SETAN ADALAH MUSUH YANG SEBENARNYA

Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu.”

(Al-Baqarah [2]: 168)

Pada saat mendengar istilah “jin” atau pun “setan”, maka dalam benak sebagian orang muncul rasa takut dalam menghadapinya. Hal ini tidak sepenuhnya salah, karena memang banyak faktor yang dapat menimbulkan hal tersebut. Di antaranya, adanya peran dari media yang memberikan stigma itu hampir setiap hari, yaitu jin atau pun setan adalah makhluk yang menyeramkan, makhluk yang selalu menganggu, makhluk yang sangat mudah terusik dengan keberadaan manusia, dan sebagainya. Padahal, kita sebagai manusia dan mereka sama-sama merupakan makhluk Allâh I yang dibebani hukum untuk beribadah kepadaNya sebagaimana tersurat dalam Q.S. adz-Dzâriyât [51]: 56, yang artinya “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu”. Semua selain Allâh I disebut sebagai makhluk, apa dan bagaimanapun  bentuknya, karena Allâh lah al-Khâliq (Yang Menciptakan) dan selainnya adalah al-makhluq (yang diciptakan).

Dari ayat tersebut di atas, kita dapat mengambil pelajaran bahwa antara manusia dan jin ada titik persamaan, yaitu masing-masing mempunyai kemampuan untuk memilih jalan yang baik atau buruk. Kita sering mendengar juga bahwa selain jin, makhluk yang seringkali mengganggu manusia adalah setan. Ternyata, setan yang banyak diceritakan Allâh I kepada kita dalam al-Qur’ân, adalah termasuk golongan jin. Dari penjelasan tersebut, kita pahami bahwa “jin” itu merupakan sebuah nama untuk suatu makhluk yang Allâh ciptakan dari api dan “setan” atau pun “iblis” itu merupakan julukan untuk jin. Mengenai hal ini akan dijelaskan selanjutnya.

Dalam sebuah buku karya Dr. Umar Sulaiman Al-Asyqar yang diterjemahkan oleh H.T. Fuad wahab dengan judul “Menembus Dunia Jin dan Setan” disebutkan bahwa terdapat beberapa nama jin. Dalam bukunya tersebut, beliau mengutip pendapat dari Ibnu Abdil Bar yang mengatakan bahwa jin menurut ahli bahasa terdiri dari beberapa tingkatan (Al-Asyqar, 2006):

  1. Kalau yang mereka maksudkan jin secara mutlak, maka mereka sebut jinniyyȗn,
  2. Jika yang mereka maksudkan adalah jin yang tinggal bersama manusia, maka mereka sebut ‘âmir bentuk jamaknya ‘ummâr,
  3. Jika yang mereka maksudakan jin yang biasa mendatangi anak-anak, maka mereka sebut arwâh,
  4. Jika yang mereka maksudkan adalah jin yang jahat dan merintangi kebaikan, maka mereka sebut setan,
  5. Jika yang mereka maksudkan adalah jin yang lebih jahat dan lebih mempunyai kemampuan, maka mereka sebut ‘ifrît.

Selain penjelasan tersebut, istilah “setan” digunakan sebagai julukan untuk jin yang putus asa dari rahmat Allâh I, sedangkan “iblis” digunakan sebagai julukan untuk jin yang penuh dengan tipu muslihat.

Kita semua harus meyakini adanya jin, tetapi bukan berarti kita harus takut apalagi malah tunduk kepadaNya. Karena bagaimana pun, berbagai dalil telah menyebutkan dengan jelas bahwa jin termasuk kedalam makhluk Allâh I. Di sisi lain, kita pun harus meyakini bahwa manusia, sejatinya adalah makhluk Allâh yang paling mulia, tetapi kemuliaan ini tidak pantas menjadikannya sombong terhadap makhluk lainnya. Jika kesombongan itu ada, maka bisa mengakibatkan derajatnya akan jauh lebih rendah daripada iblis dan akan menyebabkan Allâh I sangat marah. Dalam sebuah Hadits Qudsi disebutkan: “Kemuliaan adalah sarungKu dan kesombongan adalah selendangKu. Siapa saja yang mencabut salah satu dari kedua pakaianKu itu, maka pasti Aku akan menyiksanya” (H.R. Muslim). Maksud dari kata mencabut dalam hadits tersebut ialah merasa dirinya paling mulia atau berlagak sombong. Sebaliknya, jika manusia melakukan ketaatan yang sebaik-baiknya kepada Allâh I, maka bukan hal yang mustahil, ia menjadi lebih mulia daripada malaikat. Hal itu adalah karena manusia, oleh Allâh diberikan anugerah yang lengkap berupa jasad, ruh, hati, akal dan nafsu. Kelima hal itulah yang dapat mengubah kedudukannya, terutama dalam penggunaan akal dan nafsu.

Permusuhan dan peperangan antara manusia dan setan akan berlangsung terus menerus sampai hari kiamat. Akar dari permusuhan ini tidak lain adalah karena keangkuhan dan kesombongan setan atau iblis dan bermula ketika ia enggan bersujud kepada Nabi Adam sebagai bentuk penghormatan kepadanya. Banyak ayat-ayat al-Qur’ân yang memberi peringatan kepada kita agar selalu waspada terhadap bujukan setan dan keterampilannya dalam menyesatkan manusia dengan ketekunan dan semangat yang tinggi. Bagaimana tidak, setan yang pertama kali mengganggu manusia, oleh Allâh I diberikan penangguhan kematian hingga hari kiamat, sehingga strategi setan dan para pengikutnya dalam menyesatkan manusia terus menerus diperbarui, yang akibatnya cara setan berperang dengan manusia semakin penuh dengan tipu muslihat. Semakin tinggi kualitas seorang manusia dalam hal ketakwaan kepada Allâh I, maka semakin tinggi pula kualitas tipu muslihat setan untuk mengganggunya. Cara setan mengganggu orang biasa tentu akan berbeda dengan cara setan mengganggu seorang yang berilmu.

Dari penjelasan di atas, kita sebagai manusia yang beriman, tentu harus memposisikan setan sebagai musuh yang sebenarnya sekaligus harus mewaspadai tipu dayanya. Rasa dendam yang dimiliki setan semenjak diusir dari surga akan terus membakar semangatnya dalam menyesatkan manusia sampai datangnya hari kiamat. Tidak ada satu manusia pun yang terlepas dari gangguan setan. Oleh karena itu, mari kita sama-sama mencermati beberapa teknik setan dalam menyesatkan manusia.

  1. Menghiasi kebatilan.
  2. Lalai atau berlebihan.

Tentang masalah ini, Ibnu Qayyim mengatakan bahwa setiap ada perintah Allâh, setan punya dua pilihan; pertama mendorong lalai dan kedua berlebihan. Setan mendatangi hati manusia dan mendeteksinya. Jika ia mendapati seorang hamba yang kurang semangat, lalai dan hanya menginginkan keringanan-keringanan saja, maka setan menempuh jalan ini; dirintanginya, disuruhnya diam, ditimpakan kemalasan, dan sebagainya. Jika setan menemukan orang yang selalu siaga, rajin, penuh semangat, maka ia tidak menempuh cara tadi. Ia justru perintahkan orang itu untuk lebih rajin lagi dan tidak merasa cukup atas amal yang telah dikerjakannya; tidak tidur kalau orang lain tidur, tidak buka puasa kalo orang lain berbuka, dan sebagainya yang pada intinya adalah berlebihan. Yang pertama manusia didorong untuk tidak mengerjakan perintah, sedangkan yang kedua untuk melampaui batas. Banyak orang yang terperdaya dengan usaha setan yang kedua ini dan tidak selamat, kecuali orang yang berilmu dengan mendalam, punya keimanan dan kekuatan untuk melawan setan, dan selalu menempuh jalan tengah (shirâthal mustaqîm).

  1. Merintangi amal dan menganjurkan menangguhkannya
  2. Memberikan janji-janji dan membangkitkan angan-angan
  3. Berpura-pura menasihati.

Ada sebuah kisah yang sangat penting untuk kita ambil hikmahnya, yaitu tentang seorang ahli ibadah di kalangan Bani Israil yang tergolong shalih pada saat itu. Pada saat itu, terdapat tiga orang laki-laki bersaudara yang mempunyai seorang saudara perempuan yang masih perawan dan tidak mempunyai sanak saudara yang lainnya. Ketika ketiga saudara laki-lakinya bermaksud ikut berperang, mereka kebingungan. Kepada siapa saudara perempuannya harus dititipkan; siapa yang akan melindunginya dan menyediakan keperluannya selama mereka tidak ada. Setelah lama, terpikirlah oleh mereka bahwa yang paling aman dan paling dapat dipercaya untuk menitipkan adiknya adalah kepada ahli ibadah orang Israil. Pada awalnya, ahli ibadah itu bersikeras menolaknya, tetapi setelah didesak oleh mereka, akhirnya dia mau menerima saudara perempuannya itu untuk tinggal di sebuah rumah dekat biaranya. Pada awalnya, kewajiban sang ahli ibadah atas perempuan tersebut ditunaikan dengan sewajarnya dan dengan penuh kehati-hatian, akan tetapi setan mulai melancarkan serangan tipu dayanya secara perlahan dan bertahap, hingga pada akhirnya berbagai maksiat pun dilakukan oleh sang ahli ibadah tadi yang menyebabkannya harus dihukum pancung, dan pada akhirnya ia mati dalam keadaan sȗul khâtimah. Na’ȗdzu billâhi min dzâlika.

  1. Bertahap dalam menyesatkan
  2. Memunculkan rasa takut dan keraguan
  3. Masuk di hati dan menuruti kesenangan hati

Sebagai penutup, tidak ada alasan bagi kita semua sebagai manusia yang beriman untuk tidak bekerjasama dalam memerangi setan sebagai musuh yang sebenarnya. Kita berdoa kepada Allah semoga selalu memberikan kita kekuatan dan keistiqamahan dalam menghadapi tipu muslihat dari setan dan pengikutnya. Kita patut bersyukur bahwa Allâh I memberikan kita nikmat yang amat sangat besar yaitu dengan kehadiran Nabi Muhammad r yang membawa risalah kenabian sekaligus menjadi mukjizatnya yang terbesar sepanjang masa, yaitu al-Qur’ân. Di samping itu, Rasulullah pun menguraikan dalam haditsnya berbagai hal tentang tipu muslihat setan dan cara membentenginya. Semoga shalawat beriring salam senantiasa tercurahkan kepada beliau Rasulullah Muhammad r habibullah dan Nabi akhir zaman. Allâhumma shalli wa sallim wa bârik ‘alayh wa ‘alâ âlihi.

 

Husaini Anwar Fauzan

 

Mutiara Hikmah

“Dan katakanlah, ‘Ya Tuhanku, aku berlindung kepada Engkau dari bisikan-bisikan setan. Dan aku berlindung (pula) kepada Engkau ya Tuhanku, agar mereka tidak mendekati aku’.”

(Al-Mu’minun [23]: 97-98)

AMALAN SHALEH DI 10 HARI PERTAMA BULAN DZULHIJJAH

AMALAN SHALEH DI 10 HARI PERTAMA BULAN DZULHIJJAH

وَالْفَجْرِ وَلَيَالٍ عَشْرٍ

Demi fajar, dan malam yang sepuluh.” (QS. Al-Fajr: 1-2)

Allah  Dengan segala keagungannya sangat menyayangi hamba-hambaNya. Salah satu keagunganNya yakni dengan memberikan nikmat kepada hambaNya berupa nikmat sehat, rezeki dan juga waktu. Bulan Dzulhijjah adalah salah satu dari empat bulan haram, yaitu Rajab, Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. Keutamaaan yang Allah tetapkan di empat bulan haram tersebut adalah dilipatgandakannya pahala bagi seorang yang mengerjakan amalan shalih, sehingga seorang hamba akan lebih giat melakukan amalan kebaikan pada bulan-bulan tersebut. Begitu pula, perbuatan dosa yang dilakukan di dalamnya menjadi lebih besar di sisi Allah, sehingga seorang hamba bisa meraih ketakwaan yang lebih tinggi dari bulan-bulan sebelumnya, dengan semakin menjauhi kemaksiatan-kemaksiatan. Dengan demikian, kebahagiaan, ketentraman, dan keselamatan di dunia dan akhirat bisa terwujud.   

Bulan Dzulhijjah sebagai salah satu bulan haram memiliki keistimewaan, salah satunya yakni pada 10 malam pertama bulan Dzulhijjah. Dari Ibnu Umar Radhiyallaahu ‘Anhuma, dari Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,

مَا مِنْ أَيَّامٍ أَعْظَمُ عِنْدَ اللَّهِ وَلَا أَحَبُّ إِلَيْهِ الْعَمَلُ فِيهِنَّ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ الْعَشْرِ

Tidak ada hari-hari yang lebih agung di sisi Allah dan amal shalih di dalamnya lebih dicintai oleh-Nya daripada hari yang sepuluh (sepuluh hari pertama dari Dzulhijjah).” (HR. Ahmad, dishahihkan Syaikh Ahmad Syakir)

Kaum Muslimin Rahimakumullah, kita semua mengenal bahwasanya bulan Dzulhijjah adalah bulan kedua belas dan terakhir dari penanggalan kalender Hijriyah. Pada bulan Dzulhijjah juga masyarakat biasa menyebutnya bulan haji karena pada tanggal 9 di bulan ini (dzulhijjah) kaum muslimin yang beribadah haji melaksanakan wukuf di Arafah sementara yang tidak beribadah haji melaksanakan puasa sunnah Arafah. Kemudian pada tanggal 10 di bulan ini umat Islam memperingati hari raya Idul Adha atau kita biasa mengenal dengan hari raya kurban. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ

Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak.” (QS. Al-Hajj: 27-28)

Dalam rangka menyambut bulan Dzulhijjah, umat muslim dianjurkan untuk memperbanyak amal shaleh karena pahala dari apa yang kita kerjakan akan dilipatgandakan oleh Allah . Dari Ibnu Umar , dari Nabi bersabda, “Tidak ada kumpulan hari yang amal shaleh lebih dicintai oleh Allah melebihi amal shaleh yang dikerjakan pada hari-hari ini (yaitu 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah).” Para sahabat bertanya: “Tidak pula jihad di jalan Allah?” Nabi menjawab: “Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya namun tidak ada yang kembali satupun.” (HR. Al-Bukhari, Abu Dawud dan  Ibnu Majah)

Amalan-amalan Shaleh yang dianjurkan pada bulan Dzulhijjah

 

  • Puasa Arafah

 

Puasa Arafah adalah puasa sunnah yang dijalankan pada tanggal 09 Dzulhijjah tahun Hijriyah. Puasa Arafah dianjurkan bagi umat muslim yang tidak sedang melaksanakan ibadah haji di Makkah. Cara melaksanakan puasa arafah sama seperti puasa sunnah lainnya.  

Dari Abu Qotadah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَهُ وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ

Puasa Arofah (9 Dzulhijjah) dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun akan datang. Puasa Asyuro (10 Muharram) akan menghapuskan dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim no. 1162)

 

 

  • Takbir dan Dzikir

 

Perbanyak dzikir termasuk bertahlil, bertasbih, beristigfar, bertahmid, bertakbir dan memperbanyak doa merupakan suatu amalan yang dianjurkan pada bulan ini, tidak hanya dijalankan pada bulan Dzulhijjah saja tetapi juga dibiasakan pada keseharian hidup kita. Ibnu ‘Abbas berkata, “Berdzikirlah kalian pada Allah di hari-hari yang ditentukan yaitu 10  hari pertama Dzulhijah dan juga pada hari-hari tasyriq.” Ibnu ‘Umar dan Abu Hurairah pernah keluar ke pasar pada sepuluh hari pertama Dzulhijah, lalu mereka bertakbir, lantas manusia pun ikut bertakbir. Muhammad bin Ali pun bertakbir setelah shalat sunnah”

 

 

  • Menunaikan Ibadah Haji dan Umroh

 

Ibadah haji merupakan salah satu ibadah dari rukun Islam yang kelima, dan wajib dikerjakan oleh setiap muslim bagi yang mampu mengerjakan baik secara finansial maupun fisik.

“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.” (QS. Al Baqarah [2]; ayat: 196-197)

 

 

  • Berqurban

 

Hari raya Idul Adha atau sering dikenal dengan hari raya qurban, karena pada tanggal 10 Dzulhijjah tersebut, umat Islam berlomba-lomba menyisihkan sebagian hartanya untuk membeli kambing, lembu atau unta untuk disembelih setelah shalat hari raya Idul Adha dilaksanakan dan tiga hari setelahnya atau yang kita kenal dengan hari tasyrik. Udhiyah atau menyembelih hewan qurbah disyariatkan oleh Allah sebagaiman firman Allah dalam surat al-kautasar [108]: 2 “Dirikanlah shalat dan berqurbanlah (an-nahr). Para Jumhur ulama menafsirkan ayat tersebut dengan “Berqurbanlah pada hari Idul Adha (yaum an-Nahr). Udhiyah merupakan bentuk  rasa cinta dan ketaqwaan seorang muslim kepada Allah . Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik”. (QS. Al-Hajj [22]; ayat: 37)

 

 

  • Bertaubat (tidak bermaksiat)

 

Perintah bertaubat dan tidak melakukan maksiat sudah menjadi kewajiban kita sebagai umat Islam untuk melaksanakan perintah tersebut, namun hal serupa ditekankan bagi umat Islam bertaubat dari berbagai dosa dan maksiat di awal bulan Dzulhijjah. Artinya kita menyibukkan diri di awal bulan Dzulhijjah dengan amal-amal shaleh serta meninggalkan kezholiman terhadap sesama. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Kemudian, sesungguhnya Tuhanmu (mengampuni) bagi orang-orang yang mengerjakan kesalahan karena kebodohannya, kemudian mereka bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), sesungguhnya Tuhanmu sesudah itu benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang“. (QS. An-Nahl [16]; ayat : 119)

Keistimewaan 10 malam hari pertama bulan Dzulhijjah sangatlah besar. Amalan shaleh yang dikerjakan oleh kita diistimewakan dan dicintai oleh Allah serta dilipatgandakan pahalanya yang mana hal ini merupakan nikmat dan karunia dari Allah  kepada hambaNya. Maka kita wajib mensyukurinya dengan sungguh-sungguh meningkatkan ketaatan kita kepada Allah . Walapun sejatinya, amalan-amalan shaleh yang tertera tidak berpacu mutlak hanya pada  yang disebutkan diatas, amalan shaleh lainnya seperti shalat, sedekah, membaca Al-Qur’an juga patut dikerjakan oleh umat Islam dalam kesehariannya.

 

Siti Anisa Rahmayani

Alumni FIAI UII

 

Mutiara Hikmah:

“Ada dua bulan yang pahala amalnya tidak pernah berkurang, kedua bulan itu adalah bulan id: bulan Ramadhan dan bulan Dzulhijjah.”

(HR. Al Bukhari & Muslim)

OBAT MANJUR PENYAKIT HATI

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tidaklah seorang hamba mendapatkan hukuman yang lebih berat daripada hati yang keras dan jauh dari Allah.”

 Sesungguhnya saat ini kita hidup di era perkembangan ilmu materealis yang sangat dahsyat. Manusia banyak menghasilkan sesuatu berupa alat-alat peradaban dan kemewahan yang terus berkembang dengan pesat. Setiap hari selalu saja ada hal yang baru. Perkembangan ini pula bersamaan dengan tingginya populasi pengidap penyakit yang jumlahnya mencapai bilangan yang mengkhawatirkan dengan berbagai macam penyakit. Salah satu penyakit yang menjadi sorotan saat ini adalah penyakit hati, karena hati menjadi inti manusia. Banyak dokter penyakit hati, konsultan, ahli bedah hati, ramuan obat hati bahkan praktik operasi hati untuk meringankan penderita penyakit hati.

Adapun manusia mempunyai hati lain yang tidak terlihat secara kasat mata, yang keadaan dan tempatnya tidak terputus dengan otot-otot hati yang dijelaskan dalam hadits berikut.“Ketahuilah sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal daging. Apabila segumpal daging tersebut baik, maka baiklah seluruh tubuhnya. Dan, apabila segumpal daging tersebut buruk, maka buruklah seluruh tubuhnya. Ketahuilah segumpal daging itu adalah hati.” (HR. Bukhari dan Muslim). Rusaknya hati yang pertama dapat mendatangkan kematian yang berbuntut hilangnya kehidupan dunia, maka rusaknya hati yang lain (yang kedua ini) menyebabkan rusaknya manusia secara keseluruhan, serta hilangnya kehidupan dunia dan akhirat. Maka dari sinilah pembahasan adanya hati yang tidak terlihat. Bencana besar bagi hati ini adalah orang yang memilikinya tidak merasa dengan penyakitnya, karena tidak ada tanda-tanda yang terlihat di tubuh sebagaimana keadaan yang tampak pada hati yang pertama.

Banyak ulama yang berdiri sesuai bagiannya untuk mempublikasikan kesadaran kesehatan dan mendidik manusia dalam bidang ini, seperti Hasan Basri, Haris Al-Muhasibi, Al-Junaid, Al-Ghazali, dan lain-lainnya. Adapun pada tulisan ini akan membahas obat hati yang sakit dari salah satu ulama dalam bidang ini, yaitu Ibnu Qayyim rahimahullah. Berikut ringkasan pembahasan karya Ibnu Qayyim dari kitabnya yang berjudul Thibbul Qulub.

Cara mengobati hati yang sakit

Ibnu Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa cara mengobati hati yang sakit karena dikuasai oleh nafsu yang mengarahkan kepada suu’ (keburukan) ada dua, yaitu: ”Melakukan muhasabah (perhitungan) atas nafsu dan tidak menuruti nafsu. Hati akan hancur dikarenakan meremehkan muhasabah dan mengikuti nafsu. Imam Ahmad dan lainnya meriwayatkan hadits dari Syadad bin Uwais bahwa Rasulullah  bersabda: “Orang yang cerdas adalah orang-orang yang menundukkan hawa nafsunya dan beramal untuk persiapan sesudah mati, dan orang yang lemah adalah orang yang selalu mengikuti hawa nafsunya dan berangan-angan untuk (diselamatkan) Allah.” (HR. At Tirmidzi no 2459).

Adapun pada tulisan ini akan fokus membahas cara mengobati hati dengan poin pertama, yaitu melakukan muhasabah.

Al – Hasan berkata, “Orang mukmin itu selalu mengurusi jiwanya. Ia mengevaluasi dirinya karena Allah. Allah  berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat).” (QS. Al-Hasyr [59]: 18)

Imam Ahmad menuturkan dari Wahab bahwasannya tertulis dalam hikmah Nabi Dawud, “Hak bagi orang berakal adalah tidak lalai dalam empat waktu ini, yaitu waktu yang digunakan untuk bermunajah kepada Tuhannya, waktu yang digunakan untuk mengintrospeksi dirinya, dan waktu dia menyepi antara jiwanya dengan kelezatannya memikirkan yang halal dan menjadikan jiwanya terlihat indah. Waktu yang keempat ini merupakan penolong pada semua waktu itu dan melimpahkan hati.”

Hal-hal Yang Dapat Membantu Muhasabah

Adapun hal-hal yang dapat membantu Muhasabah diri adalah: 1) kesadarannya bahwa setiap kali ia bersungguh-sungguh melakukan hal itu saat ini, maka ia akan istirahat dan merasa nyaman esok hari. Setiap ia meremehkan hal itu sekarang, maka ia akan menghadapi hisab yang semakin berat kelak di akhirat; 2) keyakinan bahwa keuntungan perniagaan tersebut adalah Surga Firdaus dan melihat wajah Allah . Sedangkan kerugiannya adalah terjerumus ke dalam neraka dan terhalang dari memandang Allah . Jika orang-orang meyakini hal ini maka hisab menjadi mudah.

Muhasabah diri ada dua macam, yaitu muhasabah diri sebelum melakukan suatu perbuatan dan muhasabah setelah selesainya melakukan suatu perbuatan.

Muhasabah diri sebelum berbuat, hendaknya orang yang ingin memulai suatu pekerjaan mengawali dengan mempertimbangkan hingga benar-benar jelas keutamaanya daripada meninggalkannya. Al-Hasan berkata, “Semoga Allah merahmati hamba-Nya yang berhenti di saat berkeinginan. Jika karena Allah, maka ia laksanakan dan jika karena selain-Nya, maka ia tinggalkan.” Sebagian ulama menjelaskan arti ungkapan tersebut dengan mengatakan, “ Jika diri bergerak untuk melakukan suatu perbuatan dan ia sudah berkeinginan melakukannya, maka ia berhenti dan merenungkan, apakah perbuatan tersebut sanggup ia lakukan atau tidak? Jika tidak sanggup ia lakukan, maka ia tidak melanjutkannya. Tetapi jika sanggup ia lakukan, maka ia merenungkan hal lain, apakah melakukannya lebih baik dari meninggalkannya atau meninggalkannya lebih baik daripada melakukannya? Jika jawaban yang pertama, maka ia merenungkan hal ketiga, apakah yang mendorong perbuatan itu adalah keinginan mendapatkan keridhaan Allah dan pahala-Nya atau keinginan mendapatkan pangkat, pujian, dan harta dari makhluk? Jika jawabannya yang kedua, maka ia membatalkan perbuatan itu meskipun itu yang akan mengantarkan pada apa yang ia cari, agar ia tidak terbiasa dengan perbuatan syirik dan tidak merasa ringan untuk melakukan perbuatan bukan karena Allah. Sesuai dengan keringanan yang ia rasakan dalam berbuat bukan karena Allah, maka seberat itu juga beratnya untuk berbuat karena Allah, bahkan ia menjadi amal yang terberat baginya. Tetapi jika jawabannya yang pertama, maka hendaknya ia merenungkan kembali, apakah ia akan ditolong dalam perbuatannya itu, dan ada orang-orang yang bersedia membantunya jika memang perbuatan itu membutuhkan pertolongan? Jika tidak ada yang menolongnya dalam perbuatan itu ia berhenti, sebagaimana Nabi berhenti dan menunda jihad di Makkah hingga beliau mendapatkan para penolong. Jika ia mendapatkan orang yang menolongnya, maka ia pun melangsungkan pekerjaannya.”

Muhasabah yang kedua adalah muhasabah diri setelah selesainya pekerjaan, yangmana hal ini terbagi menjadi 3 macam, yaitu: Pertama, muhasabah diri atas ketaatan yang kurang sempurna dalam menyempurnakan hak Allah, sehingga ia tidak melakukannya sesuai dengan sepantasnya. Adapun hak Allah dalam hal ketaatan ada enam, yaitu; 1) ikhlas dalam berbuat, 2) nasehat karena Allah dalam pekerjaan tersebut, 3) mengikuti Rasulullah, 4) memperlihatkan ihsan pada pekerjaan tersebut, 5) menampakkan karunia Allah pada pekerjaan tersebut, serta 6) menampakkan atas segala kekurangan dirinya dalam pekerjaan tersebut. Kedua, hendaknya menghisab dirinya atas pekerjaan yang lebih baik ditinggalkan daripada dikerjakannya. Ketiga, hendaknya menghisab dirinya atas hal-hal yang mubah atau yang biasa dilakukan, kenapa ia melakukannya? Apakah melakukannya karena Allah dan mengharapkan kehidupan akhirat sehingga ia beruntung atau apakah ia melakukan hal itu untuk kehidupan dunia dengan segala ketergesaannya sehingga ia merugi dan tidak memenangkan ridha Allah. Adapun yang paling berbahaya bagi suatu pekerjaan adalah meremehkan, meninggalkan muhasabah, melepaskan begitu saja dan memudahkan persoalan.

Manfaat Muhasabah

Muhasabah sangatlah mendatangkan banyak manfaat, diantaranya: mengetahui aib sendiri, merendahkan diri karena Allah, dan mengetahui hak Allah.

Mengetahui aib sendiri. Orang yang tidak mengetahui aib dirinya, tidak akan mampu menghilangkannya. Tetapi jika ia mengetahui aib dirinya, maka ia akan membencinya karena Allah. Abu Hafsh berkata, “Barangsiapa tidak berprasangka buruk kepada nafsunya sepanjang waktu, tidak menyelisihinya dalam setiap keadaan, serta tidak menyeretnya pada apa yang dibencinya sepanjang waktunya, maka orang itu telah terperdaya. Dan barangsiapa melihat kepada nafsunya dan menganggap baik sesuatu darinya, maka sesuatu itu telah menghancurkannya.”

Merendahkan diri karena Allah. Merendahkan diri karena Allah termasuk salah satu sifatnya orang – orang yang sangat jujur. Seorang hamba akan dekat kepada Allah dengan ia merasa lemah dengan amal perbuatannya. Imam Ahmad berkata dalam Kitab Zuhud-nya, “Sesungguhnya seorang laki-laki dari Bani Israel beribadah selama 60 tahun untuk suatu hajat tertentu, dan dia belum mendapatkannya.” Lalu dia bergumam di dalam hatinya, “Demi Allah, jika ada kebaikan dalam diri-Mu, maka aku pasti akan memperoleh hajatku.” Kemudian ia bermimpi dan dikatakan padanya, “Apakah kamu pernah merasa rendah di suatu waktu? Sesungguhnya hal tersebut lebih bagus daripada ibadahmu bertahun-tahun lamanya.”

Mengetahui hak Allah. Barangsiapa tidak mengetahui hak Allah atas dirinya, maka ibadah kepada-Nya hampir tak bermanfaat sama sekali dan ibadahnya sungguh sangat sedikit sekali manfaatnya. Diantara hak-hak Allah adalah Dia wajib ditaati dan tidak diingkari, Dia wajib diingat dan tidak boleh dilupakan, serta wajib disyukuri dan tidak boleh dikufuri.

Disebutkan oleh Imam Ahmad dari sebagian ahli ilmu, bahwasannya seseorang bertanya, “Berilah aku wasiat!” Ia menjawab, “Hendaknya engkau bersikap zuhud terhadap dunia, dan janganlah engkau melawan para penghuninya. Dan hendaklah kamu seperti lebah, jika ia makan hanya makan yang baik-baik, dan jika ia mengeluarkan sesuatu (dari dalam perutnya), maka ia hanya mengeluarkan yang baik-baik, jika ia bertengger di atas dahan maka tidak mebahayakan, dan tidak pula mematahkannya”.

Saudara-saudaraku, Maka hari ini saja, mari kita mulai mencoba muhasabah pada diri kita. Pandangilah seluruh anggota tubuhmu dan tanyakan pada setiap bagiannya atas apa saja yang telah dibicarakan? Kemana saja kaki ini melangkah? Apa yang telah diambil oleh kedua tangan? apa yang telah didengar oleh kedua telinga? Untuk apa ia lakukan semua itu dan untuk siapa? Serta atas dasar apa ia lakukan semua itu? Allah  berfirman yang artinya: “Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua, tentang apa yang mereka kerjakan dahulu.” (QS. Al-Hijr [15]: 92-93)

Wallahu a’lam bi ash-shawab.

 

Azzahra

Alumni Statistika UII

CERDAS DALAM MENDIDIK

Katakanlah (Muhammad), “Milik siapakah apa yang di langit dan di bumi?” Katakanan, “Milik Allah.” Dia telah Menetapkan (sifat) kasih sayang pada diri-Nya.

(QS. Al-An’am [6] : 12)

 

 

Perkembangan dunia teknologi informasi memberikan dampak yang besar bagi setiap insan. Keluargamerupakan pintu utama dalammemberikan pendidikan. Dan mereka hadir seiring dengan siklus kehidupan yang selalu ada di setiap peran perjalanan. Setiap peristiwa dalam kehidupan ini merupakan lika-liku perjalanan yang akan memberikan dampakpositif bagi setiap orang yang mengambil hikmah darinya. Begitupun dengan cinta dan kasih sayang olehkedua kelarga, dengan ketulusan darinya maka akan terpancar sinar-sinar cahaya yang menyejukan bagi orang yang ada di sekitarnya.

Sebagian dari kita mungkin masih teringat dengan kisah Juraid sang ahli ibadah yang mengandung pelajaran bagaimana peranorang tua dalam ucapan dan kata-kata akan sangat berpengaruh dalam siklus kehidupan anak-anaknya. (Muhammad Ali al Hasyimi, 2006)

Orang tua pasti menginginkan keluarga yang harmonis, damai dan temtram, serta menjadikan kesejahteraan berupa harta dalam kehidupannya yang lebih baik.Harta yang dikaruniakan oleh Allah bisa membuat kita lebih mudah untuk menjalan kehidupan ini. Namun perlu diingat kelebihan dalam harta juga akan membawa dampak yang buruk bagi keluarga kita, jika kita tidak bisa mengelola dan mengalokasikan harta tersebut dengan kebaikan.

Peran orang tua yang sadar akan kesuksesan dan kesejahteraan bagi anaknya di masa depan,merupakan langkah awal dalam memberikan konsep pendidikan untuk kebaikan mereka. Maka mereka akan senantiasamemberikan pengorbanan apapun untuk kebaikan-kebaikan pada anaknya. Walaupun kebaikan itu kadang kala akan terasa berat untuk dijalankan. Namun dengan ketulusan dan kasih sayangnya, orang tua yang soleh akan mengerahkan kemampuanya untukkesolehan anak-anaknya.

Allah Subahanuhu wata’ala menurunkan sifat kasih sayang kepada setiap makhluk yang ada di muka bumi ini. Sifat kasih sayang akan berbuah kebaikan manakala kasih sayang, cinta dan ketulusan orang tua yang tertuang dalam akhlak dan kepribadianya.Banyak orang tua yang mengorbankan apa saja demi masa depan anaknya, yang kadang malah keluar dari koridor kebenaran. Lalu yang menjadi pertanyaan adalah apakah pengorbanan ini akan berdampak baik bagi kehidupan anak-anak kita. Jawabannya hanya kita yang tau.

Peran serta keluarga dalam memberikan kasih sayang untuk mengarahkan dan membangun karakter yang positif merupakan hal yang wajib dilakukan oleh setiap muslim. Ibarat seorang petani yang setiap hari berlelah diri dalam menanam benih di ladangnya. Maka lelah dan letihnya akan menjadi bulir-bulir kebahagiaan yang tak terkira ketika melihat hasil tanamannya tumbuh dan berkembang serta membuahkan hasil yang sempurna.

Orang tua yang sadar akan memetik hasil dari merawat tumbuh kembang anak agar dapat memetik hasil yang terbaik. Pasti akan membuat rancangan konsep yang akan mendampingi kehidupan dalam memperoleh kebaikan yang diingikan. Pupuk yang terbaik bagi bibit yang kita tanam adalah memberikan kasih, sayang dan cinta yang terbaik dalam setiap aktivitas-aktivitas kita.

Mengajarkan cinta kepada anak tentang kesetiaan dan kasih sayang dalam keluarga. Merupakan hal yang dapat kita lakukan sebagai bekal ilmu untuk masa depan mereka. Kahidupan ini memang selalu membawa hikmah bagi pelakunya. Kesetian dan kasih sayang seorang anak kepada kakak, adik, sanak saudara adalah hasil dari pemberian kasih sayang kita kepada mereka.Imam Bukhori meriwayatkan dalam Al Adab Al Mufrad dan At Thabrani dari Abu Hurairah bahwasannya Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam mengambil tangan Hasan dan Husain Radhiallahu anhu, kemudian meletakkan kaki-kainya kemudian berkata: “Naiklah.”

Begitu besarnya kecintaan dan kasih sayang Rasulullah Muhammad kepada anak-anak para sahabat dan keluarganya. Sehingga kasih sayang dan cinta inilah membawa hasil kesuksesan bagi perkembangan agama Islam.Anak-anak adalah kebahagian manusia dalam hidupnya, keceriaan bagi orang tua dalam masa-masa umurnya dan hiburan yang indah bersama mereka. Setiap anak mempunyai fitrah yang suci dalam setiap akhlak dan kebaikannya.

Kecerdasan, kepintaran dan kepiawannya merupakan keberkahan yang selalu hadir dalam setiap sendi-sendi pendidikan orang tuanya. Anak-anak adalah sumber kebahagiaan. Anak-anak adalah ladang kebaikan serta anugrah terindah dari Allah. Taggung jawab orang tua kepada anak merupakan tanggung jawab yang besar di hadapan Allah, oleh karena itu orang tua yang sholeh, mereka sadar bahwa anak merupakan amanat yang diberikan Allah kepada kita dan menjadikan amanat tersebut sebagai jalan menuju syurga.

Salah satu pesan kebaikan yang diberikan oleh baginda kitaRasulullah kepada para sahabat dan orang dicintainya adalah memberikan do’a-do’a terbaik untuk mereka agar diberikan harta dan anak-anak yang banyak.Harta dan anak-anak merupakan perhiasan kehidupan dunia, sebagaimana hal in tertuang dalam al-Qur’an surah al-Kahfi [18] ayat 46 yang artinya “Harta dan anak-anak adalah perhiasan bagi kehidupan dunia”.

Ibnu Abbas dalam tafsirnya menjelaskan tentang ayat ini bahwa harta dan anak-anak adalah perhiasan dunia yang tidak lama, hal ini sebagaimana tumbuhan yang hidup subur dan berkembang hingga akhirnya mengering. Oleh sebab itulah, peran kita sebagai orang tua yang sholeh dalam memberikan pendidikan sebagai tanggung jawab kita kepada Allah adalah memberikan pendidikan yang terbaik sesuai kemampuan anak-anak kita dan menjaga mereka agar tidak terjerumus ke jalan yang dimurkai Allah.

Seorang muslim yang sadar bahwa salah satu harta yang paling berharga dalam hidupannya adalah anak-anaknya, maka ia akan senantiasa merawat, mengayomi dan memberikan tauladan terbaik dengan akhlak yang ada dalam dirinya.Begitupun juga dengan mengajarkan tentang kisah dan tauladan terbaik dari Rasulullah dan para sahabatnyamerupakan salah satu hal yang bisa kita lakukan dalam mendidik anak-anak kita. Orang tua yang sholeh, mereka sadar akan investasi dalam mendidik anak-anaknya karena mereka meupakan karunia terbesar yang diberikan Allah.

Mungkin sebagian kita menjadikan anak yang sholeh di era modern ini adalah sebuah hal yang sulit. Akan tetapi bagi orang tua yang sholeh, mendidik anak-anaknya pada era inijustru akan menjadi motivasi dalam kehidupannya. Kemudian mereka senantiasa akan memulai pendidikanya dengan mensolehkan kepribadianya.Walaupun menjadikan anak yang sholeh merupakan hak prerogatif Allah.

Disadari atau tidak, pengaruh kebaikan keluarga dan peran sertanya dalam mendidik akan selalu berdampak positif dalam kehidupan anak-anaknya kelak. Namun perlu diingat pendidikan yang baik dalam membangun anak yang berkarakter selalu di mulai dengan hanya mengharap ridho Allah.

Niat yang tulus dan usaha yang ikhlas akan melahirkan kebaikan-kebaikan yang bernilai ibadah disisi Allah. Dan tentunya hal ini juga akan menjadikan diri kita tetap istiqomah dalam mendidik dan berusaha membangun karakter yang positif bagi kebaikan anak-anak kita.Oleh karenanya apapun kebaikan dan peran kita dalam mendidik anak menjadi sholeh merupakan bukti kita taat akan perintah Allah.

“ya Allah jadikanlah kami sebagai orang-orang yang mampu memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak-anak kami, serta jadikanlah kami suri tauladan yang baik bagi keluarga dan saudara-saudara kami. Sesungguhnya Engkaulah Maha Pengasih dan Maha mengabulkan setiap do’a.”

Romi Padli

Alumni UII

 

Mutiara Hikmah:

Rasulullah Bersabda : “Sebaik-baik manusia ialah manusia yang panjang usianya dan baik amalannya” (HR. Tirmidzi)

 

 

 

Romi Padli

Magister Ilmu Agama Islam, Fakultas Ilmu Agama Islam 2016

BIOGRAFI ABU HURAIRAH

Abu Hurairah dilahirkan tahun 19 sebelum Hijriyah. Nama Beliau sebelum memeluk Islam tidaklah diketahui dengan jelas, tetapi pendapat yang masyhur adalah Abdusy Syam. Sedangkan nama Islam nya yaitu Abdur-Rahman. Beliau berasal dari qabilah Al-dusi di Yaman. Beliau memeluk Islam pada tahun ke 7 Hijriyah ketika Rasulullah Berangkat menuju Khaibar. Ketika itu, ibunya belum menerima Islam bahkan menghina Rasulullah. Abu Hurairamenemui Rasulullah, meminta beliau berdo’a agar ibunya masuk Islam. Kemudian Abu Hurairah kembali menemui ibunya lalu mengajaknya masuk Islam. Ternyata ibunya telah berubah pikiran dan bersedia masuk Islam.

Setelah pulang dari Perang Khaibar, Rasulullah ingin memperluas masjid Nabawi ke arah barat dengan menambah ruang sebanyak tiga tiang lagi. Ketika Rasulullah mengangkat batu untuk pondasi tiang, Abu hurairah langsung meminta agar beliau menyerahkan batu tersebut tetapi Rasulullah menolak dan berkata “Tiada kehidupan sebenarnya melainkan kehidupan akhirat”.

Abu Hurairah sangat mencintai Rasulullah sehingga siapun yang Rasullah cintai, maka iapun ikut mencintainya. Misalnya, Abu Huraira suka menciumi Hasan dan Husein karena beliau melihat Rasulullah suka menciumi kedua cucunya. Beliau diberi gelar dengan nama “Abu Hurairah“ karena kegemarannya bermain dengan anak kucing. Diceritakan pada suatu hari ketika Abu Hurairah bertemu Rasulullah, beliau bertanya pada Abu Hurairah tentang apa yang ada di dalam lengan bajunya, lalu Abu Hurairah memperlihatkan bahwa di dalam lengan bajunya ada seekor anak kucing. Setelah itu beliau diberi gelar oleh Rasulullah` dengan nama “Abu Hurairah” dan semenjak itu beliau lebih suka di panggil nama gelar tersebut.

Abu Hurairaha pindah ke Madinah untuk bekerja. Disana, beliau bekerja sebagai pekerja kasar atau kita lebih sering sebut dengan buruh. Beliau sering mengikatkan batu di perutnya untuk menahan rasa lapar, Diceritakan bahwa beliau berbaring menghampar di mimbar masjid sehingga orang-orang menyangka beliau sudah tidak waras lagi. Ketika Rasulullah` mendengar kabar tersebut, beliau langsung menemui Abu Hurairah dan menjelaskan kepada orang-orang bahwa Abu Hurairah berbuat seperti itu karena lapar. Lalu Rasulullah memberinya makanan.

Abu Hurairaha adalah sahabat yang sangat dekat dengan Rasulullah. Beliau dikenal sebagai salah satu ahli shuffah, yaitu orang- orang miskin atau sedang menuntut ilmu yang tinggal di halaman masjid. Pada suatu hari beliau duduk di pinggir jalan dimana orang-orang berlalu-lalang. Waktu itu beliau melihat Abu Bakara berjalan, lalu beliau meminta agar dibacakan satu ayat Al-Qur’an. “Saya bertanya begitu supaya beliau mengajakku ikut dengannya dan memberiku pekerjaan”, kata Abu Hurairah. Akan tetapi Abu Bakara hanya membacakan ayat Al-Qur’an lalu kemudian pergi. Lalu melihat beliau melihat Umar ibn Khattaba dan berkata “ tolong ajari saya ayat Al-Qur’an”. Abu Hurairah kecewa lagi karena Umar melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan oleh Abu Bakar. Tak lama kemudian datanglah Rasulullah. Nabi tersenyum, Abu Hurairaha berkata dalam hatinya, “beliau tahu apa isi hati saya dengan tepat, beliau bisa membaca raut muka saya dengan tepat,” Nabi memanggil “ya aba Hurairah!” Abu Hurairah menjawab “Labbaik, ya Rasulullah!”. Lalu Rasulullah berkata, “ikutilah aku!” beliau mengajak ke rumahnya. Didalam rumah didapati ada semangkuk susu “darimana datangnya susu ini?” tanya Rasulullah. Beliau telah bahwa seseorang telah memberikan susu itu. Rasullah memanggil, “ya Aba Hurairah!”Abu Hurairah pun menjawab “Labbaik, ya Rasulullah!””tolong panggilkan ahli suffah,” kata Rasulullah. Susu tadi dibagikan kepada ahli suffah, termasuk Abu Hurairah. Sejak itulah, Abu Hurairah mengabdi kepada Rasulullah, bergabung dengan ahli suffah di masjid.

Abu Hurairah meriwayatkan banyak Hadits disebabkan karena beliau mendampingi Rasulullah selama tiga tahun, sejak Abu Hurairah memeluk Islam. Abu Hurairah berkata, “…….sesungguhnya saudara kami dari golongan muhajirin sibuk dengan urusan mereka dipasar dan orang-orang Anshar sibuk bekerja diladang mereka, sementara aku seorang yang miskin senantiasa bersama Rasulullah di mil’i batni. Aku hadir di majelis yang mereka tidak hadir dan aku hafal pada saat mereka lupa” (Hadits Riwayat Bukhari). Pada mulanya Abu Hurairah mempunyai ingatan yang lemah, lalu beliau mengadu kepada Rasulullah.  Rasulullah` lalu mendo’akan Abu Hurairah agar di beri dengan daya ingat yang kuat. Semenjak itu, Abu Hurairah memiliki daya ingat yang kuat sehingga Abu Hurairah mampu meriwayatkan banyak Hadits bahkan yang terbanyak di kalangan para sahabat.

Kisah Abu Hurairah menjaga Gudang Zakat

Abu Hurairah  pernah diberi tugas oleh Rasulullah untuk menjaga gudang hasil zakat. Pada suatu malam, Abu Hurairah melihat orang mengendap-ngendap akan mencuri, lalu ditangkapnya. Orang itupun akan dibawanya kepada Rasulullah, tetapi pencuri itu merayu minta dikasihani seraya menyatakan bahwa dia mencuri untuk memberi makan keluarganya yang kelaparan. Abu Hurairah merasa kasihan lalu melepas pencuri itu dengan syarat orang itu tidak mengulangi perbuatannya lagi. Keesokan harinya, peristiwa tersebut dilaporkan kepada Rasulullah` dan beliaupun tersenyum lalu menyatakan bahwa pencuri itu pasti akan kembali. Ternyata keesokan malamnya pencuri itu datang lagi. Sekali lagi Abu Hurairah menangkap pencuri itu lalu ingin diserahkannya kepada Rasullah`. Sekali lagi, pencuri tersebut merayu sehingga Abu Hurairah merasa kasihan lalu melepaskannya sekali lagi. Kesokan harinya beliau melaporkan kejadian tersebut kepada Rasulullah` dan Rasulullah` pun mengulagi sabda nya bahwa pencuri itu pasti kembali. Apabila pencuri itu ditangkap sekali lagi, Abu Hurairah mengancam akan membawanya kepada Rasulullah. Keesokan malamnya pencuri tersebut tertangkap lagi dan merayu agar dibebaskan sekali lagi. Ketika Abu Hurairah tidak mau membebaskan, pencuri tersebut menyatakan bahwa jika seseorang membaca ayat kursi sebelum tidur, syaitan tidak mengganggunya. Abu Hurairaha merasa tersentuh mendengar perkataan pencuri itu lalu melepaskannya. Keesokan harinya, beliau menceritakan peristiwa tersebut kepada Rasulullah` dan beliau bersabda “pencuri yang ditemuinya itu adalah pembohong besar, tetapi apa yang diajarkannya kepada Abu Hurairah itu adalah suatu perkara yang benar. Sebenarnya pencuri tersebut adalah Syaitan yang dilaknat.”

Sikap Abu Hurairah terhadap fitnah yang terjadi pada masanya.

Walaupun Abu Hurairah merupakan orang yang miskin, namun pada suatu hari beliau dipinang oleh salah seorang majikannya yang kaya untuk dinikahkan dengan putrinya, Bisrah binti Gazwan. Ini menunjukkan bahwa Islam tidak memandang status sosial seseorang tapi yang dipandang adalah ketaqwaannya. Abu Hurairah dipandang mulia karena ke’aliman dan kesalihannya. Sejak menikah, Abu Hurairah membagi malamnya kedalam tiga bagian yaitu membaca Al-qur’an, istirahat dan keluarga, dan untuk mengulang-ngulang hadits. Beliau dan keluarganya tetap hidup sederhana walaupun telah menjadi orang kaya. Abu Hurairah suka bersedekah, menjamu tamu, bahkan memberikan rumahnya di Madinah untuk pembantu-pembantunya.

Rasulullah pernah mengutus Abu Hurairah berdakwah ke Bahrain bersama Al-‘Ala ibnu Abdillah Alhadrami. Beliau juga pernah diutus bersama Quddamah untuk mengambil jizyah di Bahrain dengan membawa surat kepada Amir Al-munzir ibnu Sawa At-Tamimi. Kemudian Abu Hurairaha diangkat sebagai gubernur Bahrain ketika Umara menjadi Amirul Mu’minin. Tetapi pada 23 Hijriyah, Umara memberhentikannya karena Abu Hurairah di tuduh menyimpan uang sebanyak 10.000 dinar. Ketika diperiksa Abu Hurairah banyak memberikan bukti bahwa harta itu diperolehnya dari beternak kuda dan pemberian orang. Khalifah Umara menerima penjelasan itu dan memaafkannya. Lalu Abu Huraiarah diminta menerima jabatan gubernur kembali, tetapi beliau menolak. Khalifah Umar ibnu Khattaba penah melarang Abu Hurairah menyampaikan Hadits dan hanya boleh menyampaikan ayat Al-Qur’an. Ini disebabkan tersebar kabar Abu Hurairah banyak meriwayatkan Hadits palsu. Larangan khalifah kemudian dibatalkan setelah Abu Hurairah menjelaskan Hadits mengenai bahayanya Hadits palsu. “Barang siapa yang berdusta atas padaku (Nabi Muhammad`) secara sengaja, hendaklah mempersiapkan tempat duduknya dalam api neraka.”(Hadits Riwayat Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ad-Darimi, dan Ahmad).

Pada masa Amirul Mu’minin Ali bin Abi Thaliba, Abu Hurairah menolak tawaran menjadi gubernur Madinah. Ketika Mu’awiyah berkuasa, Abu Hurairah diangkat menjadi gubernur Madinah dengan asran dari Marwan ibn Hakam. Di kota yang penuh dengan cahaya (Al-Madinah A-Munawwarah) ini pula beliau menghembuskan nafas terakhirnya pada tahun 57 atau 58 Hijriyah(676-678 Masehi) dengan usia 78 tahun. Abu Hurairah meninggalkan Hadits sebanyak 5.374 Hadits. Hadits Abu Hurairah yang di sepakati oleh Imam Bukhari dan Muslim berjumlah 325 Hadits. Oleh Bukhari sendiri sebanyak 93 hadits dan oleh Muslim sendiri sebanyak 189 hadits. Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah juga banyak terdapat dalam kitab-kitab hadits lainnya.

 

Wahyu Ismail

Alumni Fakultas Ilmu Agama Islam UII

 

MENCEGAH TOLERANSI YANG MELEMAHKAN AQIDAH

Pembaca yang dirahmati Allah, manusia menurut hakikat penciptaannya memiliki dua tugas utama, yaitu sebagai Abdullah (Q.S. adz-Dzariyat [51]: 56), yang bertugas sebagai hamba Allah yang mengabdi kepada-Nya, dan sebagai khalifah (Q.S. al-Baqarah [2]: 30), yaitu sebagai pemimpin dimuka bumi. Terdapat aspek vertical dan horizontal dalam mengemban tugas tersebut. Secara vertikal yaitu hubungan terhadap Allah l, […]

SIAPKAH KITA BERUBAH?

Setiap hal itu terus berubah kecuali perubahan itu sendiri.”

Pepatah Arab di atas memberikan satu gambaran bahwa perubahan adalah sebuah keniscayaan. Segala hal yang ada di jagad raya ini sejatinya sedang dan terus berubah. Teori yang sudah cukup lama beredar mengatakan bahwa yang paling mampu bertahan bukanlah yang paling kuat. Namun yang paling mampu menyikapi perubahan. Meskipun yang paling mampu beradaptasi itu boleh jadi adalah yang paling kuat. Tetapi tetap saja, titik tekannya bukan pada kuat dan lemah namun kemampuan diri ketika berhadapan dengan perubahan yang tiada kenal kata henti.

Dalam konteks pendidikan misalnya, kita diminta untuk mendidik anak kita sesuai dengan zamannya. Pasalnya, mereka akan hidup di zaman yang sudah pasti berbeda dengan zaman kita. Hal ini mengisyaratkan betapa perubahan yang akan terjadi pun harus sudah diantisipasi. Kemampuan untuk membaca gerak-laju perubahan itulah yang akan menjadikan kita siap menghadapi segenap situasi dan kondisi. Bahwa apa yang saat ini baru, esok sudah berkurang kebaruannya. Yang hari ini up to date, besok boleh jadi sudah out of date.

Menyikapi perubahan bukan kemudian berarti harus melakukan sesuatu yang benar-benar baru. Tetapi bisa juga melakukan sesuatu yang lama namun dengan cara yang baru. Dengan demikian, cara menyikapi perubahan juga menuntut untuk berpikir kreatif dan inovatif. Bila hanya melakukan sesuatu yang biasa maka semua orang sudah melakukannya. “Dalam setiap kesempatan Anda melihat pribadi yang lebih berhasil,” tutur nasihat berbahasa Arab. “Ketahuilah bahwa mereka melakukan sesuatu yang tidak Anda kerjakan,” lanjutnya.

Dalam banyak halaqah, saya sering sampaikan kepada para mahasiswa. Saat kita makan di Rumah Makan Padang dan di Warung Burjo misalnya, bukankah nasinya sama? Namun mengapa harganya menjadi berbeda? Yang menjadikannya berbeda adalah lauknya. Jadi, kalau mahasiswa hanya mengandalkan ilmu di ruang kuliah, semua mahasiswa juga melakukan hal yang sama. Titik pembedanya adalah hal bermanfaat apa yang dijalani dan ditekuni di luar ruang kuliah. Itulah lauk, yang menjadikan lebih berharga dari yang lain.

Kesiapan untuk berubah kalau begitu harus dibarengi dengan keterbukaan diri. Tidak semestinya menutup diri untuk mencoba hal baru dan melakukan sesuatu yang berbeda. Dengan keterbukaan diri, kita akan mendapatkan referensi yang lebih untuk menatap masa depan yang jelas berbeda dengan saat ini. Berorganisasi, banyak mengikuti diskusi, berwirausaha, melatih diri untuk menulis yang baik, dan segenap aktivitas produtif lain akan sangat mendukung guna menghadapi perubahan. Sebab, kemampuan akademik saja tidak cukup tanpa disertai kecakapan sosial.

Perubahan Mindset

Dalam QS. Ar-Ra’du [13] ayat 11—sebagaimana yang sudah masyhur di telinga kita Allah  berfirman. “…Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kamu sebelum mereka mengubah apa yang ada dalam diri mereka…” Dalam ayat ini, Allah  memberikan “kebebasan” kepada manusia untuk menentukan nasibnya. Meskipun tentu saja—sebagaimana diisyaratkan oleh ayat-ayat lain—segala perubahan atas ikhtiar manusia itu tidak lepas dari irādah Allah  jua. Namun, manusia tetap memiliki opsi untuk berubah atau tetap nyaman dengan kondisi semula.

Hal yang paling mendasar yang semestinya diubah adalah pikiran atau mindset. Pasalnya, ketika mindset sudah mengatakan bahwa berubah itu sulit maka berubah yang sebenarnya mudah akan menjadi sulit. Sebaliknya, perubahan yang paling sukar sekalipun sepanjang kita punya pola pikir (mindset) bahwa hal itu atas izin Allah  tentunya mudah maka akan menjadi mudah. Mindset yang sudah tercerahkan tersebut akan menghantarkan pada perubahan-perubahan yang positif dalam hidup. Efeknya, kita pun akan lebih siap menghadapi setiap perubahan.

Hal utama yang perlu diperhatikan dalam konteks perubahan mindset adalah mengubah pikiran negatif menjadi pikiran yang positif. Pikiran negatif dalam kadar tertentu barangkali baik sebagai bentuk antisipasi. Namun pikiran yang terus dipenuhi dengan hal yang negatif menjadikan seseorang ragu untuk melangkah maju. Kemalangan yang seringkali menimpa dikarenakan karena pikiran-pikiran negatif tersebut. Karenanya perlu mengedepankan pikiran positif, khususnya ketika berhadapan dengan ketentuan-ketentuan dari Allah.

Pikiran positif (positive thinking) dapat diartikan juga sebagai pikiran yang lapang, alias tidak sempit. Pikiran yang lapang lebih siap menerima ragam ujian dan hambatan. Adanya hal negatif yang menghampiri tidak lantas menjadikannya teracuni dan mudah terpengaruhi. Namun justru menjadikannya sebagai pemantik untuk terus melangkap tegap ke depan. Sebab, hidup yang dinamis tidaklah selalu manis. Terkadang ada onak duri dan rasa pahit untuk menguji ketahanan diri. Pastinya, basic mindset harus selalu positif sehingga benar dalam menyikapinya.

 Fixed Mindset dan Growth Mindset

            Ada yang membuat klasifikasi menarik perihal pola pikir atau mindset. Pertama, fixed mindset yaitu pikiran saklek yang ketika berhadapan dengan hal yang baru akan sulit untuk menyesuaikan. Pikiran ini juga termasuk dalam kategori comfort zone (zona nyaman) dimana si empunya “terjebak” dalam kenyamanan-kenyamanan tertentu. Dalam konteks tertentu, kategori ini baik sebagai wujud rasa syukur. Namun syukur yang produktif itu bukan kemudian tanpa upaya untuk terus memperbaiki diri. Sementara ikhtiar perbaikan diri itu adalah bentuk dari menyukuri nikmat pula.

Kedua, growth mindset yaitu pikiran yang berkembang yang justru merindukan inovasi dan perubahan. Pikiran ini terus tumbuh menghantarkan pemiliknya meraih hal-hal baru yang positif. Ia berpikir kreatif atas keadaan yang dijalaninya sekaligus siap berhadapan dengan perubahan-perubahan yang terjadi. Pikiran model demikian ini tidak kaku namun luwes dan responsif terhadap perubahan. Perubahan yang dihadapinya justru menjadi tantangan untuk meningkatkan kualitas diri. Sebagaimana analogi di atas, pikiran ini lapang, tidak mudah terpengaruhi hal-hal negatif.

Kedua klasifikasi tersebut tentunya memiliki nilai positif dan negatif. Namun dalam konteks dunia yang terus berubah, growth mindset nampaknya menjadi tawaran yang perlu dipertimbangkan. Bahwa ciri seseorang dikatakan hidup adalah manakala dia terus berubah dan tumbuh. Ketika perubahan dan pertumbuhan itu sudah tidak terjadi barangkali itu adalah “kematian” sebelum kematian yang sesungguhnya. Karenanya, sebagai wujud syukur akan nikmat hidup adalah dengan terus tumbuh membaik dan semakin baik.

Growth mindset tentu saja tidak hanya tentang urusan dunia. Pola ini akan menarik ketika dihadapkan dengan ibadah kita kepada Allah. Ibadah yang menjadi kontrak hidup kita di dunia ini semestinya juga terus tumbuh dan semakin berkualitas. Bukan ibadah yang stagnan namun ibadah yang tidak pernah mengenal kata puas. Apalagi kita sebagai manusia tidak pernah tahu ibadah mana yang benar-benar menjadikan Allah  ridha dan rela. Karenanya, mental growth mindset ini penting untuk mengeksplorasi ibadah kita agar terus tumbuh dan produktif.

Seorang imam mengetengahkan syair bahwa genangan air (yang diam) itu merusak dirinya sendiri. Bila air itu mengalir maka ia menjadi baik dan kala berhenti mengalir maka berhenti pula baiknya. Kalau begitu, siapkah kita berubah? WalLāhu a’lamu bi ash-shawāb. []

 

Samsul Zakaria, S.Sy.,

Calon Hakim di Pengadilan Agama (PA) Tanjung,

Alumnus Program Studi Ahwal Syakhshiyah FIAI UII

INTERNET SEBAGAI SARANA DAKWAH EFEKTIF & KREATIF

Pembaca yang budiman, pada umur ke-63 tahun, Nabi Muhammad ﷺ wafat, sudah ada tanda-tanda wafat nya beliau dari beberapa hari sebelumnya, salah satunya adalah turunnya surat terakhir dalam Alqur’an surat Al-Maidah Ayat 3 yang menjelaskan bahwa telah disempurnakannya Agama Islam, yang artinya:

“… pada hari ini telah kusempurnakan agamamu, dan telah kucukupkan nikmatku, dan telah ku ridhoi Islam sebagai agama bagimu…” (QS. Al-maidah : 3)

Sebagai ajaran yang sempurna, sudah pasti Islam sebagai ajaran yang berlaku hingga akhir jaman kelak. Karena ajaran Islam berlaku di setiap zaman, pasti metode penyampaian serta bahasa nya juga tentu beda-beda, contohnya kitab zabur yang menurut riwayat berbahasa qibti turun untuk umat Islam jaman Nabi Daud, taurat yang berbahasa ibrani untuk umat Islam jaman Nabi Musa, injil yang menggunakan bahasa suryani turun untuk umat Islam jaman Nabi Isa, begitu juga Alqur’an yang berbahasa arab turun untuk umat Islam pada jaman Nabi Muhammad, dan bukan berarti Alqur’an turun untuk orang arab saja (lihat QS. Al-Fushillat :44), karena Nabi Muhammad diutus untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam. ( QS. Al-Anbiya : 107).

Dari penjabaran di atas dapat disimpulkan bahwa setiap rasul diturunkan sesuai dengan bahasa kaumnya, ini dijelaskan dalam Alquran surat  Ibrahim ayat 4 yang artinya :

Dan tidaklah kami menutus Rasulpun kecuali dengan bahasa kaumnya supaya dia dapat menjelaskan kepada mereka…” (QS. Ibrahim : 4)

Apa tujuan nya? Tentu agar dakwah para rasul lebih mudah dimengerti dan diterima oleh kaumnya, bisa dibayangkan seorang rasul datang dengan bahasa yang sama sekali berbeda, pasti akan cederung tidak diterima bahkan ditolak.

Sesuai dengan ayat Alquran yang sudah disebutkan di atas bahwa, “berdakwah dengan bahasa kaumnya” selain bermakna secara tekstual tentu ada makna lain yang bisa terus dikontekskan dan menjadi inovasi sesuai dengan kebutuhan jaman.

Alqur’an adalah kitab penyempurna dari kitab-kitab sebelumnya, dan tidak mungkin ada kitab baru lagi yang diturunkan Allah kepada Rasul di jaman ini, karena Nabi Muhammad adalah penutup bagi semua Rasul. Saat ini yang ada hanyalah pewarisan makna-makna yang terkandung dalam Alqur’an oleh para ulama, karena sesuai hadits nabi yang artinya :

Ulama adalah pewaris para nabi.” (HR At-Tirmidzi)

Seiring perkembangan zaman, akhirnya Alqur’an sudah diterjemahkan dalam berbagai bahasa agar setiap orang bisa mengerti apa yang terkandung di dalamnya. Bahkan di era millennial sekarang dengan kemudahan akses informasi melalui internet, dengan mudah kita mengetahui terjemah Alqur’an dalam berbagai bahasa bahkan lengkap dengan segala tafsirnya.

Berevolusinya internet menjadi sumber rujukan utama khususnya untuk kids jaman now dalam mengetahui makna Alqur’an, menjadi keuntungan sekaligus keprihatinan tersendiri bagi umat Islam. Misalnya keprihatinan karena sudah berkurangnya budaya menjaga silsilah keilmuan dalam mempelajari Alqur’an, sehingga sekarang banyak orang yang dengan mudahnya menyalahkan pendapat saudaranya yang sesama muslim pada hal-hal yang menurut penulis bukan hal yang bersifat subtantif, karena korban dari kemudahan mengakses penjelasan Alqur’an dari internet.

Fenomena ini di samping merupakan keprihatinan bersama di kalangan umat muslim, sebenarnya bisa menjadi tantangan pula bagi para ulama dan cendikiawan muslim untuk ikut serta pula menyebarkan keilmuan serta pemahaman yang benar tentang Alqur’an melalui media online, dan juga sebagai upaya untuk mengalahkan pemahaman-pemahaman sesat yang disebarkan oleh pihak di luar Islam, karena memang salah satu agenda besar untuk menciptakan the new world order (tatanan dunia baru dibawa sistem dajjal pada akhir jaman) ialah menjauhkan manusia dari agama, salah satunya adalah dari pihak yang membenci Islam yang menyebarkan paham mereka tentang Alqur’an melalui buku dan media online.

Menurut data dari salah satu artikel menyebutkan bahwa orang Indonesia rata-rata menghabiskan waktunya untuk menggunakan gadget selama 5,5 jam/hari, waktu yang cukup lama jika dibandingkan dengan data minat membaca orang Indonesia yang sangat jauh sekali perbedaannya. bahkan dalam komunikasi sehari-hari pun bisa dikatakan sekarang kita sudah menggunakan bahasa digital, melalui chat di social media, foto, video, ataupun electronic mail.

Kondisi seperti ini bukan saatnya untuk menyalahkan perkembangan jaman atau dengan menyebarkan slogan-slogan anti internet dan teknologi. Umat Islam justru harus beradaptasi dengan kondisi semacam ini dan menjadikan fenomena ini menjadi sarana dakwah dan ladang pahala.

Dakwah yang seperti apa? Tentu dengan dakwah yang menarik dan kekinian, karena dakwah harus menggunakan bahasa kaum yang didakwahi, yang saat ini bahasa yang digunakan ialah bahasa melalui media online.

Salah satu penyebab mundurnya peradaban Islam ialah kurangnya adaptasi terhadap perkembangan jaman dan cenderung takut untuk melakukan inovasi baru dalam penyampaian nilai-nilai Alqur’an dan hadits. Umat Islam sudah kalah dengan kaum non-muslim yang sudah menyampaikan ajaran-ajaran mereka melalui bahasa dalam film-film box office, kita sudah kalah dengan dengan yahudi yang sudah menyebarkan paham “dinding ratapan” mereka dalam dinding facebook, kita sudah kalah dengan kaum penentang tuhan yang menyampaikan ajaran mereka lewat film animasi anak-anak, dan bisa kita lihat sekarang, semua media baik itu aplikasi gadget, siaran televisi, dan situs-situs popular di internet yang disukai oleh masyarakat muslim ialah yang dimiliki oleh mayoritas orang non Islam.

Dalam sejarah sebenarnya Islam sudah dahulu lebih maju dan sudah mengadaptasikan metode dakwah dengan kondisi yang actual, misalnya bisa kita lihat ketika Muhammad Al-fatih tidak menghancurkan Gereja Hagia Sophia dan mengubahnya dari gereja menjadi masjid, dalam perspektif dakwah ini membantu umat Kristen pada saat itu menerima Islam karena menggunakan pendekatan yang lebih damai dan arif.

Pada masa Dinasti Abassiyah misalnya, dakwah Islam juga disampaikan melalui ilmu pengetahuan dan teknologi, bisa kita lihat tokoh-tokoh yang masyhur yang karyanya masih menjadi rujukan bagi para ilmuan dunia seperti Al-khawarizmi, Ibnu Sina, Al-Farabi dan sebagainya.

Lebih jauh lagi ketika masa sahabat, sebuah riwayat menjelaskan bahwa Utsman bin Affan yang kaya raya menggunakan hartanya untuk membeli sebuah sumur dan bisa digunakan untuk keperluan orang banyak, dalam sudut pandang dakwah ini sebagai sarana menyebarkan pemahaman bahwa Islam adalah rahmat bagi seluruh alam, sehingga dalam proses Islamisasi akan lebih mudah dan damai.

Dari penjabaran di atas bisalah disimpulkan bahwa di era kecanggihan teknologi saat ini para ulama dan cendikiawan harus mengubah cara dakwah agar lebih menarik dan kekinian agar lebih mudah diterima oleh masyarakat dan kaum remaja. Bukan berarti harus dirubah secara total, karena Allah menciptakan manusia secara majemuk dan beragam, dan kita harus saling mengenal (QS Al-Hujurat :13).

Dari kemajemukan itulah metode dakwah yang digunakan harus bervariasi pula, dan hemat penulis di jaman ini yang sudah menggunakan bahasa non verbal, perlu juga di konsepkan sebuah strategi untuk berdakwah melalui media online, bisa melalui gambar, video, film animasi ataupun hal-hal yang sedang popular lainnya. Semoga dengan terus berkembangnya metode dakwah, Islam akan kembali berjaya di bumi Allah ini.

Rifat syauqi zuhdi
Mahasiswa Teknik Industri UII

 

Mutiara Hikmah

كَم مِّن فِئَةٖ قَلِيلَةٍ غَلَبَتۡ فِئَةٗ كَثِيرَةَۢ بِإِذۡنِ ٱللَّهِۗ وَٱللَّهُ مَعَ ٱلصَّٰبِرِينَ ٢٤٩

“….Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah, berkata: “Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar” (QS. Albaqorah: 249)

Aturan Perang Dalam Islam dan Hukum Humaniter Internasional

Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zhalim

(QS. Al-Baqarah [2]: 193)

Islam adalah agama rahmatan lil alamin, yaitu agama yang membawa rahmat dan kesejahteraan bagi semesta alam. Segalanya telah diatur oleh Al-Qur’an dan Sunnah sebagai dasar hukum. Apa yang diatur oleh keduanya tidak lain untuk membawa manfaat bagi manusia sendiri. Islam mengatur segalanya baik ekonomi, politik, sosial, dan ekonomi. Sampai hal-hal kecil juga diatur oleh Islam seperti bersin, mengucap salam, makan, minum, dsb. Tak terkecuali dalam perang. Islam mengatur peperangan agar tidak terjadi kerusakan.

Perang merupakan perlawanan antara dua kubu atau lebih yang menyerang satu sama lain dengan menggunakan senjata. Terjadinya perang menimbulkan dampak negatif yang berskala besar karena memakan banyak jiwa dan harta. Islam membolehkan perang apabila keadaan sudah mendesak. Apabila terjadi konflik, kita tidak boleh langsung melakukan perang selama keadaan tidak mendesak. Dasar boleh melakukan peperangan antara lain surat al-Hâjj [22] ayat 39 yang berbunyi:

Telah diizinkan (berperang) bagi siapa yang diperangi karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuasa menolong mereka itu.”

Kemudian surat al-Anfâl [8] ayat 60 yang berbunyi:

Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan kekuatan yang kamu miliki dan dari pasukan berkuda yang dapat menggentarkan musuh Allah, musuhmu, dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya, tetapi Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu infakkan di jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dizalimi (dirugikan)”

Sejarah perang Rasulullah ﷺ dalam Islam telah disebutkan dalam beberapa peristiwa seperti perang Badar dan perang Uhud. Perang yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ sebagai respon terhadap apa yang dilakukan oleh orang kafir terhadap umat Islam. Orang-orang kafir pada masa itu telah menghalangi dakwah Islam dan bahkan mengancam jiwa dan harta umat Islam. Maka perang menjadi pilihan untuk menegakkan agama Allah ﷻ.

Dalam hal berperang terdapat aturan-aturan untuk mencegah kerusakan yang sangat besar. Jika kita melihat perang saat ini, kerusakan yang ditimbulkan sudah sangat parah. Perang Suriah misalnya, yang menewaskan ribuan masyarakat sipil dan memaksa sebagian lainnya pergi ke negara-negara lain. Tidak hanya itu, situs-situs sejarah Islam Bani Umayyah yang ada di Suriah menjadi rusak akibat dari perang tak berkesudahan. Contoh lainnya seperti perang di Yaman, Irak, dan Afghanistan menyebabkan pemerintah sulit mengontrol negaranya. Dampak negatif akibat perang seperti orang-orang yang terpaksa pergi dari  negaranya dan hancurnya bangunan-bangunan termasuk masjid dan situs sejarah Islam adalah akibat dari aturan perang yang dilanggar oleh pihak-pihak yang berperang.

Aturan Perang Dalam Islam

Lantas apa saja yang menjadi aturan dalam peperangan? Berikut ini secara ringkas adalah aturan-aturan Islam dalam melakukan peperangan:

Pertama, sasaran dalam perang adalah prajurit musuh yang ikut berperang. Selain prajurit, tidak boleh diperangi. Wanita, anak-anak, ahli agama dan orang tua tidak boleh dibunuh sesuai dengan hadits Rasulullah ﷺ. Dari Abdullah bin Umar, ia berkata, “Aku mendapati seorang wanita terbunuh dalam sebuah peperangan bersama Rasulullah . Kemudian beliau melarang membunuh kaum wanita dan anak-anak dalam peperangan” (HR. Bukhari No 3015 dan Muslim No 1744)

Dari Anas, sesungguhnya Rasulullah ﷺ bersabda, “Pergilah kalian dengan nama Allah, dengan Allah dan atas agama Rasulullah, jangan kalian membunuh orang tua yang sudah tidak berdaya, anak kecil dan orang perempuan, dan janganlah kalian berkhianat, kumpulkan ghanimah-ghanimahmu, dan berbuatlah maslahat, serta berbuatlah yang baik, karena sesungguhnya Allah senang kepada orang-orang yang berbuat baik”. (HR. Abu Dawud)

Dilarang membunuh para biarawan di biara-biara, dan tidak membunuh mereka yang tengah beribadah” (HR. Ahmad)

Kedua, tidak boleh mengahncurkan bangunan dan fasilitas umum. Dalam surat al-Qashâs [28] ayat 77 Allah ﷻ berfirman:

“…dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan”.

Fasilitas-fasilitas umum  seperti rumah sakit, sekolah dan tempat ibadah, tidak boleh menjadi sasaran penghancuran dalam perang. Telah banyak perang yang mengakibatkan fasilitas umum hancur sehingga menambah penderitaan warga sipil yang tidak ikut perang. Selain itu penggunaan senjata nuklir atau senjata pemusnah massal yang membunuh tanpa melihat siapa yang menjadi sasaran senjata tersebut juga dilarang karena mengakibatkan kerusakan sangat parah.

Aturan Perang Dalam Hukum Humaniter Internasional

Hukum yang mengatur dalam urusan perang disebut dalam Hukum Humaniter Internasional. Ada beberapa aturan mengenai cara berperang yang benar. Benar dalam pengertian ini ialah tidak semena-mena dalam melakukan penyerangan. Berikut ini adalah beberapa dari sekian aturan Hukum Humaniter Internasional (Jean-Marie Henckaerts, 2005) yang mengatur masalah perang:

Rule 2 : Act or threats of violence the primary purpose of which is to spread terror among the civilian population are prohibited

Rule 3 : All members of the armed forces of a party to the conflict are combatants, except medical and religious personel

Rule 38 : Each party to the conflict must respect cultural poperty:

  1. Special care must be taken in military operations to avoid demage to buildings dedicated to religion, art, science, education or charitable purposes and historic monuments unless they are military objectives.
  2. Property of great importance to the cultural heritage of every people must not be the object of attack unless imperatively required by military necessity.

 

***

Apabila dibandingkan dengan Hukum Humaniter Internasional, aturan perang dalam Islam tidak berbeda jauh, bahkan dalam beberapa hal lebih maju. Ini membuktikan bahwa adab-adab tentang perang sudah menjadi bagian dari ajaran Rasulullah ﷺ. Maka pesan Rasulullah ﷺ kepada umatnya mengenai perang semakin menambah kepercayaan bagi kita bahwa Islam adalah agama yang damai. Islam tidak pernah mengajarkan kekerasan dan berlebihan dalam perang. Dalam hal tawanan perang saja, Rasulullah ﷺ menyuruh sahabatnya unuk memperlakukan tawanan perang dengan sebaik-baiknya. Semua ajaran Islam adalah untuk kebaikan umat manusia.

Bila kita bertanya-tanya mengapa Rasulullah ﷺ memberikan pesan mengenai aturan perang, maka jawabannya bisa didapatkan dengan melihat keadaan perang sekarang. Dampak yang ditimbulkan tidak dapat dinalar oleh manusia, setiap hari korban warga sipil semakin bertambah akibat perang yang tidak memperhatikan aturan. Sudah banyak bukti negara-negara yang telah usai berperang sulit untuk bangkit kembali. Nyatanya, konflik masih terus terjadi. Pemerintah yang terbentuk setelah perang belum tentu bisa mengontrol segala aspek dalam menunjang negaranya. Maka dari itu sebisa mungkin kita mencegah terjadinya perang, walaupun telah diizinkan untuk berperang karena dampak yang ditimbulkan tidaklah kecil.

Hal yang perlu dilakukan untuk melindungi segala hal yang melanggar aturan perang sekaligus melanggar esensi Islam itu sendiri adalah dengan mendorong umat muslim di seluruh dunia, terutama yang terlibat perang, baik individu kelompok maupun level negara, untuk kembali kepada aturan Islam tentang adab-adab perang. Dengan demikian, perang diharapkan akan kembali pada tujuan utamanya, yaitu sebagai sarana untuk mempertahankan diri dan sarana untuk menciptakan perdamaian, bukan sebaliknya.

 

Muhammad Nafiuddin Fadly

Mahasiswa Hubungan Internasional

Universitas Islam Indonesia

Melihat Wajah Islam melalui Peradaban dan Pemikiran Islam Dulu dan Kini; ISLAM dan POLITIK

Berbicara mengenai Islam dan Politik tentu merupakan sebuah topik yang menarik dalam khazanah  pemikiran Islam, apalagi dalam lingkup nasional maupun internasional. Hal tersebut dikarenakan Islam merupakan sebuah agama yang bukan sekedar agama, akan tetapi Islam sebagai agama dapat mengatur berbagai aspek tidak hanya mengatur dalam konteks spiritual, namun Islam sebagai agama dapat mengatur berbagai aspek kehidupan baik dari segi Politik, Sosial, Ekonomi dan Budaya, kesemuanya itu diatur dalam agama Islam.

Islam yang mengadung prinsif Rahmatal Llil ‘Alamin dalam ideologinya, menggambarkan bahwa Islam itu sendiri cinta terhadap perdamaian, dan perdamaian itu sendiri tidak hanya monoton terhadap kaum Muslim saja melainkan untuk semua makhluk yang berada dimuka bumi ini baik dikalangan kaum Muslim maupun diluar kalangan kaum Muslim.  Oleh karenanya, Islam sebagai agama tidak bisa dipisahkan dari aspek apapun apalagi kalau kita bicara mengenai politik. Politik dalam Islam merupakan sebuah wadah, dimana wadah tersebut merupakan sebuah entitas yang bisa menerapkan sebagian ajaran dari Islam itu sendiri, sehingga politik dan Islam tidak dapat terpisahkan antara satu dengan yang lainnya. tegasnya, agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan (Politik) adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi niscaya akan runtuh dan segala sesuatu yang tidak berpenjaga niscaya akan hilang dan lenyap (al-Ghazali).

Berdasarkan pada pandangan tersebut, timbul sebuah pertanyaan; Apakah Islam sebagai agama mengatur segala aspek kehidupan? Dengan kata lain, Apakah benar Islam sebagai agama tidak bisa dipisahkan dengan dimensi politik?. Jawabannya, tentu ‘YA’ karena secara faktual Islam tidak sekedar menjadi sebuah ajaran agama akan tetapi Islam sendiri merupakan sebuah sistem politik (apolitical system), dimana seluruh gugusan pemikiran Islam dibangun diatas fundamen bahwa kedua sisi itu saling bergandengan dengan selaras dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Hal ini dibuktikan, bahwasanya Islam sendiri menjadi gerakan politik sejak zaman nabi Muhammad. Dimana pada saat itu, Muhammad membangun sebuah komunitas Islam di Madinah pada tahun 622 M. Setelah Rasulullah wafat, kendali pemerintahan dipegang oleh Khulafaurrasyidin. Masa ini ber lanjut sampai munculnya dinasti Bani Umayah dan dilanjutkan oleh Bani Abbasiyah sampai kehancurannya akibat serangan tentara Mongol sekitar tahun 1250M. Inilah yang membuktikan bahwa Islam itu tidak dapat dipisahkan dengan dimensi politik.

Terlepas dari wafatnya Rasulullah. Sejarah membuktikan bahwasanya Islam tidak terlepas dari yang namanya carut marut perpolitikan, dan kesemua hal tersebut tidak terlepas dari adanya perbedaan pendapat mengenai teologi Islam, dan hal tersebut tanpa didukung oleh takwilan atas nash-nashnya (al-Qur’an), sehingga berdampak pada penafsiran al-Qur’an dan Hadits menurut selera masing-masing golongan, bahkan sebagian melakukan pemalsuan terhadap Hadits untuk mendukung keberadaan dan kebenaran kelompok tertentu. Sehingga lahirlah firqoh-firqoh (golongan) yang berbeda-beda, namun semuanya masih berada dalam naungan bingkai Islam.

Perbedaan jelas yang terjadi terhadap kaum muslimin setelah wafatnya Rasulullah`, adalah perbedaan pendapat mengenai imamah (kepemimpinan negara), hal ini dikarenakan dalam catatan sejarah Rasulullaha tidak menjelaskan dan menentukan dengan pasti siapa yang akan menggantikan estafet dari kepemimpinannya. Sehingga dalam hal ini, terjadilah sebuah pertemuan yang dilakukan kaum Anshar di Syaqifah Bani Sa’idah dalam rangka merembukkan siapa pengganti kepemimpinan Muhammad` (lahirlah teori politik Islam pertama).

Mungkin dalam hal ini, penulis melihat bahwasanya ketiadaannya wasiat atau perintah dari Rasulullah Muhammada mengenai pengganti tampuh pemerintahan setelahnya, adalah dikarenakan bahwa Rasulullah tidak mau melihat umat Islam sendiri terikat dengan aturan-aturan yang baku dan kaku, yang kemudian aturan-aturan tersebut tidak cocok dengan perkembangan yang terus terjadi, serta tidak sesuai dengan kondisi seperti pada saat ini. Ini juga bisa kita lihat bahwa di dalam Islam itu sendiri tidak ada aturan yang baku terhadap sistem pemerintahan, ini dikarenakan syari’at Islam berkehendak bahwasanya undang-undang dalam Islam harus terus bersifat lentur, sehingga kelenturannya tersebut dapat memberikan kesempatan kepada akal manusia untuk berpikir, serta ummat Islam sendiri dapat membuat sistem politik yang di kehendakinya sendiri sesuai dengan kebutuhan mereka yang berubah-ubah sesuai perkembangan zaman. Namun dalam hal ini, harus tetap dalam koridor yang sudah ditentukan oleh syari’at Islam.

Terlepas dari itu semua, bukan berarti syari’at Islam tidak begitu memperhatikan pemeluknya dalam melakukan sesuatu perbuatan. Akan tetapi, lebih kepada memberikan kebebasan terhadap pemeluknya (Islam) supaya menggunakan akal pikirannya untuk berpikir dan melakukan sesuatu hal yang mana perbuatan tersebut bisa bermanfaat untuk dirinya dan untuk semua umat pada skala besar. Namun, Islam juga tetap memberikan batasan-batasan terhadap pemeluknya, apabila suatu perbuatan mencangkup aqidah maka perbuatan tersebut harus mengacu pada aturan syari’at nya, akan tetapi apabila perbuatan tersebut luar dari cangkupan aqidah yaitu mengenai furu’iyah maka tidak mengapa terjadi perbedaan di setiap individu asalkan masih dalam naungan bingkai Islam. Seperti banyak kita lihat para ulama banyak yang berbeda pendapat, namun kita sebagai masyarakat harus menerima dengan lapang dada seperti para Ulama lakukan.  Mungkin inilah yang dinamakan agama Islam itu mudah tapi jagan terlalu dimudah-mudahkan.

Dalam perkembangannya, semakin maju teknologi, dunia semakin modern, maka permasalahan yang terjadi juga semakin komplek. Banyak kita lihat fenomena yang diluar sana yang mengatas namakan tidakannya itu dibawah naungan Islam. Namun, hal ini perlu diwaspadai karena banyak kelompok yang mengatas namakan dirinya Islam akan tetapi sesungguhnya apa yang dilakukan justru merusak citra Islam itu sendiri dimata orang lain. Namun, tidak bisa juga dipungkiri yang melatarbelakangi munculnya sebuah gerakan destruktip tersebut bukan tidak lain karena adanya serangan dari dunia barat yang ingin melihat Islam ini rusak dan lenyap, sehingga memudahkan munculnya gerakan yang destruktip. Ini merupakan sebuah paradoks yang dilakukan dan penuh by desain dari orang-orang yang ingin melihat Islam dimuka bumi ini hancur.

Oleh sebab itu, sebagai kaum muslim perlu memperkuat persatuan Ukhuwah Islamiyah dan persatuan tersebut tidak akan terjadi apabila tidak ada yang menjadi penjaganya, dimana penjaganya tersebut ialah bukan tidak lain adalah kekuasaan (politik) sehingga apa yang saya jelaskan diatas bahwa politik dan Islam tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. namun dalam hal ini Islam yang Rahmatal Lil ‘Alamin dan penuh keadilan terhadap siapapun sekalipun diluar dari kaum Muslim. Tegasnya bagi semua mahluk di muka bumi ini.

 

Muhammad Izzu Saukani

Mahasiswa Program Studi Hubungan Internasional

Universitas Islam Indonesia