PENTINGNYA MENDAMAIKAN ORANG YANG BERSELISIH

Seorang manusia mempunyai emosi di dalam dirinya. Kadangkala bisa meluapkan amarah, kekecewaan, dan kesedihan. Emosi yang ada dalam diri manusia dapat menyebabkan konflik karena beberapa alasan. Misalnya tawuran yang terjadi oleh para siswa antar sekolah, bisa saja tawuran timbul karena teman satu sekolah tidak terima diejek atau dipukul dan sebagainya. Semakin lama banyak yang ikutan membela temannya yang akhirnya terjadi tawuran. Timbulnya suatu konflik bisa mengarah kepada kekerasan seperti contoh tawuran. Untuk mencegah konflik yang bisa berakibat pada kekerasan, diperlukan rasa saling menerima keberadaan masing-masing individu maupun kelompok yang bertikai. Salah satu cara untuk mendorong perdamaian, diperlukan pihak ketiga sebagai pihak untuk mendamaikan dua pihak yang berselisih.

Dari Abu Hurairah dia berkata: Rasulullah  bersabda : “Janganlah kalian saling dengki, saling menipu, saling marah dan saling memutuskan hubungan. Dan janganlah kalian menjual sesuatu yang telah dijual kepada orang lain. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lainnya, (dia) tidak menzaliminya dan mengabaikannya, tidak mendustakannya dan tidak menghinanya. Taqwa itu disini (seraya menunjuk dadanya sebanyak tiga kali). Cukuplah seorang muslim dikatakan buruk jika dia menghina saudaranya yang muslim. Setiap muslim atas muslim yang lain; haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya”.(HR. Muslim)

Nabi Muhammad  sebelum menjadi Rasulullah , telah  memiliki sifat-sifat yang mulia. Sifat-sifat yang ada pada Nabi Muhammad  antara lain rajin, jujur, dan dapat dipercaya. Sebelum diangkat menjadi Rasulullah, pernah terjadi pertikaian pada kaum Quraisy saat itu. Berawal dari kegiatan merenovasi bangunan Ka’bah akibat banjir yang telah melanda kota Mekkah. Pada tahap peletakkan Hajar Aswad, mulailah perselisihan para tokoh kaum Quraisy. Masalah yang timbul adalah siapakah yang pantas dalam meletakkan Hajar Aswad tersebut. Kaum Quraisy terdiri dari beberapa kelompok (bani). Masing-masing kelompok mengajukan bahwa pemimpin kelompok mereka yang pantas meletakkan Hajar Aswad. Tidak menemukan jalan keluar, mereka akhirnya sepakat bahwa barang siapa yang datang paling lewat pintu maka dialah yang pantas meletakkan Hajar Aswad di tempatnya (Al-Mubarakfur, 2015).

Seseorang yang pertama kali masuk adalah Rasulullah . Mereka menjelaskan kepada Rasulullah  mengenai kondisi yang mereka hadapi. Rasulullah  diminta untuk mencari solusi untuk menyelesaikan pertikaian ini. Dia akhirnya meminta sebuah selendang kain. Kemudian para pemuka yang telah berselisih diminta untuk memegang ujung-ujung selendang, Rasulullah  meletakkan hajar aswad di tengah-tengah selendang. Para pemuka membawa Hajar Aswad dengan selendang yang dipegang pada ujung-ujung selendang. Mereka bersama-sama mengangkat dan membawanya ke tempat batu yang akan diletakkan. Ketika sudah mendekati tempat yang akan diletakkan, Rasulullah  mengambil hajar aswad dan meletakkan ke tempat yang ditujukan.

Cara ini merupakan solusi yang paling tepat untuk para pemuka yang berselisih. Alasannya ialah semua pemuka merasakan bahwa mereka ikut terlibat dalam peletakkan Hajar Aswad. Walaupun mereka bukan yang meletakkan batunya, namun dengan memegang ujung selendang, mereka sudah merasa ikut meletakkan. Selain itu sejak awal Rasulullah tidak mencari siapa yang paling berhak, tapi bagaimana semua ini terlibat. Ini menjadi pembelajaran bagi kita bahwa ketika ada orang yang berselisih tidak memihak salah satu.

Kita sebagai seorang muslim mempunyai kewajiban dalam mendamaikan bagi yang bertikai. Apabila yang bertikai tidak mau saling mengalah, dikhawatirkan akan membawa dampak buruk bagi perpecahan umat Islam. Silaturahim akan hancur dan akan saling membenci.

Berikut adalah ayat-ayat tentang mendamaikan orang yang berselisih, “Dan apabila ada dua golongan orang Mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya.” (Q.S.Al-Hujurat[49]:9). Dalam ayat yang lain Allah  berfirman, “Maka bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesamamu.” (Q.S.Al-Anfal[8]:1)

Kadangkala kita merasa takut dalam mendamaikan perselisihan. Kita khawatir apabila ikut campur dalam perselisihan, masalah akan timbul lebih parah. Padahal tidak demikian. Justru dalam perselisihan diperlukan orang ke tiga untuk mendamaikan. Allah menekankan kepada hambanya untuk selalu peduli. Masalah hasil, Allah tidak melihat keberhasilan tapi melihat usaha kita. Selama kita berusaha, Allah juga akan menolong hambanya.

Kita mungkin bisa melakukan ibadah dengan rajin dan melaksanakannya dengan baik, namun bila kita tidak peduli apa yang ada di lingkungan kita apalah artinya ibadah. Di luar sana banyak orang yang saling bertikai secara terbuka maupun tertutup. Apabila kita sebagai seorang muslim tidak bertindak maka cepat atau lambat perpecahan umat Islam akan terjadi.

Di era sekarang kita telah melihat dengan sendirinya bahwa telah terjadi perpecahan di dalam masyarakat. Tidak hanya sedikit orang, banyak malahan. Banyaknya perselisihan yang tak kunjung selesai menjadi sebuah pertanyaan bagi kita sendiri. Jangan-jangan kitalah yang selama ini diam hanya menyaksikan pertikaian? Atau malah kita menikmati pertikaian sebagai hiburan semata?

Pengalaman tercerai berainya umat Islam sebenarnya pernah terjadi di masa kehancuran Bani Abbasiyah. Terjadinya kemunduran tidak lain merupakan akibat dari  pertikaian yang tidak kunjung selesai. Tidak bersatunya umat Islam mengakibatkan Bani Abbasiyah sudah tidak memiliki kekuatan untuk melawan pasukan Mongol atau Tartar. Hanya dalam 40 hari, dinasti yang sudah ada selama 500 tahun lebih terpaksa lenyap. Detik-detik keruntuhan Bani Abbasiyah merupakan hal yang paling menyakitkan pada masa itu. Untuk pertama kalinya umat Islam tidak merasakan kepemimpinan khalifah, sebelum masuk ke era Turki Usmani.

Inilah pentingnya kita menjaga perdamaian antar sesama muslim. Selama pertikaian terus dibiarkan, keruntuhan umat Islam akan datang. Janganlah saling membenci, bila sedang marah kepada saudaramu maka tahanlah. Selalu jaga emosi, bila ingin mengingatkan teman yang salah maka ungkapkan dengan baik-baik.

Ingatlah selalu kepada ajaran Rasulullah  yang senantiasa untuk sabar. Rasulullah  sebagai panutan kita, maka kita harus mengikutinya. Karena beliau adalah sebaik-baik manusia, bukankan manusia terbaiklah yang pantas kita ikuti? Seperti yang sudah dicontohkan di atas bagaimana Rasulullah menghentikan pertikaian kaum Quraisy dengan caranya. Ingatlah pengalaman umat Islam bagaimana hancurnya persatuan mereka akibat pertikaian yang berujung pada keruntuhan Bani Abbasiyah.

 

Sepotong Kisah Perselisihan Setelah Rasulullah  Wafat

Ketika Rasulullah  meninggal, banyak sahabat yang sedih. Rasulullah  yang selama ini selalu membimbing umat ke jalan yang lurus akhirnya meninggal dunia. Ia adalah manusia terbaik, selalu tersenyum bila bertemu dengan orang lain. Orang yang melihat Rasulullah  hatinya menjadi sejuk. Rasulullah  juga manusia dan setiap manusia pasti akan mengalami kematian.

Setelah meninggalnya Rasulullah , para sahabat dari kaum anshar dan muhajirin berkumpul untuk membahas siapa yang paling pantas untuk menggantikan Rasulullah  yaitu khalifah. Pemimpin adalah hal yang paling penting dalam mengarahkan umat ke jalan yang lurus. Tanpa ada pemimpin, mustahil umat bisa tetap di jalan yang lurus.

Saqifah Bani Saidah menjadi tempat untuk pertemuan para pemuka kelompok Anshar dan Muhajirin dalam memilih khalifah. Mereka saling mengangkat calon pemimpin dari kelompoknya masing-masing. Kaum Anshar angkat bicara, mereka mengatakan bahwa kaum Anshar adalah para penolong Allah dan sebgaia pionirnya. Mereka khawatir kaum Muhajirin akan mendominasi dalam kekuasaan.

Awalnya Umar bin Khattab dan Abu Ubaidah merupakan dua orang yang diusulkan oleh Abu Bakar untuk dipilih menjadi khalifah.  Keributan terjadi dan semua yang berada di tempat itu saling angkat bicara. Ini adalah masalah yang rumit dalam memilih khalifah. Umar yang melihat keributan itu kemudian mengangkat tangan Abu Bakar dan membai’atnya sebagai khalifah. Bai’at Umar sebagai usulan Abu Bakar untuk dijadikan khalifah. Abu Bakar merupakan sahabat Rasulullah  yang paling hebat. Ketika Rasulullah  menyebarkan ajaran Islam, Abu Bakar langsung menerima. Selain itu, Abu Bakar merupakan orang yang ditunjuk untuk menggantikan imam ketika Rasulullah  sakit. Setelah Umar berbai’at, kaum Muhajirin ikut membai’at kemudian kaum Anshar juga ikut membai’at.

Apa yang menjadi pelajaran dari kisah pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah ini adalah bahwa permasalahan apapun tidak boleh terjadi perpecahan umat. Kita harus peka terhadap lingkungan yang bisa memecah belah persatuan dan mencegahnya. Mari kita ambil contoh bagaimana Umar bin khattab yang berhasil mencegah perpecahan di antara para umat muslim.

Semoga tulisan ini bisa memotivasi kawan-kawan dalam menambah wawasan terkait pentingnya arti perdamaian dan betapa buruknya perselisihan yang mengakibatkan perpecahan. Mari kita buka lagi sejarah dan cerita Rasulullah dan para sahabatnya dalam menangani perselisihan. Kalau tidak belajar dari mereka lantas siapa lagi? karena mereka adalah orang-orang terbaik.

 

 

Muhammad Nafiuddin Fadly

Mhs. Hubungan Internasional/2015

Universitas Islam Indonesia

 

 

Mutiara Hikmah:

Maukah aku beritahukan kepadamu perkara yang lebih utama daripada puasa, shalat dan sedekah? Para sahabat menjawab, “Tentu wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Yaitu mendamaikan perselisihan diantara kamu, karena rusaknya perdamaian diantara kamu adalah pencukur (perusak agama)”. (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)

MENUMBUHKAN KEBAIKAN SOSIAL

 

وَمِنۡهُم مَّن يَقُولُ رَبَّنَآ ءَاتِنَا فِي ٱلدُّنۡيَا حَسَنَةٗ وَفِي ٱلۡأٓخِرَةِ حَسَنَةٗ وَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ٢٠١

“Dan di antara mereka ada yang berdoa, “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari azab neraka.”

(Q.S Al Baqarah [2] : 201)

 

Salah satu tujuan Allah  menurunkan para nabi ke muka bumi ini, adalah sebagai tauladan kebaikan bagi kita umat Islam, dan tentunya kita dapat mengambil hikmah dan pelajaran berharga dari kisah-kisah tersebut. Seperti halnya kesabaran nabi Yusuf dalam menerima ujian berupa permusuhan dari saudara-saudaranya hingga akhirnya beliau harus menerima keadaan terpisah dari keluarganya tercinta. Namun dengan keikhlasannya Allah  yang maha kuasa mengganti ujian tersebut dengan memberikan jabatan terbaik di negeri yang Allah  kehendaki.

Begitu juga dengan nabi-nabi yang lain, mereka diutus ke muka bumi ini tidak lain dan tidak bukan adalah untuk memberikan peringatan dan pelajaran yang sangat berharga bagi umat-umatnya. Dalam kacamata Islam, agama merupakan sumber yang penuh dengan keutamaan dan kemuliaan. Maka dasar-dasar pendidikan yang terkandung di dalamnya merupakan pendidikan tentang norma dan akhlak yang tinggi bagi mereka yang menjalani peran terbaik dalam kehidupan ini.

Oleh sebab itulah seorang muslim yang sejati hatinya dan indah pandangannya, serta sadar kepada indahnya ciptaan Allah  di alam semesta ini, mereka adalah yang orang senantiasa mengingat akan kebesaran-kebesaran-Nya seraya berkata: “Ya Tuhan kami, tiadalah engkau ciptakan ini dengan sia-sia.  Maha suci engkau, maka peliharalah kami dari siksa api neraka. (Q.S Ali Imran [3] :190)

Setidaknya ada beberapa perilaku atau tauladan yang baik yang dapat kita jadikan pondasi awal dalam menumbuhkan kebaikan sosial. Karena dengan menumbuhkan kebaikan sosial ini, akan tumbuh kebaikan-kebaikan lainnya sehingga dapat mengantarkan generasi yang selalu membawa manfaat yang banyak.

Pertama adalah selalu menolong orang lain baik tetangga, teman atau kerabat kita yang dalam kesulitan dalam bidang ilmu, kehidupan, ekonomi maupun dalam hal yang lain. Menolong orang lain dalam kebaikan merupakan perkara yang sangat di sukai oleh Allah , karena bisa jadi dengan pertolongan yang kita berikan, pertolongan tersebut dapat menjadi wasilah atau jalan kebaikan baik untuk kita maupun bagi mereka yang membutuhkan.

Sebagaimana halnya nabi Musa dalam memberikan pertolongan kepada salah seorang pengembala yang belum pernah ia kenal sebelumnya. Maka dari kebaikan itu beliau dapat memetik hasilnya dengan mendapatkan hidangan terbaik dari keluarga pengembala tersebut.

Maka sudah sepantasnya kita dapat mengamalkan perbuatan yang telah di contohkan oleh nabi Musa dalam memberikan pertolongan kepada siapapun. Oleh sebab itulah hal yang utama kita perhatikan dalam menumbuhkan kebaikan sosial adalah melihat dan mengamati lingkungan yang ada di sekitar kita.

Banyak kita temui di sekitar lingkungan tempat tinggal kita, baik tetangga atau kerabat kita yang belum mengenal huruf al-Qur’an sehingga mereka enggan dalam melakukan ibadah yang lain karena malu akan keilmuan yang mereka miliki belum sempurna.

Sudah sepantasnya kita sebagai muslim yang baik akan rela mengajarkan ilmu al-Qur’an ini dengan sebaik-baiknya sebagai salah satu kebaikan sosial yang dapat kita petik pahalanya di akhirat nanti dari setiap huruf yang mereka baca.

Kedua adalah selalu memberikan komentar kebaikan dalam menasehati dengan hikmah atas sikap dan perilaku orang lain yang berbuat salah atau tidak sesuai dengan syariat Islam. Komentar yang baik sangat penting kita lakukan di era digital nan percepatan informasi ini, bagaimana tidak, banyak orang-orang yang mengunggah foto maupun video yang kurang baik dari kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan. Maka sudah menjadi peran kita sebagai seorang muslim untuk selalu menasehati saudara muslim yang lain.

Oleh sebab itulah dengan memberikan komentar yang baik, maka komentar dan nasihat yang baik ini akan menjadi do’a kebaikan bagi mereka yang senantiasa kembali kejalan yang benar. Sehinggga mereka yang melakukan perbuatan tersebut akan sadar bahwa perbuatanya adalah sesuatu yang tidak benar.

Masih ingatkah kita kisah salah seorang imam Masjidil Harom yang dalam masa kecilnya selalu membuat orang tua dan keluarganya menjadi kesal terhadap tingkah laku dan perbuatannya. Namun dengan kebijakan dan kerendahan hati sang ibu yang senantiasa mendoakan kebaikan untuk anak-anaknya maka ketika anak ini menjadi dewasa, ia menjadi salah satu imam terbaik yang senantiasa menjadi seorang imam yang di kagumi. Iya, dia adalah imam As-Sudais, yang saat ini selalu menjadi rujukan imam-imam masjid yang ada di negara kita maupun negara Islam lainnya.

Bukankah komentar adalah sebuah kata-kata yang dapat menjadikan pelakunya menjadi apa yang kita lontarkan. Maka sudah sebaiknya komentar kebaikan selalu menjadi sebuah senjata bagi kita untuk selalu menyampaikan kepada siapapun.

Ketiga adalah selalu mendoakan kebaikan-kebaikan kepada siapapun dan kapanpun terhadap perilaku sosial masyarakat yang belum ada kebaikannya atau terhadap orang yang tidak baik kepada kita, sebagaimana halnya Rasulullah  yang mendo’akan orang-orang di kota Thoif pada masa itu, yang telah melempari beliau dengan batu saat beliau mengajak kepada kebaikan. Bahkan atas perbuatan mereka Rasulullah  mendapatkan luka yang tak ringan.

Namun, melalui peristiwa itu, tidak pernah terbesit dalam hatinya untuk membalas keburukan yang mereka lakukan bahkan beliau senantiasa berdo’a kepada Allah  akan kebaikan untuk anak cucu dan keturunan bangsa Thoif pada waktu. Terbukti dari do’a baginda Nabi Muhammad  itu, kini daerah Thoif merupakan daerah yang sejuk dan banyak pepohonan yang tumbuh bersemi serta berbagai buah dihasilkan dari daerah tersebut bahkan menjadi salah satu tujuan destinasi wisata orang yang beribadah umroh maupun haji.

Keempat adalah selalu menyambung tali persaudaraan antar muslim. Islam mengajarkan kepada kita untuk menjaga kedamaian dan ketentraman dimanapun kita berada. Oleh sebab itulah seorang muslim yang akan menumbuhkan kebaikan sosial maka ia senantiasa menjaga tali persaudaraan dengan siapapun, baik dengan teman akrab, kerabat, dan orang-orang yang belum ia kenal sebelumnya.

Islah atau perdamaian adalah salah satu sifat terpuji yang patut kita jadikan pedoman dalam hidup ini. Bagaimana tidak, kebaikan seorang muslim dalam mendamaikan orang lain adalah sebuah bentuk perjuangan yang membutuhkan strategi yang jitu. Sebagaimana halnya Rasulullah  dalam mendamaikan orang-orang Madinah pada masa itu, sehingga mereka menjadi sahabat nabi yang terbaik bagi kaum muslimin hingga saat ini. Oleh sebab itulah menumbuhkan kebaikan sosial akan menjadi salah satu alternatif kita dalam mencapai negara muslim yang diimpikan oleh setiap generasi.

Orang-orang yang selalu berusaha menumbuhkan kebaikan sosial, maka ia akan mendapatkan hasil terbaiknya dari setiap bibit-bibit kebaikan yang ia tanam hingga akhirnya ia dapat menuai hasil kebaikannya baik di dunia maupun di akhirat

Bukankah kita sering mendengar dalam sebuah hadis dari Anas bin Malik Radhiallahuanhu berkata, Rasulullah  bersabda, “Jika Allah menghendaki kebaikan seorang hamba, maka ia memaafkan-Nya, “lalu dikatakan, “Bagaimana Ia Memanfaatkanya?” Beliau menjawab, “Allah memberi taufiq keanya uutuk beramal shalih sebelum ia wafat.” (Riwayat Ahmad dan Tirmidzi, dihasankan oleh Albani)

Pada hakikatnya menumbuhkan kebaikan sosial bukanlah untuk orang lain, melainkan untuk diri kita sendiri, masih ingatkah kita akan hadis nabi yang menjelaskan tentang tiga perkara yang akan menemani kita setelah kematian, salah satunya adalah amal jariyah. Amal jaiyah ini dapat berupa harta atau materi serta ilmu pengetahuan yang kita berikan kepada orang lain sehingga bermanfaat dan mereka senantiasa memanfaatkanya.

Bukankah dalam al-Quran Allah  memberikan penjelasan tentang salah satu tujuan  manusia diciptakan adalah untuk menguji sejauh mana amal perbuatannya di muka bumi ini, (Al-Mulk [67] : 1-2). Maka dari itu untuk menumbuhkan kebaikan sosial, sudah sepantasnya kita berharap hanya kepada sang maha pencipta alam raya ini, dengan memohon keridhaan-Nya untuk selalu dapat melakukan kebaikan-kebaikan bagi siapapun dan kapanpun.

Seorang muslim yang sadar akan kebesaran Allah  maka dia senantiasa bersyukur akan nikmat-nikmat yang telah diberikan-Nya dan selalu melakukan yang terbaik pada setiap langkahnya.

Maka marilah kita senantisa meminta pertolongan kepada Allah yang Maha baik dan selalu menerima kebaikan, “Ya Allah jadikanlah kami dan anak cucu kami menjadi sumber kebaikan bagi siapapun, dan terimalah amal kami. Ya Allah mudahkanlah kami dalam melakukan kebaikan dimanapun dan kapanpun sehingga kebaikan itu dapat menjadi penghalang kami dari api neraka dan dengan kebaikan itu dapat membimbing kami ke syurga”. Aamiin.

 

Romi Padli, SEI., ME

Alumni Magister Studi Islam

Universitas Islam Indonesia

 

 

 

 

Mutiara Hikmah:

“Barangsiapa yang menyeru kepada kebaikan, maka dia mendapatkan pahala seperti pahala orang-orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa yang menyeru kepada kesesatan, maka baginya dosa seperti dosa orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikit pun.” (HR. Muslim)

 

 

MENGGAPAI CITA-CITA YANG MEMBAWA BERKAH

Setiap manusia menginginkan untuk menjadi lebih baik dan memiliki sesuatu yang baik adalah fitrah yang diberikan Allah Swt kepada manusia. Setiap hal yang diinginkan pasti akan terpintas di dalam pikiran manusia, akan tetapi kita harus ingat bahwa keinginan tersebut jangan sampai hanya membuat kita berangan-angan bahkan membuang-buang waktu. Dalam surah an-nisâ’ ayat 119 dituliskan bahwa setan berjanji kepada Allah Swt untuk terus menggoda manusia, salah satunya dengan membuat mereka berangan-angan kosong sehingga manusia lalai terhadap perintah Allah Swt . Berangan-angan hanya akan membuang waktu dan hal tersebut merupakan salah satu bentuk godaan setan untuk menyesatkan manusia, oleh karena itu hendaknya kita segera memohon ampun ketika terjebak dalam angan-angan kosong tersebut.

Lalu, jika tidak boleh berangan-angan lantas apakah kita tidak boleh bercita-cita? Tentu saja tidak demikian, karena berangan-angan atau berkhayal berbeda dengan bercita-cita. Cita-cita  adalah hal yang dimiliki oleh semua orang, terutama orang-orang yang memiliki pandangan hidup kedepan, karena dengan cita-cita seseorang akan merasa termotivasi dan memiliki harapan untuk memiliki hidup yang lebih baik. Cita-cita membuat kita melihat kedepan dan merencanakan sesuatu, yang berarti kita melakukan ikhtiar ataupun usaha agar kita dapat mencapai keinginan tersebut. Apa saja yang bisa kita lakukan sebagai orang yang beriman untuk menggapai cita-cita yang diridhai-Nya?

 

  1. Membuat Rencana dan Menyerahkan Segala Sesuatu Kepada Allah.

Rencana adalah salah satu hal terpenting dalam hidup, orang yang tidak memiliki rencana dapat diibaratkan seperti air yang hanya mengikuti arus, sehingga mudah terombang-ambing dan tak tentu arah. Membuat suatu perencanaan merupakan langkah awal untuk mewujudkan keinginan atau cita-cita, rencana akan membuat kita mengerti langkah apa yang harus kita ambil sepanjang perjalanan berikhtiar.

Berencana adalah tugas manusia sebagai bentuk usaha yang harus dilakukan, namun orang yang beriman tidak hanya sekedar berencana akan tetapi kita perlu menyerahkan segala sesuatu kepada Allah  atau dengan kata lain kita percaya bahwa Allah melihat setiap usaha kita dan pasti memberikan jalan dan hasil yang terbaik, dengan demikian kita telah meningkatkan ketaqwaan kita kepada Allah  dengan terus berusaha dan menyerahkan segala sesuatu kepada-Nya.

 

  1. Meluruskan dan Memperbaharui Niat.

Sebagai orang yang beriman kita perlu memiliki visi tersendiri yang menjadi pembeda dengan orang-orang yang tidak beriman kepada Allah Swt . Semua orang mengharapkan kehidupan yang baik di dunia melalui cita-cita dan target yang mereka usahakan, akan tetapi orang yang beriman punya nilai tersendiri dalam mengupayakan keinginannya dibandingkan dengan mereka yang tidak beriman. Nilai tersebut terletak pada niat yang dimiliki, orang yang beriman memiliki visi yang lebih tinggi yaitu merasakan kebaikan di dunia hingga di akhirat nanti, oleh karena itu apapun keinginan dan cita-cita yang kita inginkan harus dilandasi oleh niat karena Allah  terlebih dahulu. Niat akan menjadi faktor yang sangat menentukan, jika niat kita sudah dibenahi maka kebaikan yang akan kita dapatkan tidak hanya sampai di dunia saja akan tetapi dapat kita rasakan hingga di akhirat kelak.

Dari Umar, bahwa Rasulullah ` bersabda, “Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya itu sesuai ke mana ia hijrah.” (H.R. Bukhari, dan Muslim)

Hadits tersebut menunjukkan bahwa apa yang akan kita dapatkan sesuai dengan niat yang kita miliki. Ketika niat kita hanya sebatas menjadi sukses di dunia tanpa melibatkan Allah, maka kenikmatan yang akan kita dapatkan hanya sebatas usia kita di dunia, dan ajal akan datang kapan saja tidak peduli orang tersebut sudah merasakan nikmat dari kesuksesannya atau bahkan masih bersusah payah menitih kesuksesan tersebut. Kita tidak ingin menjadi orang yang merugi di akhirat kelak karena lalai dengan kesenangan duniawi, sehingga setiap kebaikan yang kita raih di dunia ini perlu kita usahakan untuk menjadi penyebab ridha Allah dan memberikan kebaikan di akhirat kelak.

 

  1. Menyadari Dunia dan Isinya Bersifat Sementara.

Orang yang beriman memiliki kesadaran bahwa segala sesuatu yang dimiliki di dunia ini akan ditinggalkan setelah kematian menjemput. Bahkan orang terkaya di dunia pada akhirnya akan mati dan semua harta kekayaan yang dimiliki tidak berarti lagi bagi jasadnya. Tidak menutup kemungkinan bahwa manusia yang ada di muka bumi memiliki cita-cita tertentu seperti ingin membeli kendaraan dan rumah yang bagus, ingin memiliki usaha yang sukses atau ingin melanjutkan studi ke tingkat yang lebih tinggi. Semua contoh tadi bisa jadi adalah parameter kesuksesan dalam sebuah kehidupan yang sifatnya hanya sementara, namun tidak ada salahnya jika seseorang menginginkan kehidupan yang baik di dunia dengan syarat tetap berprinsip pada ketentuan Allah  seperti firman-Nya dalam surah  al-Qashash ayat 77 yang artinya, “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan“.(Q.S. al-Qashash [28]: 77)

Ayat ini mengingatkan kita untuk tetap menjadikan akhirat sebagai tujuan utama karena kita diciptakan hanya untuk beribadah kepada Allah, namun di sisi lain kita juga perlu memperhatikan kualitas hidup selama di dunia. Orang yang beriman akan memanfaatkan kebaikan di dunia untuk memperoleh kebaikan di akhirat. Kita bisa membuat hal-hal itu terus memberikan kebaikan meskipun setelah pemiliknya meninggal dunia, yakni dengan kembali meniatkan semuanya sebagai bentuk ibadah dan ketaatan kepada Allah  serta memanfaatkan segala apa yang kita peroleh untuk menolong agama Allah.

 

  1. Meminta Doa dari Kedua Orang

Orang tua adalah orang terdekat dan orang yang paling pantas untuk kita hormati, terutama seorang ibu. Keridhaan Allah  juga tidak akan terlepas dari keridhaan orangtua, sehingga sudah sepatutnya kita selalu menjalin komunikasi dan memberi tahu kedua orang tua kita megenai hal-hal yang akan kita rencanakan dan usahakan untuk kedepannya. Doa dari orang tua adalah salah satu kunci keberhasilan seseorang, oleh karena itu jangan pernah berjalan sendirian dan melupakan jasa-jasa mereka. Jika kita menanyakan balasan apa yang ingin mereka peroleh dari segala upaya dan jerih payah mereka selama mengurus dan membesarkan kita, maka mereka tidak akan menjawab untuk diberikan materi dan lain sebagainya, namun hal yang sangat mereka inginkan adalah anak yang dibesarkan bisa menjadi orang yang sukses dan bermanfaat bagi orang banyak serta menjadi anak yang dapat menambah timbangan kebaikan dan menyelamatkan mereka di akhirat nanti.

Memiliki berbagai cita-cita adalah cerminan seseorang yang memiliki pandangan hidup kedepan dan punya keinginan untuk menjadi lebih baik, sebagai makhuk yang diciptakan oleh Allah sudah selayaknya kita menyerahkan segala bentuk usaha kita kepada Allah  dan meniatkan semua hal yang kita lakukan di jalan yang benar dan hanya karena Allah . Dengan demikian seseorang tidak hanya akan memperoleh kesuksesan di dunia, namun juga akan memperoleh kehidupan yang baik di akhirat kelak.Wallâhu a’lam.[]

 

Inesya R. N.

NIM: 15613187

Mahasiswa Prodi Farmasi, FMIPA UII

 

Mutiara Hikmah

 

Nabi ` bersabda,

 

كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ

Allah telah mencatat takdir setiap makhluk sebelum 50.000 tahun sebelum penciptaan langit dan bumi.” (H.R. Muslim no. 2653, dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Ash ‘Ash)

 

CIRI-CIRI WALI ALLAH Swt

Bismillâhi walhamdulillâh wash shalâtu was salâmu ‘ala rasûlillâh,
Kaum muslimin yang dimuliakan oleh Allah Swt, belakangan ini fenomena wali mulai menjamur di tengah-tengah kita. Secara etimologi wali adalah lawan dari aduwwu (musuh) dan muwâlah lawan dari muhâdah (permusuhan). Dengan demikian wali-wali Allah Swt adalah orang yang mendekat dan menolong agama Allah Swt, atau orang yang didekati atau orang yang ditolong oleh Allah Swt.
Hampir di setiap kota-kota bahkan pelosok-pelosok negeri kita ini memiliki walinya masing-masing. Hal ini bisa terjadi karena pemahaman sebagian masyarakat bahwa wali Allah Swt itu adalah orang-orang yang memiliki kekhususan-kekhususan yang tidak dimiliki oleh orang biasa pada umumnya. Hal tersebut berupa hal-hal yang ajaib atau aneh bagi akal sehat, yang sering disebut oleh masyarakat sebagai karomah para wali. Sehingga apabila ada seseorang yang memiliki ilmu syar’i begitu luasnya disertai dengan pengamalan-pengamalan yang begitu khusyuknya, namun apabila tidak memilki suatu kekhususan ini, maka orang ini masih tidak bisa dipandang sebagai wali Allah Swt. Sebaliknya, meski seseorang itu tidak memiliki ilmu syar’i sama sekali, bahkan kerap kali melanggar perintah Allah Swt dan meninggalkan kewajiban-kewajibannya sebagai seorang muslim, akan tetapi dia mampu menunjukkan sesuatu yang ajaib di luar nalar akal sehat manusia, maka orang tersebut bisa dianggap sebagai wali Allah Swt.
Hal ini bisa terjadi karena sejak kecil kaum muslimin di negeri yang kita cintai ini sudah diberi pengajaran yang keliru tentang wali-wali Allah Swt. Terlebih hal ini ditunjang oleh sarana-sarana elektronik semisal telivisi yang mempertontonkan kesaktian wali-wali yang bisa terbang, bisa berjalan di atas air, dan bisa melakukan hal-hal ajaib lainnya. Maka tontonan semacam ini menjadi mindset yang tertanam di setiap pola fikir kaum muslimin hingga dia dewasa bahkan sampai usia senja.
Pemahaman sebagian masyarakat yang seperti demikian sungguh sangat berbahaya bagi aqidah kaum muslimin. Karena tak sedikit kaum muslimin yang takjub dengan hal tersebut dan berusaha untuk mempelajari ilmu kewalian itu. Dikatakan berbahaya bagi aqidah kaum muslimin adalah karena kebanyakan orang-orang yang mengaku sebagai wali ini ternyata mereka bersekutu dengan jin saat melakukan aksi ajaibnya tersebut. Sehingga kaum muslimin yang telah terlanjur takjub dengan keajaiban-keajaiban tersebut sudah tidak lagi mempertimbangkan aspek-aspek kesyirikan yang dapat membatalkan keislamannya tatkala mempelajari ilmu tersebut. Yakni bersekutu dengan jin dalam memohon pertolongan, bantuan, dan lain-lain yang seharusnya hal tersebut hanyalah dihadapkan kepada Allah Swt semata. Padahal hakikatnya karomah para wali Allah Swt itu tidaklah dapat dipelajari. Sebagaimana kata seorang alim yakni Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, bahwa “karomah wali adalah sebuah pemberian dari Allah Swt kepada hamba-hamba-Nya yang shalih tanpa ia bersusah payah darinya. Berbeda dengan seorang yang menggunakan ilmu hasil dari persekutuannya dengan syaitan, maka ia akan bersusah payah untuk melakukannya”.
Adapun ciri-ciri wali Allah yang benar telah Allah Swt kabarkan sendiri dalam kitab-Nya yang mulia, yakni al-Qur’an petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa, juga telah disabdakan oleh Rasulullah ` yang mulia dalam sunnah-sunnahnya yang agung. Sehingga sudah selayaknya dan semestinya kaum muslimin mencoba untuk mempelajari ciri-ciri wali Allah Swt dari 2 sumber petunjuk yang meluruskan ini.
Untuk menjadi wali Allah Swt, seseorang itu haruslah mencintai dan dicintai oleh Allah Swt. Lalu bagaimana cara seseorang itu bisa mendapatkan kecintaan Allah Swt? Di dalam al-Qur’an Allah Swt berfirman yang artinya, “katakanlah (hai Muhammad), jika kalian mencintai Allah, ikutilah aku (Muhammad), niscaya Allah akan mencintaimu…” (Q.S. Ali Imran [3]: 31).
Ayat ini menerangkan bahwasannya syarat pertama seorang itu untuk bisa menjadi walinya Allah Swt adalah ia mengikuti sunnah-sunnah Rasulullah ` selama hidupnya dengan istiqomah. Karena dengan mengikuti jalan hidup Rasulullah lah cinta Allah Swt dapat ia miliki. Sehingga menjadi mustahil seseorang yang meninggalkan syariat nabi Muhammad Saw dapat memiliki karomah wali Allah Swt. Adapun ciri berikutnya terdapat dalam surat al-Mâidah yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa dari kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai Allah, yang bersikap lemah lembut terhadap orang-orang mukmin, yang bersikap keras kepada orang-orng kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan tidak takut terhadap celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah maha luas (pemberian-Nya) lagi maha mengetahui”. (Q.S. al-Mâidah [5]: 54).
Dari ayat tersebut dapat diketahui bahwa orang-orang yang dicintai Allah itu adalah orang-orang yang bersikap lemah lembut sesama kaum mukminin, dan bersikap keras terhadap orang-orang kafir, bukan sebaliknya, justru dekat dan loyal dengan orang-orang kafir dan keras lagi kasar kepada sesama muslim. Seorang yang bisa mendapat kecintaan Allah juga berjihad di jalan Allah Swt. Bukan seperti pandangan sebagian masyarakat kita yang menganggap jika seseorang itu masih jihad maka dia gugur dikategorikan sebagai wali Allah Swt. Pemahaman ini sungguh jauh dari kebenaran, karena Nabi Muhammad ` dan para sahabat-sahabatnya yang mulia tidak pernah meninggalkan jihad tatkala telah terpenuhi panggilan jihad tersebut, justru pada masa Nabi `,, barangsiapa yang meninggalkan jihad tanpa udzur syar’i, maka dia dikatakan munafik.
Dari ayat tersebut juga dapat diketahui bahwa wali-wali Allah Swt itu adalah orang-orang yang tidak takut dengan celaan orang-orang yang pencela. Selama dia berada dalam syariat Islam yang mulia ini, maka tiada ketakutan dan kesedihan di dalam hatinya.
Kemudian wali-wali Allah itu juga memiliki ciri berikut, yakni disebutkan dalam Qur’an yang mulia yang artinya, “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tiada ketakutan dan tiada pula dia bersedih (hati). (Yaitu) orang-prang yang beriman dan selalu bertaqwa keapada Allah”. (Q.S. Yunus [10]: 62-63). Dari ayat di atas, maka dapat kita pahami bahwa ciri dari wali Allah Swt itu adalah dia tidaklah takut dengan sesuatu yang akan menimpanya dan dia tidaklah bersedih dengan apa-apa yang telah menimpa dirinya, dan dia adalah orang-orang yang selalu menjaga ketaqwaannya dan keimanannya kepada Allah Swt.
Dari ayat-ayat yang telah disebutkan di paragraf sebelumnya, maka dapat kita jumpai dengan terang bahwasanya wali-wali Allah itu adalah orang-orang yang ittiba (mengikuti) Sunnah Rasulullah `, lemah lembut kepada sesama mukmin, namun tegas lagi keras terhadap orang-orang kafir, berjihad di jalan Allah Swt, tidak takut terhadap celaan si pencela, tidak ada rasa takut dan sedih dalam hatinya terhadap segala ketetapan Allah Swt, dan yang selalu menjaga keimanan serta ketaqwaannya kepada Allah Swt.
Wahai kaum muslimin yang dirahmati oleh Allah Swt, bagaimana mungkin seseorang yang mengaku wali itu bisa meninggalkan shalat, sedangkan Nabi ` dan para sahabat tidak meninggalkannya meski tengah dalam keadaan perang terluka dan berdarah-darah. Bagaimana mungkin seorang wali itu tega meninggalkan syariat Nabi Muhammad `, sedangkan Rasulullah ` selalu memegang syariat Allah  ini sampai akhir hayatnya, bahkan beliau sampai menangis khawatir kalau umat ini sudah tidak lagi memperdulikan hukum-hukum Allah  yang tertuang dalam al-Qur’an yang mulia dan sunnah-sunnahnya yang shahih.
Dengan demikian para wali-wali Allah itu tidaklah melepaskan diri dari syariat Nabi Muhammad `. Bahkan wali-wali Allah Swt itu adalah orang-orang bertaqwa yang sangat memegang teguh syariat Allah dan Rasul-Nya. Sehingga barangsiapa yang mengaku sebagai wali Allah  namun tidaklah memiliki sifat-sifat tersebut, maka dia adalah seorang pendusta. Allahu musta’an

Anas Ahmad Rahman
Mahasiswa MIAI UII

Mutiara Hikmah:
“Jika kalian melihat seseorang berjalan di atas air dan terbang di atas udara, maka janganlah terpedaya olehnya sampai kalian menimbang perkaranya di atas al-Qur’an dan as-Sunnah. (Imam Syafi’i)

KAMU (DIANGGAP) BAIK KARENA ALLAH MENUTUPI AIBMU!

 

اللَّهُمَّ أَنْتَ أَعْلَمُ مِنِّى بِنَفْسِى وَأَنَا أَعْلَمُ بِنَفْسِى مِنْهُمْ اللَّهُمَّ اجْعَلْنِى خَيْرًا مِمَّا يَظُنُّوْنَ وَاغْفِرْ لِى مَا لاَ يَعْلَمُوْنَ وَلاَ تُؤَاخِذْنِى بِمَا يَقُوْلُوْنَ

“Ya Allah, Engkau lebih mengetahui keadaan diriku daripada diriku sendiri dan aku lebih mengetahui keadaan diriku daripada mereka yang memujiku. Ya Allah, jadikanlah diriku lebih baik dari yang mereka sangkakan, ampunilah aku terhadap apa yang mereka tidak ketahui dariku, dan janganlah menyiksaku dengan perkataan mereka. (H.R. al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, 4/228, no.4876. Lihat Jâmi’ul Ahâdits, Jalaluddin As-Suyuthi, 25/145, Asy Syamilah)

 

Tidak ada manusia di dunia ini yang luput dari kesalahan dan kekhilafan. Mari kita mengingat kembali kisah Nabi Adam n beserta Hawa o yang memakan buah khuldi, padahal Allah l telah melarangnya. Nabi Yunus sengaja meninggalkan kaumnya karena setelah 33 tahun lamanya berdakwah, tetapi hanya 2 orang saja yang mendengarkan seruannya. Nabi Musa n yang tidak sengaja membunuh orang karena pukulannya. Tentu saja para nabi yang mulia ini bersegera meminta ampunan kepada Allah n. Taubat Nabi Adam n dan Hawa o terekam pada ayat 23 surah al-‘Araf, taubat Nabi Yunus n pada ayat 87 surah al-Anbiya, dan taubat Nabi Musa n pada ayat 15-16 surah al-Qashash.

Mari kita cermati salah satu hadits Rasulullah ` yang berbunyi, “Setiap anak adam (manusia) berbuat kesalahan, dan sebaik-baiknya orang yang bersalah adalah yang bertaubat.” (H.R. At Tirmidzi). Hadits ini menjelaskan kepada kita, bahwa sebaiknya orang yang bersalah adalah orang yang bertaubat, yaitu orang yang berjanji pada Allah l dan dirinya sendiri untuk tidak mengulangi kesalahan tersebut.

Suatu ketika penulis pernah berbincang-bincang dengan seorang kawan. Ia menceritakan betapa orang-orang memandangnya sangat baik. Ia sangat dihormati dan seringkali dimintai pendapat. Padahal ia menyadari bahwa iapun tidak luput dari kesalahan. Kesalahan-kesalahan ini merupakan aib baginya. Sesungguhnya, jika mereka tahu semua aib-aib tersebut, niscaya mereka akan membencinya dan merendahkannya. Lalu kemudian ia bertanya kepada penulis, apakah sebenarnya kita baik karena kita telah berbuat baik, ataukah karena Allah l sampai detik ini masih menutupi aib-aib kita? Berkaca dari percakapan di atas, tentu saja kita sepatutnya bersyukur, karena sampai detik ini Allah l masih menutupi seluruh kesalahan-kesalahan kita dari orang-orang. Akan sangat mudah bagi Allah l untuk membongkar segala aib yang kita miliki, jika Allah l berkehendak. Lalu akan sangat mudah bagi Allah l membalikkan posisi seseorang yang awalnya dipuja-puja, akan tetapi karena aib tersebut ia pun menjadi orang yang direndahkan dan dihinakan.

 

Pengertian Aib

Menurut al-Fairuz Abadzi dalam Al-Qamus al-Muhith, secara bahasa, aib العيب)) dapat didefinisikan sebagai cacat atau kekurangan. Bentuk jama’nya adalah uyub. Adapun sesuatu yang memiliki aib, dalam bahasa arab di sebut ma’ib. Dalam Kitab ­ad-Dur al-Mukhtar, Al-Hasfaki menyampaikan bahwa sebagian ulama mazhab Hanafi menjelaskan aib dengan pengertian: “Suatu bagian yang tidak ada dari asal penciptaanya dan hal itu dianggap sebagai bentuk kekurangan

 

Maka aib dapat diartikan sebuah cela atau kondisi seseorang dilihat dari sisi keburukannya, atau hal yang tidak baik tentangnya. Seringkali kita mendengar suatu informasi dari orang lain lalu menjadikan hati kita merasa tidak enak, maka hal ini dapat disebut aib. Aib dapat berupa peristiwa, keadaan, atau suatu deskripsi. Acapkali aib –sendiri maupun orang lain– tersebut secara tidak sadar kita sebarkan. Lebih parahnya lagi jika aib tersebut disebarkan secara sadar.

Memang pada dasarnya terdapat orang-orang yang diketahui tidak pernah sekalipun berbuat maksiat. Jika didapati ia tergelincir dalam kesalahan, maka dengan rahmat dan kasih sayang Allah l, kesalahan tersebut tidak diungkapkan seketika itu juga. Bahkan Allah l pun memberikan anjuran kepada orang-orang yang mengetahuinya untuk tidak menyingkap dan menceritakannya. Inilah cara Allah menjaga kehormatan hamba-Nya! Entah kesalahan itu disengaja maupun tidak disengaja. Adapun orang-orang yang menceritakan hal yang tidak baik dari saudaranya termasuk pada kategori ghibah. Perbuatan ini sangat dibenci oleh Allah l. Dalam firman-Nya, “Sesungguhnya orang-orang yang menyenangi tersebarnya perbuatan keji di kalangan orang-orang beriman, mereka memperoleh azab yang pedih di dunia dan di akhirat….” (Q.S. an-Nûr [24]: 19)

Aib merupakan sesuatu yang diasosiasikan buruk, tidak terpuji, dan negatif. Aib adalah suatu cela atau kondisi yang tidak baik tentang seseorang jika diketahui oleh orang lain akan membuat rasa malu, rasa malu ini membawa kepada efek psikologi yang negatif jika tersebar. Manusia tidak bisa lari dengan menutup diri terhadap kekurangannya. Manusia harus berintrospeksi dan menghisab diri sendiri untuk memperbaikinya. Umar bin Khaththab a berpesan, “Hisablah dirimu sebelum diri kamu sendiri dihisab, dan timbanglah amal perbuatanmu sebelum perbuatanmu ditimbang.

 

Muliamu (Mungkin) Bukan karena Kebaikanmu

Seringkali kita meyakini bahwa segala kemuliaan yang kita miliki ini berasal dari usaha kita sendiri. Kita lupa bahwa ada Allah l yang terus menutupi segala aib kita di hadapan manusia. Kita tak sadar akan tersebut, sehingga membuat kita menjadi lupa diri. Ingatlah wahai saudaraku! Mulia yang kau punya ini bisa jadi bukan karena kebaikanmu. Kebaikan yang kita lakukan adalah sesuatu yang memang senyatanya harus diamalkan selama hidup kita. Allah l menjanjikan surge-Nya kelak bagi orang-orang yang selalu melakukan kebajikan selama hidupnya.

Wahai saudaraku, ingatlah bahwa diri kita ini penuh dengan kekurangan, aib, cacat, dan cela. Tentu saja jika mau dibandingkan dengan para nabi yang juga pernah melakukan kesalahan, maka posisi kita mungkin jauh dari kemuliaan mereka. Maka jangan pernah terbesit di hati kita kata sombong dengan segala kemuliaan ini, baik harta, jabatan, tahta, dan yang lainnya. Muhamad bin Wâsi’ v berkata, “Seandainya dosa-dosa itu ada baunya maka tidak seorangpun yang mau duduk bersamaku”

Oleh karena itulah, jangan pernah ujub dengan amalan kita. Jangan pernah terpedaya dengan pujian yang diberikan. Jangan pernah riya dengan kebajikan yang dipebuat. Karena semua itu tidak akan berguna, jika satu aib saja diungkap oleh Allah l. Yakinlah, semua pujian tersebut akan berubah menjadi celaan.  Kita akan terpuruk, seterpuruk-terpuruknya. Kita juga akan malu, semalu-malunya. Kita juga akan hina, sehina-hinanya. Seperti tak ada lagi tempat tersedia untuk menerima kita.Bukankah kita sering mendengar sebuah peribahasa “Hujan sehari menghapus kemarau setahun”, atau peribahasa yang lain, “karena nila setitik, rusak susu sebelanga”. Penulis yakin bahwa pembaca yang budiman paham maksud dan arti dari kedua peribahasa tersebut.

Sehubungan dengan tema di atas, penulis teringat dengan salah satu ceramah dari Ustadz Salim A. Fillah, yang bercerita mengenai Nabi Yusuf n. Saat itu beliau bertanya kepada jamaah, “Siapa nama perempuan yang menggoda Nabi Yusuf?”“Zulaikha,” jawab jamaah serempak. Lalu Ustadz kembali bertanya, “Dari mana kalian tahu bahwa nama perempuan itu adalah Zulaikha? Sedangkan Allah l tidak ada sama sekali menyebutnya dalam al-Qur’an?” Seketika itu juga bergemuruhlah ruangan oleh suara para jamaah yang bertanya satu sama lain. Hingga sebagian menjawab pertanyaan tersebut, “Dari hadits, Ustadz.” Lagi-lagi Ustadz kembali bertanya, “Coba anda pikirkan, mengapa Allah tidak menyebut nama Zulaikha di dalam Al-Qur’an?” Kali ini semua jamaah diam. Maka Ustadz Salim A. Fillah tersenyum dan melanjutkan penjelasannya, “Karena perempuan ini (Zulaikha) masih memiliki rasa malu. Apa buktinya ia masih memiliki rasa malu? Ia menutup tirai sebelum menggoda Yusuf n. Ia malu dan tidak ingin ada orang lain yang tahu tentang perbuatannya.”

Lihatlah! Allah menutupi aib orang-orang yang masih memiliki rasa malu di hatinya, dengan tidak menyebut namanya di dalam al-Qur’an. Subhanallah! Maka perhatikanlah diri kita, mungkin karena masih memiliki rasa malu, maka Allah l tidak membuka identitas kita. Mungkin tidak hanya sekali, namun berulang-ulang kali Allah l telah menutup dosa-dosa kita.

Maka, pertanyaan-pertanyaan ini seharusnya kita tanyakan pada diri kita sendiri. Apakah kita Nampak baik di hadapan orang lain? Apakah semua itu karena begitu banyaknya kebaikan yang kita lakukan? Atau karena Allah telah menutupi aib kita?

 

Epilog

Pembaca yang dirahmati oleh Allah l.

Sebelum menutup tulisan ini, penulis akan menyampaikan doa yang biasanya dibaca Rasulullah ` pada pagi dan petang, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Umar h:

اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ الْعَافِيَةَ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِى دِينِى وَدُنْيَاىَ وَأَهْلِى وَمَالِى اللَّهُمَّ اسْتُرْ عَوْرَتِى

“Yaa Allah sesungguhnya aku meminta kepada Mu ‘Afiyah di dunia dan akhirat. Yaa Allah aku memohon kepada Mu ‘‘Afwaa dan ‘Afiyah pada urusan agamaku, duniaku, keluargaku dan hartaku. Yaa Allah tutupi auratku (aib-aibku)”

Atau dengan riwayat Ibnu Majah dengan tambahan, yaitu:

اللَّهُمَّ استُر عَوْرَاتي ، وآمِنْ رَوْعَاتي ، اللَّهمَّ احفظني من بَينِ يَدَيَّ ومِن خَلْفي ، وَعن يَميني ، وعن شِمالي ، ومِن فَوقي، وأعُوذُ بِعَظَمَتِكَ أنْ أُغْتَالَ مِنْ تَحتي

“Yaa Allah tutupi auratku (aib-aibku), tenangkanlah aku dari rasa takutku. Yaa Allah jagalah aku dari arah depan dan belakangku, arah kanan dan kiriku, serta dari arah bawahku. Aku belindung dengan kebesaran Mu agar aku tidak dihancurkan dari arah bawahku”

Semoga Allah l mengampuni dosa-dosa kita semua. Allahumma Amin. Wallahu ‘Alamu bishshawab.[]

 

 

Muhammad Qamaruddin

Alumni Pondok Pesantren UII

MENCEGAH TOLERANSI YANG MELEMAHKAN AQIDAH

Pembaca yang dirahmati Allah, manusia menurut hakikat penciptaannya memiliki dua tugas utama, yaitu sebagai Abdullah (Q.S. adz-Dzariyat [51]: 56), yang bertugas sebagai hamba Allah yang mengabdi kepada-Nya, dan sebagai khalifah (Q.S. al-Baqarah [2]: 30), yaitu sebagai pemimpin dimuka bumi. Terdapat aspek vertical dan horizontal dalam mengemban tugas tersebut. Secara vertikal yaitu hubungan terhadap Allah l, […]

SIAPKAH KITA BERUBAH?

Setiap hal itu terus berubah kecuali perubahan itu sendiri.”

Pepatah Arab di atas memberikan satu gambaran bahwa perubahan adalah sebuah keniscayaan. Segala hal yang ada di jagad raya ini sejatinya sedang dan terus berubah. Teori yang sudah cukup lama beredar mengatakan bahwa yang paling mampu bertahan bukanlah yang paling kuat. Namun yang paling mampu menyikapi perubahan. Meskipun yang paling mampu beradaptasi itu boleh jadi adalah yang paling kuat. Tetapi tetap saja, titik tekannya bukan pada kuat dan lemah namun kemampuan diri ketika berhadapan dengan perubahan yang tiada kenal kata henti.

Dalam konteks pendidikan misalnya, kita diminta untuk mendidik anak kita sesuai dengan zamannya. Pasalnya, mereka akan hidup di zaman yang sudah pasti berbeda dengan zaman kita. Hal ini mengisyaratkan betapa perubahan yang akan terjadi pun harus sudah diantisipasi. Kemampuan untuk membaca gerak-laju perubahan itulah yang akan menjadikan kita siap menghadapi segenap situasi dan kondisi. Bahwa apa yang saat ini baru, esok sudah berkurang kebaruannya. Yang hari ini up to date, besok boleh jadi sudah out of date.

Menyikapi perubahan bukan kemudian berarti harus melakukan sesuatu yang benar-benar baru. Tetapi bisa juga melakukan sesuatu yang lama namun dengan cara yang baru. Dengan demikian, cara menyikapi perubahan juga menuntut untuk berpikir kreatif dan inovatif. Bila hanya melakukan sesuatu yang biasa maka semua orang sudah melakukannya. “Dalam setiap kesempatan Anda melihat pribadi yang lebih berhasil,” tutur nasihat berbahasa Arab. “Ketahuilah bahwa mereka melakukan sesuatu yang tidak Anda kerjakan,” lanjutnya.

Dalam banyak halaqah, saya sering sampaikan kepada para mahasiswa. Saat kita makan di Rumah Makan Padang dan di Warung Burjo misalnya, bukankah nasinya sama? Namun mengapa harganya menjadi berbeda? Yang menjadikannya berbeda adalah lauknya. Jadi, kalau mahasiswa hanya mengandalkan ilmu di ruang kuliah, semua mahasiswa juga melakukan hal yang sama. Titik pembedanya adalah hal bermanfaat apa yang dijalani dan ditekuni di luar ruang kuliah. Itulah lauk, yang menjadikan lebih berharga dari yang lain.

Kesiapan untuk berubah kalau begitu harus dibarengi dengan keterbukaan diri. Tidak semestinya menutup diri untuk mencoba hal baru dan melakukan sesuatu yang berbeda. Dengan keterbukaan diri, kita akan mendapatkan referensi yang lebih untuk menatap masa depan yang jelas berbeda dengan saat ini. Berorganisasi, banyak mengikuti diskusi, berwirausaha, melatih diri untuk menulis yang baik, dan segenap aktivitas produtif lain akan sangat mendukung guna menghadapi perubahan. Sebab, kemampuan akademik saja tidak cukup tanpa disertai kecakapan sosial.

Perubahan Mindset

Dalam QS. Ar-Ra’du [13] ayat 11—sebagaimana yang sudah masyhur di telinga kita Allah  berfirman. “…Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kamu sebelum mereka mengubah apa yang ada dalam diri mereka…” Dalam ayat ini, Allah  memberikan “kebebasan” kepada manusia untuk menentukan nasibnya. Meskipun tentu saja—sebagaimana diisyaratkan oleh ayat-ayat lain—segala perubahan atas ikhtiar manusia itu tidak lepas dari irādah Allah  jua. Namun, manusia tetap memiliki opsi untuk berubah atau tetap nyaman dengan kondisi semula.

Hal yang paling mendasar yang semestinya diubah adalah pikiran atau mindset. Pasalnya, ketika mindset sudah mengatakan bahwa berubah itu sulit maka berubah yang sebenarnya mudah akan menjadi sulit. Sebaliknya, perubahan yang paling sukar sekalipun sepanjang kita punya pola pikir (mindset) bahwa hal itu atas izin Allah  tentunya mudah maka akan menjadi mudah. Mindset yang sudah tercerahkan tersebut akan menghantarkan pada perubahan-perubahan yang positif dalam hidup. Efeknya, kita pun akan lebih siap menghadapi setiap perubahan.

Hal utama yang perlu diperhatikan dalam konteks perubahan mindset adalah mengubah pikiran negatif menjadi pikiran yang positif. Pikiran negatif dalam kadar tertentu barangkali baik sebagai bentuk antisipasi. Namun pikiran yang terus dipenuhi dengan hal yang negatif menjadikan seseorang ragu untuk melangkah maju. Kemalangan yang seringkali menimpa dikarenakan karena pikiran-pikiran negatif tersebut. Karenanya perlu mengedepankan pikiran positif, khususnya ketika berhadapan dengan ketentuan-ketentuan dari Allah.

Pikiran positif (positive thinking) dapat diartikan juga sebagai pikiran yang lapang, alias tidak sempit. Pikiran yang lapang lebih siap menerima ragam ujian dan hambatan. Adanya hal negatif yang menghampiri tidak lantas menjadikannya teracuni dan mudah terpengaruhi. Namun justru menjadikannya sebagai pemantik untuk terus melangkap tegap ke depan. Sebab, hidup yang dinamis tidaklah selalu manis. Terkadang ada onak duri dan rasa pahit untuk menguji ketahanan diri. Pastinya, basic mindset harus selalu positif sehingga benar dalam menyikapinya.

 Fixed Mindset dan Growth Mindset

            Ada yang membuat klasifikasi menarik perihal pola pikir atau mindset. Pertama, fixed mindset yaitu pikiran saklek yang ketika berhadapan dengan hal yang baru akan sulit untuk menyesuaikan. Pikiran ini juga termasuk dalam kategori comfort zone (zona nyaman) dimana si empunya “terjebak” dalam kenyamanan-kenyamanan tertentu. Dalam konteks tertentu, kategori ini baik sebagai wujud rasa syukur. Namun syukur yang produktif itu bukan kemudian tanpa upaya untuk terus memperbaiki diri. Sementara ikhtiar perbaikan diri itu adalah bentuk dari menyukuri nikmat pula.

Kedua, growth mindset yaitu pikiran yang berkembang yang justru merindukan inovasi dan perubahan. Pikiran ini terus tumbuh menghantarkan pemiliknya meraih hal-hal baru yang positif. Ia berpikir kreatif atas keadaan yang dijalaninya sekaligus siap berhadapan dengan perubahan-perubahan yang terjadi. Pikiran model demikian ini tidak kaku namun luwes dan responsif terhadap perubahan. Perubahan yang dihadapinya justru menjadi tantangan untuk meningkatkan kualitas diri. Sebagaimana analogi di atas, pikiran ini lapang, tidak mudah terpengaruhi hal-hal negatif.

Kedua klasifikasi tersebut tentunya memiliki nilai positif dan negatif. Namun dalam konteks dunia yang terus berubah, growth mindset nampaknya menjadi tawaran yang perlu dipertimbangkan. Bahwa ciri seseorang dikatakan hidup adalah manakala dia terus berubah dan tumbuh. Ketika perubahan dan pertumbuhan itu sudah tidak terjadi barangkali itu adalah “kematian” sebelum kematian yang sesungguhnya. Karenanya, sebagai wujud syukur akan nikmat hidup adalah dengan terus tumbuh membaik dan semakin baik.

Growth mindset tentu saja tidak hanya tentang urusan dunia. Pola ini akan menarik ketika dihadapkan dengan ibadah kita kepada Allah. Ibadah yang menjadi kontrak hidup kita di dunia ini semestinya juga terus tumbuh dan semakin berkualitas. Bukan ibadah yang stagnan namun ibadah yang tidak pernah mengenal kata puas. Apalagi kita sebagai manusia tidak pernah tahu ibadah mana yang benar-benar menjadikan Allah  ridha dan rela. Karenanya, mental growth mindset ini penting untuk mengeksplorasi ibadah kita agar terus tumbuh dan produktif.

Seorang imam mengetengahkan syair bahwa genangan air (yang diam) itu merusak dirinya sendiri. Bila air itu mengalir maka ia menjadi baik dan kala berhenti mengalir maka berhenti pula baiknya. Kalau begitu, siapkah kita berubah? WalLāhu a’lamu bi ash-shawāb. []

 

Samsul Zakaria, S.Sy.,

Calon Hakim di Pengadilan Agama (PA) Tanjung,

Alumnus Program Studi Ahwal Syakhshiyah FIAI UII

INTERNET SEBAGAI SARANA DAKWAH EFEKTIF & KREATIF

Pembaca yang budiman, pada umur ke-63 tahun, Nabi Muhammad ﷺ wafat, sudah ada tanda-tanda wafat nya beliau dari beberapa hari sebelumnya, salah satunya adalah turunnya surat terakhir dalam Alqur’an surat Al-Maidah Ayat 3 yang menjelaskan bahwa telah disempurnakannya Agama Islam, yang artinya:

“… pada hari ini telah kusempurnakan agamamu, dan telah kucukupkan nikmatku, dan telah ku ridhoi Islam sebagai agama bagimu…” (QS. Al-maidah : 3)

Sebagai ajaran yang sempurna, sudah pasti Islam sebagai ajaran yang berlaku hingga akhir jaman kelak. Karena ajaran Islam berlaku di setiap zaman, pasti metode penyampaian serta bahasa nya juga tentu beda-beda, contohnya kitab zabur yang menurut riwayat berbahasa qibti turun untuk umat Islam jaman Nabi Daud, taurat yang berbahasa ibrani untuk umat Islam jaman Nabi Musa, injil yang menggunakan bahasa suryani turun untuk umat Islam jaman Nabi Isa, begitu juga Alqur’an yang berbahasa arab turun untuk umat Islam pada jaman Nabi Muhammad, dan bukan berarti Alqur’an turun untuk orang arab saja (lihat QS. Al-Fushillat :44), karena Nabi Muhammad diutus untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam. ( QS. Al-Anbiya : 107).

Dari penjabaran di atas dapat disimpulkan bahwa setiap rasul diturunkan sesuai dengan bahasa kaumnya, ini dijelaskan dalam Alquran surat  Ibrahim ayat 4 yang artinya :

Dan tidaklah kami menutus Rasulpun kecuali dengan bahasa kaumnya supaya dia dapat menjelaskan kepada mereka…” (QS. Ibrahim : 4)

Apa tujuan nya? Tentu agar dakwah para rasul lebih mudah dimengerti dan diterima oleh kaumnya, bisa dibayangkan seorang rasul datang dengan bahasa yang sama sekali berbeda, pasti akan cederung tidak diterima bahkan ditolak.

Sesuai dengan ayat Alquran yang sudah disebutkan di atas bahwa, “berdakwah dengan bahasa kaumnya” selain bermakna secara tekstual tentu ada makna lain yang bisa terus dikontekskan dan menjadi inovasi sesuai dengan kebutuhan jaman.

Alqur’an adalah kitab penyempurna dari kitab-kitab sebelumnya, dan tidak mungkin ada kitab baru lagi yang diturunkan Allah kepada Rasul di jaman ini, karena Nabi Muhammad adalah penutup bagi semua Rasul. Saat ini yang ada hanyalah pewarisan makna-makna yang terkandung dalam Alqur’an oleh para ulama, karena sesuai hadits nabi yang artinya :

Ulama adalah pewaris para nabi.” (HR At-Tirmidzi)

Seiring perkembangan zaman, akhirnya Alqur’an sudah diterjemahkan dalam berbagai bahasa agar setiap orang bisa mengerti apa yang terkandung di dalamnya. Bahkan di era millennial sekarang dengan kemudahan akses informasi melalui internet, dengan mudah kita mengetahui terjemah Alqur’an dalam berbagai bahasa bahkan lengkap dengan segala tafsirnya.

Berevolusinya internet menjadi sumber rujukan utama khususnya untuk kids jaman now dalam mengetahui makna Alqur’an, menjadi keuntungan sekaligus keprihatinan tersendiri bagi umat Islam. Misalnya keprihatinan karena sudah berkurangnya budaya menjaga silsilah keilmuan dalam mempelajari Alqur’an, sehingga sekarang banyak orang yang dengan mudahnya menyalahkan pendapat saudaranya yang sesama muslim pada hal-hal yang menurut penulis bukan hal yang bersifat subtantif, karena korban dari kemudahan mengakses penjelasan Alqur’an dari internet.

Fenomena ini di samping merupakan keprihatinan bersama di kalangan umat muslim, sebenarnya bisa menjadi tantangan pula bagi para ulama dan cendikiawan muslim untuk ikut serta pula menyebarkan keilmuan serta pemahaman yang benar tentang Alqur’an melalui media online, dan juga sebagai upaya untuk mengalahkan pemahaman-pemahaman sesat yang disebarkan oleh pihak di luar Islam, karena memang salah satu agenda besar untuk menciptakan the new world order (tatanan dunia baru dibawa sistem dajjal pada akhir jaman) ialah menjauhkan manusia dari agama, salah satunya adalah dari pihak yang membenci Islam yang menyebarkan paham mereka tentang Alqur’an melalui buku dan media online.

Menurut data dari salah satu artikel menyebutkan bahwa orang Indonesia rata-rata menghabiskan waktunya untuk menggunakan gadget selama 5,5 jam/hari, waktu yang cukup lama jika dibandingkan dengan data minat membaca orang Indonesia yang sangat jauh sekali perbedaannya. bahkan dalam komunikasi sehari-hari pun bisa dikatakan sekarang kita sudah menggunakan bahasa digital, melalui chat di social media, foto, video, ataupun electronic mail.

Kondisi seperti ini bukan saatnya untuk menyalahkan perkembangan jaman atau dengan menyebarkan slogan-slogan anti internet dan teknologi. Umat Islam justru harus beradaptasi dengan kondisi semacam ini dan menjadikan fenomena ini menjadi sarana dakwah dan ladang pahala.

Dakwah yang seperti apa? Tentu dengan dakwah yang menarik dan kekinian, karena dakwah harus menggunakan bahasa kaum yang didakwahi, yang saat ini bahasa yang digunakan ialah bahasa melalui media online.

Salah satu penyebab mundurnya peradaban Islam ialah kurangnya adaptasi terhadap perkembangan jaman dan cenderung takut untuk melakukan inovasi baru dalam penyampaian nilai-nilai Alqur’an dan hadits. Umat Islam sudah kalah dengan kaum non-muslim yang sudah menyampaikan ajaran-ajaran mereka melalui bahasa dalam film-film box office, kita sudah kalah dengan dengan yahudi yang sudah menyebarkan paham “dinding ratapan” mereka dalam dinding facebook, kita sudah kalah dengan kaum penentang tuhan yang menyampaikan ajaran mereka lewat film animasi anak-anak, dan bisa kita lihat sekarang, semua media baik itu aplikasi gadget, siaran televisi, dan situs-situs popular di internet yang disukai oleh masyarakat muslim ialah yang dimiliki oleh mayoritas orang non Islam.

Dalam sejarah sebenarnya Islam sudah dahulu lebih maju dan sudah mengadaptasikan metode dakwah dengan kondisi yang actual, misalnya bisa kita lihat ketika Muhammad Al-fatih tidak menghancurkan Gereja Hagia Sophia dan mengubahnya dari gereja menjadi masjid, dalam perspektif dakwah ini membantu umat Kristen pada saat itu menerima Islam karena menggunakan pendekatan yang lebih damai dan arif.

Pada masa Dinasti Abassiyah misalnya, dakwah Islam juga disampaikan melalui ilmu pengetahuan dan teknologi, bisa kita lihat tokoh-tokoh yang masyhur yang karyanya masih menjadi rujukan bagi para ilmuan dunia seperti Al-khawarizmi, Ibnu Sina, Al-Farabi dan sebagainya.

Lebih jauh lagi ketika masa sahabat, sebuah riwayat menjelaskan bahwa Utsman bin Affan yang kaya raya menggunakan hartanya untuk membeli sebuah sumur dan bisa digunakan untuk keperluan orang banyak, dalam sudut pandang dakwah ini sebagai sarana menyebarkan pemahaman bahwa Islam adalah rahmat bagi seluruh alam, sehingga dalam proses Islamisasi akan lebih mudah dan damai.

Dari penjabaran di atas bisalah disimpulkan bahwa di era kecanggihan teknologi saat ini para ulama dan cendikiawan harus mengubah cara dakwah agar lebih menarik dan kekinian agar lebih mudah diterima oleh masyarakat dan kaum remaja. Bukan berarti harus dirubah secara total, karena Allah menciptakan manusia secara majemuk dan beragam, dan kita harus saling mengenal (QS Al-Hujurat :13).

Dari kemajemukan itulah metode dakwah yang digunakan harus bervariasi pula, dan hemat penulis di jaman ini yang sudah menggunakan bahasa non verbal, perlu juga di konsepkan sebuah strategi untuk berdakwah melalui media online, bisa melalui gambar, video, film animasi ataupun hal-hal yang sedang popular lainnya. Semoga dengan terus berkembangnya metode dakwah, Islam akan kembali berjaya di bumi Allah ini.

Rifat syauqi zuhdi
Mahasiswa Teknik Industri UII

 

Mutiara Hikmah

كَم مِّن فِئَةٖ قَلِيلَةٍ غَلَبَتۡ فِئَةٗ كَثِيرَةَۢ بِإِذۡنِ ٱللَّهِۗ وَٱللَّهُ مَعَ ٱلصَّٰبِرِينَ ٢٤٩

“….Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah, berkata: “Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar” (QS. Albaqorah: 249)

Aturan Perang Dalam Islam dan Hukum Humaniter Internasional

Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zhalim

(QS. Al-Baqarah [2]: 193)

Islam adalah agama rahmatan lil alamin, yaitu agama yang membawa rahmat dan kesejahteraan bagi semesta alam. Segalanya telah diatur oleh Al-Qur’an dan Sunnah sebagai dasar hukum. Apa yang diatur oleh keduanya tidak lain untuk membawa manfaat bagi manusia sendiri. Islam mengatur segalanya baik ekonomi, politik, sosial, dan ekonomi. Sampai hal-hal kecil juga diatur oleh Islam seperti bersin, mengucap salam, makan, minum, dsb. Tak terkecuali dalam perang. Islam mengatur peperangan agar tidak terjadi kerusakan.

Perang merupakan perlawanan antara dua kubu atau lebih yang menyerang satu sama lain dengan menggunakan senjata. Terjadinya perang menimbulkan dampak negatif yang berskala besar karena memakan banyak jiwa dan harta. Islam membolehkan perang apabila keadaan sudah mendesak. Apabila terjadi konflik, kita tidak boleh langsung melakukan perang selama keadaan tidak mendesak. Dasar boleh melakukan peperangan antara lain surat al-Hâjj [22] ayat 39 yang berbunyi:

Telah diizinkan (berperang) bagi siapa yang diperangi karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuasa menolong mereka itu.”

Kemudian surat al-Anfâl [8] ayat 60 yang berbunyi:

Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan kekuatan yang kamu miliki dan dari pasukan berkuda yang dapat menggentarkan musuh Allah, musuhmu, dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya, tetapi Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu infakkan di jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dizalimi (dirugikan)”

Sejarah perang Rasulullah ﷺ dalam Islam telah disebutkan dalam beberapa peristiwa seperti perang Badar dan perang Uhud. Perang yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ sebagai respon terhadap apa yang dilakukan oleh orang kafir terhadap umat Islam. Orang-orang kafir pada masa itu telah menghalangi dakwah Islam dan bahkan mengancam jiwa dan harta umat Islam. Maka perang menjadi pilihan untuk menegakkan agama Allah ﷻ.

Dalam hal berperang terdapat aturan-aturan untuk mencegah kerusakan yang sangat besar. Jika kita melihat perang saat ini, kerusakan yang ditimbulkan sudah sangat parah. Perang Suriah misalnya, yang menewaskan ribuan masyarakat sipil dan memaksa sebagian lainnya pergi ke negara-negara lain. Tidak hanya itu, situs-situs sejarah Islam Bani Umayyah yang ada di Suriah menjadi rusak akibat dari perang tak berkesudahan. Contoh lainnya seperti perang di Yaman, Irak, dan Afghanistan menyebabkan pemerintah sulit mengontrol negaranya. Dampak negatif akibat perang seperti orang-orang yang terpaksa pergi dari  negaranya dan hancurnya bangunan-bangunan termasuk masjid dan situs sejarah Islam adalah akibat dari aturan perang yang dilanggar oleh pihak-pihak yang berperang.

Aturan Perang Dalam Islam

Lantas apa saja yang menjadi aturan dalam peperangan? Berikut ini secara ringkas adalah aturan-aturan Islam dalam melakukan peperangan:

Pertama, sasaran dalam perang adalah prajurit musuh yang ikut berperang. Selain prajurit, tidak boleh diperangi. Wanita, anak-anak, ahli agama dan orang tua tidak boleh dibunuh sesuai dengan hadits Rasulullah ﷺ. Dari Abdullah bin Umar, ia berkata, “Aku mendapati seorang wanita terbunuh dalam sebuah peperangan bersama Rasulullah . Kemudian beliau melarang membunuh kaum wanita dan anak-anak dalam peperangan” (HR. Bukhari No 3015 dan Muslim No 1744)

Dari Anas, sesungguhnya Rasulullah ﷺ bersabda, “Pergilah kalian dengan nama Allah, dengan Allah dan atas agama Rasulullah, jangan kalian membunuh orang tua yang sudah tidak berdaya, anak kecil dan orang perempuan, dan janganlah kalian berkhianat, kumpulkan ghanimah-ghanimahmu, dan berbuatlah maslahat, serta berbuatlah yang baik, karena sesungguhnya Allah senang kepada orang-orang yang berbuat baik”. (HR. Abu Dawud)

Dilarang membunuh para biarawan di biara-biara, dan tidak membunuh mereka yang tengah beribadah” (HR. Ahmad)

Kedua, tidak boleh mengahncurkan bangunan dan fasilitas umum. Dalam surat al-Qashâs [28] ayat 77 Allah ﷻ berfirman:

“…dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan”.

Fasilitas-fasilitas umum  seperti rumah sakit, sekolah dan tempat ibadah, tidak boleh menjadi sasaran penghancuran dalam perang. Telah banyak perang yang mengakibatkan fasilitas umum hancur sehingga menambah penderitaan warga sipil yang tidak ikut perang. Selain itu penggunaan senjata nuklir atau senjata pemusnah massal yang membunuh tanpa melihat siapa yang menjadi sasaran senjata tersebut juga dilarang karena mengakibatkan kerusakan sangat parah.

Aturan Perang Dalam Hukum Humaniter Internasional

Hukum yang mengatur dalam urusan perang disebut dalam Hukum Humaniter Internasional. Ada beberapa aturan mengenai cara berperang yang benar. Benar dalam pengertian ini ialah tidak semena-mena dalam melakukan penyerangan. Berikut ini adalah beberapa dari sekian aturan Hukum Humaniter Internasional (Jean-Marie Henckaerts, 2005) yang mengatur masalah perang:

Rule 2 : Act or threats of violence the primary purpose of which is to spread terror among the civilian population are prohibited

Rule 3 : All members of the armed forces of a party to the conflict are combatants, except medical and religious personel

Rule 38 : Each party to the conflict must respect cultural poperty:

  1. Special care must be taken in military operations to avoid demage to buildings dedicated to religion, art, science, education or charitable purposes and historic monuments unless they are military objectives.
  2. Property of great importance to the cultural heritage of every people must not be the object of attack unless imperatively required by military necessity.

 

***

Apabila dibandingkan dengan Hukum Humaniter Internasional, aturan perang dalam Islam tidak berbeda jauh, bahkan dalam beberapa hal lebih maju. Ini membuktikan bahwa adab-adab tentang perang sudah menjadi bagian dari ajaran Rasulullah ﷺ. Maka pesan Rasulullah ﷺ kepada umatnya mengenai perang semakin menambah kepercayaan bagi kita bahwa Islam adalah agama yang damai. Islam tidak pernah mengajarkan kekerasan dan berlebihan dalam perang. Dalam hal tawanan perang saja, Rasulullah ﷺ menyuruh sahabatnya unuk memperlakukan tawanan perang dengan sebaik-baiknya. Semua ajaran Islam adalah untuk kebaikan umat manusia.

Bila kita bertanya-tanya mengapa Rasulullah ﷺ memberikan pesan mengenai aturan perang, maka jawabannya bisa didapatkan dengan melihat keadaan perang sekarang. Dampak yang ditimbulkan tidak dapat dinalar oleh manusia, setiap hari korban warga sipil semakin bertambah akibat perang yang tidak memperhatikan aturan. Sudah banyak bukti negara-negara yang telah usai berperang sulit untuk bangkit kembali. Nyatanya, konflik masih terus terjadi. Pemerintah yang terbentuk setelah perang belum tentu bisa mengontrol segala aspek dalam menunjang negaranya. Maka dari itu sebisa mungkin kita mencegah terjadinya perang, walaupun telah diizinkan untuk berperang karena dampak yang ditimbulkan tidaklah kecil.

Hal yang perlu dilakukan untuk melindungi segala hal yang melanggar aturan perang sekaligus melanggar esensi Islam itu sendiri adalah dengan mendorong umat muslim di seluruh dunia, terutama yang terlibat perang, baik individu kelompok maupun level negara, untuk kembali kepada aturan Islam tentang adab-adab perang. Dengan demikian, perang diharapkan akan kembali pada tujuan utamanya, yaitu sebagai sarana untuk mempertahankan diri dan sarana untuk menciptakan perdamaian, bukan sebaliknya.

 

Muhammad Nafiuddin Fadly

Mahasiswa Hubungan Internasional

Universitas Islam Indonesia

Melihat Wajah Islam melalui Peradaban dan Pemikiran Islam Dulu dan Kini; ISLAM dan POLITIK

Berbicara mengenai Islam dan Politik tentu merupakan sebuah topik yang menarik dalam khazanah  pemikiran Islam, apalagi dalam lingkup nasional maupun internasional. Hal tersebut dikarenakan Islam merupakan sebuah agama yang bukan sekedar agama, akan tetapi Islam sebagai agama dapat mengatur berbagai aspek tidak hanya mengatur dalam konteks spiritual, namun Islam sebagai agama dapat mengatur berbagai aspek kehidupan baik dari segi Politik, Sosial, Ekonomi dan Budaya, kesemuanya itu diatur dalam agama Islam.

Islam yang mengadung prinsif Rahmatal Llil ‘Alamin dalam ideologinya, menggambarkan bahwa Islam itu sendiri cinta terhadap perdamaian, dan perdamaian itu sendiri tidak hanya monoton terhadap kaum Muslim saja melainkan untuk semua makhluk yang berada dimuka bumi ini baik dikalangan kaum Muslim maupun diluar kalangan kaum Muslim.  Oleh karenanya, Islam sebagai agama tidak bisa dipisahkan dari aspek apapun apalagi kalau kita bicara mengenai politik. Politik dalam Islam merupakan sebuah wadah, dimana wadah tersebut merupakan sebuah entitas yang bisa menerapkan sebagian ajaran dari Islam itu sendiri, sehingga politik dan Islam tidak dapat terpisahkan antara satu dengan yang lainnya. tegasnya, agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan (Politik) adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi niscaya akan runtuh dan segala sesuatu yang tidak berpenjaga niscaya akan hilang dan lenyap (al-Ghazali).

Berdasarkan pada pandangan tersebut, timbul sebuah pertanyaan; Apakah Islam sebagai agama mengatur segala aspek kehidupan? Dengan kata lain, Apakah benar Islam sebagai agama tidak bisa dipisahkan dengan dimensi politik?. Jawabannya, tentu ‘YA’ karena secara faktual Islam tidak sekedar menjadi sebuah ajaran agama akan tetapi Islam sendiri merupakan sebuah sistem politik (apolitical system), dimana seluruh gugusan pemikiran Islam dibangun diatas fundamen bahwa kedua sisi itu saling bergandengan dengan selaras dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Hal ini dibuktikan, bahwasanya Islam sendiri menjadi gerakan politik sejak zaman nabi Muhammad. Dimana pada saat itu, Muhammad membangun sebuah komunitas Islam di Madinah pada tahun 622 M. Setelah Rasulullah wafat, kendali pemerintahan dipegang oleh Khulafaurrasyidin. Masa ini ber lanjut sampai munculnya dinasti Bani Umayah dan dilanjutkan oleh Bani Abbasiyah sampai kehancurannya akibat serangan tentara Mongol sekitar tahun 1250M. Inilah yang membuktikan bahwa Islam itu tidak dapat dipisahkan dengan dimensi politik.

Terlepas dari wafatnya Rasulullah. Sejarah membuktikan bahwasanya Islam tidak terlepas dari yang namanya carut marut perpolitikan, dan kesemua hal tersebut tidak terlepas dari adanya perbedaan pendapat mengenai teologi Islam, dan hal tersebut tanpa didukung oleh takwilan atas nash-nashnya (al-Qur’an), sehingga berdampak pada penafsiran al-Qur’an dan Hadits menurut selera masing-masing golongan, bahkan sebagian melakukan pemalsuan terhadap Hadits untuk mendukung keberadaan dan kebenaran kelompok tertentu. Sehingga lahirlah firqoh-firqoh (golongan) yang berbeda-beda, namun semuanya masih berada dalam naungan bingkai Islam.

Perbedaan jelas yang terjadi terhadap kaum muslimin setelah wafatnya Rasulullah`, adalah perbedaan pendapat mengenai imamah (kepemimpinan negara), hal ini dikarenakan dalam catatan sejarah Rasulullaha tidak menjelaskan dan menentukan dengan pasti siapa yang akan menggantikan estafet dari kepemimpinannya. Sehingga dalam hal ini, terjadilah sebuah pertemuan yang dilakukan kaum Anshar di Syaqifah Bani Sa’idah dalam rangka merembukkan siapa pengganti kepemimpinan Muhammad` (lahirlah teori politik Islam pertama).

Mungkin dalam hal ini, penulis melihat bahwasanya ketiadaannya wasiat atau perintah dari Rasulullah Muhammada mengenai pengganti tampuh pemerintahan setelahnya, adalah dikarenakan bahwa Rasulullah tidak mau melihat umat Islam sendiri terikat dengan aturan-aturan yang baku dan kaku, yang kemudian aturan-aturan tersebut tidak cocok dengan perkembangan yang terus terjadi, serta tidak sesuai dengan kondisi seperti pada saat ini. Ini juga bisa kita lihat bahwa di dalam Islam itu sendiri tidak ada aturan yang baku terhadap sistem pemerintahan, ini dikarenakan syari’at Islam berkehendak bahwasanya undang-undang dalam Islam harus terus bersifat lentur, sehingga kelenturannya tersebut dapat memberikan kesempatan kepada akal manusia untuk berpikir, serta ummat Islam sendiri dapat membuat sistem politik yang di kehendakinya sendiri sesuai dengan kebutuhan mereka yang berubah-ubah sesuai perkembangan zaman. Namun dalam hal ini, harus tetap dalam koridor yang sudah ditentukan oleh syari’at Islam.

Terlepas dari itu semua, bukan berarti syari’at Islam tidak begitu memperhatikan pemeluknya dalam melakukan sesuatu perbuatan. Akan tetapi, lebih kepada memberikan kebebasan terhadap pemeluknya (Islam) supaya menggunakan akal pikirannya untuk berpikir dan melakukan sesuatu hal yang mana perbuatan tersebut bisa bermanfaat untuk dirinya dan untuk semua umat pada skala besar. Namun, Islam juga tetap memberikan batasan-batasan terhadap pemeluknya, apabila suatu perbuatan mencangkup aqidah maka perbuatan tersebut harus mengacu pada aturan syari’at nya, akan tetapi apabila perbuatan tersebut luar dari cangkupan aqidah yaitu mengenai furu’iyah maka tidak mengapa terjadi perbedaan di setiap individu asalkan masih dalam naungan bingkai Islam. Seperti banyak kita lihat para ulama banyak yang berbeda pendapat, namun kita sebagai masyarakat harus menerima dengan lapang dada seperti para Ulama lakukan.  Mungkin inilah yang dinamakan agama Islam itu mudah tapi jagan terlalu dimudah-mudahkan.

Dalam perkembangannya, semakin maju teknologi, dunia semakin modern, maka permasalahan yang terjadi juga semakin komplek. Banyak kita lihat fenomena yang diluar sana yang mengatas namakan tidakannya itu dibawah naungan Islam. Namun, hal ini perlu diwaspadai karena banyak kelompok yang mengatas namakan dirinya Islam akan tetapi sesungguhnya apa yang dilakukan justru merusak citra Islam itu sendiri dimata orang lain. Namun, tidak bisa juga dipungkiri yang melatarbelakangi munculnya sebuah gerakan destruktip tersebut bukan tidak lain karena adanya serangan dari dunia barat yang ingin melihat Islam ini rusak dan lenyap, sehingga memudahkan munculnya gerakan yang destruktip. Ini merupakan sebuah paradoks yang dilakukan dan penuh by desain dari orang-orang yang ingin melihat Islam dimuka bumi ini hancur.

Oleh sebab itu, sebagai kaum muslim perlu memperkuat persatuan Ukhuwah Islamiyah dan persatuan tersebut tidak akan terjadi apabila tidak ada yang menjadi penjaganya, dimana penjaganya tersebut ialah bukan tidak lain adalah kekuasaan (politik) sehingga apa yang saya jelaskan diatas bahwa politik dan Islam tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. namun dalam hal ini Islam yang Rahmatal Lil ‘Alamin dan penuh keadilan terhadap siapapun sekalipun diluar dari kaum Muslim. Tegasnya bagi semua mahluk di muka bumi ini.

 

Muhammad Izzu Saukani

Mahasiswa Program Studi Hubungan Internasional

Universitas Islam Indonesia