SIKAP BIJAK DALAM MENYIKAPI PERBEDAAN PEMAHAMAN KEAGAMAAN UMAT

SIKAP BIJAK DALAM MENYIKAPI PERBEDAAN PEMAHAMAN KEAGAMAAN UMAT

Putri Jannatur Rohmah, S.H.

 

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Allah ﷻ menciptakan manusia lengkap dengan segala perbedaannya. Tak hanya dilihat dari segi kebangsaan, suku, dan juga agama. Bahkan, dalam satu agama saja, terdapat beragam pemahaman, kita ambil contoh Islam, dalam Islam terdapat Imam-imam madzhab yang bisa menjadi pilihan dalam menjalankan ibadah kepada Allah ﷻ atau dikenal dengan istilah sunnah tanawwu’.

Mari kita tengok kembali makna madzhab itu sendiri, sebagai istilah lazim dikalangan umat muslim. Madzhab secara bahasa berasal dari sighat mashdar mimy (kata sifat) dan isim makan (kata yang menunjukkan tempat) yang diambil dari fi’il madhi “dzahaba, yadzhabu, dzahaban, dzuhuban, madzhaban,” yang berarti pergi, ar-ra’yu (pendapat), pandangan, kepercayaan, ideologi, doktrin, ajaran, paham, dan aliran. Sementara makna madzhab menurut istilah merupakan fatwa atau pendapat seorang Imam Mujtahid tentang hukum suatu peristiwa dengan berlandaskan pada al-Qur’an dan Hadits.[1]

Sebab Perbedaan

Perbedaan tersebut muncul dengan beragam faktor, mulai dari metode pengambilan dalil, pemikiran, hingga latar belakang kultur dan sosial para Mujtahidnya. Seluruh umat Islam di dunia telah mengakui bahwa terdapat 4 Madzhab populer dalam bidang fiqih, yakni Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal. Ke-empat Imam tersebut telah memenuhi persyaratan sebagai Mujtahid, hal tersebut dikarenakan ilmu, amal, dan akhlak yang luar bisa dalam mengiringi setiap perkataan dan perbuatannya.[2]

Telah kita ketahui bersama, Imam Syafi’i berpendapat bahwa qunut merupakan sebuah kesunnahan dalam shalat Subuh. Namun pada suatu ketika, ia melaksanakan shalat Subuh tanpa membaca doa qunut (sebagaimana yang telah ia yakini bahwa hal tersebut merupakan kesunnahan). Apa sebab ia tidak membaca doa qunut? Bukan karena ia lupa dan kemudian melaksanakan sujud sahwi sebelum salam. Ia justru sengaja tidak membaca doa qunut karena pada saat itu Imam Syafi’i sedang shalat bersama dengan Imam Hanafi dan ia menghormati Imam Hanafi yang berkeyakinan tidak disunnahkan qunut dalam shalat Subuh.[3]

Kisah tersebut adalah sebuah cerminan dalam etika menghadapi perbedaan. Hal ini senada akan sebuah maqalah, al-adabu faqwal ‘ilmi, adab harus lebih tinggi daripada ilmu. Akhlak kita sebagai seorang muslim harus lebih didahulukam daripada pengetahuan yang kita miliki. Sebab, ilmu bukanlah tujuan utama, melainkan hanya sebagai wasilah untuk dapat diimplementasikan dengan penuh taqwa.

Bagaimana Cara Bijak dalam Menghadapi Perbedaan?

Di Indonesia, perbedaan cara memahami ajaran dibalut dalam sebuah organisasi keagamaan; Nahdhatul Ulama’, Muhammadiyah, PERSIS, Nahdhatul Wathan dan sebagainya. Ironisnya perbedaan tersebut bisa berpotensi menjadi ketegangan dan konflik. Oleh karennya, penting bagi kita untuk saling memahami dan menyikapinya dengan cara yang bijak. Islam menganjurkan umatnya untuk bijak dalam memandang perbedaan dalam masalah fikih.

Ada beberapa pokok pikiran yang harus kita tanam dalam menyikapi perbedaan;[4]

Pertama, harus dipahami dan dihayati bahwa perbedaan adalah kehendak dan hukum Allâh ﷻ (sunnatullâh). Sebagaimana firman Allâh ﷻ,

وَلَوْ شَآءَ ٱللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَٰحِدَةً وَلَٰكِن لِّيَبْلُوَكُمْ فِى مَآ ءَاتَىٰكُمْ ۖ

Seandainya Allâh menghendaki, niscaya Dia menjadikanmu satu umat (saja). Akan tetapi, Allâh hendak mengujimu tentang karunia yang telah Dia anugerahkan kepadamu.” (Q.S. al-Mâidah [5]: 48). Allâh l tidak menjadikan manusia seluruhnya seragam, karena Allâh ﷻ ingin menguji umatnya dalam perbedaan tersebut, siapakah yang mampu menunjukkan kebaikan-kebaikan.

Kedua, Selalu tumbuhkan pandangan, bahwa apa yang kita yakini belum tentu benar ada kemungkinan salah dan sebaliknya. “Kemungkinan benar atau salah” adalah upaya kita memberikan ruang bahwa upaya kita mencapai kebenaran tidak selalu menghasilkan yang benar. Pola pikir seperti ini akan terhindar dari merasa paling benar dan mudah menyalahka orang lain.

Hal tersebut sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Imam Syafi’i dalam ungkapannya: “Ijtihadku adalah benar, tapi mengandung kemungkinan keliru. Sedangkan ijtihad orang lain adalah keliru, tapi mengandung kemungkinan benar”.

Ketiga, dalam menghadapi perbedaan pemahaman, hendaklah kita lebih banyak mencari persamaan-persamaan, bukan justru mempertajam jurang perbedaan. Selalu tanamkan sikap bahwa kita semua sesama umat Islam dengan tujuan yang sama; beribadah kepada-Nya dan mencari Ridha-Nya.

Keempat, hilangkan prasangka-prasangka (prejudice) atau anggapan-anggapan buruk terhadap kelompok lain. Karena benih konflik adalah prasangka negatif yang kita tanamkan dalam pikiran kita sendiri.

Yang Benar Bersatu

Yang benar adalah bersatu itu tentu saja lebih baik dari pada mesti berbeda. Tetapi kita tidak bisa lepas dari perbedaan yang sudah jadi sunnatullâh. Tinggal tugas kita mengikuti manakah yang sesuai ajaran Islam atau ajaran Rasul ﷺ, yang jauh dari ajaran beliau, tentu kita tinggalkan.

Nabi ﷺ bersabda,

فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

Berpegang teguhlah dengan sunnahku dan sunnah khulafa’ur rasyidin yang mendapatkan petunjuk (dalam ilmu dan amal). Pegang teguhlah sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian.” (H.R. Abu Daud, no. 4607, At Tirmidzi, no. 2676, Ibnu Majah, no. 42. At Tirmidizi mengatakan hadits ini hasan shahih)

Imam Asy Syafi’i mengatakan,

أَجْمَعَ المُسْلِمُوْنَ عَلَى أَنَّ مَنِ اسْتَبَانَتْ لَهُ سُنَّةُ رَسُوْلِ اللهِ : لَمْ يَحِلَّ لَهُ أَنْ يَدَعَهَا لِقَوْلِ أَحَدٍ

Kaum muslimin telah sepakat bahwa siapa saja yang telah jelas baginya sunnah Rasulullah ﷺ, tidak halal baginya untuk meninggalkannya karena perkataan yang lainnya.”[5]

Pada akhirnya, mari kita bersatu dibawah naungan al-Qur’an dan Sunnah sesuai dengan pemahaman para ulama yang shalih, namun jika harus berbeda karena hasil ijtihad, maka perbedaan dalam menjalankan ibadah tidak perlu dibesar-besarkan sehingga menimbulkan pertikaian dan perpecahan. Marilah kita tetap menjaga dan melestarikan keindahan Islam dengan segala warna yang berbeda, semuanya benar atas ijtihad ulama masing- masing.

Sebagaimana sikap kampus kita tercinta, Universitas Islam Indonesia, acapkali memfasilitasi shalat dua hari raya sebanyak dua kali, hal ini merupakan bentuk manifestasi dari menghargai perbedaan dan mengakomodir perbedaan tersebut untuk kepentingan ummat. Wa Allâhu a’lam bish shawwâb.[]

Marâji’: 

[1] Nafiul Lubab Dan Novita Pancaningrum. “Mazhab: Keterkungkungan Intelektual Atau Kerangka Metodologis (Dinamika Hukum Islam)”. Jurnal YUDISIA, Vol. 6, No. 2, Desember 2015. h. 396.

[2] Nanang Abdillah. “Madzhab dan Faktor Penyebab Terjadinya Perbedaan”. Jurnal Fikroh. Vol.8 No. 1 Juli 2014. h. 24

[3] https://islam.nu.or.id/khutbah/khutbah-jumat-akhlak-dalam-menyikapi-perbedaan-mazhab-C2NGR. Diakses pada 19 Juni 2023.

[4] https://www.uin-antasari.ac.id/mengelola-perbedaan-menuai-rahmat/. Diakses pada 19 Juni 2023.

[5] I’lamul Muwaqi’in, 2/282. Dikutip dari sumber https://rumaysho.com/1750-perbedaan-itu-rahmat.html. Diakses pada 19 Juni 2023.

Download Buletin klik disini

KURBAN SEBAGAI WUJUD KETUNDUKAN HAMBA KEPADA ALLAH

KURBAN SEBAGAI WUJUD KETUNDUKAN HAMBA KEPADA ALLAH

Faisal Ahmad Ferdian Syah*

Keutamaan 10 Awal Dzulhijjah

Bulan Dzulhijjah adalah salah satu bulan haram yang di dalamnya terdapat banyak amal ibadah shalih. Terutama amalan di sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.

Dari Ibn Abbas, Nabi ﷺ bersabda,

مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ. يَعْنِى أَيَّامَ الْعَشْرِ. قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ:  وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَىْءٍ

“Tidak ada hari dimana suatu amal shaleh lebih dicintai Allah melebihi amal shaleh yang dilakukan di sepuluh hari ini (10 hari pertama Dzulhijjah, pen.).” Para sahabat bertanya: Wahai Rasulullah, termasuk lebih utama dari jihad fi sabilillah? Nabi  bersabda, “Termasuk lebih utama dibanding jihad fi sabilillah. Kecuali orang yang keluar dengan jiwa dan hartanya (ke medan jihad), dan tidak ada satupun yang kembali (mati dan hartanya diambil musuh, pen).” (H.R. Al Bukhari, Ahmad, Abu Daud, dan At Turmudzi)

Dalam hadits yang lain beliau bersabda, Dari Umar , dari Nabi ﷺ, beliau bersabda,

مَا مِنْ أَيَّامٍ أَعْظَمُ عِنْدَ اللَّهِ وَلَا أَحَبُّ إِلَيْهِ مِنْ الْعَمَلِ فِيهِنَّ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ الْعَشْرِ فَأَكْثِرُوا فِيهِنَّ مِنْ التَّهْلِيلِ وَالتَّكْبِيرِ وَالتَّحْمِيدِ.

Tidak ada hari yang paling agung dan amat dicintai Allah untuk berbuat kebajikan di dalamnya daripada sepuluh hari (Dzulhijjah) ini. Maka perbanyaklah pada saat itu tahlil, takbir dan tahmid“. (H.R. Ahmad)[1]

Ibnu Rajab al-Hanbali mengatakan, “Apabila sesuatu itu lebih dicintai oleh Allah, maka sesuatu tersebut lebih afdhal di sisi-Nya.” Sebab lain adalah karena di dalam bulan ini berkumpul amalan-amalan utama seperti: shalat, puasa, kurban, dan haji.

Makna dan Tujuan Kurban

Kurban berasal dari bahasa Arab Qurbânu yang berarti dekat. Qurban juga disebut dengan Udhiyyah, yaitu menyembelih hewan-hewan ternak sebagai pendekatan diri kepada Allah Ta’ala pada hari-hari tertentu dengan syarat-syarat khusus.[2] Kata Udhiyyah diambil dari kata adh-ha yang artinya adalah permulaan siang setelah terbitnya matahari atau waktu dhuha.[3] Sehingga kurban adalah jenis hewan tertentu yang disembelih mulai hari nahr (10 Dzulhijjah) sampai akhir hari Tasyriq (13 Dzulhijjah) dengan tujuan taqarrub (mendekatkan diri kepada Allah).[4]

Karena tujuan penciptaan manusia adalah untuk mengabdi dan mentauhidkan Allah ﷻ semata. Maka seluruh amal perbuatan kita harus kita tujukan untuk meraih ridha-Nya. Allah ﷻ berfirman,

قُلْ إِنَّ صَلَاتِى وَنُسُكِى وَمَحْيَاىَ وَمَمَاتِى لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِينَ

“Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (Q.S. al-An’am [6]: 162).

Kurban Wujud Ketundukan Kepada Allah

Momen perayaan Idul Adha identik dengan ibadah kurban atau menyembelih hewan ternak sebagai bentuk ketaatan kepada Allah ﷻ. Ritual kurban sendiri sudah ada sejak peristiwa Habil dan Qabil. Perintah kurban tersebut adalah untuk menentukan siapakah dari mereka berdua yang berhak menikahi iqlima (saudari kembaran Qabil). Hal tersebut Allah ﷻ abadikan di dalam al-Qur’an,

وَٱتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ٱبْنَىْ ءَادَمَ بِٱلْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ ٱلْءَاخَرِ قَالَ لَأَقْتُلَنَّكَ ۖ قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ ٱللَّهُ مِنَ ٱلْمُتَّقِينَ

“Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): “Aku pasti membunuhmu!”. Berkata Habil: “Sesungguhnya Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang bertakwa” (Q.S. al-Ma’idah [5]: 27).

Pada zaman Yunani dan Mesir kuno, manusia dijadikan objek kurban yang dipersembahkan kepada dewa-dewa. Kemudian Nabi Ibrahim yang diperintahkan untuk menyembelih anaknya tercinta Nabi Ismail kemudian berkat ketundukan beliau kepada perintah Allah ﷻ, maka Allah ﷻ ganti dengan hewan kurban berupa seekor domba. Hal itulah yang juga diterapkan oleh nabi kita Muhammad ﷺ. Namun keadaan yang kita jumpai di masyarakat kita, tak sedikit yang kurang memahami esensi dari ibadah kurban ini. Banyak dari mereka yang hanya sebatas ikut-ikutan saja, atau bahkan menganggap hari raya Idul Adha hanya makan-makan saja dan tidak mengetahui hakikat dari ibadah kurban ini.

Perbedaan yang paling mendasar antara daging kurban dan daging yang kita beli di pasar adalah pada nilainya. Pada daging kurban terdapat nilai pengorbanan, keikhlasan, dan keilahian. Pada daging kurban merupakan bagian dari ibadah yang terikat dengan masa penyembelihan, usia, jenis, dan ukuran (ketentuan) hewan yang dijadikan kurban dan telah diatur oleh syara’. Adapun waktu penyembelihan hewan kurban adalah dimulai setelah terbitnya matahari di hari raya Idul Adha dan dua khutbah ringan, dan berakhir saat terbenamnya matahari di hari ketiga hari tasyrik pada tanggal 13 Dzulhijjah.[5] Adapun kriteria hewan yang boleh dijadikan hewan kurban, unta umur 5-6 tahun, sapi berumur 2 tahun ke atas, kambing/domba berumur 1-2 tahun.[6] Sedangkan daging lauk-pauk atau biasa itu tidak terikat dengan hal-hal tersebut. Selain itu perintah berkurban juga diiringi dengan perintah melaksanakan shalat. hal tersebut adalah perwujudan nilai habluminallah (hubungan dengan Allah) dan habluminannas (hubungan dengan manusia).[7]

Cukuplah kisah keteguhan Nabi Ibrahim yang diuji Allah untuk menyembelih anaknya tercinta menjadi ibrah bagi kita. Karena terkadang setiap sesuatu yang dicintai manusia dan kecintaannya kepada sesuatu itu dapat membelenggu manusia untuk bertakwa kepada Allah ﷻ. Inilah makna hakiki dari kurban yaitu Ibadah qurban mengandung semangat untuk membebaskan manusia dari sifat-sifat yang memiliki potensi anti sosial. Sifat anti sosial yang sangat berbahaya dan mampu merusak kerukunan kehidupan bersama dalam masyarakat dan negara adalah dorongan serakah yang berujung pada perilaku korupsi.[8] Wa Allâhu a’lam.[]

Marâji’:

* Ahwal Syakhsiyah International Program Angkatan 2022


[1] Diriwayatkan oleh Ahmad dan di shahihkan oleh Al Mundziry dan Ahmad Syakir tetapi dilemahkan oleh Al Albani di dalam kitab Dha’ih At Targhib wa At Tarhib, 744

[2] Abu Abdillah Syahrul Fatwa bin Lukman. Fikih Praktis Ibadah Kurban. Bekasi: Pustaka Syahrul Fatwa. 1442. h. 11.

[3] Buya Yahya. Fiqih Qurban. Cirebon: Pustaka Al-Bahjah. Tanpa Tahun. h. 1.

[4] HM. Adibussholeh, dkk. Fikih Kurban Praktis. Kediri: LBM-NU Kota Kediri. 2017. h. 6.

[5] Buya Yahya. Fiqih Qurban. Cirebon: Pustaka Al-Bahjah. Tanpa Tahun. h. 10.

[6] Ibid., h. 14.

[7] Universitas Islam Indonesia. “Makna Mendalam di Balik Ibadah Kurban” https://www.uii.ac.id/makna-mendalam-di-balik-ibadah-kurban/. Diakses pada 18 Juni 2023.

[8] Syariful Bahri. “Mengimplementasikan Ibadah Qurban dalam Kehidupan” https://aceh.kemenag.go.id/berita/160872/mengimplementasikan-ibadah-qurban-dalam-kehidupan. Diakses pada 18 Juni 2023.

Download Buletin klik disini

MENGENALKAN DAN MENGAJARKAN ANAK UNTUK BERKURBAN

MENGENALKAN DAN MENGAJARKAN ANAK UNTUK BERKURBAN

Khusnul Khotimah, S.Pd*

 

Para pembaca yang dirahmati Allah ﷻ, tidak lama lagi kita akan memasuki bulan Dzulhijjah, di dalamnya ada ibadah yang agung yaitu berkurban. Dalam bahasa arab kurban disebut dengan udhiyyah ( (أُضْحِيَّةٌyaitu menyembelih hewan-hewan ternak sebagai pendekatan diri kepada Allah pada hari-hari tertentu dengan syarat-syarat khusus. Ada yang mengatakan, dinamakan udhiyyah karena kurban itu afdhalnya disembelih pada waktu dhuha, yaitu ketika matahari telah naik. [1]

Mengenalkan dan mengajarkann ibadah berkurban kepada anak-anak membutuhkan pendekatan yang berbeda dengan orang dewasa. Berikut beberapa uraian singkat untuk mengenalkan ibadah berkurban kepada anak-anak.

Mengenalkan Anak tentang Kurban

Manusia terlahir di muka bumi dengan keadaan fitrah (suci), seperti yang disebutkan dalam hadits dari Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Setiap anak dilahirkan dalam fitrahnya. Keduanya orang tuanya yang menjadikannya sebagai Yahudi, Nashrani atau Majusi.” (H.R. Bukhari dan Muslim) [2]

Menurut Hamka dalam buku Samsul Nizar setiap anak memiliki fitrah (potensi) yang dinamis. Fitrah tersebut merupakan kekuatan bagi anak untuk berkembang. Pada dasarnya, fitrah senantiasa menuntun manusia untuk berbuat kebajikan dan tunduk terhadap aturan Penciptanya. Masa kanak-kanak adalah masa yang sangat menentukan bagi perkembangan kejiwaan keagamaan anak nantinya.[3]

Pada masa kanak-kanak atau pada masa golden age,  anak mengalami perkembangan kecerdasan yang sangat pesat, dimana pada masa ini sangat cocok untuk kita sebagai orang tua maupun pendidik dalam memberikan stimulasi ataupun menanamkan nilai-nilai yang baik dan benar kepada anak, seperti mengenai ibadah berkurban.

Sebelum menjelaskan tentang makna berkurban, sebaiknya kita sebagai orang tua bisa mulai menjelaskan melalui cerita dari kisah Nabi Ibrahim saat diperintahkan oleh Allah ﷻ untuk mengorbankan putranya Nabi Ismail. Pada akhirnya kurban yang dipersembahkan diganti domba.  Apabila kita menceritakan secara lisan, mungkin anak akan susah mengerti dan merasa bosan, alangkah baiknya sebagai orang tua menceritakan kisah Nabi Ibrahim u tersebut dengan menggunakan media – media yang dapat membantu anak dalam mempelajarinya, seperti: media visual berupa gambar ataupun video, agar anak lebih mudah dalam mempelajarinya.

Pastinya akan muncul pertanyaan-pertanyaan anak mengenai kisah Nabi Ibrahim u dan Nabi Ismail. Disini kesempatan bagi kita (orang tua) untuk menjelaskan ke anak secara perlahan mengenai hari raya kurban dengan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti anak. Setelah anak mulai mengerti apa itu kurban dari kisah Nabi Ibrahim, kita bisa mengajak anak secara langsung untuk menyaksikan proses penyembelihan hewan kurban pada saat hari raya Idul Adha, dimana ada berbagai hewan kurban (unta, sapi / kerbau, dan kambing / domba). Nantinya anak juga dapat belajar bagaimana pembagian daging kurban, pendistribusian kepada  shahibul kurban, kaum muslimin dan non muslim sebagai hadiah.

Mengajarkan Anak Menabung untuk ber-Kurban

Pada masa kanak-kanak, kehidupan mereka banyak dilakukan dengan meniru. Anak-anak cenderung meneladani perilaku orang tuanya. Psikologis anak memang senang meniru, tidak saja dengan hal yang baik, hal yang jelek pun di tirunya. Tiruan yang baik akan membentuk ke arah yang baik, sementara tiruan yang jelek akan membentuk kepribadian yang jelek pula.[4] Anak memang senang kembali melakukan apa yang dilihatnya. Karena sifat anak pada dasarnya memang suka mencontoh apa yang dilihat. Berikan contoh dan teladan yang baik secara langsung atau nyata pada anak, karena perkembangan keagamaan pada anak bersifat imitatif dan dipengaruhi oleh lingkungan yang ada disekitarnya.

Orang tua dapat memberikan contoh, yaitu dengan menabung uang secara berkala yang ditujukan untuk berkurban di hari raya kurban berikutnya. Anak akan lebih mudah untuk diajak menabung karena sudah memiliki contoh nyata dari orang tuanya. Akan lebih mudah lagi ketika anak sudah paham pentingnya berkurban sebagai se-orang muslim. Jangan paksa anak, melainkan terus motivasi dan beri dukungan kepada anak.

Untuk menambah semangat anak dalam menabung, berikan fasilitas berupa celengan khusus untuk berkurban, agar anak lebih bersemangat menabung. Orang tua dapat membantu dengan memberikan hadiah berupa uang jika anak berhasil menyelesaikan tugas yang diberikan. beritahu ke anak jika tabungan sudah terkumpu, anak dapat ikut membeli hewan kurban dan bisa ikut memilih hewan kurban mana yang akan dibeli. Beritahu juga ke anak, jika dengan berkurban anak juga sudah berbagi kebahagiaan terhadap orang lain.

Kesimpulan

Lebih singkatnya, berikut tips bagi orang tua untuk mengajarkan anak menabung untuk berkurban:

  1. Pahami lalu kenalkan arti berkurban ke anak melalui kisah Nabi Ibrahim u dan anaknya Ismail.
  2. Jangan paksa anak, berikan motivasi dari nilai-nilai keteladanan dibalik kisah Nabi Ibrahim.
  3. Belikan celengan khusus untuk berkurban dan biarkan anak memasukkan sendiri uang ke celengannya.
  4. Motivasi anak dan terus berikan dukungan secara terus menerus, bisa dengan memberikan hadiah uang untuk menambah tabungan berkurban anak. Wa Allâhu a’lam bish shawwab.[]

* Penggiat dunia anak

[1] Abu Abdillah Syahrul Fatwa bin Lukman. Fikih Praktis Ibadah Kurban Berdasarkan Kepada Al Qur’an dan As Sunnah. Bekasi: Pustaka Syahrul Fatwa. 1442. h. 11.

[2] Yunahar Ilyas. Kuliah Aqidah Islam Yogyakarta: LPPI, 2011. h.11.

[3] Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka Tentang Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana, 2008. h. 126.

[4] Salmaini Yeli. Psikologi Agama. Riau: Zanafa Publishing, 2012. h. 46.

Download Buletin klik disini

KEUTAMAAN BULAN HARAM

KEUTAMAAN BULAN HARAM

Khairul Fahmi

Ramadhan telah berlalu, sungguh bergembira bagi seorang muslim yang mampu mengisi siang dan malamnya untuk membaca al-Qur’an, shalat malam, berinfak dan sadaqah, membantu orang lain, serta ibadah-ibadah lainnya. Setelah bulan Ramadhan berlalu, bukan berarti Allah ﷻ tidak memberikan waktu-waktu istimewa (diluar bulan Ramadhan) bagi hamba-Nya untuk memperbanyak beribadah kepada diri-Nya yang Maha Rahîm dan Penyayang. Allah menetapkan ada 4 waktu istimewa yang diberikan kepada hamba-Nya, sebagai sarana bagi mereka untuk semakin mendekatkan diri kepada sang Maha Pencipta. Allah ﷻ menyampaikan dalam firman-Nya tentang empat bulan istimewa tersebut, hal terukir jelas dalam Al-Qur’an surah At-Taubah ayat 36.

Allah ﷻ berfirman, “Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan (sebagaimana) ketetapan Allah (di Lauh Mahfuz) pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu padanya (empat bulan itu), dan perangilah orang-orang musyrik semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya. Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa. (Q.S. At-Taubah [9]: 36)

Rasulullah ﷺ kemudian menjelaskan dalam sabdanya tentang bulan-bulan apa saja yang termasuk dalam bulam haram yang dimaksudkan dalam surah At-Taubah ayat 36.

Dari Abu Bakroh, Nabi ﷺ bersabda, “Sesungguhnya zaman telah berputar seperti keadaannya semula sejak hari Allah menciptakan langit dan bumi. Dan sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan Langit dan bumi diantaranya empat  bulan haram (suci); tiga di antaranya berturut-turut, yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram, sedangkan lainnya ialah Rajab Mudar yang terletak di antara bulan Jumada dan bulan Sya’ban.” (H.R. Bukhari, no. 3197 dan Muslim, no. 1679).

Hadits tersebut menjelaskan bahwa ada empat bulan haram yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram yang posisinya berurutan, serta bulan Rajab. Itu adalah adalah empat bulan haram yang ditetapkan oleh Allah ﷻ.

Satu tahun dalam syariat Islam dihitung berdasarkan perputaran dan munculnya bulan, bukan dihitung berdasarkan perputaran matahari sebagaimana yang dilakukan oleh Ahli Kitab.”[1]

Mengapa Disebut Bulan Haram?

Syaikh Alamud Din As-Syakawi dalam kitab Al-Masyhur fi Asmail Ayyam wa As-Syuhur, sebagaimana dikutip dalam tafsir Ibnu Katsir menjelaskan makna-makna dari nama-nama bulan haram tersebut. Bulan Muharram, disebut bulan Muharram karena ia adalah bulan yang diharamkan (disucikan) dan untuk mengukuhkan keharamannya. Mengingat orang-orang Arab masa lalu berpandangan labil, terkadang dalam satu tahun mereka menghalalkannya, sedang di tahun yang lain mereka mengharamkannya. Bulan Rajab, kata Rajab berasal dari kata tarjib, artinya menghormat, bentuk jamaknya arjab, rajah, dan rajabat. Bulan Dzulqa’dah, disebut juga Al-Qi’dah. Dinamakan demikian karena mereka (orang-orang Arab) diam di tempatnya, tidak mengadakan peperangan dan tidak pula bepergian. Bulan Dzulhijjah, dinamakan demikian karena mereka (orang-orang Arab) melakukan haji di bulan tersebut.

Penetapan nam-nama bulan Qomariah seperti Muharram, Rajab, Dzulqa’dah, dan Dzulhijjah sudah ada jauh sebelum kedatangan Islam. Hampir seluruh masyarakat Arab sebelum datangnya Islam, sudah mengakui dan mengagungkan empat bulan tersebut. Sedemikian besar pengagungan mereka pada salah satu dari empat bulan tersebut, sampai walau seseorang menemukan pembunuh ayah, anak atau saudaranya, ia tidak akan mencederai musuhnya kecuali setelah berlalu bulan haram tersebut.

Setelah datangnya Islam, Allah ﷻ menegaskan kembali akan keharaman atau kesucian dari bulan haram yang empat itu. Hal ini ditegaskan Allah dalam surah At-Taubah [9]: 36.  Allah mengharamkan atau melarang hamba-hambanya untuk berbuat aniaya, baik aniaya kepada diri sendiri maupun kepada orang lain. Disebut bulan haram karena Allah ﷻ melarang hamba-Nya untuk menganiaya atau melakukan dosa pada empat bulan suci tersebut, tetapi bukan berarti pada bulan-bulan sisanya boleh melakukan dosa. Allah ﷻ memberikan penekanan khusus pada empat bulan haram tersebut karena bulan-bulan tersebut adalah bulan ibadah yang harus dijaga keagungan dan kesuciannya.

Keutamaan Bulan Haram

Selain bulan Ramadhan, Allah ﷻ juga mengistimewakan dan mengagungkan empat bulan lainnya yang disebut bulan haram, yaitu Muharram, Rajab, Dzulqa’dah, dan Dzulhijjah. Sebagai seorang hamba Allah ﷻ sepatutnya kita juga harus mengagungkan dan memuliakan empat bulan haram ini sebagaimana Allah ﷻ mengagungkannya. Ali Ibnu Abu[2] menyampaikan terkait firman Allah ﷻ surah At-Taubah [9]: 36, janganlah kalian menganiaya diri kalian sendiri dalam semua beluan. Kemudian dikecualikan dari semua bulan itu sebanyak empat bulan. Keempat bulan itu dijadikan sebagai bulan Haram (suci)  yang kesuciannya diagungkan, dan sanksi atas perbuatan dosa yang dilakukan pada bulan-bulan tersebut dilipatgandakan serta pahala amal ibadah setiap hamba akan dilipatgandakan pula.

Keutamaan yang ada pada bulan-bulan haram adalah Allah ﷻ akan melipatgandakan setiap amal ibadah yang dilakukan oleh setiap muslim. Sungguh merugi bagi seorang muslim yang waktunya di bulan-bulan Haram tidak diisi dengan kebaikan dan amal ibadah. Ada banyak hal yang dapat dilakukan untuk mengisi hari-hari di bulan haram, selain melaksankan ibadah mahdhah juga melakukan ibadah ghairu mahdhah, kesemuanya itu akan mendapatkan ganjaran yang berlipat ganda dari Allah ﷻ. Begitu juga sebaliknya, jika seorang muslim melakukan perbuatan dosa dan maksiat di bulan Haram, maka Allah ﷻ akan menjatuhkan sanksi yang lebih berat dibandingkan bulan-bulan lainnya.[3]

Puji syukur kepada Allah ﷻ, sampai saat ini masih memberi kesempatan untuk dipertemukan dengan bulan Haram, maka tidak ada kata lain yang harus dilakukan adalah memperbanyak ibadah di bulan-bulan Haram, sebagaimana giatnya kita dalam beribadah pada bulan Ramadhan karena ibadah di bulan Haram akan dilipatgandakan. Sebalikya kita selalu berupaya untuk menghindarkan diri untuk berbuat dosa dan maksiat karena perbuatan maksiat di bulan Haran akan disanksi lebih berat dibanding sanksi di bulan-bulan lainnya. Wa Allâhu a’lam.[]

Marâji’:

[1] Lathâ-if Al Ma’arif, h. 202.

[2] http://www.ibnukatsironline.com/2015/05/tafsir-surat-at-taubah-ayat-36.html. Diakses pada 05 Juni 2023.

[3] Quraish Shihabm Tafsir Al-Misbah Vol. 5, Jakarta: Lentera Hati, 2022.

Download Buletin klik disini

MERAIH KESUKSEKAN DALAM BERHAJI

MERAIH KESUKSEKAN DALAM BERHAJI

*Isna Yunita

Mahasiwa S2 UIN Sunan Kalijaga

 

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Sebagai seorang muslim tentulah haji bukan hal yang terdengar asing di telinga kita semua, haji terbilang sebagai ibadah yang memerlukan persiapan yang banyak, mulai dari tenaga, materi, serta prosedur yang panjang. Bahkan haji memiliki resiko yang cukup besar, namun meskipun demikian, kaum muslim tetap berbondong-bondong untuk dapat menunaikan ibadah haji di Mekkah. Tentu saja haji memiliki banyak faidah dan makna yang berbanding dengan pengorbanan yang dilakukan oleh masyakat muslim, salah satunya pengorbanan bagi mereka yang tidak mampu secara materi namun telah megorbankan harta yang cukup besar yang telah dikumpulkan sejak lama.

Simbol ke-Islaman seseorang ialah ketika seorang muslim telah melaksanakan kelima rukun Islam secara sempurna, sebagaimana melaksanakan haji merupakan salah satu rukun Islam, yang disyariatkan bagi seorang muslim yang mampu, baik kemampuan secara fisik maupun materi.

Pengertian dan Perintah Ibadah Haji

Pada istilah fikih haji dikenal dengan perjalanan seorang Muslim ke Ka’bah untuk menjalankan ritual ibadah haji berdasarkan ketentuan di dalam fikih. Secara lughawi makna haji diartikan dengan berziarah atau berwisata suci. Sehingga dapat disimpulkan bahwa haji merupakan suatu perjalanan ibadah ke Makkah pada periode tertentu atau pada bulan-bulan haji. Niat haji seseorang yang akan melaksanakan ibadah haji haruslah diniatkan pada bulan Syawal, Dzulqa’dah dan 10 hari pertama pada bulan Dzulhijjah. Sebagaimana menurut pendapat Imam Syafi’i niat yang tidak dilakukan pada bulan-bulan tersebut menjadi niat umrah bukanlah haji. Kewajiban haji merupakan kewajiban sekali seumur hidup, sehingga haji yang dilakukan kedua kali atau ketiga kali dan seterusnya dihukumi sebagai kesunnahan.

Perintah pelaksanaan haji telah tertulis di dalam Al-Qur’an:

وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلْبَيْتِ مَنِ ٱسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا

“mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (Q.S. Ali Imran [3]: 197).

Kenapa Berhaji?

Ada beberapa jawaban mengenai pertanyaan ini:

  1. Haji merupakan kewajiban ibadah kepada Allah ﷻ dalam bentuk ibadah yang penuh dengan ketawadhuan dan ketundukan dalam menjalankan perintah-Nya.
  2. Bertamu ke rumah Allah ﷻ Makkah al-Mukarramah memenuhi seruan Nabi Ibrahim berarti memenuhi undangan Allah ﷻ. Setelah Nabi Ibrāhim dan putranya Nabi Ismail selesai membangun Ka’bah, maka Allāh memerintahkan Nabi Ibrāhim untuk menyeru kepada manusia agar mereka datang melaksanakan ibadah haji.

Allah ﷻ berfirman,

وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَىٰ كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ

“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta, yang datang dari segenap penjuru yang jauh.” (Q.S. Al Hajj: [22]: 27)

  1. Agar para tamu Allah menyaksikan banyak manfaat dan mengingat Allah ﷻ. Allah ﷻ berfirman,

لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ

“Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allāh (mengingat  Allāh) pada hari yang telah ditentukan atas rejeki yang telah Allāh berikan kepada mereka berupa binatang ternak.” (Q.S. Al Hajj [22]: 28)

  1. Orang yang melaksanakan haji merupakan orang-orang yang diberi kesempatan dan dipanggil oleh Allah ﷻ untuk datang ke rumah-Nya, sehingga mereka dikenal dengan tamu-tamu Allah ﷻ. Dari Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ bersabda,

الْحُجَّاجُ وَالْعُمَّارُ وَفْدُ اللَّهِ إِنْ دَعَوْهُ أَجَابَهُمْ وَإِنْ اسْتَغْفَرُوهُ غَفَرَ لَهُمْ

“Jamaah haji dan umrah adalah tamu Allah, kalau mereka menyeru-Nya Dia menyambut mereka, kalau mereka minta ampun kepada-Nya Dia mengampuni mereka.” (H.R Ibnu Majah No. 2892, Thabarani dalam Mu’jam al-Kabir, al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 3949)

Kesuksesan dalam Berhaji

Untuk meraih kesuksesan dalam berhaji hal yang tidak kalah penting untuk dipersiapkan adalah bekal iman yang mantap dan badan yang sehat agar kita mampu untuk melakukan serangkaian prosesi  haji. Selain itu persiapan pengetahuan yang mencukupi agar pelaksanaan haji sesuai dengan Syariah Islam. Karena apabila bekal pengetahuan dan persiapan yang cukup maka haji yang mabrur dapat diraih.

Perhatikan sabda Rasulullah, “Siapa yang mengerjakan ibadah haji, tidak melakukan hal-hal yang rafats (yang bersifat seks)dan tidak melakukan pula fusuq (melanggar aturan haji) ia kembali suci dari dosa bagai ia lahir dari ibunya.” (H.R. Bukhari, Muslim, dan Nasa’i)

Adapun hal yang perlu dipersiapkan saat haji terbagi ke dalam dua macam, pertama adalah persiapan ruhiyah (bathiniyah) dan kedua persiapan fisik (zhahiriyah), beberapa hal yang perlu dipersiapkan secara ruhiyah ialah sebagai berikut:

1. Menyiapkan kondisi iman yang baik

Terkadang iman seseorang naik turun sebagaimana perkataan salah satu sahabat Nabi Abu Darda’ “iman itu bertambah dan berkurang” oleh karena itu sebagai calon jamaah haji hendaklah menguatkan azam untuk berhaji dan meningkatkan iman dengan menambah amalan-amalan ibadah seperti berdzikir, memperbanyak membaca al-Qur’an, shalat sunnah dll. Dengan hal ini maka saat melaksanakan haji nantinya tinggal meneruskan dan meningkatkan kualitas ibadah.

2. Membersihkan hati

Membersihkan hati dari perilaku sebelum melaksanakan haji sangatlah penting, karena keberangkatan seseorang untuk haji berpotensi untuk memiliki perasaan berbangga diri karena akan melaksanakan haji, oleh karena diperlukan untuk mensucikan hati agar terhindar dari perasaan riya’, ujub dan sombong.

3. Menyiapkan pengetahuan seputar fikih haji

Seseorang yang akan melaksanakan haji hendaklah membekali dirinya dengan pengetahuan seputar pelaksanaan haji agar ibadah kita sesuai dengan ketentuan syariat, jangan sampai pengetahuan yang minim menghambat pelaksanaan ibadah haji kita, untuk menambah pengetahuan dapat dilakukan dengan mengikuti manasik haji, membaca buku dan mendengarkan ceramah.

4. Menjelang keberangkatan ada baiknya minta maaf kepada para tetangga sanak saudara, mohon pamit, dan mohon doa restu agar diberi haji yang mabrur. Akan tetapi yang perlu diwaspadai dalam hal ini, jangan sampai kita terjebak pada kemubadziran, membuat acara “pamitan” yang besar-besar sehingga terkesan “wah” dan akhirnya mengarah kepada kesombongan.

Adapun persiapan fisik yang perlu diperhatikan adalah mempersiapkan dana, kesehatan badan, dan mempersipakan kebutuhan saat di kota Makkah.

wallâhu a’lam bish shawwâb.[]

 

Mutiara Hikmah

Rasūlullāh ﷺ bersabda,

لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى لاَ يُحَجَّ البَيْتُ

“Tidak akan tegak hari kiamat kecuali sudah tidak ada orang lagi yang berhaji (tidak ada lagi yang datang menuju Ka’bah Allāh).” (H.R Al-Bukhari, no. 1593).

Marâji’:

[1] Muh. Mu’inudinillah Bashri, dan Elly Damaiwati, Kuketuk Pintu Rumah-Mu Ya Allah, Indiva Pustaka: Surakarta, Agustus 2009. h. 11.

[2] Muhammad Sholikhin, Keajaiban Haji dan Umrah: mengungkap Kedahsyatan Pesona Ka’bah dan Tanah Suci (Jakarta: Erlangga, 2013), h. 2222.

[3] Azalia Mutammimatul Khusna, Hakekat Ritual Ibadah Haji dan Maknanya Berdasarkan Pemikiran William R. Roff, Jurnal UIN Sunan Kalijaga, Vol. 2 No. 1, Maret 2018. h.135.

[4] Istianah, Prosesi Haji dan Maknanya, Jurnal Esoterik Ahklak dan Tasawuf, Vol. 2 No. 1, 2016. h. 32.

Download Buletin klik disini

ADAB BERDAKWAH DAN MENASIHATI

ADAB BERDAKWAH DAN MENASIHATI

Siti Amarah*

 

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh.

Berdakwah dan menasihati merupakan aktivitas yang mulia untuk mengajak keluarga, sahabat karib, tetangga, atau orang yang tak dikenal untuk tetap konsisten pada jalan kebaikan. Berdakwah dan memberi nasihat bukan perkara yang biasa saja , namun membutuhkan ilmu, seni dan kepakaran khusus.

Berdakwah dan memberikan nasihat merupakan bagian dari kewajiban bagi sesama muslim agar kita dapat senantiasa meningkatkan kualitas kehidupan kita untuk menjadi lebih baik dan terhindar dari golongan orang yang merugi, sebagaimana firman Allah ﷻ,

وَٱلْعَصْرِ .إِنَّ ٱلْإِنسَٰنَ لَفِى خُسْرٍ .إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلْحَقِّ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلصَّبْرِ.

“Demi masa, Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih serta saling berwasiat (menasihati) untuk kebenaran dan saling berwasiat (menasihati) untuk bersabar”. (Q.S. Al-‘Ashr [103]: 1-3)[1]

Dalam berdakwah dan memberikan nasihat, ada beberapa hal yang harus kita perhatikan dengan baik agar pesan dapat diterima dengan baik. Sebagaimana dalam suatu kaidah pembelajaran juga dikenal istilah “Metode itu lebih penting dari pada Materi”. Yang berarti cara kita menyampaikan nasihat itu lebih penting dari pada nasihat yang sebenarnya ingin kita sampaikan, agar hal tersebut mudah dipahami, kemudian dipraktikkan dengan cara yang benar, tanpa ada kesalahpahaman dalam penyampaian, atau bahkan penolakan.

Allah ﷻ berfirman,

ٱدْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلْحِكْمَةِ وَٱلْمَوْعِظَةِ ٱلْحَسَنَةِ ۖ وَجَٰدِلْهُم بِٱلَّتِى هِىَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِۦ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِٱلْمُهْتَدِينَ

“Berserulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah, dan pengajaran yang baik, serta berdebatlah dengan mereka dengan cara yang terbaik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk”. (Q.S. An-Nahl [16]: 125)

Berdasarkan ayat ini, setidaknya ada beberapa poin yang harus diperhatikan dalam berdakwah dan memberikan nasihat diantaranya adalah:

Niat

Berdakwah dan memberikan nasihat haruslah untuk agama Allah, demi mendapatkan jalan menuju ridha-Nya semata, bukan untuk kepentingan pribadi ataupun golongan tertentu. Oleh karena itu, ketika kita menyerukan kebaikan harus benar-benar didasarkan pada keikhlasan. Sesuatu yang benar jika tidak dilandasi dengan yang benar pula, maka dapat mengubah ganjaran yang seharusnya kita dapatkan dari pahala menjadi sebuah dosa. Ikhlas adalah salah satu syarat di terimanya sebuah amal, termasuk dalam berdakwah dan saling menasihati.

Kita tidak boleh menasihati dengan niat mempermalukan orang lain dengan kesalahan yang mereka lakukan. Dalam berdakwah juga tidak boleh didasari niat untuk mencari harta semata, kedudukan ataupun popularitas, namun semata-mata karena keikhlasan mengharapkan ridha Allah l. Mendasari hati kita dengan keikhlasan, dapat menghindarkan diri kita dari sifat sombong, sehingga tidak merasa diri kita lebih baik dari orang yang kita nasihati dan juga terhindar dari riya’ (pamer agar dilihat orang), serta sum’ah (pamer agar didengar orang) bahwa kita memiliki ilmu yang lebih.

Berlandaskan Ilmu

Berdakwah harus dengan Hikmah. Hikmah disini mengandung beberapa arti. Pertama, pengetahuan tentang rahasia dan faedah segala sesuatu. Dengan pengetahuan itu maka diyakini kebenaraannya. Kedua, perkataan yang tepat dan benar yang menjadi dalil (argumen) untuk menjelaskan mana yang hak dan mana yang bathil  atau subhat (meragukan). Ketiga, mengetahui hukum-hukum al-Qur’an dan Hadits.[2]

Dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan maksud dari kata Hikmah adalah apa saja yang di syariatkan pada Nabi Muhammad melalui Qur’an dan Sunnah.[3]

Berdakwah dengan Hikmah adalah dakwah dengan ilmu pengetahuan yang berkenaan dengan rahasia, faedah, dan maksud dari wahyu Illahi serta Sunnah Rasul, dengan cara yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi, agar mudah dipahami ummat. Nasihat haruslah dilakukan dengan cara yang bijaksana, kita harus pandai melihat topik nasihat yang ingin kita sampaikan, serta kepada siapa kita akan menyampaikan nasihat tersebut. Nasihat kepada orang awam tentu berbeda dengan nasihat kepada penguasa.[4] Kita juga harus melihat apa inti nasihat yang akan kita berikan, kapan nasihat tersebut sebaiknya diberikan, dimana kita dapat memberikan nasihat tersebut dengan optimal, serta kenapa nasihat tersebut harus kita berikan.

Pengajaran (Nasihat) Yang Baik

Dalam menyampaikan kebenaran hendaklah diutarakan dengan kalimat yang baik, lemah lembut serta santun.[5] Kata-kata yang buruk dapat menimbulkan kesalah pahaman, serta nada tinggi ketika menasihati bisa saja hanya akan memperkeruh suasana tanpa menghasilkan solusi. Namun demikian menyampaikan peringatan dan ancaman juga dibolehkan, jika kondisinya memungkindan dan di perlukan, karena kadang nada yang terlampau lembut tidak akan berdampak pada sebagian orang yang hatinya bebal.

Pengutaraan yang menyenangkan dengan sisipan candaan juga diperlukan untuk membuka suasana hati seseorang agar lebih mudah menerima nasihat yang diberikan. Dengan hati yang gembira, maka seseorang cenderung lebih mudah menerima kebaikan dan kebenaran.

Pemilihan waktu dan tempat untuk memberikan nasihat pun tentu akan berpengaruh dengan bagaimana penerimaan orang terhadap nasihat yang kita berikan. Teguran yang diberikan khusus untuk satu orang tapi kita mengutarakannya di depan khalayak ramai tak ubahnya dengan menunjukkan aib saudara kita tersebut kepada semua orang, itu dapat menimbulkan rasa sakit hati.

Berdebat Dengan Cara Terbaik

Cara kita berinteraksi dengan orang lain tentu akan sangat berpengaruh dengan bagaimana kebenaran yang kita ucapkan dapat diterima oleh orang lain. Bila terjadi perdebatan, haruslah dilakukan dengan cara yang baik, tidak dengan kata-kata yang tajam sehingga menimbulkan suasana yang panas. Perdebatan yang baik hendaknya diciptakan dengan suasana yang santai dan nyaman disertai dengan argumen yang jelas dan cerdas. Dengan demikian lawan debat tidak akan merasa dirinya direndahkan, dan harga dirinya masih dihormati, sehingga tujuan dari perdebatan tersebut dapat tercapai dengan maksimal.

Mengamalkan Nasihat

Dalam surah al-Ashr, perintah untuk saling menasihati didahului dengan perintah untuk beriman dan beramal shalih. Karena memang sebelum memberikan nasihat, sudah seharusnya kita melaksanakan apa yang akan kita nasihati. Bagaimana mungkin dakwah serta nasihat kita akan didengarkan oleh orang lain jikalau perbuatan kita berbalik dengan apa yang kita utarakan. Allah ﷻ sendiri telah mencela orang-orang yang berbuat demikian dalam firman-Nya,

أَتَأْمُرُونَ ٱلنَّاسَ بِٱلْبِرِّ وَتَنسَوْنَ أَنفُسَكُمْ وَأَنتُمْ تَتْلُونَ ٱلْكِتَٰبَ ۚ أَفَلَا تَعْقِلُونَ

“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca alKitab? maka tidaklah kamu berpikir? (Q.S. al-Baqarah [2]: 44).[6]

Mengamalkan ilmu yang kita punya serta memberikan contoh perilaku dan budi pekerti yang baik juga merupakan dakwah secara tidak langsung. Ketika orang lain merasakan dampak manfaat dari perbuatan baik kita, maka mereka akan terdorong untuk berperilaku yang serupa dengan kita. Perbaikilah dirimu, maka orang lain akan memperbaiki diri mereka sendiri karena nasihat terbaik yang dapat diberikan adalah dengan memberikan contoh yang terbaik.

Kembalikan Pada Allah ﷻ

Di akhir ayat ke 125 surat An-Nahl, Allah ﷻ menegaskan bahwa tugas kita adalah semata menyampaikan kebenaran berdasarkan syari’at Allah ﷻ, sedangkan apakah dakwah serta nasihat kita dapat diterima oleh orang lain ataukah ditolak itu semata hanya Allah Yang Maha Mengetahui, dan semoga kita semua termasuk golongan dari orang-orang yang mendapatkan petunjuk-Nya. Wallâhu a’alamu bish shawâb.[]

* Tenaga Kependidikan Pusat Bantuan Sosial dan Kesehatan Direktorat Sumber Daya Manusia bagian UII.

[1] Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid 10, Widya Cahaya, Jakarta, 2011

[2] Ibid.

[3] Abdullah bin Muhammad Alu Syaikh, Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 5, , Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Jakarta, 2019

[4] Abdul Aziz bin Fathi as-Sayyid Nada, Ensiklopedi Adab Islam Menurut Al-Qur’an dan as-Sunnah, Jilid 1, Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Jakarta, 2019

[5] Muhammad Ibrahim Al Hifnawi, Tafsir Al Qurthubi, Pustaka Azzam, Jakarta 2008

[6] Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid 1, Widya Cahaya, Jakarta, 2011

Download Buletin klik disini

PEMBENTUKAN KARAKTER MELALUI PENDIDIKAN BERBASIS AL-QUR’ÂN

PEMBENTUKAN KARAKTER MELALUI PENDIDIKAN BERBASIS AL-QUR’ÂN

Shopia Nur Fauziah

 

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh, amma ba’du.

Pendidikan adalah hal yang penting bagi suatu pembentukan karakter seseorang. Menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.[1] Hal ini erat kaitannya dengan pendidikan karakter yang merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk membantu seseorang memahami nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Allah l, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.[2]

Makna Akhlak/ Karakter

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata akhlak berarti budi pekerti; kelakuan: krisis; Pendidikan. Secara etimologi, kata “akhlak” berasal dari bahasa arab, adalah bentuk jamak dari “khuluq” yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabiat. Ber-akar dari kata “khalaqa” yang berarti menciptakan. Se-akar dengan kata Khaliq (pencipta), makhluq (yang diciptakan) dan “khalq” (penciptaan) (Yasin, 2019).[3] Akhlak yang mulia menjadi sebab untuk mendapatkan kecintaan Allah dan Rasulnya karena orang yang menghiasi dirinya dengan akhlak yang mulia adalah orang sempurna keimanannya. Akhlak adalah keaadaan yang menetap dan bermula dalam jiwa individu.

Dari pemaparan pengertian yang telah disebutkan maka pendidikan karakter yang dikaitkan dengan pendidikan Islam, yakni menjadikan manusia mampu mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya sehingga berfungsi maksimal sesuai dengan aturan-aturan yang digariskan oleh Allah l dan Rasulullah n yang pada akhirnya akan terwujud manusia yang utuh (insan kamil). Fungsi pendidikan Islam merupakan salah satu bentuk manifestasi cita-cita hidup untuk melestarikan, menanamkan, dan mentransformasikan nilai-nilai Islam tersebut kepada generasi penerusnya sehingga nilai-nilai kultural religius yang dicita-citakan dapat tetap berfungsi dan berkembang sesuai dengan kemajuan zaman dan teknologi.

Pembentukan Karakter Berbasis Al-Qur’ân.

Konteks Pendidikan Islam dikaitkan dengan spesifikasinya disini adalah pembentukan akhlak yang berbasis terhadap Al-Qur’ân  atau mengacu pada al-Qur’ân . Selain itu, karakter seseorang sangat berpengaruh terhadap kemajuan nusa dan bangsa karena pemuda adalah tonggaknya negara. Pemuda-pemudi yang baik adalah tabungan masa depan bangsa untuk membawa kea arah yang lebih baik dan lebih maju.

Dalil al-Qur’ân  surah Al-Ahzab ayat 21 yang berbunyi,

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًاۗ

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al Ahzab [33]: 21).

Surah al-Mâidah ayat 83,

وَإِذَا سَمِعُوا۟ مَآ أُنزِلَ إِلَى ٱلرَّسُولِ تَرَىٰٓ أَعْيُنَهُمْ تَفِيضُ مِنَ ٱلدَّمْعِ مِمَّا عَرَفُوا۟ مِنَ ٱلْحَقِّ ۖ يَقُولُونَ رَبَّنَآ ءَامَنَّا فَٱكْتُبْنَا مَعَ ٱلشَّـٰهِدِينَ

“Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada rasul (Muhammad) kamu lihat mata mereka bercucuran air mata disebabkan kebenaran (Al-Qur’ân ) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri) seraya berkata,: Ya Tuhan kami! Kami telah beriman, maka catatkanlah kami bersama orang yang menjadi saksi atas kebenaran Al-Qur’ân  dan kenabian Muhammad.” (Q.S. Al-Maidah [5]: 83)

Karakter berbasis al-Qur’ân  yang dapat dibangun dapat dengan mentadaburi al-Qur’ân karena implikasi tadabbur al-Qur’ân  akan membentuk akhlak seorang insan yang berkualitas melalui sifat-sifat mahmudah tersebut. Sebagaimana Imam al-Ghazali (Arbain Fi Usuluddin) telah menggariskan sepuluh sifat mahmudah terpuji iaitu taubat, khauf (khauf), zuhud, sabar, syukur, ikhlas, tawakkal, mahabbah (kasih sayang), ridha dan dzikrul maut (mengingati mati). Seterusnya sifat-sifat mahmudah ini lah yang akan mendorong seseorang insan melaksanakan amalan-amalan soleh sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah dan meninggalkan segala laranganNya. Akhlak yang diterapkan berpedoman kepada akhlak Rasulullah n, yaitu suri teladan bagi seluruh umat Muslim di dunia seperti yang telah disebutkan pada ayat al-Qur’ân  diatas.[4]

Berkaitan dengan pembentukan akhlak berpengaruh terhadap keadaan bangsa dan negara. Syaikh Musthafa Al-Ghilayini menulis dalam Idzatun Nasyi’in :

إِنَّمَا اْلأُمَمُ اْلأَخْلاَقُ مَا بَقِيَتْ. فَإِنْ هُمْ ذَهَبَتْ أَخْلَاقُهُمْ ذَهَبُوا

“Maju dan mundurnya suatu bangsa, Tegak dan runtuhnya suatu negara, tergantung kepada akhlaknya, apabila akhlak suatu bangsa baik, maka baik-lah bangsa dan negara itu, tapi apabila akhlak suatu bangsa jelek dan bobrok, maka hancur-lah bangsa dan negara itu. (Musthafa Al-Ghilayini, Idzatun Nasyi’in)

Kemuliaan Peradaban haruslah dibangun dengan adab dan akhlak yang mulia, tidak cukup hanya dengan membangun infrastruktur. Kalau mental dan akhlak suatu bangsa bejat dan hancur, percayalah, bangsa dan negara itu berada di ambang kehancuran. Maka dari itu Pendidikan karakter anak bangsa adalah hal yang urgent.

Akhlak menurut Islam terbagi kepada dua yaitu akhlak mahmudah (akhlak terpuji) dan akhlak mazmumah (akhlak yang keji). Seseorang dapat memahami dan menghayati ayat-ayat al-Qur’ân  yang dibacanya sehingga timbullah hubungan dan persentuhan di antara hatinya dengan kalâmullâh yang dibaca. Maka akan terhasil perubahan di dalam dirinya yaitu akan melahirkan sifat-sifat mahmudah. Sifat-sifat ini akan memberi cahaya kepada kehidupan dan keperibadian seseorang.  Al-Qur’ân  telah dan akan terus membimbing manusia untuk mencapai kesempurnaan dalam kehidupan.

Penanama akhlaklah yang baik atau akhlak mahmudah dapat dimulai dari lingkungan terkecil seperti keluarga. Orang tua khususnya ibu sebagai madrasa pertama untuk anak-anaknya hendaknya mengenalkan sifat-sifat terpuji seperti tolong menolong, belajar ikhlas, bertanggung jawab, saling memberi, menghormati satu sama lain. Diajarkan mengenai surah-surah pendek Al-Qur’ân  dan intisarinya hikmah yang dapat diambil. Kisah-kisah Nabi dapat menjadi penunjang agar sifat-sifat umat terdahulu dapat menjadi pembelajaran.

Selain itu tempatkan pada lingkungan sekolah atau pendidikan yang baik. Ada baiknya ditempatkan pada pendidikan yang menjunjung tinggi nilai keislaman. Sekolah dan guru sebagai pembimbingnya juga lingkungan teman-temannya agar dapat membangun karakter seseorang. Karena lingkungan adalah hal yang penting, situasi, keadaan, juga kondisi. Semoga bangsa Indonesia mempunyai anak-anak bangsa yang berakhlak mulia dan terpuji dengan berbasis al-Qur’ân  yang dapat membawa bangsa ini ke arah “baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur”. Wa Allâhu a’alam.[]

 

Marâji’:

[1] Hakim, R. (2014). Pembentukan karakter peserta didik melalui pendidikan berbasis Al-Quran. Jurnal Pendidikan Karakter, 5(2).

[2] Fitri, A. (2018). Pendidikan karakter prespektif al-Quran hadits. TA’LIM: Jurnal Studi Pendidikan Islam, 1(2), 258-287.

[3] Yasin, H. (2019). Ayat-Ayat Akhlak Dalam Al-Qur’ân . Tahdzib Al-Akhlaq: Jurnal Pendidikan Islam, 2(2), 1-15.

[4] Zakaria, R. B., Fuad, Z., & Rasdi, M. N. A. (2014, December). Implikasi tadabbur Al-Qur’ân  dalam pembentukan insan yang berkualiti di sudut akhlak. In International Conference on Postgraduate Research.

Download Buletin klik disini

PENDIDIKAN ANAK DALAM KELUARGA

PENDIDIKAN ANAK DALAM KELUARGA

PERSPEKTIF AL-QURAN SURAH LUQMAN AYAT 12-19

Salwa Ashfiya

 

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh, amma ba’du.

Al-Qur’an adalah kalamullâh, yang berisi aturan ilahiyah yang lengkap dan abadi.  Diturunkan oleh Allah ﷻ sebagai pedoman dan petunjuk yang sangat sempurna. Petunjuk dan arahannya selalu sesuai dengan kondisi, tempat dan waktu, yang meliputi semua aspek kehidupan, termasuk masalah pendidikan. Tentu saja, penafsiran Al-Qur’an diperlukan untuk memahami petunjuk-petunjuk Al-Qur’an secara literal maupun implisit. Tafsir Al-Qur’an adalah penjelasan tentang makna firman Allah ﷻ sesuai dengan kemampuan akal manusia.

Penafsiran Al-Qur’an yang tepat dalam kaitannya dengan model pendidikan keluarga merupakan kontribusi penting tidak hanya untuk mempersiapkan gaya hidup Islam, tetapi juga untuk mempersiapkan keluarga, masyarakat dan bangsa untuk masa depan yang lebih baik. Upaya mengembangkan model pendidikan Islam di lingkungan rumah tidaklah mudah, terbukti banyak keluarga yang menghadapi disabilitas dalam hal memberikan pendidikan terbaik bagi anak-anak mereka, padahal keluarga adalah salah satu kelembagaan tempat berlangsungnya pendidikan.[1]

Keluarga Luqman

Dalam Al-Qur’an terdapat contoh keluarga yang perlu digali lebih pada konteksnya tentang pendidikan keluarga ideal, yaitu keluarga Luqman yg tergambar pada surah Luqman. Ada dua dasar yang menjadi kerangka acuan pendidikan Luqman kepada anak-anaknya, yaitu nilai-nilai ilahiyah dan sunnah para rasul.

Nilai ilahiyah merupakan ajaran-ajaran agama yang bersumber dari Allah ﷻ, sedangkan sunnah para nabi dan Rasul adalah segala bentuk ucapan dan tindakan mereka. Sebab, dasar pendidikan itu memiliki hubungan yang erat dengan hakikat anak sebagai objek dan subjek pendidikan. Luqman al-Hakim tentu memandang anaknya sebagai sosok manusia yang memiliki fitrah ketuhanan, sehingga tentu juga nilai-nilai ilahiyah dijadikan sebagai dasar dalam proses pendidikan.[2]

Menurut tafsir Ibnu Katsir, surah Luqman ayat 12 menjelaskan bahwa sesungguhnya Allah ﷻ, telah memberikan hikmah kepada Luqman yaitu ia selalu bersyukur dan memuji kepada-Nya atas apa yang telah diberikan kepadanya dari karunia-Nya, karena sesungguhnya hanya Dialah yang patut untuk mendapat puji dan syukur itu.

Pada ayat 13, Luqman menjelaskan kepada anaknya, bahwa perbuatan syirik merupakan kezhaliman yang besar. Dikatakan dosa besar karena perbuatan itu berarti menyamakan kedudukan Tuhan yang hanya dari Dia segala nikmat.

Pada ayat 14, merupakan perintah supaya berbakti kepada kedua orangtua. Ibu telah mengandungnya sedang ia dalam keadaan lemah yang kian bertambah disebabkan semakin membesarnya kandungan. Dan menyapihnya dari persusuan sesudah ia dilahirkan dalam jangka waktu dua tahun.

Pada ayat 15, Allah ﷻ, menyebutkan pesan dan perintah-Nya, yaitu berkaitan dengan berbakti kepada orangtua, dan setelah mengukuhkan hak-hak keduanya yang harus ditaati. Terkecuali memenuhi hak-hak orangtua yang akan membuat murka Allah.

Kemudian pada ayat ke-16, Allah ﷻ, kembali menyebutkan kelanjutan wasiat Luqman kepada anaknya, yang pada permulaanya Luqman melarang anaknya berbuat syirik. Hai anakku, sesungguhnya perbuatan baik dan perbuatan buruk itu sekalipun beratnya hanya sebiji sawi, para pelaku amal perbuatan akan mendapat balasan kelak di akhirat.

Pada ayat ke 17, Hai anakku, dirikanlah shalat, yakni kerjakanlah shalat dengan sempurna sesuai cara yang diridhai Rabb, sebab orang yang mengerjakannya berarti menghadap dan tunduk kepada-Nya. Dan di dalam shalat terkandung pula hikmat lainnya, yaitu dapat mencegah orang yang berssangkutan dari perbuatan keji dan mungkar. Maka apabila seseorang menunaikan hal itu dengan sempurna, niscaya bersihlah jiwanya dari berserah diri kepada Rabnya, baik dalam keadaan suka maupun duka.

Selanjutnya pada ayat ke-18, Luqman menasihati anaknya agar tidak memalingkan muka karena sombong. Lebih baik untuk menampakkan muka yang berseri. Lalu pada ayat ke-19 larangan agar tidak berjalan di muka bumi dengan sombong dan larangan bersuara keras layaknya suara keledai.

Tujuan Pendidikan

Berdasarkan tafsir tersebut, dapat kita simpulkan bahwa ada 4 tujuan pendidikan Luqman Al-Hakim, yaitu :

  1. Menanamkan akidah yang benar kepada anaknya seperti terdapat pada ayat 12.
  2. Menanamkan rasa syukur dan berbakti kepada Allah dan kedua orang tua.
  3. Menanamkan amal saleh.
  4. Menanamkan akhlak mulia dan sopan santun dalam berinteraksi sosial.1

Materi Pendidikan

Dapat kita ambil juga 4 materi Pendidikan yang disampaikan oleh Luqman Al-Hakim kepada anaknya dalam surah tersebut, yaitu :

  1. Akidah (Tauhid atau Keimanan) dalam ayat 13 dan 16.
  2. Syukur dan berbakti kepada Allah dan orang tua terdapat pada ayat 14-15.
  3. Ibadah dan amal saleh terdapat pada ayat 16 dan 17.
  4. Akhlak mulia dan sopan santun dalam berinteraksi dengan sesama terdapat dalam ayat 18-19.

Metode Pengajaran

Metode pengajaran yang diterapkan Luqman al-Hakim ketika mendidik anaknya dalam surah ini di antaranya adalah sebagai berikut :

  1. Metode Nasihat (Mau’izhah). Mau’izhah adalah nasihat bijaksana yang dapat diterima oleh pikiran dan perasaan orang yang menerimanya.
  2. Dialog (Hiwar). Metode dialog dikenal dalam bahasa Arab dengan istilah al-hiwar, yaitu percakapan timbal balik atau komunikasi dua arah antara dua pihak atau lebih mengenai suatu topik tertentu dan dengan sengaja diarahkan kepada suatu tujuan yang dikehendaki oleh pendidik.
  3. Keteladanan dalam pendidikan merupakan metode yang sangat efektif untuk membentuk kepribadian peserta didik, terutama pada aspek moral, spiritual maupun sosial.
  4. Pembiasaan menurut Muhammad Qutb merupakan metode yang sangat istimewa dalam kehidupan manusia, karena melalui pembiasaan inilah terjadi perubahan seluruh sifat dan menjadi kebiasaan yang terpuji pada diri seseorang.
  5. Perumpamaan (Matsal). Di antara cara Luqman al-Hakim menyampaikan materi pendidikan kepada anaknya, terutama berkaitan dengan tauhid dan akhlak atau perilaku seseorang adalah dengan gambaran yang logis rasional. Cara seperti ini memang tepat sekali untuk memperkuat keyakinan anaknya pada kebenaran ajaran yang disampaikan.

Lingkungan Pendidikan

Keluarga merupakan lingkungan pertama bagi setiap anak sebelum melangkah pada lingkungan yang lebih luas. Pendidikan dalam keluarga menjadi dasar bagi pembentukan kepribadian dan watak anak. Metode pendidikan berupa nasihat, keteladanan, dialog, pembiasaan, perumpamaan, dan lain-lain sangat efektif jika dapat dilaksanakan dalam keluarga. Oleh sebab itu pula, Al-Qur’an sangat menekankan adanya keluarga yang berkualitas. Apa yang dilakukan Luqman al-Hakim melalui nasihatnya sebagaimana diuraikan sebelumnya, memperlihatkan peranan keluarga dalam pendidikan keluarga.

 Evaluasi Pendidikan

Evaluasi pendidikan Islam adalah suatu kegiatan untuk menentukan taraf kemajuan suatu aktivitas di dalam pendidikan Islam.[3] Program evaluasi ini diterapkan dalam rangka mengetahui tingkat keberhasilan seorang pendidik dalam menyampaikan materi pelajaran, menemukan kelemahan-kelemahan yang dilakukan, baik berkaitan dengan materi, metode, fasilitas dan sebagainya.[4]

Marâji’:

[1] Abdul Basir. Model Pendidikan Keluarga Luqman dalam Perspektif Al-Quran Surah Luqman. Liang Anggang : CV. El Publisher, 2022. Cet.k-1. h. 2 dan 61-62

[2] Barsihannor. Belajar dari Lukman Al-Hakim. Yogyakarta : Kota Kembang, 2009. Cet.k-1. h. 30.

[3] Zuhairini, dkk. Metodik Khusus pendidikan Agama. Surabaya: Usaha Nasional, 1981. Cet,k-7. h. 139.

[4] Abdul Mujib & Jusuf Mudzakir. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana, 2008. Cet.k-2. h. 211.

Download Buletin klik disini

KANDUNGAN AL-QUR’ÂN

KANDUNGAN AL-QUR’ÂN

Putri Sholiha Pertiwi Abidin

*Jurusan Kimia FMIPA UII

 

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Pembaca yang dirahmati Allâh ﷻ, al-Qur’an adalah kitab suci terakhir yang diturunkan oleh Allah ﷻ kepada umat manusia melalui Nabi Muhammad ﷺ untuk dijadikan sebagai pedoman hidup. Petunjuk-petunjuk yang dibawanya pun dapat menyinari seluruh isi alam ini. Sebagai kitab hidayah sepanjang zaman, al-Qur’an memuat informasi-informasi dasar tentang berbagai masalah, baik informasi tentang aqidah, ibadah, akhlak, hukum, etika, kedokteran dan sebagainya.

Al-Qur’an berisi pesan-pesan ilahi (risalah illahiyah) untuk umat manusia yang disampaikan melalui Nabi Muhammad. Pesan-pesan tersebut tidaklah berbeda dengan risalah yang dibawa oleh Nabi Adam, Nuh, Nabi Ibrahim dan rasul-rasul lainnya sampai kepada Nabi Isa, risalah itu mentauhidkan Allah ﷻ.

Bila kita mencermati dan menghayati kandungannya, al-Qur’ân memiliki isi yang sangat komprehensif, semua persoalan dalam hidup, mulai dari keyakinan, sampai kisah-kisah dan muamalat terkandung dalam al-Qur’ân. Berikut adalah penjelasan dari isi atau inti sari al-Qur’ân:

  1. Akidah

Akidah dalam Islam bermakna masalah-masalah ilmiyah yang berasal dari Allah ﷻ dan Rasul-Nya, yang wajib bagi setiap muslim untuk meyakininya sebagai pembenaran terhadap Allâh ﷻ dan Rasul-Nya. Al-Qur’ân mengajarkan akidah atau tauhid kepada kita, yaitu menanamkan keyakinan terhadap Allâh ﷻ. Percaya kepada Allâh adalah salah satu butir rukun iman yang pertama. Orang yang tidak percaya terhadap rukun iman disebut sebagai orang-orang kafir.

Allah ﷻ menyebutkan dalam firman-Nya,

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ أُولَٰئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ

Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” (Q.S. al-Bayyinah [98]: 6)

  1. Ibadah

Ibadah adalah taat, tunduk atau ikut dari segi bahasa. Dari pengertian fuqaha ibadah adalah segala bentuk ketaatan yang dijalankan atau dikerjakan untuk mendapatkan ridha dari Allah ﷻ. Bentuk ibadah seperti yang termaktub dalam lima butir rukun Islam. Mengucapkan dua kalimah syahadat, shalat lima waktu, membayar zakat, puasa di bulan Ramadhan, dan beribadah haji bagi yang telah mampu menjalankannya.

Allah ﷻ menyebutkan dalam firman-Nya,

وَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتُوا الزَّكٰوةَ وَارْكَعُوْا مَعَ الرَّاكِعِيْنَ

Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’. (Q.S. al-Baqarah [2]: 43)

  1. Akhlak

Akhlak adalah perilaku yang dimiliki oleh manusia, baik akhlak yang terpuji atau maupun yang tercela. Allâh ﷻ mengutus Nabi Muhammad ﷺ untuk memperbaiki akhlak. Setiap manusia harus mengikuti apa yang diperintahkan Allâh dan menjauhi larangan-Nya.

Perintah berakhlak baik, disebutkan dalam firman Allah ﷻ,

وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَٰقَ بَنِىٓ إِسْرَٰٓءِيلَ لَا تَعْبُدُونَ إِلَّا ٱللَّهَ وَبِٱلْوَٰلِدَيْنِ إِحْسَانًا وَذِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْيَتَٰمَىٰ وَٱلْمَسَٰكِينِ وَقُولُوا۟ لِلنَّاسِ حُسْنًا وَأَقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَ ثُمَّ تَوَلَّيْتُمْ إِلَّا قَلِيلًا مِّنكُمْ وَأَنتُم مُّعْرِضُونَ

“Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji-janji dari Bani Israil (yaitu): Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapa, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 83)

  1. Hukum-hukum

Hukum yang ada di dalam al-Qur’ân adalah perintah kepada orang yang beriman untuk mengadili manusia yang terbukti bersalah. Hukum dalam Islam berdasarkan Al-Qur’ân ada beberapa jenis atau macam, seperti jinayat, mu’amalat, munakahat, faraidh, dan jihad.

Allah l menyebutkan dalam firman-Nya,

وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَآ أَنَّ ٱلنَّفْسَ بِٱلنَّفْسِ وَٱلْعَيْنَ بِٱلْعَيْنِ وَٱلْأَنفَ بِٱلْأَنفِ وَٱلْأُذُنَ بِٱلْأُذُنِ وَٱلسِّنَّ بِٱلسِّنِّ وَٱلْجُرُوحَ قِصَاصٌ ۚ فَمَن تَصَدَّقَ بِهِۦ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَّهُۥ ۚ وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ

“Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (at-Taurat) bahwasannya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka (pun) ada qishashnya. Barang siapa yang melepaskan (hak qishashnya), maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.  (Q.S. al-Maidah [5]: 45)

  1. Kisah-kisah

Kisah yang disebutkan dalam al-Qur’ân adalah kisah mengenai orang-orang yang terdahulu baik yang mendapatkan kejayaan akibat taat kepada Allâh serta ada juga yang mengalami kebinasaan akibat ingkar terhadap Allah ﷻ. Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari sebaiknya kita mengambil pelajaran yang baik-baik dari sejarah masa lalu atau dengan istilah lainnya i’tibar atau ‘ibrah.

Allah ﷻ berfirman,

وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّن قَبْلِكَ مِنْهُم مَّن قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُم مَّن لَّمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ ۗ

Dan sungguh Kami telah mengutus para Rasul sebelummu diantara mereka ada yang Kami kisahkan kepadamu dan diantara mereka ada yang tidak Kami kisahkan kepadamu” (Q.S. Ghafir [40]: 78]

Sebagian isi kandungan dalam Alquran kebanyakan memuat tentangqashas (sejarah) umat-umat terdahulu sebagai bahan pelajaran bagi umat sekarang (umat Islam).

  1. Dorongan untuk berpikir

Di dalam Al-Qur’ân banyak ayat-ayat yang mengulas suatu bahasan yang memerlukan pemikiran manusia untuk mendapatkan manfaat dan juga membuktikan kebenarannya, terutama mengenai alam semesta. Banyak ayat yang mendorong manusia untuk memperhatikan alam sekitar, salah satunya adalah dalam surah ar-Rahman ayat 19-20,

مَرَجَ ٱلْبَحْرَيْنِ يلْتَقِيَانِ . بينهُمَا برْزَخٌ لَّا يبْغِيَانِ

Dia membiarkan dua laut mengalir (yang) kemudian keduanya bertemu. Di antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui masing-masing. (Q.S. ar Rahmân [55]: 19-20).

 

Marâji’:

Syaikh Manna Al-Qaththan. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’ân. Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar. 2015.

Prof. DR. Mardan, M.Ag. Al-Qur’ân; Sebuah Pengantar Memahami Al-Qur’ân secara Utuh. Jakarta Selatan: Pustaka Mapan Jakarta. 2010.

Download Buletin klik disini

MEMBERSIHKAN PENYAKIT HATI DAN MERAIH SAKINAH

MEMBERSIHKAN PENYAKIT HATI DAN MERAIH SAKINAH

*Inats Tsuroyya Elbarr

Psikologi 2021

 

Penyakit Hati

Hati adalah cerminan dari perilaku manusia. Jika hati manusia itu baik, maka perilakunya akan baik. Begitu juga saat hati manusia tersebut kotor, perilakunya juga akan buruk. Hati yang kotor ini disebut juga dengan hati yang berpenyakit. Ibnu Taimiyah mendefinisikan penyakit hati sebagai nafsu syahwat yang termanifestasikan dalam bentuk iri, dengki, serakah, sombong, suka mencela, dan kufur ni’mat (tidak mensyukuri nikmat).[1] Hati yang kotor harus diobati agar kembali bersih dan dapat menuntun manusia kepada jalan keselamatan, yaitu jalan yang dipenuhi dengan cahaya Allah ﷻ.

Hasan Muhammad as-Syarqawi membagi penyakit hati menjadi sembilan bagian, yaitu riya’ (pamer), tama’ (rakus), al-was wasah (was-was), al-ya’s (frustasi), al-ghurur (terperdaya), al-ghadhab (marah), al-hasd wal hiqd (dengki dan iri hati), al-ujub (sombong), dan al-ghaflah wan nisyah (lalai dan lupa).[2]

Menurut Imam Abil Izz al-Hanafi, penyakit hati bisa disebabkan oleh dua hal, yaitu syahwat dan syubhat. Penyakit hati yang disebabkan oleh syahwat akan menjadikan manusia tersebut gemar berbuat maksiat dan ringan hati melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Allah ﷻ. Sedangkan penyakit hati yang disebabkan oleh syubhat akan menyebabkan ibadah yang dilakukan oleh manusia tersebut menjurus kepada kemusyrikan.[3] Apapun jenis dan penyebabnya, penyakit hati harus segera disembuhkan. Karena penyakit-penyakit hati tersebut akan menjerumuskan kita pada dosa dan laknat Allah ﷻ. Apabila manusia tidak segera mengobati penyakit hatinya, Allah ﷻ akan menurunkan penyakit lainnya pada hatinya.

Allah ﷻ berfirman,

فِيْ قُلُوْبِهِمْ مَّرَضٌۙ فَزَادَهُمُ اللّٰهُ مَرَضًاۚ وَلَهُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌ ۢ بِمَا كَانُوْا يَكْذِبُوْنَ

“Dalam hati mereka ada penyakit, lalu Allah menambah penyakitnya itu; dan mereka mendapat azab yang pedih, karena mereka berdusta.” (Q.S. al-Baqarah [02]: 10)

Penyakit hati juga akan menghilangkan ketenangan dan ketentraman dalam hati manusia. Dia tidak akan menemukan kebahagiaan yang hakiki dalam hidupnya. Rasa tenang dan bahagia yang dia rasakan sejatinya adalah perasaan yang semu. Selain itu, orang yang hatinya sakit akan kehilangan kenikmatan dalam beribadah kepada Allah ﷻ. Pikirannya selalu terfokus pada penyakit hati yang dia rasakan. Akibatnya, dia menjadi semakin jauh dari Allah ﷻ. Karena hubungannya dengan Allah ﷻ yang tidak baik, hubungannya dengan sesama manusia juga tidak akan baik. Penyakit hati tersebut akan menggerogoti rasa welas asih dan empati dalam hatinya. Naûdzubillâhi min dzalik.

Maraih Sakinah

Istilah sakinah sangat lekat dengan konteks keluarga ataupun pernikahan. Padahal, sakinah sendiri memiliki banyak definisi. Seorang ahli fiqh dan tafsir, Al-Isfahani mengartikan sakinah dengan tidak adanya rasa takut dalam mengahadi sesuatu. Sedangkan ahli bahasa, Al-Jurjani mendefinisikan sakinah sebagai adanya ketentraman dalam hati manusia saat mendapatkan sesuatu yang tidak terduga, disertai dengan adanya cahaya di dalam hati yang memberikan ketentraman pada siapapun yang melihatnya, dah hal tersebut merupakan keyakinan berdasarkan penglihatan.[4] Dalam Bahasa Indonesia, sakinah diartikan sebagai ketenangan, kedamaian, kebahagiaan, dan ketentraman. Sehingga, dalam konteks pembahasan kita saat ini sakinah diartikan sebagai rasa tenang, tentram, dan damai yang ada di dalam hati manusia, yang menciptakan kebagiaan dan kerelaan dalam menjalani keadaan apapun dalam hidupnya.

Manusia pasti mengalami dinamika dalam kehidupannya. Terkadang, hidup terasa begitu membahagiakan. Dikelilingi orang tersayang, memiliki harta melimpah, pekerjaan yang mapan, dan kenikmatan-kenikmatan lainnya. Banyak manusia yang sellau mensyukuri nikmat-nikmat yang dia miliki sekecil apapun bentuknya. Tetapi, tidak sedikit dari mereka yang menjadi riya’, serakah, dan kufur ni’mat. Disamping itu, tidak jarang manusia mendapatkan cobaa atau musibah dan persoalan-persoalan hidup yang berat sehingga hati terasa begitu hampa, sengsara, sepi, dan sedih. Ada yang menjadikan cobaan tersebut sebagai jalan untuk mendekat kepada Allah ﷻ, ada juga yang menjadikan musibah tersebut sebagai pembentang jarak antara dia dengan Allah ﷻ. Berbagai cobaan atau musibah tersebut menggoyahkan ketenangan dan ketentraman dalam hati dan jiwa kita hingga kebanyakan manusia lupa bahwa semua cobaan bersifat sementara dan selalu mengandung pelajaran dibaliknya.

Ketenangan Hati

Dalam Islam, semua ajarannya ditujukan agar manusia mendapatkan kebahagiaan di dunia maupun akhirat. Kebahagiaan di dunia tersebut bisa dirasakan saat ada ketenangan dan ketentraman dalam hati dan jiwa. Ketenangan hati dapat diraih saat kita mengingat Allah ﷻ. Salah satu cara mengingat Allah ﷻ adalah dengan membaca, mendengarkan, dan mempelajari al-Qur’an.

Allah ﷻ berfirman,

الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah Hati menjadi tentram” (Q.S. Ar-Ra’d [13]: 28)

Ahmad Van Denffer membagi pendekatan terhadap al-Qur’an menjadi tiga tahapan. Pertama adalah dengan membaca atau mendengar. Yang kedua adalah dengan memahami, menghayati, dan mengkaji makna serta pesan yang ada dalam al-Qur’an. Terakhir adalah dengan mengimplementasikan makna dan pesan yang ada dalam al-Qur’an ke dalam kehidupan.  Berdasarkan ketiga tahapan tersebut, seseorang harus memahami makna al-Qur’an terlebih dahulu sebelum bisa mengamalkannya. Selain itu, memahami dan mengamalkan al-Quran berarti memahami dan mengamalkan ajaran dan tuntunan Allah.[5]

Hati manusia merasa tidak tenang karena dipenuhi oleh noda dan dosa yang mengotorinya. Bisa karena prasangka, duka yang terlalu berlarut-larut, iri, dengki, dan penyakit hati lainnya. Hati tersebut dapat kembali jernih dan bersih dengan cara mengingat Allah ﷻ melalui amal ibadah yang telah diajarkan kepada kita melalui al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad n. Sehingga dengan begitu, akan tercapai sakinah dalam hati dan jiwa manusia.

Semoga Allah ﷻ menjauhkan kita dari berbagai penyakit hati, dan mendapatkan sakinah dalam kehidupan. Amîn yâ rabbal ‘âlamîn.[]

Mutiara Hikmah

Dari Abbas bin Abdul Mutahalib, Rasulullah ﷺ bersabda,

ذَاقَ طَعْمَ الْإِيمَانِ مَنْ رَضِيَ بِاللهِ رَبًّا، وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا، وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولًا

“Akan merasakan nikmatnya iman, orang yang ridha Allah sebagai Rabnya, islam sebagai agamanya, dan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagai rasulnya.” (H.R. Muslim)

Marâji’:

[1] Kholil Lul Rohman, Terapi Penyakit Hati Menurut Ibn Taimiyah Dalam Perspektif Bimbingan Konseling Islam, dalam Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Vol. 03 No. 02, Tahun 2009

[2] As-Syarqawi, Nahwa Ilm an-Nafsi al-Islami, Mesir, al-Hai’ah al-Misriyah, 1979.

[3] KH. Ali Mustafa Yaqub, Kalau Istiqomah Nggak Bakal Takut Nggak Bakal Sedih, Jakarta : Noura

[4] A. M. Ismatullah, Konsep Sakinah, Mawaddah, Dan Rahmah Dalam Al-Qur’an (Perspektif Penafsiran Al-Qur’an Dan Tafsirnya), Dalam Jurnal Pemikiran Hukum Islam, Vol. XIV No. 01, Tahun 2015

[5] Muhammad Roihan Daulay, Studi Pendekatan Al-Qur’an, dalam Jurnal Thariqah Ilmiah, Vol. 01 No. 01, Tahun 2014

Download Buletin klik disini