Belajar Dari Keteguhan Hati Nabi Ibrahim

Belajar Dari Keteguhan Hati Nabi Ibrahim

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘ala rasûlillâh,

Saudaraku yang dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala, mari kita belajar dari keteguhan Nabi Ibrahim n dalam mempertahankan keimanannya dan ketabahannya dalam menjalani kehidupan yang telah Allah tetapkan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan bacakanlah kepada mereka kisah Ibrahim” (Q.S. Ash-Shu’arâ [26]: 69).

Kisah Nabi Ibrahim sangatlah menarik untuk kita pelajari dalam kehidupannya, dia terlahir ditengah-tengah keluarga dan masyarakat yang musyrik. Tapi Nabi Ibrahim dilindungi oleh Allah dengan diteguhkan keimanannya. Beliau tidak menyembah benda-benda langit dan patung sekalipun karena beliau mengikuti kata hatinya.

Telah banyak dijelaskan dalam al-Qur’an mengenai kisah Nabi Ibrahim n, salah satunya ada dalam surat ash-Shaffat dimulai dari ayat 83 dan seterusnya. Kehidupan Nabi Ibrahim yang dikelilingi dengan lingkungan yang musyrik, menjadikan Nabi Ibrahim bertanya-tanya akan tuhan yang kaumnya sembah, kisah Nabi Ibrahim termaktub dalam al-Qur’an,

“(Ingatlah) ketika ia berkata kepada bapaknya dan kaumnya: “Apakah yang kamu sembah itu? Apakah kamu menghendaki sembahan-sembahan selain Allah dengan jalan berbohong? Maka apakah anggapanmu terhadap Tuhan semesta alam?” Lalu ia memandang sekali pandang ke bintang-bintang. Kemudian ia berkata: “Sesungguhnya aku sakit”. Lalu mereka berpaling dari padanya dengan membelakang. Kemudian ia pergi dengan diam-diam kepada berhala-berhala mereka; lalu ia berkata: “Apakah kamu tidak makan? Kenapa kamu tidak menjawab?” Lalu dihadapinya berhala-berhala itu sambil memukulnya dengan tangan kanannya (dengan kuat). Kemudian kaumnya datang kepadanya dengan bergegas. Ibrahim berkata: “Apakah kamu menyembah patung-patung yang kamu pahat itu?” (Q.S. ash-Shaffat [37]: 85-95)

Dari ayat-ayat di atas, dapat dilihat bahwa Nabi Ibrahim n memiliki karakter yang kuat dalam beragama. Berikut pelajaran yang bisa kita ambil faidahnya:

Mempertahankan Keimanannya Terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala

Pada saat itu Nabi Ibrahim n sudah memiliki keraguan akan apa yang telah disembah kaumnya, beliau tetap mengikuti kata hatinya untuk terus menyembah Allah Subhanahu wa Ta’ala.  Menurut Ali bin Abi Thalib meriwayatkan Ibnu Abbas mengenai aqidah dan keyakinan Nabi Ibrahim n yang tertera pada surat ash-Shaffat ayat 83-84 yaitu,

“Dan sesungguhnya Ibrahim benar-benar golongannya Nuh” yang dimaksud adalah bahwa Nabi Ibrahim benar-benar pemeluk agama Nuh yang mengikuti ajaran dan sunnah Nabi Nuh. Lalu pada ayat 84 Ibnu Abbas menjelaskan bahwa tidak ada tuhan yang sebenar-benarnya kecuali Allah l[i].

Pada ayat 85, dari Qatadah ia mengatakan, “Yakni apa dugaan kalian tentang apa yang akan Allah lakukan terhadap kalian, jika kalian bertemu dengan-Nya, sedang kalian telah beribadah kepada selain-Nya bersama-Nya. Sebenarnya Ibrahim mengatakan hal itu kepada kaumnya agar beliau bisa menetap di dalam negeri ketika mereka berangkat ke perayaan mereka, sedangkan Ibrahim lebih senang menyendiri dengan tuhan-tuhan mereka bermaksud untuk menghancurkannya, lalu Ibrahim menyampaikan satu ucapan mengenai kebenaran kepada mereka, namun mereka memahami bahwa Ibrahim sedang sakit. “Lalu mereka berpaling darinya dan membelakang”.

Qatadah mengatakan, “Bangsa Arab menyebut orang yang berfikir sebagai orang yang melihat bintang-bintang” artinya dia melihat ke langit sambil memikirkan apa yang melengahkan mereka. Dan Ibrahim pun berkata “Sesungguhnya aku sakit” yaitu lemah. Dan adapun beliau berbohong hanya 3 kali yaitu mengenai ucapan beliau yaitu sesungguhnya aku sakit, dan mengenai patung-patung mereka dialah yang melakukannya sendiri dan juga ucapannya tentang Sarah yang ia berkata bahwa ia saudara perempuannya.[ii]

Lalu setelah itu Nabi Ibrahim masuk ke tempat berhala mereka yang berisi patung-patung yang mereka sembah, dan beliau menghancurkannya dengan tangan kanannya yang lebih kuat kecuali patung yang paling besar. Setelah itu mereka kembali dan melihat bahwa yang mereka sembah telah hancur. Dicarilah siapa pelakunya dan ditemukannya yaitu Ibrahim, dan dengan tegas Ibrahim mendebat mereka, “apakah kalian memberikan makan mereka? Sedangkan ia tidak makan. lalu apakah kalian menyembah mereka, sedangkan mereka itu yang kalian pahat sendiri, sesungguhnya Allah yang menciptakan kalian dan apa-apa yang kalian sembah”. Setelah itu mereka dengan tegas menyuruh untuk membangun sebuah bangunan dan menaruh Ibrahim di tempat itu lalu membakarnya, namun telah tertera pada surat al-Anbiya bahwa Allah telah menyelamatkannya dari api serta memenangkannya dari mereka[iii].

Setelah Allah l memenangkan Ibrahim dari mereka, lalu Ibrahim pergi meninggalkan mereka dan memohon untuk diberikan keturunan sebagai pengganti yang telah ditinggalkan. Setelah penantian yang panjang Allah l mengabulkan doanya.

Ikhlas, Tabah dan Berserah Diri Kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala

Selain itu Nabi Ibrahim digambarkan sebagai seorang yang selalu berserah diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, beliau pergi meninggalkan negerinya dan beliau meminta untuk diberikan anak yang shalih, penantian panjang beliau untuk memiliki keturunan Allah kabulkan yaitu lahirlah Nabi Ismail, namun tidak lama Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan Nabi Ibrahim n untuk meninggalkan istri dan anaknya di sebuah lembah yang tidak ada makanan, minuman dan orang sekalipun. Namun beliau menyerahkan segalanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Nabi Ibrahim meninggalkan isteri dan anaknya sambil berdoa, “Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. Ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” (QS. Ibrahim [14]: 37)[iv]

Setelah Nabi Ismail beranjak remaja dan dewasa serta berusaha untuk terus bersama-sama dengan ayahnya, Nabi Ibrahim pun bermimpi bahwa beliau menyembelih anaknya Ismail dan itu merupakan perintah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, lalu belaiu menceritakannya kepada Ismail dan meminta pendapatnya. Ismail pun menjawab untuk mengikuti perintah Allah dan taat kepada-Nya, Ismail bersedia untuk disembelih karena ketaatannya yang kuat terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kesabarannya. Kemudian Nabi Ibrahim membaringkan Ismail dan menempatkan pisau pada tengkuknya sambil memejamkan mata, untuk meringankan dan Allah menebusnya dengan seekor domba dari surga atas ketaatan mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.[v]

Dari kisah ini tentu pantas bagi beliau diberi gelar Ulul Azmi dimana beliau termasuk orang-orang yang kuat, sabar terhadap ujian yang diberikan Allah baik melalui kaumnya sendiri maupun keluarganya. Beliau tetap istiqomah untuk taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sekalipun untuk mengorbankan anaknya, walau dari segi manusiawi hati kecil beliau merasa sedih, namun beliau percaya akan segala kekuasaan Allah dan kehendaknya.

Dari keyakinan dan ketaatannya terhadap perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala, Nabi Ibrahim berhasil menularkannya kepada Nabi Ismail n, yang tidak menolak akan perintah Allah melalui ayahnya untuk menyembelih dirinya. Ketabahan dan ketakwaan Nabi Ibrahim telah memberikan banyak pembelajaran bagi umat Islam, bahwa keimanan seseorang dan ketakwaannya dapat terlihat dari seberapa tabah dan ikhlas ia menghadapi ujian kehidupannya.

Kebanyak seseorang yang melemah imannya, ketika ia dihadapkan dengan sesuatu yang sulit lalu ia pergi meninggalkan agamanya, hal itu sangat berbanding terbalik dengan ajaran Islam. Nabi Ibrahim n yang berada ditengah-tengah masyarakat yang musyrik beliau mampu meneguhkan hatinya untuk terus beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, beliau tabah, sabar dan ikhlas ketika penantian panjangnya menuggu Nabi Ismail lahir setelah lahir namun Allah mengujinya dengan menjauhkannya dari Ismail dan dibiarkannya tinggal bersama ibunya di tengah gurun pasir dan tidak ada sumber makanan apapun, setelah Ismail kembali dan beranjak remaja Nabi Ibrahim diuji kembali dengan harus menyembelih darah dagingnya yaitu Ismail. Maka betapa tabah dan ikhlasnya hati beliau.

Ujian yang didapatkan setiap manusia berbeda-beda, namun Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikannya sesuai kemampuan hamba-Nya, maka seberapa besar ujian kita dalam hidup,  kita bisa belajar dari kisah para nabi untuk belajar tegar dan ikhlas tanpa menjauh dari Sang Khaliq. Wa Allâhu a’lam bi ash shawâb.[]

 

Lia Ananda Haenida

Pendidikan Agama Islam UII

Refrensi

[i] Tafsir Ibnu Katsir. 2004 M. Penerjemah Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ishaq. Muassasah Daar al-Hilâh Kairo. hal. 22

[ii] Ibid. hal. 22-24

[iii]  Ibid. hal. 25

[iv] https://kisahmuslim.com/2575-kisah-nabi-ibrahim-alaihissalam-bag-4-selesai.html

[v] Tafsir Ibnu Katsir. 2004 M., hal. 27).

 

Mutiara Hikmah

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ

Jika kamu mempersekutukan (Rabbmu), niscaya akan hapuslah amalmu.” (Q.S. az-Zumar [39]: 65)

Download Buletin klik disini

Syirik Merajalela, Bencana Melanda

Syirik Merajalela, Bencana Melanda

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘ala rasûlillâh,

Wahai saudariku, manusia diciptakan sesungguhnya hanya untuk menyembah Allah Subhanahu wa Ta’ala semata. Allah mengutus Rasul Muhammad ` agar menyeru kepada penghuni alam semesta ini agar senantiasa men-tauhid-kan diri – Nya. Di dalam al-Qur’an telah dipaparkan secara gamblang bahwa tauhid mengantarkan seseorang pada surga, sedangkan perbuatan syirik akan menjerumuskan pelakunya kedalam neraka. Kesyirikan yang terjadi pada akhirnya menimbulkan kehancuran.

Ingat ! Hanya Kepada Allah Memohon Pertolongan

Semua manusia pasti mengalami saat-saat yang bermasalah, baik itu dalam pendidikan, ekonomi, sosial dan lainnya. Nabi ` pernah memberi nasehat kepada Ibnu Abbas a, “Apabila kamu hendak meminta, maka mintalah kepada Allah, dan bila kamu hendak memohon pertolongan, maka mohonlah pertolongan kepada Allah!” (Hadits ini diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, dan dia berkata, “Hadits ini hasan shahih.”).

Sudah jelas kita ketahui bahwa Allah sebaik-baik penolong, jika kita berpaling terhadap-Nya niscaya tidak ada yang dapat menyelesaikan urusan yang kita hadapi. Urusan manusia bermacam-macam meliputi urusan dunia dan akhirat, keduanya harus senantiasa memohon kepada-Nya. Jangan sampai kita menyandarkan kepada selain Allah l, karena syirik merupakan salah satu dosa besar.

Sebenarnya Syirik Itu Apa Saja?

Syirik itu sangat bermacam-macam, kita harus mengenalinya agar tidak terperosok kedalam jurang kesyirikan. Pembagian mengenai syirik dibagi menjadi 2 yaitu syirik kecil dan syirik besar. Langsung saja, syirik kecil itu perbuatan yang mengantarkan pada syirik besar, di mana perbuatan itu sendiri belum tergolong perbuatan ibadah. Sekecil apapun syirik tetapi telah merintis jalan menuju syirik besar.

Syirik kecil ini menjadi 3 yaitu: (1) Riya’ (melakukan suatu perbuatan bukan karena Allah l), (2) Bersumpah dengan nama selain Allah l, (3) Syirik khafi (samar, tersembunyi), poin ketiga ini berdasarkan sabda Rasulullah `, “Janganlah kalian mengatakan, ‘Atas kehendak Allah dan atas kehendak si Fulan.’ Akan tetapi katakanlah, ‘Atas kehendak Allah, kemudian atas kehendak si Fulan.” (Hadits ini shahih; diriwayatkan  oleh Ahmad dan lainnya)

Wahai Saudariku bukankah kita merasa bahwa diri ini begitu rentan terhadap syirik kecil. Berkomitmen untuk berhijrah menjadi lebih baik, marilah kita mengintropeksi diri sendiri. Selanjutnya kita akan membahas mengenai syirik besar. Syirik besar sendiri ialah menjadikan sesuatu sebagai tandingan Allah Subhanahu wa Ta’ala, dalam hal berdoa  atau dalam bentuk peribadatan lainnya.

Salah satu contohnya yaitu, menyembelih hewan, bernadzar, dan sebagainya bukan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, tetapi karena sesuatu itu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan janganlah kamu menyembah sesuatu pun selain Allah, di mana sesuatu yang kamu sembah itu tidak akan memberimu manfaat maupun mencegah bahaya darimu sedikitpun. Jika kamu melakukan perbuatan semacam itu, maka kamu termasuk orang – orang zalim.” (Q.S. Yunus [10]: 106)

Fenomena Menjamurya Syirik

Saudariku sebagaiman kita ketahui, bahwa Islam datang mempunyai visi dan misi untuk menghancurkan berbagai bentuk kesyirikan. Diantara sebab utama terjadinya begitu banyak musibah karena  kesyirikan sudah bertebaran  di dunia Islam dewasa ini. Terjadinya berbagai huru-hara, kekacauan, dan peperangan yang tidak ada henti-hentinya ditimpakan oleh Allah kepada kaum muslimin. Semua itu tidak lain disebabkan karena mereka tidak mau lagi ber-tauhid, baik dalam perkara keyakinan maupun dalam akhlak dan perilaku mereka.

Berikut beberapa perbuatan syirik yang sering kita jumpai diantaranya, berdoa kepada selain Allah l, mengubur para wali dan orang-orang shalih di masjid, bernadzar untuk para wali, menyembelih binatang di kuburan para  wali, thawaf mengelilingi kuburan para wali, shalat menghadap kubur, melakukan perjalanan khusus ke kuburan utuk mencari berkah, berhukum tidak kepada hukum Allah l, taat kepada ketetapan para penguasa, ulama, atau syaikh yang bertentangan dengan nas-nas al-Qur’an dan hadits shahih.

Baru–baru ini sangat maraknya nyanyian dan puji-pujian syairnya ada yang seperti ini, “Wahai Rasulullah bimbinglah daku, tidak ada yang mampu merubah kesulitanku menjadi mudah kecuali engkau”. Seandainya Rasulullah ` mendengar syair nyanyian di atas, niscaya beliau akan berlepas diri darinya. Karena sudah jelas, tidak akan ada yang mampu merubah suatu kesulitan menjadi mudah kecuali Allah semata.

Syirik  vs Tauhid

Dibahas dalam sudut pandang sejarah, sebenarnya perang antara tauhid dan syirik telah terjadi sejak dahulu. Bermula dari kisah Nabi Nuh n yang selama sembilan ratus tahun menyeru kaummnya agar bertauhid, menyembah Allah Subhanahu wa Ta’ala semata dan meninggalkan berhala yang mereka sembah. Penolakan keras  kaum Nabi Nuh n terhadap dakwah tauhidnya diceritakan di dalam al-Qur’an, Allah ` berfirman “Dan kaumnya berkata, ‘Jangan sekali-kali kalian berani meninggalkan penyembaha kepada tuhan-tuhan kamu dan  jangan sekali-kali kalian meninggalkan penyembahan kepada Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nashr.’ Dan sungguh, mereka itu telah menyesatkan banyak manusia.” (QS. Nuh (2): 23-24).

Berkaitan tentang tafsir ayat ini, al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas, Dia berkata, “Itu (maksudnya Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nashr. –Pent.) adalah nama-nama orang shalih pada zaman Nabi Nuh n. Jika pada zaman Nabi Nuh saja perbuatan syirik sudah sangat mengerikan, apalagi saat ini yang jelas-jelas umat akhir zaman. Maka dari itu kita harus senantiasa mawas diri dan selalu memohon kepada Allah l agar terhindar dari kesyirikan. Âmîn.

Antara Dosa dan Bencana Alam

Seolah tak ada habisnya, berbagai bencana terus melanda negeri ini, banjir, tanah longsor, gempa bumi dan tsunami, atau pun letusan gunung berapi. Tanggapan manusia pun bermacam-macam. Para pakar geologi mengatakan hal ini adalah fenomena alam. Para normal mengambinghitamkan makhluk-makhluk halus penunggu tempat-tempat yang dilanda bencana. Dan sangat sedikit yang mengaitkannya dengan dosa-dosa manusia. Dalam hal ini Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka  agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Q.S. ar-Rûm [30]: 41).

Dalam Tafsir al-Mukhtashar (Markaz Tafsir Riyadh), di bawah pengawasan Syaikh Dr. Shalih bin Abdullah bin Humaid. Menjelaskan, “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut”, Yakni dimaksud dengan (البحر) adalah perkotaan dan pedesaan yang berada di atas laut atau sungai. Sedangkan (البر) adalah perkotaan dan pedesaan yang tidak berada di atas laut atau sungai. “Disebabkan karena perbuatan tangan manusia”, yakni Allah menjelaskan bahwa kemusyrikan dan kemaksiatan adalah sebab timbulnya kerusakan di alam semesta. Kerusakan ini dapat berupa kekeringan, paceklik, ketakutan yang merajalela, barang-barang yang tidak laku, sulitnya mencari penghidupan, maraknya perampokan dan kezaliman, dan lain sebagainya. “Supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka”, yakni agar mereka merasakan akibat dari sebagian perbuatan mereka. “Agar mereka kembali (ke jalan yang benar))” yakni menjauhi kemaksiatan mereka dan bertaubat kepada Allah.

Tegakkan Tauhid Solusinya

Seorang muslim hendaknya memulai hidupnya  dengan tauhid dan meninggalkan dunia yang fana ini juga dengan tauhid. Bertauhid adalah menjadi tugas utama seorang muslim dalam hidupnya. Karena dengan tauhid orang-orang mukmin bisa berkumpul dan bersatu. Kita berdoa semoga akhir ucapan kita ketika hendak meninggalkan dunia ini adalah kalimat tauhid ilâha illa Allâh “Tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah”.[]

 

Erliyana

Referensi

  1. Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, 1424 H, Al–Firqotun Najiyah-jalan hidup golongan yang selamat, Media Hidayah, Yogyakarta.
  2. Tafsir al-Muktashar, https://tafsirweb.com/7405-surat-ar-rum-ayat-41.html, diakses tanggal 07 Januari 2019
  3. Wahdah Islamiyah, 2010, Antara Dosa dan Bencana Alam, http://wahdah.or.id/antara-dosa-dan-bencana-alam/ diakses tanggal 07 Januari 2019

 

Mutiara Hikmah

Rasulullah ` bersabda,

أَكْثَرُ خَطَايَا إِبْنِ آدَمَ فِي لِسَانِهِ

‘Mayoritas kesalahan anak Adam adalah pada lidahnya.‘” (H.R. Thabarani)

 

Download Buletin klik disini

SUDAHKAH KITA BERSYUKUR ?

Kaum muslimin yang dirahmati Allah l, kita sebagai umat Islam harus menyakini sesungguhnya segala kebaikan dan kenikmatan yang ada pada kita adalah karunia dari Allah l. Allah l berfirman, “Dan apa saja nikmat yang ada pada kalian, maka datangnya dari Allah…” (Q.S. an-Nahl [16]: 53)

Betapa melimpahnya kenikmatan yang Allah l berikan kepada kita, yang tidak terhingga jumlahnya. Allah telah memberikan kita kehidupan, mulai saat kita masih didalam perut ibu sampai sekarang, nikmat kesehatan yang lebih banyak kita nikmati dibandingkan saat kita sakit, nikmat makanan, minuman, pakaian, nikmat negeri yang aman dimana kita bisa melakukan ibadah secara tenang tanpa khawatir adanya bom, penembakan, teror seperti saudara-saudara kita di luar sana dan masih banyak nikmat yang lainnya. Jika kita berusaha menghitung nikmat yang Allah yang dikaruniakan kepada kita, niscaya kita tidak akan mampu menghitungnya. Allah l berfirman, “Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya.” (Q.S. an-Nahl [16]: 18).

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, pada hakikatnya kita semua tidak bisa mensyukuri setiap nikmat yang Allah berikan kepada kita. Bagaimana mungkin kita bisa mensyukurinya, menghitunganya saja kita tidak mampu. Sungguh hanya sedikit hamba-Ku yang bersyukur, Allah l berfirman, “Sangat sedikit sekali di antara hamba-Ku yang mau bersyukur.” (Q.S. Saba’ [34]: 13). Ibnu Katsir berkata, “Yang dikabarkan ini sesuai kenyataan.” Artinya, sedikit sekali yang mau bersyukur.

 

Apakah Makna Syukur?

Secara bahasa, “Syukur adalah pujian bagi orang yang memberikan kebaikan, atas kebaikannya tersebut” (Lihat Ash-Shahhah Fil Lughah karya al-Jauhari). Atau dalam bahasa Indonesia, bersyukur artinya berterima kasih. Sedangkan istilah syukur dalam agama, adalah sebagaimana yang dijabarkan oleh Ibnul Qayyim, “Syukur adalah menunjukkan adanya nikmat Allah pada dirinya. Dengan melalui lisan, yaitu berupa pujian dan mengucapkan kesadaran diri bahwa ia telah diberi nikmat. Dengan melalui hati, berupa persaksian dan kecintaan kepada Allah. Melalui anggota badan, berupa kepatuhan dan ketaatan kepada Allah” (Madarijus Salikin, 2/244). Lawan dari syukur adalah kufur nikmat, yaitu enggan menyadari atau bahkan mengingkari bahwa nikmat yang ia dapatkan adalah dari Allah l. Semisal Qarun yang berkata, “Sungguh harta dan kenikmatan yang aku miliki itu aku dapatkan dari ilmu yang aku miliki” (Q.S. al-Qashash [28]: 78).

 

Syukur Merupakan Ibadah

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, syukur adalah bentuk ibadah kita kepada Allah l. Banyak ayat di dalam al-Qur’an, Allah l memerintahkan manusia untuk bersyukur kepada-Nya. Maka syukur ini adalah ibadah dan bentuk ketaatan atas perintah Allah l. Allah l berfirman, “Ingatlah kepada-Ku, maka Aku akan mengingat kalian. Bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kalian ingkar” (Q.S. al-Baqarah [2]: 152). Allah l juga berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah” (Q.S. al-Baqarah [2]: 172).

Maka orang yang bersyukur adalah orang yang menjalankan perintah Allah l dan orang yang enggan bersyukur serta mengingkari nikmat Allah adalah bentuk pembangkangan terhadap perintah Allah.

Kaum muslimin yang di rahmati Allah, seorang muslim yang sejati itu tidak pernah terlepas dari tiga keadaan. Yang keadaan itu menunjukkan tanda kebahagiaan baginya, yang pertama yaitu bila dia mendapat nikmat maka dia bersyukur, yang kedua bila mendapat kesusahan maka dia bersabar, dan yang ketiga bila berbuat dosa maka dia beristighfar (Qowa’idul Arba’, hal. 01), jika ketiga keadaan tersebut ada pada seorang muslim maka insyAllah dia akan mendapatkan kebahagiaan. Rasulullah l bersabda, “Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin, semua urusannya adalah baik baginya. Hal ini tidak didapatkan kecuali pada diri seorang mukmin. Apabila mendapatkan kesenangan, dia bersyukur, maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya. Sebaliknya apabila tertimpa kesusahan, dia pun bersabar, maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya.” (Hadits shohih. Diriwayatkan oleh Muslim, no. 2999 dari Abu Yahya Shuhaib bin Sinan a).

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, Syukur adalah akhlaq yang mulia, yang muncul karena kecintaan dan keridho’an yang besar terhadap Sang Pemberi Nikmat. Syukur tidak akan mungkin bisa terwujud jika tidak diawali dengan keridho’an. Seseorang yang diberikan nikmat oleh Allah walaupun sedikit, tidak mungkin akan bersyukur kalau tidak ada keridho’an. Orang yang mendapatkan penghasilan yang sedikit, hasil panen yang minim atau pendapatan yang pas-pasan, tidak akan bisa bersyukur jika tidak ada keridho’an. Demikian pula orang yang diberi kelancaran rizki dan harta yang melimpah, akan terus merasa kurang dan tidak akan bersyukur jika tidak diiringi keridho’an.

Kaum muslimin yang kami muliakan, maka dari itu kita sebagai orang muslim hendaknya selalu bersyukur dalam kondisi apapun, dan syukur yang sebenarnya tidaklah cukup dengan mengucapkan “alhamdulillah”. Syukur tidak hanya dilisan. Namun hendaknya seorang hamba bersyukur dengan hati, lisan dan anggota badannya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Qudamah v, “Syukur (yang sebenarnya) adalah dengan hati, lisan dan anggota badan. (Minhajul Qosidin, hal. 305).

Bagaimana caranya bersyukur dengan hati?,yaitu dengan  mengakui dan meyakini bahwa nikmat tersebut semata-mata datangnya dari Allah l dan bukan dari selain-Nya, sehingga muncul kecintaan kita kepada Allah l. Kemudian meniatkan untuk menggunakan nikmat itu di jalan yang Allah ridhai. Adapun bersyukur dengan lisan adalah dengan memuji dan menyanjung Dzat yang telah memberikan nikmat tersebut pada kita dengan mengatakan “Alhamdulillâh”. Sementara tugasnya anggota badan adalah menggunakan nikmat tersebut untuk mentaati Dzat yang kita syukuri (yaitu Allah l) dan menahan diri agar jangan menggunakan kenikmatan itu untuk bermaksiat kepada-Nya.

 

Syukur Adalah Sifat Para Nabi

Muhammad ` tidak luput dari syukur walaupun telah dijamin baginya surga. Diceritakan oleh Ibunda ‘Aisyah i,“Rasulullah ` biasanya jika beliau shalat, beliau berdiri sangat lama hingga kakinya mengeras kulitnya. ‘Aisyah bertanya, ‘Wahai Rasulullah, mengapa engkau sampai demikian? Bukankan dosa-dosamu telah diampuni, baik yang telah lalu maupun yang akan datang? Rasulullah besabda: ‘Wahai Aisyah, bukankah semestinya aku menjadi hamba yang bersyukur?’” (H.R. Bukhari no. 1130, Muslim no. 2820). Inilah suri tauladan kita sebagai umat muslim semoga kita bisa meneladani Rasulullah `.

 

Buah Manis dari Syukur

  1. Syukur Adalah Sifat Orang Beriman

Rasulullah ` bersabda, “Seorang mukmin itu sungguh menakjubkan, karena setiap perkaranya itu baik. Namun tidak akan terjadi demikian kecuali pada seorang mu’min sejati. Jika ia mendapat kesenangan, ia bersyukur, dan itu baik baginya. Jika ia tertimpa kesusahan, ia bersabar, dan itu baik baginya” (H.R. Muslim no.7692).

  1. Merupakan Sebab Datangnya Ridha Allah

Allah l berfirman, “Jika kalian ingkar, sesungguhnya Allah Maha Kaya atas kalian. Dan Allah tidak ridha kepada hamba-Nya yang ingkar dan jika kalian bersyukur Allah ridha kepada kalian” (Q.S. Az-Zumar [39]: 7).

  1. Merupakan Sebab Selamatnya Seseorang Dari Azab Allah

Allah l berfirman, “Tidaklah Allah akan mengadzab kalian jika kalian bersyukur dan beriman. Dan sungguh Allah itu Syakir lagi Alim” (QS. An-Nisa [4]: 147).

  1. Merupakan Sebab Ditambahnya Nikmat

Allah l berfirman, “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu mengumumkan, ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih’” (Q.S. Ibrahim [14]: 7).

  1. Ganjaran Di Dunia dan Akhirat

Janganlah Anda menyangka bahwa bersyukur itu hanya sekedar pujian dan berterima kasih kepada Allah. Ketahuilah bahwa bersyukur itupun menuai pahala, bahkan juga membuka pintu rezeki di dunia. Allah l berfirman, “Dan sungguh orang-orang yang bersyukur akan kami beri ganjaran” (QS. Ali Imran [3]: 145). Imam Ath Thabari menafsirkan ayat ini dengan membawakan riwayat dari Ibnu Ishaq, “Maksudnya adalah, karena bersyukur, Allah memberikan kebaikan yang Allah janjikan di akhirat dan Allah juga melimpahkan rizki baginya di dunia” (Tafsir Ath Thabari, 7/263).

 

Refrensi :

 

Khalqurrahman

Alumni Teknik Sipil UII

 

 

 

 Mutiara Hikmah

Rasulullah ` bersabda,

Jika salah seorang di antara kalian melihat orang yang memiliki kelebihan harta dan bentuk (rupa dan badan) [al kholq], maka lihatlah kepada orang yang berada di bawahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

MERIDHOI TAKDIR UNTUK MENCAPAI RIDHO ALLAH

Seorang muslim wajib baginya mengimani perkara-perkara yang telah diberikan kepadanya berupa rukun iman. Seorang muslim yang baik bukan hanya mempercayai saja namun jug mengamalkan dari setiap bagian rukun iman yakni: Iman Kepada Allah, Iman Kepada Malaikat, Iman Kepada Kitab-kitab Allah, Iman Kepada Rasul, Iman Kepada Hari Akhir dan Iman Kepada Qodho dan Qodar. Sebagai penganut agama yang kaffah haruslah terpenuhi keseluruhan itu sesuai tuntunan dan arahan dari al-Qur’an dan Hadits.

Pada realitanya, sebagian manusia lupa dan lalai akan kewajibannya mempercayai hal yang sudah pasti tersebut. Manusia yang tersesat bisa saja melupakan Tuhannya dengan meniadakan Allah di setiap nafas hidupnya. Manusia bisa saja melupakan iman kepada malaikat dan hari akhir karena hati yang tersesat dengan tidak mempercayai suatu hal yang ghaib. Manusia bisa saja melupakan iman kepada kitab-kitab Allah, dan Rasul Allah. Namun manusia tidak bisa menghindari dari Qodho dan Qodar Allah. Oleh karena itu, seorang muslim akan dimintai pertanggungjawaban dari setiap perbuatan yang dikerjakannya.

Pengertian Qodho dan Qodar

Takdir atau lebih lengkapnya Qodho dan Qodar memiliki unsur ikatan kesinambungan.  Qodar berarti ketika Allah telah menetapkan sesuatu akan terjadi pada waktunya dan Qodho adalah tibanya masa ketika ketentuan yang telah ditetapkan terjadi. Oleh karenanya, Qodar yakni suatu ketetapan Allah berlaku terhadap segala sesuatu sejak zaman azali serta Qodho adalah pelaksanaan Qodar ketika terjadi.( Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd,2007)

Rasul SAW berkata:

أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ

Kamu beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir, dan kamu beriman kepada qadar yang baik maupun yang buruk. (HR. Muslim no. 8)

Semua yang terjadi di dunia ini sudah menjadi ketetapan dari Allah SWT seperti adanya pergantian siang dan malam, adanya alam yang indah, sebaliknya adanya hal-hal yang ditetapkan seperti bencana alam, musibah dan lain sebagainya. Begitu pula adanya perbedaan keadaan manusia, Allah menciptakan manusia dengan bermacam ragam, ada wujud yang sempurna atau kurang sempurna. Adapun Allah mengatur setiap kebutuhan manusia dan menempatkan kondisi manusia dalam berbagai macam hal yang berbeda. Karena yang sedemikian itu adalah sebuah ketentuan yang sudah pasti baik adanya dan seharusnya manusia juga mampu mengimani sampai sedalam itu.

Manusia dan Takdir

Hadits di atas menyebutkan takdir baik maupun buruk, oleh karena itu, manusia senantiasa mampu menyiapkan diri dan mental untuk menyambut bukan hanya suatu ketetapan yang diberikan kepada manusia dalam keadaan baik saja, namun juga manusia mampu mempersiapkan dalam keaadaan buruk juga. Manusia akan lebih mudah menerima jika dirinya diberi keadaan takdir yang baik seperti mendapatkan rezeki yang melimpah dan lain sebagainya. Namun, manusia akan susah menerima takdir baginya dalam keadaan buruk atau sebagai musibah dan cobaan. Karenanya sering kali manusia frustasi dan menempatkan prasangka buruk kepada takdir yang telah Allah berikan kepadanya.

Sejatinya manusia mampu membuat rencana yang hebat. Mampu merencanakan untuk mencapai kepentingan dan tujuannya dengan detail dan rinci. Akan tetapi, sebagus-bagusnya rencana manusia ketika Allah tidak meridhoi rencana itu terjadi manusia mampu berbuat apa. Mau tidak mau kita harus menerima apapun yang terjadi dalam hidup kita baik ataupun buruk. Sehingga kita seringkali tidak menerima keadaan dan seringkali menyalahkan takdir Allah yang salah terhadap dirinya. Manusia mulai merasa bahwa nikmat yang diberikan Allah adalah suatu ketidak adilan.

Musibah bisa saja menimpa kepada siapa saja terserah kehendak Allah. Misalnya, ketika seorang pedagang yang berjualan dari siang sampai malam, dirinya telah bekerja keras serta mempunyai perhitungan bahwa ketika hari itu akan sangat ramai, namun karena hujan lebat seharian alhasil pelanggan yang datang hanya sebanyak hitungan jari. Hal yang terjadi adalah pedagang tersebut tidak bisa menolak dari takdir yang demikian. Takdir yang demikian seringkali membuat kita jauh akan syukur kepada Allah.

Adapula perencanaan manusia yang telah merencanakan dan mempersiapkan tentang jodoh. Pada suatu hari, ada sepasang calon pengantin yang telah saling mengenal dengan cara ta’aruf sehingga mendapatkan keinginan yang sama yakni melangsungkan ke jenjang pernikahan. Keduanya telah merencanaka dengan matang apa saja yang diperlukan untuk melangsungkan pernikahannya. Undangan telah dicetak dan disebar luaskan, gedung pernikahan telah dipersiapkan, kedua belah pihak keluarga telah saling mempersiapkan kostum dan hari pelaksanaan dengan matang. Semua hal tersebut menurut renananya akan berjalan dengan sangat lancar dan baik, tidak akan ada suatu hal yang mampu menghentikan rencana mulia mereka. Akan tetapi pada hari berlangsungnya akad pernikahan, mempelai pria mengalami musibah kecelakaan dengan satu mobil rombongannya menuju lokasi pernikahan. Allah pun berkehendak lain, kecelakaan tersebut mengakibatkan meninggal dunia calon mempelai suaminya.

Hal-hal di atas seringkali membuat manusia akan merasa bahwa dunia tidak adil, takdir Allah tidak bagus dan merasa garis hidupnya tidak jelas. Namun akan tiba saatnya manusia akan menyadari apa yang telah direncanakan oleh Allah adalah suatu hal yang terbaik bagi hidupnya. Tidak sedikit juga di antara banyak manusia yang memiliki hati yang tangguh dengan mampu menerima dan selalu bersyukur dengan semua apa yang telah Allah tetapkan.

Rodhiatan Mardiyatan

Kebanyakan muslim ketika ditanyai apa yang mereka cari dalam hidup ini? Mereka selalu menjawab mencari ridho Allah, karena mereka ingin mendapat ridho dari Allah. Akan tetapi hal yang sebenarnya bahwa ridho Allah bukan untuk diminta dan dicari tetapi untuk mereka lakukan. Karena subjek utama ridho Allah adalah diri mereka sendiri yang harus ridho kepada Allah bahwa kemudian Allah ridho adalah hal yang otomatis. Karena tidak mungkin kalau mereka ridho dengan takdir Allah lalu Allah tidak meridhoi.

Rumus sederhana di puncak firman-firman Allah dengan siapa yang dipanggil Allah untuk memasuki hilir kemesraan cinta dengan Allah. Siapa yang kompatibel terhadap cinta Allah, karena unsur kompatibelnya adalah Rodhiatan Mardiyah. Hal ini sesuai dengan firman Allah:

يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ

Wahai jiwa yang tenang!

ارْجِعِي إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً

Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya. (Q.S.al-Fajr [89]: 27-28)

Dari dalil di atas menyebutkan bahwa semua manusia di muka bumi ini bisa jadi Allah meridhoi dan menerima amalan kita bisa jadi tidak, kecuali beberapa orang yang dijamin masuk surga oleh Allah seperti Rasulullah. Selain itu, semua manusia di dunia ini kedudukannya sama di mata Allah. Oleh karena itu, kita tidak usah sibuk mencari ridho Allah, akan tetapi kitalah yang harus terus menerus ridho kepada Allah karena rumusnya adalah Rodhiatan Mardiyah bukan terbalik Mardiyatan Rodhiah. Jadi kitalah yang harus memastikan setiap saat ridho kepada apapun saja yang Allah tentukan untuk kita, jika kita ridho dan terus ridho efeknya pasti diridhoi oleh Allah.

Hal yang disebut kita ridho kepada Allah adalah ridho kepada setiap aplikasi Allah dalam hidup kita. Misalnya jantung kita berdetak menandakan bahwa Allah mempunyai urusan dengan jantung kita dan kita harus ridho dengan nikmat demikian. Sebagaimana pohon, binatang dan alam itu adalah 100% ekspresi dari ridho. Oleh karena itu, temukanlah ridho karena manusia adalah makhluk yang diberi akal untuk mengambil jalan dari kehidupan maka setiap hari manusia harus menemukan yang mana saja dari perilaku kita hari ini yang diridhoi Allah dan mana saja yang tidak dirihoi. Termasuk yang mana perilaku kita yang mencerminkan ridho kepada Allah dan mana yang tidak itulah ukuran hidup.

seharusnya kita ridho berlangsung di setiap saat dalam hidup kita. Akan tetapi kebanyakan manusia tidak berdiri di fakta hidupnya, tidak berdiri di kenyataan hidupnya mereka berdiri di harapannya saja. Maka yang akan terjadi adalah akan selalu merasa kurang apa yang di dapat dari hidupnya. Namun jika kita ikhlas berpijak ditempat dan momentum yang Allah beri serta dengan meridhoi apa yang telah Allah karuniai kita sampai saat ini dengan posisi dan keadaan bagaimanapun. Maka ridho Allah akan menyertai keikhlasan kita untuk melangsungkan kehidupan kita.

Kesimpulan pada pembahasan Rodhiatan Mardiyatan adalah ketika umat muslim di dunia ini telah mengaplikasikan ridho untuk diridhoi, maka akan terciptanya hati yang senantiasa ikhlas kepada setiap ketentuan yang Alah berikan. Serta kita menjadi hamba Allah yang insyaAllah dimuliakan Allahkarena mendapatkan ridho Allah. Semoga kita semuanya menjadi hamba Allah yang pandai bersyukur atas ni’mat Allah dengan segala takdir-Nya.

Muhammad Athoillah.

Alumni FPSB 2014

Referensi

Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd, “Definisi Qadha’ Dan Qadar Serta Kaitan Di Antara Keduanya”, al-Manhaj, 7 Juli 2007, <https://almanhaj.or.id/2168-definisi-qadha-dan-qadar-serta-kaitan-di-antara-keduanya.html>, 16 April 2019

Mutiara Hikmah,

Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-hamba-Nya.

 (Q.S. Fushshilat [41]: 46)

TIGA JAMINAN DI SURGA BAGI LISAN YANG TERJAGA

Menjaga lisan adalah salah satu akhlak yang baik dan menjadi hal yang perlu untuk dibiasakan agar lisan tidak menjadi pisau  yang dapat melukai orang lain dan diri sendiri.  Kita pernah mendengar kalimat ‘talk less do more’ yang sangat familiar di telinga. Kurangi berbicara dan perbanyaklah melakukan sesuatu. Kalimat yang singkat namun memiliki banyak pesan yang dapat diambil terutama dalam kondisi di lingkungan saat ini. Orang-orang seolah berlomba-lomba untuk melontarkan berbagai opini dan menyerang lawan bicara, namun sudahkah kita berhenti sejenak dan berfikir akan dampak dari setiap perkataan yang dikeluarkan?

 

Talk Less

Terlepas dari berbagai isu yang hangat dibicarakan saat ini, kita sepakat bahwa perdebatan yang hanya berujung pada keburukan atau kemudharatan adalah perilaku yang sia-sia, hanya membuang energi, waktu dan kelak membawa dampak yang buruk bagi diri sendiri jika tidak bisa dipertanggungjawabkan. Pesan dari kalimat sederhana “talk less” ini bahkan sudah disampaikan sejak zaman Nabi Muhammad `, dari Abu Hurairah a bahwa Rasulullah ` bersabda, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam.” (H.R. Al-Bukhari, no. 6018; Muslim, no.47)

Berkata baik atau diam, terutama pada perdebatan yang hanya membuat gaduh dan adu opini tanpa solusi, perdebatan yang mengarah pada keburukan seperti mengadu domba, memfitnah dan perilaku buruk lainnya. Hal lain yang perlu kita sadari di zaman yang serba canggih seperti saat ini adalah, kita dapat dengan mudah menebar kebaikan atau bahkan keburukan melalui jari-jari tangan kita hanya dalam seper-sekian detik. Perkataan yang harus kita pertanggungjawabkan baik di dunia maupun di akhirat kelak bukan hanya perkataan secara langsung melalui mulut, namun juga perkataan-perkataan yang tersebar di media sosial.

Permusuhan yang terus bermunculan tak jarang berawal dari perkataan-perkataan yang melukai perasaan orang lain, akan sangat indah jika kita selalu dapat menjaga perkataan dan mempertanggungjawabkan kebenarannya sebelum melontarkannya kepada orang lain, terlebih jika kita bisa mengeluarkan perkataan ataupun hal-hal positif yang bersifat membangun. Dengan demikian kita telah mengikuti ajaran Nabi Muhammad l untuk menjaga lisan dan menjaga perasaan orang lain.

Menjaga lisan agar tidak berkata kotor adalah kebaikan. Berkata (berucap) yang mengundang keridhoan Allah namun dia tidak memperhatikan apa yang diucapkan akan mendatangkan kebaikan dari Allah. Dalam riwayat disebutkan dari Abu Hurairah a, Rasulullah ` bersabda, “Sungguh ada seorang hamba berbicara dengan satu kata yang mengundang keridhaan Allah, meskipun dia tidak terlalu memperhatikannya; namun dengan sebab satu kalimat itu Allah menaikkan beberapa derajatnya. Dan sungguh ada seorang hamba berbicara dengan satu kalimat yang mengundang kemurkaan Allah, sementara dia tidak memperhatikannya; dengan sebab satu kalimat itu dia terjungkal di dalam neraka Jahannam”. (H.R Bukhari 6478).

 

Tiga Jaminan di Surga

Penulis ingin membagikan suatu pesan menarik dari artikel yang berjudul ‘1+1=5’. Jika kita bertemu dengan lawan bicara yang melontarkan perkataan-perkataan yang tidak benar, maka hendaknya kita menghindar dari perdebatan yang mungkin terjadi. “…Even if you tell me 1+1 =5, you’re absolutely correct. Enjoy” sebuah quotes yang terdengar seperti candaan namun terdapat pesan dibaliknya.

Jika seseorang berdebat dan dengan jelas kita tahu bahwa apa yang dikatakan adalah sesuatu yang salah, seperti halnya dengan mengatakan bahwa 1+1 hasilnya 5 maka kita tidak perlu menanggapinya. Dan lagi, hal ini juga sebelumnya telah disampaikan oleh Nabi Muhammad `. Dari Abu Umamah Al-Bahili a berkata, telah bersabda Rasulullah `,  “Aku menjamin sebuah rumah di surga bagian bawah bagi siapa yang meninggalkan perdebatan sekalipun dia benar. Dan aku menjamin sebuah rumah di surga bagian tengah bagi siapa yang meninggalkan kebohongan sekalipun sedang bergurau. Dan aku menjamin sebuah rumah di surga bagian atasnya bagi siapa yang mulia akhlaknya.” (H.R. Abu Dawud no. 4800 dan dinilai hasan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 1464).

Terdapat 3 poin penting dari hadits diatas, (1) mengenai orang yang meninggalkan perdebatan sekalipun dia benar. Hal ini kurang lebih sama seperti dengan ilustrasi 1+1=5 sebelumnya, tinggalkan perdebatan maka jaminan rumah di surga bagian bawah akan diperoleh. (2) orang-orang yang memperoleh jaminan yang lebih tinggi yaitu rumah di surga bagian tengah bagi mereka yang meninggalkan perkataan bohong dan sia-sia terlebih jika kita dapat menjaga perkataan-perkataan buruk yang dapat memicu perdebatan. (3) adalah rumah di surga bagian atas yaitu bagi orang-orang yang berkata baik dan berbuat sesuatu untuk memberikan manfaat bagi lingkungannya karena akhlak yang mulia.

Ketiganya adalah jaminan yang teramat baik, namun alangkah bahagianya orang-orang yang bisa merasakan surga bagian atas karena akhlaknya yang mengikuti ajaran Nabi Muhammad ` dan taat atas perintah Allah `. Setiap bentuk kebaikan akan mendapatkan ganjaran kelak di akhirat dan sebagai umat Muslim kita bisa saling berlomba-lomba dalam kebaikan, salah satunya berlomba menjalin hubungan yang baik antar sesama manusia dan berusaha memberikan manfaat bagi orang lain untuk meraih keridhoan Allah l.

 

Tidak Selamanya Diam

Mengurangi berbicara atau menghindari perdebatan bukan berarti selamanya harus diam, setidaknya kita bisa melihat mana pembicaraan yang sehat untuk diluruskan dan mana perdebatan yang hanya memicu permusuhan antara kedua belah pihak. Berpendapat juga banyak dibutuhkan untuk menghasilkan suatu solusi karena Nabi pun mengajarkan kita untuk selalu bermusyawarah dan tidak egois dalam mengambil keputusan. Pada intinya kita akan menjadi pribadi yang lebih dewasa ketika kita dapat memilih forum yang tepat untuk berdiskusi dan bertukar pikiran serta dapat menghindari adu mulut yang berujung perselisihan.

 

Do More

Zaman milenial seperti sekarang ini dibutuhkan banyak kreatifitas dibandingkan sibuk mengkritik dan mengeluh dengan keadaan, apalagi saat ini orang-orang bisa mendulang kesuksesan tanpa pendidikan formal yang tinggi. Sebuah fakta yang tidak bisa dipungkiri ketika pada beberapa kasus, pendidikan formal dapat dikalahkan dengan kreatifitas. Namun, bukan berarti pendidikan formal dapat dengan mudah dikalahkan, faktanya masih banyak kebutuhan akan skill khusus yang hanya bisa dimiliki oleh orang-orang yang beruntung dapat mengenyam pendidikan tinggi.

Menjadi milenials yang sukses agaknya tidak bisa selalu bergantung kepada gelar pendidikan saja, namun kita perlu mencari potensi diri yang dapat kita kembangkan terutama jika dapat memberikan manfaat bagi lingkungan sekitar. Berbagai kemudahan teknologi seperti membuka peluang yang besar untuk melakukan kreatifitas, terutama dengan adanya media sosial yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan positif termasuk berdakwah. Berdakwah tidak hanya dilakukan oleh para penceramah, sebagai umat muslim yang termasuk dalam generasi milenial kita dapat berdakwah dengan berbagai cara yang lebih kreatif, baik dengan menebar pesan-pesan positif melalui postingan medsos atau melalui kegiatan-kegiatan sosial yang banyak diminati oleh masyarakat.

Berkontribusi dalam berbagai macam kegiatan positif dapat dimulai dari diri sendiri. Mulai membiasakan diri untuk lebih banyak berbuat dibandingkan mengeluh dan mulai disiplin untuk mengerjakan hal-hal kecil yang menjadi kewajiban kita. Jika sudah dimulai dari diri sendiri, maka kita dapat dengan  mudah ikut berkontribusi dalam kegiatan yang lebih besar baik di lingkungan kampus, tempat kerja, hingga di lingkungan masyarakat.

Kita bisa memilih menjadi orang yang menebar keburukan dan kebencian melalui lisannya atau menjadi orang yang dapat menebar kebaikan melalui perkataan yang positif dan menebar manfaat dengan melakukan hal-hal yang kreatif.  Wallâhu a’lam bish-shawwab.[]

 

*Iesya Reyadillah N.

Mahasiswa FMIPA UII

NIM. 15613187

Refresensi:

https://muslimah.or.id/5118-bicara-baik-atau-diam.html

https://mailchi.mp/aidaazlin/115-how-this-equation-gave-me-peace

Kajian Masjid Ulil Albab UII, Agamanya Millenial Presepsi Millenial Terhadap Islam, 9 Maret 2019.

 

 

Mutiara Hikmah

Rasulullah ` bersabda,

لَا تَغْضَبْ وَلَكَ الـجَنَّة

“Jangan marah, bagimu surga.” (HR. Thabrani dan dinyatakan shahih dalam kitab shahih At-Targhib no. 2749)

 

HUBUNGAN PEMIMPIN DAN YANG DIPIMPIN

 “Allah Pemimpin orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”.

(QS. Al-Baqarah [02]: 257).

 

Al-Qur’an telah menjelaskan bahwa Allah adalah pemimpin orang-orang beriman. Hal ini seperti firman-Nya diatas.

Azh-zhulumat (kegelapan) dalam ayat di atas adalah simbol dari segala bentuk kekufuran, kemusyrikan, kefasikan dan kemaksiatan. Atau dalam bahasa sekarang Azh-zhulumat adalah bermacam-macam ideology dan isme-isme yang bertentangan dengan ajaran Islam seperti komunisme, sosialisme, kapitalisme, liberalism, materialism, hedonism, dan lain sebagainya. Sedangkan an-nur adalah simbol dari ketauhidan, keimanan, ketaatan, dan segala kebaikan lainnya.

At-thaghut adalah segala sesuatu yang disembah (dipertuhan) selain dari Allah l dan dia suka diperlakukan sebagai Tuhan tersebut. Sederhananya Thaghut adalah segala sesuatu yang menentang kebenaran dan melanggar batas yang telah digariskan oleh Allah l untuk hamba-Nya. Dia bisa berbentuk pandangan hidup, peradaban dan lain-lain yang tidak berlandaskan ajaran Allah `.

Secara kepemimpinan Allah l itu dilaksanakan oleh Rasulullah `, dan sepeninggal beliau kepemimpinan itu dilaksankan oleh orang-orang yang beriman. Hal itu dinyatakan di dalam Al-Qur’an, Allah l berfirman, “Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah)”. (Q.S. al-Mâidah [05]: 55).

 

Kriteria Pemimpin

Pemimpin umat atau dalam ayat di ayat di istilahkan dengan waliy dan dalam ayat yang lain (Q.S An-Nisa’ [4]: 59) disebut dengan ulil amri adalah penerus kepemimpinan Rasulullah ` setelah beliau meninggal dunia. Sebagai Nabi dan Rasul, Nabi Muhammad ` tidak bisa digantikan, tapi sebagai kepala Negara, pemimpin, ulil amri tugas beliau dapat digantikan.  Orang-orang yang dapat dipilih menggantikan beliau sebagai pemimpin minimal harus memenuhi empat kriteria sebagai mana yang dijelaskan dalam surat Al-Mâidah ayat 55 di atas.

 

  1. Beriman Kepada Allah l.

Pemimpin ulim amri adalah penerus kepemimpinan Rasulullah `, sedangkan Rasulullah ` sendiri adalah pelaksana kepemimpinan Allah `, maka tentu saja yang pertama sekali harus dimiliki oleh penerus kepemimpinan beliau adalah keimanan (kepada Allah, dan Rasul-Nya bagaimana mungkin dia dapat diharapkan memimpin umat menempuh jalan Allah di atas permukaan bumi jika tidak memiliki iman di hatinya. Maka keimanan menjadi pondasi dasar kepemimpinan dalam Islam.

 

  1. Mendirikan Shalat.

Shalat adalah ibadah vertikal langsung kepada Allah l. Seorang pemimpin yang mendirikan shalat diharapkan memiliki hubungan vertikal yang baik dengan Allah l. Diharapkan nilai-nilai kemuliaan dan kebaikan yang terdapat di dalam shalat dapat tercermin dalam kepemimpinannya. Misalnya nilai kejujuran. Apabila wudhu’ seorang imam yang sedang memimpin shalat batal, sekalipun tidak diketahui orang lain dia akan mengundurkan diri dan siap digantikan orang lain, karena dia sadar bahwa dia tidak lagi berhak menjadi imam.

 

  1. Membayarkan zakat.

Zakat adalah ibadah mahdhah yang merupakan simbol kesucian dan kepedulian sosial. Seorang pemimpin yang berzakat diharapkan selalu berusaha mensucikan hati dan hartanya. Dia tidak akan mencari dan menikmati harta dengan cara yang tidak halal (misalnya dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme). Dan lebih dari pada itu dia memiliki kepedulian sosial yang tinggi terhadap kaum dhu’afa’ dan mustadh’afin. Dia akan menjadi pembela orang-orang yang lemah.

 

  1. Selalu Tunduk Patuh Kepada Allah l.

Ayat di atas disebutkan pemimpin itu haruslah orang-orang yang selalu ruku’ (wa hum raki’un). Ruku’ adalah simbol kepatuhan secara mutlak kepada Allah dan Rasul-Nya yang secara konkret dimanifestasikan dengan menjadi seorang muslim yang kafah (total), baik dalam aspek aqidah, ibadah, akhlaq, maupun mu’amalat. Aqidahnya benar (bertauhid secara murni dengan segala konsekuensinya, bebas dari segala bentuk kemusyrikan), ibadahnya tertib dan sesuai tuntunan Nabi, akhlaqnya terpuji (shidiq, amanah, adil, istiqamah, dansifat-sifat mulia lainnya). Dan mu’amalatnya (dalam seluruh aspek kehidupan) tidak bertentangan dengan syari’at Islam.

 

Kepatuhan Kepada Pemimpin

Kepemimpinan Allah l dan Rasul-Nya adalah kepemimpinan yang mutlak diikuti dan dipatuhi. Sedangkan kepemimpinan orang-orang yang beriman adalah kepemimpinan yang nisbi (relatif) kepatuhan kepadanya tergantung dengan paling kurang dua faktor: (1) Faktor kualitas dan integritas pemimpin itu sendiri; dan (2) Faktor arah dan corak kepemimpinannya. Kemana umat yang dipimpinnya mau dibawa, apakah untuk menegakkan dinullah atau tidak.

Perbedaan kepatuhan itu telah diisyaratkan oleh Allah l dalam firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu”. (QS. An-Nisa’ [04]: 59).

Perintah taat kepada Rasul disebutkan secara eksplisit seperti perintah taat kepada Allah l, semantara perintah taat kepada ulil amri hanya di ‘atafkan (diikutkan) kepada perintah sebelumnya. Artinya kepatuhan kepada ulil amri terkait dengan kepatuhan ulil amri itu sendiri kepada Allah dan Rasul-Nya. Ulil amri yang disebut dalam ayat ini ditafsirkan oleh Al-Mâidah 55 di atas, yaitu orang beriman yang mendirikan shalat, membayar zakat, dan selalu tunduk kepada Allah l.

Isyarat bahasa ini dipertegas oleh sabda Rasulullah `, “Seorang muslim wajib mendengar dan taat (kepada pemimpin –ed-) dalam perkara yang dia sukai atau benci selama tidak diperintahkan untuk bermaksiat. Apabila diperintahkan untuk bermaksiat, maka tidak ada kewajiban mendengar dan taat.” (H.R. Bukhari)

 

Untuk hal-hal yang sudah diatur dan ditetapkan oleh Al-Qur’an dan hadits, sikap pemimpin dan yang dipimpin sudah jelas, harus sama-sama tunduk pada hukum Allah. Tetapi dalam hal-hal yang bersifat ijtihadi, ditetapkan secara musyawarah dengan mekanisme yang disepakati bersama. Akan tetapi, apabila terjadi perbedaan pendapat yang tidak dapat disepakati antara pemimpin dan yang dipimpin, maka yang ditaati adalah pendapat pemimpin. Yang dipimpin kemudian tidak boleh menolaknya dengan alasan pendapatnya tidak dapat diterima.

 

Persaudaraan antara Pemimpin dan yang Dipimpin

Sekalipun dalam struktur bernegara (dan juga pada level di bawahnya) ada hirarki kepemimpinan yang mengharuskan umat atau rakyat patuh pada pemimpinnya, tetapi dalam pergaulan sehari-hari hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin tetaplah dilandaskan kepada prinsip-prinsip ukhuwah islamiyah, nukan prinsip atasan dengan bawahan, atau majikan dengan buruh, tetapi prinsip sahabat dengan sahabat. Demikianlah yang dicontohkan oleh Rasulullah `.

Kaum muslimin yang berada di sekitar beliau waktu itu di panggil dengan sebutan sahabat-sahabat, suatu panggilan yang menunjukkan hubungan yang horizontal, sekalipun ada kewajiban untuk patuh secara mutlak keppada beliau sebagai seorang Nabi dan Rasul. Hubungan persaudaraan seperti itu dalam praktinya tidaklah melemahkan kepemimpinan Rasulullah `, tapi malah semakin kokoh karena tidak hanya di dasari hubungan formal, tapi juga di dasari hubungan hati yang penuh kasih saying. (Disadur dari Prof. Dr. H. Yunahar Ilyas, Lc, M.A Kuliah Akhlaq, 2012, hal 247-251 dengan penambahan)

 

Cristoffer Veron P

Siswa Kelas XI SMK Muhammadiyah 1 Kota Yogyakarta

Prodi Teknik Komputer dan Jaringan

 

Mutiara Nasehat

 

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَيَنْصُرَنَّ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ

Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (Q.S. Al Hajj [22] : 40)

 

ULIL AMRI DAN WAJIBNYA TAAT KEPADANYA DALAM KEBAIKAN

Siapa yang dimaksud Ulil Amri?

Syaikh Shalih Al Fauzan ditanya, “Apakah prinsip ini, khusus untuk untuk penguasa yang berhukum dengan syariat Allah sebagaimana negeri kita yang diberkahi ini, ataukah umum untuk pemerintah kaum muslimin bahkan yang tidak berhukum dengan syariat Allah dan menggantinya dengan qawanin wadh’iyyah (hukum buatan manusia)?”Beliau menjawab: “Allah  berfirman: (yang artinya) “Dan ulil amri di antara kalian” (Q.S. An Nisâ’ [4]: 59). Maksudnya, dari kaum muslimin. Maka jika dia penguasa itu muslim, tidak kafir kepada Allah dan juga tidak melakukan salah satu dari pembatal-pembatal keislaman, maka dia adalah ulil amri yang wajib ditaati (Sumber: http://www.alfawzan.af.org.sa/node/13289).

Di sini beliau menjelaskan bahwa ulil amri itu setiap penguasa muslim secara mutlak baik diangkatnya secara syari’i atau pun tidak sesuai syari’at. Adapun pendapat yang mengatakan bahwa ulil amri itu hanya bila diangkat bila sesuai syariat saja adalah pendapat yang tidak memiliki pendahulu bahkan ia adalah pendapat yang diada adakan. Justru para ulama bersepakat bahwa orang yang menjadi pemimpin karena menang dalam revolusi maka ia wajib ditaati. Al-Hafidz Ibnu Hajar v berkata, “Para fuqaha telah berijma’ akan wajibnya menaati penguasa yang menang (dengan senjata) dan berjihad bersamanya. Dan bahwa menaatinya lebih baik dari memberontak kepadanya. Karena yang demikian itu lebih mencegah terkucurnya darah dan menenangkan kekacauan” (Fathul Baari 13/7).

Padahal memberontak itu tidak sesuai syariat, namun ketika ia menjadi penguasa dengan cara seperti itu, tetap ditaati dan dianggap sebagai ulil amri. Ini menunjukkan bahwa walaupun tata caranya tidak sesuai syariat, maka tetap ditaati sebagai ulil amri. Ini juga ditunjukkan oleh hadits, “Aku wasiatkan kalian agar bertaqwa kepada Allah, mendengar dan taat kepada pemimpin walaupun ia seorang hamba sahaya habasyah” (HR. At Tirmidzi)

Dalam pemilihan pemimpin secara syariat, hamba sahaya tak mungkin menjadi pemimpin karena semua ulama menyatakan bahwa syarat pemimpin adalah merdeka dan bukan hamba sahaya. Bila ia menjadi pemimpin pasti dengan cara yang tidak sesuai dengan syariat. Namun Nabi ` tetap menyuruh kita untuk menaatinya. Nabi ` juga mengabarkan akan adanya pemimpin yang tidak berhukum dengan hukum Allah. Beliau bersabda,   “Nanti setelah aku akan ada pemimpin pemimpin yang tidak mengambil petunjukku dan tidak pula melaksanakan sunnahku. Nanti akan ada di tengah-tengah mereka orang-orang yang hatinya adalah hati setan, namun jasadnya adalah jasad manusia. “Aku berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang harus aku lakukan jika aku menemui zaman seperti itu?”Beliau bersabda, ”Dengarlah dan ta’at kepada pemimpinmu, walaupun mereka menyiksa punggungmu dan mengambil hartamu. Tetaplah mendengar dan ta’at kepada mereka” (H.R. Muslim no. 1847).

Hadits ini tegas menunjukkan bahwa walupun mereka tidak mengambil petunjuk nabi dan sunnahnya, tetap harus ditaati dalam hal yang ma’ruf. Ini sebagai bantahan terhadap orang yang mengatakan bahwa bila pemimpin itu berhukum dengan selain hukum Allah maka tidak disebut ulil amri. Hadits ini juga membantah orang yang mengkafirkan setiap penguasa yang tidak berhukum dengan hukum Allah secara mutlak. Namun bukan berarti kita menyetujui perbuatan mereka. Wallahu a’lam.

 

Wajib Baiat Kepada Ulil Amri

Baiat ialah perjanjian untuk mendengar dan taat kepada pihak yang berkuasa atas urusan kaum muslimin (ulil amri). Baiat berlaku bagi setiap orang yang berada di dalam kekuasaannya. Menjaga janji dalam baiat hukumnya wajib, Allah l berfirman, “Bahwa orang-orang yang berjanji setia kepadamu (Muhammad), sesungguhnya mereka hanya berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan-tangan mereka, maka barang siapa melanggar janji, sesungguhnya dia melanggar janjinya sendiri dan barang siapa menepati janjinya kepada Allah, maka Dia akan memberinya pahala yang besar” (Q.S. al Fath [48]: 10).

Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya (no. 1851), dari Abdullah ibn Umar k, beliau berkata, aku mendengar Rasulullah ` bersabda, “Barangsiapa melepas tangannya (baiatnya) dalam mentaati pemimpin, ia akan bertemu dengan Allah di hari kiamat dengan tanpa memiliki hujjah, dan barangsiapa meninggal dalam keadaan tiada baiat di pundaknya maka matinya seperti mati jahiliyah.”Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) v, sebagaimana dalam Ushul As Sunnah hal. 64, berkata, “Wajib mendengar dan menaati para pemimpin dan amirul mukminin yang baik maupun yang fajir (berbuat kerusakan). Wajib pula menaati pemegang kuasa suatu kekhilafahan, dan setiap pemimpin yang disepakati oleh masyarakat, ataupun penguasa yang mengalahkan suatu wilayah dengan pedang (peperangan) hingga ia menjadi khalifah yang disebut amirul mukminin di wilayah tersebut.”

 

Mentaati Pemimpin dalam Kebajikan

Ta’at kepada pemimpin adalah suatu kewajiban sebagaimana disebutkan dalam Al-Kitab dan As-Sunnah. Di antaranya Allah l berfirman,  “Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (Q.S. An-Nisa’ [4]: 59)

Dalam ayat ini Allah menjadikan ketaatan kepada pemimpin pada urutan ketiga setelah ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya. Namun, untuk pemimpin di sini tidaklah datang dengan lafazh ‘ta’atilah’ karena ketaatan kepada pemimpin merupakan ikutan (taabi’) dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, apabila seorang pemimpin memerintahkan untuk berbuat maksiat kepada Allah, maka tidak ada lagi kewajiban dengar dan ta’at.Makna zhohir (tekstual) dari hadits ini adalah kita wajib mendengar dan ta’at kepada pemimpin walaupun mereka bermaksiat kepada Allah dan tidak menyuruh kita untuk berbuat maksiat kepada Allah.

Karena terdapat hadits Nabi ` dari Hudzaifah bin Al Yaman. Beliau ` bersabda, “Nanti setelah aku akan ada seorang pemimpin yang tidak mendapat petunjukku (dalam ilmu, pen) dan tidak pula melaksanakan sunnahku (dalam amal, pen). Nanti akan ada di tengah-tengah mereka orang-orang yang hatinya adalah hati setan, namun jasadnya adalah jasad manusia. “Aku berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang harus aku lakukan jika aku menemui zaman seperti itu?”Beliau bersabda, ”Dengarlah dan ta’at kepada pemimpinmu, walaupun mereka menyiksa punggungmu dan mengambil hartamu. Tetaplah mendengar dan ta’at kepada mereka.” (HR. Muslim no. 1847. Lihat penjelasan hadits ini dalam Muroqotul Mafatih Syarh Misykah Al Mashobih, 15/343, Maktabah Syamilah)

Padahal menyiksa punggung dan mengambil harta tanpa ada sebab yang dibenarkan oleh syari’at –tanpa ragu lagi- termasuk maksiat. Seseorang tidak boleh mengatakan kepada pemimpinnya tersebut, “Saya tidak akan ta’at kepadamu sampai engkau menaati Rabbmu.” Perkataan semacam ini adalah suatu yang terlarang. Bahkan seseorang wajib menaati mereka (pemimpin) walaupun mereka durhaka kepada Rabbnya.Adapun jika mereka memerintahkan kita untuk bermaksiat kepada Allah, maka kita dilarang untuk mendengar dan mentaati mereka. Karena Rabb pemimpin kita dan Rabb kita (rakyat) adalah satu yaitu Allah l oleh karena itu wajib ta’at kepada-Nya. Apabila mereka memerintahkan kepada maksiat maka tidak ada kewajiban mendengar dan ta’at. Rasulullah ` bersabda,  “Tidak ada kewajiban ta’at dalam rangka bermaksiat (kepada Allah). Ketaatan hanyalah dalam perkara yang ma’ruf (bukan maksiat).” (HR. Bukhari no. 7257)

Rasulullah ` juga bersabda,  “Seorang muslim wajib mendengar dan taat dalam perkara yang dia sukai atau benci selama tidak diperintahkan untuk bermaksiat. Apabila diperintahkan untuk bermaksiat, maka tidak ada kewajiban mendengar dan taat.” (HR. Bukhari no. 7144)

 

Bersabarlah Terhadap Pemimpin yang Zhalim

Ibnu Abil ‘Izz mengatakan, “Hukum mentaati pemimpin adalah wajib, walaupun mereka berbuat zhalim (kepada kita). Jika kita keluar dari mentaati mereka maka akan timbul kerusakan yang lebih besar dari kezhaliman yang mereka perbuat. Bahkan bersabar terhadap kezhaliman mereka dapat melebur dosa-dosa dan akan melipat gandakan pahala. Allah l  tidak menjadikan mereka berbuat zholim selain disebabkan karena kerusakan yang ada pada diri kita juga. Ingatlah, yang namanya balasan sesuai dengan amal perbuatan yang dilakukan (al jaza’ min jinsil ‘amal). Oleh karena itu, hendaklah kita bersungguh-sungguh dalam istigfar dan taubat serta berusaha mengoreksi amalan kita. Perhatikanlah firman Allah l  berikut, “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy Syura [42] : 30)

Allah l juga berfirman, “Dan demikianlah Kami jadikan sebahagian orang-orang yang zalim itu menjadi teman bagi sebahagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan.” (Q.S. al-An’am [6]: 129)

Apabila rakyat menginginkan terbebas dari kezhaliman seorang pemimpin, maka hendaklah mereka meninggalkan kezhaliman.

 

Musta’in Billah

Mahasiswa Ilmu Kimia
FMIPA UII

 

Referensi :

Disarikan dari penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin dalam Syarh Arba’in An Nawawiyah, hal. 279, Daruts Tsaroya)

Lihat Syarh Aqidah Ath Thohawiyah, hal. 381, Darul ‘Aqidah

Dikutip dari https://muslim.or.id/28789-siapa-yang-dimaksud-dengan-ulil-amri.html

Dikutip dari https://muslim.or.id/26277-wajibnya-baiat-kepada-ulil-amri.html

Dikutip dari https://rumaysho.com/3111-taat-pada-pemimpin-yang-zalim.html

 

Mutiara Hikmah

Rasulullah ` berpesan,

 

أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَ اْلسَّمْعِ وَ اْلطَّاعَةِ وَ إِنْ كَانَ عَبْدًا حَبَشِيًّا

Aku wasiatkan kepada kalian dengan taqwa kepada Allah  dan mendengar serta taat (kepada pemimpin) sekalipun dia adalah budak  Habsyi (orang hitam)” (HR. Ahmad 17144, Abu Dawud 4607, Turmudzi 2676 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

 

TABAYYUN DALAM MENERIMA BERITA

Pembaca yang berbahagia, saat ini sangat mudah berita hoax tersebar dan membuat resah masyarakat. Mungkin bertanya-tanya kenapa berita palsu bisa cepat menyebar di kalangan masyarakat. Bahkan dengan mudahnya masyarakat percaya dengan berita palsu tersebut. Di era media sosial ini, orang-orang semakin mudah mendapatkan informasi sekaligus mudah untuk menyebarkannya. Sudah tidak asing lagi yang namanya Facebook, Twitter, Whatssap, Line, Youtube. Dari semua media tersebut biasanya terdapat fasilitas untuk “membagikan” atau “meneruskan” informasi yang didapat. Paling tidak membagikan link website. Sehingga hanya dengan modal jempol untuk mengklik “membagikan” atau “meneruskan”, seseorang sudah bisa menjadi kurir informasi.

Sebuah pengalaman pernah terjadi kepada dua orang, sebut saja si A dan si B. Si A mengambil informasi di hp lewat screen shoot. Foto screen shoot yang diambil dijadikan story di WA. Si B yang melihat story tersebut merasa ada yang janggal dengan informasi yang di dapat si A. Si B kemudian menanyakan si A mengenai kebenaran informasi tersebut. Setelah ditanyakan, ternyata si A sebenarnya tidak tahu menahu mengenai informasi yang didapatkannya. Dia hanya merasa bahwa informasi tersebut benar, ditambah lagi si A tidak bisa memberi fakta dan data yang mendukung informasi.

Dari cerita tersebut dapat diambil pelajaran bahwa sebelum menyebarkan berita atau informasi, kita harus menelusurinya dengan teliti. Beritanya darimana, penulisnya siapa, kapan terjadinya, apakah sesuai dengan kejadian sesungguhnya atau tidak, bahkan bila perlu membandingkan sumber berita satu dengan yang lain. Hal ini agar mengetahui berita mana yang benar dan berita mana yang salah. Karena kebenaran itu mahal harganya.

Alasan pentingnya tabayyun dalam menerima berita adalah untuk menghindari dari kegiatan yang asal membagikan berita palsu. Berita palsu merugikan masyarakat. Masyarakat menjadi was-was ketika ada berita yang menakutkan, padahal belum terbukti kebenarannya. Terkadang orang lebih ingin mempercayai berita palsu daripada mencari fakta-fakta kebenarannya. Bisa saja berita palsu dibuat hanya karena ingin menghancurkan wibawa seseorang atau ingin usaha seseorang gagal.

Banyaknya berita hoax yang menyebar di berbagai media tidak lepas dari peran dari pembuat berita palsu yang terorganisir. Hal seperti ini harus diperhatikan oleh masyarakat agar tidak salah memahami. Tidak jarang ujaran kebencian menjadi sebuah tren dalam membuat berita hoax. Ujaran kebencian yang telah menyebar di masyarakat menjadi motivasi adu domba. Karena seringkali, ujaran kebencian dikaitkan dengan persoalan SARA, sehingga mudah terbawa emosi. Yang awalnya tidak ada perselisihan akhirnya terjadi perselisihan.

Di akhirat kelak, pertanggung jawaban yang diminta oleh Allah tidak hanya kepada pembuat berita saja, namun juga siapa yang menyebarkannya. Allah lberfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang datang membawa berita bohong itu adalah golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa perbuatan mereka itu membawa akibat buruk bagi kamu, bahkan itu adalah membaikkan. Setiap orang akan mendapat hukuman dari sebab dosa yang dibuatnya itu. Dan siapa yang mengambil bagian terbesar akan mendapat siksaan yang besar pula” (Q.S An-Nur [24] : 11)

Allah lberfirman, “Mengapa setelah mendengar berita-berita bohong itu orang-orang yang beriman, baik laki-laki ataupun perempuan, tidak meletakkan sangka yang baik terhadap dirinya, mengapa tidak mereka katakan bahwa berita ini adalah bohong belaka?” (Q.S An-Nur [24] : 12)

Allah lberfirman, “Ketika kamu sambut berita itu dari lidah ke lidah, kamu katakan dengan mulutmu perkara yang sama sekali tidak kamu ketahui, kamu sangka bahwa cakap-cakap demikian perkara kecil saja. Padahal dia adalah perkara besar pada pandangan Allah” (Q.S An-Nur [24] : 15)

Berita Bohong Pada Masa Rasulullah

Kisah berita hoax pada zaman Rasulullah pernah terjadi. Saat itu yang menjadi korban tuduhan berita palsu adalah istri Rasulullah `, yaitu Aisyah i. Berawal dari Aisyah i terpilih sebagai istri yang pergi bersama Rasulullah `. Karena bila Rasulullah ` akan keluar, dia akan mengundi di antara istri-istrinya.

Ketika hendak tiba ke Madinah, Rasulullah ` memberi aba-aba untuk berangkat. Aisyah i kehilangan kalungnya dari merjan zhiffar. Dia kemudian mencari kalung tersebut.  Singkat cerita Aisyah i tertinggal dari rombongannya. Rombongan yang bersamanya beranggapan bahwa istri Rasulullah tersebut telah berada dalam sekedup (atap dan dinding yang ditutupi oleh kain) unta.

Aisyah ` kemudian kembali ke tempat semula dan melihat rombongannya sudah pergi. Dia kemudian duduk dan termenung sendirian. Aisyah i kemudian ditemukan oleh Shafwan Ibnu Al Mu’aththil As-Sullami yang tertinggal di belakang para rombongan tentara dan berjalan semalaman. Aisyah i kemudian naik unta yang dibawa oleh Shafwan. Sementara Shafwan menuntun unta.

Sampai di Madinah, Aisyah i sakit selama satu bulan sehingga tidak keluar rumah. Sementara orang-orang menyebarkan berita bohong. Berita bohong antara lain seperti Aisyah telah berdua-duaan dengan Shafwan. Bahkan mereka dikabarkan berencana mengkhianati Rasulullah `. Berita tersebut telah menjadi rahasia umum di masyarakat (Hamka, 1976). Orang yang dibalikpenyebaran berita bohong tersebut adalah Abdullah bin Ubay.

Sama seperti masa sekarang, pada masa Rasulullah, orang-orang tidak melakukan penyelidikan maupun menggunakan akal untuk mempertimbangkan berita yang dituduhkan kepada Aisyah i.

Aisyah i selama dilanda sakit, dia tidak mengetahui tentang berita yang telah dibicarakan oleh masyarakat. Setelah keluar rumah karena ada kepentingan, barulah Aisyah radiyallahu ‘anha i mengetahui kabar tersebut dari Ummu Misthah. Mendengar kabar tersebut, Aisyah i menangis. Kemudian dia bercerita kepada orang tuanya.

Rasulullah ` kemudian menghampiri Aisyah i. Akhirnya turun ayat surat An-Nur mengenai tuduhan terhadap Aisyah i. Setelah turun wahyu, Rasulullah ` menjadi tahu bahwa berita tersebut adalah bohong. Kemudian Rasulullah ` menyampaikan wahyu tersebut kepada masyarakat. Pembaca yang dirahamti Allah bisa membaca cerita selengkapnya di Tafsir Al-Azhar karya Hamka, Juz 18 surat An-Nur ayat 11-18.

 

Solusinya Adalah Rajin Membaca

Agar kita sebagai masyarakat tidak tertipu oleh berita hoax adalah dengan rajin membaca. Dengan membaca, wawasan menjadi luas dan mendalam. Membaca juga dapat membantu menganalisis berita yang tersebar sehingga tidak asal mempercayainya mentah-mentah dan tidak asal menyebarkan. Karena masih banyak orang yang salah memahami hanya lantaran membaca judul saja. Maka dari itu penting untuk meningkatkan aktivitas membaca sehingga bisa menyimpulkan dengan baik terhadap informasi yang diterima.

Untuk menanggapi berita yang tersebar dengan cepat di berbagai media. Hal yang harus dilakukan adalah dengan membaca berita dengan teliti. Tidak hanya setengah-setengah, namun dibaca dari awal sampai habis. Mencari fakta atau data yang bisa mendukung berita. Memperhatikan kata-kata dengan seksama, sehingga jika ada kata-kata yang janggal maka bisa diteliti lebih mendalam.

Selanjutnya dalam menanggapi berita adalah dengan mengenal media yang memberikan informasi. Bisa jadi media yang memberi informasi mempunyai sifat keberpihakan maupun netral. Keberpihakan yang dimaksud adalah lebih condong kepada salah satu pandangan saja. Tidak jarang media mempunyai idealisme tersendiri. Berhati-hatilah dalam menyaring informasi yang disebar lewat media sosial karena bisa saja sumber tidak jelas. Di sms maupun WA, untuk menguatkan informasi bisa saja menggunakan nama profesor tertentu. Padahal nama yang tertera bisa saja hanya dibuat-buat atau ada orang yang memaparkan nama tertentu yang sebetulnya tidak pernah memberikan pernyataan.

Kemudian untuk meneliti berita yang lebih mendalam adalah dengan melakukan perbandingan berita antara media satu dengan media lainnya. Bisa jadi ada beberapa hal yang berbeda di media lain. Cara-cara tersebut dapat membantu pembaca dalam menerima berita sehingga nantinya tidak asal menyebar berita.

Apabila mendengar berita dari mulut ke mulut maka harus dilakukan tabayyun. Jangan sampai hanya mendengar gosip, kemudian langsung percaya saja. Melainkan perlu bukti yang nyata.Diteliti terlebih dahulu agar nantinya tidak menyakiti hati seseorang. Dengan belajar dari kisah Aisyah i dapat diambil hikmahnya bahwa akal sehat harus digunakan dengan sebaik-baiknya.

Semoga dengan tulisan ini, Pembaca semakin bijak dalam menanggapi berita. Karena berita bohong mudah dibuat dan mudah disebar. Apalagi di masa sekarang terdapat teknologi yang canggih seperti gadget yang membuat berita menyebar semakin cepat. Jika tidak berhati-hati dalam menelusuri berita dan ikut menyebarkan berita tanpa mengetahui fakta yang sesungguhnya, maka pertanggung jawabannya akan dimintai oleh Allah.

 

Muhammad Nafiuddin Fadly

Mahasiswa Hubungan Internasional

 

Mutiara Hikmah

 

Dari Abu Hurairah a dari Nabi ` bersabda,

“Ketika Allah menciptakan makhluk, Dia mencatat di dalam Kitab-Nya -Dia mencatat atas diri-Nya, dan Dia letakkan di sisi-Nya di atas Arsy-. Sesungguhnya Rahmat-Ku mengalahkan Murka-Ku.” (HR. Al-Bukhari No.7404)

PERHATIKAN NIATMU

Dari Amirul Mukminin Abu Hafsh ‘Umar bin Al-Khattab a, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah ` bersabda,“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.” (H.R. Bukhari, no.1 dan Muslim, no.1907)

 

Definisi Niat

Niat secara bahasa berarti al-qashd (keinginan). Sedangkan niat secara istilah syar’i, yang dimaksud adalah berazam (bertedak) mengerjakan suatu ibadah ikhlas karena Allah, letak niat dalam batin (hati).

Al-Fadhl bin Ziyad v berkata, “Aku pernah bertanya kepada Abu Abdullah -yakni Ahmad- tentang niat dalam beramal. Aku bertanya, ‘Apakah niat itu?’ Beliau menjawab, ‘Seseorang mengendalikan dirinya ketika hendak beramal agar tidak menginginkan pujian manusia.’” (Kitab Jami’ Al ‘Ulum Wa Al Hikam I/26).

Niat Letaknya Di Hati

Niat itu berarti bermaksud dan berkehendak. Letak niat adalah di dalam hati. Ibnu Taimiyah v mengatakan,“Niat itu letaknya di hati berdasarkan kesepakatan ulama. Jika seseorang berniat di hatinya tanpa ia lafazhkan dengan lisannya, maka niatnya sudah dianggap sah berdasarkan kesepakatan para ulama.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 18:262)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah v menjelaskan, “Siapa saja yang menginginkan melakukan sesuatu, maka secara pasti ia telah berniat. Semisal di hadapannya disodorkan makanan, lalu ia punya keinginan untuk menyantapnya, maka ketika itu pasti ia telah berniat. Demikian ketika ia ingin berkendaraan atau melakukan perbuatan lainnya. Bahkan jika seseorang dibebani suatu amalan lantas dikatakan tidak berniat, maka sungguh ini adalah pembebanan yang mustahil dilakukan. Karena setiap orang yang hendak melakukan suatu amalan yang disyariatkan atau tidak disyariatkan pasti ilmunya telah mendahuluinya dalam hatinya, inilah yang namanya niat.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 18:262)

 

Perlukah Melafalkan Niat?

Melafalkan niat tidak ada asalnya (tidak memiliki landasan) dalam agama Islam. Akan tetapi, hanya merupakan salah paham beberapa orang dari perkataan Imam Syafi’i ketika beliau mengatakan bahwa seseorang tidak sah (untuk) melakukan shalat kecuali harus dengan ucapan. Maksud dari ucapan beliau adalah ucapan takbiratul ihram, tetapi mereka menafsirkan dengan tafsir yang salah, yaitu melafalkan niat. Sebagai bukti maksud perkataan Imam Syafi’i adalah takbiratul ihram dan bukan melafalkan niat adalah sebagai berikut,

Setelah mengucapkan kalimat tersebut, Imam Syafi’i sendiri langsung membahas masalah takbiratul ihram. Kemudian tidak ada satu pun hadits yang shahih tentang melafalkan niat. Bahkan, tidak ada hadits yang lemah sekalipun tentang hal itu. Juga melafalkan niat tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah, para sahabatnya, para tabi’in, dan empat imam mazhab sekalipun. Orang-orang yang mengajarkan supaya melafalkan niat, ternyata berbeda-beda dalam lafalnya, padahal mereka semua mengaku bermadzhab Syafi’i. Ini menunjukkan bahwa imam mereka memang tidak pernah mengatakan hal ini dan mereka hanya membuat-buat tanpa dasar (hanya berdasarkan akal mereka).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah v berkata, “Sebagian pengikut Imam Syafi’i telah salah memahami perkataan Imam Syafi’i ketika beliau menyebutkan perbedaan antara shalat dan ihram. Dalam penjelasannya itu Imam Syafi’I mengatakan, “…shalat permulaannya adalah ucapan.” Sebagian pengikutnya itu memahami bahwa yang beliau maksudkan adalah mengucapkan niat, padahal yang beliau maksudkan tidak lain adalah takbiratul ihram.” (Kitab Majmu’ Al-Fatawa XVIII/362).

 

Macam-Macam Niat

Niat ada dua macam: (1) niat pada siapakah ditujukan amalan tersebut (al-ma’mul lahu), (2) niat amalan. Niat jenis pertama adalah niat yang ditujukan untuk mengharap wajah Allah dan kehidupan akhirat. Inilah yang dimaksud dengan niat yang ikhlas. Sedangkan niat amalan itu ada dua fungsi:

Fungsi pertama adalah untuk membedakan manakah adat (kebiasaan), manakah ibadah. Misalnya adalah puasa. Puasa berarti meninggalkan makan, minum dan pembatal lainnya. Namun terkadang seseorang meninggalkan makan dan minum karena kebiasaan, tanpa ada niat mendekatkan diri pada Allah. Terkadang pula maksudnya adalah ibadah. Oleh karena itu, kedua hal ini perlu dibedakan dengan niat.

Fungsi kedua adalah untuk membedakan satu ibadah dan ibadah lainnya. Ada ibadah yang hukumnya fardhu ‘ain, ada yang fardhu kifayah, ada yang termasuk rawatib, ada yang niatnya witir, ada yang niatnya sekedar shalat sunnah saja (shalat sunnah mutlak). Semuanya ini dibedakan dengan niat.

 

Ikhlash Syarat Diterimanya Amal

Al-Fudhail bin ‘Iyadh v menafsirkan firman Allah ` yang artinya, “…untuk menguji siapa di antara kamu yang paling baik amalnya.” (Q.S. al-Mulk [67]: 2)

Beliau berkata, “Yakni, yang paling ikhlas dan paling benar dan (sesuai tuntunan Allah). Sesungguhnya amal itu apabila ikhlas tapi tidak benar maka tidak akan diterima; dan apabila benar tetapi tidak ikhlas juga tidak akan diterima. Jadi harus ikhlas dan benar. Suatu amalan dikatakan ikhlas apabila dilakukan karena Allah, dan yang benar itu apabila sesuai Sunnah Rasulullah.” (Kitab Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam I/36).

 

Hadirkan Niat Ikhlash Saat Beramal

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin v berkata, “Dan wajib atas seseorang mengikhlaskan niat kepada Allah dalam seluruh ibadahnya dan hendaklah meniatkan ibadahnya semata-mata untuk mengharap wajah Allah dan negeri akhirat. Inilah yang diperintahkan oleh Allah ldalam firman-Nya, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.” (Q.S. al-Bayyinah [98]: 5)

Yakni, mengikhlaskan niat setiap amalan hanya kepada-Nya. Hendaknya kita menghadirkan niat dalam semua ibadah, misalnya ketika wudhu; kita niatkan berwudhu karena Allah l dan untuk melaksanakan perintah Allah l. Tiga perkara berikut (yang harus dihadirkan dalam niat): (1). Berniat untuk beribadah, (2). Berniat beribadah tersebut karena Allah semata, dan (3). Berniat bahwa ia menunaikannya demi melaksanakan perintah Allah.” (Kitab Syarah Riyadhus Shalihin I/10).

 

Pahala Amalan Bergantung Pada Niat

Rasulullah ` bersabda, “Sesungguhnya segala amalan itu tidak lain tergantung pada niat.” Imam An-Nawawi berkata, “Jumhur ulama berkata, ‘Menurut ahli bahasa, ahli ushul dan yang lain lafadz إِنَّمَا digunakan untuk membatasi, yaitu menetapkan sesuatu yang disebutkan dan menafikan selainnya. Jadi, makna hadits di atas adalah bahwa amalan seseorang akan dihisab (diperhitungkan) berdasarkan niatnya dan suatu amalan tidak akan dihisab bila tidak disertai niat.” (Kitab Syarah Shahih Muslim XIII/47).

Abdullah bin al-Mubarak v berkata, “Bisa jadi amal shalih yang kecil dibesarkan nilainya oleh niat, dan bisa jadi amal shalih yang besar dikecilkan nilainya karena niat pula.” (Kitab Jami’ al-‘Ulum Wa al-Hikam 1/35).

 

Berniat Tapi Terhalang

Orang yang berniat melakukan amalan shalih namun terhalang melakukannya bisa dibagi menjadi dua: Pertama, amalan yang dilakukan sudah menjadi kebiasaan atau rutinitas (rajin untuk dijaga). Lalu amalan ini ditinggalkan karena ada uzur, maka orang seperti ini dicatat mendapat pahala amalan tersebut secara sempurna. Sebagaimana Nabi ` bersabda, “Jika salah seorang sakit atau bersafar, maka ia dicatat mendapat pahala seperti ketika ia dalam keadaan mukim (tidak bersafar) atau ketika sehat.” (H.R. Bukhari,no.2996). Kedua,  jika amalan tersebut bukan menjadi kebiasaan, maka jika sudah berniat mengamalkannya namun terhalang, akan diperoleh pahala niatnya (saja).

Dalilnya adalah seperti hadits yang kita bahas kali ini. Begitu pula hadits  mengenai seseorang yang  diberikan harta lantas ia gunakan dalam hal kebaikan, di mana ada seorang miskin yang berkeinginan yang sama jika ia diberi harta. Orang miskin ini berkata bahwa jika ia diberi harta seperti si fulan, maka ia akan beramal baik semisal dia. Maka Nabi ` bersabda, “Ia sesuai niatannya dan akan sama dalam pahala niatnya.” (H.R. Tirmidzi no.2325. Syaikh  al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).  (Lihat pembahasan Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin dalam Syarh Riyadh Ash-Shalihin, 1:36-37).

 

Musta’in Billah

Mahasiswa Ilmu Kimia FMIPA UII

 

Referensi

Jami’ Al ‘Ulum Wal Hikam, karya Al-Hafizh Ibnu Rajab (736-395 H.), Tahqiq Syaikh Thariq bin ‘Awadhullah bin Muhammad, Cet. ke-1 Th. 1415 H./1995 M., Dar Ibnul Jauzi, Dammam – KSA.

Majmu’ Al-Fatawa, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (661-728 H.), dikumpulkan dan disusun oleh Syaikh Abdurrahman bin Muhammad bin Qasim An-Najdi dibantu oleh anaknya, Muhammad.

Majmu’ah Al-Fatawa. Cetakan keempat, Tahun 1432 H. Syaikhul Islam Ahmad bin Taimiyah Al-Harrani. Penerbit Dar Al-Wafa’.

Syarah Riyadhus Shalihin, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, Cet. ke-1 Th. 1415 H./1995 M., Dar Al-Wathan, Riyadh – KSA.

Syarah Shahih Muslim, karya Imam An-Nawawi (607 H.), Cet. ke-1 Th. 1415 H./1995 M., Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, Beirut – Lebanon.

 

 

JADIKAN IKHTIARMU SEBAGAI SENJATA KEBAIKAN

Islam mengajarkan tata cara dan etika dalam berhubungan dengan mahluk hidup yang ada di muka bumi ini. Dengan segala keterbatasan manusia, maka hal yang terpenting adalah bagaimana ia dapat memberikan manfaat yang banyak bagi orang lain, itulah sebaik-baik manusia yang beriman. Ikhtiar adalah berusaha, bekerja keras bergerak untuk menggapai sesuatu. Berikhtiar berarti melakukan sesuatu dengan segenap daya dan upaya untuk menggapai sesuatu yang di ridhoi oleh Allah I. Banyak ayat yang menjelaskan tentang pentingnya manusia untuk berikhtiar, sehingga daya dan upaya yang dilakukannya akan menjadi kebaikan bagi dirinya maupun orang lain serta bernilai ibadah di sisi Allah I. Salah satu ayat yang menjelaskan tentang pentingnya ikhtiar ini adalah;

“Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (An Nisa [4] : 32)

Dari ayat tersebut banyak hikmah dan pelajaran yang dapat kita ambil darinya. Salah satunya adalah sesungguhnya karunia Allah I akan datang kepada mereka yang senatiasa berusaha dengan bersungguh-sungguh dalam berikhtiar. Kendati hasil dan karunia yang akan didapatkan tidak sesuai dengan apa yang ia perjuangkan. Namun, hal itu tidaklah menjadi kekecewaan bagi mereka orang-orang yang beriman. Karena mereka yakin, bahwa ketetapan Allah berupa hal yang baik atau buruk merupakan karunia terindah yang diberikan oleh Allah I kepada hamba-Nya. Setiap muslim yang beriman dan yakin akan adanya hari pembalasan maka mereka senantiasa berikhtiar dan memohon segala sesuatu (kebaikan) hanya kepada Allah I. Dan ia yakin setiap langkah dan benih-benih usaha yang ia lakukan tidak akan sia-sia karena akan bernilai ibadah di sisi sang Allah I ‘ yang maha Pencipta.

Seorang muslim sejati adalah mereka yang senantiasa berikhtiar atas apa yang ia lakukan walaupun ia mempunyai ilmu yang sangat matang dalam profesi yang ia miliki, sebagaimana seorang dokter yang ahli dalam bidangnya, maka ia harus sadar bahwa ilmu yang dimilikinya hanyalah salah satu karunia Allah I yang diberikan kepadanya. Maka peran dokter dalam menyembuhkan penyakit pasien adalah jalan ikhtiar, bukan sang penentu penyembuhan. Karena hak kesembuhan dan sehat seseorang adalah murni hak prerogratif Allah I. Maka tak heran jika banyak rumah sakit Islam yang tidak hanya mengobati penyakit yang ada di dalam tubuh, namun lebih dari itu, para dokter juga memberikan resep rohani yang akan mengantarkan pasien untuk tetap setiap beribadah dan berikhtiar agar mendapatkan kebaikan dari penyakit yang ia derita.

Begitupun juga dengan seorang ayah yang shalih, ayah yang shalih dan tinggi imannya kepada Allah I harus sadar bahwa, ia tidak akan mampu menjadikan anak-anak keturunannya menjadi shalih sebagaimana dirinya. Karena hak keshalihan datangnya dari Allah I yang menguasai tiap diri kita. Maka pendidikan yang ia berikan kepada anak-anaknya merupakan bulir-bulir embun keteladanan sebagai bentuk ikhtiar dan ibadah pengorbanan untuk anak yang telah di amanahkan Allah I kepadanya. Sebagaimana ketika Allah I menjadikan keluarga Nabi Ya’qub u sebagai bukti sejarah kebaikan yang dimiliki oleh umat Islam. Dalam al-Quran Allah I menjelaskan kisah Nabi Ya’qub u sebagai salah satu Nabi teladan bagi umatnya dalam kehidupan berkeluarga.

Namun keteladanan yang dimiliki oleh Nabi Ya’qub u tidak lantas menjadikan anak-anak yang dimilikinya menjadi anak-anak yang shalih. Maka kita temui dari kedua belas anak yang dimilikinya hanya dua orang yang soleh serta menjalankan perintah dan keteladanan yang ia ajarkan yaitu nabi Yusuf ‘alaihissalam dan Bunyamin saudaranya. Hal tersebut terukir dalam al-Qur’an surat Yusuf [12]: 7-8. Kebaikan dan keteladanan saja tidak cukup sebagai  bentuk ikhtiar untuk menjadikan anak-anak kita menjadi anak yang shalih serta taat dalam menjalankan perintah agama. Lebih dari itu, kita juga harus senantiasa bersyukur dan bersabar atas apa yang menimpa kita, sekalipun hal tersebut merupakah hal yang menyakitkan bagi kita, tapi yakin lah bahwa itu itu adalah skenario terbaik yang Allah berikan.

Bagitupun juga halnya dengan peristiwa yang pernah dituliskan dalam sejarah Islam tentang perjuangan bunda Hajar istri dari Nabi Ibrahim. Bunda Hajar adalah sosok wanita yang menjadikan setiap ikhtiarnya menjadi sebuah kebaikan. Maka dengan kesungguhannya, kita selalu mengenang peristiwa ini dalam rangakaian ibadah haji maupun umroh yaitu sa’i antara bukit Shafa dan Marwah. Bunda Hajar menaiki dua bukit ini sebagai bentuk ikhtiar kepada Allah I  dengan usaha tanpa lelah demi sang buah hati tercinta serta naluri seorang ibu serta kasih sayangnya. Hal inilah yang membawa bunda Hajar menjadikan ikhtiar sebagai satu-satunya senjata untuk mengharapkan karunia yang datang untuk kebaikan keluarganya.

Namun karunia itu tidak datang melalui dirinya, Allah I lebih suka memberikan karunia air zam-zam ini lebih dekat kepada anaknya tercinta yaitu Nabi Ismail u. Maka dengan kebaikan yang ikhlas dan perjuangan tanpa lelah, serta kerja keras dalam berusaha telah menjadikan peristiwa ini akan terus dikenang setiap masa oleh umat Islam. Maka perjuangan yang baik akan melahirkan kebaikan selanjutnya. Oleh sebab itulah pelajaran yang penting untuk kita semua dari kisah tersebut adalah do’a dan usaha adalah sebuah satu kesatuan, maka tak dapat dipisahkan satu sama lain, sehingga akan menjadi buah kebaikan pada masa yang akan datang.

Dan yang tidak kalah penting juga adalah ketika Allah I menceritakan peristiwa perjalanan Nabi Musa u yang mendapatkan kesusahan tatkala ia dikejar oleh musuh Allah I yaitu prajurit dari kerajaan Fir’aun seorang raja yang kejam lagi sombong. Maka dengan segenap usaha dan do’a yang selalu ia panjatkan. Ia pun berikhtiar dan berusaha untuk selalu melakukan kebaikan dengan memberikan pertolongan kepada siapapun. Walaupun dirinya sebenarnya juga pantas diberikan pertolongan. Oleh sebab itulah dengan komitmen ini Allah I mendatangkan ujian kebaikan kepada Nabi Musa u manakala ia melihat ada pengembala yang tak mampu memberikan minum kepada ternak-ternaknya. Dan Nabi Musa u pun menolong dengan ikhlas dan hanya mengharapkan imbalan hanya dari Allah I, kemudian seraya ia berdo”a, “Ya Tuhan-ku, sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan (makanan) yang Engkau Turunkan kepadaku.” (Q.S Al Qhasas [28] : 24).

Maka tak lama berselang Allah I mendatangkan salah seorang dari pengembala yang di tolongnya itu untuk menghampirinya dengan rasa malu. Dan ia pun meminta Nabi Musa u untuk menghadap ayah mereka tercinta. Dengan keikhlasan dan kebaikan yang telah usahakannya oleh nabi Musa u maka Ayah dari wanita pengembala ini memberikan hadiah kebaikan untuk Nabi Musa u dan menjadikan salah satu anaknya tersebut untuk menjadi istri bagi dirinya. Kita banyak mengenal sifat agung yang dimiliki oleh Nabi Musa u. Nabi yang mempunyai kekuatan lebih di antara manusia yang ada pada masa itu, nabi yang mempunyai banyak ilmu dan kebijaksanaan dalam berbuat dan bertindak. Bahkan  do’a-do’a yang keluar dari lisan beliau kita jadikan salah satu do’a dalam menuntut ilmu yaitu terdapat dalam al Quran surat Toha.

Tak sampai hanya di situ, beliaupun mendapatkan pekerjaan yang baik, dan dapat menghidupi keluarganya dengan baik serta diberi hadiah berupa tongkat yang akan digunakan untuk mengembalakan ternak dan menjadi mukjizat yang luar biasa dalam berdakwah. Maka salah satu pelajaran penting bagi kita dalam melakukan kebaikan adalah bersungguh-sungguh berusaha dan tetap istqomah dalam kebaikan walaupun kita harus menghadapi pahitnya perjuangan.

Senjata merupakan sebuah alat. Maka sebaik-baik senjata adalah menggunakannya dengan kebaikan pula. Oleh sebab itulah dalam mengahadapi ujian ini, berikhtiar dan tetap berusaha dengan segala daya dan upaya yang kita miliki adalah bentuk kebaikan yang akan melahirkan kebaikan-kebaikan berikutnya. Sehingga setiap langkah dan jalan yang kita pilih akan selalu mendapatkan pahala kebaikan di sisi Allah I. Sedangkan keberhasilan atas perjuangan yang kita lakukan adalah bonus dan hadiah terbaik yang Allah I berikan kepada kita sebagai bentuk karunia-Nya.

Hal lain yang perlu diperhatikan juga, bahwasannya ikhtiar bukanlah melakukan seuatu yang tanpa rencana dan strategi. Bukan pula melakukan sesuatu yang biasa-biasa saja. Maka dari itu sudah sepantasnya kita sebagai muslim sejati harus pandai untuk mengatur strategi kebaikan dalam berikhtiar. Membuat rencana yang terstruktur sehingga ikhtiar kita adalah senjata yang akan menghasilkan kebaikan berikutnya. Dengan strategi terbaik kita dalam berikhtiar, semoga do’a dan usaha menjadi satu senjata kebaikan yang ada di dalam hati setiap umat Islam.

Dalam ajaran Islam, pahala bukan saja didapatkan manakala kita sudah berbuat sesuatu. Namun Islam juga mengajarkan bahwasannya niat dalam perkara kebaikan juga akan menghantarkanya kepada pahala yang ada di sisi Allah I. Maka ingatlah selalu yang Allah I ajarkan melalui firman-Nya yang termaktub dalam al-Qur’an; “Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat jahat, maka (kerugian kejahatan) itu untuk dirimu sendiri.”. (Q.S al Isra [17] : 7).

Wallauhu’alam.

 

Romi Padli

Alumni Magister Ilmu Agama Islam 2018

Universitas Islam Indonesia