MENGGAPAI CITA-CITA YANG MEMBAWA BERKAH

Setiap manusia menginginkan untuk menjadi lebih baik dan memiliki sesuatu yang baik adalah fitrah yang diberikan Allah Swt kepada manusia. Setiap hal yang diinginkan pasti akan terpintas di dalam pikiran manusia, akan tetapi kita harus ingat bahwa keinginan tersebut jangan sampai hanya membuat kita berangan-angan bahkan membuang-buang waktu. Dalam surah an-nisâ’ ayat 119 dituliskan bahwa setan berjanji kepada Allah Swt untuk terus menggoda manusia, salah satunya dengan membuat mereka berangan-angan kosong sehingga manusia lalai terhadap perintah Allah Swt . Berangan-angan hanya akan membuang waktu dan hal tersebut merupakan salah satu bentuk godaan setan untuk menyesatkan manusia, oleh karena itu hendaknya kita segera memohon ampun ketika terjebak dalam angan-angan kosong tersebut.

Lalu, jika tidak boleh berangan-angan lantas apakah kita tidak boleh bercita-cita? Tentu saja tidak demikian, karena berangan-angan atau berkhayal berbeda dengan bercita-cita. Cita-cita  adalah hal yang dimiliki oleh semua orang, terutama orang-orang yang memiliki pandangan hidup kedepan, karena dengan cita-cita seseorang akan merasa termotivasi dan memiliki harapan untuk memiliki hidup yang lebih baik. Cita-cita membuat kita melihat kedepan dan merencanakan sesuatu, yang berarti kita melakukan ikhtiar ataupun usaha agar kita dapat mencapai keinginan tersebut. Apa saja yang bisa kita lakukan sebagai orang yang beriman untuk menggapai cita-cita yang diridhai-Nya?

 

  1. Membuat Rencana dan Menyerahkan Segala Sesuatu Kepada Allah.

Rencana adalah salah satu hal terpenting dalam hidup, orang yang tidak memiliki rencana dapat diibaratkan seperti air yang hanya mengikuti arus, sehingga mudah terombang-ambing dan tak tentu arah. Membuat suatu perencanaan merupakan langkah awal untuk mewujudkan keinginan atau cita-cita, rencana akan membuat kita mengerti langkah apa yang harus kita ambil sepanjang perjalanan berikhtiar.

Berencana adalah tugas manusia sebagai bentuk usaha yang harus dilakukan, namun orang yang beriman tidak hanya sekedar berencana akan tetapi kita perlu menyerahkan segala sesuatu kepada Allah  atau dengan kata lain kita percaya bahwa Allah melihat setiap usaha kita dan pasti memberikan jalan dan hasil yang terbaik, dengan demikian kita telah meningkatkan ketaqwaan kita kepada Allah  dengan terus berusaha dan menyerahkan segala sesuatu kepada-Nya.

 

  1. Meluruskan dan Memperbaharui Niat.

Sebagai orang yang beriman kita perlu memiliki visi tersendiri yang menjadi pembeda dengan orang-orang yang tidak beriman kepada Allah Swt . Semua orang mengharapkan kehidupan yang baik di dunia melalui cita-cita dan target yang mereka usahakan, akan tetapi orang yang beriman punya nilai tersendiri dalam mengupayakan keinginannya dibandingkan dengan mereka yang tidak beriman. Nilai tersebut terletak pada niat yang dimiliki, orang yang beriman memiliki visi yang lebih tinggi yaitu merasakan kebaikan di dunia hingga di akhirat nanti, oleh karena itu apapun keinginan dan cita-cita yang kita inginkan harus dilandasi oleh niat karena Allah  terlebih dahulu. Niat akan menjadi faktor yang sangat menentukan, jika niat kita sudah dibenahi maka kebaikan yang akan kita dapatkan tidak hanya sampai di dunia saja akan tetapi dapat kita rasakan hingga di akhirat kelak.

Dari Umar, bahwa Rasulullah ` bersabda, “Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya itu sesuai ke mana ia hijrah.” (H.R. Bukhari, dan Muslim)

Hadits tersebut menunjukkan bahwa apa yang akan kita dapatkan sesuai dengan niat yang kita miliki. Ketika niat kita hanya sebatas menjadi sukses di dunia tanpa melibatkan Allah, maka kenikmatan yang akan kita dapatkan hanya sebatas usia kita di dunia, dan ajal akan datang kapan saja tidak peduli orang tersebut sudah merasakan nikmat dari kesuksesannya atau bahkan masih bersusah payah menitih kesuksesan tersebut. Kita tidak ingin menjadi orang yang merugi di akhirat kelak karena lalai dengan kesenangan duniawi, sehingga setiap kebaikan yang kita raih di dunia ini perlu kita usahakan untuk menjadi penyebab ridha Allah dan memberikan kebaikan di akhirat kelak.

 

  1. Menyadari Dunia dan Isinya Bersifat Sementara.

Orang yang beriman memiliki kesadaran bahwa segala sesuatu yang dimiliki di dunia ini akan ditinggalkan setelah kematian menjemput. Bahkan orang terkaya di dunia pada akhirnya akan mati dan semua harta kekayaan yang dimiliki tidak berarti lagi bagi jasadnya. Tidak menutup kemungkinan bahwa manusia yang ada di muka bumi memiliki cita-cita tertentu seperti ingin membeli kendaraan dan rumah yang bagus, ingin memiliki usaha yang sukses atau ingin melanjutkan studi ke tingkat yang lebih tinggi. Semua contoh tadi bisa jadi adalah parameter kesuksesan dalam sebuah kehidupan yang sifatnya hanya sementara, namun tidak ada salahnya jika seseorang menginginkan kehidupan yang baik di dunia dengan syarat tetap berprinsip pada ketentuan Allah  seperti firman-Nya dalam surah  al-Qashash ayat 77 yang artinya, “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan“.(Q.S. al-Qashash [28]: 77)

Ayat ini mengingatkan kita untuk tetap menjadikan akhirat sebagai tujuan utama karena kita diciptakan hanya untuk beribadah kepada Allah, namun di sisi lain kita juga perlu memperhatikan kualitas hidup selama di dunia. Orang yang beriman akan memanfaatkan kebaikan di dunia untuk memperoleh kebaikan di akhirat. Kita bisa membuat hal-hal itu terus memberikan kebaikan meskipun setelah pemiliknya meninggal dunia, yakni dengan kembali meniatkan semuanya sebagai bentuk ibadah dan ketaatan kepada Allah  serta memanfaatkan segala apa yang kita peroleh untuk menolong agama Allah.

 

  1. Meminta Doa dari Kedua Orang

Orang tua adalah orang terdekat dan orang yang paling pantas untuk kita hormati, terutama seorang ibu. Keridhaan Allah  juga tidak akan terlepas dari keridhaan orangtua, sehingga sudah sepatutnya kita selalu menjalin komunikasi dan memberi tahu kedua orang tua kita megenai hal-hal yang akan kita rencanakan dan usahakan untuk kedepannya. Doa dari orang tua adalah salah satu kunci keberhasilan seseorang, oleh karena itu jangan pernah berjalan sendirian dan melupakan jasa-jasa mereka. Jika kita menanyakan balasan apa yang ingin mereka peroleh dari segala upaya dan jerih payah mereka selama mengurus dan membesarkan kita, maka mereka tidak akan menjawab untuk diberikan materi dan lain sebagainya, namun hal yang sangat mereka inginkan adalah anak yang dibesarkan bisa menjadi orang yang sukses dan bermanfaat bagi orang banyak serta menjadi anak yang dapat menambah timbangan kebaikan dan menyelamatkan mereka di akhirat nanti.

Memiliki berbagai cita-cita adalah cerminan seseorang yang memiliki pandangan hidup kedepan dan punya keinginan untuk menjadi lebih baik, sebagai makhuk yang diciptakan oleh Allah sudah selayaknya kita menyerahkan segala bentuk usaha kita kepada Allah  dan meniatkan semua hal yang kita lakukan di jalan yang benar dan hanya karena Allah . Dengan demikian seseorang tidak hanya akan memperoleh kesuksesan di dunia, namun juga akan memperoleh kehidupan yang baik di akhirat kelak.Wallâhu a’lam.[]

 

Inesya R. N.

NIM: 15613187

Mahasiswa Prodi Farmasi, FMIPA UII

 

Mutiara Hikmah

 

Nabi ` bersabda,

 

كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ

Allah telah mencatat takdir setiap makhluk sebelum 50.000 tahun sebelum penciptaan langit dan bumi.” (H.R. Muslim no. 2653, dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Ash ‘Ash)

 

SENANTIASA DIRINDUKAN

Adakah orang yang tidak merindukan surga? Tentu tidak ada orang yang tidak merindukan surga, semua orang merindukan surga, baik muslim maupun non muslim. Namun, surga hanya berhak ditempati oleh orang-orang muslim (baca: beriman), Allah Swt berfirman yang artinya,  “Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk. Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi Rabb mereka ialah surga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Rabbnya.” (Q.S. al-Bayyinah [98]: 6-8).

 

Apa Sebenarnya Surga Itu?

Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengimani keberadaan surga dan neraka. Secara bahasa, surga berarti taman yang banyak pohonnya, adapun merurut istilah berarti kampung akhirat yang dipersiapkan Allah bagi orang-orang yang bertakwa.[1]

Imam al-Muzani menyatakan, “Dan para penghuni surga pada hari itu menempati surga dengan nikmat. Dengan berbagai kelezatan mereka bersenang-senang, dan dengan berbagai kemuliaan mereka dihormati.”[2]

Surga merupakan ganjaran bagi setiap muslim yang beriman, baik dengan hati dan beramal shalih dengan badannya. Imam Ibnu Katsir berkata, “Itulah balasan bagi mereka yang takut pada Allah  dan yang bertakwa dengan benar pada-Nya. Itu juga balasan untuk orang yang beribadah pada Allah  seakan-akan ia melihat-Nya. Jika ia tidak melihat-Nya, maka ia yakin bahwa Allah l selalu memperhatikan dirinya.”[3]

Allah Swt berfirman yang artinya, “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,” (Q.S. al-Imran [3]: 133).

Sebaliknya setiap orang yang kufur kepada Allah, maka Allah  menyiapkan tempat yang penuh penderitaan yaitu neraka. Allah Swt berfirman yang artinya, “Maka jika kamu tidak dapat membuat(nya) — dan pasti kamu tidak akan dapat membuat(nya), peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 24)

 

Ingin Masuk ke dalam Surga-Nya?

Setiap muslim memiliki kesempatan untuk masuk ke dalam surga, Rasulullah ` bersabda, “Seluruh umatku akan masuk surga kecuali yang enggan. Para sahabat bertanya, Wahai Rasulullah, siapakah yang enggan (untuk masuk surga)?. Beliau menjawab, Barang siapa yang taat padaku maka ia akan masuk surga, dan barang siapa yang tidak mentaatiku berarti ia telah enggan (untuk masuk surga)”. (H.R. Bukhari dari Abu Hurairah r.a).

Lalu, bagaimana cara agar dapat masuk kedalam surga? Tidak setiap yang merindukan surga, kelak akan mendapatkannya; karena surga memiliki kunci untuk memasukinya, Allah mengisyaratkan kunci surga dalam firman-Nya yang artinya, “Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman, beramal shalih, saling nasehat menasehati dalam kebaikan dan saling nasehat menasehati dalam kesabaran.(Q.S. al-‘Ashr []: 3-1).

Sedemikian agungnya surat ini, sampai-sampai Imam Syafi’i berkata, “Seandainya Allah tidak menurunkan hujjah atas para hamba-Nya melainkan hanya surat ini; niscaya itu telah cukup”.[4] Maka dapat disimpulkan masing-masing dari empat kunci tersebut, sebagai berikut:

 

  1. Ilmu

Ilmu yang dimaksud di sini adalah ilmu agama, yaitu ilmu yang berlandaskan al-Qur’an dan al-Hadits dengan pemahaman para salafush shalih untuk menjalankan kewajiban-kewajiban agama, wajib hukumnya untuk dicari oleh setiap muslim dan muslimah, sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah ` dalam sabdanya, “Mencari ilmu hukumnya wajib atas setiap muslim. (H.R. Ibnu Majah dari Anas bin Malik, dan dinyatakan sahih oleh Syaikh al-Albani dalam tahqiqnya atas Misykah al-Mashabih).

Setiap muslim hendaknya mempelajari apa yang menjadi prioritas dalam agama, yaitu  ilmu tauhid, karena itulah pondasi Islam dan inti dakwah para rasul dan nabi. Allah Swt berfirman yang artinya, “Dan telah Kami utus seorang rasul di setiap umat (untuk menyerukan) sembahlah Allah semata dan jauhilah thaghut”. (Q.S. an-Nahl [16]: 36).

Dari Nabi dan Rasul yang pertama hingga yang terakhir, inti seruan mereka adalah mengajak manusia untuk mempersembahkan ibadah kepada Allah semata dan meninggalkan peribadatan kepada selain Allah.

Perhatikan apa yang didakwahkan Nabi Nuh n, Allah berfirman yang artinya, “Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkata: “Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan (yang haq) bagimu selain-Nya“. Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar (kiamat)” (Q.S. al A’râf [7]: 59).

 

  1. Amal Shalih

Ilmu adalah sarana yang mengantarkan kepada tujuan utama yaitu amal shalih. Sebelum seorang beramal ia harus memiliki ilmu tentang amalan yang akan ia kerjakan, begitupula jika kita telah memiliki ilmu, kita harus mengamalkan ilmu tersebut.

Amal adalah sebab kokohnya ilmu. Asy-Sya’bi  (generasi tabi’in) berkata, “Dulu kami berusaha untuk menghapal hadits dengan mengamalkannya.” [5]

Juga diriwayatkan dari Abu Darda’ abeliau berkata, “Sesungguhnya Engkau tidak akan menjadi seorang ‘alim (orang yang berilmu), sampai Engkau belajar (menuntut ilmu). Tidaklah Engkau menjadi penuntut ilmu, sampai Engkau mengamalkan ilmu yang telah Engkau pelajari.” [6]

 

  1. Dakwah

Setelah seorang hamba membekali dirinya dengan ilmu dan amal, dia memiliki kewajiban untuk menyampaikan ilmu yang telah ia raih dan ia amalkan kepada orang lain, mulai dari keluarga terdekat sebelum orang lain dengan mengedepankan akhlak yang baik.

Tidak dibenarkan untuk langsung meloncat ke fase ketiga ini (yakni dakwah) tanpa melalui dua fase sebelumnya (yakni ilmu dan amal); karena jika demikian halnya ia akan menjadi seorang yang sesat dan menyesatkan (berdakwah tanpa bekal ilmu)  ataupun menjadi seorang yang amat dibenci oleh Allah  (karena berdakwah tetapi tidak mengamalkan ilmunya)

 

  1. Sabar

Kesabaran dibutuhkan oleh setiap muslim, baik ketika ia mencari ilmu, mengamalkannya dan mendakwahkannya; karena tiga fase ini susah dan berat. Sebagaimana yang dikatakan oleh Yahya bin Abi Katsir , “Ilmu tidak akan didapat dengan santai-santai”. Kesabaran merupakan salah satu jalan yang utama yang mengantarkan seorang hamba ke surga, dan jalan menuju ke surga diliputi dengan hal-hal yang tidak disukai oleh nafsu.

Rasulullah ` bersabda, “(Jalan menuju ke) surga diliputi dengan hal-hal yang dibenci (nafsu), sedangkan (jalan menuju ke) neraka diliputi dengan hal-hal yang disukai hawa nafsu. (H.R.Muslim dari Anas bin Malik a).

Inilah empat kunci agar bisa masuk ke dalam tempat yang “senantiasa dirindukan”, semoga Allah  melimpahkan taufiq-Nya kepada kita semua untuk bisa meraihnya, âmîn.[7]

 

Bekti Dwi Kurniadi

Mahasiswa PAI 2017

 

Referensi

[1] Syarah Lum’atul I’tiqad, Cetakan ketiga, tahun 1415 H / 1955 M. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Penerbit Maktabah Adhwa-us Salaf.

[2] Syahrus Sunnah Lil Muzani,Cetakan pertama, 1438 H. Ismail bin Yahya Al-Muzani Asy Syafi’i. Penerbit Maktabah Bimbingan Islam.

[3] Dikutip dari:https://rumaysho.com/3493-tafsir-surat-al-bayyinah-3-balasan-bagi-orang-beriman-dan-orang-kafir.html

[4] Tafsîr al-Imâm asy-Syâfi’i (III/1461).

[5] Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil Barr dalam “Jaami’ bayaan al-‘ilmi”, 1/709. https://muslim.or.id/40167-mengokohkan-ilmu-dengan-beramal.html

[6] Diriwayatkan oleh Al-Khathib Al-Baghdadi dalam “Al-Iqtidha”, hal. 16-17. https://muslim.or.id/40167-mengokohkan-ilmu-dengan-beramal.html

[7] Diringkas dari:https://tunasilmu.com/empat-kunci-masuk-surga/

 

 

MUTIARA HIKMAH

 

Memohon pertolongan Allah l dalam mengamalkan ilmu, di antara doa yang dirutinkan oleh Nabi ` setiap hari setelah shalat subuh adalah,

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا، وَرِزْقًا طَيِّبًا، وَعَمَلًا مُتَقَبَّلًا

Ya Allah, aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rizki yang baik, dan amal yang diterima.” (H.R.Ahmad no.6/294, Ibnu Majah no. 925)

 

 

 

CIRI-CIRI WALI ALLAH Swt

Bismillâhi walhamdulillâh wash shalâtu was salâmu ‘ala rasûlillâh,
Kaum muslimin yang dimuliakan oleh Allah Swt, belakangan ini fenomena wali mulai menjamur di tengah-tengah kita. Secara etimologi wali adalah lawan dari aduwwu (musuh) dan muwâlah lawan dari muhâdah (permusuhan). Dengan demikian wali-wali Allah Swt adalah orang yang mendekat dan menolong agama Allah Swt, atau orang yang didekati atau orang yang ditolong oleh Allah Swt.
Hampir di setiap kota-kota bahkan pelosok-pelosok negeri kita ini memiliki walinya masing-masing. Hal ini bisa terjadi karena pemahaman sebagian masyarakat bahwa wali Allah Swt itu adalah orang-orang yang memiliki kekhususan-kekhususan yang tidak dimiliki oleh orang biasa pada umumnya. Hal tersebut berupa hal-hal yang ajaib atau aneh bagi akal sehat, yang sering disebut oleh masyarakat sebagai karomah para wali. Sehingga apabila ada seseorang yang memiliki ilmu syar’i begitu luasnya disertai dengan pengamalan-pengamalan yang begitu khusyuknya, namun apabila tidak memilki suatu kekhususan ini, maka orang ini masih tidak bisa dipandang sebagai wali Allah Swt. Sebaliknya, meski seseorang itu tidak memiliki ilmu syar’i sama sekali, bahkan kerap kali melanggar perintah Allah Swt dan meninggalkan kewajiban-kewajibannya sebagai seorang muslim, akan tetapi dia mampu menunjukkan sesuatu yang ajaib di luar nalar akal sehat manusia, maka orang tersebut bisa dianggap sebagai wali Allah Swt.
Hal ini bisa terjadi karena sejak kecil kaum muslimin di negeri yang kita cintai ini sudah diberi pengajaran yang keliru tentang wali-wali Allah Swt. Terlebih hal ini ditunjang oleh sarana-sarana elektronik semisal telivisi yang mempertontonkan kesaktian wali-wali yang bisa terbang, bisa berjalan di atas air, dan bisa melakukan hal-hal ajaib lainnya. Maka tontonan semacam ini menjadi mindset yang tertanam di setiap pola fikir kaum muslimin hingga dia dewasa bahkan sampai usia senja.
Pemahaman sebagian masyarakat yang seperti demikian sungguh sangat berbahaya bagi aqidah kaum muslimin. Karena tak sedikit kaum muslimin yang takjub dengan hal tersebut dan berusaha untuk mempelajari ilmu kewalian itu. Dikatakan berbahaya bagi aqidah kaum muslimin adalah karena kebanyakan orang-orang yang mengaku sebagai wali ini ternyata mereka bersekutu dengan jin saat melakukan aksi ajaibnya tersebut. Sehingga kaum muslimin yang telah terlanjur takjub dengan keajaiban-keajaiban tersebut sudah tidak lagi mempertimbangkan aspek-aspek kesyirikan yang dapat membatalkan keislamannya tatkala mempelajari ilmu tersebut. Yakni bersekutu dengan jin dalam memohon pertolongan, bantuan, dan lain-lain yang seharusnya hal tersebut hanyalah dihadapkan kepada Allah Swt semata. Padahal hakikatnya karomah para wali Allah Swt itu tidaklah dapat dipelajari. Sebagaimana kata seorang alim yakni Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, bahwa “karomah wali adalah sebuah pemberian dari Allah Swt kepada hamba-hamba-Nya yang shalih tanpa ia bersusah payah darinya. Berbeda dengan seorang yang menggunakan ilmu hasil dari persekutuannya dengan syaitan, maka ia akan bersusah payah untuk melakukannya”.
Adapun ciri-ciri wali Allah yang benar telah Allah Swt kabarkan sendiri dalam kitab-Nya yang mulia, yakni al-Qur’an petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa, juga telah disabdakan oleh Rasulullah ` yang mulia dalam sunnah-sunnahnya yang agung. Sehingga sudah selayaknya dan semestinya kaum muslimin mencoba untuk mempelajari ciri-ciri wali Allah Swt dari 2 sumber petunjuk yang meluruskan ini.
Untuk menjadi wali Allah Swt, seseorang itu haruslah mencintai dan dicintai oleh Allah Swt. Lalu bagaimana cara seseorang itu bisa mendapatkan kecintaan Allah Swt? Di dalam al-Qur’an Allah Swt berfirman yang artinya, “katakanlah (hai Muhammad), jika kalian mencintai Allah, ikutilah aku (Muhammad), niscaya Allah akan mencintaimu…” (Q.S. Ali Imran [3]: 31).
Ayat ini menerangkan bahwasannya syarat pertama seorang itu untuk bisa menjadi walinya Allah Swt adalah ia mengikuti sunnah-sunnah Rasulullah ` selama hidupnya dengan istiqomah. Karena dengan mengikuti jalan hidup Rasulullah lah cinta Allah Swt dapat ia miliki. Sehingga menjadi mustahil seseorang yang meninggalkan syariat nabi Muhammad Saw dapat memiliki karomah wali Allah Swt. Adapun ciri berikutnya terdapat dalam surat al-Mâidah yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa dari kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai Allah, yang bersikap lemah lembut terhadap orang-orang mukmin, yang bersikap keras kepada orang-orng kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan tidak takut terhadap celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah maha luas (pemberian-Nya) lagi maha mengetahui”. (Q.S. al-Mâidah [5]: 54).
Dari ayat tersebut dapat diketahui bahwa orang-orang yang dicintai Allah itu adalah orang-orang yang bersikap lemah lembut sesama kaum mukminin, dan bersikap keras terhadap orang-orang kafir, bukan sebaliknya, justru dekat dan loyal dengan orang-orang kafir dan keras lagi kasar kepada sesama muslim. Seorang yang bisa mendapat kecintaan Allah juga berjihad di jalan Allah Swt. Bukan seperti pandangan sebagian masyarakat kita yang menganggap jika seseorang itu masih jihad maka dia gugur dikategorikan sebagai wali Allah Swt. Pemahaman ini sungguh jauh dari kebenaran, karena Nabi Muhammad ` dan para sahabat-sahabatnya yang mulia tidak pernah meninggalkan jihad tatkala telah terpenuhi panggilan jihad tersebut, justru pada masa Nabi `,, barangsiapa yang meninggalkan jihad tanpa udzur syar’i, maka dia dikatakan munafik.
Dari ayat tersebut juga dapat diketahui bahwa wali-wali Allah Swt itu adalah orang-orang yang tidak takut dengan celaan orang-orang yang pencela. Selama dia berada dalam syariat Islam yang mulia ini, maka tiada ketakutan dan kesedihan di dalam hatinya.
Kemudian wali-wali Allah itu juga memiliki ciri berikut, yakni disebutkan dalam Qur’an yang mulia yang artinya, “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tiada ketakutan dan tiada pula dia bersedih (hati). (Yaitu) orang-prang yang beriman dan selalu bertaqwa keapada Allah”. (Q.S. Yunus [10]: 62-63). Dari ayat di atas, maka dapat kita pahami bahwa ciri dari wali Allah Swt itu adalah dia tidaklah takut dengan sesuatu yang akan menimpanya dan dia tidaklah bersedih dengan apa-apa yang telah menimpa dirinya, dan dia adalah orang-orang yang selalu menjaga ketaqwaannya dan keimanannya kepada Allah Swt.
Dari ayat-ayat yang telah disebutkan di paragraf sebelumnya, maka dapat kita jumpai dengan terang bahwasanya wali-wali Allah itu adalah orang-orang yang ittiba (mengikuti) Sunnah Rasulullah `, lemah lembut kepada sesama mukmin, namun tegas lagi keras terhadap orang-orang kafir, berjihad di jalan Allah Swt, tidak takut terhadap celaan si pencela, tidak ada rasa takut dan sedih dalam hatinya terhadap segala ketetapan Allah Swt, dan yang selalu menjaga keimanan serta ketaqwaannya kepada Allah Swt.
Wahai kaum muslimin yang dirahmati oleh Allah Swt, bagaimana mungkin seseorang yang mengaku wali itu bisa meninggalkan shalat, sedangkan Nabi ` dan para sahabat tidak meninggalkannya meski tengah dalam keadaan perang terluka dan berdarah-darah. Bagaimana mungkin seorang wali itu tega meninggalkan syariat Nabi Muhammad `, sedangkan Rasulullah ` selalu memegang syariat Allah  ini sampai akhir hayatnya, bahkan beliau sampai menangis khawatir kalau umat ini sudah tidak lagi memperdulikan hukum-hukum Allah  yang tertuang dalam al-Qur’an yang mulia dan sunnah-sunnahnya yang shahih.
Dengan demikian para wali-wali Allah itu tidaklah melepaskan diri dari syariat Nabi Muhammad `. Bahkan wali-wali Allah Swt itu adalah orang-orang bertaqwa yang sangat memegang teguh syariat Allah dan Rasul-Nya. Sehingga barangsiapa yang mengaku sebagai wali Allah  namun tidaklah memiliki sifat-sifat tersebut, maka dia adalah seorang pendusta. Allahu musta’an

Anas Ahmad Rahman
Mahasiswa MIAI UII

Mutiara Hikmah:
“Jika kalian melihat seseorang berjalan di atas air dan terbang di atas udara, maka janganlah terpedaya olehnya sampai kalian menimbang perkaranya di atas al-Qur’an dan as-Sunnah. (Imam Syafi’i)

KAMU (DIANGGAP) BAIK KARENA ALLAH MENUTUPI AIBMU!

 

اللَّهُمَّ أَنْتَ أَعْلَمُ مِنِّى بِنَفْسِى وَأَنَا أَعْلَمُ بِنَفْسِى مِنْهُمْ اللَّهُمَّ اجْعَلْنِى خَيْرًا مِمَّا يَظُنُّوْنَ وَاغْفِرْ لِى مَا لاَ يَعْلَمُوْنَ وَلاَ تُؤَاخِذْنِى بِمَا يَقُوْلُوْنَ

“Ya Allah, Engkau lebih mengetahui keadaan diriku daripada diriku sendiri dan aku lebih mengetahui keadaan diriku daripada mereka yang memujiku. Ya Allah, jadikanlah diriku lebih baik dari yang mereka sangkakan, ampunilah aku terhadap apa yang mereka tidak ketahui dariku, dan janganlah menyiksaku dengan perkataan mereka. (H.R. al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, 4/228, no.4876. Lihat Jâmi’ul Ahâdits, Jalaluddin As-Suyuthi, 25/145, Asy Syamilah)

 

Tidak ada manusia di dunia ini yang luput dari kesalahan dan kekhilafan. Mari kita mengingat kembali kisah Nabi Adam n beserta Hawa o yang memakan buah khuldi, padahal Allah l telah melarangnya. Nabi Yunus sengaja meninggalkan kaumnya karena setelah 33 tahun lamanya berdakwah, tetapi hanya 2 orang saja yang mendengarkan seruannya. Nabi Musa n yang tidak sengaja membunuh orang karena pukulannya. Tentu saja para nabi yang mulia ini bersegera meminta ampunan kepada Allah n. Taubat Nabi Adam n dan Hawa o terekam pada ayat 23 surah al-‘Araf, taubat Nabi Yunus n pada ayat 87 surah al-Anbiya, dan taubat Nabi Musa n pada ayat 15-16 surah al-Qashash.

Mari kita cermati salah satu hadits Rasulullah ` yang berbunyi, “Setiap anak adam (manusia) berbuat kesalahan, dan sebaik-baiknya orang yang bersalah adalah yang bertaubat.” (H.R. At Tirmidzi). Hadits ini menjelaskan kepada kita, bahwa sebaiknya orang yang bersalah adalah orang yang bertaubat, yaitu orang yang berjanji pada Allah l dan dirinya sendiri untuk tidak mengulangi kesalahan tersebut.

Suatu ketika penulis pernah berbincang-bincang dengan seorang kawan. Ia menceritakan betapa orang-orang memandangnya sangat baik. Ia sangat dihormati dan seringkali dimintai pendapat. Padahal ia menyadari bahwa iapun tidak luput dari kesalahan. Kesalahan-kesalahan ini merupakan aib baginya. Sesungguhnya, jika mereka tahu semua aib-aib tersebut, niscaya mereka akan membencinya dan merendahkannya. Lalu kemudian ia bertanya kepada penulis, apakah sebenarnya kita baik karena kita telah berbuat baik, ataukah karena Allah l sampai detik ini masih menutupi aib-aib kita? Berkaca dari percakapan di atas, tentu saja kita sepatutnya bersyukur, karena sampai detik ini Allah l masih menutupi seluruh kesalahan-kesalahan kita dari orang-orang. Akan sangat mudah bagi Allah l untuk membongkar segala aib yang kita miliki, jika Allah l berkehendak. Lalu akan sangat mudah bagi Allah l membalikkan posisi seseorang yang awalnya dipuja-puja, akan tetapi karena aib tersebut ia pun menjadi orang yang direndahkan dan dihinakan.

 

Pengertian Aib

Menurut al-Fairuz Abadzi dalam Al-Qamus al-Muhith, secara bahasa, aib العيب)) dapat didefinisikan sebagai cacat atau kekurangan. Bentuk jama’nya adalah uyub. Adapun sesuatu yang memiliki aib, dalam bahasa arab di sebut ma’ib. Dalam Kitab ­ad-Dur al-Mukhtar, Al-Hasfaki menyampaikan bahwa sebagian ulama mazhab Hanafi menjelaskan aib dengan pengertian: “Suatu bagian yang tidak ada dari asal penciptaanya dan hal itu dianggap sebagai bentuk kekurangan

 

Maka aib dapat diartikan sebuah cela atau kondisi seseorang dilihat dari sisi keburukannya, atau hal yang tidak baik tentangnya. Seringkali kita mendengar suatu informasi dari orang lain lalu menjadikan hati kita merasa tidak enak, maka hal ini dapat disebut aib. Aib dapat berupa peristiwa, keadaan, atau suatu deskripsi. Acapkali aib –sendiri maupun orang lain– tersebut secara tidak sadar kita sebarkan. Lebih parahnya lagi jika aib tersebut disebarkan secara sadar.

Memang pada dasarnya terdapat orang-orang yang diketahui tidak pernah sekalipun berbuat maksiat. Jika didapati ia tergelincir dalam kesalahan, maka dengan rahmat dan kasih sayang Allah l, kesalahan tersebut tidak diungkapkan seketika itu juga. Bahkan Allah l pun memberikan anjuran kepada orang-orang yang mengetahuinya untuk tidak menyingkap dan menceritakannya. Inilah cara Allah menjaga kehormatan hamba-Nya! Entah kesalahan itu disengaja maupun tidak disengaja. Adapun orang-orang yang menceritakan hal yang tidak baik dari saudaranya termasuk pada kategori ghibah. Perbuatan ini sangat dibenci oleh Allah l. Dalam firman-Nya, “Sesungguhnya orang-orang yang menyenangi tersebarnya perbuatan keji di kalangan orang-orang beriman, mereka memperoleh azab yang pedih di dunia dan di akhirat….” (Q.S. an-Nûr [24]: 19)

Aib merupakan sesuatu yang diasosiasikan buruk, tidak terpuji, dan negatif. Aib adalah suatu cela atau kondisi yang tidak baik tentang seseorang jika diketahui oleh orang lain akan membuat rasa malu, rasa malu ini membawa kepada efek psikologi yang negatif jika tersebar. Manusia tidak bisa lari dengan menutup diri terhadap kekurangannya. Manusia harus berintrospeksi dan menghisab diri sendiri untuk memperbaikinya. Umar bin Khaththab a berpesan, “Hisablah dirimu sebelum diri kamu sendiri dihisab, dan timbanglah amal perbuatanmu sebelum perbuatanmu ditimbang.

 

Muliamu (Mungkin) Bukan karena Kebaikanmu

Seringkali kita meyakini bahwa segala kemuliaan yang kita miliki ini berasal dari usaha kita sendiri. Kita lupa bahwa ada Allah l yang terus menutupi segala aib kita di hadapan manusia. Kita tak sadar akan tersebut, sehingga membuat kita menjadi lupa diri. Ingatlah wahai saudaraku! Mulia yang kau punya ini bisa jadi bukan karena kebaikanmu. Kebaikan yang kita lakukan adalah sesuatu yang memang senyatanya harus diamalkan selama hidup kita. Allah l menjanjikan surge-Nya kelak bagi orang-orang yang selalu melakukan kebajikan selama hidupnya.

Wahai saudaraku, ingatlah bahwa diri kita ini penuh dengan kekurangan, aib, cacat, dan cela. Tentu saja jika mau dibandingkan dengan para nabi yang juga pernah melakukan kesalahan, maka posisi kita mungkin jauh dari kemuliaan mereka. Maka jangan pernah terbesit di hati kita kata sombong dengan segala kemuliaan ini, baik harta, jabatan, tahta, dan yang lainnya. Muhamad bin Wâsi’ v berkata, “Seandainya dosa-dosa itu ada baunya maka tidak seorangpun yang mau duduk bersamaku”

Oleh karena itulah, jangan pernah ujub dengan amalan kita. Jangan pernah terpedaya dengan pujian yang diberikan. Jangan pernah riya dengan kebajikan yang dipebuat. Karena semua itu tidak akan berguna, jika satu aib saja diungkap oleh Allah l. Yakinlah, semua pujian tersebut akan berubah menjadi celaan.  Kita akan terpuruk, seterpuruk-terpuruknya. Kita juga akan malu, semalu-malunya. Kita juga akan hina, sehina-hinanya. Seperti tak ada lagi tempat tersedia untuk menerima kita.Bukankah kita sering mendengar sebuah peribahasa “Hujan sehari menghapus kemarau setahun”, atau peribahasa yang lain, “karena nila setitik, rusak susu sebelanga”. Penulis yakin bahwa pembaca yang budiman paham maksud dan arti dari kedua peribahasa tersebut.

Sehubungan dengan tema di atas, penulis teringat dengan salah satu ceramah dari Ustadz Salim A. Fillah, yang bercerita mengenai Nabi Yusuf n. Saat itu beliau bertanya kepada jamaah, “Siapa nama perempuan yang menggoda Nabi Yusuf?”“Zulaikha,” jawab jamaah serempak. Lalu Ustadz kembali bertanya, “Dari mana kalian tahu bahwa nama perempuan itu adalah Zulaikha? Sedangkan Allah l tidak ada sama sekali menyebutnya dalam al-Qur’an?” Seketika itu juga bergemuruhlah ruangan oleh suara para jamaah yang bertanya satu sama lain. Hingga sebagian menjawab pertanyaan tersebut, “Dari hadits, Ustadz.” Lagi-lagi Ustadz kembali bertanya, “Coba anda pikirkan, mengapa Allah tidak menyebut nama Zulaikha di dalam Al-Qur’an?” Kali ini semua jamaah diam. Maka Ustadz Salim A. Fillah tersenyum dan melanjutkan penjelasannya, “Karena perempuan ini (Zulaikha) masih memiliki rasa malu. Apa buktinya ia masih memiliki rasa malu? Ia menutup tirai sebelum menggoda Yusuf n. Ia malu dan tidak ingin ada orang lain yang tahu tentang perbuatannya.”

Lihatlah! Allah menutupi aib orang-orang yang masih memiliki rasa malu di hatinya, dengan tidak menyebut namanya di dalam al-Qur’an. Subhanallah! Maka perhatikanlah diri kita, mungkin karena masih memiliki rasa malu, maka Allah l tidak membuka identitas kita. Mungkin tidak hanya sekali, namun berulang-ulang kali Allah l telah menutup dosa-dosa kita.

Maka, pertanyaan-pertanyaan ini seharusnya kita tanyakan pada diri kita sendiri. Apakah kita Nampak baik di hadapan orang lain? Apakah semua itu karena begitu banyaknya kebaikan yang kita lakukan? Atau karena Allah telah menutupi aib kita?

 

Epilog

Pembaca yang dirahmati oleh Allah l.

Sebelum menutup tulisan ini, penulis akan menyampaikan doa yang biasanya dibaca Rasulullah ` pada pagi dan petang, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Umar h:

اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ الْعَافِيَةَ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِى دِينِى وَدُنْيَاىَ وَأَهْلِى وَمَالِى اللَّهُمَّ اسْتُرْ عَوْرَتِى

“Yaa Allah sesungguhnya aku meminta kepada Mu ‘Afiyah di dunia dan akhirat. Yaa Allah aku memohon kepada Mu ‘‘Afwaa dan ‘Afiyah pada urusan agamaku, duniaku, keluargaku dan hartaku. Yaa Allah tutupi auratku (aib-aibku)”

Atau dengan riwayat Ibnu Majah dengan tambahan, yaitu:

اللَّهُمَّ استُر عَوْرَاتي ، وآمِنْ رَوْعَاتي ، اللَّهمَّ احفظني من بَينِ يَدَيَّ ومِن خَلْفي ، وَعن يَميني ، وعن شِمالي ، ومِن فَوقي، وأعُوذُ بِعَظَمَتِكَ أنْ أُغْتَالَ مِنْ تَحتي

“Yaa Allah tutupi auratku (aib-aibku), tenangkanlah aku dari rasa takutku. Yaa Allah jagalah aku dari arah depan dan belakangku, arah kanan dan kiriku, serta dari arah bawahku. Aku belindung dengan kebesaran Mu agar aku tidak dihancurkan dari arah bawahku”

Semoga Allah l mengampuni dosa-dosa kita semua. Allahumma Amin. Wallahu ‘Alamu bishshawab.[]

 

 

Muhammad Qamaruddin

Alumni Pondok Pesantren UII

SETAN ADALAH MUSUH YANG SEBENARNYA

Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu.”

(Al-Baqarah [2]: 168)

Pada saat mendengar istilah “jin” atau pun “setan”, maka dalam benak sebagian orang muncul rasa takut dalam menghadapinya. Hal ini tidak sepenuhnya salah, karena memang banyak faktor yang dapat menimbulkan hal tersebut. Di antaranya, adanya peran dari media yang memberikan stigma itu hampir setiap hari, yaitu jin atau pun setan adalah makhluk yang menyeramkan, makhluk yang selalu menganggu, makhluk yang sangat mudah terusik dengan keberadaan manusia, dan sebagainya. Padahal, kita sebagai manusia dan mereka sama-sama merupakan makhluk Allâh I yang dibebani hukum untuk beribadah kepadaNya sebagaimana tersurat dalam Q.S. adz-Dzâriyât [51]: 56, yang artinya “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu”. Semua selain Allâh I disebut sebagai makhluk, apa dan bagaimanapun  bentuknya, karena Allâh lah al-Khâliq (Yang Menciptakan) dan selainnya adalah al-makhluq (yang diciptakan).

Dari ayat tersebut di atas, kita dapat mengambil pelajaran bahwa antara manusia dan jin ada titik persamaan, yaitu masing-masing mempunyai kemampuan untuk memilih jalan yang baik atau buruk. Kita sering mendengar juga bahwa selain jin, makhluk yang seringkali mengganggu manusia adalah setan. Ternyata, setan yang banyak diceritakan Allâh I kepada kita dalam al-Qur’ân, adalah termasuk golongan jin. Dari penjelasan tersebut, kita pahami bahwa “jin” itu merupakan sebuah nama untuk suatu makhluk yang Allâh ciptakan dari api dan “setan” atau pun “iblis” itu merupakan julukan untuk jin. Mengenai hal ini akan dijelaskan selanjutnya.

Dalam sebuah buku karya Dr. Umar Sulaiman Al-Asyqar yang diterjemahkan oleh H.T. Fuad wahab dengan judul “Menembus Dunia Jin dan Setan” disebutkan bahwa terdapat beberapa nama jin. Dalam bukunya tersebut, beliau mengutip pendapat dari Ibnu Abdil Bar yang mengatakan bahwa jin menurut ahli bahasa terdiri dari beberapa tingkatan (Al-Asyqar, 2006):

  1. Kalau yang mereka maksudkan jin secara mutlak, maka mereka sebut jinniyyȗn,
  2. Jika yang mereka maksudkan adalah jin yang tinggal bersama manusia, maka mereka sebut ‘âmir bentuk jamaknya ‘ummâr,
  3. Jika yang mereka maksudakan jin yang biasa mendatangi anak-anak, maka mereka sebut arwâh,
  4. Jika yang mereka maksudkan adalah jin yang jahat dan merintangi kebaikan, maka mereka sebut setan,
  5. Jika yang mereka maksudkan adalah jin yang lebih jahat dan lebih mempunyai kemampuan, maka mereka sebut ‘ifrît.

Selain penjelasan tersebut, istilah “setan” digunakan sebagai julukan untuk jin yang putus asa dari rahmat Allâh I, sedangkan “iblis” digunakan sebagai julukan untuk jin yang penuh dengan tipu muslihat.

Kita semua harus meyakini adanya jin, tetapi bukan berarti kita harus takut apalagi malah tunduk kepadaNya. Karena bagaimana pun, berbagai dalil telah menyebutkan dengan jelas bahwa jin termasuk kedalam makhluk Allâh I. Di sisi lain, kita pun harus meyakini bahwa manusia, sejatinya adalah makhluk Allâh yang paling mulia, tetapi kemuliaan ini tidak pantas menjadikannya sombong terhadap makhluk lainnya. Jika kesombongan itu ada, maka bisa mengakibatkan derajatnya akan jauh lebih rendah daripada iblis dan akan menyebabkan Allâh I sangat marah. Dalam sebuah Hadits Qudsi disebutkan: “Kemuliaan adalah sarungKu dan kesombongan adalah selendangKu. Siapa saja yang mencabut salah satu dari kedua pakaianKu itu, maka pasti Aku akan menyiksanya” (H.R. Muslim). Maksud dari kata mencabut dalam hadits tersebut ialah merasa dirinya paling mulia atau berlagak sombong. Sebaliknya, jika manusia melakukan ketaatan yang sebaik-baiknya kepada Allâh I, maka bukan hal yang mustahil, ia menjadi lebih mulia daripada malaikat. Hal itu adalah karena manusia, oleh Allâh diberikan anugerah yang lengkap berupa jasad, ruh, hati, akal dan nafsu. Kelima hal itulah yang dapat mengubah kedudukannya, terutama dalam penggunaan akal dan nafsu.

Permusuhan dan peperangan antara manusia dan setan akan berlangsung terus menerus sampai hari kiamat. Akar dari permusuhan ini tidak lain adalah karena keangkuhan dan kesombongan setan atau iblis dan bermula ketika ia enggan bersujud kepada Nabi Adam sebagai bentuk penghormatan kepadanya. Banyak ayat-ayat al-Qur’ân yang memberi peringatan kepada kita agar selalu waspada terhadap bujukan setan dan keterampilannya dalam menyesatkan manusia dengan ketekunan dan semangat yang tinggi. Bagaimana tidak, setan yang pertama kali mengganggu manusia, oleh Allâh I diberikan penangguhan kematian hingga hari kiamat, sehingga strategi setan dan para pengikutnya dalam menyesatkan manusia terus menerus diperbarui, yang akibatnya cara setan berperang dengan manusia semakin penuh dengan tipu muslihat. Semakin tinggi kualitas seorang manusia dalam hal ketakwaan kepada Allâh I, maka semakin tinggi pula kualitas tipu muslihat setan untuk mengganggunya. Cara setan mengganggu orang biasa tentu akan berbeda dengan cara setan mengganggu seorang yang berilmu.

Dari penjelasan di atas, kita sebagai manusia yang beriman, tentu harus memposisikan setan sebagai musuh yang sebenarnya sekaligus harus mewaspadai tipu dayanya. Rasa dendam yang dimiliki setan semenjak diusir dari surga akan terus membakar semangatnya dalam menyesatkan manusia sampai datangnya hari kiamat. Tidak ada satu manusia pun yang terlepas dari gangguan setan. Oleh karena itu, mari kita sama-sama mencermati beberapa teknik setan dalam menyesatkan manusia.

  1. Menghiasi kebatilan.
  2. Lalai atau berlebihan.

Tentang masalah ini, Ibnu Qayyim mengatakan bahwa setiap ada perintah Allâh, setan punya dua pilihan; pertama mendorong lalai dan kedua berlebihan. Setan mendatangi hati manusia dan mendeteksinya. Jika ia mendapati seorang hamba yang kurang semangat, lalai dan hanya menginginkan keringanan-keringanan saja, maka setan menempuh jalan ini; dirintanginya, disuruhnya diam, ditimpakan kemalasan, dan sebagainya. Jika setan menemukan orang yang selalu siaga, rajin, penuh semangat, maka ia tidak menempuh cara tadi. Ia justru perintahkan orang itu untuk lebih rajin lagi dan tidak merasa cukup atas amal yang telah dikerjakannya; tidak tidur kalau orang lain tidur, tidak buka puasa kalo orang lain berbuka, dan sebagainya yang pada intinya adalah berlebihan. Yang pertama manusia didorong untuk tidak mengerjakan perintah, sedangkan yang kedua untuk melampaui batas. Banyak orang yang terperdaya dengan usaha setan yang kedua ini dan tidak selamat, kecuali orang yang berilmu dengan mendalam, punya keimanan dan kekuatan untuk melawan setan, dan selalu menempuh jalan tengah (shirâthal mustaqîm).

  1. Merintangi amal dan menganjurkan menangguhkannya
  2. Memberikan janji-janji dan membangkitkan angan-angan
  3. Berpura-pura menasihati.

Ada sebuah kisah yang sangat penting untuk kita ambil hikmahnya, yaitu tentang seorang ahli ibadah di kalangan Bani Israil yang tergolong shalih pada saat itu. Pada saat itu, terdapat tiga orang laki-laki bersaudara yang mempunyai seorang saudara perempuan yang masih perawan dan tidak mempunyai sanak saudara yang lainnya. Ketika ketiga saudara laki-lakinya bermaksud ikut berperang, mereka kebingungan. Kepada siapa saudara perempuannya harus dititipkan; siapa yang akan melindunginya dan menyediakan keperluannya selama mereka tidak ada. Setelah lama, terpikirlah oleh mereka bahwa yang paling aman dan paling dapat dipercaya untuk menitipkan adiknya adalah kepada ahli ibadah orang Israil. Pada awalnya, ahli ibadah itu bersikeras menolaknya, tetapi setelah didesak oleh mereka, akhirnya dia mau menerima saudara perempuannya itu untuk tinggal di sebuah rumah dekat biaranya. Pada awalnya, kewajiban sang ahli ibadah atas perempuan tersebut ditunaikan dengan sewajarnya dan dengan penuh kehati-hatian, akan tetapi setan mulai melancarkan serangan tipu dayanya secara perlahan dan bertahap, hingga pada akhirnya berbagai maksiat pun dilakukan oleh sang ahli ibadah tadi yang menyebabkannya harus dihukum pancung, dan pada akhirnya ia mati dalam keadaan sȗul khâtimah. Na’ȗdzu billâhi min dzâlika.

  1. Bertahap dalam menyesatkan
  2. Memunculkan rasa takut dan keraguan
  3. Masuk di hati dan menuruti kesenangan hati

Sebagai penutup, tidak ada alasan bagi kita semua sebagai manusia yang beriman untuk tidak bekerjasama dalam memerangi setan sebagai musuh yang sebenarnya. Kita berdoa kepada Allah semoga selalu memberikan kita kekuatan dan keistiqamahan dalam menghadapi tipu muslihat dari setan dan pengikutnya. Kita patut bersyukur bahwa Allâh I memberikan kita nikmat yang amat sangat besar yaitu dengan kehadiran Nabi Muhammad r yang membawa risalah kenabian sekaligus menjadi mukjizatnya yang terbesar sepanjang masa, yaitu al-Qur’ân. Di samping itu, Rasulullah pun menguraikan dalam haditsnya berbagai hal tentang tipu muslihat setan dan cara membentenginya. Semoga shalawat beriring salam senantiasa tercurahkan kepada beliau Rasulullah Muhammad r habibullah dan Nabi akhir zaman. Allâhumma shalli wa sallim wa bârik ‘alayh wa ‘alâ âlihi.

 

Husaini Anwar Fauzan

 

Mutiara Hikmah

“Dan katakanlah, ‘Ya Tuhanku, aku berlindung kepada Engkau dari bisikan-bisikan setan. Dan aku berlindung (pula) kepada Engkau ya Tuhanku, agar mereka tidak mendekati aku’.”

(Al-Mu’minun [23]: 97-98)

AMALAN SHALEH DI 10 HARI PERTAMA BULAN DZULHIJJAH

AMALAN SHALEH DI 10 HARI PERTAMA BULAN DZULHIJJAH

وَالْفَجْرِ وَلَيَالٍ عَشْرٍ

Demi fajar, dan malam yang sepuluh.” (QS. Al-Fajr: 1-2)

Allah  Dengan segala keagungannya sangat menyayangi hamba-hambaNya. Salah satu keagunganNya yakni dengan memberikan nikmat kepada hambaNya berupa nikmat sehat, rezeki dan juga waktu. Bulan Dzulhijjah adalah salah satu dari empat bulan haram, yaitu Rajab, Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. Keutamaaan yang Allah tetapkan di empat bulan haram tersebut adalah dilipatgandakannya pahala bagi seorang yang mengerjakan amalan shalih, sehingga seorang hamba akan lebih giat melakukan amalan kebaikan pada bulan-bulan tersebut. Begitu pula, perbuatan dosa yang dilakukan di dalamnya menjadi lebih besar di sisi Allah, sehingga seorang hamba bisa meraih ketakwaan yang lebih tinggi dari bulan-bulan sebelumnya, dengan semakin menjauhi kemaksiatan-kemaksiatan. Dengan demikian, kebahagiaan, ketentraman, dan keselamatan di dunia dan akhirat bisa terwujud.   

Bulan Dzulhijjah sebagai salah satu bulan haram memiliki keistimewaan, salah satunya yakni pada 10 malam pertama bulan Dzulhijjah. Dari Ibnu Umar Radhiyallaahu ‘Anhuma, dari Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,

مَا مِنْ أَيَّامٍ أَعْظَمُ عِنْدَ اللَّهِ وَلَا أَحَبُّ إِلَيْهِ الْعَمَلُ فِيهِنَّ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ الْعَشْرِ

Tidak ada hari-hari yang lebih agung di sisi Allah dan amal shalih di dalamnya lebih dicintai oleh-Nya daripada hari yang sepuluh (sepuluh hari pertama dari Dzulhijjah).” (HR. Ahmad, dishahihkan Syaikh Ahmad Syakir)

Kaum Muslimin Rahimakumullah, kita semua mengenal bahwasanya bulan Dzulhijjah adalah bulan kedua belas dan terakhir dari penanggalan kalender Hijriyah. Pada bulan Dzulhijjah juga masyarakat biasa menyebutnya bulan haji karena pada tanggal 9 di bulan ini (dzulhijjah) kaum muslimin yang beribadah haji melaksanakan wukuf di Arafah sementara yang tidak beribadah haji melaksanakan puasa sunnah Arafah. Kemudian pada tanggal 10 di bulan ini umat Islam memperingati hari raya Idul Adha atau kita biasa mengenal dengan hari raya kurban. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ

Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak.” (QS. Al-Hajj: 27-28)

Dalam rangka menyambut bulan Dzulhijjah, umat muslim dianjurkan untuk memperbanyak amal shaleh karena pahala dari apa yang kita kerjakan akan dilipatgandakan oleh Allah . Dari Ibnu Umar , dari Nabi bersabda, “Tidak ada kumpulan hari yang amal shaleh lebih dicintai oleh Allah melebihi amal shaleh yang dikerjakan pada hari-hari ini (yaitu 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah).” Para sahabat bertanya: “Tidak pula jihad di jalan Allah?” Nabi menjawab: “Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya namun tidak ada yang kembali satupun.” (HR. Al-Bukhari, Abu Dawud dan  Ibnu Majah)

Amalan-amalan Shaleh yang dianjurkan pada bulan Dzulhijjah

 

  • Puasa Arafah

 

Puasa Arafah adalah puasa sunnah yang dijalankan pada tanggal 09 Dzulhijjah tahun Hijriyah. Puasa Arafah dianjurkan bagi umat muslim yang tidak sedang melaksanakan ibadah haji di Makkah. Cara melaksanakan puasa arafah sama seperti puasa sunnah lainnya.  

Dari Abu Qotadah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَهُ وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ

Puasa Arofah (9 Dzulhijjah) dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun akan datang. Puasa Asyuro (10 Muharram) akan menghapuskan dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim no. 1162)

 

 

  • Takbir dan Dzikir

 

Perbanyak dzikir termasuk bertahlil, bertasbih, beristigfar, bertahmid, bertakbir dan memperbanyak doa merupakan suatu amalan yang dianjurkan pada bulan ini, tidak hanya dijalankan pada bulan Dzulhijjah saja tetapi juga dibiasakan pada keseharian hidup kita. Ibnu ‘Abbas berkata, “Berdzikirlah kalian pada Allah di hari-hari yang ditentukan yaitu 10  hari pertama Dzulhijah dan juga pada hari-hari tasyriq.” Ibnu ‘Umar dan Abu Hurairah pernah keluar ke pasar pada sepuluh hari pertama Dzulhijah, lalu mereka bertakbir, lantas manusia pun ikut bertakbir. Muhammad bin Ali pun bertakbir setelah shalat sunnah”

 

 

  • Menunaikan Ibadah Haji dan Umroh

 

Ibadah haji merupakan salah satu ibadah dari rukun Islam yang kelima, dan wajib dikerjakan oleh setiap muslim bagi yang mampu mengerjakan baik secara finansial maupun fisik.

“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.” (QS. Al Baqarah [2]; ayat: 196-197)

 

 

  • Berqurban

 

Hari raya Idul Adha atau sering dikenal dengan hari raya qurban, karena pada tanggal 10 Dzulhijjah tersebut, umat Islam berlomba-lomba menyisihkan sebagian hartanya untuk membeli kambing, lembu atau unta untuk disembelih setelah shalat hari raya Idul Adha dilaksanakan dan tiga hari setelahnya atau yang kita kenal dengan hari tasyrik. Udhiyah atau menyembelih hewan qurbah disyariatkan oleh Allah sebagaiman firman Allah dalam surat al-kautasar [108]: 2 “Dirikanlah shalat dan berqurbanlah (an-nahr). Para Jumhur ulama menafsirkan ayat tersebut dengan “Berqurbanlah pada hari Idul Adha (yaum an-Nahr). Udhiyah merupakan bentuk  rasa cinta dan ketaqwaan seorang muslim kepada Allah . Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik”. (QS. Al-Hajj [22]; ayat: 37)

 

 

  • Bertaubat (tidak bermaksiat)

 

Perintah bertaubat dan tidak melakukan maksiat sudah menjadi kewajiban kita sebagai umat Islam untuk melaksanakan perintah tersebut, namun hal serupa ditekankan bagi umat Islam bertaubat dari berbagai dosa dan maksiat di awal bulan Dzulhijjah. Artinya kita menyibukkan diri di awal bulan Dzulhijjah dengan amal-amal shaleh serta meninggalkan kezholiman terhadap sesama. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Kemudian, sesungguhnya Tuhanmu (mengampuni) bagi orang-orang yang mengerjakan kesalahan karena kebodohannya, kemudian mereka bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), sesungguhnya Tuhanmu sesudah itu benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang“. (QS. An-Nahl [16]; ayat : 119)

Keistimewaan 10 malam hari pertama bulan Dzulhijjah sangatlah besar. Amalan shaleh yang dikerjakan oleh kita diistimewakan dan dicintai oleh Allah serta dilipatgandakan pahalanya yang mana hal ini merupakan nikmat dan karunia dari Allah  kepada hambaNya. Maka kita wajib mensyukurinya dengan sungguh-sungguh meningkatkan ketaatan kita kepada Allah . Walapun sejatinya, amalan-amalan shaleh yang tertera tidak berpacu mutlak hanya pada  yang disebutkan diatas, amalan shaleh lainnya seperti shalat, sedekah, membaca Al-Qur’an juga patut dikerjakan oleh umat Islam dalam kesehariannya.

 

Siti Anisa Rahmayani

Alumni FIAI UII

 

Mutiara Hikmah:

“Ada dua bulan yang pahala amalnya tidak pernah berkurang, kedua bulan itu adalah bulan id: bulan Ramadhan dan bulan Dzulhijjah.”

(HR. Al Bukhari & Muslim)

OBAT MANJUR PENYAKIT HATI

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tidaklah seorang hamba mendapatkan hukuman yang lebih berat daripada hati yang keras dan jauh dari Allah.”

 Sesungguhnya saat ini kita hidup di era perkembangan ilmu materealis yang sangat dahsyat. Manusia banyak menghasilkan sesuatu berupa alat-alat peradaban dan kemewahan yang terus berkembang dengan pesat. Setiap hari selalu saja ada hal yang baru. Perkembangan ini pula bersamaan dengan tingginya populasi pengidap penyakit yang jumlahnya mencapai bilangan yang mengkhawatirkan dengan berbagai macam penyakit. Salah satu penyakit yang menjadi sorotan saat ini adalah penyakit hati, karena hati menjadi inti manusia. Banyak dokter penyakit hati, konsultan, ahli bedah hati, ramuan obat hati bahkan praktik operasi hati untuk meringankan penderita penyakit hati.

Adapun manusia mempunyai hati lain yang tidak terlihat secara kasat mata, yang keadaan dan tempatnya tidak terputus dengan otot-otot hati yang dijelaskan dalam hadits berikut.“Ketahuilah sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal daging. Apabila segumpal daging tersebut baik, maka baiklah seluruh tubuhnya. Dan, apabila segumpal daging tersebut buruk, maka buruklah seluruh tubuhnya. Ketahuilah segumpal daging itu adalah hati.” (HR. Bukhari dan Muslim). Rusaknya hati yang pertama dapat mendatangkan kematian yang berbuntut hilangnya kehidupan dunia, maka rusaknya hati yang lain (yang kedua ini) menyebabkan rusaknya manusia secara keseluruhan, serta hilangnya kehidupan dunia dan akhirat. Maka dari sinilah pembahasan adanya hati yang tidak terlihat. Bencana besar bagi hati ini adalah orang yang memilikinya tidak merasa dengan penyakitnya, karena tidak ada tanda-tanda yang terlihat di tubuh sebagaimana keadaan yang tampak pada hati yang pertama.

Banyak ulama yang berdiri sesuai bagiannya untuk mempublikasikan kesadaran kesehatan dan mendidik manusia dalam bidang ini, seperti Hasan Basri, Haris Al-Muhasibi, Al-Junaid, Al-Ghazali, dan lain-lainnya. Adapun pada tulisan ini akan membahas obat hati yang sakit dari salah satu ulama dalam bidang ini, yaitu Ibnu Qayyim rahimahullah. Berikut ringkasan pembahasan karya Ibnu Qayyim dari kitabnya yang berjudul Thibbul Qulub.

Cara mengobati hati yang sakit

Ibnu Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa cara mengobati hati yang sakit karena dikuasai oleh nafsu yang mengarahkan kepada suu’ (keburukan) ada dua, yaitu: ”Melakukan muhasabah (perhitungan) atas nafsu dan tidak menuruti nafsu. Hati akan hancur dikarenakan meremehkan muhasabah dan mengikuti nafsu. Imam Ahmad dan lainnya meriwayatkan hadits dari Syadad bin Uwais bahwa Rasulullah  bersabda: “Orang yang cerdas adalah orang-orang yang menundukkan hawa nafsunya dan beramal untuk persiapan sesudah mati, dan orang yang lemah adalah orang yang selalu mengikuti hawa nafsunya dan berangan-angan untuk (diselamatkan) Allah.” (HR. At Tirmidzi no 2459).

Adapun pada tulisan ini akan fokus membahas cara mengobati hati dengan poin pertama, yaitu melakukan muhasabah.

Al – Hasan berkata, “Orang mukmin itu selalu mengurusi jiwanya. Ia mengevaluasi dirinya karena Allah. Allah  berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat).” (QS. Al-Hasyr [59]: 18)

Imam Ahmad menuturkan dari Wahab bahwasannya tertulis dalam hikmah Nabi Dawud, “Hak bagi orang berakal adalah tidak lalai dalam empat waktu ini, yaitu waktu yang digunakan untuk bermunajah kepada Tuhannya, waktu yang digunakan untuk mengintrospeksi dirinya, dan waktu dia menyepi antara jiwanya dengan kelezatannya memikirkan yang halal dan menjadikan jiwanya terlihat indah. Waktu yang keempat ini merupakan penolong pada semua waktu itu dan melimpahkan hati.”

Hal-hal Yang Dapat Membantu Muhasabah

Adapun hal-hal yang dapat membantu Muhasabah diri adalah: 1) kesadarannya bahwa setiap kali ia bersungguh-sungguh melakukan hal itu saat ini, maka ia akan istirahat dan merasa nyaman esok hari. Setiap ia meremehkan hal itu sekarang, maka ia akan menghadapi hisab yang semakin berat kelak di akhirat; 2) keyakinan bahwa keuntungan perniagaan tersebut adalah Surga Firdaus dan melihat wajah Allah . Sedangkan kerugiannya adalah terjerumus ke dalam neraka dan terhalang dari memandang Allah . Jika orang-orang meyakini hal ini maka hisab menjadi mudah.

Muhasabah diri ada dua macam, yaitu muhasabah diri sebelum melakukan suatu perbuatan dan muhasabah setelah selesainya melakukan suatu perbuatan.

Muhasabah diri sebelum berbuat, hendaknya orang yang ingin memulai suatu pekerjaan mengawali dengan mempertimbangkan hingga benar-benar jelas keutamaanya daripada meninggalkannya. Al-Hasan berkata, “Semoga Allah merahmati hamba-Nya yang berhenti di saat berkeinginan. Jika karena Allah, maka ia laksanakan dan jika karena selain-Nya, maka ia tinggalkan.” Sebagian ulama menjelaskan arti ungkapan tersebut dengan mengatakan, “ Jika diri bergerak untuk melakukan suatu perbuatan dan ia sudah berkeinginan melakukannya, maka ia berhenti dan merenungkan, apakah perbuatan tersebut sanggup ia lakukan atau tidak? Jika tidak sanggup ia lakukan, maka ia tidak melanjutkannya. Tetapi jika sanggup ia lakukan, maka ia merenungkan hal lain, apakah melakukannya lebih baik dari meninggalkannya atau meninggalkannya lebih baik daripada melakukannya? Jika jawaban yang pertama, maka ia merenungkan hal ketiga, apakah yang mendorong perbuatan itu adalah keinginan mendapatkan keridhaan Allah dan pahala-Nya atau keinginan mendapatkan pangkat, pujian, dan harta dari makhluk? Jika jawabannya yang kedua, maka ia membatalkan perbuatan itu meskipun itu yang akan mengantarkan pada apa yang ia cari, agar ia tidak terbiasa dengan perbuatan syirik dan tidak merasa ringan untuk melakukan perbuatan bukan karena Allah. Sesuai dengan keringanan yang ia rasakan dalam berbuat bukan karena Allah, maka seberat itu juga beratnya untuk berbuat karena Allah, bahkan ia menjadi amal yang terberat baginya. Tetapi jika jawabannya yang pertama, maka hendaknya ia merenungkan kembali, apakah ia akan ditolong dalam perbuatannya itu, dan ada orang-orang yang bersedia membantunya jika memang perbuatan itu membutuhkan pertolongan? Jika tidak ada yang menolongnya dalam perbuatan itu ia berhenti, sebagaimana Nabi berhenti dan menunda jihad di Makkah hingga beliau mendapatkan para penolong. Jika ia mendapatkan orang yang menolongnya, maka ia pun melangsungkan pekerjaannya.”

Muhasabah yang kedua adalah muhasabah diri setelah selesainya pekerjaan, yangmana hal ini terbagi menjadi 3 macam, yaitu: Pertama, muhasabah diri atas ketaatan yang kurang sempurna dalam menyempurnakan hak Allah, sehingga ia tidak melakukannya sesuai dengan sepantasnya. Adapun hak Allah dalam hal ketaatan ada enam, yaitu; 1) ikhlas dalam berbuat, 2) nasehat karena Allah dalam pekerjaan tersebut, 3) mengikuti Rasulullah, 4) memperlihatkan ihsan pada pekerjaan tersebut, 5) menampakkan karunia Allah pada pekerjaan tersebut, serta 6) menampakkan atas segala kekurangan dirinya dalam pekerjaan tersebut. Kedua, hendaknya menghisab dirinya atas pekerjaan yang lebih baik ditinggalkan daripada dikerjakannya. Ketiga, hendaknya menghisab dirinya atas hal-hal yang mubah atau yang biasa dilakukan, kenapa ia melakukannya? Apakah melakukannya karena Allah dan mengharapkan kehidupan akhirat sehingga ia beruntung atau apakah ia melakukan hal itu untuk kehidupan dunia dengan segala ketergesaannya sehingga ia merugi dan tidak memenangkan ridha Allah. Adapun yang paling berbahaya bagi suatu pekerjaan adalah meremehkan, meninggalkan muhasabah, melepaskan begitu saja dan memudahkan persoalan.

Manfaat Muhasabah

Muhasabah sangatlah mendatangkan banyak manfaat, diantaranya: mengetahui aib sendiri, merendahkan diri karena Allah, dan mengetahui hak Allah.

Mengetahui aib sendiri. Orang yang tidak mengetahui aib dirinya, tidak akan mampu menghilangkannya. Tetapi jika ia mengetahui aib dirinya, maka ia akan membencinya karena Allah. Abu Hafsh berkata, “Barangsiapa tidak berprasangka buruk kepada nafsunya sepanjang waktu, tidak menyelisihinya dalam setiap keadaan, serta tidak menyeretnya pada apa yang dibencinya sepanjang waktunya, maka orang itu telah terperdaya. Dan barangsiapa melihat kepada nafsunya dan menganggap baik sesuatu darinya, maka sesuatu itu telah menghancurkannya.”

Merendahkan diri karena Allah. Merendahkan diri karena Allah termasuk salah satu sifatnya orang – orang yang sangat jujur. Seorang hamba akan dekat kepada Allah dengan ia merasa lemah dengan amal perbuatannya. Imam Ahmad berkata dalam Kitab Zuhud-nya, “Sesungguhnya seorang laki-laki dari Bani Israel beribadah selama 60 tahun untuk suatu hajat tertentu, dan dia belum mendapatkannya.” Lalu dia bergumam di dalam hatinya, “Demi Allah, jika ada kebaikan dalam diri-Mu, maka aku pasti akan memperoleh hajatku.” Kemudian ia bermimpi dan dikatakan padanya, “Apakah kamu pernah merasa rendah di suatu waktu? Sesungguhnya hal tersebut lebih bagus daripada ibadahmu bertahun-tahun lamanya.”

Mengetahui hak Allah. Barangsiapa tidak mengetahui hak Allah atas dirinya, maka ibadah kepada-Nya hampir tak bermanfaat sama sekali dan ibadahnya sungguh sangat sedikit sekali manfaatnya. Diantara hak-hak Allah adalah Dia wajib ditaati dan tidak diingkari, Dia wajib diingat dan tidak boleh dilupakan, serta wajib disyukuri dan tidak boleh dikufuri.

Disebutkan oleh Imam Ahmad dari sebagian ahli ilmu, bahwasannya seseorang bertanya, “Berilah aku wasiat!” Ia menjawab, “Hendaknya engkau bersikap zuhud terhadap dunia, dan janganlah engkau melawan para penghuninya. Dan hendaklah kamu seperti lebah, jika ia makan hanya makan yang baik-baik, dan jika ia mengeluarkan sesuatu (dari dalam perutnya), maka ia hanya mengeluarkan yang baik-baik, jika ia bertengger di atas dahan maka tidak mebahayakan, dan tidak pula mematahkannya”.

Saudara-saudaraku, Maka hari ini saja, mari kita mulai mencoba muhasabah pada diri kita. Pandangilah seluruh anggota tubuhmu dan tanyakan pada setiap bagiannya atas apa saja yang telah dibicarakan? Kemana saja kaki ini melangkah? Apa yang telah diambil oleh kedua tangan? apa yang telah didengar oleh kedua telinga? Untuk apa ia lakukan semua itu dan untuk siapa? Serta atas dasar apa ia lakukan semua itu? Allah  berfirman yang artinya: “Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua, tentang apa yang mereka kerjakan dahulu.” (QS. Al-Hijr [15]: 92-93)

Wallahu a’lam bi ash-shawab.

 

Azzahra

Alumni Statistika UII

CERDAS DALAM MENDIDIK

Katakanlah (Muhammad), “Milik siapakah apa yang di langit dan di bumi?” Katakanan, “Milik Allah.” Dia telah Menetapkan (sifat) kasih sayang pada diri-Nya.

(QS. Al-An’am [6] : 12)

 

 

Perkembangan dunia teknologi informasi memberikan dampak yang besar bagi setiap insan. Keluargamerupakan pintu utama dalammemberikan pendidikan. Dan mereka hadir seiring dengan siklus kehidupan yang selalu ada di setiap peran perjalanan. Setiap peristiwa dalam kehidupan ini merupakan lika-liku perjalanan yang akan memberikan dampakpositif bagi setiap orang yang mengambil hikmah darinya. Begitupun dengan cinta dan kasih sayang olehkedua kelarga, dengan ketulusan darinya maka akan terpancar sinar-sinar cahaya yang menyejukan bagi orang yang ada di sekitarnya.

Sebagian dari kita mungkin masih teringat dengan kisah Juraid sang ahli ibadah yang mengandung pelajaran bagaimana peranorang tua dalam ucapan dan kata-kata akan sangat berpengaruh dalam siklus kehidupan anak-anaknya. (Muhammad Ali al Hasyimi, 2006)

Orang tua pasti menginginkan keluarga yang harmonis, damai dan temtram, serta menjadikan kesejahteraan berupa harta dalam kehidupannya yang lebih baik.Harta yang dikaruniakan oleh Allah bisa membuat kita lebih mudah untuk menjalan kehidupan ini. Namun perlu diingat kelebihan dalam harta juga akan membawa dampak yang buruk bagi keluarga kita, jika kita tidak bisa mengelola dan mengalokasikan harta tersebut dengan kebaikan.

Peran orang tua yang sadar akan kesuksesan dan kesejahteraan bagi anaknya di masa depan,merupakan langkah awal dalam memberikan konsep pendidikan untuk kebaikan mereka. Maka mereka akan senantiasamemberikan pengorbanan apapun untuk kebaikan-kebaikan pada anaknya. Walaupun kebaikan itu kadang kala akan terasa berat untuk dijalankan. Namun dengan ketulusan dan kasih sayangnya, orang tua yang soleh akan mengerahkan kemampuanya untukkesolehan anak-anaknya.

Allah Subahanuhu wata’ala menurunkan sifat kasih sayang kepada setiap makhluk yang ada di muka bumi ini. Sifat kasih sayang akan berbuah kebaikan manakala kasih sayang, cinta dan ketulusan orang tua yang tertuang dalam akhlak dan kepribadianya.Banyak orang tua yang mengorbankan apa saja demi masa depan anaknya, yang kadang malah keluar dari koridor kebenaran. Lalu yang menjadi pertanyaan adalah apakah pengorbanan ini akan berdampak baik bagi kehidupan anak-anak kita. Jawabannya hanya kita yang tau.

Peran serta keluarga dalam memberikan kasih sayang untuk mengarahkan dan membangun karakter yang positif merupakan hal yang wajib dilakukan oleh setiap muslim. Ibarat seorang petani yang setiap hari berlelah diri dalam menanam benih di ladangnya. Maka lelah dan letihnya akan menjadi bulir-bulir kebahagiaan yang tak terkira ketika melihat hasil tanamannya tumbuh dan berkembang serta membuahkan hasil yang sempurna.

Orang tua yang sadar akan memetik hasil dari merawat tumbuh kembang anak agar dapat memetik hasil yang terbaik. Pasti akan membuat rancangan konsep yang akan mendampingi kehidupan dalam memperoleh kebaikan yang diingikan. Pupuk yang terbaik bagi bibit yang kita tanam adalah memberikan kasih, sayang dan cinta yang terbaik dalam setiap aktivitas-aktivitas kita.

Mengajarkan cinta kepada anak tentang kesetiaan dan kasih sayang dalam keluarga. Merupakan hal yang dapat kita lakukan sebagai bekal ilmu untuk masa depan mereka. Kahidupan ini memang selalu membawa hikmah bagi pelakunya. Kesetian dan kasih sayang seorang anak kepada kakak, adik, sanak saudara adalah hasil dari pemberian kasih sayang kita kepada mereka.Imam Bukhori meriwayatkan dalam Al Adab Al Mufrad dan At Thabrani dari Abu Hurairah bahwasannya Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam mengambil tangan Hasan dan Husain Radhiallahu anhu, kemudian meletakkan kaki-kainya kemudian berkata: “Naiklah.”

Begitu besarnya kecintaan dan kasih sayang Rasulullah Muhammad kepada anak-anak para sahabat dan keluarganya. Sehingga kasih sayang dan cinta inilah membawa hasil kesuksesan bagi perkembangan agama Islam.Anak-anak adalah kebahagian manusia dalam hidupnya, keceriaan bagi orang tua dalam masa-masa umurnya dan hiburan yang indah bersama mereka. Setiap anak mempunyai fitrah yang suci dalam setiap akhlak dan kebaikannya.

Kecerdasan, kepintaran dan kepiawannya merupakan keberkahan yang selalu hadir dalam setiap sendi-sendi pendidikan orang tuanya. Anak-anak adalah sumber kebahagiaan. Anak-anak adalah ladang kebaikan serta anugrah terindah dari Allah. Taggung jawab orang tua kepada anak merupakan tanggung jawab yang besar di hadapan Allah, oleh karena itu orang tua yang sholeh, mereka sadar bahwa anak merupakan amanat yang diberikan Allah kepada kita dan menjadikan amanat tersebut sebagai jalan menuju syurga.

Salah satu pesan kebaikan yang diberikan oleh baginda kitaRasulullah kepada para sahabat dan orang dicintainya adalah memberikan do’a-do’a terbaik untuk mereka agar diberikan harta dan anak-anak yang banyak.Harta dan anak-anak merupakan perhiasan kehidupan dunia, sebagaimana hal in tertuang dalam al-Qur’an surah al-Kahfi [18] ayat 46 yang artinya “Harta dan anak-anak adalah perhiasan bagi kehidupan dunia”.

Ibnu Abbas dalam tafsirnya menjelaskan tentang ayat ini bahwa harta dan anak-anak adalah perhiasan dunia yang tidak lama, hal ini sebagaimana tumbuhan yang hidup subur dan berkembang hingga akhirnya mengering. Oleh sebab itulah, peran kita sebagai orang tua yang sholeh dalam memberikan pendidikan sebagai tanggung jawab kita kepada Allah adalah memberikan pendidikan yang terbaik sesuai kemampuan anak-anak kita dan menjaga mereka agar tidak terjerumus ke jalan yang dimurkai Allah.

Seorang muslim yang sadar bahwa salah satu harta yang paling berharga dalam hidupannya adalah anak-anaknya, maka ia akan senantiasa merawat, mengayomi dan memberikan tauladan terbaik dengan akhlak yang ada dalam dirinya.Begitupun juga dengan mengajarkan tentang kisah dan tauladan terbaik dari Rasulullah dan para sahabatnyamerupakan salah satu hal yang bisa kita lakukan dalam mendidik anak-anak kita. Orang tua yang sholeh, mereka sadar akan investasi dalam mendidik anak-anaknya karena mereka meupakan karunia terbesar yang diberikan Allah.

Mungkin sebagian kita menjadikan anak yang sholeh di era modern ini adalah sebuah hal yang sulit. Akan tetapi bagi orang tua yang sholeh, mendidik anak-anaknya pada era inijustru akan menjadi motivasi dalam kehidupannya. Kemudian mereka senantiasa akan memulai pendidikanya dengan mensolehkan kepribadianya.Walaupun menjadikan anak yang sholeh merupakan hak prerogatif Allah.

Disadari atau tidak, pengaruh kebaikan keluarga dan peran sertanya dalam mendidik akan selalu berdampak positif dalam kehidupan anak-anaknya kelak. Namun perlu diingat pendidikan yang baik dalam membangun anak yang berkarakter selalu di mulai dengan hanya mengharap ridho Allah.

Niat yang tulus dan usaha yang ikhlas akan melahirkan kebaikan-kebaikan yang bernilai ibadah disisi Allah. Dan tentunya hal ini juga akan menjadikan diri kita tetap istiqomah dalam mendidik dan berusaha membangun karakter yang positif bagi kebaikan anak-anak kita.Oleh karenanya apapun kebaikan dan peran kita dalam mendidik anak menjadi sholeh merupakan bukti kita taat akan perintah Allah.

“ya Allah jadikanlah kami sebagai orang-orang yang mampu memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak-anak kami, serta jadikanlah kami suri tauladan yang baik bagi keluarga dan saudara-saudara kami. Sesungguhnya Engkaulah Maha Pengasih dan Maha mengabulkan setiap do’a.”

Romi Padli

Alumni UII

 

Mutiara Hikmah:

Rasulullah Bersabda : “Sebaik-baik manusia ialah manusia yang panjang usianya dan baik amalannya” (HR. Tirmidzi)

 

 

 

Romi Padli

Magister Ilmu Agama Islam, Fakultas Ilmu Agama Islam 2016

BIOGRAFI ABU HURAIRAH

Abu Hurairah dilahirkan tahun 19 sebelum Hijriyah. Nama Beliau sebelum memeluk Islam tidaklah diketahui dengan jelas, tetapi pendapat yang masyhur adalah Abdusy Syam. Sedangkan nama Islam nya yaitu Abdur-Rahman. Beliau berasal dari qabilah Al-dusi di Yaman. Beliau memeluk Islam pada tahun ke 7 Hijriyah ketika Rasulullah Berangkat menuju Khaibar. Ketika itu, ibunya belum menerima Islam bahkan menghina Rasulullah. Abu Hurairamenemui Rasulullah, meminta beliau berdo’a agar ibunya masuk Islam. Kemudian Abu Hurairah kembali menemui ibunya lalu mengajaknya masuk Islam. Ternyata ibunya telah berubah pikiran dan bersedia masuk Islam.

Setelah pulang dari Perang Khaibar, Rasulullah ingin memperluas masjid Nabawi ke arah barat dengan menambah ruang sebanyak tiga tiang lagi. Ketika Rasulullah mengangkat batu untuk pondasi tiang, Abu hurairah langsung meminta agar beliau menyerahkan batu tersebut tetapi Rasulullah menolak dan berkata “Tiada kehidupan sebenarnya melainkan kehidupan akhirat”.

Abu Hurairah sangat mencintai Rasulullah sehingga siapun yang Rasullah cintai, maka iapun ikut mencintainya. Misalnya, Abu Huraira suka menciumi Hasan dan Husein karena beliau melihat Rasulullah suka menciumi kedua cucunya. Beliau diberi gelar dengan nama “Abu Hurairah“ karena kegemarannya bermain dengan anak kucing. Diceritakan pada suatu hari ketika Abu Hurairah bertemu Rasulullah, beliau bertanya pada Abu Hurairah tentang apa yang ada di dalam lengan bajunya, lalu Abu Hurairah memperlihatkan bahwa di dalam lengan bajunya ada seekor anak kucing. Setelah itu beliau diberi gelar oleh Rasulullah` dengan nama “Abu Hurairah” dan semenjak itu beliau lebih suka di panggil nama gelar tersebut.

Abu Hurairaha pindah ke Madinah untuk bekerja. Disana, beliau bekerja sebagai pekerja kasar atau kita lebih sering sebut dengan buruh. Beliau sering mengikatkan batu di perutnya untuk menahan rasa lapar, Diceritakan bahwa beliau berbaring menghampar di mimbar masjid sehingga orang-orang menyangka beliau sudah tidak waras lagi. Ketika Rasulullah` mendengar kabar tersebut, beliau langsung menemui Abu Hurairah dan menjelaskan kepada orang-orang bahwa Abu Hurairah berbuat seperti itu karena lapar. Lalu Rasulullah memberinya makanan.

Abu Hurairaha adalah sahabat yang sangat dekat dengan Rasulullah. Beliau dikenal sebagai salah satu ahli shuffah, yaitu orang- orang miskin atau sedang menuntut ilmu yang tinggal di halaman masjid. Pada suatu hari beliau duduk di pinggir jalan dimana orang-orang berlalu-lalang. Waktu itu beliau melihat Abu Bakara berjalan, lalu beliau meminta agar dibacakan satu ayat Al-Qur’an. “Saya bertanya begitu supaya beliau mengajakku ikut dengannya dan memberiku pekerjaan”, kata Abu Hurairah. Akan tetapi Abu Bakara hanya membacakan ayat Al-Qur’an lalu kemudian pergi. Lalu melihat beliau melihat Umar ibn Khattaba dan berkata “ tolong ajari saya ayat Al-Qur’an”. Abu Hurairah kecewa lagi karena Umar melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan oleh Abu Bakar. Tak lama kemudian datanglah Rasulullah. Nabi tersenyum, Abu Hurairaha berkata dalam hatinya, “beliau tahu apa isi hati saya dengan tepat, beliau bisa membaca raut muka saya dengan tepat,” Nabi memanggil “ya aba Hurairah!” Abu Hurairah menjawab “Labbaik, ya Rasulullah!”. Lalu Rasulullah berkata, “ikutilah aku!” beliau mengajak ke rumahnya. Didalam rumah didapati ada semangkuk susu “darimana datangnya susu ini?” tanya Rasulullah. Beliau telah bahwa seseorang telah memberikan susu itu. Rasullah memanggil, “ya Aba Hurairah!”Abu Hurairah pun menjawab “Labbaik, ya Rasulullah!””tolong panggilkan ahli suffah,” kata Rasulullah. Susu tadi dibagikan kepada ahli suffah, termasuk Abu Hurairah. Sejak itulah, Abu Hurairah mengabdi kepada Rasulullah, bergabung dengan ahli suffah di masjid.

Abu Hurairah meriwayatkan banyak Hadits disebabkan karena beliau mendampingi Rasulullah selama tiga tahun, sejak Abu Hurairah memeluk Islam. Abu Hurairah berkata, “…….sesungguhnya saudara kami dari golongan muhajirin sibuk dengan urusan mereka dipasar dan orang-orang Anshar sibuk bekerja diladang mereka, sementara aku seorang yang miskin senantiasa bersama Rasulullah di mil’i batni. Aku hadir di majelis yang mereka tidak hadir dan aku hafal pada saat mereka lupa” (Hadits Riwayat Bukhari). Pada mulanya Abu Hurairah mempunyai ingatan yang lemah, lalu beliau mengadu kepada Rasulullah.  Rasulullah` lalu mendo’akan Abu Hurairah agar di beri dengan daya ingat yang kuat. Semenjak itu, Abu Hurairah memiliki daya ingat yang kuat sehingga Abu Hurairah mampu meriwayatkan banyak Hadits bahkan yang terbanyak di kalangan para sahabat.

Kisah Abu Hurairah menjaga Gudang Zakat

Abu Hurairah  pernah diberi tugas oleh Rasulullah untuk menjaga gudang hasil zakat. Pada suatu malam, Abu Hurairah melihat orang mengendap-ngendap akan mencuri, lalu ditangkapnya. Orang itupun akan dibawanya kepada Rasulullah, tetapi pencuri itu merayu minta dikasihani seraya menyatakan bahwa dia mencuri untuk memberi makan keluarganya yang kelaparan. Abu Hurairah merasa kasihan lalu melepas pencuri itu dengan syarat orang itu tidak mengulangi perbuatannya lagi. Keesokan harinya, peristiwa tersebut dilaporkan kepada Rasulullah` dan beliaupun tersenyum lalu menyatakan bahwa pencuri itu pasti akan kembali. Ternyata keesokan malamnya pencuri itu datang lagi. Sekali lagi Abu Hurairah menangkap pencuri itu lalu ingin diserahkannya kepada Rasullah`. Sekali lagi, pencuri tersebut merayu sehingga Abu Hurairah merasa kasihan lalu melepaskannya sekali lagi. Kesokan harinya beliau melaporkan kejadian tersebut kepada Rasulullah` dan Rasulullah` pun mengulagi sabda nya bahwa pencuri itu pasti kembali. Apabila pencuri itu ditangkap sekali lagi, Abu Hurairah mengancam akan membawanya kepada Rasulullah. Keesokan malamnya pencuri tersebut tertangkap lagi dan merayu agar dibebaskan sekali lagi. Ketika Abu Hurairah tidak mau membebaskan, pencuri tersebut menyatakan bahwa jika seseorang membaca ayat kursi sebelum tidur, syaitan tidak mengganggunya. Abu Hurairaha merasa tersentuh mendengar perkataan pencuri itu lalu melepaskannya. Keesokan harinya, beliau menceritakan peristiwa tersebut kepada Rasulullah` dan beliau bersabda “pencuri yang ditemuinya itu adalah pembohong besar, tetapi apa yang diajarkannya kepada Abu Hurairah itu adalah suatu perkara yang benar. Sebenarnya pencuri tersebut adalah Syaitan yang dilaknat.”

Sikap Abu Hurairah terhadap fitnah yang terjadi pada masanya.

Walaupun Abu Hurairah merupakan orang yang miskin, namun pada suatu hari beliau dipinang oleh salah seorang majikannya yang kaya untuk dinikahkan dengan putrinya, Bisrah binti Gazwan. Ini menunjukkan bahwa Islam tidak memandang status sosial seseorang tapi yang dipandang adalah ketaqwaannya. Abu Hurairah dipandang mulia karena ke’aliman dan kesalihannya. Sejak menikah, Abu Hurairah membagi malamnya kedalam tiga bagian yaitu membaca Al-qur’an, istirahat dan keluarga, dan untuk mengulang-ngulang hadits. Beliau dan keluarganya tetap hidup sederhana walaupun telah menjadi orang kaya. Abu Hurairah suka bersedekah, menjamu tamu, bahkan memberikan rumahnya di Madinah untuk pembantu-pembantunya.

Rasulullah pernah mengutus Abu Hurairah berdakwah ke Bahrain bersama Al-‘Ala ibnu Abdillah Alhadrami. Beliau juga pernah diutus bersama Quddamah untuk mengambil jizyah di Bahrain dengan membawa surat kepada Amir Al-munzir ibnu Sawa At-Tamimi. Kemudian Abu Hurairaha diangkat sebagai gubernur Bahrain ketika Umara menjadi Amirul Mu’minin. Tetapi pada 23 Hijriyah, Umara memberhentikannya karena Abu Hurairah di tuduh menyimpan uang sebanyak 10.000 dinar. Ketika diperiksa Abu Hurairah banyak memberikan bukti bahwa harta itu diperolehnya dari beternak kuda dan pemberian orang. Khalifah Umara menerima penjelasan itu dan memaafkannya. Lalu Abu Huraiarah diminta menerima jabatan gubernur kembali, tetapi beliau menolak. Khalifah Umar ibnu Khattaba penah melarang Abu Hurairah menyampaikan Hadits dan hanya boleh menyampaikan ayat Al-Qur’an. Ini disebabkan tersebar kabar Abu Hurairah banyak meriwayatkan Hadits palsu. Larangan khalifah kemudian dibatalkan setelah Abu Hurairah menjelaskan Hadits mengenai bahayanya Hadits palsu. “Barang siapa yang berdusta atas padaku (Nabi Muhammad`) secara sengaja, hendaklah mempersiapkan tempat duduknya dalam api neraka.”(Hadits Riwayat Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ad-Darimi, dan Ahmad).

Pada masa Amirul Mu’minin Ali bin Abi Thaliba, Abu Hurairah menolak tawaran menjadi gubernur Madinah. Ketika Mu’awiyah berkuasa, Abu Hurairah diangkat menjadi gubernur Madinah dengan asran dari Marwan ibn Hakam. Di kota yang penuh dengan cahaya (Al-Madinah A-Munawwarah) ini pula beliau menghembuskan nafas terakhirnya pada tahun 57 atau 58 Hijriyah(676-678 Masehi) dengan usia 78 tahun. Abu Hurairah meninggalkan Hadits sebanyak 5.374 Hadits. Hadits Abu Hurairah yang di sepakati oleh Imam Bukhari dan Muslim berjumlah 325 Hadits. Oleh Bukhari sendiri sebanyak 93 hadits dan oleh Muslim sendiri sebanyak 189 hadits. Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah juga banyak terdapat dalam kitab-kitab hadits lainnya.

 

Wahyu Ismail

Alumni Fakultas Ilmu Agama Islam UII

 

MENCEGAH TOLERANSI YANG MELEMAHKAN AQIDAH

Pembaca yang dirahmati Allah, manusia menurut hakikat penciptaannya memiliki dua tugas utama, yaitu sebagai Abdullah (Q.S. adz-Dzariyat [51]: 56), yang bertugas sebagai hamba Allah yang mengabdi kepada-Nya, dan sebagai khalifah (Q.S. al-Baqarah [2]: 30), yaitu sebagai pemimpin dimuka bumi. Terdapat aspek vertical dan horizontal dalam mengemban tugas tersebut. Secara vertikal yaitu hubungan terhadap Allah l, […]