SIAPKAN BEKAL UNTUK MENJEMPUT AJAL

Katakanlah: “Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”. (QS. Al-Jumu’ah [62]: 09).

 

Manusia merupakan salah satu makhluk sosial yang diciptakan oleh Allah . Manusia diberikan hati dan naluri sebagai pangkal perbedaan dari makhluk-makhluk yang lainnya. Pada dasarnya semua ciptaan Allah  itu akan binasa. Misalnya, alam semesta ini. Dia akan mengalami kebinasaan pada waktu yang telah ditetapkan oleh Allah dan itu menjadi rahasia besar Ilahi. Sama halnya dengan kita.

Kita sebagai makhluk yang diciptakan oleh Allah pada hakikatnya juga akan menemui masa perpisahan kita dengan alam dunia ini. Memang ini menjadi teka-teki dan misteri besar yang sampai peran teknologi di era revolusi industri 4.0 dan modernisasi abad ke 21 semakin pesat berkembang tidak mampu mengetahui kapan waktu kita untuk berpisah dengan alam dunia yang hanya sebentar saja ini. Oleh karena itu, kita sebagai salah satu makhluk ciptaan Allah yang paling tinggi derajatnya diwajibkan untuk selalu bersiap-siap untuk menyongsong hari berpisahnya dengan alam dunia ini. Karena semua manusia di bumi ini tidak ada yang tahu persis kapan dan dimana kita akan mengalami perpisahan dengan alam dunia ini.

Benar juga firman Allah berikut ini yang secara eksplisit menerangkan jika waktu kita harus menghadap Allah, maka kita tidak dapat menundanya lagi ataupun mendahulukannya. Dalam kitab suci Al-Qur’an, Allah telah melukiskan ayat yang artinya:

“Maka jika datang waktu kematian mereka, tidak bisa mereka tunda dan dan mendahulukannya sedetikpun”. (QS. An-Nahl [16]: 61).

Setelah investigasi panjangnya, para ilmuwan menegaskan bahwa kematian adalah makhluk seperti halnya kehidupan, dan seakan kematian itu adalah dasar utamanya. Dan hal tersebut dapat ditemukan isyaratnya dalam ayat Al-Quran. “Dialah Allah yang menciptakan kematian dan kehidupan, untuk menguji siapa diantara kalian yang terbaik amalnya”. (QS. Al-Mulk [67]: 02).

Para ilmuwan mengatakan bahwa masa tua adalah masa-masa untuk mengakhiri kehidupan manusia secara alami, jika tidak, maka setiap upaya untuk memperpanjang hidup di atas batas-batas tertentu akan memberikan banyak penyebabnya, misalnya terserang penyakit atau kecelakaan, para ilmuwan mengatakan: “Setiap usaha untuk mencapai keabadian bertentangan dengan alam”.

Para ilmuwan telah menyimpulkan hasilnya, yaitu bahwa meskipun menghabiskan miliaran dolar untuk dapat berumur panjang sampai usia, tetap saja tidak akan membuahkan hasil dan manfaat. Inilah yang pernah diisyaratkan oleh Nabi Muhammad: “Berobatlah wahai hamba-hamba Allah, karena Allah tidak pernah memberikan suatu penyakit kecuali Allah berikan penawarnya kecuali satu masa tua”. (HR. Ahmad).

 

Kondisi Sebelum Hadirnya Kematian

 

Sebelum kematian menghampiri kita, kita akan menghadapi yang namanya sakaratul maut. Secara etimologis kata sakaratul maut berasal dari bahasa arab, yaitu “sakarat” dan “maut”. Sakarat dapat diartikan dengan “mabuk” sedangkan “maut” berarti kematian. Dengan demikian, sakaratul maut berarti orang yang sedang dimabuk dengan masa-masa kematiannya.

Sakaratul maut merupakan kondisi pasien yang sedang menghadapi kematian, yang memiliki berbagai hal dan harapan tertentu untuk meninggal. Kematian merupakan kondisi terhentinya pernapasan, nadi, dan tekanan darah serta hilangnya respons terhadap stimulus eksternal, ditandai dengan terhentinya aktivitas otak atau terhentinya fungsi jantung dan paru secara menetap. Sakartul maut dan kematian merupakan dua istilah yang sulit untuk dipisahkan, serta merupakan suatu fenomena tersendiri. kematian lebih kearah suatu proses, sedangkan sakaratul maut merupakan akhir dari hidup.

Artinya: “Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari darinya”. (QS. Qaaf [50]: 19).

Maksud sakaratul maut adalah kedahsyatan, tekanan, dan himpitan kekuatan kematian yang mengalahkan manusia dan menguasai akal sehatnya. Makna bil haq (perkara yang benar) adalah perkara akhirat, sehingga manusia sadar, yakin dan mengetahuinya. Ada yang berpendapat al haq adalah hakikat keimanan sehingga maknanya menjadi telah tiba sakaratul maut dengan kematian. [Jami’u Al Bayan Fii Tafsiri Al Quran (26/100-101)].

Al-Imam Ibnu Katsir berkata: “Ini adalah berita dari Allah tentang keadaan orang yang sekarat dan tentang apa yang dia rasakan berupa kengerian serta rasa sakit yang dahsyat (mudah-mudahan Allah meneguhkan kita dengan ucapan yang teguh, yaitu kalimat tauhid di dunia dan akhirat). Allah mengabarkan bahwasanya ruh akan dicabut dari jasadnya, hingga tatkala sampai di tenggorokan, dia meminta tabib yang bisa mengobatinya. Siapa yang bisa meruqyah?

Kemudian, keadaan yang dahsyat dan ngeri tersebut disusul oleh keadaan yang lebih dahsyat dan lebih ngeri berikutnya (kecuali bagi orang yang dirahmati Allah I). Kedua betisnya bertautan, lalu meninggal dunia. Kemudian dibungkus dengan kain kafan (setelah dimandikan). Mulailah manusia mempersiapkan penguburan jasadnya, sedangkan para malaikat mempersiapkan ruhnya untuk dibawa ke langit.

 

Mengingat Kematian

 

Syari’at ajaran agama Islam telah mengajarkan bagaimana caranya agar kita selalu mengingat kematian. Dengan kita mengingat akan adanya kematian, maka kita juga akan lebih mendekatkan diri atau berserah diri kepada Allah I. Berikut ini penulis akan paparkan beberapa cara praktis untuk dapat mengingatkan kepada kita akan kematian. Antara lain sebagai berikut:

 

  1. Bimbinglah Orang Yang Akan Menghadapi Waktu Kematian.

Ketika menghadapi orang yang sakaratul maut, seyogianya yang hadir ke tempat orang tersebut selalu mengingat Allah dan berdoa. Kalua berbicara, bicarakanlah hal-hal yang berbau positif jangan negatif. Ajarkan orang yang akan menghadapi sakaratul maut dengan menyebutkan kalimat La Ilaha Illallah. Karena dalam hadits dikatakan: “barangsiapa yang akhir perkataanya adalah kalimat Laa Ilaha Illallah, maka dia akan masuk surga”. (HR. Abu Dawud).

  1. Mengunjungi Orang Yang Sakit.

Menurut Rasulullah, orang-orang yang beriman itu ibarat satu batang tubuh, apabila salah satu anggota tubuh sakit, maka yang lain ikut prihatin. Salah satu cara untuk mengaplikasikan hadits di atas adalah dengan meluangkan waktu mengunjungi saudara seagama yang sakit. Kunjungan teman, saudara, adalah ‘obat yang mujarab’ bagi si sakit. Dia merasa senang karena masih ada sahabat untuk berbagi duka. Pribahasa mengatakan, ‘teman ketawa banyak, teman menangis sedikit’.

Betapa pentingnya mengunjungi orang sakit itu dapat terlihat dalam hadits qudsi berikut ini. Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah berfirman pada hari kiamat: “Hai anak Adam, Aku sakit, kenapa kamu tidak datang mengunjungi-Ku?” Anak Adam menjawab: “Ya Tuhan, bagaimana aku akan mengunjungi-Mu sedangkan Engkau adalah Tuhan Semesta Alam?” Allah berfirman: “Tidaklah kamu tahu bahwa si Fulan hamba-Ku sakit, kenapa kamu tidak mengunjunginya? Tahukah kamu, jika kamu mengunjunginya niscaya kamu akan menemui-Ku di sisinya…” (HR. Muslim). .

  1. Mengiringkan Jenazah.

Apabila seorang meninggal dunia, masyarakat secara kifayah wajib memandikan, mengkafani, menshalatkan dan mengkuburkannya. Rasulullah sangat menganjurkan kepada masyarakat untuk dapat menshalatkan dan mengantarkan jenazah ke kuburan bersama-sama. Beliau bersabda: “Barangsiapa yang menyaksikan jenazah lalu ikut menshalatkannya, baginya satu qirath. Dan barangsiapa yang menyaksikannya sampai dikuburkan, baginya dua qirath”. Ditanyakan orang: “Apa itu dua qirath? Beliau bersabda: “Seperti dua gunung yang besar (pahalanya)”.(H. Muttafaqun ‘Alaihi). (Dr. Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlak).

  1. Berziarah Kubur.

Dalam melakukan ziarah kubur, anaknya medoakan ahlinya. Jangan sampai kita yang minta doa dari yang wafat, memuja-muja, bahkan kuburan dijadikan tempat sesembahan. Ziarah kubur juga dapat mengingatkan diri kita akan kehidupan akhirat. “Aku sudah melarang kamu menziarahi kubur, sekarang ziarahillah, karena ziarah kubur mengingatkan kamu akan akhirat”.(HR. Ahmad dan Muslim).(Dr. Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlak).

 

Marilah kita persiapkan diri ini untuk menyambut suatu yang pasti (kematian) yang akan tiba-tiba datang kepada kita. Kita persiapkan diri untuk kehidupan selanjutnya di akhirat, kita siapkan bekal kita. Semoga kita mampu mengaplikasikan cara-cara mengingat kematian yang telah penulis sajikan diatas tadi, sehingga kita termasuk orang-orang yang bisa lebih mendekatkan diri kepada Allah I. Dan semoga kita bisa meraih kematian khusnul khotimah. Aamiin.[]

 

                                                                                                                        Cristoffer Veron P

Siswa Kelas XI SMK Muhammadiyah 1 Kota Yogyakarta

Prodi Teknik Komputer Dan Jaringan

 

 

Mutiara Hikmah

“Lari itu sekali kali tidaklah berguna bagimu, jika kamu melaikan diri dari kematian atau pembunuhan, dan jika kamu terhindar dari kematian kamu tidak juga mengecap kesenangan kecuali sebentar saja”.

(QS Al Ahzab : 16).

PEMUDA IDAMAN

Rabbmu kagum dengan pemuda yang tidak memiliki shobwah yaitu kecondongan untuk menyimpang dari kebenaran (HR. Ahmad)

 

Sebentar lagi momen ini akan tiba, dan pada tanggal 28 Oktober biasa kita peringati sebagai hari sumpah pemuda yang berisi bertumpah darah satu, yaitu tumpah darah Indonesia, berbangsa satu yaitu bangsa Indonesia dan berbahasa satu yaitu bahasa Indonesia.

Sumpah Pemuda dibacakan pada tanggal 28 Oktober 1928 bertempat di Jalan Kramat Raya nomor 106 Jakarta Pusat sekarang menjadi Museum Sumpah Pemuda, waktu itu adalah milik dari seorang Tionghoa yang bernama Sie Kong Liong. Sumpah pemuda pertama diikrarkan untuk menumbuhkan semangat perjuangan bangsa Indonesia pada waktu itu masih dijajah oleh Belanda. Perumus sumpah pemuda adalah Moh. Yamin.

Sumpah Pemuda merupakan bukti otentik bahwa pada tanggal 28 oktober 1928 proses penting menuju lahirnya bangsa Indonesia. Proses kelahiran Bangsa Indonesia ini merupakan buah dari perjuangan rakyat yang selama ratusan tahun tertindas di bawah kekuasaan kaum kolonialis pada saat itu.

Kondisi ketertindasan inilah yang kemudian mendorong para pemuda untuk membulatkan tekad demi mengangkat harkat dan martabat hidup orang Indonesia asli. Tekad inilah yang menjadi komitmen perjuangan rakyat Indonesia hingga berhasil mencapai kemerdekaannya 17 tahun kemudian yaitu pada 17 Agustus 1945.

 

Belajar dari Ashab al-Kahf

Kisah sumpah pemuda mencerminkan bahwa pemuda adalah masa di mana semangat yang tinggi, menggelora, pantang menyerah, dan tak tergoyahkan dalam menggapai sebuah harapan. Semangat inilah yang menjadi hal positif dalam diri pemuda. Di dalam al-Quran Allah  mengisahkan pemuda yang kukuh dalam keyakinannya kemudian melawan rezim kekuasaan di masa itu, sehingga mereka lari kedalam gua dan kemudian Allah  menidurkannya selama tiga ratus tahun lebih. Allah berfirman di dalam surat Al-Kahfi [18] ayat 10-12:

“(Ingatlah) tatkala para pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu mereka berdoa: “Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)”. Maka kami tutup telinga mereka beberapa tahun dalam gua itu. Kemudian kami bangunkan mereka, agar kami mengetahui manakah di antara kedua golongan itu yang lebih tepat dalam menghitung berapa lama mereka tinggal (dalam gua itu).

Mereka adalah para pengikut Isa yang melarikan diri dari kekejaman Romawi untuk mempertahankan tauhid yang mereka anut, mereka ditidurkan kurang lebih selama tiga ratus tahun dan kemudian dibangunkan kembali untuk membuktikan kekuasaan Allah I dalam membangkitkan manusia pada hari kiamat kelak.

Dalam tafsir Al-Misbah, kata fityah adalah bentuk jamak dari fata yang artinya remaja. Kata ini bukan saja mengisyaratkan kelemahan mereka dari segi fisik dan jumlah yang sedikit, tetapi juga usia yang belum berpengalaman. Namun demikian, keimanan dan idealisme pemuda itu meresap dalam benak dan jiwa, sehingga mereka rela meninggalkan kediaman mereka untuk mempertahankan idealisme yang ada dalam dirinya. Idealisme anak muda memang seringkali mengalahkan kebijaksanaan dan pengalaman orang tua, itulah kenapa Nabi Muhamad r mengingatkan agar memberi perhatian kepada para pemuda.

 

Belajar dari Nabi Ibrahim AS.

Selain kisah dari ashab al-Kahfi ada juga kisah dari Nabi Ibrahim As. Menurut al-Biqa’i kedudukan Nabi Ibrahim As adalah sebagai pengumandang tauhid, melalui pengalaman ruhaninya. Ia menemukan tuhan yang maha esa dan meyakininya, bahwa dia bukan tuhan suku, atau tuhan masa tertentu, tetapi tuhan seluruh alam. Sehingga Nabi Ibrahim As wajar menyandang gelar pengumandang ketuhanan yang Maha Esa.

Nabi Ibrahim datang dengan memperkenalkan Tuhannya sebagi Tuhan seluruh makhluk yang menyertai mereka dalam keadaan sadar maupun tidur, menyertai mereka bukan hanya dalam kehidupan dunia ini tapi berlanjut hingga hari kemudian.

Nabi Ibrahim u lahir di daerah Babyl, ayahnya bernama Azar. Ayahnya sangat dicintai oleh Raja Namrud, karena ia sangat pandai mambuat patung berhala dan patuh kepada Raja Namrud. Walaupun Ibrahim  anak seorang pembuat berhala, tapi tidak lantas mengikuti ayahnya. Allah memberikan hidayah kepada Nabi Ibrahim As untuk tidak menyembah berhala dan menolak ajaran sang ayah. Nabi Ibrahim As ketika remaja, ia sudah berpikir tentang adanya alam ini. Apa yang terlihat matanya seperti bintang, rembulan, matahari, dan lain-lain kemudian ia timbang-timbang siapakah mereka itu semua.

Nabi Ibrahim As heran melihat arca yang disembah padahal tidak bisa bergerak tidak bisa mendegar. Tidak bisa menjawab terhadap apa yang dimintakan oleh yang menyembahnya, serta tidak mendatangkan kemadharatan dan mendatangkan manfaat bagi yang menyembahnya. Kemudian Nabi Ibrahim  bertanya kepada ayahnya. “Kenapa patung itu disembah?” Ayahnya menjawab “Ini sudah mejadi sesembahan nenek moyang kita dan sudah menjadi warisan turun temurun”. Allah berfirman dalam Surat al-Anbiya : 52-54

“(ingatlah), ketika Ibrahim Berkata kepada bapaknya dan kaumnya: “Patung-patung apakah Ini yang kamu tekun beribadat kepadanya?”. Mereka menjawab: “Kami mendapati bapak-bapak kami menyembahnya”. Ibrahim berkata: “Sesungguhnya kamu dan bapak-bapakmu berada dalam kesesatan yang nyata”.

Nabi Ibrahim As memiliki rencana untuk menghancurkan berhala-berhala yang disembah oleh Kaum Namrud. Ketika Raja Namrud beserta kaumnya mengadakan upacara, tempat menyembah berhala itu sepi, maka Nabi Ibrahim As menjalankan rencananya untuk memenghancurkan patung patung tersebut. Nabi Ibrahim As menghancurkan berhala-berhala, dan yang disisakan hanya satu yang besar kemudian kapak yang dipakai oleh Nabi Ibrahim As di kalungkan di leher patung yang besar itu.

Beberapa saat kemudian  Raja Namrud dan para pengikutnya menemukan berhala-berhala itu telah hancur maka pelakunya sudah jelas yaitu Ibrahim . Dipanggilah Nabi Ibrahim, di sana Nabi Ibrahim berdebat dengan kaum Namrud, ia berusaha melawan kaum Namrud dengan kebodohan mereka sendiri. Al-Quran mengabadikan percakapan Nabi Ibrahim dengan Kaum Namrud dalam surat al-Anbiya [21] ayat 61-63.

Mereka bertanya: “Apakah kamu, yang melakukan perbuatan Ini terhadap tuhan-tuhan kami, Hai Ibrahim?” Ibrahim menjawab: “Sebenarnya patung yang besar Itulah yang melakukannya, Maka tanyakanlah kepada berhala itu, jika mereka dapat berbicara”. Maka mereka Telah kembali kepada kesadaran dan lalu berkata: “Sesungguhnya kamu sekalian adalah orang-orang yang menganiaya (diri sendiri)“.

Karena mereka marah terhadap Ibrahim maka akhirnya kemudian Kaum Namrud menyediakan kayu bakar untuk membakar Nabi Ibrahim, yang telah menghancurkan sesembahan mereka. Akhirnya pertolongan Allah pun datang, dan memberikan mukjizatnya kepada Nabi Ibrahim. Api yang sifatnya panas, dan dapat membakar, ternyata tidak melukai tubuh Nabi Ibrahim sedikitpun. Berkat idealisme Nabi Ibrahim sewaktu muda, tidak mau menyembah sesembahan yang telah turun-temurun, mengantarkan nabi Ibrahim menemukan tuhan yang sebenarnya, diselamatkan oleh Allah dari kekejaman kaumnya dan mendapat gelar khalilullah (kekasih Allah).

 

Penutup

Kisah para pemuda di atas, memberikan gambaran yang nyata kepada kita, bahwa idealisme yang dimilki oleh para pemuda merupakan idealisme yang tinggi dan mampu mengalahkan kebijaksanaan orang tua. Kemerdekaan Indonesia ini tak lain adalah buah dari idealisme para pemuda yang mendesak Presiden Sukarno untuk segera mengumumkan kemerdekaan dengan dasar Jepang sudah mundur dan mengaku menyerah. Momen ini dianggap tepat oleh para pemuda untuk segera mengambil alih (untuk merdeka).

Lalu, dua kisah yang ada di dalam al-Quran merupakan hikmah yang harus kita ambil dengan sebaik-baiknya. Para pemuda yang ditolong oleh Allah  dan ditidurkannya selama tiga ratus tahun lebih merupakan keteguhan para pemuda dalam memegang ketauhidannya. Begitupula dengan kisah Nabi Ibrahim As yang dengan keingin tahuannya yang tinggi ia berusaha untuk mencari kebenaran yang sebenar-benarnya. Akibat mempertahankan keyakinannya inilah ia dibakar oleh Kaum Namrud, dan seketika itu pula pertolongan Allah u datang.

Terakhir, pemuda adalah pejuang masa depan, yang di tangannya ada harapan baru dan semangat baru yang mampu melahirkan pemimpin-pemimpin yang baru pula. Mudah-mudahan negeri ini memperoleh generasi baru yang mampu memberikan kedamaian dan kesejahteraan, serta menjadi pelindung bagi semua makhluk di era disruptif ini. Harapan terkhusus, yaitu agar pemuda yang menjadi tumpuan masa depan, mampu memberikan dampak yang positif bagi keberlangsungan Negara Indonesia tercinta ini.

 

Pandu Wiranta

Mahasiswa Kimia dan Santri PONPES UII

CIRI-CIRI WALI ALLAH Swt

Bismillâhi walhamdulillâh wash shalâtu was salâmu ‘ala rasûlillâh,
Kaum muslimin yang dimuliakan oleh Allah Swt, belakangan ini fenomena wali mulai menjamur di tengah-tengah kita. Secara etimologi wali adalah lawan dari aduwwu (musuh) dan muwâlah lawan dari muhâdah (permusuhan). Dengan demikian wali-wali Allah Swt adalah orang yang mendekat dan menolong agama Allah Swt, atau orang yang didekati atau orang yang ditolong oleh Allah Swt.
Hampir di setiap kota-kota bahkan pelosok-pelosok negeri kita ini memiliki walinya masing-masing. Hal ini bisa terjadi karena pemahaman sebagian masyarakat bahwa wali Allah Swt itu adalah orang-orang yang memiliki kekhususan-kekhususan yang tidak dimiliki oleh orang biasa pada umumnya. Hal tersebut berupa hal-hal yang ajaib atau aneh bagi akal sehat, yang sering disebut oleh masyarakat sebagai karomah para wali. Sehingga apabila ada seseorang yang memiliki ilmu syar’i begitu luasnya disertai dengan pengamalan-pengamalan yang begitu khusyuknya, namun apabila tidak memilki suatu kekhususan ini, maka orang ini masih tidak bisa dipandang sebagai wali Allah Swt. Sebaliknya, meski seseorang itu tidak memiliki ilmu syar’i sama sekali, bahkan kerap kali melanggar perintah Allah Swt dan meninggalkan kewajiban-kewajibannya sebagai seorang muslim, akan tetapi dia mampu menunjukkan sesuatu yang ajaib di luar nalar akal sehat manusia, maka orang tersebut bisa dianggap sebagai wali Allah Swt.
Hal ini bisa terjadi karena sejak kecil kaum muslimin di negeri yang kita cintai ini sudah diberi pengajaran yang keliru tentang wali-wali Allah Swt. Terlebih hal ini ditunjang oleh sarana-sarana elektronik semisal telivisi yang mempertontonkan kesaktian wali-wali yang bisa terbang, bisa berjalan di atas air, dan bisa melakukan hal-hal ajaib lainnya. Maka tontonan semacam ini menjadi mindset yang tertanam di setiap pola fikir kaum muslimin hingga dia dewasa bahkan sampai usia senja.
Pemahaman sebagian masyarakat yang seperti demikian sungguh sangat berbahaya bagi aqidah kaum muslimin. Karena tak sedikit kaum muslimin yang takjub dengan hal tersebut dan berusaha untuk mempelajari ilmu kewalian itu. Dikatakan berbahaya bagi aqidah kaum muslimin adalah karena kebanyakan orang-orang yang mengaku sebagai wali ini ternyata mereka bersekutu dengan jin saat melakukan aksi ajaibnya tersebut. Sehingga kaum muslimin yang telah terlanjur takjub dengan keajaiban-keajaiban tersebut sudah tidak lagi mempertimbangkan aspek-aspek kesyirikan yang dapat membatalkan keislamannya tatkala mempelajari ilmu tersebut. Yakni bersekutu dengan jin dalam memohon pertolongan, bantuan, dan lain-lain yang seharusnya hal tersebut hanyalah dihadapkan kepada Allah Swt semata. Padahal hakikatnya karomah para wali Allah Swt itu tidaklah dapat dipelajari. Sebagaimana kata seorang alim yakni Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, bahwa “karomah wali adalah sebuah pemberian dari Allah Swt kepada hamba-hamba-Nya yang shalih tanpa ia bersusah payah darinya. Berbeda dengan seorang yang menggunakan ilmu hasil dari persekutuannya dengan syaitan, maka ia akan bersusah payah untuk melakukannya”.
Adapun ciri-ciri wali Allah yang benar telah Allah Swt kabarkan sendiri dalam kitab-Nya yang mulia, yakni al-Qur’an petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa, juga telah disabdakan oleh Rasulullah ` yang mulia dalam sunnah-sunnahnya yang agung. Sehingga sudah selayaknya dan semestinya kaum muslimin mencoba untuk mempelajari ciri-ciri wali Allah Swt dari 2 sumber petunjuk yang meluruskan ini.
Untuk menjadi wali Allah Swt, seseorang itu haruslah mencintai dan dicintai oleh Allah Swt. Lalu bagaimana cara seseorang itu bisa mendapatkan kecintaan Allah Swt? Di dalam al-Qur’an Allah Swt berfirman yang artinya, “katakanlah (hai Muhammad), jika kalian mencintai Allah, ikutilah aku (Muhammad), niscaya Allah akan mencintaimu…” (Q.S. Ali Imran [3]: 31).
Ayat ini menerangkan bahwasannya syarat pertama seorang itu untuk bisa menjadi walinya Allah Swt adalah ia mengikuti sunnah-sunnah Rasulullah ` selama hidupnya dengan istiqomah. Karena dengan mengikuti jalan hidup Rasulullah lah cinta Allah Swt dapat ia miliki. Sehingga menjadi mustahil seseorang yang meninggalkan syariat nabi Muhammad Saw dapat memiliki karomah wali Allah Swt. Adapun ciri berikutnya terdapat dalam surat al-Mâidah yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa dari kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai Allah, yang bersikap lemah lembut terhadap orang-orang mukmin, yang bersikap keras kepada orang-orng kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan tidak takut terhadap celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah maha luas (pemberian-Nya) lagi maha mengetahui”. (Q.S. al-Mâidah [5]: 54).
Dari ayat tersebut dapat diketahui bahwa orang-orang yang dicintai Allah itu adalah orang-orang yang bersikap lemah lembut sesama kaum mukminin, dan bersikap keras terhadap orang-orang kafir, bukan sebaliknya, justru dekat dan loyal dengan orang-orang kafir dan keras lagi kasar kepada sesama muslim. Seorang yang bisa mendapat kecintaan Allah juga berjihad di jalan Allah Swt. Bukan seperti pandangan sebagian masyarakat kita yang menganggap jika seseorang itu masih jihad maka dia gugur dikategorikan sebagai wali Allah Swt. Pemahaman ini sungguh jauh dari kebenaran, karena Nabi Muhammad ` dan para sahabat-sahabatnya yang mulia tidak pernah meninggalkan jihad tatkala telah terpenuhi panggilan jihad tersebut, justru pada masa Nabi `,, barangsiapa yang meninggalkan jihad tanpa udzur syar’i, maka dia dikatakan munafik.
Dari ayat tersebut juga dapat diketahui bahwa wali-wali Allah Swt itu adalah orang-orang yang tidak takut dengan celaan orang-orang yang pencela. Selama dia berada dalam syariat Islam yang mulia ini, maka tiada ketakutan dan kesedihan di dalam hatinya.
Kemudian wali-wali Allah itu juga memiliki ciri berikut, yakni disebutkan dalam Qur’an yang mulia yang artinya, “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tiada ketakutan dan tiada pula dia bersedih (hati). (Yaitu) orang-prang yang beriman dan selalu bertaqwa keapada Allah”. (Q.S. Yunus [10]: 62-63). Dari ayat di atas, maka dapat kita pahami bahwa ciri dari wali Allah Swt itu adalah dia tidaklah takut dengan sesuatu yang akan menimpanya dan dia tidaklah bersedih dengan apa-apa yang telah menimpa dirinya, dan dia adalah orang-orang yang selalu menjaga ketaqwaannya dan keimanannya kepada Allah Swt.
Dari ayat-ayat yang telah disebutkan di paragraf sebelumnya, maka dapat kita jumpai dengan terang bahwasanya wali-wali Allah itu adalah orang-orang yang ittiba (mengikuti) Sunnah Rasulullah `, lemah lembut kepada sesama mukmin, namun tegas lagi keras terhadap orang-orang kafir, berjihad di jalan Allah Swt, tidak takut terhadap celaan si pencela, tidak ada rasa takut dan sedih dalam hatinya terhadap segala ketetapan Allah Swt, dan yang selalu menjaga keimanan serta ketaqwaannya kepada Allah Swt.
Wahai kaum muslimin yang dirahmati oleh Allah Swt, bagaimana mungkin seseorang yang mengaku wali itu bisa meninggalkan shalat, sedangkan Nabi ` dan para sahabat tidak meninggalkannya meski tengah dalam keadaan perang terluka dan berdarah-darah. Bagaimana mungkin seorang wali itu tega meninggalkan syariat Nabi Muhammad `, sedangkan Rasulullah ` selalu memegang syariat Allah  ini sampai akhir hayatnya, bahkan beliau sampai menangis khawatir kalau umat ini sudah tidak lagi memperdulikan hukum-hukum Allah  yang tertuang dalam al-Qur’an yang mulia dan sunnah-sunnahnya yang shahih.
Dengan demikian para wali-wali Allah itu tidaklah melepaskan diri dari syariat Nabi Muhammad `. Bahkan wali-wali Allah Swt itu adalah orang-orang bertaqwa yang sangat memegang teguh syariat Allah dan Rasul-Nya. Sehingga barangsiapa yang mengaku sebagai wali Allah  namun tidaklah memiliki sifat-sifat tersebut, maka dia adalah seorang pendusta. Allahu musta’an

Anas Ahmad Rahman
Mahasiswa MIAI UII

Mutiara Hikmah:
“Jika kalian melihat seseorang berjalan di atas air dan terbang di atas udara, maka janganlah terpedaya olehnya sampai kalian menimbang perkaranya di atas al-Qur’an dan as-Sunnah. (Imam Syafi’i)

SETAN ADALAH MUSUH YANG SEBENARNYA

Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu.”

(Al-Baqarah [2]: 168)

Pada saat mendengar istilah “jin” atau pun “setan”, maka dalam benak sebagian orang muncul rasa takut dalam menghadapinya. Hal ini tidak sepenuhnya salah, karena memang banyak faktor yang dapat menimbulkan hal tersebut. Di antaranya, adanya peran dari media yang memberikan stigma itu hampir setiap hari, yaitu jin atau pun setan adalah makhluk yang menyeramkan, makhluk yang selalu menganggu, makhluk yang sangat mudah terusik dengan keberadaan manusia, dan sebagainya. Padahal, kita sebagai manusia dan mereka sama-sama merupakan makhluk Allâh I yang dibebani hukum untuk beribadah kepadaNya sebagaimana tersurat dalam Q.S. adz-Dzâriyât [51]: 56, yang artinya “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu”. Semua selain Allâh I disebut sebagai makhluk, apa dan bagaimanapun  bentuknya, karena Allâh lah al-Khâliq (Yang Menciptakan) dan selainnya adalah al-makhluq (yang diciptakan).

Dari ayat tersebut di atas, kita dapat mengambil pelajaran bahwa antara manusia dan jin ada titik persamaan, yaitu masing-masing mempunyai kemampuan untuk memilih jalan yang baik atau buruk. Kita sering mendengar juga bahwa selain jin, makhluk yang seringkali mengganggu manusia adalah setan. Ternyata, setan yang banyak diceritakan Allâh I kepada kita dalam al-Qur’ân, adalah termasuk golongan jin. Dari penjelasan tersebut, kita pahami bahwa “jin” itu merupakan sebuah nama untuk suatu makhluk yang Allâh ciptakan dari api dan “setan” atau pun “iblis” itu merupakan julukan untuk jin. Mengenai hal ini akan dijelaskan selanjutnya.

Dalam sebuah buku karya Dr. Umar Sulaiman Al-Asyqar yang diterjemahkan oleh H.T. Fuad wahab dengan judul “Menembus Dunia Jin dan Setan” disebutkan bahwa terdapat beberapa nama jin. Dalam bukunya tersebut, beliau mengutip pendapat dari Ibnu Abdil Bar yang mengatakan bahwa jin menurut ahli bahasa terdiri dari beberapa tingkatan (Al-Asyqar, 2006):

  1. Kalau yang mereka maksudkan jin secara mutlak, maka mereka sebut jinniyyȗn,
  2. Jika yang mereka maksudkan adalah jin yang tinggal bersama manusia, maka mereka sebut ‘âmir bentuk jamaknya ‘ummâr,
  3. Jika yang mereka maksudakan jin yang biasa mendatangi anak-anak, maka mereka sebut arwâh,
  4. Jika yang mereka maksudkan adalah jin yang jahat dan merintangi kebaikan, maka mereka sebut setan,
  5. Jika yang mereka maksudkan adalah jin yang lebih jahat dan lebih mempunyai kemampuan, maka mereka sebut ‘ifrît.

Selain penjelasan tersebut, istilah “setan” digunakan sebagai julukan untuk jin yang putus asa dari rahmat Allâh I, sedangkan “iblis” digunakan sebagai julukan untuk jin yang penuh dengan tipu muslihat.

Kita semua harus meyakini adanya jin, tetapi bukan berarti kita harus takut apalagi malah tunduk kepadaNya. Karena bagaimana pun, berbagai dalil telah menyebutkan dengan jelas bahwa jin termasuk kedalam makhluk Allâh I. Di sisi lain, kita pun harus meyakini bahwa manusia, sejatinya adalah makhluk Allâh yang paling mulia, tetapi kemuliaan ini tidak pantas menjadikannya sombong terhadap makhluk lainnya. Jika kesombongan itu ada, maka bisa mengakibatkan derajatnya akan jauh lebih rendah daripada iblis dan akan menyebabkan Allâh I sangat marah. Dalam sebuah Hadits Qudsi disebutkan: “Kemuliaan adalah sarungKu dan kesombongan adalah selendangKu. Siapa saja yang mencabut salah satu dari kedua pakaianKu itu, maka pasti Aku akan menyiksanya” (H.R. Muslim). Maksud dari kata mencabut dalam hadits tersebut ialah merasa dirinya paling mulia atau berlagak sombong. Sebaliknya, jika manusia melakukan ketaatan yang sebaik-baiknya kepada Allâh I, maka bukan hal yang mustahil, ia menjadi lebih mulia daripada malaikat. Hal itu adalah karena manusia, oleh Allâh diberikan anugerah yang lengkap berupa jasad, ruh, hati, akal dan nafsu. Kelima hal itulah yang dapat mengubah kedudukannya, terutama dalam penggunaan akal dan nafsu.

Permusuhan dan peperangan antara manusia dan setan akan berlangsung terus menerus sampai hari kiamat. Akar dari permusuhan ini tidak lain adalah karena keangkuhan dan kesombongan setan atau iblis dan bermula ketika ia enggan bersujud kepada Nabi Adam sebagai bentuk penghormatan kepadanya. Banyak ayat-ayat al-Qur’ân yang memberi peringatan kepada kita agar selalu waspada terhadap bujukan setan dan keterampilannya dalam menyesatkan manusia dengan ketekunan dan semangat yang tinggi. Bagaimana tidak, setan yang pertama kali mengganggu manusia, oleh Allâh I diberikan penangguhan kematian hingga hari kiamat, sehingga strategi setan dan para pengikutnya dalam menyesatkan manusia terus menerus diperbarui, yang akibatnya cara setan berperang dengan manusia semakin penuh dengan tipu muslihat. Semakin tinggi kualitas seorang manusia dalam hal ketakwaan kepada Allâh I, maka semakin tinggi pula kualitas tipu muslihat setan untuk mengganggunya. Cara setan mengganggu orang biasa tentu akan berbeda dengan cara setan mengganggu seorang yang berilmu.

Dari penjelasan di atas, kita sebagai manusia yang beriman, tentu harus memposisikan setan sebagai musuh yang sebenarnya sekaligus harus mewaspadai tipu dayanya. Rasa dendam yang dimiliki setan semenjak diusir dari surga akan terus membakar semangatnya dalam menyesatkan manusia sampai datangnya hari kiamat. Tidak ada satu manusia pun yang terlepas dari gangguan setan. Oleh karena itu, mari kita sama-sama mencermati beberapa teknik setan dalam menyesatkan manusia.

  1. Menghiasi kebatilan.
  2. Lalai atau berlebihan.

Tentang masalah ini, Ibnu Qayyim mengatakan bahwa setiap ada perintah Allâh, setan punya dua pilihan; pertama mendorong lalai dan kedua berlebihan. Setan mendatangi hati manusia dan mendeteksinya. Jika ia mendapati seorang hamba yang kurang semangat, lalai dan hanya menginginkan keringanan-keringanan saja, maka setan menempuh jalan ini; dirintanginya, disuruhnya diam, ditimpakan kemalasan, dan sebagainya. Jika setan menemukan orang yang selalu siaga, rajin, penuh semangat, maka ia tidak menempuh cara tadi. Ia justru perintahkan orang itu untuk lebih rajin lagi dan tidak merasa cukup atas amal yang telah dikerjakannya; tidak tidur kalau orang lain tidur, tidak buka puasa kalo orang lain berbuka, dan sebagainya yang pada intinya adalah berlebihan. Yang pertama manusia didorong untuk tidak mengerjakan perintah, sedangkan yang kedua untuk melampaui batas. Banyak orang yang terperdaya dengan usaha setan yang kedua ini dan tidak selamat, kecuali orang yang berilmu dengan mendalam, punya keimanan dan kekuatan untuk melawan setan, dan selalu menempuh jalan tengah (shirâthal mustaqîm).

  1. Merintangi amal dan menganjurkan menangguhkannya
  2. Memberikan janji-janji dan membangkitkan angan-angan
  3. Berpura-pura menasihati.

Ada sebuah kisah yang sangat penting untuk kita ambil hikmahnya, yaitu tentang seorang ahli ibadah di kalangan Bani Israil yang tergolong shalih pada saat itu. Pada saat itu, terdapat tiga orang laki-laki bersaudara yang mempunyai seorang saudara perempuan yang masih perawan dan tidak mempunyai sanak saudara yang lainnya. Ketika ketiga saudara laki-lakinya bermaksud ikut berperang, mereka kebingungan. Kepada siapa saudara perempuannya harus dititipkan; siapa yang akan melindunginya dan menyediakan keperluannya selama mereka tidak ada. Setelah lama, terpikirlah oleh mereka bahwa yang paling aman dan paling dapat dipercaya untuk menitipkan adiknya adalah kepada ahli ibadah orang Israil. Pada awalnya, ahli ibadah itu bersikeras menolaknya, tetapi setelah didesak oleh mereka, akhirnya dia mau menerima saudara perempuannya itu untuk tinggal di sebuah rumah dekat biaranya. Pada awalnya, kewajiban sang ahli ibadah atas perempuan tersebut ditunaikan dengan sewajarnya dan dengan penuh kehati-hatian, akan tetapi setan mulai melancarkan serangan tipu dayanya secara perlahan dan bertahap, hingga pada akhirnya berbagai maksiat pun dilakukan oleh sang ahli ibadah tadi yang menyebabkannya harus dihukum pancung, dan pada akhirnya ia mati dalam keadaan sȗul khâtimah. Na’ȗdzu billâhi min dzâlika.

  1. Bertahap dalam menyesatkan
  2. Memunculkan rasa takut dan keraguan
  3. Masuk di hati dan menuruti kesenangan hati

Sebagai penutup, tidak ada alasan bagi kita semua sebagai manusia yang beriman untuk tidak bekerjasama dalam memerangi setan sebagai musuh yang sebenarnya. Kita berdoa kepada Allah semoga selalu memberikan kita kekuatan dan keistiqamahan dalam menghadapi tipu muslihat dari setan dan pengikutnya. Kita patut bersyukur bahwa Allâh I memberikan kita nikmat yang amat sangat besar yaitu dengan kehadiran Nabi Muhammad r yang membawa risalah kenabian sekaligus menjadi mukjizatnya yang terbesar sepanjang masa, yaitu al-Qur’ân. Di samping itu, Rasulullah pun menguraikan dalam haditsnya berbagai hal tentang tipu muslihat setan dan cara membentenginya. Semoga shalawat beriring salam senantiasa tercurahkan kepada beliau Rasulullah Muhammad r habibullah dan Nabi akhir zaman. Allâhumma shalli wa sallim wa bârik ‘alayh wa ‘alâ âlihi.

 

Husaini Anwar Fauzan

 

Mutiara Hikmah

“Dan katakanlah, ‘Ya Tuhanku, aku berlindung kepada Engkau dari bisikan-bisikan setan. Dan aku berlindung (pula) kepada Engkau ya Tuhanku, agar mereka tidak mendekati aku’.”

(Al-Mu’minun [23]: 97-98)

AMALAN SHALEH DI 10 HARI PERTAMA BULAN DZULHIJJAH

AMALAN SHALEH DI 10 HARI PERTAMA BULAN DZULHIJJAH

وَالْفَجْرِ وَلَيَالٍ عَشْرٍ

Demi fajar, dan malam yang sepuluh.” (QS. Al-Fajr: 1-2)

Allah  Dengan segala keagungannya sangat menyayangi hamba-hambaNya. Salah satu keagunganNya yakni dengan memberikan nikmat kepada hambaNya berupa nikmat sehat, rezeki dan juga waktu. Bulan Dzulhijjah adalah salah satu dari empat bulan haram, yaitu Rajab, Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. Keutamaaan yang Allah tetapkan di empat bulan haram tersebut adalah dilipatgandakannya pahala bagi seorang yang mengerjakan amalan shalih, sehingga seorang hamba akan lebih giat melakukan amalan kebaikan pada bulan-bulan tersebut. Begitu pula, perbuatan dosa yang dilakukan di dalamnya menjadi lebih besar di sisi Allah, sehingga seorang hamba bisa meraih ketakwaan yang lebih tinggi dari bulan-bulan sebelumnya, dengan semakin menjauhi kemaksiatan-kemaksiatan. Dengan demikian, kebahagiaan, ketentraman, dan keselamatan di dunia dan akhirat bisa terwujud.   

Bulan Dzulhijjah sebagai salah satu bulan haram memiliki keistimewaan, salah satunya yakni pada 10 malam pertama bulan Dzulhijjah. Dari Ibnu Umar Radhiyallaahu ‘Anhuma, dari Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,

مَا مِنْ أَيَّامٍ أَعْظَمُ عِنْدَ اللَّهِ وَلَا أَحَبُّ إِلَيْهِ الْعَمَلُ فِيهِنَّ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ الْعَشْرِ

Tidak ada hari-hari yang lebih agung di sisi Allah dan amal shalih di dalamnya lebih dicintai oleh-Nya daripada hari yang sepuluh (sepuluh hari pertama dari Dzulhijjah).” (HR. Ahmad, dishahihkan Syaikh Ahmad Syakir)

Kaum Muslimin Rahimakumullah, kita semua mengenal bahwasanya bulan Dzulhijjah adalah bulan kedua belas dan terakhir dari penanggalan kalender Hijriyah. Pada bulan Dzulhijjah juga masyarakat biasa menyebutnya bulan haji karena pada tanggal 9 di bulan ini (dzulhijjah) kaum muslimin yang beribadah haji melaksanakan wukuf di Arafah sementara yang tidak beribadah haji melaksanakan puasa sunnah Arafah. Kemudian pada tanggal 10 di bulan ini umat Islam memperingati hari raya Idul Adha atau kita biasa mengenal dengan hari raya kurban. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ

Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak.” (QS. Al-Hajj: 27-28)

Dalam rangka menyambut bulan Dzulhijjah, umat muslim dianjurkan untuk memperbanyak amal shaleh karena pahala dari apa yang kita kerjakan akan dilipatgandakan oleh Allah . Dari Ibnu Umar , dari Nabi bersabda, “Tidak ada kumpulan hari yang amal shaleh lebih dicintai oleh Allah melebihi amal shaleh yang dikerjakan pada hari-hari ini (yaitu 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah).” Para sahabat bertanya: “Tidak pula jihad di jalan Allah?” Nabi menjawab: “Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya namun tidak ada yang kembali satupun.” (HR. Al-Bukhari, Abu Dawud dan  Ibnu Majah)

Amalan-amalan Shaleh yang dianjurkan pada bulan Dzulhijjah

 

  • Puasa Arafah

 

Puasa Arafah adalah puasa sunnah yang dijalankan pada tanggal 09 Dzulhijjah tahun Hijriyah. Puasa Arafah dianjurkan bagi umat muslim yang tidak sedang melaksanakan ibadah haji di Makkah. Cara melaksanakan puasa arafah sama seperti puasa sunnah lainnya.  

Dari Abu Qotadah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَهُ وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ

Puasa Arofah (9 Dzulhijjah) dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun akan datang. Puasa Asyuro (10 Muharram) akan menghapuskan dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim no. 1162)

 

 

  • Takbir dan Dzikir

 

Perbanyak dzikir termasuk bertahlil, bertasbih, beristigfar, bertahmid, bertakbir dan memperbanyak doa merupakan suatu amalan yang dianjurkan pada bulan ini, tidak hanya dijalankan pada bulan Dzulhijjah saja tetapi juga dibiasakan pada keseharian hidup kita. Ibnu ‘Abbas berkata, “Berdzikirlah kalian pada Allah di hari-hari yang ditentukan yaitu 10  hari pertama Dzulhijah dan juga pada hari-hari tasyriq.” Ibnu ‘Umar dan Abu Hurairah pernah keluar ke pasar pada sepuluh hari pertama Dzulhijah, lalu mereka bertakbir, lantas manusia pun ikut bertakbir. Muhammad bin Ali pun bertakbir setelah shalat sunnah”

 

 

  • Menunaikan Ibadah Haji dan Umroh

 

Ibadah haji merupakan salah satu ibadah dari rukun Islam yang kelima, dan wajib dikerjakan oleh setiap muslim bagi yang mampu mengerjakan baik secara finansial maupun fisik.

“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.” (QS. Al Baqarah [2]; ayat: 196-197)

 

 

  • Berqurban

 

Hari raya Idul Adha atau sering dikenal dengan hari raya qurban, karena pada tanggal 10 Dzulhijjah tersebut, umat Islam berlomba-lomba menyisihkan sebagian hartanya untuk membeli kambing, lembu atau unta untuk disembelih setelah shalat hari raya Idul Adha dilaksanakan dan tiga hari setelahnya atau yang kita kenal dengan hari tasyrik. Udhiyah atau menyembelih hewan qurbah disyariatkan oleh Allah sebagaiman firman Allah dalam surat al-kautasar [108]: 2 “Dirikanlah shalat dan berqurbanlah (an-nahr). Para Jumhur ulama menafsirkan ayat tersebut dengan “Berqurbanlah pada hari Idul Adha (yaum an-Nahr). Udhiyah merupakan bentuk  rasa cinta dan ketaqwaan seorang muslim kepada Allah . Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik”. (QS. Al-Hajj [22]; ayat: 37)

 

 

  • Bertaubat (tidak bermaksiat)

 

Perintah bertaubat dan tidak melakukan maksiat sudah menjadi kewajiban kita sebagai umat Islam untuk melaksanakan perintah tersebut, namun hal serupa ditekankan bagi umat Islam bertaubat dari berbagai dosa dan maksiat di awal bulan Dzulhijjah. Artinya kita menyibukkan diri di awal bulan Dzulhijjah dengan amal-amal shaleh serta meninggalkan kezholiman terhadap sesama. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Kemudian, sesungguhnya Tuhanmu (mengampuni) bagi orang-orang yang mengerjakan kesalahan karena kebodohannya, kemudian mereka bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), sesungguhnya Tuhanmu sesudah itu benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang“. (QS. An-Nahl [16]; ayat : 119)

Keistimewaan 10 malam hari pertama bulan Dzulhijjah sangatlah besar. Amalan shaleh yang dikerjakan oleh kita diistimewakan dan dicintai oleh Allah serta dilipatgandakan pahalanya yang mana hal ini merupakan nikmat dan karunia dari Allah  kepada hambaNya. Maka kita wajib mensyukurinya dengan sungguh-sungguh meningkatkan ketaatan kita kepada Allah . Walapun sejatinya, amalan-amalan shaleh yang tertera tidak berpacu mutlak hanya pada  yang disebutkan diatas, amalan shaleh lainnya seperti shalat, sedekah, membaca Al-Qur’an juga patut dikerjakan oleh umat Islam dalam kesehariannya.

 

Siti Anisa Rahmayani

Alumni FIAI UII

 

Mutiara Hikmah:

“Ada dua bulan yang pahala amalnya tidak pernah berkurang, kedua bulan itu adalah bulan id: bulan Ramadhan dan bulan Dzulhijjah.”

(HR. Al Bukhari & Muslim)

CERDAS DALAM MENDIDIK

Katakanlah (Muhammad), “Milik siapakah apa yang di langit dan di bumi?” Katakanan, “Milik Allah.” Dia telah Menetapkan (sifat) kasih sayang pada diri-Nya.

(QS. Al-An’am [6] : 12)

 

 

Perkembangan dunia teknologi informasi memberikan dampak yang besar bagi setiap insan. Keluargamerupakan pintu utama dalammemberikan pendidikan. Dan mereka hadir seiring dengan siklus kehidupan yang selalu ada di setiap peran perjalanan. Setiap peristiwa dalam kehidupan ini merupakan lika-liku perjalanan yang akan memberikan dampakpositif bagi setiap orang yang mengambil hikmah darinya. Begitupun dengan cinta dan kasih sayang olehkedua kelarga, dengan ketulusan darinya maka akan terpancar sinar-sinar cahaya yang menyejukan bagi orang yang ada di sekitarnya.

Sebagian dari kita mungkin masih teringat dengan kisah Juraid sang ahli ibadah yang mengandung pelajaran bagaimana peranorang tua dalam ucapan dan kata-kata akan sangat berpengaruh dalam siklus kehidupan anak-anaknya. (Muhammad Ali al Hasyimi, 2006)

Orang tua pasti menginginkan keluarga yang harmonis, damai dan temtram, serta menjadikan kesejahteraan berupa harta dalam kehidupannya yang lebih baik.Harta yang dikaruniakan oleh Allah bisa membuat kita lebih mudah untuk menjalan kehidupan ini. Namun perlu diingat kelebihan dalam harta juga akan membawa dampak yang buruk bagi keluarga kita, jika kita tidak bisa mengelola dan mengalokasikan harta tersebut dengan kebaikan.

Peran orang tua yang sadar akan kesuksesan dan kesejahteraan bagi anaknya di masa depan,merupakan langkah awal dalam memberikan konsep pendidikan untuk kebaikan mereka. Maka mereka akan senantiasamemberikan pengorbanan apapun untuk kebaikan-kebaikan pada anaknya. Walaupun kebaikan itu kadang kala akan terasa berat untuk dijalankan. Namun dengan ketulusan dan kasih sayangnya, orang tua yang soleh akan mengerahkan kemampuanya untukkesolehan anak-anaknya.

Allah Subahanuhu wata’ala menurunkan sifat kasih sayang kepada setiap makhluk yang ada di muka bumi ini. Sifat kasih sayang akan berbuah kebaikan manakala kasih sayang, cinta dan ketulusan orang tua yang tertuang dalam akhlak dan kepribadianya.Banyak orang tua yang mengorbankan apa saja demi masa depan anaknya, yang kadang malah keluar dari koridor kebenaran. Lalu yang menjadi pertanyaan adalah apakah pengorbanan ini akan berdampak baik bagi kehidupan anak-anak kita. Jawabannya hanya kita yang tau.

Peran serta keluarga dalam memberikan kasih sayang untuk mengarahkan dan membangun karakter yang positif merupakan hal yang wajib dilakukan oleh setiap muslim. Ibarat seorang petani yang setiap hari berlelah diri dalam menanam benih di ladangnya. Maka lelah dan letihnya akan menjadi bulir-bulir kebahagiaan yang tak terkira ketika melihat hasil tanamannya tumbuh dan berkembang serta membuahkan hasil yang sempurna.

Orang tua yang sadar akan memetik hasil dari merawat tumbuh kembang anak agar dapat memetik hasil yang terbaik. Pasti akan membuat rancangan konsep yang akan mendampingi kehidupan dalam memperoleh kebaikan yang diingikan. Pupuk yang terbaik bagi bibit yang kita tanam adalah memberikan kasih, sayang dan cinta yang terbaik dalam setiap aktivitas-aktivitas kita.

Mengajarkan cinta kepada anak tentang kesetiaan dan kasih sayang dalam keluarga. Merupakan hal yang dapat kita lakukan sebagai bekal ilmu untuk masa depan mereka. Kahidupan ini memang selalu membawa hikmah bagi pelakunya. Kesetian dan kasih sayang seorang anak kepada kakak, adik, sanak saudara adalah hasil dari pemberian kasih sayang kita kepada mereka.Imam Bukhori meriwayatkan dalam Al Adab Al Mufrad dan At Thabrani dari Abu Hurairah bahwasannya Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam mengambil tangan Hasan dan Husain Radhiallahu anhu, kemudian meletakkan kaki-kainya kemudian berkata: “Naiklah.”

Begitu besarnya kecintaan dan kasih sayang Rasulullah Muhammad kepada anak-anak para sahabat dan keluarganya. Sehingga kasih sayang dan cinta inilah membawa hasil kesuksesan bagi perkembangan agama Islam.Anak-anak adalah kebahagian manusia dalam hidupnya, keceriaan bagi orang tua dalam masa-masa umurnya dan hiburan yang indah bersama mereka. Setiap anak mempunyai fitrah yang suci dalam setiap akhlak dan kebaikannya.

Kecerdasan, kepintaran dan kepiawannya merupakan keberkahan yang selalu hadir dalam setiap sendi-sendi pendidikan orang tuanya. Anak-anak adalah sumber kebahagiaan. Anak-anak adalah ladang kebaikan serta anugrah terindah dari Allah. Taggung jawab orang tua kepada anak merupakan tanggung jawab yang besar di hadapan Allah, oleh karena itu orang tua yang sholeh, mereka sadar bahwa anak merupakan amanat yang diberikan Allah kepada kita dan menjadikan amanat tersebut sebagai jalan menuju syurga.

Salah satu pesan kebaikan yang diberikan oleh baginda kitaRasulullah kepada para sahabat dan orang dicintainya adalah memberikan do’a-do’a terbaik untuk mereka agar diberikan harta dan anak-anak yang banyak.Harta dan anak-anak merupakan perhiasan kehidupan dunia, sebagaimana hal in tertuang dalam al-Qur’an surah al-Kahfi [18] ayat 46 yang artinya “Harta dan anak-anak adalah perhiasan bagi kehidupan dunia”.

Ibnu Abbas dalam tafsirnya menjelaskan tentang ayat ini bahwa harta dan anak-anak adalah perhiasan dunia yang tidak lama, hal ini sebagaimana tumbuhan yang hidup subur dan berkembang hingga akhirnya mengering. Oleh sebab itulah, peran kita sebagai orang tua yang sholeh dalam memberikan pendidikan sebagai tanggung jawab kita kepada Allah adalah memberikan pendidikan yang terbaik sesuai kemampuan anak-anak kita dan menjaga mereka agar tidak terjerumus ke jalan yang dimurkai Allah.

Seorang muslim yang sadar bahwa salah satu harta yang paling berharga dalam hidupannya adalah anak-anaknya, maka ia akan senantiasa merawat, mengayomi dan memberikan tauladan terbaik dengan akhlak yang ada dalam dirinya.Begitupun juga dengan mengajarkan tentang kisah dan tauladan terbaik dari Rasulullah dan para sahabatnyamerupakan salah satu hal yang bisa kita lakukan dalam mendidik anak-anak kita. Orang tua yang sholeh, mereka sadar akan investasi dalam mendidik anak-anaknya karena mereka meupakan karunia terbesar yang diberikan Allah.

Mungkin sebagian kita menjadikan anak yang sholeh di era modern ini adalah sebuah hal yang sulit. Akan tetapi bagi orang tua yang sholeh, mendidik anak-anaknya pada era inijustru akan menjadi motivasi dalam kehidupannya. Kemudian mereka senantiasa akan memulai pendidikanya dengan mensolehkan kepribadianya.Walaupun menjadikan anak yang sholeh merupakan hak prerogatif Allah.

Disadari atau tidak, pengaruh kebaikan keluarga dan peran sertanya dalam mendidik akan selalu berdampak positif dalam kehidupan anak-anaknya kelak. Namun perlu diingat pendidikan yang baik dalam membangun anak yang berkarakter selalu di mulai dengan hanya mengharap ridho Allah.

Niat yang tulus dan usaha yang ikhlas akan melahirkan kebaikan-kebaikan yang bernilai ibadah disisi Allah. Dan tentunya hal ini juga akan menjadikan diri kita tetap istiqomah dalam mendidik dan berusaha membangun karakter yang positif bagi kebaikan anak-anak kita.Oleh karenanya apapun kebaikan dan peran kita dalam mendidik anak menjadi sholeh merupakan bukti kita taat akan perintah Allah.

“ya Allah jadikanlah kami sebagai orang-orang yang mampu memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak-anak kami, serta jadikanlah kami suri tauladan yang baik bagi keluarga dan saudara-saudara kami. Sesungguhnya Engkaulah Maha Pengasih dan Maha mengabulkan setiap do’a.”

Romi Padli

Alumni UII

 

Mutiara Hikmah:

Rasulullah Bersabda : “Sebaik-baik manusia ialah manusia yang panjang usianya dan baik amalannya” (HR. Tirmidzi)

 

 

 

Romi Padli

Magister Ilmu Agama Islam, Fakultas Ilmu Agama Islam 2016

KUNCI SUKSES DUNIA DAN AKHIRAT

Sebagai seorang Muslim, seseorang meyakini bahwa kebahagian, ketentraman, dan kesuksesan hidup akan terasa apabila dapat memposisikan diri sesuai dengan kehendak Allah. Begitu juga dengan kesengsaraan, kesedihan, dan kegagalan akan terasa apabila seseorang menempatkan dirinya jauh dari kehendak Allah.  Dalam al-Qur’an dan Hadits dikatakan bahwa orang yang menempatkan dirinya sesuai dengan kehendak Allah maka dia akan beruntung dan sukses, sebaiknya orang yang menjauhkan diri dari Allah dan mengotori dirinya dengan kemaksiatan maka dia telah menghancurkan dirinya dan dia akan gagal bahkan rugi. Dalam firman-Nya dikatakan:

“Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”. (Q.S. Asy-Syam [91]: 9-10).

Seorang Muslim meyakini Firman Allah tersebut, bahwa yang dapat mengotori, menodai, dan merusak jiwa adalah segala bentuk perbuatan dosa dan maksiat kepada Allah. Begitu juga sebaliknya, bahwa yang dapat membersihkan dan mensucikan, dan mesukseskan jiwa adalah segala kebaikan, ketaatan, dan amal shaleh kepada Allah. Lalu bagaimanakah cara agar diri seseorang itu selalu terjaga dari segala bentuk kerusakan dan kerugian sehingga dapat dikatakan suskses dunia akhirat? Menurut Syekh Abu Bakar jabir al-Jaza’ri dalam kitabnya Minhajul Muslim, yaitu diikat dan dibarengi dengan adab. Seperti sebelumnya telah dibahas mengenai pentingnya adab sesama Muslim agar persatuan dan keharmonisan serta silaturrahim tetap terjaga. Namun begitu juga dengan diri, harus ada adab terhadap diri sendiri, agar kehidupan dan jiwa merasa selalu berada dalam pengaawasan Allah.

Adab seorang muslim terhadap dirinya yang perlu diketahui serta diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari agar mencapai kesuksesan dunia akhirat setidaknya ada empat poin, yaitu:

  • Taubat

Taubat secara etimologis memiliki pengertian kembali. Dalam terminologi syariat Islam yang dimaksud dengan kembali adalah kembali dari perbuatan menjauhi Allah kepada perbuatan yang mendekatkan diri kepada-Nya. kemudian dalam pengertian yang lain, kata taubat mendapat tambahan kata nasuha (at-taubata an-Nashuha) atau sering dikenal dengan istilah taubat nasuha. Kata ini menurut Anas Ismail Abu Daud dalam kitabnya Dalilu As-Sailina, memiliki pengertian berhenti melakukan dosa sekarang, menyesali dosa yang telah dilakukan kemarin, dan bertekad sungguh-sungguh untuk tidak melakukannya lagi di kemudian hari. pendapat ini dipertegas oleh firman Allah yaitu:

“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai”. (Q.S. At-Tahrim [66]: 8).

Firman Allah di atas menginformasikan kepada orang-orang yang beriman, kita ia berbuat kesalahan, hendaklah ia segera memohon ampun kepada Allah dan berjanji tidak akan mengulangi kesalahan atau perbuatan dosa tersebut. Rasulullah bertaubat seratus kali dalam sehari, sebagaimana sabdanya:

Wahai sekalian manusia. Taubatlah (beristigfar) kepada Allah karena aku selalu bertaubat kepada-Nya dalam sehari sebanyak 100 kali”. (H.R. Muslim, no. 2702).

  • Muraqabah (Merasa diawasi).

Seorang Muslim harus meyakini bahwa Allah selalu mengawasi manusia tak terbatas oleh ruang dan waktu. Dengan demikian itu seseorang harus berhati-hati dan takut bila terjatuh dalam gelombang kemaksiatan dan dosa. Baik dalam kesendirian maupun dalam keadaan ramai, bahwa semua perbuatan diri selalu dilihat oleh Allah. Karena merasa diawasi, maka seseorang berusaha dan mencoba mebuat dirinya selalu bersama Allah melalui amalan-amalan dan ibadah yang tertuju semata-mata kepada-Nya, merasa damai dengan beribadah kepada-Nya, dan merasa tertekan serta gelisah bila melakukan maksiat kepada-Nya. hal ini sesuai dengan penjelasan Allah dalam firmn-Nya:

“Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun:. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 235).

“Dan adalah Allah Maha Mengawasi segala sesuatu”. (Q.S. Al-Ahzab [33]: 52).

Oleh sebab itu siapapun di antara manusia, baik itu orang tua, anak, suami, istri, mahasiswa, dosen, tua dan muda, harus menyakini dan merasakan bahwa segala sesuatu yang ada di bumi ini selalu dalam pengawasan Allah, tak terkecuali juga diri kita. Maka dalam setiap perkataan, perbuatan, dan tingkah laku sehari-hari harus diatur dan dijaga sebaik mungkin supaya tidak mendatangkan murka Allah.

  • Muhasabah (Introspeksi diri).

Manusia hidup di dunia ini pada hakikatnya ingin hidup bahagia, baik bahagia dunia maupun bahagia akhirat. Banyak cara yang dilakukan untuk mendapatkan kebahagian, misalnya membina rumah tangga, mencari keturunan, dan bahkan juga berlomba-lomba mengumpulkan harta. Tetapi ada yang lebih penting dari semua itu, yakni meintrospeksi diri. Mengkaji dan menelaah sejauh mana perbuatan yang dilakukan dalm dunia fana ini, apakah bermanfaat untuk akhirat ataukah tidak sama sekali. Jika menjadi pengajar, harus intropeksi diri apakah sudah memberi teladan yang baik kepada para peserta didiknya? Jika menjadi pelajar, harus itropeksi diri apakah sudah menjadi pelajar sesungguhnya atau hanya pelajar mainan? Begitu juga dengan orang tua, harus intropeksi diri apakah sudah menjadi orang tua yang teladan bagi anak-anaknya ataukah belum? Untuk kehidupan akhirat, kita harus mengkaji ulang mengenai pembinaan terhadap diri apakah sudah banyak amal atau belum, semakin hari iman apakah semakin bertambah atau semakin berkurang. Begitu pentingnya untuk mengintrospeksi atau mengevaluasi diri, Allah I ingatkan dalam firman-Nya:

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan”. (Q.S. Al-Hasyr [59]: 18).

  • Mujahadah (melawan nafsu)

Seperti yang telah dibahas dalam ilmu filsafat, bahwa jiwa manusia dihiasi oleh tiga hal penting yang dengannya jasab dapat berfungsi. Tiga hal itu adalah hati, akal, dan nafsu. Hati menjadi pembenaran terhadap sesuatu yang bersifat naqliyah, kemudian akal menjadi motor dalam mencari kebenaran aqliyah. Kemudian nafsu adalah dorongan yang menghiasi jiwa manusia untuk terus melakukan sesuatu, jika yang diperbuat itu baik maka itulah nafsu al-Muthmainnah, dan apabila yang diperbuatkan itu buruk maka itulah nafsu mazhmumah. Namun kebanyakan nafsu hanya mendorong kepada kejelekan, keburukan, dan mengarah kepada dosa. Jika manusia melihat nafsu itu sangat membahayakan keberadaan diri, maka hendaklah membentengi dan dan melawannya.

Gangguan nafsu dalam jiwa terkadang hanya hal sepele, namun akibatnya sungguh merendahkan diri pelakunya. Sebuah contoh misalnya, nafsu malas, terlihat hanya hal biasa namun akibatnya sungguh luar biasa. Seorang kepala keluarga jika telah terkena nafsu malas maka tanggung jawabnya sebagai tulang punggung keluarga dalam mencari nafkah akan terbangkalai. Seorang pelajar apabila telah terjangkit nafsu malas maka proses pembeljarannya akan terganggu, jika telah terganggu maka akan membuat dirinya rugi dan jatuh dalam kebodohan. Nafsu memang cenderung kepada kesesatan kecuali yang telah diberi rahmat, dalam firman-Nya dikatakan:

“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang”. (Q.S. Yusuf [12]: 53).

Sebagai Muslim yang beriman kepada Allah I dan Rasul-Nya, hendaklah memiliki azam atau keingginan dan tekad yang kuat dalam menklukkan hawa nafsu agar tidak larut dalam tipu daya syaitan. Niat dan tekad yang kuat inilah adab yang mulia tehadap diri sendiri.

Mudah-mudahan kita semua dapat merealisasikan empat point adab terhadap diri sendiri tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Karena apabila adab-adab tersebut dapat terealissikan, maka yakinlah hidup ini akan tenang, tentram, dan sukses dunia akhirat. Manusia tidak bisa luput dari salah dan dosa, namun agar dosa dan salah itu lebur maka taubat adalah kuncinya. Kemudian dalam menjalankan kehidupan dunia ini, manusia selalu dihadapkan dengan fitnah-fitnah dunia. Untuk menangkal fitnah-ftnah itu, maka menghadirkan dan merasa diri selalu diawasi oleh Allah adalah bentengnya. Untuk mengetahui sudah baik atau buruknya diri kita, bukan dengan membandingkan dengan kehidupan orang lain. Namun yang perlu dilakukan adalah menilai, menghitung, dan menintrospeksi sendiri diri ini. Dan yang terakhir, tidaklah manusia dihadapkan dengan berbagai perperangan yang paling dahsyat, melainkan perang melawan hawa nafsu. Untuk itu, terus menerus bermujahadah melawannya merupakan perkara yang sangat mulia.

Cindra al-Fikali

 Mahasiswa PAI UII 14.

YUK, JADI PRIBADI PEMAAF

خُذِ ٱلۡعَفۡوَ وَأۡمُرۡ بِٱلۡعُرۡفِ وَأَعۡرِضۡ عَنِ ٱلۡجَٰهِلِينَ ١٩٩

Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma´ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh. (QS al-A’râf [7]: 199)

 

Sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan keberadaan orang lain sebagai tempat bergantung demi keberlangsungan hidupnya. Ketika kita bersosialisasi ada resiko untuk disakiti dan didzalimi, baik itu oleh teman, sahabat, bahkan oleh  keluarga kita sendiri. Tak dapat dipungkiri, ketika kita bergaul dengan orang lain, konsekuensi yang harus kita terima adalah adanya perbedaan pendapat, pandangan, pemikiran, dan berbagai hal yang akan menimbulkan gesekan, perasaan tidak nyaman, kurang sreg, dan permasalahan lain yang mengganggu keharmonisan bersosialisasi.

“Aku g mau maafin dia, dia udah bikin aku sakit hati”. “Sampai matipun, aku tidak akan pernah bisa melupakan kesalahan dia”. “Aku sudah maafin kamu, tapi masih sakit hati”. Pernah tidak kita mengucapkan kalimat seperti itu? Jika pernah mengucapkan hal tersebut, berhati-hatilah, kita sudah menyimpan dendam dalam hati. Akibatnya, sewaktu-waktu bisa meledak. Memelihara dendam sama saja memelihara sesuatu yang merusak tubuh kita, ibarat memakan racun yang mematikan, lama-lama akan menggerogoti tubuh secara perlahan-lahan. Dan orang yang memelihara dendam, hidupnya tidak nyaman, sakit dan tidak produktif. Hiy, ngeri. Lho, kok bisa?

Hem… ketika kita menyimpan dendam atau sakit hati dengan seseorang, pikiran dan perasaan kita akan memikirkan dia, mencari-cari kesalahannya walaupun dia telah berbuat baik kepada kita padahal dia juga tidak tahu jika kita menyimpan dendam dengannya. Akibat dari dendam yang berlarut-larut- ada yang menyebutnya tujuh turunan, akan mencelakakan orang yang kita benci. Orang yang kita benci cuek bebek dengan kita, karena dia sudah minta maaf, eh…kita masih sakit hati karena tidak mau memaafkannya. Karena fikirannya fokus dengan orang lain, hidup tidak pernah mengahasilkan aktivitas yang bermanfaat, tidak produktif, akibatnya, kehilangan waktu, tenaga, pikiran, perasaan, kehilangan rizqi, dan yang lebih parah lagi, kehilangan surganya Sang Maha Pengampun. Capek deh!

 

Perintah Memaafkan

Memaafkan mudah diucapkan namun sulit untuk direalisasikan. Memang, jalan menuju surga itu tidak mudah, hanya orang-orang yang mau dan berusaha saja yang bisa mencapainya. Sebagai seorang muslim kita harus sadar bahwa setiap orang pernah melakukan kesalahan sekecil apapun itu, dan yang perlu diingat adalah Allah itu Maha Pengampun. Allah saja mau memaafkan kesalahan manusia yang bejibun banyaknya, apalagi kita, yang hanya mausia yang lemah, harusnya malu. Jangan sampai  kesalahan teman yang kecil membuat kita menjadi manusia yang pendendam. Allah l berfirman: “Dan hendaklah mereka memaafkan kesalahan sesama manusia. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan” (QS Ali Imran [3]: 134).

Namun bagaimana jika kita dizhalimi orang lain? Apakah kita hanya diam, ridha, rela dipukul, ditampar, ditendang, padahal kita  tidak melakukan kesalahan? Atau membalasnya? Yang pasti,  kita harus membalas kedzaliman yang dilakukan orang lain.

Bagaimanapun kita memiliki harga diri yang pantas kita jaga, tidak bisa saja nrimo dengan keadaan diri ketika dizhalimi oleh orang lain. Dalam surat  al-Nahl ayat 126: “Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu…”.

Jika kita dicubit, balas dengan mencubit dengan kualitas yang sama, jangan mencubit dibalas dengan memukul, dua kali lagi! itu sudah lain lagi ceritanya. Tapi bagaimana jika yang mendzalimi kita itu orang yang sudah tidak punya hati alias berhati batu?Apakah kita akan menjadi uring-uringan, dendam, benci dengan orang yang seperti ini? Saya pikir tidak karena hal itu akan menyebabkan kita rugi, capek.  Rugi waktu, tenaga, perasaan buat mikirin orang yang tidak pernah tahu dipikirkan. Allah l berfirman: “Maafkanlah mereka dan biarkan mereka, Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS al-Mâidah [5]: 13).

Jangan sampai kita benci, kemudian maenjadi dendam, itu akan merugikan diri kita, hidup kita menjadi tidak produktif. Mengapa? Karena disibukkan dengan membenci dan dendam dengan orang lain, waktu yang seharusnya untuk belajar, membaca buku, jalan-jalan dan lain-lain, digunakan untuk memikirkan bagaimana cara mencelakakan orang yang kita dendami.

Dengan memaafkan kesalahan orang lain, kita sedang membebaskan beban dalam hidup, membuang racun yang  yang menggerogoti tubuh sehingga hati kita menjadi nyaman. Kita sedang memilih untuk bahagia, karena membiarkan  pikiran positif dan membuang pikiran negatif dalam tubuh. Serahkan pembalasannya kepada Allah l. Allah l berfirman: “…dan balasan kejelekan itu adalah kejelekan pula, namun siapa yang memaafkan dan memperbaiki (hubungannya), maka pahala baginya di sisi Allah. Sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang dhalim”. (QS al-Syura [42]: 40).

Penelitian menunjukkan bahwa kemarahan adalah sebuah keadaan pikiran yang sangat merusak kesehatan manusia. Memaafkan, walaupun berat, terasa membahagiakan, akhlak terpuji dan disukai Allah l. Pilih yang mana? Apakah kita rela hidup digunakan untuk memperhatikan, mengurusi orang lain, dendam sampai tujuh turunan? Memendam kebencian dan kekesalan sampai mendarah dagimg? Bukankah kita mengharapkan Allah l mengampuni dosa kita? Dan hati kita menjadi lapang, tenang dan lega. Jika kita mudah memaafkan orang lain, niscaya kita juga akan mudah dimaafkan oleh Allah l dan orang lain.

 

Muhammad Sebagai Teladan Kita

Kita tak asing mendengar, membaca kemuliaan akhlak Nabi Muhammad ` yang sangat mengagumkan bagaimana beliau memafkan kaumnya yang tidak menyambut ajakan dakwahnya. Bahkan beliau mendoakan kaumnya agar suatu hari nanti kaumnya menerima dakwahnya yaitu mentauhidkan Allah dalam rububiyyah, uluhiyyah  dan asmâ wa sifatnya, serta tidak menyekutukan Allah l.

Peristiwa yang sangat membekas dalam hati kita adalah Fathul Makkah, jika Nabi Muhammad `  mau, bisa saja membalas perlakuan kaum Quraisy yang  dahulu pernah mereka lakukan terhadap Nabi Muhammad ` karena saat itu Nabi membawa kaum muslimin yang bannyak, dan juga membawa alat perang. Namun apa yang beliau lakukan, memaafkan. Luar biasa! Bisa tidak kita mencontoh beliau? jika belum bisa, belajarlah. Dari Abu Hurairah a bahwa Rasulullah ` bersabda: Bukanlah yang dikatakan orang kuat adalah orang yang kuat bergulat, tetapi sesungguhnya orang yang kuat adalah orang yang dapat mengendalikan nafsu amarahnya. (HR Bukhari dan Muslim)

 

Membalas Kejelekan dengan Kebaikan

Ini yang sangat keren! Membalas keburukan lain dengan kebaikan akan membuat hati menjadi lembut. Sebagaimana yang dicontohkan Rasul, bagaimana beliau dilempari batu, diusir dari Thaif  namun beliau tidak membalas, bahkan mendoakan semoga Allah l memberikan keturunan orang-orang yang beriman dan tidak menyekutukan Allah l. Hebat ya…apakah kita bisa menirunya? Berbuat baik dan tidak dendam dengan orang yang menghina kita? Firman Allah l: “…dan jika kamu maafkan dan kamu santuni serta ampuni (mereka), maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS al-Taghâbun [64]: 4).

Di ayat yang lain Allah Firman Allah l: “… Akan tetapi jika kamu sekalian mau bersabar atas kedzoliman yang telah mereka timpakan kepada kamu serta dengan itu semua kamu mengharap pahala dari Allah sebagai ganti dari kedzoliman itu lalu kamu pasrahkan dan serahkan semuanya kepada Allah maka itu akan lebih baik bagi kamu sekalian.” (QS al-Nahl [16]: 126)

 

Tips Memafkan Orang Lain

Nah, bagaimana agar kita menjadi pribadi yang pemaaf, tips berikut bisa kita lakukan sebagi ihtiar untuk menjadi pribadi yang mulia:

Pertama, sadari bahwa setiap manusia memiliki kesalahan. Dengan melihat kesalahan orang lain, kita belajar untuk tidak melakukan kesalahan yang sama dan lebih mudah untuk memaafkannya.

Kedua, bayangkan dalam pikiran kita, ketika memiliki dendam dengan seseorang membawa tomat yang busuk berkarung-karung selama bertahun-tahun, kita tidak mau dan capek kan? ini menganalogikan bahwa membawa ke dendam sampai menghujam dalam diri kita sama saja membawa beban yang sudah berat, berbau busuk, menimbulkan penyakit lagi.

Ketiga, ingat, menanamkan dendam sama saja membunuh diri secara perlahan-lahan. Berharap menyelesaikan masalah malah menambah masalah.

Keempat, lupakan masa lalu. Jika hidup kita masih saja dipengaruhi kesedihan dan dendam, tentu akan membuat diri menjadi sakit. Buang dan lepaskan hal-hal yang buruk pada masa kita, berpikir bahwa itu memang seharusnya terjadi di masa lalu, yang harus kita lakukan adalah berjalan kedepan.

Kelima, berdoa. Serahkan semuanya kapada Allah, jika didzalimi dan kita tidak mampu membalasnya, yakinlah bahwa Allah itu tidak pernah tidur dan pasti akan membalasnya bukan melalui tangan kita.

Pilihan berada di tangan kita, mau memaafkan orang lain dengan konsekuensi bahagia  atau memendam dendam kusumat yang akan membuat hati menjadi sakit. Semoga kita termasuk orang yang bisa memaafkan orang lain, menjadi hamba yang pemaaf dan menjadi orang yang mudah melakukan kebaikan sekalipun dengan orang yang telah berbuat buruk terhadap kita. Dengan demikian hidup kita menjadi bahagia. Âmîn. Wallâhu a’lam bi al-shawwâb.[]

 

Ulufi Khasanah

PAI 13422115

UII

Mutiara Hikmah

Rasulullah ` bersabda: “ ‘Termasuk dosa besar, seseorang mencaci maki kedua orang tuanya.’ Para sahabat bertanya, ‘Bagaimana dia mencaci maki?’ Rasulullah menjawab, ‘Dia mencaci seseorang, lalu orang itu mencaci maki bapak dan ibunya.’ (Shahih, di dalam kitab At-Ta’liqur-Raghib (3/221). (Muslim), 1-Kitabul Iman, hadits 146, Bukhari, 78, Kitabul Adab, 4- Bab La Yasubbur-Rajulu Walidaihi).

Post Formats is a theme feature introduced with Version 3.1. Post Formats can be used by a theme to customize its presentation of a post.

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Aenean commodo ligula eget dolor. Aenean massa. Cum sociis natoque penatibus et magnis dis parturient montes, nascetur ridiculus mus – more on WordPress.org: Post Formats

A Post without Image

Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation ullamco laboris nisi ut aliquip ex ea commodo consequat.

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua.

Read more