Fenomena Wabah Pada Masa Rasul & Sahabat
Fenomena Wabah Pada Masa Rasul & Sahabat
Bismillahi walhamdulillahi wash-shalatu wassalamu ‘ala rasulillah,
Pembaca yang semoga dirahmati Allah ﷻ, beberapa pekan belakangan ini kita di hebohkan oleh berbagai informasi baik di media sosial, media masa ataupun media elektronik terkait wabah, khususnya Covid-19 (corona) yang sedang heboh di berbagai negara tidak terkecuali di negara kita tercinta Indonesia. Di berbagai dunia bahkan korban sudah mencapai puluhan ribu bahkan ratusan ribu, berita terakhir.
Data terakhir per tanggal 14 maret 2020 terdapat 142.897 terinveksi Covid-19 dan kematian sebanyak 5.375 orang. Di Indonesia data per 13 maret 2020 telah terdata 69 kasus yang terinveksi Covid-19, dan yang meninggal dunia tercatat 4 orang, hal ini melonjak drastis jika di banding sehari sebelumnya yaitu Cuma tercatat 34 kasus.
Al-Qur’an diturunkan sekitar 14 abad yang lalu kepada Nabi yang agung Muhammad ﷺ, dan kita ketahui bahwa seluruh isi al-Qur’an dapat di pastikan tidak ada yang bertentangan dengan alam semesta dan manusia pada khusunya. Kita ketahui pula bahwa al-Qur’an diturunkan kepada manusia (hamba) yang (ummiy) atau seseorang yang tidak bisa membaca dan tidak pula bisa menulis. Tapi beliau merupakan manusia yang dapat dipercaya, bahkan beliau diberi gelar al-amin oleh kaumnya.
Wabah Pada Zaman Rasulullah ﷺ dan Solusi Mengatasinya.
Empat belas abad yang lalu pada masa Rasulullâh ﷺ. Pernah terjadi wabah penyakit kusta dan lepra yang menular dan sangat mematikan. Ketika belum diketemukan obatnya Rasulullah ﷺ melarang para sahabatnya untuk dekat dekat ataupun menengok orang yang terkena wabah tersebut. Dalam sebuah hadits Rasulullah ﷺ bersabda: “Jangan kamu terus menerus melihat orang yang mengidap penyakit kusta (H.R. Bukhari).
Dari hadits tersebut jelas Rasulullah ﷺ melakukan pencegahan penyebaran virus, salah satunya dengan cara melarang orang untuk terus menerus melihat orang yang terkena virus, ini karena Rasulullah ﷺ khawatir jika banyak orang yang menengok orang yang terkena penyakita kusta maka ada kemungkinan orang yang disekitarnya akan tertular. Ini merupakan bentuk pencegahan yang konkrit yang dilakukan oleh Nabi ﷺ.
Padahal kita ketahui bersama, rasul sangat menganjurkan untuk menjenguk orang yang sakit, tetapi ada beberapa kasus justru melarang untuk menjenguk orang sakit, ini karena beliau tau bahwa ada beberapa penyakit yang bisa menular. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa, menjauhi orang yang terkena virus yang menular, itu adalah bagian dari apa yang diperintahka oleh Rasulullah ﷺ.
Nabi Muhammad ﷺ juga memperingatkan umatnya pada waktu itu untuk tidak mendekati wilayah yg terkena wabah, hal ini dilakukan supaya umatnya tidak tertular oleh wabah tersebut. Seperti hadits Nabi ﷺ yang berikut ini Rasulullah ﷺ bersabda: “Jika kamu mendengar wabah (tha’un) di suatu daerah (wilayah) maka janganlah kamu memasukinya, tetapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan kamu tinggalkan tempat itu (H.R. Bukhari, Muslim, Malik, Ahmad).
Dari kisah tersebut kita banyak mengambil pelajaran dari apa yang di sabdakan oleh Rasulullah ﷺ. Salah satu solusi mengatasi wabah yang dilakukan oleh Nabi ﷺ ialah me lock down, atau mengisolasi atau dalam bahasa lain mengkarantina orang orang atau wilayah wilayah yang terdampak wabah, hal ini pula yang dilakukan oleh pemerintah China dan negara negara lain lakukan, termasuk Indonesia pada akhir akhir ini. Indonesia juga sadar bahwa salah satu solusi yang harus dilakukan oleh negara adalah mengcounter daerah-daerah yang terpapar virus Covid-19 pada hari ini. Hal ini mudah mudahan dapat meningkatkan keimanan kita kepada Allah ﷻ. Selain berdoa kita juga terus melakukan usaha untuk meredam penyebaran virus ini, seperti yang dilakukan oleh Nabi Muhammad ﷺ.
Nabi Muhammad ﷺ, selain mencegah umatnya yang belum terkena wabah, dengan memerintahkan umatnya untuk tidak mendekati daerah (wilayah) yang terkena wabah Rasulullah ﷺ, juga menyuruh bersabar bagi umat yang terkena wabah. Rasulullah ﷺ terus menerus mengingatkan umatnya agar berdoa dan bersabar, bahwa apa yang tertimpa pada umatnya adalah ujian dari Allah ﷻ. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari Rasulullah ﷺ bersabda: “Kematian karena wabah adalah surga bagi setiap muslim. (H.R.Bukhari).
Dari hadits tersebut jelas bahwa Islam sangat mementingkan solusi bagi setiap masalah. Ini terbukti bahwa Islam melakukan pencegahan bagi yang belum terkena wabah atau virus, dan juga Islam sangat mensuport orang yang terkena wabah, mereka dianjurkan untuk bersabar dalam menghadapi apa yang di deritanya, dan juga Allah ﷻ memberi kabar gembira bagi siapa yang sabar dalam menghadapi wabah, bahkan ketika meninggal dunia atau wafat karena wabah, Allah ﷻ menjanjikan surga baginya.
Wabah (Virus) Pada Zaman Sahabat
Sepeninggal wafatnya Rasulullah ﷺ, kasus wabah juga terjadi pada masa Khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Pada saat itu Umar bin Khattab bersama rombongan pergi ke daerah Syam, ketika sampai di suatau daerah bernama sargha, ternyata umar melihat ada rombongan juga, yaitu rombongan Abu Ubaidah bin Jarrah, setelah berbincang bincang ternyata rombongan Abu Ubaidah juga mau ke tempat yang sama.
Datanglah seorang yang membawa berita bahwa Syam ternyata sedang dilanda wabah penyakit tha’un yang ganas. Umar ragu untuk meneruskan perjalanan. Ia panggil para sahabat Muhajirin senior untuk bermusyawarah, ada yang mengusulkan Umar beserta rombongan tetap meneruskan perjalanan ke Syam, karena sudah terlanjur jauh jauh datang dari Madinah, ada juga sebagian yang lain mengusulkan untuk kembali ke Madinah karena ada penyakit ganas, sebaiknya tidak menghadapkan orang banyak pada resiko tertular wabah yang mematikan.
“Panggilkan untukku para sahabat Anshar” perintah Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu kepada Abdullah bin Abbas yang saat itu ada dalam rombongan. Para sahabat Anshar pun diajak bermusyawarah oleh Umar, ternyata tidak ada kesepakatan juga dalam musyawarah tersebut, pada saat itu datanglah Abdurahman bin Auf yang membawa kabar bahwa dulu mendiang Rasulullah ﷺ bersabda “jika kamu mendengar wabah (Tha’un) di suatu daerah (wilayah) maka janganlah kamu memasukinya, tetapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan kamu tinggalkan tempat itu” (H.R. Bukhari, Muslim, Malik, Ahmad).
Mendengar informasi dari Abdurahman bin Auf, maka Umar mengambil sikap untuk kembali ke Madinah. Tetapi berbeda dengan sikap Umar, Abu Ubaidah bin Jarrah memilih untuk terus ke Syam. Bahkan Abu Ubaidah mempertanyakan sikap Umar, dengan berkata, “Apakah engkau hendak lari dari taqdir Allah hai Umar? Tanya Abu Ubaidah. Bagi Abu Ubaidah terkena wabah atau tidak adalah taqdir Allah ﷻ. Kemudian Umar bin Khattab menjawab, “Andai saja yang bertanya bukan dirimu wahai Abu Ubaidah”. Kata Umar menyimpan sungkan kepada sosok sahabat senior ini. Lalu Umar melanjutkan, “Iya kami akan lari dari takdir yang satu menuju takdir yang lain, sama sama taqdir Allah jawab Umar. Lalu Umar berkata lagi kepada Abu Ubaidah, bagaimana pendapatmu jika engkau membawa seekor unta lalu sampai disebuah lembah dengan dua sisi, ada yang subur dan ada yang kering kerontang, mana yang kau pilih? Seandainya engkau membawanya ke tanah yang subur, sesungguhnya itu taqdir Allah l, tetapi jika engkau membawanya ke tanah yang kering kerontang, maka itu juga taqdir Allah ﷻ. Jawab Umar Panjang lebar. Umar lalu kembali ke Madinah.
Inilah jawaban sosok cerdas Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu ketika menyeleseikan masalah terkait dengan kemaslahatan umat, Umar tidak mau mengambil resiko yang sia sia, apalagi membawa banyak orang. Mudah mudahan kita bisa mengambil pelajaran dari kisah wabah yang terjadi pada masa Rasulullah ﷺ dan masa sahabat, sehingga pengetahuan mengenai sikap kita terhadap wabah dapat membuat kita semakin meningkatkan iman kita kepada Allah ﷻ. Âmîn.
Marâji’
Kumparan.com
Imam al Bukhari. Shahih al Bukhari. Hadits no. 5288
Islamsantun.com
Imam Malik. Al-Muwatha. Hadits no. 5288
Irwanto, M.Pd
Dosen Prodi Manajemen Pendidikan Islam
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Mutiara Hikmah
Doa Keselamatan pada Badan
اَللَّهُمَّ عَافِنِيْ فِيْ بَدَنِيْ، اَللَّهُمَّ عَافِنِيْ فِيْ سَمْعِيْ، اَللَّهُمَّ عَافِنِيْ فِيْ بَصَرِيْ، لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ، اَللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْكُفْرِ وَالْفَقْرِ، اَللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ.
“Ya Allah, berilah keselamatan pada badanku. Ya Allah, berilah keselamatan pada pendengaranku. Ya Allah berilah keselamatan pada penglihatanku, tiada Ilah (yang berhak disembah) kecuali Engkau. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kekufuran dan kefakiran. Aku berlindung kepada-Mu dari siksa kubur, tiada Ilah (yang berhak disembah) kecuali Engkau.” [Dibaca 3x].” (H.R. Abu Daud no. 5090, Ahmad dalam Musnadnya no. 20430, al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrod no.701)