TANDA-TANDA KEMUNAFIKAN DALAM SHALAT

Oleh: Camelia Rizka Maulida Syukur*

 

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh,

Sahabat pembaca yang budiman, sebagaimana diketahui shalat merupakan perjalanan rohani menuju Allah l. Shalat sebagai media komunikasi vertikal transendental. Oleh sebab itu, Islam mengaturnya sebagaimana telah disebutkan dalam kitab Riyadhus Shalihin, Kitab Al-Fadhail, bab 193 tentang perintah menjaga shalat wajib dan larangan serta ancaman yang sangat keras bagi yang meninggalkannya. Abu Hurairah a berkata, Rasulullah n bersabda, “Sesungguhnya amal yang pertama kali dihisab pada seorang hamba pada hari kiamat adalah shalatnya. Maka, jika shalatnya baik, sungguh ia telah beruntung dan berhasil. Dan jika shalatnya rusak, sungguh ia telah gagal dan rugi. Jika berkurang sedikit dari shalat wajibnya, maka Allah Ta’ala berfirman, ‘Lihatlah apakah hamba-Ku memiliki shalat sunnah.’ Maka disempurnakanlah apa yang kurang dari shalat wajibnya. Kemudian begitu pula dengan seluruh amalnya.” (H.R. Tirmidzi, ia mengatakan hadits tersebut hasan[1])[2]

Allah l menurunkan perintah shalat bersamaan dengan pahala bagi yang menunaikan dan ancaman bagi yang meninggalkannya, seiring dengan itu, muncullah berbagai motif manusia dalam menjalankan ibadah shalat. Tidak sedikit orang yang melaksanakan shalat hanya sebatas menggugurkan kewajiban, namun banyak juga orang yang melaksanakan ibadah shalat sebagai bentuk penghambaan seorang hamba pada Tuhannya.

Orang-orang yang menjadikan shalat hanya sebagai penggugur kewajiban, cenderung akan tertanam sifat munafik dalam hatinya. Sebagaimana Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali”. (QS. An-Nisa: 142)

Orang-orang munafik itu hendak menjalankan shalat maka mereka akan merasa berat dan berlambat-lambat, tidak ada semangat dan rasa ingin yang mendorong mereka untuk menjalankannya; sebab mereka tidak mengharapkan pahala di akhirat dan tidak takut terhadap siksaan Allah, karena mereka tidak memiliki keimanan. Mereka hanya takut kepada manusia dan berharap agar dilihat oleh orang-orang beriman sehingga dapat dianggap sebagai golongan mereka. Mereka hanya menjalankan shalat sesekali saja; apabila tidak ada yang melihat mereka, maka mereka tidak menjalankan shalat; namun jika mereka bersama dengan orang banyak maka mereka akan menjalankan shalat hanya untuk riya’.

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah t berkata bahwa terdapat enam hal dalam shalat, yang termasuk tanda kemunafikan, sebagai berikut:[3]

 

Malas Ketika Bangkit untuk Menegakkannya

Marilah mulai menelusuri sebab rasa malas itu? Apa karena pemahaman agama yang dangkal, atau memang atas dasar malas, kesibukan bekerja, kesibukan mengurus rumah, dan lain-lain. Setiap sebab diberikan obatnya berupa antitesanya. Misalnya, jika merasa kurang ilmu, maka mengajilah perkara shalat. Jika terlalu sibuk maka manajemen pekerjaan diperbaiki dan seterusnya. Biasakanlah dari sekarang ketika mendengar adzan dikumandangkan, maka segeralah melaksanakan shalat. Hal tersebut akan mengurangi rasa malas. Serta, berdoalah kepada Allah ldengan doa Nabi Ibrahim, “Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat. Ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku”. (Q.S. Ibrahim [14]: 40-41)

 

Riya’ Ketika Mengerjakannya

Riya’ sendiri terbagi dalam tiga macam. Pertama, riya’ perkataan di mana orang mengucapkan kalimat-kalimat dzikir maupun nasihat-nasihat, hanya untuk mendapatkan pujian dari orang banyak. Kedua, riya’ perbuatan, di mana seseorang menunjukkan kekhusyukan shalatnya atau memberikan sedekah agar dinilai sebagai orang dermawan. Ketiga, riya’ al-khafiy yang berarti riya’ yang tidak tampak atau tersembunyi. Bahkan, dalam salah satu hadits qudsi, Rasulullah bersabda, “Syirik yang tersembunyi, yaitu orang yang melakukan shalat kemudian membaguskan shalatnya tatkala dilihat oleh orang lain.” (H.R. Ibnu Majah dan Baihaqi).

 

Menunda-nundanya

‘Umar bin Al Khathab a berkata, “Menghimpun antara dua shalat tanpa ada udzur termasuk dosa besar.” Diriwayatkan pula oleh Imam Tirmidzi secara marfu’[4], dari Ibnu ‘Abbas, Nabi n bersabda, “Barangsiapa menhimpun dua shalat tanpa ada udzur, maka ia telah mendatangi salah satu pintu dosa besar.” (H.R Tirmidzi)[5]

Gerakannya Terlalu Cepat

Di antara kesalahan besar yang terjadi pada sebagian orang yang shalat: tidak tuma’ninah ketika shalat. Nabi n menganggapnya sebagai pencuri yang paling buruk, sebagaimana disebutkan dalam Musnad Imam Ahmad dari Nabi n, bahwa beliau bersabda, “Sejahat-jahat pencuri adalah yang mencuri dari shalatnya”. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana mencuri dari sholat?”. Rasulullah berkata, “Dia tidak sempurnakan ruku dan sujudnya” (H.R Ahmad no. 11532, dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahihul Jami’ 986). Maka Nabi n menganggap perbuatan mencuri dalam shalat ini lebih buruk dan lebih parah daripada mencuri harta. Thuma’ninah ketika mengerjakan shalat adalah bagian dari rukun shalat, shalat tidak sah kalau tidak tuma’ninah.[6]

 

Sedikit Menyebut atau Mengingat Allah di Dalamnya

Dalam sebuah hadis dari Anas bin Malik a, Nabi n bersabda, Itulah shalatnya orangn munafik.. duduk santai sambil lihat-lihat matahari. Hingga ketika matahari telah berada di antara dua tanduk setan (menjelang terbenam), dia baru mulai shalat, dengan gerakan cepat seperti mematuk 4 kali. Tidak mengingat Allah dalam shalatnya kecuali sedikit. (H.R. Muslim no.622).

Hadits tersebut menunjukkan bahwa hanya meluangkan untuk berdzikir sesaat dan mepet dengan waktu berakhirnya ibadah, serta tidak mengingat Allah dalam shalatnya melainkan sedikit. Shalat mereka pun dikerjakan dalam keadaan malas, dan mereka berat melaksanakannya.

 

Tidak Mengerjakannya Secara Berjamaah

Dari Abdullah bin Abbas a, Nabi n bersabda, “Barangsiapa yang mendengar adzan, namun tidak mendatanginya maka tidak ada shalat baginya, kecuali ada udzur” (H.R. Abu Daud no.551, Ibnu Majah no.793)[7]. Ibnu Abbas a mengatakan, “Aku melihat bahwa kami (para sahabat) memandang orang yang tidak shalat berjama’ah sebagai orang munafik, atau sedang sakit” (H.R. Muslim no. 654).[8]

Dalam riwayat lain disebutkan dari Abu Hurairah a, ia berkata bahwa Rasulullah n  bersabda, “Tidak ada shalat yang lebih berat bagi orang munafik selain dari shalat Shubuh dan shalat ‘Isya’. Seandainya mereka tahu keutamaan yang ada pada kedua shalat tersebut, tentu mereka akan mendatanginya walau sambil merangkak.” (H.R. Bukhari no. 657).

 

Marâji:

*Penyusun adalah alumnus Magister Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia

[1] HR. Tirmidzi, no. 413 dan An-Nasa’i, no. 466. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[2] Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadh Ash-Shalihin. Cetakan pertama, Tahun 1430 H. Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. 2:255-256. Dikutip dari https://rumaysho.com/16963-shalat-itu-yang-pertama-kali-akan-dihisab.html

[3] Nurhadi, “Konsep thuma’ninah Dalam Shalat Perspektif Imam Malik dan Imam Abu Hanifah (Kajian Teori Rukun dan Wajib Shalat)”, UANSA: Jurnal Studi Islam dan Kemasyarakatan, Vol. 13, No. 1, 2020. dan Ash-Shalah wa Hukmu Tarikiha, jilid 1 hlm. 173

[4]  Marfu’ artinya sampai pada Nabi n

[5] Hadits ini dikatakan marfu’ -sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-, walaupun pernyataan itu menuai kritikan. Imam Tirmidzi mengatakan, “Para ulama mengetahui akan hal ini dan atsar tersebut sangat ma’ruf. Para ulama menyebutkannya dan menetapkannya, tidak mengingkarinya.” https://rumaysho.com/5965-sengaja-menunda-shalat-hingga-keluar-waktu.html

[6] Sumber https://muslim.or.id/13845-tumaninah-dalam-shalat-1.html

[7] Dishahihkan oleh Ibnu Hajar dalam Bulughul Maram [114]). Hadits ini dinilai shahih oleh Syekh al-Albani dalam Misykat al-Mashabih: 1077 dan Irwa’ al-Ghalil no. 551.

[8] Sumber: https://muslim.or.id/52194-shalat-jamaah-wajib-di-masjid.html

Resolusi Muslim Di Tahun Baru

Resolusi Muslim Di Tahun Baru

Bismillahi wal hamdulillahi wash shalatu was salamu ‘ala rasulillah,

Sahabat muslim, waktu yang telah terlewati itu sebenarnya tidak berlalu melainkan hanya menutup lembaran-lembaran peristiwa yang sudah terlewati dan tidak kembali lagi. Jika baik amalan seseorang maka baik pula balasannya, namun jika buruk amalan seseorang maka penyesalanlah yang mengikutinya. Allah tidak pernah lalai sedikitpun dari manusia bahkan perpindahan detik ke detik berikutnya diperhitungkan oleh-Nya.

Pada awal tahun 2020 ini, pasti kebanyakan orang merenungkan tentang bagaimana mencapai planning list seperti dalam hal pekerjaan, kesehatan, hiburan dan lain sebagainya. Pada kenyataan seseorang tidak memerlukan tahun baru atau acara khusus untuk membuat resolusi dalam melakukan atau mencapai hal yang lebih baik. Terdapat beberapa macam resolusi yang dilakukan oleh seseorang.

Sebagian besar resolusi yang umum melibatkan manfaat kesehatan atau memperbaiki gaya hidup seperti mengurangi berat badan, berhenti merokok, bahkan berusaha untuk memiliki postur tubuh yang ideal. Akan tetapi, ada juga resolusi dalam hal memperbanyak amal, bersosialisasi dengan masyarakat atau meningkatkan kepuasan pribadi dengan liburan dan lainnya. Sebenarnya ada beberapa hal yang harus dilakukan sebelum mewujudkan semua resolusi tersebut.

Pernahkan kita renungkan apakah ada sesuatu tentang diri kita yang ingin kita tingkatkan?  Sebagai seorang muslim, kita tidak perlu menetapkan tujuan hidup yang hanya bersifat kesejahteraan materiil akan tetapi lebih mementingkan hal yang bersifat spiritual. Maksud dari spiritual lebih penting bagi seorang muslim bukan berarti tidak mempedulikan kesejahteraan materiil. Kita harus selalu mengingat bahwa akhirat adalah kehidupan yang hakiki sedangkan dunia segera berlalu dan pada hakikatnya gemerlap dunia hanyalah kekeruhan.

Sesungguhnya, barang siapa mendahulukan akhiratnya, maka ia akan mendapatkan kenikmatan akhirat dan kenikmatan dunia sekaligus. Hal ini mudah bagi yang diberi kemudahan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sesungguhnya, orang yang meninggalkan sesuatu karena Allah maka Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik dari yang ia tinggalkan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Barang siapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (Q.S. an-Nahl [16]: 97)

Setiap awal tahun baru, masing-masing pribadi menitipkan lembaran-lembaran tahun yang telah terlewati, sedangkan dihadapanya ada tahun baru yang sedang berjalan. Inti dari masalahnya bukan pada kapan tahun baru usai dan menjelang, namun inti masalahnya adalah  bagaimana kita dahulu mengisi tahun yang telah berlalu dan bagaimana kita akan menghiasi tahun yang akan datang. Sebagai seorang mukmin, marilah kita menjadi pribadi yang baru disetiap waktu. Artinya menjadi insan yang suka akan tafakkur (berfikir) dan tadzakkur (merenung).

Tahapan Tafakkur

Terdapat dua tahapan tafakkur :

  1. Tafakkur hisab (introspeksi)

Seseorang memikirkan dan menghitung amalannya di tahun silam, kemudian dia teringat dan merenungkan (tadzakkur) akan dosa-dosanya hingga hati menyesal, lisannya pun beristighfar memohon ampun kepada Allah

  1. Tafakkur Isti’dâd (persiapan)

Seseorang mempersiapkan ketaatan pada hari-harinya dengan memohon pertolongan kepada Rabbnya agar bisa mempersembahkan ibadah dan amalan-amalan sholih.

Mungkin sampai saat ini kita masih memprioritaskan kebahagiaan yang bersifat duniawi sebagai lingkaran besar dalam hidup kita dari pada kebahagiaan yang bersifat ukhrawi. Orang-orang yang bervisi duniawi mempunyai cara masing-masing untuk mencari kebahagiaan. Entah dengan harta, tahta, wanita, popularitas dan lain-lain yang dipikiran kita hanya “do what makes us happy” dan lupa bahwa tujuan hidup adalah “do what makes Allah happy”.

Resolusi Muslim

Sahabat Muslim, tahun baru merupakan waktu yang mengandung nasihat bagi hamba yang berfikir dan merenung. Sahabat muslim, sudah seharusnya kita memiliki visi dan misi yang jelas dan berorientasi untuk meraih syurga-Nya. Untuk menjadi pribadi yang baru disetiap waktu, hendaknya setiap kita memiliki acuan resolusi Muslim di tahun ini.

  1. Semangat menjadi penuntut ilmu.

Diantara sekian banyak nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah kita rasakan, ada satu nikmat yang melandasi kenikmatan lainnya yaitu ilmu. Sebab dengan ilmu, seseorang dapat memahami berbagai hal dan mendapatkan kedudukan yang tinggi di sisi Allah l. Dengan ilmu, kita menjadi orang yang tahu bagaimana kita harus bersikap. Siapa yang terus menuntut ilmu maka akan bertambahlah ilmunya dan akan mengantar dia ke jannah-Nya.

Dari Abu Hurairah a, ia berkata bahwa Rasulullah ` bersabda, “Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (H.R. Muslim, no. 2699)

  1. Semangat upgrade amalan

Menuntut ilmu saja tidak cukup, perlu aksi agar ilmu yang kita peroleh menjadi berkah. Refleksi ilmu selayaknya berpengaruh pada amalan kita yang kian meningkat. Ilmu diamalkan baik amalan hati maupun badan. Misalnya kita berkomitmen untuk merutinkan amalan-amalan yang selama ini sering kita abaikan seperti sholat berjamaah di masjid bagi laki-laki, menyempurnakan sholat Sunnah rawatib, merutinkan puasa Senin Kamis dan amalan-amalan lainnya.

  1. Berorientasi dengan kehidupan akhirat

Sesungguhnya seorang Muslim, ketika meniti perjalanan hidupnya memiliki tujuan. Dia melakukan perjalanan hidupnya agar dapat mengenal siapa Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan memahami tauhid uluhiyyah, rububiyyah, nama-nama dan sifat-sifat Allah. Inilah tujuan perjalanan hidup yang pertama ma’rifatullâh (dalilnya: Q.S. Ath-Thalâq [65]: 12). Kemudian dia iringi  ma’rifatullah itu dengan ‘ibadatullâh (beribadah dan ta’at kepada Allah). Dan inilah tujuan perjalanan hidup yang kedua bagi seorang Muslim, yaitu agar dia bisa beribadah hanya kepada-Nya saja dengan benar (dalilnya: Q.S. Adz-Dzâriyât [51]: 56), ia persembahkan jiwa raganya untuk Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Katakanlah sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (Q.S. al-An’am [6]: 162)

Adapun akhir perjalanan adalah surga, di dalamnyalah tempat peristirahatan Muslim yang abadi, istirahat dari letihnya perjalanan sewaktu di dunia dahulu, menikmati kenikmatan yang tidak pernah dilihat mata, tak pernah didengar telinga, dan tak pernah terbetik dalam hati manusia. Maka dari itu, apapun peran kita di dunia, tetaplah berorientasi dengan akhirat. Istiqomah dengan tujuan utama hidup di dunia, akhirat dan tentu saja cita-cita tertinggi sebagai muslim adalah surganya Allah l.

  1. Berbuat kebaikan di setiap waktu

Berbuat baik untuk menebar kebaikan dengan berprasangka baik. Contohnya perbuatan itu bisa berupa komitmen untuk bersedekah dengan hanya mengharap ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kita wajib berbuat baik setiap waktu, hari, bulan dan tahun. Allâh l telah bersumpah dengan menyebut masa dalam firman-Nya, “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasihat-menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.” (Q.S. al-‘Ashr [103]: 1-3). Allah l telah menyemangati hamba untuk senantiasa beriman, beramal shalih dan nasehat menasehati dalam kebenaran dan kesabaran. Masya Allâh, sungguh indah jika kita bisa memanfaatkan waktu untuk mengenal agama yang telah sempurna ini.[]

 

Uswatun Hasanah, S.Pd

 

Refrensi

Faqih, A. R., & Pasir, S. (2005). Jalan Bagi Mereka Yang Gelisah. Yogyakarta: LPPAI.

https://almanhaj.or.id/10851-akhirat-kehidupan-yang-hakiki.html

 

Mutiara Hikmah

Allah lberfirman,

Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat.” (Q.S. Hûd [11]: 118)

 

Download Buletin klik disini

 

Manajemen Waktu

Manajemen Waktu

Bismillahi wal hamdulillahi wash shalatu was salamu ‘ala rasulillah,

Pembaca yang dirahmati Allah, sudah kita ketahui bahwa Islam merupakan agama yang sempurna dan menjadi rahmat  bagi semesta alam. Segala sesuatunya di atur dalam al-Qur’an dan Sunnah. Mulai dari bersuci,  shalat, mu’amalah, jual beli, hingga perihal mengatur waktu. Beberapa kali Allah Subhanahu wa Ta’ala bersumpah dalam al-Qur’an mengenai waktu. Seperti demi waktu Ashar, waktu dhuha, demi waktu fajar, demi malam dan masih banyak lagi.

Allah Subhanahu wa Ta’ala bersumpah demi waktu tersebut tentunya dikarenakan terdapat makna yang mendalam akan waktu. Maka dari itu, kita harus memberikan perhatian yang amat besar untuk memanfaatkannya sesuai dengan ketentuan dan sebagaimana yang telah di contohkan oleh nabi Muhammad .

Manajemen waktu merupakan perencanaan, pengorganisasian, dan pengawasan terhadap waktu. Hal ini perlu diperhatikan agar pekerjaan dapat terselesaikan secara efektif dan efisien. Waktu harus digunakan sebaik-baiknya. Karena, apa yang sudah terlewatkan tidak akan pernah dapat kembali. Kebanyakan manusia lalai terhadap waktu sehingga waktu terbuang sia-sia tanpa mengahasilkan apa yang bermanfaat baginya.

Mereka berkata “andai saja aku punya banyak waktu, pasti aku bisa menyelesaikan tugas ini, tugas itu” perkataan ini merupakan contoh yang salah, karna mereka tidak menghargai waktu luang dan lebih suka berleha-leha. 24 jam siang berganti malam merupakan suatu anugerah yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada seluruh umat manusia. Tapi sayangnya, banyak orang yang tidak dapat mengatur waktunya hingga waktu terus berjalan dan penyesalan pun datang.

Waktu yang telah berlalu tidak akan pernah kembali. Jika ditukar dengan uang berapa pun juga tidak akan pernah terbayar. Hasan al- Banna’ mengatakan bahwa “waktu adalah kehidupan” bagaimana kamu menghabiskan waktumu ialah bagaimana kamu menghabiskan hidupmu. (how do you spend your time is how do you spend your life)”. Sehingga, jangan sampai usia dan hidup kita hanya kita manfaatkan untuk tidur dan bermalas-malasan. Kita harus bisa menghargai waktu dan melakukan aktivitas produktif dan bermanfaat bagi diri sendiri maupun orang lain.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam al-Qur’an surat al-Ahzab ayat 21, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Q.S. Al-Ahzab [33]: 21)

Terdapat suri tauladan yang baik pada diri Rasulullah `, mulai dari bangun tidur hingga tidur kembali. Maka, kita harus mencontoh sepenuhnya kehidupan kita dari Rasulullah `. Di antaranya terdapat beberapa rahasia manajemen waktu ala Rasulullah ` dalam beribadah, bekerja, berkarya sehingga bermanfaat bagi orang lain.

  1. Bangun di awal waktu

Ketika Rasulullah ` pulang dari shalat Shubuh dari Masjid Nabawi, beliau  mendapati putrinya bernama Fatimah masih dalam kondisi tidur. Maka beliau bersabda,  “Wahai anakku, bangunlah, saksikan rezeki Tuhan-mu dan janganlah kamu termasuk orang yang lalai, Karena Allah l memberi rezeki kepada hamba-Nya antara terbit fajar dengan terbit matahari. ” ( H.R. Imam Ahmad dan al-Baihaqi).

Waktu pagi memiliki banyak keutamaan. Diantaranya, karena dipagi hari merupakan waktu yang penuh akan keberkahan dan kesuksesan, Rasulullah `  bersabda, “Berangkatlah pagi-pagi untuk mencari rezeki dan segala kebutuhan. Sesungguhnya, berangkat bekerja di pagi hari (dipenuhi dengan) keberkahan dan kesuksesan.” (H.R. Thabrani No. 7.457).

Selain itu, Rasulullah ` juga memanjatkan doa bagi mereka yang bangun sebelum subuh “Ya Allah, berkahilah umatku di waktu paginya” (H.R. Abu Daud no. 2606) . Karena di pagi hari merupakan waktu dibagikannya rezeki.

Terdapat korelasi antara manfaat bagun pagi dari aspek Islam dan aspek kesehatan. Diantaranya ialah tubuh terasa menjadi lebih segar, melancarkan peredaran darah, menyehatkan paru-paru, meningkatkan daya ingat, menyehatkan jantung, meningkatkan sistem imun, meningkatkan produktivitas, memberikan mood yang bagus, hingga membangkitkan semangat dan masih banyak lagi.

  1. Disiplin

Rasulullah ` mengajarkan umat Islam untuk pandai mengatur waktu, yakni dengan cara disiplin menegakkan waktu sholat. Sholat tepat waktu merupakan amalan yang paling dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dari Abdullah bin Mas’ud  a beliau berkata, ‘Amalan apakah yang paling dicintai Allâh?’ Beliau ` menjawab, “Shalat pada waktunya.” (H.R. tirmidzi dan Hakim)

Abdul Fattah Abu Ghuddah menyimpulkan bahwa dalam hadits tersebut terdapat kunci kesuksesan umat Islam dalam memanfaatkan waktu. Bagaimanapun, shalat merupakan ibadah yang waktunya sudah ditetapkan. Apabila seorang muslim melaksanakannya tepat waktu, maka ia juga akan selalu memperhatikan setiap pekerjaan pada waktunya sehingga setiap pekerjaan akan terlaksana dengan baik. saat adzan berkumandang, maka segeralah mengambil air wudhu dan menegakkan sholat di awal waktu dan berjamaah.

  1. Istirahat yang cukup

Tidur merupakan perkara penting dalam kebiasaan hidup seseorang. Kurang tidur seseorang yang terus menerus dapat menyebabkan pelemahan sistem imun (sistem kekebalan tubuh). Sebaliknya, apabila kita memiliki tidur yang cukup akan membantu kita dalam mengurangi rasa letih, lesu, kesal sehingga memunculkan pikiran positif. Hal ini dibuktikan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Dan Kami jadikan tidurmu untuk istirahat” (Q.S. an-Naba’[78]: 9)

Rasulullah ` memiliki kebiasaan tidur pada awal malam dan bangun pada pertengahan malam. Hal ini dibuktikan dalam hadits Nabi `, “Bahwasanya Rasulullah ` membenci tidur malam sebelum (sholat Isya) dan berbincang-bincang (yang tidak bermanfaat) setelahnya (begadang).” (H.R Bukhari dan Muslim). Perintah Nabi Muhammad memiliki korelasi positif dengan ilmu kesehatan yang mengacu pada sistem kerja organ tubuh.

Selain tidur di awal malam, Rasulullah ` juga menganjurkan umatnya tidur di pertengahan siang (Qailullah) agar pada malam harinya (tengah malam) bisa bangun untuk menunaikan ibadah shalat malam (shalat tahajjud). Qailullah merupakan tidur sebentar pada pertengahan siang hari sekitar 20-30 menit sebelum atau setelah dzuhur.

  1. Isi waktu kosong dengan hal yang bermanfaat

Allah l berfirman dalam al-Qur’an surat al-Insyiroh ayat 7 yang artinya “Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.” (Q.S. al Insyirah [94]: 7). Maka hendaknya kita sebagai umat Islam yang mengetahui ayat tersebut juga mengamalkan apa yang Allah l perintahkan. Para dokter menyatakan bahwa 50% kebahagiaan hidup dapat diperoleh dari bagaimana seseorang mengisi waktu kosong dengan kegiatan yang bermanfaat.

Dalam kehidupan keseharian kita lihat para kuli bangunan, petani di sawah, guru mengajar di sekolah merasa lebih tenang dan bahagian dibandingkan dengan orang yang melamun dan tergeletak diatas kasur akibat pengagguran. Seperti dalam Mahfuzhot Inna asy-syababa wa al-faragha mafsadatun li-l-mar’i ayya mafsadatin.

Nabi Muhammad ` merupakan sosok manusia yang agung akhlaknya dan luhur budi pekertinya. Dalam kehidupan, kita harus selalu meneladani Rasulullah ` dalam setiap aktivitas, baik dalam aspek ibadah maupun mu’amalah karena hanya inilah merupakan wujud dari cinta kita terhadap Nabi Muhammad `. Seluruh perilaku Nabi Muhammad ` dalam kesehariannya merupakan teladan (uswah) yang baik, karena didalamnya banyak memberi manfaat dalam kehidupan umat manusia. Oleh karena itu, marilah kita teladani bagaimana alur kegiatan beliau agar bernilai ibadah.

Ikke Pradima Sari

NIM: 17422171

Pendidikan Agama Islam UII

 

Mutiara Hikmah

Nabi `  bersabda,

اللَّهُمَّ بَارِكْ لأُمَّتِى فِى بُكُورِهَا
Ya Allah, berkahilah umatku di waktu paginya.” (HR. Abu Daud no. 2606)

Download Buletin klik disini

Tahun Baru Masehi Milik Siapa?

Tahun Baru Masehi Milik Siapa? 

Bismillahi walhamdulillâh wash shalatu was salâmu ‘ala rasûlillâh,

Sudah menjadi polemik di tengah-tengah kaum muslimin soal perayaan hari pergantian tahun di setiap tahunnya. Ada yang menerima bahkan turut serta dalam perayaan malam pergantian tahun baru tersebut, namun ada juga yang menolak dan menjaga diri dari segala macam bentuk kegiatan yang berkaitan dengan malam perayaan tahun baru tahunan itu. Mayoritas kaum muslimin sejak dulu sudah sangat akrab dengan malam tahun baru yang puncaknya adalah pada pukul 00.00 pagi, di mana suara gemuruh kembang api terdengar hampir dari seluruh penjuru mata angin, serta  langit-langit yang  terlihat bercahaya dan penuh dengan gemerlapnya. Perayaan tersebut hampir diikuti oleh seluruh manusia termasuk kaum muslimin, tidak terkecuali negeri-negeri Arab, seperti Uni Emirat Arab yang disebut-sebut sebagai penyelenggara perayaan tahun baru paling spektakuler di Timur Tengah. Namun pernahkah kaum muslimin yang merayakan itu membaca dan menelaah tentang sejarah perayaan tahun baru masehi itu?

Sejarah Perayaan Tahun Baru

Banyak versi tentang sejarah perayaan tahun baru yang tiap tahunnya menjadi pergelaran akbar di seluruh dunia itu. Bagi mereka yang membolehkan, meyakini bahwa tahun baru itu sudah dimulai sejak abad ke 4 Masehi menurut kebiasaan orang-orang Romawi, ada juga yang mengatakan itu hanya soal model penanggalan matahari dan bulan sehingga tidak ada kaitannya dengan agama apapun. Sedang bagi mereka yang tidak membolehkan perayaan tahun baru, meyakini bahwa sejarah perayaan pergantian tahun itu berkaitan erat dengan kelahiran Yesus atau Isa Al-Masih yang dianggap Tuhan atau anak Tuhan.

Mari coba kita telaah, tahun Masehi sangat berhubungan erat dengan keyakinan agama Kristen, Masehi adalah nama lain dari Isa al-Masih. Orang yang pertama kali membuat penanggalan kalender Masehi adalah seorang kaisar Romawi bernama Gasius Julius Caesar pada tahun 45 SM. Kemudian seorang pendeta Kristen bernama Donisius memanfaatkan penemuan kalender Julius Caesar untuk diadopsi (diangkat) sebagai penanggalan yang didasarkan pada tahun kelahiran Yesus Kristus.

Sedang di zaman Romawi, pesta perayaan ulang tahun baru adalah untuk menghormati Dewa Janus (Dewa yang digambarkan bermuka dua). Perayaan ini terus dilesatarikan dan menyebar ke Eropa pada awal abad Masehi. Seiring berkembangnya agama Kristen, akhirnya perayaan ini diwajibkan oleh pemimpin Negara sebagai perayaan “suci” satu paket dengan hari Natal. Inilah sebabnya ucapan Natal dan Tahun baru dijadikan satu Merry Christmas and Happy New Year.

Pendapat yang demikian salah satunya dikemukakan oleh Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU yakni KH. Cholil Nafis “Perayaan tahun baru tersebut bukan milik umat Islam. Beliau menjelaskan tahun baru Masehi adalah tahun umat Kristiani yang menghitung awal tahun dari kelahiran Nabi Isa (Yesus). Oleh karena itu, tidak ada hubungan dan kepentingan umat Islam dengan pergantian tahun yang dimulai pukul 00.00 pada tanggal 31 Desember itu. Jadi, umat Islam tidak baik dan tidak perlu merayakan apapun berkenaan dengan pergantian tahun. Jika pergantian tahun Masehi berkenaan dengan mengisi liburan kerja dan sekolah, maka isilah dengan hal-hal yang positif.”

Persfektif Islam soal Perayaan Tahun Baru

Kita sepakat, bahwa perayaan tahun baru Masehi bukanlah tradisi Islam. Bahkan perayaan ini datang dari orang yang notabene tidak beriman kepada Allah atau kafir. Sebagaimana yang telah dijelaskan pada pembahasan sejarah, bahwa tahun baru merupakan pesta warisan dari masa lalu yang dahulu dirayakan oleh orang-orang Romawi. Mereka (orang-orang Romawi) mendedikasikan hari yang istimewa ini untuk seorang dewa yang bernama Janus, The God of Gates, Doors, and Beeginnings. Janus adalah seorang dewa yang memiliki dua wajah, satu wajah menatap ke depan dan satunya lagi menatap ke belakang, sebagai filosofi masa depan dan masa lalu, layaknya momen pergantian tahun.

Namun apapun itu, larangan Nabi ` terkait mengikuti perayaan-perayaan di luar perayaan Islam amatlah jelas, Beliau Rasulullah ` bersabda, “Barangsiapa yang meniru kebiasaan suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari kaum tersebut”. (H.R. Abu Dawud). Kemudian Beliau ` juga bersabda tentang hari raya umat Islam untuk menegur sahabat yang masih melaksanakan hari raya umat sebelum Islam, yakni perayaan Nairuz dan Mihrajan, “Saya mendatangi kalian dan kalian memiliki dua hari raya, yang kalian jadikan sebagai waktu untuk bermain. Padahal Allah telah menggantikan dua hari raya terbaik untuk kalian,(yakni) idul fitri dan idul adha.” (H.R. Ahmad).

Dari hadis tersebut jelaslah bagi kita akan pengingkaran Nabi ` terhadap bentuk perayaan-perayaan di luar Islam, bahkan perayaan Nairuz dan Mihrajan yang dirayakan penduduk madinah, isinya hanya bermain-main dan makan-makan. Sama sekali tidak ada unsur ritual sebagaimana yang dilakukan orang majusi, sumber asli dua perayaan ini. Namun mengingat dua hari tersebut adalah perayaan orang kafir, Nabi ` melarangnya.

Sikap Kaum Muslimin Terhadap Perayaan di Luar Islam

Untuk sikap yang sebaiknya diambil oleh seorang muslim terkait perayaan malam tahun baru, dengan menimbang pemaparan di atas adalah menahan diri untuk tidak ikut berpartisipasi dalam segala bentuk  kegiatan yang didasari atas pengkhususan malam tahunan tersebut, terlebih lagi belum lama kita telah dihadapkan dengan fitnah ucapan selamat natal yang dapat mengikis aqidah tauhid, sebagaimana firman Allah , “Dan mereka berkata: “Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak.” Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar, hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung-gunung runtuh, karena mereka menda’wakan Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak. Dan tidak layak bagi Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak.” (Q.S. Maryam [19]: 88-92).

Ucapan selamat natal jelas terkandung di dalamnya 2 kemungkaran. Pertama, jika seorang yang mengucapkan selamat natal itu diikuti dengan keyakinan akan kelahiran Yesus atau Nabi Isa n sebagai anak Tuhan, maka batal lah keislamannya menurut dalil syara’.

Kedua, jika dia mengucapkan selamat natal namun tidak mengikutinya dengan keimanan terhadap kelahiran Yesus atau Nabi Isa n sebagai anak Tuhan, maka dia telah memberikan kesaksian atau selamat palsu, yang juga merupakan dosa besar dan bisa menjadi sebab kemunafikan dalam hati. Karenanya sikap yang paling selamat dalam menghadapi ujian-ujian keimanan tersebut adalah mendiamkan. Karena mendiamkan adalah bentuk paling nyata dari sebuah toleransi.

Penulis ingin mengutip Fatwa MUI NTB tentang ucapan dan partisipasi terhadap perayaan umat lain pada poin nomor 3 dan 6 yang bunyinya:

  1. Kepada seluruh kaum Muslimin agar menjaga aqidah serta kepribadian sebagai umat Islam dan menjauhkan diri dari mengikuti kegiatan ibadah umat lain dan jangan meniru ciri khas mereka.
  2. Kepada seluruh kaum Muslimin dihimbau untuk tulus (ikhlas) menerima ajaran Islam dan masuk ke dalam Islam secara utuh agar terhindar dari kesesatan dan penyesatan yang membuat umat akan kehilangan kepribadian yang Islami (Syakhshiiyyah Islamiyyah).

 

Anas Ahamad Rahman

Mahasiswa Pasca MIAI UII

 

Mutiara Hikmah:

“…Allah dan Rasul-Nya yang lebih berhak untuk mereka cari keridhoan-Nya…” (Q.S. At-Taubah [9]: 62)

 

Download Buletin klik disini

Hukum Ucapan Selamat Natal Bagi Muslim

Hukum Ucapan Selamat Natal Bagi Muslim

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang multikultural, sebab ia terdiri dari berbagai agama dan kepercayaan. Namun, ada kalanya kemajemukan ini menimbulkan polemik tertentu pada masyarakat. Di antaranya adalah terkait hukum ucapan selamat natal bagi umat Islam yang diucapkan kepada umat Nasrani (kristiani). Polemik ini hampir terjadi di setiap tahun. Berhubung kasus ini erat kaitannya dengan istinbath al-hukmi, maka penulis akan mengulas hukum ucapan selamat natal dengan menggunakan perspektif  fiqih yang akan dikaitkan juga dengan akidah.

Dasar Pemahaman

Kita tidak akan menemukan dalil dari al-Qur’an maupun as-Sunnah secara spesifik untuk dapat menyimpulkan hukum ucapan selamat Natal. Sebab, di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah tidak disebutkan secara spesifik terkait dengan kebolehan atau keharaman mengucapkan selamat natal. Polemik ini terjadi di era kontemporer, dimana ia muncul karena keinginan sebagian umat Islam yang hendak mengekspresikan sikap toleransinya kepada non-Muslim.

Maka, karena ia tidak ditemukan di dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah yang secara tegas menghukuminya, kasus ini masuk dalam kategori Ijtihadi. Hakikatnya, jumhur ulama (mayoritas ulama) dari 4 madzhab besar dalam ilmu Fiqih (Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali) telah sepakat akan keharaman pengucapan selamat Natal kepada umat Nasrani. Namun, ulama-ulama kontemporer kembali mengulas hukum tersebut dikarenakan kasus ini masuk dalam kategori Ijtihadi.

Perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan ulama kontemporer, disebabkan oleh Ijtihad mereka dalam memahami generalitas (keumuman) ayat atau Hadits yang kiranya terkait dengan kasus ini. Contohnya perbedaan sikap yang diambil oleh para ulama kontemporer seperti Ibn Baz, Ibnu ‘Utsaimin, Ali Jum’ah, Yusuf al-Qardhawi, Habib Ali Aljufri, Buya Hamka, dan ulama kontemporer lainnya.

Dasar Hukum yang Membolehkan

Para ulama yang memilih sikap untuk membolehkan ucapan selamat Natal bagi umat Nasrani mendasari hukumnya pada firman Allah l di dalam surat al-Mumtahanah ayat 8: “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”(Q.S. al-Mumtahanah [60]: 8)

Pada ayat tersebut, Allah l menegaskan bahwa perbuatan baik (Ihsan) kepada siapa saja itu tidak dilarang, selama mereka tidak memerangi dan mengusirnya dari negerinya. Sedangkan, mengucapkan selamat natal merupakan salah satu bentuk perbuatan baik kepada orang non-muslim, sehingga perbuatan tersebut diperbolehkan.

Selain itu, dalam hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik a Rasulullah ` bersabda, “Dahulu ada seorang anak Yahudi yang senantiasa melayani (membantu) Nabi `, kemudian ia sakit. Maka, Nabi ` mendatanginya untuk menjenguknya, lalu beliau duduk di dekat kepalanya, kemudian berkata: ‘Masuk Islam-lah!’ Maka anak Yahudi itu melihat ke arah ayahnya yang ada di dekatnya, maka ayahnya berkata,‘Taatilah Abul Qasim (Nabi `). Maka anak itu pun masuk Islam. Lalu Nabi ` keluar seraya bersabda, ‘Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkannya dari neraka.’” (H.R. Al-Bukhari no. 1356, 5657)

Pada hadits tersebut, Rasulullah ` memberi teladan kepada umatnya untuk berbuat baik kepada non-Muslim. Sehingga mengucapkan selamat Natal yang merupakan salah satu bentuk perbuatan baik kepada non-muslim pun diperbolehkan, walaupun bukan dalam keadaan darurat. Ucapan tersebut diperbolehkan selama tidak mengganggu Akidahnya terhadap Allah dan Rasul-Nya serta tidak mendukung keyakinan umat Nasrani tentang kebenaran peristiwa natal.

Ulama kontemporer yang mendukung pendapat ini diantaranya Yusuf al-Qardhawi, Musthafa Zarqa, Abdullah bin Bayyah, Ali Jum’ah, Habib Ali Aljufri, Quraish Shihab, Abdurrahman Wahid, Said Aqil Sirodj, dan lain sebagainya.

Dasar Hukum yang Mengharamkan

Para ulama yang memilih sikap untuk mengharamkan ucapan selamat natal bagi umat Nasrani mendasari hukumnya pada firman Allah l di dalam surat al-Furqan ayat 72, “Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (Q.S. al Furqan [25]: 72)

Pada ayat tersebut, Allah l menjanjikan bagi orang yang tidak memberikan kesaksian palsu dengan martabat yang tinggi di surga. Sedangkan, apabila seorang muslim mengucapkan selamat natal berarti dia telah memberikan kesaksian palsu dan membenarkan keyakinan umat Nasrani tentang hari Natal (kelahiran Yesus Kristus, salah satu Tuhannya umat Nasrani). Konsekuensinya adalah ia tidak akan mendapatkan martabat yang tinggi di surga. Dengan demikian, mengucapkan selamat natal kepada umat kristiani tidak diperkenankan.

Selain itu, dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Umar h Rasulullah ` bersabda, “Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka dia termasuk bagian kaum tersebut.” (H.R. Abu Daud, no. 4031).

Pada hadits tersebut, Rasulullah ` mewanti-wanti umat Islam terhadap perbuatan tasyabbuh terhadap non-muslim. Dalam kaidah Bahasa Arab (tepatnya adalah ilmu Shorof), kata tasyabbuh berasal dari wazan Tafa’ul, yang bermakna muthawa’ah (menurut), takalluf (memaksa), dan juga tadarruj (bertahap atau parsial) dalam melakukan suatu perbuatan. Sehingga, dari wazan ini kata tasyabbuh memiliki faidah perbuatan yang dilakukan sedikit demi sedikit, yang awalnya barangkali ia merasa terpaksa/ikut-ikutan dengan perbuatan tersebut sampai kemudian ia menurut dan terbiasa mengerjakannya.

Dengan kata lain, siapa saja menyerupai suatu kaum maka ia lama kelamaan akan tunduk kepada mereka. Oleh sebab itu, hendaknya seorang muslim tidak bermudah-mudahan dalam melakukan perbuatan yang menyerupai orang non-muslim, sebab ia merupakan pintu menuju ketundukan kepada mereka. Sehingga,sikap tegas dengan kaidah saddud dzari’ah (menutup pintu keburukan) merupakan suatu kaidah yang tepat dalam kasus ini agar akidah kita tidak tergoyahkan akibat ikut-ikutan mengucapkan selamat Natal sebagaimana yang dilakukan oleh umat Nasrani.

Dengan demikian, umat Islam yang mengucapkan selamat Natal kepada umat Nasrani berarti telah melakukan tasyabbuh sekaligus memberikan kesaksian palsu dan membenarkan keyakinan umat kristiani tentang kebenaran peristiwa natal. Sehingga, kasus ini masuk juga ke dalam ranah akidah yang mengkompromikan antara tauhid dengan syirik. Atas dasar inilah hukum ucapan tersebut diharamkan secara tegas.

Ulama kontemporer yang mendukung pendapat ini diantaranya Ibn Baz, Ibnu Utsaimin, Buya Hamka (Abdul Malik Karim Amrullah), Buya Yahya (Habib Yahya Zainul Ma’arif), Ibrahim bin Ja’far, Ja’far At-Thalhawi, Khalid Basalamah, Abdul Somad, Adi Hidayat, dan lain sebagainya.

Kesimpulan

Dari pemaparan tersebut, dapat disimpulkan bahwa para ulama kontemporer berbeda pendapat tentang hukum ucapan selamat Natal. Ada yang mengharamkan, ada pula yang membolehkan. Maka, perbedaan semacam ini hendaknya tidak boleh menjadikan internal umat Islam di Indonesia semakin terpecah hanya diakibatkan oleh perbedaan pemilihan sikap dalam kasus ini.

Apabila kita memilih sikap untuk membolehkannya, pastikan bahwa pembolehan tersebut demi menjaga kedamaian dan kerukunan antar umat beragama, dengan tetap menjaga akidah kita sebagai seorang Muslim. Apabila kita memilih sikap untuk mengharamkannya, pastikan bahwa pengharaman tersebut merupakan bentuk ghirah kita dalam menjaga prinsip akidah umat Islam yang tegas namun tetap menjaga nilai-nilai toleransi antar umat beragama dengan bentuk yang berbeda.

Sikap apapun yang dipilih, mari senantiasa kita menjaga persatuan umat Islam diantara perbedaan yang ada. Pada akhirnya nanti kita akan mempertanggungjawabkan dihadapan Allah l pada yaumul hisab (hari kiamat).

Sikap Penulis

Penulis lebih memilih sikap tidak memperkenankan mengucapkan ucapan selamat natal kepada umat Nasrani dengan tetap menghormati para ulama yang membolehkannya. Sikap tersebut penulis pilih berlandaskan kaidah saddud dzari’ah terhadap madharat yang akan terjadi apabila memilih sikap membolehkannya. Sebab dalam syariat Islam ada kaidah Dar’u al-Mafasid Muqoddamun ‘ala Jalbi al-Mashalih (Menolak mudharat lebih diprioritaskan dari mengambil manfaat). Madharat dari pembolehan pengucapan selamat Natal ini adalah adanya kompromi antara tauhid dengan syirik serta kesaksian palsu dan pembenaran keyakinan umat kristiani tentang peristiwa Natal. Kaum muslimin di Indonesia tidak mengucapkannya pun, tidak akan terganggu dikarenakan sikap statis tersebut. Sebab umat Islam masih akan tetap berbuat baik dan mampu bertoleransi kepada mereka walau dalam aspek yang lain.

Saiful Aziz al-Bantany

Mahasiswa Pasca UIN Sunan Kalijaga

 

Mutiara Hikmah

لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ

“Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku. (Q.S. al-Kafirûn [109]: 6)

 

Download Buletin klik disini

Langkah Cerdas Generasi Muslim Menapaki Jalan Kehidupan

Langkah Cerdas Generasi Muslim Menapaki Jalan Kehidupan

قَالَ الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلَاقُو اللَّهِ كَمْ مِنْ فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإِذْنِ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ

“Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah, berkata: “Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.”

(Q.S al-Baqarah [2]: 249) 

Ayat ini mengisahkan tentang kisah Thalut bersama para tentaranya yang pergi untuk memerangi bangsa amaqoh. Thalut berkata kepada para tentaranya bahwa sesungguhnya Allah akan menguji mereka dengan sebuah sungai yang akan mereka seberangi. Tujuannya adalah untuk mengetahui mana orang mukmin dari orang munafik. Barangsiapa yang meminum air sungai tersebut, maka bukan termasuk dalam golongannya (munafik). Sedangkan yang mampu menahan nafsunya untuk tidak minum air sungai tersebut maka termasuk dalam golongan mukmin yang pantas untuk berjihad bersama Thalut bersama tentaranya yang semakin sedikit sekitar 300 orang untuk memerangi musuh.

Sementara jumlah musuh lebih banyak dan alat-alat perang mereka lebih hebat daripada tentaranya. Maka, bala tentara Thalut berkata, “Hari ini tidak ada kesanggupan dari kami untuk menghadapi Jalut dan bala tentaranya yang tangguh-tangguh.” Akan tetapi orang-orang yang beriman kepada Allah mengingatkan kawan-kawannya tentang Allah dan kekuasaan-Nya, seperti tersebut dalam surat al-Baqarah ayat 249.

Berdasarkan Tafsir Al-Mukhtashar dari Syaikh Dr. Shalih bin Abdullah bin Humaid فَصَلَ (keluar), yakni Thalut keluar dari negerinya ke suatu sungai. Beberapa pendapat mengatakan bahwa sungai tersebut sungai Urdun dan Palestina. Dan ujian yang dimaksud adalah ujian untuk menguji ketaatan mereka.

Maka dari kisah Thalut ini kita belajar, bahwa Allah bersama orang-orang yang bersabar dan mengimani sifat-sifat-Nya serta pahala terbaik dari sisi-Nya. Betapa banyak hamba yang menganggap kuantitas lebih prioritas dibandingkan kualitas. Padahal, Allah akan menolong orang-orang yang beriman dan beramal shalih. Adapun di hati kaum muslimin terdapat iman yang kokoh dan bala tentara Allah yang lebih tangguh dari sisi-Nya.

Pantang Menyerah Sebelum Berjuang

Thalut dan bala tentaranya yang mukmin pantang menyerah menghadapi musuh. Hal ini menunjukkan bahwa Allah tidak melihat ukuran fisik semata, melainkan kepada hati (keimanan) setiap hamba-Nya. Kun Fayakun! Jadilah Maka Jadilah ! Tidak ada satu pun yang mampu menangguhkan kekuasaan-Nya ketika Allah sudah berkehendak.

Mustahil bagi Allah untuk bergantung pada manusia. Maka, generasi muslim masa kini seharusnya mampu meningkatkan kecerdasaran spiritual dan kekuatan mental dalam menghadapi tantangan hidup yang sementara ini. Ketika memulai ikhtiar maka Allah senantiasa memerintahkan kita untuk meluruskan niat, mengamalkan dengan perbuatan, dan menyempurnakan dengan doa.

Allah Maha Hidup dan Berkuasa atas segala sesuatu, Allah l berfirman, “Dan berapa banyaknya para Nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut(nya) yang bertaqwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah,tidak lesu, dan tidak (pula) menyerah. Dan Allah menyukai orang-orang yang sabar.” (Q.S Ali ‘Imran [3]: 146).

Istiqomah Bersama dalam Jama’ah

Allah berfirman, “Dan sabarkanlah dirimu untuk selalu bersama dengan orang-orang yang menyeru kepada Rabbnya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya. Dan janganlah kamu palingkan kedua matamu dari mereka karena mengharap perhiasan kehidupan dunia…” (Q.S al-Kahfi [18]: 28).

Berdasarkan tafsir Jalalyn, dijelaskan bahwa manusia diperintahkan untuk bersabar berada dalam jama’ah atau kelompok-kelompok yang menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran dengan hanya mengharap ridha Allah 24 jam. Dan janganlah berpaling dari mereka dan mengharapkan materi darinya sekalipun mereka adalah fakir miskin ataupun orang kaya karena mengharapkan perhiasan dunia. Manusia diberikan peringatan untuk tidak mengikuti orang-orang yang telah Allah lalaikan hatinya dari mengingat al-Qur’an.

Diriwayatkan dalam As-Shahihain, Rasulullah ` bersabda, “Akan senantiasa ada tha’ifah (sekelompok) dari ummatku yang eksis di atas kebenaran, tidak membahayakan mereka orang-orang yang menghina mereka sampai datang urusan Allah (kiamat) dan mereka tetap seperti itu.” (H. R Bukhari).

Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab Shahih-nya, dari sahabat Uqbah bin ‘Amr bin Tsa’labah a, Rasulullah ` bersabda,  “Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya” (H.R. Muslim no. 1893).

Hikmah Ayat-Ayat Al-Qur’an

Betapa banyak pemuda muslim saat ini yang mulai disibukkan dengan aktivitas dunia dan menjadikannya prioritas dalam perjuangan hidupnya. Sesungguhnya generasi muslim haruslah visioner. Memiliki visi yang jauh ke depan, yakni visi hidup setelah mati. Memupuk kebaikan dengan berinvestasi amal untuk mendapatkan pahala jariyah. Salah satu caranya adalah mensyiarkan ajaran dan sunnah Rasulullah `. Allah l berfirman, “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?” (Q.S. Fushshilat [41]: 33).

Perkataan terbaik adalah perkataan yang daripadanya mengajak kepada mengingat dan mentaati Allah dan Rasul-Nya, lalu mengamalkan ilmunya dengan amalan yang shalih. Pada surat Fushshilat ayat 33 kita dianjurkan untuk turut berdakwah berdasarkan ilmu yang dibawa oleh Rasulullah `. Kita yang membutuhkan jalan dakwah. Allah tidak akan rugi jikalau pun kita tidak mengambil kesempatan ini. Jangan takut terasing dan jangan takut menjadi sekelompok orang minoritas sebagai penyampai kebenaran Islam.

Hikmah lainnya adalah bahwa dalam menyampaikan kebenaran, membina diri dengan ilmu, dan berjuang dengan perbuatan perlu didasari oleh niat yang tulus. Wilayah hasil bukan menjadi kuasa manusia. Allah yang Maha membolak-balikkan hati setiap manusia, maka lisan ini hanya perantara, kata-kata ini pun perantara. Akan tetapi, yang tak boleh putus dari setiap pejuang islam adalah doa kebaikan.

Menurut Tafsir al-Muyassar, tidak ada seorang pun yang lebih bagus perkataannya daripada mengajak mentauhidkan Allah dan mengamalkan syariat-Nya, serta beramal shalih dengan menghrapkan ridha Allah. Wallahua’lam bishawab. Semoga Allah menuntun jalan kita di dunia dan mempertemukan kita di surga-Nya kelak. Aamiin Ya Raabal ‘alamiin. []

 

Rostika Hardianti

Mahasiswi Psikologi

Universitas Islam Indonesia

 

Mutiara Hikmah

Allah l berfirman, “Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?” (Q.S Al An’am [6]: 32)

 

Download Buletin klik disini

Hanya Pohon Berbuah Yang Dilempari Batu

Hanya Pohon Berbuah Yang Dilempari Batu

Bila ada yang membicarakanmu di belakangmu itu artinya dirimu sudah selangkah lebih maju…” (Anonim)

“Kita tidak bisa memastikan orang lain untuk tidak membenci kita. Namun kita bisa memastikan diri kita untuk tidak membenci siapapun,” ujar seorang alim nan bijaksana. Bahwa seberapa kuat kita berupaya menjadi orang baik pasti saja ada orang lain yang menaruh rasa benci kepada kita. Pada akhirnya, kita tidak bisa menyetir sikap orang lain terhadap kita. Satu hal yang bisa kita pastikan adalah bagaimana sikap kita kepada orang lain. Sebab, kitapun nanti tidak ditanya tentang orang lain tetapi ditanya tentang diri kita sendiri.

Setetes racun yang dituangkan pada segelas air akan menjadikan air itu beracun. Berbeda ketika setetes racun itu dimasukkan ke dalam samudera, tentu tidak menyebabkan mudharat apa-apa bagi samudera tersebut. Begitulah gambaran bagaimana semestinya kita mengatur kedalaman hati kita. Bila hati kita hanya seumpama segelas air maka “racun-racun” kehidupan yang sepele akan mengubah kemurniannya. Adapun bila hati kita seluas samudera maka riak-riak kecil hanya hiburan belaka. Tergantung kita mau memilih dan mengikhtiarkan hati yang seperti apa.

Rasanya mustahil kita mengatur segala hal yang mengitari kita adalah baik dan normal. Sebab kehidupan ini memanglah dinamis dan anomalis. Sekali lagi, yang bisa kita pastikan adalah sikap kita terhadap segenap hal yang mendatangi kita. Seorang psikolog pernah berujar bahwa segala macam keadaan yang dihadapkan kepada kita adalah netral. Baik itu pujian ataupun cacian. Entah itu promosi maupun demosi. Cara kita menangkap dan merespon setiap kondisi tersebutlah yang menjadi kuncinya. Seringkali, berhasil menyikapi cacian itu lebih baik daripada gagal menyikapi pujian.

Pada umumnya, manusia menginginkan semuanya berjalan baik dan sesuai harapan. Everything is okay. Namun kenyataan tidaklah selalu semanis keinginan. Ada gap antara keinginan dan harapan. Itulah yang sering disebut dengan masalah. Bahwa realitas positif dan negatif itu akan datang silih berganti. Keduanya adalah dua kutub kehidupan yang seiring-sejalan. Tidak bisa dihindari namun kita bisa berdamai dengan keduanya sebagai kenyataan yang datangnya pasti. Bagaimana kita mengorkestrasi dua hal tersebut sehingga tercipta irama hidup yang syahdu.

Ridha Manusia

Kisah kuda dan si empunya memberikan pelajaran berharga bagi kita. Ketika si empu dan anaknya menuntun kuda, khalayak berteriak. “Mengapa tidak ditunggangi saja kuda itu?” tanya mereka. Lalu, keduanya menaiki kuda tersebut. Khalayak protes. “Sungguh tidak berperikehewanan!” tukas mereka. Lantas sang ayah menaiki kuda dan sang anak berjalan. Diprotes lagi. “Ayah yang tidak sayang anak!” Sang anak pun naik kuda, sang ayah berjalan. Kritikan pun datang lagi. “Anak yang tidak tau diri!” hardik mereka. Haruskah keduanya menggendong kuda itu? Pasti akan dikomentari lagi.

Menyenangkan orang lain adalah kebaikan. Berkomitmen dalam hal tersebut adalah utama. Namun yang perlu diingat bahwa kita tidak bisa menyenangkan semua manusia. Pasti ada yang dikorbankan. Pepatah Arab mengatakan, “Ridha an-nâsi ghâyatun lâ tudrak.” Artinya, keridhaan semua manusia adalah tujuan yang tidak mungkin tercapai. Karena tidak mungkin tercapai tersebut maka semestinya keridhaan manusia tidak menjadi tujuan. Manakala kita ingin menyenangkan orang lain maka semata karena mengikuti sunnah. Bagaimana penerimaan orang bukan menjadi masalah kita.

Hal di atas senada dengan seringnya kita kecewa ketika terlalu banyak berharap kepada manusia. Semakin besar harapan kepada sesama manusia maka semakin besar pula risiko kekecewaan kita. Lalu, apakah kita tidak boleh berharap kepada manusia? Tentu saja boleh namun yang sewajarnya. Dengan begitu, kita siap dengan segenap kemungkinan. Termasuk menyiapkan alternatif ketika keinginan tidak sesuai dengan harapan. Sebab, kita tidak bisa memastikan sikap dan respon orang lain. Namun kita bisa memastikan sikap dan respon kita atas semua itu.

Fokus pada ridha manusia juga menjadikan kita tidak merdeka dalam bersikap. Misalnya, kita sudah berbuat baik dan berusaha menyenangkan orang lain. Ternyata penerimaannya lain dan tidak sesuai harapan kita. Dengan kata lain, dia tidak mengapresiasi kita. Bila keridhaan manusia yang menjadi tujuannya, apa yang terjadi? Tentu kita akan berhenti berbuat baik kepadanya. Padahal kita diajarkan untuk istiqamah dalam kebaikan. Betapapun keadaan memaksa kita untuk berhenti berbuat baik namun kita tetap memilih untuk bertahan dan konsisten.

Tidak semua orang ridha kepada kita. Karena itu, kita bisa mengantisipasi hal tersebut. Contohnya, saat ada teman kita yang membicarakan aib orang lain di hadapan kita. Sebaiknya kita tidak terlibat banyak dalam obrolan itu dan berusaha menghindarinya. Selain karena dosa, ada sebab lainnya. Rumusnya adalah orang yang menceritakan aib orang lain di hadapan kita besar kemungkinan akan menceritakan aib kita di hadapan orang lain. Sebaliknya, orang yang mudah menceritakan kebaikan orang lain di hadapan kita, besar kemungkinan akan menceritakan kebaikan kita kepada orang lain.

Ridha Allah

Jika ridha semua manusia tidak mungkin diraih maka ridha Allah lah yang harus menjadi orientasi hidup kita. “Ridhallâhi ghâyatun lâ tudrak,” katanya. Artinya, ridha Allah adalah tujuan yang tidak boleh ditinggalkan. Kita memang tidak bisa memastikan tergapainya ridha Allah. Namun kita bisa memastikan diri kita untuk terus berikhtiar menggapainya. Seluruh jiwa raga harus dimaksimalkan untuk mendapatkan keridhaan Allah. Tatkala kita berbuat baik dan menyenangkan orang lain itupun diniatkan dalam rangka meraih ridha Allah.

Orientasi pada ridha Allah juga menjadikan kita lebih siap untuk menjalani dinamika kehidupan. Setiap ujian yang datang dihadapi dengan keridhaan dan husnudh-dhan bahwa ujian adalah bentuk kasih sayang Allah kepada kita. Tidaklah ujian datang kecuali untuk menggugurkan dosa dan meninggikan derajat di sisi-Nya. Ketika kita sekolah, setiap menghadapi kenaikan kelas selalu dihadapkan dengan ujian. Begitu juga hidup kita. Saat iman semakin berbuah maka semakin kuat ujian menyapa. Semakin banyak yang tertarik untuk “melempari”-nya guna menggugurkan buah keimanan tersebut.

Ujian keimanan bisa datang dalam wujud apa saja. Seringkali orang-orang terdekat yang menjadi medianya. Kadang kita tidak siap dengan omongan orang. Kita tidak kuat tatkala kebaikan tidak berbuah apresiasi. Kita lemah ketika tindakan mulia hanya berujung kritikan. Kita loyo saat orang yang kita percaya justru bermain di belakang kita. Di situlah saatnya kembali kepada keridhaan Allah agar segenap sikap manusia tidak melemahkan kita. Kita jadikan itu semua sebagai pemantik untuk terus tumbuh. Bukan dalam keridhaan manusia, namun dalam ridha-Nya.

Selain ridha Allah yang menjadi tujuan, penting untuk melatih diri kita untuk ridha dengan segenap takdir-Nya. Karenanya, segala badai kehidupan yang menerpa adalah medium untuk melatih keridhaan kita atas ketentuan-Nya. Hingga akhirnya kita akan diminta pulang menghadap keharibaan-Nya. Dengan hati yang rela, ridha, puas, dan ikhlas akan takdir kehidupan yang digariskan-Nya sekaligus diridhai oleh-Nya. Dengan kondisi tersebut kita dipanggil untuk masuk dalam jama’ah hamba-hamba-Nya. Lantas masuk ke dalam surga-Nya (QS. al-Fajr [89]: 27-30). Wallahu a’lamu.

 

Samsul Zakaria, S.Sy., M.H.,

Calon Hakim PA Tanjung, Kalsel,

Magang di PA Kab. Malang Kelas 1A

 

Mutiara Hikmah

Dari Abu Hurairah a, Nabi ` bersabda,

وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ

Siapa yang menutupi aib seorang muslim, Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat. (H.R. Bukhari 2442, Muslim 7028, dan yang lainnya).

 

Download Buletin klik disini

Spirit Islam Untuk Merantau

Spirit Islam Untuk Merantau

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘ala rasûlillâh,

Islam menganjurkan kita untuk merantau sudah sejak zaman Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Sejarah para Nabi selalu diwarnai dengan dunia pengembaraan atau dalam bahasa lain rihlah thalabul ‘ilmi. Tokoh-tokoh sukses dan hebat saat ini pun kisahnya tidak luput dari cerita tentang kisahnya dalam perantauan. Bagaimanapun, merantau merupakan suatu proses mematangkan diri baik di kampung orang, kota orang atau bahkan negeri orang.

Para perantau tentunya bersusah payah pergi jauh meninggalkan tempat tinggalkan demi menggapai tujuan mulia yakni menuntut ilmu. Banyak sekali hikmah yang dapat diambil dari buah perantauan. Dalam al-Qur’an pun Allah Subhanahu wa Ta’ala menganjurkan kaum muslimin untuk merantau, karena dengannya kita bisa melihat kekuasaan Allah yang lebih luas. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam al-Qur’an, “Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (Q.S. al-Mulk [67]: 15)

Sebagai manusia yang berakal, sudah seharusnya kita sadar. Karena sudah jelas Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan bumi itu terbentang dan mudah yakni untuk ditinggali dan dijelajahi, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makan sebagian dari rezeki-Nya. Alam semesta tidak selebar daun kelor. Islam membangkitkan kesadaran agar kita tidak menghabiskan waktu kita untuk molor. Banyak hal yang perlu kita eksplorasi. Sudah lama kita menjadi pengekor, sekarang sudah saatnya kita menjadi pelopor.

Sejarah tokoh Islam dalam Merantau

Abu Abdullah Muhammad bin Idris Bin Al-Abbas bin Utsman Bin Syafi’ Asy-Syafi’i atau yang lebih akrab dengan julukan Imam Syafi’i v merupakan seorang ulama besar yang terkenal dengan kecerdasan dan kata-kata mutiara penuh hikmah. salah satu mujtahid mutlak yang dijuluki nasirussunnah waddin, penolong sunnah dan agama. Dari segi keilmuan, tentunya sudah tidak diragukan lagi akan kecerdasan beliau.

Para penulis biografi mencatat bahwa Imam Syafi’i merupakan seseorang yang lahir dari keluarga miskin. Sejak masih kecil, ia sudah ditinggal ayahnya dan menjadi seorang yatim. Menginjak usia 14 tahun, Imam Syafi’i memiliki keinginan besar untuk merantau, hal ini dikarenakan akan semangatnya beliau demi menuntut ilmu. Fatimah al-Azdiy, ibunda Imam Syafi’i memahami gelora semangat yang sedang bergejolak dihati anaknya untuk menggali ilmu Allah. Tidak ada pilihan lain selain melepas sang anak untuk menimba ilmu di negri orang.

Kepergian Imam Syafi’i ke banyak negeri mulai dari Makkah, Madinah, Yaman, Baghdad Iraq, hingga Mesir untuk menuntut ilmu bukanlah dari harta yang mengiringinya, akan tetapi untaian doa tulus nan indah yang mengantarkan kepergiannya “Ya Allah, Tuhan yang menguasai seluruh alam. Anakku ini akan berjalan jauh meninggalkanku menuju keridhoanmu. Aku rela melepaskannya untuk menuntut ilmu peninggalan utusanMu. Oleh karena itu, aku bermohon kepada Mu ya Allah, mudahkanlah urusannya, peliharalah keselamatannya, panjangkanlah umurnya agar aku dapat melihat sepulangnya nanti dengan dada yang penuh ilmu yang berguna”.

Imam Syafi’i merupakan seseorang yang tekun dalam menuntut ilmu, karena ketekunannya, di usia sembilan tahun, Imam Syafi’i sudah mampu menghafal al-Qur’an dan sejumlah hadits. Bukan hanya hafalan, keilmuannya pun sudah luas dan mendalam. Ayahnya meninggal saat ia masih kecil, kemudian ibunya membawanya ke Makkah. Fatimah al-Azdiy, Ibu dua anak ini dengan keadaan miskin dan serba kekurangan memiliki cita-cita mulia untuk menjadikan anaknya menjadi anak yang berilmu.

Diriwayatkan bahwa karena kemiskinannya, Imam Syafi’i hampir tidak dapat menyiapkan peralatan belajar yang dibutuhkan, sehingga dengan terpaksa beliau mencari kertas yang tidak terpakai, atau sudah terbuang tetapi masih dapat digunakan untuk menulis. Setelah usai mempelajari al-Qur’an dan hadits, Imam asy-Syafi’i melengkapi ilmunya denganmendalami bahasa dan sastra Arab. Karena itu ia pergi ke pedesaan dan bergabung bersama Bani Huzail, suku bangsa Arab yang paling fasih bahasanya. Dari suku inilah, Imam Syafi’i mempelajari bahasa dan syair-syair Arab sehingga ia benar-benar menguasainya dengan baik.

Hikmah dari Merantau

Dari Abu Hurairah a, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (H.R. Muslim, no. 2699)

Dalam hadits tersebut yang dimaksud dengan “menempuh jalan untuk mencari ilmu” ada dua bentuk. Pertama, menempuh jalan secara hakiki, yaitu dengan berjalan menuju tempat majelis ilmu. Seperti misalnya berjalan menuju masjid atau tempat pengajian untuk menuntut ilmu. Kedua, menempuh jalan secara maknawi, yaitu melakukan segala sesuatu untuk mendapatkan ilmu seperti menghafal, mempelajari, mengulang-ulang pelajaran, menelaah, menulis, membaca kitab dan memahaminya, serta perbuatan lainnya yang merupakan cara untuk mendapatkan ilmu.

Dengan ilmu, kunci-kunci kesuksesan akan dipegang oleh pemilik ilmu. Barang siapa yang menginginkan dunia, maka hendaknya ia berilmu. Barang siapa yang menginginkan akhirat, maka hendak ia berilmu. Barang siapa yang dunia dan akhirat, maka hendaknya ia berilmu. Orang yang berilmu maka akan Allah angkat derajatnya, dan dimudahkan jalan baginya menuju surga.

Nasehat Imam Asy-Syafi’i v

Selain hadits diatas, juga terdapat nasehat dari Imam Syafi’i agar seseorang pergi untuk merantau, meninggalkan zona nyaman, menuju wilayah baru, suasana baru, pengalaman baru, berkenalan dengan orang-orang baru karena dengan itu semua, secara implisit akan kita temukan banyak hikmah didalamnya. Nasihat ini diabadikan dalam bait-bait sya’irnya:

          Orang berilmu dan beradab tidak diam beristirahat di kampung halaman # Tinggalkan negerimu dan hidup asing  (di negeri orang).

          Kau akan dapatkan pengganti dari orang-orang yang engkau tinggalkan (kerabat dan kawan) # Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang.

           Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan # Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, akan keruh menggenang.

          Singa jika tak tinggalkan sarang, tak akan dapat mangsa # Anak panah jika tak tinggalkan busur, tak akam kena sasaran.

         Jika matahari di orbitnya tak bergerak dan terus berdiam # tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang.

         Bijih emas tak ada bedanya dengan tanah biasa di tempatnya (sebelum ditambang) # Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa jika di dalam hutan.

        Jika gaharu itu keluar dari hutan, ia menjadi parfum yang tinggi nilainya # Jika bijih memisahkan diri (dari tanah), barulah ia dihargai sebagai emas murni.

Dari bait diatas, dapat diambil kesimpulan, bahwasanya dengan merantau melakukan perjalanan, akan menantang, mendewasakan diri sekaligus memberikan peluang untuk mengeksplorasi pengalaman yang mana akan menjadi warisan berharga. Selama merantau, kita juga akan mendapatkan ganti dari apa yang kita tinggalkan, karena sesungguhnya nikmatnya hidup ada setelah lelahnya perjuangan. Hal terakhir yang perlu diingat bahwa kemuliaan itu tak kan didapat dengan kemalasan.

 

Referensi:

  1. Nihwan Sumuranje. 2016, Laku Kehidupan. Solo: Tinta Medina, hal. 31
  2. https://www.islampos.com/ketika-imam-syafii-menuntut-ilmu-1926/
  3. https://muslim.or.id/18863-gapai-surga-dengan-ilmu-agama.html

 

Ikke Pradima Sari

NIM 17422171

Pendidikan Agama Islam/FIAI

 

Mutiara Hikmah

Nabi shallallahu alaihi wa sallambeliau bersabda,

وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ

Dan Allah akan senantiasa meonolong hamba-Nya ketika hamba-Nya tersebut menolong saudaranya.” (H.R. Muslim no. 2699)

Download Buletin klik disini

Kedahsyatan Berdzikir Kepada Allah

Kedahsyatan Berdzikir Kepada Allah

يَا اَيُهَا اَّلذِيْنَ آمَنُوْ ا اذْكُرُوْا اللهَ ذِكْرًا كَثِيْرًا

“Hai orang-orang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya”. (Q.S. Al-Ahzab [33]: 41)

Ibadah ini termasuk ibadah yang paling mudah, tidak pula memakan waktu banyak serta dapat dilakukan di mana saja dan kapan saja selama akal masih bekerja dengan semestinya, juga tanpa wudhu bahkan dilakukan oleh wanita yang sedang datang bulan sekalipun tidak ada halangan. Ibadah ini sebaiknya dilakukan sesering mungkin dan bukan ketika sempat saja. Mengapa demikian? di sini terlebih dahulu untuk mengetahui apa itu dzikir.

Dzikrullah adalah inti dari setiap ibadah, mulai dari shalat, mencari rezeki, menunaikan haji, hingga jihad fî sabilillâh, semuanya tak lepas dari dari dzikrullâh, dan bahkan suatu ibadah akan menjadi tidak bermakna tanpa dzikrullah. Hebatnya, dzikir tidak hanya diperintahkan dalam ibadah-ibadah yang ringan dan menyenangkna saja. Bahkan dzikir menjadi keharusan saat nyawa dipertaruhkan dalam pertempuran. Allah berfirman, Hai orang-orang yang beriman, jika kalian berhadapan dengan sekelompok musuh maka tegarlah dan banyaklah mengingat Allah, agar kalian beruntung.” (Q.S. al-Anfal [8]: (45).

Cermati firman-firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berbicara tentang dzikir dan kaitannya dengan keseringan melaksanakannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,“Hai orang-orang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang  sebanyak-banyaknya”. (Q.S. Al-Ahzab [33]: 41)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambal berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring.” (Q.S. Al-Imran [3]: 191)

Definisi dzikir

Dzikir berasal dari kata ‘dzakara’ yang bisa bermakna: Menyebut-nyebut (dengan lisan), mengingat, mengenang, merasakan, menghayati (dengan qalbu). Pengertian dzikir sendiri adalah mengingat dan menyebut asma Allah Subhanahu wa Ta’ala, seperti kalimat tasbih, tahlil, istighfar maupun shalawat.

Dzikir dalam pengertian di sini adalah mengingat Allah dapat dilakukan kapan saja dan di mana saja, baik secara lisan maupun di dalam hati. Karena pada hakikatnya, dzikir (ingat) adalah perbuatan hati. Artinya setiap aktivitas seorang hamba jangan sampai melupakan Tuhannya yaitu Allah. Baik dalam setiap hembusan nafas maupun detak jatungnya, karena Allah senantiasa hadir dalam ingatannya.

Sedangkan dzikir dalam arti menyebut nama Allah, biasanya diamalkan secara rutin dan cukup umum dikenal dengan istilah warid. Warid adalah untaian kata-kata dzikir yang ma’tsurat (ada contoh dan tuntunan Rasulullah).

Muhammad Hasbi Ash Shiddiqie, dalam bukunya pedoman dzikir dan doa menjelaskan dzikir adalah menyebut nama Allah dengan membaca tasbih (Subhânallâh), tahlil (Lâ ilâha illallâh), tahmid (Alhamdulillah), taqdis (Quddûsun), takbir (Allahu akbar), haulaqoh (La haula walâ quwwata illa billâh), membaca basamalah (Bismillahirrahmânirrahîm).Membaca al qur-an, berdoa, dan lain-lain.

Mengapa Harus Berdzikir?

Dzikir menempati posisi yang sangat vital dalam proses penghambaan diri seorang hamba kepada sang khaliq. Seperti yang kita ketahui tujuan utama Allah menciptakan manusia adalah tidak lain untuk beribadah dan mengabdi kepada-Nya di antaranya adalah dengan berdzikir. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (Q.S. Adz-Dzariyat [51]: 56)

Imam Nawawi dalam al Adzkar mengatakan bahwa yang paling utama dari aktivitas seorang hamba adalah menyibukkan dirinya dengan berdzikir (ingat) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan dzikir-dzikir yang telah dituntunkan oleh Rasulullah. Di dalam al-Qur’an, Allah tidak pernah menyebutkan suatu ibadah yang secara khusus diperintahkan untuk diperbanyak selain dzikir. Maka, marilah perbanyak dzikir sejak sekarang sebab jika tidak, kamu harus berhati-hati terhadap peringatan Allah l dalam ayat berikut ini.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud untuk riya’ (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut nama Allah, kecuali sedikit sekali.” (Q.S. an-Nisâ’ [4]: 142).

Keutamaan Berdzikir

Sesungguhnya di antara amal shalih utama dan mudah dikerjakan oleh seorang muslim untuk mendekatkan dirinya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah dengan berdzikir. Dzikir yang dilakukan seorang hamba memiliki beberapa keutamaan, yaitu

  1. Allah akan mengingat hambanya.

Allah Ta’ala berfirman, “karena itu, ingatlah kamu kepadaku, niscaya aku ingat (pula) kepadamu.” (Q.S. al- Baqarah [2]: 152).

Menakjubkan bukan! Hanya dengan kita banyak mengingat Allah, Allah pun akan mengingat kita. Adakah kebahagiaan dan keberuntungan yang lebih besar dari pada ketika seorang hamba yang lemah dan fakir diingat oleh Tuhannya yaitu Allah ?

  1. Dengan dzikir maka hati seorang hamba menjadi tenang.

Di dalam ayat yang lain Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan tentang keutamaan berdzikir. Berdzikir dapat menjadikan hati seorang hambanya tenang. Allah Ta’ala berfirman, (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.(QS. ar-Ra’du [13]: 28).

  1. Tercukupi atas segala sesuatunya.

Allah akan mencukupi atas segala sesuatu yang dibutuhkan oleh kita entah itu dalam wujud atau apapun itu yang terkadang tidak kita duga datangnya sesuatu tersebut.

  1. Memperoleh kebaikan berkali lipat.

Seorang muslim  yang senantiasa berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala akan dicatat baginya 10 kebaikan, dihapuskan 10 kesalahan, mendapat pahala layaknya orang yang memerdekakan 10 budak, serta terlindung baginya dari gangguan setan. Sebagaimana dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh an-Nasa’i dari hadits Abu Ayyub al-Abshari a, disebutkan bahwa Rasulullah ` menyebutkan apabila seorang muslim membaca dzikir berikut, “Tidak ada tuhan  yang berhak disembah selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya kerajaan dan segala pujian. Dia-lah yang berkuasa atas segala sesuatu.” (Dibaca 10 kali) (H.R. an-Nasa’i).

  1. Menumbuhkan rasa takut hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga lebih tunduk kepada-Nya.

Orang yang senantiasa berdzikir akan merasakan kehadiran Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam hatinya. Ia menyadari bahwa Allah senantiasa bersamanya, mengawasinya, melindunginya, menaunginya, dengan rahmat-Nya. Dengan demikian, ia tidak akan melakukan hal-hal yang tidak patut.

Adab Berdzikir

Adab merupakan hal penting untuk diperhatikan bagi setiap orang yang ingin melaksanakan dzikir. Oleh karena itu sebelum melakukan dzikir kita harus mengetahui adab atau etika berdzikir terlebih dahulu agar mendapatkan keberkahan dalam berdzikir dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala.  Berikut adab-adab ketika hendak berdzikir:

  1. Dzikir dilakukan dengan penuh khusyu’ dan khidmat.
  2. Hendaknya menggunakan bacaan yang ma’tsur baik ayat ataupun hadits Nabi l.
  3. Tidak dilakukan dengan tergesa-gesa dan cepat.
  4. Sebaiknya dalam keadaan (bersuci) berwudhu
  5. Memulai dengan tahmid, tasbih dan tahlil kemudian shalawat nabi.
  6. Dilakukan dengan suara yang tidak keras dan tidak terlalu pelan.

 

Hidayatul Fajriyah

Mahasiswa Prodi PAI

FIAI UII

Referensi

  1. Abdullah Tsalim, sufyan Baswedin, dkk. 2015 M. “Misteri Kedahsyatan Doa dan Dzikir.” Yogyakarta: Yufid Publishing. h 13.
  2. Cermin Hati. (2015, 07 Maret). Definisi Dzikir. Dikutip 31 Juli 2019, dari https://chcerminhati.wordpress.com/2015/03/07/definisi-dzikir/
  3. Luqman Al Hakim. 2018 M. “Dzikir Qur-ani: Mengingat Allah sesuai fitrah manusia.” Indonesia : Mawahib. h 22.
  4. khalilurrahman al Mahfani. 2006 M. “Keutamaan Berdoa dan Berdzikir: untuk hidup bahagia dan sejahtera.” Jakarta: Wahyu Media. Hal. 30-34.
  5. Ubaidurrahman al-Bulmany. 2009 M. “Rahasia Dzikir yang Mengasyikkan: .” Bandung: Gen Miqat. h 3-6.

 

Mutiara Hikmah

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ

Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (Q.S. Qaaf [50]: 18)

 

Download Buletin klik disini

Belajar Dari Keteguhan Hati Nabi Ibrahim

Belajar Dari Keteguhan Hati Nabi Ibrahim

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘ala rasûlillâh,

Saudaraku yang dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala, mari kita belajar dari keteguhan Nabi Ibrahim n dalam mempertahankan keimanannya dan ketabahannya dalam menjalani kehidupan yang telah Allah tetapkan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan bacakanlah kepada mereka kisah Ibrahim” (Q.S. Ash-Shu’arâ [26]: 69).

Kisah Nabi Ibrahim sangatlah menarik untuk kita pelajari dalam kehidupannya, dia terlahir ditengah-tengah keluarga dan masyarakat yang musyrik. Tapi Nabi Ibrahim dilindungi oleh Allah dengan diteguhkan keimanannya. Beliau tidak menyembah benda-benda langit dan patung sekalipun karena beliau mengikuti kata hatinya.

Telah banyak dijelaskan dalam al-Qur’an mengenai kisah Nabi Ibrahim n, salah satunya ada dalam surat ash-Shaffat dimulai dari ayat 83 dan seterusnya. Kehidupan Nabi Ibrahim yang dikelilingi dengan lingkungan yang musyrik, menjadikan Nabi Ibrahim bertanya-tanya akan tuhan yang kaumnya sembah, kisah Nabi Ibrahim termaktub dalam al-Qur’an,

“(Ingatlah) ketika ia berkata kepada bapaknya dan kaumnya: “Apakah yang kamu sembah itu? Apakah kamu menghendaki sembahan-sembahan selain Allah dengan jalan berbohong? Maka apakah anggapanmu terhadap Tuhan semesta alam?” Lalu ia memandang sekali pandang ke bintang-bintang. Kemudian ia berkata: “Sesungguhnya aku sakit”. Lalu mereka berpaling dari padanya dengan membelakang. Kemudian ia pergi dengan diam-diam kepada berhala-berhala mereka; lalu ia berkata: “Apakah kamu tidak makan? Kenapa kamu tidak menjawab?” Lalu dihadapinya berhala-berhala itu sambil memukulnya dengan tangan kanannya (dengan kuat). Kemudian kaumnya datang kepadanya dengan bergegas. Ibrahim berkata: “Apakah kamu menyembah patung-patung yang kamu pahat itu?” (Q.S. ash-Shaffat [37]: 85-95)

Dari ayat-ayat di atas, dapat dilihat bahwa Nabi Ibrahim n memiliki karakter yang kuat dalam beragama. Berikut pelajaran yang bisa kita ambil faidahnya:

Mempertahankan Keimanannya Terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala

Pada saat itu Nabi Ibrahim n sudah memiliki keraguan akan apa yang telah disembah kaumnya, beliau tetap mengikuti kata hatinya untuk terus menyembah Allah Subhanahu wa Ta’ala.  Menurut Ali bin Abi Thalib meriwayatkan Ibnu Abbas mengenai aqidah dan keyakinan Nabi Ibrahim n yang tertera pada surat ash-Shaffat ayat 83-84 yaitu,

“Dan sesungguhnya Ibrahim benar-benar golongannya Nuh” yang dimaksud adalah bahwa Nabi Ibrahim benar-benar pemeluk agama Nuh yang mengikuti ajaran dan sunnah Nabi Nuh. Lalu pada ayat 84 Ibnu Abbas menjelaskan bahwa tidak ada tuhan yang sebenar-benarnya kecuali Allah l[i].

Pada ayat 85, dari Qatadah ia mengatakan, “Yakni apa dugaan kalian tentang apa yang akan Allah lakukan terhadap kalian, jika kalian bertemu dengan-Nya, sedang kalian telah beribadah kepada selain-Nya bersama-Nya. Sebenarnya Ibrahim mengatakan hal itu kepada kaumnya agar beliau bisa menetap di dalam negeri ketika mereka berangkat ke perayaan mereka, sedangkan Ibrahim lebih senang menyendiri dengan tuhan-tuhan mereka bermaksud untuk menghancurkannya, lalu Ibrahim menyampaikan satu ucapan mengenai kebenaran kepada mereka, namun mereka memahami bahwa Ibrahim sedang sakit. “Lalu mereka berpaling darinya dan membelakang”.

Qatadah mengatakan, “Bangsa Arab menyebut orang yang berfikir sebagai orang yang melihat bintang-bintang” artinya dia melihat ke langit sambil memikirkan apa yang melengahkan mereka. Dan Ibrahim pun berkata “Sesungguhnya aku sakit” yaitu lemah. Dan adapun beliau berbohong hanya 3 kali yaitu mengenai ucapan beliau yaitu sesungguhnya aku sakit, dan mengenai patung-patung mereka dialah yang melakukannya sendiri dan juga ucapannya tentang Sarah yang ia berkata bahwa ia saudara perempuannya.[ii]

Lalu setelah itu Nabi Ibrahim masuk ke tempat berhala mereka yang berisi patung-patung yang mereka sembah, dan beliau menghancurkannya dengan tangan kanannya yang lebih kuat kecuali patung yang paling besar. Setelah itu mereka kembali dan melihat bahwa yang mereka sembah telah hancur. Dicarilah siapa pelakunya dan ditemukannya yaitu Ibrahim, dan dengan tegas Ibrahim mendebat mereka, “apakah kalian memberikan makan mereka? Sedangkan ia tidak makan. lalu apakah kalian menyembah mereka, sedangkan mereka itu yang kalian pahat sendiri, sesungguhnya Allah yang menciptakan kalian dan apa-apa yang kalian sembah”. Setelah itu mereka dengan tegas menyuruh untuk membangun sebuah bangunan dan menaruh Ibrahim di tempat itu lalu membakarnya, namun telah tertera pada surat al-Anbiya bahwa Allah telah menyelamatkannya dari api serta memenangkannya dari mereka[iii].

Setelah Allah l memenangkan Ibrahim dari mereka, lalu Ibrahim pergi meninggalkan mereka dan memohon untuk diberikan keturunan sebagai pengganti yang telah ditinggalkan. Setelah penantian yang panjang Allah l mengabulkan doanya.

Ikhlas, Tabah dan Berserah Diri Kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala

Selain itu Nabi Ibrahim digambarkan sebagai seorang yang selalu berserah diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, beliau pergi meninggalkan negerinya dan beliau meminta untuk diberikan anak yang shalih, penantian panjang beliau untuk memiliki keturunan Allah kabulkan yaitu lahirlah Nabi Ismail, namun tidak lama Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan Nabi Ibrahim n untuk meninggalkan istri dan anaknya di sebuah lembah yang tidak ada makanan, minuman dan orang sekalipun. Namun beliau menyerahkan segalanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Nabi Ibrahim meninggalkan isteri dan anaknya sambil berdoa, “Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. Ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” (QS. Ibrahim [14]: 37)[iv]

Setelah Nabi Ismail beranjak remaja dan dewasa serta berusaha untuk terus bersama-sama dengan ayahnya, Nabi Ibrahim pun bermimpi bahwa beliau menyembelih anaknya Ismail dan itu merupakan perintah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, lalu belaiu menceritakannya kepada Ismail dan meminta pendapatnya. Ismail pun menjawab untuk mengikuti perintah Allah dan taat kepada-Nya, Ismail bersedia untuk disembelih karena ketaatannya yang kuat terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kesabarannya. Kemudian Nabi Ibrahim membaringkan Ismail dan menempatkan pisau pada tengkuknya sambil memejamkan mata, untuk meringankan dan Allah menebusnya dengan seekor domba dari surga atas ketaatan mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.[v]

Dari kisah ini tentu pantas bagi beliau diberi gelar Ulul Azmi dimana beliau termasuk orang-orang yang kuat, sabar terhadap ujian yang diberikan Allah baik melalui kaumnya sendiri maupun keluarganya. Beliau tetap istiqomah untuk taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sekalipun untuk mengorbankan anaknya, walau dari segi manusiawi hati kecil beliau merasa sedih, namun beliau percaya akan segala kekuasaan Allah dan kehendaknya.

Dari keyakinan dan ketaatannya terhadap perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala, Nabi Ibrahim berhasil menularkannya kepada Nabi Ismail n, yang tidak menolak akan perintah Allah melalui ayahnya untuk menyembelih dirinya. Ketabahan dan ketakwaan Nabi Ibrahim telah memberikan banyak pembelajaran bagi umat Islam, bahwa keimanan seseorang dan ketakwaannya dapat terlihat dari seberapa tabah dan ikhlas ia menghadapi ujian kehidupannya.

Kebanyak seseorang yang melemah imannya, ketika ia dihadapkan dengan sesuatu yang sulit lalu ia pergi meninggalkan agamanya, hal itu sangat berbanding terbalik dengan ajaran Islam. Nabi Ibrahim n yang berada ditengah-tengah masyarakat yang musyrik beliau mampu meneguhkan hatinya untuk terus beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, beliau tabah, sabar dan ikhlas ketika penantian panjangnya menuggu Nabi Ismail lahir setelah lahir namun Allah mengujinya dengan menjauhkannya dari Ismail dan dibiarkannya tinggal bersama ibunya di tengah gurun pasir dan tidak ada sumber makanan apapun, setelah Ismail kembali dan beranjak remaja Nabi Ibrahim diuji kembali dengan harus menyembelih darah dagingnya yaitu Ismail. Maka betapa tabah dan ikhlasnya hati beliau.

Ujian yang didapatkan setiap manusia berbeda-beda, namun Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikannya sesuai kemampuan hamba-Nya, maka seberapa besar ujian kita dalam hidup,  kita bisa belajar dari kisah para nabi untuk belajar tegar dan ikhlas tanpa menjauh dari Sang Khaliq. Wa Allâhu a’lam bi ash shawâb.[]

 

Lia Ananda Haenida

Pendidikan Agama Islam UII

Refrensi

[i] Tafsir Ibnu Katsir. 2004 M. Penerjemah Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ishaq. Muassasah Daar al-Hilâh Kairo. hal. 22

[ii] Ibid. hal. 22-24

[iii]  Ibid. hal. 25

[iv] https://kisahmuslim.com/2575-kisah-nabi-ibrahim-alaihissalam-bag-4-selesai.html

[v] Tafsir Ibnu Katsir. 2004 M., hal. 27).

 

Mutiara Hikmah

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ

Jika kamu mempersekutukan (Rabbmu), niscaya akan hapuslah amalmu.” (Q.S. az-Zumar [39]: 65)

Download Buletin klik disini