Mencari Keadilan Yang Sempurna Di Dunia?

Mencari Keadilan Yang Sempurna Di Dunia?

Bismillâhi walhamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alârasûlillâh,

Pembaca yang di rahmati Allah ﷻ, beberapa hari ini kita dihebohkan dengan pemberitaan kasus kekerasan dimana butuh waktu yang lama untuk menangkap pelakunya. Akan tetapi, tuntutan hukuman untuk pelaku tersebut dianggap tidak adil dan tidak memuaskan. Banyak kita temukan di kolom komentar berbagai sosial media perkataan seperti “Nyari pelakunya lebih lama daripada hukumannya”, “Wah karena dianggap gak sengaja hukumannya singkat, enak banget”, “Semakin terlihat hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas”, dan sejenisnya yang pada intinya menganggap hukuman untuk kasus tersebut tidak adil dan tidak setimpal karena telah mengakibatkan korban mengalami cacat pada fisiknya seumur hidup.

Disini penulis tidak akan berkomentar apapun tentang kasus tersebut. Akan tetapi perlu kita ingat dan ketahui bahwa tidak akan pernah kita temukan keadilan yang sempurna di dunia ini. Ketidaksempurnaan itulah ciri khas dunia ini dan setiap apa yang ada di dunia ini ada masanya.

Keadilan yang Sempurna Hanya Milik Allah ﷻ

Allah ﷻ adalah Rabb yang Maha Adil, dimana keadilan tersebut berdasarkan ilmu yang sempurna. Allah ﷻ berfirman, “Sesungguhnya tidak ada sedikitpun urusan langit ataupun bumi yang tersembunyi bagi Allah” (Q.S. ali-’Imran [3]: 5). Maka keadilan Allah ﷻ adalah keadilan yang sempurna yang tidak ada yang tersembunyi di atas-Nya. Sehingga Allah ﷻ tidak akan menghukum kecuali dengan alasan yang benar. Dan Allah ﷻ tidak akan menghukum kecuali telah menerangkan, mana yang benar dan mana yang salah. [1]

Adapun di dunia kita tidak akan pernah mendapatkan keadilan yang sempurna sebagaimana keadilan Allah ﷻ, karena terkadang manusia bisa berbuat adil dan bisa saja berbuat zhalim. Maka hendaknya kita tidak perlu terlalu pusing memikirkan ketidakadilan yang kita temui di dunia ini karena Allah ﷻ yang akan membalas setiap perbuatan dengan balasan yang setimpal di hari akhir nanti.

Tidak Ada yang Tersembunyi di Hadapan Allah ﷻ

Di akhirat nanti, Allah ﷻ akan membalas seluruh perbuatan yang kita lakukan di dunia, termasuk perbuatan zhalim dan perbuatan ketidakadilan. Walaupun perbuatan tersebut amat kecil dan amat tersembunyi pasti akan terlihat dan dibalas oleh Allah ﷻ. Hal ini sesuai dengan kaidah dalam agama kita yaitu al-jaza min jinsil amal yang artinya “Balasan akan didapat sesuai dengan amal perbuatan”. Orang yang berbuat baik, akan mendapat balasan kebaikan. Dan orang yang berbuat jahat, akan mendapat balasan yang buruk. [2]

Allah ﷻ berfirman, “Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).” (Q.S. ar-Rahman [55]: 60). Allah ﷻ juga berfirman, “Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah.” (Q.S. an-Nisâ’[4]: 123).

Luqman menasihati anaknya bahwa setiap perbuatan baik maupun perbuatan buruk akan ada balasannya kelak di hadapan Allah ﷻ, sesuai dengan firman-Nya, “(Luqman berkata): “Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui” (Q.S. Luqman [31]: 16).

Ibnu Katsir rahimahullâh berkata, “Ini adalah wasiat yang amat berharga yang Allah ceritakan tentang Lukman Al Hakim supaya setiap orang bisa mencontohnya. Kezhaliman dan dosa apa pun walau seberat biji sawi, pasti Allah akan mendatangkan balasannya pada hari kiamat ketika setiap amalan ditimbang. Jika amalan tersebut baik, maka balasan yang diperoleh pun baik. Jika jelek, maka balasan yang diperoleh pun jelek” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 11: 55)[3]

Asy Syaukani rahimahullâh menerangkan, “Meskipun kejelekan dan kebaikan sebesar biji (artinya: amat kecil), kemudian ditambah lagi dengan keterangan berikutnya yang menunjukkan sangat samarnya biji tersebut, baik biji tersebut berada di dalam batu yang jelas sangat tersembunyi dan sulit dijangkau, atau di salah satu bagian langit atau bumi, maka pasti Allah akan menghadirkannya (artinya: membalasnya)” (FathulQodir, 5: 489)[3]

Allah ﷻ juga berfirman, “Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikit pun. Dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawi pun pasti Kami mendatangkan (pahala)nya. Dan cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan” (Q.S. al-Anbiya’ [21]: 47)

Juga serupa dengan firman Allah ﷻ yang lain, “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula” (Q.S. al-Zalzalah [99]: 7-8)

Walaupun kezhaliman tersebut sangat tersembunyi, Allah ﷻ akan tetap membalasnya. Karena Allah ﷻ berfirman, “Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui” (Q.S. Luqman [32]: 16)

Pada hari ketika nanti manusia dihisab di akhirat, tidak ada yang tersembunyi di hadapan Allah ﷻ sesuai dengan firman-Nya, “Pada hari itu kamu dihadapkan (kepada Tuhanmu), tiada sesuatupun dari keadaanmu yang tersembunyi (bagi Allah).” (Q.S. al-Haqqah [69]: 18)

Tetaplah Berusaha untuk Berbuat Adil

Walaupun tidak akan pernah kita temukan keadilan yang sempurna di dunia ini, hendaknya kita tetap berusaha untuk berbuat adil setiap saat karena yang demikian itu merupakan perintah dari Allah ﷻ sesuai dalam firman-Nya, “Dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Q.S. al-Hujurât [49]: 9].

Bila dua kelompok dari orang-orang yang beriman bertikai, maka kalian (wahai orang-orang beriman) harus mendamaikan mereka, dengan menyeru mereka agar berhakim kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah ﷺ dan rela menerima hukum keduanya. Bila salah satu dari kedua kelompok melanggar dan menolak seruan kepada Allah ﷻ dan Rasulullah ﷺ, maka perangilah mereka hingga mereka kembali kepada hukum Allah ﷻ dan Rasulullah ﷺ. Bila mereka telah kembali, maka damaikanlah mereka dengan adil. Berlaku adillah dalam hukum kalian, jangan melampaui hukum Allah ﷻ dan Rasulullah ﷺ dalam mengambil keputusan. Sesungguhnya Allah ﷻ mencintai orang-orang yang berlaku adil dalam hukum mereka yang memutuskan dengan keadilan diantara makhlukNya. Dalam ayat ini terdapat penetapan sifat “mahabbah” bagi Allah ﷻ secara hakiki sesuai dengan keagungan Allah subhanahu wata’ala. [4]

Di ayat lain Allah ﷻ berfirman, “Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. al-Maidah [5]: 8).

Ibnu Qayyim rahimahullah menukil ucapan seorang ulama salaf yang menafsirkan sikap adil dalam ayat ini, beliau berkata, “Orang yang adil adalah orang yang ketika dia marah maka kemarahannya tidak menjerumuskannya ke dalam kesalahan, dan ketika dia senang maka kesenangannya tidak membuat dia menyimpang dari kebenaran.” (Ar-Risalatut tabuukiyyah, hal.33) [5]

Sekali lagi, keadilan yang sempurna di dunia adalah mimpi yang tidak akan pernah menjadi kenyataan karena keadilan yang sempurna hanya milik Allah ﷻ yang Maha Adil. Semoga kita dimudahkan untuk berbuat keadilan dalam segala sesuatu dan dalam setiap waktu, serta dimudahkan dalam beramal kebaikan kepada Allah ﷻ dan menjauhi segala yang dilarang oleh Allah ﷻ.

Galih Enggartyasto

Teknik Mesin 2017

FTI UII

Marâji’

[1] https://bimbinganislam.com/apa-perbedaan-keadilan-allah-dan-keadilan-manusia/

[2] https://firanda.com/724-balasan-sesuai-perbuatan.html

[3] https://rumaysho.com/2373-nasehat-lukman-pada-anaknya-5-setiap-perbuatan-akan-dibalas.html

[4] https://tafsirweb.com/9779-quran-surat-al-hujurat-ayat-9.html

[5] https://muslim.or.id/6169-atasi-marahmu-gapai-ridho-rabbmu.html#_ftn12

Mutiara Hikmah

Rasulullah ﷺ bersabda,

لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِى يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ

Bukanlah orang kuat (yang sebenarnya) dengan (selalu mengalahkan lawannya dalam) pergulatan (perkelahian), tetapi tidak lain orang kuat (yang sebenarnya) adalah yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah” (H.R. al-Bukhari no. 5763 dan Muslim no. 2609).

Download Buletin klik disini

C I N T A

C I N T A

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Hidup ini akan terasa indah jika memaknai cinta dengan apa yang dikehendaki Allah  dan rasul-Nya. Seindah doa dari sahabat Abu Darda a, Ya Allah, aku mohon pada-Mu cinta-Mu dan cinta orang yang mencintai-Mu, amalan yang mengantarkanku menggapai cinta-Mu. Ya Allah, jadikan kecintaanku kepada-Mu lebih aku cintai daripada cintaku pada diriku sendiri, keluargaku, dan air dingin.(H.R. Ahmad dan Tirmidzi).

Teks doa ini diriwayatkan oleh Tirmidzi dari sahabat Abu Darda a.Hadits ini dikeluarkan oleh Tirmidzi (3556), Al-Hakim (2:433), Ibnu ‘Asakir (5/352/2). Tirmidzi menilai hadits ini hasan gharib. Al-Hakim menilai hadits ini sahih secara sanad.[1]

Kecintaan kepada Allah akan mengantarkan pelakunya pada kebahagiaan dunia dan akhirat. Sehingga cinta tersebut akan menggerakkan seluruh aktivitasnya pada segala sesuatu yang bermuara kepada kebaikkan, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Karena cinta itu ibadah, maka harus dipahami dengan benar. Jika cinta tidak dipahami dengan benar dan pengamalannya yang salah akan membawa pelakunya pada perbuatan dosa (masuk neraka). Namun jika cinta dipahami dengan benar  akan membawa pelakunya pada kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat (masuk surga).

Cinta memiliki peranan penting dalam keberlangsungan hidup manusia. Seorang ibu mengandung 9 bulan, menyusui 2 tahun dan merawatnya hingga dewasa, ini karena cinta. Seorang ayah bekerja siang dan malam untuk memenuhi kebutuhan isteri dan anak-anaknya, ini karena cinta. Seseorang melakukan aktivitas untuk mencapai suatu tujuan itupun pada akhirnya juga karena cinta.

Jika seseorang cinta kepada Allah ﷻ dan ingin berjumpa dengan-Nya, maka dia akan menempuh jalan yang mengantarkan menuju cita-citanya tersebut. Cinta merupakan penggerak seluruh aktivitas. Bahkan, hakikat ibadah itu sendiri adalah cinta, karena ibadah yang kosong dari cinta bagaikan ibadah yang tidak memiliki ruh.

Cinta Yang Sesungguhnya

Cinta yang sesungguhnya adalah cinta yang ditujukan kepada Allah ﷻ semata. Orang-orang beriman sangat mencintai Allah ﷻ, sebagaimana orang-orang musyrik mereka mencintai sesembahan mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan di antara manusia ada orang-orang yang mengangkat tandingan-tandingan selain Allah, mereka mencintai-Nya sebagaimana mencintai Allah, adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah.” (Q.S. al Baqarah [2]: 165).

Dari Anas a Rasulullah ` bersabda, “Ada tiga perkara yang apabila perkara tersebut ada pada seseorang, maka ia akan mendapatkan manisnya iman, yaitu (1) barangsiapa yang Allâh dan Rasûl-Nya lebih ia cintai dari selain keduanya, (2) apabila ia mencintai seseorang, ia hanya mencintainya karena Allâh. (3) Ia benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allâh menyelamatkannya sebagaimana ia benci untuk dilemparkan ke dalam Neraka.” (H.R. al-Bukhari no.16, Muslim no.43, At-Tirmidzi no.2624, dan Ibnu Majah no.4033)

Dari Ibnu Jarir, dari Ibnu Abbas h beliau berkata, “Siapa yang mencintai dan benci karena Allah, berteman dan memusuhi karena Allah, sesungguhnya pertolongan Allah itu diperoleh dengan demikian itu. Seorang hamba tidak akan bisa merasakan kenikmatan iman walaupun banyak melakukan shalat dan puasa sampai dirinya berbuat demikian itu. Sungguh, kebanyakan persahabatan seseorang itu hanya dilandaskan karena kepentingan dunia. Persahabat seperti itu tidaklah bermanfaat bagi mereka.” (H.R Ahmad di dalam al-Musnad III/430)

Tanda-Tanda Cinta Kepada Allah

Cinta kepada Allah ﷻ memiliki tanda dan bukti. Jika tanda dan bukti tersebut kurang atau bahkan tidak, hal ini merupakan tanda bahwa cinta kepada Allah ﷻ kurang, atau bahkan tidak ada. Di antara tanda-tanda kebenaran cinta kepada Allah adalah:[2]

  1. Mendahulukan kecintaan kepada Allah dibandingkan kecintaan kepada siapapun.
  2. Ittiba’ kepada Rasulullah `.
  3. Bercinta kasih kepada sesama kaum mukminin.
  4. Benci dan tegas kepada orang kafir.
  5. Berjihad di jalan Allah dengan jiwa dan hartanya demi tegaknya agama Allah.
  6. Tidak gentar terhadap celaan para pencela ketika berjalan di jalan Allah.

Tanda-tanda tersebut termaktub dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Katakanlah: “Jika bapak-bapak , anak-anak , saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan nya, Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan Nya”. dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik”. (H.R. at-Taubah [9]: 24)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfriman, “Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah: “Ta’atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir“.(Q.S. Ali Imran [2]: 31-32)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfriman, “Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap tegas terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha mengetahui.” (Q.S. al Mâidah [5]: 54).

Jangan Salah Memahami Cinta,

Jangan salah memahami cinta, sebagaimana yang terjadi pada hari valentine. Sudah menjadi rahasia umum, intensitas zina meningkat pesat di malam valentine. Hari itu dijadikan momen paling romantis untuk mengungkapkan rasa cinta kepada pacar dan kekasih. Apabila valentine hanya sekadar pacaran dan makan malam, setelah itu pulang ke “kandang” masing-masing, ini cara valentine zaman 70-an, kuno! Saat ini, valentine telah resmi menjadi hari zina sedunia.

Bukan hanya mengungkap perasaan cinta melalui hadiah coklat, tapi saat ini dilampiri dengan kondom. Allâhu akbar! Apa yang bisa Anda bayangkan? Malam valentine menjadi kesempatan besar bagi para pemuda dan mahasiswa pecundang untuk merobek mahkota keperawanan gadis dan para wanita. Malam valentine diabadaikan dengan lumuran maksiat dan dosa besar. Lebih parah dari itu, semua kegiatan di atas mereka rekam dalam video untuk disebarkan ke berbagai penjuru bumi melalui dunia maya. Bukankah ini bencana besar?! Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji’ûn.

Dimanakah rasa malu mereka?! Dimanakah rasa keprihatinan mereka dengan umat?! Akankah mereka semakin memperparah keadaan?! Wahai para pemuda pecundan, jangan karena kalian tidak mampu menikah kemudian kalian bisa sewenang-wenang menggagahi wanita?

Wahai para pemudi yang hilang rasa malunya, jangan karena sebatang cokelat dan romantisme picisan Anda merelakan bagian yang paling berharga pada diri Anda. Laki-laki yang saat ini sedang menjadi pacarmu, bukan jaminan bisa menjadi suamimu. Bisa jadi kalian sangat berharap kasih sayang sang kekasih, namun di balik itu, obsesi terbesar pacarmu hanya ingin melampiaskan nafsu binatangnya dan mengambil madumu.

Bertaubatlah wahai kaum muslimin, ingatlah hadits Nabi `,Jika perbuatan kekejian sudah merebak dan dilakukan dengan terang-terangan di tengah-tengah masyarakat, maka Allah akan menimpakan kehancuran kepada mereka.” (H.R. Hakim dan beliau shahihkan, serta disetujui Ad-Dzahabi)

Allâhu Akbar, bukankah ini ancaman yang sangat menakutkan. Gara-gara perbuatan mereka yang tidak bertanggung jawab itu, bisa jadi Allah menimpakan berbagai bencana yang membinasakan banyak manusia. Ya.. valentine’s day, telah menyumbangkan masalah besar bagi masyarakat.

Karena itu, kami mengajak kepada mereka yang masih lurus fitrahnya. Berusahalah untuk banyak istighfar kepada Allah. Perbanyaklah memohon ampunan kepada Allah. Kita berharap, dengan banyaknya istighfar yang kita ucapkan, semoga Allah mengampuni hamba-hamba-Nya.[3] Wallâhu a’lam bi ash shawâb.[]

 

*Abu Fawwaz al-Katitanji

 

Mutiara Hikmah

رَبِّ إِنِّي لِمَا أَنْزَلْتَ إِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيرٌ

Ya Tuhanku Sesungguhnya aku sangat membutuhkan setiap kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.” (Q.S. al-Qashash [28]: 24).

 

Refrensi end note:

[1] https://rumaysho.com/22798-doa-nabi-daud-meminta-cinta-allah.html

[2] Abu Isa Abdullah bin Salam. 1435 H. Mutiara Faidah Kitab Tauhid. Yogayakarta: Pustaka Muslim. hal. 209-212

[3] https://konsultasisyariah.com/10485-valentines-day-hari-zina-internasional.html

 

Download Buletin klik disini

Untuk Apa Aku Hidup Di Dunia ?

Untuk Apa Aku Hidup Di Dunia ?

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Salah satu perkara ‘aqidah yang penting untuk diketahui dan dipegang erat oleh masing-masing umat Islam adalah tujuan hidup di dunia ini supaya kehidupan dari masing-masing umat Islam lebih terarah dan tidak salah dalam menjalani kehidupan di dunia. Karena dengan tujuan yang tepat, setiap hal yang dilakukan akan memiliki arah yang jelas.

Masih banyak segelintir orang yang masih bingung tentang tujuan penciptaan manusia di dunia, setelah mencari jawaban selama bertahun-tahun pun masih tidak mendapat jawaban dari pertanyaan “Untuk apa sih saya ada di dunia ini”. Demikian kira-kira yang muncul dalam benak orang-orang tersebut. Bahkan yang lebih parah lagi jika ada yang menanyakan, “Kenapa sih kita harus beribadah kepada Allah?”. “Apakah Allah memerintahkan kita untuk ibadah karena Allah butuh kepada makhluk ?” dan pertanyaan yang sejenisnya.

Tujuan Penciptaan Makhluk

Ternyata, Allah Subhanahu wa Ta’ala sudah dengan jelas menyatakan tujuan hidup kita di dunia yaitu beribadah kepada Allah l. Allah l berfirman, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (Q.S. adz-Dzariyat [51]: 56)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di v menjelaskan (tafsir as-sa’di), inilah tujuan Allah menciptakan jin dan manusia, dan Dia mengutus para rasul untuk menyeru kepadanya, yakni untuk beribadah kepada-Nya yang di dalamnya mengandung ma’rifat (mengenal)-Nya dan mencintai-Nya, kembali kepada-Nya, dan mendatangi-Nya serta berpaling dari selain-Nya. Hal ini tergantung pada ma’rifat (mengenal)-Nya, karena sempurnanya ibadah tergantung sejauh mana pengenalannya kepada Allah, bahkan setiap kali seorang hamba bertambah ma’rifatnya, maka ibadahnya semakin sempurna. Untuk inilah Allah menciptakan manusia dan jin, bukan karena Dia butuh kepada mereka. Dia tidak menginginkan rezeki dari mereka dan tidak menginginkan agar mereka memberi-Nya makan, Mahatinggi Allah Yang Mahakaya dan tidak butuh kepada seorang pun dari berbagai sisi, bahkan semua makhluk butuh kepada-Nya dalam semua kebutuhan mereka, baik yang dharuri (penting) maupun yang selainnya.

Ternyata Allah  tidak membiarkan makhluk-Nya hidup tanpa tujuan di dunia. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menciptakan kita hidup di dunia ini untuk makan, minum, tidur, melepas lelah. Bila kita hidup dengan tujuan seperti ini, maka rendah sekali tujuan hidup kita. Tetapi ada tujuan besar yaitu agar setiap makhluk dapat beribadah kepada Allah. Ibadah yang mencakup segala yang dicintai oleh Allah baik itu ucapan maupun perbuatan. Yang terpenting bagi kita adalah melakukan apa yang Allah cintai bagaimana pun keadaan kita dan di mana pun kita berada.

Apakah Allah butuh kepada makhluk?

Kita sudah mengetahui bahwa tujuan kita hidup di dunia adalah untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tetapi bagi beberapa orang akan mempunyai pertanyaan lanjutan yaitu “Jika kita hidup untuk beribadah kepada Allah, apakah Allah butuh kepada makhluk-Nya?” atau “Berarti Allah butuh kepada makhluk?” dan pertanyaan sejenisnya.

Jawaban untuk pertanyaan tersebut adalah tidak, Allah l sama sekali tidak butuh kepada makhluk-Nya, melainkan makhluklah yang butuh kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bahkan sekalipun tidak ada satu manusia yang beriman kepada Allah, maka itu tidak akan mengurangi kekuasaan dan kerajaan Allah Subhanahu wa Ta’ala sedikitpun.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari makhluk dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi makan pada-Ku. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezeki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.”(Q.S. adz-Dzariyat [51]: 57-58)

Di ayat yang lain Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman, “Dan barangsiapa yang berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.”(Q.S. al-Ankabut [29]: 6)

Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya telah datang kepada mereka Rasul-Rasul mereka membawa keterangan-keterangan lalu mereka berkata: “Apakah manusia yang akan memberi petunjuk kepada kami?” lalu mereka ingkar dan berpaling; dan Allah tidak memerlukan (mereka). Dan Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”(Q.S. at-Taghabun [64]: 6)

Untuk Apa Allah Perintahkan untuk Beribadah?  

Sudah sangat jelas dari ketiga ayat di atas bahwa Allah tidak butuh sama sekali kepada makhluk-Nya. Namun bagi orang-orang yang berpikir “kritis” akan menimbulkan pertanyaan kembali yaitu “Kalau tidak butuh kepada makhluk, lalu untuk apa Allah memerintahkan untuk melakukan berbagai ibadah kepada makhluk-Nya?”.

Maka jawabannya adalah sebagai ujian dan sebagai pembeda antara orang yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan orang yang tidak beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena orang yang beriman dan beramal shalih akan mendapat balasan surga-Nya Allah  sementara orang yang tidak beriman dan tidak beramal shalih akan dijerumuskan ke neraka-Nya Allah sebagaimana firman-Nya, “Berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang beriman dan beramal salih bahwasanya mereka akan mendapatkan balasan berupa surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai…” (Q.S. al-Baqarah [2]: 25)

Lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman, “Barang siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang sangat besar.” (Q.S. an-Nisâ’ [4]: 13)

Bertaubatlah Segera

Kemudian setelah mengetahui tujuan Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan berbagai ibadah kepada makhluk-Nya, ada sebagian orang yang akan berpikir seperti “Hmmm, coba saja Nabi Adam dan istrinya tidak memakan buah yang Allah larang untuk mereka makan, maka kita tidak perlu lagi untuk berada di dunia ini dan langsung masuk ke dalam surga Allah”.

Maka ketahuilah, itu merupakan contoh bahwa setiap manusia pernah melakukan kesalahan dan terjatuh dalam dosa. Dan pintu ampunan Allah l begitu luasnya, maka sepatutnya ketika kita melakukan dosa dan kesalahan, hendaknya kita segera bertaubat dengan sebenar-benarnya taubat dari dosa tersebut.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin yang bersama dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: “Ya Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu”.(Q.S. at-Tahrim [66]: 8)

Kemudian Rasûlullâh ` bersabda, “Setiap anak Adam pasti berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang bertaubat. (Hasan: HR. Ahmad (III/198); at-Tirmidzi (no. 2499); Ibnu Majah (no. 4251) dan al-Hakim (IV/244), dari Sahabat Anas bin Malik. Lihat Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr (no. 4515))

Akhir kata, kita hidup ini bukan untuk tujuan dunia melainkan dengan tujuan untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka hendaknya kita tidak disibukkan dengan urusan dunia kita dan melupakan urusan akhirat kita karena dengan ibadah yang kita lakukan ikhlas karena Allah l semata in sya Allah menjadi sebab kita masuk ke dalam surga-Nya Allah dan di surgalah sebaik-baik tempat untuk kembali dan neraka seburuk-buruk tempat kembali.[]

 

Galih Enggartyasto

Teknik Mesin 2017

FTI UII

 

Referensi

https://muslim.or.id/1286-ciri-ciri-penduduk-surga.html

https://rumaysho.com/342-untuk-apa-kita-diciptakan-di-dunia-ini.html https://tafsirweb.com/9952-surat-az-zariyat-ayat-56.html

 

Mutiara Hikmah

Allah l berfirman:

وَأَحْسِنُوا ۛ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

… dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.

(Q.S. al-Baqarah [2]: 195).

 

Download Buletin klik disini

Takdir Allah Yang Terbaik

Takdir Allah Yang Terbaik

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘ala rasûlillâh,

Sahabat fillah, mengimani takdirnya Allah ﷻ merupakan salah satu komponen dari rukun iman. Hal ini termasuk dalam rukun iman yang ke-6. Kata “iman” berarti percaya atau meyakini. Maka, orang yang mengimani rukun iman yang 6 adalah orang yang meyakini kebenaran dari rukun iman tersebut. Takdir adalah sebuah ketetapan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Harus diperhatikan dalam memahami takdir karena salah memahami keimanan terhadap takdir dapat berakibat fatal, menyebabkan batalnya keimanan seseorang.

Ahlus sunnah beriman bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan seluruh takdir sejak azali, dan Allah mengetahui takdir yang akan terjadi pada waktunya dan bagaimana bentuk takdir tersebut, semuanya terjadi sesuai dengan takdir yang telah Allah ﷻ tetapkan.

Perjalanan kehidupan manusia tidaklah selalu lurus layaknya sebuah jalan tol. Ada lika-liku, naik-turun bahkan tikungan tajam. Hal ini juga serupa dengan tidak selalu hal baik yang kita inginkan yang terjadi dalam kehidupan kita, ada hal-hal yang sama sekali tidak kita inginkan, namun Allah Subhanahu wa Ta’ala takdirkan itu pada kita. Sedih, kecewa, dan marah, mungkin itu yang akan menjadi respon pertama kita ketika mendapati hal yang tidak sesuai dengan ekspektasi kita. Tak selalu gembira dan tawa yang menjadi teman dalam kehidupan kita. Kadang air mata dan rasa kecewa mau tidak mau juga menjadi teman. Mungkin jika bisa memilih, kita ingin selalu mendapati apa yang kita inginkan dalam kehidupan kita.

Sebenarnya, apakah kita pernah mengetahui keinginan kita akan berdampak baik untuk kita atau tidak? Selama ini, kita selalu saja menilai dan melihat sesuatu hanya melalui sudut pandang yang kita senangi saja. Jarang bahkan hampir tidak pernah kita memikirkan dampak lain dari pilihan atau keinginan kita. Kita terlalu asyik dengan gambaran kebaikan yang sebenarnya kita sendiri yang menciptakan hal tersebut, yang belum tentu hal itu bakal menjadi sebuah kenyataan. Tapi, bukan berarti kita harus menghentikan keinginan atau impian kita. Tetap lanjutkan sebuah impian dan keinginanmu, namun ada hal yang harus kamu ubah, yaitu percaya dan menerima takdir yang menghampirimu.

Kemungkinan ada banyak diantara kita, ketika menerima takdir yang tidak diinginkan akan menjadi sedih. Hal itu wajar, karena kondisi yang  sudah kita harapkan ternyata malah sebaliknya. Ketika kita sudah berusaha mati-matian untuk memperjuangkan hal yang menjadi keinginan kita, namun pada nyatanya yang terjadi adalah hal yang sama sekali tidak kita harapkan. Murka pada takdir, dan seolah merasa seperti satu-satunya manusia yang dizhalimi oleh takdir. Kalau kita melihat kilas balik, sangat banyak kejadian yang ditetapkan oleh Allah kepada orang-orang terdahulu yang jauh dari ekspektasi mereka.

Simaklah Kisah Ini

Kisah ibunda Nabi Musa n yang menghanyutkan anaknya di atas laut. Lihatlah, kecemasan dan ketakutan yang luar biasa menghinggapi saat mengetahui anaknya berada di tangan keluarga raja Fir’aun. Tetapi, tanpa diduga tragedy itu berbuah manis di kemudian hari.

Perhatikan pula dengan seksama kisah hidup Nabi Yusuf n, maka kamu akan menemukan bahwa kaidah ini cukup menggambarkan drama mengharukan antara Nabi Yusuf n dan sang ayah, Nabi Ya’qub n.

Lihatlah kisah bocah laki-laki yang dibunuh oleh Nabi Khidir n atas perintah langsung dari Allah. Apa yang dilakukan oleh Nabi Khidir itu membuat Nabi Musa n bertanya-tanya, maka Nabi Khidir n pun memberikan jawaban yang kata-katanya diabadikan di dalam al-Qur’an.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan adapun anak muda itu, maka keduanya adalah orang-orang mukmin, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuan yaitu kepada kesesatan dan kekafiran. Dan kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya).” (Q.S. al-Kahfi [18]: 80-81).

Dari kisah tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa dari setiap kejadian yang mungkin tidak kita sukai atau senangi terdapat kebaikan yang Allah ﷻ berikan didalamnya. Namun kita sebagai manusia, jarang sekali melihat kebaikan tersebut, dan cenderung lebih menilai dari keburukannya. Dalam hidup kita selalu merasa apa yang menjadi pilihan kita dan apa yang kita sukai adalah hal yang terbaik bagi kita.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 216).

Dari ayat diatas menggambarkan tentang apa-apa yang kita sukai belum tentu baik untuk kita, dan sebaliknya apa yang buruk menurut kita belum tentu benar buruk adanya. Manusia hanya bisa melihat melalui panca indranya yaitu mata yang sebenarnya juga memiliki kerterbatasan.

Allah lah sejatinya yang dapat melihat segala sesuatu dan mengetahuinya tanpa ada batasan apapun. Hal ini sesuai dengan asma Allah yaitu al- Bashîr dan al-‘Alim, yaitu Maha Melihat dan juga Maha Mengetahui. Maka dari itu, tidak sepatutnya kita merasa bahwa kita mengetahui segala sesuatu yang terbaik bagi kita dan seolah kita, kita sebagai manusia hanya dapat berikhtiar untuk mendapatkan sesuatu. Namun takdir Allah lah yang akan menetapkan itu semua, dan kita harus menanamkan sifat ikhlas dalam diri kita agar tidak pernah kecewa terhadap apa pun keputusan Allah. Karena Allah tidak akan mungkin mengecewakan hambanya. Ada sebuah syair yang berkaitan dengan hal ini, yaitu “Seseorang seharusnya berusaha sekuat tenaganya mendapatkan kebaikan. Tetapi, ia tidak akan bias menetapkan keberhasilannya.

Takdir Allah adalah yang Terbaik

Sahabat fillah, takdir Allah adalah yang terbaik. Janganlah selalu merasa ketika Allah memberikan kita takdir yang sulit untuk dilakukan lantas kita langsung berprasangka buruk kepada Allah.  Kita tahu banyak orang hebat diluar sana yang lahir dari sebuah kesulitan, namun mereka tidak lantas menyerah dan putus asa. Karena mereka yakin bahwa Allah tidak membebankan segala sesuatu kepada hambanya melainkan karena kesanggupannya.

Jenderal Sudirman merupakan seorang pemuda yang memiliki kekurangan dalam hal fisik, yaitu kakinya lumpuh dan menderita penyakit kronis. Hal itu menyebabkan ia selalu ditandu untuk memimpin pasukannya. Apa yang dialami oleh Jenderal Sudirman bukanlah sesuatu yang diinginkan oleh beliau ataupun keluarganya. Namun itu sudah berupa ketetapan yang sudah Allah takdirkan.

Namun lagi dan lagi, Allah tidak pernah memberikan sebuah keburukan pada hambanya, walaupun fisiknya yang kurang tetapi Jenderal Sudirman dapat merintis dasar-dasar kemiliteran Indonesia, dan menjadi orang pertama yang mendapatkan gelar panglima besar. Tidaklah mungkin Allah memberikan sesuatu yang pahit jika bukan hal manis yang menjadi penawarnya.

William James mengatakan bahwa terkadang cacat yang kita derita justru dapat membantu kita meraih prestasi sehingga sampai pada titik yang tidak terduga. (Subur, 2008, 99 ideas happy for life). Kita harus selalu ingat bahwa terkadang Allah l memberikan sebuah nikmat tidak hanya melalui sebuah kesenangan, adakalanya melaui sebuah cobaan besar dan sebuah kesengsaraan. Disinilah pentingnya berprasangka baik kepada Allah l dan takdir yang akan ditetapkan oleh Allah l.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (Q.S. an-Nisa’ [4]: 19). Terjemahan ayat ini menjadi penutup dari tulisan ini. Bahwa pada dasarnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan pernah mengecewakan hambanya. Segala takdir yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah tetapkan memiliki sebuah hikmah dan pelajaran didalamnya. Semuanya tergantung dari sudut pandang kita yang menilainya.

 

Referensi

Subur, J.(2008, Februari) 99 ideas for happy life

Tarmizi, N.(2016, Maret 10)ketetapan Allah adalah yang terbaik.https://muslim.or.id/27649-ketetapan-allah-adalah-yang-terbaik.html

 

Ayu Winda Rizky

NIM: 184213136

Ekonomi Islam

 

Mutiara Hikmah

Rasulullah ` bersabda, “Bersemangatlah atas hal-hal yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah pada Allah, jangan engkau lemah.” (H.R. Muslim, no. 2664)

Download Buletin klik disini

Tahun Baru Masehi Milik Siapa?

Tahun Baru Masehi Milik Siapa? 

Bismillahi walhamdulillâh wash shalatu was salâmu ‘ala rasûlillâh,

Sudah menjadi polemik di tengah-tengah kaum muslimin soal perayaan hari pergantian tahun di setiap tahunnya. Ada yang menerima bahkan turut serta dalam perayaan malam pergantian tahun baru tersebut, namun ada juga yang menolak dan menjaga diri dari segala macam bentuk kegiatan yang berkaitan dengan malam perayaan tahun baru tahunan itu. Mayoritas kaum muslimin sejak dulu sudah sangat akrab dengan malam tahun baru yang puncaknya adalah pada pukul 00.00 pagi, di mana suara gemuruh kembang api terdengar hampir dari seluruh penjuru mata angin, serta  langit-langit yang  terlihat bercahaya dan penuh dengan gemerlapnya. Perayaan tersebut hampir diikuti oleh seluruh manusia termasuk kaum muslimin, tidak terkecuali negeri-negeri Arab, seperti Uni Emirat Arab yang disebut-sebut sebagai penyelenggara perayaan tahun baru paling spektakuler di Timur Tengah. Namun pernahkah kaum muslimin yang merayakan itu membaca dan menelaah tentang sejarah perayaan tahun baru masehi itu?

Sejarah Perayaan Tahun Baru

Banyak versi tentang sejarah perayaan tahun baru yang tiap tahunnya menjadi pergelaran akbar di seluruh dunia itu. Bagi mereka yang membolehkan, meyakini bahwa tahun baru itu sudah dimulai sejak abad ke 4 Masehi menurut kebiasaan orang-orang Romawi, ada juga yang mengatakan itu hanya soal model penanggalan matahari dan bulan sehingga tidak ada kaitannya dengan agama apapun. Sedang bagi mereka yang tidak membolehkan perayaan tahun baru, meyakini bahwa sejarah perayaan pergantian tahun itu berkaitan erat dengan kelahiran Yesus atau Isa Al-Masih yang dianggap Tuhan atau anak Tuhan.

Mari coba kita telaah, tahun Masehi sangat berhubungan erat dengan keyakinan agama Kristen, Masehi adalah nama lain dari Isa al-Masih. Orang yang pertama kali membuat penanggalan kalender Masehi adalah seorang kaisar Romawi bernama Gasius Julius Caesar pada tahun 45 SM. Kemudian seorang pendeta Kristen bernama Donisius memanfaatkan penemuan kalender Julius Caesar untuk diadopsi (diangkat) sebagai penanggalan yang didasarkan pada tahun kelahiran Yesus Kristus.

Sedang di zaman Romawi, pesta perayaan ulang tahun baru adalah untuk menghormati Dewa Janus (Dewa yang digambarkan bermuka dua). Perayaan ini terus dilesatarikan dan menyebar ke Eropa pada awal abad Masehi. Seiring berkembangnya agama Kristen, akhirnya perayaan ini diwajibkan oleh pemimpin Negara sebagai perayaan “suci” satu paket dengan hari Natal. Inilah sebabnya ucapan Natal dan Tahun baru dijadikan satu Merry Christmas and Happy New Year.

Pendapat yang demikian salah satunya dikemukakan oleh Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU yakni KH. Cholil Nafis “Perayaan tahun baru tersebut bukan milik umat Islam. Beliau menjelaskan tahun baru Masehi adalah tahun umat Kristiani yang menghitung awal tahun dari kelahiran Nabi Isa (Yesus). Oleh karena itu, tidak ada hubungan dan kepentingan umat Islam dengan pergantian tahun yang dimulai pukul 00.00 pada tanggal 31 Desember itu. Jadi, umat Islam tidak baik dan tidak perlu merayakan apapun berkenaan dengan pergantian tahun. Jika pergantian tahun Masehi berkenaan dengan mengisi liburan kerja dan sekolah, maka isilah dengan hal-hal yang positif.”

Persfektif Islam soal Perayaan Tahun Baru

Kita sepakat, bahwa perayaan tahun baru Masehi bukanlah tradisi Islam. Bahkan perayaan ini datang dari orang yang notabene tidak beriman kepada Allah atau kafir. Sebagaimana yang telah dijelaskan pada pembahasan sejarah, bahwa tahun baru merupakan pesta warisan dari masa lalu yang dahulu dirayakan oleh orang-orang Romawi. Mereka (orang-orang Romawi) mendedikasikan hari yang istimewa ini untuk seorang dewa yang bernama Janus, The God of Gates, Doors, and Beeginnings. Janus adalah seorang dewa yang memiliki dua wajah, satu wajah menatap ke depan dan satunya lagi menatap ke belakang, sebagai filosofi masa depan dan masa lalu, layaknya momen pergantian tahun.

Namun apapun itu, larangan Nabi ` terkait mengikuti perayaan-perayaan di luar perayaan Islam amatlah jelas, Beliau Rasulullah ` bersabda, “Barangsiapa yang meniru kebiasaan suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari kaum tersebut”. (H.R. Abu Dawud). Kemudian Beliau ` juga bersabda tentang hari raya umat Islam untuk menegur sahabat yang masih melaksanakan hari raya umat sebelum Islam, yakni perayaan Nairuz dan Mihrajan, “Saya mendatangi kalian dan kalian memiliki dua hari raya, yang kalian jadikan sebagai waktu untuk bermain. Padahal Allah telah menggantikan dua hari raya terbaik untuk kalian,(yakni) idul fitri dan idul adha.” (H.R. Ahmad).

Dari hadis tersebut jelaslah bagi kita akan pengingkaran Nabi ` terhadap bentuk perayaan-perayaan di luar Islam, bahkan perayaan Nairuz dan Mihrajan yang dirayakan penduduk madinah, isinya hanya bermain-main dan makan-makan. Sama sekali tidak ada unsur ritual sebagaimana yang dilakukan orang majusi, sumber asli dua perayaan ini. Namun mengingat dua hari tersebut adalah perayaan orang kafir, Nabi ` melarangnya.

Sikap Kaum Muslimin Terhadap Perayaan di Luar Islam

Untuk sikap yang sebaiknya diambil oleh seorang muslim terkait perayaan malam tahun baru, dengan menimbang pemaparan di atas adalah menahan diri untuk tidak ikut berpartisipasi dalam segala bentuk  kegiatan yang didasari atas pengkhususan malam tahunan tersebut, terlebih lagi belum lama kita telah dihadapkan dengan fitnah ucapan selamat natal yang dapat mengikis aqidah tauhid, sebagaimana firman Allah , “Dan mereka berkata: “Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak.” Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar, hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung-gunung runtuh, karena mereka menda’wakan Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak. Dan tidak layak bagi Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak.” (Q.S. Maryam [19]: 88-92).

Ucapan selamat natal jelas terkandung di dalamnya 2 kemungkaran. Pertama, jika seorang yang mengucapkan selamat natal itu diikuti dengan keyakinan akan kelahiran Yesus atau Nabi Isa n sebagai anak Tuhan, maka batal lah keislamannya menurut dalil syara’.

Kedua, jika dia mengucapkan selamat natal namun tidak mengikutinya dengan keimanan terhadap kelahiran Yesus atau Nabi Isa n sebagai anak Tuhan, maka dia telah memberikan kesaksian atau selamat palsu, yang juga merupakan dosa besar dan bisa menjadi sebab kemunafikan dalam hati. Karenanya sikap yang paling selamat dalam menghadapi ujian-ujian keimanan tersebut adalah mendiamkan. Karena mendiamkan adalah bentuk paling nyata dari sebuah toleransi.

Penulis ingin mengutip Fatwa MUI NTB tentang ucapan dan partisipasi terhadap perayaan umat lain pada poin nomor 3 dan 6 yang bunyinya:

  1. Kepada seluruh kaum Muslimin agar menjaga aqidah serta kepribadian sebagai umat Islam dan menjauhkan diri dari mengikuti kegiatan ibadah umat lain dan jangan meniru ciri khas mereka.
  2. Kepada seluruh kaum Muslimin dihimbau untuk tulus (ikhlas) menerima ajaran Islam dan masuk ke dalam Islam secara utuh agar terhindar dari kesesatan dan penyesatan yang membuat umat akan kehilangan kepribadian yang Islami (Syakhshiiyyah Islamiyyah).

 

Anas Ahamad Rahman

Mahasiswa Pasca MIAI UII

 

Mutiara Hikmah:

“…Allah dan Rasul-Nya yang lebih berhak untuk mereka cari keridhoan-Nya…” (Q.S. At-Taubah [9]: 62)

 

Download Buletin klik disini

Hukum Ucapan Selamat Natal Bagi Muslim

Hukum Ucapan Selamat Natal Bagi Muslim

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang multikultural, sebab ia terdiri dari berbagai agama dan kepercayaan. Namun, ada kalanya kemajemukan ini menimbulkan polemik tertentu pada masyarakat. Di antaranya adalah terkait hukum ucapan selamat natal bagi umat Islam yang diucapkan kepada umat Nasrani (kristiani). Polemik ini hampir terjadi di setiap tahun. Berhubung kasus ini erat kaitannya dengan istinbath al-hukmi, maka penulis akan mengulas hukum ucapan selamat natal dengan menggunakan perspektif  fiqih yang akan dikaitkan juga dengan akidah.

Dasar Pemahaman

Kita tidak akan menemukan dalil dari al-Qur’an maupun as-Sunnah secara spesifik untuk dapat menyimpulkan hukum ucapan selamat Natal. Sebab, di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah tidak disebutkan secara spesifik terkait dengan kebolehan atau keharaman mengucapkan selamat natal. Polemik ini terjadi di era kontemporer, dimana ia muncul karena keinginan sebagian umat Islam yang hendak mengekspresikan sikap toleransinya kepada non-Muslim.

Maka, karena ia tidak ditemukan di dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah yang secara tegas menghukuminya, kasus ini masuk dalam kategori Ijtihadi. Hakikatnya, jumhur ulama (mayoritas ulama) dari 4 madzhab besar dalam ilmu Fiqih (Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali) telah sepakat akan keharaman pengucapan selamat Natal kepada umat Nasrani. Namun, ulama-ulama kontemporer kembali mengulas hukum tersebut dikarenakan kasus ini masuk dalam kategori Ijtihadi.

Perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan ulama kontemporer, disebabkan oleh Ijtihad mereka dalam memahami generalitas (keumuman) ayat atau Hadits yang kiranya terkait dengan kasus ini. Contohnya perbedaan sikap yang diambil oleh para ulama kontemporer seperti Ibn Baz, Ibnu ‘Utsaimin, Ali Jum’ah, Yusuf al-Qardhawi, Habib Ali Aljufri, Buya Hamka, dan ulama kontemporer lainnya.

Dasar Hukum yang Membolehkan

Para ulama yang memilih sikap untuk membolehkan ucapan selamat Natal bagi umat Nasrani mendasari hukumnya pada firman Allah l di dalam surat al-Mumtahanah ayat 8: “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”(Q.S. al-Mumtahanah [60]: 8)

Pada ayat tersebut, Allah l menegaskan bahwa perbuatan baik (Ihsan) kepada siapa saja itu tidak dilarang, selama mereka tidak memerangi dan mengusirnya dari negerinya. Sedangkan, mengucapkan selamat natal merupakan salah satu bentuk perbuatan baik kepada orang non-muslim, sehingga perbuatan tersebut diperbolehkan.

Selain itu, dalam hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik a Rasulullah ` bersabda, “Dahulu ada seorang anak Yahudi yang senantiasa melayani (membantu) Nabi `, kemudian ia sakit. Maka, Nabi ` mendatanginya untuk menjenguknya, lalu beliau duduk di dekat kepalanya, kemudian berkata: ‘Masuk Islam-lah!’ Maka anak Yahudi itu melihat ke arah ayahnya yang ada di dekatnya, maka ayahnya berkata,‘Taatilah Abul Qasim (Nabi `). Maka anak itu pun masuk Islam. Lalu Nabi ` keluar seraya bersabda, ‘Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkannya dari neraka.’” (H.R. Al-Bukhari no. 1356, 5657)

Pada hadits tersebut, Rasulullah ` memberi teladan kepada umatnya untuk berbuat baik kepada non-Muslim. Sehingga mengucapkan selamat Natal yang merupakan salah satu bentuk perbuatan baik kepada non-muslim pun diperbolehkan, walaupun bukan dalam keadaan darurat. Ucapan tersebut diperbolehkan selama tidak mengganggu Akidahnya terhadap Allah dan Rasul-Nya serta tidak mendukung keyakinan umat Nasrani tentang kebenaran peristiwa natal.

Ulama kontemporer yang mendukung pendapat ini diantaranya Yusuf al-Qardhawi, Musthafa Zarqa, Abdullah bin Bayyah, Ali Jum’ah, Habib Ali Aljufri, Quraish Shihab, Abdurrahman Wahid, Said Aqil Sirodj, dan lain sebagainya.

Dasar Hukum yang Mengharamkan

Para ulama yang memilih sikap untuk mengharamkan ucapan selamat natal bagi umat Nasrani mendasari hukumnya pada firman Allah l di dalam surat al-Furqan ayat 72, “Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (Q.S. al Furqan [25]: 72)

Pada ayat tersebut, Allah l menjanjikan bagi orang yang tidak memberikan kesaksian palsu dengan martabat yang tinggi di surga. Sedangkan, apabila seorang muslim mengucapkan selamat natal berarti dia telah memberikan kesaksian palsu dan membenarkan keyakinan umat Nasrani tentang hari Natal (kelahiran Yesus Kristus, salah satu Tuhannya umat Nasrani). Konsekuensinya adalah ia tidak akan mendapatkan martabat yang tinggi di surga. Dengan demikian, mengucapkan selamat natal kepada umat kristiani tidak diperkenankan.

Selain itu, dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Umar h Rasulullah ` bersabda, “Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka dia termasuk bagian kaum tersebut.” (H.R. Abu Daud, no. 4031).

Pada hadits tersebut, Rasulullah ` mewanti-wanti umat Islam terhadap perbuatan tasyabbuh terhadap non-muslim. Dalam kaidah Bahasa Arab (tepatnya adalah ilmu Shorof), kata tasyabbuh berasal dari wazan Tafa’ul, yang bermakna muthawa’ah (menurut), takalluf (memaksa), dan juga tadarruj (bertahap atau parsial) dalam melakukan suatu perbuatan. Sehingga, dari wazan ini kata tasyabbuh memiliki faidah perbuatan yang dilakukan sedikit demi sedikit, yang awalnya barangkali ia merasa terpaksa/ikut-ikutan dengan perbuatan tersebut sampai kemudian ia menurut dan terbiasa mengerjakannya.

Dengan kata lain, siapa saja menyerupai suatu kaum maka ia lama kelamaan akan tunduk kepada mereka. Oleh sebab itu, hendaknya seorang muslim tidak bermudah-mudahan dalam melakukan perbuatan yang menyerupai orang non-muslim, sebab ia merupakan pintu menuju ketundukan kepada mereka. Sehingga,sikap tegas dengan kaidah saddud dzari’ah (menutup pintu keburukan) merupakan suatu kaidah yang tepat dalam kasus ini agar akidah kita tidak tergoyahkan akibat ikut-ikutan mengucapkan selamat Natal sebagaimana yang dilakukan oleh umat Nasrani.

Dengan demikian, umat Islam yang mengucapkan selamat Natal kepada umat Nasrani berarti telah melakukan tasyabbuh sekaligus memberikan kesaksian palsu dan membenarkan keyakinan umat kristiani tentang kebenaran peristiwa natal. Sehingga, kasus ini masuk juga ke dalam ranah akidah yang mengkompromikan antara tauhid dengan syirik. Atas dasar inilah hukum ucapan tersebut diharamkan secara tegas.

Ulama kontemporer yang mendukung pendapat ini diantaranya Ibn Baz, Ibnu Utsaimin, Buya Hamka (Abdul Malik Karim Amrullah), Buya Yahya (Habib Yahya Zainul Ma’arif), Ibrahim bin Ja’far, Ja’far At-Thalhawi, Khalid Basalamah, Abdul Somad, Adi Hidayat, dan lain sebagainya.

Kesimpulan

Dari pemaparan tersebut, dapat disimpulkan bahwa para ulama kontemporer berbeda pendapat tentang hukum ucapan selamat Natal. Ada yang mengharamkan, ada pula yang membolehkan. Maka, perbedaan semacam ini hendaknya tidak boleh menjadikan internal umat Islam di Indonesia semakin terpecah hanya diakibatkan oleh perbedaan pemilihan sikap dalam kasus ini.

Apabila kita memilih sikap untuk membolehkannya, pastikan bahwa pembolehan tersebut demi menjaga kedamaian dan kerukunan antar umat beragama, dengan tetap menjaga akidah kita sebagai seorang Muslim. Apabila kita memilih sikap untuk mengharamkannya, pastikan bahwa pengharaman tersebut merupakan bentuk ghirah kita dalam menjaga prinsip akidah umat Islam yang tegas namun tetap menjaga nilai-nilai toleransi antar umat beragama dengan bentuk yang berbeda.

Sikap apapun yang dipilih, mari senantiasa kita menjaga persatuan umat Islam diantara perbedaan yang ada. Pada akhirnya nanti kita akan mempertanggungjawabkan dihadapan Allah l pada yaumul hisab (hari kiamat).

Sikap Penulis

Penulis lebih memilih sikap tidak memperkenankan mengucapkan ucapan selamat natal kepada umat Nasrani dengan tetap menghormati para ulama yang membolehkannya. Sikap tersebut penulis pilih berlandaskan kaidah saddud dzari’ah terhadap madharat yang akan terjadi apabila memilih sikap membolehkannya. Sebab dalam syariat Islam ada kaidah Dar’u al-Mafasid Muqoddamun ‘ala Jalbi al-Mashalih (Menolak mudharat lebih diprioritaskan dari mengambil manfaat). Madharat dari pembolehan pengucapan selamat Natal ini adalah adanya kompromi antara tauhid dengan syirik serta kesaksian palsu dan pembenaran keyakinan umat kristiani tentang peristiwa Natal. Kaum muslimin di Indonesia tidak mengucapkannya pun, tidak akan terganggu dikarenakan sikap statis tersebut. Sebab umat Islam masih akan tetap berbuat baik dan mampu bertoleransi kepada mereka walau dalam aspek yang lain.

Saiful Aziz al-Bantany

Mahasiswa Pasca UIN Sunan Kalijaga

 

Mutiara Hikmah

لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ

“Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku. (Q.S. al-Kafirûn [109]: 6)

 

Download Buletin klik disini

Langkah Cerdas Generasi Muslim Menapaki Jalan Kehidupan

Langkah Cerdas Generasi Muslim Menapaki Jalan Kehidupan

قَالَ الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلَاقُو اللَّهِ كَمْ مِنْ فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإِذْنِ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ

“Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah, berkata: “Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.”

(Q.S al-Baqarah [2]: 249) 

Ayat ini mengisahkan tentang kisah Thalut bersama para tentaranya yang pergi untuk memerangi bangsa amaqoh. Thalut berkata kepada para tentaranya bahwa sesungguhnya Allah akan menguji mereka dengan sebuah sungai yang akan mereka seberangi. Tujuannya adalah untuk mengetahui mana orang mukmin dari orang munafik. Barangsiapa yang meminum air sungai tersebut, maka bukan termasuk dalam golongannya (munafik). Sedangkan yang mampu menahan nafsunya untuk tidak minum air sungai tersebut maka termasuk dalam golongan mukmin yang pantas untuk berjihad bersama Thalut bersama tentaranya yang semakin sedikit sekitar 300 orang untuk memerangi musuh.

Sementara jumlah musuh lebih banyak dan alat-alat perang mereka lebih hebat daripada tentaranya. Maka, bala tentara Thalut berkata, “Hari ini tidak ada kesanggupan dari kami untuk menghadapi Jalut dan bala tentaranya yang tangguh-tangguh.” Akan tetapi orang-orang yang beriman kepada Allah mengingatkan kawan-kawannya tentang Allah dan kekuasaan-Nya, seperti tersebut dalam surat al-Baqarah ayat 249.

Berdasarkan Tafsir Al-Mukhtashar dari Syaikh Dr. Shalih bin Abdullah bin Humaid فَصَلَ (keluar), yakni Thalut keluar dari negerinya ke suatu sungai. Beberapa pendapat mengatakan bahwa sungai tersebut sungai Urdun dan Palestina. Dan ujian yang dimaksud adalah ujian untuk menguji ketaatan mereka.

Maka dari kisah Thalut ini kita belajar, bahwa Allah bersama orang-orang yang bersabar dan mengimani sifat-sifat-Nya serta pahala terbaik dari sisi-Nya. Betapa banyak hamba yang menganggap kuantitas lebih prioritas dibandingkan kualitas. Padahal, Allah akan menolong orang-orang yang beriman dan beramal shalih. Adapun di hati kaum muslimin terdapat iman yang kokoh dan bala tentara Allah yang lebih tangguh dari sisi-Nya.

Pantang Menyerah Sebelum Berjuang

Thalut dan bala tentaranya yang mukmin pantang menyerah menghadapi musuh. Hal ini menunjukkan bahwa Allah tidak melihat ukuran fisik semata, melainkan kepada hati (keimanan) setiap hamba-Nya. Kun Fayakun! Jadilah Maka Jadilah ! Tidak ada satu pun yang mampu menangguhkan kekuasaan-Nya ketika Allah sudah berkehendak.

Mustahil bagi Allah untuk bergantung pada manusia. Maka, generasi muslim masa kini seharusnya mampu meningkatkan kecerdasaran spiritual dan kekuatan mental dalam menghadapi tantangan hidup yang sementara ini. Ketika memulai ikhtiar maka Allah senantiasa memerintahkan kita untuk meluruskan niat, mengamalkan dengan perbuatan, dan menyempurnakan dengan doa.

Allah Maha Hidup dan Berkuasa atas segala sesuatu, Allah l berfirman, “Dan berapa banyaknya para Nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut(nya) yang bertaqwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah,tidak lesu, dan tidak (pula) menyerah. Dan Allah menyukai orang-orang yang sabar.” (Q.S Ali ‘Imran [3]: 146).

Istiqomah Bersama dalam Jama’ah

Allah l berfirman, “Dan sabarkanlah dirimu untuk selalu bersama dengan orang-orang yang menyeru kepada Rabbnya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya. Dan janganlah kamu palingkan kedua matamu dari mereka karena mengharap perhiasan kehidupan dunia…” (Q.S al-Kahfi [18]: 28).

Berdasarkan tafsir Jalalyn, dijelaskan bahwa manusia diperintahkan untuk bersabar berada dalam jama’ah atau kelompok-kelompok yang menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran dengan hanya mengharap ridha Allah 24 jam. Dan janganlah berpaling dari mereka dan mengharapkan materi darinya sekalipun mereka adalah fakir miskin ataupun orang kaya karena mengharapkan perhiasan dunia. Manusia diberikan peringatan untuk tidak mengikuti orang-orang yang telah Allah lalaikan hatinya dari mengingat al-Qur’an.

Diriwayatkan dalam As-Shahihain, Rasulullah ` bersabda, “Akan senantiasa ada tha’ifah (sekelompok) dari ummatku yang eksis di atas kebenaran, tidak membahayakan mereka orang-orang yang menghina mereka sampai datang urusan Allah (kiamat) dan mereka tetap seperti itu.” (H. R Bukhari).

Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab Shahih-nya, dari sahabat Uqbah bin ‘Amr bin Tsa’labah a, Rasulullah ` bersabda,  “Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya” (H.R. Muslim no. 1893).

Hikmah Ayat-Ayat Al-Qur’an

Betapa banyak pemuda muslim saat ini yang mulai disibukkan dengan aktivitas dunia dan menjadikannya prioritas dalam perjuangan hidupnya. Sesungguhnya generasi muslim haruslah visioner. Memiliki visi yang jauh ke depan, yakni visi hidup setelah mati. Memupuk kebaikan dengan berinvestasi amal untuk mendapatkan pahala jariyah. Salah satu caranya adalah mensyiarkan ajaran dan sunnah Rasulullah `. Allah l berfirman, “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?” (Q.S. Fushshilat [41]: 33).

Perkataan terbaik adalah perkataan yang daripadanya mengajak kepada mengingat dan mentaati Allah dan Rasul-Nya, lalu mengamalkan ilmunya dengan amalan yang shalih. Pada surat Fushshilat ayat 33 kita dianjurkan untuk turut berdakwah berdasarkan ilmu yang dibawa oleh Rasulullah `. Kita yang membutuhkan jalan dakwah. Allah tidak akan rugi jikalau pun kita tidak mengambil kesempatan ini. Jangan takut terasing dan jangan takut menjadi sekelompok orang minoritas sebagai penyampai kebenaran Islam.

Hikmah lainnya adalah bahwa dalam menyampaikan kebenaran, membina diri dengan ilmu, dan berjuang dengan perbuatan perlu didasari oleh niat yang tulus. Wilayah hasil bukan menjadi kuasa manusia. Allah yang Maha membolak-balikkan hati setiap manusia, maka lisan ini hanya perantara, kata-kata ini pun perantara. Akan tetapi, yang tak boleh putus dari setiap pejuang islam adalah doa kebaikan.

Menurut Tafsir al-Muyassar, tidak ada seorang pun yang lebih bagus perkataannya daripada mengajak mentauhidkan Allah dan mengamalkan syariat-Nya, serta beramal shalih dengan menghrapkan ridha Allah. Wallahua’lam bishawab. Semoga Allah menuntun jalan kita di dunia dan mempertemukan kita di surga-Nya kelak. Aamiin Ya Raabal ‘alamiin. []

 

Rostika Hardianti

Mahasiswi Psikologi

Universitas Islam Indonesia

 

Mutiara Hikmah

Allah l berfirman, “Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?” (Q.S Al An’am [6]: 32)

 

Download Buletin klik disini

Syirik Merajalela, Bencana Melanda

Syirik Merajalela, Bencana Melanda

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘ala rasûlillâh,

Wahai saudariku, manusia diciptakan sesungguhnya hanya untuk menyembah Allah Subhanahu wa Ta’ala semata. Allah mengutus Rasul Muhammad ` agar menyeru kepada penghuni alam semesta ini agar senantiasa men-tauhid-kan diri – Nya. Di dalam al-Qur’an telah dipaparkan secara gamblang bahwa tauhid mengantarkan seseorang pada surga, sedangkan perbuatan syirik akan menjerumuskan pelakunya kedalam neraka. Kesyirikan yang terjadi pada akhirnya menimbulkan kehancuran.

Ingat ! Hanya Kepada Allah Memohon Pertolongan

Semua manusia pasti mengalami saat-saat yang bermasalah, baik itu dalam pendidikan, ekonomi, sosial dan lainnya. Nabi ` pernah memberi nasehat kepada Ibnu Abbas a, “Apabila kamu hendak meminta, maka mintalah kepada Allah, dan bila kamu hendak memohon pertolongan, maka mohonlah pertolongan kepada Allah!” (Hadits ini diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, dan dia berkata, “Hadits ini hasan shahih.”).

Sudah jelas kita ketahui bahwa Allah sebaik-baik penolong, jika kita berpaling terhadap-Nya niscaya tidak ada yang dapat menyelesaikan urusan yang kita hadapi. Urusan manusia bermacam-macam meliputi urusan dunia dan akhirat, keduanya harus senantiasa memohon kepada-Nya. Jangan sampai kita menyandarkan kepada selain Allah l, karena syirik merupakan salah satu dosa besar.

Sebenarnya Syirik Itu Apa Saja?

Syirik itu sangat bermacam-macam, kita harus mengenalinya agar tidak terperosok kedalam jurang kesyirikan. Pembagian mengenai syirik dibagi menjadi 2 yaitu syirik kecil dan syirik besar. Langsung saja, syirik kecil itu perbuatan yang mengantarkan pada syirik besar, di mana perbuatan itu sendiri belum tergolong perbuatan ibadah. Sekecil apapun syirik tetapi telah merintis jalan menuju syirik besar.

Syirik kecil ini menjadi 3 yaitu: (1) Riya’ (melakukan suatu perbuatan bukan karena Allah l), (2) Bersumpah dengan nama selain Allah l, (3) Syirik khafi (samar, tersembunyi), poin ketiga ini berdasarkan sabda Rasulullah `, “Janganlah kalian mengatakan, ‘Atas kehendak Allah dan atas kehendak si Fulan.’ Akan tetapi katakanlah, ‘Atas kehendak Allah, kemudian atas kehendak si Fulan.” (Hadits ini shahih; diriwayatkan  oleh Ahmad dan lainnya)

Wahai Saudariku bukankah kita merasa bahwa diri ini begitu rentan terhadap syirik kecil. Berkomitmen untuk berhijrah menjadi lebih baik, marilah kita mengintropeksi diri sendiri. Selanjutnya kita akan membahas mengenai syirik besar. Syirik besar sendiri ialah menjadikan sesuatu sebagai tandingan Allah Subhanahu wa Ta’ala, dalam hal berdoa  atau dalam bentuk peribadatan lainnya.

Salah satu contohnya yaitu, menyembelih hewan, bernadzar, dan sebagainya bukan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, tetapi karena sesuatu itu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan janganlah kamu menyembah sesuatu pun selain Allah, di mana sesuatu yang kamu sembah itu tidak akan memberimu manfaat maupun mencegah bahaya darimu sedikitpun. Jika kamu melakukan perbuatan semacam itu, maka kamu termasuk orang – orang zalim.” (Q.S. Yunus [10]: 106)

Fenomena Menjamurya Syirik

Saudariku sebagaiman kita ketahui, bahwa Islam datang mempunyai visi dan misi untuk menghancurkan berbagai bentuk kesyirikan. Diantara sebab utama terjadinya begitu banyak musibah karena  kesyirikan sudah bertebaran  di dunia Islam dewasa ini. Terjadinya berbagai huru-hara, kekacauan, dan peperangan yang tidak ada henti-hentinya ditimpakan oleh Allah kepada kaum muslimin. Semua itu tidak lain disebabkan karena mereka tidak mau lagi ber-tauhid, baik dalam perkara keyakinan maupun dalam akhlak dan perilaku mereka.

Berikut beberapa perbuatan syirik yang sering kita jumpai diantaranya, berdoa kepada selain Allah l, mengubur para wali dan orang-orang shalih di masjid, bernadzar untuk para wali, menyembelih binatang di kuburan para  wali, thawaf mengelilingi kuburan para wali, shalat menghadap kubur, melakukan perjalanan khusus ke kuburan utuk mencari berkah, berhukum tidak kepada hukum Allah l, taat kepada ketetapan para penguasa, ulama, atau syaikh yang bertentangan dengan nas-nas al-Qur’an dan hadits shahih.

Baru–baru ini sangat maraknya nyanyian dan puji-pujian syairnya ada yang seperti ini, “Wahai Rasulullah bimbinglah daku, tidak ada yang mampu merubah kesulitanku menjadi mudah kecuali engkau”. Seandainya Rasulullah ` mendengar syair nyanyian di atas, niscaya beliau akan berlepas diri darinya. Karena sudah jelas, tidak akan ada yang mampu merubah suatu kesulitan menjadi mudah kecuali Allah semata.

Syirik  vs Tauhid

Dibahas dalam sudut pandang sejarah, sebenarnya perang antara tauhid dan syirik telah terjadi sejak dahulu. Bermula dari kisah Nabi Nuh n yang selama sembilan ratus tahun menyeru kaummnya agar bertauhid, menyembah Allah Subhanahu wa Ta’ala semata dan meninggalkan berhala yang mereka sembah. Penolakan keras  kaum Nabi Nuh n terhadap dakwah tauhidnya diceritakan di dalam al-Qur’an, Allah ` berfirman “Dan kaumnya berkata, ‘Jangan sekali-kali kalian berani meninggalkan penyembaha kepada tuhan-tuhan kamu dan  jangan sekali-kali kalian meninggalkan penyembahan kepada Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nashr.’ Dan sungguh, mereka itu telah menyesatkan banyak manusia.” (QS. Nuh (2): 23-24).

Berkaitan tentang tafsir ayat ini, al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas, Dia berkata, “Itu (maksudnya Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nashr. –Pent.) adalah nama-nama orang shalih pada zaman Nabi Nuh n. Jika pada zaman Nabi Nuh saja perbuatan syirik sudah sangat mengerikan, apalagi saat ini yang jelas-jelas umat akhir zaman. Maka dari itu kita harus senantiasa mawas diri dan selalu memohon kepada Allah l agar terhindar dari kesyirikan. Âmîn.

Antara Dosa dan Bencana Alam

Seolah tak ada habisnya, berbagai bencana terus melanda negeri ini, banjir, tanah longsor, gempa bumi dan tsunami, atau pun letusan gunung berapi. Tanggapan manusia pun bermacam-macam. Para pakar geologi mengatakan hal ini adalah fenomena alam. Para normal mengambinghitamkan makhluk-makhluk halus penunggu tempat-tempat yang dilanda bencana. Dan sangat sedikit yang mengaitkannya dengan dosa-dosa manusia. Dalam hal ini Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka  agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Q.S. ar-Rûm [30]: 41).

Dalam Tafsir al-Mukhtashar (Markaz Tafsir Riyadh), di bawah pengawasan Syaikh Dr. Shalih bin Abdullah bin Humaid. Menjelaskan, “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut”, Yakni dimaksud dengan (البحر) adalah perkotaan dan pedesaan yang berada di atas laut atau sungai. Sedangkan (البر) adalah perkotaan dan pedesaan yang tidak berada di atas laut atau sungai. “Disebabkan karena perbuatan tangan manusia”, yakni Allah menjelaskan bahwa kemusyrikan dan kemaksiatan adalah sebab timbulnya kerusakan di alam semesta. Kerusakan ini dapat berupa kekeringan, paceklik, ketakutan yang merajalela, barang-barang yang tidak laku, sulitnya mencari penghidupan, maraknya perampokan dan kezaliman, dan lain sebagainya. “Supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka”, yakni agar mereka merasakan akibat dari sebagian perbuatan mereka. “Agar mereka kembali (ke jalan yang benar))” yakni menjauhi kemaksiatan mereka dan bertaubat kepada Allah.

Tegakkan Tauhid Solusinya

Seorang muslim hendaknya memulai hidupnya  dengan tauhid dan meninggalkan dunia yang fana ini juga dengan tauhid. Bertauhid adalah menjadi tugas utama seorang muslim dalam hidupnya. Karena dengan tauhid orang-orang mukmin bisa berkumpul dan bersatu. Kita berdoa semoga akhir ucapan kita ketika hendak meninggalkan dunia ini adalah kalimat tauhid ilâha illa Allâh “Tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah”.[]

 

Erliyana

Referensi

  1. Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, 1424 H, Al–Firqotun Najiyah-jalan hidup golongan yang selamat, Media Hidayah, Yogyakarta.
  2. Tafsir al-Muktashar, https://tafsirweb.com/7405-surat-ar-rum-ayat-41.html, diakses tanggal 07 Januari 2019
  3. Wahdah Islamiyah, 2010, Antara Dosa dan Bencana Alam, http://wahdah.or.id/antara-dosa-dan-bencana-alam/ diakses tanggal 07 Januari 2019

 

Mutiara Hikmah

Rasulullah ` bersabda,

أَكْثَرُ خَطَايَا إِبْنِ آدَمَ فِي لِسَانِهِ

‘Mayoritas kesalahan anak Adam adalah pada lidahnya.‘” (H.R. Thabarani)

 

Download Buletin klik disini

MERIDHOI TAKDIR UNTUK MENCAPAI RIDHO ALLAH

Seorang muslim wajib baginya mengimani perkara-perkara yang telah diberikan kepadanya berupa rukun iman. Seorang muslim yang baik bukan hanya mempercayai saja namun jug mengamalkan dari setiap bagian rukun iman yakni: Iman Kepada Allah, Iman Kepada Malaikat, Iman Kepada Kitab-kitab Allah, Iman Kepada Rasul, Iman Kepada Hari Akhir dan Iman Kepada Qodho dan Qodar. Sebagai penganut agama yang kaffah haruslah terpenuhi keseluruhan itu sesuai tuntunan dan arahan dari al-Qur’an dan Hadits.

Pada realitanya, sebagian manusia lupa dan lalai akan kewajibannya mempercayai hal yang sudah pasti tersebut. Manusia yang tersesat bisa saja melupakan Tuhannya dengan meniadakan Allah di setiap nafas hidupnya. Manusia bisa saja melupakan iman kepada malaikat dan hari akhir karena hati yang tersesat dengan tidak mempercayai suatu hal yang ghaib. Manusia bisa saja melupakan iman kepada kitab-kitab Allah, dan Rasul Allah. Namun manusia tidak bisa menghindari dari Qodho dan Qodar Allah. Oleh karena itu, seorang muslim akan dimintai pertanggungjawaban dari setiap perbuatan yang dikerjakannya.

Pengertian Qodho dan Qodar

Takdir atau lebih lengkapnya Qodho dan Qodar memiliki unsur ikatan kesinambungan.  Qodar berarti ketika Allah telah menetapkan sesuatu akan terjadi pada waktunya dan Qodho adalah tibanya masa ketika ketentuan yang telah ditetapkan terjadi. Oleh karenanya, Qodar yakni suatu ketetapan Allah berlaku terhadap segala sesuatu sejak zaman azali serta Qodho adalah pelaksanaan Qodar ketika terjadi.( Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd,2007)

Rasul SAW berkata:

أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ

Kamu beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir, dan kamu beriman kepada qadar yang baik maupun yang buruk. (HR. Muslim no. 8)

Semua yang terjadi di dunia ini sudah menjadi ketetapan dari Allah SWT seperti adanya pergantian siang dan malam, adanya alam yang indah, sebaliknya adanya hal-hal yang ditetapkan seperti bencana alam, musibah dan lain sebagainya. Begitu pula adanya perbedaan keadaan manusia, Allah menciptakan manusia dengan bermacam ragam, ada wujud yang sempurna atau kurang sempurna. Adapun Allah mengatur setiap kebutuhan manusia dan menempatkan kondisi manusia dalam berbagai macam hal yang berbeda. Karena yang sedemikian itu adalah sebuah ketentuan yang sudah pasti baik adanya dan seharusnya manusia juga mampu mengimani sampai sedalam itu.

Manusia dan Takdir

Hadits di atas menyebutkan takdir baik maupun buruk, oleh karena itu, manusia senantiasa mampu menyiapkan diri dan mental untuk menyambut bukan hanya suatu ketetapan yang diberikan kepada manusia dalam keadaan baik saja, namun juga manusia mampu mempersiapkan dalam keaadaan buruk juga. Manusia akan lebih mudah menerima jika dirinya diberi keadaan takdir yang baik seperti mendapatkan rezeki yang melimpah dan lain sebagainya. Namun, manusia akan susah menerima takdir baginya dalam keadaan buruk atau sebagai musibah dan cobaan. Karenanya sering kali manusia frustasi dan menempatkan prasangka buruk kepada takdir yang telah Allah berikan kepadanya.

Sejatinya manusia mampu membuat rencana yang hebat. Mampu merencanakan untuk mencapai kepentingan dan tujuannya dengan detail dan rinci. Akan tetapi, sebagus-bagusnya rencana manusia ketika Allah tidak meridhoi rencana itu terjadi manusia mampu berbuat apa. Mau tidak mau kita harus menerima apapun yang terjadi dalam hidup kita baik ataupun buruk. Sehingga kita seringkali tidak menerima keadaan dan seringkali menyalahkan takdir Allah yang salah terhadap dirinya. Manusia mulai merasa bahwa nikmat yang diberikan Allah adalah suatu ketidak adilan.

Musibah bisa saja menimpa kepada siapa saja terserah kehendak Allah. Misalnya, ketika seorang pedagang yang berjualan dari siang sampai malam, dirinya telah bekerja keras serta mempunyai perhitungan bahwa ketika hari itu akan sangat ramai, namun karena hujan lebat seharian alhasil pelanggan yang datang hanya sebanyak hitungan jari. Hal yang terjadi adalah pedagang tersebut tidak bisa menolak dari takdir yang demikian. Takdir yang demikian seringkali membuat kita jauh akan syukur kepada Allah.

Adapula perencanaan manusia yang telah merencanakan dan mempersiapkan tentang jodoh. Pada suatu hari, ada sepasang calon pengantin yang telah saling mengenal dengan cara ta’aruf sehingga mendapatkan keinginan yang sama yakni melangsungkan ke jenjang pernikahan. Keduanya telah merencanaka dengan matang apa saja yang diperlukan untuk melangsungkan pernikahannya. Undangan telah dicetak dan disebar luaskan, gedung pernikahan telah dipersiapkan, kedua belah pihak keluarga telah saling mempersiapkan kostum dan hari pelaksanaan dengan matang. Semua hal tersebut menurut renananya akan berjalan dengan sangat lancar dan baik, tidak akan ada suatu hal yang mampu menghentikan rencana mulia mereka. Akan tetapi pada hari berlangsungnya akad pernikahan, mempelai pria mengalami musibah kecelakaan dengan satu mobil rombongannya menuju lokasi pernikahan. Allah pun berkehendak lain, kecelakaan tersebut mengakibatkan meninggal dunia calon mempelai suaminya.

Hal-hal di atas seringkali membuat manusia akan merasa bahwa dunia tidak adil, takdir Allah tidak bagus dan merasa garis hidupnya tidak jelas. Namun akan tiba saatnya manusia akan menyadari apa yang telah direncanakan oleh Allah adalah suatu hal yang terbaik bagi hidupnya. Tidak sedikit juga di antara banyak manusia yang memiliki hati yang tangguh dengan mampu menerima dan selalu bersyukur dengan semua apa yang telah Allah tetapkan.

Rodhiatan Mardiyatan

Kebanyakan muslim ketika ditanyai apa yang mereka cari dalam hidup ini? Mereka selalu menjawab mencari ridho Allah, karena mereka ingin mendapat ridho dari Allah. Akan tetapi hal yang sebenarnya bahwa ridho Allah bukan untuk diminta dan dicari tetapi untuk mereka lakukan. Karena subjek utama ridho Allah adalah diri mereka sendiri yang harus ridho kepada Allah bahwa kemudian Allah ridho adalah hal yang otomatis. Karena tidak mungkin kalau mereka ridho dengan takdir Allah lalu Allah tidak meridhoi.

Rumus sederhana di puncak firman-firman Allah dengan siapa yang dipanggil Allah untuk memasuki hilir kemesraan cinta dengan Allah. Siapa yang kompatibel terhadap cinta Allah, karena unsur kompatibelnya adalah Rodhiatan Mardiyah. Hal ini sesuai dengan firman Allah:

يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ

Wahai jiwa yang tenang!

ارْجِعِي إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً

Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya. (Q.S.al-Fajr [89]: 27-28)

Dari dalil di atas menyebutkan bahwa semua manusia di muka bumi ini bisa jadi Allah meridhoi dan menerima amalan kita bisa jadi tidak, kecuali beberapa orang yang dijamin masuk surga oleh Allah seperti Rasulullah. Selain itu, semua manusia di dunia ini kedudukannya sama di mata Allah. Oleh karena itu, kita tidak usah sibuk mencari ridho Allah, akan tetapi kitalah yang harus terus menerus ridho kepada Allah karena rumusnya adalah Rodhiatan Mardiyah bukan terbalik Mardiyatan Rodhiah. Jadi kitalah yang harus memastikan setiap saat ridho kepada apapun saja yang Allah tentukan untuk kita, jika kita ridho dan terus ridho efeknya pasti diridhoi oleh Allah.

Hal yang disebut kita ridho kepada Allah adalah ridho kepada setiap aplikasi Allah dalam hidup kita. Misalnya jantung kita berdetak menandakan bahwa Allah mempunyai urusan dengan jantung kita dan kita harus ridho dengan nikmat demikian. Sebagaimana pohon, binatang dan alam itu adalah 100% ekspresi dari ridho. Oleh karena itu, temukanlah ridho karena manusia adalah makhluk yang diberi akal untuk mengambil jalan dari kehidupan maka setiap hari manusia harus menemukan yang mana saja dari perilaku kita hari ini yang diridhoi Allah dan mana saja yang tidak dirihoi. Termasuk yang mana perilaku kita yang mencerminkan ridho kepada Allah dan mana yang tidak itulah ukuran hidup.

seharusnya kita ridho berlangsung di setiap saat dalam hidup kita. Akan tetapi kebanyakan manusia tidak berdiri di fakta hidupnya, tidak berdiri di kenyataan hidupnya mereka berdiri di harapannya saja. Maka yang akan terjadi adalah akan selalu merasa kurang apa yang di dapat dari hidupnya. Namun jika kita ikhlas berpijak ditempat dan momentum yang Allah beri serta dengan meridhoi apa yang telah Allah karuniai kita sampai saat ini dengan posisi dan keadaan bagaimanapun. Maka ridho Allah akan menyertai keikhlasan kita untuk melangsungkan kehidupan kita.

Kesimpulan pada pembahasan Rodhiatan Mardiyatan adalah ketika umat muslim di dunia ini telah mengaplikasikan ridho untuk diridhoi, maka akan terciptanya hati yang senantiasa ikhlas kepada setiap ketentuan yang Alah berikan. Serta kita menjadi hamba Allah yang insyaAllah dimuliakan Allahkarena mendapatkan ridho Allah. Semoga kita semuanya menjadi hamba Allah yang pandai bersyukur atas ni’mat Allah dengan segala takdir-Nya.

Muhammad Athoillah.

Alumni FPSB 2014

Referensi

Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd, “Definisi Qadha’ Dan Qadar Serta Kaitan Di Antara Keduanya”, al-Manhaj, 7 Juli 2007, <https://almanhaj.or.id/2168-definisi-qadha-dan-qadar-serta-kaitan-di-antara-keduanya.html>, 16 April 2019

Mutiara Hikmah,

Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-hamba-Nya.

 (Q.S. Fushshilat [41]: 46)

KEKASIH YANG PALING PENCEMBURU

Cinta adalah anugerah terindah yang Allah berikan kepada manusia. Merasakannya adalah fitrah. Menjaganya adalah ibadah. Begitu biasa kami baca dalam tulisan-tulisan sajak cinta islami, definisi cinta secara khusus pada sesamanya. Hakikatnya, sebenarnya ia adalah sesuatu yang Allah berikan pada siapapun atas bukti keMaha-an, kekuasaan, dan kehendak-Nya.Cinta pada Rabbnya, cinta pada utusan-Nya, cinta pada keluarganya, dan cinta pada sesamanya.

Ya, begitulah manusia dengan hara huru kehidupan dunianya. Beribu bahkan berjuta manusia bisa sebebasnya mendefinisikan makna cinta tanpa penyalahan atas apapun dan siapapun. Definisi yang tak berbatas dan tak pernah berhenti ini biasanya berujung pada satu titik yang sama, yaitu rasa yang merupakan bagian perilaku dari bukti cinta.

Pembahasan kata cinta yang tak pernah ada habisnya ini selalu membuat menarik perhatian banyak orang. Terlebih bagi kaum muda-mudi zaman milenial ini. Cukup dengan menambahkan kata cinta pada tema kajian tematik, maka biasanya jumlah jamaah muda-mudi yang hadir akan lebih banyak bila dibandingkan yang hadir pada kajian rutin dengan bahasan yang berat, kajian tauhid misalnya. Begitulah keadaannya, husnuzhannya, karena setiap perbuatan yang kita lakukan tentunya harus bersumber dari cinta. Ya, cinta kepada Allah.

Berbicara mengenai cinta, ada satu hal menarik yang kebanyakan orang mengatakan bahwa ini adalah salah satu bukti cinta. Apa itu? Cemburu. Ya, penulis pribadi sering mendengar kebanyakan dari kita mengatakan bahwa cemburu itu adalah tanda cinta. Benarkah demikian? Berdasarkan studi literasi dari beberapa bacaan yang ada ternyata, pada hakikatnya, cemburu bukanlah selalu sifat tercela. Di dalamnya terkandung maksud Allah l menjadikan sifat itu kepada manusia. Lantas bagaimana Islam dengan ajaran yang sempurnanya memandang kata cemburu ini? Berikut beberapa pemaparan mengenai cemburu dalam Islam.

Dalam riwayat yang lain dari ‘Aisyah i dikisahkan bahwa Rasulullah ` pernah berkhutbah dengan begitu menggebu gebu, matanya memerah laksana panglima perang sedang menyeru pasukannya. Saat itu terjadi gerhana matahari, setelah shalat bersama sahabat, beliau Rasulullah ` berdiri dalam mimbar dan berpesan panjang, diakhir khutbah itu Rasulullah menyeru: “…Hai umat Muhammad, tidak seorang pun lebih cemburu daripada Allah, bila hambanya, lelaki maupun perempuan, berbuat zina. Hai umat Muhammad, demi Allah, seandainya kalian tahu apa yang kuketahui, tentu kalian banyak menangis dan sedikit tertawa. Ingatlah! Bukankah aku telah menyampaikan”. (Shahih Muslim No.1499)

“Cemburu” dalam hadits tersebut adalah diksi indah yang dipilih Rasulullah ` untuk melukiskan hebatnya sebuah ilustrasi rasa, kata indah yang berkali kali Rasulullah ` utarakan untuk mendeskripsikan sebuah suasana bahwasannya Dzat Maha Pencipta, Allah l yang menggenggam cinta, yang memiliki cinta, adalah cemburu pada sebuah situasi atas hambanya.

Dalam satu hadits disebutkan, Asma’ binti Abu Bakar k meriwayatkan, suatu saat dia mendengar Rasulullah ` bersabda, “Tidak ada seorang pun yang lebih pencemburu daripada Allah k (H.R. Bukhari dan Muslim, lihat Syarh Muslim li an-Nawawi [9/28]).

Abu Hurairah a meriwayatkan, bahwa Rasulullah ` bersabda, “Sesungguhnya Allah merasa cemburu. Dan seorang mukmin pun merasa cemburu. Adapun kecemburuan Allah itu akan bangkit tatkala seorang mukmin melakukan sesuatu yang Allah haramkan atasnya.” (H.R. Bukhari dan Muslim, lihat Syarh Muslim li an-Nawawi)

Umar bin al-Khaththab a meriwayatkan bahwa suatu ketika didatangkan di hadapan Rasulullah ` serombongan tawanan perang. Ternyata ada seorang perempuan yang ikut dalam rombongan itu. Dia sedang mencari-cari sesuatu -yaitu anaknya. Setiap kali dia menjumpai bayi di antara rombongan tawanan itu maka dia pun langsung mengambil dan memeluknya ke perutnya dan menyusuinya. Maka Rasulullah ` pun berkata kepada kami, “Apakah menurut kalian perempuan ini akan tega melemparkan anaknya kedalam kobaran api?”. Maka kamipun menjawab, “Tentu saja dia tidak akan mau melakukannya, demi Allah. Walaupun dia sanggup, pasti dia tidak mau melemparkan anaknya ke dalamnya.” Maka Rasulullah ` pun mengatakan, “Sungguh, Allah jauh lebih menyayangi hamba-hamba-Nya dibandingkan kasih sayang perempuan ini kepada anaknya.” (H.R. Bukhari dan Muslim, lihat Syarh Muslim li an-Nawawi [9/21]

Ternyata, Islam dengan kesempurnaanya pun telah lebih jauh membahas makna dari kata cemburu ini.Abu Hurairah a meriwayatkan, Rasulullah ` bersabda, “Semua umatku akan dimaafkan kecuali orang yang melakukan dosa secara terang-terangan. Termasuk perbuatan dosa yang terang-terangan yaitu apabila seorang hamba pada malam hari melakukan perbuatan (dosa) lalu menemui waktu pagi dalam keadaan dosanya telah ditutupi oleh Rabbnya, namun setelah itu dia justru mengatakan, ‘Wahai fulan, tadi malam saya melakukan ini dan itu’. Padahal sepanjang malam itu Rabbnya telah menutupi aibnya sehingga dia pun bisa melalui malamnya dengan dosa yang telah ditutupi oleh Rabbnya itu. Akan tetapi pagi harinya dia justru menyingkap tabir yang Allah berikan untuk menutupi aibnya itu.” (H.R. Bukhari dan Muslim, lihat Syarh Muslim li an-Nawawi [9/225]

Ketahuilah bahwa Allah l akan cemburu kepada hambanya yang selalu melupakan-Nya. Allah  menginginkan hambanya hanya disibukkan dengan Allah saja dan bertawakal kepada-Nya, dengan kata lain Allah tidak mau dan tidak boleh diduakan. Maksud lainnya adalah Allah mencintai kalau hati seorang hamba terkait dengannya sendirian, ketika ia sedang dalam kondisi taat. Tetapi kadang hamba itu disibukkan oleh urusan dunia, maka Allah mengambil dunianya, agar ia kembali hanya disibukkan dengan Allah saja dan bertawakal kepada-Nya.

Mari kita simak beberapa kisah para nabi yang Allah uji bukti kecintaannya. Pertama, kisah nabi Ibrahim n yang mencintai anaknya Ismail, Allah mengambil Ismail dari tanganya. Allah l memerintahkan Ibrahim n untuk menyembelih puteranya. Dan ketika itu, ketika Ibrahim n meletakkan pisau dileher Ismail, maka disana terbukti bahwa kecintaan yang ada dihati Ibrahim adalah kecintaan kepada Allah l. Maka Allah l  memerintahkan mengganti Ismail dengan kambing.

Selanjutnya, kisah nabi Ya’qub n yang sangat mencintai anaknya, Yusuf n. Kecintaan Ya’qub n  terhadap Yusuf n itu memenuhi semua kebutuhan hidup dan hatinya. Maka, Allah l mengambil Yusuf n   selama 20 tahun sehingga hatinya kembali dipenuhi cinta kepada Allah l. Setelah itu, Allah l pun mengembalikan Yusuf padanya.

Firman Allah l dalam Q.S al-Ahzab [33] : 4 yang artinya: “Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).

Jika hati dikawal oleh penghuni yang lain yaitu setan atau hawa nafsu, maka hati itupun akan mengawal anggota badan lain untuk melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan perintah-Nya. Sebaliknya jika hati telah dibersihkan dari perkara-perkara tercela, maka iman akan tumbuh subur dan diduduki oleh tauhid, iman dan ilmu Allah.

Allah l berfirman,“Katakanlah : sesungguhnya sembahyangku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).” (QS Al-An’am [6]: 162-163).

Pernahkah terlintas dalam benak kita jika Allah l, Rabb Yang Maha Mulia cemburu kepada kita? Hati manakah yang tak pernah tersentuh lintasan cemburu, sebuah gejolak bergemuruh yang begitu saja mengubah cinta menjadi  letupan-letupan murka yang tak mampu dikendalikan? Betapa menyedihkan jika selama ini merasa diri beriman, tetapi membiarkan Dzat yang di imani itu cemburu. Bukankah itu kemunafikan? Lantas, Bukankah jahannam itu bagi orang-orang munafik? 

Pahamilah! Bahwasannya, besarnya rasa cemburu itu berbanding lurus dengan besarnya cinta bahkan bisa melebihinya. Pahamilah bahwa hanya Allah-lah yang paling besar rasa cinta-Nya kepada kita melebihi siapapun. Allah-lah yang telah menakdirkan salah satu ribuan sel sperma dari ayah kita bertemu dengan sel telur ibu kita. Lalu sel telur itu dibuahi, menjelma menjadi segumpal daging lalu ditiupkan ruh kedalamnya hingga janin itu bergerak. Atas Cinta-Nyalah janin itu terlindungi dan tumbuh di dalam rahim hingga terlahir ke dunia dengan lemah. Lalu Allah menguatkan tulang tulangnya, memberi bayi itu mata yang indah, pendengaran yang sempurna, tangan untuk membela tubuhnya, kaki untuk berjalan dan semua indra-indra lainnya untuk menyempurnakan bentuknya. Atas Cinta-Nya lah kemudian makanan itu didatangkan melalui tangan-tangan yang Dia kehendaki hingga bayi itu tumbuh menjadi anak, menjadi remaja, dan dewasa. Atas kasih sayang-Nya lah kemudian diajarkannya ilmu-ilmu yang bermanfaat untuk menghiasi perjalanan hidupnya. Atas kebesaran-Nya lah dijadikan bumi dengan sejuta pesona keindahannya untuk menghibur hatinya. Hanya atas kemurahan-Nya lah, sesosok manusia yang kemudian membangkang itu tetap terbangun dipagi hari. Maha Suci Allah.Dia lah Yang Maha Pemurah, yang telah memberi kesempatan dengan membangunkan kita kembali, membangunkan hamba hamba Nya disetiap pagi agar mereka beribadah kepada Nya.Dia lah yang Maha Pemaaf yang tetap membiarkan kekafiran dan kekufuran terus menodai Bumi-Nya yang indah, hingga masa yang ditentukan!

Semoga menjadi muhasabah diri. Untuk diri sendiri dan sesiapa saja yang di izinkan Allah l untuk membacanya. Kita memang harus segera memahami kecemburuan Allah k yang di informasikan Rasulullah, agar kita bisa menghindarinya sebelum cemburu itu berubah menjadi Murka. Sebelum murka itu menemui kita di Neraka. 

Semoga menjadi lilin penerang menuju taubatan nasuha, satu-satunya jalan kembali. Âmîn. Astaghfirullâhalazhîm.

 

Mutiara Hikmah:

“Ketika hatimu terlalu berharap kepada seseorang maka Allah timpakan padamu pedihnya sebuah pengharapan agar kamu mengetahui bahwa Allah sangat mencemburui hati yang berharap selainNya. Maka Allah menghalangimu dari perkara tersebut agar kamu kembali berharap kepadanya,” (HR. Muslim)

 

Oleh : Azzahra

Alumni Takmir Masjid Ulil Albab