UJIAN TUHAN MELALUI LION AIR JT 610

 “Orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: (Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un)”. (QS. Al-Baqarah [2]: 156).

 

Dalam lima tahun terakhir, tercatat sedikitnya ada lima pesawat udara yang mengalami musibah berdasarkan data idntimes.com. Pertama, Lion Air JT 904 terjadi pada April 2013. Pesawat ini terjatuh saat penerbangan Bandung-Bali terjatuh 20 meter dari daratan 300 meter barat daya dari ujung landasan. Pesawat ini terjatuh di laut dangkal di dekat Bandara Ngurah Rai, Bali. Penyebab dari kecelakaan ini adalah faktor human error dan cuaca. Awalnya pesawat ini dikendalikan oleh kopilot, lalu dalam posisi ingin mendarat pilot mengambil alih kendali pesawat. Menurut laporan dari Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), pilot gagal melihat secara akurat apa yang ada di depan karena hujan deras dan kabut tebal.

Kedua, Merpati Nusantara Airlines 6517 terjadi pada Juni 2013. Saat penerbangan Bandar Udara Soa – Bandar Udara El Tari mengalami hard landing saat mendarat di Kupang. Ketiga, Pesawat Air Asia 8501 terjadi pada Desember 2014. Pesawat dengan rute penerbangan Surabaya – Singapura dengan nomor penerbangan 8501 terjatuh di Laut Jawa. Pesawat ini mengangkut 162 penumpang beserta kru dengan enam kewarganegaraan. 155 penumpang berwarganegara Indonesia, tiga Korea Selatan, satu Prancis, satu Malaysia, satu Singapura, dan satu Britania Raya.

Keempat, Pesawat Hercules C-130 terjadi pada Juni 2015. Pesawat dengan rute Pangkalan Angkatan Udara Soewondo, Medan – Bandara Raja Haji Fisabililah, Tanjung Pinang baru terbang dua menit dan sudah terjatuh berjarak lima kilometer dari pangkalan. Kecelakaan ini mengakibatkan 141 korban jiwa dan tiga luka-luka. Kelima, Lion Air JT 610 yang terjadi pada 29 Oktober 2018. Berdasarkan pantauan kompas.com bahwa terdapat sembilan kecelakaan dan insiden yang teradi di Indonesia bahkan dalam dua tahun terakhir.

Musibah yang menimpa Lion Air JT 610 adalah sebuah ujian Tuhan kepada kita semua. Peristiwa yang terjadi akhir Oktober 2018 tersebut tidak ada yang mengetahui sebelumnya, itulah takdir. Takdir memang tidak pernah ada yang tahu kapan terjadi. Sebuah bencana alam, gempa bumi, tanah longsor, banjir, tsunami, dan lain sebagainya itulah kuasa Allah . Terlebih kapan datangnya hari akhir, tidak ada satupun yang mengetahuinya. Bahkan dalam hadits yang diriwayatkan Bukhori dan Muslim, Nabi Muhammad  ditanya oleh Ruuhul amin atau malaikat Jibril, kapan datangnya hari kiamat, ia menjawab “yang bertanya lebih tahu dari yang ditanya”.

Siapa Sesungguhnya Orang yang Sabar

            Pada ayat sebelumnya, yaitu Q.S Al-Baqarah [2]: 155, telah dituliskan dalam mushaf Al-Qur’an bahwa manusia diuji dengan berbagai macam hal. Manusia akan diuji oleh Allah  dengan ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Semua orang akan mengalami hal tersebut. Istimewa bagi orang yang tahan dan kuat akan ujian tersebut dengan melafalkan Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un (Sesungguhnya kami ini milik Allah dan kepadaNyalah kami akan kembali).

Siapa sesungguhnya yang dikatakan orang yang sabar? Yaitu orang yang melafalkan Inna lillahi wa inna ilayhi raji’un. Lebih jauh lagi, tidak sekedar melafalkan/mengucapkan semata, namun benar-benar menghayati maknanya. Setelah dihayati maknanya, maka benar-benar sadar bahwa semua adalah titipan Allah . Dalam hal ini, bagi siapa saja yang dapat menjadikan dirinya sabar atas ujian, berarti sesungguhnya ia telah lolos dari ujian tersebut.

Kejadian yang menimpa Lion Air JT 610 adalah hanya contoh kecil saja. Kejadian yang menyadarkan setiap insan bahwa tidak ada daya dan upaya kecuali hanya Allah  samata yang menjalankannya. Semua harta, benda, kedudukan, jabatan, sekedar melekat tidak lama pada diri manusia. Jika tidak dimanfaatkan pada jalan kebaikan, maka sungguh akan sia-sia, karena itu semua adalah titipan sang Maha Kuasa.

Ujian tidak hanya berupa musibah kelaparan, ketakutan, kehilangan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Lebih dari itu, semua yang kita miliki adalah bentuk ujian dari Allah . Harta yang diamanahkan kepada kita, anak-anak, orangtua, saudara, jabatan, kesenangan, dan lain sebagainya. Bertanya pada diri masing-masing, sudahkah kita menjaga amanah tersebut dengan baik? Sejauh mana nilai kebermanfaatan amanah tersebut untuk sekitar kita? Maka, dengan cara minimal “bersyukur” atas apa yang diberikannya adalah bentuk kita menjaga amanah tersebut. Sehingga bertambah hari, bertambah pula nilai kebaikan dalam diri kita.

Ganjaran, Bagi yang Sabar

            Ganjaran bagi yang sabar jelas diperoleh bagi siapapun dalam menghadapi ujian, terlebih sanak familinya yang mengalami musibah. Secara umum, tidak hanya kecelakaan pesawat Lion Air JT 610 semata yang baru terjadi, namun semua kejadian yang menimpa kita, seperti gempa di Lombok dan Palu, sekaligus tsunami. “Sabar” adalah kata kunci dari segalanya. Karena yakinlah bahwa Allah  tidak akan pernah ingkar pada janjiNya. Allah berjanji akan memberikan berita gembira bagi orang-orang yang sabar.

Selanjutnya dalam QS. Al-Baqarah [2]: 157 dijelaskan bahwa mereka yang telah lolos dalam kesabaran, dengan melafalkan dan menghayati ucapan Inna lillahi wainna ilaihi raji’un, akan mendapatkan ampunan dan rahmat serta hidayah dari Allah . Betapa murahnya kasih sayang Allah  kepada hambanya yang sabar. Ganjaran sabar akan terus mengalir dan mendapatkan keistimewaan tersendiri. Karena hidayah semata-mata hanya Allah  saja yang dapat memberikan kepada hambaNya yang dikehendaki.

Belajar Bercermin Diri

            Dalam Al-Qur’an QS. Yunus [10]: 49, Allah  berfirman “Tiap-tiap umat mempunyai ajal. apabila telah datang ajal mereka, maka mereka tidak dapat mengundurkannya sedikitpun dan tidak dapat memajukannya”. Saya melihat fenomena yang banyak terjadi disekitar kita bahwa yang rajin beribadah dan mengingat Allah  adalah kalangan menengah keatas atau kalangan empat puluh tahun keatas. Tempat-tempat ibadah, majlis taklim, dan perkumpulan pengajian lainnya dipenuhi oleh orangtua.

Bukan berarti tidak ada sama sekali kaum muda yang rajin beribadah, namun masih jarang untuk kita temui dalam keseharian kita. Saya sangat bersyukur dan berharap sekali kepada teman-teman pemuda dimanapun berada yang rajin beribadah kepada Allah, istiqomahlah dalam beribadah kepada Allah . Karena berdasarkan QS Yunus: 49 diatas bahwa ajal tidak memandang usia. Kapanpun dapat menghampiri kita semua, dan kita harus siap menyambutnya. Telah terbukti dengan jelas, contoh kejadian pesawat Lion Air JT 610 yang mengangkut penumpang dengan segala usia. Tidak akan pernah dapat memajukan dan mengundurkan usia. Maka tidak dapat ditawar lagi tentang ajal, dimanapun kapanpun, kita harus siap menghadapinya.

Sebagai manusia tidak akan lepas dari dua keadaan; keadaan yang menyenangkan dan keadaan yang menyedihkan. Sisi pertama adanya tuntutan rasa syukur, disisi lain menuntut adanya sikap sabar. Hanya saja, dalam menunaikan rasa syukur, seorang hamba harus bisa bersabar. Oleh karena itu, sabar tidak dapat lepas juga dari rasa syukur untuk menyabarinya.

Dalam menanamkan sifat sabar ini, keimanan menempati kedudukan yang sangat penting. Semakin kuat iman seseorang, maka semakin sabar dalam menghadapi segala cobaan, baik sabar dalam melaksanakan ketaatan, meninggalkan maksiat ataupun dalam menghadapi musibah. Maknanya, orang yang tidak memiliki keimanan, tidak akan bisa mendapatkan dua sifat yang mulia ini; syukur dan sabar. Kita memahami bahwa penanaman keimanan dalam hati seorang hamba, adalah perkara penting yang akan memperbaiki keadaan seorang hamba, memperbaiki amalannya, akhlaknya, ibadahnya dan segala sesuatunya.

Mari, Saling Mengingatkan

Penulis mengajak pada diri sendiri maupun pembaca, agar kita saling mengingatkan dalam hal kebaikan, terutama dalam hal sabar. Telah jelas dalam firmanNYA QS. Al-‘Ashr [103]: 2-3, menjelaskan bahwa manusia itu rugi jika tidak beriman, beramal sholeh, mengingatkan dalam hal kebenaran dan kesabaran. Sekarang ini, keluarga korban Lion Air JT 610 sedang mengalami kesedihan. Mari, dari kesedihan itu, kita jadikan sebagai pelajaran. Pelajaran yang dapat dipetik adalah segala sesuatu akan kembali pada Allah . Karena dengan kesabaran, akan menghantarkan keluarga korban untuk mendapatkan ampunan, rahmat serta hidayah.

Ajal tidak ubahnya seperti tagihan hutang. Tidak diharapkan datang, tetapi pasti menyambang. Siapa pun akan dapat giliran kunjungan ajal. Tak peduli usia, apalagi status sosial. Terkadang, tidak pernah terbayang, jika ajal siap menjemput orang yang tersayang. Tidak semua kita siap menghadapi kematian orang yang kita sayang. Apakah ibu, ayah, suami, isteri, anak, dan sanak keluarga lain. Dalam ketidaksiapan itu aneka reaksi bisa kita ungkapkan secara tidak sadar. Mulai menangis, marah, bahkan pingsan. Itulah yang kini dihadapi oleh beberapa keluarga korban.

Mari, penulis mengajak pada diri sendiri dan pembaca untuk saling mengingatkan. Semua yang ada di bumi dan yang kita miliki, baik harta, jabatan, keluarga, adalah milik Allah . Peristiwa yang menimpa Lion Air JT 610 adalah sebuah ujian dari Allah  terhadap kita semua. Bukan semata-mata ingin menghilangkan sanak family, tetapi melatih kita semua untuk meningkatkan keimanan melalui kesabaran. Dan orang yang sabar dengan mengucapkan “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un” inilah yang diberikan ampunan, rahmat, serta hidayah dari Allah . Wallahu a’lamu bi ash shawab.

Syaifulloh Yusuf

Koord. LIC PAI FIAI UII

KATA MUTIARA

“Saya katakan: rupanya kehidupan ini sekalipun mengesankan ‘kegelapan’ tetapai jika kita sikapi dengan sikap husnudzan kepada Allah , bisa saja akhirnya bagus. Sebaliknya, situasi yang nampaknya terang sekalipun, tetapi jika disikapi dengan kacamata gelap, ya gelap jadinya. Yang indah, adalah kalau yang terang dipandang dengan sikap terang penuh rasa syukur”.

(Prof. Zaini Dahlan, MA)

BELAJAR MENASEHATI DARI IMAM ABU HANIFAH

Imam Abu Hanifah adalah ulama besar pada masa tabi’in (generasi setelah sahabat Rasulullah Saw). Pendiri Madzhab Hanafi ini memiliki nama lengkap Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit bin Zautha. Imam Abu Hanifah dilahirkan di kota Kufah pada 699 M dari keluarga pebisnis kaya yang taat. Maka tidak heran jika Imam Abu Hanifah juga menjadi pebisnis yang mengikuti darah ayahnya. Kakeknya masuk Islam pada zaman Umar bin Khattab lalu hijrah ke Kufah dan menetap di sana.

Imam Al-Dzahabi berkata, “Dia seorang Imam, faqihul millah (ahli fiqihnya millah ini), ulamanya Iraq, Abu Hanifah Nu’man bin tsabit bin Zautha, At-Taimi, Al-Kufi, Maula Bani Tayyimullah bin Tsa’labah. Disebutkan juga bahwa beliau keturunan Persia.” (Siyar A’lamin Nubala, 6/390)

Syaikh Al-Taqi Al-Ghazi berkata, “Dialah imamnya para imam, penerang bagi umat, lautan ilmu dan keutamaan, ulamanya Iraq, ahli fiqih dunia seluruhnya, orang setelahnya menjadi lemah di hadapannya, dan yang semasanya, belum pernah mata melihat yang semisalnya, belum ada seorang mujtahid mencapai derajat seperti kesempurnaan dan keutamaannya.” (Ath-Thabaqat As-Sunniyah fi Tarajim Al-Hanafiyah, Hal. 24)

Nu’man bin Tsabit bin Zautha dijuluki Abu Hanifah karena suci dan lurus, karena sejak kecil beliau sangat sungguh-sungguh dalam beribadah, berakhlak mulia, serta menjauhi perbuatan-perbuatan dosa dan keji. Dan pemikiran fiqihnya dinamakan Madzhab Hanafi.

Cerita dimulai ketika Imam Abu Hanifah melakukan perjalanan seperti biasa dalam rangka berdakwah. Pagi itu cerah sekali namun Imam Abu Hanifah mendengar keluhan dari seorang pemuda dari kamarnya dengan jendela yang masih terbuka. Pemuda tersebut mengeluh sambil menangis tersedu-sedu. Imam Abu Hanifah sayup-sayup mendengar sumber suara tersebut.

“Aduhai, alangkah malangnya nasibku ini, sepertinya tiada seorang pun yang lebih malang dari nasibku. Sejak dari tadi belum datang sesuap makanan pun di kerongkonganku sehingga seluruh badanku menjadi lemah lunglai. Oh, manakah hati yang mau berbelas kasihan yang sudi memberi curahan air walaupun sedikit.”

Mendengar keluhan seperti ini, Imam Abu Hanifah langsung merasa iba. Ia kembali ke rumah untuk mengambil beberapa keping uang untuk diberikan kepada pemuda tersebut. Sesampainya di depan rumah, Imam Abu Hanifah langsung menaruh bungkusan yang ia bawa di depan pintu. Kemudia Imam Abu Hanifah melanjutkan perjalanannya.

Ketika ada bungkusan yang tergeletak di depan rumahnya, pemuda tersebut kaget bukan main melihatnya. Seakan-akan keluhan dan tangisannya didengarkan dan dikabulkan oleh Allah I. Pemuda tersebut bergegas membuka bungkusan tersebut yang ia tidak tahu darimana datangnya. Di dalamnya ternyata ada beberapa keping uang dan sepucuk kertas.

Kertas tersebut bertuliskan, “Hai manusia, sungguh tidak wajar kamu mengeluh sedemikian itu, kamu tidak perlu mengeluh akan nasibmu. Ingatlah kepada kemurahan Allah. Cobalah bermohon kepada-Nya dengan bersungguh-sungguh. Jangan suka berputus asa wahai kawan, akan tetapi berusahalah terus.”

Demikianlah surat yang ditulis oleh Imam Abu Hanifah. Imam Abu Hanifah menasehati pemuda tersebut dengan tetap memberinya kebutuhan selama sehari. Dengan harapan menyemangati agar pemuda tersebut mencari nafkah dengan mandiri untuk keesokan harinya.

Beberapa hari kemudian Imam Abu Hanifah melewati jalan itu lagi. Betapa terkejutnya ia sesampainya di dekat rumah pemuda itu. Ternyata pemuda itu masih mengeluh dengan suara yang bahkan lebih keras lagi.

“Ya Allah Tuhan Yang Maha Pengasih dan Pemurah, sudilah kiranya memberikan bungkusan lain seperti kemarin, sekedar untuk menyenangkan hidupku yang melarat ini. Sungguh jika Engkau tidak memberi, akan lebih sengsaralah hidupku.”

Mendengar keluhan pemuda tersebut membuat Imam Abu Hanifah putar arah dan kembali ke rumah untuk mengambil beberapa keping uang seperti kemarin. Sesampainya di dekat rumah pemuda, Imam Abu Hanifah meletakkan bungkusan tersebut di depan pintu persis seperti yang dilakukannya kemarin hari.

Melihat ada bungkusan di depan pintunya, pemuda tersebut girang segirang-girangnya. Ia menyangka bahwa do’anya didengar dan dikabulkan. Hanya dengan berdo’a dan mengeluh maka uang pun akan datang dengan sendirinya. Seperti halnya hari kemarin, pemuda itu membuka bungkusan dan melihat beberapa keping uang dan sepucuk surat.

“Hai kawan, bukan begitu caranya memohon, bukan demikian cara berikhtiar dan berusaha. Itu malas namanya. Putus asa kepada kebenaran dan kekuasaan Allah I. Sungguh Allah tidak ridho melihat orang pemalas dan suka putus asa, enggan bekerja untuk keselamatan dirinya. Jangan.. jangan berbuat demikian. Jika anda ingin senang, anda harus bekerja dan berusaha karena kesenangan itu tidak mungkin datang sendiri tanpa dicari atau diusahakan. Orang hidup tidak disuruh duduk diam dan tidak seharusnya demikian pula, akan tetapi harus bekerja dan berusaha. Allah tidak akan mengabulkan permohonan orang yang malas bekerja.”

Membaca isi surat yang cukup menohok tersebut, pemuda itu diam sejenak untuk menghela nafas, kemudian meneruskan membaca. “Oleh karena itu carilah pekerjaan yang halal untuk mencukupi kehidupanmu. Berikhtiarlah sebisa mungkin dengan tetap memohon pertolongan Allah. Insya Allah anda akan mendapat pekerjaan selama anda tidak berputus asa. Carilah segera pekerjaan, saya doakan semoga anda berhasil.”

Kalimat-kalimat terakhir dari surat itu membuat pemuda itu terdiam sesaat. Ia menyadari kesalahan apa yang ia telah lakukan. Ia selalu mengharapkan belas kasihan dan rasa iba dari orang lain untuk mencukupi kebutuhannya. Ia sadar bahwa ia malas dan suka mengeluh dan berjanji untuk berusaha mencukupi kebutuhannya secara mandiri. Keesokan harinya ia keluar dari rumah untuk mencari pekerjaan yang halal dan berkah tentunya.

Dari cerita di atas kita dapat memetik sebuah hikmah yang sangat berlian dari seorang ulama besar. Bagaimana seseorang Imam Abu Hanifah menasehati tanpa mengecilkan perasaan dan merendahkan. Sudah seharusnya seperti itulah kita sebagai saudara seiman untuk menasehati dalam kebaikan.

Al Hafizh Ibnu Rajab berkata: “Apabila para salaf hendak memberikan nasehat kepada seseorang, maka mereka menasehatinya secara rahasi. Barangsiapa yang menasehati saudaranya berduaan saja maka itulah nasehat. Dan barangsiapa yang menasehatinya di depan orang banyak maka sebenarnya dia mempermalukannya.” (Jami’ Al ‘Ulum wa Al Hikam, halaman 77)

Kajian di atas sangat relevan untuk zaman sekarang dengan kemajuan teknologi informasi dan kemudahan akses lewat peranngkat gawai. Dimana setiap orang mampu mempublikasikan segalanya yang mereka inginkan. Miris sekali penulis rasakan jika ada orang yang ingin menasehati namun lewat instagram story, status facebook, cuitan di twitter dan lain sebagainya.

Hikmah selanjutnya yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bagaimana Imam Abu Hanifah menasehati tanpa mencaci maki. Ia menasehati dengan perkataan yang sopan dan santun. Tanpa melukai perasaan sedikitpun.

Fir’aun adalah raja yang keras dan kejam. Ia tidak segan-segan menyiksa dan membunuh siapapun yang tidak menuruti perintahnya. Namun bagaimanapun juga Allah I memerintahkan Nabi Musa dan Nabi Harun untuk  menasehatinya dengan lemah lembut.

“Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas; maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (Al-Thaha:43-44)

Semoga dengan ini kita mampu menasehati saudara-saudara kita dengan menghadirkan rasa tentram dan damai. Bukan malah dengan penuh singgungan yang akhirnya malah membuat permusuhan. Wallahua’lam

 

Agung Permana Bhakti

Santri Pondok Pesantren UII

 

Mutiara Hikmah

“Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman”

(QS. Adz-Dzariyaat [51]: 55).

PEMUDA IDAMAN

Rabbmu kagum dengan pemuda yang tidak memiliki shobwah yaitu kecondongan untuk menyimpang dari kebenaran (HR. Ahmad)

 

Sebentar lagi momen ini akan tiba, dan pada tanggal 28 Oktober biasa kita peringati sebagai hari sumpah pemuda yang berisi bertumpah darah satu, yaitu tumpah darah Indonesia, berbangsa satu yaitu bangsa Indonesia dan berbahasa satu yaitu bahasa Indonesia.

Sumpah Pemuda dibacakan pada tanggal 28 Oktober 1928 bertempat di Jalan Kramat Raya nomor 106 Jakarta Pusat sekarang menjadi Museum Sumpah Pemuda, waktu itu adalah milik dari seorang Tionghoa yang bernama Sie Kong Liong. Sumpah pemuda pertama diikrarkan untuk menumbuhkan semangat perjuangan bangsa Indonesia pada waktu itu masih dijajah oleh Belanda. Perumus sumpah pemuda adalah Moh. Yamin.

Sumpah Pemuda merupakan bukti otentik bahwa pada tanggal 28 oktober 1928 proses penting menuju lahirnya bangsa Indonesia. Proses kelahiran Bangsa Indonesia ini merupakan buah dari perjuangan rakyat yang selama ratusan tahun tertindas di bawah kekuasaan kaum kolonialis pada saat itu.

Kondisi ketertindasan inilah yang kemudian mendorong para pemuda untuk membulatkan tekad demi mengangkat harkat dan martabat hidup orang Indonesia asli. Tekad inilah yang menjadi komitmen perjuangan rakyat Indonesia hingga berhasil mencapai kemerdekaannya 17 tahun kemudian yaitu pada 17 Agustus 1945.

 

Belajar dari Ashab al-Kahf

Kisah sumpah pemuda mencerminkan bahwa pemuda adalah masa di mana semangat yang tinggi, menggelora, pantang menyerah, dan tak tergoyahkan dalam menggapai sebuah harapan. Semangat inilah yang menjadi hal positif dalam diri pemuda. Di dalam al-Quran Allah  mengisahkan pemuda yang kukuh dalam keyakinannya kemudian melawan rezim kekuasaan di masa itu, sehingga mereka lari kedalam gua dan kemudian Allah  menidurkannya selama tiga ratus tahun lebih. Allah berfirman di dalam surat Al-Kahfi [18] ayat 10-12:

“(Ingatlah) tatkala para pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu mereka berdoa: “Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)”. Maka kami tutup telinga mereka beberapa tahun dalam gua itu. Kemudian kami bangunkan mereka, agar kami mengetahui manakah di antara kedua golongan itu yang lebih tepat dalam menghitung berapa lama mereka tinggal (dalam gua itu).

Mereka adalah para pengikut Isa yang melarikan diri dari kekejaman Romawi untuk mempertahankan tauhid yang mereka anut, mereka ditidurkan kurang lebih selama tiga ratus tahun dan kemudian dibangunkan kembali untuk membuktikan kekuasaan Allah I dalam membangkitkan manusia pada hari kiamat kelak.

Dalam tafsir Al-Misbah, kata fityah adalah bentuk jamak dari fata yang artinya remaja. Kata ini bukan saja mengisyaratkan kelemahan mereka dari segi fisik dan jumlah yang sedikit, tetapi juga usia yang belum berpengalaman. Namun demikian, keimanan dan idealisme pemuda itu meresap dalam benak dan jiwa, sehingga mereka rela meninggalkan kediaman mereka untuk mempertahankan idealisme yang ada dalam dirinya. Idealisme anak muda memang seringkali mengalahkan kebijaksanaan dan pengalaman orang tua, itulah kenapa Nabi Muhamad r mengingatkan agar memberi perhatian kepada para pemuda.

 

Belajar dari Nabi Ibrahim AS.

Selain kisah dari ashab al-Kahfi ada juga kisah dari Nabi Ibrahim As. Menurut al-Biqa’i kedudukan Nabi Ibrahim As adalah sebagai pengumandang tauhid, melalui pengalaman ruhaninya. Ia menemukan tuhan yang maha esa dan meyakininya, bahwa dia bukan tuhan suku, atau tuhan masa tertentu, tetapi tuhan seluruh alam. Sehingga Nabi Ibrahim As wajar menyandang gelar pengumandang ketuhanan yang Maha Esa.

Nabi Ibrahim datang dengan memperkenalkan Tuhannya sebagi Tuhan seluruh makhluk yang menyertai mereka dalam keadaan sadar maupun tidur, menyertai mereka bukan hanya dalam kehidupan dunia ini tapi berlanjut hingga hari kemudian.

Nabi Ibrahim u lahir di daerah Babyl, ayahnya bernama Azar. Ayahnya sangat dicintai oleh Raja Namrud, karena ia sangat pandai mambuat patung berhala dan patuh kepada Raja Namrud. Walaupun Ibrahim  anak seorang pembuat berhala, tapi tidak lantas mengikuti ayahnya. Allah memberikan hidayah kepada Nabi Ibrahim As untuk tidak menyembah berhala dan menolak ajaran sang ayah. Nabi Ibrahim As ketika remaja, ia sudah berpikir tentang adanya alam ini. Apa yang terlihat matanya seperti bintang, rembulan, matahari, dan lain-lain kemudian ia timbang-timbang siapakah mereka itu semua.

Nabi Ibrahim As heran melihat arca yang disembah padahal tidak bisa bergerak tidak bisa mendegar. Tidak bisa menjawab terhadap apa yang dimintakan oleh yang menyembahnya, serta tidak mendatangkan kemadharatan dan mendatangkan manfaat bagi yang menyembahnya. Kemudian Nabi Ibrahim  bertanya kepada ayahnya. “Kenapa patung itu disembah?” Ayahnya menjawab “Ini sudah mejadi sesembahan nenek moyang kita dan sudah menjadi warisan turun temurun”. Allah berfirman dalam Surat al-Anbiya : 52-54

“(ingatlah), ketika Ibrahim Berkata kepada bapaknya dan kaumnya: “Patung-patung apakah Ini yang kamu tekun beribadat kepadanya?”. Mereka menjawab: “Kami mendapati bapak-bapak kami menyembahnya”. Ibrahim berkata: “Sesungguhnya kamu dan bapak-bapakmu berada dalam kesesatan yang nyata”.

Nabi Ibrahim As memiliki rencana untuk menghancurkan berhala-berhala yang disembah oleh Kaum Namrud. Ketika Raja Namrud beserta kaumnya mengadakan upacara, tempat menyembah berhala itu sepi, maka Nabi Ibrahim As menjalankan rencananya untuk memenghancurkan patung patung tersebut. Nabi Ibrahim As menghancurkan berhala-berhala, dan yang disisakan hanya satu yang besar kemudian kapak yang dipakai oleh Nabi Ibrahim As di kalungkan di leher patung yang besar itu.

Beberapa saat kemudian  Raja Namrud dan para pengikutnya menemukan berhala-berhala itu telah hancur maka pelakunya sudah jelas yaitu Ibrahim . Dipanggilah Nabi Ibrahim, di sana Nabi Ibrahim berdebat dengan kaum Namrud, ia berusaha melawan kaum Namrud dengan kebodohan mereka sendiri. Al-Quran mengabadikan percakapan Nabi Ibrahim dengan Kaum Namrud dalam surat al-Anbiya [21] ayat 61-63.

Mereka bertanya: “Apakah kamu, yang melakukan perbuatan Ini terhadap tuhan-tuhan kami, Hai Ibrahim?” Ibrahim menjawab: “Sebenarnya patung yang besar Itulah yang melakukannya, Maka tanyakanlah kepada berhala itu, jika mereka dapat berbicara”. Maka mereka Telah kembali kepada kesadaran dan lalu berkata: “Sesungguhnya kamu sekalian adalah orang-orang yang menganiaya (diri sendiri)“.

Karena mereka marah terhadap Ibrahim maka akhirnya kemudian Kaum Namrud menyediakan kayu bakar untuk membakar Nabi Ibrahim, yang telah menghancurkan sesembahan mereka. Akhirnya pertolongan Allah pun datang, dan memberikan mukjizatnya kepada Nabi Ibrahim. Api yang sifatnya panas, dan dapat membakar, ternyata tidak melukai tubuh Nabi Ibrahim sedikitpun. Berkat idealisme Nabi Ibrahim sewaktu muda, tidak mau menyembah sesembahan yang telah turun-temurun, mengantarkan nabi Ibrahim menemukan tuhan yang sebenarnya, diselamatkan oleh Allah dari kekejaman kaumnya dan mendapat gelar khalilullah (kekasih Allah).

 

Penutup

Kisah para pemuda di atas, memberikan gambaran yang nyata kepada kita, bahwa idealisme yang dimilki oleh para pemuda merupakan idealisme yang tinggi dan mampu mengalahkan kebijaksanaan orang tua. Kemerdekaan Indonesia ini tak lain adalah buah dari idealisme para pemuda yang mendesak Presiden Sukarno untuk segera mengumumkan kemerdekaan dengan dasar Jepang sudah mundur dan mengaku menyerah. Momen ini dianggap tepat oleh para pemuda untuk segera mengambil alih (untuk merdeka).

Lalu, dua kisah yang ada di dalam al-Quran merupakan hikmah yang harus kita ambil dengan sebaik-baiknya. Para pemuda yang ditolong oleh Allah  dan ditidurkannya selama tiga ratus tahun lebih merupakan keteguhan para pemuda dalam memegang ketauhidannya. Begitupula dengan kisah Nabi Ibrahim As yang dengan keingin tahuannya yang tinggi ia berusaha untuk mencari kebenaran yang sebenar-benarnya. Akibat mempertahankan keyakinannya inilah ia dibakar oleh Kaum Namrud, dan seketika itu pula pertolongan Allah u datang.

Terakhir, pemuda adalah pejuang masa depan, yang di tangannya ada harapan baru dan semangat baru yang mampu melahirkan pemimpin-pemimpin yang baru pula. Mudah-mudahan negeri ini memperoleh generasi baru yang mampu memberikan kedamaian dan kesejahteraan, serta menjadi pelindung bagi semua makhluk di era disruptif ini. Harapan terkhusus, yaitu agar pemuda yang menjadi tumpuan masa depan, mampu memberikan dampak yang positif bagi keberlangsungan Negara Indonesia tercinta ini.

 

Pandu Wiranta

Mahasiswa Kimia dan Santri PONPES UII

PENTINGNYA MENDAMAIKAN ORANG YANG BERSELISIH

Seorang manusia mempunyai emosi di dalam dirinya. Kadangkala bisa meluapkan amarah, kekecewaan, dan kesedihan. Emosi yang ada dalam diri manusia dapat menyebabkan konflik karena beberapa alasan. Misalnya tawuran yang terjadi oleh para siswa antar sekolah, bisa saja tawuran timbul karena teman satu sekolah tidak terima diejek atau dipukul dan sebagainya. Semakin lama banyak yang ikutan membela temannya yang akhirnya terjadi tawuran. Timbulnya suatu konflik bisa mengarah kepada kekerasan seperti contoh tawuran. Untuk mencegah konflik yang bisa berakibat pada kekerasan, diperlukan rasa saling menerima keberadaan masing-masing individu maupun kelompok yang bertikai. Salah satu cara untuk mendorong perdamaian, diperlukan pihak ketiga sebagai pihak untuk mendamaikan dua pihak yang berselisih.

Dari Abu Hurairah dia berkata: Rasulullah  bersabda : “Janganlah kalian saling dengki, saling menipu, saling marah dan saling memutuskan hubungan. Dan janganlah kalian menjual sesuatu yang telah dijual kepada orang lain. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lainnya, (dia) tidak menzaliminya dan mengabaikannya, tidak mendustakannya dan tidak menghinanya. Taqwa itu disini (seraya menunjuk dadanya sebanyak tiga kali). Cukuplah seorang muslim dikatakan buruk jika dia menghina saudaranya yang muslim. Setiap muslim atas muslim yang lain; haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya”.(HR. Muslim)

Nabi Muhammad  sebelum menjadi Rasulullah , telah  memiliki sifat-sifat yang mulia. Sifat-sifat yang ada pada Nabi Muhammad  antara lain rajin, jujur, dan dapat dipercaya. Sebelum diangkat menjadi Rasulullah, pernah terjadi pertikaian pada kaum Quraisy saat itu. Berawal dari kegiatan merenovasi bangunan Ka’bah akibat banjir yang telah melanda kota Mekkah. Pada tahap peletakkan Hajar Aswad, mulailah perselisihan para tokoh kaum Quraisy. Masalah yang timbul adalah siapakah yang pantas dalam meletakkan Hajar Aswad tersebut. Kaum Quraisy terdiri dari beberapa kelompok (bani). Masing-masing kelompok mengajukan bahwa pemimpin kelompok mereka yang pantas meletakkan Hajar Aswad. Tidak menemukan jalan keluar, mereka akhirnya sepakat bahwa barang siapa yang datang paling lewat pintu maka dialah yang pantas meletakkan Hajar Aswad di tempatnya (Al-Mubarakfur, 2015).

Seseorang yang pertama kali masuk adalah Rasulullah . Mereka menjelaskan kepada Rasulullah  mengenai kondisi yang mereka hadapi. Rasulullah  diminta untuk mencari solusi untuk menyelesaikan pertikaian ini. Dia akhirnya meminta sebuah selendang kain. Kemudian para pemuka yang telah berselisih diminta untuk memegang ujung-ujung selendang, Rasulullah  meletakkan hajar aswad di tengah-tengah selendang. Para pemuka membawa Hajar Aswad dengan selendang yang dipegang pada ujung-ujung selendang. Mereka bersama-sama mengangkat dan membawanya ke tempat batu yang akan diletakkan. Ketika sudah mendekati tempat yang akan diletakkan, Rasulullah  mengambil hajar aswad dan meletakkan ke tempat yang ditujukan.

Cara ini merupakan solusi yang paling tepat untuk para pemuka yang berselisih. Alasannya ialah semua pemuka merasakan bahwa mereka ikut terlibat dalam peletakkan Hajar Aswad. Walaupun mereka bukan yang meletakkan batunya, namun dengan memegang ujung selendang, mereka sudah merasa ikut meletakkan. Selain itu sejak awal Rasulullah tidak mencari siapa yang paling berhak, tapi bagaimana semua ini terlibat. Ini menjadi pembelajaran bagi kita bahwa ketika ada orang yang berselisih tidak memihak salah satu.

Kita sebagai seorang muslim mempunyai kewajiban dalam mendamaikan bagi yang bertikai. Apabila yang bertikai tidak mau saling mengalah, dikhawatirkan akan membawa dampak buruk bagi perpecahan umat Islam. Silaturahim akan hancur dan akan saling membenci.

Berikut adalah ayat-ayat tentang mendamaikan orang yang berselisih, “Dan apabila ada dua golongan orang Mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya.” (Q.S.Al-Hujurat[49]:9). Dalam ayat yang lain Allah  berfirman, “Maka bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesamamu.” (Q.S.Al-Anfal[8]:1)

Kadangkala kita merasa takut dalam mendamaikan perselisihan. Kita khawatir apabila ikut campur dalam perselisihan, masalah akan timbul lebih parah. Padahal tidak demikian. Justru dalam perselisihan diperlukan orang ke tiga untuk mendamaikan. Allah menekankan kepada hambanya untuk selalu peduli. Masalah hasil, Allah tidak melihat keberhasilan tapi melihat usaha kita. Selama kita berusaha, Allah juga akan menolong hambanya.

Kita mungkin bisa melakukan ibadah dengan rajin dan melaksanakannya dengan baik, namun bila kita tidak peduli apa yang ada di lingkungan kita apalah artinya ibadah. Di luar sana banyak orang yang saling bertikai secara terbuka maupun tertutup. Apabila kita sebagai seorang muslim tidak bertindak maka cepat atau lambat perpecahan umat Islam akan terjadi.

Di era sekarang kita telah melihat dengan sendirinya bahwa telah terjadi perpecahan di dalam masyarakat. Tidak hanya sedikit orang, banyak malahan. Banyaknya perselisihan yang tak kunjung selesai menjadi sebuah pertanyaan bagi kita sendiri. Jangan-jangan kitalah yang selama ini diam hanya menyaksikan pertikaian? Atau malah kita menikmati pertikaian sebagai hiburan semata?

Pengalaman tercerai berainya umat Islam sebenarnya pernah terjadi di masa kehancuran Bani Abbasiyah. Terjadinya kemunduran tidak lain merupakan akibat dari  pertikaian yang tidak kunjung selesai. Tidak bersatunya umat Islam mengakibatkan Bani Abbasiyah sudah tidak memiliki kekuatan untuk melawan pasukan Mongol atau Tartar. Hanya dalam 40 hari, dinasti yang sudah ada selama 500 tahun lebih terpaksa lenyap. Detik-detik keruntuhan Bani Abbasiyah merupakan hal yang paling menyakitkan pada masa itu. Untuk pertama kalinya umat Islam tidak merasakan kepemimpinan khalifah, sebelum masuk ke era Turki Usmani.

Inilah pentingnya kita menjaga perdamaian antar sesama muslim. Selama pertikaian terus dibiarkan, keruntuhan umat Islam akan datang. Janganlah saling membenci, bila sedang marah kepada saudaramu maka tahanlah. Selalu jaga emosi, bila ingin mengingatkan teman yang salah maka ungkapkan dengan baik-baik.

Ingatlah selalu kepada ajaran Rasulullah  yang senantiasa untuk sabar. Rasulullah  sebagai panutan kita, maka kita harus mengikutinya. Karena beliau adalah sebaik-baik manusia, bukankan manusia terbaiklah yang pantas kita ikuti? Seperti yang sudah dicontohkan di atas bagaimana Rasulullah menghentikan pertikaian kaum Quraisy dengan caranya. Ingatlah pengalaman umat Islam bagaimana hancurnya persatuan mereka akibat pertikaian yang berujung pada keruntuhan Bani Abbasiyah.

 

Sepotong Kisah Perselisihan Setelah Rasulullah  Wafat

Ketika Rasulullah  meninggal, banyak sahabat yang sedih. Rasulullah  yang selama ini selalu membimbing umat ke jalan yang lurus akhirnya meninggal dunia. Ia adalah manusia terbaik, selalu tersenyum bila bertemu dengan orang lain. Orang yang melihat Rasulullah  hatinya menjadi sejuk. Rasulullah  juga manusia dan setiap manusia pasti akan mengalami kematian.

Setelah meninggalnya Rasulullah , para sahabat dari kaum anshar dan muhajirin berkumpul untuk membahas siapa yang paling pantas untuk menggantikan Rasulullah  yaitu khalifah. Pemimpin adalah hal yang paling penting dalam mengarahkan umat ke jalan yang lurus. Tanpa ada pemimpin, mustahil umat bisa tetap di jalan yang lurus.

Saqifah Bani Saidah menjadi tempat untuk pertemuan para pemuka kelompok Anshar dan Muhajirin dalam memilih khalifah. Mereka saling mengangkat calon pemimpin dari kelompoknya masing-masing. Kaum Anshar angkat bicara, mereka mengatakan bahwa kaum Anshar adalah para penolong Allah dan sebgaia pionirnya. Mereka khawatir kaum Muhajirin akan mendominasi dalam kekuasaan.

Awalnya Umar bin Khattab dan Abu Ubaidah merupakan dua orang yang diusulkan oleh Abu Bakar untuk dipilih menjadi khalifah.  Keributan terjadi dan semua yang berada di tempat itu saling angkat bicara. Ini adalah masalah yang rumit dalam memilih khalifah. Umar yang melihat keributan itu kemudian mengangkat tangan Abu Bakar dan membai’atnya sebagai khalifah. Bai’at Umar sebagai usulan Abu Bakar untuk dijadikan khalifah. Abu Bakar merupakan sahabat Rasulullah  yang paling hebat. Ketika Rasulullah  menyebarkan ajaran Islam, Abu Bakar langsung menerima. Selain itu, Abu Bakar merupakan orang yang ditunjuk untuk menggantikan imam ketika Rasulullah  sakit. Setelah Umar berbai’at, kaum Muhajirin ikut membai’at kemudian kaum Anshar juga ikut membai’at.

Apa yang menjadi pelajaran dari kisah pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah ini adalah bahwa permasalahan apapun tidak boleh terjadi perpecahan umat. Kita harus peka terhadap lingkungan yang bisa memecah belah persatuan dan mencegahnya. Mari kita ambil contoh bagaimana Umar bin khattab yang berhasil mencegah perpecahan di antara para umat muslim.

Semoga tulisan ini bisa memotivasi kawan-kawan dalam menambah wawasan terkait pentingnya arti perdamaian dan betapa buruknya perselisihan yang mengakibatkan perpecahan. Mari kita buka lagi sejarah dan cerita Rasulullah dan para sahabatnya dalam menangani perselisihan. Kalau tidak belajar dari mereka lantas siapa lagi? karena mereka adalah orang-orang terbaik.

 

 

Muhammad Nafiuddin Fadly

Mhs. Hubungan Internasional/2015

Universitas Islam Indonesia

 

 

Mutiara Hikmah:

Maukah aku beritahukan kepadamu perkara yang lebih utama daripada puasa, shalat dan sedekah? Para sahabat menjawab, “Tentu wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Yaitu mendamaikan perselisihan diantara kamu, karena rusaknya perdamaian diantara kamu adalah pencukur (perusak agama)”. (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)

MENUMBUHKAN KEBAIKAN SOSIAL

 

وَمِنۡهُم مَّن يَقُولُ رَبَّنَآ ءَاتِنَا فِي ٱلدُّنۡيَا حَسَنَةٗ وَفِي ٱلۡأٓخِرَةِ حَسَنَةٗ وَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ٢٠١

“Dan di antara mereka ada yang berdoa, “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari azab neraka.”

(Q.S Al Baqarah [2] : 201)

 

Salah satu tujuan Allah  menurunkan para nabi ke muka bumi ini, adalah sebagai tauladan kebaikan bagi kita umat Islam, dan tentunya kita dapat mengambil hikmah dan pelajaran berharga dari kisah-kisah tersebut. Seperti halnya kesabaran nabi Yusuf dalam menerima ujian berupa permusuhan dari saudara-saudaranya hingga akhirnya beliau harus menerima keadaan terpisah dari keluarganya tercinta. Namun dengan keikhlasannya Allah  yang maha kuasa mengganti ujian tersebut dengan memberikan jabatan terbaik di negeri yang Allah  kehendaki.

Begitu juga dengan nabi-nabi yang lain, mereka diutus ke muka bumi ini tidak lain dan tidak bukan adalah untuk memberikan peringatan dan pelajaran yang sangat berharga bagi umat-umatnya. Dalam kacamata Islam, agama merupakan sumber yang penuh dengan keutamaan dan kemuliaan. Maka dasar-dasar pendidikan yang terkandung di dalamnya merupakan pendidikan tentang norma dan akhlak yang tinggi bagi mereka yang menjalani peran terbaik dalam kehidupan ini.

Oleh sebab itulah seorang muslim yang sejati hatinya dan indah pandangannya, serta sadar kepada indahnya ciptaan Allah  di alam semesta ini, mereka adalah yang orang senantiasa mengingat akan kebesaran-kebesaran-Nya seraya berkata: “Ya Tuhan kami, tiadalah engkau ciptakan ini dengan sia-sia.  Maha suci engkau, maka peliharalah kami dari siksa api neraka. (Q.S Ali Imran [3] :190)

Setidaknya ada beberapa perilaku atau tauladan yang baik yang dapat kita jadikan pondasi awal dalam menumbuhkan kebaikan sosial. Karena dengan menumbuhkan kebaikan sosial ini, akan tumbuh kebaikan-kebaikan lainnya sehingga dapat mengantarkan generasi yang selalu membawa manfaat yang banyak.

Pertama adalah selalu menolong orang lain baik tetangga, teman atau kerabat kita yang dalam kesulitan dalam bidang ilmu, kehidupan, ekonomi maupun dalam hal yang lain. Menolong orang lain dalam kebaikan merupakan perkara yang sangat di sukai oleh Allah , karena bisa jadi dengan pertolongan yang kita berikan, pertolongan tersebut dapat menjadi wasilah atau jalan kebaikan baik untuk kita maupun bagi mereka yang membutuhkan.

Sebagaimana halnya nabi Musa dalam memberikan pertolongan kepada salah seorang pengembala yang belum pernah ia kenal sebelumnya. Maka dari kebaikan itu beliau dapat memetik hasilnya dengan mendapatkan hidangan terbaik dari keluarga pengembala tersebut.

Maka sudah sepantasnya kita dapat mengamalkan perbuatan yang telah di contohkan oleh nabi Musa dalam memberikan pertolongan kepada siapapun. Oleh sebab itulah hal yang utama kita perhatikan dalam menumbuhkan kebaikan sosial adalah melihat dan mengamati lingkungan yang ada di sekitar kita.

Banyak kita temui di sekitar lingkungan tempat tinggal kita, baik tetangga atau kerabat kita yang belum mengenal huruf al-Qur’an sehingga mereka enggan dalam melakukan ibadah yang lain karena malu akan keilmuan yang mereka miliki belum sempurna.

Sudah sepantasnya kita sebagai muslim yang baik akan rela mengajarkan ilmu al-Qur’an ini dengan sebaik-baiknya sebagai salah satu kebaikan sosial yang dapat kita petik pahalanya di akhirat nanti dari setiap huruf yang mereka baca.

Kedua adalah selalu memberikan komentar kebaikan dalam menasehati dengan hikmah atas sikap dan perilaku orang lain yang berbuat salah atau tidak sesuai dengan syariat Islam. Komentar yang baik sangat penting kita lakukan di era digital nan percepatan informasi ini, bagaimana tidak, banyak orang-orang yang mengunggah foto maupun video yang kurang baik dari kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan. Maka sudah menjadi peran kita sebagai seorang muslim untuk selalu menasehati saudara muslim yang lain.

Oleh sebab itulah dengan memberikan komentar yang baik, maka komentar dan nasihat yang baik ini akan menjadi do’a kebaikan bagi mereka yang senantiasa kembali kejalan yang benar. Sehinggga mereka yang melakukan perbuatan tersebut akan sadar bahwa perbuatanya adalah sesuatu yang tidak benar.

Masih ingatkah kita kisah salah seorang imam Masjidil Harom yang dalam masa kecilnya selalu membuat orang tua dan keluarganya menjadi kesal terhadap tingkah laku dan perbuatannya. Namun dengan kebijakan dan kerendahan hati sang ibu yang senantiasa mendoakan kebaikan untuk anak-anaknya maka ketika anak ini menjadi dewasa, ia menjadi salah satu imam terbaik yang senantiasa menjadi seorang imam yang di kagumi. Iya, dia adalah imam As-Sudais, yang saat ini selalu menjadi rujukan imam-imam masjid yang ada di negara kita maupun negara Islam lainnya.

Bukankah komentar adalah sebuah kata-kata yang dapat menjadikan pelakunya menjadi apa yang kita lontarkan. Maka sudah sebaiknya komentar kebaikan selalu menjadi sebuah senjata bagi kita untuk selalu menyampaikan kepada siapapun.

Ketiga adalah selalu mendoakan kebaikan-kebaikan kepada siapapun dan kapanpun terhadap perilaku sosial masyarakat yang belum ada kebaikannya atau terhadap orang yang tidak baik kepada kita, sebagaimana halnya Rasulullah  yang mendo’akan orang-orang di kota Thoif pada masa itu, yang telah melempari beliau dengan batu saat beliau mengajak kepada kebaikan. Bahkan atas perbuatan mereka Rasulullah  mendapatkan luka yang tak ringan.

Namun, melalui peristiwa itu, tidak pernah terbesit dalam hatinya untuk membalas keburukan yang mereka lakukan bahkan beliau senantiasa berdo’a kepada Allah  akan kebaikan untuk anak cucu dan keturunan bangsa Thoif pada waktu. Terbukti dari do’a baginda Nabi Muhammad  itu, kini daerah Thoif merupakan daerah yang sejuk dan banyak pepohonan yang tumbuh bersemi serta berbagai buah dihasilkan dari daerah tersebut bahkan menjadi salah satu tujuan destinasi wisata orang yang beribadah umroh maupun haji.

Keempat adalah selalu menyambung tali persaudaraan antar muslim. Islam mengajarkan kepada kita untuk menjaga kedamaian dan ketentraman dimanapun kita berada. Oleh sebab itulah seorang muslim yang akan menumbuhkan kebaikan sosial maka ia senantiasa menjaga tali persaudaraan dengan siapapun, baik dengan teman akrab, kerabat, dan orang-orang yang belum ia kenal sebelumnya.

Islah atau perdamaian adalah salah satu sifat terpuji yang patut kita jadikan pedoman dalam hidup ini. Bagaimana tidak, kebaikan seorang muslim dalam mendamaikan orang lain adalah sebuah bentuk perjuangan yang membutuhkan strategi yang jitu. Sebagaimana halnya Rasulullah  dalam mendamaikan orang-orang Madinah pada masa itu, sehingga mereka menjadi sahabat nabi yang terbaik bagi kaum muslimin hingga saat ini. Oleh sebab itulah menumbuhkan kebaikan sosial akan menjadi salah satu alternatif kita dalam mencapai negara muslim yang diimpikan oleh setiap generasi.

Orang-orang yang selalu berusaha menumbuhkan kebaikan sosial, maka ia akan mendapatkan hasil terbaiknya dari setiap bibit-bibit kebaikan yang ia tanam hingga akhirnya ia dapat menuai hasil kebaikannya baik di dunia maupun di akhirat

Bukankah kita sering mendengar dalam sebuah hadis dari Anas bin Malik Radhiallahuanhu berkata, Rasulullah  bersabda, “Jika Allah menghendaki kebaikan seorang hamba, maka ia memaafkan-Nya, “lalu dikatakan, “Bagaimana Ia Memanfaatkanya?” Beliau menjawab, “Allah memberi taufiq keanya uutuk beramal shalih sebelum ia wafat.” (Riwayat Ahmad dan Tirmidzi, dihasankan oleh Albani)

Pada hakikatnya menumbuhkan kebaikan sosial bukanlah untuk orang lain, melainkan untuk diri kita sendiri, masih ingatkah kita akan hadis nabi yang menjelaskan tentang tiga perkara yang akan menemani kita setelah kematian, salah satunya adalah amal jariyah. Amal jaiyah ini dapat berupa harta atau materi serta ilmu pengetahuan yang kita berikan kepada orang lain sehingga bermanfaat dan mereka senantiasa memanfaatkanya.

Bukankah dalam al-Quran Allah  memberikan penjelasan tentang salah satu tujuan  manusia diciptakan adalah untuk menguji sejauh mana amal perbuatannya di muka bumi ini, (Al-Mulk [67] : 1-2). Maka dari itu untuk menumbuhkan kebaikan sosial, sudah sepantasnya kita berharap hanya kepada sang maha pencipta alam raya ini, dengan memohon keridhaan-Nya untuk selalu dapat melakukan kebaikan-kebaikan bagi siapapun dan kapanpun.

Seorang muslim yang sadar akan kebesaran Allah  maka dia senantiasa bersyukur akan nikmat-nikmat yang telah diberikan-Nya dan selalu melakukan yang terbaik pada setiap langkahnya.

Maka marilah kita senantisa meminta pertolongan kepada Allah yang Maha baik dan selalu menerima kebaikan, “Ya Allah jadikanlah kami dan anak cucu kami menjadi sumber kebaikan bagi siapapun, dan terimalah amal kami. Ya Allah mudahkanlah kami dalam melakukan kebaikan dimanapun dan kapanpun sehingga kebaikan itu dapat menjadi penghalang kami dari api neraka dan dengan kebaikan itu dapat membimbing kami ke syurga”. Aamiin.

 

Romi Padli, SEI., ME

Alumni Magister Studi Islam

Universitas Islam Indonesia

 

 

 

 

Mutiara Hikmah:

“Barangsiapa yang menyeru kepada kebaikan, maka dia mendapatkan pahala seperti pahala orang-orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa yang menyeru kepada kesesatan, maka baginya dosa seperti dosa orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikit pun.” (HR. Muslim)

 

 

MENGGAPAI CITA-CITA YANG MEMBAWA BERKAH

Setiap manusia menginginkan untuk menjadi lebih baik dan memiliki sesuatu yang baik adalah fitrah yang diberikan Allah Swt kepada manusia. Setiap hal yang diinginkan pasti akan terpintas di dalam pikiran manusia, akan tetapi kita harus ingat bahwa keinginan tersebut jangan sampai hanya membuat kita berangan-angan bahkan membuang-buang waktu. Dalam surah an-nisâ’ ayat 119 dituliskan bahwa setan berjanji kepada Allah Swt untuk terus menggoda manusia, salah satunya dengan membuat mereka berangan-angan kosong sehingga manusia lalai terhadap perintah Allah Swt . Berangan-angan hanya akan membuang waktu dan hal tersebut merupakan salah satu bentuk godaan setan untuk menyesatkan manusia, oleh karena itu hendaknya kita segera memohon ampun ketika terjebak dalam angan-angan kosong tersebut.

Lalu, jika tidak boleh berangan-angan lantas apakah kita tidak boleh bercita-cita? Tentu saja tidak demikian, karena berangan-angan atau berkhayal berbeda dengan bercita-cita. Cita-cita  adalah hal yang dimiliki oleh semua orang, terutama orang-orang yang memiliki pandangan hidup kedepan, karena dengan cita-cita seseorang akan merasa termotivasi dan memiliki harapan untuk memiliki hidup yang lebih baik. Cita-cita membuat kita melihat kedepan dan merencanakan sesuatu, yang berarti kita melakukan ikhtiar ataupun usaha agar kita dapat mencapai keinginan tersebut. Apa saja yang bisa kita lakukan sebagai orang yang beriman untuk menggapai cita-cita yang diridhai-Nya?

 

  1. Membuat Rencana dan Menyerahkan Segala Sesuatu Kepada Allah.

Rencana adalah salah satu hal terpenting dalam hidup, orang yang tidak memiliki rencana dapat diibaratkan seperti air yang hanya mengikuti arus, sehingga mudah terombang-ambing dan tak tentu arah. Membuat suatu perencanaan merupakan langkah awal untuk mewujudkan keinginan atau cita-cita, rencana akan membuat kita mengerti langkah apa yang harus kita ambil sepanjang perjalanan berikhtiar.

Berencana adalah tugas manusia sebagai bentuk usaha yang harus dilakukan, namun orang yang beriman tidak hanya sekedar berencana akan tetapi kita perlu menyerahkan segala sesuatu kepada Allah  atau dengan kata lain kita percaya bahwa Allah melihat setiap usaha kita dan pasti memberikan jalan dan hasil yang terbaik, dengan demikian kita telah meningkatkan ketaqwaan kita kepada Allah  dengan terus berusaha dan menyerahkan segala sesuatu kepada-Nya.

 

  1. Meluruskan dan Memperbaharui Niat.

Sebagai orang yang beriman kita perlu memiliki visi tersendiri yang menjadi pembeda dengan orang-orang yang tidak beriman kepada Allah Swt . Semua orang mengharapkan kehidupan yang baik di dunia melalui cita-cita dan target yang mereka usahakan, akan tetapi orang yang beriman punya nilai tersendiri dalam mengupayakan keinginannya dibandingkan dengan mereka yang tidak beriman. Nilai tersebut terletak pada niat yang dimiliki, orang yang beriman memiliki visi yang lebih tinggi yaitu merasakan kebaikan di dunia hingga di akhirat nanti, oleh karena itu apapun keinginan dan cita-cita yang kita inginkan harus dilandasi oleh niat karena Allah  terlebih dahulu. Niat akan menjadi faktor yang sangat menentukan, jika niat kita sudah dibenahi maka kebaikan yang akan kita dapatkan tidak hanya sampai di dunia saja akan tetapi dapat kita rasakan hingga di akhirat kelak.

Dari Umar, bahwa Rasulullah ` bersabda, “Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya itu sesuai ke mana ia hijrah.” (H.R. Bukhari, dan Muslim)

Hadits tersebut menunjukkan bahwa apa yang akan kita dapatkan sesuai dengan niat yang kita miliki. Ketika niat kita hanya sebatas menjadi sukses di dunia tanpa melibatkan Allah, maka kenikmatan yang akan kita dapatkan hanya sebatas usia kita di dunia, dan ajal akan datang kapan saja tidak peduli orang tersebut sudah merasakan nikmat dari kesuksesannya atau bahkan masih bersusah payah menitih kesuksesan tersebut. Kita tidak ingin menjadi orang yang merugi di akhirat kelak karena lalai dengan kesenangan duniawi, sehingga setiap kebaikan yang kita raih di dunia ini perlu kita usahakan untuk menjadi penyebab ridha Allah dan memberikan kebaikan di akhirat kelak.

 

  1. Menyadari Dunia dan Isinya Bersifat Sementara.

Orang yang beriman memiliki kesadaran bahwa segala sesuatu yang dimiliki di dunia ini akan ditinggalkan setelah kematian menjemput. Bahkan orang terkaya di dunia pada akhirnya akan mati dan semua harta kekayaan yang dimiliki tidak berarti lagi bagi jasadnya. Tidak menutup kemungkinan bahwa manusia yang ada di muka bumi memiliki cita-cita tertentu seperti ingin membeli kendaraan dan rumah yang bagus, ingin memiliki usaha yang sukses atau ingin melanjutkan studi ke tingkat yang lebih tinggi. Semua contoh tadi bisa jadi adalah parameter kesuksesan dalam sebuah kehidupan yang sifatnya hanya sementara, namun tidak ada salahnya jika seseorang menginginkan kehidupan yang baik di dunia dengan syarat tetap berprinsip pada ketentuan Allah  seperti firman-Nya dalam surah  al-Qashash ayat 77 yang artinya, “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan“.(Q.S. al-Qashash [28]: 77)

Ayat ini mengingatkan kita untuk tetap menjadikan akhirat sebagai tujuan utama karena kita diciptakan hanya untuk beribadah kepada Allah, namun di sisi lain kita juga perlu memperhatikan kualitas hidup selama di dunia. Orang yang beriman akan memanfaatkan kebaikan di dunia untuk memperoleh kebaikan di akhirat. Kita bisa membuat hal-hal itu terus memberikan kebaikan meskipun setelah pemiliknya meninggal dunia, yakni dengan kembali meniatkan semuanya sebagai bentuk ibadah dan ketaatan kepada Allah  serta memanfaatkan segala apa yang kita peroleh untuk menolong agama Allah.

 

  1. Meminta Doa dari Kedua Orang

Orang tua adalah orang terdekat dan orang yang paling pantas untuk kita hormati, terutama seorang ibu. Keridhaan Allah  juga tidak akan terlepas dari keridhaan orangtua, sehingga sudah sepatutnya kita selalu menjalin komunikasi dan memberi tahu kedua orang tua kita megenai hal-hal yang akan kita rencanakan dan usahakan untuk kedepannya. Doa dari orang tua adalah salah satu kunci keberhasilan seseorang, oleh karena itu jangan pernah berjalan sendirian dan melupakan jasa-jasa mereka. Jika kita menanyakan balasan apa yang ingin mereka peroleh dari segala upaya dan jerih payah mereka selama mengurus dan membesarkan kita, maka mereka tidak akan menjawab untuk diberikan materi dan lain sebagainya, namun hal yang sangat mereka inginkan adalah anak yang dibesarkan bisa menjadi orang yang sukses dan bermanfaat bagi orang banyak serta menjadi anak yang dapat menambah timbangan kebaikan dan menyelamatkan mereka di akhirat nanti.

Memiliki berbagai cita-cita adalah cerminan seseorang yang memiliki pandangan hidup kedepan dan punya keinginan untuk menjadi lebih baik, sebagai makhuk yang diciptakan oleh Allah sudah selayaknya kita menyerahkan segala bentuk usaha kita kepada Allah  dan meniatkan semua hal yang kita lakukan di jalan yang benar dan hanya karena Allah . Dengan demikian seseorang tidak hanya akan memperoleh kesuksesan di dunia, namun juga akan memperoleh kehidupan yang baik di akhirat kelak.Wallâhu a’lam.[]

 

Inesya R. N.

NIM: 15613187

Mahasiswa Prodi Farmasi, FMIPA UII

 

Mutiara Hikmah

 

Nabi ` bersabda,

 

كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ

Allah telah mencatat takdir setiap makhluk sebelum 50.000 tahun sebelum penciptaan langit dan bumi.” (H.R. Muslim no. 2653, dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Ash ‘Ash)

 

SENANTIASA DIRINDUKAN

Adakah orang yang tidak merindukan surga? Tentu tidak ada orang yang tidak merindukan surga, semua orang merindukan surga, baik muslim maupun non muslim. Namun, surga hanya berhak ditempati oleh orang-orang muslim (baca: beriman), Allah Swt berfirman yang artinya,  “Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk. Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi Rabb mereka ialah surga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Rabbnya.” (Q.S. al-Bayyinah [98]: 6-8).

 

Apa Sebenarnya Surga Itu?

Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengimani keberadaan surga dan neraka. Secara bahasa, surga berarti taman yang banyak pohonnya, adapun merurut istilah berarti kampung akhirat yang dipersiapkan Allah bagi orang-orang yang bertakwa.[1]

Imam al-Muzani menyatakan, “Dan para penghuni surga pada hari itu menempati surga dengan nikmat. Dengan berbagai kelezatan mereka bersenang-senang, dan dengan berbagai kemuliaan mereka dihormati.”[2]

Surga merupakan ganjaran bagi setiap muslim yang beriman, baik dengan hati dan beramal shalih dengan badannya. Imam Ibnu Katsir berkata, “Itulah balasan bagi mereka yang takut pada Allah  dan yang bertakwa dengan benar pada-Nya. Itu juga balasan untuk orang yang beribadah pada Allah  seakan-akan ia melihat-Nya. Jika ia tidak melihat-Nya, maka ia yakin bahwa Allah l selalu memperhatikan dirinya.”[3]

Allah Swt berfirman yang artinya, “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,” (Q.S. al-Imran [3]: 133).

Sebaliknya setiap orang yang kufur kepada Allah, maka Allah  menyiapkan tempat yang penuh penderitaan yaitu neraka. Allah Swt berfirman yang artinya, “Maka jika kamu tidak dapat membuat(nya) — dan pasti kamu tidak akan dapat membuat(nya), peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 24)

 

Ingin Masuk ke dalam Surga-Nya?

Setiap muslim memiliki kesempatan untuk masuk ke dalam surga, Rasulullah ` bersabda, “Seluruh umatku akan masuk surga kecuali yang enggan. Para sahabat bertanya, Wahai Rasulullah, siapakah yang enggan (untuk masuk surga)?. Beliau menjawab, Barang siapa yang taat padaku maka ia akan masuk surga, dan barang siapa yang tidak mentaatiku berarti ia telah enggan (untuk masuk surga)”. (H.R. Bukhari dari Abu Hurairah r.a).

Lalu, bagaimana cara agar dapat masuk kedalam surga? Tidak setiap yang merindukan surga, kelak akan mendapatkannya; karena surga memiliki kunci untuk memasukinya, Allah mengisyaratkan kunci surga dalam firman-Nya yang artinya, “Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman, beramal shalih, saling nasehat menasehati dalam kebaikan dan saling nasehat menasehati dalam kesabaran.(Q.S. al-‘Ashr []: 3-1).

Sedemikian agungnya surat ini, sampai-sampai Imam Syafi’i berkata, “Seandainya Allah tidak menurunkan hujjah atas para hamba-Nya melainkan hanya surat ini; niscaya itu telah cukup”.[4] Maka dapat disimpulkan masing-masing dari empat kunci tersebut, sebagai berikut:

 

  1. Ilmu

Ilmu yang dimaksud di sini adalah ilmu agama, yaitu ilmu yang berlandaskan al-Qur’an dan al-Hadits dengan pemahaman para salafush shalih untuk menjalankan kewajiban-kewajiban agama, wajib hukumnya untuk dicari oleh setiap muslim dan muslimah, sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah ` dalam sabdanya, “Mencari ilmu hukumnya wajib atas setiap muslim. (H.R. Ibnu Majah dari Anas bin Malik, dan dinyatakan sahih oleh Syaikh al-Albani dalam tahqiqnya atas Misykah al-Mashabih).

Setiap muslim hendaknya mempelajari apa yang menjadi prioritas dalam agama, yaitu  ilmu tauhid, karena itulah pondasi Islam dan inti dakwah para rasul dan nabi. Allah Swt berfirman yang artinya, “Dan telah Kami utus seorang rasul di setiap umat (untuk menyerukan) sembahlah Allah semata dan jauhilah thaghut”. (Q.S. an-Nahl [16]: 36).

Dari Nabi dan Rasul yang pertama hingga yang terakhir, inti seruan mereka adalah mengajak manusia untuk mempersembahkan ibadah kepada Allah semata dan meninggalkan peribadatan kepada selain Allah.

Perhatikan apa yang didakwahkan Nabi Nuh n, Allah berfirman yang artinya, “Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkata: “Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan (yang haq) bagimu selain-Nya“. Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar (kiamat)” (Q.S. al A’râf [7]: 59).

 

  1. Amal Shalih

Ilmu adalah sarana yang mengantarkan kepada tujuan utama yaitu amal shalih. Sebelum seorang beramal ia harus memiliki ilmu tentang amalan yang akan ia kerjakan, begitupula jika kita telah memiliki ilmu, kita harus mengamalkan ilmu tersebut.

Amal adalah sebab kokohnya ilmu. Asy-Sya’bi  (generasi tabi’in) berkata, “Dulu kami berusaha untuk menghapal hadits dengan mengamalkannya.” [5]

Juga diriwayatkan dari Abu Darda’ abeliau berkata, “Sesungguhnya Engkau tidak akan menjadi seorang ‘alim (orang yang berilmu), sampai Engkau belajar (menuntut ilmu). Tidaklah Engkau menjadi penuntut ilmu, sampai Engkau mengamalkan ilmu yang telah Engkau pelajari.” [6]

 

  1. Dakwah

Setelah seorang hamba membekali dirinya dengan ilmu dan amal, dia memiliki kewajiban untuk menyampaikan ilmu yang telah ia raih dan ia amalkan kepada orang lain, mulai dari keluarga terdekat sebelum orang lain dengan mengedepankan akhlak yang baik.

Tidak dibenarkan untuk langsung meloncat ke fase ketiga ini (yakni dakwah) tanpa melalui dua fase sebelumnya (yakni ilmu dan amal); karena jika demikian halnya ia akan menjadi seorang yang sesat dan menyesatkan (berdakwah tanpa bekal ilmu)  ataupun menjadi seorang yang amat dibenci oleh Allah  (karena berdakwah tetapi tidak mengamalkan ilmunya)

 

  1. Sabar

Kesabaran dibutuhkan oleh setiap muslim, baik ketika ia mencari ilmu, mengamalkannya dan mendakwahkannya; karena tiga fase ini susah dan berat. Sebagaimana yang dikatakan oleh Yahya bin Abi Katsir , “Ilmu tidak akan didapat dengan santai-santai”. Kesabaran merupakan salah satu jalan yang utama yang mengantarkan seorang hamba ke surga, dan jalan menuju ke surga diliputi dengan hal-hal yang tidak disukai oleh nafsu.

Rasulullah ` bersabda, “(Jalan menuju ke) surga diliputi dengan hal-hal yang dibenci (nafsu), sedangkan (jalan menuju ke) neraka diliputi dengan hal-hal yang disukai hawa nafsu. (H.R.Muslim dari Anas bin Malik a).

Inilah empat kunci agar bisa masuk ke dalam tempat yang “senantiasa dirindukan”, semoga Allah  melimpahkan taufiq-Nya kepada kita semua untuk bisa meraihnya, âmîn.[7]

 

Bekti Dwi Kurniadi

Mahasiswa PAI 2017

 

Referensi

[1] Syarah Lum’atul I’tiqad, Cetakan ketiga, tahun 1415 H / 1955 M. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Penerbit Maktabah Adhwa-us Salaf.

[2] Syahrus Sunnah Lil Muzani,Cetakan pertama, 1438 H. Ismail bin Yahya Al-Muzani Asy Syafi’i. Penerbit Maktabah Bimbingan Islam.

[3] Dikutip dari:https://rumaysho.com/3493-tafsir-surat-al-bayyinah-3-balasan-bagi-orang-beriman-dan-orang-kafir.html

[4] Tafsîr al-Imâm asy-Syâfi’i (III/1461).

[5] Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil Barr dalam “Jaami’ bayaan al-‘ilmi”, 1/709. https://muslim.or.id/40167-mengokohkan-ilmu-dengan-beramal.html

[6] Diriwayatkan oleh Al-Khathib Al-Baghdadi dalam “Al-Iqtidha”, hal. 16-17. https://muslim.or.id/40167-mengokohkan-ilmu-dengan-beramal.html

[7] Diringkas dari:https://tunasilmu.com/empat-kunci-masuk-surga/

 

 

MUTIARA HIKMAH

 

Memohon pertolongan Allah l dalam mengamalkan ilmu, di antara doa yang dirutinkan oleh Nabi ` setiap hari setelah shalat subuh adalah,

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا، وَرِزْقًا طَيِّبًا، وَعَمَلًا مُتَقَبَّلًا

Ya Allah, aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rizki yang baik, dan amal yang diterima.” (H.R.Ahmad no.6/294, Ibnu Majah no. 925)

 

 

 

CIRI-CIRI WALI ALLAH Swt

Bismillâhi walhamdulillâh wash shalâtu was salâmu ‘ala rasûlillâh,
Kaum muslimin yang dimuliakan oleh Allah Swt, belakangan ini fenomena wali mulai menjamur di tengah-tengah kita. Secara etimologi wali adalah lawan dari aduwwu (musuh) dan muwâlah lawan dari muhâdah (permusuhan). Dengan demikian wali-wali Allah Swt adalah orang yang mendekat dan menolong agama Allah Swt, atau orang yang didekati atau orang yang ditolong oleh Allah Swt.
Hampir di setiap kota-kota bahkan pelosok-pelosok negeri kita ini memiliki walinya masing-masing. Hal ini bisa terjadi karena pemahaman sebagian masyarakat bahwa wali Allah Swt itu adalah orang-orang yang memiliki kekhususan-kekhususan yang tidak dimiliki oleh orang biasa pada umumnya. Hal tersebut berupa hal-hal yang ajaib atau aneh bagi akal sehat, yang sering disebut oleh masyarakat sebagai karomah para wali. Sehingga apabila ada seseorang yang memiliki ilmu syar’i begitu luasnya disertai dengan pengamalan-pengamalan yang begitu khusyuknya, namun apabila tidak memilki suatu kekhususan ini, maka orang ini masih tidak bisa dipandang sebagai wali Allah Swt. Sebaliknya, meski seseorang itu tidak memiliki ilmu syar’i sama sekali, bahkan kerap kali melanggar perintah Allah Swt dan meninggalkan kewajiban-kewajibannya sebagai seorang muslim, akan tetapi dia mampu menunjukkan sesuatu yang ajaib di luar nalar akal sehat manusia, maka orang tersebut bisa dianggap sebagai wali Allah Swt.
Hal ini bisa terjadi karena sejak kecil kaum muslimin di negeri yang kita cintai ini sudah diberi pengajaran yang keliru tentang wali-wali Allah Swt. Terlebih hal ini ditunjang oleh sarana-sarana elektronik semisal telivisi yang mempertontonkan kesaktian wali-wali yang bisa terbang, bisa berjalan di atas air, dan bisa melakukan hal-hal ajaib lainnya. Maka tontonan semacam ini menjadi mindset yang tertanam di setiap pola fikir kaum muslimin hingga dia dewasa bahkan sampai usia senja.
Pemahaman sebagian masyarakat yang seperti demikian sungguh sangat berbahaya bagi aqidah kaum muslimin. Karena tak sedikit kaum muslimin yang takjub dengan hal tersebut dan berusaha untuk mempelajari ilmu kewalian itu. Dikatakan berbahaya bagi aqidah kaum muslimin adalah karena kebanyakan orang-orang yang mengaku sebagai wali ini ternyata mereka bersekutu dengan jin saat melakukan aksi ajaibnya tersebut. Sehingga kaum muslimin yang telah terlanjur takjub dengan keajaiban-keajaiban tersebut sudah tidak lagi mempertimbangkan aspek-aspek kesyirikan yang dapat membatalkan keislamannya tatkala mempelajari ilmu tersebut. Yakni bersekutu dengan jin dalam memohon pertolongan, bantuan, dan lain-lain yang seharusnya hal tersebut hanyalah dihadapkan kepada Allah Swt semata. Padahal hakikatnya karomah para wali Allah Swt itu tidaklah dapat dipelajari. Sebagaimana kata seorang alim yakni Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, bahwa “karomah wali adalah sebuah pemberian dari Allah Swt kepada hamba-hamba-Nya yang shalih tanpa ia bersusah payah darinya. Berbeda dengan seorang yang menggunakan ilmu hasil dari persekutuannya dengan syaitan, maka ia akan bersusah payah untuk melakukannya”.
Adapun ciri-ciri wali Allah yang benar telah Allah Swt kabarkan sendiri dalam kitab-Nya yang mulia, yakni al-Qur’an petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa, juga telah disabdakan oleh Rasulullah ` yang mulia dalam sunnah-sunnahnya yang agung. Sehingga sudah selayaknya dan semestinya kaum muslimin mencoba untuk mempelajari ciri-ciri wali Allah Swt dari 2 sumber petunjuk yang meluruskan ini.
Untuk menjadi wali Allah Swt, seseorang itu haruslah mencintai dan dicintai oleh Allah Swt. Lalu bagaimana cara seseorang itu bisa mendapatkan kecintaan Allah Swt? Di dalam al-Qur’an Allah Swt berfirman yang artinya, “katakanlah (hai Muhammad), jika kalian mencintai Allah, ikutilah aku (Muhammad), niscaya Allah akan mencintaimu…” (Q.S. Ali Imran [3]: 31).
Ayat ini menerangkan bahwasannya syarat pertama seorang itu untuk bisa menjadi walinya Allah Swt adalah ia mengikuti sunnah-sunnah Rasulullah ` selama hidupnya dengan istiqomah. Karena dengan mengikuti jalan hidup Rasulullah lah cinta Allah Swt dapat ia miliki. Sehingga menjadi mustahil seseorang yang meninggalkan syariat nabi Muhammad Saw dapat memiliki karomah wali Allah Swt. Adapun ciri berikutnya terdapat dalam surat al-Mâidah yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa dari kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai Allah, yang bersikap lemah lembut terhadap orang-orang mukmin, yang bersikap keras kepada orang-orng kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan tidak takut terhadap celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah maha luas (pemberian-Nya) lagi maha mengetahui”. (Q.S. al-Mâidah [5]: 54).
Dari ayat tersebut dapat diketahui bahwa orang-orang yang dicintai Allah itu adalah orang-orang yang bersikap lemah lembut sesama kaum mukminin, dan bersikap keras terhadap orang-orang kafir, bukan sebaliknya, justru dekat dan loyal dengan orang-orang kafir dan keras lagi kasar kepada sesama muslim. Seorang yang bisa mendapat kecintaan Allah juga berjihad di jalan Allah Swt. Bukan seperti pandangan sebagian masyarakat kita yang menganggap jika seseorang itu masih jihad maka dia gugur dikategorikan sebagai wali Allah Swt. Pemahaman ini sungguh jauh dari kebenaran, karena Nabi Muhammad ` dan para sahabat-sahabatnya yang mulia tidak pernah meninggalkan jihad tatkala telah terpenuhi panggilan jihad tersebut, justru pada masa Nabi `,, barangsiapa yang meninggalkan jihad tanpa udzur syar’i, maka dia dikatakan munafik.
Dari ayat tersebut juga dapat diketahui bahwa wali-wali Allah Swt itu adalah orang-orang yang tidak takut dengan celaan orang-orang yang pencela. Selama dia berada dalam syariat Islam yang mulia ini, maka tiada ketakutan dan kesedihan di dalam hatinya.
Kemudian wali-wali Allah itu juga memiliki ciri berikut, yakni disebutkan dalam Qur’an yang mulia yang artinya, “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tiada ketakutan dan tiada pula dia bersedih (hati). (Yaitu) orang-prang yang beriman dan selalu bertaqwa keapada Allah”. (Q.S. Yunus [10]: 62-63). Dari ayat di atas, maka dapat kita pahami bahwa ciri dari wali Allah Swt itu adalah dia tidaklah takut dengan sesuatu yang akan menimpanya dan dia tidaklah bersedih dengan apa-apa yang telah menimpa dirinya, dan dia adalah orang-orang yang selalu menjaga ketaqwaannya dan keimanannya kepada Allah Swt.
Dari ayat-ayat yang telah disebutkan di paragraf sebelumnya, maka dapat kita jumpai dengan terang bahwasanya wali-wali Allah itu adalah orang-orang yang ittiba (mengikuti) Sunnah Rasulullah `, lemah lembut kepada sesama mukmin, namun tegas lagi keras terhadap orang-orang kafir, berjihad di jalan Allah Swt, tidak takut terhadap celaan si pencela, tidak ada rasa takut dan sedih dalam hatinya terhadap segala ketetapan Allah Swt, dan yang selalu menjaga keimanan serta ketaqwaannya kepada Allah Swt.
Wahai kaum muslimin yang dirahmati oleh Allah Swt, bagaimana mungkin seseorang yang mengaku wali itu bisa meninggalkan shalat, sedangkan Nabi ` dan para sahabat tidak meninggalkannya meski tengah dalam keadaan perang terluka dan berdarah-darah. Bagaimana mungkin seorang wali itu tega meninggalkan syariat Nabi Muhammad `, sedangkan Rasulullah ` selalu memegang syariat Allah  ini sampai akhir hayatnya, bahkan beliau sampai menangis khawatir kalau umat ini sudah tidak lagi memperdulikan hukum-hukum Allah  yang tertuang dalam al-Qur’an yang mulia dan sunnah-sunnahnya yang shahih.
Dengan demikian para wali-wali Allah itu tidaklah melepaskan diri dari syariat Nabi Muhammad `. Bahkan wali-wali Allah Swt itu adalah orang-orang bertaqwa yang sangat memegang teguh syariat Allah dan Rasul-Nya. Sehingga barangsiapa yang mengaku sebagai wali Allah  namun tidaklah memiliki sifat-sifat tersebut, maka dia adalah seorang pendusta. Allahu musta’an

Anas Ahmad Rahman
Mahasiswa MIAI UII

Mutiara Hikmah:
“Jika kalian melihat seseorang berjalan di atas air dan terbang di atas udara, maka janganlah terpedaya olehnya sampai kalian menimbang perkaranya di atas al-Qur’an dan as-Sunnah. (Imam Syafi’i)

KAMU (DIANGGAP) BAIK KARENA ALLAH MENUTUPI AIBMU!

 

اللَّهُمَّ أَنْتَ أَعْلَمُ مِنِّى بِنَفْسِى وَأَنَا أَعْلَمُ بِنَفْسِى مِنْهُمْ اللَّهُمَّ اجْعَلْنِى خَيْرًا مِمَّا يَظُنُّوْنَ وَاغْفِرْ لِى مَا لاَ يَعْلَمُوْنَ وَلاَ تُؤَاخِذْنِى بِمَا يَقُوْلُوْنَ

“Ya Allah, Engkau lebih mengetahui keadaan diriku daripada diriku sendiri dan aku lebih mengetahui keadaan diriku daripada mereka yang memujiku. Ya Allah, jadikanlah diriku lebih baik dari yang mereka sangkakan, ampunilah aku terhadap apa yang mereka tidak ketahui dariku, dan janganlah menyiksaku dengan perkataan mereka. (H.R. al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, 4/228, no.4876. Lihat Jâmi’ul Ahâdits, Jalaluddin As-Suyuthi, 25/145, Asy Syamilah)

 

Tidak ada manusia di dunia ini yang luput dari kesalahan dan kekhilafan. Mari kita mengingat kembali kisah Nabi Adam n beserta Hawa o yang memakan buah khuldi, padahal Allah l telah melarangnya. Nabi Yunus sengaja meninggalkan kaumnya karena setelah 33 tahun lamanya berdakwah, tetapi hanya 2 orang saja yang mendengarkan seruannya. Nabi Musa n yang tidak sengaja membunuh orang karena pukulannya. Tentu saja para nabi yang mulia ini bersegera meminta ampunan kepada Allah n. Taubat Nabi Adam n dan Hawa o terekam pada ayat 23 surah al-‘Araf, taubat Nabi Yunus n pada ayat 87 surah al-Anbiya, dan taubat Nabi Musa n pada ayat 15-16 surah al-Qashash.

Mari kita cermati salah satu hadits Rasulullah ` yang berbunyi, “Setiap anak adam (manusia) berbuat kesalahan, dan sebaik-baiknya orang yang bersalah adalah yang bertaubat.” (H.R. At Tirmidzi). Hadits ini menjelaskan kepada kita, bahwa sebaiknya orang yang bersalah adalah orang yang bertaubat, yaitu orang yang berjanji pada Allah l dan dirinya sendiri untuk tidak mengulangi kesalahan tersebut.

Suatu ketika penulis pernah berbincang-bincang dengan seorang kawan. Ia menceritakan betapa orang-orang memandangnya sangat baik. Ia sangat dihormati dan seringkali dimintai pendapat. Padahal ia menyadari bahwa iapun tidak luput dari kesalahan. Kesalahan-kesalahan ini merupakan aib baginya. Sesungguhnya, jika mereka tahu semua aib-aib tersebut, niscaya mereka akan membencinya dan merendahkannya. Lalu kemudian ia bertanya kepada penulis, apakah sebenarnya kita baik karena kita telah berbuat baik, ataukah karena Allah l sampai detik ini masih menutupi aib-aib kita? Berkaca dari percakapan di atas, tentu saja kita sepatutnya bersyukur, karena sampai detik ini Allah l masih menutupi seluruh kesalahan-kesalahan kita dari orang-orang. Akan sangat mudah bagi Allah l untuk membongkar segala aib yang kita miliki, jika Allah l berkehendak. Lalu akan sangat mudah bagi Allah l membalikkan posisi seseorang yang awalnya dipuja-puja, akan tetapi karena aib tersebut ia pun menjadi orang yang direndahkan dan dihinakan.

 

Pengertian Aib

Menurut al-Fairuz Abadzi dalam Al-Qamus al-Muhith, secara bahasa, aib العيب)) dapat didefinisikan sebagai cacat atau kekurangan. Bentuk jama’nya adalah uyub. Adapun sesuatu yang memiliki aib, dalam bahasa arab di sebut ma’ib. Dalam Kitab ­ad-Dur al-Mukhtar, Al-Hasfaki menyampaikan bahwa sebagian ulama mazhab Hanafi menjelaskan aib dengan pengertian: “Suatu bagian yang tidak ada dari asal penciptaanya dan hal itu dianggap sebagai bentuk kekurangan

 

Maka aib dapat diartikan sebuah cela atau kondisi seseorang dilihat dari sisi keburukannya, atau hal yang tidak baik tentangnya. Seringkali kita mendengar suatu informasi dari orang lain lalu menjadikan hati kita merasa tidak enak, maka hal ini dapat disebut aib. Aib dapat berupa peristiwa, keadaan, atau suatu deskripsi. Acapkali aib –sendiri maupun orang lain– tersebut secara tidak sadar kita sebarkan. Lebih parahnya lagi jika aib tersebut disebarkan secara sadar.

Memang pada dasarnya terdapat orang-orang yang diketahui tidak pernah sekalipun berbuat maksiat. Jika didapati ia tergelincir dalam kesalahan, maka dengan rahmat dan kasih sayang Allah l, kesalahan tersebut tidak diungkapkan seketika itu juga. Bahkan Allah l pun memberikan anjuran kepada orang-orang yang mengetahuinya untuk tidak menyingkap dan menceritakannya. Inilah cara Allah menjaga kehormatan hamba-Nya! Entah kesalahan itu disengaja maupun tidak disengaja. Adapun orang-orang yang menceritakan hal yang tidak baik dari saudaranya termasuk pada kategori ghibah. Perbuatan ini sangat dibenci oleh Allah l. Dalam firman-Nya, “Sesungguhnya orang-orang yang menyenangi tersebarnya perbuatan keji di kalangan orang-orang beriman, mereka memperoleh azab yang pedih di dunia dan di akhirat….” (Q.S. an-Nûr [24]: 19)

Aib merupakan sesuatu yang diasosiasikan buruk, tidak terpuji, dan negatif. Aib adalah suatu cela atau kondisi yang tidak baik tentang seseorang jika diketahui oleh orang lain akan membuat rasa malu, rasa malu ini membawa kepada efek psikologi yang negatif jika tersebar. Manusia tidak bisa lari dengan menutup diri terhadap kekurangannya. Manusia harus berintrospeksi dan menghisab diri sendiri untuk memperbaikinya. Umar bin Khaththab a berpesan, “Hisablah dirimu sebelum diri kamu sendiri dihisab, dan timbanglah amal perbuatanmu sebelum perbuatanmu ditimbang.

 

Muliamu (Mungkin) Bukan karena Kebaikanmu

Seringkali kita meyakini bahwa segala kemuliaan yang kita miliki ini berasal dari usaha kita sendiri. Kita lupa bahwa ada Allah l yang terus menutupi segala aib kita di hadapan manusia. Kita tak sadar akan tersebut, sehingga membuat kita menjadi lupa diri. Ingatlah wahai saudaraku! Mulia yang kau punya ini bisa jadi bukan karena kebaikanmu. Kebaikan yang kita lakukan adalah sesuatu yang memang senyatanya harus diamalkan selama hidup kita. Allah l menjanjikan surge-Nya kelak bagi orang-orang yang selalu melakukan kebajikan selama hidupnya.

Wahai saudaraku, ingatlah bahwa diri kita ini penuh dengan kekurangan, aib, cacat, dan cela. Tentu saja jika mau dibandingkan dengan para nabi yang juga pernah melakukan kesalahan, maka posisi kita mungkin jauh dari kemuliaan mereka. Maka jangan pernah terbesit di hati kita kata sombong dengan segala kemuliaan ini, baik harta, jabatan, tahta, dan yang lainnya. Muhamad bin Wâsi’ v berkata, “Seandainya dosa-dosa itu ada baunya maka tidak seorangpun yang mau duduk bersamaku”

Oleh karena itulah, jangan pernah ujub dengan amalan kita. Jangan pernah terpedaya dengan pujian yang diberikan. Jangan pernah riya dengan kebajikan yang dipebuat. Karena semua itu tidak akan berguna, jika satu aib saja diungkap oleh Allah l. Yakinlah, semua pujian tersebut akan berubah menjadi celaan.  Kita akan terpuruk, seterpuruk-terpuruknya. Kita juga akan malu, semalu-malunya. Kita juga akan hina, sehina-hinanya. Seperti tak ada lagi tempat tersedia untuk menerima kita.Bukankah kita sering mendengar sebuah peribahasa “Hujan sehari menghapus kemarau setahun”, atau peribahasa yang lain, “karena nila setitik, rusak susu sebelanga”. Penulis yakin bahwa pembaca yang budiman paham maksud dan arti dari kedua peribahasa tersebut.

Sehubungan dengan tema di atas, penulis teringat dengan salah satu ceramah dari Ustadz Salim A. Fillah, yang bercerita mengenai Nabi Yusuf n. Saat itu beliau bertanya kepada jamaah, “Siapa nama perempuan yang menggoda Nabi Yusuf?”“Zulaikha,” jawab jamaah serempak. Lalu Ustadz kembali bertanya, “Dari mana kalian tahu bahwa nama perempuan itu adalah Zulaikha? Sedangkan Allah l tidak ada sama sekali menyebutnya dalam al-Qur’an?” Seketika itu juga bergemuruhlah ruangan oleh suara para jamaah yang bertanya satu sama lain. Hingga sebagian menjawab pertanyaan tersebut, “Dari hadits, Ustadz.” Lagi-lagi Ustadz kembali bertanya, “Coba anda pikirkan, mengapa Allah tidak menyebut nama Zulaikha di dalam Al-Qur’an?” Kali ini semua jamaah diam. Maka Ustadz Salim A. Fillah tersenyum dan melanjutkan penjelasannya, “Karena perempuan ini (Zulaikha) masih memiliki rasa malu. Apa buktinya ia masih memiliki rasa malu? Ia menutup tirai sebelum menggoda Yusuf n. Ia malu dan tidak ingin ada orang lain yang tahu tentang perbuatannya.”

Lihatlah! Allah menutupi aib orang-orang yang masih memiliki rasa malu di hatinya, dengan tidak menyebut namanya di dalam al-Qur’an. Subhanallah! Maka perhatikanlah diri kita, mungkin karena masih memiliki rasa malu, maka Allah l tidak membuka identitas kita. Mungkin tidak hanya sekali, namun berulang-ulang kali Allah l telah menutup dosa-dosa kita.

Maka, pertanyaan-pertanyaan ini seharusnya kita tanyakan pada diri kita sendiri. Apakah kita Nampak baik di hadapan orang lain? Apakah semua itu karena begitu banyaknya kebaikan yang kita lakukan? Atau karena Allah telah menutupi aib kita?

 

Epilog

Pembaca yang dirahmati oleh Allah l.

Sebelum menutup tulisan ini, penulis akan menyampaikan doa yang biasanya dibaca Rasulullah ` pada pagi dan petang, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Umar h:

اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ الْعَافِيَةَ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِى دِينِى وَدُنْيَاىَ وَأَهْلِى وَمَالِى اللَّهُمَّ اسْتُرْ عَوْرَتِى

“Yaa Allah sesungguhnya aku meminta kepada Mu ‘Afiyah di dunia dan akhirat. Yaa Allah aku memohon kepada Mu ‘‘Afwaa dan ‘Afiyah pada urusan agamaku, duniaku, keluargaku dan hartaku. Yaa Allah tutupi auratku (aib-aibku)”

Atau dengan riwayat Ibnu Majah dengan tambahan, yaitu:

اللَّهُمَّ استُر عَوْرَاتي ، وآمِنْ رَوْعَاتي ، اللَّهمَّ احفظني من بَينِ يَدَيَّ ومِن خَلْفي ، وَعن يَميني ، وعن شِمالي ، ومِن فَوقي، وأعُوذُ بِعَظَمَتِكَ أنْ أُغْتَالَ مِنْ تَحتي

“Yaa Allah tutupi auratku (aib-aibku), tenangkanlah aku dari rasa takutku. Yaa Allah jagalah aku dari arah depan dan belakangku, arah kanan dan kiriku, serta dari arah bawahku. Aku belindung dengan kebesaran Mu agar aku tidak dihancurkan dari arah bawahku”

Semoga Allah l mengampuni dosa-dosa kita semua. Allahumma Amin. Wallahu ‘Alamu bishshawab.[]

 

 

Muhammad Qamaruddin

Alumni Pondok Pesantren UII

SETAN ADALAH MUSUH YANG SEBENARNYA

Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu.”

(Al-Baqarah [2]: 168)

Pada saat mendengar istilah “jin” atau pun “setan”, maka dalam benak sebagian orang muncul rasa takut dalam menghadapinya. Hal ini tidak sepenuhnya salah, karena memang banyak faktor yang dapat menimbulkan hal tersebut. Di antaranya, adanya peran dari media yang memberikan stigma itu hampir setiap hari, yaitu jin atau pun setan adalah makhluk yang menyeramkan, makhluk yang selalu menganggu, makhluk yang sangat mudah terusik dengan keberadaan manusia, dan sebagainya. Padahal, kita sebagai manusia dan mereka sama-sama merupakan makhluk Allâh I yang dibebani hukum untuk beribadah kepadaNya sebagaimana tersurat dalam Q.S. adz-Dzâriyât [51]: 56, yang artinya “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu”. Semua selain Allâh I disebut sebagai makhluk, apa dan bagaimanapun  bentuknya, karena Allâh lah al-Khâliq (Yang Menciptakan) dan selainnya adalah al-makhluq (yang diciptakan).

Dari ayat tersebut di atas, kita dapat mengambil pelajaran bahwa antara manusia dan jin ada titik persamaan, yaitu masing-masing mempunyai kemampuan untuk memilih jalan yang baik atau buruk. Kita sering mendengar juga bahwa selain jin, makhluk yang seringkali mengganggu manusia adalah setan. Ternyata, setan yang banyak diceritakan Allâh I kepada kita dalam al-Qur’ân, adalah termasuk golongan jin. Dari penjelasan tersebut, kita pahami bahwa “jin” itu merupakan sebuah nama untuk suatu makhluk yang Allâh ciptakan dari api dan “setan” atau pun “iblis” itu merupakan julukan untuk jin. Mengenai hal ini akan dijelaskan selanjutnya.

Dalam sebuah buku karya Dr. Umar Sulaiman Al-Asyqar yang diterjemahkan oleh H.T. Fuad wahab dengan judul “Menembus Dunia Jin dan Setan” disebutkan bahwa terdapat beberapa nama jin. Dalam bukunya tersebut, beliau mengutip pendapat dari Ibnu Abdil Bar yang mengatakan bahwa jin menurut ahli bahasa terdiri dari beberapa tingkatan (Al-Asyqar, 2006):

  1. Kalau yang mereka maksudkan jin secara mutlak, maka mereka sebut jinniyyȗn,
  2. Jika yang mereka maksudkan adalah jin yang tinggal bersama manusia, maka mereka sebut ‘âmir bentuk jamaknya ‘ummâr,
  3. Jika yang mereka maksudakan jin yang biasa mendatangi anak-anak, maka mereka sebut arwâh,
  4. Jika yang mereka maksudkan adalah jin yang jahat dan merintangi kebaikan, maka mereka sebut setan,
  5. Jika yang mereka maksudkan adalah jin yang lebih jahat dan lebih mempunyai kemampuan, maka mereka sebut ‘ifrît.

Selain penjelasan tersebut, istilah “setan” digunakan sebagai julukan untuk jin yang putus asa dari rahmat Allâh I, sedangkan “iblis” digunakan sebagai julukan untuk jin yang penuh dengan tipu muslihat.

Kita semua harus meyakini adanya jin, tetapi bukan berarti kita harus takut apalagi malah tunduk kepadaNya. Karena bagaimana pun, berbagai dalil telah menyebutkan dengan jelas bahwa jin termasuk kedalam makhluk Allâh I. Di sisi lain, kita pun harus meyakini bahwa manusia, sejatinya adalah makhluk Allâh yang paling mulia, tetapi kemuliaan ini tidak pantas menjadikannya sombong terhadap makhluk lainnya. Jika kesombongan itu ada, maka bisa mengakibatkan derajatnya akan jauh lebih rendah daripada iblis dan akan menyebabkan Allâh I sangat marah. Dalam sebuah Hadits Qudsi disebutkan: “Kemuliaan adalah sarungKu dan kesombongan adalah selendangKu. Siapa saja yang mencabut salah satu dari kedua pakaianKu itu, maka pasti Aku akan menyiksanya” (H.R. Muslim). Maksud dari kata mencabut dalam hadits tersebut ialah merasa dirinya paling mulia atau berlagak sombong. Sebaliknya, jika manusia melakukan ketaatan yang sebaik-baiknya kepada Allâh I, maka bukan hal yang mustahil, ia menjadi lebih mulia daripada malaikat. Hal itu adalah karena manusia, oleh Allâh diberikan anugerah yang lengkap berupa jasad, ruh, hati, akal dan nafsu. Kelima hal itulah yang dapat mengubah kedudukannya, terutama dalam penggunaan akal dan nafsu.

Permusuhan dan peperangan antara manusia dan setan akan berlangsung terus menerus sampai hari kiamat. Akar dari permusuhan ini tidak lain adalah karena keangkuhan dan kesombongan setan atau iblis dan bermula ketika ia enggan bersujud kepada Nabi Adam sebagai bentuk penghormatan kepadanya. Banyak ayat-ayat al-Qur’ân yang memberi peringatan kepada kita agar selalu waspada terhadap bujukan setan dan keterampilannya dalam menyesatkan manusia dengan ketekunan dan semangat yang tinggi. Bagaimana tidak, setan yang pertama kali mengganggu manusia, oleh Allâh I diberikan penangguhan kematian hingga hari kiamat, sehingga strategi setan dan para pengikutnya dalam menyesatkan manusia terus menerus diperbarui, yang akibatnya cara setan berperang dengan manusia semakin penuh dengan tipu muslihat. Semakin tinggi kualitas seorang manusia dalam hal ketakwaan kepada Allâh I, maka semakin tinggi pula kualitas tipu muslihat setan untuk mengganggunya. Cara setan mengganggu orang biasa tentu akan berbeda dengan cara setan mengganggu seorang yang berilmu.

Dari penjelasan di atas, kita sebagai manusia yang beriman, tentu harus memposisikan setan sebagai musuh yang sebenarnya sekaligus harus mewaspadai tipu dayanya. Rasa dendam yang dimiliki setan semenjak diusir dari surga akan terus membakar semangatnya dalam menyesatkan manusia sampai datangnya hari kiamat. Tidak ada satu manusia pun yang terlepas dari gangguan setan. Oleh karena itu, mari kita sama-sama mencermati beberapa teknik setan dalam menyesatkan manusia.

  1. Menghiasi kebatilan.
  2. Lalai atau berlebihan.

Tentang masalah ini, Ibnu Qayyim mengatakan bahwa setiap ada perintah Allâh, setan punya dua pilihan; pertama mendorong lalai dan kedua berlebihan. Setan mendatangi hati manusia dan mendeteksinya. Jika ia mendapati seorang hamba yang kurang semangat, lalai dan hanya menginginkan keringanan-keringanan saja, maka setan menempuh jalan ini; dirintanginya, disuruhnya diam, ditimpakan kemalasan, dan sebagainya. Jika setan menemukan orang yang selalu siaga, rajin, penuh semangat, maka ia tidak menempuh cara tadi. Ia justru perintahkan orang itu untuk lebih rajin lagi dan tidak merasa cukup atas amal yang telah dikerjakannya; tidak tidur kalau orang lain tidur, tidak buka puasa kalo orang lain berbuka, dan sebagainya yang pada intinya adalah berlebihan. Yang pertama manusia didorong untuk tidak mengerjakan perintah, sedangkan yang kedua untuk melampaui batas. Banyak orang yang terperdaya dengan usaha setan yang kedua ini dan tidak selamat, kecuali orang yang berilmu dengan mendalam, punya keimanan dan kekuatan untuk melawan setan, dan selalu menempuh jalan tengah (shirâthal mustaqîm).

  1. Merintangi amal dan menganjurkan menangguhkannya
  2. Memberikan janji-janji dan membangkitkan angan-angan
  3. Berpura-pura menasihati.

Ada sebuah kisah yang sangat penting untuk kita ambil hikmahnya, yaitu tentang seorang ahli ibadah di kalangan Bani Israil yang tergolong shalih pada saat itu. Pada saat itu, terdapat tiga orang laki-laki bersaudara yang mempunyai seorang saudara perempuan yang masih perawan dan tidak mempunyai sanak saudara yang lainnya. Ketika ketiga saudara laki-lakinya bermaksud ikut berperang, mereka kebingungan. Kepada siapa saudara perempuannya harus dititipkan; siapa yang akan melindunginya dan menyediakan keperluannya selama mereka tidak ada. Setelah lama, terpikirlah oleh mereka bahwa yang paling aman dan paling dapat dipercaya untuk menitipkan adiknya adalah kepada ahli ibadah orang Israil. Pada awalnya, ahli ibadah itu bersikeras menolaknya, tetapi setelah didesak oleh mereka, akhirnya dia mau menerima saudara perempuannya itu untuk tinggal di sebuah rumah dekat biaranya. Pada awalnya, kewajiban sang ahli ibadah atas perempuan tersebut ditunaikan dengan sewajarnya dan dengan penuh kehati-hatian, akan tetapi setan mulai melancarkan serangan tipu dayanya secara perlahan dan bertahap, hingga pada akhirnya berbagai maksiat pun dilakukan oleh sang ahli ibadah tadi yang menyebabkannya harus dihukum pancung, dan pada akhirnya ia mati dalam keadaan sȗul khâtimah. Na’ȗdzu billâhi min dzâlika.

  1. Bertahap dalam menyesatkan
  2. Memunculkan rasa takut dan keraguan
  3. Masuk di hati dan menuruti kesenangan hati

Sebagai penutup, tidak ada alasan bagi kita semua sebagai manusia yang beriman untuk tidak bekerjasama dalam memerangi setan sebagai musuh yang sebenarnya. Kita berdoa kepada Allah semoga selalu memberikan kita kekuatan dan keistiqamahan dalam menghadapi tipu muslihat dari setan dan pengikutnya. Kita patut bersyukur bahwa Allâh I memberikan kita nikmat yang amat sangat besar yaitu dengan kehadiran Nabi Muhammad r yang membawa risalah kenabian sekaligus menjadi mukjizatnya yang terbesar sepanjang masa, yaitu al-Qur’ân. Di samping itu, Rasulullah pun menguraikan dalam haditsnya berbagai hal tentang tipu muslihat setan dan cara membentenginya. Semoga shalawat beriring salam senantiasa tercurahkan kepada beliau Rasulullah Muhammad r habibullah dan Nabi akhir zaman. Allâhumma shalli wa sallim wa bârik ‘alayh wa ‘alâ âlihi.

 

Husaini Anwar Fauzan

 

Mutiara Hikmah

“Dan katakanlah, ‘Ya Tuhanku, aku berlindung kepada Engkau dari bisikan-bisikan setan. Dan aku berlindung (pula) kepada Engkau ya Tuhanku, agar mereka tidak mendekati aku’.”

(Al-Mu’minun [23]: 97-98)