Jangan Mudah Putus Asa! “La Tay’Asu Min-Rauhillâh”

Jangan Mudah Putus Asa!

“La Tay’Asu Min-Rauhillâh”

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Berputus asa sering dirasakan oleh manusia, ketika ia tidak mendapatkan target hidupnya atau dalam keadaan yang sangat sulit. Keadaan putus asa mampu mendorong manusia kepada hal yang negatif dan tentunya dilarang oleh Islam, banyak yang berputus asa tidak menemukan cara untuk bangkit akhirnya mereka melakukan hal-hal yang merusak diri mereka.

Allah berfirman yang artinya, “Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir”.(Q.S. Yusuf [12]: 87)

Ayat tersebut memberitahukan bahwa janganlah sampai berputus asa dari rahmat Allah kecuali mereka yang kafir. Sedangkan dari tafsir al-Mukhtashar, maka hendaklah mencari berita tentang Yusuf dan saudaranya agar kalian mengetahui kabar mereka, dan arti dari “dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah ﷻ” yakni janganlah kalian berputus asa dari jalan keluar dan bantuan yang akan diberikan Allah . Lalu makna “Rauhi” yaitu segala yang dirasakan dan diyakini seseorang tentang keberadaan dan kedatangan-Nya.[1]

Maka maksud dari ayat tersebut yaitu jika manusia diberikan suatu kesulitan yang menurutnya sangat membebani diirinya, maka jangan sampai berputus asa tetaplah bersandar kepada Allah serta meyakini bahwa Allah ada dan pasti memberikan rahmat untuk menolong hamba-Nya. Hamba Allah yang memiliki keyakinan akan rahmat-Nya pasti ia tidak akan berputus asa, karena ia selalu bersandar pada Allah dan mengingat bahwa Allah menguji hamba-Nya tidak melebihi kemampuannya. Agama Islam membimbing umatnya ketika berputus asa hendaklah mengingat Allah .

Shalat Menghilangkan Sedihmu

Seseorang yang sedang dalam kesedihan, kekecewaan dan merasa risau, maka segeralah bangkit dan ingatlah Allah dengan cara mendirikan shalat. Setiap kali dirundung kegelisahan, Rasulullah menenangkan diri dengan shalat. Dari sahabat Hudzaifah, ia berkata, “Bila kedatangan masalah, Nabi ﷺ  mengerjakan shalat.” (H.R. Ahmad dalam al–Musnad [5/388] dan Abu Dawud [2/35])[2]. Beliau juga berkata kepada sahabat Bilal, “Wahai Bilal, kumandangkan iqamah shalat, buatlah kami tenang dengannya.” (Dihasankan al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 7892)

Bahwa shalat benar-benar menjadi penyejuk hati dan sumber kebahagiaan bagi Rasulullâh . Bahkan beberapa tokoh ulama ketika mereka sedang dihimpit suatu kesulitan dan menghadapi cobaan, mereka mendirikan shalat dengan khusyu’ untuk meminta pertolongan Allah , lalu mereka menjadi pulih dan semangat menjalani tekad hidup.[3]

Mendirikan Shalat sudah pasti memberikan ketenangan bagi mereka yang melaksanakannya dan menjadikan ia dekat dengan Allah dan mampu menjadi obat hati ketika dalam keadaan sedih, gundah dan terpuruk, bisa dikatakan shalat sebagai media untuk mengenal Allah dan menjadi penenang hati.

Kesulitan Menghebatkan Dirimu

Manusia dalam menjalani kehidupannya pasti pernah dan akan merasakan kesulitan, hambatan dan kesedihan. Tetapi dibalik segala kesulitan yang sudah dialami akan datang banyak pelajaran dalam hidup dan memberikan hikmah yang Allah ﷻ  beri dengan rahmat-Nya:

Diantara hikmahnya; (1) Melalui kesulitan itu akan menguatkan hatimu, (2) Menghapuskan dosa-dosa, (3) Menghancurkan rasa ujub, (4) Meluruhkan kelalaian, (5) Menyalakan lentera dzikir, (6) Menarik empati sesama, (7) Menjadi doa yang dipanjatkan kepada Allah, (8) Berserah diri kepada Allah, (9) Menjadi pengingat diri, (10) Menjadikan hati untuk tetap bersabar, (11) Merupakan persiapan untuk menghadap Sang Pemilik Hidup, (12) Dan menjadi pengingat untuk tidak cenderung kepada urusan dunia, memberikan rasa aman dan tenang dalam hati jika sudah meyakini rahmat-Nya.[4]

Dengan itu segala kesulitan yang dihadapi akan memberikan hikmah yang tentunya memberikan banyak pembelajaran kepada manusia dan semakin mengenal makna hakiki dari kehidupan.

Nikmat Allah Sudah Banyak Kita Dapatkan

Ketika manusia sedang merasa kesulitan, tentunya banyak melupakan pencapaian yang sebenarnya telah ia dapatkan. Cenderung orang yang dalam keadaan sedih banyak pikiran negatif yang datang, namun semua itu tidak boleh dibiarkan, dengan itu untuk mencegah hal-hal negatif yang datang dalam keadaan  sulit, hendaklah mengingat akan nikmat yang telah Allah berikan, mengingat Allah  telah memberikan banyak nikmat yang jarang disadari oleh manusia.

Keadaan gagal, terpuruk hendaklah mengingat kebaikan Allah  atas nikmat-Nya yang telah diberikan dengan itu rasa syukur akan hadir. Allah berfirman, “Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya” (Q.S. Ibrahim [14] : 34)

Jika manusia sadar akan nikmat Allah  yang begitu berlimpah, pasti ia tidak akan berputus asa, karena terus mengingat akan nikmat Allah yang telah diberikan kepadanya seperti nikmat hidup, nikmat sehat, nikmat pendengaran, pengelihatan, ada kaki dan tangan, air, makanan, udara dan banyak lagi. Menyadari akan nikmat Allah tentunya akan mengajak manusia untuk selalu bersyukur dan terus merasa cukup. Ketika manusia itu berada dalam kekeliuran, merasa kesulitan akan ada hikmah yang ia dapatkan dan itu salah satu nikmat hidayah yang Allah  beri kepadanya.[5]

Ingat! Setelah Kesulitan Ada Kemudahan

Allah  berfirman, “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan” (Q.S. Alam Nasyr [94]: 5-6)

Setiap permasalahan selalu ada jalan keluar, layaknya setelah lapar pasti ada rasa kenyang, setelah haus ada rasa puas, setelah begadang ada waktu tidur pulas, itulah keadaan dimana setelah kesulitan pasti akan ada kemudahan. Layaknya ketika manusia berada dalam kesedihan, tidak mungkin kesedihan itu akan ada setiap hari pasti tidak lama akan ada senyuman yang muncul yang bisa menghilangkan rasa sedih itu.

Allah  memberikan manusia ujian tidak lepas dari hikmah yang akan diberikannya setelah ia melewati ujian tersebut, Allah memberikan banyak kejutan yang tidak bisa manusia perkirakan, melalui ujian kehidupan Allah  akan memberi manusia banyak pembelajaran. Dengan adanya kesulitan dalam hidup, manusia menjadi sadar akan posisinya di muka bumi yang hanya sebagai hamba Allah yang  seharusnya patut mengingat-Nya. Melalui kesulitan manusia mengerti apa yang perlu ia lakukan dengan terus mengadu dan mendekat kepada yang menciptakannya.

Adapun langkah-langkah yang sudah diterangkan ketika manusia berada dalam posisi yang sangat sulit, sedih jangan sampai ia putus asa,maka laksanakanlah shalat dengan shalat tentu akan banyak mengingat Allahmelalui bacaan shalat dan dzikir di dalamnya sehingga menjadikan hati lebih tenang dan tentram. Kemudian mereka yang merasa berada dalam masa sulit yakinlah bahwa ia akan menjadi lebih hebat karena mampu melewati ujian itu dibekali dengan ketaatannya kepada Allah , melalui ujian kehidupan hati manusia menjadi kuat dan tentunya lebih sabar dalam menghadapinya.

Selanjutnya ingatlah selalu Allah  yang telah banyak memberikan nikmat kepada hamba-Nya, namun manusia sering sekali melupakan, maka dengan selalu mengingat banyak nikmat yang telah Allah berikan rasa sulit dalam diri akan hilang dan akan hadir dalam diri manusia rasa bersyukur sehingga mampu menerima apapun yang sedang dihadapinya.

Allah tidak akan menguji hamba-Nya melebihi kemampuannya, maka yakinlah segala rintangan dalam hidup pasti bisa dilewati berbekal keyakinan akan rahmat Allah .[]

 

Lia Ananda Haenida

FIAI/PAI UII 2017

 

Marâji’

[1] Bin Abdullah bin Humaid, S. D. S. Markaz Tafsir Riyadh. 2019. Kementrian Agama RI

[2] Dihasankan al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud

[3] Maksum, M. S. Laa Tay Asuu Jangan Putus Asa!. 2013. Medpress Digital.

[4] Ibid

[5] Ibid

 

Mutiara Hikmah

Doa Perlindungan dari Penyakit

اَللّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْبَرَصِ وَالْجُنُوْنِ وَالْجُذَامِ وَسَيِّئِ اْلأَسْقَامِ.

” Ya Allah, aku berlindung kepadaMu dari penyakit kulit belang, penyakit gila, penyakit lepra, dan penyakit yang (berakibat) buruk. ” (H.R. Abu Dawud, No.1554)

 

Download Buletin klik disini

Sikap Seorang Muslim Dalam Menghadapi Wabah Penyakit

Sikap Seorang Muslim Dalam Menghadapi Wabah Penyakit

Bismillahi walhamdulillahi wash-shalatu wassalamu ‘ala rasulillah.

Pembaca yang semoga dirahmati Allah , akhir-akhir ini dunia dihebohkan dengan kabar adanya jenis virus baru, yang mana kasus pertama ditemukan di kota Wuhan, Cina. virus jenis baru ini sering disebut sebagai virus corona atau Covid-19, yang menyerang saluran pernafasan manusia.

Menurut WHO, saat ini kasus yang ditimbulkan oleh virus corona mencapai 101.927 kasus, 80.813 kasus diantaranya berasal dari Cina. Sedangkan sisanya dilaporkan terjadi di 93 negara lainnya. Di Indonesia sendiri, baru-baru ini dikonfirmasi bahwa dari 483 orang yang diperiksa, 6 orang positif menderita Covid-19 dan ini ada kemungkinan terus bertambah. Virus ini juga menyerang tenaga medis yang ikut menangani kasus. Jumlah ini dapat terus berubah setiap waktunya.[1]

Kasus ini menjadi perbincangan hangat di berbagai media sosial. Tak sedikit akun-akun media sosial yang memberitakan berbagai informasi terkait kasus ini. Bahkan saat ini masih menjadi tranding topic di media sosial. Mengetahui hal ini, lalu bagaimanakah sikap kita sebagai seorang muslim?

Bertawakkal Kepada Allah

Dalam kehidupan ini, tidak ada yang terjadi kecuali atas izin Rabbul ‘âlamîn yang menciptakan alam ini, yaitu Allah . Segala sesuatu yang terjadi di muka bumi ini telah Allah tetapkan takdirnya, bahkan tidak ada satu daun pun yang jatuh melainkan atas izin Allah . Maka sudah sepatutnya bagi kita seorang muslim, meyakini bahwa Allah-lah yang telah menghendaki segala sesuatu terjadi. Allah berfirman: “Tidak ada suatu musibah yang menimpa (seseorang), kecuali dengan izin Allah, dan barangsiapa beriman kepada Allah, niscaya Allah akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (Q.S. at-Taghabun [64]: 11).

Dalam sebuah hadits, dari Abul Abbas, Abdullah bin Abbas, dia berkata: “Pada suatu hari aku membonceng Nabi ﷺ, lalu beliau bersabda: ‘Nak, aku akan mengajarkan beberapa kalimat kepadamu: Jagalah Allah, niscaya engkau akan selalu mendapati-Nya ada di hadapanmu. Jika engkau memohon sesuatu, mohonlah kepada Allah, dan jika engkau meminta pertolongan, minta tolonglah kepada Allah. Ketahuilah, seandainya semua ummat manusia bersatu untuk memberikan suatu kebaikan kepadamu, mereka tidak akan mampu melakukannya kecuali atas apa yang telah Allah tetapkan bagimu. Dan seandainya mereka bersatu untuk mencelakakanmu, mereka tidak akan mampu melakukannya kecuali atas apa yang telah Allah tetapkan bagimu. Pena (penulis takdir) telah diangkat dan lembaran-lembaran (catatan takdir) telah kering”. (H.R. At-Tirmidzi, hasan shahih).

Dari hadits tersebut, kita bisa mengambil pelajaran betapa pentingnya beriman kepada takdir Allah . Manfaat dan mudharat yang menimpa seseorang, semua atas kehendak dan takdir Allah . Adapun seseorang yang terkena musibah atau wabah penyakit dikarenakan hal (sebab) tertentu, itu menjadi suatu sebab baginya, namun tak terlepas dari takdir Allah . Selain itu, pentingnya bagi kita untuk menjaga perintah-perintah Allah , agar Allah  senantiasa melindungi dan menolongan kita. Selain itu, hendaknya seorang muslim tidak memiliki ketakutan dan kekhawatiran yang berlebihan terhadap hal tersebut. Dengan bertawakkal kepada Allah , akan melahirkan ketenangan hati dan kesabaran dalam menghadapi musibah.

Memperbanyak Berdo’a

Memperbanyak do’a dan dzikir adalah bentuk ikhtiyar kita kepada Allah . Do’a menjadi sebab untuk mencegah bala’ bencana dan mendapatkan pertolongan dari kesulitan (atas izin Allah). Do’a memohon perlindungan dari penyakit: “Allaahumma innii ‘auudzu bika minal barashi wal junûni wal judzâmi wa sayyi-il asqâm (artinya: Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari penyakit kulit, gila, lepra, dan dari penyakit yang jelek lainnya)” (H.R. Abu Daud, no. 1554).[2]

Selain itu, do’a juga sebagai bukti tawakkalnya seseorang kepada Allah . Hendaknya kita mengamalkan dzikir-dzikir yang telah disyariatkan, seperti dzikir pagi dan dzikir petang. Dengan berdzikir kepada Allah , in sya Allah hati dan jiwa kita akan menjadi tenang, senantiasa dilindungi oleh Allah , dan tidak dibayangi oleh ketakutan dan kekhawatiran yang berlebihan. Allah berfirman: “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tentram” (Q.S. Ar-Ra’d [13]: 28).

Menjaga Kebersihan Diri

Ikhtiyar lain yang dapat dilakukan adalah dengan menjaga kebersihan diri dan lingkungan. Islam telah mengatur dengan sedemikian rupa terhadap hal-hal yang besar hingga hal yang paling sederhana. Mulai dari bangun tidur hingga tidur lagi, syari’at ini telah mengaturnya untuk kemaslahatan manusia itu sendiri. Jika kita bisa mengikuti rambu-rambu syari’at dengan benar, in sya Allah kita akan selalu diberikan kesehatan dan keselamatan oleh Allah

Selektif dalam Menerima dan Menyebarkan Berita

Berita di media sosial merupakan hal yang kita anggap penting, karena dengannya kita bisa mengetahui kondisi terkini terkait dengan sesuatu yang sedang terjadi di sekitar kita, maupun informasi yang berasal dari belahan bumi lainnya. Namun, sangat disayangkan, tak sedikit orang-orang yang tidak bertanggungjawab, mereka membuat berita palsu atau hoax dan kemudian disebarluaskan. Hal tersebut mereka tujukan untuk ketenaran, ada pula yang hanya bermain-main saja. Alhasil, orang-orang yang kurang selektif membaca berita tersebut, ikut menyebarluaskan. Berita hoax terkait virus corona banyak tersebar luas di media sosial. Sebagai seorang muslim, ketika kita menerima suatu berita, kita diharuskan memeriksa terlebih dahulu apakah berasal dari sumber yang dapat dipertanggunggjawabkan, dan apakah berita tersebut benar-benar menggambarkan fakta yang terjadi. Allah berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu” (Q.S. al-Hujurât [49]: 6).

Tidak Mempersulit Orang Lain

Merebaknya berita wabah corona menyebabkan timbulnya fenomena Panic Buying, yaitu tindakan membeli sejumlah besar produk yang tidak biasa untuk mengantisipasi bencana, atau setelah terjadinya bencana, atau saat merasakan terjadinya bencana untuk mengantisipasi kenaikan harga. Fenomena ini terjadi pada pembelian barang-barang yang dirasa penting untuk mencegah adanya penularan virus. Namun, sayangnya hal ini dimanfaatkan oleh kebanyakan orang untuk meraih keuntungan dengan menaikkan harga barang yang melebihi batas kewajaran. Imbasnya, orang yang awalnya hanya ingin membeli barang tersebut untuk kebutuhan kesehariannya, akhirnya ia terpaksa mengeluarkan uang dua kali lipat atau lebih. Atau, yang seharusnya ia membeli, akhirnya ia kesulitan untuk mendapatkannya.

Dalam Islam, kita diperintahkan untuk memudahkan urusan orang lain, dalam berbagai perkara. Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang mempermudah kesulitan orang lain, maka Allah ﷻ akan mempermudah urusannya di dunia dan akhirat.” (H.R. Muslim)[3]. Maka hendaknya kita mempermudah urusan saudara kita, agar (semoga) Allah  mempermudah urusan kita pula tatkala kelak kita dalam keadaan sulit.

Masih banyak lagi sikap yang seharusnya ada pada seorang muslim dalam menghadapi fenomena seperti ini yang tidak penulis sebutkan disini. Semoga kita semua tetap semangat dalam menuntut ilmu syar’i, sehingga kita memiliki ilmu dan dapat mengambil sikap yang tepat dalam menghadapi suatu fenomena yang terjadi di sekitar kita. Semoga Allah selalu menjaga negeri kita dari musibah dan wabah penyakit. âmîn.[]

 

Uswatun Chasanah

Psikologi UII

 

Marâji’

[1] https://infeksiemerging.kemkes.go.id/

[2] https://rumaysho.com/21766-doa-meminta-perlindungan-dari-penyakit-kulit-gila-dan-berbagai-penyakit-jelek.html

[3] https://muslim.or.id/610-muamalah-allah-terhadapmu-sesuai-dengan-muamalahmu-terhadap-hamba-nya.html

 

Mutiara Hikmah

Doa Perlindungan dari Penyakit

اَللّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْبَرَصِ وَالْجُنُوْنِ وَالْجُذَامِ وَسَيِّئِ اْلأَسْقَامِ.

” Ya Allah, aku berlindung kepadaMu dari penyakit kulit belang, penyakit gila, penyakit lepra, dan penyakit yang (berakibat) buruk. ” (H.R. Abu Dawud, No.1554)

Download Buletin klik disini

Pola Hidup Sehat

Pola Hidup Sehat

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Sedikit sedikit sakit, terus apakah Islam memperhatikan dan menjaga kesehatan manusia? Mungkin kalimat ini banyak muncul di sebagian besar benak umat Islam pada umumnya. Melalui buletin ini mudah mudahan dapat berbagi informasi tentang betapa Islam menganjurkan kepada seluruh manusia untuk menjaga kesehatannya, salah satunya dengan menjaga pola makan yang baik dan benar serta olah raga yang tertib.

Al-Qur’an diturunkan sekitar 14 abad yang lalu, dan kita ketahui bahwa seluruh isi al-Qur’an dapat di pastikan tidak ada yang bertentangan dengan alam dan manusia pada khusunya. Kita ketahui pula bahwa al-Qur’an diturunkan kepada manusia (hamba) yang (ummiy) atau seseorang yang tidak bisa membaca dan tidak pula bisa menulis, yaitu Muhammad `. Dengan ini tentu menambah keyakinan kita selaku umatnya bahwa al Qur’an bukan karangan dari Muhamad, tetapi merupakan wahyu yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tuhan semesta alam.

Makanlah Makanan yang Halal lagi Baik.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya), “Wahai sekalian manusia makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah mengikuti langkah langkah setan. Sesungguhnya setan adalah musuh yang nyata bagi kalian. (Q.S. al-Baqarah [2]: 168).

Dari ayat diatas sangat jelas bagi kita bahwa Allah memerintahkan kepada seluruh manusia untuk mengonsumsi makanan bukan hanya yang halal tetapi juga Thayyib ( baik). Kalau kita merujuk para mufassir salah satunya adalah Tafsir Ibnu Katsir, beliau berpendapat bahwa Thayyib  adalah sesuatu yang baik, tidak membahayakan tubuh dan akal/ fikiran[1].

Syaikh Abdurrahman as’sa’di, berpendapat dalam Tafsir as Sa’di, bahwa makna kata الحلال yaitu segala sesuatu yang tidak membahayakan, dan itu adalah segala sesuatu yang Allah izinkan untuk dimanfaatkan. Kata الطيب yaitu sesuatu yang suci, tidak najis, dan tidak menjijikkan yang tidak disukai oleh jiwa.[2]

Kebanyakan kita pada umumnya banyak yang lupa atau bahkan kurang memahami tentang kata thayyib tersebut, kebanyakan dari kita hanya yang penting halal, sehingga konsep baik itu sendiri terlupakan.

Mengapa Allah menggandengkan kata halal dengan thayyib dalam hal makanan? Karena tidak selamanya yang halal itu baik, di zaman sekarang ini banyak makanan yang secara dzatnya halal, tetapi secara kesehatan makanan tersebut tidak baik untuk di konsumsi, oleh karena itu Allah menganjurkan makanan yang halal dan juga baik.  Apalagi di era globalisasi seperti zaman sekarang ini, banyak makanan dan minuman yang siap saji, semua makanan serba cepat dan instan, membuat kita harus pandai memilah dan memilih tentunya, mana makanan yang halal dan juga baik.

Banyak diantara kita yang kurang teliti dan cermat tentang makanan yang kita makan sehari hari, kebanyakan hanya fokus pada yang penting halal dan melupakan apakah makanan itu baik atau tidak untuk badan kita. Banyak makanan dan minuman yang beredar di sekitar kita, makanan itu halal dari sisi dzat nya, tetapi tidak thayyib untuk dikonsumsi oleh kita.

Salah satu contohnya adalah minuman dalam kemasan yang mengandung pemanis buatan dan juga pengawet. Makanan dan minuman tersebut bisa bertahan hingga berbulan bulan bahkan bertahun tahun. Makanan yang siap saji dan yang mengandung pengawet dan pemanis buatan itu, secara dzat nya halal, tetapi secara kebaikan dan gizi makanan tersebut tidak thayyib. Hal ini kalau kita konsumsi setiap hari tanpa kita sadari, kita sudah menumpuk bahan bahan yang tidak baik dalam tubuh kita, yang nantinya dalam jangka Panjang bisa membuat tubuh kita menjadi rusak dan sakit.

Dalam ayat yang lain Allah Subhanahu wa Ta’ala, menegaskan kepada kita untuk memakan makanan yang baik. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 172 (yang artinya) “Hai orang orang yang beriman, makanlah diantara rizki yang baik baik yang kami berikan kepada mu, dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar benar hanya kepada allah kamu menyembah. (Q.S. al-Baqarah [2]: 172).

Menjaga Kebersihan Diri.

Seperti yang kita tahu, bahwa Rasulullah ` sangat menjaga kesehatannya, salah satunya beliau selalu menjaga kebersihan, karena kebersihan adalah bagian dari iman itu sendiri. Mari kita menengok sejenak ke belakang pada masa hidup Rasulullah `. Kita tahu bersama bahwa Rasul hanya pernah mengalami sakit 2 kali, pertama, pada saat beliau di racun oleh Zainab binti al Harits, dan yang kedua beliau sakit ketika menjelang wafat. Ini sangat luar biasa. Harusnya kita selaku umatnya mengikuti pola hidup yang diajarkandan di lakukan oleh Nabi kita.

Apa yang di lakukan oleh Rasul semasa hidupnya? Mari kita tengok sejenak. Rasulullah `  selalu menjaga kebersihan. Beliau selalu membiasakan hidup bersih, mulai dari mencuci tangan, bersiwak, menjaga wudlu, mandi, bersuci setelah buang air besar dan air kecil. Ini menunjukan bahwa pola hidup nabi sangat menjaga kebersiahan. Rasul sadar betul bahwa pangkal dari kesehatan adalah kebersihan.

Makan Makanan Yang Halal dan Baik.

Kita juga tau betul bahwa Rasulullah ` selalu memakan makan yang halal dan baik, salah satu makanan Rasulullah ` adalah madu dan kurma, buah buahan serta sayur sayuran. Ini menunjukan bahwa pola hidup nabi sangat menjaga kesehatan dan pola makan.

Tidak Melupakan Berolahraga.

Salah satu olahraga yang dilakukan oleh Rasulullah ` ialah “lari”. Dalam hadts yang diceritakan oleh Aisyah i, “Rasulullah ` mendahuluiku, kemudian aku mendahului beliau, begitulah seterusnya. Hingga saat badanku sudah gemuk, kami pernah berlomba dan beliau yang memenangkan perlombaan itu. Kata beliau “kemenangan kali ini adalah balasan atas kekalahan yang lalu.” (H.R. Ahmad dan Abu Daud).

Hadits ini bercerita tentang perlombaa lari antara Nabi dan istrinya aisyah i. Ini menunjukan bahwa beliau rajin berolahraga. Kita sudah seharusnya sebagai umatnya rajin berolahraga, karena dengan berolah raga badan kita menjadi fit dan selalu diberi kesehatan dan jiwa yang kuat.

Selain berlari Rasul juga gemar “memanah” banyak hadits yang berkisah tentang ini salah satunya adalah hadits shahih yang diriwayatkan oleh imam Bukhari. “Lemparlah panahmu itu dan saya bersama kamu sekalian”. (H.R. Bukhari). Dalam hadits lain Rasulullah ` pernah bersabda, “Kamu harus belajar memanah, karena memanah itu termasuk dari sebaik baik permainan.” (H.R. al-Bazzar dan Thabrani).

Banyak diantara kita yang melupakan olahraga, olahraga dianggap sebagian besar orang sebagai suatu kegiatan yang kurang bermanfaat, padahal dibalik olahraga tersimpan hal hal positif yang bermanfaat buat tubuh kita. Ada pepatah yang mengatakan banyak orang yang menghabiskan waktunya untuk mencari uang, setelah itu mereka menghabiskan uang itu untuk pengobatanya. Banyak diantara kita yang sibuk menghabiskan waktunya untuk bekerja, bahkan mereka lupa untuk berolahraga, setelah mulai sakit baru terasa, betapa pentingnya melakukan hidup sehat dengan berolahraga.

Dalam hadits yang lain Rasulullah ` pun gemar berenang dan berkuda. Salah satunya adalah hadits yang di riwayatkan oleh Imam Muslim, “Sesungguhnya Rasulullah pernah mengadakan pacuan kuda dan memberi hadiah kepada pemenangnya. (H.R. Muslim)

Subhanallâh walhamdulillâh, ternyata Rasulullah ` sudah mencontohkan dan mengajarkan perilaku hidup sehat sejaka 14 abad yang lalu. Beliau mengajarkan untuk hidup seimbang, antara ruhaniah dan kebutuhan fisik. Mari kita semakain bersemangat lagi untuk terus mengikuti dan mengamalkan sunnah sunnah yang nabi ajarkan, mudah mudahan rahmat dan berkah Allah l selalu menyertai kita. Âmîn.[]

 

Irwanto, M.Pd

Prodi Manajemen Pendidikan Islam

Fakultas Ilmu Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

 

Marâji’:

[1] Imam Ibnu Katsir. Tafsir Al-Qur’an al ‘Adhim. Beirut: Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyyah. Jilid I, hal. 253 https://islam.nu.or.id/post/read/112683/makna–halalan-thayyiban–dalam-al-qur-an

[2] https://tafsirweb.com/650-quran-surat-al-baqarah-ayat-168.html

 

Mutiara Hikmah

Rasulullah ` berdoa,

اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ

“ Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari hilangnya kenikmatan yang telah Engkau berikan, dari berubahnya kesehatan yang telah Engkau anugerahkan, dari siksa-Mu yang datang secara tiba-tiba, dan dari segala kemurkaan-Mu ” (H.R. Muslim no. 2739).

 

Download Buletin klik disini

Agar Hari-Harimu Tidak Merugi

Agar Hari-Harimu Tidak Merugi

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Islam sebagai agama yang sempurna tentunya mengajarkan kepada umatnya untuk senantiasa melewati setiap waktunya dengan hal-hal terbaik. Karena setiap detik yang dilewati seorang Muslim itu merupakan kesempatan yang sangat berharga yang tidak bisa untuk diulang kembali. Muhammad bin Idris asy-Syafi’i mengibaratkan waktu itu bagaikan pedang. Kemudian Imam As-Syafi’i n melanjutkan apabila seseorang tidak bisa menebas waktunya, bersiaplah dia akan merasakan tebasan pedangnya sendiri.

Imam Syafi’i juga menambahkan bahwa seorang muslim apabila waktunya tidak digunakan atau disibukkan dengan hal-hal yang bermanfaat, maka ada kemungkinan waktunya digunakan atau disibukkan dengan hal-hal yang dihiasi akan kemudaratan atau kebatilan. Allah ﷻ berfirman, “Maka apabila engkau telah selesai (dari suatu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain)” (Q.S al-Insyirah [94]:7)

Ayat di atas setidaknya mengabarkan kepada kita tentang pentingnya waktu bagi seorang Muslim. Sehingga seorang Muslim itu apabila dia sudah menyelesaikan satu urusan, maka al-Qur’an memerintahkan kita untuk pindah atau beralih ke urusan bermanfaat lainnya. Ibnu Katsir di dalam tafsirnya menjelaskan maksud dari apabila telah selesai dari suatu urusan adalah urusan terkait dengan dunia dan segala kesibukannya. Kemudian berpindah ke urusan yang lain maksudnya adalah menuju ke perkara akhirat atau ibadah dan bersibuk-sibuklah di dalamnya.

Jika kita melihat lanjutan ayatnya, maka akan kita temukan, “Dan hanya kepada Tuhanmulah engkau berharap” (Q.S al-Insyirah [94]: 8). Dalam menjalankan kesibukan kita, baik itu perkara dunia maupun akhirat, tentunya kita tetap bergantung atau meniatkannya kepada rabb yang telah menciptakan kita. Begitulah sekiranya maksud dari ayat terakhir surah al-Insyirah di atas. As-Sauri berkata jadikanlah setiap kesibukan kita bermuara kepada Allah ﷻ.

Maka niat juga menjadi hal yang sangat penting di dalam kita memulai setiap aktifitas kita. Dari Umar a, bahwa Rasulullah ` bersabda, ”Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai dengan niatnya…” (H.R Bukhari Muslim). Oleh karena pentingnya niat dalam setiap perbuatan kita, maka jangan pernah sama sekali untuk alpa berniat dalam setiap memulai kegiatan.

Waktu di Dalam al-Qur’an

Waktu secara khusus disebutkan di dalam surah al-‘Ashr yang sering diartikan demi waktu. Di dalam surah ini Allah ﷻ ingin menyampaikan kepada hamba-Nya berkaitan dengan pentingnya waktu. Dijelaskan pula di dalamnya mengenai beberapa hal penting, yang menjadikan seseorang tidak akan sia-sia dalam melewati setiap hari-harinya. Allah ﷻ berfirman, “Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholeh dan saling mengingatkan di dalam kebaikan serta saling mengiingatkan di dalam kesabaran” (Q.S al-‘Ashr [103]: 1-3)

Pada awal surah al-‘Ashr sebagaimana yang tertera artinya di atas, Allah ﷻ menggunakan kata sumpah atau di dalam kaidah bahasa Arab sering disebut juga dengan istilah waw qasam artinya huruf waw sumpah. Maka seperti yang kita ketahui bersama juga, qasam atau sumpah di dalam al-Qur’an itu berarti penekanan atau penegasan yang bertujuan agar manusia itu benar-benar memperhatikan akan sesuatu yang ingin dijelaskan oleh Allah ﷻ.

Dalam hal ini Allah ﷻ ingin memberikan penegasan kepada kita semua terkait dengan waktu, karena tentunya penegasan ini terjadi disebabkan oleh adanya orang-orang yang tidak memperhatikan waktu-waktu yang dilaluinya. Ditambah lagi dengan ancaman kerugian yang disampaikan oleh Allah ﷻ pada ayat selanjutnya, dan lagi-lagi pada ayat ini Allah ﷻ menggunakan penekanan atau di dalam kaidah Nahwu dikenal juga dengan sebutan tawkid atau penekanan. Allah ﷻmenggunakan lam tawkid pada kata-kata lafî khusri yang artinya benar-benar dalam kerugian.

Namun ada pengecualian yang dijelaskan pada ayat terakhir di dalam surah ini. Pengecualian ini pula agaknya yang menjadikan waktu kita atau hari-hari yang kita lalui tidak merugi. Pengecualian itu adalah bagi mereka yang beriman, dan mengerjakan amal shalih, dan saling menasehati di dalam kebaikan serta saling menasihati di dalam kesabaran.

Beriman

Indikator pertama seseorang dikatakan tidak merugi dalam melewati setiap waktunya adalah beriman. Iman ini merupakan hal yang paling dasar bagi seseorang setelah dirinya berislam. Beriman berarti juga harus memiliki ilmu, karena tidak mungkin seseorang yang beriman tapi tidak didasari akan ilmu di dalamnya.

Mustahil seseorang akan benar-benar meyakini sesuatu yang dirinya sendiri tidak mengetahui akan sesuatu tersebut. Maka tidak merugilah bagi orang-orang yang bisa melewati hari-harinya dengan menambah ilmu mereka yang menjadikan dirinya semakin yakin atau beriman kepada Allah ﷻ. Singkatnnya indikator pertama seseorang agar hari-harinya tidak merugi adalah dengan senantiasa menuntut ilmu untuk menambah keimanan kepada sang penciptanya.

Mengerjakan Amal Shalih

Selanjutnya setelah kita beriman dengan didasari ilmu sebagaimana dijelaskan di atas, maka langkah selanjutnya yang harus kita lakukan agar hari-hari kita tidak penuh akan kesia-siaan adalah mengerjakan amal shalih. Lagi-lagi ilmu menjadi dasar bagi seseorang sebelum dia mengerjakan amal shalih. Karena ilmu itu letaknya sebelum perkataan dan amal, begitulah sekiranya disampaikan oleh guru-guru kita. Selain itu amal shalih ini juga buah dari iman, maka tidak jarang di dalam al-Qur’an amal shalih itu disandingkan dengan kata-kata iman.

Adapun amal shalih yang dapat kita lakukan untuk mengisi hari-hari kita sudah sangat banyak dipaparkan di dalam al-Qur’an. Misalnya amal shalih yang paling sering kita lakukan yaitu shalat, Allah l berfirman, “Yaitu mereka yang beriman kepada yang ghaib, melaksanakan sholat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang kami berikan kepada mereka” (Q.S al-Baqarah [2]: 3)

Saling Mengingatkan Di Dalam Kebaikan

Setelah kita beriman yang di dasari dengan ilmu, kemudian buah dari tindak lanjutnya mengerjakan amal shalih, maka selanjutnya adalah kita harus saling mengingatkan di dalam kebaikan. Karena tentunya kita semua sebagai manusia yang tidak luput akan kesalahan harus selalu saling mengingatkan satu sama lainnya. Ringkasnya kita dituntut oleh Allah ﷻ untuk berdakwah mengajak orang lain menuju kebaikan. Karena Allah ﷻ sudah memberikan kita gelar umat terbaik yang dikeluarkan ke muka bumi. Allah ﷻ berfirman, “Kalian (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, karena menyuruh kepada kebaikan dan mencegah kemungkiran dan beriman kepada Allah…” (Q.S Ali Imran [3]: 110)

Saling Mengingatkan Di Dalam Kesabaran

Di dalam menjalankan kehidupan di dunia, tentunya kita tidak luput dari yang namanya masalah. Maka salah satu kunci untuk menghadapi masalah tersebut adalah dengan cara bersabar. Terkadang keimanan kita diuji dengan beberapa guncangan yang menghujam hati, amal shalih kita diuji dengan beberapa rintangan yang menghampiri, dakwah kita pula diuji dengan beberapa cacian dan cibiran yang meresahi.

Maka tidak ada kunci yang paling baik dalam menghadapinya selain kita bersabar serta mengajak orang lain untuk bersabar. Karena Allahﷻ akan selalu membersamai orang-orang yang bersabar serta mengganjarkan balasan yang tanpa batas bagi mereka pelaku sabar. Allahﷻ berfirman,“Hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas.” (Q.S az-Zumar [39]: 10)

Dari beberapa uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa agar hari-hari yang kita lalui tidak merugi dapat kita isi dengan cara melewati hari-hari tersebut dengan menuntut ilmu yang menambah keyakinan kepada Allah ﷻ, kemudian mengamalkan ilmu yang kita dapat atau mengerjakan amal shalih, kemudian mengajak orang lain untuk merasakan kenikamatan iman sebagaimana yang kita rasakan pula atau berdakwah, terakhir untuk melengkapi itu semua kita harus bersabar serta mengajak orang lain pula untuk bersabar dalam menghadapi lika-liku waktu yang kita hadapi. Dengan melaksanakan itu semua seraya berharap ridha dari Allah ﷻ, maka in syâ Allâh kita akan menjadi orang-orang yang beruntung setiap harinya, karena lawan dari rugi itu sendiri berarti untung. Wafaqânallâhu li ma yuhibbu wa yardha.[]

 

Muhammad Ikram

Prodi Ahwal Syakhsiyyah 2016
FIAI UII

Mutiara Hikmah

Allah l berfirman, “Maka sembahlah Allah dengan tulus ikhlas beragama kepada-Nya.” (Q.S az-Zumar [39]: 2]

 

Download Buletin klik disini

Takdir Allah Yang Terbaik

Takdir Allah Yang Terbaik

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘ala rasûlillâh,

Sahabat fillah, mengimani takdirnya Allah ﷻ merupakan salah satu komponen dari rukun iman. Hal ini termasuk dalam rukun iman yang ke-6. Kata “iman” berarti percaya atau meyakini. Maka, orang yang mengimani rukun iman yang 6 adalah orang yang meyakini kebenaran dari rukun iman tersebut. Takdir adalah sebuah ketetapan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Harus diperhatikan dalam memahami takdir karena salah memahami keimanan terhadap takdir dapat berakibat fatal, menyebabkan batalnya keimanan seseorang.

Ahlus sunnah beriman bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan seluruh takdir sejak azali, dan Allah mengetahui takdir yang akan terjadi pada waktunya dan bagaimana bentuk takdir tersebut, semuanya terjadi sesuai dengan takdir yang telah Allah ﷻ tetapkan.

Perjalanan kehidupan manusia tidaklah selalu lurus layaknya sebuah jalan tol. Ada lika-liku, naik-turun bahkan tikungan tajam. Hal ini juga serupa dengan tidak selalu hal baik yang kita inginkan yang terjadi dalam kehidupan kita, ada hal-hal yang sama sekali tidak kita inginkan, namun Allah Subhanahu wa Ta’ala takdirkan itu pada kita. Sedih, kecewa, dan marah, mungkin itu yang akan menjadi respon pertama kita ketika mendapati hal yang tidak sesuai dengan ekspektasi kita. Tak selalu gembira dan tawa yang menjadi teman dalam kehidupan kita. Kadang air mata dan rasa kecewa mau tidak mau juga menjadi teman. Mungkin jika bisa memilih, kita ingin selalu mendapati apa yang kita inginkan dalam kehidupan kita.

Sebenarnya, apakah kita pernah mengetahui keinginan kita akan berdampak baik untuk kita atau tidak? Selama ini, kita selalu saja menilai dan melihat sesuatu hanya melalui sudut pandang yang kita senangi saja. Jarang bahkan hampir tidak pernah kita memikirkan dampak lain dari pilihan atau keinginan kita. Kita terlalu asyik dengan gambaran kebaikan yang sebenarnya kita sendiri yang menciptakan hal tersebut, yang belum tentu hal itu bakal menjadi sebuah kenyataan. Tapi, bukan berarti kita harus menghentikan keinginan atau impian kita. Tetap lanjutkan sebuah impian dan keinginanmu, namun ada hal yang harus kamu ubah, yaitu percaya dan menerima takdir yang menghampirimu.

Kemungkinan ada banyak diantara kita, ketika menerima takdir yang tidak diinginkan akan menjadi sedih. Hal itu wajar, karena kondisi yang  sudah kita harapkan ternyata malah sebaliknya. Ketika kita sudah berusaha mati-matian untuk memperjuangkan hal yang menjadi keinginan kita, namun pada nyatanya yang terjadi adalah hal yang sama sekali tidak kita harapkan. Murka pada takdir, dan seolah merasa seperti satu-satunya manusia yang dizhalimi oleh takdir. Kalau kita melihat kilas balik, sangat banyak kejadian yang ditetapkan oleh Allah kepada orang-orang terdahulu yang jauh dari ekspektasi mereka.

Simaklah Kisah Ini

Kisah ibunda Nabi Musa n yang menghanyutkan anaknya di atas laut. Lihatlah, kecemasan dan ketakutan yang luar biasa menghinggapi saat mengetahui anaknya berada di tangan keluarga raja Fir’aun. Tetapi, tanpa diduga tragedy itu berbuah manis di kemudian hari.

Perhatikan pula dengan seksama kisah hidup Nabi Yusuf n, maka kamu akan menemukan bahwa kaidah ini cukup menggambarkan drama mengharukan antara Nabi Yusuf n dan sang ayah, Nabi Ya’qub n.

Lihatlah kisah bocah laki-laki yang dibunuh oleh Nabi Khidir n atas perintah langsung dari Allah. Apa yang dilakukan oleh Nabi Khidir itu membuat Nabi Musa n bertanya-tanya, maka Nabi Khidir n pun memberikan jawaban yang kata-katanya diabadikan di dalam al-Qur’an.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan adapun anak muda itu, maka keduanya adalah orang-orang mukmin, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuan yaitu kepada kesesatan dan kekafiran. Dan kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya).” (Q.S. al-Kahfi [18]: 80-81).

Dari kisah tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa dari setiap kejadian yang mungkin tidak kita sukai atau senangi terdapat kebaikan yang Allah ﷻ berikan didalamnya. Namun kita sebagai manusia, jarang sekali melihat kebaikan tersebut, dan cenderung lebih menilai dari keburukannya. Dalam hidup kita selalu merasa apa yang menjadi pilihan kita dan apa yang kita sukai adalah hal yang terbaik bagi kita.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 216).

Dari ayat diatas menggambarkan tentang apa-apa yang kita sukai belum tentu baik untuk kita, dan sebaliknya apa yang buruk menurut kita belum tentu benar buruk adanya. Manusia hanya bisa melihat melalui panca indranya yaitu mata yang sebenarnya juga memiliki kerterbatasan.

Allah lah sejatinya yang dapat melihat segala sesuatu dan mengetahuinya tanpa ada batasan apapun. Hal ini sesuai dengan asma Allah yaitu al- Bashîr dan al-‘Alim, yaitu Maha Melihat dan juga Maha Mengetahui. Maka dari itu, tidak sepatutnya kita merasa bahwa kita mengetahui segala sesuatu yang terbaik bagi kita dan seolah kita, kita sebagai manusia hanya dapat berikhtiar untuk mendapatkan sesuatu. Namun takdir Allah lah yang akan menetapkan itu semua, dan kita harus menanamkan sifat ikhlas dalam diri kita agar tidak pernah kecewa terhadap apa pun keputusan Allah. Karena Allah tidak akan mungkin mengecewakan hambanya. Ada sebuah syair yang berkaitan dengan hal ini, yaitu “Seseorang seharusnya berusaha sekuat tenaganya mendapatkan kebaikan. Tetapi, ia tidak akan bias menetapkan keberhasilannya.

Takdir Allah adalah yang Terbaik

Sahabat fillah, takdir Allah adalah yang terbaik. Janganlah selalu merasa ketika Allah memberikan kita takdir yang sulit untuk dilakukan lantas kita langsung berprasangka buruk kepada Allah.  Kita tahu banyak orang hebat diluar sana yang lahir dari sebuah kesulitan, namun mereka tidak lantas menyerah dan putus asa. Karena mereka yakin bahwa Allah tidak membebankan segala sesuatu kepada hambanya melainkan karena kesanggupannya.

Jenderal Sudirman merupakan seorang pemuda yang memiliki kekurangan dalam hal fisik, yaitu kakinya lumpuh dan menderita penyakit kronis. Hal itu menyebabkan ia selalu ditandu untuk memimpin pasukannya. Apa yang dialami oleh Jenderal Sudirman bukanlah sesuatu yang diinginkan oleh beliau ataupun keluarganya. Namun itu sudah berupa ketetapan yang sudah Allah takdirkan.

Namun lagi dan lagi, Allah tidak pernah memberikan sebuah keburukan pada hambanya, walaupun fisiknya yang kurang tetapi Jenderal Sudirman dapat merintis dasar-dasar kemiliteran Indonesia, dan menjadi orang pertama yang mendapatkan gelar panglima besar. Tidaklah mungkin Allah memberikan sesuatu yang pahit jika bukan hal manis yang menjadi penawarnya.

William James mengatakan bahwa terkadang cacat yang kita derita justru dapat membantu kita meraih prestasi sehingga sampai pada titik yang tidak terduga. (Subur, 2008, 99 ideas happy for life). Kita harus selalu ingat bahwa terkadang Allah l memberikan sebuah nikmat tidak hanya melalui sebuah kesenangan, adakalanya melaui sebuah cobaan besar dan sebuah kesengsaraan. Disinilah pentingnya berprasangka baik kepada Allah l dan takdir yang akan ditetapkan oleh Allah l.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (Q.S. an-Nisa’ [4]: 19). Terjemahan ayat ini menjadi penutup dari tulisan ini. Bahwa pada dasarnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan pernah mengecewakan hambanya. Segala takdir yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah tetapkan memiliki sebuah hikmah dan pelajaran didalamnya. Semuanya tergantung dari sudut pandang kita yang menilainya.

 

Referensi

Subur, J.(2008, Februari) 99 ideas for happy life

Tarmizi, N.(2016, Maret 10)ketetapan Allah adalah yang terbaik.https://muslim.or.id/27649-ketetapan-allah-adalah-yang-terbaik.html

 

Ayu Winda Rizky

NIM: 184213136

Ekonomi Islam

 

Mutiara Hikmah

Rasulullah ` bersabda, “Bersemangatlah atas hal-hal yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah pada Allah, jangan engkau lemah.” (H.R. Muslim, no. 2664)

Download Buletin klik disini

Resolusi Muslim Di Tahun Baru

Resolusi Muslim Di Tahun Baru

Bismillahi wal hamdulillahi wash shalatu was salamu ‘ala rasulillah,

Sahabat muslim, waktu yang telah terlewati itu sebenarnya tidak berlalu melainkan hanya menutup lembaran-lembaran peristiwa yang sudah terlewati dan tidak kembali lagi. Jika baik amalan seseorang maka baik pula balasannya, namun jika buruk amalan seseorang maka penyesalanlah yang mengikutinya. Allah tidak pernah lalai sedikitpun dari manusia bahkan perpindahan detik ke detik berikutnya diperhitungkan oleh-Nya.

Pada awal tahun 2020 ini, pasti kebanyakan orang merenungkan tentang bagaimana mencapai planning list seperti dalam hal pekerjaan, kesehatan, hiburan dan lain sebagainya. Pada kenyataan seseorang tidak memerlukan tahun baru atau acara khusus untuk membuat resolusi dalam melakukan atau mencapai hal yang lebih baik. Terdapat beberapa macam resolusi yang dilakukan oleh seseorang.

Sebagian besar resolusi yang umum melibatkan manfaat kesehatan atau memperbaiki gaya hidup seperti mengurangi berat badan, berhenti merokok, bahkan berusaha untuk memiliki postur tubuh yang ideal. Akan tetapi, ada juga resolusi dalam hal memperbanyak amal, bersosialisasi dengan masyarakat atau meningkatkan kepuasan pribadi dengan liburan dan lainnya. Sebenarnya ada beberapa hal yang harus dilakukan sebelum mewujudkan semua resolusi tersebut.

Pernahkan kita renungkan apakah ada sesuatu tentang diri kita yang ingin kita tingkatkan?  Sebagai seorang muslim, kita tidak perlu menetapkan tujuan hidup yang hanya bersifat kesejahteraan materiil akan tetapi lebih mementingkan hal yang bersifat spiritual. Maksud dari spiritual lebih penting bagi seorang muslim bukan berarti tidak mempedulikan kesejahteraan materiil. Kita harus selalu mengingat bahwa akhirat adalah kehidupan yang hakiki sedangkan dunia segera berlalu dan pada hakikatnya gemerlap dunia hanyalah kekeruhan.

Sesungguhnya, barang siapa mendahulukan akhiratnya, maka ia akan mendapatkan kenikmatan akhirat dan kenikmatan dunia sekaligus. Hal ini mudah bagi yang diberi kemudahan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sesungguhnya, orang yang meninggalkan sesuatu karena Allah maka Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik dari yang ia tinggalkan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Barang siapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (Q.S. an-Nahl [16]: 97)

Setiap awal tahun baru, masing-masing pribadi menitipkan lembaran-lembaran tahun yang telah terlewati, sedangkan dihadapanya ada tahun baru yang sedang berjalan. Inti dari masalahnya bukan pada kapan tahun baru usai dan menjelang, namun inti masalahnya adalah  bagaimana kita dahulu mengisi tahun yang telah berlalu dan bagaimana kita akan menghiasi tahun yang akan datang. Sebagai seorang mukmin, marilah kita menjadi pribadi yang baru disetiap waktu. Artinya menjadi insan yang suka akan tafakkur (berfikir) dan tadzakkur (merenung).

Tahapan Tafakkur

Terdapat dua tahapan tafakkur :

  1. Tafakkur hisab (introspeksi)

Seseorang memikirkan dan menghitung amalannya di tahun silam, kemudian dia teringat dan merenungkan (tadzakkur) akan dosa-dosanya hingga hati menyesal, lisannya pun beristighfar memohon ampun kepada Allah

  1. Tafakkur Isti’dâd (persiapan)

Seseorang mempersiapkan ketaatan pada hari-harinya dengan memohon pertolongan kepada Rabbnya agar bisa mempersembahkan ibadah dan amalan-amalan sholih.

Mungkin sampai saat ini kita masih memprioritaskan kebahagiaan yang bersifat duniawi sebagai lingkaran besar dalam hidup kita dari pada kebahagiaan yang bersifat ukhrawi. Orang-orang yang bervisi duniawi mempunyai cara masing-masing untuk mencari kebahagiaan. Entah dengan harta, tahta, wanita, popularitas dan lain-lain yang dipikiran kita hanya “do what makes us happy” dan lupa bahwa tujuan hidup adalah “do what makes Allah happy”.

Resolusi Muslim

Sahabat Muslim, tahun baru merupakan waktu yang mengandung nasihat bagi hamba yang berfikir dan merenung. Sahabat muslim, sudah seharusnya kita memiliki visi dan misi yang jelas dan berorientasi untuk meraih syurga-Nya. Untuk menjadi pribadi yang baru disetiap waktu, hendaknya setiap kita memiliki acuan resolusi Muslim di tahun ini.

  1. Semangat menjadi penuntut ilmu.

Diantara sekian banyak nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah kita rasakan, ada satu nikmat yang melandasi kenikmatan lainnya yaitu ilmu. Sebab dengan ilmu, seseorang dapat memahami berbagai hal dan mendapatkan kedudukan yang tinggi di sisi Allah l. Dengan ilmu, kita menjadi orang yang tahu bagaimana kita harus bersikap. Siapa yang terus menuntut ilmu maka akan bertambahlah ilmunya dan akan mengantar dia ke jannah-Nya.

Dari Abu Hurairah a, ia berkata bahwa Rasulullah ` bersabda, “Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (H.R. Muslim, no. 2699)

  1. Semangat upgrade amalan

Menuntut ilmu saja tidak cukup, perlu aksi agar ilmu yang kita peroleh menjadi berkah. Refleksi ilmu selayaknya berpengaruh pada amalan kita yang kian meningkat. Ilmu diamalkan baik amalan hati maupun badan. Misalnya kita berkomitmen untuk merutinkan amalan-amalan yang selama ini sering kita abaikan seperti sholat berjamaah di masjid bagi laki-laki, menyempurnakan sholat Sunnah rawatib, merutinkan puasa Senin Kamis dan amalan-amalan lainnya.

  1. Berorientasi dengan kehidupan akhirat

Sesungguhnya seorang Muslim, ketika meniti perjalanan hidupnya memiliki tujuan. Dia melakukan perjalanan hidupnya agar dapat mengenal siapa Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan memahami tauhid uluhiyyah, rububiyyah, nama-nama dan sifat-sifat Allah. Inilah tujuan perjalanan hidup yang pertama ma’rifatullâh (dalilnya: Q.S. Ath-Thalâq [65]: 12). Kemudian dia iringi  ma’rifatullah itu dengan ‘ibadatullâh (beribadah dan ta’at kepada Allah). Dan inilah tujuan perjalanan hidup yang kedua bagi seorang Muslim, yaitu agar dia bisa beribadah hanya kepada-Nya saja dengan benar (dalilnya: Q.S. Adz-Dzâriyât [51]: 56), ia persembahkan jiwa raganya untuk Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Katakanlah sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (Q.S. al-An’am [6]: 162)

Adapun akhir perjalanan adalah surga, di dalamnyalah tempat peristirahatan Muslim yang abadi, istirahat dari letihnya perjalanan sewaktu di dunia dahulu, menikmati kenikmatan yang tidak pernah dilihat mata, tak pernah didengar telinga, dan tak pernah terbetik dalam hati manusia. Maka dari itu, apapun peran kita di dunia, tetaplah berorientasi dengan akhirat. Istiqomah dengan tujuan utama hidup di dunia, akhirat dan tentu saja cita-cita tertinggi sebagai muslim adalah surganya Allah l.

  1. Berbuat kebaikan di setiap waktu

Berbuat baik untuk menebar kebaikan dengan berprasangka baik. Contohnya perbuatan itu bisa berupa komitmen untuk bersedekah dengan hanya mengharap ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kita wajib berbuat baik setiap waktu, hari, bulan dan tahun. Allâh l telah bersumpah dengan menyebut masa dalam firman-Nya, “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasihat-menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.” (Q.S. al-‘Ashr [103]: 1-3). Allah l telah menyemangati hamba untuk senantiasa beriman, beramal shalih dan nasehat menasehati dalam kebenaran dan kesabaran. Masya Allâh, sungguh indah jika kita bisa memanfaatkan waktu untuk mengenal agama yang telah sempurna ini.[]

 

Uswatun Hasanah, S.Pd

 

Refrensi

Faqih, A. R., & Pasir, S. (2005). Jalan Bagi Mereka Yang Gelisah. Yogyakarta: LPPAI.

https://almanhaj.or.id/10851-akhirat-kehidupan-yang-hakiki.html

 

Mutiara Hikmah

Allah lberfirman,

Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat.” (Q.S. Hûd [11]: 118)

 

Download Buletin klik disini

 

Manajemen Waktu

Manajemen Waktu

Bismillahi wal hamdulillahi wash shalatu was salamu ‘ala rasulillah,

Pembaca yang dirahmati Allah, sudah kita ketahui bahwa Islam merupakan agama yang sempurna dan menjadi rahmat  bagi semesta alam. Segala sesuatunya di atur dalam al-Qur’an dan Sunnah. Mulai dari bersuci,  shalat, mu’amalah, jual beli, hingga perihal mengatur waktu. Beberapa kali Allah Subhanahu wa Ta’ala bersumpah dalam al-Qur’an mengenai waktu. Seperti demi waktu Ashar, waktu dhuha, demi waktu fajar, demi malam dan masih banyak lagi.

Allah Subhanahu wa Ta’ala bersumpah demi waktu tersebut tentunya dikarenakan terdapat makna yang mendalam akan waktu. Maka dari itu, kita harus memberikan perhatian yang amat besar untuk memanfaatkannya sesuai dengan ketentuan dan sebagaimana yang telah di contohkan oleh nabi Muhammad .

Manajemen waktu merupakan perencanaan, pengorganisasian, dan pengawasan terhadap waktu. Hal ini perlu diperhatikan agar pekerjaan dapat terselesaikan secara efektif dan efisien. Waktu harus digunakan sebaik-baiknya. Karena, apa yang sudah terlewatkan tidak akan pernah dapat kembali. Kebanyakan manusia lalai terhadap waktu sehingga waktu terbuang sia-sia tanpa mengahasilkan apa yang bermanfaat baginya.

Mereka berkata “andai saja aku punya banyak waktu, pasti aku bisa menyelesaikan tugas ini, tugas itu” perkataan ini merupakan contoh yang salah, karna mereka tidak menghargai waktu luang dan lebih suka berleha-leha. 24 jam siang berganti malam merupakan suatu anugerah yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada seluruh umat manusia. Tapi sayangnya, banyak orang yang tidak dapat mengatur waktunya hingga waktu terus berjalan dan penyesalan pun datang.

Waktu yang telah berlalu tidak akan pernah kembali. Jika ditukar dengan uang berapa pun juga tidak akan pernah terbayar. Hasan al- Banna’ mengatakan bahwa “waktu adalah kehidupan” bagaimana kamu menghabiskan waktumu ialah bagaimana kamu menghabiskan hidupmu. (how do you spend your time is how do you spend your life)”. Sehingga, jangan sampai usia dan hidup kita hanya kita manfaatkan untuk tidur dan bermalas-malasan. Kita harus bisa menghargai waktu dan melakukan aktivitas produktif dan bermanfaat bagi diri sendiri maupun orang lain.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam al-Qur’an surat al-Ahzab ayat 21, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Q.S. Al-Ahzab [33]: 21)

Terdapat suri tauladan yang baik pada diri Rasulullah `, mulai dari bangun tidur hingga tidur kembali. Maka, kita harus mencontoh sepenuhnya kehidupan kita dari Rasulullah `. Di antaranya terdapat beberapa rahasia manajemen waktu ala Rasulullah ` dalam beribadah, bekerja, berkarya sehingga bermanfaat bagi orang lain.

  1. Bangun di awal waktu

Ketika Rasulullah ` pulang dari shalat Shubuh dari Masjid Nabawi, beliau  mendapati putrinya bernama Fatimah masih dalam kondisi tidur. Maka beliau bersabda,  “Wahai anakku, bangunlah, saksikan rezeki Tuhan-mu dan janganlah kamu termasuk orang yang lalai, Karena Allah l memberi rezeki kepada hamba-Nya antara terbit fajar dengan terbit matahari. ” ( H.R. Imam Ahmad dan al-Baihaqi).

Waktu pagi memiliki banyak keutamaan. Diantaranya, karena dipagi hari merupakan waktu yang penuh akan keberkahan dan kesuksesan, Rasulullah `  bersabda, “Berangkatlah pagi-pagi untuk mencari rezeki dan segala kebutuhan. Sesungguhnya, berangkat bekerja di pagi hari (dipenuhi dengan) keberkahan dan kesuksesan.” (H.R. Thabrani No. 7.457).

Selain itu, Rasulullah ` juga memanjatkan doa bagi mereka yang bangun sebelum subuh “Ya Allah, berkahilah umatku di waktu paginya” (H.R. Abu Daud no. 2606) . Karena di pagi hari merupakan waktu dibagikannya rezeki.

Terdapat korelasi antara manfaat bagun pagi dari aspek Islam dan aspek kesehatan. Diantaranya ialah tubuh terasa menjadi lebih segar, melancarkan peredaran darah, menyehatkan paru-paru, meningkatkan daya ingat, menyehatkan jantung, meningkatkan sistem imun, meningkatkan produktivitas, memberikan mood yang bagus, hingga membangkitkan semangat dan masih banyak lagi.

  1. Disiplin

Rasulullah ` mengajarkan umat Islam untuk pandai mengatur waktu, yakni dengan cara disiplin menegakkan waktu sholat. Sholat tepat waktu merupakan amalan yang paling dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dari Abdullah bin Mas’ud  a beliau berkata, ‘Amalan apakah yang paling dicintai Allâh?’ Beliau ` menjawab, “Shalat pada waktunya.” (H.R. tirmidzi dan Hakim)

Abdul Fattah Abu Ghuddah menyimpulkan bahwa dalam hadits tersebut terdapat kunci kesuksesan umat Islam dalam memanfaatkan waktu. Bagaimanapun, shalat merupakan ibadah yang waktunya sudah ditetapkan. Apabila seorang muslim melaksanakannya tepat waktu, maka ia juga akan selalu memperhatikan setiap pekerjaan pada waktunya sehingga setiap pekerjaan akan terlaksana dengan baik. saat adzan berkumandang, maka segeralah mengambil air wudhu dan menegakkan sholat di awal waktu dan berjamaah.

  1. Istirahat yang cukup

Tidur merupakan perkara penting dalam kebiasaan hidup seseorang. Kurang tidur seseorang yang terus menerus dapat menyebabkan pelemahan sistem imun (sistem kekebalan tubuh). Sebaliknya, apabila kita memiliki tidur yang cukup akan membantu kita dalam mengurangi rasa letih, lesu, kesal sehingga memunculkan pikiran positif. Hal ini dibuktikan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Dan Kami jadikan tidurmu untuk istirahat” (Q.S. an-Naba’[78]: 9)

Rasulullah ` memiliki kebiasaan tidur pada awal malam dan bangun pada pertengahan malam. Hal ini dibuktikan dalam hadits Nabi `, “Bahwasanya Rasulullah ` membenci tidur malam sebelum (sholat Isya) dan berbincang-bincang (yang tidak bermanfaat) setelahnya (begadang).” (H.R Bukhari dan Muslim). Perintah Nabi Muhammad memiliki korelasi positif dengan ilmu kesehatan yang mengacu pada sistem kerja organ tubuh.

Selain tidur di awal malam, Rasulullah ` juga menganjurkan umatnya tidur di pertengahan siang (Qailullah) agar pada malam harinya (tengah malam) bisa bangun untuk menunaikan ibadah shalat malam (shalat tahajjud). Qailullah merupakan tidur sebentar pada pertengahan siang hari sekitar 20-30 menit sebelum atau setelah dzuhur.

  1. Isi waktu kosong dengan hal yang bermanfaat

Allah l berfirman dalam al-Qur’an surat al-Insyiroh ayat 7 yang artinya “Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.” (Q.S. al Insyirah [94]: 7). Maka hendaknya kita sebagai umat Islam yang mengetahui ayat tersebut juga mengamalkan apa yang Allah l perintahkan. Para dokter menyatakan bahwa 50% kebahagiaan hidup dapat diperoleh dari bagaimana seseorang mengisi waktu kosong dengan kegiatan yang bermanfaat.

Dalam kehidupan keseharian kita lihat para kuli bangunan, petani di sawah, guru mengajar di sekolah merasa lebih tenang dan bahagian dibandingkan dengan orang yang melamun dan tergeletak diatas kasur akibat pengagguran. Seperti dalam Mahfuzhot Inna asy-syababa wa al-faragha mafsadatun li-l-mar’i ayya mafsadatin.

Nabi Muhammad ` merupakan sosok manusia yang agung akhlaknya dan luhur budi pekertinya. Dalam kehidupan, kita harus selalu meneladani Rasulullah ` dalam setiap aktivitas, baik dalam aspek ibadah maupun mu’amalah karena hanya inilah merupakan wujud dari cinta kita terhadap Nabi Muhammad `. Seluruh perilaku Nabi Muhammad ` dalam kesehariannya merupakan teladan (uswah) yang baik, karena didalamnya banyak memberi manfaat dalam kehidupan umat manusia. Oleh karena itu, marilah kita teladani bagaimana alur kegiatan beliau agar bernilai ibadah.

Ikke Pradima Sari

NIM: 17422171

Pendidikan Agama Islam UII

 

Mutiara Hikmah

Nabi `  bersabda,

اللَّهُمَّ بَارِكْ لأُمَّتِى فِى بُكُورِهَا
Ya Allah, berkahilah umatku di waktu paginya.” (HR. Abu Daud no. 2606)

Download Buletin klik disini

Langkah Cerdas Generasi Muslim Menapaki Jalan Kehidupan

Langkah Cerdas Generasi Muslim Menapaki Jalan Kehidupan

قَالَ الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلَاقُو اللَّهِ كَمْ مِنْ فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإِذْنِ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ

“Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah, berkata: “Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.”

(Q.S al-Baqarah [2]: 249) 

Ayat ini mengisahkan tentang kisah Thalut bersama para tentaranya yang pergi untuk memerangi bangsa amaqoh. Thalut berkata kepada para tentaranya bahwa sesungguhnya Allah akan menguji mereka dengan sebuah sungai yang akan mereka seberangi. Tujuannya adalah untuk mengetahui mana orang mukmin dari orang munafik. Barangsiapa yang meminum air sungai tersebut, maka bukan termasuk dalam golongannya (munafik). Sedangkan yang mampu menahan nafsunya untuk tidak minum air sungai tersebut maka termasuk dalam golongan mukmin yang pantas untuk berjihad bersama Thalut bersama tentaranya yang semakin sedikit sekitar 300 orang untuk memerangi musuh.

Sementara jumlah musuh lebih banyak dan alat-alat perang mereka lebih hebat daripada tentaranya. Maka, bala tentara Thalut berkata, “Hari ini tidak ada kesanggupan dari kami untuk menghadapi Jalut dan bala tentaranya yang tangguh-tangguh.” Akan tetapi orang-orang yang beriman kepada Allah mengingatkan kawan-kawannya tentang Allah dan kekuasaan-Nya, seperti tersebut dalam surat al-Baqarah ayat 249.

Berdasarkan Tafsir Al-Mukhtashar dari Syaikh Dr. Shalih bin Abdullah bin Humaid فَصَلَ (keluar), yakni Thalut keluar dari negerinya ke suatu sungai. Beberapa pendapat mengatakan bahwa sungai tersebut sungai Urdun dan Palestina. Dan ujian yang dimaksud adalah ujian untuk menguji ketaatan mereka.

Maka dari kisah Thalut ini kita belajar, bahwa Allah bersama orang-orang yang bersabar dan mengimani sifat-sifat-Nya serta pahala terbaik dari sisi-Nya. Betapa banyak hamba yang menganggap kuantitas lebih prioritas dibandingkan kualitas. Padahal, Allah akan menolong orang-orang yang beriman dan beramal shalih. Adapun di hati kaum muslimin terdapat iman yang kokoh dan bala tentara Allah yang lebih tangguh dari sisi-Nya.

Pantang Menyerah Sebelum Berjuang

Thalut dan bala tentaranya yang mukmin pantang menyerah menghadapi musuh. Hal ini menunjukkan bahwa Allah tidak melihat ukuran fisik semata, melainkan kepada hati (keimanan) setiap hamba-Nya. Kun Fayakun! Jadilah Maka Jadilah ! Tidak ada satu pun yang mampu menangguhkan kekuasaan-Nya ketika Allah sudah berkehendak.

Mustahil bagi Allah untuk bergantung pada manusia. Maka, generasi muslim masa kini seharusnya mampu meningkatkan kecerdasaran spiritual dan kekuatan mental dalam menghadapi tantangan hidup yang sementara ini. Ketika memulai ikhtiar maka Allah senantiasa memerintahkan kita untuk meluruskan niat, mengamalkan dengan perbuatan, dan menyempurnakan dengan doa.

Allah Maha Hidup dan Berkuasa atas segala sesuatu, Allah l berfirman, “Dan berapa banyaknya para Nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut(nya) yang bertaqwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah,tidak lesu, dan tidak (pula) menyerah. Dan Allah menyukai orang-orang yang sabar.” (Q.S Ali ‘Imran [3]: 146).

Istiqomah Bersama dalam Jama’ah

Allah berfirman, “Dan sabarkanlah dirimu untuk selalu bersama dengan orang-orang yang menyeru kepada Rabbnya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya. Dan janganlah kamu palingkan kedua matamu dari mereka karena mengharap perhiasan kehidupan dunia…” (Q.S al-Kahfi [18]: 28).

Berdasarkan tafsir Jalalyn, dijelaskan bahwa manusia diperintahkan untuk bersabar berada dalam jama’ah atau kelompok-kelompok yang menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran dengan hanya mengharap ridha Allah 24 jam. Dan janganlah berpaling dari mereka dan mengharapkan materi darinya sekalipun mereka adalah fakir miskin ataupun orang kaya karena mengharapkan perhiasan dunia. Manusia diberikan peringatan untuk tidak mengikuti orang-orang yang telah Allah lalaikan hatinya dari mengingat al-Qur’an.

Diriwayatkan dalam As-Shahihain, Rasulullah ` bersabda, “Akan senantiasa ada tha’ifah (sekelompok) dari ummatku yang eksis di atas kebenaran, tidak membahayakan mereka orang-orang yang menghina mereka sampai datang urusan Allah (kiamat) dan mereka tetap seperti itu.” (H. R Bukhari).

Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab Shahih-nya, dari sahabat Uqbah bin ‘Amr bin Tsa’labah a, Rasulullah ` bersabda,  “Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya” (H.R. Muslim no. 1893).

Hikmah Ayat-Ayat Al-Qur’an

Betapa banyak pemuda muslim saat ini yang mulai disibukkan dengan aktivitas dunia dan menjadikannya prioritas dalam perjuangan hidupnya. Sesungguhnya generasi muslim haruslah visioner. Memiliki visi yang jauh ke depan, yakni visi hidup setelah mati. Memupuk kebaikan dengan berinvestasi amal untuk mendapatkan pahala jariyah. Salah satu caranya adalah mensyiarkan ajaran dan sunnah Rasulullah `. Allah l berfirman, “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?” (Q.S. Fushshilat [41]: 33).

Perkataan terbaik adalah perkataan yang daripadanya mengajak kepada mengingat dan mentaati Allah dan Rasul-Nya, lalu mengamalkan ilmunya dengan amalan yang shalih. Pada surat Fushshilat ayat 33 kita dianjurkan untuk turut berdakwah berdasarkan ilmu yang dibawa oleh Rasulullah `. Kita yang membutuhkan jalan dakwah. Allah tidak akan rugi jikalau pun kita tidak mengambil kesempatan ini. Jangan takut terasing dan jangan takut menjadi sekelompok orang minoritas sebagai penyampai kebenaran Islam.

Hikmah lainnya adalah bahwa dalam menyampaikan kebenaran, membina diri dengan ilmu, dan berjuang dengan perbuatan perlu didasari oleh niat yang tulus. Wilayah hasil bukan menjadi kuasa manusia. Allah yang Maha membolak-balikkan hati setiap manusia, maka lisan ini hanya perantara, kata-kata ini pun perantara. Akan tetapi, yang tak boleh putus dari setiap pejuang islam adalah doa kebaikan.

Menurut Tafsir al-Muyassar, tidak ada seorang pun yang lebih bagus perkataannya daripada mengajak mentauhidkan Allah dan mengamalkan syariat-Nya, serta beramal shalih dengan menghrapkan ridha Allah. Wallahua’lam bishawab. Semoga Allah menuntun jalan kita di dunia dan mempertemukan kita di surga-Nya kelak. Aamiin Ya Raabal ‘alamiin. []

 

Rostika Hardianti

Mahasiswi Psikologi

Universitas Islam Indonesia

 

Mutiara Hikmah

Allah l berfirman, “Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?” (Q.S Al An’am [6]: 32)

 

Download Buletin klik disini

Hanya Pohon Berbuah Yang Dilempari Batu

Hanya Pohon Berbuah Yang Dilempari Batu

Bila ada yang membicarakanmu di belakangmu itu artinya dirimu sudah selangkah lebih maju…” (Anonim)

“Kita tidak bisa memastikan orang lain untuk tidak membenci kita. Namun kita bisa memastikan diri kita untuk tidak membenci siapapun,” ujar seorang alim nan bijaksana. Bahwa seberapa kuat kita berupaya menjadi orang baik pasti saja ada orang lain yang menaruh rasa benci kepada kita. Pada akhirnya, kita tidak bisa menyetir sikap orang lain terhadap kita. Satu hal yang bisa kita pastikan adalah bagaimana sikap kita kepada orang lain. Sebab, kitapun nanti tidak ditanya tentang orang lain tetapi ditanya tentang diri kita sendiri.

Setetes racun yang dituangkan pada segelas air akan menjadikan air itu beracun. Berbeda ketika setetes racun itu dimasukkan ke dalam samudera, tentu tidak menyebabkan mudharat apa-apa bagi samudera tersebut. Begitulah gambaran bagaimana semestinya kita mengatur kedalaman hati kita. Bila hati kita hanya seumpama segelas air maka “racun-racun” kehidupan yang sepele akan mengubah kemurniannya. Adapun bila hati kita seluas samudera maka riak-riak kecil hanya hiburan belaka. Tergantung kita mau memilih dan mengikhtiarkan hati yang seperti apa.

Rasanya mustahil kita mengatur segala hal yang mengitari kita adalah baik dan normal. Sebab kehidupan ini memanglah dinamis dan anomalis. Sekali lagi, yang bisa kita pastikan adalah sikap kita terhadap segenap hal yang mendatangi kita. Seorang psikolog pernah berujar bahwa segala macam keadaan yang dihadapkan kepada kita adalah netral. Baik itu pujian ataupun cacian. Entah itu promosi maupun demosi. Cara kita menangkap dan merespon setiap kondisi tersebutlah yang menjadi kuncinya. Seringkali, berhasil menyikapi cacian itu lebih baik daripada gagal menyikapi pujian.

Pada umumnya, manusia menginginkan semuanya berjalan baik dan sesuai harapan. Everything is okay. Namun kenyataan tidaklah selalu semanis keinginan. Ada gap antara keinginan dan harapan. Itulah yang sering disebut dengan masalah. Bahwa realitas positif dan negatif itu akan datang silih berganti. Keduanya adalah dua kutub kehidupan yang seiring-sejalan. Tidak bisa dihindari namun kita bisa berdamai dengan keduanya sebagai kenyataan yang datangnya pasti. Bagaimana kita mengorkestrasi dua hal tersebut sehingga tercipta irama hidup yang syahdu.

Ridha Manusia

Kisah kuda dan si empunya memberikan pelajaran berharga bagi kita. Ketika si empu dan anaknya menuntun kuda, khalayak berteriak. “Mengapa tidak ditunggangi saja kuda itu?” tanya mereka. Lalu, keduanya menaiki kuda tersebut. Khalayak protes. “Sungguh tidak berperikehewanan!” tukas mereka. Lantas sang ayah menaiki kuda dan sang anak berjalan. Diprotes lagi. “Ayah yang tidak sayang anak!” Sang anak pun naik kuda, sang ayah berjalan. Kritikan pun datang lagi. “Anak yang tidak tau diri!” hardik mereka. Haruskah keduanya menggendong kuda itu? Pasti akan dikomentari lagi.

Menyenangkan orang lain adalah kebaikan. Berkomitmen dalam hal tersebut adalah utama. Namun yang perlu diingat bahwa kita tidak bisa menyenangkan semua manusia. Pasti ada yang dikorbankan. Pepatah Arab mengatakan, “Ridha an-nâsi ghâyatun lâ tudrak.” Artinya, keridhaan semua manusia adalah tujuan yang tidak mungkin tercapai. Karena tidak mungkin tercapai tersebut maka semestinya keridhaan manusia tidak menjadi tujuan. Manakala kita ingin menyenangkan orang lain maka semata karena mengikuti sunnah. Bagaimana penerimaan orang bukan menjadi masalah kita.

Hal di atas senada dengan seringnya kita kecewa ketika terlalu banyak berharap kepada manusia. Semakin besar harapan kepada sesama manusia maka semakin besar pula risiko kekecewaan kita. Lalu, apakah kita tidak boleh berharap kepada manusia? Tentu saja boleh namun yang sewajarnya. Dengan begitu, kita siap dengan segenap kemungkinan. Termasuk menyiapkan alternatif ketika keinginan tidak sesuai dengan harapan. Sebab, kita tidak bisa memastikan sikap dan respon orang lain. Namun kita bisa memastikan sikap dan respon kita atas semua itu.

Fokus pada ridha manusia juga menjadikan kita tidak merdeka dalam bersikap. Misalnya, kita sudah berbuat baik dan berusaha menyenangkan orang lain. Ternyata penerimaannya lain dan tidak sesuai harapan kita. Dengan kata lain, dia tidak mengapresiasi kita. Bila keridhaan manusia yang menjadi tujuannya, apa yang terjadi? Tentu kita akan berhenti berbuat baik kepadanya. Padahal kita diajarkan untuk istiqamah dalam kebaikan. Betapapun keadaan memaksa kita untuk berhenti berbuat baik namun kita tetap memilih untuk bertahan dan konsisten.

Tidak semua orang ridha kepada kita. Karena itu, kita bisa mengantisipasi hal tersebut. Contohnya, saat ada teman kita yang membicarakan aib orang lain di hadapan kita. Sebaiknya kita tidak terlibat banyak dalam obrolan itu dan berusaha menghindarinya. Selain karena dosa, ada sebab lainnya. Rumusnya adalah orang yang menceritakan aib orang lain di hadapan kita besar kemungkinan akan menceritakan aib kita di hadapan orang lain. Sebaliknya, orang yang mudah menceritakan kebaikan orang lain di hadapan kita, besar kemungkinan akan menceritakan kebaikan kita kepada orang lain.

Ridha Allah

Jika ridha semua manusia tidak mungkin diraih maka ridha Allah lah yang harus menjadi orientasi hidup kita. “Ridhallâhi ghâyatun lâ tudrak,” katanya. Artinya, ridha Allah adalah tujuan yang tidak boleh ditinggalkan. Kita memang tidak bisa memastikan tergapainya ridha Allah. Namun kita bisa memastikan diri kita untuk terus berikhtiar menggapainya. Seluruh jiwa raga harus dimaksimalkan untuk mendapatkan keridhaan Allah. Tatkala kita berbuat baik dan menyenangkan orang lain itupun diniatkan dalam rangka meraih ridha Allah.

Orientasi pada ridha Allah juga menjadikan kita lebih siap untuk menjalani dinamika kehidupan. Setiap ujian yang datang dihadapi dengan keridhaan dan husnudh-dhan bahwa ujian adalah bentuk kasih sayang Allah kepada kita. Tidaklah ujian datang kecuali untuk menggugurkan dosa dan meninggikan derajat di sisi-Nya. Ketika kita sekolah, setiap menghadapi kenaikan kelas selalu dihadapkan dengan ujian. Begitu juga hidup kita. Saat iman semakin berbuah maka semakin kuat ujian menyapa. Semakin banyak yang tertarik untuk “melempari”-nya guna menggugurkan buah keimanan tersebut.

Ujian keimanan bisa datang dalam wujud apa saja. Seringkali orang-orang terdekat yang menjadi medianya. Kadang kita tidak siap dengan omongan orang. Kita tidak kuat tatkala kebaikan tidak berbuah apresiasi. Kita lemah ketika tindakan mulia hanya berujung kritikan. Kita loyo saat orang yang kita percaya justru bermain di belakang kita. Di situlah saatnya kembali kepada keridhaan Allah agar segenap sikap manusia tidak melemahkan kita. Kita jadikan itu semua sebagai pemantik untuk terus tumbuh. Bukan dalam keridhaan manusia, namun dalam ridha-Nya.

Selain ridha Allah yang menjadi tujuan, penting untuk melatih diri kita untuk ridha dengan segenap takdir-Nya. Karenanya, segala badai kehidupan yang menerpa adalah medium untuk melatih keridhaan kita atas ketentuan-Nya. Hingga akhirnya kita akan diminta pulang menghadap keharibaan-Nya. Dengan hati yang rela, ridha, puas, dan ikhlas akan takdir kehidupan yang digariskan-Nya sekaligus diridhai oleh-Nya. Dengan kondisi tersebut kita dipanggil untuk masuk dalam jama’ah hamba-hamba-Nya. Lantas masuk ke dalam surga-Nya (QS. al-Fajr [89]: 27-30). Wallahu a’lamu.

 

Samsul Zakaria, S.Sy., M.H.,

Calon Hakim PA Tanjung, Kalsel,

Magang di PA Kab. Malang Kelas 1A

 

Mutiara Hikmah

Dari Abu Hurairah a, Nabi ` bersabda,

وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ

Siapa yang menutupi aib seorang muslim, Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat. (H.R. Bukhari 2442, Muslim 7028, dan yang lainnya).

 

Download Buletin klik disini

Spirit Islam Untuk Merantau

Spirit Islam Untuk Merantau

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘ala rasûlillâh,

Islam menganjurkan kita untuk merantau sudah sejak zaman Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Sejarah para Nabi selalu diwarnai dengan dunia pengembaraan atau dalam bahasa lain rihlah thalabul ‘ilmi. Tokoh-tokoh sukses dan hebat saat ini pun kisahnya tidak luput dari cerita tentang kisahnya dalam perantauan. Bagaimanapun, merantau merupakan suatu proses mematangkan diri baik di kampung orang, kota orang atau bahkan negeri orang.

Para perantau tentunya bersusah payah pergi jauh meninggalkan tempat tinggalkan demi menggapai tujuan mulia yakni menuntut ilmu. Banyak sekali hikmah yang dapat diambil dari buah perantauan. Dalam al-Qur’an pun Allah Subhanahu wa Ta’ala menganjurkan kaum muslimin untuk merantau, karena dengannya kita bisa melihat kekuasaan Allah yang lebih luas. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam al-Qur’an, “Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (Q.S. al-Mulk [67]: 15)

Sebagai manusia yang berakal, sudah seharusnya kita sadar. Karena sudah jelas Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan bumi itu terbentang dan mudah yakni untuk ditinggali dan dijelajahi, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makan sebagian dari rezeki-Nya. Alam semesta tidak selebar daun kelor. Islam membangkitkan kesadaran agar kita tidak menghabiskan waktu kita untuk molor. Banyak hal yang perlu kita eksplorasi. Sudah lama kita menjadi pengekor, sekarang sudah saatnya kita menjadi pelopor.

Sejarah tokoh Islam dalam Merantau

Abu Abdullah Muhammad bin Idris Bin Al-Abbas bin Utsman Bin Syafi’ Asy-Syafi’i atau yang lebih akrab dengan julukan Imam Syafi’i v merupakan seorang ulama besar yang terkenal dengan kecerdasan dan kata-kata mutiara penuh hikmah. salah satu mujtahid mutlak yang dijuluki nasirussunnah waddin, penolong sunnah dan agama. Dari segi keilmuan, tentunya sudah tidak diragukan lagi akan kecerdasan beliau.

Para penulis biografi mencatat bahwa Imam Syafi’i merupakan seseorang yang lahir dari keluarga miskin. Sejak masih kecil, ia sudah ditinggal ayahnya dan menjadi seorang yatim. Menginjak usia 14 tahun, Imam Syafi’i memiliki keinginan besar untuk merantau, hal ini dikarenakan akan semangatnya beliau demi menuntut ilmu. Fatimah al-Azdiy, ibunda Imam Syafi’i memahami gelora semangat yang sedang bergejolak dihati anaknya untuk menggali ilmu Allah. Tidak ada pilihan lain selain melepas sang anak untuk menimba ilmu di negri orang.

Kepergian Imam Syafi’i ke banyak negeri mulai dari Makkah, Madinah, Yaman, Baghdad Iraq, hingga Mesir untuk menuntut ilmu bukanlah dari harta yang mengiringinya, akan tetapi untaian doa tulus nan indah yang mengantarkan kepergiannya “Ya Allah, Tuhan yang menguasai seluruh alam. Anakku ini akan berjalan jauh meninggalkanku menuju keridhoanmu. Aku rela melepaskannya untuk menuntut ilmu peninggalan utusanMu. Oleh karena itu, aku bermohon kepada Mu ya Allah, mudahkanlah urusannya, peliharalah keselamatannya, panjangkanlah umurnya agar aku dapat melihat sepulangnya nanti dengan dada yang penuh ilmu yang berguna”.

Imam Syafi’i merupakan seseorang yang tekun dalam menuntut ilmu, karena ketekunannya, di usia sembilan tahun, Imam Syafi’i sudah mampu menghafal al-Qur’an dan sejumlah hadits. Bukan hanya hafalan, keilmuannya pun sudah luas dan mendalam. Ayahnya meninggal saat ia masih kecil, kemudian ibunya membawanya ke Makkah. Fatimah al-Azdiy, Ibu dua anak ini dengan keadaan miskin dan serba kekurangan memiliki cita-cita mulia untuk menjadikan anaknya menjadi anak yang berilmu.

Diriwayatkan bahwa karena kemiskinannya, Imam Syafi’i hampir tidak dapat menyiapkan peralatan belajar yang dibutuhkan, sehingga dengan terpaksa beliau mencari kertas yang tidak terpakai, atau sudah terbuang tetapi masih dapat digunakan untuk menulis. Setelah usai mempelajari al-Qur’an dan hadits, Imam asy-Syafi’i melengkapi ilmunya denganmendalami bahasa dan sastra Arab. Karena itu ia pergi ke pedesaan dan bergabung bersama Bani Huzail, suku bangsa Arab yang paling fasih bahasanya. Dari suku inilah, Imam Syafi’i mempelajari bahasa dan syair-syair Arab sehingga ia benar-benar menguasainya dengan baik.

Hikmah dari Merantau

Dari Abu Hurairah a, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (H.R. Muslim, no. 2699)

Dalam hadits tersebut yang dimaksud dengan “menempuh jalan untuk mencari ilmu” ada dua bentuk. Pertama, menempuh jalan secara hakiki, yaitu dengan berjalan menuju tempat majelis ilmu. Seperti misalnya berjalan menuju masjid atau tempat pengajian untuk menuntut ilmu. Kedua, menempuh jalan secara maknawi, yaitu melakukan segala sesuatu untuk mendapatkan ilmu seperti menghafal, mempelajari, mengulang-ulang pelajaran, menelaah, menulis, membaca kitab dan memahaminya, serta perbuatan lainnya yang merupakan cara untuk mendapatkan ilmu.

Dengan ilmu, kunci-kunci kesuksesan akan dipegang oleh pemilik ilmu. Barang siapa yang menginginkan dunia, maka hendaknya ia berilmu. Barang siapa yang menginginkan akhirat, maka hendak ia berilmu. Barang siapa yang dunia dan akhirat, maka hendaknya ia berilmu. Orang yang berilmu maka akan Allah angkat derajatnya, dan dimudahkan jalan baginya menuju surga.

Nasehat Imam Asy-Syafi’i v

Selain hadits diatas, juga terdapat nasehat dari Imam Syafi’i agar seseorang pergi untuk merantau, meninggalkan zona nyaman, menuju wilayah baru, suasana baru, pengalaman baru, berkenalan dengan orang-orang baru karena dengan itu semua, secara implisit akan kita temukan banyak hikmah didalamnya. Nasihat ini diabadikan dalam bait-bait sya’irnya:

          Orang berilmu dan beradab tidak diam beristirahat di kampung halaman # Tinggalkan negerimu dan hidup asing  (di negeri orang).

          Kau akan dapatkan pengganti dari orang-orang yang engkau tinggalkan (kerabat dan kawan) # Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang.

           Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan # Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, akan keruh menggenang.

          Singa jika tak tinggalkan sarang, tak akan dapat mangsa # Anak panah jika tak tinggalkan busur, tak akam kena sasaran.

         Jika matahari di orbitnya tak bergerak dan terus berdiam # tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang.

         Bijih emas tak ada bedanya dengan tanah biasa di tempatnya (sebelum ditambang) # Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa jika di dalam hutan.

        Jika gaharu itu keluar dari hutan, ia menjadi parfum yang tinggi nilainya # Jika bijih memisahkan diri (dari tanah), barulah ia dihargai sebagai emas murni.

Dari bait diatas, dapat diambil kesimpulan, bahwasanya dengan merantau melakukan perjalanan, akan menantang, mendewasakan diri sekaligus memberikan peluang untuk mengeksplorasi pengalaman yang mana akan menjadi warisan berharga. Selama merantau, kita juga akan mendapatkan ganti dari apa yang kita tinggalkan, karena sesungguhnya nikmatnya hidup ada setelah lelahnya perjuangan. Hal terakhir yang perlu diingat bahwa kemuliaan itu tak kan didapat dengan kemalasan.

 

Referensi:

  1. Nihwan Sumuranje. 2016, Laku Kehidupan. Solo: Tinta Medina, hal. 31
  2. https://www.islampos.com/ketika-imam-syafii-menuntut-ilmu-1926/
  3. https://muslim.or.id/18863-gapai-surga-dengan-ilmu-agama.html

 

Ikke Pradima Sari

NIM 17422171

Pendidikan Agama Islam/FIAI

 

Mutiara Hikmah

Nabi shallallahu alaihi wa sallambeliau bersabda,

وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ

Dan Allah akan senantiasa meonolong hamba-Nya ketika hamba-Nya tersebut menolong saudaranya.” (H.R. Muslim no. 2699)

Download Buletin klik disini