KEMULIAAN SIFAT QANÂ’AH

KEMULIAAN SIFAT QANÂ’AH

Oleh: Umi Sholehah

Alumni Prodi Pendidikan Agama Islam FIAI UII

 

Bismillâhi walhamdulillâh wash-shalâtu was-salâmu ‘ala rasûlillâh,

Sahabat pembaca yang berbahagia, akhir-akhir ini dunia maya sedang diramaikan dengan istilah flexing yang dilakukan oleh sejumlah orang-orang yang memiliki jutaan pengikut di  sosial medianya. Menurut Psikolog Indah Sundari Jayanti  Flexing atau pamer pada dasarnya menunjukkan adanya kebutuhan yang tinggi akan eksistensi diri. Faktor digital dan perkembangan zaman tentu turut mempengaruhi kebutuhan dan standar penilaian individu.[1] Namun sisi negatifnya ialah memaksakan diri untuk menunjukkan apa yang dimiliki meskipun itu di luar kemampuan diri sendiri. Hal tersebut dapat memunculkan sikap tidak pernah merasa cukup atas apa yang dimiliki.

Pada dasarnya manusia memiliki keinginan bersifat material yang tidak pernah merasa cukup. Hal tersebut wajar, namun keinginan yang tidak pernah merasa cukup dapat dinetralisasikan jika pondasi dalam menjalankan kehidupan kembali kepada  spiritulitas yang terdapat pada masing-masing seseorang.[2] Sifat tidak pernah merasa cukup pada materi ditakutkan dapat mengaburkan cara mencari materi yang bersifat halal dan haram. Oleh sebab itu, hendaknya manusia memiliki sifat merasa cukup atas apa yang dimiliki (qanâ’ah), karena sejatinya kebahagiaan batin ialah kebahagiaan hakiki yang harus dimiliki oleh seseorang. Dari  Abu Hurairah a, Nabi n bersabda: Bukanlah kekayaan itu karena banyaknya harta benda, tetapi kekayaan yang sesungguhnya ialah kekayaan hati.” (H.R. al-Bukhari dan Muslim)[3]

Muhammad bin ‘Ali at-Tirmidzi (W.279 H) menegaskan: “Qanâ’ah ialah kepuasaan jiwa atas rezeki yang dijatahkan kepadanya.” Dijelaskan bahwa qanâ’ah adalah menemukan kecukupan di dalam apa yang ada ditangan, dan tidak mengingkan apa yang tak ada di tangan.[4] Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa qanâ’ah ialah menerima, menyukuri dan merasa cukup dengan rezeki yang Allah berikan tanpa sedikitpun mengurangi usaha (ikhtiar) dalam proses mendapatkannya.

Aspek Sifat Qanâ’ah

Sifat qanâ’ah dapat tercapai jika seseorang memiliki beberapa aspek berikut dalam dirinya:

1. Berusaha secara maksimal dengan cara yang halal

Seseorang dapat dikatakan memiliki sifat qanâ’ah jika terlebih dahulu melakukan usaha atau ikhtiar secara maksimal dalam mencari rezeki. Bahkan al-Quran menyatakan bekerja adalah bagian dari ekspresi syukur, dalam firman Allah ﷻ“…bekerjalah wahai kelaurga Dawud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.” (QS. Saba’ [34]:13). Dalam hal ini maksud dari bekerja ialah menggunakan nikmat yang diperoleh sesuai dengan tujuan penciptaan atau penganugerahannya. Maka nikmat yang diperoleh menuntut penerimanya agar merenungkan tujuan dianugerahannya nikmat tersebut.[5]

2. Bertawakal

Menurut M.Quraish Shihab, tawakal bukan berarti penyerahan mutlak kepada Allah, namun penyerahan tersebut didahului dengan usaha manusiawi. Seorang muslim dituntut untuk berusaha, tetapi pada saat yang sama dituntut pula untuk berserah diri kepada Allah swt. Manusia harus berusaha dalam batas-batas yang dibenarkan, disertai dengan ambisi yang meluap-luap untuk meraih sesuatu. Akan tetapi, ketika gagal meraihnya, jangan meronta atau berputus asa serta meluapkan anugerah Tuhan yang selama ini diterima.[6] Sehingga bertawakal dapat memperkuat keimanan yang diiringi dengan sabar akan ketentuan Allah merupakan pondasi yang dapat melahirkan sifat qanâ’ah.

3. Bersyukur

Secara bahasa, syukur berasal dari kata “syakara” yang berarti pujian atas kebaikan dan penuhnya sesuatu. M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa kata “syukur” mengandung arti gambaran dalam benak tentang nikmat dan menampakkannya ke permukaan. Sedangkan menurut istilah syara’, syukur adalah pengakuan terhadap nikmat yang dikaruniakan Allah disertai dengna kedudukan kepada-Nya dan mempergunakan nikmat tersebut sesuai dengan tuntunan dan kehendak Allah.[7] Seorang yang qanâ’ah terhadap rezeki yang diterima niscaya akan bersyukur kepada Allah, sebaliknya ketika tidak memiliki rasa syukur hanyalah perasaan selalu merasa kurang.

Kemuliaan Orang  Bersifat Qanâ’ah

Diantara orang qanâ’ah ialah orang yang paling  bahagia, yakni orang yang tidak pernah iri terhadap orang lain. Nabi Muhammad ﷺ menyebutkan bahwa orang yang qanâ’ah  hidupnya akan bahagia. Dari ‘Abdillah bin ‘Amr bin ‘Ash, sesungguhnya Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya bahagia orang yang masuk Islam, diberi rezeki yang cukup, dan Allah jadikan orang yang qanâ’ah terhadap apa yang Allah berikan kepadanya.” (H.R.Muslim)[8]

Seorang dikatakan beruntung tatkala memperoleh apa yang diinginkan dan disukai serta selamat dari segala yang mendatangkan ketakutan dan kekhawatiran. Sejatinya manusia tidak mengetahui bahwa sesungguhnya kehidupan kekal ialah kehidupan akhirat yang memiliki nikmat sesungguhnya. Namun, karena gemerlap kehidupan dunia, maka manusia berlomba-lomba untuk menjadi orang yang berkuasa dan memiliki banyak harta. Padahal dunia hanyalah kesenangan yang sedikit dibandingkan kehidupan di akhirat. Hal tersebut termaktub dalam surat Ar-Ra’ad, Allah berfirman: “Allah melapagkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dan membatasi (bagi siapa yang Dia kehendaki). Mereka bergembira dengna kehidupan dunia, padahal kehidupan dunia hanyalah kesenangan (yang sedikit) dibanding kehidupan di akhirat”. (Q.S. ar-Ra’d [13]: 26)  

Maka, orang yang memiliki sifat qanâ’ah tidak akan takut dan khawatir dengan kehidupan setelah di dunia. Karena orang yang memiliki sifat qanâ’ah hidup dalam kesederhanaan dan tidak berlebihan atau dikenal dengan istilah zuhud. Menurut Hamka, zuhud ialah sikap jiwa yang tidak ingin secara berlebihan dan tidak cenderung terhadap harta. Zuhud bukan berarti tidak memiliki harta, namun zuhud bermaksud tidak dikendalikan oleh harta. Harta boleh dimiliki tetapi digunakan untuk perkara-perkara yang bermanfaat.[9] Wallāhul muwāffiq ilā aqwāmit-thāriqWallahu a’lam.

Mutiara Hikmah

Dari ’Ubaidillah bin  Mihshan  al-Anshary a dari Nabi n, beliau bersabda:

مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِى سِرْبِهِ مُعَافًى فِى جَسَدِهِ عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا

Barangsiapa di antara kalian mendapatkan rasa aman di rumahnya (pada diri, keluarga dan masyarakatnya), diberikan kesehatan badan, dan memiliki makanan pokok pada hari itu di rumahnya, maka seakan-akan dunia telah terkumpul pada dirinya.” (H.R. Tirmidzi no. 2346, Ibnu Majah no. 4141. Abu ’Isa mengatakan bahwa hadits ini hasan gharib).

Marâji:

[1] Indah Sundari Jayanti, dalam CNN, “Melihat Perilaku Flexing alias Pmaer Secara Psikologis”.

[2] M.Yatimin Abdullah, Studi Akhlak Dalam Perspektif Al-Quran, (Jakarta: Azmah,2007), Cet.1 , hal.1

[3] Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhari al-ـJa’fi, Shahih al-Bukhari, bab “al-Ghina ‘an an-Nafsi” Hadis No. 6446, (T. t: Dâr Thûq an-Najah, 1422 H), juz 9, h.. 95. Dan Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Shahih Muslim,bab “al[3]Gina ‘An Katsrati al-ardh”, Hadis No. 1051, (Beirut: Dâr ihyâ at-Turas al-‘Arabi) Juz. 5, hal. 726

[4] Al-Qusyairi, Risalah sufi, (Jakarta: Pustaka, 2003), hal. 107

[5] Tim Penulis Mushaf Al-Qur’an Spiritualitas Dan Akhlak (Tafsir Al-Qur’an Tematik), (Jakarta, Lajnah Pentashihan Al-Qur’an, 2010), cet. 1, hal. 403-404

[6] M. Quraish Shihab,Secercah Cahaya Ilahi, (Bandung: Mizan Pustaka, 2007), hal. 173-174.

[7] M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran: Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan, (Bandung: Mizan,1997), hal.215-221.

[8] Muslim bin Al-Hajjaj al Qusyairi an-Naisaburi, Shahih Muslim, bab “Fîl Kafâf wal Qanâ’ah” Hadis No. 1054, (Beirut: Dâr Ihyâ at-Turâts al-‘Arabî), Juz 5, hal. 730

[9]Abdul Rouf , Tafsir Al-Azhar: Dimensi Tasawuf  Hamka, hal. 142

Download Buletin klik disini

MEMAHAMI AYAT MUHKAMAT DAN MUTASYABIHAT

MEMAHAMI AYAT MUHKAMAT DAN MUTASYABIHAT

Oleh: Arviyan Wisnu Wijanarko

 

Al-Qur’an sebagai mu’jizat yang diturunkan oleh Allah ﷻ kepada manusia memiliki makna yang sangat luas sehingga manusia dituntut untuk lebih rajin dalam menggali setiap makna yang terkandung dalam al-Qur’an. Bagi orang-orang yang mendalam ilmunya, mereka mencari makna-makna yang tersembunyi di dalam al-Qur’an dan berkata “…kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semua itu dari sisi Tuhan kami” dan orang yang kurang dalam ilmunya dapat mengikuti dengan jelas ayat-ayat muhkamat yang terdapat di dalam al-Qur’an tanpa harus kebingungan mencari makna yang terkandung di dalamnya.

Dalam pembahasan kali ini akan berfokus untuk menjelaskan apa itu ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat di dalam al-Qur’an, bagaimana sikap kita dan apa hikmah yang terkandung di dalamnya.

Maksud dan tujuan tulisan ini tidak lain dan tidak bukan ingin memberikan sebuah faidah ilmu dan pemahaman tentang apa saja yang berhubungan dengan al-Qur’an agar lebih cinta dengan al-Quran dan dapat memahami ayat-ayat muhkamat wa mutasyabihat agar tidak terjerumus dalam ketidaktahuan dan mendapatkan hikmah serta barokah tentang ilmu-ilmu al-Quran.

Muhkamat

Apabila kita melihat dari segi bahasa, muhkam berasal dari kata ihkam yang artinya kukuh, sempurna dan pencegahan[1]. Kata al-muhkam dari hakamtu ad-dabbah wa ahkamtuha yang artinya adalah Saya memasang “hikmah” pada binatang itu, hikmah yang di maksud dalam hal ini adalah sebuah kendali yaitu agar binatang tersebut tidak menjadi lepas dan liar[2]. Dengan demikian yang dimaksud secara etimologi pengertian muhkam menjadi kendali yang telah ditetapkan dan dikukuhkan agar mencegah dari liarnya makna-makna.

Sedangkan dari sisi terminologi, muhkamat merupakan ayat yang secara maknanya jelas dan langsung bisa dipahami tanpa melalui ta’wil.

Pada umumnya ayat-ayat muhkamat terdiri dari ayat-ayat tentang tauhid yang mana menerangkan mengenai Esa-nya Allah ﷻ, ayat mengenai ibadah yang wajib dilakukan seperti zakat, shalat, puasa dan pergi haji.

Mutasyabihat

Mutasyabihat menurut etimologi berasal dari kata tasyabuh yang memiliki makna samar hingga hampir serupa. Adapun menurut terminologi adalah ayat yang memiliki banyak kemungkinan makna sehingga perlu kemampuan yang mendalam untuk menemukan makna yang tepat.

Ayat-ayat mutasyabihat tersebar di dalam al-Qur’an, contohnya seperti Surat Al-Fath 48:[10] “yadullah fauqa aydihim” yang artinya apabila diterjemahkan bebas “tangan Allah di atas tangan-tangan mereka”. Namun Allah ﷻ tidak serupa dengan makhluk yang memiliki tangan dan ulama sepakat bahwa tangan yang dimaksud di ayat tersebut di ta’wil-kan sebagai kekuasaan.

Dikategorikan sebagai ayat mutasyabihat adalah ayat tersebut memiliki maksud yang samar, kesamarannya tersebut dibagi menjadi tiga;[3] kesamaran dalam lafadz-nya yaitu kesamaran yang tidak dapat diketahui hakikatnya karena tidak lengkapnya penjelasan dalam ayat tersebut. Contohnya seperti “wainkhiftum allā tuqsithū fīl yatāmā fankiḥū mā thobalakum minan nisāi matsnā watsulātsa wa rubā’” yang artinya apabila kamu takut tidak dapat berlaku adil terhadap perempuan yatim, maka nikahilah Wanita yang kamu senangi dua, tiga atau empat”. Secara logika mengapa takut menikahi satu Wanita yatim malah disuruh untuk menikahi dua, tiga atau empat, oleh karena itu tidak lengkapnya lafadz tersebut dikategorikan sebagai ayat mutasyabihat, dan orang yang ilmunya mumpuni untuk menjawab ayat tersebut berpendapat bahwa yang dimaksudkan adalah “jika takut tidak mampu berlaku adil menikahi wanita yatim maka nikahilah wanita selain itu”.

Selanjutnya kesamaran dalam maknanya, dalam hal ini sebuah ayat memiliki makna yang lebih dari satu, seperti contohnya adalah surat Al-Fath 48:[10] yang dimaknai “yad” dalam arti bebas adalah tangan, namun para ulama sepakat bahwa yang dimaksud di sana “yad“ adalah kekuasaan Allah ﷻ

Kesamaran dalam lafadz dan maknanya. Contoh dari ayat ini terdapat dalam surat al-Baqarah 1:[189] “dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, tetapi kebajukan itu adalah kebajikan orang-orang yang bertakwa”. Hal yang tersingkap dari ayat ini adalah budaya Arab pada zaman jahiliah tidak masuk ke dalam rumah kecuali dengan membuat lubang galian dibelakang rumah tersebut saat Ihram.

Perbedaan Ulama

Ulama berbeda pandangan mengenai ayat-ayat dalam al-Qur’an. Sebagian ulama berpendapat bahwa seluruh ayat yang ada di al-Qur’an adalah ayat muhkam berdasarkan Surat Hud 11:[1] “kitābun uhkimats āyātuhu”suatu kitab yang ayatnya tersusun rapi”.

Pendapat kedua adalah seluruh ayat al-Qur’an adalah mutasyabihat berdasarkan surat Az-Zumar 39: [23] “Allahu nazzala aḥsanal ḥadītsi kitāban mutasyābiham matsniya taqsya’irru minhu julūdul ladzīna yakhsyauna rabbahum””Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik yaitu al-Qur’an yang serupa (kualitasnya) lagi berulang-ulang, gemetar kulit orang-orang yang takut kepada-Nya”.

Dan pendapat ketiga merupakan pendapat jumhur ulama yaitu berdasarkan ayat Ali Imran 3: [7] “huwal ladzi anzala ‘alaykal kitāba minhu muhkamātun hunna ummul kitabi ukharu mutasyābihāts…” “Dialah yang menurunkan Kitab al-Qur’an kepada kamu yang diantaranya ayat muhkamat itulah pokok isi al-Qur’an dan yang lain mutasyabihat”.[4]

Hikmah Ayat Muhkamat dan Mutasyabihat

Banyak hikmah yang dapat dipetik dari mempelajari al-Qur’an yang berkenaan dengan pembahasan ayat muhkamat dan mutasyabihat, antara lain, yaitu:

  1. Ayat muhkamat menjadi keuntungan bagi orang-orang yang memiliki keterbatasan bahasa Arab agar mudah memahami dan menuntut kehati-hatian untuk memahami ayat secara liar bagi ayat mutasyabihat untuk orang yang minim dalam berbahasa Arab.
  2. Ayat muhkamat dapat dengan mudah dipahami tanpa kebingungan dan menuntut agar seseorang lebih giat dalam mendalami ilmu al-Qur’an bagi yang ingin memecahkan ayat mutasyabihat.
  3. Ayat muhkamat memberikan kemudahan untuk menghayati maksud ayat dan ayat mutasyabihat memberikan gambaran kelemahan manusia, dengan ilmunya yang terbatas harus mencari maksud ilahi yang tersirat dalam sebuah ayat.

Kesimpulan

Al-Qur’an merupakan mu’jizat yang di dalamnya terkandung banyak sekali ilmu dan salah satunya adalah ilmu mengenai jenis-jenis ayat yaitu ayat muhkamat dan ayat mutasyabihat. Ayat muhkamat adalah ayat yang jelas maknanya dan pada umumnya berisi tentang keagungan Allah ﷻ serta ibadah, sedangkan mutasyabihat adalah ayat yang maknanya samar dan dibutuhkan ilmu dan ketakwaan lebih untuk menggali makna yang ada di dalamnya. Ulama berbeda pendapat mengenai ayat-ayat dalam al-Qur’an, ada yang berpendapat seluruhnya muhkamat, atau seluruhnya mutasyabihat, atau sebagian muhkamat sebagian mutasyabihat.

Setelah belajar mengenai ayat muhkamat dan mutasyabihat hendaknya kita bisa berhati-hati terlebih informasi mengenai “pencomotan ayat” secara bebas demi memenuhi hasrat individu yang mana belum tentu makna yang diinfokan sejalan dengan makna firman Allah ﷻ yang suci karena hanya secuil ilmu yang dimilikinya. “…kami beriman kepadanya (al-Qur’an), semua dari sisi Tuhan kami…” (Q.S. Ali Imran [3]: 7). Barakallahu fiikum.

Mutiara Hikmah

Allah berfirman :

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ.

“Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (Al Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (Q.S an-Nahl [16]: 89)

* Alumni Ahwal Syakhshiyyah FIAI UII, email: [email protected]

[1] Muhammad Rana. Muhkamat dan Mutasyabihat. https://sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/ filesdosen/modul/Pertemuan7070822.pdf. hal. 1

[2] Nova Yanti. Memahi Makna Muhkamat dan Mutasyabihat Dalam Al-Quran. Riau: Jurnal Pendidikan Al-Islah STAI Hubbulwathan Duri. Vol. 8, No. 2, 2016. Hal. 248.

[3] Iskandar, Ayat Muhkamat dan Mutasyabihat Dalam Prespektif Sosiologis. Jurnal Penelitian Agama Al-Mahbats. Vol. 5, No. 2, 2020. 279

[4] Asnawi. Muhkam Mutasyabih dan Teori Belajar. Bojonegoro: Jurnal Keislaman dan Pendidikan Attanwir STAI Attanwir. Vol. 13, No. 2, September 2020. Hal. 52

Download Buletin klik disini

MENGGAPAI KEBAHAGIAAN YANG HAKIKI

MENGGAPAI KEBAHAGIAAN YANG HAKIKI

Oleh: Hana Nabila, S.E.

 

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh,

Ketaatan di Bulan Haram

Kaum muslimin yang dimuliakan Allah ﷻ, Rajab adalah bulan yang dimuliakan Allah. Allah memberitahukan didalam firman-Nya, “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka jangan kamu menganiaya diri kamu dalam bulan empat itu, dan perangilah kaum musyrikin semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa” (Q.S. at-Taubah [9]: 36).

Bulan haram adalah bulan-bulan tertentu yang dijelaskan Rasulullah n sebagaimana disampaikan dari Abu Bakrah Nafi’ bin Harits dalam hadits shahih, “Sesungguhnya zaman ini telah berjalan, sebagaimana perjalanan awalnya ketika Allah menciptakan langit dan bumi, yang mana satu tahun ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram, tiga bulan yang berurutan, yaitu Dzulqaidah, Dzulhijah, dan Muharam. Kemudian Rajab yang berada di antara Jumadil (Akhir) dan Sya’ban.” (H.R. Bukhari: 4406, Muslim: 1679 dan Abu Daud:1947).

Melakukan ketaatan dan memperbarui taubat (bermuhasabah) kepada Allah di bulan haram sangat dianjurkan. Muhasabah disini diartikan dengan menilai diri sendiri, mengevaluasi segala tindakan yang sudah dilakukan tentunya mengacu pada al-Qur’an dan hadits sebagai dasar penilaian bukan berdasarkan penilaian yang dikehendaki sendiri. Bermuhasabah menjadi salah satu cara untuk memperbaiki, melatih dan menyucikan hati kita.

Bahkan Allah memerintahkan kita untuk senantiasa bermuhasabah, dijelaskan dalam al-Qur’an surah al-Hasyr ayat 18 yang menjelaskan agar manusia menghisab dirinya sendiri sebelum dihisab oleh Allah ﷻ dan perbuatan amal shalih yang dilakukan selama ini semata-mata akan dijadikan saksi saat menghadap Allah, maka bertaqwalah kepada Allah karena sesungguhnya Allah mengetahui segala perkara yang diperbuat manusia, tidak ada yang tersembunyi dari-Nya baik itu perkara kecil maupun besar[1].

Kebahagiaan Palsu

Di zaman modern ini banyak sekali fenomena yang memperlihatkan begitu diperbudaknya manusia dengan urusan dunia, mencari kekayaan dan popularitas sampai mengorbankan kebahagiaan fisik dan jiwanya sendiri, bahkan menggadaikan ketakwaannya kepada Allah ﷻ, na’ûdzubillâh. Kehidupan modern membuat manusia lupa dan lalai akan perhitungan ke atas dirinya, mereka seolah-olah tertipu oleh keindahan dunia. Sedangkan setiap apa yang dilakukan manusia akan diperhitungkan oleh Allah ﷻ. Dengan begitu manusia dihadapkan pada persoalan, di antaranya yaitu tentang pencarian makna kebahagiaan.

Paradigma kehidupan yang begitu hedonis menjadikan tatanan kehidupan manusia zaman modern dihadapkan dengan idealitas yang samar dan kosong, hanya karena menginginkan kesenangan duniawi semata. Sehingga banyak manusia seperti berada dalam keseimbangan yang ‘palsu’. Kepalsuan ini yang menipu manusia dan memasukkannya ke dalam jurang keringnya nilai spiritual dan tak mampu mencapai tahapan kebahagiaan hakiki. Kebahagiaan yang mereka kejar lebih pada kebahagiaan palsu.

Lalu apakah kita tidak boleh melakukan kesibukan? Tentu saja boleh. Manusia yang menyibukkan dunia dengan sesuatu yang bermanfaat untuk membantu ketaatan kepada Allah, mereka adalah orang-orang yang beruntung, baik di dunia maupun akhirat. Beruntung di dunia karena menyibukkan diri dalam amal kebaikan. Begitupun di akhirat karena telah membekali diri dengan berbagai amal shalih. Kebahagiaan juga akan dapat diraih apabila dekat dengan pemilik kebahagiaan itu sendiri yaitu Allah ﷻ.

Macam Kebahagiaan

Imam al-Ghazali, menyebut bahwa kebahagiaan terbagi dua, yaitu kebahagiaan majazi dan kebahagia hakiki. Kebahagiaan majazi merupakan kebahagiaan duniawi yang hanya bersifat fana, sedangkan kebahagiaan hakiki adalah kebahagiaan rohani yang mengantarkan kita pada kebahagiaan akhirat. Kebahagiaan duniawi bisa didapatkan oleh semua orang baik yang beriman maupun tidak beriman, namun kebahagiaan rohani hanya didapatkan oleh orang yang beriman sedang berilmu dan berakal. Kebahagiaan hakiki (rohani) dapat diraih karena adanya koneksi dengan Allah dengan keimanan dan ketaqwaan.

Di dalam kitab ‘Kimiya al-Sa’adah’ karangan Imam al-Ghazali terdapat cara untuk mengenal sang pencipta dan membangkitkan keimanan serta ketaqwaan sebagai langkah untuk bermuhasabah di bulan Rajab mubarak ini, diantaranya yaitu[2] :

  1. Mengenal Diri (ma’rifah al-Nafs).

Salah satu cara seseorang dapat menemukan kebahagiaannya adalah dengan memahami siapa dirinya. Memahami diri sendiri dengan sebenar-benarnya sampai pada titik kesadaran dan pengetahuan tertinggi tentang bagaimana dirinya menjadikan ia dengan mudah mengenal Tuhannya.

Dalam pandangan Imam al-Ghazali, manusia di dalam dirinya memiliki tiga sifat yaitu hewan, setan dan malaikat. Dengan penjelasan apabila dalam kehidupan kita hanya melakukan aktivitas seperti makan tidur dan kawin saja maka sifat kehewanan tersebut lebih dominan, apabila dalam kehidupan manusia lebih mengarah pada sifat suka menghasut, menjelek-jelekkan orang, berbuat kejahatan maka sifat setan lebih dominan, dan apabila dalam kehidupan manusia menjalani kehidupannya dengan taat, berbuat kebaikan maka sifat malaikat lebih dominan.

  1. Mengenal Allah (Ma’rifatullah)

Menurut al-Husayn bin Mansur al-allaj (w. 921 m) ma’rifat yaitu apabila manusia sudah mencapai tingkatan ma’rifat, maka pikiran-pikiran yang dihadirkan menjadi sarana ilham sehingga memunculkan kearifan dan juga kebijaksanaan yang tinggi, serta dikarunia hikmah yang luas yang menjadikan manusia tersebut memiliki ketentraman hati[3]. Konsep pengenalan kepada Allah (ma’rifatullah) didapatkan melalui perenungan dan pendalaman pikiran terhadap wahyu Allah dan akal untuk memahami alam semesta sebagai tanda-tanda kebesaran-Nya sehingga pengenalan tersebut dapat mengantarkan pada kesadaran pikiran dan iman terhadap Allah sehingga menimbulkan rasa cinta ibadah kepada-Nya seperti shalat, mengamalkan amalan-amalan masyru’, dan menghadirkan rasa takut kepada Allah.

  1. Spiritualitas dan Dzikir,

Menurut al-Gḥazālī, spiritualitas yaitu bergabungnya fungsi secara tepat al-rūḥ, al-qalb, al-nafs, al-‘aql dalam diri manusia. Spiritualitas merupakan kekuatan dari mengenal diri dan mengenal Allah sehingga seseorang berkemampuan mengelola dan mendayagunakan makna-makna, nilai-nilai dan kualitas-kualitas kehidupan spiritual, memiliki hasrat untuk hidup bermakna yang memotivasi kehidupan manusia untuk senantiasa mencari makna hidup dan mendambakan hidup bermakna.

Sedangkan dzikir ditinjau dari segi bahasa adalah menginat, sedangkan secara istilah adalah membasahi lidah dengan ucapan-ucapan pujian kepada Allah[4]. Al-Ghazali menjelaskan bahwa orang yang berdzikir adalah orang yang selalu ingat bahwa Allah mengawasi dan melihat seluruh tindakan dan pikirannya baik yang tersembunyi maupun terang-terangan. Sedangkan manusia hanya mampu melihat yang terindra. Karenanya, manusia yang mempercayai pengawasan Allah atas dirinya pasti dapat melatih jasad dan batinnya sekaligus sehingga muncul kebahagian rohani.

Semoga tulisan ini menjadi motivasi bagi pembaca untuk semangat dalam bermuhasabah sehingga mengetahui batasan-batasan halal dan haram yang telah Allah tetapkan dalam agama yang sempurna ini yaitu agama Islam.[]

Mutiara Hikmah

Allah berfirman,

الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan berzikir (mengingat) Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram” (Q.S. ar-Ra’du [13]: 28).

MARÂJI’

* Alumnus Ekonomi Islam FIAI UII

[1]Arif Rahman Hakim dkk. Terjemahan Tafsir Ibnu Katsir Jilid 10. Surakarta: Insan Kamil. 2015. hal. 77

[2]Al-Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali. Kimiya al-Saadah al-Risalah al-Laduniyyah.

[3]Hasbiyallah, and Ihsan, M. N. Konsep Pengenalan Allah (Ma’Rifatullah) Implikasinya Terhadap Pendidikan Agama Islam’.Jurnal Perspektif. 2019.  3(1), p. 1. doi: 10.15575/jp.v3i1.37.

[4]Ismail Nawawi. Risalah Pembersih Jiwa: Terapi Prilau Lahir & Batin dalam Perspektif tasawuf. Surabaya: Karya Agung surabaya.2008.hal.244

Download Buletin klik disini

MEMILIH PASANGAN SECARA MA’RUF

 

MEMILIH PASANGAN SECARA MA’RUF

Oleh: Indah Listyorini, MHI*

 

Islam adalah agama yang segala ketentuannya dari Allah yang dibawa oleh baginda Rasulullah n. Perihal muamalah baik yang berhubungan dengan sesama manusia atau dengan Tuhannya. Salah satunya adalah mengenai pernikahan. Pernikahan adalah suatu hal yang sakral, hubungan antara dua insan manusia laki-laki dan perempuan yang akan melakukan keberlangsungan hidup bersama. Segala prosesi pernikahan akan dilakukan demi kebahagiaan dua keluarga dan mempelai tentunya. Tapi taukah teman-teman, bagaimana seharusnya memilih pasangan hidup yang sesuai dengan anjuran Islam, dalam hal ini memilih istri  atau suami yang baik guna keberlangsungan hidup dalam berumah tangga kelak. Keduanya sama pentingnya, baik memilih istri atau suami adalah hal yang disunnahkan, tidak hanya lelaki saja yang dianjurkan memilih calon istri dengen kriteria tertentu, perempuan pun memiliki hak yang sama untuk menentukan pilihan pasangan hidup sesuai keinginanya.

Perempuan Ideal dalam Islam

Sungguh agama Islam adalah sebagai kemuliaan bagi perempuan, mereka diberikan kelayakan hidup atas dasar kemuliaan sebagai manusia. Walau pada kenyataan sejarah telah mencatat perempuan pada masa jahiliyah memiliki sejarah suram sehingga martabatnya menjadi ancaman pada saat itu. Mereka diperjualbelikan, harga diri tidak ada, bahkan banyak keluarga malu ketika melahirkan bayi berjenis kelamin seorang perempuan. Namun siapa dapat memungkiri, jika perempuanlah yang pada akhirnya akan melahirkan generasi-generasi selanjutnya dan lewat perempuan pula akan lahir peradaban baru.

Sebelum masuk ke dalam memilih pasangan yang baik, mari kita cari tahu dulu bagaimana sosok perempuan ideal itu? Semua perempuan terlahir sempurna sesuai dengan identitasnya masing-masing, perempuan dari dulu selalu diidentikan dengan keindahan, kecantikan dan segala keunikan yang ada padanya.

Islam pada abad ke 7 Masehi menegaskan bahwa pertama, perempuan adalah manusia. Kedua, setiap manusia hanyalah hamba Allah l. Ketiga, semua manusia adalah sebagai khalifah fil ardh untuk menjalankan mandat di muka bumi ini.[1] Pada prinsipnya citra dasar perempuan dalam al-Qur’an tidaklah sama dengan citra perempuan yang berkembang dalam sejarah Panjang Islam. Berikut adalah beberapa citra perempuan idela dalam Islam:[2]

  1. Memiliki kemandirian politik (al-istiqlal al-sityasah) (Q.S. al-Mumtahanah [60]:12) sebagaimana Ratu Bilqis yang memiliki kerajaan super power laha’arsyun azhim (Q.S.al-Naml [27]:23).
  2. Memiliki kemandirian ekonomi (al-istiqlal al-iqtishadi (Q.S. al-nahl [16]:97), layaknya pemandangan yang disaksikan Nabi Musa di Madyan, perempuan pengelola peternakan (Q.S. al-Qashash [28]:23).
  3. Memiliki kemandirian dalam menentukan pilihan-pilihan pribadi (al-istiqlal al-syakhshiy) yang diyakini kebenarannya, walaupun harus menghadapi suami bagi perempuan yang sudah berkeluarga (Q.S. al-Tahrim [66]:11), atau menantang opini publik bagi perempuan yang belum berkeluarga (Q.S. at-Tahrim [66]:12).
  4. Memiliki pengetahuan agama yang baik dan beramal shalih.

Uraian di atas menunjukkan bahwa Islam memberikan kriteria ideal dalam diri perempuan. Hal inilah yang akan kita ketahui, jika perempuan adalah sosok yang kuat dan bisa diandalkan bahkan memiliki kriteria baik di mata dunia.

Menurut Imam Zaki al-Barudi[3] mengatakan bahwa wanita ideal adalah perempuan yang benar-benar memiliki landasan agama yang kuat agar keyakinan beragama tetap terjaga. Di antara sosok perempuan ideal yang bisa dijadikan contoh yaitu Asiyah binti Muzahim, istri Fir’aun. Dia merupakan sosok yang digambarkan dalam al-Qur`ân mengenai keteguhan imannya dalam menghadapi ujian, dan dia adalah sosok perempuan penyabar dalam menghadapi suaminya yang kejam.

Begitu mulianya perempuan ideal dalam kedudukan Islam, sehingga Allah l menguraikan dalam firman-Nya berbagai sosok dan sifat-sifat yang di miliki perempuan ideal sebagai perumpamaan atau pelajaran untuk generasi setelahnya, tidak lain balasan bagi perempuan ideal adalah surga. Dengan demikian, selayaknya kaum perempuan dapat mengambil contoh dan pelajaran dari apa yang telah diwariskan oleh perempuan ideal yang digambarkan di dalam al-Qur`ân, agar dapat mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga termasuk dalam kategori perempuan ideal yang mulia di mata masyarakat dan di mata Allah l.

Lelaki Ideal dalam Islam

Lelaki pada dasarnya adalah sosok yang terlihat lebih dominan dibandingkan perempuan. Mereka dilahirkan sebagai manusia yang nantinya akan berproses berdampingan dengan kaum perempuan. Namun terkadang laki-laki memiliki sikap yang seolah ingin menampakkan sisi maskulinitasnya agar diakui secara sosial. Sama halnya dengan perempuan, lelaki di mata perempuan juga memiliki pandangan yang sama. Perempuan juga memiliki kriteria lelaki yang ideal sebagai bakal pasangannya kelak.

Jika dilihat dari pembahasan di atas tentang perempuan ideal, maka lelaki ideal menurut Islam pun tidak jauh berbeda dengan apa yang diuaraikan untuk kriteria perempuan. Sebagai sosok pemimpin keluarga, tentu akan banyak tuntutan yang harus dimiliki oleh seorang lelaki. Diantaranya adalah mereka yang memiliki: (1) Taat beragama (shalih), (2) memiliki jiwa kepemimpinan yang baik, (3) ketaatan yang baik kepada kedua orang tua, (4) bertanggungjawab, (5) berasal dari keluarga yang baik dan (6) memiliki kemandirian ekonomi.

Dalam hal memiliki ekonomi yang baik, Rasulullah n bersabda: “Hai golongan pemuda, barangsiapa diantara kamu ada yang mampu (untuk membelanjai) kawin, hendaklah ia kawin, karena kawin itu akan lebih menjaga pandangan dan akan lebih memelihara kemaluan; dan barangsiapa belum mampu kawin, hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu ibarat pengebiri.” (H.R. Ahmad, Bukhari dan Muslim).[4]

Dari hadits di atas dapat diketahui bahwa salah satu ciri seorang lelaki yang dengan kriteria ideal adalah sudah mampu secara finansial, karena biar bagaimanapun, keberlangsungan kehidupan keluarga itu penting termasuk kebutuhan sehari-hari.

Memilih Pasangan secara Ma’ruf

Manusia diciptakan setara baik laki-laki dan perempuan. Dalam hal memilih pasangan hidup, mereka juga diberikan hak yang sama dan tidak hanya laki-laki yang bisa memilih istri shalihah, perempuan pun juga memiliki hak yang sama untuk memilih pasngan hidup yang shalih. Selama ini yang kerap kali kita dengarkan adalah tentang pembahasan mendapatkan istri yang memiliki paras menawan dan menarik lalu shalihah. Dalam Islam memilih pasangan yang baik adalah sebuah keutamaan, baik dalam hal agama, perilaku dan keturunannya. Seorang lelaki yang hendak memilih teman hidup, hendaklah memilih perempuan yang kuat agamanya, gemar berbuat baik dan beramal shalih, mesti ia seorang miskin dan tidak terkmapau cantik.[5]

Begitu halnya dengan perempuan, diharuskan memilih pasangan hidup yang baik dalam arti baik, agamanya, perilakunya dan keturunanya. Berbicara mengenai agamanya, Islam tidak pernah melihat siapa pun orang atau jenis kelaminnya, bahkan Imam al-Bukhari (256 H) dalam kitab Shahih al-Bukhari (hal. 964) menulis satu bab tentang boleh perempuan “menawarkan dirinya” untuk dinikahi oleh seorang lelaki shalih. Tidak hanya boleh, justru syariat mengapresisinya. Inilah bukti bahwa dalam memilih pasangan, agama tak hanya menekankan kepada lelaki memilih pasangan  yang shalihah, namun juga mendorong kaum perempuan untuk memilih lelaki shalih sebagai pasangannya.   Dengan demikian tidak hanya kecantikan dan ketampanan fisik semata yang menjadi ukuran seseorang memilih pasangan hidup, namun lebih kepada ketaatannya kepada Allah l. Wallâhu  a’lam.[]

Mutiara Hikmah

Abdullah bin Umar  cberkata: Rasulullah n bersabda:

لاَ تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمُ الْمَسَاجِدَ وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ.

 “Jangan kalian larang istri-istri kalian untuk pergi ke masjid, tetapi rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka”. (H.R. Abu Daud dan dihasankan di dalam kitab Irwa al-Ghalil, no. 515)

Marâji:

* Dosen UNUGIRI Bojonegoro (Alumni FIAI UII)

1 Nur Rofiah, Nalar Kritis Muslimah. Bandung: Afkaruna.id.2020. Cet ke 3 hal.12

[2] Ibid, hal 22

3 Seorang Ulama Tafsir, yang banyak menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an tentang perempuan

[4] Hadits shahih Bukhari Muslim

5 Anwar Rasyidi, Nasihat Agama dan Wasiat Iman (terj): Semarang: Karya Toha Putra.2012. Cet ke 4 hal. 470

Download Buletin klik disini

MEMILIKI RASA TANGGUNG JAWAB

MEMILIKI RASA TANGGUNG JAWAB

Oleh: Fathurrahman*

Saudaraku, apa yang ada di benak kita ketika mendengar ungkapan, “Kita harus memiliki rasa tanggung jawab” atau seperti ungkapan yang senada, “Seseorang harus bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya” atau ungkapan yang lain, “Mana tanggung jawabmu?” Untuk memahami ungkapan-ungkapan tersebut, sejenak kita kembali ke masa lalu.

Pernahkah di masa kecil orang tua kita mengajarkan menyapu lantai rumah, ngepel, mencuci piring, melipat baju, merapikan sandal, bahkan sebagian orang tua menyuruh atau mengajak anaknya untuk menunaikan shalat lima waktu dan seterusnya? Ini merupakan prilaku tanggung jawab yang diajarkan orang tua kepada anak-anaknya. Berharap kelak ketika anak tersebut sudah mencapai usia baligh ia memiliki rasa bertanggung jawab terhadap apa yang telah diperbuatnya atau ia menunaikan kewajibannya dengan penuh kesadaran.

Memahami Makna Tanggung Jawab  

Dengan demikian, apa yang dimaksud dengan tanggung jawab wahai saudaraku? Tanggung jawab adalah kesadaran seseorang melakukan suatu kegiatan, dan bersedia menjalani risiko akibat perbuatannya. Dalam KBBI diartikan keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dan sebagainya).[1]

Tanggung jawab adalah sikap ketika seseorang harus bijak akan suatu masalah yang tengah dihadapinya. Perilaku ini tidak bisa dibatasi oleh usia maupun jenis kelamin, karena memang bersifat umum. Oleh karenanya, tanggung jawab yang diemban oleh seseorang akan kian berat seiring dengan bertambahnya usia. Namun usia bukanlah jaminan bahwa seseorang sudah dapat dinyatakan sebagai orang dewasa yang bertanggung jawab.

Tanggung Jawab dalam Kitab Suci

Saudaraku, kalau kita lacak dalam sumber utama yaitu al Qur’an dan hadits ash-shahihah tentang tanggung jawab, terdapat secara tersirat dalam beberapa ayat dalam al-Qur’an dan beberapa hadits.

Allah l berfirman: “Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.” (Q.S. al-Muddatstsir [74]: 38)

Dalam Tafsir Al-Mukhtashar dijelaskan, setiap jiwa bertanggung jawab atas segala perbuatan yang dilakukannya, bisa jadi amal perbuatan itu menjerumuskannya dan bisa jadi amal perbuatan itu menyelamatkannya dari kehancuran.[2] Senada dalam penjelasan di Tafsir Al-Muyassar, bahwa setiap jiwa tergadai dan tergantung dengan apa yang diusahakannya, baik berupa kebaikan atau keburukan, ia tidak bebas sebelum menunaikan kewajiban dan hukuman yang harus dijalaninya.[3]

Dalam tafsir Kementrian Agama RI dijelaskan bahwa, ayat-ayat tersebut merupakan pernyataan kepada manusia seluruhnya dalam kaitan dengan kebebasan memilih yang telah ditegaskan pada ayat-ayat sebelumnya. Manusia mau maju meraih kebaikan atau mundur yang jelas setiap orang bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya masing-masing, kecuali golongan kanan golongan inilah yang meraih keberuntungan karena memilih yang baik.[4]

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar cNabi n bersabda: “Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Amir (kepala Negara), dia adalah pemimpin manusia secara umum, dan dia akan diminta pertanggungjawaban atas mereka. Seorang suami dalam keluarga adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka. Seorang istri adalah pemimpin di dalam rumah tangga suaminya dan terhadap anak-anaknya, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka. Seorang hamba sahaya adalah pemimpin dalam urusan harta tuannya, dia akan dimintai pertanggungjawaban atasnya. Ketahuilah, bahwa setiap kalian adalah pemimipin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas siapa yang dipimpinnya.” (H.R. Bukhari no. 2554[5] dan Muslim no. 1829)

Dalam hadits terdapat dalil yang menunjukkan betapa tanggung jawab setiap orang yang memegang kendali urusan rakyat itu sangat besar dan berat, para pemimpin baik dalam skala besar maupun kecil, termasuk juga kepemimpinan seorang lelaki terhadap keluarganya. Oleh karena itu, kewajiban orang yang memegang kendali urusan kaum muslimin, untuk menjaga hak-hak mereka dengan penuh tanggung jawab, tanpa berlaku curang. Serta masih banyak ayat dan hadits lain yang menjadi ancaman bagi orang-orang yang melalaikan tanggung jawabnya.

Ciri Orang Bertanggung Jawab

Sadaraku, dalam kehidupan bermasyarakat, kita dapat melihat perilaku orang-orang disekitar kita apakah mereka termasuk di antara dari ciri-ciri orang bertanggung jawab atau sebaliknya. Berikut beberapa ciri orang bertanggung jawab:

  1. Ikhlas dalam melakukan kebaikkan (Q.S. al Bayyinah [98]: 5)
  2. Memiliki kesadaran bahwa dirinya adalah hamba Allah (Sayyidul istighfar, R. Bukhari no. 6.306)
  3. Menyadari bahwa setiap apa yang diperbuatnya akan ada dipertanggungjawabkan kelak di hari kiamat (S. al-Muddatstsir [74]: 38)
  4. Sesuai antara ucapan dan tindakan (Q.S. As-Shaff [61]: 2-3)
  5. Berpikir optimis dalam masalah yang dihadapinya (Q.S. Asy Syarh [94]: 5-6)
  6. Tidak lari dari masalah (Q.S al Baqarah [2]: 250)
  7. Bekerja keras (Q.S. Asy Syarh [94]: 7)
  8. Setia pada perjanjian yang telah dibuatnya (menepati janji) (Sayyidul istighfar, R. Bukhari no. 6.306)
  9. Berbuat baik dan mentaati orang tua dalam perkara kebaikkan (Q.S al Baqarah [2]: 83, dan Q.S. an-Nisâ’: [4]: 36)
  10. Peduli pada kondisi, baik keluarga maupun teman (Q.S al Hadid [57]: 18, dan Q.S. al Mâidah [5]: 2)
  11. Rajin memberi apresiasi kepada siapa saja dan tidak lupa mengucapkan terima kasih. (H.R. Abu Daud, no. 4811 dan Tirmidzi, no. 1954.)

Masih banyak ciri-ciri orang bertanggung jawab yang disebutkan dalam al-Qur’an dan hadits. Setidaknya apa yang sudah disebutkan ini bisa menjadi acuan bagi kita untuk mengetahui ciri-ciri orang bertanggung jawab. Sehingga kita dapat mengambil faidah dari mereka dalam rangka kemaslahatan umat.

Kepada Siapa Harus Bertanggung Jawab?

Saudaraku, kepada siapa kita harus bertanggungjawab? Jawabanya tergantung kepada siapa kita tujukan. Bisa jadi kita bertanggung jawab kepada Allah l, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, tempat kerja, dan yang lainnya. Pertanggungjawaban yang paling berat adalah kelak di yaumil hisab.

Setiap yang berjiwa akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang telah diperbuatnya. Maka persiapkanlah dari sekarang (di dunia) agar kelak pertanggungjawabannya ringan. Semoga Allah menjadikan kita diantara hamba-hamba-Nya yang istiqamah di atas kebaikkan.[]

Mutiara Hikmah

Dari An Nu’man bin Basyir a, Nabi n bersabda:

مَنْ لَمْ يَشْكُرِ الْقَلِيلَ لَمْ يَشْكُرِ الْكَثِيرَ

Barang siapa yang tidak mensyukuri yang sedikit, maka ia tidak akan mampu mensyukuri sesuatu yang banyak.” (H.R. Ahmad, 4/278. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan sebagaimana dalam As Silsilah Ash Shahihah no. 667).

* Staf Pengajar Bahasa Arab Masjid Al Mukmin Plosorejo

[1] https://kbbi.web.id/tanggung%20jawab

[2] Markaz Tafsir Riyadh, biisyraf Imam Masjid Al-Haram Dr. Shalih bin Abdullah bin Humaid.

[3] Tafsir Al-Muyassar, Kementerian Saudi Arabia. 

[4] Tafsir Ringkas Kementrian Agama RI.

[5] https://sunnah.com/bukhari:2409

Download Buletin klik disini

MENJADI PRIBADI IKHLAS: SEBUAH REFLEKSI DIRI

MENJADI PRIBADI IKHLAS: SEBUAH REFLEKSI DIRI

Oleh Regita Safitri Wulandari*

 

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh,

Dalam keseharian kita, kata ikhlas sudah tidak asing lagi didengar oleh khalayak masyarakat dalam kehidupan. Kita sangat sering menggunakan kata ikhlas tersebut dalam kehidupan sehari hari, bisa untuk menyemangati diri sendiri maupun orang lain. Kata ikhlas juga sering diekspresikan ketika seseorang mengalami kesulitan dan kesusahan. Sudah semestinya sikap ikhlas bisa diterapkan dalam kehidupan sehari hari, apakah seseorang tersebut dalam keadaan susah maupun dalam keadaan stabil.

Dalam ajaran Islam, seorang muslim harus bersikap Ikhlas. Allah l berfirman dalam surah al-Bayyinah ayat 5: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus. (Q.S. al-Bayyinah [98]: 6)

Memang benar bahwa kata ikhlas sangat mudah diucapkan, tetapi akan sulit dilakukan bagi manusia. Untuk bisa menerapkan sikap ikhlas dalam kehidupan, tentunya tidak semudah membalikkan sebuah telapak tangan. Dibutuhkan sebuah perasaan yang tulus agar seseorang bisa mencapai apa yang dinamakan ikhlas. Walaupun sangatlah sulit untuk bisa diimplementasikan, namun bisa berhasil untuk dapat mengimplementasikan sikap ikhlas jika seseorang tersebut mengikhlaskan sesuatu hal karena Allah l. Jika ini bisa diterapkan, niscaya hati kita akan merasa tenang dan lega. Oleh karena itu, kita harus senantiasa untuk selalu menanamkan serta mengimplementasikan rasa ikhlas ini dalam kehidupan kita sehari-hari karena Allah l.

Makna Ikhlas

Secara etimologi ikhlas bermakna jujur, tulus, dan rela. Sementara dalam bahasa Arab, kata “ikhlas” merupakan bentuk mashdar dari kata “akhlasa” yang berasal dari sebuah kata yaitu kata “khalasa[1]. Dalam Al-Qur’an, kata “khalasa” disebutkan sebanyak 31 kali dengan berbagai macam bentuknya, sedangkan jumlah kalimat yang berbeda ada sebanyak 14 kalimat[2]. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ikhlas memiliki arti bersih hati, tulus hati. Dalam menjalin hubungan sesama manusia, ikhlas memiliki makna memberi pertolongan dengan ketulusan hati[3].

Para ulama menjelaskan pengertian ikhlas sebagai seluruh ibadah yang diniatkan dan ditujukan hanya kepada Allah l. Mengutip dari perkataan Al-Raghib dalam kitabnya yang berjudul Mufradat, menjelaskan bahwa ikhlas adalah menepikan segala sesuatu selain Allah l[4]. Sedangkan menurut Muhammad Abduh, ikhlas adalah ikhlas dalam beragama hanya untuk Allah l dengan selalu menghadap kepada-Nya, serta tidak mengakui kesamaan-Nya dengan makhluk apapun dan bukan dengan tujuan khusus layaknya menghindarkan diri dari malapetaka atau bertujuan untuk mendapatkan keuntungan serta tidak mengangkat selain dari-Nya sebagai pelindung[5].

Perumpamaan Ikhlas

Jika diperhatikan sekilas, makna ikhlas jika diibaratkan seperti seseorang yang tengah membersihkan beras dari kerikil di sekitar beras tersebut. Ketika beras sudah bersih dan di masak, maka saat memakannya akan terasa nikmat, tetapi jika diantara beras masih terdapat kerikil, maka saat memakannya tidak dapat terasa nikmat karena masih ada yang mengganjal dalam kenikmatan rasanya. Dari perumpamaan di atas, dapat dipahami bahwa ikhlas adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan masalah niat, hal ini disebabkan niat adalah titik penentu dalam menentukan amalan seseorang. Orang yang ikhlas, tidak akan dikatakan sebagai orang yang ikhlas sampai ia hanya mengesakan Allah l dari segala sesuatu, dan hanya Allah l yang ia inginkan[6].

Dari pemaparan sebelumnya, dapat kita ambil kesimpulan bahwa setiap kita mau melakukan suatu perbuatan haruslah diniatkan karena Allah l. Karena dengan selalu menanamkan rasa ikhlas dalam keseharian, kita akan selalu merasakan dampak yang sangat baik dalam hidup. Namun memang untuk bisa selalu menerapkan perasaan ikhlas ini tidaklah mudah, ditambah lagi karena kita sebagai manusia selalu memiliki hawa nafsu yang terkadang sulit untuk dikendalikan. Oleh karena itu, kita harus selalu mencoba untuk selalu mengimplementasikan perasaan ikhlas dalam melakukan segala hal hanya untuk mengharap ridho Allah l.

Kisah Keteladanan Pribadi Ikhlas

Umat Islam tidak perlu bingung mencari pribadi yang memberikan keteladanan dalam sikap Ikhlas. Di zaman Rasulullah n, ada seorang sahabat yang bisa kita jadikan teladan dalam mempraktekan pribadi yang mukhlasin (ikhlas). Ia adalah seorang sahabat nabi Muhammad n yang bernama Amrun bin Taghlib.  Amrun Bin Taghlib adalah salah satu sahabat Nabi Muhammad n yang namanya terdapat dalam beberapa hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Amrun bin Taghlib yang lahir di Basarah, menjadi salah satu sahabat Nabi yang ikut serta dalam perjuangan dakwah Rasulullah.[7]

Pada hadits yang melalui jalur Muhammad bin Al-Fadhal atau Abu An Nu’man, Jarir bin Hazim bin Zaid atau Abu An Nadhar, Al-Hasan bin Abi Al-Hasan Yasar atau Abu Sa’id, dan Amrun bin Taghlab, Rasulullah memaparkan mengenai keutamaan yang dimiliki oleh Amrun bin Taghlib. Di dalam hadits ini, Rasulullah membagikan hasil dari rampasan perang kepada sahabat Nabi. Namun tidak semua memperoleh bagian dari harta rampasan itu. Sebagian orang-orang yang tidak memperoleh harta rampasan perang itu merasa kecewa dan tidak puas dengan sikap yang diambil Rasulullah.[8]

Kemudian Rasulullah bersabda “Sungguh, ada orang yang kuberi dan ada yang tidak kuberi, namun yang tidak aku beri lebih aku sukai daripada yang aku beri, beberapa orang yang aku beri karena hati mereka masih ada keluh kesah dan ketakutan, dan beberapa orang yang aku percayakan kepada kecukupan yang telah Allah jadikan pada hati mereka, diantara mereka ialah Amrun bin Taglib”. Perkataan Rasulullah ini akhirnya didengar oleh Amrun bin Taghlib, ia kemudian mengatakan bahwa ucapan Rasulullah lebih ia cintai dan tidak ingin menukarnya dengan unta-unta merah (unta yang jenisnya paling mahal dan bagus).[9]

Dalam Syarah Riyadhus Shalihin Jilid 2 yang aslinya berjudul Bahjatun Naazhiriin Syarh Riyâdhish Shaalihin, Syekh Salim bin led Al-Hilali memaparkan diantara makna hadits itu, selain menjelaskan keutamaan dari Amrun bin Taghlib, juga mengajarkan kepada seorang muslim untuk selalu ridho terhadap rezeki yang didapat tanpa harus meminta serta tanpa harus memaksa. Selain itu kita juga bisa memetik hikmah bahwa harta kekayaan dan juga kenikmatan duniawi bukan menjadi tolak ukur kemuliaan dan kehormatan seseorang.[10] Semoga kita menjadi pribadi yang ikhlas dalam menjalani roda kehidupan di dunia. Amîn ya rabbal âlamîn.[]

Mutiara Hikmah

Allah l berfirman:

قُلْ اِنَّ صَلَاتِيْ وَنُسُكِيْ وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِيْ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَۙ

Katakanlah sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”. (QS. al-An’am [6]: 162)

Marâji:

* Penyusun mahasiswi Prodi Hubungan Internasional/ 2020 Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial

[1] Hasiah., Peranan Ikhlas dalam Perspektif Al-Qur’an, dalam Jurnal Darul ‘Ilmi Vol. 01, No.2, Juli 2013, hal. 22-27.

[2] Shofaussamawati.m Ikhlas Perspektif Al-Qur’an, dalam Jurnal Harmeunetik, Vol. 7, No.2, Desember 2013, hal. 333.

[3] Kristina, “Apa Itu Ikhlas? Begini Pengertiannya dalam Islam”, 28 Mei 2021, https://news.detik.com/berita/d-5585678/apa-itu-ikhlas-begini-pengertiannya-dalam-islam.

[4] Ibid.

[5] Hasiah., Peranan Ikhlas dalam Perspektif Al-Qur’an.., hal. 22-27.

[6] Ibid.

[7] Andrian Saputra, “Amru Bin Taghlib, Sahabat Nabi Muhammad yang Ikhlas”, 10 Januari 2021, https://republika.co.id/amp/q3vs4e430

[8] Ibid.

[9] Ibid.

[10] Ibid.

Download Buletin klik disini

MENYAMBUT TAHUN BARU DENGAN RESOLUSI BARU

MENYAMBUT TAHUN BARU DENGAN RESOLUSI BARU

Oleh: Isna Yunita, S.H.

 

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh,

Para pembaca yang dirahmati Allah, semoga semuanya dalam keadaan sehat, dan bahagia. Mengawali tahun baru di 2020 M ini, mari kita benahi diri dengan resolusi-resolusi baru, sebagai suatu bentuk rasa syukur karena telah diberi umur untuk berjumpa dengan tahun 2022

Makna Resolusi

Perlu diketahui bahwa resolusi ialah suatu harapan dan target baru, mengingat bahwa satu tahun yang telah berlalu menjadi pelajaran dan perbaikan ditahun selanjutnya, dengan membuat resolusi atau harapan baru teman-teman telah menciptakan suatu sarana dalam mewujudkan rencana yang ingin dicapai, sehingga dapat memudahkan rencana yang ingin direalisasikan untuk mencapai target dan tujuan hidup yang sudah ditentukan. Pengertian harapan Menurut Selignen (ken, 2005) yang dinukil oleh Anni dalam penelitiannya ialah suatu emosi positif mengenai masa depan dalam meningkatkan kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan yang jelas dimasa depan. Harapan   memiliki   manfaat   yang   sangat   besar dalam   membentuk   individu   yang bermental sehat serta mendorong invidu untuk berperan aktif dan positif dalam kehidupannya.[1]

Resolusi merupakan suatu perbaikan menuju perubahan yang lebih baik, meskipun perbaikan diri yang kita lakukan tidak hanya dilakukan di awal tahun, tetapi diawal tahun baru 2022 ini merupakan momentum waktu yang tepat menuju perubahan yang lebih baik, sebagaimana firman Allah dalam al-Qur’an:Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (Q.S. ar Ra’d [13]: 11)

Melalui ayat di atas firman tersebut dapat memotivasi seseorang untuk selalu berposes menjadi lebih baik setiap harinya, karena perubahan dalam hidup kita ditentukan oleh diri kita sendiri, dengan keingingan besar dan perjuangan yang maksimal dalam mengubah diri menjadi lebih baik.

Resolusi Diri dalam Pandangan Islam

Resolusi di dalam Islam bisa dikatakan dengan hijrah, seiring berjalannya waktu hijrah bukan hanya diartikan dengan perpindahan dari satu tempat ke tempat yang lain, namun menjadi lebih luas yakni suatu usaha menjadi lebih baik.[2]

Islam juga telah menyinggung bagaimana hijrah itu sendiri sebagaimana hadits Nabi n: “Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena dunia dan wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada apa yang ia tuju.” (H.R. Bukhari)[3]

Dari hadis ini kita dapat mengambil pelajaran bahwa setiap manusia yang memiliki resolusi bagi diri sendiri maka ia telah bersiap pula untuk membuat suatu perubahan yang lebih baik bagi dirinya, baik perubahan duniawi maupun ukhrawi.

Resolusi bagi setiap manusia sangatlah penting karena setiap manusia harus memacu dirinya untuk memperbaiki diri. Resolusi diri dapat membentuk insan yang bermental sehat dan mendorongnya menjadi lebih baik, bukan hanya di awal tahun baru melainkan disetiap harinya, hingga tujuan dan target hidup kita tercapai.

Hal Penting Dalam Membuat Resolusi

Selanjutnya Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan saat membuat resolusi diantaranya,

  1. Niat

Niat sangatlah erat kaitannya dengan tindakan, karena tindakan merupakan manifestasi dari niat seseorang. Niat dalam resolusi sangat diperlukan, niat resolusi yang baik ialah niat karena Allah, sehingga tindakan dari niat tadi akan bernilai ibadah meskipun tindakan yang dilakukan bersifat duniawi.

Allah l telah berfirman dalam hadits qudsi mengenai niat dan tindakan seseorang, yaitu: “Sesungguhnya, Allah telah mencatat perbuatan baik dan buruk dan Allah menjelaskannya. Siapa pun yang berniat melakukan perbuatan baik tetapi tidak melakukannya, maka Allah akan mencatatnya sebagai perbuatan baik sepenuhnya. Jika mereka berniat melakukannya dan melakukannya, maka Allah Ta’ala akan mencatatnya sebagai sepuluh perbuatan baik hingga tujuh ratus kali lipat atau bahkan lebih. Jika mereka berniat melakukan perbuatan buruk dan tidak melakukannya, maka Allah akan mencatat bagi mereka satu perbuatan baik. Jika mereka melakukannya, maka Allah akan mencatat bagi mereka satu perbuatan buruk.” (H.R. Bukhari dan Muslim)[4]

Jika kita melihat hadits di atas bagi Allah, niat dalam perbuatan baik akan dicatat sebagai amal, atau dalam kata lain resolusi kebaikan seseorang di tahun baru ini meskipun pada akhirnya tidak dapat terlaksana maka akan tetap mendapatkan pahala atas niat kebaikan. Namun hal yang perlu dicatat hal tersebut jangan sampai menjadikan kita sebagai orang-orang yang malas dalam melakukan sesuatu dan hanya meniatkan suatu tindakan tanpa adanya capaian dari resolusi diri kita.

  1. Konsisten

Konsisten dalam Islam dikenal dengan istiqomah yang berasal dari bahasa Arab qawama yang berarti tegak lurus, istiqomah biasanya identik dengan keteguhan dalam pendirian seseorang, dalam hal ini kaitannya dengan resolusi istiqomah sangat diperlukan untuk merealisasikan resolusi diri yang telah dibuat agar semua itu dapat tercapai, tentunya atas dasar pendirian yang teguh dan kemauan yang keras.

Oleh karena itu, konsisten (istiqomah) biasanya identik dengan kemenangan dalam pertarungan melawan hawa nafsu, bahkan Allah l telah berfirman mengenai orang-orang yang konsisten (istiqomah) dalam surah al-Fussilat sebagai berikut: “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Ya Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): “janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih, dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu.” (Q.S. Fushshilat [41]: 30)

  1. Resolusi dengan orientasi akhirat

Resolusi tahun baru tidak selalu identik dengan urusan dunia saja melainkan resolusi urusan ukhrawi serta menetapkan tujuan yang tinggi baik untuk kemajuan spiritual maupun materiil juga diperlukan, misalkan resolusi dalam meningkatkan ibadah dan sebagainya. Begitu pula resolusi yang bersifat duniawi sebaiknya didalamnya diselipkan resolusi yang orinetasinya akhirat karena pada akhirnya kita semua akan kembali kepada-Nya dan melanjutkan kehidupan akhirat yang kekal nanti. Sebagaimana firman Allah l: “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku,” (Q.S. az-Zariyat [51]: 56)

Penggalan ayat di atas menjadi pengingat bahwa semua resolusi yang dibuat meskipun telah terealisasikan namun tidak kita selipkan suatu niat ibadah dalam tindakannya, maka resolusi tersebut hanya akan mendapatkan balasan dari apa yang kita lakukan tanpa ada balasan yang bernilai ukhrawi.

Sekian dari sedikit tulisan ini, semoga kita semua dapat memulai awal tahun baru dengan berbagai resolusi kebaikan dan terus istiqomah dalam mencapai resolusi diri, hingga nanti cita-cita kebaikan kita Allah l kabulkan. Âmîn[]

Mutiara Hikmah

Dari Abu Hurairah a, Nabi n bersabda:

كَلِمَتَانِ حَبِيبَتَانِ إِلَى اَلرَّحْمَنِ, خَفِيفَتَانِ عَلَى اَللِّسَانِ, ثَقِيلَتَانِ فِي اَلْمِيزَانِ, سُبْحَانَ اَللَّهِ وَبِحَمْدِهِ , سُبْحَانَ اَللَّهِ اَلْعَظِيمِ

“Dua kalimat yang yang dicintai Allah ar-Rahman, ringan di lisan dan berat di timbangan, yaitu Subhaanallahi wa bihamdih, subhaanallahil ‘azhiim (artinya: “Maha Suci Allah sambil memuji-Nya dan Maha Suci Allah Yang Maha Agung).” (H.R. Bukhari 6406 dan Muslim 2694)

Marâji:

*Alumnus Akhwal asy-Syakhshiyyah FIAI UII

[1] Anni Zulfianai Husnar, dkk, “Harapan, Tawakal, dan Stres Akademik,” Jurnal Penelitian Psikologi Vol 2, no 1 (2017) https://journal.walisongo.ac.id/index.php/Psikohumaniora/article/view/1179/1432

[2] Andi Hikmawati Yunus, “Hijrah: Pemaknaan dan Alasan Mentransformasikan Diri Secara Spiritual di Kalangan Mahasiswa,: Andi Hikmawati Yunus,” Jurnal Emik, Vol 2 No 1 Juni 2019. file:///C:/Users/Hp/Downloads/105-Article%20Text-1182-3-10-20190628.pdf

[3] Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh al-Bukhâri (no. 6689) Dar Al-Kotob Al-ilmiyah, 1971 Beirut, Lebanon, hal 1214.

[4] Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh Al bukhari (no. 6491) Dar Al-Kotob Al-ilmiyah, 1971 Beirut, Lebanon, hal 1183.

Download Buletin klik disini

 

REFLEKSI AKHIR TAHUN

REFLEKSI AKHIR TAHUN

Oleh Suci Putriani Azhari*

 

Makna Refleksi

Makna refleksi sama halnya dengan muhasabah. Menurut bahasa muhasabah berasal dari kata حَاسَبَ – يُحَاسِبُ – مُحَاسَبَةً yang artinya menghitung. Sedangkan muhasabah yang di maksud disini adalah intropeksi atau evaluasi diri atas setiap perbuatan yang telah dilakukan yakni merenungkan kembali kekurangan-kekurangan agar dapat diperbaiki untuk kedepannya.

Perintah refleksi telah termaktub dalam surah al-Hasyr [59] ayat 18, Allah l berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” [Q.S al-Hasyr [59]: 18)

Ayat diatas menerangkan adanya perintah untuk bertakwa kepada Allah sebanyak dua kali. Perintah pertama Allah mengajak orang-orang beriman melaksanakan perintah Allah sesuai dengan kemampuan masing-masing dan meninggalkan larangan-Nya dengan maksimal. Adapun perintah yang kedua, yakni perintah untuk bermuhasabah, merefleksi, mengintropeksi, dan memperbaiki diri dari perbuatan yang telah dilakukan.[1]

Di penghujung tahun ini hendaknya kita melakukan refleksi atau mawas diri atas perbuatan yang telah dilakukan. Apabila dalam tahun ini kita melakukan hal yang baik maka pertahankan, namun apabila masih terdapat kekurangan maka hendaknya kita memperbaiki dan jangan terlalu mengikuti hawa nafsu.

Refleksi diri tidak hanya dilakukan di akhir tahun sebagai perbaikan untuk menghadapi tahun selanjutnya, akan tetapi refleksi diri juga penting dilakukan untuk mengahadapi kematian. [2] Ada nasehat sangat menyentuh iman dari sahabat Umar bin Khaththab a, beliau berkata: “Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab. Timbanglah diri kalian sebelum ditimbang. Sungguh akan lebih meringankan diri kalian di dalam hisab, jika hal ini kalian telah melakukan hisab terhadap diri kalian. Dan hisablah untuk menghadapi hari yang paling besar, “Pada hari itu kamu dihadapkan (kepada Rabbmu) tiada sesuatu pun dari keadaanmu yang tersembunyi (bagi Allah)” (Q.S. al-Haqqah [69]: 18)[3]

Kata menagih diri dalam hadits diatas berarti membuat perhitungan pada diri sendiri saat di dunia sebelum diperhitungkan ketika datang hari kiamat.

 

Refleksi Yang Salah

Fenomena sekarang ini, saat pergantian tahun banyak yang melakukan kesalahan dalam merefleksikan akhir tahun dengan berbagai macam cara, diantaranya ada yang karaoke, bergadang semalam suntuk, bakar-bakar, bermain petasan, berkumpulnya laki-laki dan perempuan hingga larut (khalwat, bahkan ada yang melakukan hal keji dan itu dianggap suatu hal yang biasa. Padahal kelak di akhirat kita akan ditanyakan tentang umur, harta, kesempatan, dan waktu yang kita miliki selama di dunia.

Dari Abu Barzah Al-Aslami, Nabi n bersabda: “Kedua kaki seorang hamba tidaklah beranjak pada hari kiamat hingga ia ditanya mengenai: (1) umurnya di manakah ia habiskan, (2) ilmunya di manakah ia amalkan, (3) hartanya bagaimana ia peroleh dan (4) di mana ia infakkan dan (5) mengenai tubuhnya di manakah usangnya.” (H.R. Tirmidzi no. 2417)

 

Momentum Terbaik Refleksi Diri

Adanya pergantian tahun adalah momentum terbaik untuk melakukan refleksi diri. Refleksi ini yakni melakukan evaluasi dan bersikap kritis terhadap diri sendiri untuk mengenali kembali kelebihan dan kekurangan dalam diri, baik hubungan kita dengan Allah maupun hubungan dengan manusia.

Hubungan dengan Allah diantaranya mendekatkan diri kepada Allah dengan memperbaiki ibadah dan amal shalih serta bertaubat kepada Allah atas segala perbuatan buruk yang telah dilakukan selama ini.

Sedangkan hubungan dengan manusia yakni dengan memperbaiki interaksi dan saling memaafkan atas kesalahan yang pernah dilakukan. Tujuan dari melakukan refleksi diri adalah sebagai upaya menyucikan jiwa untuk menjadi pribadi yang lebaik baik di kemudian hari.

 

Cara Terbaik Refleksi Akhir Tahun

Adapun cara terbaik melakukan refleksi diri, yakni dengan bertaubat kepada Allah agar diberikan ampunan atas kesalahan yang pernah dilakukan dan berdo’a agar selalu diberikan istiqomah dalam melakukan hal-hal baik. Alangkah baiknya jika ditambah dengan melakukan amalan-amalan sunnah, seperti melakukan ibadah shalat malam atau shalat tahajud, karena di waktu tahajud merupakan salah satu waktu terbaik untuk bertaubat memohon ampunan dan rahmat Allah.

Saat melakukan refleksi diri maka iringilah dengan tangisan, karena dengan tangisan jiwa akan menjadi semakin lembut. Sekiranya tidak dapat menangis, boleh jadi karena hati sedang sakit. Berusahalah untuk menangis karena menyesali dosa dan takut kepada Allah, sesungguhnya tangisan itu dapat menjauhkan seseorang dari api neraka. Sebagaimana sabda Rasulullah dari sahabat Ibnu Abbas c, Nabi n bersabda: “Dua mata yang tidak akan tersentuh oleh api neraka yaitu mata yang menangis karena takut kepada Allah dan mata yang bermalam (begadang) untuk berjaga-jaga (dari serangan musuh) ketika berperang di jalan Allah.” (H.R. Tirmidzi)[4]

 

Manfaat Refleksi Diri

Refleksi diri memiliki peran  yang sangat penting dalam pembinaan jati diri, diantara manfaat yang dirasakan saat melakukan refleksi diri adalah:

  1. Mengetahui kekurangan (aib) sendiri.
  2. Memiliki kesempatan untuk memperbaiki interaksi/ muamalah dengan Allah dan manusia.
  3. Mendatangkan kecintaan Manusia.[5]

 

Mutiara Hikmah

Muhammad bin Wasi’ v berkata,

لَوْ كَانَ لِلذُّنُوْبِ رِيْحٌ مَا قَدَرَ أَحَدٌ أَنْ يَجْلِسَ إِلَيَّ

Andaikan dosa itu memiliki bau, tentu tidak ada dari seorang pun yang ingin duduk dekat-dekat denganku.” (Muhasabah An-Nafs, hal. 37. Lihat A’mal Al-Qulub, hlm. 373.)

* Alumnus FIAI UII

[1] M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati, 2006, vol 14, hal.129-130

[2] Abi Isa Muhammad bin Isa bin Saurah at-Tarmidzi, Jami’ Tirmidzi, Riyadh: Bait Al-Afkar Ad-Dauliyyah, tt., hadits, no. 2459, hal. 402

[3] Tahdzib Madarijis Salikin I:176

[4] Hadits ini shahih ligairihi –yaitu shohih dilihat dari jalan lainnya- , sebagaimana dikatakan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih at Targib wa at Tarhib no. 1229

[5] Abu Salman al-Jawy, Amalan Satu Jam Memperlancar Rezeki dengan Muhasabah, (Jakarta: al-Maghfirah,2002), hal. 60

FAKTOR PEMBATAL KEISLAMAN

FAKTOR PEMBATAL KEISLAMAN 

Oleh: Nanang Qosim

 

Bismillâhi walhamdulillâh wash shalâtu was salâmu ‘ala rasûlillâh,

Islam Agama yang Sempurna

            Islam adalah agama yang sangat sempurna dari berbagai sisi, tidak diragukan lagi kesempurnaan Islam sebagai agama yang wajib diyakini oleh seluruh makhluk Allah, baik itu manusia dan jin. Tidak boleh ditambah dan dikurangi. Kewajiban kita sebagai makhluk-Nya  adalah ikhlas dan ittiba’. Allah l telah berfirman “…Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu…” (Q.S. al-Mâ’idah [5]: 3)

Imam Ibnu Katsir v berkata, “Ini merupakan kenikmatan Allah l yang terbesar kepada umat ini, di mana Allah l telah menyempurnakan agama mereka sehingga mereka tidak membutuhkan agama selainnya. Dan (tidak pula membutuhkan) nabi selain nabi mereka; oleh karena itu, Allah l menjadikannya (Nabi Muhammad n) sebagai penutup para nabi dan mengutusnya kepada jin dan manusia, maka tidak ada sesuatu yang halal selain apa yang beliau halalkan, tidak ada yang haram kecuali yang beliau haramkan, tidak ada agama selain apa yang beliau syari’atkan, dan setiap apa yang beliau beritakan adalah benar dan jujur, tiada kedustaan di dalamnya.” (Tafsir al-Qur‘ânil Azhîm 3/23)

Karena Islam telah sempurna, dan telah dijelaskan oleh salafush shalih dalam kalam-kalam (kutub) mereka. Tidak diragukan lagi jika ada seseorang melakukan penambahan,  pengurangan bahkan tidak menyakini sebagian syari’at atau seluruhnya maka dia bisa dipastikan telah batal keislamannya. Fenomena ini telah banyak bermunculan di zaman kita ini. Adanya budaya syirik yang dibungkus dengan kearifan budaya lokal, munculnya nabi-nabi baru yang disertai dengan syariat baru, dan tersebarnya pemikiran-pemikiran sekulerisme, pluralisme, dan liberalisme.

Fenomena ini secara sadar ataupun tidak sadar telah menghancurkan bangunan Islam yang kokoh dari diri seseorang. Ada banyak faktor kenapa fenomena ini muncul. Berikut kita kaji bersama faktor-faktor munculnya pembatal keislaman yang pada akhirnya seseorang melakukan perbuatan pembatal-pembatal keislaman, baik secara sadar ataupun tanpa sadar. Semoga Allah membimbing kita diatas hidayah taufiq-Nya.

    1. Iman yang Lemah (dha’îful îmân)

Iman dalam akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah keyakinan di dalam hati, pengucapan dengan lisan, dan diamalkan dengan anggota badan. Asy-Syâfi’î v berkata, “Iman adalah perkataan dan perbuatan. Bertambah dengan ketaatan dan berkurang karena (melakukan) kemaksiatan”. Kemudian ia (Asy-Syâfi’î) membaca ayat ini, “Dan supaya orang yang beriman bertambah imannya’ (Q.S. al-Mudatstsir [74]: 31)” (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliyâ’, 9/114-115; Dârul-Kutub al-‘Ilmiyyah, Cet. 1/1409).

Ibnul Qayyim v dalam ungkapannya menyampaikan, “Sudah pasti kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan bertingkat-tingkat sebagaimana iman dan amal shalih pun bertingkat–tingkat (Ighâtsatu al-Lahafân 2/142).

    1. Tidak adanya majelis ilmu.

Majelis ilmu menjadi sebab terbesar bertambahnya keimanan, begitu pula perbuatan maksiat dan dosa karena sebab kebodohan. Kebodohan muncul karena sebab tidak adanya majelis ilmu dan penyeru (da’i) yang menyeru kepada jalan yang haq. Perbuatan jahil menjadi faktor penyebab perbuatan maksiat dan dosa menjadi hal yang lumrah karena hilangnya majelis ilmu dan penyeru (da’i) yang shalih. Disinilah pentingnya majelis ilmu karena akan mengantarkan pelakunya pada keimanan yang  kokoh. Salah satu hilangnya majelis ilmu adalah dicabutnya ilmu dengan diwafatkannya para ulama.

Syaikh Ali Hasan berkata, “Dan dari pintu sedikitnya ilmu, syetan masuk kepada orang- orang yang cetek ilmunya, ia menghiasi ‘kebatilan’ dengan hal yang indah-indah, sehingga mereka terjerumus dalam perangkapnya, maka ilmu yang bermanfaat merupakan kunci bagi segala kebaikan dan penolak segala kejahatan.” (Mawarid al-Amân, hlm.412,  footnote no.1)

    1. Menjalarnya penyakit syubhat dan syahwat (ikhtaraqa al-maradh asy-syubhat wa syahwat)

Tidak ada penyakit yang lebih berbahaya selain penyakit syubhat dan syahwat. Jika penyakit ini sudah menjalar dan mengakar, maka tidak bisa diobati kecuali hidayah Allah datang menyapa. Allah l berfirman, “Didalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 10).

Dr. Shalih bin Fauzan hafizhahullâhu ta’âlâ menjelaskan yang dimaksud penyakit dalam ayat ini adalah penyakit syubhat dan syahwat.  Syubhat artinya keraguan, samar, kabur, atau tidak jelas. Penyakit syubhat ini misalnya kufur, kemunafikan, kekafiran, kebid’ahan dan kesesatan lainnya. Penyakit syubhat yang menimpa hati seseorang akan merusak ilmu dan keyakinannya.

Syahwat artinya selera, nafsu, keinginan, atau kecintaan. Penyakit syahwat adalah mengikuti apa-apa yang disenangi oleh nafsu yang keluar dari batasan syari’at. Penyakit syahwat ini misalnya zina, mencuri, minum khamr, ghibah, namimah, riya, rakus terhadap harta, mengharapkan kekuasaan atau jabatan, ingin populer, mencari pujian, suka perkara-perkara keji, dan berbagai kemaksiatan lainnya. Penyakit syahwat akan menyebabkan kerusakan niat, kehendak, dan perbuatan orang yang tertimpa penyakit ini. (Durus min al-Qur’ân al-Karîm oleh Dr. Shalih bin Fauzan, hlm. 86-87, cet. Dâr al-Âshimah –dengan sedikit tambahan)

    1. Nafsu yang mengajak kepada keburukan (an-nafsu ammaratubissu’).

Nafsu kita ketengahkan menjadi salah satu faktor penyebab seseorang melakukan pembatal keislaman karena nafsu itu menyeru kepada perbuatan maksiat, dosa, sikap durhaka dan mendahulukan dunia. Sedangkan Allah l menyeru hamba-Nya agar takut kepada-Nya dan menahan diri dari hawa nafsunya. Allah subhânahu wa ta’âlâ berfirman, “Adapun orang yang durhaka, lagi mengutamakan kehidupan dunia. Maka neraka Jahimlah tempat tinggalnya. Sedangkan orang yang takut akan kebesaran Rabbnya, lagi menahan diri dari hawa nafsunya. Maka surgalah tempat tinggalnya.” (Q.S. an-Nazi’ât [79]: 37-41)

Nafsu ini mengajak kepada keburukan dan kebinasaan. Dalam khutbah hajah Rasulullah n mengajarkan kepada para sahabat untuk berlindung dari kejahatan nafsu, “Segala puji bagi Allah. Kita memuji-Nya, memohon pertolongan-Nya, dan memohon ampunan kepada-Nya. Kita juga berlindung kepada Allah dari kejahatan nafsu kita dan keburukan amal-amal kita.”

    1. Adanya dukungan kearifan budaya lokal

Islam tidak melarang adat dan budaya setempat, selama adat istiadat dan budaya itu tidak menyalahi syariat. Namun kaum muslimin kadang tidak bisa membedakan antara sunnah dan bid’ah, tauhid dan syirik, haq dan bathil. Ketidaktahuan inilah yang menjadi penyebab seseorang melestarikan budaya lokal yang sebenarnya bertentangan dengan ajaran Islam. Adat istiadat dan budaya yang mengandung kesyirikan dan bid’ah yang dilakukan kebanyakan masyarakat sampai saat sekarang ini tidak saja dilakukan secara tertutup dan tersembunyi oleh orang perorang, tetapi malah dilakukan secara demonstratif dan terbuka dengan cara berjama’ah serta dijadikan agenda khusus oleh pemerintah daerah setempat  dengan dalih kearifan budaya lokal dan untuk menarik kunjungan wisata. Sehingga wajib bagi kaum muslimin untuk menjauhinya. Ya Allah ampuilah dosa kami, dan tetapkanlah kami diatas hidayah-Mu. []

Mutiara Hikmah

Dari ‘Ali a, ia berkata, “Rasulullah n bersabda kepadaku:

اللَّهُمَّ اهْدِنِي ، وَسَدِّدْنِي

 “Ya Allah, berilah aku hidayah dan berilah aku kebenaran”

Dalam riwayat lain disebutkan,

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الهُدَى وَالسَّدَادَ

“Ya Allah, aku meminta kepada-Mu hidayah dan kebenaran”

(HR. Muslim, no. 2725)

PANDUAN TOLERANSI ANTAR UMAT BERAGAMA

PANDUAN TOLERANSI ANTAR UMAT BERAGAMA

Oleh: Khalida Maryam*

 

Bismillâhi Walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh,

Indahnya kehidupan ini dengan menjadikan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai panduan dalam bertoleransi antar umat beragama juga berperilaku sebagaimana mestinya. Sebagaimana yang sudah tertulis dalam al-Qur’an surat al-Hujurât ayat 13, Allah l  berfirman:  “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti”. (Q.S. al-Hujurât []: 13)

Di dalam ayat tersebut dapat kita ambil pelajaran bahwa dalam kehidupan bersosial ini pasti akan selalu ada perbedaan baik dari segi suku, bangsa, agama, kebudayaan dan masih banyak lagi. Meskipun begitu, tetapi dihadapan Allah kita semua derajatnya sama, sama-sama manusia yang terus berusaha untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Sehingga yang perlu kita perhatikan adalah bagaimana ketakwaan kita disisi Allah l selama hidup di muka bumi ini dan bagaimana perlakuan kita terhadap saudara-saudara kita terutama kepada masyarakat yang hidup bertetangga dengan kita.

 

Makna Tasamuh

Dalam Islam, toleransi sering juga disebut dengan tasamuh. Tasamuh merupakan lapang dada, yaitu sikap tidak terburu-buru menerima atau menolak saran atau pendapat orang lain, sekalipun hal tersebut menyangkut pada masalah agama. Dipikirkannya dalam-dalam, dipertimbangkannya masak-masak baru menentukan sikap, menerima atau menolak dengan bijaksana.

Dari pengertian diatas bisa dikatakan bahwa pada dasarnya toleransi bukan hanya sebatas menghormati dan menghargai sesama saja, tetapi lebih dari itu adalah sebagai bentuk kelapangan hati untuk menerima perbedaan yang perlu usaha keras untuk disatukan ataupun menerima hal-hal yang tidak berkenan atau bahkan berlawanan arah dengan yang kita inginkan. Namun yang kita ketahui selama ini, toleransi merupakan bentuk kehormatan kita terhadap saudara-saudara kita yang berbeda agama dan keyakinan dengan kita. Sehingga apapun yang mereka lakukan terkadang bertentangan dengan apa yang selama ini kita lakukan. Meskipun terkadang bertentangan, namun kita tidak boleh mencaci atau menyalahkan perbedaan tersebut dan yang perlu kita lakukan adalah menghargai perbedaan yang tercipta sehingga kita bisa mencapai kerukunan bersama.

 

Toleransi Pada Masa Nabi  ﷺ 

Kita ketahui toleranasi pada zaman kenabian tidaklah mudah karena selama Nabi Muhammad n berdakwah untuk menyebarkan agama Islam maka dakwah tersebut selalu di ganggu oleh kaum kafir Quraisy pada masa itu. Berbagai cara dilakukan oleh kaum kafir Quraisy agar dapat menghentikan dakwah Nabi Muhammad ﷺ bahkan hingga rencana pembunuhan Nabi Muhammad ﷺ .

Hingga pada akhirnya terjadilah semacam negosiasi antara umat muslim dan kaum kafir tentang pertukaran dalam beribadah dan menyembah Tuhan. Pada saat itu kaum kafir akan bersedia untuk mengikuti ajaran Nabi Muhammad ﷺ dengan syarat umat muslim juga harus menyembah berhala sebagai ajaran mereka meski dalam waktu sepekan. Karena tawaran ini menyelisihi wahyu dari Allah l, maka Allah l menurunkan surat al-Kâfirûn ayat 1-6 sebagai bentuk jawaban dari negosiasi yang terjadi pada saat itu. Dari surat al- Kâfirûn itulah terdapat sebuah ayat yang berbunyi ‘lakum dînukum waliya dîn’ “yang berarti untukku agamaku, untukmu agamamu.”

Kita tidak bisa memungkiri kenyataan bahwa Rasulullah n bergaul dengan orang-orang non muslim sebagaimana pergaulan seseorang dengan keluarganya. Dari Anas a meriwayatkan sebuah sikap Rasulullah yang sangat menakjublan, ia berkata, “Ada seorang anak Yahudi menjadi pelayan Nabi Muhammadﷺ , kemudian anak itu jatuh sakit, lalu Nabi Muhammad n mendatangi rumahnya untuk menjenguknya, kemudian beliau duduk di sisi kepalanya, seraya bersabda kepadanya, “Masuklah Islam”. Lalu anak itu melihat kepada ayahnya yang pada saat itu ada di sisinya, kemudian sang ayah berkata, “Taatilah Abdul Qasim, kemudian anak itu masuk Islam, lalu keluarlah Rasulullah ﷺ dari rumah anak tersebut seraya bersabda, “Segala puji bagi Allah, yang telah menyelamatkannya dari api neraka.”

Dari kisah diatas bahwa Rasulullah n memperkerjakan anak Yahudi untuk menjadi pelayan Rasulullah ﷺ . Hal itu tidak menghalangi beliau untuk hidup bersama-sama dengan para pemeluk agama lain di dalam kota Madinah al-Munawwarah dengan kehidupan yang biasa. Kemudian anak Yahudi itu jauh sakit, lalu Rasulullah n mendatangi rumah anak Yahudi tersebut untuk menjenguknya.

Kita sama-sama mengetahui bahwa Rasulullah ﷺ pada saat itu menjadi penguasa tertinggi di Madinah al-Munawwarah, sedangkan anak Yahudi itu tidak merasa sungkan untuk menjadi pelayan beliau, padahal anak Yahudi tersebut beragama selain Islam. Di zaman millenial ini sangat sulit sekali ditemukan seorang pemimpin negara atau presiden yang menjenguk pelayannya ketika sedang sakit apalagi pelayan tersebut tidak seagama dengan pemimpin negaranya. Dari hal tersebut bisa disimpulkan bahwa ternyata begitu indah sikap toleransi yang terjalin antara Rasulullah n dengan pelayannya tersebut yang berasal dari kalangan Yahudi. Sehingga apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad ﷺ dan pelayannya merupakan bentuk toleransi antar umat beragama dan menggambarkan bahwa Nabi Muhammad n itu adalah toleran. Dari kisah tersebut menggambarkan bahwa Nabi Muhammad ﷺ memiliki kasih sayang yang amat tinggi pada sesama manusia.

Allah l berfirman:  “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”. (Q.S. al-Mumtahanah []: 8) Dalam ayat tersebut, ungkapan “an-tabaruhum” sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Katsir di dalam kitab tafsirnya, mempunyai pengertian berbuat baik terhadap mereka.

Dari ayat tersebut kita dapat mengambil pelajaran bahwa perbuatan baik memiliki satu tingkat lebih tinggi dibandingkan dengan berperilaku adil dengan alasan bahwa Allah l menyandarkan kata berbuat adil kepada kata berbuat baik, sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Mumtahanah ayat 8 tersebut “an tabaruhum wa tuqsitu ilahim” yang artinya adalah berbuat baik dan berlaku adil.

Selama ini kita seringkali membaca sejarah Nabi Muhammad n namun seringkali lupa atau bahkan tidak pernah meluangkan waktu untuk sekedar memaknai kisah-kisah inspiratif tersebut untuk diambil pelajarannya dan diaplikasikan  pada masa ini. Kita perlu memperhatikan bagaimana al-Qur’an dan as-Sunnah memberi peringatan dan pelajaran tentang segala bentuk peristiwa dan persoalan yang terjadi di muka bumi ini termasuk dalam hal toleransi kepada sesama umat beragama. Wa Allâhu a’lam.[]

 

Mutiara Hikmah

 

Dari Abu Hurairah a, ia berkata, ”Rasulullah n pernah mencium Hasan, putra Ali di mana saat itu ada Aqra’ ibnu Hâbis At Tamimi sedang duduk di samping beliau. Dia lalu berkata, “Saya punya sepuluh orang anak dan tidak pernah satupun dari mereka yang saya cium.” Rasulullah ﷺ  memandang dan bersabda:

مَنْ لَا يَرْحَمْ لَا يُرْحَمْ

Barang siapa yang tidak menyayangi, maka dia tidak akan disayangi.” (H.R. Muslim no. 2318)

* Mahasiswi Prodi Hubungan Internasional FPSB UII