PARADIGMA KEILMUAN DALAM ISLAM

Di awal abad ke-20, seorang embriolog melakukan penelitian tentang tahap-tahap perkembangan manusia di dalam rahim (embriologi). Sampai pada suatu saat, sang ilmuwan mendapatkan beberapa ayat di dalam al-Qur’an yang menyinggung secara rinci tahap perkembangan zigot hingga menjadi janin. Ayat yang dimaksud ialah al-Qur’an surat al-Mu’minun ayat 12-14. Pada awalnya sang ilmuwan mengalami kesulitan dalam memahami ayat karena kerancuan dalam penerjemahan bahasa. Namun kemudian, Kerajaan Saudi Arabia membantu menyediakan terjemah ayat yang lebih teliti. Dengan panduan ayat al-Qur’an tersebut yang sejalan dengan observasinya, dirumuskanlah konsep embriologi modern.

Dalam buku berjudul Human Development as Described in the Qur’an and Sunnah (2000), profesor anatomi dan biologi sel di University of Toronto tersebut beserta peneliti lain menyatakan bahwa sebelum abad ke-20, penelitian embriologi sulit dilakukan karena keterbatasan teknologi. Saat itu tidak ada literatur yang menjelaskan tahap-tahap perkembangan janin secara rinci. Namun belasan abad yang lampau Alquran telah menjelaskan tahap demi tahap perkembangan embrio yang merepresentasikan temuan terkini di bidang embriologi. Di buku ini dijelaskan tahap demi tahap embriologi menurut Alquran yang selaras dengan penemuan mutakhir. Salah satu kalimat konklusif di buku tersebut ialah, “The Qur’anic descriptions are clear indications that this knowledge came to Muhammad (peace and blessings be upon him) from God” (Zindani et al., 2000).

Penelitian fenomenal ini pula yang kemudian mengantarkan ilmuwan tersebut, yaitu Keith L. Moore untuk tunduk menerima Islam. Hingga saat ini karya beliau terus digunakan di pendidikan dokter modern, di antaranya buku embriologi The Developing Human dan buku anatomi Clinically Oriented Anatomy.

Perumusan konsep embriologi menurut al-Qur’an dan as-Sunnah oleh Keith L. Moore bukan hanya menambah khazanah ilmu pengetahuan. Tidak kalah penting, fenomena ini mengetuk hati kita untuk menilik kembali cara pandang kita terhadap ilmu pengetahuan. Fenomena tersebut seakan sebuah mutiara di tengah lumpur yang kelam. Sulit dipungkiri bahwa saat ini agama disingkirkan dari pengembangan ilmu pengetahuan.

Paradigma Keilmuan dalam Islam

Bagaimana cara Islam memandang ilmu pengetahuan? Terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara tradisi Islam dan tradisi sekuler dalam memandang ilmu pengetahuan. Dalam tradisi Islam, sebagaimana dibahas dalam ushul fiqih, ada dua garis besar ilmu, yaitu 1) ilmu makhluk dan 2) ilmu Allah Ta’ala.

Prof. Wahbah Zuhaili dalam kitab beliau yang fenomenal, yaitu Tafsir Al-Munir menjelaskan konsep ilmu manusia dan makhluk lainnya sebagai bekal dalam kehidupan ini. Saat menjelaskan tafsir surat al-Fatihah ayat 6 beliau menerangkan bahwa makhluk memiliki lima tingkatan ilmu.

  1. Fitrah atau ilham

Contohnya adalah apa yang dilakukan oleh hewan mamalia yang baru saja dilahirkan oleh induknya. Dia akan segera mendekat untuk menyusu kepada induknya. Inilah ilham yang Allah Ta’ala tanamkan kepada hewan.

  1. Panca indera

Panca indera dimiliki oleh hewan dan manusia. Bahkan pada awal kehidupan, panca indera hewan lebih berfungsi daripada manusia.

  1. Akal

Dengan akal inilah manusia mengelola informasi yang diterima oleh panca inderanya. Dengan akal manusia menelurkan konsep-konsep dan pemikiran yang berpengaruh ke tingkah laku dan peradabannya sebagai manusia. Maka dengan akal inilah peradaban manusia berkembang dan tidak statis sebagaimana hewan.

  1. Hidayah agama

Akal manusia memiliki keterbatasan. Terlebih lagi, akal sering dikaburkan dengan keinginan hawa nafsu. Hal ini membuat manusia rentan melakukan kesalahan dalam tingkah lakunya. Oleh karena itu, manusia membutuhkan panduan baku yang bersih dari polusi hawa nafsu. Ialah hidayah/ilmu agama. Ilmu agama berasal dari Allah Ta’ala dan terbebas dari hawa nafsu, subhanallah. Ilmu agama sudah pasti kebenarannya, dan seharusnya digunakan oleh makhluk untuk mengatur tingkah lakunya.

  1. Hidayah taufik

Banyak orang mendapatkan nasihat dan arahan agama. Namun pada kenyataannya, seringkali manusia berpaling dari ilmu yang telah datang kepadanya tersebut. Hal ini terjadi karena tidak semua manusia mendapatkan hidayah taufik dari Allah Ta’ala. Taufik adalah kecocokan hati seseorang untuk tunduk dan menerima nasihat/ilmu agama yang datang kepadanya. Inilah hidayah yang sering kita minta dengan lafadz ihdinash shirathal mustaqim.

 

Inilah perbedaan besar antara paradigma ilmu sekuler dengan paradigma ilmu peradaban Islam. Paradigma sekuler mengingkari keberadaan “ilmu Tuhan”. Mereka menganut empirisme untuk mengakui ilmu. Empirisme adalah suatu prinsip bahwa semua pengetahuan didapatkan dengan pengalaman. Apa yang tidak dialami atau tidak bisa dijelaskan dengan akal mereka, tidak diakui sebagai ilmu. Pada akhirnya dibuanglah segala konsep agama dari bahasan ilmu pengetahuan dalam paradigma sekuler.

Hal ini jelas bertentangan dengan pandangan ilmu dalam tradisi Islam. Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, hasil olahan akal manusia hanyalah tingkat ketiga dari lima tingkatan ilmu. Adapun ilmu Allah Ta’ala yang sampai kepada manusia sampai pada tingkat keempat dan kelima. Maka ketika seseorang membatasi ilmu dengan empirisme, maka sebenarnya dia membatasi ilmunya hanya sampai pada tingkat ketiga, yaitu tingkat akal.

Pembatasan ilmu hanya sampai ke tingkat akal akan membatasi ilmu itu sendiri. Padahal, banyak informasi dari wahyu yang telah Allah sampaikan namun belum dapat dipahami oleh manusia. Begitu pula pembatasan ilmu dengan empirisme dapat meniadakan keimanan. Demikian karena salah satu rukun iman adalah beriman kepada yang ghaib. Padahal, banyak hal ghaib yang belum dialami oleh manusia. Maka pembatasan ilmu dengan empirisme membuat seseorang mengingkari hal yang ghaib. Pembatasan ilmu dengan empirisme akan meniadakan iman kepada hari akhir karena belum ada manusia di zaman ini yang pernah mengalami kehidupan akhirat.

Oleh karena itulah Islam tidak membatasi ilmu dengan empirisme insani. Dalam Islam, kebenaran bukan hanya apa yang pernah dialami oleh manusia. Selain pengalaman manusia, ada sumber ilmu lain dalam tradisi keilmuan Islam yang disebut dengan khabar shadiq.

Khabar shadiq ialah kabar yang benar, yang didasari oleh sifat-sifat dasar santifik dan agama, yang mana diriwayatkan oleh otoritas agama yang otentik. Menurut otoritasnya, khabar shadiq dibagi menjadi dua tingkatan, yaitu 1) otoritas mutlak yang terdiri dari otoritas ketuhanan (Alquran) dan otoritas kenabian (hadits Rasulullah `); 2) otoritas nisbi, yang terdiri dari kesepakatan alim ulama dan kabar dari orang terpercaya secara umum. Otoritas Alquran dan hadits sebagai sumber ilmu bersifat mutlak. Adapun ilmu dari otoritas nisbi, tentu terdapat syarat dan ketentuan untuk menerimanya sebagai ilmu yang benar. (Salim, 2014; makalah INSIST “Khabar Shadiq Sebuah Metode Transmisi Ilmu Pengetahuan dalam Islam”).

Perbedaan dalam mengambil sumber ilmu tentu berpengaruh terhadap ilmu yang dihasilkan. Maka tidak heran jika banyak pandangan dari peradaban sekuler yang bertentangan dengan Islam. Paradigma sekuler mengambil pandangan dengan berlepas diri dari agama. Maka sangat wajar jika di antara produk pengetahuan sekuler bertentangan dengan agama/kebenaran. Adapun produk keilmuan yang diolah dengan akal manusia yang disertai dengan sinar ilahiyah tentu lebih selaras dengan kebenaran hakiki.

 

Kesimpulan

Setelah mengikuti uraian di atas, tampaknya kita perlu melihat kembali paradigma keilmuan kita di masa sekarang. Sebagai seorang mukmin yang meyakini Allah Ta’ala Maha Mengetahui, tentu tidak pantas jika kemudian justru mengingkari keilmuan Allah Ta’ala. Tentu aneh jika orang beriman menolak peran agama dalam dinamika ilmu pengetahuan. Justru agama adalah salah satu sumber ilmu pengetahuan yang hakiki.

Oleh karena itulah sebagai manusia yang selalu mengolah produk keilmuan, khususnya akademisi muslim, sudah sepantasnya mengikuti paradigma keilmuan Islam. Dengan paradigma Islam, semakin banyak sumber ilmu pengetahuan yang dapat dikembangkan. Dengan paradigma Islam, semakin banyak produk ilmu yang dihasilkan untuk maslahat manusia. Pada akhirnya, dengan paradigma keilmuan Islam muncullah produk-produk ilmu yang hakiki, bukan pengetahuan keliru yang disusun dengan pencemaran hawa nafsu dan keterbatasan akal. Wallahu a’lam bish shawab.

 

 

  1. Afif Azharul F

TERNYATA MASIH JALAN DI TEMPAT

Banyak orang mengira dirinya sudah berhijrah, sudah lebih baik, dan sudah berilmu. Padahal sebenarnya ia masih berada di tempat yang sama, bahkan ada yang terjerumus pada jalan yang sesat. Kaum muslimin yang dirahmati Allah, sebagai umat islam hendaknya kita selalu introspeksi diri untuk menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya dan semangat dalam melakukan kebaikan (fastabiqul khoirat) sebagaimana yang telah dicontohkan oleh sahabat – sahabat Rasulullah , seperti kisah dimana saat Umar bin Khattab menginfakkan setengah hartanya kepada Rasulullah  dan mengira bahwa kali ini pasti melampaui Abu Bakar Ash Siddiq. Tetapi tidak lama kemudian datanglah Abu Bakar membawa seluruh hartanya untuk diinfakkan kepada Rasulullah . kemudian Umar Bin Khattab berkata, Demi Allah saya tidak akan melampauinya untuk mencapai keutamaan selamanya. Lihatlah bagaimana para sahabat dahulu bersemangat dalam kebaikan padahal diantara mereka ada yang sudah dijamin masuk surga.

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, hijrah merupakan ibadah yang agung, dan disyari’atkan bagi setiap muslimin di setiap waktu, hijrah ini menurut ibnul qoyyim termasuk hijrah dengan hati atau hijrah maknawi, karena didalam Risalah Tabukiyah  ibnul qoyyim membagi hijrah menjadi 2 yang pertama yaitu hijrah dengan hati (maknawi) dan yang kedua yaitu hijrah dengan badan (hissi).

Hijrah dengan hati adalah meninggalkan apa yang dibenci Allah menuju apa yang dicintai Allah dan inilah yang disebut al firar ila Allah ( berlari menuju Allah ). Allah  berfiman yang artinya, “Maka berlarilah kalian menuju Allah” (QS Adz Dzariyat [51]: 50). Kemudian yang dimaksud dengan hijrah dengan badan (hissi) adalah meninggalkan negeri kafir menuju ke negeri islam atau meninggalkan negeri yang banyak fitnah menuju negeri yang sedikit fitnah, hijrah ini disyariatkan bagi seorang muslim yang tidak bisa menjalankan perintah Allah  dan menjauhi larangan Allah  di negeri tersebut. Adapun topik yang akan kita bahas kali ini yaitu hijrah dengan hati.

 

Hijrah Kepada Allah

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, tahukah kalian bahwa tujuan kita diciptakan oleh Allah  adalah hanya untuk beribadah kepada-Nya? Allah  berfirman yang artinya, “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya meraka beribadah kepada-Ku” (QS. Adz Dzariyat [51]: 56).

Syaikhul Islam mengatakan,” Ibadah adalah meliputi segala sesuatu yang dicintai Allah  dan diridhai-Nya, berupa ucapan maupun perbuatan, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Wahai saudaraku, lihatlah betapa agungnya agama islam sehingga memiliki banyak sekali amalan ketaatan yang seluruh umat Islam bisa melakukannya dan Allah  akan mencintai dan meridhai amalan tersebut selama memenuhi 2 syarat, yaitu Ikhlas karena Allah  dan Ittiba’ (mengikuti ajaran kepada Rasulullah ).

Dua syarat ini merupakan kaidah fiqih yang sangat penting bagi kaum muslimin. Pada ayat al-Qur’an juga dijelaskan dalam firman Allah  yang artinya, “Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya” (QS. Al Kahfi [18]: 110). Seorang tokoh terkemuka generasi tabi’ tabi’in Al Fudhail bin Iyadh juga tatkala menjelaskan mengenai firman Allah  yang artinya, “Supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya”, (QS. Al Mulk [67]: 2), beliau mengatakan, bahwa amalan yang baik yaitu amalan yang paling ikhlas dan shawab (mencocoki ajaran Nabi Muhammad .

Hijrah kepada Allah  ini mengandung sikap meninggalkan segala hal yang dibenci oleh Allah  kemudian diikuti dengan melakukan apa saja yang dicintai dan diridhai oleh Allah . Pokok hijrah ini adalah rasa cinta dan benci di dalam hati. Dalam artian seseorang yang berhijrah meninggalkan sesuatu (baca ; maksiat) kepada sesuatu yang lain (baca ; ketaatan) tentu saja karena apa yang dia tinggalkan. Oleh sebab itulah dia lebih mengutamakan perkara yang lebih dicintainya daripada perkara-perkara yang lainnya (lihat Adh Dhau’ Al Munir ‘ala At Tafsir, oleh Imam Ibnul Qoyyim)

 

Menyelamatkan Diri Dari Adzab Allah

Kaum muslimin yang dirahmati oleh Allah , ketahuilah bahwa ibadah tidak hanya sekedar menjalankan apa yang perintah Allah , seperti sholat, zakat, puasa dan perintah ibadah lainya. Namun ibadah juga bisa berupa meninggalkan apa yang Allah  larang, seperti syirik, minum minuman keras, zina, dan perbuatan maksiat lainnya. Sebab utama yang akan membebaskan kita dari adzab Allah  adalah tauhid dan keimanan. Dengan tauhid dan iman itulah dirinya akan selamat dari kekalnya siksa neraka. Berbeda dengan orang kafir atau musyrik. Betapa pun banyak jasa dan kebaikan mereka kepada manusia, jika mereka kafir dan mempersekutukan Allah  maka di akhirat mereka kekal dihukum di neraka. Amalannya akan sirna dan sia-sia, terhapus dan hancur akibat syirik dan kekafiran mereka kepada Allah .

Allah  berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah maka sungguh Allah haramkan atasnya surga dan tempat kembalinya adalah neraka, dan tidak ada bagi orang-orang zalim itu penolong”. (QS. Al Ma’idah [5]: 72)

Allah  juga berfirman (yang artinya), “Sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelummu, jika kamu berbuat syirik niscaya lenyap seluruh amalmu dan benar-benar kamu termasuk golongan orang-orang yang merugi” (QS. Az Zumar [39]: 65)

 

Syirik Kezaliman Terbesar

Allah  berfirman yang artinya,“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia akan mengampuni dosa di bawah tingkatan syirik bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya. (QS. An Nisaa’ [48]: 116)

Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah berkata, “Dengan ayat ini maka jelaslah bahwasanya syirik adalah dosa yang paling besar. Karena Allah ta’ala mengabarkan bahwa Dia tidak akan mengampuninya bagi orang yang tidak bertaubat darinya (Fathul Majid).Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu bertanya kepada Nabi, “Wahai Rasulullah, dosa apakah yang paling besar? Maka beliau menjawab, “Yaitu engkau mengangkat tandingan/sekutu bagi Allah (dalam beribadah) padahal Dia lah yang telah menciptakanmu. (HR. Bukhari dan Muslim).

Dalam hadits yang lain dari Abdurrahman bin Abi Bakrah, dari ayahnya, ayahnya berkata: Rasulullah  bersabda, “Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang dosa besar yang paling besar? Beliau bertanya sebanyak tiga kali.Para sahabat menjawab, “Mau wahai Rasulullah!Lalu beliau bersabda, “Yaitu mempersekutukan Allah dan durhaka kepada kedua orang tua. Lalu beliau duduk tegak setelah sebelumnya bersandar seraya melanjutkan sabdanya, “Ingatlah, begitu juga berkata-kata dusta. Beliau mengulang-ulang kalimat itu sampai-sampai aku bergumam karena kasihan, “Mudah-mudahan beliau diam. (HR. Bukhari dan Muslim). Oleh karena itulah, Adz Dzahabi yang menulis kitab Al Kaba’ir menempatkan dosa syirik kepada Allah sebagai dosa besar nomor satu sebelum dosa-dosa yang lainnya. Beliau berkata, “Dosa besar yang terbesar adalah kesyirikan kepada Allah . (Al Kaba’ir)

 

Tunduk Kepada Syari’at Allah

Termasuk di dalam cakupan hijrah kepada Allah  adalah dengan mengikuti aturan dan hukum-hukum yang telah ditetapkan Allah  dan Rasul-Nya bagi umat manusia. Baik aturan itu menyangkut masalah ibadah/ritual, akhlak/perilaku, mu’amalah, ekonomi, politik, dan lain sebagainya. Sebab Islam adalah ajaran yang lengkap dan sempurna, meliputi berbagai sisi kehidupan. Dengan tunduk kepada hukum-hukum Allah  akan mendatangkan hidayah, ketentraman dan keselamatan, di dunia dan di akhirat.

Allah  berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku maka dia tidak akan sesat dan tidak akan celaka” (QS. Thaha [20]: 123). Diantara bentuk ketundukan kepada syari’at Allah  adalah dengan memberikan ketaatan kepada ulama dan umara/pemerintah dalam hal-hal yang ma’ruf/kebaikan. Demikian pula wajib mengembalikan segala perselisihan kepada Al Qur’an dan As Sunnah.Inilah yang disebut dengan ketundukan kepada hukum Allah.

Allah  berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan juga ulil amri/para pemimpin diantara kalian. Kemudian, apabila kalian berselisih dalam suatu masalah, kembalikanlah kepada Allah dan Rasul, jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir.Hal itu lebih baik dan lebih bagus hasilnya” (QS. An Nisaa’ : 59)

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, dari penjelasan-penjelasan tadi teranglah bagi kita bahwa sesungguhnya kebahagiaan dan keselamatan yang hakiki hanya bisa diraih dengan kembali kepada Allah dan Rasul-Nya, yaitu meninggalkan segala hal yang dibenci dan tidak diridhai-Nya menuju apa-apa yang dicintai dan diridhai-Nya. Untuk tujuan itulah Allah Ta’ala menciptakan segenap jin dan manusia. Allah  berfirman (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka beribadah kepada-Ku” (QS. Adz Dzariyat : 56). Wallahu a’lam bish shawaab.

 

Khalqurrahman

 Mahasiswa FTSP UII

JALAN MUSLIM MENUJU KAMPUNG HALAMAN YANG SESUNGGUHNYA

“ dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”

(QS. Al-Qashash: 77)

Bismillâhi walhamdulillâh wash shalâtu was salâmu ‘ala rasûlillâh,
Wahai saudaraku, kaum muslimin dan muslimat yang cintaku tak kan pernah habis untuk kalian. Tahukah kalian di manakah sebenarnya letak rumah kita yang sesungguhnya? Di manakah sebenarnya tempat kita akan kembali dari perjalanan yang singkat ini? Di manakah sebenarnya kampung halaman yang selalu kita rindukan itu? Darimana bapak dan ibu kita semua berasal, maka di situlah rumah kita yang sesungguhnya, di situlah kampung halaman kita yang sebenarnya, yakni surga yang indah yang serat akan kenikmatan.
Tempat Nabi Adam alaihi salam dan ibunda Hawa memulai kehidupan mereka. Sebagaimana yang telah difirmankan oleh Allah ﷻ, yang artinya: “Hai Adam, diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini, dan makanlah makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang dzalim.” (QS. Al-Baqarah (2): 35).
Sebelum Adam dan Hawa mendiami surganya Allah ﷻ, adalah Iblis yang Allah ﷻ jadikan penghuni surga itu, dikarenakan ibadah-ibadah mereka yang menyerupai para Malaikat. Sebagaimana yang Allah ﷻ firmankan yang artinya: “Maka keluarlah kamu dari surga. Sesungguhnya kamu adalah orang yang terkutuk, sesungguhnya kutukan-Ku tetap atasmu sampai hari pembalasan”. (QS. Shaad (38): 77-78).
Dari ayat tersebut, maka dapat diketahui bahwa Iblis merupakan makhluk yang dulunya juga sebagai penduduk langit, namun dikarenakan kedurhakaannya kepada Allah ﷻ, maka Iblis diusir dari surga dengan keadaan terhina. Kisahnya terdapat firman Allah ﷻ, yang artinya: “Dan ingatlah ketika kami berfirman kepada para malaikat: “sujudlah kamu kepada adam, maka sujudlah mereka kecuali Iblis. Ia emggan dan sombong, dan ia termasuk golongan orang-orang yang kafir”. (QS. Al-Baqarah (2): 34).
Karena kedengkiannya kepada Adam, iblis selalu berusaha agar Adam dan Hawa melanggar perintah Allah ﷻ seperti yang tersebut dalam surat Al-Baqarah ayat 35 di paragraph pertama di atas, yakni memakan buah dari pohon yang dilarang atasnya. Lantas bagaimana cara Iblis itu bisa kembali ke surga untuk menggoda Adam dan Hawa? Bukankah dia telah terusir sebelumnya tatkala dia tidak mau sujud kepada Adam Alahi Salam.
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ¬rodiyallahuanhu Nabi ﷺ bersabda, “tatkala Allah Azza wa Jalla berkata kepada Adam “Hai Adam, diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini, dan makanlah makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang dzalim.
Iblis berupaya untuk masuk menemui mereka berdua di surga namun terus dihalangi oleh para penjaganya. Lalu muncul seekor ular yang memilki empat buah kaki seperti layaknya unta dan terlihat sebagai hewan yang paling bagus. Iblis membujuk ular itu agar mau memasukannya kedalam mulutnya sehingga ia bisa membawanya bertemu dengan Adam. Ular itupun memasukan iblis kedalam mulutnya kemudian melewati para penjaga surga dan berhasil masuk kedalamnya sedang para penjaga itu tidak mengetahuinya atas kehendak Allah ﷻ. Iblis itu bercerita melalui mulut ular tersebut namun Adam tidaklah memperdulikannya, maka iblispun keluar menemui Adam dan mengatakan. “wahai adam, maukah kutunjukkan sepadamu sebuah pohon yang abadi dan kekuasaan yang tidak sirna.” Dia mengatakan lagi, “mahukah aku tujukan pohon yang apabila kamu memakannya maka engkau akan menjadi raja seperti Allah ﷻ atau kalian berdua akan kekal dan tidak akan mati selamanya.
Iblispun bersumpah atas nama Allah dengan mengatakan. “sesungguhnya aku hanyalah menasehati kalian berdua.” Sesungguhnya iblis menginginkan dengan itu agar aurat mereka berdua tampak dengan terlepasnya pakaiannya. Iblis telah mengetahui bahwa mereka berdua memiliki aurat setelah membaca kitab malaikat. Adam tidaklah mengetahui perihal ini.
Adam enggan untuk memakan dari pohon itu, akan tetapi Hawa mendekati pohon itu dan memakannya lalu dia berkata, “wahai Adam makanlah, sesungguhnya aku telah memakannya dan tidak terjadi apa-apa terhadapku. Tatkala adam memakannya maka tampaklah aurat keduanya dan mulailah mereka berdua menutupinya dengan daun-daun surga. (Tarikhur Rusul wal Muluk)
Dari hadis di atas dapat kita ketahui bahwa sungguh besar sekali permusuhan yang diadakan oleh iblis kepada Nabi Adam Aalihi Salam. Diakibatkan kedengkian dan kesombongan iblislah akhirnya Adam dan Hawa pun terusir dari surga-Nya Allah ﷻ, namun keduanya bertaubat memohon ampun kepada Allah ﷻ dan Allahpun menerima taubat keduanya, kemudian Allah beri tangguh keduanya untuk hidup di dunia sampai waktu yang ditentukan. Sebagaimana firman Allah ﷻ, yang artinya: “Turunlah kamu! Kamu akan saling bermusuhan satu sama lain. Bumi adalah tempat kediaman dan kesenanganmu sampai waktu yang ditentukan”. (QS. Al-A’raf (7): 24). Menurut salah satu pendapat mufassir, yang dimaksud dari “kalian” dari firman Allah tersebut adalah Adam, Hawa, Iblis,dan Ular.
Dengan demikian, bagaiamana cara kita selaku anak cucu adam yang selalu mendapatkan bisikan-bisikan syaiton pasukan iblis tersebut agar tidaklah tersesat untuk kembali pulang ke kampung halaman yang sebenarnya, yakni surga? Maka cobalah simak perumpamaan ini.
Semua dari kita memiliki batas waktu untuk tinggal di muka bumi ini. Bumi ini bukanlah tempat kita untuk menetap selamanya, bukanlah tempat kita menjalani kehidupan selamanya.. Akan tetapi kehidupan di bumi ini adalah sebuah perjalanan untuk kembali pulang ke rumah asal kita, yakni surga. Sehingga dalam perjalanan kita untuk bisa kembali pulang ke kampung halaman itu, kita haruslah memiliki petunjuk atau peta jalan agar bisa kembali dengan selamat menuju rumah kita yang abadi itu. Peta petunjuk tersebut adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sebagaimana yang Allah firmankan dalam kitab-Nya yang mulia, yang artinya: “inilah kitab yang tidak ada kerguan daripadanya. Petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Al-Baqarah (2): 2). Kemudian dari hadits Nabi Muhammad ﷺ, beliau bersabda: “Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan tersesat selamanya jika berpegang kepada keduanya, (yaitu) kitab Allah (Al-Qur’an) dan Sunnah Rasul-Nya.” (HR. Hakim).
Ibarat Al-Qur’an dan As-Sunnah itu adalah sebuah peta petunjuk, maka para sahabat Nabi yang mulia adalah tour guide kita dalam memahami peta petunjuk (Al-Qur’an dan As-Sunnah) tersebut. Bagaimana tidak? Para sahabat adalah orang-orang yang melihat langsung wahyu itu turun kepada baginda Muhammad ﷺ, yang mengetahui sebab-sebab turunnya wahyu tersebut, yang mendengar langsung isi wahyu tersebut bahkan beserta penjelasannya dari Nabi Muhammad ﷺ. Oleh sebab itu sudah menjadi keharusan bagi kita kaum muslimin untuk menitih jalannya para sahabat yang mulia dalam memahami dinul Islam yang sempurna ini, in syaa Allah dengan itu kita bisa mendapatkan jaminan dari Rasulullah ﷺ agar bisa selamat kembali pulang ke kampung halaman kita, yakni surga. Sebagaimana yang Rasulullah ﷺ sabdakan, yang artinya: “Sesungguhnya Bani Israil telah terpecah menjadi 72 golongan, dan sesuungguhnya umatku akan terpecah menjadi 73 golongan. Mereka semua di dalam neraka, kecuali satu (golongan yang selamat). Mereka bertanya “siapakah mereka (golongan yang selamat) wahai Rasulullah?” beliau menjawab “siapa saja yang mengikutiku dan (mengikuti) sahabatku”. (HR. Tirmidzi dan Al-Hakim).
Pelajaran yang amat penting dari kisah tersebut adalah sungguh seorang mukmin apabila ia bertaqwa kepada Allah ﷻ, maka Allah ﷻ akan memberikan kedudukan yang mulia baginya, akan tetapi jika seorang mukmin itu gemar melakukan sesuatu yang dilarang oleh-Nya, maka kehinaan akan menimpanya,. Dari kisah tersebut juga kita dapat mengetahui bahwa musuh utama bagi umat manusia adalah iblis yang sombong. Ibrah selanjutnya dari kisah tersebut adalah bahwasanya Allah ﷻ dengan kasih sayang dan rahmat-Nya adalah Tuhan yang maha penerima taubat. Allah ﷻ berfirman, yang artinya: “katakanlah: hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang maha pengampun lagi maha penyayang. Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu yang kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi). (QS. Az-Zummar (39): 53-54).
Adapun pesan utama dari tulisan ini adalah marilah wahai saudara-saudariku kita berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman Ahlussunnah wal jama’ah. Karena hanya inilah jalan menuju keselamatan yang telah ditempuh oleh baginda Muhammad ﷺ dan juga para murid-murid beliau yang mulia, yakni para sahabat.

Anas Ahmad Rahman
Mahasiswa MSI UII

BIOGRAFI ABU HURAIRAH

Abu Hurairah dilahirkan tahun 19 sebelum Hijriyah. Nama Beliau sebelum memeluk Islam tidaklah diketahui dengan jelas, tetapi pendapat yang masyhur adalah Abdusy Syam. Sedangkan nama Islam nya yaitu Abdur-Rahman. Beliau berasal dari qabilah Al-dusi di Yaman. Beliau memeluk Islam pada tahun ke 7 Hijriyah ketika Rasulullah Berangkat menuju Khaibar. Ketika itu, ibunya belum menerima Islam bahkan menghina Rasulullah. Abu Hurairamenemui Rasulullah, meminta beliau berdo’a agar ibunya masuk Islam. Kemudian Abu Hurairah kembali menemui ibunya lalu mengajaknya masuk Islam. Ternyata ibunya telah berubah pikiran dan bersedia masuk Islam.

Setelah pulang dari Perang Khaibar, Rasulullah ingin memperluas masjid Nabawi ke arah barat dengan menambah ruang sebanyak tiga tiang lagi. Ketika Rasulullah mengangkat batu untuk pondasi tiang, Abu hurairah langsung meminta agar beliau menyerahkan batu tersebut tetapi Rasulullah menolak dan berkata “Tiada kehidupan sebenarnya melainkan kehidupan akhirat”.

Abu Hurairah sangat mencintai Rasulullah sehingga siapun yang Rasullah cintai, maka iapun ikut mencintainya. Misalnya, Abu Huraira suka menciumi Hasan dan Husein karena beliau melihat Rasulullah suka menciumi kedua cucunya. Beliau diberi gelar dengan nama “Abu Hurairah“ karena kegemarannya bermain dengan anak kucing. Diceritakan pada suatu hari ketika Abu Hurairah bertemu Rasulullah, beliau bertanya pada Abu Hurairah tentang apa yang ada di dalam lengan bajunya, lalu Abu Hurairah memperlihatkan bahwa di dalam lengan bajunya ada seekor anak kucing. Setelah itu beliau diberi gelar oleh Rasulullah` dengan nama “Abu Hurairah” dan semenjak itu beliau lebih suka di panggil nama gelar tersebut.

Abu Hurairaha pindah ke Madinah untuk bekerja. Disana, beliau bekerja sebagai pekerja kasar atau kita lebih sering sebut dengan buruh. Beliau sering mengikatkan batu di perutnya untuk menahan rasa lapar, Diceritakan bahwa beliau berbaring menghampar di mimbar masjid sehingga orang-orang menyangka beliau sudah tidak waras lagi. Ketika Rasulullah` mendengar kabar tersebut, beliau langsung menemui Abu Hurairah dan menjelaskan kepada orang-orang bahwa Abu Hurairah berbuat seperti itu karena lapar. Lalu Rasulullah memberinya makanan.

Abu Hurairaha adalah sahabat yang sangat dekat dengan Rasulullah. Beliau dikenal sebagai salah satu ahli shuffah, yaitu orang- orang miskin atau sedang menuntut ilmu yang tinggal di halaman masjid. Pada suatu hari beliau duduk di pinggir jalan dimana orang-orang berlalu-lalang. Waktu itu beliau melihat Abu Bakara berjalan, lalu beliau meminta agar dibacakan satu ayat Al-Qur’an. “Saya bertanya begitu supaya beliau mengajakku ikut dengannya dan memberiku pekerjaan”, kata Abu Hurairah. Akan tetapi Abu Bakara hanya membacakan ayat Al-Qur’an lalu kemudian pergi. Lalu melihat beliau melihat Umar ibn Khattaba dan berkata “ tolong ajari saya ayat Al-Qur’an”. Abu Hurairah kecewa lagi karena Umar melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan oleh Abu Bakar. Tak lama kemudian datanglah Rasulullah. Nabi tersenyum, Abu Hurairaha berkata dalam hatinya, “beliau tahu apa isi hati saya dengan tepat, beliau bisa membaca raut muka saya dengan tepat,” Nabi memanggil “ya aba Hurairah!” Abu Hurairah menjawab “Labbaik, ya Rasulullah!”. Lalu Rasulullah berkata, “ikutilah aku!” beliau mengajak ke rumahnya. Didalam rumah didapati ada semangkuk susu “darimana datangnya susu ini?” tanya Rasulullah. Beliau telah bahwa seseorang telah memberikan susu itu. Rasullah memanggil, “ya Aba Hurairah!”Abu Hurairah pun menjawab “Labbaik, ya Rasulullah!””tolong panggilkan ahli suffah,” kata Rasulullah. Susu tadi dibagikan kepada ahli suffah, termasuk Abu Hurairah. Sejak itulah, Abu Hurairah mengabdi kepada Rasulullah, bergabung dengan ahli suffah di masjid.

Abu Hurairah meriwayatkan banyak Hadits disebabkan karena beliau mendampingi Rasulullah selama tiga tahun, sejak Abu Hurairah memeluk Islam. Abu Hurairah berkata, “…….sesungguhnya saudara kami dari golongan muhajirin sibuk dengan urusan mereka dipasar dan orang-orang Anshar sibuk bekerja diladang mereka, sementara aku seorang yang miskin senantiasa bersama Rasulullah di mil’i batni. Aku hadir di majelis yang mereka tidak hadir dan aku hafal pada saat mereka lupa” (Hadits Riwayat Bukhari). Pada mulanya Abu Hurairah mempunyai ingatan yang lemah, lalu beliau mengadu kepada Rasulullah.  Rasulullah` lalu mendo’akan Abu Hurairah agar di beri dengan daya ingat yang kuat. Semenjak itu, Abu Hurairah memiliki daya ingat yang kuat sehingga Abu Hurairah mampu meriwayatkan banyak Hadits bahkan yang terbanyak di kalangan para sahabat.

Kisah Abu Hurairah menjaga Gudang Zakat

Abu Hurairah  pernah diberi tugas oleh Rasulullah untuk menjaga gudang hasil zakat. Pada suatu malam, Abu Hurairah melihat orang mengendap-ngendap akan mencuri, lalu ditangkapnya. Orang itupun akan dibawanya kepada Rasulullah, tetapi pencuri itu merayu minta dikasihani seraya menyatakan bahwa dia mencuri untuk memberi makan keluarganya yang kelaparan. Abu Hurairah merasa kasihan lalu melepas pencuri itu dengan syarat orang itu tidak mengulangi perbuatannya lagi. Keesokan harinya, peristiwa tersebut dilaporkan kepada Rasulullah` dan beliaupun tersenyum lalu menyatakan bahwa pencuri itu pasti akan kembali. Ternyata keesokan malamnya pencuri itu datang lagi. Sekali lagi Abu Hurairah menangkap pencuri itu lalu ingin diserahkannya kepada Rasullah`. Sekali lagi, pencuri tersebut merayu sehingga Abu Hurairah merasa kasihan lalu melepaskannya sekali lagi. Kesokan harinya beliau melaporkan kejadian tersebut kepada Rasulullah` dan Rasulullah` pun mengulagi sabda nya bahwa pencuri itu pasti kembali. Apabila pencuri itu ditangkap sekali lagi, Abu Hurairah mengancam akan membawanya kepada Rasulullah. Keesokan malamnya pencuri tersebut tertangkap lagi dan merayu agar dibebaskan sekali lagi. Ketika Abu Hurairah tidak mau membebaskan, pencuri tersebut menyatakan bahwa jika seseorang membaca ayat kursi sebelum tidur, syaitan tidak mengganggunya. Abu Hurairaha merasa tersentuh mendengar perkataan pencuri itu lalu melepaskannya. Keesokan harinya, beliau menceritakan peristiwa tersebut kepada Rasulullah` dan beliau bersabda “pencuri yang ditemuinya itu adalah pembohong besar, tetapi apa yang diajarkannya kepada Abu Hurairah itu adalah suatu perkara yang benar. Sebenarnya pencuri tersebut adalah Syaitan yang dilaknat.”

Sikap Abu Hurairah terhadap fitnah yang terjadi pada masanya.

Walaupun Abu Hurairah merupakan orang yang miskin, namun pada suatu hari beliau dipinang oleh salah seorang majikannya yang kaya untuk dinikahkan dengan putrinya, Bisrah binti Gazwan. Ini menunjukkan bahwa Islam tidak memandang status sosial seseorang tapi yang dipandang adalah ketaqwaannya. Abu Hurairah dipandang mulia karena ke’aliman dan kesalihannya. Sejak menikah, Abu Hurairah membagi malamnya kedalam tiga bagian yaitu membaca Al-qur’an, istirahat dan keluarga, dan untuk mengulang-ngulang hadits. Beliau dan keluarganya tetap hidup sederhana walaupun telah menjadi orang kaya. Abu Hurairah suka bersedekah, menjamu tamu, bahkan memberikan rumahnya di Madinah untuk pembantu-pembantunya.

Rasulullah pernah mengutus Abu Hurairah berdakwah ke Bahrain bersama Al-‘Ala ibnu Abdillah Alhadrami. Beliau juga pernah diutus bersama Quddamah untuk mengambil jizyah di Bahrain dengan membawa surat kepada Amir Al-munzir ibnu Sawa At-Tamimi. Kemudian Abu Hurairaha diangkat sebagai gubernur Bahrain ketika Umara menjadi Amirul Mu’minin. Tetapi pada 23 Hijriyah, Umara memberhentikannya karena Abu Hurairah di tuduh menyimpan uang sebanyak 10.000 dinar. Ketika diperiksa Abu Hurairah banyak memberikan bukti bahwa harta itu diperolehnya dari beternak kuda dan pemberian orang. Khalifah Umara menerima penjelasan itu dan memaafkannya. Lalu Abu Huraiarah diminta menerima jabatan gubernur kembali, tetapi beliau menolak. Khalifah Umar ibnu Khattaba penah melarang Abu Hurairah menyampaikan Hadits dan hanya boleh menyampaikan ayat Al-Qur’an. Ini disebabkan tersebar kabar Abu Hurairah banyak meriwayatkan Hadits palsu. Larangan khalifah kemudian dibatalkan setelah Abu Hurairah menjelaskan Hadits mengenai bahayanya Hadits palsu. “Barang siapa yang berdusta atas padaku (Nabi Muhammad`) secara sengaja, hendaklah mempersiapkan tempat duduknya dalam api neraka.”(Hadits Riwayat Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ad-Darimi, dan Ahmad).

Pada masa Amirul Mu’minin Ali bin Abi Thaliba, Abu Hurairah menolak tawaran menjadi gubernur Madinah. Ketika Mu’awiyah berkuasa, Abu Hurairah diangkat menjadi gubernur Madinah dengan asran dari Marwan ibn Hakam. Di kota yang penuh dengan cahaya (Al-Madinah A-Munawwarah) ini pula beliau menghembuskan nafas terakhirnya pada tahun 57 atau 58 Hijriyah(676-678 Masehi) dengan usia 78 tahun. Abu Hurairah meninggalkan Hadits sebanyak 5.374 Hadits. Hadits Abu Hurairah yang di sepakati oleh Imam Bukhari dan Muslim berjumlah 325 Hadits. Oleh Bukhari sendiri sebanyak 93 hadits dan oleh Muslim sendiri sebanyak 189 hadits. Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah juga banyak terdapat dalam kitab-kitab hadits lainnya.

 

Wahyu Ismail

Alumni Fakultas Ilmu Agama Islam UII

 

ADAB ORANG BERILMU

“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh berbuat yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah…”
(Q.S. Ali Imrân [3]: 110)

Menjadi umat pilihan yang mendapatkan keuntungan lebih banyak dari umat lain adalah suatu anugrah dari Allah. Umat Islam adalah umat yang paling istimewa, salah satunya adalah dengan disempurnakannya agama Islam sebagai agama samawi yang di-ridhai oleh Allah. Di sisi lain ada orang-orang Islam yang lebih baik dari orang-orang Islam itu sendiri yaitu orang-orang yang menyeru kepada kebaikan dan menjauhi kepada keburukan. Mereka adalah para alim ulama yang memiliki ilmu yang sangat mumpuni dan ke hujjah-annya tidak diragukan lagi. Kata-kata yang perlu digaris bawahi adalah ilmu, karena semua orang memiliki ilmu tapi tidak semua orang menjadikan ilmu tersebut bermanfaat bagi dirinya dan orang lain.
Ilmu ialah hal yang sangat berharga di dunia ini. Ilmu sebagai alat untuk menilai baik dan buruk, benar dan salah, halal dan haram. Allah zat yang ilmunya tidak ada sekutu dan ilmunya paling luas, Dia menunjukan tanda-tanda keluasan ilmunya dengan mengajarkan Nabi Adam berbagai macam nama-nama yang ada di jagad raya. Lalu disebutkannya nama-nama yang telah diajarkan oleh Allah kepada Malaikat. Yang mana kisahnya diceritakan dalam firman Allah,
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda) semuanya, kemudia Dia perlihatkan kepada malaikuat seraya berfirman, “Sebutkan kepada-Ku semua nama (benda) ini, jika kamu yang benar!”. Mereka menjawab “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain yang Engkau ajarkan kepada kami. Sungguh, Engkaulah Maha Pengetahui, Maha Bijaksana”. Dia (Allah) berfitman, “Wahai Adam! Beritahukanlah kepada mereka nama-nama itu!” Setalah dia (adam) menyebutkan nama-namanya, Dia berfirman, “Bukankah telah Aku katakan kepadamu bahwa Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan Aku mengetahui apa yang kamu nyatakan dan apa yang kamu sembunyikan””. (Q.S. al-Baqarah [2]: 31-33)
Dari kisah tersebut dapat diambil pelajaran bahwa menuntut ilmu adalah sebagian kewajiban dari tiap-tiap manusia khususnya orang yang beriman. Dan menuntut ilmu wajib dengan guru-guru yang sanad ilmunya sampai kepada Rasulullah `.
Kriteria orang berlimu dibagi menjadi tiga yaitu muqallid, muttabi’, mujtahid. Orang-orang ini merupakan orang-orang yang berilmu tetapi berbeda tingkatannya. Muqallid adalah orang yang ilmunya sedikit, dia adalah yang mengikuti ulama tanpa tahu dalil atau dasar dari suatu hujjah-nya itu. Sebagai orang yang muqallid dia harus belajar dan bila ada kerancuan hukum dia belum boleh berfatwa. Muttabi’ adalah orang yang berlimu dan masih menuntut ilmu. Kelebihan muttabi’ dia mengikuti ulama tetapi dia tahu dalil-dalil yang membuat dia tertuju kepada satu ulama tertentu dengan yakin. Mujtahid adalah orang yang mendalam ilmunya dan jika ada hukum yang masih rancu maka diharuskan seorang mujtahid ini mengeluarkan fatwanya.
Tidak menutup kemungkinan seorang yang muqollid mengeluarkan fatwa-fatwa jika ada suatu hukum yang baru. Muqallid tersebut harus menuntut ilmu dengan giat melalui guru-guru yang berkompeten di tiap-tiap bidangnya.
Seorang yang berilmu harusnya memiliki adab-adab yang secara dzahir mencerminkan ilmunya. Adab-adab tersebut adalah sebuah pantangan bagi seorang yang berilmu untuk dilanggarnya demi kesempurnaan ilmunya dan demi ke-Ridhaan Allah l atas ilmu yang dia miliki. Lantas apa saja adab-adab yang harus dimiliki oleh oang yang berilmu?
1. Jangan menyombongkan diri.
Seseorang yang menyombongkan diri karena keluasan ilmunya adalah salah besar. Allah berfirman:
“Dan janganlah engkau berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya engkau tidak akan bisa menembus bumi dan tidak akan mampu menjulang seperti gunung”. (Q.S. al-Isra [17]: 37)
Allah l memberikan sindiran kepada orang-orang yang sombong. Sombong dalam harta, tahta, ataupun dalam hal memiliki ilmu. Terbesit jelas apa yang tersirat dalam ayat tersebut, bahwa bagi orang-orang yang sombong dengan hal yang dimilikinya pasti ada yang lebih dari apa yang mereka sombongkan. Maka dari itu mereka yang menyombongkan ilmu yang mereka miliki, mereka tidak akan mampu menjulang seperti gunung.
2. Menjaga Ilmunya.
“Bencana orang berilmu adalah lupa, dan membicarakan dengan yang bukan ahlinya”(Ibnu Abu Syaibah)
Sungguh benar-benar merugi orang-orang yang tidak menjaga ilmunya. Itu menjadi sebuah bencana bagi para penuntut ilmu, mereka mencari ilmu dengan susah payah namun mereka lupa akan ilmu-ilmunya. Ada beberapa kiat-kiat untuk menjaga ilmunya, yaitu:
Pertama, Menulis. Ilmu yang tidak ditulis bagaikan unta di padang pasir, unta tersebut jika sudah lepas sangat mudah untuk hilang. Itulah ilmu yang diibaratkan dengan unta lepas. Dia akan mudah lupa jika tidak diikat dengan tulisan, dan setelah lupa tidak ada lagi yang harus di ingat karena tidak ada lagi yang membekas baik di fikiran maupun di tulisan. Maka sangat penting ilmu itu ditulis, sebagai bahan muroja’ah ataupun sebagai bahan untuk mengajarkannya kepada orang lain.
Kedua, Muroja’ah. Muroja’ah menjadi sangat penting sebagai kiat untuk menjadikan terjaganya ilmu yang dihafal. Muroja’ah juga bisa sebagai metode untuk mengkoreksi jika ada hal yang kurang dalam ilmu-ilmu yang didapat. Sedikit kisah tentang Imam Bukhari, ia seorang imam besar perawi hadist-hadist yang sahih. Setiap setelah beliau belajar dengan seorang guru, beliau selalu mencatat dan me-muroja’ah ilmunya di rumah. Ini adalah tanda keteladanan seorang yang berilmu. Dia giat dan selalu bersemangat dalam menuntut ilmu.
3. Mengamalkan.
Semaksimal tingkatan seorang yang berilmu adalah mengamalkannya. Sungguh orang yang menagamalkan ilmunya dia sungguh telah benar-benar menjaga ilmunya. Menjaga ilmunya dari kepunahan, karena akan dikaji oleh murid-muridnya. Sekaligus amal jariyah bagi yang mengamalkan ilmunya. Sebagaimana yang dikatakan dalam Hadist:
“Jika seseorang meninggal dunia maka terputuslah semua amalnya kecuali tiga perkara yaitu sodaqoh jariyah, ilmu yang diamalkan dan anak yang sholeh”. (H.R. Muslim no. 1631)
3. Amanah dalam menyampaikan.
Seorang yang berilmu dilihat dari cara menyampaikan ilmunya dia harus amanah. Sesuai dengan redaksi yang diterima dari guru-gurunya yang terdahulu. Bukan hanya dengan kepentingan hawa nafsunya saja. Dia menafsirkan sendiri dengan keterbatasan ilmunya dalam bidang tertentu.
Sifat amanah dalam menyampaikan ini menjadi tolak ukur para ulama dalam menentukan bahwa dia berilmu atau tidak berilmu. Sebagai contoh adalah bagaimana terciptanya hadist-hadist yang muttawatir dan sahih. Di mana para perawi hadist tersebut adalah orang-orang yang kesehariannya sangat amanah dan zuhud, maka terciptalah hadist yang bisa dijadikan hukum. Dan jika salah seorang dari perawi hadist tersebut tidak amanah maka bisa disimpulkan bahwa hadist yang redaksinya dari perawi tersebut tidak bisa dijadikan hujjah untuk menentukan hukum.
4. Lemah lembut dalam menyampaikan.
Sebagaimana yang terdapat dalam surat Ali Imrân ayat 159
“Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu…” (Q.S. Ali Imrân [3]: 159)
Dalam tafsir ibnu katsir menjelaskan bahwa Allah telah merahmatkan kepada Rasul-Nya hati yang lemah lembut sehingga umatnya menerima dengan apa yang dikatakan oleh Rasul-Nya. Maka umatnya tersebut menaatinya menjauhi yang mungkar dan mendekati yang ma’ruf. Allah juga menjadikan tutur kata Nabi Muhammad ` terasa sejuk dan lembut sehingga umatnya betah berlama-lama dengan Nabi Muhammad.
Apa yang disebutkan barusan adalah contoh bagi orang-orang yang berilmu jika ingin mengamalkan ilmunya dengan cara lemah-lembut. Itu sangat menentukan kualitas ilmu seseorang. Karena orang yang berilmu tahu lemah-lembut adalah cara bagaimana sampainya ilmu kepada penuntut ilmunya.
Demikianlah beberapa adab-adab seorang yang berilmu. Yang disebutkan barusan adalah hanya sebagian kecil saja yang dapat disebutkan. Masih banyak lagi adab-adab seorang yang berilmu jika mengkaji Alquran dan hadist-hadist Nabi. Oleh karena itu sebagai orang yang berilmu menjadi sebuah tantangan untuk menghadapi berbagai macam pembodohan yang dilakukan oleh misionaris. Dan orang berilmu setidaknya menguasai beberapa adab-adab yang disebutkan barusan agar ilmu yang dimilikinya menjadi berkah dan para penuntut ilmu memiliki akidah dan tauhid yang kuat demi menghadapi pembodohan kaum misionaris.
Semoga Allah l menguatkan umat Islam dengan memberikan orang-orang yang berilmu dan beramal Ahlissunnah Wal Jama’ah. Âmîn.[]

Arviyan Wisnu

CARA MUDAH MEMAHAMI TAUHID

Tauhid secara bahasa Arab merupakan bentuk masdar dari fi’il wahhada-yuwahhidu (dengan huruf ha di tasydid), yang artinya menjadikan sesuatu satu saja. Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin berkata, “Makna ini tidak tepat kecuali diikuti dengan penafian. Yaitu menafikan segala sesuatu selain sesuatu yang kita jadikan satu saja, kemudian baru menetapkannya” (Syarh Tsalatsatil Ushul, hal.39).

Secara istilah syar’i, makna tauhid adalah menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan yang benar dengan segala kekhususannya (Syarh Tsalatsatil Ushul, hal.39). Dari makna ini sesungguhnya dapat dipahami bahwa banyak hal yang dijadikan sesembahan oleh manusia, bisa jadi berupa Malaikat, para Nabi, orang-orang shalih atau bahkan makhluk Allah yang lain, namun seorang yang bertauhid hanya menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan saja. (Sumber: https://muslim.or.id/6615-makna-tauhid.html)

Pembagian tauhid ke dalam tiga bagian diambil dari penelitian terhadap nash-nash al-Qur’an. Dari ayat-ayat tersebut, disimpulkan bahwa tauhid itu terbagi menjadi tiga bagian. Oleh karena itu, pembagian ini merupakan hakikat syari’at yang diambil dari Kitabullah, bukan suatu istilah yang diada-adakan oleh sebagian ulama tanpa dalil.
Pembagian ini sangat memudahkan pemahaman kaum muslimin tentang tauhid. Dengan memahami tiga bagian tauhid ini, seorang muslim memiliki tolok ukur yang jelas dan mudah tentang tauhid, apakah ia sudah termasuk seorang muwahhid (yang mentauhidkan Allah l), atau belum. Seorang awam atau anak kecil yang belum baligh pun akan dengan mudah memahaminya. Dari berbagai dalil yang bertebaran dalam al-Qur’an, as-Sunnah, dan atsar Salafush Shalih, para ulama membagi tauhid ke dalam tiga bagian,

Tauhîd Rubûbiyyah
Pertama, tauhid rubûbiyyah (mengesakan Allah l dalam perbuatan-Nya) adalah i’tiqad (keyakinan) yang mantap bahwa hanya Allah yang mencipta, memberi rezeki, menghidupkan, mematikan dan mengatur semua urusan semua makhluk. Tidak ada sekutu bagi-Nya dalam semua itu. Hanya Allah Ta’ala saja yang mampu melakukannya.
Lawan dari tauhid rubûbiyyah adalah meyakini ada selain Allah l yang ikut mencipta, mengatur makhluk, atau melakukan perbuatan-perbuatan lainnya yang hanya dapat dilakukan oleh Allah l.
Di antara dalil-dalil tauhid rubûbiyyah adalah firman Allah l yang artinya,

“Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Mahasuci Allah, Rabb semesta alam.” (Q.S. al-A’râf [7]: 54)

Firman-Nya juga yang artinya,

“Katakanlah: ‘Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kalian mengetahui?’ Mereka akan menjawab: ‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah: ‘Maka apakah kalian tidak ingat?’ Katakanlah: ‘Siapakah yang empunya langit yang tujuh dan yang empunya ‘Arsy yang besar?’ Mereka akan menjawab: ‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah: ‘Maka mengapa kalian tidak bertaqwa?’ Katakanlah: ‘Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu, sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (adzab)-Nya, jika kalian mengetahui?’ Mereka akan menjawab: ‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah: ‘(Kalau demikian), maka mengapa kalian masih tertipu?’” (Q.S. al-Mu’minûn [23]: 84-89)

KUNCI SUKSES DUNIA DAN AKHIRAT

Sebagai seorang Muslim, seseorang meyakini bahwa kebahagian, ketentraman, dan kesuksesan hidup akan terasa apabila dapat memposisikan diri sesuai dengan kehendak Allah. Begitu juga dengan kesengsaraan, kesedihan, dan kegagalan akan terasa apabila seseorang menempatkan dirinya jauh dari kehendak Allah.  Dalam al-Qur’an dan Hadits dikatakan bahwa orang yang menempatkan dirinya sesuai dengan kehendak Allah maka dia akan beruntung dan sukses, sebaiknya orang yang menjauhkan diri dari Allah dan mengotori dirinya dengan kemaksiatan maka dia telah menghancurkan dirinya dan dia akan gagal bahkan rugi. Dalam firman-Nya dikatakan:

“Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”. (Q.S. Asy-Syam [91]: 9-10).

Seorang Muslim meyakini Firman Allah tersebut, bahwa yang dapat mengotori, menodai, dan merusak jiwa adalah segala bentuk perbuatan dosa dan maksiat kepada Allah. Begitu juga sebaliknya, bahwa yang dapat membersihkan dan mensucikan, dan mesukseskan jiwa adalah segala kebaikan, ketaatan, dan amal shaleh kepada Allah. Lalu bagaimanakah cara agar diri seseorang itu selalu terjaga dari segala bentuk kerusakan dan kerugian sehingga dapat dikatakan suskses dunia akhirat? Menurut Syekh Abu Bakar jabir al-Jaza’ri dalam kitabnya Minhajul Muslim, yaitu diikat dan dibarengi dengan adab. Seperti sebelumnya telah dibahas mengenai pentingnya adab sesama Muslim agar persatuan dan keharmonisan serta silaturrahim tetap terjaga. Namun begitu juga dengan diri, harus ada adab terhadap diri sendiri, agar kehidupan dan jiwa merasa selalu berada dalam pengaawasan Allah.

Adab seorang muslim terhadap dirinya yang perlu diketahui serta diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari agar mencapai kesuksesan dunia akhirat setidaknya ada empat poin, yaitu:

  • Taubat

Taubat secara etimologis memiliki pengertian kembali. Dalam terminologi syariat Islam yang dimaksud dengan kembali adalah kembali dari perbuatan menjauhi Allah kepada perbuatan yang mendekatkan diri kepada-Nya. kemudian dalam pengertian yang lain, kata taubat mendapat tambahan kata nasuha (at-taubata an-Nashuha) atau sering dikenal dengan istilah taubat nasuha. Kata ini menurut Anas Ismail Abu Daud dalam kitabnya Dalilu As-Sailina, memiliki pengertian berhenti melakukan dosa sekarang, menyesali dosa yang telah dilakukan kemarin, dan bertekad sungguh-sungguh untuk tidak melakukannya lagi di kemudian hari. pendapat ini dipertegas oleh firman Allah yaitu:

“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai”. (Q.S. At-Tahrim [66]: 8).

Firman Allah di atas menginformasikan kepada orang-orang yang beriman, kita ia berbuat kesalahan, hendaklah ia segera memohon ampun kepada Allah dan berjanji tidak akan mengulangi kesalahan atau perbuatan dosa tersebut. Rasulullah bertaubat seratus kali dalam sehari, sebagaimana sabdanya:

Wahai sekalian manusia. Taubatlah (beristigfar) kepada Allah karena aku selalu bertaubat kepada-Nya dalam sehari sebanyak 100 kali”. (H.R. Muslim, no. 2702).

  • Muraqabah (Merasa diawasi).

Seorang Muslim harus meyakini bahwa Allah selalu mengawasi manusia tak terbatas oleh ruang dan waktu. Dengan demikian itu seseorang harus berhati-hati dan takut bila terjatuh dalam gelombang kemaksiatan dan dosa. Baik dalam kesendirian maupun dalam keadaan ramai, bahwa semua perbuatan diri selalu dilihat oleh Allah. Karena merasa diawasi, maka seseorang berusaha dan mencoba mebuat dirinya selalu bersama Allah melalui amalan-amalan dan ibadah yang tertuju semata-mata kepada-Nya, merasa damai dengan beribadah kepada-Nya, dan merasa tertekan serta gelisah bila melakukan maksiat kepada-Nya. hal ini sesuai dengan penjelasan Allah dalam firmn-Nya:

“Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun:. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 235).

“Dan adalah Allah Maha Mengawasi segala sesuatu”. (Q.S. Al-Ahzab [33]: 52).

Oleh sebab itu siapapun di antara manusia, baik itu orang tua, anak, suami, istri, mahasiswa, dosen, tua dan muda, harus menyakini dan merasakan bahwa segala sesuatu yang ada di bumi ini selalu dalam pengawasan Allah, tak terkecuali juga diri kita. Maka dalam setiap perkataan, perbuatan, dan tingkah laku sehari-hari harus diatur dan dijaga sebaik mungkin supaya tidak mendatangkan murka Allah.

  • Muhasabah (Introspeksi diri).

Manusia hidup di dunia ini pada hakikatnya ingin hidup bahagia, baik bahagia dunia maupun bahagia akhirat. Banyak cara yang dilakukan untuk mendapatkan kebahagian, misalnya membina rumah tangga, mencari keturunan, dan bahkan juga berlomba-lomba mengumpulkan harta. Tetapi ada yang lebih penting dari semua itu, yakni meintrospeksi diri. Mengkaji dan menelaah sejauh mana perbuatan yang dilakukan dalm dunia fana ini, apakah bermanfaat untuk akhirat ataukah tidak sama sekali. Jika menjadi pengajar, harus intropeksi diri apakah sudah memberi teladan yang baik kepada para peserta didiknya? Jika menjadi pelajar, harus itropeksi diri apakah sudah menjadi pelajar sesungguhnya atau hanya pelajar mainan? Begitu juga dengan orang tua, harus intropeksi diri apakah sudah menjadi orang tua yang teladan bagi anak-anaknya ataukah belum? Untuk kehidupan akhirat, kita harus mengkaji ulang mengenai pembinaan terhadap diri apakah sudah banyak amal atau belum, semakin hari iman apakah semakin bertambah atau semakin berkurang. Begitu pentingnya untuk mengintrospeksi atau mengevaluasi diri, Allah I ingatkan dalam firman-Nya:

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan”. (Q.S. Al-Hasyr [59]: 18).

  • Mujahadah (melawan nafsu)

Seperti yang telah dibahas dalam ilmu filsafat, bahwa jiwa manusia dihiasi oleh tiga hal penting yang dengannya jasab dapat berfungsi. Tiga hal itu adalah hati, akal, dan nafsu. Hati menjadi pembenaran terhadap sesuatu yang bersifat naqliyah, kemudian akal menjadi motor dalam mencari kebenaran aqliyah. Kemudian nafsu adalah dorongan yang menghiasi jiwa manusia untuk terus melakukan sesuatu, jika yang diperbuat itu baik maka itulah nafsu al-Muthmainnah, dan apabila yang diperbuatkan itu buruk maka itulah nafsu mazhmumah. Namun kebanyakan nafsu hanya mendorong kepada kejelekan, keburukan, dan mengarah kepada dosa. Jika manusia melihat nafsu itu sangat membahayakan keberadaan diri, maka hendaklah membentengi dan dan melawannya.

Gangguan nafsu dalam jiwa terkadang hanya hal sepele, namun akibatnya sungguh merendahkan diri pelakunya. Sebuah contoh misalnya, nafsu malas, terlihat hanya hal biasa namun akibatnya sungguh luar biasa. Seorang kepala keluarga jika telah terkena nafsu malas maka tanggung jawabnya sebagai tulang punggung keluarga dalam mencari nafkah akan terbangkalai. Seorang pelajar apabila telah terjangkit nafsu malas maka proses pembeljarannya akan terganggu, jika telah terganggu maka akan membuat dirinya rugi dan jatuh dalam kebodohan. Nafsu memang cenderung kepada kesesatan kecuali yang telah diberi rahmat, dalam firman-Nya dikatakan:

“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang”. (Q.S. Yusuf [12]: 53).

Sebagai Muslim yang beriman kepada Allah I dan Rasul-Nya, hendaklah memiliki azam atau keingginan dan tekad yang kuat dalam menklukkan hawa nafsu agar tidak larut dalam tipu daya syaitan. Niat dan tekad yang kuat inilah adab yang mulia tehadap diri sendiri.

Mudah-mudahan kita semua dapat merealisasikan empat point adab terhadap diri sendiri tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Karena apabila adab-adab tersebut dapat terealissikan, maka yakinlah hidup ini akan tenang, tentram, dan sukses dunia akhirat. Manusia tidak bisa luput dari salah dan dosa, namun agar dosa dan salah itu lebur maka taubat adalah kuncinya. Kemudian dalam menjalankan kehidupan dunia ini, manusia selalu dihadapkan dengan fitnah-fitnah dunia. Untuk menangkal fitnah-ftnah itu, maka menghadirkan dan merasa diri selalu diawasi oleh Allah adalah bentengnya. Untuk mengetahui sudah baik atau buruknya diri kita, bukan dengan membandingkan dengan kehidupan orang lain. Namun yang perlu dilakukan adalah menilai, menghitung, dan menintrospeksi sendiri diri ini. Dan yang terakhir, tidaklah manusia dihadapkan dengan berbagai perperangan yang paling dahsyat, melainkan perang melawan hawa nafsu. Untuk itu, terus menerus bermujahadah melawannya merupakan perkara yang sangat mulia.

Cindra al-Fikali

 Mahasiswa PAI UII 14.

PETUNJUK AL-QUR’AN TENTANG DASAR-DASAR KEDOKTERAN

Segala puji bagi Allah  yang telah menunjukkan bagi manusia jalan keselamatan serta kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Dengan hikmah-Nya, Allah menurunkan petunjuk yang membimbing manusia dalam segala aspek kehidupannya. Begitu sempurnanya agama Islam ini sehingga bukan hanya ibadah ritual saja yang diatur. Namun, interaksi antar makhluk, bahkan kehidupan individual makhluk pun dibimbing sedemikian rupa untuk kemaslahatan manusia.
Salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia ialah aspek kesehatan. Gangguan kesehatan amat menurunkan kualitas hidup manusia. Untuk itulah dibutuhkan panduan menjaga kesehatan bagi populasi manusia.
Al-Qur’anul karim sebagai kitab suci panduan hidup muslimin telah memuat panduan umum menjaga kesehatan. Seorang ulama pakar tafsir, yaitu Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di mencantumkan bab “Petunjuk al-Qur’an tentang Dasar-Dasar Kedokteran” dalam kitab Qawaidul Hisan.
Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di menjelaskan,

“Menjaga kesehatan dilakukan dengan tiga langkah: melakukan aktivitas yang bermanfaat bagi kesehatan, menghindari aktivitas yang membahayakan kesehatan, dan menyingkirkan berbagai unsur yang dapat membahayakan kesehatan tubuh.”

Kemudian beliau menjelaskan beberapa dalil di dalam Al-Quran yang menunjukkan bimbingan dalam tiga langkah yang telah tercantum di atas.

Melakukan Aktivitas yang Bermanfaat Bagi Kesehatan
Allah berfirman (yang artinya),

“Makanlah dan minumlah oleh kalian, namun janganlah berlebih-lebihan,” (Q.S.al-A’râf [7]: 31). As-Sa’di menjelaskan bahwa Allah memberikan perintah bagi manusia untuk makan dan minum, dimana tubuh tidak dapat berfungsi dengan baik tanpanya. Perintah yang umum ini menjelaskan bahwa mengkonsumsi makanan dan minuman -yang sesuai untuk manusia- bermanfaat dalam segala waktu dan keadaan.

Jika kita perluas pembahasan ini, kita dapat mengambil pelajaran bahwa salah satu cara penting menjaga kesehatan ialah melakukan berbagai aktivitas yang bermanfaat bagi kesehatan. Selain makan dan minum, aktivitas penting lainnya misalnya olahraga dan istirahat sesuai kebutuhan.
Yang menarik, di akhir bab ini As-Sa’di menjelaskan,

“Demikianlah, segala amal yang Allah sebutkan di kitab-Nya, seperti jihad, shalat, puasa, haji, dan seluruh amalan termasuk berbuat baik kepada makhluk, meskipun tujuan terbesarnya ialah mencari ridha Allah mendekatkan diri kepada-Nya, mencari balasan-Nya, serta berbuat baik kepada hamba-Nya, sesungguhnya amal-amal tersebut dapat menyehatkan dan melatih tubuh, begitu pula melatih dan menenangkan jiwa, menyenangkan hati. Di dalam amal tersebut juga terdapat rahasia yang istimewa, yaitu menjaga dan meningkatkan kesehatan, serta menghilangkan sumber penyakit dari tubuh.”

Menghindari Aktivitas yang Membahayakan Kesehatan
Allah memperbolehkan orang yang sakit untuk bertayamum jika air wudhu membahayakan kesehatan. Allah juga melarang untuk “mencampakkan tangan kita ke dalam kebinasaan”. Termasuk di larangan ini ialah menggunakan segala zat yang membahayakan tubuh baik dari jenis makanan maupun obat-obatan tertentu. Di ayat ke 31 surat al-A’râf di atas terdapat larangan berlebih-lebihan dalam makan dan minum. Bentuk berlebih-lebihan bisa dalam hal jumlahnya, dalam memilih makan-minum, waktu makan-minum, dan ini merupakan bentuk menghindari hal-hal yang membahayakan diri. Contoh penerapan lain dari pelajaran ini di antaranya menghindari rokok, minuman keras, serta narkoba, menghindari aktivitas yang berisiko tinggi seperti kebut-kebutan di jalan umum, perilaku seks bebas, dan lain-lain.

MENGGAPAI KETENANGAN HATI

Bismillâhi walhamdulillâh wash shalâtu was salâmu ‘ala rasûlillâh

Di era modern saat ini, sangat mudah bagi seseorang untuk bisa mendapatkan apa yang menjadi kebutuhannya dan apa yang menjadi keinginannya. Hampir semua hal pada zaman ini sangat mudah untuk diakses, sangat mudah untuk diraih, dan sangat mudah untuk dimiliki. Segala fasilitas untuk memuaskan hati dan nafsu tersebut telah terbentang luas di zaman teknologi seperti sekarang ini. Namun, apakah dengan tersedianya segala fasilitas tersebut mampu membawa seseorang untuk meraih ketenangan hati? Kelapangan hati? Dan kebahagiaan hati?, tidak selalu, jawabnya.

Kita banyak melihat seseorang yang dapat dikatakan memilki segalanya, memiliki harta yang melimpah ruah, memiliki keluarga yang utuh, memiliki kedudukan yang tinggi dalam masyarakat, memiliki kendaraan yang mewah, tempat tinggal yang luas, tanah yang banyak, serta tabungan deposito di mana-mana, akan tetapi hatinya tidak tenang, dadanya sempit, jiwanya gusar, pikirannya terombang-ambing tak tentu arah. Seperti itulah hakekatnya dunia, ia akan terus membuat seseorang merasa cemas dan gelisah.

Ibnu Qoyyim dalam kitabnya yang berjudul “Liasbab syaroh Assodri” (sebab-sebab lapangnya hati) menyebutkan bahwa “siapa saja yang jatuh cinta kepada selain Allah swt, maka dia akan disiksa dengannya”.

Beliau menjelaskan bahwa siapa yang mencintai kepada selain Allah swt (boleh jadi berupa wanita/pria, harta, kendaraan, tempat tinggal, kedudukan, dan lain-lain), maka Allah swt akan menyiksanya sebanyak 3 kali di dunia ini. Adapun siksaan tersebut antara lain, 1. Seseorang akan disiksa dengan sesuatu yang dicintainya itu sebelum ia mendapatkannya. Semakin besar keinginannya untuk mendapatkannya maka hatinya akan semakin tersiksa. Semakin ia membayang-bayangkan dan semakin ia rindu dengan apa yang ia inginkan itu, maka akan semakin tersiksa hatinya, semakin sempit dadanya karena hatinya tengah dirundung kerinduan yang mendalam dengan sesuatu yang belum ia dapatkan dan belum ia miliki. Hal ini tentu saja menyiksa dan menyesakkan dada. 2. Seseorang akan disiksa dengan sesuatu yang dicintainya saat ia memilikinya, yakni seseorang itu akan merasa cemas, was-was, dan takut kehilangan sesuatu yang dicintainya tersebut. Semakin besar cintanya maka akan semakin besar cemas dan ketakutannya akan kehilangan atau ditinggalkan dengan sesuatu yang dicintainya tersebut. Bahkan tak sedikit seseorang yang tidak bisa tidur 24 jam lantaran memikirkan seuatu yang dimilikinya tersebut. Hal inipun sangatlah amat menyiksa. 3. Jika apa yang dicintainya tersebut telah dimilikinya dan kemudian benar-benar dihilangkan dari sisinya, maka inilah siksaan yang ketiga, siksaan yang teramat amat menyiksa. tidak sedikit seseorang yang menjadi depresi, stres, bahkan gila karena kehilangan sesuatu yang amat dicintainya itu. Bagaimana tidak tersiksa, jika sesuatu itu telah diimpi-impikan sejak lama, mendapatkannyapun perlu perjuangan yang sangat berat, lalu saat telah memilikinya dirawat dan dipelihara dengan baik, dan yang lebih dari itu sudah terlalu banyak kenangan indah dan manis yang telah dilewati bersama, namun kemudian ia hilang, maka sungguh inilah puncak kesedihan dan tersiksanya hati seseorang. Namun perlu diketahui oleh setiap mukmin, bahwa memiliki dunia bukanlah hal yang terlarang, bukanlah dosa, bukanlan aib di sisi Allah swt. Akan tetapi yang yang Allah benci adalah tatkala seseorang itu mencintai dunia, sehingga hatinya bahagia tatkala dunia itu mendatanginya dan bersedih tatkala dunia itu menjauh darinya. Jadikanlah dunia itu sebatas di tanganmu tapi tidak di hatimu. Sehingga apapun keadaan yang menimpamu, kamu tetap dalam keadaan bersyukur dan bersabar.

POLIGAMI: Dalam Islam dan Kehidupan Modern

Akhir-akhir ini generasi muda seringkali mendengar bahkan berdebat mengenai problematika pernikahan. Mulai dari pembahasan mencari pendamping hidup, kreteria pendamping idaman, dan tidak kalah penting mengenai status rumah tangga poligami. Para lelaki mendengar kata-kata poligami, mereka ada yang setuju, namun ada juga yang kurang sepakat. Dalam kalangan perempuan, ada yang menolak keras poligami dengan alasan mereka tidak siap dimadu, ada juga yang mengatakan setuju poligami asalkan yang poligami bukan suaminya namun suami orang lain, dan ada juga yang benar-benar setuju jika suaminya poligami.

Sebenarnya masalah ini sudah dikaji oleh ulama kita terdahulu, hukum-hukum poligami sudah disepakati oleh para mujtahid, dalam masa sekarang ini kita seharusnya memilih sikap hukum saja dari apa yang telah tertera. Namun sikap keras kita mengatakan, dasar dari poligami bukanlah suatu yang hina, namun ialah sunnah bagi mereka yang mampu dan memiliki sayarat untuk melakukan itu, tetapi juga akan menjadi haram jika dilakukan untuk memenuhi hawa nafsu saja dan membuat istri terlantar dan anak jadi korban.


Bagi kita semua terutama bagi ikhwan fillah, sebelum kita punya angan-angan untuk melakukan poligami, maka harus dan wajib mengetahui pengertian dan syarat-syarat dari paligami itu sendiri. Bagi saudari akhwat fillah, jika memang suami anda memiliki syarat untuk melakukan poligami, dan mampu menghindarnya dari fitnah dunia dan wanita, maka tidak ada salahnya memberikan izin untuk poligami. Tapi jika memang dengan satu istri surga terasa lebih dekat, mengapa harus mencari yang lain?


Pada hakikatnya yang perlu kita ketahui bersama, poligami itu kata umum yang bisa dilakukan oleh perempuan dan laki-laki (memiliki istri atau suami lebih dari satu). Sehingga istilah poligami dibagi dalam dua bagian yaitu poligini dan poliandri.
Poligini ialah lelaki-yang menikahi lebih dari satu perempuan, dan ini umum terjadi dan juga boleh dilakukan namun dengan syarat-syarat tertentu. Sedangkan poliandri ialah perempuan menikah dengan lebih dari satu laki-laki, dan ini secara mutlak (Islam) melarangnya.


Islam pada dasarnya berkonsep monogami (satu istri) dalam aturan pernikahan, tetapi memperbolehkan seorang pria beristri lebih dari satu (poligini). Islam memperbolehkan seorang pria beristri hingga empat orang istri dengan syarat sang suami harus dapat berbuat adil terhadap seluruh istrinya.
Sebagai pedoman hidup umat Islam, Al-Qur’an satu-satunya kitab yang menyatakan:

“Nikahlah Satu Saja”. Tidak ada kitab lain yang menyatakan kepada laki-laki untuk memiliki satu istri saja. Dalam kitab-kitab lain, seperti weda, mahabarata, injil dan talmud tidak ada yang memberikan batasan untuk jumlah istri. (Dr. Zakir Naik, 2016, Debat Islam VS non Islam: 45).

Namun walaupun ada kebolehan untuk melakukan poligami, catatan menarik dalam buku Dr. Zakir Naik yang membuktikan bahwa pada tahun 1975 orang-orang hindu di India lebih banyak melakukan poligami daripada orang Islam, 5,06% di kalangan Hindu dan 4,31% di kalangan Islam.
Dengan menganalisis serta mengamalkan ajaran kitab suci Al-Qur’an, maka bisa diatasi tindakan-tindakan poligami nafsu. Melalui surat An-Nisa: 3, maka inilah patokan poligami.