MERDEKA ATAU MATI!

MERDEKA ATAU MATI!

Disusun Oleh:

Agus Fadilla Sandi, S.H.*

 

Semboyan Menjadi Kekuatan

Semboyan mampu menjadi kekuatan yang menggerakkan. Sebagaimana halnya yang terjadi pada Peristiwa 10 November 1945. Pada saat pasukan Inggris berencana merebut kembali Surabaya dari tangan para pejuang kemerdekaan. Bung Tomo memberikan pidato yang membara untuk mengajak rakyat Surabaya mempertahankan kota mereka dan menentang rencana pasukan Inggris. Bung Tomo berpesan, “… Dan untuk kita saudara-saudara. Lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka. Semboyan kita tetap: merdeka atau mati![1]

Pidato ini menjadi salah satu tonggak penting dalam melanjutkan perjuangan kemerdekaan Indonesia yang telah diproklamirkan. Pidato yang menekankan pada satu semboyan perjuangan; merdeka atau mati! Semboyan ini tampaknya senada dengan perkataan yang berbunyi, “isy kariman au mut syahidan”, hidup mulia atau mati syahid![2]

Merdeka [Hidup Mulia]

Frasa “Merdeka!” sering kali digunakan dalam momen peringatan hari kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus. Merdeka bermakna bebas; berdiri sendiri, tidak terkena atau lepas dari tuntutan, atau tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu; leluasa.[3]3 Padanan kata bebas ini dalam bahasa Arab disebut al-Hurr, dengan bentuk verbalnya kebebasan adalah al-Hurriyah. Ibnu ‘Asyur dalam karyanya “Maqashid asy-Syari’ah al-Islamiyah”, memaknai al-Hurriyah dengan dua makna; Pertama, kemerdekaan bermakna lawan kata dari perbudakan. Kedua, makna metaforis dari makna pertama, yaitu kemampuan seseorang untuk mengatur dirinya sendiri dan urusannya sesuka hatinya tanpa ada tekanan.4

Kondisi yang merdeka harusnya menjadi dorongan bagi seseorang untuk hidup mulia, sebab ia memiliki kebebasan menjalani hidupnya tanpa ada tekanan dari pihak manapun. Berbeda halnya dengan orang yang di bawah penguasaan orang lain yang tentu tidak leluasa berbuat apalagi untuk taat. Teringat dengan kisah Bilal ibn Rabah yang dianiaya oleh tuannya karena keyakinan dan keberaniannya untuk menyatakan keimanan pada Allah yang Esa.

Allah ﷻ berfirman,

ضَرَبَ ٱللَّهُ مَثَلًا عَبْدًا مَّمْلُوكًا لَّا يَقْدِرُ عَلَىٰ شَىْءٍ وَمَن رَّزَقْنَٰهُ مِنَّا رِزْقًا حَسَنًا فَهُوَ يُنفِقُ مِنْهُ سِرًّا وَجَهْرًا ۖ هَلْ يَسْتَوُۥنَ ۚ ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ ۚ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ

“Allah membuat perumpamaan seorang hamba sahaya di bawah kekuasaan orang lain, yang tidak berdaya berbuat sesuatu, dengan seorang yang Kami anugerahi rezeki yang baik dari Kami. Lalu, dia menginfakkan sebagian rezeki itu secara sembunyi-sembunyi dan secara terang-terangan. Apakah mereka itu sama? Segala puji bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui” (Q.S. an-Nahl [16]: 75).

Mati [Syahid]

Seruan Bung Tomo dengan semboyan “Merdeka atau Mati!” dimaksudkan agar segenap rakyat berjuang hingga akhir hayat. Jikalaupun harus wafat, wafatlah dengan terhormat! Mati adalah sebuah kepastian, walau tak ada orang yang menginginkan. Namun setiap orang pasti mendambakan kematian yang baik, salah satunya melalui mati syahid.

Berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah, terdapat beberapa kondisi yang dinilai sebagai mati syahid. Di antaranya; orang yang terbunuh atau mati di jalan Allah, orang yang senantiasa berdoa/rindu agar mati di jalan Allah, orang yang meninggal karena wabah penyakit/pandemi, orang yang mati karena penyakit di dalam perutnya; orang yang mati tenggelam, tertimpa benda keras, terbakar; wanita yang meninggal karena kehamilannya, orang yang meninggal karena membela atau mempertahankan hartanya, dan orang yang mati terbunuh.[4]

Bagi orang yang mati syahid, semua dosanya akan diampuni, kecuali hutang yang belum lunas. Sebagaimana dalam sebuah riwayat dari Abdullah bin Amr bin Ash sesungguhnya Rasulullah ﷺ bersabda,

يُغْفَرُ لِلشَّهِيدِ كُلُّ ذَنْبٍ إِلَّا الدَّيْنَ

“Orang yang mati syahid diampuni semua dosa kecuali hutang” (H.R Muslim, no. 1886).

Makna syahid adalah “disaksikan untuknya”. Ibnu Hajar menyebutkan makna syahid adalah malaikat menyaksikan bahwa mereka mati dalam keadaan akhir hidup yang baik (husnul khatimah).[5]

Imam An-Nawawi mengatakan, “Sabda Nabi ﷺ (kecuali hutang) di dalamnya terdapat peringatan terhadap semua hak Bani Adam. Bahwa jihad dan mati syahid dan selain dari dua amalan kebaikan tidak dapat menghapus hak Bani Adam. Akan tetapi dapat menghapus hak Allah Ta’ala.” Syarh Muslim, 13/29.[6]

Takbir: Puncak Optimisme

Pada akhir pidatonya, Bung Tomo menyampaikan, “…Percayalah saudara-saudara. Tuhan akan melindungi kita sekalian. Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Merdeka!!![7] Pekik takbir menggelegar sebagai puncak optimisme. Optimis bukan karena yakin pada kekuatan diri pribadi, tapi justru karena keinsafan diri yang tak berdaya dan hanya Allah yang Maha Kuasa. Ingatlah pada firman Allah ﷻ yang berbunyi,

لَقَدْ نَصَرَكُمُ ٱللَّهُ فِى مَوَاطِنَ كَثِيرَةٍ ۙ وَيَوْمَ حُنَيْنٍ ۙ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنكُمْ شَيْـًٔا وَضَاقَتْ عَلَيْكُمُ ٱلْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ ثُمَّ وَلَّيْتُم مُّدْبِرِينَ

“Sungguh, Allah benar-benar telah menolong kamu (orang-orang mukmin) di medan peperangan yang banyak dan pada hari (perang) Hunain ketika banyaknya jumlahmu menakjubkanmu (sehingga membuatmu lengah). Maka, jumlah kamu yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikit pun dan bumi yang luas itu terasa sempit bagimu kemudian kamu lari berbalik ke belakang (bercerai-berai).” (Q.S. at-Taubah [9]: 25).

Akhirnya, perjuangan jangan sampai ternodai dengan kesombongan dan pengkhianatan! Dalam skala apapun, terlebih mengisi kemerdekaan republik ini, dibutuhkan semangat yang kuat untuk mewujudkan pribadi dan bangsa yang bermartabat. “Merdeka atau mati!” tetaplah menjadi semboyan perjuangan dengan puncak optimisme pada Allah yang Maha Pemberi Ampunan.[]

Marâji’:

* Alumnus Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.

[1] Abdul Waid, Bung Tomo, Yogyakarta: Laksana. 2019 M. Cet ke-1. h. 48.

[2] Afandi. “Jenis-Jenis Mati Syahid dalam Islam”. https://muhammadiyah.or.id/jenis-jenis-mati-syahid-dalam-islam/. Diakses pada 7 Agustus 2023.

[3] Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/merdeka. Diakses pada 7 Agustus 2023.

[4] Admin. “Hakikat dan Makna Kemerdekaan dalam Alquran, Sebuah Refleksi”. https://mui.or.id/bimbingan-syariah/aqidah-islamiyah/37386/hakikat-dan-makna-kemerdekaan-dalam-alquran-sebuah-refleksi/. Diakses pada 7 Agustus 2023.

[5] Ibnu Hajar Al-‘Asqalani. Fathul bari syarhu shahih al-Bukhari, Jakarta : Pustaka Imam Asy-Syafi. 2018. Jilid VI. h. 43.

[6] Admin. “Mati Syahid Tidak Menghapus Hak Bani Adam (Hutang)” https://almanhaj.or.id/2613-mati-syahid-tidak-menghapus-hak-bani-adam-hutang.html & https://islamqa.info/id/answers/186979/mati-syahid-tidak-menghapus-hak-bani-adam-tapi-menghapus-hak-allah-tala. Diakses pada 7 Agustus 2023.

[7] Abdul Waid, Bung Tomo, Yogyakarta: Laksana. 2019 M. Cet ke-1. h. 48.

Download Buletin klik disini

Momentum Kemerdekaan: Mempromosikan Islam Penuh Cinta

Momentum Kemerdekaan:

Mempromosikan Islam Penuh Cinta

Imaduddin Fadhlurrahman*

 

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh.

Setiap bulan Agustus, umat muslim di Indonesia selalu merayakan peristiwa penting dalam sejarah Republik Indonesia. Tepatnya pada setiap tanggal 17 Agustus yang diperingati sebagai hari Kemerdekaan Negara Republik Indonesia. Hal ini sebagai penanda bahwa bangsa Indonesia telah merdeka dari belenggu para penjajah. Semarak dan animo masyakakat muslim di Indonesia dalam menyambut hari kemerdekaan ditandai dengan himbauan dari masjid-masjid yang menghimbau agar memasang bendera merah putih berkibar di sepanjang pekarangan rumah masing-masing. Ini adalah salah satu bukti umat muslim dalam mengekspresikan cintanya kepada bangsa sekaligus menghormati jasa para pahlawan.

Islam sendiri mendorong umatnya untuk mencintai tanah air sebagai bentuk ketaatan kepada ulil amri dalam perkara kebaikan. Sebab cinta tanah air tidak menafikan iman. Mencintai tanah air adalah bagian dari ajaran Nabi Muhammad sebagaimana Rasulullah ﷺ mencintai Makkah dan Madinah karena kedua tempat tersebut adalah tanah airnya. Bentuk kecintaan tersebut ditunjukkan Rasulullah ﷺ dalam sebuah hadits. Dari Anas,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ فَنَظَرَ إِلَى جُدُرَاتِ الْمَدِينَةِ أَوْضَعَ رَاحِلَتَهُ وَإِنْ كَانَ عَلَى دَابَّةٍ حَرَّكَهَا مِنْ حُبِّهَا

Sungguh Nabi  apabila pulang dari safarnya lalu melihat dinding-dinding kota Madinah sudah dekat, Beliau  mempercepat perjalanannya, apabila berada diatas tunggangan maka Beliau segera memacunya, dikarenakan kecintaan Beliau terhadap kota Madinah.” (H.R. Bukhari, no. 1886).[1]

Serta gagasan kemederkaan itu sendiri telah mendapat perhatian yang penuh dari Islam. Konsep kemerdekaan yang dijarkan oleh Nabi Muhammad adalah untuk menghapus segala sesuatu yang dapat merusak sendi-sendi kehidupan dan karakter Islam, lalu mengalihkannya kepada jalan yang benar.

Peran Islam dalam Kemerdekaan

Dalam sejarahnya, umat muslim selalu berada pada garis terdepan dalam melawan penjajah. Tercatat banyak pahlawan-pahlawan muslim yang menginisiasi gerakan-gerakan melawan kekejian para penjajah. Misalnya perjuangan politik yang diprakarsai oleh Haji Samanhudi dengan gerakan Syarikat Dagang. Ada pula Syeikh Hasyim Asy’ari dengan membawa bekal fatwa semangat “hubul wathon minal iman” yang mampu menggerakkan berbagai golongan untuk menjaga keutuhan NKRI.

Selain itu, ada juga Haji Agus Salim dengan perannya yang krusial bagi berdirinya kemerdekaan Indonesia dengan keberhasilannya dalam memperoleh pengakuan defacto dan dejure dari Mesir bagi kemerdekaan Indonesia. Atau yang terkenal menggugah ketika Bung Tomo dengan seruan “Allahu Akbar” berhasil melecut semangat rakyat Indonesia sehingga tercetuslah peperangan di Surabaya pada 10 November 1945 dalam memerangi tentara Britania Raya dan India Britania.

Maka, umat muslim di Indonesia harus terus berupaya menjaga dan mempertahankan kemerdekaan yang telah diraih. Sebab dari segi historis dapat dikatakan jika Islam merupakan jati diri bangsa Indonesia karena umat muslim pada masa itu tidak pernah absen dalam memperjuangkan kemerdekaan melawan penjajah. Sebagaimana Dr. Douwes Dekker pernah mengungkapkan, “Dalam banyak hal, Islam merupakan nasionalisme di Indonesia dan jika seandainya tidak ada faktor Islam di sini, sudah lama nasionalisme yang sebenar-benarnya hilang lenyap.”[2]

Mempromosikan Islam Cinta

Umat muslim di Indonesia perlu memaknai kemerdekaan NKRI adalah bagian dari jihad. Jihad dalam konteks dan pemaknaan yang lebih luas ketimbang sekadar perang. Bahwa jihad perang (disebut sebagai “jihad kecil” oleh Nabi) tak boleh dilandasi nafsu dan kebencian. Oleh karenanya, hanya diperbolehkan bagi orang yang sudah berhasil dalam “jihad agung” berupa perang melawan hawa nafsu (egoisme). Agar demikian jihad punya landasan cinta, cinta kepada kemanusiaan.[3]

Dalam momentum perayaan kemeredekaan kali ini, maka tugas umat muslim hari ini adalah menjaga semangat jihad tersebut dengan senantiasa menyebarkan pesan cinta dan damai. Di mana tindakan tersebut harus terwujud dalam tindakan-tindakan yang merepresentasikan tingkah laku kebaikan sehingga pada akhirnya akan melahirkan pandangan bahwa Islam adalah agama yang penuh cinta, agama yang justru mengajarkan untuk mencintai bangsanya. Imam An-Nawawi menambahkan jika baik saja tidak cukup. Umat muslim harus pula mampu secara mandiri dan produktif di segala kebutuhan sehingga negara Indonesia yang merdeka akan terwujud dengan setiap warga negara yang mengusahakan sebaik mungkin di profesi yang digeluti masing-masing[4].

Jika menjadi orang tua, maka menjadi orang tua yang bertanggungjawab. Jika menjadi pejabat, maka menjadi pejabat yang jujur dan amanah. Jika menjadi pendidik, maka menjadi pendidik yang tulus dalam mengajar dan mangabdi terhadap masyarakat. Jika menjadi pelajar, maka menjadi pelajar yang rajin dalam menuntut ilmiu di bidangnya masing-masing.

Maka, Islam sesungguhnya menjadikan kita mencintai bangsa, dengan Islam kita bersatu membangun bangsa demi kemajuan peradaban. Oleh karena itu, sebagai pewaris kemerdekaan menjadi tugas bersama untuk memelihara semangat kemerdekaan dengan mengisinya dengan cita-cita kemerdekaan yaitu mewujudkan negara yang adil dan makmur sehingga mendapat limpahan dan rahmat dari Allah ﷻ dengan segala aktivitas yang kita lakukan.

Untuk menjadikan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang adil dan makmur, maka syarat yang harus dipenuhi ialah harus menjadi umat bertakwa, umat yang mau menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar. Dengan begitu, bangsa Indonesia akan berada jalurnya untuk menjadi negara yang aman dan tentram serta adil dan makmur. Sebagaimana Allah ﷻ berfirman

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ ٱلْقُرَىٰٓ ءَامَنُوا۟ وَٱتَّقَوْا۟ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَٰتٍ مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلْأَرْضِ وَلَٰكِن كَذَّبُوا۟ فَأَخَذْنَٰهُم بِمَا كَانُوا۟ يَكْسِبُونَ

“Jikalau sekiranya penduduk negeri beriman dan bertawa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.” (QS. al-A’raf [7]: 96)[5]. Wa Allâhu a’alam bish shawwâb.[]

Marâji’:

* Alumni Santri Rumah Tahfidz Taruna Juara Yogyakarta.

[1] Takdir Ali Mukti. Membangun Moralitas Bangsa (Amar Ma’ruf Nah Munkar: dan Subyektif-Normatf ke Obyektif-Empiris). Yogyakarta: Mitra Pustaka. 2000.

[2] Abdul Karim. Islam dan Kemerdekaan Indonesia (Membongkar Marjinalisasi Peranan Islam dalam Perjuangan Kemerdekaan RI. Yogyakarta: YK Sumbangsih. 2005.

[3] Haidar Bagir. Islam Tuhan Islam Manusia Agama dan Spiritualitas di Zaman Kacau. Yogyakarta: Mizan. 2017.

[4] Aboebakar Atjeh. Islam dan Kemerdekaan Beragama. Cirebon:  Toko Messir. 1970.

[5] Hamka. Tafsir Al-Azhar. Jilid IV. PT. Pustaka Panji Mas: Jakarta. 2004.

Download Buletin klik disini

Kemerdekaan Indonesia dalam Perspektif Islam

Kemerdekaan Indonesia dalam Perspektif Islam

Uun Zahrotunnisa*

 

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh.

Sejarah  Peringatan Peristiwa 17 Agustus

Bulan Agustus identik dengan peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Republik Indonesia. Peringatan tersebut tepatnya jatuh pada tanggal 17 bulan Agustus setiap tahunnya. Urgensi dari adanya peringatan hari ulang tahun RI adalah untuk mengingatkan seluruh bangsa Indonesia akan asal muasal berdirinya suatu negara, yaitu Indonesia.

Kemerdekaan Indonesia tidak serta merta didapatkan begitu saja, namun kemerdekaan Indonesia adalah berkat rahmat Allah ﷻ  yang dianugerahkan kepada rakyat Indonesia selama berabad-abad lamanya. Bangsa Indonesia ketika itu harus bergulat dengan masa kolonialisme dan imperialisme. Hingga pada suatu masa, Indonesia bangkit dengan memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Peristiwa kemerdekaan Indonesia ditandai dengan lahirnya dasar negara dan konstitusi negara. Dasar Negara Indonesia yaitu Pancasila, dan konstitusinya Undang-Undang Dasar 1945.

Salah satu bentuk ikhtiar dari Kemerdekaan Republik Indonesia tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (Preambule). Bunyi dari Prembule tersebut “Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.[1]

Dasar Negara dan Nilai Ukhuwah Islamiyah  

Dasar Negara dan Konstitusi merupakan pondasi berdirinya Negara Republik Indonesia.Persatuan dan kesatuan dalam Islam erat kaitannya dengan ukhuwah islamiyah. Indonesia merupakan negara yang memiliki keragaman suku, budaya, ras dan agama. Namun hal tersebut tidak melunturkan persatuan dan kesatuan dalam perbedaan. Nilai persatuan umat dan ukhuwah islamiyah dalam al-Qur’an juga di ajarkan. Allah ﷻ berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَٰكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَٰكُمْ شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓا۟ ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa”. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti”. (Q.S. al-Hujurat [49]: 13).

Persatuan umat dan ukhuwah islamiyah juga dijelaskan dalam sebuah hadits, dari an-Nu’man bin Basyir, ia berkata, Rasûlullâh ﷺ bersabda,

مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ، مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى.

Perumpamaan kaum Mukminin dalam cinta-mencintai, sayang-menyayangi dan bahu-membahu, seperti satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuhnya sakit, maka seluruh anggota tubuhnya yang lain ikut merasakan sakit juga, dengan tidak bisa tidur dan demam.” (H.R. al-Bukhari, no. 6011, Muslim, no. 2586, dan Ahmad no. IV/270).[2]

Diksi “Kemerdekaan” dalam Nafas Islamiyah

Kemerdekaan berasal dari kata dasar “merdeka” yang memiliki makna keadaan bebas, bisa berdiri sendiri, leluasa, tidak terikat atau bergantung pada siapapun.[3] Keadaan bebas maksudnya adalah suatu potensi untuk memilih beberapa alternatif yang mana tidak ada ancaman maupun paksaan bagi seseorang untuk melakukan tindakannya.[4] Kemuliaan hidup berporos pada kemerdekaan tiap-tiap individu untuk melakukan sesuatu termasuk dalam beribadah serta amar ma’ruf nahi munkar.

Uniknya ada persamaan antara proklamasi kemerdekaan RI dan perang badar yang terjadi pada bulan hijriyah, yaitu bulan Ramadhan. Proklamasi kemerdekan RI, bertepatan dengan 9 Ramadhan tahun 1364 Hijriyah. Perang badar merupakan pertempuran besar umat Islam melawan musuh yang terjadi pada 17 Ramadhan tahun  2 Hijriyah bertepatan pada 13 Maret  tahun 624 Masehi.[5]

Perang Badar memiliki tujuan untuk menyebarkan agama Islam dan melepaskan umat dari  kekejaman suku Quraisy yang terus menyerang pengikut Rasulullah ﷺ. Sejak di Makkah sampai hijrah Rasulullah ﷺ ke Madinah. Peperangan berlangsung sengit, dan ketika itu Allah ﷻ memberikan kemenangan kepada umat Islam. Kemenangan dalam perang badar merupakan wujud dari kemerdekaan umat Islam. Kemenangan umat Islam dalam Perang Badar diceritakan dalam  al-Qur’an surah Ali Imrân [3]: 13.

Seperti halnya kemerdekaan Republik Indonesia yang diperjuangkan oleh para pahlawan, tidak lepas dari pertolongan dan karunia Allah ﷻ. Kemerdekaan Republik Indonesia merupakan suatu capaian dari ikhtiar zhahiriyyah dan bathiniyyah. Sehingga, sebagai umat beragama, berbangsa dan bernegara yang baik, cinta tanah air, bela negara harus selalu dijunjung tinggi. Terutama dalam hal moderasi agama sebagai konteks aqidah (kepercayaan).

Moderasi agama adalah wujud dari kemerdekaan masing-masing individu dalam menganut aqidah. Implementasinya adalah meyakini kebenaran agama sendiri dan menghargai, menghormati penganut agama lain yang meyakini agama mereka, tanpa harus membenarkannya.[6] Kebebasan dalam beraqidah disebutkan dalam konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat 1 dan 2 yang berbunyi: 1) Negara berdasar atas Ketuhaan Yang Maha Esa, 2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaan itu.[]

 

Marâji:
* Alumni Program Studi Ahwal Syakhsiyyah Fakultas Ilmu Agama Islam UII angkatan 2019 asal Ponorogo, Jawa Timur, Indonesia.

[1] Undang-Undang Dasar 1945 Preambule.

[2] Yazid bin Abdul Qadir Jawas. “Ahlus Sunnah Wal Jamaah Menjaga Ukhuwah Persaudaraan Sesama Mukmin.” https://almanhaj.or.id/1324-ahlus-sunnah-wal-jamaah-menjaga-ukhuwwah-persaudaraan-sesama-mukminin.html. Diakses Agu 01, 2023.

[3] Kemdikbud, “Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),” Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2023. https://kbbi.web.id/merdeka. Diakses Agu 02, 2023.

[4] L. Simatupang, “Refleksi ‘Kemerdekaan’ Warganet dalam Kolom Komentar Akun Media Sosial Jokowi dan Ma’ruf Amin: Kajian Pargmatik,” JSHP  J. Sos. Hum. dan Pendidik., vol. 6, no. 1, hal. 50–59, 2022, doi: 10.32487/jshp.v6i1.1287.

[5] W. Swandi, “Perang Badar Tahun 624 M/ 2 H,” Universitas Negeri Makassar, 2015.

[6] K. Amin, “Mengapa Moderasi Beragama ?,” Kementerian Agama Republik Indonesia, 2023. https://kemenag.go.id/kolom/mengapa-moderasi-beragama-02MbN#:~:text=Dalam konteks aqidah dan hubungan,agama mereka%2C tanpa harus membenarkannya. Diakses Agu 01, 2023.

Download Buletin klik disini

Bulan Muharram: Spirit Muhasabah dan Beramal

Bulan Muharram: Spirit Muhasabah dan Beramal

Faisal Ahmad Ferdian Syah*

Datangnya bulan Muharram menandakan telah bergantinya tahun dalam Islam menurut penanggalan kalender hijriyah. Khalifah Umar menetapkan bahwa penanggalan 1 hijriyah dimulai dari peristiwa hijrahnya Rasulullah dari Makah ke Madinah. Peristiwa hijrah tersebut juga menandai kemenangan umat Islam secara gemilang, dimana Islam menyebar dari Yatsrib hingga akhirnya menyebar ke seluruh penjuru dunia.

Dalam konteks tekanan dan gangguan dalam beribadah, kini umat Islam tidak perlu lagi hijrah ke mana-mana. Akan tetapi makna hijrah secara kontekstual pada zaman ini adalah hijrah dari hal-hal buruk menuju hal-hal yang baik.[1]

Bulan Muharram Bulan Muhasabah

Tahun baru hijriyah ini merupakan momentum yang sangat tepat bagi kita untuk muhasabah; introspeksi diri. Apa yang telah kita perbuat untuk tahun kemarin? Dan apa yang telah kita persiapkan untuk menyambut tahun baru ini? Maka setiap muslim hendaknya melihat urusannya. Jika ada kekurangan hendaknya ia memperbaikinya dan berusaha meninggalkan segala kemaksiatan. Ibnul Qoyyim mengatakan bahwa muhasabah hendaknya dilakukan sebelum dan sesudah melakukan suatu perbuatan atau pekerjaan.

Para ulama juga menaruh perhatian yang serius tentang muhasabah. Hasan al-Bashri juga mengatakan, “Seorang mukmin itu pemimpin bagi dirinya sendiri. Ia menginstropeksi dirinya karena Allah. Sesungguhnya hisab pada hari kiamat nanti akan menjadi ringan, bagi mereka yang telah melakukan instropeksi di dunia. Sebaliknya, hisab akan terasa berat bagi mereka yang tak pernah berinstropeksi.[2]

Ingatlah bahwa muhasabah itu setiap hari dan bukan satu tahun sekali. Seseorang akan sulit menangis tatkala shalat atau bersendirian dengan Allah ﷻ jika dia jarang muhasabah. Artinya semakin sering kita bermuhasabah maka akan semakin baik. Seseorang yang sering muhasabah maka ia akan mengetahui kekurangan dirinya, banyak beristighfar dan bertaubat, mengetahui kemuliaan dan Maha Baiknya Allah, dan ia akan zuhud terhadap dunia.[3]

Kedudukan dan Keutamaan Bulan Muharram

Imam as-Suyuthi mengatakan bahwa sebelum Nabi Muhammad ﷺ diutus, bulan Muharram dinamakan bulan Shafar al-Awwal, sedangkan bulan Shafar dinamakan Shafar ats-Tsani. Setelah Islam datang maka diubahlah menjadi al-Muharram. Beliau juga mengatakan bahwa kelebihan bulan Muharram terletak pada namanya yang islami dibandingkan nama bulan hijriyah lainnya.[4]

Bulan Muharram merupakan salah satu dari empat bulan haram. Yaitu pada bulan ini kita diharamkan untuk mendzalimi diri kita dan berbuat dosa. Allah ﷻ berfirman,

إِنَّ عِدَّةَ ٱلشُّهُورِ عِندَ ٱللَّهِ ٱثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِى كِتَٰبِ ٱللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ مِنْهَآ أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلْقَيِّمُ ۚ فَلَا تَظْلِمُوا۟ فِيهِنَّ أَنفُسَكُمْ ۚ

“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu…” (Q.S. At-Taubah [9]: 36).

Ibnu Abbas a mengatakan ketika menafsirkan ayat di atas, “Janganlah kalian menganiaya diri kalian) dalam seluruh bulan. Kemudian Allah ﷻ mengkhususkan empat bulan sebagai bulan-bulan haram dan Allah ﷻ pun mengagungkan kemuliaannya. Allah ﷻ juga menjadikan perbuatan dosa yang dilakukan didalamnya lebih besar. Demikian pula, Allah ﷻ pun menjadikan amalan shalih dan ganjaran yang didapatkan didalamnya lebih besar pula” (Tafsir Ibnu Katsir: 3/26).

Berpuasa di Bulan Muharram

Bulan Muharram juga disebut oleh Nabi Muhammad ﷺ sebagai Syahrullah (Bulan Allah). Hal tersebut menunjukkan bahwa bulan Muharram memiliki keutamaan yang sangat besar. Dalam sebuah hadits beliau bersabda,

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ،

“Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah (syahrullah), yakni Muharam …. (H.R. Muslim, no. 1163).

Hadits di atas menunjukkan anjuran untuk memperbanyak puasa di bulan Muharram bukan satu bulan penuh. Puasa yang dianjurkan adalah puasa hari ‘Asyura, yaitu pada 10 Muharram. Dari Abu Qotadah Al Anshariy, berkata, Nabi ﷺ ditanya mengenai keutamaan puasa Asyura? Beliau menjawab,

يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ

Puasa pada hari asyura akan menghapus dosa setahun yang telah lalu.” (H.R. Muslim no. 1162).

Dalam hadits yang lain kita juga dianjurkan untuk berpuasa pada 9 Muharram (Tasu’a) dalam rangka menyelisihi Yahudi. Ibnu Abbas k berkata bahwa ketika Nabi ` melakukan puasa hari ’Asyura dan memerintahkan kaum muslimin untuk melakukannya, pada saat itu ada yang berkata,

يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى

“Wahai Rasulullah, hari ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashrani.” Lantas beliau mengatakan,

فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ – إِنْ شَاءَ اللَّهُ – صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ

“Apabila tiba tahun depan –insya Allah (jika Allah menghendaki)– kita akan berpuasa pula pada hari kesembilan.” Ibnu Abbas mengatakan,

فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّىَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Belum sampai tahun depan, Nabi ﷺ sudah keburu meninggal dunia.” (H.R. Muslim, no. 1134).

Imam Asy Syafi’i dan ulama Syafi’iyyah, Imam Ahmad, Ishaq dan selainnya mengatakan bahwa dianjurkan (disunnahkan) berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh sekaligus; karena Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam berpuasa pada hari kesepuluh dan berniat (berkeinginan) berpuasa juga pada hari kesembilan. (Lihat Syarh Muslim, 8: 12-13).[5]

Momentum bulan Muharram ini mari kita maksmalkan untuk muhasabah diri, sekaligus meningkatkan amal ibadah kita dan berusaha untuk menjauhi segala perkara dosa. Karena ganjaran pahala dan dosa pada bulan ini sama-sama Allah lipatgandakan. Wallâhu a’lam bish shawâb.[]

Marâji’:

* Ahwal Syakhsiyah International Program Angkatan 2022

[1] Farhan dan Esha. “Refleksi Akhir Tahun Hijriyah dari Kacamata Sejarah” https://sumenepkab.go.id/berita/baca/refleksi-akhir-tahun-hijriyah-dari-kacamata-sejarah. Diakses pada 18 Juli 2023.

[2] Ibnu Qayyim, dkk. Tazkiyatun Nafs. Solo: Pustaka Arafah. 2017. h. 90.

[3] Firanda Andirja. “Muhasabah Jiwa” https://bekalislam.firanda.com/5898-muhasabah-jiwa.html. Diakses pada 18 Juli 2023.

[4] Hayah. “Bulan Allah Muharram dan Asyura” https://www.alukah.net/sharia/0/47029/شهر-الله-المحرم-وعاشوراء/. Diakses pada 18 Juli 2023.

[5] Muhammad Abduh Tuasikal. “Anjuran Puasa Muharram” https://rumaysho.com/2956-anjuran-puasa-muharram.html. Diakses pada 18 Juli 2023.

Download Buletin klik disini

Kemuliaan Muharram dan Momentum Muhasabah

Kemuliaan Muharram dan Momentum Muhasabah

Jaenal Sarifudin*

 

Bismillâh walhamdulillâh, wash shalâtu was salâmu ‘alâ Rasûlillâh, waba’du.

Kita telah memasuki bulan Muharram yang juga menandai masuknya tahun 1445 hijriyah. Bulan Muharram adalah bulan pertama dalam perhitungan kalender hijriyah dan merupakan salah satu bulan yang mulia. Nama bulan Muharram sendiri salah satu maknanya adalah bulan yang dimuliakan. Sebelum diutusnya Rasulullah, nama bulan Muharram belum dikenal oleh masyarakat di jazirah Arab. Dahulu bulan ini disebut orang Arab dengan nama bulan Shafar Awal. Kemudian ketika Islam datang, nama Shafar Awal ini diganti oleh Rasulullah ﷺ menjadi Muharram. Demikian Imam Jalaluddin as-Suyuti mengemukakan di dalam kitab Syarah Sahih Muslim susunannya.[1]

Sehingga dapat dikatakan bahwa nama Muharram adalah bagian dari wahyu, sebab Rasulullah ﷺ yang langsung memberi nama itu. Tentu beliau melakukan segala sesuatu atas bimbingan dan petunjuk wahyu dari Allah ﷻ. Apalagi di dalam sebuah riwayat hadits, bulan Muharram juga disebut sebagai syahrullah, bulannya Allah. Ia dinisbatkan kepada lafzhul jalalah Allah, sebagaimana sabda Nabi ﷺ,

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ،

“Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah (syahrullah), yakni Muharam …. (H.R. Muslim, no. 1163).[2]

Salah Satu Bulan Haram

Muharram juga termasuk salah satu dari empat bulan-bulan haram yang disebutkan di dalam al-Quran dan hadits. Bulan haram merupakan bulan yang memilki keistimewaan dan nilai tersendiri dalam pandangan Islam. Bulan-bulan haram juga merupakan waktu yang mulia. Bahkan karena kemuliaannnya, sejak zaman sebelum diutusnya Rasulullah ﷺ, masyarakat Arab telah berpantang melakukan pertikaian dan peperangan pada bulan-bulan tersebut.

Ketika Islam datang, kemuliaan bulan-bulan haram ini dilestarikan dalam ajaran syariat. Ia merupakan bulan-bulan yang dimuliakan. Amal ibadah yang dilakukan di dalamnya pun akan dilipatgandakan pahalanya. Sebaliknya, kemaksiatan dan kezhaliman yang dilakukan seseorang di bulan-bulan haram ini juga memilki konsekuensi dosa yang lebih besar.

Hal ini diisyaratkan oleh Allah di dalam firman-Nya,

إِنَّ عِدَّةَ ٱلشُّهُورِ عِندَ ٱللَّهِ ٱثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِى كِتَٰبِ ٱللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ مِنْهَآ أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلْقَيِّمُ ۚ فَلَا تَظْلِمُوا۟ فِيهِنَّ أَنفُسَكُمْ ۚ

“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu…” (Q.S. At-Taubah [9]: 36).

Larangan menganiaya diri pada bulan haram diantaranya mengandung maksud agar kita lebih menjaga diri kita dari melakukan kemaksiatan pada bulan-bulan haram, sebab dosa yang ditanggung akan menjadi lebih besar. Demikian menurut Ibnu Abbas.[3]

Hari ‘Asyura

Bulan Muharram juga memiliki satu hari yang sangat agung, yaitu hari ‘asyura. Hari ‘asyura merupakan hari kesepuluh di bulan Muharram. Di dalam sejarah disebutkan bahwa pada hari ‘asyura banyak peristiwa besar yang terjadi. Di antaranya diselamatkannya Nabi Musa dan pengikutnya dari kejaran Fir’aun dan perahu Nabi Nuh diselamatkan Allah ﷻ lalu mendarat di bukit Juud.[4]

Kaum muslimin dianjurkan untuk menunaikan puasa sunnah ‘asyura yang fadhilahnya akan dihapuskan dosa-dosanya setahun yang lalu. Dari Abu Qotadah Al Anshariy, berkata, Nabi ﷺ ditanya mengenai keutamaan puasa Asyura? Beliau menjawab,

يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ

Puasa pada hari asyura akan menghapus dosa setahun yang telah lalu.” (H.R. Muslim no. 1162).[5]

Nabi juga menganjurkan untuk berpuasa pada tanggal 9 Muharram agar menyelisihi dengan orang Yahudi yang juga berpuasa pada tanggal 10 Muharram tersebut. Di dalam kitab Shahih Muslim diriwayatkan,

صَامَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فَقَالَ رَسُولُ الهِع صَلَّى الهُت عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ قَالَ فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Rasulullah ﷺ berpuasa pada hari Asyura dan memerintahkan berpuasa. Para shahabat berkata, ”Ya Rasulullah, sesungguhnya hari itu diagungkan oleh Yahudi.” Maka beliau ` bersabda, “Di tahun depan insya Allah kita akan berpuasa pada tanggal sembilan.”, tetapi sebelum datang tahun depan Rasulullah ` telah wafat.” (H.R. Muslim).[6]

Momentum untuk Muhasabah

Bulan Muharram sebagai tahun baru Islam juga sering dijadikan sebagai momentum untuk muhasabah oleh kaum muslimin. Banyak kalangan mengadakan acara menyambut tahun baru hijriyah dengan format pengajian dan muhasabah. Muhasabah memiliki makna menghitung-hitung diri, mengevaluasi diri atau berintrospeksi diri.

Umar bin Khattab pernah berpesan,

حَاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوا، وَزِنُوها قَبْلَ أَنْ تُوزَنُوا، وَتَأهَّبُوا لِلْعَرْضِ الْأَكْبَرِ

Hendaklah kalian menghisab diri kalian sebelum kalian dihisab, dan hendaklah kalian menimbang diri kalian sebelum kalian ditimbang, dan bersiap-siaplah untuk hari besar ditampakkannya amal[7]

Muhasabah merupakan hal yang penting untuk dilakukan. Dengan sering bermuhasabah niscaya seseorang akan terdorong untuk menjadi lebih baik. Sebab dengan bermuhasabah ia akan mengetahui kekurangan-kekurangan yang ada di dalam dirinya. Sebab pada dasarnya tidak ada manusia yang sempurna. Setiap orang pasti memiliki kekurangan. Hal yang tidak selalu dimiliki manusia adalah kesadaran diri akan kekurangannya. Di sinilah urgensi dari muhasabah, yaitu membangun kesadaran dan kepekaan atas kekurangan diri sendiri. Tentu setelah itu diharapkan ia akan berupaya memperbaiki diri dan mengambil pelajaran dari kekeliruan yang telah ia perbuat di masa lalu.

Allah ﷻ berfirman;

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرٌۢ بِمَا تَعْمَلُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok, dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Hasyr [59]: 18).

Dengan muhasabah di awal tahun baru hijriyah ini, harapannya mudah-mudahan kita akan menjadi lebih baik dibandingkan dengan tahun lalu.[]

 

Marâji’:

* Mahasiswa FIAI UII

[1]  Jalaluddin as-Suyuti, Syarh Sahih Muslim, Juz 3, Beirut: Darul Fikr, t.t., h. 252

[2]  Muslim ibn Hajjaj an-Naisaburi, Sahih Muslim, Beirut: Darul Fikr, t.t.

[3]  Abdul Ghani an-Nablusi, Fadhail al-Ayyam wa asy-Syuhur, terj. Muzammal Noer, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2004, h. 24.

[4] ibid, h. 158-159.

[5]  Muslim ibn Hajjaj an-Naisaburi, Sahih Muslim, Beirut: Darul Fikr, t.t.

[6]  ibid. Hadits shahih riwayat Muslim 2/796, Abu Daud 2445, Thabary dalam Tahdzibul Atsar 1/24, Baihaqi dalam Al-Kubra 4/287 dan As-Shugra 2/119 serta Syu’abul Iman 3506 dan Thabrabi dalam Al-Kabir 10/391.

[7]  Muhammad Fuad  Syakir, Laisa min Qaul an-Nabi, Kairo: Maktabah Aulad asy-Syeikh, 2001, h. 74.

Download Buletin klik disini

MENYAMBUT MUHARAM DENGAN “PIAGAM”

MENYAMBUT MUHARAM DENGAN “PIAGAM”

Agus Fadilla Sandi, S.H.

Alumnus Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

 

Prolog

Bulan Muharam adalah momentum istimewa bagi umat Muslim di seluruh dunia. Dalam hadis riwayat Imam Muslim, Rasulullah ﷺ bersabda,

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ،

“Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah – Muharam …”. (H.R. Muslim, no. 1163). Hadis ini menunjukkan bahwa bulan Muharam memiliki keutamaan yang luar biasa dan dianjurkan berpuasa di dalamnya.

Bulan Muharam sebagai bulan pertama dalam tahun Hijiriah merupakan momentum yang tepat bagi kita untuk merefleksikan diri, memperbaiki diri, dan memperkuat komitmen menjadi pribadi lebih baik lagi. Salah satu cara yang bermakna untuk menyambut bulan Muharam ini adalah dengan membuat piagam. Lantas, apa makna piagam dan bagaimana piagam tersebut dapat membantu kita meningkatkan diri di dalam bulan suci ini?

Makna Piagam

Secara bahasa, piagam bermakna surat (tulisan pada batu, tembaga, dan sebagainya) resmi yang berisi pernyataan pemberian hak, tanah, dan sebagainya atau berisi pernyataan dan peneguhan mengenai suatu hal (tentang ikrar dan sebagainya).[1] Secara umum, piagam juga dapat diartikan sebagai dokumen resmi yang berisi pernyataan, keputusan, atau komitmen tertentu.

Sekaitan dengan bahasan Muharam, piagam yang dimaksudkan adalah sebuah tulisan yang berisikan pernyataan maupun komitmen terhadap hal-hal baik yang diniatkan untuk dilaksanakan mulai bulan Muharam ini. Piagam akan menjadi dorongan dalam berniat dan beramal baik, mengingat niat baik dan amal baik akan mendapatkan balasan yang lebih baik dari Allah ﷻ. Allah ﷻ berfirman,

مَنْ عَمِلَ صَٰلِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُۥ حَيَوٰةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ

“Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (Q.S. Al-Nahl [16]: 97).

Dampak Positif Piagam Muharam

Piagam Muharam memiliki dampak positif yang signifikan. Beberapa dampak positif yang dapat diperoleh dari adanya piagam tersebut, antara lain: Pertama, Menentukan Tujuan. Piagam akan menjadi dorongan untuk menetapkan tujuan pribadi yang ingin dicapai pada bulan Muharam.

Misalnya, tujuan untuk meningkatkan kualitas shalat, membaca Al-Qur’an, berinfak, berbakti kepada orang tua, dan berpuasa sunnah (puasa Asyura).[2] Menuliskan tujuan di dalam piagam akan menjadi pengingat dan fokus pada pencapaiannya. Dalam syair disebutkan, “Jika benar tekadnya, maka akan jelas jalannya”.

Kedua, Meningkatkan Kesadaran Diri. Dalam menyusun piagam, seseorang akan dihadapkan pada kebutuhan untuk lebih memahami diri sendiri. Seseorang perlu mengidentifikasi kelemahan, kekuatan, tantangan, maupun peluang dalam hidupnya. Analisis terhadap empat hal tersebut sering dikenal dengan analisis SWOT; merupakan teknik analisis yang diterapkan untuk mengevaluasi kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities) dan ancaman (threats).[3]

Metode analisis SWOT bagi diri sendiri atau personal SWOT analysis akan membuka jalan untuk pertumbuhan dan perubahan yang lebih baik. Dengan demikian, piagam menjadi instrumen introspeksi yang kuat dalam upaya menjadi pribadi yang lebih baik.

Ketiga, Mendapatkan Dukungan dan Akuntabilitas. Piagam yang telah ditulis ada baiknya dibagikan kepada orang-orang terdekat atau keluarga yang dipercaya sebagai bentuk upaya mendapatkan dukungan dan akuntabilitas. Membagikan piagam kepada orang-orang yang dicintai akan membantu seseorang mendapatkan pengingat dan dukungan terhadap tujuan yang telah ditetapkan.

Selain itu, mereka juga dapat berperan sebagai “penasehat” yang positif, membantu agar diri tetap konsisten dan fokus pada komitmen. Imam As-Sa’di ketika menafsirkan surat Al-‘Ashar menjelaskan bahwa dua perkara di awal (iman dan amal saleh) akan menyempurnakan diri pribadi, sedang dua perkara berikutnya (saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran) akan menyempurnakan sesama (keberuntungan kolektif).[4]

Keempat, Refleksi dan Evaluasi. Setelah Muharam berakhir, penting untuk merefleksikan perjalanan selama di bulan suci ini. Piagam dapat menjadi referensi berharga untuk mengevaluasi pencapaian dan melihat sejauh mana komitmen yang telah dibuat dapat dilaksanakan. Piagam akan membantu dalam menilai keberhasilan dan tantangan yang dihadapi selama perjalanan di bulan Muharam, serta mengidentifikasi langkah-langkah yang perlu diambil untuk terus meningkat di bulan-bulan berikutnya.

Allah ﷻ berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرٌۢ بِمَا تَعْمَلُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat). Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Hasyr [59]: 18).

Ayat ini mengingatkan umat Islam agar senantiasa bertakwa kepada Allah dan memperhatikan apa yang telah mereka lakukan untuk hari esok (akhirat). Hal ini menunjukkan pentingnya refleksi diri dan penilaian atas amal perbuatan dalam rangka memperbaiki diri di masa mendatang.

Epilog

Menyambut Muharam dengan piagam adalah cara inspiratif untuk menjadikan bulan suci ini sebagai momen transformasi diri. Dengan menetapkan tujuan, meningkatkan kesadaran diri, dan mendapatkan dukungan dari orang-orang terdekat, tentu akan memudahkan langkah menuju versi yang lebih baik dari diri sendiri. Mari manfaatkan kesempatan menyambut bulan Muharam ini dengan “piagam” agar langkah lebih terarah demi kehidupan yang lebih berkah.[]

 

Marâji’:

[1] Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring

[2] H.R. Muslim, no. 1162

[3] Evilla Nouval, Analisis SWOT Diri Sendiri dan Cara Menggunakannya yang Tepat! https://www.gramedia.com/literasi/analisis-swot-diri-sendiri/. Diakses pada 13 Juli 2023

[4] Syaikh Abdurrahman bin Nashr As-Sa’di, Taisir Kalam Ar-Rahman fi Tafsir Kalam Al-Mannan, 2001, h. 934

Download Buletin klik disini

Dakwah di Media Sosial: Haruskah Meningkatkan Personal Branding?

Dakwah di Media Sosial: Haruskah Meningkatkan Personal Branding?

Nandita Faiza

* Mahasiswi Ilmu Komunikasi Internasional Program & Santri Pondok Pesantren UII

 

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Teknologi semakin berkembang, dalam mencari pengetahuan dan informasi saat ini masyaakat juga sudah mulai beralih ke media digital. Hal ini mengantarkan para pendakwah yang dulunya hanya dilakukan secara face to face akhirnya juga ikut menggunakan media digital sebagai sarana dakwah. Tak jarang juga seseorang memanfaatkan kemudahan penyampaian informasi lewat media digital untuk dijadikan sarana dakwah. Ia hanya memanfaatkan kemudahan era digitalisasi ini untuk menjadi bermanfaat dengan menyebarkan nilai-nilai agama.

Haruskah Meningkatkan Personal Branding?

Di era ini, siapapun dapat menyampaikan dakwahnya lewat media digital, lewat sosial media contohnya, tetapi untuk menjadikan pesan atau isi konten dakwah yang seseorang buat akhirnya dipercaya dan memiliki banyak viewers, sebenarnya tidak semudah itu. Disamping itu juga yang paling penting adalah ilmu agama yang memadai dalam menyampaikan pesan konten dakwah.

Dulu, sebelum adanya dunia maya, seseorang dapat mempercayai pesan yang diberikan orang lain ketika kita mengetahui siapa orang tersebut, atau branding dari orang tersebut. Sebagaimana Rasulullah n yang mempunyai branding al-Amin lebih dipercaya banyak orang dari pada orang Quraisy biasa. Masyarakat pada umumnya dapat mengetahui secara langsung watak dan sifat orang tersebut, atau bisa juga dari apa yang dibicarakan oleh orang yang mereka kenal dan percayai.

Maka saat ini yang terjadi ialah para pengguna sosial media memperkenalkan branding mereka lewat sosial media mereka masing-masing. Padahal sebenarnya, branding itu diciptakan oleh pihak lain terhadap diri kita atas apa yang mereka ketahui dari diri kita. Dalam segi agama pun, umat Islam juga dilarang melabeli diri sendiri sebagai seorang yang suci, ‎ baik, ataupun sebagainya. Allah ﷻ berfirman,

فَلَا تُزَكُّوٓا۟ أَنفُسَكُمْ ۖ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ ٱتَّقَىٰٓ

“Maka janganlah ‎kamu sekalian menyucikan diri sendiri. Dialah yang paling mengetahui orang yang ‎bertakwa” (Q.S. an-Najm [53]: 32).‎

Menyucikan diri disini berarti seseorang menganggap bahwa dirinya sendiri suci dan lain sebagainya, yang kemudian dapat mengantarkan seseorang pada sifat takabbur, merasa dirinya sudah baik dan lebih baik dari orang lain.

Lalu bagaimana jika kita sebagai konten kreator pemula yang belum banyak dikenal orang, ingin menyampaikan pesan berupa ilmu ataupun dakwah kepada khalayak umum, tanpa memperkenalkan branding? Perlu diketahui, Rasulullah n mempunyai berbagai branding yang sangat kuat dan dikenal, salah satunya ialah julukan al-Amin-nya, tetapi beliau tidak pernah mengatakan dirinya sendiri al-Amin, masyarakatlah yang memberi beliau branding tersebut. Jadi yang disebut branding ialah orang lain mengatakan bahwa diri Anda oke dan lain sebagainya.

Lahirnya branding itu disebabkan oleh hal-hal yang membuat orang lain mengenali kita sebagai A,B, atau C. Begitu juga ketika Rasulullah diberi branding al-Amin tentu saja karena beliau sejatinya dipercaya dalam peristiwa peletakan Hajar Aswad, dan juga memang kejujurannya telah dikenal banyak orang sebelum peristiwa itu terjadi. Maka sebagai konten kreator, dalam penyampaian pesannya ataupun dakwahnya, personal branding memang perlu, tapi jangan jadikan hal itu sebagai tujuan supaya kita mendapat branding yang bagus, terlebih jika Anda sebagai pendakwah yang sebenarnya tujuan dakwah saja lillah.

Bedakwah itu Niatnya Harus Benar

Urusan dakwah kita diterima oleh masyarakat atau tidak, itu diluar kendali kita, yang terpenting ialah niat.  Sebagaimana hadits berikut, dari Amirul Mukminin, Abu Hafsh ‘Umar bin Al-Khattab, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah ﷺ bersabda,

إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى

Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan.” (H.R. Bukhari, no. 1 dan Muslim, no. 1907).

Jika memang niatnya berdakwah, Rasulullah pun saat pertamakali mendapat tugas untuk berdakwah, beliau memulai dakwahnya secara step by step dengan pengikut yang masih dalam lingkup kecil dan sedikit pula. Maka sebagai pemula, wajar saja jika viewers yang didapatkan masih sedikit, begitu juga dengan kepercayaan orang lain terhadap diri pendakwah itu sendiri. Maka disini coba pikirkan baik-baik, apakah niat kita berdakwah di media sosial benar-benar lillah atau jangan-jangan untuk mencari popularitas? Maka jika hanya untuk mencari popularitas, dan supaya dikenal sebagai orang baik, maka yang ditakutkan ialah hal itu dinilai sebagai riya.

Adanya sosial media memang dapat dijadikan sebagai media ibadah, salah satunya ialah dakwah. ‎Tetapi tetap saja, yang namanya ibadah itu memang harus kita niatkan benar-benar untuk Allah dan ‎juga untuk kehidupan akhirat kita kelak. Memang benar di mana pun kita berada pasti ada yang ‎namanya cobaan, mungkin niat awal kita menggunakan sosial media untuk berdakwah memang ‎untuk ibadah pada Allah, tetapi bisa saja kita terlena dengan media tersebut, mungkin karena kita ‎mendapatkan banyak likes sehingga kita terbutakan dengan itu dan menjadi berbelok niat,naudzubillah.

Maka beruntunglah mereka yang menghendaki kehidupan akhirat dan fokus beribadah hanya pada Allah ﷻ. Tidak akan merugi orang-orang yang mengejar akhiratnya, karena dalam hal ini Alllah ﷻ berfirman,

مَن كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ ٱلْءَاخِرَةِ نَزِدْ لَهُۥ فِى حَرْثِهِۦ ۖ وَمَن كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ ٱلدُّنْيَا نُؤْتِهِۦ مِنْهَا وَمَا لَهُۥ فِى ٱلْءَاخِرَةِ مِن نَّصِيبٍ

“Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu ‎baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya ‎sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat.” (Q.S. asy-‎Syura [62]: 20)‎. Wa Allâhu a’lam.[]

Download Buletin klik disini

WISUDA: EUFORIA ATAU DISFORIA?

WISUDA: EUFORIA ATAU DISFORIA?

Agus Fadilla Sandi, S.H.

*Alumnus Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

 

Muqoddimah

Belakangan ini viral ragam protes terhadap kebijakan sekolah yang dinilai memberatkan orang tua/wali dalam pembayaran uang wisuda peserta didik. Menguaknya isu ini, hingga Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) melalui Surat Edaran Nomor 14 Tahun 2023 menegaskan tidak ada kewajiban penyelenggaraan wisuda sekolah sebagai ajang pelepasan peserta didik yang lulus, sekaligus tidak boleh menjadi kewajiban yang memberatkan bagi orang tua/wali murid.[1]

Sekalipun menjadi momok, tapi momen wisuda sering diwarnai euforia. Rasa bahagia yang berlebihan, padahal ini barulah permulaan, pun wisuda bukanlah ukuran kesuksesan. Terlebih lagi ini sekadar wisuda di dunia, kelak akan ada “wisuda” sesungguhnya yang tak jarang menyisakan disforia. Nun, orang-orang akan tersadar tentang makna hakiki wisuda, apakah menjadi euforia atau malah disforia?

Makna Wisuda

Secara bahasa, wisuda bermakna peresmian atau pelantikan yang dilakukan dengan upacara khidmat.[2] Makna ini mengisyaratkan adanya sebuah prosesi khidmat untuk memberikan hasil atas apa yang selama ini telah diupayakan oleh yang bersangkutan. Sedemikian khidmatnya prosesi wisuda di dunia, lantas bagaimana kekhidmatan “wisuda” di akhirat nantinya? Itulah tragedi padang mahsyar. Saat semua orang akan diperlihatkan amalnya, tak satu pun yang dapat alpa!

يَوْمَئِذٍ تُعْرَضُونَ لَا تَخْفَىٰ مِنكُمْ خَافِيَةٌ

“Pada hari itu kamu dihadapkan (kepada Tuhanmu). Tidak ada sesuatu pun dari kamu yang tersembunyi”. (Q.S. Al-Haqqah [69]: 18)

Kata تُعْرَضُونَ (dihadapkan) dalam ayat tersebut ditafsirkan dalam Tafsir Jalalain dengan maksud “untuk dihisab (diperhitungkan)”.[3] Kelak manusia akan dikumpulkan di padang mahsyar. Disitulah mereka berdiri dan tidak duduk menunggu kedatangan Allah ﷻ, yang pada waktu itu satu hari seperti lima puluh ribu tahun. Tatkala Allah ﷻ telah datang, maka malaikat menjadi bersaf-saf mengiringi kedatangan Allah ﷻ, maka saat itulah yang dimaksud dalam ayat ini, yaitu manusia dihadapkan kepada Allah l untuk untuk dihisab.

Pada saat itu semuanya akan diberikan balasan sesuai dengan apa yang telah ia kerjakan, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui perkara ghaib maupun nyata.[4] Tidak ada amalan yang tersembunyi, seluruh amalan yang selama ini disembunyikan oleh manusia selama hidupnya baik dari kebaikan atau keburukan, maka akan tampak pada hari tersebut.[5]

Inilah makna “wisuda” yang hakiki, penilaian dari Allah ﷻ yang Maha Teliti, serta apresiasi sempurna dari Allah Sang Maha Pencipta.

Euforia Wisuda

Wisuda seringkali menjadi momen yang penuh euforia. Merasa bangga karena mendapatkan nilai yang didamba. Terasa lega karena akhirnya lulus juga. Pun berharap ini bisa menyenangkan hati orang tua. Sayangnya, itu semua bukanlah kebahagian yang sebenarnya. Apa pun yang dinikmati saat wisuda di dunia hanyalah bersifat fana.

Namun, akan ada masanya rasa bangga itu tak kunjung sirna, bahagia selama-lamanya. Momentum itu terjadi kala seseorang mendapatkan catatan amalnya di akhirat melalui tangan kanannya. Dengan bangga ia berkata,

إِنِّى ظَنَنتُ أَنِّى مُلَٰقٍ حِسَابِيَهْ

“Sesungguhnya aku yakin, bahwa (suatu saat) aku akan menerima perhitungan terhadap diriku” (Q.S. Al-Haqqah [69]: 20).

Allah pun gambarkan kebahagian mereka melalui firman-Nya,

وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَّاعِمَةٌ. لِّسَعْيِهَا رَاضِيَةٌ. فِى جَنَّةٍ عَالِيَةٍ

“Pada hari itu banyak (pula) wajah yang berseri-seri, merasa puas karena usahanya. (Mereka) dalam surga yang tinggi”. (Q.S. Al-Ghasyiah [88]: 8-10).

Dalam tafsir Jalalain dijelaskan maksud dari kata لِّسَعْيِهَا رَاضِيَةٌ yaitu kala di dunia ia melakukan ketaatan, sedang di akhirat ia menyaksikan balasan dari ketaatan tersebut.[6] Ketaatan di dunia dapat berupa amal-amal saleh dan berbuat baik kepada sesama. Maka, ia pun mendapatkan segala ketaatan yang dahulu telah ditabungnya kini berlipat ganda hingga mendapatkan kenikmatan mulia berupa surga yang tinggi.[7] Jika di dunia seseorang bersusah payah agar bahagia saat di wisuda yang bersifat fana, maka sudah sepatutnya seorang muslim lebih bersusah payah untuk dapat bahagia saat “wisuda” di akhirat yang kekal selamanya.

Disforia Wisuda

Sekalipun wisuda menjadi momen yang bahagia, namun tak jarang ada saja yang merasa disforia. Mulai dari yang nyaris DO (drop out), nilai ala kadarnya, belum lagi jadi bahan gunjingan sanak-keluarga. Mungkin terasa tidak menyenangkan, tapi perasaan itu tak sebanding dengan rasa hina di akhirat kelak. Itu bisa saja terjadi saat seseorang di akhirat mendapatkan catatan amalnya melalui tangan kirinya. Sambil menyesal ia berujar,

وَأَمَّا مَنْ أُوتِىَ كِتَٰبَهُۥ بِشِمَالِهِۦ فَيَقُولُ يَٰلَيْتَنِى لَمْ أُوتَ كِتَٰبِيَهْ

“Alangkah baiknya jika kitabku (ini) tidak diberikan kepadaku” (Q.S. Al-Haqqah [69]: 25).

Allah ﷻ firmankan tentang keadaan yang memilukan tersebut melalui firman-Nya,

وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ خَٰشِعَةٌ. عَامِلَةٌ نَّاصِبَةٌ. عَامِلَةٌ نَّاصِبَةٌ

“Pada hari itu banyak wajah yang tertunduk hina, (karena) berusaha keras (menghindari azab neraka) lagi kepayahan (karena dibelenggu). Mereka memasuki api (neraka) yang sangat panas”. (Q.S. Al-Ghasyiah [88]: 2-4).

Kondisi yang menyedihkan ini adalah gambaran penghuni neraka yang disforia. Wajah yang tertunduk nahas. Susah payah menghindari azab yang tak mungkin lepas. Hingga akhirnya masuk ke dalam neraka nan panas.

Ikhtitam

Sibuknya mempersiapkan wisuda kala di dunia yang sebentar, jangan sampai melalaikan diri dari menyiapkan “wisuda” yang sebenarnya di padang mahsyar. “Wisuda” di hadapan Sang Pencipta, disaksikan oleh semua makhluk-Nya. Saat wisuda di dunia, kendalikan euforia dan disforia sewajarnya, sebab euforia hakiki adalah kala berhasil memasuki surga yang tinggi, sedang disforia ternahas adalah saat tergelincir ke neraka yang panas. Semoga Allah memberikan kita kebaikan di dunia dan di akhirat. Sudah siap wisuda, kisanak?

Maraji’

[1] Surat Edaran Sekretaris Jenderal Kemendikbudristek Nomor 14 Tahun 2023 tentang Kegiatan Wisuda pada Satuan Pendidikan Anak Usia Dini, Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar, dan Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Menengah

[2] Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring

[3] Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Tafsir Jalalain Al-Muyassar, 2015

[4] Syaikh Abdurrahman bin Nashr As-Sa’di, Taisir Kalam Ar-Rahman fi Tafsir Kalam Al-Mannan, 2001

[5] Tafsir Al-Qurthubi 18/268

[6] Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Tafsir Jalalain Al-Muyassar, 2015

[7] Syaikh Abdurrahman bin Nashr As-Sa’di, Taisir Kalam Ar-Rahman fi Tafsir Kalam Al-Mannan, 2001

Download Buletin klik disini

Evaluasi Ibadah Kurban

Evaluasi Ibadah Kurban

Fathurrahman Juleha*

 

Bismillâhi wal hamdulillâh wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâhi, amma ba’d,

Kurban adalah ibadah harta paling mulia. Berkurban berarti mengeluarkan harta untuk mendekatkan diri kepada Allah ﷻ dan ini merupakan sebagus-bagus ibadah seorang hamba. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Ibadah harta yang paling mulia adalah kurban dan ibadah badan yang paling mulia adalah shalat.”[1]

Pentingnya melakukan evaluasi terhadap setiap amal ibadah yang kita lakukan termasuk ibadah kurban yang merupakan ibadah yang sifatnya tahunan. Apakah ibadah kurban kita sudah sesuai dengan syariat Islam atau semakin jauh dari ketentuan syariat. Jangan sampai harta yang kita keluarkan untuk membeli hewan kurban menjadi sia-sia atau tidak bernilai disisi Allah ﷻ lantaran kejahilan kita dalam mengejawantahkan ibadah mulia ini.

Evaluasi sebuah keniscayaan dalam setiap kegiatan, sebagai bahan pertimbangan dalam pelaksanaan ibadah kurban pada tahun yang akan datang, setidaknya yang perlu dievaluasi adalah (1) Evaluasi pengetahuan ilmu fikih kurban, (2) evaluasi persiapan kurban (3) evaluasi pelaksanaan kurban dan (4) evaluasi pendistribusian daging kurban.

Evaluasi Pengetahuan Ilmu Fikih Kurban

Di antara pengetahuan ilmu fikih kurban yang tidak banyak diketahui oleh kebanyakan orang adalah berkurban termasuk ibadah, memalingkan ibadah kurban kepada selain Allah adalah kesyirikan, dan daging sembelihannya adalah haram.[2] Maka tidak akan diterima ibadah seorang hamba hingga terpenuhi dua syarat yaitu (1) ikhlas karena Allah [3] dan (2) ittiba (sesuai dengan tuntunan Nabi n).[4] Maka ketika berkurban ingin mendapatkan pujian manusia, atau untuk berbangga diri dihadapan mereka, supaya dikatakan mampu dan dermawan atau niat-niat lain yang dapat merusak nilai ibadah itu sendiri.  

Ittiba’ tidak akan terwujud kecuali jika amalan sesuai dengan syariat di dalam enam perkara yaitu:

  • Jika seseorang beribadah kepada Allah Ta’ala dengan satu ibadah yang disertai dengan sebab yang tidak syar’i maka ibadah ini tertolak kepada pelakunya. Contohnya, ada orang yang acap kali sasi suro (masuk bulan Muharram) menyembelih hewan kurban supaya gunung tidak meletus atau melarungkan kepala kurban kelautan agar tidak terjadi sunami. Kurban pada asalnya adalah ibadah, namun jika dikaitkan dengan sebab ini maka menjadi amal kesyirikan, karena dibangun di atas sebab yang tidak ditetapkan secara syar’i.[5]
  • Jika seseorang beribadah kepada Allah Ta’ala dengan suatu ibadah yang jenisnya tidak disyariatkan, maka ibadah itu tidak diterima. Contohnya, menyembelih kuda sebagai hewan kurban. Karena hewan kurban hanya dari jenis binatang ternak onta, sapi dan kambing.
  • Seandainya ada seseorang yang ingin berkurban dengan ukuran hewan kurban yang sangat kurus nampak tulang rusuknya atau usianya belum sampai dikurbankan maka kurbannya tidak sah. Karena amalan (kurban) itu menyelisihi syari’at di dalam ukurannya.
  • Tata cara. Jika seseorang menyembelih kurban dengan cara menyetrum atau menusuk pada salah satu anggota badan hewan kurban maka kurbannya tidak akan sah dan menjadi bangkai. Karena amalannya menyelisihi syari’at di dalam kaifiyah (tatacara).
  • Seandainya seseorang menyembelih hewan kurban di bulan Rajab atau puasa Ramadhan di bulan syawwal atau wukuf di Arafah pada tanggal sembilan Dzulqa’idah, maka itu semua tidak akan sah karena menyelisihi syari’at di dalam waktu.
  • Jika seseorang melakukan i’tikaf di rumahnya, tidak di masjid atau dia wukuf pada tanggal sembilan Dzulhijjah di Muzdalifah, maka hal itu tidak sah karena menyelisihi syari’at di dalam tempat.[6]

Enam perkara ini dapat dijadikan sebagai batasan dalam setiap ibadah yang kita lakukan termasuk ibadah kurban. Tidak sedikit shahibul kurban yang belum memahami tentang fikih kurban, termasuk panitia kurban.

Di lapangan kita dapati hewan yang yang dikurbankan belum mencapai usia, cacat yang menyebabkan tidak sahnya kurban, kurus yang nampak tulang rusuknya[7] dan banyak lagi yang lainnya. Begitu pula kesalahan yang dilakukan panitia kurban sebagai wakil shahibul kurban, panitia menjual bagian hewan qurban karena kesulitan dalam pendistribusiannya, juru sembelih (jagal) dan juru kelet (skiner) mendapatkan upah berupa daging kurban dan persoalannya lainnya. Tindakan semacam ini menyelesihi syariat[8]. Sebagian ulama mengatakan kurbannya tidak sah[9]. Inilah pentingnya ilmu sebelum kita beramal saleh.

Evaluasi Persiapan dan Pelaksaaan Kurban

Persiapan kurban menjadi titik awal suksesnya pelaksanaan kurban. Pentingnya pengarahan sebelum mulai bertugas, koordinasi dan pembagian kerja (yang langsung terkait dengan hewan kurban dan daging). Ada banyak hal yang perlu dievaluasi pada persiapan kurban karena tidak sedikit panitia kurban yang abai dalam tugasnya dan terkadang tidak paham siapa melakukan apa.

Di antara kesalahan yang  nampak di lapangan adalah terlalu banyak panitia dan tidak jelas tugasnya sehingga lokasi kurban tidak kondusif, hal ini menyebabkan hewan kurban stress, lemahnya pengetahuan penanganan hewan kurban (handling) hingga banyak hewan kurban tidak terkendali menyebabkan kekacauan di lokasi kurban. Lemahnya panitia dalam pengetahuan fungsi peralatan sembelih. Belum lagi persoalan panitia kurban yang merokok di area lokasi kurban.

Yang tidak kalah penting adalah penataan lokasi kurban. Pisahkan lokasi zona merah meliputi; transit hewan kurban sebelum disembelih, lokasi penyembelihan, dan pengulitan. Zona hijau meliputi; pisah tulang, potong daging, pengepakan (packing). Petugas dari zona merah sebaiknya tidak masuk ke zona hijau tanpa membersihkan diri terlebih dahulu. Hal ini banyakan diabaikan oleh panitia kurban.

Evaluasi Pendistribusian Kurban

Karena lamanya proses mulai dari penyembelihan hewan kurban, pengulitan, pemisahan daging dari tulang, pencacahan daging dan tulang, pembersihan jeroan (brodot), penimbangan daging kurban sebelum didistribusikan dan distribusi daging kurban. Jika tidak dikoordinasikan dari awal akan lambat, yang seharusnya ini bisa dipercepat. Bukankah kita diperintahkan untuk bersegera menunaikan shalat ‘Idul Adha supaya dapat segera menyembelih hewan kurban kemudian menikmati hasil sembelihannya? Faktanya pendistribusian baru dibagikan setelah siang (ba’da zhuhur), bahkan tidak jarang waktu sudah sore (ashar) baru dibagikan.

Dari ‘Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya, ia berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ  nلاَ يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ وَلاَ يَأْكُلُ يَوْمَ الأَضْحَى حَتَّى يَرْجِعَ فَيَأْكُلَ مِنْ أُضْحِيَّتِهِ

“Rasulullah ﷺ biasa berangkat shalat ‘id pada hari Idul Fitri dan beliau makan terlebih dahulu. Sedangkan pada hari Idul Adha, beliau tidak makan lebih dulu kecuali setelah pulang dari shalat ‘id baru beliau menyantap hasil kurbannya.” (H.R. Ahmad 5: 352).[10]

Belum lagi distribusi daging kurban yang tidak mempertimbangkan antara jumlah hewan kurban dan jumlah mustahik. Jika ada kelebihan jumlah hewan kurban bisa didistribusikan pada mustahik lain sehingga memastikan daging kurban diberikan kepada yang berhak secara merata, tidak tumpang tindih serta mencerminkan kolektifitas dan kebersamaan. Bayangkan saja, bila ternyata satu kampung tertentu membutuhkan lima ekor kambing, dan dari warga setempat sudah terdapat dua ekor, maka hewan qurban yang dibutuhkan tinggal tiga ekor, sehingga hewan qurban dapat didistribusikan lebih luas dan lebih jauh kepada kampung yang selama ini kurang terjangkau.

Masih banyak lagi hal yang harus kita perbaiki dalam setiap ibadah kurban kita, maka teruslah belajar tanpa henti sampai ajal menjemput kita. Sebagai penutup, lakukan evaluasi secara bertahap dalam setiap kegiatan ibadah yang kita lakukan demi menyempurnakan ibadah yang sesuai dengan aturan syariat yang telah Allah tetapkan. Mulai dari pra pelaksanaan, saat pelaksanaan dan pasca pelaksanaan. Semoga Allah memberikan hidayah taufik kepada kita dan diberikan kesempatan untuk berkurban di tahun yang akan datang. Âmîn. Wa Allâhu a’lam bish shawwâb.[]

Marâji’:

* Juru Sembelih Halal Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta

[1] Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa 16/532 dalam Syahrul Fatwa bin Lukman, Fikih Praktis Ibadah Kurban berdasarkan al Qur’an dan as-Sunnah, Bekasi: Pustaka Syahrul Fatwa, 1442. h.13.

[2] Q.S. al Mâidah [5]: 3.

[3] Q.S. al-An’am [6]: 162-163.

[4] Dua syarat ini terangkum dalam firman Allah Q.S. al Kahfi [18]: 110.

[5] Contoh menyesuaikan dengan tema kurban.

[6] Syaikh Muhammad bin Shalihj al-Utsaimin, Syarh al Arbain an Nawawiyyah. (terj.) Syarah Hadits Imam Nawawi. Jakarta: Darul Haq, 2019. Cet.ke-1, h. 136-137

[7] HR. At-Tirmidzi no. 1417 dan Abu Dawud no. 2420. Hasan shahih

[8] Lihat pembahasan ini di dalam https://konsultasisyariah.com/8207-mengupah-penjagal-kurban-dengan-kulit-hewan-kurban.html

[9] Lihat pembahasan ini di dalam https://rumaysho.com/665-bolehkah-menjual-kulit-hasil-sembelihan-qurban.html

[10] Syaikh Syu’aib  Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan.

Download Buletin klik disini

SIKAP BIJAK DALAM MENYIKAPI PERBEDAAN PEMAHAMAN KEAGAMAAN UMAT

SIKAP BIJAK DALAM MENYIKAPI PERBEDAAN PEMAHAMAN KEAGAMAAN UMAT

Putri Jannatur Rohmah, S.H.

 

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Allah ﷻ menciptakan manusia lengkap dengan segala perbedaannya. Tak hanya dilihat dari segi kebangsaan, suku, dan juga agama. Bahkan, dalam satu agama saja, terdapat beragam pemahaman, kita ambil contoh Islam, dalam Islam terdapat Imam-imam madzhab yang bisa menjadi pilihan dalam menjalankan ibadah kepada Allah ﷻ atau dikenal dengan istilah sunnah tanawwu’.

Mari kita tengok kembali makna madzhab itu sendiri, sebagai istilah lazim dikalangan umat muslim. Madzhab secara bahasa berasal dari sighat mashdar mimy (kata sifat) dan isim makan (kata yang menunjukkan tempat) yang diambil dari fi’il madhi “dzahaba, yadzhabu, dzahaban, dzuhuban, madzhaban,” yang berarti pergi, ar-ra’yu (pendapat), pandangan, kepercayaan, ideologi, doktrin, ajaran, paham, dan aliran. Sementara makna madzhab menurut istilah merupakan fatwa atau pendapat seorang Imam Mujtahid tentang hukum suatu peristiwa dengan berlandaskan pada al-Qur’an dan Hadits.[1]

Sebab Perbedaan

Perbedaan tersebut muncul dengan beragam faktor, mulai dari metode pengambilan dalil, pemikiran, hingga latar belakang kultur dan sosial para Mujtahidnya. Seluruh umat Islam di dunia telah mengakui bahwa terdapat 4 Madzhab populer dalam bidang fiqih, yakni Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal. Ke-empat Imam tersebut telah memenuhi persyaratan sebagai Mujtahid, hal tersebut dikarenakan ilmu, amal, dan akhlak yang luar bisa dalam mengiringi setiap perkataan dan perbuatannya.[2]

Telah kita ketahui bersama, Imam Syafi’i berpendapat bahwa qunut merupakan sebuah kesunnahan dalam shalat Subuh. Namun pada suatu ketika, ia melaksanakan shalat Subuh tanpa membaca doa qunut (sebagaimana yang telah ia yakini bahwa hal tersebut merupakan kesunnahan). Apa sebab ia tidak membaca doa qunut? Bukan karena ia lupa dan kemudian melaksanakan sujud sahwi sebelum salam. Ia justru sengaja tidak membaca doa qunut karena pada saat itu Imam Syafi’i sedang shalat bersama dengan Imam Hanafi dan ia menghormati Imam Hanafi yang berkeyakinan tidak disunnahkan qunut dalam shalat Subuh.[3]

Kisah tersebut adalah sebuah cerminan dalam etika menghadapi perbedaan. Hal ini senada akan sebuah maqalah, al-adabu faqwal ‘ilmi, adab harus lebih tinggi daripada ilmu. Akhlak kita sebagai seorang muslim harus lebih didahulukam daripada pengetahuan yang kita miliki. Sebab, ilmu bukanlah tujuan utama, melainkan hanya sebagai wasilah untuk dapat diimplementasikan dengan penuh taqwa.

Bagaimana Cara Bijak dalam Menghadapi Perbedaan?

Di Indonesia, perbedaan cara memahami ajaran dibalut dalam sebuah organisasi keagamaan; Nahdhatul Ulama’, Muhammadiyah, PERSIS, Nahdhatul Wathan dan sebagainya. Ironisnya perbedaan tersebut bisa berpotensi menjadi ketegangan dan konflik. Oleh karennya, penting bagi kita untuk saling memahami dan menyikapinya dengan cara yang bijak. Islam menganjurkan umatnya untuk bijak dalam memandang perbedaan dalam masalah fikih.

Ada beberapa pokok pikiran yang harus kita tanam dalam menyikapi perbedaan;[4]

Pertama, harus dipahami dan dihayati bahwa perbedaan adalah kehendak dan hukum Allâh ﷻ (sunnatullâh). Sebagaimana firman Allâh ﷻ,

وَلَوْ شَآءَ ٱللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَٰحِدَةً وَلَٰكِن لِّيَبْلُوَكُمْ فِى مَآ ءَاتَىٰكُمْ ۖ

Seandainya Allâh menghendaki, niscaya Dia menjadikanmu satu umat (saja). Akan tetapi, Allâh hendak mengujimu tentang karunia yang telah Dia anugerahkan kepadamu.” (Q.S. al-Mâidah [5]: 48). Allâh l tidak menjadikan manusia seluruhnya seragam, karena Allâh ﷻ ingin menguji umatnya dalam perbedaan tersebut, siapakah yang mampu menunjukkan kebaikan-kebaikan.

Kedua, Selalu tumbuhkan pandangan, bahwa apa yang kita yakini belum tentu benar ada kemungkinan salah dan sebaliknya. “Kemungkinan benar atau salah” adalah upaya kita memberikan ruang bahwa upaya kita mencapai kebenaran tidak selalu menghasilkan yang benar. Pola pikir seperti ini akan terhindar dari merasa paling benar dan mudah menyalahka orang lain.

Hal tersebut sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Imam Syafi’i dalam ungkapannya: “Ijtihadku adalah benar, tapi mengandung kemungkinan keliru. Sedangkan ijtihad orang lain adalah keliru, tapi mengandung kemungkinan benar”.

Ketiga, dalam menghadapi perbedaan pemahaman, hendaklah kita lebih banyak mencari persamaan-persamaan, bukan justru mempertajam jurang perbedaan. Selalu tanamkan sikap bahwa kita semua sesama umat Islam dengan tujuan yang sama; beribadah kepada-Nya dan mencari Ridha-Nya.

Keempat, hilangkan prasangka-prasangka (prejudice) atau anggapan-anggapan buruk terhadap kelompok lain. Karena benih konflik adalah prasangka negatif yang kita tanamkan dalam pikiran kita sendiri.

Yang Benar Bersatu

Yang benar adalah bersatu itu tentu saja lebih baik dari pada mesti berbeda. Tetapi kita tidak bisa lepas dari perbedaan yang sudah jadi sunnatullâh. Tinggal tugas kita mengikuti manakah yang sesuai ajaran Islam atau ajaran Rasul ﷺ, yang jauh dari ajaran beliau, tentu kita tinggalkan.

Nabi ﷺ bersabda,

فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

Berpegang teguhlah dengan sunnahku dan sunnah khulafa’ur rasyidin yang mendapatkan petunjuk (dalam ilmu dan amal). Pegang teguhlah sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian.” (H.R. Abu Daud, no. 4607, At Tirmidzi, no. 2676, Ibnu Majah, no. 42. At Tirmidizi mengatakan hadits ini hasan shahih)

Imam Asy Syafi’i mengatakan,

أَجْمَعَ المُسْلِمُوْنَ عَلَى أَنَّ مَنِ اسْتَبَانَتْ لَهُ سُنَّةُ رَسُوْلِ اللهِ : لَمْ يَحِلَّ لَهُ أَنْ يَدَعَهَا لِقَوْلِ أَحَدٍ

Kaum muslimin telah sepakat bahwa siapa saja yang telah jelas baginya sunnah Rasulullah ﷺ, tidak halal baginya untuk meninggalkannya karena perkataan yang lainnya.”[5]

Pada akhirnya, mari kita bersatu dibawah naungan al-Qur’an dan Sunnah sesuai dengan pemahaman para ulama yang shalih, namun jika harus berbeda karena hasil ijtihad, maka perbedaan dalam menjalankan ibadah tidak perlu dibesar-besarkan sehingga menimbulkan pertikaian dan perpecahan. Marilah kita tetap menjaga dan melestarikan keindahan Islam dengan segala warna yang berbeda, semuanya benar atas ijtihad ulama masing- masing.

Sebagaimana sikap kampus kita tercinta, Universitas Islam Indonesia, acapkali memfasilitasi shalat dua hari raya sebanyak dua kali, hal ini merupakan bentuk manifestasi dari menghargai perbedaan dan mengakomodir perbedaan tersebut untuk kepentingan ummat. Wa Allâhu a’lam bish shawwâb.[]

Marâji’: 

[1] Nafiul Lubab Dan Novita Pancaningrum. “Mazhab: Keterkungkungan Intelektual Atau Kerangka Metodologis (Dinamika Hukum Islam)”. Jurnal YUDISIA, Vol. 6, No. 2, Desember 2015. h. 396.

[2] Nanang Abdillah. “Madzhab dan Faktor Penyebab Terjadinya Perbedaan”. Jurnal Fikroh. Vol.8 No. 1 Juli 2014. h. 24

[3] https://islam.nu.or.id/khutbah/khutbah-jumat-akhlak-dalam-menyikapi-perbedaan-mazhab-C2NGR. Diakses pada 19 Juni 2023.

[4] https://www.uin-antasari.ac.id/mengelola-perbedaan-menuai-rahmat/. Diakses pada 19 Juni 2023.

[5] I’lamul Muwaqi’in, 2/282. Dikutip dari sumber https://rumaysho.com/1750-perbedaan-itu-rahmat.html. Diakses pada 19 Juni 2023.

Download Buletin klik disini