HISABLAH DIRIMU, MAKA KAU BERUNTUNG

HISABLAH DIRIMU, MAKA KAU BERUNTUNG

Oleh: Khairul Fahmi

 

Bismillâhi walhamdulillâh, wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Dikisahkan bahwa suatu hari seorang kaum Anshar bernama Tsalabah Ibn Hathib al-Anshari menghadap Rasulullah ﷺ,  ia berkeluh kesah dengan kondisi prekonomiannya yang terus terpuruk, ia sudah bosan hidup dalam kemiskinan, ia ingin hidup lebih layak dengan memiliki banyak harta. Tsalabah memohon agar Rasulullah ﷺ mendo’akannya agar menjadi orang yang memilik banyak harta. Mendengar permohonan Tsalabah, Rasulullah ﷺ langsung secara tegas menolaknya permintaanya.

Meski telah ditolak, Tsalabah memohon sekali lagi kepada Rasulullah ﷺ seraya mengucapkan sumpah “Demi Zat yang telah mengutusmu dengan hak. Jika engkau memohon kepada Allah ﷻ, lalu dia memberiku kekayaan, niscaya aku akan memberikan hak kepada setiap yang berhak menerimanya. Mendengar sumpah yang Tsalabah ucapkan, akhirnya Rasulullah ﷺ berkenan mendo’akannya agar diberi banyak rezeki. Akhirnya Tsalabah diberikan rezeki seekor unta dan domba, ia sangat senang dan gembira, kemudian hari-harinya disibukkan dengan mengurus hewan ternaknya yang lambat laun semakin banyak jumlahnya.

Karena kesibukannya mengurus hewan ternaknya, Tsalabah kerap kali tidak hadir saat shalat berjamaah, hingga suatu hari Rasulullah ﷺ bertanya kepada para sahabatnya tentang kabar Tsalabah. Para sahabat menyampaikan bahwa Tsalabah setelah memiliki banyak harta, ia bersikap kikir, ia tidak mau membayar zakat dan melupakan sumpahnya. Mendengar hal tersebut Rasulullah ﷺ bersabda: “Aduh celaka Tsalabah, aduh celaka Tsalabah, celaka Tsalabah ”.[1]

Ibrah atau pelajaran yang dapat diambil dari kisah Tsalabah ini adalah selalu bersyukur dengan segala nikmat yang telah Allah ﷻ berikan dan jangan pernah terlena dengan harta yang dimiliki sehingga lupa dan lalai menunaikan kewajiban untuk beribadah kepada Allah ﷻ. Muhasabah diri menjadi salah satu alarm atau pengingat agar kita tersadar dari kelengahan beribadah kepada Allah ﷻ.

Pentingnya Muhasabah Diri

Terlena dengan bujuk rayu nafsu akan memberikan kerugiaan bagi seorang hamba di kehidupan dunia dan pasti akan menjadi beban dan penyesalan baginya di akhirat.  Allah ﷻ berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat). Bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan”. (QS. al-Hasyr [59]: 18)

Dalam tafsir al-Misbah disebutkan bahwa, ayat tersebut merupakan perintah untuk melakukan evaluasi terhadap amal-amal yang telah dilakukan. Ini seperti seorang tukang yang telah menyelesaikan pekerjaannya. Ia dituntut untuk memperhatikannya kembali agar menyempurnakannya bila telah baik, atau memperbaikinya bila masih ada kekurangannya, sehingga jika tiba saatnya diperiksa, tidak ada lagi kekurangannya dan barang tersebut tampil sempurna. Setiap mukmin dituntuk untuk melakukan hal tersebut.[2] Amalan-amalan yang telah dikerjakan selalu dievaluasi, jika sudah baik tetap dilakukan dan bahkan ditingkatkan, namun jika amal yang dilakukan tidak baik maka segera bertaubat dan diganti dengan amal kebaikan.

Muhasabah diri sangat penting bagi kehidupan setiap mukmin agar tidak menjadi orang yang merugi dan menyesal, karena pada hakikatnya, kehidupan di dunia bertujuan untuk mengumpulkan dan memperbanyak amalan selama hidup karena hal tersebut akan menjadi bekal untuk menghadapi pengadilan hari akhir yang akan dipertanggung jawabkan di hadapan Allah Sang Maha Khalik.

Dalam sebuah haditsnya, Rasulullah ﷺ memberi gelar bagi orang-orang yang bermuhasabah dan mengevaluasi diri sebagai orang yang pandai. Rasulullah Muhammad ﷺ bersabda: “Orang yang pandai adalah yang menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri serta beramal untuk kehidupan sesudah kematian. Sedangkan, orang yang lemah adalah yang dirinya mengikuti hawa nafsunya serangan berangan-angan terhadap Allah”. (HR Imam Turmudzi)[3]

Cara Muhasabah Diri

Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Tidak akan bergeser dua telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai dia ditanya (dimintai pertanggung jawaban) tentang umurnya kemana dihabiskan, tentang ilmunya bagaimana dia mengamalkannya, tentang hartanya dari mana diperolehnya dan kemana dibelanjakannya, serta tubuhnya untuk apa digunakannya”. (HR. Tirmidzi)[4]

Sabda Rasulullah tersebut dapat menjadi acuan untuk muhasabah diri, empat hal tersebut akan dimintai pertanggung jawaban dari setiap hamba selama menjalani hidup di dunia, yaitu:

  1. Umur

Hidup di dunia hanya sementara, dunia ini hanyalah persinggahan untuk memperbanyak bekal untuk dibawa dan dipertanggung jawabkan dihadapan Allah. Umur yang berlalu begitu cepat ini harus dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk beribadah kepada Allah agar kita tidak merugi. Sebagaimana firman Allah ﷻ: “Tidaklah Aku (Allah) ciptakan jin dan manusia untuk beribadah kepada-Ku” QS. Az-Zariyat [51]: 56

  1. Ilmu yang dimiliki

Ilmu yang bermanfaat adalah salah satu amalan yang kekal dan tetap mengalir kepada si pemilik ilmu meskipun ia telah meninggal. Sebagaimana sabda Rasulullah n: “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631)[5]

  1. Harta

Harta yang dimiliki ini hanyalah titipan, sehingga perlu dipertanggung jawabkan. Ada dua hal yang akan ditanya dan harus dipertanggung jawabkan di hadapan Allah dari harta yang kita miliki. Pertama adalah dari mana kita dapatkan tersebut, apakah dari jalan yang halal atau dari jalan yang haram?. Hal yang kedua adalah dibelanjakan untuk apa saja harta yang dimiliki tersebut, apakah untuk jalan kebaikan atau jalan keburukan?

  1. Anggota badan

Harus disyukuri, bahwa anggota badan mulai dari kepala hingga kaki adalah salah satu contoh nikmat yang diberikan oleh Allah ﷻ. Seluruh anggota badan ini akan dimintai pertanggung jawaban, kedua mata yang dimiliki digunakan untuk melihat hal-hal yang baik atau sebaliknya? Kedua tangan yang dimiliki apakah digunakan untuk melakukan perbuatan yang baik atau yang buruk. Kedua kaki yang dimiliki apakah dilangkahkan ke jalan kebaikan atau jalan keburukan?

Allah ﷻ sudah menegaskan hal tersebut dalam al-Qur’an: “Pada hari ini, Kami membungkam mulut mereka. Tangan merekalah yang berkata kepada kami dan kaki merekalah yang akan bersaksi terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan” QS. Yasin [36]: 65

Pada hari akhir nanti, Allah ﷻ akan menutup mulut-mulut kita sehingga tidak dapat berkata bohong atau berkilah sedikitpun. Tangan kita akan berkata kepada perihal perbuatan yang mereka lakukan di dunia, dan kaki kita akan memberikan kesaksian terhadap apa yang dahulu dikerjakan selama hidup di dunia.[6]

Hidup yang sekali ini harus diisi dengan hal-hal yang bermanfaat, jangan dibiarkan hanya mengikuti arus saja. Hari ini harus diisi dengan kebaikan dan harus lebih baik dari hari sebelumnya agar kita menjadi orang beruntung.  Mari kita selalu bermuhasabah diri agar kita selalu berada di jalan lurus, jalannya para orang-orang sholeh yang kehidupannya selalu bermuara untuk  beribadah kepada Allah ﷻ. Semoga kita terhindar dari kelenaan gemerlapnya kehidupan dunia agar kita tidak termasuk orang-orang yang merugi.[]

[1] https://www.republika.co.id/berita/pf1vhh313/kisah-tsalabah-dan-pelajaran-bagi-umat-islam

[2] Quraish Shihab,Tafsir Al-Misbah Vol. 13 Cet. V, 2012, Jakarta: Lentera Hati

[3] Asep Sapa’at, Muhasabah diri, 15 Februari 2022 dalam https://www.republika.id/posts/25069/muhasabah-diris

[4] https://suaramuhammadiyah.id/2020/11/05/empat-pertanyaan-di-hari-kiamat/

[5] https://rumaysho.com/1663-terputusnya-amalan-kecuali-tiga-perkara.html

[6] https://quranhadits.com/quran/36-ya-sin/yasin-ayat-65/

Download Buletin klik disini

SIFAT SABAR DALAM ISLAM

SIFAT SABAR DALAM ISLAM

Oleh: Nabilah Nur Syafiyah

*Mahasiswa Teknik Kimia UII

 

Sabar merupakan kata yang hampir selalu terdengar dalam keseharian kita. Tak jarang juga kita menemukan ungkapan “bersabarlah” di kalangan masyarakat. Sabar memang sudah menjadi ungkapan sehari-hari dan sudah menjadi bahasa komunikasi masyarakat. Tapi dibalik itu, ungkapan sabar  yang sudah menjadi bahasa komunikasi masyarakat selalu dikonotasikan kepada kondisi bagaimana menghadapi musibah dan diidentikkan dengan sikap berdiam diri dalam menghadapi musibah. Sikap sabar memang harus dimiliki oleh setiap orang. Karena apabila orang tersebut mengalami musibah, itu tidak menjadikan malapetaka baginya, menghancurkan hidupnya, dan melemparkannya pada derajat terendah diantara makhluk Allah lainnya. Dari pemahaman yang keliru ini mengenai sabar, akan berdampak pada hilangnya makna sabar yang sangat luas. Apabila sabar diidentikkan atau dipergunakan hanya pada saat menghadapi musibah saja, maka kekuatan sabar yang sangat besar tidak pernah dipakai manusia untuk mengatasi berbagai problematika hidup lainnya. Padahal sabar merupakan peluang atau potensi diri yang bisa membawa manusia untuk sanggup menjalankan fungsiya sebagai khalifah dan hamba Allah secara bersamaan.[1]

Keutamaan Sabar

Allah ﷻ telah menyifati orang-orang yang sabar dengan beberapa sifat. Dia menyebut sabar dalam al-quran pada lebih dari 70 tempat dan Dia menambah lebih banyak derajat dan kebaikan dan menjadikannya sebagai buah bagi sabar. Sebagaimana firman Allah ﷻ : “Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar,” (Q.S. as-Sajdah[32] : 24).

Allah ﷻ juga berfirman: “Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan,” (Q.S. an-Nahl [16] : 96). Allah l berfirman: “Mereka diberi pahala dua kali disebabkan kesabaran mereka,” (Q.S al-Qashash [28] : 54). Allah l berfirman: “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas,” (Q.S. az-Zumar [39] : 10). (Al-Ghazali. 2013)

Macam-Macam Sabar             

Macam-macam sabar dan beberapa hal yang berhubungan dengan sabar

  1. Kesabaran yang dilakukan dalam menghadapi nafsu perut dan kemaluan disebut iffah. Kebalikan dari sifat ini yaitu jaza’ atau hala’ yang artinya keluh kesah dimana membiarkan faktor nafsu terlampiaskan.
  2. Kesabaran untuk menahan dalam menghadapi kekayaan disebut dhabtun nafsi yang artinya kendali diri. Kebalikan dari sifat ini yaitu bathr yang artinya tak tahu berterima kasih.
  3. Kesabaran yang terkait dengan peperangan disebuat syaja’ah (berani), dan kebalikannya yaitu jabn (pengecut).
  4. Kesabaran yang ditunjukkan untuk menahan kemarahan dan emosi, maka disebut hilm atau penyantun dan kebalikannya yaitu tadzammur yang artinya menggerutu.
  5. Kesabaran yang terkait dengan waktu yang jenuh, maka disebut sa’atush shadri (lapang dada). Kebalikannya yaitu adh-dhajr (tidak sabaran), tabarrum (cepat bosan) dan dhiiqush shadri (sempit dada).
  6. Kesabaran yang menyangkut tentang penyembunyian perkataan, maka disebut kitmaanus sirri atau menyimpan rahasia. Dan orang yang melakukan hal tersebut dinamakan katum atau orang yang pandai menyimpan rahasia.
  7. Kesabaran yang ditunjukkan terhadap kehidupan yang berlebih, maka disebut zuhud yang artinya tidak berambisi kuat. Kebalikannya yaitu hirsh yang artinya berambisi besar atau tamak.
  8. Kesabaran dalam menerima bagian yang sedikit, maka disebut qana’ah yang artinya sikap menerima apa adanya. Sedangkan kebalikannya yaitu syarah yang artinya rakus.[2]

Sabar Dalam Al Quran

  1. Surah Al-Baqarah ayat 153

Allah ﷻ berfirman:  “Jadikan sabar dan shalat sebagai penolong kalian. Sungguh hal itu teramat berat kecuali bagi orang-orang yang khusyuk” (Q.S. al-Baqarah [2] : 45)

  1. Surah Al-Baqarah ayat 155-156

Allah ﷻ berfirman: “Dan Kami pasti akan menguji kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un”(sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali untuk hisaban)” (Q.S. al-Baqarah [2] ; 155-156)

Tiga Jenis Sabar

              Pertama, sabar ketika menunaikan kewajiban-kewajiban yang telah diwajibkan oleh Allah ﷻ , seperti melaksanakan ibadah sholat, puasa, serta kewajiban-kewajiban yang lain.

              Kedua, sabar terhadap apa saja yang diharamkan oleh Allah ﷻ . Jenis sabar ini menandakan bahwa kita kbih mudah mnunaikan kewajiban daripada menjauhi larangan. Mungkin kita tidak menemukan masalah yang serius saat harus menjalankan kewajiban, seperti saat menunaikan shalat lima waktu. Tapi di sisi yang lain, menjauhi larangan akan lebih berat. Tidak berbohong, tidak suudzon terhadap orang, tidak membuka aurat, itu semua jauh lebih berat daripada menjalankan shalat lima waktu.

Ketiga, sabar dalam menghadapi musibah. Menunaikan kewajiban itu biasa dan menjauhi larangan itu sangat berat. Tapi dibandingkan dengan kedua hal tadi, ternyata masih ada yang lebih sulit, yaitu perilaku sabar saat ditimpa musibah. Semisal tiba-tiba difitnah, kehilangan benda kesayangan, atau ditimpa kematian. Itu semua adalah musibah yang menuntut kita berlaku sabar menjalaninya. Kesabaran dalam menjalani semua ini jelas lebih berat daripada menunaikan kewajiban ataupun menjauhi larangan Allah ﷻ .

Jika kewajiban yang harus kita tunaikan dan larangan yang harus kita jauhi jumlahnya banyak, bahkan sudah menjadi rutinitas hidup, maka musibah itu sangat jarang kita jumpai. Ibadah itu adalah rutinitas, dan musibah bersifat temporal dan jarang datangnya. Namun, sekali menjumpai musibah, berat sekali kita untuk menghadapinya dengan sabar yang sebenar-benarnya. Maka wajarlah jika pahala sabar dalam menghadapi musibah lebih banyak pahalanya.[3] Wa Allahu a’lam.[]

Marâji:

[1] Nasaruddin Umar, Sabar dan Fungsinya dalam Kehidupan. Jurnal Bimas Islam Vol.4 No.4 2011

[2] Ubaidurrahim El-Hamdy, Sabar Tanpa Batas, Syukur Tiada Akhir. Jakarta: Wahyu Qolbu, 2015.

[3] Nasaruddin Umar, Sabar dan Fungsinya dalam Kehidupan. Jurnal Bimas Islam Vol.4 No.4 2011

Download Buletin klik disini

PENTINGNYA TADABBUR AL-QUR’AN

PENTINGNYA TADABBUR AL-QUR’AN

Oleh: Liza Jauharatul Munfarida

 

Bismillah, walhamdulillah, washshalatu wassalamu ‘ala rasulillah,

Kata tadabbur di dalam Al Qur’an disebutkan 4 kali salah satunya dalam surat As-Shad ayat 29

كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ

“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.” (Q.S. Shâd [38]: 29)[1]

Allah ﷻ telah menurunkan firman-Nya sebagai pedoman hidup manusia dengan kedudukan al-Qur’an yang sedemikian jelas namun banyak dari kita yang mengabaikan pesan cinta dari Rabbul Izzah, tidak pernah membacanya apalagi merenungkan dan mentadabburi-nya. Fenomena membaca al-Qur’an terkadang hanya terasa ketika bulan Ramadhan tetapi ketika hari biasa al-Qur’an tidak menjadi objek utama untuk medekatkan diri kepada Allah ﷻ, kita sudah mulai disibukkan oleh gemerlap dunia, tugas kuliah dan kesenangan dunia, sehingga ketika Allah memberikan ujian kepada kita sebagai pesan rindu-Nya, kita enggan untuk mengagungkan nama-Nya.

Semakin jauhlah kita kepada sang pencipta, maka dari itu Allah ﷻ mengajak kita untuk selalu mengingat-Nya melalui al-Qur’an dan mentadabburi-nya agar semua yang kita lakukan Kembali kepada Allah lillahi, billahi, fillahi dengan rasa keikhlasan kita akan semakin bersyukur atas ujian dan nikmat-Nya.

Tujuan Tadabbur al-Qur’an

Maka sepantasnyalah seorang mukmin menjadikan al-Qur’an sebagai pedoman hidupnya, membacanya dengan merenungkan dan mentadabburinya lalu mengamalkan isi kandungannya, Ibnul Qoyyim berkata: ”Tidak ada yang lebih besar manfaatnya bagi hati dari pada membaca al-Qur’an dengan mentadabburi dan merenungkannya, karena al-Qur’an merupakan kitab suci yang bisa dijadikan pedoman hidup oleh setiap manusia, dengan membaca dan mentadabburinya bisa melahirkan al-Mahabbah (cinta kepada Allah), al-Khauf (rasa takut kepada Allah), ar-Raja’ (berharap hanya kepada Allah), al-Inabah, tawakkal, ridha dan menerima (takdir Allah), sifat sabar, syukur serta seluruh perbuatan yang bisa menyebabkan hidupnya hati dan mencapai kesempurnaannya. Membaca sebuah ayat al-Qur’an disertai dengan mentadabburi dan merenungkan maknanya jauh lebih baik dari pada mengkhatamkan al-Qur’an tanpa disertai tadabbur dan pemahaman akan maknanya. Membaca al-Qur’an dengan memahami makna dan kandungannya jauh lebih bermanfaat bagi hati serta jauh lebih besar faidahnya dalam menambah keimanan dan merasakan manisnya al-Qur’an.” [2]

Namun proses tadabbur ini pada umumnya hanya mampu dilakukan oleh ûlû al-albâb, yaitu orang-orang yang memiliki akal pikiran dan penghayatan mendalam terhadap kandungan ayat-ayat al-Qur‘an, yang dengan bergegas mereka akan meninggalkan berbagai kesesatan yang masih bersemayam dalam diri mereka dan bersegera mengaktualisasikan petunjuk kebenaran yang telah diketahui dan dipahaminya. Karena itu, al-Hasan pernah memberikan saran berharga sebagai berikut: Al-Qur‘an diturunkan untuk ditadabburi dan diaplikasikan dalam amal nyata, maka jadikanlah proses membacanya sebagai amal perbuatan.[3]

Pola interaksi seperti apa yang seharusnya kita lakukan dalam bertadabbur?

  1. Berinteraksi dengan cara yang kita suka
  2. Berinteraksi dengan cara yang Allah suka

Secara bahasa tadabbur artinya “memandang kepada akibat sesuatu dan memikirkannya”, maksud dari mentadabburi perkataannya adalah “memperhatikannya dari permulaan hingga akhir, kemudian mengulai perhatian itu berkali-kali”. Secara istilah tadabbur artinya menggunakan ketajaman mata hati melalui proses perenungan mendalam secara berulang-ulang agar dapat menangkap pesan-pesan Al-Qur’an yang terdalamm dan mencapai tujuan makna yang terjauh.

Adab-Adab Bertadabbur Al-Qur’an

  1. Hadirkan niat karena Allah ﷻ i,[4]
  2. Bersuci dengan sempurna seperti berwudhu, gosok gigi karen mulut adalah jalan keluar untuk melantunkan Al-Qur’an,[5]
  3. Menghadap kiblat
  4. Mensucikan indera-indera yang digunakannya untuk berinteraksi dengan Al-Qur’an,
  5. Memilih tempat yang sesuai, seperti di Rumah Allah,
  6. Memilih cara duduk yang sesuai, kondisi yang sesuai, dan sikap badan yang pantas
  7. Memulai dengan ta’awudz dan basmallah,[6]
  8. Membaca Al-Qur’an secara tartil dengan pelan-pelan sesuai dengan tujuan awalnya untuk bertadabbur,[7]
  9. Menjaga kekhusyuan dengan tidak menaruh handphone disekitar tempat tadabbur
  10. Memperindah suaranya semampunya
  11. Mengosongkan jiwa dari hal-hal-yang menyita perhatian, memenuhi kebutuhannya dan tuntutannya sebelum membaca al-Qur’an.
  12. Menghadirkan hatinya terhadap keagungan Allah ﷻ.
  13. Meninggalkan bisikan-bisikan jiwa,
  14. Tidak memutus bacaan Al Qur’an dengan pembicaraan dan lamunan yang tidak bermanfaat
  15. Terpengaruh dan terbawa emosi oleh ayat-ayat sesuai tema dan konteksnya
  16. Apabila ia membaca ayat tentang nikmat, maka ia memohon kepada Allah agar ia termasuk golongan yang menerimanya,
  17. Perasaan bahwa pembaca sendirilah yang diajak bicara oleh ayat-ayat al-Qur’an
  18. Meninggalkan faktor-faktor yang bisa menghalangi pemahaman dan tadabbur ayat-ayat al-Qur’an.

Bila proses tadabbur ini bisa diejawantahkan, maka nilai aksiologis yang dapat dipetik dari proses tersebut antara lain:

  1. Kemantapan iman di dalam hati dapat digapai,
  2. Menjadikan seseorang berkepribadian paripurna karena memiliki sikap berharap dan khawatir yang seimbang,
  3. Selamat dari tipu muslihat
  4. Selalu yakin dan memiliki kepercayaan diri yang tinggi dan
  5. Mampu membedakan antara yang baik-buruk dan benar-salah secara cermat.

[1] Q.S. Shad [38]: 29

[2] Miftah Daar as-Sa’adah:I/187.

[3] Muhammad ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi’ al-Bayân ’an Ta‘wîl al-Qur‘ân, ed. Maktab al-Tahqîq wa al-I’dâd al-’Ilmî fî Dâr al-A’lâm, Oman: Dâr al-A’lâm dan Dâr Ibn Jarîr Beirut, 2002, vol. 12, hal. 187

[4] Q.S.Al-Bayyinah [98] : 5

[5] Q.S. Al-Waqi’ah [56]: 77-79

[6] Q.S. sAn-Nahl [16]: 98

[7] Q.S. Al-Muzammi [73]: 4

Download Buletin klik disini

MEMAKNAI HAKIKAT HARI RAYA QURBAN

MEMAKNAI HAKIKAT HARI RAYA QURBAN

Oleh: Imaduddin Fadhlurrahman*

* Penulis merupakan seorang santri yang bermukim di Rumah Tahfidz Taruna Juara Yogyakarta.

 

Bismillâhi Walhamdulillâhi wash-shalâtu was-salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Pada setiap tanggal 10 Dzulhijjah seluruh umat muslim di seluruh penjuru dunia merayakan hari raya Idul Adha. Idul Adha merupakan hari raya besar kedua umat muslim setelah hari raya Idul Fitri. Di dalam penamaannya, seringkali umat muslim di Indonesia menyematkan hari raya Idul Adha dengan istilah Hari Raya Haji atau Hari Raya Qurban. Disebut sebagai Hari Raya Haji karena pada momen itu kaum muslimin sedang menunaikan haji yang utama, yaitu wukuf di Arafah. Dan, disebut pula sebagai Hari Raya Kurban karena peristiwa yang melatarbelakanginya yakni kisah Nabi Ibrahim yang bersedia mengorbankan putra semata wayangnya Ismail untuk Allah.

Meneladani Kisah Ibrahim dan Ismail

Di antara hikmah dari melaksanakan Idul Adha bagi umat muslim adalah untuk terus menyegarkan ingatan atas peristiwa qurban, yaitu tatkala Nabi Ibrahim yang bersedia untuk mengorbankan anaknya Ismail untuk Allah ﷻ. Lalu kemudian sesaat sebelum peristiwa sembelih, Ismail diganti oleh Allah ﷻ dengan seeokar domba sebagaimana diabadikan dalam al-Qur’an.

Allah ﷻ berfirman:  “Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian.  (yaitu)”Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim”. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S. ash-Shâfât [37]: 107-110)

Kisah pengorbanan Nabi Ibrahim dan Ismail adalah salah satu kisah paling momumental dalam sejarah umat manusia. Kebesaran hati seorang Ibrahim yang merelakan anak satu-satunya yang bahkan kehadiran telah ditunggu bertahun lamanya demi ketaatan dan kecintaannya kepada Allah ﷻ adalah bentuk kerelaan paling tulus dan berat yang pernah ada. Sedangkan kepatuhan dan kecintaan seorang anak kepada orang tua demi memenuhi perintah Allah swt tergambar jelas pada diri seorang Ismail yang mengikhlaskan dirinya untuk disembelih.

Tragedi penyembelihan itu lantas membuat Malaikat Jibril kagum dan terkesima seraya mengucapkan kalimat “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar.” Yang kemudian dijawab oleh Nabi Ibrahimi dengan lantunan “Laailaha illahu Allahu Akbar.” Dan kemudian disambung oleh Nabi Ismail dengan ucapan “Allahu Akbar Walillahil Hamdu.” Maka, ini adalah sebuah potret yang menyentuh hati antar ayah dan anaknya yang saling mencintai dan rela berpisah serta melepas kecintaannya demi ketataan kepada Allah.

Dari kisah pengorbanan dan ketulusan yang diperlihatkan oleh Nabi Ibrahim dan Ismail setidaknya kita dapat mengambil hikmah yang bisa kita teledani di dalam kehidupan kita saat ini. Bahwasanya penyembelihan yang dilakukan Nabi Ibrahim kepada Ismail harus dimaknai sebagai pesan simbolik agama dan mengandung pembelajaran bagi siapa saja. Hikmahnya ialah untuk senantiasa meningkatkan ketakwaan. Kerelaan serta kesiapan Nabi Ibrahim untuk menyembelih putranya atas perintah Allah ﷻ menunjukkan betapa tingginya tingkat ketakwaan Nabi Ibrahim. Sebab takwa sendiri ialah sangat terkait dengan ketaatan seorang hamba kepada Sang Pencipta dalam menjalankan perintah dan menjauhi segala larangannya.

Esensi Hari Raya Idul Adha

Selain keteledanan dari kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail hakikat sesungguhnya dari Idul Adha semata-mata terwujudnya pelaksanaan penyembelihan hewan qurban sebagai bentuk peribadahan kepada Allah ﷻ. Namun ada esensi lain  dari Idul Adha ialah menyembelih sifat-sifat kebinatangan yang melekat pada diri kita. Maka, ketika hewan qurban disembelih, pada saat yang bersamaan pula lenyaplah nafsu kebinatangan kita seperti merasa selalu paling benar, paling hebat, tidak peduli terhadap sesama, rakus, serakah, dan segala macam sifat kebinatangan lainnya.

Esesensi yang diajarkan pada momen Idul Adha ialah agar tidak menjadi manusia individualis. Relasi kemanusiaan adalah wujud eskpresi kesalihan sosial yang ingin coba disampaikan pada momen Idul Adha. Semangat kemanusiaan di balik Idul Adha penting untuk diaktualisasikan di tengah-tengah maraknya sifat indvidualistis di zaman global. Sehingga momentum Idul Adha mengandung pesan moral yang kuat untuk merekatkan tali persaudaraan dalam kehidupan bermasyarakat.

Esensi Idul Adha dalam konteks lain ialah untuk mengingatkan setiap muslim agar siap sedia berqurban demi kebahagiaan orang lain terkhususnya bagi mereka yang kurang beruntung, serta waspada terahadap godaan dunia agar tidak terjebak dalam perilaku tidak terpuji seperti serakah, rakus, mementingkan diri sendiri, dan kelalaian dalam beribadah kepada Sang Pencinpta.

Begitulah sekiraya hakikat Idul Adha yang memiliki esensi mendalam bagi kehidupan tiap-tiap muslim. Karena sejatinya setiap dari kita adalah Ibrahim. Selayaknya Ibrahim yang memiliki Ismail, putra yang dicintainya, maka masing-masing dari kita pun demikian. Bisa jadi Ismail yang ada pada kita berupa harta, jabatan, gelar, atau apa-apa saja yang kita sayangi dan tidak bisa dilepaskan dari dunia ini. Maka, belajar dari Nabi Ibrahim. Sesungguhnya Ibrahim bukan diperintahkan untuk membunuh Ismail, melainkan diminta oleh Allah untuk membunuh rasa ‘kepemilikan’ terhadap Ismail karena sesungguhnya segala sesuatu adalah milik Allah. Dengan begitu, kita akan senantiasa berusaha untuk belajar ikhlas. Wa Allâhu a’lam

Marâji’:

Asa, Syu’bah, Dalam Cahaya Al-Qur’an (Tafsir Ayat-ayat Sosial-Politik), Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2000.

Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid IV, PT. Pustaka Panji Mas: Jakarta, 2004.

Mukti, Takdir Ali., Membangun Moralitas Bangsa (Amar Ma’ruf Nah Munkar: dan Subyektif-Normatf ke Obyektif-Empiris), Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2000.

Rahman, Jalaludin, Konsep Perbuatan Manusia Menurut Qur’an, Jakarta: Bulan Bintang, 1992

Shihab, Quraish. M, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1997.

Download Buletin klik disini

HARI HARI YANG ISTIMEWA

HARI HARI YANG ISTIMEWA

Oleh: Dwi Andini Prihastuti

 

Bismillâhi Walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh,

Hari-hari yang utama di sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah memiliki keistimewaan, dimana amalan sekecil apapun pada hari hari tersebut lebih utama daripada berjihad di jalan Allah, maka dianjurkan untuk memperbanyak amalan terutama, shalat, puasa, dzikir, membaca al Quran, sedekah dan ibadah ibadah lainnya yang disyari’atkan.[1]

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas ia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidaklah ada hari hari yang amal shalih pada hari hari tersebut lebih dicintai oleh Allah daripada sepuluh hari pertama dibulan dzulhijjah. Maka para sahabat bertanya, “wahai Rasulullah apakah (amal shalih tersebut) lebih Allah cintai dari pada jihad fi sabilillah?”. beliau menjawab, “iya walupun dengan jihad fi sabilillah, kecuali sesorang yang keluar (berjihad) dengan diri dan hartanya lalu tidak kembali setelah itu selamanya (syahid)” (HR Bukhari : 926,[2] Abu Dawud : 2438, Ahmad : 1968)

Ibnu Rajab Al-Hambali berkata, “Hadits ini menunjukkan bahwa amalan di sepuluh hari pertama Dzulhijjah di sisi Allah lebih disukai dibanding hari- 3 Amalan Awal Dzulhijjah hingga Hari Tasyrik hari lainnya tanpa ada pengecualian. Jika dikatakan Allah itu cinta, maka menunjukkan hari-hari tersebut dinilai mulia di sisi-Nya.”[3]

Beliau ﷺ menambahkan pula, “Amalan pada sepuluh hari pertama Dzulhijjah dinilai afdal dan dicintai oleh Allah dibanding hari-hari lainnya dalam setahun. Bahkan amalan yang mafdhul (kurang afdal) jika dilakukan di sepuluh hari pertama Dzulhijjah dinilai lebih baik dari hari lainnya walau di hari lainnya dilakukan amalan yang lebih afdal.”[4]

Sebagian ulama mengatakan bahwa amalan pada setiap hari pada awal Dzulhijjah sama dengan amalan satu tahun. Bahkan ada yang mengatakan sama dengan seribu hari, sedangkan hari Arafah sama dengan sepuluh ribu hari. Keutamaan ini semua berlandaskan pada riwayat fadhail yang lemah (dha’if). Namun hal ini tetap menunjukkan keutamaan beramal pada awal Dzulhijjah berdasarkan hadits shahih seperti hadits Ibnu ‘Abbas yang disebutkan di atas. Mujahid mengatakan, “Amalan di sepuluh hari pada awal bulan Dzulhijjah akan dilipatgandakan.”[5]

Lantas hari hari apa saja yang istimewa pada sepuluh hari pertama dibulan Dzulhijjah? Berikut rinciannya, [6]

1. Hari Arafah

Hari arafah adalah hari yang ke sembilan pada saat jama’ah haji sedang melakukan wukuf di ‘Arafah. Diantara keistimewaan hari ‘Arafah adalah hari pembebasan hamba dari api neraka. Dari ‘Aisyah x, bahwasanya Rasulullah n bersabda: “Tidaklah ada hari hari yang begitu banyaknya Allah membebaskan para hamba dari api neraka dari pada hari ‘Arafah, pada hari ‘Arafah Allah mendekat kepada para Hamba-Nya (di padang arafah) lalu Allah membanggakannya dihadapan para Malaikat-Nya, seraya Berfirman: “Apa yang mereka inginkan? (dengan berbondong bondong datang di padang ‘Arafah ini)” (H.R. Muslim no. 1348)

Imam Ibnu Rajab berkata: “Dan hari ‘Arafah adalah hari pembebasan dari api neraka bagi yang sedang wukuf di ‘Arafah atupun bagi yang tidak wukuf disemua negeri dari kalangan kaum muslimin”[7]. Diantara amalan yang utama pada hari ‘Arafah baik bagi jama’ah haji yang sedang wukuf di ‘Arafah atau yang tidak sedang berada di ‘Arafah adalah memperbanyak berdo’a karena sebaik baik do’a adalah yang dipanjatkan pada hari ‘Arafah, lebih lebih bagi mereka yang sedang wukuf di ‘Arafah, karena bagi mereka ‘Arafah adalah tempat mustajab untuk berdo’a. dan wukuf di ‘Arafah adalah diantara inti dan puncaknya ibadah haji.

Rasulullah ﷺ bersabda: “Sebaik baik do’a adalah do’a pada hari ‘Arafah. Dan sebaik baik apa yang aku dan para Nabi sebelum ucapkan adalah “Laa ilaaha illaLlahu wahdah, laa syariika lah, lahul mulku wa lahul hamdu, wa huwa ‘ala kulli syaiin Qodiir” (Tidak ada yang berhak disembah selain Allah yang satu saja, tidak ada sekutu bagi-Nya, milik-Nya kekuasaan dan milik[1]Nya segala pujian, dan Dia Maha Mampu atas segala sesuatu).” (HR At Tirmidzi : no. 3585, As Shahihah no. 1503, Shahihul Jaami’ no. 3274)

Amalan khusus yang lain di hari ‘Arfah bagi yang sedang tidak wukuf di ‘Arafah adalah dengan berpuasa, dimana seseorang akan diampuni dosanya setahun yang lalu dan setahun yang akan datang. Dari Abu Qotadah zia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda : “Puasa hari ‘arafah adalah menghapus dosa dua tahun, tahun yang telah berlalu dan tahun yang akan dating, sedangkan puasa ‘Asyura adalah menghapus setahun yang telah berlalu” (HR Ahmad : 22535)

Bagi mereka yang sedang wukuf di ‘Arafah lebih utama untuk tidak berpuasa sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ. Dari Maimunah x ia berkata: “Bahwasanya manusia (para sahabat) mengeluhkan puasa Nabi n pada hari Arafah, lalu Ummu Salamah memberikan kepada Rasulullah ﷺ susu ketika beliau n sedang wukuf di tempat wukufnya, lalu meminumnya , dan manusia melihatnya (beliau) minum” (HR Bukhari no. 1989)

Syaikh Sa’id bin Wahaf Al Qahthani berkata: “Tidak berpuasanya jama’ah haji di Arafah ada beberapa hikmah diantaranya menguatkan didalam berdo’a, ada rasa menghinakan, dan menghambakan diri kepada Allah ﷻ, serta menumbuhkan semangat didalam kondisi yang agung ini (manasikul haji wal umrah fil islam)” Dengan demikian hari ‘Arafah memiliki 3 kekhususan, yaitu hari pembebasan dari api neraka, hari untuk memperbanyak berdo’a dan hari untuk berpuasa yang dengannya akan diampuni dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.

2. Hari Nahar

Hari nahar adalah hari penyembelihan, hari yang agung, hari raya ‘idul adha, hari haji akbar, dan sebaik baik hari disisi Allah ta’ala. 12 Dari ‘Abdullah bin Qurth z , Rasulullah n bersabda: “Hari hari yang paling agung disisi Allah adalah hari nahar, kemudian hari tasyriq” (HR Ibnu Khuzaimah no. 2917, Abu Dawud no. 1765, shahihul Jaami’ no. 1064). Amalan yang paling agung adalah shalat ‘idul Adha dan menyembelih qurban.

3. Hari Tasyriq

Hari tasyriq adalah hari ke 11 – 13 Dzulhijjah, disebut tasyriq (daging kering), karena dahulu para sahabat mengeringkan daging kurban mereka dijadikan bekal. Pada hari Tasyriq diperintahkan untuk berdzikir banyak menyebut nama Allah ﷻ, mengagungkannya. Allah ﷻ berfirman: “Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang .” (Q.S Al Qaqarah [2]: 203)

Ibnu ‘Abbas berkata:  “Sesunnguhnya yang dimaksud hari hari yang telah diketahui yang terdapat di surah Al hajj adalah hari hari sepuluh pertama bulan Dzulhijjah, dan yang dimaksud hari hari yang berbilang yang terdapat di surah al Baqarah adalah hari tasyriq”[8]

Inilah tiga hari yang agung yang terdapat di sepuluh hari pertama dibulan Dzulhijjah, semoga Allah memudahkan kita untuk mendulang pahala dihari hari yang penuh berkah tersebut. Wallahu a’lam.[]

Marâji:

[1] Keagungan Bulan Dzulhijjah, E-Book (pdf) Abu Ghozie as Sundawie, hal.  13

[2] Keutamaan 10 Hari Pertama Bulan Dzulhijjah, & Tuntunan Qurban, Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Jibrin dan Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Jakarta: Yayasan Al Sofwa, 2012, hal.

[3] Latha’if Al-Ma’arif, hal. 458 dalam Amalan Awal Dzulhijjah hingga Hari Tasyriq, E-Book (pdf)  Muhammad Abduh Tuasikal, Yogyakarta: Rumaysho, 2018, hal. 2-3

[4] Latha’if Al Ma’arif, hal. 458-459 dalam Amalan Awal Dzulhijjah hingga Hari Tasyriq, E-Book (pdf)  Muhammad Abduh Tuasikal, Yogyakarta: Rumaysho, 2018, hal. 2-3

[5] Latha’if Al-Ma’arif, hal. 458, 469 dalam Amalan Awal Dzulhijjah hingga Hari Tasyriq, E-Book (pdf)  Muhammad Abduh Tuasikal, Yogyakarta: Rumaysho, 2018, hal. 4

[6] Keagungan Bulan Dzulhijjah, E-Book (pdf) Abu Ghozie as Sundawie, hal.  13

[7] Lathoiful Ma’arif 1/276

[8] Tafsir Ibnu Rajab 1/153

Download Buletin klik disini

KEUTAMAAN BULAN DZULHIJJAH

KEUTAMAAN BULAN DZULHIJJAH

Oleh: Jaenal Sarifudin[1]

 

Bismillah, walhamdulillah, washshalatu wassalamu ‘ala rasulillah.

Bulan Dzulhijjah adalah salah satu di antara bulan yang sangat agung lagi mulia. Bulan yang memiliki banyak nilai keistimewaan, nilai sejarah dan juga sangat terkait dengan beberapa syariat ibadah dalam agama Islam. Ia merupakan bulan terakhir dalam hitungan kalender hijriyah. Dzulhijjah merupakan bulan yang memiliki banyak sekali keutamaan dan fadilah di dalamnya.[2] Ada yang mengatakan bahwa ia adalah bulan yang peringkat keutamaannya setara dengan kemuliaan bulan suci Ramadhan. Terutama pada 10 hari yang pertama dari bulan Dzulhijjah dan hari-hari tasyriq. Di antara beberapa hal yang menandai kemuliaannya adalah.

  1. Ia termasuk dalam cakupan bulan-bulan haram.

              Allah ﷻ berfirman: ”Sesungguhnya bilangan bulan (dalam setahun) disisi Allah adalah ada dua belas bulan dalam kitab (ketetapan) Allah pada hari Ia menciptakan langit dan bumi, di antara dua belas bulan itu ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kalian menzhalimi diri kalian di bulan-bulan haram itu…” (QS. At-Taubah [9]: 36).

              Bulan-bulan haram ada empat yaitu Rajab, Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram sebagaimana di sebutkan dalam riwayat hadits. Ia merupakan waktu-waktu yang dimuliakan. Menurut Ibnu Abbas, amal  ibadah di bulan-bulan haram akan dilipatgandakan pahalanya. Sebagaimana sebaliknya bahwa kemaksiatan yang dilakukan seseorang pada waktu-waktu mulia tersebut juga memiliki konsekuensi dosa yang lebih besar di sisi Allah.

  1. Sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah adalah waktu yang agung

              Allah bersumpah di dalam al-Quran melalui firman-Nya; “Demi waktu fajar dan malam yang sepuluh.”(QS. Al-Fajr (89): 1-2). Imam Ibnu Katsir menjelaskan dalam kitab tafsirnya dengan mendasarkan pada riwayat tafsir Ibnu Abbas bahwa maksud dari malam yang sepuluh dalam ayat tersebut adalah malam-malam sepuluh pertama pada bulan Dzulhijjah.[3] Jika ia dijadikan objek sumpah oleh Allah, maka tentu menandakan bahwa itu adalah waktu yang amat mulia.

Amal ibadah pada waktu itu juga sangat utama dan dicintai Allah. Nabi bersabda;  “Tidak ada hari-hari yang lebih agung di sisi Allah dan amal shalih di dalamnya lebih dicintai oleh-Nya daripada hari yang sepuluh (sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah).” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah).

  1. Ada hari Arafah di dalamnya dan merupakan puncak ibadah haji

Hari Arafah, yaitu hari kesembilan bulan Dzulhijjah adalah hari yang sangat agung. Pada hari itulah puncak dari pelaksanaan ibadah haji yang ditandai dengan wukuf di padang Arafah, sebagaimana sabda Nabi; “Haji adalah Arafah”. (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).

Mereka yang tidak menunaikan ibadah haji disunnahkan berpuasa. Nabi bersabda: “Puasa hari Arafah (9 Dzulhijjah) akan dapat menghapuskan dosa-dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang. Puasa Asyura’ (10 Muharram) akan menghapuskan dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim).

  1. Terdapat hari raya Idul Adha dan disyariatkannya ibadah qurban

              Pada tanggal 10 Dzulhijjah kaum muslimin merayakan hari raya Idul Adha. Selain menunaikan ibadah shalat ‘id, salah satu syariat yang dituntunkan dalam merayakan Idul Adha adalah berqurban. Ibadah qurban ditunaikan dengan menyembelih hewan qurban yang baik dan sehat. Pelaksanaannya seusai shalat ‘id dan khutbahnya sampai akhir hari tasyriq. Nabi ﷺ bersabda dalam sebuah Riwayat: “Barangsiapa menyembelih sebelum shalat ‘id, ia (hanya) menyembelih untuk dirinya. Dan siapa yang menyembelih qurban setelah shalat ‘id dan khutbahnya maka ia telah menyempurnakan ibadahnya.“  (HR. Muslim).

  1. Disunnahkan memperbanyak takbir, tahlil dan tahmid

              Nabi ﷺ bersabda: “Tidak ada hari yang paling agung dan amat dicintai Allah untuk berbuat kebajikan di dalamnya dari pada sepuluh hari (Dzulhijjah) ini. Maka perbanyaklah pada saat itu bacaan tahlil, takbir dan tahmid“. (HR. Ahmad).

Kaum muslimin disunnahkan untuk membaca lafadz takbir setiap selesai menunaikan ibadah shalat lima waktu sejak subuh hari Arafah sampai setelah shalat Ashar tanggal 13 Dzulhijjah. Baik ia shalat sendirian maupun shalat berjamaah. Demikian Ibnu Taimiyah menyebutkan di dalam Majmu Fatawa. Juga disebutkan oleh Imam Nawawi di dalam Kitab al-Adzkar.[4]

  1. Terdapat hari-hari tasyriq

Hari tasyriq adalah tanggal 11, 12 dan 13 Dzulhijjah. Hari tasyriq sesungguhnya masih dalam rangkaian hari raya qurban dan merupakan waktu-waktu penyembelihan hewan qurban. Sehingga kaum muslimin diharamkan menunaikan puasa pada hari-hari tasyriq tersebut. Nabi n bersabda: “Hari tasyriq adalah hari makan minum dan banyak mengingat Allah.” (HR. Muslim). Menurut para ulama, dalam konteks hari tasyriq pula yang dimaksud ayyam ma’dudat dalam firman Allah; “Dan (berdzikirlah) mengingat Allah di hari-hari yang terbilang”. (QS. Al-Baqarah [2]: 203).

Di antara bentuk dzikrullah pada hari tasyriq adalah dengan bertakbir, bertahmid, dan bertahlil setiap selesai menunaikan ibadah shalat fardhu. Juga dengan banyak membaca doa “sapu jagat” sebagaimana disebutkan oleh Imam Ibnu Rajab di dalam kitab Lathaif al-Ma’arif.[5]  Beliau juga menukil riwayat bahwa Abu Musa al-Asy’ari pernah menyampaikan dalam khutbah Idul Adha; “Setelah hari raya nahar ada tiga hari yang Allah menyebutnya sebagai al-ayyam al-ma’dudat (hari-hari yang terbilang), Doa pada hari-hari itu mustajabah. Maka banyaklah berharap kepada Allah pada waktu-waktu tersebut dengan banyak memanjatkan doa.”[6]

Nabi ﷺ juga bersabda tentang kemuliaan hari tasyriq dalam cakupan hadits berikut: “Hari yang paling agung di sisi Allah adalah hari raya qurban kemudian hari al-qarr (hari-hari tasyriq).” (H.R. Abu Dawud dan Ibnu Khuzaimah).

Marâji:
[1] Mahasiswa FIAI UII

[2] ‘Abdul Ghani an-Nablusi, Fadhail al-Ayyam wa asy-Syuhur, terjemahan Muzammal Noer, Keutamaan Hari dan Bulan dalam Islam, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2004

[3] Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-‘Azhim, Beirut: Dar al-Fikr, 2005

[4] Abi Zakaria ibn Syaraf an-Nawawi, Al-Adzkar, Semarang: Toha Putra, t.t.

[5] Ibnu Rajab, Lathaif al-Ma’arif, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.)., hal. 505.

[6] Ibid, hal. 506.

Download Buletin klik disini

ADA APA DI BULAN DZULHIJJAH

ADA APA DI BULAN DZULHIJJAH?

Oleh: Dwi Andini Prihastuti

 

Bismillâhi Walhamdulillâhi wash-shalâtu was-salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Ada apa di bulan Dzulhijjah? Jawabannya adalah ada banyak keistimewaan di dalamnya, terutama di sepuluh pertama bulan Dzulhijjah. Allah ﷻ berfirman:  ”Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (QS. At Taubah [9]: 36)

Mengenai empat bulan yang dimaksud disebutkan dalam hadits dari Abu Bakroh z, Nabi ﷺ bersabda: ”Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadal (akhir) dan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 3197 dan Muslim no. 1679).

Syaikh Umar bin Abdullah al-Muqbil menjelaskan makna surat at Taubah [9]: 36,[1]

1 ). Ibnu ‘Abbas berkata: dari bulan-bulan itu Allah mengkhususkan empat bulan, yaitu : Dzul qa’dah, Dzulhijjah, Muharram, Rajab, Allah menjadikan mereka bulan-bulan yang suci dan kesuciannya begitu diagungkan, dan menjadikan dosa di dalamnya juga besar, sebagaiman Dia menjadikan amal shalih dan balasannya lebih besar.

2 ). Qatadah berkata pada firman Allah tentang bulan-bulan haram: “maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu” sesungguhnya kezhaliman pada bulan-bulan haram adalah kesalahan yang paling besar dibandingkan pada bulan-bulan lainnya, walaupun semua kezhaliman adalah dosa yang besar, namun Allah berhak membesarkan suatu perkara sesuka-Nya.

3 ). Sepuluh Dzulhijjah adalah hari-hari yang paling agung diantara bulan-bulan haram, dan diantara kezhaliman pada diri sendiri adalah menyia-nyiakan hari itu dengan perbuatan yang tidak mendekatkan seseorang kepada Allah, Hasan al-bashri berkata : “Saya berjumpa dengan kaum yang waktu mereka lebih berharga daripada dinar dan dirham yang kalian simpan”

4 ). Bukanlah muslim yang sejati ketika masuk padanya bulan-bulan yang suci ini, namun ia tidak memanfaatkan kebaikan di dalamnya, melainkan ia merusakanya dengan maksiat, dan menantang ketentuan Allah.

5 ). Pernahkah kamu melihat orang yang menzhalimi dirinya sendiri ? ya.. kamu akan melihat orang yang menerobos kesucian satu zaman yang Allah telah melarang kezhaliman terjadi di dalamya, sedang mereka tidak peduli dengan larangan itu, maka sungguh kerugian dan kerusakan akan berlaku pada dirinya sendiri.

Keistimewaan bulan Dzulhijjah

Diantara keistimewaan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah adalah keutamaan beramal shalih di sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah. Allah l berfirman: “Demi fajar, dan malam yang sepuluh” (QS. Al Fajr [89]: 1-2)

Al-Imam Ibnu Katsir menyebutkan dalam tafsir beliau, “Sepuluh malam yang dimaksud dalam ayat ini adalah sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas, Ibnu Zubair, Mujahid dan banyak lagi ulama dari kalangan Salaf dan Khalaf yang berpendapat demikian.” (Tafsir Ibnu Katsir, 8/390)[2]

Abdurrahman As Sa’di menyebutkan dalam tafsirnya, “Dalam ayat ini (Q.S al Fajr [89]: 1-2) digunakan kalimat sumpah. Ini menunjukkan keutamaan sessuatu yang disebutkan dalam sumpah.”[3]

Amalan Yang Dianjurkan

Sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah memiliki keistimewaan, dimana amalan sekecil apapun pada hari hari tersebut lebih utama daripada berjihad di jalan Allah, maka dianjurkan untuk memperbanyak amalan terutama, shalat, puasa, dzikir, membaca al Quran, sedekah dan ibadah ibadah lainnya yang disyari’atkan.[4]

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas ia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidaklah ada hari hari yang amal shalih pada hari hari tersebut lebih dicintai oleh Allah daripada sepuluh hari pertama dibulan dzulhijjah. Maka para sahabat bertanya, “wahai Rasulullah apakah (amal shalih tersebut) lebih Allah cintai dari pada jihad fi sabilillah?”. beliau menjawab, “iya walupun dengan jihad fi sabilillah, kecuali sesorang yang keluar (berjihad) dengan diri dan hartanya lalu tidak kembali setelah itu selamanya (syahid)” (HR Bukhari : 926, Abu Dawud : 2438, Ahmad : 1968)

Diantara amalan yang dianjurkan pada hari hari yang mulia ini adalah puasa, karena ibadah puasa adalah ibadah yang agung yang tiada bandingannya. Puasa yang dimaksud adalah puasa mutlak dari tanggal 1-9 Dzulhijjah , adapun pada tanggal 10 (idul adha) atau hari hari Tasyriq (11 -13 dzulhijjah) dilarang untuk berpuasa karena ia adalah hari raya, hari yang dianjurkan bergembira, sebagai hari makan dan minum. Hal ini didasarkan pada riwayat dari Hunaidah bin Khalid, dari beberapa istri Nabi n mengatakan: “Rasulullah n biasa berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijah, pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram), berpuasa tiga hari setiap bulannya, awal bulan di hari Senin dan Kamis.” (HR. Abu Daud : 2437 dan An-Nasa’i : 2374)

Yang dimaksud 9 (tis’ah) dalam hadits diatas adalah 9 hari bukan Taasi’ (hari ke-9), sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama di Lajnah Daaimah (majlis fatwa Saudi Arabia) ketika ditanya dalam masalah ini, mereka menukil perkataan Imam As Syaukani v di kitab Nailul Authar: “Telah berlalu didalam kitab (pembahsan masalah) dua hari raya hadits hadits yang menunjukan keutamaan beramal ibadah di sepuluh awal bulan dzulhijjah sementara ibadah puasa adalah bagian dari ibadah yang mulia, adapun sebagian (ulama) 16 mengatakan bahwa yang dimaksud Sembilan dzulhijjah itu adalah tanggal Sembilan, maka ini adalah penafsiran yang batil lagi tertolak, dan Nampak sekali kesalahannya karena beda antara Sembilan hari (tis’ah) dengan hari ke Sembilan (at Taasi’)”[5]

Di antara sahabat yang mempraktekkan puasa selama sembilan hari awal Dzulhijah adalah Ibnu ‘Umar. Ulama lain seperti Al Hasan Al Bashri, Ibnu Sirin dan Qotadah juga menyebutkan keutamaan berpuasa pada hari-hari tersebut. Inilah yang menjadi pendapat mayoritas ulama.[6]

Hari-Hari Yang Istimewa

Di sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah ada hari-hari yang istimewa yaitu hari ‘arafah, hari nahar, dan hari tasyriq. Hari arafah adalah hari yang ke sembilan pada saat jama’ah haji sedang melakukan wukuf di ‘Arafah. Hari nahar adalah hari penyembelihan, hari yang agung, hari raya ‘idul adha, hari haji akbar, dan sebaik baik hari disisi Allah ta’ala. Hari tsyriq adalah hari ke 11 – 13 Dzulhijjah, disebut Tasyriq (daging kering), karena dahulu para sahabat mengeringkan daging kurban mereka dijadikan bekal.[7]

Jangan lewatkan kesempatan ini berlalu tanpa amal shalih sedikitpun. Sungguh sangat rugi mereka yang melalaikannya. Semoga Allah senantiasa memberikan hidayah taufiq-Nya dalam bersamangat diatas kebaikan. Âmîn. []

[1] Dalam Li Yaddabbaru Ayatih Markaz Tadabbur di bawah pengawasan Syaikh Prof. Dr. Umar bin Abdullah al-Muqbil, professor fakultas syari’ah Universitas Qashim Saudi Arabia https://tafsirweb.com/3052-surat-at-taubah-ayat-36.html

[2] Tafsirul Qur’anil Azhim, Abul Fida’ Isma’il bin Amr bin Katsir ad Damsyqi, Jilid 8, hal.390, disebutkan dalam E-Book (pdf) Keagungan Bulan Dzulhijjah, Abu Ghozie as Sundawie, hal. 7-8

[3] Amalan Awal Dzulhijjah hingga Hari Tasyrik, Muhammad Abduh Tuasikal, Yogyakarta: Rumaysho, 2018, Cet.1, hal.1

[4] E-Book (pdf) Keagungan Bulan Dzulhijjah, Abu Ghozie as Sundawie, hal.  13

[5] Fatwa Lajnah Ad Daaimah 9/308 no Fatwa : 20247. disebutkan dalam E-Book (pdf) Keagungan Bulan Dzulhijjah, Abu Ghozie as Sundawie, hal. 15

[6] Latho-if Al Ma’arif, hal. 459. disebutkan dalam E-Book (pdf) Keagungan Bulan Dzulhijjah, Abu Ghozie as Sundawie, hal. 16

[7] Keagungan Bulan Dzulhijjah, Abu Ghozie as Sundawie, (E-Book pdf)  hal. 8-17

Download Buletin klik disini

MENGAMBIL PELAJARAN DARI PERISTIWA KEMATIAN

MENGAMBIL PELAJARAN DARI PERISTIWA KEMATIAN

Oleh: Siti Jamilah, MSI.*

 

Bismillâh walhamdulillâh, washshalâtu wassalâmu ‘ala rasûlillâh, wa ba’du.

Berita tentang kematian atau wafatnya seseorang adalah suatu hal yang biasa dan sering kita dengar. Kabar wafatnya para tokoh masyarakat, cendikiawan, ulama, karib kerabat, sahabat dan handai taulan datang silih berganti dari waktu ke waktu. Terlebih beberapa waktu lalu, saat pandemi mencapai puncaknya di negeri ini, kematian seolah begitu dekat di sekeliling kita. Banyak orang-orang yang kita cintai meninggal dunia tiba-tiba. Bagaimana pun, semua tentu tak lepas dari kuasa dan takdir Allah, Penguasa dan Pengatur semesta raya. Selain bersabar dan ikhlas akan ketetapan Allah, kita juga semestinya harus mampu mengambil pelajaran dan ‘ibrah dari peristiwa kematian ini. Rasulullah n bersabda: Kafa bil mauti wa’izhan, “Cukuplah kematian sebagai pemberi nasihat”. (H.R. Baihaqi)[1].

Nasihat dari Kematian

Ada beberapa nasihat dari peristiwa kematian yang dapat kita ambil dan kita renungkan sebagai bahan pelajaran;

Pertama, hidup di dunia ini hanyalah sementara. Semua manusia pasti akan kembali menghadap Allah ﷻ untuk mempertanggungjawabkan apa yang diperbuatnya di dunia ini. Allah ﷻ berfirman: “Setiap jiwa akan merasakan mati”. (Q.S. Ali Imran [3]: 185). Semua makhluk yang hidup pada saatnya akan mendapatkan giliran menemui ajal atau kematian. Hanya soal bagaimana, dimana dan kapan yang menjadi rahasia Allah. Jika kesadaran ini telah tertanam di dalam jiwa, niscaya akan dapat menumbuhkan dorongan agar kita mulai berbenah. Berusaha untuk terus memperbaiki diri.[2]

Kedua, masih diberikan nikmat kesehatan dan kesempatan. Kesehatan adalah salah satu nikmat terbesar yang kadang baru disadari betapa berharganya saat seseorang dalam keadaan sakit. Ada ungkapan hikmah yang menyatakan bahwa kesehatan adalah mahkota di atas kepala orang-orang yang sehat yang tidak terlihat kecuali oleh orang-orang yang sakit.[3]

Ketiga, kematian mengajarkan pentingnya menghargai waktu. Ada dua nikmat besar yang sering dilupakan manusia kata Nabi, yaitu kesehatan dan kesempatan (waktu). Di saat kita sehat dan memiliki waktu, tentu banyak hal bermanfaat yang dapat kita lakukan. Dan kesempatan itu akan berakhir ketika kematian datang menjemput. Sehingga mumpung Allah masih memberikan kita waktu dan kesempatan, marilah kita gunakan dengan baik untuk banyak beribadah dan menebar manfaat bagi sesama.

Meraih Husnul Khatimah

Setiap Muslim tentu berharap bahwa pada saatnya nanti ketika ajal datang menjemput meninggal dalam keadaan husnul khatimah. Husnul khatimah bermakna akhir hidup yang baik. Kebalikannya adalah suul khatimah, akhir hidup yang buruk. Akhir hidup yang baik bagi seorang Muslim sangat bermakna. Hal itu mengisyaratkan bahwa kelak di akhirat ia akan memperoleh ridha Allah, kebahagiaan dan surga-Nya.

Sehingga baik sekali kita sering berdoa, memohon kepada Allah agar dikaruniai anugerah husnul khatimah. Misalnya dengan sering-sering membaca doa berikut; Allahumma innii asaluka husnal khatimah, wa audzubika min suuil khatimah. “Ya Allah, hamba bermohon kepada-Mu karuniakanlah hamba akhir kehidupan yang baik. Dan hamba berlindung kepada-Mu dari akhir kehidupan yang buruk”. Itu salah satu contoh redaksi doa memohon husnul khatimah yang dapat kita amalkan.

Di dalam hadits Nabi disebutkan ada beberapa keadaan dan tanda-tanda seseorang wafat dalam keadaan husnul khatimah;

            Pertama, ketika seseorang mengucapkan kalimat tauhid di akhir hayatnya. Nabi ﷺ bersabda; “Barangsiapa yang di akhir hidupnya mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallaah niscaya ia masuk surga”. (HR. Abu Dawud).[4]  Wajar jika Allah ﷻ memberikan kemuliaan bagi mereka yang menutup hidupnya dengan membawa kalimat tauhid tersebut. Nabi ﷺ bersabda: “Iman memiliki enam puluh atau tujuh puluh lebih cabang. Cabang tertinggi dari iman adalah kalimat Laa ilaaha illallaah (tiada Tuhan selain Allah). Cabang yang terendah adalah menyingkirkan hal yang dapat menyakiti dari jalan. Dan malu adalah salah satu cabang dari iman.” (HR. Bukhari).[5]

Kedua, ketika seseorang mengakhiri hidupnya dalam keadaan sedang beramal shalih. Misalnya ia wafat dalam keadaan sedang berpuasa, shalat, sedekah, membaca al-Quran, menunaikan ibadah haji dan seterusnya. Orang yang wafat saat sedang menunaikan ibadah dan ketaatan disebutkan dalam makna hadits shahih riwayat Imam Ahmad sebagai kematian yang husnul khatimah.

Ketiga, orang yang mati syahid. Nabi menyatakan bahwa orang yang meninggal dalam keadaan syahid adalah calon penghuni surga. Ada beberapa macam keadaan yang dinilai sebagai mati syahid. Rasulullah bersabda; “Syahid ada tujuh macam selain yang gugur di jalan Allah. Orang yang mati karena penyakit tha’un (wabah menular) adalah syahid. Orang yang mati tenggelam syahid. Orang yang mati karena penyakit perut syahid. Orang yang mati terbakar syahid. Orang yang mati karena tertimpa bangunan syahid. Wanita yang gugur di saat melahirkan ia syahid”. (H.R. Abu Dawud). Juga disebutkan dalam riwayat hadits lain; “Barangsiapa yang terbunuh karena membela hartanya, jiwanya dan keluarganya maka ia mati syahid”. (H.R. Tirmidzi).

Keempat, orang yang dikenal shalih saat hidupnya dan ia pun meninggal dalam keadaan istiqamah iman dan Islamnya. Hidupnya senantiasa diisi dengan ketakwaan dan amal kebaikan. Maka insya Allah ia husnul khatimah, meskipun secara zhahir mungkin tidak memiliki tanda-tanda spesifik saat wafatnya. Juga terhitung husnul khatimah seorang muslim yang wafat dalam keadaan diuji dengan sakit, dan ia husnuzhan serta bersabar atas ketetapan-Nya. Pada hakikatnya sakit yang menimpa seorang muslim adalah ujian. Ia akan menghapus dosa-dosanya dan meninggikan derajatnya manakala ia sabar dan ridha atas ketetapan-Nya. Wa Allâhu a’lam.

Kesimpulan

Nasihat dari Kematian

  1. hidup di dunia ini hanyalah sementara
  2. masih diberikan nikmat kesehatan dan kesempatan
  3. kematian mengajarkan pentingnya menghargai waktu.

Meraih Husnul Khatimah

Mempebanyak doa: Allahumma innii asaluka husnal khatimah, wa audzubika min suuil khatimah. “Ya Allah, hamba bermohon kepada-Mu karuniakanlah hamba akhir kehidupan yang baik. Dan hamba berlindung kepada-Mu dari akhir kehidupan yang buruk”.

Marâji’:

* Penyuluh Agama Islam Kota Yogyakarta

[1] Diriwayatkan al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman no.10556 dari ‘Ammar bin Yasar secara marfu’

[2] Muhammad al-Ghazali, Jaddid Hayatak. Darul Bayan, 2007.

[3] Aidh al-Qarni, La Tahzan. Jakarta: Qisthi Press, 2004.

[4] Abu Dawud, Sunan Abi Dawud. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.

[5] Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, Sahih Bukhari. terj. Zainuddin Hamidi dkk. Jakarta:  Wijaya, 1992.

Download Buletin klik disini

MUAMALAH DAN MAKNA KETAQWAAN KEPADA ALLAH

MUAMALAH DAN MAKNA KETAQWAAN KEPADA ALLAH

Oleh: Dr. Ariyanto, S.H., C.N., M.H.

 

Aturan Muamalah dalam Islam

Sebagai mahluk hidup yang diamanahi oleh Allah ﷻ untuk berbakti dan beribadah kepada Allah ﷻ, manusia tidak dapat terlepas dari kegiatan perdagangan, komunikasi, serta membangaun relasi dengan manusia lainnya, dan oleh karena itu Allah ﷻ Tuhan yang menciptakan kita semua telah memuat rambu-rambunya melaui Al-Qur’an, dan As-Sunnah yang dibawa oleh Nabi besar ummat Islam Muhammad ﷺ.  Aturan muamalah dalam Islam berhubungan dengan interaksi manusia dengan sesamanya. Dalam bermuamalah Islam telah megatur tentang hukum-hukumnya. Landasan utamanya berasal dari nas al-Quran dan hadis.

Allah ﷻ berfirman  dalam surah al-Mâidah ayat 3, “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”[1] (Q.S. al Mâidah [5]: 3)

Surat al Mâidah ayat 3 ini turun pada hari Arafah saat haji wada’ dan sesudahnya tidak turun lagi ayat mengenai halal dan haram. Asma binti Umais menceritakan, “Aku ikut haji bersama Rasulullah ﷺ dalam haji tersebut (haji wada’). Ketika kami sedang berjalan, tiba-tiba Malaikat Jibril datang kepada beliau dengan membawa wahyu. Maka Rasulullah ﷺ membungkuk di atas untanya. Unta itu hampir tidak kuat menopang diri Rasulullah ﷺ karena beratnya wahyu yang sedang turun …”

Pernah seorang Yahudi berkata kepada Khalifah Umar bin Khattab, “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya engkau biasa membaca ayat dalam kitabmu, seandainya hal itu diturunkan kepada kami orang-orang Yahudi, niscaya kami akan menjadikan hari itu sebagai hari raya.” “Ayat apakah itu?” Orang Yahudi tersebut lantas membaca firman-Nya: Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, Umar berkata, “Demi Allah, sesungguhnya aku benar-benar mengetahui ayat ini diturunkan kepada Rasulullah n pada sore hari Arafah yang jatuh pada hari Jum’at.”[2]

Makna Muamalah

Dalam bahasa Arab, muamalah memiliki makna  pergaulan atau interaksi manusia dengan makhluk lain. Dari perspektif bahasa, ruang lingkup muamalah tidak terbatas pada manusia semata, namun juga mahluk ciptaan Allah ﷻ lainnya. Sedangkan menurut istilah, muamalah adalah perkara syariat yang mengatur hubungan sesama manusia berkaitan dengan urusan harta, pernikahan, kriminalitas, warisan, utang-piutang, dan sebagainya, sebagaimana dikutip dari fikih Muamalah: Memahami Konsep dan Dialektika Kontemporer (2020) yang ditulis Syaikhu, Ariyadi, dan Norwili.[3]

Cakupan Muamalah dalam Islam

Cakupan muamalah dalam tataran asas yang umum adalah mencakup keadilan, kesimbangan, dan kebolehan (mubah). Ayat terkait persoalan muamalah dalam Islam tertera dalam banyak ayat Al-Quran, di antaranya adalah sebagai berikut.

  1. Qs. al-Mâidah ayat 1 tentang memenuhi akad perjanjian

Allah ﷻ berfirman:Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.[4] (QS. Al Maidah [5]: 1).

  1. Qs. al-Baqarah ayat 275 tentang haramnya riba

Dalam tafsir al-Muyassar dijelaskan, “Orang-orang yang bermuamalah dengan riba (yaitu tambahan dari modal pokok), mereka itu tidaklah bangkit berdiri di akhirat kelak dari kubur-kubur mereka, kecuali sebagaimana berdirinya orang-orang yang dirasuki setan karena penyakit gila. Hal itu karena sesungguhnya mereka mengatakan, “Sesungguhnya jual beli itu sama dengan praktek ribawi dalam kehalalan keduanya, karena masing-masing menyebabkan bertambahnya kekayaan.” Maka Allah mendustakan mereka dan menjelaskan bahwa Dia menghalalkan jual beli dan mengharamkan transaksi ribawi, karena dalam jual beli terdapat manfaat bagi orang-orang secara individual dan masyarakat, dan karena dalam praktek riba terkandung unsur pemanfaatan kesempatan dalam kesempitan, hilangnya harta dan kehancuran. Maka siapa saja yang telah sampai padanya larangan Allah terkait riba, lalu dia menghindarinya, maka baginya keuntungan yang telah berlalu sebelum ketetapan pengaraman. Tidak ada dosa atas dirinya padanya. Dan urusannya dikembalikan kepada Allah terkait apa yang akan terjadi pada dirinya pada masa yang akan datang. Apabila dia komitmen terus di atas taubatnya, maka Allah tidak akan menghilangkan pahala orang-orang yang berbuat baik. Dan barangsiapa kembali kepada praktek riba dan menjalankannya setelah sampai kepadanya larangan Allah tentang itu, maka sungguh dia pantas memperoleh siksaan dan hujjah telah tegak nyata di hadapannya. Oleh sebab itu, Allah berfirman, “Maka mereka itu adalah para penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”[5]

  1. Qs. al-Baqarah ayat 277 dari al-Baqarah tentang benefit yang akan didapat dari mengerjakan segala yang Ia perintahkan dan segala yang Ia larang.

Allah ﷻ berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati,” Q.S. al-Baqarah [2]: 277).

Dari cuplikan ayat-ayat di atas, jelaslah bahwa Allah ﷻ sangat mengutuk perilaku riba, yang mana riba merupakan dari kegiatan ekonomi yang dilakukan manusia, utamanya yang berkaitan dengan masalah utang-piutang. Kemudian, dalam ayat berikutnya yakni Q.S. Al-Baqarah ayat 277 Allah mengatakan bahwa orang yang beriman kepada Allah beserta Hukum-Hukum yang telah ditentukan oleh-Nya, maka kepada mereka itu tidak ada kekhawatiran dan tidak ada kesedihat dalam hatinya. Artinya kalau kita sebagai manusia menaati perintah Allah ﷻ dan menjauhi larangannya (bertaqwa kepada Allah) termasuk dalam persoalan muamalah, maka in sya Allah hidup kita akan penuh ketenangan, damai, tanpa ada kekhawatiran sedikitpun. Wa Allâhu a’lam.[]

Mutiara Hikmah

Dari Abu Hurairah, Nabi ﷺ bersabda:

مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ

“Sedekah tidaklah mengurangi harta.” (HR. Muslim no. 2558)

[1] Dikutip pada 27 Mei 2022 pada laman web :  https://tafsirweb.com/1887-surat-al-maidah-ayat-3.html.

[2] Muchlisin BK, Surat Al-Maidah Ayat 3, Terjemah, Tafsir, dan Kandungan, dikutip pada tanggal 27 Mei 2022 pada laman web : https://bersamadakwah.net/surat-al-maidah-ayat-3/.

[3] Abdul Hadi, Ayat-Ayat Al-Quran tentang Muamalah : Arab, Latin, dan Terjemahannya, dikutip pada tanggal 26 Mei 2022 melalui : https://tirto.id/ayat-ayat-al-quran-tentang-muamalah-arab-latin-dan-terjemahannya-gk9w .

[4] Dikutip dari terjemahan dari laman https://tafsirq.com/5-Al-Ma’idah/ayat-1. Pada tanggal 27 Mei 2022.

[5] Dikutio dari : https://tafsirweb.com/1041-surat-al-baqarah-ayat-275.html. Pada tanggal 27 Mei 2022.

Download Buletin klik disini

JAGALAH ALLAH, NISCAYA ALLAH AKAN MENJAGAMU

JAGALAH ALLAH, NISCAYA ALLAH AKAN MENJAGAMU

Oleh: Abdurrahman Triadi Putro

 

Para pembaca yang semoga dirahmati Allah ﷻ. Sesungguhnya pokok kebahagiaan seorang hamba di dalam kehidupan ini dan pokok kemenangan di dunia dan akhirat yaitu hamba tersebut menjadi orang yang menjaga batasan-batasan Allah ﷻ, menjaga perintah-perintah-Nya, dan menjaga dirinya dalam ketaatan kepada-Nya. Barangsiapa yang melakukan hal-hal tersebut, yaitu dia telah menjaga Allah ﷻ, niscaya Allah ﷻ akan menjaganya. Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah ﷻ, maka Allah ﷻ akan melindunginya.

Sesungguhnya menjaga Allah ﷻ yaitu menjaga batasan-batasan-Nya, hak-hak-Nya, perintah-perintah-Nya, dan larangan-larangan-Nya. Menjaga hal-hal tersebut yaitu dengan berharap pahala terhadap perintah-perinrah-Nya yang dikerjakan, menjauh terhadap larangan-larangan-Nya, dan tidak melampaui batas terhadap batasan-batasan yang telah Allah ﷻ tetapkan. Barangsiapa yang melakukan hal-hal ini, maka dia termasuk kedalam orang-orang yang menjaga batasan-batasan Allah ﷻ yang mana Allah ﷻ telah puji mereka di dalam kitab-Nya, al-Qur’an. Allah ﷻ berfirman, “Inilah yang dijanjikan kepadamu, (yaitu) kepada setiap hamba yang selalu kembali (kepada Allah) lagi memelihara (semua peraturan-peraturan-Nya). (Yaitu) orang yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pemurah sedang Dia tidak kelihatan (olehnya) dan dia datang dengan hati yang bertaubat.” (Q.S. Qâf [50]: 32-33). Tafsir kata ‘al-hafizh’ dalam ayat ini adalah orang yang menjaga perintah-perintah Allah, dan dengan menjaga dari dosa-dosa yang dia lakukan dengan bertaubat dari dosa-dosa tersebut.

Para pembaca yang semoga dirahmati Allah ﷻ. Diantara perkara yang paling agung dari perintah-perintah Allah agar dapat dijaga adalah shalat. Karena shalat adalah tiang penegak agama dan rukun islam yang paling agung setelah 2 kalimat syahadat. Allah ﷻ telah memerintahkan kita untuk menjaga shalat kita. Allah ﷻ berfirman, “Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 238). Allah ta’ala juga memuji orang-orang yang menjaga shalatnya, “Dan orang-orang yang memelihara shalatnya.” (QS. Al-Ma’arij: 34).

Barangsiapa yang menjaga batasan-batasan Allah ﷻ dan perhatian terhadap hak-hak Allah, maka Allah ﷻ akan menjaganya. Sebagaimana terdapat sebuah kaidah agung dalam agama kita, “al-jaza’u min jinsil ‘amal”. Yaitu balasan yang didapat sesuai dengan amal yang dilakukan.

Dua Bentuk Penjagaan Allah 

Penjagaan Allah ﷻ yang akan didapat oleh seorang hamba yang telah bersungguh sungguh menjaga batasan-batasan Allah ﷻ tersebut ada 2 macam, yaitu: Bentuk pertama dari pejagaan Allah ﷻ adalah penjagaan-Nya bagi orang tersebut dalam perkara-perkara dunia. Bentuknya seperti penjagaan kepada fisiknya, anaknya, istrinya, dan hartanya. Allah ﷻ berfirman, “Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah.” (Q.S. ar-Ra’du [13]: 11).

Ibnu ‘Abbas menafsiri ayat ini, “Mereka (yang menjaga orang itu) adalah para malaikat, mereka menjaga dengan perintah Allah ﷻ. Apabila ketetapan (kematian) telah datang (bagi orang itu), maka para malaikat itu beralih darinya.”. Ali bin Abi Thalib juga menafsiri ayat di atas “Sesungguhnya bersama setiap orang terdapat 2 malaikat yang keduanya menjaga orang tersebut sebelum datangnya ketetapan (kematian). Apabila telah datang ketetapan itu, maka kedua malaikat tersebut beralih dari orang tersebut. Sesungguhnya kematian (bagi orang tersebut) adalah tameng yang sangat kokoh.”.

Bentuk kedua dari penjagaan Allah ﷻ yang mana penjagan ini merupakan penjagaan yang paling mulia, yaitu penjagaan Allah ﷻ kepada seorang hamba dalam agama dan keimanannya. Allah menjaganya dalam hidupnya dari syubhat-syubhat yang memalingkan dan dari syahwat-syahwat yang haram. Allah ﷻ juga menjaga agamanya ketika menjelang wafatnya sehingga wafatlah ia dalam keadaan beriman.

Doa Agar Mendapatkan Penjagaan Allah 

Sebagaimana hal ini dilandasi oleh sebuah hadits dari Ibnu Mas’ud, bahwasanya Nabi ﷺ berdoa, “Allahummah fazhnii bil islaam qoo’idan, wahfazhnii bil islaam qoo’iman, wahfazhnii bil islaam rooqidan, wa laa tuthi’ ‘aduwwan haasidan”. Artinya: “Ya Allah jagalah aku dengan islam ketika dalam keadaan duduk. Jagalah aku dengan islam ketika dalam keadaan berdiri. Jagalah aku dengan islam ketika dalam keadaan tidur. Janganlah Engkau berikan kepadaku musuh yang hasad.” (Hadits ini dikeluarkan oleh al-Hakim dalam Mustadrak-nya).

Kita sebagai seorang muslim hendaknya mengetahui bahawasanya kebutuhan kita kepada penjagaan Allah dalam kehidupan dunia dan akhirat adalah kebutuhan terbesar dan sangatlah diperlukan di dalam kehidupan kita. Sehingga wajib bagi kita menempuh sebab-sebab penjagaan Allah kepada diri kita. Hendaklah kita menjadi orang-orang yang menjaga diri dalam ketaatan kepada Allah, dengan menjaga batasan-batasan dan perintah-perintah-Nya, agar Allah subhanahu wa ta’ala berkenan menjaga diri kita, menjaga harta kita, menjaga istri dan anak kita, serta menjaga dunia dan akhirat kita.

Para pembaca yang semoga dirahmati Allah ﷻ. Kebutuhan kita terhadap penjagaan Allah diperlukan di setiap pagi dan sore hari, setiap siang dan malam hari, setiap berdiri dan duduk, serta di segala waktu dan kondisi kita. Oleh karena itu, sebagaimana terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan dalam Sunan Abu Dawud, Sunan Ibnu Majah, dan selain keduanya, dari hadits Ibnu Umar, bahwasanya Nabi ﷺ mengajarkan kepada sahabatnya sebuah doa yang hendaknya dibaca di waktu sore dan pagi hari, dan tentunya hal ini juga ditujukan kepada kita sebagai umatnya,

Beliau ﷺ berdoa, “Allahumma innii as’alukal ‘afwa wal ‘aafiyata fid dunyaa wal aakhiroh. Allahumma innii as’aluka’ ‘afwa wal ‘aafiyata fii diinii wa dunyaaya wa ahlii wa maalii. Allahummastur ‘aurootii wa aamin rou’aatii. Allahummah fazhnii min baini yadayya, wa min kholfii wa ‘an yamiinii wa ‘an syimaalii wa min fauqii, wa a’uudzu bi’azhomatika an ughtaala min tahtii.”. Artinya: “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu ‘afiyah (kesehatan dan keselamatan) di dunia dan di akhirat. Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu ampunan dan ‘afiyah didalam agamaku, duniaku, keluargaku, dan hartaku. Ya Allah, tutupilah auratku dan jagalah penglihatanku. Ya Allah, jagalah aku dari apa yang ada diantara tanganku, dari belakangku, dari sebelah kananku, dari sebelah kiriku, dan dari atasku. Aku berlindung dengan keagungan-Mu dari ditenggelamkan dari bawahku.

Beliau Nabi kita tercinta, Nabi Muhammad ﷺ berdoa kepada Allah ﷻ agar dijaga oleh Allah ﷻ, di tiap pagi dan sore hari. Lalu bagaimanakah dengan kita ? Kebutuhan kita terhadap penjagan Allah ﷻ sangatlah penting di segala kondisi dan waktu kita. Oleh karena itu, jagalah Allah ﷻ, niscaya Allah ﷻ akan menjagamu. Jagalah perintah-perintah, larangan-larangan, batasan-batasan yang telah Allah ﷻ tetapkan, maka Allah ﷻ akan menjaga kita dalam perkara-perkara dunia dan agama kita, dalam kehidupan dunia dan akhirat kita.

Semoga setelah berlalunya bulan Ramadhan ini, selain meningkatkan intensitas dan kesungguhan amal-amal shalih kita di dalamnya, kita juga dapat semakin memupuk keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah ﷻ. Kita meyakini bahwasanya penjagaan Allah ﷻ sangatlah kita butuhkan dalam kehidupan kita, maka hendaklah kita menjadi orang-orang yang menjaga batasan-batasan Allah ﷻ dan syariat-yariat Allah. Jagalah Allah, niscaya Allah ﷻ akan menjagamu.[]

Mutiara Hikmah

Dari Abu Hurairah, Nabi ﷺ berdo’a,

اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْفَقْرِ وَالْقِلَّةِ وَالذِّلَّةِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ أَنْ أَظْلِمَ أَوْ أُظْلَمَ

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kefakiran, kemiskinan, kehinaan. Dan aku berlindung kepada-Mu jangan sampai aku mendzalimi atau didzalimi.” (HR. Ahmad 8053, Abu Daud 1546 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

Marâji’:

https://al-badr.net/detail/G2bL35rfKj

https://al-badr.net/detail/stP9BGc6rZT0

(dengan beberapa penyesuaian)

Download Buletin klik disini