TIDAK ADA MANUSIA YANG HIDUP SEMPURNA

Dan Sesungguhnya Telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan[862], kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang Sempurna atas kebanyakan makhluk yang Telah kami ciptakan.” (QS al-Isrâ’ [02]: 70)

Sejatinya manusia merupakan makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna di antara ciptaan Allah yang lainya, manusia dengan otaknya dapat berpikir, membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, dengan otaknya pula manusia dapat berinovasi dalam menciptakan sesuatu yang baru, dan manusia juga merupakan makhluk sosial yang saling melengkapi. Tapi dalam kesempurnaan manusia ternyata Allah tidak menciptakan semua manusia di dunia ini dengan sangat sempurna, setiap manusia memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing, dan Allah telah menentukan takdir setiap manusia yang hidup di dunia ini.

Ahmad merupakan anak dari keluarga miskin, kehidupannya serba kurang dan jauh dari cukup, Ahmad memiliki ayah yang bekerja sebagai tukang becak berpenghasilan kecil, serta ibu yang hanya dapat memulung sampah dan adik kecil yang masih duduk di bangku SD. Suatu hari Ahmad tidak mau berkerja dan memanjakan dirinya untuk jalan-jalan ke taman kota. Ahmad melihat setiap manusia di taman tersebut bahagia dan sempurna seakan dirinya manusia yang paling tidak beruntung di dunia.

Sampai akhirnya dia bertemu dengan seseorang yang tampan nan kaya duduk sendiri di pojok taman kota, “Hai saya Ahmad, mengapa kamu hanya duduk sendirian tanpa melakukan kegiatan seperti orang lain di sini?” ucap Ahmad. “Iya, aku menunggu seseorang datang menjemputku, dia adalah pamanku”. “Kenapa pamanmu? Kenapa kamu tidak dijemput ayah atau ibu kamu?”. “Ibuku telah meninggal setahun yang lalu saat liburan ke Thailand, dan ayahku sedang ada tugas di Prancis, aku sekarang dirawat oleh pamanku.” Jawabnya. “Oh maaf, bukanya aku ingin buka luka lamamu”. “Tidak apa kawan, bukanya setiap manusia sudah memiliki taqdir masing-masing?”

Lalu dalam hati Ahmad berkata “Alangkah beruntungnya saya masih memiliki kedua orang tua yang selalu mencintaiku dengan sepenuh hati”. “Emangnya kamu habis dari mana? Kok tau-tau ada di sini?” Tanya Ahmad. “Aku habis dari rumah sakit di sebelah taman kota, aku kena kanker darah stadium akhir” Jawabnya. “Oh maaf, bukan bermaksud saya menyinggung kamu”. “Tak apa kawan, inilah jalan hidupku, walaupun aku kaya tetap saja aku tidak merasakan harta yang melimpah, tidak bisa merasakan kehangatan berkumpul bersama keluargaku, bahkan aku diasuh oleh paman, bukan oleh keluarga kandungku sendiri, aku baru sadar di dunia ini tidak ada yang sempurna, dan kesempurnaan yang paling besar adalah bersyukur atas pemberian Allah terhadap kita, saat ini aku hanya bisa bersyukur atas apa yang aku rasakan, menikmati saat-saat indah hidup di dunia ini.” Mendengar kata-kata itu Ahmad berhenti sejenak dan mensyukuri nikmat yang telah ia dapat. Dan ia sadar, walaupun ia miskin, tetapi masih diberi kesehatan yang mahal harganya, dan masih bisa merasakan kehangatan bersama keluarga di rumah walau sederhana.

Selain kisah di atas, ada satu kisah lagi yang menceritakan tentang serang pemuda ingin mencari seorang gadis sempurna yang akan dijadikan istrinya. Setelah berminggu-minggu ia mencari ke sana kemari, akhirnya ia mendapatkan gadis yang sempurna menurutnya, ia cantik jelita meskipun tidak memakai makeup. Tapi ia tidak menikahinya, karena ia tidak bisa memasak.

Lalu ia mencari dan mencari lagi hingga akhirnya ia menemukan gadis yang lebih cantik dan pintar memasak, tapi ia tidak mau menikahinya karena ia bodoh, gadis ini belum menamatkan pendidikannya, ia hanya pintar memasak, gadis itu belum cukup sempurna baginya. Setelah itu ia mencari lagi hingga berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan hingga ia menemukan gadis yang sangat sempurna baginya, ia cantik pintar memasak bahkan ia mempunyai restoran, tapi ia tidak bisa menikahinya, karena ia juga ingin mencari pria yang lebih sempurna.

Manusia Makhluk Ciptaan Allah yang Sempurna

Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna dibandingkan dengan makhluk Allah yang lainnya seperti Malaikat, setan dan hewan. Kemuliaan Malaikat adalah tidak pernah berhenti untuk selalu bertasbih kepada Allah, dan memuji akan kebesaran Allah. Sedangkan setan hanya terfokus untuk merusak dan menyesatkan manusia. Hewan tidak memiliki otak sesempurna manusia, dari postur tubuh juga tidak sesempurna manusia, hewan hanya memiliki nafsu makan, minum dan biologis seperti manusia, tetapi tidak dapat berpikir seperti manusia.

Allah telah memilih manusia sebagai khalifah di dunia, dan Allah menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi ini karena kemampuan berpikirnya, dan manusia pula memiliki bentuk fisik maupun non fisik seperti akal dan hati kecil (dhamir) yang sempurna di bandingkan dengan ciptaan Allah yang lainnya, demikian juga gerak mekaniknya yang indah dan dinamis.

Namun demikian, kemuliaan manusia erat kaitannya dengan komitmen mereka menjaga-menjaga kelebihan tersebut sebaik mungkin dengan cara mengoptimalkan kelebihan mereka dengan hal-hal yang bermanfaat bukan menggunakan kelebihannya untuk merusak bumi ini. Manusia merupakan makhluk yang mulia selama ia mampu mengoptimalkan keistimewaan yang telah diberikan Allah kepadanya, yaitu spiritual, intelektual dan emosional dalam diri mereka sesuai misi dan visi penciptaan mereka. Namun apabila terjadi penyimpangan misi dan visi hidup, mereka akan hina, bahkan lebih hina dari hewan maupun iblis. Dan bukankah Allah menciptakan manusia di dunia ini untuk beribadah? Sudahkah anda bersujud kepada-Nya serta bersyukur atas segala pemberian-Nya?

Belajar Dari Kelebihan dan Kekurangan Manusia

Setiap manusia memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, sebagai makhluk sosial sudah seharusnya kita bisa toleran kepada kekurangan orang lain. Tidak ada manusia yang hidup sempurna di dunia ini, tidak ada manusia yang memiliki sifat maupun karakter yang sempurna, setiap manusia diciptakan dengan berbagai karakter dan sifat-sifat yang berbeda.

Kita dapat belajar dari orang sukses bagaimana ia dapat mewujudkan cita-citanya, bagaimana ia dapat lari dan bangkit dari kegagalan dan rasa putus asa. Belajarlah dari orang yang taat beribadah bagaimana ia dapat istiqamah dalam beribadah kepada Allah. Belajarlah dari seorang ibu bagaimana ia dapat mendidik dan merawat anak – anaknya dengan sabar dan penuh kasih sayang. Belajarlah dari seorang ayah bagaimana ia dapat bekerja keras dalam memenuhi kehidupan keluarganya. Bukan hanya itu, kita juga dapat belajar dari orang miskin bagaimana ia dapat hidup dalam kesederhanaan.

Belajarlah dari orang yang jauh dari Allah bagaimana ia dapat jauh dari Allah, sehingga kita bisa menjauh dari segala perilaku-perilakunya yang melenceng. Manusia memiliki berbagai karakter dan sifat yang harus kita pahami juga demi terciptanya sebuah ukhuwah yang erat dan hubungan sosial yang kuat antara manusia. Alangkah indahnya jika manusia dapat bersatu dalam perbedaan. Selama karakter dan sifat mereka masih sesuai dengan kaidah agama dan tidak melanggar ketentuan hukum maka kita harus menghargainya.

Janganlah melihat seseorang dari cover-nya saja, belum tentu orang yang kita anggap rendah lebih baik dari kita, dan belum tentu orang yang kita anggap sempurna lebih sempurna dari kita. Lihatlah bagaimana pergaulannya? Bagaimana ibadahnya? Bagaimana akhlaknya? Jangan terlalu mudah untuk menilai seseorang baik atau buruk. Manusia adalah makhluk yang saling menyempurnakan kekurangan sesama.

Menjadi Manusia yang Mulia

Setiap orang ingin menjadi makhluk yang mulia, mulia derajatnya, mulia jabatannya dan mulia hidupnya. Tapi sedikit yang ingat kewajibannya sebagai hamba Allah, kewajibannya sebagai khalifah Allah untuk menjaga bumi ini. Belum tentu orang yang tinggi derajatnya, orang kaya, orang yang selalu bahagia itu mulia dan tinggi derajatnya di mata Allah.

Bersyukur merupakan cara terbaik untuk menjadi makhluk yang mulia di mata Allah, tidak hanya itu, bersyukur juga akan menambah rizqi di dunia dan akhirat. Rizqi bukan hanya uang ataupun harta yang melimpah ataupun derajat yang tinggi, rizqi juga dapat berupa teman yang baik, keluarga sakinah, ilmu yang banyak nan bermanfaat, dimudahkan dalam segala hal, dsb. Bersyukur itu sangatlah gampang, hanya saja kita sering melupakannya.

Menjadi manusia yang berguna bagi diri sendiri dan bagi orang lain. Menjadi orang yang berguna lebih berarti dari pada menjadi orang kaya, namun masih banyak orang ingin menjadi kaya dari pada menjadi orang yang berguna, jadilah orang berguna dan suka membantu, mengeluarkan hartanya untuk orang fakir miskin, menggunakan tenaganya untuk bekerja dan membantu sesama atau bergotong royong. Untuk menjadi orang yang berguna tidak harus kaya, tapi orang yang bergunabagi sesama dan suka berbagi kebaikan pasti akan bahagia dalam hidupnya karena Allah akan memudahkan segala pekerjaan – pekerjaannya dan akan melapangkan rizqinya.

Untuk jadi orang yang mulia di mata Allah, cukuplah menjadi diri sendiri dan tidak perlu seperti orang lain, hanya saja kita juga harus banyak belajar dari kelebihan tiap orang. Kita juga harus dapat menerima nasihat orang lain walaupun ia lebih muda atau lebih rendah dari kita. Berusaha untuk tetap istiqamah dalam beribadah di jalan Allah. Dibenci orang merupakan hal yang biasa, tapi bagaimana kita harus menyikapi orang yang membenci kita dengan hal – hal yang positif, biarlah orang menilai kita apa adanya, jangan merasa menjadi manusia sok benar di dunia dan jadilah orang yang rendah diri dan menghargai sesama, maka niscaya kita akan dihargai dan dimuliakan banyak orang.

Di dunia tidak ada manusia yang sempurna, kita yang menyempurnakannya. Di dunia ini tidak ada manusia yang hidup sempurna, kita yang akan membuat hidup kita sempurna. Berhentilah mengeluh akan kekurangan kita, akan tetapi bersyukurlah atas semua kelebihan dan apa yang kita punya saat ini.

Allah  berfirman: “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih” (QS Ibrahim [14]: 7).

Wildan Maulana
Mahasiswa Teknik Informatika UII

Mutiara Hikmah
Dari Asma’ binti Abi Bakr, Rasulullah : Infaqkanlah hartamu. Janganlah engkau menghitung-hitungnya (menyimpan tanpa mau mensedekahkan). Jika tidak, maka Allah akan menghilangkan barokah rizki tersebut. Janganlah menghalangi anugerah Allah untukmu. Jika tidak, maka Allah akan menahan anugerah dan kemurahan untukmu.” (HR al-Bukhari no. 1433 dan Muslim no. 1029)

SIAPAKAH ORANG EGOIS ITU ?

Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena seorang buta telah datang kepadanya,
dan tahukah kamu (Muhammad) barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa) dan dia
(ingin) mendapatkan pengajaran yang member manfaat kepadanya (Qs. ‘Abasa [80] : 1-4)

Dalam kamus bahasa Indonesia serapan kata-kata asing, kata egois yang berarti orang yang mementingkan diri sendiri, tidak peduli akan orang lain atau masyarakat. Dalam kamus bahasa indonesia online, kata egois berari tingkah laku yang didasarkan atas dorongan untuk keuntungan diri sendiri dari pada untuk kesejahteraan orang lain atau segala perbuatan atau tindakan selalu disebabkan oleh keinginan untuk menguntungkan diri sendiri.

Ketika ada orang yang lebih mementingkan kepentingan dirinya sendiri ketimbang orang lain, maka kita juga sering menggunakan istilah egois. Begitu juga, ketika ada orang yang selalu ingin menang sendiri kita sebut orang itu dengan sebutan yang sama, yaitu egois. Pernahkah kita melakukan tindakan yang menurut orang lain itu egois? Padahal dalam diri kita sendiri, tindakan itu sama sekali tidak ada unsur egoisnya sama sekali, malah tindakan itu adalah tindakan yang terbaik menurut pendapat kita.

Keegoisan itu selalu menjadikan pelakunya dibenci dan tidak disukai oleh orang lain. Bahkan tak sedikit yang memusuhinya. Ketika belum lama berteman, sifat keegoisannya belum kelihatan, tetapi setelah ia tahu bahwa temannya itu memiliki sifat egois, bisa jadi ia akan menjaga jarak atau memilih tidak menjadi temannya lagi. Ada juga yang berakhir dengan permusuhan.

Selain itu, coba kita bayangkan jika keegoisan itu tumbuh dalam sebuah rumah tangga. Biasanya, ketika masih  menjadi pengantin baru, sifat egois tidak kelihatan, tetapi seiring berjalannya waktu akhirnya kelihatan juga. Jika tidak pintar dalam menyikapinya bisa dipastikan hubungannya tidak bertahan lama, dan berakhir dengan perceraian hanya kerena sifat egois.

Nabi Juga Pernah Egois

Semua manusia pasti pernah egois, tetapi dalam perakteknya kadang kita tidak sadar dalam melakukannya. Menurut sebuah riwayat yang disampaikan oleh Ibnu Jarir Ath-Thabari, demikian juga riwayat dari Ibnu Abi Hatim, yang diterima dari Ibnu Abbas:

“Rasulullah menghadapi beberapa orang terkemuka Quraisy, yaitu Utbah bin Rabi’ah, Abu Jahal dan Abbas bin Abdul Muthalib dengan maksud memberi keterangan kepada mereka tentang hakikat Islam agar mereka sudi beriman. Di waktu itu masuklah seorang laki-laki buta, yang dikenal namanya dengan Abdullah bin Ummi Maktum.

Dia masuk ke dalam majlis dengan tangan meraba-raba. Sejenak Rasulullah terhenti bicara, Ummi Maktum memohon kepada Nabi agar diajarkan kepadanya beberapa ayat Al-Qur’an. Mungkin karena terganggu sedang menghadapi pemuka-pemuka itu, kelihatanlah wajah beliau masam menerima permintaan Ibnu Ummi Maktum itu, sehingga perkataannya itu seakan-akan tidak beliau dengarkan dan beliau terus juga menghadapi pemuka-pemuka Quraisy tersebut. Akhirnya Allah menurunkan surat ‘Abasa [80] :

Artinya : Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya, tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa) dan dia (ingin) mendapatkan pengajaran yang member manfaat kepadanya. (Qs. ‘Abasa [80] : 1-4)

Setelah ayat itu turun, sadarlah Rasulullah akan kekhilafannya itu. Lalu segera beliau hadapilah Ibnu Ummi Maktum dan beliau perkenankan apa yang dia minta dan dia pun menjadi seorang yang sangat disayangi oleh Rasulullah. Allah begitu halus mengingatkan Rasulullah ketika beliau sedikit saja melakukan kesalahan karena menurut Rasulullah melobi para pembesar Quraisy lebih penting dibandingkan dengan Ummi Maktum.

Apakah Anda Tipe Orang Egois?

Sikap egois bisa kita temukan dimana pun, lebih tepatnya adalah dalam kehidupan kita sehari-hari. Tidak mengenal siapapun orangnya, tua-muda, lelaki-perempuan atau orang yang memiliki strata jabatan yang tinggi atau juga orang yang sama sekali hidup dalam kekurangan. Salah satu ciri orang yang egois dari beberapa sumber bacaan yang ditemukan di antaranya adalah :

Pertama, mendustakan ayat-ayat Allah. Dalam hal ini cakupannya sangat luas sekali. Salah satunya mencakup orang yang mengaku muslim (orang islam) tetapi tidak melaksanakan perintah-perintah Allah maka termasuk kedalam orang-orang egois. misalnya saja tidak melaksanakan sholat lima waktu, dan amalan-amalan yang lain yang Allah perintahakan, serta tidak menianggalkan apa yang Allah larang, misalnya mabuk-mabukan, berfoya-foya, dan lain sebagianya.

Pengertian egois yang dimaksud disini mereka egois terhadap dirinya sendiri dan seolah tidak peduli dengan pahala dan ancaman Allah swt. Padahal akibat ke-egois-an merekalah, Allah memberikan sebuah peringatan,  melalui banjir, angin puting beliung, longsor, gempa bumi dan lainnya.

Kedua, ingin menang sendiri. Menang dan kalah dalam sebuah pertandingan merupakan hal yang lumrah, tetapi menjadi bermasalah ketika ada orang yang ingin menang sendiri. Buat apa menang kalau tidak sportif, menang seperti ini sama saja kalah. Kemenangan sesungguhnya adalah menang secara sportif, tentu lebih terhormat. Orang yang ingin menang sendiri, kurang lebih bisa dianalogikan seperti itu. Akibat sifatnya inilah ia dijauhi serta di musuhi teman-temannya.

Orang yang ingin menang sendiri biasanya tidak peduli dengan apa yang ia lakukan, walaupun itu sebetulnya salah. Untuk itu berhati-hatilah bila memiliki teman yang seperti ini, sedini mungkin untuk diiangatkan sebelum hal-hal yang diinginkan terjadi. Jika bukan anda sebagai sahabatnya maka siapa lagi.

Ketiga, suka mengatur tapi tidak mau diatur. Seorang pemimpin dituntut untuk mempu memimpin anggotanya. Tetapi masa menjadi seorang pemimpin itu ada batas dan jangka waktunya. Ketika menjadi seorang pemimpin ia bisa mengatur anggotanya seperti apa yang diinginkan, tetapi ketika ia sudah kembali menjadi anggota maka harus siap diatur seperti dirinya mengatur ketika menjadi seorang pemimpin.

Saat ini, banyak sekali kita temukan orang-orang yang siap memimpin tetapi tidak siap dipimpin. Ketika ia sudah tidak lagi memegang jabatan sebagai pemimpin, ia memilih keluar. Inilah potret yang saat ini terjadi dan sudah membudaya. Akhirnya bermusuhan dan saling menjatuhkan satu sama lain sehingga perseteruan ini tanpa akhir alias jadi “musuh bebuyutan”.

Keempat, keras kepala. Keras kepala identik dengan sebutan kepala batu, artinya isi kepalanya sangat keras sehingga sangat sulit untuk dihancurkan. Orang bekepala batu yaitu orang yang tidak bisa menerima masukan dari orang lain. Orang yang berkepala batu biasanya berpasangan dengan muka tembok dan tangan besi. Jika tiga unsur ini sudah menyatu, maka sangat sulit untuk mengubahnya apa lagi untuk diingatkan.

Orang yang keras kepala pada masa Nabi Musa adalah Fir’aun, dan akhirnya Allah tenggelamkan Fir’aun dan tentaranya di tengah lautan. Tak hanya itu, pada masa Nabi Nuh. umatnya juga sangat keras kepala. Sehingga Allah swt mengirimkan banjir bandang yang sangat dahsyat, sehingga tak ada yang selamat dari umatnya Nabi Nuh walau pun lari ke atas gunung. Kecuali yang ikut naik kapal dengan Nabi Nuh.

Penutup

Egois adalah sifat yang tumbuh alami dari dalam diri manusia. Karena benar-benar alami, sampai manusia tidak menyadari kehadiran sifat egois itu sendiri. Sampai sekarang pun belum ada obat yang bisa menghilangkan sifat egoisme dari dalam diri manusia. Setiap orang pasti pernah bertindak egois, baik secara sadar maupun tidak sadar.

Perang melawan hawan nafsu adalah perang yang sesungguhnya filsafat kuno juga menyebutkan, musuh terbesar adalah diri sendiri. Karena bisa dilihat, dalam diri manusia terdapat sifat-sifat yang buruk. Amarah, dendam, benci adalah contoh sifat manusia yang buruk. Begitu juga dengan egois.

Maka sebenarnya mau tidak mau kita secara tidak langsung juga berperang melawan diri sendiri. Berperang melawan sifat-sifat buruk yang timbul secara alami di dalam diri kita. Mungkin hanya kebesaran iman kita lah yang mampu melawan itu semua, dan  iman kita lah, sebenarnya obat untuk melawan egois itu sendiri.
Melawan diri sendiri menurut Rasulullah sangatlah berat.

Kita baru kembali dari satu peperangan yang kecil untuk memasuki peperangan yang lebih besar…’, yang membuat para Sahabat terkejut dan bertanya, “Peperangan apakah itu wahai Rasulullah ?”Rasulullah berkata, “Peperangan melawan hawa nafsu.” (Riwayat Al-Baihaqi)

Abu  Bakar Al-Warraq berkata :“Jika hawa nafsu mendominasi, maka hati akan menjadi kelam, Jika hati menjadi kelam, maka akan menyesakkan dada. Jika dada menjadi sesak, maka akhlaknya menjadi rusak. Jika akhlaknya, maka masyarakat akan membencinya dan iapun membenci mereka”.

Dengan mengedepankan iman, tentu sifat-sifat egois yang terdapat dalam diri kita akan bisa diredam. Bantuan Allah swt lah yang menjadi tumpuan terakhir agar kita terbebas dari sifat-sifat buruk tersebut, dan selalu dalam bimbingan Allah. Semoga kita termasuk kedalam hamba-hamba yang mendapat perlindungan Allah . Amiin [amr]

Hamzah

Belajar di UII

TERAMPIL MEMAINKAN HIDUP

لَهُۥ مُعَقِّبَٰتٞ مِّنۢ بَيۡنِ يَدَيۡهِ وَمِنۡ خَلۡفِهِۦ يَحۡفَظُونَهُۥ مِنۡ أَمۡرِ ٱللَّهِۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوۡمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنفُسِهِمۡۗ وَإِذَآ أَرَادَ ٱللَّهُ بِقَوۡمٖ سُوٓءٗا فَلَا مَرَدَّ لَهُۥۚ وَمَا لَهُم مِّن دُونِهِۦ مِن وَالٍ ١١

Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.
(Q.S. al-Ra’du [13]: 11).

 

Saudaraku, coba bayangkan, misalkan ada sebuah pesawat yang sedang parkir di Bandara Adisutjipto. Ukuran pesawatnya cukup besar, panjang dan pastinya sangat berat. Pesawat tersebut harus dipindahkan ke tempat parkir selanjutnya, karena ada peswat lain yang akan segera landing dan mengisi tempat parkir tersebut. Jarak tempat parkir pertama dan kedua sejauh 500 Meter.

Nah, kebetulan Anda adalah orang yang ditugaskan untuk memindahkan pesawat tersebut. Dikarenakan Anda tidak mengerti cara mengoperasikan pesawat, terpaksa Anda harus mengumpulkan 100 orang untuk dapat menarik badan pesawat sehingga berpindah ke tempat yang dituju. Kenapa Anda harus mengumpulkan begitu banyak orang? Jawaban pertama, karena Anda tidak mengerti cara mengoperasikan pesawat, dan jawaban yang kedua, karena kalau sendiri Anda tidak akan mampu untuk menarik badan pesawat yang berukuran begitu besar.

Namun coba Anda bayangkan, seandainya Anda seorang pilot, mengerti cara mengoperasikan pesawat, maka Anda tidak perlu repot-repot untuk mengumpulkan banyak orang. Cukup Anda sendiri yang memindahkannya. Bukan saja memindahkan, Anda juga mampu menerbangkan pesawat tersebut ke seluruh belahan dunia yang Anda inginkan.

Begitulah perumpamaan bagi kita yang tidak terampil menjalani kehidupan. Terkadang pekerjaan yang sebenarnya begitu mudah, menjadi begitu payah ketika pekerjaan tersebut berada di tangan kita. Tidak jarang permasalahan yang begitu kecil, menjadi begitu besar ketika permasalahan tersebut hadir dalam kehidupan kita. Hanya karena kita kurang terampil, pekerjaan yang seharusnya bisa kita selesaikan sendiri, malah kita merepotkan orang lain.

Hidup adalah keterampilan. Untuk bertahan dalam kehidupan, kita harus terampil. Hidup tidak pernah bermakna jika kita tidak terampil memainkannya. Kita tidak akan bisa menikmati sebuah perjalanan jika tidak terampil dan cermat dalam mengendarai kendaraan. Salah-salah nyawa menjadi taruhannya.

Begitu pula dengan diri kita. Disaat mampu memilih kata-kata yang tepat, maka kita akan menjadi seorang pembicara yang hebat. Disaat mampu melangkah dengan tepat, maka kita akan menjadi orang-orang yang selamat. Jika tidak, kita akan menjadi orang-orang yang mendatangkan mudharat, baik mudharat di dunia maupun di akhirat.

Seperti kata Aa Gym, “untuk terampil dan ahli dalam suatu perkara, kita butuh dua hal, yaitu ilmu dan latihan”. Seorang Ustadz Muallaf, Felix Siauw, pernah juga berkata, “untuk terampil kita butuh dua hal, latihan dan pengulangan”. Sebuah latihan yang serius, disertai pengetahuan yang maknyus dan pengulangan yang terus-menurus akan mengantarkan seseorang pada puncak keberhasilan yang mulus.

Sebuah permasalahan seringkali berawal dari kurangnya menguasai keterampilan untuk hidup. Jujur saja, terkadang untuk menentukan tujuan hidup kita masih mengalami kesulitan dan kebingungan. Ketika ditanyai apa cita-cita masa depanmu? Kebanyakan dari kita belum mampu menjawab dengan spontan. Jangankan untuk membangun bangsa dan negara, keterampilan merancang cita-cita masa depan saja masih sulit kita lakukan. Apa yang ingin kita kerjakan hari ini? Besok? Lusa? Apa yang ingin kita capai dalam bulan ini? Apa yang harus kita targetkan dalam tahun ini? Semua itu merupakan pertanyaan yang masih sulit kita jawab. Jangankan untuk menjawab, terkadang terpikirpun tidak.

Padahal, Rasulullah mengajarkan kepada kita agar hari ini harus lebih baik dari kemarin, dan hari esok harus lebih baik dari hari ini, tahun ini harus lebih baik dari tahun kemarin, dan tahun depan harus lebih baik daripada tahun ini. Itulah yang namanya pribadi muslim yang beruntung, yang selalu terampil merancang kualitas kepribadiannya dengan terus melakukan muhasabah diri dalam setiap pergantian waktu.

Semua kita menyadari dan mengetahui bahwa waktu adalah modal terbesar dalam hidup. Bagaimana kita mempergunakan waktu yang kita miliki di dunia akan menentukan pintu mana yang akan kita masuki di akhirat nanti, apakah akan menghantarkan ke dalam indahnya surga, atau panasnya neraka. Di penghujung hayat, lagi-lagi waktu yang kita habiskan di dunia ini akan menentukan apakah kita husnul khatimah atau sebaliknya.
 

Tujuan dan Cita-cita

Seseorang yang tahu bahwa ujian akan dilaksanakan jam tujuh, maka ia pasti akan bergegas untuk datang lebih awal agar tidak ketinggalan ujian. Mereka yang tahu bahwa pesawat akan take off jam sembilan, maka mereka akan bersungguh-sungguh untuk dapat menyediakan diri sampai di bandara minimal sejam sebelumnya agar tidak ketinggalan pesawat. Hanya bagi mereka yang punya arah dan tujuan pasti sajalah yang akan bergegas memanfaatkan waktunya untuk sebuah kemajuan. Hanya bagi orang-orang yang mengerti akhir tujuan dari hidup inilah yang terus menyibukkan diri dengan kemanfaatan.

Orang-orang yang terampil melihat tujuan dan cita-cita, maka tidak ada istilah bermalas-malasan dalam kamus kehidupan mereka. Bagi mereka setiap detik adalah kesempatan untuk terus menyusun tangga menuju pucuk untuk memetik indahnya buah cita-cita. Keterampilan menyusun tujuan adalah langkah awal menuju manisnya hidup. Bagi kita yang belum berhasil meraih kesuksesan dalam hidup, tidak ada kata terlambat untuk memulai sebuah kebaikan. Tidak ada istilah kuno untuk sebuah perubahan. Mulai sekarang, mari kita tentukan arah dan tujuan hidup kita. Ingin jadi seperti apa kita? Ingin menjadi seorang pengusaha kaya dan mampu menyantuni ribuan anak yatim? Ingin mendirikan sekolah tahfidz gratis? Buat target berapa persen uang gaji yang akan kita keluarkan untuk bershadaqah.
 

Menyusun Rencana

Setiap hari, kita tidak pernah bisa terlepas dari berbagai aktivitas. Mulai dari bangun tidur, makan, mandi, ibadah, menonton televisi, update status, membaca buku, berpergian, dan berbagai aktivitas lainnya. Nyaris, kita tidak memiliki rencana dengan aktivitas-aktivitas harian tersebut. Bayangkan, begitu banyak waktu berharga yang terlewatkan setiap harinya. Padahal, jika kita menyusun rencana, maka bisa saja dalam satu hari kita mampu melakukan banyak hal.

Kata pepatah, disaat gagal untuk merencakanan, berarti saat itu pula kita sedang merencanakan sebuah kegagalan. Kalau merencakanan saja tidak mampu, bagaimana untuk mewujudkannya? Semua berawal dari sebuah perencanaan yang baik. Masa depan sebuah negara, perusahaan, organisasi, bahkan keluarga sekalipun tidak bisa lepas dari yang namanya perencanaan.

Janganlah selalu kita berlindung dibalik kata tawakkal. Tawakkal hanya akan memiliki makna apabila kita sudah berusaha semaksimal mungkin menggunakan potensi yang ada. Setelah usaha yang maksimal, baru kita diperintahkan untuk bertawakkal. Sering sekali kata tawakkal digunakan oleh mereka yang ‘pasrah’ dengan hidupnya. Kepasrahan yang berpondasikan kemalasan dan beratapkan keputus asaan. Ini adalah ‘pasrah’ yang tidak tepat.

Setelah berusaha dan berdoa dengan maksimal, maka semuanya kita kembalikan kepada Allah, biarlah Allah yang menolong kita dengan izinNya. Itulah yang dinamakan Tawakkal. Sebagaimana pesan Allah dalam surat Ali Imran [3] ayat 159-160.

Mulai sekarang, mari menyusun rencana hari-hari kita. Tuliskan apa saja yang ingin dilakukan hari ini. Buat target untuk mencapainya. Misalkan, dalam satu hari kita harus membaca satu Juz al-Qur’an, istighfar seratus kali, shalawat sekian kali, bersedekah minimal sekian ribu, membaca buku minimal satu jam, menulis satu halaman, dan seterusnya. Sekecil apapun aktivitasnya, tetap buatlah perencanaan. Pekerjaan kecil akan menjadi besar jika direncankan dengan baik dan maksimal.  

Hidup ini adalah sebuah perjalanan. Sebuah proses transformasi diri. Dan setiap perjalananan pasti ada akhirnya. Maka, agar penghujung perjalanan berakhir pada kebaikan, kita harus mempersiapkan banyak hal agar kebaikan tersebut tercapai. Terampil menyusun rencana adalah modal terbesar yang bisa kita miliki sekarang.
 

Konsistensi

Kebaikan terasa nikmat apabila kita istiqomah (konsisten) untuk terus melakukan kebaikan tersebut. Kebaikan yang terbaik itu adalah kebaikan yang terus-menerus dilakukan, walaupun hanya kebaikan kecil. Lagipula, memiliki tujuan dan cita-cita hidup yang terarah memang sebuah keharusan. Kemampuan dalam menyusun rencana-rencana harian memang sebuah kedisiplinan, yang tidak semua orang mampu memilikinya.

Namun yang jauh lebih penting adalah konsisten dan istiqomah dalam melakukan kedua hal tersebut. Tujuan dan cita-cita hidup sering sekali berubah-ubah tanpa haluan jika pelakunya tidak konsisten. Perencanaan-perencanaan harian hanya mampu dilakukan pada awal minggu pertama saja jika pelakunya tidak istiqomah. Konsisten dan istiqomah adalah dua hal penting dalam menebarkan kebaikan. Semoga, kita bisa meraih husnul khotimah di akhir penghujung perjalanan ini. Aamiin!

Wallahu a’lam.
 

Yevi Yusnanda Usman

Mahasiswa Majanemen FE
Universitas Islam Indonesia

 

MUTIARA HIKMAH
“Wahai anak Adam! Kalian tidak lain hanyalah dari sekumpulan hari. Setiap satu hari berlalu maka sebahagian dari diri kalian pun ikut pergi”
(Imam Hasan Al-Bashri)

UNTUK KITA YANG SERING BERMAKSIAT

وَلَيۡسَتِ ٱلتَّوۡبَةُ لِلَّذِينَ يَعۡمَلُونَ ٱلسَّيِّ‍َٔاتِ حَتَّىٰٓ إِذَا حَضَرَ أَحَدَهُمُ ٱلۡمَوۡتُ قَالَ إِنِّي تُبۡتُ ٱلۡـَٰٔنَ وَلَا ٱلَّذِينَ يَمُوتُونَ وَهُمۡ كُفَّارٌۚ أُوْلَٰٓئِكَ أَعۡتَدۡنَا لَهُمۡ عَذَابًا أَلِيمٗا ١٨

Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan: “Sesungguhnya saya bertaubat sekarang”. Dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih.(QS al-Nisâ’ [4]: 18)

 

Saudaraku, yang semoga Allah l rahmati. Sesungguhnya kita paham betul dengan yang namanya dosa, apa lagi maksiat dan kita saat ini berada di zaman yang dikelilingi dosa. Saat keluar rumah mata kita bermaksiat karena banyak dari kita yang tidak bisa menjaga pandangan, telinga kita bermaksiat karena kita mendengar gosip-gosip yang beredar, lisan kita bermaksiat karena susah untuk menjaga ucapan, fikiran dan hati kita bermaksiat karena selalu berprasangka buruk terhadap sesama dan berprasangka buruk terhadap Allah l dan saya pikir jangankan diluar rumah, didalam rumah saja kita masih bisa bermaksiat, karena banyak tayangan-tayangan yang masya Allah, bisa dikatakan kurang mendidik para generai umat. Semoga kita termasuk orang yang dapat menjaga indra kita dan selalu memohon ampunan kepada Allah l. Âmîn.
 

Kita Terhalang Oleh Dosa.

Sangat miris memang, di negara yang mayoritas umat Muslim, banyak kemaksiatan yang beredar, tidak hanya satu atau dua hari tapi setiap hari kita melihat kemaksiatan, setiap hari kita melakukan dosa namun why?, kenapa dibiarkan berlalu lalang, seakan-akan menjadi kewajaran bagi sebagian orang. Pernahkah kalian berfikir seperti ini, “Kenapa yah, sekarang saya jarang pergi ke masjid, rasanya sulit untuk berjalan kesana, kenapa yah saya susah untuk bangun malam, kenapa yah hidup saya tidak tenang”. we said why…?” Kenapa sebagian dari kita enggan pergi kemasjid, susah bangun malam, hidup tidak tenang?

Karena hidup kita terhalang dosa, kita terhalang oleh dosa yang kita perbuat, berleha-leha karena hiburan yang kita nikmati, terlalu asik dengan dosa yang kita kerjakan, sehingga setan menjadikan dia temannya dan saat Allah panggil dengan suara adzan yang berkumandang, setan menutup telinga kita, dia mengencingi telinga kita dan dia tertawa karena keberhasilannya, Allahu akbar.
 

Mengapa Allah Tidak Langsung Memberi Adzab.

Saya bertanya-tanya, kenapa Allah tidak mengadzab langsung orang yang terus-menerus melakukan maksiat. Mungkinkah kita dibiarkan? Tidak, karena Allah cinta kepada kita, Dia sayang terhadap kita sehingga Allah menunda adzab kita dan Allah ingin agar kita bergegas untuk bertaubat meminta ampun kepadanya, subhan Allah. Betapa pengasihnya Dia, Allah ingin kita bertaubat kepada-Nya saudaraku. Maka bergegaslah terhadap ampunan Allah l kemudian beramal shalihlah serta tinggalkanlah maksiat, karena kita tidak tahu kapan maut akan menjemput, mungkin hari ini, besok atau saat ini juga, kita tidak tahu.

Demikianlah kebanyakan dari kita lalai dalam mengingat kematian, bahwa kita tidak akan hidup selamanya didunia, kita akan mati saudaraku, kita akan memasuki liang lahat dan satu persatu teman-teman kita bahkan keluarga, akan meninggalkan kita dan hanya amal yang akan menemani kita di alam kubur.

Allah l berfirman, “

Dimana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh, dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: “Ini adalah dari sisi Allah”, dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: “Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)”. Katakanlah: “Semuanya (datang) dari sisi Allah”. Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun.” (QS al-Nisâ’ [4]: 78)

Saudaraku, bila seseorang diajak berbisnis dalam perkara duniawi, maka ia akan berpikir akan keuntungan dan kerugian yang dia peroleh, dan siap menerima konsejuensi yang akan diperoleh, dia berbicara panjang lebar mengenai dunia. Disisi lain ketika kita diajak berbicara mengenai akhirat, tentang keuntungannya kemudian apa yang terjadi?, Kita enggan mendengarkan, kita berfikir hidup kita masih lama, kita berfikir kita akan tekun ibadah ketika mencapai umur 45-50 tahun. Allahu akbar.
 

Nasihat dari Ibrahim Ibn Adham.

Seorang yang shalih bernama Ibrahim ibn Adham didatangi oleh orang yang suka berbuat dosa, dia berasal dari kalangan Muslim masa awal. Jadi dia memberitahunya “Berikan aku nasihat karena aku selalu berbuat dosa.” Kemudian Ibrahim ibn Adham, mencoba membuatnya malu agar dia tak lagi berbuat dosa kepada Allah.

Jadi dia berkata “Jika kau mau berbuat dosa dihadapan Allah, maka lakukan saja, tapi janganlah kau makan dan minum, jangan kau makan dari rizqi Allah, dan jangan minum dari rizqi Allah, jangan gunakan rizqi-Nya. Jadi pria itu berkata “Bagaimana mungkin aku melakukan hal itu, karena semuanya rizqi Allah.” Dia berkata, “Apakah masuk akal untuk berbuat dosa dihadapan Allah sementara kau memakan rizqi-Nya?” orang itu berkata, “Kau benar, berikan aku nasihat yang kedua.” Jadi dia berkata “Jika kau masih ingin berbuat dosa selagi makan dan minum dari rizqi yang diperuntukan kepadamu, maka paling tidak jangan melakukan dosa ditanah-Nya”. Orang itu berkata, “Itu bahkan lebih besar lagi, karena semua tanah di bumi ini milik Allah”. Dia memberitahu, “dengan begitu, apakah pantas, kau berbuat dosa sementara makan dan minum dari rizqi Allah  dan melakukan ditanah-Nya?”. Dia berkata “berikan aku nasihat yang ketiga”.

Ibrahim ibn Adham berkata, “Jika kau masih saja mau melakukan dosa, paling tidak berbuat dosalah di tempat yang tidak bisa dilihat oleh Allah”, si penanya berkata, “Ini bahkan lebih besar lagi”. Ibrahim berkata, “maka masuk akalkah kau berbuat dosa dihadapan Allah, ditanah Allah, dengan memakan rizqi Allah?” Jadi orang itu berkata, “oke berikan aku nasihat yang keempat”. Ibrahim berkata “jadi jika kau masih ingin melakukan dosa setelah mendengar semua ini, maka lakukan saja, tapi ketika malaikat maut menjemputmu, katakana pada mereka untuk menunggumu melakukan shalat dua raka’at, dank au bertaubat kepada Allah”. Dia berkata “malaikat maut tidak akan mengizinkanku”, Ibrahim berkata “ kalau begitu ketika kau dijebloskan ke neraka oleh malaikat suruhan Allah, maka jangan mau dijebloskan.” Orang itu berkata “mereka tidak akan mengizinkanku, oke cukup,cukup”. Maka dia telah mengerti nasihat yang diberikan kepadanya, telah mengerti teguran yang diberikan padanya dan diriwayatkan sejak saat itu orang tersebut tidak pernah melakukan dosa dihadapan Allah l.
 

Air Mata Taubat

Seseorang yang meneteskan air matanya sering dia bertaubat kepada Allah l. Subhan Allah, air mata tersebut sangat bernilai dimata Allah l. Pernah seketika Jibril p datang kepada Rasulullah ` dan berkata: ”Wahai Rasulullah, para malaikat sedang menimbang setiap amal manusia, tapi kami tidak dapat menimbang beratnya air mata manusia.” Rasulullah ` bertanya “mengapa begitu”, Dia menjawab “Allah memberikan ganjaran yang besar bagi air mata, jadi air mata tidak dapat ditimbang di mizan.”

Ketahuatuialah satu tetes air mata dapat memadamkan sungai api (neraka) yang disebabkan dosa seseorang, Allahu akbar begitu luas ampunan Allah l. Jadi Saudaraku, setan ingin menjauhkanmu dari Allah, tapi janganlah kamu pergi, pertarungan kita dengan setan berlangsung seumur hidup, dia menarikmu kepada kesesatan dan kejahatan, tapi seharusnya kita berlari menuju ketaqwaan.

Jangan putus asa terhadap hidayah Allah, hendaknya kita senantiasa berdoa kepada Allah l, beristighfar kepadanya, semoga Allah l senantiasa melindungi dari kejahatan hawa nafsu, kejahatan setan, kejahatan lisan, mata hati, pendengaran, dan dari angan-angan yang buruk. Sesungguhnya ampunan Allah l sangatlah luas maka jangan sampai kita lupa kepada-Nya, menolak rizqi-Nya, apalagi sampai menyekutukannya, semoga kita selalu berada pada jalan yang lurus dan diridhai oleh Allah l. Ya Allah, saya sudah kabarkan dan saya sudah sampaikan. Wa Allâhu a’lam bi al-Shawwâb.[]
 

Rusman Ibn Rasmani

Mahasiswa Universitas Islam Indonesia
 

MUTIARA HIKMAH
 
Allah l berfirman (artinya), “Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin yang bersama dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: “Ya Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu” (QS al-Tahrîm [66]: 8)

PEMUDA-PEMUDI QURANI, PEMIMPIN DAN PEMBANGUN PERADABAN MASA DEPAN

وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا

 

Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh karena itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.
(QS. al-Nisâ [4]: 9).

Akhir-akhir ini, negeri kita tengah dilanda kasus-kasus kemanusiaan yang membuat kita miris. Terlebih pelakunya adalah pemuda-pemudi dengan kisahnya yang beraneka macam. Mulai dari kasus mahasiswi di salah satu universitas yang ditemukan sudah tak bernyawa karena mencoba menggugurkan kandungan hasil hubungan gelapnya, kasus mahasiswi yang menganaiaya temannya sendiri hanya karena tato hello kitty, para pemuda di sebuah sekolah menengah atas yang saling tawuran atau kasus begal yang tengah membuat masyarakat resah.

Kasus-kasus yang membuat miris tersebut semestinya membuat kita umat Islam tergugah untuk melakukan sesuatu. Sebagai umat yang Allah beri tugas sebagai umat terbaik di bumi-Nya ini, melihat kondisi sekarang ini, tentu kita tidak boleh hanya berdiam diri, cuma prihatin, atau hanya menjadi penonton. Terlebih, sebagai seorang akademisi atau seorang yang punya ilmua, kita harus bergerak dan bertindak dalam aksi nyata.

Seperti kata pepatah, tidak ada asap tanpa api. Begitupun dengan kasus-kasus  di atas. Bila kita tinjau lebih jauh tentu ada sesuatu yang salah. Bukan hanya harus menyelidiki siapa yang salah, namun harus pula diselidiki kesalahan tersebut secara lebih luas lagi dan bagaimana cara menangani kesalahan itu dengan solusi terbaik.

Ketika kita berharap ingin menyelesaikan sebuah permasalahan dengan solusi terbaik, kita harus mengenali lebih detail apa sebenarnya pokok permasalahan yang ada, apa penyebabnya dan mengapa kesalahan tersebut bisa terjadi. Dengan demikian, cara yang nanti kita ambil untuk dijadikan solusi akan tepat sasaran dan tidak melenceng dari tujuan.

Menganalisis kasus-kasus yang akhir-akhir ini terjadi, penulis mengasumsikan bahwa kasus-kasus di atas terjadi akibat krisis moral. Moral para pemuda saat ini telah merosot sampai pada titik nadir. Lebih membuat misis lagi adalah nirmoral pemuda saat ini memiliki kecenderungan untuk terus berlangsung seakan tanpa bisa dibendung dan dihentikan. Padahal mereka adalah generasi emas penentu peradaban, dan sebagian besar mereka adalah generasi Islam.

Kebanyakan pemuda-pemudi Islam sekarang hidup dalam lingkungan jahiliyah. Dari satu sisi mereka tetap muslim, tetapi di sisi yang lain pemikiran, perasaan dan tingkah laku mereka sangat jauh dari ajaran Islam yang sejati. Cara berpikir, berpakaian dan bergaul mereka telah dicemari oleh pemikiran, perasan dan tingkah laku tidak islami yang kebanyakan bersumberkan dari pemikiran Barat yang dimotori oleh para pemodal berkolaborasi dengan pihak-pihak yang memusuhi Islam. Mereka dengan bersungguh-sungguh telah melakukan proses pembaratan (westernisasi) melalui racun sesat pemikiran Barat (westoxication), mereka berusaha mempengaruhi dan membelokkan pemahaman kaum muslimin terutama kaum mudanya agar jauh dari nilai-nilai Islam yang murni.

Di bidang ekonomi, mereka mengembangkan kapitalisme yang berintikan asas kebebasan untuk mencari manfaat (profit). Menurut mereka, apa saja boleh dilakukan bila menguntungkan secara material, tidak peduli sekalipun bertentangan dengan nilai agama atau moral. Di bidang budaya, mereka menyebarkan westernisme yang dikemas dengan wajah seni dan estetika, namun sebenarnya berintikan amoralisme jahilliah. Bagi mereka, tidak ada pantang larang, termasuk seks bebas atau pakaian tidak senonoh, selagi tidak menggangu kepentingan orang lain.

Padahal, seperti kita ketahui pemuda adalah harapan bangsa yang kelak akan memimpin bangsa ini. Bagaimana wajah dan kondisi bangsa Indonesia, termasuk wajah dan kondisi umat Islam nanti di masa depan, tercermin dari wajah dan kondisi para pemudanya saat ini. Sungguh mengkhawatirkan bila pemuda saat ini dibiarkan saja memiliki moral yang antah-berantah tanpa ada usaha yang sungguh-sungguh dari kita semua umat Islam yang masih punya kepedulian.

Islam sesungguhnya telah memberikan solusi untuk memperbaiki moral pemuda yang mengalami krisis ini. Al-Quran sebagai kitab suci umat islamlah yang sesungguhnya dapat dijadikan pedoman untuk memperbaiki moral para pemuda. Dalam surat al-A’râf [7] ayat 52  Allah berfirman: Dan sesungguhnya kami telah mendatangkan sebuah kitab (al-Quran) kepada mereka yang kami telah menjelaskannya atas dasar pengetahuan kami; menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.

Inilah yang menjadi tugas besar bagi kita selaku umat Islam; menanamkan akhlaq qurani pada diri sendiri dan mentransfernya kepada para pemuda lainnya, baik secara langsung (melalui nasihat-nasihat dan pengajaran) atau tidak langsung (melalui keteladanan akhlak dan perilaku terpuji). Bila penanaman akhlaq qurani ini kuat bercokol pada setiap pemuda, pasti tidak akan ada lagi pelanggaran-pelanggaran moral yang terjadi. Sehingga para pemuda qurani ini akan siap menjadi pemimpin-pemimpin terbaik bagi bangsa dan pemimpin umat di masa depan.

Sebuah ungkapan Arab yang barangkali sering kita dengar, “syubbân al-yaum rijâl al-ghad” (pemuda hari ini adalah pemimpin masa depan), adalah sebuah ungkapan yang telah dibuktikan oleh sejarah. Karenanya, mau tidak mau, suka tidak suka, akhlaq pemuda harus ditransformasi menjadi akhlaq qurani. Bukan tidak mungkin pemuda yang tadinya tak bermoral bisa hijrah dengan sendirinya dengan hidayah Allah sebagai sebuah rahasia dari-Nya. Namun, tentu lebih indah dan memang semestinya bila banyak bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Karena Allah sendiri juga mewajibkan kita umat Islam untuk berdakwah, untuk saling menasihati dalam kebenaran dan berlomba dalam kebaikan. Terutama dari para orangtua dan guru untuk menasehati para pemuda baik secara formal ataupun nonformal. Kemudian dari seorang pemuda kepada teman-teman pemudanya yang lain untuk senantiasa melakukan kebaikan.

Semua orang adalah pemimpin, hanya kadar dan tanggung jawabnya saja yang berbeda. Maka dari itu sebagai calon pemimpin masa depan, para pemuda harus mempersiapkan bekal yang matang. Dengan bekal akhlaq qurani, maka In syâ Allah para pemuda akan kembali mencapai masa emas kepemimpinan Islam.

Bagaimana sebenarnya menjadi pemuda-pemudi qurani itu? Di antara ciri-ciri pemuda qurani adalah sebagai berikut:

  1. Beraqidah yang mantap
  2. Menanamkan dalam hati dan perbuatannya bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi selain Allah . Dalam setiap nafas dan geraknya, hanya ridha Allah yang diharapkannya.

  3. Mencintai Rasulullah
  4. Meneladani rahasia sukses beliau dalam memimpin umat Islam, yaitu berlaku shiddiq (benar), tabligh (menyampaikan), amanah (dapat dipercaya), dan fathonah (cerdas).

  5. Mengenal dirinya sendiri (self awareness)
  6. Mengenal diri sendiri berarti mengetahui kemampuan dan kekurangan, serta kebutuhan pokok dirinya, yang berarti pula menahan ego. Ali ibn Abi Thalib mengatakan, “barangsiapa mengenal dirinya maka ia akan mengenal Rabb-Nya.” Dalam al-Quran, Allah berfirman: Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Qur’an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu? (QS. Fushshilât [41]: 53).

  7. Berilmu pengetahuan
  8. Seorang pemimpin haruslah orang yang cerdas, bila tidak tentu ia akan mudah dibodohi oleh orang-orang jahat yang dipimpinnya. Dalam sebuah hadits disebutkan, “Kelebihan seorang yang berilmu terhadap ahli ibadah adalah seperti bulan purnama terhadap seluruh bintang-bintang di langit” (HR. Muslim).

  9. Amar ma’ruf nahi munkar
  10. Bukti cinta kita kepada sesama karena Allah adalah saling nasehat-menasehati dalam kebenaran dan senantiasa mengajaknya melakukan kebaikan.

  11. Menjunjung tinggi musyawarah, kerjasama, adil, dan peduli terhadap sesama.
  12. Dengan poin-poin di atas diharapkan akan bermunculan pemuda-pemudi qurani yang berintelektual tinggi sebagai calon pemimpin bangsa dan umat di masa depan.

Para rekan pemuda-pemudi, penulis berpesan, estafet kepemimpinan telah menunggumu. Ingin tahu hari esokmu seperti apa? Lihatlah dirimu hari ini. Tak ada kata mumpung masih muda, bersantai-santai saja, tapi, mumpung masih muda, masih bisa kerja keras, mari bersama bersatu, bergandengan tangan, memaksimalkan usaha. Turut aktif mewarnai organisasi-organisasi dakwah dan sejenisnya yang bermanfaat untuk sesama, untuk memajukan peradaban.

Semoga Allah senantiasa memberikan taufiq dan hiadayahNya kepada kita semua, khususnya para pemuda dan pemudi bangsa Indonesia dan umat Islam, agar kuat dan sabar dalam menghadapi godaan dunia dan senantiasa teguh berpegang pada agama Allah .

 

Chumairoh
Mahasiswi Statistika 2013

 

MUTIARA HIKMAH

Abul ‘Aliyah Ar-Riyahi rahimahullah berkata:
“Aku bepergian mencari seorang guru selama berhari-hari. Urusan yang pertama kali aku perhatikan darinya adalah masalah sholat. Jika kudapati dia menegakkan dan menyempurnakan sholatnya, aku singgah dan mendengarkan ilmu darinya. Namun jika kudapati ia menyianyiakan sholatnya, aku akan kembali pulang dan tidak mendengarkan ilmu darinya. Dan kukatakan, ‘Untuk selain sholat, dia pasti lebih melalaikannya’”
(Shiffat al-Shofwah, III/212).

KECEMASAN DAN RELIGIUSITAS

 
Kecemasan (Anxietas ) merupakan kondisi emosional yang biasanya disebabkan oleh persepsi yang berbahaya atau mengancam keamanan individu. Seperti yang telah didefenisikan diatas maka salah satu hal yang sangat mempengaruhi kecemasan adalah adanya persepsi yang berbahaya dalam pikiran manusia terhadap sesuatu hal. Terkadang persepsi yang datang dan mengakibatkan kecemasan berlebih itu dikarenakan suatu hal yang sejatinya tidak begitu patut untuk untuk dicemaskan tetapi rasa cinta yang berlebihan seringkali membuat seseorang lebih mudah terserang gangguan kecemasan ini.

Beberapa penelitian yang diungkap dalam buku farmakoterapi penyakit sistem saraf pusat, menjelaskan bahwa kecemasan merupakan salah satu gangguan mental yang paling banyak dijumpai di masyarakat. Gangguan kecemasan merupakan salah satu gangguan yang seringkali menjadi jalan awal bagi banyak gangguan lain yang lahir akibat kecemasan kecil yang tidak diatasi sehingga menjadi suatu penyebab lahirnya jenis penyakit kesehatan mental lain.

Ketika mental seseorang terserang penyakit mental, maka secara otomatis manusia menjadi kurang memperhatikan kesehatan fisiknya atau bahkan terlalu memperhatikan fisiknya (pada gangguan OCD), sehingga yang terjadi justru fisiknya menjadi terkena dampak yang serius.

Terganggunya mental dan fisik seseorang bukan saja mengganggu aktivitas pribadi dan keluarga. Tetapi juga dapat menggangu aktivitas harian dan ekonomi. Hasil studi bank dunia tahun 2000 menunjukan global burden of disease akibat masalah kesehatan jiwa di dunia dan mencapai 8,1% dibanding jenis penyakit lain.

Hal tersebut diatas kemudian membuat saya tertarik untuk membaca dan mencari tahu lebih banyak mengenai gangguan mental seperti kecemasan dan lain sebagainya yang kemudian mempengaruhi kinerja fisik manusia. Fakta unik dan mencengangkan yang saya temukan justru membuat saya berfikir, mengapa orang harus mempelajari psikologi, padahal jika dia mendalami Islam dengan mencoba menerapkan ajarannya dengan baik maka seluruh hidupnya akan lebih baik tanpa satupun penyakit baik fisik juga psikologis.

Yang perlu diperhatikan pada bahasan sebelumnya ialah satu fakta bahwa gangguan kecemasan lahir dari keadaan khawatir seseorang terhadap sesuatu benda, materi maupun keadaan dan pemikiran yang berlebihan pada suatu stimulus ketakutan tertentu. Dalam kajian farmakologi orang-orang dengan gangguan kecemasan dapat diberi obat setelah melihat tingkat keparahan. Akan tetapi sebelum pemberian obat biasanya akan disarankan agar pasien menjalankan terapi non farmakologi yang mana ini ditangani oleh orang-orang psikologi.

Ada banyak terapi yang bisa diberikan antara lain terapi CBT (Cognitive behavioura therapy), ET (Exposure therapy),ACT (acceptance and commitment therapy), DBT (Dialektical behavioural theraphy), IT (Interpersonal Therapy) dan EMDR (eye movement desensitization reprocessing). Tapi satu hal yang perlu digaris bawahi ialah bahwa sebanyak apapun pasien mengikuti terapi itu tidak akan bermanfaat jika ia tidak mendorong dirinya sendiri untuk sembuh dan menerima keadaan aslinya. Mengapa?, karena apapun bentuk terapinya, inti dari teknik tersebut adalah sama, yakni mereka mendorong klien untuk menghadapi dan tidak menghindari sumber-sumber ketakutan dan kecemasan mereka.

Dari penjelasan tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa yang harus dilakukan oleh setiap pasien sesungguhnya ialah menerima apapun kondisi yang mereka alami secara lapang dada sehingga mereka tidak perlu terlalu banyak mengalami tekanan psikis akibat dari kemasan yang berlebihan atas pemikiran mereka yang belum tentu benar pada suatu hal yang dipersepsi merusak. Seperti ke dokter gigi, disuntik, kegagalan saat ujian, kalah dalam pemilihan umum, diputuskan kekasih, bangkrut, dipecat, kecelakaan, kecacatan, ketakukan pada serangga, hewan buas dan lain sebagainya.

Inilah Fakta Ilmiah dalam Islam
Secara ilmiah religiusitas ternyata sangat mempengaruhi kesehatan fisik juga psikis. Sebuah penelitian antropologi yang dilakukan oleh Macphere di kota Morocco menunjukkan bahwa, berdasarkan hasil observasinya ternyata kegiatan membaca al-Quran dengan rutin membuat ibu–ibu disana memiliki emosi dan kemampuan menanggulangi tekanan hidup lebih baik. Ibu–ibu tersebut menyebut al-Qur’an sebagai obat hati.

Studi correlasional dan longitudinal yang dilakukan Koenig et al memperlihatkan bahwa religiusitas memiliki kaitan erat dengan status kesehatan seperti hipertensi, kegagalan fungsi organ dll. McCullough, Hoyt, Larson, Koenig and Thoresen juga melakukan penelitian dengan metode metaanalisis dan menemukan bahwa ternyata tingkat religiusitas pada individu menurunkan perilaku melanggar seperti meminum alkohol dan pelanggaran lain, sehingga secara tidak langsung hal ini mengurangi keresahan dan kecemasan pada sebagian besar manusia. Kamal and Loewenthal meneliti umat hindu dan islam di amerika dan menemukan lebih banyak orang islam yang tidak berlaku menyimpang dan hidup tenang dengan menerapkan ajaran agamanya dibandingkan umat hindu.
 
Islam Ajaran Paling Sempurna
Islam memang merupakan agama dengan konsep pengaturan kehidupan yang paling sempurna di dunia. Islam memperhatikan mulai awal kehidupan seorang bayi hingga bagaimana mengurus seorang jenazah beserta cara menghormatinya. Islam sangat memperhatikan adab-adab dalam kehidupan sehari-hari mulai dari aktivitas bangun tidur sampai tidur kembali. Sungguh ajaran Islam sangat sempurna. Allah telah menegaskan hal ini dalam firman-Nya, yang artinya,

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (QS al-Ma’idah [5]: 3).

Islam memiliki tata cara ibadah yang telah ditentukan oleh Allah dan rasul-Nya, salah satunya adalah shalat. Dimana ini merupakan konsep ibadah paling utama dalam Islam. Beberapa penelitian menunjukan bahwa gerakan-gerakan shalat dapat meredakan hampir semua penyakit fisik dan tambah sempurna jika ditambah dengan puasa sunnah maupun wajib. Shalat itu secara psikologis menentramkan hati individu, karena jika dia khusuk dan sholat dengan sungguh-sungguh maka semua keluh kesahnya juga keletihan selama bekerja sekaligus emosi seperti amarah, kesal dan lain sebagainya menjadi lebih stabil, karena dalam sehari 5 kali ia curhat dan menggantungkan semua masalah pada Tuhannya.

Dalam Islam ada konsep berdoa, ikhtiar dan tawakkal. Konsep ini menjelaskan bahwa dalam setiap urusan kehidupannya, seorang manusia haruslah berdoa pada Tuhan untuk meminta perlindungan dan keridhaan Allah l atas apa yang diusahakannya, kemudian ia harus berikhtiar atau berusaha sungguh-sungguh untuk mendapatkan apa yang dicita-citakannya dan setelah berusaha ialah harus bertawakkal atau menyerahkan semua usahanya pada ketentuan Allah l. Jika dikehendaki baik ia harus bersyukur dan jika tidak baik ia tetap harus bersyukur dan berbaik sangka dengan dasar bahwa apa yang gagal tersebut bukan merupakan yang terbaik baginya.

Allah telah menegaskan dalam firman-Nya, yang artinya, “Diwajibkan atas kamu berperang padahal itu tidak menyenangkan bagimu. Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu”. (QS al-Baqarah [2]: 216)

Dalam konteks pergaulan, Islam sangat memperhatikan kemaslahatan diri individu juga orang lain disekitar individu yang bersangkutan. Bahkan bagaimana seorang anak bersikap pada orang tua dan sebaliknya, bagaimana seorang menghormati tetangga dan bagaimana sikap seorang guru terhadap murid, sampai adab marah-pun diatur dalam Islam.

Dalam sebuah hadits yang disampaikan oleh Ali bin Abi Thâlib dikatakan bahwa saya telah menghafal dari Rasulullah `, “Tinggalkan perkara yang meragukanmu menuju kepada perkara yang tidak meragukanmu. Karena kejujuran itu adalah ketenangan di hati sedangkan kedustaan itu adalah keraguan.” (HR Tirmidzi, no. 2518). Hal ini kemudian menjelaskan pada kita bahwa ketika kamu merasa cemas akan sesuatu, tinggalkan kecemasan yang merugikan itu dan lakukanlah sesuatu yang menghilangkannya dengan cara yang baik dan jujur. Kejujuran ini bukan saja pada orang lain tapi juga pada diri sendiri, sehingga kamu tidak akan mengalami penyakit-penyakit yang dapat membuat pikiranmu terkuras dan menjadi sakit.

Dalam firman Allah l, disebutkan yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya prasangka itu dosa.” (QS al-Hujurât [49]: 12).  Kita tahu bahwa berprasangka akan menjerumuskan seseorang ke dalam dosa. Apalagi prasangka itu lahir dari sebuah dugaan, tuduhan, atau sakwasangka belaka. Hal ini berarti dia telah menaburkan aib dan tuduhan buruk kepada mereka, sementara mereka terbebas dari tuduhan itu. Berburuk sangka seperti inilah yang dilarang dalam Islam.

Dalam hadits yang berasal dari Abu Hurairah a, dikatakan bahwa, “Jauhilah olehmu prasangka, karena sesungguhnya prasangka itu adalah sedusta-dustanya pembicaraan.” (HR Bukhari dan Muslim). Hadits ini mengajarkan manusia untuk menghindar dari persangkaan yang terlalu dibuat-buat dan melebihi aslinya, padahal kita belum tau kebenarannya. Yang demikian ini akan membuat kita terhindar dari gangguan kecemasan. Satu obat manjur yang diajarkan nabi agar kita bisa terhindar dari gangguan kecemasan ialah sebelum umat islam tidur maka seharusnya ia bermuhasabah dan mengingat kesalahannya hari itu untuk kemudian bertaubat dan mengikhlaskan semua kesalahan orang pada dirinya juga meletakkan semua urusan dunia pada penjagaan Allah l.

Sejatinya masih banyak ajaran Islam yang membuat seseorang terhindar dari kecemasan akan tetapi satu yang pasti adalah bahwa ber-islam secara kaffah dengan mengomplementasikan semua ajarannya dalam hidup jelas akan membuat seseorang menjadi lebih sehat secara psikis dan fisik serta terhindar dari kecemasan. Wallahu a’lamu bi al-sawwâb.[]
 
Ummi Jani Abdul Rajab
Jurusan Psikologi &
Staff Dai Hijrah Mahasiswa UII
 

Mutiara Hikmah
Dari Abdullah bin Umar a, dia berkata: “Sesungguhnya seorang laki-laki bertanya kepada Nabi Shallallahu’alaihi wasallam, manakah ajaran Islam yang lebih baik?” Rasul Shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Hendaklah engkau memberi makanan, mengucapkan salam kepada orang yang kamu kenal dan yang tidak.” (HR al-Bukhari dengan Fathul Bari 1/55, Muslim 1/65).

SPIRITUAL CAPITAL DALAM MENGARUNGI HIDUP

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِن تَتَّقُواْ ٱللَّهَ يَجۡعَل لَّكُمۡ فُرۡقَانٗا وَيُكَفِّرۡ عَنكُمۡ سَيِّ‍َٔاتِكُمۡ وَيَغۡفِرۡ لَكُمۡۗ وَٱللَّهُ ذُو ٱلۡفَضۡلِ ٱلۡعَظِيمِ ٢٩

“Hai orang-orang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, Kami akan memberikan kepadamu Furqaan. Dan kami akan jauhkan dirimu dari kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar” (QS Al-Anfal:29)

 

Dalam hidup ini sudah semestinya kita mempunyai modal untuk menjalaninya. Konsep spiritual capital mengubah pandangan kita bahwa modal adalah hal yang tidak hanya berhubungan dengan materi semata. Selain itu sebagian kita juga sudah familiar dengan modal financial, modal intelektual, modal networking dan lain sebagainya. Tetapi yang tidak kalah penting dalam mengarungi hidup yang penuh ujian dan cobaan ini, diperlukan juga spiritual capital. Spritual Capital (Modal Spiritualitas) bisa diartikan yaitu menjadikan nilai – nilai positif / nilai agama untuk memperoleh kebaikan dunia maupun akhirat. Beruntunglah bagi umat islam karena sebaik-baiknya modal yang umat islam miliki adalah Islam dan Allah .

Modal Allah ini berarti mengikut sertakan Allah dalam setiap sendi – sendi kehidupan didunia maupun untuk memperoleh akhirat. Modal inilah yang tidak dimiliki oleh umat agama lain. Tapi ironisnya banyak dari umat islam sendiri, sadar ataupun tidak sadar, mengabaikan modal ini bahkan tidak mengetahuinya. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah dalam bentuk apa modal spiritual itu? Spritual capital dalam islam tidak lain dan tidak bukan adalah Taqwa.

Sebagaimana firman Allah: “Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengaruniakan kepadamu furqan (petunjuk yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil atau boleh dimaknakan dengan pertolongan)” (QS al-Anfal: 29). Spiritual capital ini sangat penting karena semua aktivitas hidup ini sejatinya diatur oleh Allah. Jika modal taqwa ini sudah dimiliki maka InsyaAllah kebahagaian dunia dan akhirat akan didapat.

Untuk membangun Spiritual capital diperlukan usaha yaitu mendekatkan diri kepada Allah dengan menjalankan segala perintahNya dan menjauhkan segala laranganNya. Mulailah dengan melakukan hal-hal wajib seperti sholat 5 waktu, puasa, zakat, shodaqoh setelah itu ditambah dengan amalan-amalan sunnah seperti sholat tahajud, sholat dhuha, puasa senin kamis dan lain sebagainya. Banyak sekali testimony dari mereka yang telah mengamalkan ibadah tersebut kemudian Allah permudah segala urusannya. Sungguh beruntung umat islam ini, ketika kita merasa kesulitan rizqi, maka Allah memperintahkan kita untuk sholat dhuha dan sedekah sebagai jalan keluar, sebagaimana firman Allah: “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rizqi) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (QS al-Baqarah 245) .

Ketika kita mempunyai hajat Allah memberi jalan keluar yaitu sholat Hajad dan sholat tahajud. Allah sudah menyediakan segala sesuatu kebutuhan hambanya. Semua itu Allah berikan bagi mereka yang bertaqwa kepada Allah dengan menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya.

Jika spiritual capital ini sudah didapatkan maka Allah memberikan banyak sekali jaminan bagi kita. Mungkin selama ini kita terus mencari jaminan akan masa depan kita, rizqi, usaha, jodoh, kesehatan bahkan bisnis sekalipun, tetapi sering sekali lupa akan jaminan yang Allah berikan. Kita cenderung mencari jaminan yang berupa duniawi. Seolah – olah jaminan itulah yang akan menolong pada suatu saat nanti. Padahal belum tentu, kita sering sekali lupa bahwa Sebaik-baiknya jaminan adalah jaminan Allah. Jaminan yang tak mungkin Allah ingkari, jaminan yang diberikan kepada siapa saja yang selalu mendekatkan diri kepadaNya. Berikut adalah jaminan bagi mereka yang bertaqwa kepada Allah.

 

Terhindar Dari Api Neraka
Inilah jaminan terbesar dan yang paling diidam – idamkan umat islam yaitu terhindar dari api neraka dan memperoleh surga. Sebagaimana firman Allah: “Akan tetapi orang yang bertaqwa kepada Tuhannya, bagi mereka Syurga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya.” ( QS Ali Imran: 198).

 

Mendapat Rizqi Yang Tidak Terduga
“Jika kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal, niscaya Allah akan memberikan rizqi kepada kalian, seperti Allah memberikan rizqi kepada seekor burung. Ia pergi (dari sarangnya) di pagi hari dalam keadaan perut yang kosong (lapar), dan kembali (ke sarangnya) di sore hari dalam keadaan perut yang penuh (kenyang)”. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, At-Tirmidzi, An-Nasa-i, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dalam Shahih-nya, dan Al-Hakim. Alangkah beruntungnya orang-orang seperti ini. Bagi orang – orang yang memiliki spiritual capital dengan taqwanya maka rizqinya dijamin oleh Allah. Tidak pernah merasa gelisah untuk urusan rizqi karena yakin bahwa Allah yang akan menjamin rizqinya, baik untuk dirinya sendiri dan keluarganya. Selain itu yakin rizqi yang Allah berikan itu tidak terduga – duga dan direncanakan. Sebagaimana firman Allah : “Dan akan diberi rizqi sekira-kira tidak diketahui dari mana sumbernya.” (QS al-Thalaq: 3).

 

Dipermudahkan Segala Urusan
Setiap manusia yang hidup didunia ini pasti mempunyai urusannya masing – masing. Baik urusan pribadi maupun urusan keluarga, urusan kerja, bisnis, belajar, usaha dan lain sebagainya. Hidup ini terkadang terlalu disibukkan dengan urusan yang bersifat duniawi. Hanya sedikit orang yang disibukkan dengan urusan akhiratnya. Sehingga untuk urusan duniawi ini, banyak dari kita mencurahkan segala yang ada mulai dari energi, harta, waktu, relasi dan lainnya agar urusan itu dapat diselesaikan. Namun lagi lagi beruntunglah orang-orang yang  bertaqwa. Bagi mereka yang bertaqwa Allah permudahkan segala urusannya. Sebagaimana firman Allah: “Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya.” (QS al-Thalaq: 4). Allah berfirman bahwa setiap kesulitan pasti ada kemudahan. Lalu yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana memperoleh kemudahan dan terlepas dari kesusahan. Jawabannya adalah Taqwa. Sebagimana firman Allah: “ Dan barangsiapa bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia menjadikan kemudahan baginya dalam urusannya.

 

Memegang Kekuasaan dan Kepemimpinan
Fenomena yang terjadi di dunia muslim saat ini adalah jumlah umat islam yang begitu besar dan terus tumbuh tetapi seperti tidak ada kekuatan untuk melawan orang – orang kafir yang terus menerus menindas kaum muslimin. Coba kita lihat Palestina, Suriah, Pakistan, Irak, negara timur tengah, yang notabennya adalah negara muslim. Negara tersebut  dibuat kacau oleh orang – orang kafir. Ekonomi, pemerintahan, militer, sosial, budaya mengalami ketidakstabilan di negara tersebut. Jangan lupa juga Indonesia, negara dengan jumlah umat islam terbesar didunia masih banyak memiliki masalah-masalah fundamental .Padahal firman Allah mengatakan bahwa umat islam adalah sebaik – baiknya umat. Dunia ini juga diwariskan kepada umat islam, bukan kepada umat yang lain. Lalu apa yang salah dari ini semua. Ini semua

 

karena umat islam itu sendiri yang tidak bertaqwa kepada Allah: “ Sesungguhnya bumi ini adalah kepunyaan Allah, dipusakakannya kepada sesiapa yang dikehendakiNya dari hamba-hambaNya dan kesudahan yang baik bagi orang-orang yang bertaqwa.” (QS al-A’raf: 128). Seharunya kitalah yang memegang tampuh kekuasaan dunia ini karena Allah sudah berfirman seperti itu. Coba kita lihat kejayaan umat islam terdahulu. Muhammad Al fatih yang mampu menaklukkan konstantinopel, dinasti Abassiyah dan Umayyah yang mampu membangun peradaban dan ilmu pengetahuan, serta khalifah Umar Ibn Khattab dimana wilayah islam mencapai Afrika bahkan Eropa. Semua itu karena mereka mempunyai modal yang sama yaitu spiritual capital berupa keimanan dan ketaqwaan kepada Allah.

 

Penutup
Wahai umat islam sudah seharusnya kita mempunyai spiritual capital dalam hidup ini berupa ketaqwaan kepada Allah. Jika modal tersebut sudah dimiliki maka jangan takut mengarungi hidup ini. Allah sudah memberikan jaminan bagi mereka yang bertaqwa kepadaNya. Karena sebaik – baiknya modal adalah modal islam dan Allah. Dan sebaik – baiknya jaminan adalah jaminan Allah. Maka keberuntunganlah bagi mereka yang memiliki itu semua.

Ramadhan Achmad
Teknik Industri 2012

 

Mutiara Hikmah

Dari Abu Ya’la, Syaddad bin Aus a, dari Rasulullah `,,,, beliau telah bersabda: “Sesungguhnya Allah mewajibkan berlaku baik pada segala hal, maka jika kamu membunuh hendaklah membunuh dengan cara yang baik dan jika kamu menyembelih maka sembelihlah dengan cara yang baik dan hendaklah menajamkan pisau dan menyenangkan hewan yang disembelihnya”.(HR Muslim, No. 1955)

UTAMAKAN KEWAJIBAN, PENGHARGAAN DATANG KEMUDIAN

وَلَوْ قَامَ النَّاسُ بِمَا وَجَبَ عَلَيْهِمْ # لَكَانُوْا—وَهُمْ فِى الْأَرْضِ—فِى جَنَّةِ الْخُلْدِ
(اَلشَّيْخُ مُصْطَفَى الْغَلَايَيْنِي فِى عِظَةِ النَّاشِئِيْنَ)


“Dan seandainya manusia melakukan apa yang menjadi kewajibannya maka niscaya mereka—di dunia ini—berada dalam surga yang abadi.”(Syeikh Mushthafa al-Ghalāyainiy dalam Kitab ‘Idhati an-Nāsyi-īn
 

Tamu undangan sudah ramai berdatangan. Disambut gerimis hujan saya—bersama seorang teman—sampai lokasi tujuan. Acara sudah dimulai meskipun baru “pembukaan”. Saat itu, Surat al-Wāqi’ah bagian akhir sedang bersama-sama dilantunkan. Saya saksikan calon pengantin pria duduk manis penuh kegembiraan. Iya, tidak lama lagi dia dan “si dia” akan sah menjadi suami-isteri. Sepasang kekasih yang memadu rindu dan cinta dalam ridha-Nya.

Akad nikah berjalan dengan lancar. Ijab qabul dilafalkan dalam bahasa Arab. Pengantin pria menjawab ijab dengan fasih dan lantang. Sejurus dengan itu hadirin mengucapkan kata “sah”. Saya yang ditugasi menjadi juru foto tepat berada di samping kanan pengantin pria. Bersyukur, saya menjadi orang pertama yang mengucapkan “selamat”. Pengantin pria, selain kakak tingkat juga sahabat dekat saya. “Barakallahu laka, Mas…”

Bagi saya, menghadiri pernikahan ibarat sedang bernostalgia. Sebab, sebelumnya saya pernah melewati momen indah sebagaimana yang dirasakan sahabat saya itu. Momen indah tersebut semestinya tidak terhenti ketika resepsi usai. Momen indah itu harus senantiasa dijaga, dipupuk, dan dilestarikan sampai ajal memisahkan. Dalam rangka menuju arah tersebut, sang pengantin harus memiliki resep khusus.

 

Wajib Dulu, “Harga” Belakangan

Apa yang disampaikan sang kiayi dalam acara tersebut adalah resep dimaksud. Berumah tangga itu pasti tujuannya untuk meraih kebahagiaan, katanya mengawali taushiah. Resep bahagia berumah tangga sebenarnya sama dengan resep bahagia dalam hidup secara universal. Ringkasnya, bagaimana masing-masing mengupayakan pemenuhan kewajiban. Bukan sebaliknya, selalu menuntut hak sementara kewajiban tiada ditunaikan.

Andai saja,” kata Syeikh Mushthafa al-Ghalayainiy, “semua manusia melakukan apa yang menjadi kewajibannya.” Lalu apa konsekuensinya? “Niscaya mereka—di dunia ini—seolah-olah berada dalam keabadian surga,” lanjutnya. Ungkapan “pengandaian” tersebut menunjukkan bahwa kenyataannya tidaklah demikian. Banyak yang tidak mengerti apa yang menjadi kewajibannya. Ada pula yang sudah mengerti namun berpura-pura tidak paham.

Tidak kalah sedikit yang belum apa-apa sudah bertanya, “Bagian saya berapa persennya?” Itu memang tidak salah bila diikuti dengan kerja yang sungguh-sungguh. Masalahnya, andai hak diminta seluruhnya namun kewajiban ditunaikan seadanya? Bila demikian kondisinya berarti dia telah mengambil sesuatu yang sebenarnya bukan benar-benar haknya. Kalau begitu, bukan “keabadian surga” yang didapatkan di dunia ini. Namun api neraka yang mulai dinyalakan.

Rumah tangga bahagia selaiknya mengikuti pola atau resep dari untaian hikmah di atas. Logikanya begini, suami melakukan kewajibannya tanpa menuntut hak. Kewajiban suami adalah hak isteri dan hak suami adalah kewajiban isteri. Di saat yang sama, isteri fokus pada kewajiban dan sama sekali tidak meminta hak. Kewajiban isteri adalah hak suami dan hak isteri adalah kewajiban suami. Bila demikian maka akan nyambung bukan?

Uraiannya adalah sebagai berikut. Katakanlah kewajiban suami mencari nafkah. Kewajiban isteri yaitu melayani suami dengan baik. Keduanya—sekali lagi—konsentrasi pada kewajiban masing-masing. Dengan begitu, otomatis keduanya mendapatkan haknya masing-masing pula. Suami mendapatkan haknya, dilayani dengan baik oleh isterinya. Isteri pun mendapatkan haknya, dicukupi kebutuhannya oleh sang suami.

Ilustrasi lainnya. Hubungan antara pekerja dengan bos. Pekerja fokus pada pemenuhan kewajibannya dengan bekerja sebaik mungkin tanpa menuntut haknya. Si bos menunaikan kewajibannya, dengan memberikan upah yang layak. Lebih baik lagi bila upah diberikan qabla keringnya keringat pekerja. Masing-masing komitmen dengan kewajiban, akhirnya masing-masing mendapatkan haknya. Pekerja mendapatkan bayaran yang pantas, bos puas dengan pekerjaan yang total.

Pola yang demikian ini juga sama ketika ditarik dalam konteks hubungan hamba dengan Sang Pencipta. Ketika hamba konsisten menjalankan kewajiban maka tidak perlu lagi khawatir dan cemas. Pasalnya, Allah l akan menunaikan “kewajiban”-Nya dengan memberikan perlindungan dan ganjaran kepada hamba tersebut. Ibadah seorang hamba memang bukan hak Allah namun dengan beribadah menjadi alasan bagi hamba untuk lebih akrab dengan-Nya.

Tatkala pola tersebut dilakukan dengan baik maka kehidupan dunia ini ibarat surga keabadian. Namun sekali lagi hal tersebut belum menjadi kesadaran bersama. Dalam rumah tangga misalnya, suami selalu menuntut ini dan itu padahal dia belum menunaikan kewajiban secara penuh. Isteri meminta dibelikan ini dan itu sementara pekerjaan rumah tidak pernah beres. Ini karena masing-masing terus memikirkan hak tetapi melupakan kewajiban.

Dalam masalah penyebutan, biasanya “hak” disebut dahulu baru kemudian “kewajiban”. “Antara hak dan kewajiban,” biasa kita membaca dan menuliskannya. Sementara kalau dipahami dengan seksama yang ideal adalah “kewajiban” baru “hak”. Jadi, bukan “hak dan kewajiban” namun “kewajiban dan hak”. Memang aneh dan rancu namun perlu terus disosialisasikan. Ending-nya, kita menjadi tersadarkan untuk lebih dahulu fokus pada kewajiban dan bukan sebaliknya.

Itulah mengapa, kata dosen saya yang turut memberi taushiah dalam akad nikah sahabat saya tadi. Sepatu atau sendal hak tinggi itu haknya selalu di belakang. Bayangkan kalau ada wanita pakai sepatu hak tinggi dan haknya di depan. Tentu akan kerepotan dan bisa-bisa terjatuh tidak bisa jalan. Itulah filosofi bahwa hak (“harga”) itu adanya belakangan atau di belakang. Di depan itu ada kewajiban dan bila sudah ditunaikan maka yang belakang (hak) akan turut serta.

“Pengertian”

Kesadaran untuk lebih mendahulukan kewajiban pada purnanya akan sampai pada sikap saling pengertian. Dalam konteks rumah tangga, ketika ada yang kurang pas tidak lantas buru-buru menyalahkan pasangan. Ketika pelayanan isteri tidak maksimal suami paham bahwa isteri sedang belajar dan terus memperbaiki diri. Saat nafkah lahir tidak stabil, isteri sadar bahwa rejeki tidak selalu berwujud materi. Hal ini karena isteri juga tahu suaminya telah berupaya keras.

Masih melanjutkan nasihat sang kiayi. Ketika suami isteri sudah komitmen dengan kewajibannya masing-masing. Keduanya sudah saling memahami dan memaklumi. Ketika—misalnya—masakan isteri keasinan harus bersyukur karena sayurnya awet. Bila nasinya agak keras, bersyukur, sebab rasa kenyang akan tahan lama. Kalau nasinya lembek, bersyukur, mudah untuk mengunyahnya. Jadi, berumah tangga isinya ialah kebahagiaan karena dibangun di atas “pengertian”.

Sungguh indah bila berkaca pada pribadi Rasulullah `. Dia tidak pernah mencela makanan sama sekali. Kalau dia senang (arāda, isytaha) dengan makanan tersebut dia akan memakannya. Bila tidak suka (kariha) dia akan meninggalkannya, tanpa mencelanya. Bahkan suatu hari Rasulullah ` pernah disuguhi cuka, hanya cuka. Dahsyatnya, Rasulullah ` justru mengatakan sebaik-baik teman bersantap adalah cuka. Itulah Rasulullah. Kalau kita?

Sikap Rasulullah ` tersebut sepantasnya menjadi teladan kita. Ketika makanan yang disuguhkan tidak sesuai selera boleh jadi kita kecewa. Namun perlu diingat, membuat makanan itu kewajiban isteri. Isteri berhak mendapat apresiasi atas kewajibannya. Tidak terbayangkan ketika ternyata bukan apresiasi yang didapatkan namun justru umpatan. Rasulullah ` mengajarkan akhlak yang luar biasa. Kalau tidak suka tinggalkan tapi jangan sekali-kali mencela.

Suatu pagi saya mendapatkan kiriman hikmah via BBM. “Berteman dengan kawan yang berilmu pengertian lebih enak daripada yang berilmu pengetahuan…” Ilmu pengetahuan itu penting namun ilmu pengertian tidak kalah penting. Bahkan dalam situasi tertentu boleh jadi yang terpenting adalah ilmu pengertian. Ilmu pengetahuan mudah dicari dan dipelajari. Sementara ilmu pengertian itu praktik di lapangan, prosesnya panjang, tanpa batasan SKS yang pasti.

Kondisi tersebut tetap harus dibangun di atas kesadaran bahwa kewajiban itu utama. Saat kita tahu orang lain melakukan kewajibannya secara maksimal, kita mudah memakluminya saat hasilnya tidak maksimal. Kala kita menunaikan kewajiban secara total, orang lain juga gampang menyadari bila hasilnya tidaklah total. Kuncinya, pertama-tama tetap mengupayakan pemenuhan kewajiban sebaik mungkin. “Pengertian” dari orang lain itu adalah bagian dari hak setelah kewajiban.

Nasihat yang mengawali tulisan ini menggunakan kata andai (lau…). Sebagai menusia yang dianugerahi kesempatan belajar tidak sepantasnya kita ikut berandai-andai pula. “Andai saya dapat mendahulukan kewajiban… Andai saya dapat lebih menghargai dan mengerti keadaan orang lain… Andai saya tidak terlalu menuntut balasan… Dan seterusnya…” Tidak, bukan itu yang diharapkan. Kita mesti memulai langkah nyata untuk fokus pada kewajiban. Semoga Allah merahmati kita. Wallāhu a’lamu bi ash-shawāb. []

Samsul Zakaria, S.Sy.,
Staf Prodi Hukum Islam (Syari’ah) UII,
Mahasiswa S-2 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

 

Mutiara Hikmah
Dari Abu Hurairah a berkata, Rasulullah ` bersabda: “Janganlah seorang suami mukmin membenci seorang istri yang beriman, jika ia tidak menyukai satu perangai istrinya maka ia akan suka dengan perangainya yang lain” (HR Muslim)

JANGAN MENCELA HUJAN!

وَمِنۡ ءَايَٰتِهِۦٓ أَنَّكَ تَرَى ٱلۡأَرۡضَ خَٰشِعَةٗ فَإِذَآ أَنزَلۡنَا عَلَيۡهَا ٱلۡمَآءَ ٱهۡتَزَّتۡ وَرَبَتۡۚ إِنَّ ٱلَّذِيٓ أَحۡيَاهَا لَمُحۡيِ ٱلۡمَوۡتَىٰٓۚ إِنَّهُۥ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ قَدِيرٌ ٣٩

“Dan di antara tanda-tanda-Nya (ialah) bahwa kau lihat bumi kering dan gersang, maka apabila Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur. Sesungguhnya Tuhan Yang menghidupkannya, Pastilah dapat menghidupkan yang mati. Sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS Fushshilat [41]: 39).

Hujan merupakan nikmat yang sangat besar yang diturunkan Allah dan merupakan salah satu tanda kebesaran-Nya, sebagaimana tersebut dalam firman Allah l, surah Fushshilat ayat 39. Hujan itu nikmat, hujan itu menyenangkan, hujan itu asyik.  

Mari kita simak firman Allah pada ayat yang lain dalam al-Qur’an yang artinya, “Maka terangkanlah kepadaku tentang air yang kamu minum. Kamukah yang menurunkannya atau Kamikah yang menurunkannya?” (QS al-Waqi’ah [56]: 68-69). Tanpa nikmat Allah ini (hujan), bumi akan menjadi kering dan tandus. Tanpa air, tidak akan ada kehidupan di muka bumi. Maka janganlah kita mencela nikmat yang sangat luar biasa dari Allah, hanya orang-orang yang tidak sempurna keimanannya keluar dari lisannya celaan terhadap air hujan.

Bersamaan dengan turunnya hujan, Allah juga memberikan beberapa keutamaan padanya. Diantaranya adalah waktu turunnya hujan adalah salah satu waktu mustajabnya do’a. Nabi ` bersabda, “Carilah do’a yang mustajab pada tiga keadaan: [1] Bertemunya dua pasukan, [2] Menjelang shalat dilaksanakan, dan [3] Saat hujan turun.” (Dikeluarkan oleh Imam Syafi’i dalam al-Umm dan al-Baihaqi dalam al-Ma’rifah dari Makhul secara mursal. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani, lihat hadits no. 1026 pada Shahihul Jami’).

Selain itu, Rasulullah ` mengajarkan kita untuk mengambil berkah dari hujan. Dalam suatu hadits disebutkan bahwa Anas a berkata, “Kami bersama Rasulullah ` pernah kehujanan. Lalu Rasulullah ` menyingkap bajunya hingga terguyur hujan. Kemudian kami mengatakan, ‘Ya Rasulullah, mengapa engkau melakukan demikian?’ Kemudian Rasulullah ` bersabda, “Karena dia baru saja Allah ciptakan.” (HR Muslim no. 2120). Imam al-Nawawi dalam Syarh Muslim mengatakan makna hadits ini adalah bahwasanya hujan itu rahmat yaitu rahmat yang baru saja diciptakan oleh Allah l, maka Nabi ` bertabaruk (mengambil berkah) dari hujan tersebut.

Akan tetapi, sebagian besar manusia hanya mensyukuri nikmat hujan ini pada awal turunnya saja (yakni pada awal musim hujan). Selanjutnya akan kita dengar banyak sekali celaan yang dilontarkan sebagian besar manusia kepada hujan. “Aduuh! Lagi-lagi hujan, lagi-lagi hujan…” atau perkataan mereka “gara-gara hujan saya jadi gak berangkat kerja” dan sebagainya. Bahkan bukan hanya itu, manusia juga sering mengumpat dan mencaci maki hujan.

Agama kita yang mulia melarang kita mencela hujan karena hujan merupakan makhluk yang tidak dapat berbuat apa-apa kecuali atas kehendak Allah. Maka mencaci maki hujan sama saja mencaci maki Dzat yang menciptakan dan mengatur hujan.

Ingat! Hujan diturunkan bukan hanya untuk kita melainkan untuk semua makhluk. Jangan sampai karena keegoisan kita dan memikirkan diri kita sendiri lantas kita mencela rahmat Allah ini. Boleh jadi hujan menyebabkan kita tidak bias beraktivitas akan tetapi bagi makhluk lain justru menjadi berkah tak terkira.

Bahaya Mencela Hujan
Tidakkah kita menyadari bahaya dari mencela air hujan? Perhatikanlah hadits qudsi berikut ini, Nabi ` bersabda, “Allah l berfirman, ‘Manusia menyakiti Aku; dia mencaci maki masa (waktu), pdahal Aku adalah pemilik dan pengatur masa, Aku-lah yang mengatur malam dan siang menjadi silih berganti’.” (HR Bukhari dan Muslim). Dalam kesempatan lain, Nabi ` bersabda, “Janganlah kamu mencaci maki angin.” (HR Tirmidzi, beliau mengatakan hasan shahih).

Dari dalil-dalil ini terlihat bahwa mencaci maki masa (waktu), angin dan makhluk lain yang tidak bisa berbuat apa-apa (termasuk hujan) adalah terlarang. Hal ini bahkan bisa mencapai derajat syirik akbar jika diyakini makhluk tersebut sebagai pelaku dari sesuatu yang jelek yang terjadi.

Meyakini demikian berarti meyakini bahwa makhluk tersebut yang menjadikan baik dan buruk dan ini sama saja dengan menyatakan adanya pencipta selain Allah l. Namun, jika diyakini yang menakdirkan adalah Allah  sedangkan makhluk makhluk tersebut bukan pelaku dan hanya menjadi sebab saja, maka seperti ini termasuk keharaman akan tetapi tidak sampai kepada derajat syirik. Maka dari itu wahai saudaraku, janganlah engkau mencela nikmat hujan yang Allah l berikan kepada kita.

Sikap Kita, Ketika Hujan?
Sungguh Nabi ` kita yang mulia telah mengajarkan kita untuk menyikapi hujan mulai ketika berkumpulnya awan (mendung) hingga selesai hujan.

    1. Ketika berkumpulnya awan

Dari Aisyah x, beliau berkata, “Rasulullah ` apabila melihat awan (yang belum berkumpul sempurna, penj.) di salah satu ufuk langit, beliau meninggalkan aktivitasnya  kemudian beliau kembali melakukannya lagi (jika hujan sudah selesai, penj.). Ketika awan tadi telah hilang, beliau memuji Allah. Namun, jika turun hujan, beliau mengucapkan, “Allahumma shayyiban nafi’an” (Ya Allah jadikanlah hujan ini sebagi hujan yang bermanfaat).”

    1. Ketika hujan lebat

Ketika hujan turun dengan lebat, Nabi ` berdo’a “Allahumma hâwalaina wa lâ ’alaina. Allahumma ’alal âkami wal jibâli, wazh zhirâbi, wa buthunil awdiyati, wa manâbitisy syajari (Ya Allah, turunkanlah hujan di sekitar kami, bukan untuk merusak kami. Ya Allah, turukanlah hujan ke dataran tinggi, gunung-gunung, bukit-bukit, perut lembah dan tempat tumbuhnya pepohonan).”

    1. Ketika selesai hujan

Nabi ` mengajarkan kita untuk mengucapkan ‘Muthirna bi fadhlillahi wa rahmatih’ (Kita diberi hujan karena karunia dan rahmat Allah).

Inilah beberapa hal penting yang diajarkan Nabi ` kita ketika hujan turun yang dapat saya sebutkan pada kesempatan kali ini. Semoga kita menjadi orang-orang yang selalu mensyukuri nikmat hujan dan semoga kita dijauhkan dari sifat orang-orang yang suka mencela hujan dan semoga Allah jadikan untuk kita hujan yang bermanfaat dan bukan hujan yang menimbulkan bencana. âmîn

Ibnu Adi
Farmasi Angkatan 2012

Mutiara Hikmah
Doa Apabila Melihat Permulaan Buah: “Ya Allah! Berilah berkah buah-buahan kami, berilah berkah kota kami, berilah berkah gantangan kami (sehingga di antara kami tidak sering mengurangi timbangan) dan berilah berkah mud kami.” (HR Muslim, No. 2/1000)

BERCERMINLAH!

Wahai tubuh,
seperti apakah isi gerangan hatimu?
Apakah isi hatimu sebagus kata-katamu,
atau sebagus daki yang melekat ditubuhmu?
Apakah hatimu seindah penampilanmu
atau sebusuk kotoranmu?
(catatan seorang sahabat)

Benda yang satu ini sangat familiar, sering dijual di toko bangunan, bahkan di pinggir jalan. Tetapi sadar atau pun tidak, benda ini sangat dibutuhkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Bayangkan, bagaimana rasanya jika hidup ini tidak ada cermin, tentu kita tidak akan pernah tahu akan rupa diri kita sendiri. Bahkan bagi sebagian perempuan, keberadaan cermin itu tidak bisa lepas dalam aktivitas keseharian, kemana-mana biasanya cermin itu selalu dibawa.

Misalnya saja, untuk membetulkan kerudung yang kurang pas, mereka (perempuan) tak segan untuk izin ke kamar kecil. Padahal tujuannya cukup simple, ya hanya untuk membetulkan kerudungnya. Tanpa ada bantuan cermin rasanya terkesan ribet. Bagi sebagian wanita yang senang dandan tentu cermin kecil selalu menemani kemana pun mereka pergi.

Ketika make-upnya dirasa sudah luntur, alisnya mulai tipis, lurus dan lain-lain, tak segan mereka mengeluarkan cermin kecil dari dalam tas mungilnya. Sebetulnya, tak jauh berbeda juga dengan laki-laki yang senang dengan fashion. Hanya saja laki-laki biasanya cukup bercermin di rumah, atau malah lebih berani, apapun yang bisa memantul bisa dijadikan cermin.

Inilah fenomena kecil yang sering kita jumpai, yang begitu penting dalam kehidupan sehari-hari dan tak bisa dipisahkan dari hidup kita. Apa jadinya jika hidup ini tidak ada cermin, tentu rasanya ada sesuatu yang hilang. Penulis sempat merasakan pengalaman yang luar biasa dan tidak mengenakkan.

Salah seorang teman pernah mengalami hal ini. Kala itu selama sepuluh hari Ia ditugaskan untuk menjalankan salah satu program dari kantornya. Ia ditempatkan di desa terpencil dan di puncak sebuah bukit yang diapit oleh dua gunung menjulang ke langit. Karena berada di atas ketinggian, rasa dingin adalah santapan setiap hari, tak peduli siang maupun malam hari.

Karena mengalami kondisi alam yang berbeda, banyak sekali perjuangan yang harus dihadapi. Harus terbiasa dengan cuaca dingin, jarang mandi (sehari cukup satu kali, itu pun mandinya dilakukan pada siang hari). Perjuangan yang lain yaitu tidak menemukan cermin, hanya ingin sekedar melihat wajah atau melihat keadaan rambut. Maklum karena akses ke kota lumayan jauh dan jalannya yang rawan.

Ada rasa rindu dan kangen dengan wajah. Bagaimana bentuk dan perubahan, apa saja yang sudah terjadi selama ini. Rasa keingintahuan itu luar biasa muncul. Alangkah kaget bukan kepalang ketika ia bercermin, ternyata wajahnya mengelupas seperti kulit ular, ada sisik-sisiknya juga. Setelah dicek, ternyata hanya faktor air dan iklim saja, sehingga menyebabkan wajahnya demikian.

Cermin Diri
Itulah pentingnya cermin. Selain untuk mengetahui perubahan dan perkembangan yang ada pada manusia. Cermin juga sering digunakan untuk aktivitas lain, dan pekerjaan itu sangat simple. Merias wajah misalnya, dan ini kebiasaan perempuan. Kalau laki-laki paling mencukur kumis, dan janggut. Sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah saw agar selalu merawat diri, salah satunya ilah mencukur rambut, kumis dan lain-lain.
Jika pekerjaan yang satu ini tidak dibantu dengan cermin, tentu harus menggunakan jasa orang lain. Bayangkan jika pengerjaan yang sederhana ini harus dilakukan oleh dua orang saja, terkesan ribet bukan? Dengan adanya cermin, pengerjaannya bisa lebih mudah dan ringan, karena tidak perlu dilakukan dengan banyak orang.

Makna bercermin yang dimaksud adalah cermin yang bermakna hakiki (hakikat), yaitu cermin yang sering kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari. Adapun bercermin yang bermakna majazi (majas) adalah cermin diri. Cermin ini sering diartikan sebagai introspeksi diri (bercermin ke diri sendiri, setelah melihat/membandingkan ke orang lain yang lebih baik).

Tujuannya ialah membandingkan diri dengan orang lain, apakah yang kita lakukan itu sudah seperti mereka ataukah belum (dalam hal ini terkait kebaikan). Sehingga dengan adanya cermin diri ini, memacu seseorang untuk menjadi lebih baik lagi. Sebagaimana perintah Rasulullah untuk memiliki prinsip, “Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin…”
Cermin adalah benda yang paling jujur sedunia. Apa yang ada didepannya ditampilkan secara utuh. Tidak ada manipulasi, atau disembunyikan darinya. Dan yang paling penting adalah, cermin tidak pernah sekalipun memberikan komentar tentang apa yang didepannya. Keistimewaan inilah yang dimiliki oleh sebuah cermin. Apa jadinya jika cermin itu bisa berbicara dan mampu memberikan penilaian bagi siapapun yang ada di depannya?.

Bercerminlah !
Nu’man bin Muqrin berkata: “Bahwasannya ada seorang laki-laki mencaci orang lain disisi Nabi, kemudian orang yang dicaci mengatakan: “Mudah-mudahan keselamatan tercurah atasmu.” Lalu Nabi bersabda:

“Ketahuilah bahwasannya ada malaikat di antara kamu berdua yang membelamu; setiap kali orang ini mencacimu. Malaikat itu berkata kepadanya: “Tetapi engkau, engkaulah yang lebih berhak terhadap cacian itu; dan jika engkau mengatakan: “Mudah-mudahan keselamatan tercurah atasmu”, maka malaikat itu berkata: “Tidak, tetapi engkau, engkaulah yang berhak terhadapnya.” (HR Ahmad)

Sebelum mengeluarkan ucapan kepada orang lain, apalgi mencaci, silakan bercermin kepada diri sendiri. Sudah betul-betul baik atu masih belajar baik? Untuk itu menjaga lisan dari seuatu yang dapat mengotorinya adalah tugas kita besama masing-masing. Jika ada yang salah, silakan ingatkan dengan cara dan ucapan yang baik.

Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu; Siapa yang mengenal dirinya, maka ia telah mengenal siapa tuhannya. Ini adalah salah satu cermin diri yang baik. Mengetahui dirinya sendiri dalam rangka mengetahui siapa sang penciptanya. Dengan mengetahui kekurangn diri, maka akan semangkin merasa lemah dan tidak berdayannya diri.

Mengenal Diri, itulah suluk. Suluk adalah fase-fase perjalanan hidup untuk pada akhirnya mengalami realitas sejati. Hanya dengan mengenal jatidiri, maka makhluq mengenal Khaliq. Hanya dengan menyadari ia hina, maka ia mengerti Allah Maha Tinggi.
Hanya dengan mengenal jati diri, maka makhluq mengenal Khaliq. Dengan menyadari ia najis, maka ia mengerti Allah Maha Suci. Hanya dengan mengaku telah berbuat salah dan dosa, serta bertobat, maka manusia akan mengerti bahwa Allah Maha Pengampun. Luasnya rahmat Allah membentang tak terhingga. Oleh karena itu, sungguh sangat merugi bagi kita yang tidak menyadari atas karunia yang telah Allah anugerahkan pada kita semua. Allâhul Musta’an.

Ihtitām
Orang yang bahagia yaitu orang yang ‘ngaca’ terhadap dirinya. Dai sejuta umat, KH Zainudin MZ rahimahullâh pernah menyampaikan tausiah tentang ciri-ciri orang yang bahagia.

  1. Pertama, ingat akan kesalahan yang pernah diperbuat. Mengingat kesalahan dan dosa untuk menjadi lebih baik, baru kemarin berbuat dosa, ini nambah lagi.
  2. Kedua, melupakan kebaikan yang pernah dilakukan (merasa kebaikannya belum cukup). Ia merasa belum pernah berbuat baik, sehingga merasa rugi kalau tidak berbuat baik
  3. Ketiga, dalam urusan dunia melihat kebawah. Artinya timbul rasa syukur. Masih banyak yang sengsara dari dirinya, ketika menemui kesulitan, ia berpikir masih banyak yang merasakan kesulitan dibandingkan dengannya.
  4. Keempat, dalam urusan akhirat ia melihat ke atas. Si Pulan bisa puasa sunah, kenapa saya tidak. Dia bisa ngaji, kok saya enggak. Iri terhadap dunia dilarang, iri dalam kebaikan sangat dianjurkan.

Untuk itu mari bersama-sama kita bercermin, tentunya dengan menggunakan cermin yang baik. Jika selama ini cermin yang kita gunakan itu belum baik, mari mulai detik ini juga diubah dan perlahan untuk meninggalkannya. Semoga kita diberikan kemudahan dan kekuatan oleh Allah  untuk selalu berada di jalan yang lurus, wa ihdinsshiratha al-mustaqîm.[]

Hamzah
Ngaji di UII

Mutiara Hikmah
Dosa tersebut dilakukan oleh seorang alim yang dia menjadi panutan bagi yang lain. Nabi bersabda,

وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ

“Barangsiapa melakukan suatu amalan kejelekan lalu diamalkan oleh orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya dosa semisal dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosanya sedikitpun.” (HR Muslim, No. 1017)