MATEMATIKA DALAM AL-QUR’AN

MATEMATIKA DALAM AL-QUR’AN

Oleh: Nurul Syifa Azzahra*

 

Bismillâhi Walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘ala rasûlillâh,

Penyebutan ilmu matematika secara khsusus dalam al-Qur’an tidak disebutkan secara tersurat, namun disebutkan secara tersirat. Sebagaimana penyebutan bilangan-bilangan (angka) yang merupakan sebuah dasar dari matematika. Penyebutan angka-angka ini menunjukkan perhatian al-Qur’an terhadap bidang ilmu, khususnya matematika. Juga bukanlah secara kebetulan atau asal bunyi.  Semuanya telah ditetapkan dengan komposisi yang jelas dan akurat. Tidak ada  kesalahan sedikitpun. “Kitab (al-Quran) ini tidak ada keraguan di dalamnya dan ia menjadi petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa”. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 2).

Al-Qur’an ini mencakup segala tata aturan kehidupan, dan selalu dijadikan hujjah bagi segala hal yang berkaitan dengan ibadah ataupun yang lainnya. Al-Qur’an yang tiada keraguan didalamnya adalah petunjuk bagi manusia khususnya mereka yang beriman dan bertakwa kepada Allah l. Al Qur’an sebuah kitab suci agama Islam sebagai sumber pokok ajaran agama. Dengan demikian al-Qur’an sebagai kitab petunjuk bagi setiap insan untuk memperoleh kebahagiaan dan keselamatan hidup dunia dan akhirat.

 

Sumber Ilmu

Dalam al-Qur’an terdapat pentunjuk bagaimana manusia cara memperoleh ilmu pengetahuan. Ditemukan banyak ayat yang memberi isyarat kebenaran ilmu pengetahuan dan hakikat ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan itu ada dua  sumber, yaitu pertama ayat al-Matluwah (yang dapat dibaca) yakni al-Qur’an dan kedua ayat al-Majluwah (yang dapat dilihat) yakni alam semesta. Keduanya bersumber dari Allah l ayat al-Matluwah adalah firmannya dan ayat al-Majluwah adalah ciptaannya. Inilah hakikat ilmu pegetahuan yang tak terbatas.

Al-Qur’an dapat memberikan ilmu pengetahuan kepada manusia secara langsung, sebagaimana diberikan kepada para Nabi dan Rasul. Allah l memberikan ilmu pengetahuan kepada mereka yang bukan para Nabi dan Rasul melalui proses  pembelajaran dan aktualisasi potensi akal dan qalbu serta indera yang telah Allah l anugerahkan kepada manusia sejak lahir. Maka ilmu pengetahuan hendaknya di abadikan untuk Allah l, yaitu ketika seseorang yang berilmu maka seharusnya semakin bertambah ilmunya semakin bertambah keimanan dan ketakwaannya kepada Allah l.

Banyak ayat-ayat al-Qur’an memberikan petunjuk dan dorongan agar manusia menggunakan akal pikiran, hati, indera mata, telinga untuk memperoleh pemahaman dan pengetahuan. Hakikat ilmu pengetahuan dalam al-Qur’an adalah rangkaian aktivitas manusia dengan prosedur ilmiah baik melalui pengamatan, penalaran, maupun intuisi, serta mengandung nilai-nilai logika, estetika, hikmah, rahmah dan petunjuk bagi kehidupan manusia baik di dunia maupun di kemudian hari. al-Qur’an banyak mengandung nilai-nilai empirik serta isyarat yang diberikan pengetahuan baik melalui ayat-ayat tertulis yaitu al-Qur’an, maupun ayat-ayat yang terbentang luas dialam semesta beserta isinya.

 

Pengembangan Ilmu Pengetahuan

Allah l telah meletakkan garis-garis besar sains dan ilmu pengetahuan dalam al-Qur’an. Manusia hanya tinggal menggali dan mengembangkan konsep dan teori yang sudah ada. Antara ilmu pengetahuan dan al-Qur’an terdapat kaitan erat. Akan tetapi keterkaitan antara keduanya disesuaikan dengan porsi yang sesuai.

Al-Qur’an ini digunakan untuk mengembangkan matematika, misalnya dalam al-Qur’an terdapat bahwa al-Qur’an berbicara mengenai kelompok, golongan, atau kumpulan. Dalam al-Qur’an surat Fathir [35]: 1 dan surat An-Nur [24]: 45. Berdasarkan dua ayat tersebut terdapat dua konsep yang terkandung di dalamnya dan dapat dikembangkan lebih lanjut. Pertama, konsep mengenai kelompok atau kumpulan objek-objek dengan sifat tertentu yang disebut dengan himpunan. Kedua, konsep bilangan yang dalam masing-masing ayat tersebut dinyatakan dalam banyak sayap dan banyak kaki. Itu merupakan konsep yang berkaitan dengan himpunan. Himpunan adalah kumpulan objek-objek yang terdefinisi dengan jelas.[1]

 

Keajaiban Statistik

Al-Qur’an sendiri telah memberikan bukti konkret tentang statistika. Dalam al-Qur’an terdapat keajaiban statistik (statistical miracle) dalam penyebutan kata. Dalam masalah mengumpulkan data matematika yaitu mencatat atau membukukan data, al-Qur’an juga membicarakannya.[2]

Matematika digunakan untuk melaksanakan perintah-perintah Allah l yang termuat dalam al-Qur’an. Sebagai contoh, Matematika digunakan dalam konteks fikih, yaitu penentuan ukuran dua kulah, shalat, puasa, zakat, haji, dan pembagian harta waris (faraid). Matematikawan Muslim terdahulu mempelajari Matematika terutama untuk masalah faraid, pembuatan kalender, penentuan arah kiblat, perhitungan waktu shalat, penentuan nilai zakat, dan untuk muamalah lainnya. Matematika diajarkan dengan tujuan untuk digunakan dalam melaksanakan tugas penghambaan sekaligus tugas kekhalifahan.

Matematika diajarkan dalam rangka mengembangkan potensi intelektual sekaligus potensi spiritual. Penyebutan  اَفَلَا تَتَفَكَّرُوْنَ  (apakah tidak berpikir), اَفَلاَ تَعْقِلُونَ  (apakah tidak bernalar), dan اَفَلاَ تَذَكَّرُوْنَ  (apakah tidak belajar) mendorong manusia untuk mengembangkan potensi intelektualnya. Potensi intelektual tidak cukup karena al-Qur’an juga menyebutkan potensi spiritual untuk dikembangkan, misalnya pada Q.S Ali Imrân [3]: 13, Q.S. al-A’râf [7] :179, dan Q.S. al-Hajj [22]: 46. Otak (head/kognitif) dan hati (heart/afektif) dikembangkan melalui pembelajaran Matematika untuk menghasilkan amal saleh (hand/psikomotorik).

 

Matematika dan Kandungan Nilai-Nilai al-Qur’an

Matematika dikaitkan dengan kandungan nilai-nilai al-Qur’an. Matematika dilandasi nilai-nilai al-Qur’an untuk mengembangkan akhlaqul karimah dalam rangka mencipta manusia menjadi khairaummah yang diliputi ‘amilushshalihah. Nilai-nilai al-Qur’an diinternalisasi melalui Matematika. Kajian terkait internalisasi nilai Islami dalam Matematika telah dilakukan. Dilakukan internalisasi nilai-nilai al-Qur’an melalui materi aljabar. Strategi internalisasi yang dilakukan adalah; infusi (menekankan aspek nilai al-Qur’an yang ada dalam materi), analogi (melakukan analogi nilai kebaikan), uswah hasanah (menunjukkan perilaku yang patut dicontoh terkait matematika misalnya kejujuran, kesungguhan, ketepatan, ketaatan, dan ketelitian).[3]

Matematika merupakan ilmu yang berkembang sehingga pada zaman dahulu hanya ditemukan dasar-dasarnya saja tidak seperti zaman sekarang. Sejarah Matematika juga tidak banyak orang yang tahu sehingga sebagian orang menganggap Matematika bukan ilmu yang harus dipelajari oleh umat Islam, padahal pada masa kejayaan Islam, Matematika merupakan kajian yang sangat penting. Mengenai sejarah Matematika dapat dilihat bahwa para ilmuwan Muslim ikut berkontribusi dalam mempelajari dan mengembangkan Matematika. Salah satu ilmuwan yang paling terkenal adalah Al-Khawarizmi, ia dijuluki dengan gelar “bapak Aljabar” karena dia menemukan dasar Matematika dengan konsep yang mudah, penemu angka nol, dan penemu ilmu tertinggi dalam Matematika yaitu logaritma.

Matematika termasuk ilmu yang datang dari Allah l. Dalam al-Qur’an banyak ayat-ayat yang menunjukkan Matematika, yaitu mengenai bilangan, hubungan antara bilangan, dan prosedur operasional. Matematika sangat bermanfaat karena dapat membantu manusia dalam beribadah, yaitu salat, zikir, dan masalah faraid. al-Qur’an banyak menunjukkan fenomena “ketelitian” dan bukti untuk semua makhluk cerdas di alam semesta. Bukti bahwa al-Qur’an tidak tercampur oleh keinginan manusia. Sifat manusia dari Nabi Muhammad n tidak dapat menginterfensi al-Qur’an. Wa Allâhu a’lam bi ash shawwâb.[]

 

Mutiara Hikmah

Dari Ibnu Mas’ud a, Rasulullah n bersabda,

إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يُعْطِي الدُّنْيَا مَنْ يُحِبُّ وَمَنْ لَا يُحِبُّ، وَلَا يُعْطِي الدِّينَ إِلَّا لِمَنْ أَحَبَّ، فَمَنْ أَعْطَاهُ اللهُ الدِّينَ، فَقَدْ أَحَبَّه.

Sesungguhnya Allah memberikan dunia kepada hamba yang Dia cintai dan yang tidak Dia cintai. Namun Allah tidak memberi (ilmu) agama kecuali kepada orang yang Dia cintai. Karena itu, siapa yang Allah beri (ilmu) agama, berarti Allah mencintainya.” (H.R. Ahmad 3672, Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf 34545)

 

Marâji’:

* Mahasiswi Prodi Ilmu Kimia FMIPA

[1] Bush & Young, 1873: 2 Buku Digital

[2] Salah satunya disebutkan dalam al-Qur’an surat al-Kahfi [18]: 49

[3] Abdussakir dan Rosimanidar. T.t. Model integrasi Matematika dan Alquran serta praktik pembelajarannya. Buku Digital

 

File lengkapnya dapat di wonload pada link berikut ini

https://drive.google.com/drive/u/0/folders/10QT-ttKnIaEU-_mHl88M2SziCXxV5-SU

HIKMAH KEHIDUPAN

HIKMAH KEHIDUPAN

Oleh: Muhammad Khusnul Khuluq Talijiwa[1]

 

Makna Hikmah

Hikmah terambil dari kata “hakama” yang pada mulanya yang berarti menghalangi. Dari akar kata yang sama dibentuklah kata yang bermakna kendali, yakni sesuatu yang fungsinya mengantarkan kepada yang baik dan menghindarkan yang buruk.[2] Hikmah juga diartikan sebagai manfaat yang dapat kita ambil sebagai pelajaran dalam berbagai hal. Sebut saja hikmah kehidupan yang artinya adalah manfaat dari berbagai macam kejadian di kehidupan yang menimpa kita dan kemudian kita bisa mengambil pelajaran atas terjadinya kejadian-kejadian tersebut. Menilik dari sebuah pepatah Arab yang berbunyi.

مَنْ عَرَفَ اللّٰهَ أَزَالَ التُّهْمَةَ # وَقَالَ كُلُّ فِعْلِهِ بِالحِكْمَةِ

Barang siapa mengenal Allah, pasti ia menghilangkan buruk sangka pada-Nya. Dan Ia berkata bahwa di setiap perbuatan-Nya selalu disertai dengan hikmah”.

Disini dapat kita artikan bahwa di setiap kejadian pasti ada pelajaran yang terkandung didalamnya, dan tidak semua orang akan sadar akan hikmah tersebut karena hikmah memiliki makna yang sangat dalam.

Saya akan beri sebuah permisalan agar kita sama-sama mengerti dan dapat memahami. Di suatu pagi ada seorang anak yang terlambat bangun untuk pergi ke sekolah, kemudian ia menyalahkan ibunya karena tidak membangunkannya karena memang ia tinggal seorang diri dengan ibunya dan ayahnya telah lama meninggal. Sesampainya di kelas, spontan gurunya langsung menyuruhnya untuk pulang ke rumah tanpa mengikuti pembelajaran di sekolah. Mungkin sekilas anak itu marah hebat kepada ibunya dan ingin mencacinya sepulang sekolah, tetapi ternyata ia terkejut ketika hendak memasuki kamarnya. Ibunya yang sudah tua tergeletak di dapur karena terpeleset, lantas ia memanggil warga sekitar dan melarikannya di rumah sakit. Sekarang apa hikmah yang terkandung dalam cerita singkat tersebut? Sudah pasti apabila ia datang ke sekolah tepat waktu dan mengikuti pembelajaran sekolah hingga usai, ibunya tidak segera ditolong dan kemungkinan terburuknya bisa saja ibunya meninggal seketika.

 

Jangan Berandai-Andai  

Maka dari itu, kurangilah kata-kata yang menunjukkan bahwa kita sedang berandai-andai terhadap sesuatu karena itu menunjukkan bahwa kita tidak bersyukur terhadap pemberian dari Allah l yang secara tidak langsung akan menjadikan-Nya murka kepada kita. Ada satu hadits nabi yang menceritakan tentang pengandai-andaian ini. Rasulullah n bersabda: “Bersungguh-sungguhlah dalam hal-hal yang bermanfaat bagimu dan mohonlah pertolongan kepada Allah (dalam segala urusan), serta janganlah sekali-kali kamu bersikap lemah. Jika kamu tertimpa sesuatu (kegagalan), maka janganlah kamu mengatakan, ‘seandainya aku berbuat demikian, pastilah tidak akan begini atau begitu’. Tetapi katakanlah, ‘ini telah ditakdirkan oleh Allah dan Allah berbuat sesuai dengan apa yang dikehendaki’. Karena sesungguhnya perkataan ‘seandainya’ akan membuka (pintu) perbuatan setan”.(H.R. Muslim)[3]

Sebenarnya kata pengandaian disini memiliki hukum yang bermacam-macam tergantung kepada tujuan dari pengandaian tersebut. Apabila kita mengandai-andai terhadap musibah yang Allah l berikan, atau mengandai-andai bukan untuk kebaikan kita akan mendapatkan dosa dari pengandai-andaian tersebut. Tetapi apabila pengandai-andaian kita bertujuan untuk mendapatkan kebaikan maka kita akan mendapatkan ganjaran pahala dari pengandai-andaian tersebut. Dan yang banyak kita lakukan sebagai manusia adalah pengandai-andaian terhadap takdir Allah l yang diberikan kepada kita terkhusunya terkait dengan musibah.

Apakah kita menyadarinya? Mungkin terkadang kita tidak sadar ketika mengatakannya karena terlalu larut dalam kesedihan. Seperti kecelakaan yang terjadi, baik itu kecelakaan kecil maupun besar. Tiba-tiba sempat terbesit dalam benak kita “Andai saja tadi saya tidak pergi ke pasar”, memang perkataan ini remeh tetapi dapat menimbulkan murka Allah l. Karena secara tidak langsung kita protes terhadap takdir yang diberikan oleh Allah l, apa salahnya kita mensyukuri musibah tersebut dengan selalu mengambil pelajaran di setiap kejadian kehidupan ini. Tidak mungkin keadaan berubah setelah kita berandai-andai justru dengan itu kita bisa mendapatkan dosa besar. Cukuplah untuk selalu percaya bahwa Allah l akan mengganti kesyukuran kita dengan hal yang lebih baik, entah di dunia ataupun kelak di akhirat.

 

Ucapan Orang Munafik

Bahkan telah diceritakan dalam al-Qur’an tentang orang-orang munafik yang berandai-andai dalam tragedi perang Uhud. Sebagaimana firman Allah l dalam surah Ali ‘Imrân ayat 168 yang berbunyi: Orang-orang (munafik) yang mengatakan kepada saudara-saudaranya dan mereka tidak turut pergi berperang: “Sekiranya mereka mengikuti kita, tentulah mereka tidak terbunuh”. Katakanlah: “Tolaklah kematian itu dari dirimu, jika kamu orang-orang yang benar”.(Q.S. Ali’Imrân [3]:168)

Ada cerita unik ketika terjadinya peperangan Uhud yang berkisah tentang mereka (orang-orang munafik) yang berandai-andai jikalau saudara mereka tidak ikut berperang bersama nabi Muhammad n tentu mereka tidak akan terbunuh di medan perang sebagaimana kenyataan yang terjadi. Karena memang tidak bisa dipungkiri bahwa manusia memiliki sifat suka mengeluh terhadap hal-hal yang tidak mereka sukai, itu memang fitrah manusia.

Bahkan Allah l sudah menceritakan semua itu dalam al-Qur’an, sebagaimana tertulis dalam surah al-Ma’ârij ayat 19-25 yang berbunyi: “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah. Dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir. kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat. Yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya. Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu. bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta)”.(Q.S. al-Ma’ârij [70]: 19-25)

Allah l telah menjelaskan dalam firman-Nya bahwa manusia memang diciptakan dengan sifat suka mengeluh ketika ditimpa musibah tetapi pelit setelah mendapat kebaikan. Kecuali mereka yang senantiasa menjaga sholatnya dan memberikan hartanya kepada yang berhak. Lagi-lagi disini sholat sangat berperan penting untuk menjaga kebiasaan manusia yaitu mengeluh, karena mereka yang selalu sholat pasti tahu dan sadar apabila Allah l senantiasa berada di dekat mereka sehingga meskipun mereka ditimpa musibah dan keburukan, tetap saja bersyukur kepada-Nya.

 

Hikmah Kehidupan

Kembali ke hikmah kehidupan, sebenarnya pelajaran-pelajaran yang dapat kita ambil dari berbagai macam kejadian bisa kita jadikan sebagai acuan dasar untuk bertindak dalam keseharian. Bahkan musibah yang didapat oleh tetangga juga bisa kita jadikan pelajaran, seperti ketika mereka kemalingan. Pada akhirnya kita bisa antisipasi agar tidak terjadi hal serupa tersebut di rumah kita. Dan dari sini juga kita bisa menjadi pribadi yang bijak dalam menentukan tindakan sehari-hari, kita menjadi lebih berhati-hati lagi dan tidak ceroboh.

Sekian panjang lebar terkait Islam dan kepribadian para pemeluknya, kemudian saya akan melanjutkan pembahasan seputar segala sistem kehidupan yang beredar di sekitar kita yang tentunya kita akan berfikir tentang bagaimana jika sistem-sistem tersebut kita rubah dengan sistem yang diajarkan oleh Islam.

 

Mutiara Hikmah

Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash c berkata: ‘Aku telah mendengar n bersabda:

كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ – قَالَ – وَعَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ.

 “Allah telah menuliskan takdir makhluk-makhluk 50 ribu tahun sebelum menciptakan langit dan bumi dan Asy-Nya di atas air”. (H.R. Muslim)

Marâji:

[1] Mahasiswa Prodi Arsitektur FTSP UII

[2] Muhammad Quraish Shihab. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an. Vol I. Jakarta: Lentera Hati, 2002. hal.327

[3] أبي معاذ طارق بن عوض الله بن محمد، جامع المسائل الحديثية، طارق 5 (القاهرة : دار ابن عفان، 2006)، 308

 

File lengkapnya bisa di download pada link berikut ini

https://drive.google.com/drive/u/0/folders/1EyIbOfGHD7gUFyqzsLeVbeUnHPFherbP

AMALAN-AMALAN SEDERHANA PENGANTAR MASUK SURGA

AMALAN-AMALAN SEDERHANA PENGANTAR MASUK SURGA

Oleh: Uun Zahrotunnisa[i]

 

Bismillâhi Walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘ala rasûlillâh,

Allah l merupakan dzat Yang Maha Kekal, berbeda dengan seluruh ciptaan-Nya yang bersifat fana (sementara). Semua yang hidup tentu akan mati silih berganti. Siklus yang biasa terjadi, namun masih banyak orang yang tidak siap jika apa yang dimiliki akan diminta kembali oleh sang Ilahi Rabbi bahkan raganya sendiri. Ketika lisan manusia mudah untuk mengatakan “segala sesuatu adalah milik Allah dan akan kembali kepada-Nya” tetapi tidak demikian dengan hati. Rasa takut kerap menyelimuti tiap kali seseorang dihadapkan pada sebuah kematiaan hal ini dikarenakan semasa hidup manusia lengah oleh tipu daya setan yang menyuguhkan gemerlap keduniawian dan membuat lupa akan esensi hidup yang sebenarnya yaitu beribadah. Setelah dicabutnya ruh dari raga maka fase selanjutnya adalah manusia akan dimintai pertanggung jawaban atas umur yang digunakan selama hidup di dunia, habis karena hal yang bermanfaat atau sia-sia begitu saja. Jika amal ibadahnya selama di dunia hanya digunakan untuk menuruti hawa nafsu dan menganggap perbuatan tersebut baik maka orang itu termasuk kedalam golongan orang-orang yang merugi seperti halnya firman Allah l di dalam Q.S. al-Kahfi [18]: 103-104.[i]

 

Luruskan Niat

Menurut kutipan ayat diatas kita dapat direlevansikan dengan keadaan saat ini dimana setiap kesibukan yang dilakukan oleh manusia belum tentu juga memberikan manfaat bagi kehidupan di akhirat. Kita tentu sering mendengar di dalam forum baik diskusi, kajian sampai khutbah bahwa asal dari semua perbuatan itu adalah niat. Niat melakukan sesuatu jika pada awalnya disandarkan pada kehidupan dunia saja, niscaya kesuksesan dan kebahagiaan hanya akan diperoleh di dunia. Berbeda halnya jika perbuatan yang diniatkan untuk dunia serta akhirat, maka Insya Allah akan mendapat kebahagiaan kedua-duanya. Sebab jika kita lihat lebih dekat tentang amalan-amalan yang dikerjakan oleh seseorang selama hidup pada akhirnya setelah kematian hanya ada tiga perkara yang tidak terputus yaitu amal jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan do’a anak sholeh. Usaha dan kerja keras yang dilakukan selama duni demi mengumpulkan pundi-pundi uang dan harta berharga tidaklah dibawa mati. Oleh sebab itu perkara amal jariyah merupakan salah satu urgensi yang menjadi tanggung jawab dari masing-masing pribadi, bukan berarti perkara yang lain luput dari perhatian melainkan tetap memiliki peranan penting untuk selalu diingat untuk bekal kehidupan selanjutnya.

 

Kiat-kiat Masuk Surga

Semua orang tentu berharap masuk surga, namun perlu diingat harapan tidak sekedar keinginan semata tanpa adanya usaha nyata. Contohnya jika ada seorang mahasiswa yang ingin lulus dengan predikat cumlaude maka artinya mahasiswa tersebut harus bekerja keras dan pantang menyerah dalam belajar agar bisa mewujudkan cita-cita tersebut. Sama halnya dengan urusan akhirat, seorang muslim jika ingin masuk surga dan mendapatkan ridha dari Allah l. Maka ia harus senantiasa taat melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Perbuatan sederhana yang menjadi amal shalih bagi seseorang bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, dan tidak harus menunggu waktu luang dan rezeki yang lapang adalah sebagai berikut:

  1. Taat kepada Allah l.

Derajat seseorang tidak ditentukan oleh harta, pangkat dan jabatan selama di dunia, melainkan ketakwaaannya kepada Allah l. Sebagai zat yang Maha Agung. Allah l. Mengetahui atas segala sesuatu yang terjadi pada diri hamba-Nya bahkan yang tidak terlihat sekalipun. Seharusnya hal ini memberikan keyakinan kepada diri kita untuk selalu

bermuhasabah dan berusaha melaksanaan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Takut kepada Allah l, juga memberikan dorongan kepada manusia untuk selalu mengerjakan amal shalih. Dalam Q.S. Ali Imran [3]: 136 dijelaskan orang yang termasuk dalam kategori takwa adalah sebagai berikut:

  1. Selalu memohon ampun kepada Allah l.
  2. Bershadaqah ketika lapang maupun sempit.
  3. Mampu menahan amarah.
  4. Mudah memaafkan kesalahan orang lain.

 

  1. Tolong menolong sesama manusia

Saling membantu sesama makhluk hidup khususnya manusia merupakan salah satu dari sekian banyak amal shalih yang dianjurkan oleh agama Islam, bahkan Allah l firman,  “Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksaan-Nya.” (Q.S. Mâ’idah [5]: 2)[i]

Dewasa ini sikap tolong-menolong harus lebih sering dibiasakan sebab dengan perubahan zaman yang semakin modern mengharuskan seseorang untuk tanggap terhadap kemajuan teknologi yang merubah pola perilaku manusia berpotensi memiliki sikap apatis. Esensi tolong menolong terkikis seiring perubahan zaman mendorong kita untuk terus melestarikan rasa kepedulian terhadap sesama. Selain itu dari kutipan ayat diatas Allah l. menyeru kepada seluruh makhluknya untuk tolong- menolong dalam kebaikan, karena dengan kebaikan Allah l  akan menurunkan Ridha-Nya.[ii]

 

  1. Memuliakan Orang Tua

Berbuat baik kepada orang tua dan memuliakannya merupakan kewajiban seorang anak. Sebab orang tua merupakan wasilah Allah l. menumbuhkan seorang anak untuk menjadi dewasa dan dapat mengenal Allah l. kemudian beribadah kepada Nya. Birr al-Walidain menjadi tanggung jawab seumur hidup bagi seorang anak kepada orang tua sebab, kasih sayang dan segala sesuatu yang dibutuhkan seorang anak yang telah diberikan orang tua tidak akan pernah terbayarkan.[iii] Sehingga memperlakukan orang tua dengan berbuat baik merupakan keniscayaan seorang anak, setelah beriman kepada Allah l. Perintah berbuat baik kepada orang tua dipertegas dalam surat Luqman ayat 14, Allah l berfirman: “Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu” (Q.S. Luqman [31]: 14)

Memuliakan orang tua tidak hanya dilakukan selama mereka masih hidup di dunia, melainkan ketika mereka sudah meninggal dunia. Wujud memuliakan orang tua ketika sudah meninggal adalah dengan membacakan al-Qur’an serta mendo’akan keduanya.

 

Mutiara Hikmah 

Dari Amirul Mukminin Abu Hafsh Umar bin al-Khaththab a, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah n bersabda: “Sesungguhnya setiap amal itu (tergantung) pada niatnya, dan sesungguhnya seseorang ituhanya mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkannya. Barang siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya (dinilai) karena Allah dan Rasul-Nya…” (H.R. Bukhari, kitab Bad’i al-Wahyi, hadits no. 1, kitab al-Aiman wa an-Nudzur, hadits no. 6689 & H. R Muslim, kitab al-Imarah, hadits no. 1907)

[i] Mahasiswi Program Studi Ahwal Syakhsiyyah Fakultas Ilmu Agama Islam UII angkatan 2019

[i] K. A. RI, Alqur’an Terjemahan dan Tajwid. Bandung: Yayasan Darul Qur’an Nusantara, 2014.

[ii] S. Delvia, “Mengulas Tolong Menolong Dalam Perspektif Islam,” PPKn dan Huk., vol. 14, no. 2, hal. 113, 2019.

[iii] N. I’anah, “Birr al-Walidain Konsep Relasi Orang Tua dan Anak dalam Islam,” Bul. Psikol., vol. 25, no. 2, hal. 114–123, 2017, doi: 10.22146/buletinpsikologi.27302.

[i] K. A. RI, Al-Qur’an Terjemahan dan Tajwid, 1 ed. Bandung: Sygma Creative Media Corps, 2014.

 

File lengkapnya bisa di download pada link berikut ini

https://drive.google.com/drive/u/0/folders/1zpc9k3pqnJ5ggzjlL7eMNvqeyPNWFECh

HUTANG DAN PENTINGNYA DICATAT

HUTANG DAN PENTINGNYA DICATAT

Oleh:  Uyu Fauziah, SH.

Alumnus Program Studi Hukum Islam FIAI UII

 

Pembaca yang semoga selalu dirahmati oleh Allah l. Zaman yang semakin desruptif  memang menandakan keberadaban yang semakin maju. Kebutuhan sekunder sekalipun pada  zaman saat ini menjadi hal yang tidak bisa dilewatkan juga, nyaris seperti kebutuhan primer,  sehingga menuntut orang-orang yang berkemampuan rendah juga harus memiliki kebutuhan  yang sekunder tersebut.

Penggunaan handphone misalnya. Di masa pandemi Covid-19  penggunaan handphone apalagi bagi anak-anak sekolah daring sangat diharuskan. Padahal  handphone adalah kebutuhan sekunder. Sehingga orang yang tidak mampu beli handphone  harus berhutang dan yang tidak mampu beli paket internet juga harus hutang. Maka dengan  demikian walaupun kebutuhannya sekunder, tetapi harus tetap terpenuhi, yaitu dengan cara  berhutang.

Hukum hutang-piutang sendiri adalah mubah, meminjamkan hukumnya sunah  mu’akad, bisa wajib apabila yang meminjam dalam keadaan amat terdesak. Dan haram  hukumnya apabila yang memberikan hutang meminta tambahan syarat-syarat tertentu dalam  mengembalikan hutang. Namun perlu diingat, hutang sedikit maupun banyak penting untuk  dicatat, karena sifat manusia yang sering lalai dan tidak mau ada kerugian antara pihak yang  berhutang maka penting untuk dicatat.

 

Apa Itu Hutang? 

Para pembaca yang semoga selalu dirahmati oleh Allah l.Apabila ditanya apa itu hutang  pasti sudah tidak asing lagi dengan kata tersebut. Ada yang bilang bahwa janji adalah termasuk  hutang, kemudian ada yang memahami hutang adalah pemotongan sebagian hartanya kepada  orang lain yang membutuhkan agar dapat dikembalikan.

Menurut terminologi, hutang adalah memberikan sebagian harta yang dimiliki dan terdapat  klausula untuk dikembalikan serta dapat ditagih[1]. Dalam Islam hutang itu sendiri memiliki  dasar hukum dalam al-Quran dalam surat al-Baqarah ayat 245,.

Allah l berfirman, “Barangsiapa yang mau memberikan pinjaman kepada Allah dengan pinjaman yang baik.  Maka Allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan pelipatan yang banyak.  Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rizki) dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan”  (Q.S. al-Baqarah [2]:245)

Menilik dari hukum positif, hutang merupakan sesuatu yang muncul dari sebuah  perikatan atau perjanjian. Oleh sebab itu Soedewi Sofwan menyebutkan istilah Belanda  verbiteniss sebagai perutangan, sebab menurutnya verbiteniss adalah suatu hubungan hukum  yang seseorang mengharapkan sesuatu prestasi (sikap berbuat sesuatu, tidak berbuat sesuatu,  memberikan sesuatu) dari orang lain.[2]

 

Rasulullah Memandang Utang 

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, hukum berhutang tergantung kondisi yang  memberikan hutang dan yang berhutang. Dari Abu Hurairah a, dari Nabi Muhammad  n bersabda: “Barangsiapa yang mengambil harta seseorang (berhutang) yang  bermaksud untuk membayarnya maka Allah akan melaksanakan pembayarannya tersebut. Dan  barangsiapa yang mengambilnya (berhutang) dengan maksud merusak (tidak mau membayar  dengan sengaja) maka Allah akan merusak orang itu” (H.R. Bukhari)

Rasulullah n memulai misi kesuksesan dalam dunia bisnis adalah dengan berhutang  terlebih dahulu kepada Khadijah x yang kelak menjadi istrinya[3] . Beliau  membawa beban barang-barang dagangan yang dipinjamkan dari Khadijah x untuk diperjualkan kemudian hasil penjualan dibagikan sesuai dengan akad.

Walaupun demikian Rasulullah n melarang para sahabatnya untuk memelihara hutang  ketika ingin berjihad. Sehingga sering kali Rasulullah n menyuruh para sahabatnya untuk  membayar hutang-hutangnya sebelum melakukan jihad. Hal ini tidak terlepas dari sabda  Rasulullah n dari ‘Abdillah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, Rasulullah n bersabda, “Semua dosa orang yang mati syahid akan diampuni kecuali hutang.” (H.R. Muslim no. 1886). Juga Rasulullah n tidak mau men-shalatkan jenazah yang diketahui memiliki hutang.

Sehingga sebisa mungkin apabila memiliki kemampuan membayar atau apabila memiliki  kemampuan untuk menahan diri dari hutang sebaiknya menjauhi diri dari hutang. Karena  hutang membuat seseorang banyak pikiran di malam hari dan membuatnya hina di siang hari.

 

Pencatatan Utang 

Allah l berfirman,“Wahai orang-orang yang beriman. Apabila kamu melakukan hutang-piutang untuk  waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di  antara kamu menuliskan dengan benar. Janganlah penulis menolak menulisnya sebagaimana  Allah telah mengajarkan kepadanya, maka hendaklah dia menuliskan…” (Q.S. al-Baqarah [2]: 282)

Ayat ini berbicara mengenai pencatatan hutang-piutang baik kecil maupun besar  hendaknya dicatat. Guna dari pencatatan hutang ini adalah untuk menghindari perselisihan,  keadilan dan sebagai bukti apabila dari salah satu pihak telah ada yang berdusta.

Hendaknya dalam pencatatan hutang ini menunjuk seorang penulis diantara yang  berhutang dan penulis ini harus bertakwa kepada Allah l dan bersikap adil. Dan janganlah  orang yang ditunjuk tersebut menolak untuk menulis karena pandai menulis adalah anugrah  dari Allah l.Dalam tafsir jalalayn menyebutkan bahwa orang yang diberikan ilmu lebih oleh Allah l untuk menulis hutang-piutang tersebut jangan kikir untuk menuliskannya karena tidak semua  orang diberikan kemampuan untuk menulis khususnya dibidang hutang-piutang.[4]

Dalam hal hutang-piutang juga membutuhkan saksi-saksi agar apabila ada kecurangan  dalam hal pencatatan maka keterangan para saksi bisa menjadi alat bukti yang mendukung alat bukti catatan hutang. Hendaknya saksi-saksi lebih dari satu orang yang fungsinya menurut Quraish Shihab adalah untuk saling mengingatkan apabila salah satu saksi lupa. Betapa pentingnya pencatatan hutang ini untuk keberlangsungan baik dalam hubungan  baik selanjutnya antara yang berhutang dan menghutangkan juga menjalankan bentuk syariat  Allah l. Pencatatan hutang hendaknya dilakukan baik hutang tersebut memiliki besaran yang  kecil atau besar, baik dalam bentuk benda atau perbuatan janji.

Apabila ditilik dari surat al-Baqarah ayat 282 tersebut juga sudah jarang yang  mengimplementasikan kegiatan tersebut, walaupun demikian penulis memiliki saran agar  apabila memiliki hutang dan mencari petugas pencatat hutang maka datangi saja Notaris. Selain  memiliki ilmu yang lebih, Notaris juga adalah pejabat yang dituntut adil oleh negara. Apabila  tidak memiliki cukup uang untuk membayar Notaris maka Notaris juga harus memberikan bantuan cuma-cuma sesuai dengan pasal 37 ayat 1 UUJN. Dan carilah Notaris yang taat kepada  Allah  l karena pasti melakukan hal yang dikutip oleh surat al-Baqarah ayat 282 tersebut. Wa Allâhu a’lam.[]

 

Mutiara Hikmah

Dari Shuhaib al Khair, Rasulullah n bersabda,

أَيُّمَا رَجُلٍ يَدَيَّنُ دَيْنًا وَهُوَ مُجْمِعٌ أَنْ لاَ يُوَفِّيَهُ إِيَّاهُ لَقِىَ اللَّهَ سَارِقًا

Siapa saja yang berhutang lalu berniat tidak mau melunasinya, maka dia akan bertemu Allah (pada hari kiamat) dalam status sebagai pencuri.” (H.R. Ibnu Majah no. 2410. Syaikh al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)

 

Marâji’:

[1] Isnaini Nurkomariah. Konsep Hutang Menurut Ibnu Taimiyah dan Muhammad Syarif  Chaudry. Bengkulu: Program Studi Ekonomi Syariah Fakultas Syariah dan Ekonomi  Islam IAIN Bengkulu. 2015. Hal. 16.

[2] Marthasia Kusumaningrum. Perkembangan Pengertian Utang Menurut Undang-Undang  Kepailitan Indonesia. Semarang: Program Studi Magister Kenotariatan Program  Pascasarjana Universitas Diponegoro. 2011. Hal. 50.

[3] Ady Cahyadi. Mengelola Hutang Dalam Prespektif Islam. Jakarta: Jurnal Bisnis dan  Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah. Vol.4, No. 1, April  2014. Hal. 70.

[4] tafsirq.com/2-al-baqarah/ayat-282#tafsir-jalalayn (diakses 17 Oktober 2021 Pukul 19.21)

MANFAAT DZIKRULLÂH

MANFAAT DZIKRULLÂH

Oleh: Umi Sholehah

Alumnus Program Studi Pendidikan Agama Islam FIAI UII

 

Bismillâhi walhamdulillâh wash-shalâtu was-salâmu ‘ala rasûlillâh,

Pengertian Dzikir

Sahabat yang dirahmati oleh Allah l, dzikir sebagaimana shalat merupakan media berkomunikasi dengan Allah l. Secara etimologi, dzikir berasal dari bahasa Arab yakni “dzakara-yadzkuru-dzikran” yang memiliki arti menyebut, mengingat, memperhatikan, mengenang, mengambil pelajaran, mengenal, dan mengerti.[1] Dzikir merupakan gerbang utama dalam muraqabatullah.

Dari pengertian tersebut terdapat dua pengertian dzikir yang perlu digaris bawahi. Pertama, dzikir dapat diartikan sebagai “ingat”. Ingat disini merujuk pada ingat kepada Allah l,  pencipta seluruh alam semesta beserta isinya. Kedua, dzikir dapat diartikan sebagai “menyebut nama Allah”. Arti dzikir sebagai “ingat” telah dijelaskan dalam salah satu ayat dalam al-Quran yaitu, “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscahya aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 152).

Seseorang dapat disebut berdizkir manakala ia dalam kondisi ingat kepada Allah l  meskipun tidak duduk bersila maupun menghadap kiblat seperti dzikir setelah shalat. Pada prakteknya dzikir dalam arti “ingat” tidak terbatas ruang, waktu dan tata cara tertentu. Oleh sebab itu, dimanapun dan bagaimanapun kondisinya kita dapat merasakan kehadiran-Nya. Tidak seperti shalat yang terikat dengan ketentuan waktu, dzikir dapat dilakukan dimanapun, kapanpun dan dalam keadaaan bagaimanapun juga. Maka, dzikir dalam arti “ingat” dapat dikatakan sebagai kesadaran berketuhanan yang berkaitan dengan seluruh aktivitas manusia.

Dzikir dalam pengertian kedua yakni “menyebut nama Allah” telah dijelaskan dalam al-Quran yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama Allah), dzikir yang sebanyak-banyaknya.”(Q.S. Al-Ahzab [33] : 41).

Berdasarkan pengertian diatas, dapat disimpulkan dzikir adalah upaya menghubungkan diri secara langsung kepada Allah l dalam situasi, kondisi, dan tidak terbatas waktu dengan cara mengingat dan menyebutkan nama-nama Allah maupun memadukan keduanya secara simfoni.

Pembagian Dzikir

Menurut Usman Said Sarqawi, terdapat dua macam dzikir yaitu dzikir dengan lisan dan dzikir dengan hati (mengingat Allah dengan hati), terutama ketika seseorang mendekati maksiat.[2] Dzikir lisan dapat dipahami sebagai dzikir yang dilakukan dengan lidah dan bersuara keras (jahr). Sedangkan dzikir hati dilakukan dengan tidak bersuara (khafi) yakni mengingat sepenuhnya kepada Allah l dengan hati yang selalu mengucap atau menyebut nama Allah di manapun berada.[3]

Dzikir hati lebih utama dibandingkan dengan dzikir lisan. Pernyataan tersebut didasarkan pada hadits Nabi Muhammad n, “Sebaik-baik dzikir adalah yang khafi (hati) dan sebaik-baik rezeki adalah yang mencukupi.”[4] Selain itu terdapat pula sabda Nabi Muhammad  n,,“Dzikir yang tidak didengar oleh orang-orang yang mengintai mengungguli dzikir yang dapat didengar oleh orang-orang yang mengintai dengan tujuh kali lipat.”[5] Melalui penjelasan tersebut dzikir khafi atau dizkir dengan hati dapat lebih mulia karena terhindar dari riya’.

Disisi lain dzikir lisan lebih utama seperti membaca al-Quran, karena membaca al-Qur’an  termasuk dzikirullah yang mulia. Nabi n bersabda, “Keutamaan kalam Allah dibandingkan ucapan yang lain, seperti keutamaan Allah dibandingkan makluk-Nya.” (H.R. Turmudzi 3176 dan ad-Darimi 3419).

Manfaat Dzikir

Implikasi dari dzikir ialah timbulnya suatu kesadaran jiwa yang mengingat adanya dan hadirnya Allah dalam diri manusia sebagai satu kesatuan yang utuh dalam menjalankan kehidupan. Dzikir diharapkan mampu menyentuh seluruh aspek kehidupan. Sebab kondisi kesimbangan jiwa dan rohani dalam hal iman seseorang selalu mengalami fluktuasi. Maka untuk menjaga stabilitas dan meningkatkan keimanannya, dibutuhkan suatu media untuk selalu mengingat Allah n yakni dengan cara berdzikir.

Pengaruh yang ditimbulkan dari konsistensi berdzikir akan mampu mengontrol kehidupan sehari-hari. Orang  yang berdzikir akan mengalami ketenangan batin dalam hatinya, merasa bersyukur terhadap segala kenikmatan duniawi yang telah diberikan oleh Allah l. Selain itu, urgensi dzikir bagi seorang muslim ialah mendatangkan kebahagiaan, mewujudkan prasangka baik kepada Allah l, memelihara diri dari kecemasan dan  membentengi diri dari perbuatan dosa, memperoleh  penjagaan malaikat, mendapatkan ampunan  dan ridha dari Allah l, mencapai derajat yang  tinggi di sisi Allah l, menghasilkan kemuliaan dan kehormatan, serta dikasihi oleh para nabi dan para mujahidin.[6]

Berdzikir merupakan kelezatan bagi orang-orang benar-benar mengenal Allah. Allah l  berfirman, “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (Q.S. ar-Ra’du [13]: 28)

Ada keutamaan berdzikir saat orang-orang itu lalai. Abu ‘Ubaidah bin ‘Abdullah bin Mas’ud berkata, “Ketika hati seseorang terus berdzikir pada Allah maka ia seperti berada dalam shalat. Jika ia berada di pasar lalu ia menggerakkan kedua bibirnya untuk berdzikir, maka itu lebih baik.”[7] Di sini dinyatakan lebih baik karena orang yang berdzikir di pasar berarti berdzikir di kala orang-orang lalai. Para pedagang dan konsumen tentu lebih sibuk dengan tawar menawar mereka dan jarang yang ambil peduli untuk sedikit mengingat Allah barang sejenak.[8]

Pelarian seseorang ketika sedang merasa hampa, sedih, sendiri dan tidak mengetahui arah  ialah dengan berdizkir. Tujuannya ialah untuk menuju suatu rahmat serta mendapat hidayah-Nya. Rahmat dan hidayah Allah hanya dapat dirasakan oleh mereka yang dibukakan cahaya dalam sanubarinya. Pembuka cahaya tersebut ialah dengan banyak berdzikir dalam situasi, kondisi dan waktu yang tidak terbatas.

Tunas yang tumbuh apabila tidak diberi pupuk maka akan layu. Demikian pula tunas hidayah yang harus terus dipupuk dan disirami dengan dzikir agar tumbuh dengan terarah serta memiliki iman yang kokoh. Iman yang kokoh tidak akan membuat seseorang menjadi goyah meski berhadapan dengan realitas kehidupan bermasyarakat  maupun menghadapi kemelut dalam dirinya sendiri. Wallāhul muwāffiq ilā aqwāmit-thāriqWallahu a’lam.

 

Mutiara Hikmah

Dari ‘Aisyah x berkata,

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – يَذْكُرُ اللهَ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ

“Rasulullah n selalu berdzikir (mengingat) Allah pada setiap waktunya.” (HR. Bukhari, no. 19 dan Muslim, no. 737)

 

Marâji:

[1] M. Afif Anshori, Dzikir Demi Kedamaian Jiwa: Solusi Tasawuf bagi Manusia Modern, ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hal. 116

[2] Usman Said Sarqawi, Zikrullah : Urgensinya dalam Kehidupan,terj. Cecep Alba, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2013), hal. 11

[3] Rizki Joko Sukomono, Psikologi Zikir, (Jakarta: Sri Gunting, 2008), hal. 12

[4] Hadits riwayat Imam Ahmad dan Baihaqi dari Sa’ad bin Abi Waqashra

[5] Hadits riwayat al-Baihaqi dari ‘Aisyahra.

[6] Ash-shiddiqi, T.M.H. Pedoman Dzikir dan Doa, (Jakarta : Bulan Bintang, 1971), hal. 34

[7] Lihat Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2: 524

[8]  Sumber https://rumaysho.com/25391-inilah-manfaat-dzikir-yang-luar-biasa-hadits-jamiul-ulum-wal-hikam-50.html

SEKELUMIT HIKMAH PERISTIWA KELAHIRAN NABI MUHAMMAD

SEKELUMIT HIKMAH PERISTIWA KELAHIRAN NABI MUHAMMAD n

Oleh: Isna Yunita*

*alumnus Program Studi Ahwal Al-Syakhsiyyah FIAI UII

 

Pembaca yang dirahmati Allah l, sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa kita semua merupakan umat Nabi Muhammad n, umat terbaik yang ada dimuka bumi yang dipilih Allah l, atas keagungan Nabi Muhammad n. Berbagai keistimewaan diberikan oleh Allah kepada Umat Nabi Muhammad n, bahkan Umat-umat terdahulu tidak merasakan semua keistimewaan itu sebelumnya. Hal yang perlu kita syukuri sebagai umat Nabi Muhammad n dan umat yang mengharap syafa’atnya dihari kiamat nanti. Disini penulis ingin mengajak pembaca untuk sama-sama melihat kembali peristiwa sebelum dan sesudah kelahiran baginda Nabi n, khususnya pada peristiwa gajah dan kisah Halimah ibu susuan Nabi Muhammad, dengan harapan pembaca dapat mengambil hikmah dari peristiwa-peristiwa tersebut.

 

Kelahiran Nabi Muhammad n

Nabi Muhammad n lahir di Makkah dari kalangan kabilah Quraisy, yakni kabilah yang paling mulia, suci da mulia pada saat itu, beliau terlahir dari keluarga Bani Hasyim atau dikenal dengan sebutan keluarga hasyimiyah dan lahir pada hari senin 12 Rabi’ul Awwal pada tahun pertama setelah peristiwa gajah. Sesuai dengan penelitian Muhammad Sulaiman Al-Manshurfuri dan astronomi Mahmud Basya, tanggal tersebut bertepatan dengan 20 atau 22 April 571 M.

Nabi Muhammad dilahirkan dari rahim seorang ibu bernama Aminah binti Wahb dan beliau ditinggal mati oleh ayahnya yang bernama Abdullah bin Abdul Muthalib saat masih di dalam kandungan, dan menjadi yatim piatu saat Nabi berusia 6 tahun. Setelah kepergian ibunya Nabi Muhammad di asuh oleh kakeknya yang bernama Abdul Muthallib, tepat pada saat nabi Muhammad berumur 8 tahun 2 bulan 10 hari beliau ditinggal mati oleh kakeknya dan kemudian nabi Muhammad diasuh oleh pamannya yang bernama Abu Thalib hingga beliau dewasa.

 

Kisah Pasukan Gajah

Peristiwa ini berawal saat seorang gubernur bernama Abrahah Ash-Shabbah Al-Habsi yang pada saat itu memiliki kekusaan di Yaman. Ia membangun sebuah geraja besar di Shan’a dan diberi nama al-Qulais, dengan tujuan untuk mengalihkan kegiatan haji di Ka’bah, yang pada saat itu banyak dikunjungi oleh orang-orang Arab setiap tahunnya.

Mendengar hal tersebut pada malam hari seorang dari Bani Kinanah diam-diam memasuki gereja tersebut dan melumuri pusat kiblat gereja al-Qulais dengan kotoran. Mendengar hal tersebut Abrahah geram dan marah sehingga ia mengerahkan pasukannya hingga terkumpul menjadi 60.000 pasukan bergajah untuk menghancurkan Ka’bah. Abrahah melakukan perjalanan ke Makkah pada bulan Muharram diperkirakan bertepatan dengan bulan Februari akhir atau Maret awal tahun 571 M, atau bertepatan dengan 50 hari sebelum kelahiran Nabi Muhammad n.

Ditengah-tengah perjalanan menuju makkah tepatnya saat pasukan bergajah sampai di antara Mina dan Muzdalifah (wadi Muhassir), gajah yang ditunggangi Abrahah menderum dan tidak mau melangkah ke arah Ka’bah, namun saat diarahkan ke arah selain Ka’bah, gajah tersebut tidak menderum dan berdiri melangkah. Pada saat itulah Allah mengirimkan bala tentara berupa burung-burung bernama Ababil yang membawa tiga batu panas yang diambil dari neraka dan besarnya seperti biji kacang namun dapat menghancurleburkan rombongan Abrahah pada saat itu. Singkat cerita akhirnya Abrahah dan para pasukannya mati, dan peristiwa ini Allah abadikan dalam al-Qur’an surah al-fîl ayat 1-5.

Allah l berfirman: 1. Tidakkah engkau (Muhammad) perhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap pasukan bergajah?  2. Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka itu sia-sia?  3. dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong, 4. yang melempari mereka dengan batu dari tanah liat yang dibakar, 5. sehingga mereka dijadikan-Nya seperti daun-daun yang dimakan (ulat). (Q.S.al-Fîl [105]: 1-5)

Hikmah yang terkandung dalam kisah ini ialah pertolongan Allah l akan selalu ada bagi setiap hambanya baik pertelongan yang Allah l kirimkan menggunakan perantara maupun pertolongan yang Allah l kirimkan langsung seperti kiriman burung Ababil untuk melindungi Ka’bah (baitullah).

 

Ibu Susuan Nabi Muhammad

Dikisahkan Halimah pernah bercerita pada saat terjadi paceklik sebelum ia menjadi ibu susuan Nabi Muhammad, ia pergi bersama para wanita dari bani Sa’d dan suami, serta anak yang masih disusuinya, ia keluar dari wilayahnya untuk mencari bayi yang akan disusui dengan membawa seekor unta dan kedelai yang kondisinya lemah. Semua wanita dari Bani Sa’d menolak Nabi Muhammad karena kondisi beliau yang terlahir menjadi anak yatim.

Singkat cerita semua wanita dari bani Sa’d telah mendapatkan bayi dan akan kembali ketempat masing-masing, hanya tersisa Halimah yang belum mendapatkan bayi untuk disusui, sedangkan kondisinya semakin lemah dan tidak memungkin untuk menyusui. Kemudian Halimah mengambil Muhammad dengan tidak mengharapkan apa-apa dari keluarganya, karena telah mengetahui kondisi beliau yang yatim, namun saat Halimah menggendong bayi Muhammad dan mulai memberikan air susu kepada Nabi, berbagai kemudahan bertubi-tubi datang kepada Halimah, seperti keadaan Halimah yang membaik sehingga dapat menghasilkan air susu yang banyak, bayinya yang tak pernah menangis lagi, keledai yang lemah berubah perkasa, serta onta yang tiba-tiba mengeluarkan air susu sehingga dapat diminum oleh Halimah dan suaminya, hingga suami Halimah berkata “Demi Allah Halimah kamu telah mengambil satu anak bayi yang penuhdengan barokah.”

Halimah dan keluarga merasakan keberkahan akibat kehadiran nabi Muhammad n selama baginda Nabi tinggal bersama Halimah hingga peristiwa pembelahan dada. Halimah pernah berkisah Muhammad kecil sedang bermain bersama teman seumurannya, saat itu beliau berumur empat atau lima tahun, kemudian Jibril datang memegang kedua tangan beliau sambal menidurkannya, kemudian Jibril membelah dada dan mengeluarkan segumpal darah dan hati Nabi Muhammad, sambil berkata “ini adalah bagian setan yang ada pada dirimu”, lalu Jibril mencuci hati Nabi dengan air zam-zam dengan memasukkannya kedalam baskom yang terbuat dari emas kemudian memasukkannya kembali ke dalam tubuh Nabi Muhammad, melihat apa yang terjadi pada Nabi Muhammad teman-teman sebayanya lari ketakutan memanggil Halimah, sambil berkata “Muhammad telah dibunuh,” kemudian Halimah kaget mendengar hal tersebut dan bergegas berlari ke Muhammad kecil dan menjumpai Nabi Muhammad dalam keadaan baik-baik saja dan wajahnya yang semakin berseri, kisah ini disampaikan Muslim yang diriwayatkan oleh Anas. Akibat peristiwa ini Halimah khawatir ada orang jahat yang ingin menyelakai nabi Muhammad maka Halimah mengembalikan nabi Muhammad kepangkuan ibunya kembali.

Hikmah dari peristiwa Halimah ini saat semua orang tidak berkenan untuk menyusui Nabi Muhammad n, akibat keikhlasannya Halimah dan keluarga mendapatkan barokah yang besar setelah menyusui Nabi Muhammad, meskipun pada awalnya Halimah sempat mengharapkan imbalan dari pekerjaannya dan mengira tidak akan mendapatkan imbalan apa-apa jika ia menyusui anak yatim, namun ternyata Allah l membuka pintu rezeki yang besar untuk halimah, bahkan jika diperhitungkan dengan hitungan manusia Halimah tidak akan mendapatkan keuntungan apa-apa, tetapi firman Allah l selalu benar. “Boleh jadi kamu membenci segala sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui (Q.S. al-Baqarah [2]: 216).

Sebenarnya masih banyak rentetan peristiwa yang terjadi sebelum dan sesudah Nabi Muhammad dilahirkan seperti, 10 balkon istana Kisra runtuh, padamnya api sesembahan orang-orang majusi, hancurnya beberapa gereja disekitar Buhairah, digalinya kembali sumur air zam-zam, meminta hujan dengan wajah Nabi Muhammad n, dan beberapa peristiwa lainnya. Selanjutnya hal yang tidak kalah penting semoga para pembaca bisa mengambil sedikit hikmah dari tulisan mengenai sirah Nabawiyah ini. Wa Allâhu a’alm.[]

 

Mutiara Hikmah

Dari Anas R.A bahwa Rasulullah  bersabda :

ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلَاوَةَ الْإِيْمَانِ، مَنْ كَانَ اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُـحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ  أَنْ يَعُوْدَ فِـي الْكُفْرِ  فِـي النَّارِ.

“Tiga perkara yang membuat seseorang akan mendapatkan manisnya iman yaitu: Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya dari selain keduanya; mencintai saudaranya hanya karena Allah; dan benci kembali pada kekufuran sebagaimana benci dilemparkan dalam api. (HR. Bukhari no. 16 dan Muslim no. 43).

 

 

Marâji’:

Sirah Nabawiyah, Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008.

KETENTUAN DALAM SHALAT BERJAMA’AH

KETENTUAN DALAM SHALAT BERJAMA’AH

Oleh: Shâhib al Rasîkh

 

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh ,

Memahami ketentuan shalat berjamaah sangat penting bagi kaum muslimin. Ketentuan shalat berjamaah bersifat baku artinya ketentuan tersebut harus berdasarkan dalil sesuai dengan penjelasan para ulama. Tidak ada rana kreasi dan inovasi dalam perkara ibadah.  Nabi n bersabda “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (H.R. Bukhari, no. 6008).

Shalat berjamaah merupakan shalat yang dikerjakan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama dan salah seorang dari mereka menjadi imam, sedangkan yang lainnya menjadi makmum. Shalat lima waktu sangat diutamakan untuk dikerjakan secara berjamaah, bukan sendiri-sendiri (munfarid). Dalam shalat jama’ah, ada beberapa ketentuan posisi imam dan makmum dengan rincian sebagai berikut:

  1. Jama’ah harus terdiri minimal dari dua unsur, yaitu seorang imam dan seorang makmum meski dengan anak-anak atau seorang wanita yang masih mahram pada saat berkhalwah (berduaan).[1] Disebutkan dalam hadits Jabir bin ‘Abdullah a, “Aku datang kemudian aku berdiri di sebelah kiri Rasulullâh n. Maka beliau memegang tanganku dan memutarku sehingga memposisikan diriku di sebelah kanannya. Setelah itu, datang Jabbar bin Shakr. Dia berwudhu kemudian datang dan berdiri disebelah kiri Rasulullâh n. Maka beliau memegang kedua tangan kami lalu mendorong kami sehingga memposisikan kami berada di belakang beliau.” (H.R. Muslim)[2]
  2. Jika hanya berdua (sesama laki-laki) menempatkan makmum di sebelah kanan imam. Hal tersebut didasarkan, pada hadits Ibnu Abbas c dia bercerita, “Aku pernah bermalam di tempat bibiku, Maimunah i, lalu Nabi n bangun dan menunaikan shalat malam, maka aku pun ikut mengerjakan shalat bersama beliau. Aku berdiri disebelah beliau lalu beliau memegang kepalaku seraya mendirikan aku disebelah kanan beliau.” (H.R. Muttafaq ‘alaih).[3]
  3. Posisi imam tepat di tengah-tengah depan barisan pertama. Disebutkan dalam hadits riwayat Abu Daud, “Posisikanlah imam di tengah-tengah dan rapatkanlah kerenggangan.”[4] Hadits tersebut meskipun di dalamnya terdapat kelemahan (dha’if), tetapi menurut para ulama layak diamalkan, yang disunnahkan adalah memposisikan imam di tengah-tengah di masjid. Ini merupakan sunnah amaliah yang ditujukan kepada kaum muslimin.”[5]
  4. Posisi perempuan yang menjadi makmum sendirian berada di belakang laki-laki (yang menjadi imam). Hal ini didasarkan pada hadits Anas a, di dalamnya disebutkan, “Aku membuat barisan di belakang beliau bersama anak yatim, sedangan wanita tua di belakang kami.”(H.R. al-Bukhâri dan Muslim)[6] Dalam hadits Anas a yang lainnya disebutkan: “Aku shalat di rumah kami bersama seorang anak yatim di belakang Nabi n, sedangkan ibuku dan Ummu Sulaim berada dibelakang kami.” (H.R. al-Bukhâri)[7]
  5. Posisi seorang perempuan bersama seorang perempuan sama seperti posisi seorang laki-laki dengan seorang laki-laki lainnya, yakni berada di sebelah kanannya.[8]
  6. Posisi kaum perempuan sejajar dalam barisan ke kanan dan ke kiri, sedangkan posisi imam perempuan berada di tengah-tengah barisan mereka. Inilah yang disunnahkan. Sebab, Ummu Salamah i jika mengimami kaum perempuan maka dia berdiri di tengah-tengah berisan mereka[9]. Demikian juga dengan ‘Aisyah i jika mengimami kaum perempuan, dia pun berdiri di tengah-teganh barisan mereka.[10] Sebab yang demikian itu lebih tertutup bagi perempuan. Seorang perempuan dituntut untuk menutup dirinya sedapat mungkin. Jika meraka berbaju kurang tertutup, imam mereka pun tetap berdiri di tengah-tengah mereka seraya men-jahr-kan (mengeraskan) bacaan dalam shalat jahriyah.
  7. Makmum mengetahui gerakan imam, lewat penglihatan atau pendengaran walaupun dari pengeras suara.[11] Sayyid Sabiq menyebutkan, Imam al-Bukhâri berkata, bahwa Hasan berkata, “Engkau tetap diperbolehkan shalat bersama imam, meskipun antara engkau dan imam dipisahkan oleh sungai.” Abu Miljas berkata, “Seseorang boleh bermakmum kepada imam, sekalipun antara makmum dan imam dipisahkan oleh jalan atau dinding, selama makmum masih mendengar takbiratul ihram yang dibaca oleh imam.”[12]
  8. Imam dan makmum berkumpul dalam satu satu masjid atau dibeberapa masjid yang pintunya terbuka atau terkunci tapi tidak terkunci mati.[13]
  9. Makmum mengikuti gerakan imam. Sebagaimana dalam sabda Rasulullah n: bahwa para sahabat shalat bersama Rasulullah n, ketika Rasulullah ruku’, maka para sahabat ikut ruku’. Ketika beliau mengangkat kepalanya seraya bangun dari ruku’ dengan berucap Sami’allâhu liman hamidah, maka kami terus berdiri sehingga kami melihat beliau benar-benar telah meletakkan wajahnya di atas lantai, baru kemudian kami mengikuti beliau (sujud).” (H.R. Muslim)
  10. Posisi laki-laki, anak-anak dan perempuan dari imam seabagi berikut:
  • Laki-laki berbaris dibelakang imam jika meraka terlambat (masbuq) untuk menempati barisan pertama.
  • Anak-anak membuat barisan di belakang laki-laki selama mereka tidak masbuq atau terhalang oleh sesuatu.
  • Para perempuan membuat barisan di belakang anak-anak. Dalil yang melandasi susunan tersebut adalah hadits Abu Mas’ud a, dia bercerita: “Rasulullah n pernah mengusap pundak-pundak kami di dalam shalat seraya bersabda: “Luruskanlah dan janganlah kalian tidak beraturan yang menyebabkan hati kalian bercerai berai, hendaklah berdiri di belakangku orang-orang dewasa dan berakal di antara kalian kemudian di susul yang berikutnya dan setelah itu disusul oleh yang berikutnya.” (H.R. Muslim)[14]

Dalam hadits ‘Abdullah bin Mas’ud a disebutkan, “Hendaklah berdiri di belakangku orang-orang dewasa dan berakal, kemudian disusul oleh yang berikutnya –sebanyak tiga kali- dan janganlah kalian membuat keributan seperti keributan di pasar.” (H.R. Muslim)[15]

Wa Allâhu a’lam.   

 

Mutiara Hikmah

Dari Abdullah bin Umar c, bahwa Rasulullah n bersabda,

مَنْ بَاتَ طَاهِرًا، بَاتَ فِي شِعَارِهِ مَلَكٌ، فَلَمْ يَسْتَيْقِظْ إِلَّا قَالَ الْمَلَكُ: اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِعَبْدِكَ فُلَانٍ، فَإِنَّهُ بَاتَ طَاهِرًا

“Barangsiapa yang tidur dalam keadaan suci, maka malaikat akan bersamanya di dalam pakaiannya. Dia tidak akan bangun hingga malaikat berdoa ‘Ya Allah, ampunilah hambamu si fulan karena tidur dalam keadaan suci.’” (H.R. Ibn Hibban 3/329. Syuaib Al-Arnauth mengatakan, Perawi hadis ini termasuk perawi kitab shahih. Hadis ini juga dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Shahih At Targhib wat Tarhib I/37)

 

 

 

Marâji’:

[1] Abu Bakr Jabir al-Jazairi, Minhaju al-Muslim, Bairut: Dâr al-Fikr, tt. (Terj.) Ensklopedi Muslim, Cet.Ke-5, (Jakarta: Darul Falah, 2003), hal. 324

[2] Shahih Muslim, kitab Shalâtu al-Musâfirîn, bab Shalâtu al-Nabiy r wa Du’âuhu bi al-Lail, no. 766.

[3] Muttafaq ‘alaih: al-Bukhâri, no. 117 dan 699 serta 992. Muslim, no. 82

[4] Abu Daud no. 681. Dinilai dhaif oleh Al-Albani di dalam kitab Dha’if Sunan Abi Daud, hal. 56, dia berkata: “Tetapi, separuh kedua dari hadits tersebut adalah benar.” Disebutkan dalam catatan kaki, Said bin ‘Ali bin Wahf al-Qathani, Shalâtu al-Mu’min, Mafhûm wa Fadhâil wa Âdâb wa Anwâ’ wa Ahkâm wa Kaifiyyah fî Dhauil al-Kitâb wa al-Sunnah –Ensiklopedi Shalat Menurut al-Qur’an dan al-Sunnah-, Jilid 2, Cet. ke-2 (Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i, 1433 H/ 2011), hal. 102

[5] Imama al-Syaukani, Nailu al-Authâr (II/422). Fatâwâ Ibni Bâz (XII/205). Al-Kâfi, Ibnu Qudamah (I/434). Disebutkan dalam catatan kaki, Said bin ‘Ali bin Wahf al-Qathani, Shalâtu al-Mu’min., hal. 102

[6] Said bin ‘Ali bin Wahf al-Qathani, Shalâtu ……, hal. 102

[7] Al-Bukhari, Kitab al-Adzân, bab al-Mar’ah wahdaha takûnu Shaffan, no. 727. Itu merupakan bagian akhir dari hadits no.380

[8] Ibnu ‘Utsaimin, al-Syarhu al-Mumti’ (IV/ 352)

[9] Diriwayatkan oleh al-Syafi’i dalam kitab al-Musnad (VI/82), ‘Abdurrazaq di dalam kitab al-Mushannaf, no.5082, Ibnu Abi Syaibah (II/88), al-Daraquthni (I/404), Ibnu Hazm di dalam kitab al-Muhallâ dan dia juga berhujjah dengannya (III/172). Disebutkan dalam catatan kaki, Said bin ‘Ali bin Wahf al-Qathani, Shalâtu al-Mu’min., hal. 104

[10] Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazaq di dalam kitab al-Mushannaf, no.5086, Ibnu Abi Syaibah (II/89), al-Daraquthni (I/404), al-Hakim (III/203), al-Bahaqi (III/131), Ibnu Hazm di dalam kitab al-Muhallâ dan dia juga berhujjah dengannya (III/171). Disebutkan dalam catatan kaki, Said bin ‘Ali bin Wahf al-Qathani, Shalâtu al-Mu’min., hal. 104

[11] Wahbah al-Zauhaili, al-Fiqhu al-Syâfi’i al-Muyassar. Bairut: Dâr al-Fikr, 2008. Cet.ke-1. (Terj.) Fiqih Imam Syafi’i. Jilid. 1 (Jakarta: Almahira, 2010), hal. 336-338

[12] Sayyid Sabiq, Fiqhu al-Sunnah,  Cet.ke-3. (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2011), hal. 420

[13] Abu Bakr Jabir al-Jazairi, Minhaju al-Muslim, Bairut: Dâr al-Fikr, tt. (Terj.) Ensklopedi Muslim, Cet.Ke-5, (Jakarta: Darul Falah, 2003), hal. 324

[14] Shahih Muslim, Kitab al-Shalâh, no.122 (432)

[15] Shahih Muslim, Kitab al-Shalâh, no.122 (432)

UDZUR BOLEHNYA MENINGGALKAN SHALAT BERJAMA’AH

UDZUR BOLEHNYA MENINGGALKAN SHALAT BERJAMA’AH

Oleh: Shahib al Rasikh

 

Bismillâhi walhamdulillâh wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Saudaraku, artikel sebelumnya membahas “Hukum Shalat Jamaah”[1], pada kesempatan ini kita akan membahas secara ringkas “Udzur Bolehnya Meninggalkan Shalat Berjama’ah”. Seseorang diberi keringanan untuk tidak mengerjakan shalat jama’ah ketika mengalami halangan, sebagaimana yang disebutkan oleh Sayyid Sabiq dalam Fiqh al-Sunnah[2], Wahbah Zuhaili dalam al-Fiqhu al-Syâfi’i al-Muyassar[3], Sa’id  bin Ali bin Wahf al-Qahthani dalam Shalâtu al-Mu’min[4], dan ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi dalam al-Wajiz[5] serta kitab-kitab fiqih lainnya yaitu:

 

  1. Ketika udara sangat dingin, hujan turun dengan lebat, dan jalanan licin.

Dari Ibnu Abbas h bahwasanya dia pernah berkata kepada mu’adzinnya ketika hujan turun: “Apabila engkau telah melafazhkan: Asyhadu anna Muhammadan Rasûlullâh maka jangan mengatakan: Hayya ‘alash shalâh, akan tetapi katakan: Shallû Fî Buyûtikum (Shalatlah di rumah kalian). Lalu manusia (mendengarkannya seolah-olah) mengingkari masalah tersebut. Ibnu Abbas lalu berkata: ‘Hal ini telah dilakukan oleh orang yang lebih baik dariku (Rasulullah `). Sesungguhnya shalat Jum’at itu adalah kewajiban dan aku tidak ingin menyuruh kalian keluar (ke Masjid) lalu kalian berjalan di atas tanah yang becek dan licin”. (HR al-Bukhari dan Muslim)[6]

Imam al-Nawawi v menjelaskan, ”Dari hadits di atas terdapat dalil tentang keringanan untuk tidak melakukan shalat jama’ah ketika turun hujan dan ini termasuk udzur (halangan) untuk meninggalkan shalat jama’ah. Dan shalat jama’ah -sebagaimana yang dipilih oleh ulama Syafi’iyyah- adalah shalat yang mu’akkad (betul-betul ditekankan) apabila tidak ada udzur. Dan tidak mengikuti shalat jama’ah dalam kondisi seperti ini adalah suatu hal yang disyari’atkan (diperbolehkan) bagi orang yang susah dan sulit melakukannya. Hal ini berdasarkan riwayat lainnya, ”Siapa yang mau, silahkan mengerjakan shalat di rihal (kendaraannya) masing-masing.[7]

 

  1. Ketika makanan sudah disajikan, sedang nafsu makannya sangat berselera pada makanan tersebut.

Didasarkan pada hadits Dari ‘Aisyah i, dari Nabi  bersabda, “Apabila makan malam sudah dihidangkan sedangkan shalat jama’ah sudah dibacakan iqamatnya, maka dahulukanlah makan”. (H.R. Muttafaq ‘alaih)[8]

Riwayat lain dari Anas bin Malik a bahwa Rasulullah `, “Apabila makan malam sudah dihidangkan, maka makanlah terlebih dahulu sebelum kalian melaksankan shalat Maghrib. Dan janganlah kalian tergesa-gesa dalam menyelesaikan makan kalian”. (H.R.  al-Bukhari)

 

  1. Ketika desakan (kebelet)[9] buang air besar atau kecil.

Didasarkan pada hadits ‘Aisyah i, dia berkata, Aku mendengar Rasulullah ` bersabda,   “Tidak ada shalat pada saat makanan dihidangkan dan ketika menahan keluarnya (sesuatu) dari 2 jalan (qubul dan dubur)” (HR Muslim)[10]

 

  1. Kecapekan dan mengantuk yang amat sangat, jika ia sudah tidak bisa lagi mengerti bacaan apa yang sedang dibaca dalam shalat.

Berdasarkan hadits dari Anas z dari Nabi `, beliau bersabda: Jika salah seorang dari kalian ngantuk dalam sholat, hendaknya ia tidur (terlebih dahulu) sampai ia bisa mengerti apa yang dibacanya”(H.R. al-Bukhari)

Riwayat lain menyebutkan dari Aisyah i bahwasanya Rasulullah ` bersabda: Jika salah seorang dari kalian mengantuk dalam keadaan ia shalat, hendaknya tidur sampai hilang perasaan kantuknya. Karena seorang jika shalat dalam keadaan mengantuk ia tidak mengetahui, pada saat bermaksud mohon ampunan namun justru mencela dirinya sendiri “ (H.R. Muttafaq ‘alaih).[11]

Muhammad bin Shalih al-Utsaimin v menjelaskan bahwa seseorang yang sangat mengantuk dalam shalat bisa jadi ia berdoa meminta surga namun keliru berucap meminta neraka, bermaksud meminta hidayah, justru keliru berucap meminta kesesatan, dan semisalnya.[12]

 

  1. Ketiduran

Orang yang ketiduran sehingga terlambat atau tidak shalat berjamaah di masjid adalah termasuk orang yang tidak tercela karena meninggalkan shalat berjamaah di masjid, berdasarkan keumuman hadits dari Aisyah i, Rasulullah `, bersabda, “Pena (kewajiban melaksanakan syariat) diangkat dari tiga (golongan manusia): orang yang tertidur sampai dia bangun (dari tidur), orang yang gila sampai akalnya normal, dan anak kecil sampai dia dewasa.” (H.R. Abu Daud, al-Nasa’i, Ibnu Majah, al-Darimi, dan al-Hakim)[13]

Jika shalat berjamaah di mesjid telah selesai ketika dia terbangun dari tidur, maka dia boleh melaksanakan shalat di rumah atau di mesjid, berdasarkan hadits riwayat Abi Bakrah a, dia berkata,“(suatu hari) sungguh Rasulullah ` datang dari pinggiran kota Madinah (menuju ke mesjid) untuk melaksanakan shalat (secara berjamaah), dan Beliau `  mendapati orang-orang telah selesai melaksanakan sholat (secara berjamaah), maka Rasulullah `  pun kembali ke rumah, kemudian mengumpulkan keluarga Beliau `  dan shalat mengimami mereka.” (H.R. ath-Thabrani)[14]

 

  1. Mengkhawatirkan keselamatan dirinya (ketakutan yang mencekam).[15]

Misalkan, berlindung dari kejaran penguasa yang Zhalim yang akan membunuhnya bukan secara haq, atau panik menyelamatkan diri karena adanya bencana alam. Hal ini didasarkan pada keumum firman Allah l, “Dan janganlah kalian menjatuhkan diri kalian sendiri pada kebinasaan.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 195).

 

Mutiara Hikmah

Dari Anas Bin Malik a, Rasulullah ` bersabda:

اَلدُّعَاءُ لاُ يُرَدُّ بَيْنَ الْأذَانِ وَالإقَامَةِ.

“Doa antara adzan dan iqamah tidak akan ditolak.” (H.R.Tirmidzi no. 212 dan dishahihkan oleh albani dalam Irwaul Galil)

Marâji:

[1] https://alrasikh.uii.ac.id/2021/10/01/hukum-shalat-jamaah/

[2] Sayyid Sabiq, Fiqhu al-Sunnah, Jakarta: Cakrawala Publishing, 2011, Jilid 1, hal. 408-410

[3] Wahbah al-Zauhaili, al-Fiqhu al-Syâfi’i al-Muyassar. Bairut: Dâr al-Fikr, 2008. Cet.ke-1. (Terj.) Fiqih Imam Syafi’i. Jilid. 1, (Jakarta: Almahira, 2010) hal. 326-327

[4] Said bin ‘Ali bin Wahf al-Qathani, Shalâtu al-Mu’min., hal. 546-549

[5] ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, al-Wajiz fî Fiqhi al-Sunnah wa al-Kitâbi al-‘Azîzi, Cet.ke-6. (Jakarta: Pustaka al-Sunnah, 2011), hal. 286-287

[6] Al-Bukhari dalam Shahihnya no. 901 dan Muslim no. 699

[7] Al-Nawawi, Syarh Shahih Muslim (V/207)

[8] Muttafaq ‘alaih: al-Bukhari, no. 674 dan Muslim, no. 559

[9] Bahasa jawa

[10] Muslim, no. 560, penjelasan lebih lanjut lihat Sayyid Sabiq, Fiqhu al-Sunnah, hal. 410. Said bin ‘Ali bin Wahf al-Qathani, Shalâtu al-Mu’min., hal. 548. Wahbah al-Zauhaili, al-Fiqhu al-Syâfi’i., hal. 326-327

[11] Al-Bukhari, no.212 dan Muslim, no. 786. Lihat pula Shahih al-Jami’ al-Shaghir, no. 810

[12] Syarh Riyadhi al-Shâlihin, Juz 1, hal. 166

[13] Disahihkan oleh al-Hakim dan disepakati oleh al-Dzahabi dan al-Albani dalam Irwa ul Ghalil (2/5)

[14] Berkata Al Haitsami: Semua perawinya tsiqat (terpercaya), dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Tamamul Minnah hal. 155.

[15] Wahbah al-Zauhaili, al-Fiqhu ……..., hal. 326

HUKUM SHALAT JAMAAH

Oleh: Shahib al Rasikh

 

Bismillâhi walhamdulillâh wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Shalat jama’ah lima waktu disyari’atkan dalam Islam bagi laki-laki dan perempuan yang mukallaf dan mampu, baik sedang tidak berpergian maupun sedang dalam perjalanan. Para ulama telah sepakat bahwa shalat di masjid merupakan ibadah yang sangat mulia. Akan tetapi para ulama berselisih pendapat tentang status hukum shalat jama’ah di masjid itu sendiri, apakah wajib ‘ain (wajib bagi masing-masing individu), atau wajib kifayah atau sunnah mu’akkad. Dalam hal  ini ada empat pendapat, sebagai berikut:

  1. Hukumnya Fardhu Kifayah.

Demikian ini pendapat Imam Syafi’i, Abu Hanifah, jumhur ulama Syafi’iyah mutaqaddimîn (terdahulu), dan banyak ulama Hanafiyah maupun Malikiyah. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Zhahir nash (perkataan) Syafi’i, shalat berjamaah hukumnya fardhu kifayah. Inilah pendapat jumhur mutaqaddimîn dari ulama Syafi’iyah dan banyak ulama Hanafiyah serta Malikiyah.”[1]

Dalil-Dalilnya, sebagai berikut, hadits pertama, “Tidaklah ada tiga orang dalam satu perkampungan atau pedalaman tidak ditegakkan pada mereka shalat, kecuali Syaithan akan menguasainya. Berjama’ahlah kalian, karena serigala hanya memangsa kambing yang sendirian.” (HR Abu Dawud).[2] Al-Saib berkata: ”Yang dimaksud berjama’ah ialah jama’ah dalam shalat.” Hadits kedua, “Kembalilah kepada ahli kalian, lalu tegakkanlah shalat pada mereka, serta ajari dan perintahkan mereka (untuk shalat). Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat. Jika telah datang waktu shalat, hendaklah salah seorang kalian beradzan dan yang paling tua menjadi imam.” (HR al-Bukhâri dan Muslim).[3]

  1. Hukumnya syarat, tidak sah shalat tanpa berjama’ah, kecuali dengan udzur.

Demikian ini pendapat Zhahiriyah dan sebagian ulama hadits. Pendapat ini didukung oleh sejumlah ulama, diantaranya: Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, Ibnu Aqil dan Ibnu Abi Musa.

Diantara dalil-dalinya, ialah hadits pertama, “Barangsiapa yang mendengar adzan lalu tidak datang, maka tidak ada shalat baginya kecuali karena udzur.”(HR Ibnu Majah).[4]  Hadits kedua, “Demi Dzat yang jiwaku ada ditangan-Nya, sungguh aku bertekad meminta dikumpulkan kayu bakar. Lalu dikeringkan (agar mudah dijadikan kayu bakar). Kemudian aku perintahkan shalat, lalu ada yang beradzan. Kemudian aku perintahkan seseorang untuk mengimami shalat, dan aku tidak berjama’ah untuk menemui orang-orang (lelaki yang tidak berjama’ah), lalu aku bakar rumah-rumah mereka.” (HR al-Bukhâri dan Muslim).[5]

  1. Hukumnya Sunnah Mu’akkad.

Demikian ini pendapat madzhab Hanafiyah dan Malikiyah. Imam Ibnu Abdil Barr menisbatkannya kepada kebanyakan ahli fiqih Iraq, Syam dan Hijaj. Diantara dalil-dalilnya sebagai berikut:

Hadits pertama, dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah ` bersabda,”Shalat berjama’ah mengungguli shalat sendirian dua puluh tujuh derajat.” (HR al-Bukhâri).[6] Hadits kedua, “Sesungguhnya, orang yang mendapat pahala paling besar dalam shalat ialah yang paling jauh jalannya, kemudian yang lebih jauh. Orang yang menunggu shalat sampai shalat bersama imam, lebih besar pahalanya dari orang yang shalat, kemudian tidur. Dalam riwayat Abu Kuraib, (disebutkan): sampai shalat bersama imam dalam jama’ah.” (HR Muslim ).[7]

  1. Hukumnya Wajib ‘Ain (Fardhu ‘Ain) dan Bukan Syarat.

Demikian ini pendapat Ibnu Mas’ud, Abu Musa al-Asy’ariy, Atha’ bin Abi Rabbah, al-Auza’i, Abu Tsaur, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, sebagian besar ulama Hanafiyah dan madzhab Hambali. Diantara dalil-dalilnya sebagai berikut,

Dalil-dalil dari firman Allahﷻ, “Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu), lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan se-raka’at), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bershalat, lalu bershalatlah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap-siaga dan menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus. Dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau karena karena kamu memang sakit; dan siap-siagalah kamu. Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu.” (Q.S. an-Nisâ’ [4]:102).

Dari ayat ini, Ibnul Qoyyim menjelaskan mengenai wajibnya shalat jama’ah: Allah memerintahkan untuk shalat dalam jama’ah –dan hukum asal perintah adalah wajib[8] yaitu Allah berfirman: (فَلْتَقُمْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ مَعَكَ), ”perintahkan segolongan dari mereka berdiri (shalat) bersamamu”-. Kemudian Allah mengulangi perintah-Nya lagi –dalam ayat (وَلْتَأْتِ طَائِفَةٌ أُخْرَى لَمْ يُصَلُّوا فَلْيُصَلُّوا مَعَكَ), ”dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat, perintahkan mereka shalat bersamamu”

Ini merupakan dalil bahwa shalat jama’ah hukumnya adalah fardhu ’ain karena dalam ayat ini Allah tidak menggugurkan perintah-Nya pada pasukan kedua setelah dilakukan oleh kelompok pertama. Seandainya shalat jama’ah itu sunnah, maka shalat ini tentu gugur karena ada udzur yaitu dalam keadaan takut. Seandainya pula shalat jama’ah itu fardhu kifayah maka sudah cukup dilakukan oleh kelompok pertama tadi. Maka dalam ayat ini, tegaslah bahwa shalat jama’ah hukumnya adalah fardhu ’ain dilihat dari tiga sisi: [1] Allah memerintahkan kepada kelompok pertama, [2] Selanjutnya diperintahkan pula pada kelompok kedua, [3] Tidak diberi keringanan untuk meninggalkannya meskipun dalam keadaan takut.”[9] Dalam ayat ini terdapat dalil yang tegas mengenai kewajiban shalat berjama’ah. Yakni tidak boleh ditinggalkan, sebagian lain berpendapat boleh bila ada udzur, seperti: ketakutan atau sakit.

Nabi ` memperingatkan keras pria yang meninggalkan shalat jama’ah yaitu ingin membakar rumah mereka. Tentu saja hal ini menunjukkan bahwa shalat jama’ah adalah wajib. Dalil-dalil dari sabda Rasulullah `, sebagai berikut, “Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh aku bertekad meminta dikumpulkan kayu bakar, lalu dikeringkan (agar mudah dijadikan kayu bakar). Kemudian aku perintahkan shalat, lalu ada yang beradzan. Kemudian aku perintahkan seseorang untuk mengimami shalat dan aku tidak berjama’ah untuk menemui orang-orang (lelaki yang tidak berjama’ah). Lalu aku bakar rumah-rumah mereka.” (HR al-Bukhâri dan Muslim).[10]

Ibnu Hajar dalam menafsirkan hadits ini menyatakan, “Adapun hadits bab (hadits di atas), maka zhahirnya menunjukkan, (bahwa) shalat berjama’ah fardhu ‘ain. Karena, seandainya hanya sunah, tentu tidak mengancam yang meninggalkannya dengan (ancaman) pembakaran tersebut. Juga tidak mungkin terjadi, atas orang yang meninggalkan fardhu kifayah, seperti pensyari’atan memerangi orang-orang yang meninggalkan fardhu kifayah.”[11]

Demikian juga Ibnu Daqiqil ‘Ied menyatakan, “Ulama yang berpendapat, bahwa shalat berjama’ah hukumnya fardhu ‘ain berhujah dengan hadits ini. Karena jika dikatakan fardhu kifayah, kewajiban itu dilaksanakan oleh Rasulullah dan orang yang bersamanya dan jika dikatakan sunnah, tentu tidaklah dibunuh orang yang meninggalkan sunah. Dengan demikian jelaslah, shalat jama’ah hukumnya fardhu ‘ain.”[12] “Seorang buta mendatangi Nabi `  dan berkata,“Wahai Rasulullah, aku tidak mempunyai seorang yang menuntunku ke masjid,” lalu dia meminta keringanan kepada Rasulullah ` sehingga dibolehkan shalat di rumah. Lalu Beliau rmemberikan keringanan kepadanya. Ketika ia meninggalkan Nabi `, langsung Rasulullah memanggilnya dan bertanya, “Apakah engkau mendengar panggilan adzan shalat?” Dia menjawab,“Ya.” Lalu Beliau berkata,“Penuhilah!”. (H.R. Muslim)[13]

Setelah menyampaikan hujjahnya dengan hadits ini, Ibnu Qudamah berkata, “Jika orang buta yang tidak memiliki orang untuk mengantarnya, tidak diberi keringanan, maka, (yang) selainnya lebih lagi.” [14]

Tidaklah ada tiga orang dalam satu perkampungan atau pedalaman tidak ditegakkan pada mereka shalat, kecuali syaithan akan menguasainya. Berjama’ahlah kalian, karena serigala hanya memangsa kambing yang sendirian.” (HR Abu Dawud, al-Nasa’i dan Ahmad)[15]

Nash-nash ini menunjukkan wajibnya shalat berjama’ah. Pendapat ini dirajihkan oleh Lajnah Daimah Lil Buhuts wal Ifta’ (Komite Tetap Untuk Riset dan Fatwa Saudi Arabia)[16]  dan Syaikh Prof. Dr. Shalih bin Ghanim al-Sadlan dalam kitabnya Shalat al-Jama’ah.[17] Demikian juga sejumlah ulama lainnya.[18]

 

Marâji:

[1] Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Atsqalani, Fathul Bari, jilid 2, hal. 26

[2] Abu Dawud dalam Sunannya, kitab al-Shalat, Bab al-Tasydid Fi Tarkil Jama’ah, no. 460, al-Nasa’i dalam Sunannya, kitab al-Imamah, Bab al-Tasydid Fi Tarkil Jama’ah, no.738 dan Ahmad dalam Musnadnya, no. 26242.

[3] Al-Bukhari dalam Shahihnya, kitab al-Adzan, Bab al-Adzan Lil Musafir Idza Kanu Jama’atan wal Iqamah Kadzalik, no. 595 dan Muslim dalam Shahihnya, kitab al-Masajid wa Mawadhi’ Ash Shalat, Bab Man Ahaqu bil Imamah, no. 1080.

[4] Ibnu Majah dalam Sunannya, kitab al-Masajid wal Jama’ah, Bab al-Taghlidz Fi At Takhalluf ‘Anil Jama’ah, no. 785. Hadits ini dishahihkan al-Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah, no. 631.

[5] Al-Bukhari dalam Shahihnya, kitab al-Adzan, Bab Wujubu Shalatil Jama’ah, no. 608 dan Muslim dalam Shahihnya, kitab al-Masajid wa Mawadhi’ Shalat, Bab Fadhlu Shalati al-Jama’ah wa Bayani al-Tasydid Fit Takhalluf ‘Anha, no. 1041.

[6] Al-Bukhari dalam shahihnya kitab al-Adzân, Bab Fadhlu shalatu al-Jama’ah no. 609.

[7] Muslim dalam shahihnya kitab al-Masâjid Wa Mawâdhi’ Shalat, bab Fadhlu Katsrati al-Khutha Ilal Masaajid, no.1064. Diriwayatkan oleh Ahmad dalam musnadnya no. 11380.

[8] Hal ini berdasarkan kaedah dalam Ilmu Ushul Fiqih yaitu hukum asal perintah adalah wajib.

[9] Ibnu Qoyyim Al Jauziyah, al- Shalah wa Hukmu Tarikiha, (Dar Al Imam Ahmad) hal. 110,  dalam majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun VII/1420H/1999.M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta

[10] HR al-Bukhâri dan Muslim –Bukhari dalam Shahihnya kitab al-Adzan, bab Wujubu Shalati al-Jama’ah, no. 608 dan Muslim dalam Shahihnya, kitab al-Masajid wa Mawadhi’ Shalat, Bab Fadhlu Shalati al-Jama’ah wa Bayani al-Tasydid Fî al-Takhalluf ‘Anha (Keutamaan Shalat Jama’ah dan Penjelasan Mengenai Hukuman Keras bagi Orang yang Meninggalkannya), no. 1041.

[11] Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Atsqalani, Fathu al-Bâri, (II/125).

[12] Ihkamul Ahkam, (I/124).

[13] Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya, kitab Al Masajid wa Mawadhi’ Sholat, Bab Yajibu Ityanul Masjid ‘Ala Man Sami’a An Nida’ no. 1044.

[14] Ibnu Qudamah, al-Mughni (III/6).

[15] Abu Dawud dalam Sunannya, kitab al-Shalat, Bab al-Tasydid Fi Tarkil Jama’ah, no.460, al-Nasa’i dalam Sunannya, kitab al-Imamah, Bab al-Tasydid Fi Tarkil Jama’ah, no.738 dan Ahmad dalam Musnadnya, no. 26242.

[16] Fatawa Lajnah Daimah, 7/283.

[17] Ibid. hal. 72.

[18] Sebagian sub bab ini (hukum shalat jama’ah) diambil dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun VII/1420H/1999.M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta.

 

Download Buletin klik disini

JADIKAN HARTAMU LEBIH BERMANFAAT

Oleh: Arviyan Wisnu Wijanarko*

Bismillâhi walhamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alârasûlillâh,
Para pembaca yang semoga selalu dirahmati oleh Allah ﷻ. Dalam setiap kegiatan hendaknya selalu mengingat Allah ﷻ sebagai bentuk rasa syukur, tidak terkecuali dalam mencari harta kekayaan. Allah Ar-Rahmah tidak pernah melarang untuk mencari sebanyak-banyaknya harta di dunia ini, melainkan melarang pencarian harta yang berakibat lupa akan rahmat Allah ﷻ. Karena Allah ﷻ mengetahui bahwa anak cucu Adam alaihissalam tidak akan pernah puas dengan harta yang dimiliki walau sudah banyak, bahkan bisa sampai tujuh turunan tidak habis.
Kita juga sudah masyhur dengan kekayaan para sahabat Nabi Muhammad ﷺ yang apabila di zaman ini beliau-beliau ini masih hidup maka bisa dibilang crazy rich, dan kekayaanya mampu memberikan manfaat dari zamannya dahulu hingga pada masa sekarang ini. Contohnya saja sahabat Utsman bin Affan radhiyallahuanhu yang membeli sumur dari Yahudi yang harganya apabila nilai tukarnya dialihkan ke zaman saat ini akan sangat besar sekali.
Para pembaca yang semoga selalu dirahmati oleh Allah ﷻ. Oleh karena itu mari kita cari sebanyak-banyaknya harta demi kemakmuran masyarakat Islam. Sebab kita ketahui masyarakat Islam banyak yang mengalami kemiskinan pada masa sekarang ini.
Akan tetapi patut diingat bahwa jangan sampai kita dibutakan oleh harta tersebut ketika mampu mengumpulkannya sebanyak mungkin. Harta-harta tersebut tidak lain dan tidak bukan hanyalah sekedar titipan belaka yang Allah ﷻ titipkan kepada kita untuk kemakmuran hamba-hambanya baik yang beriman maupun tidak. Allah ﷻ berfirman, “Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah ﷻ lah pahala yang besar” (Q.S. al-Anfal [8]: 28).
Hendaknya harta itu sendiri juga sebagai bahan untuk mendekatkan diri kepada Allah ﷻ. Allah ﷻ senantiasa menambahkan harta yang lebih banyak ketika seseorang tersebut mau mengeluarkan harta yang dicintainya di jalan Allah ﷻ demi kemakmuran umat.
Segala harta yang telah dikumpulkan akan dipertanggung jawabkan di hadapan Allah Al-Malik. Jangan sampai harta yang dikumpulkan akan bersaksi terhadap buruknya pengelolaan harta kita, sehingga menjerumuskan kita kedalam jurang neraka, na’udzubillah.
Sebenarnya, apa itu harta? Bagaimana cara mendapatkannya? Bagaimana cara agar dapat berlipat ganda?
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan harta sebagai “kekayaan yang berwujud maupun tidak berwujud yang bernilai dan dimiliki oleh seseorang” . Dalam Islam sendiri, harta diartikan sebagai al-maal atau condong, yang artinya kebanyakan manusia hatinya lebih cenderung ingin menguasai harta walaupun memiliki banyak sekali harta dibawah haknya. Menurut Hanafiyah, harta adalah sesuati yang dapat disimpan, sehingga apapun yang sifatnya tidak bisa disimpan bukan merupakan harta. Sedangkan menurut jumhur ulama, harta adalah sesuatu yang bisa disimpan dan memiliki nilai sehingga orang yang merusaknya dikenakan ganti rugi .
Harta menjadi salah satu tujuan yang dilindungi dalam Islam. Ada lima hal dari tujuan menegakan syariat Islam, yaitu menjaga agama, menjaga keturunan, menjaga diri, menjaga harta dan menjaga akal. Karena harta merupakan salah satu yang penting dalam Islam.

Mencari Harta Karena Allah ﷻ.
Para pembaca yang semoga selalu dirahmati oleh Allah ﷻ. Dipersilahkan kalian mencari sebanyak-banyaknya harta kekayaan. Memperkaya diri agar terlihat bahwa umat Islam ini adalah umat yang kuat baik di dunia terutama di akhirat.
Dalam pencarian harta, akan ada banyak sekali rintangan dan cobaan, dan kadang hal tersebut akan berganti dengan kebahagiaan, sehingga akan menjadi siklus dalam perjalanan kita mencari harta. Namun akan lebih indah apabila dalam setiap perbuatan selalu dan setia mengingat Allah ﷻ.
Apabila selalu mengingat Allah ﷻ semua akan terasa baik-baik saja, tidak aka nada efek buruk karena Allah ﷻ tidak akan memberikan rintangan dan cobaan melebihi kemampuan hambanya. Allah ﷻ berfirman, “Allah ﷻ tidak akan membebani seseorang melebihi kemampuannya…”(Q.S. al-Baqarah [2]:286)
Ingat bahwa rintangan dan cobaan adalah dari Allah ﷻ tidak lain tidak bukan adalah rahmat dan anugerah dari-Nya. Apabila hidup tidak ada ujian mungkin akan terasa nikmat, namun itu akan membuat kita lupa dan bahkan mungkin akan menemukan kehampaan hidup.
Beda orang beriman dengan orang yang lemah imannya ketika mendapati sebuah cobaan yang begitu berat adalah lupa kepada Allah ﷻ, sehingga orang yang kurang imannya lebih cenderung akan mendekati kemaksiatan, contohnya mabuk-mabukan, dan lainnya.

Gunakan Harta Dijalan Allah ﷻ.
Para pembaca yang semoga selalau dirahmati oleh Allah ﷻ. Bukankah manusia memang tidak akan puas dengan harta yang dimiliki olehnya? Maka Allah ﷻ juga akan terus memberikan harta bagi orang-orang yang berusaha memilikinya.
Ada satu jalan yang Allah ﷻ sangat ridha terhadap jalan tersebut dan juga jalan tersebut merupakan tools untuk lebih memperbanyak harta sekaligus menjadi lebih bahagia. Yaitu dengan cara mengeluarkan harta tersebut di jalan Allah ﷻ seperti sedekah, zakat, infaq, dan lainnya.
Allah ﷻ berfirman, “Katakanlah sesungguhnya Tuhanku melapangkan rizki bagi siapa yang dikehendaki-Nya diantara hamba-hamba-Nya dan menyempitkan bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah ﷻ akan menggantinya dan Dialah pemberi rizki yang baik.” (Q.S. Saba’ [34]:39). Dalam tafsir Al-Muyassar, Allah ﷻ akan menggantikannya di dunia dan juga di akhirat dan nikmat mana lagi selain mendapatkan nikmat yang ada di akhirat.
Oleh karena itu harusnya kita menghilangkan prasangka kepada Allah ﷻ apabila ketika ingin bersedekah maka harta kita akan berkurang. Karena Allah ﷻ tahu bahwa kita telah bersusah payah dalam mencari harta, apalagi ketika mencari harta tidak lupa mengingat Allah ﷻ. Sehingga sangat mustahil bagi Allah ﷻ tidak membalas apapun kebaikan yang telah dilakukan. Allah mengganti harta yang telah dikeluarkan tersebut bisa berupa harta yang sama plus tambahannya, bisa juga dalam bentuk kesehatan, bisa juga dalam bentuk pengampunan dosa, dan juga bisa berbentuk pahala dan nikmat akhirat yang tidak akan pernah habis. Wallâhu a’lam.

Mutiara Hikmah

Dari Ka’ab bin ‘Iyadh , ia berkata; Aku pernah mendengar Rasulullah ` bersabda:
إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً وَفِتْنَةُ أُمَّتِي الْمَالُ
“Sesungguhnya pada setiap umat ada fitnah (godaan yang merusak/menyesatkan mereka), dan fitnah yang ada pada umatku adalah harta”.
(H.R. Tirmidzi IV/569 no.2336, dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah II/139 no.592)

 

Download Buletin klik disini