Dikit-Dikit Haram, Terus Apa Yang Halal ?

Dikit-Dikit Haram, Terus Apa Yang Halal ?

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Membaca judul buletin ini, mungkin ada sebagian dari kita yang teringat sesuatu, entah mungkin dahulu kita sendiri yang berkomentar seperti itu, atau kita mendapati orang lain berkomentar seperti itu, yakni,”dikit dikit kok haram, semua haram, yang halal apa?!”. Benarkah hal ini? Dari sini penulis teringat penjelasan singkat mengenai hal ini dari muqaddimah risalah Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid hafizhahullâh, Muharramat Istahana Biha an-Nas Yajib al-Hadzaru Minha (judul bahasa Indonesia Dosa-Dosa yang Dianggap Biasa).

Jauhilah Yang Haram

Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid hafizhahullâh berkata setelah mengucap khutbatul hajah, ”Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan beberapa kewajiban yang tidak boleh diabaikan, memberi beberapa ketentuan yang tidak boleh dilampaui, dan mengharamkan beberapa hal yang tidak boleh dilanggar. Nabi ` bersabda, ”Apa yang dihalalkan oleh Allah dalam kitab-Nya, maka itulah yang halal, dan apa yang diharamkan-Nya, maka itulah yang haram, sedangkan apa yang didiamkan-Nya, maka itu adalah yang dimaafkan, maka terimalah pemafaan dari Allah. Sesungguhnya Allah tidak pernah lupa.’ Kemudian beliau ` membaca ayat,’Dan tidaklah Tuhanmu lupa.’ (Q.S. Maryam [19]: 61).”(H.R. al-Hakim, dihasankan oleh al-Albani).

Perkara-perkara yang diharamkan adalah ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh Allah ﷻ. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ”Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya.”(Q.S. al-Baqarah [2]: 187). Menjauhi hal-hal yang diharamkan hukumnya wajib, hal itu berdasarkan sabda Rasulullah ` ”Apa yang aku larang atas kalian, maka jauhilah ia, dan apa yang aku perintahkan pada kalian, maka lakukanlah daripadanya semampumu.” (H.R. Muslim).

Sering kita saksikan, sebagian para penurut hawa nafsu, orang-orang yang lemah jiwa dan sedikit ilmunya, manakala mendengar hal-hal yang diharamkan secara berturut-turut, ia berkeluh kesah sambil berujar,”Segalanya haram, tak ada sesuatupun, kecuali kamu mengaharamkannya. Kamu telah menyuramkan kehidupan kami, menyempitkan dada kami, tidak ada yang kamu miliki, selain haram dan mengharamkan. Agama ini mudah, persoalannya tak sesempit itu dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Untuk menjawab ucapan mereka, kita katakan, ”Sesungguhnya Allah  menetapkan hukum menurut kehendak-Nya, tidak ada yang dapat menolak ketetapan-Nya. Allah Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui, maka Dia menghalalkan apa yang Dia kehendaki atau mengharamkan apa yang dikehendaki-Nya pula, dan diantara prinsip kehambaan kita kepada Allah  adalah hendaknya kita ridha dengan apa yang ditetapkan oleh-Nya, pasrah dan berserah diri kepada-Nya secara total.”

Hukum-hukum Allah ﷻ berdasarkan ilmu, hikmah, dan keadilan-Nya, bukan berdasarkan kesia-siaan dan permainan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ”Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (al-Qur’an), sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat mengubah kalimat-kalimat-Nya dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. al-An’am [6]: 115).

Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan kepada kita kaidah halal-haram dalam firman-Nya, ”Dan (Allah) menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk.” (Q.S. al-A’raf [7]: 157). Maka yang baik-baik adalah halal dan yang buruk-buruk adalah haram.

Yang Haram Sudah Ditentukan

Tak seorangpun boleh berbicara tentang halal-haram, kecuali para ahli yang mengetahuinya, berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah, Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi peringatan keras kepada orang yang menghalalkan dan mengharamkan sesuatu tanpa ilmu pengetahuan, sebagaimana ditegaskan firman-Nya, ”Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta,’ini halal dan ini haram,’ untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah.” (Q.S. an-Nahl [16]: 116).

Hal-hal yang diharamkan secara jelas terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Seperti dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, ”Katakanlah,’Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu janganlah kamu menyekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapak, dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan!” (Q.S. al-An’am [6]: 151).

Dalam as-Sunnah juga disebutkan beberapa hal yang diharamkan, sebagaimana sabda Rasulullah `, ”Sesungguhnya Allah mengharamkan penjualan khamr (minuman keras), bangkai, babi, dan patung-patung.” (H.R. Abu Dawud; Shahih Abu Dawudno. 977). Dan sabda Rasulullah `, ”Sesungguhnya jika Allah mengharamkan sesuatu, Dia mengharamkan pula harga penjualannya.” (H.R. ad-Daruquthni).

Dalam sebagian nash terkadang disebutkan pula beberapa jenis yang diharamkan, seperti makanan yang dirincikan Allah dalam firman-Nya l, ”Diharamkan bagimu memakan bangkai, darah, daging babi, daging hewan yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukuli, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan diharamkan bagimu yang disembelih untuk berhala. Dan diharamkan pula mengundi nasih dengan anak panah.” (Q.S. al-Mâ`idah [5]: 3).

Tentang yang diharamkan dalam pernikahan, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat an-Nisâ` ayat 23. Dalam perkara bisnis, Allah juga menyebutkan hal-hal yang diharamkan, dalam surat  al-Baqarah ayat 275.

Yang Halal Jauh Lebih Banyak

Allah Yang Maha Pengasih terhadap hamba-Nya menghalalkan segala sesuatu yang baik yang tidak terhitung banyak dan jenisnya. Oleh sebab itu, Allah tidak memberikan rincian hal-hal yang halal dan dibolehkan, karena semua itu tidak terhitung banyaknya. Allah menerangkan secara rinci hal-hal yang diharamkan karena dapat dihitung, sehingga kita mengetahui dan menjauhinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ”Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya…” (Q.S. al-An’am [6]: 119).

Adapun hal-hal yang dihalalkan, maka Allah menerangkannya secara global, yakni selama hal-hal itu merupakan sesuatu yang baik. Allah berfirman, ”Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baikdari apa yang terdapat di bumi.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 168). Termasuk di antara rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala, bahwa Dia menjadikan dasar segala sesuatu adalah halal, sampai terdapat dalil yang mengharamkannya. Hal ini menunjukkan bahwa Allah Maha Pengasih dan Mahaluas rahmat-Nya atas segenap hamba-Nya. Oleh sebab itu, kita wajib taat, memuji, dan bersyukur kepada-Nya.

Di samping hal-hal di atas, setiap muslim hendaknya mengetahui bahwa diharamkannya beberapa hal tersebut mengandung hikmah yang besar. Di antaranya adalah Allah menguji segenap hamba-Nya dengan hal-hal yang diharamkan tersebut, lalu Dia melihat bagaimana mereka berbuat. Orang-orang beriman melihat beratnya kewajiban dengan cara pandang dari sisi perolehan pahala dan ketaatan pada perintah Allah ﷻ, sehingga berharap mendapat ridha-Nya. Dengan demikian kewajiban itu terasa ringan. Berbeda halnya dengan orang-orang munafik, mereka melihat beratnya kewajiban dari sisi kepedihan, kesal, dan pembatasan, sehingga kewajiban itu terasa berat untuk mereka lakukan dan ketaatan menjadi suatu hal yang sangat sukar.

Dengan meninggalkan hal-hal yang diharamkan, orang yang taat akan merasakan buah manisnya. Barangsiapa meninggalkan sesuatu karena Allah ﷻ, niscaya Allah ﷻ akan menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik daripadanya, lalu mendapatkan kelezatan iman dalam hatinya.1 Kita memohon kepada Allah dengan nama-nama-Nya yang indah, agar memberikan kepada kita rasa takut kepada-Nya, sehingga membentengi kita dari melakukan maksiat kepada-Nya, serta menganugerahkan kepada kita ketaatan kepada-Nya yang dengannya kita bisa mencapai surga-Nya.[]

 

Yanayir Ahmad

Teknik Elektro UII

 

Referensi

1Muhammad Shalih al-Munajjid. 1414. Muharramat Istahana Biha an-Nas Yajib al-Hadzaru Minha. Diterjemahkan oleh: Ainul Haris bin Umar Arifin, Lc. Jakarta: Darul Haq.

Mutiara Hikmah

Dari hadits Ali bin Abi Thalib a, Nabi ` pernah mengajarkan doa berikut,

اللَّهُمَّ اكْفِنِى بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنِى بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ

“Ya Allah cukupkanlah aku dengan yang halal dan jauhkanlah aku dari yang haram, dan cukupkanlah aku dengan karunia-Mu dari bergantung pada selain-Mu.” (H.R. Ahmad no.1319,  dan Tirmidzi no.3563)

Download Buletin klik disini

C I N T A

C I N T A

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Hidup ini akan terasa indah jika memaknai cinta dengan apa yang dikehendaki Allah  dan rasul-Nya. Seindah doa dari sahabat Abu Darda a, Ya Allah, aku mohon pada-Mu cinta-Mu dan cinta orang yang mencintai-Mu, amalan yang mengantarkanku menggapai cinta-Mu. Ya Allah, jadikan kecintaanku kepada-Mu lebih aku cintai daripada cintaku pada diriku sendiri, keluargaku, dan air dingin.(H.R. Ahmad dan Tirmidzi).

Teks doa ini diriwayatkan oleh Tirmidzi dari sahabat Abu Darda a.Hadits ini dikeluarkan oleh Tirmidzi (3556), Al-Hakim (2:433), Ibnu ‘Asakir (5/352/2). Tirmidzi menilai hadits ini hasan gharib. Al-Hakim menilai hadits ini sahih secara sanad.[1]

Kecintaan kepada Allah akan mengantarkan pelakunya pada kebahagiaan dunia dan akhirat. Sehingga cinta tersebut akan menggerakkan seluruh aktivitasnya pada segala sesuatu yang bermuara kepada kebaikkan, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Karena cinta itu ibadah, maka harus dipahami dengan benar. Jika cinta tidak dipahami dengan benar dan pengamalannya yang salah akan membawa pelakunya pada perbuatan dosa (masuk neraka). Namun jika cinta dipahami dengan benar  akan membawa pelakunya pada kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat (masuk surga).

Cinta memiliki peranan penting dalam keberlangsungan hidup manusia. Seorang ibu mengandung 9 bulan, menyusui 2 tahun dan merawatnya hingga dewasa, ini karena cinta. Seorang ayah bekerja siang dan malam untuk memenuhi kebutuhan isteri dan anak-anaknya, ini karena cinta. Seseorang melakukan aktivitas untuk mencapai suatu tujuan itupun pada akhirnya juga karena cinta.

Jika seseorang cinta kepada Allah ﷻ dan ingin berjumpa dengan-Nya, maka dia akan menempuh jalan yang mengantarkan menuju cita-citanya tersebut. Cinta merupakan penggerak seluruh aktivitas. Bahkan, hakikat ibadah itu sendiri adalah cinta, karena ibadah yang kosong dari cinta bagaikan ibadah yang tidak memiliki ruh.

Cinta Yang Sesungguhnya

Cinta yang sesungguhnya adalah cinta yang ditujukan kepada Allah ﷻ semata. Orang-orang beriman sangat mencintai Allah ﷻ, sebagaimana orang-orang musyrik mereka mencintai sesembahan mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan di antara manusia ada orang-orang yang mengangkat tandingan-tandingan selain Allah, mereka mencintai-Nya sebagaimana mencintai Allah, adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah.” (Q.S. al Baqarah [2]: 165).

Dari Anas a Rasulullah ` bersabda, “Ada tiga perkara yang apabila perkara tersebut ada pada seseorang, maka ia akan mendapatkan manisnya iman, yaitu (1) barangsiapa yang Allâh dan Rasûl-Nya lebih ia cintai dari selain keduanya, (2) apabila ia mencintai seseorang, ia hanya mencintainya karena Allâh. (3) Ia benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allâh menyelamatkannya sebagaimana ia benci untuk dilemparkan ke dalam Neraka.” (H.R. al-Bukhari no.16, Muslim no.43, At-Tirmidzi no.2624, dan Ibnu Majah no.4033)

Dari Ibnu Jarir, dari Ibnu Abbas h beliau berkata, “Siapa yang mencintai dan benci karena Allah, berteman dan memusuhi karena Allah, sesungguhnya pertolongan Allah itu diperoleh dengan demikian itu. Seorang hamba tidak akan bisa merasakan kenikmatan iman walaupun banyak melakukan shalat dan puasa sampai dirinya berbuat demikian itu. Sungguh, kebanyakan persahabatan seseorang itu hanya dilandaskan karena kepentingan dunia. Persahabat seperti itu tidaklah bermanfaat bagi mereka.” (H.R Ahmad di dalam al-Musnad III/430)

Tanda-Tanda Cinta Kepada Allah

Cinta kepada Allah ﷻ memiliki tanda dan bukti. Jika tanda dan bukti tersebut kurang atau bahkan tidak, hal ini merupakan tanda bahwa cinta kepada Allah ﷻ kurang, atau bahkan tidak ada. Di antara tanda-tanda kebenaran cinta kepada Allah adalah:[2]

  1. Mendahulukan kecintaan kepada Allah dibandingkan kecintaan kepada siapapun.
  2. Ittiba’ kepada Rasulullah `.
  3. Bercinta kasih kepada sesama kaum mukminin.
  4. Benci dan tegas kepada orang kafir.
  5. Berjihad di jalan Allah dengan jiwa dan hartanya demi tegaknya agama Allah.
  6. Tidak gentar terhadap celaan para pencela ketika berjalan di jalan Allah.

Tanda-tanda tersebut termaktub dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Katakanlah: “Jika bapak-bapak , anak-anak , saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan nya, Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan Nya”. dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik”. (H.R. at-Taubah [9]: 24)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfriman, “Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah: “Ta’atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir“.(Q.S. Ali Imran [2]: 31-32)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfriman, “Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap tegas terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha mengetahui.” (Q.S. al Mâidah [5]: 54).

Jangan Salah Memahami Cinta,

Jangan salah memahami cinta, sebagaimana yang terjadi pada hari valentine. Sudah menjadi rahasia umum, intensitas zina meningkat pesat di malam valentine. Hari itu dijadikan momen paling romantis untuk mengungkapkan rasa cinta kepada pacar dan kekasih. Apabila valentine hanya sekadar pacaran dan makan malam, setelah itu pulang ke “kandang” masing-masing, ini cara valentine zaman 70-an, kuno! Saat ini, valentine telah resmi menjadi hari zina sedunia.

Bukan hanya mengungkap perasaan cinta melalui hadiah coklat, tapi saat ini dilampiri dengan kondom. Allâhu akbar! Apa yang bisa Anda bayangkan? Malam valentine menjadi kesempatan besar bagi para pemuda dan mahasiswa pecundang untuk merobek mahkota keperawanan gadis dan para wanita. Malam valentine diabadaikan dengan lumuran maksiat dan dosa besar. Lebih parah dari itu, semua kegiatan di atas mereka rekam dalam video untuk disebarkan ke berbagai penjuru bumi melalui dunia maya. Bukankah ini bencana besar?! Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji’ûn.

Dimanakah rasa malu mereka?! Dimanakah rasa keprihatinan mereka dengan umat?! Akankah mereka semakin memperparah keadaan?! Wahai para pemuda pecundan, jangan karena kalian tidak mampu menikah kemudian kalian bisa sewenang-wenang menggagahi wanita?

Wahai para pemudi yang hilang rasa malunya, jangan karena sebatang cokelat dan romantisme picisan Anda merelakan bagian yang paling berharga pada diri Anda. Laki-laki yang saat ini sedang menjadi pacarmu, bukan jaminan bisa menjadi suamimu. Bisa jadi kalian sangat berharap kasih sayang sang kekasih, namun di balik itu, obsesi terbesar pacarmu hanya ingin melampiaskan nafsu binatangnya dan mengambil madumu.

Bertaubatlah wahai kaum muslimin, ingatlah hadits Nabi `,Jika perbuatan kekejian sudah merebak dan dilakukan dengan terang-terangan di tengah-tengah masyarakat, maka Allah akan menimpakan kehancuran kepada mereka.” (H.R. Hakim dan beliau shahihkan, serta disetujui Ad-Dzahabi)

Allâhu Akbar, bukankah ini ancaman yang sangat menakutkan. Gara-gara perbuatan mereka yang tidak bertanggung jawab itu, bisa jadi Allah menimpakan berbagai bencana yang membinasakan banyak manusia. Ya.. valentine’s day, telah menyumbangkan masalah besar bagi masyarakat.

Karena itu, kami mengajak kepada mereka yang masih lurus fitrahnya. Berusahalah untuk banyak istighfar kepada Allah. Perbanyaklah memohon ampunan kepada Allah. Kita berharap, dengan banyaknya istighfar yang kita ucapkan, semoga Allah mengampuni hamba-hamba-Nya.[3] Wallâhu a’lam bi ash shawâb.[]

 

*Abu Fawwaz al-Katitanji

 

Mutiara Hikmah

رَبِّ إِنِّي لِمَا أَنْزَلْتَ إِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيرٌ

Ya Tuhanku Sesungguhnya aku sangat membutuhkan setiap kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.” (Q.S. al-Qashash [28]: 24).

 

Refrensi end note:

[1] https://rumaysho.com/22798-doa-nabi-daud-meminta-cinta-allah.html

[2] Abu Isa Abdullah bin Salam. 1435 H. Mutiara Faidah Kitab Tauhid. Yogayakarta: Pustaka Muslim. hal. 209-212

[3] https://konsultasisyariah.com/10485-valentines-day-hari-zina-internasional.html

 

Download Buletin klik disini

Untuk Apa Aku Hidup Di Dunia ?

Untuk Apa Aku Hidup Di Dunia ?

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Salah satu perkara ‘aqidah yang penting untuk diketahui dan dipegang erat oleh masing-masing umat Islam adalah tujuan hidup di dunia ini supaya kehidupan dari masing-masing umat Islam lebih terarah dan tidak salah dalam menjalani kehidupan di dunia. Karena dengan tujuan yang tepat, setiap hal yang dilakukan akan memiliki arah yang jelas.

Masih banyak segelintir orang yang masih bingung tentang tujuan penciptaan manusia di dunia, setelah mencari jawaban selama bertahun-tahun pun masih tidak mendapat jawaban dari pertanyaan “Untuk apa sih saya ada di dunia ini”. Demikian kira-kira yang muncul dalam benak orang-orang tersebut. Bahkan yang lebih parah lagi jika ada yang menanyakan, “Kenapa sih kita harus beribadah kepada Allah?”. “Apakah Allah memerintahkan kita untuk ibadah karena Allah butuh kepada makhluk ?” dan pertanyaan yang sejenisnya.

Tujuan Penciptaan Makhluk

Ternyata, Allah Subhanahu wa Ta’ala sudah dengan jelas menyatakan tujuan hidup kita di dunia yaitu beribadah kepada Allah l. Allah l berfirman, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (Q.S. adz-Dzariyat [51]: 56)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di v menjelaskan (tafsir as-sa’di), inilah tujuan Allah menciptakan jin dan manusia, dan Dia mengutus para rasul untuk menyeru kepadanya, yakni untuk beribadah kepada-Nya yang di dalamnya mengandung ma’rifat (mengenal)-Nya dan mencintai-Nya, kembali kepada-Nya, dan mendatangi-Nya serta berpaling dari selain-Nya. Hal ini tergantung pada ma’rifat (mengenal)-Nya, karena sempurnanya ibadah tergantung sejauh mana pengenalannya kepada Allah, bahkan setiap kali seorang hamba bertambah ma’rifatnya, maka ibadahnya semakin sempurna. Untuk inilah Allah menciptakan manusia dan jin, bukan karena Dia butuh kepada mereka. Dia tidak menginginkan rezeki dari mereka dan tidak menginginkan agar mereka memberi-Nya makan, Mahatinggi Allah Yang Mahakaya dan tidak butuh kepada seorang pun dari berbagai sisi, bahkan semua makhluk butuh kepada-Nya dalam semua kebutuhan mereka, baik yang dharuri (penting) maupun yang selainnya.

Ternyata Allah  tidak membiarkan makhluk-Nya hidup tanpa tujuan di dunia. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menciptakan kita hidup di dunia ini untuk makan, minum, tidur, melepas lelah. Bila kita hidup dengan tujuan seperti ini, maka rendah sekali tujuan hidup kita. Tetapi ada tujuan besar yaitu agar setiap makhluk dapat beribadah kepada Allah. Ibadah yang mencakup segala yang dicintai oleh Allah baik itu ucapan maupun perbuatan. Yang terpenting bagi kita adalah melakukan apa yang Allah cintai bagaimana pun keadaan kita dan di mana pun kita berada.

Apakah Allah butuh kepada makhluk?

Kita sudah mengetahui bahwa tujuan kita hidup di dunia adalah untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tetapi bagi beberapa orang akan mempunyai pertanyaan lanjutan yaitu “Jika kita hidup untuk beribadah kepada Allah, apakah Allah butuh kepada makhluk-Nya?” atau “Berarti Allah butuh kepada makhluk?” dan pertanyaan sejenisnya.

Jawaban untuk pertanyaan tersebut adalah tidak, Allah l sama sekali tidak butuh kepada makhluk-Nya, melainkan makhluklah yang butuh kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bahkan sekalipun tidak ada satu manusia yang beriman kepada Allah, maka itu tidak akan mengurangi kekuasaan dan kerajaan Allah Subhanahu wa Ta’ala sedikitpun.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari makhluk dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi makan pada-Ku. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezeki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.”(Q.S. adz-Dzariyat [51]: 57-58)

Di ayat yang lain Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman, “Dan barangsiapa yang berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.”(Q.S. al-Ankabut [29]: 6)

Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya telah datang kepada mereka Rasul-Rasul mereka membawa keterangan-keterangan lalu mereka berkata: “Apakah manusia yang akan memberi petunjuk kepada kami?” lalu mereka ingkar dan berpaling; dan Allah tidak memerlukan (mereka). Dan Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”(Q.S. at-Taghabun [64]: 6)

Untuk Apa Allah Perintahkan untuk Beribadah?  

Sudah sangat jelas dari ketiga ayat di atas bahwa Allah tidak butuh sama sekali kepada makhluk-Nya. Namun bagi orang-orang yang berpikir “kritis” akan menimbulkan pertanyaan kembali yaitu “Kalau tidak butuh kepada makhluk, lalu untuk apa Allah memerintahkan untuk melakukan berbagai ibadah kepada makhluk-Nya?”.

Maka jawabannya adalah sebagai ujian dan sebagai pembeda antara orang yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan orang yang tidak beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena orang yang beriman dan beramal shalih akan mendapat balasan surga-Nya Allah  sementara orang yang tidak beriman dan tidak beramal shalih akan dijerumuskan ke neraka-Nya Allah sebagaimana firman-Nya, “Berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang beriman dan beramal salih bahwasanya mereka akan mendapatkan balasan berupa surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai…” (Q.S. al-Baqarah [2]: 25)

Lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman, “Barang siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang sangat besar.” (Q.S. an-Nisâ’ [4]: 13)

Bertaubatlah Segera

Kemudian setelah mengetahui tujuan Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan berbagai ibadah kepada makhluk-Nya, ada sebagian orang yang akan berpikir seperti “Hmmm, coba saja Nabi Adam dan istrinya tidak memakan buah yang Allah larang untuk mereka makan, maka kita tidak perlu lagi untuk berada di dunia ini dan langsung masuk ke dalam surga Allah”.

Maka ketahuilah, itu merupakan contoh bahwa setiap manusia pernah melakukan kesalahan dan terjatuh dalam dosa. Dan pintu ampunan Allah l begitu luasnya, maka sepatutnya ketika kita melakukan dosa dan kesalahan, hendaknya kita segera bertaubat dengan sebenar-benarnya taubat dari dosa tersebut.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin yang bersama dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: “Ya Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu”.(Q.S. at-Tahrim [66]: 8)

Kemudian Rasûlullâh ` bersabda, “Setiap anak Adam pasti berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang bertaubat. (Hasan: HR. Ahmad (III/198); at-Tirmidzi (no. 2499); Ibnu Majah (no. 4251) dan al-Hakim (IV/244), dari Sahabat Anas bin Malik. Lihat Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr (no. 4515))

Akhir kata, kita hidup ini bukan untuk tujuan dunia melainkan dengan tujuan untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka hendaknya kita tidak disibukkan dengan urusan dunia kita dan melupakan urusan akhirat kita karena dengan ibadah yang kita lakukan ikhlas karena Allah l semata in sya Allah menjadi sebab kita masuk ke dalam surga-Nya Allah dan di surgalah sebaik-baik tempat untuk kembali dan neraka seburuk-buruk tempat kembali.[]

 

Galih Enggartyasto

Teknik Mesin 2017

FTI UII

 

Referensi

https://muslim.or.id/1286-ciri-ciri-penduduk-surga.html

https://rumaysho.com/342-untuk-apa-kita-diciptakan-di-dunia-ini.html https://tafsirweb.com/9952-surat-az-zariyat-ayat-56.html

 

Mutiara Hikmah

Allah l berfirman:

وَأَحْسِنُوا ۛ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

… dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.

(Q.S. al-Baqarah [2]: 195).

 

Download Buletin klik disini

Agar Hari-Harimu Tidak Merugi

Agar Hari-Harimu Tidak Merugi

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Islam sebagai agama yang sempurna tentunya mengajarkan kepada umatnya untuk senantiasa melewati setiap waktunya dengan hal-hal terbaik. Karena setiap detik yang dilewati seorang Muslim itu merupakan kesempatan yang sangat berharga yang tidak bisa untuk diulang kembali. Muhammad bin Idris asy-Syafi’i mengibaratkan waktu itu bagaikan pedang. Kemudian Imam As-Syafi’i n melanjutkan apabila seseorang tidak bisa menebas waktunya, bersiaplah dia akan merasakan tebasan pedangnya sendiri.

Imam Syafi’i juga menambahkan bahwa seorang muslim apabila waktunya tidak digunakan atau disibukkan dengan hal-hal yang bermanfaat, maka ada kemungkinan waktunya digunakan atau disibukkan dengan hal-hal yang dihiasi akan kemudaratan atau kebatilan. Allah ﷻ berfirman, “Maka apabila engkau telah selesai (dari suatu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain)” (Q.S al-Insyirah [94]:7)

Ayat di atas setidaknya mengabarkan kepada kita tentang pentingnya waktu bagi seorang Muslim. Sehingga seorang Muslim itu apabila dia sudah menyelesaikan satu urusan, maka al-Qur’an memerintahkan kita untuk pindah atau beralih ke urusan bermanfaat lainnya. Ibnu Katsir di dalam tafsirnya menjelaskan maksud dari apabila telah selesai dari suatu urusan adalah urusan terkait dengan dunia dan segala kesibukannya. Kemudian berpindah ke urusan yang lain maksudnya adalah menuju ke perkara akhirat atau ibadah dan bersibuk-sibuklah di dalamnya.

Jika kita melihat lanjutan ayatnya, maka akan kita temukan, “Dan hanya kepada Tuhanmulah engkau berharap” (Q.S al-Insyirah [94]: 8). Dalam menjalankan kesibukan kita, baik itu perkara dunia maupun akhirat, tentunya kita tetap bergantung atau meniatkannya kepada rabb yang telah menciptakan kita. Begitulah sekiranya maksud dari ayat terakhir surah al-Insyirah di atas. As-Sauri berkata jadikanlah setiap kesibukan kita bermuara kepada Allah ﷻ.

Maka niat juga menjadi hal yang sangat penting di dalam kita memulai setiap aktifitas kita. Dari Umar a, bahwa Rasulullah ` bersabda, ”Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai dengan niatnya…” (H.R Bukhari Muslim). Oleh karena pentingnya niat dalam setiap perbuatan kita, maka jangan pernah sama sekali untuk alpa berniat dalam setiap memulai kegiatan.

Waktu di Dalam al-Qur’an

Waktu secara khusus disebutkan di dalam surah al-‘Ashr yang sering diartikan demi waktu. Di dalam surah ini Allah ﷻ ingin menyampaikan kepada hamba-Nya berkaitan dengan pentingnya waktu. Dijelaskan pula di dalamnya mengenai beberapa hal penting, yang menjadikan seseorang tidak akan sia-sia dalam melewati setiap hari-harinya. Allah ﷻ berfirman, “Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholeh dan saling mengingatkan di dalam kebaikan serta saling mengiingatkan di dalam kesabaran” (Q.S al-‘Ashr [103]: 1-3)

Pada awal surah al-‘Ashr sebagaimana yang tertera artinya di atas, Allah ﷻ menggunakan kata sumpah atau di dalam kaidah bahasa Arab sering disebut juga dengan istilah waw qasam artinya huruf waw sumpah. Maka seperti yang kita ketahui bersama juga, qasam atau sumpah di dalam al-Qur’an itu berarti penekanan atau penegasan yang bertujuan agar manusia itu benar-benar memperhatikan akan sesuatu yang ingin dijelaskan oleh Allah ﷻ.

Dalam hal ini Allah ﷻ ingin memberikan penegasan kepada kita semua terkait dengan waktu, karena tentunya penegasan ini terjadi disebabkan oleh adanya orang-orang yang tidak memperhatikan waktu-waktu yang dilaluinya. Ditambah lagi dengan ancaman kerugian yang disampaikan oleh Allah ﷻ pada ayat selanjutnya, dan lagi-lagi pada ayat ini Allah ﷻ menggunakan penekanan atau di dalam kaidah Nahwu dikenal juga dengan sebutan tawkid atau penekanan. Allah ﷻmenggunakan lam tawkid pada kata-kata lafî khusri yang artinya benar-benar dalam kerugian.

Namun ada pengecualian yang dijelaskan pada ayat terakhir di dalam surah ini. Pengecualian ini pula agaknya yang menjadikan waktu kita atau hari-hari yang kita lalui tidak merugi. Pengecualian itu adalah bagi mereka yang beriman, dan mengerjakan amal shalih, dan saling menasehati di dalam kebaikan serta saling menasihati di dalam kesabaran.

Beriman

Indikator pertama seseorang dikatakan tidak merugi dalam melewati setiap waktunya adalah beriman. Iman ini merupakan hal yang paling dasar bagi seseorang setelah dirinya berislam. Beriman berarti juga harus memiliki ilmu, karena tidak mungkin seseorang yang beriman tapi tidak didasari akan ilmu di dalamnya.

Mustahil seseorang akan benar-benar meyakini sesuatu yang dirinya sendiri tidak mengetahui akan sesuatu tersebut. Maka tidak merugilah bagi orang-orang yang bisa melewati hari-harinya dengan menambah ilmu mereka yang menjadikan dirinya semakin yakin atau beriman kepada Allah ﷻ. Singkatnnya indikator pertama seseorang agar hari-harinya tidak merugi adalah dengan senantiasa menuntut ilmu untuk menambah keimanan kepada sang penciptanya.

Mengerjakan Amal Shalih

Selanjutnya setelah kita beriman dengan didasari ilmu sebagaimana dijelaskan di atas, maka langkah selanjutnya yang harus kita lakukan agar hari-hari kita tidak penuh akan kesia-siaan adalah mengerjakan amal shalih. Lagi-lagi ilmu menjadi dasar bagi seseorang sebelum dia mengerjakan amal shalih. Karena ilmu itu letaknya sebelum perkataan dan amal, begitulah sekiranya disampaikan oleh guru-guru kita. Selain itu amal shalih ini juga buah dari iman, maka tidak jarang di dalam al-Qur’an amal shalih itu disandingkan dengan kata-kata iman.

Adapun amal shalih yang dapat kita lakukan untuk mengisi hari-hari kita sudah sangat banyak dipaparkan di dalam al-Qur’an. Misalnya amal shalih yang paling sering kita lakukan yaitu shalat, Allah l berfirman, “Yaitu mereka yang beriman kepada yang ghaib, melaksanakan sholat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang kami berikan kepada mereka” (Q.S al-Baqarah [2]: 3)

Saling Mengingatkan Di Dalam Kebaikan

Setelah kita beriman yang di dasari dengan ilmu, kemudian buah dari tindak lanjutnya mengerjakan amal shalih, maka selanjutnya adalah kita harus saling mengingatkan di dalam kebaikan. Karena tentunya kita semua sebagai manusia yang tidak luput akan kesalahan harus selalu saling mengingatkan satu sama lainnya. Ringkasnya kita dituntut oleh Allah ﷻ untuk berdakwah mengajak orang lain menuju kebaikan. Karena Allah ﷻ sudah memberikan kita gelar umat terbaik yang dikeluarkan ke muka bumi. Allah ﷻ berfirman, “Kalian (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, karena menyuruh kepada kebaikan dan mencegah kemungkiran dan beriman kepada Allah…” (Q.S Ali Imran [3]: 110)

Saling Mengingatkan Di Dalam Kesabaran

Di dalam menjalankan kehidupan di dunia, tentunya kita tidak luput dari yang namanya masalah. Maka salah satu kunci untuk menghadapi masalah tersebut adalah dengan cara bersabar. Terkadang keimanan kita diuji dengan beberapa guncangan yang menghujam hati, amal shalih kita diuji dengan beberapa rintangan yang menghampiri, dakwah kita pula diuji dengan beberapa cacian dan cibiran yang meresahi.

Maka tidak ada kunci yang paling baik dalam menghadapinya selain kita bersabar serta mengajak orang lain untuk bersabar. Karena Allahﷻ akan selalu membersamai orang-orang yang bersabar serta mengganjarkan balasan yang tanpa batas bagi mereka pelaku sabar. Allahﷻ berfirman,“Hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas.” (Q.S az-Zumar [39]: 10)

Dari beberapa uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa agar hari-hari yang kita lalui tidak merugi dapat kita isi dengan cara melewati hari-hari tersebut dengan menuntut ilmu yang menambah keyakinan kepada Allah ﷻ, kemudian mengamalkan ilmu yang kita dapat atau mengerjakan amal shalih, kemudian mengajak orang lain untuk merasakan kenikamatan iman sebagaimana yang kita rasakan pula atau berdakwah, terakhir untuk melengkapi itu semua kita harus bersabar serta mengajak orang lain pula untuk bersabar dalam menghadapi lika-liku waktu yang kita hadapi. Dengan melaksanakan itu semua seraya berharap ridha dari Allah ﷻ, maka in syâ Allâh kita akan menjadi orang-orang yang beruntung setiap harinya, karena lawan dari rugi itu sendiri berarti untung. Wafaqânallâhu li ma yuhibbu wa yardha.[]

 

Muhammad Ikram

Prodi Ahwal Syakhsiyyah 2016
FIAI UII

Mutiara Hikmah

Allah l berfirman, “Maka sembahlah Allah dengan tulus ikhlas beragama kepada-Nya.” (Q.S az-Zumar [39]: 2]

 

Download Buletin klik disini

Takdir Allah Yang Terbaik

Takdir Allah Yang Terbaik

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘ala rasûlillâh,

Sahabat fillah, mengimani takdirnya Allah ﷻ merupakan salah satu komponen dari rukun iman. Hal ini termasuk dalam rukun iman yang ke-6. Kata “iman” berarti percaya atau meyakini. Maka, orang yang mengimani rukun iman yang 6 adalah orang yang meyakini kebenaran dari rukun iman tersebut. Takdir adalah sebuah ketetapan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Harus diperhatikan dalam memahami takdir karena salah memahami keimanan terhadap takdir dapat berakibat fatal, menyebabkan batalnya keimanan seseorang.

Ahlus sunnah beriman bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan seluruh takdir sejak azali, dan Allah mengetahui takdir yang akan terjadi pada waktunya dan bagaimana bentuk takdir tersebut, semuanya terjadi sesuai dengan takdir yang telah Allah ﷻ tetapkan.

Perjalanan kehidupan manusia tidaklah selalu lurus layaknya sebuah jalan tol. Ada lika-liku, naik-turun bahkan tikungan tajam. Hal ini juga serupa dengan tidak selalu hal baik yang kita inginkan yang terjadi dalam kehidupan kita, ada hal-hal yang sama sekali tidak kita inginkan, namun Allah Subhanahu wa Ta’ala takdirkan itu pada kita. Sedih, kecewa, dan marah, mungkin itu yang akan menjadi respon pertama kita ketika mendapati hal yang tidak sesuai dengan ekspektasi kita. Tak selalu gembira dan tawa yang menjadi teman dalam kehidupan kita. Kadang air mata dan rasa kecewa mau tidak mau juga menjadi teman. Mungkin jika bisa memilih, kita ingin selalu mendapati apa yang kita inginkan dalam kehidupan kita.

Sebenarnya, apakah kita pernah mengetahui keinginan kita akan berdampak baik untuk kita atau tidak? Selama ini, kita selalu saja menilai dan melihat sesuatu hanya melalui sudut pandang yang kita senangi saja. Jarang bahkan hampir tidak pernah kita memikirkan dampak lain dari pilihan atau keinginan kita. Kita terlalu asyik dengan gambaran kebaikan yang sebenarnya kita sendiri yang menciptakan hal tersebut, yang belum tentu hal itu bakal menjadi sebuah kenyataan. Tapi, bukan berarti kita harus menghentikan keinginan atau impian kita. Tetap lanjutkan sebuah impian dan keinginanmu, namun ada hal yang harus kamu ubah, yaitu percaya dan menerima takdir yang menghampirimu.

Kemungkinan ada banyak diantara kita, ketika menerima takdir yang tidak diinginkan akan menjadi sedih. Hal itu wajar, karena kondisi yang  sudah kita harapkan ternyata malah sebaliknya. Ketika kita sudah berusaha mati-matian untuk memperjuangkan hal yang menjadi keinginan kita, namun pada nyatanya yang terjadi adalah hal yang sama sekali tidak kita harapkan. Murka pada takdir, dan seolah merasa seperti satu-satunya manusia yang dizhalimi oleh takdir. Kalau kita melihat kilas balik, sangat banyak kejadian yang ditetapkan oleh Allah kepada orang-orang terdahulu yang jauh dari ekspektasi mereka.

Simaklah Kisah Ini

Kisah ibunda Nabi Musa n yang menghanyutkan anaknya di atas laut. Lihatlah, kecemasan dan ketakutan yang luar biasa menghinggapi saat mengetahui anaknya berada di tangan keluarga raja Fir’aun. Tetapi, tanpa diduga tragedy itu berbuah manis di kemudian hari.

Perhatikan pula dengan seksama kisah hidup Nabi Yusuf n, maka kamu akan menemukan bahwa kaidah ini cukup menggambarkan drama mengharukan antara Nabi Yusuf n dan sang ayah, Nabi Ya’qub n.

Lihatlah kisah bocah laki-laki yang dibunuh oleh Nabi Khidir n atas perintah langsung dari Allah. Apa yang dilakukan oleh Nabi Khidir itu membuat Nabi Musa n bertanya-tanya, maka Nabi Khidir n pun memberikan jawaban yang kata-katanya diabadikan di dalam al-Qur’an.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan adapun anak muda itu, maka keduanya adalah orang-orang mukmin, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuan yaitu kepada kesesatan dan kekafiran. Dan kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya).” (Q.S. al-Kahfi [18]: 80-81).

Dari kisah tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa dari setiap kejadian yang mungkin tidak kita sukai atau senangi terdapat kebaikan yang Allah ﷻ berikan didalamnya. Namun kita sebagai manusia, jarang sekali melihat kebaikan tersebut, dan cenderung lebih menilai dari keburukannya. Dalam hidup kita selalu merasa apa yang menjadi pilihan kita dan apa yang kita sukai adalah hal yang terbaik bagi kita.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 216).

Dari ayat diatas menggambarkan tentang apa-apa yang kita sukai belum tentu baik untuk kita, dan sebaliknya apa yang buruk menurut kita belum tentu benar buruk adanya. Manusia hanya bisa melihat melalui panca indranya yaitu mata yang sebenarnya juga memiliki kerterbatasan.

Allah lah sejatinya yang dapat melihat segala sesuatu dan mengetahuinya tanpa ada batasan apapun. Hal ini sesuai dengan asma Allah yaitu al- Bashîr dan al-‘Alim, yaitu Maha Melihat dan juga Maha Mengetahui. Maka dari itu, tidak sepatutnya kita merasa bahwa kita mengetahui segala sesuatu yang terbaik bagi kita dan seolah kita, kita sebagai manusia hanya dapat berikhtiar untuk mendapatkan sesuatu. Namun takdir Allah lah yang akan menetapkan itu semua, dan kita harus menanamkan sifat ikhlas dalam diri kita agar tidak pernah kecewa terhadap apa pun keputusan Allah. Karena Allah tidak akan mungkin mengecewakan hambanya. Ada sebuah syair yang berkaitan dengan hal ini, yaitu “Seseorang seharusnya berusaha sekuat tenaganya mendapatkan kebaikan. Tetapi, ia tidak akan bias menetapkan keberhasilannya.

Takdir Allah adalah yang Terbaik

Sahabat fillah, takdir Allah adalah yang terbaik. Janganlah selalu merasa ketika Allah memberikan kita takdir yang sulit untuk dilakukan lantas kita langsung berprasangka buruk kepada Allah.  Kita tahu banyak orang hebat diluar sana yang lahir dari sebuah kesulitan, namun mereka tidak lantas menyerah dan putus asa. Karena mereka yakin bahwa Allah tidak membebankan segala sesuatu kepada hambanya melainkan karena kesanggupannya.

Jenderal Sudirman merupakan seorang pemuda yang memiliki kekurangan dalam hal fisik, yaitu kakinya lumpuh dan menderita penyakit kronis. Hal itu menyebabkan ia selalu ditandu untuk memimpin pasukannya. Apa yang dialami oleh Jenderal Sudirman bukanlah sesuatu yang diinginkan oleh beliau ataupun keluarganya. Namun itu sudah berupa ketetapan yang sudah Allah takdirkan.

Namun lagi dan lagi, Allah tidak pernah memberikan sebuah keburukan pada hambanya, walaupun fisiknya yang kurang tetapi Jenderal Sudirman dapat merintis dasar-dasar kemiliteran Indonesia, dan menjadi orang pertama yang mendapatkan gelar panglima besar. Tidaklah mungkin Allah memberikan sesuatu yang pahit jika bukan hal manis yang menjadi penawarnya.

William James mengatakan bahwa terkadang cacat yang kita derita justru dapat membantu kita meraih prestasi sehingga sampai pada titik yang tidak terduga. (Subur, 2008, 99 ideas happy for life). Kita harus selalu ingat bahwa terkadang Allah l memberikan sebuah nikmat tidak hanya melalui sebuah kesenangan, adakalanya melaui sebuah cobaan besar dan sebuah kesengsaraan. Disinilah pentingnya berprasangka baik kepada Allah l dan takdir yang akan ditetapkan oleh Allah l.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (Q.S. an-Nisa’ [4]: 19). Terjemahan ayat ini menjadi penutup dari tulisan ini. Bahwa pada dasarnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan pernah mengecewakan hambanya. Segala takdir yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah tetapkan memiliki sebuah hikmah dan pelajaran didalamnya. Semuanya tergantung dari sudut pandang kita yang menilainya.

 

Referensi

Subur, J.(2008, Februari) 99 ideas for happy life

Tarmizi, N.(2016, Maret 10)ketetapan Allah adalah yang terbaik.https://muslim.or.id/27649-ketetapan-allah-adalah-yang-terbaik.html

 

Ayu Winda Rizky

NIM: 184213136

Ekonomi Islam

 

Mutiara Hikmah

Rasulullah ` bersabda, “Bersemangatlah atas hal-hal yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah pada Allah, jangan engkau lemah.” (H.R. Muslim, no. 2664)

Download Buletin klik disini

Sudah Kenal Sahur dan Buka Puasa ?

MENGENAL SAHUR DAN BERBUKA
SAHUR
Di bulan Ramadhan ada amalan sunnah yang bisa dijalani yaitu makan sahur. Amalan ini
disepakati oleh para ulama dihukumi sunnah dan bukanlah wajib, sebagaimana kata Imam
Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim, 7: 206. Namun amalan ini memiliki keutamaan
karena dikatakan penuh berkah. Dalam hadits muttafaqun ‘alaih, dari Anas bin Malik,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Makan sahurlah kalian karena dalam makan
sahur terdapat keberkahan.” (HR. Bukhari no. 1923 dan Muslim no. 1095).
Yang dimaksud barokah adalah turunnya dan tetapnya kebaikan dari Allah pada sesuatu.
Barokah bisa mendatangkan kebaikan dan pahala, bahkan bisa mendatangkan manfaat
dunia dan akhirat. Namun patut diketahui bahwa barokah itu datangnya dari Allah yang
hanya diperoleh jika seorang hamba mentaati-Nya.
Pengertian
Dalam bahasa Arab, as-sahur السَّحُورُ dengan mem-fathah huruf sin adalah benda makanan dan
minuman untuk sahur. Adapun as-suhur السُّحُورُ dengan men-dhammah huruf sin adalah
mashdar yakni perbuatan makan sahur itu sendiri. (an-Nihayah, 2/347)
Hukum
Hukum makan sahur adalah sunnah, berdasarkan hadits dari Anas bin Malik radhiallahu
‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sahurlah kalian, karena
sesungguhnya dalam sahur terdapat berkah.” (Muttafaqun ‘alaih)
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Para ulama telah bersepakat tentang sunnahnya
makan sahur dan bukan suatu kewajiban.” (Syarh Shahih Muslim, 7/207)
Dalam riwayat lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendorong kita untuk tidak
meninggalkan makan sahur meskipun hanya dengan seteguk air. Sebagaimana hadits yang
diriwayatkan Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu, ia berkata bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Makan sahur adalah berkah maka
janganlah kalian meninggalkannya meskipun salah seorang di antara kalian hanya minum
seteguk air.” (HR. Ahmad, hadits hasan, lihat Shahihul Jami’ish Shaghir, 1/686 no. 3683)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Sahur dapat diperoleh seseorang yang makan
dan minum meskipun hanya sedikit.” (Fathul Bari, 4/166)
Waktu
Waktu yang utama untuk makan sahur adalah dengan mengakhirkan waktunya hingga
mendekati terbit fajar. Mengakhirkan waktu sahur ini merupakan sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana hadits yang diriwayatkan Anas bin
Malik dari Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhuma, beliau bekata: “Kami makan sahur bersama
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian (setelah makan sahur) kami berdiri untuk
melaksanakan shalat. Aku (Anas bin Malik) berkata, ‘Berapa perkiraan waktu antara
keduanya (antara makan sahur dengan shalat fajar)?’ Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhu
berkata, ‘50 ayat’.” (Muttafaqun ‘alaih)

Al-Imam al-Bukhari rahimahullah mengatakan dalam Shahih al-Bukhari: “Bab perkiraan
berapa lama waktu antara sahur dengan shalat fajar.” Maksudnya (jarak waktu)
antara selesainya sahur dengan permulaan shalat fajar. (Fathul Bari, 4/164). Hal ini
sebagaimana telah diterangkan oleh al-Imam al-Bukhari rahimahullah dalam Shahih al-
Bukhari pada “Kitab at-Tahajjud”, dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, beliau ditanya:
“Berapakah jarak waktu antara selesainya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Zaid bin
Tsabit radhiallahu ‘anhu makan sahur dengan permulaan mengerjakan shalat (subuh)?
Beliau menjawab, ‘Seperti waktu yang dibutuhkan seseorang membaca 50 ayat (dari Al-
Qur’an)’.” Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari (4/164) menyebutkan,
“(Bacaan tersebut) adalah bacaan yang sedang-sedang saja (ayat-ayat yang dibaca), tidak
terlalu panjang dan tidak pula terlalu pendek, (membacanya) tidak cepat dan tidak pula
lambat.” Bila kita sebutkan dengan catatan waktu maka kira-kira jarak antara keduanya
10—15 menit. Wallahu a’lam.
Tamr (Kurma), Sebaik-baik Makanan untuk Sahur
Sahur dengan tamr merupakan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, berdasarkan
hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, beliau bersabda: “Sebaik-baik makanan sahur seorang mukmin adalah tamr
(kurma).” (HR. Abu Dawud, Ibnu Hibban, dan al-Baihaqi, serta disahihkan oleh asy-
Syaikh al-Albani rahimahullah dalam ash-Shahihah no. 562 dan Shahihul Jami’ish Shaghir,
2/1146 no. 6772)
BERBUKA (IFTHAR)
Waktu
Allah subhanahu wa ta’ala telah menjelaskan pada kita tentang waktu dibolehkannya
seseorang yang berpuasa untuk berbuka yaitu dengan tenggelam (terbenam)nya matahari,
sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala: “Kemudian sempurnakanlah puasa itu
hingga (datang) malam.” (al-Baqarah: 187). Demikian pula Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam telah menjelaskan dalam haditsnya. Dari ‘Umar bin al-
Khaththab radhiallahu ‘anhu, berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “Apabila malam telah datang dan siang telah pergi serta matahari telah
terbenam maka sungguh orang yang berpuasa telah berbuka.” (Muttafaqun ‘alaih)
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Makna (sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam di atas) adalah puasanya telah selesai dan sempurna, dan (pada waktu matahari sudah
tenggelam dengan sempurna) dia bukan orang yang berpuasa. Maka dengan terbenamnya
matahari habislah waktu siang dan malam pun tiba, dan malam hari bukanlah waktu untuk
berpuasa.” (Syarh Shahih Muslim, 7/210)
Hal-Hal yang Disunnahkan Saat Berbuka
1. Bersegera ifthar (berbuka) ketika telah tiba waktunya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Senantiasa manusia dalam kebaikan
selama mereka menyegerakan ifthar (berbuka).” (Muttafaqun ‘alaih dari sahabat Sahl bin
Sa’d radhiallahu ‘anhu)

Al-Imam Ibnu Daqiq al-‘Ied rahimahullah mengatakan, “Hadits ini merupakan bantahan
terhadap orang-orang Syi’ah yang mengakhirkan berbuka puasa hingga tampak bintang-
bintang.” (disebutkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari, 4/234)
Keutamaan bergegas untuk berbuka ketika telah tiba waktunya:
1. Mengikuti Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
2. Bersegera untuk berbuka ketika telah tiba waktunya merupakan akhlak para
Nabi ‘alaihimussalam. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abu ad-
Darda’ radhiallahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tiga (perkara) termasuk akhlak kenabian (yaitu): menyegerakan berbuka,
mengakhirkan sahur, dan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri dalam
shalat.” (HR. ath-Thabarani, dan disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah,
lihat Shahihul Jami’ish Shaghir, 1/583 no. 3038)
3. Menyelisihi Yahudi dan Nasrani
Mengakhirkan berbuka hingga tampak bintang-bintang merupakan perbuatan
Yahudi dan Nasrani (Syarhuth-Thibi, 5/1584 dan Fathul Bari, 4/234). Sedangkan kita
dilarang menyerupai mereka. Oleh karena itu, bersegera untuk berbuka puasa ketika
telah tiba waktunya termasuk menyelisihi perbuatan mereka. Hal ini berdasarkan
hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam, beliau bersabda: “Agama ini senantiasa tampak, selama manusia
bersegera untuk berbuka puasa karena Yahudi dan Nasrani mengakhirkan
(ifthar/berbuka).” (Hasan, HR. Abu Dawud dan lainnya, lihat Shahih Sunan Abi
Dawud, 2/58 no. 2353, Shahihul Jami’ish Shaghir, 2/1272 no. 7689, dan al-Misykah,
1/622 no. 1995)
2. Bacaan ketika berbuka
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiallahu ‘anhuma beliau berkata, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam apabila berbuka beliau mengatakan,
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللهُ
“Rasa haus telah pergi dan urat-urat telah terbasahi serta mendapat pahala insya
Allah.” (Hasan, HR. Abu Dawud, lihat Shahih Sunan Abi Dawud, 2/59 no. 2357 dan
al-Irwa’, 4/39 no. 920)
3. Berbuka dengan ruthab (kurma basah), bila tidak dijumpai maka berbuka
dengan tamr (kurma kering), dan bila tidak ada maka dengan minum air.
Sebagaimana amalan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh
Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam berbuka dengan ruthab sebelum melaksanakan shalat (Maghrib), maka jika
tidak ada ruthab (beliau berbuka) dengan tamr, jika tidak ada (tamr) maka beliau
berbuka dengan meneguk air.” (Hadits hasan sahih, riwayat Abu Dawud dan
lainnya, lihat Shahih Sunan Abi Dawud, 2/59 no. 2356 dan al-Irwa’, 4/45 no. 922)
Perlu diingat bahwa dalam makan baik sahur atau berbuka, kita dilarang berlebih-
lebihan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “Dan janganlah kamu berlebih-
lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-
lebihan.” (al-An’am: 141)

Musta’in Billah, S.Si

TANDA-TANDA KEMUNAFIKAN DALAM SHALAT

Oleh: Camelia Rizka Maulida Syukur*

 

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh,

Sahabat pembaca yang budiman, sebagaimana diketahui shalat merupakan perjalanan rohani menuju Allah l. Shalat sebagai media komunikasi vertikal transendental. Oleh sebab itu, Islam mengaturnya sebagaimana telah disebutkan dalam kitab Riyadhus Shalihin, Kitab Al-Fadhail, bab 193 tentang perintah menjaga shalat wajib dan larangan serta ancaman yang sangat keras bagi yang meninggalkannya. Abu Hurairah a berkata, Rasulullah n bersabda, “Sesungguhnya amal yang pertama kali dihisab pada seorang hamba pada hari kiamat adalah shalatnya. Maka, jika shalatnya baik, sungguh ia telah beruntung dan berhasil. Dan jika shalatnya rusak, sungguh ia telah gagal dan rugi. Jika berkurang sedikit dari shalat wajibnya, maka Allah Ta’ala berfirman, ‘Lihatlah apakah hamba-Ku memiliki shalat sunnah.’ Maka disempurnakanlah apa yang kurang dari shalat wajibnya. Kemudian begitu pula dengan seluruh amalnya.” (H.R. Tirmidzi, ia mengatakan hadits tersebut hasan[1])[2]

Allah l menurunkan perintah shalat bersamaan dengan pahala bagi yang menunaikan dan ancaman bagi yang meninggalkannya, seiring dengan itu, muncullah berbagai motif manusia dalam menjalankan ibadah shalat. Tidak sedikit orang yang melaksanakan shalat hanya sebatas menggugurkan kewajiban, namun banyak juga orang yang melaksanakan ibadah shalat sebagai bentuk penghambaan seorang hamba pada Tuhannya.

Orang-orang yang menjadikan shalat hanya sebagai penggugur kewajiban, cenderung akan tertanam sifat munafik dalam hatinya. Sebagaimana Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali”. (QS. An-Nisa: 142)

Orang-orang munafik itu hendak menjalankan shalat maka mereka akan merasa berat dan berlambat-lambat, tidak ada semangat dan rasa ingin yang mendorong mereka untuk menjalankannya; sebab mereka tidak mengharapkan pahala di akhirat dan tidak takut terhadap siksaan Allah, karena mereka tidak memiliki keimanan. Mereka hanya takut kepada manusia dan berharap agar dilihat oleh orang-orang beriman sehingga dapat dianggap sebagai golongan mereka. Mereka hanya menjalankan shalat sesekali saja; apabila tidak ada yang melihat mereka, maka mereka tidak menjalankan shalat; namun jika mereka bersama dengan orang banyak maka mereka akan menjalankan shalat hanya untuk riya’.

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah t berkata bahwa terdapat enam hal dalam shalat, yang termasuk tanda kemunafikan, sebagai berikut:[3]

 

Malas Ketika Bangkit untuk Menegakkannya

Marilah mulai menelusuri sebab rasa malas itu? Apa karena pemahaman agama yang dangkal, atau memang atas dasar malas, kesibukan bekerja, kesibukan mengurus rumah, dan lain-lain. Setiap sebab diberikan obatnya berupa antitesanya. Misalnya, jika merasa kurang ilmu, maka mengajilah perkara shalat. Jika terlalu sibuk maka manajemen pekerjaan diperbaiki dan seterusnya. Biasakanlah dari sekarang ketika mendengar adzan dikumandangkan, maka segeralah melaksanakan shalat. Hal tersebut akan mengurangi rasa malas. Serta, berdoalah kepada Allah ldengan doa Nabi Ibrahim, “Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat. Ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku”. (Q.S. Ibrahim [14]: 40-41)

 

Riya’ Ketika Mengerjakannya

Riya’ sendiri terbagi dalam tiga macam. Pertama, riya’ perkataan di mana orang mengucapkan kalimat-kalimat dzikir maupun nasihat-nasihat, hanya untuk mendapatkan pujian dari orang banyak. Kedua, riya’ perbuatan, di mana seseorang menunjukkan kekhusyukan shalatnya atau memberikan sedekah agar dinilai sebagai orang dermawan. Ketiga, riya’ al-khafiy yang berarti riya’ yang tidak tampak atau tersembunyi. Bahkan, dalam salah satu hadits qudsi, Rasulullah bersabda, “Syirik yang tersembunyi, yaitu orang yang melakukan shalat kemudian membaguskan shalatnya tatkala dilihat oleh orang lain.” (H.R. Ibnu Majah dan Baihaqi).

 

Menunda-nundanya

‘Umar bin Al Khathab a berkata, “Menghimpun antara dua shalat tanpa ada udzur termasuk dosa besar.” Diriwayatkan pula oleh Imam Tirmidzi secara marfu’[4], dari Ibnu ‘Abbas, Nabi n bersabda, “Barangsiapa menhimpun dua shalat tanpa ada udzur, maka ia telah mendatangi salah satu pintu dosa besar.” (H.R Tirmidzi)[5]

Gerakannya Terlalu Cepat

Di antara kesalahan besar yang terjadi pada sebagian orang yang shalat: tidak tuma’ninah ketika shalat. Nabi n menganggapnya sebagai pencuri yang paling buruk, sebagaimana disebutkan dalam Musnad Imam Ahmad dari Nabi n, bahwa beliau bersabda, “Sejahat-jahat pencuri adalah yang mencuri dari shalatnya”. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana mencuri dari sholat?”. Rasulullah berkata, “Dia tidak sempurnakan ruku dan sujudnya” (H.R Ahmad no. 11532, dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahihul Jami’ 986). Maka Nabi n menganggap perbuatan mencuri dalam shalat ini lebih buruk dan lebih parah daripada mencuri harta. Thuma’ninah ketika mengerjakan shalat adalah bagian dari rukun shalat, shalat tidak sah kalau tidak tuma’ninah.[6]

 

Sedikit Menyebut atau Mengingat Allah di Dalamnya

Dalam sebuah hadis dari Anas bin Malik a, Nabi n bersabda, Itulah shalatnya orangn munafik.. duduk santai sambil lihat-lihat matahari. Hingga ketika matahari telah berada di antara dua tanduk setan (menjelang terbenam), dia baru mulai shalat, dengan gerakan cepat seperti mematuk 4 kali. Tidak mengingat Allah dalam shalatnya kecuali sedikit. (H.R. Muslim no.622).

Hadits tersebut menunjukkan bahwa hanya meluangkan untuk berdzikir sesaat dan mepet dengan waktu berakhirnya ibadah, serta tidak mengingat Allah dalam shalatnya melainkan sedikit. Shalat mereka pun dikerjakan dalam keadaan malas, dan mereka berat melaksanakannya.

 

Tidak Mengerjakannya Secara Berjamaah

Dari Abdullah bin Abbas a, Nabi n bersabda, “Barangsiapa yang mendengar adzan, namun tidak mendatanginya maka tidak ada shalat baginya, kecuali ada udzur” (H.R. Abu Daud no.551, Ibnu Majah no.793)[7]. Ibnu Abbas a mengatakan, “Aku melihat bahwa kami (para sahabat) memandang orang yang tidak shalat berjama’ah sebagai orang munafik, atau sedang sakit” (H.R. Muslim no. 654).[8]

Dalam riwayat lain disebutkan dari Abu Hurairah a, ia berkata bahwa Rasulullah n  bersabda, “Tidak ada shalat yang lebih berat bagi orang munafik selain dari shalat Shubuh dan shalat ‘Isya’. Seandainya mereka tahu keutamaan yang ada pada kedua shalat tersebut, tentu mereka akan mendatanginya walau sambil merangkak.” (H.R. Bukhari no. 657).

 

Marâji:

*Penyusun adalah alumnus Magister Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia

[1] HR. Tirmidzi, no. 413 dan An-Nasa’i, no. 466. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[2] Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadh Ash-Shalihin. Cetakan pertama, Tahun 1430 H. Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. 2:255-256. Dikutip dari https://rumaysho.com/16963-shalat-itu-yang-pertama-kali-akan-dihisab.html

[3] Nurhadi, “Konsep thuma’ninah Dalam Shalat Perspektif Imam Malik dan Imam Abu Hanifah (Kajian Teori Rukun dan Wajib Shalat)”, UANSA: Jurnal Studi Islam dan Kemasyarakatan, Vol. 13, No. 1, 2020. dan Ash-Shalah wa Hukmu Tarikiha, jilid 1 hlm. 173

[4]  Marfu’ artinya sampai pada Nabi n

[5] Hadits ini dikatakan marfu’ -sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-, walaupun pernyataan itu menuai kritikan. Imam Tirmidzi mengatakan, “Para ulama mengetahui akan hal ini dan atsar tersebut sangat ma’ruf. Para ulama menyebutkannya dan menetapkannya, tidak mengingkarinya.” https://rumaysho.com/5965-sengaja-menunda-shalat-hingga-keluar-waktu.html

[6] Sumber https://muslim.or.id/13845-tumaninah-dalam-shalat-1.html

[7] Dishahihkan oleh Ibnu Hajar dalam Bulughul Maram [114]). Hadits ini dinilai shahih oleh Syekh al-Albani dalam Misykat al-Mashabih: 1077 dan Irwa’ al-Ghalil no. 551.

[8] Sumber: https://muslim.or.id/52194-shalat-jamaah-wajib-di-masjid.html

Resolusi Muslim Di Tahun Baru

Resolusi Muslim Di Tahun Baru

Bismillahi wal hamdulillahi wash shalatu was salamu ‘ala rasulillah,

Sahabat muslim, waktu yang telah terlewati itu sebenarnya tidak berlalu melainkan hanya menutup lembaran-lembaran peristiwa yang sudah terlewati dan tidak kembali lagi. Jika baik amalan seseorang maka baik pula balasannya, namun jika buruk amalan seseorang maka penyesalanlah yang mengikutinya. Allah tidak pernah lalai sedikitpun dari manusia bahkan perpindahan detik ke detik berikutnya diperhitungkan oleh-Nya.

Pada awal tahun 2020 ini, pasti kebanyakan orang merenungkan tentang bagaimana mencapai planning list seperti dalam hal pekerjaan, kesehatan, hiburan dan lain sebagainya. Pada kenyataan seseorang tidak memerlukan tahun baru atau acara khusus untuk membuat resolusi dalam melakukan atau mencapai hal yang lebih baik. Terdapat beberapa macam resolusi yang dilakukan oleh seseorang.

Sebagian besar resolusi yang umum melibatkan manfaat kesehatan atau memperbaiki gaya hidup seperti mengurangi berat badan, berhenti merokok, bahkan berusaha untuk memiliki postur tubuh yang ideal. Akan tetapi, ada juga resolusi dalam hal memperbanyak amal, bersosialisasi dengan masyarakat atau meningkatkan kepuasan pribadi dengan liburan dan lainnya. Sebenarnya ada beberapa hal yang harus dilakukan sebelum mewujudkan semua resolusi tersebut.

Pernahkan kita renungkan apakah ada sesuatu tentang diri kita yang ingin kita tingkatkan?  Sebagai seorang muslim, kita tidak perlu menetapkan tujuan hidup yang hanya bersifat kesejahteraan materiil akan tetapi lebih mementingkan hal yang bersifat spiritual. Maksud dari spiritual lebih penting bagi seorang muslim bukan berarti tidak mempedulikan kesejahteraan materiil. Kita harus selalu mengingat bahwa akhirat adalah kehidupan yang hakiki sedangkan dunia segera berlalu dan pada hakikatnya gemerlap dunia hanyalah kekeruhan.

Sesungguhnya, barang siapa mendahulukan akhiratnya, maka ia akan mendapatkan kenikmatan akhirat dan kenikmatan dunia sekaligus. Hal ini mudah bagi yang diberi kemudahan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sesungguhnya, orang yang meninggalkan sesuatu karena Allah maka Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik dari yang ia tinggalkan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Barang siapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (Q.S. an-Nahl [16]: 97)

Setiap awal tahun baru, masing-masing pribadi menitipkan lembaran-lembaran tahun yang telah terlewati, sedangkan dihadapanya ada tahun baru yang sedang berjalan. Inti dari masalahnya bukan pada kapan tahun baru usai dan menjelang, namun inti masalahnya adalah  bagaimana kita dahulu mengisi tahun yang telah berlalu dan bagaimana kita akan menghiasi tahun yang akan datang. Sebagai seorang mukmin, marilah kita menjadi pribadi yang baru disetiap waktu. Artinya menjadi insan yang suka akan tafakkur (berfikir) dan tadzakkur (merenung).

Tahapan Tafakkur

Terdapat dua tahapan tafakkur :

  1. Tafakkur hisab (introspeksi)

Seseorang memikirkan dan menghitung amalannya di tahun silam, kemudian dia teringat dan merenungkan (tadzakkur) akan dosa-dosanya hingga hati menyesal, lisannya pun beristighfar memohon ampun kepada Allah

  1. Tafakkur Isti’dâd (persiapan)

Seseorang mempersiapkan ketaatan pada hari-harinya dengan memohon pertolongan kepada Rabbnya agar bisa mempersembahkan ibadah dan amalan-amalan sholih.

Mungkin sampai saat ini kita masih memprioritaskan kebahagiaan yang bersifat duniawi sebagai lingkaran besar dalam hidup kita dari pada kebahagiaan yang bersifat ukhrawi. Orang-orang yang bervisi duniawi mempunyai cara masing-masing untuk mencari kebahagiaan. Entah dengan harta, tahta, wanita, popularitas dan lain-lain yang dipikiran kita hanya “do what makes us happy” dan lupa bahwa tujuan hidup adalah “do what makes Allah happy”.

Resolusi Muslim

Sahabat Muslim, tahun baru merupakan waktu yang mengandung nasihat bagi hamba yang berfikir dan merenung. Sahabat muslim, sudah seharusnya kita memiliki visi dan misi yang jelas dan berorientasi untuk meraih syurga-Nya. Untuk menjadi pribadi yang baru disetiap waktu, hendaknya setiap kita memiliki acuan resolusi Muslim di tahun ini.

  1. Semangat menjadi penuntut ilmu.

Diantara sekian banyak nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah kita rasakan, ada satu nikmat yang melandasi kenikmatan lainnya yaitu ilmu. Sebab dengan ilmu, seseorang dapat memahami berbagai hal dan mendapatkan kedudukan yang tinggi di sisi Allah l. Dengan ilmu, kita menjadi orang yang tahu bagaimana kita harus bersikap. Siapa yang terus menuntut ilmu maka akan bertambahlah ilmunya dan akan mengantar dia ke jannah-Nya.

Dari Abu Hurairah a, ia berkata bahwa Rasulullah ` bersabda, “Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (H.R. Muslim, no. 2699)

  1. Semangat upgrade amalan

Menuntut ilmu saja tidak cukup, perlu aksi agar ilmu yang kita peroleh menjadi berkah. Refleksi ilmu selayaknya berpengaruh pada amalan kita yang kian meningkat. Ilmu diamalkan baik amalan hati maupun badan. Misalnya kita berkomitmen untuk merutinkan amalan-amalan yang selama ini sering kita abaikan seperti sholat berjamaah di masjid bagi laki-laki, menyempurnakan sholat Sunnah rawatib, merutinkan puasa Senin Kamis dan amalan-amalan lainnya.

  1. Berorientasi dengan kehidupan akhirat

Sesungguhnya seorang Muslim, ketika meniti perjalanan hidupnya memiliki tujuan. Dia melakukan perjalanan hidupnya agar dapat mengenal siapa Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan memahami tauhid uluhiyyah, rububiyyah, nama-nama dan sifat-sifat Allah. Inilah tujuan perjalanan hidup yang pertama ma’rifatullâh (dalilnya: Q.S. Ath-Thalâq [65]: 12). Kemudian dia iringi  ma’rifatullah itu dengan ‘ibadatullâh (beribadah dan ta’at kepada Allah). Dan inilah tujuan perjalanan hidup yang kedua bagi seorang Muslim, yaitu agar dia bisa beribadah hanya kepada-Nya saja dengan benar (dalilnya: Q.S. Adz-Dzâriyât [51]: 56), ia persembahkan jiwa raganya untuk Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Katakanlah sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (Q.S. al-An’am [6]: 162)

Adapun akhir perjalanan adalah surga, di dalamnyalah tempat peristirahatan Muslim yang abadi, istirahat dari letihnya perjalanan sewaktu di dunia dahulu, menikmati kenikmatan yang tidak pernah dilihat mata, tak pernah didengar telinga, dan tak pernah terbetik dalam hati manusia. Maka dari itu, apapun peran kita di dunia, tetaplah berorientasi dengan akhirat. Istiqomah dengan tujuan utama hidup di dunia, akhirat dan tentu saja cita-cita tertinggi sebagai muslim adalah surganya Allah l.

  1. Berbuat kebaikan di setiap waktu

Berbuat baik untuk menebar kebaikan dengan berprasangka baik. Contohnya perbuatan itu bisa berupa komitmen untuk bersedekah dengan hanya mengharap ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kita wajib berbuat baik setiap waktu, hari, bulan dan tahun. Allâh l telah bersumpah dengan menyebut masa dalam firman-Nya, “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasihat-menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.” (Q.S. al-‘Ashr [103]: 1-3). Allah l telah menyemangati hamba untuk senantiasa beriman, beramal shalih dan nasehat menasehati dalam kebenaran dan kesabaran. Masya Allâh, sungguh indah jika kita bisa memanfaatkan waktu untuk mengenal agama yang telah sempurna ini.[]

 

Uswatun Hasanah, S.Pd

 

Refrensi

Faqih, A. R., & Pasir, S. (2005). Jalan Bagi Mereka Yang Gelisah. Yogyakarta: LPPAI.

https://almanhaj.or.id/10851-akhirat-kehidupan-yang-hakiki.html

 

Mutiara Hikmah

Allah lberfirman,

Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat.” (Q.S. Hûd [11]: 118)

 

Download Buletin klik disini

 

Manajemen Waktu

Manajemen Waktu

Bismillahi wal hamdulillahi wash shalatu was salamu ‘ala rasulillah,

Pembaca yang dirahmati Allah, sudah kita ketahui bahwa Islam merupakan agama yang sempurna dan menjadi rahmat  bagi semesta alam. Segala sesuatunya di atur dalam al-Qur’an dan Sunnah. Mulai dari bersuci,  shalat, mu’amalah, jual beli, hingga perihal mengatur waktu. Beberapa kali Allah Subhanahu wa Ta’ala bersumpah dalam al-Qur’an mengenai waktu. Seperti demi waktu Ashar, waktu dhuha, demi waktu fajar, demi malam dan masih banyak lagi.

Allah Subhanahu wa Ta’ala bersumpah demi waktu tersebut tentunya dikarenakan terdapat makna yang mendalam akan waktu. Maka dari itu, kita harus memberikan perhatian yang amat besar untuk memanfaatkannya sesuai dengan ketentuan dan sebagaimana yang telah di contohkan oleh nabi Muhammad .

Manajemen waktu merupakan perencanaan, pengorganisasian, dan pengawasan terhadap waktu. Hal ini perlu diperhatikan agar pekerjaan dapat terselesaikan secara efektif dan efisien. Waktu harus digunakan sebaik-baiknya. Karena, apa yang sudah terlewatkan tidak akan pernah dapat kembali. Kebanyakan manusia lalai terhadap waktu sehingga waktu terbuang sia-sia tanpa mengahasilkan apa yang bermanfaat baginya.

Mereka berkata “andai saja aku punya banyak waktu, pasti aku bisa menyelesaikan tugas ini, tugas itu” perkataan ini merupakan contoh yang salah, karna mereka tidak menghargai waktu luang dan lebih suka berleha-leha. 24 jam siang berganti malam merupakan suatu anugerah yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada seluruh umat manusia. Tapi sayangnya, banyak orang yang tidak dapat mengatur waktunya hingga waktu terus berjalan dan penyesalan pun datang.

Waktu yang telah berlalu tidak akan pernah kembali. Jika ditukar dengan uang berapa pun juga tidak akan pernah terbayar. Hasan al- Banna’ mengatakan bahwa “waktu adalah kehidupan” bagaimana kamu menghabiskan waktumu ialah bagaimana kamu menghabiskan hidupmu. (how do you spend your time is how do you spend your life)”. Sehingga, jangan sampai usia dan hidup kita hanya kita manfaatkan untuk tidur dan bermalas-malasan. Kita harus bisa menghargai waktu dan melakukan aktivitas produktif dan bermanfaat bagi diri sendiri maupun orang lain.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam al-Qur’an surat al-Ahzab ayat 21, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Q.S. Al-Ahzab [33]: 21)

Terdapat suri tauladan yang baik pada diri Rasulullah `, mulai dari bangun tidur hingga tidur kembali. Maka, kita harus mencontoh sepenuhnya kehidupan kita dari Rasulullah `. Di antaranya terdapat beberapa rahasia manajemen waktu ala Rasulullah ` dalam beribadah, bekerja, berkarya sehingga bermanfaat bagi orang lain.

  1. Bangun di awal waktu

Ketika Rasulullah ` pulang dari shalat Shubuh dari Masjid Nabawi, beliau  mendapati putrinya bernama Fatimah masih dalam kondisi tidur. Maka beliau bersabda,  “Wahai anakku, bangunlah, saksikan rezeki Tuhan-mu dan janganlah kamu termasuk orang yang lalai, Karena Allah l memberi rezeki kepada hamba-Nya antara terbit fajar dengan terbit matahari. ” ( H.R. Imam Ahmad dan al-Baihaqi).

Waktu pagi memiliki banyak keutamaan. Diantaranya, karena dipagi hari merupakan waktu yang penuh akan keberkahan dan kesuksesan, Rasulullah `  bersabda, “Berangkatlah pagi-pagi untuk mencari rezeki dan segala kebutuhan. Sesungguhnya, berangkat bekerja di pagi hari (dipenuhi dengan) keberkahan dan kesuksesan.” (H.R. Thabrani No. 7.457).

Selain itu, Rasulullah ` juga memanjatkan doa bagi mereka yang bangun sebelum subuh “Ya Allah, berkahilah umatku di waktu paginya” (H.R. Abu Daud no. 2606) . Karena di pagi hari merupakan waktu dibagikannya rezeki.

Terdapat korelasi antara manfaat bagun pagi dari aspek Islam dan aspek kesehatan. Diantaranya ialah tubuh terasa menjadi lebih segar, melancarkan peredaran darah, menyehatkan paru-paru, meningkatkan daya ingat, menyehatkan jantung, meningkatkan sistem imun, meningkatkan produktivitas, memberikan mood yang bagus, hingga membangkitkan semangat dan masih banyak lagi.

  1. Disiplin

Rasulullah ` mengajarkan umat Islam untuk pandai mengatur waktu, yakni dengan cara disiplin menegakkan waktu sholat. Sholat tepat waktu merupakan amalan yang paling dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dari Abdullah bin Mas’ud  a beliau berkata, ‘Amalan apakah yang paling dicintai Allâh?’ Beliau ` menjawab, “Shalat pada waktunya.” (H.R. tirmidzi dan Hakim)

Abdul Fattah Abu Ghuddah menyimpulkan bahwa dalam hadits tersebut terdapat kunci kesuksesan umat Islam dalam memanfaatkan waktu. Bagaimanapun, shalat merupakan ibadah yang waktunya sudah ditetapkan. Apabila seorang muslim melaksanakannya tepat waktu, maka ia juga akan selalu memperhatikan setiap pekerjaan pada waktunya sehingga setiap pekerjaan akan terlaksana dengan baik. saat adzan berkumandang, maka segeralah mengambil air wudhu dan menegakkan sholat di awal waktu dan berjamaah.

  1. Istirahat yang cukup

Tidur merupakan perkara penting dalam kebiasaan hidup seseorang. Kurang tidur seseorang yang terus menerus dapat menyebabkan pelemahan sistem imun (sistem kekebalan tubuh). Sebaliknya, apabila kita memiliki tidur yang cukup akan membantu kita dalam mengurangi rasa letih, lesu, kesal sehingga memunculkan pikiran positif. Hal ini dibuktikan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Dan Kami jadikan tidurmu untuk istirahat” (Q.S. an-Naba’[78]: 9)

Rasulullah ` memiliki kebiasaan tidur pada awal malam dan bangun pada pertengahan malam. Hal ini dibuktikan dalam hadits Nabi `, “Bahwasanya Rasulullah ` membenci tidur malam sebelum (sholat Isya) dan berbincang-bincang (yang tidak bermanfaat) setelahnya (begadang).” (H.R Bukhari dan Muslim). Perintah Nabi Muhammad memiliki korelasi positif dengan ilmu kesehatan yang mengacu pada sistem kerja organ tubuh.

Selain tidur di awal malam, Rasulullah ` juga menganjurkan umatnya tidur di pertengahan siang (Qailullah) agar pada malam harinya (tengah malam) bisa bangun untuk menunaikan ibadah shalat malam (shalat tahajjud). Qailullah merupakan tidur sebentar pada pertengahan siang hari sekitar 20-30 menit sebelum atau setelah dzuhur.

  1. Isi waktu kosong dengan hal yang bermanfaat

Allah l berfirman dalam al-Qur’an surat al-Insyiroh ayat 7 yang artinya “Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.” (Q.S. al Insyirah [94]: 7). Maka hendaknya kita sebagai umat Islam yang mengetahui ayat tersebut juga mengamalkan apa yang Allah l perintahkan. Para dokter menyatakan bahwa 50% kebahagiaan hidup dapat diperoleh dari bagaimana seseorang mengisi waktu kosong dengan kegiatan yang bermanfaat.

Dalam kehidupan keseharian kita lihat para kuli bangunan, petani di sawah, guru mengajar di sekolah merasa lebih tenang dan bahagian dibandingkan dengan orang yang melamun dan tergeletak diatas kasur akibat pengagguran. Seperti dalam Mahfuzhot Inna asy-syababa wa al-faragha mafsadatun li-l-mar’i ayya mafsadatin.

Nabi Muhammad ` merupakan sosok manusia yang agung akhlaknya dan luhur budi pekertinya. Dalam kehidupan, kita harus selalu meneladani Rasulullah ` dalam setiap aktivitas, baik dalam aspek ibadah maupun mu’amalah karena hanya inilah merupakan wujud dari cinta kita terhadap Nabi Muhammad `. Seluruh perilaku Nabi Muhammad ` dalam kesehariannya merupakan teladan (uswah) yang baik, karena didalamnya banyak memberi manfaat dalam kehidupan umat manusia. Oleh karena itu, marilah kita teladani bagaimana alur kegiatan beliau agar bernilai ibadah.

Ikke Pradima Sari

NIM: 17422171

Pendidikan Agama Islam UII

 

Mutiara Hikmah

Nabi `  bersabda,

اللَّهُمَّ بَارِكْ لأُمَّتِى فِى بُكُورِهَا
Ya Allah, berkahilah umatku di waktu paginya.” (HR. Abu Daud no. 2606)

Download Buletin klik disini

Tahun Baru Masehi Milik Siapa?

Tahun Baru Masehi Milik Siapa? 

Bismillahi walhamdulillâh wash shalatu was salâmu ‘ala rasûlillâh,

Sudah menjadi polemik di tengah-tengah kaum muslimin soal perayaan hari pergantian tahun di setiap tahunnya. Ada yang menerima bahkan turut serta dalam perayaan malam pergantian tahun baru tersebut, namun ada juga yang menolak dan menjaga diri dari segala macam bentuk kegiatan yang berkaitan dengan malam perayaan tahun baru tahunan itu. Mayoritas kaum muslimin sejak dulu sudah sangat akrab dengan malam tahun baru yang puncaknya adalah pada pukul 00.00 pagi, di mana suara gemuruh kembang api terdengar hampir dari seluruh penjuru mata angin, serta  langit-langit yang  terlihat bercahaya dan penuh dengan gemerlapnya. Perayaan tersebut hampir diikuti oleh seluruh manusia termasuk kaum muslimin, tidak terkecuali negeri-negeri Arab, seperti Uni Emirat Arab yang disebut-sebut sebagai penyelenggara perayaan tahun baru paling spektakuler di Timur Tengah. Namun pernahkah kaum muslimin yang merayakan itu membaca dan menelaah tentang sejarah perayaan tahun baru masehi itu?

Sejarah Perayaan Tahun Baru

Banyak versi tentang sejarah perayaan tahun baru yang tiap tahunnya menjadi pergelaran akbar di seluruh dunia itu. Bagi mereka yang membolehkan, meyakini bahwa tahun baru itu sudah dimulai sejak abad ke 4 Masehi menurut kebiasaan orang-orang Romawi, ada juga yang mengatakan itu hanya soal model penanggalan matahari dan bulan sehingga tidak ada kaitannya dengan agama apapun. Sedang bagi mereka yang tidak membolehkan perayaan tahun baru, meyakini bahwa sejarah perayaan pergantian tahun itu berkaitan erat dengan kelahiran Yesus atau Isa Al-Masih yang dianggap Tuhan atau anak Tuhan.

Mari coba kita telaah, tahun Masehi sangat berhubungan erat dengan keyakinan agama Kristen, Masehi adalah nama lain dari Isa al-Masih. Orang yang pertama kali membuat penanggalan kalender Masehi adalah seorang kaisar Romawi bernama Gasius Julius Caesar pada tahun 45 SM. Kemudian seorang pendeta Kristen bernama Donisius memanfaatkan penemuan kalender Julius Caesar untuk diadopsi (diangkat) sebagai penanggalan yang didasarkan pada tahun kelahiran Yesus Kristus.

Sedang di zaman Romawi, pesta perayaan ulang tahun baru adalah untuk menghormati Dewa Janus (Dewa yang digambarkan bermuka dua). Perayaan ini terus dilesatarikan dan menyebar ke Eropa pada awal abad Masehi. Seiring berkembangnya agama Kristen, akhirnya perayaan ini diwajibkan oleh pemimpin Negara sebagai perayaan “suci” satu paket dengan hari Natal. Inilah sebabnya ucapan Natal dan Tahun baru dijadikan satu Merry Christmas and Happy New Year.

Pendapat yang demikian salah satunya dikemukakan oleh Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU yakni KH. Cholil Nafis “Perayaan tahun baru tersebut bukan milik umat Islam. Beliau menjelaskan tahun baru Masehi adalah tahun umat Kristiani yang menghitung awal tahun dari kelahiran Nabi Isa (Yesus). Oleh karena itu, tidak ada hubungan dan kepentingan umat Islam dengan pergantian tahun yang dimulai pukul 00.00 pada tanggal 31 Desember itu. Jadi, umat Islam tidak baik dan tidak perlu merayakan apapun berkenaan dengan pergantian tahun. Jika pergantian tahun Masehi berkenaan dengan mengisi liburan kerja dan sekolah, maka isilah dengan hal-hal yang positif.”

Persfektif Islam soal Perayaan Tahun Baru

Kita sepakat, bahwa perayaan tahun baru Masehi bukanlah tradisi Islam. Bahkan perayaan ini datang dari orang yang notabene tidak beriman kepada Allah atau kafir. Sebagaimana yang telah dijelaskan pada pembahasan sejarah, bahwa tahun baru merupakan pesta warisan dari masa lalu yang dahulu dirayakan oleh orang-orang Romawi. Mereka (orang-orang Romawi) mendedikasikan hari yang istimewa ini untuk seorang dewa yang bernama Janus, The God of Gates, Doors, and Beeginnings. Janus adalah seorang dewa yang memiliki dua wajah, satu wajah menatap ke depan dan satunya lagi menatap ke belakang, sebagai filosofi masa depan dan masa lalu, layaknya momen pergantian tahun.

Namun apapun itu, larangan Nabi ` terkait mengikuti perayaan-perayaan di luar perayaan Islam amatlah jelas, Beliau Rasulullah ` bersabda, “Barangsiapa yang meniru kebiasaan suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari kaum tersebut”. (H.R. Abu Dawud). Kemudian Beliau ` juga bersabda tentang hari raya umat Islam untuk menegur sahabat yang masih melaksanakan hari raya umat sebelum Islam, yakni perayaan Nairuz dan Mihrajan, “Saya mendatangi kalian dan kalian memiliki dua hari raya, yang kalian jadikan sebagai waktu untuk bermain. Padahal Allah telah menggantikan dua hari raya terbaik untuk kalian,(yakni) idul fitri dan idul adha.” (H.R. Ahmad).

Dari hadis tersebut jelaslah bagi kita akan pengingkaran Nabi ` terhadap bentuk perayaan-perayaan di luar Islam, bahkan perayaan Nairuz dan Mihrajan yang dirayakan penduduk madinah, isinya hanya bermain-main dan makan-makan. Sama sekali tidak ada unsur ritual sebagaimana yang dilakukan orang majusi, sumber asli dua perayaan ini. Namun mengingat dua hari tersebut adalah perayaan orang kafir, Nabi ` melarangnya.

Sikap Kaum Muslimin Terhadap Perayaan di Luar Islam

Untuk sikap yang sebaiknya diambil oleh seorang muslim terkait perayaan malam tahun baru, dengan menimbang pemaparan di atas adalah menahan diri untuk tidak ikut berpartisipasi dalam segala bentuk  kegiatan yang didasari atas pengkhususan malam tahunan tersebut, terlebih lagi belum lama kita telah dihadapkan dengan fitnah ucapan selamat natal yang dapat mengikis aqidah tauhid, sebagaimana firman Allah , “Dan mereka berkata: “Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak.” Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar, hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung-gunung runtuh, karena mereka menda’wakan Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak. Dan tidak layak bagi Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak.” (Q.S. Maryam [19]: 88-92).

Ucapan selamat natal jelas terkandung di dalamnya 2 kemungkaran. Pertama, jika seorang yang mengucapkan selamat natal itu diikuti dengan keyakinan akan kelahiran Yesus atau Nabi Isa n sebagai anak Tuhan, maka batal lah keislamannya menurut dalil syara’.

Kedua, jika dia mengucapkan selamat natal namun tidak mengikutinya dengan keimanan terhadap kelahiran Yesus atau Nabi Isa n sebagai anak Tuhan, maka dia telah memberikan kesaksian atau selamat palsu, yang juga merupakan dosa besar dan bisa menjadi sebab kemunafikan dalam hati. Karenanya sikap yang paling selamat dalam menghadapi ujian-ujian keimanan tersebut adalah mendiamkan. Karena mendiamkan adalah bentuk paling nyata dari sebuah toleransi.

Penulis ingin mengutip Fatwa MUI NTB tentang ucapan dan partisipasi terhadap perayaan umat lain pada poin nomor 3 dan 6 yang bunyinya:

  1. Kepada seluruh kaum Muslimin agar menjaga aqidah serta kepribadian sebagai umat Islam dan menjauhkan diri dari mengikuti kegiatan ibadah umat lain dan jangan meniru ciri khas mereka.
  2. Kepada seluruh kaum Muslimin dihimbau untuk tulus (ikhlas) menerima ajaran Islam dan masuk ke dalam Islam secara utuh agar terhindar dari kesesatan dan penyesatan yang membuat umat akan kehilangan kepribadian yang Islami (Syakhshiiyyah Islamiyyah).

 

Anas Ahamad Rahman

Mahasiswa Pasca MIAI UII

 

Mutiara Hikmah:

“…Allah dan Rasul-Nya yang lebih berhak untuk mereka cari keridhoan-Nya…” (Q.S. At-Taubah [9]: 62)

 

Download Buletin klik disini