Apakah Golput Dibenarkan dalam Islam?

Apakah Golput Dibenarkan dalam Islam?

Resdiyanti Permata Putri,

Alumni Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya UII.

 

Istilah golput selalu muncul mendekati hari-hari pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah. Golput atau golongan putih selalu diidentikkan dengan sikap cuek, apatis, atau tidak mau cawe-cawe dengan kondisi politik; akhirnya tidak memilih untuk berangkat ke TPS untuk mencoblos.[1] Alasan masyarakat untuk golput saat ini semakin beragam. Pertama, munculnya sikap apatis terhadap politik sehingga tidak mencari tahu dan tidak ingin mengetahui visi-misi serta kandidat-kandidat yang mencalonkan diri. Kedua, tidak memiliki pengetahuan tentang pelaksanaan pemilu.[2]

Apa Dampak Ketika Memilih untuk Golput?

Setidaknya terdapat dua kemungkinan yang akan terjadi. Pertama, pasangan calon dan partai dengan pendukung terbanyak yang visi misinya mungkin tidak relevan dengan kemajuan Indonesia dapat memenangkan pemilu. Hal ini tentunya akan merugikan masyarakat karena ketika kita tidak menggunakan hak suara dengan baik, maka sama saja kita membiarkan pemimpin zalim dan tidak amanah memimpin negeri. Akibatnya kebijakan-kebijakan yang diambil dapat bertentangan dengan syari’ah dan aspirasi-aspirasi masyarakat tidak dapat tersalurkan dengan baik.

Kedua, memberikan lampu hijau kepada kelompok-kelompok tertentu yang berkepentingan dalam politik. Jika masyarakat sudah terlanjur apatis terhadap politik, maka pejabat-pejabat yang terpilih untuk menduduki kursi legislatif dan eksekutif bisa saja menganggap bahwa tidak akan ada yang peduli apabila mereka merencanakan agenda tertentu. Alhasil, pemilu semakin terkesan negatif di kalangan masyarakat karena melahirkan pejabat-pejabat yang tidak amanah, yang padahal akar dari permasalahan itu sendiri adalah masyarakat yang acuh terhadap riwayat kepemimpinan dan kinerja para pejabat dan partai pengusungnya.[3]

Sebaiknya Seorang Muslim Menyikapi Pemilu

Meski Islam sendiri tidak mengatur secara pasti tentang pelaksanaan pemilu karena sejarah mencatat bahwa pemilihan-pemilihan khulafaurrasyidin dipilih melalui berbagai metode yang berbeda dan tidak sama dengan sistem yang saat ini dipraktikkan di Indonesia, namun sejatinya sejarah pun menyiratkan umat Islam untuk tidak apatis dan acuh dalam urusan pemilihan pemimpin. Dalam surat An-nisa ayat 58 Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil….”. (Q.S. an-Nisâ’ [4]: 58).

Secara tidak langsung, ayat tersebut menegaskan kita untuk wajib memilih pemimpin yang amanah. Jika dikaitkan dengan konteks pemilu, maka sebagai muslim sudah seharusnya kita tidak hanya berpikir bahwa kita berhak untuk memilih paslon yang menurut kita baik dari segi visi-misi hingga program-program kerjanya, namun kita juga berkewajiban untuk memberikan suara kepada paslon yang terbaik menurut kita. Menurut Tafsir Al-Nasafi, ayat tersebut bermakna perintah Allah bagi para hamba-Nya untuk dapat menjalankan amanah yang telah dibebankan kepada kita dengan sebaik-baiknya, termasuk amanah untuk memilih pemimpin[4].

Selain itu,  Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa pada Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia tentang Masa’il Asasiyah Wathaniyah atau masalah strategis kebangsaan yang diputuskan pada 26 Januari 2009 dengan judul Penggunaan Hak Pilih dalam Pemilihan Umum. Dalam ijtima’ tersebut salah satunya menyebutkan bahwa pemilihan umum merupakan usaha untuk memilih pemimpin yang dapat merealisasikan cita-cita bangsa sesuai aspirasi masyarakat. Kemudian isi fatwa juga  menyebutkan hukum bagi masyarakat yang tidak memilih pemimpin sesuai syarat-syarat syar’i atau tidak menggunakan hak pilih hukumnya haram. Meski terdapat pro-kontra pada kalangan ulama terkait fatwa ini, MUI sebetulnya hanya berupaya untuk menghindarkan masyarakat muslim dari golput dan mendorong masyarakat muslim untuk memilih pemimpin sesuai dengan ketentuan syar’i. Sebab adanya seorang pemimpin atau kepala negara menurut Ibnu Khaldun dapat diartikan sebagai khalifah, yang menggantikan peran Nabi dalam menjaga agama dan kesejahteraan rakyat[5].

Dalam literatur lain juga disebutkan bahwa keberadaan seorang pemimpin sangatlah penting. Al-Ghazali berpendapat memilih pemimpin atau kepala negara merupakan sebuah kewajiban yang tidak boleh terlupakan. Lebih lanjut Ibn Taimiyyah menganalogikan urgensi keberadaan sosok pemimpin bagi suatu negara dengan ungkapan “enam puluh tahun di bawah Sultan yang zalim lebih baik daripada satu malam tanpa Sultan”[6].

Dalam tingkatan kelompok terkecil sekalipun Islam sangat mewajibkan adanya seorang pemimpin. Disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abu Hurairah yang artinya “jika ada tiga orang bepergian, hendaknya mereka mengangkat salah seorang di antara mereka menjadi pemimpinnya.

Kriteria Pemimpin

Para ilmuwan terdahulu, seperti Al-Ghazali, Al-Mawardi, dan Abdul Qadim Zalum telah menjabarkan kriteria calon pemimpin ideal diantaranya muslim, berakal, sehat jasmani, adil, merdeka, memiliki integritas pribadi, bersih dari sifat tercela, serta memiliki kemampuan manajerial dalam mengatur dan mengelola kepentingan umum[7].

Sedangkan MUI menyatakan pemimpin yang baik diantaranya adalah beriman dan bertakwa, jujur/siddiq, terpercaya/amanah, aktif dan inspiratif/tabligh, mempunyai kemampuan/fathanah, serta memperjuangkan kepentingan umat Islam. Meskipun pada praktiknya tidak ada calon pemimpin yang seratus persen sesuai dengan kriteria ideal, Ibn Taimiyyah menganjurkan kita untuk memperhatikan dua syarat paling utama, yaitu kemampuan memimpin rakyat yang berpedoman pada keadilan dan ketaatan hukum serta amanah yang diwujudkan dengan adanya rasa takut kepada Allah, bukan kepada manusia.

Penutup

Pemilihan Umum (pemilu) merupakan upaya untuk memilih pemimpin negara dan kepala daerah. Dalam setiap pemilu, selalu ada sebagian masyarakat yang memilih untuk tidak menggunakan hak suara atau golput. Sebagai muslim yang baik, kita tidak seharusnya masuk dalam kelompok ini karena ajang pemilu dapat menentukan pemimpin seperti apa yang akan kita taati selama 5 tahun ke depan. Jika kita memilih pemimpin yang zalim atau memilih tidak menggunakan hak suara dan membiarkannya digunakan untuk pihak-pihak tertentu, sama saja kita mengkhianati amanah Allah terhadap kita. Jadi, apakah Anda yakin masih ingin menjadi kaum golput?

Marâji’:

[1] Anonim. “Apa Itu Golput dan Pengaruhnya Terhadap Politik Berintegritas” https://aclc.kpk.go.id/aksi-informasi/Eksplorasi/20230809-apa-itu-golput-dan-pengaruhnya-terhadap-politik-berintegritas. Diakses pada 1 Februari 2024.

[2] Sodikin. “Pemilihan Umum Menurut Hukum Islam” dalam Jurnal AHKAM: Jurnal Ilmu Syariah, Vol. 01 No.15, Tahun 2015. h. 59.

[3] Ibid.

[4] AM Mahmud. “Golput dalam Perspektif Islam” https://www.uin-suska.ac.id/blog/2017/02/14/golput-dalam-perspektif-islam-am-mahmud/. Diakses pada 1 Februari 2024.

[5] Munawir Syadzali. Islam dan Masalah Ketatanegaraan. Jakarta : UI Press. 1993. h. 102.

[6] Agus Halimi. “Pemilu dan Partisipasi Umat Islam” dalam Jurnal MIMBAR: Jurnal Sosial dan Pembangunan, Vol. 1 No.19, Tahun 2003. h.48-57.

[7] Ibid.

Download Buletin klik disini

Sikap Seorang Muslim Menghadapi Pemilu

Sikap Seorang Muslim Menghadapi Pemilu

Hamim Hasan Muslim

(Teknik Elektro 2023 FTI UII)

 

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh, waba’du.

Landasan Negara

Semenjak keruntuhan kekhalifahan Turki Utsmani, kaum muslimin terpecah menjadi negara-negara yang mayoritas muslim seperti saat ini. Negara-negara kecil yang tersebut kemudian memilih untuk menjalankan pemerintahannya sendiri. Ironisnya, kebanyakan dari negara negara tersebut sudah terdoktrin oleh kolonialisme yang dibawa oleh negara-negara eropa. Sistem pemerintahan yang akhirnya mereka jalankan tidak lagi berkiblat kearah Al-Qur’an dan Sunnah, tetapi mengadopsi pemikiran pemikiran yang mereka anggap lebih modern seperti sosialisme, liberalisme, bahkan sekuler.

Negara tercinta kita Indonesia menganut sistem yang sama. Namun dengan landasan berupa Pancasila dan UUD 1945. Dimana setiap kegiatan dan program yang dijalankan oleh pemerintahan dan rakyat harus berlandasakan dua hal tersebut. Hal ini diperkuat dengan dekrit kepresidenan pada tanggal 5 Juli 1959 oleh presiden Soekarno bahwa Indonesia adalah negara demokrasi terpimpin yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.

Sebagai seorang muslim percaya bahwa landasan sistem pemerintahan yang terbaik berdasarkan nilai-nilai ajaran Islam. Seperti pemerintahan Islam yang pertama kali dibangun dan didirikan oleh Rasulullah ﷺ adalah tatkala beliau menetap di kota Yasrib, yang dikenal dengan negara atau pemerintahan Madinah. Sistem pemerintahan yang telah dirintis oleh Rasulullah ﷺ adalah berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah.

Sikap Dalam Pemilu

Yusuf Qardhawi v menyebutkan dalam bukunya yang berjudul fiqih negara bahwa terdapat beberapa kubu dalam kaum muslimin dalam menyikapi masalah ini. Ada kubu yang menganggap bahwa sistem selain kekhalifahan tidak boleh diikuti oleh seorang muslim. Ada yang memilih untuk berjuang demi kaum muslimin. Bahkan terdapat kubu extrem yang mengharamkan dan menentang sistem selain khilafah dibawah Al-Qur’an dan Sunnah.[1]

Sikap dari kubu-kubu tersebut sebenarnya tidak sepenuhnya salah, tetapi juga tidak dapat dijatuhi sebagai sikap paling benar. Alasan utama yang membenarkan pemikiran tersebut antara lain adalah dalam sistem demokrasi Pancasila ini, suara seorang ulama yang disamakan dengan seseorang ahli maksiat. Padahal bobot suaranya seharusnya berbeda sekali. Jika kita melihat kebelakang pada zaman kekhalifahan Utsman, memang pada akhirnya dilakukan sebuah voting untuk menentukan pemimpin. Namun voting dan musyawarah tersebut hanya dilakukan oleh para sahabat yang dijamin masuk surga. Lewat pembenaran tersebutlah beberapa orang diantara kaum muslimin masih memilih untuk tidak berpartisipasi dalam pemilu.

Sebuah kaidah dalam ilmu fiqih berbunyi

إِذَا تَزَاحَمَتِ الْمَفَاسِدُ قُدِّمَ اْلأَخَفُّ مِنْهَا

Jika ada beberapa mafsadah (bahaya, kerusakan) bertabrakan, maka yang dipilih adalah mafsadah yang paling ringan.”[2]

Sistem pemilu memang tidak menggunakan sumber utama Al-Qur’an dan Sunnah sebagai landasan. Namun ketika hak memilih digunakan lalu terpilih pemimpin yang berintegritas, maka yang akan hadir adalah kemaslahatan. Sebaliknya, ketika hak suara kaum muslimin tidak digunakan, maka yang terjadi adalah terpilihnya pemimpin yang dapat merugikan kaum muslimin sendiri.

Dalam sebuah hadits juga dijelaskan tentang urgensi kepemimpinan dalam rombongan safar yang mempunyai akhlaq yang baik, akrab, dan punya sifat tidak egois. Juga mencari teman-teman yang baik dalam perjalanan. Adapun perintah untuk mengangkat pemimpin ketika safar adalah,

إِذَا كَانَ ثَلاَثَةٌ فِى سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوا أَحَدَهُمْ

Jika ada tiga orang keluar untuk bersafar, maka hendaklah mereka mengangkat salah satu di antaranya sebagai ketua rombongan.” (H.R. Abu Daud, no. 2609).[3]

Artinya terlepas dari sistem yang tidak sesuai dengan syariat Islam, tetap diperlukan sosok pemimpin bagi ummat ini. Bahkan Syaikh Yusuf Qardhawi dalam fiqih Negara juga menyebutkan bahwa taat pada pemimpin yang dzalim lebih dianjurkan daripada terjadi perpecahan dalam ummat.[4]

Pendapat Syaikh Yusuf Qarhawi tersebut berlandaskan pada kisah Nabi Harun yang memimpin Bani Israil ketika Nabi Musa pergi untuk menerima wahyu selama 40 hari. Dimana Samiri yang berada di tengah tengah Bani Israil mengajak mereka untuk menyembah patung sapi. Nabi Harun menentang hal tersebut, namun terjadi sebuah penolakan dari kalangan Bani Israil. Pada akhirnya, dengan berat hati Nabi Harun memutuskan untuk membiarkan Samiri melakukan kemusyrikannya di tengah tengah Bani Israil. Keputusan tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan bahwa jika kemaksiatan tersebut dibiarkan, maka Bani Israil akan tetap bersatu. Namun jika dilarang dengan paksa, maka akan terpecah belah. Dalam kondisi tersebut, persatuan jauh lebih diutamakan dibandingkan dengan perpecahan. Meskipun kondisi ummat tidak sesuai dengan standar keimanan.

Selain itu, sahabat Rasulullah ﷺ yang dijamin masuk surga Umar bin Al-Khattab juga pernah menyebutkan tentang hubungan antara ummat dengan pemimpin. Umar bin Al-Khattab berkata,

فَلَا دِينَ إِلَّا بِجَمَاعَةٍ، وَلَا جَمَاعَةَ إِلَّا بِإِمَامَةٍ، وَلَا إِمَامَةَ إِلَّا بِسَمْعٍ وَطَاعَةٍ

Tidak ada Islam melainkan jamaah (Bersatu), dan tidak ada jamaah kecuali dengan imamah (kepemimpinan), dan tidak ada kepemimpinan kecuali dengan keta’atan”. (H.R. Ad Darami, no. 257)[5]

Maknanya keislaman dalam diri seorang muslim tidak akan sempurna sampai dia ikut berjamaah Bersama kaum muslimin. Selanjutnya, dalam jamaah tersebut pastilah harus dimiliki seorang pemimpin. Kepemimpinan dalam ummat pun diperlukan dengan adanya keta’atan. Maka dapat disimpulkan bahwa pemimpin yang taat ditengah tengah ummat Islam adalah hal yang sangat penting terlepas dari sistem yang tidak sesuai syariat.

Islam adalah agama yang berlandasakan ilmu dan akal pikiran. Dalam konteks pemilu dengan sistem demokrasi pancasila ini, diperlukan sebuah pemikiran yang rasional dan membandingkan sikap mana yang paling baik.

Marâji’:

[1] Yusuf Qardhawi. Fiqih Negara. Jakarta: Robbani Perss. 2014 M. cet. ke-1.

[2] Admin. “Kaidah Ke-33: Jika Ada Kemaslahatan Bertabrakan, Maka Maslahat yang Lebih Besar Harus Didahulukan” https://almanhaj.or.id/4072-kaidah-ke-33-jika-ada-kemaslahatan-bertabrakan-maka-maslahat-yang-lebih-besar-harus-didahulukan.html. Diakses pada 27 Januari 2024.

[3] Admin Hidcom “Enam Dalil Memilih Pemimpin dalam Islam” https://hidayatullah.com/none/2016/03/22/91574/fiqh-kepemimpinan.html.Diakses pada 27 Januari 2024.

[4] Yusuf Qardhawi. Fiqih Negara. Jakarta: Robbani Perss. 2014 M. Cet. ke-1.

[5] Husein bin Muhammad bin Ali Jabir, M.A. Menuju Jama’atul Muslimin. Jakarta: Rabbani Perss. 2001 M. cet.ke-1.

Download Buletin klik disini

Hijrah Nan Berkah: Perbaikan Diri Dengan Spirit Qur‘ani

Hijrah Nan Berkah: Perbaikan Diri Dengan Spirit Qur‘ani

Agus Fadilla Sandi

Sekolah Tinggi Ilmu Ushuluddin Wadi Mubarak Bogor

 

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh, waba’du.

Pendahuluan

Sejatinya setiap orang mendambakan kehidupan yang berkah; kehidupan yang mendatangkan kebaikan dan kebermanfaatan.[1] Hanya saja tidak semua orang mengetahui upaya yang tepat dalam mewujudkan dambaannya tersebut. Kini, kita telah memasuki tahun baru, tentu semangat perubahan ke arah yang lebih baik kian menggebu. Tahun baru sering dinilai sebagai momen yang tepat untuk mengevaluasi pengalaman selama setahun yang lalu, sembari merencanakan hal yang lebih baik ke depan.

Islam senantiasa mendorong agar setiap orang memiliki semangat perbaikan dan mempersiapkan untuk masa depan. Allah ﷻ berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرٌۢ بِمَا تَعْمَلُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat). Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Hasyr [59]: 18).

Sayyid Quṭb dalam kitab Fi Ẓilāl al-Qur’ān menyatakan ayat di atas sebagai ungkapan yang luas, jauh melampaui kata-katanya. Tujuannya adalah agar setiap orang melihat apa yang telah dia lakukan untuk masa depannya.[2] Menyadari pentingnya akan hidup yang berkah dengan melakukan persiapan akan masa depan, maka hijrah termasuk amalan yang patut dilakukan. Sebab, berhijrah dapat menjadi bentuk refleksi dan kesempatan melakukan pembaruan diri.

Spiritualitas Qur’ani Memaknai Hijrah

Hijrah (الهجرة) dalam Al-Qur’an memiliki makna linguistik, yaitu meninggalkan dan berpisah; baik itu dengan tubuh, lisan, atau hati.[3] Terminologi hijrah juga sepadan dengan pengertian meninggalkan (الترك), memutus (القطيعة), dan atau keluar (الخروج). Meninggalkan berarti meninggalkan sesuatu di tempatnya tanpa kembali, atau pergi dari sesuatu. Memutus merupakan lawan dari menyambung, yaitu memisahkan diri dari sesuatu. Sedangkan keluar bermakna pergi dari suatu tempat ke tempat yang lain.[4]

Dalam Al-Qur’an terdapat dua pokok pikiran tentang hijrah; hijrah berpindah tempat dan hijrah mengubah amal. Pertama, hijrah tempat, yakni hijrah yang dilakukan seseorang untuk meninggalkan tempatnya yang semula berpindah ke tempat yang baru. Hijrah tempat ini lazim dilakukan dalam konteks, seperti: meninggalkan negeri kafir berpindah ke negeri muslim, meninggalkan tempat yang penuh praktik bid’ah beralih ke tempat yang dekat dengan amalan sunnah, dan berangkat ke suatu tempat untuk mencari karunia Allah ﷻ berupa ilmu maupun harta benda. Berkaitan hijrah tempat ini, Allah ﷻ berfirman,

هُوَ ٱلَّذِى جَعَلَ لَكُمُ ٱلْأَرْضَ ذَلُولًا فَٱمْشُوا۟ فِى مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا۟ مِن رِّزْقِهِۦ ۖ وَإِلَيْهِ ٱلنُّشُورُ

“Dialah yang menjadikan bumi untuk kamu dalam keadaan mudah dimanfaatkan. Maka, jelajahilah segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Hanya kepada-Nya kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (Q.S. Al-Mulk [67]: 15)

Kedua, hijrah perbuatan, yaitu hijrah dengan memutuskan suatu amalan dan beralih melakukan amal yang baru. Hijrah perbuatan ini penting untuk perkara, sebagai berikut: memutuskan perbuatan dosa dan beralih kepada amal saleh yang berpahala, memutuskan hubungan dengan orang-orang yang membawa mudarat dan beralih kepada orang-orang yang mendatangkan manfaat. Sekaitan hijrah perbuatan tersebut, Allah ﷻ berfirman,

وَٱصْبِرْ عَلَىٰ مَا يَقُولُونَ وَٱهْجُرْهُمْ هَجْرًا جَمِيلًا

“Bersabarlah (Nabi Muhammad) terhadap apa yang mereka katakan dan tinggalkanlah mereka dengan cara yang baik.” (Q.S. Al-Muzammil [73]: 10)

Strategi Hijrah Agar Hidup Berkah

Hidup yang berkah patut untuk diperjuangkan sebagaimana yang diajarkan dalam Al-Qur‘an. Hijrah membutuhkan strategi khusus supaya ikhtiar maju terus dan tidak terputus. Di antara inspirasi yang dapat diambil dalam mengatur strategi hijrah, antara lain: (1) senantiasa mengevaluasi diri (muhasabah) dengan bertanya, “Apakah amalanku bermanfaat untuk kehidupan akhirat?” (2) lakukan identifikasi hambatan yang selama ini mengganjal diri menjadi lebih baik! (3) tentukan target hijrah dalam makna tempat maupun perbuatan yang berpotensi menjadikan diri ini lebih baik di masa depan! (4) tata niat berbuat karena Allah, sesuaikan dengan amalan sunnah Rasulullah, seraya berharap menggapai rida Allah bukan justru mencari rida manusia.

Hijrah adalah perbuatan yang penuh tantangan. Dalam Al-Qur’an dikisahkan bagaimana beratnya hijrah Nabi Ibrahim yang harus meninggalkan ayah dan kaumnya karena menyekutukan Allah. Belum lagi lelahnya hijrah Nabi Musa dalam pengembaraan menuntut ilmu. Selain itu, bagaimana sulitnya perjalanan hijrah kaum muhajirin dan anshar. Kesemuanya itu membutuhkan pengorbanan yang besar, niat yang kuat, dan strategi yang tepat. Di balik beratnya cobaan berhijrah, selalulah berkeyakinan bahwa tidaklah Allah memberikan beban kehidupan pada seorang hamba, kecuali sesuai batas kemampuannya.

Penutup

Hijrah adalah sebuah tindakan besar yang penuh dengan kesulitan, kelelahan, dan pengorbanan. Tidak seorang pun dapat menjalankannya dengan benar kecuali mereka yang memiliki iman yang mengakar dalam hati mereka, dan keyakinan yang memenuhi jiwa mereka. Berhijrah penting dilakukan untuk menggapai hidup yang berkah. Tindakan ini dapat dengan mudah dilakukan ketika sesorang mengambil spirit dari Al-Qur’an.

Awal tahun baru ini hendaknya menjadi momentum perbaikan diri. Perbaikan dengan berhijrah agar kehidupan kita makin berkah. Hijrah dengan makna perpindahan ke tempat yang lebih baik maupun penggantian amal perbuatan yang lebih bermanfaat untuk kehidupan di dunia dan akhirat. Semoga Allah ﷻ memudahkan setiap ikhtiar kita dalam menunaikan hijrah nan berkah sebagai bentuk perbaikan diri dengan spirit Qur’ani. Wa Allâhu a’lam.[]

Marâji’:

[1] “Hasil Pencarian – KBBI VI Daring,” https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/berkah. Diakses pada Ahad, 7 Januari 2024.

[2] Sayyid Quṭb. Fi Ẓilāl al-Qur’ān. Al-Qāhira: Dār al-Shurūq – Bayrūt, 1992. h. 3531.

[3] Markaz Tafsīr lil-Dirāsāt al-Qur’āniyyah, Mawsū’at al-Tafsīr al-Mawḍū’ī li al-Qur’ān al-Karīm, Al-Ṭab’ah al-Ūlā. Ar-Riyāḍ: Markaz Tafsīr lil-Dirāsāt al-Qur’āniyyah, 2019. h. 87.

[4] Dirāsāt al-Qur’āniyyah. Mawsū’at al-Tafsīr al-Mawḍū’ī li al-Qur’ān al-Karīm. h. 88–89.

Download Buletin klik disini

Menjadi Lebih Baik dengan Resolusi 2024

Menjadi Lebih Baik dengan Resolusi 2024

Nizar Sadat

(Mahasiswa Pendidikan Agama Islam FIAI UII)

 

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Akhir tahun sering dikaitkan dengan resolusi untuk tahun yang akan datang dan refleksi yang dikaitkan dengan akhir tahun. Padahal sejatinya, refleksi dan resolusi bisa dilakukan di ujung malam sebeum tidur untuk refleksi, dan bangun tidur untuk resolusi di hari itu. Sebuah artikel yang ditulis oleh Hersfield berjudul future self-continuity: how conceptions of the future self transform intertemporal choice[1] di dalam artikel ini tertulis bahwa seseorang yang dapat melihat dan merencanakan sesuatu tentang dirinya di masa depan bisa dibayangkan seperti sedang melihat orang asing dan berjalan semakin jauh. Maka dari itu, jika kita memiliki tujuan yang telah direncakana dari jauh hari, maka kita juga yang perlu menanamkan hal itu pada diri kita agar tetap konsisten melakukan aksi untuk mencapai tujuan yang sudah direncanakan.

Lantas apakah resolusi ini perlu?

Sebagai manusia penting memiliki resolusi untuk menjadi lebih baik dari tahun sebelumnya merupakan suatu tujuan yang perlu dilakukan, dan bukan suatu kerugian. Sebagaimana firman Allah ﷻ dalam al-Qur’an, 

إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا۟ مَا بِأَنفُسِهِمْ ۗ

“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (Q.S. ar Ra’d [13]: 11)

Dari firman diatas, Allah ﷻ sudah memberikan kunci bahwa jika ingin merubah maka harus dari diri sendiri yang bisa merubah itu. Awal tahun adalah momentum untuk seseorang memulai hari dengan harapan yang lebih baik dari tahun yang sudah dilalui, sering kali manusia sudah memikirkan apa saja yang akan dilakukan di tahun yang akan datang.

Cobalah untuk membuat resolusi di awal tahun 2024 dengan hal-hal yang sudah dilakukan sebelumnya agar semakin berkembang dengan baik. Maka dari itu ada beberapa hal yang perlu dilakukan untuk menjadi seorang muslim yang bermanfaat untuk dunia akhirat sehingga dapat menjalankan tahun 2024 menjadi lebih baik dari tahun tahun sebelumnya.

  1. Memperdalam Iman dan Taqwa

Dari Abu Dzar Jundub bin Junadah Al-Ghifari dan Abu Abdirrahman Muadz bin Jabal Al-Anshari c bahwasannya Rasulullah ﷺ bersabda,  

اِتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ.

Bertakwalah kepada Allah di mana pun engkau berada; iringilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik, maka kebaikan akan menghapuskan keburukan itu; dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik.” (H.R. at-Tirmidzi, no.1987)[2]

Jadikanlah tahun ini sebagai momentum untuk memperbaiki diri, memperdalam iman dan taqwa, karena keimanan dan ketaqwaan adalah identitas sejati seorang muslim dan sebaik-baiknya bekal di dunia dan akhirat.

  1. Meningkatkan Kualitas Ibadah

Sebagai seorang hamba tentu harus memiliki komitmen untuk meningkatkan kualitas ibadah, dimulai dari shalat, membaca Al-Qur’an, dan ibadah lainnya. Mulailah dengan target harian yang bisa dilakukan dan tidak berat, karena yang terpenting adalah istiqamah.

Dari ’Aisyah x, beliau mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,

أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ

Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walaupun itu sedikit.” ’Aisyah pun ketika melakukan suatu amalan selalu berkeinginan keras untuk merutinkannya.” (H.R. Muslim, no. 783)[3]

  1. Bersedekah

Dari Abu Dzar, dia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda,

تَبَسُّمُكَ فِى وَجْهِ أَخِيكَ لَكَ صَدَقَةٌ

Senyummu di hadapan saudaramu (sesama muslim) adalah (bernilai) sedekah bagimu.” (H.R. at-Tirmidzi, no. 1956)[4]

Jika pada tahun sebelumnya merasa kurang dalam hal bersedekah, maka mulailah dengan bersedekah di tahun ini dengan sedekah yang paling sederhana, bisa dimulai dengan berbuat baik kepada manusia, tersenyum kepada sesama manusia, sisihkan sebagian harta untuk sedekah dan lain-lain.

  1. Menjauhi Larangan Allah

Dari Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ bersabda,

سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ، وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِيْنَ مَنْ قَبْلَكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلاَفُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ.

Aku telah mendengar Rasulullah  bersabda, “Apa saja yang aku larang, maka jauhilah. Dan apa saja yang aku perintahkan, maka kerjakanlah semampu kalian. Sesungguhnya yang telah membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah banyak bertanya dan menyelisihi perintah nabi-nabi mereka.” (H.R. al-Bukhari, no. 7288 dan Muslim, no. 1337)

Dari hadits diatas, sudah seharusnya sebagai manusia meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah ﷻ dan Nabi ﷺ, jika ditahun sebelumnya masih banyak mengerjakaln hal yang menyebabkan dosa, maka di tahun ini perlu memiliki tekad untuk meninggalkan dan tidak mendekatinya.

  1. Menjadi Pribadi yang Baik

Dari Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah ﷺ bersabda,

المؤْمِنُ يَأْلَفُ وَيُؤْلَفُ وَلاَ خَيْرَ فِيْمَنْ لاَ يَأْلَفُ وَلاَ يُؤْلَفُ وَخَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ

Seorang mukmin itu adalah orang yang bisa menerima dan diterima orang lain, dan tidak ada kebaikan bagi orang yang tidak bisa menerima dan tidak bisa diterima orang lain. Dan sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (H.R. Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Awsath, no. 5949).[5]

  1. Lebih Bertanggung Jawab Terhadap Lisan dan Perbuatan

Allah ﷻ berfirman,

لَا خَيْرَ فِى كَثِيرٍ مِّن نَّجْوَىٰهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَٰحٍۭ بَيْنَ ٱلنَّاسِ ۚ وَمَن يَفْعَلْ ذَٰلِكَ ٱبْتِغَآءَ مَرْضَاتِ ٱللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا

Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.” (Q.S. An-Nisa’ [4]: 114)

Dari firman Allah ﷻ diatas, menjaga lisan adalah suatu kewajiban bagi setiap manusia, jadikan tahun ini menjadi tahun nol dalam ingkar janji, dan lengkapi dengan segala perbuatan baik.

Dari beberapa poin yang sudah disebutkan diatas, semoga bisa menjadi langkah awal untuk menjadi lebih baik di tahun 2024. Jadikan resolusi di tahun 2024 ini menjadi semangat dan istiqamah kita menjadi muslim yang lebih baik dan berguna bagi banyak orang.

Marâji’:

[1] Hersfield.  “Future self-continuity: how conceptions of the future self transform intertemporal choice.” 2011. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3764505/. Dikases pada 9 Januari 2024 M.

[2] Hadits Arba’in ke 18, hadits ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi ia mengatakan haditsnya ini hasan dalam sebagian naskah disebutkan bahwa hadits ini hasan shahih. (at-Tirmidzi, no. 1987 dan Ahmad, 5:153. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan). Muhammad Abduh Tuasikal. “Takwa, Mengikutkan Kejelekan dengan Kebaikan, dan Berakhlak Mulia” https://rumaysho.com/19209-hadits-arbain-18-takwa-mengikutkan-kejelekan-dengan-kebaikan-dan-berakhlak-mulia.html. Dikases pada 9 Januari 2024 M.

[3] Diriwayatkan oleh Muslim, no. 783, kitab shalat para musafir dan qasharnya, Bab Keutamaan amalan shalat malam yang kontinu dan amalan lainnya. Sumber https://rumaysho.com/550-di-balik-amalan-yang-sedikit-namun-kontinu.html. Dikases pada 9 Januari 2024 M.

[4] Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, no. 1956, Ibnu Hibban, no. 474 dan 529, dll, dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban, dan dinyatakan hasan oleh at-Tirmidzi dan syaikh al-Albani dalam “ash-Shahihah”, no. 572. Abdullah Taslim. “Keutamaan Tersenyum di Hadapan Seorang Muslim” https://muslim.or.id/3421-keutamaan-tersenyum-di-hadapan-seorang-muslim.html. Dikases pada 9 Januari 2024 M.

[5] Diriwayatkan oleh Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Awsath, no. 5949. Syaikh Al-Albani menghasankan dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 426). Sumber https://rumaysho.com/21196-raihlah-pahala-besar-dalam-amalan-mutaaddi.html. Dikases pada 9 Januari 2024 M.

Download Buletin klik disini

Menyelami Target Hidup

Menyelami Target Hidup

Nur Laelatul Qodariyah

(Alumni Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia)

 

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Setiap menit detik yang kita lewati mempunyai harapan maupun target yang akan kita tempuh di masa depan, begitu halnya target baru di awal tahun 2024. Oleh sebab itu menyelami target hidup di tahun 2024 adalah sesuatu hal yang perlu kita perbaharui. Tujuan utama kita hidup di dunia adalah beribadah hanya kepada Allah ﷻ, dengan berbagai aksesoris untuk mengekspor segala sesuatu yang telah diciptakan oleh Allah ﷻ.

Capek, lelah, dan semisalnya itu wajar karena dunia itu tidak ada apa-apanya. Isinya tidak melulu senang saja. Kesenangan disini hanyalah sementara. Kaya maupun miskin semua rasa itu sama nikmatnya, tidak ada bedanya. Kalau laper ya makan pasti rasanya nikmat walaupun makan nasi doang tidak ada bedanya dengan orang lain. Sama halnya dengan target dan harapan setiap orang, tidak ada bedanya. Semua orang di dunia ini diberi kesempatan untuk menggapai target maupun cita-citanya selagi berusaha dan berikhtiar. Oleh sebab itu setidaknya ada beberapa cara agar target yang kita perjuangkan bisa lebih matang lagi.

Berjuang Tanpa Harus Berisik

Mimpimu adalah bentuk caramu berfikir, bertindak dan mengelola. Oleh sebab itu tidak perlu memberitahukan mimpimu kepada orang lain. Suatu hal yang perlu kita jaga, Fokus dengan apa yang menjadi impian kita tidak perlu koar-koar tentang apa yang akan kita lakukan. Karena tidak semua orang senang dengan pilihan kita. Hancurlah sendiri Ketika gagal, jatuhlah sejatuh jatuhnya, libatkan Allahﷻ Ketika kau ingin memulai sesuatu. Jangan libatkan orang lain jika kau ragu dengan apa yang akan kau pilih. Karena orang lain tidak peduli dengan apa yang kita lakukan. Orang hanya akan melihat hasilnya tapi berbeda dengan Allah ﷻ yang selalu melihat dan menemani hambanya dalam setiap proses yang ditempuh.

Allah ﷻ berfirman,

هُوَ ٱلَّذِى جَعَلَ لَكُمُ ٱلْأَرْضَ ذَلُولًا فَٱمْشُوا۟ فِى مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا۟ مِن رِّزْقِهِۦ ۖ وَإِلَيْهِ ٱلنُّشُورُ

“Dialah yang menjadikan bumi untuk kamu yang mudah dijelajahi, maka jelajahi lah di segala penjurunya dan makanlah Sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (Kembali setelah) dibangkitkan” (Q.S. Al-Mulk [67]: 15).

Ingatlah selalu tentang janji Allah ﷻ, libatkan semua urusanmu, jika ingin nangis menangislah. Allah ﷻ yang menciptakanmu tidak mungkin meninggalkanmu. Mustahil Allah ﷻ meninggalkanmu kalau kau sendiri berusaha untuk dekat dengan-Nya. Ingat! Love Language Allah ﷻ itu berbeda dengan hambanya. Bisa jadi rasa sakitmu saat ini merupakan tanda kasih sayang-Nya. Setiap manusia yang lahir di muka bumi ini telah Allah ﷻ urus rezekinya.

Mengejar Sesuatu Tidak Harus Berlari

Mengejar tidak harus berlari, mencapai sesuatu tidak harus sekarang, semua orang mempunyai porsinya masing-masing. Targetmu saat ini simpan dan kejar semaksimal mungkin. Tidak usah takut karena mencoba itu tidak ada batasnya. Allah ﷻ sendiri yang akan mengaturnya untukmu. Jika memang kamu belum dapatkan dengan apa yang kamu inginkan. Itu tandanya memang bukan disitu tempatmu. Karena yang baik buat kamu belum tentu baik di mata Allah ﷻ

Rasulullahﷺ bersabda,

مَنْ أَنْعَمَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْهِ نِعْمَةً فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُحِبُّ أَنْ يُرَى أَثَرُ نِعْمَتِهِ عَلَى خَلْقِهِ وَقَالَ رَوْحٌ بِبَغْدَادَ يُحِبُّ أَنْ يَرَى أَثَرَ نِعْمَتِهِ عَلَى عَبْدِهِ.

“Barangsiapa telah diberi nikmat oleh Allah, sesungguhnya Allah lebih suka tanda nikmatnya diperlihatkan kepada makhluknya. Rauh di Baghdad berkata, Tanda nikmatnya lebih suka diperlihatkan kepada hambanya” (H.R Ahmad, no.19087).[1]

Untuk Bisa Didengar Orang Tidak Perlu Berteriak

Ini saatnya kita untuk merubah mindset, tidak perlu mengemis-ngemis kepada orang lain. Apalagi berteriak agar bisa didengar orang lain. Usaha dan pertolongan akan datang kepada hambanya sekalipun ia tidak meminta. Manusia itu tempatnya kecewa, sebaik apapun pasti ada rasa untuk meminta timbal balik. Berbeda dengan Allah ﷻ, ketika Allah menjadikan segala yang ada di muka bumi ini seluruhnya untuk manusia.

Allah ﷻ berfirman,

هُوَ ٱلَّذِى خَلَقَ لَكُم مَّا فِى ٱلْأَرْضِ جَمِيعًا

Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu.” (Q.S. al Baqarah [2]: 29).

Sebuah ungkapan yang romantis hubungan antara tuhan dan hambanya jika hambanya bisa lebih dekat kepada sang penciptanya. Menjaga hubungan dengan sesama manusia memang penting namun menjaga hubungannya dengan Allah ﷻ jauh lebih penting.[2]  oleh sebab itu, Jaga keyakinanmu dengan Allah ﷻ disaat yang lain sibuk oleh duniannya sehingga melalaikan perintah-Nya.

Berhenti Untuk Berfikir Secara Berlebihan

Ingat sepotong besi bisa rusak karena karatnya sendiri, begitu halnya dengan manusia yang akan rusak dengan pikirannya sendiri. Berfikir tentang kecemasannya, masa depannya. Semua itu ada prosesnya masing-masing. Yang perlu kita lakukan adalah tenangkan ada Allah ﷻ yang senantiasa bersama kita. Kita perlu koneksi? Maka mintalah kepada Allah ﷻ satu-satunya koneksi yang kau dapatkan sehingga kau bisa terhubung dengan orang-orang yang bisa membantu kita. Bantuan itu datangnya dari Allah ﷻ lewat orang lain.

Allah ﷻ berfirman,

قَالَ مُوسَىٰ لِقَوْمِهِ ٱسْتَعِينُوا۟ بِٱللَّهِ وَٱصْبِرُوٓا۟ ۖ إِنَّ ٱلْأَرْضَ لِلَّهِ يُورِثُهَا مَن يَشَآءُ مِنْ عِبَادِهِۦ ۖ وَٱلْعَٰقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ

“Musa berkata kepada kaumnya, “Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah. Sesungguhnya bumi (ini) milik Allah; diwariskan-Nya kepada siapa saja yang dia kehendaki diantara hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan (yang baik) adalah bagi orang-orang yang bertakwa.”  (Q.S. Al-A’raf [7]: 128).

Oleh sebab itu segala sesuatu yang berlebihan tidak baik. Termasuk memikirkan masa depan yang tidak ada habisnya. Karena masa depanmu adalah pilihanmu hari ini. Allah ﷻ tidak mungkin menghalang-halangi sesuatu yang baik. Namun kamu perlu memahami bahasa cinta dari tuhan kepada hambanya. Agar kamu tidak salah paham dengan keputusan dan takdir yang Allah ﷻ tetapkan untukmu. Wa Allâhu a’alam.

[1] Ensiklopedi Hadits, “H.R Ahmad no. 19087” Isnad Shahih menurut Syu’aib al-Arna’uth

[2] Fauzan Hidayat, “Hubungan Antara Seorang Hamba Dengan Rabb Dan Sesama Manusia” dikutip dari muslim.or.id, diakses pada hari senin, 8 Januari 2024

Download Buletin klik disini

Mengenali Diri Cara Terbaik Mengawali Tahun Yang Baru

Mengenali Diri Cara Terbaik Mengawali Tahun Yang Baru

Imaduddin Fadhlurrahman*

*Pengajar di Rumah Quran Liwaul Haq

 

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh, waba’du.

Pergantian tahun selalu identik dengan resolusi. Sebuah upaya untuk mewujudkan keingingan dan harapan yang hendak ingin dicapai di masa yang akan datang. Resolusi juga dapat berarti sebuah upaya pembaharuan diri demi menjadi manusia dengan versi yang lebih baik daripada sebelumnya. Mewujudkan kebiasaan yang baik dan meninggalkan kebiasaan yang buruk. Sebuah ungkapan yang familiar dan tidak asing terdengar yaitu ‘hari ini harus lebih baik daripada hari kemarin’.

Pesan dengan nada optimisme dalam pepatah tersebut ingin menyampaikan bahwa kita sebagai manusia harus selalu all out dan total dalam menjalani kehidupan di setiap harinya. Tidak hanya tergantung pada momen-momen tertentu saja. Artinya kita perlu untuk melakukan evaluasi atas apa yang sudah dikerjakan di hari kemarin. Bukan hanya mengacu satu tahun perjalanan kehidupan. Melainkan jauh lebih baik dan bijak jika itu dilakukan setiap hari.

Syeikh Ibnu Atho’illah dalam kitabnya yang berjudul Al-Hikam menuliskan ‘man asyraqat bidayatuhu, asyraqat nihayatuhu’ yang berarti ‘barangsiapa yang permulaannya baik, maka nanti hasil akhirnya juga akan naik’. Oleh karena itu, dalam memulai hari, selalu upayakan memulainya dengan hal-hal baik.[1]

Memulai tahun yang baru dengan membentuk dan menyusun resolusi merupakan ikhtiar untuk mengawali tahun dengan hal-hal yang baik. Namun, yang paling penting ialah tidak menggantungkannya hanya pada momen-momen tertentu semata. Sebagai seorang muslim, kita punya keyakinan bahwa setiap harinya harus diawali dengan permulaan yang baik.

Tidak Bergantung Momen

Jikalau kita hanya menggantungkan momen pergantian tahun baru untuk menjadi versi yang lebih baik dari kemarin sungguh kita termasuk merugi. Bukankah Allah ﷻ senantiasa turun dari Arsy ke langit dunia di waktu yang telah ditetapkan untuk memberikan seruan ilahi kepada hamba-Nya.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ bersabda,

يَتَنَزَّلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ يَقُولُ مَنْ يَدْعُونِى فَأَسْتَجِيبَ لَهُ ، مَنْ يَسْأَلُنِى فَأُعْطِيَهُ ، وَمَنْ يَسْتَغْفِرُنِى فَأَغْفِرَ لَهُ.

Rabb kita tabaraka wa ta’ala turun setiap malam ke langit dunia hingga tersisa sepertiga malam terakhir, lalu Dia berkata: ‘Siapa yang berdoa pada-Ku, aku akan memperkenankan doanya. Siapa yang meminta pada-Ku, pasti akan Kuberi. Dan siapa yang meminta ampun pada-Ku, pasti akan Kuampuni’.” (H.R. al-Bukhari, no. 6321 dan Muslim, no. 758).

Tidaklah keliru apabila membuat resolusi tiap kali tahun berganti. Namun, hal itu harus dibarengi dengan upaya dari kita untuk terus berbenah dari hari ke hari untuk menjadi manusia yang lebih baik.

Kita tidak boleh memiliki pikiran bahwa anugerah Allah ﷻ akan datang bersamaan tibanya momen-momen khusus seperti tahun baru. Jika momen tertentu datang, kita akan menjadi semangat, tekun dan penuh harapan. Sebaliknya, jika momen itu tidak kunjung datang, kita akan tetap malas, lemah, dan putus harapan. Cara pandang seperti ini keliru dan tidak boleh bagi seorang muslim.

Manakala kita senantiasa berprasangka baik atas diri kita dalam memandang masa depan, maka Allah ﷻ akan senantiasa bersama kita. Sebagaimana Rasulullah ﷺ bersabda, dari Abu Hurairah dia berkata, Nabi ﷺ bersabda,

يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى: أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ في نَفْسِي وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلأٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلأٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَىَّ بِشِبْرٍ تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَىَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ بَاعًا وَإِنْ أَتَانِي يَمْشِي أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً.

Allah Ta’ala berfirman, ‘Aku tergantung persangkaan hamba kepadaKu. Aku bersamanya kalau dia mengingat-Ku. Kalau dia mengingatku pada dirinya, maka Aku mengingatnya pada diriKu. Kalau dia mengingatKu di keramaian, maka Aku akan mengingatnya di keramaian yang lebih baik dari mereka. Kalau dia mendekat sejengkal, maka Aku akan mendekat kepadanya sehasta. Kalau dia mendekat kepada diri-Ku sehasta, maka Aku akan mendekatinya sedepa. Kalau dia mendatangi-Ku dengan berjalan, maka Aku akan mendatanginya dengan berlari.” )H.R. al-Bukhari, no. 7405 dan Muslim, no. 2675).[2]

Mengenali Diri

Sungguh mengesankan apabila kita terus menata diri dari waktu ke waktu. Melakukan upaya perbaikan dan pembaruan merupakan salah satu bentuk nyata untuk mengaktualisasikan diri kita. Aktualisasi diri (self actualization) merupakan upaya mencapai kebutuhan dengan menggunakan semua kemampuan yang dimiliki. Artinya aktualisasi diri merupakan kemampuan seseorang untuk menjadi versi terbaik dari dirinya.

Syeikh Al-Ghazali mengatakan jika aktualisasi diri terbaik dimulai dengan mengenali diri sendiri. Dalam kitabnya yang berjudul Kimiya’u al-Sa’adah, Al-Ghazali berkata ‘Sesiapa saja yang mengenal dirinya, dialah yang akan meraskan kebahagiaan yang sejati.’ Kuncinya adalah mengenali diri sendiri.[3]

Tentu saja dalam upaya mengenali diri sendiri, kita harus melihatnya dengan menggunakan bingkai agama. Sangat ironi apabila kita ingin memulai lembaran baru dan kehidupan yang lebih baik tapi tidak menghadirkan Allah ﷻ yang senantiasa membentangkan sayap-sayap cinta dan kerinduan.

Sesungguhnya perjalanan kita sebagai manusia menunjukkan bahwa Allah ﷻ yang menciptakan kita semata-mata untuk memuliakan-Nya, bukan untuk merendahkan-Nya. Sebagaimana Allah ﷻ berfirman,

وَلَقَدْ مَكَّنَّٰكُمْ فِى ٱلْأَرْضِ وَجَعَلْنَا لَكُمْ فِيهَا مَعَٰيِشَ ۗ قَلِيلًا مَّا تَشْكُرُونَ. وَلَقَدْ خَلَقْنَٰكُمْ ثُمَّ صَوَّرْنَٰكُمْ ثُمَّ قُلْنَا لِلْمَلَٰٓئِكَةِ ٱسْجُدُوا۟ لِءَادَمَ فَسَجَدُوٓا۟ إِلَّآ إِبْلِيسَ لَمْ يَكُن مِّنَ ٱلسَّٰجِدِينَ.

Dan Sungguh, Kami telah menempatkanmu di bumi dan di sana Kami sediakan sumber penghidupan untukmu. Tapi, sedikit sekali kamu bersyukur. Dan sungguh Kami telah menciptakanmu, lalu membentuk tubuhmu, kemudian Kami berfirman kepada para malaikat, “Bersujudlah kamu pada Adam.” (Q.S. Al-A’raf [7]: 10-11)[4].

Agama merupakan asupan makanan bagi jiwa kita untuk senantiasa menjaga kelangsungan hidup dan eksistensi sebagai seorang muslim. Maka, di tahun yang baru ini, kita harus lebih mengenal diri kita. Dengan begitu kita akan mengerti untuk apa Allah menciptakan kita di dunia. Tentu dengan senantiasa menghidupkan ajaran-ajaran Islam dalam setiap upaya mengenali tersebut. Karena sebagai seorang muslim kita punya keyakinan bahwa semua kesempatan adalah waktu terbaik untuk terus memperbaiki dan memperbarui diri.

Marâji’:

[1] M. Hilmy Daffa “Resolusi Tahun Baru; Momentum Aktualisasi Diri”. https://mading.id/perspektif/resolusi-tahun-baru-momentum-aktualisasi-diri/. Diakses 29 Desember 2023

[2] Muhammad Al-Ghazali. Perbarui Hidupmu Petunjuk Islam Untuk Hidup Lebih Tentram dan Bahagia, Terj. Taufik Dimas dan Zaenal Arifin. Jakarta: Zaman, 2013.

[3] Fahruddim Faiz. Filsafat Kebahagiaan Dari Plato, via al-Farabi dan Al-Ghazali, Sampai Ki Ageng Suryomentaram Bandung: Mizan, 2023.

[4] Muhammad Al-Ghazali. Perbarui Hidupmu Petunjuk Islam Untuk Hidup Lebih Tentram dan Bahagia, Terj. Taufik Dimas dan Zaenal Arifin. Jakarta: Zaman, 2013.

Download Buletin klik disini

Belajar Menata Hati Untuk Resolusi 2024 Lebih Baik

Belajar Menata Hati Untuk Resolusi 2024 Lebih Baik

Nur Laelatul Qodariyah

(Alumni Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia)

 

Tahun baru 2024 sudah didepan mata, yang berarti perjalanan 2023 dari awal Januari sampai pada penghujung tahun ini menjadi perhatian bagi kita untuk menelisik lebih jauh, apakah masih ada terselip rasa kekecewaan atau kesalahan sehingga membawa kita larut dalam kesedihan hingga saat ini. Sehingga manusia perlu mengoreksi dan menata hati agar tidak mudah tersesat pada sesuatu yang belum tercapai.  Padahal menata hati adalah salah satu hal yang penting bagi manusia untuk menjaga kestabilan emosi, kestabilan hati agar tidak condong pada hal-hal yang diluar daripada kendali manusia.

Dari Abdullah bin ‘Amr dia berkata, ditanyakan kepada Rasulullah ﷺ,

أَىُّ النَّاسِ أَفْضَلُ قَالَ، كُلُّ مَخْمُومِ الْقَلْبِ صَدُوقِ اللِّسَانِ‏.‏ قَالُوا صَدُوقُ اللِّسَانِ نَعْرِفُهُ فَمَا مَخْمُومُ الْقَلْبِ قَالَ، هُوَ التَّقِيُّ النَّقِيُّ لاَ إِثْمَ فِيهِ وَلاَ بَغْىَ وَلاَ غِلَّ وَلاَ حَسَدَ‏.‏

“Manusia macam apakah yang paling mulia?” beliau menjawab, “Setiap (pemilik) hati yang selamat dan selalu jujur dalam bertutur kata. Mereka (para sahabat) berkata, “Jujur dalam bertutur kata telah kami ketahui, lantas apakah maksud dari hati yang selamat?” beliau bersabda, “Hati yang bertakwa dan bersih, yang tidak ada dosa dan kezaliman padanya, serta tidak ada iri dan dengki.(H.R Ibnu Majah, no.4206).[1]

Menata hati tidak pernah terlepas dari bagaimana kualitas hati itu sendiri. Tidak mudah untuk menundukan, mengelola, memahami konteks hati dalam segi luarnya saja. Karena menata hati itu sifatnya internal. Sehingga hal-hal yang diluar kendali kita yang sifatnya (eksternal) tidak bisa kita kendalikan. Seperti halnya dengan omongan orang lain terhadap kita. Kita tidak bisa mengendalikan omongan negatif dari orang lain, yang bisa kita kontrol adalah perasaan kita sendiri saat ada terjangan atau perlakuan buruk dari orang lain.

Dikutip dari Jurnal Al-Basirah tentang hubungan rohani dengan insan kemudian diperinci oleh Al-Sarrāj, jika seorang hamba sedang sujud, maka hati ini tidak boleh ada sesuatu selain Allah ﷻ, karena saat sujud hamba dengan tuhan lebih dekat, sehingga menata hati untuk benar-benar ridho dan pasrah kepada Allah ﷻ, merupakan salah satu ikhtiar dalam mengelola hati untuk tunduk walaupun ada sesuatu yang mengahalanginya.[2]

Namun bagaimana caranya agar kita mulai menata hati ini agar tidak terpenjara oleh perasaan kecewa pada dunia yang belum bisa kita dicapai, setidaknya ada beberapa cara yang bisa dilakukan agar kita mulai menata hati ditahun baru 2024 yaitu;

Berfikir realistis tidak banyak halusinasi

Berfikir merupakan salah satu kebutuhan agar manusia lebih berkembang, namun membayangkan sesuatu tanpa ada usaha itu juga suatu kebodohan, boleh berharap namun jangan berlebihan apalagi sampai menggantungkan sesuatu itu kepada manusia. Sebenarnya inilah sumber dari kecewanya hati yaitu menggantungkan sumber kebahagiaan kita pada seseorang. Apakah kita pernah sadar setiap kali kebahagiaan itu digantungkan kepada seseorang contohnya teman, pasti kita akan diuji dengan kecintaan kita kepada makhluk. Sehingga tidak pantas seorang hamba mempunyai rasa kepemilikan kepada makhluk.

Allah ﷻ berfirman,

وَإِلَىٰ رَبِّكَ فَٱرْغَبْ

“Dan hanya kepada Tuhanmulah engkau berharap” (Q.S. asy-Syarh [94]: 8).

Dari ayat diatas sudah jelas dan padat bahwasanya berharap itu hanya boleh kepada Allahﷻ saja selain daripada itu sudah jelas akan menimbulkan kekecewaan. Sama halnya dengan Seorang hamba yang sedang memperbaiki hidupnya atau mulai berhijrah pasti banyak sekali cobaan. Terutama tentang kemantapan hati. Apalagi hidup diakhir zaman ini. Dimana dunia digital menjadi sarana dan sumber informasi trend, gaya. Semua itu perlu kita jaga. Apalagi trend yang membuat kita jauh dari Allah ﷻ, sulitkan?. Siapa bilang itu mudah. Menjauhi sesuatu yang banyak sekali peminatnya padahal jelas-jelas trend itu mengandung unsur haram atau dilarang dalam agama. Pembaca pasti paham contoh-contohnya sekarang ini. Dibalik larangan tersebut Allah ﷻ sedang menyiapkan reward yang sangat luar biasa bagi hamba-hambanya yang tetap istiqomah untuk memperbaiki diri apalagi menghindari sesuatu yang jelas-jelas haram.

Berpikir jernih sebelum bertindak

Dalam menerapkan pola untuk lebih mudah menata hati agar tidak mudah layu, sebelum bertindak alangkah lebih baik untuk berfikir menggunakan akal sebelum melakukan sesuatu. Apabila dalam posisi marah, maka lebih baik berdiam diri sejenak dan tidak perlu langsung memutuskan sesuatu berdasarkan perasaaan yang kita rasakan akibat dari orang yang telah melukai kita.

Allah ﷻ berfirman,

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِۦ عِلْمٌ ۚ إِنَّ ٱلسَّمْعَ وَٱلْبَصَرَ وَٱلْفُؤَادَ كُلُّ أُو۟لَٰٓئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔولًا

“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (Q.S al-Isra’ [17]: 36).

Dari ayat diatas dapat dipahami bahwa, semua yang berasal dari tindakan merupakan sumbernya dari hati. Jika hati sudah tertata maka tindakan yang akan diperlihatkan juga akan mengikutinya.

Menerima kenyataan

Dari Abu Umamah dari Nabi ﷺ, beliau bersabda, Allah ﷻ berfirman,

يا ابْنَ آدَمَ إِنْ صَبَرْتَ وَاحْتَسَبْتَ عِنْدَ الصَّدْمَةِ الْأُولَى لَمْ أَرْضَ لَكَ ثَوَابًا دُونَ الْجَنَّةِ

“Hai anak Adam, jika kamu bersabar dan ikhlas saat tertimpa musibah, maka aku tidak akan meridhai bagimu sebuah pahala kecuali surga.” (H.R. Ibnu Majah, no.4206).[3]

Kunci dari ketenangan hati ialah mau menerima. Menerima gagal maupun berhasil pada sesuatu yang sedang diusahakan. Sebagai makhluk yang bisa kita usahakan adalah berdoa dan berikhtiar. Jika ikhtiar kita sudah maksimal maka tinggal berdoa untuk meminta kelancaran kepada Allah ﷻ. Menerima dan sabar jika memang apa yang diusahan belum tercapai. Allah ﷻ sendiri yang akan menggantikan sesuatu itu dengan versi terbaik bagi masing-orang orang. Karena baik dimata manusia belum tentu baik di mata Allah ﷻ. Jika kita ikhlas menerima segala ketetapan dari Allah ﷻ maka tidak ada yang lebih menggembirakan hati sekaligus menyejukan hati jika semua yang kita usahakan selalu bersandar kepada Allah ﷻ.

Marâji’

[1] Ensiklopedi Hadits, “H.R Ibnu Majah no. 4206” Shahih menurut Muhammad Nashiruddin Al Albani

[2] Safia Abd Razak. dkk. “Adab Solat Puasa Serta Hubungannya dengan Pembangunan Rohani Insan: Analisis pemikiran al-Sarrāj (M.378) dalam Karya al-Luma’ fi Tarikh al-Tasawwuf al-Islami”, Al-Basirah, Vol. 9, No. 27-28, (2019)

[3] Ensiklopedi Hadits, “H.R Ibnu Majah no. 1586” Hasan menurut Muhammad Nashiruddin Al Albani

Download Buletin klik disini

Untukmu Agamamu, dan Untukku Agamaku

Untukmu Agamamu, dan Untukku Agamaku

Tan Lie Yong

 

Bismillâhi wal hamdulillâh wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh, amma ba’d.

Kejahilan sebagian orang turut ambil bagian dalam ibadah non muslim dengan dalih toleransi beragama. Ada juga ikut merayakan ibadah agama non muslim dengan alasanya karena hubungan pertemanan dan kekerabatan. Sebagian lagi berdalih tidak ada nash al-Qur’an dan hadits yang jelas melarang dalam bermuamalah dengan non muslim walau hanya sekedar ucapan selamat pada perayaan agama non muslim. Bagaimana seharusnya sikap seorang mukmin dengan maraknya fenomena ini? Adakah adab dalam bermuamalah dengan non muslim?

Tegas dalam Bersikap

Seorang mukmin itu tegas dalam bersikap terutama berkaitan dengan tauhid dan syirik.  Termasuk sikap tegas tidak ikut ambil bagian dalam ibadah agama non muslim, dalam agama apapun itu, bagaimana pun bentuknya, baik ada hubungan pertemanan atau bahkan hubungan kekerabatan, Islam tegas dalam hal ini, bukan keras namun ajaran Islam bermaksud melindungi umatnya agar tidak terpengaruh dengan kesesatan agama lain.

Allah ﷻ berfirman,

قُلْ يَٰٓأَيُّهَا ٱلْكَٰفِرُونَ. لَآ أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ. وَلَآ أَنتُمْ عَٰبِدُونَ مَآ أَعْبُدُ. وَلَآ أَنَا۠ عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ. وَلَآ أَنتُمْ عَٰبِدُونَ مَآ أَعْبُدُ. لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِىَ دِينِ.

Katakanlah, “Hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kalian sembah. Dan kalian bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kalian sembah, Dan kalian tidak pernah pula menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” (Q.S. al-Kafiruun [109]: 1-6).

Para ahli tafsir menyebutkan tentang sebab turunnya surah ini. Orang-orang musyrikin senantiasa merayu Nabi ﷺ agar menghentikan dakwahnya, dakwah yang mengajak kepada tauhid dan meninggalkan kesyirikan. Akhirnya mereka menempuh berbagai macam cara, mereka menawarkan kepada Nabi ﷺ harta, tahta, dan jabatan. Tapi Nabi ﷺ tidak tertarik dengan itu semua. Akhirnya ditawarkan kepadanya wanita tercantik, tetapi Nabi ﷺ juga tidak tertarik dengan itu. Mereka terus memberikan penawaran kepada Nabi ﷺ dan beliau terus menolak.[1]

Akhirnya mereka memberikan penawaran yang lain, mereka mengajak Nabi ﷺ menyembah Tuhan mereka selama setahun saja dan setelah itu giliran mereka menyembah Tuhannya Nabi ﷺ selama satu tahun berikutnya. Allah ﷻ memerintahkan kepada Nabi ﷺ untuk menolak penawaran tersebut. Kemudian Allah ﷻ menurunkan surah Al-Kafirun, sebagai bentuk tegas penolakan Nabi ﷺ terhadap ajakan mereka.

Lihatlah bagaimana usaha yang dilakukan oleh orang-orang musyrikin untuk menghentikan dakwah tauhid, bahkan mereka rela bertauhid selama setahun. Andai saja Nabi ﷺ menyembah tuhan-tuhan mereka walaupun sekejap mata niscaya Nabi ﷺ telah terjerumus ke dalam kesyirikan sehingga rusaklah tauhidnya.

Oleh karena itu, Nabi ﷺ tidak tawar-menawar dalam masalah ini. Dengan tegas Nabi ﷺ menolaknya. Berbeda dalam kondisi-kondisi yang lain, terkadang Nabi ﷺ menggunakan kata-kata yang lembut untuk mengambil hati mereka. Tetapi karena ini berkaitan tauhid dan syirik maka Nabi membantah dengan perkataan yang tegas dengan ayat-ayat pada surat ini.[2]

Adab Bermuamalah dengan Non Muslim

Adapun bentuk muamalah dengan non muslim (selain kafir harbi) yang diwajibkan adalah,  (1) Memberikan rasa aman kepada kafir dzimmi dan kafir musta’man selama ia berada di negeri kaum muslimin sampai ia kembali ke negerinya. (Q.S. at-Taubah [9]: 6). (2). Berlaku adil dalam memutuskan hukum antara orang kafir dan kaum muslimin, jika mereka berada di tengah-tengah penerapan hukum Islam. (Q.S. al-Maidah [5]: 8). (3) Mendakwahi orang kafir untuk masuk Islam. Ini hukumnya fardhu kifayah, artinya jika sebagian sudah mendakwahi mereka maka yang lain gugur kewajibannya. (H.R. al-Bukhari, no. 1356). (4) Diharamkan memaksa orang Yahudi, Nashrani dan kafir lainnya untuk masuk Islam. (Q.S. al-Baqarah [2]: 256). (5) Dilarang memukul atau membunuh orang kafir (selain kafir harbi). (H.R. al-Bukhari, no. 3166). (6) Tidak boleh bagi seorang muslim pun menipu orang kafir (selain kafir harbi) ketika melakukan transaksi jual beli, mengambil harta mereka tanpa jalan yang benar, dan wajib selalu memegang amanat di hadapan mereka. (H.R. Abu Daud, no. 3052). (7) Diharamkan seorang muslim menyakiti orang kafir (selain kafir harbi) dengan perkataan dan dilarang berdusta di hadapan mereka. (Q.S. al-Baqarah [2]: 83). (8) Berbuat baik kepada tetangga yang kafir (selain kafir harbi) dan tidak mengganggu mereka. (H.R. al-Bukhari, no. 6014 dan Muslim, no. 2625, dari ‘Aisyah). (9) Wajib membalas salam apabila diberi salam oleh orang kafir. Namun balasannya adalah wa ‘alaikum. (H.R. al-Bukhari, no. 6258 dan Muslim, no. 2163, dari Anas bin Malik).[3]

Adapun bentuk interaksi dengan orang kafir (selain kafir harbi) yang dibolehkan dan dianjurkan adalah, (1) Dibolehkan mempekerjakan orang kafir dalam pekerjaan atau proyek kaum muslimin selama tidak membahayakan kaum muslimin. (2) Dianjurkan berbuat ihsan (baik) pada orang kafir yang membutuhkan. (3) Tetap menjalin hubungan dengan kerabat yang kafir dengan memberi hadiah atau menziarahi mereka. (4). Dibolehkan memberi hadiah pada orang kafir agar membuat mereka tertarik untuk memeluk Islam, atau ingin mendakwahi mereka, atau ingin agar mereka tidak menyakiti kaum muslimin. (5) Dianjurkan bagi kaum muslimin untuk memuliakan orang kafir ketika mereka bertamu sebagaimana boleh bertamu pada orang kafir dan bukan maksud diundang. (6) Boleh bermuamalah dengan orang kafir dalam urusan dunia. (7) Diperbolehkan seorang pria muslim menikahi wanita ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) selama wanita tersebut adalah wanita yang selalu menjaga kehormatannya serta tidak merusak agama si suami dan anak-anaknya. (Q.S. al-Maidah [5]: 5). Adapun wanita muslimah tidak boleh menikah dengan orang kafir mana pun baik ahlul kitab (Yahudi dan Nashrani) dan selain ahlul kitab (Q.S. al-Mumtahanah [60]: 10). (8) Boleh bagi kaum muslimin meminta pertolongan pada orang kafir untuk menghalangi musuh yang akan memerangi kaum muslimin, dalam keadaan darurat dan tidak membahayakan kaum muslimin. (9) Dibolehkan berobat dalam keadaan darurat ke negeri kafir. (10) Dibolehkan menyalurkan zakat kepada orang kafir yang ingin dilembutkan hatinya agar tertarik pada Islam, (Q.S. at-Taubah [9]: 60). (11) Dibolehkan menerima hadiah dari orang kafir selama tidak sampai timbul perendahan diri pada orang kafir atau wala’ (loyal pada mereka), selain perayaann agama mereka.[4]

Marâji’

[1] Firanda Andirja. “Membedah Tafsir Surah Al Kafirun dalam Menyikapi Toleransi Kebablasan Saat ini.” https://firanda.com/membedah-tafsir-surat-al-kafirun-dalam-menyikapi-toleransi-kebablasan-saat-ini/. Diakses pada Rabu, 20 Desember 2023.

[2] Ibid.

[3] Muhammad Abduh Tuasikal. Interaksi dengan Non Muslim yang Dibolehkan” https://rumaysho.com/714-interaksi-dengan-non-muslim-yang-dibolehkan.html. Diakses pada Rabu, 20 Desember 2023.

[4] Ibid.

Download Buletin klik disini

Pesan Kemanusiaan dari Islam

Pesan Kemanusiaan dari Islam

Aisyah Amalia Putri

Alumni UII

 

Bismillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâhi, waba’du.

Kemanusiaan di era modern seringkali menjadi landasan bagi upaya mengatasi berbagai krisis yang menghadang. Namun, di tengah-tengah cahaya progresifitas dan teknologi yang membanggakan, kita dihadapkan pada kontradiksi yang mengganggu berupa krisis kemanusiaan yang terus berkecamuk di berbagai belahan dunia. Salah satu konflik yang menyala dan terus mempertanyakan moralitas dan keadilan adalah konflik antara Palestina dan Israel.

Situasi yang terus berlanjut ini memunculkan pertanyaan moral yang mendesak: di mana letak kemanusiaan kita? Bagaimana kita merespons tragedi kemanusiaan yang menimpa warga sipil, anak-anak, perempuan, dan lansia? Bagaimana pesan kemanusiaan dari Islam, agama yang mengajarkan kedamaian dan keadilan, membantu kita memahami serta menyelesaikan krisis seperti ini? Melalui beberapa pertanyaan di atas, penulisan dalam buletin ini mendiskusikan mengenai pesan kemanusiaan dari Islam dalam perspektif Al-Quran dan hadis secara singkat.

Seruan Islam

Islam menyerukan persaudaraan dan perdamaian bagi seluruh umat manusia di atas agama yang hak. Al-Quran memperlihatkan bahwa setiap individu memiliki nilai yang sama di hadapan Allah ﷻ, dan bahwa memperlakukan setiap orang dengan hormat dan keadilan adalah suatu kewajiban. Dalam Al-Quran Allah ﷻ berfirman,

إِنَّمَا ٱلْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا۟ بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.” (Q.S. al-Hujurat [49]: 10).

Selain itu, Al-Quran juga menekankan pentingnya kebaikan, kejujuran, dan kepedulian terhadap sesama, terlepas dari perbedaan agama, suku, atau kebangsaan. Sebagaimana dalam Al-Quran Allah ﷻ berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَٰكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَٰكُمْ شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓا۟ ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.” (Q.S. al-Hujurat [49]: 13).

Salah satu hadits-hadits Nabi Muhammad ﷺ mengajarkan tentang pentingnya berbuat baik kepada sesama, memberikan bantuan kepada yang membutuhkan, dan menjunjung tinggi hak-hak manusia. Pesan-pesan kemanusiaan ini dapat membimbing kita dalam merespons berbagai tantangan kemanusiaan yang dihadapi oleh masyarakat kita saat ini.

Dalam sebuah hadits disebutkan, dari Abu Dzarr Jundub bin Junadah dan Abu ‘Abdirrahman Mu’adz bin Jabal, dari Rasulullah ﷺ, beliau bersabda,

وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ

dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik.” (H.R. Tirmidzi, no. 1987 dan Ahmad, 5:153)[1]

Pesan Kemanusiaan

Melalui pembahasan ayat al-Qur’an dan hadis di atas dapat diambil pelajaran mengenai pesan kemanusiaan dalam Islam, yaitu:

Pertama, panggilan untuk persaudaraan, perdamaian, penghormatan, dan kesetaraan bagi seluruh umat manusia di atas agama yang hak. Al-Quran menegaskan bahwa setiap individu memiliki nilai yang sama di hadapan Allah ﷻ, mengisyaratkan bahwa memperlakukan setiap orang dengan hormat dan keadilan adalah sebuah kewajiban. Allah l menekankan kesatuan dan persaudaraan antara umat beriman, dengan mengajak untuk merajut kedamaian di antara mereka sebagai saudara seiman, dengan tujuan agar hidup dalam rahmat-Nya.

Adapun ciri-ciri seseorang mendapatkan rahmat Allah yaitu;[2] seseorang yang suka tolong menolong. Dari Abu Hurairah, dari Rasulullah ﷺ bersabda,

مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَاللَّهُ فِى عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِى عَوْنِ أَخِيهِ

Barangsiapa yang meringankan beban seorang mukmin dalam kesukaran dunia, Allah akan meringankan beban kesukarannya di hari kiamat. Seseorang yang memberi bantuan kepada yang kesulitan, Allah pasti memberikan bantuan baginya, baik di dunia maupun di akhirat. Dan barangsiapa yang menutup aib seorang muslim, Allah akan menutup aibnya di dunia dan akhirat. Dan Allah akan senantiasa memberikan pertolongan kepada hamba-Nya selama hamba tersebut memberikan pertolongan kepada saudaranya.” (H.R. Muslim, no. 2699).

Selain itu, bagi seseorang yang suka berbagi kebaikan, Allah ﷻ akan melipat gandakan baginya sepuluh kebaikan. Sebagaimana firman Allah ﷻ,

مَن جَآءَ بِٱلْحَسَنَةِ فَلَهُۥ عَشْرُ أَمْثَالِهَا

Barangsiapa berbuat kebaikan mendapat balasan sepuluh kali lipat amalnya.” (Q.S. al-An’am [6]: 160).

Selanjutnya seseorang yang mentaati Allah dan Rasul-Nya. Allah ﷻ berfirman,

وَأَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

Dan taatilah Allah dan Rasul-Nya, agar kamu diberi rahmat.” (Q.S. Ali-Imran [3]: 132). Taat kepada Allah dan Rasul-Nya memunculkan keberkahan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini membawa berbagai kebaikan, sejahtera, dan kesuksesan dalam dunia, serta pahala besar di akhirat. Seseorang yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya menjadi teladan yang baik bagi orang lain. Perilaku dan tindakan yang sesuai dengan ajaran Islam dapat mempengaruhi dan menginspirasi orang lain untuk melakukan kebaikan.

Kedua, pentingnya kebaikan, kejujuran, dan kepedulian kepada sesama, tanpa memandang perbedaan agama, suku, atau kebangsaan. Manusia diciptakan dalam keragaman suku dan bangsa agar mereka saling mengenal dan saling memahami. Di sisi Allah, kehormatan seseorang tidak bergantung pada latar belakangnya, melainkan pada tingkat takwa dan kesalehan batinnya.

Adapun orang-orang yang bertakwa kepada Allah ﷻ, takut kepada siksa, mentaati segala perintah dan menjauhi segala larangan-Nya, bersenang-senanglah di taman-taman yang bawahnya mengalir sungai-sungai.

Allah ﷻ berfirman,

مَّثَلُ ٱلْجَنَّةِ ٱلَّتِى وُعِدَ ٱلْمُتَّقُونَ ۖ فِيهَآ أَنْهَٰرٌ مِّن مَّآءٍ غَيْرِ ءَاسِنٍ وَأَنْهَٰرٌ مِّن لَّبَنٍ لَّمْ يَتَغَيَّرْ طَعْمُهُۥ

Perumpamaan (penghuni) surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tidak berubah rasa dan baunya, serta sungai-sungai dari air susu yang tidak berubah rasanya.” (Q.S. Muhammad [47]: 15).

Dalam taman-taman itu mereka tidak menerima kesusahan, tidak pula penyakit karena mereka tidak perlu bersusah payah berusaha mencapai apa yang mereka butuhkan.[3] Melalui pemahaman pesan ini, kita bisa mengaplikasikan nilai-nilai kemanusiaan yang diamanatkan oleh Islam dalam kehidupan sehari-hari.

 

Marâji’:

[1] At-Tirmidzi, ia mengatakan haditsnya itu hasan dalam sebagian naskah disebutkan bahwa hadits ini hasan shahih, Tirmidzi, no. 1987 dan Ahmad, 5:153. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan.

[2] “Ciri-Ciri Mereka yang Mendapat Rahmat-Nya” https://www.fiqhislam.com/agenda/syariah-akidah-akhlak-ibadah/119618-ciri-ciri-mereka-yang-mendapat-rahmat-nya, diakses pada tanggal 16 November 2023.

[3] Ahmad Musthofa Al-Maraghi. Tafsir Al-Maraghi juz 14. Semarang: PT. Karya Toha Putra. 1992. h. 42-43.

Download Buletin klik disini

Keistimewaan Masjidil Aqsa

Keistimewaan Masjidil Aqsa

Nur Laelatul Qodariyah*

 

Masjidil Al Aqsa atau biasa disebut dengan Baitul Maqdis merupakan masjid yang di berkahi dan di Agungkan. Keistimewaannya bahkan tercatat pada Al-Qur’an. Sehingga tidak heran masjidil Aqsa kerap kali di datangi oleh umat Islam saat melakukan perjalanan religi. Selain itu Masjidil Aqsa merupakan tempat suci bagi 3 agama yaitu Islam, Yahudi, Nasrani. Dalam Islam sendiri Masjidil Aqsa merupakan tempat dimana Rasulullah ﷺ melakukan Mi’raj ke Sidratul Muntaha. Sedangkan menurut agama Nasrani Masjidil Aqsa diyakini sebagai tempat yang pernah ditiduri oleh Jacob (Nabi Yakub). Sedangkan menurut agama Nasrani meyakini bahwa, di dalam batu itulah tempat Abraham (Nabi Ibrahim) mengorbankan anaknya untuk dikurbankan di Makkah.[1]

Allah ﷻ berfirman,

سُبْحَٰنَ ٱلَّذِىٓ أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِۦ لَيْلًا مِّنَ ٱلْمَسْجِدِ ٱلْحَرَامِ إِلَى ٱلْمَسْجِدِ ٱلْأَقْصَا ٱلَّذِى بَٰرَكْنَا حَوْلَهُۥ لِنُرِيَهُۥ مِنْ ءَايَٰتِنَآ ۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْبَصِيرُ

Maha Suci (Allah), yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidilharam ke Masjidilaqsa yang telah kami berkahi sekelilingnya agar kami perlihatkan kepadanya Sebagian tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Melihat”. (Q.S. Al-Isra’ [17]: 1).

Dikutip dari buku Kilau Mutiara Sejarah Nabi ﷺ yang ditulis oleh Amanda Mustika, Masjidil Aqsa merupakan masjid yang mampu menampung kurang lebih 400 ribu jamaah berbentuk persegi dengan bangunan masjidnya sebesar 83 meter dengan lebar 56 meter. Melihat kacamata sejarah berdirinya Masjidil Aqsa tidak ada yang mengetahui secara pasti, hal ini terjadi karena perbedaan berbagai sumber. Namun secara pasti Masjidil Aqsa merupakan masjid tertua kedua setelah Masjidil Haram, sesuai yang disebutkan dalam buku Qashash Al- Anbiya karya Ibnu katsir, yang menyebutkan bahwa Masjidil Aqsa merupakan masjid tertua kedua setelah Masjidil Haram.[2] selain itu keistimewaan yang lain adalah;

Masjidil Aqsa Sebagai kiblat Pertama umat muslim

Masjidil Aqsa atau Baitul Maqdis merupakan kiblat pertama umat Islam sebelum Nabi ﷺ melakukan Isra’ Mi’raj. Hal ini di ketahui Nabi ﷺ pernah sholat sunnah yang mengarah ke Baitul Maqdis. Dikutip dari buku yang ditulis oleh Syahruddin El-Fikri berjudul situs-situs dalam Al-Qur’an, alasan kenapa Masjidil Aqsa dijadikan kiblat pertama umat Islam dikarenakan, pada saat itu kondisi Masjidil Haram masih dipenuhi dengan berhala yang mencapai 309 buah dan disembah oleh bangsa Arab dengan hal tersebut akan memunculkan kekhawatiran jika Rasulullah ﷺ  beribadah di tempat yang dominan dengan kekufuran sedangkan orang kafir Quraisy akan semakin senang karena seolah-olah Rasulullah ﷺ sedang mengakui kalau berhala-berhala tersebut merupakan Tuhannya.[3]

Masjid kedua yang Allah Posisikan di Bumi

Masjid yang pertamakali diletakan oleh Allah ﷻ ialah Masjidil Haram setelahnya adalah Masjidil Aqsa dengan hal itu masjidil Aqsa menjadi salah satu tempat yang di istimewakan oleh Allah ﷻ. Dari Abu Dzarr berkata, “ Aku bertanya kepada Rasulullah , masjid apakah yang pertama di bangung di muka bumi ini? Beliau menjawab, “Masjidil Haram.” Aku bertanya lagi, “Kemudian apa?” beliau menjawab, “Al-Masjidil Aqshaa” beliau bertanya lagi, “Berapa lama selang waktu antara keduannya?” beliau menjawab, “Empat puluh”. (H.R Bukhari, no. 3172).[4] dengan hal tersebut tidak heran kalau rakyat Palestina tidak gentar untuk mempertahankan tanah, dan juga Masjidil Aqsa. Berkat Palestina seharusnya kita berterimakasih karena tetap kokoh untuk tidak sedikitpun mundur dari kediamannya, karena jika Masjidil Aqsa beserta semua tanah di Palestina berhasil di kuasai oleh kaum Yahudi lantas bagaimana dengan Makkah yang bisa saja akan menjadi sasaran selanjutnya.

Tempat yang pernah disinggahi Rasulullah saat Isra’ Miraj’

Keistimewaan yang lain ialah Masjidil Aqsa pernah menjadi persinggahan Nabi ﷺ  saat Isra’ Miraj’. Seperti yang pernah disinggung sebelumnya bahwa, Masjidil Aqsa merupakan tempat yang disinggahi setelah usai melakukan perjalanan dari Masjidil Haram. Tempat ini (Masjidil Aqsa) menjadi saksi bahwa, Rasulullah ﷺ mendapatkan wahyu dari Allah ﷻ yang sangat luar biasa, yaitu perintah shalat 5 waktu yang harus dilaksanakan oleh umatnya. Disinilah Nabi Muhammad ﷺ diangkat sampai langit ketujuh (Sidratul Muntaha) selagi memperlihatkan wahyu untuknya.[5]

Lantas sangat tidak etis jika Masjidil Aqsa beserta tanah yang ada di daerah Palestina direbut dan dijadikan Negara baru oleh bangsa Yahudi hanya alasan bahwa tanah tersebut adalah tanah yang diberikan dari bangsa penajajah terdahulu. Jika memang ingin berperang maka peranglah dengan baik-baik. Ini bukan hanya tentang Agama namun tentang kemanusiaan. Bagaimana mungkin bisa Rumah sakit ikut-ikutan dijadikan sasaran pengeboman. Setiap orang berhak untuk bebas dan mendapatkan perlindungan hukum. Etika berperang yang digencarkan Israel ke Palestina itu bukanlah perang, tapi pembunuhan massal yang disengaja. Untuk itu kita sebagai umat muslim jangan pernah putus untuk membantu ataupun mendoakan Palestina meski itu hanya pembelaan di media sosial. Setidaknya kita tahu dimana kita berpihak saat ini. Ya Allah berikanlah kemenangan dan kemerdekaan kepada kaum muslimin di Palestina. Amîn.

Marâji’

* Alumni Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia

[1] Muh. Ikhsan, “Bayt Al-Muqaddas: Perspektif Sejarah dan Siyasah”, Al- Munzir, (2018), 1.

[2] Jihan Najla Qatrunnada, “Kisah Berdirinya Masjid Al Aqsa, disebut Tertua setelah Masjidil Haram” dikutip dari https://www.google.com/amp/s/www.detik.com/hikmah/kisah/d-6979380/kisah-berdirinya-masjid-al-aqsa-disebut-tertua-setelah-masjidil-haram/amp diakses pada tanggal 5 November 2023

[3] Berliana Intan Maharani, “Masjidil Al Aqsa: Kiblat Umat Islam yang Pertama Kali sebelum Ka’bah” dIkutip dari Masjid Al Aqsa: Kiblat Umat Islam yang Pertama Kali sebelum Ka’bah (detik.com) diakses pada tanggal 5 November 2023

[4] Ensiklopedi Hadits, “H.R Bukhari no.3172” Shahih menurut Ijma’ Ulama

[5] Zalsabila Natasya, “ 4 keistimewaan masjid Al Aqsa yang ingin dikuasai oleh Israel” dikutip dari 4 keistimewaan Masjid Al Aqsa yang ingin dikuasai oleh Israel (insertlive.com) diakses pada hari selasa tanggal 7 November 2023

Download Buletin klik disini