MEMBANTU PERJUANGAN PALESTINA DARI JAUH

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘ala rasulillâhﷺ,

Saudaraku kaum muslimin yang dirahmati Allahﷻ, kita ketahui bersama bahwa tanah al-Quds atau juga disebut Baitul Maqdis (Masjidil Aqsha) adalah tanah yang diwariskan Allahﷻ kepada seluruh kaum muslimin. Ia adalah kota dan tanah kelahiran para anbiyâ. Bahkan 2/3 dalam al-Qur’an banyak mengisahkan tentang Baitul Maqdis.

Al-Qur`an dalam banyak ayatnya menggambarkan Baitul Maqdis dan Masjidnya dengan barakah, yaitu berupa kebaikan-kebaikan yang selalu bertambah. Allahﷻ berfirman,  “Maha suci Allahﷻ yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami barakahi sekelilingnya.” (Q.S al-Isrâ`[17]: 1).

Beberapa diantaranya alasan mengapa umat Islam wajib membela Baitul Maqdis

Pertama, Baitul Maqdis merupakan kiblat pertama umat Islam. Baitul Maqdis (Masjidil Aqsha) dan Masjidil Haram memiliki hubungan dalam hal sebagai kiblat beribadah bagi kaum muslimin, yaitu dalam hal arah ibadah dalam shalat.

Kedua, Baitul Maqdis merupakan masjid kedua yang dibangun di muka bumi setelah masjid Nabawi.

Ketiga, menjadi tempat paling bersejarah bagi umat Islam mengenai peristiwa Isra’-Mi’raj.

Keempat, Baitul Maqdis merupakan tanah yang penuh dengan keberkahan.

Kelima, Tempat manusia akan dibangkitkan. Dalam sebuah hadits, “Maimunah binti Sa’ad, bertanya kepada Rasulullahﷺ tentang Baitul Maqdis. Nabiﷺ menjawab bahwa Baitul Maqdis adalah tempat manusia dibangkitkan (mansyar) dan manusia dikumpulkan (mahsyar).” (Didhoifkan oleh Syaikh Albani)[1]

Akhir abad ke-19 menjadi awal mula terjadinya konflik antara Israel dan Palestina. Dalam sebuah deklarasi, yaitu deklarasi Balfour, Dijanjikan kepada kaum Yahudi untuk mendirikan tanah air di Palestina. Tahun demi tahun Zionis Israel menggencarkan serangannya kepada warga Palestina. Tidak memandang usia dan kelamin, ibu dan anak-anak pun menjadi korban kebiadaban mereka. Fasilitas-fasilitas kesehatan dan peribadatan, Masjid, Gereja, juga rumah sakit tidak segan mereka hancurkan.

Berita terbaru, terhitung sejak 10 Mei 2021 kembali terjadi bentrok antara polisi Israel dengan warga Palestina. Bentrok yang terjadi antara kedua belah pihak menjadi awal mula pertempuran 11 hari antara Israel dan Hamas.[2] Saudara-saudara Muslim kembali harus mengepalkan tangan, mengencangkan sabuk, menggelegarkan semangat takbir, dan menggempurkan roket-roket sebagai pembalasan kebiadaban penjajah Zionis Israel yang kembali berulah mengganggu kekhusyuan ibadah umat Islam di Masjid al-Aqsa ditengah bulan suci Ramadhan.

Korban-korban pun kembali berjatuhan, info terakhir dari salah satu media berita pertempuran selama 11 hari menewaskan 248 jiwa termasuk 66 anak-anak.[3] Sebagai saudara seiman yang berada jauh dari tanah perjuangan Baitul Maqdis, jarak tidak boleh menjadikan semangat kita surut untuk tidak turut berkontribusi membantu perjuangan para saudara Muslim yang sedang berjuang di Palestina. Adapun beberapa bentuk kontribusi yang lain yang bisa kita lakukan meski berada jauh dari tanah perjuangan Palestina, diantaranya:

 

  1. Membantu perjuangan saudara Muslim Palestina dengan doa,

Dalam sebuah hadits Rasulullahﷺ bersabda, “Tidak ada seorang muslim pun yang mendoakan kebaikan bagi saudaranya (sesama muslim) tanpa sepengetahuannya, melainkan malaikat akan berkata, ‘dan bagimu juga kebaikan yang sama.” (H.R. Muslim).

Selain itu juga dikatakan dalam sebuah riwayat yang disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, beliau berkata, “Mendoakan saudaranya tanpa sepengetahuannya menunjukkan jujurnya keimanan seseorang. Hal ini karena Nabiﷺ bersabda, ‘Tidaklah sempurna keimanan kalian sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (Syarh Riyadhus Shalihin, 6: 54).

 

  1. Mendukung perjuangan saudara Muslim Palestina melalui media massa,

Media massa diantaranya yaitu media-media sosial seperti Instagram, Twitter, Facebook, bahkan Tiktok menjadi aplikasi-aplikasi yang paling mudah dan efektif untuk menyebarkan berbagai jenis pemberitaan. Bahkan, berita-berita bohong pun sangat mudah tersebar hanya dengan bantuan media sosial. Oleh karena itu, kita sebagai umat Islam yang mengetahui fakta dan kebenaran apa yang terjadi di Baitul Maqdis dan jauh dari jauh dari tanah perjuangan Baitul Maqdis hendaklah turut memanfaatkan media sosial yang ada untuk menyebarkan kebenaran tersebut, seperti Siapa itu Zionis Israel, kenapa umat Islam harus membela Baitul Maqdis, persitiwa besar apa saja yang terjadi di BaituL Maqdis, dsb.dengan begitu kita semua berharap akan lebih banyak masyarakat diluar sana yang mengerti dan faham tentang kebenaran mengenai tanah Baitul Maqdis.

 

  1. Memberikan donasi terbaik untuk saudara Muslim Palestina,

Memberikan donasi terbaik yang kita punya bukan berarti donasi dengan jumlah yang besar dan mahal melainkan donasi terbaik adalah donasi yang menurut diri kita donasi tersebut adalah donasi terbaik yang bisa kita berikan kepada saudara kita yang sedang berjuang di Palestina.

Allahﷻ menjanjikan banyak hal kepada hamba-hamba-Nya yang mau menginfakkan hartanya untuk saudaranya di jalan Allahﷻ salah satu diantaranya, Allahﷻ akan melipat gandakan balasan dari infaq yang ia berikan kepada saudaranya. Sebagaimana firman Allahﷻ yang berbunyi “Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allahﷻ seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allahﷻ melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allahﷻ Mahaluas, Maha Mengetahui” (Q.S. al-Baqarah [2]: 261)

Baitul Maqdis bukan hanya tanggung jawab umat muslim Palestina saja, tetapi ia menjadi tanggung jawab bersama seluruh umat muslim diseluruh dunia. Sebab ia adalah tanah warisan dari Allahﷻ untuk seluruh umat Islam. Oleh karena itu, wahai saudara seiman, tidak ada lagi alasan untuk menunda-nunda kebaikan dalam hal membantu perjuangan saudara muslim kita di Palestina. Dalam sebuah kutipan ayat Allahﷻ telah memerintahkan untuk berlomba-lomba dalam kebaikan “Fastabiqul Khairaat” maka marilah kita saling berlomba untuk meraih setiap keutamaan yang Allahﷻ janjikan kepada seluruh hamba-Nya tanpa terkecuali. Wallâhu’alam bish shawâb.

 

 

 

[1] Suara Muhammadiyyah. 11 Keutamaan Maqdis. https://suaramuhammadiyah.id/2021/01/13/11-keutamaan-baitul-maqdis/ (dikutip pada tanggal 2 Mei 2021)

[2] BBC.com. https://www.bbc.com/indonesia/dunia-57195416 (dikutip pada tanggal 02 Juni 2021)

[3] BBC.com. https://www.bbc.com/indonesia/dunia-57195416 (dikutip pada tanggal 02 Juni 2021)

 

Penyusun:

Wafa Amatullah, S.Ars.

Alumni Arsitektur UII 2015

 

 

 

Mutiara Hikmah

 

Ibnu ‘Umar h, Nabi n bersabda,

وَمَنْ كَانَ فِى حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللَّهُ فِى حَاجَتِهِ

Siapa yang biasa membantu hajat saudaranya, maka Allah akan senantiasa menolongnya dalam hajatnya.”

(H.R. Bukhari no. 6951 dan Muslim no. 2580).

Download Buletin klik disini

 

Amalan Amalan di Akhir Ramadhan

Bismillâh walhamdulillâh washalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Tidak seperti sebagian orang yang terlalu sibuk memikirkan hari raya, mudik dan baju lebaran, Rasulullâh ﷺ malah lebih giat lagi untuk beribadah di akhir-akhir bulan Ramadhan. Bahkan beliau sampai bersengaja meninggalkan istri-istrinya demi konsentrasi dalam ibadah. Beliau lebih semangat beramal di akhir-akhir Ramadhan. Ada dua alasan kenapa bisa demikian. Pertama, karena setiap amalan dinilai dari akhirnya. Kedua, supaya mendapati lailatul qadar. Simak selengkapnya disini dan juga alasan semangat ibadah kala itu yaitu untuk menggapai lailatul qadar.

Kita sebentar lagi akan menjelang akhir-akhir Ramadhan. Apa saja amalan yang mesti kita lakukan? Ada beberapa amalan yang bisa kita fokus untuk melakukannya di akhir-akhir Ramadhan nanti.

 

Pertama, Lebih serius lagi dalam ibadah di akhir Ramadhan 

Lihatlah keseriusan Rasulullah ﷺ,“Rasulullah ﷺ sangat bersungguh-sungguh pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan melebihi kesungguhan beliau di waktu yang lainnya.” (H.R. Muslim, no. 1175)

Dikatakan oleh istri tercinta beliau, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Apabila Nabi ﷺ memasuki sepuluh hari terakhir (bulan Ramadhan), beliau mengencangkan sarungnya (untuk menjauhi para istri beliau dari berjima’), menghidupkan malam-malam tersebut dan membangunkan keluarganya.” (H.R. Bukhari, no. 2024; Muslim, no. 1174).

 

Kedua, Melakukan I’tikaf

I’tikaf maksudnya adalah berdiam di masjid beberapa waktu untuk lebih konsen melakukan ibadah. Lihatlah contoh Nabi kita Muhammad ﷺ, dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwasanya Nabi ﷺ biasa beri’tikaf di sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan hingga beliau diwafatkan oleh Allah. Lalu istri-istri beliau beri’tikaf setelah beliau wafat. (H.R. Bukhari, no. 2026; Muslim, no. 1172).

Hikmah beliau seperti itu disebutkan dalam hadits Abu Sa’id Al-Khudri berikut di mana Nabi ﷺ mengatakan, “Aku pernah melakukan i’tikaf pada sepuluh hari Ramadhan yang pertama. Aku berkeinginan mencari malam lailatul qadar pada malam tersebut. Kemudian aku beri’tikaf di pertengahan bulan, aku datang dan ada yang mengatakan padaku bahwa lailatul qadar itu di sepuluh hari yang terakhir. Siapa saja yang ingin beri’tikaf di antara kalian, maka beri’tikaflah.”Lalu di antara para sahabat ada yang beri’tikaf bersama beliau. (H.R. Bukhari, no. 2018; Muslim, no. 1167).

Jadi, beliau  melakukan i’tikaf supaya mudah mendapatkan malam lailatul qadar.

Lalu berapa lama waktu i’tikaf? al-Mardawi rahimahullah mengatakan, “Waktu minimal dikatakan i’tikaf pada i’tikaf yang sunnah atau i’tikaf yang mutlak adalah selama disebut berdiam di masjid (walaupun hanya sesaat).” (al-Inshaf, [6]: 17)

Karena Allah hanyalah menetapkan, “Sedang kamu beri’tikaf dalam masjid.” (QS. Al Baqarah [2]: 187).  Ibnu Hazm berkata, “Allah Ta’ala tidak mengkhususkan jangka waktu tertentu untuk beri’tikaf (dalam ayat ini). Dan Rabbmu tidaklah mungkin lupa.” (Lihat Al-Muhalla, 5: 180). Berarti beri’tikaf di siang atau malam hari dibolehkan walau hanya sesaat.

 

Ketiga, Qiyamul Lail 

Di antara amalan yang istimewa di 10 hari terakhir Ramadhan adalah bersungguh-sungguh dalam shalat malam, memperlama shalat dengan memperpanjang berdiri, ruku’, dan sujud. Demikian pula memperbanyak bacaan  al-Quran dan membangunkan keluarga dan anak-anak untuk bergabung melaksanakan shalat malam.

Rasulullah ﷺ bersabda, “Barangsiapa yang berdiri (untuk mengerjakan shalat) pada lailatul qadr karena keimanan dan hal mengharap pahala, akan diampuni untuknya segala dosanya yang telah berlalu.” (H.R. al-Bukhari no. 1901)

 

Keempat, Raih Lailatul Qadr

Lailatul Qadar itu terjadi pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan sebagaimana sabda Nabi ﷺ, “Carilah lailatul qadar pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan.” (H.R. Bukhari no. 2020 dan Muslim no. 1169)

Terjadinya lailatul qadar di malam-malam ganjil lebih memungkinkan daripada malam-malam genap, sebagaimana sabda Nabi ﷺ, “Carilah lailatul qadar di malam ganjil dari sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari no. 2017)

 

Pencuri di Akhir Ramadhan

Selain itu penulis juga mewanti-wanti para muslimah untuk mewaspadai Pencuri Ramadhan yang seringkali muncul di akhir Ramadhan. Diantara kegiatan yang semestinya diwaspadai oleh para muslimah adalah sebagai berikut:

  1. Sibuk Memasak di Dapur Menjelang lebaran

Umumnya wanita banyak pergi ke pasar dan berkutat di dapur untuk membuat kue dan menyiapkan hidangan untuk lebaran. Hal ini menyebabkan mereka lalai dari beribadah. Hendaknya seorang muslimah menyadari keistimewaan 10 hari terakhir Ramadhan sehingga ia tidak menghabiskan banyak waktu di pasar dan di dapur.

  1. Mengejar Diskon Lebaran Menjelang lebaran

Banyak toko, dan mall yang menawarkan potongan harga besar-besaran. Hal ini mendorong mayoritas kaum muslimin untuk berbondong-bondong belanja baju lebaran. Akibatnya, toko dan mall menjadi sangat ramai sebaliknya masjid menjadi sangat sepi. Sangat disayangkan ketika kaum muslimin lebih tergiur dengan diskon lebaran dibandingkan diskon pahala. Muslimah yang berakal tentu akan memilih untuk meraup pahala Ramadhan sehingga ia tidak akan sibuk memikirkan baju lebaran.

  1. Menghabiskan Waktu di Jalan

Di antara tradisi menjelang lebaran adalah mudik ke kampung halaman. Hendaknya seorang muslimah memilih waktu yang tepat dan transportasi yang efisien sehingga dapat menghemat waktu dan tidak berlama-lama di perjalanan. Hal ini sangat penting untuk dilakukan agar seorang muslimah tetap dapat beribadah secara maksimal di 10 hari terakhir bulan Ramadhan sekaligus dapat menyambung tali silaturahim dengan keluarga.

Semoga Allah ﷻ memberikan kita taufik dan memudahkan kita bersemangat untuk menghidupkan hari-hari terakhir bulan Ramadhan dengan ibadah, shalat malam dan menerima amal ibadah yang kita lakukan. Âmîn.

 

Penyusun:

Ardimas

Teknik Elektro 2019

 

Marâji’:

[1] https://muslim.or.id/17637-kajian-ramadhan-16-sepuluh-hari-terakhir-ramadhan.html

[2] https://muslimah.or.id/10267-muslimah-menyambut-10-hari-terakhir-ramadhan.html

[3]https://rumaysho.com/3502-lebih-semangat-ibadah-di-sepuluh-hari-terakhir-ramadhan.html

 

Mutiara Hikmah

 

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda,

لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الأَكْلِ وَالشَّرَبِ ، إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ ، فَإِنْ سَابَّكَ أَحَدٌ أَوْ جَهُلَ عَلَيْكَ فَلْتَقُلْ : إِنِّي صَائِمٌ ، إِنِّي صَائِمٌ

“Puasa bukanlah hanya menahan makan dan minum saja. Akan tetapi, puasa adalah dengan menahan diri dari perkataan lagwu dan rofats. Apabila ada seseorang yang mencelamu atau berbuat usil padamu, katakanlah padanya, “Aku sedang puasa, aku sedang puasa”.

(H.R. Ibnu Majah dan Hakim. Syaikh Al Albani dalam Shohih At Targib wa At Tarhib no. 1082 mengatakan bahwa hadits ini shahih)

 

Download Buletin klik disini

Tidak Ada Paksaan Dalam Agama

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Pembaca budiman yang senantiasa dirahmati oleh Allah ﷻ, disebutkan dalam surat al-Baqarah ayat 256 Allahberfirman, “Tidak ada paksaan dalam memeluk agama. Sungguh telah jelas antara kebenaran dan kesesatan.(Q.S al-Baqarah[2]: 256)

Sebagian orang salah kaprah dalam menafsirkan ayat diatas sehingga berkesimpulan bahwa semua agama benar, dan Islam bukanlah satu-satunya agama yang benar hingga bermunculanlah istilah plularisme yang berpandangan bahwa semua agama adalah benar. Pandangan ini kian marak sehingga berbahaya jika ini merasuki jiwa kaum muslim.

Islam sebagai agama yang telah mengajarkan kepada ummatnya agar mengembalikan setiap permasalahan kepada ahlinya. Allah ﷻ  berfirman, “Bertanyalah kepada ahli ilmu jika engkau tidak tahu” (Q.S an-Nahl [16]: 43). Konsep tersebut tentu disetujui oleh banyak orang seperti halnya menanyakan obat suatu penyakit kepada dokter dan bukan kepada ahli matematika atau seorang teknisi lapangan.

Oleh karena itu marilah kita mencari hakikat makna surat al-Baqarah ayat 256 menurut para ahli tafsir. Seorang imam ahli tafsir yang terkemuka, Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya menjelaskan, “Para ulama berbeda pendapat tentang makna ayat ini dalam 6 pendapat:

  1. Ayat ini mansukh (dihapus) karena Nabi Muhammad ﷺ telah memaksa orang Arab untuk masuk Islam dan memerangi mereka.
  2. Ayat ini tidak mansukh (tidak dihapus), namun ayat ini ditujukan bagi ahli kitab saja.
  3. Berdasarkan yang diriwayatkan Abu Daud dari Ibnu Abbas, beliau berkata, “Ayat ini diturunkan kepada kaum Anshar. Ketika itu ada seorang wanita selama hidupnya tidak memiliki anak. Ia berjanji pada dirinya, jika ia memiliki anak, anak tersebut akan dijadikan beragama Yahudi. Sampai suatu ketika datanglah Bani Nadhir yang juga membawa beberapa anak dari kaum Anshar bersama mereka. Kaum Anshar berkata, “Kemudian terjadilah apa yang telah terjadi. Ketika itu kami (kaum Anshar) memandang agama yang mereka bawa (Yahudi) lebih baik. Namun ketika kami masuk Islam, kami ingin memaksa anak-anak kami”. Kemudian turunlah ayat ini. Ini adalah pendapat Sa’id bin Jubair, Asy Sya’bi dan Mujahid.
  4. As Sudiy berkata, “Ayat ini turun kepada seorang lelaki kaum Anshar yang bernama Abul Husain yang memiliki dua orang anak. Ketika itu datang para pedagang dari Syam yang membawa biji-bijian. Ketika mereka hendak pergi dari Madinah, mereka mengajak dua anak Abul Husain untuk memeluk agama Nashrani. Mereka berdua pun akhirnya menjadi Nashrani dan ikut para pedagang tersebut ke Syam. Maka Abul Husain pun datang kepada Rasulullah ﷺ sambil menangis dan memohon kepada Rasulullah ﷺ agar mengutus seseorang untuk mengambil mereka berdua. Lalu turunlah ayat ini.”
  5. Makna ayat ini, “Orang yang masuk Islam karena kalah perang tidak boleh mengatakan bahwa ia dipaksa masuk Islam”
  6. Ayat ini turun bagi tawanan yang berasal dari golongan ahli kitab yang sudah tua. Karena tawanan yang berasal dari golongan Majusi dan penyembah berhala, semua dipaksa masuk Islam baik yang tua maupun yang muda. Ini pendapat Asyhab.”

Pembaca budiman yang senantiasa dirahmati oleh Allah ﷻ,  toleransi biasanya hadir dalam kebebasan beragama. Bebas berarti merdeka, tidak terikat, tidak terpaksa dan dapat melakukan keinginannya. Sedangkan beragama adalah memeluk agama atau keyakinan tertentu. Dari pengertian ini, maka kebebasan beragama dapat diartikan sebagai suatu sikap yang tidak terikat atau merdeka untuk memeluk suatu agama atau keyakinan yang diinginkan. Hal ini tentu juga sesuai dengan ayat di atas yang menegaskan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama khususnya untuk memeluk agama Islam. Akan tetapi bukan berarti bermakna bahwa semua agama adalah benar.

Ibnu Katsir menyatakan, “Tidak ada yang dipaksa untuk memeluk agama Islam karena telah jelas dan tegas tanda dan bukti kebenaran Islam sehingga tidak perlu lagi memaksa seseorang untuk memeluk agama Islam. Orang yang diberi hidayah oleh Allah ﷻ untuk menerima Islam, lapang dadanya dan dicerahkan pandangannya sehinga ia memeluk Islam dengan alasan yang pasti. Namun orang yang hatinya dibutakan oleh Allah ﷻ dan ditutup hati serta pandangannya, tidak ada manfaatnya memaksa mereka untuk masuk islam” (Tafsir Ibnu Katsir.)

Dalam hadits yang diriwayatkan dalam Sunan Abi Daud kitab al-Jihad bab al-Asir Yukrahu ‘ala al-Islam menerangkan bahwa setiap pemeluk agama memiliki hak yang sama untuk memeluk dan melaksanakan ajaran agamanya masing-masing tanpa ada tekanan dan paksaan dari manapun. Hadist di atas memberi penjelasan kepada umat Muslim untuk menghargai dan menghormati setiap pemeluk agama meskipun berbeda. Hubungan antara sesama manusia (habl min al-nas) tidak dipandang dar perbedaan agama.

Lalu apa pandangan dari kaum yang memandang semua agama benar dan apa kata mereka. Menurut mereka semua agama itu benar asalkan berserah diri kepada Tuhan, tidak melukai hati sesama manusia, saling menghormati dan tidak fanatik. Hal ini terdengar sangat terpuji dan menyentuh relung hati, akan tetapi hal ini adalah jebakan. Sebagai mana sabda Rasulullah ﷺ, “Islam itu engkau bersaksi bahwa sesungguhnya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan sesungguhnya Muhammad itu utusan Allah ﷻ, engkau mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan dan mengerjakan ibadah haji ke Baitullah jika engkau mampu melakukannya” (H.R. Muslim no.8).

Kelemahan dari pandangan pluralis adalah tidak bisa mendefinisikan Tuhan sesembahannya itu siapa sebagaimana yang kita tahu bahwa Islam menganut tuhan tunggal yaitu Allah ﷻ, di agama Nashrani mengenal 3 tuhan, dan tentu di agama lain dengan tuhan yang berbeda yang mana jelas tuhan-tuhan itu berbeda di setiap agama. Dari segi peribadatan juga berbeda, kaum yang percaya bahwa disuatu tempat terdapat tuhan tertentu akan membakar dupa dan membaca beberapa kalimat mantra sedangkan di agama Nashrani peribadatannya dilaksanakan di hari minggu dan agama Islam sendiri melaksanakan ibadah sebanyak lima kali dalam sehari sehingga terdapat karakteristik berbeda dari perbedaan agama.

Allah ﷻ berfirman, “Agama yang diridhai oleh Allah adalah Islam”(Q.S. Ali Imran [3]: 19).  Allah ﷻ juga berfirman, “Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi”(Q.S Ali Imran [3] : 85).

Maka sudah jelaslah dari beberapa ayat al-Qur’an yang menjelaskan bahwa hanya agama Islamlah yang diridhai oleh Allah ﷻ. Islam adalah agama yang tidak memaksa orang lain untuk masuk dalam agama Islam. Akan tetapi untuk menyerukan kebenaran, agama yang haq, untuk mengakui bahwa pencipta langit, bumi dan isinya adalah Allah ﷻ, sehingga dengan keimanan yang kuat akan terbentuk akhlak karimah karena takwa kepada Allah ﷻ semata, sesuai dengan hadits Nabi ﷺ, “Aku tidak diutus, kecuali untuk menyempurnakan akhlak mulia”.

Kesimpulannya adalah jelas bahwa tidak memaksa orang kafir untuk memeluk Islam bukan berarti ridha terhadap kekafiran mereka, bukan membenarkan semua agama yang ada, dan bukan menghilangkan status ‘kafir’ dari diri mereka. Wallahu a’lam bisshawâb

Marâji’

Mulyosudarmo, S. (1999). Kebebasan Beragama dalam perspektif HAM, dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (Ed.)

Supriatna, E. (2019). Islam dan Kebudayaan (Tinjauan Penetrasi Budaya antara Ajaran Islam dan Budaya Lokal/Daerah). Jurnal Soshum Insentif, 2(2), hal.282-287

https://muslim.or.id/1851-tafsir-ayat-laa-ikraha-fiddiin.html

https://konsultasisyariah.com/34449-makna-ayat-laa-ikraaha-fid-diin-tidak-ada-paksaan-masuk-agama-islam.html

Penyusun:

Fatkhur Rohman Khakiki

Teknik Kimia

Fakultas Teknologi Industri UII

Mutiara Hikmah

Imam Syafi’i v berkata,

لَيْسَ العِلْمُ مَا حُفِظَ ، إِنَّمَا العِلْمُ مَا نَفَعَ

Ilmu bukanlah apa yang dihafaal, akan tetapi yang bermanfaat

Download Buletin klik disini

Khauf atau Raja’

Bismillâhi walhamdulillâh wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Setiap orang yang hidup di dunia tak dapat lepas dari segala rasa yang berkecamuk di dalam hatinya. Rasa bahagia, gembira, susah, senang, takut, khawatir, berani, berharap, dan semua rasa yang bersemayam dalam hati manusia yang hidup dan tinggal di dunia. Segala macam rasa tersebut dapat dengan seketika mengubah hidup manusia karena rasa tersebut dapat tetiba menggairahkan kehidupan dan begitu sebaliknya dapat menghancurkan kehidupan.

Bagaimana kita menyikapi rasa tersebut adalah bagian dari pilihan hidup kita. Layaknya kaum milenial yang memilih belajar di tanah rantau yang jauh dari keluarga atau tetap tinggal di kotanya dan dengan ilmu dan pengalaman yang hanya ada di kotanya saja. Antara berharap akan banyak ilmu yang dituai karena belajar di kota atau takut dengan segala apa yang akan terjadi ketika meninggalkan tempat tinggal dan tetap merantau tanpa ada sanak saudara satu pun. Berkecamuk menentukan pilihan adalah hal yang wajar, namun berlarut di antara dua rasa yaitu rasa takut dan rasa harap adalah kesia-sian, Lalu mana yang lebih dahulu, takut atau berharap?

Takut (khauf) dan harapan (raja’) adalah dua hal yang berkebalikan dalam konotasi. Takut berkonotasi negatif dan harapan berkonotasi positif. Meski berkebalikan dalam konotasi, bukan berarti berkonotasi positif itu lebih baik dan yang berkonotasi negatif tidak dapat lebih baik. Ibarat orang yang sedang lapar pasti tidak membutuhkan air, dan orang yang sedang haus tidak membutuhkan roti.

Sama halnya kaum milenial yang sedang menentukan pilihan, antara melanjutkan pendidikan di tanah rantau atau tetap di kotanya. Jika yang lebih dibutuhkan adalah ilmu kedokteran dan di kotanya tidak ada tempat untuk mencari ilmu tersebut, maka kota rantau dapat menjadi solusi yang tepat. Berbeda halnya jika ternyata orang tuanya tinggal sendiri dan tak mau ditinggalkan karena takut hidup sendiri, maka tetap menetap dan menuntut ilmu di kotanya bisa jadi adalah solusi yang tepat. Takut meninggalkan orang tua dan harapan dapat mencari ilmu kedokteran di kota rantau adalah dua sisi yang berbeda, namun sama-sama solusi untuk mengobati. Mengobati hati yang bimbang antara dua pilihan dan dua konsekuensi kehidupan. Meski milenial yang meninggalkan kota rantau tak ada jaminan terhindar dari rasa takut dan yang tetap tinggal terhindar dari rasa harap. Takut akan kehidupan rantau yang tak dapat diprediksi karena belum dijalani dan yang tetap tinggal tak ada jaminan mimiliki harapan akan pengalaman hidup sebanyak yang tinggal di kota rantau.

Dapat ditarik kesimpulan, bahwa takut dan harapan adalah saling berbarengan dan mustahil dipisahkan antara yang satu dari yang lainnya. Seperti dalam firman Allah ﷻ, “Mengapa kamu tidak berharap (takut) akan kebesaran Allah. (Q.S. Nuh [71]: 13). Dalam ayat tersebut kata “harap” berarti takut, beberapa dalam al-Qur’an ketika menyebutkan harapan tetapi maknanya adalah takut. Ini membuktikan bahwa takut dan harapan adalah bergan dengan. Maka jelas tak ada yang lebih diutamakan atau didahulukan antara takut dan harapan. Keduanya bergandengan tak dapat dipisahkan, keduanya berpotensi membuat manusia menangis, menangis karena hati merasa sangat takut atau menangis karena hati sangat berharap.

Dari kalimat tersebut, maka dapat dikatakan bahwa semua yang berkaitan dengan menangis adalah karena takut pada sesuatu adalah bukti kita sangat berharap akan sesuatu, karena menangis adalah buah dari harapan. Sama halnya kita menangis karena sangat takut akan harapan kita tidak Allah kabulkan, maka artinya kita sangat berharap sesuatu tersebut akan Allah kabulkan dan terjadi sesuai dengan kehendak kita (manusia).

Terlepas dari mana yang lebih diutamakan atara takut dan harapan.Dalam Islam takut (khauf) adalah mendorong untuk beramal, mengeruhkan syahwat-syahwat, mengingatkan hati dari bersandar pada dunia, mengajaknya untuk menjauh dari dunia yang penuh dengan tipuan. Inilah takut yang terpuji bukan takut karena nafsu dunia, dan bukan pula putus asa yang menyebabkan hilangnya harapan.Takut berbeda dengan putus asa, takut adalah penuh harap sedangkan putus asa adalah tak ada harap. Maka seseorang yang takut adalah orang yang senantiasa semangat untuk mewujudkan harapan, sedangkan orang yang putus asa adalah orang yang sudah pasrah dengan ketidakberdayaan diri dan memutus semangat akan mewujudkan harapan agar dapat terwujud.

Harapan (raja’) dan cinta, seseorang yang memiliki harapan akan melakukan semua hal yang dapat mewujudkan harapannya dengan cinta. Jika harapanmu tak ingin disebut harapan kosong maka harapanmu harus dibarengi dengan cinta. Harapan yang dilakukan dengan cinta akan menumbuhkan semangat mewujudkan. Dapat dikatakan, jika kita memiliki harapan, maka kita terhindar dari sikap shu’udzon (prasangka buruk), namun senantiasa terjaga dalam husnudzon (prasangka baik).

Berharap Allah ﷻ akan mengabulkan semua yang menjadi keinginan hati adalah bentuk husnudzon kita pada Allah ﷻ, hingga ada sebuah kisah dari Ahmad bin Hanbal yang berkata kepada anaknya ketika beliau menghadapi kematian “sebutkanlah untukku berita-berita tentang harapan dan husnudzon.” Maksud dari perkataan Ahmad bin Hanbal adalah agar Allah ﷻ lebih dicintai dari pada dirinya sendiri. Ketika kita memiliki harapan adalah bukan karena harapan dunia semata, namun harapan-harapan kita tertuju pada Allah ﷻ juga, karena harapan menimbulkan ketenangan hati dalam menanti apa yang ia senangi dan sukai. Akan tetapi apa yang disenangi atau disukai harus mempunyai sebab, sebab karena Allah ﷻ. Maka dapat dikatakan harapan ini baik, namun jika harapan kita disertai dengan kerusakan, maka harapan kita adalah bentuk kedunguan dan ketertipuan.

Dunia adalah tempat singgah, maka jangan sampai kita tertipu dengan dunia yang sementara. Allah ﷻ berfirman, “Kehidupan dunia adalah kesenangan yang menipu” (Q.S. Ali Imran [3] : 185). Dunia adalah kesenangan yang menipu, berlomba-lomba dalam kebaikan untuk beramal shalih adalah bekal untuk meraih kebahagiaan akhirat yang kekal.

Dari Ibnu Umar k Rasulullah ﷺ berkata “Jadilah engkau di dunia ini seakan-akan orang asing”, agar kita tak terlalu memikirkan dunia hingga semua takut dan harapan kita hanya karena dunia.Orang asing adalah orang yang tak mengenal jelas apa yang sedang kita lewati, ia hanya melihat indah yang sekilas dan tak berani terlarut dalam keindahan karena hanyalah sebagai orang asing. Selayaknya kita pada dunia dan segala isinya, kita hanya orang yang singgah dalam perjalanan dan menjadi orang asing, maka mengambil bekal sekedarnya agar dapat melanjutkan perjalanan, perjalanan ke negeri bernama akhirat.

Milenial yang memilih merantau atau milenial yang memilih untuk tetap tinggal di kotanya sembari menemani orang tua dan tetap menuntut ilmu adalah pilihan kehidupan dunia. Meski diantara pilihan tersebut selalu ada harapan dan rasa takut, karena takut dan harapan adalah tak dapat dipisahkan. Bagi yang merantau mencari ilmu akan selalu ada harapan bahwa akan menuai ilmu dan pengalaman yang tak didapatkan jika ia tidak merantau, begitu juga ada rasa takut karena tak dapat terus membersamai orang tuanya.

Berbeda dengan yang memilih menetap dan menuntut ilmu di kota tempat tinggalnya, pasti ada rasa takut dan rasa harap bahwa ia akan mendaptkan ilmu yang juga banyak sebanyak teman yang merantau. Tak dapat dikatakan bahwa milenial yang merantau lebih baik dari yang tidak merantau, begitu sebaliknya. Semuanya sesuai dengan kebutuhan masing-masing, sesuai kadarnya dan ketika semua dijalani karena Allah semoga kebaikan yang akan kita dapatkan. Khauf dan raja’ tak dapat dipisahkan, semoga segala sesuatu yang menjadi pilihan hidup mengandung keduanya, sebagai pengingat kita bahwa takut (khauf) dan harap (raja’) hanyalah kepada Allah.[]

Penyusun:

Wiwi Dwi Daniyarti

Alumni Magister Pendidikan Islam

Universitas Islam Indonesia

Maraji’

  1. Sa’idTazkiyatun Nafs.Solo:Era Adicitra Intermedia.2016 M.Cet.k-2.hal.406-417.
  2. http://www.islampos.com/jadilah-anda-orang-asing-dan-musafir-di-dunia-136404/

Mutiara Hikmah

Allah ﷻ berfirman,

يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا

 “Mereka berdoa kepada Tuhan mereka dengan harap dan takut”

(Q.S. As-Sajdah [32] : 16)

Download Buletin klik disini

Ketenangan Membuahkan Kemenangan

Bismillâhi walhamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Pembaca buletin al-Rasikh yang dirahmati Allah ﷻ, pernahkah kau merasakan, bagaimana perubahan emosimu ketika dihadapkan oleh situasi yang sulit? Masih banyak amanah dan tugas yang belum terselesaikan sedangkan batas waktu sudah mendesakmu agar selesai tepat waktu. Adapun momen lain, di mana dirimu membutuhkan pencerahan dan jawaban atas suatu masalah. Rasanya, sudah tak mampu memaksa diri untuk mengemas solusi karena perasaan cemas sudah lebih dulu menguasai diri.

Begitulah ritme kehidupan manusia, hari-harinya tak pernah kosong dari masalah. Selalu ada hal baru yang membutuhkan penyelesaian dan pemecahan. Saat proses menghilangkan kegelisahan, manusia kerap kali mengalami dilematis kecerdasan emosi. Ada manusia yang memang sudah terampil dalam mengelola emosi, adapula yang masih menjadi pemula. Dalam Islam, keterampilan ini sangat mungkin untuk dilatih.

Level Emosi Manusia

Level emosi manusia, menurut penjelasan dari dr. Aisyah Dahlan terdiri dari tiga bagian, yaitu: 1) Nafsu-l-Lawwamah; 2) Nafsul Amarah; dan 3) Nafsul Muthmainnah. Emosi yang ada pada bagian nafsu-l-lawwamah adalah apatis, sedih, dan takut. Kemudian, pada bagian nafsul amarah terdapat emosi berupa nafsu, marah, dan sombong. Sedangkan pada bagian nafsul muthmainnah,  terdapat emosi positif yaitu semangat, menerima, damai, dan yang paling tertinggi adalah pencerahan.

Bagian pencerahan ini hanya bisa diperoleh pada saat manusia tekun untuk melakukan self healing dengan cara merutinkan ibadah seperti shalat, mengaji dan tadabur al-Qur’an, puasa, dan juga selalu mencharger diri di lingkungan yang mengkaji Islam untuk mempertebal keimanan. Manusia yang berada pada level nafsul muthmainnah, ia akan selalu mendapat ketenangan dalam mengambil keputusan dan bertindak. Hari-harinya selalu disinari oleh nur, cahaya keimanan yang membuatnya menjadi pribadi yang bersih dan cemerlang.

Islam adalah Agama yang Sempurna

Seluruh aspek kehidupan manusia di dalam Islam, telah diatur dengan sangat rapi dan sempurna. Sampai setingkat cara untuk menstabilkan emosi di dalamnya juga dibahas. Al-Qur’an sebagai pedoman umat Islam, juga telah menyuguhkan panduan hidup paling komplit sepanjang sejarah. Kekuatan al-Qur’an dalam memberi nasehat tak tertandingi oleh literatur apapun. Masih ingatkah dengan ayat al-Qur’an yang memilki arti berikut?

“Dan berdzikirlah pada Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung” (Q.S. al-Jumu’ah [62]: 10).

“Laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Q.S. al-Ahzab [33]: 35).

“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan berdzikir (mengingat) Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’du [13]: 28).

Shalat dan Sabar Sebagai Penolong

Rasulullah ﷺ sebagai figur paling utama telah mewariskan pelajaran berharga bagi umatnya. Setiap merasa gelisah dan resah karena masalah, Beliau selalu menjadikan shalat dan sabar sebagai penolong. Kedua amalan ini mampu menjadi jembatan untuk melatih kestabilan emosi dalam menghadapi masalah. Selain itu, shalat dan sabar juga mampu memupuk rasa optimis serta respon positif, Rasulullah ﷺ sendiri sudah membuktikannya.  Mengapa shalat dan mengapa harus sabar? Ya, karena kedua hal ini adalah pintu terdekat untuk menggapai petunjuk terbaik dari Allah ﷻ.

Shalat adalah puncak dari dzikir, sedangkan sabar dengan berpuasa dan menjauhkan diri dari maksiat juga merupakan bagian dari ikhtiar yang bisa menghadirkan ketenangan. Setiap kalimat dzikir akan membuahkan ketenangan yang hakiki. Meskipun pada awalnya masalah yang dihadapi terlihat sangat rumit dan sulit, namun dengan terus menghidupkan hati melalui dzikir, ketenangan dalam mencari solusi akan jauh lebih mudah didapatkan. Allah ﷺ berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Q.S. al-Baqarah [2]:155)

Lalu, dari sini timbul sebuah pertanyaan. “Saya sudah melaksanakan shalat dan selalu membiasakan diri untuk berdzikir, namun mengapa sampai saat ini rasa tenang masih sangat sulit untuk diraih? Mengapa shalat dan dzikir yang selama ini diamalkan belum membuahkan kemudahan dan keringanan dalam menyuarakan kebaikan?”. Jawabannya sederhana, hanya shalat dan dzikir yang benar, yang akan membuat hati manusia menjadi bersinar. Namun sebaliknya, apabila pelaksanaan shalat dan dzikir masih dianggap sebagai permainan, maka keduanya sama sekali tidak akan membuahkan kebermanfaatan.

Khusyu’

Allah ﷻ juga berfirman, “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali orang-orang yang khusyu.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 45)

Khusyu’ adalah sikap berserah dan kebulatan hati. Khusyu’ ada di dalam dan  merupakan manifestasi dari niat yang sempurna. Allah ﷻ sebagai Dzat yang paling Teliti, sangat mudah bagi-Nya untuk melihat hal-hal yang tak bisa dijangkau oleh indera manusia. Sedikit saja ada yang kurang beres dari hati hamba-Nya, hal ini akan terlihat jelas oleh Allah ﷻ. Jadi, rasanya malu apabila kesungguhan kita untuk beribadah tidak meningkat, sementara nikmat yang telah Allah ﷻ beri selalu berlipat. Salah satu syarat untuk bisa meraih predikat ketenangan adalah meningkatkan kualitas shalat. Apabila shalat lebih diutamakan daripada aktivitas dunia lain seperti bekerja, berbelanja, bermain, bersenang-senang, menonton, dan lain sebagainya maka saat itu juga rasa tenang yang diturunkan oleh Allah ﷻ akan jauh lebih mudah meresap ke dalam diri kita.

Melalui catatan ini, kita bisa menyimpulkan bahwa resep menjadi seorang pemenang bagi seorang muslim sangatlah mudah. Allah ﷻ sudah menghamparkan petunjuk melalui ayat qauliyah, kauniyah, dan insaniyah-Nya, yang harus kita lakukan adalah senantiasa berusaha untuk meningkatkan kualitas serta kuantitas ibadah di mata Allah ﷻ agar menjadi wasilah kemudahan dalam meraih dan mengimplementasikan petunjuk yang telah Allah ﷻ berikan.

Setiap ketenangan hanya dapat dihadirkan melalui perjuangan dan untuk bisa meraih kemenangan kita perlu menggiatkan seluruh amalan yang dicintai Allah ﷻ. Bagi seorang muslim, seluruh urusannya bernilai ibadah, sekecil apapun itu. Seperti makan dengan yang halal dan thayyib, membantu orang lain untuk meringankan kesulitannya, tersenyum, hingga hanya sebatas menciptakan ide kebaikan kecil, di mata Allah ﷻ ini juga dinilai sebagai ibadah dengan syarat harus disertai dengan niat yang  tulus dan murni karena-Nya. Untuk itu, tidak ada lagi rasa gelisah dan takut untuk memulai kebaikan sekecil apapun, ingat bahwa kita memiliki nyala iman yang membuat status kita lebih tinggi di hadapan Allah ﷻ daripada orang-orang yang tidak memiliki iman.

Terakhir, ada satu ayat yang harus menjadi motivasi kita untuk menjadi muslim pemenang. Allah ﷻ berfirman, “Janganlah kamu lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, karena kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (Q.S. Ali Imrân [3]: 139).

Marâji’

Yasmin Mogahed. Renungan Cinta dan Kebahagiaan. Bandung: Mizan Media Utama. 2017.

Penyusun:

Husna Amalia Rahmawati

Pendidikan Agama Islam 2017

NIM: 17422178

Mutiara Hikmah

Dalam hadits Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ bersabda,

وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِى بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ

Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allah membaca Kitabullah dan saling mengajarkan satu dan lainnya melainkan akan turun kepada mereka sakinah (ketenangan), akan dinaungi rahmat, akan dikeliling para malaikat dan Allah akan menyebut-nyebut mereka di sisi makhluk yang dimuliakan di sisi-Nya.” (H.R. Muslim, no. 2699)

Download Buletin klik disini

Peran Iman Bagi Kehidupan Manusia

Peran Iman Bagi Kehidupan Manusia

Bismillâhi walhamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,  

Pengantar

Iman kepada Allah ﷻ adalah membenarkan dengan hati bahwa Allah ﷻ itu benar-benar ada dengan segala nama dan sifat keagungan, dan kesempurnaannya, kemudian diakui dengan lisan, serta dibuktikan dengan amal perbuatan secara nyata. Jadi, seseorang dapat di katakan sebagai seorang mukmin (orang yang beriman) secara sempurna apabila telah memenuhi ketiga unsur keimanan di atas, Sebab, ketiga unsur keimanan tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan.

Beriman kepada Allah ﷻ haruslah selalu dipegang oleh setiap orang karena iman tersebut akan menjadi  landasan jelas seseorang  dalam mengerjakan segala aktivitasnya serta menjadi penguat jiwa pada saat mengahadapi masalah sebagaimana firman Allah ﷻ, “Wahai orang-orang yang beriman. Tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya (Muhammad) dan kepada Kitab (al-Qur’an) yang diturunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang diturunkan sebelumnya. Dan barang siapa ingkar kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sungguh orang itu telah tersesat sangat jauh.”(Q.S. an-Nisâ’ [4]: 136).[1]

Peran Iman Dalam Kehidupan

Iman memegang peranan penting dalam kehidupan, tanpa iman kehidupan manusia seperti kapas yang diterbangkan angin kian kemari. Orang yang tidak beriman hidupnya akan kacau, tidak terarah, dihanyutkan oleh hawa nafsu tanpa ada tujuan yang hakiki. Iman memperbaiki kehidupan manusia yang menggunakan hukum rimba menjadi manusia yang mengetahui bahwa kehidupan mempunyai tujuan.

Peran iman bagaikan cahaya yang menerangi hati, jiwa dan jantung manusia. Kehidupan orang beriman selalu taat kepada perintah Allah ﷻ dan apabila mereka menyimpang atau melanggar peraturan yang telah Allah ﷻ tetapkan maka iman dihatinya akan mengajak dan mengarahkan mereka untuk kembali taat agar tidak terjerumus kedalam kemaksiatan dan perbuatan buruk, seperti itu peran iman dalam kehidupan.

Biologi “Iman”

Dr. Muhammad Mahmud Abdul Qadir dalam bukunya yang telah diterjemahkan oleh Rusydi Malik, dengan judul “Biologi Iman” mengatakan bahwa orang beriman akan selalu dilindungi oleh Allah ﷻ dalam segala gerak-gerik, sikap dan tindak tanduknya, hal itulah yang menjadikan orang beriman selalu merasa tenang, nyaman dan jauh dari rasa stres, takut, pesimis dan  cemas sehingga orang beriman akan terhindar dari berbagai macam penyakit seperti stroke, hipertensi, diabtes dan penyakit dalam lainnya.

Dari segi ilmu biologi, tindakan manusia diatur oleh hormon yang ada dalam tubuhnya. Fungsi biologis tubuh manusia mukmin dipengaruhi oleh imannya, Imannyalah yang  mengatur hormon, selanjutnya membentuk gerak tingkah laku dan akhlak manusia. Kehidupan orang beriman selalu penuh dengan rasa berserah diri kepada Alla ﷻ. Dengan begitu ketenangan dalam hati menjadi mantap, meteran hidup berada di daerah aman, simponi hidup berjalan harmonis. Keseimbangan hormon tetap netral,  keserasian tubuh berjalan dengan wajar. Segala perasaan sedih dan tekanan jiwa berganti dengan kesenangan dan kegembiraan disebabkan mereka percaya bahwa dengan izin dan bantuan Allah ﷻ bagaimanapun masalah yang mereka hadapi pasti akan selesai.[2]

Iman yang kuat haruslah dimiliki oleh semua masyarakat, terkhusus para pemuda. Para pemuda dengan fisik yang masih sehat, kuat, penuh semangat, daya pikir yang masih segar, ditambah dengan kuatnya iman akan menjadikan mereka dapat menimba ilmu dan keterampilan sebanyak-banyaknya, mudah menerima pemikiran dan ide baru sehingga dengan begitu para pemuda akan  menjadi pelopor perubahan bangsa dan negara untuk menjadi lebih baik.

Para pemuda harus menyadari peran mereka sebagai agent of  change, moral force and sosial control selain itu keberadaan para pemuda dengan karakter yang kuat untuk membangun bangsa dan negaranya, memiliki kepribadian tinggi, semangat nasionalisme, berjiwa saing, mampu memahami pengetahuan dan teknologi untuk bersaing secara global akan menjadikan mereka generasi penerus dan pewaris terbaik bagi bangsa dan negara serta menjadi tolak ukur kualitas suatu negara di masa depan. Sebagai agent of  change, moral force and sosial control para pemuda tidak cukup hanya memiliki kemampuan memahami pengetahuan dan teknologi saja, namun mereka harus mampu meningkatkan kualitas iman dan takwa (Imtak) kemudian menjadikan keduanya sebagai kekuatan penguat diri agar mampu mengontrol diri dan tidak terhempas oleh arus perkembangan zaman.[3]

Banyak manusia di zaman ini berfikiran bahwa dunia dengan segala isinya seperti harta, tahta dan wanita merupakan segalanya bagi mereka, sehingga tanpa terasa mereka diperbudak oleh dunia sepanjang hidupnya, disamping itu ada kekhawatiran dan ketakutan yang mereka rasakan bahwa mereka akan mati nantinya dan meninggalkan segala yang mereka miliki. Disinilah peran penting iman bagi kehidupan manusia, iman akan menyadarkan manusia bahwa hakikat kehidupan dunia ini sementara oleh karena itu harus banyak mempersiapkan bekal yang akan dibawa saat meninggal nanti untuk kembali kealam yang abadi yaitu akhirat. Jadi iman itu sangat penting bagi manusia  khususnya bagi pemeluk agama islam agar mendekatkan kita diri kepada Allah ﷻ dan menjadi hamba yang beriman dan bertaqwa.

Cara Meningkatkan Iman

Menurut al-Qur’an, iman bukan semata-mata suatu keyakinan akan benarnya ajaran yang diberikan, melainkan iman itu sebenarnya menerima suatu ajaran sebagai landasan untuk melakukan perbuatan. Adanya iman tentu harus terus dipertahankan dan ditingkatkan, adapun cara meningkatkan iman adalah dengan meningkatkan ilmu tentang mengenal Allah ﷻ yang  mencakup 4 perkara:

  1. Beriman kepada adanya Allah ﷻ
  2. Beriman kepada rububiyah Allah ﷻ, yaitu Dia-lah yang satu-satunya yang menyandang hak rububiyah (menciptakan, mengatur dan memberi rezeki kepada seluruh mahluk-Nya)
  3. Beriman kepada uluhiyah-Nya, yakni Dialah satu-satunya yang berhak diibadahi
  4. Beriman kepada asma dan sifat-Nya (nama dan sifat Allah ﷻ)

Semakin tinggi ilmu pengetahuan seseorang terhadap Allah ﷻ dan kekuasaan-Nya, maka semakin bertambah tinggi iman dan pengagungan serta takutnya kepada Allah ﷻ, merenungkan ciptaan Allah ﷻ, keindahannya, keanekaragamannya, kesempurnaannya, senantiasa meningkatkan ketaqwaan dan meninggalkan maksiat kepada-Nya.

Dengan terus meningkatnya iman akan memberikan pengaruh besar bagi kehidupan manusia seperti menimbulkan ketenangan jiwa, seseorang dengan iman yang kuat pasti dalam menjalani hidupnya akan selalu diliputi rasa tenang dan nyaman semua itu karena dia percaya bahwa apapun masalah yang dihadapinya pasti akan selesai dengan izin dan bantuan Allah ﷻ.

Kemudian dengan meningkatnya iman maka rasa kasih sayang kita kepada sesama juga akan meningkat dengan begitu akan memperkuat tali persaudaraan, seseorang dengan iman kuat akan selalu menggantungkan hidupnya kepada Allah ﷻ semata sehingga tidak akan pernah bergantung dengan sesama manusia lainnya, iman yang dimiliki seseorang tanpa disadari dapat menjadikannya kuat dalam menjalani hidupnya, baik ketika mencari nafkah, mengejar impian dan amalan baik lainnya karena muncul kepercayaan bahwa apa yang dilakukannya merupakan perbuatan yang benar bahkan dapat membantu orang lain. Wallâhu A’lam bish shawwâb.[]

 

Penyusun:

Ghifari Ahmad Dzaky

Marâji’

[1] Azqiara, ‘Pengertian Iman, Islam Dan Ihsan’, IDpengertian.Com (2020)

[2] Ari Cahya Pujianto, ‘Pentingnya Iman Dalam Kehidupan Sehari-Hari’, Islampos.Com (November 2017)

[3] Zainal Abidin, ‘Peran Iman Dan Takwa Dalam Pembangunan Kepemudaan’, Radarsulteng.id (Palu, 2020)

Mutiara Hikmah

Nabi ﷺ bersabda,

لَا تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا، وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ

Janganlah engkau remehkan suatu kebajikan sedikitpun, walaupun engkau bertemu dengan saudaramu dengan wajah yang ceria/bermanis muka”. (H.R. Muslim no. 2626)

Download Buletin klik disini

Beberapa Dosa Yang Sering Dilakukan Anak Muda

Beberapa Dosa Yang Sering Dilakukan Anak Muda

Bismillâhi walhamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,  

Kalau kita mau bandingkan anak muda saat ini dengan masa silam, sungguh jauh berbeda. Anak muda pada masa Nabi ﷺ adalah mereka yang peduli pada agamanya, bahkan membela agama dan nabinya. Mereka juga punya akhlak yang mulia seperti berbakti kepada kedua orang tuanya. Coba bandingkan dengan pemuda saat ini (zaman now). Ada empat dosa yang akan kita temukan dan empat dosa ini dianggap biasa.

1. Durhaka kepada Orang Tua

Sebagaimana di dalam al-Qur’an surah al-Isra Ayat 23 yang memerintahkan untuk berbakti pada orang tua. Allah ﷻ berfirman, “Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (Q.S. al-Isra’ [17]: 23)

Kata Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah yang dimaksud dengan ayat di atas, “Janganlah berkata ah, jika kalian melihat sesuatu dari salah satu atau sebagian dari keduanya yang dapat menyakiti manusia. Akan tetapi bersabarlah dari mereka berdua. Lalu raihlah pahala dengan bersabar pada mereka sebagaimana mereka bersabar merawatmu kala kecil.”

Mengenai maksud berkata uff (ah) dalam ayat, dikatakan oleh Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah, “Segala bentuk perkataan keras dan perkataan jelek (pada orang tua, pen.)” Coba perhatikan bentuk kedurhakaan kepada orang tua yang dianggap jelek oleh ulama di masa silam.

Mujahid rahimahullah mengatakan, “Tidak sepantasnya seorang anak menahan tangan kedua orang tuanya yang ingin memukulnya. Begitu juga tidak termasuk sikap berbakti adalah seorang anak memandang kedua orang tuanya dengan pandangan yang tajam. Barangsiapa yang membuat kedua orang tuanya sedih, berarti dia telah mendurhakai keduanya.”

Ka’ab al-Ahbar pernah ditanyakan mengenai perkara yang termasuk bentuk durhaka pada orang tua, beliau mengatakan, “Apabila orang tuamu memerintahkanmu dalam suatu perkara (selama bukan dalam maksiat, pen) namun engkau tidak mentaatinya, berarti engkau telah melakukan berbagai macam kedurhakaan terhadap keduanya.”[1]

Coba perhatikan, banyak ataukah tidak kedurhakaan anak muda saat ini seperti yang ditunjukkan di atas? Betapa banyak anak muda saat ini dengan orang tua saja berbicara keras dan kasar.

2. Pacaran, Suka Nonton Video Porno, Hingga Onani dan Berzina

Padahal zina itu dilarang, dan segala jalan menuju zina pun dilarang. Di antara jalan menuju zina adalah melalui pacaran. Allah ﷻ berfirman, “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (Q.S. al-Isrâ’ [17]: 32)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menyatakan bahwa Allah ﷻ melarang zina dan mendekati zina, serta dilarang pula berbagai penyebab yang dapat mengantarkan kepada zina.[2]

Kita pun dilarang melihat aurat yang lainnya seperti yang terjadi pada video porno yang saat ini jadi kecanduan bagi anak muda. Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallâhu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda, “Janganlah seorang laki-laki melihat aurat laki-laki lain. Janganlah pula pula seorang wanita melihat aurat wanita lain. Janganlah seorang laki-laki berada dalam satu selimut dengan laki-laki lain. Janganlah pula pula seorang wanita berada satu selimut dengan wanita lain.” (H.R. Muslim, no. 338)

Adapun melakukan onani berarti tidak bisa menjaga kemaluannya. Allah ﷻ berfirman, “Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak-budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” (Q.S. al-Ma’ârij [70]: 29-31).

3. Shalat Masih Bolong-Bolong

Padahal shalat itu bagian dari rukun Islam. Dari Abu ‘Abdurrahman ‘Abdullah bin ‘Umar bin al-Khattab radhiyallahu ‘anhuma, ia mengatakan bahwa ia mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, “Islam dibangun di atas lima perkara: bersaksi bahwa tidak ada yang berhak disembah melainkan Allah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah; menunaikan shalat; menunaikan zakat; menunaikan haji ke Baitullah; dan berpuasa Ramadhan.” (H.R. Bukhari, no. 8; Muslim, no. 16)

Meninggalkan satu shalat saja begitu berbahaya. Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya batas antara seseorang dengan syirik dan kufur itu adalah meninggalkan shalat.” (H.R. Muslim, no. 82)

4. Sukanya Meniru-Niru Gaya Orang Kafir

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi ﷺ bersabda,  “Kiamat tidak akan terjadi hingga umatku mengikuti jalan generasi sebelumnya sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Lalu ada yang menanyakan pada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Apakah mereka itu mengikuti seperti Persia dan Romawi?” Beliau menjawab, “Selain mereka, lantas siapa lagi?“ (H.R. Bukhari no. 7319).

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi ﷺ bersabda, “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad, 2:50 dan Abu Daud, no. 4031)[3]

Kenapa sampai kita dilarang meniru-niru orang kafir secara lahiriyah? Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Keserupaan dalam perkara lahiriyah bisa berpengaruh pada keserupaan dalam akhlak dan amalan. Oleh karena itu, kita dilarang tasyabbuh dengan orang kafir.”[4]

5. Sengsaranya Anak Muda adalah Kalau Jauh dari Agama

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda, “Allah sangat membenci orang ja’dzari (orang sombong), jawwadz (rakus lagi pelit), suka teriak di pasar (bertengkar berebut hak), bangkai di malam hari (tidur sampai pagi), keledai di siang hari (karena yang dipikir hanya makan), pintar masalah dunia, namun bodoh masalah akhirat.” (H.R. Ibnu Hibban)[5]

Penyusun:

Ardimas

Prodi Teknik Elektro

NIM: 19524046

 

Marâji’

[1] Birr Al-Walidain, hal. 8 karya Ibnul Jauziy

[2] Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 5:71.

[3] Syaikhul Islam dalam Iqtidho‘ 1: 269 mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid/bagus. Syaikh al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih sebagaimana dalam Irwa’ul Gholil no. 1269

[4] Majmu’ah Al-Fatawa, 22:154

[5] Syaikh Syu’aib Al-Arnauth dalam tahqiq Shahih Ibnu Hibban menyatakan bahwa sanad hadits ini shahih  sesuai syarat Muslim

Mutiara Hikmah

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu,  Nabi ﷺ bersabda,

مَا يَزَالُ الْبَلَاءُ بِالْمُؤْمِنِ وَالْمُؤْمِنَةِ فِي نَفْسِهِ وَوَلَدِهِ وَمَالِهِ حَتَّى يَلْقَى اللهَ تَعَالَى وَمَا عَلَيْهِ خَطِيْئَةٌ

“Senantiasa mendapat cobaan pada seorang mukmin dan mukminah, baik dari dirinya, anaknya, dan hartanya, hingga ia berjumpa Allah subhanahu wa ta’ala dalam keadaan tiada membawa dosa padanya.” (H.R. at-Tirmidzi, no.2399)

Download Buletin klik disini

Taqwa Dan Kelapangan

Taqwa Dan Kelapangan

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Berbagai ujian menjadi pengingat bahwa ada satu tempat kembali yang harus dituju. Saat dunia disesaki oleh masalah hasil ulah manusia, bencana alam yang menghampiri tanpa tahu waktu, problem sosial, politik yang semakin komplek, tentu fenomena ini mendorong hampir seluruh manusia untuk berpikir akan solusi dan jalan keluar terbaik untuk menjawab setiap kecemasan, khawatir, dan takut. Allah ﷻ ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (Q.S. al Baqarah [2]: 155)

Bagaimana rasanya? Saat tertidur nyenyak, di pertengahan malam tiba-tiba ada gempa yang mengguncang seluruh isi rumah. Sedang asyik-asyiknya bertamasya dengan keluarga di pantai, namun tiba-tiba Allah ﷻ memerintahkan ombak untuk mengekspresikan kegeramannya terhadap manusia, dalam hitungan menit ombak itupun mematuhi perintah Allah ﷻ untuk menyapu daratan yang ada di depannya. Seperti ujian yang baru-baru ini telah didatangkan Allah ﷻ, beberapa gempa kecil di wilayah Yogyakarta, banjir yang menimpa saudara kita di Luwu Utara, covid 19 sebagai bencana non alam yang sampai saat ini masih tak kunjung reda, serta berbagai bencana lainnya. Identitas manusia sebagai hamba yang lemah saat dihadapkan oleh berbagai motif ujian dan bencana dari Allah ﷻ akan tampak jelas, di tengah bencana dan musibah terombang ambing tak ada pilihan selain berserah. Harta dan keluarga, Allah ﷻ cabut dengan cepat sedang tidak ada bekal apapun sebagai petahanan terakhir kecuali taqwa.

Mengapa Taqwa?

Setiap kali membaca al-Qur’an, seringkali kita menjumpai kata:

“…taqwa…” “…agar kamu bertaqwa…” “…disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa…”

            “…pelajaran bagi orang-orang yang bertaqwa…” “…dan bertaqwalah kepada Allah…” Lantas, mengapa Allah ﷻ seringkali menyebutkan kata taqwa ini?

Allah ﷻ menyebut kata taqwa berulang kali agar kita senantiasa mengingat apa hakikat dan esensi taqwa. Pada dasarnya, setiap manusia memiliki sifat pelupa, semakin sering Allah ﷻ mengingatkan, menjadi sebuah tanda bahwa manusia memang sering melupakan hal ini. Salah satu Firman Allah ﷻ yang mengupas tentang taqwa, terdapat pada surat Ali Imran ayat 133-135, “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa. (Q.S. Ali Imran [3]: 133-135). Ayat ini memuat peringatan yang terletak pada kata “bersegeralah”. Kata bersegera berarti menunjukkan betapa terbatasnya  usia dan kesempatan untuk meraih taqwa yang sebaik-baiknya.

Ayat ini ibarat penghibur bagi para pendosa, termasuk kita yang pada saat-saat tertentu masih mudah dihampiri oleh pesimis dan keraguan untuk mengakui kesalahan dan bertaubat di hadapan Allah ﷻ. Kata bersegera tersebut, apabila dipahami dengan pemahaman yang baik memiliki muatan spirit dan panggilan untuk kembali memperjuangkan sesuatu yang kekal, apa itu? Taqwa.

Seseorang yang memiliki tekad untuk memupuk dan memperjuangkan taqwa dengan baik, hidupnya akan dipenuhi oleh kelapangan dan kemudahan dalam menjalankan sesuatu. Tidak akan ada rasa khawatir, takut, dan keraguan. Ia percaya, bahwa taqwa adalah langkah awal untuk memperbaiki diri. Allah ﷻ berfirman dalam surat Ath-Thalaq ayat 2-3, “Barang siapa bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar Dan memberinya rezeki yang tiada disangka-sangkanya.” (Q.S. Ath-Thalaq [65]: 2-3).

Janji Allah kepada Orang yang Bertaqwa

Janji Allah ﷻ kepada orang bertaqwa, pertama adalah akan diberi solusi dan pertolongan langsung dari Allah ﷻ  untuk menyelesaikan setiap permasalahan.

Kedua, Allah ﷻ akan memberikan rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.

ketiga yang diperuntukkan bagi orang bertaqwa adalah terbukanya pintu ampunan yang luas atas kesalahan yang diperbuat sebelumnya dan diberi ganti berupa pahala yang besar dari Allah ﷻ. Hal ini menjadi bukti bahwa kasih sayang dan rahmat Allah ﷻ terharap orang yang bertaqwa sangatlah besar.

Taqwa akan mengubah hal yang mustahil bagi manusia menjadi sangat mungkin di mata Allah ﷻ. Ada beberapa kisah perjalanan taqwa yang bisa kita teladani. Pertama, adalah kisah Nabi Ibrahim  yang akan dibakar oleh Raja Namrud. Pada saat pasukan Raja Namrud membuat manjaniq (semacam meriam) dan meletakkan Nabi Ibrahim di dalamnya dengan melontarkannya ke dalam api, sekatika api itu menjadi dingin karena rasa berserah dan ketakwaan Nabi Ibrahim kepada Allah ﷻ.

Kedua, adalah pelajaran dari kisah perjuangan Nabi Musa. Saat itu Nabi Musa dan para pengikutnya dikejar oleh Fir’aun dan tentaranya hingga tibalah mereka di laut yang sangat luas. Ketakwaan Nabi Musa telah menghadirkan pertolongan yang sangat besar dari Allah ﷻ melalui wasilah tongkatnya. Allah ﷻ memerintahkan Nabi Musa untuk memukul tongkatnya ke laut dan seketika laut itu menjadi terbelah sehingga Nabi Musa bersama pengikutnya mampu menyebrangi lautan tersebut sedangkan pasukan Fir’aun yang mengikuti dari belakang ditenggelamkan oleh Allah ﷻ. Beberapa peristiwa ini sudah seharusnya menjadi cerminan dan teladan bagi seluruh umat muslim agar tidak berputus asa dalam meraih predikat taqwa terbaik di hadapan Allah ﷻ.

Perjuangan untuk meraih taqwa terbaik memang tidak mudah. Banyak sekali godaan yang datang dari dalam maupun luar yang berusaha meruntuhkan tekad untuk memperkuat ketaqwaan. Bagi seorang mukmin, senjata untuk bisa istiqomah meraih taqwa adalah dengan mendawamkan amal sholeh dan memelihara dzikir. Sekecil apapun amal perbuatan baik yang ditujukan hanya untuk meraih ridho Allah apabila didawamkan akan membentuk pribadi yang robbani dan berbuah taqwa.

Ketaqwaan ibarat pelita bagi orang mukmin, taqwa adalah sebaik-baik bekal yang harus dipersiapkan, karakter terkuat, dan perilaku yang paling tinggi. Taqwa berarti memelihara diri dan murka dan siksa Allah ﷻ, taqwa berarti senantiasa merasakan pengawasan dari Allah ﷻ, taqwa berarti berhati-hati dalam menjaga diri agar tidak terjerumus ke dalam larangan Allah ﷻ. Taqwa berarti menginternalisasikan dan mengimplementasikan setiap ajaran Allah ﷻ dalam kehidupan nyata dan berkomitmen untuk menjauhi seluruh laranganNya. Taqwa berarti keterikatan pada nilai-nilai agung syariah Islam. (Suharto, 2016)

Oleh karena itu hendaklah setiap umat muslim bersungguh-sungguh untuk memperbaiki dan menghiasi diri dengan ketaqwaan karena taqwa adalah mahkota kemuliaan terbaik. Allah ﷻ sudah memberikan motivasi yang komplit untuk seluruh umat muslim agar bersegera dalam memperbaiki taqwa, salah satunya dimuat dalam surah al-Hujurat ayat 14, “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa. Sungguh Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti. Orang-orang Arab Badui itu berkata: “Kami telah beriman”. Katakanlah: “Kamu belum beriman, tapi katakanlah ‘kami telah tunduk’, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasulnya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu. Sesungguhnya, Allah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang.[]

Maraji’

Husein Zaid. (1995). Kisah 25 Nabi dan Rasul. (Pustaka Amani: Jakarta)

Suharto Ahmad. (2016). Ayat-ayat Perjuangan. (YPPWP Guru Muslich: Tangerang Selatan).

Al-Qur’an dan Tarjamahnya. (CV.Al-Hanan: Surakarta). 2009.

Husna Amalia Rahamwati

Pendidikan Agama Islam

NIM: 17422178

Mutiara Hikmah

Tholq bib Habib  mengatakan,

التَّقْوَى : أَنْ تَعْمَلَ بِطَاعَةِ اللَّهِ عَلَى نُورٍ مِنْ اللَّهِ تَرْجُو رَحْمَةَ اللَّهِ وَأَنْ تَتْرُكَ مَعْصِيَةَ اللَّهِ عَلَى نُورٍ مِنْ اللَّهِ تَخَافَ عَذَابَ اللَّهِ

Takwa adalah engkau melakukan ketaatan pada Allah atas petunjuk dari Allah dan mengharap rahmat Allah. Takwa juga adalah engkau meninggalkan maksiat yang Allah haramkan atas petunjuk dari-Nya dan atas dasar takut pada-Nya.” (Lihat Majmu’atul Fatawa karya Ibnu Taimiyah, 7: 163 dan Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam karya Ibnu Rajab Al Hambali, 1: 400).

Download Buletin klik disini

Zhalim Termasuk Perbuatan Hipokrit?

Zhalim Termasuk Perbuatan Hipokrit?

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh

Pembaca budiman yang senantiasa dirahmati Allah . Dalam hidup, kita selalu dianjurkan untuk berbuat jujur, adil, berpenampilan sopan, berkata lemah lembut dan perilaku bijak lainnya. Kepada sesama manusia siapapun mereka. Baik kepada adik, tetangga sekitar atau bahkan kepada orang yang lebih tua daripada kita seperti orang tua dan guru-guru kita. Allah  telah menganugerahi kira akal untuk berpikir sehingga bisa membedakan baik-buruk, benar-salah yang itu semuanya menegaskan perbedaan antara manusia dengan makhluk lainnya.

Pengertian Munafik

Hipokrit merupakan sinonim dari kata munafik. Dalam bahasa arab, munafik adalah seseorang yang berbuat nifak. Sedangkan nifak sendiri adalah perilakunya. Nifak berarti penjelasan apa yang di lahir berbeda dengan apa yang di batin. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI, munafik adalah berpura-pura percaya atau setia dan sebagainya kepada agama dan sebaginya, tetapi sebenarnya dalam hatinya tidak.

Kita sering mendengar istilah munafik ini sejak dalam pendidikan dasar atau dalam kelas mengaji. Munafik umumnya mempunyai tiga ciri utama, yaitu: berdusta, ingkar janji, dan berkhianat. Hal ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah  bersabda, “Tanda orang munafik ada tiga; apabila berkata ia berbohong, apabila berjanji mengingkari, dan bila dipercaya mengkhianat”. (H.R Bukhari)

Contoh Perbuatan Munafik

Perbuatan munafik sangatlah banyak contohnya seperti seorang teman yang menyanjung dan memuji seseorang ketika berhadapan dengannya dan mencaci maki serta menyumpah serapahi ketika sedang tidak bersama dengannya. Hal ini sering dikenal dalam masyarakat umum sebagai orang yang bermuka dua.

Ada juga bermuka dua digambarkan dengan mengatakan apa yang disukai atau dibenci oleh kelompok tertentu dan mengatakan hal sebaliknya di kelompok yang lain. Kebenaran yang ditutupi oleh fakta yang dibuat-buat seolah-olah benar dapat berakibat buruk pada diri sendiri dan diri orang lain. Tindakan seperti itu sudah sangat sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari akan tetapi kadang kala kita lalai untuk menyadarinya.

Zhalim Termasuk Munafik

Berdasarkan hadits riwayat muslim nomor 58, dari Abdullah bin ‘amr radhiyallahu ‘anhu, ia berkata Rasulullah  bersabda, “Ada empat tanda, jika seseorang memiliki empat tanda ini, maka ia disebut munafik tulen. Jika ia memiliki salah satu tandanya, maka dalam dirinya ada tanda kemunafikan sampai ia meninggalkan perilaku tersebut, yaitu jika diberi amanat, khianat; jika berbicara, dusta; jika membuat perjanjian, tidak dipenuhi; jika berselisih, dia akan berbuat zhalim”. Dari hadits di atas dapat kita simpulkan ciri orang munafik adalah: Khianat, Berdusta, Ingkar janji, dan zhalim.

Tentunya kita harus melihat teks aslinya sebelum kemudian menghakimi secara serius perilaku zhalim ini. Dalam hadits di atas terdapat kata: “Wa idzâ khâsama fajara,” tidak ada sama sekali ada teks “zhalim” dalam kalimat tersebut, akan tetapi kita bisa menggali makna dari kata “fajara” ini. Yang dimaksud denga al-fujûr di sini adalah keluar dari kebenaran secara sengaja, sehingga dia menjadikan yang benar menjadi keliru dan yang keliru menjadi benar.

Contoh Perbuatan Zhalim

Kita sering menyaksikan perdebatan-perdebatan yang panas dan menggebu-gebu. Apalagi perdebatan itu berdasarkan tema politik dan agama yang semua saja seperti berhak menghukumi orang lain tanpa dasar yang jelas.

Dalam perdebatan itu sudah barang tentu ada selisih-selisih dan silat lidah. Apalagi perselisihan itu untuk mempertahankan kebatilan. Dia menyuarakan kepada orang-orang bahwa kebatilan itu sebagai sesuatu yang benar, serta menyamarkan yang benar dan menampilkannya sebagai suatu kebenaran. Hal seperti itu merupakan keharaman karena argumen yang dipakai adalah untuk mempertahankan kebatilan.

Dalam situasi yang lain kita sering mendapati orang yang bersikukuh akan argumennya, padahal perilaku yang dilakukannya adalah jelas salah. Hal itu karena mereka takut akan kehilangan jabatan, ketenaran, nama, harta dan hal-hal buruk yang akan menimpanya sebagai konsekuensi atas tindakan yang telah diperbuatnya. Hal ini sesuai dengan pepatah, “Apa yang kita tanam, akan kita tuai jua,” apa-apa yang kita lakukan dan perbuat nantinya akan berbuah sesuai dengan apa yang kita perbuat.

Zhalim dalam bahasa Arab berarti menempatkan sesuatu tidak pada tempatnhya, atau zhalim adalah lawan kata dari pada adil, menempatkan sesuatu pada tempatnya. Inti dari perbuatan zhalim dalam munafik ini adalah ketika ada perselisihan dan terjadi perdebatan, ada potensi penutupan atau penyamaran kebenaran dengan kebatilan yang dibuat seolah-olah benar dengan cara rekayasa kata dan argumen. Pernyataan ini mempertegas pengertian munafik: Apa yang dikatakan berbeda dengan apa yang sebenarnya terjadi.

Bagaimana Menghindari Perilaku Hipokrit?

Pertama, menghindari atau menjauhi perbuatan nifak harus menjadi watak dan juga karakter setiap muslim dan muslimat. Salah satu upaya agar terhindar dari perbuatan munafik adalah dengan berdo’a. Rasulullah  mengajarkan do’a, “Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari kefakiran, kekufuran, kefasikan, kedurhakaan, kemunafikan, sum’ah, dan riya’”. (H.R al Hakim no 1944, Shahih)

Kedua, bertaubat. Menyadari kesalahan dari diri sendiri dan memohon ampun kepada Allah atas segala kesalahan lalu berjanji untuk tidak mengulangi lagi, dalam hal ini adalah perilaku munafik.

Ketiga, selalu berkata jujur dalam bertutur kata, tidak ingkar janji dan selalu menetapi akan janji yang telah dibuatnya dan siap sedia dengan amanah yang dibebankan. Segala hal ini lama-kelamaan akan membantu seseorang terhindar dari perilaku munafik itu sehingga terciptalah kedamaian hati dan terbebas dari rasa was-was dan khawatir.

Balasan bagi Orang Munafik

Sudah barang tentu setiap amal perbuatan akan mendapat balasan yang sesuai. Hal ini senada dengan pepatah yang sudah dipaparkan sebelumnya, “Apa yang kita tanam akan kita tuai juga”. Orang yang memaki atau menghinakan orang lain, maka suatu saat dia akan terhina dengan sendirinya. Entah penghinaan itu berupa caci maki, sumpah serapah, ataukah dalam bentuk lain seperti ketidakbahagiaan dan kesulitan hidup sehingga menjadikannya terhina. Apapun itu segala amal pasti ada balasannya.

Allah , “Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih”. (Q.S an-Nisâ’ [4]: 138). Di surat yang sama, Allah  berfirman, “Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka”. (Q.S an-Nisâ’ [4]: 145)

Pembaca budiman yang senantiasa dirahmati oleh Allah ﷻ  sudah seyogyanya kita menghindari daripada perbuatan munafik. Zaman perselisihan dan perdebatan dalam dunia maya maupun nyata seringkali menggelincirkan seseorang dalam perbuatan zhalim yang bisa jadi masuk dalam kategori munafik tersebut. Alih-alih mendapat kenikmatan hidup sesuai ekspektasinya, hidupnya selalu dirundung kewas-wasan dan kekhawatiran. Naudzubillâhi min dzalik.[]

 

Marâji’

https://tafsirweb.com/1670-quran-surat-an-nisa-ayat-138.html

https://rumaysho.com/10836-barangkali-kita-termasuk-munafik.html

https://www.islampos.com/4-ciri-orang-munafik-hati-hati-anda-mungkin-salah-satunya-132288/

https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/munafik

 

Fatkhur Rohman Khakiki

Teknik Kimia FTI UII

Mutiara Hikmah

Doa dari kekufuran dan kemunafikan

اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْفَقْرِ وَالْكُفْرِ، وَالْفُسُوقِ، وَالشِّقَاقِ، وَالنِّفَاقِ، وَالسُّمْعَةِ، وَالرِّيَاءِ

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kefakiran, kekufuran, kefasikan, kedurhakaan, kemunafikan, sum’ah, dan riya’.”(H.R. al-Hakim no.1944)

Download Buletin klik disini

New Normal, New Life and New Iman

New Normal, New Life and New Iman

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Pembaca yang mencintai Allah ﷻ dan semoga dicintai Allah ﷻ, adakah yang menyangka bahwa di tahun 2020 ini kita akan menghadapi musibah yang begitu besar, dimana hampir semua umat manusia tidak berdaya dibuatnya. Ada yang kehilangan nyawa, harta, pekerjaan dan lain sebagainya. Semua terjadi dalam satu masa yang tidak pernah kita sangka. Bukan hanya yang miskin yang merana bahkan tidak sedikit yang kaya pun merasa nelangsa. Namun, adakah dari kita yang kemudian sadar bahwa musibah corona ini adalah bentuk kasih sayang Allah ﷻ kepada kita.

Jika dipandang dari satu sisi saja mungkin kita hanya akan berfikir bahwa wabah corona adalah musibah yang menyakitkan, yang membuat kita tidak bisa beraktifitas normal seperti biasa. Dalam beberapa waktu belakangan ini tidak ada lagi kumpul bersama teman-teman, tidak ada mudik ke kampung halaman, dan tidak ada banyak hiburan duniawi yang kita pandang menyenangkan. Sekali lagi, jika kita hanya memandang dari satu sisi pasti musibah ini sangatlah menyebalkan, membosankan, dan menjengkelkan. Namun, sudahkah kita lihat musibah ini dari sisi lainnya?

Dipandang dari sisi lain, sadar ataupun tidak, wabah Corona yang melanda hampir di seluruh dunia menjadi bukti nyata bahwa Allah ﷻ ingin kita menjadi lebih dekat pada-Nya dan kembali mengingat-Nya, karena mungkin selama ini kita hanya disibukkan dengan urusan dunia dan lupa dengan tujuan kita selanjutnya yaitu akhirat.

Padahal berulang kali Allah ﷻ katakan dalam al-Qur’an bahwa dunia ini hanya tempat bermain dan bersenda gurau.  “wa mâ al-hayâtu ad-dunya illâ matâ’un wa lahwun” (dan Tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka). (Q.S. Al-An’am [6]: 32)

Tidak hanya dalam Q.S Al-An’am, Allah ﷻ menyebutkan kata la’ibun dan segala bentuk derivatifya sebanyak 20 kali dan menyebutkan kata lahwun dengan berbagai derivatifnya sebanyak 16 kali baik berupa fi’il madhi, mudhari’ maupun mashdar-nya. Adapun lafaz la’ibun dan lahwun yang terdapat dalam satu ayat disebut 6 kali dalam 5 surat.[1]  Banyaknya penyebutan kedua kata ini tentulah bukan tanpa alasan. Semua itu adalah bentuk peringatan Allah ﷻ kepada kita semua untuk memahami arti kehidupan di dunia.

Dalam hemat penulis, beberapa ulama dan mufasir ada yang menyamakan pengertian la’ibun dan lahwun namun ada pula yang membedakanya seperti al-Qurtubi dalam bukunya al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an mengartikan kata la’ibun dan lahwun sebagai bãthil dan gurũr atau kesia-siaan. Sebagaimana yang Allah ﷻ firmankan dalam QS. al-`Imran ayat 185, “Sesungguhnya kehidupan dunia adalah kesenangan yang sia-sia.”[2]

Penting kita ketahui bahwa kata la’ibun dan lahwun merujuk pada makna negatif, makna yang melekat padanya selalu mengasosiasikan pada pola atau tindakan yang jauh dari prilaku dan karakter seorang mukmin dan sangat sia-sia. Jika kita telusuri setiap kali Allah ﷻ berfirman mengenai kehidupan dunia maka kata la’ibun dan lahwun acapkali dijadikan gambarannya.

Menggapai New Iman di Masa New Normal

Saudaraku yang dirahmati Allah ﷻ, Wabah corona yang sampai saat ini masih melanda patutnya kita jadikan sebagai batu loncatan untuk menyegarkan iman kita, menambah dayanya dan memastikan bahwa tujuan kita selanjutnya adalah pulang kepada Allah ﷻ dalam waktu yang tidak lama lagi. Mungkin besok, lusa, atau bahkan tak lama setelah ini. Bukankah Allah ﷻ sudah benar-benar menunjukan kuasanya bahwa kematian bisa datang kapan saja, dimana saja dan kepada siapa saja tanpa ada kabar sebelumnya.  Sehingga yang seharusnya kita lakukan adalah menyiapkan amalan terbaik kita untuk berjumpa dengan sang pemilik segalanya yakni Allah ﷻ.

Di masa ini khususnya masa-masa new normal dimana aktifitas sudah bisa kembali berjalan meski mungkin tak sama dengan sebelumnya, kita harus membenahi iman kita dan menjadikannya  iman yang baru yang lebih baik dan lebih dekat kepada Nya, karena siapa kita tanpa Allah ﷻ, Lâ haulâ wa lâ quwwata illâ billâh. Sudah lama tentunya kita dirumah aja, sudah banyak kegiatan baru yang mungkin kita lakukan selama korona, namun sudahkah kita lebih banyak berdoa kepadanya, lebih mengingatnya dengan berdzikir dan mempelajari ayat-ayat-Nya ? atau jangan-jangan kita hanya rebahan saja ?

Ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk merubah habit atau kebiasaan buruk kita dalam menghadapi new normal agar kita bisa menjalani new life dan mendapatkan new iman seperti:

Pertama, membaca dzikir pagi dan petang.

Kedua, melakukan meditasi atau muhasabah diri sebelum melakukan aktivitas pagi.

Ketiga, menyempatkan 10 menit berolahraga karena kesehatan jasmani menopang kesehatan berfikir kita sehingga kita terhindar dari pikiran-pikiran negatif.

Keempat, memulai pekerjaan kita dengan niat lillahi ta’âlâ.

Kelima, menjalani pekerjaan kita dengan ikhlas dan menjadikannya sebagai ibadah.

Keenam, kembali merekatkan silaturahim meski hanya lewat telepon dan senyuman.

Ketujuh, terus berusaha agar bisa shalat tepat waktu.

Kedelapan, memaksimalkan segala usaha dan ikhtiyar.

Kesembilan, tidak lupa bersedekah dan shalat sunnah meski hanya beberapa rupiah dan beberapa rakaat.

Sepuluh, totalitas bertawakal kepada Allah ﷻ.

Sedikit Demi Sedikit Sampai Pada Tujuan

Saudaraku yang diberkahi Allah ﷻ, Dalam mengaplikasikan usaha diatas tentu tidak mudah, semudah kita membalikan telapak tangan. Pasti butuh waktu, butuh pengulangan hingga semua itu bisa menjadi kebiasaan yang meningkatkan keimanan kita kepada Allah ﷻ. Namun, meski mungkin memulainya sulit, apalagi membiasakannya, tetaplah dicoba salah satunya, satu-satu saja, pelan-pelan saja, sedikit demi sedikit saja sampai tawakal kita sampai kepada Nya.

Ustadz Fahrudin Faiz, dalam salah satu ceramahnya mengatakan bahwa untuk menggapai ridho Allah ﷻ kita harus melakukannya sepenuh hati, pelan-pelan saja, sedikit demi sedikit saja sampai ilaihi râji’un-nya sampai. Demikian yang disampaikan ustad Fahrudin Faiz menandakan bahwa untuk meraih ridho Allah ﷻ kita harus terus berusaha, tidak perlu tergesa-gesa lantas lupa akan tujuan kita, karena dalam beribadah biar pelan asal dalam, biar sedikit asal sampai. Semua harus dilakukan dengan ikhlas, sehingga ketika iman kita sudah meningkat, kita tidak akan mudah terlena dengan dunia.

Hari ini, kita bisa menyaksikan banyak diantara kita orang-orang besar, orang-orang Islam yang ilmunya tinggi dan lengkap, yang ibadahnya nonstop siang dan malam, yang tahu bathil dan haq, namun akhirnya lupa dengan tujuan utamanya dan terlena dengan kesenangan dunia. Ilmu yang selama ini dimiliki hanya menjadi referensi namun tidak bisa menjadi refleksi baginya untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Na’ûdzu Billahi Min Dzâlik.

Akhirnya dengan adanya tulisan ini semoga kita semua bisa memetik hikmah dari adanya wabah corona dan bersiap dalam menjalani new normal dengan keimanan kita yang baru yang tentunya lebih baik lagi agar kedepan kita bisa mendapatkan ampunan dan kemudahan dari Allah ﷻ serta syafaat nabi Muhammad ﷺ Semoga kita termasuk umatnya yang beriman dan beramal shalih. Âmîn yâ rabbal ‘âlamîn.[]

[1] M. Fuad ‘Abd Al-Baqi, Mu’jam al-Mufahras li al-fadz al-Qur’an, (Beirut: Daar al-Fikr, 1992) hal.869

[2] Imam Al-Qurtubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, (Lebanon: Dar al-kutub Al-Ilmiyah. 2010). hal.267

Eva Fadhilah

Alumni FakultasIlmu Agama Islam

Universitas Islam Indonesia

Mutiara Hikmah

Allah ﷻ berfirman:

قُلْ إِنَّمَآ أَنَا۠ بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوحَىٰٓ إِلَىَّ أَنَّمَآ إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَٰحِدٌ ۖ فَمَن كَانَ يَرْجُوا۟ لِقَآءَ رَبِّهِۦ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَٰلِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦٓ أَحَدًۢا

Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Rabbnya“. (Q.S. al-Kahfi [18]: 110)

Download Buletin klik disini