Memaknai Nikmat Allah Subhanahu Wata’ala

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘ala rasulillâh,

Pembaca yang semoga dirahmati Allah ﷻ. Dalam kehidupan sehari-hari, Allah telah mengaruniakan nikmat yang banyak kepada kita semua. Bahkan, kita sendiri tidak akan mampu menghitung nikmat tersebut karena saking banyaknya. Allah ﷻ berfirman,“Dan Dia telah memberikan kepadamu segala apa yang kamu mohonkan kepada-Nya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Sungguh, manusia itu sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” (Q.S. Ibrahim [14]: 34)

 

Segala Nikmat Datangnya dari Allah Subhanahu Wata’ala

Segala kenikmatan yang yang mendatangkan kenyamanan dan kebahagiaan, pada asalnya bersumber dari Allah ﷻ. Allah ﷻ berfirman, “Dan segala nikmat yang ada padamu (datangnya) dari Allah, kemudian apabila kamu ditimpa kesengsaraan, maka kepada-Nyalah kamu meminta pertolongan” (Q.S.An-Nahl [16]: 53).

Tidak memandang nikmat itu seperti apa bentuknya dan dari manapun asalnya, Allah-lah yang memberikan kepada kita. Sekalipun nikmat itu datang kepada kita melalui tangan hamba Allah lainnya. Tiada yang mampu memberikan rezeki atau kenikmatan melainkan Allah. Allah ﷻ berfirman, “Wahai manusia! Ingatlah akan nikmat Allah kepadamu. Adakah pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezeki kepadamu dari langit dan bumi? Tidak ada Tuhan selain Dia; maka mengapa kamu berpaling (dari ketauhidan)?” (Q.S. Fathir [35]: 3)

 

Macam-macam Nikmat Allah Subhanahu Wata’ala

Berbicara tentang macam-macam nikmat yang diberikan oleh Allah ﷻ, tentu sangatlah banyak. Nikmat Allah banyak macamnya, ada yang mampu kita sadari dan tidak sedikit juga yang tidak kita sadari. Setiap orang memiliki kemampuan yang berbeda dalam memaknai nikmat Allah ﷻ.

Nikmat Allah ﷻ bukan hanya sebatas uang, kendaraan, rumah mewah, dan harta benda lainnya. Memang itu kita akui sebagai bagian dari bentuk nikmat yang Allah ﷻ berikan. Namun jika kita mengartikan nikmat Allah adalah rezeki berupa harta, maka kita perlu memperluas cara pandang terkait hal ini.

Beberapa nikmat terbesar yang Allah ﷻ berikan kepada kita adalah nikmat hidayah Islam dan iman. Allah ﷻ berfirman “…sebenarnya Allah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjukkan kamu kepada keimanan, jika kamu orang yang benar.” (Q.S. Al-Hujurat [49]: 16)

Allah  ﷻ memberikan kesempatan kepada kita untuk merasakan nikmatnya islam dan iman, di saat sebagian manusia berbangga-bangga dengan kekufuran mereka. Allah ﷻ memberikan kita nikmat mengenali dua pedoman hidup  yaitu Al-Qur’an dan Sunnah, yang jika kita berpegang teguh dengannya, maka tidak akan tersesat selamanya. Dengan nikmat ini pula-lah menjadi sebab keselamatan kita di akhirat nanti jika senantiasa berpegang teguh dengannya, biidznillah.

Allah ﷻ juga memberikan nikmat agung berupa kesehatan dan waktu luang. Meskipun keduanya banyak dilalaikan oleh kebanyakan manusia. Rasulullah ﷺ bersabda, “Dua nikmat, kebanyakan manusia tertipu dengan keduanya, yaitu kesehatan dan waktu luang.” (HR. Al-Bukhari)

Di sisi lain, setiap nafas yang kita hirup dan hembuskan, juga merupakan bagian dari nikmat Allah ﷻ. Mata yang dapat melihat, membedakan bentuk benda, membedakan warna, sungguh termasuk nikmat yang besar. Telinga yang mampu mendengar, dan segala sesuatu yang ada pada diri kita adalah nikmat Allah yang sempurna.

 

Cara Memaknai Nikmat Allah Subhanahu Wata’ala

Setelah kita memahami bahwa Allah ﷻ telah memberikan nikmat yang banyak kepada kita, maka apa sikap yang seharusnya kita lakukan? Tentunya kita perlu menunjukkan sikap yang baik pula dalam hal ini. Nikmat yang telah Allah ﷻ berikan, sudah sepatutnya kita sikapi setidaknya dengan dua hal, yaitu mensyukuri nikmat tesebut dan memanfaatkannya dengan baik.

Mensyukuri nikmat Allah ﷻ, merupakan sebuah keharusan bagi seorang muslim. Rasa syukur merupakan bagian dari penghambaan kita kepada Allah ﷻ. Bahkan, Allah pun telah menjanjikan sesuatu yang lebih baik ketika kita bersyukur atas nikmat yang diberikan-Nya. Jika kita pandai bersyukur, Allah ﷻ akan menambah nikmat tersebut. Bisa saja dengan hal yang sama, atau dengan sesuatu yang lebih baik. Allah ﷻ berfirman “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab_Ku sangat berat” (Q.S.Ibrahim [14]: 7).

Saat kita mendapatkan nikmat dari Allah ﷻ, kita dianjurkan untuk mengucapkan kalimat yang baik atau berdo’a dengan maksud memuji sang pemberi nikmat sekaligus sebagai rasa syukur. Saat bagun tidur, kita dianjurkan membaca do’a karena Allah ﷻ telah menginzinkan kita bangun di pagi hari. Setelah makan, kita membaca do’a karena Allah ﷻ telah memberi nikmat makanan yang mengenyangkan. Serta dalam keadaan lainnya, kita memanjatkan doa sebagai bentuk syukur kita kepada Allah ﷻ. Salah satu kalimat yang diucapkan Rasulullah ﷺ  ketika mendapat hal yang disenangi adalah Alhamdulillahilladzii bini’matihi tatimmushshollihat (Segala puji bagi Allah, yang dengan nikmatnya kebaikan menjadi sempurna).

Sejalan dengan rasa syukur, maka kita juga diharuskan untuk memanfaatkan nikmat Allah  ﷻ di jalan yang benar. Contohnya ketika kita diberikan kesehatan dan waktu luang, maka kita habiskan untuk menuntut ilmu dan banyak beramal shalih misalnya. Bukan dihabiskan untuk berfoya-foya dan melakukan sesuatu yang sia-sia. Saat diberi kenikatan harta, maka kita membelanjakannya pada hal yang bermanfaat, serta menyisihkannya untuk zakat, sedekah, dan lainnya. Bukan berbelanja secara boros, ataupun menggunakan untuk hal yang diharamkan oleh Allah ﷻ.

Penting bagi kita untuk memanfaatkan nikmat Allah ﷻ dengan sebaik-baiknya. Sebab, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya di akhirat kelak. Allah ﷻ berfirman “Kemudian kamu benar-benar akan ditanya pada hari itu tentang kenikmatan (yang megah di dunia itu).” (Q.S. At-Takatsur [102]: 8).

Apapun yang Allah ﷻ titipkan kepada kita, akan ditanya tentangnya. Baik itu harta, usia, kedudukan, ilmu, kelebihan fisik, dan segala hal tak akan luput. Jika kita pandai dalam memanfaatkan nikmat Allah, insyaAllah kita akan mampu melalui hari yang dahsyat tersebut. “Kedua kaki seorang hamba tidak akan beranjak pada hari kiamat hingga ia ditanya mengenai: umurnya di manakah ia habiskan, ilmunya di manakah ia amalkan, hartanya bagaimana ia peroleh dan di mana ia infakkan, dan mengenai tubuhnya di manakah usangnya.” (HR. Tirmidzi no. 2417)

Oleh karena itu, wajib bagi kita sebagai seorang hamba Allah, untuk senantiasan merenungi nikmat yang telah diberikan-Nya. Kemudian kita mensyukurinya dan mewujudkannya melalui amalan yang bermanfaat. Semoga Allah memasukkan kita ke dalam golongan orang-orang yang mulia, aamiin.

Penyusun:

Uswatun Chasanah

Psikologi UII

 

Mutiara Hikmah

Doa Syukur

رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَدْخِلْنِي بِرَحْمَتِكَ فِي عِبَادِكَ الصَّالِحِينَ

Ya Tuhanku berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh. (Q.S. An-Naml [27]: 19)

Download Buletin klik disini

Bencana Alam Merupakan Peringatan Atau Pertolongan Allah?

Bismillāhi walhamdulillāhi wash shalātu was salāmu ‘alā rasūlillāhi,

Pembaca yang dirahmati Allah ﷻ, akhir-akhir ini bencana alam terjadi silih berganti di belahan bumi. Mulai dari banjir, longsor, gempa bumi semua adalah kehendak Allah ﷻ, orang beriman harus meyakininya dan menjadikannya peringatan agar lebih banyak bersyukur. Terjadinya bencana alam sudah kehendaki Allah ﷻ, apakah bencana alam ini  merupakan peringatan dari Allah ﷻ atau pertolongan dari Allah ﷻ?

Mushîbah

Bencana alam dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah sesuatu yang menimbulkan kesusahan, kerugian, atau penderitaan yang disebabkan oleh alam.[1] Dalam al-Qur’an bencana disebut dengan kata mushîbah, kata ini berasal dari kata bahasa Arab yang kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia yang mempunyai dua makna, yakni peristiwa menyedihkan yang menimpa dan kedua adalah malapetaka. Sebenarnya kata mushîbah dalam al-Qur’an memiliki arti yang luas tidak hanya mengacu pada bencana alam, karena kata mushîbah juga digunakan pada skala dan efek yang kecil.[2]

Bencana alam yang sering terjadi di Indonesia adalah banjir dan gempa bumi, seperti yang terjadi di suatu daerah beberapa hari terakhir ini. Banjir tentu bermula dari hujan yang terus menerus. Hujan yang diturunkan Allah ﷻ ke bumi merupakan rahmat, agar bumi menjadi hijau dan penduduk dapat mengambil manfaat darinya. Karena sesungguhnya, air yang diturunkan Allah ﷻ itu sebagai pembawa rezeki dan kebaikan.

Dari Anas bin Malik a berkata, Nabi ﷺ sedang memberikan khutbah pada hari jum’at, tiba-tiba bangun sekumpulan manusia dan berteriak, mereka berkata, “Wahai Rasulullah, hujan sudah berhenti, pokok semakin kering dan binatang ternak musnah, doakan kepada Allah untuk kami agar diturunkan hujan. Maka Rasulullah ﷺ berdoa, “Ya Allah, turunkanlah hujan ke atas kami”. Sebanyak dua kali, demi Allah kami tidak nampak sebarang gumpalan awan di langit, tiba-tiba awan terbentuk dan menurunkan hujan.(H.R. Bukhari)[3]

Dari hadits tersebut sudah jelas, bahwa hujan yang diturunkan Allah ﷻ itu merupakan pertolongan untuk hambanya yang beriman. Tak hanya itu, turunnya hujan merupakan rahmat dari Allah ﷻ yang nantinya juga menjadi pembawa rezeki dan kebaikan bagi hamba Allah ﷻ di bumi.

Hujan yang turun dengan lebat dapat menyebabkan banjir. Banjir ini juga dapat memusnahkan banyak hal yang ada di bumi, seperti kerusakan tanaman, tempat tinggal dan lainnya. Rasulullah ﷺ mengajarkan ummatnya agar senantiasa berdo’a agar dijauhkan dari banjir jika memang terjadi banjir. Karena hujan yang lebat hingga mengakibatkan banjir merupakan kuasa Allah l, sehingga hamba-Nya juga harus meminta pertolongan kepada  Allah ﷻ agar diselamatkan dari suatu hal yang berbahaya.[4]

Pandangan Takdir[5]

Takdir sudah Allah ﷻ tetapkan 50.000 tahun sebelum Allah ﷻ menciptakan langit dan bumi. Allah ﷻ sudah takdirkan akan terjadi bencana, akan terjadi musibah, akan terjadi petaka, akan terjadi wabah, akan terjadi penyakit. Ini wajib kita imani.

Nabi ﷺ bersabda, “Allah telah menncatat seluruh takdir makhluk 50.000 tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi.” (H.R. Muslim, Tirmidzi, Ahmad). Nabi ﷺ juga bersabda, “Yang pertama kali Allah ciptakan adalah qalam (pena). Lalu Allah berfirman kepadanya: ‘tulislah’, ia menjawab: ‘Wahai Rabbku, apa yang aku harus tulis?’, ‘Tulislah takdir segala sesuatu sampai terjadinya kiamat.‘” (H.R. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Abi Ashim dalam kitabnya As-Sunnah, Al-Ajurri, Ahmad, hadits ini shahih)

Tidaklah terjadi musibah kecuali dengan izin dan kehendak Allah ﷻ. Allah ﷻ berfirman, “Tidaklah menimpa sebuah musibah kecuali dengan izin Allah.” (Q.S at-Taghabun [64]:11). Jadi semua yang berjalan di langit dan di bumi ini tidak lepas dari pada kehendak Allah ﷻ. Tidak mungkin ada sesuatu yang terjadi di muka bumi yang Allah ﷻ tidak kehendaki. Semua berjalan dengan kehendak Allah ﷻ dan semua berjalan dengan izin Allah ﷻ.

 Penyebab Bencana

Tak hanya banjir, gempa bumi juga bencana alam yang terjadi akhir-akhir ini. Gempa bumi merupakan bencana alam yang terjadi atas izin Allah ﷻ dan hal ini menjadi bagi manusia. Gempa bumi juga bisa saja terjadi karena ulah tangan manusia yang melalui gejala alam. Misalnya, manusia yang sengaja membuat hutan gundul dan menebang pohon secara liar. Hal ini sudah dijelaskan dalam al-Qur’an.

Allah ﷻ berfirman, “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).(Q.S. Asy-Syura [42]: 30)[6]

Faktor lain yang dapat menyebabkan terjadinya gempa bumi adalah perbuatan dosa dan maksiat yag dilakukan oleh manusia. Seperti kisah kaum Nabi Luth yang mendapat azab dari Allah ﷻ karena dosa mereka.[7]

Terjadinya gempa bumi tentu membawa dampak pada alam dan isinya. Banyak korban jiwa atau banyak yang menderita kesakitan. Dan pasti ada kerusakan alam khususnya di daerah yang terjadi gempa bumi. Gempa bumi bukanlah bencana alam yang terjadi begitu saja dengan sendirinya, hal ini sudah kehendak Allah ﷻ. Gempa bumi juga merupakan peringatan dari Allah ﷻ, bahwa manusia itu tidak berdaya, dan tidak ada pelindung selain Allah ﷻ.

Dari gempa bumi ini, manusia diingatkan bahwa ini hanyalah sebagian kecil dari proses maha dahsyat yang bukan menghancurkan daerah tertentu, tetapi seluruh tata surya dan alam semesta, yakni hari kiamat. Gempa bumi juga bisa disebutkan sebagai balasan Allah ﷻ atas pelanggaran yang dilakukan manusia terhadap aturan yang telah ditetapkan Allah Subhanahu Wata’ala.[8]

Bencana Alam: Ujian atau siksa?

Berdasarkan semua penjelasan diatas, jadi bencana alam merupakan ujian atau siksa dari Allah ﷻ ? Bencana alam yang terjadi akibat kesalahan dari manusia yang tidak disengaja, maka itu merupakan ujian bagi manusia. Apabila bencana itu terjadi akibat perilaku manusia yang disengaja, seperti maksiat, zhalim dan tidak beriman secara sengaja maka bencana itu menjadi siksa bagi manusia.[9]

Dengan ini, maka bencana merupakan peringatan dari Allah ﷻ agar manusia kembali mengingat Allah ﷻ dan tidak melakukan pelanggaran atas aturan Allah ﷻ. Bencana alam juga bisa jadi pertolongan dari Allah ﷻ.

Hikmah Bencana Alam

Diantara hikmah bencana alam, yakni, pertama, agar yang diberi bencana tau bahwa Allah ﷻ mencintainya, seperti dalam sabda Nabi Muhammad ﷺ “Setiap kali Allah mencintai sekelompok orang, Allah pasti memberi cobaan kepada merek,.” (H.R Tirmidzi).

Kedua, bencana alam terjadi untuk mengangkat derajat manusia yang diberi bencana, seperti sabda Nabi Muhammad ﷺ  “Jika agamanya kuat, maka akan ditambahkan musibahnya,” (H.R. Tirmidzi).

Ketiga,agar manusia tidak takabbur dan tinggi hati, dan keempat untuk menumbuhkan solidaritas kolektif.[10]

Dapat disimpulkan, bahwa bencan alam yang terjadi di bumi ini bisa menjadi peringatan bagi mereka yang sengaja bermaksiat dan juga tidak beriman kepada Allah ﷻ, agar kembali mengingat bahwa Allah ﷻ Pemilik segalanya. Tetapi jika dilihat dari hikmah yang terkandung dibalik bencana alam ini, maka bencana dapat menjadi pertolongan Allah ﷻ untuk manusia, agar tau bahwa Allah ﷻ mencintainya dan untuk mengangkat derajat manusia karena kekuatan imannya.[]

 

Penyusun:

Qonitah Cahyaning Tyas

Prodi Pendidikan

 

Marâji’:

[1] Moch Syarif Hidayatullah. Tinjauan Islam Soal Bencana Alam dalam Jurnal Studi Al-Qur’an; Membangun Tradisi Berfikir Qur’ani, Vol. 5, No. 1 2009, hal. 15-28.

[2] Ibid

[3] Zuhelmi., Azman. Hujan dan Banjir dalam Hadis Nabi dalam Jurnal Pengurusan dan Penyelidikan Fatwa, Vol. 8, 2016, hal. 1-9.

[4] Ibid

[5] https://www.radiorodja.com/49684-sikap-seorang-muslim-menghadapi-musibah/

[6] Muhammad Makmun-Abha. Gempa Bumi dalam Al-Qur’an dalam Jurnal ESENSIA, Vol. XIV, NO. 1 April 2013, hal. 19-36

[7] Ibid

[8] Ibid

[9] Moch Syarif Hidayatullah. Tinjauan

[10] Ibid

 

Mutiara Hikmah

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, dia berkata, “Diantara doa Rasulullah ﷺ adalah,

اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ

Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari hilangnya kenikmatan yang telah Engkau berikan, dari berubahnya kesehatan yang telah Engkau anugerahkan, dari siksa-Mu yang datang secara tiba-tiba, dan dari segala kemurkaan-Mu

(H.R. Muslim no. 2739)

Download Buletin klik disini

 

Percaya Zodiak Termasuk Perbuatan Syirik

Bismillah washalatu was salamu ‘ala rasulillah, wa ba’du.

Pembaca yang semoga dirahmati oleh Allah ﷻ, setiap tahun selalu marak tersebar berita-berita tentang ramalan masa depan, biasanya ramalan yang muncul dan menjadi topik hangat untuk diperbincangkan muncul di awal tahun yaitu ramalan tentang peristiwa apa saja yang akan terjadi di tahun tersebut. Salah satu ramalan yang paling sering dicari dan diminati kebanyakan orang adalah ramalan tentang zodiak.

Pengertian Zodiak

Zodiak merupakan bagian dari ilmu astrologi yang mengamati pergerakan benda-benda langit lalu dikait-kaitkan untuk mengetahui nasib manusia. Di dalam zodiak biasanya terdapat penjelasan tentang keadaan atau nasib kehidupan pribadi seseorang sesuai dengan tanggal ia dilahirkan. Pada ramalan zodiak biasanya dijelaskan bagaimana tentang karir dirinya, rezekinya, hubungan asmaranya, sifat dan karakter dirinya,atau hari-hari keberuntungannya.

Di dalam syariat Islam ilmu tentang perbintangan disebut juga dengan ilmu nujum yang terlarang. Ilmu nujum yaitu ilmu untuk mencari petunjuk pada keadaan-keadaan bintang untuk meramalkan kejadian-kejadian di bumi.[1] Zodiak termasuk kedalam ilmu nujum (perbintangan), akan tetapi ilmu tentang perbintangan ini hanya diperbolehkan dalam tiga keadaan, sebagai hiasan langit, pelempar setan, dan penunjuk arah.

Ilmu Nujum yang Diperbolehkan

Allah ﷻ berfirman, “Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang,dan Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar syaitan,”(Q.S. al-Mulk [67]: 5). Allah ﷻ juga berfirman, “Dan Dialah yang menjadikan bintang-bintang bagimu, agar kamu menjadikannya petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut.”(Q.S. al-An’am [6]: 97)

Imam Bukhari dalam kitab shahih-nya, bahwa Imam Qatadah mengatakan, “Allah ﷻ menciptakan bintang-bintang untuk tiga hal: sebagai hiasan bagi langit, sebagai alat untuk melempar setan, dan sebagai tanda untuk penunjuk arah. Barangsiapa yang meyakini selain itu dalam hal ini maka dia telah keliru, menyia-nyiakan bagiannya, dan memaksakan diri untuk mengetahui apa yang berada di luar batas pengetahuannya.” (H.R al-Bukhari secara Mu’allaq). Maka selain dari tiga hal yang disebutkan tersebut maka ilmu nujum dilarang.

Zodiak termasuk kedalam ilmu nujum yang dilarang syariat Islam karena di dalamnya terdapat perkara-perkara yang mana hal itu hanya Allah yang mampu melakukannya, diantaranya adalah pengakuan mengetahui perkara ghaib, padahal pengetahuan tentang hal-hal ghaib ini hanya kekuasaan Allah ﷻ semata, tidak ada makhluk di muka bumi ini yang dapat mengetahui perkara ghaib kecuali para nabi dan rasul-Nya yang Allah kehendaki.

Allah ﷻ berfirman, “Katakanlah: “Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”,” (Q.S. an-Naml [27]: 65)

Di ayat lain Allah ﷻ berfirman,“(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu.Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya.”(Q.S. al-Jin [72]: 26-27)

Pada ramalan zodiak juga terdapat keyakinan bahwa ada selain Allah yang dapat mengatur dan mengendalikan alam semesta ini, dimana sesungguhnya mengatur, mengurus dan mengendalikan seluruh alam semesta ini hanyalah Allah saja yang mampu[2], dan tidak ada satupun dari ciptaan-Nya yang mampu mengendalikan seluruh alam semesta ini.

Hukum Mendatangi Dukun

Zodiak pada hakikatnya sama seperti perdukunan yang dapat meramal untuk mengetahui perkara ghaib. Bagi seseorang yang membaca zodiak kemudian meyakini apa yang dijelaskan di dalam zodiak tersebut ataupun hanya sekedar iseng saja membaca zodiak tersebut maka hal itu tidak dibolehkan dan hukuman bagi yang membaca zodiak sangatlah berat[3]

Rasulullah ﷺ bersabda, “Siapa yang mendatangi dukun lalu membenarkan apa yang dikatakannya maka dia telah kafir (ingkar) terhadap wahyu yang diturunkan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (H.R. Abu Daud 3904 dan Ahmad 2/408, 429, dan 476)

Pada riwayat lain Rasulullah ﷻ bersabda, “Barang siapa yang mendatangi tukang ramal lalu dia bertanya kepadanya tentang sesuatu, lalu dia mempercayai apa yang dikatakannya, maka tidak diterima sholatnya selama empat puluh hari.” (H.R. Muslim 2230)

Selain itu bagi seseorang yang meyakini tentang ramalan pada zodiak, berarti ia telah menggantungkan nasibnya kepada sesuatu yang tidak pasti dan tidak memberikan dampak apapun terhadap dirinya[4]. Seperti saat seseorang membaca zodiak kemudian dia mengikuti arahan pada zodiak tersebut apa saja yang menguntungkan bagi dia dan dia juga takut apa saja yang dapat membawa keburukan bagi dirinya, maka hal ini termasuk kedalam tathayyur yaitu meramal suatu keburukan atau kebaikan dengan sesuatu yang dilihat atau didengar[5].

Pada tradisi orang Arab jahiliyyah dahulu tathayyur dilakukan dengan menggunakan burung, misalnya jika seorang ingin pergi kearah barat kemudian sebelum pergi dia menerbangkan seekor burung terlebih dahulu, jika burung itu juga terbang kearah barat maka dia akan mendapatkan keselamatan, akan tetapi jika terbangnya kearah sebaliknya yaitu kearah timur maka dia akan mendapatkan kecelakaan[6].

Rasulullah ﷺ menjelaskan bahwa thiyarah merupakan perbuatan kesyirikan, beliau bersabda, “Thiyarah adalah syirik, thiyarah adalah syirik, dan tidak seorang pun dari kita kecuali hanya saja Allah menghilangkannya dengan tawakal.” (H.R. Ahmad 3687, Abu Dawud 3910, at-Tirmidzi 1614, dan Ibnu Majah 3538)

Allah ﷻ juga menjelaskan bahwa segala sesuatu apa yang terjadi semuanya atas ketetapanNya, Allah ﷻ  berfirman,“Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (Q.S. al-A’raf [7]: 131)

Maka dari itu meyakini apa yang terkandung di dalam zodiak ini adalah perbuatan syirik. Zodiak tidak memberikan dampak apapun dan tidak sedikitpun memberikan manfaat ataupun menolak kemudharatan. Bahkan jika seseorang meyakini apa yang ada di dalam zodiak, maka pada dirinya terkandung sikap pesimis karena segala tindakannya mesti bergantung pada ketidakjelasan ramalan zodiak.

Ketahuilah bahwa apa yang terjadi pada seluruh alam semesta ini baik mengatur dan mengendalikan semuanya atas kehendak Allah ﷻ. Dialah yang telah menciptakan kebaikan dan keburukan, dan hanya Dialah yang dapat memberikan manfaat atau menolak kemudharatan.

Semoga Allah memberikan taufik dan menjaga kaum muslimin dimanapun mereka berada agar terhindar dari perbuatan-perbuatan yang dapat merusak keimanan seorang Muslim.

Wallahu ta’ala a’lam

 

Much Diki Mualimin

Mahasiswa Ahwal Syakhshiyah

Universitas Islam Indonesia

 

Marâji’:

[1] Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu asy-Syaikh. Fathul Majid. Jakarta:  Pustaka Sahifa. 2010. Cet. Ke-3. hal. 748

[2] Prof. Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Kitab Tauhid. Jakarta Timur: Ummul Qura. 2019. Cet. Ke-15. hal. 31-36

[3] https://youtu.be/HFOYIapwqog

[4] Asy-Shaikh Shalih bin Fauzan bin ‘Abdullah al-Fauzan. Ringkasan Syarah KitabTauhid. Yogyakarta: Pustaka Al Haura’. 1433 H. Cet. Ke-1. hal. 310

[5] Ibid. hal. 293

[6] https://youtu.be/un4R0f6jowM

Mutiara Hikmah

Nawas bin Sam’an, Nabi ﷺ bersabda,

الْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ وَالإِثْمُ مَا حَاكَ فِى نَفْسِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ

Kebaikan adalah dengan berakhlak yang mulia. Sedangkan kejelekan (dosa) adalah sesuatu yang menggelisahkan jiwa. Ketika kejelekan tersebut dilakukan, tentu engkau tidak suka hal itu nampak di tengah-tengah manusia.” (H.R. Muslim no. 2553)

Download Buletin klik disini

Maqashid Tuhan dan Ekologi Alam Semesta

Bismillāhi walhamdulillāhi wash shalātu was salāmu ‘alā rasūlillāhi,

Beberapa masalah lingkungan telah banyak bermunculan disekitar manusia. Tidak perlu menelisik jauh-jauh, di sekitar kita, lingkungan masih sangat rentan dengan ancaman adanya aktivitas manusia. Desas-desus pembangunan proyek Jurassic Park di Pulau Komodo hingga insiden kebakaran hutan di beberapa daerah di Indonesia dari sejak dulu hingga sekarang, pada era New Normal pandemi COVID-19 ini dinilai serupa dengan pemahaman kita sebagai manusia yang masih minim terhadap kelestarian ekologi alam. Paham antroposentrisme yang mungkin terasa samar terdengar, sebenarnya telah mendengung lebih dahulu di awal revolusi industri.

Antroposentrisme memberikan pemahaman bahwa di muka bumi ini hanya manusialah yang berkuasa. Dalil antroposentrisme yang muncul kemudian ditentang dengan paham ekosentrisme yang meliputi kemaslahatan dan integrasi umat seluruh alam. Sebagai agama yang menerapkan prinsip syariat yang rasional dengan perkembangan sains dan teknologi, Islam turut menjabarkan mengenai paham antroposentrisme dan ekosentrisme untuk menjawab perkembangan zaman yang terkait dengan individual manusia dan isu lingkungan.

Antroposentrisme sejatinya tidak lahir dari agama Islam. Pandangan terhadap paham antroposentrisme ini muncul dikarenakan adanya metode penafsiran yang parsial dan atomistik sehingga cenderung hanya terfokus pada aspek human being bukan terhadap integrasi ekologi. Namun ada beberapa ayat di dalam al-Qur’an yang antroposentris atau mengandung nilai dan paham antroposentrisme. Prinsip antroposentrsime di dalam Islam diduga sangat berelasi dengan konsep hakikat manusia yang merupakan makhluk istimewa, yang diberi akal, yang berkuasa atas alam dan konsep khalifah di bumi[i]. Nabi Muhammad ﷺ telah menganjurkan kita untuk senantiasa membantu sesama makhluk dan melestarikan lingkungan:

Dari Anas radiallahu anha, beliau mengatakan, Rasûlullâh ﷺ bersabda, ‘Ada tujuh hal yang pahalanya akan tetap mengalir bagi seorang hamba padahal dia sudah terbaring dalam kuburnya setelah wafatnya (yaitu): Orang yang yang mengajarkan suatu ilmu, mengalirkan sungai, menggali sumur, menanamkan kurma, membangun masjid, mewariskan mushaf atau meninggalkan anak yang memohonkan ampun buatnya setelah dia meninggal.” (H.R. al-Bazzar dalam Kasyful Astâr, hlm. 149. Hadits ini dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani dalam shahihul Jami’, no. 3602)

Ekosentrisme merupakan pemahaman yang menganggap bahwa manusia merupakan bagian dari keseluruhan ekosistem di alam semesta sehingga manusia tidak memiliki hak untuk merusak lingkungan dan makhluk disekitarnya. Ekosentrisme tentu sangat diperlukan untuk mengatasi krisis lingkungan hidup yang memerlukan kemampuan ekoliterasi yang bersumber dari kesadaran ekologis seseorang.

Beberapa ayat di dalam al-Qur’an menyampaikan mengenai pentingnya melestarikan alam. Misalkan dalam surah Ar-Rum ayat 41, Allah l menyindir manusia mengenai munculnya kerusakan yang ada di muka bumi. Allah ﷻ  berfirman, “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allâh merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. (Q.S ar-Rûm [30]:41)

Dari ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa kerusakan yang terjadi di muka bumi disebabkan oleh perbuatan manusia yang merugikan lingkungan dan makhluk hidup didalamnya. Selain itu disebabkan pula karena kekufuran dan kemaksiatan yang mereka lakukan di muka bumi.

 

Kerugian Sebagai Akibat dari Kerusakan Lingkungan

Sifat manusia yang membuat kerusakan pada lingkungan dapat dikatakan sebagai faktor penyebab kerusakan lingkungan secara makro seperti yang dijelaskan pada surah ar-Rum ayat 41 tersebut. Selain itu, manusia dapat pula menjadi faktor kerusakan secara mikro. Hal-hal yang bersifat mikro ini merupakan kondisi yang dialami manusia sehingga menimbulkan kecenderungan merusak lingkungannya[ii].

Adanya kerusakan lingkungan tentunya menimbulkan dampak pencemaran terhadap kehidupan manusia. Dampak ini dapat dirasakan melalui beberapa hal contohnya limitisasi terhadap sumber daya alam yang sangat dibutuhkan manusia yaitu air, udara dan lingkungan yang memadai. Tidak hanya itu, terjadi pula kepunahan dan kelangkaan bagi beberapa komunitas dalam suatu ekosistem.

Selain itu, industri yang tak mengindahkan aspek lingkungan tentunya dapat membawa dampak buruk terhadap keseimbangan ekosistem. Bagi industri yang membuang limbahnya secara ilegal tanpa proses pengelolaan limbah yang baik, maka tentu akan timbul pencemaran. Pencemaran ini dapat terbentuk sebagai senyawa berbahaya yang terlarut dan tersuspensi dalam air, udara dan tanah yang nantinya akan berdampak pula pada kesehatan manusia.

 

Penerapan Prinsip Ekologi Tuhan dalam Sistem Ganti Rugi

Kerusakan lingkungan tentunya memiliki dampak yang signifikan bagi kegiatan sosial di dalamnya. Kegiatan sosial yang paling memiliki dampak yang jelas yaitu  aktivitas masyarakat. Tidak hanya itu, bila terdapat berbagai ekosistem seperti biota laut, hewan darat dan tumbuhan secara langsung maupun tidak langsung akan terpengaruh pula oleh dampak akibat adanya kerusakan lingkungan. Singkatnya, seluruh kegiatan yang ada di dalam masyarakat atau suatu ekosistem tertentu mengalami kerugian.

Dalam Islam, dikenal istilah dhaman dalam adanya peristiwa ganti rugi yang bertujuan untuk memberikan ganti rugi pada korban yang terkena dampak dan juga menghilangkan kerugian yang diderita korban (raf’u al-dara wa izalatuha).  Ganti rugi yang diakibatkan dari kerusakan lingkungan mencakup dua hal[iii].

Yang pertama yaitu ganti rugi yang berhubungan dengan jiwa dan kehormatan seseorang yang terancam akibat adanya aktivitas yang berdampak buruk bagi lingkungan. Dapat dimisalkan apabila seseorang menjadi terenggut nyawanya, mengidap penyakit tertentu sehingga organ tubuhnya tidak dapat berfungsi atau merasa terganggu dengan adanya pencemaran lingkungan yang terjadi di kawasan tempat ia tinggal.

Kedua, ganti rugi yang berhubungan dengan harta (jawabir al-darar al-maliyah) yang berkaitan dengan hak-hak manusia seperti adanya perampasan lahan atau kawasan untuk kawasan industri atau pabrik dan perusakan terhadap lingkungan masyarakat. Segala kerugian ini harus dibayarkan dengan mengembalikan sama dengan nilai jual barang (jawabir naqdiyah) atau nilai lahan yang terkena dampak pencemaran dan kerusakan. Selain itu, dapat pula dibayarkan dengan mengembalikan barang itu sendiri atau dengan barang yang sama (jawabir ‘ainiyah).

Kedua aspek tersebut tentu merupakan hal yang perlu dipertimbangkan bagi pemrakarsa pembangunan industri. Setiap industri diwajibkan menelaah lebih lanjut mengenai dampak baik dan buruk munculnya pembangunan industri baik sebelum, saat maupun setelah pembangunan. Penelaahan ini diatur di dalam Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI (KLHK) Indonesia dengan sebutan AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) baik secara internal yaitu di kawasan masyarakat atau secara eksternal yaitu di luar kawasan masyarakat yang juga ikut mempengaruhi kawasan internal. Pembangunan industri tentu harus melibatkan partisipasi masyarakat yang terkena dampak dan menerapkan aspek lingkungan yang tepat sehingga tidak merusak ekosistem daerah setempat sehingga tercipta solusi terbaik antara pemrakarsa, pemangku jabatan, masyarakat dan juga lingkungannya.

 

Penyusun:

Shofi Latifah Nuha Anfaresi

Mahasiswi Jurusan Teknik Lingkungan

Santri Pondok Pesantren UII

Maraji’

[i] Iqbal, I. 2014. Dekonstruksi Tafsir Antroposentrsime. Kalam: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam Vol. 8 (1): hal. 65-86

[ii] Ghazali, B. 1996. Lingkungan Hidup Dalam Pemahaman Islam. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya

[iii] Asmuni, Mth. 2007. Teori Ganti Rugi (Dhaman) Perspektif Hukum Islam. Millah Vol. 6 (2): hal. 97-120

 

Mutiara Hikmah

Dari Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ bersabda,

الْمَرْءُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ

Seseorang akan mencocoki kebiasaan teman karibnya. Oleh karenanya, perhatikanlah siapa yang akan menjadi teman karib kalian.”

(H.R. Abu Daud, no. 4833; Tirmidzi, no. 2378; dan Ahmad, 2:344. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)

Download Buletin klik disini

Menyatakan Bertauhid Belum Cukup

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Suatu keyakinan yang wajib dimiliki oleh kaum muslimin adalah tauhid. Tauhid merupakan asas, pokok, dan pondasi dalam agama. Jika tauhid seseorang benar maka akan kuat pula agamanya, dan jika tauhid seseorang rusak maka rusak pula agamanya.

Tauhid yang menjadi letak pembeda antara orang-orang muslim dan orang-orang kafir, karena orang-orang kafir mereka memberikan penyembahan peribadatannya kepada selain Allah ﷻ, dimana tidak ada Rabb di alam semesta ini kecuali hanya Allah ﷻ semata, karena hanya dengan keyakinan inilah yang dapat membawa seseorang selamat di dunia dan di akhirat.

Tauhid berasal dari bahasa Arab yang berarti “Mengesakan” yaitu menjadikannya satu. Secara istilah ialah mengesakan Allah dengan sesuatu yang menjadi kekhususan yang hanya dimiliki oleh Allah S.W.T. [1] .

Para ulama menjelaskan Tauhid kedalam beberapa macam diantaranya, keyakinan tentang keesaan Allah ﷻ dalam perbuatan-perbuatan-Nya[2] seperti meyakini hanya Allah yang mampu menciptakan, mengatur alam semesta, memberikan manfaat, mengabulkan doa, menolak kemudharatan, menghidupkan, mematikan dan sebagainya, tauhid ini disebut tauhid rububiyyah, Allah ﷻ berfirman, “Allah menciptakan segala sesuatu.” (Q.S. az-Zumar [39]: 62).

Allah ﷻ berfirman, “Dan tidak ada sesuatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya. (Q.S. Hud [11]: 6).

Allah ﷻ berfirman, “Sesungguhnya Rabb kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptkanNya pula) matahari, bulan, dan bintang (masing-masing) tunduk pada perintahNya. Ingatlah, menciptkan dan memerintahkan hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah Rabb semesta alam.” (Q.S. al-A’raf: 54)

Kemudian Tauhid dalam pengikhlaskan ibadah hanya ditujukan untuk Allah ﷻ semata bukan untuk makhluk-makhluk ciptaan-Nya[3]. Seperti ibadah berdoa, menyembelih kurban, bernadzar, rasa takut, pengharapan, tawakal dan lain-lain, tauhid ini disebut juga tauhid uluhiyyah.

Allah ﷻ berfirman, “Dan sesembahanmu adalah sesembahan Yang Maha Esa, tidak ada sesembahan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (Q.S. al-Baqarah [2]: 163)

Allah ﷻ berfirman, Janganlah kamu menyembah dua sesembahan. Sesungguhnya Dialah sesembahan Yang Maha Esa, maka hendaklah kepadaKu saja kamu takut’.” (Q.S. an-Nahl [16]: 51)

Lalu yang terakhir adalah tauhid dengan menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah ﷻ dengan kesempurnaan yang mutlak[4], tauhid ini disebut tauhid asma’ wa shifat.

Allah ﷻ berfirman, “Hanya milik Allah al-Asma’ al-Husna (nama-nama yang terbaik), maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asma’ Husna itu”.(Q.S. al-A’raf [7]: 180).

Allah ﷻ berfirman, “Bagi-Nya al-Asma’ al-Husna. Bertasbih kepadanya apa yang di langit dan di bumi, dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. al-Hasyr [59]: 24)

Dalam tauhid ini seseorang hanya perlu meyakini saja nama-nama dan sifat-sifat Allah ﷻ sesuai dengan apa yang Allah ﷻ tetapkan untuk diri-Nya, tanpa meniadakan atau menolaknya, tidak mengubah maknanya, tidak menyerupakannya dengan makhluk, dan tidak membagaimanakan hakikatnya.[5]

Seperti meyakini Allah ﷻ Maha Mendengar dan Maha Melihat yang pendengaran dan penglihatannya tidak sama seperti makhluk-makhluk-Nya, tidak menolak sifat tersebut, tidak mengubah maknanya, ataupun membagaimanakan hakikatnya, seseorang hanya perlu meyakini saja sifat tersebut ada pada Allah ﷻ yang telah Allah ﷻ tetapkan untuk diri-Nya, Allah ﷻ berfirman, “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar dan Melihat”. (Q.S. asy-Syura [42]: 11)

Setelah mengetahui hakikat dari tauhid maka seseorang perlu untuk mengetahui lawan dari tauhid itu yaitu syirik. Syirik adalah suatu bentuk perbuatan mensejajarkan (mengadakan tandingan) kepada selain Allah ﷻ dalam hal-hal yang menjadi kekhususan bagi Allah ﷻ yang mana hal itu hanya mampu dilakukan oleh Allah ﷻ semata, dimana kekhususan bagi Allah ﷻ ini meliputi tiga hal yang disebutkan diatas yaitu dalam rububiyyah, uluhiyyah, dan asma’ wa shifat[6].

Allah ﷻ berfirman, “Maka janganlah kalian menjadikan bagi Allah tandingan-tandingan.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 22)

Ketika seorang sahabat berkata kepada Rasulullah ﷺ, “Berdasarkan kehendak Allah dan kehendakmu”kemudian Rasulullah  ﷺ ` bersabda,“Apakah engkau menjadikan aku tandingan bagi Allah?”[7]

Tauhid seseorang tidak akan sempurna sampai ia menjauhi segala sesuatu bentuk perbuatan kesyirikan. Jika seseorang telah mengetahui tauhid tapi tidak mengetahui apa saja bentuk-bentuk perbuatan syirik, dikhawatirkan ia akan terjatuh kepada perbuatan kesyirikan tersebut[8]. Allah ﷻ selalu mengatakan di dalam al-Qur’an setelah memerintahkan beribadah hanya untuk diri-Nya, Allah ﷻ juga memerintahkan untuk menjauhi perbuatan syirik,

Allah ﷻ berfirman, “Beribadahlah kepada Allah dan janganlah kamu mempersekutukanNya dengan sesuatu apapun.” (Q.S. an-Nisâ’ [4]: 36). Allah subhânahu wa ta’âlâ berfirman, “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), ‘Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thagut (sesembahan selain Allah) itu’.” (Q.S. an-Nahl [16]: 36)

Dan juga dijelaskan dalam hadits ketika Muadz bin Jabal a dibonceng oleh Nabi ﷺ` dan beliau berkata kepada Muadz, “Wahai Muadz, tahukah kamu apakah hak Allah yang harus dipenuhi hamba-hambaNya, dan apa hak hamba-hamba-Nya yang pasti dipenuhi oleh Allah?”, aku menjawab “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”, kemudian beliau bersabda, “Hak Allah yang harus dipenuhi oleh hamba-hamba-Nya ialah hendaknya mereka beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, sedangkan hak hamba yang pasti dipenuhi oleh Allah tidak akan menyiksa orang-orang yang tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.”[9]

Demikian hendaklah seorang hamba bersungguh-sungguh untuk menanamkan keihklasan di hatinya dalam beribadah, dengan cara menyempurkan sekuat mungkin ketergantungan dirinya hanya kepada Allah ﷻ serta mencari keridhoan dan pahalanya. Dan takutlah dari perbuatan syirik dengan mencoba menjauhi dari segala jalan atau wasilah-wasilah yang dapat mengantarkan seseorang kepada kesyirikan. Senantiasa mohonlah kepada Allahﷻ agar Allah ﷻ  selalu melindungi dari perbuatan syirik. Wallâhu ta’ala a’lam.[]

Penyusun:

Much Diki Mualimin

Mahasiswa Ahwal Syakhshiyah

Universitas Islam Indonesia

Marâji’

[1] Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin – Penjelasan Inti Ajaran Islam – Solo – Pustaka Arafah – 2010 – Cetakan Pertama – Hal. 135

[2] Abu ‘Isa Abdullah bin Salam – Mutiara Faidah Kitab Tauhid – Yogyakarta – Pustaka Muslim Yogyakarta – 2011 – Cetakan keempat – Hal. 13

[3] Abu ‘Isa Abdullah bin Salam – Mutiara Faidah Kitab Tauhid – Yogyakarta – Pustaka Muslim Yogyakarta – 2011 – Cetakan keempat – Hal. 18

[4] Dr. Firanda Andirja, Lc., MA. – Syarah Kitab Tauhid – Jakarta – 2019 – Cetakan Pertama – Hal. 6

[5] Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan – Kitab Tauhid – Jakarta Timur – Ummul Qura – 2019 – Cetakan Lima Belas – Hal. 96

[6] Abu ‘Isa Abdullah bin Salam – Mutiara Faidah Kitab Tauhid – Yogyakarta – Pustaka Muslim Yogyakarta – 2011 – Cetakan keempat – Hal. 40

[7] H.R. al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad no. 783

[8] Dr. Firanda Andirja, Lc., MA. – Syarah Kitab Tauhid – Jakarta – 2019 – Cetakan Pertama – Hal. 69

[9] H.R. al-Bukhari no. 2856, 5967, 6267, 6500, 7373 dan Muslim no.

Download Buletin klik disini

5 Kenikmatan Masuk Surga

Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah syurga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadanya. yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.” (Q.S. al-Bayyinah [98]: 8)

Saudaraku seiman, sering kita dalam kehidupan ini merasakan rasanya kekurangan dalam hidup dan kita dituntut untuk selalu bersyukur atas apa yang telah kita terima, dan memang hal itu wajib kita lakukan. Allah ﷻ memberikan kekurangan tersebut agar kita sadar bahwa kita masih membutuhkan-Nya dan tanda bahwa kita hanya bergantung kepada Tuhan Yang Maha Pengasih.

Ketika kita bekerja, merasakan lelah di cuaca yang panas dan ingin sekali minum minuman yang segar dengan buah-buahan yang manis merupakan sebuah kenikmatan yang mungkin pada saat itu dibayangan kita adalah hal yang paling nikmat. Ketika pakaian yang kita gunakan sudah usang, pasti ingin sekali mengganti pakaian tersebut agar terlihat lebih elegan. Hal tersebut walaupun sebuah kekurangan tetapi harus kita syukuri pemberian dari Allah ﷻ.

Namun tahukah kamu bahwa itu hanya di dunia saja, dan bagi orang-orang beriman dan beramal shalih maka mereka akan bersabar dalam menghadapinya. Bagi orang-orang beriman dan beramal shalih, setelah melewati gerbang kematian mereka akan mendapatkan balasan-balasan yang sangat diinginkan bahkan tidak dapat dibayangkan sebelumnya berupa kenikmatan surga. Tahukah kamu apa saja kenikmatan surga yang dijanjikan Allah ﷻ tersebut? Mari simak setidaknya ada 5 keutamaan surga yaitu:

  1. Sungai-Sungai yang Mengalir.

“…Tajrī min taḥtihal anhār, arti dari ayat tersebut kurang lebih adalah “…sungai-sungai yang mengalir di bawahnya…”

Buya Hamka dalam Tafsir al-Azhar menjelaskan bahwa kalimat tajrī min taḥtihal anhār merupakan lambang kiasan dari kesejukan yang membawa ketentraman, nikmat tentramnya tidak akan pernah kering[1].

Sungai yang disajikan oleh Allah ﷻ di surga nanti tidak akan pernah bisa dibayangkan oleh manusia, sebab dalam al-Qur’an Surat Muhammad [47]:15, Allah ﷻ akan memberikan pertama yaitu air sungai yang tidak akan berubah rasanya dan akan tetap segar, kemudian yang kedua sungai yang mana mengalir air susu, dan ketiga sungai yang mengalir berupa madu. Untuk yang alergi susu dan madu dijamin tetap bisa meminum air tersebut sepuas mungkin dan tidak akan pernah bosan.

  1. Buah-buahan dan Makanan yang Lezat.

Surga menawarkan air segar yang mengalir dan si peminum tidak akan merasakan bosan meminumnya. Dalam al-Qur’an surat Muhammad [47]:15, selain minuman yang segar juga lezat, di surga juga terdapat buah-buahan yang beragam. Tidak bisa dibayangkan pada saat ini bagaimana rasa dan harumnya buah di surga, walaupun rupanya sama dengan buah yang ada di dunia harumnya sangat menyengat hingga ingin sekali memakannya sedangkan rasanya jauh beda lezatnya dengan yang ada di dunia[2].

  1. Berbagai Macam Perhiasan yang Digunakan.

Pakaian yang saat ini kita syukuri keadaannya akan digantikan oleh Allah ﷻ dengan kain-kain dari sutra, dengan berbagai macam perhiasan yang diberikan[3]. Bahkan apabila anak yang dirawatnya menjadi seorang hafizh, dijanjikan oleh Allah ﷻ dia sebagai orang tua yang baik akan dikenakan pakaian terbaik di surga.

Bukan cuma pakaian dan perhiasan yang digunakan, tetapi juga tempat makan yang disediakan oleh Allah ﷻ untuk orang-orang yang beriman terbuat dari bahan-bahan yang tidak mungkin digunakan oleh kita di dunia ini. Pernahkah membayangkan tempat makan dari emas, perak, intan permata atau berlian dijadikan sebagai wadah makan? Itulah bagaimana istimewanya bagi orang yang dimasukan ke surganya Allah ﷻ.

  1. Melihat Wajah Allah .

Siapa yang tidak senang melihat wajah kekasihnya, kekasih bukan sembarang kekasih tetapi kekasih yang ”selalu” mengasihi. Kasih-Nya meliputi seluruh alam, kasih-Nya tidak terkira. Melihat wajah Sang Kekasih membuat mata kita syahdu sehingga kita hanya bisa terpana haru, senang semua tercampur aduk.

Mari kita renungkan hadits berikut, “Dari Suhaib, Rasulullah ﷺ membacakan ayat, “Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik dan tambahannya.” (Q.S. Yūnus[10]:26). Lalu bersabda, “Apabila penduduk surga telah masuk surga, dan penduduk neraka telah masuk neraka, maka ada malaikat yang berseru, “Hai penduduk surga, kamu akan memperolah apa yang akan dijanjikan oleh Allah dan hendak menepatinya kepadamu.” Mereka berkata, “Apakah itu? Bukankah Allah telah memberatkan timbangan kami, memutihkan wajah kami, memasukan kami ke surga dan menyelamatkan kami dari neraka?” Lalu tabir dibukakan, maka mereka melihat Allah. Mereka tidak diberikan sesuatu yang lebih mereka cintai daripada melihat-Nya. Itulah yang dimaksud dengan tambahan” (H.R. Muslim)[4].

  1. Bidadari Surga

Mungkin saat ini kita tidak dirindukan oleh penduduk bumi, tetapi semoga atas amal shalih yang kita perbuat maka kita bisa jadi sedang dirindukan penduduk langit. Bidadari surga merupakan salah satu penduduk langit. Disebutkan dalam al-Qur’an surat Ar-Rahman[55]: 56, bidadari surga belum pernah disentuh baik oleh manusia maupun oleh kalangan jin, matanya juga terbatas sudut pandangnya. Dalam tafsir bidadari yang dimaksud merupakan gadis-gadis perawan yang tersedia hanya untuk orang-orang yang senantiasa menahan hawa nafsunya saat di dunia sehingga balasannya berupa bidadari yang matanya tidak genit dan belum pernah disentuh sama sekali oleh kalangan manusia maupun jin[5].

Saudaraku seiman. Alangkah besarnya nikmat Allah ﷻ yang diberikan baik di dunia maupun di akhirat. Kesempatan yang dapat ditulis merupakan hanya sebagian kecil kenikmatan yang diberikan di surga nanti. Allah ﷻ Maha Luas karunia-Nya dan Allah ﷻ Maha Luas kasih sayang-Nya sehingga betapa ruginya kita dikala setelah melewati masa kehidupan ini kita tidak mendapatkan kenikmatan surga sedikitpun. Jangan harap saya menuliskan kenikmatan neraka karena tidak ada nikmatnya sama sekali masuk neraka. Semoga penulis dan pembaca bisa dipertemukan di surganya Allah ﷻ. Âmîn!

Penyusun:

Arviyan Wisnu Wijanarko

Alumni Ahwal Syakhshiyyah Fiai UII

Marâji’

[1] Buya Hamka. Tafsir Al-Azhar Jilid 9.Depok: Gema Insani. 2015 M. Cet.k-1. hal. 639.

[2] Buya Hamka. Tafsir Al-Azhar Jilid 10.Depok: Gema Insani. 2015 M. Cet.k-1. hal. 337.

[3] Nashih Nasrullah. Begini Gambaran Surga Yang Diabadikan Dalam Alquran. 2020 M. https://republika.co.id/berita/q96hrz320/begini-gambaran-surga-yang-diabadikan-dalam-alquran

[4] Muhammad Idrus Ramli. Akidah Ahlussunnah Wal-Jamaah, Penjelasan Sifat 50. Ponpes Al-Hujjah: Al-Hujjah Press. hal. 202-203

[5] Buya Hamka. Tafsir Al-Azhar Jilid 10.Depok: Gema Insani. 2015 M. Cet.k-1. hal. 616-620.

Mutiara Hikmah

Rasulullah ﷺ bersabda,

وَلَدُ آدَمَ كُلُّهُمْ تَحْتَ لِوَائِيْ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ، وَأَنَا أَوَّلُ مَنْ يُفتَحُ لَهُ بَابُ الَجنَّةِ

Dari Hudzaifah ia berkata, telah bersabda Rasulullah ﷺ, “Semua anak Adam di bawah benderaku/panjiku kelak di hari kiamat. Dan aku adalah orang yang pertama kali dibukakan pintu surga” (Shahîhul-Jâmi’ no. 6995)

Download Buletin klik disini

Perkembangan Dakwah Di Era Digital

Perkembangan Dakwah Di Era Digital

Bismillâhi walhamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,  

Pengantar

Dakwah berasal dari bahasa Arab yakni da’ȃ-yad’ȗ, yang artinya menyeru atau memohon, sedangkan dakwah adalah masdar dari da’ȃ-yad’ȗ- da’watan yang berarti seruan atau permohonan. Seperti surat al-Baqarah ayat 186, “Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, (maka jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia berdo’a kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi perintah-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu dalam keadaan kebenaran.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 186).

Dalam ayat ini, dakwah berarti permohonan. Maka, dakwah bisa saja diartikan sebuah ajakan yang bisa saja baik dan juga bisa ajakan yang buruk. Tetapi masyarakat Islam sering memahami bahwa dakwah merupakan ajakan baik yang maksudnya adalah mengajak orang menuju jalan yang benar, jalan yang diridhai Allah ﷻ.

Dari beberapa definisi tentang dakwah, ada yang mengatakan dakwah mempunyai dua pengertian yakni arti sempit dan arti luasnya. Jika arti sempitnya, maka dakwah hanya diartikan sebagai ajakan baik untuk manusia, yang sering disebut dakwah bil-lisȃn, dan biasanya seperti ceramah-ceramah agama yang terjadi di masjid-masjid atau suatu daerah, yang bentuknya hanya sekedar pidato atau memberi ilmu dengan perkataannya. Dakwah bil-lisȃn ini sekarang berkembang menjadi dakwah bil-kitȃbah seperti tulisan-tulisan tentang dakwah atau pengetahuan Islam yang dijadikan buku atau yang ada di majalah.

Sedangkan untuk arti luasnya, maka dakwah tak hanya mengajak dengan perkataannya saja didepan orang banyak, bahkan ia bisa mempengaruhi sekaligus, tentunya dengan cara yang sesuai dengan suasana di tempat atau daerah yang didakwahi. Dakwah yang seperti ini disebut dengan dakwah bil-hȃl, yakni dakwah yang dapat mempengaruhi orang lain dengan perilaku yang dilakukan oleh pendakwah tersebut, jadi tak hanya dengan perkataannya tetapi juga mencerminkan perilaku atau akhlaknya kepada sekelompok orang sehingga mereka dapat terpengaruh karena amal perbuatan pendakwah tersebut dan mulai memilih jalan yang diridhoi oleh Allah ﷻ.

Dakwah Pada Masa Awal Islam

Melihat sejarah Nabi Muhammad ﷺ yang berusaha mengerahkan segala yang dipunya hanya untuk mengajak orang agar berada dalam jalan yang benar. Saat itu, ada beberapa tahapan dakwah, dakwah periode Makkah ada tiga tahapan, yaitu[1]:

  1. Tahapan dakwah secara sembunyi-sembunyi, yang berlangsung selama tiga tahun.
  2. Tahapan dakwah secara terang-terangan yang berlangsung mulai dari tahun ke-4 nubuwah hingga akhir tahun ke-10.
  3. Tahapan dakwah diluar Makkah, yang saat itu dimulai dari tahun ke-10 nubuwah sampai hijrah ke Madinah.

Usaha Nabi Muhammad ﷺ untuk menyebarkan Islam memang sangat besar, dan begitu banyak tantangan yang dihadapi Nabi Muhammad ﷺ saat mulai mengajak orang-orang untuk memeluk agama Islam. Yang awalnya Nabi Muhammad ﷺ berdakwah secara sembunyi-sembunyi, karena melihat masyarakat Makkah saat itu yang menyembah patung-patung dan berhala-berhala, maka akan membuat mereka tambah berontak jika dakwah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad ﷺ saat itu secara tiba-tiba. Maka dari itu, Nabi Muhammad  ﷺ menampakkan ajaran Islam kepada kerabat terdekat Nabi ﷺ, seperti keluarganya saat itu. Dan orang-orang terdekat Nabi ﷺ saat itu juga tidak meragukan ajakan Nabi ﷺ untuk memeluk agama Islam, mereka mempercayai itu karena mereka juga melihat Nabi ﷺ merupakan orang yang terkenal dengan kejujurannya.

Maka, setelah dakwah secara sembunyi-sembunyi, Rasulullah ﷺ memulai dakwah secara terang-terangan. Dan ini adalah tahapan dakwah yang kedua yang terjadi di Makkah. Rasulullah ﷺ memulai dakwah kepada keluarganya yang masih menyembah berhala. Banyak sekali tantangan yang harus dihadapi Rasulullah ﷺ saat memulai dakwah secara terang-terangan ini, tetapi Rasulullah ﷺ tetap sabar dalam menghadapinya, dan Allah ﷻ juga selalu memberi pertolongan kepada ummat manusia yang berada di jalan-Nya. Terutama pada tahapan dakwah yang ketiga, dakwah diluar Makkah, tantangan yang dihadapi bertambah besar, bahkan ada kaum yang sampai ingin menghabisi Rasulullah ﷺ saat itu, hingga akhirnya pertolongan Allah ﷻ datang untuk melindungi Rasulullah ﷺ.

Dakwah Pada Era Digital

Dengan adanya perkembangan teknologi di era digital ini, maka bertambah sulit pula masalah yang dihadapi. Strategi dakwah dengan adanya perkembangan teknologi juga harus berkembang. Pengembangan strategi dakwah, yaitu dengan mengembangkan nilai-nilai Islam yang dipadukan secara kreatif dan inovatif dan dikaitkan dengan kehidupan masyarakat saat ini. Dakwah seperti ini juga harus mampu mengisi kekosongan hati masyarakat tentang ilmu agama, dan juga mengajarkan tentang perkembangan di masa depan tetapi tetap terkandung nilai-nilai Islam didalamnya.[2]

Dakwah pada era digital sekarang ini juga harus menggunakan strategi, yakni dengan menggunakan teknologi yang ada dengan cara yang bijak dan dapat menebarkan pengaruh positif kepada masyarakat. Karena perkembangan teknologi sekarang tidak bisa dikendalikan, sampai ada juga masyarakat yang tidak bisa mengikuti perkembangan tersebut karena begitu cepatnya,  orang tinggal duduk dan dia juga dapat mendapatkan apa yang ia mau.

Sepesat itu teknologi saat ini berkembang, zaman sekarang juga orang tidak perlu lagi menyibukkan diri untuk pergi jauh, karena semua sudah tersedia dan serba instan. Maka dari itu, media yang digunakan untuk dakwah juga harus memanfaatkan teknologi yang sedang berkembang pesat ini. Media yang digunakan oleh pendakwah harus dapat menyampaikan pesan yang ingin disampaikan dan sesuai dengan keadaan masyarakat saat itu.

Teknik yang digunakan untuk berdakwah juga harus sesuai dengan adat masyarakat, karena dakwah ini bermaksud untuk mengajak masyarakat berbuat baik, dan agar ajaran-ajaran agama Islam bisa sampai kepada mereka. Antara cara dakwah yang berhikmah adalah dengan kelembutan, karena dengan kelembutan seseorang akan merasakan senang karena perilaku lembut yang dilakukan oleh pendakwah, dan dengan cara itu juga orang-orang mau mendengarkan apa yang disampaikan oleh pendakwah tersebut.[3] Karena kelembutan itu akan datang dari hati, dan hal tersebut dapat mempengaruhi orang-orang sekitar. Tak hanya dengan kelembutan, dakwah juga dengan kesabaran. Seperti Rasulullah ﷺ, kesuksesan dakwah Rasul ﷺ karena kesabaran yang beliau miliki sehingga dapat mengetuk pintu hati orang-orang yang dahulu pernah menganggap remeh terhadap Rasulullah ﷺ. Dan dakwah yang dilakukan juga harus dengan rendah hati dan juga rendah diri terhadap semua masyarakat yang beriman.

Maka dari itu, melihat penjelasan diatas dan berkembangnya zaman melalui perkembangan teknologi saat ini, baiknya dakwah dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai wawasan dan pengetahuan yang cukup dengan menggunakan metode dan media yang sesuai dengan perkembangan teknologi dan kondisi masyarakat saat ini.

Penyusun:

Qonitah Cahyaning Tyas

Prodi PAI 2017

Marâji’

[1] Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri.1414 H. Ar-Rohiq Al-Makhtum. Riyadh: Darussalam. hal. 72

[2] Murniaty Sirajuddin. Pengembangan Strategi Dakwah Melalui Media Internet dalam Jurnal Al-Irsyad An-Nafs, Jurnal Bimbingan Penyuluhan Islam, Vol. 1, No. 1 Desember 2014, hal. 11-23 (13-14)

[3] Khoirun Nisa’. Dakwah Masa Kini (Peran Teknologi Dan Hilangnya Sebuah Keteladanan) dalam Jurnal Ummul Qura, Vol. IX, No. 1 Maret 2017, hal. 1-15 (6)

Mutiara Hikmah

Rasulullah ﷺ bersabda dalam sebuah hadits:

فَإِنَّ الرِّفْقَ لَمْ يَكُنْ فِى شَىْءٍ قَطُّ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ نُزِعَ مِنْ شَىْءٍ قَطُّ إِلاَّ شَانَهُ

Sesungguhnya lemah lembut tidaklah ada pada sesuatu kecuali akan menghiasinya, dan tidaklah dicabut dari sesuatu kecuali akan memperkeruhnya”(H.R. Abu Dawud, sanad: shahih).

Download Buletin klik disini

Keseimbangan Antara Doa Dan Usaha

Keseimbangan Antara Doa Dan Usaha

Bismillahi walhamdulillahi wash-shalatu wassalamu ‘ala rasulillah,

Tujuan utama manusia diciptakan adalah beribadah hanya kepada Allah ﷻ, meskipun ada tujuan lainnya yaitu duniawi. Allah ﷻ berfirman, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.”(Q.S. adz-Dzariyat [51]: 56).

Tujuan yang bersifat duniawi dapat terhitung sebagai ibadah jika diniatkan untuk ibadah. Contohnya adalah ketika seseorang rutin melakukan aktivitas olahraga dengan niat mendapatkan jasmani yang sehat sehingga dapat beribadah kepada Allah ﷻ dengan maksimal, maka olahraga yang dilakukan dapat dihitung sebagai amal ibadah.

Berusaha dan berdoa merupakan dua hal yang penting ketika seseorang menginginkan sesuatu. Akan tetapi selain dua hal tersebut, terdapat beberapa hal penting yang harus dilakukan oleh seseorang untuk memperoleh apa yang ia inginkan, yaitu:

  1. Diiringi dengan niat yang baik

Ketika seseorang menginginkan sesuatu, harus diiringi dengan niat yang baik. Ketika seseorang ingin kuliah di jurusan kedokteran, maka harus diniatkan untuk kebaikan dimana ketika lulus dan menjadi dokter, akan membantu orang lain. Niat merupakan suatu hal yang sangat penting, Rasulullah ﷺ bersabda, “Semua amal perbuatan tergantung niatnya dan setiap orang akan mendapatkan sesuai apa yang ia niatkan” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Hadits tersebut menjelaskan bahwa perbuatan yang baik dan bermanfaat, jika diiringi dengan niat yang baik, ikhlas dan mengharap keridhaan Allah ﷻ, maka perbuatan tersebut merupakan ibadah.[1] Hal tersebut dilakukan untuk mendapatkan keridhaan Allah ﷻ, sehingga Allah ﷻ memudahkan seseorang untuk memperoleh apa yang diinginkannya.

  1. Berusaha dengan maksimal

Untuk memperoleh sesuatu yang diinginkan, seseorang harus berusaha dengan semaksimal mungkin agar keinginannya tercapai. Jika seseorang berkeinginan untuk kuliah di jurusan kedokteran, maka ia harus belajar dengan sungguh-sungguh agar bisa kuliah di jurusan kedokteran.

Berusaha untuk memperoleh sesuatu yang diinginkan tidak boleh dengan cara yang haram, seperti suap-menyuap. Tidak dapat dipungkiri bahwa pada zaman saat ini banyak orang yang menginginkan sesuatu tetapi tidak ingin berusaha atau dengan kata lain melalui jalan pintas yakni dengan cara suap. Rasulullah ﷺ bersabda, “Semoga laknat Allah ditimpakan kepada penyuap dan yang disuap” (H.R Ahmad, Ibnu Majah, dll).[2]

  1. Berdoa kepada Allah ﷻ 

Memperoleh sesuatu tidak bisa hanya dengan cara berusaha saja, tetapi harus melibatkan Allah ﷻ di dalamnya, salah satu caranya adalah dengan berdoa. Allah ﷻ berfirman, “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang aku, Maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 186).

Ibnu Qoyyim berkata, “Doa merupakan sebab terkuat bagi seseorang untuk selamat dari hal yang tidak disukai dan sebab utama meraih hal yang diinginan.[3] Rasulullah ﷺ bersabda, “Tidak ada sesuatu yang lebih besar pengaruhnya di sisi Allah selain doa” (H.R. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad).

Dalam berdoa, harus diikuti dengan keyakinan bahwasannya Allah ﷻ akan mendengar doa kita, memberikan pertolongan kepada kita dan mengabulkan doa kita. Rasulullah ﷺ bersabda, “Berdoalah kepada Allah dengan keadaan yakin akan dikabulkan, dan ketahuilah bahwa Allah tidak mengabulkan doa dari hati yang lalai” (H.R. Tirmidzi).

  1. Tawakkal kepada Allah

Ibnu Rojab  dalam Jami’ul Ulum wal Hikam mengatakan, “Tawakkal adalah benarnya penyandaran hati pada Allah l untuk meraih berbagai kemaslahatan dan menghilangkan bahaya baik dalam urusan dunia maupun akhirat, menyerahkan semua urusan kepada-Nya serta meyakini dengan sebenar-benarnya bahwa tidak ada yang memberi, menghalangi, mendatangkan bahaya, dan mendatangkan manfaat kecuali Allah ﷻ semata”.[4]

Tawakkal bukan berarti hanya pasrah dengan keputusan Allah ﷻ, tetapi harus diikuti dengan usaha beribadah kepada Allah ﷻ dengan ikhlas, karena jika seseorang selalu beribadah untuk urusan akhiratnya dan menjadikan akhirat sebagai tujuannya, maka urusan dunianya akan mudah untuk didapatkan. Rasulullah ﷺ bersabda, “Barangsiapa tujuan hidupnya adalah dunia, maka Allah akan mencerai-beraikan urusannya, menjadikan kefakiran di kedua pelupuk matanya, dan ia tidak mendapatkan dunia kecuali menurut ketentuan yang telah ditetapkan baginya. Barangsiapa yang niat (tujuan) hidupnya adalah negeri akhirat, Allah akan mengumpulkan urusannya, menjadikan kekayaan di hatinya, dan dunia akan mendatanginya dalam keadaan hina.” (H.R. Imam Ahmad, Ibnu Majah, Imam Ibnu Hibban, al-Baihaqi).[5]

Jika empat hal diatas dilakukan sebagai bentuk upaya seseorang dalam memperoleh sesuatu, maka keinginannya tersebut dapat terpenuhi tentunya dengan izin dan kehendak Allah ﷻ. Akan tetapi, sering ditemukan bahwasannya seseorang menginginkan sesuatu tetapi ia tidak mendapatkan apa yang ia inginkan walaupun sudah diiringi niat yang baik, berusaha dengan keras, berdoa kepada Allah ﷻ setiap saat hingga berserah diri kepada Allah ﷻ.

Dalam keadaan seperti itu, yang perlu diperhatikan adalah bahwasannya hanya Allah ﷻ yang mengetahui apa saja yang baik dan tidak baik bagi manusia. Sering terlintas di pikiran kita kalau apa yang ingin kita peroleh adalah sesuatu yang baik untuk dilakukan. Akan tetapi hanya Allah ﷻ yang mengetahui baik tidaknya sesuatu, Allah ﷻ berfirman, “Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak Mengetahui” (Q.S. al-Baqarah [2]: 216).

Selain itu, ketika kita sudah melakukan empat hal diatas tetapi tidak mendapatkan apa yang kita inginkan, hal lain yang harus dilakukan adalah introspeksi diri, bisa jadi dalam usaha kita memperoleh sesuatu, ada sebab-sebab yang menjadi penghalang sehingga apa yang kita inginkan tidak kita dapatkan, contohnya adalah dalam berdoa. Ada beberapa sebab yang menjadi penghalang terkabulnya doa, diantaranya penghalang doa adalah selalu menggunakan barang yang haram, baik makanan, minuman dan pakaian yang kita pakai. Minuman, makanan dan pakaian yang kita pakai yang pada awalnya adalah halal, dapat menjadi haram apabia diperoleh dengan cara yang haram pula, seperti mendapatkannya dengan mencuri, berasal dari harta riba dan lainnya yang dilarang oleh syari’at. Semoga Allah ﷻ memberikan kemudahan kepada kita semua dalam melaksanakan urusan-rurusan yang ada.[]

Muhammad Romzi Wicaksono

Prodi Ahwal Syakhshiyyah, FIAI UII

 

Marâji’

[1] Musthafa Dieb al-Bugha Muhyiddin Mistu. Al-Wafi Syarah Kitab Arba’in An-Nawawiyah. Jakarta: Al-I’tishom. 1998 M. Cet.k-10. hal. 5

[2] https://muslim.or.id/19963-budaya-sogok-menyogok.html

[3] https://rumaysho.com/1734-allah-begitu-ekat-pada-orang-yang-berdoa.html

[4] https://rumaysho.com/68-tawakkal-yang-sebenarnya.html

[5]  https://almanhaj.or.id/12638-jadikanlah-akhirat-sebagai-niatmu-2.html

Mutiara Hikmah

Doa Agar Bisa Mencintai Orang yang Mencintai Allah ﷻ

اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ حُبَّكَ وَحُبَّ مَنْ يُحِبُّكَ وَحُبَّ عَمَلٍ يُقَرِّبُ إِلَى حُبِّكَ

“Saya memohon agar dapat mencintai-Mu, mencintai orang-orang yang mencintai-Mu dan mencintai amal yang dapat mendekatkan diriku kepada cinta-Mu.”

(H.R. Tirmidzi no. 3235 dan Ahmad 5: 243).

Download Buletin klik disini

Agar Rasa Cintamu Di Ridhai

Agar Rasa Cintamu Di Ridhai

Bismillâhi wal hamdulillâh wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,  

Rasa cinta merupakan anugerah yang diberikan Allah ﷻ terhadap makhuk-Nya. Sungguh Maha Besar Allah ﷻ telah menciptakan makhluk-Nya berpasang-pasangan dari berbagai suku dan ras untuk saling mengenal. Seperti yang sudah tercantum dalam Al-Quran surat Al-Hujurat ayat 13.

Allah ﷻ berfirman, “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha teliti.” (Q.S. al-Hujurat [49]: 13).

Sudah menjadi fitrah apabila seorang manusia memiliki rasa cinta terhadap lawan jenis. Cinta memiliki dampak negatif apabila disandarkan pada perbuatan zhalim. Jika cinta tidak dipupuk dengan baik maka akan lahir menjadi akhlak tercela dan memberikan stigma buruk dalam mengarungi kehidupan.

Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa Islam datang untuk memberikan solusi. Melalui syariatnya, Allah ﷻ memerintahkan bagi umat Islam agar tidak berpacaran ketika rasa cinta itu hadir. Namun menganjurkan untuk saling mengenal (ta’aruf), selanjutnya memastikan calonnya (nazhar), dilanjutkan lamaran (khitbah) dan berakhir pada akad nikah. Lantas, agaimana jika seseorang itu belum memiliki kesiapan dalam menjalankan komitmen namun rasa cinta selalu saja menghantui dalam lubuk hatinya?

Agar Cinta diridhai Allah ﷻ

Ada beberapa anjuran dalam agama Islam yang perlu diketahui, salah satu diantaranya agar rasa cinta di ridhai oleh Allah ﷻ adalah:

Pertama, perbanyak melakukan hal yang baik dan bermanfaat. Dengan melakukan hal yang positif semisal aktif dalam kegiatan sosial, mengembangkan soft skill, dan menggali ilmu akan membawa kita kepada kebaikan dan lambat laun perbuatan buruk yang terbiasa dilakukan akan berkurang dengan sendirinya. Dalam Al-Quran Allah ﷻ berfirman, “… Perbuatan-perbuatan baik itu menghapus kesalahan-kesalahan. Itulah peringatan bagi orang-orang yang selalu mengingat (Allah).” (Q.S. Hud [11]: 114).

Apabila perbuatan baik telah bersatu dalam diri maka Allah ﷻ selalu membimbing hambanya menuju kebaikan. Memperbanyak perbuatan yang baik akan menjadi solusi untuk mengatasi kegalauan pada hati. Dalam Al-Quran Allah ﷻ berfirman, “Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka.” (Q.S. al-Fath [48]:4).

Kedua, mengurangi perbuatan maksiat dan berusaha untuk meninggalkannya. Sejatinya perubahan suatu keadaan membutuhkan proses. Namun pada dasarnya, manusia memiliki potensi hidayah yang diberikan oleh Allah ﷻ sejak lahir. Adanya potensi hidayah menjadikan manusia memiliki ikatan dengan Allah ﷻ. Dalam Al-Quran Allah ﷻ berfirman, “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap roh mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan,”Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini,” (Q.S. al-Araf [7]: 172).

Ketiga, perbanyak doa. Mohonlah kepada Allah ﷻ agar senantiasa dimudahkan menjalani proses untuk menjadi lebih baik. Doa merupakan senjata ummat muslim untuk meraih segala upaya dan harap. Dalam doa terdapat hubungan antara hamba dan Rabb-Nya. Ada banyak waktu mustajab dalam berdoa, salah satunya di waktu sepertiga akhir malam.

Imam Asy-Syafi’i mengatakan bahwa doa disaat tahajud adalah umpama panah yang tepat mengenai sasaran. Selain itu, waktu mustajab terdapat juga ketika berbuka puasa bagi orang yang berpuasa, setiap selepas shalat fardhu, sesaat pada hari jumat, pada waktu bangun tidur pada malam hari bagi seseorang yang sebelum tidur dalam keadaan suci dan berdzikir kepada Allah ﷻ dan doa diantara adzan dan iqomah. Berikanlah keyakinan dalam berdoa dan janganlah takut untuk banyak meminta kepada-Nya. Sesungguhnya Allah ﷻ sangat senang apabila terdapat seorang hamba yang meminta dan berdzikir kepada-Nya.

Tiga Nilai Keberkahan

Dalam istiqamah Allah ﷻ memberikan keberkahan hidup dan kemuliaan yang begitu berharga. Ada tiga nilai pada keberkahan:

Pertama, menjadikan kita dekat dengan Allah ﷻ. Semakin kita taat kepada perintah-Nya, semakin Allah mencintai hamba-Nya. Seorang hamba apabila memiliki ketaatan pada Tuhannya, Ia merasa dekat walaupun dalam keadaan susah. Ada rasa cinta kepada Allah ﷻ di hati seorang mukmin, sehingga membutakan nafsu dan kezhaliman dalam dirinya. Bagi seseorang yang belajar istiqamah hatinya tidak merasakan kesedihan dan kekecewaan. Karena dirinya mengetahui bahwa apa yang terjadi adalah sebuah hikmah dan taufiq dari Allah subhânahu wa ta’âlâ.

Kedua, menjadikan hati lebih tenang. Seseorang yang istiqamah maka Allah ﷻ akan memberikan ma’rifat di dalam hatinya. Ma’rifat adalah ketetapan hati yang tak pernah goyah karena mempercayai wujud adanya Allah ﷻ dan menggambarkan segala kesempurnaan-Nya. Dan hati selalu mendapatkan cahaya Allah ﷻ karena selalu berinterakasi dengan Rabb-Nya. Allah ﷻ berfirman dalam Al-Quran, “ Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya.” (Q.S an-Najm [53]: 11).

Ketiga, menjadikan seseorang lebih baik. seseorang yang hatinya telah terpaut dengan amalan shalih dan berbuat kebaikan. Allah ﷻ senantiasa memberikan keberkahan dalam hidupnya. Baik berupa rezekinya, waktu, dan hajatnya, Allah subhânahu wa ta’âlâ selalu bimbing menuju jalan di ridhai-Nya. Begitulah Allah subhânahu wa ta’âlâ berfirman dalam Al-Quran, “Barangsiapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki meupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik. Dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (Q.S an-Nahl [16]: 98).

Rasa cinta merupakan amanah dari Allah ﷻ. Bukan suatu kesalahan apabila seorang hamba memiliki rasa cinta. Rasa cinta akan muncul berawal dari hati. Apabila hati seseorang itu baik maka baiklah seluruh perbuatannya. Hiasilah rasa cinta itu dengan penuh ketaqwaan semata-mata untuk Allah ﷻ. Agar rasa cinta yang dimiliki di ridhai oleh-Nya dan mendapatkan kebahagian di dunia dan akhirat.[]

Aisyah Amalia Putri

PAI-UII 2015

Mutiara Hikmah

Dari An Nu’man bin Basyir, Nabi ﷺ bersabda,

أَلاَ وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلاَ وَهِىَ الْقَلْبُ.

Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati (jantung)” (H.R. Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599).

Download Buletin klik disini

Zhalim Termasuk Perbuatan Hipokrit?

Zhalim Termasuk Perbuatan Hipokrit?

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh

Pembaca budiman yang senantiasa dirahmati Allah . Dalam hidup, kita selalu dianjurkan untuk berbuat jujur, adil, berpenampilan sopan, berkata lemah lembut dan perilaku bijak lainnya. Kepada sesama manusia siapapun mereka. Baik kepada adik, tetangga sekitar atau bahkan kepada orang yang lebih tua daripada kita seperti orang tua dan guru-guru kita. Allah  telah menganugerahi kira akal untuk berpikir sehingga bisa membedakan baik-buruk, benar-salah yang itu semuanya menegaskan perbedaan antara manusia dengan makhluk lainnya.

Pengertian Munafik

Hipokrit merupakan sinonim dari kata munafik. Dalam bahasa arab, munafik adalah seseorang yang berbuat nifak. Sedangkan nifak sendiri adalah perilakunya. Nifak berarti penjelasan apa yang di lahir berbeda dengan apa yang di batin. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI, munafik adalah berpura-pura percaya atau setia dan sebagainya kepada agama dan sebaginya, tetapi sebenarnya dalam hatinya tidak.

Kita sering mendengar istilah munafik ini sejak dalam pendidikan dasar atau dalam kelas mengaji. Munafik umumnya mempunyai tiga ciri utama, yaitu: berdusta, ingkar janji, dan berkhianat. Hal ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah  bersabda, “Tanda orang munafik ada tiga; apabila berkata ia berbohong, apabila berjanji mengingkari, dan bila dipercaya mengkhianat”. (H.R Bukhari)

Contoh Perbuatan Munafik

Perbuatan munafik sangatlah banyak contohnya seperti seorang teman yang menyanjung dan memuji seseorang ketika berhadapan dengannya dan mencaci maki serta menyumpah serapahi ketika sedang tidak bersama dengannya. Hal ini sering dikenal dalam masyarakat umum sebagai orang yang bermuka dua.

Ada juga bermuka dua digambarkan dengan mengatakan apa yang disukai atau dibenci oleh kelompok tertentu dan mengatakan hal sebaliknya di kelompok yang lain. Kebenaran yang ditutupi oleh fakta yang dibuat-buat seolah-olah benar dapat berakibat buruk pada diri sendiri dan diri orang lain. Tindakan seperti itu sudah sangat sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari akan tetapi kadang kala kita lalai untuk menyadarinya.

Zhalim Termasuk Munafik

Berdasarkan hadits riwayat muslim nomor 58, dari Abdullah bin ‘amr radhiyallahu ‘anhu, ia berkata Rasulullah  bersabda, “Ada empat tanda, jika seseorang memiliki empat tanda ini, maka ia disebut munafik tulen. Jika ia memiliki salah satu tandanya, maka dalam dirinya ada tanda kemunafikan sampai ia meninggalkan perilaku tersebut, yaitu jika diberi amanat, khianat; jika berbicara, dusta; jika membuat perjanjian, tidak dipenuhi; jika berselisih, dia akan berbuat zhalim”. Dari hadits di atas dapat kita simpulkan ciri orang munafik adalah: Khianat, Berdusta, Ingkar janji, dan zhalim.

Tentunya kita harus melihat teks aslinya sebelum kemudian menghakimi secara serius perilaku zhalim ini. Dalam hadits di atas terdapat kata: “Wa idzâ khâsama fajara,” tidak ada sama sekali ada teks “zhalim” dalam kalimat tersebut, akan tetapi kita bisa menggali makna dari kata “fajara” ini. Yang dimaksud denga al-fujûr di sini adalah keluar dari kebenaran secara sengaja, sehingga dia menjadikan yang benar menjadi keliru dan yang keliru menjadi benar.

Contoh Perbuatan Zhalim

Kita sering menyaksikan perdebatan-perdebatan yang panas dan menggebu-gebu. Apalagi perdebatan itu berdasarkan tema politik dan agama yang semua saja seperti berhak menghukumi orang lain tanpa dasar yang jelas.

Dalam perdebatan itu sudah barang tentu ada selisih-selisih dan silat lidah. Apalagi perselisihan itu untuk mempertahankan kebatilan. Dia menyuarakan kepada orang-orang bahwa kebatilan itu sebagai sesuatu yang benar, serta menyamarkan yang benar dan menampilkannya sebagai suatu kebenaran. Hal seperti itu merupakan keharaman karena argumen yang dipakai adalah untuk mempertahankan kebatilan.

Dalam situasi yang lain kita sering mendapati orang yang bersikukuh akan argumennya, padahal perilaku yang dilakukannya adalah jelas salah. Hal itu karena mereka takut akan kehilangan jabatan, ketenaran, nama, harta dan hal-hal buruk yang akan menimpanya sebagai konsekuensi atas tindakan yang telah diperbuatnya. Hal ini sesuai dengan pepatah, “Apa yang kita tanam, akan kita tuai jua,” apa-apa yang kita lakukan dan perbuat nantinya akan berbuah sesuai dengan apa yang kita perbuat.

Zhalim dalam bahasa Arab berarti menempatkan sesuatu tidak pada tempatnhya, atau zhalim adalah lawan kata dari pada adil, menempatkan sesuatu pada tempatnya. Inti dari perbuatan zhalim dalam munafik ini adalah ketika ada perselisihan dan terjadi perdebatan, ada potensi penutupan atau penyamaran kebenaran dengan kebatilan yang dibuat seolah-olah benar dengan cara rekayasa kata dan argumen. Pernyataan ini mempertegas pengertian munafik: Apa yang dikatakan berbeda dengan apa yang sebenarnya terjadi.

Bagaimana Menghindari Perilaku Hipokrit?

Pertama, menghindari atau menjauhi perbuatan nifak harus menjadi watak dan juga karakter setiap muslim dan muslimat. Salah satu upaya agar terhindar dari perbuatan munafik adalah dengan berdo’a. Rasulullah  mengajarkan do’a, “Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari kefakiran, kekufuran, kefasikan, kedurhakaan, kemunafikan, sum’ah, dan riya’”. (H.R al Hakim no 1944, Shahih)

Kedua, bertaubat. Menyadari kesalahan dari diri sendiri dan memohon ampun kepada Allah atas segala kesalahan lalu berjanji untuk tidak mengulangi lagi, dalam hal ini adalah perilaku munafik.

Ketiga, selalu berkata jujur dalam bertutur kata, tidak ingkar janji dan selalu menetapi akan janji yang telah dibuatnya dan siap sedia dengan amanah yang dibebankan. Segala hal ini lama-kelamaan akan membantu seseorang terhindar dari perilaku munafik itu sehingga terciptalah kedamaian hati dan terbebas dari rasa was-was dan khawatir.

Balasan bagi Orang Munafik

Sudah barang tentu setiap amal perbuatan akan mendapat balasan yang sesuai. Hal ini senada dengan pepatah yang sudah dipaparkan sebelumnya, “Apa yang kita tanam akan kita tuai juga”. Orang yang memaki atau menghinakan orang lain, maka suatu saat dia akan terhina dengan sendirinya. Entah penghinaan itu berupa caci maki, sumpah serapah, ataukah dalam bentuk lain seperti ketidakbahagiaan dan kesulitan hidup sehingga menjadikannya terhina. Apapun itu segala amal pasti ada balasannya.

Allah , “Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih”. (Q.S an-Nisâ’ [4]: 138). Di surat yang sama, Allah  berfirman, “Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka”. (Q.S an-Nisâ’ [4]: 145)

Pembaca budiman yang senantiasa dirahmati oleh Allah ﷻ  sudah seyogyanya kita menghindari daripada perbuatan munafik. Zaman perselisihan dan perdebatan dalam dunia maya maupun nyata seringkali menggelincirkan seseorang dalam perbuatan zhalim yang bisa jadi masuk dalam kategori munafik tersebut. Alih-alih mendapat kenikmatan hidup sesuai ekspektasinya, hidupnya selalu dirundung kewas-wasan dan kekhawatiran. Naudzubillâhi min dzalik.[]

 

Marâji’

https://tafsirweb.com/1670-quran-surat-an-nisa-ayat-138.html

https://rumaysho.com/10836-barangkali-kita-termasuk-munafik.html

https://www.islampos.com/4-ciri-orang-munafik-hati-hati-anda-mungkin-salah-satunya-132288/

https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/munafik

 

Fatkhur Rohman Khakiki

Teknik Kimia FTI UII

Mutiara Hikmah

Doa dari kekufuran dan kemunafikan

اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْفَقْرِ وَالْكُفْرِ، وَالْفُسُوقِ، وَالشِّقَاقِ، وَالنِّفَاقِ، وَالسُّمْعَةِ، وَالرِّيَاءِ

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kefakiran, kekufuran, kefasikan, kedurhakaan, kemunafikan, sum’ah, dan riya’.”(H.R. al-Hakim no.1944)

Download Buletin klik disini