PENTINGNYA TADABBUR AL-QUR’AN

PENTINGNYA TADABBUR AL-QUR’AN

Oleh: Liza Jauharatul Munfarida

 

Bismillah, walhamdulillah, washshalatu wassalamu ‘ala rasulillah,

Kata tadabbur di dalam Al Qur’an disebutkan 4 kali salah satunya dalam surat As-Shad ayat 29

كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ

“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.” (Q.S. Shâd [38]: 29)[1]

Allah ﷻ telah menurunkan firman-Nya sebagai pedoman hidup manusia dengan kedudukan al-Qur’an yang sedemikian jelas namun banyak dari kita yang mengabaikan pesan cinta dari Rabbul Izzah, tidak pernah membacanya apalagi merenungkan dan mentadabburi-nya. Fenomena membaca al-Qur’an terkadang hanya terasa ketika bulan Ramadhan tetapi ketika hari biasa al-Qur’an tidak menjadi objek utama untuk medekatkan diri kepada Allah ﷻ, kita sudah mulai disibukkan oleh gemerlap dunia, tugas kuliah dan kesenangan dunia, sehingga ketika Allah memberikan ujian kepada kita sebagai pesan rindu-Nya, kita enggan untuk mengagungkan nama-Nya.

Semakin jauhlah kita kepada sang pencipta, maka dari itu Allah ﷻ mengajak kita untuk selalu mengingat-Nya melalui al-Qur’an dan mentadabburi-nya agar semua yang kita lakukan Kembali kepada Allah lillahi, billahi, fillahi dengan rasa keikhlasan kita akan semakin bersyukur atas ujian dan nikmat-Nya.

Tujuan Tadabbur al-Qur’an

Maka sepantasnyalah seorang mukmin menjadikan al-Qur’an sebagai pedoman hidupnya, membacanya dengan merenungkan dan mentadabburinya lalu mengamalkan isi kandungannya, Ibnul Qoyyim berkata: ”Tidak ada yang lebih besar manfaatnya bagi hati dari pada membaca al-Qur’an dengan mentadabburi dan merenungkannya, karena al-Qur’an merupakan kitab suci yang bisa dijadikan pedoman hidup oleh setiap manusia, dengan membaca dan mentadabburinya bisa melahirkan al-Mahabbah (cinta kepada Allah), al-Khauf (rasa takut kepada Allah), ar-Raja’ (berharap hanya kepada Allah), al-Inabah, tawakkal, ridha dan menerima (takdir Allah), sifat sabar, syukur serta seluruh perbuatan yang bisa menyebabkan hidupnya hati dan mencapai kesempurnaannya. Membaca sebuah ayat al-Qur’an disertai dengan mentadabburi dan merenungkan maknanya jauh lebih baik dari pada mengkhatamkan al-Qur’an tanpa disertai tadabbur dan pemahaman akan maknanya. Membaca al-Qur’an dengan memahami makna dan kandungannya jauh lebih bermanfaat bagi hati serta jauh lebih besar faidahnya dalam menambah keimanan dan merasakan manisnya al-Qur’an.” [2]

Namun proses tadabbur ini pada umumnya hanya mampu dilakukan oleh ûlû al-albâb, yaitu orang-orang yang memiliki akal pikiran dan penghayatan mendalam terhadap kandungan ayat-ayat al-Qur‘an, yang dengan bergegas mereka akan meninggalkan berbagai kesesatan yang masih bersemayam dalam diri mereka dan bersegera mengaktualisasikan petunjuk kebenaran yang telah diketahui dan dipahaminya. Karena itu, al-Hasan pernah memberikan saran berharga sebagai berikut: Al-Qur‘an diturunkan untuk ditadabburi dan diaplikasikan dalam amal nyata, maka jadikanlah proses membacanya sebagai amal perbuatan.[3]

Pola interaksi seperti apa yang seharusnya kita lakukan dalam bertadabbur?

  1. Berinteraksi dengan cara yang kita suka
  2. Berinteraksi dengan cara yang Allah suka

Secara bahasa tadabbur artinya “memandang kepada akibat sesuatu dan memikirkannya”, maksud dari mentadabburi perkataannya adalah “memperhatikannya dari permulaan hingga akhir, kemudian mengulai perhatian itu berkali-kali”. Secara istilah tadabbur artinya menggunakan ketajaman mata hati melalui proses perenungan mendalam secara berulang-ulang agar dapat menangkap pesan-pesan Al-Qur’an yang terdalamm dan mencapai tujuan makna yang terjauh.

Adab-Adab Bertadabbur Al-Qur’an

  1. Hadirkan niat karena Allah ﷻ i,[4]
  2. Bersuci dengan sempurna seperti berwudhu, gosok gigi karen mulut adalah jalan keluar untuk melantunkan Al-Qur’an,[5]
  3. Menghadap kiblat
  4. Mensucikan indera-indera yang digunakannya untuk berinteraksi dengan Al-Qur’an,
  5. Memilih tempat yang sesuai, seperti di Rumah Allah,
  6. Memilih cara duduk yang sesuai, kondisi yang sesuai, dan sikap badan yang pantas
  7. Memulai dengan ta’awudz dan basmallah,[6]
  8. Membaca Al-Qur’an secara tartil dengan pelan-pelan sesuai dengan tujuan awalnya untuk bertadabbur,[7]
  9. Menjaga kekhusyuan dengan tidak menaruh handphone disekitar tempat tadabbur
  10. Memperindah suaranya semampunya
  11. Mengosongkan jiwa dari hal-hal-yang menyita perhatian, memenuhi kebutuhannya dan tuntutannya sebelum membaca al-Qur’an.
  12. Menghadirkan hatinya terhadap keagungan Allah ﷻ.
  13. Meninggalkan bisikan-bisikan jiwa,
  14. Tidak memutus bacaan Al Qur’an dengan pembicaraan dan lamunan yang tidak bermanfaat
  15. Terpengaruh dan terbawa emosi oleh ayat-ayat sesuai tema dan konteksnya
  16. Apabila ia membaca ayat tentang nikmat, maka ia memohon kepada Allah agar ia termasuk golongan yang menerimanya,
  17. Perasaan bahwa pembaca sendirilah yang diajak bicara oleh ayat-ayat al-Qur’an
  18. Meninggalkan faktor-faktor yang bisa menghalangi pemahaman dan tadabbur ayat-ayat al-Qur’an.

Bila proses tadabbur ini bisa diejawantahkan, maka nilai aksiologis yang dapat dipetik dari proses tersebut antara lain:

  1. Kemantapan iman di dalam hati dapat digapai,
  2. Menjadikan seseorang berkepribadian paripurna karena memiliki sikap berharap dan khawatir yang seimbang,
  3. Selamat dari tipu muslihat
  4. Selalu yakin dan memiliki kepercayaan diri yang tinggi dan
  5. Mampu membedakan antara yang baik-buruk dan benar-salah secara cermat.

[1] Q.S. Shad [38]: 29

[2] Miftah Daar as-Sa’adah:I/187.

[3] Muhammad ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi’ al-Bayân ’an Ta‘wîl al-Qur‘ân, ed. Maktab al-Tahqîq wa al-I’dâd al-’Ilmî fî Dâr al-A’lâm, Oman: Dâr al-A’lâm dan Dâr Ibn Jarîr Beirut, 2002, vol. 12, hal. 187

[4] Q.S.Al-Bayyinah [98] : 5

[5] Q.S. Al-Waqi’ah [56]: 77-79

[6] Q.S. sAn-Nahl [16]: 98

[7] Q.S. Al-Muzammi [73]: 4

Download Buletin klik disini

MEMAKNAI HAKIKAT HARI RAYA QURBAN

MEMAKNAI HAKIKAT HARI RAYA QURBAN

Oleh: Imaduddin Fadhlurrahman*

* Penulis merupakan seorang santri yang bermukim di Rumah Tahfidz Taruna Juara Yogyakarta.

 

Bismillâhi Walhamdulillâhi wash-shalâtu was-salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Pada setiap tanggal 10 Dzulhijjah seluruh umat muslim di seluruh penjuru dunia merayakan hari raya Idul Adha. Idul Adha merupakan hari raya besar kedua umat muslim setelah hari raya Idul Fitri. Di dalam penamaannya, seringkali umat muslim di Indonesia menyematkan hari raya Idul Adha dengan istilah Hari Raya Haji atau Hari Raya Qurban. Disebut sebagai Hari Raya Haji karena pada momen itu kaum muslimin sedang menunaikan haji yang utama, yaitu wukuf di Arafah. Dan, disebut pula sebagai Hari Raya Kurban karena peristiwa yang melatarbelakanginya yakni kisah Nabi Ibrahim yang bersedia mengorbankan putra semata wayangnya Ismail untuk Allah.

Meneladani Kisah Ibrahim dan Ismail

Di antara hikmah dari melaksanakan Idul Adha bagi umat muslim adalah untuk terus menyegarkan ingatan atas peristiwa qurban, yaitu tatkala Nabi Ibrahim yang bersedia untuk mengorbankan anaknya Ismail untuk Allah ﷻ. Lalu kemudian sesaat sebelum peristiwa sembelih, Ismail diganti oleh Allah ﷻ dengan seeokar domba sebagaimana diabadikan dalam al-Qur’an.

Allah ﷻ berfirman:  “Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian.  (yaitu)”Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim”. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S. ash-Shâfât [37]: 107-110)

Kisah pengorbanan Nabi Ibrahim dan Ismail adalah salah satu kisah paling momumental dalam sejarah umat manusia. Kebesaran hati seorang Ibrahim yang merelakan anak satu-satunya yang bahkan kehadiran telah ditunggu bertahun lamanya demi ketaatan dan kecintaannya kepada Allah ﷻ adalah bentuk kerelaan paling tulus dan berat yang pernah ada. Sedangkan kepatuhan dan kecintaan seorang anak kepada orang tua demi memenuhi perintah Allah swt tergambar jelas pada diri seorang Ismail yang mengikhlaskan dirinya untuk disembelih.

Tragedi penyembelihan itu lantas membuat Malaikat Jibril kagum dan terkesima seraya mengucapkan kalimat “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar.” Yang kemudian dijawab oleh Nabi Ibrahimi dengan lantunan “Laailaha illahu Allahu Akbar.” Dan kemudian disambung oleh Nabi Ismail dengan ucapan “Allahu Akbar Walillahil Hamdu.” Maka, ini adalah sebuah potret yang menyentuh hati antar ayah dan anaknya yang saling mencintai dan rela berpisah serta melepas kecintaannya demi ketataan kepada Allah.

Dari kisah pengorbanan dan ketulusan yang diperlihatkan oleh Nabi Ibrahim dan Ismail setidaknya kita dapat mengambil hikmah yang bisa kita teledani di dalam kehidupan kita saat ini. Bahwasanya penyembelihan yang dilakukan Nabi Ibrahim kepada Ismail harus dimaknai sebagai pesan simbolik agama dan mengandung pembelajaran bagi siapa saja. Hikmahnya ialah untuk senantiasa meningkatkan ketakwaan. Kerelaan serta kesiapan Nabi Ibrahim untuk menyembelih putranya atas perintah Allah ﷻ menunjukkan betapa tingginya tingkat ketakwaan Nabi Ibrahim. Sebab takwa sendiri ialah sangat terkait dengan ketaatan seorang hamba kepada Sang Pencipta dalam menjalankan perintah dan menjauhi segala larangannya.

Esensi Hari Raya Idul Adha

Selain keteledanan dari kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail hakikat sesungguhnya dari Idul Adha semata-mata terwujudnya pelaksanaan penyembelihan hewan qurban sebagai bentuk peribadahan kepada Allah ﷻ. Namun ada esensi lain  dari Idul Adha ialah menyembelih sifat-sifat kebinatangan yang melekat pada diri kita. Maka, ketika hewan qurban disembelih, pada saat yang bersamaan pula lenyaplah nafsu kebinatangan kita seperti merasa selalu paling benar, paling hebat, tidak peduli terhadap sesama, rakus, serakah, dan segala macam sifat kebinatangan lainnya.

Esesensi yang diajarkan pada momen Idul Adha ialah agar tidak menjadi manusia individualis. Relasi kemanusiaan adalah wujud eskpresi kesalihan sosial yang ingin coba disampaikan pada momen Idul Adha. Semangat kemanusiaan di balik Idul Adha penting untuk diaktualisasikan di tengah-tengah maraknya sifat indvidualistis di zaman global. Sehingga momentum Idul Adha mengandung pesan moral yang kuat untuk merekatkan tali persaudaraan dalam kehidupan bermasyarakat.

Esensi Idul Adha dalam konteks lain ialah untuk mengingatkan setiap muslim agar siap sedia berqurban demi kebahagiaan orang lain terkhususnya bagi mereka yang kurang beruntung, serta waspada terahadap godaan dunia agar tidak terjebak dalam perilaku tidak terpuji seperti serakah, rakus, mementingkan diri sendiri, dan kelalaian dalam beribadah kepada Sang Pencinpta.

Begitulah sekiraya hakikat Idul Adha yang memiliki esensi mendalam bagi kehidupan tiap-tiap muslim. Karena sejatinya setiap dari kita adalah Ibrahim. Selayaknya Ibrahim yang memiliki Ismail, putra yang dicintainya, maka masing-masing dari kita pun demikian. Bisa jadi Ismail yang ada pada kita berupa harta, jabatan, gelar, atau apa-apa saja yang kita sayangi dan tidak bisa dilepaskan dari dunia ini. Maka, belajar dari Nabi Ibrahim. Sesungguhnya Ibrahim bukan diperintahkan untuk membunuh Ismail, melainkan diminta oleh Allah untuk membunuh rasa ‘kepemilikan’ terhadap Ismail karena sesungguhnya segala sesuatu adalah milik Allah. Dengan begitu, kita akan senantiasa berusaha untuk belajar ikhlas. Wa Allâhu a’lam

Marâji’:

Asa, Syu’bah, Dalam Cahaya Al-Qur’an (Tafsir Ayat-ayat Sosial-Politik), Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2000.

Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid IV, PT. Pustaka Panji Mas: Jakarta, 2004.

Mukti, Takdir Ali., Membangun Moralitas Bangsa (Amar Ma’ruf Nah Munkar: dan Subyektif-Normatf ke Obyektif-Empiris), Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2000.

Rahman, Jalaludin, Konsep Perbuatan Manusia Menurut Qur’an, Jakarta: Bulan Bintang, 1992

Shihab, Quraish. M, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1997.

Download Buletin klik disini

HARI HARI YANG ISTIMEWA

HARI HARI YANG ISTIMEWA

Oleh: Dwi Andini Prihastuti

 

Bismillâhi Walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh,

Hari-hari yang utama di sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah memiliki keistimewaan, dimana amalan sekecil apapun pada hari hari tersebut lebih utama daripada berjihad di jalan Allah, maka dianjurkan untuk memperbanyak amalan terutama, shalat, puasa, dzikir, membaca al Quran, sedekah dan ibadah ibadah lainnya yang disyari’atkan.[1]

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas ia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidaklah ada hari hari yang amal shalih pada hari hari tersebut lebih dicintai oleh Allah daripada sepuluh hari pertama dibulan dzulhijjah. Maka para sahabat bertanya, “wahai Rasulullah apakah (amal shalih tersebut) lebih Allah cintai dari pada jihad fi sabilillah?”. beliau menjawab, “iya walupun dengan jihad fi sabilillah, kecuali sesorang yang keluar (berjihad) dengan diri dan hartanya lalu tidak kembali setelah itu selamanya (syahid)” (HR Bukhari : 926,[2] Abu Dawud : 2438, Ahmad : 1968)

Ibnu Rajab Al-Hambali berkata, “Hadits ini menunjukkan bahwa amalan di sepuluh hari pertama Dzulhijjah di sisi Allah lebih disukai dibanding hari- 3 Amalan Awal Dzulhijjah hingga Hari Tasyrik hari lainnya tanpa ada pengecualian. Jika dikatakan Allah itu cinta, maka menunjukkan hari-hari tersebut dinilai mulia di sisi-Nya.”[3]

Beliau ﷺ menambahkan pula, “Amalan pada sepuluh hari pertama Dzulhijjah dinilai afdal dan dicintai oleh Allah dibanding hari-hari lainnya dalam setahun. Bahkan amalan yang mafdhul (kurang afdal) jika dilakukan di sepuluh hari pertama Dzulhijjah dinilai lebih baik dari hari lainnya walau di hari lainnya dilakukan amalan yang lebih afdal.”[4]

Sebagian ulama mengatakan bahwa amalan pada setiap hari pada awal Dzulhijjah sama dengan amalan satu tahun. Bahkan ada yang mengatakan sama dengan seribu hari, sedangkan hari Arafah sama dengan sepuluh ribu hari. Keutamaan ini semua berlandaskan pada riwayat fadhail yang lemah (dha’if). Namun hal ini tetap menunjukkan keutamaan beramal pada awal Dzulhijjah berdasarkan hadits shahih seperti hadits Ibnu ‘Abbas yang disebutkan di atas. Mujahid mengatakan, “Amalan di sepuluh hari pada awal bulan Dzulhijjah akan dilipatgandakan.”[5]

Lantas hari hari apa saja yang istimewa pada sepuluh hari pertama dibulan Dzulhijjah? Berikut rinciannya, [6]

1. Hari Arafah

Hari arafah adalah hari yang ke sembilan pada saat jama’ah haji sedang melakukan wukuf di ‘Arafah. Diantara keistimewaan hari ‘Arafah adalah hari pembebasan hamba dari api neraka. Dari ‘Aisyah x, bahwasanya Rasulullah n bersabda: “Tidaklah ada hari hari yang begitu banyaknya Allah membebaskan para hamba dari api neraka dari pada hari ‘Arafah, pada hari ‘Arafah Allah mendekat kepada para Hamba-Nya (di padang arafah) lalu Allah membanggakannya dihadapan para Malaikat-Nya, seraya Berfirman: “Apa yang mereka inginkan? (dengan berbondong bondong datang di padang ‘Arafah ini)” (H.R. Muslim no. 1348)

Imam Ibnu Rajab berkata: “Dan hari ‘Arafah adalah hari pembebasan dari api neraka bagi yang sedang wukuf di ‘Arafah atupun bagi yang tidak wukuf disemua negeri dari kalangan kaum muslimin”[7]. Diantara amalan yang utama pada hari ‘Arafah baik bagi jama’ah haji yang sedang wukuf di ‘Arafah atau yang tidak sedang berada di ‘Arafah adalah memperbanyak berdo’a karena sebaik baik do’a adalah yang dipanjatkan pada hari ‘Arafah, lebih lebih bagi mereka yang sedang wukuf di ‘Arafah, karena bagi mereka ‘Arafah adalah tempat mustajab untuk berdo’a. dan wukuf di ‘Arafah adalah diantara inti dan puncaknya ibadah haji.

Rasulullah ﷺ bersabda: “Sebaik baik do’a adalah do’a pada hari ‘Arafah. Dan sebaik baik apa yang aku dan para Nabi sebelum ucapkan adalah “Laa ilaaha illaLlahu wahdah, laa syariika lah, lahul mulku wa lahul hamdu, wa huwa ‘ala kulli syaiin Qodiir” (Tidak ada yang berhak disembah selain Allah yang satu saja, tidak ada sekutu bagi-Nya, milik-Nya kekuasaan dan milik[1]Nya segala pujian, dan Dia Maha Mampu atas segala sesuatu).” (HR At Tirmidzi : no. 3585, As Shahihah no. 1503, Shahihul Jaami’ no. 3274)

Amalan khusus yang lain di hari ‘Arfah bagi yang sedang tidak wukuf di ‘Arafah adalah dengan berpuasa, dimana seseorang akan diampuni dosanya setahun yang lalu dan setahun yang akan datang. Dari Abu Qotadah zia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda : “Puasa hari ‘arafah adalah menghapus dosa dua tahun, tahun yang telah berlalu dan tahun yang akan dating, sedangkan puasa ‘Asyura adalah menghapus setahun yang telah berlalu” (HR Ahmad : 22535)

Bagi mereka yang sedang wukuf di ‘Arafah lebih utama untuk tidak berpuasa sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ. Dari Maimunah x ia berkata: “Bahwasanya manusia (para sahabat) mengeluhkan puasa Nabi n pada hari Arafah, lalu Ummu Salamah memberikan kepada Rasulullah ﷺ susu ketika beliau n sedang wukuf di tempat wukufnya, lalu meminumnya , dan manusia melihatnya (beliau) minum” (HR Bukhari no. 1989)

Syaikh Sa’id bin Wahaf Al Qahthani berkata: “Tidak berpuasanya jama’ah haji di Arafah ada beberapa hikmah diantaranya menguatkan didalam berdo’a, ada rasa menghinakan, dan menghambakan diri kepada Allah ﷻ, serta menumbuhkan semangat didalam kondisi yang agung ini (manasikul haji wal umrah fil islam)” Dengan demikian hari ‘Arafah memiliki 3 kekhususan, yaitu hari pembebasan dari api neraka, hari untuk memperbanyak berdo’a dan hari untuk berpuasa yang dengannya akan diampuni dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.

2. Hari Nahar

Hari nahar adalah hari penyembelihan, hari yang agung, hari raya ‘idul adha, hari haji akbar, dan sebaik baik hari disisi Allah ta’ala. 12 Dari ‘Abdullah bin Qurth z , Rasulullah n bersabda: “Hari hari yang paling agung disisi Allah adalah hari nahar, kemudian hari tasyriq” (HR Ibnu Khuzaimah no. 2917, Abu Dawud no. 1765, shahihul Jaami’ no. 1064). Amalan yang paling agung adalah shalat ‘idul Adha dan menyembelih qurban.

3. Hari Tasyriq

Hari tasyriq adalah hari ke 11 – 13 Dzulhijjah, disebut tasyriq (daging kering), karena dahulu para sahabat mengeringkan daging kurban mereka dijadikan bekal. Pada hari Tasyriq diperintahkan untuk berdzikir banyak menyebut nama Allah ﷻ, mengagungkannya. Allah ﷻ berfirman: “Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang .” (Q.S Al Qaqarah [2]: 203)

Ibnu ‘Abbas berkata:  “Sesunnguhnya yang dimaksud hari hari yang telah diketahui yang terdapat di surah Al hajj adalah hari hari sepuluh pertama bulan Dzulhijjah, dan yang dimaksud hari hari yang berbilang yang terdapat di surah al Baqarah adalah hari tasyriq”[8]

Inilah tiga hari yang agung yang terdapat di sepuluh hari pertama dibulan Dzulhijjah, semoga Allah memudahkan kita untuk mendulang pahala dihari hari yang penuh berkah tersebut. Wallahu a’lam.[]

Marâji:

[1] Keagungan Bulan Dzulhijjah, E-Book (pdf) Abu Ghozie as Sundawie, hal.  13

[2] Keutamaan 10 Hari Pertama Bulan Dzulhijjah, & Tuntunan Qurban, Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Jibrin dan Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Jakarta: Yayasan Al Sofwa, 2012, hal.

[3] Latha’if Al-Ma’arif, hal. 458 dalam Amalan Awal Dzulhijjah hingga Hari Tasyriq, E-Book (pdf)  Muhammad Abduh Tuasikal, Yogyakarta: Rumaysho, 2018, hal. 2-3

[4] Latha’if Al Ma’arif, hal. 458-459 dalam Amalan Awal Dzulhijjah hingga Hari Tasyriq, E-Book (pdf)  Muhammad Abduh Tuasikal, Yogyakarta: Rumaysho, 2018, hal. 2-3

[5] Latha’if Al-Ma’arif, hal. 458, 469 dalam Amalan Awal Dzulhijjah hingga Hari Tasyriq, E-Book (pdf)  Muhammad Abduh Tuasikal, Yogyakarta: Rumaysho, 2018, hal. 4

[6] Keagungan Bulan Dzulhijjah, E-Book (pdf) Abu Ghozie as Sundawie, hal.  13

[7] Lathoiful Ma’arif 1/276

[8] Tafsir Ibnu Rajab 1/153

Download Buletin klik disini

KEUTAMAAN BULAN DZULHIJJAH

KEUTAMAAN BULAN DZULHIJJAH

Oleh: Jaenal Sarifudin[1]

 

Bismillah, walhamdulillah, washshalatu wassalamu ‘ala rasulillah.

Bulan Dzulhijjah adalah salah satu di antara bulan yang sangat agung lagi mulia. Bulan yang memiliki banyak nilai keistimewaan, nilai sejarah dan juga sangat terkait dengan beberapa syariat ibadah dalam agama Islam. Ia merupakan bulan terakhir dalam hitungan kalender hijriyah. Dzulhijjah merupakan bulan yang memiliki banyak sekali keutamaan dan fadilah di dalamnya.[2] Ada yang mengatakan bahwa ia adalah bulan yang peringkat keutamaannya setara dengan kemuliaan bulan suci Ramadhan. Terutama pada 10 hari yang pertama dari bulan Dzulhijjah dan hari-hari tasyriq. Di antara beberapa hal yang menandai kemuliaannya adalah.

  1. Ia termasuk dalam cakupan bulan-bulan haram.

              Allah ﷻ berfirman: ”Sesungguhnya bilangan bulan (dalam setahun) disisi Allah adalah ada dua belas bulan dalam kitab (ketetapan) Allah pada hari Ia menciptakan langit dan bumi, di antara dua belas bulan itu ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kalian menzhalimi diri kalian di bulan-bulan haram itu…” (QS. At-Taubah [9]: 36).

              Bulan-bulan haram ada empat yaitu Rajab, Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram sebagaimana di sebutkan dalam riwayat hadits. Ia merupakan waktu-waktu yang dimuliakan. Menurut Ibnu Abbas, amal  ibadah di bulan-bulan haram akan dilipatgandakan pahalanya. Sebagaimana sebaliknya bahwa kemaksiatan yang dilakukan seseorang pada waktu-waktu mulia tersebut juga memiliki konsekuensi dosa yang lebih besar di sisi Allah.

  1. Sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah adalah waktu yang agung

              Allah bersumpah di dalam al-Quran melalui firman-Nya; “Demi waktu fajar dan malam yang sepuluh.”(QS. Al-Fajr (89): 1-2). Imam Ibnu Katsir menjelaskan dalam kitab tafsirnya dengan mendasarkan pada riwayat tafsir Ibnu Abbas bahwa maksud dari malam yang sepuluh dalam ayat tersebut adalah malam-malam sepuluh pertama pada bulan Dzulhijjah.[3] Jika ia dijadikan objek sumpah oleh Allah, maka tentu menandakan bahwa itu adalah waktu yang amat mulia.

Amal ibadah pada waktu itu juga sangat utama dan dicintai Allah. Nabi bersabda;  “Tidak ada hari-hari yang lebih agung di sisi Allah dan amal shalih di dalamnya lebih dicintai oleh-Nya daripada hari yang sepuluh (sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah).” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah).

  1. Ada hari Arafah di dalamnya dan merupakan puncak ibadah haji

Hari Arafah, yaitu hari kesembilan bulan Dzulhijjah adalah hari yang sangat agung. Pada hari itulah puncak dari pelaksanaan ibadah haji yang ditandai dengan wukuf di padang Arafah, sebagaimana sabda Nabi; “Haji adalah Arafah”. (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).

Mereka yang tidak menunaikan ibadah haji disunnahkan berpuasa. Nabi bersabda: “Puasa hari Arafah (9 Dzulhijjah) akan dapat menghapuskan dosa-dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang. Puasa Asyura’ (10 Muharram) akan menghapuskan dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim).

  1. Terdapat hari raya Idul Adha dan disyariatkannya ibadah qurban

              Pada tanggal 10 Dzulhijjah kaum muslimin merayakan hari raya Idul Adha. Selain menunaikan ibadah shalat ‘id, salah satu syariat yang dituntunkan dalam merayakan Idul Adha adalah berqurban. Ibadah qurban ditunaikan dengan menyembelih hewan qurban yang baik dan sehat. Pelaksanaannya seusai shalat ‘id dan khutbahnya sampai akhir hari tasyriq. Nabi ﷺ bersabda dalam sebuah Riwayat: “Barangsiapa menyembelih sebelum shalat ‘id, ia (hanya) menyembelih untuk dirinya. Dan siapa yang menyembelih qurban setelah shalat ‘id dan khutbahnya maka ia telah menyempurnakan ibadahnya.“  (HR. Muslim).

  1. Disunnahkan memperbanyak takbir, tahlil dan tahmid

              Nabi ﷺ bersabda: “Tidak ada hari yang paling agung dan amat dicintai Allah untuk berbuat kebajikan di dalamnya dari pada sepuluh hari (Dzulhijjah) ini. Maka perbanyaklah pada saat itu bacaan tahlil, takbir dan tahmid“. (HR. Ahmad).

Kaum muslimin disunnahkan untuk membaca lafadz takbir setiap selesai menunaikan ibadah shalat lima waktu sejak subuh hari Arafah sampai setelah shalat Ashar tanggal 13 Dzulhijjah. Baik ia shalat sendirian maupun shalat berjamaah. Demikian Ibnu Taimiyah menyebutkan di dalam Majmu Fatawa. Juga disebutkan oleh Imam Nawawi di dalam Kitab al-Adzkar.[4]

  1. Terdapat hari-hari tasyriq

Hari tasyriq adalah tanggal 11, 12 dan 13 Dzulhijjah. Hari tasyriq sesungguhnya masih dalam rangkaian hari raya qurban dan merupakan waktu-waktu penyembelihan hewan qurban. Sehingga kaum muslimin diharamkan menunaikan puasa pada hari-hari tasyriq tersebut. Nabi n bersabda: “Hari tasyriq adalah hari makan minum dan banyak mengingat Allah.” (HR. Muslim). Menurut para ulama, dalam konteks hari tasyriq pula yang dimaksud ayyam ma’dudat dalam firman Allah; “Dan (berdzikirlah) mengingat Allah di hari-hari yang terbilang”. (QS. Al-Baqarah [2]: 203).

Di antara bentuk dzikrullah pada hari tasyriq adalah dengan bertakbir, bertahmid, dan bertahlil setiap selesai menunaikan ibadah shalat fardhu. Juga dengan banyak membaca doa “sapu jagat” sebagaimana disebutkan oleh Imam Ibnu Rajab di dalam kitab Lathaif al-Ma’arif.[5]  Beliau juga menukil riwayat bahwa Abu Musa al-Asy’ari pernah menyampaikan dalam khutbah Idul Adha; “Setelah hari raya nahar ada tiga hari yang Allah menyebutnya sebagai al-ayyam al-ma’dudat (hari-hari yang terbilang), Doa pada hari-hari itu mustajabah. Maka banyaklah berharap kepada Allah pada waktu-waktu tersebut dengan banyak memanjatkan doa.”[6]

Nabi ﷺ juga bersabda tentang kemuliaan hari tasyriq dalam cakupan hadits berikut: “Hari yang paling agung di sisi Allah adalah hari raya qurban kemudian hari al-qarr (hari-hari tasyriq).” (H.R. Abu Dawud dan Ibnu Khuzaimah).

Marâji:
[1] Mahasiswa FIAI UII

[2] ‘Abdul Ghani an-Nablusi, Fadhail al-Ayyam wa asy-Syuhur, terjemahan Muzammal Noer, Keutamaan Hari dan Bulan dalam Islam, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2004

[3] Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-‘Azhim, Beirut: Dar al-Fikr, 2005

[4] Abi Zakaria ibn Syaraf an-Nawawi, Al-Adzkar, Semarang: Toha Putra, t.t.

[5] Ibnu Rajab, Lathaif al-Ma’arif, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.)., hal. 505.

[6] Ibid, hal. 506.

Download Buletin klik disini

ADA APA DI BULAN DZULHIJJAH

ADA APA DI BULAN DZULHIJJAH?

Oleh: Dwi Andini Prihastuti

 

Bismillâhi Walhamdulillâhi wash-shalâtu was-salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Ada apa di bulan Dzulhijjah? Jawabannya adalah ada banyak keistimewaan di dalamnya, terutama di sepuluh pertama bulan Dzulhijjah. Allah ﷻ berfirman:  ”Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (QS. At Taubah [9]: 36)

Mengenai empat bulan yang dimaksud disebutkan dalam hadits dari Abu Bakroh z, Nabi ﷺ bersabda: ”Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadal (akhir) dan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 3197 dan Muslim no. 1679).

Syaikh Umar bin Abdullah al-Muqbil menjelaskan makna surat at Taubah [9]: 36,[1]

1 ). Ibnu ‘Abbas berkata: dari bulan-bulan itu Allah mengkhususkan empat bulan, yaitu : Dzul qa’dah, Dzulhijjah, Muharram, Rajab, Allah menjadikan mereka bulan-bulan yang suci dan kesuciannya begitu diagungkan, dan menjadikan dosa di dalamnya juga besar, sebagaiman Dia menjadikan amal shalih dan balasannya lebih besar.

2 ). Qatadah berkata pada firman Allah tentang bulan-bulan haram: “maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu” sesungguhnya kezhaliman pada bulan-bulan haram adalah kesalahan yang paling besar dibandingkan pada bulan-bulan lainnya, walaupun semua kezhaliman adalah dosa yang besar, namun Allah berhak membesarkan suatu perkara sesuka-Nya.

3 ). Sepuluh Dzulhijjah adalah hari-hari yang paling agung diantara bulan-bulan haram, dan diantara kezhaliman pada diri sendiri adalah menyia-nyiakan hari itu dengan perbuatan yang tidak mendekatkan seseorang kepada Allah, Hasan al-bashri berkata : “Saya berjumpa dengan kaum yang waktu mereka lebih berharga daripada dinar dan dirham yang kalian simpan”

4 ). Bukanlah muslim yang sejati ketika masuk padanya bulan-bulan yang suci ini, namun ia tidak memanfaatkan kebaikan di dalamnya, melainkan ia merusakanya dengan maksiat, dan menantang ketentuan Allah.

5 ). Pernahkah kamu melihat orang yang menzhalimi dirinya sendiri ? ya.. kamu akan melihat orang yang menerobos kesucian satu zaman yang Allah telah melarang kezhaliman terjadi di dalamya, sedang mereka tidak peduli dengan larangan itu, maka sungguh kerugian dan kerusakan akan berlaku pada dirinya sendiri.

Keistimewaan bulan Dzulhijjah

Diantara keistimewaan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah adalah keutamaan beramal shalih di sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah. Allah l berfirman: “Demi fajar, dan malam yang sepuluh” (QS. Al Fajr [89]: 1-2)

Al-Imam Ibnu Katsir menyebutkan dalam tafsir beliau, “Sepuluh malam yang dimaksud dalam ayat ini adalah sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas, Ibnu Zubair, Mujahid dan banyak lagi ulama dari kalangan Salaf dan Khalaf yang berpendapat demikian.” (Tafsir Ibnu Katsir, 8/390)[2]

Abdurrahman As Sa’di menyebutkan dalam tafsirnya, “Dalam ayat ini (Q.S al Fajr [89]: 1-2) digunakan kalimat sumpah. Ini menunjukkan keutamaan sessuatu yang disebutkan dalam sumpah.”[3]

Amalan Yang Dianjurkan

Sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah memiliki keistimewaan, dimana amalan sekecil apapun pada hari hari tersebut lebih utama daripada berjihad di jalan Allah, maka dianjurkan untuk memperbanyak amalan terutama, shalat, puasa, dzikir, membaca al Quran, sedekah dan ibadah ibadah lainnya yang disyari’atkan.[4]

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas ia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidaklah ada hari hari yang amal shalih pada hari hari tersebut lebih dicintai oleh Allah daripada sepuluh hari pertama dibulan dzulhijjah. Maka para sahabat bertanya, “wahai Rasulullah apakah (amal shalih tersebut) lebih Allah cintai dari pada jihad fi sabilillah?”. beliau menjawab, “iya walupun dengan jihad fi sabilillah, kecuali sesorang yang keluar (berjihad) dengan diri dan hartanya lalu tidak kembali setelah itu selamanya (syahid)” (HR Bukhari : 926, Abu Dawud : 2438, Ahmad : 1968)

Diantara amalan yang dianjurkan pada hari hari yang mulia ini adalah puasa, karena ibadah puasa adalah ibadah yang agung yang tiada bandingannya. Puasa yang dimaksud adalah puasa mutlak dari tanggal 1-9 Dzulhijjah , adapun pada tanggal 10 (idul adha) atau hari hari Tasyriq (11 -13 dzulhijjah) dilarang untuk berpuasa karena ia adalah hari raya, hari yang dianjurkan bergembira, sebagai hari makan dan minum. Hal ini didasarkan pada riwayat dari Hunaidah bin Khalid, dari beberapa istri Nabi n mengatakan: “Rasulullah n biasa berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijah, pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram), berpuasa tiga hari setiap bulannya, awal bulan di hari Senin dan Kamis.” (HR. Abu Daud : 2437 dan An-Nasa’i : 2374)

Yang dimaksud 9 (tis’ah) dalam hadits diatas adalah 9 hari bukan Taasi’ (hari ke-9), sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama di Lajnah Daaimah (majlis fatwa Saudi Arabia) ketika ditanya dalam masalah ini, mereka menukil perkataan Imam As Syaukani v di kitab Nailul Authar: “Telah berlalu didalam kitab (pembahsan masalah) dua hari raya hadits hadits yang menunjukan keutamaan beramal ibadah di sepuluh awal bulan dzulhijjah sementara ibadah puasa adalah bagian dari ibadah yang mulia, adapun sebagian (ulama) 16 mengatakan bahwa yang dimaksud Sembilan dzulhijjah itu adalah tanggal Sembilan, maka ini adalah penafsiran yang batil lagi tertolak, dan Nampak sekali kesalahannya karena beda antara Sembilan hari (tis’ah) dengan hari ke Sembilan (at Taasi’)”[5]

Di antara sahabat yang mempraktekkan puasa selama sembilan hari awal Dzulhijah adalah Ibnu ‘Umar. Ulama lain seperti Al Hasan Al Bashri, Ibnu Sirin dan Qotadah juga menyebutkan keutamaan berpuasa pada hari-hari tersebut. Inilah yang menjadi pendapat mayoritas ulama.[6]

Hari-Hari Yang Istimewa

Di sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah ada hari-hari yang istimewa yaitu hari ‘arafah, hari nahar, dan hari tasyriq. Hari arafah adalah hari yang ke sembilan pada saat jama’ah haji sedang melakukan wukuf di ‘Arafah. Hari nahar adalah hari penyembelihan, hari yang agung, hari raya ‘idul adha, hari haji akbar, dan sebaik baik hari disisi Allah ta’ala. Hari tsyriq adalah hari ke 11 – 13 Dzulhijjah, disebut Tasyriq (daging kering), karena dahulu para sahabat mengeringkan daging kurban mereka dijadikan bekal.[7]

Jangan lewatkan kesempatan ini berlalu tanpa amal shalih sedikitpun. Sungguh sangat rugi mereka yang melalaikannya. Semoga Allah senantiasa memberikan hidayah taufiq-Nya dalam bersamangat diatas kebaikan. Âmîn. []

[1] Dalam Li Yaddabbaru Ayatih Markaz Tadabbur di bawah pengawasan Syaikh Prof. Dr. Umar bin Abdullah al-Muqbil, professor fakultas syari’ah Universitas Qashim Saudi Arabia https://tafsirweb.com/3052-surat-at-taubah-ayat-36.html

[2] Tafsirul Qur’anil Azhim, Abul Fida’ Isma’il bin Amr bin Katsir ad Damsyqi, Jilid 8, hal.390, disebutkan dalam E-Book (pdf) Keagungan Bulan Dzulhijjah, Abu Ghozie as Sundawie, hal. 7-8

[3] Amalan Awal Dzulhijjah hingga Hari Tasyrik, Muhammad Abduh Tuasikal, Yogyakarta: Rumaysho, 2018, Cet.1, hal.1

[4] E-Book (pdf) Keagungan Bulan Dzulhijjah, Abu Ghozie as Sundawie, hal.  13

[5] Fatwa Lajnah Ad Daaimah 9/308 no Fatwa : 20247. disebutkan dalam E-Book (pdf) Keagungan Bulan Dzulhijjah, Abu Ghozie as Sundawie, hal. 15

[6] Latho-if Al Ma’arif, hal. 459. disebutkan dalam E-Book (pdf) Keagungan Bulan Dzulhijjah, Abu Ghozie as Sundawie, hal. 16

[7] Keagungan Bulan Dzulhijjah, Abu Ghozie as Sundawie, (E-Book pdf)  hal. 8-17

Download Buletin klik disini

MENGAMBIL PELAJARAN DARI PERISTIWA KEMATIAN

MENGAMBIL PELAJARAN DARI PERISTIWA KEMATIAN

Oleh: Siti Jamilah, MSI.*

 

Bismillâh walhamdulillâh, washshalâtu wassalâmu ‘ala rasûlillâh, wa ba’du.

Berita tentang kematian atau wafatnya seseorang adalah suatu hal yang biasa dan sering kita dengar. Kabar wafatnya para tokoh masyarakat, cendikiawan, ulama, karib kerabat, sahabat dan handai taulan datang silih berganti dari waktu ke waktu. Terlebih beberapa waktu lalu, saat pandemi mencapai puncaknya di negeri ini, kematian seolah begitu dekat di sekeliling kita. Banyak orang-orang yang kita cintai meninggal dunia tiba-tiba. Bagaimana pun, semua tentu tak lepas dari kuasa dan takdir Allah, Penguasa dan Pengatur semesta raya. Selain bersabar dan ikhlas akan ketetapan Allah, kita juga semestinya harus mampu mengambil pelajaran dan ‘ibrah dari peristiwa kematian ini. Rasulullah n bersabda: Kafa bil mauti wa’izhan, “Cukuplah kematian sebagai pemberi nasihat”. (H.R. Baihaqi)[1].

Nasihat dari Kematian

Ada beberapa nasihat dari peristiwa kematian yang dapat kita ambil dan kita renungkan sebagai bahan pelajaran;

Pertama, hidup di dunia ini hanyalah sementara. Semua manusia pasti akan kembali menghadap Allah ﷻ untuk mempertanggungjawabkan apa yang diperbuatnya di dunia ini. Allah ﷻ berfirman: “Setiap jiwa akan merasakan mati”. (Q.S. Ali Imran [3]: 185). Semua makhluk yang hidup pada saatnya akan mendapatkan giliran menemui ajal atau kematian. Hanya soal bagaimana, dimana dan kapan yang menjadi rahasia Allah. Jika kesadaran ini telah tertanam di dalam jiwa, niscaya akan dapat menumbuhkan dorongan agar kita mulai berbenah. Berusaha untuk terus memperbaiki diri.[2]

Kedua, masih diberikan nikmat kesehatan dan kesempatan. Kesehatan adalah salah satu nikmat terbesar yang kadang baru disadari betapa berharganya saat seseorang dalam keadaan sakit. Ada ungkapan hikmah yang menyatakan bahwa kesehatan adalah mahkota di atas kepala orang-orang yang sehat yang tidak terlihat kecuali oleh orang-orang yang sakit.[3]

Ketiga, kematian mengajarkan pentingnya menghargai waktu. Ada dua nikmat besar yang sering dilupakan manusia kata Nabi, yaitu kesehatan dan kesempatan (waktu). Di saat kita sehat dan memiliki waktu, tentu banyak hal bermanfaat yang dapat kita lakukan. Dan kesempatan itu akan berakhir ketika kematian datang menjemput. Sehingga mumpung Allah masih memberikan kita waktu dan kesempatan, marilah kita gunakan dengan baik untuk banyak beribadah dan menebar manfaat bagi sesama.

Meraih Husnul Khatimah

Setiap Muslim tentu berharap bahwa pada saatnya nanti ketika ajal datang menjemput meninggal dalam keadaan husnul khatimah. Husnul khatimah bermakna akhir hidup yang baik. Kebalikannya adalah suul khatimah, akhir hidup yang buruk. Akhir hidup yang baik bagi seorang Muslim sangat bermakna. Hal itu mengisyaratkan bahwa kelak di akhirat ia akan memperoleh ridha Allah, kebahagiaan dan surga-Nya.

Sehingga baik sekali kita sering berdoa, memohon kepada Allah agar dikaruniai anugerah husnul khatimah. Misalnya dengan sering-sering membaca doa berikut; Allahumma innii asaluka husnal khatimah, wa audzubika min suuil khatimah. “Ya Allah, hamba bermohon kepada-Mu karuniakanlah hamba akhir kehidupan yang baik. Dan hamba berlindung kepada-Mu dari akhir kehidupan yang buruk”. Itu salah satu contoh redaksi doa memohon husnul khatimah yang dapat kita amalkan.

Di dalam hadits Nabi disebutkan ada beberapa keadaan dan tanda-tanda seseorang wafat dalam keadaan husnul khatimah;

            Pertama, ketika seseorang mengucapkan kalimat tauhid di akhir hayatnya. Nabi ﷺ bersabda; “Barangsiapa yang di akhir hidupnya mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallaah niscaya ia masuk surga”. (HR. Abu Dawud).[4]  Wajar jika Allah ﷻ memberikan kemuliaan bagi mereka yang menutup hidupnya dengan membawa kalimat tauhid tersebut. Nabi ﷺ bersabda: “Iman memiliki enam puluh atau tujuh puluh lebih cabang. Cabang tertinggi dari iman adalah kalimat Laa ilaaha illallaah (tiada Tuhan selain Allah). Cabang yang terendah adalah menyingkirkan hal yang dapat menyakiti dari jalan. Dan malu adalah salah satu cabang dari iman.” (HR. Bukhari).[5]

Kedua, ketika seseorang mengakhiri hidupnya dalam keadaan sedang beramal shalih. Misalnya ia wafat dalam keadaan sedang berpuasa, shalat, sedekah, membaca al-Quran, menunaikan ibadah haji dan seterusnya. Orang yang wafat saat sedang menunaikan ibadah dan ketaatan disebutkan dalam makna hadits shahih riwayat Imam Ahmad sebagai kematian yang husnul khatimah.

Ketiga, orang yang mati syahid. Nabi menyatakan bahwa orang yang meninggal dalam keadaan syahid adalah calon penghuni surga. Ada beberapa macam keadaan yang dinilai sebagai mati syahid. Rasulullah bersabda; “Syahid ada tujuh macam selain yang gugur di jalan Allah. Orang yang mati karena penyakit tha’un (wabah menular) adalah syahid. Orang yang mati tenggelam syahid. Orang yang mati karena penyakit perut syahid. Orang yang mati terbakar syahid. Orang yang mati karena tertimpa bangunan syahid. Wanita yang gugur di saat melahirkan ia syahid”. (H.R. Abu Dawud). Juga disebutkan dalam riwayat hadits lain; “Barangsiapa yang terbunuh karena membela hartanya, jiwanya dan keluarganya maka ia mati syahid”. (H.R. Tirmidzi).

Keempat, orang yang dikenal shalih saat hidupnya dan ia pun meninggal dalam keadaan istiqamah iman dan Islamnya. Hidupnya senantiasa diisi dengan ketakwaan dan amal kebaikan. Maka insya Allah ia husnul khatimah, meskipun secara zhahir mungkin tidak memiliki tanda-tanda spesifik saat wafatnya. Juga terhitung husnul khatimah seorang muslim yang wafat dalam keadaan diuji dengan sakit, dan ia husnuzhan serta bersabar atas ketetapan-Nya. Pada hakikatnya sakit yang menimpa seorang muslim adalah ujian. Ia akan menghapus dosa-dosanya dan meninggikan derajatnya manakala ia sabar dan ridha atas ketetapan-Nya. Wa Allâhu a’lam.

Kesimpulan

Nasihat dari Kematian

  1. hidup di dunia ini hanyalah sementara
  2. masih diberikan nikmat kesehatan dan kesempatan
  3. kematian mengajarkan pentingnya menghargai waktu.

Meraih Husnul Khatimah

Mempebanyak doa: Allahumma innii asaluka husnal khatimah, wa audzubika min suuil khatimah. “Ya Allah, hamba bermohon kepada-Mu karuniakanlah hamba akhir kehidupan yang baik. Dan hamba berlindung kepada-Mu dari akhir kehidupan yang buruk”.

Marâji’:

* Penyuluh Agama Islam Kota Yogyakarta

[1] Diriwayatkan al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman no.10556 dari ‘Ammar bin Yasar secara marfu’

[2] Muhammad al-Ghazali, Jaddid Hayatak. Darul Bayan, 2007.

[3] Aidh al-Qarni, La Tahzan. Jakarta: Qisthi Press, 2004.

[4] Abu Dawud, Sunan Abi Dawud. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.

[5] Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, Sahih Bukhari. terj. Zainuddin Hamidi dkk. Jakarta:  Wijaya, 1992.

Download Buletin klik disini

MUAMALAH DAN MAKNA KETAQWAAN KEPADA ALLAH

MUAMALAH DAN MAKNA KETAQWAAN KEPADA ALLAH

Oleh: Dr. Ariyanto, S.H., C.N., M.H.

 

Aturan Muamalah dalam Islam

Sebagai mahluk hidup yang diamanahi oleh Allah ﷻ untuk berbakti dan beribadah kepada Allah ﷻ, manusia tidak dapat terlepas dari kegiatan perdagangan, komunikasi, serta membangaun relasi dengan manusia lainnya, dan oleh karena itu Allah ﷻ Tuhan yang menciptakan kita semua telah memuat rambu-rambunya melaui Al-Qur’an, dan As-Sunnah yang dibawa oleh Nabi besar ummat Islam Muhammad ﷺ.  Aturan muamalah dalam Islam berhubungan dengan interaksi manusia dengan sesamanya. Dalam bermuamalah Islam telah megatur tentang hukum-hukumnya. Landasan utamanya berasal dari nas al-Quran dan hadis.

Allah ﷻ berfirman  dalam surah al-Mâidah ayat 3, “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”[1] (Q.S. al Mâidah [5]: 3)

Surat al Mâidah ayat 3 ini turun pada hari Arafah saat haji wada’ dan sesudahnya tidak turun lagi ayat mengenai halal dan haram. Asma binti Umais menceritakan, “Aku ikut haji bersama Rasulullah ﷺ dalam haji tersebut (haji wada’). Ketika kami sedang berjalan, tiba-tiba Malaikat Jibril datang kepada beliau dengan membawa wahyu. Maka Rasulullah ﷺ membungkuk di atas untanya. Unta itu hampir tidak kuat menopang diri Rasulullah ﷺ karena beratnya wahyu yang sedang turun …”

Pernah seorang Yahudi berkata kepada Khalifah Umar bin Khattab, “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya engkau biasa membaca ayat dalam kitabmu, seandainya hal itu diturunkan kepada kami orang-orang Yahudi, niscaya kami akan menjadikan hari itu sebagai hari raya.” “Ayat apakah itu?” Orang Yahudi tersebut lantas membaca firman-Nya: Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, Umar berkata, “Demi Allah, sesungguhnya aku benar-benar mengetahui ayat ini diturunkan kepada Rasulullah n pada sore hari Arafah yang jatuh pada hari Jum’at.”[2]

Makna Muamalah

Dalam bahasa Arab, muamalah memiliki makna  pergaulan atau interaksi manusia dengan makhluk lain. Dari perspektif bahasa, ruang lingkup muamalah tidak terbatas pada manusia semata, namun juga mahluk ciptaan Allah ﷻ lainnya. Sedangkan menurut istilah, muamalah adalah perkara syariat yang mengatur hubungan sesama manusia berkaitan dengan urusan harta, pernikahan, kriminalitas, warisan, utang-piutang, dan sebagainya, sebagaimana dikutip dari fikih Muamalah: Memahami Konsep dan Dialektika Kontemporer (2020) yang ditulis Syaikhu, Ariyadi, dan Norwili.[3]

Cakupan Muamalah dalam Islam

Cakupan muamalah dalam tataran asas yang umum adalah mencakup keadilan, kesimbangan, dan kebolehan (mubah). Ayat terkait persoalan muamalah dalam Islam tertera dalam banyak ayat Al-Quran, di antaranya adalah sebagai berikut.

  1. Qs. al-Mâidah ayat 1 tentang memenuhi akad perjanjian

Allah ﷻ berfirman:Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.[4] (QS. Al Maidah [5]: 1).

  1. Qs. al-Baqarah ayat 275 tentang haramnya riba

Dalam tafsir al-Muyassar dijelaskan, “Orang-orang yang bermuamalah dengan riba (yaitu tambahan dari modal pokok), mereka itu tidaklah bangkit berdiri di akhirat kelak dari kubur-kubur mereka, kecuali sebagaimana berdirinya orang-orang yang dirasuki setan karena penyakit gila. Hal itu karena sesungguhnya mereka mengatakan, “Sesungguhnya jual beli itu sama dengan praktek ribawi dalam kehalalan keduanya, karena masing-masing menyebabkan bertambahnya kekayaan.” Maka Allah mendustakan mereka dan menjelaskan bahwa Dia menghalalkan jual beli dan mengharamkan transaksi ribawi, karena dalam jual beli terdapat manfaat bagi orang-orang secara individual dan masyarakat, dan karena dalam praktek riba terkandung unsur pemanfaatan kesempatan dalam kesempitan, hilangnya harta dan kehancuran. Maka siapa saja yang telah sampai padanya larangan Allah terkait riba, lalu dia menghindarinya, maka baginya keuntungan yang telah berlalu sebelum ketetapan pengaraman. Tidak ada dosa atas dirinya padanya. Dan urusannya dikembalikan kepada Allah terkait apa yang akan terjadi pada dirinya pada masa yang akan datang. Apabila dia komitmen terus di atas taubatnya, maka Allah tidak akan menghilangkan pahala orang-orang yang berbuat baik. Dan barangsiapa kembali kepada praktek riba dan menjalankannya setelah sampai kepadanya larangan Allah tentang itu, maka sungguh dia pantas memperoleh siksaan dan hujjah telah tegak nyata di hadapannya. Oleh sebab itu, Allah berfirman, “Maka mereka itu adalah para penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”[5]

  1. Qs. al-Baqarah ayat 277 dari al-Baqarah tentang benefit yang akan didapat dari mengerjakan segala yang Ia perintahkan dan segala yang Ia larang.

Allah ﷻ berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati,” Q.S. al-Baqarah [2]: 277).

Dari cuplikan ayat-ayat di atas, jelaslah bahwa Allah ﷻ sangat mengutuk perilaku riba, yang mana riba merupakan dari kegiatan ekonomi yang dilakukan manusia, utamanya yang berkaitan dengan masalah utang-piutang. Kemudian, dalam ayat berikutnya yakni Q.S. Al-Baqarah ayat 277 Allah mengatakan bahwa orang yang beriman kepada Allah beserta Hukum-Hukum yang telah ditentukan oleh-Nya, maka kepada mereka itu tidak ada kekhawatiran dan tidak ada kesedihat dalam hatinya. Artinya kalau kita sebagai manusia menaati perintah Allah ﷻ dan menjauhi larangannya (bertaqwa kepada Allah) termasuk dalam persoalan muamalah, maka in sya Allah hidup kita akan penuh ketenangan, damai, tanpa ada kekhawatiran sedikitpun. Wa Allâhu a’lam.[]

Mutiara Hikmah

Dari Abu Hurairah, Nabi ﷺ bersabda:

مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ

“Sedekah tidaklah mengurangi harta.” (HR. Muslim no. 2558)

[1] Dikutip pada 27 Mei 2022 pada laman web :  https://tafsirweb.com/1887-surat-al-maidah-ayat-3.html.

[2] Muchlisin BK, Surat Al-Maidah Ayat 3, Terjemah, Tafsir, dan Kandungan, dikutip pada tanggal 27 Mei 2022 pada laman web : https://bersamadakwah.net/surat-al-maidah-ayat-3/.

[3] Abdul Hadi, Ayat-Ayat Al-Quran tentang Muamalah : Arab, Latin, dan Terjemahannya, dikutip pada tanggal 26 Mei 2022 melalui : https://tirto.id/ayat-ayat-al-quran-tentang-muamalah-arab-latin-dan-terjemahannya-gk9w .

[4] Dikutip dari terjemahan dari laman https://tafsirq.com/5-Al-Ma’idah/ayat-1. Pada tanggal 27 Mei 2022.

[5] Dikutio dari : https://tafsirweb.com/1041-surat-al-baqarah-ayat-275.html. Pada tanggal 27 Mei 2022.

Download Buletin klik disini

JAGALAH ALLAH, NISCAYA ALLAH AKAN MENJAGAMU

JAGALAH ALLAH, NISCAYA ALLAH AKAN MENJAGAMU

Oleh: Abdurrahman Triadi Putro

 

Para pembaca yang semoga dirahmati Allah ﷻ. Sesungguhnya pokok kebahagiaan seorang hamba di dalam kehidupan ini dan pokok kemenangan di dunia dan akhirat yaitu hamba tersebut menjadi orang yang menjaga batasan-batasan Allah ﷻ, menjaga perintah-perintah-Nya, dan menjaga dirinya dalam ketaatan kepada-Nya. Barangsiapa yang melakukan hal-hal tersebut, yaitu dia telah menjaga Allah ﷻ, niscaya Allah ﷻ akan menjaganya. Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah ﷻ, maka Allah ﷻ akan melindunginya.

Sesungguhnya menjaga Allah ﷻ yaitu menjaga batasan-batasan-Nya, hak-hak-Nya, perintah-perintah-Nya, dan larangan-larangan-Nya. Menjaga hal-hal tersebut yaitu dengan berharap pahala terhadap perintah-perinrah-Nya yang dikerjakan, menjauh terhadap larangan-larangan-Nya, dan tidak melampaui batas terhadap batasan-batasan yang telah Allah ﷻ tetapkan. Barangsiapa yang melakukan hal-hal ini, maka dia termasuk kedalam orang-orang yang menjaga batasan-batasan Allah ﷻ yang mana Allah ﷻ telah puji mereka di dalam kitab-Nya, al-Qur’an. Allah ﷻ berfirman, “Inilah yang dijanjikan kepadamu, (yaitu) kepada setiap hamba yang selalu kembali (kepada Allah) lagi memelihara (semua peraturan-peraturan-Nya). (Yaitu) orang yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pemurah sedang Dia tidak kelihatan (olehnya) dan dia datang dengan hati yang bertaubat.” (Q.S. Qâf [50]: 32-33). Tafsir kata ‘al-hafizh’ dalam ayat ini adalah orang yang menjaga perintah-perintah Allah, dan dengan menjaga dari dosa-dosa yang dia lakukan dengan bertaubat dari dosa-dosa tersebut.

Para pembaca yang semoga dirahmati Allah ﷻ. Diantara perkara yang paling agung dari perintah-perintah Allah agar dapat dijaga adalah shalat. Karena shalat adalah tiang penegak agama dan rukun islam yang paling agung setelah 2 kalimat syahadat. Allah ﷻ telah memerintahkan kita untuk menjaga shalat kita. Allah ﷻ berfirman, “Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 238). Allah ta’ala juga memuji orang-orang yang menjaga shalatnya, “Dan orang-orang yang memelihara shalatnya.” (QS. Al-Ma’arij: 34).

Barangsiapa yang menjaga batasan-batasan Allah ﷻ dan perhatian terhadap hak-hak Allah, maka Allah ﷻ akan menjaganya. Sebagaimana terdapat sebuah kaidah agung dalam agama kita, “al-jaza’u min jinsil ‘amal”. Yaitu balasan yang didapat sesuai dengan amal yang dilakukan.

Dua Bentuk Penjagaan Allah 

Penjagaan Allah ﷻ yang akan didapat oleh seorang hamba yang telah bersungguh sungguh menjaga batasan-batasan Allah ﷻ tersebut ada 2 macam, yaitu: Bentuk pertama dari pejagaan Allah ﷻ adalah penjagaan-Nya bagi orang tersebut dalam perkara-perkara dunia. Bentuknya seperti penjagaan kepada fisiknya, anaknya, istrinya, dan hartanya. Allah ﷻ berfirman, “Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah.” (Q.S. ar-Ra’du [13]: 11).

Ibnu ‘Abbas menafsiri ayat ini, “Mereka (yang menjaga orang itu) adalah para malaikat, mereka menjaga dengan perintah Allah ﷻ. Apabila ketetapan (kematian) telah datang (bagi orang itu), maka para malaikat itu beralih darinya.”. Ali bin Abi Thalib juga menafsiri ayat di atas “Sesungguhnya bersama setiap orang terdapat 2 malaikat yang keduanya menjaga orang tersebut sebelum datangnya ketetapan (kematian). Apabila telah datang ketetapan itu, maka kedua malaikat tersebut beralih dari orang tersebut. Sesungguhnya kematian (bagi orang tersebut) adalah tameng yang sangat kokoh.”.

Bentuk kedua dari penjagaan Allah ﷻ yang mana penjagan ini merupakan penjagaan yang paling mulia, yaitu penjagaan Allah ﷻ kepada seorang hamba dalam agama dan keimanannya. Allah menjaganya dalam hidupnya dari syubhat-syubhat yang memalingkan dan dari syahwat-syahwat yang haram. Allah ﷻ juga menjaga agamanya ketika menjelang wafatnya sehingga wafatlah ia dalam keadaan beriman.

Doa Agar Mendapatkan Penjagaan Allah 

Sebagaimana hal ini dilandasi oleh sebuah hadits dari Ibnu Mas’ud, bahwasanya Nabi ﷺ berdoa, “Allahummah fazhnii bil islaam qoo’idan, wahfazhnii bil islaam qoo’iman, wahfazhnii bil islaam rooqidan, wa laa tuthi’ ‘aduwwan haasidan”. Artinya: “Ya Allah jagalah aku dengan islam ketika dalam keadaan duduk. Jagalah aku dengan islam ketika dalam keadaan berdiri. Jagalah aku dengan islam ketika dalam keadaan tidur. Janganlah Engkau berikan kepadaku musuh yang hasad.” (Hadits ini dikeluarkan oleh al-Hakim dalam Mustadrak-nya).

Kita sebagai seorang muslim hendaknya mengetahui bahawasanya kebutuhan kita kepada penjagaan Allah dalam kehidupan dunia dan akhirat adalah kebutuhan terbesar dan sangatlah diperlukan di dalam kehidupan kita. Sehingga wajib bagi kita menempuh sebab-sebab penjagaan Allah kepada diri kita. Hendaklah kita menjadi orang-orang yang menjaga diri dalam ketaatan kepada Allah, dengan menjaga batasan-batasan dan perintah-perintah-Nya, agar Allah subhanahu wa ta’ala berkenan menjaga diri kita, menjaga harta kita, menjaga istri dan anak kita, serta menjaga dunia dan akhirat kita.

Para pembaca yang semoga dirahmati Allah ﷻ. Kebutuhan kita terhadap penjagaan Allah diperlukan di setiap pagi dan sore hari, setiap siang dan malam hari, setiap berdiri dan duduk, serta di segala waktu dan kondisi kita. Oleh karena itu, sebagaimana terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan dalam Sunan Abu Dawud, Sunan Ibnu Majah, dan selain keduanya, dari hadits Ibnu Umar, bahwasanya Nabi ﷺ mengajarkan kepada sahabatnya sebuah doa yang hendaknya dibaca di waktu sore dan pagi hari, dan tentunya hal ini juga ditujukan kepada kita sebagai umatnya,

Beliau ﷺ berdoa, “Allahumma innii as’alukal ‘afwa wal ‘aafiyata fid dunyaa wal aakhiroh. Allahumma innii as’aluka’ ‘afwa wal ‘aafiyata fii diinii wa dunyaaya wa ahlii wa maalii. Allahummastur ‘aurootii wa aamin rou’aatii. Allahummah fazhnii min baini yadayya, wa min kholfii wa ‘an yamiinii wa ‘an syimaalii wa min fauqii, wa a’uudzu bi’azhomatika an ughtaala min tahtii.”. Artinya: “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu ‘afiyah (kesehatan dan keselamatan) di dunia dan di akhirat. Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu ampunan dan ‘afiyah didalam agamaku, duniaku, keluargaku, dan hartaku. Ya Allah, tutupilah auratku dan jagalah penglihatanku. Ya Allah, jagalah aku dari apa yang ada diantara tanganku, dari belakangku, dari sebelah kananku, dari sebelah kiriku, dan dari atasku. Aku berlindung dengan keagungan-Mu dari ditenggelamkan dari bawahku.

Beliau Nabi kita tercinta, Nabi Muhammad ﷺ berdoa kepada Allah ﷻ agar dijaga oleh Allah ﷻ, di tiap pagi dan sore hari. Lalu bagaimanakah dengan kita ? Kebutuhan kita terhadap penjagan Allah ﷻ sangatlah penting di segala kondisi dan waktu kita. Oleh karena itu, jagalah Allah ﷻ, niscaya Allah ﷻ akan menjagamu. Jagalah perintah-perintah, larangan-larangan, batasan-batasan yang telah Allah ﷻ tetapkan, maka Allah ﷻ akan menjaga kita dalam perkara-perkara dunia dan agama kita, dalam kehidupan dunia dan akhirat kita.

Semoga setelah berlalunya bulan Ramadhan ini, selain meningkatkan intensitas dan kesungguhan amal-amal shalih kita di dalamnya, kita juga dapat semakin memupuk keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah ﷻ. Kita meyakini bahwasanya penjagaan Allah ﷻ sangatlah kita butuhkan dalam kehidupan kita, maka hendaklah kita menjadi orang-orang yang menjaga batasan-batasan Allah ﷻ dan syariat-yariat Allah. Jagalah Allah, niscaya Allah ﷻ akan menjagamu.[]

Mutiara Hikmah

Dari Abu Hurairah, Nabi ﷺ berdo’a,

اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْفَقْرِ وَالْقِلَّةِ وَالذِّلَّةِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ أَنْ أَظْلِمَ أَوْ أُظْلَمَ

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kefakiran, kemiskinan, kehinaan. Dan aku berlindung kepada-Mu jangan sampai aku mendzalimi atau didzalimi.” (HR. Ahmad 8053, Abu Daud 1546 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

Marâji’:

https://al-badr.net/detail/G2bL35rfKj

https://al-badr.net/detail/stP9BGc6rZT0

(dengan beberapa penyesuaian)

Download Buletin klik disini

RAJIN KETIKA RAMADHAN, SETELAH RAMADHAN LALAI

RAJIN KETIKA RAMADHAN, SETELAH RAMADHAN LALAI

Oleh: Diki Muallim

 

Bismillah wasshalatu wassalamu ‘ala rasulillah, wa ba’du.

Saudaraku yang semoga dirahmati oleh Allah ﷻ, marilah kita renungi terlebih dahulu kandungan dalam surat al-Hadid ayat 16 ini. “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.”[1]

Ingatlah Tentang Ramadhan

Ingatlah tentang amalan shalih yang telah kita lakukan di bulan Ramadhan. Bulan yang baru saja telah kita lalui. Bulan bulan yang sangat mulia, banyak sekali keutamaan pada bulan Ramadhan salah satunya adalah menjadi bulan diturunkannya al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia, Allah ﷻ berfirman, “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu…”[2]

Bulan Ramadhan juga merupakan bulan dengan penuh keberkahan, Rasulullah ﷺ bersabada, “Telah datang kepada kalian Ramadhan, bulan yang diberkahi. Allah mewajibkan atas kalian berpuasa padanya. Pintu-pintu surga dibuka padanya. Pintu-pintu Jahim (neraka) ditutup. Setan-setan dibelenggu. Di dalamnya terdapat sebuah malam yang lebih baik dibandingkan 1000 bulan. Siapa yang dihalangi dari kebaikannya, maka sungguh ia terhalangi.”[3]

Banyak orang ketika sebelum Ramadhan ia hanya mengerjakan ibadah yang wajib-wajib saja, atau dengan sedikit mengerjakan ibadah sunnah, atau bahkan mengerjakan ibadah wajibpun masih ada yang ditinggalkan. Namun setelah memasuki bulan ramadhan mereka lebih giat lagi dalam beribadah, yang tadinya bolong-bolong sholat lima waktu menjadi lebih rajin menjalankan sholat lima waktu, yang tadinya hanya mengerjakan ibadah yang wajib-wajib saja atau dengan sedikit tambahan ibadah sunnah namun ketika di bulan ramadhan ia lebih banyak lagi menjalankan ibadah-ibadah sunnah dibanding sebelum bulan Ramadhan. Ada yang menghatamkan Al Qur’an bahkan menghatamkannya pun sampai berkali-kali, ada juga yang lebih rajin menjalankan sholat malam, dan berbagai macam ibadah lainnya.

Ingat Teguran Allah dalam surat al Hadid

Namun setelah melewati bulan Ramadhan ibadah tersebut mulai menurun, semangatnya tidak lagi seperti saat di bulan Ramadhan. Maka ingatlah Allah ﷻ menjelaskan pada firmannya dalam surat Al-Hadid ayat 16 tersebut sebagai teguran bagi kita dengan mengatakan “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka)…” yaitu menerima (pelajaran) Al-Qur’an dan mengamalkannya.

Bagi orang-orang yang beriman Al-Qur’an itu bisa memberi pengaruh dalam menambah keimanan mereka, Allah ﷻ berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.”[4]

Kemudian dalam surat Al-Hadid ayat 16 itu Allah ﷻ mengingatkan kita janganlah meniru atau mengikuti seperti jalannya orang-orang ahli kitab, “…dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.”

Orang-orang Ahli Kitab dahulu menerima Al-Kitab bersama mereka kemudian mereka melalaikannya lalu meninggalkannya dalam masa yang lama, kemudian hati mereka menjadi keras dan mereka pun menjadi orang-orang yang fasik. Pada ayat ini fasik yang dimaksud adalah bermakna kafir, sebagaimana Allah c menjelaskan, “Demikianlah telah tetap hukuman Tuhanmu terhadap orang-orang yang fasik, karena sesungguhnya mereka tidak beriman.”[5]

Seseorang jika telah melewati satu bulan Ramadhan, ia sudah merasakan nikmatnya ibadah dan telah merasakan manisnya iman dalam berbagai amaliyah di bulan Ramadhan. Ia sudah terbiasa dengan ketaatan dan terbiasa takut jika melakukan perbuatan dosa, jika kebiasaan-kebiasaan ini dia tinggalkan maka hal itu dinamakan kelalaian. Sama seperti halnya yang dilakukan oleh orang-orang Ahli Kitab dahulu yaitu membuat jarak, mereka menelantarkan pelajaran pada kitab yang turun pada mereka dan akhirnya mereka ditimpa dengan kekerasan hati kemudian menjadikan diri mereka sendiri orang-orang yang fasik.

Hikmah Yang Dapat Diambil

Hikmah dari adanya bulan Ramadhan yaitu untuk mendidik diri seseorang untuk menjadi taat. Dan ditegaskan dalam surat Al-Baqarah ayat 185 dimana disebutkan secara khusus keterkaitan antara bulan Ramadhan dengan Al-Qur’an yaitu “…bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)…”

Ini menunjukkan bahwa setiap muslim dan muslimah harus mengetahui bahwa Al-Qur’an itu untuk diamalkan supaya memberi warna dan pengaruh pada hidupnya, bukan hanya sebagai simbolis atau kebiasaan saja. Ketika bulan Ramadhan ia rajin beribadah namun ketika selesai Ramadhan hatinya kembali jauh dari ibadah. Karena yang demikian sama halnya seperti jalannya orang-orang Ahli Kitab sehingga mereka dikeraskan hatinya.

Pelajaran lain yang dapat diambil dalam surat Al-Hadid ayat 16 ini adalah penyakit keras hati yang menimpa Ahli Kitab disebabkan karena mereka melalaikan Al-Kitab yang diturunkan kepada mereka dalam jangka waktu yang sangat lama. Oleh karena itu jika seseorang memahami tuntunan Islam yang ada pada Al-Qur’an dan Hadits Nabi ﷺ maka hal itu pasti akan membuat dadanya terasa lapang (tidak menjadi keras hati), Allah ﷻ berfirman, “Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.”[6]

Allah ﷻ berfirman, “Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.”[7]

Maka tidak patut bagi seorang muslim jika sudah dimuliakan dengan ketaatan, akhlak yang baik, dan pendidikan yang berharga di bulan Ramadhan namun setelah selesai Ramadhan ia berganti dengan hal-hal yang buruk.

Kita memohon kepada Allah ﷻ yang memberikan anugrah kepada kita semua dengan keislaman, yang membuat kita mendapati awal Ramadhan kemudian akhir Ramadhan, semoga Allah ﷻ menyempurnakan nikmat untuk kita semua, menjadikan bulan Ramadhan selalu bermakna, berpengaruh di dalam jiwa dan kehidupan kita, dan semoga Allah ﷻ menggolongkan kita semua sebagai hamba-hambanya yang diterima puasanya, sholatnya, dan segala ketaatan yang kita lakukan di bulan Ramadhan, dan kita memohon kepada Allah supaya kita dijadikan sebagai orang-orang yang bertakwa, kedalam golongan orang-orang yang diterima amalannya dan orang-orang yang beruntung di sisi Allah ﷻ.

Mutiara Hikmah

Ibnu Katsir berkata, “Barangsiapa yang bersyukur, maka manfaat dan pahalanya akan kembali kepada dirinya sendiri. Sebagaimana Allah ﷻ berfirman,

‎وَمَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِأَنْفُسِهِمْ يَمْهَدُونَ

Dan barangsiapa yang beramal shalih maka untuk diri mereka sendirilah mereka menyiapkan (tempat yang menyenangkan).” (Q.S. Ar-Rûm [30]: 44). (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 6:114).

Marâji:

[1] Q.S. al-Hadid [57]:16

[2] Q.S. al-Baqarah [2]:185

[3] H.R. Ahmad dalam al-Musnad (2/385). Dinilai shahih oleh al-Arna’uth dalam Takhrijul Musnad (8991)

[4] Q.S. al-Anfal [8]: 2

[5] Q.S. Yunus [12]: 33

[6] Q.S. al-An’am [6]: 125

[7] Q.S. az-Zumar [39]: 22

Download Buletin klik disini

MADRASYAH RAMADHAN DAN FAEDAH PUASA SYAWAL

MADRASYAH RAMADHAN DAN FAEDAH PUASA SYAWAL

Oleh : Abdul Muis*

*Alumni Informatika UII 2017

 

Bismillâhi Walhamdulillâhi wash-shalâtu was-salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Ramadhan telah berlalu, bulan yang di dalamnya terdapat suatu malam, jika kita beribadah pada malam itu, maka kita akan mendapatkan keutamaan ibadah yang lebih baik daripada beribadah seribu bulan. Kita telah berpisah dengan bulan yang di dalamnya terdapat limpahan rahmat dan ampunan Allah ﷻ yang berlipat ganda. Kita telah ditinggalkan oleh bulan yang di dalamnya menutupi salah dan dosa. Kita telah ditinggalkan oleh bulan turunnya al-Qur’an pedoman umat manusia. Tidak ada yang dapat menjamin bahwa kita akan bertemu lagi dengan bulan yang penuh keberkahan itu.

Manusia dianggap mulia bukan karena hartanya, bukan karena jabatannya, bukan pula karena bentuk dan rupanya. Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada tubuh kamu dan tidak melihat kepada bentuk kamu, akan tetapi Allah melihat kepada hati dan perbuatan kamu.” (H.R Muslim)[1]. Sejatinya Ramadhan adalah madrasah yang mendidik kita supaya menjadi manusia bertaqwa. Apakah kita berhasil menjalani madrasah tersebut dan memperoleh gelar taqwa disisi Allah? Mesti ada empat unsur dalam diri kita, barulah kita layak disebut sebagai orang yang bertaqwa.

Pertama: Takut kepada Allah

Di siang hari bulan Ramadhan, kita menahan diri dari segala sesuatu yang halal, karena rasa takut kita pada Allah ﷻ. Maka diharapkan setelah Ramadhan kita mampu menahan diri dari segala yang haram, juga karena rasa takut kita kepada Allah. Kita tumbuhkan rasa takut sebulan penuh, supaya ia bersemayam dan kekal abadi di dalam hati sampai Ramadhan yang akan datang. Janji Allah ﷻ untuk orang-orang yang takut kepada-Nya yaitu seperti yang tercantum dalam surat Ar-Rahman ayat 46, Allah ﷻ berfirman “Dan bagi orang-orang yang takut akan saat menghadap Tuhannya ada dua syurga.” (Q.S Ar-Rahman [55]:46).

Kedua: Melaksanakan isi kandungan Al-Qur’an

Di bulan Ramadhan, bulan turunnya Al-Qur’an kita perbanyak tadarus Al-Qur’an. Maka mari kita amalkan isi dan kandungannya dalam kehidupan sehari-hari. Al-Qur’an bukan hanya sekedar untuk dibaca dan diperdengarkan, melainkan lebih dari itu, Al-Qur’an harus dijadikan sebagai pedoman kehidupan.

Ketiga: Ridha terhadap ketentuan Allah

Setelah kita berusaha, maka kita harus menerima ketentuan Allah. Jangan sampai hasrat dan ambisi mendorong kita menghalalkan segala cara mendapatkan apa yang kita inginkan. Di bulan ramadhan kita diajarakan mengenali hakikat hawa nafsu. Kalau kita sudah mengenalnya dengan baik, maka mudah bagi kita mengendalikannya dan tidak tertipu oleh nafsu.

Keempat: Mempersiapkan diri menghadapi kematian

Sudahkah kita persiapkan diri untuk menghadapi kematian? Rasulullah ﷺ bersabda, “yang mengiringi mayit itu ada tiga, yang dua kembali, sedangkan yang kekal hanya satu. Mayat itu diiringi keluarga, harta, dan amalnya.” (HR. At-Tirmidzi). Selama ini kita sibuk mengurus yang dua perkara tersebut ; harta dan keluarga, kita lalaikan yang satunya. Padahal yang satu itulah yang akan menemani kita. Kalau kita mengaku sebagai orang yang bertaqwa, maka mari kita siapkan diri kita menghadap hari kematian itu.

Allah bercerita tentang balasan yang telah disiapkan untuk orang-orang yang bertaqwa, Allah ﷻ berfirman “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa.” (Q.S Alimrân[3]:133)[2]

Kaum muslimin sejatinya memahami bahwa ibadah itu bukan hanya dilakukan di bulan Ramadhan saja. Karena memang kita harus melanjutkan amal bakda Ramadhan. Allah ﷻ  sangat menyukai amalan yang dilaksanakan secara kontinu. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah ﷺ pernah menemui ‘Aisyah dan di sisinya ada seorang wanita. Rasulullah ﷺ pun  bertanya, “siapa ini?” ‘Aisyah menjawab, “si fulanah yang terkenal luar biasa shalatnya.” Rasulullah ﷺ pun bersabda, “Jangan seperti itu. Hendaklah engkau beramal sesuai kemampuanmu. Demi Allah, Allah itu itu tidak bosan untuk menerima amalanmu hingga engkau sendiri yang bosan. Sesungguhnya amalan yang paling disukai oleh Allah adalah yang dikerjakan secara kontinu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Setelah berpuasa dan melakukan berbagai ibadah pada bulan Ramadhan, kita dipertemukan dengan bulan Syawal. Ada amalan yang mulia di bulan ini yaitu melakukan puasa Syawal selama enam hari, yang pahalanya seperti berpuasa di sebulan penuh. Kaum muslimin dianjurkan untuk melaksanakan ibadah ini. Di antara faedah melakukan ibadah puasa Syawal adalah sebagai berikut.

Menggenapkan ganjaran pahala berpuasa setahun penuh

Rasulullah ﷺ bersabda “Barang siapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia seperti berpuasa setahun penuh.” (HR. Muslim). Para ulama mengatakan bahwa berpuasa seperti setahun penuh asalnya karena setiap kebaikan semisal dengan sepuluh kebaikan. Bulan Ramadhan (puasa sebulan penuh) sama dengan berpuasa sepuluh bulan (30×10 = 300 hari = 10 bulan) dan puasa enam hari di bula Syawal sama dengan berpuasa selama 2 bula (6×10 = 60 hari = 2 bulan) (sitasi buku fiqih syawal)

Jadi seolah-olah jika seseorang melaksanakan puasa Syawal dan sebelumnya berpuasa sebulan penuh di bulan Ramadhan, dia seperti melaksanakan puasa setahun penuh. Hal ini dikuatkan oleh sabda Rasulullah ﷺ “Barang siapa berpuasa enam hari setelah Idul Fitri, maka dia seperti berpuasa setahun penuh. [Barang siapa berbuat satu kebaikan, maka baginya sepuluh kebaikan semisal].” (HR. Ibnu Majah).

Puasa Syawal dapat menyempurnakan kekurangan-kekurangan yang ada pada puasa wajib bulan Ramadhan sebagaimana shalat sunnah rawatib yang menyempurnakan ibadah shalat wajib. Dalam menjalani puasa Ramadhan sering kali ada kekurangan, maka untuk melengkapi kekurangan tersebut mesti disempurnakan dengan amalan sunnah yaitu puasa Syawal.

Sebagai tanda diterimanya amalan di bulan Ramadhan adalah Allah akan menunjuki pada amalan shalih selanjutnya, di antaranya puasa enam hari di bulan Syawal.

Sebagai bentuk syukur kepada Allah

Salah satu nikmat yang patut disyukuri adalah nikmat ampunan dosa yang begitu banyak di bulan Ramadhan. Bukankah kita telah mengetahui bahwa melalui amalan puasa dan shalat malam sebulan penuh adalah sebab datangnya ampunan Allah. Ibnu Rajab rahimahullah berkata “Tidak ada nikmat yang lebih besar dari anugerah pengampunan dari Allah.”[3].

Melalui puasa enam hari bulan Syawal secara tidak langsung Allah memberi hikmah kepada kita agar orang yang berpuasa tidak berpindah secara mendadak dari sikap menahan diri dari segala sesuatu yang bersifat fisik dan non-fisik kepada kebebasan tanpa ikatan, lalu memakan semua yang lezat dan baik kapan saja ia mau, karena peralihan secara mendadak menyebabkan efek negatif bagi fisik dan psikis. Semoga Allah ﷻ selalu memudahkan kita dalam melakukan ketaatan-ketaatan, amin.

Mutiara Hikmah

Rasulullah ﷺ bersabda,

إنَّ أَحَبَّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَدْوَمُهُ وَإِنْ قَلَّ

“Amal (ibadah) yang paling dicintai Allah l adalah amal yang paling terus-menerus dikerjakan meskipun sedikit.” (H.R. Al-Bukhari No. 6099 dan Muslim No. 783)

MARÂJI’:

[1] A. Somad, “somadmorocco.blogspot.com: Puasa 6 Hari di Bulan Syawwal,” 2010. http://somadmorocco.blogspot.com/2010/08/puasa-6-hari-di-bulan-syawwal.html (accessed May 12, 2022).

[2] A. Somad, “somadmorocco.blogspot.com: Khutbah Idul Fithri 1 Syawwal 1431H / 10 September 2010M.,” 2010. http://somadmorocco.blogspot.com/2010/09/khutbah-idul-fithri-1-syawwal-1431h-10.html (accessed May 12, 2022).

[3] M. A. Tuasikal, Fikih bulan syawal, Kedua. Pesantren Darush Sholihin, Dusun Warak RT.08 / RW.02, Desa Girisekar, Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, 55872: Rumaysho, 2021.

Download Buletin klik disini