KEMULIAAN SIFAT QANÂ’AH
KEMULIAAN SIFAT QANÂ’AH
Oleh: Umi Sholehah
Alumni Prodi Pendidikan Agama Islam FIAI UII
Bismillâhi walhamdulillâh wash-shalâtu was-salâmu ‘ala rasûlillâh,
Sahabat pembaca yang berbahagia, akhir-akhir ini dunia maya sedang diramaikan dengan istilah flexing yang dilakukan oleh sejumlah orang-orang yang memiliki jutaan pengikut di sosial medianya. Menurut Psikolog Indah Sundari Jayanti Flexing atau pamer pada dasarnya menunjukkan adanya kebutuhan yang tinggi akan eksistensi diri. Faktor digital dan perkembangan zaman tentu turut mempengaruhi kebutuhan dan standar penilaian individu.[1] Namun sisi negatifnya ialah memaksakan diri untuk menunjukkan apa yang dimiliki meskipun itu di luar kemampuan diri sendiri. Hal tersebut dapat memunculkan sikap tidak pernah merasa cukup atas apa yang dimiliki.
Pada dasarnya manusia memiliki keinginan bersifat material yang tidak pernah merasa cukup. Hal tersebut wajar, namun keinginan yang tidak pernah merasa cukup dapat dinetralisasikan jika pondasi dalam menjalankan kehidupan kembali kepada spiritulitas yang terdapat pada masing-masing seseorang.[2] Sifat tidak pernah merasa cukup pada materi ditakutkan dapat mengaburkan cara mencari materi yang bersifat halal dan haram. Oleh sebab itu, hendaknya manusia memiliki sifat merasa cukup atas apa yang dimiliki (qanâ’ah), karena sejatinya kebahagiaan batin ialah kebahagiaan hakiki yang harus dimiliki oleh seseorang. Dari Abu Hurairah a, Nabi n bersabda: Bukanlah kekayaan itu karena banyaknya harta benda, tetapi kekayaan yang sesungguhnya ialah kekayaan hati.” (H.R. al-Bukhari dan Muslim)[3]
Muhammad bin ‘Ali at-Tirmidzi (W.279 H) menegaskan: “Qanâ’ah ialah kepuasaan jiwa atas rezeki yang dijatahkan kepadanya.” Dijelaskan bahwa qanâ’ah adalah menemukan kecukupan di dalam apa yang ada ditangan, dan tidak mengingkan apa yang tak ada di tangan.[4] Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa qanâ’ah ialah menerima, menyukuri dan merasa cukup dengan rezeki yang Allah berikan tanpa sedikitpun mengurangi usaha (ikhtiar) dalam proses mendapatkannya.
Aspek Sifat Qanâ’ah
Sifat qanâ’ah dapat tercapai jika seseorang memiliki beberapa aspek berikut dalam dirinya:
1. Berusaha secara maksimal dengan cara yang halal
Seseorang dapat dikatakan memiliki sifat qanâ’ah jika terlebih dahulu melakukan usaha atau ikhtiar secara maksimal dalam mencari rezeki. Bahkan al-Quran menyatakan bekerja adalah bagian dari ekspresi syukur, dalam firman Allah ﷻ“…bekerjalah wahai kelaurga Dawud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.” (QS. Saba’ [34]:13). Dalam hal ini maksud dari bekerja ialah menggunakan nikmat yang diperoleh sesuai dengan tujuan penciptaan atau penganugerahannya. Maka nikmat yang diperoleh menuntut penerimanya agar merenungkan tujuan dianugerahannya nikmat tersebut.[5]
2. Bertawakal
Menurut M.Quraish Shihab, tawakal bukan berarti penyerahan mutlak kepada Allah, namun penyerahan tersebut didahului dengan usaha manusiawi. Seorang muslim dituntut untuk berusaha, tetapi pada saat yang sama dituntut pula untuk berserah diri kepada Allah swt. Manusia harus berusaha dalam batas-batas yang dibenarkan, disertai dengan ambisi yang meluap-luap untuk meraih sesuatu. Akan tetapi, ketika gagal meraihnya, jangan meronta atau berputus asa serta meluapkan anugerah Tuhan yang selama ini diterima.[6] Sehingga bertawakal dapat memperkuat keimanan yang diiringi dengan sabar akan ketentuan Allah merupakan pondasi yang dapat melahirkan sifat qanâ’ah.
3. Bersyukur
Secara bahasa, syukur berasal dari kata “syakara” yang berarti pujian atas kebaikan dan penuhnya sesuatu. M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa kata “syukur” mengandung arti gambaran dalam benak tentang nikmat dan menampakkannya ke permukaan. Sedangkan menurut istilah syara’, syukur adalah pengakuan terhadap nikmat yang dikaruniakan Allah disertai dengna kedudukan kepada-Nya dan mempergunakan nikmat tersebut sesuai dengan tuntunan dan kehendak Allah.[7] Seorang yang qanâ’ah terhadap rezeki yang diterima niscaya akan bersyukur kepada Allah, sebaliknya ketika tidak memiliki rasa syukur hanyalah perasaan selalu merasa kurang.
Kemuliaan Orang Bersifat Qanâ’ah
Diantara orang qanâ’ah ialah orang yang paling bahagia, yakni orang yang tidak pernah iri terhadap orang lain. Nabi Muhammad ﷺ menyebutkan bahwa orang yang qanâ’ah hidupnya akan bahagia. Dari ‘Abdillah bin ‘Amr bin ‘Ash, sesungguhnya Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya bahagia orang yang masuk Islam, diberi rezeki yang cukup, dan Allah jadikan orang yang qanâ’ah terhadap apa yang Allah berikan kepadanya.” (H.R.Muslim)[8]
Seorang dikatakan beruntung tatkala memperoleh apa yang diinginkan dan disukai serta selamat dari segala yang mendatangkan ketakutan dan kekhawatiran. Sejatinya manusia tidak mengetahui bahwa sesungguhnya kehidupan kekal ialah kehidupan akhirat yang memiliki nikmat sesungguhnya. Namun, karena gemerlap kehidupan dunia, maka manusia berlomba-lomba untuk menjadi orang yang berkuasa dan memiliki banyak harta. Padahal dunia hanyalah kesenangan yang sedikit dibandingkan kehidupan di akhirat. Hal tersebut termaktub dalam surat Ar-Ra’ad, Allah ﷻ berfirman: “Allah melapagkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dan membatasi (bagi siapa yang Dia kehendaki). Mereka bergembira dengna kehidupan dunia, padahal kehidupan dunia hanyalah kesenangan (yang sedikit) dibanding kehidupan di akhirat”. (Q.S. ar-Ra’d [13]: 26)
Maka, orang yang memiliki sifat qanâ’ah tidak akan takut dan khawatir dengan kehidupan setelah di dunia. Karena orang yang memiliki sifat qanâ’ah hidup dalam kesederhanaan dan tidak berlebihan atau dikenal dengan istilah zuhud. Menurut Hamka, zuhud ialah sikap jiwa yang tidak ingin secara berlebihan dan tidak cenderung terhadap harta. Zuhud bukan berarti tidak memiliki harta, namun zuhud bermaksud tidak dikendalikan oleh harta. Harta boleh dimiliki tetapi digunakan untuk perkara-perkara yang bermanfaat.[9] Wallāhul muwāffiq ilā aqwāmit-thāriq. Wallahu a’lam.
Mutiara Hikmah
Dari ’Ubaidillah bin Mihshan al-Anshary a dari Nabi n, beliau bersabda:
مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِى سِرْبِهِ مُعَافًى فِى جَسَدِهِ عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا
“Barangsiapa di antara kalian mendapatkan rasa aman di rumahnya (pada diri, keluarga dan masyarakatnya), diberikan kesehatan badan, dan memiliki makanan pokok pada hari itu di rumahnya, maka seakan-akan dunia telah terkumpul pada dirinya.” (H.R. Tirmidzi no. 2346, Ibnu Majah no. 4141. Abu ’Isa mengatakan bahwa hadits ini hasan gharib).
[1] Indah Sundari Jayanti, dalam CNN, “Melihat Perilaku Flexing alias Pmaer Secara Psikologis”.
[2] M.Yatimin Abdullah, Studi Akhlak Dalam Perspektif Al-Quran, (Jakarta: Azmah,2007), Cet.1 , hal.1
[3] Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhari al-ـJa’fi, Shahih al-Bukhari, bab “al-Ghina ‘an an-Nafsi” Hadis No. 6446, (T. t: Dâr Thûq an-Najah, 1422 H), juz 9, h.. 95. Dan Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Shahih Muslim,bab “al[3]Gina ‘An Katsrati al-ardh”, Hadis No. 1051, (Beirut: Dâr ihyâ at-Turas al-‘Arabi) Juz. 5, hal. 726
[4] Al-Qusyairi, Risalah sufi, (Jakarta: Pustaka, 2003), hal. 107
[5] Tim Penulis Mushaf Al-Qur’an Spiritualitas Dan Akhlak (Tafsir Al-Qur’an Tematik), (Jakarta, Lajnah Pentashihan Al-Qur’an, 2010), cet. 1, hal. 403-404
[6] M. Quraish Shihab,Secercah Cahaya Ilahi, (Bandung: Mizan Pustaka, 2007), hal. 173-174.
[7] M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran: Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan, (Bandung: Mizan,1997), hal.215-221.
[8] Muslim bin Al-Hajjaj al Qusyairi an-Naisaburi, Shahih Muslim, bab “Fîl Kafâf wal Qanâ’ah” Hadis No. 1054, (Beirut: Dâr Ihyâ at-Turâts al-‘Arabî), Juz 5, hal. 730
[9]Abdul Rouf , Tafsir Al-Azhar: Dimensi Tasawuf Hamka, hal. 142