Profesiku Ibadahku
Profesiku Ibadahku
Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,
“Jadikan hidup sebagai ibadah!” Sebuah kalimat sederhana namun penuh makna dan nampak sulit untuk diimplementasikan. Hal tersebut selaras dengan tujuan Allah ﷻ menciptakan manusia di muka bumi ini sebagaimana yang telah difirmankan Allah ﷻ dalam surat adz-Dzariyat ayat 56 yang artinya, “Dan aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (Q.S. adz-Dzariyat [51]: 56)
Dalam Zubdatut Tafsir, Mujahid berkata: maknanya adalah melainkan Aku akan memerintahkan dan melarang mereka. Pendapat lain mengatakan yakni melainkan agar mereka tunduk dan patuh kepada-Ku. Sebab makna ‘ibadah’ secara bahasa adalah tunduk dan patuh.[1]
Bekerja untuk mendapatkan penghidupan (baca: rezeki) adalah ibadah. Karena bekerja itu ibadah, maka dalam bekerja harus tunduk dan patuh dengan aturan Allah ﷻ. Allah ﷻ telah memberi jatah rezeki setiap makhluk-Nya bahkan rezeki seekor lalat sekalipun telah diatur-Nya. Tidak ada satu makhluk (bernyawa) pun di muka bumi ini melainkan telah Allah ﷻ jamin rezekinya. Seperti halnya jodoh, rezeki setiap mahkluk tidak akan tertukar. Jatah dan porsinya sama, hanya cara menjemputnya yang berbeda-beda setiap makhluk. Manusia, sebagai makhluk yang dikaruniai akal oleh Allah ﷻ, seyogyanya memiliki berbagai macam cara dalam menjemput rezeki tersebut, tentunya dengan cara-cara yang halal dan dibolehkan oleh syari’at Islam, salah satunya dengan bekerja.
Allah ﷻ menciptakan dunia dan seisinya, dengan segala kecanggihan teknologinya, dengan segala kekayaan alamnya, dengan tujuan untuk memberi penghidupan kepada manusia. Contohnya saja Indonesia, sebagai negara kaya akan sumber daya alam namun karena ketidakmampuan sumber daya manusianya dalam mengelola kekayaan alam tersebut sehingga menyebabkan ketimpangan sosial dan kemiskinan semakin merajalela.
Sumber daya alam yang melimpah dan kecanggihan teknologi yang ada seharusnya mampu menciptakan berbagai macam lapangan pekerjaan, berbagai macam profesi, dan berbagai macam posisi sebagai bentuk ikhtiar kita sebagai “hamba”. Namun perlu diingat, segala pencapaian yang sudah kita raih, profesi dan posisi yang bagus di kantor bahkan harta yang berlebih adalah pemberian dari Allah ﷻ. Seperti yang disabdakan Nabi ﷺ dalam hadits riwayat Muslim, dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash yang artinya: “Allah telah mencatat takdir setiap makhluk sebelum 50.000 tahun sebelum penciptaan langit dan bumi.” (H.R. Muslim no. 2653)
Ambillah Pelajaran dari Kisah Qarun!
Janganlah seperti Qarun! Profesi, tahta, dan harta merupakan hal-hal yang sangat menggiurkan, semua konflik keluarga dan sosial bisa terjadi hanya karena ketiga hal di atas. Bahkan zaman Rasulullah ﷺ, telah banyak kaum yang dibutakan oleh harta dan tahta, salah satunya seperti kisah Qarun yang sangat masyhur.
Pada masanya, Qarun orang yang kaya raya dan bergelimang harta. Namun, ia telah dibutakan oleh hartanya. Kesombongan Qarun benar-benar telah mengundang murka Allah ﷻ. Allah menurunkan adzab kepada Qarun berupa gempa bumi dan longsor yang dahsyat. Qarun tenggelam bersama seluruh harta kekayaannya ke dalam perut bumi. Tidak ada sedikitpun harta yang tersisa, seluruhnya rata dengan tanah. Tidak ada satupun golongan yang mampu menyelamatkannya, baik keluarga, kerabat maupun temannya. Harta yang selama ini dibanggakannya justru menjadi malapetaka baginya dan tidak sedikitpun mampu menolongnya. Maka binasalah Qarun beserta harta kekayaannya dikarenakan kedurhakaan dan kekufurannya.[2]
Kisah tersebut bisa menjadi i’tibar (pelajaran), sehingga Allah ﷻ mengabadikan kisahnya dalam al-Qur’an ayat 78 yang artinya, “Qarun berkata: “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku”. Dan apakah ia tidak mengetahui, bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? Dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka.” (Q.S. al-Qashas [28]: 78)[3]
Bekerja adalah Ibadah
Harapannya, janganlah kita hanya disibukkan dengan urusan duniawi saja sehingga melupakan kewajiban-kewajiban ukhrawi. Paling sederhana yang bisa kita lakukan adalah dengan menjadikan profesi kita saat ini sebagai ibadah. Apapun profesi dan jabatan kita, jadikan sebagai ibadah dan proses penghambaan kita kepada Allah ﷻ. Jika kita telah berhasil menjadikan tujuan kita bekerja adalah untuk ibadah, in sya Allah rezeki yang kita dapatkan akan membawa berkah tidak hanya di dunia melainkan juga di akhirat.
Kita mampu meminimalisir hal-hal tercela dan tidak diinginkan lainnya yang mungkin terjadi di tempat kita bekerja, misalkan kecurangan, kemalasan, ketidakadilan, ketidakjujuran, dan perbuatan tercela lainnya. Tidak mudah diimplementasikan, namun kita bisa mulai dari diri kita sendiri, terlebih jika kita bisa menularkan energi positif tersebut kepada rekan-rekan di kantor sehingga tercipta budaya kerja yang Islami, karena bermanfaat bagi orang lain juga merupakan ibadah.
Dari Ibnu Umar bahwa seorang lelaki mendatangi Nabi ﷺ dan berkata: ”Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling diicintai Allah? dan amal apakah yang paling dicintai Allah?” Rasulullah ﷺ menjawab,”Orang yang paling dicintai Allah adalah orang yang paling bermanfaat buat manusia dan amal yang paling dicintai Allah adalah kebahagiaan yang engkau masukkan kedalam diri seorang muslim atau engkau menghilangkan suatu kesulitan atau engkau melunasi utang atau menghilangkan kelaparan. Dan sesungguhnya aku berjalan bersama seorang saudaraku untuk (menuaikan) suatu kebutuhan lebih aku sukai daripada aku beritikaf di masjid ini—yaitu Masjid Madinah—selama satu bulan. Dan barang siapa yang menghentikan amarahnya maka Allah akan menutupi kekurangannya dan barang siapa menahan amarahnya padahal dirinya sanggup untuk melakukannya maka Allah akan memenuhi hatinya dengan harapan pada hari kiamat. Dan barang siapa yang berjalan bersama saudaranya untuk (menunaikan) suatu keperluan sehingga tertunaikan (keperluan) itu maka Allah akan meneguhkan kakinya pada hari tidak bergemingnya kaki-kaki (hari perhitungan).” (H.R. Thabrani)[4]
Janganlah kita bekerja hanya untuk mencari rezeki, tapi niatkan juga untuk beribadah kepada Allah dengan niat yang ikhlas. Keihklasan adalah perkara yang amat menentukan. Dengan niat yang ikhlas, segala bentuk pekerjaan yang berbentuk kebiasaan bisa bernilai ibadah. Dengan kata lain, aktivitas usaha yang kita lakukan bukan semata-mata urusan harta dan perut tapi berkaitan erat dengan urusan akhirat.
Allah ﷻ telah memerintahkan kita untuk berbuat kebaikan. Memberi makan orang miskin dan anak yatim, saling membantu yang membutuhkan, mengeluarkan zakat, bersedekah, dan menyampaikan ilmu. Semua itu tidak dapat kita lakukan kalau kita tidak memiliki uang. Untuk bisa mendapatkan uang, jalannya dengan bekerja.[5] Oleh karena itu bekerjalah karena Allah ﷻ. Allah ﷻ berfirman: Dan katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Q.S. At-Taubah [9]: 105)
Allah ﷻ dalam al-Qur’an menjamin rezeki setiap makhluk-Nya, namun al-Qur’an tidak memberi peluang bagi seorang Muslim untuk berleha-leha dalam hidup. Semakin kita bekerja keras, insya Allah semakin besar pahala yang akan diberikan Allah ﷻ. Jika nafkah yang didapat merupakan bekal untuk beribadah, maka semakin banyak nafkah yang didapat, semakin banyak ibadah yang bisa dilakukan. Pendapatan kita sudah tertulis, begitupun pasangan, pekerjaan, makanan yang kita makan, bahkan kematian kita sudah tertulis.
Lantas, mengapa masih didapati orang frustasi, banyak pikiran, banyak penyakit bersarang di tubuhnya, jika semua urusan telah ada yang mengatur? Oleh karena itu, serahkan semua urusan kita kepada yang mengatur, mari kita fokus pada agama kita, perbaiki ketakwaan kita, perbaiki hubungan kita dengan-Nya, marilah mulai saat ini, kita jadikan profesi kita sebagai ibadah dan bernilai pahala, maka hidup kita akan bahagia dan dunia akan menghampiri kita tanpa perlu kita bersusah payah mengejarnya.
[1] Zubdatut Tafsir,” https://tafsirweb.com/37749-quran-surat-adz-dzariyat-ayat-56-58.html.
[2] Fera Rahmatun Nazila, “Qarun, Si Kaya Raya Yang Ditelan Bumi Karena Harta.”
[3] Quran Surat Al-Qashash Ayat 78,” https://tafsirweb.com/7128-quran-surat-al-qashash-ayat-78.html.
[4] Hadits Ini Dihasankan Oleh Syeikh Al-Albani Didalam Kitab ‘at Targhib Wa at Tarhib’ (2623)” (n.d.).
[5] Hadits Manusia Paling Bermanfaat,” Era Muslim: Media Islam Rujukan, last modified 2020, https://www.eramuslim.com/ustadz-menjawab/hadits-manusia-paling-bermanfaat.htm#.Xmm4kjIzbIV.
*Camelia Rizka Maulida Syukur
Mahasiswa Program Magister Studi Islam
Universitas Islam Indonesia
Mutiara Hikmah
Allah ﷻ berfirman,
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya“.” (Q.S. al-Kahfi [18]: 110)