GELAR
رَبَّنَا هَبۡ لَنَا مِنۡ أَزۡوَٰجِنَا وَذُرِّيَّٰتِنَا قُرَّةَ أَعۡيُنٖ وَٱجۡعَلۡنَا لِلۡمُتَّقِينَ إِمَامًا ٧٤
“Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa.”
(QS al-Furqan [25]: 74)
Ketika mengikuti perkuliahan di kampus, banyak karakter dosen pemberi mata kuliah yang berbeda-beda. Dosen A seperti ini, dosen B beda dari A, bahkan dosen C berbeda dari A dan B. Banyak sekali karakater perbedaanya, terutama cara mengajar dan menyampaikan materi yang diajarkan dan ketika ngobrol di luar kelas.
Dari sekian banyak dosen yang mengajar di kelas, tidak sedikit yang sudah sampai menempuh gelar doktor, dengan kata lain sudah dan sedang menempuh strata tiga (S3). Kenapa harus ada gelar yang dijadikan acuan dan tolak ukur seorang dosen. Sebab gelar itu merupakan pencapaian tertinggi yang pernah ditempuh ketika menjalani studinya.
Tak heran jika suatu ketika ada dosen yang jelas-jelas mengatakan bahwa penulisan, peletakan, gelar untuk dirinya tidak boleh salah. Sebab kalau salah maka nilai Ujian Tengah Semester (UTS) maupun Ujian Akhir Semester (UAS) tidak akan keluar. Tentu saja, sebagian mahasiswa merasa takut dan manut saja, toh gelar itu memang buah kerja keras, tidak salahnya kita menghargai kerja keras tersebut.
Tidak bisa dipungkiri bahwa kebanyakan orang (mesti tidak semuanya) ketika memilih melanjutkan ke jenjang perkuliahan yang pertama kali dicari yaitu untuk mendapatkan gelar. Perjuangan untuk mendapatkan gelar itu tidak mudah, butuh waktu, perjuangan dan konsentrasi tingkat tinggi.
Oleh karenanya, maka gelar tersebut adalah reward atau hadiah dari kerja keras yang sudah ditempuh selama bertahun-tahun. Tidak salah memang ketika ada dosen yang meminta dan begitu mempersoalkan gelar yang sudah diraihnya tersebut. Kerja keras yang sudah dijalaninya harus dihargai dan diapresiasi.
Dalam kisah lain, tapi masih seputar tentang dosen juga. Cerita singkatanya kurang lebih seperti ini. Kala itu salah seorang sahabat (boleh disebut teman dekatlah) yang meminta bantuan untuk dibuatkan desain sertifikat acara pelatihan. Kebetulan sahabat ini juga sebagai panitia inti dalam acara tersebut.
Setelah desain dibuat dan dikirim, sahabat tadi mengirimkan balasan. Inti tulisannya adalah meminta supaya gelar dosen yang menjadi pimpinan di kantornya tersebut meminta dihapus. Padahal gelar yang sudah dituliskan tidak bermasalah dan sesuai dengan semestinya. Ketika dikonfirmasi langsung, “katanya buat apa sih pake gelar-gelar segala, tidak terlalu penting”. Demikian jawaban yang saya terima dari salah seorang sahabat.
Gelar Sesungguhnya
Komarudin Hidayat (mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) pernah menyampaikan dalam tausiahnya, bahwa sebuah kesuksesan itu sebetulnya bukan terletak pada sesuatu yang dimiliki. Sebab sesuatu yang dimiliki itu menyangkut kepada sesuatu yang melekat. Sesuatu yang melekat itu tidak selamanya bisa kita bawa, dalam artian suatu saat akan kita lepaskan.
Pada hakikatnya sesuatu yang saat ini kita miliki bukanlah sebuah kesuksesan. Jabatan, gelar, dan apapun itu hanyalah tempelan semata. Kelak itu akan kita tinggalkan kala jasad dengan ruh telah berpisah. Gelar keduniaan tidak lagi menjadi berarti, tetapi gelar akhiratlah yang paling dicari.
Husnul khatimah (meninggal dalam keadaan baik) adalah harapan kita, terutama bagi seluruh umat Islam (Muslimin). Hanya saja, ketika mengikuti peroses penjelajahan menapaki husnul kahtimah, banyak sekali duri, naik turun, tikungan tajam dan lain sebagainya. Sehingga banyak yang akhirnya tersesat bahkan salah jalan.
Perangkap yang ada di dalamnya begitu sulit untuk dibedakan. Jalan kebaikan terasa begitu berat dan susah untuk dijalani ketimbang jalan keburukan yang terkesan lebih mudah dan terbuka lebar. Akhirnya banyak yang memilih jalan keburukan, karena terasa lebih nyaman, enak, dan ada juga karena sudah terlajur jatuh di dalamnya.
Ketika sudah di batas penghujung jatah kehidupan, banyak yang menyesal dan ingin mengubah jalan hidupnya. Kata-kata penyesalan tak lagi berarti, sebab maut sudah datang di depan mata, waktu tak bisa bergulir lagi mengulang masa lalu. Semua keluarga sudah berkumpul dan tak sedikit menangisi. Tetangga berkumpul untuk berta’ziah dan siap mengantakan ke liang lahat. Saat itulah gelar almarhum/ah telah sah kita dapatkan –gelar tradisi Indonesia-
Tetapi yang menjadi pertanyaan selanjutnya, apakah gelar almarum/ah itu mendapatkan indeks prestasi cumlaude atau tidak? Ketika semasa hidupnya banyak melaksanakan amal shalih maka predikat cumlaude bisa diterimanya. Tetapi jika sebaliknya, banyak bolosnya, indeks prestasinya hanya 2,0 predikat itupun belum bisa diraihnya.
Taqwa
Suatu ketika dalam sebuah kelas, seorang sahabat bertanya dengan lantang di depan teman-teman yang lainnya. Siapa yang tau gelar paling tinggi di atas orang yang bertaqwa? Semua teman-teman terdiam dan tak ada yang memberikan jawaban. Salah seorang teman yang duduk di belakang menjawab tidak ada gelar yang paling tertinggi di atas ketaqwaan.
Karena hanya satu orang yang merespon, akhirnya sahabat ini pun menjelaskan kepada teman-teman yang lainnya. Sebetulnya gelar yang paling tinggi di atas orang yang bertaqwa adalah imamnya orang yang bertaqwa. Sebagaimana dalam bait doa yang sering kita memohon kepada Allah l.
Rabbanā hablanā min azwajinā wa durriyatinā qurrata’ayun waj;alnā lil muttaqina imamā “Ya Tuhan kami, anugerahkan kepada kami, pasangan hidup dan keturunan kami sebagai penyejuk hati kami, dan jadikanlah kami sebagai pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa”. (QS al-Furqan [25] : 74)
Taqwa itu menjalankan segala perintah Allah l dan menjauhi segala larangan-Nya. Inilah makna taqwa yang sudah sangat kita dengar ketika khutbah jum’at. Tapi secara aplikasinya belum tentu bisa dengan mudah. Butuh perjuangan dan tantangan, untuk bisa mencapai tingkatan taqwa yang sebenarnya. Ketaqwaan seseorang terhadap tuhannya tidak bisa ditawar-tawar. Tapi bagi siapa yang betul-betul bertaqwa maka ia balasannya adalah pahala surga dan rizqinya tidak akan pernah putus.
Makna taqwa yang menurut Sayyidina ‘Ali a lebih spesifik. Takut akan Allah, Menjalankan isi al-Qur’an. Qana’ah dengan rizqi meskipun sedikit, dan yang terakhir adalah mempersiapkan diri untuk kehidupan masa depan yang lebih kekal (akhirat). Dari keempatnya ini manakah yang sudah betul-betul kita amalakan?
Ihtitam
Banyak yang dibuai oleh gemerlap dunia. Matanya silau dan tak mampu membedakan mana yang betul-betul baik untuk dirinya hingga jangka panjang atau hanya sesaat saja. Dunia ini membuatnya menjadi terbalik dan orientasinya sudah berubah 180 derajat dibandingkan ketika ia masih duduk di bangku pesantren.
Status seseorang bukan jaminan untuk menjadikannya baik atau malah sebaliknya. Banyak yang awalnya baik, taat dan begitu haus dengan keagamaan, tetapi ketika sudah jatuh kedalam masalah keduniaan semuanya lepas begitu saja. Seperti anak panah yang dilepaskan dari busurnya. Tak sedikit pula yang awalnya menentang, menolak bahkan terang-terangan menghina agama, nyatanya kini ia menjadi seorang muslim yang taat.
Gelar manusia yang diberikan oleh Allah l adalah khalifah/pemimpin yang dipasrahi alam dunia untuk dijaga dan dirawat sebaik mungkin. Tapi dengan gelar itu pula ternyata mansuia merusak dan mengeksploitasi anamat yang sudah Allah l berikan. Gelar khalifah yang sudah Allah l berikan jelas-jelas disalahgunakan, apalagi gelar yang hanya disematkan oleh manusia. Makhluk tempatnya salah dan lupa.
Oleh karena itu, gelar yang disematkan oleh manusia jika dioptimalkan dengan baik dan digunakan untuk menjalankan, mentaati dan mengimani gelar yang sudah Allah l berikan maka bukan tidak mungkin predikat cumlaude itu akan didapatkan. Allahu’alam.
Hamzah
Santri PPUII
Mutiara Hikmah
عن أَبَي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ أَنْصِتْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغَوْتَ.
Dari Abu Hurairah a, bahwasanya Rasulullah ` bersabda, “Apabila kamu pada hari Jum’at berkata kepada temanmu, ‘Diamlah,’ padahal imam sedang berkhutbah, maka sungguh sia-sia (shalat Jum’at) mu.” (HR al-Bukhari pada Kitabul Jum’ah Bab Diam Pada Hari Jum’at Saat Imam Sedang Berkhutbah, no. 934)