Agar Hari-Harimu Tidak Merugi

Agar Hari-Harimu Tidak Merugi

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Islam sebagai agama yang sempurna tentunya mengajarkan kepada umatnya untuk senantiasa melewati setiap waktunya dengan hal-hal terbaik. Karena setiap detik yang dilewati seorang Muslim itu merupakan kesempatan yang sangat berharga yang tidak bisa untuk diulang kembali. Muhammad bin Idris asy-Syafi’i mengibaratkan waktu itu bagaikan pedang. Kemudian Imam As-Syafi’i n melanjutkan apabila seseorang tidak bisa menebas waktunya, bersiaplah dia akan merasakan tebasan pedangnya sendiri.

Imam Syafi’i juga menambahkan bahwa seorang muslim apabila waktunya tidak digunakan atau disibukkan dengan hal-hal yang bermanfaat, maka ada kemungkinan waktunya digunakan atau disibukkan dengan hal-hal yang dihiasi akan kemudaratan atau kebatilan. Allah ﷻ berfirman, “Maka apabila engkau telah selesai (dari suatu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain)” (Q.S al-Insyirah [94]:7)

Ayat di atas setidaknya mengabarkan kepada kita tentang pentingnya waktu bagi seorang Muslim. Sehingga seorang Muslim itu apabila dia sudah menyelesaikan satu urusan, maka al-Qur’an memerintahkan kita untuk pindah atau beralih ke urusan bermanfaat lainnya. Ibnu Katsir di dalam tafsirnya menjelaskan maksud dari apabila telah selesai dari suatu urusan adalah urusan terkait dengan dunia dan segala kesibukannya. Kemudian berpindah ke urusan yang lain maksudnya adalah menuju ke perkara akhirat atau ibadah dan bersibuk-sibuklah di dalamnya.

Jika kita melihat lanjutan ayatnya, maka akan kita temukan, “Dan hanya kepada Tuhanmulah engkau berharap” (Q.S al-Insyirah [94]: 8). Dalam menjalankan kesibukan kita, baik itu perkara dunia maupun akhirat, tentunya kita tetap bergantung atau meniatkannya kepada rabb yang telah menciptakan kita. Begitulah sekiranya maksud dari ayat terakhir surah al-Insyirah di atas. As-Sauri berkata jadikanlah setiap kesibukan kita bermuara kepada Allah ﷻ.

Maka niat juga menjadi hal yang sangat penting di dalam kita memulai setiap aktifitas kita. Dari Umar a, bahwa Rasulullah ` bersabda, ”Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai dengan niatnya…” (H.R Bukhari Muslim). Oleh karena pentingnya niat dalam setiap perbuatan kita, maka jangan pernah sama sekali untuk alpa berniat dalam setiap memulai kegiatan.

Waktu di Dalam al-Qur’an

Waktu secara khusus disebutkan di dalam surah al-‘Ashr yang sering diartikan demi waktu. Di dalam surah ini Allah ﷻ ingin menyampaikan kepada hamba-Nya berkaitan dengan pentingnya waktu. Dijelaskan pula di dalamnya mengenai beberapa hal penting, yang menjadikan seseorang tidak akan sia-sia dalam melewati setiap hari-harinya. Allah ﷻ berfirman, “Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholeh dan saling mengingatkan di dalam kebaikan serta saling mengiingatkan di dalam kesabaran” (Q.S al-‘Ashr [103]: 1-3)

Pada awal surah al-‘Ashr sebagaimana yang tertera artinya di atas, Allah ﷻ menggunakan kata sumpah atau di dalam kaidah bahasa Arab sering disebut juga dengan istilah waw qasam artinya huruf waw sumpah. Maka seperti yang kita ketahui bersama juga, qasam atau sumpah di dalam al-Qur’an itu berarti penekanan atau penegasan yang bertujuan agar manusia itu benar-benar memperhatikan akan sesuatu yang ingin dijelaskan oleh Allah ﷻ.

Dalam hal ini Allah ﷻ ingin memberikan penegasan kepada kita semua terkait dengan waktu, karena tentunya penegasan ini terjadi disebabkan oleh adanya orang-orang yang tidak memperhatikan waktu-waktu yang dilaluinya. Ditambah lagi dengan ancaman kerugian yang disampaikan oleh Allah ﷻ pada ayat selanjutnya, dan lagi-lagi pada ayat ini Allah ﷻ menggunakan penekanan atau di dalam kaidah Nahwu dikenal juga dengan sebutan tawkid atau penekanan. Allah ﷻmenggunakan lam tawkid pada kata-kata lafî khusri yang artinya benar-benar dalam kerugian.

Namun ada pengecualian yang dijelaskan pada ayat terakhir di dalam surah ini. Pengecualian ini pula agaknya yang menjadikan waktu kita atau hari-hari yang kita lalui tidak merugi. Pengecualian itu adalah bagi mereka yang beriman, dan mengerjakan amal shalih, dan saling menasehati di dalam kebaikan serta saling menasihati di dalam kesabaran.

Beriman

Indikator pertama seseorang dikatakan tidak merugi dalam melewati setiap waktunya adalah beriman. Iman ini merupakan hal yang paling dasar bagi seseorang setelah dirinya berislam. Beriman berarti juga harus memiliki ilmu, karena tidak mungkin seseorang yang beriman tapi tidak didasari akan ilmu di dalamnya.

Mustahil seseorang akan benar-benar meyakini sesuatu yang dirinya sendiri tidak mengetahui akan sesuatu tersebut. Maka tidak merugilah bagi orang-orang yang bisa melewati hari-harinya dengan menambah ilmu mereka yang menjadikan dirinya semakin yakin atau beriman kepada Allah ﷻ. Singkatnnya indikator pertama seseorang agar hari-harinya tidak merugi adalah dengan senantiasa menuntut ilmu untuk menambah keimanan kepada sang penciptanya.

Mengerjakan Amal Shalih

Selanjutnya setelah kita beriman dengan didasari ilmu sebagaimana dijelaskan di atas, maka langkah selanjutnya yang harus kita lakukan agar hari-hari kita tidak penuh akan kesia-siaan adalah mengerjakan amal shalih. Lagi-lagi ilmu menjadi dasar bagi seseorang sebelum dia mengerjakan amal shalih. Karena ilmu itu letaknya sebelum perkataan dan amal, begitulah sekiranya disampaikan oleh guru-guru kita. Selain itu amal shalih ini juga buah dari iman, maka tidak jarang di dalam al-Qur’an amal shalih itu disandingkan dengan kata-kata iman.

Adapun amal shalih yang dapat kita lakukan untuk mengisi hari-hari kita sudah sangat banyak dipaparkan di dalam al-Qur’an. Misalnya amal shalih yang paling sering kita lakukan yaitu shalat, Allah l berfirman, “Yaitu mereka yang beriman kepada yang ghaib, melaksanakan sholat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang kami berikan kepada mereka” (Q.S al-Baqarah [2]: 3)

Saling Mengingatkan Di Dalam Kebaikan

Setelah kita beriman yang di dasari dengan ilmu, kemudian buah dari tindak lanjutnya mengerjakan amal shalih, maka selanjutnya adalah kita harus saling mengingatkan di dalam kebaikan. Karena tentunya kita semua sebagai manusia yang tidak luput akan kesalahan harus selalu saling mengingatkan satu sama lainnya. Ringkasnya kita dituntut oleh Allah ﷻ untuk berdakwah mengajak orang lain menuju kebaikan. Karena Allah ﷻ sudah memberikan kita gelar umat terbaik yang dikeluarkan ke muka bumi. Allah ﷻ berfirman, “Kalian (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, karena menyuruh kepada kebaikan dan mencegah kemungkiran dan beriman kepada Allah…” (Q.S Ali Imran [3]: 110)

Saling Mengingatkan Di Dalam Kesabaran

Di dalam menjalankan kehidupan di dunia, tentunya kita tidak luput dari yang namanya masalah. Maka salah satu kunci untuk menghadapi masalah tersebut adalah dengan cara bersabar. Terkadang keimanan kita diuji dengan beberapa guncangan yang menghujam hati, amal shalih kita diuji dengan beberapa rintangan yang menghampiri, dakwah kita pula diuji dengan beberapa cacian dan cibiran yang meresahi.

Maka tidak ada kunci yang paling baik dalam menghadapinya selain kita bersabar serta mengajak orang lain untuk bersabar. Karena Allahﷻ akan selalu membersamai orang-orang yang bersabar serta mengganjarkan balasan yang tanpa batas bagi mereka pelaku sabar. Allahﷻ berfirman,“Hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas.” (Q.S az-Zumar [39]: 10)

Dari beberapa uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa agar hari-hari yang kita lalui tidak merugi dapat kita isi dengan cara melewati hari-hari tersebut dengan menuntut ilmu yang menambah keyakinan kepada Allah ﷻ, kemudian mengamalkan ilmu yang kita dapat atau mengerjakan amal shalih, kemudian mengajak orang lain untuk merasakan kenikamatan iman sebagaimana yang kita rasakan pula atau berdakwah, terakhir untuk melengkapi itu semua kita harus bersabar serta mengajak orang lain pula untuk bersabar dalam menghadapi lika-liku waktu yang kita hadapi. Dengan melaksanakan itu semua seraya berharap ridha dari Allah ﷻ, maka in syâ Allâh kita akan menjadi orang-orang yang beruntung setiap harinya, karena lawan dari rugi itu sendiri berarti untung. Wafaqânallâhu li ma yuhibbu wa yardha.[]

 

Muhammad Ikram

Prodi Ahwal Syakhsiyyah 2016
FIAI UII

Mutiara Hikmah

Allah l berfirman, “Maka sembahlah Allah dengan tulus ikhlas beragama kepada-Nya.” (Q.S az-Zumar [39]: 2]

 

Download Buletin klik disini

Takdir Allah Yang Terbaik

Takdir Allah Yang Terbaik

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘ala rasûlillâh,

Sahabat fillah, mengimani takdirnya Allah ﷻ merupakan salah satu komponen dari rukun iman. Hal ini termasuk dalam rukun iman yang ke-6. Kata “iman” berarti percaya atau meyakini. Maka, orang yang mengimani rukun iman yang 6 adalah orang yang meyakini kebenaran dari rukun iman tersebut. Takdir adalah sebuah ketetapan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Harus diperhatikan dalam memahami takdir karena salah memahami keimanan terhadap takdir dapat berakibat fatal, menyebabkan batalnya keimanan seseorang.

Ahlus sunnah beriman bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan seluruh takdir sejak azali, dan Allah mengetahui takdir yang akan terjadi pada waktunya dan bagaimana bentuk takdir tersebut, semuanya terjadi sesuai dengan takdir yang telah Allah ﷻ tetapkan.

Perjalanan kehidupan manusia tidaklah selalu lurus layaknya sebuah jalan tol. Ada lika-liku, naik-turun bahkan tikungan tajam. Hal ini juga serupa dengan tidak selalu hal baik yang kita inginkan yang terjadi dalam kehidupan kita, ada hal-hal yang sama sekali tidak kita inginkan, namun Allah Subhanahu wa Ta’ala takdirkan itu pada kita. Sedih, kecewa, dan marah, mungkin itu yang akan menjadi respon pertama kita ketika mendapati hal yang tidak sesuai dengan ekspektasi kita. Tak selalu gembira dan tawa yang menjadi teman dalam kehidupan kita. Kadang air mata dan rasa kecewa mau tidak mau juga menjadi teman. Mungkin jika bisa memilih, kita ingin selalu mendapati apa yang kita inginkan dalam kehidupan kita.

Sebenarnya, apakah kita pernah mengetahui keinginan kita akan berdampak baik untuk kita atau tidak? Selama ini, kita selalu saja menilai dan melihat sesuatu hanya melalui sudut pandang yang kita senangi saja. Jarang bahkan hampir tidak pernah kita memikirkan dampak lain dari pilihan atau keinginan kita. Kita terlalu asyik dengan gambaran kebaikan yang sebenarnya kita sendiri yang menciptakan hal tersebut, yang belum tentu hal itu bakal menjadi sebuah kenyataan. Tapi, bukan berarti kita harus menghentikan keinginan atau impian kita. Tetap lanjutkan sebuah impian dan keinginanmu, namun ada hal yang harus kamu ubah, yaitu percaya dan menerima takdir yang menghampirimu.

Kemungkinan ada banyak diantara kita, ketika menerima takdir yang tidak diinginkan akan menjadi sedih. Hal itu wajar, karena kondisi yang  sudah kita harapkan ternyata malah sebaliknya. Ketika kita sudah berusaha mati-matian untuk memperjuangkan hal yang menjadi keinginan kita, namun pada nyatanya yang terjadi adalah hal yang sama sekali tidak kita harapkan. Murka pada takdir, dan seolah merasa seperti satu-satunya manusia yang dizhalimi oleh takdir. Kalau kita melihat kilas balik, sangat banyak kejadian yang ditetapkan oleh Allah kepada orang-orang terdahulu yang jauh dari ekspektasi mereka.

Simaklah Kisah Ini

Kisah ibunda Nabi Musa n yang menghanyutkan anaknya di atas laut. Lihatlah, kecemasan dan ketakutan yang luar biasa menghinggapi saat mengetahui anaknya berada di tangan keluarga raja Fir’aun. Tetapi, tanpa diduga tragedy itu berbuah manis di kemudian hari.

Perhatikan pula dengan seksama kisah hidup Nabi Yusuf n, maka kamu akan menemukan bahwa kaidah ini cukup menggambarkan drama mengharukan antara Nabi Yusuf n dan sang ayah, Nabi Ya’qub n.

Lihatlah kisah bocah laki-laki yang dibunuh oleh Nabi Khidir n atas perintah langsung dari Allah. Apa yang dilakukan oleh Nabi Khidir itu membuat Nabi Musa n bertanya-tanya, maka Nabi Khidir n pun memberikan jawaban yang kata-katanya diabadikan di dalam al-Qur’an.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan adapun anak muda itu, maka keduanya adalah orang-orang mukmin, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuan yaitu kepada kesesatan dan kekafiran. Dan kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya).” (Q.S. al-Kahfi [18]: 80-81).

Dari kisah tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa dari setiap kejadian yang mungkin tidak kita sukai atau senangi terdapat kebaikan yang Allah ﷻ berikan didalamnya. Namun kita sebagai manusia, jarang sekali melihat kebaikan tersebut, dan cenderung lebih menilai dari keburukannya. Dalam hidup kita selalu merasa apa yang menjadi pilihan kita dan apa yang kita sukai adalah hal yang terbaik bagi kita.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 216).

Dari ayat diatas menggambarkan tentang apa-apa yang kita sukai belum tentu baik untuk kita, dan sebaliknya apa yang buruk menurut kita belum tentu benar buruk adanya. Manusia hanya bisa melihat melalui panca indranya yaitu mata yang sebenarnya juga memiliki kerterbatasan.

Allah lah sejatinya yang dapat melihat segala sesuatu dan mengetahuinya tanpa ada batasan apapun. Hal ini sesuai dengan asma Allah yaitu al- Bashîr dan al-‘Alim, yaitu Maha Melihat dan juga Maha Mengetahui. Maka dari itu, tidak sepatutnya kita merasa bahwa kita mengetahui segala sesuatu yang terbaik bagi kita dan seolah kita, kita sebagai manusia hanya dapat berikhtiar untuk mendapatkan sesuatu. Namun takdir Allah lah yang akan menetapkan itu semua, dan kita harus menanamkan sifat ikhlas dalam diri kita agar tidak pernah kecewa terhadap apa pun keputusan Allah. Karena Allah tidak akan mungkin mengecewakan hambanya. Ada sebuah syair yang berkaitan dengan hal ini, yaitu “Seseorang seharusnya berusaha sekuat tenaganya mendapatkan kebaikan. Tetapi, ia tidak akan bias menetapkan keberhasilannya.

Takdir Allah adalah yang Terbaik

Sahabat fillah, takdir Allah adalah yang terbaik. Janganlah selalu merasa ketika Allah memberikan kita takdir yang sulit untuk dilakukan lantas kita langsung berprasangka buruk kepada Allah.  Kita tahu banyak orang hebat diluar sana yang lahir dari sebuah kesulitan, namun mereka tidak lantas menyerah dan putus asa. Karena mereka yakin bahwa Allah tidak membebankan segala sesuatu kepada hambanya melainkan karena kesanggupannya.

Jenderal Sudirman merupakan seorang pemuda yang memiliki kekurangan dalam hal fisik, yaitu kakinya lumpuh dan menderita penyakit kronis. Hal itu menyebabkan ia selalu ditandu untuk memimpin pasukannya. Apa yang dialami oleh Jenderal Sudirman bukanlah sesuatu yang diinginkan oleh beliau ataupun keluarganya. Namun itu sudah berupa ketetapan yang sudah Allah takdirkan.

Namun lagi dan lagi, Allah tidak pernah memberikan sebuah keburukan pada hambanya, walaupun fisiknya yang kurang tetapi Jenderal Sudirman dapat merintis dasar-dasar kemiliteran Indonesia, dan menjadi orang pertama yang mendapatkan gelar panglima besar. Tidaklah mungkin Allah memberikan sesuatu yang pahit jika bukan hal manis yang menjadi penawarnya.

William James mengatakan bahwa terkadang cacat yang kita derita justru dapat membantu kita meraih prestasi sehingga sampai pada titik yang tidak terduga. (Subur, 2008, 99 ideas happy for life). Kita harus selalu ingat bahwa terkadang Allah l memberikan sebuah nikmat tidak hanya melalui sebuah kesenangan, adakalanya melaui sebuah cobaan besar dan sebuah kesengsaraan. Disinilah pentingnya berprasangka baik kepada Allah l dan takdir yang akan ditetapkan oleh Allah l.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (Q.S. an-Nisa’ [4]: 19). Terjemahan ayat ini menjadi penutup dari tulisan ini. Bahwa pada dasarnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan pernah mengecewakan hambanya. Segala takdir yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah tetapkan memiliki sebuah hikmah dan pelajaran didalamnya. Semuanya tergantung dari sudut pandang kita yang menilainya.

 

Referensi

Subur, J.(2008, Februari) 99 ideas for happy life

Tarmizi, N.(2016, Maret 10)ketetapan Allah adalah yang terbaik.https://muslim.or.id/27649-ketetapan-allah-adalah-yang-terbaik.html

 

Ayu Winda Rizky

NIM: 184213136

Ekonomi Islam

 

Mutiara Hikmah

Rasulullah ` bersabda, “Bersemangatlah atas hal-hal yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah pada Allah, jangan engkau lemah.” (H.R. Muslim, no. 2664)

Download Buletin klik disini

Sudah Kenal Sahur dan Buka Puasa ?

MENGENAL SAHUR DAN BERBUKA
SAHUR
Di bulan Ramadhan ada amalan sunnah yang bisa dijalani yaitu makan sahur. Amalan ini
disepakati oleh para ulama dihukumi sunnah dan bukanlah wajib, sebagaimana kata Imam
Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim, 7: 206. Namun amalan ini memiliki keutamaan
karena dikatakan penuh berkah. Dalam hadits muttafaqun ‘alaih, dari Anas bin Malik,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Makan sahurlah kalian karena dalam makan
sahur terdapat keberkahan.” (HR. Bukhari no. 1923 dan Muslim no. 1095).
Yang dimaksud barokah adalah turunnya dan tetapnya kebaikan dari Allah pada sesuatu.
Barokah bisa mendatangkan kebaikan dan pahala, bahkan bisa mendatangkan manfaat
dunia dan akhirat. Namun patut diketahui bahwa barokah itu datangnya dari Allah yang
hanya diperoleh jika seorang hamba mentaati-Nya.
Pengertian
Dalam bahasa Arab, as-sahur السَّحُورُ dengan mem-fathah huruf sin adalah benda makanan dan
minuman untuk sahur. Adapun as-suhur السُّحُورُ dengan men-dhammah huruf sin adalah
mashdar yakni perbuatan makan sahur itu sendiri. (an-Nihayah, 2/347)
Hukum
Hukum makan sahur adalah sunnah, berdasarkan hadits dari Anas bin Malik radhiallahu
‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sahurlah kalian, karena
sesungguhnya dalam sahur terdapat berkah.” (Muttafaqun ‘alaih)
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Para ulama telah bersepakat tentang sunnahnya
makan sahur dan bukan suatu kewajiban.” (Syarh Shahih Muslim, 7/207)
Dalam riwayat lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendorong kita untuk tidak
meninggalkan makan sahur meskipun hanya dengan seteguk air. Sebagaimana hadits yang
diriwayatkan Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu, ia berkata bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Makan sahur adalah berkah maka
janganlah kalian meninggalkannya meskipun salah seorang di antara kalian hanya minum
seteguk air.” (HR. Ahmad, hadits hasan, lihat Shahihul Jami’ish Shaghir, 1/686 no. 3683)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Sahur dapat diperoleh seseorang yang makan
dan minum meskipun hanya sedikit.” (Fathul Bari, 4/166)
Waktu
Waktu yang utama untuk makan sahur adalah dengan mengakhirkan waktunya hingga
mendekati terbit fajar. Mengakhirkan waktu sahur ini merupakan sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana hadits yang diriwayatkan Anas bin
Malik dari Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhuma, beliau bekata: “Kami makan sahur bersama
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian (setelah makan sahur) kami berdiri untuk
melaksanakan shalat. Aku (Anas bin Malik) berkata, ‘Berapa perkiraan waktu antara
keduanya (antara makan sahur dengan shalat fajar)?’ Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhu
berkata, ‘50 ayat’.” (Muttafaqun ‘alaih)

Al-Imam al-Bukhari rahimahullah mengatakan dalam Shahih al-Bukhari: “Bab perkiraan
berapa lama waktu antara sahur dengan shalat fajar.” Maksudnya (jarak waktu)
antara selesainya sahur dengan permulaan shalat fajar. (Fathul Bari, 4/164). Hal ini
sebagaimana telah diterangkan oleh al-Imam al-Bukhari rahimahullah dalam Shahih al-
Bukhari pada “Kitab at-Tahajjud”, dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, beliau ditanya:
“Berapakah jarak waktu antara selesainya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Zaid bin
Tsabit radhiallahu ‘anhu makan sahur dengan permulaan mengerjakan shalat (subuh)?
Beliau menjawab, ‘Seperti waktu yang dibutuhkan seseorang membaca 50 ayat (dari Al-
Qur’an)’.” Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari (4/164) menyebutkan,
“(Bacaan tersebut) adalah bacaan yang sedang-sedang saja (ayat-ayat yang dibaca), tidak
terlalu panjang dan tidak pula terlalu pendek, (membacanya) tidak cepat dan tidak pula
lambat.” Bila kita sebutkan dengan catatan waktu maka kira-kira jarak antara keduanya
10—15 menit. Wallahu a’lam.
Tamr (Kurma), Sebaik-baik Makanan untuk Sahur
Sahur dengan tamr merupakan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, berdasarkan
hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, beliau bersabda: “Sebaik-baik makanan sahur seorang mukmin adalah tamr
(kurma).” (HR. Abu Dawud, Ibnu Hibban, dan al-Baihaqi, serta disahihkan oleh asy-
Syaikh al-Albani rahimahullah dalam ash-Shahihah no. 562 dan Shahihul Jami’ish Shaghir,
2/1146 no. 6772)
BERBUKA (IFTHAR)
Waktu
Allah subhanahu wa ta’ala telah menjelaskan pada kita tentang waktu dibolehkannya
seseorang yang berpuasa untuk berbuka yaitu dengan tenggelam (terbenam)nya matahari,
sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala: “Kemudian sempurnakanlah puasa itu
hingga (datang) malam.” (al-Baqarah: 187). Demikian pula Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam telah menjelaskan dalam haditsnya. Dari ‘Umar bin al-
Khaththab radhiallahu ‘anhu, berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “Apabila malam telah datang dan siang telah pergi serta matahari telah
terbenam maka sungguh orang yang berpuasa telah berbuka.” (Muttafaqun ‘alaih)
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Makna (sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam di atas) adalah puasanya telah selesai dan sempurna, dan (pada waktu matahari sudah
tenggelam dengan sempurna) dia bukan orang yang berpuasa. Maka dengan terbenamnya
matahari habislah waktu siang dan malam pun tiba, dan malam hari bukanlah waktu untuk
berpuasa.” (Syarh Shahih Muslim, 7/210)
Hal-Hal yang Disunnahkan Saat Berbuka
1. Bersegera ifthar (berbuka) ketika telah tiba waktunya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Senantiasa manusia dalam kebaikan
selama mereka menyegerakan ifthar (berbuka).” (Muttafaqun ‘alaih dari sahabat Sahl bin
Sa’d radhiallahu ‘anhu)

Al-Imam Ibnu Daqiq al-‘Ied rahimahullah mengatakan, “Hadits ini merupakan bantahan
terhadap orang-orang Syi’ah yang mengakhirkan berbuka puasa hingga tampak bintang-
bintang.” (disebutkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari, 4/234)
Keutamaan bergegas untuk berbuka ketika telah tiba waktunya:
1. Mengikuti Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
2. Bersegera untuk berbuka ketika telah tiba waktunya merupakan akhlak para
Nabi ‘alaihimussalam. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abu ad-
Darda’ radhiallahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tiga (perkara) termasuk akhlak kenabian (yaitu): menyegerakan berbuka,
mengakhirkan sahur, dan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri dalam
shalat.” (HR. ath-Thabarani, dan disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah,
lihat Shahihul Jami’ish Shaghir, 1/583 no. 3038)
3. Menyelisihi Yahudi dan Nasrani
Mengakhirkan berbuka hingga tampak bintang-bintang merupakan perbuatan
Yahudi dan Nasrani (Syarhuth-Thibi, 5/1584 dan Fathul Bari, 4/234). Sedangkan kita
dilarang menyerupai mereka. Oleh karena itu, bersegera untuk berbuka puasa ketika
telah tiba waktunya termasuk menyelisihi perbuatan mereka. Hal ini berdasarkan
hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam, beliau bersabda: “Agama ini senantiasa tampak, selama manusia
bersegera untuk berbuka puasa karena Yahudi dan Nasrani mengakhirkan
(ifthar/berbuka).” (Hasan, HR. Abu Dawud dan lainnya, lihat Shahih Sunan Abi
Dawud, 2/58 no. 2353, Shahihul Jami’ish Shaghir, 2/1272 no. 7689, dan al-Misykah,
1/622 no. 1995)
2. Bacaan ketika berbuka
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiallahu ‘anhuma beliau berkata, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam apabila berbuka beliau mengatakan,
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللهُ
“Rasa haus telah pergi dan urat-urat telah terbasahi serta mendapat pahala insya
Allah.” (Hasan, HR. Abu Dawud, lihat Shahih Sunan Abi Dawud, 2/59 no. 2357 dan
al-Irwa’, 4/39 no. 920)
3. Berbuka dengan ruthab (kurma basah), bila tidak dijumpai maka berbuka
dengan tamr (kurma kering), dan bila tidak ada maka dengan minum air.
Sebagaimana amalan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh
Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam berbuka dengan ruthab sebelum melaksanakan shalat (Maghrib), maka jika
tidak ada ruthab (beliau berbuka) dengan tamr, jika tidak ada (tamr) maka beliau
berbuka dengan meneguk air.” (Hadits hasan sahih, riwayat Abu Dawud dan
lainnya, lihat Shahih Sunan Abi Dawud, 2/59 no. 2356 dan al-Irwa’, 4/45 no. 922)
Perlu diingat bahwa dalam makan baik sahur atau berbuka, kita dilarang berlebih-
lebihan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “Dan janganlah kamu berlebih-
lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-
lebihan.” (al-An’am: 141)

Musta’in Billah, S.Si

TANDA-TANDA KEMUNAFIKAN DALAM SHALAT

Oleh: Camelia Rizka Maulida Syukur*

 

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh,

Sahabat pembaca yang budiman, sebagaimana diketahui shalat merupakan perjalanan rohani menuju Allah l. Shalat sebagai media komunikasi vertikal transendental. Oleh sebab itu, Islam mengaturnya sebagaimana telah disebutkan dalam kitab Riyadhus Shalihin, Kitab Al-Fadhail, bab 193 tentang perintah menjaga shalat wajib dan larangan serta ancaman yang sangat keras bagi yang meninggalkannya. Abu Hurairah a berkata, Rasulullah n bersabda, “Sesungguhnya amal yang pertama kali dihisab pada seorang hamba pada hari kiamat adalah shalatnya. Maka, jika shalatnya baik, sungguh ia telah beruntung dan berhasil. Dan jika shalatnya rusak, sungguh ia telah gagal dan rugi. Jika berkurang sedikit dari shalat wajibnya, maka Allah Ta’ala berfirman, ‘Lihatlah apakah hamba-Ku memiliki shalat sunnah.’ Maka disempurnakanlah apa yang kurang dari shalat wajibnya. Kemudian begitu pula dengan seluruh amalnya.” (H.R. Tirmidzi, ia mengatakan hadits tersebut hasan[1])[2]

Allah l menurunkan perintah shalat bersamaan dengan pahala bagi yang menunaikan dan ancaman bagi yang meninggalkannya, seiring dengan itu, muncullah berbagai motif manusia dalam menjalankan ibadah shalat. Tidak sedikit orang yang melaksanakan shalat hanya sebatas menggugurkan kewajiban, namun banyak juga orang yang melaksanakan ibadah shalat sebagai bentuk penghambaan seorang hamba pada Tuhannya.

Orang-orang yang menjadikan shalat hanya sebagai penggugur kewajiban, cenderung akan tertanam sifat munafik dalam hatinya. Sebagaimana Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali”. (QS. An-Nisa: 142)

Orang-orang munafik itu hendak menjalankan shalat maka mereka akan merasa berat dan berlambat-lambat, tidak ada semangat dan rasa ingin yang mendorong mereka untuk menjalankannya; sebab mereka tidak mengharapkan pahala di akhirat dan tidak takut terhadap siksaan Allah, karena mereka tidak memiliki keimanan. Mereka hanya takut kepada manusia dan berharap agar dilihat oleh orang-orang beriman sehingga dapat dianggap sebagai golongan mereka. Mereka hanya menjalankan shalat sesekali saja; apabila tidak ada yang melihat mereka, maka mereka tidak menjalankan shalat; namun jika mereka bersama dengan orang banyak maka mereka akan menjalankan shalat hanya untuk riya’.

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah t berkata bahwa terdapat enam hal dalam shalat, yang termasuk tanda kemunafikan, sebagai berikut:[3]

 

Malas Ketika Bangkit untuk Menegakkannya

Marilah mulai menelusuri sebab rasa malas itu? Apa karena pemahaman agama yang dangkal, atau memang atas dasar malas, kesibukan bekerja, kesibukan mengurus rumah, dan lain-lain. Setiap sebab diberikan obatnya berupa antitesanya. Misalnya, jika merasa kurang ilmu, maka mengajilah perkara shalat. Jika terlalu sibuk maka manajemen pekerjaan diperbaiki dan seterusnya. Biasakanlah dari sekarang ketika mendengar adzan dikumandangkan, maka segeralah melaksanakan shalat. Hal tersebut akan mengurangi rasa malas. Serta, berdoalah kepada Allah ldengan doa Nabi Ibrahim, “Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat. Ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku”. (Q.S. Ibrahim [14]: 40-41)

 

Riya’ Ketika Mengerjakannya

Riya’ sendiri terbagi dalam tiga macam. Pertama, riya’ perkataan di mana orang mengucapkan kalimat-kalimat dzikir maupun nasihat-nasihat, hanya untuk mendapatkan pujian dari orang banyak. Kedua, riya’ perbuatan, di mana seseorang menunjukkan kekhusyukan shalatnya atau memberikan sedekah agar dinilai sebagai orang dermawan. Ketiga, riya’ al-khafiy yang berarti riya’ yang tidak tampak atau tersembunyi. Bahkan, dalam salah satu hadits qudsi, Rasulullah bersabda, “Syirik yang tersembunyi, yaitu orang yang melakukan shalat kemudian membaguskan shalatnya tatkala dilihat oleh orang lain.” (H.R. Ibnu Majah dan Baihaqi).

 

Menunda-nundanya

‘Umar bin Al Khathab a berkata, “Menghimpun antara dua shalat tanpa ada udzur termasuk dosa besar.” Diriwayatkan pula oleh Imam Tirmidzi secara marfu’[4], dari Ibnu ‘Abbas, Nabi n bersabda, “Barangsiapa menhimpun dua shalat tanpa ada udzur, maka ia telah mendatangi salah satu pintu dosa besar.” (H.R Tirmidzi)[5]

Gerakannya Terlalu Cepat

Di antara kesalahan besar yang terjadi pada sebagian orang yang shalat: tidak tuma’ninah ketika shalat. Nabi n menganggapnya sebagai pencuri yang paling buruk, sebagaimana disebutkan dalam Musnad Imam Ahmad dari Nabi n, bahwa beliau bersabda, “Sejahat-jahat pencuri adalah yang mencuri dari shalatnya”. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana mencuri dari sholat?”. Rasulullah berkata, “Dia tidak sempurnakan ruku dan sujudnya” (H.R Ahmad no. 11532, dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahihul Jami’ 986). Maka Nabi n menganggap perbuatan mencuri dalam shalat ini lebih buruk dan lebih parah daripada mencuri harta. Thuma’ninah ketika mengerjakan shalat adalah bagian dari rukun shalat, shalat tidak sah kalau tidak tuma’ninah.[6]

 

Sedikit Menyebut atau Mengingat Allah di Dalamnya

Dalam sebuah hadis dari Anas bin Malik a, Nabi n bersabda, Itulah shalatnya orangn munafik.. duduk santai sambil lihat-lihat matahari. Hingga ketika matahari telah berada di antara dua tanduk setan (menjelang terbenam), dia baru mulai shalat, dengan gerakan cepat seperti mematuk 4 kali. Tidak mengingat Allah dalam shalatnya kecuali sedikit. (H.R. Muslim no.622).

Hadits tersebut menunjukkan bahwa hanya meluangkan untuk berdzikir sesaat dan mepet dengan waktu berakhirnya ibadah, serta tidak mengingat Allah dalam shalatnya melainkan sedikit. Shalat mereka pun dikerjakan dalam keadaan malas, dan mereka berat melaksanakannya.

 

Tidak Mengerjakannya Secara Berjamaah

Dari Abdullah bin Abbas a, Nabi n bersabda, “Barangsiapa yang mendengar adzan, namun tidak mendatanginya maka tidak ada shalat baginya, kecuali ada udzur” (H.R. Abu Daud no.551, Ibnu Majah no.793)[7]. Ibnu Abbas a mengatakan, “Aku melihat bahwa kami (para sahabat) memandang orang yang tidak shalat berjama’ah sebagai orang munafik, atau sedang sakit” (H.R. Muslim no. 654).[8]

Dalam riwayat lain disebutkan dari Abu Hurairah a, ia berkata bahwa Rasulullah n  bersabda, “Tidak ada shalat yang lebih berat bagi orang munafik selain dari shalat Shubuh dan shalat ‘Isya’. Seandainya mereka tahu keutamaan yang ada pada kedua shalat tersebut, tentu mereka akan mendatanginya walau sambil merangkak.” (H.R. Bukhari no. 657).

 

Marâji:

*Penyusun adalah alumnus Magister Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia

[1] HR. Tirmidzi, no. 413 dan An-Nasa’i, no. 466. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[2] Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadh Ash-Shalihin. Cetakan pertama, Tahun 1430 H. Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. 2:255-256. Dikutip dari https://rumaysho.com/16963-shalat-itu-yang-pertama-kali-akan-dihisab.html

[3] Nurhadi, “Konsep thuma’ninah Dalam Shalat Perspektif Imam Malik dan Imam Abu Hanifah (Kajian Teori Rukun dan Wajib Shalat)”, UANSA: Jurnal Studi Islam dan Kemasyarakatan, Vol. 13, No. 1, 2020. dan Ash-Shalah wa Hukmu Tarikiha, jilid 1 hlm. 173

[4]  Marfu’ artinya sampai pada Nabi n

[5] Hadits ini dikatakan marfu’ -sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-, walaupun pernyataan itu menuai kritikan. Imam Tirmidzi mengatakan, “Para ulama mengetahui akan hal ini dan atsar tersebut sangat ma’ruf. Para ulama menyebutkannya dan menetapkannya, tidak mengingkarinya.” https://rumaysho.com/5965-sengaja-menunda-shalat-hingga-keluar-waktu.html

[6] Sumber https://muslim.or.id/13845-tumaninah-dalam-shalat-1.html

[7] Dishahihkan oleh Ibnu Hajar dalam Bulughul Maram [114]). Hadits ini dinilai shahih oleh Syekh al-Albani dalam Misykat al-Mashabih: 1077 dan Irwa’ al-Ghalil no. 551.

[8] Sumber: https://muslim.or.id/52194-shalat-jamaah-wajib-di-masjid.html

Resolusi Muslim Di Tahun Baru

Resolusi Muslim Di Tahun Baru

Bismillahi wal hamdulillahi wash shalatu was salamu ‘ala rasulillah,

Sahabat muslim, waktu yang telah terlewati itu sebenarnya tidak berlalu melainkan hanya menutup lembaran-lembaran peristiwa yang sudah terlewati dan tidak kembali lagi. Jika baik amalan seseorang maka baik pula balasannya, namun jika buruk amalan seseorang maka penyesalanlah yang mengikutinya. Allah tidak pernah lalai sedikitpun dari manusia bahkan perpindahan detik ke detik berikutnya diperhitungkan oleh-Nya.

Pada awal tahun 2020 ini, pasti kebanyakan orang merenungkan tentang bagaimana mencapai planning list seperti dalam hal pekerjaan, kesehatan, hiburan dan lain sebagainya. Pada kenyataan seseorang tidak memerlukan tahun baru atau acara khusus untuk membuat resolusi dalam melakukan atau mencapai hal yang lebih baik. Terdapat beberapa macam resolusi yang dilakukan oleh seseorang.

Sebagian besar resolusi yang umum melibatkan manfaat kesehatan atau memperbaiki gaya hidup seperti mengurangi berat badan, berhenti merokok, bahkan berusaha untuk memiliki postur tubuh yang ideal. Akan tetapi, ada juga resolusi dalam hal memperbanyak amal, bersosialisasi dengan masyarakat atau meningkatkan kepuasan pribadi dengan liburan dan lainnya. Sebenarnya ada beberapa hal yang harus dilakukan sebelum mewujudkan semua resolusi tersebut.

Pernahkan kita renungkan apakah ada sesuatu tentang diri kita yang ingin kita tingkatkan?  Sebagai seorang muslim, kita tidak perlu menetapkan tujuan hidup yang hanya bersifat kesejahteraan materiil akan tetapi lebih mementingkan hal yang bersifat spiritual. Maksud dari spiritual lebih penting bagi seorang muslim bukan berarti tidak mempedulikan kesejahteraan materiil. Kita harus selalu mengingat bahwa akhirat adalah kehidupan yang hakiki sedangkan dunia segera berlalu dan pada hakikatnya gemerlap dunia hanyalah kekeruhan.

Sesungguhnya, barang siapa mendahulukan akhiratnya, maka ia akan mendapatkan kenikmatan akhirat dan kenikmatan dunia sekaligus. Hal ini mudah bagi yang diberi kemudahan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sesungguhnya, orang yang meninggalkan sesuatu karena Allah maka Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik dari yang ia tinggalkan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Barang siapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (Q.S. an-Nahl [16]: 97)

Setiap awal tahun baru, masing-masing pribadi menitipkan lembaran-lembaran tahun yang telah terlewati, sedangkan dihadapanya ada tahun baru yang sedang berjalan. Inti dari masalahnya bukan pada kapan tahun baru usai dan menjelang, namun inti masalahnya adalah  bagaimana kita dahulu mengisi tahun yang telah berlalu dan bagaimana kita akan menghiasi tahun yang akan datang. Sebagai seorang mukmin, marilah kita menjadi pribadi yang baru disetiap waktu. Artinya menjadi insan yang suka akan tafakkur (berfikir) dan tadzakkur (merenung).

Tahapan Tafakkur

Terdapat dua tahapan tafakkur :

  1. Tafakkur hisab (introspeksi)

Seseorang memikirkan dan menghitung amalannya di tahun silam, kemudian dia teringat dan merenungkan (tadzakkur) akan dosa-dosanya hingga hati menyesal, lisannya pun beristighfar memohon ampun kepada Allah

  1. Tafakkur Isti’dâd (persiapan)

Seseorang mempersiapkan ketaatan pada hari-harinya dengan memohon pertolongan kepada Rabbnya agar bisa mempersembahkan ibadah dan amalan-amalan sholih.

Mungkin sampai saat ini kita masih memprioritaskan kebahagiaan yang bersifat duniawi sebagai lingkaran besar dalam hidup kita dari pada kebahagiaan yang bersifat ukhrawi. Orang-orang yang bervisi duniawi mempunyai cara masing-masing untuk mencari kebahagiaan. Entah dengan harta, tahta, wanita, popularitas dan lain-lain yang dipikiran kita hanya “do what makes us happy” dan lupa bahwa tujuan hidup adalah “do what makes Allah happy”.

Resolusi Muslim

Sahabat Muslim, tahun baru merupakan waktu yang mengandung nasihat bagi hamba yang berfikir dan merenung. Sahabat muslim, sudah seharusnya kita memiliki visi dan misi yang jelas dan berorientasi untuk meraih syurga-Nya. Untuk menjadi pribadi yang baru disetiap waktu, hendaknya setiap kita memiliki acuan resolusi Muslim di tahun ini.

  1. Semangat menjadi penuntut ilmu.

Diantara sekian banyak nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah kita rasakan, ada satu nikmat yang melandasi kenikmatan lainnya yaitu ilmu. Sebab dengan ilmu, seseorang dapat memahami berbagai hal dan mendapatkan kedudukan yang tinggi di sisi Allah l. Dengan ilmu, kita menjadi orang yang tahu bagaimana kita harus bersikap. Siapa yang terus menuntut ilmu maka akan bertambahlah ilmunya dan akan mengantar dia ke jannah-Nya.

Dari Abu Hurairah a, ia berkata bahwa Rasulullah ` bersabda, “Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (H.R. Muslim, no. 2699)

  1. Semangat upgrade amalan

Menuntut ilmu saja tidak cukup, perlu aksi agar ilmu yang kita peroleh menjadi berkah. Refleksi ilmu selayaknya berpengaruh pada amalan kita yang kian meningkat. Ilmu diamalkan baik amalan hati maupun badan. Misalnya kita berkomitmen untuk merutinkan amalan-amalan yang selama ini sering kita abaikan seperti sholat berjamaah di masjid bagi laki-laki, menyempurnakan sholat Sunnah rawatib, merutinkan puasa Senin Kamis dan amalan-amalan lainnya.

  1. Berorientasi dengan kehidupan akhirat

Sesungguhnya seorang Muslim, ketika meniti perjalanan hidupnya memiliki tujuan. Dia melakukan perjalanan hidupnya agar dapat mengenal siapa Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan memahami tauhid uluhiyyah, rububiyyah, nama-nama dan sifat-sifat Allah. Inilah tujuan perjalanan hidup yang pertama ma’rifatullâh (dalilnya: Q.S. Ath-Thalâq [65]: 12). Kemudian dia iringi  ma’rifatullah itu dengan ‘ibadatullâh (beribadah dan ta’at kepada Allah). Dan inilah tujuan perjalanan hidup yang kedua bagi seorang Muslim, yaitu agar dia bisa beribadah hanya kepada-Nya saja dengan benar (dalilnya: Q.S. Adz-Dzâriyât [51]: 56), ia persembahkan jiwa raganya untuk Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Katakanlah sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (Q.S. al-An’am [6]: 162)

Adapun akhir perjalanan adalah surga, di dalamnyalah tempat peristirahatan Muslim yang abadi, istirahat dari letihnya perjalanan sewaktu di dunia dahulu, menikmati kenikmatan yang tidak pernah dilihat mata, tak pernah didengar telinga, dan tak pernah terbetik dalam hati manusia. Maka dari itu, apapun peran kita di dunia, tetaplah berorientasi dengan akhirat. Istiqomah dengan tujuan utama hidup di dunia, akhirat dan tentu saja cita-cita tertinggi sebagai muslim adalah surganya Allah l.

  1. Berbuat kebaikan di setiap waktu

Berbuat baik untuk menebar kebaikan dengan berprasangka baik. Contohnya perbuatan itu bisa berupa komitmen untuk bersedekah dengan hanya mengharap ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kita wajib berbuat baik setiap waktu, hari, bulan dan tahun. Allâh l telah bersumpah dengan menyebut masa dalam firman-Nya, “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasihat-menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.” (Q.S. al-‘Ashr [103]: 1-3). Allah l telah menyemangati hamba untuk senantiasa beriman, beramal shalih dan nasehat menasehati dalam kebenaran dan kesabaran. Masya Allâh, sungguh indah jika kita bisa memanfaatkan waktu untuk mengenal agama yang telah sempurna ini.[]

 

Uswatun Hasanah, S.Pd

 

Refrensi

Faqih, A. R., & Pasir, S. (2005). Jalan Bagi Mereka Yang Gelisah. Yogyakarta: LPPAI.

https://almanhaj.or.id/10851-akhirat-kehidupan-yang-hakiki.html

 

Mutiara Hikmah

Allah lberfirman,

Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat.” (Q.S. Hûd [11]: 118)

 

Download Buletin klik disini

 

Manajemen Waktu

Manajemen Waktu

Bismillahi wal hamdulillahi wash shalatu was salamu ‘ala rasulillah,

Pembaca yang dirahmati Allah, sudah kita ketahui bahwa Islam merupakan agama yang sempurna dan menjadi rahmat  bagi semesta alam. Segala sesuatunya di atur dalam al-Qur’an dan Sunnah. Mulai dari bersuci,  shalat, mu’amalah, jual beli, hingga perihal mengatur waktu. Beberapa kali Allah Subhanahu wa Ta’ala bersumpah dalam al-Qur’an mengenai waktu. Seperti demi waktu Ashar, waktu dhuha, demi waktu fajar, demi malam dan masih banyak lagi.

Allah Subhanahu wa Ta’ala bersumpah demi waktu tersebut tentunya dikarenakan terdapat makna yang mendalam akan waktu. Maka dari itu, kita harus memberikan perhatian yang amat besar untuk memanfaatkannya sesuai dengan ketentuan dan sebagaimana yang telah di contohkan oleh nabi Muhammad .

Manajemen waktu merupakan perencanaan, pengorganisasian, dan pengawasan terhadap waktu. Hal ini perlu diperhatikan agar pekerjaan dapat terselesaikan secara efektif dan efisien. Waktu harus digunakan sebaik-baiknya. Karena, apa yang sudah terlewatkan tidak akan pernah dapat kembali. Kebanyakan manusia lalai terhadap waktu sehingga waktu terbuang sia-sia tanpa mengahasilkan apa yang bermanfaat baginya.

Mereka berkata “andai saja aku punya banyak waktu, pasti aku bisa menyelesaikan tugas ini, tugas itu” perkataan ini merupakan contoh yang salah, karna mereka tidak menghargai waktu luang dan lebih suka berleha-leha. 24 jam siang berganti malam merupakan suatu anugerah yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada seluruh umat manusia. Tapi sayangnya, banyak orang yang tidak dapat mengatur waktunya hingga waktu terus berjalan dan penyesalan pun datang.

Waktu yang telah berlalu tidak akan pernah kembali. Jika ditukar dengan uang berapa pun juga tidak akan pernah terbayar. Hasan al- Banna’ mengatakan bahwa “waktu adalah kehidupan” bagaimana kamu menghabiskan waktumu ialah bagaimana kamu menghabiskan hidupmu. (how do you spend your time is how do you spend your life)”. Sehingga, jangan sampai usia dan hidup kita hanya kita manfaatkan untuk tidur dan bermalas-malasan. Kita harus bisa menghargai waktu dan melakukan aktivitas produktif dan bermanfaat bagi diri sendiri maupun orang lain.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam al-Qur’an surat al-Ahzab ayat 21, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Q.S. Al-Ahzab [33]: 21)

Terdapat suri tauladan yang baik pada diri Rasulullah `, mulai dari bangun tidur hingga tidur kembali. Maka, kita harus mencontoh sepenuhnya kehidupan kita dari Rasulullah `. Di antaranya terdapat beberapa rahasia manajemen waktu ala Rasulullah ` dalam beribadah, bekerja, berkarya sehingga bermanfaat bagi orang lain.

  1. Bangun di awal waktu

Ketika Rasulullah ` pulang dari shalat Shubuh dari Masjid Nabawi, beliau  mendapati putrinya bernama Fatimah masih dalam kondisi tidur. Maka beliau bersabda,  “Wahai anakku, bangunlah, saksikan rezeki Tuhan-mu dan janganlah kamu termasuk orang yang lalai, Karena Allah l memberi rezeki kepada hamba-Nya antara terbit fajar dengan terbit matahari. ” ( H.R. Imam Ahmad dan al-Baihaqi).

Waktu pagi memiliki banyak keutamaan. Diantaranya, karena dipagi hari merupakan waktu yang penuh akan keberkahan dan kesuksesan, Rasulullah `  bersabda, “Berangkatlah pagi-pagi untuk mencari rezeki dan segala kebutuhan. Sesungguhnya, berangkat bekerja di pagi hari (dipenuhi dengan) keberkahan dan kesuksesan.” (H.R. Thabrani No. 7.457).

Selain itu, Rasulullah ` juga memanjatkan doa bagi mereka yang bangun sebelum subuh “Ya Allah, berkahilah umatku di waktu paginya” (H.R. Abu Daud no. 2606) . Karena di pagi hari merupakan waktu dibagikannya rezeki.

Terdapat korelasi antara manfaat bagun pagi dari aspek Islam dan aspek kesehatan. Diantaranya ialah tubuh terasa menjadi lebih segar, melancarkan peredaran darah, menyehatkan paru-paru, meningkatkan daya ingat, menyehatkan jantung, meningkatkan sistem imun, meningkatkan produktivitas, memberikan mood yang bagus, hingga membangkitkan semangat dan masih banyak lagi.

  1. Disiplin

Rasulullah ` mengajarkan umat Islam untuk pandai mengatur waktu, yakni dengan cara disiplin menegakkan waktu sholat. Sholat tepat waktu merupakan amalan yang paling dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dari Abdullah bin Mas’ud  a beliau berkata, ‘Amalan apakah yang paling dicintai Allâh?’ Beliau ` menjawab, “Shalat pada waktunya.” (H.R. tirmidzi dan Hakim)

Abdul Fattah Abu Ghuddah menyimpulkan bahwa dalam hadits tersebut terdapat kunci kesuksesan umat Islam dalam memanfaatkan waktu. Bagaimanapun, shalat merupakan ibadah yang waktunya sudah ditetapkan. Apabila seorang muslim melaksanakannya tepat waktu, maka ia juga akan selalu memperhatikan setiap pekerjaan pada waktunya sehingga setiap pekerjaan akan terlaksana dengan baik. saat adzan berkumandang, maka segeralah mengambil air wudhu dan menegakkan sholat di awal waktu dan berjamaah.

  1. Istirahat yang cukup

Tidur merupakan perkara penting dalam kebiasaan hidup seseorang. Kurang tidur seseorang yang terus menerus dapat menyebabkan pelemahan sistem imun (sistem kekebalan tubuh). Sebaliknya, apabila kita memiliki tidur yang cukup akan membantu kita dalam mengurangi rasa letih, lesu, kesal sehingga memunculkan pikiran positif. Hal ini dibuktikan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Dan Kami jadikan tidurmu untuk istirahat” (Q.S. an-Naba’[78]: 9)

Rasulullah ` memiliki kebiasaan tidur pada awal malam dan bangun pada pertengahan malam. Hal ini dibuktikan dalam hadits Nabi `, “Bahwasanya Rasulullah ` membenci tidur malam sebelum (sholat Isya) dan berbincang-bincang (yang tidak bermanfaat) setelahnya (begadang).” (H.R Bukhari dan Muslim). Perintah Nabi Muhammad memiliki korelasi positif dengan ilmu kesehatan yang mengacu pada sistem kerja organ tubuh.

Selain tidur di awal malam, Rasulullah ` juga menganjurkan umatnya tidur di pertengahan siang (Qailullah) agar pada malam harinya (tengah malam) bisa bangun untuk menunaikan ibadah shalat malam (shalat tahajjud). Qailullah merupakan tidur sebentar pada pertengahan siang hari sekitar 20-30 menit sebelum atau setelah dzuhur.

  1. Isi waktu kosong dengan hal yang bermanfaat

Allah l berfirman dalam al-Qur’an surat al-Insyiroh ayat 7 yang artinya “Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.” (Q.S. al Insyirah [94]: 7). Maka hendaknya kita sebagai umat Islam yang mengetahui ayat tersebut juga mengamalkan apa yang Allah l perintahkan. Para dokter menyatakan bahwa 50% kebahagiaan hidup dapat diperoleh dari bagaimana seseorang mengisi waktu kosong dengan kegiatan yang bermanfaat.

Dalam kehidupan keseharian kita lihat para kuli bangunan, petani di sawah, guru mengajar di sekolah merasa lebih tenang dan bahagian dibandingkan dengan orang yang melamun dan tergeletak diatas kasur akibat pengagguran. Seperti dalam Mahfuzhot Inna asy-syababa wa al-faragha mafsadatun li-l-mar’i ayya mafsadatin.

Nabi Muhammad ` merupakan sosok manusia yang agung akhlaknya dan luhur budi pekertinya. Dalam kehidupan, kita harus selalu meneladani Rasulullah ` dalam setiap aktivitas, baik dalam aspek ibadah maupun mu’amalah karena hanya inilah merupakan wujud dari cinta kita terhadap Nabi Muhammad `. Seluruh perilaku Nabi Muhammad ` dalam kesehariannya merupakan teladan (uswah) yang baik, karena didalamnya banyak memberi manfaat dalam kehidupan umat manusia. Oleh karena itu, marilah kita teladani bagaimana alur kegiatan beliau agar bernilai ibadah.

Ikke Pradima Sari

NIM: 17422171

Pendidikan Agama Islam UII

 

Mutiara Hikmah

Nabi `  bersabda,

اللَّهُمَّ بَارِكْ لأُمَّتِى فِى بُكُورِهَا
Ya Allah, berkahilah umatku di waktu paginya.” (HR. Abu Daud no. 2606)

Download Buletin klik disini

Tahun Baru Masehi Milik Siapa?

Tahun Baru Masehi Milik Siapa? 

Bismillahi walhamdulillâh wash shalatu was salâmu ‘ala rasûlillâh,

Sudah menjadi polemik di tengah-tengah kaum muslimin soal perayaan hari pergantian tahun di setiap tahunnya. Ada yang menerima bahkan turut serta dalam perayaan malam pergantian tahun baru tersebut, namun ada juga yang menolak dan menjaga diri dari segala macam bentuk kegiatan yang berkaitan dengan malam perayaan tahun baru tahunan itu. Mayoritas kaum muslimin sejak dulu sudah sangat akrab dengan malam tahun baru yang puncaknya adalah pada pukul 00.00 pagi, di mana suara gemuruh kembang api terdengar hampir dari seluruh penjuru mata angin, serta  langit-langit yang  terlihat bercahaya dan penuh dengan gemerlapnya. Perayaan tersebut hampir diikuti oleh seluruh manusia termasuk kaum muslimin, tidak terkecuali negeri-negeri Arab, seperti Uni Emirat Arab yang disebut-sebut sebagai penyelenggara perayaan tahun baru paling spektakuler di Timur Tengah. Namun pernahkah kaum muslimin yang merayakan itu membaca dan menelaah tentang sejarah perayaan tahun baru masehi itu?

Sejarah Perayaan Tahun Baru

Banyak versi tentang sejarah perayaan tahun baru yang tiap tahunnya menjadi pergelaran akbar di seluruh dunia itu. Bagi mereka yang membolehkan, meyakini bahwa tahun baru itu sudah dimulai sejak abad ke 4 Masehi menurut kebiasaan orang-orang Romawi, ada juga yang mengatakan itu hanya soal model penanggalan matahari dan bulan sehingga tidak ada kaitannya dengan agama apapun. Sedang bagi mereka yang tidak membolehkan perayaan tahun baru, meyakini bahwa sejarah perayaan pergantian tahun itu berkaitan erat dengan kelahiran Yesus atau Isa Al-Masih yang dianggap Tuhan atau anak Tuhan.

Mari coba kita telaah, tahun Masehi sangat berhubungan erat dengan keyakinan agama Kristen, Masehi adalah nama lain dari Isa al-Masih. Orang yang pertama kali membuat penanggalan kalender Masehi adalah seorang kaisar Romawi bernama Gasius Julius Caesar pada tahun 45 SM. Kemudian seorang pendeta Kristen bernama Donisius memanfaatkan penemuan kalender Julius Caesar untuk diadopsi (diangkat) sebagai penanggalan yang didasarkan pada tahun kelahiran Yesus Kristus.

Sedang di zaman Romawi, pesta perayaan ulang tahun baru adalah untuk menghormati Dewa Janus (Dewa yang digambarkan bermuka dua). Perayaan ini terus dilesatarikan dan menyebar ke Eropa pada awal abad Masehi. Seiring berkembangnya agama Kristen, akhirnya perayaan ini diwajibkan oleh pemimpin Negara sebagai perayaan “suci” satu paket dengan hari Natal. Inilah sebabnya ucapan Natal dan Tahun baru dijadikan satu Merry Christmas and Happy New Year.

Pendapat yang demikian salah satunya dikemukakan oleh Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU yakni KH. Cholil Nafis “Perayaan tahun baru tersebut bukan milik umat Islam. Beliau menjelaskan tahun baru Masehi adalah tahun umat Kristiani yang menghitung awal tahun dari kelahiran Nabi Isa (Yesus). Oleh karena itu, tidak ada hubungan dan kepentingan umat Islam dengan pergantian tahun yang dimulai pukul 00.00 pada tanggal 31 Desember itu. Jadi, umat Islam tidak baik dan tidak perlu merayakan apapun berkenaan dengan pergantian tahun. Jika pergantian tahun Masehi berkenaan dengan mengisi liburan kerja dan sekolah, maka isilah dengan hal-hal yang positif.”

Persfektif Islam soal Perayaan Tahun Baru

Kita sepakat, bahwa perayaan tahun baru Masehi bukanlah tradisi Islam. Bahkan perayaan ini datang dari orang yang notabene tidak beriman kepada Allah atau kafir. Sebagaimana yang telah dijelaskan pada pembahasan sejarah, bahwa tahun baru merupakan pesta warisan dari masa lalu yang dahulu dirayakan oleh orang-orang Romawi. Mereka (orang-orang Romawi) mendedikasikan hari yang istimewa ini untuk seorang dewa yang bernama Janus, The God of Gates, Doors, and Beeginnings. Janus adalah seorang dewa yang memiliki dua wajah, satu wajah menatap ke depan dan satunya lagi menatap ke belakang, sebagai filosofi masa depan dan masa lalu, layaknya momen pergantian tahun.

Namun apapun itu, larangan Nabi ` terkait mengikuti perayaan-perayaan di luar perayaan Islam amatlah jelas, Beliau Rasulullah ` bersabda, “Barangsiapa yang meniru kebiasaan suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari kaum tersebut”. (H.R. Abu Dawud). Kemudian Beliau ` juga bersabda tentang hari raya umat Islam untuk menegur sahabat yang masih melaksanakan hari raya umat sebelum Islam, yakni perayaan Nairuz dan Mihrajan, “Saya mendatangi kalian dan kalian memiliki dua hari raya, yang kalian jadikan sebagai waktu untuk bermain. Padahal Allah telah menggantikan dua hari raya terbaik untuk kalian,(yakni) idul fitri dan idul adha.” (H.R. Ahmad).

Dari hadis tersebut jelaslah bagi kita akan pengingkaran Nabi ` terhadap bentuk perayaan-perayaan di luar Islam, bahkan perayaan Nairuz dan Mihrajan yang dirayakan penduduk madinah, isinya hanya bermain-main dan makan-makan. Sama sekali tidak ada unsur ritual sebagaimana yang dilakukan orang majusi, sumber asli dua perayaan ini. Namun mengingat dua hari tersebut adalah perayaan orang kafir, Nabi ` melarangnya.

Sikap Kaum Muslimin Terhadap Perayaan di Luar Islam

Untuk sikap yang sebaiknya diambil oleh seorang muslim terkait perayaan malam tahun baru, dengan menimbang pemaparan di atas adalah menahan diri untuk tidak ikut berpartisipasi dalam segala bentuk  kegiatan yang didasari atas pengkhususan malam tahunan tersebut, terlebih lagi belum lama kita telah dihadapkan dengan fitnah ucapan selamat natal yang dapat mengikis aqidah tauhid, sebagaimana firman Allah , “Dan mereka berkata: “Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak.” Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar, hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung-gunung runtuh, karena mereka menda’wakan Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak. Dan tidak layak bagi Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak.” (Q.S. Maryam [19]: 88-92).

Ucapan selamat natal jelas terkandung di dalamnya 2 kemungkaran. Pertama, jika seorang yang mengucapkan selamat natal itu diikuti dengan keyakinan akan kelahiran Yesus atau Nabi Isa n sebagai anak Tuhan, maka batal lah keislamannya menurut dalil syara’.

Kedua, jika dia mengucapkan selamat natal namun tidak mengikutinya dengan keimanan terhadap kelahiran Yesus atau Nabi Isa n sebagai anak Tuhan, maka dia telah memberikan kesaksian atau selamat palsu, yang juga merupakan dosa besar dan bisa menjadi sebab kemunafikan dalam hati. Karenanya sikap yang paling selamat dalam menghadapi ujian-ujian keimanan tersebut adalah mendiamkan. Karena mendiamkan adalah bentuk paling nyata dari sebuah toleransi.

Penulis ingin mengutip Fatwa MUI NTB tentang ucapan dan partisipasi terhadap perayaan umat lain pada poin nomor 3 dan 6 yang bunyinya:

  1. Kepada seluruh kaum Muslimin agar menjaga aqidah serta kepribadian sebagai umat Islam dan menjauhkan diri dari mengikuti kegiatan ibadah umat lain dan jangan meniru ciri khas mereka.
  2. Kepada seluruh kaum Muslimin dihimbau untuk tulus (ikhlas) menerima ajaran Islam dan masuk ke dalam Islam secara utuh agar terhindar dari kesesatan dan penyesatan yang membuat umat akan kehilangan kepribadian yang Islami (Syakhshiiyyah Islamiyyah).

 

Anas Ahamad Rahman

Mahasiswa Pasca MIAI UII

 

Mutiara Hikmah:

“…Allah dan Rasul-Nya yang lebih berhak untuk mereka cari keridhoan-Nya…” (Q.S. At-Taubah [9]: 62)

 

Download Buletin klik disini

Hukum Ucapan Selamat Natal Bagi Muslim

Hukum Ucapan Selamat Natal Bagi Muslim

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang multikultural, sebab ia terdiri dari berbagai agama dan kepercayaan. Namun, ada kalanya kemajemukan ini menimbulkan polemik tertentu pada masyarakat. Di antaranya adalah terkait hukum ucapan selamat natal bagi umat Islam yang diucapkan kepada umat Nasrani (kristiani). Polemik ini hampir terjadi di setiap tahun. Berhubung kasus ini erat kaitannya dengan istinbath al-hukmi, maka penulis akan mengulas hukum ucapan selamat natal dengan menggunakan perspektif  fiqih yang akan dikaitkan juga dengan akidah.

Dasar Pemahaman

Kita tidak akan menemukan dalil dari al-Qur’an maupun as-Sunnah secara spesifik untuk dapat menyimpulkan hukum ucapan selamat Natal. Sebab, di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah tidak disebutkan secara spesifik terkait dengan kebolehan atau keharaman mengucapkan selamat natal. Polemik ini terjadi di era kontemporer, dimana ia muncul karena keinginan sebagian umat Islam yang hendak mengekspresikan sikap toleransinya kepada non-Muslim.

Maka, karena ia tidak ditemukan di dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah yang secara tegas menghukuminya, kasus ini masuk dalam kategori Ijtihadi. Hakikatnya, jumhur ulama (mayoritas ulama) dari 4 madzhab besar dalam ilmu Fiqih (Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali) telah sepakat akan keharaman pengucapan selamat Natal kepada umat Nasrani. Namun, ulama-ulama kontemporer kembali mengulas hukum tersebut dikarenakan kasus ini masuk dalam kategori Ijtihadi.

Perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan ulama kontemporer, disebabkan oleh Ijtihad mereka dalam memahami generalitas (keumuman) ayat atau Hadits yang kiranya terkait dengan kasus ini. Contohnya perbedaan sikap yang diambil oleh para ulama kontemporer seperti Ibn Baz, Ibnu ‘Utsaimin, Ali Jum’ah, Yusuf al-Qardhawi, Habib Ali Aljufri, Buya Hamka, dan ulama kontemporer lainnya.

Dasar Hukum yang Membolehkan

Para ulama yang memilih sikap untuk membolehkan ucapan selamat Natal bagi umat Nasrani mendasari hukumnya pada firman Allah l di dalam surat al-Mumtahanah ayat 8: “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”(Q.S. al-Mumtahanah [60]: 8)

Pada ayat tersebut, Allah l menegaskan bahwa perbuatan baik (Ihsan) kepada siapa saja itu tidak dilarang, selama mereka tidak memerangi dan mengusirnya dari negerinya. Sedangkan, mengucapkan selamat natal merupakan salah satu bentuk perbuatan baik kepada orang non-muslim, sehingga perbuatan tersebut diperbolehkan.

Selain itu, dalam hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik a Rasulullah ` bersabda, “Dahulu ada seorang anak Yahudi yang senantiasa melayani (membantu) Nabi `, kemudian ia sakit. Maka, Nabi ` mendatanginya untuk menjenguknya, lalu beliau duduk di dekat kepalanya, kemudian berkata: ‘Masuk Islam-lah!’ Maka anak Yahudi itu melihat ke arah ayahnya yang ada di dekatnya, maka ayahnya berkata,‘Taatilah Abul Qasim (Nabi `). Maka anak itu pun masuk Islam. Lalu Nabi ` keluar seraya bersabda, ‘Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkannya dari neraka.’” (H.R. Al-Bukhari no. 1356, 5657)

Pada hadits tersebut, Rasulullah ` memberi teladan kepada umatnya untuk berbuat baik kepada non-Muslim. Sehingga mengucapkan selamat Natal yang merupakan salah satu bentuk perbuatan baik kepada non-muslim pun diperbolehkan, walaupun bukan dalam keadaan darurat. Ucapan tersebut diperbolehkan selama tidak mengganggu Akidahnya terhadap Allah dan Rasul-Nya serta tidak mendukung keyakinan umat Nasrani tentang kebenaran peristiwa natal.

Ulama kontemporer yang mendukung pendapat ini diantaranya Yusuf al-Qardhawi, Musthafa Zarqa, Abdullah bin Bayyah, Ali Jum’ah, Habib Ali Aljufri, Quraish Shihab, Abdurrahman Wahid, Said Aqil Sirodj, dan lain sebagainya.

Dasar Hukum yang Mengharamkan

Para ulama yang memilih sikap untuk mengharamkan ucapan selamat natal bagi umat Nasrani mendasari hukumnya pada firman Allah l di dalam surat al-Furqan ayat 72, “Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (Q.S. al Furqan [25]: 72)

Pada ayat tersebut, Allah l menjanjikan bagi orang yang tidak memberikan kesaksian palsu dengan martabat yang tinggi di surga. Sedangkan, apabila seorang muslim mengucapkan selamat natal berarti dia telah memberikan kesaksian palsu dan membenarkan keyakinan umat Nasrani tentang hari Natal (kelahiran Yesus Kristus, salah satu Tuhannya umat Nasrani). Konsekuensinya adalah ia tidak akan mendapatkan martabat yang tinggi di surga. Dengan demikian, mengucapkan selamat natal kepada umat kristiani tidak diperkenankan.

Selain itu, dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Umar h Rasulullah ` bersabda, “Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka dia termasuk bagian kaum tersebut.” (H.R. Abu Daud, no. 4031).

Pada hadits tersebut, Rasulullah ` mewanti-wanti umat Islam terhadap perbuatan tasyabbuh terhadap non-muslim. Dalam kaidah Bahasa Arab (tepatnya adalah ilmu Shorof), kata tasyabbuh berasal dari wazan Tafa’ul, yang bermakna muthawa’ah (menurut), takalluf (memaksa), dan juga tadarruj (bertahap atau parsial) dalam melakukan suatu perbuatan. Sehingga, dari wazan ini kata tasyabbuh memiliki faidah perbuatan yang dilakukan sedikit demi sedikit, yang awalnya barangkali ia merasa terpaksa/ikut-ikutan dengan perbuatan tersebut sampai kemudian ia menurut dan terbiasa mengerjakannya.

Dengan kata lain, siapa saja menyerupai suatu kaum maka ia lama kelamaan akan tunduk kepada mereka. Oleh sebab itu, hendaknya seorang muslim tidak bermudah-mudahan dalam melakukan perbuatan yang menyerupai orang non-muslim, sebab ia merupakan pintu menuju ketundukan kepada mereka. Sehingga,sikap tegas dengan kaidah saddud dzari’ah (menutup pintu keburukan) merupakan suatu kaidah yang tepat dalam kasus ini agar akidah kita tidak tergoyahkan akibat ikut-ikutan mengucapkan selamat Natal sebagaimana yang dilakukan oleh umat Nasrani.

Dengan demikian, umat Islam yang mengucapkan selamat Natal kepada umat Nasrani berarti telah melakukan tasyabbuh sekaligus memberikan kesaksian palsu dan membenarkan keyakinan umat kristiani tentang kebenaran peristiwa natal. Sehingga, kasus ini masuk juga ke dalam ranah akidah yang mengkompromikan antara tauhid dengan syirik. Atas dasar inilah hukum ucapan tersebut diharamkan secara tegas.

Ulama kontemporer yang mendukung pendapat ini diantaranya Ibn Baz, Ibnu Utsaimin, Buya Hamka (Abdul Malik Karim Amrullah), Buya Yahya (Habib Yahya Zainul Ma’arif), Ibrahim bin Ja’far, Ja’far At-Thalhawi, Khalid Basalamah, Abdul Somad, Adi Hidayat, dan lain sebagainya.

Kesimpulan

Dari pemaparan tersebut, dapat disimpulkan bahwa para ulama kontemporer berbeda pendapat tentang hukum ucapan selamat Natal. Ada yang mengharamkan, ada pula yang membolehkan. Maka, perbedaan semacam ini hendaknya tidak boleh menjadikan internal umat Islam di Indonesia semakin terpecah hanya diakibatkan oleh perbedaan pemilihan sikap dalam kasus ini.

Apabila kita memilih sikap untuk membolehkannya, pastikan bahwa pembolehan tersebut demi menjaga kedamaian dan kerukunan antar umat beragama, dengan tetap menjaga akidah kita sebagai seorang Muslim. Apabila kita memilih sikap untuk mengharamkannya, pastikan bahwa pengharaman tersebut merupakan bentuk ghirah kita dalam menjaga prinsip akidah umat Islam yang tegas namun tetap menjaga nilai-nilai toleransi antar umat beragama dengan bentuk yang berbeda.

Sikap apapun yang dipilih, mari senantiasa kita menjaga persatuan umat Islam diantara perbedaan yang ada. Pada akhirnya nanti kita akan mempertanggungjawabkan dihadapan Allah l pada yaumul hisab (hari kiamat).

Sikap Penulis

Penulis lebih memilih sikap tidak memperkenankan mengucapkan ucapan selamat natal kepada umat Nasrani dengan tetap menghormati para ulama yang membolehkannya. Sikap tersebut penulis pilih berlandaskan kaidah saddud dzari’ah terhadap madharat yang akan terjadi apabila memilih sikap membolehkannya. Sebab dalam syariat Islam ada kaidah Dar’u al-Mafasid Muqoddamun ‘ala Jalbi al-Mashalih (Menolak mudharat lebih diprioritaskan dari mengambil manfaat). Madharat dari pembolehan pengucapan selamat Natal ini adalah adanya kompromi antara tauhid dengan syirik serta kesaksian palsu dan pembenaran keyakinan umat kristiani tentang peristiwa Natal. Kaum muslimin di Indonesia tidak mengucapkannya pun, tidak akan terganggu dikarenakan sikap statis tersebut. Sebab umat Islam masih akan tetap berbuat baik dan mampu bertoleransi kepada mereka walau dalam aspek yang lain.

Saiful Aziz al-Bantany

Mahasiswa Pasca UIN Sunan Kalijaga

 

Mutiara Hikmah

لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ

“Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku. (Q.S. al-Kafirûn [109]: 6)

 

Download Buletin klik disini

Langkah Cerdas Generasi Muslim Menapaki Jalan Kehidupan

Langkah Cerdas Generasi Muslim Menapaki Jalan Kehidupan

قَالَ الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلَاقُو اللَّهِ كَمْ مِنْ فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإِذْنِ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ

“Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah, berkata: “Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.”

(Q.S al-Baqarah [2]: 249) 

Ayat ini mengisahkan tentang kisah Thalut bersama para tentaranya yang pergi untuk memerangi bangsa amaqoh. Thalut berkata kepada para tentaranya bahwa sesungguhnya Allah akan menguji mereka dengan sebuah sungai yang akan mereka seberangi. Tujuannya adalah untuk mengetahui mana orang mukmin dari orang munafik. Barangsiapa yang meminum air sungai tersebut, maka bukan termasuk dalam golongannya (munafik). Sedangkan yang mampu menahan nafsunya untuk tidak minum air sungai tersebut maka termasuk dalam golongan mukmin yang pantas untuk berjihad bersama Thalut bersama tentaranya yang semakin sedikit sekitar 300 orang untuk memerangi musuh.

Sementara jumlah musuh lebih banyak dan alat-alat perang mereka lebih hebat daripada tentaranya. Maka, bala tentara Thalut berkata, “Hari ini tidak ada kesanggupan dari kami untuk menghadapi Jalut dan bala tentaranya yang tangguh-tangguh.” Akan tetapi orang-orang yang beriman kepada Allah mengingatkan kawan-kawannya tentang Allah dan kekuasaan-Nya, seperti tersebut dalam surat al-Baqarah ayat 249.

Berdasarkan Tafsir Al-Mukhtashar dari Syaikh Dr. Shalih bin Abdullah bin Humaid فَصَلَ (keluar), yakni Thalut keluar dari negerinya ke suatu sungai. Beberapa pendapat mengatakan bahwa sungai tersebut sungai Urdun dan Palestina. Dan ujian yang dimaksud adalah ujian untuk menguji ketaatan mereka.

Maka dari kisah Thalut ini kita belajar, bahwa Allah bersama orang-orang yang bersabar dan mengimani sifat-sifat-Nya serta pahala terbaik dari sisi-Nya. Betapa banyak hamba yang menganggap kuantitas lebih prioritas dibandingkan kualitas. Padahal, Allah akan menolong orang-orang yang beriman dan beramal shalih. Adapun di hati kaum muslimin terdapat iman yang kokoh dan bala tentara Allah yang lebih tangguh dari sisi-Nya.

Pantang Menyerah Sebelum Berjuang

Thalut dan bala tentaranya yang mukmin pantang menyerah menghadapi musuh. Hal ini menunjukkan bahwa Allah tidak melihat ukuran fisik semata, melainkan kepada hati (keimanan) setiap hamba-Nya. Kun Fayakun! Jadilah Maka Jadilah ! Tidak ada satu pun yang mampu menangguhkan kekuasaan-Nya ketika Allah sudah berkehendak.

Mustahil bagi Allah untuk bergantung pada manusia. Maka, generasi muslim masa kini seharusnya mampu meningkatkan kecerdasaran spiritual dan kekuatan mental dalam menghadapi tantangan hidup yang sementara ini. Ketika memulai ikhtiar maka Allah senantiasa memerintahkan kita untuk meluruskan niat, mengamalkan dengan perbuatan, dan menyempurnakan dengan doa.

Allah Maha Hidup dan Berkuasa atas segala sesuatu, Allah l berfirman, “Dan berapa banyaknya para Nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut(nya) yang bertaqwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah,tidak lesu, dan tidak (pula) menyerah. Dan Allah menyukai orang-orang yang sabar.” (Q.S Ali ‘Imran [3]: 146).

Istiqomah Bersama dalam Jama’ah

Allah berfirman, “Dan sabarkanlah dirimu untuk selalu bersama dengan orang-orang yang menyeru kepada Rabbnya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya. Dan janganlah kamu palingkan kedua matamu dari mereka karena mengharap perhiasan kehidupan dunia…” (Q.S al-Kahfi [18]: 28).

Berdasarkan tafsir Jalalyn, dijelaskan bahwa manusia diperintahkan untuk bersabar berada dalam jama’ah atau kelompok-kelompok yang menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran dengan hanya mengharap ridha Allah 24 jam. Dan janganlah berpaling dari mereka dan mengharapkan materi darinya sekalipun mereka adalah fakir miskin ataupun orang kaya karena mengharapkan perhiasan dunia. Manusia diberikan peringatan untuk tidak mengikuti orang-orang yang telah Allah lalaikan hatinya dari mengingat al-Qur’an.

Diriwayatkan dalam As-Shahihain, Rasulullah ` bersabda, “Akan senantiasa ada tha’ifah (sekelompok) dari ummatku yang eksis di atas kebenaran, tidak membahayakan mereka orang-orang yang menghina mereka sampai datang urusan Allah (kiamat) dan mereka tetap seperti itu.” (H. R Bukhari).

Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab Shahih-nya, dari sahabat Uqbah bin ‘Amr bin Tsa’labah a, Rasulullah ` bersabda,  “Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya” (H.R. Muslim no. 1893).

Hikmah Ayat-Ayat Al-Qur’an

Betapa banyak pemuda muslim saat ini yang mulai disibukkan dengan aktivitas dunia dan menjadikannya prioritas dalam perjuangan hidupnya. Sesungguhnya generasi muslim haruslah visioner. Memiliki visi yang jauh ke depan, yakni visi hidup setelah mati. Memupuk kebaikan dengan berinvestasi amal untuk mendapatkan pahala jariyah. Salah satu caranya adalah mensyiarkan ajaran dan sunnah Rasulullah `. Allah l berfirman, “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?” (Q.S. Fushshilat [41]: 33).

Perkataan terbaik adalah perkataan yang daripadanya mengajak kepada mengingat dan mentaati Allah dan Rasul-Nya, lalu mengamalkan ilmunya dengan amalan yang shalih. Pada surat Fushshilat ayat 33 kita dianjurkan untuk turut berdakwah berdasarkan ilmu yang dibawa oleh Rasulullah `. Kita yang membutuhkan jalan dakwah. Allah tidak akan rugi jikalau pun kita tidak mengambil kesempatan ini. Jangan takut terasing dan jangan takut menjadi sekelompok orang minoritas sebagai penyampai kebenaran Islam.

Hikmah lainnya adalah bahwa dalam menyampaikan kebenaran, membina diri dengan ilmu, dan berjuang dengan perbuatan perlu didasari oleh niat yang tulus. Wilayah hasil bukan menjadi kuasa manusia. Allah yang Maha membolak-balikkan hati setiap manusia, maka lisan ini hanya perantara, kata-kata ini pun perantara. Akan tetapi, yang tak boleh putus dari setiap pejuang islam adalah doa kebaikan.

Menurut Tafsir al-Muyassar, tidak ada seorang pun yang lebih bagus perkataannya daripada mengajak mentauhidkan Allah dan mengamalkan syariat-Nya, serta beramal shalih dengan menghrapkan ridha Allah. Wallahua’lam bishawab. Semoga Allah menuntun jalan kita di dunia dan mempertemukan kita di surga-Nya kelak. Aamiin Ya Raabal ‘alamiin. []

 

Rostika Hardianti

Mahasiswi Psikologi

Universitas Islam Indonesia

 

Mutiara Hikmah

Allah l berfirman, “Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?” (Q.S Al An’am [6]: 32)

 

Download Buletin klik disini

Hanya Pohon Berbuah Yang Dilempari Batu

Hanya Pohon Berbuah Yang Dilempari Batu

Bila ada yang membicarakanmu di belakangmu itu artinya dirimu sudah selangkah lebih maju…” (Anonim)

“Kita tidak bisa memastikan orang lain untuk tidak membenci kita. Namun kita bisa memastikan diri kita untuk tidak membenci siapapun,” ujar seorang alim nan bijaksana. Bahwa seberapa kuat kita berupaya menjadi orang baik pasti saja ada orang lain yang menaruh rasa benci kepada kita. Pada akhirnya, kita tidak bisa menyetir sikap orang lain terhadap kita. Satu hal yang bisa kita pastikan adalah bagaimana sikap kita kepada orang lain. Sebab, kitapun nanti tidak ditanya tentang orang lain tetapi ditanya tentang diri kita sendiri.

Setetes racun yang dituangkan pada segelas air akan menjadikan air itu beracun. Berbeda ketika setetes racun itu dimasukkan ke dalam samudera, tentu tidak menyebabkan mudharat apa-apa bagi samudera tersebut. Begitulah gambaran bagaimana semestinya kita mengatur kedalaman hati kita. Bila hati kita hanya seumpama segelas air maka “racun-racun” kehidupan yang sepele akan mengubah kemurniannya. Adapun bila hati kita seluas samudera maka riak-riak kecil hanya hiburan belaka. Tergantung kita mau memilih dan mengikhtiarkan hati yang seperti apa.

Rasanya mustahil kita mengatur segala hal yang mengitari kita adalah baik dan normal. Sebab kehidupan ini memanglah dinamis dan anomalis. Sekali lagi, yang bisa kita pastikan adalah sikap kita terhadap segenap hal yang mendatangi kita. Seorang psikolog pernah berujar bahwa segala macam keadaan yang dihadapkan kepada kita adalah netral. Baik itu pujian ataupun cacian. Entah itu promosi maupun demosi. Cara kita menangkap dan merespon setiap kondisi tersebutlah yang menjadi kuncinya. Seringkali, berhasil menyikapi cacian itu lebih baik daripada gagal menyikapi pujian.

Pada umumnya, manusia menginginkan semuanya berjalan baik dan sesuai harapan. Everything is okay. Namun kenyataan tidaklah selalu semanis keinginan. Ada gap antara keinginan dan harapan. Itulah yang sering disebut dengan masalah. Bahwa realitas positif dan negatif itu akan datang silih berganti. Keduanya adalah dua kutub kehidupan yang seiring-sejalan. Tidak bisa dihindari namun kita bisa berdamai dengan keduanya sebagai kenyataan yang datangnya pasti. Bagaimana kita mengorkestrasi dua hal tersebut sehingga tercipta irama hidup yang syahdu.

Ridha Manusia

Kisah kuda dan si empunya memberikan pelajaran berharga bagi kita. Ketika si empu dan anaknya menuntun kuda, khalayak berteriak. “Mengapa tidak ditunggangi saja kuda itu?” tanya mereka. Lalu, keduanya menaiki kuda tersebut. Khalayak protes. “Sungguh tidak berperikehewanan!” tukas mereka. Lantas sang ayah menaiki kuda dan sang anak berjalan. Diprotes lagi. “Ayah yang tidak sayang anak!” Sang anak pun naik kuda, sang ayah berjalan. Kritikan pun datang lagi. “Anak yang tidak tau diri!” hardik mereka. Haruskah keduanya menggendong kuda itu? Pasti akan dikomentari lagi.

Menyenangkan orang lain adalah kebaikan. Berkomitmen dalam hal tersebut adalah utama. Namun yang perlu diingat bahwa kita tidak bisa menyenangkan semua manusia. Pasti ada yang dikorbankan. Pepatah Arab mengatakan, “Ridha an-nâsi ghâyatun lâ tudrak.” Artinya, keridhaan semua manusia adalah tujuan yang tidak mungkin tercapai. Karena tidak mungkin tercapai tersebut maka semestinya keridhaan manusia tidak menjadi tujuan. Manakala kita ingin menyenangkan orang lain maka semata karena mengikuti sunnah. Bagaimana penerimaan orang bukan menjadi masalah kita.

Hal di atas senada dengan seringnya kita kecewa ketika terlalu banyak berharap kepada manusia. Semakin besar harapan kepada sesama manusia maka semakin besar pula risiko kekecewaan kita. Lalu, apakah kita tidak boleh berharap kepada manusia? Tentu saja boleh namun yang sewajarnya. Dengan begitu, kita siap dengan segenap kemungkinan. Termasuk menyiapkan alternatif ketika keinginan tidak sesuai dengan harapan. Sebab, kita tidak bisa memastikan sikap dan respon orang lain. Namun kita bisa memastikan sikap dan respon kita atas semua itu.

Fokus pada ridha manusia juga menjadikan kita tidak merdeka dalam bersikap. Misalnya, kita sudah berbuat baik dan berusaha menyenangkan orang lain. Ternyata penerimaannya lain dan tidak sesuai harapan kita. Dengan kata lain, dia tidak mengapresiasi kita. Bila keridhaan manusia yang menjadi tujuannya, apa yang terjadi? Tentu kita akan berhenti berbuat baik kepadanya. Padahal kita diajarkan untuk istiqamah dalam kebaikan. Betapapun keadaan memaksa kita untuk berhenti berbuat baik namun kita tetap memilih untuk bertahan dan konsisten.

Tidak semua orang ridha kepada kita. Karena itu, kita bisa mengantisipasi hal tersebut. Contohnya, saat ada teman kita yang membicarakan aib orang lain di hadapan kita. Sebaiknya kita tidak terlibat banyak dalam obrolan itu dan berusaha menghindarinya. Selain karena dosa, ada sebab lainnya. Rumusnya adalah orang yang menceritakan aib orang lain di hadapan kita besar kemungkinan akan menceritakan aib kita di hadapan orang lain. Sebaliknya, orang yang mudah menceritakan kebaikan orang lain di hadapan kita, besar kemungkinan akan menceritakan kebaikan kita kepada orang lain.

Ridha Allah

Jika ridha semua manusia tidak mungkin diraih maka ridha Allah lah yang harus menjadi orientasi hidup kita. “Ridhallâhi ghâyatun lâ tudrak,” katanya. Artinya, ridha Allah adalah tujuan yang tidak boleh ditinggalkan. Kita memang tidak bisa memastikan tergapainya ridha Allah. Namun kita bisa memastikan diri kita untuk terus berikhtiar menggapainya. Seluruh jiwa raga harus dimaksimalkan untuk mendapatkan keridhaan Allah. Tatkala kita berbuat baik dan menyenangkan orang lain itupun diniatkan dalam rangka meraih ridha Allah.

Orientasi pada ridha Allah juga menjadikan kita lebih siap untuk menjalani dinamika kehidupan. Setiap ujian yang datang dihadapi dengan keridhaan dan husnudh-dhan bahwa ujian adalah bentuk kasih sayang Allah kepada kita. Tidaklah ujian datang kecuali untuk menggugurkan dosa dan meninggikan derajat di sisi-Nya. Ketika kita sekolah, setiap menghadapi kenaikan kelas selalu dihadapkan dengan ujian. Begitu juga hidup kita. Saat iman semakin berbuah maka semakin kuat ujian menyapa. Semakin banyak yang tertarik untuk “melempari”-nya guna menggugurkan buah keimanan tersebut.

Ujian keimanan bisa datang dalam wujud apa saja. Seringkali orang-orang terdekat yang menjadi medianya. Kadang kita tidak siap dengan omongan orang. Kita tidak kuat tatkala kebaikan tidak berbuah apresiasi. Kita lemah ketika tindakan mulia hanya berujung kritikan. Kita loyo saat orang yang kita percaya justru bermain di belakang kita. Di situlah saatnya kembali kepada keridhaan Allah agar segenap sikap manusia tidak melemahkan kita. Kita jadikan itu semua sebagai pemantik untuk terus tumbuh. Bukan dalam keridhaan manusia, namun dalam ridha-Nya.

Selain ridha Allah yang menjadi tujuan, penting untuk melatih diri kita untuk ridha dengan segenap takdir-Nya. Karenanya, segala badai kehidupan yang menerpa adalah medium untuk melatih keridhaan kita atas ketentuan-Nya. Hingga akhirnya kita akan diminta pulang menghadap keharibaan-Nya. Dengan hati yang rela, ridha, puas, dan ikhlas akan takdir kehidupan yang digariskan-Nya sekaligus diridhai oleh-Nya. Dengan kondisi tersebut kita dipanggil untuk masuk dalam jama’ah hamba-hamba-Nya. Lantas masuk ke dalam surga-Nya (QS. al-Fajr [89]: 27-30). Wallahu a’lamu.

 

Samsul Zakaria, S.Sy., M.H.,

Calon Hakim PA Tanjung, Kalsel,

Magang di PA Kab. Malang Kelas 1A

 

Mutiara Hikmah

Dari Abu Hurairah a, Nabi ` bersabda,

وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ

Siapa yang menutupi aib seorang muslim, Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat. (H.R. Bukhari 2442, Muslim 7028, dan yang lainnya).

 

Download Buletin klik disini