Profesiku Ibadahku

Profesiku Ibadahku

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

“Jadikan hidup sebagai ibadah!” Sebuah kalimat sederhana namun penuh makna dan nampak sulit untuk diimplementasikan. Hal tersebut selaras dengan tujuan Allah ﷻ menciptakan manusia di muka bumi ini sebagaimana yang telah difirmankan Allah ﷻ dalam surat adz-Dzariyat ayat 56 yang artinya, “Dan aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (Q.S. adz-Dzariyat [51]: 56)

Dalam Zubdatut Tafsir, Mujahid berkata: maknanya adalah melainkan Aku akan memerintahkan dan melarang mereka. Pendapat lain mengatakan yakni melainkan agar mereka tunduk dan patuh kepada-Ku. Sebab makna ‘ibadah’ secara bahasa adalah tunduk dan patuh.[1]

Bekerja untuk mendapatkan penghidupan (baca: rezeki) adalah ibadah. Karena bekerja itu ibadah, maka dalam bekerja harus tunduk dan patuh dengan aturan Allah ﷻ. Allah ﷻ telah memberi jatah rezeki setiap makhluk-Nya bahkan rezeki seekor lalat sekalipun telah diatur-Nya. Tidak ada satu makhluk (bernyawa) pun di muka bumi ini melainkan telah Allah ﷻ jamin rezekinya. Seperti halnya jodoh, rezeki setiap mahkluk tidak akan tertukar. Jatah dan porsinya sama, hanya cara menjemputnya yang berbeda-beda setiap makhluk. Manusia, sebagai makhluk yang dikaruniai akal oleh Allah ﷻ, seyogyanya memiliki berbagai macam cara dalam menjemput rezeki tersebut, tentunya dengan cara-cara yang halal dan dibolehkan oleh syari’at Islam, salah satunya dengan bekerja.

Allah ﷻ menciptakan dunia dan seisinya, dengan segala kecanggihan teknologinya, dengan segala kekayaan alamnya, dengan tujuan untuk memberi penghidupan kepada manusia. Contohnya saja Indonesia, sebagai negara kaya akan sumber daya alam namun karena ketidakmampuan sumber daya manusianya dalam mengelola kekayaan alam tersebut sehingga menyebabkan ketimpangan sosial dan kemiskinan semakin merajalela.

Sumber daya alam yang melimpah dan kecanggihan teknologi yang ada seharusnya mampu menciptakan berbagai macam lapangan pekerjaan, berbagai macam profesi, dan berbagai macam posisi sebagai bentuk ikhtiar kita sebagai “hamba”. Namun perlu diingat, segala pencapaian yang sudah kita raih, profesi dan posisi yang bagus di kantor bahkan harta yang berlebih adalah pemberian dari Allah ﷻ. Seperti yang disabdakan Nabi ﷺ dalam hadits riwayat Muslim, dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash yang artinya: “Allah telah mencatat takdir setiap makhluk sebelum 50.000 tahun sebelum penciptaan langit dan bumi.” (H.R. Muslim no. 2653)

Ambillah Pelajaran dari Kisah Qarun!  

Janganlah seperti Qarun! Profesi, tahta, dan harta merupakan hal-hal yang sangat menggiurkan, semua konflik keluarga dan sosial bisa terjadi hanya karena ketiga hal di atas. Bahkan zaman Rasulullah ﷺ, telah banyak kaum yang dibutakan oleh harta dan tahta, salah satunya seperti kisah Qarun yang sangat masyhur.

Pada masanya, Qarun orang yang kaya raya dan bergelimang harta. Namun, ia telah dibutakan oleh hartanya. Kesombongan Qarun benar-benar telah mengundang murka Allah ﷻ. Allah menurunkan adzab kepada Qarun berupa gempa bumi dan longsor yang dahsyat. Qarun tenggelam bersama seluruh harta kekayaannya ke dalam perut bumi. Tidak ada sedikitpun harta yang tersisa, seluruhnya rata dengan tanah. Tidak ada satupun golongan yang mampu menyelamatkannya, baik keluarga, kerabat maupun temannya. Harta yang selama ini dibanggakannya justru menjadi malapetaka baginya dan tidak sedikitpun mampu menolongnya. Maka binasalah Qarun beserta harta kekayaannya dikarenakan kedurhakaan dan kekufurannya.[2]

Kisah tersebut bisa menjadi i’tibar (pelajaran), sehingga Allah ﷻ mengabadikan kisahnya dalam al-Qur’an ayat 78 yang artinya, “Qarun berkata: “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku”. Dan apakah ia tidak mengetahui, bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? Dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka.” (Q.S. al-Qashas [28]: 78)[3]

Bekerja adalah Ibadah

Harapannya, janganlah kita hanya disibukkan dengan urusan duniawi saja sehingga melupakan kewajiban-kewajiban ukhrawi. Paling sederhana yang bisa kita lakukan adalah dengan menjadikan profesi kita saat ini sebagai ibadah. Apapun profesi dan jabatan kita, jadikan sebagai ibadah dan proses penghambaan kita kepada Allah ﷻ. Jika kita telah berhasil menjadikan tujuan kita bekerja adalah untuk ibadah, in sya Allah rezeki yang kita dapatkan akan membawa berkah tidak hanya di dunia melainkan juga di akhirat.

Kita mampu meminimalisir hal-hal tercela dan tidak diinginkan lainnya yang mungkin terjadi di tempat kita bekerja, misalkan kecurangan, kemalasan, ketidakadilan, ketidakjujuran, dan perbuatan tercela lainnya. Tidak mudah diimplementasikan, namun kita bisa mulai dari diri kita sendiri, terlebih jika kita bisa menularkan energi positif tersebut kepada rekan-rekan di kantor sehingga tercipta budaya kerja yang Islami, karena bermanfaat bagi orang lain juga merupakan ibadah.

Dari Ibnu Umar bahwa seorang lelaki mendatangi Nabi ﷺ dan berkata: ”Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling diicintai Allah? dan amal apakah yang paling dicintai Allah?” Rasulullah ﷺ menjawab,”Orang yang paling dicintai Allah adalah orang yang paling bermanfaat buat manusia dan amal yang paling dicintai Allah adalah kebahagiaan yang engkau masukkan kedalam diri seorang muslim atau engkau menghilangkan suatu kesulitan atau engkau melunasi utang atau menghilangkan kelaparan. Dan sesungguhnya aku berjalan bersama seorang saudaraku untuk (menuaikan) suatu kebutuhan lebih aku sukai daripada aku beritikaf di masjid ini—yaitu Masjid Madinah—selama satu bulan. Dan barang siapa yang menghentikan amarahnya maka Allah akan menutupi kekurangannya dan barang siapa menahan amarahnya padahal dirinya sanggup untuk melakukannya maka Allah akan memenuhi hatinya dengan harapan pada hari kiamat. Dan barang siapa yang berjalan bersama saudaranya untuk (menunaikan) suatu keperluan sehingga tertunaikan (keperluan) itu maka Allah akan meneguhkan kakinya pada hari tidak bergemingnya kaki-kaki (hari perhitungan).” (H.R. Thabrani)[4]

Janganlah kita bekerja hanya untuk mencari rezeki, tapi niatkan juga untuk beribadah kepada Allah dengan niat yang ikhlas. Keihklasan adalah perkara yang amat menentukan. Dengan niat yang ikhlas, segala bentuk pekerjaan yang berbentuk kebiasaan bisa bernilai ibadah. Dengan kata lain, aktivitas usaha yang kita lakukan bukan semata-mata urusan harta dan perut tapi berkaitan erat dengan urusan akhirat.

Allah ﷻ telah memerintahkan kita untuk berbuat kebaikan. Memberi makan orang miskin dan anak yatim, saling membantu yang membutuhkan, mengeluarkan zakat, bersedekah, dan menyampaikan ilmu. Semua itu tidak dapat kita lakukan kalau kita tidak memiliki uang. Untuk bisa mendapatkan uang, jalannya dengan bekerja.[5] Oleh karena itu bekerjalah karena Allah ﷻ. Allah ﷻ berfirman: Dan katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Q.S. At-Taubah [9]: 105)

Allah ﷻ dalam al-Qur’an menjamin rezeki setiap makhluk-Nya, namun al-Qur’an tidak memberi peluang bagi seorang Muslim untuk berleha-leha dalam hidup. Semakin kita bekerja keras, insya Allah semakin besar pahala yang akan diberikan Allah ﷻ. Jika nafkah yang didapat merupakan bekal untuk beribadah, maka semakin banyak nafkah yang didapat, semakin banyak ibadah yang bisa dilakukan. Pendapatan kita sudah tertulis, begitupun pasangan, pekerjaan, makanan yang kita makan, bahkan kematian kita sudah tertulis.

Lantas, mengapa masih didapati orang frustasi, banyak pikiran, banyak penyakit bersarang di tubuhnya, jika semua urusan telah ada yang mengatur? Oleh karena itu, serahkan semua urusan kita kepada yang mengatur, mari kita fokus pada agama kita, perbaiki ketakwaan kita, perbaiki hubungan kita dengan-Nya, marilah mulai saat ini, kita jadikan profesi kita sebagai ibadah dan bernilai pahala, maka hidup kita akan bahagia dan dunia akan menghampiri kita tanpa perlu kita bersusah payah mengejarnya.

Maraji’:

[1] Zubdatut Tafsir,” https://tafsirweb.com/37749-quran-surat-adz-dzariyat-ayat-56-58.html.

[2] Fera Rahmatun Nazila, “Qarun, Si Kaya Raya Yang Ditelan Bumi Karena Harta.”

[3] Quran Surat Al-Qashash Ayat 78,” https://tafsirweb.com/7128-quran-surat-al-qashash-ayat-78.html.

[4] Hadits Ini Dihasankan Oleh Syeikh Al-Albani Didalam Kitab ‘at Targhib Wa at Tarhib’ (2623)” (n.d.).

[5] Hadits Manusia Paling Bermanfaat,” Era Muslim: Media Islam Rujukan, last modified 2020, https://www.eramuslim.com/ustadz-menjawab/hadits-manusia-paling-bermanfaat.htm#.Xmm4kjIzbIV.

 

*Camelia Rizka Maulida Syukur

Mahasiswa Program Magister Studi Islam

Universitas Islam Indonesia

 

Mutiara Hikmah

Allah ﷻ berfirman,

فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya“.” (Q.S. al-Kahfi [18]: 110)

Menjaga Kedamaian Dengan Keadilan

Menjaga Kedamaian Dengan Keadilan

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Pembaca budiman yang senantiasa dirahmati Allah ﷻ. Pada hakikatnya manusia hidup berdampingan, saling tolong-menolong, kasih-mengasihi antar sesama dan dengan alam sekitarnya. Maka tidak heran jika manusia kemudian diberi julukan sebagai makhluk sosial. Tumbuh-tumbuhan, bebatuan, air, dan segala hal yang tersedia di alam ini diciptakan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Pemberian itu bersifat sebagai amanah dari Allah yang oleh-Nya manusia diberi mandat untuk menjaga, merawat, dan mengatur alam ini.

Allah ﷻ firman yang artinya, “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah dimuka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui” (Q.S. al-Baqarah [2]: 30)

Berdasarkan pada ayat di atas, manusia mempunyai kewajiban untuk menjaga, merawat dan mengatur alam ini sesuai dengan posisinya sebagai khalifah di muka bumi ini. Proses penjagaan terhadap alam ternyata bersinggungan dengan konsep adil. Kata adil diambil dari bahasa arab al-‘adl  yang berarti menempatkan sesuatu sesuai dengan tempatnya. Lawan dari kata ‘adl adalah zhalim yang berarti menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya.

Banyak kasus di sekitar kita yang tanpa kita sadari merupakan pembahasan dari adl-zhalim itu sendiri.  Sebagai contoh seseorang yang membuang sampah di jalan atau di sungai. Tindakan itu termasuk dalam kategori zhalim, karena menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Begitu juga dengan kasus seorang murid yang masuk kelas tidak pada waktunya. Perbuatan seperti ini patut untuk kita koreksi untuk perbaikan agar bisa lebih baik lagi.

Penempatan waktu yang tidak tepat juga merupakan implementasi dari sikap anti adil. Terkadang pemuda-pemuda malah asyik  meneruskan bermain bola sedangkan lantunan adzan sudah berkumandang. Sikap yang seharusnya mereka ambil adalah  menghentikan permainan dan mendengarkan adzan sebagai penghormatan. Ada baiknya dalam melakukan kegiatan seperti itu mempertimbangkan terlebih dahulu apakah waktu itu akan mengganggu yang wajib-wajib atau tidak, sehingga ketika kita sudah mempertimbangkan itu semua tidak ada was-was yang muncul dalam hati bahkan mungkin kedamaian akan menghinggapi yang menjadikan hati merasa tenang dan tenteram.

Dalam bernegara keadilan merupakan salah satu pembahasan pokok di masyarakat. Keadilan secara umum didefinisikan sebagai “Perlakuan yang sama tanpa melalui kompleksitas pribadi-pribadi yang bersangkutan”. Secara ideal keadilan memperhatikan perbedaan-perbedaan kebutuhan setiap individu, kesamaan, dan kesetaraan bukan pada terletak pada pembagian secara sama rata.

Sebagai contoh ada seorang ibu mempunyai dua anak. Anak yang pertama sekolah di SMA dan anak yang ke dua masih mengenyam pendidikan di kelas dua SD. Kemudian anak yang pertama dan kedua sama-sama mendapatkan uang jajan Rp. 5000. Secara pembagian sama ratanya ibu itu benar, tapi jika ditinjau dari tingkat kebutuhan dan kompleksitasnya perbuatan itu tidak belum mencerminkan sikap adil. Karena memang dalam kasus ini bukanlah nilai sama yang harus dijunjung akan tetapi karena pertimbangan kebutuhan dari kedua anak yang berbeda.

Kadang kala nilai adil adalah kesamaan. Semisal ada orang Jawa dan orang Papua. Negara harus berdiri di tengah-tengah mereka dengan memberikan kewajiban dan hak yang sama sebagai rakyat Indonesia. Tidak boleh ada keistimewaan terhadap salah satu golongan saja walaupun ada yang minoritas dan mayoritas. Semua harus mendapatkan jatah yang sama. Oleh sebab itu dengan ditegakkannya keadilan maka akan timbullah kedamaian. Sama halnya dengan kasus seorang ibu dengan kedua anaknya. Setiap dari mereka juga mempunyai hak yang sama dalam kasih sayang.

Hal ini sesuai dengan ungkapan dari seorang sosiolog muslim yang masyhur pada zamannya, Ibnu Khaldun. Beliau memegang prinsip bahwa keadilan merupakan konsep yang abstrak dan idealis,  diungkapkan dalam istilah-istilah yang unggul dan sempurna, dan tidak berdasarkan kepada realitas sosial. Sistem keadilan yang dibentuk berdasarkan pada solidaritas sosial yang berada di atas pondasi solidaritas individu yang menimbulkan rasa kasih-sayang dan saling membantu satu dengan yang lainnya. Dengan kata lain nafas keadilan menurut Ibnu Khaldun adalah solidaritas.

Karena sikap adil itu sangat penting sehingga Allah ﷻ memperingatkan hamba-Nya dalam surat al-Anfâl ayat 25, yang artinya, “Dan peliharalah diri kalia dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang –orang yang zalim saja di antara kalian. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.” (Q.S al-Anfâl [8]: 25)

Ayat di atas menjelaskan bahwa siksaan Allah ﷻ tidak sebatas hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang berbuat zhalim saja, tetapi orang yang melihat kezhaliman tersebut di depan mata dan tidak berbuat apa-apa juga mendapatkan siksaan. Seseorang yang melihat temannya melakukan suatu kezaliman seperti membuang sampah sembarangan dan membiarkannya terbuai dengan tindakan itu merupakan contoh dari ayat di atas. Perbuatan itu mencerminkan perilaku yang acuh tak acuh dan tidak melaksanakan konsep amal ma’ruf nahi munkar .

Konsep adil di tegaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya di surat an-Nisâ’ ayat 135 yang artinya, Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (Q.S an-Nisâ’ [4]: 135)

Sikap adil sering dipraktekkan oleh Nabi Muhammad ﷺ. Salah satunya kisah sahabat nabi yang bernama Ukasyah bin Mihsan. Ketika itu Nabi bertanya siapa saja yang pernah dizhalimi oleh Rasullullah ﷺ mengingat kematian sudah semakin dekat. Ukasyah menegaskan bahwa Ia pernah terkena tongkat komando Rasulullah ﷺ dalam perang dan  rasanya sakit. Rasullullah ﷺ kemudian memberikan tongkat itu kepada Ukasyah untuk melakukan qishas. Ukasyah lalu menjelaskan bahwa waktu itu Ia tidak mengenakan baju yang menutupi badannya. Dengan mempertimbangkan aspek keadilan dan sebagai contoh yang kelak menjadi rujukan kaumnya maka Rasulullah ﷺ dengan sukarela melepas baju yang melekat di badannya dan mempersilahkan Ukasyah untuk memukulnya. Sungguh teladan mulia apa yang dicontohkan oleh beliau yang kita sendiri belum tentu mampu untuk mengikutinya.

Contoh di atas memberikan gambaran untuk berbuat adil, baik itu yang berakibat pada diri kita sendiri, maupun terhadap orang lain. Untuk yang berakibat pada diri sendiri ini biasanya sangat berat untuk kita laksanakan, karena kadang seringkali kita melihat diri kita ini sebagai korban dari ketidak adilan. Kita membela diri bahwa kita tidak melakukan ini itu dan sebagainya yang bisa mengakibatkan permasalahan yang semakin panjang.

Para pemimpin kita dan kita sendiri seharusnya meneladani sikap Rasulullah ﷺ yang adil terhadap siapa saja. Bahkan beliau rela dirinya sendiri menerima perlakuan semacam itu untuk menegakkan keadilan di muka bumi ini.

Hukum seharusnya ditegakkan dengan penuh keadilan, tidak tumpul ke atas tetapi tajam  ke bawah. Seorang pemimpin sejatinya berani  menegakkan keadilan kepada semua pihak tanpa memandang pangkat, jabatan, keka­yaan, ras, suku, agama, baik dari partai­nya sendiri maupun orang-orang yang di luar partainya. Bahkan ketika anaknya berbuat kejahatan semestinya mendapatkan hukuman yang setimpal dengan apa yang telah dilakukannya. Bukan malah membuat kesepakatan mengatasnamakan jabatan dan bersembunyi di bawak ketek kekuasaan. Begitulah pemimpin harus tegas untuk menegakkan keadilan mengingat kedamaian tercipta karena keadilan.

Keadilan menjadi substansi dari hukum, hukum diterapkan untuk menciptakan kedamaian, melindungi manusia dan tidak dijadikan alat untuk menindas dan menghabisi musuh. Wallâhu a’lam.

Marâji:

https://islami.co/ibnu-khaldun-bicara-keadilan-sosial/

https://jagad.id/pengertian-adil-menurut-para-ahli-dan-dalam-islam/

https://tafsirweb.com/1667-quran-surat-an-nisa-ayat-135.html

https://tafsirweb.com/290-quran-surat-al-baqarah-ayat-30.html

https://tafsirweb.com/2891-quran-surat-al-anfal-ayat-25.html

https://analisadaily.com/berita/arsip/2019/2/22/697558/rasulullah-saw-mempraktekkan-keadilan/

 

*Fatkhur Rohman Khakiki

Prodi Teknik Kimia FTI UII

 

Mutiara Hikmah

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, Rasulullah ﷺ bersabda,

مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرَحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ ، وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا

“Siapa yang membunuh kafir mu’ahad ia tidak akan mencium bau surga. Padahal sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun.” (HR. Bukhari no. 3166)

Fenomena Wabah Pada Masa Rasul & Sahabat

Fenomena Wabah Pada Masa Rasul & Sahabat

Bismillahi walhamdulillahi wash-shalatu wassalamu ‘ala rasulillah,

Pembaca yang semoga dirahmati Allah ﷻ, beberapa pekan belakangan ini kita di hebohkan oleh berbagai informasi baik di media sosial, media masa ataupun media elektronik terkait wabah, khususnya Covid-19 (corona) yang sedang heboh di berbagai negara tidak terkecuali di negara kita tercinta Indonesia. Di berbagai dunia bahkan korban sudah mencapai puluhan ribu bahkan ratusan ribu, berita terakhir.

Data terakhir per tanggal 14 maret 2020 terdapat 142.897 terinveksi Covid-19 dan kematian sebanyak 5.375 orang. Di Indonesia data per 13 maret 2020 telah terdata 69 kasus yang terinveksi Covid-19, dan yang meninggal dunia tercatat 4 orang, hal ini melonjak drastis jika di banding sehari sebelumnya yaitu Cuma tercatat 34 kasus.

Al-Qur’an diturunkan sekitar 14 abad yang lalu kepada Nabi yang agung Muhammad ﷺ, dan kita ketahui bahwa seluruh isi al-Qur’an dapat di pastikan tidak ada yang bertentangan dengan alam semesta dan manusia pada khusunya. Kita ketahui pula bahwa al-Qur’an diturunkan kepada manusia (hamba) yang (ummiy) atau seseorang yang tidak bisa membaca dan tidak pula bisa menulis. Tapi beliau merupakan manusia yang dapat dipercaya, bahkan beliau diberi gelar al-amin oleh kaumnya.

Wabah Pada Zaman Rasulullah ﷺ dan Solusi Mengatasinya. 

Empat belas abad yang lalu pada masa Rasulullâh ﷺ. Pernah terjadi wabah penyakit kusta dan lepra yang menular dan sangat mematikan.  Ketika belum diketemukan obatnya Rasulullah ﷺ melarang para sahabatnya untuk dekat dekat ataupun menengok orang yang terkena wabah tersebut. Dalam sebuah hadits Rasulullah ﷺ bersabda: “Jangan kamu terus menerus melihat orang yang mengidap penyakit kusta (H.R. Bukhari).

Dari hadits tersebut jelas Rasulullah ﷺ  melakukan pencegahan penyebaran virus, salah satunya dengan cara melarang orang untuk terus menerus melihat orang yang terkena virus, ini karena Rasulullah ﷺ  khawatir jika banyak orang yang menengok orang yang terkena penyakita kusta maka ada kemungkinan orang yang disekitarnya akan tertular. Ini merupakan bentuk pencegahan yang konkrit yang dilakukan oleh Nabi ﷺ.

Padahal kita ketahui bersama, rasul sangat menganjurkan untuk menjenguk orang yang sakit, tetapi ada beberapa kasus justru melarang untuk menjenguk orang sakit, ini karena beliau tau bahwa ada beberapa penyakit yang bisa menular. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa, menjauhi orang yang terkena virus yang menular, itu adalah bagian dari apa yang diperintahka oleh Rasulullah ﷺ.

Nabi Muhammad ﷺ juga memperingatkan umatnya pada waktu itu untuk tidak mendekati wilayah yg terkena wabah, hal ini dilakukan supaya umatnya tidak tertular oleh wabah tersebut. Seperti hadits Nabi ﷺ yang berikut ini Rasulullah ﷺ  bersabda: “Jika kamu mendengar wabah (tha’un) di suatu daerah (wilayah) maka janganlah kamu memasukinya, tetapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan kamu tinggalkan tempat itu (H.R. Bukhari, Muslim, Malik, Ahmad).

Dari kisah tersebut kita banyak mengambil pelajaran dari apa yang di sabdakan oleh Rasulullah ﷺ. Salah satu solusi mengatasi wabah yang dilakukan oleh Nabi ﷺ ialah me lock down, atau mengisolasi atau dalam bahasa lain mengkarantina orang orang atau wilayah wilayah yang terdampak wabah, hal ini pula yang dilakukan oleh pemerintah China dan negara negara lain lakukan, termasuk Indonesia pada akhir akhir ini. Indonesia juga sadar bahwa salah satu solusi yang harus dilakukan oleh negara adalah mengcounter daerah-daerah yang terpapar virus Covid-19 pada hari ini. Hal ini mudah mudahan dapat meningkatkan keimanan kita kepada Allah ﷻ. Selain berdoa kita juga terus melakukan usaha untuk meredam penyebaran virus ini, seperti yang dilakukan oleh Nabi Muhammad ﷺ.

Nabi Muhammad ﷺ, selain mencegah umatnya yang belum terkena wabah, dengan memerintahkan umatnya untuk tidak mendekati daerah (wilayah) yang terkena wabah Rasulullah ﷺ, juga menyuruh bersabar bagi umat yang terkena wabah.  Rasulullah ﷺ terus menerus mengingatkan umatnya agar berdoa dan bersabar, bahwa apa yang tertimpa pada umatnya adalah ujian dari Allah ﷻ. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari Rasulullah ﷺ  bersabda: “Kematian karena wabah adalah surga bagi setiap muslim. (H.R.Bukhari).

Dari hadits tersebut jelas bahwa Islam sangat mementingkan solusi bagi setiap masalah. Ini terbukti bahwa Islam melakukan pencegahan bagi yang belum terkena wabah atau virus, dan juga Islam sangat mensuport orang yang terkena wabah, mereka dianjurkan untuk bersabar dalam menghadapi apa yang di deritanya, dan juga Allah ﷻ memberi kabar gembira bagi siapa yang sabar dalam menghadapi wabah, bahkan ketika meninggal dunia atau wafat karena wabah, Allah ﷻ menjanjikan surga baginya.

Wabah (Virus) Pada Zaman Sahabat 

Sepeninggal wafatnya Rasulullah ﷺ, kasus wabah juga terjadi pada masa Khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Pada saat itu Umar bin Khattab bersama rombongan pergi ke daerah Syam, ketika sampai di suatau daerah bernama sargha, ternyata umar melihat ada rombongan juga, yaitu rombongan Abu Ubaidah bin Jarrah, setelah berbincang bincang ternyata rombongan Abu Ubaidah juga mau ke tempat yang sama.

Datanglah seorang yang membawa berita bahwa Syam ternyata sedang dilanda wabah penyakit tha’un yang ganas. Umar ragu untuk meneruskan perjalanan. Ia panggil para sahabat Muhajirin senior untuk bermusyawarah, ada yang mengusulkan Umar beserta rombongan tetap meneruskan perjalanan ke Syam, karena sudah terlanjur jauh jauh datang dari Madinah, ada juga sebagian yang lain mengusulkan untuk kembali ke Madinah karena ada penyakit ganas, sebaiknya tidak menghadapkan orang banyak pada resiko tertular wabah yang mematikan.

“Panggilkan untukku para sahabat Anshar” perintah Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu kepada Abdullah bin Abbas yang saat itu ada dalam rombongan. Para sahabat Anshar pun diajak bermusyawarah oleh Umar, ternyata tidak ada kesepakatan juga dalam musyawarah tersebut, pada saat itu datanglah Abdurahman bin Auf yang membawa kabar bahwa dulu mendiang Rasulullah ﷺ bersabda “jika kamu mendengar wabah (Tha’un) di suatu daerah (wilayah) maka janganlah kamu memasukinya, tetapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan kamu tinggalkan tempat itu” (H.R. Bukhari, Muslim, Malik, Ahmad).

Mendengar informasi dari Abdurahman bin Auf, maka Umar mengambil sikap untuk kembali ke Madinah. Tetapi berbeda dengan sikap Umar, Abu Ubaidah bin Jarrah memilih untuk terus ke Syam. Bahkan Abu Ubaidah mempertanyakan sikap Umar, dengan berkata, “Apakah engkau hendak lari dari taqdir Allah hai Umar? Tanya Abu Ubaidah. Bagi Abu Ubaidah terkena wabah atau tidak adalah taqdir Allah ﷻ. Kemudian Umar bin Khattab menjawab, “Andai saja yang bertanya bukan dirimu wahai Abu Ubaidah”. Kata Umar menyimpan sungkan kepada sosok sahabat senior ini. Lalu Umar melanjutkan, “Iya kami akan lari dari takdir yang satu menuju takdir yang lain, sama sama taqdir Allah jawab Umar. Lalu Umar berkata lagi kepada Abu Ubaidah, bagaimana pendapatmu jika engkau membawa seekor unta lalu sampai disebuah lembah dengan dua sisi, ada yang subur dan ada yang kering kerontang, mana yang kau pilih? Seandainya engkau membawanya ke tanah yang subur, sesungguhnya itu taqdir Allah l, tetapi jika engkau membawanya ke tanah yang kering kerontang, maka itu juga taqdir Allah ﷻ. Jawab Umar Panjang lebar. Umar lalu kembali ke Madinah.

Inilah jawaban sosok cerdas Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu ketika menyeleseikan masalah terkait dengan kemaslahatan umat, Umar tidak mau mengambil resiko yang sia sia, apalagi membawa banyak orang. Mudah mudahan kita bisa mengambil pelajaran dari kisah wabah yang terjadi pada masa Rasulullah ﷺ dan masa sahabat, sehingga pengetahuan mengenai sikap kita terhadap wabah dapat membuat kita semakin meningkatkan iman kita kepada Allah . Âmîn.

 

Marâji’

Kumparan.com

Imam al Bukhari. Shahih al Bukhari. Hadits no. 5288

Islamsantun.com

Imam Malik. Al-Muwatha. Hadits no. 5288

 

Irwanto, M.Pd

Dosen Prodi Manajemen Pendidikan Islam

Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

 

Mutiara Hikmah

Doa Keselamatan pada Badan

اَللَّهُمَّ عَافِنِيْ فِيْ بَدَنِيْ، اَللَّهُمَّ عَافِنِيْ فِيْ سَمْعِيْ، اَللَّهُمَّ عَافِنِيْ فِيْ بَصَرِيْ، لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ، اَللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْكُفْرِ وَالْفَقْرِ، اَللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ.

Ya Allah, berilah keselamatan pada badanku. Ya Allah, berilah keselamatan pada pendengaranku. Ya Allah berilah keselamatan pada penglihatanku, tiada Ilah (yang berhak disembah) kecuali Engkau. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kekufuran dan kefakiran. Aku berlindung kepada-Mu dari siksa kubur, tiada Ilah (yang berhak disembah) kecuali Engkau.” [Dibaca 3x].” (H.R. Abu Daud no. 5090, Ahmad dalam Musnadnya no. 20430, al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrod no.701)

 

Sebuah Pesan Iman Via Covid-19

Sebuah Pesan Iman Via Covid-19

Bismillahi walhamdulillahi wash-shalatu wassalamu ‘ala rasulillah,

Beriman kepada takdir baik maupun buruk adalah merupakan salah satu rukun iman yang mesti kita imani dengan benar. Rasulullah bersabda: “…. Beritahukanlah kepadaku tentang iman. ‘Nabi menjawab, Iman adalah engkau beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk.’….”(H.R. Muslim No. 8, Abu Daud No. 4695, at-Tirmidzi No. 2610 dan selainnya)

Seorang mukmin harus yakin bahwa semuanya selain dari Allah adalah makhluk (cipataan Allâh). Maka termasuk Covid-19 merupakan makhluk Allah dan Dia yang memberikan kehendak atas merebaknya wabah ini hingga menjangkit kepada siapapun atas izin-Nya. Maka, tidaklah sesuatu dapat memberikan kemudaratan melainkan atas izin-Nya sebagaimana Allah  memerintahkan api untuk menjadi dingin dan keselamatan bagi Nabi Ibrahim ‘alaihi salam.

Perlu kita ingat, ada hikmah dari setiap kejadian yang Allah takdirkan kepada hamba-Nya. Maka jadilah sebaik-baiknya hamba yang selalu mengambil hikmah di balik apa yang Allahtakdirkan. Rasa takut serta hawatir pada saat ini, hingga jatuhnya korban jiwa janganlah menjadikan sebuah sebab kita lupa akan segalanya. Yang mesti kita lakukan adalah menjadikan rasa takut serta hawatir tersebut untuk semakin bersungguh-sunguh serta khusyu’ dalam mendekatkan diri kepada Allah . Karena hakikat dari rasa takut itu sendiri merupakan sebuah bentuk ujian dari Allah  kepada seorang hamba.

Allah berfirman: “Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit rasa ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar”.(Q.S. al-Baqarah [2]: 115)

Bukankah rasa takut adalah yang menjadikan seorang hamba semakin bersungguh-sungguh dan khusyu’dalam memohon kepada Allah ? Maka hal terpenting pada saat rasa takut itu hadir yang paling tepat adalah kita meminta kepada Allah l serta berlindung kepada-Nya dari segala bentuk keburukan makhluk.

Keutamaan Doa

Doa merupakan salah satu diantara bentuk ibadah seorang hamba kepada Allah . Selain itu, merupakan sebuah kunci bagi seorang mukmin pada saat turunya bala’ (cobaan) karena yang mengizinkan atas turunnya cobaan tersebut adalah Allah l. Diantara sebab seorang hamba kuat dan semakin mendapatkan pertolongan Allah  dalam kondisi apapun adalah dengan doa.

Doa merupakan bukti benarnya Iman serta pengenalan seorang hamba kepada Allah baik dalam rububiyah, uluhiyah, maupun nama dan sifat-Nya. Ini menunjukan bahwa dia sebagai seorang hamba yakin bahwa Allah Maha Mencukupi, Maha Melihat, Maha Mulia, Maha Pengasih, Maha Mampu, Rabb yang berhak diibadahi semata dan tidak pada selain-Nya.

Doa juga merupakan sebuah bentuk bukti atas tawakkalnya seorang hamba kepada Rabbnya. Karena pada saat seorang hamba berdoa, ini berarti dia meminta pertolongan Allah l dan hal ini berarti dia telah menyerahkan segala urusannya kepada Allah  semata tidak pada selain-Nya.

Maka yakinlah atas segalanya, baik yang engkau usahakan maupun hajat yang engkau hendaki sertai doa kepada Allah. Karena doa itu amat bermanfaat dengan izin Allah . “Tidaklah seorang muslim memanjatkan doa kepada Allah ﷻ selama tidak mengandung dosa dan memutuskan silaturahmi (antar kerabat,pen) melalinkan Allah akan beri padanya tiga hal: [1] Allah akan mengabulkan doanya, [2] Allah akan menyimpannya baginya di akhirat kelak, dan [3] Allah akan menghindarkan darinya kejelekan yang semisal.” Para sahabat lantas mengatakan, “Kalau begitu kami akan memperbanyak doa.” Nabi ﷺ lantas berkata, “Allah nanti yang memperbanyak mengabulkan doa-doa kalian.”

Kiat-Kiat Melalui Sebab Syar’i (Akibat Kehendak Allah)

Sebab syar’i merupakan sebab-akibat kehendak Allah kepada hamba-Nya. Maka dari apa yang melanda pada saat ini seperti wabah COVID-19 ataupun lainnya, ada beberapa hal yang dapat kita tempuh sebagai seorang hamba dan makhluk Allah atas apa yang Allah  ujikan ini.

Di antaranya adalah adalah dengan kita senantiasa taat dalam perintah Allah  dan Rasul-Nya. Melalui setiap ajaran-ajaran yang telah disampaikan melalui syariat Islam maka sebab syariat ini mesti kita tempuh selain sebab lain atau disebut denngan sebab kauni yang akan dibahas di bawah nanti.

Banyak diantara syariat yang telah ajarkan kepada kita, diantaranya seperti memakan makanan yang halal lagi baik, karena ada kebaikan dan berkah dari apa yang dikonsumsinya. Tentu juga dalam cara menempuhnya juga dilakukan dengan cara-cara yang telah dianjurkan oleh syariat.

Kemudian, senantiasa berdoa memohon perlindungan, bertaubat kepada Allah . Dalam hal ini, sebenarnya banyak sekali amalan-amalan yang sebenarnya sudah menjadi prisai seorang muslim tatkala dia senantiasa menjadikannya sebagai rutinitas di kehidupan sehari-harinya. Diantaranya membaca rangkaian dzikir pagi dan petang memohon agar dihindarkan dari wabah atau penyakit yang sedang merebak sebagaimana yang telah diajarkan dalam sunah Nabi .

Bertaubat memohon ampunan kepada Allah   juga merupakan diantara kunci atas segala permasalahan atau musibah yang melanda. Sungguh mulia di sisi-Nya bagi orang-orang yang senantiasa memohon ampun kepada Allah dan bertaubat kepadanya. Karena bisa jadi Allah meberikan cobaan ini adalah sebagai bentuk balasan atas kemaksiatan-kemaksiatan yang telah diperbuat. Maka, pentingnya muhasabah serta taubat atas cobaan yang melanda merupakan salah satu sebab yang harus ditempuh.

Kiat-Kiat Melalui Sebab Kauni (Akibat di Dunia)

Sebab kauni merupakan sebab-akibat di dunia. Usaha merupakan bagian dari takdir dan tidak ada kontradiksi antara apa usaha dan takdir. Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nasir as-Sa’di pernah berkata, “Jika pengejar akhirat mengetahui bahwa akhirat tidak akan digapai melainkan dengan keimanan, amal saleh, dan meninggalkan lawannya (amal buruk), maka ia akan bersemangat dan bersungguh-sungguh merealisasikan keimanan dan memeperbanyak wujud-wujud keimanan yang terperinci. Di sisi yang lain, ia akan meninggalkan kekufuran dan kemasiatan. Ia akan segera bertaubat jika terjatuh dalam dosa.”

Dalam hal ini Rasulullah ` pernah menyampaikan penjelasan bahwa wajibnya usaha atas seorang hamba, seperti hadits dari Abu Hurairah yang diriwayatkan Muslim (4/2025): “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah ﷻ dibandingkan mukmin yang lemah, dan masing-masing mempeunyai kebaikan. Bersunguh-sungguhlah untuk hal yang bermanfaat untukmu. Mohonlah pertolongan dari Allah ﷻ dan jangan merasa lemah. Jika ada sesuatu menimpa dirimu, jangan ucapkan ‘Andai saja saya melakukan begini, tentu akan begini dan begitu.’ Namun ucapkanlah ‘Telah ditakdirkan Allah ﷻ, apa yang Allah ﷻ kehendaki, Dia pasti melakukannya.’ Sesungguhnya ucapan ‘Andai saja’, akan membuka amalan setan.” (H.R. Muslim 4/2025)

Pada saat ini bayak perkara atau usaha yang mesti ditempuh sebagai pencegahan atas melandanya wabah COVID-19. Bahkan diantaranya Rasulullah  memerintahkan: “Apabila kalian mendengar wabah tha’un melanda suatu negeri, maka janganlah kalian memasukinya. Adapun apabilapenyakit itu melanda suatu negeri sedang kalian berada di dalamnya, maka janganlah kalian keluar dari negeri itu.” (H.R. Muttafaqun ‘alaih)

Maka melakukan sutau ikhtiar yang menjadi sebab pencegahan tidaklah bertentangan dengan tawakkal. Maka ikhtiar pada saat ini yang dapat kita lakukan ada dua hal yakni ikhtiar yang sifatnya secara berjamaah atau kelompok dan ikhtiar yang sifatnya individu.

Ikhtiar yang dilaksanakan bersama diantaranya adalah dengan melakukan pencegahan-pencegahan agar wabah ini tidak merebak semakin luas seperti dengan melakukan isolasi kepada mereka yang terkena wabah tersebut atau kepada mereka yang dicurigai terkena virus. Tentunya ikhtiar ini dilakukan oleh pihak-pihak berwenang.

Adapaun ikhtiar dalam skala individu, kita dapat mengikuti arahan-arahan para ahli di bidang ini seperti halnya dengan rutin menjaga kesehatan atau daya tahan tubuh, rutin mencuci tangan, memakan makanan yang halal lagi baik, menghindari keluar rumah dan berkumpul di tempat keramaian bila idak diperlukan.[]

 

Juwandi Purnama

Ahwal al-Syakhshiyah

FIAI – UII

 

Mutiara Hikmah

Doa Keselamatan

اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ الْعَافِيَةَ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ، اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي دِيْنِيْ وَدُنْيَايَ وَأَهْلِيْ وَمَالِيْ. اللَّهُمَّ اسْتُرْ عَوْرَاتِي وَآمِنْ رَوْعَاتِي، اَللَّهُمَّ احْفَظْنِيْ مِنْ بَيْنِ يَدَيَّ، وَمِنْ خَلْفِيْ، وَعَنْ يَمِيْنِيْ وَعَنْ شِمَالِيْ، وَمِنْ فَوْقِيْ، وَأَعُوْذُ بِعَظَمَتِكَ أَنْ أُغْتَالَ مِنْ تَحْتِيْ

Ya Allah! Sesungguhnya aku mohon keselamatan di dunia dan akhirat. Ya Allah, sesungguhnya aku mohon kepada-Mu ampunan dan keselamatan dalam agamaku, (kehidupan) duniaku, keluargaku dan hartaku. Ya Allah, tutupilah auratku dan berilah ketenteraman dihatiku. Ya Allah! Peliharalah aku dari arah depan, belakang, kanan, kiri dan atasku. Aku berlindung dengan kebesaran-Mu, agar aku tidak mendapat bahaya dari bawahku.”  (H.R. Abu Daud no.5074, Ibnu Majah no.3871 dan dishahihkan oleh Al-Albani)

Jangan Mudah Putus Asa! “La Tay’Asu Min-Rauhillâh”

Jangan Mudah Putus Asa!

“La Tay’Asu Min-Rauhillâh”

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Berputus asa sering dirasakan oleh manusia, ketika ia tidak mendapatkan target hidupnya atau dalam keadaan yang sangat sulit. Keadaan putus asa mampu mendorong manusia kepada hal yang negatif dan tentunya dilarang oleh Islam, banyak yang berputus asa tidak menemukan cara untuk bangkit akhirnya mereka melakukan hal-hal yang merusak diri mereka.

Allah berfirman yang artinya, “Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir”.(Q.S. Yusuf [12]: 87)

Ayat tersebut memberitahukan bahwa janganlah sampai berputus asa dari rahmat Allah kecuali mereka yang kafir. Sedangkan dari tafsir al-Mukhtashar, maka hendaklah mencari berita tentang Yusuf dan saudaranya agar kalian mengetahui kabar mereka, dan arti dari “dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah ﷻ” yakni janganlah kalian berputus asa dari jalan keluar dan bantuan yang akan diberikan Allah . Lalu makna “Rauhi” yaitu segala yang dirasakan dan diyakini seseorang tentang keberadaan dan kedatangan-Nya.[1]

Maka maksud dari ayat tersebut yaitu jika manusia diberikan suatu kesulitan yang menurutnya sangat membebani diirinya, maka jangan sampai berputus asa tetaplah bersandar kepada Allah serta meyakini bahwa Allah ada dan pasti memberikan rahmat untuk menolong hamba-Nya. Hamba Allah yang memiliki keyakinan akan rahmat-Nya pasti ia tidak akan berputus asa, karena ia selalu bersandar pada Allah dan mengingat bahwa Allah menguji hamba-Nya tidak melebihi kemampuannya. Agama Islam membimbing umatnya ketika berputus asa hendaklah mengingat Allah .

Shalat Menghilangkan Sedihmu

Seseorang yang sedang dalam kesedihan, kekecewaan dan merasa risau, maka segeralah bangkit dan ingatlah Allah dengan cara mendirikan shalat. Setiap kali dirundung kegelisahan, Rasulullah menenangkan diri dengan shalat. Dari sahabat Hudzaifah, ia berkata, “Bila kedatangan masalah, Nabi ﷺ  mengerjakan shalat.” (H.R. Ahmad dalam al–Musnad [5/388] dan Abu Dawud [2/35])[2]. Beliau juga berkata kepada sahabat Bilal, “Wahai Bilal, kumandangkan iqamah shalat, buatlah kami tenang dengannya.” (Dihasankan al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 7892)

Bahwa shalat benar-benar menjadi penyejuk hati dan sumber kebahagiaan bagi Rasulullâh . Bahkan beberapa tokoh ulama ketika mereka sedang dihimpit suatu kesulitan dan menghadapi cobaan, mereka mendirikan shalat dengan khusyu’ untuk meminta pertolongan Allah , lalu mereka menjadi pulih dan semangat menjalani tekad hidup.[3]

Mendirikan Shalat sudah pasti memberikan ketenangan bagi mereka yang melaksanakannya dan menjadikan ia dekat dengan Allah dan mampu menjadi obat hati ketika dalam keadaan sedih, gundah dan terpuruk, bisa dikatakan shalat sebagai media untuk mengenal Allah dan menjadi penenang hati.

Kesulitan Menghebatkan Dirimu

Manusia dalam menjalani kehidupannya pasti pernah dan akan merasakan kesulitan, hambatan dan kesedihan. Tetapi dibalik segala kesulitan yang sudah dialami akan datang banyak pelajaran dalam hidup dan memberikan hikmah yang Allah ﷻ  beri dengan rahmat-Nya:

Diantara hikmahnya; (1) Melalui kesulitan itu akan menguatkan hatimu, (2) Menghapuskan dosa-dosa, (3) Menghancurkan rasa ujub, (4) Meluruhkan kelalaian, (5) Menyalakan lentera dzikir, (6) Menarik empati sesama, (7) Menjadi doa yang dipanjatkan kepada Allah, (8) Berserah diri kepada Allah, (9) Menjadi pengingat diri, (10) Menjadikan hati untuk tetap bersabar, (11) Merupakan persiapan untuk menghadap Sang Pemilik Hidup, (12) Dan menjadi pengingat untuk tidak cenderung kepada urusan dunia, memberikan rasa aman dan tenang dalam hati jika sudah meyakini rahmat-Nya.[4]

Dengan itu segala kesulitan yang dihadapi akan memberikan hikmah yang tentunya memberikan banyak pembelajaran kepada manusia dan semakin mengenal makna hakiki dari kehidupan.

Nikmat Allah Sudah Banyak Kita Dapatkan

Ketika manusia sedang merasa kesulitan, tentunya banyak melupakan pencapaian yang sebenarnya telah ia dapatkan. Cenderung orang yang dalam keadaan sedih banyak pikiran negatif yang datang, namun semua itu tidak boleh dibiarkan, dengan itu untuk mencegah hal-hal negatif yang datang dalam keadaan  sulit, hendaklah mengingat akan nikmat yang telah Allah berikan, mengingat Allah  telah memberikan banyak nikmat yang jarang disadari oleh manusia.

Keadaan gagal, terpuruk hendaklah mengingat kebaikan Allah  atas nikmat-Nya yang telah diberikan dengan itu rasa syukur akan hadir. Allah berfirman, “Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya” (Q.S. Ibrahim [14] : 34)

Jika manusia sadar akan nikmat Allah  yang begitu berlimpah, pasti ia tidak akan berputus asa, karena terus mengingat akan nikmat Allah yang telah diberikan kepadanya seperti nikmat hidup, nikmat sehat, nikmat pendengaran, pengelihatan, ada kaki dan tangan, air, makanan, udara dan banyak lagi. Menyadari akan nikmat Allah tentunya akan mengajak manusia untuk selalu bersyukur dan terus merasa cukup. Ketika manusia itu berada dalam kekeliuran, merasa kesulitan akan ada hikmah yang ia dapatkan dan itu salah satu nikmat hidayah yang Allah  beri kepadanya.[5]

Ingat! Setelah Kesulitan Ada Kemudahan

Allah  berfirman, “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan” (Q.S. Alam Nasyr [94]: 5-6)

Setiap permasalahan selalu ada jalan keluar, layaknya setelah lapar pasti ada rasa kenyang, setelah haus ada rasa puas, setelah begadang ada waktu tidur pulas, itulah keadaan dimana setelah kesulitan pasti akan ada kemudahan. Layaknya ketika manusia berada dalam kesedihan, tidak mungkin kesedihan itu akan ada setiap hari pasti tidak lama akan ada senyuman yang muncul yang bisa menghilangkan rasa sedih itu.

Allah  memberikan manusia ujian tidak lepas dari hikmah yang akan diberikannya setelah ia melewati ujian tersebut, Allah memberikan banyak kejutan yang tidak bisa manusia perkirakan, melalui ujian kehidupan Allah  akan memberi manusia banyak pembelajaran. Dengan adanya kesulitan dalam hidup, manusia menjadi sadar akan posisinya di muka bumi yang hanya sebagai hamba Allah yang  seharusnya patut mengingat-Nya. Melalui kesulitan manusia mengerti apa yang perlu ia lakukan dengan terus mengadu dan mendekat kepada yang menciptakannya.

Adapun langkah-langkah yang sudah diterangkan ketika manusia berada dalam posisi yang sangat sulit, sedih jangan sampai ia putus asa,maka laksanakanlah shalat dengan shalat tentu akan banyak mengingat Allahmelalui bacaan shalat dan dzikir di dalamnya sehingga menjadikan hati lebih tenang dan tentram. Kemudian mereka yang merasa berada dalam masa sulit yakinlah bahwa ia akan menjadi lebih hebat karena mampu melewati ujian itu dibekali dengan ketaatannya kepada Allah , melalui ujian kehidupan hati manusia menjadi kuat dan tentunya lebih sabar dalam menghadapinya.

Selanjutnya ingatlah selalu Allah  yang telah banyak memberikan nikmat kepada hamba-Nya, namun manusia sering sekali melupakan, maka dengan selalu mengingat banyak nikmat yang telah Allah berikan rasa sulit dalam diri akan hilang dan akan hadir dalam diri manusia rasa bersyukur sehingga mampu menerima apapun yang sedang dihadapinya.

Allah tidak akan menguji hamba-Nya melebihi kemampuannya, maka yakinlah segala rintangan dalam hidup pasti bisa dilewati berbekal keyakinan akan rahmat Allah .[]

 

Lia Ananda Haenida

FIAI/PAI UII 2017

 

Marâji’

[1] Bin Abdullah bin Humaid, S. D. S. Markaz Tafsir Riyadh. 2019. Kementrian Agama RI

[2] Dihasankan al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud

[3] Maksum, M. S. Laa Tay Asuu Jangan Putus Asa!. 2013. Medpress Digital.

[4] Ibid

[5] Ibid

 

Mutiara Hikmah

Doa Perlindungan dari Penyakit

اَللّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْبَرَصِ وَالْجُنُوْنِ وَالْجُذَامِ وَسَيِّئِ اْلأَسْقَامِ.

” Ya Allah, aku berlindung kepadaMu dari penyakit kulit belang, penyakit gila, penyakit lepra, dan penyakit yang (berakibat) buruk. ” (H.R. Abu Dawud, No.1554)

 

Download Buletin klik disini

Sikap Seorang Muslim Dalam Menghadapi Wabah Penyakit

Sikap Seorang Muslim Dalam Menghadapi Wabah Penyakit

Bismillahi walhamdulillahi wash-shalatu wassalamu ‘ala rasulillah.

Pembaca yang semoga dirahmati Allah , akhir-akhir ini dunia dihebohkan dengan kabar adanya jenis virus baru, yang mana kasus pertama ditemukan di kota Wuhan, Cina. virus jenis baru ini sering disebut sebagai virus corona atau Covid-19, yang menyerang saluran pernafasan manusia.

Menurut WHO, saat ini kasus yang ditimbulkan oleh virus corona mencapai 101.927 kasus, 80.813 kasus diantaranya berasal dari Cina. Sedangkan sisanya dilaporkan terjadi di 93 negara lainnya. Di Indonesia sendiri, baru-baru ini dikonfirmasi bahwa dari 483 orang yang diperiksa, 6 orang positif menderita Covid-19 dan ini ada kemungkinan terus bertambah. Virus ini juga menyerang tenaga medis yang ikut menangani kasus. Jumlah ini dapat terus berubah setiap waktunya.[1]

Kasus ini menjadi perbincangan hangat di berbagai media sosial. Tak sedikit akun-akun media sosial yang memberitakan berbagai informasi terkait kasus ini. Bahkan saat ini masih menjadi tranding topic di media sosial. Mengetahui hal ini, lalu bagaimanakah sikap kita sebagai seorang muslim?

Bertawakkal Kepada Allah

Dalam kehidupan ini, tidak ada yang terjadi kecuali atas izin Rabbul ‘âlamîn yang menciptakan alam ini, yaitu Allah . Segala sesuatu yang terjadi di muka bumi ini telah Allah tetapkan takdirnya, bahkan tidak ada satu daun pun yang jatuh melainkan atas izin Allah . Maka sudah sepatutnya bagi kita seorang muslim, meyakini bahwa Allah-lah yang telah menghendaki segala sesuatu terjadi. Allah berfirman: “Tidak ada suatu musibah yang menimpa (seseorang), kecuali dengan izin Allah, dan barangsiapa beriman kepada Allah, niscaya Allah akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (Q.S. at-Taghabun [64]: 11).

Dalam sebuah hadits, dari Abul Abbas, Abdullah bin Abbas, dia berkata: “Pada suatu hari aku membonceng Nabi ﷺ, lalu beliau bersabda: ‘Nak, aku akan mengajarkan beberapa kalimat kepadamu: Jagalah Allah, niscaya engkau akan selalu mendapati-Nya ada di hadapanmu. Jika engkau memohon sesuatu, mohonlah kepada Allah, dan jika engkau meminta pertolongan, minta tolonglah kepada Allah. Ketahuilah, seandainya semua ummat manusia bersatu untuk memberikan suatu kebaikan kepadamu, mereka tidak akan mampu melakukannya kecuali atas apa yang telah Allah tetapkan bagimu. Dan seandainya mereka bersatu untuk mencelakakanmu, mereka tidak akan mampu melakukannya kecuali atas apa yang telah Allah tetapkan bagimu. Pena (penulis takdir) telah diangkat dan lembaran-lembaran (catatan takdir) telah kering”. (H.R. At-Tirmidzi, hasan shahih).

Dari hadits tersebut, kita bisa mengambil pelajaran betapa pentingnya beriman kepada takdir Allah . Manfaat dan mudharat yang menimpa seseorang, semua atas kehendak dan takdir Allah . Adapun seseorang yang terkena musibah atau wabah penyakit dikarenakan hal (sebab) tertentu, itu menjadi suatu sebab baginya, namun tak terlepas dari takdir Allah . Selain itu, pentingnya bagi kita untuk menjaga perintah-perintah Allah , agar Allah  senantiasa melindungi dan menolongan kita. Selain itu, hendaknya seorang muslim tidak memiliki ketakutan dan kekhawatiran yang berlebihan terhadap hal tersebut. Dengan bertawakkal kepada Allah , akan melahirkan ketenangan hati dan kesabaran dalam menghadapi musibah.

Memperbanyak Berdo’a

Memperbanyak do’a dan dzikir adalah bentuk ikhtiyar kita kepada Allah . Do’a menjadi sebab untuk mencegah bala’ bencana dan mendapatkan pertolongan dari kesulitan (atas izin Allah). Do’a memohon perlindungan dari penyakit: “Allaahumma innii ‘auudzu bika minal barashi wal junûni wal judzâmi wa sayyi-il asqâm (artinya: Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari penyakit kulit, gila, lepra, dan dari penyakit yang jelek lainnya)” (H.R. Abu Daud, no. 1554).[2]

Selain itu, do’a juga sebagai bukti tawakkalnya seseorang kepada Allah . Hendaknya kita mengamalkan dzikir-dzikir yang telah disyariatkan, seperti dzikir pagi dan dzikir petang. Dengan berdzikir kepada Allah , in sya Allah hati dan jiwa kita akan menjadi tenang, senantiasa dilindungi oleh Allah , dan tidak dibayangi oleh ketakutan dan kekhawatiran yang berlebihan. Allah berfirman: “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tentram” (Q.S. Ar-Ra’d [13]: 28).

Menjaga Kebersihan Diri

Ikhtiyar lain yang dapat dilakukan adalah dengan menjaga kebersihan diri dan lingkungan. Islam telah mengatur dengan sedemikian rupa terhadap hal-hal yang besar hingga hal yang paling sederhana. Mulai dari bangun tidur hingga tidur lagi, syari’at ini telah mengaturnya untuk kemaslahatan manusia itu sendiri. Jika kita bisa mengikuti rambu-rambu syari’at dengan benar, in sya Allah kita akan selalu diberikan kesehatan dan keselamatan oleh Allah

Selektif dalam Menerima dan Menyebarkan Berita

Berita di media sosial merupakan hal yang kita anggap penting, karena dengannya kita bisa mengetahui kondisi terkini terkait dengan sesuatu yang sedang terjadi di sekitar kita, maupun informasi yang berasal dari belahan bumi lainnya. Namun, sangat disayangkan, tak sedikit orang-orang yang tidak bertanggungjawab, mereka membuat berita palsu atau hoax dan kemudian disebarluaskan. Hal tersebut mereka tujukan untuk ketenaran, ada pula yang hanya bermain-main saja. Alhasil, orang-orang yang kurang selektif membaca berita tersebut, ikut menyebarluaskan. Berita hoax terkait virus corona banyak tersebar luas di media sosial. Sebagai seorang muslim, ketika kita menerima suatu berita, kita diharuskan memeriksa terlebih dahulu apakah berasal dari sumber yang dapat dipertanggunggjawabkan, dan apakah berita tersebut benar-benar menggambarkan fakta yang terjadi. Allah berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu” (Q.S. al-Hujurât [49]: 6).

Tidak Mempersulit Orang Lain

Merebaknya berita wabah corona menyebabkan timbulnya fenomena Panic Buying, yaitu tindakan membeli sejumlah besar produk yang tidak biasa untuk mengantisipasi bencana, atau setelah terjadinya bencana, atau saat merasakan terjadinya bencana untuk mengantisipasi kenaikan harga. Fenomena ini terjadi pada pembelian barang-barang yang dirasa penting untuk mencegah adanya penularan virus. Namun, sayangnya hal ini dimanfaatkan oleh kebanyakan orang untuk meraih keuntungan dengan menaikkan harga barang yang melebihi batas kewajaran. Imbasnya, orang yang awalnya hanya ingin membeli barang tersebut untuk kebutuhan kesehariannya, akhirnya ia terpaksa mengeluarkan uang dua kali lipat atau lebih. Atau, yang seharusnya ia membeli, akhirnya ia kesulitan untuk mendapatkannya.

Dalam Islam, kita diperintahkan untuk memudahkan urusan orang lain, dalam berbagai perkara. Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang mempermudah kesulitan orang lain, maka Allah ﷻ akan mempermudah urusannya di dunia dan akhirat.” (H.R. Muslim)[3]. Maka hendaknya kita mempermudah urusan saudara kita, agar (semoga) Allah  mempermudah urusan kita pula tatkala kelak kita dalam keadaan sulit.

Masih banyak lagi sikap yang seharusnya ada pada seorang muslim dalam menghadapi fenomena seperti ini yang tidak penulis sebutkan disini. Semoga kita semua tetap semangat dalam menuntut ilmu syar’i, sehingga kita memiliki ilmu dan dapat mengambil sikap yang tepat dalam menghadapi suatu fenomena yang terjadi di sekitar kita. Semoga Allah selalu menjaga negeri kita dari musibah dan wabah penyakit. âmîn.[]

 

Uswatun Chasanah

Psikologi UII

 

Marâji’

[1] https://infeksiemerging.kemkes.go.id/

[2] https://rumaysho.com/21766-doa-meminta-perlindungan-dari-penyakit-kulit-gila-dan-berbagai-penyakit-jelek.html

[3] https://muslim.or.id/610-muamalah-allah-terhadapmu-sesuai-dengan-muamalahmu-terhadap-hamba-nya.html

 

Mutiara Hikmah

Doa Perlindungan dari Penyakit

اَللّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْبَرَصِ وَالْجُنُوْنِ وَالْجُذَامِ وَسَيِّئِ اْلأَسْقَامِ.

” Ya Allah, aku berlindung kepadaMu dari penyakit kulit belang, penyakit gila, penyakit lepra, dan penyakit yang (berakibat) buruk. ” (H.R. Abu Dawud, No.1554)

Download Buletin klik disini

Pola Hidup Sehat

Pola Hidup Sehat

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Sedikit sedikit sakit, terus apakah Islam memperhatikan dan menjaga kesehatan manusia? Mungkin kalimat ini banyak muncul di sebagian besar benak umat Islam pada umumnya. Melalui buletin ini mudah mudahan dapat berbagi informasi tentang betapa Islam menganjurkan kepada seluruh manusia untuk menjaga kesehatannya, salah satunya dengan menjaga pola makan yang baik dan benar serta olah raga yang tertib.

Al-Qur’an diturunkan sekitar 14 abad yang lalu, dan kita ketahui bahwa seluruh isi al-Qur’an dapat di pastikan tidak ada yang bertentangan dengan alam dan manusia pada khusunya. Kita ketahui pula bahwa al-Qur’an diturunkan kepada manusia (hamba) yang (ummiy) atau seseorang yang tidak bisa membaca dan tidak pula bisa menulis, yaitu Muhammad `. Dengan ini tentu menambah keyakinan kita selaku umatnya bahwa al Qur’an bukan karangan dari Muhamad, tetapi merupakan wahyu yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tuhan semesta alam.

Makanlah Makanan yang Halal lagi Baik.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya), “Wahai sekalian manusia makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah mengikuti langkah langkah setan. Sesungguhnya setan adalah musuh yang nyata bagi kalian. (Q.S. al-Baqarah [2]: 168).

Dari ayat diatas sangat jelas bagi kita bahwa Allah memerintahkan kepada seluruh manusia untuk mengonsumsi makanan bukan hanya yang halal tetapi juga Thayyib ( baik). Kalau kita merujuk para mufassir salah satunya adalah Tafsir Ibnu Katsir, beliau berpendapat bahwa Thayyib  adalah sesuatu yang baik, tidak membahayakan tubuh dan akal/ fikiran[1].

Syaikh Abdurrahman as’sa’di, berpendapat dalam Tafsir as Sa’di, bahwa makna kata الحلال yaitu segala sesuatu yang tidak membahayakan, dan itu adalah segala sesuatu yang Allah izinkan untuk dimanfaatkan. Kata الطيب yaitu sesuatu yang suci, tidak najis, dan tidak menjijikkan yang tidak disukai oleh jiwa.[2]

Kebanyakan kita pada umumnya banyak yang lupa atau bahkan kurang memahami tentang kata thayyib tersebut, kebanyakan dari kita hanya yang penting halal, sehingga konsep baik itu sendiri terlupakan.

Mengapa Allah menggandengkan kata halal dengan thayyib dalam hal makanan? Karena tidak selamanya yang halal itu baik, di zaman sekarang ini banyak makanan yang secara dzatnya halal, tetapi secara kesehatan makanan tersebut tidak baik untuk di konsumsi, oleh karena itu Allah menganjurkan makanan yang halal dan juga baik.  Apalagi di era globalisasi seperti zaman sekarang ini, banyak makanan dan minuman yang siap saji, semua makanan serba cepat dan instan, membuat kita harus pandai memilah dan memilih tentunya, mana makanan yang halal dan juga baik.

Banyak diantara kita yang kurang teliti dan cermat tentang makanan yang kita makan sehari hari, kebanyakan hanya fokus pada yang penting halal dan melupakan apakah makanan itu baik atau tidak untuk badan kita. Banyak makanan dan minuman yang beredar di sekitar kita, makanan itu halal dari sisi dzat nya, tetapi tidak thayyib untuk dikonsumsi oleh kita.

Salah satu contohnya adalah minuman dalam kemasan yang mengandung pemanis buatan dan juga pengawet. Makanan dan minuman tersebut bisa bertahan hingga berbulan bulan bahkan bertahun tahun. Makanan yang siap saji dan yang mengandung pengawet dan pemanis buatan itu, secara dzat nya halal, tetapi secara kebaikan dan gizi makanan tersebut tidak thayyib. Hal ini kalau kita konsumsi setiap hari tanpa kita sadari, kita sudah menumpuk bahan bahan yang tidak baik dalam tubuh kita, yang nantinya dalam jangka Panjang bisa membuat tubuh kita menjadi rusak dan sakit.

Dalam ayat yang lain Allah Subhanahu wa Ta’ala, menegaskan kepada kita untuk memakan makanan yang baik. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 172 (yang artinya) “Hai orang orang yang beriman, makanlah diantara rizki yang baik baik yang kami berikan kepada mu, dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar benar hanya kepada allah kamu menyembah. (Q.S. al-Baqarah [2]: 172).

Menjaga Kebersihan Diri.

Seperti yang kita tahu, bahwa Rasulullah ` sangat menjaga kesehatannya, salah satunya beliau selalu menjaga kebersihan, karena kebersihan adalah bagian dari iman itu sendiri. Mari kita menengok sejenak ke belakang pada masa hidup Rasulullah `. Kita tahu bersama bahwa Rasul hanya pernah mengalami sakit 2 kali, pertama, pada saat beliau di racun oleh Zainab binti al Harits, dan yang kedua beliau sakit ketika menjelang wafat. Ini sangat luar biasa. Harusnya kita selaku umatnya mengikuti pola hidup yang diajarkandan di lakukan oleh Nabi kita.

Apa yang di lakukan oleh Rasul semasa hidupnya? Mari kita tengok sejenak. Rasulullah `  selalu menjaga kebersihan. Beliau selalu membiasakan hidup bersih, mulai dari mencuci tangan, bersiwak, menjaga wudlu, mandi, bersuci setelah buang air besar dan air kecil. Ini menunjukan bahwa pola hidup nabi sangat menjaga kebersiahan. Rasul sadar betul bahwa pangkal dari kesehatan adalah kebersihan.

Makan Makanan Yang Halal dan Baik.

Kita juga tau betul bahwa Rasulullah ` selalu memakan makan yang halal dan baik, salah satu makanan Rasulullah ` adalah madu dan kurma, buah buahan serta sayur sayuran. Ini menunjukan bahwa pola hidup nabi sangat menjaga kesehatan dan pola makan.

Tidak Melupakan Berolahraga.

Salah satu olahraga yang dilakukan oleh Rasulullah ` ialah “lari”. Dalam hadts yang diceritakan oleh Aisyah i, “Rasulullah ` mendahuluiku, kemudian aku mendahului beliau, begitulah seterusnya. Hingga saat badanku sudah gemuk, kami pernah berlomba dan beliau yang memenangkan perlombaan itu. Kata beliau “kemenangan kali ini adalah balasan atas kekalahan yang lalu.” (H.R. Ahmad dan Abu Daud).

Hadits ini bercerita tentang perlombaa lari antara Nabi dan istrinya aisyah i. Ini menunjukan bahwa beliau rajin berolahraga. Kita sudah seharusnya sebagai umatnya rajin berolahraga, karena dengan berolah raga badan kita menjadi fit dan selalu diberi kesehatan dan jiwa yang kuat.

Selain berlari Rasul juga gemar “memanah” banyak hadits yang berkisah tentang ini salah satunya adalah hadits shahih yang diriwayatkan oleh imam Bukhari. “Lemparlah panahmu itu dan saya bersama kamu sekalian”. (H.R. Bukhari). Dalam hadits lain Rasulullah ` pernah bersabda, “Kamu harus belajar memanah, karena memanah itu termasuk dari sebaik baik permainan.” (H.R. al-Bazzar dan Thabrani).

Banyak diantara kita yang melupakan olahraga, olahraga dianggap sebagian besar orang sebagai suatu kegiatan yang kurang bermanfaat, padahal dibalik olahraga tersimpan hal hal positif yang bermanfaat buat tubuh kita. Ada pepatah yang mengatakan banyak orang yang menghabiskan waktunya untuk mencari uang, setelah itu mereka menghabiskan uang itu untuk pengobatanya. Banyak diantara kita yang sibuk menghabiskan waktunya untuk bekerja, bahkan mereka lupa untuk berolahraga, setelah mulai sakit baru terasa, betapa pentingnya melakukan hidup sehat dengan berolahraga.

Dalam hadits yang lain Rasulullah ` pun gemar berenang dan berkuda. Salah satunya adalah hadits yang di riwayatkan oleh Imam Muslim, “Sesungguhnya Rasulullah pernah mengadakan pacuan kuda dan memberi hadiah kepada pemenangnya. (H.R. Muslim)

Subhanallâh walhamdulillâh, ternyata Rasulullah ` sudah mencontohkan dan mengajarkan perilaku hidup sehat sejaka 14 abad yang lalu. Beliau mengajarkan untuk hidup seimbang, antara ruhaniah dan kebutuhan fisik. Mari kita semakain bersemangat lagi untuk terus mengikuti dan mengamalkan sunnah sunnah yang nabi ajarkan, mudah mudahan rahmat dan berkah Allah l selalu menyertai kita. Âmîn.[]

 

Irwanto, M.Pd

Prodi Manajemen Pendidikan Islam

Fakultas Ilmu Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

 

Marâji’:

[1] Imam Ibnu Katsir. Tafsir Al-Qur’an al ‘Adhim. Beirut: Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyyah. Jilid I, hal. 253 https://islam.nu.or.id/post/read/112683/makna–halalan-thayyiban–dalam-al-qur-an

[2] https://tafsirweb.com/650-quran-surat-al-baqarah-ayat-168.html

 

Mutiara Hikmah

Rasulullah ` berdoa,

اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ

“ Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari hilangnya kenikmatan yang telah Engkau berikan, dari berubahnya kesehatan yang telah Engkau anugerahkan, dari siksa-Mu yang datang secara tiba-tiba, dan dari segala kemurkaan-Mu ” (H.R. Muslim no. 2739).

 

Download Buletin klik disini

Dikit-Dikit Haram, Terus Apa Yang Halal ?

Dikit-Dikit Haram, Terus Apa Yang Halal ?

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Membaca judul buletin ini, mungkin ada sebagian dari kita yang teringat sesuatu, entah mungkin dahulu kita sendiri yang berkomentar seperti itu, atau kita mendapati orang lain berkomentar seperti itu, yakni,”dikit dikit kok haram, semua haram, yang halal apa?!”. Benarkah hal ini? Dari sini penulis teringat penjelasan singkat mengenai hal ini dari muqaddimah risalah Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid hafizhahullâh, Muharramat Istahana Biha an-Nas Yajib al-Hadzaru Minha (judul bahasa Indonesia Dosa-Dosa yang Dianggap Biasa).

Jauhilah Yang Haram

Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid hafizhahullâh berkata setelah mengucap khutbatul hajah, ”Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan beberapa kewajiban yang tidak boleh diabaikan, memberi beberapa ketentuan yang tidak boleh dilampaui, dan mengharamkan beberapa hal yang tidak boleh dilanggar. Nabi ` bersabda, ”Apa yang dihalalkan oleh Allah dalam kitab-Nya, maka itulah yang halal, dan apa yang diharamkan-Nya, maka itulah yang haram, sedangkan apa yang didiamkan-Nya, maka itu adalah yang dimaafkan, maka terimalah pemafaan dari Allah. Sesungguhnya Allah tidak pernah lupa.’ Kemudian beliau ` membaca ayat,’Dan tidaklah Tuhanmu lupa.’ (Q.S. Maryam [19]: 61).”(H.R. al-Hakim, dihasankan oleh al-Albani).

Perkara-perkara yang diharamkan adalah ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh Allah ﷻ. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ”Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya.”(Q.S. al-Baqarah [2]: 187). Menjauhi hal-hal yang diharamkan hukumnya wajib, hal itu berdasarkan sabda Rasulullah ` ”Apa yang aku larang atas kalian, maka jauhilah ia, dan apa yang aku perintahkan pada kalian, maka lakukanlah daripadanya semampumu.” (H.R. Muslim).

Sering kita saksikan, sebagian para penurut hawa nafsu, orang-orang yang lemah jiwa dan sedikit ilmunya, manakala mendengar hal-hal yang diharamkan secara berturut-turut, ia berkeluh kesah sambil berujar,”Segalanya haram, tak ada sesuatupun, kecuali kamu mengaharamkannya. Kamu telah menyuramkan kehidupan kami, menyempitkan dada kami, tidak ada yang kamu miliki, selain haram dan mengharamkan. Agama ini mudah, persoalannya tak sesempit itu dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Untuk menjawab ucapan mereka, kita katakan, ”Sesungguhnya Allah  menetapkan hukum menurut kehendak-Nya, tidak ada yang dapat menolak ketetapan-Nya. Allah Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui, maka Dia menghalalkan apa yang Dia kehendaki atau mengharamkan apa yang dikehendaki-Nya pula, dan diantara prinsip kehambaan kita kepada Allah  adalah hendaknya kita ridha dengan apa yang ditetapkan oleh-Nya, pasrah dan berserah diri kepada-Nya secara total.”

Hukum-hukum Allah ﷻ berdasarkan ilmu, hikmah, dan keadilan-Nya, bukan berdasarkan kesia-siaan dan permainan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ”Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (al-Qur’an), sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat mengubah kalimat-kalimat-Nya dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. al-An’am [6]: 115).

Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan kepada kita kaidah halal-haram dalam firman-Nya, ”Dan (Allah) menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk.” (Q.S. al-A’raf [7]: 157). Maka yang baik-baik adalah halal dan yang buruk-buruk adalah haram.

Yang Haram Sudah Ditentukan

Tak seorangpun boleh berbicara tentang halal-haram, kecuali para ahli yang mengetahuinya, berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah, Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi peringatan keras kepada orang yang menghalalkan dan mengharamkan sesuatu tanpa ilmu pengetahuan, sebagaimana ditegaskan firman-Nya, ”Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta,’ini halal dan ini haram,’ untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah.” (Q.S. an-Nahl [16]: 116).

Hal-hal yang diharamkan secara jelas terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Seperti dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, ”Katakanlah,’Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu janganlah kamu menyekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapak, dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan!” (Q.S. al-An’am [6]: 151).

Dalam as-Sunnah juga disebutkan beberapa hal yang diharamkan, sebagaimana sabda Rasulullah `, ”Sesungguhnya Allah mengharamkan penjualan khamr (minuman keras), bangkai, babi, dan patung-patung.” (H.R. Abu Dawud; Shahih Abu Dawudno. 977). Dan sabda Rasulullah `, ”Sesungguhnya jika Allah mengharamkan sesuatu, Dia mengharamkan pula harga penjualannya.” (H.R. ad-Daruquthni).

Dalam sebagian nash terkadang disebutkan pula beberapa jenis yang diharamkan, seperti makanan yang dirincikan Allah dalam firman-Nya l, ”Diharamkan bagimu memakan bangkai, darah, daging babi, daging hewan yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukuli, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan diharamkan bagimu yang disembelih untuk berhala. Dan diharamkan pula mengundi nasih dengan anak panah.” (Q.S. al-Mâ`idah [5]: 3).

Tentang yang diharamkan dalam pernikahan, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat an-Nisâ` ayat 23. Dalam perkara bisnis, Allah juga menyebutkan hal-hal yang diharamkan, dalam surat  al-Baqarah ayat 275.

Yang Halal Jauh Lebih Banyak

Allah Yang Maha Pengasih terhadap hamba-Nya menghalalkan segala sesuatu yang baik yang tidak terhitung banyak dan jenisnya. Oleh sebab itu, Allah tidak memberikan rincian hal-hal yang halal dan dibolehkan, karena semua itu tidak terhitung banyaknya. Allah menerangkan secara rinci hal-hal yang diharamkan karena dapat dihitung, sehingga kita mengetahui dan menjauhinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ”Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya…” (Q.S. al-An’am [6]: 119).

Adapun hal-hal yang dihalalkan, maka Allah menerangkannya secara global, yakni selama hal-hal itu merupakan sesuatu yang baik. Allah berfirman, ”Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baikdari apa yang terdapat di bumi.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 168). Termasuk di antara rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala, bahwa Dia menjadikan dasar segala sesuatu adalah halal, sampai terdapat dalil yang mengharamkannya. Hal ini menunjukkan bahwa Allah Maha Pengasih dan Mahaluas rahmat-Nya atas segenap hamba-Nya. Oleh sebab itu, kita wajib taat, memuji, dan bersyukur kepada-Nya.

Di samping hal-hal di atas, setiap muslim hendaknya mengetahui bahwa diharamkannya beberapa hal tersebut mengandung hikmah yang besar. Di antaranya adalah Allah menguji segenap hamba-Nya dengan hal-hal yang diharamkan tersebut, lalu Dia melihat bagaimana mereka berbuat. Orang-orang beriman melihat beratnya kewajiban dengan cara pandang dari sisi perolehan pahala dan ketaatan pada perintah Allah ﷻ, sehingga berharap mendapat ridha-Nya. Dengan demikian kewajiban itu terasa ringan. Berbeda halnya dengan orang-orang munafik, mereka melihat beratnya kewajiban dari sisi kepedihan, kesal, dan pembatasan, sehingga kewajiban itu terasa berat untuk mereka lakukan dan ketaatan menjadi suatu hal yang sangat sukar.

Dengan meninggalkan hal-hal yang diharamkan, orang yang taat akan merasakan buah manisnya. Barangsiapa meninggalkan sesuatu karena Allah ﷻ, niscaya Allah ﷻ akan menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik daripadanya, lalu mendapatkan kelezatan iman dalam hatinya.1 Kita memohon kepada Allah dengan nama-nama-Nya yang indah, agar memberikan kepada kita rasa takut kepada-Nya, sehingga membentengi kita dari melakukan maksiat kepada-Nya, serta menganugerahkan kepada kita ketaatan kepada-Nya yang dengannya kita bisa mencapai surga-Nya.[]

 

Yanayir Ahmad

Teknik Elektro UII

 

Referensi

1Muhammad Shalih al-Munajjid. 1414. Muharramat Istahana Biha an-Nas Yajib al-Hadzaru Minha. Diterjemahkan oleh: Ainul Haris bin Umar Arifin, Lc. Jakarta: Darul Haq.

Mutiara Hikmah

Dari hadits Ali bin Abi Thalib a, Nabi ` pernah mengajarkan doa berikut,

اللَّهُمَّ اكْفِنِى بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنِى بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ

“Ya Allah cukupkanlah aku dengan yang halal dan jauhkanlah aku dari yang haram, dan cukupkanlah aku dengan karunia-Mu dari bergantung pada selain-Mu.” (H.R. Ahmad no.1319,  dan Tirmidzi no.3563)

Download Buletin klik disini

C I N T A

C I N T A

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Hidup ini akan terasa indah jika memaknai cinta dengan apa yang dikehendaki Allah  dan rasul-Nya. Seindah doa dari sahabat Abu Darda a, Ya Allah, aku mohon pada-Mu cinta-Mu dan cinta orang yang mencintai-Mu, amalan yang mengantarkanku menggapai cinta-Mu. Ya Allah, jadikan kecintaanku kepada-Mu lebih aku cintai daripada cintaku pada diriku sendiri, keluargaku, dan air dingin.(H.R. Ahmad dan Tirmidzi).

Teks doa ini diriwayatkan oleh Tirmidzi dari sahabat Abu Darda a.Hadits ini dikeluarkan oleh Tirmidzi (3556), Al-Hakim (2:433), Ibnu ‘Asakir (5/352/2). Tirmidzi menilai hadits ini hasan gharib. Al-Hakim menilai hadits ini sahih secara sanad.[1]

Kecintaan kepada Allah akan mengantarkan pelakunya pada kebahagiaan dunia dan akhirat. Sehingga cinta tersebut akan menggerakkan seluruh aktivitasnya pada segala sesuatu yang bermuara kepada kebaikkan, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Karena cinta itu ibadah, maka harus dipahami dengan benar. Jika cinta tidak dipahami dengan benar dan pengamalannya yang salah akan membawa pelakunya pada perbuatan dosa (masuk neraka). Namun jika cinta dipahami dengan benar  akan membawa pelakunya pada kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat (masuk surga).

Cinta memiliki peranan penting dalam keberlangsungan hidup manusia. Seorang ibu mengandung 9 bulan, menyusui 2 tahun dan merawatnya hingga dewasa, ini karena cinta. Seorang ayah bekerja siang dan malam untuk memenuhi kebutuhan isteri dan anak-anaknya, ini karena cinta. Seseorang melakukan aktivitas untuk mencapai suatu tujuan itupun pada akhirnya juga karena cinta.

Jika seseorang cinta kepada Allah ﷻ dan ingin berjumpa dengan-Nya, maka dia akan menempuh jalan yang mengantarkan menuju cita-citanya tersebut. Cinta merupakan penggerak seluruh aktivitas. Bahkan, hakikat ibadah itu sendiri adalah cinta, karena ibadah yang kosong dari cinta bagaikan ibadah yang tidak memiliki ruh.

Cinta Yang Sesungguhnya

Cinta yang sesungguhnya adalah cinta yang ditujukan kepada Allah ﷻ semata. Orang-orang beriman sangat mencintai Allah ﷻ, sebagaimana orang-orang musyrik mereka mencintai sesembahan mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan di antara manusia ada orang-orang yang mengangkat tandingan-tandingan selain Allah, mereka mencintai-Nya sebagaimana mencintai Allah, adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah.” (Q.S. al Baqarah [2]: 165).

Dari Anas a Rasulullah ` bersabda, “Ada tiga perkara yang apabila perkara tersebut ada pada seseorang, maka ia akan mendapatkan manisnya iman, yaitu (1) barangsiapa yang Allâh dan Rasûl-Nya lebih ia cintai dari selain keduanya, (2) apabila ia mencintai seseorang, ia hanya mencintainya karena Allâh. (3) Ia benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allâh menyelamatkannya sebagaimana ia benci untuk dilemparkan ke dalam Neraka.” (H.R. al-Bukhari no.16, Muslim no.43, At-Tirmidzi no.2624, dan Ibnu Majah no.4033)

Dari Ibnu Jarir, dari Ibnu Abbas h beliau berkata, “Siapa yang mencintai dan benci karena Allah, berteman dan memusuhi karena Allah, sesungguhnya pertolongan Allah itu diperoleh dengan demikian itu. Seorang hamba tidak akan bisa merasakan kenikmatan iman walaupun banyak melakukan shalat dan puasa sampai dirinya berbuat demikian itu. Sungguh, kebanyakan persahabatan seseorang itu hanya dilandaskan karena kepentingan dunia. Persahabat seperti itu tidaklah bermanfaat bagi mereka.” (H.R Ahmad di dalam al-Musnad III/430)

Tanda-Tanda Cinta Kepada Allah

Cinta kepada Allah ﷻ memiliki tanda dan bukti. Jika tanda dan bukti tersebut kurang atau bahkan tidak, hal ini merupakan tanda bahwa cinta kepada Allah ﷻ kurang, atau bahkan tidak ada. Di antara tanda-tanda kebenaran cinta kepada Allah adalah:[2]

  1. Mendahulukan kecintaan kepada Allah dibandingkan kecintaan kepada siapapun.
  2. Ittiba’ kepada Rasulullah `.
  3. Bercinta kasih kepada sesama kaum mukminin.
  4. Benci dan tegas kepada orang kafir.
  5. Berjihad di jalan Allah dengan jiwa dan hartanya demi tegaknya agama Allah.
  6. Tidak gentar terhadap celaan para pencela ketika berjalan di jalan Allah.

Tanda-tanda tersebut termaktub dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Katakanlah: “Jika bapak-bapak , anak-anak , saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan nya, Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan Nya”. dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik”. (H.R. at-Taubah [9]: 24)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfriman, “Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah: “Ta’atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir“.(Q.S. Ali Imran [2]: 31-32)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfriman, “Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap tegas terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha mengetahui.” (Q.S. al Mâidah [5]: 54).

Jangan Salah Memahami Cinta,

Jangan salah memahami cinta, sebagaimana yang terjadi pada hari valentine. Sudah menjadi rahasia umum, intensitas zina meningkat pesat di malam valentine. Hari itu dijadikan momen paling romantis untuk mengungkapkan rasa cinta kepada pacar dan kekasih. Apabila valentine hanya sekadar pacaran dan makan malam, setelah itu pulang ke “kandang” masing-masing, ini cara valentine zaman 70-an, kuno! Saat ini, valentine telah resmi menjadi hari zina sedunia.

Bukan hanya mengungkap perasaan cinta melalui hadiah coklat, tapi saat ini dilampiri dengan kondom. Allâhu akbar! Apa yang bisa Anda bayangkan? Malam valentine menjadi kesempatan besar bagi para pemuda dan mahasiswa pecundang untuk merobek mahkota keperawanan gadis dan para wanita. Malam valentine diabadaikan dengan lumuran maksiat dan dosa besar. Lebih parah dari itu, semua kegiatan di atas mereka rekam dalam video untuk disebarkan ke berbagai penjuru bumi melalui dunia maya. Bukankah ini bencana besar?! Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji’ûn.

Dimanakah rasa malu mereka?! Dimanakah rasa keprihatinan mereka dengan umat?! Akankah mereka semakin memperparah keadaan?! Wahai para pemuda pecundan, jangan karena kalian tidak mampu menikah kemudian kalian bisa sewenang-wenang menggagahi wanita?

Wahai para pemudi yang hilang rasa malunya, jangan karena sebatang cokelat dan romantisme picisan Anda merelakan bagian yang paling berharga pada diri Anda. Laki-laki yang saat ini sedang menjadi pacarmu, bukan jaminan bisa menjadi suamimu. Bisa jadi kalian sangat berharap kasih sayang sang kekasih, namun di balik itu, obsesi terbesar pacarmu hanya ingin melampiaskan nafsu binatangnya dan mengambil madumu.

Bertaubatlah wahai kaum muslimin, ingatlah hadits Nabi `,Jika perbuatan kekejian sudah merebak dan dilakukan dengan terang-terangan di tengah-tengah masyarakat, maka Allah akan menimpakan kehancuran kepada mereka.” (H.R. Hakim dan beliau shahihkan, serta disetujui Ad-Dzahabi)

Allâhu Akbar, bukankah ini ancaman yang sangat menakutkan. Gara-gara perbuatan mereka yang tidak bertanggung jawab itu, bisa jadi Allah menimpakan berbagai bencana yang membinasakan banyak manusia. Ya.. valentine’s day, telah menyumbangkan masalah besar bagi masyarakat.

Karena itu, kami mengajak kepada mereka yang masih lurus fitrahnya. Berusahalah untuk banyak istighfar kepada Allah. Perbanyaklah memohon ampunan kepada Allah. Kita berharap, dengan banyaknya istighfar yang kita ucapkan, semoga Allah mengampuni hamba-hamba-Nya.[3] Wallâhu a’lam bi ash shawâb.[]

 

*Abu Fawwaz al-Katitanji

 

Mutiara Hikmah

رَبِّ إِنِّي لِمَا أَنْزَلْتَ إِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيرٌ

Ya Tuhanku Sesungguhnya aku sangat membutuhkan setiap kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.” (Q.S. al-Qashash [28]: 24).

 

Refrensi end note:

[1] https://rumaysho.com/22798-doa-nabi-daud-meminta-cinta-allah.html

[2] Abu Isa Abdullah bin Salam. 1435 H. Mutiara Faidah Kitab Tauhid. Yogayakarta: Pustaka Muslim. hal. 209-212

[3] https://konsultasisyariah.com/10485-valentines-day-hari-zina-internasional.html

 

Download Buletin klik disini

Untuk Apa Aku Hidup Di Dunia ?

Untuk Apa Aku Hidup Di Dunia ?

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Salah satu perkara ‘aqidah yang penting untuk diketahui dan dipegang erat oleh masing-masing umat Islam adalah tujuan hidup di dunia ini supaya kehidupan dari masing-masing umat Islam lebih terarah dan tidak salah dalam menjalani kehidupan di dunia. Karena dengan tujuan yang tepat, setiap hal yang dilakukan akan memiliki arah yang jelas.

Masih banyak segelintir orang yang masih bingung tentang tujuan penciptaan manusia di dunia, setelah mencari jawaban selama bertahun-tahun pun masih tidak mendapat jawaban dari pertanyaan “Untuk apa sih saya ada di dunia ini”. Demikian kira-kira yang muncul dalam benak orang-orang tersebut. Bahkan yang lebih parah lagi jika ada yang menanyakan, “Kenapa sih kita harus beribadah kepada Allah?”. “Apakah Allah memerintahkan kita untuk ibadah karena Allah butuh kepada makhluk ?” dan pertanyaan yang sejenisnya.

Tujuan Penciptaan Makhluk

Ternyata, Allah Subhanahu wa Ta’ala sudah dengan jelas menyatakan tujuan hidup kita di dunia yaitu beribadah kepada Allah l. Allah l berfirman, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (Q.S. adz-Dzariyat [51]: 56)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di v menjelaskan (tafsir as-sa’di), inilah tujuan Allah menciptakan jin dan manusia, dan Dia mengutus para rasul untuk menyeru kepadanya, yakni untuk beribadah kepada-Nya yang di dalamnya mengandung ma’rifat (mengenal)-Nya dan mencintai-Nya, kembali kepada-Nya, dan mendatangi-Nya serta berpaling dari selain-Nya. Hal ini tergantung pada ma’rifat (mengenal)-Nya, karena sempurnanya ibadah tergantung sejauh mana pengenalannya kepada Allah, bahkan setiap kali seorang hamba bertambah ma’rifatnya, maka ibadahnya semakin sempurna. Untuk inilah Allah menciptakan manusia dan jin, bukan karena Dia butuh kepada mereka. Dia tidak menginginkan rezeki dari mereka dan tidak menginginkan agar mereka memberi-Nya makan, Mahatinggi Allah Yang Mahakaya dan tidak butuh kepada seorang pun dari berbagai sisi, bahkan semua makhluk butuh kepada-Nya dalam semua kebutuhan mereka, baik yang dharuri (penting) maupun yang selainnya.

Ternyata Allah  tidak membiarkan makhluk-Nya hidup tanpa tujuan di dunia. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menciptakan kita hidup di dunia ini untuk makan, minum, tidur, melepas lelah. Bila kita hidup dengan tujuan seperti ini, maka rendah sekali tujuan hidup kita. Tetapi ada tujuan besar yaitu agar setiap makhluk dapat beribadah kepada Allah. Ibadah yang mencakup segala yang dicintai oleh Allah baik itu ucapan maupun perbuatan. Yang terpenting bagi kita adalah melakukan apa yang Allah cintai bagaimana pun keadaan kita dan di mana pun kita berada.

Apakah Allah butuh kepada makhluk?

Kita sudah mengetahui bahwa tujuan kita hidup di dunia adalah untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tetapi bagi beberapa orang akan mempunyai pertanyaan lanjutan yaitu “Jika kita hidup untuk beribadah kepada Allah, apakah Allah butuh kepada makhluk-Nya?” atau “Berarti Allah butuh kepada makhluk?” dan pertanyaan sejenisnya.

Jawaban untuk pertanyaan tersebut adalah tidak, Allah l sama sekali tidak butuh kepada makhluk-Nya, melainkan makhluklah yang butuh kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bahkan sekalipun tidak ada satu manusia yang beriman kepada Allah, maka itu tidak akan mengurangi kekuasaan dan kerajaan Allah Subhanahu wa Ta’ala sedikitpun.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari makhluk dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi makan pada-Ku. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezeki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.”(Q.S. adz-Dzariyat [51]: 57-58)

Di ayat yang lain Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman, “Dan barangsiapa yang berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.”(Q.S. al-Ankabut [29]: 6)

Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya telah datang kepada mereka Rasul-Rasul mereka membawa keterangan-keterangan lalu mereka berkata: “Apakah manusia yang akan memberi petunjuk kepada kami?” lalu mereka ingkar dan berpaling; dan Allah tidak memerlukan (mereka). Dan Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”(Q.S. at-Taghabun [64]: 6)

Untuk Apa Allah Perintahkan untuk Beribadah?  

Sudah sangat jelas dari ketiga ayat di atas bahwa Allah tidak butuh sama sekali kepada makhluk-Nya. Namun bagi orang-orang yang berpikir “kritis” akan menimbulkan pertanyaan kembali yaitu “Kalau tidak butuh kepada makhluk, lalu untuk apa Allah memerintahkan untuk melakukan berbagai ibadah kepada makhluk-Nya?”.

Maka jawabannya adalah sebagai ujian dan sebagai pembeda antara orang yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan orang yang tidak beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena orang yang beriman dan beramal shalih akan mendapat balasan surga-Nya Allah  sementara orang yang tidak beriman dan tidak beramal shalih akan dijerumuskan ke neraka-Nya Allah sebagaimana firman-Nya, “Berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang beriman dan beramal salih bahwasanya mereka akan mendapatkan balasan berupa surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai…” (Q.S. al-Baqarah [2]: 25)

Lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman, “Barang siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang sangat besar.” (Q.S. an-Nisâ’ [4]: 13)

Bertaubatlah Segera

Kemudian setelah mengetahui tujuan Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan berbagai ibadah kepada makhluk-Nya, ada sebagian orang yang akan berpikir seperti “Hmmm, coba saja Nabi Adam dan istrinya tidak memakan buah yang Allah larang untuk mereka makan, maka kita tidak perlu lagi untuk berada di dunia ini dan langsung masuk ke dalam surga Allah”.

Maka ketahuilah, itu merupakan contoh bahwa setiap manusia pernah melakukan kesalahan dan terjatuh dalam dosa. Dan pintu ampunan Allah l begitu luasnya, maka sepatutnya ketika kita melakukan dosa dan kesalahan, hendaknya kita segera bertaubat dengan sebenar-benarnya taubat dari dosa tersebut.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin yang bersama dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: “Ya Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu”.(Q.S. at-Tahrim [66]: 8)

Kemudian Rasûlullâh ` bersabda, “Setiap anak Adam pasti berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang bertaubat. (Hasan: HR. Ahmad (III/198); at-Tirmidzi (no. 2499); Ibnu Majah (no. 4251) dan al-Hakim (IV/244), dari Sahabat Anas bin Malik. Lihat Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr (no. 4515))

Akhir kata, kita hidup ini bukan untuk tujuan dunia melainkan dengan tujuan untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka hendaknya kita tidak disibukkan dengan urusan dunia kita dan melupakan urusan akhirat kita karena dengan ibadah yang kita lakukan ikhlas karena Allah l semata in sya Allah menjadi sebab kita masuk ke dalam surga-Nya Allah dan di surgalah sebaik-baik tempat untuk kembali dan neraka seburuk-buruk tempat kembali.[]

 

Galih Enggartyasto

Teknik Mesin 2017

FTI UII

 

Referensi

https://muslim.or.id/1286-ciri-ciri-penduduk-surga.html

https://rumaysho.com/342-untuk-apa-kita-diciptakan-di-dunia-ini.html https://tafsirweb.com/9952-surat-az-zariyat-ayat-56.html

 

Mutiara Hikmah

Allah l berfirman:

وَأَحْسِنُوا ۛ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

… dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.

(Q.S. al-Baqarah [2]: 195).

 

Download Buletin klik disini