TIGA JAMINAN DI SURGA BAGI LISAN YANG TERJAGA

Menjaga lisan adalah salah satu akhlak yang baik dan menjadi hal yang perlu untuk dibiasakan agar lisan tidak menjadi pisau  yang dapat melukai orang lain dan diri sendiri.  Kita pernah mendengar kalimat ‘talk less do more’ yang sangat familiar di telinga. Kurangi berbicara dan perbanyaklah melakukan sesuatu. Kalimat yang singkat namun memiliki banyak pesan yang dapat diambil terutama dalam kondisi di lingkungan saat ini. Orang-orang seolah berlomba-lomba untuk melontarkan berbagai opini dan menyerang lawan bicara, namun sudahkah kita berhenti sejenak dan berfikir akan dampak dari setiap perkataan yang dikeluarkan?

 

Talk Less

Terlepas dari berbagai isu yang hangat dibicarakan saat ini, kita sepakat bahwa perdebatan yang hanya berujung pada keburukan atau kemudharatan adalah perilaku yang sia-sia, hanya membuang energi, waktu dan kelak membawa dampak yang buruk bagi diri sendiri jika tidak bisa dipertanggungjawabkan. Pesan dari kalimat sederhana “talk less” ini bahkan sudah disampaikan sejak zaman Nabi Muhammad `, dari Abu Hurairah a bahwa Rasulullah ` bersabda, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam.” (H.R. Al-Bukhari, no. 6018; Muslim, no.47)

Berkata baik atau diam, terutama pada perdebatan yang hanya membuat gaduh dan adu opini tanpa solusi, perdebatan yang mengarah pada keburukan seperti mengadu domba, memfitnah dan perilaku buruk lainnya. Hal lain yang perlu kita sadari di zaman yang serba canggih seperti saat ini adalah, kita dapat dengan mudah menebar kebaikan atau bahkan keburukan melalui jari-jari tangan kita hanya dalam seper-sekian detik. Perkataan yang harus kita pertanggungjawabkan baik di dunia maupun di akhirat kelak bukan hanya perkataan secara langsung melalui mulut, namun juga perkataan-perkataan yang tersebar di media sosial.

Permusuhan yang terus bermunculan tak jarang berawal dari perkataan-perkataan yang melukai perasaan orang lain, akan sangat indah jika kita selalu dapat menjaga perkataan dan mempertanggungjawabkan kebenarannya sebelum melontarkannya kepada orang lain, terlebih jika kita bisa mengeluarkan perkataan ataupun hal-hal positif yang bersifat membangun. Dengan demikian kita telah mengikuti ajaran Nabi Muhammad l untuk menjaga lisan dan menjaga perasaan orang lain.

Menjaga lisan agar tidak berkata kotor adalah kebaikan. Berkata (berucap) yang mengundang keridhoan Allah namun dia tidak memperhatikan apa yang diucapkan akan mendatangkan kebaikan dari Allah. Dalam riwayat disebutkan dari Abu Hurairah a, Rasulullah ` bersabda, “Sungguh ada seorang hamba berbicara dengan satu kata yang mengundang keridhaan Allah, meskipun dia tidak terlalu memperhatikannya; namun dengan sebab satu kalimat itu Allah menaikkan beberapa derajatnya. Dan sungguh ada seorang hamba berbicara dengan satu kalimat yang mengundang kemurkaan Allah, sementara dia tidak memperhatikannya; dengan sebab satu kalimat itu dia terjungkal di dalam neraka Jahannam”. (H.R Bukhari 6478).

 

Tiga Jaminan di Surga

Penulis ingin membagikan suatu pesan menarik dari artikel yang berjudul ‘1+1=5’. Jika kita bertemu dengan lawan bicara yang melontarkan perkataan-perkataan yang tidak benar, maka hendaknya kita menghindar dari perdebatan yang mungkin terjadi. “…Even if you tell me 1+1 =5, you’re absolutely correct. Enjoy” sebuah quotes yang terdengar seperti candaan namun terdapat pesan dibaliknya.

Jika seseorang berdebat dan dengan jelas kita tahu bahwa apa yang dikatakan adalah sesuatu yang salah, seperti halnya dengan mengatakan bahwa 1+1 hasilnya 5 maka kita tidak perlu menanggapinya. Dan lagi, hal ini juga sebelumnya telah disampaikan oleh Nabi Muhammad `. Dari Abu Umamah Al-Bahili a berkata, telah bersabda Rasulullah `,  “Aku menjamin sebuah rumah di surga bagian bawah bagi siapa yang meninggalkan perdebatan sekalipun dia benar. Dan aku menjamin sebuah rumah di surga bagian tengah bagi siapa yang meninggalkan kebohongan sekalipun sedang bergurau. Dan aku menjamin sebuah rumah di surga bagian atasnya bagi siapa yang mulia akhlaknya.” (H.R. Abu Dawud no. 4800 dan dinilai hasan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 1464).

Terdapat 3 poin penting dari hadits diatas, (1) mengenai orang yang meninggalkan perdebatan sekalipun dia benar. Hal ini kurang lebih sama seperti dengan ilustrasi 1+1=5 sebelumnya, tinggalkan perdebatan maka jaminan rumah di surga bagian bawah akan diperoleh. (2) orang-orang yang memperoleh jaminan yang lebih tinggi yaitu rumah di surga bagian tengah bagi mereka yang meninggalkan perkataan bohong dan sia-sia terlebih jika kita dapat menjaga perkataan-perkataan buruk yang dapat memicu perdebatan. (3) adalah rumah di surga bagian atas yaitu bagi orang-orang yang berkata baik dan berbuat sesuatu untuk memberikan manfaat bagi lingkungannya karena akhlak yang mulia.

Ketiganya adalah jaminan yang teramat baik, namun alangkah bahagianya orang-orang yang bisa merasakan surga bagian atas karena akhlaknya yang mengikuti ajaran Nabi Muhammad ` dan taat atas perintah Allah `. Setiap bentuk kebaikan akan mendapatkan ganjaran kelak di akhirat dan sebagai umat Muslim kita bisa saling berlomba-lomba dalam kebaikan, salah satunya berlomba menjalin hubungan yang baik antar sesama manusia dan berusaha memberikan manfaat bagi orang lain untuk meraih keridhoan Allah l.

 

Tidak Selamanya Diam

Mengurangi berbicara atau menghindari perdebatan bukan berarti selamanya harus diam, setidaknya kita bisa melihat mana pembicaraan yang sehat untuk diluruskan dan mana perdebatan yang hanya memicu permusuhan antara kedua belah pihak. Berpendapat juga banyak dibutuhkan untuk menghasilkan suatu solusi karena Nabi pun mengajarkan kita untuk selalu bermusyawarah dan tidak egois dalam mengambil keputusan. Pada intinya kita akan menjadi pribadi yang lebih dewasa ketika kita dapat memilih forum yang tepat untuk berdiskusi dan bertukar pikiran serta dapat menghindari adu mulut yang berujung perselisihan.

 

Do More

Zaman milenial seperti sekarang ini dibutuhkan banyak kreatifitas dibandingkan sibuk mengkritik dan mengeluh dengan keadaan, apalagi saat ini orang-orang bisa mendulang kesuksesan tanpa pendidikan formal yang tinggi. Sebuah fakta yang tidak bisa dipungkiri ketika pada beberapa kasus, pendidikan formal dapat dikalahkan dengan kreatifitas. Namun, bukan berarti pendidikan formal dapat dengan mudah dikalahkan, faktanya masih banyak kebutuhan akan skill khusus yang hanya bisa dimiliki oleh orang-orang yang beruntung dapat mengenyam pendidikan tinggi.

Menjadi milenials yang sukses agaknya tidak bisa selalu bergantung kepada gelar pendidikan saja, namun kita perlu mencari potensi diri yang dapat kita kembangkan terutama jika dapat memberikan manfaat bagi lingkungan sekitar. Berbagai kemudahan teknologi seperti membuka peluang yang besar untuk melakukan kreatifitas, terutama dengan adanya media sosial yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan positif termasuk berdakwah. Berdakwah tidak hanya dilakukan oleh para penceramah, sebagai umat muslim yang termasuk dalam generasi milenial kita dapat berdakwah dengan berbagai cara yang lebih kreatif, baik dengan menebar pesan-pesan positif melalui postingan medsos atau melalui kegiatan-kegiatan sosial yang banyak diminati oleh masyarakat.

Berkontribusi dalam berbagai macam kegiatan positif dapat dimulai dari diri sendiri. Mulai membiasakan diri untuk lebih banyak berbuat dibandingkan mengeluh dan mulai disiplin untuk mengerjakan hal-hal kecil yang menjadi kewajiban kita. Jika sudah dimulai dari diri sendiri, maka kita dapat dengan  mudah ikut berkontribusi dalam kegiatan yang lebih besar baik di lingkungan kampus, tempat kerja, hingga di lingkungan masyarakat.

Kita bisa memilih menjadi orang yang menebar keburukan dan kebencian melalui lisannya atau menjadi orang yang dapat menebar kebaikan melalui perkataan yang positif dan menebar manfaat dengan melakukan hal-hal yang kreatif.  Wallâhu a’lam bish-shawwab.[]

 

*Iesya Reyadillah N.

Mahasiswa FMIPA UII

NIM. 15613187

Refresensi:

https://muslimah.or.id/5118-bicara-baik-atau-diam.html

https://mailchi.mp/aidaazlin/115-how-this-equation-gave-me-peace

Kajian Masjid Ulil Albab UII, Agamanya Millenial Presepsi Millenial Terhadap Islam, 9 Maret 2019.

 

 

Mutiara Hikmah

Rasulullah ` bersabda,

لَا تَغْضَبْ وَلَكَ الـجَنَّة

“Jangan marah, bagimu surga.” (HR. Thabrani dan dinyatakan shahih dalam kitab shahih At-Targhib no. 2749)

 

HUBUNGAN PEMIMPIN DAN YANG DIPIMPIN

 “Allah Pemimpin orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”.

(QS. Al-Baqarah [02]: 257).

 

Al-Qur’an telah menjelaskan bahwa Allah adalah pemimpin orang-orang beriman. Hal ini seperti firman-Nya diatas.

Azh-zhulumat (kegelapan) dalam ayat di atas adalah simbol dari segala bentuk kekufuran, kemusyrikan, kefasikan dan kemaksiatan. Atau dalam bahasa sekarang Azh-zhulumat adalah bermacam-macam ideology dan isme-isme yang bertentangan dengan ajaran Islam seperti komunisme, sosialisme, kapitalisme, liberalism, materialism, hedonism, dan lain sebagainya. Sedangkan an-nur adalah simbol dari ketauhidan, keimanan, ketaatan, dan segala kebaikan lainnya.

At-thaghut adalah segala sesuatu yang disembah (dipertuhan) selain dari Allah l dan dia suka diperlakukan sebagai Tuhan tersebut. Sederhananya Thaghut adalah segala sesuatu yang menentang kebenaran dan melanggar batas yang telah digariskan oleh Allah l untuk hamba-Nya. Dia bisa berbentuk pandangan hidup, peradaban dan lain-lain yang tidak berlandaskan ajaran Allah `.

Secara kepemimpinan Allah l itu dilaksanakan oleh Rasulullah `, dan sepeninggal beliau kepemimpinan itu dilaksankan oleh orang-orang yang beriman. Hal itu dinyatakan di dalam Al-Qur’an, Allah l berfirman, “Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah)”. (Q.S. al-Mâidah [05]: 55).

 

Kriteria Pemimpin

Pemimpin umat atau dalam ayat di ayat di istilahkan dengan waliy dan dalam ayat yang lain (Q.S An-Nisa’ [4]: 59) disebut dengan ulil amri adalah penerus kepemimpinan Rasulullah ` setelah beliau meninggal dunia. Sebagai Nabi dan Rasul, Nabi Muhammad ` tidak bisa digantikan, tapi sebagai kepala Negara, pemimpin, ulil amri tugas beliau dapat digantikan.  Orang-orang yang dapat dipilih menggantikan beliau sebagai pemimpin minimal harus memenuhi empat kriteria sebagai mana yang dijelaskan dalam surat Al-Mâidah ayat 55 di atas.

 

  1. Beriman Kepada Allah l.

Pemimpin ulim amri adalah penerus kepemimpinan Rasulullah `, sedangkan Rasulullah ` sendiri adalah pelaksana kepemimpinan Allah `, maka tentu saja yang pertama sekali harus dimiliki oleh penerus kepemimpinan beliau adalah keimanan (kepada Allah, dan Rasul-Nya bagaimana mungkin dia dapat diharapkan memimpin umat menempuh jalan Allah di atas permukaan bumi jika tidak memiliki iman di hatinya. Maka keimanan menjadi pondasi dasar kepemimpinan dalam Islam.

 

  1. Mendirikan Shalat.

Shalat adalah ibadah vertikal langsung kepada Allah l. Seorang pemimpin yang mendirikan shalat diharapkan memiliki hubungan vertikal yang baik dengan Allah l. Diharapkan nilai-nilai kemuliaan dan kebaikan yang terdapat di dalam shalat dapat tercermin dalam kepemimpinannya. Misalnya nilai kejujuran. Apabila wudhu’ seorang imam yang sedang memimpin shalat batal, sekalipun tidak diketahui orang lain dia akan mengundurkan diri dan siap digantikan orang lain, karena dia sadar bahwa dia tidak lagi berhak menjadi imam.

 

  1. Membayarkan zakat.

Zakat adalah ibadah mahdhah yang merupakan simbol kesucian dan kepedulian sosial. Seorang pemimpin yang berzakat diharapkan selalu berusaha mensucikan hati dan hartanya. Dia tidak akan mencari dan menikmati harta dengan cara yang tidak halal (misalnya dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme). Dan lebih dari pada itu dia memiliki kepedulian sosial yang tinggi terhadap kaum dhu’afa’ dan mustadh’afin. Dia akan menjadi pembela orang-orang yang lemah.

 

  1. Selalu Tunduk Patuh Kepada Allah l.

Ayat di atas disebutkan pemimpin itu haruslah orang-orang yang selalu ruku’ (wa hum raki’un). Ruku’ adalah simbol kepatuhan secara mutlak kepada Allah dan Rasul-Nya yang secara konkret dimanifestasikan dengan menjadi seorang muslim yang kafah (total), baik dalam aspek aqidah, ibadah, akhlaq, maupun mu’amalat. Aqidahnya benar (bertauhid secara murni dengan segala konsekuensinya, bebas dari segala bentuk kemusyrikan), ibadahnya tertib dan sesuai tuntunan Nabi, akhlaqnya terpuji (shidiq, amanah, adil, istiqamah, dansifat-sifat mulia lainnya). Dan mu’amalatnya (dalam seluruh aspek kehidupan) tidak bertentangan dengan syari’at Islam.

 

Kepatuhan Kepada Pemimpin

Kepemimpinan Allah l dan Rasul-Nya adalah kepemimpinan yang mutlak diikuti dan dipatuhi. Sedangkan kepemimpinan orang-orang yang beriman adalah kepemimpinan yang nisbi (relatif) kepatuhan kepadanya tergantung dengan paling kurang dua faktor: (1) Faktor kualitas dan integritas pemimpin itu sendiri; dan (2) Faktor arah dan corak kepemimpinannya. Kemana umat yang dipimpinnya mau dibawa, apakah untuk menegakkan dinullah atau tidak.

Perbedaan kepatuhan itu telah diisyaratkan oleh Allah l dalam firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu”. (QS. An-Nisa’ [04]: 59).

Perintah taat kepada Rasul disebutkan secara eksplisit seperti perintah taat kepada Allah l, semantara perintah taat kepada ulil amri hanya di ‘atafkan (diikutkan) kepada perintah sebelumnya. Artinya kepatuhan kepada ulil amri terkait dengan kepatuhan ulil amri itu sendiri kepada Allah dan Rasul-Nya. Ulil amri yang disebut dalam ayat ini ditafsirkan oleh Al-Mâidah 55 di atas, yaitu orang beriman yang mendirikan shalat, membayar zakat, dan selalu tunduk kepada Allah l.

Isyarat bahasa ini dipertegas oleh sabda Rasulullah `, “Seorang muslim wajib mendengar dan taat (kepada pemimpin –ed-) dalam perkara yang dia sukai atau benci selama tidak diperintahkan untuk bermaksiat. Apabila diperintahkan untuk bermaksiat, maka tidak ada kewajiban mendengar dan taat.” (H.R. Bukhari)

 

Untuk hal-hal yang sudah diatur dan ditetapkan oleh Al-Qur’an dan hadits, sikap pemimpin dan yang dipimpin sudah jelas, harus sama-sama tunduk pada hukum Allah. Tetapi dalam hal-hal yang bersifat ijtihadi, ditetapkan secara musyawarah dengan mekanisme yang disepakati bersama. Akan tetapi, apabila terjadi perbedaan pendapat yang tidak dapat disepakati antara pemimpin dan yang dipimpin, maka yang ditaati adalah pendapat pemimpin. Yang dipimpin kemudian tidak boleh menolaknya dengan alasan pendapatnya tidak dapat diterima.

 

Persaudaraan antara Pemimpin dan yang Dipimpin

Sekalipun dalam struktur bernegara (dan juga pada level di bawahnya) ada hirarki kepemimpinan yang mengharuskan umat atau rakyat patuh pada pemimpinnya, tetapi dalam pergaulan sehari-hari hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin tetaplah dilandaskan kepada prinsip-prinsip ukhuwah islamiyah, nukan prinsip atasan dengan bawahan, atau majikan dengan buruh, tetapi prinsip sahabat dengan sahabat. Demikianlah yang dicontohkan oleh Rasulullah `.

Kaum muslimin yang berada di sekitar beliau waktu itu di panggil dengan sebutan sahabat-sahabat, suatu panggilan yang menunjukkan hubungan yang horizontal, sekalipun ada kewajiban untuk patuh secara mutlak keppada beliau sebagai seorang Nabi dan Rasul. Hubungan persaudaraan seperti itu dalam praktinya tidaklah melemahkan kepemimpinan Rasulullah `, tapi malah semakin kokoh karena tidak hanya di dasari hubungan formal, tapi juga di dasari hubungan hati yang penuh kasih saying. (Disadur dari Prof. Dr. H. Yunahar Ilyas, Lc, M.A Kuliah Akhlaq, 2012, hal 247-251 dengan penambahan)

 

Cristoffer Veron P

Siswa Kelas XI SMK Muhammadiyah 1 Kota Yogyakarta

Prodi Teknik Komputer dan Jaringan

 

Mutiara Nasehat

 

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَيَنْصُرَنَّ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ

Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (Q.S. Al Hajj [22] : 40)

 

ULIL AMRI DAN WAJIBNYA TAAT KEPADANYA DALAM KEBAIKAN

Siapa yang dimaksud Ulil Amri?

Syaikh Shalih Al Fauzan ditanya, “Apakah prinsip ini, khusus untuk untuk penguasa yang berhukum dengan syariat Allah sebagaimana negeri kita yang diberkahi ini, ataukah umum untuk pemerintah kaum muslimin bahkan yang tidak berhukum dengan syariat Allah dan menggantinya dengan qawanin wadh’iyyah (hukum buatan manusia)?”Beliau menjawab: “Allah  berfirman: (yang artinya) “Dan ulil amri di antara kalian” (Q.S. An Nisâ’ [4]: 59). Maksudnya, dari kaum muslimin. Maka jika dia penguasa itu muslim, tidak kafir kepada Allah dan juga tidak melakukan salah satu dari pembatal-pembatal keislaman, maka dia adalah ulil amri yang wajib ditaati (Sumber: http://www.alfawzan.af.org.sa/node/13289).

Di sini beliau menjelaskan bahwa ulil amri itu setiap penguasa muslim secara mutlak baik diangkatnya secara syari’i atau pun tidak sesuai syari’at. Adapun pendapat yang mengatakan bahwa ulil amri itu hanya bila diangkat bila sesuai syariat saja adalah pendapat yang tidak memiliki pendahulu bahkan ia adalah pendapat yang diada adakan. Justru para ulama bersepakat bahwa orang yang menjadi pemimpin karena menang dalam revolusi maka ia wajib ditaati. Al-Hafidz Ibnu Hajar v berkata, “Para fuqaha telah berijma’ akan wajibnya menaati penguasa yang menang (dengan senjata) dan berjihad bersamanya. Dan bahwa menaatinya lebih baik dari memberontak kepadanya. Karena yang demikian itu lebih mencegah terkucurnya darah dan menenangkan kekacauan” (Fathul Baari 13/7).

Padahal memberontak itu tidak sesuai syariat, namun ketika ia menjadi penguasa dengan cara seperti itu, tetap ditaati dan dianggap sebagai ulil amri. Ini menunjukkan bahwa walaupun tata caranya tidak sesuai syariat, maka tetap ditaati sebagai ulil amri. Ini juga ditunjukkan oleh hadits, “Aku wasiatkan kalian agar bertaqwa kepada Allah, mendengar dan taat kepada pemimpin walaupun ia seorang hamba sahaya habasyah” (HR. At Tirmidzi)

Dalam pemilihan pemimpin secara syariat, hamba sahaya tak mungkin menjadi pemimpin karena semua ulama menyatakan bahwa syarat pemimpin adalah merdeka dan bukan hamba sahaya. Bila ia menjadi pemimpin pasti dengan cara yang tidak sesuai dengan syariat. Namun Nabi ` tetap menyuruh kita untuk menaatinya. Nabi ` juga mengabarkan akan adanya pemimpin yang tidak berhukum dengan hukum Allah. Beliau bersabda,   “Nanti setelah aku akan ada pemimpin pemimpin yang tidak mengambil petunjukku dan tidak pula melaksanakan sunnahku. Nanti akan ada di tengah-tengah mereka orang-orang yang hatinya adalah hati setan, namun jasadnya adalah jasad manusia. “Aku berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang harus aku lakukan jika aku menemui zaman seperti itu?”Beliau bersabda, ”Dengarlah dan ta’at kepada pemimpinmu, walaupun mereka menyiksa punggungmu dan mengambil hartamu. Tetaplah mendengar dan ta’at kepada mereka” (H.R. Muslim no. 1847).

Hadits ini tegas menunjukkan bahwa walupun mereka tidak mengambil petunjuk nabi dan sunnahnya, tetap harus ditaati dalam hal yang ma’ruf. Ini sebagai bantahan terhadap orang yang mengatakan bahwa bila pemimpin itu berhukum dengan selain hukum Allah maka tidak disebut ulil amri. Hadits ini juga membantah orang yang mengkafirkan setiap penguasa yang tidak berhukum dengan hukum Allah secara mutlak. Namun bukan berarti kita menyetujui perbuatan mereka. Wallahu a’lam.

 

Wajib Baiat Kepada Ulil Amri

Baiat ialah perjanjian untuk mendengar dan taat kepada pihak yang berkuasa atas urusan kaum muslimin (ulil amri). Baiat berlaku bagi setiap orang yang berada di dalam kekuasaannya. Menjaga janji dalam baiat hukumnya wajib, Allah l berfirman, “Bahwa orang-orang yang berjanji setia kepadamu (Muhammad), sesungguhnya mereka hanya berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan-tangan mereka, maka barang siapa melanggar janji, sesungguhnya dia melanggar janjinya sendiri dan barang siapa menepati janjinya kepada Allah, maka Dia akan memberinya pahala yang besar” (Q.S. al Fath [48]: 10).

Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya (no. 1851), dari Abdullah ibn Umar k, beliau berkata, aku mendengar Rasulullah ` bersabda, “Barangsiapa melepas tangannya (baiatnya) dalam mentaati pemimpin, ia akan bertemu dengan Allah di hari kiamat dengan tanpa memiliki hujjah, dan barangsiapa meninggal dalam keadaan tiada baiat di pundaknya maka matinya seperti mati jahiliyah.”Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) v, sebagaimana dalam Ushul As Sunnah hal. 64, berkata, “Wajib mendengar dan menaati para pemimpin dan amirul mukminin yang baik maupun yang fajir (berbuat kerusakan). Wajib pula menaati pemegang kuasa suatu kekhilafahan, dan setiap pemimpin yang disepakati oleh masyarakat, ataupun penguasa yang mengalahkan suatu wilayah dengan pedang (peperangan) hingga ia menjadi khalifah yang disebut amirul mukminin di wilayah tersebut.”

 

Mentaati Pemimpin dalam Kebajikan

Ta’at kepada pemimpin adalah suatu kewajiban sebagaimana disebutkan dalam Al-Kitab dan As-Sunnah. Di antaranya Allah l berfirman,  “Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (Q.S. An-Nisa’ [4]: 59)

Dalam ayat ini Allah menjadikan ketaatan kepada pemimpin pada urutan ketiga setelah ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya. Namun, untuk pemimpin di sini tidaklah datang dengan lafazh ‘ta’atilah’ karena ketaatan kepada pemimpin merupakan ikutan (taabi’) dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, apabila seorang pemimpin memerintahkan untuk berbuat maksiat kepada Allah, maka tidak ada lagi kewajiban dengar dan ta’at.Makna zhohir (tekstual) dari hadits ini adalah kita wajib mendengar dan ta’at kepada pemimpin walaupun mereka bermaksiat kepada Allah dan tidak menyuruh kita untuk berbuat maksiat kepada Allah.

Karena terdapat hadits Nabi ` dari Hudzaifah bin Al Yaman. Beliau ` bersabda, “Nanti setelah aku akan ada seorang pemimpin yang tidak mendapat petunjukku (dalam ilmu, pen) dan tidak pula melaksanakan sunnahku (dalam amal, pen). Nanti akan ada di tengah-tengah mereka orang-orang yang hatinya adalah hati setan, namun jasadnya adalah jasad manusia. “Aku berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang harus aku lakukan jika aku menemui zaman seperti itu?”Beliau bersabda, ”Dengarlah dan ta’at kepada pemimpinmu, walaupun mereka menyiksa punggungmu dan mengambil hartamu. Tetaplah mendengar dan ta’at kepada mereka.” (HR. Muslim no. 1847. Lihat penjelasan hadits ini dalam Muroqotul Mafatih Syarh Misykah Al Mashobih, 15/343, Maktabah Syamilah)

Padahal menyiksa punggung dan mengambil harta tanpa ada sebab yang dibenarkan oleh syari’at –tanpa ragu lagi- termasuk maksiat. Seseorang tidak boleh mengatakan kepada pemimpinnya tersebut, “Saya tidak akan ta’at kepadamu sampai engkau menaati Rabbmu.” Perkataan semacam ini adalah suatu yang terlarang. Bahkan seseorang wajib menaati mereka (pemimpin) walaupun mereka durhaka kepada Rabbnya.Adapun jika mereka memerintahkan kita untuk bermaksiat kepada Allah, maka kita dilarang untuk mendengar dan mentaati mereka. Karena Rabb pemimpin kita dan Rabb kita (rakyat) adalah satu yaitu Allah l oleh karena itu wajib ta’at kepada-Nya. Apabila mereka memerintahkan kepada maksiat maka tidak ada kewajiban mendengar dan ta’at. Rasulullah ` bersabda,  “Tidak ada kewajiban ta’at dalam rangka bermaksiat (kepada Allah). Ketaatan hanyalah dalam perkara yang ma’ruf (bukan maksiat).” (HR. Bukhari no. 7257)

Rasulullah ` juga bersabda,  “Seorang muslim wajib mendengar dan taat dalam perkara yang dia sukai atau benci selama tidak diperintahkan untuk bermaksiat. Apabila diperintahkan untuk bermaksiat, maka tidak ada kewajiban mendengar dan taat.” (HR. Bukhari no. 7144)

 

Bersabarlah Terhadap Pemimpin yang Zhalim

Ibnu Abil ‘Izz mengatakan, “Hukum mentaati pemimpin adalah wajib, walaupun mereka berbuat zhalim (kepada kita). Jika kita keluar dari mentaati mereka maka akan timbul kerusakan yang lebih besar dari kezhaliman yang mereka perbuat. Bahkan bersabar terhadap kezhaliman mereka dapat melebur dosa-dosa dan akan melipat gandakan pahala. Allah l  tidak menjadikan mereka berbuat zholim selain disebabkan karena kerusakan yang ada pada diri kita juga. Ingatlah, yang namanya balasan sesuai dengan amal perbuatan yang dilakukan (al jaza’ min jinsil ‘amal). Oleh karena itu, hendaklah kita bersungguh-sungguh dalam istigfar dan taubat serta berusaha mengoreksi amalan kita. Perhatikanlah firman Allah l  berikut, “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy Syura [42] : 30)

Allah l juga berfirman, “Dan demikianlah Kami jadikan sebahagian orang-orang yang zalim itu menjadi teman bagi sebahagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan.” (Q.S. al-An’am [6]: 129)

Apabila rakyat menginginkan terbebas dari kezhaliman seorang pemimpin, maka hendaklah mereka meninggalkan kezhaliman.

 

Musta’in Billah

Mahasiswa Ilmu Kimia
FMIPA UII

 

Referensi :

Disarikan dari penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin dalam Syarh Arba’in An Nawawiyah, hal. 279, Daruts Tsaroya)

Lihat Syarh Aqidah Ath Thohawiyah, hal. 381, Darul ‘Aqidah

Dikutip dari https://muslim.or.id/28789-siapa-yang-dimaksud-dengan-ulil-amri.html

Dikutip dari https://muslim.or.id/26277-wajibnya-baiat-kepada-ulil-amri.html

Dikutip dari https://rumaysho.com/3111-taat-pada-pemimpin-yang-zalim.html

 

Mutiara Hikmah

Rasulullah ` berpesan,

 

أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَ اْلسَّمْعِ وَ اْلطَّاعَةِ وَ إِنْ كَانَ عَبْدًا حَبَشِيًّا

Aku wasiatkan kepada kalian dengan taqwa kepada Allah  dan mendengar serta taat (kepada pemimpin) sekalipun dia adalah budak  Habsyi (orang hitam)” (HR. Ahmad 17144, Abu Dawud 4607, Turmudzi 2676 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

 

TABAYYUN DALAM MENERIMA BERITA

Pembaca yang berbahagia, saat ini sangat mudah berita hoax tersebar dan membuat resah masyarakat. Mungkin bertanya-tanya kenapa berita palsu bisa cepat menyebar di kalangan masyarakat. Bahkan dengan mudahnya masyarakat percaya dengan berita palsu tersebut. Di era media sosial ini, orang-orang semakin mudah mendapatkan informasi sekaligus mudah untuk menyebarkannya. Sudah tidak asing lagi yang namanya Facebook, Twitter, Whatssap, Line, Youtube. Dari semua media tersebut biasanya terdapat fasilitas untuk “membagikan” atau “meneruskan” informasi yang didapat. Paling tidak membagikan link website. Sehingga hanya dengan modal jempol untuk mengklik “membagikan” atau “meneruskan”, seseorang sudah bisa menjadi kurir informasi.

Sebuah pengalaman pernah terjadi kepada dua orang, sebut saja si A dan si B. Si A mengambil informasi di hp lewat screen shoot. Foto screen shoot yang diambil dijadikan story di WA. Si B yang melihat story tersebut merasa ada yang janggal dengan informasi yang di dapat si A. Si B kemudian menanyakan si A mengenai kebenaran informasi tersebut. Setelah ditanyakan, ternyata si A sebenarnya tidak tahu menahu mengenai informasi yang didapatkannya. Dia hanya merasa bahwa informasi tersebut benar, ditambah lagi si A tidak bisa memberi fakta dan data yang mendukung informasi.

Dari cerita tersebut dapat diambil pelajaran bahwa sebelum menyebarkan berita atau informasi, kita harus menelusurinya dengan teliti. Beritanya darimana, penulisnya siapa, kapan terjadinya, apakah sesuai dengan kejadian sesungguhnya atau tidak, bahkan bila perlu membandingkan sumber berita satu dengan yang lain. Hal ini agar mengetahui berita mana yang benar dan berita mana yang salah. Karena kebenaran itu mahal harganya.

Alasan pentingnya tabayyun dalam menerima berita adalah untuk menghindari dari kegiatan yang asal membagikan berita palsu. Berita palsu merugikan masyarakat. Masyarakat menjadi was-was ketika ada berita yang menakutkan, padahal belum terbukti kebenarannya. Terkadang orang lebih ingin mempercayai berita palsu daripada mencari fakta-fakta kebenarannya. Bisa saja berita palsu dibuat hanya karena ingin menghancurkan wibawa seseorang atau ingin usaha seseorang gagal.

Banyaknya berita hoax yang menyebar di berbagai media tidak lepas dari peran dari pembuat berita palsu yang terorganisir. Hal seperti ini harus diperhatikan oleh masyarakat agar tidak salah memahami. Tidak jarang ujaran kebencian menjadi sebuah tren dalam membuat berita hoax. Ujaran kebencian yang telah menyebar di masyarakat menjadi motivasi adu domba. Karena seringkali, ujaran kebencian dikaitkan dengan persoalan SARA, sehingga mudah terbawa emosi. Yang awalnya tidak ada perselisihan akhirnya terjadi perselisihan.

Di akhirat kelak, pertanggung jawaban yang diminta oleh Allah tidak hanya kepada pembuat berita saja, namun juga siapa yang menyebarkannya. Allah lberfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang datang membawa berita bohong itu adalah golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa perbuatan mereka itu membawa akibat buruk bagi kamu, bahkan itu adalah membaikkan. Setiap orang akan mendapat hukuman dari sebab dosa yang dibuatnya itu. Dan siapa yang mengambil bagian terbesar akan mendapat siksaan yang besar pula” (Q.S An-Nur [24] : 11)

Allah lberfirman, “Mengapa setelah mendengar berita-berita bohong itu orang-orang yang beriman, baik laki-laki ataupun perempuan, tidak meletakkan sangka yang baik terhadap dirinya, mengapa tidak mereka katakan bahwa berita ini adalah bohong belaka?” (Q.S An-Nur [24] : 12)

Allah lberfirman, “Ketika kamu sambut berita itu dari lidah ke lidah, kamu katakan dengan mulutmu perkara yang sama sekali tidak kamu ketahui, kamu sangka bahwa cakap-cakap demikian perkara kecil saja. Padahal dia adalah perkara besar pada pandangan Allah” (Q.S An-Nur [24] : 15)

Berita Bohong Pada Masa Rasulullah

Kisah berita hoax pada zaman Rasulullah pernah terjadi. Saat itu yang menjadi korban tuduhan berita palsu adalah istri Rasulullah `, yaitu Aisyah i. Berawal dari Aisyah i terpilih sebagai istri yang pergi bersama Rasulullah `. Karena bila Rasulullah ` akan keluar, dia akan mengundi di antara istri-istrinya.

Ketika hendak tiba ke Madinah, Rasulullah ` memberi aba-aba untuk berangkat. Aisyah i kehilangan kalungnya dari merjan zhiffar. Dia kemudian mencari kalung tersebut.  Singkat cerita Aisyah i tertinggal dari rombongannya. Rombongan yang bersamanya beranggapan bahwa istri Rasulullah tersebut telah berada dalam sekedup (atap dan dinding yang ditutupi oleh kain) unta.

Aisyah ` kemudian kembali ke tempat semula dan melihat rombongannya sudah pergi. Dia kemudian duduk dan termenung sendirian. Aisyah i kemudian ditemukan oleh Shafwan Ibnu Al Mu’aththil As-Sullami yang tertinggal di belakang para rombongan tentara dan berjalan semalaman. Aisyah i kemudian naik unta yang dibawa oleh Shafwan. Sementara Shafwan menuntun unta.

Sampai di Madinah, Aisyah i sakit selama satu bulan sehingga tidak keluar rumah. Sementara orang-orang menyebarkan berita bohong. Berita bohong antara lain seperti Aisyah telah berdua-duaan dengan Shafwan. Bahkan mereka dikabarkan berencana mengkhianati Rasulullah `. Berita tersebut telah menjadi rahasia umum di masyarakat (Hamka, 1976). Orang yang dibalikpenyebaran berita bohong tersebut adalah Abdullah bin Ubay.

Sama seperti masa sekarang, pada masa Rasulullah, orang-orang tidak melakukan penyelidikan maupun menggunakan akal untuk mempertimbangkan berita yang dituduhkan kepada Aisyah i.

Aisyah i selama dilanda sakit, dia tidak mengetahui tentang berita yang telah dibicarakan oleh masyarakat. Setelah keluar rumah karena ada kepentingan, barulah Aisyah radiyallahu ‘anha i mengetahui kabar tersebut dari Ummu Misthah. Mendengar kabar tersebut, Aisyah i menangis. Kemudian dia bercerita kepada orang tuanya.

Rasulullah ` kemudian menghampiri Aisyah i. Akhirnya turun ayat surat An-Nur mengenai tuduhan terhadap Aisyah i. Setelah turun wahyu, Rasulullah ` menjadi tahu bahwa berita tersebut adalah bohong. Kemudian Rasulullah ` menyampaikan wahyu tersebut kepada masyarakat. Pembaca yang dirahamti Allah bisa membaca cerita selengkapnya di Tafsir Al-Azhar karya Hamka, Juz 18 surat An-Nur ayat 11-18.

 

Solusinya Adalah Rajin Membaca

Agar kita sebagai masyarakat tidak tertipu oleh berita hoax adalah dengan rajin membaca. Dengan membaca, wawasan menjadi luas dan mendalam. Membaca juga dapat membantu menganalisis berita yang tersebar sehingga tidak asal mempercayainya mentah-mentah dan tidak asal menyebarkan. Karena masih banyak orang yang salah memahami hanya lantaran membaca judul saja. Maka dari itu penting untuk meningkatkan aktivitas membaca sehingga bisa menyimpulkan dengan baik terhadap informasi yang diterima.

Untuk menanggapi berita yang tersebar dengan cepat di berbagai media. Hal yang harus dilakukan adalah dengan membaca berita dengan teliti. Tidak hanya setengah-setengah, namun dibaca dari awal sampai habis. Mencari fakta atau data yang bisa mendukung berita. Memperhatikan kata-kata dengan seksama, sehingga jika ada kata-kata yang janggal maka bisa diteliti lebih mendalam.

Selanjutnya dalam menanggapi berita adalah dengan mengenal media yang memberikan informasi. Bisa jadi media yang memberi informasi mempunyai sifat keberpihakan maupun netral. Keberpihakan yang dimaksud adalah lebih condong kepada salah satu pandangan saja. Tidak jarang media mempunyai idealisme tersendiri. Berhati-hatilah dalam menyaring informasi yang disebar lewat media sosial karena bisa saja sumber tidak jelas. Di sms maupun WA, untuk menguatkan informasi bisa saja menggunakan nama profesor tertentu. Padahal nama yang tertera bisa saja hanya dibuat-buat atau ada orang yang memaparkan nama tertentu yang sebetulnya tidak pernah memberikan pernyataan.

Kemudian untuk meneliti berita yang lebih mendalam adalah dengan melakukan perbandingan berita antara media satu dengan media lainnya. Bisa jadi ada beberapa hal yang berbeda di media lain. Cara-cara tersebut dapat membantu pembaca dalam menerima berita sehingga nantinya tidak asal menyebar berita.

Apabila mendengar berita dari mulut ke mulut maka harus dilakukan tabayyun. Jangan sampai hanya mendengar gosip, kemudian langsung percaya saja. Melainkan perlu bukti yang nyata.Diteliti terlebih dahulu agar nantinya tidak menyakiti hati seseorang. Dengan belajar dari kisah Aisyah i dapat diambil hikmahnya bahwa akal sehat harus digunakan dengan sebaik-baiknya.

Semoga dengan tulisan ini, Pembaca semakin bijak dalam menanggapi berita. Karena berita bohong mudah dibuat dan mudah disebar. Apalagi di masa sekarang terdapat teknologi yang canggih seperti gadget yang membuat berita menyebar semakin cepat. Jika tidak berhati-hati dalam menelusuri berita dan ikut menyebarkan berita tanpa mengetahui fakta yang sesungguhnya, maka pertanggung jawabannya akan dimintai oleh Allah.

 

Muhammad Nafiuddin Fadly

Mahasiswa Hubungan Internasional

 

Mutiara Hikmah

 

Dari Abu Hurairah a dari Nabi ` bersabda,

“Ketika Allah menciptakan makhluk, Dia mencatat di dalam Kitab-Nya -Dia mencatat atas diri-Nya, dan Dia letakkan di sisi-Nya di atas Arsy-. Sesungguhnya Rahmat-Ku mengalahkan Murka-Ku.” (HR. Al-Bukhari No.7404)

PERHATIKAN NIATMU

Dari Amirul Mukminin Abu Hafsh ‘Umar bin Al-Khattab a, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah ` bersabda,“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.” (H.R. Bukhari, no.1 dan Muslim, no.1907)

 

Definisi Niat

Niat secara bahasa berarti al-qashd (keinginan). Sedangkan niat secara istilah syar’i, yang dimaksud adalah berazam (bertedak) mengerjakan suatu ibadah ikhlas karena Allah, letak niat dalam batin (hati).

Al-Fadhl bin Ziyad v berkata, “Aku pernah bertanya kepada Abu Abdullah -yakni Ahmad- tentang niat dalam beramal. Aku bertanya, ‘Apakah niat itu?’ Beliau menjawab, ‘Seseorang mengendalikan dirinya ketika hendak beramal agar tidak menginginkan pujian manusia.’” (Kitab Jami’ Al ‘Ulum Wa Al Hikam I/26).

Niat Letaknya Di Hati

Niat itu berarti bermaksud dan berkehendak. Letak niat adalah di dalam hati. Ibnu Taimiyah v mengatakan,“Niat itu letaknya di hati berdasarkan kesepakatan ulama. Jika seseorang berniat di hatinya tanpa ia lafazhkan dengan lisannya, maka niatnya sudah dianggap sah berdasarkan kesepakatan para ulama.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 18:262)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah v menjelaskan, “Siapa saja yang menginginkan melakukan sesuatu, maka secara pasti ia telah berniat. Semisal di hadapannya disodorkan makanan, lalu ia punya keinginan untuk menyantapnya, maka ketika itu pasti ia telah berniat. Demikian ketika ia ingin berkendaraan atau melakukan perbuatan lainnya. Bahkan jika seseorang dibebani suatu amalan lantas dikatakan tidak berniat, maka sungguh ini adalah pembebanan yang mustahil dilakukan. Karena setiap orang yang hendak melakukan suatu amalan yang disyariatkan atau tidak disyariatkan pasti ilmunya telah mendahuluinya dalam hatinya, inilah yang namanya niat.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 18:262)

 

Perlukah Melafalkan Niat?

Melafalkan niat tidak ada asalnya (tidak memiliki landasan) dalam agama Islam. Akan tetapi, hanya merupakan salah paham beberapa orang dari perkataan Imam Syafi’i ketika beliau mengatakan bahwa seseorang tidak sah (untuk) melakukan shalat kecuali harus dengan ucapan. Maksud dari ucapan beliau adalah ucapan takbiratul ihram, tetapi mereka menafsirkan dengan tafsir yang salah, yaitu melafalkan niat. Sebagai bukti maksud perkataan Imam Syafi’i adalah takbiratul ihram dan bukan melafalkan niat adalah sebagai berikut,

Setelah mengucapkan kalimat tersebut, Imam Syafi’i sendiri langsung membahas masalah takbiratul ihram. Kemudian tidak ada satu pun hadits yang shahih tentang melafalkan niat. Bahkan, tidak ada hadits yang lemah sekalipun tentang hal itu. Juga melafalkan niat tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah, para sahabatnya, para tabi’in, dan empat imam mazhab sekalipun. Orang-orang yang mengajarkan supaya melafalkan niat, ternyata berbeda-beda dalam lafalnya, padahal mereka semua mengaku bermadzhab Syafi’i. Ini menunjukkan bahwa imam mereka memang tidak pernah mengatakan hal ini dan mereka hanya membuat-buat tanpa dasar (hanya berdasarkan akal mereka).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah v berkata, “Sebagian pengikut Imam Syafi’i telah salah memahami perkataan Imam Syafi’i ketika beliau menyebutkan perbedaan antara shalat dan ihram. Dalam penjelasannya itu Imam Syafi’I mengatakan, “…shalat permulaannya adalah ucapan.” Sebagian pengikutnya itu memahami bahwa yang beliau maksudkan adalah mengucapkan niat, padahal yang beliau maksudkan tidak lain adalah takbiratul ihram.” (Kitab Majmu’ Al-Fatawa XVIII/362).

 

Macam-Macam Niat

Niat ada dua macam: (1) niat pada siapakah ditujukan amalan tersebut (al-ma’mul lahu), (2) niat amalan. Niat jenis pertama adalah niat yang ditujukan untuk mengharap wajah Allah dan kehidupan akhirat. Inilah yang dimaksud dengan niat yang ikhlas. Sedangkan niat amalan itu ada dua fungsi:

Fungsi pertama adalah untuk membedakan manakah adat (kebiasaan), manakah ibadah. Misalnya adalah puasa. Puasa berarti meninggalkan makan, minum dan pembatal lainnya. Namun terkadang seseorang meninggalkan makan dan minum karena kebiasaan, tanpa ada niat mendekatkan diri pada Allah. Terkadang pula maksudnya adalah ibadah. Oleh karena itu, kedua hal ini perlu dibedakan dengan niat.

Fungsi kedua adalah untuk membedakan satu ibadah dan ibadah lainnya. Ada ibadah yang hukumnya fardhu ‘ain, ada yang fardhu kifayah, ada yang termasuk rawatib, ada yang niatnya witir, ada yang niatnya sekedar shalat sunnah saja (shalat sunnah mutlak). Semuanya ini dibedakan dengan niat.

 

Ikhlash Syarat Diterimanya Amal

Al-Fudhail bin ‘Iyadh v menafsirkan firman Allah ` yang artinya, “…untuk menguji siapa di antara kamu yang paling baik amalnya.” (Q.S. al-Mulk [67]: 2)

Beliau berkata, “Yakni, yang paling ikhlas dan paling benar dan (sesuai tuntunan Allah). Sesungguhnya amal itu apabila ikhlas tapi tidak benar maka tidak akan diterima; dan apabila benar tetapi tidak ikhlas juga tidak akan diterima. Jadi harus ikhlas dan benar. Suatu amalan dikatakan ikhlas apabila dilakukan karena Allah, dan yang benar itu apabila sesuai Sunnah Rasulullah.” (Kitab Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam I/36).

 

Hadirkan Niat Ikhlash Saat Beramal

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin v berkata, “Dan wajib atas seseorang mengikhlaskan niat kepada Allah dalam seluruh ibadahnya dan hendaklah meniatkan ibadahnya semata-mata untuk mengharap wajah Allah dan negeri akhirat. Inilah yang diperintahkan oleh Allah ldalam firman-Nya, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.” (Q.S. al-Bayyinah [98]: 5)

Yakni, mengikhlaskan niat setiap amalan hanya kepada-Nya. Hendaknya kita menghadirkan niat dalam semua ibadah, misalnya ketika wudhu; kita niatkan berwudhu karena Allah l dan untuk melaksanakan perintah Allah l. Tiga perkara berikut (yang harus dihadirkan dalam niat): (1). Berniat untuk beribadah, (2). Berniat beribadah tersebut karena Allah semata, dan (3). Berniat bahwa ia menunaikannya demi melaksanakan perintah Allah.” (Kitab Syarah Riyadhus Shalihin I/10).

 

Pahala Amalan Bergantung Pada Niat

Rasulullah ` bersabda, “Sesungguhnya segala amalan itu tidak lain tergantung pada niat.” Imam An-Nawawi berkata, “Jumhur ulama berkata, ‘Menurut ahli bahasa, ahli ushul dan yang lain lafadz إِنَّمَا digunakan untuk membatasi, yaitu menetapkan sesuatu yang disebutkan dan menafikan selainnya. Jadi, makna hadits di atas adalah bahwa amalan seseorang akan dihisab (diperhitungkan) berdasarkan niatnya dan suatu amalan tidak akan dihisab bila tidak disertai niat.” (Kitab Syarah Shahih Muslim XIII/47).

Abdullah bin al-Mubarak v berkata, “Bisa jadi amal shalih yang kecil dibesarkan nilainya oleh niat, dan bisa jadi amal shalih yang besar dikecilkan nilainya karena niat pula.” (Kitab Jami’ al-‘Ulum Wa al-Hikam 1/35).

 

Berniat Tapi Terhalang

Orang yang berniat melakukan amalan shalih namun terhalang melakukannya bisa dibagi menjadi dua: Pertama, amalan yang dilakukan sudah menjadi kebiasaan atau rutinitas (rajin untuk dijaga). Lalu amalan ini ditinggalkan karena ada uzur, maka orang seperti ini dicatat mendapat pahala amalan tersebut secara sempurna. Sebagaimana Nabi ` bersabda, “Jika salah seorang sakit atau bersafar, maka ia dicatat mendapat pahala seperti ketika ia dalam keadaan mukim (tidak bersafar) atau ketika sehat.” (H.R. Bukhari,no.2996). Kedua,  jika amalan tersebut bukan menjadi kebiasaan, maka jika sudah berniat mengamalkannya namun terhalang, akan diperoleh pahala niatnya (saja).

Dalilnya adalah seperti hadits yang kita bahas kali ini. Begitu pula hadits  mengenai seseorang yang  diberikan harta lantas ia gunakan dalam hal kebaikan, di mana ada seorang miskin yang berkeinginan yang sama jika ia diberi harta. Orang miskin ini berkata bahwa jika ia diberi harta seperti si fulan, maka ia akan beramal baik semisal dia. Maka Nabi ` bersabda, “Ia sesuai niatannya dan akan sama dalam pahala niatnya.” (H.R. Tirmidzi no.2325. Syaikh  al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).  (Lihat pembahasan Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin dalam Syarh Riyadh Ash-Shalihin, 1:36-37).

 

Musta’in Billah

Mahasiswa Ilmu Kimia FMIPA UII

 

Referensi

Jami’ Al ‘Ulum Wal Hikam, karya Al-Hafizh Ibnu Rajab (736-395 H.), Tahqiq Syaikh Thariq bin ‘Awadhullah bin Muhammad, Cet. ke-1 Th. 1415 H./1995 M., Dar Ibnul Jauzi, Dammam – KSA.

Majmu’ Al-Fatawa, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (661-728 H.), dikumpulkan dan disusun oleh Syaikh Abdurrahman bin Muhammad bin Qasim An-Najdi dibantu oleh anaknya, Muhammad.

Majmu’ah Al-Fatawa. Cetakan keempat, Tahun 1432 H. Syaikhul Islam Ahmad bin Taimiyah Al-Harrani. Penerbit Dar Al-Wafa’.

Syarah Riyadhus Shalihin, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, Cet. ke-1 Th. 1415 H./1995 M., Dar Al-Wathan, Riyadh – KSA.

Syarah Shahih Muslim, karya Imam An-Nawawi (607 H.), Cet. ke-1 Th. 1415 H./1995 M., Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, Beirut – Lebanon.

 

 

JADIKAN IKHTIARMU SEBAGAI SENJATA KEBAIKAN

Islam mengajarkan tata cara dan etika dalam berhubungan dengan mahluk hidup yang ada di muka bumi ini. Dengan segala keterbatasan manusia, maka hal yang terpenting adalah bagaimana ia dapat memberikan manfaat yang banyak bagi orang lain, itulah sebaik-baik manusia yang beriman. Ikhtiar adalah berusaha, bekerja keras bergerak untuk menggapai sesuatu. Berikhtiar berarti melakukan sesuatu dengan segenap daya dan upaya untuk menggapai sesuatu yang di ridhoi oleh Allah I. Banyak ayat yang menjelaskan tentang pentingnya manusia untuk berikhtiar, sehingga daya dan upaya yang dilakukannya akan menjadi kebaikan bagi dirinya maupun orang lain serta bernilai ibadah di sisi Allah I. Salah satu ayat yang menjelaskan tentang pentingnya ikhtiar ini adalah;

“Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (An Nisa [4] : 32)

Dari ayat tersebut banyak hikmah dan pelajaran yang dapat kita ambil darinya. Salah satunya adalah sesungguhnya karunia Allah I akan datang kepada mereka yang senatiasa berusaha dengan bersungguh-sungguh dalam berikhtiar. Kendati hasil dan karunia yang akan didapatkan tidak sesuai dengan apa yang ia perjuangkan. Namun, hal itu tidaklah menjadi kekecewaan bagi mereka orang-orang yang beriman. Karena mereka yakin, bahwa ketetapan Allah berupa hal yang baik atau buruk merupakan karunia terindah yang diberikan oleh Allah I kepada hamba-Nya. Setiap muslim yang beriman dan yakin akan adanya hari pembalasan maka mereka senantiasa berikhtiar dan memohon segala sesuatu (kebaikan) hanya kepada Allah I. Dan ia yakin setiap langkah dan benih-benih usaha yang ia lakukan tidak akan sia-sia karena akan bernilai ibadah di sisi sang Allah I ‘ yang maha Pencipta.

Seorang muslim sejati adalah mereka yang senantiasa berikhtiar atas apa yang ia lakukan walaupun ia mempunyai ilmu yang sangat matang dalam profesi yang ia miliki, sebagaimana seorang dokter yang ahli dalam bidangnya, maka ia harus sadar bahwa ilmu yang dimilikinya hanyalah salah satu karunia Allah I yang diberikan kepadanya. Maka peran dokter dalam menyembuhkan penyakit pasien adalah jalan ikhtiar, bukan sang penentu penyembuhan. Karena hak kesembuhan dan sehat seseorang adalah murni hak prerogratif Allah I. Maka tak heran jika banyak rumah sakit Islam yang tidak hanya mengobati penyakit yang ada di dalam tubuh, namun lebih dari itu, para dokter juga memberikan resep rohani yang akan mengantarkan pasien untuk tetap setiap beribadah dan berikhtiar agar mendapatkan kebaikan dari penyakit yang ia derita.

Begitupun juga dengan seorang ayah yang shalih, ayah yang shalih dan tinggi imannya kepada Allah I harus sadar bahwa, ia tidak akan mampu menjadikan anak-anak keturunannya menjadi shalih sebagaimana dirinya. Karena hak keshalihan datangnya dari Allah I yang menguasai tiap diri kita. Maka pendidikan yang ia berikan kepada anak-anaknya merupakan bulir-bulir embun keteladanan sebagai bentuk ikhtiar dan ibadah pengorbanan untuk anak yang telah di amanahkan Allah I kepadanya. Sebagaimana ketika Allah I menjadikan keluarga Nabi Ya’qub u sebagai bukti sejarah kebaikan yang dimiliki oleh umat Islam. Dalam al-Quran Allah I menjelaskan kisah Nabi Ya’qub u sebagai salah satu Nabi teladan bagi umatnya dalam kehidupan berkeluarga.

Namun keteladanan yang dimiliki oleh Nabi Ya’qub u tidak lantas menjadikan anak-anak yang dimilikinya menjadi anak-anak yang shalih. Maka kita temui dari kedua belas anak yang dimilikinya hanya dua orang yang soleh serta menjalankan perintah dan keteladanan yang ia ajarkan yaitu nabi Yusuf ‘alaihissalam dan Bunyamin saudaranya. Hal tersebut terukir dalam al-Qur’an surat Yusuf [12]: 7-8. Kebaikan dan keteladanan saja tidak cukup sebagai  bentuk ikhtiar untuk menjadikan anak-anak kita menjadi anak yang shalih serta taat dalam menjalankan perintah agama. Lebih dari itu, kita juga harus senantiasa bersyukur dan bersabar atas apa yang menimpa kita, sekalipun hal tersebut merupakah hal yang menyakitkan bagi kita, tapi yakin lah bahwa itu itu adalah skenario terbaik yang Allah berikan.

Bagitupun juga halnya dengan peristiwa yang pernah dituliskan dalam sejarah Islam tentang perjuangan bunda Hajar istri dari Nabi Ibrahim. Bunda Hajar adalah sosok wanita yang menjadikan setiap ikhtiarnya menjadi sebuah kebaikan. Maka dengan kesungguhannya, kita selalu mengenang peristiwa ini dalam rangakaian ibadah haji maupun umroh yaitu sa’i antara bukit Shafa dan Marwah. Bunda Hajar menaiki dua bukit ini sebagai bentuk ikhtiar kepada Allah I  dengan usaha tanpa lelah demi sang buah hati tercinta serta naluri seorang ibu serta kasih sayangnya. Hal inilah yang membawa bunda Hajar menjadikan ikhtiar sebagai satu-satunya senjata untuk mengharapkan karunia yang datang untuk kebaikan keluarganya.

Namun karunia itu tidak datang melalui dirinya, Allah I lebih suka memberikan karunia air zam-zam ini lebih dekat kepada anaknya tercinta yaitu Nabi Ismail u. Maka dengan kebaikan yang ikhlas dan perjuangan tanpa lelah, serta kerja keras dalam berusaha telah menjadikan peristiwa ini akan terus dikenang setiap masa oleh umat Islam. Maka perjuangan yang baik akan melahirkan kebaikan selanjutnya. Oleh sebab itulah pelajaran yang penting untuk kita semua dari kisah tersebut adalah do’a dan usaha adalah sebuah satu kesatuan, maka tak dapat dipisahkan satu sama lain, sehingga akan menjadi buah kebaikan pada masa yang akan datang.

Dan yang tidak kalah penting juga adalah ketika Allah I menceritakan peristiwa perjalanan Nabi Musa u yang mendapatkan kesusahan tatkala ia dikejar oleh musuh Allah I yaitu prajurit dari kerajaan Fir’aun seorang raja yang kejam lagi sombong. Maka dengan segenap usaha dan do’a yang selalu ia panjatkan. Ia pun berikhtiar dan berusaha untuk selalu melakukan kebaikan dengan memberikan pertolongan kepada siapapun. Walaupun dirinya sebenarnya juga pantas diberikan pertolongan. Oleh sebab itulah dengan komitmen ini Allah I mendatangkan ujian kebaikan kepada Nabi Musa u manakala ia melihat ada pengembala yang tak mampu memberikan minum kepada ternak-ternaknya. Dan Nabi Musa u pun menolong dengan ikhlas dan hanya mengharapkan imbalan hanya dari Allah I, kemudian seraya ia berdo”a, “Ya Tuhan-ku, sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan (makanan) yang Engkau Turunkan kepadaku.” (Q.S Al Qhasas [28] : 24).

Maka tak lama berselang Allah I mendatangkan salah seorang dari pengembala yang di tolongnya itu untuk menghampirinya dengan rasa malu. Dan ia pun meminta Nabi Musa u untuk menghadap ayah mereka tercinta. Dengan keikhlasan dan kebaikan yang telah usahakannya oleh nabi Musa u maka Ayah dari wanita pengembala ini memberikan hadiah kebaikan untuk Nabi Musa u dan menjadikan salah satu anaknya tersebut untuk menjadi istri bagi dirinya. Kita banyak mengenal sifat agung yang dimiliki oleh Nabi Musa u. Nabi yang mempunyai kekuatan lebih di antara manusia yang ada pada masa itu, nabi yang mempunyai banyak ilmu dan kebijaksanaan dalam berbuat dan bertindak. Bahkan  do’a-do’a yang keluar dari lisan beliau kita jadikan salah satu do’a dalam menuntut ilmu yaitu terdapat dalam al Quran surat Toha.

Tak sampai hanya di situ, beliaupun mendapatkan pekerjaan yang baik, dan dapat menghidupi keluarganya dengan baik serta diberi hadiah berupa tongkat yang akan digunakan untuk mengembalakan ternak dan menjadi mukjizat yang luar biasa dalam berdakwah. Maka salah satu pelajaran penting bagi kita dalam melakukan kebaikan adalah bersungguh-sungguh berusaha dan tetap istqomah dalam kebaikan walaupun kita harus menghadapi pahitnya perjuangan.

Senjata merupakan sebuah alat. Maka sebaik-baik senjata adalah menggunakannya dengan kebaikan pula. Oleh sebab itulah dalam mengahadapi ujian ini, berikhtiar dan tetap berusaha dengan segala daya dan upaya yang kita miliki adalah bentuk kebaikan yang akan melahirkan kebaikan-kebaikan berikutnya. Sehingga setiap langkah dan jalan yang kita pilih akan selalu mendapatkan pahala kebaikan di sisi Allah I. Sedangkan keberhasilan atas perjuangan yang kita lakukan adalah bonus dan hadiah terbaik yang Allah I berikan kepada kita sebagai bentuk karunia-Nya.

Hal lain yang perlu diperhatikan juga, bahwasannya ikhtiar bukanlah melakukan seuatu yang tanpa rencana dan strategi. Bukan pula melakukan sesuatu yang biasa-biasa saja. Maka dari itu sudah sepantasnya kita sebagai muslim sejati harus pandai untuk mengatur strategi kebaikan dalam berikhtiar. Membuat rencana yang terstruktur sehingga ikhtiar kita adalah senjata yang akan menghasilkan kebaikan berikutnya. Dengan strategi terbaik kita dalam berikhtiar, semoga do’a dan usaha menjadi satu senjata kebaikan yang ada di dalam hati setiap umat Islam.

Dalam ajaran Islam, pahala bukan saja didapatkan manakala kita sudah berbuat sesuatu. Namun Islam juga mengajarkan bahwasannya niat dalam perkara kebaikan juga akan menghantarkanya kepada pahala yang ada di sisi Allah I. Maka ingatlah selalu yang Allah I ajarkan melalui firman-Nya yang termaktub dalam al-Qur’an; “Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat jahat, maka (kerugian kejahatan) itu untuk dirimu sendiri.”. (Q.S al Isra [17] : 7).

Wallauhu’alam.

 

Romi Padli

Alumni Magister Ilmu Agama Islam 2018

Universitas Islam Indonesia

AMALAN RINGAN NAMUN BERPAHALA BESAR

Alhamdulillâh washshalâtu wassalâmu ‘ala Rasulillâh. Kaum muslilmin yang dirahmati Allah, diantara yang diajarkan Rasulullah ` pada kita adalah rutin mengamalkan amalan shalih meskipun amalan itu sedikit dan ringan, atau bahkan dipandang remeh oleh sebagian orang. Namun ternyata tanpa kita sangka, ternyata amalan tersebut mengandung pahala yang besar. Inilah keistimewaan dalam agama kita, amalan yang sedikit, malah diberi balasan yang besar.

Lihat kisah yang disebutkan dalam hadits berikut ini. Dari Abu Hurairah a, Nabi ` bersabda,“Permisalan kalian dengan ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) seperti permisalan seseorang yang diberi upah. Ditanya, “Siapa yang mau bekerja dari pagi hingga pertengahan siang (waktu zawal atau waktu Zhuhur, pen.) lalu mendapat upah satu qirath?” Lalu yang bekerja ketika itu adalah orang Yahudi.Kemudian ditanya lagi, “Siapa yang mau bekerja dari pertengahan siang hingga waktu ‘Ashar dengan mendapat upah satu qirath?” Lantas yang bekerja adalah Nashrani. Lalu ditanya lagi, “Siapa yang mau bekerja dari ‘Ashar hingga matahari tenggelam, upahnya dua qirath?” Itulah kalian umat Islam.Yahudi dan Nashrani lantas marah. Mereka katakan, “Kami lebih banyak bekerja, namun kenapa kami diberi sedikit?” Dijawab, “Apakah upah kalian dikurangi?” Mereka jawab, “Tidak.” Lalu dijawab, “Itulah keutamaanku dan keutamaan yang diberi pada siapa saja yang dikehendaki oleh Allah.” (HR. Bukhari, no. 2268)

Dibawah ini akan kami sebutkan beberapa amalan yang ringan untuk dilakukan namun berpahala besar, diantaranya yaitu :

Pertama, Dzikir “Subhânallâh wa bihamdihi, Subhânallahil ‘azhîm”. Dari Abu Hurairah a, dari Nabi `, beliau bersabda,“Dua kalimat yang ringan di lisan, namun berat ditimbangan, dan disukai Ar Rahman yaitu “Subhanallah wa bi hamdih, subhanallahil ‘azhim” (Maha Suci Allah dan segala puji bagi-Nya. Maha Suci Allah Yang Maha Agung). (H.R. Bukhari no. 6682 dan Muslim no. 2694)

Kedua, Mengikuti muadzin di dalam adzannya. “Dari Abdullah bin Amr bin Ash h meriwayatkan bahwa beliau telah mendengar Nabi Muhammad ` bersabda, “Jika kalian mendengar seorang muadzdzin maka ucapkanlah seperti apa yang dia ucapkan, kemudian bershalawatlah kalian atasku, karena sesungguhnya barangsiapa yang bershalawat atasku satu kali shalawat, maka Allah akan bershalawat atasnya sepuluh kali, kemudian mintalah kalian kepada Allah untukku Al Wasilah, karena sesungguhnya ia adalah kedudukan di dalam , tidak pantas mendapatkannya melainkan untuk seorang hamba dari hamba-hamba Allah dan aku berharap akulah orangnya (yang mendapatkan itu), maka barangsiapa yang memohonkan untukku Al Wasilah maka halal bagiannya syafaat.” (H.R. Muslim)

Ketiga, Wudhu dengan sempurna dan membaca do’a. Dari Umar bin Khaththab a, Nabi ` bersabda, “Barangsiapa yang berwudhu dengan sempurna, kemudian selesai wudhu dia membaca: Asyhadu allâ ilâha illallâh wa anna muhammadan abduhu wa rasûluh (Aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah, dan bahwasanya Muhammad adalah hamba Allah dan Rasul-Nya), maka akan dibukakan untuknya pintu surga yang jumlahnya delapan, dan dia boleh masuk dari pintu mana saja yang dia sukai.” (H.R. Muslim)

Keempat, Membaca ayat Kursi setiap selesai shalat dan ketika hendak tidur. Artinya, “Abu Umamah al-Bahily a berkata, “Rasulullah ` bersabda, “Barangsiapa yang membaca ayat kursi setelah setiap shalat wajib, niscaya tidak ada yang menahannya masuk  melainkan kematian” (H.R. an-Nasâi dan dishahihkan oleh al-Albani di dalam kitab Shahih al-Jami’, no. 6464)

 

Kelima, Membaca al-Qur’an. Dari Abdullah bin Mas’ud a, Nabi ` bersabda, “Barangsiapa yang membaca satu huruf dari al-Qur’an maka dia mendapat satu pahala kebaikan. Dan setiap satu pahala itu dilipatkan menjadi 10 kali….” (H.R. at-Tirmidzi, ath-Thabrani dan dinilai shahih oleh al-Albani)

Keenam, Bershalawat atas Nabi ` “Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallambersabda: “Barangsiapa yang bershalawat atasku satu shalawat maka niscaya Allah bershalawat atasnya sepuluh shalawat, dihapuskan darinya sepuluh dosa dan diangkatkan untuknya 10 tingkatan.” (H.R. an-Nasâi dan dishahihkan oleh al-Albani di dalam Shahih al-Jami’, no. 6359)

Ketujuh, Membaca dzikir ketika masuk pasar. Dari Abdillah bin Amr bin ‘Ash a, Nabi ` bersabda, “Barangsiapa yang masuk pasar kemudian dia membaca: lâ ilâha illallâhu wahdahu lâ syarikalahu lahul mulku wa lahul hamdu yuhyi wa yumît wa huwa hayyun lâ yamûtu, biyadihil khair, wa huwa ‘ala kulli syai’in qadîr (tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah tiada sekutu bagi-Nya, milik-Nyalah seluruh kerajaan. Dan milik-Nyalah seluruh pujian, Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Maha hidup dan tidak mati, di Tangan-Nyalah segala kebaikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu) maka Allah catat untuknya sejuta kebaikan, Allah hapuskan sejuta kesalahan, dan Allah angkat untuknya satu juta derajat.” (H.R. at-Tirmidzi, al-Hakim, ad-Darimi dan dinilai hasan oleh al-Albani)

Kedelapan, Dua raka’at sebelum shalat shubuh. Dari ‘Aisyah i, Nabi ` bersabda, “Dua rakaat sebelum subuh lebih baik dari pada dunia dan seisinya.” (H.R. Muslim)

Kesembilan, Mengajak orang lain untuk melakukan kebaikan. Dari Abu Hurairah a, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang mengajak kepada kebaikan maka dia mendapatkan pahala sebagaimana pahala orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barangsiapa yang mengajak orang lain untuk melakukan kesesatan dan maksiat maka dia mendapat dosa sebagaimana dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.” (H.R.Muslim)

Kesepuluh, Beristighfar untuk kaum beriman baik lelaki ataupun perempuan

“Dari Ubadah bin Shamith a berkata, “Aku telah mendengar Rasulullah ` bersabda,“Barangsiapa yang meminta ampun untuk kaum beriman lelaki dan perempuan, maka niscaya Allah menuliskan baginya dengan setiap lelaki dan perempuan beriman satu kebaikan.” (H.R. Ath-Tahbarani dan dihasankan oleh al-Albani di dalam kitab Shahih al-Jami’, no. 6026)

Kesebelas, Menjawab adzan dan membaca do’a setelah adzan. Dari Jabir bin Abdillah a, Nabi ` bersabda, “Barangsiapa yang mendengarkan adzan kemudian dia membaca do’a: Allâhumma rabba hadzihid da’watittammah washshalatil qa’imah, âti muhammadanil wasilata wal fadhilah wab’ats-hu maqamam mahmudanilladzi wa’adtahu (Ya Allah, Rabb pemilik panggilan yang sempurna dan shalat wajib yang ditegakkan, berikanlah kepada Muhammad wasilah dan fadhilah. Bangkitkanlah beliau ke tempat terpuji yang telah Engkau janjikan kepadanya) maka dia berhak mendapat syafaatku pada hari kiamat.” (H.R. Bukhari)

Keduabelas, Dzikir di masjid setelah shalat shubuh hingga terbit lalu shalat dua raka’at. Dari Anas bin Malik a, Nabi ` bersabda, “Barangsiapa yang shalat subuh berjamaah, kemudian tetap duduk di masjid sampai terbit matahari, kemudian shalat dua rakaat maka dia mendapat pahala haji dan umrah, sempurna, sempurna.” (H.R. At-Tirmidzi dan dinilai hasan oleh al-Albani)

Ketauhilah, bahwa gaya hidup orang-orang yang diridhai Allah adalah senantiasa merasa sedih dan rugi jika ketinggalan ganjaran dan pahala. Semoga kita diberikan petunjuk oleh Allah Ta’ala untuk mengamalkannya setelah kita diberi petunjuk untuk mengetahuinya… Allahumma âmîn.

 

Referensi :

[1] Dikutip dari https://rumaysho.com/1394-ringan-di-lisan-berat-di-timbangan.html

[2] Dikutip dari https://rumaysho.com/14008-amalan-sedikit-dibalas-besar.html

[3] Dikutip dari http://www.dakwahsunnah.com/artikel/targhibwatarhib/88-amalan-mudah-berpahala-besar

 

Musta’in Billah

 

Do’a Kedua

رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي

robbi awzi’ni an asykuro ni’matakallati an ‘amta ‘alayya. wa ‘ala waalidayya wa an a’mala sholihan tardhoh, wa ashlih lii fi dzurriyatiy” 

“Wahai Robbku, ilhamkanlah padaku untuk bersyukur atas nikmatmu yang telah Engkau karuniakan padaku juga pada orang tuaku. Dan ilhamkanlah padaku untuk melakukan amal sholeh yang Engkau ridhoi dan perbaikilah keturunanku.” (Q.S. al-Ahqâf [45]:15)

 

KEKASIH YANG PALING PENCEMBURU

Cinta adalah anugerah terindah yang Allah berikan kepada manusia. Merasakannya adalah fitrah. Menjaganya adalah ibadah. Begitu biasa kami baca dalam tulisan-tulisan sajak cinta islami, definisi cinta secara khusus pada sesamanya. Hakikatnya, sebenarnya ia adalah sesuatu yang Allah berikan pada siapapun atas bukti keMaha-an, kekuasaan, dan kehendak-Nya.Cinta pada Rabbnya, cinta pada utusan-Nya, cinta pada keluarganya, dan cinta pada sesamanya.

Ya, begitulah manusia dengan hara huru kehidupan dunianya. Beribu bahkan berjuta manusia bisa sebebasnya mendefinisikan makna cinta tanpa penyalahan atas apapun dan siapapun. Definisi yang tak berbatas dan tak pernah berhenti ini biasanya berujung pada satu titik yang sama, yaitu rasa yang merupakan bagian perilaku dari bukti cinta.

Pembahasan kata cinta yang tak pernah ada habisnya ini selalu membuat menarik perhatian banyak orang. Terlebih bagi kaum muda-mudi zaman milenial ini. Cukup dengan menambahkan kata cinta pada tema kajian tematik, maka biasanya jumlah jamaah muda-mudi yang hadir akan lebih banyak bila dibandingkan yang hadir pada kajian rutin dengan bahasan yang berat, kajian tauhid misalnya. Begitulah keadaannya, husnuzhannya, karena setiap perbuatan yang kita lakukan tentunya harus bersumber dari cinta. Ya, cinta kepada Allah.

Berbicara mengenai cinta, ada satu hal menarik yang kebanyakan orang mengatakan bahwa ini adalah salah satu bukti cinta. Apa itu? Cemburu. Ya, penulis pribadi sering mendengar kebanyakan dari kita mengatakan bahwa cemburu itu adalah tanda cinta. Benarkah demikian? Berdasarkan studi literasi dari beberapa bacaan yang ada ternyata, pada hakikatnya, cemburu bukanlah selalu sifat tercela. Di dalamnya terkandung maksud Allah l menjadikan sifat itu kepada manusia. Lantas bagaimana Islam dengan ajaran yang sempurnanya memandang kata cemburu ini? Berikut beberapa pemaparan mengenai cemburu dalam Islam.

Dalam riwayat yang lain dari ‘Aisyah i dikisahkan bahwa Rasulullah ` pernah berkhutbah dengan begitu menggebu gebu, matanya memerah laksana panglima perang sedang menyeru pasukannya. Saat itu terjadi gerhana matahari, setelah shalat bersama sahabat, beliau Rasulullah ` berdiri dalam mimbar dan berpesan panjang, diakhir khutbah itu Rasulullah menyeru: “…Hai umat Muhammad, tidak seorang pun lebih cemburu daripada Allah, bila hambanya, lelaki maupun perempuan, berbuat zina. Hai umat Muhammad, demi Allah, seandainya kalian tahu apa yang kuketahui, tentu kalian banyak menangis dan sedikit tertawa. Ingatlah! Bukankah aku telah menyampaikan”. (Shahih Muslim No.1499)

“Cemburu” dalam hadits tersebut adalah diksi indah yang dipilih Rasulullah ` untuk melukiskan hebatnya sebuah ilustrasi rasa, kata indah yang berkali kali Rasulullah ` utarakan untuk mendeskripsikan sebuah suasana bahwasannya Dzat Maha Pencipta, Allah l yang menggenggam cinta, yang memiliki cinta, adalah cemburu pada sebuah situasi atas hambanya.

Dalam satu hadits disebutkan, Asma’ binti Abu Bakar k meriwayatkan, suatu saat dia mendengar Rasulullah ` bersabda, “Tidak ada seorang pun yang lebih pencemburu daripada Allah k (H.R. Bukhari dan Muslim, lihat Syarh Muslim li an-Nawawi [9/28]).

Abu Hurairah a meriwayatkan, bahwa Rasulullah ` bersabda, “Sesungguhnya Allah merasa cemburu. Dan seorang mukmin pun merasa cemburu. Adapun kecemburuan Allah itu akan bangkit tatkala seorang mukmin melakukan sesuatu yang Allah haramkan atasnya.” (H.R. Bukhari dan Muslim, lihat Syarh Muslim li an-Nawawi)

Umar bin al-Khaththab a meriwayatkan bahwa suatu ketika didatangkan di hadapan Rasulullah ` serombongan tawanan perang. Ternyata ada seorang perempuan yang ikut dalam rombongan itu. Dia sedang mencari-cari sesuatu -yaitu anaknya. Setiap kali dia menjumpai bayi di antara rombongan tawanan itu maka dia pun langsung mengambil dan memeluknya ke perutnya dan menyusuinya. Maka Rasulullah ` pun berkata kepada kami, “Apakah menurut kalian perempuan ini akan tega melemparkan anaknya kedalam kobaran api?”. Maka kamipun menjawab, “Tentu saja dia tidak akan mau melakukannya, demi Allah. Walaupun dia sanggup, pasti dia tidak mau melemparkan anaknya ke dalamnya.” Maka Rasulullah ` pun mengatakan, “Sungguh, Allah jauh lebih menyayangi hamba-hamba-Nya dibandingkan kasih sayang perempuan ini kepada anaknya.” (H.R. Bukhari dan Muslim, lihat Syarh Muslim li an-Nawawi [9/21]

Ternyata, Islam dengan kesempurnaanya pun telah lebih jauh membahas makna dari kata cemburu ini.Abu Hurairah a meriwayatkan, Rasulullah ` bersabda, “Semua umatku akan dimaafkan kecuali orang yang melakukan dosa secara terang-terangan. Termasuk perbuatan dosa yang terang-terangan yaitu apabila seorang hamba pada malam hari melakukan perbuatan (dosa) lalu menemui waktu pagi dalam keadaan dosanya telah ditutupi oleh Rabbnya, namun setelah itu dia justru mengatakan, ‘Wahai fulan, tadi malam saya melakukan ini dan itu’. Padahal sepanjang malam itu Rabbnya telah menutupi aibnya sehingga dia pun bisa melalui malamnya dengan dosa yang telah ditutupi oleh Rabbnya itu. Akan tetapi pagi harinya dia justru menyingkap tabir yang Allah berikan untuk menutupi aibnya itu.” (H.R. Bukhari dan Muslim, lihat Syarh Muslim li an-Nawawi [9/225]

Ketahuilah bahwa Allah l akan cemburu kepada hambanya yang selalu melupakan-Nya. Allah  menginginkan hambanya hanya disibukkan dengan Allah saja dan bertawakal kepada-Nya, dengan kata lain Allah tidak mau dan tidak boleh diduakan. Maksud lainnya adalah Allah mencintai kalau hati seorang hamba terkait dengannya sendirian, ketika ia sedang dalam kondisi taat. Tetapi kadang hamba itu disibukkan oleh urusan dunia, maka Allah mengambil dunianya, agar ia kembali hanya disibukkan dengan Allah saja dan bertawakal kepada-Nya.

Mari kita simak beberapa kisah para nabi yang Allah uji bukti kecintaannya. Pertama, kisah nabi Ibrahim n yang mencintai anaknya Ismail, Allah mengambil Ismail dari tanganya. Allah l memerintahkan Ibrahim n untuk menyembelih puteranya. Dan ketika itu, ketika Ibrahim n meletakkan pisau dileher Ismail, maka disana terbukti bahwa kecintaan yang ada dihati Ibrahim adalah kecintaan kepada Allah l. Maka Allah l  memerintahkan mengganti Ismail dengan kambing.

Selanjutnya, kisah nabi Ya’qub n yang sangat mencintai anaknya, Yusuf n. Kecintaan Ya’qub n  terhadap Yusuf n itu memenuhi semua kebutuhan hidup dan hatinya. Maka, Allah l mengambil Yusuf n   selama 20 tahun sehingga hatinya kembali dipenuhi cinta kepada Allah l. Setelah itu, Allah l pun mengembalikan Yusuf padanya.

Firman Allah l dalam Q.S al-Ahzab [33] : 4 yang artinya: “Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).

Jika hati dikawal oleh penghuni yang lain yaitu setan atau hawa nafsu, maka hati itupun akan mengawal anggota badan lain untuk melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan perintah-Nya. Sebaliknya jika hati telah dibersihkan dari perkara-perkara tercela, maka iman akan tumbuh subur dan diduduki oleh tauhid, iman dan ilmu Allah.

Allah l berfirman,“Katakanlah : sesungguhnya sembahyangku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).” (QS Al-An’am [6]: 162-163).

Pernahkah terlintas dalam benak kita jika Allah l, Rabb Yang Maha Mulia cemburu kepada kita? Hati manakah yang tak pernah tersentuh lintasan cemburu, sebuah gejolak bergemuruh yang begitu saja mengubah cinta menjadi  letupan-letupan murka yang tak mampu dikendalikan? Betapa menyedihkan jika selama ini merasa diri beriman, tetapi membiarkan Dzat yang di imani itu cemburu. Bukankah itu kemunafikan? Lantas, Bukankah jahannam itu bagi orang-orang munafik? 

Pahamilah! Bahwasannya, besarnya rasa cemburu itu berbanding lurus dengan besarnya cinta bahkan bisa melebihinya. Pahamilah bahwa hanya Allah-lah yang paling besar rasa cinta-Nya kepada kita melebihi siapapun. Allah-lah yang telah menakdirkan salah satu ribuan sel sperma dari ayah kita bertemu dengan sel telur ibu kita. Lalu sel telur itu dibuahi, menjelma menjadi segumpal daging lalu ditiupkan ruh kedalamnya hingga janin itu bergerak. Atas Cinta-Nyalah janin itu terlindungi dan tumbuh di dalam rahim hingga terlahir ke dunia dengan lemah. Lalu Allah menguatkan tulang tulangnya, memberi bayi itu mata yang indah, pendengaran yang sempurna, tangan untuk membela tubuhnya, kaki untuk berjalan dan semua indra-indra lainnya untuk menyempurnakan bentuknya. Atas Cinta-Nya lah kemudian makanan itu didatangkan melalui tangan-tangan yang Dia kehendaki hingga bayi itu tumbuh menjadi anak, menjadi remaja, dan dewasa. Atas kasih sayang-Nya lah kemudian diajarkannya ilmu-ilmu yang bermanfaat untuk menghiasi perjalanan hidupnya. Atas kebesaran-Nya lah dijadikan bumi dengan sejuta pesona keindahannya untuk menghibur hatinya. Hanya atas kemurahan-Nya lah, sesosok manusia yang kemudian membangkang itu tetap terbangun dipagi hari. Maha Suci Allah.Dia lah Yang Maha Pemurah, yang telah memberi kesempatan dengan membangunkan kita kembali, membangunkan hamba hamba Nya disetiap pagi agar mereka beribadah kepada Nya.Dia lah yang Maha Pemaaf yang tetap membiarkan kekafiran dan kekufuran terus menodai Bumi-Nya yang indah, hingga masa yang ditentukan!

Semoga menjadi muhasabah diri. Untuk diri sendiri dan sesiapa saja yang di izinkan Allah l untuk membacanya. Kita memang harus segera memahami kecemburuan Allah k yang di informasikan Rasulullah, agar kita bisa menghindarinya sebelum cemburu itu berubah menjadi Murka. Sebelum murka itu menemui kita di Neraka. 

Semoga menjadi lilin penerang menuju taubatan nasuha, satu-satunya jalan kembali. Âmîn. Astaghfirullâhalazhîm.

 

Mutiara Hikmah:

“Ketika hatimu terlalu berharap kepada seseorang maka Allah timpakan padamu pedihnya sebuah pengharapan agar kamu mengetahui bahwa Allah sangat mencemburui hati yang berharap selainNya. Maka Allah menghalangimu dari perkara tersebut agar kamu kembali berharap kepadanya,” (HR. Muslim)

 

Oleh : Azzahra

Alumni Takmir Masjid Ulil Albab

SANG KEKASIH JUGA DIUJI

Makhluk yang berjalan di muka bumi ini memiliki berbagai macam rutinitas dan problematika tersendiri yang harus dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari. Contoh terdekat di lingkungan kita adalah, rutinitas sebagai seorang pelajar. Seorang pelajar akan disibukkan dengan berbagai kegiatan akademis dan diharuskan untuk menghadapi berbagai tantangan untuk mencapai keberhasilan dalam studinya. Tak jarang seorang pelajar menemukan titik terjenuhnya sehingga merasa ujian yang sedang ia hadapi adalah ujian yang berat dan kehilangan semangat untuk kembali bangkit. Marilah sejenak kita kembali merenungi pedoman hidup yang telah diturunkan Allah I. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman  “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan : “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta” (Q.S. Al-Ankabut : 2-3)

Iman adalah pondasi hidup seorang muslim, oleh karena itu iman yang sejatinya merupakan sumber kekuatan seorang muslim akan diuji oleh Allah I melalui berbagai macam ujian hidup. Iman juga merupakan salah satu nikmat yang perlu kita syukuri, dan merupakan karunia yang sangat besar ketika kita lahir dan tumbuh di lingkungan yang telah mengenal Islam karena secara tidak langsung dalam kehidupan sehari-hari kita telah diajarkan untuk membangun iman sejak kecil, sehingga sudah sepatutnya kita terus memelihara dan meningkatkan iman kita agar menjadi seorang pribadi muslim yang lebih baik.

Setiap muslim telah mengetahui bagaimana cinta dan kasih sayang Allah I kepada para Nabi, dan sahabat-sahabat yang bersusah payah memperjuangkan Islam pada masanya. Mereka adalah orang-orang yang telah dijamin surga oleh Allah I, namun demikian mereka tetap mendapatkan cobaan dan ujian dari Allah I. Melalui cobaan dan ujian itu mereka merasa semakin dekat dengan Allah hingga rela mengorbankan harta dan nyawanya demi agama Islam.

Setiap orang yang beriman akan diuji, kabar baiknya adalah Allah tidak akan meninggalkan kita sendirian dalam menjalani ujian tersebut. Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 286 bahwa Allah tidak membebani seseorang melainkan dengan kesanggupannya, maka kita perlu meyakinkan diri bahwa setiap permasalahan dan cobaan yang dihadapi oleh manusia telah sesuai dengan kadar kemampuannya. Dalam menghadapi permasalahan kita juga perlu menanamkan kesabaran, dalam surat yang sama pada ayat ke-153 Allah berfirman “Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” Sabar menjadi salah satu kunci penyelesaian berbagai persoalan, dengan bersabar kita akan terus mencari jalan dan berikhtiar serta memaksimalkan ibadah kita sebagai bentuk rasa tawakkal kita kepada Allah I karena bertawakkal dan berharap hanya kepada Allah adalah satu-satunya cara yang tidak akan membuat manusia kecewa.

Begitu banyak kisah Nabi dan para sahabat yang memberikan pelajaran kepada kita mengenai sabar dan tawakkal dalam menghadapi cobaan. Salah satunya adalah ujian Nabi Muhammad r berikut.

 

Kisah Nabi Muhammad r dan Penduduk Thaif.

Nabi berjalan kaki dari kota Mekkah menuju Thaif untuk berdakwah kepada penduduk Thaif, perjalanan Nabi memakan waktu berhari-hari sampai akhirnya Nabi tiba di kota tersebut. Saat itu Nabi telah ditinggalkan oleh istri tercintanya yakni Siti Khadijah serta paman beliau Abu Thalib sehingga Nabi masih merasa sedih karena ditinggalkan orang-orang tercintanya, sebelum akhirnya memutuskan untuk mencoba berdakwah ke kota Thaif. Setelah Nabi sampai dan mencoba berdakwah kepada penduduk Thaif, Nabi tidak mendapat sambutan yang baik dan menerima penolakkan dari penduduk dan  para tokoh penguasa. Mereka tidak mempercayai Nabi sehingga mengusir Nabi dari Kota tersebut. Tidak sampai disitu, ketika Nabi berjalan untuk pulang mereka melontarkan cacian dan melempari Nabi dengan batu sehingga Nabi dan sahabat mengalami luka di bagian-bagian tubuh mereka. Nabi Muhammad r merasa sangat sedih dan bermunajat kepada Allah r ketika sedang berteduh di sebuah kebun. Dengan segala ketidak berdayaannya, nabi mengucapkan doa yang begitu menggetarkan hati.

Wahai Rabb-ku, kepada Engkaulah aku adukan kelemahan tenagaku dan kekurangan daya upayaku pada pandangan manusia. Wahai Rabb-ku yang maha Rahim. Engkaulah Rabbnya orang-orang yang lemah dan Engkaulah Rabb-ku. Kepada siapa Engkau menyerahkan diriku? Kepada musuh yang akan menerkamku, atau kepada keluarga yang Engkau berikan kepadanya urusanku, tidak ada keberatan bagiku asal Engkau tidak marah kepadaku. Sedangkan afiat-Mu lebih luas bagiku. Aku berlindung dengan cahaya muka-Mu yang mulia, yang menyinari langit dan menerangi segala yang gelap. Dan atas-Nyalah teratur segaka urusan dunia dan akhirat. Dari Engkau menimpakan atas diriku kemarahanMu atau dari Engkau turun adzab-Mu. Kepada Engkaulah aku adukan halku sehingga Engkau ridha. Tidak ada daya dan upaya melainkan dengan Engkau.”

Ujian berat yang dihadapi oleh Nabi tidak melunturkan kepercayannya terhadap pertolongan Allah, dari doa diatas bahkan Nabi Muhammad r rela diperlakukan sepertu itu oleh para penduduk Thaif asalkan Allah tidak marah kepada Nabi. Dari kisah ini kita dapat mengambil pelajaran bahwa selama kita mengandalkan Allah dan menjaga keridhoanNya, pasti pertolongan Allah akan datang. Seperti halnya pertolongan Allah yang mendatangkan Malaikat Jibril untuk menghibur hati Nabi setelah mendapatkan perlakuan kasar dari penduduk tersebut.

Jawaban Allah atas kegelisahan Nabi Muhammad r.

“Rabbmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu” (Q.S. Ad-Dhuha : 3).

Ketika merasa ditinggalkan, dibenci, atau mengalami kesulitan, Allah selalu ada dan tidak meninggalka hambaNya. Ayat ini merupakan sebuah kabar gembira bagi manusia, dimana dalam surah Ad-Dhuha ini Allah berfirman akan selalu bersama hambaNya bahkan Allah meyakinkan hambaNya agar tidak berprasangka buruk terhadap Allah, seperti halnya yang terjadi pada Nabi Muhammad r.

Sebelum surat ini turun, Nabi Muhammad sangat merasa sedih dan putus asa karena wahyu tidak kunjung diberikan selama 6 bulan, selama itu pula Nabi tidak didatangi oleh malaikat Jibril sehingga membuat Nabi merasa bahwa mungkin ada sesuatu yang membuat Allah tidak menurunkan wahyu selama itu. Kesedihan Nabi bertambah saat orang-orang musyrik disekitarnya semakin meragukan Nabi karena sudah tidak mendapatkan wahyu lagi dalam waktu yang lama, serta mengatakan bahwa Allah telah meninggalkan Nabi.

Kesedihan Nabi Muhammad akhirnya terjawab dengan turunnya surat Ad-dhuha, yang berisikan pesan bahwa kapanpun dan dimanapun sejatinya Allah selalu bersama hambaNya dan tidak sedikitpun Allah membenci hambaNya. Melalui kisah ini kita dapat mengetahui bahwa pertolongan Allah akan datang pada hambaNya dan sudah sepatutnya kita tidak meragukan dan berputus asa terhadap rahmat Allah I.

Kisah-kisah diatas hanyalah sebagian kecil dari banyaknya kisah-kisah penggugah jiwa yang memberikan berbagai macam pelajaran berharga bagi kehidupan manusia. Oleh sebab itu kita perlu menambah wawasan dan pengetahuan mengenai kisah-kisah lainnya dari para Nabi dan sahabat untuk meningkatkan keimanan dan mengambil pelajaran dari kisah-kisah tersebut untuk menghadapi ujian hidup.

Segala macam permasalahan dalam kehidupan merupakan proses yang akan dilewati manusia untuk membentuk pribadi yang lebih kokoh, terlebih jika dalam melewati permasalahan atau ujian tersebut kita selalu mengandalkan Allah dan berserah diri kepadaNya. “Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam surga) karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya.” (QS.al-Furqan: 75). Kelak Allah akan menyediakan tempat yang baik bagi orang-orang yang bersabar atas ujiannya. Bukankah dengan ujian-ujian tersebut kita menjadi orang yang semakin dekat dengan Allah? Karena tidak ada pertolongan dan tempat meminta selain kepadaNya. Ketika kita telah berikhtiar dan bersabar atas segala macam persoalan, maka kita akan menemukan hebatnya pertolongan yang Allah berikan dari jalan yang tidak disangka-sangka.

Teruslah berjalan dan teruslah bersabar. Yakinlah pertolongan Allah ada di ujung sana dan sebentar lagi kamu akan sampai pada kebahagiaan dalam pelukanNya.

Wallahu’alamu bi ash shawab.

 

Mahasiswa Prodi Farmasi

Universitas Islam Indonesia

Siapkah Kita Kembali?

 

إِذَا جَاء نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ -١- وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجاً -٢- فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ كَانَ تَوَّاباً -٣-

Artinya : “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhan-mu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat.

(QS. An-Nashr [110] : 1-3)

 

Dalam beberapa bulan yang lalu kita sangat dikejutkan dengan musibah dan ujian yang terjadi di negeri kita tercinta ini. Mulai dari gempa bumi di pulau Lombok, Tsunami di kota Palu dan jatuhnya salah satu pesawat terbang di daerah Karawang yang tidak jauh dari ibu kota negara kita. Suatu bencana atau musibah tidaklah terjadi melainkan ada penyebabnya. Namun hal yang terpenting adalah bukanlah mencari apa penyebab terjadinya musibah yang di alami tersebut, melainkan yang terpenting adalah apa hikmah dan pelajaran yang dapat kita ambil kemudian, apa yang kita siapkan jika musibah dan ujian tersebut terjadi pada diri kita.

Ujian dan Cobaan adalah salah satu cara Allah  untuk mengingatkan manusia bahwasannya Allah  maha kuasa atas segala sesuatu. Ujian dan cobaan merupakan bukti bahwasannya Allah  masih sayang kepada seorang hamba, Allah  tidaklah memberi ujian kepada seorang hamba yang beriman melainkan Allah  merindukan mereka untuk senantiasa mengingat akan kehadirat-Nya. Setiap ujian kepada seorang hamba pasti banyak hikmah dan pelajaran yang dapat kita ambil di dalamnya. Salah satu hikmahnya adalah untuk mengingatkan kita sebagai manusia yang lemah ini bahwasanya kita akan kembali kepada-Nya. Oleh sebab itulah, apa yang harus kita siapkan jika kita diminta untuk kembali kepada-Nya?

Sebelum kita menyiapkan bekal terbaik kita untuk kembali menghadap kepada-Nya, ada beberapa hal yang mesti kita lakukan agar setiap apa yang kita lakukan akan bernilai ibadah di sisi-Nya. Pertama adalah berhijrah. Hijrah merupakan salah satu bentuk kemuliaan seorang hamba, hijrah yang dilandasi karena Allah  dan Rasul-Nya merupakan perkara yang sangat dicintai dan menjadi tolak ukur keimanan seorang hamba. Oleh sebab itulah pentingnya untuk berhijrah ini adalah bukti seorang hamba untuk menyiapkan diri sebagai manusia yang terbaik sebelum kita kembali kepada-Nya.

Kata hijrah berasal dari bahasa Arab, yang berarti meninggalkan, menjauhkan dari dan berpindah dari satu tempat ke tmpat yang lainnya. Kata hijrah sudah tidak asing kita dengarkan, bahkan di era digital nan informasi ini,  fenomena berhijrah sudah sangat mudah kita dapatkan, mulai dari hijrahnya para pengusaha yang dzalim kepada yang mengayomi, hijrahnya seorang preman menjadi seorang ustadz, bahkan yang terbaru-baru ini munculnya gerakan hijrahnya para pembisnis konvensional kepada bisnis yang syariah.

Dalam sejarah, perintah hijrah merupakan perpindahan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad  bersama para sahabat dari kota Mekah menuju kota Madinah. Salah satu tujuannya adalah untuk mempertahankan dan menegakkan agama Allah , yang berupa akidah dan syari’at Islam. Namun dalam artian secara umum makna hijrah pada saat ini dapat kita artikan sebagai berpindahnya perbuatan manusia dari yang buruk kepada kebaikan, atau dari sesuatu yang salah dalam syariah menuju kepada kebenaran dan sesuai tuntunan ajaran Islam.

Perintah berhijrah terdapat dalam beberapa ayat dalam Al-Qur’an salah satunya adalah pada surah Al-Baqarah yang artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan orang yang berjihad di jalan Allah, mereka itulah yang mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Al-Baqarah [2] : 218).

Dari ayat ini pelajaran penting yang dapat kita ambil adalah anjuran untuk berhijrah dengan mempertahankan akidah yang benar dan segera kembali kepada jalan kebenaran, serta kita berharap dengan berhijrah ini, kita akan mendapatkan ampunan dan rahmat-Nya, sehingga kita diberikan hadiah terbaik berupa syurga.

Dalam sebuah riwayat yang sangat masyhur, dijelaskan kisah seorang pemuda yang berhijrah dari jalan keburukan menuju jalan kebaikan, maka takkala pemuda ini mau meninggalkan perbuatan buruknya dan menuju tempat yang terbaik. Di tengah perjalanan pemuda ini meninggal dunia namun karena pemuda ini lebih dekat kepada tempat yang terbaik, maka Allah  mengampuni dosa-dosanya dan memasukkannya ke dalam syurga-Nya Allah .

Selanjutnya yang dapat kita persiapkan untuk kembali kepada-Nya adalah bertaubat. Bertaubat atau kembali kepada aturan yang telah Allah tetapkan merupakan suatu jalan yang mulia. Makna taubat secara umum dapat kita artikan sadar dan menyesal akan dosa (perbuatan yang salah dan jahat) serta berniat akan memperbaiki tingkah laku dan perbuatan yang salah tersebut dan berjanji dengan sepenuh hati untuk tidak mngulangi lagi perbuatan yang buruk tersebut.

Bertaubat adalah perkara yang sangat di sukai oleh Allah  dan juga merupakan salah satu perintah-Nya ketika manusia itu melakukan dosa dan kesalahan. Sebagaimana taubatnya nabi Adam ‘Alaihissalam yang diturunkan oleh Allah  ke muka bumi ini. Maka dengan taubatnya yang sungguh-sungguh, kemudian Allah  mengampuni kesalahan-kesalahannya. Orang yang bertaubat adalah mereka yang mendapatkan rahmat Allah , karena dengan taubat ini Allah  masih merindukan hamba-Nya untuk kembali menaati perintah-perintahnya dan menjauhi segala larangan-Nya.

Begitu juga orang yang bertaubat dan segera menyesali perbuatan buruknya di masa lalu adalah mereka yang senantiasa mendapatkan kebaikan, baik di dunia maupun di akhirat, sebagaimana halnya nabi Yunus ‘Alaihissalam yang kembali kepada Allah  takkala ia meninggalkan kaumnya yang tak mau mendengarkan nasehat-nasehat dan dakwahnya. Namun Allah  yang senantiasa menyayangi setiap hambanya menerima taubatnya nabi Yunus dan menjadikanya sebagai orang-orang yang mulia di sisi-Nya takkala beliau bertaubat dan menyesali kesalahan-kesalahannya.

Pentingya seorang hamba untuk segera kembali kepada jalan kebenaran dan takwa merupakan bentuk keyakinan kita kepada Allah . Bukankah kehidupan di dunia ini hanyalah sementara, dan kesenangan palsu, dan tempat kembali kita yang sebenarnya adalah di akhirat kelak sebagaimana di sebutkan di salah satu ayat al-Quran yang artinya: “Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurauan, perhiasan dan saling berbangga di antara kamu serta berlomba dalam kekayaan dan anak keturunan, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian (tanaman) itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang palsu. (Q.S Al Hadid [57]: 20)

Oleh sebab itulah mari kita bertaubat dan kembali kepada Allah , bertaubat pada jalan kebenaran dan jalan yang di ridhoi oleh Allah .

Hal berikutnya yang menjadi kunci dan senjata seorang muslim untuk kembali kepada-Nya adalah kita senantiasa berdo’a dan memohon kepada Allah  agar di kembalikan pada saat yang terbaik dan tempat yang atau khusnul khotimah, berada di jalan yang benar, jalan yang diridhoi oleh Allah . Sebagaimana doa Umar bin Khatab radhiallahu’anhu yang selalu meminta mati syahid.

Oleh karenanya, doa terbaik yang dapat kita panjatkan adalah doa yang telah Allah  ajarkan dalam al-Qur’an. Do’a mereka adalah “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami melakukan kesalahan. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau Bebani kami dengan beban yang berat sebagaimana Engkau Bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau Pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya. Maafkanlah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah Pelindung kami, maka tolonglah kami menghadapi orang-orang kafir.” (QS. al-Baqarah [2] : 286).

Berdoa dan memohon kebaikan adalah sebuah perintah Allah  dan Rasul-Nya, sebagaimana kita selalu dianjurkan beribadah sholat lima waktu yang didalamnya terdapat do’a dan permohonan agar kita  senantiasa diampuni dosa-dosanya. Selain berdo’a kita juga dianjurkan untuk berikhtiar dan mencari lingkungan yang baik serta membawa kebaikan. Hal ini di karenakan mencari lingkungan yang baik, tempat yang baik adalah landasan utama dalam mempersiapkan kita untuk kembali kepada kebenaran dan takwa.

Ingatlah salah satu wasiat  Rasulullah  kepada kita, bahwasannya barang siapa yang berteman dengan seorang pedagang minyak wangi maka ia akan mendapatkan warum wewangian dari sisinya begitu juga dengan orang-orang yang berteman dengan seorang pandai besi maka mereka akan siap menerima asap yang dihasilkan dari kegiatannya. Maka penting bagi kita untuk selalu mencari teman dan lingkungan yang baik sehingga kita dapat menjadi sumber kebaikan bagi diri kita maupun orang lain. Oleh sebab itulah sudah siapkah kita kembali?

 

Romi Padli, SEI., ME

Alumni Magister Studi Islam

Universitas Islam Indonesia

 

 

”Mutiara Hikmah”

“Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah dzalim terhadap diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni dosa kami dan memberi rahmat kepada kami. Niscaya kami termasuk ke dalam golongan orang-orang yang merugi” (Q.S Al A’raf [7] : 23)