SUDAHKAH KITA BERSYUKUR ?

Kaum muslimin yang dirahmati Allah l, kita sebagai umat Islam harus menyakini sesungguhnya segala kebaikan dan kenikmatan yang ada pada kita adalah karunia dari Allah l. Allah l berfirman, “Dan apa saja nikmat yang ada pada kalian, maka datangnya dari Allah…” (Q.S. an-Nahl [16]: 53)

Betapa melimpahnya kenikmatan yang Allah l berikan kepada kita, yang tidak terhingga jumlahnya. Allah telah memberikan kita kehidupan, mulai saat kita masih didalam perut ibu sampai sekarang, nikmat kesehatan yang lebih banyak kita nikmati dibandingkan saat kita sakit, nikmat makanan, minuman, pakaian, nikmat negeri yang aman dimana kita bisa melakukan ibadah secara tenang tanpa khawatir adanya bom, penembakan, teror seperti saudara-saudara kita di luar sana dan masih banyak nikmat yang lainnya. Jika kita berusaha menghitung nikmat yang Allah yang dikaruniakan kepada kita, niscaya kita tidak akan mampu menghitungnya. Allah l berfirman, “Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya.” (Q.S. an-Nahl [16]: 18).

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, pada hakikatnya kita semua tidak bisa mensyukuri setiap nikmat yang Allah berikan kepada kita. Bagaimana mungkin kita bisa mensyukurinya, menghitunganya saja kita tidak mampu. Sungguh hanya sedikit hamba-Ku yang bersyukur, Allah l berfirman, “Sangat sedikit sekali di antara hamba-Ku yang mau bersyukur.” (Q.S. Saba’ [34]: 13). Ibnu Katsir berkata, “Yang dikabarkan ini sesuai kenyataan.” Artinya, sedikit sekali yang mau bersyukur.

 

Apakah Makna Syukur?

Secara bahasa, “Syukur adalah pujian bagi orang yang memberikan kebaikan, atas kebaikannya tersebut” (Lihat Ash-Shahhah Fil Lughah karya al-Jauhari). Atau dalam bahasa Indonesia, bersyukur artinya berterima kasih. Sedangkan istilah syukur dalam agama, adalah sebagaimana yang dijabarkan oleh Ibnul Qayyim, “Syukur adalah menunjukkan adanya nikmat Allah pada dirinya. Dengan melalui lisan, yaitu berupa pujian dan mengucapkan kesadaran diri bahwa ia telah diberi nikmat. Dengan melalui hati, berupa persaksian dan kecintaan kepada Allah. Melalui anggota badan, berupa kepatuhan dan ketaatan kepada Allah” (Madarijus Salikin, 2/244). Lawan dari syukur adalah kufur nikmat, yaitu enggan menyadari atau bahkan mengingkari bahwa nikmat yang ia dapatkan adalah dari Allah l. Semisal Qarun yang berkata, “Sungguh harta dan kenikmatan yang aku miliki itu aku dapatkan dari ilmu yang aku miliki” (Q.S. al-Qashash [28]: 78).

 

Syukur Merupakan Ibadah

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, syukur adalah bentuk ibadah kita kepada Allah l. Banyak ayat di dalam al-Qur’an, Allah l memerintahkan manusia untuk bersyukur kepada-Nya. Maka syukur ini adalah ibadah dan bentuk ketaatan atas perintah Allah l. Allah l berfirman, “Ingatlah kepada-Ku, maka Aku akan mengingat kalian. Bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kalian ingkar” (Q.S. al-Baqarah [2]: 152). Allah l juga berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah” (Q.S. al-Baqarah [2]: 172).

Maka orang yang bersyukur adalah orang yang menjalankan perintah Allah l dan orang yang enggan bersyukur serta mengingkari nikmat Allah adalah bentuk pembangkangan terhadap perintah Allah.

Kaum muslimin yang di rahmati Allah, seorang muslim yang sejati itu tidak pernah terlepas dari tiga keadaan. Yang keadaan itu menunjukkan tanda kebahagiaan baginya, yang pertama yaitu bila dia mendapat nikmat maka dia bersyukur, yang kedua bila mendapat kesusahan maka dia bersabar, dan yang ketiga bila berbuat dosa maka dia beristighfar (Qowa’idul Arba’, hal. 01), jika ketiga keadaan tersebut ada pada seorang muslim maka insyAllah dia akan mendapatkan kebahagiaan. Rasulullah l bersabda, “Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin, semua urusannya adalah baik baginya. Hal ini tidak didapatkan kecuali pada diri seorang mukmin. Apabila mendapatkan kesenangan, dia bersyukur, maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya. Sebaliknya apabila tertimpa kesusahan, dia pun bersabar, maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya.” (Hadits shohih. Diriwayatkan oleh Muslim, no. 2999 dari Abu Yahya Shuhaib bin Sinan a).

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, Syukur adalah akhlaq yang mulia, yang muncul karena kecintaan dan keridho’an yang besar terhadap Sang Pemberi Nikmat. Syukur tidak akan mungkin bisa terwujud jika tidak diawali dengan keridho’an. Seseorang yang diberikan nikmat oleh Allah walaupun sedikit, tidak mungkin akan bersyukur kalau tidak ada keridho’an. Orang yang mendapatkan penghasilan yang sedikit, hasil panen yang minim atau pendapatan yang pas-pasan, tidak akan bisa bersyukur jika tidak ada keridho’an. Demikian pula orang yang diberi kelancaran rizki dan harta yang melimpah, akan terus merasa kurang dan tidak akan bersyukur jika tidak diiringi keridho’an.

Kaum muslimin yang kami muliakan, maka dari itu kita sebagai orang muslim hendaknya selalu bersyukur dalam kondisi apapun, dan syukur yang sebenarnya tidaklah cukup dengan mengucapkan “alhamdulillah”. Syukur tidak hanya dilisan. Namun hendaknya seorang hamba bersyukur dengan hati, lisan dan anggota badannya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Qudamah v, “Syukur (yang sebenarnya) adalah dengan hati, lisan dan anggota badan. (Minhajul Qosidin, hal. 305).

Bagaimana caranya bersyukur dengan hati?,yaitu dengan  mengakui dan meyakini bahwa nikmat tersebut semata-mata datangnya dari Allah l dan bukan dari selain-Nya, sehingga muncul kecintaan kita kepada Allah l. Kemudian meniatkan untuk menggunakan nikmat itu di jalan yang Allah ridhai. Adapun bersyukur dengan lisan adalah dengan memuji dan menyanjung Dzat yang telah memberikan nikmat tersebut pada kita dengan mengatakan “Alhamdulillâh”. Sementara tugasnya anggota badan adalah menggunakan nikmat tersebut untuk mentaati Dzat yang kita syukuri (yaitu Allah l) dan menahan diri agar jangan menggunakan kenikmatan itu untuk bermaksiat kepada-Nya.

 

Syukur Adalah Sifat Para Nabi

Muhammad ` tidak luput dari syukur walaupun telah dijamin baginya surga. Diceritakan oleh Ibunda ‘Aisyah i,“Rasulullah ` biasanya jika beliau shalat, beliau berdiri sangat lama hingga kakinya mengeras kulitnya. ‘Aisyah bertanya, ‘Wahai Rasulullah, mengapa engkau sampai demikian? Bukankan dosa-dosamu telah diampuni, baik yang telah lalu maupun yang akan datang? Rasulullah besabda: ‘Wahai Aisyah, bukankah semestinya aku menjadi hamba yang bersyukur?’” (H.R. Bukhari no. 1130, Muslim no. 2820). Inilah suri tauladan kita sebagai umat muslim semoga kita bisa meneladani Rasulullah `.

 

Buah Manis dari Syukur

  1. Syukur Adalah Sifat Orang Beriman

Rasulullah ` bersabda, “Seorang mukmin itu sungguh menakjubkan, karena setiap perkaranya itu baik. Namun tidak akan terjadi demikian kecuali pada seorang mu’min sejati. Jika ia mendapat kesenangan, ia bersyukur, dan itu baik baginya. Jika ia tertimpa kesusahan, ia bersabar, dan itu baik baginya” (H.R. Muslim no.7692).

  1. Merupakan Sebab Datangnya Ridha Allah

Allah l berfirman, “Jika kalian ingkar, sesungguhnya Allah Maha Kaya atas kalian. Dan Allah tidak ridha kepada hamba-Nya yang ingkar dan jika kalian bersyukur Allah ridha kepada kalian” (Q.S. Az-Zumar [39]: 7).

  1. Merupakan Sebab Selamatnya Seseorang Dari Azab Allah

Allah l berfirman, “Tidaklah Allah akan mengadzab kalian jika kalian bersyukur dan beriman. Dan sungguh Allah itu Syakir lagi Alim” (QS. An-Nisa [4]: 147).

  1. Merupakan Sebab Ditambahnya Nikmat

Allah l berfirman, “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu mengumumkan, ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih’” (Q.S. Ibrahim [14]: 7).

  1. Ganjaran Di Dunia dan Akhirat

Janganlah Anda menyangka bahwa bersyukur itu hanya sekedar pujian dan berterima kasih kepada Allah. Ketahuilah bahwa bersyukur itupun menuai pahala, bahkan juga membuka pintu rezeki di dunia. Allah l berfirman, “Dan sungguh orang-orang yang bersyukur akan kami beri ganjaran” (QS. Ali Imran [3]: 145). Imam Ath Thabari menafsirkan ayat ini dengan membawakan riwayat dari Ibnu Ishaq, “Maksudnya adalah, karena bersyukur, Allah memberikan kebaikan yang Allah janjikan di akhirat dan Allah juga melimpahkan rizki baginya di dunia” (Tafsir Ath Thabari, 7/263).

 

Refrensi :

 

Khalqurrahman

Alumni Teknik Sipil UII

 

 

 

 Mutiara Hikmah

Rasulullah ` bersabda,

Jika salah seorang di antara kalian melihat orang yang memiliki kelebihan harta dan bentuk (rupa dan badan) [al kholq], maka lihatlah kepada orang yang berada di bawahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

TIGA JAMINAN DI SURGA BAGI LISAN YANG TERJAGA

Menjaga lisan adalah salah satu akhlak yang baik dan menjadi hal yang perlu untuk dibiasakan agar lisan tidak menjadi pisau  yang dapat melukai orang lain dan diri sendiri.  Kita pernah mendengar kalimat ‘talk less do more’ yang sangat familiar di telinga. Kurangi berbicara dan perbanyaklah melakukan sesuatu. Kalimat yang singkat namun memiliki banyak pesan yang dapat diambil terutama dalam kondisi di lingkungan saat ini. Orang-orang seolah berlomba-lomba untuk melontarkan berbagai opini dan menyerang lawan bicara, namun sudahkah kita berhenti sejenak dan berfikir akan dampak dari setiap perkataan yang dikeluarkan?

 

Talk Less

Terlepas dari berbagai isu yang hangat dibicarakan saat ini, kita sepakat bahwa perdebatan yang hanya berujung pada keburukan atau kemudharatan adalah perilaku yang sia-sia, hanya membuang energi, waktu dan kelak membawa dampak yang buruk bagi diri sendiri jika tidak bisa dipertanggungjawabkan. Pesan dari kalimat sederhana “talk less” ini bahkan sudah disampaikan sejak zaman Nabi Muhammad `, dari Abu Hurairah a bahwa Rasulullah ` bersabda, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam.” (H.R. Al-Bukhari, no. 6018; Muslim, no.47)

Berkata baik atau diam, terutama pada perdebatan yang hanya membuat gaduh dan adu opini tanpa solusi, perdebatan yang mengarah pada keburukan seperti mengadu domba, memfitnah dan perilaku buruk lainnya. Hal lain yang perlu kita sadari di zaman yang serba canggih seperti saat ini adalah, kita dapat dengan mudah menebar kebaikan atau bahkan keburukan melalui jari-jari tangan kita hanya dalam seper-sekian detik. Perkataan yang harus kita pertanggungjawabkan baik di dunia maupun di akhirat kelak bukan hanya perkataan secara langsung melalui mulut, namun juga perkataan-perkataan yang tersebar di media sosial.

Permusuhan yang terus bermunculan tak jarang berawal dari perkataan-perkataan yang melukai perasaan orang lain, akan sangat indah jika kita selalu dapat menjaga perkataan dan mempertanggungjawabkan kebenarannya sebelum melontarkannya kepada orang lain, terlebih jika kita bisa mengeluarkan perkataan ataupun hal-hal positif yang bersifat membangun. Dengan demikian kita telah mengikuti ajaran Nabi Muhammad l untuk menjaga lisan dan menjaga perasaan orang lain.

Menjaga lisan agar tidak berkata kotor adalah kebaikan. Berkata (berucap) yang mengundang keridhoan Allah namun dia tidak memperhatikan apa yang diucapkan akan mendatangkan kebaikan dari Allah. Dalam riwayat disebutkan dari Abu Hurairah a, Rasulullah ` bersabda, “Sungguh ada seorang hamba berbicara dengan satu kata yang mengundang keridhaan Allah, meskipun dia tidak terlalu memperhatikannya; namun dengan sebab satu kalimat itu Allah menaikkan beberapa derajatnya. Dan sungguh ada seorang hamba berbicara dengan satu kalimat yang mengundang kemurkaan Allah, sementara dia tidak memperhatikannya; dengan sebab satu kalimat itu dia terjungkal di dalam neraka Jahannam”. (H.R Bukhari 6478).

 

Tiga Jaminan di Surga

Penulis ingin membagikan suatu pesan menarik dari artikel yang berjudul ‘1+1=5’. Jika kita bertemu dengan lawan bicara yang melontarkan perkataan-perkataan yang tidak benar, maka hendaknya kita menghindar dari perdebatan yang mungkin terjadi. “…Even if you tell me 1+1 =5, you’re absolutely correct. Enjoy” sebuah quotes yang terdengar seperti candaan namun terdapat pesan dibaliknya.

Jika seseorang berdebat dan dengan jelas kita tahu bahwa apa yang dikatakan adalah sesuatu yang salah, seperti halnya dengan mengatakan bahwa 1+1 hasilnya 5 maka kita tidak perlu menanggapinya. Dan lagi, hal ini juga sebelumnya telah disampaikan oleh Nabi Muhammad `. Dari Abu Umamah Al-Bahili a berkata, telah bersabda Rasulullah `,  “Aku menjamin sebuah rumah di surga bagian bawah bagi siapa yang meninggalkan perdebatan sekalipun dia benar. Dan aku menjamin sebuah rumah di surga bagian tengah bagi siapa yang meninggalkan kebohongan sekalipun sedang bergurau. Dan aku menjamin sebuah rumah di surga bagian atasnya bagi siapa yang mulia akhlaknya.” (H.R. Abu Dawud no. 4800 dan dinilai hasan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 1464).

Terdapat 3 poin penting dari hadits diatas, (1) mengenai orang yang meninggalkan perdebatan sekalipun dia benar. Hal ini kurang lebih sama seperti dengan ilustrasi 1+1=5 sebelumnya, tinggalkan perdebatan maka jaminan rumah di surga bagian bawah akan diperoleh. (2) orang-orang yang memperoleh jaminan yang lebih tinggi yaitu rumah di surga bagian tengah bagi mereka yang meninggalkan perkataan bohong dan sia-sia terlebih jika kita dapat menjaga perkataan-perkataan buruk yang dapat memicu perdebatan. (3) adalah rumah di surga bagian atas yaitu bagi orang-orang yang berkata baik dan berbuat sesuatu untuk memberikan manfaat bagi lingkungannya karena akhlak yang mulia.

Ketiganya adalah jaminan yang teramat baik, namun alangkah bahagianya orang-orang yang bisa merasakan surga bagian atas karena akhlaknya yang mengikuti ajaran Nabi Muhammad ` dan taat atas perintah Allah `. Setiap bentuk kebaikan akan mendapatkan ganjaran kelak di akhirat dan sebagai umat Muslim kita bisa saling berlomba-lomba dalam kebaikan, salah satunya berlomba menjalin hubungan yang baik antar sesama manusia dan berusaha memberikan manfaat bagi orang lain untuk meraih keridhoan Allah l.

 

Tidak Selamanya Diam

Mengurangi berbicara atau menghindari perdebatan bukan berarti selamanya harus diam, setidaknya kita bisa melihat mana pembicaraan yang sehat untuk diluruskan dan mana perdebatan yang hanya memicu permusuhan antara kedua belah pihak. Berpendapat juga banyak dibutuhkan untuk menghasilkan suatu solusi karena Nabi pun mengajarkan kita untuk selalu bermusyawarah dan tidak egois dalam mengambil keputusan. Pada intinya kita akan menjadi pribadi yang lebih dewasa ketika kita dapat memilih forum yang tepat untuk berdiskusi dan bertukar pikiran serta dapat menghindari adu mulut yang berujung perselisihan.

 

Do More

Zaman milenial seperti sekarang ini dibutuhkan banyak kreatifitas dibandingkan sibuk mengkritik dan mengeluh dengan keadaan, apalagi saat ini orang-orang bisa mendulang kesuksesan tanpa pendidikan formal yang tinggi. Sebuah fakta yang tidak bisa dipungkiri ketika pada beberapa kasus, pendidikan formal dapat dikalahkan dengan kreatifitas. Namun, bukan berarti pendidikan formal dapat dengan mudah dikalahkan, faktanya masih banyak kebutuhan akan skill khusus yang hanya bisa dimiliki oleh orang-orang yang beruntung dapat mengenyam pendidikan tinggi.

Menjadi milenials yang sukses agaknya tidak bisa selalu bergantung kepada gelar pendidikan saja, namun kita perlu mencari potensi diri yang dapat kita kembangkan terutama jika dapat memberikan manfaat bagi lingkungan sekitar. Berbagai kemudahan teknologi seperti membuka peluang yang besar untuk melakukan kreatifitas, terutama dengan adanya media sosial yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan positif termasuk berdakwah. Berdakwah tidak hanya dilakukan oleh para penceramah, sebagai umat muslim yang termasuk dalam generasi milenial kita dapat berdakwah dengan berbagai cara yang lebih kreatif, baik dengan menebar pesan-pesan positif melalui postingan medsos atau melalui kegiatan-kegiatan sosial yang banyak diminati oleh masyarakat.

Berkontribusi dalam berbagai macam kegiatan positif dapat dimulai dari diri sendiri. Mulai membiasakan diri untuk lebih banyak berbuat dibandingkan mengeluh dan mulai disiplin untuk mengerjakan hal-hal kecil yang menjadi kewajiban kita. Jika sudah dimulai dari diri sendiri, maka kita dapat dengan  mudah ikut berkontribusi dalam kegiatan yang lebih besar baik di lingkungan kampus, tempat kerja, hingga di lingkungan masyarakat.

Kita bisa memilih menjadi orang yang menebar keburukan dan kebencian melalui lisannya atau menjadi orang yang dapat menebar kebaikan melalui perkataan yang positif dan menebar manfaat dengan melakukan hal-hal yang kreatif.  Wallâhu a’lam bish-shawwab.[]

 

*Iesya Reyadillah N.

Mahasiswa FMIPA UII

NIM. 15613187

Refresensi:

https://muslimah.or.id/5118-bicara-baik-atau-diam.html

https://mailchi.mp/aidaazlin/115-how-this-equation-gave-me-peace

Kajian Masjid Ulil Albab UII, Agamanya Millenial Presepsi Millenial Terhadap Islam, 9 Maret 2019.

 

 

Mutiara Hikmah

Rasulullah ` bersabda,

لَا تَغْضَبْ وَلَكَ الـجَنَّة

“Jangan marah, bagimu surga.” (HR. Thabrani dan dinyatakan shahih dalam kitab shahih At-Targhib no. 2749)

 

HUBUNGAN PEMIMPIN DAN YANG DIPIMPIN

 “Allah Pemimpin orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”.

(QS. Al-Baqarah [02]: 257).

 

Al-Qur’an telah menjelaskan bahwa Allah adalah pemimpin orang-orang beriman. Hal ini seperti firman-Nya diatas.

Azh-zhulumat (kegelapan) dalam ayat di atas adalah simbol dari segala bentuk kekufuran, kemusyrikan, kefasikan dan kemaksiatan. Atau dalam bahasa sekarang Azh-zhulumat adalah bermacam-macam ideology dan isme-isme yang bertentangan dengan ajaran Islam seperti komunisme, sosialisme, kapitalisme, liberalism, materialism, hedonism, dan lain sebagainya. Sedangkan an-nur adalah simbol dari ketauhidan, keimanan, ketaatan, dan segala kebaikan lainnya.

At-thaghut adalah segala sesuatu yang disembah (dipertuhan) selain dari Allah l dan dia suka diperlakukan sebagai Tuhan tersebut. Sederhananya Thaghut adalah segala sesuatu yang menentang kebenaran dan melanggar batas yang telah digariskan oleh Allah l untuk hamba-Nya. Dia bisa berbentuk pandangan hidup, peradaban dan lain-lain yang tidak berlandaskan ajaran Allah `.

Secara kepemimpinan Allah l itu dilaksanakan oleh Rasulullah `, dan sepeninggal beliau kepemimpinan itu dilaksankan oleh orang-orang yang beriman. Hal itu dinyatakan di dalam Al-Qur’an, Allah l berfirman, “Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah)”. (Q.S. al-Mâidah [05]: 55).

 

Kriteria Pemimpin

Pemimpin umat atau dalam ayat di ayat di istilahkan dengan waliy dan dalam ayat yang lain (Q.S An-Nisa’ [4]: 59) disebut dengan ulil amri adalah penerus kepemimpinan Rasulullah ` setelah beliau meninggal dunia. Sebagai Nabi dan Rasul, Nabi Muhammad ` tidak bisa digantikan, tapi sebagai kepala Negara, pemimpin, ulil amri tugas beliau dapat digantikan.  Orang-orang yang dapat dipilih menggantikan beliau sebagai pemimpin minimal harus memenuhi empat kriteria sebagai mana yang dijelaskan dalam surat Al-Mâidah ayat 55 di atas.

 

  1. Beriman Kepada Allah l.

Pemimpin ulim amri adalah penerus kepemimpinan Rasulullah `, sedangkan Rasulullah ` sendiri adalah pelaksana kepemimpinan Allah `, maka tentu saja yang pertama sekali harus dimiliki oleh penerus kepemimpinan beliau adalah keimanan (kepada Allah, dan Rasul-Nya bagaimana mungkin dia dapat diharapkan memimpin umat menempuh jalan Allah di atas permukaan bumi jika tidak memiliki iman di hatinya. Maka keimanan menjadi pondasi dasar kepemimpinan dalam Islam.

 

  1. Mendirikan Shalat.

Shalat adalah ibadah vertikal langsung kepada Allah l. Seorang pemimpin yang mendirikan shalat diharapkan memiliki hubungan vertikal yang baik dengan Allah l. Diharapkan nilai-nilai kemuliaan dan kebaikan yang terdapat di dalam shalat dapat tercermin dalam kepemimpinannya. Misalnya nilai kejujuran. Apabila wudhu’ seorang imam yang sedang memimpin shalat batal, sekalipun tidak diketahui orang lain dia akan mengundurkan diri dan siap digantikan orang lain, karena dia sadar bahwa dia tidak lagi berhak menjadi imam.

 

  1. Membayarkan zakat.

Zakat adalah ibadah mahdhah yang merupakan simbol kesucian dan kepedulian sosial. Seorang pemimpin yang berzakat diharapkan selalu berusaha mensucikan hati dan hartanya. Dia tidak akan mencari dan menikmati harta dengan cara yang tidak halal (misalnya dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme). Dan lebih dari pada itu dia memiliki kepedulian sosial yang tinggi terhadap kaum dhu’afa’ dan mustadh’afin. Dia akan menjadi pembela orang-orang yang lemah.

 

  1. Selalu Tunduk Patuh Kepada Allah l.

Ayat di atas disebutkan pemimpin itu haruslah orang-orang yang selalu ruku’ (wa hum raki’un). Ruku’ adalah simbol kepatuhan secara mutlak kepada Allah dan Rasul-Nya yang secara konkret dimanifestasikan dengan menjadi seorang muslim yang kafah (total), baik dalam aspek aqidah, ibadah, akhlaq, maupun mu’amalat. Aqidahnya benar (bertauhid secara murni dengan segala konsekuensinya, bebas dari segala bentuk kemusyrikan), ibadahnya tertib dan sesuai tuntunan Nabi, akhlaqnya terpuji (shidiq, amanah, adil, istiqamah, dansifat-sifat mulia lainnya). Dan mu’amalatnya (dalam seluruh aspek kehidupan) tidak bertentangan dengan syari’at Islam.

 

Kepatuhan Kepada Pemimpin

Kepemimpinan Allah l dan Rasul-Nya adalah kepemimpinan yang mutlak diikuti dan dipatuhi. Sedangkan kepemimpinan orang-orang yang beriman adalah kepemimpinan yang nisbi (relatif) kepatuhan kepadanya tergantung dengan paling kurang dua faktor: (1) Faktor kualitas dan integritas pemimpin itu sendiri; dan (2) Faktor arah dan corak kepemimpinannya. Kemana umat yang dipimpinnya mau dibawa, apakah untuk menegakkan dinullah atau tidak.

Perbedaan kepatuhan itu telah diisyaratkan oleh Allah l dalam firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu”. (QS. An-Nisa’ [04]: 59).

Perintah taat kepada Rasul disebutkan secara eksplisit seperti perintah taat kepada Allah l, semantara perintah taat kepada ulil amri hanya di ‘atafkan (diikutkan) kepada perintah sebelumnya. Artinya kepatuhan kepada ulil amri terkait dengan kepatuhan ulil amri itu sendiri kepada Allah dan Rasul-Nya. Ulil amri yang disebut dalam ayat ini ditafsirkan oleh Al-Mâidah 55 di atas, yaitu orang beriman yang mendirikan shalat, membayar zakat, dan selalu tunduk kepada Allah l.

Isyarat bahasa ini dipertegas oleh sabda Rasulullah `, “Seorang muslim wajib mendengar dan taat (kepada pemimpin –ed-) dalam perkara yang dia sukai atau benci selama tidak diperintahkan untuk bermaksiat. Apabila diperintahkan untuk bermaksiat, maka tidak ada kewajiban mendengar dan taat.” (H.R. Bukhari)

 

Untuk hal-hal yang sudah diatur dan ditetapkan oleh Al-Qur’an dan hadits, sikap pemimpin dan yang dipimpin sudah jelas, harus sama-sama tunduk pada hukum Allah. Tetapi dalam hal-hal yang bersifat ijtihadi, ditetapkan secara musyawarah dengan mekanisme yang disepakati bersama. Akan tetapi, apabila terjadi perbedaan pendapat yang tidak dapat disepakati antara pemimpin dan yang dipimpin, maka yang ditaati adalah pendapat pemimpin. Yang dipimpin kemudian tidak boleh menolaknya dengan alasan pendapatnya tidak dapat diterima.

 

Persaudaraan antara Pemimpin dan yang Dipimpin

Sekalipun dalam struktur bernegara (dan juga pada level di bawahnya) ada hirarki kepemimpinan yang mengharuskan umat atau rakyat patuh pada pemimpinnya, tetapi dalam pergaulan sehari-hari hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin tetaplah dilandaskan kepada prinsip-prinsip ukhuwah islamiyah, nukan prinsip atasan dengan bawahan, atau majikan dengan buruh, tetapi prinsip sahabat dengan sahabat. Demikianlah yang dicontohkan oleh Rasulullah `.

Kaum muslimin yang berada di sekitar beliau waktu itu di panggil dengan sebutan sahabat-sahabat, suatu panggilan yang menunjukkan hubungan yang horizontal, sekalipun ada kewajiban untuk patuh secara mutlak keppada beliau sebagai seorang Nabi dan Rasul. Hubungan persaudaraan seperti itu dalam praktinya tidaklah melemahkan kepemimpinan Rasulullah `, tapi malah semakin kokoh karena tidak hanya di dasari hubungan formal, tapi juga di dasari hubungan hati yang penuh kasih saying. (Disadur dari Prof. Dr. H. Yunahar Ilyas, Lc, M.A Kuliah Akhlaq, 2012, hal 247-251 dengan penambahan)

 

Cristoffer Veron P

Siswa Kelas XI SMK Muhammadiyah 1 Kota Yogyakarta

Prodi Teknik Komputer dan Jaringan

 

Mutiara Nasehat

 

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَيَنْصُرَنَّ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ

Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (Q.S. Al Hajj [22] : 40)

 

TABAYYUN DALAM MENERIMA BERITA

Pembaca yang berbahagia, saat ini sangat mudah berita hoax tersebar dan membuat resah masyarakat. Mungkin bertanya-tanya kenapa berita palsu bisa cepat menyebar di kalangan masyarakat. Bahkan dengan mudahnya masyarakat percaya dengan berita palsu tersebut. Di era media sosial ini, orang-orang semakin mudah mendapatkan informasi sekaligus mudah untuk menyebarkannya. Sudah tidak asing lagi yang namanya Facebook, Twitter, Whatssap, Line, Youtube. Dari semua media tersebut biasanya terdapat fasilitas untuk “membagikan” atau “meneruskan” informasi yang didapat. Paling tidak membagikan link website. Sehingga hanya dengan modal jempol untuk mengklik “membagikan” atau “meneruskan”, seseorang sudah bisa menjadi kurir informasi.

Sebuah pengalaman pernah terjadi kepada dua orang, sebut saja si A dan si B. Si A mengambil informasi di hp lewat screen shoot. Foto screen shoot yang diambil dijadikan story di WA. Si B yang melihat story tersebut merasa ada yang janggal dengan informasi yang di dapat si A. Si B kemudian menanyakan si A mengenai kebenaran informasi tersebut. Setelah ditanyakan, ternyata si A sebenarnya tidak tahu menahu mengenai informasi yang didapatkannya. Dia hanya merasa bahwa informasi tersebut benar, ditambah lagi si A tidak bisa memberi fakta dan data yang mendukung informasi.

Dari cerita tersebut dapat diambil pelajaran bahwa sebelum menyebarkan berita atau informasi, kita harus menelusurinya dengan teliti. Beritanya darimana, penulisnya siapa, kapan terjadinya, apakah sesuai dengan kejadian sesungguhnya atau tidak, bahkan bila perlu membandingkan sumber berita satu dengan yang lain. Hal ini agar mengetahui berita mana yang benar dan berita mana yang salah. Karena kebenaran itu mahal harganya.

Alasan pentingnya tabayyun dalam menerima berita adalah untuk menghindari dari kegiatan yang asal membagikan berita palsu. Berita palsu merugikan masyarakat. Masyarakat menjadi was-was ketika ada berita yang menakutkan, padahal belum terbukti kebenarannya. Terkadang orang lebih ingin mempercayai berita palsu daripada mencari fakta-fakta kebenarannya. Bisa saja berita palsu dibuat hanya karena ingin menghancurkan wibawa seseorang atau ingin usaha seseorang gagal.

Banyaknya berita hoax yang menyebar di berbagai media tidak lepas dari peran dari pembuat berita palsu yang terorganisir. Hal seperti ini harus diperhatikan oleh masyarakat agar tidak salah memahami. Tidak jarang ujaran kebencian menjadi sebuah tren dalam membuat berita hoax. Ujaran kebencian yang telah menyebar di masyarakat menjadi motivasi adu domba. Karena seringkali, ujaran kebencian dikaitkan dengan persoalan SARA, sehingga mudah terbawa emosi. Yang awalnya tidak ada perselisihan akhirnya terjadi perselisihan.

Di akhirat kelak, pertanggung jawaban yang diminta oleh Allah tidak hanya kepada pembuat berita saja, namun juga siapa yang menyebarkannya. Allah lberfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang datang membawa berita bohong itu adalah golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa perbuatan mereka itu membawa akibat buruk bagi kamu, bahkan itu adalah membaikkan. Setiap orang akan mendapat hukuman dari sebab dosa yang dibuatnya itu. Dan siapa yang mengambil bagian terbesar akan mendapat siksaan yang besar pula” (Q.S An-Nur [24] : 11)

Allah lberfirman, “Mengapa setelah mendengar berita-berita bohong itu orang-orang yang beriman, baik laki-laki ataupun perempuan, tidak meletakkan sangka yang baik terhadap dirinya, mengapa tidak mereka katakan bahwa berita ini adalah bohong belaka?” (Q.S An-Nur [24] : 12)

Allah lberfirman, “Ketika kamu sambut berita itu dari lidah ke lidah, kamu katakan dengan mulutmu perkara yang sama sekali tidak kamu ketahui, kamu sangka bahwa cakap-cakap demikian perkara kecil saja. Padahal dia adalah perkara besar pada pandangan Allah” (Q.S An-Nur [24] : 15)

Berita Bohong Pada Masa Rasulullah

Kisah berita hoax pada zaman Rasulullah pernah terjadi. Saat itu yang menjadi korban tuduhan berita palsu adalah istri Rasulullah `, yaitu Aisyah i. Berawal dari Aisyah i terpilih sebagai istri yang pergi bersama Rasulullah `. Karena bila Rasulullah ` akan keluar, dia akan mengundi di antara istri-istrinya.

Ketika hendak tiba ke Madinah, Rasulullah ` memberi aba-aba untuk berangkat. Aisyah i kehilangan kalungnya dari merjan zhiffar. Dia kemudian mencari kalung tersebut.  Singkat cerita Aisyah i tertinggal dari rombongannya. Rombongan yang bersamanya beranggapan bahwa istri Rasulullah tersebut telah berada dalam sekedup (atap dan dinding yang ditutupi oleh kain) unta.

Aisyah ` kemudian kembali ke tempat semula dan melihat rombongannya sudah pergi. Dia kemudian duduk dan termenung sendirian. Aisyah i kemudian ditemukan oleh Shafwan Ibnu Al Mu’aththil As-Sullami yang tertinggal di belakang para rombongan tentara dan berjalan semalaman. Aisyah i kemudian naik unta yang dibawa oleh Shafwan. Sementara Shafwan menuntun unta.

Sampai di Madinah, Aisyah i sakit selama satu bulan sehingga tidak keluar rumah. Sementara orang-orang menyebarkan berita bohong. Berita bohong antara lain seperti Aisyah telah berdua-duaan dengan Shafwan. Bahkan mereka dikabarkan berencana mengkhianati Rasulullah `. Berita tersebut telah menjadi rahasia umum di masyarakat (Hamka, 1976). Orang yang dibalikpenyebaran berita bohong tersebut adalah Abdullah bin Ubay.

Sama seperti masa sekarang, pada masa Rasulullah, orang-orang tidak melakukan penyelidikan maupun menggunakan akal untuk mempertimbangkan berita yang dituduhkan kepada Aisyah i.

Aisyah i selama dilanda sakit, dia tidak mengetahui tentang berita yang telah dibicarakan oleh masyarakat. Setelah keluar rumah karena ada kepentingan, barulah Aisyah radiyallahu ‘anha i mengetahui kabar tersebut dari Ummu Misthah. Mendengar kabar tersebut, Aisyah i menangis. Kemudian dia bercerita kepada orang tuanya.

Rasulullah ` kemudian menghampiri Aisyah i. Akhirnya turun ayat surat An-Nur mengenai tuduhan terhadap Aisyah i. Setelah turun wahyu, Rasulullah ` menjadi tahu bahwa berita tersebut adalah bohong. Kemudian Rasulullah ` menyampaikan wahyu tersebut kepada masyarakat. Pembaca yang dirahamti Allah bisa membaca cerita selengkapnya di Tafsir Al-Azhar karya Hamka, Juz 18 surat An-Nur ayat 11-18.

 

Solusinya Adalah Rajin Membaca

Agar kita sebagai masyarakat tidak tertipu oleh berita hoax adalah dengan rajin membaca. Dengan membaca, wawasan menjadi luas dan mendalam. Membaca juga dapat membantu menganalisis berita yang tersebar sehingga tidak asal mempercayainya mentah-mentah dan tidak asal menyebarkan. Karena masih banyak orang yang salah memahami hanya lantaran membaca judul saja. Maka dari itu penting untuk meningkatkan aktivitas membaca sehingga bisa menyimpulkan dengan baik terhadap informasi yang diterima.

Untuk menanggapi berita yang tersebar dengan cepat di berbagai media. Hal yang harus dilakukan adalah dengan membaca berita dengan teliti. Tidak hanya setengah-setengah, namun dibaca dari awal sampai habis. Mencari fakta atau data yang bisa mendukung berita. Memperhatikan kata-kata dengan seksama, sehingga jika ada kata-kata yang janggal maka bisa diteliti lebih mendalam.

Selanjutnya dalam menanggapi berita adalah dengan mengenal media yang memberikan informasi. Bisa jadi media yang memberi informasi mempunyai sifat keberpihakan maupun netral. Keberpihakan yang dimaksud adalah lebih condong kepada salah satu pandangan saja. Tidak jarang media mempunyai idealisme tersendiri. Berhati-hatilah dalam menyaring informasi yang disebar lewat media sosial karena bisa saja sumber tidak jelas. Di sms maupun WA, untuk menguatkan informasi bisa saja menggunakan nama profesor tertentu. Padahal nama yang tertera bisa saja hanya dibuat-buat atau ada orang yang memaparkan nama tertentu yang sebetulnya tidak pernah memberikan pernyataan.

Kemudian untuk meneliti berita yang lebih mendalam adalah dengan melakukan perbandingan berita antara media satu dengan media lainnya. Bisa jadi ada beberapa hal yang berbeda di media lain. Cara-cara tersebut dapat membantu pembaca dalam menerima berita sehingga nantinya tidak asal menyebar berita.

Apabila mendengar berita dari mulut ke mulut maka harus dilakukan tabayyun. Jangan sampai hanya mendengar gosip, kemudian langsung percaya saja. Melainkan perlu bukti yang nyata.Diteliti terlebih dahulu agar nantinya tidak menyakiti hati seseorang. Dengan belajar dari kisah Aisyah i dapat diambil hikmahnya bahwa akal sehat harus digunakan dengan sebaik-baiknya.

Semoga dengan tulisan ini, Pembaca semakin bijak dalam menanggapi berita. Karena berita bohong mudah dibuat dan mudah disebar. Apalagi di masa sekarang terdapat teknologi yang canggih seperti gadget yang membuat berita menyebar semakin cepat. Jika tidak berhati-hati dalam menelusuri berita dan ikut menyebarkan berita tanpa mengetahui fakta yang sesungguhnya, maka pertanggung jawabannya akan dimintai oleh Allah.

 

Muhammad Nafiuddin Fadly

Mahasiswa Hubungan Internasional

 

Mutiara Hikmah

 

Dari Abu Hurairah a dari Nabi ` bersabda,

“Ketika Allah menciptakan makhluk, Dia mencatat di dalam Kitab-Nya -Dia mencatat atas diri-Nya, dan Dia letakkan di sisi-Nya di atas Arsy-. Sesungguhnya Rahmat-Ku mengalahkan Murka-Ku.” (HR. Al-Bukhari No.7404)

BELAJAR MENASEHATI DARI IMAM ABU HANIFAH

Imam Abu Hanifah adalah ulama besar pada masa tabi’in (generasi setelah sahabat Rasulullah Saw). Pendiri Madzhab Hanafi ini memiliki nama lengkap Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit bin Zautha. Imam Abu Hanifah dilahirkan di kota Kufah pada 699 M dari keluarga pebisnis kaya yang taat. Maka tidak heran jika Imam Abu Hanifah juga menjadi pebisnis yang mengikuti darah ayahnya. Kakeknya masuk Islam pada zaman Umar bin Khattab lalu hijrah ke Kufah dan menetap di sana.

Imam Al-Dzahabi berkata, “Dia seorang Imam, faqihul millah (ahli fiqihnya millah ini), ulamanya Iraq, Abu Hanifah Nu’man bin tsabit bin Zautha, At-Taimi, Al-Kufi, Maula Bani Tayyimullah bin Tsa’labah. Disebutkan juga bahwa beliau keturunan Persia.” (Siyar A’lamin Nubala, 6/390)

Syaikh Al-Taqi Al-Ghazi berkata, “Dialah imamnya para imam, penerang bagi umat, lautan ilmu dan keutamaan, ulamanya Iraq, ahli fiqih dunia seluruhnya, orang setelahnya menjadi lemah di hadapannya, dan yang semasanya, belum pernah mata melihat yang semisalnya, belum ada seorang mujtahid mencapai derajat seperti kesempurnaan dan keutamaannya.” (Ath-Thabaqat As-Sunniyah fi Tarajim Al-Hanafiyah, Hal. 24)

Nu’man bin Tsabit bin Zautha dijuluki Abu Hanifah karena suci dan lurus, karena sejak kecil beliau sangat sungguh-sungguh dalam beribadah, berakhlak mulia, serta menjauhi perbuatan-perbuatan dosa dan keji. Dan pemikiran fiqihnya dinamakan Madzhab Hanafi.

Cerita dimulai ketika Imam Abu Hanifah melakukan perjalanan seperti biasa dalam rangka berdakwah. Pagi itu cerah sekali namun Imam Abu Hanifah mendengar keluhan dari seorang pemuda dari kamarnya dengan jendela yang masih terbuka. Pemuda tersebut mengeluh sambil menangis tersedu-sedu. Imam Abu Hanifah sayup-sayup mendengar sumber suara tersebut.

“Aduhai, alangkah malangnya nasibku ini, sepertinya tiada seorang pun yang lebih malang dari nasibku. Sejak dari tadi belum datang sesuap makanan pun di kerongkonganku sehingga seluruh badanku menjadi lemah lunglai. Oh, manakah hati yang mau berbelas kasihan yang sudi memberi curahan air walaupun sedikit.”

Mendengar keluhan seperti ini, Imam Abu Hanifah langsung merasa iba. Ia kembali ke rumah untuk mengambil beberapa keping uang untuk diberikan kepada pemuda tersebut. Sesampainya di depan rumah, Imam Abu Hanifah langsung menaruh bungkusan yang ia bawa di depan pintu. Kemudia Imam Abu Hanifah melanjutkan perjalanannya.

Ketika ada bungkusan yang tergeletak di depan rumahnya, pemuda tersebut kaget bukan main melihatnya. Seakan-akan keluhan dan tangisannya didengarkan dan dikabulkan oleh Allah I. Pemuda tersebut bergegas membuka bungkusan tersebut yang ia tidak tahu darimana datangnya. Di dalamnya ternyata ada beberapa keping uang dan sepucuk kertas.

Kertas tersebut bertuliskan, “Hai manusia, sungguh tidak wajar kamu mengeluh sedemikian itu, kamu tidak perlu mengeluh akan nasibmu. Ingatlah kepada kemurahan Allah. Cobalah bermohon kepada-Nya dengan bersungguh-sungguh. Jangan suka berputus asa wahai kawan, akan tetapi berusahalah terus.”

Demikianlah surat yang ditulis oleh Imam Abu Hanifah. Imam Abu Hanifah menasehati pemuda tersebut dengan tetap memberinya kebutuhan selama sehari. Dengan harapan menyemangati agar pemuda tersebut mencari nafkah dengan mandiri untuk keesokan harinya.

Beberapa hari kemudian Imam Abu Hanifah melewati jalan itu lagi. Betapa terkejutnya ia sesampainya di dekat rumah pemuda itu. Ternyata pemuda itu masih mengeluh dengan suara yang bahkan lebih keras lagi.

“Ya Allah Tuhan Yang Maha Pengasih dan Pemurah, sudilah kiranya memberikan bungkusan lain seperti kemarin, sekedar untuk menyenangkan hidupku yang melarat ini. Sungguh jika Engkau tidak memberi, akan lebih sengsaralah hidupku.”

Mendengar keluhan pemuda tersebut membuat Imam Abu Hanifah putar arah dan kembali ke rumah untuk mengambil beberapa keping uang seperti kemarin. Sesampainya di dekat rumah pemuda, Imam Abu Hanifah meletakkan bungkusan tersebut di depan pintu persis seperti yang dilakukannya kemarin hari.

Melihat ada bungkusan di depan pintunya, pemuda tersebut girang segirang-girangnya. Ia menyangka bahwa do’anya didengar dan dikabulkan. Hanya dengan berdo’a dan mengeluh maka uang pun akan datang dengan sendirinya. Seperti halnya hari kemarin, pemuda itu membuka bungkusan dan melihat beberapa keping uang dan sepucuk surat.

“Hai kawan, bukan begitu caranya memohon, bukan demikian cara berikhtiar dan berusaha. Itu malas namanya. Putus asa kepada kebenaran dan kekuasaan Allah I. Sungguh Allah tidak ridho melihat orang pemalas dan suka putus asa, enggan bekerja untuk keselamatan dirinya. Jangan.. jangan berbuat demikian. Jika anda ingin senang, anda harus bekerja dan berusaha karena kesenangan itu tidak mungkin datang sendiri tanpa dicari atau diusahakan. Orang hidup tidak disuruh duduk diam dan tidak seharusnya demikian pula, akan tetapi harus bekerja dan berusaha. Allah tidak akan mengabulkan permohonan orang yang malas bekerja.”

Membaca isi surat yang cukup menohok tersebut, pemuda itu diam sejenak untuk menghela nafas, kemudian meneruskan membaca. “Oleh karena itu carilah pekerjaan yang halal untuk mencukupi kehidupanmu. Berikhtiarlah sebisa mungkin dengan tetap memohon pertolongan Allah. Insya Allah anda akan mendapat pekerjaan selama anda tidak berputus asa. Carilah segera pekerjaan, saya doakan semoga anda berhasil.”

Kalimat-kalimat terakhir dari surat itu membuat pemuda itu terdiam sesaat. Ia menyadari kesalahan apa yang ia telah lakukan. Ia selalu mengharapkan belas kasihan dan rasa iba dari orang lain untuk mencukupi kebutuhannya. Ia sadar bahwa ia malas dan suka mengeluh dan berjanji untuk berusaha mencukupi kebutuhannya secara mandiri. Keesokan harinya ia keluar dari rumah untuk mencari pekerjaan yang halal dan berkah tentunya.

Dari cerita di atas kita dapat memetik sebuah hikmah yang sangat berlian dari seorang ulama besar. Bagaimana seseorang Imam Abu Hanifah menasehati tanpa mengecilkan perasaan dan merendahkan. Sudah seharusnya seperti itulah kita sebagai saudara seiman untuk menasehati dalam kebaikan.

Al Hafizh Ibnu Rajab berkata: “Apabila para salaf hendak memberikan nasehat kepada seseorang, maka mereka menasehatinya secara rahasi. Barangsiapa yang menasehati saudaranya berduaan saja maka itulah nasehat. Dan barangsiapa yang menasehatinya di depan orang banyak maka sebenarnya dia mempermalukannya.” (Jami’ Al ‘Ulum wa Al Hikam, halaman 77)

Kajian di atas sangat relevan untuk zaman sekarang dengan kemajuan teknologi informasi dan kemudahan akses lewat peranngkat gawai. Dimana setiap orang mampu mempublikasikan segalanya yang mereka inginkan. Miris sekali penulis rasakan jika ada orang yang ingin menasehati namun lewat instagram story, status facebook, cuitan di twitter dan lain sebagainya.

Hikmah selanjutnya yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bagaimana Imam Abu Hanifah menasehati tanpa mencaci maki. Ia menasehati dengan perkataan yang sopan dan santun. Tanpa melukai perasaan sedikitpun.

Fir’aun adalah raja yang keras dan kejam. Ia tidak segan-segan menyiksa dan membunuh siapapun yang tidak menuruti perintahnya. Namun bagaimanapun juga Allah I memerintahkan Nabi Musa dan Nabi Harun untuk  menasehatinya dengan lemah lembut.

“Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas; maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (Al-Thaha:43-44)

Semoga dengan ini kita mampu menasehati saudara-saudara kita dengan menghadirkan rasa tentram dan damai. Bukan malah dengan penuh singgungan yang akhirnya malah membuat permusuhan. Wallahua’lam

 

Agung Permana Bhakti

Santri Pondok Pesantren UII

 

Mutiara Hikmah

“Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman”

(QS. Adz-Dzariyaat [51]: 55).

MENUMBUHKAN KEBAIKAN SOSIAL

 

وَمِنۡهُم مَّن يَقُولُ رَبَّنَآ ءَاتِنَا فِي ٱلدُّنۡيَا حَسَنَةٗ وَفِي ٱلۡأٓخِرَةِ حَسَنَةٗ وَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ٢٠١

“Dan di antara mereka ada yang berdoa, “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari azab neraka.”

(Q.S Al Baqarah [2] : 201)

 

Salah satu tujuan Allah  menurunkan para nabi ke muka bumi ini, adalah sebagai tauladan kebaikan bagi kita umat Islam, dan tentunya kita dapat mengambil hikmah dan pelajaran berharga dari kisah-kisah tersebut. Seperti halnya kesabaran nabi Yusuf dalam menerima ujian berupa permusuhan dari saudara-saudaranya hingga akhirnya beliau harus menerima keadaan terpisah dari keluarganya tercinta. Namun dengan keikhlasannya Allah  yang maha kuasa mengganti ujian tersebut dengan memberikan jabatan terbaik di negeri yang Allah  kehendaki.

Begitu juga dengan nabi-nabi yang lain, mereka diutus ke muka bumi ini tidak lain dan tidak bukan adalah untuk memberikan peringatan dan pelajaran yang sangat berharga bagi umat-umatnya. Dalam kacamata Islam, agama merupakan sumber yang penuh dengan keutamaan dan kemuliaan. Maka dasar-dasar pendidikan yang terkandung di dalamnya merupakan pendidikan tentang norma dan akhlak yang tinggi bagi mereka yang menjalani peran terbaik dalam kehidupan ini.

Oleh sebab itulah seorang muslim yang sejati hatinya dan indah pandangannya, serta sadar kepada indahnya ciptaan Allah  di alam semesta ini, mereka adalah yang orang senantiasa mengingat akan kebesaran-kebesaran-Nya seraya berkata: “Ya Tuhan kami, tiadalah engkau ciptakan ini dengan sia-sia.  Maha suci engkau, maka peliharalah kami dari siksa api neraka. (Q.S Ali Imran [3] :190)

Setidaknya ada beberapa perilaku atau tauladan yang baik yang dapat kita jadikan pondasi awal dalam menumbuhkan kebaikan sosial. Karena dengan menumbuhkan kebaikan sosial ini, akan tumbuh kebaikan-kebaikan lainnya sehingga dapat mengantarkan generasi yang selalu membawa manfaat yang banyak.

Pertama adalah selalu menolong orang lain baik tetangga, teman atau kerabat kita yang dalam kesulitan dalam bidang ilmu, kehidupan, ekonomi maupun dalam hal yang lain. Menolong orang lain dalam kebaikan merupakan perkara yang sangat di sukai oleh Allah , karena bisa jadi dengan pertolongan yang kita berikan, pertolongan tersebut dapat menjadi wasilah atau jalan kebaikan baik untuk kita maupun bagi mereka yang membutuhkan.

Sebagaimana halnya nabi Musa dalam memberikan pertolongan kepada salah seorang pengembala yang belum pernah ia kenal sebelumnya. Maka dari kebaikan itu beliau dapat memetik hasilnya dengan mendapatkan hidangan terbaik dari keluarga pengembala tersebut.

Maka sudah sepantasnya kita dapat mengamalkan perbuatan yang telah di contohkan oleh nabi Musa dalam memberikan pertolongan kepada siapapun. Oleh sebab itulah hal yang utama kita perhatikan dalam menumbuhkan kebaikan sosial adalah melihat dan mengamati lingkungan yang ada di sekitar kita.

Banyak kita temui di sekitar lingkungan tempat tinggal kita, baik tetangga atau kerabat kita yang belum mengenal huruf al-Qur’an sehingga mereka enggan dalam melakukan ibadah yang lain karena malu akan keilmuan yang mereka miliki belum sempurna.

Sudah sepantasnya kita sebagai muslim yang baik akan rela mengajarkan ilmu al-Qur’an ini dengan sebaik-baiknya sebagai salah satu kebaikan sosial yang dapat kita petik pahalanya di akhirat nanti dari setiap huruf yang mereka baca.

Kedua adalah selalu memberikan komentar kebaikan dalam menasehati dengan hikmah atas sikap dan perilaku orang lain yang berbuat salah atau tidak sesuai dengan syariat Islam. Komentar yang baik sangat penting kita lakukan di era digital nan percepatan informasi ini, bagaimana tidak, banyak orang-orang yang mengunggah foto maupun video yang kurang baik dari kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan. Maka sudah menjadi peran kita sebagai seorang muslim untuk selalu menasehati saudara muslim yang lain.

Oleh sebab itulah dengan memberikan komentar yang baik, maka komentar dan nasihat yang baik ini akan menjadi do’a kebaikan bagi mereka yang senantiasa kembali kejalan yang benar. Sehinggga mereka yang melakukan perbuatan tersebut akan sadar bahwa perbuatanya adalah sesuatu yang tidak benar.

Masih ingatkah kita kisah salah seorang imam Masjidil Harom yang dalam masa kecilnya selalu membuat orang tua dan keluarganya menjadi kesal terhadap tingkah laku dan perbuatannya. Namun dengan kebijakan dan kerendahan hati sang ibu yang senantiasa mendoakan kebaikan untuk anak-anaknya maka ketika anak ini menjadi dewasa, ia menjadi salah satu imam terbaik yang senantiasa menjadi seorang imam yang di kagumi. Iya, dia adalah imam As-Sudais, yang saat ini selalu menjadi rujukan imam-imam masjid yang ada di negara kita maupun negara Islam lainnya.

Bukankah komentar adalah sebuah kata-kata yang dapat menjadikan pelakunya menjadi apa yang kita lontarkan. Maka sudah sebaiknya komentar kebaikan selalu menjadi sebuah senjata bagi kita untuk selalu menyampaikan kepada siapapun.

Ketiga adalah selalu mendoakan kebaikan-kebaikan kepada siapapun dan kapanpun terhadap perilaku sosial masyarakat yang belum ada kebaikannya atau terhadap orang yang tidak baik kepada kita, sebagaimana halnya Rasulullah  yang mendo’akan orang-orang di kota Thoif pada masa itu, yang telah melempari beliau dengan batu saat beliau mengajak kepada kebaikan. Bahkan atas perbuatan mereka Rasulullah  mendapatkan luka yang tak ringan.

Namun, melalui peristiwa itu, tidak pernah terbesit dalam hatinya untuk membalas keburukan yang mereka lakukan bahkan beliau senantiasa berdo’a kepada Allah  akan kebaikan untuk anak cucu dan keturunan bangsa Thoif pada waktu. Terbukti dari do’a baginda Nabi Muhammad  itu, kini daerah Thoif merupakan daerah yang sejuk dan banyak pepohonan yang tumbuh bersemi serta berbagai buah dihasilkan dari daerah tersebut bahkan menjadi salah satu tujuan destinasi wisata orang yang beribadah umroh maupun haji.

Keempat adalah selalu menyambung tali persaudaraan antar muslim. Islam mengajarkan kepada kita untuk menjaga kedamaian dan ketentraman dimanapun kita berada. Oleh sebab itulah seorang muslim yang akan menumbuhkan kebaikan sosial maka ia senantiasa menjaga tali persaudaraan dengan siapapun, baik dengan teman akrab, kerabat, dan orang-orang yang belum ia kenal sebelumnya.

Islah atau perdamaian adalah salah satu sifat terpuji yang patut kita jadikan pedoman dalam hidup ini. Bagaimana tidak, kebaikan seorang muslim dalam mendamaikan orang lain adalah sebuah bentuk perjuangan yang membutuhkan strategi yang jitu. Sebagaimana halnya Rasulullah  dalam mendamaikan orang-orang Madinah pada masa itu, sehingga mereka menjadi sahabat nabi yang terbaik bagi kaum muslimin hingga saat ini. Oleh sebab itulah menumbuhkan kebaikan sosial akan menjadi salah satu alternatif kita dalam mencapai negara muslim yang diimpikan oleh setiap generasi.

Orang-orang yang selalu berusaha menumbuhkan kebaikan sosial, maka ia akan mendapatkan hasil terbaiknya dari setiap bibit-bibit kebaikan yang ia tanam hingga akhirnya ia dapat menuai hasil kebaikannya baik di dunia maupun di akhirat

Bukankah kita sering mendengar dalam sebuah hadis dari Anas bin Malik Radhiallahuanhu berkata, Rasulullah  bersabda, “Jika Allah menghendaki kebaikan seorang hamba, maka ia memaafkan-Nya, “lalu dikatakan, “Bagaimana Ia Memanfaatkanya?” Beliau menjawab, “Allah memberi taufiq keanya uutuk beramal shalih sebelum ia wafat.” (Riwayat Ahmad dan Tirmidzi, dihasankan oleh Albani)

Pada hakikatnya menumbuhkan kebaikan sosial bukanlah untuk orang lain, melainkan untuk diri kita sendiri, masih ingatkah kita akan hadis nabi yang menjelaskan tentang tiga perkara yang akan menemani kita setelah kematian, salah satunya adalah amal jariyah. Amal jaiyah ini dapat berupa harta atau materi serta ilmu pengetahuan yang kita berikan kepada orang lain sehingga bermanfaat dan mereka senantiasa memanfaatkanya.

Bukankah dalam al-Quran Allah  memberikan penjelasan tentang salah satu tujuan  manusia diciptakan adalah untuk menguji sejauh mana amal perbuatannya di muka bumi ini, (Al-Mulk [67] : 1-2). Maka dari itu untuk menumbuhkan kebaikan sosial, sudah sepantasnya kita berharap hanya kepada sang maha pencipta alam raya ini, dengan memohon keridhaan-Nya untuk selalu dapat melakukan kebaikan-kebaikan bagi siapapun dan kapanpun.

Seorang muslim yang sadar akan kebesaran Allah  maka dia senantiasa bersyukur akan nikmat-nikmat yang telah diberikan-Nya dan selalu melakukan yang terbaik pada setiap langkahnya.

Maka marilah kita senantisa meminta pertolongan kepada Allah yang Maha baik dan selalu menerima kebaikan, “Ya Allah jadikanlah kami dan anak cucu kami menjadi sumber kebaikan bagi siapapun, dan terimalah amal kami. Ya Allah mudahkanlah kami dalam melakukan kebaikan dimanapun dan kapanpun sehingga kebaikan itu dapat menjadi penghalang kami dari api neraka dan dengan kebaikan itu dapat membimbing kami ke syurga”. Aamiin.

 

Romi Padli, SEI., ME

Alumni Magister Studi Islam

Universitas Islam Indonesia

 

 

 

 

Mutiara Hikmah:

“Barangsiapa yang menyeru kepada kebaikan, maka dia mendapatkan pahala seperti pahala orang-orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa yang menyeru kepada kesesatan, maka baginya dosa seperti dosa orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikit pun.” (HR. Muslim)

 

 

SENANTIASA DIRINDUKAN

Adakah orang yang tidak merindukan surga? Tentu tidak ada orang yang tidak merindukan surga, semua orang merindukan surga, baik muslim maupun non muslim. Namun, surga hanya berhak ditempati oleh orang-orang muslim (baca: beriman), Allah Swt berfirman yang artinya,  “Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk. Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi Rabb mereka ialah surga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Rabbnya.” (Q.S. al-Bayyinah [98]: 6-8).

 

Apa Sebenarnya Surga Itu?

Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengimani keberadaan surga dan neraka. Secara bahasa, surga berarti taman yang banyak pohonnya, adapun merurut istilah berarti kampung akhirat yang dipersiapkan Allah bagi orang-orang yang bertakwa.[1]

Imam al-Muzani menyatakan, “Dan para penghuni surga pada hari itu menempati surga dengan nikmat. Dengan berbagai kelezatan mereka bersenang-senang, dan dengan berbagai kemuliaan mereka dihormati.”[2]

Surga merupakan ganjaran bagi setiap muslim yang beriman, baik dengan hati dan beramal shalih dengan badannya. Imam Ibnu Katsir berkata, “Itulah balasan bagi mereka yang takut pada Allah  dan yang bertakwa dengan benar pada-Nya. Itu juga balasan untuk orang yang beribadah pada Allah  seakan-akan ia melihat-Nya. Jika ia tidak melihat-Nya, maka ia yakin bahwa Allah l selalu memperhatikan dirinya.”[3]

Allah Swt berfirman yang artinya, “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,” (Q.S. al-Imran [3]: 133).

Sebaliknya setiap orang yang kufur kepada Allah, maka Allah  menyiapkan tempat yang penuh penderitaan yaitu neraka. Allah Swt berfirman yang artinya, “Maka jika kamu tidak dapat membuat(nya) — dan pasti kamu tidak akan dapat membuat(nya), peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 24)

 

Ingin Masuk ke dalam Surga-Nya?

Setiap muslim memiliki kesempatan untuk masuk ke dalam surga, Rasulullah ` bersabda, “Seluruh umatku akan masuk surga kecuali yang enggan. Para sahabat bertanya, Wahai Rasulullah, siapakah yang enggan (untuk masuk surga)?. Beliau menjawab, Barang siapa yang taat padaku maka ia akan masuk surga, dan barang siapa yang tidak mentaatiku berarti ia telah enggan (untuk masuk surga)”. (H.R. Bukhari dari Abu Hurairah r.a).

Lalu, bagaimana cara agar dapat masuk kedalam surga? Tidak setiap yang merindukan surga, kelak akan mendapatkannya; karena surga memiliki kunci untuk memasukinya, Allah mengisyaratkan kunci surga dalam firman-Nya yang artinya, “Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman, beramal shalih, saling nasehat menasehati dalam kebaikan dan saling nasehat menasehati dalam kesabaran.(Q.S. al-‘Ashr []: 3-1).

Sedemikian agungnya surat ini, sampai-sampai Imam Syafi’i berkata, “Seandainya Allah tidak menurunkan hujjah atas para hamba-Nya melainkan hanya surat ini; niscaya itu telah cukup”.[4] Maka dapat disimpulkan masing-masing dari empat kunci tersebut, sebagai berikut:

 

  1. Ilmu

Ilmu yang dimaksud di sini adalah ilmu agama, yaitu ilmu yang berlandaskan al-Qur’an dan al-Hadits dengan pemahaman para salafush shalih untuk menjalankan kewajiban-kewajiban agama, wajib hukumnya untuk dicari oleh setiap muslim dan muslimah, sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah ` dalam sabdanya, “Mencari ilmu hukumnya wajib atas setiap muslim. (H.R. Ibnu Majah dari Anas bin Malik, dan dinyatakan sahih oleh Syaikh al-Albani dalam tahqiqnya atas Misykah al-Mashabih).

Setiap muslim hendaknya mempelajari apa yang menjadi prioritas dalam agama, yaitu  ilmu tauhid, karena itulah pondasi Islam dan inti dakwah para rasul dan nabi. Allah Swt berfirman yang artinya, “Dan telah Kami utus seorang rasul di setiap umat (untuk menyerukan) sembahlah Allah semata dan jauhilah thaghut”. (Q.S. an-Nahl [16]: 36).

Dari Nabi dan Rasul yang pertama hingga yang terakhir, inti seruan mereka adalah mengajak manusia untuk mempersembahkan ibadah kepada Allah semata dan meninggalkan peribadatan kepada selain Allah.

Perhatikan apa yang didakwahkan Nabi Nuh n, Allah berfirman yang artinya, “Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkata: “Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan (yang haq) bagimu selain-Nya“. Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar (kiamat)” (Q.S. al A’râf [7]: 59).

 

  1. Amal Shalih

Ilmu adalah sarana yang mengantarkan kepada tujuan utama yaitu amal shalih. Sebelum seorang beramal ia harus memiliki ilmu tentang amalan yang akan ia kerjakan, begitupula jika kita telah memiliki ilmu, kita harus mengamalkan ilmu tersebut.

Amal adalah sebab kokohnya ilmu. Asy-Sya’bi  (generasi tabi’in) berkata, “Dulu kami berusaha untuk menghapal hadits dengan mengamalkannya.” [5]

Juga diriwayatkan dari Abu Darda’ abeliau berkata, “Sesungguhnya Engkau tidak akan menjadi seorang ‘alim (orang yang berilmu), sampai Engkau belajar (menuntut ilmu). Tidaklah Engkau menjadi penuntut ilmu, sampai Engkau mengamalkan ilmu yang telah Engkau pelajari.” [6]

 

  1. Dakwah

Setelah seorang hamba membekali dirinya dengan ilmu dan amal, dia memiliki kewajiban untuk menyampaikan ilmu yang telah ia raih dan ia amalkan kepada orang lain, mulai dari keluarga terdekat sebelum orang lain dengan mengedepankan akhlak yang baik.

Tidak dibenarkan untuk langsung meloncat ke fase ketiga ini (yakni dakwah) tanpa melalui dua fase sebelumnya (yakni ilmu dan amal); karena jika demikian halnya ia akan menjadi seorang yang sesat dan menyesatkan (berdakwah tanpa bekal ilmu)  ataupun menjadi seorang yang amat dibenci oleh Allah  (karena berdakwah tetapi tidak mengamalkan ilmunya)

 

  1. Sabar

Kesabaran dibutuhkan oleh setiap muslim, baik ketika ia mencari ilmu, mengamalkannya dan mendakwahkannya; karena tiga fase ini susah dan berat. Sebagaimana yang dikatakan oleh Yahya bin Abi Katsir , “Ilmu tidak akan didapat dengan santai-santai”. Kesabaran merupakan salah satu jalan yang utama yang mengantarkan seorang hamba ke surga, dan jalan menuju ke surga diliputi dengan hal-hal yang tidak disukai oleh nafsu.

Rasulullah ` bersabda, “(Jalan menuju ke) surga diliputi dengan hal-hal yang dibenci (nafsu), sedangkan (jalan menuju ke) neraka diliputi dengan hal-hal yang disukai hawa nafsu. (H.R.Muslim dari Anas bin Malik a).

Inilah empat kunci agar bisa masuk ke dalam tempat yang “senantiasa dirindukan”, semoga Allah  melimpahkan taufiq-Nya kepada kita semua untuk bisa meraihnya, âmîn.[7]

 

Bekti Dwi Kurniadi

Mahasiswa PAI 2017

 

Referensi

[1] Syarah Lum’atul I’tiqad, Cetakan ketiga, tahun 1415 H / 1955 M. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Penerbit Maktabah Adhwa-us Salaf.

[2] Syahrus Sunnah Lil Muzani,Cetakan pertama, 1438 H. Ismail bin Yahya Al-Muzani Asy Syafi’i. Penerbit Maktabah Bimbingan Islam.

[3] Dikutip dari:https://rumaysho.com/3493-tafsir-surat-al-bayyinah-3-balasan-bagi-orang-beriman-dan-orang-kafir.html

[4] Tafsîr al-Imâm asy-Syâfi’i (III/1461).

[5] Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil Barr dalam “Jaami’ bayaan al-‘ilmi”, 1/709. https://muslim.or.id/40167-mengokohkan-ilmu-dengan-beramal.html

[6] Diriwayatkan oleh Al-Khathib Al-Baghdadi dalam “Al-Iqtidha”, hal. 16-17. https://muslim.or.id/40167-mengokohkan-ilmu-dengan-beramal.html

[7] Diringkas dari:https://tunasilmu.com/empat-kunci-masuk-surga/

 

 

MUTIARA HIKMAH

 

Memohon pertolongan Allah l dalam mengamalkan ilmu, di antara doa yang dirutinkan oleh Nabi ` setiap hari setelah shalat subuh adalah,

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا، وَرِزْقًا طَيِّبًا، وَعَمَلًا مُتَقَبَّلًا

Ya Allah, aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rizki yang baik, dan amal yang diterima.” (H.R.Ahmad no.6/294, Ibnu Majah no. 925)

 

 

 

KAMU (DIANGGAP) BAIK KARENA ALLAH MENUTUPI AIBMU!

 

اللَّهُمَّ أَنْتَ أَعْلَمُ مِنِّى بِنَفْسِى وَأَنَا أَعْلَمُ بِنَفْسِى مِنْهُمْ اللَّهُمَّ اجْعَلْنِى خَيْرًا مِمَّا يَظُنُّوْنَ وَاغْفِرْ لِى مَا لاَ يَعْلَمُوْنَ وَلاَ تُؤَاخِذْنِى بِمَا يَقُوْلُوْنَ

“Ya Allah, Engkau lebih mengetahui keadaan diriku daripada diriku sendiri dan aku lebih mengetahui keadaan diriku daripada mereka yang memujiku. Ya Allah, jadikanlah diriku lebih baik dari yang mereka sangkakan, ampunilah aku terhadap apa yang mereka tidak ketahui dariku, dan janganlah menyiksaku dengan perkataan mereka. (H.R. al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, 4/228, no.4876. Lihat Jâmi’ul Ahâdits, Jalaluddin As-Suyuthi, 25/145, Asy Syamilah)

 

Tidak ada manusia di dunia ini yang luput dari kesalahan dan kekhilafan. Mari kita mengingat kembali kisah Nabi Adam n beserta Hawa o yang memakan buah khuldi, padahal Allah l telah melarangnya. Nabi Yunus sengaja meninggalkan kaumnya karena setelah 33 tahun lamanya berdakwah, tetapi hanya 2 orang saja yang mendengarkan seruannya. Nabi Musa n yang tidak sengaja membunuh orang karena pukulannya. Tentu saja para nabi yang mulia ini bersegera meminta ampunan kepada Allah n. Taubat Nabi Adam n dan Hawa o terekam pada ayat 23 surah al-‘Araf, taubat Nabi Yunus n pada ayat 87 surah al-Anbiya, dan taubat Nabi Musa n pada ayat 15-16 surah al-Qashash.

Mari kita cermati salah satu hadits Rasulullah ` yang berbunyi, “Setiap anak adam (manusia) berbuat kesalahan, dan sebaik-baiknya orang yang bersalah adalah yang bertaubat.” (H.R. At Tirmidzi). Hadits ini menjelaskan kepada kita, bahwa sebaiknya orang yang bersalah adalah orang yang bertaubat, yaitu orang yang berjanji pada Allah l dan dirinya sendiri untuk tidak mengulangi kesalahan tersebut.

Suatu ketika penulis pernah berbincang-bincang dengan seorang kawan. Ia menceritakan betapa orang-orang memandangnya sangat baik. Ia sangat dihormati dan seringkali dimintai pendapat. Padahal ia menyadari bahwa iapun tidak luput dari kesalahan. Kesalahan-kesalahan ini merupakan aib baginya. Sesungguhnya, jika mereka tahu semua aib-aib tersebut, niscaya mereka akan membencinya dan merendahkannya. Lalu kemudian ia bertanya kepada penulis, apakah sebenarnya kita baik karena kita telah berbuat baik, ataukah karena Allah l sampai detik ini masih menutupi aib-aib kita? Berkaca dari percakapan di atas, tentu saja kita sepatutnya bersyukur, karena sampai detik ini Allah l masih menutupi seluruh kesalahan-kesalahan kita dari orang-orang. Akan sangat mudah bagi Allah l untuk membongkar segala aib yang kita miliki, jika Allah l berkehendak. Lalu akan sangat mudah bagi Allah l membalikkan posisi seseorang yang awalnya dipuja-puja, akan tetapi karena aib tersebut ia pun menjadi orang yang direndahkan dan dihinakan.

 

Pengertian Aib

Menurut al-Fairuz Abadzi dalam Al-Qamus al-Muhith, secara bahasa, aib العيب)) dapat didefinisikan sebagai cacat atau kekurangan. Bentuk jama’nya adalah uyub. Adapun sesuatu yang memiliki aib, dalam bahasa arab di sebut ma’ib. Dalam Kitab ­ad-Dur al-Mukhtar, Al-Hasfaki menyampaikan bahwa sebagian ulama mazhab Hanafi menjelaskan aib dengan pengertian: “Suatu bagian yang tidak ada dari asal penciptaanya dan hal itu dianggap sebagai bentuk kekurangan

 

Maka aib dapat diartikan sebuah cela atau kondisi seseorang dilihat dari sisi keburukannya, atau hal yang tidak baik tentangnya. Seringkali kita mendengar suatu informasi dari orang lain lalu menjadikan hati kita merasa tidak enak, maka hal ini dapat disebut aib. Aib dapat berupa peristiwa, keadaan, atau suatu deskripsi. Acapkali aib –sendiri maupun orang lain– tersebut secara tidak sadar kita sebarkan. Lebih parahnya lagi jika aib tersebut disebarkan secara sadar.

Memang pada dasarnya terdapat orang-orang yang diketahui tidak pernah sekalipun berbuat maksiat. Jika didapati ia tergelincir dalam kesalahan, maka dengan rahmat dan kasih sayang Allah l, kesalahan tersebut tidak diungkapkan seketika itu juga. Bahkan Allah l pun memberikan anjuran kepada orang-orang yang mengetahuinya untuk tidak menyingkap dan menceritakannya. Inilah cara Allah menjaga kehormatan hamba-Nya! Entah kesalahan itu disengaja maupun tidak disengaja. Adapun orang-orang yang menceritakan hal yang tidak baik dari saudaranya termasuk pada kategori ghibah. Perbuatan ini sangat dibenci oleh Allah l. Dalam firman-Nya, “Sesungguhnya orang-orang yang menyenangi tersebarnya perbuatan keji di kalangan orang-orang beriman, mereka memperoleh azab yang pedih di dunia dan di akhirat….” (Q.S. an-Nûr [24]: 19)

Aib merupakan sesuatu yang diasosiasikan buruk, tidak terpuji, dan negatif. Aib adalah suatu cela atau kondisi yang tidak baik tentang seseorang jika diketahui oleh orang lain akan membuat rasa malu, rasa malu ini membawa kepada efek psikologi yang negatif jika tersebar. Manusia tidak bisa lari dengan menutup diri terhadap kekurangannya. Manusia harus berintrospeksi dan menghisab diri sendiri untuk memperbaikinya. Umar bin Khaththab a berpesan, “Hisablah dirimu sebelum diri kamu sendiri dihisab, dan timbanglah amal perbuatanmu sebelum perbuatanmu ditimbang.

 

Muliamu (Mungkin) Bukan karena Kebaikanmu

Seringkali kita meyakini bahwa segala kemuliaan yang kita miliki ini berasal dari usaha kita sendiri. Kita lupa bahwa ada Allah l yang terus menutupi segala aib kita di hadapan manusia. Kita tak sadar akan tersebut, sehingga membuat kita menjadi lupa diri. Ingatlah wahai saudaraku! Mulia yang kau punya ini bisa jadi bukan karena kebaikanmu. Kebaikan yang kita lakukan adalah sesuatu yang memang senyatanya harus diamalkan selama hidup kita. Allah l menjanjikan surge-Nya kelak bagi orang-orang yang selalu melakukan kebajikan selama hidupnya.

Wahai saudaraku, ingatlah bahwa diri kita ini penuh dengan kekurangan, aib, cacat, dan cela. Tentu saja jika mau dibandingkan dengan para nabi yang juga pernah melakukan kesalahan, maka posisi kita mungkin jauh dari kemuliaan mereka. Maka jangan pernah terbesit di hati kita kata sombong dengan segala kemuliaan ini, baik harta, jabatan, tahta, dan yang lainnya. Muhamad bin Wâsi’ v berkata, “Seandainya dosa-dosa itu ada baunya maka tidak seorangpun yang mau duduk bersamaku”

Oleh karena itulah, jangan pernah ujub dengan amalan kita. Jangan pernah terpedaya dengan pujian yang diberikan. Jangan pernah riya dengan kebajikan yang dipebuat. Karena semua itu tidak akan berguna, jika satu aib saja diungkap oleh Allah l. Yakinlah, semua pujian tersebut akan berubah menjadi celaan.  Kita akan terpuruk, seterpuruk-terpuruknya. Kita juga akan malu, semalu-malunya. Kita juga akan hina, sehina-hinanya. Seperti tak ada lagi tempat tersedia untuk menerima kita.Bukankah kita sering mendengar sebuah peribahasa “Hujan sehari menghapus kemarau setahun”, atau peribahasa yang lain, “karena nila setitik, rusak susu sebelanga”. Penulis yakin bahwa pembaca yang budiman paham maksud dan arti dari kedua peribahasa tersebut.

Sehubungan dengan tema di atas, penulis teringat dengan salah satu ceramah dari Ustadz Salim A. Fillah, yang bercerita mengenai Nabi Yusuf n. Saat itu beliau bertanya kepada jamaah, “Siapa nama perempuan yang menggoda Nabi Yusuf?”“Zulaikha,” jawab jamaah serempak. Lalu Ustadz kembali bertanya, “Dari mana kalian tahu bahwa nama perempuan itu adalah Zulaikha? Sedangkan Allah l tidak ada sama sekali menyebutnya dalam al-Qur’an?” Seketika itu juga bergemuruhlah ruangan oleh suara para jamaah yang bertanya satu sama lain. Hingga sebagian menjawab pertanyaan tersebut, “Dari hadits, Ustadz.” Lagi-lagi Ustadz kembali bertanya, “Coba anda pikirkan, mengapa Allah tidak menyebut nama Zulaikha di dalam Al-Qur’an?” Kali ini semua jamaah diam. Maka Ustadz Salim A. Fillah tersenyum dan melanjutkan penjelasannya, “Karena perempuan ini (Zulaikha) masih memiliki rasa malu. Apa buktinya ia masih memiliki rasa malu? Ia menutup tirai sebelum menggoda Yusuf n. Ia malu dan tidak ingin ada orang lain yang tahu tentang perbuatannya.”

Lihatlah! Allah menutupi aib orang-orang yang masih memiliki rasa malu di hatinya, dengan tidak menyebut namanya di dalam al-Qur’an. Subhanallah! Maka perhatikanlah diri kita, mungkin karena masih memiliki rasa malu, maka Allah l tidak membuka identitas kita. Mungkin tidak hanya sekali, namun berulang-ulang kali Allah l telah menutup dosa-dosa kita.

Maka, pertanyaan-pertanyaan ini seharusnya kita tanyakan pada diri kita sendiri. Apakah kita Nampak baik di hadapan orang lain? Apakah semua itu karena begitu banyaknya kebaikan yang kita lakukan? Atau karena Allah telah menutupi aib kita?

 

Epilog

Pembaca yang dirahmati oleh Allah l.

Sebelum menutup tulisan ini, penulis akan menyampaikan doa yang biasanya dibaca Rasulullah ` pada pagi dan petang, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Umar h:

اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ الْعَافِيَةَ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِى دِينِى وَدُنْيَاىَ وَأَهْلِى وَمَالِى اللَّهُمَّ اسْتُرْ عَوْرَتِى

“Yaa Allah sesungguhnya aku meminta kepada Mu ‘Afiyah di dunia dan akhirat. Yaa Allah aku memohon kepada Mu ‘‘Afwaa dan ‘Afiyah pada urusan agamaku, duniaku, keluargaku dan hartaku. Yaa Allah tutupi auratku (aib-aibku)”

Atau dengan riwayat Ibnu Majah dengan tambahan, yaitu:

اللَّهُمَّ استُر عَوْرَاتي ، وآمِنْ رَوْعَاتي ، اللَّهمَّ احفظني من بَينِ يَدَيَّ ومِن خَلْفي ، وَعن يَميني ، وعن شِمالي ، ومِن فَوقي، وأعُوذُ بِعَظَمَتِكَ أنْ أُغْتَالَ مِنْ تَحتي

“Yaa Allah tutupi auratku (aib-aibku), tenangkanlah aku dari rasa takutku. Yaa Allah jagalah aku dari arah depan dan belakangku, arah kanan dan kiriku, serta dari arah bawahku. Aku belindung dengan kebesaran Mu agar aku tidak dihancurkan dari arah bawahku”

Semoga Allah l mengampuni dosa-dosa kita semua. Allahumma Amin. Wallahu ‘Alamu bishshawab.[]

 

 

Muhammad Qamaruddin

Alumni Pondok Pesantren UII

OBAT MANJUR PENYAKIT HATI

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tidaklah seorang hamba mendapatkan hukuman yang lebih berat daripada hati yang keras dan jauh dari Allah.”

 Sesungguhnya saat ini kita hidup di era perkembangan ilmu materealis yang sangat dahsyat. Manusia banyak menghasilkan sesuatu berupa alat-alat peradaban dan kemewahan yang terus berkembang dengan pesat. Setiap hari selalu saja ada hal yang baru. Perkembangan ini pula bersamaan dengan tingginya populasi pengidap penyakit yang jumlahnya mencapai bilangan yang mengkhawatirkan dengan berbagai macam penyakit. Salah satu penyakit yang menjadi sorotan saat ini adalah penyakit hati, karena hati menjadi inti manusia. Banyak dokter penyakit hati, konsultan, ahli bedah hati, ramuan obat hati bahkan praktik operasi hati untuk meringankan penderita penyakit hati.

Adapun manusia mempunyai hati lain yang tidak terlihat secara kasat mata, yang keadaan dan tempatnya tidak terputus dengan otot-otot hati yang dijelaskan dalam hadits berikut.“Ketahuilah sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal daging. Apabila segumpal daging tersebut baik, maka baiklah seluruh tubuhnya. Dan, apabila segumpal daging tersebut buruk, maka buruklah seluruh tubuhnya. Ketahuilah segumpal daging itu adalah hati.” (HR. Bukhari dan Muslim). Rusaknya hati yang pertama dapat mendatangkan kematian yang berbuntut hilangnya kehidupan dunia, maka rusaknya hati yang lain (yang kedua ini) menyebabkan rusaknya manusia secara keseluruhan, serta hilangnya kehidupan dunia dan akhirat. Maka dari sinilah pembahasan adanya hati yang tidak terlihat. Bencana besar bagi hati ini adalah orang yang memilikinya tidak merasa dengan penyakitnya, karena tidak ada tanda-tanda yang terlihat di tubuh sebagaimana keadaan yang tampak pada hati yang pertama.

Banyak ulama yang berdiri sesuai bagiannya untuk mempublikasikan kesadaran kesehatan dan mendidik manusia dalam bidang ini, seperti Hasan Basri, Haris Al-Muhasibi, Al-Junaid, Al-Ghazali, dan lain-lainnya. Adapun pada tulisan ini akan membahas obat hati yang sakit dari salah satu ulama dalam bidang ini, yaitu Ibnu Qayyim rahimahullah. Berikut ringkasan pembahasan karya Ibnu Qayyim dari kitabnya yang berjudul Thibbul Qulub.

Cara mengobati hati yang sakit

Ibnu Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa cara mengobati hati yang sakit karena dikuasai oleh nafsu yang mengarahkan kepada suu’ (keburukan) ada dua, yaitu: ”Melakukan muhasabah (perhitungan) atas nafsu dan tidak menuruti nafsu. Hati akan hancur dikarenakan meremehkan muhasabah dan mengikuti nafsu. Imam Ahmad dan lainnya meriwayatkan hadits dari Syadad bin Uwais bahwa Rasulullah  bersabda: “Orang yang cerdas adalah orang-orang yang menundukkan hawa nafsunya dan beramal untuk persiapan sesudah mati, dan orang yang lemah adalah orang yang selalu mengikuti hawa nafsunya dan berangan-angan untuk (diselamatkan) Allah.” (HR. At Tirmidzi no 2459).

Adapun pada tulisan ini akan fokus membahas cara mengobati hati dengan poin pertama, yaitu melakukan muhasabah.

Al – Hasan berkata, “Orang mukmin itu selalu mengurusi jiwanya. Ia mengevaluasi dirinya karena Allah. Allah  berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat).” (QS. Al-Hasyr [59]: 18)

Imam Ahmad menuturkan dari Wahab bahwasannya tertulis dalam hikmah Nabi Dawud, “Hak bagi orang berakal adalah tidak lalai dalam empat waktu ini, yaitu waktu yang digunakan untuk bermunajah kepada Tuhannya, waktu yang digunakan untuk mengintrospeksi dirinya, dan waktu dia menyepi antara jiwanya dengan kelezatannya memikirkan yang halal dan menjadikan jiwanya terlihat indah. Waktu yang keempat ini merupakan penolong pada semua waktu itu dan melimpahkan hati.”

Hal-hal Yang Dapat Membantu Muhasabah

Adapun hal-hal yang dapat membantu Muhasabah diri adalah: 1) kesadarannya bahwa setiap kali ia bersungguh-sungguh melakukan hal itu saat ini, maka ia akan istirahat dan merasa nyaman esok hari. Setiap ia meremehkan hal itu sekarang, maka ia akan menghadapi hisab yang semakin berat kelak di akhirat; 2) keyakinan bahwa keuntungan perniagaan tersebut adalah Surga Firdaus dan melihat wajah Allah . Sedangkan kerugiannya adalah terjerumus ke dalam neraka dan terhalang dari memandang Allah . Jika orang-orang meyakini hal ini maka hisab menjadi mudah.

Muhasabah diri ada dua macam, yaitu muhasabah diri sebelum melakukan suatu perbuatan dan muhasabah setelah selesainya melakukan suatu perbuatan.

Muhasabah diri sebelum berbuat, hendaknya orang yang ingin memulai suatu pekerjaan mengawali dengan mempertimbangkan hingga benar-benar jelas keutamaanya daripada meninggalkannya. Al-Hasan berkata, “Semoga Allah merahmati hamba-Nya yang berhenti di saat berkeinginan. Jika karena Allah, maka ia laksanakan dan jika karena selain-Nya, maka ia tinggalkan.” Sebagian ulama menjelaskan arti ungkapan tersebut dengan mengatakan, “ Jika diri bergerak untuk melakukan suatu perbuatan dan ia sudah berkeinginan melakukannya, maka ia berhenti dan merenungkan, apakah perbuatan tersebut sanggup ia lakukan atau tidak? Jika tidak sanggup ia lakukan, maka ia tidak melanjutkannya. Tetapi jika sanggup ia lakukan, maka ia merenungkan hal lain, apakah melakukannya lebih baik dari meninggalkannya atau meninggalkannya lebih baik daripada melakukannya? Jika jawaban yang pertama, maka ia merenungkan hal ketiga, apakah yang mendorong perbuatan itu adalah keinginan mendapatkan keridhaan Allah dan pahala-Nya atau keinginan mendapatkan pangkat, pujian, dan harta dari makhluk? Jika jawabannya yang kedua, maka ia membatalkan perbuatan itu meskipun itu yang akan mengantarkan pada apa yang ia cari, agar ia tidak terbiasa dengan perbuatan syirik dan tidak merasa ringan untuk melakukan perbuatan bukan karena Allah. Sesuai dengan keringanan yang ia rasakan dalam berbuat bukan karena Allah, maka seberat itu juga beratnya untuk berbuat karena Allah, bahkan ia menjadi amal yang terberat baginya. Tetapi jika jawabannya yang pertama, maka hendaknya ia merenungkan kembali, apakah ia akan ditolong dalam perbuatannya itu, dan ada orang-orang yang bersedia membantunya jika memang perbuatan itu membutuhkan pertolongan? Jika tidak ada yang menolongnya dalam perbuatan itu ia berhenti, sebagaimana Nabi berhenti dan menunda jihad di Makkah hingga beliau mendapatkan para penolong. Jika ia mendapatkan orang yang menolongnya, maka ia pun melangsungkan pekerjaannya.”

Muhasabah yang kedua adalah muhasabah diri setelah selesainya pekerjaan, yangmana hal ini terbagi menjadi 3 macam, yaitu: Pertama, muhasabah diri atas ketaatan yang kurang sempurna dalam menyempurnakan hak Allah, sehingga ia tidak melakukannya sesuai dengan sepantasnya. Adapun hak Allah dalam hal ketaatan ada enam, yaitu; 1) ikhlas dalam berbuat, 2) nasehat karena Allah dalam pekerjaan tersebut, 3) mengikuti Rasulullah, 4) memperlihatkan ihsan pada pekerjaan tersebut, 5) menampakkan karunia Allah pada pekerjaan tersebut, serta 6) menampakkan atas segala kekurangan dirinya dalam pekerjaan tersebut. Kedua, hendaknya menghisab dirinya atas pekerjaan yang lebih baik ditinggalkan daripada dikerjakannya. Ketiga, hendaknya menghisab dirinya atas hal-hal yang mubah atau yang biasa dilakukan, kenapa ia melakukannya? Apakah melakukannya karena Allah dan mengharapkan kehidupan akhirat sehingga ia beruntung atau apakah ia melakukan hal itu untuk kehidupan dunia dengan segala ketergesaannya sehingga ia merugi dan tidak memenangkan ridha Allah. Adapun yang paling berbahaya bagi suatu pekerjaan adalah meremehkan, meninggalkan muhasabah, melepaskan begitu saja dan memudahkan persoalan.

Manfaat Muhasabah

Muhasabah sangatlah mendatangkan banyak manfaat, diantaranya: mengetahui aib sendiri, merendahkan diri karena Allah, dan mengetahui hak Allah.

Mengetahui aib sendiri. Orang yang tidak mengetahui aib dirinya, tidak akan mampu menghilangkannya. Tetapi jika ia mengetahui aib dirinya, maka ia akan membencinya karena Allah. Abu Hafsh berkata, “Barangsiapa tidak berprasangka buruk kepada nafsunya sepanjang waktu, tidak menyelisihinya dalam setiap keadaan, serta tidak menyeretnya pada apa yang dibencinya sepanjang waktunya, maka orang itu telah terperdaya. Dan barangsiapa melihat kepada nafsunya dan menganggap baik sesuatu darinya, maka sesuatu itu telah menghancurkannya.”

Merendahkan diri karena Allah. Merendahkan diri karena Allah termasuk salah satu sifatnya orang – orang yang sangat jujur. Seorang hamba akan dekat kepada Allah dengan ia merasa lemah dengan amal perbuatannya. Imam Ahmad berkata dalam Kitab Zuhud-nya, “Sesungguhnya seorang laki-laki dari Bani Israel beribadah selama 60 tahun untuk suatu hajat tertentu, dan dia belum mendapatkannya.” Lalu dia bergumam di dalam hatinya, “Demi Allah, jika ada kebaikan dalam diri-Mu, maka aku pasti akan memperoleh hajatku.” Kemudian ia bermimpi dan dikatakan padanya, “Apakah kamu pernah merasa rendah di suatu waktu? Sesungguhnya hal tersebut lebih bagus daripada ibadahmu bertahun-tahun lamanya.”

Mengetahui hak Allah. Barangsiapa tidak mengetahui hak Allah atas dirinya, maka ibadah kepada-Nya hampir tak bermanfaat sama sekali dan ibadahnya sungguh sangat sedikit sekali manfaatnya. Diantara hak-hak Allah adalah Dia wajib ditaati dan tidak diingkari, Dia wajib diingat dan tidak boleh dilupakan, serta wajib disyukuri dan tidak boleh dikufuri.

Disebutkan oleh Imam Ahmad dari sebagian ahli ilmu, bahwasannya seseorang bertanya, “Berilah aku wasiat!” Ia menjawab, “Hendaknya engkau bersikap zuhud terhadap dunia, dan janganlah engkau melawan para penghuninya. Dan hendaklah kamu seperti lebah, jika ia makan hanya makan yang baik-baik, dan jika ia mengeluarkan sesuatu (dari dalam perutnya), maka ia hanya mengeluarkan yang baik-baik, jika ia bertengger di atas dahan maka tidak mebahayakan, dan tidak pula mematahkannya”.

Saudara-saudaraku, Maka hari ini saja, mari kita mulai mencoba muhasabah pada diri kita. Pandangilah seluruh anggota tubuhmu dan tanyakan pada setiap bagiannya atas apa saja yang telah dibicarakan? Kemana saja kaki ini melangkah? Apa yang telah diambil oleh kedua tangan? apa yang telah didengar oleh kedua telinga? Untuk apa ia lakukan semua itu dan untuk siapa? Serta atas dasar apa ia lakukan semua itu? Allah  berfirman yang artinya: “Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua, tentang apa yang mereka kerjakan dahulu.” (QS. Al-Hijr [15]: 92-93)

Wallahu a’lam bi ash-shawab.

 

Azzahra

Alumni Statistika UII

Postformat Gallery: Multiple images with different sizes

Nullam dictum felis eu pede mollis pretium. Integer tincidunt. Cras dapibus. Vivamus elementum semper nisi. Aenean vulputate eleifend tellus. Aenean leo ligula, porttitor eu, consequat vitae, eleifend ac, enim. Aliquam lor

Donec quam felis, ultricies nec, pellentesque eu, pretium quis, sem.

Read more