PEMUDA-PEMUDI QURANI, PEMIMPIN DAN PEMBANGUN PERADABAN MASA DEPAN

وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا

 

Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh karena itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.
(QS. al-Nisâ [4]: 9).

Akhir-akhir ini, negeri kita tengah dilanda kasus-kasus kemanusiaan yang membuat kita miris. Terlebih pelakunya adalah pemuda-pemudi dengan kisahnya yang beraneka macam. Mulai dari kasus mahasiswi di salah satu universitas yang ditemukan sudah tak bernyawa karena mencoba menggugurkan kandungan hasil hubungan gelapnya, kasus mahasiswi yang menganaiaya temannya sendiri hanya karena tato hello kitty, para pemuda di sebuah sekolah menengah atas yang saling tawuran atau kasus begal yang tengah membuat masyarakat resah.

Kasus-kasus yang membuat miris tersebut semestinya membuat kita umat Islam tergugah untuk melakukan sesuatu. Sebagai umat yang Allah beri tugas sebagai umat terbaik di bumi-Nya ini, melihat kondisi sekarang ini, tentu kita tidak boleh hanya berdiam diri, cuma prihatin, atau hanya menjadi penonton. Terlebih, sebagai seorang akademisi atau seorang yang punya ilmua, kita harus bergerak dan bertindak dalam aksi nyata.

Seperti kata pepatah, tidak ada asap tanpa api. Begitupun dengan kasus-kasus  di atas. Bila kita tinjau lebih jauh tentu ada sesuatu yang salah. Bukan hanya harus menyelidiki siapa yang salah, namun harus pula diselidiki kesalahan tersebut secara lebih luas lagi dan bagaimana cara menangani kesalahan itu dengan solusi terbaik.

Ketika kita berharap ingin menyelesaikan sebuah permasalahan dengan solusi terbaik, kita harus mengenali lebih detail apa sebenarnya pokok permasalahan yang ada, apa penyebabnya dan mengapa kesalahan tersebut bisa terjadi. Dengan demikian, cara yang nanti kita ambil untuk dijadikan solusi akan tepat sasaran dan tidak melenceng dari tujuan.

Menganalisis kasus-kasus yang akhir-akhir ini terjadi, penulis mengasumsikan bahwa kasus-kasus di atas terjadi akibat krisis moral. Moral para pemuda saat ini telah merosot sampai pada titik nadir. Lebih membuat misis lagi adalah nirmoral pemuda saat ini memiliki kecenderungan untuk terus berlangsung seakan tanpa bisa dibendung dan dihentikan. Padahal mereka adalah generasi emas penentu peradaban, dan sebagian besar mereka adalah generasi Islam.

Kebanyakan pemuda-pemudi Islam sekarang hidup dalam lingkungan jahiliyah. Dari satu sisi mereka tetap muslim, tetapi di sisi yang lain pemikiran, perasaan dan tingkah laku mereka sangat jauh dari ajaran Islam yang sejati. Cara berpikir, berpakaian dan bergaul mereka telah dicemari oleh pemikiran, perasan dan tingkah laku tidak islami yang kebanyakan bersumberkan dari pemikiran Barat yang dimotori oleh para pemodal berkolaborasi dengan pihak-pihak yang memusuhi Islam. Mereka dengan bersungguh-sungguh telah melakukan proses pembaratan (westernisasi) melalui racun sesat pemikiran Barat (westoxication), mereka berusaha mempengaruhi dan membelokkan pemahaman kaum muslimin terutama kaum mudanya agar jauh dari nilai-nilai Islam yang murni.

Di bidang ekonomi, mereka mengembangkan kapitalisme yang berintikan asas kebebasan untuk mencari manfaat (profit). Menurut mereka, apa saja boleh dilakukan bila menguntungkan secara material, tidak peduli sekalipun bertentangan dengan nilai agama atau moral. Di bidang budaya, mereka menyebarkan westernisme yang dikemas dengan wajah seni dan estetika, namun sebenarnya berintikan amoralisme jahilliah. Bagi mereka, tidak ada pantang larang, termasuk seks bebas atau pakaian tidak senonoh, selagi tidak menggangu kepentingan orang lain.

Padahal, seperti kita ketahui pemuda adalah harapan bangsa yang kelak akan memimpin bangsa ini. Bagaimana wajah dan kondisi bangsa Indonesia, termasuk wajah dan kondisi umat Islam nanti di masa depan, tercermin dari wajah dan kondisi para pemudanya saat ini. Sungguh mengkhawatirkan bila pemuda saat ini dibiarkan saja memiliki moral yang antah-berantah tanpa ada usaha yang sungguh-sungguh dari kita semua umat Islam yang masih punya kepedulian.

Islam sesungguhnya telah memberikan solusi untuk memperbaiki moral pemuda yang mengalami krisis ini. Al-Quran sebagai kitab suci umat islamlah yang sesungguhnya dapat dijadikan pedoman untuk memperbaiki moral para pemuda. Dalam surat al-A’râf [7] ayat 52  Allah berfirman: Dan sesungguhnya kami telah mendatangkan sebuah kitab (al-Quran) kepada mereka yang kami telah menjelaskannya atas dasar pengetahuan kami; menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.

Inilah yang menjadi tugas besar bagi kita selaku umat Islam; menanamkan akhlaq qurani pada diri sendiri dan mentransfernya kepada para pemuda lainnya, baik secara langsung (melalui nasihat-nasihat dan pengajaran) atau tidak langsung (melalui keteladanan akhlak dan perilaku terpuji). Bila penanaman akhlaq qurani ini kuat bercokol pada setiap pemuda, pasti tidak akan ada lagi pelanggaran-pelanggaran moral yang terjadi. Sehingga para pemuda qurani ini akan siap menjadi pemimpin-pemimpin terbaik bagi bangsa dan pemimpin umat di masa depan.

Sebuah ungkapan Arab yang barangkali sering kita dengar, “syubbân al-yaum rijâl al-ghad” (pemuda hari ini adalah pemimpin masa depan), adalah sebuah ungkapan yang telah dibuktikan oleh sejarah. Karenanya, mau tidak mau, suka tidak suka, akhlaq pemuda harus ditransformasi menjadi akhlaq qurani. Bukan tidak mungkin pemuda yang tadinya tak bermoral bisa hijrah dengan sendirinya dengan hidayah Allah sebagai sebuah rahasia dari-Nya. Namun, tentu lebih indah dan memang semestinya bila banyak bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Karena Allah sendiri juga mewajibkan kita umat Islam untuk berdakwah, untuk saling menasihati dalam kebenaran dan berlomba dalam kebaikan. Terutama dari para orangtua dan guru untuk menasehati para pemuda baik secara formal ataupun nonformal. Kemudian dari seorang pemuda kepada teman-teman pemudanya yang lain untuk senantiasa melakukan kebaikan.

Semua orang adalah pemimpin, hanya kadar dan tanggung jawabnya saja yang berbeda. Maka dari itu sebagai calon pemimpin masa depan, para pemuda harus mempersiapkan bekal yang matang. Dengan bekal akhlaq qurani, maka In syâ Allah para pemuda akan kembali mencapai masa emas kepemimpinan Islam.

Bagaimana sebenarnya menjadi pemuda-pemudi qurani itu? Di antara ciri-ciri pemuda qurani adalah sebagai berikut:

  1. Beraqidah yang mantap
  2. Menanamkan dalam hati dan perbuatannya bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi selain Allah . Dalam setiap nafas dan geraknya, hanya ridha Allah yang diharapkannya.

  3. Mencintai Rasulullah
  4. Meneladani rahasia sukses beliau dalam memimpin umat Islam, yaitu berlaku shiddiq (benar), tabligh (menyampaikan), amanah (dapat dipercaya), dan fathonah (cerdas).

  5. Mengenal dirinya sendiri (self awareness)
  6. Mengenal diri sendiri berarti mengetahui kemampuan dan kekurangan, serta kebutuhan pokok dirinya, yang berarti pula menahan ego. Ali ibn Abi Thalib mengatakan, “barangsiapa mengenal dirinya maka ia akan mengenal Rabb-Nya.” Dalam al-Quran, Allah berfirman: Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Qur’an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu? (QS. Fushshilât [41]: 53).

  7. Berilmu pengetahuan
  8. Seorang pemimpin haruslah orang yang cerdas, bila tidak tentu ia akan mudah dibodohi oleh orang-orang jahat yang dipimpinnya. Dalam sebuah hadits disebutkan, “Kelebihan seorang yang berilmu terhadap ahli ibadah adalah seperti bulan purnama terhadap seluruh bintang-bintang di langit” (HR. Muslim).

  9. Amar ma’ruf nahi munkar
  10. Bukti cinta kita kepada sesama karena Allah adalah saling nasehat-menasehati dalam kebenaran dan senantiasa mengajaknya melakukan kebaikan.

  11. Menjunjung tinggi musyawarah, kerjasama, adil, dan peduli terhadap sesama.
  12. Dengan poin-poin di atas diharapkan akan bermunculan pemuda-pemudi qurani yang berintelektual tinggi sebagai calon pemimpin bangsa dan umat di masa depan.

Para rekan pemuda-pemudi, penulis berpesan, estafet kepemimpinan telah menunggumu. Ingin tahu hari esokmu seperti apa? Lihatlah dirimu hari ini. Tak ada kata mumpung masih muda, bersantai-santai saja, tapi, mumpung masih muda, masih bisa kerja keras, mari bersama bersatu, bergandengan tangan, memaksimalkan usaha. Turut aktif mewarnai organisasi-organisasi dakwah dan sejenisnya yang bermanfaat untuk sesama, untuk memajukan peradaban.

Semoga Allah senantiasa memberikan taufiq dan hiadayahNya kepada kita semua, khususnya para pemuda dan pemudi bangsa Indonesia dan umat Islam, agar kuat dan sabar dalam menghadapi godaan dunia dan senantiasa teguh berpegang pada agama Allah .

 

Chumairoh
Mahasiswi Statistika 2013

 

MUTIARA HIKMAH

Abul ‘Aliyah Ar-Riyahi rahimahullah berkata:
“Aku bepergian mencari seorang guru selama berhari-hari. Urusan yang pertama kali aku perhatikan darinya adalah masalah sholat. Jika kudapati dia menegakkan dan menyempurnakan sholatnya, aku singgah dan mendengarkan ilmu darinya. Namun jika kudapati ia menyianyiakan sholatnya, aku akan kembali pulang dan tidak mendengarkan ilmu darinya. Dan kukatakan, ‘Untuk selain sholat, dia pasti lebih melalaikannya’”
(Shiffat al-Shofwah, III/212).

KECEMASAN DAN RELIGIUSITAS

 
Kecemasan (Anxietas ) merupakan kondisi emosional yang biasanya disebabkan oleh persepsi yang berbahaya atau mengancam keamanan individu. Seperti yang telah didefenisikan diatas maka salah satu hal yang sangat mempengaruhi kecemasan adalah adanya persepsi yang berbahaya dalam pikiran manusia terhadap sesuatu hal. Terkadang persepsi yang datang dan mengakibatkan kecemasan berlebih itu dikarenakan suatu hal yang sejatinya tidak begitu patut untuk untuk dicemaskan tetapi rasa cinta yang berlebihan seringkali membuat seseorang lebih mudah terserang gangguan kecemasan ini.

Beberapa penelitian yang diungkap dalam buku farmakoterapi penyakit sistem saraf pusat, menjelaskan bahwa kecemasan merupakan salah satu gangguan mental yang paling banyak dijumpai di masyarakat. Gangguan kecemasan merupakan salah satu gangguan yang seringkali menjadi jalan awal bagi banyak gangguan lain yang lahir akibat kecemasan kecil yang tidak diatasi sehingga menjadi suatu penyebab lahirnya jenis penyakit kesehatan mental lain.

Ketika mental seseorang terserang penyakit mental, maka secara otomatis manusia menjadi kurang memperhatikan kesehatan fisiknya atau bahkan terlalu memperhatikan fisiknya (pada gangguan OCD), sehingga yang terjadi justru fisiknya menjadi terkena dampak yang serius.

Terganggunya mental dan fisik seseorang bukan saja mengganggu aktivitas pribadi dan keluarga. Tetapi juga dapat menggangu aktivitas harian dan ekonomi. Hasil studi bank dunia tahun 2000 menunjukan global burden of disease akibat masalah kesehatan jiwa di dunia dan mencapai 8,1% dibanding jenis penyakit lain.

Hal tersebut diatas kemudian membuat saya tertarik untuk membaca dan mencari tahu lebih banyak mengenai gangguan mental seperti kecemasan dan lain sebagainya yang kemudian mempengaruhi kinerja fisik manusia. Fakta unik dan mencengangkan yang saya temukan justru membuat saya berfikir, mengapa orang harus mempelajari psikologi, padahal jika dia mendalami Islam dengan mencoba menerapkan ajarannya dengan baik maka seluruh hidupnya akan lebih baik tanpa satupun penyakit baik fisik juga psikologis.

Yang perlu diperhatikan pada bahasan sebelumnya ialah satu fakta bahwa gangguan kecemasan lahir dari keadaan khawatir seseorang terhadap sesuatu benda, materi maupun keadaan dan pemikiran yang berlebihan pada suatu stimulus ketakutan tertentu. Dalam kajian farmakologi orang-orang dengan gangguan kecemasan dapat diberi obat setelah melihat tingkat keparahan. Akan tetapi sebelum pemberian obat biasanya akan disarankan agar pasien menjalankan terapi non farmakologi yang mana ini ditangani oleh orang-orang psikologi.

Ada banyak terapi yang bisa diberikan antara lain terapi CBT (Cognitive behavioura therapy), ET (Exposure therapy),ACT (acceptance and commitment therapy), DBT (Dialektical behavioural theraphy), IT (Interpersonal Therapy) dan EMDR (eye movement desensitization reprocessing). Tapi satu hal yang perlu digaris bawahi ialah bahwa sebanyak apapun pasien mengikuti terapi itu tidak akan bermanfaat jika ia tidak mendorong dirinya sendiri untuk sembuh dan menerima keadaan aslinya. Mengapa?, karena apapun bentuk terapinya, inti dari teknik tersebut adalah sama, yakni mereka mendorong klien untuk menghadapi dan tidak menghindari sumber-sumber ketakutan dan kecemasan mereka.

Dari penjelasan tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa yang harus dilakukan oleh setiap pasien sesungguhnya ialah menerima apapun kondisi yang mereka alami secara lapang dada sehingga mereka tidak perlu terlalu banyak mengalami tekanan psikis akibat dari kemasan yang berlebihan atas pemikiran mereka yang belum tentu benar pada suatu hal yang dipersepsi merusak. Seperti ke dokter gigi, disuntik, kegagalan saat ujian, kalah dalam pemilihan umum, diputuskan kekasih, bangkrut, dipecat, kecelakaan, kecacatan, ketakukan pada serangga, hewan buas dan lain sebagainya.

Inilah Fakta Ilmiah dalam Islam
Secara ilmiah religiusitas ternyata sangat mempengaruhi kesehatan fisik juga psikis. Sebuah penelitian antropologi yang dilakukan oleh Macphere di kota Morocco menunjukkan bahwa, berdasarkan hasil observasinya ternyata kegiatan membaca al-Quran dengan rutin membuat ibu–ibu disana memiliki emosi dan kemampuan menanggulangi tekanan hidup lebih baik. Ibu–ibu tersebut menyebut al-Qur’an sebagai obat hati.

Studi correlasional dan longitudinal yang dilakukan Koenig et al memperlihatkan bahwa religiusitas memiliki kaitan erat dengan status kesehatan seperti hipertensi, kegagalan fungsi organ dll. McCullough, Hoyt, Larson, Koenig and Thoresen juga melakukan penelitian dengan metode metaanalisis dan menemukan bahwa ternyata tingkat religiusitas pada individu menurunkan perilaku melanggar seperti meminum alkohol dan pelanggaran lain, sehingga secara tidak langsung hal ini mengurangi keresahan dan kecemasan pada sebagian besar manusia. Kamal and Loewenthal meneliti umat hindu dan islam di amerika dan menemukan lebih banyak orang islam yang tidak berlaku menyimpang dan hidup tenang dengan menerapkan ajaran agamanya dibandingkan umat hindu.
 
Islam Ajaran Paling Sempurna
Islam memang merupakan agama dengan konsep pengaturan kehidupan yang paling sempurna di dunia. Islam memperhatikan mulai awal kehidupan seorang bayi hingga bagaimana mengurus seorang jenazah beserta cara menghormatinya. Islam sangat memperhatikan adab-adab dalam kehidupan sehari-hari mulai dari aktivitas bangun tidur sampai tidur kembali. Sungguh ajaran Islam sangat sempurna. Allah telah menegaskan hal ini dalam firman-Nya, yang artinya,

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (QS al-Ma’idah [5]: 3).

Islam memiliki tata cara ibadah yang telah ditentukan oleh Allah dan rasul-Nya, salah satunya adalah shalat. Dimana ini merupakan konsep ibadah paling utama dalam Islam. Beberapa penelitian menunjukan bahwa gerakan-gerakan shalat dapat meredakan hampir semua penyakit fisik dan tambah sempurna jika ditambah dengan puasa sunnah maupun wajib. Shalat itu secara psikologis menentramkan hati individu, karena jika dia khusuk dan sholat dengan sungguh-sungguh maka semua keluh kesahnya juga keletihan selama bekerja sekaligus emosi seperti amarah, kesal dan lain sebagainya menjadi lebih stabil, karena dalam sehari 5 kali ia curhat dan menggantungkan semua masalah pada Tuhannya.

Dalam Islam ada konsep berdoa, ikhtiar dan tawakkal. Konsep ini menjelaskan bahwa dalam setiap urusan kehidupannya, seorang manusia haruslah berdoa pada Tuhan untuk meminta perlindungan dan keridhaan Allah l atas apa yang diusahakannya, kemudian ia harus berikhtiar atau berusaha sungguh-sungguh untuk mendapatkan apa yang dicita-citakannya dan setelah berusaha ialah harus bertawakkal atau menyerahkan semua usahanya pada ketentuan Allah l. Jika dikehendaki baik ia harus bersyukur dan jika tidak baik ia tetap harus bersyukur dan berbaik sangka dengan dasar bahwa apa yang gagal tersebut bukan merupakan yang terbaik baginya.

Allah telah menegaskan dalam firman-Nya, yang artinya, “Diwajibkan atas kamu berperang padahal itu tidak menyenangkan bagimu. Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu”. (QS al-Baqarah [2]: 216)

Dalam konteks pergaulan, Islam sangat memperhatikan kemaslahatan diri individu juga orang lain disekitar individu yang bersangkutan. Bahkan bagaimana seorang anak bersikap pada orang tua dan sebaliknya, bagaimana seorang menghormati tetangga dan bagaimana sikap seorang guru terhadap murid, sampai adab marah-pun diatur dalam Islam.

Dalam sebuah hadits yang disampaikan oleh Ali bin Abi Thâlib dikatakan bahwa saya telah menghafal dari Rasulullah `, “Tinggalkan perkara yang meragukanmu menuju kepada perkara yang tidak meragukanmu. Karena kejujuran itu adalah ketenangan di hati sedangkan kedustaan itu adalah keraguan.” (HR Tirmidzi, no. 2518). Hal ini kemudian menjelaskan pada kita bahwa ketika kamu merasa cemas akan sesuatu, tinggalkan kecemasan yang merugikan itu dan lakukanlah sesuatu yang menghilangkannya dengan cara yang baik dan jujur. Kejujuran ini bukan saja pada orang lain tapi juga pada diri sendiri, sehingga kamu tidak akan mengalami penyakit-penyakit yang dapat membuat pikiranmu terkuras dan menjadi sakit.

Dalam firman Allah l, disebutkan yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya prasangka itu dosa.” (QS al-Hujurât [49]: 12).  Kita tahu bahwa berprasangka akan menjerumuskan seseorang ke dalam dosa. Apalagi prasangka itu lahir dari sebuah dugaan, tuduhan, atau sakwasangka belaka. Hal ini berarti dia telah menaburkan aib dan tuduhan buruk kepada mereka, sementara mereka terbebas dari tuduhan itu. Berburuk sangka seperti inilah yang dilarang dalam Islam.

Dalam hadits yang berasal dari Abu Hurairah a, dikatakan bahwa, “Jauhilah olehmu prasangka, karena sesungguhnya prasangka itu adalah sedusta-dustanya pembicaraan.” (HR Bukhari dan Muslim). Hadits ini mengajarkan manusia untuk menghindar dari persangkaan yang terlalu dibuat-buat dan melebihi aslinya, padahal kita belum tau kebenarannya. Yang demikian ini akan membuat kita terhindar dari gangguan kecemasan. Satu obat manjur yang diajarkan nabi agar kita bisa terhindar dari gangguan kecemasan ialah sebelum umat islam tidur maka seharusnya ia bermuhasabah dan mengingat kesalahannya hari itu untuk kemudian bertaubat dan mengikhlaskan semua kesalahan orang pada dirinya juga meletakkan semua urusan dunia pada penjagaan Allah l.

Sejatinya masih banyak ajaran Islam yang membuat seseorang terhindar dari kecemasan akan tetapi satu yang pasti adalah bahwa ber-islam secara kaffah dengan mengomplementasikan semua ajarannya dalam hidup jelas akan membuat seseorang menjadi lebih sehat secara psikis dan fisik serta terhindar dari kecemasan. Wallahu a’lamu bi al-sawwâb.[]
 
Ummi Jani Abdul Rajab
Jurusan Psikologi &
Staff Dai Hijrah Mahasiswa UII
 

Mutiara Hikmah
Dari Abdullah bin Umar a, dia berkata: “Sesungguhnya seorang laki-laki bertanya kepada Nabi Shallallahu’alaihi wasallam, manakah ajaran Islam yang lebih baik?” Rasul Shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Hendaklah engkau memberi makanan, mengucapkan salam kepada orang yang kamu kenal dan yang tidak.” (HR al-Bukhari dengan Fathul Bari 1/55, Muslim 1/65).

SPIRITUAL CAPITAL DALAM MENGARUNGI HIDUP

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِن تَتَّقُواْ ٱللَّهَ يَجۡعَل لَّكُمۡ فُرۡقَانٗا وَيُكَفِّرۡ عَنكُمۡ سَيِّ‍َٔاتِكُمۡ وَيَغۡفِرۡ لَكُمۡۗ وَٱللَّهُ ذُو ٱلۡفَضۡلِ ٱلۡعَظِيمِ ٢٩

“Hai orang-orang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, Kami akan memberikan kepadamu Furqaan. Dan kami akan jauhkan dirimu dari kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar” (QS Al-Anfal:29)

 

Dalam hidup ini sudah semestinya kita mempunyai modal untuk menjalaninya. Konsep spiritual capital mengubah pandangan kita bahwa modal adalah hal yang tidak hanya berhubungan dengan materi semata. Selain itu sebagian kita juga sudah familiar dengan modal financial, modal intelektual, modal networking dan lain sebagainya. Tetapi yang tidak kalah penting dalam mengarungi hidup yang penuh ujian dan cobaan ini, diperlukan juga spiritual capital. Spritual Capital (Modal Spiritualitas) bisa diartikan yaitu menjadikan nilai – nilai positif / nilai agama untuk memperoleh kebaikan dunia maupun akhirat. Beruntunglah bagi umat islam karena sebaik-baiknya modal yang umat islam miliki adalah Islam dan Allah .

Modal Allah ini berarti mengikut sertakan Allah dalam setiap sendi – sendi kehidupan didunia maupun untuk memperoleh akhirat. Modal inilah yang tidak dimiliki oleh umat agama lain. Tapi ironisnya banyak dari umat islam sendiri, sadar ataupun tidak sadar, mengabaikan modal ini bahkan tidak mengetahuinya. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah dalam bentuk apa modal spiritual itu? Spritual capital dalam islam tidak lain dan tidak bukan adalah Taqwa.

Sebagaimana firman Allah: “Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengaruniakan kepadamu furqan (petunjuk yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil atau boleh dimaknakan dengan pertolongan)” (QS al-Anfal: 29). Spiritual capital ini sangat penting karena semua aktivitas hidup ini sejatinya diatur oleh Allah. Jika modal taqwa ini sudah dimiliki maka InsyaAllah kebahagaian dunia dan akhirat akan didapat.

Untuk membangun Spiritual capital diperlukan usaha yaitu mendekatkan diri kepada Allah dengan menjalankan segala perintahNya dan menjauhkan segala laranganNya. Mulailah dengan melakukan hal-hal wajib seperti sholat 5 waktu, puasa, zakat, shodaqoh setelah itu ditambah dengan amalan-amalan sunnah seperti sholat tahajud, sholat dhuha, puasa senin kamis dan lain sebagainya. Banyak sekali testimony dari mereka yang telah mengamalkan ibadah tersebut kemudian Allah permudah segala urusannya. Sungguh beruntung umat islam ini, ketika kita merasa kesulitan rizqi, maka Allah memperintahkan kita untuk sholat dhuha dan sedekah sebagai jalan keluar, sebagaimana firman Allah: “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rizqi) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (QS al-Baqarah 245) .

Ketika kita mempunyai hajat Allah memberi jalan keluar yaitu sholat Hajad dan sholat tahajud. Allah sudah menyediakan segala sesuatu kebutuhan hambanya. Semua itu Allah berikan bagi mereka yang bertaqwa kepada Allah dengan menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya.

Jika spiritual capital ini sudah didapatkan maka Allah memberikan banyak sekali jaminan bagi kita. Mungkin selama ini kita terus mencari jaminan akan masa depan kita, rizqi, usaha, jodoh, kesehatan bahkan bisnis sekalipun, tetapi sering sekali lupa akan jaminan yang Allah berikan. Kita cenderung mencari jaminan yang berupa duniawi. Seolah – olah jaminan itulah yang akan menolong pada suatu saat nanti. Padahal belum tentu, kita sering sekali lupa bahwa Sebaik-baiknya jaminan adalah jaminan Allah. Jaminan yang tak mungkin Allah ingkari, jaminan yang diberikan kepada siapa saja yang selalu mendekatkan diri kepadaNya. Berikut adalah jaminan bagi mereka yang bertaqwa kepada Allah.

 

Terhindar Dari Api Neraka
Inilah jaminan terbesar dan yang paling diidam – idamkan umat islam yaitu terhindar dari api neraka dan memperoleh surga. Sebagaimana firman Allah: “Akan tetapi orang yang bertaqwa kepada Tuhannya, bagi mereka Syurga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya.” ( QS Ali Imran: 198).

 

Mendapat Rizqi Yang Tidak Terduga
“Jika kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal, niscaya Allah akan memberikan rizqi kepada kalian, seperti Allah memberikan rizqi kepada seekor burung. Ia pergi (dari sarangnya) di pagi hari dalam keadaan perut yang kosong (lapar), dan kembali (ke sarangnya) di sore hari dalam keadaan perut yang penuh (kenyang)”. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, At-Tirmidzi, An-Nasa-i, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dalam Shahih-nya, dan Al-Hakim. Alangkah beruntungnya orang-orang seperti ini. Bagi orang – orang yang memiliki spiritual capital dengan taqwanya maka rizqinya dijamin oleh Allah. Tidak pernah merasa gelisah untuk urusan rizqi karena yakin bahwa Allah yang akan menjamin rizqinya, baik untuk dirinya sendiri dan keluarganya. Selain itu yakin rizqi yang Allah berikan itu tidak terduga – duga dan direncanakan. Sebagaimana firman Allah : “Dan akan diberi rizqi sekira-kira tidak diketahui dari mana sumbernya.” (QS al-Thalaq: 3).

 

Dipermudahkan Segala Urusan
Setiap manusia yang hidup didunia ini pasti mempunyai urusannya masing – masing. Baik urusan pribadi maupun urusan keluarga, urusan kerja, bisnis, belajar, usaha dan lain sebagainya. Hidup ini terkadang terlalu disibukkan dengan urusan yang bersifat duniawi. Hanya sedikit orang yang disibukkan dengan urusan akhiratnya. Sehingga untuk urusan duniawi ini, banyak dari kita mencurahkan segala yang ada mulai dari energi, harta, waktu, relasi dan lainnya agar urusan itu dapat diselesaikan. Namun lagi lagi beruntunglah orang-orang yang  bertaqwa. Bagi mereka yang bertaqwa Allah permudahkan segala urusannya. Sebagaimana firman Allah: “Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya.” (QS al-Thalaq: 4). Allah berfirman bahwa setiap kesulitan pasti ada kemudahan. Lalu yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana memperoleh kemudahan dan terlepas dari kesusahan. Jawabannya adalah Taqwa. Sebagimana firman Allah: “ Dan barangsiapa bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia menjadikan kemudahan baginya dalam urusannya.

 

Memegang Kekuasaan dan Kepemimpinan
Fenomena yang terjadi di dunia muslim saat ini adalah jumlah umat islam yang begitu besar dan terus tumbuh tetapi seperti tidak ada kekuatan untuk melawan orang – orang kafir yang terus menerus menindas kaum muslimin. Coba kita lihat Palestina, Suriah, Pakistan, Irak, negara timur tengah, yang notabennya adalah negara muslim. Negara tersebut  dibuat kacau oleh orang – orang kafir. Ekonomi, pemerintahan, militer, sosial, budaya mengalami ketidakstabilan di negara tersebut. Jangan lupa juga Indonesia, negara dengan jumlah umat islam terbesar didunia masih banyak memiliki masalah-masalah fundamental .Padahal firman Allah mengatakan bahwa umat islam adalah sebaik – baiknya umat. Dunia ini juga diwariskan kepada umat islam, bukan kepada umat yang lain. Lalu apa yang salah dari ini semua. Ini semua

 

karena umat islam itu sendiri yang tidak bertaqwa kepada Allah: “ Sesungguhnya bumi ini adalah kepunyaan Allah, dipusakakannya kepada sesiapa yang dikehendakiNya dari hamba-hambaNya dan kesudahan yang baik bagi orang-orang yang bertaqwa.” (QS al-A’raf: 128). Seharunya kitalah yang memegang tampuh kekuasaan dunia ini karena Allah sudah berfirman seperti itu. Coba kita lihat kejayaan umat islam terdahulu. Muhammad Al fatih yang mampu menaklukkan konstantinopel, dinasti Abassiyah dan Umayyah yang mampu membangun peradaban dan ilmu pengetahuan, serta khalifah Umar Ibn Khattab dimana wilayah islam mencapai Afrika bahkan Eropa. Semua itu karena mereka mempunyai modal yang sama yaitu spiritual capital berupa keimanan dan ketaqwaan kepada Allah.

 

Penutup
Wahai umat islam sudah seharusnya kita mempunyai spiritual capital dalam hidup ini berupa ketaqwaan kepada Allah. Jika modal tersebut sudah dimiliki maka jangan takut mengarungi hidup ini. Allah sudah memberikan jaminan bagi mereka yang bertaqwa kepadaNya. Karena sebaik – baiknya modal adalah modal islam dan Allah. Dan sebaik – baiknya jaminan adalah jaminan Allah. Maka keberuntunganlah bagi mereka yang memiliki itu semua.

Ramadhan Achmad
Teknik Industri 2012

 

Mutiara Hikmah

Dari Abu Ya’la, Syaddad bin Aus a, dari Rasulullah `,,,, beliau telah bersabda: “Sesungguhnya Allah mewajibkan berlaku baik pada segala hal, maka jika kamu membunuh hendaklah membunuh dengan cara yang baik dan jika kamu menyembelih maka sembelihlah dengan cara yang baik dan hendaklah menajamkan pisau dan menyenangkan hewan yang disembelihnya”.(HR Muslim, No. 1955)

UTAMAKAN KEWAJIBAN, PENGHARGAAN DATANG KEMUDIAN

وَلَوْ قَامَ النَّاسُ بِمَا وَجَبَ عَلَيْهِمْ # لَكَانُوْا—وَهُمْ فِى الْأَرْضِ—فِى جَنَّةِ الْخُلْدِ
(اَلشَّيْخُ مُصْطَفَى الْغَلَايَيْنِي فِى عِظَةِ النَّاشِئِيْنَ)


“Dan seandainya manusia melakukan apa yang menjadi kewajibannya maka niscaya mereka—di dunia ini—berada dalam surga yang abadi.”(Syeikh Mushthafa al-Ghalāyainiy dalam Kitab ‘Idhati an-Nāsyi-īn
 

Tamu undangan sudah ramai berdatangan. Disambut gerimis hujan saya—bersama seorang teman—sampai lokasi tujuan. Acara sudah dimulai meskipun baru “pembukaan”. Saat itu, Surat al-Wāqi’ah bagian akhir sedang bersama-sama dilantunkan. Saya saksikan calon pengantin pria duduk manis penuh kegembiraan. Iya, tidak lama lagi dia dan “si dia” akan sah menjadi suami-isteri. Sepasang kekasih yang memadu rindu dan cinta dalam ridha-Nya.

Akad nikah berjalan dengan lancar. Ijab qabul dilafalkan dalam bahasa Arab. Pengantin pria menjawab ijab dengan fasih dan lantang. Sejurus dengan itu hadirin mengucapkan kata “sah”. Saya yang ditugasi menjadi juru foto tepat berada di samping kanan pengantin pria. Bersyukur, saya menjadi orang pertama yang mengucapkan “selamat”. Pengantin pria, selain kakak tingkat juga sahabat dekat saya. “Barakallahu laka, Mas…”

Bagi saya, menghadiri pernikahan ibarat sedang bernostalgia. Sebab, sebelumnya saya pernah melewati momen indah sebagaimana yang dirasakan sahabat saya itu. Momen indah tersebut semestinya tidak terhenti ketika resepsi usai. Momen indah itu harus senantiasa dijaga, dipupuk, dan dilestarikan sampai ajal memisahkan. Dalam rangka menuju arah tersebut, sang pengantin harus memiliki resep khusus.

 

Wajib Dulu, “Harga” Belakangan

Apa yang disampaikan sang kiayi dalam acara tersebut adalah resep dimaksud. Berumah tangga itu pasti tujuannya untuk meraih kebahagiaan, katanya mengawali taushiah. Resep bahagia berumah tangga sebenarnya sama dengan resep bahagia dalam hidup secara universal. Ringkasnya, bagaimana masing-masing mengupayakan pemenuhan kewajiban. Bukan sebaliknya, selalu menuntut hak sementara kewajiban tiada ditunaikan.

Andai saja,” kata Syeikh Mushthafa al-Ghalayainiy, “semua manusia melakukan apa yang menjadi kewajibannya.” Lalu apa konsekuensinya? “Niscaya mereka—di dunia ini—seolah-olah berada dalam keabadian surga,” lanjutnya. Ungkapan “pengandaian” tersebut menunjukkan bahwa kenyataannya tidaklah demikian. Banyak yang tidak mengerti apa yang menjadi kewajibannya. Ada pula yang sudah mengerti namun berpura-pura tidak paham.

Tidak kalah sedikit yang belum apa-apa sudah bertanya, “Bagian saya berapa persennya?” Itu memang tidak salah bila diikuti dengan kerja yang sungguh-sungguh. Masalahnya, andai hak diminta seluruhnya namun kewajiban ditunaikan seadanya? Bila demikian kondisinya berarti dia telah mengambil sesuatu yang sebenarnya bukan benar-benar haknya. Kalau begitu, bukan “keabadian surga” yang didapatkan di dunia ini. Namun api neraka yang mulai dinyalakan.

Rumah tangga bahagia selaiknya mengikuti pola atau resep dari untaian hikmah di atas. Logikanya begini, suami melakukan kewajibannya tanpa menuntut hak. Kewajiban suami adalah hak isteri dan hak suami adalah kewajiban isteri. Di saat yang sama, isteri fokus pada kewajiban dan sama sekali tidak meminta hak. Kewajiban isteri adalah hak suami dan hak isteri adalah kewajiban suami. Bila demikian maka akan nyambung bukan?

Uraiannya adalah sebagai berikut. Katakanlah kewajiban suami mencari nafkah. Kewajiban isteri yaitu melayani suami dengan baik. Keduanya—sekali lagi—konsentrasi pada kewajiban masing-masing. Dengan begitu, otomatis keduanya mendapatkan haknya masing-masing pula. Suami mendapatkan haknya, dilayani dengan baik oleh isterinya. Isteri pun mendapatkan haknya, dicukupi kebutuhannya oleh sang suami.

Ilustrasi lainnya. Hubungan antara pekerja dengan bos. Pekerja fokus pada pemenuhan kewajibannya dengan bekerja sebaik mungkin tanpa menuntut haknya. Si bos menunaikan kewajibannya, dengan memberikan upah yang layak. Lebih baik lagi bila upah diberikan qabla keringnya keringat pekerja. Masing-masing komitmen dengan kewajiban, akhirnya masing-masing mendapatkan haknya. Pekerja mendapatkan bayaran yang pantas, bos puas dengan pekerjaan yang total.

Pola yang demikian ini juga sama ketika ditarik dalam konteks hubungan hamba dengan Sang Pencipta. Ketika hamba konsisten menjalankan kewajiban maka tidak perlu lagi khawatir dan cemas. Pasalnya, Allah l akan menunaikan “kewajiban”-Nya dengan memberikan perlindungan dan ganjaran kepada hamba tersebut. Ibadah seorang hamba memang bukan hak Allah namun dengan beribadah menjadi alasan bagi hamba untuk lebih akrab dengan-Nya.

Tatkala pola tersebut dilakukan dengan baik maka kehidupan dunia ini ibarat surga keabadian. Namun sekali lagi hal tersebut belum menjadi kesadaran bersama. Dalam rumah tangga misalnya, suami selalu menuntut ini dan itu padahal dia belum menunaikan kewajiban secara penuh. Isteri meminta dibelikan ini dan itu sementara pekerjaan rumah tidak pernah beres. Ini karena masing-masing terus memikirkan hak tetapi melupakan kewajiban.

Dalam masalah penyebutan, biasanya “hak” disebut dahulu baru kemudian “kewajiban”. “Antara hak dan kewajiban,” biasa kita membaca dan menuliskannya. Sementara kalau dipahami dengan seksama yang ideal adalah “kewajiban” baru “hak”. Jadi, bukan “hak dan kewajiban” namun “kewajiban dan hak”. Memang aneh dan rancu namun perlu terus disosialisasikan. Ending-nya, kita menjadi tersadarkan untuk lebih dahulu fokus pada kewajiban dan bukan sebaliknya.

Itulah mengapa, kata dosen saya yang turut memberi taushiah dalam akad nikah sahabat saya tadi. Sepatu atau sendal hak tinggi itu haknya selalu di belakang. Bayangkan kalau ada wanita pakai sepatu hak tinggi dan haknya di depan. Tentu akan kerepotan dan bisa-bisa terjatuh tidak bisa jalan. Itulah filosofi bahwa hak (“harga”) itu adanya belakangan atau di belakang. Di depan itu ada kewajiban dan bila sudah ditunaikan maka yang belakang (hak) akan turut serta.

“Pengertian”

Kesadaran untuk lebih mendahulukan kewajiban pada purnanya akan sampai pada sikap saling pengertian. Dalam konteks rumah tangga, ketika ada yang kurang pas tidak lantas buru-buru menyalahkan pasangan. Ketika pelayanan isteri tidak maksimal suami paham bahwa isteri sedang belajar dan terus memperbaiki diri. Saat nafkah lahir tidak stabil, isteri sadar bahwa rejeki tidak selalu berwujud materi. Hal ini karena isteri juga tahu suaminya telah berupaya keras.

Masih melanjutkan nasihat sang kiayi. Ketika suami isteri sudah komitmen dengan kewajibannya masing-masing. Keduanya sudah saling memahami dan memaklumi. Ketika—misalnya—masakan isteri keasinan harus bersyukur karena sayurnya awet. Bila nasinya agak keras, bersyukur, sebab rasa kenyang akan tahan lama. Kalau nasinya lembek, bersyukur, mudah untuk mengunyahnya. Jadi, berumah tangga isinya ialah kebahagiaan karena dibangun di atas “pengertian”.

Sungguh indah bila berkaca pada pribadi Rasulullah `. Dia tidak pernah mencela makanan sama sekali. Kalau dia senang (arāda, isytaha) dengan makanan tersebut dia akan memakannya. Bila tidak suka (kariha) dia akan meninggalkannya, tanpa mencelanya. Bahkan suatu hari Rasulullah ` pernah disuguhi cuka, hanya cuka. Dahsyatnya, Rasulullah ` justru mengatakan sebaik-baik teman bersantap adalah cuka. Itulah Rasulullah. Kalau kita?

Sikap Rasulullah ` tersebut sepantasnya menjadi teladan kita. Ketika makanan yang disuguhkan tidak sesuai selera boleh jadi kita kecewa. Namun perlu diingat, membuat makanan itu kewajiban isteri. Isteri berhak mendapat apresiasi atas kewajibannya. Tidak terbayangkan ketika ternyata bukan apresiasi yang didapatkan namun justru umpatan. Rasulullah ` mengajarkan akhlak yang luar biasa. Kalau tidak suka tinggalkan tapi jangan sekali-kali mencela.

Suatu pagi saya mendapatkan kiriman hikmah via BBM. “Berteman dengan kawan yang berilmu pengertian lebih enak daripada yang berilmu pengetahuan…” Ilmu pengetahuan itu penting namun ilmu pengertian tidak kalah penting. Bahkan dalam situasi tertentu boleh jadi yang terpenting adalah ilmu pengertian. Ilmu pengetahuan mudah dicari dan dipelajari. Sementara ilmu pengertian itu praktik di lapangan, prosesnya panjang, tanpa batasan SKS yang pasti.

Kondisi tersebut tetap harus dibangun di atas kesadaran bahwa kewajiban itu utama. Saat kita tahu orang lain melakukan kewajibannya secara maksimal, kita mudah memakluminya saat hasilnya tidak maksimal. Kala kita menunaikan kewajiban secara total, orang lain juga gampang menyadari bila hasilnya tidaklah total. Kuncinya, pertama-tama tetap mengupayakan pemenuhan kewajiban sebaik mungkin. “Pengertian” dari orang lain itu adalah bagian dari hak setelah kewajiban.

Nasihat yang mengawali tulisan ini menggunakan kata andai (lau…). Sebagai menusia yang dianugerahi kesempatan belajar tidak sepantasnya kita ikut berandai-andai pula. “Andai saya dapat mendahulukan kewajiban… Andai saya dapat lebih menghargai dan mengerti keadaan orang lain… Andai saya tidak terlalu menuntut balasan… Dan seterusnya…” Tidak, bukan itu yang diharapkan. Kita mesti memulai langkah nyata untuk fokus pada kewajiban. Semoga Allah merahmati kita. Wallāhu a’lamu bi ash-shawāb. []

Samsul Zakaria, S.Sy.,
Staf Prodi Hukum Islam (Syari’ah) UII,
Mahasiswa S-2 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

 

Mutiara Hikmah
Dari Abu Hurairah a berkata, Rasulullah ` bersabda: “Janganlah seorang suami mukmin membenci seorang istri yang beriman, jika ia tidak menyukai satu perangai istrinya maka ia akan suka dengan perangainya yang lain” (HR Muslim)

JANGAN MENCELA HUJAN!

وَمِنۡ ءَايَٰتِهِۦٓ أَنَّكَ تَرَى ٱلۡأَرۡضَ خَٰشِعَةٗ فَإِذَآ أَنزَلۡنَا عَلَيۡهَا ٱلۡمَآءَ ٱهۡتَزَّتۡ وَرَبَتۡۚ إِنَّ ٱلَّذِيٓ أَحۡيَاهَا لَمُحۡيِ ٱلۡمَوۡتَىٰٓۚ إِنَّهُۥ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ قَدِيرٌ ٣٩

“Dan di antara tanda-tanda-Nya (ialah) bahwa kau lihat bumi kering dan gersang, maka apabila Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur. Sesungguhnya Tuhan Yang menghidupkannya, Pastilah dapat menghidupkan yang mati. Sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS Fushshilat [41]: 39).

Hujan merupakan nikmat yang sangat besar yang diturunkan Allah dan merupakan salah satu tanda kebesaran-Nya, sebagaimana tersebut dalam firman Allah l, surah Fushshilat ayat 39. Hujan itu nikmat, hujan itu menyenangkan, hujan itu asyik.  

Mari kita simak firman Allah pada ayat yang lain dalam al-Qur’an yang artinya, “Maka terangkanlah kepadaku tentang air yang kamu minum. Kamukah yang menurunkannya atau Kamikah yang menurunkannya?” (QS al-Waqi’ah [56]: 68-69). Tanpa nikmat Allah ini (hujan), bumi akan menjadi kering dan tandus. Tanpa air, tidak akan ada kehidupan di muka bumi. Maka janganlah kita mencela nikmat yang sangat luar biasa dari Allah, hanya orang-orang yang tidak sempurna keimanannya keluar dari lisannya celaan terhadap air hujan.

Bersamaan dengan turunnya hujan, Allah juga memberikan beberapa keutamaan padanya. Diantaranya adalah waktu turunnya hujan adalah salah satu waktu mustajabnya do’a. Nabi ` bersabda, “Carilah do’a yang mustajab pada tiga keadaan: [1] Bertemunya dua pasukan, [2] Menjelang shalat dilaksanakan, dan [3] Saat hujan turun.” (Dikeluarkan oleh Imam Syafi’i dalam al-Umm dan al-Baihaqi dalam al-Ma’rifah dari Makhul secara mursal. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani, lihat hadits no. 1026 pada Shahihul Jami’).

Selain itu, Rasulullah ` mengajarkan kita untuk mengambil berkah dari hujan. Dalam suatu hadits disebutkan bahwa Anas a berkata, “Kami bersama Rasulullah ` pernah kehujanan. Lalu Rasulullah ` menyingkap bajunya hingga terguyur hujan. Kemudian kami mengatakan, ‘Ya Rasulullah, mengapa engkau melakukan demikian?’ Kemudian Rasulullah ` bersabda, “Karena dia baru saja Allah ciptakan.” (HR Muslim no. 2120). Imam al-Nawawi dalam Syarh Muslim mengatakan makna hadits ini adalah bahwasanya hujan itu rahmat yaitu rahmat yang baru saja diciptakan oleh Allah l, maka Nabi ` bertabaruk (mengambil berkah) dari hujan tersebut.

Akan tetapi, sebagian besar manusia hanya mensyukuri nikmat hujan ini pada awal turunnya saja (yakni pada awal musim hujan). Selanjutnya akan kita dengar banyak sekali celaan yang dilontarkan sebagian besar manusia kepada hujan. “Aduuh! Lagi-lagi hujan, lagi-lagi hujan…” atau perkataan mereka “gara-gara hujan saya jadi gak berangkat kerja” dan sebagainya. Bahkan bukan hanya itu, manusia juga sering mengumpat dan mencaci maki hujan.

Agama kita yang mulia melarang kita mencela hujan karena hujan merupakan makhluk yang tidak dapat berbuat apa-apa kecuali atas kehendak Allah. Maka mencaci maki hujan sama saja mencaci maki Dzat yang menciptakan dan mengatur hujan.

Ingat! Hujan diturunkan bukan hanya untuk kita melainkan untuk semua makhluk. Jangan sampai karena keegoisan kita dan memikirkan diri kita sendiri lantas kita mencela rahmat Allah ini. Boleh jadi hujan menyebabkan kita tidak bias beraktivitas akan tetapi bagi makhluk lain justru menjadi berkah tak terkira.

Bahaya Mencela Hujan
Tidakkah kita menyadari bahaya dari mencela air hujan? Perhatikanlah hadits qudsi berikut ini, Nabi ` bersabda, “Allah l berfirman, ‘Manusia menyakiti Aku; dia mencaci maki masa (waktu), pdahal Aku adalah pemilik dan pengatur masa, Aku-lah yang mengatur malam dan siang menjadi silih berganti’.” (HR Bukhari dan Muslim). Dalam kesempatan lain, Nabi ` bersabda, “Janganlah kamu mencaci maki angin.” (HR Tirmidzi, beliau mengatakan hasan shahih).

Dari dalil-dalil ini terlihat bahwa mencaci maki masa (waktu), angin dan makhluk lain yang tidak bisa berbuat apa-apa (termasuk hujan) adalah terlarang. Hal ini bahkan bisa mencapai derajat syirik akbar jika diyakini makhluk tersebut sebagai pelaku dari sesuatu yang jelek yang terjadi.

Meyakini demikian berarti meyakini bahwa makhluk tersebut yang menjadikan baik dan buruk dan ini sama saja dengan menyatakan adanya pencipta selain Allah l. Namun, jika diyakini yang menakdirkan adalah Allah  sedangkan makhluk makhluk tersebut bukan pelaku dan hanya menjadi sebab saja, maka seperti ini termasuk keharaman akan tetapi tidak sampai kepada derajat syirik. Maka dari itu wahai saudaraku, janganlah engkau mencela nikmat hujan yang Allah l berikan kepada kita.

Sikap Kita, Ketika Hujan?
Sungguh Nabi ` kita yang mulia telah mengajarkan kita untuk menyikapi hujan mulai ketika berkumpulnya awan (mendung) hingga selesai hujan.

    1. Ketika berkumpulnya awan

Dari Aisyah x, beliau berkata, “Rasulullah ` apabila melihat awan (yang belum berkumpul sempurna, penj.) di salah satu ufuk langit, beliau meninggalkan aktivitasnya  kemudian beliau kembali melakukannya lagi (jika hujan sudah selesai, penj.). Ketika awan tadi telah hilang, beliau memuji Allah. Namun, jika turun hujan, beliau mengucapkan, “Allahumma shayyiban nafi’an” (Ya Allah jadikanlah hujan ini sebagi hujan yang bermanfaat).”

    1. Ketika hujan lebat

Ketika hujan turun dengan lebat, Nabi ` berdo’a “Allahumma hâwalaina wa lâ ’alaina. Allahumma ’alal âkami wal jibâli, wazh zhirâbi, wa buthunil awdiyati, wa manâbitisy syajari (Ya Allah, turunkanlah hujan di sekitar kami, bukan untuk merusak kami. Ya Allah, turukanlah hujan ke dataran tinggi, gunung-gunung, bukit-bukit, perut lembah dan tempat tumbuhnya pepohonan).”

    1. Ketika selesai hujan

Nabi ` mengajarkan kita untuk mengucapkan ‘Muthirna bi fadhlillahi wa rahmatih’ (Kita diberi hujan karena karunia dan rahmat Allah).

Inilah beberapa hal penting yang diajarkan Nabi ` kita ketika hujan turun yang dapat saya sebutkan pada kesempatan kali ini. Semoga kita menjadi orang-orang yang selalu mensyukuri nikmat hujan dan semoga kita dijauhkan dari sifat orang-orang yang suka mencela hujan dan semoga Allah jadikan untuk kita hujan yang bermanfaat dan bukan hujan yang menimbulkan bencana. âmîn

Ibnu Adi
Farmasi Angkatan 2012

Mutiara Hikmah
Doa Apabila Melihat Permulaan Buah: “Ya Allah! Berilah berkah buah-buahan kami, berilah berkah kota kami, berilah berkah gantangan kami (sehingga di antara kami tidak sering mengurangi timbangan) dan berilah berkah mud kami.” (HR Muslim, No. 2/1000)

BERCERMINLAH!

Wahai tubuh,
seperti apakah isi gerangan hatimu?
Apakah isi hatimu sebagus kata-katamu,
atau sebagus daki yang melekat ditubuhmu?
Apakah hatimu seindah penampilanmu
atau sebusuk kotoranmu?
(catatan seorang sahabat)

Benda yang satu ini sangat familiar, sering dijual di toko bangunan, bahkan di pinggir jalan. Tetapi sadar atau pun tidak, benda ini sangat dibutuhkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Bayangkan, bagaimana rasanya jika hidup ini tidak ada cermin, tentu kita tidak akan pernah tahu akan rupa diri kita sendiri. Bahkan bagi sebagian perempuan, keberadaan cermin itu tidak bisa lepas dalam aktivitas keseharian, kemana-mana biasanya cermin itu selalu dibawa.

Misalnya saja, untuk membetulkan kerudung yang kurang pas, mereka (perempuan) tak segan untuk izin ke kamar kecil. Padahal tujuannya cukup simple, ya hanya untuk membetulkan kerudungnya. Tanpa ada bantuan cermin rasanya terkesan ribet. Bagi sebagian wanita yang senang dandan tentu cermin kecil selalu menemani kemana pun mereka pergi.

Ketika make-upnya dirasa sudah luntur, alisnya mulai tipis, lurus dan lain-lain, tak segan mereka mengeluarkan cermin kecil dari dalam tas mungilnya. Sebetulnya, tak jauh berbeda juga dengan laki-laki yang senang dengan fashion. Hanya saja laki-laki biasanya cukup bercermin di rumah, atau malah lebih berani, apapun yang bisa memantul bisa dijadikan cermin.

Inilah fenomena kecil yang sering kita jumpai, yang begitu penting dalam kehidupan sehari-hari dan tak bisa dipisahkan dari hidup kita. Apa jadinya jika hidup ini tidak ada cermin, tentu rasanya ada sesuatu yang hilang. Penulis sempat merasakan pengalaman yang luar biasa dan tidak mengenakkan.

Salah seorang teman pernah mengalami hal ini. Kala itu selama sepuluh hari Ia ditugaskan untuk menjalankan salah satu program dari kantornya. Ia ditempatkan di desa terpencil dan di puncak sebuah bukit yang diapit oleh dua gunung menjulang ke langit. Karena berada di atas ketinggian, rasa dingin adalah santapan setiap hari, tak peduli siang maupun malam hari.

Karena mengalami kondisi alam yang berbeda, banyak sekali perjuangan yang harus dihadapi. Harus terbiasa dengan cuaca dingin, jarang mandi (sehari cukup satu kali, itu pun mandinya dilakukan pada siang hari). Perjuangan yang lain yaitu tidak menemukan cermin, hanya ingin sekedar melihat wajah atau melihat keadaan rambut. Maklum karena akses ke kota lumayan jauh dan jalannya yang rawan.

Ada rasa rindu dan kangen dengan wajah. Bagaimana bentuk dan perubahan, apa saja yang sudah terjadi selama ini. Rasa keingintahuan itu luar biasa muncul. Alangkah kaget bukan kepalang ketika ia bercermin, ternyata wajahnya mengelupas seperti kulit ular, ada sisik-sisiknya juga. Setelah dicek, ternyata hanya faktor air dan iklim saja, sehingga menyebabkan wajahnya demikian.

Cermin Diri
Itulah pentingnya cermin. Selain untuk mengetahui perubahan dan perkembangan yang ada pada manusia. Cermin juga sering digunakan untuk aktivitas lain, dan pekerjaan itu sangat simple. Merias wajah misalnya, dan ini kebiasaan perempuan. Kalau laki-laki paling mencukur kumis, dan janggut. Sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah saw agar selalu merawat diri, salah satunya ilah mencukur rambut, kumis dan lain-lain.
Jika pekerjaan yang satu ini tidak dibantu dengan cermin, tentu harus menggunakan jasa orang lain. Bayangkan jika pengerjaan yang sederhana ini harus dilakukan oleh dua orang saja, terkesan ribet bukan? Dengan adanya cermin, pengerjaannya bisa lebih mudah dan ringan, karena tidak perlu dilakukan dengan banyak orang.

Makna bercermin yang dimaksud adalah cermin yang bermakna hakiki (hakikat), yaitu cermin yang sering kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari. Adapun bercermin yang bermakna majazi (majas) adalah cermin diri. Cermin ini sering diartikan sebagai introspeksi diri (bercermin ke diri sendiri, setelah melihat/membandingkan ke orang lain yang lebih baik).

Tujuannya ialah membandingkan diri dengan orang lain, apakah yang kita lakukan itu sudah seperti mereka ataukah belum (dalam hal ini terkait kebaikan). Sehingga dengan adanya cermin diri ini, memacu seseorang untuk menjadi lebih baik lagi. Sebagaimana perintah Rasulullah untuk memiliki prinsip, “Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin…”
Cermin adalah benda yang paling jujur sedunia. Apa yang ada didepannya ditampilkan secara utuh. Tidak ada manipulasi, atau disembunyikan darinya. Dan yang paling penting adalah, cermin tidak pernah sekalipun memberikan komentar tentang apa yang didepannya. Keistimewaan inilah yang dimiliki oleh sebuah cermin. Apa jadinya jika cermin itu bisa berbicara dan mampu memberikan penilaian bagi siapapun yang ada di depannya?.

Bercerminlah !
Nu’man bin Muqrin berkata: “Bahwasannya ada seorang laki-laki mencaci orang lain disisi Nabi, kemudian orang yang dicaci mengatakan: “Mudah-mudahan keselamatan tercurah atasmu.” Lalu Nabi bersabda:

“Ketahuilah bahwasannya ada malaikat di antara kamu berdua yang membelamu; setiap kali orang ini mencacimu. Malaikat itu berkata kepadanya: “Tetapi engkau, engkaulah yang lebih berhak terhadap cacian itu; dan jika engkau mengatakan: “Mudah-mudahan keselamatan tercurah atasmu”, maka malaikat itu berkata: “Tidak, tetapi engkau, engkaulah yang berhak terhadapnya.” (HR Ahmad)

Sebelum mengeluarkan ucapan kepada orang lain, apalgi mencaci, silakan bercermin kepada diri sendiri. Sudah betul-betul baik atu masih belajar baik? Untuk itu menjaga lisan dari seuatu yang dapat mengotorinya adalah tugas kita besama masing-masing. Jika ada yang salah, silakan ingatkan dengan cara dan ucapan yang baik.

Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu; Siapa yang mengenal dirinya, maka ia telah mengenal siapa tuhannya. Ini adalah salah satu cermin diri yang baik. Mengetahui dirinya sendiri dalam rangka mengetahui siapa sang penciptanya. Dengan mengetahui kekurangn diri, maka akan semangkin merasa lemah dan tidak berdayannya diri.

Mengenal Diri, itulah suluk. Suluk adalah fase-fase perjalanan hidup untuk pada akhirnya mengalami realitas sejati. Hanya dengan mengenal jatidiri, maka makhluq mengenal Khaliq. Hanya dengan menyadari ia hina, maka ia mengerti Allah Maha Tinggi.
Hanya dengan mengenal jati diri, maka makhluq mengenal Khaliq. Dengan menyadari ia najis, maka ia mengerti Allah Maha Suci. Hanya dengan mengaku telah berbuat salah dan dosa, serta bertobat, maka manusia akan mengerti bahwa Allah Maha Pengampun. Luasnya rahmat Allah membentang tak terhingga. Oleh karena itu, sungguh sangat merugi bagi kita yang tidak menyadari atas karunia yang telah Allah anugerahkan pada kita semua. Allâhul Musta’an.

Ihtitām
Orang yang bahagia yaitu orang yang ‘ngaca’ terhadap dirinya. Dai sejuta umat, KH Zainudin MZ rahimahullâh pernah menyampaikan tausiah tentang ciri-ciri orang yang bahagia.

  1. Pertama, ingat akan kesalahan yang pernah diperbuat. Mengingat kesalahan dan dosa untuk menjadi lebih baik, baru kemarin berbuat dosa, ini nambah lagi.
  2. Kedua, melupakan kebaikan yang pernah dilakukan (merasa kebaikannya belum cukup). Ia merasa belum pernah berbuat baik, sehingga merasa rugi kalau tidak berbuat baik
  3. Ketiga, dalam urusan dunia melihat kebawah. Artinya timbul rasa syukur. Masih banyak yang sengsara dari dirinya, ketika menemui kesulitan, ia berpikir masih banyak yang merasakan kesulitan dibandingkan dengannya.
  4. Keempat, dalam urusan akhirat ia melihat ke atas. Si Pulan bisa puasa sunah, kenapa saya tidak. Dia bisa ngaji, kok saya enggak. Iri terhadap dunia dilarang, iri dalam kebaikan sangat dianjurkan.

Untuk itu mari bersama-sama kita bercermin, tentunya dengan menggunakan cermin yang baik. Jika selama ini cermin yang kita gunakan itu belum baik, mari mulai detik ini juga diubah dan perlahan untuk meninggalkannya. Semoga kita diberikan kemudahan dan kekuatan oleh Allah  untuk selalu berada di jalan yang lurus, wa ihdinsshiratha al-mustaqîm.[]

Hamzah
Ngaji di UII

Mutiara Hikmah
Dosa tersebut dilakukan oleh seorang alim yang dia menjadi panutan bagi yang lain. Nabi bersabda,

وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ

“Barangsiapa melakukan suatu amalan kejelekan lalu diamalkan oleh orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya dosa semisal dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosanya sedikitpun.” (HR Muslim, No. 1017)

MENDIDIK BUAH HATI SECARA BIJAK

Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.(QS. al-Nisâ [4]: 9)

Setiap anak muslim adalah aset dakwah bagi tegaknya kalimat Allah di muka bumi di masa mendatang, sekaligus penopang bagi maju atau mundurnya peradaban suatu bangsa. Dari itulah, orangtua harus mempersiapkan segala hal yang dibutuhkan dalam rangka mewujudkan generasi yang kuat agar mendatangkan kebaikan dan barakah di zamannya. Minimnya informasi untuk menjadi orangtua yang baik kerapkali dialami oleh sebagian besar orangtua. Menjadi orangtua juga tidak ada sekolah formalnya. Berangkat dari hal di atas penulis, berusaha untuk memberikan sedikit informasi yang semoga bermanfaat bagi para orangtua maupun para calon orangtua.

Pada dasarnya setiap anak terlahir dengan dua dimensi yang ada pada dirinya. Kedua dimensi tersebut adalah jasmani dan ruhani. Kedua dimensi tersebut memiliki kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi secara seimbang sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan sang anak. Namun, sebagian orangtua lebih lebih mengutamakan kebutuhan jasmani daripada kebutuhan ruhani. Banyak dari orangtua yang cenderung mengabaikan pemenuhan kebutuhan ruhani yang sifatnya abstrak. Padahal Rasululah sudah mengajarkan cara-cara mendidik anak agar pemenuhan kebutuhan dua dimensi tersebut dapat seimbang.

Dalam beberapa riwayat, Rasulullah menganjurkan kepada para orangtua untuk mengajari anaknya berenang, memanah, dan berkuda. Ditilik dari sudut pandang jasmani, ketiga aktivitas olahraga tersebut yang jika dilakukan secara rutin tentu akan berimbas kepada kekuatan dan kesehatan anak. Apabila kesehatan dan kekuatan fisik anak tidak diperhatikan sejak dini, maka mereka akan tumbuh menjadi pemuda yang lemah. Jika sebuah generasi adalah generasi yang lemah, maka suatu bangsa akan sulit untuk menjadi bangsa yang kuat dan tangguh. Pun dalam hal kesehatan, apabila kesehatan generasi kecil tidak diperhatikan, maka bangsa tersebut akan menjadi bangsa yang lemah.

Selain bermanfaat bagi kesehatan dan kekuatan fisik, manfaat dibiasakannya ketiga olahraga di atas juga sangat baik untuk mengembangkan mental dan ruhani yang kuat, seperti kepercayaan diri, keberanian dan kemampuan konsentrasi. Adapun manfaat lebih detail dari ketiga olahraga tersebut, terutama pembentukan psikis dan mental, adalah sebagai berikut:

  1. Berenang

    Olahraga ini melatih kekuatan bernafas anak, dengan demikian asupan oksigen di dalamnya otaknya senantiasa tercukupi yang mana akan memacu kecerdasan bagi anak. Dia akan tumbuh menjadi pembelajar ulung, memiliki rasa ingin tahu yang cukup besar terhadap segala sesuatu yang dianggapnya baru dan belum pernah diketahui oleh anak sebelumnya.

  2. Memanah

    Kepercayaan diri akan tumbuh dalam jiwa anak, sosok pemimpin juga akan terbentuk pada pribadi anak. Latihan memanah juga mendidik anak untuk memiliki pandangan jauh ke depan dan tetap fokus pada tujuan yang hendak dicapai. Dalam pengambilan suatu keputusan, kejernihan pikiran akan mampu mereka hadirkan meskipun berhadapan dengan permasalahan yang genting sekalipun.

  3. Berkuda

    Banyak sekali sikap yang dapat dibentuk dari olahraga ini. Berkuda mengajarkan kepada anak akan kepercayaan diri, ketangkasan, keberanian, pengendalian diri, dan jiwa kepemimpinan. Meskipun orang yang dipimpinnya nanti adalah orang yang lebih mahir, lebih kuat, serta memiliki banyak kelebihan dibandingkan dirinya, ia tidak akan gentar dan ragu, karena ia tidak takut terhadap suatu apapun kecuali hanya kepada Rabb-Nya.

Setiap anak terlahir dengan fitrah yang melekat padanya berupa dorongan untuk senantiasa berbuat kebaikan dan cenderung memiliki kekuatan untuk dekat dengan Rabb-Nya. Ia mencintai kebaikan dan nalurinya menolak untuk melakukan suatu keburukan. Namun, ketika mereka terlahir di dunia, sejak kelahiran hingga masa kanak-kanak (sebelum baligh) kemampuan kognitif mereka masih sangat terbatas, sehingga mereka belum memiliki cukup bekal untuk dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Maka peran orangtua sangatlah besar dalam upaya mengarahkannya untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah.

Pertanyaan selanjutnya, mengapa masih banyak ditemukan anak yang cenderung menimbulkan kerusakan, berbuat onar, dan membuat masalah bagi lingkungannya? Pihak pertama yang perlu untuk diperiksa adalah orangtua. Bisa jadi orangtua merekalah yang menjadi penyebab rusaknya fitrah anak. Namun seringkali, kebanyakan orangtua menganggap sumber dari semua permasalahan adalah berasal dari anak itu sendiri. Ketika anak berbuat salah, selalu yang disalahkan dan dijatuhkan harga dirinya adalah si anak, baik saat di rumah maupun di luar rumah.

Bahkan ada orangtua yang tidak segan menggunakan kekerasan fisik terhadap anak. Tamparan keras sering didaratkan ke pipinya yang lembut. Pukulan demi pukulan sering dihujamkan pada tubuhnya yang mungil. Rintih kesakitan kerapkali terdengar karena cubitan orangtua. Bentakan keras menggelegar diseruakkan ketika anak tak mau mengikuti titah orangtua. Inilah penyebab dari rusaknya fitrah anak yang selalu cenderung pada kebaikan. Alih-alih kenyamanan yang mereka dapatkan di rumah, justru kebencian yang akan didapatkan keluarga. Akhirnya anak akan mencari kenyamanan dari orang dan tempat lain. Itu artinya bukan orang tuanya dan bukan pula rumah yang akan ditujunya.

Maka, pola asuh orangtua yang salah menjadi salah satu penyebab dari rusaknya fitrah anak. Pendapat bahwa mendidik anak harus disesuaikan dengan zamannya memang benar adanya. Ketika zaman dahulu orangtua mengajarkan kakak untuk selalu mengalah demi kebaikan adiknya, maka saat ini pola asuh tersebut sudah tak tepat dan tak layak untuk diterapkan. Karena anak akan menemukan ketidakadilan di dalam rumah. Kebenaran hanya ditentukan oleh faktor usia sehingga tiap kemauan dan keinginan adik dianggap sebagai kebenaran mutlak dan harus dituruti.

Maka, ada tiga karunia, yang harus diamalkan dan diterapkan oleh orangtua ketika menghadapi perilaku anak yang buruk dan menyimpang, yaitu:

  1. Karunia Belajar
  2. Orangtua harus belajar sebagaimana anaknya belajar. Kebanyakan orangtua zaman sekarang beranggapan bahwa belajar selalu erat dengan unsur tenang menghadap ke meja belajar dengan buku pelajaran di depan mata. Belajar dibatasi dengan ruang. Dinamakan belajar apabila anak berada di kelas atau di meja belajar. Sedang di alam bebas, orangtua mengatakan bahwa mereka tidak sedang belajar. Anak dikatakan belajar apabila mereka belajar membaca, menulis, dan berhitung. Lain dari aktivitas tersebut, orangtua mengatakan bahwa anak tidak sedang belajar.

    Padahal banyak pembelajaran yang didapatkan anak ketika melakukan aktivitas selain “belajar” tersebut. Ketika anak sedang bermain kelereng, di situlah anak belajar untuk memimpin dan dipimpin. Disitulah anak belajar tentang pentingnya menaati suatu peraturan. Sebab, apabila dia berbuat seenaknya dan mau menang sendiri, tentu tak ada satupun anak yang ingin bermain kelereng dengannya. Ketika anak bermain sepak bola, maka disitulah anak belajar tentang strategi  dan bekerjasama dalam tim. Pemahaman makna belajar inilah yang harus direvisi oleh para orangtua.

  3. Karunia Konsistensi
  4. Konsistensi dalam mengikuti aturan dalam rumah harus ditegakkan. Apabila orangtua berkata “tidak” maka seluruh anggota keluarga, termasuk orangtua sendiri harus konsisten untuk “tidak”. Konsistensi akan mengajarkan kepada anak adanya batasan dalam berperilaku. Mengajarkan adanya sebab-akibat dalam setiap tindakan yang diperbuat. Konsistensi pula yang akan membuat anak menjadi lebih bijak dalam mengambil setiap keputusan.

    Kesalahan yang sering terjadi adalah, saat orangtua telah membuat sebuah peraturan, orangtua merasa iba dan membolehkan permintaan sang anak saat anak merengek-rengek. Kadangkala pula, tidak ada kesepahaman antara ayah dan ibu dalam menghadapai permintaan anak, ayah mengatakan “iya”, dan ibu mengatakan “tidak”. Kesalahan yang amat besar pula, apabila orangtua menganggap aturan ini hanya berlaku untuk anaknya saja, tidak untuk orangtua .

    Apabila orangtua memelihara ketidakkonsistenan hingga anak menjadi dewasa, maka anak akan belajar bahwa aturan hanyalah sebatas aturan dan tak perlu untuk ditaati. Anak akan belajar bahwa perkataan tak harus selaras dengan perbuatan. Mereka akan belajar dari sikap orangtua yang kerapkali tak sesuai antara apa yang dikatakan dan apa yang diperbuat. Dalam hal ini, kesabaran dan ketahanan orangtua harus dijaga demi pembentukan karakter anaknya yang lebih baik.

  5. Karunia Kiblat
  6. Allah menganugerahi kita karunia kiblat. Dengan karunia ini, kita dapat fokus terhadap arah ataupun tujuan yang hendak dituju dan dicapai. Arah dan tujuan tersebut tentunya adalah yang sifatnya baik. Meninggalkan hal-hal buruk dengan terus melakukan introspeksi demi memperbaiki apa yang kurang dan mempertahankan atau meningkatkan apa yang baik. Menjadikan masa lalu yang buruk sebagai suatu pelajaran supaya lebih berhati-hati dalam bertindak.

Orangtua, ayah atau ibu, yang baik adalah yang belajar dari kesalahan anaknya kemudian memberusaha merangkul dan menuntun anaknya supaya tak melakukan kesalahan yang sama. Dengan memberikan dorongan dan motivasi untuk memperbaiki kesalahan yang sudah dilakukan, maka anak akan tumbuh menjadi anak yang gigih. Dia berani mengakui setiap kesalahan yang dilakukannya dan bangkit untuk memperbaiki kesalahan tersebut. Ringkasnya, orangtua harus membiasakan diri untuk fokus terhadap perilaku baik anak, bukan pada perilaku buruknya. Fokus pada kelebihan anak bukan pada kekurangannya. Fokus pada solusi penyelesaian kesalahan yang diperbuat anak. Bukan fokus pada masalah yang muncul akibat kesalahannya.

Akhīran, anak merupakan suatu anugerah yang telah diberikan oleh Allah . Anugerah yang merupakan bukti bahwa Allah mempercayai kita, bahwa kita mampu mendidik anak sesuai dengan fitrah yang melekat padanya. Bagi pasangan yang sudah dikarunia anak, semoga dapat menjalankan tugas  sebagai orangtua dengan baik, sehingga anak-anak yang dikaruniakan oleh Allah menjadi anak yang shalih-shalihah. Karena anak yang shalih-shalihah adalah investasi dunia-akhirat yang layak untuk dijaga dan diperjuangkan. Wallāhu a’lamu bi ash-shawāb. []

Zeda Shaliha
Mahasiswi PAI FIAI UII

 

Mutiara Hikmah
Rasulullah bersabda,
Barangsiapa yang mampu menjamin untukku apa yang ada di antara kedua rahangnya (lisan) dan apa yang ada di antara kedua kakinya (kemaluan) aku akan menjamin baginya surga.”
(HR. Bukhari)

CARA ALLAH MEMBERI REZEKI

تُولِجُ اللَّيْلَ فِي النَّهَارِ وَتُولِجُ النَّهَارَ فِي اللَّيْلِ وَتُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَتُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَتَرْزُقُ مَن تَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ

“Engkau masukkan malam ke dalam siang dan Engkau masukkan siang ke dalam malam. Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati, dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup. Dan Engkau beri rezeki siapa yang Engkau kehendaki tanpa hisab (batas)”
(QS al-‘Imran [3]:27)

Saudaraku, bicara soal rezeki, sebenarnya mencakup banyak sisi yang sangat luas. Rezeki tidak melulu bicara tentang harta saja, melainkan apapun jenis ni’mat yang Allah l berikan adalah rezeki. Ilmu pengetahuan, kesehatan, kebahagian dan lain sebagainya adalah bagian dari rezeki yang Allah l berikan.
Ingatlah bahwa rezeki tidaklah sebatas harta dunia. Ilmu yang bermanfaat adalah rezeki, kemudahan untuk beramal shalih adalah rezeki, istri yang shalihah adalah rezeki, anak-anak juga termasuk rezeki. Kewajiban kita untuk senantiasa bersyukur atas rezeki yang Allah berikan. Bahkan rezeki yang hakiki adalah rezeki yang dapat menegakkan agama kita sehingga mengantarkan kita selamat di akherat. Inilah rezeki yang sesungguhnya. Rezeki yang hanya Allah l berikan kepada hamba-hamba pilihan-Nya.
Sebenarnya Allah l telah menentukan cara memperoleh rezeki dan telah mengkategorikan rezeki berdasarkan tingkatannya, mulai dari yang terendah dalam arti rezeki yang telah (dijamin) oleh Allah l kepada semua makhluk-Nya hingga rezeki paling tinggi tingkatannya (rezeki untuk orang beriman dan bertaqwa).

Rezeki Tingkat Pertama (yang dijamin oleh Allah).
Allah l berfirman,

“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh). (QS Hûd [11]: 6).

Inilah tingkatan rezeki yang pertama yaitu rezeki yang sudah dijamin oleh Allah untuk semua makhluk-Nya. Artinya Allah akan memberi kesehatan, makan, minum untuk seluruh makhluk hidup di dunia ini. Dari manusia bahkan hingga makhluk terkecil yang tak tampak oleh mata sekalipun. Pada tingkatan ini adalah tingkatan rezeki yang paling rendah.
Allah menegaskan tingkatan rezeki yang pertama ini dalam ayat yang lain Allah l berfirman,

“Dan berapa banyak binatang yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rezekinya sendiri. Allah-lah yang memberi rezeki kepadanya dan kepadamu dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS al-Ankabût [29] : 60)

Rezeki Tingkat Kedua
Allah l berfirman,

“Tidaklah manusia mendapat apa-apa kecuali apa yang telah dikerjakannya” (QS al-Najm [53]: 39)

Allah l akan memberi rezeki sesuai dengan apa yang dikerjakannya, jika ia bekerja dua jam, dapatlah hasil yang dua jam. Jika lebih lama, lebih rajin, lebih berilmu, lebih sungguh-sungguh, ia akan mendapat lebih banyak. Tidak memandang apakah dia itu muslim atau kafir.
Banyak orang yang bertanya kenapa Allah l menjadikan orang-orang non muslim itu kaya?. coba kita lihat kembali pada diri kita masing-masing sudah usaha kita melebihi mereka, sudah kita bekerja lebih keras dua kali lipat dari mereka. Jika belum, rubahlah karena untuk urusan riziqi Allah l berikan sesuai apa yang diusahakannya. Namun ada catatan penting dalam firman Allah l yang harus kita pahami,

“Kehidupan dunia dijadikan indah dalam pandangan orang-orang kafir, dan mereka memandang hina orang-orang yang beriman. Padahal orang-orang yang bertakwa itu lebih mulia daripada mereka di hari kiamat. Dan Allah memberi rezeki kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas”.(QS al-Baqarah [2] : 212)

Allah l mengetahui apa yang kita kerjakan, Allah l melihat bagaiman hamba-Nya bekerja dan berusaha. Jika kita hanya duduk santai, tak berusaha lebih keras maka jangan harap Allah l akan memberi hasil yang lebih pula. Memang, urusan rezeki itu ditangan Allah l, tapi apabila kita tak meraihnya maka rezeki itu tak akan sampai pada kita.

Rezeki Tingkat Ketiga
Allah l berfirman,

“….. Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat-ku), jika kamu mengingkari(nikmat-ku), maka sesungguhnya azab-ku sangat pedih” (QS Ibrahîm [14]: 7)

Di kategori tingkatan rezeki yang ketiga, inilah rezeki yang disayang Allah l. Orang-orang yang pandai bersyukur akan dapat merasakan kasih sayang Allah l dan mendapat rezeki yang lebih banyak. Itulah janji Allah l, orang yang pandai bersyukurlah yang dapat hidup bahagia sejahtera dan tentram. Usahanya akan sangat sukses, karena Allah l tambhakan selalu.
Sebesar apapun rezeki yang Allah l berikan, jika kita terima dengan penuh rasa syukur maka akan Allah l tambah. Permasalahannya adalah banyak orang yang kufur akan nikmat tersbut. Selalu mengeluh padahal Allah l sudah berikan rezeki kepadanya. Maka selalu memohon dan berdoalah agar kita digolongkan sebagai hamba yang penuh syukur, karena hidup tidak melulu bicara soal seberapa harta yang kita punya, tapi bagaimana kita merasa bahagia (bersyukur) atas apa yang kita miliki.
Prihal bersyukur pun disinggung dalam ayat lain,

“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah”.(QS al-Baqarah [2]: 172).

Rezeki Tingkat Keempat (untuk orang-orang beriman dan bertaqwa)
Allah l berfirman, “…Barang siapa yang bertaqwa kepada Allah niscya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangka. Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki) Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS al-Thalaq [65]: 2-3)
Peringatan rezeki yang keempat ini adalah yang paling istimewa, tidak semua orang bisa meraihnya. Orang-orang istimewa itu adalah orang-orang yang bertaqwa kepada Allah l (Muttaqun). Allah l sudah menjamin dalam firmannya dalam urusan rezeki untuk orang yang taat kepada perintah-Nya.
Maka sebagai Muslim, tentu kita harus sadari betul hal ini. Meski pun Allah telah menjamin rezeki kepada semua makhluknya, namun porsi seberapa besar yang akan kita terima adalah sesuai apa yang kita usahakan. Jika kita berusaha lebih, berdoa lebih, maka hasilnya pun akan lebih pula.
Jangan mau hidup miskin, padahal Tuhan kita (Allah) Maha Kaya. Jangan pernah mau hidup kekurangan rezeki padahal rezeki Allah begitu luas. Jika ada tingkatan rezeki yang paling tinggi (rezeki untuk orang-orang bertaqwa), kenapa kita harus memilih tingkatan yang paling rendah.

Rezeki telah Ditentukan
Dalam tulisannya Ustadz Adika Mianoki menyebutkan (http://muslim.or.id/ aqidah/memahami-dua-jenis-rezeki.html), bahwa seluruh rezeki bagi makhluk telah Allah tentukan. Kaya dan miskin, sakit dan sehat, senang dan susah, termasuk juga ilmu dan amal shalih seseorang pun telah ditentukan.
Rasulullah ` bersabda,

“Sesungguhnya tiap-tiap kalian dikumpulkan penciptaannya dalam rahim ibunya selama 40 hari berupa nutfah, kemudian menjadi ‘Alaqah (segumpal darah) selama itu juga lalu menjadi Mudhghah (segumpal daging) selama itu juga, kemudian diutuslah Malaikat untuk meniupkan ruh kepadanya lalu diperintahkan untuk menuliskan 4 kata: Rezeki, Ajal, Amal dan Celaka/bahagianya. maka demi Allah yang tiada Tuhan selainnya, ada seseorang diantara kalian yang mengerjakan amalan ahli surga sehingga tidak ada jarak antara dirinya dan surga kecuali sehasta saja. kemudian ia didahului oleh ketetapan Allah lalu ia melakukan perbuatan ahli neraka dan ia masuk neraka. Ada diantara kalian yang mengerjakan amalan ahli neraka sehingga tidak ada lagi jarak antara dirinya dan neraka kecuali sehasta saja. kemudian ia didahului oleh ketetapan Allah lalu ia melakukan perbuatan ahli surga dan ia masuk surga.”(HR Bukhari, No. 3208 dan HR Muslim No. 2643)

Dengan mengetahui hal ini, bukan berrati kita pasarah dan tidak berusaha mencari rezeki. Sebagian orang memiliki anggapan yang salah dalam memahami hal ini. Mereka hanya pasrah terhadap takdir tanpa melakukan usaha sama sekali. Sunngguh, ini adalah kesalah yang nyata. Bukankah Allah juga memerintahkan kita untuk mengambil sebab dan melarang kita dari bersikap malas? Apabila kita sudah mengambil sebab dan mendapatkan hasil yang tidak kita inginkan, maka kita tidak boleh sedih dan berputus asa, termasuk dalam mencari rezeki, karena semuanya sudah merupakan ketetapan Allah. Oleh karena itu Nabi ` bersabda,

“Bersemangatlah dalam hal yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah pada Allah dan jangalah kamu malas! Apabila kamu tertimpa sesuatu, janganlah kamu mengatakan:’Seaindainya aku berbuat demikian, tentu tidak akan begini atau begitu’, tetapi katakanlah: ‘Qaddarullahu wa mâ sya’a fa’ala” (HR Muslim, No. 2664). Wallahu a’lam.[]

 

Muhammad Mukhlas
Pendidikan Bahasa Inggris 2013

Mutiara Hikmah
Ucapan apabila tertimpa sesuatu yang tidak disenangi

قَدَرُ اللهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ.

“Allah sudah mentakdirkan sesuatu yang dikehendaki dan dilakukan.” (HR Muslim, No. 4/2052)

GELAR

رَبَّنَا هَبۡ لَنَا مِنۡ أَزۡوَٰجِنَا وَذُرِّيَّٰتِنَا قُرَّةَ أَعۡيُنٖ وَٱجۡعَلۡنَا لِلۡمُتَّقِينَ إِمَامًا ٧٤

“Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa.”
(QS al-Furqan [25]: 74)

Ketika mengikuti perkuliahan di kampus, banyak karakter dosen pemberi mata kuliah yang berbeda-beda. Dosen A seperti ini, dosen B beda dari A, bahkan dosen C berbeda dari A dan B. Banyak sekali karakater perbedaanya, terutama cara mengajar dan menyampaikan materi yang diajarkan dan ketika ngobrol di luar kelas.
Dari sekian banyak dosen yang mengajar di kelas, tidak sedikit yang sudah sampai menempuh gelar doktor, dengan kata lain sudah dan sedang menempuh strata tiga (S3). Kenapa harus ada gelar yang dijadikan acuan dan tolak ukur seorang dosen. Sebab gelar itu merupakan pencapaian tertinggi yang pernah ditempuh ketika menjalani studinya.
Tak heran jika suatu ketika ada dosen yang jelas-jelas mengatakan bahwa penulisan, peletakan, gelar untuk dirinya tidak boleh salah. Sebab kalau salah maka nilai Ujian Tengah Semester (UTS) maupun Ujian Akhir Semester (UAS) tidak akan keluar. Tentu saja, sebagian mahasiswa merasa takut dan manut saja, toh gelar itu memang buah kerja keras, tidak salahnya kita menghargai kerja keras tersebut.
Tidak bisa dipungkiri bahwa kebanyakan orang (mesti tidak semuanya) ketika memilih melanjutkan ke jenjang perkuliahan yang pertama kali dicari yaitu untuk mendapatkan gelar. Perjuangan untuk mendapatkan gelar itu tidak mudah, butuh waktu, perjuangan dan konsentrasi tingkat tinggi.
Oleh karenanya, maka gelar tersebut adalah reward atau hadiah dari kerja keras yang sudah ditempuh selama bertahun-tahun. Tidak salah memang ketika ada dosen yang meminta dan begitu mempersoalkan gelar yang sudah diraihnya tersebut. Kerja keras yang sudah dijalaninya harus dihargai dan diapresiasi.
Dalam kisah lain, tapi masih seputar tentang dosen juga. Cerita singkatanya kurang lebih seperti ini. Kala itu salah seorang sahabat (boleh disebut teman dekatlah) yang meminta bantuan untuk dibuatkan desain sertifikat acara pelatihan. Kebetulan sahabat ini juga sebagai panitia inti dalam acara tersebut.
Setelah desain dibuat dan dikirim, sahabat tadi mengirimkan balasan. Inti tulisannya adalah meminta supaya gelar dosen yang menjadi pimpinan di kantornya tersebut meminta dihapus. Padahal gelar yang sudah dituliskan tidak bermasalah dan sesuai dengan semestinya. Ketika dikonfirmasi langsung, “katanya buat apa sih pake gelar-gelar segala, tidak terlalu penting”. Demikian jawaban yang saya terima dari salah seorang sahabat.

Gelar Sesungguhnya
Komarudin Hidayat (mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) pernah menyampaikan dalam tausiahnya, bahwa sebuah kesuksesan itu sebetulnya bukan terletak pada sesuatu yang dimiliki. Sebab sesuatu yang dimiliki itu menyangkut kepada sesuatu yang melekat. Sesuatu yang melekat itu tidak selamanya bisa kita bawa, dalam artian suatu saat akan kita lepaskan.
Pada hakikatnya sesuatu yang saat ini kita miliki bukanlah sebuah kesuksesan. Jabatan, gelar, dan apapun itu hanyalah tempelan semata. Kelak itu akan kita tinggalkan kala jasad dengan ruh telah berpisah. Gelar keduniaan tidak lagi menjadi berarti, tetapi gelar akhiratlah yang paling dicari.
Husnul khatimah (meninggal dalam keadaan baik) adalah harapan kita, terutama bagi seluruh umat Islam (Muslimin). Hanya saja, ketika mengikuti peroses penjelajahan menapaki husnul kahtimah, banyak sekali duri, naik turun, tikungan tajam dan lain sebagainya. Sehingga banyak yang akhirnya tersesat bahkan salah jalan.
Perangkap yang ada di dalamnya begitu sulit untuk dibedakan. Jalan kebaikan terasa begitu berat dan susah untuk dijalani ketimbang jalan keburukan yang terkesan lebih mudah dan terbuka lebar. Akhirnya banyak yang memilih jalan keburukan, karena terasa lebih nyaman, enak, dan ada juga karena sudah terlajur jatuh di dalamnya.
Ketika sudah di batas penghujung jatah kehidupan, banyak yang menyesal dan ingin mengubah jalan hidupnya. Kata-kata penyesalan tak lagi berarti, sebab maut sudah datang di depan mata, waktu tak bisa bergulir lagi mengulang masa lalu. Semua keluarga sudah berkumpul dan tak sedikit menangisi. Tetangga berkumpul untuk berta’ziah dan siap mengantakan ke liang lahat. Saat itulah gelar almarhum/ah telah sah kita dapatkan –gelar tradisi Indonesia-
Tetapi yang menjadi pertanyaan selanjutnya, apakah gelar almarum/ah itu mendapatkan indeks prestasi cumlaude atau tidak? Ketika semasa hidupnya banyak melaksanakan amal shalih maka predikat cumlaude bisa diterimanya. Tetapi jika sebaliknya, banyak bolosnya, indeks prestasinya hanya 2,0 predikat itupun belum bisa diraihnya.

Taqwa
Suatu ketika dalam sebuah kelas, seorang sahabat bertanya dengan lantang di depan teman-teman yang lainnya. Siapa yang tau gelar paling tinggi di atas orang yang bertaqwa? Semua teman-teman terdiam dan tak ada yang memberikan jawaban. Salah seorang teman yang duduk di belakang menjawab tidak ada gelar yang paling tertinggi di atas ketaqwaan.
Karena hanya satu orang yang merespon, akhirnya sahabat ini pun menjelaskan kepada teman-teman yang lainnya. Sebetulnya gelar yang paling tinggi di atas orang yang bertaqwa adalah imamnya orang yang bertaqwa. Sebagaimana dalam bait doa yang sering kita memohon kepada Allah l.

Rabbanā hablanā min azwajinā wa durriyatinā qurrata’ayun waj;alnā lil muttaqina imamā “Ya Tuhan kami, anugerahkan kepada kami, pasangan hidup dan keturunan kami sebagai penyejuk hati kami, dan jadikanlah kami sebagai pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa”. (QS al-Furqan [25] : 74)

Taqwa itu menjalankan segala perintah Allah l dan menjauhi segala larangan-Nya. Inilah makna taqwa yang sudah sangat kita dengar ketika khutbah jum’at. Tapi secara aplikasinya belum tentu bisa dengan mudah. Butuh perjuangan dan tantangan, untuk bisa mencapai tingkatan taqwa yang sebenarnya. Ketaqwaan seseorang terhadap tuhannya tidak bisa ditawar-tawar. Tapi bagi siapa yang betul-betul bertaqwa maka ia balasannya adalah pahala surga dan rizqinya tidak akan pernah putus.
Makna taqwa yang menurut Sayyidina ‘Ali a lebih spesifik. Takut akan Allah, Menjalankan isi al-Qur’an. Qana’ah dengan rizqi meskipun sedikit, dan yang terakhir adalah mempersiapkan diri untuk kehidupan masa depan yang lebih kekal (akhirat). Dari keempatnya ini manakah yang sudah betul-betul kita amalakan?

Ihtitam
Banyak yang dibuai oleh gemerlap dunia. Matanya silau dan tak mampu membedakan mana yang betul-betul baik untuk dirinya hingga jangka panjang atau hanya sesaat saja. Dunia ini membuatnya menjadi terbalik dan orientasinya sudah berubah 180 derajat dibandingkan ketika ia masih duduk di bangku pesantren.
Status seseorang bukan jaminan untuk menjadikannya baik atau malah sebaliknya. Banyak yang awalnya baik, taat dan begitu haus dengan keagamaan, tetapi ketika sudah jatuh kedalam masalah keduniaan semuanya lepas begitu saja. Seperti anak panah yang dilepaskan dari busurnya. Tak sedikit pula yang awalnya menentang, menolak bahkan terang-terangan menghina agama, nyatanya kini ia menjadi seorang muslim yang taat.
Gelar manusia yang diberikan oleh Allah l adalah khalifah/pemimpin yang dipasrahi alam dunia untuk dijaga dan dirawat sebaik mungkin. Tapi dengan gelar itu pula ternyata mansuia merusak dan mengeksploitasi anamat yang sudah Allah l berikan. Gelar khalifah yang sudah Allah l berikan jelas-jelas disalahgunakan, apalagi gelar yang hanya disematkan oleh manusia. Makhluk tempatnya salah dan lupa.
Oleh karena itu, gelar yang disematkan oleh manusia jika dioptimalkan dengan baik dan digunakan untuk menjalankan, mentaati dan mengimani gelar yang sudah Allah l berikan maka bukan tidak mungkin predikat cumlaude itu akan didapatkan. Allahu’alam.

Hamzah
Santri PPUII

Mutiara Hikmah

عن أَبَي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ أَنْصِتْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغَوْتَ.

Dari Abu Hurairah a, bahwasanya Rasulullah ` bersabda, “Apabila kamu pada hari Jum’at berkata kepada temanmu, ‘Diamlah,’ padahal imam sedang berkhutbah, maka sungguh sia-sia (shalat Jum’at) mu.” (HR al-Bukhari pada Kitabul Jum’ah Bab Diam Pada Hari Jum’at Saat Imam Sedang Berkhutbah, no. 934)

YUK, JADI PRIBADI PEMAAF

خُذِ ٱلۡعَفۡوَ وَأۡمُرۡ بِٱلۡعُرۡفِ وَأَعۡرِضۡ عَنِ ٱلۡجَٰهِلِينَ ١٩٩

Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma´ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh. (QS al-A’râf [7]: 199)

 

Sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan keberadaan orang lain sebagai tempat bergantung demi keberlangsungan hidupnya. Ketika kita bersosialisasi ada resiko untuk disakiti dan didzalimi, baik itu oleh teman, sahabat, bahkan oleh  keluarga kita sendiri. Tak dapat dipungkiri, ketika kita bergaul dengan orang lain, konsekuensi yang harus kita terima adalah adanya perbedaan pendapat, pandangan, pemikiran, dan berbagai hal yang akan menimbulkan gesekan, perasaan tidak nyaman, kurang sreg, dan permasalahan lain yang mengganggu keharmonisan bersosialisasi.

“Aku g mau maafin dia, dia udah bikin aku sakit hati”. “Sampai matipun, aku tidak akan pernah bisa melupakan kesalahan dia”. “Aku sudah maafin kamu, tapi masih sakit hati”. Pernah tidak kita mengucapkan kalimat seperti itu? Jika pernah mengucapkan hal tersebut, berhati-hatilah, kita sudah menyimpan dendam dalam hati. Akibatnya, sewaktu-waktu bisa meledak. Memelihara dendam sama saja memelihara sesuatu yang merusak tubuh kita, ibarat memakan racun yang mematikan, lama-lama akan menggerogoti tubuh secara perlahan-lahan. Dan orang yang memelihara dendam, hidupnya tidak nyaman, sakit dan tidak produktif. Hiy, ngeri. Lho, kok bisa?

Hem… ketika kita menyimpan dendam atau sakit hati dengan seseorang, pikiran dan perasaan kita akan memikirkan dia, mencari-cari kesalahannya walaupun dia telah berbuat baik kepada kita padahal dia juga tidak tahu jika kita menyimpan dendam dengannya. Akibat dari dendam yang berlarut-larut- ada yang menyebutnya tujuh turunan, akan mencelakakan orang yang kita benci. Orang yang kita benci cuek bebek dengan kita, karena dia sudah minta maaf, eh…kita masih sakit hati karena tidak mau memaafkannya. Karena fikirannya fokus dengan orang lain, hidup tidak pernah mengahasilkan aktivitas yang bermanfaat, tidak produktif, akibatnya, kehilangan waktu, tenaga, pikiran, perasaan, kehilangan rizqi, dan yang lebih parah lagi, kehilangan surganya Sang Maha Pengampun. Capek deh!

 

Perintah Memaafkan

Memaafkan mudah diucapkan namun sulit untuk direalisasikan. Memang, jalan menuju surga itu tidak mudah, hanya orang-orang yang mau dan berusaha saja yang bisa mencapainya. Sebagai seorang muslim kita harus sadar bahwa setiap orang pernah melakukan kesalahan sekecil apapun itu, dan yang perlu diingat adalah Allah itu Maha Pengampun. Allah saja mau memaafkan kesalahan manusia yang bejibun banyaknya, apalagi kita, yang hanya mausia yang lemah, harusnya malu. Jangan sampai  kesalahan teman yang kecil membuat kita menjadi manusia yang pendendam. Allah l berfirman: “Dan hendaklah mereka memaafkan kesalahan sesama manusia. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan” (QS Ali Imran [3]: 134).

Namun bagaimana jika kita dizhalimi orang lain? Apakah kita hanya diam, ridha, rela dipukul, ditampar, ditendang, padahal kita  tidak melakukan kesalahan? Atau membalasnya? Yang pasti,  kita harus membalas kedzaliman yang dilakukan orang lain.

Bagaimanapun kita memiliki harga diri yang pantas kita jaga, tidak bisa saja nrimo dengan keadaan diri ketika dizhalimi oleh orang lain. Dalam surat  al-Nahl ayat 126: “Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu…”.

Jika kita dicubit, balas dengan mencubit dengan kualitas yang sama, jangan mencubit dibalas dengan memukul, dua kali lagi! itu sudah lain lagi ceritanya. Tapi bagaimana jika yang mendzalimi kita itu orang yang sudah tidak punya hati alias berhati batu?Apakah kita akan menjadi uring-uringan, dendam, benci dengan orang yang seperti ini? Saya pikir tidak karena hal itu akan menyebabkan kita rugi, capek.  Rugi waktu, tenaga, perasaan buat mikirin orang yang tidak pernah tahu dipikirkan. Allah l berfirman: “Maafkanlah mereka dan biarkan mereka, Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS al-Mâidah [5]: 13).

Jangan sampai kita benci, kemudian maenjadi dendam, itu akan merugikan diri kita, hidup kita menjadi tidak produktif. Mengapa? Karena disibukkan dengan membenci dan dendam dengan orang lain, waktu yang seharusnya untuk belajar, membaca buku, jalan-jalan dan lain-lain, digunakan untuk memikirkan bagaimana cara mencelakakan orang yang kita dendami.

Dengan memaafkan kesalahan orang lain, kita sedang membebaskan beban dalam hidup, membuang racun yang  yang menggerogoti tubuh sehingga hati kita menjadi nyaman. Kita sedang memilih untuk bahagia, karena membiarkan  pikiran positif dan membuang pikiran negatif dalam tubuh. Serahkan pembalasannya kepada Allah l. Allah l berfirman: “…dan balasan kejelekan itu adalah kejelekan pula, namun siapa yang memaafkan dan memperbaiki (hubungannya), maka pahala baginya di sisi Allah. Sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang dhalim”. (QS al-Syura [42]: 40).

Penelitian menunjukkan bahwa kemarahan adalah sebuah keadaan pikiran yang sangat merusak kesehatan manusia. Memaafkan, walaupun berat, terasa membahagiakan, akhlak terpuji dan disukai Allah l. Pilih yang mana? Apakah kita rela hidup digunakan untuk memperhatikan, mengurusi orang lain, dendam sampai tujuh turunan? Memendam kebencian dan kekesalan sampai mendarah dagimg? Bukankah kita mengharapkan Allah l mengampuni dosa kita? Dan hati kita menjadi lapang, tenang dan lega. Jika kita mudah memaafkan orang lain, niscaya kita juga akan mudah dimaafkan oleh Allah l dan orang lain.

 

Muhammad Sebagai Teladan Kita

Kita tak asing mendengar, membaca kemuliaan akhlak Nabi Muhammad ` yang sangat mengagumkan bagaimana beliau memafkan kaumnya yang tidak menyambut ajakan dakwahnya. Bahkan beliau mendoakan kaumnya agar suatu hari nanti kaumnya menerima dakwahnya yaitu mentauhidkan Allah dalam rububiyyah, uluhiyyah  dan asmâ wa sifatnya, serta tidak menyekutukan Allah l.

Peristiwa yang sangat membekas dalam hati kita adalah Fathul Makkah, jika Nabi Muhammad `  mau, bisa saja membalas perlakuan kaum Quraisy yang  dahulu pernah mereka lakukan terhadap Nabi Muhammad ` karena saat itu Nabi membawa kaum muslimin yang bannyak, dan juga membawa alat perang. Namun apa yang beliau lakukan, memaafkan. Luar biasa! Bisa tidak kita mencontoh beliau? jika belum bisa, belajarlah. Dari Abu Hurairah a bahwa Rasulullah ` bersabda: Bukanlah yang dikatakan orang kuat adalah orang yang kuat bergulat, tetapi sesungguhnya orang yang kuat adalah orang yang dapat mengendalikan nafsu amarahnya. (HR Bukhari dan Muslim)

 

Membalas Kejelekan dengan Kebaikan

Ini yang sangat keren! Membalas keburukan lain dengan kebaikan akan membuat hati menjadi lembut. Sebagaimana yang dicontohkan Rasul, bagaimana beliau dilempari batu, diusir dari Thaif  namun beliau tidak membalas, bahkan mendoakan semoga Allah l memberikan keturunan orang-orang yang beriman dan tidak menyekutukan Allah l. Hebat ya…apakah kita bisa menirunya? Berbuat baik dan tidak dendam dengan orang yang menghina kita? Firman Allah l: “…dan jika kamu maafkan dan kamu santuni serta ampuni (mereka), maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS al-Taghâbun [64]: 4).

Di ayat yang lain Allah Firman Allah l: “… Akan tetapi jika kamu sekalian mau bersabar atas kedzoliman yang telah mereka timpakan kepada kamu serta dengan itu semua kamu mengharap pahala dari Allah sebagai ganti dari kedzoliman itu lalu kamu pasrahkan dan serahkan semuanya kepada Allah maka itu akan lebih baik bagi kamu sekalian.” (QS al-Nahl [16]: 126)

 

Tips Memafkan Orang Lain

Nah, bagaimana agar kita menjadi pribadi yang pemaaf, tips berikut bisa kita lakukan sebagi ihtiar untuk menjadi pribadi yang mulia:

Pertama, sadari bahwa setiap manusia memiliki kesalahan. Dengan melihat kesalahan orang lain, kita belajar untuk tidak melakukan kesalahan yang sama dan lebih mudah untuk memaafkannya.

Kedua, bayangkan dalam pikiran kita, ketika memiliki dendam dengan seseorang membawa tomat yang busuk berkarung-karung selama bertahun-tahun, kita tidak mau dan capek kan? ini menganalogikan bahwa membawa ke dendam sampai menghujam dalam diri kita sama saja membawa beban yang sudah berat, berbau busuk, menimbulkan penyakit lagi.

Ketiga, ingat, menanamkan dendam sama saja membunuh diri secara perlahan-lahan. Berharap menyelesaikan masalah malah menambah masalah.

Keempat, lupakan masa lalu. Jika hidup kita masih saja dipengaruhi kesedihan dan dendam, tentu akan membuat diri menjadi sakit. Buang dan lepaskan hal-hal yang buruk pada masa kita, berpikir bahwa itu memang seharusnya terjadi di masa lalu, yang harus kita lakukan adalah berjalan kedepan.

Kelima, berdoa. Serahkan semuanya kapada Allah, jika didzalimi dan kita tidak mampu membalasnya, yakinlah bahwa Allah itu tidak pernah tidur dan pasti akan membalasnya bukan melalui tangan kita.

Pilihan berada di tangan kita, mau memaafkan orang lain dengan konsekuensi bahagia  atau memendam dendam kusumat yang akan membuat hati menjadi sakit. Semoga kita termasuk orang yang bisa memaafkan orang lain, menjadi hamba yang pemaaf dan menjadi orang yang mudah melakukan kebaikan sekalipun dengan orang yang telah berbuat buruk terhadap kita. Dengan demikian hidup kita menjadi bahagia. Âmîn. Wallâhu a’lam bi al-shawwâb.[]

 

Ulufi Khasanah

PAI 13422115

UII

Mutiara Hikmah

Rasulullah ` bersabda: “ ‘Termasuk dosa besar, seseorang mencaci maki kedua orang tuanya.’ Para sahabat bertanya, ‘Bagaimana dia mencaci maki?’ Rasulullah menjawab, ‘Dia mencaci seseorang, lalu orang itu mencaci maki bapak dan ibunya.’ (Shahih, di dalam kitab At-Ta’liqur-Raghib (3/221). (Muslim), 1-Kitabul Iman, hadits 146, Bukhari, 78, Kitabul Adab, 4- Bab La Yasubbur-Rajulu Walidaihi).