Covid 19 Merupakan Ujian Atau Siksaan ?

Covid 19 Merupakan Ujian Atau Siksaan ?

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Allah ﷻ yang Maha menciptakan segala sesuatu yang tidak akan diketahui hamba-Nya, termasuk virus Corona ini tidak ada satupun makhluk Allah ﷻ yang menduga akan datangnya virus ini, tentunya hal ini sangat mengubah kehidupan manusia yang seharusnya bisa bekerja, sekolah dan silaturahmi secara langsung menjadi berubah karena harus saling menjaga jarak dan berjauhan.

Kemunculan virus ini dimulai dari kota Wuhan RCC sekitar akhir tahun 2019, pada awalnya manusia banyak menduga-menduga hal ini terjadi karena pola hidup mereka, makanan yang dikonsumsi dan hal lainnya yang menyebabkan datangnya virus Corona dan menjadi siksaan atas perbuatan mereka.

Hampir semua orang termasuk beberapa kaum muslim yang awam menganggap datangnya wabah penyakit ini sebagai siksaan untuk mereka, namun sampai saat ini virus Corona masih terus menyebar sampai ke negara muslim, termasuk Indonesia bahkan Arab Saudi, dan jika dikatakan virus ini sebagai siksaan tentu Allah ﷻ akan mendahulukan menolong hamba-Nya yang taat, sebagaimana ketika Allah ﷻ hendak menurunkan siksaan pada kaum Nabi Nuh ‘laihisalaam berupa banjir yang besar, namun sebelum itu Allah ﷻ memerintah Nabi Nuh ‘alaihisalaam untuk membuat perahu dan mengajak kaumnya yang beriman untuk naik bersamanya, disini adalah bukti jika Allah ﷻ hendak menurunkan siksaan atas suatu kaum, pasti Allah ﷻ akan menyelamatkan terlebih dahulu hamba-hambaNya yang beriman.(Shihab, 2020)

Kenyataan yang dapat dirasakan saat ini, mereka yang terdampak virus Corona tidak hanya non-muslim tetapi banyak juga dari umat muslim yang terdampak dengan virus tersebut, maka dari itu virus ini dikatakan sebagai ujian, sebagaimana Allah ﷻ telah berfirman, “Hati-hatilah / peliharalah dirimu dari ujian yang  tidak hanya menimpa orang-orang yang zhalim di antara kamu dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras dengan siksaNya” (Q.S Al-Anfal [8]: 25)

Ayat di atas menekankan bahwa Allah ﷻ menurunkan ujian tidak hanya kepada mereka yang zhalim tetapi ujian itu Allah ﷻ turunkan juga kepada mereka yang beriman, hal  ini tentu Allah ﷻ memiliki tujuan tertentu sebagaima dalam al-Qur’an, “Sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kamu agar Kami mengetahui  (dalam kenyataan) orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kamu, dan agar Kami menyatakan (baik buruknya) hal  ihwalmu” (Q.S Muhammad [47]: 31)

Disamping itu Sayyidina Ali bin Abi Thalib pernah berucap, ”Jika ada musibah, dan menimpa yang durhaka, maka itu adalah adab/ pendidikan. Apabila menimpa yang taat maka itu adalah ujian” layaknya seperti ujian yang ditimpakan kepada Nabi atau Rasul maka itu adalah peningkatan derajat dan kedekatan pada Allah, jika ujian dijatuhkan untuk para wali maka itu adalah penghormatan untuknya. Maka dari itu ujian yang ditimpakan kepada mereka yang taat tidak lain untuk menguji kesabaran dan ketaatannya terhadap Allah ﷻ.” (Shihab, 2020)

Sikap Umat Muslim Menghadapi Covid 19

Sikap umat muslim sebagai yang taat kepada perintah Allah subhânahu wa ta’âla, tentu juga menghargai kebijakan dan ketentuan yang dibuat oleh para ahli selagi tidak bertentangan dengan syariat Islam. Setelah kemunculan wabah virus Corona, para ahli kesehatan menganjurkan untuk tetap menjaga ketahan fisik, mempersiapkan mental yang kuat.

Selain itu para ulama pun ikut menganjurkan untuk mengikuti tuntunan ajaran Islam, ketika dihadapkan suatu penyakit tetaplah untuk berdo’a dan meminta kesembuhan kepada yang Maha menyembuhkan Allah Subhanahu wa Ta’ala,  dan hal ini pernah diucapkan Nabi Ibrahim n dan termaktub dalam al-Qur’an, “Dan apabila aku sakit, Dialah (Allah) yang menyembuhkan aku” (Q.S Asy-Syu’ara [26]: 80)

Tindakan sebagai umat muslim  yang baik tentu dengan meyakini bahwa kekuatan do’a sangatlah luar biasa. Di tengah ujian duniawi dengan berserah diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan meminta pertolongan kepada-Nya, tentu akan membuat hati merasa tenang dan memberikan kekuatan batin dalam menghadapi suatu penyakit dan akan hilang rasa cemas. Hal itu tentu sangat dibenarkan karena berpengaruh kepada mental seseorang, dengan berdo’a mendekatkan diri pada Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menguatkan hati yang berdo’a dan memberikan energi positif sehingga tidak mudah merasa takut dan cemas. (Shihab, 2020)

Semua Atas Kehendak Allah l

Allah l berfirman, “Tiada suatu bencana pun yang  menimpa di bumi dan (tidak pula)pada dirimu sendiri melainkan telah  tertulis dalam kitab (Lawh mahfudz) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Q.S. Al-Hadid [57] : 22)

Ayat diatas menunjukan bahwa segala sesuatu yang  terjadi adalah yang sudah dikehendaki-Nya, maka dari itu sebagai umat muslim harus mempercayai adanya “Qada” yaitu ilmu Allah menyangkut segala sesuatu sebelum terjadinya dan “Qadar” terjadinya sesuatu dalam kenyataan sesuai dengan ilmu-Nya dan sesuai dengan kehendak dan ukuran yang  telah ditetapkan Allah l. Maka dari semua yang terjadi atas umat manusia di muka bumi ini adalah yang telah Allah kehendaki.

Kehendak Allah tercermin melalui kadar yang telah ditetapkan-Nya, dimana manusia telah ditetapkan takdirnya tetapi diberi kebebasan dalam ruang takdir tersebut, manusia bisa beralih takdir dari takdir yang sebelumnya ke takdir Allah yang lain. Seperti Allah memberikan kehendaknya agar manusia dapat selalu sehat, tetapi hal itu bisa saja berubah seiring dengan proses hidup manusia tersebut apakah dapat menjaga kesehatannya atau tidak. Seperti wabah virus Corona ini memang terjadi atas izin Allah dan Allah juga yang menurunkan obatnya tapi bukan berarti manusia bebas melakukan apa saja tanpa ikhtiar di dalamnya, manusia tetap harus berusaha menghindari penyakit ini dan tetap berserah diri kepada Allah dan takdirNya.(Shihab, 2020)

Hikmah Dibalik Musibah 

Allah menurunkan musibah yang menjadi ujian bagi hampir seluruh manusia, datangnya ujian ini tidak membenarkan kita untuk protes dan menggerutu dengan keaadaan saat ini, tapi mari telaah bersama hikmah dibalik musibah ini, seperti:

  1. Mempelajari tuntunan agama, sehingga menyadari bahwa pentingnya berdo’a karena hanya Allah l yang mampu menolong atas segala musibah yang menimpa manusia,
  2. Menyebarnya virus ini, menuntut untuk terus berdiam di rumah, maka ini memberikan kesempatan untuk bagi kita untuk lebih dekat dengan keluarga, melakukan banyak kegiatan positif seperti mengaji bersama keluarga, mengajari anak atau saudara di rumah dan lainnya,
  3. Bagi mereka yang merenungi akan tersadar bahwa manusia adalah makhluk lemah dan memiliki keterbatasan, sehingga tidak akan muncul sifat-sifat yang ujub,
  4. Adanya musibah ini memberikan kesadaran bagi manusia, bahwa sesama manusia itu satu, bagaikan satu tubuh apabila salah satu anggota tubuh sakit maka seluruh anggota tubuh akan merasa sakit juga, maksudnya jika saudara kita terkena virus ini, maka tidak sedikit dari kita dan saudara lainnya membantu dan saling mendo’akan,
  5. Menyadarkan manusia bahwa kenikmatan material bukannlah segalanya,
  6. Menyadarkan manusia bahwa hidup itu sangat berharga, sehingga selalu mensyukuri keadaan apapun.(Shihab, 2020)

Dari beberapa hikmah di atas, masih banyak hikmah lainnya yang kita dapatkan selama pandemi ini, maka sepatutnya bagi umat muslim untuk tetap bersabar, berdo’a dan perbanyak amal kebaikan, karena ujian ini diturunkan kepada umat muslim untuk menguji seberapa sabar dan taat kita kepada Allah l.

Mari saling mendo’akan tolong menolong karena kita semua satu, tidak berbeda dan libatkan Allah dalam setiap keadaan.

Marâji’

Shihab, M. Q. (2020). Corona Ujian Tuhan, Sikap Muslim Menghadapinya (1st ed.). Tangerang Selatan: Lentera Hati.

Lia Ananda Haenida 

PAI UII 2017

Mutiara Hikmah

Dari Anas bin Malik a, Nabi ` bersabda,

إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدِهِ الْخَيْرَ عَجَّلَ لَهُ الْعُقُوبَةَ فِى الدُّنْيَا وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدِهِ الشَّرَّ أَمْسَكَ عَنْهُ بِذَنْبِهِ حَتَّى يُوَفَّى بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Jika Allah menginginkan kebaikan pada hamba, Dia akan segerakan hukumannya di dunia. Jika Allah menghendaki kejelekan padanya, Dia akan mengakhirkan balasan atas dosa yang ia perbuat hingga akan ditunaikan pada hari kiamat kelak.” (H.R. Tirmidzi no. 2396, hasan shahih kata Syaikh Al Albani).

Fenomena Wabah Pada Masa Rasul & Sahabat

Fenomena Wabah Pada Masa Rasul & Sahabat

Bismillahi walhamdulillahi wash-shalatu wassalamu ‘ala rasulillah,

Pembaca yang semoga dirahmati Allah ﷻ, beberapa pekan belakangan ini kita di hebohkan oleh berbagai informasi baik di media sosial, media masa ataupun media elektronik terkait wabah, khususnya Covid-19 (corona) yang sedang heboh di berbagai negara tidak terkecuali di negara kita tercinta Indonesia. Di berbagai dunia bahkan korban sudah mencapai puluhan ribu bahkan ratusan ribu, berita terakhir.

Data terakhir per tanggal 14 maret 2020 terdapat 142.897 terinveksi Covid-19 dan kematian sebanyak 5.375 orang. Di Indonesia data per 13 maret 2020 telah terdata 69 kasus yang terinveksi Covid-19, dan yang meninggal dunia tercatat 4 orang, hal ini melonjak drastis jika di banding sehari sebelumnya yaitu Cuma tercatat 34 kasus.

Al-Qur’an diturunkan sekitar 14 abad yang lalu kepada Nabi yang agung Muhammad ﷺ, dan kita ketahui bahwa seluruh isi al-Qur’an dapat di pastikan tidak ada yang bertentangan dengan alam semesta dan manusia pada khusunya. Kita ketahui pula bahwa al-Qur’an diturunkan kepada manusia (hamba) yang (ummiy) atau seseorang yang tidak bisa membaca dan tidak pula bisa menulis. Tapi beliau merupakan manusia yang dapat dipercaya, bahkan beliau diberi gelar al-amin oleh kaumnya.

Wabah Pada Zaman Rasulullah ﷺ dan Solusi Mengatasinya. 

Empat belas abad yang lalu pada masa Rasulullâh ﷺ. Pernah terjadi wabah penyakit kusta dan lepra yang menular dan sangat mematikan.  Ketika belum diketemukan obatnya Rasulullah ﷺ melarang para sahabatnya untuk dekat dekat ataupun menengok orang yang terkena wabah tersebut. Dalam sebuah hadits Rasulullah ﷺ bersabda: “Jangan kamu terus menerus melihat orang yang mengidap penyakit kusta (H.R. Bukhari).

Dari hadits tersebut jelas Rasulullah ﷺ  melakukan pencegahan penyebaran virus, salah satunya dengan cara melarang orang untuk terus menerus melihat orang yang terkena virus, ini karena Rasulullah ﷺ  khawatir jika banyak orang yang menengok orang yang terkena penyakita kusta maka ada kemungkinan orang yang disekitarnya akan tertular. Ini merupakan bentuk pencegahan yang konkrit yang dilakukan oleh Nabi ﷺ.

Padahal kita ketahui bersama, rasul sangat menganjurkan untuk menjenguk orang yang sakit, tetapi ada beberapa kasus justru melarang untuk menjenguk orang sakit, ini karena beliau tau bahwa ada beberapa penyakit yang bisa menular. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa, menjauhi orang yang terkena virus yang menular, itu adalah bagian dari apa yang diperintahka oleh Rasulullah ﷺ.

Nabi Muhammad ﷺ juga memperingatkan umatnya pada waktu itu untuk tidak mendekati wilayah yg terkena wabah, hal ini dilakukan supaya umatnya tidak tertular oleh wabah tersebut. Seperti hadits Nabi ﷺ yang berikut ini Rasulullah ﷺ  bersabda: “Jika kamu mendengar wabah (tha’un) di suatu daerah (wilayah) maka janganlah kamu memasukinya, tetapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan kamu tinggalkan tempat itu (H.R. Bukhari, Muslim, Malik, Ahmad).

Dari kisah tersebut kita banyak mengambil pelajaran dari apa yang di sabdakan oleh Rasulullah ﷺ. Salah satu solusi mengatasi wabah yang dilakukan oleh Nabi ﷺ ialah me lock down, atau mengisolasi atau dalam bahasa lain mengkarantina orang orang atau wilayah wilayah yang terdampak wabah, hal ini pula yang dilakukan oleh pemerintah China dan negara negara lain lakukan, termasuk Indonesia pada akhir akhir ini. Indonesia juga sadar bahwa salah satu solusi yang harus dilakukan oleh negara adalah mengcounter daerah-daerah yang terpapar virus Covid-19 pada hari ini. Hal ini mudah mudahan dapat meningkatkan keimanan kita kepada Allah ﷻ. Selain berdoa kita juga terus melakukan usaha untuk meredam penyebaran virus ini, seperti yang dilakukan oleh Nabi Muhammad ﷺ.

Nabi Muhammad ﷺ, selain mencegah umatnya yang belum terkena wabah, dengan memerintahkan umatnya untuk tidak mendekati daerah (wilayah) yang terkena wabah Rasulullah ﷺ, juga menyuruh bersabar bagi umat yang terkena wabah.  Rasulullah ﷺ terus menerus mengingatkan umatnya agar berdoa dan bersabar, bahwa apa yang tertimpa pada umatnya adalah ujian dari Allah ﷻ. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari Rasulullah ﷺ  bersabda: “Kematian karena wabah adalah surga bagi setiap muslim. (H.R.Bukhari).

Dari hadits tersebut jelas bahwa Islam sangat mementingkan solusi bagi setiap masalah. Ini terbukti bahwa Islam melakukan pencegahan bagi yang belum terkena wabah atau virus, dan juga Islam sangat mensuport orang yang terkena wabah, mereka dianjurkan untuk bersabar dalam menghadapi apa yang di deritanya, dan juga Allah ﷻ memberi kabar gembira bagi siapa yang sabar dalam menghadapi wabah, bahkan ketika meninggal dunia atau wafat karena wabah, Allah ﷻ menjanjikan surga baginya.

Wabah (Virus) Pada Zaman Sahabat 

Sepeninggal wafatnya Rasulullah ﷺ, kasus wabah juga terjadi pada masa Khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Pada saat itu Umar bin Khattab bersama rombongan pergi ke daerah Syam, ketika sampai di suatau daerah bernama sargha, ternyata umar melihat ada rombongan juga, yaitu rombongan Abu Ubaidah bin Jarrah, setelah berbincang bincang ternyata rombongan Abu Ubaidah juga mau ke tempat yang sama.

Datanglah seorang yang membawa berita bahwa Syam ternyata sedang dilanda wabah penyakit tha’un yang ganas. Umar ragu untuk meneruskan perjalanan. Ia panggil para sahabat Muhajirin senior untuk bermusyawarah, ada yang mengusulkan Umar beserta rombongan tetap meneruskan perjalanan ke Syam, karena sudah terlanjur jauh jauh datang dari Madinah, ada juga sebagian yang lain mengusulkan untuk kembali ke Madinah karena ada penyakit ganas, sebaiknya tidak menghadapkan orang banyak pada resiko tertular wabah yang mematikan.

“Panggilkan untukku para sahabat Anshar” perintah Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu kepada Abdullah bin Abbas yang saat itu ada dalam rombongan. Para sahabat Anshar pun diajak bermusyawarah oleh Umar, ternyata tidak ada kesepakatan juga dalam musyawarah tersebut, pada saat itu datanglah Abdurahman bin Auf yang membawa kabar bahwa dulu mendiang Rasulullah ﷺ bersabda “jika kamu mendengar wabah (Tha’un) di suatu daerah (wilayah) maka janganlah kamu memasukinya, tetapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan kamu tinggalkan tempat itu” (H.R. Bukhari, Muslim, Malik, Ahmad).

Mendengar informasi dari Abdurahman bin Auf, maka Umar mengambil sikap untuk kembali ke Madinah. Tetapi berbeda dengan sikap Umar, Abu Ubaidah bin Jarrah memilih untuk terus ke Syam. Bahkan Abu Ubaidah mempertanyakan sikap Umar, dengan berkata, “Apakah engkau hendak lari dari taqdir Allah hai Umar? Tanya Abu Ubaidah. Bagi Abu Ubaidah terkena wabah atau tidak adalah taqdir Allah ﷻ. Kemudian Umar bin Khattab menjawab, “Andai saja yang bertanya bukan dirimu wahai Abu Ubaidah”. Kata Umar menyimpan sungkan kepada sosok sahabat senior ini. Lalu Umar melanjutkan, “Iya kami akan lari dari takdir yang satu menuju takdir yang lain, sama sama taqdir Allah jawab Umar. Lalu Umar berkata lagi kepada Abu Ubaidah, bagaimana pendapatmu jika engkau membawa seekor unta lalu sampai disebuah lembah dengan dua sisi, ada yang subur dan ada yang kering kerontang, mana yang kau pilih? Seandainya engkau membawanya ke tanah yang subur, sesungguhnya itu taqdir Allah l, tetapi jika engkau membawanya ke tanah yang kering kerontang, maka itu juga taqdir Allah ﷻ. Jawab Umar Panjang lebar. Umar lalu kembali ke Madinah.

Inilah jawaban sosok cerdas Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu ketika menyeleseikan masalah terkait dengan kemaslahatan umat, Umar tidak mau mengambil resiko yang sia sia, apalagi membawa banyak orang. Mudah mudahan kita bisa mengambil pelajaran dari kisah wabah yang terjadi pada masa Rasulullah ﷺ dan masa sahabat, sehingga pengetahuan mengenai sikap kita terhadap wabah dapat membuat kita semakin meningkatkan iman kita kepada Allah . Âmîn.

 

Marâji’

Kumparan.com

Imam al Bukhari. Shahih al Bukhari. Hadits no. 5288

Islamsantun.com

Imam Malik. Al-Muwatha. Hadits no. 5288

 

Irwanto, M.Pd

Dosen Prodi Manajemen Pendidikan Islam

Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

 

Mutiara Hikmah

Doa Keselamatan pada Badan

اَللَّهُمَّ عَافِنِيْ فِيْ بَدَنِيْ، اَللَّهُمَّ عَافِنِيْ فِيْ سَمْعِيْ، اَللَّهُمَّ عَافِنِيْ فِيْ بَصَرِيْ، لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ، اَللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْكُفْرِ وَالْفَقْرِ، اَللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ.

Ya Allah, berilah keselamatan pada badanku. Ya Allah, berilah keselamatan pada pendengaranku. Ya Allah berilah keselamatan pada penglihatanku, tiada Ilah (yang berhak disembah) kecuali Engkau. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kekufuran dan kefakiran. Aku berlindung kepada-Mu dari siksa kubur, tiada Ilah (yang berhak disembah) kecuali Engkau.” [Dibaca 3x].” (H.R. Abu Daud no. 5090, Ahmad dalam Musnadnya no. 20430, al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrod no.701)

 

Sebuah Pesan Iman Via Covid-19

Sebuah Pesan Iman Via Covid-19

Bismillahi walhamdulillahi wash-shalatu wassalamu ‘ala rasulillah,

Beriman kepada takdir baik maupun buruk adalah merupakan salah satu rukun iman yang mesti kita imani dengan benar. Rasulullah bersabda: “…. Beritahukanlah kepadaku tentang iman. ‘Nabi menjawab, Iman adalah engkau beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk.’….”(H.R. Muslim No. 8, Abu Daud No. 4695, at-Tirmidzi No. 2610 dan selainnya)

Seorang mukmin harus yakin bahwa semuanya selain dari Allah adalah makhluk (cipataan Allâh). Maka termasuk Covid-19 merupakan makhluk Allah dan Dia yang memberikan kehendak atas merebaknya wabah ini hingga menjangkit kepada siapapun atas izin-Nya. Maka, tidaklah sesuatu dapat memberikan kemudaratan melainkan atas izin-Nya sebagaimana Allah  memerintahkan api untuk menjadi dingin dan keselamatan bagi Nabi Ibrahim ‘alaihi salam.

Perlu kita ingat, ada hikmah dari setiap kejadian yang Allah takdirkan kepada hamba-Nya. Maka jadilah sebaik-baiknya hamba yang selalu mengambil hikmah di balik apa yang Allahtakdirkan. Rasa takut serta hawatir pada saat ini, hingga jatuhnya korban jiwa janganlah menjadikan sebuah sebab kita lupa akan segalanya. Yang mesti kita lakukan adalah menjadikan rasa takut serta hawatir tersebut untuk semakin bersungguh-sunguh serta khusyu’ dalam mendekatkan diri kepada Allah . Karena hakikat dari rasa takut itu sendiri merupakan sebuah bentuk ujian dari Allah  kepada seorang hamba.

Allah berfirman: “Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit rasa ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar”.(Q.S. al-Baqarah [2]: 115)

Bukankah rasa takut adalah yang menjadikan seorang hamba semakin bersungguh-sungguh dan khusyu’dalam memohon kepada Allah ? Maka hal terpenting pada saat rasa takut itu hadir yang paling tepat adalah kita meminta kepada Allah l serta berlindung kepada-Nya dari segala bentuk keburukan makhluk.

Keutamaan Doa

Doa merupakan salah satu diantara bentuk ibadah seorang hamba kepada Allah . Selain itu, merupakan sebuah kunci bagi seorang mukmin pada saat turunya bala’ (cobaan) karena yang mengizinkan atas turunnya cobaan tersebut adalah Allah l. Diantara sebab seorang hamba kuat dan semakin mendapatkan pertolongan Allah  dalam kondisi apapun adalah dengan doa.

Doa merupakan bukti benarnya Iman serta pengenalan seorang hamba kepada Allah baik dalam rububiyah, uluhiyah, maupun nama dan sifat-Nya. Ini menunjukan bahwa dia sebagai seorang hamba yakin bahwa Allah Maha Mencukupi, Maha Melihat, Maha Mulia, Maha Pengasih, Maha Mampu, Rabb yang berhak diibadahi semata dan tidak pada selain-Nya.

Doa juga merupakan sebuah bentuk bukti atas tawakkalnya seorang hamba kepada Rabbnya. Karena pada saat seorang hamba berdoa, ini berarti dia meminta pertolongan Allah l dan hal ini berarti dia telah menyerahkan segala urusannya kepada Allah  semata tidak pada selain-Nya.

Maka yakinlah atas segalanya, baik yang engkau usahakan maupun hajat yang engkau hendaki sertai doa kepada Allah. Karena doa itu amat bermanfaat dengan izin Allah . “Tidaklah seorang muslim memanjatkan doa kepada Allah ﷻ selama tidak mengandung dosa dan memutuskan silaturahmi (antar kerabat,pen) melalinkan Allah akan beri padanya tiga hal: [1] Allah akan mengabulkan doanya, [2] Allah akan menyimpannya baginya di akhirat kelak, dan [3] Allah akan menghindarkan darinya kejelekan yang semisal.” Para sahabat lantas mengatakan, “Kalau begitu kami akan memperbanyak doa.” Nabi ﷺ lantas berkata, “Allah nanti yang memperbanyak mengabulkan doa-doa kalian.”

Kiat-Kiat Melalui Sebab Syar’i (Akibat Kehendak Allah)

Sebab syar’i merupakan sebab-akibat kehendak Allah kepada hamba-Nya. Maka dari apa yang melanda pada saat ini seperti wabah COVID-19 ataupun lainnya, ada beberapa hal yang dapat kita tempuh sebagai seorang hamba dan makhluk Allah atas apa yang Allah  ujikan ini.

Di antaranya adalah adalah dengan kita senantiasa taat dalam perintah Allah  dan Rasul-Nya. Melalui setiap ajaran-ajaran yang telah disampaikan melalui syariat Islam maka sebab syariat ini mesti kita tempuh selain sebab lain atau disebut denngan sebab kauni yang akan dibahas di bawah nanti.

Banyak diantara syariat yang telah ajarkan kepada kita, diantaranya seperti memakan makanan yang halal lagi baik, karena ada kebaikan dan berkah dari apa yang dikonsumsinya. Tentu juga dalam cara menempuhnya juga dilakukan dengan cara-cara yang telah dianjurkan oleh syariat.

Kemudian, senantiasa berdoa memohon perlindungan, bertaubat kepada Allah . Dalam hal ini, sebenarnya banyak sekali amalan-amalan yang sebenarnya sudah menjadi prisai seorang muslim tatkala dia senantiasa menjadikannya sebagai rutinitas di kehidupan sehari-harinya. Diantaranya membaca rangkaian dzikir pagi dan petang memohon agar dihindarkan dari wabah atau penyakit yang sedang merebak sebagaimana yang telah diajarkan dalam sunah Nabi .

Bertaubat memohon ampunan kepada Allah   juga merupakan diantara kunci atas segala permasalahan atau musibah yang melanda. Sungguh mulia di sisi-Nya bagi orang-orang yang senantiasa memohon ampun kepada Allah dan bertaubat kepadanya. Karena bisa jadi Allah meberikan cobaan ini adalah sebagai bentuk balasan atas kemaksiatan-kemaksiatan yang telah diperbuat. Maka, pentingnya muhasabah serta taubat atas cobaan yang melanda merupakan salah satu sebab yang harus ditempuh.

Kiat-Kiat Melalui Sebab Kauni (Akibat di Dunia)

Sebab kauni merupakan sebab-akibat di dunia. Usaha merupakan bagian dari takdir dan tidak ada kontradiksi antara apa usaha dan takdir. Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nasir as-Sa’di pernah berkata, “Jika pengejar akhirat mengetahui bahwa akhirat tidak akan digapai melainkan dengan keimanan, amal saleh, dan meninggalkan lawannya (amal buruk), maka ia akan bersemangat dan bersungguh-sungguh merealisasikan keimanan dan memeperbanyak wujud-wujud keimanan yang terperinci. Di sisi yang lain, ia akan meninggalkan kekufuran dan kemasiatan. Ia akan segera bertaubat jika terjatuh dalam dosa.”

Dalam hal ini Rasulullah ` pernah menyampaikan penjelasan bahwa wajibnya usaha atas seorang hamba, seperti hadits dari Abu Hurairah yang diriwayatkan Muslim (4/2025): “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah ﷻ dibandingkan mukmin yang lemah, dan masing-masing mempeunyai kebaikan. Bersunguh-sungguhlah untuk hal yang bermanfaat untukmu. Mohonlah pertolongan dari Allah ﷻ dan jangan merasa lemah. Jika ada sesuatu menimpa dirimu, jangan ucapkan ‘Andai saja saya melakukan begini, tentu akan begini dan begitu.’ Namun ucapkanlah ‘Telah ditakdirkan Allah ﷻ, apa yang Allah ﷻ kehendaki, Dia pasti melakukannya.’ Sesungguhnya ucapan ‘Andai saja’, akan membuka amalan setan.” (H.R. Muslim 4/2025)

Pada saat ini bayak perkara atau usaha yang mesti ditempuh sebagai pencegahan atas melandanya wabah COVID-19. Bahkan diantaranya Rasulullah  memerintahkan: “Apabila kalian mendengar wabah tha’un melanda suatu negeri, maka janganlah kalian memasukinya. Adapun apabilapenyakit itu melanda suatu negeri sedang kalian berada di dalamnya, maka janganlah kalian keluar dari negeri itu.” (H.R. Muttafaqun ‘alaih)

Maka melakukan sutau ikhtiar yang menjadi sebab pencegahan tidaklah bertentangan dengan tawakkal. Maka ikhtiar pada saat ini yang dapat kita lakukan ada dua hal yakni ikhtiar yang sifatnya secara berjamaah atau kelompok dan ikhtiar yang sifatnya individu.

Ikhtiar yang dilaksanakan bersama diantaranya adalah dengan melakukan pencegahan-pencegahan agar wabah ini tidak merebak semakin luas seperti dengan melakukan isolasi kepada mereka yang terkena wabah tersebut atau kepada mereka yang dicurigai terkena virus. Tentunya ikhtiar ini dilakukan oleh pihak-pihak berwenang.

Adapaun ikhtiar dalam skala individu, kita dapat mengikuti arahan-arahan para ahli di bidang ini seperti halnya dengan rutin menjaga kesehatan atau daya tahan tubuh, rutin mencuci tangan, memakan makanan yang halal lagi baik, menghindari keluar rumah dan berkumpul di tempat keramaian bila idak diperlukan.[]

 

Juwandi Purnama

Ahwal al-Syakhshiyah

FIAI – UII

 

Mutiara Hikmah

Doa Keselamatan

اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ الْعَافِيَةَ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ، اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي دِيْنِيْ وَدُنْيَايَ وَأَهْلِيْ وَمَالِيْ. اللَّهُمَّ اسْتُرْ عَوْرَاتِي وَآمِنْ رَوْعَاتِي، اَللَّهُمَّ احْفَظْنِيْ مِنْ بَيْنِ يَدَيَّ، وَمِنْ خَلْفِيْ، وَعَنْ يَمِيْنِيْ وَعَنْ شِمَالِيْ، وَمِنْ فَوْقِيْ، وَأَعُوْذُ بِعَظَمَتِكَ أَنْ أُغْتَالَ مِنْ تَحْتِيْ

Ya Allah! Sesungguhnya aku mohon keselamatan di dunia dan akhirat. Ya Allah, sesungguhnya aku mohon kepada-Mu ampunan dan keselamatan dalam agamaku, (kehidupan) duniaku, keluargaku dan hartaku. Ya Allah, tutupilah auratku dan berilah ketenteraman dihatiku. Ya Allah! Peliharalah aku dari arah depan, belakang, kanan, kiri dan atasku. Aku berlindung dengan kebesaran-Mu, agar aku tidak mendapat bahaya dari bawahku.”  (H.R. Abu Daud no.5074, Ibnu Majah no.3871 dan dishahihkan oleh Al-Albani)

Sudah Kenal Sahur dan Buka Puasa ?

MENGENAL SAHUR DAN BERBUKA
SAHUR
Di bulan Ramadhan ada amalan sunnah yang bisa dijalani yaitu makan sahur. Amalan ini
disepakati oleh para ulama dihukumi sunnah dan bukanlah wajib, sebagaimana kata Imam
Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim, 7: 206. Namun amalan ini memiliki keutamaan
karena dikatakan penuh berkah. Dalam hadits muttafaqun ‘alaih, dari Anas bin Malik,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Makan sahurlah kalian karena dalam makan
sahur terdapat keberkahan.” (HR. Bukhari no. 1923 dan Muslim no. 1095).
Yang dimaksud barokah adalah turunnya dan tetapnya kebaikan dari Allah pada sesuatu.
Barokah bisa mendatangkan kebaikan dan pahala, bahkan bisa mendatangkan manfaat
dunia dan akhirat. Namun patut diketahui bahwa barokah itu datangnya dari Allah yang
hanya diperoleh jika seorang hamba mentaati-Nya.
Pengertian
Dalam bahasa Arab, as-sahur السَّحُورُ dengan mem-fathah huruf sin adalah benda makanan dan
minuman untuk sahur. Adapun as-suhur السُّحُورُ dengan men-dhammah huruf sin adalah
mashdar yakni perbuatan makan sahur itu sendiri. (an-Nihayah, 2/347)
Hukum
Hukum makan sahur adalah sunnah, berdasarkan hadits dari Anas bin Malik radhiallahu
‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sahurlah kalian, karena
sesungguhnya dalam sahur terdapat berkah.” (Muttafaqun ‘alaih)
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Para ulama telah bersepakat tentang sunnahnya
makan sahur dan bukan suatu kewajiban.” (Syarh Shahih Muslim, 7/207)
Dalam riwayat lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendorong kita untuk tidak
meninggalkan makan sahur meskipun hanya dengan seteguk air. Sebagaimana hadits yang
diriwayatkan Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu, ia berkata bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Makan sahur adalah berkah maka
janganlah kalian meninggalkannya meskipun salah seorang di antara kalian hanya minum
seteguk air.” (HR. Ahmad, hadits hasan, lihat Shahihul Jami’ish Shaghir, 1/686 no. 3683)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Sahur dapat diperoleh seseorang yang makan
dan minum meskipun hanya sedikit.” (Fathul Bari, 4/166)
Waktu
Waktu yang utama untuk makan sahur adalah dengan mengakhirkan waktunya hingga
mendekati terbit fajar. Mengakhirkan waktu sahur ini merupakan sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana hadits yang diriwayatkan Anas bin
Malik dari Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhuma, beliau bekata: “Kami makan sahur bersama
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian (setelah makan sahur) kami berdiri untuk
melaksanakan shalat. Aku (Anas bin Malik) berkata, ‘Berapa perkiraan waktu antara
keduanya (antara makan sahur dengan shalat fajar)?’ Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhu
berkata, ‘50 ayat’.” (Muttafaqun ‘alaih)

Al-Imam al-Bukhari rahimahullah mengatakan dalam Shahih al-Bukhari: “Bab perkiraan
berapa lama waktu antara sahur dengan shalat fajar.” Maksudnya (jarak waktu)
antara selesainya sahur dengan permulaan shalat fajar. (Fathul Bari, 4/164). Hal ini
sebagaimana telah diterangkan oleh al-Imam al-Bukhari rahimahullah dalam Shahih al-
Bukhari pada “Kitab at-Tahajjud”, dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, beliau ditanya:
“Berapakah jarak waktu antara selesainya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Zaid bin
Tsabit radhiallahu ‘anhu makan sahur dengan permulaan mengerjakan shalat (subuh)?
Beliau menjawab, ‘Seperti waktu yang dibutuhkan seseorang membaca 50 ayat (dari Al-
Qur’an)’.” Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari (4/164) menyebutkan,
“(Bacaan tersebut) adalah bacaan yang sedang-sedang saja (ayat-ayat yang dibaca), tidak
terlalu panjang dan tidak pula terlalu pendek, (membacanya) tidak cepat dan tidak pula
lambat.” Bila kita sebutkan dengan catatan waktu maka kira-kira jarak antara keduanya
10—15 menit. Wallahu a’lam.
Tamr (Kurma), Sebaik-baik Makanan untuk Sahur
Sahur dengan tamr merupakan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, berdasarkan
hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, beliau bersabda: “Sebaik-baik makanan sahur seorang mukmin adalah tamr
(kurma).” (HR. Abu Dawud, Ibnu Hibban, dan al-Baihaqi, serta disahihkan oleh asy-
Syaikh al-Albani rahimahullah dalam ash-Shahihah no. 562 dan Shahihul Jami’ish Shaghir,
2/1146 no. 6772)
BERBUKA (IFTHAR)
Waktu
Allah subhanahu wa ta’ala telah menjelaskan pada kita tentang waktu dibolehkannya
seseorang yang berpuasa untuk berbuka yaitu dengan tenggelam (terbenam)nya matahari,
sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala: “Kemudian sempurnakanlah puasa itu
hingga (datang) malam.” (al-Baqarah: 187). Demikian pula Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam telah menjelaskan dalam haditsnya. Dari ‘Umar bin al-
Khaththab radhiallahu ‘anhu, berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “Apabila malam telah datang dan siang telah pergi serta matahari telah
terbenam maka sungguh orang yang berpuasa telah berbuka.” (Muttafaqun ‘alaih)
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Makna (sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam di atas) adalah puasanya telah selesai dan sempurna, dan (pada waktu matahari sudah
tenggelam dengan sempurna) dia bukan orang yang berpuasa. Maka dengan terbenamnya
matahari habislah waktu siang dan malam pun tiba, dan malam hari bukanlah waktu untuk
berpuasa.” (Syarh Shahih Muslim, 7/210)
Hal-Hal yang Disunnahkan Saat Berbuka
1. Bersegera ifthar (berbuka) ketika telah tiba waktunya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Senantiasa manusia dalam kebaikan
selama mereka menyegerakan ifthar (berbuka).” (Muttafaqun ‘alaih dari sahabat Sahl bin
Sa’d radhiallahu ‘anhu)

Al-Imam Ibnu Daqiq al-‘Ied rahimahullah mengatakan, “Hadits ini merupakan bantahan
terhadap orang-orang Syi’ah yang mengakhirkan berbuka puasa hingga tampak bintang-
bintang.” (disebutkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari, 4/234)
Keutamaan bergegas untuk berbuka ketika telah tiba waktunya:
1. Mengikuti Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
2. Bersegera untuk berbuka ketika telah tiba waktunya merupakan akhlak para
Nabi ‘alaihimussalam. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abu ad-
Darda’ radhiallahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tiga (perkara) termasuk akhlak kenabian (yaitu): menyegerakan berbuka,
mengakhirkan sahur, dan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri dalam
shalat.” (HR. ath-Thabarani, dan disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah,
lihat Shahihul Jami’ish Shaghir, 1/583 no. 3038)
3. Menyelisihi Yahudi dan Nasrani
Mengakhirkan berbuka hingga tampak bintang-bintang merupakan perbuatan
Yahudi dan Nasrani (Syarhuth-Thibi, 5/1584 dan Fathul Bari, 4/234). Sedangkan kita
dilarang menyerupai mereka. Oleh karena itu, bersegera untuk berbuka puasa ketika
telah tiba waktunya termasuk menyelisihi perbuatan mereka. Hal ini berdasarkan
hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam, beliau bersabda: “Agama ini senantiasa tampak, selama manusia
bersegera untuk berbuka puasa karena Yahudi dan Nasrani mengakhirkan
(ifthar/berbuka).” (Hasan, HR. Abu Dawud dan lainnya, lihat Shahih Sunan Abi
Dawud, 2/58 no. 2353, Shahihul Jami’ish Shaghir, 2/1272 no. 7689, dan al-Misykah,
1/622 no. 1995)
2. Bacaan ketika berbuka
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiallahu ‘anhuma beliau berkata, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam apabila berbuka beliau mengatakan,
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللهُ
“Rasa haus telah pergi dan urat-urat telah terbasahi serta mendapat pahala insya
Allah.” (Hasan, HR. Abu Dawud, lihat Shahih Sunan Abi Dawud, 2/59 no. 2357 dan
al-Irwa’, 4/39 no. 920)
3. Berbuka dengan ruthab (kurma basah), bila tidak dijumpai maka berbuka
dengan tamr (kurma kering), dan bila tidak ada maka dengan minum air.
Sebagaimana amalan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh
Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam berbuka dengan ruthab sebelum melaksanakan shalat (Maghrib), maka jika
tidak ada ruthab (beliau berbuka) dengan tamr, jika tidak ada (tamr) maka beliau
berbuka dengan meneguk air.” (Hadits hasan sahih, riwayat Abu Dawud dan
lainnya, lihat Shahih Sunan Abi Dawud, 2/59 no. 2356 dan al-Irwa’, 4/45 no. 922)
Perlu diingat bahwa dalam makan baik sahur atau berbuka, kita dilarang berlebih-
lebihan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “Dan janganlah kamu berlebih-
lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-
lebihan.” (al-An’am: 141)

Musta’in Billah, S.Si

TANDA-TANDA KEMUNAFIKAN DALAM SHALAT

Oleh: Camelia Rizka Maulida Syukur*

 

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh,

Sahabat pembaca yang budiman, sebagaimana diketahui shalat merupakan perjalanan rohani menuju Allah l. Shalat sebagai media komunikasi vertikal transendental. Oleh sebab itu, Islam mengaturnya sebagaimana telah disebutkan dalam kitab Riyadhus Shalihin, Kitab Al-Fadhail, bab 193 tentang perintah menjaga shalat wajib dan larangan serta ancaman yang sangat keras bagi yang meninggalkannya. Abu Hurairah a berkata, Rasulullah n bersabda, “Sesungguhnya amal yang pertama kali dihisab pada seorang hamba pada hari kiamat adalah shalatnya. Maka, jika shalatnya baik, sungguh ia telah beruntung dan berhasil. Dan jika shalatnya rusak, sungguh ia telah gagal dan rugi. Jika berkurang sedikit dari shalat wajibnya, maka Allah Ta’ala berfirman, ‘Lihatlah apakah hamba-Ku memiliki shalat sunnah.’ Maka disempurnakanlah apa yang kurang dari shalat wajibnya. Kemudian begitu pula dengan seluruh amalnya.” (H.R. Tirmidzi, ia mengatakan hadits tersebut hasan[1])[2]

Allah l menurunkan perintah shalat bersamaan dengan pahala bagi yang menunaikan dan ancaman bagi yang meninggalkannya, seiring dengan itu, muncullah berbagai motif manusia dalam menjalankan ibadah shalat. Tidak sedikit orang yang melaksanakan shalat hanya sebatas menggugurkan kewajiban, namun banyak juga orang yang melaksanakan ibadah shalat sebagai bentuk penghambaan seorang hamba pada Tuhannya.

Orang-orang yang menjadikan shalat hanya sebagai penggugur kewajiban, cenderung akan tertanam sifat munafik dalam hatinya. Sebagaimana Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali”. (QS. An-Nisa: 142)

Orang-orang munafik itu hendak menjalankan shalat maka mereka akan merasa berat dan berlambat-lambat, tidak ada semangat dan rasa ingin yang mendorong mereka untuk menjalankannya; sebab mereka tidak mengharapkan pahala di akhirat dan tidak takut terhadap siksaan Allah, karena mereka tidak memiliki keimanan. Mereka hanya takut kepada manusia dan berharap agar dilihat oleh orang-orang beriman sehingga dapat dianggap sebagai golongan mereka. Mereka hanya menjalankan shalat sesekali saja; apabila tidak ada yang melihat mereka, maka mereka tidak menjalankan shalat; namun jika mereka bersama dengan orang banyak maka mereka akan menjalankan shalat hanya untuk riya’.

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah t berkata bahwa terdapat enam hal dalam shalat, yang termasuk tanda kemunafikan, sebagai berikut:[3]

 

Malas Ketika Bangkit untuk Menegakkannya

Marilah mulai menelusuri sebab rasa malas itu? Apa karena pemahaman agama yang dangkal, atau memang atas dasar malas, kesibukan bekerja, kesibukan mengurus rumah, dan lain-lain. Setiap sebab diberikan obatnya berupa antitesanya. Misalnya, jika merasa kurang ilmu, maka mengajilah perkara shalat. Jika terlalu sibuk maka manajemen pekerjaan diperbaiki dan seterusnya. Biasakanlah dari sekarang ketika mendengar adzan dikumandangkan, maka segeralah melaksanakan shalat. Hal tersebut akan mengurangi rasa malas. Serta, berdoalah kepada Allah ldengan doa Nabi Ibrahim, “Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat. Ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku”. (Q.S. Ibrahim [14]: 40-41)

 

Riya’ Ketika Mengerjakannya

Riya’ sendiri terbagi dalam tiga macam. Pertama, riya’ perkataan di mana orang mengucapkan kalimat-kalimat dzikir maupun nasihat-nasihat, hanya untuk mendapatkan pujian dari orang banyak. Kedua, riya’ perbuatan, di mana seseorang menunjukkan kekhusyukan shalatnya atau memberikan sedekah agar dinilai sebagai orang dermawan. Ketiga, riya’ al-khafiy yang berarti riya’ yang tidak tampak atau tersembunyi. Bahkan, dalam salah satu hadits qudsi, Rasulullah bersabda, “Syirik yang tersembunyi, yaitu orang yang melakukan shalat kemudian membaguskan shalatnya tatkala dilihat oleh orang lain.” (H.R. Ibnu Majah dan Baihaqi).

 

Menunda-nundanya

‘Umar bin Al Khathab a berkata, “Menghimpun antara dua shalat tanpa ada udzur termasuk dosa besar.” Diriwayatkan pula oleh Imam Tirmidzi secara marfu’[4], dari Ibnu ‘Abbas, Nabi n bersabda, “Barangsiapa menhimpun dua shalat tanpa ada udzur, maka ia telah mendatangi salah satu pintu dosa besar.” (H.R Tirmidzi)[5]

Gerakannya Terlalu Cepat

Di antara kesalahan besar yang terjadi pada sebagian orang yang shalat: tidak tuma’ninah ketika shalat. Nabi n menganggapnya sebagai pencuri yang paling buruk, sebagaimana disebutkan dalam Musnad Imam Ahmad dari Nabi n, bahwa beliau bersabda, “Sejahat-jahat pencuri adalah yang mencuri dari shalatnya”. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana mencuri dari sholat?”. Rasulullah berkata, “Dia tidak sempurnakan ruku dan sujudnya” (H.R Ahmad no. 11532, dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahihul Jami’ 986). Maka Nabi n menganggap perbuatan mencuri dalam shalat ini lebih buruk dan lebih parah daripada mencuri harta. Thuma’ninah ketika mengerjakan shalat adalah bagian dari rukun shalat, shalat tidak sah kalau tidak tuma’ninah.[6]

 

Sedikit Menyebut atau Mengingat Allah di Dalamnya

Dalam sebuah hadis dari Anas bin Malik a, Nabi n bersabda, Itulah shalatnya orangn munafik.. duduk santai sambil lihat-lihat matahari. Hingga ketika matahari telah berada di antara dua tanduk setan (menjelang terbenam), dia baru mulai shalat, dengan gerakan cepat seperti mematuk 4 kali. Tidak mengingat Allah dalam shalatnya kecuali sedikit. (H.R. Muslim no.622).

Hadits tersebut menunjukkan bahwa hanya meluangkan untuk berdzikir sesaat dan mepet dengan waktu berakhirnya ibadah, serta tidak mengingat Allah dalam shalatnya melainkan sedikit. Shalat mereka pun dikerjakan dalam keadaan malas, dan mereka berat melaksanakannya.

 

Tidak Mengerjakannya Secara Berjamaah

Dari Abdullah bin Abbas a, Nabi n bersabda, “Barangsiapa yang mendengar adzan, namun tidak mendatanginya maka tidak ada shalat baginya, kecuali ada udzur” (H.R. Abu Daud no.551, Ibnu Majah no.793)[7]. Ibnu Abbas a mengatakan, “Aku melihat bahwa kami (para sahabat) memandang orang yang tidak shalat berjama’ah sebagai orang munafik, atau sedang sakit” (H.R. Muslim no. 654).[8]

Dalam riwayat lain disebutkan dari Abu Hurairah a, ia berkata bahwa Rasulullah n  bersabda, “Tidak ada shalat yang lebih berat bagi orang munafik selain dari shalat Shubuh dan shalat ‘Isya’. Seandainya mereka tahu keutamaan yang ada pada kedua shalat tersebut, tentu mereka akan mendatanginya walau sambil merangkak.” (H.R. Bukhari no. 657).

 

Marâji:

*Penyusun adalah alumnus Magister Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia

[1] HR. Tirmidzi, no. 413 dan An-Nasa’i, no. 466. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[2] Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadh Ash-Shalihin. Cetakan pertama, Tahun 1430 H. Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. 2:255-256. Dikutip dari https://rumaysho.com/16963-shalat-itu-yang-pertama-kali-akan-dihisab.html

[3] Nurhadi, “Konsep thuma’ninah Dalam Shalat Perspektif Imam Malik dan Imam Abu Hanifah (Kajian Teori Rukun dan Wajib Shalat)”, UANSA: Jurnal Studi Islam dan Kemasyarakatan, Vol. 13, No. 1, 2020. dan Ash-Shalah wa Hukmu Tarikiha, jilid 1 hlm. 173

[4]  Marfu’ artinya sampai pada Nabi n

[5] Hadits ini dikatakan marfu’ -sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-, walaupun pernyataan itu menuai kritikan. Imam Tirmidzi mengatakan, “Para ulama mengetahui akan hal ini dan atsar tersebut sangat ma’ruf. Para ulama menyebutkannya dan menetapkannya, tidak mengingkarinya.” https://rumaysho.com/5965-sengaja-menunda-shalat-hingga-keluar-waktu.html

[6] Sumber https://muslim.or.id/13845-tumaninah-dalam-shalat-1.html

[7] Dishahihkan oleh Ibnu Hajar dalam Bulughul Maram [114]). Hadits ini dinilai shahih oleh Syekh al-Albani dalam Misykat al-Mashabih: 1077 dan Irwa’ al-Ghalil no. 551.

[8] Sumber: https://muslim.or.id/52194-shalat-jamaah-wajib-di-masjid.html

Belajar Dari Keteguhan Hati Nabi Ibrahim

Belajar Dari Keteguhan Hati Nabi Ibrahim

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘ala rasûlillâh,

Saudaraku yang dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala, mari kita belajar dari keteguhan Nabi Ibrahim n dalam mempertahankan keimanannya dan ketabahannya dalam menjalani kehidupan yang telah Allah tetapkan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan bacakanlah kepada mereka kisah Ibrahim” (Q.S. Ash-Shu’arâ [26]: 69).

Kisah Nabi Ibrahim sangatlah menarik untuk kita pelajari dalam kehidupannya, dia terlahir ditengah-tengah keluarga dan masyarakat yang musyrik. Tapi Nabi Ibrahim dilindungi oleh Allah dengan diteguhkan keimanannya. Beliau tidak menyembah benda-benda langit dan patung sekalipun karena beliau mengikuti kata hatinya.

Telah banyak dijelaskan dalam al-Qur’an mengenai kisah Nabi Ibrahim n, salah satunya ada dalam surat ash-Shaffat dimulai dari ayat 83 dan seterusnya. Kehidupan Nabi Ibrahim yang dikelilingi dengan lingkungan yang musyrik, menjadikan Nabi Ibrahim bertanya-tanya akan tuhan yang kaumnya sembah, kisah Nabi Ibrahim termaktub dalam al-Qur’an,

“(Ingatlah) ketika ia berkata kepada bapaknya dan kaumnya: “Apakah yang kamu sembah itu? Apakah kamu menghendaki sembahan-sembahan selain Allah dengan jalan berbohong? Maka apakah anggapanmu terhadap Tuhan semesta alam?” Lalu ia memandang sekali pandang ke bintang-bintang. Kemudian ia berkata: “Sesungguhnya aku sakit”. Lalu mereka berpaling dari padanya dengan membelakang. Kemudian ia pergi dengan diam-diam kepada berhala-berhala mereka; lalu ia berkata: “Apakah kamu tidak makan? Kenapa kamu tidak menjawab?” Lalu dihadapinya berhala-berhala itu sambil memukulnya dengan tangan kanannya (dengan kuat). Kemudian kaumnya datang kepadanya dengan bergegas. Ibrahim berkata: “Apakah kamu menyembah patung-patung yang kamu pahat itu?” (Q.S. ash-Shaffat [37]: 85-95)

Dari ayat-ayat di atas, dapat dilihat bahwa Nabi Ibrahim n memiliki karakter yang kuat dalam beragama. Berikut pelajaran yang bisa kita ambil faidahnya:

Mempertahankan Keimanannya Terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala

Pada saat itu Nabi Ibrahim n sudah memiliki keraguan akan apa yang telah disembah kaumnya, beliau tetap mengikuti kata hatinya untuk terus menyembah Allah Subhanahu wa Ta’ala.  Menurut Ali bin Abi Thalib meriwayatkan Ibnu Abbas mengenai aqidah dan keyakinan Nabi Ibrahim n yang tertera pada surat ash-Shaffat ayat 83-84 yaitu,

“Dan sesungguhnya Ibrahim benar-benar golongannya Nuh” yang dimaksud adalah bahwa Nabi Ibrahim benar-benar pemeluk agama Nuh yang mengikuti ajaran dan sunnah Nabi Nuh. Lalu pada ayat 84 Ibnu Abbas menjelaskan bahwa tidak ada tuhan yang sebenar-benarnya kecuali Allah l[i].

Pada ayat 85, dari Qatadah ia mengatakan, “Yakni apa dugaan kalian tentang apa yang akan Allah lakukan terhadap kalian, jika kalian bertemu dengan-Nya, sedang kalian telah beribadah kepada selain-Nya bersama-Nya. Sebenarnya Ibrahim mengatakan hal itu kepada kaumnya agar beliau bisa menetap di dalam negeri ketika mereka berangkat ke perayaan mereka, sedangkan Ibrahim lebih senang menyendiri dengan tuhan-tuhan mereka bermaksud untuk menghancurkannya, lalu Ibrahim menyampaikan satu ucapan mengenai kebenaran kepada mereka, namun mereka memahami bahwa Ibrahim sedang sakit. “Lalu mereka berpaling darinya dan membelakang”.

Qatadah mengatakan, “Bangsa Arab menyebut orang yang berfikir sebagai orang yang melihat bintang-bintang” artinya dia melihat ke langit sambil memikirkan apa yang melengahkan mereka. Dan Ibrahim pun berkata “Sesungguhnya aku sakit” yaitu lemah. Dan adapun beliau berbohong hanya 3 kali yaitu mengenai ucapan beliau yaitu sesungguhnya aku sakit, dan mengenai patung-patung mereka dialah yang melakukannya sendiri dan juga ucapannya tentang Sarah yang ia berkata bahwa ia saudara perempuannya.[ii]

Lalu setelah itu Nabi Ibrahim masuk ke tempat berhala mereka yang berisi patung-patung yang mereka sembah, dan beliau menghancurkannya dengan tangan kanannya yang lebih kuat kecuali patung yang paling besar. Setelah itu mereka kembali dan melihat bahwa yang mereka sembah telah hancur. Dicarilah siapa pelakunya dan ditemukannya yaitu Ibrahim, dan dengan tegas Ibrahim mendebat mereka, “apakah kalian memberikan makan mereka? Sedangkan ia tidak makan. lalu apakah kalian menyembah mereka, sedangkan mereka itu yang kalian pahat sendiri, sesungguhnya Allah yang menciptakan kalian dan apa-apa yang kalian sembah”. Setelah itu mereka dengan tegas menyuruh untuk membangun sebuah bangunan dan menaruh Ibrahim di tempat itu lalu membakarnya, namun telah tertera pada surat al-Anbiya bahwa Allah telah menyelamatkannya dari api serta memenangkannya dari mereka[iii].

Setelah Allah l memenangkan Ibrahim dari mereka, lalu Ibrahim pergi meninggalkan mereka dan memohon untuk diberikan keturunan sebagai pengganti yang telah ditinggalkan. Setelah penantian yang panjang Allah l mengabulkan doanya.

Ikhlas, Tabah dan Berserah Diri Kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala

Selain itu Nabi Ibrahim digambarkan sebagai seorang yang selalu berserah diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, beliau pergi meninggalkan negerinya dan beliau meminta untuk diberikan anak yang shalih, penantian panjang beliau untuk memiliki keturunan Allah kabulkan yaitu lahirlah Nabi Ismail, namun tidak lama Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan Nabi Ibrahim n untuk meninggalkan istri dan anaknya di sebuah lembah yang tidak ada makanan, minuman dan orang sekalipun. Namun beliau menyerahkan segalanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Nabi Ibrahim meninggalkan isteri dan anaknya sambil berdoa, “Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. Ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” (QS. Ibrahim [14]: 37)[iv]

Setelah Nabi Ismail beranjak remaja dan dewasa serta berusaha untuk terus bersama-sama dengan ayahnya, Nabi Ibrahim pun bermimpi bahwa beliau menyembelih anaknya Ismail dan itu merupakan perintah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, lalu belaiu menceritakannya kepada Ismail dan meminta pendapatnya. Ismail pun menjawab untuk mengikuti perintah Allah dan taat kepada-Nya, Ismail bersedia untuk disembelih karena ketaatannya yang kuat terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kesabarannya. Kemudian Nabi Ibrahim membaringkan Ismail dan menempatkan pisau pada tengkuknya sambil memejamkan mata, untuk meringankan dan Allah menebusnya dengan seekor domba dari surga atas ketaatan mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.[v]

Dari kisah ini tentu pantas bagi beliau diberi gelar Ulul Azmi dimana beliau termasuk orang-orang yang kuat, sabar terhadap ujian yang diberikan Allah baik melalui kaumnya sendiri maupun keluarganya. Beliau tetap istiqomah untuk taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sekalipun untuk mengorbankan anaknya, walau dari segi manusiawi hati kecil beliau merasa sedih, namun beliau percaya akan segala kekuasaan Allah dan kehendaknya.

Dari keyakinan dan ketaatannya terhadap perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala, Nabi Ibrahim berhasil menularkannya kepada Nabi Ismail n, yang tidak menolak akan perintah Allah melalui ayahnya untuk menyembelih dirinya. Ketabahan dan ketakwaan Nabi Ibrahim telah memberikan banyak pembelajaran bagi umat Islam, bahwa keimanan seseorang dan ketakwaannya dapat terlihat dari seberapa tabah dan ikhlas ia menghadapi ujian kehidupannya.

Kebanyak seseorang yang melemah imannya, ketika ia dihadapkan dengan sesuatu yang sulit lalu ia pergi meninggalkan agamanya, hal itu sangat berbanding terbalik dengan ajaran Islam. Nabi Ibrahim n yang berada ditengah-tengah masyarakat yang musyrik beliau mampu meneguhkan hatinya untuk terus beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, beliau tabah, sabar dan ikhlas ketika penantian panjangnya menuggu Nabi Ismail lahir setelah lahir namun Allah mengujinya dengan menjauhkannya dari Ismail dan dibiarkannya tinggal bersama ibunya di tengah gurun pasir dan tidak ada sumber makanan apapun, setelah Ismail kembali dan beranjak remaja Nabi Ibrahim diuji kembali dengan harus menyembelih darah dagingnya yaitu Ismail. Maka betapa tabah dan ikhlasnya hati beliau.

Ujian yang didapatkan setiap manusia berbeda-beda, namun Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikannya sesuai kemampuan hamba-Nya, maka seberapa besar ujian kita dalam hidup,  kita bisa belajar dari kisah para nabi untuk belajar tegar dan ikhlas tanpa menjauh dari Sang Khaliq. Wa Allâhu a’lam bi ash shawâb.[]

 

Lia Ananda Haenida

Pendidikan Agama Islam UII

Refrensi

[i] Tafsir Ibnu Katsir. 2004 M. Penerjemah Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ishaq. Muassasah Daar al-Hilâh Kairo. hal. 22

[ii] Ibid. hal. 22-24

[iii]  Ibid. hal. 25

[iv] https://kisahmuslim.com/2575-kisah-nabi-ibrahim-alaihissalam-bag-4-selesai.html

[v] Tafsir Ibnu Katsir. 2004 M., hal. 27).

 

Mutiara Hikmah

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ

Jika kamu mempersekutukan (Rabbmu), niscaya akan hapuslah amalmu.” (Q.S. az-Zumar [39]: 65)

Download Buletin klik disini

Syirik Merajalela, Bencana Melanda

Syirik Merajalela, Bencana Melanda

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘ala rasûlillâh,

Wahai saudariku, manusia diciptakan sesungguhnya hanya untuk menyembah Allah Subhanahu wa Ta’ala semata. Allah mengutus Rasul Muhammad ` agar menyeru kepada penghuni alam semesta ini agar senantiasa men-tauhid-kan diri – Nya. Di dalam al-Qur’an telah dipaparkan secara gamblang bahwa tauhid mengantarkan seseorang pada surga, sedangkan perbuatan syirik akan menjerumuskan pelakunya kedalam neraka. Kesyirikan yang terjadi pada akhirnya menimbulkan kehancuran.

Ingat ! Hanya Kepada Allah Memohon Pertolongan

Semua manusia pasti mengalami saat-saat yang bermasalah, baik itu dalam pendidikan, ekonomi, sosial dan lainnya. Nabi ` pernah memberi nasehat kepada Ibnu Abbas a, “Apabila kamu hendak meminta, maka mintalah kepada Allah, dan bila kamu hendak memohon pertolongan, maka mohonlah pertolongan kepada Allah!” (Hadits ini diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, dan dia berkata, “Hadits ini hasan shahih.”).

Sudah jelas kita ketahui bahwa Allah sebaik-baik penolong, jika kita berpaling terhadap-Nya niscaya tidak ada yang dapat menyelesaikan urusan yang kita hadapi. Urusan manusia bermacam-macam meliputi urusan dunia dan akhirat, keduanya harus senantiasa memohon kepada-Nya. Jangan sampai kita menyandarkan kepada selain Allah l, karena syirik merupakan salah satu dosa besar.

Sebenarnya Syirik Itu Apa Saja?

Syirik itu sangat bermacam-macam, kita harus mengenalinya agar tidak terperosok kedalam jurang kesyirikan. Pembagian mengenai syirik dibagi menjadi 2 yaitu syirik kecil dan syirik besar. Langsung saja, syirik kecil itu perbuatan yang mengantarkan pada syirik besar, di mana perbuatan itu sendiri belum tergolong perbuatan ibadah. Sekecil apapun syirik tetapi telah merintis jalan menuju syirik besar.

Syirik kecil ini menjadi 3 yaitu: (1) Riya’ (melakukan suatu perbuatan bukan karena Allah l), (2) Bersumpah dengan nama selain Allah l, (3) Syirik khafi (samar, tersembunyi), poin ketiga ini berdasarkan sabda Rasulullah `, “Janganlah kalian mengatakan, ‘Atas kehendak Allah dan atas kehendak si Fulan.’ Akan tetapi katakanlah, ‘Atas kehendak Allah, kemudian atas kehendak si Fulan.” (Hadits ini shahih; diriwayatkan  oleh Ahmad dan lainnya)

Wahai Saudariku bukankah kita merasa bahwa diri ini begitu rentan terhadap syirik kecil. Berkomitmen untuk berhijrah menjadi lebih baik, marilah kita mengintropeksi diri sendiri. Selanjutnya kita akan membahas mengenai syirik besar. Syirik besar sendiri ialah menjadikan sesuatu sebagai tandingan Allah Subhanahu wa Ta’ala, dalam hal berdoa  atau dalam bentuk peribadatan lainnya.

Salah satu contohnya yaitu, menyembelih hewan, bernadzar, dan sebagainya bukan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, tetapi karena sesuatu itu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan janganlah kamu menyembah sesuatu pun selain Allah, di mana sesuatu yang kamu sembah itu tidak akan memberimu manfaat maupun mencegah bahaya darimu sedikitpun. Jika kamu melakukan perbuatan semacam itu, maka kamu termasuk orang – orang zalim.” (Q.S. Yunus [10]: 106)

Fenomena Menjamurya Syirik

Saudariku sebagaiman kita ketahui, bahwa Islam datang mempunyai visi dan misi untuk menghancurkan berbagai bentuk kesyirikan. Diantara sebab utama terjadinya begitu banyak musibah karena  kesyirikan sudah bertebaran  di dunia Islam dewasa ini. Terjadinya berbagai huru-hara, kekacauan, dan peperangan yang tidak ada henti-hentinya ditimpakan oleh Allah kepada kaum muslimin. Semua itu tidak lain disebabkan karena mereka tidak mau lagi ber-tauhid, baik dalam perkara keyakinan maupun dalam akhlak dan perilaku mereka.

Berikut beberapa perbuatan syirik yang sering kita jumpai diantaranya, berdoa kepada selain Allah l, mengubur para wali dan orang-orang shalih di masjid, bernadzar untuk para wali, menyembelih binatang di kuburan para  wali, thawaf mengelilingi kuburan para wali, shalat menghadap kubur, melakukan perjalanan khusus ke kuburan utuk mencari berkah, berhukum tidak kepada hukum Allah l, taat kepada ketetapan para penguasa, ulama, atau syaikh yang bertentangan dengan nas-nas al-Qur’an dan hadits shahih.

Baru–baru ini sangat maraknya nyanyian dan puji-pujian syairnya ada yang seperti ini, “Wahai Rasulullah bimbinglah daku, tidak ada yang mampu merubah kesulitanku menjadi mudah kecuali engkau”. Seandainya Rasulullah ` mendengar syair nyanyian di atas, niscaya beliau akan berlepas diri darinya. Karena sudah jelas, tidak akan ada yang mampu merubah suatu kesulitan menjadi mudah kecuali Allah semata.

Syirik  vs Tauhid

Dibahas dalam sudut pandang sejarah, sebenarnya perang antara tauhid dan syirik telah terjadi sejak dahulu. Bermula dari kisah Nabi Nuh n yang selama sembilan ratus tahun menyeru kaummnya agar bertauhid, menyembah Allah Subhanahu wa Ta’ala semata dan meninggalkan berhala yang mereka sembah. Penolakan keras  kaum Nabi Nuh n terhadap dakwah tauhidnya diceritakan di dalam al-Qur’an, Allah ` berfirman “Dan kaumnya berkata, ‘Jangan sekali-kali kalian berani meninggalkan penyembaha kepada tuhan-tuhan kamu dan  jangan sekali-kali kalian meninggalkan penyembahan kepada Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nashr.’ Dan sungguh, mereka itu telah menyesatkan banyak manusia.” (QS. Nuh (2): 23-24).

Berkaitan tentang tafsir ayat ini, al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas, Dia berkata, “Itu (maksudnya Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nashr. –Pent.) adalah nama-nama orang shalih pada zaman Nabi Nuh n. Jika pada zaman Nabi Nuh saja perbuatan syirik sudah sangat mengerikan, apalagi saat ini yang jelas-jelas umat akhir zaman. Maka dari itu kita harus senantiasa mawas diri dan selalu memohon kepada Allah l agar terhindar dari kesyirikan. Âmîn.

Antara Dosa dan Bencana Alam

Seolah tak ada habisnya, berbagai bencana terus melanda negeri ini, banjir, tanah longsor, gempa bumi dan tsunami, atau pun letusan gunung berapi. Tanggapan manusia pun bermacam-macam. Para pakar geologi mengatakan hal ini adalah fenomena alam. Para normal mengambinghitamkan makhluk-makhluk halus penunggu tempat-tempat yang dilanda bencana. Dan sangat sedikit yang mengaitkannya dengan dosa-dosa manusia. Dalam hal ini Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka  agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Q.S. ar-Rûm [30]: 41).

Dalam Tafsir al-Mukhtashar (Markaz Tafsir Riyadh), di bawah pengawasan Syaikh Dr. Shalih bin Abdullah bin Humaid. Menjelaskan, “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut”, Yakni dimaksud dengan (البحر) adalah perkotaan dan pedesaan yang berada di atas laut atau sungai. Sedangkan (البر) adalah perkotaan dan pedesaan yang tidak berada di atas laut atau sungai. “Disebabkan karena perbuatan tangan manusia”, yakni Allah menjelaskan bahwa kemusyrikan dan kemaksiatan adalah sebab timbulnya kerusakan di alam semesta. Kerusakan ini dapat berupa kekeringan, paceklik, ketakutan yang merajalela, barang-barang yang tidak laku, sulitnya mencari penghidupan, maraknya perampokan dan kezaliman, dan lain sebagainya. “Supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka”, yakni agar mereka merasakan akibat dari sebagian perbuatan mereka. “Agar mereka kembali (ke jalan yang benar))” yakni menjauhi kemaksiatan mereka dan bertaubat kepada Allah.

Tegakkan Tauhid Solusinya

Seorang muslim hendaknya memulai hidupnya  dengan tauhid dan meninggalkan dunia yang fana ini juga dengan tauhid. Bertauhid adalah menjadi tugas utama seorang muslim dalam hidupnya. Karena dengan tauhid orang-orang mukmin bisa berkumpul dan bersatu. Kita berdoa semoga akhir ucapan kita ketika hendak meninggalkan dunia ini adalah kalimat tauhid ilâha illa Allâh “Tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah”.[]

 

Erliyana

Referensi

  1. Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, 1424 H, Al–Firqotun Najiyah-jalan hidup golongan yang selamat, Media Hidayah, Yogyakarta.
  2. Tafsir al-Muktashar, https://tafsirweb.com/7405-surat-ar-rum-ayat-41.html, diakses tanggal 07 Januari 2019
  3. Wahdah Islamiyah, 2010, Antara Dosa dan Bencana Alam, http://wahdah.or.id/antara-dosa-dan-bencana-alam/ diakses tanggal 07 Januari 2019

 

Mutiara Hikmah

Rasulullah ` bersabda,

أَكْثَرُ خَطَايَا إِبْنِ آدَمَ فِي لِسَانِهِ

‘Mayoritas kesalahan anak Adam adalah pada lidahnya.‘” (H.R. Thabarani)

 

Download Buletin klik disini

MERIDHOI TAKDIR UNTUK MENCAPAI RIDHO ALLAH

Seorang muslim wajib baginya mengimani perkara-perkara yang telah diberikan kepadanya berupa rukun iman. Seorang muslim yang baik bukan hanya mempercayai saja namun jug mengamalkan dari setiap bagian rukun iman yakni: Iman Kepada Allah, Iman Kepada Malaikat, Iman Kepada Kitab-kitab Allah, Iman Kepada Rasul, Iman Kepada Hari Akhir dan Iman Kepada Qodho dan Qodar. Sebagai penganut agama yang kaffah haruslah terpenuhi keseluruhan itu sesuai tuntunan dan arahan dari al-Qur’an dan Hadits.

Pada realitanya, sebagian manusia lupa dan lalai akan kewajibannya mempercayai hal yang sudah pasti tersebut. Manusia yang tersesat bisa saja melupakan Tuhannya dengan meniadakan Allah di setiap nafas hidupnya. Manusia bisa saja melupakan iman kepada malaikat dan hari akhir karena hati yang tersesat dengan tidak mempercayai suatu hal yang ghaib. Manusia bisa saja melupakan iman kepada kitab-kitab Allah, dan Rasul Allah. Namun manusia tidak bisa menghindari dari Qodho dan Qodar Allah. Oleh karena itu, seorang muslim akan dimintai pertanggungjawaban dari setiap perbuatan yang dikerjakannya.

Pengertian Qodho dan Qodar

Takdir atau lebih lengkapnya Qodho dan Qodar memiliki unsur ikatan kesinambungan.  Qodar berarti ketika Allah telah menetapkan sesuatu akan terjadi pada waktunya dan Qodho adalah tibanya masa ketika ketentuan yang telah ditetapkan terjadi. Oleh karenanya, Qodar yakni suatu ketetapan Allah berlaku terhadap segala sesuatu sejak zaman azali serta Qodho adalah pelaksanaan Qodar ketika terjadi.( Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd,2007)

Rasul SAW berkata:

أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ

Kamu beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir, dan kamu beriman kepada qadar yang baik maupun yang buruk. (HR. Muslim no. 8)

Semua yang terjadi di dunia ini sudah menjadi ketetapan dari Allah SWT seperti adanya pergantian siang dan malam, adanya alam yang indah, sebaliknya adanya hal-hal yang ditetapkan seperti bencana alam, musibah dan lain sebagainya. Begitu pula adanya perbedaan keadaan manusia, Allah menciptakan manusia dengan bermacam ragam, ada wujud yang sempurna atau kurang sempurna. Adapun Allah mengatur setiap kebutuhan manusia dan menempatkan kondisi manusia dalam berbagai macam hal yang berbeda. Karena yang sedemikian itu adalah sebuah ketentuan yang sudah pasti baik adanya dan seharusnya manusia juga mampu mengimani sampai sedalam itu.

Manusia dan Takdir

Hadits di atas menyebutkan takdir baik maupun buruk, oleh karena itu, manusia senantiasa mampu menyiapkan diri dan mental untuk menyambut bukan hanya suatu ketetapan yang diberikan kepada manusia dalam keadaan baik saja, namun juga manusia mampu mempersiapkan dalam keaadaan buruk juga. Manusia akan lebih mudah menerima jika dirinya diberi keadaan takdir yang baik seperti mendapatkan rezeki yang melimpah dan lain sebagainya. Namun, manusia akan susah menerima takdir baginya dalam keadaan buruk atau sebagai musibah dan cobaan. Karenanya sering kali manusia frustasi dan menempatkan prasangka buruk kepada takdir yang telah Allah berikan kepadanya.

Sejatinya manusia mampu membuat rencana yang hebat. Mampu merencanakan untuk mencapai kepentingan dan tujuannya dengan detail dan rinci. Akan tetapi, sebagus-bagusnya rencana manusia ketika Allah tidak meridhoi rencana itu terjadi manusia mampu berbuat apa. Mau tidak mau kita harus menerima apapun yang terjadi dalam hidup kita baik ataupun buruk. Sehingga kita seringkali tidak menerima keadaan dan seringkali menyalahkan takdir Allah yang salah terhadap dirinya. Manusia mulai merasa bahwa nikmat yang diberikan Allah adalah suatu ketidak adilan.

Musibah bisa saja menimpa kepada siapa saja terserah kehendak Allah. Misalnya, ketika seorang pedagang yang berjualan dari siang sampai malam, dirinya telah bekerja keras serta mempunyai perhitungan bahwa ketika hari itu akan sangat ramai, namun karena hujan lebat seharian alhasil pelanggan yang datang hanya sebanyak hitungan jari. Hal yang terjadi adalah pedagang tersebut tidak bisa menolak dari takdir yang demikian. Takdir yang demikian seringkali membuat kita jauh akan syukur kepada Allah.

Adapula perencanaan manusia yang telah merencanakan dan mempersiapkan tentang jodoh. Pada suatu hari, ada sepasang calon pengantin yang telah saling mengenal dengan cara ta’aruf sehingga mendapatkan keinginan yang sama yakni melangsungkan ke jenjang pernikahan. Keduanya telah merencanaka dengan matang apa saja yang diperlukan untuk melangsungkan pernikahannya. Undangan telah dicetak dan disebar luaskan, gedung pernikahan telah dipersiapkan, kedua belah pihak keluarga telah saling mempersiapkan kostum dan hari pelaksanaan dengan matang. Semua hal tersebut menurut renananya akan berjalan dengan sangat lancar dan baik, tidak akan ada suatu hal yang mampu menghentikan rencana mulia mereka. Akan tetapi pada hari berlangsungnya akad pernikahan, mempelai pria mengalami musibah kecelakaan dengan satu mobil rombongannya menuju lokasi pernikahan. Allah pun berkehendak lain, kecelakaan tersebut mengakibatkan meninggal dunia calon mempelai suaminya.

Hal-hal di atas seringkali membuat manusia akan merasa bahwa dunia tidak adil, takdir Allah tidak bagus dan merasa garis hidupnya tidak jelas. Namun akan tiba saatnya manusia akan menyadari apa yang telah direncanakan oleh Allah adalah suatu hal yang terbaik bagi hidupnya. Tidak sedikit juga di antara banyak manusia yang memiliki hati yang tangguh dengan mampu menerima dan selalu bersyukur dengan semua apa yang telah Allah tetapkan.

Rodhiatan Mardiyatan

Kebanyakan muslim ketika ditanyai apa yang mereka cari dalam hidup ini? Mereka selalu menjawab mencari ridho Allah, karena mereka ingin mendapat ridho dari Allah. Akan tetapi hal yang sebenarnya bahwa ridho Allah bukan untuk diminta dan dicari tetapi untuk mereka lakukan. Karena subjek utama ridho Allah adalah diri mereka sendiri yang harus ridho kepada Allah bahwa kemudian Allah ridho adalah hal yang otomatis. Karena tidak mungkin kalau mereka ridho dengan takdir Allah lalu Allah tidak meridhoi.

Rumus sederhana di puncak firman-firman Allah dengan siapa yang dipanggil Allah untuk memasuki hilir kemesraan cinta dengan Allah. Siapa yang kompatibel terhadap cinta Allah, karena unsur kompatibelnya adalah Rodhiatan Mardiyah. Hal ini sesuai dengan firman Allah:

يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ

Wahai jiwa yang tenang!

ارْجِعِي إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً

Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya. (Q.S.al-Fajr [89]: 27-28)

Dari dalil di atas menyebutkan bahwa semua manusia di muka bumi ini bisa jadi Allah meridhoi dan menerima amalan kita bisa jadi tidak, kecuali beberapa orang yang dijamin masuk surga oleh Allah seperti Rasulullah. Selain itu, semua manusia di dunia ini kedudukannya sama di mata Allah. Oleh karena itu, kita tidak usah sibuk mencari ridho Allah, akan tetapi kitalah yang harus terus menerus ridho kepada Allah karena rumusnya adalah Rodhiatan Mardiyah bukan terbalik Mardiyatan Rodhiah. Jadi kitalah yang harus memastikan setiap saat ridho kepada apapun saja yang Allah tentukan untuk kita, jika kita ridho dan terus ridho efeknya pasti diridhoi oleh Allah.

Hal yang disebut kita ridho kepada Allah adalah ridho kepada setiap aplikasi Allah dalam hidup kita. Misalnya jantung kita berdetak menandakan bahwa Allah mempunyai urusan dengan jantung kita dan kita harus ridho dengan nikmat demikian. Sebagaimana pohon, binatang dan alam itu adalah 100% ekspresi dari ridho. Oleh karena itu, temukanlah ridho karena manusia adalah makhluk yang diberi akal untuk mengambil jalan dari kehidupan maka setiap hari manusia harus menemukan yang mana saja dari perilaku kita hari ini yang diridhoi Allah dan mana saja yang tidak dirihoi. Termasuk yang mana perilaku kita yang mencerminkan ridho kepada Allah dan mana yang tidak itulah ukuran hidup.

seharusnya kita ridho berlangsung di setiap saat dalam hidup kita. Akan tetapi kebanyakan manusia tidak berdiri di fakta hidupnya, tidak berdiri di kenyataan hidupnya mereka berdiri di harapannya saja. Maka yang akan terjadi adalah akan selalu merasa kurang apa yang di dapat dari hidupnya. Namun jika kita ikhlas berpijak ditempat dan momentum yang Allah beri serta dengan meridhoi apa yang telah Allah karuniai kita sampai saat ini dengan posisi dan keadaan bagaimanapun. Maka ridho Allah akan menyertai keikhlasan kita untuk melangsungkan kehidupan kita.

Kesimpulan pada pembahasan Rodhiatan Mardiyatan adalah ketika umat muslim di dunia ini telah mengaplikasikan ridho untuk diridhoi, maka akan terciptanya hati yang senantiasa ikhlas kepada setiap ketentuan yang Alah berikan. Serta kita menjadi hamba Allah yang insyaAllah dimuliakan Allahkarena mendapatkan ridho Allah. Semoga kita semuanya menjadi hamba Allah yang pandai bersyukur atas ni’mat Allah dengan segala takdir-Nya.

Muhammad Athoillah.

Alumni FPSB 2014

Referensi

Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd, “Definisi Qadha’ Dan Qadar Serta Kaitan Di Antara Keduanya”, al-Manhaj, 7 Juli 2007, <https://almanhaj.or.id/2168-definisi-qadha-dan-qadar-serta-kaitan-di-antara-keduanya.html>, 16 April 2019

Mutiara Hikmah,

Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-hamba-Nya.

 (Q.S. Fushshilat [41]: 46)

KEKASIH YANG PALING PENCEMBURU

Cinta adalah anugerah terindah yang Allah berikan kepada manusia. Merasakannya adalah fitrah. Menjaganya adalah ibadah. Begitu biasa kami baca dalam tulisan-tulisan sajak cinta islami, definisi cinta secara khusus pada sesamanya. Hakikatnya, sebenarnya ia adalah sesuatu yang Allah berikan pada siapapun atas bukti keMaha-an, kekuasaan, dan kehendak-Nya.Cinta pada Rabbnya, cinta pada utusan-Nya, cinta pada keluarganya, dan cinta pada sesamanya.

Ya, begitulah manusia dengan hara huru kehidupan dunianya. Beribu bahkan berjuta manusia bisa sebebasnya mendefinisikan makna cinta tanpa penyalahan atas apapun dan siapapun. Definisi yang tak berbatas dan tak pernah berhenti ini biasanya berujung pada satu titik yang sama, yaitu rasa yang merupakan bagian perilaku dari bukti cinta.

Pembahasan kata cinta yang tak pernah ada habisnya ini selalu membuat menarik perhatian banyak orang. Terlebih bagi kaum muda-mudi zaman milenial ini. Cukup dengan menambahkan kata cinta pada tema kajian tematik, maka biasanya jumlah jamaah muda-mudi yang hadir akan lebih banyak bila dibandingkan yang hadir pada kajian rutin dengan bahasan yang berat, kajian tauhid misalnya. Begitulah keadaannya, husnuzhannya, karena setiap perbuatan yang kita lakukan tentunya harus bersumber dari cinta. Ya, cinta kepada Allah.

Berbicara mengenai cinta, ada satu hal menarik yang kebanyakan orang mengatakan bahwa ini adalah salah satu bukti cinta. Apa itu? Cemburu. Ya, penulis pribadi sering mendengar kebanyakan dari kita mengatakan bahwa cemburu itu adalah tanda cinta. Benarkah demikian? Berdasarkan studi literasi dari beberapa bacaan yang ada ternyata, pada hakikatnya, cemburu bukanlah selalu sifat tercela. Di dalamnya terkandung maksud Allah l menjadikan sifat itu kepada manusia. Lantas bagaimana Islam dengan ajaran yang sempurnanya memandang kata cemburu ini? Berikut beberapa pemaparan mengenai cemburu dalam Islam.

Dalam riwayat yang lain dari ‘Aisyah i dikisahkan bahwa Rasulullah ` pernah berkhutbah dengan begitu menggebu gebu, matanya memerah laksana panglima perang sedang menyeru pasukannya. Saat itu terjadi gerhana matahari, setelah shalat bersama sahabat, beliau Rasulullah ` berdiri dalam mimbar dan berpesan panjang, diakhir khutbah itu Rasulullah menyeru: “…Hai umat Muhammad, tidak seorang pun lebih cemburu daripada Allah, bila hambanya, lelaki maupun perempuan, berbuat zina. Hai umat Muhammad, demi Allah, seandainya kalian tahu apa yang kuketahui, tentu kalian banyak menangis dan sedikit tertawa. Ingatlah! Bukankah aku telah menyampaikan”. (Shahih Muslim No.1499)

“Cemburu” dalam hadits tersebut adalah diksi indah yang dipilih Rasulullah ` untuk melukiskan hebatnya sebuah ilustrasi rasa, kata indah yang berkali kali Rasulullah ` utarakan untuk mendeskripsikan sebuah suasana bahwasannya Dzat Maha Pencipta, Allah l yang menggenggam cinta, yang memiliki cinta, adalah cemburu pada sebuah situasi atas hambanya.

Dalam satu hadits disebutkan, Asma’ binti Abu Bakar k meriwayatkan, suatu saat dia mendengar Rasulullah ` bersabda, “Tidak ada seorang pun yang lebih pencemburu daripada Allah k (H.R. Bukhari dan Muslim, lihat Syarh Muslim li an-Nawawi [9/28]).

Abu Hurairah a meriwayatkan, bahwa Rasulullah ` bersabda, “Sesungguhnya Allah merasa cemburu. Dan seorang mukmin pun merasa cemburu. Adapun kecemburuan Allah itu akan bangkit tatkala seorang mukmin melakukan sesuatu yang Allah haramkan atasnya.” (H.R. Bukhari dan Muslim, lihat Syarh Muslim li an-Nawawi)

Umar bin al-Khaththab a meriwayatkan bahwa suatu ketika didatangkan di hadapan Rasulullah ` serombongan tawanan perang. Ternyata ada seorang perempuan yang ikut dalam rombongan itu. Dia sedang mencari-cari sesuatu -yaitu anaknya. Setiap kali dia menjumpai bayi di antara rombongan tawanan itu maka dia pun langsung mengambil dan memeluknya ke perutnya dan menyusuinya. Maka Rasulullah ` pun berkata kepada kami, “Apakah menurut kalian perempuan ini akan tega melemparkan anaknya kedalam kobaran api?”. Maka kamipun menjawab, “Tentu saja dia tidak akan mau melakukannya, demi Allah. Walaupun dia sanggup, pasti dia tidak mau melemparkan anaknya ke dalamnya.” Maka Rasulullah ` pun mengatakan, “Sungguh, Allah jauh lebih menyayangi hamba-hamba-Nya dibandingkan kasih sayang perempuan ini kepada anaknya.” (H.R. Bukhari dan Muslim, lihat Syarh Muslim li an-Nawawi [9/21]

Ternyata, Islam dengan kesempurnaanya pun telah lebih jauh membahas makna dari kata cemburu ini.Abu Hurairah a meriwayatkan, Rasulullah ` bersabda, “Semua umatku akan dimaafkan kecuali orang yang melakukan dosa secara terang-terangan. Termasuk perbuatan dosa yang terang-terangan yaitu apabila seorang hamba pada malam hari melakukan perbuatan (dosa) lalu menemui waktu pagi dalam keadaan dosanya telah ditutupi oleh Rabbnya, namun setelah itu dia justru mengatakan, ‘Wahai fulan, tadi malam saya melakukan ini dan itu’. Padahal sepanjang malam itu Rabbnya telah menutupi aibnya sehingga dia pun bisa melalui malamnya dengan dosa yang telah ditutupi oleh Rabbnya itu. Akan tetapi pagi harinya dia justru menyingkap tabir yang Allah berikan untuk menutupi aibnya itu.” (H.R. Bukhari dan Muslim, lihat Syarh Muslim li an-Nawawi [9/225]

Ketahuilah bahwa Allah l akan cemburu kepada hambanya yang selalu melupakan-Nya. Allah  menginginkan hambanya hanya disibukkan dengan Allah saja dan bertawakal kepada-Nya, dengan kata lain Allah tidak mau dan tidak boleh diduakan. Maksud lainnya adalah Allah mencintai kalau hati seorang hamba terkait dengannya sendirian, ketika ia sedang dalam kondisi taat. Tetapi kadang hamba itu disibukkan oleh urusan dunia, maka Allah mengambil dunianya, agar ia kembali hanya disibukkan dengan Allah saja dan bertawakal kepada-Nya.

Mari kita simak beberapa kisah para nabi yang Allah uji bukti kecintaannya. Pertama, kisah nabi Ibrahim n yang mencintai anaknya Ismail, Allah mengambil Ismail dari tanganya. Allah l memerintahkan Ibrahim n untuk menyembelih puteranya. Dan ketika itu, ketika Ibrahim n meletakkan pisau dileher Ismail, maka disana terbukti bahwa kecintaan yang ada dihati Ibrahim adalah kecintaan kepada Allah l. Maka Allah l  memerintahkan mengganti Ismail dengan kambing.

Selanjutnya, kisah nabi Ya’qub n yang sangat mencintai anaknya, Yusuf n. Kecintaan Ya’qub n  terhadap Yusuf n itu memenuhi semua kebutuhan hidup dan hatinya. Maka, Allah l mengambil Yusuf n   selama 20 tahun sehingga hatinya kembali dipenuhi cinta kepada Allah l. Setelah itu, Allah l pun mengembalikan Yusuf padanya.

Firman Allah l dalam Q.S al-Ahzab [33] : 4 yang artinya: “Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).

Jika hati dikawal oleh penghuni yang lain yaitu setan atau hawa nafsu, maka hati itupun akan mengawal anggota badan lain untuk melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan perintah-Nya. Sebaliknya jika hati telah dibersihkan dari perkara-perkara tercela, maka iman akan tumbuh subur dan diduduki oleh tauhid, iman dan ilmu Allah.

Allah l berfirman,“Katakanlah : sesungguhnya sembahyangku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).” (QS Al-An’am [6]: 162-163).

Pernahkah terlintas dalam benak kita jika Allah l, Rabb Yang Maha Mulia cemburu kepada kita? Hati manakah yang tak pernah tersentuh lintasan cemburu, sebuah gejolak bergemuruh yang begitu saja mengubah cinta menjadi  letupan-letupan murka yang tak mampu dikendalikan? Betapa menyedihkan jika selama ini merasa diri beriman, tetapi membiarkan Dzat yang di imani itu cemburu. Bukankah itu kemunafikan? Lantas, Bukankah jahannam itu bagi orang-orang munafik? 

Pahamilah! Bahwasannya, besarnya rasa cemburu itu berbanding lurus dengan besarnya cinta bahkan bisa melebihinya. Pahamilah bahwa hanya Allah-lah yang paling besar rasa cinta-Nya kepada kita melebihi siapapun. Allah-lah yang telah menakdirkan salah satu ribuan sel sperma dari ayah kita bertemu dengan sel telur ibu kita. Lalu sel telur itu dibuahi, menjelma menjadi segumpal daging lalu ditiupkan ruh kedalamnya hingga janin itu bergerak. Atas Cinta-Nyalah janin itu terlindungi dan tumbuh di dalam rahim hingga terlahir ke dunia dengan lemah. Lalu Allah menguatkan tulang tulangnya, memberi bayi itu mata yang indah, pendengaran yang sempurna, tangan untuk membela tubuhnya, kaki untuk berjalan dan semua indra-indra lainnya untuk menyempurnakan bentuknya. Atas Cinta-Nya lah kemudian makanan itu didatangkan melalui tangan-tangan yang Dia kehendaki hingga bayi itu tumbuh menjadi anak, menjadi remaja, dan dewasa. Atas kasih sayang-Nya lah kemudian diajarkannya ilmu-ilmu yang bermanfaat untuk menghiasi perjalanan hidupnya. Atas kebesaran-Nya lah dijadikan bumi dengan sejuta pesona keindahannya untuk menghibur hatinya. Hanya atas kemurahan-Nya lah, sesosok manusia yang kemudian membangkang itu tetap terbangun dipagi hari. Maha Suci Allah.Dia lah Yang Maha Pemurah, yang telah memberi kesempatan dengan membangunkan kita kembali, membangunkan hamba hamba Nya disetiap pagi agar mereka beribadah kepada Nya.Dia lah yang Maha Pemaaf yang tetap membiarkan kekafiran dan kekufuran terus menodai Bumi-Nya yang indah, hingga masa yang ditentukan!

Semoga menjadi muhasabah diri. Untuk diri sendiri dan sesiapa saja yang di izinkan Allah l untuk membacanya. Kita memang harus segera memahami kecemburuan Allah k yang di informasikan Rasulullah, agar kita bisa menghindarinya sebelum cemburu itu berubah menjadi Murka. Sebelum murka itu menemui kita di Neraka. 

Semoga menjadi lilin penerang menuju taubatan nasuha, satu-satunya jalan kembali. Âmîn. Astaghfirullâhalazhîm.

 

Mutiara Hikmah:

“Ketika hatimu terlalu berharap kepada seseorang maka Allah timpakan padamu pedihnya sebuah pengharapan agar kamu mengetahui bahwa Allah sangat mencemburui hati yang berharap selainNya. Maka Allah menghalangimu dari perkara tersebut agar kamu kembali berharap kepadanya,” (HR. Muslim)

 

Oleh : Azzahra

Alumni Takmir Masjid Ulil Albab

Siapkah Kita Kembali?

 

إِذَا جَاء نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ -١- وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجاً -٢- فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ كَانَ تَوَّاباً -٣-

Artinya : “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhan-mu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat.

(QS. An-Nashr [110] : 1-3)

 

Dalam beberapa bulan yang lalu kita sangat dikejutkan dengan musibah dan ujian yang terjadi di negeri kita tercinta ini. Mulai dari gempa bumi di pulau Lombok, Tsunami di kota Palu dan jatuhnya salah satu pesawat terbang di daerah Karawang yang tidak jauh dari ibu kota negara kita. Suatu bencana atau musibah tidaklah terjadi melainkan ada penyebabnya. Namun hal yang terpenting adalah bukanlah mencari apa penyebab terjadinya musibah yang di alami tersebut, melainkan yang terpenting adalah apa hikmah dan pelajaran yang dapat kita ambil kemudian, apa yang kita siapkan jika musibah dan ujian tersebut terjadi pada diri kita.

Ujian dan Cobaan adalah salah satu cara Allah  untuk mengingatkan manusia bahwasannya Allah  maha kuasa atas segala sesuatu. Ujian dan cobaan merupakan bukti bahwasannya Allah  masih sayang kepada seorang hamba, Allah  tidaklah memberi ujian kepada seorang hamba yang beriman melainkan Allah  merindukan mereka untuk senantiasa mengingat akan kehadirat-Nya. Setiap ujian kepada seorang hamba pasti banyak hikmah dan pelajaran yang dapat kita ambil di dalamnya. Salah satu hikmahnya adalah untuk mengingatkan kita sebagai manusia yang lemah ini bahwasanya kita akan kembali kepada-Nya. Oleh sebab itulah, apa yang harus kita siapkan jika kita diminta untuk kembali kepada-Nya?

Sebelum kita menyiapkan bekal terbaik kita untuk kembali menghadap kepada-Nya, ada beberapa hal yang mesti kita lakukan agar setiap apa yang kita lakukan akan bernilai ibadah di sisi-Nya. Pertama adalah berhijrah. Hijrah merupakan salah satu bentuk kemuliaan seorang hamba, hijrah yang dilandasi karena Allah  dan Rasul-Nya merupakan perkara yang sangat dicintai dan menjadi tolak ukur keimanan seorang hamba. Oleh sebab itulah pentingnya untuk berhijrah ini adalah bukti seorang hamba untuk menyiapkan diri sebagai manusia yang terbaik sebelum kita kembali kepada-Nya.

Kata hijrah berasal dari bahasa Arab, yang berarti meninggalkan, menjauhkan dari dan berpindah dari satu tempat ke tmpat yang lainnya. Kata hijrah sudah tidak asing kita dengarkan, bahkan di era digital nan informasi ini,  fenomena berhijrah sudah sangat mudah kita dapatkan, mulai dari hijrahnya para pengusaha yang dzalim kepada yang mengayomi, hijrahnya seorang preman menjadi seorang ustadz, bahkan yang terbaru-baru ini munculnya gerakan hijrahnya para pembisnis konvensional kepada bisnis yang syariah.

Dalam sejarah, perintah hijrah merupakan perpindahan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad  bersama para sahabat dari kota Mekah menuju kota Madinah. Salah satu tujuannya adalah untuk mempertahankan dan menegakkan agama Allah , yang berupa akidah dan syari’at Islam. Namun dalam artian secara umum makna hijrah pada saat ini dapat kita artikan sebagai berpindahnya perbuatan manusia dari yang buruk kepada kebaikan, atau dari sesuatu yang salah dalam syariah menuju kepada kebenaran dan sesuai tuntunan ajaran Islam.

Perintah berhijrah terdapat dalam beberapa ayat dalam Al-Qur’an salah satunya adalah pada surah Al-Baqarah yang artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan orang yang berjihad di jalan Allah, mereka itulah yang mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Al-Baqarah [2] : 218).

Dari ayat ini pelajaran penting yang dapat kita ambil adalah anjuran untuk berhijrah dengan mempertahankan akidah yang benar dan segera kembali kepada jalan kebenaran, serta kita berharap dengan berhijrah ini, kita akan mendapatkan ampunan dan rahmat-Nya, sehingga kita diberikan hadiah terbaik berupa syurga.

Dalam sebuah riwayat yang sangat masyhur, dijelaskan kisah seorang pemuda yang berhijrah dari jalan keburukan menuju jalan kebaikan, maka takkala pemuda ini mau meninggalkan perbuatan buruknya dan menuju tempat yang terbaik. Di tengah perjalanan pemuda ini meninggal dunia namun karena pemuda ini lebih dekat kepada tempat yang terbaik, maka Allah  mengampuni dosa-dosanya dan memasukkannya ke dalam syurga-Nya Allah .

Selanjutnya yang dapat kita persiapkan untuk kembali kepada-Nya adalah bertaubat. Bertaubat atau kembali kepada aturan yang telah Allah tetapkan merupakan suatu jalan yang mulia. Makna taubat secara umum dapat kita artikan sadar dan menyesal akan dosa (perbuatan yang salah dan jahat) serta berniat akan memperbaiki tingkah laku dan perbuatan yang salah tersebut dan berjanji dengan sepenuh hati untuk tidak mngulangi lagi perbuatan yang buruk tersebut.

Bertaubat adalah perkara yang sangat di sukai oleh Allah  dan juga merupakan salah satu perintah-Nya ketika manusia itu melakukan dosa dan kesalahan. Sebagaimana taubatnya nabi Adam ‘Alaihissalam yang diturunkan oleh Allah  ke muka bumi ini. Maka dengan taubatnya yang sungguh-sungguh, kemudian Allah  mengampuni kesalahan-kesalahannya. Orang yang bertaubat adalah mereka yang mendapatkan rahmat Allah , karena dengan taubat ini Allah  masih merindukan hamba-Nya untuk kembali menaati perintah-perintahnya dan menjauhi segala larangan-Nya.

Begitu juga orang yang bertaubat dan segera menyesali perbuatan buruknya di masa lalu adalah mereka yang senantiasa mendapatkan kebaikan, baik di dunia maupun di akhirat, sebagaimana halnya nabi Yunus ‘Alaihissalam yang kembali kepada Allah  takkala ia meninggalkan kaumnya yang tak mau mendengarkan nasehat-nasehat dan dakwahnya. Namun Allah  yang senantiasa menyayangi setiap hambanya menerima taubatnya nabi Yunus dan menjadikanya sebagai orang-orang yang mulia di sisi-Nya takkala beliau bertaubat dan menyesali kesalahan-kesalahannya.

Pentingya seorang hamba untuk segera kembali kepada jalan kebenaran dan takwa merupakan bentuk keyakinan kita kepada Allah . Bukankah kehidupan di dunia ini hanyalah sementara, dan kesenangan palsu, dan tempat kembali kita yang sebenarnya adalah di akhirat kelak sebagaimana di sebutkan di salah satu ayat al-Quran yang artinya: “Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurauan, perhiasan dan saling berbangga di antara kamu serta berlomba dalam kekayaan dan anak keturunan, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian (tanaman) itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang palsu. (Q.S Al Hadid [57]: 20)

Oleh sebab itulah mari kita bertaubat dan kembali kepada Allah , bertaubat pada jalan kebenaran dan jalan yang di ridhoi oleh Allah .

Hal berikutnya yang menjadi kunci dan senjata seorang muslim untuk kembali kepada-Nya adalah kita senantiasa berdo’a dan memohon kepada Allah  agar di kembalikan pada saat yang terbaik dan tempat yang atau khusnul khotimah, berada di jalan yang benar, jalan yang diridhoi oleh Allah . Sebagaimana doa Umar bin Khatab radhiallahu’anhu yang selalu meminta mati syahid.

Oleh karenanya, doa terbaik yang dapat kita panjatkan adalah doa yang telah Allah  ajarkan dalam al-Qur’an. Do’a mereka adalah “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami melakukan kesalahan. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau Bebani kami dengan beban yang berat sebagaimana Engkau Bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau Pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya. Maafkanlah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah Pelindung kami, maka tolonglah kami menghadapi orang-orang kafir.” (QS. al-Baqarah [2] : 286).

Berdoa dan memohon kebaikan adalah sebuah perintah Allah  dan Rasul-Nya, sebagaimana kita selalu dianjurkan beribadah sholat lima waktu yang didalamnya terdapat do’a dan permohonan agar kita  senantiasa diampuni dosa-dosanya. Selain berdo’a kita juga dianjurkan untuk berikhtiar dan mencari lingkungan yang baik serta membawa kebaikan. Hal ini di karenakan mencari lingkungan yang baik, tempat yang baik adalah landasan utama dalam mempersiapkan kita untuk kembali kepada kebenaran dan takwa.

Ingatlah salah satu wasiat  Rasulullah  kepada kita, bahwasannya barang siapa yang berteman dengan seorang pedagang minyak wangi maka ia akan mendapatkan warum wewangian dari sisinya begitu juga dengan orang-orang yang berteman dengan seorang pandai besi maka mereka akan siap menerima asap yang dihasilkan dari kegiatannya. Maka penting bagi kita untuk selalu mencari teman dan lingkungan yang baik sehingga kita dapat menjadi sumber kebaikan bagi diri kita maupun orang lain. Oleh sebab itulah sudah siapkah kita kembali?

 

Romi Padli, SEI., ME

Alumni Magister Studi Islam

Universitas Islam Indonesia

 

 

”Mutiara Hikmah”

“Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah dzalim terhadap diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni dosa kami dan memberi rahmat kepada kami. Niscaya kami termasuk ke dalam golongan orang-orang yang merugi” (Q.S Al A’raf [7] : 23)