Karena Sesama Muslim Adalah Bersaudara

Karena Sesama Muslim Adalah Bersaudara

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Persaudaraan Sesama Muslim

Pembaca  yang semoga dirahmati Allah ﷻ, pernahkah kita melihat seseorang mencaci maki saudara sesamuslim? Atau pernahkah kita mendengar berita seseorang yang menipu rekan atau client bisnisnya hingga rugi dalam jumlah besar padahal mereka sama-sama beragama Islam? Tidakkah kita mengetahui bahwa semua perbuatan itu dan perbuatan-perbuatan semisalnya melanggar larangan-larangan yang telah ditetapkan oleh Allah ﷻ dan Rasul-Nya?

Dikarenakan seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya. Persaudaraan ini adalah persaudaraan karena iman/agama. Allah ﷻ berfirman dalam surat al-Hujurat ayat ke-10, “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat” (Q.S. al-Hujurat [49]: 10).

Dalam Kitab Tafsir “Al-Mukhtashar fii At-Tafsîr” dijelaskan tentang ayat ini, “Yaitu orang-orang beriman adalah saudara dalam Islam. Persaudaraan dalam Islam ini berkonsekuensi agar mendamaikan diantara 2 muslim yang sedang berselisih. Kemudian, bertakwalah kepada Allah ﷻ dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya, dengan berharap agar mendapat rahmat-Nya”[1]

Perkara ini juga dijelaskan oleh Rasulullah ﷻ, dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda, “Janganlah kalian (wahai muslim) saling hasad (dengki), saling najsy, saling membenci, saling membelakangi, dan janganlah kalian melakukan transaksi harta yang berdampak pada gagalnya transaksi orang lain. Jadilah kalian wahai hamba-hamba Allah orang-orang yang bersaudara. Orang Muslim itu saudara bagi muslim lainnya. Tidak menzhaliminya, tidak membiarkannya dizhalimi, tidak membohonginya, dan tidak merendahkannya. Takwa itu letaknya di sini –beliau menunjuk ke arah dadanya tiga kali-. Cukuplah seseorang itu jahat ketika ia merendahkan saudaranya sesama muslim. Setiap muslim haram mengganggu muslim yang lain, baik mengganggu darah, harta ataupun kehormatan dan nama baiknya.” (H.R.Muslim).

Hak-Hak Antar Sesama Muslim

Syaikh Dr. Shalih al-‘Ushaimi hafizhahullahu Ta’ala menjelaskan dalam, “Dalam hadits ini terdapat 5 buah larangan:

Pertama, dalam perkataan Nabi ﷺ, “Janganlah saling hasad (dengki)”. Ini merupakan larangan berbuat hasad. Hakikat hasad adalah seseorang tidak menyukai tersampaikannya nikmat kepada orang lain, meskipun  ia tidak menginginkan hilangnya nikmat tersebut. Sehingga semata-mata ada rasa tidak suka saja sudah termasuk ke dalam hasad. Demikianlah kajian mendalam tentang hasad dari Ibnu Taimiyyah al-hafîdz.

Kedua, dalam perkataan Nabi ﷺ, “Jangan saling najsy”. Ini adalah larangan tindakan najsy. Najsy yaitu meninggikan sesuatu dengan trik dan tipu daya. Sehingga yang dimaksudkan dari hadis adalah larangan untuk mendapatkan sesuatu dengan makar, akal-akalan dan tipu daya. Kemudian bagian dari najsy adalah jual beli yang telah dikenal dengan nama ini (jual beli najsy). Yaitu menambah harga bukan karena menginginkan barang yang dijual, namun karena ingin menaikkan harganya, agar dengannya penjual mendapatkan manfaat berupa naiknya harga barang tersebut.

Ketiga, dalam sabda Nabi ﷺ, “Jangan saling membenci”. Yaitu larangan dari saling membenci. Penempatan larangan ini yaitu apabila tidak dijumpai alasan syariat padanya. Ketika dijumpai alasan syariat (alasan pembenar) untuk membenci salah seorang dari kaum muslimin, maka maksiat salah seorang muslim tersebut yang dibenci namun bukan orangnya. Sehingga terkumpul dalam diri seorang muslim 2 hal, yaitu rasa cinta dan benci. Rasa cinta pada pokok agamanya (Islam) dan rasa benci pada jeleknya perbuatannya (maksiatnya).

Keempat, dalam sabda Nabi ﷺ, “Jangan saling membelakangi”. Yaitu larangan untuk saling membelakangi. Dengan bentuk saling boikot dan saling putus hubungan. Dinamakan ‘tadaabur’ karena antar kedua orang tersebut saling membelakangi/memboikot.  Hal ini terlarang apabila saling membelakangi ini terjadi karena perkaran dunia. Apabila terjadi karena perkara agama maka hukumnya boleh, namun dengan syarat yaitu seukur terwujudnya maslahat dari saling boikot tersebut. Ketika seseorang mengetahui atau mempunyai sangkaan kuat dengan boikot tersebut akan terwujud masalahat yang diinginkan, maka boleh memboikot. Namun apabila ia mengetahui atau mempunyai sangkaan kuat tidak akan terwujud maslahat/perbaikan dengan boikotnya, maka tidak boleh lakukan boikot tersebut.

Kelima, dalam perkataan Nabi ﷺ, “Jangan diantara kalian melakukan transaksi harta yang membatalkan transaksi orang lain”. Yang dimaksudkan adalah larangan transaksi harta/finansial seluruhnya dengan berbagai macam bentuk transaksinya (tidak hanya dalam jual beli, dapat dalam transaksi sewa menyewa, memperkerjakan orang lain dan transaksi-transaksi finansial lainnya, baik profit oriented seperti contoh-contoh sebelumnya ataupun tidak seperti pemberian hadiah), bahwa seorang muslim tidaklah dapat mengalahkan saudaranya setelah berlangsungnya akad dari saudaranya.”.

Karena Setiap Muslim adalah Bersaudara

Syaikh Dr. Shalih Al-‘Ushami hafizhahullahu ta’ala melanjutkan penjelasannya, “Kemudian Nabi ﷺ mengiringi 5 larangan yang telah disebutkan dengan 1 hal, beliau bersabda, ‘Jadilah kalian wahai hamba-hamba Allah orang-orang yang bersaudara’. Sabda beliau ini dimungkinkan dimaknai kepada 2 makna:

Pertama, kalimat tersebut adalah kalimat perintah, yang tidak diinginkan dengannya makna hakikinya, namun yang diinginkan dengannya adalah kalimat berita. Yaitu artinya, apabila kalian menjauhi saling hasad, saling najsy, saling membenci, saling membelakangi, dan tidak melakukan transaksi harta yang membatalkan transaksi orang lain, maka kalian akan menjadi hamba-hamba Allah ﷻ yang bersaudara.

Kedua, kalimat tersebut adalah kalimat perintah yang diinginkan dengannya adalah makna hakikinya, yaitu perintah. Yaitu artinya, jadilah wahai hamba-hamba Allah ﷻ orang-orang yang bersaudara. Ini adalah perintah untuk mewujudkan semua sebab yang mewujudkan persaudaraan karena agama (sebab-sebab yang disebutkan sebelumnya) dan menguatkannya.

Nabi ﷺ bersabda, “Muslim adalah saudara muslim lainnya” adalah persaudaraan yang diikat karena agama. Lalu beliau melanjutkan sabdanya dengan penyebutan hak-hak yang termasuk hak-hak persaudaraan muslim yang paling penting, beliau bersabda, ‘Tidak menzaliminya, tidak membiarkannya dizalimi, tidak membohonginya, dan tidak merendahkannya’.

Lalu Nabi ﷺ berkata, ‘Takwa itu letaknya di sini –beliau mengisyaratkan ke arah dadanya sebanyak tiga kali-‘. Artinya, pondasi takwa letaknya ada di dalam hati. Sehingga dari sana Nabi ﷺ mengisyaratkan ke arah dadanya, untuk menunjukkan tempat tinggal asli dari takwa berada di dalam hati seorang hamba, yang mana letak dari hati (jantung) itu berada di dalam dada.

Penyebutan faktor yang dengannya seseorang dapat tercegah dari jiwa merendahkan orang lain, dengan memberi tahu jiwa bahwa yang menjadi penilaian adalah yang menjadi substansi/inti, bukanlah pada apa yang tampak. Sehingga boleh jadi orang itu rambutnya acak-acakan, pakaiannya berdebu dan diusir di berbagai pintu, namun seandainya apabila ia meminta sesuatu kepada Allah ﷻ, niscaya Allah ﷻ akan langsung mengabulkannya. Oleh karena itu, siapa yang memandang seseorang dengan tampilan rupanya yang lahiriah, maka ia tidak akan menganggap orang itu memiliki nilai apapun. Sehingga dengan disebutkan pada sabda Nabi ﷺ, ‘Takwa itu letaknya di sini –beliau menunjuk ke arah dadanya tiga kali-‘ terdapat peringatan dari merendahkan orang lain dikarenakan tampilan lahiriahnya.”.

Buruknya Sikap Merendahkan Sesama Muslim

Di akhir penjelasannya, Syaikh Dr. Shalih Al-‘Ushaimi hafizhahullahu ta’ala menjelaskan, “Sabda Nabi ﷺ sebagai penjelasan tentang sangat berbahanya tindakan merendahkan seorang muslim dengan sabda beliau, ‘Cukuplah seseorang itu jahat dengan merendahkan saudaranya sesama muslim’. Ketahuilah betapa kerasnya kalimat ini bagi siapa yang memikirkannya. Yaitu seseorang menjadi wadah kejelekan dan kejahatan akibat merendahkan muslim lainnya.

Lalu Nabi ﷺ  tutup sabda beliau ini dengan kalimat yang menghentikan orang yang berbuat jahat dengan menjelekkan sesama muslim, beliau bersabda, ‘Setiap muslim itu haram mengganggu muslim lainnya, baik mengganggu darah, harta, kehormatan dan nama baiknya.[2]. (Faidah transkrip kajian online Syarah Al-Arbain An-Nawawi bersama Ustadz Aris Munandar, S.S., M.PI. hafizhahullahu ta’ala)

 

[1]  Markaz Tafsir li Ad-Dirasati Al-Qur’an. Saudi: “Al-Mukhtashar fii At-Tafsiir”. 1436/2015. Hal. 516

[2] Syaikh Dr. Shalih bin ‘Abdullah bin Hamad Al-‘Ushaimi. Madinah: ”Syarh Al-Arba’in An-Nawawi”. 1436 H. Hal. 100-103

*Abdurrahman Triadi Putro

S1 Teknik Pertanian dan Biosistem UGM

Mutiara Hikmah

Nabi Muhammad ﷺ bersabda,

لا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

Tidaklah beriman seseorang dari kalian sehingga dia mencintai (kebaikan) untuk saudaranya sebagaimana dia mencintai untuk dirinya sendiri.” (H.R. Bukhâri dan Muslim)

Download Buletin klik disini

Mencari Keadilan Yang Sempurna Di Dunia?

Mencari Keadilan Yang Sempurna Di Dunia?

Bismillâhi walhamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alârasûlillâh,

Pembaca yang di rahmati Allah ﷻ, beberapa hari ini kita dihebohkan dengan pemberitaan kasus kekerasan dimana butuh waktu yang lama untuk menangkap pelakunya. Akan tetapi, tuntutan hukuman untuk pelaku tersebut dianggap tidak adil dan tidak memuaskan. Banyak kita temukan di kolom komentar berbagai sosial media perkataan seperti “Nyari pelakunya lebih lama daripada hukumannya”, “Wah karena dianggap gak sengaja hukumannya singkat, enak banget”, “Semakin terlihat hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas”, dan sejenisnya yang pada intinya menganggap hukuman untuk kasus tersebut tidak adil dan tidak setimpal karena telah mengakibatkan korban mengalami cacat pada fisiknya seumur hidup.

Disini penulis tidak akan berkomentar apapun tentang kasus tersebut. Akan tetapi perlu kita ingat dan ketahui bahwa tidak akan pernah kita temukan keadilan yang sempurna di dunia ini. Ketidaksempurnaan itulah ciri khas dunia ini dan setiap apa yang ada di dunia ini ada masanya.

Keadilan yang Sempurna Hanya Milik Allah ﷻ

Allah ﷻ adalah Rabb yang Maha Adil, dimana keadilan tersebut berdasarkan ilmu yang sempurna. Allah ﷻ berfirman, “Sesungguhnya tidak ada sedikitpun urusan langit ataupun bumi yang tersembunyi bagi Allah” (Q.S. ali-’Imran [3]: 5). Maka keadilan Allah ﷻ adalah keadilan yang sempurna yang tidak ada yang tersembunyi di atas-Nya. Sehingga Allah ﷻ tidak akan menghukum kecuali dengan alasan yang benar. Dan Allah ﷻ tidak akan menghukum kecuali telah menerangkan, mana yang benar dan mana yang salah. [1]

Adapun di dunia kita tidak akan pernah mendapatkan keadilan yang sempurna sebagaimana keadilan Allah ﷻ, karena terkadang manusia bisa berbuat adil dan bisa saja berbuat zhalim. Maka hendaknya kita tidak perlu terlalu pusing memikirkan ketidakadilan yang kita temui di dunia ini karena Allah ﷻ yang akan membalas setiap perbuatan dengan balasan yang setimpal di hari akhir nanti.

Tidak Ada yang Tersembunyi di Hadapan Allah ﷻ

Di akhirat nanti, Allah ﷻ akan membalas seluruh perbuatan yang kita lakukan di dunia, termasuk perbuatan zhalim dan perbuatan ketidakadilan. Walaupun perbuatan tersebut amat kecil dan amat tersembunyi pasti akan terlihat dan dibalas oleh Allah ﷻ. Hal ini sesuai dengan kaidah dalam agama kita yaitu al-jaza min jinsil amal yang artinya “Balasan akan didapat sesuai dengan amal perbuatan”. Orang yang berbuat baik, akan mendapat balasan kebaikan. Dan orang yang berbuat jahat, akan mendapat balasan yang buruk. [2]

Allah ﷻ berfirman, “Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).” (Q.S. ar-Rahman [55]: 60). Allah ﷻ juga berfirman, “Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah.” (Q.S. an-Nisâ’[4]: 123).

Luqman menasihati anaknya bahwa setiap perbuatan baik maupun perbuatan buruk akan ada balasannya kelak di hadapan Allah ﷻ, sesuai dengan firman-Nya, “(Luqman berkata): “Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui” (Q.S. Luqman [31]: 16).

Ibnu Katsir rahimahullâh berkata, “Ini adalah wasiat yang amat berharga yang Allah ceritakan tentang Lukman Al Hakim supaya setiap orang bisa mencontohnya. Kezhaliman dan dosa apa pun walau seberat biji sawi, pasti Allah akan mendatangkan balasannya pada hari kiamat ketika setiap amalan ditimbang. Jika amalan tersebut baik, maka balasan yang diperoleh pun baik. Jika jelek, maka balasan yang diperoleh pun jelek” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 11: 55)[3]

Asy Syaukani rahimahullâh menerangkan, “Meskipun kejelekan dan kebaikan sebesar biji (artinya: amat kecil), kemudian ditambah lagi dengan keterangan berikutnya yang menunjukkan sangat samarnya biji tersebut, baik biji tersebut berada di dalam batu yang jelas sangat tersembunyi dan sulit dijangkau, atau di salah satu bagian langit atau bumi, maka pasti Allah akan menghadirkannya (artinya: membalasnya)” (FathulQodir, 5: 489)[3]

Allah ﷻ juga berfirman, “Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikit pun. Dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawi pun pasti Kami mendatangkan (pahala)nya. Dan cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan” (Q.S. al-Anbiya’ [21]: 47)

Juga serupa dengan firman Allah ﷻ yang lain, “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula” (Q.S. al-Zalzalah [99]: 7-8)

Walaupun kezhaliman tersebut sangat tersembunyi, Allah ﷻ akan tetap membalasnya. Karena Allah ﷻ berfirman, “Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui” (Q.S. Luqman [32]: 16)

Pada hari ketika nanti manusia dihisab di akhirat, tidak ada yang tersembunyi di hadapan Allah ﷻ sesuai dengan firman-Nya, “Pada hari itu kamu dihadapkan (kepada Tuhanmu), tiada sesuatupun dari keadaanmu yang tersembunyi (bagi Allah).” (Q.S. al-Haqqah [69]: 18)

Tetaplah Berusaha untuk Berbuat Adil

Walaupun tidak akan pernah kita temukan keadilan yang sempurna di dunia ini, hendaknya kita tetap berusaha untuk berbuat adil setiap saat karena yang demikian itu merupakan perintah dari Allah ﷻ sesuai dalam firman-Nya, “Dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Q.S. al-Hujurât [49]: 9].

Bila dua kelompok dari orang-orang yang beriman bertikai, maka kalian (wahai orang-orang beriman) harus mendamaikan mereka, dengan menyeru mereka agar berhakim kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah ﷺ dan rela menerima hukum keduanya. Bila salah satu dari kedua kelompok melanggar dan menolak seruan kepada Allah ﷻ dan Rasulullah ﷺ, maka perangilah mereka hingga mereka kembali kepada hukum Allah ﷻ dan Rasulullah ﷺ. Bila mereka telah kembali, maka damaikanlah mereka dengan adil. Berlaku adillah dalam hukum kalian, jangan melampaui hukum Allah ﷻ dan Rasulullah ﷺ dalam mengambil keputusan. Sesungguhnya Allah ﷻ mencintai orang-orang yang berlaku adil dalam hukum mereka yang memutuskan dengan keadilan diantara makhlukNya. Dalam ayat ini terdapat penetapan sifat “mahabbah” bagi Allah ﷻ secara hakiki sesuai dengan keagungan Allah subhanahu wata’ala. [4]

Di ayat lain Allah ﷻ berfirman, “Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. al-Maidah [5]: 8).

Ibnu Qayyim rahimahullah menukil ucapan seorang ulama salaf yang menafsirkan sikap adil dalam ayat ini, beliau berkata, “Orang yang adil adalah orang yang ketika dia marah maka kemarahannya tidak menjerumuskannya ke dalam kesalahan, dan ketika dia senang maka kesenangannya tidak membuat dia menyimpang dari kebenaran.” (Ar-Risalatut tabuukiyyah, hal.33) [5]

Sekali lagi, keadilan yang sempurna di dunia adalah mimpi yang tidak akan pernah menjadi kenyataan karena keadilan yang sempurna hanya milik Allah ﷻ yang Maha Adil. Semoga kita dimudahkan untuk berbuat keadilan dalam segala sesuatu dan dalam setiap waktu, serta dimudahkan dalam beramal kebaikan kepada Allah ﷻ dan menjauhi segala yang dilarang oleh Allah ﷻ.

Galih Enggartyasto

Teknik Mesin 2017

FTI UII

Marâji’

[1] https://bimbinganislam.com/apa-perbedaan-keadilan-allah-dan-keadilan-manusia/

[2] https://firanda.com/724-balasan-sesuai-perbuatan.html

[3] https://rumaysho.com/2373-nasehat-lukman-pada-anaknya-5-setiap-perbuatan-akan-dibalas.html

[4] https://tafsirweb.com/9779-quran-surat-al-hujurat-ayat-9.html

[5] https://muslim.or.id/6169-atasi-marahmu-gapai-ridho-rabbmu.html#_ftn12

Mutiara Hikmah

Rasulullah ﷺ bersabda,

لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِى يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ

Bukanlah orang kuat (yang sebenarnya) dengan (selalu mengalahkan lawannya dalam) pergulatan (perkelahian), tetapi tidak lain orang kuat (yang sebenarnya) adalah yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah” (H.R. al-Bukhari no. 5763 dan Muslim no. 2609).

Download Buletin klik disini

Strategi Bisnis Islam Di Tengah Pandemi Covid-19

Strategi Bisnis Islam Di Tengah Pandemi Covid-19

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Islam merupakan salah satu agama universal, ia mewajibkan pemeluknya khususnya yang memiliki tanggungan untuk bekerja. Bekerja merupakan salah satu sebab pokok yang memungkinkan manusia memiliki harta kekayaan agar bisa melapangkan bumi. Allah ﷻ sudah menyediakan berbagai fasilitas yang dapat dimanfaatkan manusia untuk mencari rezeki di bumi ini,  hal ini sudah termaktub dalam al-Qur’an surat al-Mulk ayat 15, “Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (Q.S al-Mulk: [67]: 15).

Salah satu fitrah manusia ialah membutuhkan harta untuk mencukupi segala kebutuhan hidupnya. Sudah lazim jika manusia akan bekerja untuk memperoleh harta kekayaan tersebut, salah satu dari ragam bekerja ialah berbisnis. Kenapa berbisnis? Karena berbisnis merupakan salah satu pekerjaan yang sangat dianjurkan dalam Islam, bahkan nabi Muhammad sebagai Rasul Allah saja sudah berbisnis sejak usianya masih belia. Rasululah ﷺ  merupakan bukti dan contoh nyata bagi umat Islam dalam berbisnis. Kesuksesan beliau dalam menjalankan bisnis tidak diragukan lagi, bahkan cara dan strategi berbisnis beliau dikagumi para tokoh Quraisy pada masanya.

Pada dasarnya Strategi merupakan salah konsep yang mencangkup perencanaan dan pengambilan keputusan untuk mencapai tujuan organisasi atau bisnsi yang sedang dilakukan. Dalam Islam manajemen strategis dikendalikan oleh nilai-nilai transendental (aturan halal-haram), baik dari cara pengambilan keputusan sampai implementasinya. Berbeda dengan manajemen strategis konvensional, manajemen strategis non Islami (konvensional) tidak memperhatikan aturan halal-haram dalam setiap perencanaan, pelaksanaan dan segala usaha yang dilakukan dalam meraih tujuan organisasi.

Perencanaan Strategi Bisnis

Perencanaan terkait strategi bisnis bukanlah sesuatu yang instan, terdapat beberapa proses di dalamnya, diantaranya;

Pertama, perencanaan strategi ( strategi Planning) yang merupakan proses penentuan tujuan kemudian mengevaluasi berbagai kondisi berdasarkan sudut pandang yang luas untuk menentukan target dalam jangka panjang,

Kedua, perencanaan taktis ( tactical planning) pelaksanaan apa yang telah ditentukan ketika strategi strategis dalam jangka waktu pendek, dan ketiga;  perencanaan operasioanal (operational planning) merupakan penetapan standar terperinci yang mengarah kepada pengimplementasian rencana taktis seperti pemilihan target kerja spesifik atau penugasan tim atau karyawan untuk pelaksanaan rencana tersebut.

Ketiga, perencanaan tersebut akan dilanjutkan pada tahap implementasi dalam bentuk tindakan (action), namun sebelumnya harus dibuat program kerja jangka pendek, anggaran yang dibutuhkan dan kebijakan-kebijakan operasional.

Mengingat kondisi saat ini, mewabahnya virus Corona (covid-19) dan beberapa kebijakan pemerintah untuk menekan perkembangan virus ini  membuat pola hidup masyarakat berubah, himbauan #DirumahAja membuat masyarakat cenderung melakukan berbagai akivitas di rumah saja. Kondisi demikian menjadi salah satu tantangan dan peluang bagi pembisnis atau perusahaan dalam menyusun strategi yang tepat untuk keberlangsungan bisnis mereka.

Tidak bisa dipungkiri bahwa adanya pandemi covid-19 menyebabkan banyak bisnis yang mengalami penurunan bahkan sampai gulung tikar, sebab strategi yang diterapkan tidak bisa beradaptasi dengan kondisi saat ini. Pada akhir bulan maret tercatat bahwa omset UKM (Unit Usaha Kecil dan Menengah) mengalami penurunan sampai 70%, hal ini menunjukkan bahwa dampak dari wabah Covid-19 ini sangat tinggi terhadap pelaku usaha, terutama UKM. Oleh karena itu, perusahaan atau pelaku usaha harus bisa menyusun strategi bisnis yang sesuai dengan kondisi dan situasi yang dihadapi masyarakat saat ini.

Dalam dunia Islam, adanya wabah penyakit dalam suatu negeri bukanlah hal yang baru. Pada zaman Rasulullah ﷺ  sudah pernah ada wabah penyakit, walaupun pada saat itu kondisi perekonomian kurang baik tapi Rasulullah ﷺ  berhasil mempertahankan bisnisnya. Strategi yang digunakan Nabi Muhammad ﷺ. dalam menjalankan bisnisnya tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam, beliau menghindari unsur yang bertentangan dengan syariah seperti gharar dan riba yang dapat merugikan orang lain.

Perumusan Strategi Bisnis

Beberapa strategi yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam dan bisa diterapkan pelaku usaha untuk keberlangsungan bisnis mereka selama pandemi covid-19 berlangsung antara lain;

Pertama, perusahaan harus jujur dan transparan mengenai kondisi keuangan perusahaan. Adanya transparanasi dan kejelasan mengenai kondisi perusahaan akan membuat karyawan dan pihak yang berkepentingan mengetahui kondisi perusahaan, dengan demikian semuanya bisa saling gotong royong memberikan solusi dan membantu untuk keberlangsungan bisnis yang dijalankan. Hal ini senada dengan salah satu firman Allah ﷻ, “Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebaikan dan ketakwaan. Dan janganlah tolong –menolong dalam berbuat dosa dan pelanggran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya siksa Allah sangat berat’. (Q.S. al-Maidah [5] : 2).  

Kedua, menentukan strategi yang tepat untuk bisnis yang dijalankan. Pada aspek sumber daya manusia, perusahaan bisa melakukan bipartie atau diskusi dengan karyawan mengenai kebijakannya agar kondisi perusahaan tidak memburuk, sehingga semua pihak dapat memahami dan mendukung jika perusahaan harus membuat beberapa kebijakan seperti PHK, melakukan no work no pay, dan atau tidak memperpanjang kontrak jika cash flow sedang merangkak atau mengalami kesulitan. Kendati demikian, perusahaan juga harus memberikan hak-hak pegawai yang mendapatkan dampak kurang baik dari kebijakannya.

Pada aspek pemasaran perusahaan harus bisa menggunakan teknologi secara maksimal, sebab dalam kondisi saat ini masyarakat cenderung menghabiskan waktu mereka dengan dunia digital. Selain gencar melakukan penjualan secara online, perusahaan dituntut mempunyai hubungan yang baik dengan pelanggan, bahkan perusahaan harus bisa mengambil hati pelanggan agar tetap mengkonsumsi produk yang mereka tawarkan.

Ketiga, perusahaan atau pembisnis harus bisa merumuskan strategi manajemen hubungan atau relasi agar tidak kalah saing dengan perusahaan lainnya. Ketika perusahaan bisa berkolaborasi secara baik dengan konsumen atau perusahaan lain maka dapat dipastikan strategi manajemen hubungan yang telah disusun sudah cukup baik.

Dewasa ini, tidak semua perusahaan bisa melakukan hal tersebut sehingga mereka membutuhkan bantuan dari perusahaan lainnya. Aliansi dengan perusahaan lainnya bisa membantu perusahaan mengembangkan keterampilan dan pengalaman yang dibutuhkan untuk memasuki segmen pasar baru atau meningkatkan pelayanan kepada konsumen lama. Contohnya perusahaan General Electri yang beralisi dengan perusahaan lainnya untuk meningkatkan kualitas perusahaan.

Namun, seberapa bagusnya rumusan strategi dan implementasinya tidak akan diketahui tanpa adanya penilaian atau evaluasi dan umpan balik, inilah tahapan  akhir perencanaan strategis. Penilaian atau evaluasi berpatokan kepada prosedur yang sudah ditetapkan oleh perusahaan yakni mengacu pada tolak ukur strategi dan operasional.

Evaluasi

Dalam evaluasi ini, perusahaan dituntut untuk tetap tenang dan tidak panik walaupun hasil yang diperoleh tidak sesuai dengan yang diharapkan. Jika hasil evaluasi menunjukkan kondisi perusahaan semakin memburuk maka hal utama yang dilakukan adalah berusaha tenang dan berfikir cara mengatasi kondisi tersebut. Jika perusahaan panik, maka akan berdampak kepada pegawai dan pihak-pihak yang mempunyai kepentingan dalam perusahaan seperti investor, konsumen dan lain sebagainya. Keharusan bersikap tenang ini sesuai dengan salah satu pernyataan Ibnu Sina, salah satu filsuf dan ilmuwan muslim pada abad ke 10, ia mengatakan, “Kepanikan adalah separuh penyakit, ketenangan adalah separuh obat, dan kesabaran adalah permulaan kesembuhan”.

Dari penjabaran diatas, dapat ditarik benang merah bahwa adanya wabah covid-19 menuntut pelaku bisnis bisa menyusun strategi yang tepat agar bisnis yang dijalankan tetap bisa bertahan walaupun perekonomian nasional mengalami penurunan. Strategi yang diterapkan harus sesuai dengan nilai-nilai Islam, sehingga bisnis yang dijalankan bisa bertahan dan tidak mengandung unsur yang bertentangan dengan syariah.

Nafilatur Rohmah

Mahasiswa Magister Ilmu Agama Islam

Universitas Islam Indonesia

Mutiara Hikmah

عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ قَالَ: قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الْكَسْبِ أَطْيَبُ؟ قَالَ: عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُورٍ

Dari Rafi’ bin Khadij ia berkata, ada yang bertanya kepada Nabi ﷺ: ‘Wahai Rasulullah, pekerjaan apa yang paling baik?’. Rasulullah ﷺ menjawab: “Pekerjaan yang dilakukan seseorang dengan tangannya dan juga setiap perdagangan yang mabrur (baik)” (H.R. Al Baihaqi dalam Al Kubra 5/263, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah 607)

Download Buletin klik disini

Sabar Di Era New Normal

Sabar Di Era New Normal

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

New normal sebuah kata baru yang kita dengar setelah melewati masa pandemi Covid-19 yang sudah melanda bumi kurang lebih selama empat bulan ini. Definisi new normal yang dikemukakan Pemerintah Indonesia adalah sebuah tatanan baru untuk beradaptasi dengan Covid-19. Beradaptasi yang dimaksud  melestarikan kebiasaan hidup yang baik selama pandemi ini dalam menyongsong kehidupan layaknya normal kembali, namun penuh ekstra hati-hati.

Untuk di Indonesia sendiri melirik dari updatetan informasi yang dirilis oleh gugus tugas percepatan penanganan Covid-19  per hari ini 7 Juni 2020  dapat diperoleh data kasus komulatif korban yang positif adalah sebanyak 31.186 jiwa yang tersebar dari 34 provinsi yang ada di Indonesia. Dilihat dari grafik penyebarannya, masih ada terjadi penambahan kasus namun tidak melambung tinggi. Ini menandakan  Covid-19 nya masih ada dan tetap diwaspasai penyebarannya dalam menjalani kehidupan new normal saat ini.

Sebuah keniscayaan yang tidak pernah sama sekali kita duga untuk terjadi, Covid-19 menyerang dalam kemasifan yang mengakibatkan interaksi satu dan lainnya sangat dibatasi di seantero jagad bumi. Begitu banyak himbauan dalam gerak memutus rantai penyebaran virus ini. Begitu banyak kebijakan demi kebijakan yang muncul dalam menghadapi perkara ini. Sungguh ditekankan untuk melakukan social distancing dan stay at home dengan sangat ketat menjaga kebersihan diri dan lingkungan.

Di era new normal ini banyak hal yang membuat rasa sabar dan syukur  kita harus di lejitkan. Selama pandemi ini keluar ungkapan bahwa “rasa sabar mana lagi yang harus ku pendam dalam mengagumi dirimu wahai Covid-19” bukan nyayi ya, tapi realita kehidupan yang kita hadapi bersama. Betapa tidak, bisa kita rasakan begitu kagetnya kita yang tiba-tiba bebas bergerak dalam beraktifitas sekarang begitu banyak petatah-petitihnya. Semua memang harus dijalankan dengan penuh rasa sabar agar hidup tidak terasa hambar.

Kata sabar sendiri berasal dari bahasa arab yaitu as-Shabru, merupakan masdar dari fi’il madhi yang berarti menahan diri dari keluh kesah. Ada juga yang mengatakan as-Shibru dengan mengkasrahkan shad-nya yang berarti obat yang sangat pahit dan tidak enak. Imam Jauhari memahami kata sabar yang bentuk jamaknya berupa lafad (صُبُرٌ) dengan menahan diri ketika dalam keadaaan sedih atau susah. Dari kata sabar ini dapat disarikan bahwa dalam kondisi apapun, berjuanglah untuk  menahan diri  hal yang dapat merusak keteguhan diri yang mendekatkan pada keputusasaan.

Salah satu penyebab munculnya kondisi new normal adalah jika sudah melewati masa-masa sulit dari wabah yang menglobal. Untuk abad ke-21 ini, wabah yang melanda bernama Covid-19. Perlu kita ketahui bahwa wabah juga pernah terjadi  di zaman Rasulullah ﷺ, yakni ketika Nabi ﷺ melakukan hijrah dari Makkah ke Madinah. Diceritakan saat itu di Madinah dalam keadaan buruk dengan air keruh dan penuh wabah penyakit. Nabi ﷺ pun meminta para sahabat agar menghadapi wabah itu dengan sabar dengan tetap berharap pertolongan dari Allah ﷻ.

Seperti diceritakan Aisyah, mereka yang bersabar dijanjikan syahid. “Kematian karena wabah adalah surga bagi tiap muslim (yang meninggal karenanya)”. (HR Bukhori). Jika umat muslim menghadapi hal ini, seperti yang kita hadapi sekarang, dalam sebuah hadis disebutkan janji surga dan pahala yang besar bagi siapa saja yang bersabar ketika menghadapi wabah penyakit.

Wabah lainnya yang juga pernah terjadi di zaman Rasulullah ﷺ yaitu wabah penyakit Thaun,  Rasulullah ﷺ bersabda: “Tha’un merupakan azab yang ditimpakan kepada siapa saja yang Allah kehendaki. Kemudian Dia jadikan rahmat kepada kaum Mukminin.” (HR. Bukhari). Dalam menghadapi wabah ini lagi dan lagi solusi jitu dari Rasulullah ﷺ adalah sabar mengahapi ini. Masih dalam hadits yang sama, Nabi ﷺ melanjutkan: “Tidaklah seorang hamba yang di situ terdapat wabah penyakit, tetap berada di daerah tersebut dalam keadaan bersabar, meyakini bahwa tidak ada musibah kecuali atas takdir yang Allah tetapkan, kecuali ia mendapatkan pahala seperti orang yang mati syahid.” Luar biasa balasan dari sabar ini, tidak tanggung-tanggung balasanya dari illahi Rabbi.

Ditengah keadaan yang serba terbatas untuk beraktifitas, sabar ialah sebuah pilihan sikap yang tepat dalam kondisi yang kita hadapi sekarang dalam menyongsong kehidupan new normal ini dan ketahuilah bahwa Allah ﷻ telah menjanjikan pahala berlimpah bagi hamba-Nya yang bisa bersabar. Allah ﷻ berfirman “Hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas..” (Q.S az-Zumar [39]: 10). Apalagi yang kita cari di dunia ini dalam beribadah kepada-Nya, ialah curahan pahala yang dapat menentramkan kehidupan yang sedang direnda di dunia menuju keabadian akhirat yang kelak semoga Allah ﷻ memberikan balasan syurga-Nya.

Tiada habisnya jika diperturutkan kemauan untuk berkeluh kesah dan berlama-lama larut di dalamnya, kenyataan bahwa dengan hadirnya Covid-19 menghampiri kehidupan banyak hal yang luput. Ada yang kehilangan pekerjaan sampai diberhentikan bekerja, ada yang usahanya harus ditutup, ada yang kehilangan sosok yang dicintai, ada yang harus terpisah oleh alasan yang menyayat hati dan lainnya, tapi dibalik itu semua banyak hal positif juga yang dapat kita ambil dan  perlu disibak firman Allah ﷻ lainnya yang mendamaikan jiwa yaitu “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir“. (Q.S al-Baqarah [2]: 286).

Ayat di atas mengisyaratkan kepada kita bahwa Allah ﷻ tidak akan membebani seorang hamba dimana hamba tersebut tidak sanggup memikul bebannya.  Ini menandakan bahwa ujian pandemi ini dalam kesanggupan kita dan kita beriktiar maksimal dalam mengahadapinya.

Sabar memang mudah untuk diucapkan, tetapi belum tentu mudah juga dalam kita mempraktekannya. Dalam menjalani kehidupan ini, banyak hal yang membuat kita harus sabar dan menjauhi kemarahan. Harus ada azam yang kuat di hati dalam menyadarkan diri agar tidak mudah berkeluh kesah. Menghadapi itu semua kita butuh pertolongan dari Allah ﷻ bukan?. Sesungguhnya kita tidak dibiarkan sendirian dan tanpa bantuan oleh Allah ﷻ dalam mengupayakan sabar yang sulit ini.  Allah ﷻ berfirman “Mintalah pertolongan dengan sabar dan mengerjakan shalat sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (Q.S al-Baqarah [2]: 153).

Selain sabar ada amalan sholat yang harus juga dijaga bagi seorang muslim, sholat bisa menjadi pelancar dari kesempitan menuju kelapangan, dari  kesusahan menjadi kemudahan. Allah ﷻ kuasa atas semua itu.

Sabar bukan amalan biasa bagi seorang muslim. Begitu beratnya melakukan ini tapi bukan berarti tidak bisa juga untuk dilakoni. Seseorang yang selalu berupaya untuk sabar dalam hidupnya, sejatinya ia sedang merangkai kemenangan dalam menjalani fase pembentukan pribadi yang lebih baik lagi dan akan menemukan kemudahan-kemudahan dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Allah ﷻ mengatakan bahwa orang yang bersabar itulah orang yang menang. Allah ﷻ berfirman “Sesungguhnya Aku memberi balasan kepada mereka di hari ini, karena kesabaran mereka; sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang menang.” (Q.S. al- Mu’minun [23]: 111).

Semoga kita semua dapat memetik hikmah dari situasi new normal ini dengan sikap sabar yang kita pilih dan dapat mengecap manisnya pahala sabar dari apa yang telah dijanjikan Allah ﷻ dalam berbagai firman-Nya di kondisi yang sekarang ini. Tidak akan rugi dan akan mendapatkan kebahagiaan yang hakiki untuk dunia dan akhirat nanti insyaallah.[]

Marâji’

  1. https://islami.co/sabar-itu-apa-sih-ini-lima-makna-sabar-dalam-al-quran/
  2. https://www.tagar.id/pandemi-corona-dan-kisah-wabah-penyakit-zaman-nabi
  3. https://www.medcom.id/nasional/peristiwa/VNx4QWDN-lima-cara-rasulullah-menghadapi-wabah-dan-penderita-penyakit-menular

Darnela Putri

Magister Ekonomi Islam

Universitas Islam Indonesia

Mutiara Hikmah

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sabar adalah meneguhkan diri dalam menjalankan ketaatan kepada Allah, menahannya dari perbuatan maksiat kepada Allah, serta menjaganya dari perasaan dan sikap marah dalam menghadapi takdir Allah….” (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24)

Download Buletin klik disini

Covid 19 Merupakan Ujian Atau Siksaan ?

Covid 19 Merupakan Ujian Atau Siksaan ?

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Allah ﷻ yang Maha menciptakan segala sesuatu yang tidak akan diketahui hamba-Nya, termasuk virus Corona ini tidak ada satupun makhluk Allah ﷻ yang menduga akan datangnya virus ini, tentunya hal ini sangat mengubah kehidupan manusia yang seharusnya bisa bekerja, sekolah dan silaturahmi secara langsung menjadi berubah karena harus saling menjaga jarak dan berjauhan.

Kemunculan virus ini dimulai dari kota Wuhan RCC sekitar akhir tahun 2019, pada awalnya manusia banyak menduga-menduga hal ini terjadi karena pola hidup mereka, makanan yang dikonsumsi dan hal lainnya yang menyebabkan datangnya virus Corona dan menjadi siksaan atas perbuatan mereka.

Hampir semua orang termasuk beberapa kaum muslim yang awam menganggap datangnya wabah penyakit ini sebagai siksaan untuk mereka, namun sampai saat ini virus Corona masih terus menyebar sampai ke negara muslim, termasuk Indonesia bahkan Arab Saudi, dan jika dikatakan virus ini sebagai siksaan tentu Allah ﷻ akan mendahulukan menolong hamba-Nya yang taat, sebagaimana ketika Allah ﷻ hendak menurunkan siksaan pada kaum Nabi Nuh ‘laihisalaam berupa banjir yang besar, namun sebelum itu Allah ﷻ memerintah Nabi Nuh ‘alaihisalaam untuk membuat perahu dan mengajak kaumnya yang beriman untuk naik bersamanya, disini adalah bukti jika Allah ﷻ hendak menurunkan siksaan atas suatu kaum, pasti Allah ﷻ akan menyelamatkan terlebih dahulu hamba-hambaNya yang beriman.(Shihab, 2020)

Kenyataan yang dapat dirasakan saat ini, mereka yang terdampak virus Corona tidak hanya non-muslim tetapi banyak juga dari umat muslim yang terdampak dengan virus tersebut, maka dari itu virus ini dikatakan sebagai ujian, sebagaimana Allah ﷻ telah berfirman, “Hati-hatilah / peliharalah dirimu dari ujian yang  tidak hanya menimpa orang-orang yang zhalim di antara kamu dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras dengan siksaNya” (Q.S Al-Anfal [8]: 25)

Ayat di atas menekankan bahwa Allah ﷻ menurunkan ujian tidak hanya kepada mereka yang zhalim tetapi ujian itu Allah ﷻ turunkan juga kepada mereka yang beriman, hal  ini tentu Allah ﷻ memiliki tujuan tertentu sebagaima dalam al-Qur’an, “Sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kamu agar Kami mengetahui  (dalam kenyataan) orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kamu, dan agar Kami menyatakan (baik buruknya) hal  ihwalmu” (Q.S Muhammad [47]: 31)

Disamping itu Sayyidina Ali bin Abi Thalib pernah berucap, ”Jika ada musibah, dan menimpa yang durhaka, maka itu adalah adab/ pendidikan. Apabila menimpa yang taat maka itu adalah ujian” layaknya seperti ujian yang ditimpakan kepada Nabi atau Rasul maka itu adalah peningkatan derajat dan kedekatan pada Allah, jika ujian dijatuhkan untuk para wali maka itu adalah penghormatan untuknya. Maka dari itu ujian yang ditimpakan kepada mereka yang taat tidak lain untuk menguji kesabaran dan ketaatannya terhadap Allah ﷻ.” (Shihab, 2020)

Sikap Umat Muslim Menghadapi Covid 19

Sikap umat muslim sebagai yang taat kepada perintah Allah subhânahu wa ta’âla, tentu juga menghargai kebijakan dan ketentuan yang dibuat oleh para ahli selagi tidak bertentangan dengan syariat Islam. Setelah kemunculan wabah virus Corona, para ahli kesehatan menganjurkan untuk tetap menjaga ketahan fisik, mempersiapkan mental yang kuat.

Selain itu para ulama pun ikut menganjurkan untuk mengikuti tuntunan ajaran Islam, ketika dihadapkan suatu penyakit tetaplah untuk berdo’a dan meminta kesembuhan kepada yang Maha menyembuhkan Allah Subhanahu wa Ta’ala,  dan hal ini pernah diucapkan Nabi Ibrahim n dan termaktub dalam al-Qur’an, “Dan apabila aku sakit, Dialah (Allah) yang menyembuhkan aku” (Q.S Asy-Syu’ara [26]: 80)

Tindakan sebagai umat muslim  yang baik tentu dengan meyakini bahwa kekuatan do’a sangatlah luar biasa. Di tengah ujian duniawi dengan berserah diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan meminta pertolongan kepada-Nya, tentu akan membuat hati merasa tenang dan memberikan kekuatan batin dalam menghadapi suatu penyakit dan akan hilang rasa cemas. Hal itu tentu sangat dibenarkan karena berpengaruh kepada mental seseorang, dengan berdo’a mendekatkan diri pada Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menguatkan hati yang berdo’a dan memberikan energi positif sehingga tidak mudah merasa takut dan cemas. (Shihab, 2020)

Semua Atas Kehendak Allah l

Allah l berfirman, “Tiada suatu bencana pun yang  menimpa di bumi dan (tidak pula)pada dirimu sendiri melainkan telah  tertulis dalam kitab (Lawh mahfudz) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Q.S. Al-Hadid [57] : 22)

Ayat diatas menunjukan bahwa segala sesuatu yang  terjadi adalah yang sudah dikehendaki-Nya, maka dari itu sebagai umat muslim harus mempercayai adanya “Qada” yaitu ilmu Allah menyangkut segala sesuatu sebelum terjadinya dan “Qadar” terjadinya sesuatu dalam kenyataan sesuai dengan ilmu-Nya dan sesuai dengan kehendak dan ukuran yang  telah ditetapkan Allah l. Maka dari semua yang terjadi atas umat manusia di muka bumi ini adalah yang telah Allah kehendaki.

Kehendak Allah tercermin melalui kadar yang telah ditetapkan-Nya, dimana manusia telah ditetapkan takdirnya tetapi diberi kebebasan dalam ruang takdir tersebut, manusia bisa beralih takdir dari takdir yang sebelumnya ke takdir Allah yang lain. Seperti Allah memberikan kehendaknya agar manusia dapat selalu sehat, tetapi hal itu bisa saja berubah seiring dengan proses hidup manusia tersebut apakah dapat menjaga kesehatannya atau tidak. Seperti wabah virus Corona ini memang terjadi atas izin Allah dan Allah juga yang menurunkan obatnya tapi bukan berarti manusia bebas melakukan apa saja tanpa ikhtiar di dalamnya, manusia tetap harus berusaha menghindari penyakit ini dan tetap berserah diri kepada Allah dan takdirNya.(Shihab, 2020)

Hikmah Dibalik Musibah 

Allah menurunkan musibah yang menjadi ujian bagi hampir seluruh manusia, datangnya ujian ini tidak membenarkan kita untuk protes dan menggerutu dengan keaadaan saat ini, tapi mari telaah bersama hikmah dibalik musibah ini, seperti:

  1. Mempelajari tuntunan agama, sehingga menyadari bahwa pentingnya berdo’a karena hanya Allah l yang mampu menolong atas segala musibah yang menimpa manusia,
  2. Menyebarnya virus ini, menuntut untuk terus berdiam di rumah, maka ini memberikan kesempatan untuk bagi kita untuk lebih dekat dengan keluarga, melakukan banyak kegiatan positif seperti mengaji bersama keluarga, mengajari anak atau saudara di rumah dan lainnya,
  3. Bagi mereka yang merenungi akan tersadar bahwa manusia adalah makhluk lemah dan memiliki keterbatasan, sehingga tidak akan muncul sifat-sifat yang ujub,
  4. Adanya musibah ini memberikan kesadaran bagi manusia, bahwa sesama manusia itu satu, bagaikan satu tubuh apabila salah satu anggota tubuh sakit maka seluruh anggota tubuh akan merasa sakit juga, maksudnya jika saudara kita terkena virus ini, maka tidak sedikit dari kita dan saudara lainnya membantu dan saling mendo’akan,
  5. Menyadarkan manusia bahwa kenikmatan material bukannlah segalanya,
  6. Menyadarkan manusia bahwa hidup itu sangat berharga, sehingga selalu mensyukuri keadaan apapun.(Shihab, 2020)

Dari beberapa hikmah di atas, masih banyak hikmah lainnya yang kita dapatkan selama pandemi ini, maka sepatutnya bagi umat muslim untuk tetap bersabar, berdo’a dan perbanyak amal kebaikan, karena ujian ini diturunkan kepada umat muslim untuk menguji seberapa sabar dan taat kita kepada Allah l.

Mari saling mendo’akan tolong menolong karena kita semua satu, tidak berbeda dan libatkan Allah dalam setiap keadaan.

Marâji’

Shihab, M. Q. (2020). Corona Ujian Tuhan, Sikap Muslim Menghadapinya (1st ed.). Tangerang Selatan: Lentera Hati.

Lia Ananda Haenida 

PAI UII 2017

Mutiara Hikmah

Dari Anas bin Malik a, Nabi ` bersabda,

إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدِهِ الْخَيْرَ عَجَّلَ لَهُ الْعُقُوبَةَ فِى الدُّنْيَا وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدِهِ الشَّرَّ أَمْسَكَ عَنْهُ بِذَنْبِهِ حَتَّى يُوَفَّى بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Jika Allah menginginkan kebaikan pada hamba, Dia akan segerakan hukumannya di dunia. Jika Allah menghendaki kejelekan padanya, Dia akan mengakhirkan balasan atas dosa yang ia perbuat hingga akan ditunaikan pada hari kiamat kelak.” (H.R. Tirmidzi no. 2396, hasan shahih kata Syaikh Al Albani).

Jagalah Ketulusan Hati

Jagalah Ketulusan Hati

Bismillâhi walhamdulillâhi wash shalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh.

Pembaca yang semoga dirahmati Allah ﷻ. Hati merupakan organ yang memiliki fungsi yang agung bagi manusia. Hati merupakan bagian penting dari tubuh manusia, dalam membedakan nilai sebuah amalan seseorang. Hati diibaratkan sebagai raja, sedangkan anggota tubuh lainnya diibaratkan sebagai prajuritnya. Jika rajanya baik dalam memimpin, maka prajuritnya akan baik pula dalam menjalankan tugasnya. Begitupun sebaliknya, jika rajanya buruk dalam memimpin, maka prajuritnya pun akan kacau dan buruk dalam melaksanakan tugasnya.

Standar Baik dan Buruknya Amalan

Standar baik buruknya amalan seseorang, ditentukan oleh keadaan hatinya. Jika hatinya baik, maka akan baik pula amalan anggota tubuh lainnya. Namun, jika hatinya buruk, akan buruk pula amalan anggota tubuh lainnya. Rasulullah ﷺ bersabda, “Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging. Jika ia baik, seluruh tubuh baik. Jika ia rusak, seluruh tubuh juga rusak. Ketahuilah (segumpal daging) itu ialah hati..”            (H.R. Muslim).[1]

Bagaimana hati bisa mempengaruhi amalan seseorang? Amalan hati yang dimaksud disini, yang dengannya menentukan seberapa bernilainya amalan anggota badan adalah niat. Niat juga merupakan pembeda antara ibadah dan mu’amalat, antara ibadah dengan rutinitas (aktifitas duniawi) seseorang serta antara ibadah sunnah dan wajib. Niat yang ikhlas karena Allah ﷻ merupakan komponen yang penting dalam suatu amalan dan sebagai salah satu syarat diterimanya ibadah seseorang disisi Allah ﷻ  disamping ittiba’ pada Rasulullah ﷺ.

Semua perbuatan baik yang diiringi dengan niat ikhlas karena Allah ﷻ, maka in sya Allah perbuatan tersebut bernilai ibadah disisi Allah ﷻ. Pahala yang akan diterima seseorang pun tergantung dengan seberapa kadar keikhlasan dalam niatnya.

Nilai Sebuah Amalan Tergantung Niatnya

Dari Amirul Mukminin Abu Hafsh, Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Sesungguhnya semua perbuatan tentu didasari oleh niat, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkannya. Barangsiapa hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa yang hijrahnya karena harta dunia yang hendak diraihnya atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya (bernilai) sesuai dengan yang diniatkannya.’” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Dalam hadits tersebut menunjukkan pentingnya ikhlas dalam melakukan setiap amalan, dan tidak ada orang lain yang mengetahui keikhlasan seseorang, karena sejatinya niat yang ikhlas itu terletak di dalam hati. Namun, seseorang yang menanamkan keikhlasan di hatinya dalam melaksanakan amalannya, maka otomatis akan terlihat baik pula secara dzohirnya, sebagaimana perkataan ulama salaf, “Siapa yang memperbagus sarirohnya (amalan hati/batinnya), maka Allah ﷻ akan memperbagus alaniyyahnya (amalan anggota badannya)” [2][2].

Apa-apa yang diniatkan ikhlas karena Allah ﷻ akan mendatangkan juga keridhoan dan pahala dari Allah ﷻ. Selain itu, ketika ia memperoleh sesuatu yang ia niatkan, maka ia tidak akan berbangga diri serta mensyukurinya, dan apabila ia tidak mendapatkannya, ia tak pula bersedih hati dan merasa lapang dengan hal itu karena ia memahami bahwa segala sesuatu sudah Allah ﷻ tentukan kebaikan di dalamnya. Begitulah agungnya jika sesuatu diniatkan karena Allah ﷻ.

Sebaliknya, jika sesuatu yang dilakukan hanya diniatkan untuk perkara dunia, dalam arti tidak ikhlas karena Allah ﷻ, maka ia akan memperoleh sebatas apa yang dia niatkan. Bahkan, amalan yang ia kerjakan tidak memberikan manfaat baginya di akhirat dan akan menimbulkan kesia-siaan belaka.  Allah ﷻ berfirman, “Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan” (Q.S. Hud [11]: 15-16).

Hati yang Ternodai

Dalam melakukan suatu amalan, ada kalanya di awal kita sudah meniatkan ikhlas karena Allah ﷻ. Namun, tanpa disadari di tengah-tengah kita melakukan amalan, muncul penyakit hati berupa riya’. Riya’ adalah seseorang melakukan suatu amalan agar orang lain bisa melihatnya kemudian memuji dirinya, termasuk di dalamnya sum’ah yaitu melakukan suatu amalan agar orang lain mendengar apa yang ia lakukan.

Penyakit ini amatlah berbahaya bagi seseorang, yang mana dapat merusak sebuah niat sekaligus menghapuskan amalan yang disertai riya’ didalamnya. Riya’ tergolong ke dalam syirik kecil, bahkan bisa masuk ke dalam kategori syirik besar apabila dalam niatknya tidak ada sedikitpun kerena Allah ﷻ, hanya karena pujian dan sanjungan semata.

Ulama memberikan klasifikasi terkait amalan yang disertai riya’. Seseorang yang beribadah dengan maksud pamer kepada orang lain, maka ibadahnya batal dan tidak sah. Namun jika riya’ atau sum’ah muncul si tengah ibadah, maka ada dua keadaan. Jika amalan ibadah tersebut berkesinambungan dari awal hingga akhir, misalnya sholat, maka riya’ akan membatalkan ibadah tersebut jika seseorang tidak berusaha menghilangkannya dan tetap ada dalam ibadah tersebut. Keadaan yang kedua adalah amalan yang tidak berhubungan antara bagian awal dan akhir, shodaqoh misalnya. Apabila di sebagian shodaqohnya ada unsur riya’, maka shodaqoh yang tercampuri riya’ tersebut batal, sedangkan yang lain tidak [3].

Oleh karena itu, penting bagi kita untuk selalu menjaga kesucian hati dari noda-noda riya’ dan sum’ah yang dapat menodai amalan disebabkan rusaknya niat dalam hati. Rasulullah ﷺ  telah mengajarkan kepada kita sebuah doa untuk melindungi diri kita dari syirik besar maupun syirik kecil, “….Allahumma inni a’udzubika an usyrika bika wa ana a’lam wa astaghfiruka lima laa a’lam (‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan syirik yang aku sadari. Dan aku memohon ampun kepada-Mu atas dosa-dosa yang tidak aku ketahui)”  (H.R. Ahmad (4/403), dishahihkan oleh Syaikh al Albani)[4] .

Menyembunyikan Amalan

Menyembunyikan amalan dari manusia merupakan cara terbaik untuk menjaga agar niat selalu ikhlas. Seperti yang kita ketahui, riya’ muncul karena hati ternodai dengan keinginan agar dipuji, disanjung, dihormati, maupun dianggap baik. Sangat kecil kemungkinan atau bahkan tidak mungkin, seseorang merasa riya’ sedangkan ia sedang sendiri ketika beramal, karena adanya perasaan seperti itu disebabkan kehadiran orang lain.

Para ulama ada yang menjelaskan bahwa untuk amalan Sunnah seperti sedekah sunnah dan shalat sunnah, maka lebih utama dilakukan sembunyi-sembunyi. Melakukan seperti inilah yang lebih mendekatkan pada ikhlas dan menjauhkan dari riya’[5] . Adapun ibadah yang di dalamnya ada potensi dilihat oleh orang lain, contohnya saja sholat berjamaah ke masjid, sholat jum’at, dan sebagainya, maka tidaklah mengapa. Maka agar amalan tersebut tidak sia-sia, hendaknya seseorang bersungguh-sungguh dalam menjaga keikhlasan baik sebelum, ketika, dan sesuadah melakukan amalan tersebut.

Menyembunyikan amalan tidak hanya di dunia nyata saja, namun penting juga dilakukan di dunia maya. Kemudahan dalam berbagi informasi kepada semua orang hendaknya menjadikan kita cerdas dalam membagikan informasi yang bermanfaat. Lebih utama jika seseorang tidak memposting ibadahnya seperti bersedekah dan lainnya, tanpa tujuan maslahat yang dibenarkan syari’at. Dengan menyembunyikan amalan, insyaAllah lebih selamat dari noda-noda hati yang siap menghampiri, Wallahu Ta’ala a’lam.[]

Uswatun Chasanah

Psikologi UII

Marâji’:

[1] https://muslim.or.id/26163-agungnya-kedudukan-amalan-hati-dalam-islam.html

[2] Syaikh Abdussalam bin Barjas Alu Abdul Karim. Awaa’iqu ath Thalab: halaman 13.

[3] https://muslim.or.id/5470-riya-penghapus-amal.html

[4] https://muslim.or.id/5470-riya-penghapus-amal.html

[5] https://rumaysho.com/656-tanda-ikhlas-berusaha-menyembunyikan-amalan.html

Mutiara Hikmah

Dari An Nu’man bin Basyir, Nabi ﷺ bersabda,

أَلاَ وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ . أَلاَ وَهِىَ الْقَلْبُ

Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati (jantung)” (H.R. Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599).

Profesiku Ibadahku

Profesiku Ibadahku

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

“Jadikan hidup sebagai ibadah!” Sebuah kalimat sederhana namun penuh makna dan nampak sulit untuk diimplementasikan. Hal tersebut selaras dengan tujuan Allah ﷻ menciptakan manusia di muka bumi ini sebagaimana yang telah difirmankan Allah ﷻ dalam surat adz-Dzariyat ayat 56 yang artinya, “Dan aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (Q.S. adz-Dzariyat [51]: 56)

Dalam Zubdatut Tafsir, Mujahid berkata: maknanya adalah melainkan Aku akan memerintahkan dan melarang mereka. Pendapat lain mengatakan yakni melainkan agar mereka tunduk dan patuh kepada-Ku. Sebab makna ‘ibadah’ secara bahasa adalah tunduk dan patuh.[1]

Bekerja untuk mendapatkan penghidupan (baca: rezeki) adalah ibadah. Karena bekerja itu ibadah, maka dalam bekerja harus tunduk dan patuh dengan aturan Allah ﷻ. Allah ﷻ telah memberi jatah rezeki setiap makhluk-Nya bahkan rezeki seekor lalat sekalipun telah diatur-Nya. Tidak ada satu makhluk (bernyawa) pun di muka bumi ini melainkan telah Allah ﷻ jamin rezekinya. Seperti halnya jodoh, rezeki setiap mahkluk tidak akan tertukar. Jatah dan porsinya sama, hanya cara menjemputnya yang berbeda-beda setiap makhluk. Manusia, sebagai makhluk yang dikaruniai akal oleh Allah ﷻ, seyogyanya memiliki berbagai macam cara dalam menjemput rezeki tersebut, tentunya dengan cara-cara yang halal dan dibolehkan oleh syari’at Islam, salah satunya dengan bekerja.

Allah ﷻ menciptakan dunia dan seisinya, dengan segala kecanggihan teknologinya, dengan segala kekayaan alamnya, dengan tujuan untuk memberi penghidupan kepada manusia. Contohnya saja Indonesia, sebagai negara kaya akan sumber daya alam namun karena ketidakmampuan sumber daya manusianya dalam mengelola kekayaan alam tersebut sehingga menyebabkan ketimpangan sosial dan kemiskinan semakin merajalela.

Sumber daya alam yang melimpah dan kecanggihan teknologi yang ada seharusnya mampu menciptakan berbagai macam lapangan pekerjaan, berbagai macam profesi, dan berbagai macam posisi sebagai bentuk ikhtiar kita sebagai “hamba”. Namun perlu diingat, segala pencapaian yang sudah kita raih, profesi dan posisi yang bagus di kantor bahkan harta yang berlebih adalah pemberian dari Allah ﷻ. Seperti yang disabdakan Nabi ﷺ dalam hadits riwayat Muslim, dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash yang artinya: “Allah telah mencatat takdir setiap makhluk sebelum 50.000 tahun sebelum penciptaan langit dan bumi.” (H.R. Muslim no. 2653)

Ambillah Pelajaran dari Kisah Qarun!  

Janganlah seperti Qarun! Profesi, tahta, dan harta merupakan hal-hal yang sangat menggiurkan, semua konflik keluarga dan sosial bisa terjadi hanya karena ketiga hal di atas. Bahkan zaman Rasulullah ﷺ, telah banyak kaum yang dibutakan oleh harta dan tahta, salah satunya seperti kisah Qarun yang sangat masyhur.

Pada masanya, Qarun orang yang kaya raya dan bergelimang harta. Namun, ia telah dibutakan oleh hartanya. Kesombongan Qarun benar-benar telah mengundang murka Allah ﷻ. Allah menurunkan adzab kepada Qarun berupa gempa bumi dan longsor yang dahsyat. Qarun tenggelam bersama seluruh harta kekayaannya ke dalam perut bumi. Tidak ada sedikitpun harta yang tersisa, seluruhnya rata dengan tanah. Tidak ada satupun golongan yang mampu menyelamatkannya, baik keluarga, kerabat maupun temannya. Harta yang selama ini dibanggakannya justru menjadi malapetaka baginya dan tidak sedikitpun mampu menolongnya. Maka binasalah Qarun beserta harta kekayaannya dikarenakan kedurhakaan dan kekufurannya.[2]

Kisah tersebut bisa menjadi i’tibar (pelajaran), sehingga Allah ﷻ mengabadikan kisahnya dalam al-Qur’an ayat 78 yang artinya, “Qarun berkata: “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku”. Dan apakah ia tidak mengetahui, bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? Dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka.” (Q.S. al-Qashas [28]: 78)[3]

Bekerja adalah Ibadah

Harapannya, janganlah kita hanya disibukkan dengan urusan duniawi saja sehingga melupakan kewajiban-kewajiban ukhrawi. Paling sederhana yang bisa kita lakukan adalah dengan menjadikan profesi kita saat ini sebagai ibadah. Apapun profesi dan jabatan kita, jadikan sebagai ibadah dan proses penghambaan kita kepada Allah ﷻ. Jika kita telah berhasil menjadikan tujuan kita bekerja adalah untuk ibadah, in sya Allah rezeki yang kita dapatkan akan membawa berkah tidak hanya di dunia melainkan juga di akhirat.

Kita mampu meminimalisir hal-hal tercela dan tidak diinginkan lainnya yang mungkin terjadi di tempat kita bekerja, misalkan kecurangan, kemalasan, ketidakadilan, ketidakjujuran, dan perbuatan tercela lainnya. Tidak mudah diimplementasikan, namun kita bisa mulai dari diri kita sendiri, terlebih jika kita bisa menularkan energi positif tersebut kepada rekan-rekan di kantor sehingga tercipta budaya kerja yang Islami, karena bermanfaat bagi orang lain juga merupakan ibadah.

Dari Ibnu Umar bahwa seorang lelaki mendatangi Nabi ﷺ dan berkata: ”Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling diicintai Allah? dan amal apakah yang paling dicintai Allah?” Rasulullah ﷺ menjawab,”Orang yang paling dicintai Allah adalah orang yang paling bermanfaat buat manusia dan amal yang paling dicintai Allah adalah kebahagiaan yang engkau masukkan kedalam diri seorang muslim atau engkau menghilangkan suatu kesulitan atau engkau melunasi utang atau menghilangkan kelaparan. Dan sesungguhnya aku berjalan bersama seorang saudaraku untuk (menuaikan) suatu kebutuhan lebih aku sukai daripada aku beritikaf di masjid ini—yaitu Masjid Madinah—selama satu bulan. Dan barang siapa yang menghentikan amarahnya maka Allah akan menutupi kekurangannya dan barang siapa menahan amarahnya padahal dirinya sanggup untuk melakukannya maka Allah akan memenuhi hatinya dengan harapan pada hari kiamat. Dan barang siapa yang berjalan bersama saudaranya untuk (menunaikan) suatu keperluan sehingga tertunaikan (keperluan) itu maka Allah akan meneguhkan kakinya pada hari tidak bergemingnya kaki-kaki (hari perhitungan).” (H.R. Thabrani)[4]

Janganlah kita bekerja hanya untuk mencari rezeki, tapi niatkan juga untuk beribadah kepada Allah dengan niat yang ikhlas. Keihklasan adalah perkara yang amat menentukan. Dengan niat yang ikhlas, segala bentuk pekerjaan yang berbentuk kebiasaan bisa bernilai ibadah. Dengan kata lain, aktivitas usaha yang kita lakukan bukan semata-mata urusan harta dan perut tapi berkaitan erat dengan urusan akhirat.

Allah ﷻ telah memerintahkan kita untuk berbuat kebaikan. Memberi makan orang miskin dan anak yatim, saling membantu yang membutuhkan, mengeluarkan zakat, bersedekah, dan menyampaikan ilmu. Semua itu tidak dapat kita lakukan kalau kita tidak memiliki uang. Untuk bisa mendapatkan uang, jalannya dengan bekerja.[5] Oleh karena itu bekerjalah karena Allah ﷻ. Allah ﷻ berfirman: Dan katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Q.S. At-Taubah [9]: 105)

Allah ﷻ dalam al-Qur’an menjamin rezeki setiap makhluk-Nya, namun al-Qur’an tidak memberi peluang bagi seorang Muslim untuk berleha-leha dalam hidup. Semakin kita bekerja keras, insya Allah semakin besar pahala yang akan diberikan Allah ﷻ. Jika nafkah yang didapat merupakan bekal untuk beribadah, maka semakin banyak nafkah yang didapat, semakin banyak ibadah yang bisa dilakukan. Pendapatan kita sudah tertulis, begitupun pasangan, pekerjaan, makanan yang kita makan, bahkan kematian kita sudah tertulis.

Lantas, mengapa masih didapati orang frustasi, banyak pikiran, banyak penyakit bersarang di tubuhnya, jika semua urusan telah ada yang mengatur? Oleh karena itu, serahkan semua urusan kita kepada yang mengatur, mari kita fokus pada agama kita, perbaiki ketakwaan kita, perbaiki hubungan kita dengan-Nya, marilah mulai saat ini, kita jadikan profesi kita sebagai ibadah dan bernilai pahala, maka hidup kita akan bahagia dan dunia akan menghampiri kita tanpa perlu kita bersusah payah mengejarnya.

Maraji’:

[1] Zubdatut Tafsir,” https://tafsirweb.com/37749-quran-surat-adz-dzariyat-ayat-56-58.html.

[2] Fera Rahmatun Nazila, “Qarun, Si Kaya Raya Yang Ditelan Bumi Karena Harta.”

[3] Quran Surat Al-Qashash Ayat 78,” https://tafsirweb.com/7128-quran-surat-al-qashash-ayat-78.html.

[4] Hadits Ini Dihasankan Oleh Syeikh Al-Albani Didalam Kitab ‘at Targhib Wa at Tarhib’ (2623)” (n.d.).

[5] Hadits Manusia Paling Bermanfaat,” Era Muslim: Media Islam Rujukan, last modified 2020, https://www.eramuslim.com/ustadz-menjawab/hadits-manusia-paling-bermanfaat.htm#.Xmm4kjIzbIV.

 

*Camelia Rizka Maulida Syukur

Mahasiswa Program Magister Studi Islam

Universitas Islam Indonesia

 

Mutiara Hikmah

Allah ﷻ berfirman,

فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya“.” (Q.S. al-Kahfi [18]: 110)

Menjaga Kedamaian Dengan Keadilan

Menjaga Kedamaian Dengan Keadilan

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Pembaca budiman yang senantiasa dirahmati Allah ﷻ. Pada hakikatnya manusia hidup berdampingan, saling tolong-menolong, kasih-mengasihi antar sesama dan dengan alam sekitarnya. Maka tidak heran jika manusia kemudian diberi julukan sebagai makhluk sosial. Tumbuh-tumbuhan, bebatuan, air, dan segala hal yang tersedia di alam ini diciptakan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Pemberian itu bersifat sebagai amanah dari Allah yang oleh-Nya manusia diberi mandat untuk menjaga, merawat, dan mengatur alam ini.

Allah ﷻ firman yang artinya, “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah dimuka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui” (Q.S. al-Baqarah [2]: 30)

Berdasarkan pada ayat di atas, manusia mempunyai kewajiban untuk menjaga, merawat dan mengatur alam ini sesuai dengan posisinya sebagai khalifah di muka bumi ini. Proses penjagaan terhadap alam ternyata bersinggungan dengan konsep adil. Kata adil diambil dari bahasa arab al-‘adl  yang berarti menempatkan sesuatu sesuai dengan tempatnya. Lawan dari kata ‘adl adalah zhalim yang berarti menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya.

Banyak kasus di sekitar kita yang tanpa kita sadari merupakan pembahasan dari adl-zhalim itu sendiri.  Sebagai contoh seseorang yang membuang sampah di jalan atau di sungai. Tindakan itu termasuk dalam kategori zhalim, karena menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Begitu juga dengan kasus seorang murid yang masuk kelas tidak pada waktunya. Perbuatan seperti ini patut untuk kita koreksi untuk perbaikan agar bisa lebih baik lagi.

Penempatan waktu yang tidak tepat juga merupakan implementasi dari sikap anti adil. Terkadang pemuda-pemuda malah asyik  meneruskan bermain bola sedangkan lantunan adzan sudah berkumandang. Sikap yang seharusnya mereka ambil adalah  menghentikan permainan dan mendengarkan adzan sebagai penghormatan. Ada baiknya dalam melakukan kegiatan seperti itu mempertimbangkan terlebih dahulu apakah waktu itu akan mengganggu yang wajib-wajib atau tidak, sehingga ketika kita sudah mempertimbangkan itu semua tidak ada was-was yang muncul dalam hati bahkan mungkin kedamaian akan menghinggapi yang menjadikan hati merasa tenang dan tenteram.

Dalam bernegara keadilan merupakan salah satu pembahasan pokok di masyarakat. Keadilan secara umum didefinisikan sebagai “Perlakuan yang sama tanpa melalui kompleksitas pribadi-pribadi yang bersangkutan”. Secara ideal keadilan memperhatikan perbedaan-perbedaan kebutuhan setiap individu, kesamaan, dan kesetaraan bukan pada terletak pada pembagian secara sama rata.

Sebagai contoh ada seorang ibu mempunyai dua anak. Anak yang pertama sekolah di SMA dan anak yang ke dua masih mengenyam pendidikan di kelas dua SD. Kemudian anak yang pertama dan kedua sama-sama mendapatkan uang jajan Rp. 5000. Secara pembagian sama ratanya ibu itu benar, tapi jika ditinjau dari tingkat kebutuhan dan kompleksitasnya perbuatan itu tidak belum mencerminkan sikap adil. Karena memang dalam kasus ini bukanlah nilai sama yang harus dijunjung akan tetapi karena pertimbangan kebutuhan dari kedua anak yang berbeda.

Kadang kala nilai adil adalah kesamaan. Semisal ada orang Jawa dan orang Papua. Negara harus berdiri di tengah-tengah mereka dengan memberikan kewajiban dan hak yang sama sebagai rakyat Indonesia. Tidak boleh ada keistimewaan terhadap salah satu golongan saja walaupun ada yang minoritas dan mayoritas. Semua harus mendapatkan jatah yang sama. Oleh sebab itu dengan ditegakkannya keadilan maka akan timbullah kedamaian. Sama halnya dengan kasus seorang ibu dengan kedua anaknya. Setiap dari mereka juga mempunyai hak yang sama dalam kasih sayang.

Hal ini sesuai dengan ungkapan dari seorang sosiolog muslim yang masyhur pada zamannya, Ibnu Khaldun. Beliau memegang prinsip bahwa keadilan merupakan konsep yang abstrak dan idealis,  diungkapkan dalam istilah-istilah yang unggul dan sempurna, dan tidak berdasarkan kepada realitas sosial. Sistem keadilan yang dibentuk berdasarkan pada solidaritas sosial yang berada di atas pondasi solidaritas individu yang menimbulkan rasa kasih-sayang dan saling membantu satu dengan yang lainnya. Dengan kata lain nafas keadilan menurut Ibnu Khaldun adalah solidaritas.

Karena sikap adil itu sangat penting sehingga Allah ﷻ memperingatkan hamba-Nya dalam surat al-Anfâl ayat 25, yang artinya, “Dan peliharalah diri kalia dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang –orang yang zalim saja di antara kalian. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.” (Q.S al-Anfâl [8]: 25)

Ayat di atas menjelaskan bahwa siksaan Allah ﷻ tidak sebatas hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang berbuat zhalim saja, tetapi orang yang melihat kezhaliman tersebut di depan mata dan tidak berbuat apa-apa juga mendapatkan siksaan. Seseorang yang melihat temannya melakukan suatu kezaliman seperti membuang sampah sembarangan dan membiarkannya terbuai dengan tindakan itu merupakan contoh dari ayat di atas. Perbuatan itu mencerminkan perilaku yang acuh tak acuh dan tidak melaksanakan konsep amal ma’ruf nahi munkar .

Konsep adil di tegaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya di surat an-Nisâ’ ayat 135 yang artinya, Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (Q.S an-Nisâ’ [4]: 135)

Sikap adil sering dipraktekkan oleh Nabi Muhammad ﷺ. Salah satunya kisah sahabat nabi yang bernama Ukasyah bin Mihsan. Ketika itu Nabi bertanya siapa saja yang pernah dizhalimi oleh Rasullullah ﷺ mengingat kematian sudah semakin dekat. Ukasyah menegaskan bahwa Ia pernah terkena tongkat komando Rasulullah ﷺ dalam perang dan  rasanya sakit. Rasullullah ﷺ kemudian memberikan tongkat itu kepada Ukasyah untuk melakukan qishas. Ukasyah lalu menjelaskan bahwa waktu itu Ia tidak mengenakan baju yang menutupi badannya. Dengan mempertimbangkan aspek keadilan dan sebagai contoh yang kelak menjadi rujukan kaumnya maka Rasulullah ﷺ dengan sukarela melepas baju yang melekat di badannya dan mempersilahkan Ukasyah untuk memukulnya. Sungguh teladan mulia apa yang dicontohkan oleh beliau yang kita sendiri belum tentu mampu untuk mengikutinya.

Contoh di atas memberikan gambaran untuk berbuat adil, baik itu yang berakibat pada diri kita sendiri, maupun terhadap orang lain. Untuk yang berakibat pada diri sendiri ini biasanya sangat berat untuk kita laksanakan, karena kadang seringkali kita melihat diri kita ini sebagai korban dari ketidak adilan. Kita membela diri bahwa kita tidak melakukan ini itu dan sebagainya yang bisa mengakibatkan permasalahan yang semakin panjang.

Para pemimpin kita dan kita sendiri seharusnya meneladani sikap Rasulullah ﷺ yang adil terhadap siapa saja. Bahkan beliau rela dirinya sendiri menerima perlakuan semacam itu untuk menegakkan keadilan di muka bumi ini.

Hukum seharusnya ditegakkan dengan penuh keadilan, tidak tumpul ke atas tetapi tajam  ke bawah. Seorang pemimpin sejatinya berani  menegakkan keadilan kepada semua pihak tanpa memandang pangkat, jabatan, keka­yaan, ras, suku, agama, baik dari partai­nya sendiri maupun orang-orang yang di luar partainya. Bahkan ketika anaknya berbuat kejahatan semestinya mendapatkan hukuman yang setimpal dengan apa yang telah dilakukannya. Bukan malah membuat kesepakatan mengatasnamakan jabatan dan bersembunyi di bawak ketek kekuasaan. Begitulah pemimpin harus tegas untuk menegakkan keadilan mengingat kedamaian tercipta karena keadilan.

Keadilan menjadi substansi dari hukum, hukum diterapkan untuk menciptakan kedamaian, melindungi manusia dan tidak dijadikan alat untuk menindas dan menghabisi musuh. Wallâhu a’lam.

Marâji:

https://islami.co/ibnu-khaldun-bicara-keadilan-sosial/

https://jagad.id/pengertian-adil-menurut-para-ahli-dan-dalam-islam/

https://tafsirweb.com/1667-quran-surat-an-nisa-ayat-135.html

https://tafsirweb.com/290-quran-surat-al-baqarah-ayat-30.html

https://tafsirweb.com/2891-quran-surat-al-anfal-ayat-25.html

https://analisadaily.com/berita/arsip/2019/2/22/697558/rasulullah-saw-mempraktekkan-keadilan/

 

*Fatkhur Rohman Khakiki

Prodi Teknik Kimia FTI UII

 

Mutiara Hikmah

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, Rasulullah ﷺ bersabda,

مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرَحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ ، وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا

“Siapa yang membunuh kafir mu’ahad ia tidak akan mencium bau surga. Padahal sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun.” (HR. Bukhari no. 3166)

Fenomena Wabah Pada Masa Rasul & Sahabat

Fenomena Wabah Pada Masa Rasul & Sahabat

Bismillahi walhamdulillahi wash-shalatu wassalamu ‘ala rasulillah,

Pembaca yang semoga dirahmati Allah ﷻ, beberapa pekan belakangan ini kita di hebohkan oleh berbagai informasi baik di media sosial, media masa ataupun media elektronik terkait wabah, khususnya Covid-19 (corona) yang sedang heboh di berbagai negara tidak terkecuali di negara kita tercinta Indonesia. Di berbagai dunia bahkan korban sudah mencapai puluhan ribu bahkan ratusan ribu, berita terakhir.

Data terakhir per tanggal 14 maret 2020 terdapat 142.897 terinveksi Covid-19 dan kematian sebanyak 5.375 orang. Di Indonesia data per 13 maret 2020 telah terdata 69 kasus yang terinveksi Covid-19, dan yang meninggal dunia tercatat 4 orang, hal ini melonjak drastis jika di banding sehari sebelumnya yaitu Cuma tercatat 34 kasus.

Al-Qur’an diturunkan sekitar 14 abad yang lalu kepada Nabi yang agung Muhammad ﷺ, dan kita ketahui bahwa seluruh isi al-Qur’an dapat di pastikan tidak ada yang bertentangan dengan alam semesta dan manusia pada khusunya. Kita ketahui pula bahwa al-Qur’an diturunkan kepada manusia (hamba) yang (ummiy) atau seseorang yang tidak bisa membaca dan tidak pula bisa menulis. Tapi beliau merupakan manusia yang dapat dipercaya, bahkan beliau diberi gelar al-amin oleh kaumnya.

Wabah Pada Zaman Rasulullah ﷺ dan Solusi Mengatasinya. 

Empat belas abad yang lalu pada masa Rasulullâh ﷺ. Pernah terjadi wabah penyakit kusta dan lepra yang menular dan sangat mematikan.  Ketika belum diketemukan obatnya Rasulullah ﷺ melarang para sahabatnya untuk dekat dekat ataupun menengok orang yang terkena wabah tersebut. Dalam sebuah hadits Rasulullah ﷺ bersabda: “Jangan kamu terus menerus melihat orang yang mengidap penyakit kusta (H.R. Bukhari).

Dari hadits tersebut jelas Rasulullah ﷺ  melakukan pencegahan penyebaran virus, salah satunya dengan cara melarang orang untuk terus menerus melihat orang yang terkena virus, ini karena Rasulullah ﷺ  khawatir jika banyak orang yang menengok orang yang terkena penyakita kusta maka ada kemungkinan orang yang disekitarnya akan tertular. Ini merupakan bentuk pencegahan yang konkrit yang dilakukan oleh Nabi ﷺ.

Padahal kita ketahui bersama, rasul sangat menganjurkan untuk menjenguk orang yang sakit, tetapi ada beberapa kasus justru melarang untuk menjenguk orang sakit, ini karena beliau tau bahwa ada beberapa penyakit yang bisa menular. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa, menjauhi orang yang terkena virus yang menular, itu adalah bagian dari apa yang diperintahka oleh Rasulullah ﷺ.

Nabi Muhammad ﷺ juga memperingatkan umatnya pada waktu itu untuk tidak mendekati wilayah yg terkena wabah, hal ini dilakukan supaya umatnya tidak tertular oleh wabah tersebut. Seperti hadits Nabi ﷺ yang berikut ini Rasulullah ﷺ  bersabda: “Jika kamu mendengar wabah (tha’un) di suatu daerah (wilayah) maka janganlah kamu memasukinya, tetapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan kamu tinggalkan tempat itu (H.R. Bukhari, Muslim, Malik, Ahmad).

Dari kisah tersebut kita banyak mengambil pelajaran dari apa yang di sabdakan oleh Rasulullah ﷺ. Salah satu solusi mengatasi wabah yang dilakukan oleh Nabi ﷺ ialah me lock down, atau mengisolasi atau dalam bahasa lain mengkarantina orang orang atau wilayah wilayah yang terdampak wabah, hal ini pula yang dilakukan oleh pemerintah China dan negara negara lain lakukan, termasuk Indonesia pada akhir akhir ini. Indonesia juga sadar bahwa salah satu solusi yang harus dilakukan oleh negara adalah mengcounter daerah-daerah yang terpapar virus Covid-19 pada hari ini. Hal ini mudah mudahan dapat meningkatkan keimanan kita kepada Allah ﷻ. Selain berdoa kita juga terus melakukan usaha untuk meredam penyebaran virus ini, seperti yang dilakukan oleh Nabi Muhammad ﷺ.

Nabi Muhammad ﷺ, selain mencegah umatnya yang belum terkena wabah, dengan memerintahkan umatnya untuk tidak mendekati daerah (wilayah) yang terkena wabah Rasulullah ﷺ, juga menyuruh bersabar bagi umat yang terkena wabah.  Rasulullah ﷺ terus menerus mengingatkan umatnya agar berdoa dan bersabar, bahwa apa yang tertimpa pada umatnya adalah ujian dari Allah ﷻ. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari Rasulullah ﷺ  bersabda: “Kematian karena wabah adalah surga bagi setiap muslim. (H.R.Bukhari).

Dari hadits tersebut jelas bahwa Islam sangat mementingkan solusi bagi setiap masalah. Ini terbukti bahwa Islam melakukan pencegahan bagi yang belum terkena wabah atau virus, dan juga Islam sangat mensuport orang yang terkena wabah, mereka dianjurkan untuk bersabar dalam menghadapi apa yang di deritanya, dan juga Allah ﷻ memberi kabar gembira bagi siapa yang sabar dalam menghadapi wabah, bahkan ketika meninggal dunia atau wafat karena wabah, Allah ﷻ menjanjikan surga baginya.

Wabah (Virus) Pada Zaman Sahabat 

Sepeninggal wafatnya Rasulullah ﷺ, kasus wabah juga terjadi pada masa Khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Pada saat itu Umar bin Khattab bersama rombongan pergi ke daerah Syam, ketika sampai di suatau daerah bernama sargha, ternyata umar melihat ada rombongan juga, yaitu rombongan Abu Ubaidah bin Jarrah, setelah berbincang bincang ternyata rombongan Abu Ubaidah juga mau ke tempat yang sama.

Datanglah seorang yang membawa berita bahwa Syam ternyata sedang dilanda wabah penyakit tha’un yang ganas. Umar ragu untuk meneruskan perjalanan. Ia panggil para sahabat Muhajirin senior untuk bermusyawarah, ada yang mengusulkan Umar beserta rombongan tetap meneruskan perjalanan ke Syam, karena sudah terlanjur jauh jauh datang dari Madinah, ada juga sebagian yang lain mengusulkan untuk kembali ke Madinah karena ada penyakit ganas, sebaiknya tidak menghadapkan orang banyak pada resiko tertular wabah yang mematikan.

“Panggilkan untukku para sahabat Anshar” perintah Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu kepada Abdullah bin Abbas yang saat itu ada dalam rombongan. Para sahabat Anshar pun diajak bermusyawarah oleh Umar, ternyata tidak ada kesepakatan juga dalam musyawarah tersebut, pada saat itu datanglah Abdurahman bin Auf yang membawa kabar bahwa dulu mendiang Rasulullah ﷺ bersabda “jika kamu mendengar wabah (Tha’un) di suatu daerah (wilayah) maka janganlah kamu memasukinya, tetapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan kamu tinggalkan tempat itu” (H.R. Bukhari, Muslim, Malik, Ahmad).

Mendengar informasi dari Abdurahman bin Auf, maka Umar mengambil sikap untuk kembali ke Madinah. Tetapi berbeda dengan sikap Umar, Abu Ubaidah bin Jarrah memilih untuk terus ke Syam. Bahkan Abu Ubaidah mempertanyakan sikap Umar, dengan berkata, “Apakah engkau hendak lari dari taqdir Allah hai Umar? Tanya Abu Ubaidah. Bagi Abu Ubaidah terkena wabah atau tidak adalah taqdir Allah ﷻ. Kemudian Umar bin Khattab menjawab, “Andai saja yang bertanya bukan dirimu wahai Abu Ubaidah”. Kata Umar menyimpan sungkan kepada sosok sahabat senior ini. Lalu Umar melanjutkan, “Iya kami akan lari dari takdir yang satu menuju takdir yang lain, sama sama taqdir Allah jawab Umar. Lalu Umar berkata lagi kepada Abu Ubaidah, bagaimana pendapatmu jika engkau membawa seekor unta lalu sampai disebuah lembah dengan dua sisi, ada yang subur dan ada yang kering kerontang, mana yang kau pilih? Seandainya engkau membawanya ke tanah yang subur, sesungguhnya itu taqdir Allah l, tetapi jika engkau membawanya ke tanah yang kering kerontang, maka itu juga taqdir Allah ﷻ. Jawab Umar Panjang lebar. Umar lalu kembali ke Madinah.

Inilah jawaban sosok cerdas Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu ketika menyeleseikan masalah terkait dengan kemaslahatan umat, Umar tidak mau mengambil resiko yang sia sia, apalagi membawa banyak orang. Mudah mudahan kita bisa mengambil pelajaran dari kisah wabah yang terjadi pada masa Rasulullah ﷺ dan masa sahabat, sehingga pengetahuan mengenai sikap kita terhadap wabah dapat membuat kita semakin meningkatkan iman kita kepada Allah . Âmîn.

 

Marâji’

Kumparan.com

Imam al Bukhari. Shahih al Bukhari. Hadits no. 5288

Islamsantun.com

Imam Malik. Al-Muwatha. Hadits no. 5288

 

Irwanto, M.Pd

Dosen Prodi Manajemen Pendidikan Islam

Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

 

Mutiara Hikmah

Doa Keselamatan pada Badan

اَللَّهُمَّ عَافِنِيْ فِيْ بَدَنِيْ، اَللَّهُمَّ عَافِنِيْ فِيْ سَمْعِيْ، اَللَّهُمَّ عَافِنِيْ فِيْ بَصَرِيْ، لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ، اَللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْكُفْرِ وَالْفَقْرِ، اَللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ.

Ya Allah, berilah keselamatan pada badanku. Ya Allah, berilah keselamatan pada pendengaranku. Ya Allah berilah keselamatan pada penglihatanku, tiada Ilah (yang berhak disembah) kecuali Engkau. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kekufuran dan kefakiran. Aku berlindung kepada-Mu dari siksa kubur, tiada Ilah (yang berhak disembah) kecuali Engkau.” [Dibaca 3x].” (H.R. Abu Daud no. 5090, Ahmad dalam Musnadnya no. 20430, al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrod no.701)

 

Sebuah Pesan Iman Via Covid-19

Sebuah Pesan Iman Via Covid-19

Bismillahi walhamdulillahi wash-shalatu wassalamu ‘ala rasulillah,

Beriman kepada takdir baik maupun buruk adalah merupakan salah satu rukun iman yang mesti kita imani dengan benar. Rasulullah bersabda: “…. Beritahukanlah kepadaku tentang iman. ‘Nabi menjawab, Iman adalah engkau beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk.’….”(H.R. Muslim No. 8, Abu Daud No. 4695, at-Tirmidzi No. 2610 dan selainnya)

Seorang mukmin harus yakin bahwa semuanya selain dari Allah adalah makhluk (cipataan Allâh). Maka termasuk Covid-19 merupakan makhluk Allah dan Dia yang memberikan kehendak atas merebaknya wabah ini hingga menjangkit kepada siapapun atas izin-Nya. Maka, tidaklah sesuatu dapat memberikan kemudaratan melainkan atas izin-Nya sebagaimana Allah  memerintahkan api untuk menjadi dingin dan keselamatan bagi Nabi Ibrahim ‘alaihi salam.

Perlu kita ingat, ada hikmah dari setiap kejadian yang Allah takdirkan kepada hamba-Nya. Maka jadilah sebaik-baiknya hamba yang selalu mengambil hikmah di balik apa yang Allahtakdirkan. Rasa takut serta hawatir pada saat ini, hingga jatuhnya korban jiwa janganlah menjadikan sebuah sebab kita lupa akan segalanya. Yang mesti kita lakukan adalah menjadikan rasa takut serta hawatir tersebut untuk semakin bersungguh-sunguh serta khusyu’ dalam mendekatkan diri kepada Allah . Karena hakikat dari rasa takut itu sendiri merupakan sebuah bentuk ujian dari Allah  kepada seorang hamba.

Allah berfirman: “Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit rasa ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar”.(Q.S. al-Baqarah [2]: 115)

Bukankah rasa takut adalah yang menjadikan seorang hamba semakin bersungguh-sungguh dan khusyu’dalam memohon kepada Allah ? Maka hal terpenting pada saat rasa takut itu hadir yang paling tepat adalah kita meminta kepada Allah l serta berlindung kepada-Nya dari segala bentuk keburukan makhluk.

Keutamaan Doa

Doa merupakan salah satu diantara bentuk ibadah seorang hamba kepada Allah . Selain itu, merupakan sebuah kunci bagi seorang mukmin pada saat turunya bala’ (cobaan) karena yang mengizinkan atas turunnya cobaan tersebut adalah Allah l. Diantara sebab seorang hamba kuat dan semakin mendapatkan pertolongan Allah  dalam kondisi apapun adalah dengan doa.

Doa merupakan bukti benarnya Iman serta pengenalan seorang hamba kepada Allah baik dalam rububiyah, uluhiyah, maupun nama dan sifat-Nya. Ini menunjukan bahwa dia sebagai seorang hamba yakin bahwa Allah Maha Mencukupi, Maha Melihat, Maha Mulia, Maha Pengasih, Maha Mampu, Rabb yang berhak diibadahi semata dan tidak pada selain-Nya.

Doa juga merupakan sebuah bentuk bukti atas tawakkalnya seorang hamba kepada Rabbnya. Karena pada saat seorang hamba berdoa, ini berarti dia meminta pertolongan Allah l dan hal ini berarti dia telah menyerahkan segala urusannya kepada Allah  semata tidak pada selain-Nya.

Maka yakinlah atas segalanya, baik yang engkau usahakan maupun hajat yang engkau hendaki sertai doa kepada Allah. Karena doa itu amat bermanfaat dengan izin Allah . “Tidaklah seorang muslim memanjatkan doa kepada Allah ﷻ selama tidak mengandung dosa dan memutuskan silaturahmi (antar kerabat,pen) melalinkan Allah akan beri padanya tiga hal: [1] Allah akan mengabulkan doanya, [2] Allah akan menyimpannya baginya di akhirat kelak, dan [3] Allah akan menghindarkan darinya kejelekan yang semisal.” Para sahabat lantas mengatakan, “Kalau begitu kami akan memperbanyak doa.” Nabi ﷺ lantas berkata, “Allah nanti yang memperbanyak mengabulkan doa-doa kalian.”

Kiat-Kiat Melalui Sebab Syar’i (Akibat Kehendak Allah)

Sebab syar’i merupakan sebab-akibat kehendak Allah kepada hamba-Nya. Maka dari apa yang melanda pada saat ini seperti wabah COVID-19 ataupun lainnya, ada beberapa hal yang dapat kita tempuh sebagai seorang hamba dan makhluk Allah atas apa yang Allah  ujikan ini.

Di antaranya adalah adalah dengan kita senantiasa taat dalam perintah Allah  dan Rasul-Nya. Melalui setiap ajaran-ajaran yang telah disampaikan melalui syariat Islam maka sebab syariat ini mesti kita tempuh selain sebab lain atau disebut denngan sebab kauni yang akan dibahas di bawah nanti.

Banyak diantara syariat yang telah ajarkan kepada kita, diantaranya seperti memakan makanan yang halal lagi baik, karena ada kebaikan dan berkah dari apa yang dikonsumsinya. Tentu juga dalam cara menempuhnya juga dilakukan dengan cara-cara yang telah dianjurkan oleh syariat.

Kemudian, senantiasa berdoa memohon perlindungan, bertaubat kepada Allah . Dalam hal ini, sebenarnya banyak sekali amalan-amalan yang sebenarnya sudah menjadi prisai seorang muslim tatkala dia senantiasa menjadikannya sebagai rutinitas di kehidupan sehari-harinya. Diantaranya membaca rangkaian dzikir pagi dan petang memohon agar dihindarkan dari wabah atau penyakit yang sedang merebak sebagaimana yang telah diajarkan dalam sunah Nabi .

Bertaubat memohon ampunan kepada Allah   juga merupakan diantara kunci atas segala permasalahan atau musibah yang melanda. Sungguh mulia di sisi-Nya bagi orang-orang yang senantiasa memohon ampun kepada Allah dan bertaubat kepadanya. Karena bisa jadi Allah meberikan cobaan ini adalah sebagai bentuk balasan atas kemaksiatan-kemaksiatan yang telah diperbuat. Maka, pentingnya muhasabah serta taubat atas cobaan yang melanda merupakan salah satu sebab yang harus ditempuh.

Kiat-Kiat Melalui Sebab Kauni (Akibat di Dunia)

Sebab kauni merupakan sebab-akibat di dunia. Usaha merupakan bagian dari takdir dan tidak ada kontradiksi antara apa usaha dan takdir. Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nasir as-Sa’di pernah berkata, “Jika pengejar akhirat mengetahui bahwa akhirat tidak akan digapai melainkan dengan keimanan, amal saleh, dan meninggalkan lawannya (amal buruk), maka ia akan bersemangat dan bersungguh-sungguh merealisasikan keimanan dan memeperbanyak wujud-wujud keimanan yang terperinci. Di sisi yang lain, ia akan meninggalkan kekufuran dan kemasiatan. Ia akan segera bertaubat jika terjatuh dalam dosa.”

Dalam hal ini Rasulullah ` pernah menyampaikan penjelasan bahwa wajibnya usaha atas seorang hamba, seperti hadits dari Abu Hurairah yang diriwayatkan Muslim (4/2025): “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah ﷻ dibandingkan mukmin yang lemah, dan masing-masing mempeunyai kebaikan. Bersunguh-sungguhlah untuk hal yang bermanfaat untukmu. Mohonlah pertolongan dari Allah ﷻ dan jangan merasa lemah. Jika ada sesuatu menimpa dirimu, jangan ucapkan ‘Andai saja saya melakukan begini, tentu akan begini dan begitu.’ Namun ucapkanlah ‘Telah ditakdirkan Allah ﷻ, apa yang Allah ﷻ kehendaki, Dia pasti melakukannya.’ Sesungguhnya ucapan ‘Andai saja’, akan membuka amalan setan.” (H.R. Muslim 4/2025)

Pada saat ini bayak perkara atau usaha yang mesti ditempuh sebagai pencegahan atas melandanya wabah COVID-19. Bahkan diantaranya Rasulullah  memerintahkan: “Apabila kalian mendengar wabah tha’un melanda suatu negeri, maka janganlah kalian memasukinya. Adapun apabilapenyakit itu melanda suatu negeri sedang kalian berada di dalamnya, maka janganlah kalian keluar dari negeri itu.” (H.R. Muttafaqun ‘alaih)

Maka melakukan sutau ikhtiar yang menjadi sebab pencegahan tidaklah bertentangan dengan tawakkal. Maka ikhtiar pada saat ini yang dapat kita lakukan ada dua hal yakni ikhtiar yang sifatnya secara berjamaah atau kelompok dan ikhtiar yang sifatnya individu.

Ikhtiar yang dilaksanakan bersama diantaranya adalah dengan melakukan pencegahan-pencegahan agar wabah ini tidak merebak semakin luas seperti dengan melakukan isolasi kepada mereka yang terkena wabah tersebut atau kepada mereka yang dicurigai terkena virus. Tentunya ikhtiar ini dilakukan oleh pihak-pihak berwenang.

Adapaun ikhtiar dalam skala individu, kita dapat mengikuti arahan-arahan para ahli di bidang ini seperti halnya dengan rutin menjaga kesehatan atau daya tahan tubuh, rutin mencuci tangan, memakan makanan yang halal lagi baik, menghindari keluar rumah dan berkumpul di tempat keramaian bila idak diperlukan.[]

 

Juwandi Purnama

Ahwal al-Syakhshiyah

FIAI – UII

 

Mutiara Hikmah

Doa Keselamatan

اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ الْعَافِيَةَ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ، اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي دِيْنِيْ وَدُنْيَايَ وَأَهْلِيْ وَمَالِيْ. اللَّهُمَّ اسْتُرْ عَوْرَاتِي وَآمِنْ رَوْعَاتِي، اَللَّهُمَّ احْفَظْنِيْ مِنْ بَيْنِ يَدَيَّ، وَمِنْ خَلْفِيْ، وَعَنْ يَمِيْنِيْ وَعَنْ شِمَالِيْ، وَمِنْ فَوْقِيْ، وَأَعُوْذُ بِعَظَمَتِكَ أَنْ أُغْتَالَ مِنْ تَحْتِيْ

Ya Allah! Sesungguhnya aku mohon keselamatan di dunia dan akhirat. Ya Allah, sesungguhnya aku mohon kepada-Mu ampunan dan keselamatan dalam agamaku, (kehidupan) duniaku, keluargaku dan hartaku. Ya Allah, tutupilah auratku dan berilah ketenteraman dihatiku. Ya Allah! Peliharalah aku dari arah depan, belakang, kanan, kiri dan atasku. Aku berlindung dengan kebesaran-Mu, agar aku tidak mendapat bahaya dari bawahku.”  (H.R. Abu Daud no.5074, Ibnu Majah no.3871 dan dishahihkan oleh Al-Albani)