NIKMATNYA BISA MEMAHAMI BAHASA ARAB

Oleh: Galih Enggartyasto*

 

Bismillâhi walhamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alârasûlillâh,

Bahasa Yang Istimewa

Pembaca yang dirahmati Allah ﷻ, ada berbagai hal yang Allah ﷻ istimewakan di dunia ini. Ada manusia yang Allah ﷻ istimewakan, ada hari yang Allah ﷻ istimewakan, ada bulan yang Allah ﷻ istimewakan, ada tempat yang Allah ﷻ istimewakan, dan ada bahasa yang Allah ﷻ istimewakan yaitu bahasa Arab. Allah ﷻ berfirman “Sesungguhnya telah Kami buatkan bagi manusia dalam al-Qur’an ini setiap macam perumpamaan supaya mereka dapat pelajaran. (Ialah) al-Qur’an dalam bahasa Arab yang tidak ada kebengkokan (di dalamnya) supaya mereka bertakwa.” (Q.S. az-Zumar [39]: 27-28)

Maka sudah sepantasnya bagi setiap muslim dan muslimah untuk mempelajari bahasa yang telah Allah ﷻ istimewakan ini, karena dengan mempelajari dan memahami bahasa Arab, maka kita akan lebih mudah dalam memahami agama kita. Umar bin Khattab radhiyallau’anhu pernah mengatakan, “Pelajarilah bahasa Arab, karena dia bagian dari agama kalian”[1] . Ustadz Aceng Zakariya mengatakan “Kebutuhan setiap muslim untuk mengetahui kaidah-kaidah bahasa Arab itu sangat penting sekali, karena dengan mengetahui kaidah-kaidah bahasa Arab akan menjadi sebab untuk dapat memahami al-Qur’an dan sunnah.”[2]

 

Hukum Mempelajari Bahasa Arab

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah radhiyallau’anhu  menjelaskan, “Bahasa Arab itu termasuk bagian agama (Islam), dan mengetahuinya hukumnya wajib, karena sesungguhnya memahami al-Kitab dan As-Sunnah itu adalah perkara yang wajib, dan tidaklah dapat dipahami kecuali dengan memahami bahasa Arab, dan suatu kewajiban tidak bisa terlaksana kecuali dengan sarana tertentu, maka sarana tertentu tersebut hukumnya juga wajib.” Di antara (hukum mempelajari) bahasa Arab itu ada yang fardhu ‘ain, dan ada pula yang fardhu kifayah” (Iqtidha` Ash-Shirath Al-Mustaqim: 1/527).[3]

As-Suyuthi radhiyallau’anhu menegaskan, “Tiada keraguan sedikit pun bahwa ilmu bahasa Arab termasuk bagian dari agama Islam, karena mempelajarinya termasuk fardhu kifayah, dan dengannya dapat diketahui makna lafal-lafal Al-Qur`an dan As-Sunnah” (Al-Muzhir, hal. 302).[4]

 

Kenapa harus Belajar Bahasa Arab?

Berikut merupakan lima alasan kenapa setiap muslim dan muslimah harus belajar bahasa Arab.

  1. Bahasa Arab merupakan bahasa al-Qur’an. Allah berfirman “Sesungguhnya Kami telah jadikan al-Qur’an dalam bahasa Arab supaya kalian memikirkannya.” (Q.S. Yusuf [12]: 2). Maka cukup dengan alasan ini agar setiap muslim mempelajari bahasa dari kitab sucinya, karena dengan mempelajari bahasa Arab akan mudah baginya untuk memahami apa yang dia baca dari kitab sucinya tersebut.[5]
  2. Membuat berbagai ibadah menjadi lebih khusyu’. Dengan memahami bahasa Arab, kita akan lebih khusyu’ dalam melakukan berbagai ibadah karena mengerti apa yang kita baca dalam ibadah tersebut. Seperti ketika melaksanakan shalat, apabila kita memahami bahasa Arab, tentu kita akan mengerti setiap bacaan dalam shalat yang kita baca. Kemudian ketika kita berdo’a bermunajat kepada Allah dan kita mengerti bahasa Arab, tentu kita akan lebih bisa menghayati apa yang kita minta kepada Allah ﷻ dalam setiap do’a kita.
  3. Memudahkan dalam menghafalkan al-Qur’an dan hadits. Ketika kita kesulitan dalam menghafal al-Qur’an dan hadits, salah satu hal yang membuatnya menjadi sulit adalah karena tidak memahami bahasa Arab. Dengan memahami bahasa Arab, menghafal al-Qur’an dan hadits menjadi jauh lebih mudah karena kita mengetahui harakat akhir dari setiap kata dari ayat al-Qur’an dan hadits yang ingin kita hafal, dan kita mengetahui asal-usul kata dari ayat al-Qur’an dan hadits yang kita hafal.
  4. Jalan pintas untuk memahami ilmu agama. Memahami bahasa Arab adalah jalan pintas dalam memahami ilmu agama, karena bahasa agama, bahasa kitab sucinya, dan bahasa hadits Nabi adalah bahasa Arab. Dengan memahami bahasa Arab, maka dengan mudah kita akan memahami al-Qur’an, hadits, dan kitab para ulama. Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu berkata “Pelajarilah bahasa arab, karena dia bagian dari agama kalian.[6]
  5. Bahasa Arab adalah bahasa yang paling mulia. Seperti yang sudah disebutkan di awal, Allah ﷻ mengistimewakan bahasa Arab dibandingkan dengan bahasa lainnya, serta menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa di dalam al-Qur’an yang diwahyukan kepada Nabi kita Muhammad . Ibnu Katsir berkata “Karena Al-Qur’an adalah kitab yang paling mulia, diturunkan dengan bahasa yang paling mulia, diajarkan pada Rasul yang paling mulia, disampaikan oleh malaikat yang paling mulia, diturunkan di tempat yang paling mulia di muka bumi, diturunkan pula di bulan yang mulia yaitu bulan Ramadhan. Dari berbagai sisi itu, kita bisa menilai bagaimanakah mulianya kitab suci Al-Qur’an.”[7]

Apa lagi alasan kita untuk tidak mempelajari bahasa Arab, bahasa yang Allah telah istimewakan di antara bahasa-bahasa lainnya? Karena ada orang yang mati-matian untuk mempelajari bahasa Inggris, bahkan sampai merogoh kocek yang dalam untuk mencapai tujuan duniawinya contohnya agar bisa kuliah di luar negeri. Ada juga orang yang berusaha keras untuk mempelajari bahasa Korea agar bisa mengikuti artis Korea favoritnya. Ada pula orang yang mempelajari bahasa Jepang agar bisa mengikuti serial anime favoritnya. Akan tetapi, dia tidak pernah mempelajari bahasa Arab, bahasa agamanya sendiri, sungguh sangat disayangkan sekali.

Jadi, kapan mau mulai belajar bahasa Arab? Semoga dimudahkan untuk memulai belajar bahasa Arab. Wallâhu a’lam.

 

Mutiara Hikmah

Rasulullah bersabda,

تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ، لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا: كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ

Aku tinggalkan bersama kalian dua perkara, jika kamu berpegang teguh padanya, kalian tidak akan tersesat selama-lamanya yaitu Kitabullah dan Sunnahku.” (H.R. Imam Malik dalam Al-Muwaththa’ 2/899)

 

Marâji’:

* Mahasiswa Teknik Mesin UII

[1] https://konsultasisyariah.com/31169-kehebatan-bahasa-arab-yang-mungkin-tidak-anda-sadari.html

[2] Aceng Zakariya. Al-Muyassar Fii ‘Ilmin Nahwi, Jilid 1. Garut: Penerbit Ibn Azka, 2018. Cet. Pertama. hal. 1

[3] https://muslim.or.id/30267-keistimewaan-bahasa-arab-1.html

[4] https://www.alukah.net/publications_competitions/0/36097/#ixzz4icjW5UcO

[5] https://rumaysho.com/12720-7-alasan-harus-belajar-bahasa-arab.html

[6] https://konsultasisyariah.com/31169-kehebatan-bahasa-arab-yang-mungkin-tidak-anda-sadari.html

[7] https://rumaysho.com/12720-7-alasan-harus-belajar-bahasa-arab.html

 

Download Buletin klik disini

CINTA YANG PALSU

Oleh: Nailis Sa’dah, S.Hub.Int*

 

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh,

Sahabat yang dirahmati Allah ﷻ. Kalian pasti pernah mendapatkan pertanyaan semacam ini, “Apakah kalian mencintai Allah?” Tentu jawabnya bilang “iya”. Pada realitanya jawaban “iya” merupakan jawaban klasik yang seakan menjadi jawaban formalitas dan menjadi jawaban wajib bagi umat Islam. Jawaban tersebut hanya sekedar ucapan dari mulut saja, tapi hati dan perasaan belum sepenuhnya mencintai Allah. Banyak orang yang mengaku cinta Allah, tetapi tingkah laku jauh dari hal-hal yang dicintai Allah. Lantas, bagaimana mungkin mengaku cinta Allah, tapi secara terang-terangan masih berbuat maksiat? Bagaimana mungkin mengaku mencintai Allah, tapi perintah dan laranganya masih diabaikan?

 

Cinta Kepada Allah ﷻ

Cinta (mahabbah) adalah kecenderungan hati pada sesuatu yang menyenangkan. Apabila merujuk pada cinta manusia kepada Tuhannya, maka Harun Nasution mendefinisikan cinta sebagai bentuk kepatuhan kepada Allah dan membenci sikap yang melawan-Nya, menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi dan mengkosongkan hati dari segala hal kecuali dari yang dikasihi, yaitu Allahﷻ. Pengertian di atas dapat dirangkum bahwa cinta adalah mengikuti perintah Allah ﷻ dan menjauhi larangannya, dan mengikuti ajaran yang dibawa Rasulullah  dengan ketulusan hati.[1] Sebagaimana firman Allah ﷻ, “Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, Ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Ali Imrân [3]: 31)

Berdasarkan penjelasan dari tafsir Al-Misbah, ayat diatas mengandung makna “Katakanlah, wahai Nabi Muhammad kepada mereka yang merasa mencintai Allah; jika kamu mencintai Allah, maka ikutlah aku, yakni laksanakan apa yang diperintahkan Allah melalui aku, yaitu beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa dan bertaqwa kepada-Nya. Jika itu kamu laksanakan, maka kamu telah masuk ke pintu gerbang meraih cinta Allah, dan jika kamu memelihara kesinambungan ketaatan kepadanya serta meningkatkan pengalaman kewajiban dengan melaksanakan sunnah-sunnah Nabi, niscaya Allah akan mencintai kamu dan mengampuni dosa-dosa kamu, semua itu karena Alah Maha Pengampun terhadap siapapun yang mengikuti Rasul dan lagi Maha Penyayang.”[2]

Jika memang cinta kita sejati, niscaya kita akan taat kepada-Nya, sebab orang yang cinta terhadap yang dicintai akan selalu patuh. Dengan demikian ukuran cinta adalah ketaatan kepada Allah, yaitu ketaatan yang tidak boleh ditunda, tidak juga dipikirkan apakah perintah itu perlu dipenuhi atau tidak.[3]

 

Pengakuan Palsu

Imam Hatim al-Asham radhiyallahu’anhu berkata, “Barang siapa mengaku cinta empat hal tanpa empat hal, maka pengakuan (cinta)nya itu palsu. Yaitu, mengaku cinta Allah, tapi selalu melakukan larangan-larangannya; mengaku cinta Rasul tapi membenci kaum fakir dan miskin; mengaku cinta surga tapi tidak jujur; mengaku takut api neraka tapi tidak berhenti berbuat dosa.”[4]

            Pertama, banyak orang yang mengaku mencintai Allah, tapi masih saja berbuat maksiat. Istilah familiarnya yaitu “Shalat terus, maksiat jalan terus”. Padahal shalat adalah ibadah yang dapat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Sebagaimana firman Allah;

Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.” (Q.S. al-Ankabut [29]:45). Shalat dapat mencegah dari kemungkaran, jika shalat tersebut dilakukan degan sempurna. Banyak orang muslim yang hatiya tidak berubah dan masih melakukan perbuatan keji dan mungkar meskipun sudah melaksanakan shalat, dikarenakan shalat yang dilakukan hanya untuk memenuhi kewajiban bukan menjadi suatu kebutuhan.[5]

            Kedua, Mengaku cinta Rasul tapi membenci kaum fakir miskin. Nabi Muhammad diciptakan Allah sebagai makhluk yang mulia, bukan hanya fisiknya tapi juga akhlaknya. Sangat wajar jika banyak sahabat dan umatnya yang mengidolakan dan mencintai Rasulullah . Namun sayangnya, banyak orang yang mengaku cinta tanpa tahu bagaimana cara mencintai Rasul dengan tulus. Salah satu indikator ketulusan cinta kepada Rasulullah adalah seberapa besar kecintaan kepada kaum fakir miskin. Rasulullah memang terkenal senang bergaul dengan para fakir miskin. Sikap beliau ini diikuti oleh para sahabat, karena ada satu hadits Qudsi mengatakan, “Carilah karunia Allah dengan mendekati orang yang dekat dengan orang miskin. Karena pada merekalah Aku jadikan keridhaan-Ku.” Sehingga dalam satu hadits Rasulullah bersabda, “Segala sesuatu itu ada kuncinya dan kunci surga itu adalah mencintai anak yatim dan orang-orang miskin.” (H.R Ibnu Hiban)[6]

            Ketiga, Mengaku cinta surga tapi tidak jujur. Setiap umat muslim pasti memiliki cita-cita masuk surga. Gambaran surga terdapat dalam surah Muhammad ayat 15: “Perumpamaan taman surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertaqwa; di sana ada sungai-sungai yang airnya tidak payau, dan sungai-sungai air susu yang tidak berubah rasanya, dan sungai-sungai khamar (anggur yang tidak memabukkan) yang lezat rasanya bagi peminumnya, dan sungai-sungai madu yang murni. Di dalamnya mereka memperoleh segala macam buah-buahan, dan ampunan dari Tuhan mereka. Samakah mereka dengan orang yang kekal dalam neraka, dan diberi minuman dengan air yang mendidih, sehingga ususnya terpotong-potong?” (Q.S. Muhammad [47]: 15)

Meskipun diiming-imingi dengan kenikamatan surga, masih banyak orang yang enggan meraihnya. Justru mereka tertipu dengan kenikmatan dunia yang sifatnya hanya sementara, bahkan rela menghalalkan segala cara meskipun didapatkan dengan tidak jujur. Sebagaimana para koruptor yang tidak jujur dengan amanah yang diembannya.

            Keempat, Mengaku takut neraka, tapi masih berbuat dosa. Mendengar kata neraka yang terlintas adalah siksaan, tempat yang panas, dan mengerikan. Allah telah memberikan gambaran neraka terhadap orang Islam, yang telah tertuang dalam surah al-Hajj ayat 20-22: “Dengan (air mendidih) itu akan dihancur luluhkan segala apa yang ada dalam perut mereka dan juga kulit mereka”. Dan untuk mereka cambuk-cambuk dari besi. Setiap kali mereka hendak keluar dari neraka karena tersiksa, mereka dikembalikan (lagi) ke dalamnya. (kepada mereka dikatakan),”Rasakan azab yang membakar ini!” (Q.S. al-Hajj [22]: 20-22)

 

Cinta adalah Fitrah

Dengan demikian, cinta adalah fitrah yang diberikan oleh Allah ﷻ. Cinta itu sejatinya suci dan sejauh-jauhnya kita melupakan Allah ﷻ dengan melakukan maksiat, pasti terbesit perasaan rindu untuk kembali kepada Allah ﷻ. Namun jika hati kita tidak memiliki kerinduan untuk kembali kepada Allah ﷻ, sungguh kita telah sersesat sejauh-jauhnya. Perbuatan maksiat yang kita lakukan telah membelenggu dan mengotori mata hati, sehingga sulit melihat dan menerima hidayah Allah ﷻ. Andai hal tersebut memang benar-benar terjadi dan kita tidak merasa ingin kembali dan bertobat kepada Allah, sungguh hal ini sebuah kehinaan.[7]

Oleh karena itu, marilah saling berintrospeksi diri, memperbaiki iman, dan memperbaiki pemahaman terkait nilai-nilai ajaran Islam. Sehingga dapat melahirkan kesadaran baru dalam beragama.[]

 

Mutiara Hikmah

 

حُبُّكَ الشَّيْءَ يُعْمِي وَيُصِمُّ

“Kecintaan kepada sesuatu bisa membuat buta dan tuli” (Hadits mauquf dari Abu Ad Darda a)

* Alumnus Hubungungan Internasional FPSB UII

[1] Mustafa, Mujetaba. Konsep Mahabbah dalam Al-Qur’an (Kajian Tafsir Maudhu’i). Jurnal al-Asas, Vol. IV No. 1, April 2020

[2] Sulhadi, Asep. Cinta dalam Al-Qur’an: Sebuah kajian Tafsir Tematik. Jurnal Samawat. Volume 04 Nomor 01 Tahun 2020

[3] Ibid.

[4] Jauhari, Muhammad Idris. Pengakuan Palsu. https://al-amien.ac.id/pengakuan-palsu/. 2012

[5] Tuasikal, Muhammad Abduh. Benarkah Shalat dapat Mencegah dari Perbuatan Keji dan Mungkar?. https://rumaysho.com/3773-benarkah-shalat-dapat-mencegah-dari-perbuatan-keji-dan-mungkar.html. 2013.

[6] Jauhari, Muhammad Idris, Pengakuan Palsu.

[7] Shobur, Abdush & Haifa Zahra Anggawie. Sungguh, Allah Sangat Merindukan Kita. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. 2014.

 

Download Buletin klik disini

HAKIKAT AKHLAK BAGI SEORANG MUSLIM

Oleh: Moh Mahfud*

 

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh ,

Masih ingatkah dengan petuah dari guru-guru kita tentang akhlak atau budi pekerti, mulai dari yang sifatnya anjuran, perintah, bahkan aturan yang tegas pun diterapkan demi terwujudnya akhlak mulia ini seperti halnya dalam pendidikan yang sering disebut dengan pendidikan karakter. Sampai-sampai ada adagium “kesopanan lebih tinggi nilainya dari kecerdasan”. Sebenarnya apa hakikat dari akhlak itu sendiri dan bagaimana hal-ihwalnya. Pada tulisan ini akan mencoba untuk sedikit membuat oretan kecil tentang hal ini barangkali bisa menghilangkan dahaga kita terkait akhlak.

 

Pengertian Akhlak

Akhlak dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah budi pekerti; kelakuan. Adapun adab dalam KBBI diartikan sebagai kehalusan dan kebaikan budi pekerti; kesopanan; dan akhlak. Dalam Bahasa Arab istilah akhlak ini mempunyai 2 term, yakni: khuluq dengan bentuk plural akhlaq yang bermakna tabiat atau budi pekerti,[1] dan adab yang bermakna kesopanan.[2]

Dari pengertian secara leksikal tersebut dapat dipahami bahwa ternyata akhlak dan adab merupakan serapan dari bahasa Arab. Sedangkan dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah moral, character dan attitude.

Sedangkan secara istilah akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan berbagai macam perbuatan dengan gampang dan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.[3] Karena pentingnya akhlak ini sampai-sampai Rasulullah bersabda, Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik.(H.R Bukhari)[4]

 

Akhlak adalah Tabiat

Pada dasarnya akhlak itu merupakan tabiat dalam diri seseorang, sehingga seseorang adakalanya diciptakan dalam tabiat pemaaf atau pemarah misalnya, karena memang Allah telah membagi akhlak setiap hamba-Nya sebagaimana Allah telah membagi mereka rezekinya[5]. Walaupun demikian, manusia itu masih bisa mengusahakan untuk berakhlak dengan selain akhlak aslinya sehingga ia bisa menerapkan akhlak-akhlak yang baik dan mulia, sebagaimana sabda Rasulullah kepada Muadz bin Jabal, “Perbaguslah akhlakmu bersama manusia”.[6]

Seseorang yang memiliki akhlak yang mulia (akhlakul karimah) maka yang muncul dalam dirinya adalah hal-hal yang membuat dia itu sejuk untuk dipandang, enak didengarkan perkataannya dan terasa nikmat berada di dekatnya.

Akhlak memang harus didahulukan dan diprioritaskan dari pada hal-hal yang lain karena dengan akhlak ini seseorang dalam segala hal akan tertuntun dengan baik, orang yang berilmu dengan akhlak akan membuat ilmunya menjadi penggeraknya untuk bisa terus mengamalkan ilmunya untuk dirinya sendiri maupun orang lain, orang yang bodoh dengan akhlaknya akan mendorongnya untuk terus semangat belajar dan tidak merasa gengsi atau sombong menerima ilmu dari siapapun walaupun dari orang yang lebih junior dari dirinya sendiri. Orang kaya yang berakhlak akan mendorongnya untuk senantiasa bersyukur dan bisa mendermakan hartanya ke jalan yang Allah ridhoi, orang yang miskin dengan akhlak akan menuntunnya untuk selalu bersabar dan mencegahnya dari meminta-minta atau melakukan hal-hal yang bisa membuat dirinya terhina, dan begitu seterusnya.

Sebaliknya, orang yang tidak memiliki akhlak, setinggi apapun ilmunya, sekaya apapun hartanya maka sungguh semua kelebihan yang ia miliki justru akan menjerumuskannya pada hal yang membuat dirinya terhina. Orang yang tidak memiliki akhlak yang mulia (berakhlak dengan akhlak yang tercela) sejatinya dalam dirinya terdapat najis ma’nawi (secara batin) yang membuat dia sulit atau bahkan tidak mungkin untuk bisa menggapai taqarrub Ilallah,[7]bahkan dalam kitab Ta’limul Muta’allim disebutkan secara tegas bahwa akhlak tercela itu adalah anjing ma’nawi yang dalam artian sama dengan anjing yang menyakiti siapapun yang ada di dekatnya, maka begitu pula akhlak tercela ini juga bisa menyakiti terhadap sang pemiliknya sendiri dan orang-orang yang ada di sekitanya.[8]

 

Cakupan Akhlak

Akhlak itu mempunyai cakupan yang luas, tidak hanya sebatas sopan, bertutur kata halus, dan semacamnya, tapi juga tak kalah pentingnya ialah kebersihan hati dan jiwa yang dari hal inilah akan tercermin perilaku yang luhur. Oleh karena itu, perlu kiranya disinggung di sini, sejauh mana akhlak kita kepada Allah (hablun minallah) dan akhlak kepada sesama manusia (hablun minannas).

Hubungan kita kepada Allahﷻ merupakan pilar utama dalam kehidupan kita, bagaimana kita beribadah kepada Allah dengan berupaya semaksimal mungkin untuk mendekati sempurna, husnuzhzhan dan selalu menerima terhadap takdir-Nya. Oleh karena itu akhlak kepada Allah maksudnya ialah menghambakan diri kepada Allah dengan sebenar-benarnya untuk menggapai nilai-nilai qurbah (kedekatan) kepada-Nya.[9] Akhlak kita kaitannya dengan hubungan dengan sesama manusia diperinci lagi, yakni kepada Rasulullah, kepada orang tua dan guru, dan kepada manusia pada umumnya.

 

Akhlak Kepada Rasulullah

Rasulullah merupakan manusia bahkan makhluk yang paling mulia, bagaimana mungkin kita tidak berakhlak terhadap beliau, yang mana di dalam al-Qur’an kedudukan mentaati Allah hampir selalu digandengkan dengan kewajiban mentaati beliau. Dalam artian tidak diterima taatnya seorang hamba kepada Allah sehingga ia juga taat kepada Rasul-Nya. Oleh karena itu, dalam ucapan kita harus berada di bawah ucapan beliau (Q.S. al-Hujurat [49]: 2), Ketika beliau sudah memutuskan sesuatu maka kita tidak diperkenankan mempunyai pilihan lain selain pilihan beliau (Q.S. al-Ahzab [33]: 36), bahkan kita dilarang untuk mempersunting (mantan) isteri-isteri beliau baik Ketika beliau masih hidup atau setelah beliau wafat (Q.S. al-Ahzab [33]: 53).

 

Akhlak Kepada Orang Tua

Orang tua merupakan sebab terbesar atas wujudnya kita di dunia ini, orang yang harus kita hormati dan muliakan setelah Allah dan Rasul-Nya. Kalau mau dirinci akhlak kita kepada orang tua dan guru maka tulisan yang ringkas ini tidak akan mampu untuk menghimpunnya, namun paling tidak di sini kami tegaskan bahwa perintah orang tua dan guru selama bukan dalam hal maksiat maka perintah tersebut wajib bagi kita untuk merealisasikannya. Begitu pula halnya dengan guru dan mertua kita, karena orang tua menjaga jasad/jasmani kita sementara guru menjaga ruh/rohani kita. Adapun mertua perlu kita hormati pula karena statusnya sama dengan kedua orang tua kita.

 

Akhlak Kepada Sesama

Manusia pada umumnya; selain yang telah disebutkan di atas, paling tidak kita bisa memahami sabda Nabi Muhammad, “Bukanlah termasuk golonganku orang yang tidak menyayangi yang lebih muda dan tidak memuliakan yang lebih tua” (H.R. Abu Daud dan Tirmidzi). Berarti kita harus memuliakan orang yang lebih tua usianya daripada kita dan menyayangi orang yang usianya lebih muda dari pada kita. Lalu, bagaimana dengan orang yang sebaya dengan kita?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut penulis mengutip pendapatnya al-Imam al-Ghazali. Menurut beliau ada tiga macam orang, yakni teman, kenalan, dan orang yang tidak kita kenal.[10] Kepada orang yang tidak kita kenal, maka tidak perlu terlalu masuk dalam pembicaraan mereka dan sebisa mungkin untuk tidak ada hajat terhadap mereka. Sedangkan pada kenalan dan teman kita maka tirulah kedua tangan kita yang mana satu tangan membantu tangan yang lain, saling berbagi, tidak ada saling mendahului (menyombongkan diri), dan tidak hidup sendiri-sendiri.

Dari hal tersebut di atas, maka sepantasnya bagi kita untuk menjaga akhlak kita dengan selalu berhiaskan dengan akhlak yang mulia dan membersihkan diri dari akhlak yang tercela. Sebagian ulama mengungkapkan bahwa akhlak (yang mulia) itu merupakan 2/3 dari agama. Karena orang yang tidak mempunyai akhlak atau adab maka dia tidak mempunyai syari’at, iman, dan tauhid. Para walinya Allah tidak mencapai derajat kewalian dikarenakan banyaknya amal ibadah, melainkan karena adab dan akhlak yang baik.[11] Bahkan, seorang budak dengan akhlak yang baik bisa mencapai derajatnya para raja.[12]

Semoga tulisan singkat ini bisa menggugah hati kita untuk senantiasa mengamalkan hadits Nabi Muhammad, “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya.” (H.R. Tirmidzi)[13]

 

Mutiara Hikmah

Dari Aisyah i berkata, “Saya mendengar Rasulullahn bersabda,

إِنَّ الْمُؤْمِنَ لَيُدْرِكُ بِحُسْنِ خُلُقِهِ دَرَجَةَ الصَّائِمِ الْقَائِمِ

Sesungguhnya seorang mukmin bisa meraih derajat orang yang rajin berpuasa dan shalat dengan sebab akhlaknya yang luhur.” (H.R. Ahmad no. 25013 dan Abu Dawud no. 4165)

 

Maraji’:

 

* Dosen STAI al-Falah Pamekasan

[1]Ahmad Warson Munawwir. 1997. al-Munawwir; Kamus Arab-Indonesia. Pustaka Progressif: Surabaya. hal. 364

[2]Ibid. hal. 13

[3]Al-Ghazali. Ihya’ Ulumiddin Jilid 3. Darul Ihya’ al-Kutubil al-Arabi: Indonesia. Hal. 52.

[4] H.R. Al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad no. 273 (Shahiihul Adabil Mufrad no. 207), Ahmad (II/381), dan al-Hakim (II/613), dari Abu Hurairah . Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 45).

[5]Al-Bukhari. Al-Adabul Mufrad. Hadits nomer 275.

[6] Ibnu Hajar al-Haytami. Fathul Mubin Bi Sayh al-Arba’in. hal 360.

[7]Muhammad Amin Kurdi. 2006. Tanwirul Qulub fi Mu’amalati ‘Allamil Ghuyub. Al-Haramain Jaya: Surabaya. hal. 429.

[8] Ibrahim. 2006. Syarah Ta’limul Muta’allim liz Zarniji. Al-Haramain Jaya: Surabaya. hal. 20.

[9]Ali Ahmad al-Jurjawi. Tt. Hikmatut Tasyri’ wa falsafatuhu Juz 2. Al-Haramain: Jeddah. hal. 417

[10] al-Ghazali. Bidayatul Hidayah. Al-Hidayah: Surabaya. hal. 90.

[11]Abdul Wahhab as-Sya’roni. Tt. Syarah al-Minahus Saniyyah. Al-Alawiyah: Semarang. hal. 16.

[12] Muhammad Nawawi. Tt. Tanqihul Qaul Syarah Lubabul Hadits. Al-Alawiyah: Semarang. hal. 50.

[13] H.R. Tirmidzi no. 1162. Dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 284.

 

Download Buletin klik disini

DAMPAK BURUK MAKSIAT

Oleh: Aisyah Qosim*

 

Bismillâhi walhamdulillâh wash-shalâtu was-salâmu ‘ala rasûlillâh,

Saudaraku pembaca yang dirahmati Allahﷻ, sebagai orang yang beriman, sudah seharusnya kita menjauhi segala bentuk kemaksiatan, apapun bentuk maksiatnya. Karena segala bentuk kemaksiatan baik kemaksiatan yang sifatnya tampak ataupun tersembunyi itu memiliki dampak buruk, tercela serta membahayakan hati dan badannya di dunia maupun di akhirat, yang jumlahnya tidak diketahui secara pasti kecuali oleh Allah semata.

Ibarat air jernih dalam bejana yang ditetesi tinta hitam, maka akan menjadikan air tersebut berubah warna. Setetes demi setetes warna gelap akan mendominasi. Semakin banyak tetesan tinta hitamnya, maka akan semakin pekat warna hitamnya. Namun jika bejana air tersebut dialiri dengan air yang jernih maka warna gelap akan mengalir (menghilang) sehingga kerjernihan air akan tampak segar. Begitulah perumpaan dengan amal shalih dan maksiat. Semakin banyak dosa atau maksiat yang dilakukan, maka akan semakin banyak kebaikan yang terlewatkan. Sebaliknya, semakin banyak amal shalih yang kita lakukan, maka akan semakin besar peluang kita untuk mendapatkan kebaikan dari Allahﷻ.

Ibnu Qayyim al Jauziyah t dalam ad-dâ’ wa ad-dawâ’ menyebutkan ada 51 dampak kemaksiatan bagi pelakunya, namun dalam tulisan ini akan disampaikan 10 dampak kemaksiatan[1]. Diantara dampaknya adalah:

  1. Maksiat menghalangi masuknya ilmu

Ilmu adalah cahaya yang Allah masukkan ke dalam hati, sedangkan maksiat adalah pemadam cahaya tersebut. Imam Asy-Syafi’i berkata, “Aku mengadu kepada Waki’ tentang buruknya hafalanku, dia pun berkata, ‘Ketahuilah, sesungguhnya ilmu itu karunia, dan karunia Allah tidak akan diberikan pada orang bermaksiat’[2].

  1. Maksiat menghalangi datangnya rezeki

Disebutkan dalam al-Musnad[3], dari Tsauban, dia mengatakan bahwa Rasulullah bersabda,  “Sesungguhnya seorang itu benar-benar terhalangi dari rezeki karena dosa yang dilakukannya.”

Sebagaimana takwa kepada Allah akan mendatangkan rezeki, maka meninggalkan takwa akan menyebabkan kefakiran. Tidak ada yang dapat mendatangkan rezeki kecuali dengan meninggalkan maksiat.

  1. Maksiat menyebabkan kehampaan hati dari mengingat Allah

Kehampaan hati yang dirasakan oleh pelaku maksiat, antara dirinya dan Allah, sama sekali tidak dapat dibandingkan dengan kelezatan apapun. Meskipun seluruh kelezatan dunia terkumpul padanya, tetap saja ia tidak akan mampu menutupi rasa hampa tersebut.

Ada yang mengadu kepada sebagian orang arif tentang kehampaan yang dirasakannya dalam jiwa, lalu pengaduan ini ditanggapi dengan ungkapan, “Bila engkau telah merasakan hampa karena dosa, maka tinggalkanlah ia, jika engkau mau dan raihlah kebahagiaan.” Tidak ada yang terasa lebih pahit bagi hati dari pada kehampaan yang disebabkan dosa di atas dosa.

  1. Maksiat membuat pelakunya asing di antara orang baik

Merasa terasing dari orang lain pasti dialami pelaku maksiat, terutama terhadap orang-orang baik di antara mereka. Jika keterasingan itu menguat, dia pun makin jauh dari mereka. Akibatnya, seorang itu tidak dapat memperoleh berkah dengan mengambil manfaat dari orang shalih tersebut.

Rasa terasingan ini akan bertambah kuat, bahkan semakin merajalela, sampai-sampai mempengaruhi hubungannya dengan isteri, anak, kerabat, bahkan terhadap jiwanya, sehingga nampak terasing meskipun terhadap dirinya sendiri. Sebagian salaf berkata, “Aku pernah bermaksiat kepada Allah, lalu kurasakan bahwa kemaksiatan itu mempengaruhi tingkah laku isteri dan hewan tungganganku.”

  1. Maksiat membuat semua urusan dipersulit

Tidaklah pelaku maksiat melakukan suatu urusan, melainkan dia akan menemui berbagai kesulitan dan jalan buntu dalam menyelesaikannya. Demikianlah faktanya, sekiranya orang itu bertakwa kepada Allah, niscaya urusannya dimudahkan oleh Allah. Begitu pula sebaliknya, siapa yang mengabaikan takwa niscaya urusannya akan dipersulit oleh Allah.

  1. Maksiat menghadirkan kegelapan ke dalam hati pelakunya

Pelaku maksiat merasakan kegelapan di dalam hatinya sebagaimana merasakan gelapnya malam jika telah larut. Kegelapan karena maksiat ini di dalam hatinya bagaikan gelapnya ruangan bagi matanya. Ketaatan adalah cahaya dan maksiat adalah kegelapan.

Apabila kegelapan menguat, maka kebingungan juga bertambah sehingga pelakukanya terjatuh dalam berbagai bid’ah dan perkara yang membinasakan, sedangkan ia tidak menyadarinya. Keadaannya seperti orang buta yang berjalan keluar sendirian pada malam yang gelap gulita.

  1. Maksiat melemahkan hati dan badannya

Dampak buruk maksiat dengan melemahnya hati merupakan perkara yang tampak dengan amat jelas, bahkan akan senantiasa memperlemahnya hingga berhasil memadamkan cahaya hati secara keseluruhan. Adapun pengaruh maksiat yang melemahkan badan dikarenakan kekuatan seorang mukmin adalah bersumber dari hati. Jika hatinya kuat, badannya juga kuat.

Adapun orang yang berdosa adalah orang yang paling lemah ketika dibutuhkan, meskipun memiliki tubuh yang kuat. Kekuatan tersebut justru tidak hadir pada saat dirinya benar-benar membutuhkan.

  1. Maksiat menghalangi ketaatan

Andaikata perbuatan dosa tidak ada hukumannya kecuali akan menghalangi ketaatan, yang seharusnya menempati posisi dosa tersebut, serta merintangi jalan menuju ketaatan kedua, ketaatan ketiga, keempat dan seterusnya, maka hukuman ini sudah cukup. Banyak sekali ketaatan yang terputus karena dosa. Padahal satu ketaatan, lebih baik dari pada dunia berserta isinya. Hal ini bagaikan seseorang yang memakan suatu hidangan yang menyebabkannya sakit berkepanjangan sehingga dia tidak bisa lagi menikmati berbagai hidangan yang lebih enak dari pada hidangan tadi. Wallâhul musta’ân.

  1. Kemaksiatan memperpendek umur dan menghilangkan keberkahan

Hakikat kehidupan adalah hidupnya hati. Seberapa lama hati itu hidup maka sepanjang itulah umur manusia. Ia tidak lain hanyalah waktu-waktu yang dipergunakan untuk mengingat Allah. Pada saat itulah takwa dan kebaikannya bertambah. Inilah hakikat umurnya, yang tiada lagi umur selainnya.

  1. Kemaksiatan menghasilkan kemaksiatan lain yang semisalnya

Kemaksiatan akan menanam benih kemaksiatan yang semisalnya. Sebagiannya melahirkan sebagian yang lain. Sampai-sampai pelakunya merasa sulit untuk meninggalkan dan keluar dari maksiat tersebut.

Sebagian salaf mengatakan, ‘Hukuman dari keburukan adalah munculnya keburukan setelahnya, sedangkan ganjaran dari kebaikan adalah munculnya kebaikan sesudahnya. Jika seorang hamba melakukan kebaikan, maka kebaikan lain akan berkata kepadanya, ‘Amalkan aku juga.’ Apabila dia melakukannya, maka kebaikan yang lain lagi akan mengatakan hal yang serupa, demikianlah seterusnya. Alhasil, berlipat gandalah keuntungannya dan bertambahlah kebaikannya. Demikian pula dengan maksiat. Hal itu terus berlangsung hingga ketaatan atau kemaksiatan menjadi suatu sifat dan kebiasaan yang melekat dan tetap pada diri seseorang’. Wallâhu a’lam  bi ash-shawwâb.[]

 

 

Mutiara Hikmah

Rasulullah bersabda,

مَا قَلَّ وَكَفَى خَيْرٌ مِمَّا كثُرَ وَأَلْهَى

“Sesungguhnya yang sedikit dan mecukupi lebih baik daripada yang banyak namun melalaikan.” (H.R. Ahmad V/197, Ibnu Hibbân VIII/121 dan al-Hâkim II/482)

Hadits ini dinilai shahîh oleh Imam Ibnu Hibbân, al-Hâkim dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi.Lihat ash-Shahîhah no.443

 

Marâji’

* IRT tinggal di Yogyakarta.

[1] Dampak maksiat yang lainnya, silahkan merujuk kepada Ibnu Qayyim al Jauziyah.1439 H.  Ad-Dâ wa ad-Dawâ. Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i. Cet.ke-9. hal. 127-238

[2] Dîwân asy-Syafi’i. hal. 54 disebutkan dalam Ad-Dâ wa ad-Dawâ, hal.127

[3] Al-Musnad (V/277). Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah no.4022, disebutkan dalam Ad-Dâ wa ad-Dawâ, hal.103

 

 

Download Buletin klik disini

PINTU-PINTU REZEKI

Oleh: Qonitah Cahyaning Tyas*

 

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh,

Membahas rezeki memang berkaitan dengan sesuatu yang diberikan oleh Allahﷻ  kepada makhluk hidup. Seperti yang telah diketahui, sesuai dengan kenyataan hidup, maka rezeki yang Allah berikan kepada sang hamba itu sangat banyak macamnya, ada makanan, harta, pakaian atau beberapa hal-hal lainnya yang mungkin menjadi kebutuhan manusia. Tetapi, manusia juga perlu memahami apa arti atau makna rezeki menurut al-Qur’an dan dari mana saja pintu-pintu rezeki terbuka.

Rezeki ada yang bersifat umum dan bersifat khusus. Rezeki yang sifatnya umum (ar-rizq al-‘am) yaitu segala sesuatu yang memberikan manfaat bagi badan, berupa harta, rumah, kendaraan,  kesehatan, dan selainnya, baik berasal dari yang halal maupun haram. Rezeki jenis ini Allah berikan kepada seluruh makhluk-Nya, baik orang muslim maupun orang kafir.

Rezeki yang sifatnya khusus (ar-rizq al-khash) yaitu segala sesuatu yang membuat tegak agama seseorang. Rezeki jenis ini berupa ilmu yang bermanfaat dan amal shalih serta semua rezeki halal yang membantu seseorang untuk taat kepada Allah. Inilah rezeki yang Allah berikan khusus kepada orang-orang yang dicintai-Nya. Inilah rezeki yang hakiki, yang menghantarkan seseorang akan mendapat kebahagiaan dunia akherat.[1]

Pemahaman yang baik terhadap rezeki juga dapat berdampak baik bagi individu seseorang maupun masyarakat, seperti terwujud dalam perilaku jujur dalam bertransaksi, mencari keberkahan dalam rezeki yang diberikan atau lainnya. Sedangkan pemahaman yang salah terhadap rezeki juga dapat berakibat buruk kepada masing-masing individu dan masyarakat, sehingga dapat menimbulkan perilaku-perilaku seperti menghambur-hamburkan harta atau materialisme.[2]

 

Makna Rezeki dalam al-Qur’an

Ada banyak lafadz rezeki dalam al-Qur’an, dan memiliki makna yang berbeda, diantaranya:

  1. Bermakna pemberian, seperti dalam surat al-Baqarah ayat 3, “(yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, melaksanakan shalat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka”
  2. Bermakna makanan, dalam surat al-Baqarah ayat 25, “Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang beriman dan berbuat kebajikan, bahwa untuk mereka (disediakan) surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Setiap kali mereka diberi rezeki buah-buahan dari surga, mereka berkata “Inilah rezeki yang diberikan kepada kami dahulu.” Mereka telah diberi (buah-buahan) yang serupa. Dan disana mereka (memperoleh) pasangan-pasangan yang suci. Mereka kekal di dalamnya.
  3. Bermakna hujan yang salah satunya ada pada surat adz-Dzariyat ayat 22, Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezekimu dan apa yang dijanjikan kepadamu”
  4. Bermakna nafkah yang ada pada surat al-Baqarah ayat 233, “Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut…….”
  5. Bermakna Pahala, seperti pada surat Ali Imron ayat 169, “Dan jangan sekali-kali kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, sebenarnya mereka itu hidup di sisi Tuhannya mendapat rezeki.”
  6. Bermakna Surga, salah satunya ada pada surat Taaha ayat 131, “Dan janganlah engkau tunjukkan pandangan matamu kepada kenikmatan yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan dari mereka, (sebagai) bunga kehidupan dunia agar Kami uji mereka dengan (kesenangan) itu. Karunia Tuhanmu lebih baik dan lebih kekal.”
  7. Bermakna Syukur pada surat al-Waqi’ah ayat 82, Dan kamu menjadikan rezeki yang kamu terima (dari Allah) justru untuk mendustakan-Nya.”
  8. Bermakna buah-buahan yang ada di surat Ali Imran ayat 37, “Maka Dia (Allah) menerimanya dengan penerimaan yang baik, membesarkannya dengan pertumbuhan yang baik dan menyerahkan pemeliharannya kepada Zakaria. Setiap kali Zakaria masuk menemuinya di mihrab (kamar khusus ibadah), dia dapati makanan di sisinya. Dia berkata, “Wahai Maryam! Dari mana engkau peroleh?” Dia (Maryam) menjawab, “Itu dari Allah.” Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dia kehendaki tanpa perhitungan.”[3]

Maka, dapat disimpulkan bahwa makna rezeki menurut bahasa ada dua makna, yang pertama adalah pemberian dan kedua adalah sesuatu yang dapat dimanfaatkan oleh manusia, baik yang ia makan ataupun yang ia pakai. Sedangkan dari segi istilah, rezeki adalah ungkapan dari sesuatu yang Allah berikan kepada makhluk. Berarti makna rezeki adalah pemberian dan juga sesuatu yang Allah sampaikan kepada makhluk-Nya dan yang bermanfaat bagi makhluk-Nya.[4]

 

Pintu-Pintu Rezeki Menurut al-Qur’an

Allah telah menetapkan empat hal pada diri manusia sejak ia masih berada dalam kandungan sang ibu, diantaranya adalah rezeki, ajal, amal dan jodoh. Tak ada yang tau ukuran rezeki yang telah Allah tetapkan untuk makhuk-Nya.[5] Memang, rezeki manusia dan makhluk lainnya itu hanya Allah yang tau, maka sebaiknya seorang manusia juga yakin akan ketetapan yang sudah Allah tentukan sebelumnya, tetapi manusia juga dapat berusaha dan tetap bersandar kepada Allah agar Allah dapat membuka pintu-pintu rezeki, dan diantara sebab pintu rezeki terbuka menurut Al-Qur’an adalah berikut ini:

  1. Rezeki yang dijamin Allah

Allah Pencipta seluruh yang ada di alam ini, dan tentu Allah menjamin rezeki makhluk-Nya, seperti firman Allah dalam Surat Hud ayat 6, “Dan tidak satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz).” (Q.S. Hud [11]: 6)

Dari ayat diatas dapat dipahami bahwa ayat tersebut menegaskan sesnungguhnya tidak ada makhluk yang tidak dijamin oleh Allah rezekinya. Jaminan rezeki dari Allah untuk seluruh makhluk memiliki arti yang luas, seperti tumbuhan yang juga mampu bertahan hidup atau makhluk lainnya yang bisa menghidupi dan lain-lain.[6]

  1. Rezeki karena usaha

Dalam firman Allah surat al-Mulk ayat 15, “Dialah yang menjadikan bumi untuk kamu yang mudah dijelajahi, maka jelajahilah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya, dan hanya kepada-Nya lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (Q.S. al-Mulk [67]: 15)

Ayat diatas menjelaskan bahwa alam ini diciptakan Allah untuk memudahkan makhluk dalam memenuhi kebutuhannya. Maka dari itu, Allah memerintahkan manusia untuk menjelajahi alam ini untuk mencari rezeki yang halal.[7]

  1. Rezeki karena bersyukur

Ada kata-kata usaha tidak akan mengkhianati hasil, dan memang jika kita berusaha maka kita akan mendapatkan hasilnya. Dengan begitulah, maka sudah sepatutnya kita sebagai makhluk Allah bersyukur kepada-Nya. Karena janji Allah kepada orang yang bersyukur akan ditambah nikmat kepada mereka,[8] seperti dalam Surat Ibrahim ayat 7, “Dan (ingatla)h, ketika Tuhanmu memaklumkan; “sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Kyu), maka pasti azab-Ku sangat berat.” (Q.S. Ibrahim [14]:7)

Itulah beberapa sebab-sebab pintu-pintu rezeki dapat terbuka dari Allah, menurut Al-Qur’an. Sebenarnya masih ada beberapa cara untuk membuka pintu rezeki dari Allah, seperti pintu rezeki yang terbuka karena beristighfar, pintu rezeki yang terbuka karena bersedekah dan pintu rezeki yang terbuka dengan taqwa seseorang. Yang terpenting dari itu semua adalah percaya bahwa rezeki yang Allah berikan kepada makhluk-Nya itulah rezeki yang terbaik.[]

 

Mutiara Hikmah

Allah lberfirman,

وَمَا مِن دَآبَّةٍ فِي الأَرْضِ إِلاَّ عَلَى اللّهِ رِزْقُهَا

Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberinya rezeki“ (Q.S. Hûd [11]:6)

 

Marâji’:

* Penyusun adalah mahaasiswi Program Studi Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Agama Islam UII

[1] Lebih lanjut https://muslim.or.id/7401-memahami-dua-jenis-rezeki.html

[2] Basri Mahmud., Hamzah. Membuka Pintu Rezeki dalam Perspektif Al-Qur’an dalam Jurnal Al-Quds: Jurnal Studi Alquran dan Hadits, Vol. 4 No.2, 2020, hal. 467-480

[3] Achmad Kurniawan Pasmadi. Konsep Rezeki dalam Al-Qur’an dalam Jurnal Didaktika Islamika, Vol. 6 No. 2 Agustus 2015, hal. 132-146

[4] Ibid

[5] Basri Mahmud., Hamzah. Membuka Pintu Rezeki.,

[6] Ibid

[7] Ibid

[8] Ibid

 

Download Buletin klik disini

 

 

TANDA-TANDA KEMUNAFIKAN DALAM SHALAT

Oleh: Camelia Rizka Maulida Syukur*

 

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh,

Sahabat pembaca yang budiman, sebagaimana diketahui shalat merupakan perjalanan rohani menuju Allahﷻ. Shalat sebagai media komunikasi vertikal transendental. Oleh sebab itu, Islam mengaturnya sebagaimana telah disebutkan dalam kitab Riyadhus Shalihin, Kitab Al-Fadhail, bab 193 tentang perintah menjaga shalat wajib dan larangan serta ancaman yang sangat keras bagi yang meninggalkannya. Abu Hurairah radhiyallau ‘anhu berkata, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya amal yang pertama kali dihisab pada seorang hamba pada hari kiamat adalah shalatnya. Maka, jika shalatnya baik, sungguh ia telah beruntung dan berhasil. Dan jika shalatnya rusak, sungguh ia telah gagal dan rugi. Jika berkurang sedikit dari shalat wajibnya, maka Allah Ta’ala berfirman, ‘Lihatlah apakah hamba-Ku memiliki shalat sunnah.’ Maka disempurnakanlah apa yang kurang dari shalat wajibnya. Kemudian begitu pula dengan seluruh amalnya.” (H.R. Tirmidzi, ia mengatakan hadits tersebut hasan[1])[2]

Allahﷻ menurunkan perintah shalat bersamaan dengan pahala bagi yang menunaikan dan ancaman bagi yang meninggalkannya, seiring dengan itu, muncullah berbagai motif manusia dalam menjalankan ibadah shalat. Tidak sedikit orang yang melaksanakan shalat hanya sebatas menggugurkan kewajiban, namun banyak juga orang yang melaksanakan ibadah shalat sebagai bentuk penghambaan seorang hamba pada Tuhannya.

Orang-orang yang menjadikan shalat hanya sebagai penggugur kewajiban, cenderung akan tertanam sifat munafik dalam hatinya. Sebagaimana Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali”. (QS. An-Nisa: 142)

Orang-orang munafik itu hendak menjalankan shalat maka mereka akan merasa berat dan berlambat-lambat, tidak ada semangat dan rasa ingin yang mendorong mereka untuk menjalankannya; sebab mereka tidak mengharapkan pahala di akhirat dan tidak takut terhadap siksaan Allah, karena mereka tidak memiliki keimanan. Mereka hanya takut kepada manusia dan berharap agar dilihat oleh orang-orang beriman sehingga dapat dianggap sebagai golongan mereka. Mereka hanya menjalankan shalat sesekali saja; apabila tidak ada yang melihat mereka, maka mereka tidak menjalankan shalat; namun jika mereka bersama dengan orang banyak maka mereka akan menjalankan shalat hanya untuk riya’.

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullahu berkata bahwa terdapat enam hal dalam shalat, yang termasuk tanda kemunafikan, sebagai berikut:[3]

 

Malas Ketika Bangkit untuk Menegakkannya

Marilah mulai menelusuri sebab rasa malas itu? Apa karena pemahaman agama yang dangkal, atau memang atas dasar malas, kesibukan bekerja, kesibukan mengurus rumah, dan lain-lain. Setiap sebab diberikan obatnya berupa antitesanya. Misalnya, jika merasa kurang ilmu, maka mengajilah perkara shalat. Jika terlalu sibuk maka manajemen pekerjaan diperbaiki dan seterusnya. Biasakanlah dari sekarang ketika mendengar adzan dikumandangkan, maka segeralah melaksanakan shalat. Hal tersebut akan mengurangi rasa malas. Serta, berdoalah kepada Allahﷻ dengan doa Nabi Ibrahim, “Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat. Ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku”. (Q.S. Ibrahim [14]: 40-41)

 

Riya’ Ketika Mengerjakannya

Riya’ sendiri terbagi dalam tiga macam. Pertama, riya’ perkataan di mana orang mengucapkan kalimat-kalimat dzikir maupun nasihat-nasihat, hanya untuk mendapatkan pujian dari orang banyak. Kedua, riya’ perbuatan, di mana seseorang menunjukkan kekhusyukan shalatnya atau memberikan sedekah agar dinilai sebagai orang dermawan. Ketiga, riya’ al-khafiy yang berarti riya’ yang tidak tampak atau tersembunyi. Bahkan, dalam salah satu hadits qudsi, Rasulullah bersabda, “Syirik yang tersembunyi, yaitu orang yang melakukan shalat kemudian membaguskan shalatnya tatkala dilihat oleh orang lain.” (H.R. Ibnu Majah dan Baihaqi).

 

Menunda-nundanya

‘Umar bin Al Khathab radhiyallahu “anhu berkata, “Menghimpun antara dua shalat tanpa ada udzur termasuk dosa besar.” Diriwayatkan pula oleh Imam Tirmidzi secara marfu’[4], dari Ibnu ‘Abbas, Nabi bersabda, “Barangsiapa menhimpun dua shalat tanpa ada udzur, maka ia telah mendatangi salah satu pintu dosa besar.” (H.R Tirmidzi)[5]

Gerakannya Terlalu Cepat

Di antara kesalahan besar yang terjadi pada sebagian orang yang shalat: tidak tuma’ninah ketika shalat. Nabi menganggapnya sebagai pencuri yang paling buruk, sebagaimana disebutkan dalam Musnad Imam Ahmad dari Nabi, bahwa beliau bersabda, “Sejahat-jahat pencuri adalah yang mencuri dari shalatnya”. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana mencuri dari sholat?”. Rasulullah berkata, “Dia tidak sempurnakan ruku dan sujudnya” (H.R Ahmad no. 11532, dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahihul Jami’ 986). Maka Nabi menganggap perbuatan mencuri dalam shalat ini lebih buruk dan lebih parah daripada mencuri harta. Thuma’ninah ketika mengerjakan shalat adalah bagian dari rukun shalat, shalat tidak sah kalau tidak tuma’ninah.[6]

 

Sedikit Menyebut atau Mengingat Allah di Dalamnya

Dalam sebuah hadis dari Anas bin Malik radhiyallau ‘anhu, Nabi bersabda, Itulah shalatnya orang munafik.. duduk santai sambil lihat-lihat matahari. Hingga ketika matahari telah berada di antara dua tanduk setan (menjelang terbenam), dia baru mulai shalat, dengan gerakan cepat seperti mematuk 4 kali. Tidak mengingat Allah dalam shalatnya kecuali sedikit. (H.R. Muslim no.622).

Hadits tersebut menunjukkan bahwa hanya meluangkan untuk berdzikir sesaat dan mepet dengan waktu berakhirnya ibadah, serta tidak mengingat Allah dalam shalatnya melainkan sedikit. Shalat mereka pun dikerjakan dalam keadaan malas, dan mereka berat melaksanakannya.

 

Tidak Mengerjakannya Secara Berjamaah

Dari Abdullah bin Abbas radhiyallau ‘anhu, Nabi bersabda, “Barangsiapa yang mendengar adzan, namun tidak mendatanginya maka tidak ada shalat baginya, kecuali ada udzur” (H.R. Abu Daud no.551, Ibnu Majah no.793)[7]. Ibnu Abbas radhiyallau ‘anhu, mengatakan, “Aku melihat bahwa kami (para sahabat) memandang orang yang tidak shalat berjama’ah sebagai orang munafik, atau sedang sakit” (H.R. Muslim no. 654).[8]

Dalam riwayat lain disebutkan dari Abu Hurairah radhiyallau ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda, “Tidak ada shalat yang lebih berat bagi orang munafik selain dari shalat Shubuh dan shalat ‘Isya’. Seandainya mereka tahu keutamaan yang ada pada kedua shalat tersebut, tentu mereka akan mendatanginya walau sambil merangkak.” (H.R. Bukhari no. 657).

 

Marâji:

*Penyusun adalah alumnus Magister Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia

[1] HR. Tirmidzi, no. 413 dan An-Nasa’i, no. 466. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[2] Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadh Ash-Shalihin. Cetakan pertama, Tahun 1430 H. Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. 2:255-256. Dikutip dari https://rumaysho.com/16963-shalat-itu-yang-pertama-kali-akan-dihisab.html

[3] Nurhadi, “Konsep thuma’ninah Dalam Shalat Perspektif Imam Malik dan Imam Abu Hanifah (Kajian Teori Rukun dan Wajib Shalat)”, UANSA: Jurnal Studi Islam dan Kemasyarakatan, Vol. 13, No. 1, 2020. dan Ash-Shalah wa Hukmu Tarikiha, jilid 1 hlm. 173

[4]  Marfu’ artinya sampai pada Nabi n

[5] Hadits ini dikatakan marfu’ -sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-, walaupun pernyataan itu menuai kritikan. Imam Tirmidzi mengatakan, “Para ulama mengetahui akan hal ini dan atsar tersebut sangat ma’ruf. Para ulama menyebutkannya dan menetapkannya, tidak mengingkarinya.” https://rumaysho.com/5965-sengaja-menunda-shalat-hingga-keluar-waktu.html

[6] Sumber https://muslim.or.id/13845-tumaninah-dalam-shalat-1.html

[7] Dishahihkan oleh Ibnu Hajar dalam Bulughul Maram [114]). Hadits ini dinilai shahih oleh Syekh al-Albani dalam Misykat al-Mashabih: 1077 dan Irwa’ al-Ghalil no. 551.

[8] Sumber: https://muslim.or.id/52194-shalat-jamaah-wajib-di-masjid.html

 

Download Buletin klik disini

MEMAKNAI TAHUN BARU ISLAM, 1 MUHARRAM 1443 HIJRIYAH

Oleh: Nur Laelatul Qodariyah*

 

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh

Saudaraku kaum muslimin yang dirahmati Allahﷻ, salah satu bulan yang diistimewakan oleh Allahﷻ adalah bulan Muharram atau biasa disebut bulan haram (al-ashurul harum), Allahﷻ berfirman, “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.”(Q.S. At-Taubah [9]: 36).

Dari ayat diatas menerangkan bahwa, di dalam dua belas bulan, Allahﷻ telah memberikan empat bulan yang istimewa agar kita senantiasa lebih meningkatkan kualitas ibadah kita dan meninggalkan kemaksiatan. Seperti halnya berbuat kebaikan kepada sesama manusia, dzikir, sedekah dan lain-lain.

 

Hijrahnya Rasulullah

Peristiwa Hijrahnya Rasulullah ke Madinah merupakan salah satu bentuk transformasi dan perlindungan untuk kaum muslimin, terhadap  penindasan dan kekerasan yang dilakukan kaum musrikin. Hijrahnya Rasulullah ke Madinah itu bukan karena takut akan terbunuh atau meninggal oleh kaum musrikin, tapi karena komitmen untuk menjaga umat Islam di mekah maka dari itu Nabi hijrah dari Mekah ke Madinah.

Allahﷻ berfirman,”Sesungguhnya orang-orang yang dicabut nyawanya oleh malaikat dalam keadaan menzalimi sendiri, mereka (para malaikat ) bertanya, “bagaimana kamu ini?” mereka menjawab, “kami orang-orang yang tertindas di bumi (Mekah)” mereka (para malaikat) bertanya, “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah (berpindah-pindah) di bumi itu?” maka orang-orang itu tempatnya di neraka jahanam, dan (jahanam) itu seburuk-buruk tempat kembali”  (Q.S. an-Nisâ’ [4] : 97).[1]

 

Musahabah diri

Makna tahun baru Islam, merupakan momen pergantian kalender Islam dalam hijriyah agar kita bisa merenungi kesalahan-kesalahan yang dilakukan di tahun-tahun sebelumnya. dan juga harapan atau resolusi agar kedepanya bisa lebih baik dari tahun berikutnya. Allahﷻ berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(Q.S. al-Hasyr [59]: 18).

Dengan selalu merenungi dan mengingat-ingat kesalahan-kesalahan yang telah terjadi di tahun sebelumnya, akan membuat hati dan pikiran mudah terkontrol sehingga akan lebih waspada dan lebih berhati-hati dalam bertindak dikemudian hari.

 

Memperbanyak Amalan Ibadah

Bulan Muharram adalah bulan yang sangat dimuliakan,. maka dengan itu dengan memperbanyak amalan ibadah seperti puasa, sedekah merupakan salah satu bentuk amalan untuk mendekatkan diri kepada Allahﷻ. Seperti hadis berikut, Abu Hurairah radhiyallau ‘anhu ia berkata,  Rasulullah bersabda, ““Seutama-utama puasa setelah Ramadhan ialah puasa di bulan Allah al-Muharram, dan sebaik-baik shalat setelah shalat fardhu, ialah shalat malam.” (H.R. Muslim, no. 1982).”.”  (H.R. Muslim, no. 1982).[2]

Manusia memang tidak luput dengan kesalahan , semua yang telah ditetapkan oleh Allahﷻ tidak bisa dirubah kecuali dengan kehendak-Nya .maka dengan itu kita sebagai manusia  selalu diingatkan  untuk selalu berikhtiar dan berdoa agar bisa mencapai Ridho-Nya.

 

Motivasi diri

Peristiwa hijrahnya Rasulullah dari Mekah ke Madinah merupakan suatu hikmah yang perlu diambil dan dijadikan motivasi, bahwa Rasulullah bersama dengan para sahabatnya dalam menegakan Islam itu penuh dengan perjuangan dan banyak sekali pahlawan Islam yang telah mati syahid, demi untuk membela dan menegakan Islam. Untuk itu kita sebagai umat muslim perlu menghargai dan meneladani setiap perjuanganya dengan cara; semangat belajar, semangat ibadah, mematuhi peraturan Allahﷻ dan menjauhi larangan-Nya.

Allah lberfirman, “Dan dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. sesungguhnya Allah melaksanakan urusan-Nya. sungguh, Allah telah mengadakan ketentuan bagi setiap sesuatu.”(Q.S. At-Talaq [65]: 3).

Dari ayat diatas menjelaskan bahwa semua orang mempunyai rezekinya masing-masing. untuk itu kita sebagai manusia harus terus berjuang dan memotivasi diri sendiri. agar nantinya apa yang menjadi keinginan dan cita-cita bisa terwujud dengan arah dan jalan yang benar sesuai dengan ketentuan dalam islam.

 

Momen Perubahan Menuju Kebaikan

Setiap manusia dalam menjalankan kehidupannya menginginkan perubahan yang lebih baik, seperti halnya ditahun baru Islam ini. Perlu lembaran baru untuk memulai sebuah transformasi agar ada perubahan menuju kebaikan. Allahﷻ berfirman, “mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: “Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidil Haram dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh. Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.”.” (Q.S. al-Baqarah [2] : (217).

 

Pengingat Diri Akan Akhlak Mulia

Dalam tahun baru Islam ini  sebagai pengingat kita akan akhlak mulia, karena untuk menjadi pribadi yang baik tidak cukup untuk mempelajari ilmu pengetahuan saja. Banyak orang yang berilmu tapi tidak berakhlak. Allahﷻ berfirman,“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusushan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (Q.S An-Nahl [16]: (90).

Dari ayat diatas dapat dipahami bahwa, terdapat beberapa butir Akhlak yang Allah ungkap yaitu: ikhlas, sabar, bersyukur, pemaaf, mengerjakan yang makruf, jangan menggunjingkan satu sama lain (berghibah), bertakwalah kepada Allah sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha penyayang, Ta’aruf (saling kenal- mengenal) dan silaturrahim, dan tawakkal.

Dari pernyataan di atas tidak mengungkapkan semua penjelasan dari al-Qur’an. Salah satu Akhlak mulia adalah Ikhlas dan sabar. Menurut al-Imam al-Mar’asyi, ikhlas merupakan kesamaan amalan seorang hamba yang dilakukannya antara lahir maupun batin. Sedangkan menurut Prof. Dr. Ali Abdul Halim Mahmud, mengatakan bahwa hakikat keikhlasan adalah berlepas diri dari sesuatu selain Allahﷻ, yaitu bersihnya perkataan, perbuatan, atau meninggalkan sesuatu hal dengan tujuan mencari ridha Allahﷻ dan pahala dari-Nya. ikhlas juga dapat dimaksudkan jika kita bisa melupakan pandangan mahluk hingga kita tidak melihat dan memperhatikan lagi apa dan siapa kecuali hanya Allah sang pencipta.

Selanjutnya sabar. Sabar merupakan salah satu bentuk akhlak mulia, para ulama menetapkan sabar dalam tiga dimensi, yaitu:

  • Sabar terhadap semua perintah Allahﷻ, agar dipatuhi dan dijalankan peintah Allahﷻ
  • Sabar terhadap semua yang dilarang Allahﷻ, agar dijauhi, ketika Allahﷻ melarang sesuatu, pasti karena ada ketidak-baikan pada sesuatu yang dilarang tersebut. Hamba yang dilarang, justru karena Allahﷻ tidak ingin hamba tersbut terjatuh pada lembah kehinaan dan kenistaan. Oleh karena itu, Allah menyiapkan adzab sebagai hukuman (punishment) bagi hamba yang selalu ingkar hingga akhir hayatnya.
  • Sabar terrhadap semua ujian Allahﷻ, baik berat maupun ringan. Ada yang mengira bahwa ujian itu hanya kalau terasa sulit, jangan salah, baik terasa senang maupun susah keduanya adalah ujian, terhadap nikmat kita diuji Allah, apakah kita termasuk yang akan besyukur, ataukah malah kufur.[3]

 

 

* Penyusun adalah mahasiswa Program Studi Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia

[1] Muidigital, “Tahun baru Islam 1443 Hijriyah, Reaktualisasi Makna Hijrah”, dikutip dari https://mui.or.id/opini/31002/tahun-baru-islam-1443-hijriyah-reaktualisasi-makna-hijrah/ diakses pada hari Minggu 15 Agustus 2021

[2] H.R. Muslim no.1982. Shahih menurut Ijma’ Ulama

[3] Hadi yasin, “Ayat-Ayat Akhlak Dalam Al-Quran: membangun keadaban menuju kemuliaan peradaban”, dikutip dari https://core.ac.uk/download/286345557.pdf diakses pada hari Senin 16 Agustus 2021

 

Download Buletin klik disini

 

JANGAN PERNAH LELAH UNTUK KEMBALI

Oleh: Yonatan Y. Anggara*

 

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh,

Kembalilah wahai manusia…

Tundukkan wajahmu pada yang Maha Kuasa

Tengadahkan tanganmu dan mulailah berdoa

Niscaya nikmat-Nya selalu kan turun selamanya

(K.H. Hasan Abdullah Sahal)[1]

 

Dampak Makasiat

Sepetik syair yang di tulis oleh K.H. Hasan Abdullah Sahal memiliki makna sedalam lautan, seluas langit. Seolah menjawab segenap keresahan dan kegelisahan yang barangkali sering kita alami dalam menjalani hidup sebagai seorang manusia. Segala kesusahan dalam setiap urusan, segala kesempitan dalam setiap apa yang diikhtiarkan juga segala kegelisahan yang tidak pernah tahu dari mana datangnya. Tidak lain dan tidak bukan hal itu terlahir dari hati yang tidak pada pada tempatnya. Hati yang telah terisi kedurhakaan pada Allah semesta alam.

Sebagaimana nasehat Ibnu Qayyim  rahimahullah bahwa kemaksiatan akan menyebabkan sulitnya segala urusan, sehingga tidaklah seorang manusia menuju sebuah urusan kecuali ia dapati dalam keadaan buntu. Memiliki kekuatan ilmu tentang betapa buruknya dampak perbuatan maksiat serta jeleknya akibat yang ditimbulkannya dan juga bahaya yang timbul sesudahnya yaitu berupa muramnya wajah, kegelapan hati, sempitnya hati dan gundah gulana yang menyelimuti diri karena dosa-dosa itu akan membuat hati menjadi mati.[2]

Maksiat akan menjadi hijab bagi doa-doa kita, Ibnu Rajab berkata, “Janganlah engkau memperlambat terkabulnya do’a dengan engkau menempuh jalan maksiat.”[3] Maksiat akan menjadi penghalang dari segala kebaikan, sehingga seseorang yang sering melakukan maksiat akan semakin jauh dari hidayah Allahﷻ.

Ustadz kami di Pondok pernah menasehati yang bunyinya seperti ini, “Cara merayu Allah agar doa diijabah adalah dengan melaksanakan amal ibadah. Jika seandainya doa ibarat paket yang dikirim, maka maksiat adalah penghalang dan pelambat paket itu datang ke tujuan”. Kondisi hati orang-orang yang bermaksiat pada Allah. Hati yang bermaksiat akan Allah sempitkan di tengah kelapangan yang ia miliki. Hati yang bermaksiat akan Allah gelisahkan di tengah kemudahan hidupnya. Hati yang bermaksiat akan Allah buntukan urusannya ditengah banyaknya jalan yang seolah terlihat.

“Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatanKu, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit.” (Q.S Thâhâ [20]: 124). Maksudnya, dia akan mendapatkan kesengsaraan dan kesusahan. Dalam tafsirnya Ibnu Katsir berkata, “Di dunia, dia tidak akan mendapatkan ketenangan dan ketenteraman. Hatinya gelisah yang diakibatkan kesesatannya. Meskipun dhahirnya nampak begitu enak, bisa mengenakan pakaian yang ia kehendaki, bisa mengkonsumsi jenis makanan apa saja yang ia inginkan, dan bisa tinggal dimana saja yang ia kehendaki; selama ia belum sampai kepada keyakinan dan petunjuk, maka hatinya akan senantiasa gelisah, bingung, ragu dan masih terus saja ragu. Inilah bagian dari kehidupan yang sempit”.[4]

Tidakkah kita ingin punya hati yang setenang Ibnu Taimiyah seabagaimana yang disampaikan oleh Ibn Qayyim “ia adalah orang paling bahagia yang pernah saya temui”. Padahal kita tahu bahwa beliau tidak tinggal di istana atau bangunan megah melainkan di dalam penjara sempit nan kumuh. Tidakkah kita ingin punya urusan seajaib Yusuf? Yang meskipun banyak sekali kesusahan yang dihadapi namun berakhir dengan indah. Tidakkah kita ingin punya urusan yang dimudahkan sebagaimana Yunus? Yang meskipun terhimpit masalah namun keluar darinya dengan sebaik baik keadaan. Tidakkah kita ingin punya kisah seindah Zakaria? Yang selepas 80 tahun berdoa, ditengah kemustahilan akhirnya cita-citanya ingin punya keturunan Allah mudahkan.

 

Kembalilah Wahai Hati!

Untuk kita yang sering bertanya mengapa segala urusan menjadi buntu. Mengapa sangat susah mengerjakan sesuatu yang dengan mudah dikerjakan oleh kebanyakan orang. Mengapa begitu susah mendapatkan apa yang terlihat mudah bagi orang lain. Maka kembalilah agar semua mudah dalam mengerjakan kebaikan.

Tidak ada hari yang paling mengkhawatirkan selain hari dimana kita berbuat maksiat kepada Allahﷻ sedang kita melakukannya tanpa ada rasa bersalah, dan tidak ada hari yang paling membahagiakan melainkan kita sungkurkan hati kita kepada Allahﷻ untuk bertaubat.  Maka kembalilah kepada Allah, Maha Pemilik segenap urusan. Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Dari Anas bin Mâlik radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Aku mendengar Rasûlullâh bersabda, ‘Allâh Azza wa Jalla berfirman, ‘Hai anak Adam! Sesungguhnya selama engkau berdo’a dan berharap hanya kepada-Ku, niscaya Aku mengampuni dosa-dosa yang telah engkau lakukan dan Aku tidak peduli. Wahai anak Adam ! Seandainya dosa-dosamu setinggi langit, kemudian engkau minta ampunan kepada-Ku, niscaya Aku mengampunimu dan Aku tidak peduli. Wahai anak Adam ! Jika engkau datang kepadaku dengan membawa dosa-dosa yang hampir memenuhi bumi kemudian engkau bertemu dengan-Ku dalam keadaan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu pun, niscaya Aku datang kepadamu dengan memberikan ampunan sepenuh bumi.”  (H.R. at-Tirmidzi)

 

Jangan Pernah Lelah Untuk Kembali

Sebanyak apa kita berbuat salah maka sebanyak itu pula Allahﷻ akan tetap membuka pintu taubat. Oleh karena itu, jangan pernah lelah untuk kembali kepada Allah dengan beristighfar dan bertaubat.

Allah sungguh mencintai orang-orang yang kembali kepada-Nya, dalam salah satu hadits riwayat disebutkan dari Abu Hamzah Anas bin Malik al-Anshari, pembatu Rasulullah, beliau berkata bahwa beliau n bersabda, “Sesungguhnya Allah itu begitu bergembira dengan taubat hamba-Nya melebihi kegembiraan seseorang di antara kalian yang menemukan kembali untanya yang telah hilang di suatu tanah yang luas.” (H.R. Bukhari no. 6309 dan Muslim no. 2747).

Mari kita teladani Ibnu Taimiyah yang setiap kali mengalami kebuntuan dalam berfikir dan urusan maka beliau beristighfar 1000 kali. Seolah memahami tidak lain yang menyebabkan kerunyaman urusan adalah jauhnya hati kita pada pemilik-Nya. Maka kembalilah!.[]

 

MARÂJI’:

* Santri Pondok Pesantren Mahasiswa Nur Baiturrahman Yogyakarta

[1] K.H Hasan Abdul  Sahal. Kembalillah. 2020. https://www.youtube.com/watch?v=4HNCAxn9Bqo

[2] Diterjemahkan dari artikel berjudul ‘Asyru Nashaa’ih libnil Qayyim li Shabri ‘anil Ma’shiyah, www.ar.islamhouse.com yang dikutip dari https://muslim.or.id/307-10-nasihat-ibnul-qayyim-untuk-bersabar-agar-tidak-terjerumus-dalam-lembah-maksiat.html https://muslim.or.id/307-10-nasihat-ibnul-qayyim-untuk-bersabar-agar-tidak-terjerumus-dalam-lembah-maksiat.html

[3] Dinukil dari Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab al-Hambali, 1: 275-276

[4] al-Imam Abul Fida Isma’il Ibnu Katsir ad-Dimasyqi, Terjemah Tafsir Ibnu Katsir, Bandung: Sinar Baru al-Gensindo, 2002.

 

Mutiara Hikmah

 

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwasanya Rasulullah bersabda:

مَنْ دَعَا إِلىَ هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ اْلأَجْرِ مِثْلُ أُجُوْرِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذِلكَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلاَلَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ اْلإِثْمِ مِثْلُ آَثاَمِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلكَ مِنْ آثَاِمهِمْ شَيْئًا

“Barangsiapa yang mengajak kepada hidayah, maka baginya pahala sebagaimana pahala setiap orang yang mengikutinya, dan tidak mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa yang mengajak kepada kesesatan, maka dia menanggung dosa sebagaimana dosa setiap orang yang mengikutinya, tidak mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun”. (H.R. Muslim).

 

Download Buletin klik disini

 

MEMETIK MAKNA KEPEDULIAN DI HARI RAYA IDUL ADHA

Oleh: Aisyah Amalia Putri*

 

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh,

Memaknai hari raya Idul Adha berawal dari kisah perjuangan Nabi Ibrahim A.S atas kerelaan mengorbankan putra yang dicintainya. Tatkala Nabi Ibrahim bermimpi diperintahkan untuk menyembelih putranya, Ismail A.S. Hal tersebut sesuai firman Allahﷻ, “Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.” (Q.S. ash-Shaffat [37]: 102).

 

Ikhlas dalam Beramal

Hikmah dari kisah diatas adalah meneladani sikap ketakwaan terhadap perintah Allahﷻ. Ketakwaan hadir dengan adanya keikhlasan berupa kejernihan hati yang mendorong kepada kepedulian. Ikhlas merupakan amalan hati untuk memperbaiki niat ketika  hendak beramal, sedang beramal, maupun ketika sesudah beramal semata-mata karena Allahﷻ. Sehingga rasa ikhlas membawa manusia pada amal kebaikan dengan penuh ketulusan. Dalam al-Quran Allahﷻ berfirman, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus ….” (Q.S. al-Bayyinah [98]: 2)

 

Kepedulian Sosial

Dalam pembahasan diatas, ada keterkaitan antara keikhlasan dengan kepedulian. Menurut salah satu teori, kepedulian adalah salah satu bentuk tindakan nyata, yang dilakukan oleh masyarakat dalam merespon suatu permasalahan. Dalam (Kamus Besar Bahasa Indonesia) kepedulian juga merupakan partisipasi yakni keikutsertaan. Kepedulian sosial  merupakan  sebuah sikap keterhubungan dengan manusia pada umumnya, sebuah empati bagi setiap  anggota manusia untuk membantu orang lain atau sesama.[1] Dengan seorang muslim berqurban di hari raya Idul Adha menjadi salah satu kontribusi kepedulian dalam menegakkan agama dan kasih sayang sebagaimana yang telah dicontohkan pada kisah  perjuangan  Nabi Ibrahim A.S dan Nabi Ismail A.S.

Dapat disimpulkan, menurut W.J.S Poewadarmintra poin-poin dari nilai kepedulian diantaranya:

Pertama, memberi bantuan berupa sandang, pangan dan kesehatan. Memberi bantuan merupakan ibadah. Ibadah dalam Islam terbagi menjadi dua yaitu ibadah mahdhah dan ghairu mahdhah. Ibadah mahdhah adalah ibadah yang diperintahkan melalui jalan wahyu. contohnya adalah shalat, puasa, zakat, dan haji. Sedangkan ibadah ghairu mahdhaadalah ibadah (perkataan atau perbuatan) tersebut pada asalnya bukanlah ibadah. Akan tetapi, berubah status menjadi ibadah karena melihat dan menimbang niat  pelakunya. Contohnya  adalah aktivitas makan. Makan bukanlah suatu ibadah yang khusus, namun apabila makan tersebut diniatkan untuk ibadah agar kuat untuk menjalani ibadah shalat dan pergi ke masjid,  maka makan tersebut akan bernilai pahala.[2]

Begitupula berqurban di hari raya Idul Adha, apabila diniatkan tulus karena Allahﷻ akan bernilai pahala. Terlebih dalam situasi pandemi sekarang ini. Semakin seseorang meningkatkan kepedulian berbagi maka semakin Allahﷻ akan memberikan keselamatan bagi hamba-hamba-Nya. Dalam sebuah hadits disebutkan,”Bersegeralah bersedekah, sebab bala bencana tidak pernah mendahului sedekah. Belilah semua kesulitanmu dengan sedekah. Obatilah penyakitmu dengan sedekah. Sedekah itu sesuatu yang ajaib. Sedekah menolak 70 macam bala bencana, dan yang paling ringan adalah penyakit kusta dan sopak (vitiligo).” (H.R.Thabrani).

Dengan demikian Allahﷻ menganjurkan untuk saling membantu dalam hal ketakwaan. Dalam al-Qur’an Allah berfirman, “…Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan . Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh Allah sangat berat siksa-Nya.” (Q.S. al-Mâidah [5]: 2).

Kedua, memberikan perhatian dan kasih sayang. Manusia diciptakan oleh Allahﷻ berbangsa-bangsa dan bersuku- suku agar saling menghargai. Sebagai seorang yang mukmin dianjurkan untuk saling mengenal dan berbuat baik kepada seluruh manusia agar menghadirkan rasa kasih sayang satu sama lain. Melalui berqurban di hari Raya Idul Adha, Islam mengajarkan kita untuk mendapatkan nilai tersebut sebagai pokok perhatian kita kepada umat muslim. Dalam al-Quran Allah l berfirman, “…Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha teliti.” (Q.S. al-Hujurat [49]: 13).

Dalam syariat Islam, syarat-syarat yang berhak mendapatkan daging qurban menurut Badan  Amil Zakat Nasional adalah: orang yang berqurban, tetangga sekitar, teman dan kerabat, serta fakir miskin. Hal tersebut terdapat dalam firman Allahﷻ, “Makanlah sebagian dari daging qurban, dan berikanlah sebagiannya pada orang fakir yang tidak minta -minta, dan orang fakir yang minta-minta.” (Q.S. Al-Hajj [22]: 36).[3]

Dengan memperbanyak menjalin kasih sayang melalui berqurban diantara umat muslim maka, akan ada banyak kepedulian  yang datang. Sebagaimana dalam al-Quran Allahﷻ berfirman, “Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (Q.S. al- Hujurât [49]: 10).

Ketiga, membiayai pendidikan. Fenomena hari Raya Qurban Idul Adha memberikan pembelajaran terkait pendidikan moral dan  tauhid.  Melihat kisah berbaktinya Nabi Ismail A.S kepada ayahnya Nabi Ibrahim A.S untuk menjalankan perintah Allahﷻ. Jika dibayangkan betapa beratnya hati seorang ayah menyembelih anaknya sendiri. Atas karunia Allah semua kejadian itu berbalik menjadi hikmah yang dapat kita rasakan bersama dengan indahnya berqurban di setiap hari raya Idul Adha. Allahﷻ berfirman, ” Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Dan Kami abadikan untuk Ibrahim (pujian) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, “Selamat sejahtera bagi Ibrahim”. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S. ash-Saffat [37]: 107-110).

Selain itu, nilai kepedulian yang dapat dipetik adalah rasa empati terhadap mereka yang kurang mampu untuk membeli hewan qurban. Hari Raya Idul Adha menjadi kesempatan umat muslim untuk berlomba-lomba berqurban sebagai wujud membiayai mereka yang kurang mampu dalam berqurban. Terutama bagi  mereka yang terdampak pandemi covid-19. Tak lain halnya mereka membutuhkan asupan yang bergizi untuk meningkatkan imunitas. Tidak ada yang merugi bagi seseorang yang berqurban. Selain mereka mendapatkan pahala, Allahﷻ menjanjikan kepada mereka kebaikan yang berlipat ganda. Dalam al-Quran Allahﷻ berfirman, “Barangsiapa berbuat kebaikan maka mendapat (balasan) sepuluh kali lipat amalnya .” (Q.S. al-An’am [6]: 160).[4]

Demikianlah, ada banyak nilai kepedulian yang dapat kita  petik  di  dalam  Hari Raya Idul Adha, diantaranya; nilai pejuangan kisah Nabi Ibrahim A.S dan Ismail A.S kasih sayang, berbagi dan hal lainnya. Amal kebaikan tersebut mampu menjadikan acuan umat muslim untuk bersinergi, bersatu dan bahu membahu. Semoga Allah l melimpahkan rahmat dan keberkahan-Nya agar pandemi covid-19 segera berlalu melalui kebaikan serta pembelajaran indahnya berbagi di Hari Raya Idul Adha. Wa Allâhu a’lam.[]

 

 

 

* Alumni UII

[1] W.J.S Poewadarmintra. Kamus Umum Bahasa Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka,1980)

[2] https://muslim.or.id/46004-perbedaan-antara-ibadah-mahdhah-dan-ibadah-ghairu-mahdhah- bag-1.html

[3] https://www.madaninews.id/3255/siapa-saja-yang-berhak-menerima-daging-qurban.html

[4] http://repository.uin-suska.ac.id/20227/7/7.%20BAB%20II.pdf

 

Mutiara Hikmah

 

Abu Hurairah R.A, Rasulullah  bersabda,

وَاللَّهُ فِى عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِى عَوْنِ أَخِيهِ

“Allah senantiasa menolong hamba selama ia menolong saudaranya.” (H.R. Muslim no. 2699).

 

Download Buletin klik disini

 

ADAB MENYEMBELIH HEWAN QURBAN

Oleh: Nur Laelatul Qodariyah[1]

 

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh

Saudaraku kaum muslimin yang dirahmati Allahﷻ, dalam proses penyembelihan hewan Qurban, ada teknik dan metode yang digunakan serta tidak sembarangan dalam menyembelih. Berdasarkan hadits dari Aisyah R.A, Rasulullah bersabda: “Wahai Aisyah, ambilkan pisau besar, kemudian beliau bersabda pertajamkan itu dengan batu, maka Aisyah melakukannya. Setelah pisau itu dibawakan, Nabi mengambilnya dan membaringkan kibasy, lalu (bersiapuntuk) menyembelihnya. Kemudian beliau berkata, “Dengannama Allah, wahai Allah terimalah dari Muhammad, keluarga Muhammad dan umat Muhammad”, kemudian beliau menyembelihnya. (H.R. Abu Dawud)[2]

Dalam melaksanakan penyembelihan qurban, harus sesuai dengan waktunya. Waktu pelaksanaanya itu mulai dari terbitnya matahari sampai terbenamnya matahari. Tepatnya setelah selesai shalat Idul Adha dari tanggal 10 Dzulhijjah sampai hari tasyrik (11,12, 13 Dzulhijjah)

 

Adab dalam Menyembelih

Berikut adab dalam menyembelih hewan Qurban:

  1. Menajamkan pisau, semakin tajam semakin baik

Seperti hadis dari ‘Urwah bin Zubaira , dia berkata, kemudian Rasulullah bersabda kepada ‘Aisyah R.A, “Wahai ‘Aisyah, bawalah pisau kemari.” Kemudian beliau bersabda, “Asahlah pisau ini dengan batu.” Lantas ‘Aisyah melakukan apa yang di perintahkan beliau, setelah di asah, beliau mengambilnya dan mengambil domba tersebut dan membaringkannya lalu beliau menyembelihnya.” Kemudian beliau mengucapkan, “Dengan nama Allah, ya Allah, terimalah ini dari Muhammad, keluarga Muhammad, dan umat Muhammad.” Kemudian beliau berkurban dengannya.”(H.R. Muslim, no.3637)[3]

Dari hadis diatas bisa disimpulkan bahwa dalam menyembelih hewan qurban, memerlukan pisau yang tajam, sehingga hewan yang disembelih tidak terlalu lama merasakan sakit. Jika dilakukan dengan pisau yang tumpul, itu sama saja akan mengulur waktu. sehingga hewan yang disembelih akan merasakan sakit yang cukup lama.

 

  1. Menyembelih yang baik dan benar, sesuai aturan Islam

Dalam menyembelih hewan qurban, perlu tata cara yang benar dan terarah, prosesnya sendiri  perlu ketepatan dan cepat agar hewan yang disembelih tidak merasa kesakitan. Seperti hadis berikut: Syaddad bin Aus berkata, “Dua hal yang saya telah menghafalnya dari Rasulullahﷺ, ‘sesungguhnya Allahﷻ telah menetapkan kebaikan atas setiap sesuatu’, jika kalian membunuh maka perbaguslah cara membunuhnya dan jika kalian menyembelih maka perbaguslah cara menyembelihnya, tajamkanlah pisaunya dan haluskanlah sembelihannya.” (HR. Ibnu Majah no. 3161).[4]

Bisa disimpulkan dari hadis diatas, bahwa dalam menyembelih hewan itu perlu etika dan tidak tergesa-gesa dalam menyembelih apalagi sampai membuat hewan tersebut tersakiti.

 

  1. Menghadap ke arah kiblat hewan yang akan disembelih

Hewan qurban yang akan disembelih disunnahkan untuk dihadapkan ke arah kiblat, yang dihadapkan ke arah kiblat itu bagian leher yang akan di sembelih. Bukan bagian wajah.  Hal itu disebutkan dalam Mausu’ah Fiqhiyah, karenanya arah kiblat tersebut dimaksud hendak mendekatkan diri kepada Allah.[5]

Selain mendekatkan diri kepada Allahﷻ, kita akan selalu ingat tujuan menyembelih hewan ini untuk apa, dan senantiasa bersyukur atas rezeki yang diberikan oleh Allahﷻ. Syaikh  Abu  Malik  menjelaskan  bahwa  menghadapkan  hewan  ke  arah kiblat bukanlah syarat dalam penyembelihan. Jika memang hal ini adalah syarat, tentu Allah akan   menjelaskannya.   Namun   hal   ini  hanyalah mustahab (dianjurkan).

 

  1. Membaca BismillâhI Allâhu Akbar sebelum menyembelih

Dalam syariat Islam, hewan yang ketika disembelih dengan tidak mengucapkan kalimat Allahﷻ, maka tidak akan halal daging tersebut untuk dikonsumsi. Allahﷻ  berfirman dalam al-Qur’an: “Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang  yang  tidak  disebut  nama Allah  ketika  menyembelihnya.Sesungguhnya  perbuatan  yang  semacam  itu adalah  suatu  kefasikan.  Sesungguhnya  syaitan  itu  membisikkan  kepada kawan-kawannya  agar  mereka  membantah  kamu;  dan  jika  kamu  menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik” (Q.S. al-An’am [6]: 121).

Dari ayat diatas menerangkan bahwa, sebelum menyembelih hewan qurban diwajibkan untuk mengucapkan kalimat Allah,  itu juga sebagai pembeda dari orang kafir dan muslim dalam menyembelih hewan. Kita sebagai seorang  muslim harus selalu menjaga aturan-aturan yang telah ditetapkan Allah, sesungguhnya aturan itu ada untuk kebaikan kita sendiri.

 

  1. Memastikan bahwa kerongkongan atau urat leher sudah terputus

Menurut   madzhab   Hanafi   dan   Maliki,   penyembelihan   adalah   tindakan memotong  urat-urat  kehidupan  yang  ada  pada  hewan  itu,  yaitu  empat  buah  urat: tenggorokan (al-hulqûm), kerongkongan (almarî), dan  dua  urat  besar  yang  terletak  di bagian  samping  leher  (al-wadjân).  Lokasi  penyembelihan  itu  sendiri  adalah  bagian  di antara labbah (bagian  bawah  leher)  dengan lahyain (tulang  rahang  bawah).

Sementara  penyembelihan  dalam  pandangan  madzhab  Syafi’i dan Hambali adalah  tindakan  menyembelih  hewan  tertentu  yang  boleh dimakan dengan cara memotong tenggorokan dan kerongkongannya. Adapun posisi dan lokasi pemotongan itu bisa di bagian atas leher (al-halq) atau dibagian bawah leher (labbah), atau  dalam  situasi  yang tidak  memungkinkan  dilakukannya penyembelihan  di  leher, maka dilakukan penikaman yang mematikan dibagian mana saja dari tubuh hewan itu.

Sehingga  dapat  disimpulkan    penyembelihan  menurut  kesepakatan  ulama  adalah melakukan  penyembelihan  di  bagian  atas  leher,  bagian  bawah  leher  atau  melakukan penikaman pada hewan yang bermaksud untuk melepaskannya nyawanya dengan jalan yang  paling  mudah,yang  kiranya  tidak  menyiksa  atau  menyakiti  hewan  dengan  alat yang  tajam  selain  kuku, tulang dan  gigi sehingga  memenuhi  syarat  kehalalan  untuk mengkonsumsinya.[6]

 

Hikmah Dari Penyembelihan

Di antara hikmah penyembelihan adalah kita bisa membedakan   antara   binatang   yang bersih dengan sebab proses penyembelihan menurut aturan Islam. Menghindarkan dari binatang yang dianggap najis karena mati tanpa disembelih, oleh  karena itu  daging qurban itu  bersih dan halal dimakan sebaliknya binatang yang tanpa menyebutkan kalimat Allah atau telah menjadi bangkai haram dimakan. Penyembelihan merupakan salah satu cara mengeluarkan darah yang bercampur dengan daging dan bagian-bagian lain terdapat pada    binatang yang disembelih. Darah najis dan hukumnya haram apabila dikonsumsi. Selain itu hikmah dari penyembelihan adalah kita senantiasa mengharapkan keridhaan dari Allah karena menjalankan perintah-Nya. dan selalu bersyukur atas nikmat yang Allah berikan kepada kita . Selain itu berqurban itu juga memudahkan dan mempercepatkan hewan tersebut mati.[7] Wa Allâhu a’lam.[]

 

 

Marâji:

[1] Mahasiswa Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia

[2] Jayadi Yusuf Sukman, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktik Pemberian Daging Kurban Kepada Panitia Sebagai Upah,” Skripsi 4 (2017): 9–15

[3] H.R. Muslim no.3637. Syarh Shahih Muslim: 1967

[4] H.R. Ibnu Majah no. 3161. Shahih menurut Nashiruddin Al Albani

[5] Tribun jabar id, “Tata Cara Menyembelih Hewan Kurban, Ini 6 Hal yang Harus Diperhatikan Sesuai Sunnah Rasulullah”, dikutip dari https://jabar.tribunnews.com/2019/08/05/tata-cara-menyembelih-hewan-kurban-ini-6-hal-yang-harus-diperhatikan-sesuai-sunnah-rasulullah?page=all diakses pada hari minggu 11 juli 2021

[6] Yanti Roslina Naibo dkk , “Pelaksanaan Penyembelihan Hewan (Studi Di Rumah Pemotongan Hewan Oeba Kupang)” 4,  (2021): 5-10.

[7] Ibid, hal 13

 

Download Buletin klik disini