KEUTAMAAN BULAN RAMADHAN

KEUTAMAAN BULAN RAMADHAN

Oleh: Mustain Billah*

 

Bismillâhi Walhamdulillâhi wash-shalâtu was-salâmu ‘alâ rasûlillâh

Wahai kaum muslimin, semangatlah dalam melakukan berbagai amal shalih pada bulan ramadhan dan jauhilah perbuatan maksiat kepada-Nya. Dan tidaklah seseorang melakukan sesuatu dengan semangat kecuali dengan ia mengetahui keutamaan dari sesuatu yang ia lakukan atau sesuatu yang ia berada didalamnya. Berikut kami sebutkan beberapa keutamaan ramadhan sehingga bersemangat dibulan ramadhan :

  1. Ramadhan Bulan Diturunkannya Al-Qur’an

Sebagaimana Allah ﷻ berfirman, “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (QS. Al Baqarah [2]: 185)

Ibnu Katsir rahimahullah tatkala menafsirkan ayat yang mulia ini mengatakan, ”(Dalam ayat ini) Allah Ta’ala memuji bulan puasa –yaitu bulan ramadhan- dari bulan-bulan lainnya. Allah memuji demikian karena bulan ini telah Allah pilih sebagai bulan diturunkannya Al Qur’an dari bulan-bulan lainnya. Sebagaimana pula pada bulan ramadhan ini Allah telah menurunkan kitab ilahiyah lainnya pada para Nabi ’alaihimus salam.”[1]

  1. Ramadhan Terdapat Malam Penuh Kemuliaan dan Keberkahan

Allah ﷻ berfirman, “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada lailatul qadar (malam kemuliaan). Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.” (QS. Al Qadr [97]: 1-3).

Allah ﷻ juga berfirman, “Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.” (QS. Ad Dukhan [44]: 3).  Oleh karena itu Rasūlullāh ﷺ memberikan kabar gembira kepada para shahabat tentang bulan ramadhān, “Sesungguhnya di dalam bulan tersebut ada satu malam yang lebih baik daripada seribu bulan, barangsiapa yang tercegah dari kebaikan maka ini adalah orang yang merugi.” (HR. Ahmad)

  1. Ramadhan, Setan-setan Dibelenggu, Pintu-pintu Neraka Ditutup dan Pintu-pintu Surga Dibuka Ketika Ramadhan Tiba

Rasulullah ﷺ, Apabila Ramadhan tiba, pintu surga dibuka, pintu neraka ditutup, dan setan pun dibelenggu.” (HR. Bukhari no. 3277 dan Muslim no. 1079)

Al Qodhi ‘Iyadh mengatakan, “Hadits di atas dapat bermakna, terbukanya pintu surga dan tertutupnya pintu Jahannam dan terbelenggunya setan-setan sebagai tanda masuknya bulan ramadhan dan mulianya bulan tersebut.” Lanjut Al Qodhi ‘Iyadh, “Juga dapat bermakna terbukanya pintu surga karena Allah memudahkan berbagai ketaatan pada hamba-Nya di bulan Ramadhan seperti puasa dan shalat malam. Hal ini berbeda dengan bulan-bulan lainnya. Di bulan ramadhan, orang akan lebih sibuk melakukan kebaikan daripada melakukan hal maksiat. Inilah sebab mereka dapat memasuki surga dan pintunya. Sedangkan tertutupnya pintu neraka dan terbelenggunya setan, inilah yang mengakibatkan seseorang mudah menjauhi maksiat ketika itu.”[2]

  1. Ramadhan adalah Salah Satu Waktu Dikabulkannya Do’a

Nabi ﷺ bersabda, “Tiga orang yang do’anya tidak tertolak: orang yang berpuasa sampai ia berbuka, pemimpin yang adil, dan do’a orang yang dizholimi.(HR. At Tirmidzi no. 3598.)

Rasulullah ﷺ juga bersabda: “Ada tiga doa mustajab: doa orang yang berpuasa, doa orang yang dianiaya dan doa musafir.” (HR. Al ‘Uqaili dan Baihaqi dalam Syu’abul Iman, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jaami’ no. 3030) An Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Hadits ini menunjukkan bahwa disunnahkan bagi orang yang berpuasa untuk berdo’a dari awal ia berpuasa hingga akhirnya karena ia dinamakan orang yang berpuasa ketika itu.”(Al Majmu’, 6/375)

  1. Allah Ta’ala Membebaskan Beberapa Orang Dari Neraka Setiap Harinya Dibulan Ramadhan

Rasulullah ﷺ bersabda, ”Sesungguhnya Allah membebaskan beberapa orang dari api neraka pada setiap hari di bulan Ramadhan,dan setiap muslim apabila dia memanjatkan do’a maka pasti dikabulkan.” (HR. Al Bazaar, dari Jabir bin ‘Abdillah. Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid (10/149) mengatakan bahwa perowinya tsiqoh (terpercaya). Lihat Jaami’ul Ahadits, 9/224)

  1. Ramadhan, Diampuni Dosa Yang Telah Lalu

Rasulullah ﷺ juga bersabda: “Barangsiapa berpuasa ramadhan karena iman dan mengharap pahala, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari, Muslim, dll) Sebagaimana di dalam sebuah hadīts dari Abū Hurairah, tatkala Rasūlullāh ﷺ naik mimbar. Dari Abi Hurairah radhiyallāhu  ‘anhu, Nabi naik ke atas mimbar, kemudian Beliau (shallallāhu ‘alayhi wa sallam) mengatakan: “Āmīn, āmīn, āmīn (Semoga dikabulkan, semoga dikabulkan, semoga dikabulkan) tiga kali.” Kemudian ditanyakan kepada Rasūlullāh : “Wahai Rasūlullāh, tatkala engkau naik mimbar engkau mengatakan āmīn, āmīn, āmīn, mengapa wahai Rasūlullāh?” Kemudian beliau (shallallāhu ‘alayhi wa sallam) mengatakan: “Sesungguhnya Jibrīl datang kepadaku, dan mengatakan, ‘Barangsiapa yang mendapati bulan ramadhān dan dia tidak diampuni oleh Allāh kemudian masuk ke dalam neraka, maka celakalah dia. Katakan: āmīn,’ maka sayapun mengatakan ‘āmīn’.”

Kenapa dia celaka? Karena pada bulan ini, bulan yang penuh ampunan, sehingga sangat mengherankan apabila seseorang di bulan yang dikucurkan begitu banyak ampunan dia tidak mendapatkan ampunan dari Allāh. Mereka inilah orang-orang yang celaka (orang-orang yang tercegah dari kebaikan). Maka untuk orang yang seperti ini katakan, “Āmīn, semoga Allāh menjauhkan dia karena tidak ada kebaikan di dalam dirinya.”

  1. Ramadhan, Puasa Untuk Allah dan Allah Yang Akan Membalasnya

Rasulullah ﷺ bersabda: Allah berfirman: “Semua amal anak Adam untuknya selain puasa, puasa itu untuk-Ku dan Aku-lah yang akan membalasnya.” (sampai di sinilah hadits qudsinya). Puasa itu perisai, maka jika kamu sedang berpuasa, janganlah berkata kotor dan berteriak-teriak. Jika ada yang memaki atau mengajak bertengkar, katakanlah, “Saya sedang puasa”, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi (Allah) yang nyawa Muhammad di Tangan-Nya, sungguh bau mulut  orang yang berpuasa lebih wangi di sisi Allah daripada wangi kesturi. Bagi orang yang berpuasa ada dua kegembiraan; kegembiraan ketika berbuka dan kegembiraan ketika bertemu Tuhannya dengan puasanya itu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Allāh ﷻ menisbahkan puasa adalah untuk Allāh, bukan berarti Allāh butuh, bukan! Akan tetapi menunjukkan bahwa puasa adalah amalan yang sangat besar sehingga tidak ada yang membalas kecuali Allāh (langsung Allāh yang membalas). Kita tidak tahu apa yang akan diberikan oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Allāh maha pencipta, Allāh yang mengatur alam semesta, begitu besar kekuasaan Allāh Subhānahu wa Ta’āla dan bagaimana kiranya rajanya para raja yang menguasai alam semesta ini akan memberikan hadiah kepada orang yang berpuasa. Tentunya hadiah yang luar biasa. Oleh karena itu puasa adalah satu amalan yang sangat besar di sisi Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Dalam sebuah hadīts dari Abū Hurairah radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu, beliau berkata bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam, tatkala beliau memberikan kabar gembira kepada para shahābatnya:“Telah datang kepada kalian Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allāh mewajibkan atas kalian berpuasa padanya.” Oleh karena itu, kita bersemangat untuk melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhān.

Mutiara Hikmah

Dari Abu Hurairah a, ia berkata Rasulullah n bersabda,

ثَلاَثَةٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُمُ الإِمَامُ الْعَادِلُ وَالصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ

“Ada tiga do’a yang tidak tertolak: (1) do’a pemimpin yang adil, (2) do’a orang yang berpuasa sampai ia berbuka, (3) do’a orang yang terzholimi.” (H.R. Tirmidzi no. 3595, Ibnu Majah no. 1752)

MARÂJI:

* Alumni Ilmu Kimia FMIPA UII

[1] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 2/179

[2] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/188

Download Buletin klik disini

TARHIB RAMADHAN: PERSIAPAN MENYAMBUT RAMADHAN

TARHIB RAMADHAN: PERSIAPAN MENYAMBUT RAMADHAN

Oleh: Jaenal Sarifudin[1]

 

Bismillâhi walhamdulillâh wash-shalâtu was-salâmu ‘ala rasûlillâh,

Tinggal menghitung bilangan jam, bulan Ramadhan akan segera tiba. Bulan suci yang dinanti kaum muslim dengan penuh sukacita karena keberkahannya. Bulan yang disabdakan Nabi Muhammad ` sebagai sayyidusysyuhur (bulan termulia), yang mana pahala amal kebajikan dilipatgandakan dan pintu-pintu rahmat-Nya dibuka lebar. Bahkan Allah memberikan anugerah berupa lailatul qadar, yaitu malam yang lebih baik dari 1000 bulan. Menyambut dengan hati gembira akan datangnya Ramadhan merupakan hal yang dicintai Allahk dan sudah selayaknya kita lakukan. Firman Allahk; ”Katakanlah, dengan karunia Allah dan rahmat-Nya hendaklah dengan itu mereka bergembira”. (Q.S. Yunus (10): 58).

Persiapan Menyambut Bulan Ramadhan

Ada tiga hal yang penting untuk kita persiapkan dalam menyambut datangnya bulan Ramadhan, yaitu:

  1. I’dad Jasadiyah (persiapan fisik).

Ibadah puasa tentu membutuhkan kondisi fisik yang sehat. Apalagi bulan Ramadhan sarat dengan kegiatan peribadatan. Mulai dari shalat tarawih, tadarus, mendengarkan kajian dan ceramah keagamaan sampai dengan i’tikaf. Dengan kondisi fisik yang sehat dan prima tentu akan memudahkan kita menunaikan ibadah secara maksimal. Maka, penting sekali untuk menjaga kesehatan, terlebih di situasi pandemi seperti saat ini. Menjalankan pola hidup sehat dengan istirahat yang cukup, olahraga teratur dan menjaga pola makan yang sehat adalah hal yang harus kita upayakan agar kondisi tubuh kita selalu bugar. Juga dengan disiplin menjalankan protokol kesehatan.

  1. I’dad Ruhiyah (persiapan rohani).

Rohani kita juga harus disiapkan dalam menyambut bulan agung ini. Membersihkan hati dari penyakit hati dan permusuhan terhadap sesama adalah hal yang niscaya dilakukan. Kebiasaan kaum muslim untuk saling mengucapkan selamat atas datangnya bulan Ramadhan disertai dengan permohonan maaf merupakan hal yang baik. Di sebagian masyarakat, bahkan ada tradisi “padusan” menyambut datangnya bulan puasa. Sesungguhnya tradisi ini pada awalnya adalah simbol yang mengandung pesan agar kita membersihkan jiwa menyambut datangnya bulan Ramadhan. Namun dalam realitasnya, justru ada hal yang tidak selaras dengan nilai syariat, maka menjadi tidak sesuai dengan filosofi “padusan” itu sendiri.

  1. I’dad  ’Ilmiyah (persiapan ilmu).

Selain persiapan fisik dan rohani, persiapan ilmu juga sangat penting. Allahk menjanjikan derajat yang tinggi bagi hamba-Nya yang beriman dan berilmu sebagaimana firman-Nya; “Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang berilmu beberapa derajat.” (Q.S. Al-Mujadilah [58]: 11).  Segala aktivitas ibadah seharusnya dibekali dengan ilmu. Dalam konteks ibadah puasa, pemahaman tentang ilmu fiqih puasa dan mendalami hakikatnya adalah hal yang sangat penting. Sehingga ibadah puasa kita diharapkan sesuai dengan tuntunan dan betul-betul mampu menghantarkan meraih predikat takwa.

Terkait persiapan ilmu, perlu disegarkan kembali beberapa hal terkait aspek hukum ibadah puasa yang harus dipahami dengan baik. Terutama menyangkut rukun puasa, hal-hal yang dapat membatalkan puasa, sunnah-sunnahnya dan hal-hal yang dapat mengurangi nilai pahala ibadah puasa kita. Harapannya tentu agar puasa yang ditunaikan selaras dengan tuntunan serta dapat meraih keutamaan ibadah yang maksimal. Jangan sampai kita termasuk golongan orang yang dicela oleh Rasulullah`, sebagaimana sabdanya; ”Banyak orang berpuasa, namun ia tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya selain lapar dan dahaga.(H.R. Ibnu Majah).[2]

Rukun Puasa

Secara fiqih, rukun puasa hanya ada dua, yaitu berniat puasa dan menahan diri dari hal-hal yang dapat membatalkan puasa mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari. Setiap muslim yang akan menunaikan puasa wajib, haruslah menanamkan niat untuk berpuasa esok hari pada malam harinya sebelum shubuh tiba. Tempat niat adalah di dalam hati. Rentang waktu niat puasa Ramadhan adalah pada malam hari sampai sebelum waktu subuh. Nabi ﷺ bersabda, ”Barangsiapa yang tidak berniat puasa sebelum terbit fajar maka tiada puasa baginya.” (H.R. Tirmidzi).

Berniat puasa di malam hari (tabyit an-niyat) wajib dilakukan untuk puasa yang hukumnya wajib, termasuk puasa Ramadhan. Berbeda dengan puasa sunnah yang niat puasanya dapat saja dilakukan pada pagi harinya asal yang bersangkutan belum melakukan hal-hal yang membatalkan puasa.

Perbuatan yang Membatalkan Puasa

Sedangkan perbuatan yang dapat membatalkan ibadah puasa ada beberapa hal yaitu makan dan minum dengan sengaja, muntah dengan sengaja, merokok, haid dan nifas, keluar air mani dengan sengaja dan melakukan hubungan suami istri saat tengah berpuasa. Bahkan untuk hal yang terakhir ini, tidak hanya membatalkan puasa dan mengharuskan membayar hutang puasanya, namun juga wajib menunaikan kaffarah atau tebusan agar terhapus catatan kesalahannya. Tebusannya adalah dengan menunaikan satu dari tiga hal berikut secara berurut; membebaskan budak, berpuasa dua bulan berturut-turut atau memberi makan 60 orang miskin. Sanksi ini harus ditunaikan secara urut dan tidak boleh langsung memilih yang dianggap lebih ringan. Seseorang tidak boleh langsung memilih kaffarah urutan yang ketiga, kecuali jika memang ia tidak mampu menunaikan puasa dua bulan lamanya. Beratnya sanksi bagi orang yang melakukan hubungan badan di siang hari Ramadhan adalah karena kemuliaan ibadah puasa di bulan suci yang harus dijaga dan dihormati oleh kaum muslim.

Perkara yang Disunnahkan dalam Puasa

Selain itu, ada pula hal-hal yang disunnahkan dalam ibadah puasa seperti makan sahur, menyegerakan berbuka jika telah tiba waktunya, berbuka dengan buah kurma atau air putih, berdoa saat berbuka puasa dan mengisi ibadah puasa kita dengan banyak menunaikan amaliah dan ketaatan kepada Allah. Di antaranya dengan banyak bertadarus, dan membaca al-Quran. Bahkan membaca al-Qur’an ini termasuk amalan unggulan di bulan suci Ramadhan yang memiliki pahala luar biasa. Salah satu sebutan untuk bulan Ramadhan adalah syahrul quran (bulannya al-Quran). Sehingga sepantasnya kita banyak menghabiskan waktu di bulan mulia ini bersama al-Qur’an. Syukur kita mampu mengkhatamkan bacaan al-Qur’an kita di bulan mulia ini. Bulan yang Allah pilih sebagai waktu pertama kali diturunkannya kitab al-Qur’an. Kitab suci paling mulia yang diturunkan kepada semulia-mulia Nabi dan menjadi pedoman untuk semulia-mulia umat. Maka, Allah pun memilih bulan yang paling mulia saat menurunkannya.[3]

Mutiara Hikmah

Dari Abu Hurairah berkata, “Rasulullah ﷺ bersabda,

رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الْجُوعُ وَالْعَطَشُ ، وَرُبَّ قَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ قِيَامِهِ السَّهَرُ

“Berapa banyak orang yang berpuasa, hanya mendapatkan dari puasanya rasa lapar dan haus saja, dan berapa banyak orang yang melakukan qiyamullail hanya mendapatkan dari qiyamullailnya terjaga (begadang) saja.” (H.R. Ahmad: 8693 dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban: 8/257 dan Syaikh Albani dalam Shahih Targhib: 1/262)

Maraji’:

[1] Mahasiswa FIAI UII

[2] Sayid Sabiq. Fiqhussunnah. Beirut. Dar al-Fikr. 2006

[3] Wahbah az-Zuhaili, Al-fiqh al-Islami wa Adillatuh, Beirut, Dar al-Fikr, 2002.

Download Buletin klik disini

MENYAMBUT BULAN SUCI DI TENGAH PANDEMI

MENYAMBUT BULAN SUCI DI TENGAH PANDEMI

Oleh: Nurul Kharismawati[1]

 

Bismillâhi walhamdulillâh wash-shalâtu was-salâmu ‘ala rasûlillâh,

Rukun Islam merupakan lima tindakan dasar yang dianggap sebagai pondasi awal dan diwajibkan bagi seluruh umat muslim. Seperti dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim “Dari Abu ‘Abdullah bin Umar bin Khattab, ia mengatakan bahwa ia mendengar dari Rasulullah bersabda “Islam dibangun atas lima perkara, bahwa tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, menunaikan haji ke baitullah, dan berpuasa Ramadhan” (H.R. Bukhari no 8, HR. Muslim no 16)

Seperti yang tertera dalam hadits di atas, bahwa puasa yang disyariatkan dalam rukun Islam adalah puasa yang dilakukan pada bulan Ramadhan. Definisi puasa adalah menahan diri dari makan, minum, jima’, dan seluruh hal dan aktivitas yang dapat membatalkan niat ibadah kepada Allah sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari.[2]

Puasa Ramadhan hukumnya wajib bagi seluruh muslim ‘aqil, baligh dan mampu melaksanakannya. Puasa Ramadhan dilaksanakan selama 30 hari mulai dari terlihatnya hilal atau telah sempurnanya bulan sya’ban selama 30 hari jika hilal tidak terlihat.

Keistimewaan Bulan Ramadhan

Bulan Ramadhan merupakan bulan suci yang di dalamnya terdapat banyak keistimewaan. Adapun keistimewaan bulan Ramadhan dibagi menjadi 3 yaitu, sepuluh hari pertama, sepuluh hari kedua dan sepuluh hari terakhir.

  1. Keistimewan sepuluh hari pertama Ramadhan

Dapat dikatakan bahwa sepuluh hari pertama bulan Ramadhan termasuk hari tersulit, karena kita harus melakukan penyesuaian dengan keadaan baru seperti tidak makan dan minum sejak matahari terbit hingga terbenamnya matahari. Namun tak bisa dipungkiri bahwa sepuluh hari pertama di bulan Ramadhan, umat muslim sangat semangat dan antusias melaksanakan shalat tarawih berjamaah di masjid. Pada sepuluh hari pertama Allah memberikan rahmat kepada seluruh umatNya. Semua pintu rahmat dibuka, pintu syurga dibuka lebar, pintu neraka ditutup, dan setan pun dibelenggu.

  1. Keistimewaan sepuluh hari kedua Ramadhan

Ibadah puasa harus dilakukan dengan menyeluruh dan istiqomah supaya mendapatkan kebaikan dan pahala yang sempurna. Pada sepuluh hari kedua bulan Ramadhan terdapat ampunan bagi siapa saja yang bersungguh-sungguh meminta maaf dan bertaubat atas kesalahan yang telah dilakukan sebelumnya.

  1. Sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan

Sepuluh hari terakhir dalam bulan Ramadhan merupakan hari-hari penuh cobaan karena sebagian besar umat muslim sudah disibukkan dengan berbagai macam ritual dan budaya perayaan Idul Fitri, seperti membeli baju baru, menyiapkan berbagai macam hidangan yang akan disajikan untuk tamu di hari raya dan aktivitas lainnya yang dapat mengganggu kekhusyu’an dalam menjalankan ibadah. Padahal sepuluh hari terakhir dalam bulan Ramadhan memiliki keistimewaan yang lebih daripada dua puluh hari sebelumnya. Sepuluh hari terakhir juga merupakan puncak dari ibadah yang hanya bisa dilakukan selama 30 hari dalam satu tahun.

Mengahadapi Bulan Suci Ditengah Pandemi

Ramadhan 1443 H sepertinya tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi pada tahun 1441 H dan 1442 H, yang mana Ramadhan bersamaan dengan dunia yang sedang dilanda oleh pandemi Corona Virus Disease (Covid-19). Virus yang melanda sejak tahun 2019 dan masuk ke Indonesia pada awal tahun 2020 ini merupakan virus yang mematikan ratusan bahkan ratusan ribu jiwa. Banyak ulama, pemimpin, bahkan manusia awam yang meninggal karena terpapar virus ini. Banyak kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah, mulai dari karantina mandiri, melakukan pembelajaran jarak jauh, pembatasan sosial, mewajibkan penggunaan masker, hingga melakukan penutupan wilayah atau lockdown.

Seluruh umat muslim merasakan kesedihan yang amat mendalam karena tidak bisa melaksanakan puasa Ramadhan seperti tahun-tahun sebelumnya. Mulai dari sahur on the road, buka bersama kerabat dan teman, ngabuburit, tidak bisa menjalankan shalat tarawih di masjid, sulit mencari takjil buka puasa, dan kebiasaan lain di bulan Ramadhan. Rupanya Allah telah mengatur bulan Ramadhan ini dengan banyak kejutan dan hikmah salah satunya untuk lebih dekat dengan keluarga di rumah dan saling menebar kasih sayang.

Supaya puasa tetap lancar pada masa pandemi, terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan antara lain:[3]

  1. Memenuhi asupan makanan dan minuman

Kekebalan tubuh yang ekstra sangat dibutuhkan dalam bulan Ramadhan, khususnya di masa pandemi. Tidak hanya stamina yang kuat untuk melaksanakan aktivitas harian, namun juga perlu gizi yang cukup untuk meminimalisir resiko terinfeksi Covid-19. Karena itu, perlu dipastikan bahwa asupan gizi yang cukup dan air putih sesuai yang dibutuhkan oleh tubuh setidaknya 8 gelas per hari.

  1. Tetap berolahraga

Puasa bukan alasan untuk bermalas-malasan di dalam rumah. Aktivitas fisik seperti berolahraga ringan juga diperlukan untuk meningkatkan imun tubuh supaya lebih segar dan tidak mudah terinfeksi virus. Banyak olahraga yang bisa dilakukan di dalam rumah karena harus menetapkan social distancing seperti yoga, aerobik, dan lain sebagainya. Olahraga juga bisa menjadi cara sehat mengurangi stress pada masa sulit ini.

  1. Menjaga kebersihan diri dan menjaga jarak

Tidak lengkap rasanya jika pada bulan Ramadhan tidak melakukan sedekah seperti membagikan takjil dan nasi kotak. Namun kita juga harus menjaga jarak fisik seperti tidak menimbulkan kerumunan, menggunakan masker, dan selalu mencuci tangan dengan air bersih dan sabun. Selain itu, menjaga jarak juga bisa dilakukan dengan tidak melakukan kegiatan seperti ngabuburit dan mengalihkan kegiatan yang bisa dilakukan di dalam rumah, seperti menyiapkan menu unik untuk berbuka puasa.

  1. Jangan memaksakan berpuasa jika sedang sakit

Seperti dalam firman Allah ﷻ Q.S. al-Baqarah [2]: 185 yang artinya  “ dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” Dari ayat di atas dikatakan bahwa Allah ﷻ telah memberikan keringanan bagi musafir dan orang yang sakit untuk membatalkan puasa, jika puasa itu dapat membahayakannya dengan syarat mengganti puasa sejumlah hari yang ditinggalkan di luar bulan Ramadhan. Karena sesungguhnya di dalam setiap kesulitan Allah ﷻ telah memberikan banyak kemudahan bagi hambaNya yang bertaqwa. Dan Allah tidak akan memberikan cobaan kepada hambaNya di luar kemampuannya.

Mutiara Hikmah

Allah l berfirman,

لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ

“ Tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim” (Q.S. al-Anbiya [21]: 87)

MARÂJI’:

[1] Mahasiswa FIAI Universitas Islam Indonesia

[2]Muhammad Jamil Zainu, Bekal Bekal Ramadhan, Maktabah Al Wasthiyah wal I’tidal, 2007, hal:20

[3]Fadli Rizal  Makarim, Tips agar Puasa Tetap Lancar di Tengah Pandemi Corona, diakses dari https://www.halodoc.com/artikel/tips-puasa-tetap-lancar-di-tengah-pandemi-corona , pada 14 Februari 2021

Download Buletin klik disini

SUDAH SIAPKAH MENYAMBUT BULAN SUCI RAMADHAN?

SUDAH SIAPKAH MENYAMBUT BULAN SUCI RAMADHAN?

Oleh: Suci Putriani Azhari

 

Bismillâhi Walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh

Tak terasa saat ini kita sudah berada di penghujung bulan Sya’ban pertanda sebentar lagi kita akan memasuki bulan Ramadhan, yaitu bulan yang paling mulia disambut dengan penuh suka cita bagi kaum muslimin. Bulan mulia ini biasanya disambut dengan ucapan “Marhaban ya Ramadhan”.  Kata Marhaban adalah bentuk diksi untuk menyambut hadirnya sesuatu yang benar-benar istimewa. Ramadhan salah satunya, karena bulan ini dimana taburan kasih Allah sedang meruah. Bulan dimana pintu surga sedang dibuka lebar-lebar, pintu neraka ditutup rapat-rapat, setan-setan yang selama ini kita kambing hitamkan sebagai makhluk yang menyebabkan kita bermaksiat, bulan ini pun mereka dibelenggu.[1]

Ucapan Marhaban ya Ramadhan sudah mulai muncul dan banyak disebarkan diberbagai media sosial baik berupa tulisan maupun video. Belum lagi banyaknya kajian tentang tarhib Ramadhan  di masjid maupun instansi yang membuat ruh Ramadhan semakin terasa. Pertanyaannya sudahkah kita mempersipakan diri untuk menyambut bulan yang mulia dan penuh berkah ini? Atau malah kita menyambutnya dengan biasa-biasa saja seperti tahun-tahun sebelumnya?. Padahal saat kita kedatangan tamu di rumah, kita mempersiapkan berbagai macam hidangan yang terbaik untuk disuguhkan dan kita sambut dengan hati yang penuh suka cita. Lantas apakah pantas jika Ramadhan kita sambut dengan biasa-biasa saja? Tentu jawabannya tidak. Maka dari itu mari kita persiapkan bekal kita untuk menyambut datangnya bulan suci Ramadhan dengan persiapan yang maksimal baik secara lahiriyah maupun batiniyah.

Satu hal yang patut untuk kita syukuri saat ini adalah banyaknya nikmat yang Allah berikan kepada kita, salah satunya nikmat diberikannya umur dan kesempatan. Semoga nikmat umur dan kesempatan ini Allah perkenankan kita agar bisa bertemu dan merasakan keberkahan Ramadhan nanti. Amîn ya rabbal ‘âlamîn.

Pembaca yang dirahmati Allah , banyak dari keluarga dan sahabat yang telah mendahului kita dan sudah pulang ke kampung akhirat, mereka tidak sempat bertemu Ramadhan di tahun ini. Oleh karena itu, di penghujung Sya’ban ini mari kita panjatkan doa kita kepada Allah agar kita bisa bertemu Ramadhan tahun ini dan dapat memanfaatkan bulan yang berkah ini dengan memaksimalkan kualitas ibadah, keimanan, ketakwaan, kita kepada Allah .

Pahala Khusus Ibadah Puasa

Ramadhan adalah bulan suci yang selalu dirindukan umat Islam. Keberkahan dan kekhusyukan hari-harinya adalah hal yang sulit didapatkan dihari-hari biasanya, karena banyak hal biasa ketika bulan Ramadhan menjadi hal istimewa sehingga Ramadhan menjadi bulan yang istimewa. Puasa Ramadhan merupakan ibadah yang istimewa, karena Allah mengkhususkan balasan puasa dari-Nya. Rasulullah n bersabda dalam hadits qudsi:

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Maslamah dari Malik dari Abu Az Zanad dari Al A’raj dari Abu Hurairah z; Bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Shaum itu benteng, maka (orang yang melaksanakannya) janganlah berbuat kotor (rafats) dan jangan pula berbuat bodoh. Apabila ada orang yang mengajaknya berkelahi atau menghinanya maka katakanlah aku sedang shaum (ia mengulang ucapannya dua kali). Dan demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh bau mulut orang yang sedang shaum lebih harum di sisi Allah Ta’ala dari pada harumnya minyak misik, karena dia meninggalkan makanannya, minuman dan nafsu syahwatnya karena Aku. Shaum itu untuk Aku dan Aku sendiri yang akan membalasnya dan setiap satu kebaikan dibalas dengan sepuluh kebaikan yang serupa”. (H.R Bukhari no.1761)

Saat bulan Ramadhan sangat banyak ibadah yang dapat kita lakukan dengan balasan pahala yang berlipat ganda, seperti tilawah al-Qur’an, shalat malam qiyamul lail atau tarawih, shalat tahajud, dan juga Allah kasih bonus pahala berlipat ganda di 10 malam terakhir ramadhan yaitu lailatul qadar malam yang lebih baik dari seribu bulan.

Pentingnya Persiapan

Jauh sebelum Ramadhan akan datang sahabat Nabi yaitu Umar bin Khattab mengumpulkan kaum muslimin untuk mendirikan shalat tarawih di masjid. Kemudian beliau mengajak kaum muslimin memasang lentera di rumah ibadah agar bersemangat dalam memakmurkan rumah ibadah dengan tilawah al-Qur’an, dzikir, dan shalat malam. Begitu pula para tabi’in 6 bulan sebelum datangnya bulan Ramadhan mereka berdoa kepada Allah agar dipertemukan dengan bulan suci Ramadhan dan setelah Ramadhan mereka terus  berdoa agar amal ibadah mereka diterima di sisi Allah . Lalu bagaimana dengan kita, apa saja yang sudah kita persiapkan untuk menyambut Ramadhan yang tinggal hitungan jari kedatangannya?

Sungguh sangat banyak hal yang harus disiapkan dalam menyambut datangnya bulan suci Ramadhan, yaitu persiapan nafsiyah (jiwa atau hati), tsaqafiyah (ilmu), jasadiyah (fisik), dan maliyah (harta). Satu diantara 4 perisapan yang paling penting yaitu persiapan nafsiyah. Mengapa demikian? Karena indikator kebaikan dan keburukan seseorang terletak di hati. Maka dari itu siapkan hati dan niat tulus kita  menjalankan ibadah puasa untuk mendekatkan diri kepada Allah agar menjadi orang yang bertakwa sesuai dengan firman Allah tentang perintah puasa yaitu la’allakum tattaqun semoga menjadi orang yang bertaqwa. Allah l berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (Q.S. al-Baqarah [2]:183)

Andai Ini Ramadhan Terakhirku

Berjumpa dengan Ramadhan merupakan sesuatu yang istimewa, maka beruntung orang yang dapat bertemu dengan Ramadhan. Makna beruntung disini bukan hanya bertemu Ramadhan saja, namun beruntung apabila orang yang dapat bertemu Ramadhan dan ia bisa memanfaatkan kesempatan ini dengan sebaik-baiknya yaitu memperbanyak amal sholih untuk meningkatkan kualitas ibadah.

Maka dari itu manfaatkan momen Ramadhan ini dengan maksimal, jangan sampai Ramadhan kita sama seperti Ramadhan di tahun-tahun sebelumnya, karena kita tidak pernah tau kapan usia kita berakhir. Bayangkan jika ini adalah Ramadhan terakhir kita. Maka kita perlu persiapan yang cukup untuk menyambut ramadhan agar kita mendapatkan predikat takwa. Jika tahun ini Ramadhan masih sama seperti sebelumnya lantas butuh berapa Ramadhan lagi?

Terdapat 3 nasihat Rasulullâh dalam sebuah hadis yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad dari Abu Ayyub al-Anshari, “Seorang laki-laki menemui Nabi  lalu berkata, ‘Ya Rasulullah, berilah aku nasehat dengan ringkas! (dalam riwayat lain) ajarilah aku dengan ringkas!”Nabi n berkata kepada sahabat yang mulia ini, “Kalau Engkau mengerjakan shalat, maka shalatlah seperti shalatnya orang yang hendak meninggalkan (dunia). Jangan berbicara dengan satu kalimat yang esok hari kamu akan meminta udzur karena ucapan itu. Dan perbanyaklah rasa putus asa terhadap apa yang ditangan orang lain.” (H.R. Imam Ahmad, No. 23498 dan Ibnu Majah, No. 4171)

Nasihat pertama dari hadis diatas yaitu mendirikan shalat dengan khusyuk dan sungguh-sungguh seakan-akan kita akan meninggal dunia dan itu merupakan shalat terakhir kita. Maka hal ini bisa kita asumsikan dalam ibadah kita di bulan Ramadhan, yakni adanya kesadaran bahwa boleh jadi ini adalah Ramadhan terakhir sebelum menghadap Allah. Oleh karena itu, hendaknya memaksimalkan setiap ibadah yang dilakukan di bulan Ramadhan.

Mutiara Hikmah

Dari Abu Hurairah z, dia berkata Rasulullah ﷺ bersabda:ﻗَﺪْ ﺟَﺎﺀَﻛُﻢْ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥُ، ﺷَﻬْﺮٌ ﻣُﺒَﺎﺭَﻙٌ، ﺍﻓْﺘَﺮَﺽَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﺻِﻴَﺎﻣَﻪُ، ﺗُﻔْﺘَﺢُ ﻓِﻴﻪِ ﺃَﺑْﻮَﺍﺏُ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ، ﻭَﺗُﻐْﻠَﻖُ ﻓِﻴﻪِ ﺃَﺑْﻮَﺍﺏُ ﺍﻟْﺠَﺤِﻴﻢِ، ﻭَﺗُﻐَﻞُّ ﻓِﻴﻪِ ﺍﻟﺸَّﻴَﺎﻃِﻴﻦُ، ﻓِﻴﻪِ ﻟَﻴْﻠَﺔٌ ﺧَﻴْﺮٌ ﻣِﻦْ ﺃَﻟْﻒِ ﺷَﻬْﺮٍ، ﻣَﻦْ ﺣُﺮِﻡَ ﺧَﻴْﺮَﻫَﺎ ﻓَﻘَﺪْ ﺣُﺮِﻡَ

Telah datang kepada kalian Ramadhan, bulan yang diberkahi. Allah mewajibkan atas kalian berpuasa padanya. Pintu-pintu surga dibuka padanya. Pintu-pintu Jahim (neraka) ditutup. Setan-setan dibelenggu. Di dalamnya terdapat sebuah malam yang lebih baik dibandingkan 1000 bulan. Siapa yang dihalangi dari kebaikannya, maka sungguh ia terhalangi.”(H.R. Ahmad dalam al-Musnad 2/385. Dinilai shahih oleh Al-Arna’uth dalam Takhrijul Musnad no.8991)

[1] Ahmad Riga’I Rif’an, Ramadhan Maaf Kami Sibuk, Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2017, hal.10

Download Buletin klik disini

SAHABAT DALAM MENERANGI JALAN MENUJU RAMADHAN

SAHABAT DALAM MENERANGI JALAN MENUJU RAMADHAN

Oleh: Haritsa Taqiyya Majid*

 

Bismillâhi Walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh,

Bulan Ramadhan merupakan bulan yang paling ditunggu bagi setiap muslim yang ada di seluruh dunia. Pasalnya di bulan tersebut akan ada banyak limpahan rahmat, barokah dan ampunan Nya, sehingga kaum muslimin banyak yang merindukan untuk berjumpa dengan bulan suci ini. Seperti dibukakannya pintu surga dan ditutupnya pintu neraka, yang mana akan membuat para malaikat turun ke bumi sebaliknya para setan akan terbelenggu. Tentunya, berjumpa kembali dalam keadaan yang baik dan mampu beramal saleh secara maksimal dengan penuh ketakwaan kepada Allah Ta’ala.

Doa Yang Ma’ruf

Sering kita jumpai doa yang banyak diucapkan menjelang bulan Ramadhan.

اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ رَجَبَ وَشَعْبَانَ وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ

“Ya Allah, berkahilah kami pada bulan Rajab dan bulan Sya’ban dan pertemukanlah kami dengan bulan Ramadhan”[1]

Masyarakat meyakini bahwa doa tersebut diajarkan oleh Rasulullah ﷺ. Padahal, para ahli hadits menilai kualitas sanadnya lemah. Meski begitu, tidak menjadi masalah ketika hendak membacanya atau mengamalkannya, selama tidak diyakini bahwa perkataan itu benar-benar bersumber dari Nabi Muhammad ﷺ.

Hal ini tentu saja diimani penuh oleh umat muslim sebagai upaya untuk beribadah dan mendapatkan pahala sebanyak-banyaknya dari bulan yang penuh berkah tersebut. Itulah kenapa mempersiapkan diri dan menyusun rencana-rencana yang harus dilakukan begitu penting guna memberikan hasil yang maksimal pada bulan puasa.

Sahabat Menyambut Ramadhan

Hasil yang dimaksud tentu saja kekhusyu’an beribadah, kesiapan dan kejernihan mental dan hal-hal lain yang bisa dicapai pada bulan Ramadhan. Begitu juga pada masa Rasulullah, ada berbagai cara para sahabat dalam menyambut Ramadhan.“Bulan Ramadhan mendatangi kalian, bulan yang penuh berkah. Allah menghendaki kebaikan bagi kalian dengan menurunkan rahmat-Nya dan menghapuskan dosa-dosa kalian dan mengabulkan doa-doa. Allah melihat amal kalian dan membanggakan kalian di depan para malaikat, lalu malaikat pun menghendaki kebaikan agar diturunkan kepada kalian. Sesungguhnya orang yang rugi di bulan Ramadhan adalah mereka yang terhalangi dari rahmat Allah”. (H.R Thabrani dalam Musnad Syamiyin 2238)[2]

Dikisahkan oleh Ibnu Abbas a, Nabi Muhammad ﷺ tidak hanya mempersiapkan Ramadhan dengan mengumpulkan bekal makanan, minuman, maupun menjaga fisik semata. Namun sebenarnya yang utama adalah memperbanyak dan meningkatkan ketaatan kepada Allah dengan ibadah dan sedekah. Oleh karenanya, Rasulullah n telah nampak sebagai seorang hamba yang paling taat kepada Allah , dan menjadi pribadi yang paling dermawan semenjak sebelum Ramadhan tiba.

Para sahabat Nabi pun juga demikian, mereka berlomba-lomba menjadi orang yang paling utama dalam menyambut kedatangan bulan Ramadhan. Dicontohkan dalam sebuah kisah, Umar bin Khattab a, menjadi orang pertama yang mengumpulkan kaum muslimin untuk shalat Tarawih di masjid. Beliau mempersiapkan Ramadhan dengan memasang lentera di rumah-rumah ibadah kaum muslimin agar bersemangat memakmurkannya bersama tilawah al-Qur’an, zikir, dan shalat malam sepanjang bulan Ramadhan.

Selepas kepergian Umar a, saat malam Ramadhan tiba, Ali bin Abi Thalib a mengenang jasa-jasanya dengan berdoa, “Semoga Allah menerangi kuburmu, hai Umar, sebagaimana engkau menerangi masjid-masjid Allah dengan al-Qur’an.”

Tabi’in Menyambut Ramadhan

Generasi setelah sahabat Nabi Muhammad ﷺ pun sangat merindukan kedatangan Ramadhan. Sampai-sampai, mereka berdoa selama 6 bulan sebelum kedatangan Ramadhan agar mereka dapat bertemu dengannya. Begitu Ramadhan setelahnya berlalu, mereka juga kembali berdoa sepanjang 6 bulan berikutnya agar amalan ibadah selama Ramadhan kemarin diterima Allah . Tidak ada satu hari pun selama satu tahun yang luput dari para pendahulu Islam kecuali mereka memikirkan bulan Ramadhan, sehingga mereka begitu mempersiapkan semua bekal materi dan rohani smeenjak jauh hari sebelum Ramadhan tiba.

Ma’la bin Fadhal berkata: “Dulu sahabat Rasulullah berdoa kepada Allah sejak enam bulan sebelum masuk Ramadhan agar Allah sampaikan umur mereka ke bulan yang penuh berkah itu. Kemudian selama enam bulan sejak Ramadhan berlalu, mereka berdoa agar Allah terima semua amal ibadah mereka di bulan itu. Di antara doa mereka ialah : Yaa Allah, sampaikan aku ke Ramadhan dalam keadaan selamat. Ya Allah, selamatkan aku saat Ramadhan dan selamatkan amal ibadahku di dalamnya sehingga menjadi amal yang diterima.” (HR. at Thabrani: 2/1226).[3]

Salah satu amal ibadah yang dianjurkan untuk dilakukan dalam rangka menyambut datangnya bulan Ramadhan terutama ketika malam nisfu sya’ban adalah membaca al-Qur’an. Nisfu Sya’ban sendiri diambil dari kata bahasa Arab, Nisfu dan Sya’ban. Kata Nisfu berasal dari kata nashafa, yanshifu, nashfan yang berarti mencapai tengah-tengah. Sedangkan kata Sya’ban berarti bulan Sya’ban[4]. Jadi Nisfu Sya’ban berarti pertengahan bulan Sya’ban. Hal ini didasarkan pada pandangan beberapa sahabat Rasulullah yang menganggap Sya’ban adalah bulannya al-Qur’an, salah satunya seperti Anas bin Malik a.

Dalam riwayat Ibnu Rajab v, Anas a bercerita tentang kesibukan para Sahabat Rasulullah ketika masuk bulan Sya’ban. Salah satunya adalah membaca al-Qur’an. Anas bin Malik a berkata, “Kaum Muslim ketika telah memasuki bulan Sya’ban, mereka mengambil mushaf-mushafnya kemudian membacanya. Mereka juga mengeluarkan zakat hartanya agar dapat membantu menguatkan orang fakir dan miskin untuk turut serta menunaikan puasa di bulan Ramadhan.”

Melihat kepada sikap dan doa yang mereka lakukan, terlihat jelas bagi kita bahwa para sahabat dan generasi setelahnya sangat merindukan kedatangan Ramadhan. Mereka sangat berharap dapat berjumpa dengan Ramadhan demi mendapatkan semua janji dan tawaran Allah dan Rasul-Nya dengan berbagai keistimewaan yang tidak terdapat di bulan-bulan lain. Hal tersebut menunjukkan bahwa para sahabat dan generasi setelahnya betul-betul memahami dan yakin akan keistimewaan dan janji Allah dan Rasul-Nya yang amat luar biasa seperti rahmah (kasih sayang), maghfirah (ampunan) dan keselamatan dari api neraka.[]

Mutiara Hikmah

Dari Abu Hurairah h bahwa Rasulullah ` bersabda:

لاَ تَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا، وَلاَ تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا، أَوَلاَ أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوْهُ تَحَابَبْتُمْ؟ أَفْشُوا السَّلاَمَ بَيْنَكُمْ

Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman, dan tidak akan sempurna iman kalian hingga kalian saling mencintai. Maukah aku tunjukkan kalian pada sesuatu yang jika kalian lakukan kalian akan saling mencintai? Sebarkanlah salam di antara kalian.” (HR. Muslim no. 54)

Marâji:

* Alumni Informatika FTI UII & PPUII

[1] Riwayat di atas dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya (1/259), Ibnu Suniy dalam ’Amalul Yaum wal Lailah, Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman (3/1399), An Nawawi dalam Al Adzkar (245). Dalam hadits ini terdapat Zaidah bin Abi Ar Ruqod dan Ziyad An Numiari. Imam Al Bukhari dan Ibnu Hajar Al Asqolani menilai Zaidah bin Abi Ar Ruqod sebagai munkarul hadits. Sedangkan Ziyad bin ‘Abdillah An Numari dikatakan oleh Yahya bin Ma’in dan Ibnu Hajar sebagai perowi yang dho’if. Hadits ini dikatakan dho’if (lemah) oleh Ibnu Rajab dalam Lathoif Ma’arif (218), Syaikh Al Albani dalam tahqiq Misykatul Mashobih (1369), dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam takhrij Musnad Imam Ahmad. Hadits ini dinilai dho’if oleh:

  1. Adz Dzahabi dalam Mizanul I’tidal (2/65).
  2. Ibnu Rajab dalam Lathoif Ma’arif (218).
  3. Ibnu Hajar Al Asqolani dalam Tabyinul ‘Ajb (19).
  4. Syu’aib Al Arnauth menilai sanadnya dho’if dalam tahqiq musnad Imam Ahmad (1/259). Sumber: https://muslim.or.id/21263-ya-allah-berkahilah-kami-di-bulan-rajab.html

[2] HR. Thabrani: 2238

[3] HR. Thabrani: 2/1226

[4] Ahmad Warson Munawwir, Kamus Arab-Indonesia Al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997)

Download Buletin klik disini

AGENDA MEANYAMBUT BULAN RAMADHAN

AGENDA MEANYAMBUT BULAN RAMADHAN

Oleh: Nailis Sa’adah*

 

Bismillâhi Walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh,

Pembaca yang dirahmati Allah , tinggal menghitung hari bulan Ramadhan akan datang. Bulan yang selalu dirindukan oleh setiap umat Islam. Sebab, Ramadhan merupakan bulan yang istimewa, penuh berkah, dan penuh hikmah. Beberapa keistimewaan bulan ini yaitu, semua amal kebaikan akan dilipat gandakan dan di bulan ini juga untuk pertama kalinya al-Qur’an diturunkan oleh Allah sebagai pedoman umat Islam. Allah berfirman: “Bulan Ramadhan adalah (bulan) yang didalamnya diturunkan al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 185)

Hanya di bulan Ramadhan terdapat lailatul qadar, yaitu malam yang penuh kemulian dan keberkahan. Di al-Qur’an, lailatul qadr digambarkan sebagai malam yang lebih baik dari seribu bulan. Artinya jika melakukan ibadah di malam tersebut, maka disamakan dengan ibadah seribu bulan. Allah berfirman: “Sesungguhnya kami telah menurunkannya (al-Qur’an) pada malam qadr. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemulian itu lebih baik daripada seribu bulan.”(Q.S: al-Qadr [97]: 1-3)

Menyambut Bulan Ramadhan

Dalam menyambut bulan Ramadhan yang penuh berkah, umat Islam perlu mempersiapkan diri dan menyambut dengan penuh suka cita dan rasa syukur,  agar Ramadhan tahun ini bisa meningkatkan ketaqwaan kepada Allah . Beberapa upaya persiapan yang bisa dilakukan yaitu,

  1. Mempersiapkan hati dan niat

Sering kali umat Islam kurang mempersiapkan hati dan niat untuk menyambut Ramadhan. Ibadah Ramadhan hanya dianggap sebagai ritual ibadah tahunan, sekedar ajang untuk menggugurkan kewajiban, tanpa menghayati dan meresapi esensi ibadah tersebut. Sehingga perlu menata niat dan menguatkan tekad untuk konsisten beramal shalih dan memperbanyak ibadah di bulan Ramadhan. Anggap saja ini Ramadhan terakhir, karena tidak bisa menjamin akan bertemu Ramadhan di tahun-tahun berikutnya.

  1. Mempersiapkan kesehatan fisik

Menahan diri untuk tidak makan dan minum selama satu bulan, serta fokus melakukan ibadah-ibadah wajib dan sunnah tentu memerlukan kesehatan fisik. Sehingga, semua hal tersebut menuntut agar selalu dalam kondisi prima dan nantinya bisa memanfaatkan bulan ramadhan dengan optimal dan maksimal.

  1. Merancang agenda kegiatan

Umat Islam dianjurkan untuk merancang agenda kegiatan untuk menyambut bulan ramadhan. Tujuannya agar setiap detik waktu diisi dengan hal-hal yang bermanfaat, yang bisa mensucikan hati dan mendekatkan diri kepada Allah , karena persiapan yang matang akan memaksimalkan amalan.[1]

Agenda bulan Ramadhan

Begitu banyak berkah dan anugerah di bulan Ramadhan. Sehingga perlu memaksimalkan ibadah agar tidak menjadi orang yang merugi. Untuk mencapai hasil yang maksimal, maka harus menyusun agenda penting dan melaksanakannya dengan niat ikhlas. Beberapa agenda yang bisa dilakukan saat bulan Ramadhan, di antaranya:

1. Puasa

Puasa di bulan Ramadhan hukumnya wajib dan merupakan bagian dari rukun Islam. Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa” (Q.S. al-Baqarah[2]: 183)[2]

2. Membaca al-Qur’an

Membaca dan mempelajari al-Qur’an sangat dianjurkan, apalagi di bulan Ramadhan. Rasulullah ﷺ bersabda: “Barangsiapa yang membaca satu huruf dari kitab Allah, maka ia akan mendapatkan satu kebaikan dengan huruf itu, dan satu kebaikan akan dilipatgandakan menjadi sepuluh. Aku tidaklah mengatakan “Alif Laam Miim itu satu huruf, tetapi alif satu huruf, lam satu huruf dan mim satu huruf. (H.R. Tirmidzi)

3. Shalat Tarawih dan shalat sunnah lainnya

Shalat Tarawih merupakan shalat yang hanya dikerjakan pada bulan Ramadhan dan hukumnya sunnah muakkad. Shalat Tarawih dilakukan sesudah shalat Isya’ sampai waktu fajar. Shalat sunnah lain yang dianjurkan dilakukan di bulan Ramadhan yaitu, shalat witir, tahajud, dhuha, dan sebagainya.

4. I’tikaf

I’tikaf adalah berdiam diri di masjid dengan niat mendekatkan diri kepada Allah . I’tikaf sangat disunnahkan dilakukan di sepuluh terakhir bulan Ramadhan. Adapun adab dalam i’tikaf yaitu, menyibukkan diri dengan perbuatan-perbuatan seperti membaca al-Qur’an, berdzikir, belajar ilmu agama, mengerjakan shalat-shalat sunnah,menjauhi hal-hal yang tidak bermanfaat, dan berbicara hal-hal kebaikan.

5. Memperbanyak sedekah

Allah sangat memuliakan hamba-Nya yang gemar bersedekah. Apalagi jika sedekah tersebut dilakukan di bulan Ramadhan, maka Allah akan melipat gandakan pahalanya.[3]

Dalam mengisi bulan Ramadhan, baik laki-laki maupun wanita memiliki kesempatan sama untuk meraih keutamaan dan keistimewaan. Namun ada hal-hal yang tidak bisa dihindari perempuan dan ada hal yang membatasi kegiatan perempuan di bulan ini, seperti haid dan nifas. Hal-hal tersebut yang kadang membatasi wanita untuk melakukan berbagai macam ibadah. Alasannya karena sedang dalam keadaan tidak suci atau tidak bersih. Padahal banyak amalan yang bisa dilakukan saat bulan Ramadhan. Meskipun tidak boleh shalat dan puasa, wanita yang sedang haid dan nifas masih memiliki kesempatan untuk meraih kemuliaan bulan Ramadhan. Mereka masih dapat melakukan beberapa ibadah dan mengoptimalkan beberapa amalan yang diperbolehkan selama haid dan nifas, di antaranya berdzikir kepada Allah , bersedekah, mendengarkan bacaan al-Qur’an, dan memberi makan orang yang berbuka puasa. Dari beberapa amalan tersebut, para wanita yang berhalangan untuk puasa tidak perlu berkecil hati dan cemas akan kekurangan pahala dan kemuliaan di bulan Ramadhan. Masih banyak ibadah yang bisa diamalkan untuk mendapatkan rahmat dan karunia Allah.[4]

Dengan demikian, umat Islam dianjurkan untuk menyambut Ramadhan dengan sambutan hangat dengan mempersiapkan hati, niat, kesehatan fisik dan rohani. Kemudian umat Islam perlu merancang agenda di bulan ramadhan agar dapat beribadah dengan maksimal, mampu meningkatkan kedekatan dan kualitas keimanan kepada Allah. Sebab, belum tentu akan bertemu Ramadhan di tahun berikutnya. Bagi wanita yang berhalangan untuk berpuasa tidak perlu khawatir dan merasa akan kekurangan ladang pahala dan kemuliaan di bulan Ramadhan. Apabila semua ibadah dan amalan dilakukan dengan sungguh-sungguh dan ikhlas, In sya Allah akan mendapatkan pahala sebagaimana orang yang sedang berpuasa.[]

Mutiara Hikmah

Yahya bin Abi Katsir – seorang ulama tabi’in –, bahwa sebagian sahabat ketika mendekati datangnya Ramadhan mereka berdoa,

اَللَّهُمَّ سَلِّمْنـِي إِلَى رَمَضَانَ وَسَلِّمْ لِـي رَمَضَانَ وَتَسَلَّمْهُ مِنِي مُتَقَبَّلاً

Ya Allah, antarkanlah aku hingga sampai Ramadhan, dan antarkanlah Ramadhan kepadaku, dan terimalah amal-amalku di bulan Ramadhan.” (Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 264)

Maraji’:

* Alumni PPUII

[1] Satria Nova. Bulan Ramadhan: Bebas dari Belenggu Setan dan Hawa Nafsu. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. 2011. hal. 6-8

[2] M. Syukron Maksum. Kedahsyatan Puasa: Jadikan Hidup Penuh Berkah. Yogyakarta: Pustaka Marwa. Cet-k.1-2. hal. 13

[3] Ibid. Hal. 41-43

[4] Abdul Syukur al-Azizi. Kitab Lengkap dan Praktis Fiqh Wanita. Yogyakarta: Noktah. 2017. Cet.k-1. hal 137.

Download Buletin klik disini

MENELADANI SIFAT SABAR DARI KISAH NABI AYUB

MENELADANI SIFAT SABAR DARI KISAH NABI AYUB

Oleh: Regita Safitri Wulandari*

 

Bismillâhi Walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh,

Para pembaca yang di rahmati Allah , sebagai manusia, kita harus senantiasa bersabar menghadapi ujian yang diberikan Allah walau memang tidak semudah yang di ucapkan, namun kita harus selalu bersabar menjalani semua hal dalam hidup kita.

Petunjuk dalam al-Qur’an

Al-Qur’an memberi petunjuk kepada umat Islam yang beriman agar menetapi kesabarannya dengan shalat, karena shalat merupakan sarana komunikasi hamba dengan Tuhannya serta dapat membimbing manusia agar bisa mengendalikan emosi yang ada dalam diri dari hawa nafsu untuk melakukan tindak kejahatan yang bisa membahayakan manusia. Sebagai manusia yang beriman kepada Allah l, harus melakukan aktivitas shalat sehingga bisa mengarahkan serta membimbing manusia ke arah kesadaran dan kesabaran[1]. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Q.S al-Baqarah Ayat 153 menjelaskan sebagai berikut: “Wahai orang-orang yang beriman mohonlah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan shalat sungguh Allah beserta orang-orang yang sabar” (QS. al Baqarah [2]: 153)

Dalam ayat tersebut menjelaskan bahwa orang-orang yang sempurna dalam shalatnya bisa dipastikan memiliki tingkat kesabaran yang tinggi pula. Baik dalam mengendalikan emosi maupun  menahan diri untuk tidak melakukan perbuatan yang keji dan munkar.

Adapun sabar dapat dikelompokkan kedalam beberapa jenis, diantaranya sebagai berikut[2]:

  1. Sabar dalam Menghadapi Musibah

Sabar dalam menghadapi musibah bisa diartikan ketika seseorang diberikan musibah oleh Allah baik itu berupa bencana alam, kematian, kehilangan harta benda, serta musibah lainnya, maka kita harus bisa mengendalikan atau mengontrol emosi kita dengan baik, serta harus menanamkan sikap ikhlas agar bisa mengendalikan emosi diri agar tidak berprasangka buruk kepada Allah l dengan tidak menyalahkan orang lain[3].

  1. Sabar dan Taat dalam Beribadah

Orang yang selalu sabar dalam beribadah dengan selalu taat kepada Allah , senantiasa dapat menunjukkan sikap tabah dan ikhlas pada diri, keluarga, kerabat serta lingkungan sekitar. Allah sangat mencintai hamba-Nya yang sabar dalam ketaatan beribadah kepada Allah . Sebagai hamba Allah, kita harus mampu mengendalikan dan menjaga diri agar selalu dalam kesucian dan menjauhkan diri dari segala perbuatan yang bisa mengarah pada kemaksiatan dan mampu berbuat baik kepada diri sendiri dan orang lain[4].

  1. Sabar dalam Menghadapi Gangguan Manusia

Kita hidup di dunia hanya sementara, oleh karenanya kita tidak boleh menyia-nyiakan waktu yang ada, walau dihadang oleh berbagai macam tantangan global, termasuk gangguan dari lingkungan dan gangguan dari manusia itu sendiri. Namun sebagai hamba Allah l yang memiliki aqidah dan keyakinan teguh terhadap syari’at Islam, maka kita harus mampu menahan emosi dengan tidak membalas kejahatan orang-orang yang mendhalimi, melainkan selalu bersikap sabar dan tenang dengan membalas kejahatan dengan kebaikan tanpa adanya dendam dalam hati[5].

  1. Sabar dalam Kefakiran

Sabar dalam menghadapi kefakiran, merupakan jenis kesabaran yang paling tinggi dan sungguh mulia, apabila orang tersebut mampu melaksanakan semua perintah Allah dan mampu menjauhkan diri dari segala larangan-Nya, baik itu perbuatan keji dan munkar semata-mata hanya mengharap ridha Allah l, maka akan mendapat limpahan cinta dan kasih sayang Allah . Kesabaran dalam kesederhanaan di berbagai aspek terkait kenikmatan duniawi merupakan suatu keharusan, hal ini dilakukan agar kita sebagai manusia menjadi lebih khusyuk dan taat dalam beribadah kepada Allah l[6].

Kisah Nabi Ayub

Salah satu kisah Nabi yang bisa kita teladani dalam mengimplementasikan sifat sabar adalah kisah dari Nabi Ayub u. Nabi Ayub u diberikan ujian dalam hidupnya dalam waktu yang tidak sebentar, namun ia tetap sabar dan senantiasa berdoa dan beribadah kepada Allah . Nabi Ayub u merupakan salah satu utusan Allah l. Ia menjadi salah satu teladan bagi kita selaku umat Islam dalam mengimplementasikan sikap sabar saat diberikan musibah oleh Allah [7].

Kisah Nabi Ayub u diceritakan dalam beberapa tafsir. Dalam al-Bidayah wa An-Nihaya, dan Tafsir Al-Baghawi, diceritakan bahwa Nabi Ayub u dahulu termasuk orang yang sangat kaya dengan harta berlimpah. Mulai dari sapi, unta, kambing, keledai, kuda ia miliki di peternakannya. Tak hanya itu, Nabi Ayub juga memiliki tanah yang luas, hingga tak ada orang yang mampu menyaingi[8]. Walaupun memiliki harta kekayaan yang berlimpah, tidak menjadikan Nabi Ayub u sombong. Justru ia menggunakan hartanya untuk menolong sesama dan selalu bersyukur atas nikmat Allah l[9].

Namun keadaan berubah ketika ia terasingkan dari harta dan keluarganya serta di berikan ujian dengan diberikan penyakit kulit dan berbagai ujian lain yang membuat harta dan anaknya hilang[10]. Dengan keadaan seperti itu, Nabi Ayub u dijauhi dari semua orang. Namun ada sosok yang selalu setia menemani dan merawatnya, yaitu istrinya. Walaupun sedang diberi ujian oleh Allah , Nabi Ayub u selalu berzikir kepada Allah agar diberikan keselamatan dan kesehatan[11]. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Anbiya ayat 83: “Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya: “(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang” (QS. al Anbiya [21]: 83)

Dengan kesabaran Nabi Ayub u dalam menjalani ujian dan cobaan dari Allah selama 18 tahun, Nabi Ayub u mendapatkan mukjizat dari Allah . Ia diberikan kesehatan setelah mandi dan minum dari air yang dianugerahi Allah . Setelah mendapatkan mukjizat dari Allah l, kehidupan Nabi Ayub u dan istrinya pun kembali diberkahi oleh Allah . Nabi Ayub u kembali dikaruniai anak dan harta yang berlimpah. Dan tak lupa, Nabi Ayub u kembali bersyukur kepada Allah atas berkah dan nikmat yang diberikan-Nya[12].

Dari kisah Nabi Ayub u, kita bisa mengambil sebuah kesimpulan bahwa, saat kita sedang memiliki harta kekayaan yang melimpah, janganlah kita menjadi pribadi yang sombong. Dan saat harta yang kita miliki diambil Allah l dan kita diberi cobaan yang bertubi-tubi, janganlah kita menyalahkan keadaan. Kita harus selalu sabar atas ujian yang diberikan Allah . Semoga dari kisah Nabi Ayub u ini kita bisa memetik sebuah pelajaran yang sangat berharga dalam hidup, yakni untuk selalu sabar ketika sedang mendapatkan cobaan dari Allah l dan semoga kita selalu bisa menjadi pribadi yang selalu mengamalkan sifat sabar dalam menjalani kehidupan.

Mutiara Hikmah

Allah l berfirman:

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah Yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (Q.S. Az-Zumar [39]: 10)

Marâji:

* Mahasiswa Prodi Hubungan Internasional ’20 FPSB UII

[1] Miskahuddin. Konsep Sabar dalam Perspektif Al-Qur’an, dalam Jurnal Ilmiah Al Mu’Ashirah Vol. 17, No. 2, Juli 2020, hal. 196-207.

[2] Ibid

[3] Ibid

[4] Ibid

[5] Ibid

[6] Ibid

[7] Yasmin, P. “Nabi Ayub dan Kisah Kesabaran yang Patut Diteladani”, 17 Oktober 2019, https://news.detik.com/berita/d-4748922/nabi-ayub-dan-kisah-kesabarannya-yang-patut-diteladani?_ga=2.21032508.606027907.1646098844-1733049408.1639552537.

[8] Ibid

[9] Ina, K. “Kisah Nabi Ayyub AS: Diuji dengan Sakit dan Ditinggalkan Keluarga”, 18 April 2021, https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5535530/kisah-nabi-ayyub-as-diuji-dengan-sakit-dan-ditinggalkan-keluarga

[10] Handayani, R. “Kesabaran Nabi Ayyub yang Diuji Hingga 18 Tahun”, 12 November 2021, https://www.republika.co.id/berita/r2g1zo430/kesabaran-nabi-ayyub-yang-diuji-hingga-18-tahun

[11] Yasmin, P. “Nabi Ayub dan Kisah Kesabaran yang Patut Diteladani”, 17 Oktober 2019,

[12] Ibid

Download Buletin klik disini

KISAH ISRA’ MI’RAJ

KISAH ISRA’ MI’RAJ

Oleh: Aisyah Qosim

 

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh,

Kisah isra’ mi’raj secara umum disebutkan dalam surat al Isrâ’ ayat 1 dan surat an-Najm ayat 1-18.

Allah berfirman: “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (Q.S. al-Isrâ’ [17]: 1)

Allah berfirman: “Demi bintang ketika terbenam, kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru, dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya), yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat, Yang mempunyai akal yang cerdas; dan (Jibril itu) menampakkan diri dengan rupa yang asli. sedang dia berada di ufuk yang tinggi. Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi, maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi). Lalu dia menyampaikan kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan. Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya. Maka apakah kamu (musyrikin Mekah) hendak membantahnya tentang apa yang telah dilihatnya? Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal, (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar”. (Q.S. an-Najm [53]: 1-18)

Di antara hadits shahih yang menyebutkan kisah isra mi’raj adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shahihnya, dari sahabat Anas bin Malik a. Dari Anas bin Malik a bahwa Rasulullah n bersabda: “Didatangkan kepadaku Buraaq – yaitu yaitu hewan putih yang panjang, lebih besar dari keledai dan lebih kecil dari baghal, dia meletakkan telapak kakinya di ujung pandangannya (maksudnya langkahnya sejauh pandangannya). Maka sayapun menungganginya sampai tiba di Baitul Maqdis, lalu saya mengikatnya di tempat yang digunakan untuk mengikat tunggangan para Nabi. Kemudian saya masuk ke masjid dan shalat 2 rakaat kemudian keluar . Kemudian datang kepadaku Jibril  ‘alaihis salaam dengan membawa bejana berisi  khamar dan bejana berisi air susu. Aku memilih bejana yang berisi air susu. Jibril kemudian berkata : “ Engkau telah memilih (yang sesuai) fitrah”.

Kemudian Jibril naik bersamaku  ke langit (pertama) dan Jibril meminta dibukakan pintu, maka dikatakan (kepadanya):“Siapa engkau?” Dia menjawab:“Jibril”. Dikatakan lagi: “Siapa yang bersamamu?” Dia menjawab:“Muhammad” Dikatakan:“Apakah dia telah diutus?” Dia menjawab:“Dia telah diutus”. Maka dibukakan bagi kami (pintu langit) dan saya bertemu dengan Adam. Beliau menyambutku dan mendoakan kebaikan untukku. Kemudian kami naik ke langit kedua, lalu Jibril ‘alaihis salaam  meminta dibukakan pintu, maka dikatakan (kepadanya):“Siapa engkau?” Dia menjawab: “Jibril”. Dikatakan lagi:“Siapa yang bersamamu?” Dia menjawab:“Muhammad” Dikatakan:“Apakah dia telah diutus?” Dia menjawab:“Dia telah diutus”. Maka dibukakan bagi kami (pintu langit kedua) dan saya bertemu dengan Nabi ‘Isa bin Maryam dan Yahya bin Zakariya shallawatullahi ‘alaihimaa, Beliau berdua menyambutku dan mendoakan kebaikan untukku.

Kemudian Jibril naik bersamaku  ke langit ketiga dan Jibril meminta dibukakan pintu, maka dikatakan (kepadanya):“Siapa engkau?” Dia menjawab:“Jibril”. Dikatakan lagi: “Siapa yang bersamamu?” Dia menjawab:“Muhammad” Dikatakan:“Apakah dia telah diutus?” Dia menjawab:“Dia telah diutus”. Maka dibukakan bagi kami (pintu langit ketiga) dan saya bertemu dengan Yusuf ‘alaihis salaam yang beliau telah diberi separuh dari kebagusan(wajah). Beliau menyambutku dan mendoakan kebaikan untukku. Kemudian Jibril naik bersamaku  ke langit keempat dan Jibril meminta dibukakan pintu, maka dikatakan (kepadanya):“Siapa engkau?” Dia menjawab:“Jibril”. Dikatakan lagi: “Siapa yang bersamamu?” Dia menjawab: “Muhammad” Dikatakan: “Apakah dia telah diutus?” Dia menjawab: “Dia telah diutus”. Maka dibukakan bagi kami (pintu langit keempat) dan saya bertemu dengan  Idris alaihis salaam. Beliau menyambutku dan mendoakan kebaikan untukku. Allah berfirman yang artinya : “Dan Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi” (Maryam [19]:57).

Kemudian Jibril naik bersamaku  ke langit kelima dan Jibril meminta dibukakan pintu, maka dikatakan (kepadanya):“Siapa engkau?” Dia menjawab:“Jibril”. Dikatakan lagi: “Siapa yang bersamamu?” Dia menjawab:“Muhammad” Dikatakan:“Apakah dia telah diutus?” Dia menjawab:“Dia telah diutus”. Maka dibukakan bagi kami (pintu langit kelima) dan saya bertemu dengan  Harun ‘alaihis salaam. Beliau menyambutku dan mendoakan kebaikan untukku.

Kemudian Jibril naik bersamaku  ke langit keenam dan Jibril meminta dibukakan pintu, maka dikatakan (kepadanya): “Siapa engkau?” Dia menjawab:“Jibril”. Dikatakan lagi: “Siapa yang bersamamu?” Dia menjawab: “Muhammad” Dikatakan: “Apakah dia telah diutus?” Dia menjawab:“Dia telah diutus”. Maka dibukakan bagi kami (pintu langit) dan saya bertemu dengan Musa. Beliau menyambutku dan mendoakan kebaikan untukku. Kemudian Jibril naik bersamaku  ke langit ketujuh dan Jibril meminta dibukakan pintu, maka dikatakan (kepadanya): “Siapa engkau?” Dia menjawab: “Jibril”. Dikatakan lagi: “Siapa yang bersamamu?” Dia menjawab, “Muhammad” Dikatakan, “Apakah dia telah diutus?” Dia menjawab, “Dia telah diutus”. Maka dibukakan bagi kami (pintu langit ketujuh) dan saya bertemu dengan Ibrahim. Beliau sedang menyandarkan punggunya ke Baitul Ma’muur. Setiap hari masuk ke Baitul Ma’muur tujuh puluh ribu malaikat yang tidak kembali lagi. Kemudian Ibrahim pergi bersamaku ke Sidratul Muntaha. Ternyata daun-daunnya seperti telinga-telinga gajah dan buahnya seperti tempayan besar. Tatkala dia diliputi oleh perintah Allah, diapun berubah sehingga tidak ada seorangpun dari makhluk Allah yang sanggup mengambarkan keindahannya.

Lalu Allah mewahyukan kepadaku apa yang Dia wahyukan. Allah mewajibkan kepadaku 50 shalat sehari semalam. Kemudian saya turun menemui Musa ’alaihis salam.  Lalu dia bertanya: “Apa yang diwajibkan Tuhanmu atas ummatmu?”. Saya menjawab: “50 shalat”. Dia berkata: “Kembalilah kepada Tuhanmu dan mintalah keringanan, karena sesungguhnya ummatmu tidak akan mampu mengerjakannya. Sesungguhnya saya telah menguji dan mencoba Bani Isra`il”. Beliau bersabda :“Maka sayapun kembali kepada Tuhanku seraya berkata: “Wahai Tuhanku, ringankanlah untuk ummatku”. Maka dikurangi dariku 5 shalat. Kemudian saya kembali kepada Musa dan berkata:“Allah mengurangi untukku 5 shalat”. Dia berkata:“Sesungguhnya ummatmu tidak akan mampu mengerjakannya, maka kembalilah kepada Tuhanmu dan mintalah keringanan”. Maka terus menerus saya pulang balik antara Tuhanku Tabaraka wa Ta’ala dan Musa ‘alaihis salaam, sampai pada akhirnya Allah berfirman:“Wahai Muhammad, sesungguhnya ini adalah 5 shalat sehari semalam, setiap shalat (pahalanya) 10, maka semuanya 50 shalat. Barangsiapa yang meniatkan kejelekan lalu dia tidak mengerjakannya, maka tidak ditulis (dosa baginya) sedikitpun. Jika dia mengerjakannya, maka ditulis(baginya) satu kejelekan”. Kemudian saya turun sampai saya bertemu dengan Musa’alaihis salaam seraya aku ceritakan hal ini kepadanya. Dia berkata: “Kembalilah kepada Tuhanmu dan mintalah keringanan”, maka sayapun berkata: “Sungguh saya telah kembali kepada Tuhanku sampai sayapun malu kepada-Nya”. (H.R Muslim 162).

Untuk lebih lengkapnya, silahkan merujuk ke kitab Shahih Bukhari hadits nomor 2968 dan 3598 dan Shahih Muslim nomor 162-168 dan juga kitab-kitab hadits lainnya yang menyebutkan kisah ini.

Mutiara Hikmah

Dari Abu Darda’ secara marfu’ disebutkan keutamaan shalat di Masjidil Aqsha,

وَالصَّلَاةُ فِي بَيْتِ الْمَقْدِسِ بِخَمْسِمِائَةِ صَلَاةٍ

“Shalat di Baitul Maqdis sama seperti mengerjakan lima ratus shalat.” (HR. Al-Bazar, Ibnu ‘Abdil Barr, Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, dan dihasankan oleh Al-Bazar).

Download Buletin klik disini

KEMULIAAN SIFAT QANÂ’AH

KEMULIAAN SIFAT QANÂ’AH

Oleh: Umi Sholehah

Alumni Prodi Pendidikan Agama Islam FIAI UII

 

Bismillâhi walhamdulillâh wash-shalâtu was-salâmu ‘ala rasûlillâh,

Sahabat pembaca yang berbahagia, akhir-akhir ini dunia maya sedang diramaikan dengan istilah flexing yang dilakukan oleh sejumlah orang-orang yang memiliki jutaan pengikut di  sosial medianya. Menurut Psikolog Indah Sundari Jayanti  Flexing atau pamer pada dasarnya menunjukkan adanya kebutuhan yang tinggi akan eksistensi diri. Faktor digital dan perkembangan zaman tentu turut mempengaruhi kebutuhan dan standar penilaian individu.[1] Namun sisi negatifnya ialah memaksakan diri untuk menunjukkan apa yang dimiliki meskipun itu di luar kemampuan diri sendiri. Hal tersebut dapat memunculkan sikap tidak pernah merasa cukup atas apa yang dimiliki.

Pada dasarnya manusia memiliki keinginan bersifat material yang tidak pernah merasa cukup. Hal tersebut wajar, namun keinginan yang tidak pernah merasa cukup dapat dinetralisasikan jika pondasi dalam menjalankan kehidupan kembali kepada  spiritulitas yang terdapat pada masing-masing seseorang.[2] Sifat tidak pernah merasa cukup pada materi ditakutkan dapat mengaburkan cara mencari materi yang bersifat halal dan haram. Oleh sebab itu, hendaknya manusia memiliki sifat merasa cukup atas apa yang dimiliki (qanâ’ah), karena sejatinya kebahagiaan batin ialah kebahagiaan hakiki yang harus dimiliki oleh seseorang. Dari  Abu Hurairah a, Nabi n bersabda: Bukanlah kekayaan itu karena banyaknya harta benda, tetapi kekayaan yang sesungguhnya ialah kekayaan hati.” (H.R. al-Bukhari dan Muslim)[3]

Muhammad bin ‘Ali at-Tirmidzi (W.279 H) menegaskan: “Qanâ’ah ialah kepuasaan jiwa atas rezeki yang dijatahkan kepadanya.” Dijelaskan bahwa qanâ’ah adalah menemukan kecukupan di dalam apa yang ada ditangan, dan tidak mengingkan apa yang tak ada di tangan.[4] Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa qanâ’ah ialah menerima, menyukuri dan merasa cukup dengan rezeki yang Allah berikan tanpa sedikitpun mengurangi usaha (ikhtiar) dalam proses mendapatkannya.

Aspek Sifat Qanâ’ah

Sifat qanâ’ah dapat tercapai jika seseorang memiliki beberapa aspek berikut dalam dirinya:

1. Berusaha secara maksimal dengan cara yang halal

Seseorang dapat dikatakan memiliki sifat qanâ’ah jika terlebih dahulu melakukan usaha atau ikhtiar secara maksimal dalam mencari rezeki. Bahkan al-Quran menyatakan bekerja adalah bagian dari ekspresi syukur, dalam firman Allah ﷻ“…bekerjalah wahai kelaurga Dawud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.” (QS. Saba’ [34]:13). Dalam hal ini maksud dari bekerja ialah menggunakan nikmat yang diperoleh sesuai dengan tujuan penciptaan atau penganugerahannya. Maka nikmat yang diperoleh menuntut penerimanya agar merenungkan tujuan dianugerahannya nikmat tersebut.[5]

2. Bertawakal

Menurut M.Quraish Shihab, tawakal bukan berarti penyerahan mutlak kepada Allah, namun penyerahan tersebut didahului dengan usaha manusiawi. Seorang muslim dituntut untuk berusaha, tetapi pada saat yang sama dituntut pula untuk berserah diri kepada Allah swt. Manusia harus berusaha dalam batas-batas yang dibenarkan, disertai dengan ambisi yang meluap-luap untuk meraih sesuatu. Akan tetapi, ketika gagal meraihnya, jangan meronta atau berputus asa serta meluapkan anugerah Tuhan yang selama ini diterima.[6] Sehingga bertawakal dapat memperkuat keimanan yang diiringi dengan sabar akan ketentuan Allah merupakan pondasi yang dapat melahirkan sifat qanâ’ah.

3. Bersyukur

Secara bahasa, syukur berasal dari kata “syakara” yang berarti pujian atas kebaikan dan penuhnya sesuatu. M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa kata “syukur” mengandung arti gambaran dalam benak tentang nikmat dan menampakkannya ke permukaan. Sedangkan menurut istilah syara’, syukur adalah pengakuan terhadap nikmat yang dikaruniakan Allah disertai dengna kedudukan kepada-Nya dan mempergunakan nikmat tersebut sesuai dengan tuntunan dan kehendak Allah.[7] Seorang yang qanâ’ah terhadap rezeki yang diterima niscaya akan bersyukur kepada Allah, sebaliknya ketika tidak memiliki rasa syukur hanyalah perasaan selalu merasa kurang.

Kemuliaan Orang  Bersifat Qanâ’ah

Diantara orang qanâ’ah ialah orang yang paling  bahagia, yakni orang yang tidak pernah iri terhadap orang lain. Nabi Muhammad ﷺ menyebutkan bahwa orang yang qanâ’ah  hidupnya akan bahagia. Dari ‘Abdillah bin ‘Amr bin ‘Ash, sesungguhnya Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya bahagia orang yang masuk Islam, diberi rezeki yang cukup, dan Allah jadikan orang yang qanâ’ah terhadap apa yang Allah berikan kepadanya.” (H.R.Muslim)[8]

Seorang dikatakan beruntung tatkala memperoleh apa yang diinginkan dan disukai serta selamat dari segala yang mendatangkan ketakutan dan kekhawatiran. Sejatinya manusia tidak mengetahui bahwa sesungguhnya kehidupan kekal ialah kehidupan akhirat yang memiliki nikmat sesungguhnya. Namun, karena gemerlap kehidupan dunia, maka manusia berlomba-lomba untuk menjadi orang yang berkuasa dan memiliki banyak harta. Padahal dunia hanyalah kesenangan yang sedikit dibandingkan kehidupan di akhirat. Hal tersebut termaktub dalam surat Ar-Ra’ad, Allah berfirman: “Allah melapagkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dan membatasi (bagi siapa yang Dia kehendaki). Mereka bergembira dengna kehidupan dunia, padahal kehidupan dunia hanyalah kesenangan (yang sedikit) dibanding kehidupan di akhirat”. (Q.S. ar-Ra’d [13]: 26)  

Maka, orang yang memiliki sifat qanâ’ah tidak akan takut dan khawatir dengan kehidupan setelah di dunia. Karena orang yang memiliki sifat qanâ’ah hidup dalam kesederhanaan dan tidak berlebihan atau dikenal dengan istilah zuhud. Menurut Hamka, zuhud ialah sikap jiwa yang tidak ingin secara berlebihan dan tidak cenderung terhadap harta. Zuhud bukan berarti tidak memiliki harta, namun zuhud bermaksud tidak dikendalikan oleh harta. Harta boleh dimiliki tetapi digunakan untuk perkara-perkara yang bermanfaat.[9] Wallāhul muwāffiq ilā aqwāmit-thāriqWallahu a’lam.

Mutiara Hikmah

Dari ’Ubaidillah bin  Mihshan  al-Anshary a dari Nabi n, beliau bersabda:

مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِى سِرْبِهِ مُعَافًى فِى جَسَدِهِ عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا

Barangsiapa di antara kalian mendapatkan rasa aman di rumahnya (pada diri, keluarga dan masyarakatnya), diberikan kesehatan badan, dan memiliki makanan pokok pada hari itu di rumahnya, maka seakan-akan dunia telah terkumpul pada dirinya.” (H.R. Tirmidzi no. 2346, Ibnu Majah no. 4141. Abu ’Isa mengatakan bahwa hadits ini hasan gharib).

Marâji:

[1] Indah Sundari Jayanti, dalam CNN, “Melihat Perilaku Flexing alias Pmaer Secara Psikologis”.

[2] M.Yatimin Abdullah, Studi Akhlak Dalam Perspektif Al-Quran, (Jakarta: Azmah,2007), Cet.1 , hal.1

[3] Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhari al-ـJa’fi, Shahih al-Bukhari, bab “al-Ghina ‘an an-Nafsi” Hadis No. 6446, (T. t: Dâr Thûq an-Najah, 1422 H), juz 9, h.. 95. Dan Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Shahih Muslim,bab “al[3]Gina ‘An Katsrati al-ardh”, Hadis No. 1051, (Beirut: Dâr ihyâ at-Turas al-‘Arabi) Juz. 5, hal. 726

[4] Al-Qusyairi, Risalah sufi, (Jakarta: Pustaka, 2003), hal. 107

[5] Tim Penulis Mushaf Al-Qur’an Spiritualitas Dan Akhlak (Tafsir Al-Qur’an Tematik), (Jakarta, Lajnah Pentashihan Al-Qur’an, 2010), cet. 1, hal. 403-404

[6] M. Quraish Shihab,Secercah Cahaya Ilahi, (Bandung: Mizan Pustaka, 2007), hal. 173-174.

[7] M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran: Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan, (Bandung: Mizan,1997), hal.215-221.

[8] Muslim bin Al-Hajjaj al Qusyairi an-Naisaburi, Shahih Muslim, bab “Fîl Kafâf wal Qanâ’ah” Hadis No. 1054, (Beirut: Dâr Ihyâ at-Turâts al-‘Arabî), Juz 5, hal. 730

[9]Abdul Rouf , Tafsir Al-Azhar: Dimensi Tasawuf  Hamka, hal. 142

Download Buletin klik disini

MEMAHAMI AYAT MUHKAMAT DAN MUTASYABIHAT

MEMAHAMI AYAT MUHKAMAT DAN MUTASYABIHAT

Oleh: Arviyan Wisnu Wijanarko

 

Al-Qur’an sebagai mu’jizat yang diturunkan oleh Allah ﷻ kepada manusia memiliki makna yang sangat luas sehingga manusia dituntut untuk lebih rajin dalam menggali setiap makna yang terkandung dalam al-Qur’an. Bagi orang-orang yang mendalam ilmunya, mereka mencari makna-makna yang tersembunyi di dalam al-Qur’an dan berkata “…kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semua itu dari sisi Tuhan kami” dan orang yang kurang dalam ilmunya dapat mengikuti dengan jelas ayat-ayat muhkamat yang terdapat di dalam al-Qur’an tanpa harus kebingungan mencari makna yang terkandung di dalamnya.

Dalam pembahasan kali ini akan berfokus untuk menjelaskan apa itu ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat di dalam al-Qur’an, bagaimana sikap kita dan apa hikmah yang terkandung di dalamnya.

Maksud dan tujuan tulisan ini tidak lain dan tidak bukan ingin memberikan sebuah faidah ilmu dan pemahaman tentang apa saja yang berhubungan dengan al-Qur’an agar lebih cinta dengan al-Quran dan dapat memahami ayat-ayat muhkamat wa mutasyabihat agar tidak terjerumus dalam ketidaktahuan dan mendapatkan hikmah serta barokah tentang ilmu-ilmu al-Quran.

Muhkamat

Apabila kita melihat dari segi bahasa, muhkam berasal dari kata ihkam yang artinya kukuh, sempurna dan pencegahan[1]. Kata al-muhkam dari hakamtu ad-dabbah wa ahkamtuha yang artinya adalah Saya memasang “hikmah” pada binatang itu, hikmah yang di maksud dalam hal ini adalah sebuah kendali yaitu agar binatang tersebut tidak menjadi lepas dan liar[2]. Dengan demikian yang dimaksud secara etimologi pengertian muhkam menjadi kendali yang telah ditetapkan dan dikukuhkan agar mencegah dari liarnya makna-makna.

Sedangkan dari sisi terminologi, muhkamat merupakan ayat yang secara maknanya jelas dan langsung bisa dipahami tanpa melalui ta’wil.

Pada umumnya ayat-ayat muhkamat terdiri dari ayat-ayat tentang tauhid yang mana menerangkan mengenai Esa-nya Allah ﷻ, ayat mengenai ibadah yang wajib dilakukan seperti zakat, shalat, puasa dan pergi haji.

Mutasyabihat

Mutasyabihat menurut etimologi berasal dari kata tasyabuh yang memiliki makna samar hingga hampir serupa. Adapun menurut terminologi adalah ayat yang memiliki banyak kemungkinan makna sehingga perlu kemampuan yang mendalam untuk menemukan makna yang tepat.

Ayat-ayat mutasyabihat tersebar di dalam al-Qur’an, contohnya seperti Surat Al-Fath 48:[10] “yadullah fauqa aydihim” yang artinya apabila diterjemahkan bebas “tangan Allah di atas tangan-tangan mereka”. Namun Allah ﷻ tidak serupa dengan makhluk yang memiliki tangan dan ulama sepakat bahwa tangan yang dimaksud di ayat tersebut di ta’wil-kan sebagai kekuasaan.

Dikategorikan sebagai ayat mutasyabihat adalah ayat tersebut memiliki maksud yang samar, kesamarannya tersebut dibagi menjadi tiga;[3] kesamaran dalam lafadz-nya yaitu kesamaran yang tidak dapat diketahui hakikatnya karena tidak lengkapnya penjelasan dalam ayat tersebut. Contohnya seperti “wainkhiftum allā tuqsithū fīl yatāmā fankiḥū mā thobalakum minan nisāi matsnā watsulātsa wa rubā’” yang artinya apabila kamu takut tidak dapat berlaku adil terhadap perempuan yatim, maka nikahilah Wanita yang kamu senangi dua, tiga atau empat”. Secara logika mengapa takut menikahi satu Wanita yatim malah disuruh untuk menikahi dua, tiga atau empat, oleh karena itu tidak lengkapnya lafadz tersebut dikategorikan sebagai ayat mutasyabihat, dan orang yang ilmunya mumpuni untuk menjawab ayat tersebut berpendapat bahwa yang dimaksudkan adalah “jika takut tidak mampu berlaku adil menikahi wanita yatim maka nikahilah wanita selain itu”.

Selanjutnya kesamaran dalam maknanya, dalam hal ini sebuah ayat memiliki makna yang lebih dari satu, seperti contohnya adalah surat Al-Fath 48:[10] yang dimaknai “yad” dalam arti bebas adalah tangan, namun para ulama sepakat bahwa yang dimaksud di sana “yad“ adalah kekuasaan Allah ﷻ

Kesamaran dalam lafadz dan maknanya. Contoh dari ayat ini terdapat dalam surat al-Baqarah 1:[189] “dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, tetapi kebajukan itu adalah kebajikan orang-orang yang bertakwa”. Hal yang tersingkap dari ayat ini adalah budaya Arab pada zaman jahiliah tidak masuk ke dalam rumah kecuali dengan membuat lubang galian dibelakang rumah tersebut saat Ihram.

Perbedaan Ulama

Ulama berbeda pandangan mengenai ayat-ayat dalam al-Qur’an. Sebagian ulama berpendapat bahwa seluruh ayat yang ada di al-Qur’an adalah ayat muhkam berdasarkan Surat Hud 11:[1] “kitābun uhkimats āyātuhu”suatu kitab yang ayatnya tersusun rapi”.

Pendapat kedua adalah seluruh ayat al-Qur’an adalah mutasyabihat berdasarkan surat Az-Zumar 39: [23] “Allahu nazzala aḥsanal ḥadītsi kitāban mutasyābiham matsniya taqsya’irru minhu julūdul ladzīna yakhsyauna rabbahum””Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik yaitu al-Qur’an yang serupa (kualitasnya) lagi berulang-ulang, gemetar kulit orang-orang yang takut kepada-Nya”.

Dan pendapat ketiga merupakan pendapat jumhur ulama yaitu berdasarkan ayat Ali Imran 3: [7] “huwal ladzi anzala ‘alaykal kitāba minhu muhkamātun hunna ummul kitabi ukharu mutasyābihāts…” “Dialah yang menurunkan Kitab al-Qur’an kepada kamu yang diantaranya ayat muhkamat itulah pokok isi al-Qur’an dan yang lain mutasyabihat”.[4]

Hikmah Ayat Muhkamat dan Mutasyabihat

Banyak hikmah yang dapat dipetik dari mempelajari al-Qur’an yang berkenaan dengan pembahasan ayat muhkamat dan mutasyabihat, antara lain, yaitu:

  1. Ayat muhkamat menjadi keuntungan bagi orang-orang yang memiliki keterbatasan bahasa Arab agar mudah memahami dan menuntut kehati-hatian untuk memahami ayat secara liar bagi ayat mutasyabihat untuk orang yang minim dalam berbahasa Arab.
  2. Ayat muhkamat dapat dengan mudah dipahami tanpa kebingungan dan menuntut agar seseorang lebih giat dalam mendalami ilmu al-Qur’an bagi yang ingin memecahkan ayat mutasyabihat.
  3. Ayat muhkamat memberikan kemudahan untuk menghayati maksud ayat dan ayat mutasyabihat memberikan gambaran kelemahan manusia, dengan ilmunya yang terbatas harus mencari maksud ilahi yang tersirat dalam sebuah ayat.

Kesimpulan

Al-Qur’an merupakan mu’jizat yang di dalamnya terkandung banyak sekali ilmu dan salah satunya adalah ilmu mengenai jenis-jenis ayat yaitu ayat muhkamat dan ayat mutasyabihat. Ayat muhkamat adalah ayat yang jelas maknanya dan pada umumnya berisi tentang keagungan Allah ﷻ serta ibadah, sedangkan mutasyabihat adalah ayat yang maknanya samar dan dibutuhkan ilmu dan ketakwaan lebih untuk menggali makna yang ada di dalamnya. Ulama berbeda pendapat mengenai ayat-ayat dalam al-Qur’an, ada yang berpendapat seluruhnya muhkamat, atau seluruhnya mutasyabihat, atau sebagian muhkamat sebagian mutasyabihat.

Setelah belajar mengenai ayat muhkamat dan mutasyabihat hendaknya kita bisa berhati-hati terlebih informasi mengenai “pencomotan ayat” secara bebas demi memenuhi hasrat individu yang mana belum tentu makna yang diinfokan sejalan dengan makna firman Allah ﷻ yang suci karena hanya secuil ilmu yang dimilikinya. “…kami beriman kepadanya (al-Qur’an), semua dari sisi Tuhan kami…” (Q.S. Ali Imran [3]: 7). Barakallahu fiikum.

Mutiara Hikmah

Allah berfirman :

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ.

“Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (Al Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (Q.S an-Nahl [16]: 89)

* Alumni Ahwal Syakhshiyyah FIAI UII, email: [email protected]

[1] Muhammad Rana. Muhkamat dan Mutasyabihat. https://sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/ filesdosen/modul/Pertemuan7070822.pdf. hal. 1

[2] Nova Yanti. Memahi Makna Muhkamat dan Mutasyabihat Dalam Al-Quran. Riau: Jurnal Pendidikan Al-Islah STAI Hubbulwathan Duri. Vol. 8, No. 2, 2016. Hal. 248.

[3] Iskandar, Ayat Muhkamat dan Mutasyabihat Dalam Prespektif Sosiologis. Jurnal Penelitian Agama Al-Mahbats. Vol. 5, No. 2, 2020. 279

[4] Asnawi. Muhkam Mutasyabih dan Teori Belajar. Bojonegoro: Jurnal Keislaman dan Pendidikan Attanwir STAI Attanwir. Vol. 13, No. 2, September 2020. Hal. 52

Download Buletin klik disini