Bahaya Dusta

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Pembaca yang semoga dirahmati Allah ﷻ, Islam adalah agama yang sempurna. Hal ini sebagaimana firman Allah ﷻ, “…Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu…” (Q.S. al-Maidah [5]: 3). Syari’at Islam begitu rapi dalam mengatur kehidupan manusia mulai dari bangun tidur hingga tidur lagi. Termasuk di dalam syari’at Islam adalah kita diwajibkan menjaga lisan dari hal-hal yang diharamkan. Allah ﷻ berfirman, “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya” (Q.S. al-Isra’ [17]: 36). Dalam ayat lain Allah ﷻ berfirman, “Dan jauhilah perkataan-perkataan dusta” (Q.S. al-Hajj [22]: 30).

Kedua ayat ini menunjukkan bahwa kita sebagai manusia diharamkan untuk mengatakan hal-hal yang dusta. Begitu banyak sekarang ini kita melihat di berbagai media orang-orang yang berbicara tanpa disertai ilmu. Bahkan di media sosial kita bisa melihat sendiri bahwa banyak orang berkomentar tentang agama tetapi tidak disertai ilmu yang mapan apalagi berkaitan dengan hukum-hukum di dalam agama.

Syari’at Islam sangat sempurna dalam mengatur kehidupan sehingga ada pengharaman yang berkaitan dengan berkata dusta. Baik itu dusta dalam hal agama maupun dusta dalam hal dunia. Oleh karena itu, ingatlah firman Allah ﷻ, “Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (Q.S. Qaf [50]: 18). Segala hal yang kita ucapkan selalu diawasi dan dicatat oleh malaikat yang Allah ﷻ tugaskan untuk mencatat amal perbuatan kita.

Perkataan dusta itu mengarah kepada tindak kejahatan dan masuk dalam kategori pembohong. Hal ini sebagaimana hadis dari Ibnu Umar k, ia berkata, Nabi ﷺ bersabda,  “Sejahat-jahat dusta adalah apabila seseorang mengaku kedua matanya melihat apa yang tidak dilihatnya.” (H.R. Bukhari).

Juga terdapat dalam hadits dari Ibnu Mas’ud a, ia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya berkata benar itu membawa kepada kebajikan, dan kebajikan bisa menyampaikan ke surga. Sungguh, orang yang benar itu dapat dicatat di sisi Allah sebagai shiddiq (pembenar) dan dusta itu mengarah kepada tindak kejahatan, dan tindak kejahatan bisa membawa ke neraka. Sesungguhnya orang yang berdusta pada akhirnya akan dicatat di sisi Allah sebagai pembohong.” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Perkataan dusta juga bisa menjerumuskan ke dalam kategori munafik. Hal ini sebagaimana hadits dari Abdullah bin Amr bin Ash k bahwa Nabi ﷺ bersabda, “Ada empat sifat yang barangsiapa jatuh ke dalamnya berarti ia orang munafik sejati. Dan barangsiapa terjerumus pada salah satu dari empat sifat itu, berarti dalam dirinya terdapat salah satu sifat kemunafikan, sampai ia mau meninggalkan sifat tersebut. Empat sifat itu adalah apabila ia dipercaya, ia khianat, apabila berbicara, ia dusta, apabila berjanji, ia ingkar. Dan apabila bermusuhan, ia berbuat keji.” (H.R. Bukhari dan Muslim). Tentu hadits ini menjadi pedoman bagi kita untuk selalu menjaga lisan kita dari perkataan-perkataan yang diharamkan oleh Allah ﷻ dan Rasul-Nya.

Perkataan dusta tidak dilihat dari besar atau kecilnya dusta yang diucapkan. Hal ini sebagaimana hadits dari Ibnu Abbas k dari Nabi ﷺ beliau bersabda, “Barangsiapa mengaku bermimpi dengan sesuatu impian padahal yang sebenarnya ia tidak memimpikannya, maka ia nanti akan dituntut untuk menyambung dua biji gandum, padahal tidak mungkin ia akan dapat melakukannya. Barangsiapa mendengarkan pembicaraan sekelompok orang dimana sebenarnya yang bersangkutan tidak senang apabila pembicaraannya itu didengar, maka nanti pada hari kiamat akan dituangkan ke dalam telinganya cor-coran timah. Dan barangsiapa menggambar suatu benda hidup, maka nanti ia akan disiksa dan dituntut untuk meniupkan roh ke dalam gambar itu padahal ia tidak akan mampu untuk meniupkannya.” (H.R. Bukhari). Padahal dalam hadits tadi hanya dusta yang berkaitan dengan mimpi, namun hal tersebut tetap diharamkan dalam Islam karena efek dari dusta amat sangat berbahaya sebagaimana hadits-hadits yang telah disebutkan di atas.

Jika dusta yang berkaitan dengan mimpi saja diharamkan, apalagi berdusta yang berkaitan dengan Nabi ﷺ. Hal ini sebagaimana hadits dari Samurah a, ia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, “Barangsiapa menceritakan dariku suatu hadis yang ia ketahui hadis itu bohong, maka ia adalah salah seorang pembohong.” (H.R. Muslim). Bahkan akan dibangunkan rumah di neraka jahannam bagi yang berdusta atas nama Nabi ﷺ. Hal ini sebagaimana Nabi ﷺ bersabda, “Barangsiapa berdusta atas namaku, maka akan dibangunkan baginya rumah di (neraka) jahannam.” (H.R. Thabrani).

Berdusta atas nama Nabi ﷺ jauh lebih berbahaya daripada berdusta atas nama orang-orang yang lainnya. Hal ini sebagaimana hadits dari al-Mughirah, ia mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya berdusta atas namaku tidaklah sama dengan berdusta pada selainku. Barangsiapa yang berdusta atas namaku secara sengaja, maka hendaklah dia menempati tempat duduknya di neraka.” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Mengapa berdusta atas nama Nabi ﷺ jauh lebih berbahaya daripada berdusta atas nama orang-orang yang lainnya? Karena jika yang disampaikan itu adalah kedustaan atas nama Nabi ﷺ, maka orang yang tidak mengetahui akan mengira bahwa itu merupakan bagian dari agama. Oleh karena itu, ada ancaman yang berat jika berdusta atas nama Nabi ﷺ sebagaimana hadits-hadits yang telah disebutkan di atas.

Dusta adalah perkataan yang diharamkan. Meskipun demikian, ada dusta yang diperbolehkan di dalam Islam. Perkataan adalah sarana untuk menyampaikan maksud. Apabila maksud tujuannya itu baik dan dapat dicapai dengan tanpa berdusta, maka menyampaikan dengan berdusta itu hukumnya haram. tetapi apabila tidak bisa disampaikan kecuali harus berdusta, maka berdusta dalam hal ini diperbolehkan. Bahkan dalam hal ini ada dusta yang diwajibkan, misalnya ada orang Islam bersembunyi dari orang yang menganiayanya dimana ia akan membunuhnya atau akan merampas hartanya, maka bagi orang yang ditanya tentang orang Islam tersebut wajib ia berdusta, misalnya dengan mengatakan “tidak tahu” walaupun sebenarnya ia mengetahuinya. Begitu pula apabila seseorang dititipi sesuatu kemudian ada seseorang yang bermaksud merampoknya, maka ia wajib berdusta.

Dari Ummu Kultsum i bahwasanya ia mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, “Tidaklah dinamakan berbohong , orang yang mendamaikan sengketa diantara manusia. Ia menyampaikan kebaikan atau mengucapkan perkataan yang mendatangkan kebaikan.” (H.R. Bukhari dan Muslim). Dalam riwayat Muslim terdapat tambahan, bahwasanya Ummu Kultsum i berkata, “Saya tidak pernah mendengar Rasulullah ﷺ memberikan kemurahan dalam masalah ucapan manusia (kaum muslimin), kecuali dalam tiga hal, yaitu dalam keadaan perang, mendamaikan sengketa manusia serta omongan lelaki kepada isterinya, dan omongan perempuan kepada suaminya.”

Kita sebagai orang Islam wajib menjaga lisan kita dari berkata dusta, baik itu berdusta dalam perkara besar maupun kecil kecuali pada perkara-perkara yang diperbolehkan seperti yang disebutkan dalam hadis di atas.

Penyusun:

Hendi Oktohiba

Alumni FIAI UII

Mutiara Hikmah

Al-Hasan al-Bashri mengatakan,

مِنَ النِّفَاقِ اِخْتِلاَفُ القَلْبِ وَاللِّسَانِ ، وَاخْتِلاَفُ السِّرِّ وَالعَلاَنِيَّةِ ، وَاخْتِلاَفُ الدُّخُوْلِ وَالخُرُوْجِ

Di antara tanda kemunafikan adalah berbeda antara hati dan lisan, berbeda antara sesuatu yang tersembunyi dan sesuatu yang nampak, berbeda antara yang masuk dan yang keluar.”

(Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam, 2: 490)

Download Buletin klik disini

Bahagia Dengan Bersyukur

Bahagia Dengan Bersyukur

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Pembaca yang dirahmati Allah ﷻ, setiap manusia tentunya menghendaki kehidupan yang bahagia. Tidak ada satupun dari kita yang menginginkan hidup penuh dengan kesedihan, kesulitan, gelisah, dan merasa tidak tentram. Standar dalam mengukur kebahagiaan dalam tiap individu pun beragam. Tidak jarang, sebagai manusia kita belum begitu faham akan ukuran kebahagiaan. Apalagi, kita hidup di dunia yang menyerukan ketidakpuasan.

Kerap kali, ada saja rasa kurang atau tidak ideal yang kita rasakan dalam kehidupan. Kita selalu membandingkan hidup kita dengan orang lain. Misal dari segi harta, keturunan, fisik, penampilan, pencapaian atau prestasi dan masih banyak lagi. Ya, memang tidak masalah jika dijadikan motivasi untuk bisa meraih lebih. Akan tetapi, jika kita membandingkan hanya dapat merusak kesehatan mental dan menghalangi kita untuk bersyukur atas nikmat-Nya, apakah baik?[1]

Padahal, jika kita mau merenungkan, banyak sekali nikmat yang telah Allah berikan kepada kita. Nikmat Islam, iman, sehat, keluarga dan lingkungan yang baik, dan masih banyak nikmat-nikmat lain yang tidak dapat kita hitung. Biasanya, awal dari ketidakbahagiaan hidup ialah karena kurangnya rasa syukur atas apa yang kita miliki, dan hal ini karena kita membandingkan hidup kita dengan orang lain.

Apakah dengan memiliki harta yang melimpah, keturunan yang banyak, pencapaian dan karir yang melejit merupakan standar kebahagiaan? Tentunya tidak menjamin, tidak sedikit orang yang bergelimang harta akan tetapi hidup masih diselimuti dengan kesedihan dan rasa kurang. Tidak sedikit orang yang karirnya melejit tetap merasa ada yang kurang dalam hidupnya. Lantas, sebenarnya dari mana bahagia itu didapatkan?[2]

Sejatinya, kebahagiaan bukanlah didapatkan, melainkan diciptakan. Bahagia diciptakan oleh hati dan fikiran yang terus bersyukur akan nikmat yang diberikan oleh-Nya. Allah ﷻ berfirman, “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih” (Q.S. Ibrahim [14]: 7).

Dibalik perintah bersyukur kepada Allah ﷻ, tentu mengindikasikan nilai-nilai yang juga memberi dampak baik kepada hamba-Nya. Jika kita sadari, hikmah dibalik perintah Allah ﷻ untuk senantiasa bersyukur, selain akan Allah tambahkan nikmat-Nya, ternyata hal ini juga berpengaruh kepada kesehatan mental kita. Sebenarnya apa yang dimaksud dengan bersyukur?

Makna Syukur

Secara bahasa, syukur berasal dari kata “syakara” yang memiliki arti pujian atas kebaikan dan penuhnya sesuatu. syukur juga berarti menampakkan sesuatu ke permukaan, yakni menampakkan nikmat Allah. Sedangkan menurut istilah syariat syukur merupakan pengakuan nikmat yang telah dikaruniai oleh Allah ﷻ sesuai dengan kehendak Allah ﷻ. Dalam studi Al-Qur’an syukur merupakan lawan dari kufur. Kufur dimaknai menutup diri, sedangkan syukur diartikan membuka atau mengakui diri.[3]

Menurut Ibnu Qoyyim, syukur berarti menunjukkan adanya nikmat yang Allah ﷻ berikan pada dirinya, dengan lisan berupa pujian kepada Allah, dengan hati melalui saksi dan cinta kepada Allah ﷻ, dan dengan anggota badan berupa ketaatan dan kepatuhan kepada Allah ﷻ.

Upaya untuk Bersyukur

Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa cara bersyukur kepada Allah ﷻ terdiri dari empat komponen, yakni:

  1. Syukur dengan hati

Menyadari sepenuhnya bahwa nikmat yang kita peroleh baik besar maupun kecil, banyak ataupun dikit semata-mata karena anugerah dan kemurahan Allah ﷻ merupakan upaya wujud bersyukur kepada Allah dengan hati. Allah berfirman dalam al-Qur’an surah an-Nahl ayat 53, “Segala nikmat yang ada pada kamu (berasal) dari Allah” (Q.S. an-Nahl [16]: 53)

  1. Syukur dengan lisan

Setiap nikmat yang dirasakan oleh manusia bersumber dari Allah ﷻ, serta dengan spontan kita mengucapkan Alhamdulillâh merupakan salah satu bentuk wujud syukur dengan lisan. Karena meskipun kita memperoleh nikmat dari seseorang, lisan kita tetap memuji Allah ﷻ. Sebab kita perlu yakin dan sadar bahwa orang tersebut hanyalah perantara yang Allah ﷻ kehendaki untuk “menyampaikan” nikmat itu kepadanya.

  1. Syukur dengan perbuatan

Syukur dengan perbuatan berarti bahwa seluruh nikmat dan kebaikan yang kita terima harus dipergunakan di jalan yang diridhai-Nya. Misalnya, untuk beribadah kepada Allah ﷻ, membantu orang lain dari kesulitan, dan perbuatan baik lainnya.

  1. Menjaga nikmat dari kerusakan

Ketika kita mendapatkan nikmat dan karunia, sebaiknya kita menggunakan nikmat dengan sebaik-baiknya. Kemudian berusaha untuk menjaga nikmat tersebut dari kerusakan. Misalnya, ketika kita dianugerahi kesehatan, selayaknya kita menjaga tubuh untuk tetap sehat dan bugar agar terhindar dari sakit. Begitu pula nikmat iman dan Islam, kita harus senantiasa memupuk iman dan Islam diantaranya dengan sholat, membaca al-Qur’an, menghadiri majelis-majelis taklim, berdzikir dan berdo’a.[4]

Selain itu, terdapat upaya agar menjadi hamba-Nya yang terus bersyukur salah satunya ialah dengan berdo’a memohon kepada Allah ﷻ seperti yang telah dilakukan oleh Nabi Sulaiman ketikan melihat pasukan semut yang menyambut pasukannya. Dikisahkan dalam al-Qur’an surat an-Naml ayat 6,  “Ya Tuhanku berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang soleh”. (Q.S. an-Naml [27]: 19)

Dengan berdo’a agar dimudahkan untuk bersyukur, kita bisa melihat apa yang sebelumnya belum tampak. Kita bisa menghargai apa yang ada dan bisa menemukan kenikmatan bahkan dari hal-hal yang selama ini terlihat begitu sederhana. Begitu banyak waktu yang kita habiskan untuk memikirkan apa yang kurang dan belum kita miliki, hingga kita lupa bagaimana untuk mensyukuri apa yang telah kita miliki selama ini.[5] “Bukan bahagia yang membuat kita bersyukur, tetapi rasa syukurlah yang membuat kita bahagia”. Semoga kita selalu menjadi hamba Allah yang pandai bersyukur dan bahagia di dunia maupun di akhirat. Âmîn.[]

Penyusun:

Ikke Pradima Sari

NIM: 17422171

Pendidikan Agama Islam FIAI UII

Marâji’

[1] https://republika.co.id/berita/mx5g4h/belajar-qanaah

[2] https://greatmind.id/article/bersyukur-dengan-merasa-cukup

[3] Choirul Mahfud/the Power of Syukur/Surabaya/LKAS/Jurnal Episteme Vo. 9 No.2 Desemner2013

[4] https://www.islampos.com/4-cara-bersyukur-pada-allah-swt-86327/

[5] https://muslim.or.id/30031-jadilah-hamba-allah-yang-bersyukur.html

Mutiara Hikmah

رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَىٰ وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَدْخِلْنِي بِرَحْمَتِكَ فِي عِبَادِكَ الصَّالِحِينَ

Ya Tuhanku berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang soleh”. (Q.S. an-Naml [27]: 19)

Download Buletin klik disini

Tidak Ada Paksaan Dalam Agama

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Pembaca budiman yang senantiasa dirahmati oleh Allah ﷻ, disebutkan dalam surat al-Baqarah ayat 256 Allahberfirman, “Tidak ada paksaan dalam memeluk agama. Sungguh telah jelas antara kebenaran dan kesesatan.(Q.S al-Baqarah[2]: 256)

Sebagian orang salah kaprah dalam menafsirkan ayat diatas sehingga berkesimpulan bahwa semua agama benar, dan Islam bukanlah satu-satunya agama yang benar hingga bermunculanlah istilah plularisme yang berpandangan bahwa semua agama adalah benar. Pandangan ini kian marak sehingga berbahaya jika ini merasuki jiwa kaum muslim.

Islam sebagai agama yang telah mengajarkan kepada ummatnya agar mengembalikan setiap permasalahan kepada ahlinya. Allah ﷻ  berfirman, “Bertanyalah kepada ahli ilmu jika engkau tidak tahu” (Q.S an-Nahl [16]: 43). Konsep tersebut tentu disetujui oleh banyak orang seperti halnya menanyakan obat suatu penyakit kepada dokter dan bukan kepada ahli matematika atau seorang teknisi lapangan.

Oleh karena itu marilah kita mencari hakikat makna surat al-Baqarah ayat 256 menurut para ahli tafsir. Seorang imam ahli tafsir yang terkemuka, Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya menjelaskan, “Para ulama berbeda pendapat tentang makna ayat ini dalam 6 pendapat:

  1. Ayat ini mansukh (dihapus) karena Nabi Muhammad ﷺ telah memaksa orang Arab untuk masuk Islam dan memerangi mereka.
  2. Ayat ini tidak mansukh (tidak dihapus), namun ayat ini ditujukan bagi ahli kitab saja.
  3. Berdasarkan yang diriwayatkan Abu Daud dari Ibnu Abbas, beliau berkata, “Ayat ini diturunkan kepada kaum Anshar. Ketika itu ada seorang wanita selama hidupnya tidak memiliki anak. Ia berjanji pada dirinya, jika ia memiliki anak, anak tersebut akan dijadikan beragama Yahudi. Sampai suatu ketika datanglah Bani Nadhir yang juga membawa beberapa anak dari kaum Anshar bersama mereka. Kaum Anshar berkata, “Kemudian terjadilah apa yang telah terjadi. Ketika itu kami (kaum Anshar) memandang agama yang mereka bawa (Yahudi) lebih baik. Namun ketika kami masuk Islam, kami ingin memaksa anak-anak kami”. Kemudian turunlah ayat ini. Ini adalah pendapat Sa’id bin Jubair, Asy Sya’bi dan Mujahid.
  4. As Sudiy berkata, “Ayat ini turun kepada seorang lelaki kaum Anshar yang bernama Abul Husain yang memiliki dua orang anak. Ketika itu datang para pedagang dari Syam yang membawa biji-bijian. Ketika mereka hendak pergi dari Madinah, mereka mengajak dua anak Abul Husain untuk memeluk agama Nashrani. Mereka berdua pun akhirnya menjadi Nashrani dan ikut para pedagang tersebut ke Syam. Maka Abul Husain pun datang kepada Rasulullah ﷺ sambil menangis dan memohon kepada Rasulullah ﷺ agar mengutus seseorang untuk mengambil mereka berdua. Lalu turunlah ayat ini.”
  5. Makna ayat ini, “Orang yang masuk Islam karena kalah perang tidak boleh mengatakan bahwa ia dipaksa masuk Islam”
  6. Ayat ini turun bagi tawanan yang berasal dari golongan ahli kitab yang sudah tua. Karena tawanan yang berasal dari golongan Majusi dan penyembah berhala, semua dipaksa masuk Islam baik yang tua maupun yang muda. Ini pendapat Asyhab.”

Pembaca budiman yang senantiasa dirahmati oleh Allah ﷻ,  toleransi biasanya hadir dalam kebebasan beragama. Bebas berarti merdeka, tidak terikat, tidak terpaksa dan dapat melakukan keinginannya. Sedangkan beragama adalah memeluk agama atau keyakinan tertentu. Dari pengertian ini, maka kebebasan beragama dapat diartikan sebagai suatu sikap yang tidak terikat atau merdeka untuk memeluk suatu agama atau keyakinan yang diinginkan. Hal ini tentu juga sesuai dengan ayat di atas yang menegaskan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama khususnya untuk memeluk agama Islam. Akan tetapi bukan berarti bermakna bahwa semua agama adalah benar.

Ibnu Katsir menyatakan, “Tidak ada yang dipaksa untuk memeluk agama Islam karena telah jelas dan tegas tanda dan bukti kebenaran Islam sehingga tidak perlu lagi memaksa seseorang untuk memeluk agama Islam. Orang yang diberi hidayah oleh Allah ﷻ untuk menerima Islam, lapang dadanya dan dicerahkan pandangannya sehinga ia memeluk Islam dengan alasan yang pasti. Namun orang yang hatinya dibutakan oleh Allah ﷻ dan ditutup hati serta pandangannya, tidak ada manfaatnya memaksa mereka untuk masuk islam” (Tafsir Ibnu Katsir.)

Dalam hadits yang diriwayatkan dalam Sunan Abi Daud kitab al-Jihad bab al-Asir Yukrahu ‘ala al-Islam menerangkan bahwa setiap pemeluk agama memiliki hak yang sama untuk memeluk dan melaksanakan ajaran agamanya masing-masing tanpa ada tekanan dan paksaan dari manapun. Hadist di atas memberi penjelasan kepada umat Muslim untuk menghargai dan menghormati setiap pemeluk agama meskipun berbeda. Hubungan antara sesama manusia (habl min al-nas) tidak dipandang dar perbedaan agama.

Lalu apa pandangan dari kaum yang memandang semua agama benar dan apa kata mereka. Menurut mereka semua agama itu benar asalkan berserah diri kepada Tuhan, tidak melukai hati sesama manusia, saling menghormati dan tidak fanatik. Hal ini terdengar sangat terpuji dan menyentuh relung hati, akan tetapi hal ini adalah jebakan. Sebagai mana sabda Rasulullah ﷺ, “Islam itu engkau bersaksi bahwa sesungguhnya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan sesungguhnya Muhammad itu utusan Allah ﷻ, engkau mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan dan mengerjakan ibadah haji ke Baitullah jika engkau mampu melakukannya” (H.R. Muslim no.8).

Kelemahan dari pandangan pluralis adalah tidak bisa mendefinisikan Tuhan sesembahannya itu siapa sebagaimana yang kita tahu bahwa Islam menganut tuhan tunggal yaitu Allah ﷻ, di agama Nashrani mengenal 3 tuhan, dan tentu di agama lain dengan tuhan yang berbeda yang mana jelas tuhan-tuhan itu berbeda di setiap agama. Dari segi peribadatan juga berbeda, kaum yang percaya bahwa disuatu tempat terdapat tuhan tertentu akan membakar dupa dan membaca beberapa kalimat mantra sedangkan di agama Nashrani peribadatannya dilaksanakan di hari minggu dan agama Islam sendiri melaksanakan ibadah sebanyak lima kali dalam sehari sehingga terdapat karakteristik berbeda dari perbedaan agama.

Allah ﷻ berfirman, “Agama yang diridhai oleh Allah adalah Islam”(Q.S. Ali Imran [3]: 19).  Allah ﷻ juga berfirman, “Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi”(Q.S Ali Imran [3] : 85).

Maka sudah jelaslah dari beberapa ayat al-Qur’an yang menjelaskan bahwa hanya agama Islamlah yang diridhai oleh Allah ﷻ. Islam adalah agama yang tidak memaksa orang lain untuk masuk dalam agama Islam. Akan tetapi untuk menyerukan kebenaran, agama yang haq, untuk mengakui bahwa pencipta langit, bumi dan isinya adalah Allah ﷻ, sehingga dengan keimanan yang kuat akan terbentuk akhlak karimah karena takwa kepada Allah ﷻ semata, sesuai dengan hadits Nabi ﷺ, “Aku tidak diutus, kecuali untuk menyempurnakan akhlak mulia”.

Kesimpulannya adalah jelas bahwa tidak memaksa orang kafir untuk memeluk Islam bukan berarti ridha terhadap kekafiran mereka, bukan membenarkan semua agama yang ada, dan bukan menghilangkan status ‘kafir’ dari diri mereka. Wallahu a’lam bisshawâb

Marâji’

Mulyosudarmo, S. (1999). Kebebasan Beragama dalam perspektif HAM, dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (Ed.)

Supriatna, E. (2019). Islam dan Kebudayaan (Tinjauan Penetrasi Budaya antara Ajaran Islam dan Budaya Lokal/Daerah). Jurnal Soshum Insentif, 2(2), hal.282-287

https://muslim.or.id/1851-tafsir-ayat-laa-ikraha-fiddiin.html

https://konsultasisyariah.com/34449-makna-ayat-laa-ikraaha-fid-diin-tidak-ada-paksaan-masuk-agama-islam.html

Penyusun:

Fatkhur Rohman Khakiki

Teknik Kimia

Fakultas Teknologi Industri UII

Mutiara Hikmah

Imam Syafi’i v berkata,

لَيْسَ العِلْمُ مَا حُفِظَ ، إِنَّمَا العِلْمُ مَا نَفَعَ

Ilmu bukanlah apa yang dihafaal, akan tetapi yang bermanfaat

Download Buletin klik disini

Khauf atau Raja’

Bismillâhi walhamdulillâh wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Setiap orang yang hidup di dunia tak dapat lepas dari segala rasa yang berkecamuk di dalam hatinya. Rasa bahagia, gembira, susah, senang, takut, khawatir, berani, berharap, dan semua rasa yang bersemayam dalam hati manusia yang hidup dan tinggal di dunia. Segala macam rasa tersebut dapat dengan seketika mengubah hidup manusia karena rasa tersebut dapat tetiba menggairahkan kehidupan dan begitu sebaliknya dapat menghancurkan kehidupan.

Bagaimana kita menyikapi rasa tersebut adalah bagian dari pilihan hidup kita. Layaknya kaum milenial yang memilih belajar di tanah rantau yang jauh dari keluarga atau tetap tinggal di kotanya dan dengan ilmu dan pengalaman yang hanya ada di kotanya saja. Antara berharap akan banyak ilmu yang dituai karena belajar di kota atau takut dengan segala apa yang akan terjadi ketika meninggalkan tempat tinggal dan tetap merantau tanpa ada sanak saudara satu pun. Berkecamuk menentukan pilihan adalah hal yang wajar, namun berlarut di antara dua rasa yaitu rasa takut dan rasa harap adalah kesia-sian, Lalu mana yang lebih dahulu, takut atau berharap?

Takut (khauf) dan harapan (raja’) adalah dua hal yang berkebalikan dalam konotasi. Takut berkonotasi negatif dan harapan berkonotasi positif. Meski berkebalikan dalam konotasi, bukan berarti berkonotasi positif itu lebih baik dan yang berkonotasi negatif tidak dapat lebih baik. Ibarat orang yang sedang lapar pasti tidak membutuhkan air, dan orang yang sedang haus tidak membutuhkan roti.

Sama halnya kaum milenial yang sedang menentukan pilihan, antara melanjutkan pendidikan di tanah rantau atau tetap di kotanya. Jika yang lebih dibutuhkan adalah ilmu kedokteran dan di kotanya tidak ada tempat untuk mencari ilmu tersebut, maka kota rantau dapat menjadi solusi yang tepat. Berbeda halnya jika ternyata orang tuanya tinggal sendiri dan tak mau ditinggalkan karena takut hidup sendiri, maka tetap menetap dan menuntut ilmu di kotanya bisa jadi adalah solusi yang tepat. Takut meninggalkan orang tua dan harapan dapat mencari ilmu kedokteran di kota rantau adalah dua sisi yang berbeda, namun sama-sama solusi untuk mengobati. Mengobati hati yang bimbang antara dua pilihan dan dua konsekuensi kehidupan. Meski milenial yang meninggalkan kota rantau tak ada jaminan terhindar dari rasa takut dan yang tetap tinggal terhindar dari rasa harap. Takut akan kehidupan rantau yang tak dapat diprediksi karena belum dijalani dan yang tetap tinggal tak ada jaminan mimiliki harapan akan pengalaman hidup sebanyak yang tinggal di kota rantau.

Dapat ditarik kesimpulan, bahwa takut dan harapan adalah saling berbarengan dan mustahil dipisahkan antara yang satu dari yang lainnya. Seperti dalam firman Allah ﷻ, “Mengapa kamu tidak berharap (takut) akan kebesaran Allah. (Q.S. Nuh [71]: 13). Dalam ayat tersebut kata “harap” berarti takut, beberapa dalam al-Qur’an ketika menyebutkan harapan tetapi maknanya adalah takut. Ini membuktikan bahwa takut dan harapan adalah bergan dengan. Maka jelas tak ada yang lebih diutamakan atau didahulukan antara takut dan harapan. Keduanya bergandengan tak dapat dipisahkan, keduanya berpotensi membuat manusia menangis, menangis karena hati merasa sangat takut atau menangis karena hati sangat berharap.

Dari kalimat tersebut, maka dapat dikatakan bahwa semua yang berkaitan dengan menangis adalah karena takut pada sesuatu adalah bukti kita sangat berharap akan sesuatu, karena menangis adalah buah dari harapan. Sama halnya kita menangis karena sangat takut akan harapan kita tidak Allah kabulkan, maka artinya kita sangat berharap sesuatu tersebut akan Allah kabulkan dan terjadi sesuai dengan kehendak kita (manusia).

Terlepas dari mana yang lebih diutamakan atara takut dan harapan.Dalam Islam takut (khauf) adalah mendorong untuk beramal, mengeruhkan syahwat-syahwat, mengingatkan hati dari bersandar pada dunia, mengajaknya untuk menjauh dari dunia yang penuh dengan tipuan. Inilah takut yang terpuji bukan takut karena nafsu dunia, dan bukan pula putus asa yang menyebabkan hilangnya harapan.Takut berbeda dengan putus asa, takut adalah penuh harap sedangkan putus asa adalah tak ada harap. Maka seseorang yang takut adalah orang yang senantiasa semangat untuk mewujudkan harapan, sedangkan orang yang putus asa adalah orang yang sudah pasrah dengan ketidakberdayaan diri dan memutus semangat akan mewujudkan harapan agar dapat terwujud.

Harapan (raja’) dan cinta, seseorang yang memiliki harapan akan melakukan semua hal yang dapat mewujudkan harapannya dengan cinta. Jika harapanmu tak ingin disebut harapan kosong maka harapanmu harus dibarengi dengan cinta. Harapan yang dilakukan dengan cinta akan menumbuhkan semangat mewujudkan. Dapat dikatakan, jika kita memiliki harapan, maka kita terhindar dari sikap shu’udzon (prasangka buruk), namun senantiasa terjaga dalam husnudzon (prasangka baik).

Berharap Allah ﷻ akan mengabulkan semua yang menjadi keinginan hati adalah bentuk husnudzon kita pada Allah ﷻ, hingga ada sebuah kisah dari Ahmad bin Hanbal yang berkata kepada anaknya ketika beliau menghadapi kematian “sebutkanlah untukku berita-berita tentang harapan dan husnudzon.” Maksud dari perkataan Ahmad bin Hanbal adalah agar Allah ﷻ lebih dicintai dari pada dirinya sendiri. Ketika kita memiliki harapan adalah bukan karena harapan dunia semata, namun harapan-harapan kita tertuju pada Allah ﷻ juga, karena harapan menimbulkan ketenangan hati dalam menanti apa yang ia senangi dan sukai. Akan tetapi apa yang disenangi atau disukai harus mempunyai sebab, sebab karena Allah ﷻ. Maka dapat dikatakan harapan ini baik, namun jika harapan kita disertai dengan kerusakan, maka harapan kita adalah bentuk kedunguan dan ketertipuan.

Dunia adalah tempat singgah, maka jangan sampai kita tertipu dengan dunia yang sementara. Allah ﷻ berfirman, “Kehidupan dunia adalah kesenangan yang menipu” (Q.S. Ali Imran [3] : 185). Dunia adalah kesenangan yang menipu, berlomba-lomba dalam kebaikan untuk beramal shalih adalah bekal untuk meraih kebahagiaan akhirat yang kekal.

Dari Ibnu Umar k Rasulullah ﷺ berkata “Jadilah engkau di dunia ini seakan-akan orang asing”, agar kita tak terlalu memikirkan dunia hingga semua takut dan harapan kita hanya karena dunia.Orang asing adalah orang yang tak mengenal jelas apa yang sedang kita lewati, ia hanya melihat indah yang sekilas dan tak berani terlarut dalam keindahan karena hanyalah sebagai orang asing. Selayaknya kita pada dunia dan segala isinya, kita hanya orang yang singgah dalam perjalanan dan menjadi orang asing, maka mengambil bekal sekedarnya agar dapat melanjutkan perjalanan, perjalanan ke negeri bernama akhirat.

Milenial yang memilih merantau atau milenial yang memilih untuk tetap tinggal di kotanya sembari menemani orang tua dan tetap menuntut ilmu adalah pilihan kehidupan dunia. Meski diantara pilihan tersebut selalu ada harapan dan rasa takut, karena takut dan harapan adalah tak dapat dipisahkan. Bagi yang merantau mencari ilmu akan selalu ada harapan bahwa akan menuai ilmu dan pengalaman yang tak didapatkan jika ia tidak merantau, begitu juga ada rasa takut karena tak dapat terus membersamai orang tuanya.

Berbeda dengan yang memilih menetap dan menuntut ilmu di kota tempat tinggalnya, pasti ada rasa takut dan rasa harap bahwa ia akan mendaptkan ilmu yang juga banyak sebanyak teman yang merantau. Tak dapat dikatakan bahwa milenial yang merantau lebih baik dari yang tidak merantau, begitu sebaliknya. Semuanya sesuai dengan kebutuhan masing-masing, sesuai kadarnya dan ketika semua dijalani karena Allah semoga kebaikan yang akan kita dapatkan. Khauf dan raja’ tak dapat dipisahkan, semoga segala sesuatu yang menjadi pilihan hidup mengandung keduanya, sebagai pengingat kita bahwa takut (khauf) dan harap (raja’) hanyalah kepada Allah.[]

Penyusun:

Wiwi Dwi Daniyarti

Alumni Magister Pendidikan Islam

Universitas Islam Indonesia

Maraji’

  1. Sa’idTazkiyatun Nafs.Solo:Era Adicitra Intermedia.2016 M.Cet.k-2.hal.406-417.
  2. http://www.islampos.com/jadilah-anda-orang-asing-dan-musafir-di-dunia-136404/

Mutiara Hikmah

Allah ﷻ berfirman,

يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا

 “Mereka berdoa kepada Tuhan mereka dengan harap dan takut”

(Q.S. As-Sajdah [32] : 16)

Download Buletin klik disini

Manajemen Waktu: Untuk Hidup Yang Lebih Baik

Bismillâhi walhamdulillâh wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Setiap dari kita memiliki 24 jam yang sama dalam sehari semalam untuk bisa digunakan dengan tepat dan efisien sesuai dengan kebutuhan masing-masing individu. Hanya saja tak sedikit yang memahami dan menggunakan waktu yang dimiliki dengan sebaik-baiknya. Manajemen waktu merupakan sebuah guideline atau panduan cara menggunakan terhadap berapa banyak waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan sebuah kegiatan atau aktivitas. Pengelolaan waktu yang baik dapat membantu meningkatkan kinerja dan karier individu, pengorganisasian setiap kegiatan dapat membantu menyelesaikan sebuah pekerjaan tepat waktu .

Waktu merupakan salah satu dari nikmat tertinggi yang diberikan Allah ﷻ kepada hamba-Nya. Dengan demikian, sudah sepantasnya waktu dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk menjalankan tugas sebagai makhluk Allah ﷻ di muka bumi ini. Bukankah Allah telah bersumpah dengan waktu, yang disebutkan dalam beberapa permulaan surat dengan menggunakan fase tertentu, seperti dalam surat al-Lail ayat 1-2 “Demi malam apabila menutupi (cahaya siang), dan siang apabila terang benderang)”. (Q.S. al-Lail [92]: 1-2)  Begitu pula pada surat al-Ashr ayat 1-3 “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran”. (Q.S. al-Ashri [103]: 1-3)[1]

Kata al-‘ashr terambil dari kata ‘ashara yang artinya menekan sesuatu sehingga apa yang terdapat pada bagian terdalam dari padanya nampak ke permukaan atau keluar. Pada surat al-Ashr Allah ﷻ bersumpah demi waktu dengan kata Ashr-bukan selainnya- untuk menyatakan bahwa demi waktu (masa) dimana manusia mencapai hasil setelah meremas tenaga nya, sesungguhnya ia merugi. Kecuali orang orang yang mendekatkan diri kepada sang pemberi waktu.[2]

Ayat diatas menjelaskan bahwa manusia benar-benar dalam kerugian apabila tidak mengoptimalkan penggunaan waktu untuk melakukan kegiatan-kegiatan baik. Seorang muslim memiliki kewajiban untuk mengelola waktu dengan baik. Ajaran Islam menganggap pemahaman terhadap hakikat menghargai waktu merupakan salah satu indikasi keimanan dan bukti ketaqwaan seseorag, seperti dalam firman Allah ﷻ dalam surat al-Furqan ayat 62 yang artinya. “Dan Dia (pula) yang menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin mengambil pelajaran atau orang yang ingin bersyukur (Q.S. al-Furqan [25]: 62)

Manusaia akan tetap berada dalam keugian kecuali orang orang yang memiliki empat kualifikasi dalam haidupnya, yakni iman, amal shalih, nasihat menasihati dalam kebenaran, dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran[3]

Sebagai seorang muslim, haruslah pandai dalam mengatur waktu untuk dapat melakukan amalan-amalan shalih baik secara vertikal maupun horizontal. Secara vertikal berarti langsung kepada sang khalik, menjadikan dirinya seorang ahli ibadah, puasa, serta taqarrub ilallah. Dan secara horizontal berarti mu’amalah ma’annas, menunaikkan dakwah di lingkungan masyarakat, bekerja, dll.

Waktu luang adalah salah satu nikmat yang sering dilalaikan oleh manusia, padahal Rasulullah ﷺ telah bersabda, “Gunakanlah lima perkara sebelum datang yang lima:masa mudamu sebelum datang masa tuamu, masa sehatmu sebelum datang masa sakitmu, waktu kayamu sebelum datang masa miskinmu, waktu luangmu sebelum datang masa sibukmu, dan masa hidupmu sebelum datang ajalmu”(H.R Hakim dishahihkan oleh Al-Albani)

Tips Untuk Hidup Lebih Baik

Berikut beberapa tips agar hidup lebih baik dan agar tidak menjadi orang yang merugi

  1. Hilangkan kebiasaan menunda-nunda!

Perbuatan suka menunda merupakan tindakan yang kurang baik, namun bila menunda pekerjaan guna melakukan suatu kewajiban kepada Allah maka hal tersebut diperbolehkan. Jangan sering menunda nunda sesuatu, terlebih jika yang ditunda adalah ibadah dan amalah baik lainnya, karena dikhawatirkan usia tidak sampai pada menit selanjutnya. Bukankah tidak ada yang tahu kapan Allah akan memanggil hambaNya untuk kembali?

  1. Dahulukan yang wajib

Allah menyukai dan mencintai hambanya yang bertakwa kepadaNya, untuk menjadi orang yang tidak merugi, alangkah baiknya mendahulukan sesuatu yang diwajibkan bagi umat muslim. Apabila amalan wajib telah dipenuhi, barulah mengerjakan amalan amalan sunnah dan mubah yang memberikan manfaat dan mendatangkan kebaikan.

  1. Selesaikan pekerjaan tepat waktu

Jika memiliki sebuah aktivitas atau pekerjaan yang dapat diselesaikan pada waktu yang telah ditentukan, maka hendaklah segera diselesaikan dan tidak mengulur ulur waktu supaya pekerjaan lain dapat terselesaikan juga

  1. Membuat batasan waktu

Untuk mengatur waktu agar tidak sia sia, sebaiknya membuat batasan waktu dari setiap kegiatan. Misalnya belajar dari jam sekian sampai jam sekian, shalat sekian jam, tidur sekian jam, dan lain sebagainya.

  1. Meninggalkan aktvitas yang tidak bermanfaat

Dari Abu Hurairah berkata bahwa :di antara kebaikan islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat baginya” (HR. Tirmidzi). Dalam hadits tersebut disebutkan bahwa seorang muslim dianjurkan untuk meninggalkan hal hal yang tidak bermanfaat, misalnya menonton tv berlebihan, bermain ponsel seharian, dll. Kebiasaan tersebut sebaiknya dikurangi karena masih banyak hal bermanfaat lainnya yang dapat dilakukan.

  1. Membuat jadwal kegiatan

Agar waktu dapat digunakan dengan baik dan terisi hal hal yang bermanfaat, hendaklah membuat jadwal kegiatan tentang hal apa saja yang akan dilakukan.

  1. Jangan terjebak dengan masa lalu

Jika seseorang ingin menjadi pribadi yang lebih baik, hendaklah selalu berjalan ke depan. Silahkan menengok kembali masa lalu jika untuk mengambil pelajaran dan hikmah dari sebuah kejadian yang telah dialami.

  1. Fokus pada tujuan

Banyak goal yang mungkin sudah ditetapkan sejak dini, namun jangan langsung berfokus pada semua tujuan, fokuslah pada satu tujuan supaya apa yang telah didapatkan tidak terlepas, dan waktu tidak terbuang sia sia.

  1. Niat untuk berubah menjadi yang lebih baik

Innamal a’mâlu binniyyah” segala sesuatu yang dikerjakaan pasti bergantu pada niat. Niat merupakan hal terpenting sebelum melakukan sesuatu, apabila tidak ada niat untuk berubah, maka bagaimana bisa seseorang mengatur waktunya untuk menjalankan hal hal yang bermanfaat?

Jadi, sebagai seorang muslim hendaklah senantiasa mempergunakan waktu dengan sebaik-baiknya agar kelak tidak masuk ke dalam golongan orang orang yang merugi.

Penyusun:

Nurul Kharismawati

NIM 17423137

Pendidikan Agama Islam

Mutiara Hikmah

Dari Abu Hurairah, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda,

مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ

Di antara kebaikan islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat.” (H.R. Tirmidzi, no. 2317; Ibnu Majah, no. 3976)

[1] Yusuf Al-Qardhawi, Al Waqtu fi Hayati al-Muslim terj Ali Imron, Waktu adalah kehidupan (Yogyakarta, Mardhiyah press, 2005) hal. 1

[2] Mohammad Zahid, Makna dan Pesan Penguat Sumpah Allah Dalam Surat-Surat Pendek, dalam jurnal Nuansa  vol 8, no.01, 2011, hal. 42

[3] Ibrahin al-Huwaimil, silsilah manahij Dawrat asy-syariah at-Tafsir fi ah an-Nasyiah hal. 462-463

Download Buletin klik disini

5 Kenikmatan Masuk Surga

Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah syurga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadanya. yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.” (Q.S. al-Bayyinah [98]: 8)

Saudaraku seiman, sering kita dalam kehidupan ini merasakan rasanya kekurangan dalam hidup dan kita dituntut untuk selalu bersyukur atas apa yang telah kita terima, dan memang hal itu wajib kita lakukan. Allah ﷻ memberikan kekurangan tersebut agar kita sadar bahwa kita masih membutuhkan-Nya dan tanda bahwa kita hanya bergantung kepada Tuhan Yang Maha Pengasih.

Ketika kita bekerja, merasakan lelah di cuaca yang panas dan ingin sekali minum minuman yang segar dengan buah-buahan yang manis merupakan sebuah kenikmatan yang mungkin pada saat itu dibayangan kita adalah hal yang paling nikmat. Ketika pakaian yang kita gunakan sudah usang, pasti ingin sekali mengganti pakaian tersebut agar terlihat lebih elegan. Hal tersebut walaupun sebuah kekurangan tetapi harus kita syukuri pemberian dari Allah ﷻ.

Namun tahukah kamu bahwa itu hanya di dunia saja, dan bagi orang-orang beriman dan beramal shalih maka mereka akan bersabar dalam menghadapinya. Bagi orang-orang beriman dan beramal shalih, setelah melewati gerbang kematian mereka akan mendapatkan balasan-balasan yang sangat diinginkan bahkan tidak dapat dibayangkan sebelumnya berupa kenikmatan surga. Tahukah kamu apa saja kenikmatan surga yang dijanjikan Allah ﷻ tersebut? Mari simak setidaknya ada 5 keutamaan surga yaitu:

  1. Sungai-Sungai yang Mengalir.

“…Tajrī min taḥtihal anhār, arti dari ayat tersebut kurang lebih adalah “…sungai-sungai yang mengalir di bawahnya…”

Buya Hamka dalam Tafsir al-Azhar menjelaskan bahwa kalimat tajrī min taḥtihal anhār merupakan lambang kiasan dari kesejukan yang membawa ketentraman, nikmat tentramnya tidak akan pernah kering[1].

Sungai yang disajikan oleh Allah ﷻ di surga nanti tidak akan pernah bisa dibayangkan oleh manusia, sebab dalam al-Qur’an Surat Muhammad [47]:15, Allah ﷻ akan memberikan pertama yaitu air sungai yang tidak akan berubah rasanya dan akan tetap segar, kemudian yang kedua sungai yang mana mengalir air susu, dan ketiga sungai yang mengalir berupa madu. Untuk yang alergi susu dan madu dijamin tetap bisa meminum air tersebut sepuas mungkin dan tidak akan pernah bosan.

  1. Buah-buahan dan Makanan yang Lezat.

Surga menawarkan air segar yang mengalir dan si peminum tidak akan merasakan bosan meminumnya. Dalam al-Qur’an surat Muhammad [47]:15, selain minuman yang segar juga lezat, di surga juga terdapat buah-buahan yang beragam. Tidak bisa dibayangkan pada saat ini bagaimana rasa dan harumnya buah di surga, walaupun rupanya sama dengan buah yang ada di dunia harumnya sangat menyengat hingga ingin sekali memakannya sedangkan rasanya jauh beda lezatnya dengan yang ada di dunia[2].

  1. Berbagai Macam Perhiasan yang Digunakan.

Pakaian yang saat ini kita syukuri keadaannya akan digantikan oleh Allah ﷻ dengan kain-kain dari sutra, dengan berbagai macam perhiasan yang diberikan[3]. Bahkan apabila anak yang dirawatnya menjadi seorang hafizh, dijanjikan oleh Allah ﷻ dia sebagai orang tua yang baik akan dikenakan pakaian terbaik di surga.

Bukan cuma pakaian dan perhiasan yang digunakan, tetapi juga tempat makan yang disediakan oleh Allah ﷻ untuk orang-orang yang beriman terbuat dari bahan-bahan yang tidak mungkin digunakan oleh kita di dunia ini. Pernahkah membayangkan tempat makan dari emas, perak, intan permata atau berlian dijadikan sebagai wadah makan? Itulah bagaimana istimewanya bagi orang yang dimasukan ke surganya Allah ﷻ.

  1. Melihat Wajah Allah .

Siapa yang tidak senang melihat wajah kekasihnya, kekasih bukan sembarang kekasih tetapi kekasih yang ”selalu” mengasihi. Kasih-Nya meliputi seluruh alam, kasih-Nya tidak terkira. Melihat wajah Sang Kekasih membuat mata kita syahdu sehingga kita hanya bisa terpana haru, senang semua tercampur aduk.

Mari kita renungkan hadits berikut, “Dari Suhaib, Rasulullah ﷺ membacakan ayat, “Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik dan tambahannya.” (Q.S. Yūnus[10]:26). Lalu bersabda, “Apabila penduduk surga telah masuk surga, dan penduduk neraka telah masuk neraka, maka ada malaikat yang berseru, “Hai penduduk surga, kamu akan memperolah apa yang akan dijanjikan oleh Allah dan hendak menepatinya kepadamu.” Mereka berkata, “Apakah itu? Bukankah Allah telah memberatkan timbangan kami, memutihkan wajah kami, memasukan kami ke surga dan menyelamatkan kami dari neraka?” Lalu tabir dibukakan, maka mereka melihat Allah. Mereka tidak diberikan sesuatu yang lebih mereka cintai daripada melihat-Nya. Itulah yang dimaksud dengan tambahan” (H.R. Muslim)[4].

  1. Bidadari Surga

Mungkin saat ini kita tidak dirindukan oleh penduduk bumi, tetapi semoga atas amal shalih yang kita perbuat maka kita bisa jadi sedang dirindukan penduduk langit. Bidadari surga merupakan salah satu penduduk langit. Disebutkan dalam al-Qur’an surat Ar-Rahman[55]: 56, bidadari surga belum pernah disentuh baik oleh manusia maupun oleh kalangan jin, matanya juga terbatas sudut pandangnya. Dalam tafsir bidadari yang dimaksud merupakan gadis-gadis perawan yang tersedia hanya untuk orang-orang yang senantiasa menahan hawa nafsunya saat di dunia sehingga balasannya berupa bidadari yang matanya tidak genit dan belum pernah disentuh sama sekali oleh kalangan manusia maupun jin[5].

Saudaraku seiman. Alangkah besarnya nikmat Allah ﷻ yang diberikan baik di dunia maupun di akhirat. Kesempatan yang dapat ditulis merupakan hanya sebagian kecil kenikmatan yang diberikan di surga nanti. Allah ﷻ Maha Luas karunia-Nya dan Allah ﷻ Maha Luas kasih sayang-Nya sehingga betapa ruginya kita dikala setelah melewati masa kehidupan ini kita tidak mendapatkan kenikmatan surga sedikitpun. Jangan harap saya menuliskan kenikmatan neraka karena tidak ada nikmatnya sama sekali masuk neraka. Semoga penulis dan pembaca bisa dipertemukan di surganya Allah ﷻ. Âmîn!

Penyusun:

Arviyan Wisnu Wijanarko

Alumni Ahwal Syakhshiyyah Fiai UII

Marâji’

[1] Buya Hamka. Tafsir Al-Azhar Jilid 9.Depok: Gema Insani. 2015 M. Cet.k-1. hal. 639.

[2] Buya Hamka. Tafsir Al-Azhar Jilid 10.Depok: Gema Insani. 2015 M. Cet.k-1. hal. 337.

[3] Nashih Nasrullah. Begini Gambaran Surga Yang Diabadikan Dalam Alquran. 2020 M. https://republika.co.id/berita/q96hrz320/begini-gambaran-surga-yang-diabadikan-dalam-alquran

[4] Muhammad Idrus Ramli. Akidah Ahlussunnah Wal-Jamaah, Penjelasan Sifat 50. Ponpes Al-Hujjah: Al-Hujjah Press. hal. 202-203

[5] Buya Hamka. Tafsir Al-Azhar Jilid 10.Depok: Gema Insani. 2015 M. Cet.k-1. hal. 616-620.

Mutiara Hikmah

Rasulullah ﷺ bersabda,

وَلَدُ آدَمَ كُلُّهُمْ تَحْتَ لِوَائِيْ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ، وَأَنَا أَوَّلُ مَنْ يُفتَحُ لَهُ بَابُ الَجنَّةِ

Dari Hudzaifah ia berkata, telah bersabda Rasulullah ﷺ, “Semua anak Adam di bawah benderaku/panjiku kelak di hari kiamat. Dan aku adalah orang yang pertama kali dibukakan pintu surga” (Shahîhul-Jâmi’ no. 6995)

Download Buletin klik disini

Peringatan Bagi Orang Taat Beribadah

Bismillāhi walhamdulillāhi wash shalātu was salāmu ‘alā rasūlillāhi

Pembaca yang semoga dirahmati oleh Allah ﷻ, ibadah yang kita lakukan belum tentu membawa masuk pelakunya ke surga-Nya melainkan karena rahmat Allah ﷻ lah kita dapat menikmati nikmatnya surga. Oleh karena itu tulisan ini akan berisi beberapa peringatan bagi orang yang taat beribadah agar jangan sampai dia terjerumus dalam ibadah yang sia-sia.

Peringatan Untuk Berilmu Sebelum Beramal

Para pembaca yang senantiasa dirahmati Allah ﷻ, hendaknya para ahli ibadah untuk tetap menuntut ilmu agar keilmuan yang dimiliki lebih mendalam dan senantiasa mendapatkan rahmat serta karunia Allah ﷻ dengan ditinggikan derajatnya, selain itu ilmu yang didapat hendaklah diamalkan supaya menjadi amalan jariyyah.

Lalu diwajibkan bagi orang-orang yang taat dan tekun beribadah sedangkan ilmu yang dimilikinya masih sangat dasar. Dapat diartikan di sini sebagai orang yang awam dalam beragama. Wajib atas dirinya menuntut ilmu-ilmu lahiriyah seperti ilmu bersuci, fiqih shalat, puasa, ilmu membaca Al-Quran serta yang lainnya. Apabila orang yang seperti ini mandek dalam menuntut ilmu maka bisa jadi kecelakaan atas dirinya. Ibadah yang dikerjakan bisa jadi kurang sempurna dan bahkan bisa saja tidak diterima oleh Allah ﷻ segala ibadah yang dia kerjakan.

Serta diwajibkan pula untuk menuntut ilmu mengenai keesaan Allah ﷻ, tentang iman, tentang Islam, dan yang lainnya sehingga kelak akan menjadi fondasi bagi dirinya untuk melawan keburukan dan membenarkan bahwa Allah ﷻ Dialah Tuhan Yang Maha Esa.

Dalam menuntut ilmu tersebut mewajibkan penggunaan akal demi mengilmui sesuatu dan output ilmu tersebut adalah beramal dengan baik atas ilmunya tersebut, karena akal menyempurnakan ilmu dan amal kita. Penggunaan akal harus diilhami dengan Al-Quran dan As-Sunnah, sebab ketika akal keluar dari jalur al-Quran dan as-Sunnah maka akal akan redup dan tersesat. Juga akal tidak boleh mendahului wahyu, karena ada beberapa wahyu al-Quran tidak bisa diterima di akal dan itu harus diterima.[1]

Hal-hal dalam menuntut ilmu tersebut harus didahulukan daripada beribadah karena fondasi untuk beragama adalah berilmu dahulu. Apabila beragama tanpa berilmu maka mudahlah dia tergoda dengan kenikmatan dunia dan seisinya sehingga ibadah yang dia lakukan semata-mata hanya mencari keridhaan dari makhluk lain dan itu dinamakan riya. Ketika riya sudah mendarah daging dalam setiap gerakan ibadah niscaya semua amal ibadahnya tidak akan diterima oleh Allah ﷻ, riya merupakan sebuah kesyirikan walaupun tergolong syirik kecil akan tetapi dapat diingat bahwa Allah ﷻ mengampuni semua dosa kecuali dosa apabila dia berbuat syirik.

Para pembaca yang semoga dirahmati Allah ﷻ semoga ibadah kita yang senantiasa kita perbuat semoga selalu dilandasi dengan ilmu Allah ﷻ sehingga tidak terjerumus kedalam hal yang buruk.

Sebab di zaman yang ilmu sudah bisa dicapai dengan internet ini masih ada orang-orang yang beribadah tanpa berilmu sehingga keluar dari ibadah yang disyariatkan. Sedangkan kita harus ingat bahwa kaidah asal dalam beribadah adalah “al-uṣul fī ‘ibādati at-taḥrīm” yaitu asal ibadah itu haram hingga terdapat dalil yang mensyari’atkannya. Juga banyak dari kita yang ilmu bisa dicapai dengan internet ini masih saja tidak mau menuntut ilmu agama. Padahal apabila shalat bacaan yang dibaca masih banyak salahnya.

Peringatan Dalam Mencari Rezeki

Pembaca yang semoga dirahmati oleh Allah ﷻ.Hendaknya setiap orang dari kaum muslimin yang taat beribadah senantiasa memeriksa asal hartanya yang dia dapat, apakah dari pekerjaan yang halal ataukan yang haram. Apabila dia dapat dari harta yang haram maka hendaklah tinggalkan karena itu akan menjadi sebuah bencana dan kecelakaan. “Innamā yataqabbalu llāhu min al-muttaqīn”(Q.S. al-Maidah [5]: 27) karena Allah ﷻ hanya menerima dari orang-orang yang bertakwa dan senantiasa menjaga diri dari apa yang tidak halal apabila dia memakan sesuatu untuk masuk kedalam perutnya.[2]

Hal-hal yang dari makanan tidak halal atau apa yang dipakai dapat dari yang tidak halal maka akan mempengaruhi amal shalilnya. Karena apa yang kita kenakan dan apa yang kita makan menjadi penyebab amal kita diterima dan doa-doa yang kita panjatkan kepada Allah ﷻ dapat memperkenankan doa kita.

Harta-harta yang haram tersebut ada yang secara zatnya haram, seperti daging babi, khamr, dan lainnya. Ada harta benda yang menyangkut hak orang lain seperti hasil mencuri. Dan ada benda haram yang memang berasal dari pekerjaannya, seperti harta yang didapat dari riba, dari berdagang sesuatu yang haram.[3] Maka hal-hal demikian dilarang untuk dijadikan alat kita untuk beramal shalih, karena dijamin akan sia-sia saja. Mungkin misalnya koruptor yang berfikir ingin membangun masjid karena dia fikir hartanya harus dibersihkan dari kotoran pekerjaan korupnya. Maka masjidnya jadi tetapi dia tetap tidak mendapatkan apa-apa dari masjid itu bahkan bisa jadi mendapat dosa jariyyah.

Peringatan Bagi yang Sombong

Pembaca yang semoga dirahmati oleh Allah ﷻ. Dalam kitab Al-Hikam mengatakan bahwa maksiat yang melahirkan rasa hina dan kekurangan lebih baik dari pada ketaatan yang melahirkan rasa bangga dan kesombongan. Hal ini bukan ungkapan biasa yang dilontarkan penulis kitab, akan tetapi memiliki sebuah makna yang sangat dalam. Allah ﷻ melihat sebuah ketulusan dalam beribadah bukan banyaknya ibadah banyak tapi akhirnya untuk sombong.

Seperti yang disampaikan sebelumnya bahwa apa saja ibadah yang dilaksanakan atas dasar yang lain selain Allah ﷻ maka ibadahnya tertolak dan itu merupakan perbuatan riya sehingga bisa dibilang bahwa orang yang ibadahnya banyak karena riya adalah orang yang musyrik.

Apabila ibadah yang kita lakukan menuntut kita untuk sombong, hendaknya kita cegah. Belajarlah dari ibadah puasa, ibadah yang dilaksanakan kepada Allah ﷻ dan hanya Allah  dan dirinya sajalah yang tahu. Ibadah puasa merupakan ibadah pasif bukan ibadah aktif, yang artinya tidak membutuhkan gerakan yang bisa terlihat mencolok. Sebisa mungkin ibadah diniatkan lillāhi ta’alā bukan karena lilinsān.[4]

Muhasabah Diri

Ibadah yang berlebihan pada dasarnya tidak baik karena Rasulullah ﷺ menganjurkan ibadah sesuai dengan kemampuan diri. Apalagi ibadah yang sia-sia apabila dilakukan seperti hal yang telah disebutkan sebelumnya. Selain itu ibadah yang terlalu banyak namun tidak konsisten juga tidak dianjurkan, melainkan Allah ﷻ lebih menyukai ibadah yang secara konsisten dilakukan “Amal yang paling disukai oleh Allahﷻ adalah yang terus menerus (konsisten) walaupun sedikit” selain itu ibadah yang dilakukan secara sempurna juga lebih disukai oleh Allah ﷻ. Cukup bagi kami Allah dan Dialah penolong.

Penyusun:

Uyu Fauziah

Alumni FIAI UII

Marâji’

[1] Brilly El-Rasheed. Berguru Kepada Jibril. Lamongan: Quantum Fiqih Publishing. 2017 M. Cet. k-1. hal. 278.

[2]  Allamah Sayyid Abdullah bin Alwi Al-Haddad. Peringatan Bagi 8 Kelompok Manusia. Terj. Husin Nabil. Jakarta: Hikmah. 2011. Cet. k-1. hal. 238.

[3] Muhammad Abduh Tausikal. Ibadah dan Sedekah Dengan Harta Haram. https://rumaysho.com/3043-ibadah-dan-sedekah-dengan-harta-haram.html.

[4]  Maman Suherman. #Hidup Kadang Begitu. Jakarta: Noura Books. 2020. Cet. k-1.hal. 62.

Mutiara Hikmah

Rasulullah ﷺ bersabda,

ثَلاَثُ مُهْلِكَاتٍ : شُحٌّ مُطَاعٌ وَهَوًى مُتَّبَعٌ وَإعْجَابُ الْمَرْءِ بِنَفْسِهِ

Tiga perkara yang membinasakan: rasa pelit yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti dan ujubnya seseorang terhadap dirinya sendiri” (H.R. At-Thabrani dalam Mu’jam Al-Ausath)

Download Buletin klik disini

Belajar Dari Pohon Pisang

Bismillâhi walhamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Pembaca buletin al-Rasikh yang dirahmati Allah ﷻ, Pohon pisang bukanlah suatu jenis pohon yang asing dan langka bagi kita. Tanaman yang tumbuh subur di iklim tropis ini dapat menghasilkan buah yang kaya gizi, daun dan pelepah yang multifungsi, serta batang dan akarnya yang juga memiliki segudang manfaat bagi kita. Pohon berbatang lunak dan berdaun lebar ini masih dapat kita temui di sekeliling kita. Mungkin untuk keberadaannya saat ini  mulai tersaingi dengan keberadaan “pohon” lain yang berbatang beton. Tapi, pohon ini selalu bisa tumbuh dimanapun berada, dalam musim dan cuaca yang berbeda sekalipun.

Hampir seluruh anggota tubuh pohon pisang dapat dimanfaatkan oleh manusia. Mulai dari akarnya digunakan untuk obat sakit perut, penawar racun, pereda demam. Batangnya yang dipercaya ampuh dalam mengontrol tekanan darah tinggi maupun kadar kolesterol, sampai-sampai batangnya ini telah diperjual belikan di luar negeri dengan harga yang cukup fantastis. Serta daunnya digunakan sebagai pembungkus makanan yang bisa membuat makanan tersebut memiliki cita rasa tersendiri. Adapun buahnya yang lezat dimakan itu ternyata ia termasuk dalam kategori buah surga, lho. Simaklah ayat berikut,

“Pisang” Buah Surga

Allah ﷻ berfirman, “Dan golongan kanan, alangkah mulianya golongan kanan itu. (Mereka) berada diantara pohon bidara yang tidak berduri, dan pohon pisang yang bersusun-susun (buahnya), dan naungan yang terbentang luas, dan air yang mengalir terus menerus, dan buah-buahan yang banyak, yang tidak berhenti berbuah dan tidak terlarang mengambilnya.” (Q.S. al-Waqi’ah [56]: 27-33)

Ayat diatas menyebutkan bahwa pisang adalah salah satu buah-buahan surga. Setiap orang setidaknya pernah mengkonsumsi buah yang bernama latin Musa ini. Walaupun sudah sedemikian akrab dengan buah pisang, bisa jadi sebagian masyarakat banyak yang belum mengetahui multimanfaat dari tanaman ini. Gedang (bahasa Jawa), buah yang paling banyak dikonsumsi di dunia merupakan buah yang memiliki gizi sangat tinggi. Satu buah pisang ukuran sedang (sekitar 126 gram) mengandung 110 kalori, 30 gram karbohidrat, 1 gram protein, serta menyediakan berbagai vitamin dan mineral: Vitamin B6 (0.5 mg), Mangan (0.3 mg), Vitamin C (9 mg), Kalium (450 mg), Serat (3 g), Protein (1 g), Folat (25.0 mcg), Niacin (0.8 mg), Magnesium (34 mg), Riboflavin (0.1 mg), Besi (0.3 mg), dan Vitamin A (81 IU).[1] Yuk, jangan lupa konsumsi buah pisang!

Tak Mengenal Masa dalam Beramal Shalih

Begitulah seharusnya setiap kita, dapat memberikan manfaat bagi orang lain dengan segenap apa yang kita miliki. Beramal dan terus beramal dengan segala kemampuan dan talenta yang kita punya sekecil apapun itu. Sebagaimana pohon pisang senantiasa dapat berbuah tanpa mengenal musim. Karena memang ia tak kenal musim dalam beramal. Tak mengenal masa dalam berbuat kebaikan. Memang seharusnya kontribusi tidak hanya dapat kita berikan hanya pada saat-saat tertentu di kala kita menginginkannya. Karena komunitas dalam suatu kebermanfaatan akan senantiasa dapat menjaga stabilitas iman. Sehingga kita tidak mudah tumbang diterpa “hama” yang selalu menggerogoti keikhlasan.

Untuk itu, pohon pisang menyimpan cadangan airnya pada musim hujan dan menggunakannya pada musim kemarau. Kita pun demikian, harus menyiapkan bekal iman dan amal shalih untuk menghadapi dunia yang semakin tak tentu arahnya agar kelak kita bisa selamat mengarungi bahtera kehidupan didalamnya hingga ke akhirat pula.

Pohon pisang dalam habitat aslinya selalu hidup berkelompok. Jika kita menemukan pohon pisang yang tumbuh menyendiri, tentulah karena itu merupakan ulah manusia. Karena apabila pohon pisang itu dibiarkan terus tumbuh, ia akan membentuk suatu komunitas pohon pisang juga. Begitupun kita, untuk dapat bermanfaat dan berkontribusi bagi umat dan diri kita sendiri, kita membutuhkan teman sebagai penguat, teman sebagai pengingat. Kita perlu orang lain untuk memacu dan memicu optimalisasi potensi kebermanfaatan kita. Hal itu juga membuktikan bahwa kita adalah makhluk sosial yang pasti membutuhkan bantuan orang lain dan tidak bisa hidup secara individual.

Pohon pisang pada umumnya takkan mati sebelum ia berbuah. Jika belum menghasilkan bunga atau buah, pohon pisang akan tetap hidup. Jika kita memotong pohon pisang sebelum pohon ini berbunga, pucuk baru akan tumbuh dari bagian yang terpotong dan melanjutkan pertumbuhan pohon pisang itu. Berapa kalipun dipotong, pohon pisang itu akan tetap bertahan hidup, lho. Tapi, bila sudah berbunga dan berbuah, pohon pisang itu akan mati dengan sendirinya. Dan dalam reproduksinya, ia akan menghasilkan tunas (anak pohon pisang) yang tumbuh dari bonggol induknya. Ketika induknya mati, tunas inilah yang nantinya akan menggantikan posisinya.

Sebelum ajal menjemput kita, sebelum akhirnya kita harus pergi meninggalkan dunia ini, sudahkah kita menyiapkan generasi berkualitas yang dapat meneruskan keberlangsungan kontribusi kita dalam menegakkan kalimat Allah ﷻ? Sudahkah kita tinggalkan kader-kader unggul yang siap berjibaku dan terus beramal dan memberikan kebermanfaatan? Tanyakan pada diri kita sendiri? Jika belum, siapkanlah!

Hidup terlalu sempit kalau hanya memikirkan diri kita sendiri. Hidup ini terlalu singkat jika tanpa kebermanfaatan kita terhadap orang lain. Untuk itu, sebenarnya kita tidak perlu menjadi sebesar pohon durian, sekuat pohon jati, ataupun setinggi pohon pinang untuk memberikan manfaat. Yang terpenting adalah kontribusi nyata. Biarlah Allah ﷻ yang menilai dan memberi balasan.

Rasulullah ﷺ pernah bersabda, Khairu an-nâsi anfa’uhum li an-nâsiSebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia” (H.R. Ahmad, athThabrani, ad-Daruqutni)[2]

Kamukah Sebaik-Baik Manusia Itu? Mari Kita Buktikan!

Saudaraku, menjadi pribadi yang bermanfaat adalah salah satu karakter yang harus dimiliki oleh seorang muslim. Setiap muslim diperintahkan untuk bermanfaat bagi orang lain. Adapun dalam memberikan manfaat kepada orang lain sejatinya manfaat itu akan kembali untuk kebaikan diri kita sendiri. Sebagaimana Allah ﷻ berfirman, In ahsantum ahsantum li-anfusikumJika kalian berbuat baik, sesungguhnya kalian berbuat kebaikan untuk diri kalian sendiri” (Q.S. al-Isrâ’ [17]: 77)

Dari pohon pisang inilah kita tau bahwa tidaklah Allah ﷺ itu menciptakan segala sesuatu sia-sia. Bahkan hewan sekecil lalat pun mampu membuat manusia terkeji berbadan kekar pada zamannya, yakni raja Namrud, meronta-ronta kesakitan hingga ia menjemput ajalnya. Dengan begitu, setiap apa yang Allah ﷻ ciptakan itu pasti ada hikmah yang dapat kita jadikan ibrah dalam kehidupan sehari-hari. Tugas kita sebagai insan ulil albab hendaknya kita mentadabburi dari setiap ciptaan-Nya dengan harapan agar semakinbertambahpula keimanan sertailmu kita.

Ûshîkum wa nafsi bitaqwâ Allâhi ‘azza wa jalla.[]

Penyusun:

Ulfa Indriani­­­­­

PAI UII 2016

Marâji’

[1] Dayat Suryana. Manfaat Buah. Bandung: Dayat Suryana Independen. 2018. hal.556

[2] Hadits ini dihasankan oleh al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 3289

Mutiara Hikmah

Allah ﷻ berfirman,

وَلاَ تَنسَوُاْ الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ

Jangan lupakan untuk saling memberi kemudahan di antara kalian.

(Q.S. al-Baqarah [2]: 237)

Download Buletin klik disini

Ketenangan Membuahkan Kemenangan

Bismillâhi walhamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Pembaca buletin al-Rasikh yang dirahmati Allah ﷻ, pernahkah kau merasakan, bagaimana perubahan emosimu ketika dihadapkan oleh situasi yang sulit? Masih banyak amanah dan tugas yang belum terselesaikan sedangkan batas waktu sudah mendesakmu agar selesai tepat waktu. Adapun momen lain, di mana dirimu membutuhkan pencerahan dan jawaban atas suatu masalah. Rasanya, sudah tak mampu memaksa diri untuk mengemas solusi karena perasaan cemas sudah lebih dulu menguasai diri.

Begitulah ritme kehidupan manusia, hari-harinya tak pernah kosong dari masalah. Selalu ada hal baru yang membutuhkan penyelesaian dan pemecahan. Saat proses menghilangkan kegelisahan, manusia kerap kali mengalami dilematis kecerdasan emosi. Ada manusia yang memang sudah terampil dalam mengelola emosi, adapula yang masih menjadi pemula. Dalam Islam, keterampilan ini sangat mungkin untuk dilatih.

Level Emosi Manusia

Level emosi manusia, menurut penjelasan dari dr. Aisyah Dahlan terdiri dari tiga bagian, yaitu: 1) Nafsu-l-Lawwamah; 2) Nafsul Amarah; dan 3) Nafsul Muthmainnah. Emosi yang ada pada bagian nafsu-l-lawwamah adalah apatis, sedih, dan takut. Kemudian, pada bagian nafsul amarah terdapat emosi berupa nafsu, marah, dan sombong. Sedangkan pada bagian nafsul muthmainnah,  terdapat emosi positif yaitu semangat, menerima, damai, dan yang paling tertinggi adalah pencerahan.

Bagian pencerahan ini hanya bisa diperoleh pada saat manusia tekun untuk melakukan self healing dengan cara merutinkan ibadah seperti shalat, mengaji dan tadabur al-Qur’an, puasa, dan juga selalu mencharger diri di lingkungan yang mengkaji Islam untuk mempertebal keimanan. Manusia yang berada pada level nafsul muthmainnah, ia akan selalu mendapat ketenangan dalam mengambil keputusan dan bertindak. Hari-harinya selalu disinari oleh nur, cahaya keimanan yang membuatnya menjadi pribadi yang bersih dan cemerlang.

Islam adalah Agama yang Sempurna

Seluruh aspek kehidupan manusia di dalam Islam, telah diatur dengan sangat rapi dan sempurna. Sampai setingkat cara untuk menstabilkan emosi di dalamnya juga dibahas. Al-Qur’an sebagai pedoman umat Islam, juga telah menyuguhkan panduan hidup paling komplit sepanjang sejarah. Kekuatan al-Qur’an dalam memberi nasehat tak tertandingi oleh literatur apapun. Masih ingatkah dengan ayat al-Qur’an yang memilki arti berikut?

“Dan berdzikirlah pada Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung” (Q.S. al-Jumu’ah [62]: 10).

“Laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Q.S. al-Ahzab [33]: 35).

“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan berdzikir (mengingat) Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’du [13]: 28).

Shalat dan Sabar Sebagai Penolong

Rasulullah ﷺ sebagai figur paling utama telah mewariskan pelajaran berharga bagi umatnya. Setiap merasa gelisah dan resah karena masalah, Beliau selalu menjadikan shalat dan sabar sebagai penolong. Kedua amalan ini mampu menjadi jembatan untuk melatih kestabilan emosi dalam menghadapi masalah. Selain itu, shalat dan sabar juga mampu memupuk rasa optimis serta respon positif, Rasulullah ﷺ sendiri sudah membuktikannya.  Mengapa shalat dan mengapa harus sabar? Ya, karena kedua hal ini adalah pintu terdekat untuk menggapai petunjuk terbaik dari Allah ﷻ.

Shalat adalah puncak dari dzikir, sedangkan sabar dengan berpuasa dan menjauhkan diri dari maksiat juga merupakan bagian dari ikhtiar yang bisa menghadirkan ketenangan. Setiap kalimat dzikir akan membuahkan ketenangan yang hakiki. Meskipun pada awalnya masalah yang dihadapi terlihat sangat rumit dan sulit, namun dengan terus menghidupkan hati melalui dzikir, ketenangan dalam mencari solusi akan jauh lebih mudah didapatkan. Allah ﷺ berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Q.S. al-Baqarah [2]:155)

Lalu, dari sini timbul sebuah pertanyaan. “Saya sudah melaksanakan shalat dan selalu membiasakan diri untuk berdzikir, namun mengapa sampai saat ini rasa tenang masih sangat sulit untuk diraih? Mengapa shalat dan dzikir yang selama ini diamalkan belum membuahkan kemudahan dan keringanan dalam menyuarakan kebaikan?”. Jawabannya sederhana, hanya shalat dan dzikir yang benar, yang akan membuat hati manusia menjadi bersinar. Namun sebaliknya, apabila pelaksanaan shalat dan dzikir masih dianggap sebagai permainan, maka keduanya sama sekali tidak akan membuahkan kebermanfaatan.

Khusyu’

Allah ﷻ juga berfirman, “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali orang-orang yang khusyu.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 45)

Khusyu’ adalah sikap berserah dan kebulatan hati. Khusyu’ ada di dalam dan  merupakan manifestasi dari niat yang sempurna. Allah ﷻ sebagai Dzat yang paling Teliti, sangat mudah bagi-Nya untuk melihat hal-hal yang tak bisa dijangkau oleh indera manusia. Sedikit saja ada yang kurang beres dari hati hamba-Nya, hal ini akan terlihat jelas oleh Allah ﷻ. Jadi, rasanya malu apabila kesungguhan kita untuk beribadah tidak meningkat, sementara nikmat yang telah Allah ﷻ beri selalu berlipat. Salah satu syarat untuk bisa meraih predikat ketenangan adalah meningkatkan kualitas shalat. Apabila shalat lebih diutamakan daripada aktivitas dunia lain seperti bekerja, berbelanja, bermain, bersenang-senang, menonton, dan lain sebagainya maka saat itu juga rasa tenang yang diturunkan oleh Allah ﷻ akan jauh lebih mudah meresap ke dalam diri kita.

Melalui catatan ini, kita bisa menyimpulkan bahwa resep menjadi seorang pemenang bagi seorang muslim sangatlah mudah. Allah ﷻ sudah menghamparkan petunjuk melalui ayat qauliyah, kauniyah, dan insaniyah-Nya, yang harus kita lakukan adalah senantiasa berusaha untuk meningkatkan kualitas serta kuantitas ibadah di mata Allah ﷻ agar menjadi wasilah kemudahan dalam meraih dan mengimplementasikan petunjuk yang telah Allah ﷻ berikan.

Setiap ketenangan hanya dapat dihadirkan melalui perjuangan dan untuk bisa meraih kemenangan kita perlu menggiatkan seluruh amalan yang dicintai Allah ﷻ. Bagi seorang muslim, seluruh urusannya bernilai ibadah, sekecil apapun itu. Seperti makan dengan yang halal dan thayyib, membantu orang lain untuk meringankan kesulitannya, tersenyum, hingga hanya sebatas menciptakan ide kebaikan kecil, di mata Allah ﷻ ini juga dinilai sebagai ibadah dengan syarat harus disertai dengan niat yang  tulus dan murni karena-Nya. Untuk itu, tidak ada lagi rasa gelisah dan takut untuk memulai kebaikan sekecil apapun, ingat bahwa kita memiliki nyala iman yang membuat status kita lebih tinggi di hadapan Allah ﷻ daripada orang-orang yang tidak memiliki iman.

Terakhir, ada satu ayat yang harus menjadi motivasi kita untuk menjadi muslim pemenang. Allah ﷻ berfirman, “Janganlah kamu lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, karena kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (Q.S. Ali Imrân [3]: 139).

Marâji’

Yasmin Mogahed. Renungan Cinta dan Kebahagiaan. Bandung: Mizan Media Utama. 2017.

Penyusun:

Husna Amalia Rahmawati

Pendidikan Agama Islam 2017

NIM: 17422178

Mutiara Hikmah

Dalam hadits Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ bersabda,

وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِى بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ

Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allah membaca Kitabullah dan saling mengajarkan satu dan lainnya melainkan akan turun kepada mereka sakinah (ketenangan), akan dinaungi rahmat, akan dikeliling para malaikat dan Allah akan menyebut-nyebut mereka di sisi makhluk yang dimuliakan di sisi-Nya.” (H.R. Muslim, no. 2699)

Download Buletin klik disini

Peran Iman Bagi Kehidupan Manusia

Peran Iman Bagi Kehidupan Manusia

Bismillâhi walhamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,  

Pengantar

Iman kepada Allah ﷻ adalah membenarkan dengan hati bahwa Allah ﷻ itu benar-benar ada dengan segala nama dan sifat keagungan, dan kesempurnaannya, kemudian diakui dengan lisan, serta dibuktikan dengan amal perbuatan secara nyata. Jadi, seseorang dapat di katakan sebagai seorang mukmin (orang yang beriman) secara sempurna apabila telah memenuhi ketiga unsur keimanan di atas, Sebab, ketiga unsur keimanan tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan.

Beriman kepada Allah ﷻ haruslah selalu dipegang oleh setiap orang karena iman tersebut akan menjadi  landasan jelas seseorang  dalam mengerjakan segala aktivitasnya serta menjadi penguat jiwa pada saat mengahadapi masalah sebagaimana firman Allah ﷻ, “Wahai orang-orang yang beriman. Tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya (Muhammad) dan kepada Kitab (al-Qur’an) yang diturunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang diturunkan sebelumnya. Dan barang siapa ingkar kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sungguh orang itu telah tersesat sangat jauh.”(Q.S. an-Nisâ’ [4]: 136).[1]

Peran Iman Dalam Kehidupan

Iman memegang peranan penting dalam kehidupan, tanpa iman kehidupan manusia seperti kapas yang diterbangkan angin kian kemari. Orang yang tidak beriman hidupnya akan kacau, tidak terarah, dihanyutkan oleh hawa nafsu tanpa ada tujuan yang hakiki. Iman memperbaiki kehidupan manusia yang menggunakan hukum rimba menjadi manusia yang mengetahui bahwa kehidupan mempunyai tujuan.

Peran iman bagaikan cahaya yang menerangi hati, jiwa dan jantung manusia. Kehidupan orang beriman selalu taat kepada perintah Allah ﷻ dan apabila mereka menyimpang atau melanggar peraturan yang telah Allah ﷻ tetapkan maka iman dihatinya akan mengajak dan mengarahkan mereka untuk kembali taat agar tidak terjerumus kedalam kemaksiatan dan perbuatan buruk, seperti itu peran iman dalam kehidupan.

Biologi “Iman”

Dr. Muhammad Mahmud Abdul Qadir dalam bukunya yang telah diterjemahkan oleh Rusydi Malik, dengan judul “Biologi Iman” mengatakan bahwa orang beriman akan selalu dilindungi oleh Allah ﷻ dalam segala gerak-gerik, sikap dan tindak tanduknya, hal itulah yang menjadikan orang beriman selalu merasa tenang, nyaman dan jauh dari rasa stres, takut, pesimis dan  cemas sehingga orang beriman akan terhindar dari berbagai macam penyakit seperti stroke, hipertensi, diabtes dan penyakit dalam lainnya.

Dari segi ilmu biologi, tindakan manusia diatur oleh hormon yang ada dalam tubuhnya. Fungsi biologis tubuh manusia mukmin dipengaruhi oleh imannya, Imannyalah yang  mengatur hormon, selanjutnya membentuk gerak tingkah laku dan akhlak manusia. Kehidupan orang beriman selalu penuh dengan rasa berserah diri kepada Alla ﷻ. Dengan begitu ketenangan dalam hati menjadi mantap, meteran hidup berada di daerah aman, simponi hidup berjalan harmonis. Keseimbangan hormon tetap netral,  keserasian tubuh berjalan dengan wajar. Segala perasaan sedih dan tekanan jiwa berganti dengan kesenangan dan kegembiraan disebabkan mereka percaya bahwa dengan izin dan bantuan Allah ﷻ bagaimanapun masalah yang mereka hadapi pasti akan selesai.[2]

Iman yang kuat haruslah dimiliki oleh semua masyarakat, terkhusus para pemuda. Para pemuda dengan fisik yang masih sehat, kuat, penuh semangat, daya pikir yang masih segar, ditambah dengan kuatnya iman akan menjadikan mereka dapat menimba ilmu dan keterampilan sebanyak-banyaknya, mudah menerima pemikiran dan ide baru sehingga dengan begitu para pemuda akan  menjadi pelopor perubahan bangsa dan negara untuk menjadi lebih baik.

Para pemuda harus menyadari peran mereka sebagai agent of  change, moral force and sosial control selain itu keberadaan para pemuda dengan karakter yang kuat untuk membangun bangsa dan negaranya, memiliki kepribadian tinggi, semangat nasionalisme, berjiwa saing, mampu memahami pengetahuan dan teknologi untuk bersaing secara global akan menjadikan mereka generasi penerus dan pewaris terbaik bagi bangsa dan negara serta menjadi tolak ukur kualitas suatu negara di masa depan. Sebagai agent of  change, moral force and sosial control para pemuda tidak cukup hanya memiliki kemampuan memahami pengetahuan dan teknologi saja, namun mereka harus mampu meningkatkan kualitas iman dan takwa (Imtak) kemudian menjadikan keduanya sebagai kekuatan penguat diri agar mampu mengontrol diri dan tidak terhempas oleh arus perkembangan zaman.[3]

Banyak manusia di zaman ini berfikiran bahwa dunia dengan segala isinya seperti harta, tahta dan wanita merupakan segalanya bagi mereka, sehingga tanpa terasa mereka diperbudak oleh dunia sepanjang hidupnya, disamping itu ada kekhawatiran dan ketakutan yang mereka rasakan bahwa mereka akan mati nantinya dan meninggalkan segala yang mereka miliki. Disinilah peran penting iman bagi kehidupan manusia, iman akan menyadarkan manusia bahwa hakikat kehidupan dunia ini sementara oleh karena itu harus banyak mempersiapkan bekal yang akan dibawa saat meninggal nanti untuk kembali kealam yang abadi yaitu akhirat. Jadi iman itu sangat penting bagi manusia  khususnya bagi pemeluk agama islam agar mendekatkan kita diri kepada Allah ﷻ dan menjadi hamba yang beriman dan bertaqwa.

Cara Meningkatkan Iman

Menurut al-Qur’an, iman bukan semata-mata suatu keyakinan akan benarnya ajaran yang diberikan, melainkan iman itu sebenarnya menerima suatu ajaran sebagai landasan untuk melakukan perbuatan. Adanya iman tentu harus terus dipertahankan dan ditingkatkan, adapun cara meningkatkan iman adalah dengan meningkatkan ilmu tentang mengenal Allah ﷻ yang  mencakup 4 perkara:

  1. Beriman kepada adanya Allah ﷻ
  2. Beriman kepada rububiyah Allah ﷻ, yaitu Dia-lah yang satu-satunya yang menyandang hak rububiyah (menciptakan, mengatur dan memberi rezeki kepada seluruh mahluk-Nya)
  3. Beriman kepada uluhiyah-Nya, yakni Dialah satu-satunya yang berhak diibadahi
  4. Beriman kepada asma dan sifat-Nya (nama dan sifat Allah ﷻ)

Semakin tinggi ilmu pengetahuan seseorang terhadap Allah ﷻ dan kekuasaan-Nya, maka semakin bertambah tinggi iman dan pengagungan serta takutnya kepada Allah ﷻ, merenungkan ciptaan Allah ﷻ, keindahannya, keanekaragamannya, kesempurnaannya, senantiasa meningkatkan ketaqwaan dan meninggalkan maksiat kepada-Nya.

Dengan terus meningkatnya iman akan memberikan pengaruh besar bagi kehidupan manusia seperti menimbulkan ketenangan jiwa, seseorang dengan iman yang kuat pasti dalam menjalani hidupnya akan selalu diliputi rasa tenang dan nyaman semua itu karena dia percaya bahwa apapun masalah yang dihadapinya pasti akan selesai dengan izin dan bantuan Allah ﷻ.

Kemudian dengan meningkatnya iman maka rasa kasih sayang kita kepada sesama juga akan meningkat dengan begitu akan memperkuat tali persaudaraan, seseorang dengan iman kuat akan selalu menggantungkan hidupnya kepada Allah ﷻ semata sehingga tidak akan pernah bergantung dengan sesama manusia lainnya, iman yang dimiliki seseorang tanpa disadari dapat menjadikannya kuat dalam menjalani hidupnya, baik ketika mencari nafkah, mengejar impian dan amalan baik lainnya karena muncul kepercayaan bahwa apa yang dilakukannya merupakan perbuatan yang benar bahkan dapat membantu orang lain. Wallâhu A’lam bish shawwâb.[]

 

Penyusun:

Ghifari Ahmad Dzaky

Marâji’

[1] Azqiara, ‘Pengertian Iman, Islam Dan Ihsan’, IDpengertian.Com (2020)

[2] Ari Cahya Pujianto, ‘Pentingnya Iman Dalam Kehidupan Sehari-Hari’, Islampos.Com (November 2017)

[3] Zainal Abidin, ‘Peran Iman Dan Takwa Dalam Pembangunan Kepemudaan’, Radarsulteng.id (Palu, 2020)

Mutiara Hikmah

Nabi ﷺ bersabda,

لَا تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا، وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ

Janganlah engkau remehkan suatu kebajikan sedikitpun, walaupun engkau bertemu dengan saudaramu dengan wajah yang ceria/bermanis muka”. (H.R. Muslim no. 2626)

Download Buletin klik disini