Tahun Baru Masehi Milik Siapa?

Tahun Baru Masehi Milik Siapa? 

Bismillahi walhamdulillâh wash shalatu was salâmu ‘ala rasûlillâh,

Sudah menjadi polemik di tengah-tengah kaum muslimin soal perayaan hari pergantian tahun di setiap tahunnya. Ada yang menerima bahkan turut serta dalam perayaan malam pergantian tahun baru tersebut, namun ada juga yang menolak dan menjaga diri dari segala macam bentuk kegiatan yang berkaitan dengan malam perayaan tahun baru tahunan itu. Mayoritas kaum muslimin sejak dulu sudah sangat akrab dengan malam tahun baru yang puncaknya adalah pada pukul 00.00 pagi, di mana suara gemuruh kembang api terdengar hampir dari seluruh penjuru mata angin, serta  langit-langit yang  terlihat bercahaya dan penuh dengan gemerlapnya. Perayaan tersebut hampir diikuti oleh seluruh manusia termasuk kaum muslimin, tidak terkecuali negeri-negeri Arab, seperti Uni Emirat Arab yang disebut-sebut sebagai penyelenggara perayaan tahun baru paling spektakuler di Timur Tengah. Namun pernahkah kaum muslimin yang merayakan itu membaca dan menelaah tentang sejarah perayaan tahun baru masehi itu?

Sejarah Perayaan Tahun Baru

Banyak versi tentang sejarah perayaan tahun baru yang tiap tahunnya menjadi pergelaran akbar di seluruh dunia itu. Bagi mereka yang membolehkan, meyakini bahwa tahun baru itu sudah dimulai sejak abad ke 4 Masehi menurut kebiasaan orang-orang Romawi, ada juga yang mengatakan itu hanya soal model penanggalan matahari dan bulan sehingga tidak ada kaitannya dengan agama apapun. Sedang bagi mereka yang tidak membolehkan perayaan tahun baru, meyakini bahwa sejarah perayaan pergantian tahun itu berkaitan erat dengan kelahiran Yesus atau Isa Al-Masih yang dianggap Tuhan atau anak Tuhan.

Mari coba kita telaah, tahun Masehi sangat berhubungan erat dengan keyakinan agama Kristen, Masehi adalah nama lain dari Isa al-Masih. Orang yang pertama kali membuat penanggalan kalender Masehi adalah seorang kaisar Romawi bernama Gasius Julius Caesar pada tahun 45 SM. Kemudian seorang pendeta Kristen bernama Donisius memanfaatkan penemuan kalender Julius Caesar untuk diadopsi (diangkat) sebagai penanggalan yang didasarkan pada tahun kelahiran Yesus Kristus.

Sedang di zaman Romawi, pesta perayaan ulang tahun baru adalah untuk menghormati Dewa Janus (Dewa yang digambarkan bermuka dua). Perayaan ini terus dilesatarikan dan menyebar ke Eropa pada awal abad Masehi. Seiring berkembangnya agama Kristen, akhirnya perayaan ini diwajibkan oleh pemimpin Negara sebagai perayaan “suci” satu paket dengan hari Natal. Inilah sebabnya ucapan Natal dan Tahun baru dijadikan satu Merry Christmas and Happy New Year.

Pendapat yang demikian salah satunya dikemukakan oleh Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU yakni KH. Cholil Nafis “Perayaan tahun baru tersebut bukan milik umat Islam. Beliau menjelaskan tahun baru Masehi adalah tahun umat Kristiani yang menghitung awal tahun dari kelahiran Nabi Isa (Yesus). Oleh karena itu, tidak ada hubungan dan kepentingan umat Islam dengan pergantian tahun yang dimulai pukul 00.00 pada tanggal 31 Desember itu. Jadi, umat Islam tidak baik dan tidak perlu merayakan apapun berkenaan dengan pergantian tahun. Jika pergantian tahun Masehi berkenaan dengan mengisi liburan kerja dan sekolah, maka isilah dengan hal-hal yang positif.”

Persfektif Islam soal Perayaan Tahun Baru

Kita sepakat, bahwa perayaan tahun baru Masehi bukanlah tradisi Islam. Bahkan perayaan ini datang dari orang yang notabene tidak beriman kepada Allah atau kafir. Sebagaimana yang telah dijelaskan pada pembahasan sejarah, bahwa tahun baru merupakan pesta warisan dari masa lalu yang dahulu dirayakan oleh orang-orang Romawi. Mereka (orang-orang Romawi) mendedikasikan hari yang istimewa ini untuk seorang dewa yang bernama Janus, The God of Gates, Doors, and Beeginnings. Janus adalah seorang dewa yang memiliki dua wajah, satu wajah menatap ke depan dan satunya lagi menatap ke belakang, sebagai filosofi masa depan dan masa lalu, layaknya momen pergantian tahun.

Namun apapun itu, larangan Nabi ` terkait mengikuti perayaan-perayaan di luar perayaan Islam amatlah jelas, Beliau Rasulullah ` bersabda, “Barangsiapa yang meniru kebiasaan suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari kaum tersebut”. (H.R. Abu Dawud). Kemudian Beliau ` juga bersabda tentang hari raya umat Islam untuk menegur sahabat yang masih melaksanakan hari raya umat sebelum Islam, yakni perayaan Nairuz dan Mihrajan, “Saya mendatangi kalian dan kalian memiliki dua hari raya, yang kalian jadikan sebagai waktu untuk bermain. Padahal Allah telah menggantikan dua hari raya terbaik untuk kalian,(yakni) idul fitri dan idul adha.” (H.R. Ahmad).

Dari hadis tersebut jelaslah bagi kita akan pengingkaran Nabi ` terhadap bentuk perayaan-perayaan di luar Islam, bahkan perayaan Nairuz dan Mihrajan yang dirayakan penduduk madinah, isinya hanya bermain-main dan makan-makan. Sama sekali tidak ada unsur ritual sebagaimana yang dilakukan orang majusi, sumber asli dua perayaan ini. Namun mengingat dua hari tersebut adalah perayaan orang kafir, Nabi ` melarangnya.

Sikap Kaum Muslimin Terhadap Perayaan di Luar Islam

Untuk sikap yang sebaiknya diambil oleh seorang muslim terkait perayaan malam tahun baru, dengan menimbang pemaparan di atas adalah menahan diri untuk tidak ikut berpartisipasi dalam segala bentuk  kegiatan yang didasari atas pengkhususan malam tahunan tersebut, terlebih lagi belum lama kita telah dihadapkan dengan fitnah ucapan selamat natal yang dapat mengikis aqidah tauhid, sebagaimana firman Allah , “Dan mereka berkata: “Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak.” Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar, hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung-gunung runtuh, karena mereka menda’wakan Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak. Dan tidak layak bagi Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak.” (Q.S. Maryam [19]: 88-92).

Ucapan selamat natal jelas terkandung di dalamnya 2 kemungkaran. Pertama, jika seorang yang mengucapkan selamat natal itu diikuti dengan keyakinan akan kelahiran Yesus atau Nabi Isa n sebagai anak Tuhan, maka batal lah keislamannya menurut dalil syara’.

Kedua, jika dia mengucapkan selamat natal namun tidak mengikutinya dengan keimanan terhadap kelahiran Yesus atau Nabi Isa n sebagai anak Tuhan, maka dia telah memberikan kesaksian atau selamat palsu, yang juga merupakan dosa besar dan bisa menjadi sebab kemunafikan dalam hati. Karenanya sikap yang paling selamat dalam menghadapi ujian-ujian keimanan tersebut adalah mendiamkan. Karena mendiamkan adalah bentuk paling nyata dari sebuah toleransi.

Penulis ingin mengutip Fatwa MUI NTB tentang ucapan dan partisipasi terhadap perayaan umat lain pada poin nomor 3 dan 6 yang bunyinya:

  1. Kepada seluruh kaum Muslimin agar menjaga aqidah serta kepribadian sebagai umat Islam dan menjauhkan diri dari mengikuti kegiatan ibadah umat lain dan jangan meniru ciri khas mereka.
  2. Kepada seluruh kaum Muslimin dihimbau untuk tulus (ikhlas) menerima ajaran Islam dan masuk ke dalam Islam secara utuh agar terhindar dari kesesatan dan penyesatan yang membuat umat akan kehilangan kepribadian yang Islami (Syakhshiiyyah Islamiyyah).

 

Anas Ahamad Rahman

Mahasiswa Pasca MIAI UII

 

Mutiara Hikmah:

“…Allah dan Rasul-Nya yang lebih berhak untuk mereka cari keridhoan-Nya…” (Q.S. At-Taubah [9]: 62)

 

Download Buletin klik disini

Hukum Ucapan Selamat Natal Bagi Muslim

Hukum Ucapan Selamat Natal Bagi Muslim

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang multikultural, sebab ia terdiri dari berbagai agama dan kepercayaan. Namun, ada kalanya kemajemukan ini menimbulkan polemik tertentu pada masyarakat. Di antaranya adalah terkait hukum ucapan selamat natal bagi umat Islam yang diucapkan kepada umat Nasrani (kristiani). Polemik ini hampir terjadi di setiap tahun. Berhubung kasus ini erat kaitannya dengan istinbath al-hukmi, maka penulis akan mengulas hukum ucapan selamat natal dengan menggunakan perspektif  fiqih yang akan dikaitkan juga dengan akidah.

Dasar Pemahaman

Kita tidak akan menemukan dalil dari al-Qur’an maupun as-Sunnah secara spesifik untuk dapat menyimpulkan hukum ucapan selamat Natal. Sebab, di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah tidak disebutkan secara spesifik terkait dengan kebolehan atau keharaman mengucapkan selamat natal. Polemik ini terjadi di era kontemporer, dimana ia muncul karena keinginan sebagian umat Islam yang hendak mengekspresikan sikap toleransinya kepada non-Muslim.

Maka, karena ia tidak ditemukan di dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah yang secara tegas menghukuminya, kasus ini masuk dalam kategori Ijtihadi. Hakikatnya, jumhur ulama (mayoritas ulama) dari 4 madzhab besar dalam ilmu Fiqih (Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali) telah sepakat akan keharaman pengucapan selamat Natal kepada umat Nasrani. Namun, ulama-ulama kontemporer kembali mengulas hukum tersebut dikarenakan kasus ini masuk dalam kategori Ijtihadi.

Perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan ulama kontemporer, disebabkan oleh Ijtihad mereka dalam memahami generalitas (keumuman) ayat atau Hadits yang kiranya terkait dengan kasus ini. Contohnya perbedaan sikap yang diambil oleh para ulama kontemporer seperti Ibn Baz, Ibnu ‘Utsaimin, Ali Jum’ah, Yusuf al-Qardhawi, Habib Ali Aljufri, Buya Hamka, dan ulama kontemporer lainnya.

Dasar Hukum yang Membolehkan

Para ulama yang memilih sikap untuk membolehkan ucapan selamat Natal bagi umat Nasrani mendasari hukumnya pada firman Allah l di dalam surat al-Mumtahanah ayat 8: “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”(Q.S. al-Mumtahanah [60]: 8)

Pada ayat tersebut, Allah l menegaskan bahwa perbuatan baik (Ihsan) kepada siapa saja itu tidak dilarang, selama mereka tidak memerangi dan mengusirnya dari negerinya. Sedangkan, mengucapkan selamat natal merupakan salah satu bentuk perbuatan baik kepada orang non-muslim, sehingga perbuatan tersebut diperbolehkan.

Selain itu, dalam hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik a Rasulullah ` bersabda, “Dahulu ada seorang anak Yahudi yang senantiasa melayani (membantu) Nabi `, kemudian ia sakit. Maka, Nabi ` mendatanginya untuk menjenguknya, lalu beliau duduk di dekat kepalanya, kemudian berkata: ‘Masuk Islam-lah!’ Maka anak Yahudi itu melihat ke arah ayahnya yang ada di dekatnya, maka ayahnya berkata,‘Taatilah Abul Qasim (Nabi `). Maka anak itu pun masuk Islam. Lalu Nabi ` keluar seraya bersabda, ‘Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkannya dari neraka.’” (H.R. Al-Bukhari no. 1356, 5657)

Pada hadits tersebut, Rasulullah ` memberi teladan kepada umatnya untuk berbuat baik kepada non-Muslim. Sehingga mengucapkan selamat Natal yang merupakan salah satu bentuk perbuatan baik kepada non-muslim pun diperbolehkan, walaupun bukan dalam keadaan darurat. Ucapan tersebut diperbolehkan selama tidak mengganggu Akidahnya terhadap Allah dan Rasul-Nya serta tidak mendukung keyakinan umat Nasrani tentang kebenaran peristiwa natal.

Ulama kontemporer yang mendukung pendapat ini diantaranya Yusuf al-Qardhawi, Musthafa Zarqa, Abdullah bin Bayyah, Ali Jum’ah, Habib Ali Aljufri, Quraish Shihab, Abdurrahman Wahid, Said Aqil Sirodj, dan lain sebagainya.

Dasar Hukum yang Mengharamkan

Para ulama yang memilih sikap untuk mengharamkan ucapan selamat natal bagi umat Nasrani mendasari hukumnya pada firman Allah l di dalam surat al-Furqan ayat 72, “Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (Q.S. al Furqan [25]: 72)

Pada ayat tersebut, Allah l menjanjikan bagi orang yang tidak memberikan kesaksian palsu dengan martabat yang tinggi di surga. Sedangkan, apabila seorang muslim mengucapkan selamat natal berarti dia telah memberikan kesaksian palsu dan membenarkan keyakinan umat Nasrani tentang hari Natal (kelahiran Yesus Kristus, salah satu Tuhannya umat Nasrani). Konsekuensinya adalah ia tidak akan mendapatkan martabat yang tinggi di surga. Dengan demikian, mengucapkan selamat natal kepada umat kristiani tidak diperkenankan.

Selain itu, dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Umar h Rasulullah ` bersabda, “Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka dia termasuk bagian kaum tersebut.” (H.R. Abu Daud, no. 4031).

Pada hadits tersebut, Rasulullah ` mewanti-wanti umat Islam terhadap perbuatan tasyabbuh terhadap non-muslim. Dalam kaidah Bahasa Arab (tepatnya adalah ilmu Shorof), kata tasyabbuh berasal dari wazan Tafa’ul, yang bermakna muthawa’ah (menurut), takalluf (memaksa), dan juga tadarruj (bertahap atau parsial) dalam melakukan suatu perbuatan. Sehingga, dari wazan ini kata tasyabbuh memiliki faidah perbuatan yang dilakukan sedikit demi sedikit, yang awalnya barangkali ia merasa terpaksa/ikut-ikutan dengan perbuatan tersebut sampai kemudian ia menurut dan terbiasa mengerjakannya.

Dengan kata lain, siapa saja menyerupai suatu kaum maka ia lama kelamaan akan tunduk kepada mereka. Oleh sebab itu, hendaknya seorang muslim tidak bermudah-mudahan dalam melakukan perbuatan yang menyerupai orang non-muslim, sebab ia merupakan pintu menuju ketundukan kepada mereka. Sehingga,sikap tegas dengan kaidah saddud dzari’ah (menutup pintu keburukan) merupakan suatu kaidah yang tepat dalam kasus ini agar akidah kita tidak tergoyahkan akibat ikut-ikutan mengucapkan selamat Natal sebagaimana yang dilakukan oleh umat Nasrani.

Dengan demikian, umat Islam yang mengucapkan selamat Natal kepada umat Nasrani berarti telah melakukan tasyabbuh sekaligus memberikan kesaksian palsu dan membenarkan keyakinan umat kristiani tentang kebenaran peristiwa natal. Sehingga, kasus ini masuk juga ke dalam ranah akidah yang mengkompromikan antara tauhid dengan syirik. Atas dasar inilah hukum ucapan tersebut diharamkan secara tegas.

Ulama kontemporer yang mendukung pendapat ini diantaranya Ibn Baz, Ibnu Utsaimin, Buya Hamka (Abdul Malik Karim Amrullah), Buya Yahya (Habib Yahya Zainul Ma’arif), Ibrahim bin Ja’far, Ja’far At-Thalhawi, Khalid Basalamah, Abdul Somad, Adi Hidayat, dan lain sebagainya.

Kesimpulan

Dari pemaparan tersebut, dapat disimpulkan bahwa para ulama kontemporer berbeda pendapat tentang hukum ucapan selamat Natal. Ada yang mengharamkan, ada pula yang membolehkan. Maka, perbedaan semacam ini hendaknya tidak boleh menjadikan internal umat Islam di Indonesia semakin terpecah hanya diakibatkan oleh perbedaan pemilihan sikap dalam kasus ini.

Apabila kita memilih sikap untuk membolehkannya, pastikan bahwa pembolehan tersebut demi menjaga kedamaian dan kerukunan antar umat beragama, dengan tetap menjaga akidah kita sebagai seorang Muslim. Apabila kita memilih sikap untuk mengharamkannya, pastikan bahwa pengharaman tersebut merupakan bentuk ghirah kita dalam menjaga prinsip akidah umat Islam yang tegas namun tetap menjaga nilai-nilai toleransi antar umat beragama dengan bentuk yang berbeda.

Sikap apapun yang dipilih, mari senantiasa kita menjaga persatuan umat Islam diantara perbedaan yang ada. Pada akhirnya nanti kita akan mempertanggungjawabkan dihadapan Allah l pada yaumul hisab (hari kiamat).

Sikap Penulis

Penulis lebih memilih sikap tidak memperkenankan mengucapkan ucapan selamat natal kepada umat Nasrani dengan tetap menghormati para ulama yang membolehkannya. Sikap tersebut penulis pilih berlandaskan kaidah saddud dzari’ah terhadap madharat yang akan terjadi apabila memilih sikap membolehkannya. Sebab dalam syariat Islam ada kaidah Dar’u al-Mafasid Muqoddamun ‘ala Jalbi al-Mashalih (Menolak mudharat lebih diprioritaskan dari mengambil manfaat). Madharat dari pembolehan pengucapan selamat Natal ini adalah adanya kompromi antara tauhid dengan syirik serta kesaksian palsu dan pembenaran keyakinan umat kristiani tentang peristiwa Natal. Kaum muslimin di Indonesia tidak mengucapkannya pun, tidak akan terganggu dikarenakan sikap statis tersebut. Sebab umat Islam masih akan tetap berbuat baik dan mampu bertoleransi kepada mereka walau dalam aspek yang lain.

Saiful Aziz al-Bantany

Mahasiswa Pasca UIN Sunan Kalijaga

 

Mutiara Hikmah

لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ

“Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku. (Q.S. al-Kafirûn [109]: 6)

 

Download Buletin klik disini

Langkah Cerdas Generasi Muslim Menapaki Jalan Kehidupan

Langkah Cerdas Generasi Muslim Menapaki Jalan Kehidupan

قَالَ الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلَاقُو اللَّهِ كَمْ مِنْ فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإِذْنِ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ

“Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah, berkata: “Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.”

(Q.S al-Baqarah [2]: 249) 

Ayat ini mengisahkan tentang kisah Thalut bersama para tentaranya yang pergi untuk memerangi bangsa amaqoh. Thalut berkata kepada para tentaranya bahwa sesungguhnya Allah akan menguji mereka dengan sebuah sungai yang akan mereka seberangi. Tujuannya adalah untuk mengetahui mana orang mukmin dari orang munafik. Barangsiapa yang meminum air sungai tersebut, maka bukan termasuk dalam golongannya (munafik). Sedangkan yang mampu menahan nafsunya untuk tidak minum air sungai tersebut maka termasuk dalam golongan mukmin yang pantas untuk berjihad bersama Thalut bersama tentaranya yang semakin sedikit sekitar 300 orang untuk memerangi musuh.

Sementara jumlah musuh lebih banyak dan alat-alat perang mereka lebih hebat daripada tentaranya. Maka, bala tentara Thalut berkata, “Hari ini tidak ada kesanggupan dari kami untuk menghadapi Jalut dan bala tentaranya yang tangguh-tangguh.” Akan tetapi orang-orang yang beriman kepada Allah mengingatkan kawan-kawannya tentang Allah dan kekuasaan-Nya, seperti tersebut dalam surat al-Baqarah ayat 249.

Berdasarkan Tafsir Al-Mukhtashar dari Syaikh Dr. Shalih bin Abdullah bin Humaid فَصَلَ (keluar), yakni Thalut keluar dari negerinya ke suatu sungai. Beberapa pendapat mengatakan bahwa sungai tersebut sungai Urdun dan Palestina. Dan ujian yang dimaksud adalah ujian untuk menguji ketaatan mereka.

Maka dari kisah Thalut ini kita belajar, bahwa Allah bersama orang-orang yang bersabar dan mengimani sifat-sifat-Nya serta pahala terbaik dari sisi-Nya. Betapa banyak hamba yang menganggap kuantitas lebih prioritas dibandingkan kualitas. Padahal, Allah akan menolong orang-orang yang beriman dan beramal shalih. Adapun di hati kaum muslimin terdapat iman yang kokoh dan bala tentara Allah yang lebih tangguh dari sisi-Nya.

Pantang Menyerah Sebelum Berjuang

Thalut dan bala tentaranya yang mukmin pantang menyerah menghadapi musuh. Hal ini menunjukkan bahwa Allah tidak melihat ukuran fisik semata, melainkan kepada hati (keimanan) setiap hamba-Nya. Kun Fayakun! Jadilah Maka Jadilah ! Tidak ada satu pun yang mampu menangguhkan kekuasaan-Nya ketika Allah sudah berkehendak.

Mustahil bagi Allah untuk bergantung pada manusia. Maka, generasi muslim masa kini seharusnya mampu meningkatkan kecerdasaran spiritual dan kekuatan mental dalam menghadapi tantangan hidup yang sementara ini. Ketika memulai ikhtiar maka Allah senantiasa memerintahkan kita untuk meluruskan niat, mengamalkan dengan perbuatan, dan menyempurnakan dengan doa.

Allah Maha Hidup dan Berkuasa atas segala sesuatu, Allah l berfirman, “Dan berapa banyaknya para Nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut(nya) yang bertaqwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah,tidak lesu, dan tidak (pula) menyerah. Dan Allah menyukai orang-orang yang sabar.” (Q.S Ali ‘Imran [3]: 146).

Istiqomah Bersama dalam Jama’ah

Allah berfirman, “Dan sabarkanlah dirimu untuk selalu bersama dengan orang-orang yang menyeru kepada Rabbnya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya. Dan janganlah kamu palingkan kedua matamu dari mereka karena mengharap perhiasan kehidupan dunia…” (Q.S al-Kahfi [18]: 28).

Berdasarkan tafsir Jalalyn, dijelaskan bahwa manusia diperintahkan untuk bersabar berada dalam jama’ah atau kelompok-kelompok yang menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran dengan hanya mengharap ridha Allah 24 jam. Dan janganlah berpaling dari mereka dan mengharapkan materi darinya sekalipun mereka adalah fakir miskin ataupun orang kaya karena mengharapkan perhiasan dunia. Manusia diberikan peringatan untuk tidak mengikuti orang-orang yang telah Allah lalaikan hatinya dari mengingat al-Qur’an.

Diriwayatkan dalam As-Shahihain, Rasulullah ` bersabda, “Akan senantiasa ada tha’ifah (sekelompok) dari ummatku yang eksis di atas kebenaran, tidak membahayakan mereka orang-orang yang menghina mereka sampai datang urusan Allah (kiamat) dan mereka tetap seperti itu.” (H. R Bukhari).

Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab Shahih-nya, dari sahabat Uqbah bin ‘Amr bin Tsa’labah a, Rasulullah ` bersabda,  “Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya” (H.R. Muslim no. 1893).

Hikmah Ayat-Ayat Al-Qur’an

Betapa banyak pemuda muslim saat ini yang mulai disibukkan dengan aktivitas dunia dan menjadikannya prioritas dalam perjuangan hidupnya. Sesungguhnya generasi muslim haruslah visioner. Memiliki visi yang jauh ke depan, yakni visi hidup setelah mati. Memupuk kebaikan dengan berinvestasi amal untuk mendapatkan pahala jariyah. Salah satu caranya adalah mensyiarkan ajaran dan sunnah Rasulullah `. Allah l berfirman, “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?” (Q.S. Fushshilat [41]: 33).

Perkataan terbaik adalah perkataan yang daripadanya mengajak kepada mengingat dan mentaati Allah dan Rasul-Nya, lalu mengamalkan ilmunya dengan amalan yang shalih. Pada surat Fushshilat ayat 33 kita dianjurkan untuk turut berdakwah berdasarkan ilmu yang dibawa oleh Rasulullah `. Kita yang membutuhkan jalan dakwah. Allah tidak akan rugi jikalau pun kita tidak mengambil kesempatan ini. Jangan takut terasing dan jangan takut menjadi sekelompok orang minoritas sebagai penyampai kebenaran Islam.

Hikmah lainnya adalah bahwa dalam menyampaikan kebenaran, membina diri dengan ilmu, dan berjuang dengan perbuatan perlu didasari oleh niat yang tulus. Wilayah hasil bukan menjadi kuasa manusia. Allah yang Maha membolak-balikkan hati setiap manusia, maka lisan ini hanya perantara, kata-kata ini pun perantara. Akan tetapi, yang tak boleh putus dari setiap pejuang islam adalah doa kebaikan.

Menurut Tafsir al-Muyassar, tidak ada seorang pun yang lebih bagus perkataannya daripada mengajak mentauhidkan Allah dan mengamalkan syariat-Nya, serta beramal shalih dengan menghrapkan ridha Allah. Wallahua’lam bishawab. Semoga Allah menuntun jalan kita di dunia dan mempertemukan kita di surga-Nya kelak. Aamiin Ya Raabal ‘alamiin. []

 

Rostika Hardianti

Mahasiswi Psikologi

Universitas Islam Indonesia

 

Mutiara Hikmah

Allah l berfirman, “Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?” (Q.S Al An’am [6]: 32)

 

Download Buletin klik disini

Hanya Pohon Berbuah Yang Dilempari Batu

Hanya Pohon Berbuah Yang Dilempari Batu

Bila ada yang membicarakanmu di belakangmu itu artinya dirimu sudah selangkah lebih maju…” (Anonim)

“Kita tidak bisa memastikan orang lain untuk tidak membenci kita. Namun kita bisa memastikan diri kita untuk tidak membenci siapapun,” ujar seorang alim nan bijaksana. Bahwa seberapa kuat kita berupaya menjadi orang baik pasti saja ada orang lain yang menaruh rasa benci kepada kita. Pada akhirnya, kita tidak bisa menyetir sikap orang lain terhadap kita. Satu hal yang bisa kita pastikan adalah bagaimana sikap kita kepada orang lain. Sebab, kitapun nanti tidak ditanya tentang orang lain tetapi ditanya tentang diri kita sendiri.

Setetes racun yang dituangkan pada segelas air akan menjadikan air itu beracun. Berbeda ketika setetes racun itu dimasukkan ke dalam samudera, tentu tidak menyebabkan mudharat apa-apa bagi samudera tersebut. Begitulah gambaran bagaimana semestinya kita mengatur kedalaman hati kita. Bila hati kita hanya seumpama segelas air maka “racun-racun” kehidupan yang sepele akan mengubah kemurniannya. Adapun bila hati kita seluas samudera maka riak-riak kecil hanya hiburan belaka. Tergantung kita mau memilih dan mengikhtiarkan hati yang seperti apa.

Rasanya mustahil kita mengatur segala hal yang mengitari kita adalah baik dan normal. Sebab kehidupan ini memanglah dinamis dan anomalis. Sekali lagi, yang bisa kita pastikan adalah sikap kita terhadap segenap hal yang mendatangi kita. Seorang psikolog pernah berujar bahwa segala macam keadaan yang dihadapkan kepada kita adalah netral. Baik itu pujian ataupun cacian. Entah itu promosi maupun demosi. Cara kita menangkap dan merespon setiap kondisi tersebutlah yang menjadi kuncinya. Seringkali, berhasil menyikapi cacian itu lebih baik daripada gagal menyikapi pujian.

Pada umumnya, manusia menginginkan semuanya berjalan baik dan sesuai harapan. Everything is okay. Namun kenyataan tidaklah selalu semanis keinginan. Ada gap antara keinginan dan harapan. Itulah yang sering disebut dengan masalah. Bahwa realitas positif dan negatif itu akan datang silih berganti. Keduanya adalah dua kutub kehidupan yang seiring-sejalan. Tidak bisa dihindari namun kita bisa berdamai dengan keduanya sebagai kenyataan yang datangnya pasti. Bagaimana kita mengorkestrasi dua hal tersebut sehingga tercipta irama hidup yang syahdu.

Ridha Manusia

Kisah kuda dan si empunya memberikan pelajaran berharga bagi kita. Ketika si empu dan anaknya menuntun kuda, khalayak berteriak. “Mengapa tidak ditunggangi saja kuda itu?” tanya mereka. Lalu, keduanya menaiki kuda tersebut. Khalayak protes. “Sungguh tidak berperikehewanan!” tukas mereka. Lantas sang ayah menaiki kuda dan sang anak berjalan. Diprotes lagi. “Ayah yang tidak sayang anak!” Sang anak pun naik kuda, sang ayah berjalan. Kritikan pun datang lagi. “Anak yang tidak tau diri!” hardik mereka. Haruskah keduanya menggendong kuda itu? Pasti akan dikomentari lagi.

Menyenangkan orang lain adalah kebaikan. Berkomitmen dalam hal tersebut adalah utama. Namun yang perlu diingat bahwa kita tidak bisa menyenangkan semua manusia. Pasti ada yang dikorbankan. Pepatah Arab mengatakan, “Ridha an-nâsi ghâyatun lâ tudrak.” Artinya, keridhaan semua manusia adalah tujuan yang tidak mungkin tercapai. Karena tidak mungkin tercapai tersebut maka semestinya keridhaan manusia tidak menjadi tujuan. Manakala kita ingin menyenangkan orang lain maka semata karena mengikuti sunnah. Bagaimana penerimaan orang bukan menjadi masalah kita.

Hal di atas senada dengan seringnya kita kecewa ketika terlalu banyak berharap kepada manusia. Semakin besar harapan kepada sesama manusia maka semakin besar pula risiko kekecewaan kita. Lalu, apakah kita tidak boleh berharap kepada manusia? Tentu saja boleh namun yang sewajarnya. Dengan begitu, kita siap dengan segenap kemungkinan. Termasuk menyiapkan alternatif ketika keinginan tidak sesuai dengan harapan. Sebab, kita tidak bisa memastikan sikap dan respon orang lain. Namun kita bisa memastikan sikap dan respon kita atas semua itu.

Fokus pada ridha manusia juga menjadikan kita tidak merdeka dalam bersikap. Misalnya, kita sudah berbuat baik dan berusaha menyenangkan orang lain. Ternyata penerimaannya lain dan tidak sesuai harapan kita. Dengan kata lain, dia tidak mengapresiasi kita. Bila keridhaan manusia yang menjadi tujuannya, apa yang terjadi? Tentu kita akan berhenti berbuat baik kepadanya. Padahal kita diajarkan untuk istiqamah dalam kebaikan. Betapapun keadaan memaksa kita untuk berhenti berbuat baik namun kita tetap memilih untuk bertahan dan konsisten.

Tidak semua orang ridha kepada kita. Karena itu, kita bisa mengantisipasi hal tersebut. Contohnya, saat ada teman kita yang membicarakan aib orang lain di hadapan kita. Sebaiknya kita tidak terlibat banyak dalam obrolan itu dan berusaha menghindarinya. Selain karena dosa, ada sebab lainnya. Rumusnya adalah orang yang menceritakan aib orang lain di hadapan kita besar kemungkinan akan menceritakan aib kita di hadapan orang lain. Sebaliknya, orang yang mudah menceritakan kebaikan orang lain di hadapan kita, besar kemungkinan akan menceritakan kebaikan kita kepada orang lain.

Ridha Allah

Jika ridha semua manusia tidak mungkin diraih maka ridha Allah lah yang harus menjadi orientasi hidup kita. “Ridhallâhi ghâyatun lâ tudrak,” katanya. Artinya, ridha Allah adalah tujuan yang tidak boleh ditinggalkan. Kita memang tidak bisa memastikan tergapainya ridha Allah. Namun kita bisa memastikan diri kita untuk terus berikhtiar menggapainya. Seluruh jiwa raga harus dimaksimalkan untuk mendapatkan keridhaan Allah. Tatkala kita berbuat baik dan menyenangkan orang lain itupun diniatkan dalam rangka meraih ridha Allah.

Orientasi pada ridha Allah juga menjadikan kita lebih siap untuk menjalani dinamika kehidupan. Setiap ujian yang datang dihadapi dengan keridhaan dan husnudh-dhan bahwa ujian adalah bentuk kasih sayang Allah kepada kita. Tidaklah ujian datang kecuali untuk menggugurkan dosa dan meninggikan derajat di sisi-Nya. Ketika kita sekolah, setiap menghadapi kenaikan kelas selalu dihadapkan dengan ujian. Begitu juga hidup kita. Saat iman semakin berbuah maka semakin kuat ujian menyapa. Semakin banyak yang tertarik untuk “melempari”-nya guna menggugurkan buah keimanan tersebut.

Ujian keimanan bisa datang dalam wujud apa saja. Seringkali orang-orang terdekat yang menjadi medianya. Kadang kita tidak siap dengan omongan orang. Kita tidak kuat tatkala kebaikan tidak berbuah apresiasi. Kita lemah ketika tindakan mulia hanya berujung kritikan. Kita loyo saat orang yang kita percaya justru bermain di belakang kita. Di situlah saatnya kembali kepada keridhaan Allah agar segenap sikap manusia tidak melemahkan kita. Kita jadikan itu semua sebagai pemantik untuk terus tumbuh. Bukan dalam keridhaan manusia, namun dalam ridha-Nya.

Selain ridha Allah yang menjadi tujuan, penting untuk melatih diri kita untuk ridha dengan segenap takdir-Nya. Karenanya, segala badai kehidupan yang menerpa adalah medium untuk melatih keridhaan kita atas ketentuan-Nya. Hingga akhirnya kita akan diminta pulang menghadap keharibaan-Nya. Dengan hati yang rela, ridha, puas, dan ikhlas akan takdir kehidupan yang digariskan-Nya sekaligus diridhai oleh-Nya. Dengan kondisi tersebut kita dipanggil untuk masuk dalam jama’ah hamba-hamba-Nya. Lantas masuk ke dalam surga-Nya (QS. al-Fajr [89]: 27-30). Wallahu a’lamu.

 

Samsul Zakaria, S.Sy., M.H.,

Calon Hakim PA Tanjung, Kalsel,

Magang di PA Kab. Malang Kelas 1A

 

Mutiara Hikmah

Dari Abu Hurairah a, Nabi ` bersabda,

وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ

Siapa yang menutupi aib seorang muslim, Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat. (H.R. Bukhari 2442, Muslim 7028, dan yang lainnya).

 

Download Buletin klik disini

Spirit Islam Untuk Merantau

Spirit Islam Untuk Merantau

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘ala rasûlillâh,

Islam menganjurkan kita untuk merantau sudah sejak zaman Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Sejarah para Nabi selalu diwarnai dengan dunia pengembaraan atau dalam bahasa lain rihlah thalabul ‘ilmi. Tokoh-tokoh sukses dan hebat saat ini pun kisahnya tidak luput dari cerita tentang kisahnya dalam perantauan. Bagaimanapun, merantau merupakan suatu proses mematangkan diri baik di kampung orang, kota orang atau bahkan negeri orang.

Para perantau tentunya bersusah payah pergi jauh meninggalkan tempat tinggalkan demi menggapai tujuan mulia yakni menuntut ilmu. Banyak sekali hikmah yang dapat diambil dari buah perantauan. Dalam al-Qur’an pun Allah Subhanahu wa Ta’ala menganjurkan kaum muslimin untuk merantau, karena dengannya kita bisa melihat kekuasaan Allah yang lebih luas. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam al-Qur’an, “Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (Q.S. al-Mulk [67]: 15)

Sebagai manusia yang berakal, sudah seharusnya kita sadar. Karena sudah jelas Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan bumi itu terbentang dan mudah yakni untuk ditinggali dan dijelajahi, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makan sebagian dari rezeki-Nya. Alam semesta tidak selebar daun kelor. Islam membangkitkan kesadaran agar kita tidak menghabiskan waktu kita untuk molor. Banyak hal yang perlu kita eksplorasi. Sudah lama kita menjadi pengekor, sekarang sudah saatnya kita menjadi pelopor.

Sejarah tokoh Islam dalam Merantau

Abu Abdullah Muhammad bin Idris Bin Al-Abbas bin Utsman Bin Syafi’ Asy-Syafi’i atau yang lebih akrab dengan julukan Imam Syafi’i v merupakan seorang ulama besar yang terkenal dengan kecerdasan dan kata-kata mutiara penuh hikmah. salah satu mujtahid mutlak yang dijuluki nasirussunnah waddin, penolong sunnah dan agama. Dari segi keilmuan, tentunya sudah tidak diragukan lagi akan kecerdasan beliau.

Para penulis biografi mencatat bahwa Imam Syafi’i merupakan seseorang yang lahir dari keluarga miskin. Sejak masih kecil, ia sudah ditinggal ayahnya dan menjadi seorang yatim. Menginjak usia 14 tahun, Imam Syafi’i memiliki keinginan besar untuk merantau, hal ini dikarenakan akan semangatnya beliau demi menuntut ilmu. Fatimah al-Azdiy, ibunda Imam Syafi’i memahami gelora semangat yang sedang bergejolak dihati anaknya untuk menggali ilmu Allah. Tidak ada pilihan lain selain melepas sang anak untuk menimba ilmu di negri orang.

Kepergian Imam Syafi’i ke banyak negeri mulai dari Makkah, Madinah, Yaman, Baghdad Iraq, hingga Mesir untuk menuntut ilmu bukanlah dari harta yang mengiringinya, akan tetapi untaian doa tulus nan indah yang mengantarkan kepergiannya “Ya Allah, Tuhan yang menguasai seluruh alam. Anakku ini akan berjalan jauh meninggalkanku menuju keridhoanmu. Aku rela melepaskannya untuk menuntut ilmu peninggalan utusanMu. Oleh karena itu, aku bermohon kepada Mu ya Allah, mudahkanlah urusannya, peliharalah keselamatannya, panjangkanlah umurnya agar aku dapat melihat sepulangnya nanti dengan dada yang penuh ilmu yang berguna”.

Imam Syafi’i merupakan seseorang yang tekun dalam menuntut ilmu, karena ketekunannya, di usia sembilan tahun, Imam Syafi’i sudah mampu menghafal al-Qur’an dan sejumlah hadits. Bukan hanya hafalan, keilmuannya pun sudah luas dan mendalam. Ayahnya meninggal saat ia masih kecil, kemudian ibunya membawanya ke Makkah. Fatimah al-Azdiy, Ibu dua anak ini dengan keadaan miskin dan serba kekurangan memiliki cita-cita mulia untuk menjadikan anaknya menjadi anak yang berilmu.

Diriwayatkan bahwa karena kemiskinannya, Imam Syafi’i hampir tidak dapat menyiapkan peralatan belajar yang dibutuhkan, sehingga dengan terpaksa beliau mencari kertas yang tidak terpakai, atau sudah terbuang tetapi masih dapat digunakan untuk menulis. Setelah usai mempelajari al-Qur’an dan hadits, Imam asy-Syafi’i melengkapi ilmunya denganmendalami bahasa dan sastra Arab. Karena itu ia pergi ke pedesaan dan bergabung bersama Bani Huzail, suku bangsa Arab yang paling fasih bahasanya. Dari suku inilah, Imam Syafi’i mempelajari bahasa dan syair-syair Arab sehingga ia benar-benar menguasainya dengan baik.

Hikmah dari Merantau

Dari Abu Hurairah a, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (H.R. Muslim, no. 2699)

Dalam hadits tersebut yang dimaksud dengan “menempuh jalan untuk mencari ilmu” ada dua bentuk. Pertama, menempuh jalan secara hakiki, yaitu dengan berjalan menuju tempat majelis ilmu. Seperti misalnya berjalan menuju masjid atau tempat pengajian untuk menuntut ilmu. Kedua, menempuh jalan secara maknawi, yaitu melakukan segala sesuatu untuk mendapatkan ilmu seperti menghafal, mempelajari, mengulang-ulang pelajaran, menelaah, menulis, membaca kitab dan memahaminya, serta perbuatan lainnya yang merupakan cara untuk mendapatkan ilmu.

Dengan ilmu, kunci-kunci kesuksesan akan dipegang oleh pemilik ilmu. Barang siapa yang menginginkan dunia, maka hendaknya ia berilmu. Barang siapa yang menginginkan akhirat, maka hendak ia berilmu. Barang siapa yang dunia dan akhirat, maka hendaknya ia berilmu. Orang yang berilmu maka akan Allah angkat derajatnya, dan dimudahkan jalan baginya menuju surga.

Nasehat Imam Asy-Syafi’i v

Selain hadits diatas, juga terdapat nasehat dari Imam Syafi’i agar seseorang pergi untuk merantau, meninggalkan zona nyaman, menuju wilayah baru, suasana baru, pengalaman baru, berkenalan dengan orang-orang baru karena dengan itu semua, secara implisit akan kita temukan banyak hikmah didalamnya. Nasihat ini diabadikan dalam bait-bait sya’irnya:

          Orang berilmu dan beradab tidak diam beristirahat di kampung halaman # Tinggalkan negerimu dan hidup asing  (di negeri orang).

          Kau akan dapatkan pengganti dari orang-orang yang engkau tinggalkan (kerabat dan kawan) # Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang.

           Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan # Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, akan keruh menggenang.

          Singa jika tak tinggalkan sarang, tak akan dapat mangsa # Anak panah jika tak tinggalkan busur, tak akam kena sasaran.

         Jika matahari di orbitnya tak bergerak dan terus berdiam # tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang.

         Bijih emas tak ada bedanya dengan tanah biasa di tempatnya (sebelum ditambang) # Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa jika di dalam hutan.

        Jika gaharu itu keluar dari hutan, ia menjadi parfum yang tinggi nilainya # Jika bijih memisahkan diri (dari tanah), barulah ia dihargai sebagai emas murni.

Dari bait diatas, dapat diambil kesimpulan, bahwasanya dengan merantau melakukan perjalanan, akan menantang, mendewasakan diri sekaligus memberikan peluang untuk mengeksplorasi pengalaman yang mana akan menjadi warisan berharga. Selama merantau, kita juga akan mendapatkan ganti dari apa yang kita tinggalkan, karena sesungguhnya nikmatnya hidup ada setelah lelahnya perjuangan. Hal terakhir yang perlu diingat bahwa kemuliaan itu tak kan didapat dengan kemalasan.

 

Referensi:

  1. Nihwan Sumuranje. 2016, Laku Kehidupan. Solo: Tinta Medina, hal. 31
  2. https://www.islampos.com/ketika-imam-syafii-menuntut-ilmu-1926/
  3. https://muslim.or.id/18863-gapai-surga-dengan-ilmu-agama.html

 

Ikke Pradima Sari

NIM 17422171

Pendidikan Agama Islam/FIAI

 

Mutiara Hikmah

Nabi shallallahu alaihi wa sallambeliau bersabda,

وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ

Dan Allah akan senantiasa meonolong hamba-Nya ketika hamba-Nya tersebut menolong saudaranya.” (H.R. Muslim no. 2699)

Download Buletin klik disini

Kedahsyatan Berdzikir Kepada Allah

Kedahsyatan Berdzikir Kepada Allah

يَا اَيُهَا اَّلذِيْنَ آمَنُوْ ا اذْكُرُوْا اللهَ ذِكْرًا كَثِيْرًا

“Hai orang-orang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya”. (Q.S. Al-Ahzab [33]: 41)

Ibadah ini termasuk ibadah yang paling mudah, tidak pula memakan waktu banyak serta dapat dilakukan di mana saja dan kapan saja selama akal masih bekerja dengan semestinya, juga tanpa wudhu bahkan dilakukan oleh wanita yang sedang datang bulan sekalipun tidak ada halangan. Ibadah ini sebaiknya dilakukan sesering mungkin dan bukan ketika sempat saja. Mengapa demikian? di sini terlebih dahulu untuk mengetahui apa itu dzikir.

Dzikrullah adalah inti dari setiap ibadah, mulai dari shalat, mencari rezeki, menunaikan haji, hingga jihad fî sabilillâh, semuanya tak lepas dari dari dzikrullâh, dan bahkan suatu ibadah akan menjadi tidak bermakna tanpa dzikrullah. Hebatnya, dzikir tidak hanya diperintahkan dalam ibadah-ibadah yang ringan dan menyenangkna saja. Bahkan dzikir menjadi keharusan saat nyawa dipertaruhkan dalam pertempuran. Allah berfirman, Hai orang-orang yang beriman, jika kalian berhadapan dengan sekelompok musuh maka tegarlah dan banyaklah mengingat Allah, agar kalian beruntung.” (Q.S. al-Anfal [8]: (45).

Cermati firman-firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berbicara tentang dzikir dan kaitannya dengan keseringan melaksanakannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,“Hai orang-orang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang  sebanyak-banyaknya”. (Q.S. Al-Ahzab [33]: 41)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambal berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring.” (Q.S. Al-Imran [3]: 191)

Definisi dzikir

Dzikir berasal dari kata ‘dzakara’ yang bisa bermakna: Menyebut-nyebut (dengan lisan), mengingat, mengenang, merasakan, menghayati (dengan qalbu). Pengertian dzikir sendiri adalah mengingat dan menyebut asma Allah Subhanahu wa Ta’ala, seperti kalimat tasbih, tahlil, istighfar maupun shalawat.

Dzikir dalam pengertian di sini adalah mengingat Allah dapat dilakukan kapan saja dan di mana saja, baik secara lisan maupun di dalam hati. Karena pada hakikatnya, dzikir (ingat) adalah perbuatan hati. Artinya setiap aktivitas seorang hamba jangan sampai melupakan Tuhannya yaitu Allah. Baik dalam setiap hembusan nafas maupun detak jatungnya, karena Allah senantiasa hadir dalam ingatannya.

Sedangkan dzikir dalam arti menyebut nama Allah, biasanya diamalkan secara rutin dan cukup umum dikenal dengan istilah warid. Warid adalah untaian kata-kata dzikir yang ma’tsurat (ada contoh dan tuntunan Rasulullah).

Muhammad Hasbi Ash Shiddiqie, dalam bukunya pedoman dzikir dan doa menjelaskan dzikir adalah menyebut nama Allah dengan membaca tasbih (Subhânallâh), tahlil (Lâ ilâha illallâh), tahmid (Alhamdulillah), taqdis (Quddûsun), takbir (Allahu akbar), haulaqoh (La haula walâ quwwata illa billâh), membaca basamalah (Bismillahirrahmânirrahîm).Membaca al qur-an, berdoa, dan lain-lain.

Mengapa Harus Berdzikir?

Dzikir menempati posisi yang sangat vital dalam proses penghambaan diri seorang hamba kepada sang khaliq. Seperti yang kita ketahui tujuan utama Allah menciptakan manusia adalah tidak lain untuk beribadah dan mengabdi kepada-Nya di antaranya adalah dengan berdzikir. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (Q.S. Adz-Dzariyat [51]: 56)

Imam Nawawi dalam al Adzkar mengatakan bahwa yang paling utama dari aktivitas seorang hamba adalah menyibukkan dirinya dengan berdzikir (ingat) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan dzikir-dzikir yang telah dituntunkan oleh Rasulullah. Di dalam al-Qur’an, Allah tidak pernah menyebutkan suatu ibadah yang secara khusus diperintahkan untuk diperbanyak selain dzikir. Maka, marilah perbanyak dzikir sejak sekarang sebab jika tidak, kamu harus berhati-hati terhadap peringatan Allah l dalam ayat berikut ini.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud untuk riya’ (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut nama Allah, kecuali sedikit sekali.” (Q.S. an-Nisâ’ [4]: 142).

Keutamaan Berdzikir

Sesungguhnya di antara amal shalih utama dan mudah dikerjakan oleh seorang muslim untuk mendekatkan dirinya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah dengan berdzikir. Dzikir yang dilakukan seorang hamba memiliki beberapa keutamaan, yaitu

  1. Allah akan mengingat hambanya.

Allah Ta’ala berfirman, “karena itu, ingatlah kamu kepadaku, niscaya aku ingat (pula) kepadamu.” (Q.S. al- Baqarah [2]: 152).

Menakjubkan bukan! Hanya dengan kita banyak mengingat Allah, Allah pun akan mengingat kita. Adakah kebahagiaan dan keberuntungan yang lebih besar dari pada ketika seorang hamba yang lemah dan fakir diingat oleh Tuhannya yaitu Allah ?

  1. Dengan dzikir maka hati seorang hamba menjadi tenang.

Di dalam ayat yang lain Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan tentang keutamaan berdzikir. Berdzikir dapat menjadikan hati seorang hambanya tenang. Allah Ta’ala berfirman, (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.(QS. ar-Ra’du [13]: 28).

  1. Tercukupi atas segala sesuatunya.

Allah akan mencukupi atas segala sesuatu yang dibutuhkan oleh kita entah itu dalam wujud atau apapun itu yang terkadang tidak kita duga datangnya sesuatu tersebut.

  1. Memperoleh kebaikan berkali lipat.

Seorang muslim  yang senantiasa berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala akan dicatat baginya 10 kebaikan, dihapuskan 10 kesalahan, mendapat pahala layaknya orang yang memerdekakan 10 budak, serta terlindung baginya dari gangguan setan. Sebagaimana dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh an-Nasa’i dari hadits Abu Ayyub al-Abshari a, disebutkan bahwa Rasulullah ` menyebutkan apabila seorang muslim membaca dzikir berikut, “Tidak ada tuhan  yang berhak disembah selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya kerajaan dan segala pujian. Dia-lah yang berkuasa atas segala sesuatu.” (Dibaca 10 kali) (H.R. an-Nasa’i).

  1. Menumbuhkan rasa takut hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga lebih tunduk kepada-Nya.

Orang yang senantiasa berdzikir akan merasakan kehadiran Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam hatinya. Ia menyadari bahwa Allah senantiasa bersamanya, mengawasinya, melindunginya, menaunginya, dengan rahmat-Nya. Dengan demikian, ia tidak akan melakukan hal-hal yang tidak patut.

Adab Berdzikir

Adab merupakan hal penting untuk diperhatikan bagi setiap orang yang ingin melaksanakan dzikir. Oleh karena itu sebelum melakukan dzikir kita harus mengetahui adab atau etika berdzikir terlebih dahulu agar mendapatkan keberkahan dalam berdzikir dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala.  Berikut adab-adab ketika hendak berdzikir:

  1. Dzikir dilakukan dengan penuh khusyu’ dan khidmat.
  2. Hendaknya menggunakan bacaan yang ma’tsur baik ayat ataupun hadits Nabi l.
  3. Tidak dilakukan dengan tergesa-gesa dan cepat.
  4. Sebaiknya dalam keadaan (bersuci) berwudhu
  5. Memulai dengan tahmid, tasbih dan tahlil kemudian shalawat nabi.
  6. Dilakukan dengan suara yang tidak keras dan tidak terlalu pelan.

 

Hidayatul Fajriyah

Mahasiswa Prodi PAI

FIAI UII

Referensi

  1. Abdullah Tsalim, sufyan Baswedin, dkk. 2015 M. “Misteri Kedahsyatan Doa dan Dzikir.” Yogyakarta: Yufid Publishing. h 13.
  2. Cermin Hati. (2015, 07 Maret). Definisi Dzikir. Dikutip 31 Juli 2019, dari https://chcerminhati.wordpress.com/2015/03/07/definisi-dzikir/
  3. Luqman Al Hakim. 2018 M. “Dzikir Qur-ani: Mengingat Allah sesuai fitrah manusia.” Indonesia : Mawahib. h 22.
  4. khalilurrahman al Mahfani. 2006 M. “Keutamaan Berdoa dan Berdzikir: untuk hidup bahagia dan sejahtera.” Jakarta: Wahyu Media. Hal. 30-34.
  5. Ubaidurrahman al-Bulmany. 2009 M. “Rahasia Dzikir yang Mengasyikkan: .” Bandung: Gen Miqat. h 3-6.

 

Mutiara Hikmah

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ

Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (Q.S. Qaaf [50]: 18)

 

Download Buletin klik disini

Belajar Dari Keteguhan Hati Nabi Ibrahim

Belajar Dari Keteguhan Hati Nabi Ibrahim

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘ala rasûlillâh,

Saudaraku yang dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala, mari kita belajar dari keteguhan Nabi Ibrahim n dalam mempertahankan keimanannya dan ketabahannya dalam menjalani kehidupan yang telah Allah tetapkan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan bacakanlah kepada mereka kisah Ibrahim” (Q.S. Ash-Shu’arâ [26]: 69).

Kisah Nabi Ibrahim sangatlah menarik untuk kita pelajari dalam kehidupannya, dia terlahir ditengah-tengah keluarga dan masyarakat yang musyrik. Tapi Nabi Ibrahim dilindungi oleh Allah dengan diteguhkan keimanannya. Beliau tidak menyembah benda-benda langit dan patung sekalipun karena beliau mengikuti kata hatinya.

Telah banyak dijelaskan dalam al-Qur’an mengenai kisah Nabi Ibrahim n, salah satunya ada dalam surat ash-Shaffat dimulai dari ayat 83 dan seterusnya. Kehidupan Nabi Ibrahim yang dikelilingi dengan lingkungan yang musyrik, menjadikan Nabi Ibrahim bertanya-tanya akan tuhan yang kaumnya sembah, kisah Nabi Ibrahim termaktub dalam al-Qur’an,

“(Ingatlah) ketika ia berkata kepada bapaknya dan kaumnya: “Apakah yang kamu sembah itu? Apakah kamu menghendaki sembahan-sembahan selain Allah dengan jalan berbohong? Maka apakah anggapanmu terhadap Tuhan semesta alam?” Lalu ia memandang sekali pandang ke bintang-bintang. Kemudian ia berkata: “Sesungguhnya aku sakit”. Lalu mereka berpaling dari padanya dengan membelakang. Kemudian ia pergi dengan diam-diam kepada berhala-berhala mereka; lalu ia berkata: “Apakah kamu tidak makan? Kenapa kamu tidak menjawab?” Lalu dihadapinya berhala-berhala itu sambil memukulnya dengan tangan kanannya (dengan kuat). Kemudian kaumnya datang kepadanya dengan bergegas. Ibrahim berkata: “Apakah kamu menyembah patung-patung yang kamu pahat itu?” (Q.S. ash-Shaffat [37]: 85-95)

Dari ayat-ayat di atas, dapat dilihat bahwa Nabi Ibrahim n memiliki karakter yang kuat dalam beragama. Berikut pelajaran yang bisa kita ambil faidahnya:

Mempertahankan Keimanannya Terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala

Pada saat itu Nabi Ibrahim n sudah memiliki keraguan akan apa yang telah disembah kaumnya, beliau tetap mengikuti kata hatinya untuk terus menyembah Allah Subhanahu wa Ta’ala.  Menurut Ali bin Abi Thalib meriwayatkan Ibnu Abbas mengenai aqidah dan keyakinan Nabi Ibrahim n yang tertera pada surat ash-Shaffat ayat 83-84 yaitu,

“Dan sesungguhnya Ibrahim benar-benar golongannya Nuh” yang dimaksud adalah bahwa Nabi Ibrahim benar-benar pemeluk agama Nuh yang mengikuti ajaran dan sunnah Nabi Nuh. Lalu pada ayat 84 Ibnu Abbas menjelaskan bahwa tidak ada tuhan yang sebenar-benarnya kecuali Allah l[i].

Pada ayat 85, dari Qatadah ia mengatakan, “Yakni apa dugaan kalian tentang apa yang akan Allah lakukan terhadap kalian, jika kalian bertemu dengan-Nya, sedang kalian telah beribadah kepada selain-Nya bersama-Nya. Sebenarnya Ibrahim mengatakan hal itu kepada kaumnya agar beliau bisa menetap di dalam negeri ketika mereka berangkat ke perayaan mereka, sedangkan Ibrahim lebih senang menyendiri dengan tuhan-tuhan mereka bermaksud untuk menghancurkannya, lalu Ibrahim menyampaikan satu ucapan mengenai kebenaran kepada mereka, namun mereka memahami bahwa Ibrahim sedang sakit. “Lalu mereka berpaling darinya dan membelakang”.

Qatadah mengatakan, “Bangsa Arab menyebut orang yang berfikir sebagai orang yang melihat bintang-bintang” artinya dia melihat ke langit sambil memikirkan apa yang melengahkan mereka. Dan Ibrahim pun berkata “Sesungguhnya aku sakit” yaitu lemah. Dan adapun beliau berbohong hanya 3 kali yaitu mengenai ucapan beliau yaitu sesungguhnya aku sakit, dan mengenai patung-patung mereka dialah yang melakukannya sendiri dan juga ucapannya tentang Sarah yang ia berkata bahwa ia saudara perempuannya.[ii]

Lalu setelah itu Nabi Ibrahim masuk ke tempat berhala mereka yang berisi patung-patung yang mereka sembah, dan beliau menghancurkannya dengan tangan kanannya yang lebih kuat kecuali patung yang paling besar. Setelah itu mereka kembali dan melihat bahwa yang mereka sembah telah hancur. Dicarilah siapa pelakunya dan ditemukannya yaitu Ibrahim, dan dengan tegas Ibrahim mendebat mereka, “apakah kalian memberikan makan mereka? Sedangkan ia tidak makan. lalu apakah kalian menyembah mereka, sedangkan mereka itu yang kalian pahat sendiri, sesungguhnya Allah yang menciptakan kalian dan apa-apa yang kalian sembah”. Setelah itu mereka dengan tegas menyuruh untuk membangun sebuah bangunan dan menaruh Ibrahim di tempat itu lalu membakarnya, namun telah tertera pada surat al-Anbiya bahwa Allah telah menyelamatkannya dari api serta memenangkannya dari mereka[iii].

Setelah Allah l memenangkan Ibrahim dari mereka, lalu Ibrahim pergi meninggalkan mereka dan memohon untuk diberikan keturunan sebagai pengganti yang telah ditinggalkan. Setelah penantian yang panjang Allah l mengabulkan doanya.

Ikhlas, Tabah dan Berserah Diri Kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala

Selain itu Nabi Ibrahim digambarkan sebagai seorang yang selalu berserah diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, beliau pergi meninggalkan negerinya dan beliau meminta untuk diberikan anak yang shalih, penantian panjang beliau untuk memiliki keturunan Allah kabulkan yaitu lahirlah Nabi Ismail, namun tidak lama Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan Nabi Ibrahim n untuk meninggalkan istri dan anaknya di sebuah lembah yang tidak ada makanan, minuman dan orang sekalipun. Namun beliau menyerahkan segalanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Nabi Ibrahim meninggalkan isteri dan anaknya sambil berdoa, “Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. Ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” (QS. Ibrahim [14]: 37)[iv]

Setelah Nabi Ismail beranjak remaja dan dewasa serta berusaha untuk terus bersama-sama dengan ayahnya, Nabi Ibrahim pun bermimpi bahwa beliau menyembelih anaknya Ismail dan itu merupakan perintah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, lalu belaiu menceritakannya kepada Ismail dan meminta pendapatnya. Ismail pun menjawab untuk mengikuti perintah Allah dan taat kepada-Nya, Ismail bersedia untuk disembelih karena ketaatannya yang kuat terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kesabarannya. Kemudian Nabi Ibrahim membaringkan Ismail dan menempatkan pisau pada tengkuknya sambil memejamkan mata, untuk meringankan dan Allah menebusnya dengan seekor domba dari surga atas ketaatan mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.[v]

Dari kisah ini tentu pantas bagi beliau diberi gelar Ulul Azmi dimana beliau termasuk orang-orang yang kuat, sabar terhadap ujian yang diberikan Allah baik melalui kaumnya sendiri maupun keluarganya. Beliau tetap istiqomah untuk taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sekalipun untuk mengorbankan anaknya, walau dari segi manusiawi hati kecil beliau merasa sedih, namun beliau percaya akan segala kekuasaan Allah dan kehendaknya.

Dari keyakinan dan ketaatannya terhadap perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala, Nabi Ibrahim berhasil menularkannya kepada Nabi Ismail n, yang tidak menolak akan perintah Allah melalui ayahnya untuk menyembelih dirinya. Ketabahan dan ketakwaan Nabi Ibrahim telah memberikan banyak pembelajaran bagi umat Islam, bahwa keimanan seseorang dan ketakwaannya dapat terlihat dari seberapa tabah dan ikhlas ia menghadapi ujian kehidupannya.

Kebanyak seseorang yang melemah imannya, ketika ia dihadapkan dengan sesuatu yang sulit lalu ia pergi meninggalkan agamanya, hal itu sangat berbanding terbalik dengan ajaran Islam. Nabi Ibrahim n yang berada ditengah-tengah masyarakat yang musyrik beliau mampu meneguhkan hatinya untuk terus beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, beliau tabah, sabar dan ikhlas ketika penantian panjangnya menuggu Nabi Ismail lahir setelah lahir namun Allah mengujinya dengan menjauhkannya dari Ismail dan dibiarkannya tinggal bersama ibunya di tengah gurun pasir dan tidak ada sumber makanan apapun, setelah Ismail kembali dan beranjak remaja Nabi Ibrahim diuji kembali dengan harus menyembelih darah dagingnya yaitu Ismail. Maka betapa tabah dan ikhlasnya hati beliau.

Ujian yang didapatkan setiap manusia berbeda-beda, namun Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikannya sesuai kemampuan hamba-Nya, maka seberapa besar ujian kita dalam hidup,  kita bisa belajar dari kisah para nabi untuk belajar tegar dan ikhlas tanpa menjauh dari Sang Khaliq. Wa Allâhu a’lam bi ash shawâb.[]

 

Lia Ananda Haenida

Pendidikan Agama Islam UII

Refrensi

[i] Tafsir Ibnu Katsir. 2004 M. Penerjemah Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ishaq. Muassasah Daar al-Hilâh Kairo. hal. 22

[ii] Ibid. hal. 22-24

[iii]  Ibid. hal. 25

[iv] https://kisahmuslim.com/2575-kisah-nabi-ibrahim-alaihissalam-bag-4-selesai.html

[v] Tafsir Ibnu Katsir. 2004 M., hal. 27).

 

Mutiara Hikmah

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ

Jika kamu mempersekutukan (Rabbmu), niscaya akan hapuslah amalmu.” (Q.S. az-Zumar [39]: 65)

Download Buletin klik disini

Syirik Merajalela, Bencana Melanda

Syirik Merajalela, Bencana Melanda

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘ala rasûlillâh,

Wahai saudariku, manusia diciptakan sesungguhnya hanya untuk menyembah Allah Subhanahu wa Ta’ala semata. Allah mengutus Rasul Muhammad ` agar menyeru kepada penghuni alam semesta ini agar senantiasa men-tauhid-kan diri – Nya. Di dalam al-Qur’an telah dipaparkan secara gamblang bahwa tauhid mengantarkan seseorang pada surga, sedangkan perbuatan syirik akan menjerumuskan pelakunya kedalam neraka. Kesyirikan yang terjadi pada akhirnya menimbulkan kehancuran.

Ingat ! Hanya Kepada Allah Memohon Pertolongan

Semua manusia pasti mengalami saat-saat yang bermasalah, baik itu dalam pendidikan, ekonomi, sosial dan lainnya. Nabi ` pernah memberi nasehat kepada Ibnu Abbas a, “Apabila kamu hendak meminta, maka mintalah kepada Allah, dan bila kamu hendak memohon pertolongan, maka mohonlah pertolongan kepada Allah!” (Hadits ini diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, dan dia berkata, “Hadits ini hasan shahih.”).

Sudah jelas kita ketahui bahwa Allah sebaik-baik penolong, jika kita berpaling terhadap-Nya niscaya tidak ada yang dapat menyelesaikan urusan yang kita hadapi. Urusan manusia bermacam-macam meliputi urusan dunia dan akhirat, keduanya harus senantiasa memohon kepada-Nya. Jangan sampai kita menyandarkan kepada selain Allah l, karena syirik merupakan salah satu dosa besar.

Sebenarnya Syirik Itu Apa Saja?

Syirik itu sangat bermacam-macam, kita harus mengenalinya agar tidak terperosok kedalam jurang kesyirikan. Pembagian mengenai syirik dibagi menjadi 2 yaitu syirik kecil dan syirik besar. Langsung saja, syirik kecil itu perbuatan yang mengantarkan pada syirik besar, di mana perbuatan itu sendiri belum tergolong perbuatan ibadah. Sekecil apapun syirik tetapi telah merintis jalan menuju syirik besar.

Syirik kecil ini menjadi 3 yaitu: (1) Riya’ (melakukan suatu perbuatan bukan karena Allah l), (2) Bersumpah dengan nama selain Allah l, (3) Syirik khafi (samar, tersembunyi), poin ketiga ini berdasarkan sabda Rasulullah `, “Janganlah kalian mengatakan, ‘Atas kehendak Allah dan atas kehendak si Fulan.’ Akan tetapi katakanlah, ‘Atas kehendak Allah, kemudian atas kehendak si Fulan.” (Hadits ini shahih; diriwayatkan  oleh Ahmad dan lainnya)

Wahai Saudariku bukankah kita merasa bahwa diri ini begitu rentan terhadap syirik kecil. Berkomitmen untuk berhijrah menjadi lebih baik, marilah kita mengintropeksi diri sendiri. Selanjutnya kita akan membahas mengenai syirik besar. Syirik besar sendiri ialah menjadikan sesuatu sebagai tandingan Allah Subhanahu wa Ta’ala, dalam hal berdoa  atau dalam bentuk peribadatan lainnya.

Salah satu contohnya yaitu, menyembelih hewan, bernadzar, dan sebagainya bukan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, tetapi karena sesuatu itu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan janganlah kamu menyembah sesuatu pun selain Allah, di mana sesuatu yang kamu sembah itu tidak akan memberimu manfaat maupun mencegah bahaya darimu sedikitpun. Jika kamu melakukan perbuatan semacam itu, maka kamu termasuk orang – orang zalim.” (Q.S. Yunus [10]: 106)

Fenomena Menjamurya Syirik

Saudariku sebagaiman kita ketahui, bahwa Islam datang mempunyai visi dan misi untuk menghancurkan berbagai bentuk kesyirikan. Diantara sebab utama terjadinya begitu banyak musibah karena  kesyirikan sudah bertebaran  di dunia Islam dewasa ini. Terjadinya berbagai huru-hara, kekacauan, dan peperangan yang tidak ada henti-hentinya ditimpakan oleh Allah kepada kaum muslimin. Semua itu tidak lain disebabkan karena mereka tidak mau lagi ber-tauhid, baik dalam perkara keyakinan maupun dalam akhlak dan perilaku mereka.

Berikut beberapa perbuatan syirik yang sering kita jumpai diantaranya, berdoa kepada selain Allah l, mengubur para wali dan orang-orang shalih di masjid, bernadzar untuk para wali, menyembelih binatang di kuburan para  wali, thawaf mengelilingi kuburan para wali, shalat menghadap kubur, melakukan perjalanan khusus ke kuburan utuk mencari berkah, berhukum tidak kepada hukum Allah l, taat kepada ketetapan para penguasa, ulama, atau syaikh yang bertentangan dengan nas-nas al-Qur’an dan hadits shahih.

Baru–baru ini sangat maraknya nyanyian dan puji-pujian syairnya ada yang seperti ini, “Wahai Rasulullah bimbinglah daku, tidak ada yang mampu merubah kesulitanku menjadi mudah kecuali engkau”. Seandainya Rasulullah ` mendengar syair nyanyian di atas, niscaya beliau akan berlepas diri darinya. Karena sudah jelas, tidak akan ada yang mampu merubah suatu kesulitan menjadi mudah kecuali Allah semata.

Syirik  vs Tauhid

Dibahas dalam sudut pandang sejarah, sebenarnya perang antara tauhid dan syirik telah terjadi sejak dahulu. Bermula dari kisah Nabi Nuh n yang selama sembilan ratus tahun menyeru kaummnya agar bertauhid, menyembah Allah Subhanahu wa Ta’ala semata dan meninggalkan berhala yang mereka sembah. Penolakan keras  kaum Nabi Nuh n terhadap dakwah tauhidnya diceritakan di dalam al-Qur’an, Allah ` berfirman “Dan kaumnya berkata, ‘Jangan sekali-kali kalian berani meninggalkan penyembaha kepada tuhan-tuhan kamu dan  jangan sekali-kali kalian meninggalkan penyembahan kepada Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nashr.’ Dan sungguh, mereka itu telah menyesatkan banyak manusia.” (QS. Nuh (2): 23-24).

Berkaitan tentang tafsir ayat ini, al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas, Dia berkata, “Itu (maksudnya Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nashr. –Pent.) adalah nama-nama orang shalih pada zaman Nabi Nuh n. Jika pada zaman Nabi Nuh saja perbuatan syirik sudah sangat mengerikan, apalagi saat ini yang jelas-jelas umat akhir zaman. Maka dari itu kita harus senantiasa mawas diri dan selalu memohon kepada Allah l agar terhindar dari kesyirikan. Âmîn.

Antara Dosa dan Bencana Alam

Seolah tak ada habisnya, berbagai bencana terus melanda negeri ini, banjir, tanah longsor, gempa bumi dan tsunami, atau pun letusan gunung berapi. Tanggapan manusia pun bermacam-macam. Para pakar geologi mengatakan hal ini adalah fenomena alam. Para normal mengambinghitamkan makhluk-makhluk halus penunggu tempat-tempat yang dilanda bencana. Dan sangat sedikit yang mengaitkannya dengan dosa-dosa manusia. Dalam hal ini Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka  agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Q.S. ar-Rûm [30]: 41).

Dalam Tafsir al-Mukhtashar (Markaz Tafsir Riyadh), di bawah pengawasan Syaikh Dr. Shalih bin Abdullah bin Humaid. Menjelaskan, “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut”, Yakni dimaksud dengan (البحر) adalah perkotaan dan pedesaan yang berada di atas laut atau sungai. Sedangkan (البر) adalah perkotaan dan pedesaan yang tidak berada di atas laut atau sungai. “Disebabkan karena perbuatan tangan manusia”, yakni Allah menjelaskan bahwa kemusyrikan dan kemaksiatan adalah sebab timbulnya kerusakan di alam semesta. Kerusakan ini dapat berupa kekeringan, paceklik, ketakutan yang merajalela, barang-barang yang tidak laku, sulitnya mencari penghidupan, maraknya perampokan dan kezaliman, dan lain sebagainya. “Supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka”, yakni agar mereka merasakan akibat dari sebagian perbuatan mereka. “Agar mereka kembali (ke jalan yang benar))” yakni menjauhi kemaksiatan mereka dan bertaubat kepada Allah.

Tegakkan Tauhid Solusinya

Seorang muslim hendaknya memulai hidupnya  dengan tauhid dan meninggalkan dunia yang fana ini juga dengan tauhid. Bertauhid adalah menjadi tugas utama seorang muslim dalam hidupnya. Karena dengan tauhid orang-orang mukmin bisa berkumpul dan bersatu. Kita berdoa semoga akhir ucapan kita ketika hendak meninggalkan dunia ini adalah kalimat tauhid ilâha illa Allâh “Tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah”.[]

 

Erliyana

Referensi

  1. Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, 1424 H, Al–Firqotun Najiyah-jalan hidup golongan yang selamat, Media Hidayah, Yogyakarta.
  2. Tafsir al-Muktashar, https://tafsirweb.com/7405-surat-ar-rum-ayat-41.html, diakses tanggal 07 Januari 2019
  3. Wahdah Islamiyah, 2010, Antara Dosa dan Bencana Alam, http://wahdah.or.id/antara-dosa-dan-bencana-alam/ diakses tanggal 07 Januari 2019

 

Mutiara Hikmah

Rasulullah ` bersabda,

أَكْثَرُ خَطَايَا إِبْنِ آدَمَ فِي لِسَانِهِ

‘Mayoritas kesalahan anak Adam adalah pada lidahnya.‘” (H.R. Thabarani)

 

Download Buletin klik disini

SUDAHKAH KITA BERSYUKUR ?

Kaum muslimin yang dirahmati Allah l, kita sebagai umat Islam harus menyakini sesungguhnya segala kebaikan dan kenikmatan yang ada pada kita adalah karunia dari Allah l. Allah l berfirman, “Dan apa saja nikmat yang ada pada kalian, maka datangnya dari Allah…” (Q.S. an-Nahl [16]: 53)

Betapa melimpahnya kenikmatan yang Allah l berikan kepada kita, yang tidak terhingga jumlahnya. Allah telah memberikan kita kehidupan, mulai saat kita masih didalam perut ibu sampai sekarang, nikmat kesehatan yang lebih banyak kita nikmati dibandingkan saat kita sakit, nikmat makanan, minuman, pakaian, nikmat negeri yang aman dimana kita bisa melakukan ibadah secara tenang tanpa khawatir adanya bom, penembakan, teror seperti saudara-saudara kita di luar sana dan masih banyak nikmat yang lainnya. Jika kita berusaha menghitung nikmat yang Allah yang dikaruniakan kepada kita, niscaya kita tidak akan mampu menghitungnya. Allah l berfirman, “Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya.” (Q.S. an-Nahl [16]: 18).

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, pada hakikatnya kita semua tidak bisa mensyukuri setiap nikmat yang Allah berikan kepada kita. Bagaimana mungkin kita bisa mensyukurinya, menghitunganya saja kita tidak mampu. Sungguh hanya sedikit hamba-Ku yang bersyukur, Allah l berfirman, “Sangat sedikit sekali di antara hamba-Ku yang mau bersyukur.” (Q.S. Saba’ [34]: 13). Ibnu Katsir berkata, “Yang dikabarkan ini sesuai kenyataan.” Artinya, sedikit sekali yang mau bersyukur.

 

Apakah Makna Syukur?

Secara bahasa, “Syukur adalah pujian bagi orang yang memberikan kebaikan, atas kebaikannya tersebut” (Lihat Ash-Shahhah Fil Lughah karya al-Jauhari). Atau dalam bahasa Indonesia, bersyukur artinya berterima kasih. Sedangkan istilah syukur dalam agama, adalah sebagaimana yang dijabarkan oleh Ibnul Qayyim, “Syukur adalah menunjukkan adanya nikmat Allah pada dirinya. Dengan melalui lisan, yaitu berupa pujian dan mengucapkan kesadaran diri bahwa ia telah diberi nikmat. Dengan melalui hati, berupa persaksian dan kecintaan kepada Allah. Melalui anggota badan, berupa kepatuhan dan ketaatan kepada Allah” (Madarijus Salikin, 2/244). Lawan dari syukur adalah kufur nikmat, yaitu enggan menyadari atau bahkan mengingkari bahwa nikmat yang ia dapatkan adalah dari Allah l. Semisal Qarun yang berkata, “Sungguh harta dan kenikmatan yang aku miliki itu aku dapatkan dari ilmu yang aku miliki” (Q.S. al-Qashash [28]: 78).

 

Syukur Merupakan Ibadah

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, syukur adalah bentuk ibadah kita kepada Allah l. Banyak ayat di dalam al-Qur’an, Allah l memerintahkan manusia untuk bersyukur kepada-Nya. Maka syukur ini adalah ibadah dan bentuk ketaatan atas perintah Allah l. Allah l berfirman, “Ingatlah kepada-Ku, maka Aku akan mengingat kalian. Bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kalian ingkar” (Q.S. al-Baqarah [2]: 152). Allah l juga berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah” (Q.S. al-Baqarah [2]: 172).

Maka orang yang bersyukur adalah orang yang menjalankan perintah Allah l dan orang yang enggan bersyukur serta mengingkari nikmat Allah adalah bentuk pembangkangan terhadap perintah Allah.

Kaum muslimin yang di rahmati Allah, seorang muslim yang sejati itu tidak pernah terlepas dari tiga keadaan. Yang keadaan itu menunjukkan tanda kebahagiaan baginya, yang pertama yaitu bila dia mendapat nikmat maka dia bersyukur, yang kedua bila mendapat kesusahan maka dia bersabar, dan yang ketiga bila berbuat dosa maka dia beristighfar (Qowa’idul Arba’, hal. 01), jika ketiga keadaan tersebut ada pada seorang muslim maka insyAllah dia akan mendapatkan kebahagiaan. Rasulullah l bersabda, “Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin, semua urusannya adalah baik baginya. Hal ini tidak didapatkan kecuali pada diri seorang mukmin. Apabila mendapatkan kesenangan, dia bersyukur, maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya. Sebaliknya apabila tertimpa kesusahan, dia pun bersabar, maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya.” (Hadits shohih. Diriwayatkan oleh Muslim, no. 2999 dari Abu Yahya Shuhaib bin Sinan a).

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, Syukur adalah akhlaq yang mulia, yang muncul karena kecintaan dan keridho’an yang besar terhadap Sang Pemberi Nikmat. Syukur tidak akan mungkin bisa terwujud jika tidak diawali dengan keridho’an. Seseorang yang diberikan nikmat oleh Allah walaupun sedikit, tidak mungkin akan bersyukur kalau tidak ada keridho’an. Orang yang mendapatkan penghasilan yang sedikit, hasil panen yang minim atau pendapatan yang pas-pasan, tidak akan bisa bersyukur jika tidak ada keridho’an. Demikian pula orang yang diberi kelancaran rizki dan harta yang melimpah, akan terus merasa kurang dan tidak akan bersyukur jika tidak diiringi keridho’an.

Kaum muslimin yang kami muliakan, maka dari itu kita sebagai orang muslim hendaknya selalu bersyukur dalam kondisi apapun, dan syukur yang sebenarnya tidaklah cukup dengan mengucapkan “alhamdulillah”. Syukur tidak hanya dilisan. Namun hendaknya seorang hamba bersyukur dengan hati, lisan dan anggota badannya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Qudamah v, “Syukur (yang sebenarnya) adalah dengan hati, lisan dan anggota badan. (Minhajul Qosidin, hal. 305).

Bagaimana caranya bersyukur dengan hati?,yaitu dengan  mengakui dan meyakini bahwa nikmat tersebut semata-mata datangnya dari Allah l dan bukan dari selain-Nya, sehingga muncul kecintaan kita kepada Allah l. Kemudian meniatkan untuk menggunakan nikmat itu di jalan yang Allah ridhai. Adapun bersyukur dengan lisan adalah dengan memuji dan menyanjung Dzat yang telah memberikan nikmat tersebut pada kita dengan mengatakan “Alhamdulillâh”. Sementara tugasnya anggota badan adalah menggunakan nikmat tersebut untuk mentaati Dzat yang kita syukuri (yaitu Allah l) dan menahan diri agar jangan menggunakan kenikmatan itu untuk bermaksiat kepada-Nya.

 

Syukur Adalah Sifat Para Nabi

Muhammad ` tidak luput dari syukur walaupun telah dijamin baginya surga. Diceritakan oleh Ibunda ‘Aisyah i,“Rasulullah ` biasanya jika beliau shalat, beliau berdiri sangat lama hingga kakinya mengeras kulitnya. ‘Aisyah bertanya, ‘Wahai Rasulullah, mengapa engkau sampai demikian? Bukankan dosa-dosamu telah diampuni, baik yang telah lalu maupun yang akan datang? Rasulullah besabda: ‘Wahai Aisyah, bukankah semestinya aku menjadi hamba yang bersyukur?’” (H.R. Bukhari no. 1130, Muslim no. 2820). Inilah suri tauladan kita sebagai umat muslim semoga kita bisa meneladani Rasulullah `.

 

Buah Manis dari Syukur

  1. Syukur Adalah Sifat Orang Beriman

Rasulullah ` bersabda, “Seorang mukmin itu sungguh menakjubkan, karena setiap perkaranya itu baik. Namun tidak akan terjadi demikian kecuali pada seorang mu’min sejati. Jika ia mendapat kesenangan, ia bersyukur, dan itu baik baginya. Jika ia tertimpa kesusahan, ia bersabar, dan itu baik baginya” (H.R. Muslim no.7692).

  1. Merupakan Sebab Datangnya Ridha Allah

Allah l berfirman, “Jika kalian ingkar, sesungguhnya Allah Maha Kaya atas kalian. Dan Allah tidak ridha kepada hamba-Nya yang ingkar dan jika kalian bersyukur Allah ridha kepada kalian” (Q.S. Az-Zumar [39]: 7).

  1. Merupakan Sebab Selamatnya Seseorang Dari Azab Allah

Allah l berfirman, “Tidaklah Allah akan mengadzab kalian jika kalian bersyukur dan beriman. Dan sungguh Allah itu Syakir lagi Alim” (QS. An-Nisa [4]: 147).

  1. Merupakan Sebab Ditambahnya Nikmat

Allah l berfirman, “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu mengumumkan, ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih’” (Q.S. Ibrahim [14]: 7).

  1. Ganjaran Di Dunia dan Akhirat

Janganlah Anda menyangka bahwa bersyukur itu hanya sekedar pujian dan berterima kasih kepada Allah. Ketahuilah bahwa bersyukur itupun menuai pahala, bahkan juga membuka pintu rezeki di dunia. Allah l berfirman, “Dan sungguh orang-orang yang bersyukur akan kami beri ganjaran” (QS. Ali Imran [3]: 145). Imam Ath Thabari menafsirkan ayat ini dengan membawakan riwayat dari Ibnu Ishaq, “Maksudnya adalah, karena bersyukur, Allah memberikan kebaikan yang Allah janjikan di akhirat dan Allah juga melimpahkan rizki baginya di dunia” (Tafsir Ath Thabari, 7/263).

 

Refrensi :

 

Khalqurrahman

Alumni Teknik Sipil UII

 

 

 

 Mutiara Hikmah

Rasulullah ` bersabda,

Jika salah seorang di antara kalian melihat orang yang memiliki kelebihan harta dan bentuk (rupa dan badan) [al kholq], maka lihatlah kepada orang yang berada di bawahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

MERIDHOI TAKDIR UNTUK MENCAPAI RIDHO ALLAH

Seorang muslim wajib baginya mengimani perkara-perkara yang telah diberikan kepadanya berupa rukun iman. Seorang muslim yang baik bukan hanya mempercayai saja namun jug mengamalkan dari setiap bagian rukun iman yakni: Iman Kepada Allah, Iman Kepada Malaikat, Iman Kepada Kitab-kitab Allah, Iman Kepada Rasul, Iman Kepada Hari Akhir dan Iman Kepada Qodho dan Qodar. Sebagai penganut agama yang kaffah haruslah terpenuhi keseluruhan itu sesuai tuntunan dan arahan dari al-Qur’an dan Hadits.

Pada realitanya, sebagian manusia lupa dan lalai akan kewajibannya mempercayai hal yang sudah pasti tersebut. Manusia yang tersesat bisa saja melupakan Tuhannya dengan meniadakan Allah di setiap nafas hidupnya. Manusia bisa saja melupakan iman kepada malaikat dan hari akhir karena hati yang tersesat dengan tidak mempercayai suatu hal yang ghaib. Manusia bisa saja melupakan iman kepada kitab-kitab Allah, dan Rasul Allah. Namun manusia tidak bisa menghindari dari Qodho dan Qodar Allah. Oleh karena itu, seorang muslim akan dimintai pertanggungjawaban dari setiap perbuatan yang dikerjakannya.

Pengertian Qodho dan Qodar

Takdir atau lebih lengkapnya Qodho dan Qodar memiliki unsur ikatan kesinambungan.  Qodar berarti ketika Allah telah menetapkan sesuatu akan terjadi pada waktunya dan Qodho adalah tibanya masa ketika ketentuan yang telah ditetapkan terjadi. Oleh karenanya, Qodar yakni suatu ketetapan Allah berlaku terhadap segala sesuatu sejak zaman azali serta Qodho adalah pelaksanaan Qodar ketika terjadi.( Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd,2007)

Rasul SAW berkata:

أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ

Kamu beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir, dan kamu beriman kepada qadar yang baik maupun yang buruk. (HR. Muslim no. 8)

Semua yang terjadi di dunia ini sudah menjadi ketetapan dari Allah SWT seperti adanya pergantian siang dan malam, adanya alam yang indah, sebaliknya adanya hal-hal yang ditetapkan seperti bencana alam, musibah dan lain sebagainya. Begitu pula adanya perbedaan keadaan manusia, Allah menciptakan manusia dengan bermacam ragam, ada wujud yang sempurna atau kurang sempurna. Adapun Allah mengatur setiap kebutuhan manusia dan menempatkan kondisi manusia dalam berbagai macam hal yang berbeda. Karena yang sedemikian itu adalah sebuah ketentuan yang sudah pasti baik adanya dan seharusnya manusia juga mampu mengimani sampai sedalam itu.

Manusia dan Takdir

Hadits di atas menyebutkan takdir baik maupun buruk, oleh karena itu, manusia senantiasa mampu menyiapkan diri dan mental untuk menyambut bukan hanya suatu ketetapan yang diberikan kepada manusia dalam keadaan baik saja, namun juga manusia mampu mempersiapkan dalam keaadaan buruk juga. Manusia akan lebih mudah menerima jika dirinya diberi keadaan takdir yang baik seperti mendapatkan rezeki yang melimpah dan lain sebagainya. Namun, manusia akan susah menerima takdir baginya dalam keadaan buruk atau sebagai musibah dan cobaan. Karenanya sering kali manusia frustasi dan menempatkan prasangka buruk kepada takdir yang telah Allah berikan kepadanya.

Sejatinya manusia mampu membuat rencana yang hebat. Mampu merencanakan untuk mencapai kepentingan dan tujuannya dengan detail dan rinci. Akan tetapi, sebagus-bagusnya rencana manusia ketika Allah tidak meridhoi rencana itu terjadi manusia mampu berbuat apa. Mau tidak mau kita harus menerima apapun yang terjadi dalam hidup kita baik ataupun buruk. Sehingga kita seringkali tidak menerima keadaan dan seringkali menyalahkan takdir Allah yang salah terhadap dirinya. Manusia mulai merasa bahwa nikmat yang diberikan Allah adalah suatu ketidak adilan.

Musibah bisa saja menimpa kepada siapa saja terserah kehendak Allah. Misalnya, ketika seorang pedagang yang berjualan dari siang sampai malam, dirinya telah bekerja keras serta mempunyai perhitungan bahwa ketika hari itu akan sangat ramai, namun karena hujan lebat seharian alhasil pelanggan yang datang hanya sebanyak hitungan jari. Hal yang terjadi adalah pedagang tersebut tidak bisa menolak dari takdir yang demikian. Takdir yang demikian seringkali membuat kita jauh akan syukur kepada Allah.

Adapula perencanaan manusia yang telah merencanakan dan mempersiapkan tentang jodoh. Pada suatu hari, ada sepasang calon pengantin yang telah saling mengenal dengan cara ta’aruf sehingga mendapatkan keinginan yang sama yakni melangsungkan ke jenjang pernikahan. Keduanya telah merencanaka dengan matang apa saja yang diperlukan untuk melangsungkan pernikahannya. Undangan telah dicetak dan disebar luaskan, gedung pernikahan telah dipersiapkan, kedua belah pihak keluarga telah saling mempersiapkan kostum dan hari pelaksanaan dengan matang. Semua hal tersebut menurut renananya akan berjalan dengan sangat lancar dan baik, tidak akan ada suatu hal yang mampu menghentikan rencana mulia mereka. Akan tetapi pada hari berlangsungnya akad pernikahan, mempelai pria mengalami musibah kecelakaan dengan satu mobil rombongannya menuju lokasi pernikahan. Allah pun berkehendak lain, kecelakaan tersebut mengakibatkan meninggal dunia calon mempelai suaminya.

Hal-hal di atas seringkali membuat manusia akan merasa bahwa dunia tidak adil, takdir Allah tidak bagus dan merasa garis hidupnya tidak jelas. Namun akan tiba saatnya manusia akan menyadari apa yang telah direncanakan oleh Allah adalah suatu hal yang terbaik bagi hidupnya. Tidak sedikit juga di antara banyak manusia yang memiliki hati yang tangguh dengan mampu menerima dan selalu bersyukur dengan semua apa yang telah Allah tetapkan.

Rodhiatan Mardiyatan

Kebanyakan muslim ketika ditanyai apa yang mereka cari dalam hidup ini? Mereka selalu menjawab mencari ridho Allah, karena mereka ingin mendapat ridho dari Allah. Akan tetapi hal yang sebenarnya bahwa ridho Allah bukan untuk diminta dan dicari tetapi untuk mereka lakukan. Karena subjek utama ridho Allah adalah diri mereka sendiri yang harus ridho kepada Allah bahwa kemudian Allah ridho adalah hal yang otomatis. Karena tidak mungkin kalau mereka ridho dengan takdir Allah lalu Allah tidak meridhoi.

Rumus sederhana di puncak firman-firman Allah dengan siapa yang dipanggil Allah untuk memasuki hilir kemesraan cinta dengan Allah. Siapa yang kompatibel terhadap cinta Allah, karena unsur kompatibelnya adalah Rodhiatan Mardiyah. Hal ini sesuai dengan firman Allah:

يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ

Wahai jiwa yang tenang!

ارْجِعِي إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً

Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya. (Q.S.al-Fajr [89]: 27-28)

Dari dalil di atas menyebutkan bahwa semua manusia di muka bumi ini bisa jadi Allah meridhoi dan menerima amalan kita bisa jadi tidak, kecuali beberapa orang yang dijamin masuk surga oleh Allah seperti Rasulullah. Selain itu, semua manusia di dunia ini kedudukannya sama di mata Allah. Oleh karena itu, kita tidak usah sibuk mencari ridho Allah, akan tetapi kitalah yang harus terus menerus ridho kepada Allah karena rumusnya adalah Rodhiatan Mardiyah bukan terbalik Mardiyatan Rodhiah. Jadi kitalah yang harus memastikan setiap saat ridho kepada apapun saja yang Allah tentukan untuk kita, jika kita ridho dan terus ridho efeknya pasti diridhoi oleh Allah.

Hal yang disebut kita ridho kepada Allah adalah ridho kepada setiap aplikasi Allah dalam hidup kita. Misalnya jantung kita berdetak menandakan bahwa Allah mempunyai urusan dengan jantung kita dan kita harus ridho dengan nikmat demikian. Sebagaimana pohon, binatang dan alam itu adalah 100% ekspresi dari ridho. Oleh karena itu, temukanlah ridho karena manusia adalah makhluk yang diberi akal untuk mengambil jalan dari kehidupan maka setiap hari manusia harus menemukan yang mana saja dari perilaku kita hari ini yang diridhoi Allah dan mana saja yang tidak dirihoi. Termasuk yang mana perilaku kita yang mencerminkan ridho kepada Allah dan mana yang tidak itulah ukuran hidup.

seharusnya kita ridho berlangsung di setiap saat dalam hidup kita. Akan tetapi kebanyakan manusia tidak berdiri di fakta hidupnya, tidak berdiri di kenyataan hidupnya mereka berdiri di harapannya saja. Maka yang akan terjadi adalah akan selalu merasa kurang apa yang di dapat dari hidupnya. Namun jika kita ikhlas berpijak ditempat dan momentum yang Allah beri serta dengan meridhoi apa yang telah Allah karuniai kita sampai saat ini dengan posisi dan keadaan bagaimanapun. Maka ridho Allah akan menyertai keikhlasan kita untuk melangsungkan kehidupan kita.

Kesimpulan pada pembahasan Rodhiatan Mardiyatan adalah ketika umat muslim di dunia ini telah mengaplikasikan ridho untuk diridhoi, maka akan terciptanya hati yang senantiasa ikhlas kepada setiap ketentuan yang Alah berikan. Serta kita menjadi hamba Allah yang insyaAllah dimuliakan Allahkarena mendapatkan ridho Allah. Semoga kita semuanya menjadi hamba Allah yang pandai bersyukur atas ni’mat Allah dengan segala takdir-Nya.

Muhammad Athoillah.

Alumni FPSB 2014

Referensi

Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd, “Definisi Qadha’ Dan Qadar Serta Kaitan Di Antara Keduanya”, al-Manhaj, 7 Juli 2007, <https://almanhaj.or.id/2168-definisi-qadha-dan-qadar-serta-kaitan-di-antara-keduanya.html>, 16 April 2019

Mutiara Hikmah,

Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-hamba-Nya.

 (Q.S. Fushshilat [41]: 46)