Tahun Baru Masehi Milik Siapa?
Tahun Baru Masehi Milik Siapa?
Bismillahi walhamdulillâh wash shalatu was salâmu ‘ala rasûlillâh,
Sudah menjadi polemik di tengah-tengah kaum muslimin soal perayaan hari pergantian tahun di setiap tahunnya. Ada yang menerima bahkan turut serta dalam perayaan malam pergantian tahun baru tersebut, namun ada juga yang menolak dan menjaga diri dari segala macam bentuk kegiatan yang berkaitan dengan malam perayaan tahun baru tahunan itu. Mayoritas kaum muslimin sejak dulu sudah sangat akrab dengan malam tahun baru yang puncaknya adalah pada pukul 00.00 pagi, di mana suara gemuruh kembang api terdengar hampir dari seluruh penjuru mata angin, serta langit-langit yang terlihat bercahaya dan penuh dengan gemerlapnya. Perayaan tersebut hampir diikuti oleh seluruh manusia termasuk kaum muslimin, tidak terkecuali negeri-negeri Arab, seperti Uni Emirat Arab yang disebut-sebut sebagai penyelenggara perayaan tahun baru paling spektakuler di Timur Tengah. Namun pernahkah kaum muslimin yang merayakan itu membaca dan menelaah tentang sejarah perayaan tahun baru masehi itu?
Sejarah Perayaan Tahun Baru
Banyak versi tentang sejarah perayaan tahun baru yang tiap tahunnya menjadi pergelaran akbar di seluruh dunia itu. Bagi mereka yang membolehkan, meyakini bahwa tahun baru itu sudah dimulai sejak abad ke 4 Masehi menurut kebiasaan orang-orang Romawi, ada juga yang mengatakan itu hanya soal model penanggalan matahari dan bulan sehingga tidak ada kaitannya dengan agama apapun. Sedang bagi mereka yang tidak membolehkan perayaan tahun baru, meyakini bahwa sejarah perayaan pergantian tahun itu berkaitan erat dengan kelahiran Yesus atau Isa Al-Masih yang dianggap Tuhan atau anak Tuhan.
Mari coba kita telaah, tahun Masehi sangat berhubungan erat dengan keyakinan agama Kristen, Masehi adalah nama lain dari Isa al-Masih. Orang yang pertama kali membuat penanggalan kalender Masehi adalah seorang kaisar Romawi bernama Gasius Julius Caesar pada tahun 45 SM. Kemudian seorang pendeta Kristen bernama Donisius memanfaatkan penemuan kalender Julius Caesar untuk diadopsi (diangkat) sebagai penanggalan yang didasarkan pada tahun kelahiran Yesus Kristus.
Sedang di zaman Romawi, pesta perayaan ulang tahun baru adalah untuk menghormati Dewa Janus (Dewa yang digambarkan bermuka dua). Perayaan ini terus dilesatarikan dan menyebar ke Eropa pada awal abad Masehi. Seiring berkembangnya agama Kristen, akhirnya perayaan ini diwajibkan oleh pemimpin Negara sebagai perayaan “suci” satu paket dengan hari Natal. Inilah sebabnya ucapan Natal dan Tahun baru dijadikan satu Merry Christmas and Happy New Year.
Pendapat yang demikian salah satunya dikemukakan oleh Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU yakni KH. Cholil Nafis “Perayaan tahun baru tersebut bukan milik umat Islam. Beliau menjelaskan tahun baru Masehi adalah tahun umat Kristiani yang menghitung awal tahun dari kelahiran Nabi Isa (Yesus). Oleh karena itu, tidak ada hubungan dan kepentingan umat Islam dengan pergantian tahun yang dimulai pukul 00.00 pada tanggal 31 Desember itu. Jadi, umat Islam tidak baik dan tidak perlu merayakan apapun berkenaan dengan pergantian tahun. Jika pergantian tahun Masehi berkenaan dengan mengisi liburan kerja dan sekolah, maka isilah dengan hal-hal yang positif.”
Persfektif Islam soal Perayaan Tahun Baru
Kita sepakat, bahwa perayaan tahun baru Masehi bukanlah tradisi Islam. Bahkan perayaan ini datang dari orang yang notabene tidak beriman kepada Allah atau kafir. Sebagaimana yang telah dijelaskan pada pembahasan sejarah, bahwa tahun baru merupakan pesta warisan dari masa lalu yang dahulu dirayakan oleh orang-orang Romawi. Mereka (orang-orang Romawi) mendedikasikan hari yang istimewa ini untuk seorang dewa yang bernama Janus, The God of Gates, Doors, and Beeginnings. Janus adalah seorang dewa yang memiliki dua wajah, satu wajah menatap ke depan dan satunya lagi menatap ke belakang, sebagai filosofi masa depan dan masa lalu, layaknya momen pergantian tahun.
Namun apapun itu, larangan Nabi ` terkait mengikuti perayaan-perayaan di luar perayaan Islam amatlah jelas, Beliau Rasulullah ` bersabda, “Barangsiapa yang meniru kebiasaan suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari kaum tersebut”. (H.R. Abu Dawud). Kemudian Beliau ` juga bersabda tentang hari raya umat Islam untuk menegur sahabat yang masih melaksanakan hari raya umat sebelum Islam, yakni perayaan Nairuz dan Mihrajan, “Saya mendatangi kalian dan kalian memiliki dua hari raya, yang kalian jadikan sebagai waktu untuk bermain. Padahal Allah telah menggantikan dua hari raya terbaik untuk kalian,(yakni) idul fitri dan idul adha.” (H.R. Ahmad).
Dari hadis tersebut jelaslah bagi kita akan pengingkaran Nabi ` terhadap bentuk perayaan-perayaan di luar Islam, bahkan perayaan Nairuz dan Mihrajan yang dirayakan penduduk madinah, isinya hanya bermain-main dan makan-makan. Sama sekali tidak ada unsur ritual sebagaimana yang dilakukan orang majusi, sumber asli dua perayaan ini. Namun mengingat dua hari tersebut adalah perayaan orang kafir, Nabi ` melarangnya.
Sikap Kaum Muslimin Terhadap Perayaan di Luar Islam
Untuk sikap yang sebaiknya diambil oleh seorang muslim terkait perayaan malam tahun baru, dengan menimbang pemaparan di atas adalah menahan diri untuk tidak ikut berpartisipasi dalam segala bentuk kegiatan yang didasari atas pengkhususan malam tahunan tersebut, terlebih lagi belum lama kita telah dihadapkan dengan fitnah ucapan selamat natal yang dapat mengikis aqidah tauhid, sebagaimana firman Allah , “Dan mereka berkata: “Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak.” Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar, hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung-gunung runtuh, karena mereka menda’wakan Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak. Dan tidak layak bagi Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak.” (Q.S. Maryam [19]: 88-92).
Ucapan selamat natal jelas terkandung di dalamnya 2 kemungkaran. Pertama, jika seorang yang mengucapkan selamat natal itu diikuti dengan keyakinan akan kelahiran Yesus atau Nabi Isa n sebagai anak Tuhan, maka batal lah keislamannya menurut dalil syara’.
Kedua, jika dia mengucapkan selamat natal namun tidak mengikutinya dengan keimanan terhadap kelahiran Yesus atau Nabi Isa n sebagai anak Tuhan, maka dia telah memberikan kesaksian atau selamat palsu, yang juga merupakan dosa besar dan bisa menjadi sebab kemunafikan dalam hati. Karenanya sikap yang paling selamat dalam menghadapi ujian-ujian keimanan tersebut adalah mendiamkan. Karena mendiamkan adalah bentuk paling nyata dari sebuah toleransi.
Penulis ingin mengutip Fatwa MUI NTB tentang ucapan dan partisipasi terhadap perayaan umat lain pada poin nomor 3 dan 6 yang bunyinya:
- Kepada seluruh kaum Muslimin agar menjaga aqidah serta kepribadian sebagai umat Islam dan menjauhkan diri dari mengikuti kegiatan ibadah umat lain dan jangan meniru ciri khas mereka.
- Kepada seluruh kaum Muslimin dihimbau untuk tulus (ikhlas) menerima ajaran Islam dan masuk ke dalam Islam secara utuh agar terhindar dari kesesatan dan penyesatan yang membuat umat akan kehilangan kepribadian yang Islami (Syakhshiiyyah Islamiyyah).
Anas Ahamad Rahman
Mahasiswa Pasca MIAI UII
Mutiara Hikmah:
“…Allah dan Rasul-Nya yang lebih berhak untuk mereka cari keridhoan-Nya…” (Q.S. At-Taubah [9]: 62)
Download Buletin klik disini