MENDIDIK BUAH HATI SECARA BIJAK

Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.(QS. al-Nisâ [4]: 9)

Setiap anak muslim adalah aset dakwah bagi tegaknya kalimat Allah di muka bumi di masa mendatang, sekaligus penopang bagi maju atau mundurnya peradaban suatu bangsa. Dari itulah, orangtua harus mempersiapkan segala hal yang dibutuhkan dalam rangka mewujudkan generasi yang kuat agar mendatangkan kebaikan dan barakah di zamannya. Minimnya informasi untuk menjadi orangtua yang baik kerapkali dialami oleh sebagian besar orangtua. Menjadi orangtua juga tidak ada sekolah formalnya. Berangkat dari hal di atas penulis, berusaha untuk memberikan sedikit informasi yang semoga bermanfaat bagi para orangtua maupun para calon orangtua.

Pada dasarnya setiap anak terlahir dengan dua dimensi yang ada pada dirinya. Kedua dimensi tersebut adalah jasmani dan ruhani. Kedua dimensi tersebut memiliki kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi secara seimbang sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan sang anak. Namun, sebagian orangtua lebih lebih mengutamakan kebutuhan jasmani daripada kebutuhan ruhani. Banyak dari orangtua yang cenderung mengabaikan pemenuhan kebutuhan ruhani yang sifatnya abstrak. Padahal Rasululah sudah mengajarkan cara-cara mendidik anak agar pemenuhan kebutuhan dua dimensi tersebut dapat seimbang.

Dalam beberapa riwayat, Rasulullah menganjurkan kepada para orangtua untuk mengajari anaknya berenang, memanah, dan berkuda. Ditilik dari sudut pandang jasmani, ketiga aktivitas olahraga tersebut yang jika dilakukan secara rutin tentu akan berimbas kepada kekuatan dan kesehatan anak. Apabila kesehatan dan kekuatan fisik anak tidak diperhatikan sejak dini, maka mereka akan tumbuh menjadi pemuda yang lemah. Jika sebuah generasi adalah generasi yang lemah, maka suatu bangsa akan sulit untuk menjadi bangsa yang kuat dan tangguh. Pun dalam hal kesehatan, apabila kesehatan generasi kecil tidak diperhatikan, maka bangsa tersebut akan menjadi bangsa yang lemah.

Selain bermanfaat bagi kesehatan dan kekuatan fisik, manfaat dibiasakannya ketiga olahraga di atas juga sangat baik untuk mengembangkan mental dan ruhani yang kuat, seperti kepercayaan diri, keberanian dan kemampuan konsentrasi. Adapun manfaat lebih detail dari ketiga olahraga tersebut, terutama pembentukan psikis dan mental, adalah sebagai berikut:

  1. Berenang

    Olahraga ini melatih kekuatan bernafas anak, dengan demikian asupan oksigen di dalamnya otaknya senantiasa tercukupi yang mana akan memacu kecerdasan bagi anak. Dia akan tumbuh menjadi pembelajar ulung, memiliki rasa ingin tahu yang cukup besar terhadap segala sesuatu yang dianggapnya baru dan belum pernah diketahui oleh anak sebelumnya.

  2. Memanah

    Kepercayaan diri akan tumbuh dalam jiwa anak, sosok pemimpin juga akan terbentuk pada pribadi anak. Latihan memanah juga mendidik anak untuk memiliki pandangan jauh ke depan dan tetap fokus pada tujuan yang hendak dicapai. Dalam pengambilan suatu keputusan, kejernihan pikiran akan mampu mereka hadirkan meskipun berhadapan dengan permasalahan yang genting sekalipun.

  3. Berkuda

    Banyak sekali sikap yang dapat dibentuk dari olahraga ini. Berkuda mengajarkan kepada anak akan kepercayaan diri, ketangkasan, keberanian, pengendalian diri, dan jiwa kepemimpinan. Meskipun orang yang dipimpinnya nanti adalah orang yang lebih mahir, lebih kuat, serta memiliki banyak kelebihan dibandingkan dirinya, ia tidak akan gentar dan ragu, karena ia tidak takut terhadap suatu apapun kecuali hanya kepada Rabb-Nya.

Setiap anak terlahir dengan fitrah yang melekat padanya berupa dorongan untuk senantiasa berbuat kebaikan dan cenderung memiliki kekuatan untuk dekat dengan Rabb-Nya. Ia mencintai kebaikan dan nalurinya menolak untuk melakukan suatu keburukan. Namun, ketika mereka terlahir di dunia, sejak kelahiran hingga masa kanak-kanak (sebelum baligh) kemampuan kognitif mereka masih sangat terbatas, sehingga mereka belum memiliki cukup bekal untuk dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Maka peran orangtua sangatlah besar dalam upaya mengarahkannya untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah.

Pertanyaan selanjutnya, mengapa masih banyak ditemukan anak yang cenderung menimbulkan kerusakan, berbuat onar, dan membuat masalah bagi lingkungannya? Pihak pertama yang perlu untuk diperiksa adalah orangtua. Bisa jadi orangtua merekalah yang menjadi penyebab rusaknya fitrah anak. Namun seringkali, kebanyakan orangtua menganggap sumber dari semua permasalahan adalah berasal dari anak itu sendiri. Ketika anak berbuat salah, selalu yang disalahkan dan dijatuhkan harga dirinya adalah si anak, baik saat di rumah maupun di luar rumah.

Bahkan ada orangtua yang tidak segan menggunakan kekerasan fisik terhadap anak. Tamparan keras sering didaratkan ke pipinya yang lembut. Pukulan demi pukulan sering dihujamkan pada tubuhnya yang mungil. Rintih kesakitan kerapkali terdengar karena cubitan orangtua. Bentakan keras menggelegar diseruakkan ketika anak tak mau mengikuti titah orangtua. Inilah penyebab dari rusaknya fitrah anak yang selalu cenderung pada kebaikan. Alih-alih kenyamanan yang mereka dapatkan di rumah, justru kebencian yang akan didapatkan keluarga. Akhirnya anak akan mencari kenyamanan dari orang dan tempat lain. Itu artinya bukan orang tuanya dan bukan pula rumah yang akan ditujunya.

Maka, pola asuh orangtua yang salah menjadi salah satu penyebab dari rusaknya fitrah anak. Pendapat bahwa mendidik anak harus disesuaikan dengan zamannya memang benar adanya. Ketika zaman dahulu orangtua mengajarkan kakak untuk selalu mengalah demi kebaikan adiknya, maka saat ini pola asuh tersebut sudah tak tepat dan tak layak untuk diterapkan. Karena anak akan menemukan ketidakadilan di dalam rumah. Kebenaran hanya ditentukan oleh faktor usia sehingga tiap kemauan dan keinginan adik dianggap sebagai kebenaran mutlak dan harus dituruti.

Maka, ada tiga karunia, yang harus diamalkan dan diterapkan oleh orangtua ketika menghadapi perilaku anak yang buruk dan menyimpang, yaitu:

  1. Karunia Belajar
  2. Orangtua harus belajar sebagaimana anaknya belajar. Kebanyakan orangtua zaman sekarang beranggapan bahwa belajar selalu erat dengan unsur tenang menghadap ke meja belajar dengan buku pelajaran di depan mata. Belajar dibatasi dengan ruang. Dinamakan belajar apabila anak berada di kelas atau di meja belajar. Sedang di alam bebas, orangtua mengatakan bahwa mereka tidak sedang belajar. Anak dikatakan belajar apabila mereka belajar membaca, menulis, dan berhitung. Lain dari aktivitas tersebut, orangtua mengatakan bahwa anak tidak sedang belajar.

    Padahal banyak pembelajaran yang didapatkan anak ketika melakukan aktivitas selain “belajar” tersebut. Ketika anak sedang bermain kelereng, di situlah anak belajar untuk memimpin dan dipimpin. Disitulah anak belajar tentang pentingnya menaati suatu peraturan. Sebab, apabila dia berbuat seenaknya dan mau menang sendiri, tentu tak ada satupun anak yang ingin bermain kelereng dengannya. Ketika anak bermain sepak bola, maka disitulah anak belajar tentang strategi  dan bekerjasama dalam tim. Pemahaman makna belajar inilah yang harus direvisi oleh para orangtua.

  3. Karunia Konsistensi
  4. Konsistensi dalam mengikuti aturan dalam rumah harus ditegakkan. Apabila orangtua berkata “tidak” maka seluruh anggota keluarga, termasuk orangtua sendiri harus konsisten untuk “tidak”. Konsistensi akan mengajarkan kepada anak adanya batasan dalam berperilaku. Mengajarkan adanya sebab-akibat dalam setiap tindakan yang diperbuat. Konsistensi pula yang akan membuat anak menjadi lebih bijak dalam mengambil setiap keputusan.

    Kesalahan yang sering terjadi adalah, saat orangtua telah membuat sebuah peraturan, orangtua merasa iba dan membolehkan permintaan sang anak saat anak merengek-rengek. Kadangkala pula, tidak ada kesepahaman antara ayah dan ibu dalam menghadapai permintaan anak, ayah mengatakan “iya”, dan ibu mengatakan “tidak”. Kesalahan yang amat besar pula, apabila orangtua menganggap aturan ini hanya berlaku untuk anaknya saja, tidak untuk orangtua .

    Apabila orangtua memelihara ketidakkonsistenan hingga anak menjadi dewasa, maka anak akan belajar bahwa aturan hanyalah sebatas aturan dan tak perlu untuk ditaati. Anak akan belajar bahwa perkataan tak harus selaras dengan perbuatan. Mereka akan belajar dari sikap orangtua yang kerapkali tak sesuai antara apa yang dikatakan dan apa yang diperbuat. Dalam hal ini, kesabaran dan ketahanan orangtua harus dijaga demi pembentukan karakter anaknya yang lebih baik.

  5. Karunia Kiblat
  6. Allah menganugerahi kita karunia kiblat. Dengan karunia ini, kita dapat fokus terhadap arah ataupun tujuan yang hendak dituju dan dicapai. Arah dan tujuan tersebut tentunya adalah yang sifatnya baik. Meninggalkan hal-hal buruk dengan terus melakukan introspeksi demi memperbaiki apa yang kurang dan mempertahankan atau meningkatkan apa yang baik. Menjadikan masa lalu yang buruk sebagai suatu pelajaran supaya lebih berhati-hati dalam bertindak.

Orangtua, ayah atau ibu, yang baik adalah yang belajar dari kesalahan anaknya kemudian memberusaha merangkul dan menuntun anaknya supaya tak melakukan kesalahan yang sama. Dengan memberikan dorongan dan motivasi untuk memperbaiki kesalahan yang sudah dilakukan, maka anak akan tumbuh menjadi anak yang gigih. Dia berani mengakui setiap kesalahan yang dilakukannya dan bangkit untuk memperbaiki kesalahan tersebut. Ringkasnya, orangtua harus membiasakan diri untuk fokus terhadap perilaku baik anak, bukan pada perilaku buruknya. Fokus pada kelebihan anak bukan pada kekurangannya. Fokus pada solusi penyelesaian kesalahan yang diperbuat anak. Bukan fokus pada masalah yang muncul akibat kesalahannya.

Akhīran, anak merupakan suatu anugerah yang telah diberikan oleh Allah . Anugerah yang merupakan bukti bahwa Allah mempercayai kita, bahwa kita mampu mendidik anak sesuai dengan fitrah yang melekat padanya. Bagi pasangan yang sudah dikarunia anak, semoga dapat menjalankan tugas  sebagai orangtua dengan baik, sehingga anak-anak yang dikaruniakan oleh Allah menjadi anak yang shalih-shalihah. Karena anak yang shalih-shalihah adalah investasi dunia-akhirat yang layak untuk dijaga dan diperjuangkan. Wallāhu a’lamu bi ash-shawāb. []

Zeda Shaliha
Mahasiswi PAI FIAI UII

 

Mutiara Hikmah
Rasulullah bersabda,
Barangsiapa yang mampu menjamin untukku apa yang ada di antara kedua rahangnya (lisan) dan apa yang ada di antara kedua kakinya (kemaluan) aku akan menjamin baginya surga.”
(HR. Bukhari)

CARA ALLAH MEMBERI REZEKI

تُولِجُ اللَّيْلَ فِي النَّهَارِ وَتُولِجُ النَّهَارَ فِي اللَّيْلِ وَتُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَتُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَتَرْزُقُ مَن تَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ

“Engkau masukkan malam ke dalam siang dan Engkau masukkan siang ke dalam malam. Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati, dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup. Dan Engkau beri rezeki siapa yang Engkau kehendaki tanpa hisab (batas)”
(QS al-‘Imran [3]:27)

Saudaraku, bicara soal rezeki, sebenarnya mencakup banyak sisi yang sangat luas. Rezeki tidak melulu bicara tentang harta saja, melainkan apapun jenis ni’mat yang Allah l berikan adalah rezeki. Ilmu pengetahuan, kesehatan, kebahagian dan lain sebagainya adalah bagian dari rezeki yang Allah l berikan.
Ingatlah bahwa rezeki tidaklah sebatas harta dunia. Ilmu yang bermanfaat adalah rezeki, kemudahan untuk beramal shalih adalah rezeki, istri yang shalihah adalah rezeki, anak-anak juga termasuk rezeki. Kewajiban kita untuk senantiasa bersyukur atas rezeki yang Allah berikan. Bahkan rezeki yang hakiki adalah rezeki yang dapat menegakkan agama kita sehingga mengantarkan kita selamat di akherat. Inilah rezeki yang sesungguhnya. Rezeki yang hanya Allah l berikan kepada hamba-hamba pilihan-Nya.
Sebenarnya Allah l telah menentukan cara memperoleh rezeki dan telah mengkategorikan rezeki berdasarkan tingkatannya, mulai dari yang terendah dalam arti rezeki yang telah (dijamin) oleh Allah l kepada semua makhluk-Nya hingga rezeki paling tinggi tingkatannya (rezeki untuk orang beriman dan bertaqwa).

Rezeki Tingkat Pertama (yang dijamin oleh Allah).
Allah l berfirman,

“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh). (QS Hûd [11]: 6).

Inilah tingkatan rezeki yang pertama yaitu rezeki yang sudah dijamin oleh Allah untuk semua makhluk-Nya. Artinya Allah akan memberi kesehatan, makan, minum untuk seluruh makhluk hidup di dunia ini. Dari manusia bahkan hingga makhluk terkecil yang tak tampak oleh mata sekalipun. Pada tingkatan ini adalah tingkatan rezeki yang paling rendah.
Allah menegaskan tingkatan rezeki yang pertama ini dalam ayat yang lain Allah l berfirman,

“Dan berapa banyak binatang yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rezekinya sendiri. Allah-lah yang memberi rezeki kepadanya dan kepadamu dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS al-Ankabût [29] : 60)

Rezeki Tingkat Kedua
Allah l berfirman,

“Tidaklah manusia mendapat apa-apa kecuali apa yang telah dikerjakannya” (QS al-Najm [53]: 39)

Allah l akan memberi rezeki sesuai dengan apa yang dikerjakannya, jika ia bekerja dua jam, dapatlah hasil yang dua jam. Jika lebih lama, lebih rajin, lebih berilmu, lebih sungguh-sungguh, ia akan mendapat lebih banyak. Tidak memandang apakah dia itu muslim atau kafir.
Banyak orang yang bertanya kenapa Allah l menjadikan orang-orang non muslim itu kaya?. coba kita lihat kembali pada diri kita masing-masing sudah usaha kita melebihi mereka, sudah kita bekerja lebih keras dua kali lipat dari mereka. Jika belum, rubahlah karena untuk urusan riziqi Allah l berikan sesuai apa yang diusahakannya. Namun ada catatan penting dalam firman Allah l yang harus kita pahami,

“Kehidupan dunia dijadikan indah dalam pandangan orang-orang kafir, dan mereka memandang hina orang-orang yang beriman. Padahal orang-orang yang bertakwa itu lebih mulia daripada mereka di hari kiamat. Dan Allah memberi rezeki kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas”.(QS al-Baqarah [2] : 212)

Allah l mengetahui apa yang kita kerjakan, Allah l melihat bagaiman hamba-Nya bekerja dan berusaha. Jika kita hanya duduk santai, tak berusaha lebih keras maka jangan harap Allah l akan memberi hasil yang lebih pula. Memang, urusan rezeki itu ditangan Allah l, tapi apabila kita tak meraihnya maka rezeki itu tak akan sampai pada kita.

Rezeki Tingkat Ketiga
Allah l berfirman,

“….. Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat-ku), jika kamu mengingkari(nikmat-ku), maka sesungguhnya azab-ku sangat pedih” (QS Ibrahîm [14]: 7)

Di kategori tingkatan rezeki yang ketiga, inilah rezeki yang disayang Allah l. Orang-orang yang pandai bersyukur akan dapat merasakan kasih sayang Allah l dan mendapat rezeki yang lebih banyak. Itulah janji Allah l, orang yang pandai bersyukurlah yang dapat hidup bahagia sejahtera dan tentram. Usahanya akan sangat sukses, karena Allah l tambhakan selalu.
Sebesar apapun rezeki yang Allah l berikan, jika kita terima dengan penuh rasa syukur maka akan Allah l tambah. Permasalahannya adalah banyak orang yang kufur akan nikmat tersbut. Selalu mengeluh padahal Allah l sudah berikan rezeki kepadanya. Maka selalu memohon dan berdoalah agar kita digolongkan sebagai hamba yang penuh syukur, karena hidup tidak melulu bicara soal seberapa harta yang kita punya, tapi bagaimana kita merasa bahagia (bersyukur) atas apa yang kita miliki.
Prihal bersyukur pun disinggung dalam ayat lain,

“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah”.(QS al-Baqarah [2]: 172).

Rezeki Tingkat Keempat (untuk orang-orang beriman dan bertaqwa)
Allah l berfirman, “…Barang siapa yang bertaqwa kepada Allah niscya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangka. Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki) Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS al-Thalaq [65]: 2-3)
Peringatan rezeki yang keempat ini adalah yang paling istimewa, tidak semua orang bisa meraihnya. Orang-orang istimewa itu adalah orang-orang yang bertaqwa kepada Allah l (Muttaqun). Allah l sudah menjamin dalam firmannya dalam urusan rezeki untuk orang yang taat kepada perintah-Nya.
Maka sebagai Muslim, tentu kita harus sadari betul hal ini. Meski pun Allah telah menjamin rezeki kepada semua makhluknya, namun porsi seberapa besar yang akan kita terima adalah sesuai apa yang kita usahakan. Jika kita berusaha lebih, berdoa lebih, maka hasilnya pun akan lebih pula.
Jangan mau hidup miskin, padahal Tuhan kita (Allah) Maha Kaya. Jangan pernah mau hidup kekurangan rezeki padahal rezeki Allah begitu luas. Jika ada tingkatan rezeki yang paling tinggi (rezeki untuk orang-orang bertaqwa), kenapa kita harus memilih tingkatan yang paling rendah.

Rezeki telah Ditentukan
Dalam tulisannya Ustadz Adika Mianoki menyebutkan (http://muslim.or.id/ aqidah/memahami-dua-jenis-rezeki.html), bahwa seluruh rezeki bagi makhluk telah Allah tentukan. Kaya dan miskin, sakit dan sehat, senang dan susah, termasuk juga ilmu dan amal shalih seseorang pun telah ditentukan.
Rasulullah ` bersabda,

“Sesungguhnya tiap-tiap kalian dikumpulkan penciptaannya dalam rahim ibunya selama 40 hari berupa nutfah, kemudian menjadi ‘Alaqah (segumpal darah) selama itu juga lalu menjadi Mudhghah (segumpal daging) selama itu juga, kemudian diutuslah Malaikat untuk meniupkan ruh kepadanya lalu diperintahkan untuk menuliskan 4 kata: Rezeki, Ajal, Amal dan Celaka/bahagianya. maka demi Allah yang tiada Tuhan selainnya, ada seseorang diantara kalian yang mengerjakan amalan ahli surga sehingga tidak ada jarak antara dirinya dan surga kecuali sehasta saja. kemudian ia didahului oleh ketetapan Allah lalu ia melakukan perbuatan ahli neraka dan ia masuk neraka. Ada diantara kalian yang mengerjakan amalan ahli neraka sehingga tidak ada lagi jarak antara dirinya dan neraka kecuali sehasta saja. kemudian ia didahului oleh ketetapan Allah lalu ia melakukan perbuatan ahli surga dan ia masuk surga.”(HR Bukhari, No. 3208 dan HR Muslim No. 2643)

Dengan mengetahui hal ini, bukan berrati kita pasarah dan tidak berusaha mencari rezeki. Sebagian orang memiliki anggapan yang salah dalam memahami hal ini. Mereka hanya pasrah terhadap takdir tanpa melakukan usaha sama sekali. Sunngguh, ini adalah kesalah yang nyata. Bukankah Allah juga memerintahkan kita untuk mengambil sebab dan melarang kita dari bersikap malas? Apabila kita sudah mengambil sebab dan mendapatkan hasil yang tidak kita inginkan, maka kita tidak boleh sedih dan berputus asa, termasuk dalam mencari rezeki, karena semuanya sudah merupakan ketetapan Allah. Oleh karena itu Nabi ` bersabda,

“Bersemangatlah dalam hal yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah pada Allah dan jangalah kamu malas! Apabila kamu tertimpa sesuatu, janganlah kamu mengatakan:’Seaindainya aku berbuat demikian, tentu tidak akan begini atau begitu’, tetapi katakanlah: ‘Qaddarullahu wa mâ sya’a fa’ala” (HR Muslim, No. 2664). Wallahu a’lam.[]

 

Muhammad Mukhlas
Pendidikan Bahasa Inggris 2013

Mutiara Hikmah
Ucapan apabila tertimpa sesuatu yang tidak disenangi

قَدَرُ اللهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ.

“Allah sudah mentakdirkan sesuatu yang dikehendaki dan dilakukan.” (HR Muslim, No. 4/2052)

GELAR

رَبَّنَا هَبۡ لَنَا مِنۡ أَزۡوَٰجِنَا وَذُرِّيَّٰتِنَا قُرَّةَ أَعۡيُنٖ وَٱجۡعَلۡنَا لِلۡمُتَّقِينَ إِمَامًا ٧٤

“Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa.”
(QS al-Furqan [25]: 74)

Ketika mengikuti perkuliahan di kampus, banyak karakter dosen pemberi mata kuliah yang berbeda-beda. Dosen A seperti ini, dosen B beda dari A, bahkan dosen C berbeda dari A dan B. Banyak sekali karakater perbedaanya, terutama cara mengajar dan menyampaikan materi yang diajarkan dan ketika ngobrol di luar kelas.
Dari sekian banyak dosen yang mengajar di kelas, tidak sedikit yang sudah sampai menempuh gelar doktor, dengan kata lain sudah dan sedang menempuh strata tiga (S3). Kenapa harus ada gelar yang dijadikan acuan dan tolak ukur seorang dosen. Sebab gelar itu merupakan pencapaian tertinggi yang pernah ditempuh ketika menjalani studinya.
Tak heran jika suatu ketika ada dosen yang jelas-jelas mengatakan bahwa penulisan, peletakan, gelar untuk dirinya tidak boleh salah. Sebab kalau salah maka nilai Ujian Tengah Semester (UTS) maupun Ujian Akhir Semester (UAS) tidak akan keluar. Tentu saja, sebagian mahasiswa merasa takut dan manut saja, toh gelar itu memang buah kerja keras, tidak salahnya kita menghargai kerja keras tersebut.
Tidak bisa dipungkiri bahwa kebanyakan orang (mesti tidak semuanya) ketika memilih melanjutkan ke jenjang perkuliahan yang pertama kali dicari yaitu untuk mendapatkan gelar. Perjuangan untuk mendapatkan gelar itu tidak mudah, butuh waktu, perjuangan dan konsentrasi tingkat tinggi.
Oleh karenanya, maka gelar tersebut adalah reward atau hadiah dari kerja keras yang sudah ditempuh selama bertahun-tahun. Tidak salah memang ketika ada dosen yang meminta dan begitu mempersoalkan gelar yang sudah diraihnya tersebut. Kerja keras yang sudah dijalaninya harus dihargai dan diapresiasi.
Dalam kisah lain, tapi masih seputar tentang dosen juga. Cerita singkatanya kurang lebih seperti ini. Kala itu salah seorang sahabat (boleh disebut teman dekatlah) yang meminta bantuan untuk dibuatkan desain sertifikat acara pelatihan. Kebetulan sahabat ini juga sebagai panitia inti dalam acara tersebut.
Setelah desain dibuat dan dikirim, sahabat tadi mengirimkan balasan. Inti tulisannya adalah meminta supaya gelar dosen yang menjadi pimpinan di kantornya tersebut meminta dihapus. Padahal gelar yang sudah dituliskan tidak bermasalah dan sesuai dengan semestinya. Ketika dikonfirmasi langsung, “katanya buat apa sih pake gelar-gelar segala, tidak terlalu penting”. Demikian jawaban yang saya terima dari salah seorang sahabat.

Gelar Sesungguhnya
Komarudin Hidayat (mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) pernah menyampaikan dalam tausiahnya, bahwa sebuah kesuksesan itu sebetulnya bukan terletak pada sesuatu yang dimiliki. Sebab sesuatu yang dimiliki itu menyangkut kepada sesuatu yang melekat. Sesuatu yang melekat itu tidak selamanya bisa kita bawa, dalam artian suatu saat akan kita lepaskan.
Pada hakikatnya sesuatu yang saat ini kita miliki bukanlah sebuah kesuksesan. Jabatan, gelar, dan apapun itu hanyalah tempelan semata. Kelak itu akan kita tinggalkan kala jasad dengan ruh telah berpisah. Gelar keduniaan tidak lagi menjadi berarti, tetapi gelar akhiratlah yang paling dicari.
Husnul khatimah (meninggal dalam keadaan baik) adalah harapan kita, terutama bagi seluruh umat Islam (Muslimin). Hanya saja, ketika mengikuti peroses penjelajahan menapaki husnul kahtimah, banyak sekali duri, naik turun, tikungan tajam dan lain sebagainya. Sehingga banyak yang akhirnya tersesat bahkan salah jalan.
Perangkap yang ada di dalamnya begitu sulit untuk dibedakan. Jalan kebaikan terasa begitu berat dan susah untuk dijalani ketimbang jalan keburukan yang terkesan lebih mudah dan terbuka lebar. Akhirnya banyak yang memilih jalan keburukan, karena terasa lebih nyaman, enak, dan ada juga karena sudah terlajur jatuh di dalamnya.
Ketika sudah di batas penghujung jatah kehidupan, banyak yang menyesal dan ingin mengubah jalan hidupnya. Kata-kata penyesalan tak lagi berarti, sebab maut sudah datang di depan mata, waktu tak bisa bergulir lagi mengulang masa lalu. Semua keluarga sudah berkumpul dan tak sedikit menangisi. Tetangga berkumpul untuk berta’ziah dan siap mengantakan ke liang lahat. Saat itulah gelar almarhum/ah telah sah kita dapatkan –gelar tradisi Indonesia-
Tetapi yang menjadi pertanyaan selanjutnya, apakah gelar almarum/ah itu mendapatkan indeks prestasi cumlaude atau tidak? Ketika semasa hidupnya banyak melaksanakan amal shalih maka predikat cumlaude bisa diterimanya. Tetapi jika sebaliknya, banyak bolosnya, indeks prestasinya hanya 2,0 predikat itupun belum bisa diraihnya.

Taqwa
Suatu ketika dalam sebuah kelas, seorang sahabat bertanya dengan lantang di depan teman-teman yang lainnya. Siapa yang tau gelar paling tinggi di atas orang yang bertaqwa? Semua teman-teman terdiam dan tak ada yang memberikan jawaban. Salah seorang teman yang duduk di belakang menjawab tidak ada gelar yang paling tertinggi di atas ketaqwaan.
Karena hanya satu orang yang merespon, akhirnya sahabat ini pun menjelaskan kepada teman-teman yang lainnya. Sebetulnya gelar yang paling tinggi di atas orang yang bertaqwa adalah imamnya orang yang bertaqwa. Sebagaimana dalam bait doa yang sering kita memohon kepada Allah l.

Rabbanā hablanā min azwajinā wa durriyatinā qurrata’ayun waj;alnā lil muttaqina imamā “Ya Tuhan kami, anugerahkan kepada kami, pasangan hidup dan keturunan kami sebagai penyejuk hati kami, dan jadikanlah kami sebagai pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa”. (QS al-Furqan [25] : 74)

Taqwa itu menjalankan segala perintah Allah l dan menjauhi segala larangan-Nya. Inilah makna taqwa yang sudah sangat kita dengar ketika khutbah jum’at. Tapi secara aplikasinya belum tentu bisa dengan mudah. Butuh perjuangan dan tantangan, untuk bisa mencapai tingkatan taqwa yang sebenarnya. Ketaqwaan seseorang terhadap tuhannya tidak bisa ditawar-tawar. Tapi bagi siapa yang betul-betul bertaqwa maka ia balasannya adalah pahala surga dan rizqinya tidak akan pernah putus.
Makna taqwa yang menurut Sayyidina ‘Ali a lebih spesifik. Takut akan Allah, Menjalankan isi al-Qur’an. Qana’ah dengan rizqi meskipun sedikit, dan yang terakhir adalah mempersiapkan diri untuk kehidupan masa depan yang lebih kekal (akhirat). Dari keempatnya ini manakah yang sudah betul-betul kita amalakan?

Ihtitam
Banyak yang dibuai oleh gemerlap dunia. Matanya silau dan tak mampu membedakan mana yang betul-betul baik untuk dirinya hingga jangka panjang atau hanya sesaat saja. Dunia ini membuatnya menjadi terbalik dan orientasinya sudah berubah 180 derajat dibandingkan ketika ia masih duduk di bangku pesantren.
Status seseorang bukan jaminan untuk menjadikannya baik atau malah sebaliknya. Banyak yang awalnya baik, taat dan begitu haus dengan keagamaan, tetapi ketika sudah jatuh kedalam masalah keduniaan semuanya lepas begitu saja. Seperti anak panah yang dilepaskan dari busurnya. Tak sedikit pula yang awalnya menentang, menolak bahkan terang-terangan menghina agama, nyatanya kini ia menjadi seorang muslim yang taat.
Gelar manusia yang diberikan oleh Allah l adalah khalifah/pemimpin yang dipasrahi alam dunia untuk dijaga dan dirawat sebaik mungkin. Tapi dengan gelar itu pula ternyata mansuia merusak dan mengeksploitasi anamat yang sudah Allah l berikan. Gelar khalifah yang sudah Allah l berikan jelas-jelas disalahgunakan, apalagi gelar yang hanya disematkan oleh manusia. Makhluk tempatnya salah dan lupa.
Oleh karena itu, gelar yang disematkan oleh manusia jika dioptimalkan dengan baik dan digunakan untuk menjalankan, mentaati dan mengimani gelar yang sudah Allah l berikan maka bukan tidak mungkin predikat cumlaude itu akan didapatkan. Allahu’alam.

Hamzah
Santri PPUII

Mutiara Hikmah

عن أَبَي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ أَنْصِتْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغَوْتَ.

Dari Abu Hurairah a, bahwasanya Rasulullah ` bersabda, “Apabila kamu pada hari Jum’at berkata kepada temanmu, ‘Diamlah,’ padahal imam sedang berkhutbah, maka sungguh sia-sia (shalat Jum’at) mu.” (HR al-Bukhari pada Kitabul Jum’ah Bab Diam Pada Hari Jum’at Saat Imam Sedang Berkhutbah, no. 934)

YUK, JADI PRIBADI PEMAAF

خُذِ ٱلۡعَفۡوَ وَأۡمُرۡ بِٱلۡعُرۡفِ وَأَعۡرِضۡ عَنِ ٱلۡجَٰهِلِينَ ١٩٩

Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma´ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh. (QS al-A’râf [7]: 199)

 

Sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan keberadaan orang lain sebagai tempat bergantung demi keberlangsungan hidupnya. Ketika kita bersosialisasi ada resiko untuk disakiti dan didzalimi, baik itu oleh teman, sahabat, bahkan oleh  keluarga kita sendiri. Tak dapat dipungkiri, ketika kita bergaul dengan orang lain, konsekuensi yang harus kita terima adalah adanya perbedaan pendapat, pandangan, pemikiran, dan berbagai hal yang akan menimbulkan gesekan, perasaan tidak nyaman, kurang sreg, dan permasalahan lain yang mengganggu keharmonisan bersosialisasi.

“Aku g mau maafin dia, dia udah bikin aku sakit hati”. “Sampai matipun, aku tidak akan pernah bisa melupakan kesalahan dia”. “Aku sudah maafin kamu, tapi masih sakit hati”. Pernah tidak kita mengucapkan kalimat seperti itu? Jika pernah mengucapkan hal tersebut, berhati-hatilah, kita sudah menyimpan dendam dalam hati. Akibatnya, sewaktu-waktu bisa meledak. Memelihara dendam sama saja memelihara sesuatu yang merusak tubuh kita, ibarat memakan racun yang mematikan, lama-lama akan menggerogoti tubuh secara perlahan-lahan. Dan orang yang memelihara dendam, hidupnya tidak nyaman, sakit dan tidak produktif. Hiy, ngeri. Lho, kok bisa?

Hem… ketika kita menyimpan dendam atau sakit hati dengan seseorang, pikiran dan perasaan kita akan memikirkan dia, mencari-cari kesalahannya walaupun dia telah berbuat baik kepada kita padahal dia juga tidak tahu jika kita menyimpan dendam dengannya. Akibat dari dendam yang berlarut-larut- ada yang menyebutnya tujuh turunan, akan mencelakakan orang yang kita benci. Orang yang kita benci cuek bebek dengan kita, karena dia sudah minta maaf, eh…kita masih sakit hati karena tidak mau memaafkannya. Karena fikirannya fokus dengan orang lain, hidup tidak pernah mengahasilkan aktivitas yang bermanfaat, tidak produktif, akibatnya, kehilangan waktu, tenaga, pikiran, perasaan, kehilangan rizqi, dan yang lebih parah lagi, kehilangan surganya Sang Maha Pengampun. Capek deh!

 

Perintah Memaafkan

Memaafkan mudah diucapkan namun sulit untuk direalisasikan. Memang, jalan menuju surga itu tidak mudah, hanya orang-orang yang mau dan berusaha saja yang bisa mencapainya. Sebagai seorang muslim kita harus sadar bahwa setiap orang pernah melakukan kesalahan sekecil apapun itu, dan yang perlu diingat adalah Allah itu Maha Pengampun. Allah saja mau memaafkan kesalahan manusia yang bejibun banyaknya, apalagi kita, yang hanya mausia yang lemah, harusnya malu. Jangan sampai  kesalahan teman yang kecil membuat kita menjadi manusia yang pendendam. Allah l berfirman: “Dan hendaklah mereka memaafkan kesalahan sesama manusia. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan” (QS Ali Imran [3]: 134).

Namun bagaimana jika kita dizhalimi orang lain? Apakah kita hanya diam, ridha, rela dipukul, ditampar, ditendang, padahal kita  tidak melakukan kesalahan? Atau membalasnya? Yang pasti,  kita harus membalas kedzaliman yang dilakukan orang lain.

Bagaimanapun kita memiliki harga diri yang pantas kita jaga, tidak bisa saja nrimo dengan keadaan diri ketika dizhalimi oleh orang lain. Dalam surat  al-Nahl ayat 126: “Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu…”.

Jika kita dicubit, balas dengan mencubit dengan kualitas yang sama, jangan mencubit dibalas dengan memukul, dua kali lagi! itu sudah lain lagi ceritanya. Tapi bagaimana jika yang mendzalimi kita itu orang yang sudah tidak punya hati alias berhati batu?Apakah kita akan menjadi uring-uringan, dendam, benci dengan orang yang seperti ini? Saya pikir tidak karena hal itu akan menyebabkan kita rugi, capek.  Rugi waktu, tenaga, perasaan buat mikirin orang yang tidak pernah tahu dipikirkan. Allah l berfirman: “Maafkanlah mereka dan biarkan mereka, Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS al-Mâidah [5]: 13).

Jangan sampai kita benci, kemudian maenjadi dendam, itu akan merugikan diri kita, hidup kita menjadi tidak produktif. Mengapa? Karena disibukkan dengan membenci dan dendam dengan orang lain, waktu yang seharusnya untuk belajar, membaca buku, jalan-jalan dan lain-lain, digunakan untuk memikirkan bagaimana cara mencelakakan orang yang kita dendami.

Dengan memaafkan kesalahan orang lain, kita sedang membebaskan beban dalam hidup, membuang racun yang  yang menggerogoti tubuh sehingga hati kita menjadi nyaman. Kita sedang memilih untuk bahagia, karena membiarkan  pikiran positif dan membuang pikiran negatif dalam tubuh. Serahkan pembalasannya kepada Allah l. Allah l berfirman: “…dan balasan kejelekan itu adalah kejelekan pula, namun siapa yang memaafkan dan memperbaiki (hubungannya), maka pahala baginya di sisi Allah. Sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang dhalim”. (QS al-Syura [42]: 40).

Penelitian menunjukkan bahwa kemarahan adalah sebuah keadaan pikiran yang sangat merusak kesehatan manusia. Memaafkan, walaupun berat, terasa membahagiakan, akhlak terpuji dan disukai Allah l. Pilih yang mana? Apakah kita rela hidup digunakan untuk memperhatikan, mengurusi orang lain, dendam sampai tujuh turunan? Memendam kebencian dan kekesalan sampai mendarah dagimg? Bukankah kita mengharapkan Allah l mengampuni dosa kita? Dan hati kita menjadi lapang, tenang dan lega. Jika kita mudah memaafkan orang lain, niscaya kita juga akan mudah dimaafkan oleh Allah l dan orang lain.

 

Muhammad Sebagai Teladan Kita

Kita tak asing mendengar, membaca kemuliaan akhlak Nabi Muhammad ` yang sangat mengagumkan bagaimana beliau memafkan kaumnya yang tidak menyambut ajakan dakwahnya. Bahkan beliau mendoakan kaumnya agar suatu hari nanti kaumnya menerima dakwahnya yaitu mentauhidkan Allah dalam rububiyyah, uluhiyyah  dan asmâ wa sifatnya, serta tidak menyekutukan Allah l.

Peristiwa yang sangat membekas dalam hati kita adalah Fathul Makkah, jika Nabi Muhammad `  mau, bisa saja membalas perlakuan kaum Quraisy yang  dahulu pernah mereka lakukan terhadap Nabi Muhammad ` karena saat itu Nabi membawa kaum muslimin yang bannyak, dan juga membawa alat perang. Namun apa yang beliau lakukan, memaafkan. Luar biasa! Bisa tidak kita mencontoh beliau? jika belum bisa, belajarlah. Dari Abu Hurairah a bahwa Rasulullah ` bersabda: Bukanlah yang dikatakan orang kuat adalah orang yang kuat bergulat, tetapi sesungguhnya orang yang kuat adalah orang yang dapat mengendalikan nafsu amarahnya. (HR Bukhari dan Muslim)

 

Membalas Kejelekan dengan Kebaikan

Ini yang sangat keren! Membalas keburukan lain dengan kebaikan akan membuat hati menjadi lembut. Sebagaimana yang dicontohkan Rasul, bagaimana beliau dilempari batu, diusir dari Thaif  namun beliau tidak membalas, bahkan mendoakan semoga Allah l memberikan keturunan orang-orang yang beriman dan tidak menyekutukan Allah l. Hebat ya…apakah kita bisa menirunya? Berbuat baik dan tidak dendam dengan orang yang menghina kita? Firman Allah l: “…dan jika kamu maafkan dan kamu santuni serta ampuni (mereka), maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS al-Taghâbun [64]: 4).

Di ayat yang lain Allah Firman Allah l: “… Akan tetapi jika kamu sekalian mau bersabar atas kedzoliman yang telah mereka timpakan kepada kamu serta dengan itu semua kamu mengharap pahala dari Allah sebagai ganti dari kedzoliman itu lalu kamu pasrahkan dan serahkan semuanya kepada Allah maka itu akan lebih baik bagi kamu sekalian.” (QS al-Nahl [16]: 126)

 

Tips Memafkan Orang Lain

Nah, bagaimana agar kita menjadi pribadi yang pemaaf, tips berikut bisa kita lakukan sebagi ihtiar untuk menjadi pribadi yang mulia:

Pertama, sadari bahwa setiap manusia memiliki kesalahan. Dengan melihat kesalahan orang lain, kita belajar untuk tidak melakukan kesalahan yang sama dan lebih mudah untuk memaafkannya.

Kedua, bayangkan dalam pikiran kita, ketika memiliki dendam dengan seseorang membawa tomat yang busuk berkarung-karung selama bertahun-tahun, kita tidak mau dan capek kan? ini menganalogikan bahwa membawa ke dendam sampai menghujam dalam diri kita sama saja membawa beban yang sudah berat, berbau busuk, menimbulkan penyakit lagi.

Ketiga, ingat, menanamkan dendam sama saja membunuh diri secara perlahan-lahan. Berharap menyelesaikan masalah malah menambah masalah.

Keempat, lupakan masa lalu. Jika hidup kita masih saja dipengaruhi kesedihan dan dendam, tentu akan membuat diri menjadi sakit. Buang dan lepaskan hal-hal yang buruk pada masa kita, berpikir bahwa itu memang seharusnya terjadi di masa lalu, yang harus kita lakukan adalah berjalan kedepan.

Kelima, berdoa. Serahkan semuanya kapada Allah, jika didzalimi dan kita tidak mampu membalasnya, yakinlah bahwa Allah itu tidak pernah tidur dan pasti akan membalasnya bukan melalui tangan kita.

Pilihan berada di tangan kita, mau memaafkan orang lain dengan konsekuensi bahagia  atau memendam dendam kusumat yang akan membuat hati menjadi sakit. Semoga kita termasuk orang yang bisa memaafkan orang lain, menjadi hamba yang pemaaf dan menjadi orang yang mudah melakukan kebaikan sekalipun dengan orang yang telah berbuat buruk terhadap kita. Dengan demikian hidup kita menjadi bahagia. Âmîn. Wallâhu a’lam bi al-shawwâb.[]

 

Ulufi Khasanah

PAI 13422115

UII

Mutiara Hikmah

Rasulullah ` bersabda: “ ‘Termasuk dosa besar, seseorang mencaci maki kedua orang tuanya.’ Para sahabat bertanya, ‘Bagaimana dia mencaci maki?’ Rasulullah menjawab, ‘Dia mencaci seseorang, lalu orang itu mencaci maki bapak dan ibunya.’ (Shahih, di dalam kitab At-Ta’liqur-Raghib (3/221). (Muslim), 1-Kitabul Iman, hadits 146, Bukhari, 78, Kitabul Adab, 4- Bab La Yasubbur-Rajulu Walidaihi).

MANUSIA DAN PEKERJAAN

Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain (7) Dan Hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap (8). (QS al-Insyirah [94]: 7-8)

Berdeburnya ombak di lautan tidak lain merupakan gema puji syukur kepada sang pencipta alam, menggelegarnya petir tak lain adalah gema takbir yang senantiasa mengakui keagungan Allah l, bertiupnya angin menyejukkan raga merasuk memberikan nikmat di kehidupan manusia tidak lain merupakan alunan tasbih dari alam untuk sang Maha Kaya, tiada kata yang pantas selain Lâ ilâha Illallâh, yang dikumandangkan ke telinga-telinga manusia jika bukan karena keesaan dan keperkasaan-Nya. Dia-lah Rabb yang ber-istiwa’ di Arsy tertinggi dan tak mampu dicapai makhluk-Nya kecuali atas kehendak-Nya, Tuhan alam semesta yang memegang kekuasaan tertinggi di jagad raya.
Shalawat serta salam selalu tersanjung agungkan kepada baginda Rasulullah `. Nabi akhir zaman, nabi dengan predikat rahmat bagi semesta alam, nabi yang menghiasi perjauangan menegakkan Islam dengan penuh keistimewaan, Rasul yang unggul dan dicintai umatnya meskipun umatnya tak pernah bersua dengannya, nabi yang mempunyai kharisma sejuta keindahan dan teladan bagi alam semesta. Nabi terakhir yang diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia dalam setiap yang dikerjakan manusia.

Manusia dan Pekerjaan
Kehidupan membuat manusia masuk dalam berbagai urusan dan permasalahan yang kompleks. Banyaknya urusan melahirkan tuntutan yang semakin mendesak untuk dikerjakan. Sebagai makhluk yang paling sempurna penciptaannya, manusia selalu merasa bahwa terkadang ia mampu mengerjakan semua urusan demi mendapatkan apa yang ia harapkan, yaitu kepuasan. Oleh karena itu, semakin banyak hal yang dilakukan manusia selalu berbanding lurus dengan tuntutan yang harus ia jalani.
Allah l telah melimpahkan kekuatan berupa psikis dan fisik untuk menyelesaikan berbagai urusan. Meskipun Allah l menjadikan manusia kuat dengan kedua kekuatan tersebut, Allah l juga mengetahui batas dan kemampuan manusia sehingga tersurat dalam firmannya “Allah Swt tidak membebani manusia kecuali sesuai dengan batas kemampuan manusia tersebut”.
Urusan yang ditimpakan kepada manusia terkadang merupakan cobaan dari-Nya sebagai batu loncatan perjalanan spiritual seseorang. Maksudnya, ketika orang seseorang dapat bersabar dan menemukan makna dibalik cobaan tersebut maka ia termasuk orang yang sukses dalam ujian keimanan. Akan tetapi ketika seseorang sejak pertama kali mendapatkan cobaan selalu menghujat dan meratap maka ia gagal dalam tes keimanan dari Allah l.
Kesabaran adalah modal utama dalam menyelesaikan urusan terlebih cobaan. Dalam hal ini kesabaran tidak berarti berdiam diri tanpa kata dan usaha, namun ikhtiar dan optimisme diri adalah inti dari kesabaran. Seseorang tidak dikatakan bersabar jika ia langsung menghujat dan mengeluh terhadap cobaan karena hadits Rasulullah ` riwayat Bukhari a“Al-shabru ‘inda shadmatil ula” yang artinya kesabaran itu pada hentakan pertama kali. Hentakan yang dimaksudkan adalah tekanan batin ketika mendapatkan cobaan.
Berbagai macam tipe orang diantaranya adalah tipe orang yang obsessif terhadap pekerjaan . Orang yang obsessif dalam pekerjaan selalu menuntut dirinya untuk mengerjakan semua pekerjaan yang ada dengan waktu yang ia punya. Bukan berarti hal ini buruk namun, mempunyai sisi negatif yaitu terjadinya pekerjaan yang terbengkalai karena tidak ada prioritas utama pekerjaan atau bahkan terlalu banyak pekerjaan yang dijadikan prioritas.

Realita dan Idealita
Kita sebagai seorang muslim dituntut untuk imbang dalam urusan dunia dan akhirat. Ketidakseimbangan dari salah satunya tidak dianjurkan oleh Allah l. Allah l tidak menganjurkan untuk fokus terhadap dunia karena dunia akan menggelapkan pandangan manusia terhadap akhirat. Namun, Allah l juga tidak menganjurkan manusia untuk melulu memikirkan akhirat sementara kehidupan sosial di dunia menjadi kacau balau. Oleh karena itu, beramal di dunia untuk kepentingan dunia akhirat adalah solusinya.
Manusia tidak dapat terlepas dari realitas (kenyataan) serta idealita (harapan). Semakin manusia masuk dalam sebuah kenyataan maka selalu ada harapan yang mengikutinya. Bagikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan, dalam kenyataan yang dihadapi manusia sudah barang tentu ada harapan di balik semua itu meskipun sedikit. Inilah yang sering mengakibatkan kesenjangan yang sering kita sebut dengan masalah.
Tidak dapat dipungkiri lagi, manusia pasti mempunyai urusan atau permasalahan. Dalam konteks nyata manusia menemukan kenyataan yang terkadang tidak sesuai dengan apa yang ia harapkan yang pada akhirnya membuat sebagian orang merasa kecewa dan putus asa. Keadaan tersebut sangat berpengaruh terhadap sudut pandangnya terhadap urusan lain yang serupa. Sebagaimana disebutkan dalam teori behavioristik bahwa manusia selalu mempelajari dari apa yang terjadi. Kekecewaan, putus asa, kesedihan juga dipelajari oleh manusia.
Selalu ada proses sebelum harapan tercapai atau tidak. Contohnya, seorang karyawan selalu gigih dan giat untuk bekerja di instansi dimana ia bekerja dengan harapan ia akan mendapatkan penghargaan prestasi kerja, akan tetapi dikarenakan banyaknya karyawan yang juga bekerja dengan gigih maka ia belum masuk dalam salah satu karyawan yang termsuk calon pendapat nominasi prestasi kerja. Harapan mendapatkan nominasi prestasi kerja, realitanya ia gagal dan belum masuk dalam nominasi penghargaan prestasi kerja karyawan.
Walâ taqnutu min rahmatillâh” jangan putus asa mendapatkan rahmat Allah l. Selalu ada rencana di balik kegagalan yang diberikan Allah l. Penulis masih teringat salah satu kata mutiara yang intinya bukan tingginya gunung yang susah untuk ditakhlukkan tapi bagaimana dirimu menakhlukkan dirimu sendiri. Introspeksi diri untuk apa bekerja jika hanya untuk mendapatkan penghargaan tapi bukan untuk mendapat ridha dan rahmat Allah l.

Prokrastinasi
Prokrastinasi berasal dari bahasa inggris procrastination yang berarti “penangguhan atau menunda”. Urusan dan pekerjaan yang banyak bisa saja dilakukan secara terjadwal dan mungkin beberapa pekerjaan sudah rutin dilakukan. Sedangkan yang menjadi masalah adalah apakah urusan yang seharusnya dikerjakan sesuai dengan jadwal dan waktu yang telah ditentukan. Beberapa pekerjaan kadang terbengkalai karena pekerjaan lain.
Allah l berfirman dalam al-Qur’an “jika engkau telah selesai pada suatu urusan, maka bergegaslah untuk mengerjakan urusan lain dengan sungguh-sungguh”. Tidak membiarkan pekerjaan lain terbengkalai adalah poin yang dapat kita ambil dari makna ayat di atas. Menyegerakan menyelesaikan pekerjaan dengan serius segenap kesungguhan hati. Ketika telah menyelesaikan tugas tersebut kita dianjurkan untuk berharap hanya kepada Allah “dan hanya kepada Tuhanmulah engkau berharap”.
Menunda pekerjaan karena tidak adanya prioritas. Pekerjaan yang banyak dan harus diselesaikan tidak jarang membuat orang stres dan tertekan. Tidak adanya prioritas utama dalam menentukan mana pekerjaan yang harus diselesaikan terlebih dahulu adalah penyebabnya. Oleh karena itu, dengan cara menimbang secara matang pekerjaan mana yang harus dikerjakan terlebih dahulu sampai dampak penting yang diakibatkan jika pekerjaan tersebut terselesaikan adalah penting.
Menunda pekerjaan untuk mendapatkan hal yang sempurna. Tidak jarang seseorang menunda pekerjaan karena ia mempunyai ekspektasi yang berlebihan terhadap hasil pekerjaannya. Pekerjaan ditunda karena ia beranggapan bahwa pada saat itu ia belum dapat menyelesaikan pekerjaan karena belum tepat untuk mendapatkan hasil yang sempurna. Dalam hal ini penulis teringat sebuah slogan motivasi “just do it, you’ll get it” yang berarti lakukan saja, kau akan mendapatkan (selesaikan).
Menunda pekerjaan karena merasa tidak mampu mengerjakannya. Hal tersebut malah semakin memperkeruh keadaan diri sendiri. Pekerjaan yang menunggu untuk dikerjan menjadi momok tersendiri bagi yang mendapatkan pekerjaan tersebut. Mau tidak mau, sedikit atau banyak seseorang akan rentan terserang tekanan jiwa yang diakibatkan pekerjaan yang belum dikerjakan itu. Pesimisme yang bersarang dalam diri orang tersebut lama-lama akan mempengaruhi pola kepribadiannya karena sering merasa tidak mampu untuk menyelesaikan pekerjaan. Meminta bantuan atau saran dari orang lain setidaknya akan menurunkan level pesimis yang ia miliki.

Hikmah
Segala hal yang baik memang selalu menjadi prioritas utama dalam kehidupan. Terlebih hal yang berhubungan dengan ibadah yang kita persembahkan untuk Allah l. Oleh karena itu, perjuangan untuk menggapai ridha Allah l sudah sepatutnya kita curahkan dalam setiap pekerjaan yang kita lakukan. Meniatkan segalanya untuk beribadah semata karena Allah l adalah hal yang patut kita biasakan.
Dalam halnya bekerja, manusia diperbolehkan untuk terus menerus termotivasi. Karena motivasi diri yang akan menjadikan seseorang tidak merugi karena ia termasuk orang yang semakin hari semakin baik dari hari-hari yang telah ia lewati. Namun, jika pekerjaan itu menjadikan ia tidak mengutamakan hubungan dengan Allah l maka pekerjaan tersebut akan menjadi “isapan jempol” belaka. Hanya untuk kepentingan dan kepuasan dunia saja.
Menunda pekerjaan terkadang kita lakukan dengan berbagai alasan. Alasan kesibukan bekerja adalah hal sering kita temukan dari kita sendiri ataupun sebagian orang. Menunda pekerjaan bisa saja mempengaruhi kita untuk menunaikan shalat. Hal ini sangat disayangkan apalagi untuk shalat berjamaah yang sangat dianjurkan. Melihat begitu besarnya pahala shalat berjamaah, semoga setelah membaca tulisan ini kita dapat membiasakan diri untuk tidak menunda ketika akan melaksanakan shalat berjamaah. Wallâhu a’lam bi al-shawâb.[]

Muhammad Lathief Syaifussalam
Mahasiswa FPSB UII, 2011

Mutiara Hikmah
Dari Abu Ya’la, Syaddad bin Aus a, dari Rasulullah `,,,, beliau telah bersabda: “Sesungguhnya Allah mewajibkan berlaku baik pada segala hal, maka jika kamu membunuh hendaklah membunuh dengan cara yang baik dan jika kamu menyembelih maka sembelihlah dengan cara yang baik dan hendaklah menajamkan pisau dan menyenangkan hewan yang disembelihnya”.(HR Muslim, No. 1955)

MENIKAH

Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.”
(QS al-Nûr [24]: 32)

Suatu malam di ruang tengah rusunawa. Beberapa mahasiswa senior—yang bertugas memandu mahasiswa baru—sedang berkumpul. Salah seorang mereka sudah lebih dahulu membangun mahligai rumah tangga. Saya tertarik untuk bertanya lebih jauh. Apa alasan teman saya tersebut memilih menyegerakan pernikahan. Sederhana saja jawabnya. “Kita tidak tahu umur kita sampai kapan. Bagaimana bila maut menjemput sementara kita belum menyempurnakan separuh agama?” tuturnya.

Dialog singkat tersebut disadari atau tidak menjadi inspirasi bagi saya. Sebelumnya, saya telah banyak membaca tulisan tentang pernikahan. Selain itu, dalam banyak kesempatan saya sering menyambung-kaitkan diskusi dan obrolan dengan pernikahan. Hal itulah yang membuat seorang adik tingkat menjuluki saya “lelaki janur kuning”. Pada akhirnya, saat itu saya tetaplah laki-laki lajang yang paham pernikahan sebatas teori. Masalah praktik tentu kalah telak dengan mereka yang sudah menikah.

Di kesempatan lain, saya sharing dengan seorang sahabat yang juga sudah menikah. Dia menikah di semester akhir, sebelum lulus kuliah. Isterinya juga masih kuliah. Pilihannya untuk menikah meskipun masih kuliah ternyata banyak membawa berkah. Allah, katanya, banyak memberikan kemudahan. Akhirnya, dia mendorong saya untuk mengikuti jejaknya: menikah. Intinya, kalau tekad sudah bulat maka jalan kebaikan akan terbuka lapang. Dari situ, saya memutuskan untuk menikah segera.

Saya paham betul konsekuensi dari pilihan saya. Ayah menghendaki saya menikah bila sudah selesai S2. Suatu ketika—bahkan—ayah saya bilang yang kurang lebih begini: “Kalau mau lanjut sampai S3, bapak sanggup membiayai asal kamu tidak nikah dulu…” Hal itulah yang menjadi tantangan saya ketika memutuskan untuk menikah segera. Bagi saya, tidak ada yang sukar kalau komunikasi saya jalankan dengan strategi yang benar. Solusinya, saya menikah tetapi berjanji melanjutkan studi.

Benar bahwa menikah bukan urusan yang sederhana. Apalagi dihadapkan dengan persepsi orang tua bahwa menikah harus bermula dari kemapanan hidup. Anak baru boleh menikah bila sudah jelas kerjanya, sudah pasti penghasilannya, sudah punya ini dan itu, dan seterusnya. Hal tersebut tentu tidak salah. Masalahnya, dalam suasana yang demikian orang tua justru membolehkan anaknya menjalin hubungan dengan lawan jenis. “Kalau pacaran dulu boleh tetapi kalau nikah nanti…”

Menurut saya ini adalah logika yang tidak tepat selain bertentangan dengan syariat. Seorang anak sebaiknya sejak dini dididik mental dan karakternya. Ketika anak meminta izin untuk menikah maka orang tua tidak perlu khawatir. Orang tua percaya bahwa pilihan itu sudah berdasarkan pertimbangan anaknya. Sang anak mungkin masih belum punya banyak bekal. Tetapi orang tua yakin anaknya akan berusaha keras mencukupi kebutuhan rumah tangganya.

Orang tua semestinya mendukung anaknya untuk lebih mandiri dan bertanggung jawab. Sebaliknya, orang tua harus berusaha membatasi buah hatinya untuk menjalin “hubungan” dengan lawan jenis sebelum menikah. Pasalnya, pergaulan muda-mudi saat ini sudah teramat memprihatinkan. Dimana komunikasi antar sesama sangat mudah dilakukan. Sementara orang tua tidak selamanya mampu mendampingi anaknya. Oleh karena itu, orang tua harus memberikan “kepastian” kepada anaknya.

Pilihan anak untuk menikah kalau begitu tidak lepas dari bagaimana sikap orang tua. Anak juga tidak boleh berputus asa ketika orang tua—awalnya—tidak membolehkan. Boleh jadi orang tua sedang menguji seberapa kuat keinginan anak. Menikah hanya sebagai percobaan, pelarian, atau benar-benar untuk membangun kehidupan yang lebih jelas dan menenangkan. Jadi, untuk menjembataninya komunikasi yang intensif menjadi penting. Selain terus berdoa supaya Allah memberikan kelancaran.

Pengalaman saya, orang tua memang berat untuk memberikan izin menikah. Namun saya terus berkomunikasi/mendekati orang tua dengan cara dan strategi khusus. Setelah melalui proses nan panjang, orang tua mengizinkan saya menikah. Bahkan saya sempat terharu ketika ditelfon oleh ayah. Sikap ayah yang awalnya keras sekeras batu (melarang saya menikah) berubah menjadi lembut selembut sutra. “Kalau memang kamu mantap nikah, pulang nanti beli perhiasan sama ibumu untuk lamaran,” tuturnya.

Saya yakin banyak teman-teman yang ingin menyegerakan pernikahannya. Secara umur mungkin masih cukup muda. Kuliahnya juga masih di semester akhir. Kalau tidak, baru saja lulus namun belum jelas lapangan kerjanya. Problem lainnya, orang tua masih belum memberikan lampu hijau. Lebih penting lagi, belum tahu mau menikah dengan siapa. Itu semua adalah lika-liku untuk menuju kemuliaan hidup. Hal tersebut harus dimaknai sebagai dinamika yang nantinya menjadi kenangan manis.

Perlu saya tegaskan pula bahwa menikah bukan semata urusan pemenuhan kebutuhan biologis. Meskipun banyak yang berujar: “Menikah itu enaknya hanya 5 persen. Selelebihnya, yang 95 persen, enak banget…” Ingat, ada tujuan lain yang lebih penting. Disamping menikah adalah bentuk ketaatan kepada syariat, khususnya sunnah Rasulullah `. Dengan menikah, kesempatan untuk meraih kemuliaan menjadi semakin besar. Pintu dosa semakin tertutup rapat, pintu kebaikan terbuka lebar.

Saya sering membuat perumpamaan. Kalau memegang wanita bukan mahram (bukan isteri) itu jelas berdosa. Tetapi kalau yang dipegang dengan mesra adalah isteri justru menjadikan Allah ridha. Memandang wanita lain lebih dari batas wajar jelas tidak boleh. Sementara memandang isteri dengan kasih sayang menjadikan Allah menyayangi kita. Artinya, wujud aktivitas yang bernilai baik dan tidak itu sama. Pembeda yang menjadikannya berpahala atau berdosa adalah status; dia isteri kita atau bukan.

Kaya?
Saya senang sekali dengan kata-kata berikut. “Jangan menunggu bahagia hingga engkau tersenyum. Tetapi tersenyumlah untuk menjemput kebahagiaan. Tak perlu menunggu kaya hingga engkau bersedekah. Tetapi bersedekahlah supaya engkau kaya. Jangan menunggu kaya hingga engkau menikah. Tetapi menikahlah supaya engkau kaya.” Kalau begitu, bahagia dan kaya itu adalah proses aktif bukan menunggu, berpangku tangan, alias pasif.
Sesuai dengan firman Allah di atas, bahwa yang miskin akan dikayakan oleh-Nya. Karunia Allah sungguh teramat luas yang artinya sangat mudah bagi-Nya untuk memberikan kecukupan. Pilihan menikah kalau begitu harus disertai keyakinan akan ke-MahaBesaran-Nya. Tidak perlu khawatir akan kekurangan dengan menikah. Sebab, sekali lagi Allah sudah menjanjikan bagi mereka yang memilih jalan yang benar. Tentu kecukupan itu tidak datang begitu saja, perlu diusahakan dengan gigih.

Pertanyaannya selanjutnya; apakah kaya selalu berwujud materi? Benar bahwa kaya selama ini sering dimaknai sebagai kecukupan harta (materi). Sementara kaya yang sejati justru kekayaan hati (ghina an-nafs). Meskipun untuk mendapatkan kekayaan hati itu boleh jadi karena adanya dukungan materi (ghina al-māl). Sebaliknya, tanpa materi boleh jadi ketenangan atau kekayaan jiwa akan didapat. Mereka yang menikah harus paham betul dengan konsepsi kekayaan yang sejati tersebut.

Ketika menikah sudah pasti kaya karena telah memiliki pasangan hidup yang sah, legal, resmi, dan menjadi sarana untuk meraih barakah. Bersama isteri tercinta, kemanapun pergi hati terasa tenang, batin terasa aman, tidak ada yang perlu dicemaskan. Mengeluarkan uang—meskipun jumlahnya banyak—untuk kebutuhan isteri adalah sedekah dan kebaikan. Ketika raga begitu lelah beraktivitas ada isteri yang setia menanti di rumah. Itulah kekayaan hati.
Kekayaan lain adalah bahwa dengan menikah kita memiliki kekuatan yang lebih. Karena suami dan isteri ibarat dua sayap dari seekor burung. Sayap yang terpisah, kemana dia mampu mengudara? Tentu tidak mampu kemana-mana. Sementara dua sayap yang bersatu mampu mengudara ke angkasa. Artinya, suami dan isteri harus mampu bersinergi, berjuang seiring-sejalan, saling menguatkan dan meyakinkan. Begitu nasihat salah seorang guru saya.

Menikah tentu saja terkait pilihan masing-masing insan. Namun yang jelas dengan menikah, meminjam bahasa Salim A. Fillah, kita mendapatkan “Lapis-lapis Keberkahan”. Tergantung kapan kita mau mendapatkan keberkahan yang berlapis tersebut. Kalau keinginan sudah mengebu, persiapan sudah mulai ditata, ada kekhawatiran berbuat zina maka wajib hukumnya menikah. Namun kalau masih mampu menahan dan mashlahat tidak menikah lebih besar, menunda tidak menjadi persoalan.

Akhīran, menikah adalah fitrah manusia. Dengan menikah, kita mendapatkan keturunan. Keturunan tersebut yang akan memperpanjang kebaikan kita di dunia. Sebab, umur kita terbatas; cepat atau lambat kita akan menghadap. Dengan menikah, kita berupaya melahirkan generasi terbaik yang kelak menjadi tabungan kita. Semoga Allah memberikan kemudahan untuk menemukan sayap yang masih terpisah. Bagi yang sudah menemukan, semoga langgeng dan barakah. Wallāhu a’lamu bi ash-shawāb. []

Samsul Zakaria, S.Sy.,
Staf Prodi Hukum Islam

Mutiara Hikmah
DOA KEPADA PENGANTIN

بَارَكَ اللهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْكَمُاَ فِيْ خَيْرٍ.

Semoga Allah memberi berkah kepadamu dan atasmu serta mengumpulkan kamu berdua (pengantin laki-laki dan perempuan) dalam kebaikan.” (HR Penyusun-penyusun kitab Sunan, kecuali al-Nasai dan lihat Shahih al- Tirmidzi 1/316).

HAK DAN ADAB-ADAB SESAMA MUSLIM

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat”. (Q.S. Al-Hujurat: 10)

Keindahan Islam selalu terpancarkan di dalam perjalanan kehidupan manusia, dia tidak usang diterpa zaman dan tidak runtuh dimakan waktu. Sejarah penciptaan manusia memberikan sebuah bukti atas keindahan tersebut, misalnya dalam penciptaan manusia itu sendiri. Awal mula Allah hanya menciptakan seorang manusia, yaitu Adam Alaihissalam. Dengan ilmu-Nya Allah mengetahui bahwa segala sesuatu diciptakan berpasang-pasangan, ada siang ada malam, ada hujan ada panas, maka jika ada lelaki maka ada juga perempuan, dengan itu Allah ciptakan Siti Hawa Alaihassalam. Setelah banyak dan berkembangbiaknya manusia, terpisah oleh jarak dan terbagi-bagi dalam berbagai suku, dan berbangsa-bangsa, namun Allah tetap mengatakan untuk selalu saling mengenal satu sama lainnya, dan tidak untuk saling membangga-banggakan diri. Sesuai dengan apa yang telah Allah katakan dalam Firman-Nya:

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Q.S. al-Hujarat: 13).

Dalam pertemuan dan perkenalan manusia sesama saudaranya, seorang Muslim percaya bahwa semua saudaranya memiliki hak-hak dan kewajiban yang harus dipenuhi dan ditunaikan. Hak-hak tersebut terciptakan di dalam pergaulan sehari-hari melalui norma, aturan, etika, ataupun sopan santun. Di dalam Islam, dari semua kata-kata tersebut terkombinasi menjadi satu, itulah yang di sebut dengan adab.
Adab ini merupakan turunan dari hasil sebuah pendidikan (ta’dib) yang dikehendaki oleh Allah dan Rasul-Nya. Karena dengan adab inilah sebuah prilaku melahirkan suatu sikap sopan santun yang didasarkan atas aturan Agama, terutama Agama Islam. Nilai-nilai Islam yang terbentuk dalam adab terimplementasi langsung dalam pergaulan antar manusia, antar tetangga, dan antar kaum, hingga antar bangsa.
Lalu apa sajakah hak dan adab-adab yang harus dipenuhi oleh seorang Muslim terhadap Muslim lainya, agar pergaulan dan persaudaran selalu harmonis dan penuh dengan nilai-nilai ibadah kepada Allah ﷻ ?
Tentu banyak sekali adab-adab tersebut, namun dalam bahasan ini kita coba menjelaskan beberapa saja yang sekiranya mampu untuk kita terapkan di dalam kehidupan sehari-hari.

This is a post with post format of type Link

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Aenean commodo ligula eget dolor. Aenean massa. Cum sociis natoque penatibus et magnis dis parturient montes, nascetur ridiculus mus. Donec quam felis, ultricies nec, pellentesque eu, pretium quis, sem. Nulla consequat massa quis enim.

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Aenean commodo ligula eget dolor. Aenean massa. Cum sociis natoque penatibus.

This is a standard post format with preview Picture

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Aenean commodo ligula eget dolor. Aenean massa. Cum sociis natoque penatibus et magnis dis parturient montes, nascetur ridiculus mus.

Donec quam felis, ultricies nec, pellentesque eu, pretium quis, sem. Nulla consequat massa quis enim. Donec pede justo, fringilla vel, aliquet nec, vulputate eget, arcu. In enim justo, rhoncus ut, imperdiet a, venenatis vitae, justo. Nullam dictum felis eu pede mollis pretium. Integer tincidunt. Cras dapibus. Vivamus elementum semper nisi.

Read more

Post Formats is a theme feature introduced with Version 3.1. Post Formats can be used by a theme to customize its presentation of a post.

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Aenean commodo ligula eget dolor. Aenean massa. Cum sociis natoque penatibus et magnis dis parturient montes, nascetur ridiculus mus – more on WordPress.org: Post Formats