SIKAP BIJAK DALAM MENYIKAPI PERBEDAAN PEMAHAMAN KEAGAMAAN UMAT
SIKAP BIJAK DALAM MENYIKAPI PERBEDAAN PEMAHAMAN KEAGAMAAN UMAT
Putri Jannatur Rohmah, S.H.
Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,
Allah ﷻ menciptakan manusia lengkap dengan segala perbedaannya. Tak hanya dilihat dari segi kebangsaan, suku, dan juga agama. Bahkan, dalam satu agama saja, terdapat beragam pemahaman, kita ambil contoh Islam, dalam Islam terdapat Imam-imam madzhab yang bisa menjadi pilihan dalam menjalankan ibadah kepada Allah ﷻ atau dikenal dengan istilah sunnah tanawwu’.
Mari kita tengok kembali makna madzhab itu sendiri, sebagai istilah lazim dikalangan umat muslim. Madzhab secara bahasa berasal dari sighat mashdar mimy (kata sifat) dan isim makan (kata yang menunjukkan tempat) yang diambil dari fi’il madhi “dzahaba, yadzhabu, dzahaban, dzuhuban, madzhaban,” yang berarti pergi, ar-ra’yu (pendapat), pandangan, kepercayaan, ideologi, doktrin, ajaran, paham, dan aliran. Sementara makna madzhab menurut istilah merupakan fatwa atau pendapat seorang Imam Mujtahid tentang hukum suatu peristiwa dengan berlandaskan pada al-Qur’an dan Hadits.[1]
Sebab Perbedaan
Perbedaan tersebut muncul dengan beragam faktor, mulai dari metode pengambilan dalil, pemikiran, hingga latar belakang kultur dan sosial para Mujtahidnya. Seluruh umat Islam di dunia telah mengakui bahwa terdapat 4 Madzhab populer dalam bidang fiqih, yakni Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal. Ke-empat Imam tersebut telah memenuhi persyaratan sebagai Mujtahid, hal tersebut dikarenakan ilmu, amal, dan akhlak yang luar bisa dalam mengiringi setiap perkataan dan perbuatannya.[2]
Telah kita ketahui bersama, Imam Syafi’i berpendapat bahwa qunut merupakan sebuah kesunnahan dalam shalat Subuh. Namun pada suatu ketika, ia melaksanakan shalat Subuh tanpa membaca doa qunut (sebagaimana yang telah ia yakini bahwa hal tersebut merupakan kesunnahan). Apa sebab ia tidak membaca doa qunut? Bukan karena ia lupa dan kemudian melaksanakan sujud sahwi sebelum salam. Ia justru sengaja tidak membaca doa qunut karena pada saat itu Imam Syafi’i sedang shalat bersama dengan Imam Hanafi dan ia menghormati Imam Hanafi yang berkeyakinan tidak disunnahkan qunut dalam shalat Subuh.[3]
Kisah tersebut adalah sebuah cerminan dalam etika menghadapi perbedaan. Hal ini senada akan sebuah maqalah, al-adabu faqwal ‘ilmi, adab harus lebih tinggi daripada ilmu. Akhlak kita sebagai seorang muslim harus lebih didahulukam daripada pengetahuan yang kita miliki. Sebab, ilmu bukanlah tujuan utama, melainkan hanya sebagai wasilah untuk dapat diimplementasikan dengan penuh taqwa.
Bagaimana Cara Bijak dalam Menghadapi Perbedaan?
Di Indonesia, perbedaan cara memahami ajaran dibalut dalam sebuah organisasi keagamaan; Nahdhatul Ulama’, Muhammadiyah, PERSIS, Nahdhatul Wathan dan sebagainya. Ironisnya perbedaan tersebut bisa berpotensi menjadi ketegangan dan konflik. Oleh karennya, penting bagi kita untuk saling memahami dan menyikapinya dengan cara yang bijak. Islam menganjurkan umatnya untuk bijak dalam memandang perbedaan dalam masalah fikih.
Ada beberapa pokok pikiran yang harus kita tanam dalam menyikapi perbedaan;[4]
Pertama, harus dipahami dan dihayati bahwa perbedaan adalah kehendak dan hukum Allâh ﷻ (sunnatullâh). Sebagaimana firman Allâh ﷻ,
وَلَوْ شَآءَ ٱللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَٰحِدَةً وَلَٰكِن لِّيَبْلُوَكُمْ فِى مَآ ءَاتَىٰكُمْ ۖ
“Seandainya Allâh menghendaki, niscaya Dia menjadikanmu satu umat (saja). Akan tetapi, Allâh hendak mengujimu tentang karunia yang telah Dia anugerahkan kepadamu.” (Q.S. al-Mâidah [5]: 48). Allâh l tidak menjadikan manusia seluruhnya seragam, karena Allâh ﷻ ingin menguji umatnya dalam perbedaan tersebut, siapakah yang mampu menunjukkan kebaikan-kebaikan.
Kedua, Selalu tumbuhkan pandangan, bahwa apa yang kita yakini belum tentu benar ada kemungkinan salah dan sebaliknya. “Kemungkinan benar atau salah” adalah upaya kita memberikan ruang bahwa upaya kita mencapai kebenaran tidak selalu menghasilkan yang benar. Pola pikir seperti ini akan terhindar dari merasa paling benar dan mudah menyalahka orang lain.
Hal tersebut sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Imam Syafi’i dalam ungkapannya: “Ijtihadku adalah benar, tapi mengandung kemungkinan keliru. Sedangkan ijtihad orang lain adalah keliru, tapi mengandung kemungkinan benar”.
Ketiga, dalam menghadapi perbedaan pemahaman, hendaklah kita lebih banyak mencari persamaan-persamaan, bukan justru mempertajam jurang perbedaan. Selalu tanamkan sikap bahwa kita semua sesama umat Islam dengan tujuan yang sama; beribadah kepada-Nya dan mencari Ridha-Nya.
Keempat, hilangkan prasangka-prasangka (prejudice) atau anggapan-anggapan buruk terhadap kelompok lain. Karena benih konflik adalah prasangka negatif yang kita tanamkan dalam pikiran kita sendiri.
Yang Benar Bersatu
Yang benar adalah bersatu itu tentu saja lebih baik dari pada mesti berbeda. Tetapi kita tidak bisa lepas dari perbedaan yang sudah jadi sunnatullâh. Tinggal tugas kita mengikuti manakah yang sesuai ajaran Islam atau ajaran Rasul ﷺ, yang jauh dari ajaran beliau, tentu kita tinggalkan.
Nabi ﷺ bersabda,
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
“Berpegang teguhlah dengan sunnahku dan sunnah khulafa’ur rasyidin yang mendapatkan petunjuk (dalam ilmu dan amal). Pegang teguhlah sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian.” (H.R. Abu Daud, no. 4607, At Tirmidzi, no. 2676, Ibnu Majah, no. 42. At Tirmidizi mengatakan hadits ini hasan shahih)
Imam Asy Syafi’i mengatakan,
أَجْمَعَ المُسْلِمُوْنَ عَلَى أَنَّ مَنِ اسْتَبَانَتْ لَهُ سُنَّةُ رَسُوْلِ اللهِ : لَمْ يَحِلَّ لَهُ أَنْ يَدَعَهَا لِقَوْلِ أَحَدٍ
“Kaum muslimin telah sepakat bahwa siapa saja yang telah jelas baginya sunnah Rasulullah ﷺ, tidak halal baginya untuk meninggalkannya karena perkataan yang lainnya.”[5]
Pada akhirnya, mari kita bersatu dibawah naungan al-Qur’an dan Sunnah sesuai dengan pemahaman para ulama yang shalih, namun jika harus berbeda karena hasil ijtihad, maka perbedaan dalam menjalankan ibadah tidak perlu dibesar-besarkan sehingga menimbulkan pertikaian dan perpecahan. Marilah kita tetap menjaga dan melestarikan keindahan Islam dengan segala warna yang berbeda, semuanya benar atas ijtihad ulama masing- masing.
Sebagaimana sikap kampus kita tercinta, Universitas Islam Indonesia, acapkali memfasilitasi shalat dua hari raya sebanyak dua kali, hal ini merupakan bentuk manifestasi dari menghargai perbedaan dan mengakomodir perbedaan tersebut untuk kepentingan ummat. Wa Allâhu a’lam bish shawwâb.[]
[1] Nafiul Lubab Dan Novita Pancaningrum. “Mazhab: Keterkungkungan Intelektual Atau Kerangka Metodologis (Dinamika Hukum Islam)”. Jurnal YUDISIA, Vol. 6, No. 2, Desember 2015. h. 396.
[2] Nanang Abdillah. “Madzhab dan Faktor Penyebab Terjadinya Perbedaan”. Jurnal Fikroh. Vol.8 No. 1 Juli 2014. h. 24
[3] https://islam.nu.or.id/khutbah/khutbah-jumat-akhlak-dalam-menyikapi-perbedaan-mazhab-C2NGR. Diakses pada 19 Juni 2023.
[4] https://www.uin-antasari.ac.id/mengelola-perbedaan-menuai-rahmat/. Diakses pada 19 Juni 2023.
[5] I’lamul Muwaqi’in, 2/282. Dikutip dari sumber https://rumaysho.com/1750-perbedaan-itu-rahmat.html. Diakses pada 19 Juni 2023.