslim).5

Dalam hadits tersebut dijelaskan bahwa Allah ﷻ berkehendak atas segala sesuatu sebagaimana hamba-Nya berprasangka kepada-Nya. Allah ﷻ  juga bersama dengan siapa yang selalu mengingat-Nya. Apabila kita berprasangka buruk pada ketetapan Allah ﷻ maka keburukanlah yang akan kita rasakan, namun sebaliknya jika kita menerima segala ketetapan dan kemudian berprasangka baik kepada-Nya, maka sesungguhnya Allah ﷻ tidak pernah mengingkari janji. Allah ﷻ  telah menjamin kehidupan kita. Jika manusia sepenuhnya percaya akan hal tersebut, maka dia akan menjadi seorang yang optimis.

Kedua, overthingking dapat dihindari dengan cara membangun mindfulness. Dalam pengertiannya, mindfulness merupakan atensi yang diberikan individu terhadap pengalamannya disertai penerimaan yang menjadikan kesadaran hadir.6 Sehingga seseorang dapat menyikapi suatu permasalahan, mengontrol emosi pada suatu kondisi secara baik dan tidak menjadikan overthingking. Dengan izin Allah ﷻ mindfulness mampu meningkatkan kesehatan mental, seperti mengingat lebih baik dan mampu mengelola perasaan ataupu rasa sakit dengan berfokus pada emosi. Sehingga seseorang dapat mengembangkan pola pikir yang lebih positif. Dari hal itu, seseorang dapat khusyuk dalam melakukan ibadah dan bermuamalah karena bekerja lebih efisien untuk mencapai tujuan, dan menjadi lebih bahagia.

Marâji’

  1. Setiyono, et,al.Pengaruh Tingkat Stres dan Kadar Kortisol dengan Jumlah Folikel Dominan Pada Penderita Infertilitas yang Menjalani Fertilisasi Invitro. Jurnal:majalah Obstetri & Ginekologi.Vol 23. No 3. 2015.
  2. Karimah, Afifah Nurul.Overthingking Dalam Perspektif Psikologi dan Islam.2021.https://www.researchgate.net/publication/353428970
  3. Tafsir Juz ‘Amma, Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin.
  4. Taisirul Karimir Rahman fi Tafsir Kalamil Mannan, ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. 4/495.
  5. Shahih al-Bukhari, kitab at-Tauhid, bab qaul Allah Ta’ala {وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ}(Ali Imran: 28), No. hadits 7405, jilid 9, hal 121.
  6. Yusainy, Cleoputri, dkk. Mindfulness Sebagai Strategi Regulasi Emosi. Jurnal Psikologi. Vol 17. No 2. 2018. Hal 177

Download Buletin klik disini

MUHARRAM, BULAN YANG MULIA DAN MITOS-MITOSNYA

MUHARRAM, BULAN YANG MULIA DAN MITOS-MITOSNYA

Oleh: Siti Jamilah, MSI

* Penyuluh Agama Islam Kota Yogyakarta

 

Bismillâhi Walhamdulillâhi wash-shalâtu was-salâmu ‘alâ rasûlillâh,

         Dalam sistem kalender Hijriyah perhitungan tanggal, bulan dan tahun didasarkan pada peredaran bulan. Maka ia sering disebut sebagai kalender qamariyah. Sementara kalender Masehi didasarkan pada peredaran matahari, sehingga ia disebut kalender syamsiyah. Secara resmi, Islam menggunakan kalender Hijriyah, karena ia juga berkaitan dengan banyak ritual peribadatan umat Islam, seperti puasa dan ibadah haji. Allah ﷻ berfirman: “Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Ia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.“ (Q.S. Yunus [10]: 5).

Pada masa Nabi ﷺ, perhitungan tahun masih menggunakan tahun bi’tsah atau tahun nubuwwah (tahun kenabian) yang dihitung sejak Muhammad ﷺ diangkat sebagai Nabi. Baru pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab diinisiasi sistem kalender baru yang menjadi identitas umat Islam dengan mendasarkan pada hitungan hijrahnya Nabi ﷺ ke Madinah yang kemudian dikenal dengan kalender hijriyah. Kalender hijriyah diawali dengan bulan Muharram. Bulan yang memiliki arti tersendiri. Karena nama Muharram langsung diberikan oleh Allah melalui wahyu. Sehingga ia disebut dengan syahrullah (bulannya Allah). Sebelum itu Muharram bernama Shafar Awwal. Dan bulan Shafar yang kita kenal, dahulu disebut dengan Shafar Tsani.[1]

Beberapa Keutamaan Bulan Muharram

  1. Bulan haram adalah bulan yang dimuliakan Allah ﷻ. Nabi n bersabda: ”Zaman berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram. Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumada (akhir) dan Sya’ban.” (HR. Bukhari).[2]
  2. Muharram disebut dalam hadits dengan sebutan syahrullah (bulannya Allah). Muharram merupakan bulan yang dinisbatkan kepada dzat-Nya yang Maha Mulia. Ia disebut sebagai syahrullah (bulannya Allah) sebagaimana sabda Nabi; “Sebaik-baik puasa setelah puasa Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah, Muharram.” (HR. Muslim).[3]
  3. Di dalamnya terdapat hari Tanggal 10 Muharram dikenal dengan sebutan hari asyura. Asyura berasal dari kata ‘asyara yang bermakna hari kesepuluh bulan Muharram. Ia merupakan waktu yang agung dan mulia.
  4. Banyak peristiwa besar terjadi dalam sejarah di bulan Muharram, terutama pada hari asyura. Menurut beberapa sumber riwayat diceritakan bahwa hari asyura diselamatkanlah Nabi Musa dan pengikutnya dari kejaran Fir’aun, mendaratnya kapal Nabi Nuh di bukit Juud setelah sekian lama berlayar di tengah banjir, juga diselamatkannya Nabi Yunus dari perut ikan Nun raksasa yang menelannya.

Tathoyyur seputar Muharram

            Bulan Muharram yang disebut orang Jawa dengan bulan Suro adalah bulan yang sering dihubung-hubungkan dengan mitos dan hal-hal yang berbau klenik/mistis. Bahkan banyak orang menganggapnya sebagai bulan keramat yang dipercaya dapat membawa kesialan jika melanggar pantangan-pantangannya. Banyak orang meyakini, tidak boleh melangsungkan hajat tertentu di bulan Suro, seperti menikah (mantu), membangun rumah dan seterusnya. Hal itu diyakini akan membawa pada kesialan.

Sesungguhnya menghubungkan kesialan dengan bulan atau waktu tertentu merupakan hal yang keliru dan bertentangan dengan agama. Islam mengajarkan bahwa tidak ada yang dapat memberikan madharat kecuali atas izin-Nya. Apalagi Muharram sendiri artinya adalah bulan yang dimuliakan Allah ﷻ. Mengapa lalu dianggap sebagai bulan yang sial? Hal semacam ini dalam kajian ilmu tauhid sering disebut dengan tathoyyur.

            Tathoyyur secara bahasa artinya berita burung. Tathoyyur maksudnya adalah mengkait-kaitkan sesuatu dengan hal yang tidak memiliki hubungan logis. Termasuk menganggap diri akan terkena sial jika melakukan hal-hal tertentu. Contohnya menganggap diri akan celaka jika melangsungkan hajat di bulan Suro. Hal ini dapat mengotori kemurnian aqidah. Nabiﷺ  melarang seseorang mencela masa atau waktu.

Larangan Mencela Waktu atau Bulan

            Menganggap bulan Suro atau Muharram sebagai bulan yang membawa sial adalah bentuk tindakan mencela waktu. Apalagi yang dicela adalah bulan yang istimewa, yang disebut sebagai bulannya Allah. Orang yang mencela waktu pada hakikatnya telah mencela Allah yang Maha mengatur waktu. Di dalam hadits qudsi disebutkan; “Anak Adam telah menyakiti-Ku, ia mencela waktu, padahal Aku adalah (pencipta) waktu. Di tangan-Ku segala perkara. Aku memutar malam dan siang.” (HR. Bukhari).[4]

Termasuk perbuatan mencela waktu adalah menganggap adanya hari naas, hari jelek, bulan sial dan yang semisalnya. Nabi juga melarang kita mencela sesuatu yang merupakan bagian dari sunnatullah dan fenomena alam ciptaan-Nya. Misalnya mengumpat, “dasar batu sial”, “hujan sialan”, “dasar pembawa sial” dan sejenisnya. Nabi n mengajarkan jika kita bertemu hal yang tidak menyenangkan pun tetap memuji Allah l dengan dzikir. Misalnya dengan mengucapkan alhamdulillâh ‘alâ kulli hâl, astaghfirullâh, subhânallâh, dan sebagainya.

Dasar prinsip tauhid adalah membangun sebuah keyakinan bahwa tidak ada yang dapat mendatangkan manfaat dan madharat, melainkan atas izin dan kehendak Allah ﷻ. Dan juga mengikis hal-hal yang menciderai logika akal sehat. Manusia dimuliakan Allah ﷻ karena kemampuan menalar dan menggunakan akal fikirnya yang sehat dan lurus. Al-Qur’an berulangkali menegaskan hal tersebut dalam ayat-ayatnya.

Beberapa Amalan di bulan Muharram

Secara umum di bulan-bulan haram, termasuk Muharram, kita dianjurkan untuk lebih meningkatkan amal ibadah di dalamnya. Misalnya dengan memperbanyak tilawah, sedekah dan seterusnya. Amal ibadah di bulan-bulan haram akan mendapatkan keutamaan dan pahala yang lebih besar. Selain itu ada beberapa ibadah yang dituntunkan secara khusus oleh Nabi ﷺ di bulan Muharram. Di antaranya adalah menunaikan puasa sunnah pada tanggal 9 dan 10 Muharram.

Dalam sebuah hadits disebutkan: “Rasûlullâh berpuasa pada hari asyura dan memerintahkan umatnya untuk berpuasa. Para sahabat berkata: ”Ya Rasulallah, sesungguhnya hari itu (juga) diagungkan oleh orang-orang Yahudi.” Maka beliau bersabda: “Pada tahun depan insya Allah kita akan berpuasa juga  pada tanggal sembilan.” Tetapi sebelum datang tahun depan Rasulullah telah wafat.” (HR. Muslim). Secara khusus, Nabi mengabarkan agungnya pahala menunaikan puasa sunnah pada hari asyura. Beliau bersabda; “Puasa pada hari asyura akan menghapus dosa setahun yang telah lalu.” (HR. Muslim).[5]

Marâji’:

[1] Jalaluddin as-Suyuthi, Syarh Shahih Muslim, Beirut: Darul Fikr, t.t. Juz 3 hal. 252.

[2] Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, Beirut: Darul Fikr, 2003.

[3] Muslim ibn Hajjaj an-Naisaburi, Sahih Muslim, Beirut: Darul Fikr, t.t.

[4] Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, Beirut: Darul Fikr, 2003.

[5] Muslim ibn Hajjaj an-Naisaburi, Sahih Muslim, Beirut: Darul Fikr, t.t.

Download Buletin klik disini

MEMULAI TAHUN BARU 1444 H DENGAN KETAATAN

MEMULAI TAHUN BARU 1444 H DENGAN KETAATAN

Oleh: Retno Farida, A.Md

*Kaur Keuangan DPPM UII

 

Bismillâhi walhamdulillâh wash-shalâtu was-salâmu ‘ala rasûlillâh,

Muharram adalah salah satu dari empat bulan suci dalam Islam, ada Dzulqa’dah, Dzulhijah, Muharram dan Rajab. Sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah ﷻ:  “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram” (Q.S. At Taubah [9]: 36).

Diterangkan dalam hadis yang diriwayatkan dari sahabat Abu Bakrah, Nabi ﷺ bersabda: “Satu tahun ada 12 bulan. Empat bulan diantaranya adalah bulan haram (suci), tiga diantaranya beurutan, yaitu , Dzulhijah dan Muharram. Kemudian Rajab Mudhar yang diapit bulan Jumada (al akhir) dan Sya’ban” (HR. Bukhari dan Muslim).

Sungguh Bulan Muharram adalah salah satu bulan yang memiliki keutamaan di hadapan Allah, sehingga memasukinya termasuk memperoleh rahmat dari Allah yang perlu disyukuri, tentu saja wujud mensyukuri paling baik adalah dengan memperbanyak amal shalih di bulan haram. Memulai awal tahun dengan ketaatan, agar pasti dalam melangkah dan menatap masa depan dengan optimis.

Dalam kitab Kanzun Najah Was Surur karangan Asy-Syaikh Abdul Hamid Qudsi, disampaikan bahwa termasuk yang diminta dalam hari Asyura ialah melakukan berbagai amalan. Beberapa amalan yang tersebar dikalangan kaum muslimin ada yang berdasarkan hadits dha’if dan ada pula yang mungkar maudlu’, kecuali hadits puasa sebagaimana dikatakan oleh Al-Allamah Al­Ajhuri.[1]

Sejarah Amalan Puasa Muharram

Dalam sebuah hadits, Nabi Muhammad ` menyampaikan bahwa puasa Asyura adalah ibadah untuk merayakan kemenangan yang telah diberikan Allah kepada Nabi Musa dan kaum bani Israil dari Fir’aun yang biasanya dilakukan oleh orang Yahudi. Dari Ibnu ‘Abbas bahwa Nabi ﷺ ketika tiba di Madinah, Beliau mendapatkan mereka (orang Yahudi) malaksanakan shaum hari ‘Asyura (10  Muharam) dan mereka berkata; “Ini adalah hari raya, yaitu hari ketika Allah menyelamatkan Musa dan menenggelamkan Fir’aun. Lalu Nabi Musa mempuasainya sebagai wujud syukur kepada Allah”. Maka Beliau bersabda: “Akulah yang lebih utama (dekat) terhadap Musa dibanding mereka”. Maka Beliau berpuasa pada hari itu dan memerintahkan ummat Beliau untuk mempuasainya (HR. Bukhari).[2]

Rasulullah ` merasa bahwa umat Islam lebih berhak untuk merayakan kemenangan yang diberikan oleh Allah kepada Nabi Musa dan Bani Israil, kemudian dalam Hadits lain Nabi Muhammad ` memerintahkan untuk menyelisihi kebiasaan puasa yang dilakukan oleh kaum Yahudi, yaitu dengan menambah bilangan puasa menjadi dua hari. Selain tanggal 10 Muharram juga pada hari sebelumnya, yaitu tanggal sembilan Muharram, diperintahkan untuk berpuasa, yang kemudian dikenal dengan nama puasa Tasua. Sebagaimana tercantum dalam kitab Riyadhus Shalihin karangan Imam An-Nawawi.

Dari Ibnu Abbas berkata bahwa ketika Nabi ﷺ melakukan puasa hari ’Asyura dan memerintahkan kaum muslimin untuk melakukannya, pada saat itu ada yang berkata, “Wahai Rasulullah, hari ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashrani.” Lantas beliau mengatakan, “Apabila tiba tahun depan –insya Allah (jika Allah menghendaki)- kita akan berpuasa pula pada hari kesembilan.” Ibnu Abbas mengatakan, “Belum sampai tahun depan, Nabi ` sudah keburu meninggal dunia.” (HR. Muslim 4/1253)[3]

Keutamaan Puasa pada Bulan Muharram

Rasulullah ﷺ dalam sebuah hadits memerintahkan umatnya untuk berpuasa pada hari Asyura sebagaimana disebutkan dalam kitab Riyadhus Shalihin karangan Imam An-Nawawi yang diriwayatkan Imam Muslim. [4] Dari Ibnu Abbas a bahwasanya Rasulullah ﷺ berpuasa pada hari ‘Asyura (yaitu tanggal 10  bulan Muharram) dan memerintahkan umatnya untuk berpuasa pada hari itu pula. (HR Muttafaq ‘alaih 2/1251.)[5]

Masih dalam kitab yang sama, Imam An-Nawawi juga menyampaikan bahwa ibadah puasa Asyura pada bulan Muharram merupakan ibadah puasa yang diutamakan setelah ibadah puasa Bulan Ramadhan. Dari Abu Hurairah, katanya: “Rasulullah ﷺ bersabda: “Seutama-utama berpuasa sesudah bulan Ramadhan ialah dalam bulan Allah yang dimuliakan yakni Muharram dan seutama-utama shalat sesudah shalat wajib ialah shalatullail (yakni shalat sunnah di waktu malam).” (H.R Muslim 1/1246.)[6]

Sedangkan keutamaan puasa Asyura, disebutkan dalam kitab yang sama, bahwa jika puasa dimaksud dijalankan, akan menghapus kesalahan-kesalahan tahun yang lalu. Dari Abu Qatadah a bahwasanya Rasulullah ﷺ ditanya perihal berpuasa pada hari ‘Asyura (tanggal 10  Muharram), Beliau ` lalu bersabda: “Puasa pada hari itu dapat menutupi dosa tahun yang lampau.” (H.R Muslim 3/1252.)[7]

Resolusi Tahun Baru 1444 H

Setiap manusia yang dilahirkan di dunia ini mempunyai misi untuk sebanyak-banyaknya melakukan amalan ibadah kepada Allah ﷻ. Setiap hal yang dilakukan di dunia ini harus mempunyai maksud untuk beribadah kepada Allah ﷻ, baik itu belajar, bekerja, berorganisasi, bertukar pikiran dengan sesama manusia dan semua aktivitas lainnya tidak lain adalah diniatkan untuk beribadah kepada Allah ﷻ.

Melaksanakan ibadah kepada Allah ﷻ tentu harus terlebih dahulu memahami ilmu yang mendasarinya, ibadah tanpa berdasar ilmu dikhawatirkan akan berakhir dalam kesesatan. Allah ﷻ telah mengajarkan bagaimana ibadah kepadaNya dilakukan, baik yang tercantum dalam Al-Qur’an maupun dalam Hadits Rasulullah ﷺ, menjadi kewajiban kita semua untuk selalu belajar menyempurnakan tata cara beribadah yang kita lakukan.

Resolusi Tahun Baru 1444 H ini adalah dengan banyak melakukan ketaatan kepada Allah mulai dari puasa sunnah, sedekah, memperbanyak membaca al-Qur’an, dan amal shalihnya. Termasuk hal penting adalah meningkatkan pengetahuan atau ilmu dan pemahaman terhadap pelaksanaan ibadah kepada Allah ﷻ sesuai dengan sunnah Rasul-Nya dengan rajin menghadiri majelis ilmu.

Ilmu tidak akan diperoleh dengan sempurna dan baik tanpa hadir di majelis ilmu serta memperhatikan adab-adab dalam belajar. Bertambahnya pemahaman terhadap ilmu agama, akan meningkatkan kualitas dan kuantitas beribadah kepada Allah ﷻ. Sebagai pengejawantahan resolusi tahun baru 1444 H, diawali dengan pemahaman pengetahuan terhadap amal ibadah bulan muharram dan pelaksanaan ibadahnya. Wallahu A’lam bis Shawab.

Marâji’:

[1] Asy-Syaikh Abdul Hamid Qudsi, Terjemah Kanzun Najah Was Surur : Keberuntungan dan Kegembiraan yang Tersimpan dalam Doa-doa yang Melapangkan Dada, Penerjemah: Zaid Husein Al-Hamid, Surabaya: Mutiara Ilmu, 2017. hal 21

[2] Muhammad Fuad Abdul Baqi, Shahih Bukhari Muslim, judul kitab asli: Al-Lu’lu Wal Marjan, cet 24, Bandung: Penerbit Jabal, 2021.

[3] Faishal bin Abdul Aziz Alu Mubarak, Riyadhus Shalihin dan Penjelasannya, Alih Bahasa: Arif Mahmudi, Jakarta: Ummul Qura, 2014. Judul Asli: Tathriz Riyadhus Shalihin.  hal. 748

[4] Ibid. hal. 747-748

[5] Ibid. hal. 747-748

[6] Ibid. hal. 745-746

[7] Ibid, hal. 748

Download Buletin klik disini

HISABLAH DIRIMU, MAKA KAU BERUNTUNG

HISABLAH DIRIMU, MAKA KAU BERUNTUNG

Oleh: Khairul Fahmi

 

Bismillâhi walhamdulillâh, wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Dikisahkan bahwa suatu hari seorang kaum Anshar bernama Tsalabah Ibn Hathib al-Anshari menghadap Rasulullah ﷺ,  ia berkeluh kesah dengan kondisi prekonomiannya yang terus terpuruk, ia sudah bosan hidup dalam kemiskinan, ia ingin hidup lebih layak dengan memiliki banyak harta. Tsalabah memohon agar Rasulullah ﷺ mendo’akannya agar menjadi orang yang memilik banyak harta. Mendengar permohonan Tsalabah, Rasulullah ﷺ langsung secara tegas menolaknya permintaanya.

Meski telah ditolak, Tsalabah memohon sekali lagi kepada Rasulullah ﷺ seraya mengucapkan sumpah “Demi Zat yang telah mengutusmu dengan hak. Jika engkau memohon kepada Allah ﷻ, lalu dia memberiku kekayaan, niscaya aku akan memberikan hak kepada setiap yang berhak menerimanya. Mendengar sumpah yang Tsalabah ucapkan, akhirnya Rasulullah ﷺ berkenan mendo’akannya agar diberi banyak rezeki. Akhirnya Tsalabah diberikan rezeki seekor unta dan domba, ia sangat senang dan gembira, kemudian hari-harinya disibukkan dengan mengurus hewan ternaknya yang lambat laun semakin banyak jumlahnya.

Karena kesibukannya mengurus hewan ternaknya, Tsalabah kerap kali tidak hadir saat shalat berjamaah, hingga suatu hari Rasulullah ﷺ bertanya kepada para sahabatnya tentang kabar Tsalabah. Para sahabat menyampaikan bahwa Tsalabah setelah memiliki banyak harta, ia bersikap kikir, ia tidak mau membayar zakat dan melupakan sumpahnya. Mendengar hal tersebut Rasulullah ﷺ bersabda: “Aduh celaka Tsalabah, aduh celaka Tsalabah, celaka Tsalabah ”.[1]

Ibrah atau pelajaran yang dapat diambil dari kisah Tsalabah ini adalah selalu bersyukur dengan segala nikmat yang telah Allah ﷻ berikan dan jangan pernah terlena dengan harta yang dimiliki sehingga lupa dan lalai menunaikan kewajiban untuk beribadah kepada Allah ﷻ. Muhasabah diri menjadi salah satu alarm atau pengingat agar kita tersadar dari kelengahan beribadah kepada Allah ﷻ.

Pentingnya Muhasabah Diri

Terlena dengan bujuk rayu nafsu akan memberikan kerugiaan bagi seorang hamba di kehidupan dunia dan pasti akan menjadi beban dan penyesalan baginya di akhirat.  Allah ﷻ berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat). Bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan”. (QS. al-Hasyr [59]: 18)

Dalam tafsir al-Misbah disebutkan bahwa, ayat tersebut merupakan perintah untuk melakukan evaluasi terhadap amal-amal yang telah dilakukan. Ini seperti seorang tukang yang telah menyelesaikan pekerjaannya. Ia dituntut untuk memperhatikannya kembali agar menyempurnakannya bila telah baik, atau memperbaikinya bila masih ada kekurangannya, sehingga jika tiba saatnya diperiksa, tidak ada lagi kekurangannya dan barang tersebut tampil sempurna. Setiap mukmin dituntuk untuk melakukan hal tersebut.[2] Amalan-amalan yang telah dikerjakan selalu dievaluasi, jika sudah baik tetap dilakukan dan bahkan ditingkatkan, namun jika amal yang dilakukan tidak baik maka segera bertaubat dan diganti dengan amal kebaikan.

Muhasabah diri sangat penting bagi kehidupan setiap mukmin agar tidak menjadi orang yang merugi dan menyesal, karena pada hakikatnya, kehidupan di dunia bertujuan untuk mengumpulkan dan memperbanyak amalan selama hidup karena hal tersebut akan menjadi bekal untuk menghadapi pengadilan hari akhir yang akan dipertanggung jawabkan di hadapan Allah Sang Maha Khalik.

Dalam sebuah haditsnya, Rasulullah ﷺ memberi gelar bagi orang-orang yang bermuhasabah dan mengevaluasi diri sebagai orang yang pandai. Rasulullah Muhammad ﷺ bersabda: “Orang yang pandai adalah yang menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri serta beramal untuk kehidupan sesudah kematian. Sedangkan, orang yang lemah adalah yang dirinya mengikuti hawa nafsunya serangan berangan-angan terhadap Allah”. (HR Imam Turmudzi)[3]

Cara Muhasabah Diri

Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Tidak akan bergeser dua telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai dia ditanya (dimintai pertanggung jawaban) tentang umurnya kemana dihabiskan, tentang ilmunya bagaimana dia mengamalkannya, tentang hartanya dari mana diperolehnya dan kemana dibelanjakannya, serta tubuhnya untuk apa digunakannya”. (HR. Tirmidzi)[4]

Sabda Rasulullah tersebut dapat menjadi acuan untuk muhasabah diri, empat hal tersebut akan dimintai pertanggung jawaban dari setiap hamba selama menjalani hidup di dunia, yaitu:

  1. Umur

Hidup di dunia hanya sementara, dunia ini hanyalah persinggahan untuk memperbanyak bekal untuk dibawa dan dipertanggung jawabkan dihadapan Allah. Umur yang berlalu begitu cepat ini harus dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk beribadah kepada Allah agar kita tidak merugi. Sebagaimana firman Allah ﷻ: “Tidaklah Aku (Allah) ciptakan jin dan manusia untuk beribadah kepada-Ku” QS. Az-Zariyat [51]: 56

  1. Ilmu yang dimiliki

Ilmu yang bermanfaat adalah salah satu amalan yang kekal dan tetap mengalir kepada si pemilik ilmu meskipun ia telah meninggal. Sebagaimana sabda Rasulullah n: “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631)[5]

  1. Harta

Harta yang dimiliki ini hanyalah titipan, sehingga perlu dipertanggung jawabkan. Ada dua hal yang akan ditanya dan harus dipertanggung jawabkan di hadapan Allah dari harta yang kita miliki. Pertama adalah dari mana kita dapatkan tersebut, apakah dari jalan yang halal atau dari jalan yang haram?. Hal yang kedua adalah dibelanjakan untuk apa saja harta yang dimiliki tersebut, apakah untuk jalan kebaikan atau jalan keburukan?

  1. Anggota badan

Harus disyukuri, bahwa anggota badan mulai dari kepala hingga kaki adalah salah satu contoh nikmat yang diberikan oleh Allah ﷻ. Seluruh anggota badan ini akan dimintai pertanggung jawaban, kedua mata yang dimiliki digunakan untuk melihat hal-hal yang baik atau sebaliknya? Kedua tangan yang dimiliki apakah digunakan untuk melakukan perbuatan yang baik atau yang buruk. Kedua kaki yang dimiliki apakah dilangkahkan ke jalan kebaikan atau jalan keburukan?

Allah ﷻ sudah menegaskan hal tersebut dalam al-Qur’an: “Pada hari ini, Kami membungkam mulut mereka. Tangan merekalah yang berkata kepada kami dan kaki merekalah yang akan bersaksi terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan” QS. Yasin [36]: 65

Pada hari akhir nanti, Allah ﷻ akan menutup mulut-mulut kita sehingga tidak dapat berkata bohong atau berkilah sedikitpun. Tangan kita akan berkata kepada perihal perbuatan yang mereka lakukan di dunia, dan kaki kita akan memberikan kesaksian terhadap apa yang dahulu dikerjakan selama hidup di dunia.[6]

Hidup yang sekali ini harus diisi dengan hal-hal yang bermanfaat, jangan dibiarkan hanya mengikuti arus saja. Hari ini harus diisi dengan kebaikan dan harus lebih baik dari hari sebelumnya agar kita menjadi orang beruntung.  Mari kita selalu bermuhasabah diri agar kita selalu berada di jalan lurus, jalannya para orang-orang sholeh yang kehidupannya selalu bermuara untuk  beribadah kepada Allah ﷻ. Semoga kita terhindar dari kelenaan gemerlapnya kehidupan dunia agar kita tidak termasuk orang-orang yang merugi.[]

[1] https://www.republika.co.id/berita/pf1vhh313/kisah-tsalabah-dan-pelajaran-bagi-umat-islam

[2] Quraish Shihab,Tafsir Al-Misbah Vol. 13 Cet. V, 2012, Jakarta: Lentera Hati

[3] Asep Sapa’at, Muhasabah diri, 15 Februari 2022 dalam https://www.republika.id/posts/25069/muhasabah-diris

[4] https://suaramuhammadiyah.id/2020/11/05/empat-pertanyaan-di-hari-kiamat/

[5] https://rumaysho.com/1663-terputusnya-amalan-kecuali-tiga-perkara.html

[6] https://quranhadits.com/quran/36-ya-sin/yasin-ayat-65/

Download Buletin klik disini

SIFAT SABAR DALAM ISLAM

SIFAT SABAR DALAM ISLAM

Oleh: Nabilah Nur Syafiyah

*Mahasiswa Teknik Kimia UII

 

Sabar merupakan kata yang hampir selalu terdengar dalam keseharian kita. Tak jarang juga kita menemukan ungkapan “bersabarlah” di kalangan masyarakat. Sabar memang sudah menjadi ungkapan sehari-hari dan sudah menjadi bahasa komunikasi masyarakat. Tapi dibalik itu, ungkapan sabar  yang sudah menjadi bahasa komunikasi masyarakat selalu dikonotasikan kepada kondisi bagaimana menghadapi musibah dan diidentikkan dengan sikap berdiam diri dalam menghadapi musibah. Sikap sabar memang harus dimiliki oleh setiap orang. Karena apabila orang tersebut mengalami musibah, itu tidak menjadikan malapetaka baginya, menghancurkan hidupnya, dan melemparkannya pada derajat terendah diantara makhluk Allah lainnya. Dari pemahaman yang keliru ini mengenai sabar, akan berdampak pada hilangnya makna sabar yang sangat luas. Apabila sabar diidentikkan atau dipergunakan hanya pada saat menghadapi musibah saja, maka kekuatan sabar yang sangat besar tidak pernah dipakai manusia untuk mengatasi berbagai problematika hidup lainnya. Padahal sabar merupakan peluang atau potensi diri yang bisa membawa manusia untuk sanggup menjalankan fungsiya sebagai khalifah dan hamba Allah secara bersamaan.[1]

Keutamaan Sabar

Allah ﷻ telah menyifati orang-orang yang sabar dengan beberapa sifat. Dia menyebut sabar dalam al-quran pada lebih dari 70 tempat dan Dia menambah lebih banyak derajat dan kebaikan dan menjadikannya sebagai buah bagi sabar. Sebagaimana firman Allah ﷻ : “Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar,” (Q.S. as-Sajdah[32] : 24).

Allah ﷻ juga berfirman: “Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan,” (Q.S. an-Nahl [16] : 96). Allah l berfirman: “Mereka diberi pahala dua kali disebabkan kesabaran mereka,” (Q.S al-Qashash [28] : 54). Allah l berfirman: “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas,” (Q.S. az-Zumar [39] : 10). (Al-Ghazali. 2013)

Macam-Macam Sabar             

Macam-macam sabar dan beberapa hal yang berhubungan dengan sabar

  1. Kesabaran yang dilakukan dalam menghadapi nafsu perut dan kemaluan disebut iffah. Kebalikan dari sifat ini yaitu jaza’ atau hala’ yang artinya keluh kesah dimana membiarkan faktor nafsu terlampiaskan.
  2. Kesabaran untuk menahan dalam menghadapi kekayaan disebut dhabtun nafsi yang artinya kendali diri. Kebalikan dari sifat ini yaitu bathr yang artinya tak tahu berterima kasih.
  3. Kesabaran yang terkait dengan peperangan disebuat syaja’ah (berani), dan kebalikannya yaitu jabn (pengecut).
  4. Kesabaran yang ditunjukkan untuk menahan kemarahan dan emosi, maka disebut hilm atau penyantun dan kebalikannya yaitu tadzammur yang artinya menggerutu.
  5. Kesabaran yang terkait dengan waktu yang jenuh, maka disebut sa’atush shadri (lapang dada). Kebalikannya yaitu adh-dhajr (tidak sabaran), tabarrum (cepat bosan) dan dhiiqush shadri (sempit dada).
  6. Kesabaran yang menyangkut tentang penyembunyian perkataan, maka disebut kitmaanus sirri atau menyimpan rahasia. Dan orang yang melakukan hal tersebut dinamakan katum atau orang yang pandai menyimpan rahasia.
  7. Kesabaran yang ditunjukkan terhadap kehidupan yang berlebih, maka disebut zuhud yang artinya tidak berambisi kuat. Kebalikannya yaitu hirsh yang artinya berambisi besar atau tamak.
  8. Kesabaran dalam menerima bagian yang sedikit, maka disebut qana’ah yang artinya sikap menerima apa adanya. Sedangkan kebalikannya yaitu syarah yang artinya rakus.[2]

Sabar Dalam Al Quran

  1. Surah Al-Baqarah ayat 153

Allah ﷻ berfirman:  “Jadikan sabar dan shalat sebagai penolong kalian. Sungguh hal itu teramat berat kecuali bagi orang-orang yang khusyuk” (Q.S. al-Baqarah [2] : 45)

  1. Surah Al-Baqarah ayat 155-156

Allah ﷻ berfirman: “Dan Kami pasti akan menguji kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un”(sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali untuk hisaban)” (Q.S. al-Baqarah [2] ; 155-156)

Tiga Jenis Sabar

              Pertama, sabar ketika menunaikan kewajiban-kewajiban yang telah diwajibkan oleh Allah ﷻ , seperti melaksanakan ibadah sholat, puasa, serta kewajiban-kewajiban yang lain.

              Kedua, sabar terhadap apa saja yang diharamkan oleh Allah ﷻ . Jenis sabar ini menandakan bahwa kita kbih mudah mnunaikan kewajiban daripada menjauhi larangan. Mungkin kita tidak menemukan masalah yang serius saat harus menjalankan kewajiban, seperti saat menunaikan shalat lima waktu. Tapi di sisi yang lain, menjauhi larangan akan lebih berat. Tidak berbohong, tidak suudzon terhadap orang, tidak membuka aurat, itu semua jauh lebih berat daripada menjalankan shalat lima waktu.

Ketiga, sabar dalam menghadapi musibah. Menunaikan kewajiban itu biasa dan menjauhi larangan itu sangat berat. Tapi dibandingkan dengan kedua hal tadi, ternyata masih ada yang lebih sulit, yaitu perilaku sabar saat ditimpa musibah. Semisal tiba-tiba difitnah, kehilangan benda kesayangan, atau ditimpa kematian. Itu semua adalah musibah yang menuntut kita berlaku sabar menjalaninya. Kesabaran dalam menjalani semua ini jelas lebih berat daripada menunaikan kewajiban ataupun menjauhi larangan Allah ﷻ .

Jika kewajiban yang harus kita tunaikan dan larangan yang harus kita jauhi jumlahnya banyak, bahkan sudah menjadi rutinitas hidup, maka musibah itu sangat jarang kita jumpai. Ibadah itu adalah rutinitas, dan musibah bersifat temporal dan jarang datangnya. Namun, sekali menjumpai musibah, berat sekali kita untuk menghadapinya dengan sabar yang sebenar-benarnya. Maka wajarlah jika pahala sabar dalam menghadapi musibah lebih banyak pahalanya.[3] Wa Allahu a’lam.[]

Marâji:

[1] Nasaruddin Umar, Sabar dan Fungsinya dalam Kehidupan. Jurnal Bimas Islam Vol.4 No.4 2011

[2] Ubaidurrahim El-Hamdy, Sabar Tanpa Batas, Syukur Tiada Akhir. Jakarta: Wahyu Qolbu, 2015.

[3] Nasaruddin Umar, Sabar dan Fungsinya dalam Kehidupan. Jurnal Bimas Islam Vol.4 No.4 2011

Download Buletin klik disini

PENTINGNYA TADABBUR AL-QUR’AN

PENTINGNYA TADABBUR AL-QUR’AN

Oleh: Liza Jauharatul Munfarida

 

Bismillah, walhamdulillah, washshalatu wassalamu ‘ala rasulillah,

Kata tadabbur di dalam Al Qur’an disebutkan 4 kali salah satunya dalam surat As-Shad ayat 29

كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ

“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.” (Q.S. Shâd [38]: 29)[1]

Allah ﷻ telah menurunkan firman-Nya sebagai pedoman hidup manusia dengan kedudukan al-Qur’an yang sedemikian jelas namun banyak dari kita yang mengabaikan pesan cinta dari Rabbul Izzah, tidak pernah membacanya apalagi merenungkan dan mentadabburi-nya. Fenomena membaca al-Qur’an terkadang hanya terasa ketika bulan Ramadhan tetapi ketika hari biasa al-Qur’an tidak menjadi objek utama untuk medekatkan diri kepada Allah ﷻ, kita sudah mulai disibukkan oleh gemerlap dunia, tugas kuliah dan kesenangan dunia, sehingga ketika Allah memberikan ujian kepada kita sebagai pesan rindu-Nya, kita enggan untuk mengagungkan nama-Nya.

Semakin jauhlah kita kepada sang pencipta, maka dari itu Allah ﷻ mengajak kita untuk selalu mengingat-Nya melalui al-Qur’an dan mentadabburi-nya agar semua yang kita lakukan Kembali kepada Allah lillahi, billahi, fillahi dengan rasa keikhlasan kita akan semakin bersyukur atas ujian dan nikmat-Nya.

Tujuan Tadabbur al-Qur’an

Maka sepantasnyalah seorang mukmin menjadikan al-Qur’an sebagai pedoman hidupnya, membacanya dengan merenungkan dan mentadabburinya lalu mengamalkan isi kandungannya, Ibnul Qoyyim berkata: ”Tidak ada yang lebih besar manfaatnya bagi hati dari pada membaca al-Qur’an dengan mentadabburi dan merenungkannya, karena al-Qur’an merupakan kitab suci yang bisa dijadikan pedoman hidup oleh setiap manusia, dengan membaca dan mentadabburinya bisa melahirkan al-Mahabbah (cinta kepada Allah), al-Khauf (rasa takut kepada Allah), ar-Raja’ (berharap hanya kepada Allah), al-Inabah, tawakkal, ridha dan menerima (takdir Allah), sifat sabar, syukur serta seluruh perbuatan yang bisa menyebabkan hidupnya hati dan mencapai kesempurnaannya. Membaca sebuah ayat al-Qur’an disertai dengan mentadabburi dan merenungkan maknanya jauh lebih baik dari pada mengkhatamkan al-Qur’an tanpa disertai tadabbur dan pemahaman akan maknanya. Membaca al-Qur’an dengan memahami makna dan kandungannya jauh lebih bermanfaat bagi hati serta jauh lebih besar faidahnya dalam menambah keimanan dan merasakan manisnya al-Qur’an.” [2]

Namun proses tadabbur ini pada umumnya hanya mampu dilakukan oleh ûlû al-albâb, yaitu orang-orang yang memiliki akal pikiran dan penghayatan mendalam terhadap kandungan ayat-ayat al-Qur‘an, yang dengan bergegas mereka akan meninggalkan berbagai kesesatan yang masih bersemayam dalam diri mereka dan bersegera mengaktualisasikan petunjuk kebenaran yang telah diketahui dan dipahaminya. Karena itu, al-Hasan pernah memberikan saran berharga sebagai berikut: Al-Qur‘an diturunkan untuk ditadabburi dan diaplikasikan dalam amal nyata, maka jadikanlah proses membacanya sebagai amal perbuatan.[3]

Pola interaksi seperti apa yang seharusnya kita lakukan dalam bertadabbur?

  1. Berinteraksi dengan cara yang kita suka
  2. Berinteraksi dengan cara yang Allah suka

Secara bahasa tadabbur artinya “memandang kepada akibat sesuatu dan memikirkannya”, maksud dari mentadabburi perkataannya adalah “memperhatikannya dari permulaan hingga akhir, kemudian mengulai perhatian itu berkali-kali”. Secara istilah tadabbur artinya menggunakan ketajaman mata hati melalui proses perenungan mendalam secara berulang-ulang agar dapat menangkap pesan-pesan Al-Qur’an yang terdalamm dan mencapai tujuan makna yang terjauh.

Adab-Adab Bertadabbur Al-Qur’an

  1. Hadirkan niat karena Allah ﷻ i,[4]
  2. Bersuci dengan sempurna seperti berwudhu, gosok gigi karen mulut adalah jalan keluar untuk melantunkan Al-Qur’an,[5]
  3. Menghadap kiblat
  4. Mensucikan indera-indera yang digunakannya untuk berinteraksi dengan Al-Qur’an,
  5. Memilih tempat yang sesuai, seperti di Rumah Allah,
  6. Memilih cara duduk yang sesuai, kondisi yang sesuai, dan sikap badan yang pantas
  7. Memulai dengan ta’awudz dan basmallah,[6]
  8. Membaca Al-Qur’an secara tartil dengan pelan-pelan sesuai dengan tujuan awalnya untuk bertadabbur,[7]
  9. Menjaga kekhusyuan dengan tidak menaruh handphone disekitar tempat tadabbur
  10. Memperindah suaranya semampunya
  11. Mengosongkan jiwa dari hal-hal-yang menyita perhatian, memenuhi kebutuhannya dan tuntutannya sebelum membaca al-Qur’an.
  12. Menghadirkan hatinya terhadap keagungan Allah ﷻ.
  13. Meninggalkan bisikan-bisikan jiwa,
  14. Tidak memutus bacaan Al Qur’an dengan pembicaraan dan lamunan yang tidak bermanfaat
  15. Terpengaruh dan terbawa emosi oleh ayat-ayat sesuai tema dan konteksnya
  16. Apabila ia membaca ayat tentang nikmat, maka ia memohon kepada Allah agar ia termasuk golongan yang menerimanya,
  17. Perasaan bahwa pembaca sendirilah yang diajak bicara oleh ayat-ayat al-Qur’an
  18. Meninggalkan faktor-faktor yang bisa menghalangi pemahaman dan tadabbur ayat-ayat al-Qur’an.

Bila proses tadabbur ini bisa diejawantahkan, maka nilai aksiologis yang dapat dipetik dari proses tersebut antara lain:

  1. Kemantapan iman di dalam hati dapat digapai,
  2. Menjadikan seseorang berkepribadian paripurna karena memiliki sikap berharap dan khawatir yang seimbang,
  3. Selamat dari tipu muslihat
  4. Selalu yakin dan memiliki kepercayaan diri yang tinggi dan
  5. Mampu membedakan antara yang baik-buruk dan benar-salah secara cermat.

[1] Q.S. Shad [38]: 29

[2] Miftah Daar as-Sa’adah:I/187.

[3] Muhammad ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi’ al-Bayân ’an Ta‘wîl al-Qur‘ân, ed. Maktab al-Tahqîq wa al-I’dâd al-’Ilmî fî Dâr al-A’lâm, Oman: Dâr al-A’lâm dan Dâr Ibn Jarîr Beirut, 2002, vol. 12, hal. 187

[4] Q.S.Al-Bayyinah [98] : 5

[5] Q.S. Al-Waqi’ah [56]: 77-79

[6] Q.S. sAn-Nahl [16]: 98

[7] Q.S. Al-Muzammi [73]: 4

Download Buletin klik disini

MEMAKNAI HAKIKAT HARI RAYA QURBAN

MEMAKNAI HAKIKAT HARI RAYA QURBAN

Oleh: Imaduddin Fadhlurrahman*

* Penulis merupakan seorang santri yang bermukim di Rumah Tahfidz Taruna Juara Yogyakarta.

 

Bismillâhi Walhamdulillâhi wash-shalâtu was-salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Pada setiap tanggal 10 Dzulhijjah seluruh umat muslim di seluruh penjuru dunia merayakan hari raya Idul Adha. Idul Adha merupakan hari raya besar kedua umat muslim setelah hari raya Idul Fitri. Di dalam penamaannya, seringkali umat muslim di Indonesia menyematkan hari raya Idul Adha dengan istilah Hari Raya Haji atau Hari Raya Qurban. Disebut sebagai Hari Raya Haji karena pada momen itu kaum muslimin sedang menunaikan haji yang utama, yaitu wukuf di Arafah. Dan, disebut pula sebagai Hari Raya Kurban karena peristiwa yang melatarbelakanginya yakni kisah Nabi Ibrahim yang bersedia mengorbankan putra semata wayangnya Ismail untuk Allah.

Meneladani Kisah Ibrahim dan Ismail

Di antara hikmah dari melaksanakan Idul Adha bagi umat muslim adalah untuk terus menyegarkan ingatan atas peristiwa qurban, yaitu tatkala Nabi Ibrahim yang bersedia untuk mengorbankan anaknya Ismail untuk Allah ﷻ. Lalu kemudian sesaat sebelum peristiwa sembelih, Ismail diganti oleh Allah ﷻ dengan seeokar domba sebagaimana diabadikan dalam al-Qur’an.

Allah ﷻ berfirman:  “Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian.  (yaitu)”Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim”. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S. ash-Shâfât [37]: 107-110)

Kisah pengorbanan Nabi Ibrahim dan Ismail adalah salah satu kisah paling momumental dalam sejarah umat manusia. Kebesaran hati seorang Ibrahim yang merelakan anak satu-satunya yang bahkan kehadiran telah ditunggu bertahun lamanya demi ketaatan dan kecintaannya kepada Allah ﷻ adalah bentuk kerelaan paling tulus dan berat yang pernah ada. Sedangkan kepatuhan dan kecintaan seorang anak kepada orang tua demi memenuhi perintah Allah swt tergambar jelas pada diri seorang Ismail yang mengikhlaskan dirinya untuk disembelih.

Tragedi penyembelihan itu lantas membuat Malaikat Jibril kagum dan terkesima seraya mengucapkan kalimat “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar.” Yang kemudian dijawab oleh Nabi Ibrahimi dengan lantunan “Laailaha illahu Allahu Akbar.” Dan kemudian disambung oleh Nabi Ismail dengan ucapan “Allahu Akbar Walillahil Hamdu.” Maka, ini adalah sebuah potret yang menyentuh hati antar ayah dan anaknya yang saling mencintai dan rela berpisah serta melepas kecintaannya demi ketataan kepada Allah.

Dari kisah pengorbanan dan ketulusan yang diperlihatkan oleh Nabi Ibrahim dan Ismail setidaknya kita dapat mengambil hikmah yang bisa kita teledani di dalam kehidupan kita saat ini. Bahwasanya penyembelihan yang dilakukan Nabi Ibrahim kepada Ismail harus dimaknai sebagai pesan simbolik agama dan mengandung pembelajaran bagi siapa saja. Hikmahnya ialah untuk senantiasa meningkatkan ketakwaan. Kerelaan serta kesiapan Nabi Ibrahim untuk menyembelih putranya atas perintah Allah ﷻ menunjukkan betapa tingginya tingkat ketakwaan Nabi Ibrahim. Sebab takwa sendiri ialah sangat terkait dengan ketaatan seorang hamba kepada Sang Pencipta dalam menjalankan perintah dan menjauhi segala larangannya.

Esensi Hari Raya Idul Adha

Selain keteledanan dari kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail hakikat sesungguhnya dari Idul Adha semata-mata terwujudnya pelaksanaan penyembelihan hewan qurban sebagai bentuk peribadahan kepada Allah ﷻ. Namun ada esensi lain  dari Idul Adha ialah menyembelih sifat-sifat kebinatangan yang melekat pada diri kita. Maka, ketika hewan qurban disembelih, pada saat yang bersamaan pula lenyaplah nafsu kebinatangan kita seperti merasa selalu paling benar, paling hebat, tidak peduli terhadap sesama, rakus, serakah, dan segala macam sifat kebinatangan lainnya.

Esesensi yang diajarkan pada momen Idul Adha ialah agar tidak menjadi manusia individualis. Relasi kemanusiaan adalah wujud eskpresi kesalihan sosial yang ingin coba disampaikan pada momen Idul Adha. Semangat kemanusiaan di balik Idul Adha penting untuk diaktualisasikan di tengah-tengah maraknya sifat indvidualistis di zaman global. Sehingga momentum Idul Adha mengandung pesan moral yang kuat untuk merekatkan tali persaudaraan dalam kehidupan bermasyarakat.

Esensi Idul Adha dalam konteks lain ialah untuk mengingatkan setiap muslim agar siap sedia berqurban demi kebahagiaan orang lain terkhususnya bagi mereka yang kurang beruntung, serta waspada terahadap godaan dunia agar tidak terjebak dalam perilaku tidak terpuji seperti serakah, rakus, mementingkan diri sendiri, dan kelalaian dalam beribadah kepada Sang Pencinpta.

Begitulah sekiraya hakikat Idul Adha yang memiliki esensi mendalam bagi kehidupan tiap-tiap muslim. Karena sejatinya setiap dari kita adalah Ibrahim. Selayaknya Ibrahim yang memiliki Ismail, putra yang dicintainya, maka masing-masing dari kita pun demikian. Bisa jadi Ismail yang ada pada kita berupa harta, jabatan, gelar, atau apa-apa saja yang kita sayangi dan tidak bisa dilepaskan dari dunia ini. Maka, belajar dari Nabi Ibrahim. Sesungguhnya Ibrahim bukan diperintahkan untuk membunuh Ismail, melainkan diminta oleh Allah untuk membunuh rasa ‘kepemilikan’ terhadap Ismail karena sesungguhnya segala sesuatu adalah milik Allah. Dengan begitu, kita akan senantiasa berusaha untuk belajar ikhlas. Wa Allâhu a’lam

Marâji’:

Asa, Syu’bah, Dalam Cahaya Al-Qur’an (Tafsir Ayat-ayat Sosial-Politik), Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2000.

Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid IV, PT. Pustaka Panji Mas: Jakarta, 2004.

Mukti, Takdir Ali., Membangun Moralitas Bangsa (Amar Ma’ruf Nah Munkar: dan Subyektif-Normatf ke Obyektif-Empiris), Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2000.

Rahman, Jalaludin, Konsep Perbuatan Manusia Menurut Qur’an, Jakarta: Bulan Bintang, 1992

Shihab, Quraish. M, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1997.

Download Buletin klik disini