Bulan Muharram: Spirit Muhasabah dan Beramal

Bulan Muharram: Spirit Muhasabah dan Beramal

Faisal Ahmad Ferdian Syah*

Datangnya bulan Muharram menandakan telah bergantinya tahun dalam Islam menurut penanggalan kalender hijriyah. Khalifah Umar menetapkan bahwa penanggalan 1 hijriyah dimulai dari peristiwa hijrahnya Rasulullah dari Makah ke Madinah. Peristiwa hijrah tersebut juga menandai kemenangan umat Islam secara gemilang, dimana Islam menyebar dari Yatsrib hingga akhirnya menyebar ke seluruh penjuru dunia.

Dalam konteks tekanan dan gangguan dalam beribadah, kini umat Islam tidak perlu lagi hijrah ke mana-mana. Akan tetapi makna hijrah secara kontekstual pada zaman ini adalah hijrah dari hal-hal buruk menuju hal-hal yang baik.[1]

Bulan Muharram Bulan Muhasabah

Tahun baru hijriyah ini merupakan momentum yang sangat tepat bagi kita untuk muhasabah; introspeksi diri. Apa yang telah kita perbuat untuk tahun kemarin? Dan apa yang telah kita persiapkan untuk menyambut tahun baru ini? Maka setiap muslim hendaknya melihat urusannya. Jika ada kekurangan hendaknya ia memperbaikinya dan berusaha meninggalkan segala kemaksiatan. Ibnul Qoyyim mengatakan bahwa muhasabah hendaknya dilakukan sebelum dan sesudah melakukan suatu perbuatan atau pekerjaan.

Para ulama juga menaruh perhatian yang serius tentang muhasabah. Hasan al-Bashri juga mengatakan, “Seorang mukmin itu pemimpin bagi dirinya sendiri. Ia menginstropeksi dirinya karena Allah. Sesungguhnya hisab pada hari kiamat nanti akan menjadi ringan, bagi mereka yang telah melakukan instropeksi di dunia. Sebaliknya, hisab akan terasa berat bagi mereka yang tak pernah berinstropeksi.[2]

Ingatlah bahwa muhasabah itu setiap hari dan bukan satu tahun sekali. Seseorang akan sulit menangis tatkala shalat atau bersendirian dengan Allah ﷻ jika dia jarang muhasabah. Artinya semakin sering kita bermuhasabah maka akan semakin baik. Seseorang yang sering muhasabah maka ia akan mengetahui kekurangan dirinya, banyak beristighfar dan bertaubat, mengetahui kemuliaan dan Maha Baiknya Allah, dan ia akan zuhud terhadap dunia.[3]

Kedudukan dan Keutamaan Bulan Muharram

Imam as-Suyuthi mengatakan bahwa sebelum Nabi Muhammad ﷺ diutus, bulan Muharram dinamakan bulan Shafar al-Awwal, sedangkan bulan Shafar dinamakan Shafar ats-Tsani. Setelah Islam datang maka diubahlah menjadi al-Muharram. Beliau juga mengatakan bahwa kelebihan bulan Muharram terletak pada namanya yang islami dibandingkan nama bulan hijriyah lainnya.[4]

Bulan Muharram merupakan salah satu dari empat bulan haram. Yaitu pada bulan ini kita diharamkan untuk mendzalimi diri kita dan berbuat dosa. Allah ﷻ berfirman,

إِنَّ عِدَّةَ ٱلشُّهُورِ عِندَ ٱللَّهِ ٱثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِى كِتَٰبِ ٱللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ مِنْهَآ أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلْقَيِّمُ ۚ فَلَا تَظْلِمُوا۟ فِيهِنَّ أَنفُسَكُمْ ۚ

“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu…” (Q.S. At-Taubah [9]: 36).

Ibnu Abbas a mengatakan ketika menafsirkan ayat di atas, “Janganlah kalian menganiaya diri kalian) dalam seluruh bulan. Kemudian Allah ﷻ mengkhususkan empat bulan sebagai bulan-bulan haram dan Allah ﷻ pun mengagungkan kemuliaannya. Allah ﷻ juga menjadikan perbuatan dosa yang dilakukan didalamnya lebih besar. Demikian pula, Allah ﷻ pun menjadikan amalan shalih dan ganjaran yang didapatkan didalamnya lebih besar pula” (Tafsir Ibnu Katsir: 3/26).

Berpuasa di Bulan Muharram

Bulan Muharram juga disebut oleh Nabi Muhammad ﷺ sebagai Syahrullah (Bulan Allah). Hal tersebut menunjukkan bahwa bulan Muharram memiliki keutamaan yang sangat besar. Dalam sebuah hadits beliau bersabda,

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ،

“Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah (syahrullah), yakni Muharam …. (H.R. Muslim, no. 1163).

Hadits di atas menunjukkan anjuran untuk memperbanyak puasa di bulan Muharram bukan satu bulan penuh. Puasa yang dianjurkan adalah puasa hari ‘Asyura, yaitu pada 10 Muharram. Dari Abu Qotadah Al Anshariy, berkata, Nabi ﷺ ditanya mengenai keutamaan puasa Asyura? Beliau menjawab,

يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ

Puasa pada hari asyura akan menghapus dosa setahun yang telah lalu.” (H.R. Muslim no. 1162).

Dalam hadits yang lain kita juga dianjurkan untuk berpuasa pada 9 Muharram (Tasu’a) dalam rangka menyelisihi Yahudi. Ibnu Abbas k berkata bahwa ketika Nabi ` melakukan puasa hari ’Asyura dan memerintahkan kaum muslimin untuk melakukannya, pada saat itu ada yang berkata,

يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى

“Wahai Rasulullah, hari ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashrani.” Lantas beliau mengatakan,

فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ – إِنْ شَاءَ اللَّهُ – صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ

“Apabila tiba tahun depan –insya Allah (jika Allah menghendaki)– kita akan berpuasa pula pada hari kesembilan.” Ibnu Abbas mengatakan,

فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّىَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Belum sampai tahun depan, Nabi ﷺ sudah keburu meninggal dunia.” (H.R. Muslim, no. 1134).

Imam Asy Syafi’i dan ulama Syafi’iyyah, Imam Ahmad, Ishaq dan selainnya mengatakan bahwa dianjurkan (disunnahkan) berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh sekaligus; karena Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam berpuasa pada hari kesepuluh dan berniat (berkeinginan) berpuasa juga pada hari kesembilan. (Lihat Syarh Muslim, 8: 12-13).[5]

Momentum bulan Muharram ini mari kita maksmalkan untuk muhasabah diri, sekaligus meningkatkan amal ibadah kita dan berusaha untuk menjauhi segala perkara dosa. Karena ganjaran pahala dan dosa pada bulan ini sama-sama Allah lipatgandakan. Wallâhu a’lam bish shawâb.[]

Marâji’:

* Ahwal Syakhsiyah International Program Angkatan 2022

[1] Farhan dan Esha. “Refleksi Akhir Tahun Hijriyah dari Kacamata Sejarah” https://sumenepkab.go.id/berita/baca/refleksi-akhir-tahun-hijriyah-dari-kacamata-sejarah. Diakses pada 18 Juli 2023.

[2] Ibnu Qayyim, dkk. Tazkiyatun Nafs. Solo: Pustaka Arafah. 2017. h. 90.

[3] Firanda Andirja. “Muhasabah Jiwa” https://bekalislam.firanda.com/5898-muhasabah-jiwa.html. Diakses pada 18 Juli 2023.

[4] Hayah. “Bulan Allah Muharram dan Asyura” https://www.alukah.net/sharia/0/47029/شهر-الله-المحرم-وعاشوراء/. Diakses pada 18 Juli 2023.

[5] Muhammad Abduh Tuasikal. “Anjuran Puasa Muharram” https://rumaysho.com/2956-anjuran-puasa-muharram.html. Diakses pada 18 Juli 2023.

Download Buletin klik disini

Kemuliaan Muharram dan Momentum Muhasabah

Kemuliaan Muharram dan Momentum Muhasabah

Jaenal Sarifudin*

 

Bismillâh walhamdulillâh, wash shalâtu was salâmu ‘alâ Rasûlillâh, waba’du.

Kita telah memasuki bulan Muharram yang juga menandai masuknya tahun 1445 hijriyah. Bulan Muharram adalah bulan pertama dalam perhitungan kalender hijriyah dan merupakan salah satu bulan yang mulia. Nama bulan Muharram sendiri salah satu maknanya adalah bulan yang dimuliakan. Sebelum diutusnya Rasulullah, nama bulan Muharram belum dikenal oleh masyarakat di jazirah Arab. Dahulu bulan ini disebut orang Arab dengan nama bulan Shafar Awal. Kemudian ketika Islam datang, nama Shafar Awal ini diganti oleh Rasulullah ﷺ menjadi Muharram. Demikian Imam Jalaluddin as-Suyuti mengemukakan di dalam kitab Syarah Sahih Muslim susunannya.[1]

Sehingga dapat dikatakan bahwa nama Muharram adalah bagian dari wahyu, sebab Rasulullah ﷺ yang langsung memberi nama itu. Tentu beliau melakukan segala sesuatu atas bimbingan dan petunjuk wahyu dari Allah ﷻ. Apalagi di dalam sebuah riwayat hadits, bulan Muharram juga disebut sebagai syahrullah, bulannya Allah. Ia dinisbatkan kepada lafzhul jalalah Allah, sebagaimana sabda Nabi ﷺ,

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ،

“Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah (syahrullah), yakni Muharam …. (H.R. Muslim, no. 1163).[2]

Salah Satu Bulan Haram

Muharram juga termasuk salah satu dari empat bulan-bulan haram yang disebutkan di dalam al-Quran dan hadits. Bulan haram merupakan bulan yang memilki keistimewaan dan nilai tersendiri dalam pandangan Islam. Bulan-bulan haram juga merupakan waktu yang mulia. Bahkan karena kemuliaannnya, sejak zaman sebelum diutusnya Rasulullah ﷺ, masyarakat Arab telah berpantang melakukan pertikaian dan peperangan pada bulan-bulan tersebut.

Ketika Islam datang, kemuliaan bulan-bulan haram ini dilestarikan dalam ajaran syariat. Ia merupakan bulan-bulan yang dimuliakan. Amal ibadah yang dilakukan di dalamnya pun akan dilipatgandakan pahalanya. Sebaliknya, kemaksiatan dan kezhaliman yang dilakukan seseorang di bulan-bulan haram ini juga memilki konsekuensi dosa yang lebih besar.

Hal ini diisyaratkan oleh Allah di dalam firman-Nya,

إِنَّ عِدَّةَ ٱلشُّهُورِ عِندَ ٱللَّهِ ٱثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِى كِتَٰبِ ٱللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ مِنْهَآ أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلْقَيِّمُ ۚ فَلَا تَظْلِمُوا۟ فِيهِنَّ أَنفُسَكُمْ ۚ

“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu…” (Q.S. At-Taubah [9]: 36).

Larangan menganiaya diri pada bulan haram diantaranya mengandung maksud agar kita lebih menjaga diri kita dari melakukan kemaksiatan pada bulan-bulan haram, sebab dosa yang ditanggung akan menjadi lebih besar. Demikian menurut Ibnu Abbas.[3]

Hari ‘Asyura

Bulan Muharram juga memiliki satu hari yang sangat agung, yaitu hari ‘asyura. Hari ‘asyura merupakan hari kesepuluh di bulan Muharram. Di dalam sejarah disebutkan bahwa pada hari ‘asyura banyak peristiwa besar yang terjadi. Di antaranya diselamatkannya Nabi Musa dan pengikutnya dari kejaran Fir’aun dan perahu Nabi Nuh diselamatkan Allah ﷻ lalu mendarat di bukit Juud.[4]

Kaum muslimin dianjurkan untuk menunaikan puasa sunnah ‘asyura yang fadhilahnya akan dihapuskan dosa-dosanya setahun yang lalu. Dari Abu Qotadah Al Anshariy, berkata, Nabi ﷺ ditanya mengenai keutamaan puasa Asyura? Beliau menjawab,

يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ

Puasa pada hari asyura akan menghapus dosa setahun yang telah lalu.” (H.R. Muslim no. 1162).[5]

Nabi juga menganjurkan untuk berpuasa pada tanggal 9 Muharram agar menyelisihi dengan orang Yahudi yang juga berpuasa pada tanggal 10 Muharram tersebut. Di dalam kitab Shahih Muslim diriwayatkan,

صَامَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فَقَالَ رَسُولُ الهِع صَلَّى الهُت عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ قَالَ فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Rasulullah ﷺ berpuasa pada hari Asyura dan memerintahkan berpuasa. Para shahabat berkata, ”Ya Rasulullah, sesungguhnya hari itu diagungkan oleh Yahudi.” Maka beliau ` bersabda, “Di tahun depan insya Allah kita akan berpuasa pada tanggal sembilan.”, tetapi sebelum datang tahun depan Rasulullah ` telah wafat.” (H.R. Muslim).[6]

Momentum untuk Muhasabah

Bulan Muharram sebagai tahun baru Islam juga sering dijadikan sebagai momentum untuk muhasabah oleh kaum muslimin. Banyak kalangan mengadakan acara menyambut tahun baru hijriyah dengan format pengajian dan muhasabah. Muhasabah memiliki makna menghitung-hitung diri, mengevaluasi diri atau berintrospeksi diri.

Umar bin Khattab pernah berpesan,

حَاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوا، وَزِنُوها قَبْلَ أَنْ تُوزَنُوا، وَتَأهَّبُوا لِلْعَرْضِ الْأَكْبَرِ

Hendaklah kalian menghisab diri kalian sebelum kalian dihisab, dan hendaklah kalian menimbang diri kalian sebelum kalian ditimbang, dan bersiap-siaplah untuk hari besar ditampakkannya amal[7]

Muhasabah merupakan hal yang penting untuk dilakukan. Dengan sering bermuhasabah niscaya seseorang akan terdorong untuk menjadi lebih baik. Sebab dengan bermuhasabah ia akan mengetahui kekurangan-kekurangan yang ada di dalam dirinya. Sebab pada dasarnya tidak ada manusia yang sempurna. Setiap orang pasti memiliki kekurangan. Hal yang tidak selalu dimiliki manusia adalah kesadaran diri akan kekurangannya. Di sinilah urgensi dari muhasabah, yaitu membangun kesadaran dan kepekaan atas kekurangan diri sendiri. Tentu setelah itu diharapkan ia akan berupaya memperbaiki diri dan mengambil pelajaran dari kekeliruan yang telah ia perbuat di masa lalu.

Allah ﷻ berfirman;

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرٌۢ بِمَا تَعْمَلُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok, dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Hasyr [59]: 18).

Dengan muhasabah di awal tahun baru hijriyah ini, harapannya mudah-mudahan kita akan menjadi lebih baik dibandingkan dengan tahun lalu.[]

 

Marâji’:

* Mahasiswa FIAI UII

[1]  Jalaluddin as-Suyuti, Syarh Sahih Muslim, Juz 3, Beirut: Darul Fikr, t.t., h. 252

[2]  Muslim ibn Hajjaj an-Naisaburi, Sahih Muslim, Beirut: Darul Fikr, t.t.

[3]  Abdul Ghani an-Nablusi, Fadhail al-Ayyam wa asy-Syuhur, terj. Muzammal Noer, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2004, h. 24.

[4] ibid, h. 158-159.

[5]  Muslim ibn Hajjaj an-Naisaburi, Sahih Muslim, Beirut: Darul Fikr, t.t.

[6]  ibid. Hadits shahih riwayat Muslim 2/796, Abu Daud 2445, Thabary dalam Tahdzibul Atsar 1/24, Baihaqi dalam Al-Kubra 4/287 dan As-Shugra 2/119 serta Syu’abul Iman 3506 dan Thabrabi dalam Al-Kabir 10/391.

[7]  Muhammad Fuad  Syakir, Laisa min Qaul an-Nabi, Kairo: Maktabah Aulad asy-Syeikh, 2001, h. 74.

Download Buletin klik disini

MENYAMBUT MUHARAM DENGAN “PIAGAM”

MENYAMBUT MUHARAM DENGAN “PIAGAM”

Agus Fadilla Sandi, S.H.

Alumnus Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

 

Prolog

Bulan Muharam adalah momentum istimewa bagi umat Muslim di seluruh dunia. Dalam hadis riwayat Imam Muslim, Rasulullah ﷺ bersabda,

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ،

“Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah – Muharam …”. (H.R. Muslim, no. 1163). Hadis ini menunjukkan bahwa bulan Muharam memiliki keutamaan yang luar biasa dan dianjurkan berpuasa di dalamnya.

Bulan Muharam sebagai bulan pertama dalam tahun Hijiriah merupakan momentum yang tepat bagi kita untuk merefleksikan diri, memperbaiki diri, dan memperkuat komitmen menjadi pribadi lebih baik lagi. Salah satu cara yang bermakna untuk menyambut bulan Muharam ini adalah dengan membuat piagam. Lantas, apa makna piagam dan bagaimana piagam tersebut dapat membantu kita meningkatkan diri di dalam bulan suci ini?

Makna Piagam

Secara bahasa, piagam bermakna surat (tulisan pada batu, tembaga, dan sebagainya) resmi yang berisi pernyataan pemberian hak, tanah, dan sebagainya atau berisi pernyataan dan peneguhan mengenai suatu hal (tentang ikrar dan sebagainya).[1] Secara umum, piagam juga dapat diartikan sebagai dokumen resmi yang berisi pernyataan, keputusan, atau komitmen tertentu.

Sekaitan dengan bahasan Muharam, piagam yang dimaksudkan adalah sebuah tulisan yang berisikan pernyataan maupun komitmen terhadap hal-hal baik yang diniatkan untuk dilaksanakan mulai bulan Muharam ini. Piagam akan menjadi dorongan dalam berniat dan beramal baik, mengingat niat baik dan amal baik akan mendapatkan balasan yang lebih baik dari Allah ﷻ. Allah ﷻ berfirman,

مَنْ عَمِلَ صَٰلِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُۥ حَيَوٰةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ

“Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (Q.S. Al-Nahl [16]: 97).

Dampak Positif Piagam Muharam

Piagam Muharam memiliki dampak positif yang signifikan. Beberapa dampak positif yang dapat diperoleh dari adanya piagam tersebut, antara lain: Pertama, Menentukan Tujuan. Piagam akan menjadi dorongan untuk menetapkan tujuan pribadi yang ingin dicapai pada bulan Muharam.

Misalnya, tujuan untuk meningkatkan kualitas shalat, membaca Al-Qur’an, berinfak, berbakti kepada orang tua, dan berpuasa sunnah (puasa Asyura).[2] Menuliskan tujuan di dalam piagam akan menjadi pengingat dan fokus pada pencapaiannya. Dalam syair disebutkan, “Jika benar tekadnya, maka akan jelas jalannya”.

Kedua, Meningkatkan Kesadaran Diri. Dalam menyusun piagam, seseorang akan dihadapkan pada kebutuhan untuk lebih memahami diri sendiri. Seseorang perlu mengidentifikasi kelemahan, kekuatan, tantangan, maupun peluang dalam hidupnya. Analisis terhadap empat hal tersebut sering dikenal dengan analisis SWOT; merupakan teknik analisis yang diterapkan untuk mengevaluasi kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities) dan ancaman (threats).[3]

Metode analisis SWOT bagi diri sendiri atau personal SWOT analysis akan membuka jalan untuk pertumbuhan dan perubahan yang lebih baik. Dengan demikian, piagam menjadi instrumen introspeksi yang kuat dalam upaya menjadi pribadi yang lebih baik.

Ketiga, Mendapatkan Dukungan dan Akuntabilitas. Piagam yang telah ditulis ada baiknya dibagikan kepada orang-orang terdekat atau keluarga yang dipercaya sebagai bentuk upaya mendapatkan dukungan dan akuntabilitas. Membagikan piagam kepada orang-orang yang dicintai akan membantu seseorang mendapatkan pengingat dan dukungan terhadap tujuan yang telah ditetapkan.

Selain itu, mereka juga dapat berperan sebagai “penasehat” yang positif, membantu agar diri tetap konsisten dan fokus pada komitmen. Imam As-Sa’di ketika menafsirkan surat Al-‘Ashar menjelaskan bahwa dua perkara di awal (iman dan amal saleh) akan menyempurnakan diri pribadi, sedang dua perkara berikutnya (saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran) akan menyempurnakan sesama (keberuntungan kolektif).[4]

Keempat, Refleksi dan Evaluasi. Setelah Muharam berakhir, penting untuk merefleksikan perjalanan selama di bulan suci ini. Piagam dapat menjadi referensi berharga untuk mengevaluasi pencapaian dan melihat sejauh mana komitmen yang telah dibuat dapat dilaksanakan. Piagam akan membantu dalam menilai keberhasilan dan tantangan yang dihadapi selama perjalanan di bulan Muharam, serta mengidentifikasi langkah-langkah yang perlu diambil untuk terus meningkat di bulan-bulan berikutnya.

Allah ﷻ berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرٌۢ بِمَا تَعْمَلُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat). Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Hasyr [59]: 18).

Ayat ini mengingatkan umat Islam agar senantiasa bertakwa kepada Allah dan memperhatikan apa yang telah mereka lakukan untuk hari esok (akhirat). Hal ini menunjukkan pentingnya refleksi diri dan penilaian atas amal perbuatan dalam rangka memperbaiki diri di masa mendatang.

Epilog

Menyambut Muharam dengan piagam adalah cara inspiratif untuk menjadikan bulan suci ini sebagai momen transformasi diri. Dengan menetapkan tujuan, meningkatkan kesadaran diri, dan mendapatkan dukungan dari orang-orang terdekat, tentu akan memudahkan langkah menuju versi yang lebih baik dari diri sendiri. Mari manfaatkan kesempatan menyambut bulan Muharam ini dengan “piagam” agar langkah lebih terarah demi kehidupan yang lebih berkah.[]

 

Marâji’:

[1] Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring

[2] H.R. Muslim, no. 1162

[3] Evilla Nouval, Analisis SWOT Diri Sendiri dan Cara Menggunakannya yang Tepat! https://www.gramedia.com/literasi/analisis-swot-diri-sendiri/. Diakses pada 13 Juli 2023

[4] Syaikh Abdurrahman bin Nashr As-Sa’di, Taisir Kalam Ar-Rahman fi Tafsir Kalam Al-Mannan, 2001, h. 934

Download Buletin klik disini

Dakwah di Media Sosial: Haruskah Meningkatkan Personal Branding?

Dakwah di Media Sosial: Haruskah Meningkatkan Personal Branding?

Nandita Faiza

* Mahasiswi Ilmu Komunikasi Internasional Program & Santri Pondok Pesantren UII

 

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Teknologi semakin berkembang, dalam mencari pengetahuan dan informasi saat ini masyaakat juga sudah mulai beralih ke media digital. Hal ini mengantarkan para pendakwah yang dulunya hanya dilakukan secara face to face akhirnya juga ikut menggunakan media digital sebagai sarana dakwah. Tak jarang juga seseorang memanfaatkan kemudahan penyampaian informasi lewat media digital untuk dijadikan sarana dakwah. Ia hanya memanfaatkan kemudahan era digitalisasi ini untuk menjadi bermanfaat dengan menyebarkan nilai-nilai agama.

Haruskah Meningkatkan Personal Branding?

Di era ini, siapapun dapat menyampaikan dakwahnya lewat media digital, lewat sosial media contohnya, tetapi untuk menjadikan pesan atau isi konten dakwah yang seseorang buat akhirnya dipercaya dan memiliki banyak viewers, sebenarnya tidak semudah itu. Disamping itu juga yang paling penting adalah ilmu agama yang memadai dalam menyampaikan pesan konten dakwah.

Dulu, sebelum adanya dunia maya, seseorang dapat mempercayai pesan yang diberikan orang lain ketika kita mengetahui siapa orang tersebut, atau branding dari orang tersebut. Sebagaimana Rasulullah n yang mempunyai branding al-Amin lebih dipercaya banyak orang dari pada orang Quraisy biasa. Masyarakat pada umumnya dapat mengetahui secara langsung watak dan sifat orang tersebut, atau bisa juga dari apa yang dibicarakan oleh orang yang mereka kenal dan percayai.

Maka saat ini yang terjadi ialah para pengguna sosial media memperkenalkan branding mereka lewat sosial media mereka masing-masing. Padahal sebenarnya, branding itu diciptakan oleh pihak lain terhadap diri kita atas apa yang mereka ketahui dari diri kita. Dalam segi agama pun, umat Islam juga dilarang melabeli diri sendiri sebagai seorang yang suci, ‎ baik, ataupun sebagainya. Allah ﷻ berfirman,

فَلَا تُزَكُّوٓا۟ أَنفُسَكُمْ ۖ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ ٱتَّقَىٰٓ

“Maka janganlah ‎kamu sekalian menyucikan diri sendiri. Dialah yang paling mengetahui orang yang ‎bertakwa” (Q.S. an-Najm [53]: 32).‎

Menyucikan diri disini berarti seseorang menganggap bahwa dirinya sendiri suci dan lain sebagainya, yang kemudian dapat mengantarkan seseorang pada sifat takabbur, merasa dirinya sudah baik dan lebih baik dari orang lain.

Lalu bagaimana jika kita sebagai konten kreator pemula yang belum banyak dikenal orang, ingin menyampaikan pesan berupa ilmu ataupun dakwah kepada khalayak umum, tanpa memperkenalkan branding? Perlu diketahui, Rasulullah n mempunyai berbagai branding yang sangat kuat dan dikenal, salah satunya ialah julukan al-Amin-nya, tetapi beliau tidak pernah mengatakan dirinya sendiri al-Amin, masyarakatlah yang memberi beliau branding tersebut. Jadi yang disebut branding ialah orang lain mengatakan bahwa diri Anda oke dan lain sebagainya.

Lahirnya branding itu disebabkan oleh hal-hal yang membuat orang lain mengenali kita sebagai A,B, atau C. Begitu juga ketika Rasulullah diberi branding al-Amin tentu saja karena beliau sejatinya dipercaya dalam peristiwa peletakan Hajar Aswad, dan juga memang kejujurannya telah dikenal banyak orang sebelum peristiwa itu terjadi. Maka sebagai konten kreator, dalam penyampaian pesannya ataupun dakwahnya, personal branding memang perlu, tapi jangan jadikan hal itu sebagai tujuan supaya kita mendapat branding yang bagus, terlebih jika Anda sebagai pendakwah yang sebenarnya tujuan dakwah saja lillah.

Bedakwah itu Niatnya Harus Benar

Urusan dakwah kita diterima oleh masyarakat atau tidak, itu diluar kendali kita, yang terpenting ialah niat.  Sebagaimana hadits berikut, dari Amirul Mukminin, Abu Hafsh ‘Umar bin Al-Khattab, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah ﷺ bersabda,

إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى

Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan.” (H.R. Bukhari, no. 1 dan Muslim, no. 1907).

Jika memang niatnya berdakwah, Rasulullah pun saat pertamakali mendapat tugas untuk berdakwah, beliau memulai dakwahnya secara step by step dengan pengikut yang masih dalam lingkup kecil dan sedikit pula. Maka sebagai pemula, wajar saja jika viewers yang didapatkan masih sedikit, begitu juga dengan kepercayaan orang lain terhadap diri pendakwah itu sendiri. Maka disini coba pikirkan baik-baik, apakah niat kita berdakwah di media sosial benar-benar lillah atau jangan-jangan untuk mencari popularitas? Maka jika hanya untuk mencari popularitas, dan supaya dikenal sebagai orang baik, maka yang ditakutkan ialah hal itu dinilai sebagai riya.

Adanya sosial media memang dapat dijadikan sebagai media ibadah, salah satunya ialah dakwah. ‎Tetapi tetap saja, yang namanya ibadah itu memang harus kita niatkan benar-benar untuk Allah dan ‎juga untuk kehidupan akhirat kita kelak. Memang benar di mana pun kita berada pasti ada yang ‎namanya cobaan, mungkin niat awal kita menggunakan sosial media untuk berdakwah memang ‎untuk ibadah pada Allah, tetapi bisa saja kita terlena dengan media tersebut, mungkin karena kita ‎mendapatkan banyak likes sehingga kita terbutakan dengan itu dan menjadi berbelok niat,naudzubillah.

Maka beruntunglah mereka yang menghendaki kehidupan akhirat dan fokus beribadah hanya pada Allah ﷻ. Tidak akan merugi orang-orang yang mengejar akhiratnya, karena dalam hal ini Alllah ﷻ berfirman,

مَن كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ ٱلْءَاخِرَةِ نَزِدْ لَهُۥ فِى حَرْثِهِۦ ۖ وَمَن كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ ٱلدُّنْيَا نُؤْتِهِۦ مِنْهَا وَمَا لَهُۥ فِى ٱلْءَاخِرَةِ مِن نَّصِيبٍ

“Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu ‎baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya ‎sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat.” (Q.S. asy-‎Syura [62]: 20)‎. Wa Allâhu a’lam.[]

Download Buletin klik disini

WISUDA: EUFORIA ATAU DISFORIA?

WISUDA: EUFORIA ATAU DISFORIA?

Agus Fadilla Sandi, S.H.

*Alumnus Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

 

Muqoddimah

Belakangan ini viral ragam protes terhadap kebijakan sekolah yang dinilai memberatkan orang tua/wali dalam pembayaran uang wisuda peserta didik. Menguaknya isu ini, hingga Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) melalui Surat Edaran Nomor 14 Tahun 2023 menegaskan tidak ada kewajiban penyelenggaraan wisuda sekolah sebagai ajang pelepasan peserta didik yang lulus, sekaligus tidak boleh menjadi kewajiban yang memberatkan bagi orang tua/wali murid.[1]

Sekalipun menjadi momok, tapi momen wisuda sering diwarnai euforia. Rasa bahagia yang berlebihan, padahal ini barulah permulaan, pun wisuda bukanlah ukuran kesuksesan. Terlebih lagi ini sekadar wisuda di dunia, kelak akan ada “wisuda” sesungguhnya yang tak jarang menyisakan disforia. Nun, orang-orang akan tersadar tentang makna hakiki wisuda, apakah menjadi euforia atau malah disforia?

Makna Wisuda

Secara bahasa, wisuda bermakna peresmian atau pelantikan yang dilakukan dengan upacara khidmat.[2] Makna ini mengisyaratkan adanya sebuah prosesi khidmat untuk memberikan hasil atas apa yang selama ini telah diupayakan oleh yang bersangkutan. Sedemikian khidmatnya prosesi wisuda di dunia, lantas bagaimana kekhidmatan “wisuda” di akhirat nantinya? Itulah tragedi padang mahsyar. Saat semua orang akan diperlihatkan amalnya, tak satu pun yang dapat alpa!

يَوْمَئِذٍ تُعْرَضُونَ لَا تَخْفَىٰ مِنكُمْ خَافِيَةٌ

“Pada hari itu kamu dihadapkan (kepada Tuhanmu). Tidak ada sesuatu pun dari kamu yang tersembunyi”. (Q.S. Al-Haqqah [69]: 18)

Kata تُعْرَضُونَ (dihadapkan) dalam ayat tersebut ditafsirkan dalam Tafsir Jalalain dengan maksud “untuk dihisab (diperhitungkan)”.[3] Kelak manusia akan dikumpulkan di padang mahsyar. Disitulah mereka berdiri dan tidak duduk menunggu kedatangan Allah ﷻ, yang pada waktu itu satu hari seperti lima puluh ribu tahun. Tatkala Allah ﷻ telah datang, maka malaikat menjadi bersaf-saf mengiringi kedatangan Allah ﷻ, maka saat itulah yang dimaksud dalam ayat ini, yaitu manusia dihadapkan kepada Allah l untuk untuk dihisab.

Pada saat itu semuanya akan diberikan balasan sesuai dengan apa yang telah ia kerjakan, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui perkara ghaib maupun nyata.[4] Tidak ada amalan yang tersembunyi, seluruh amalan yang selama ini disembunyikan oleh manusia selama hidupnya baik dari kebaikan atau keburukan, maka akan tampak pada hari tersebut.[5]

Inilah makna “wisuda” yang hakiki, penilaian dari Allah ﷻ yang Maha Teliti, serta apresiasi sempurna dari Allah Sang Maha Pencipta.

Euforia Wisuda

Wisuda seringkali menjadi momen yang penuh euforia. Merasa bangga karena mendapatkan nilai yang didamba. Terasa lega karena akhirnya lulus juga. Pun berharap ini bisa menyenangkan hati orang tua. Sayangnya, itu semua bukanlah kebahagian yang sebenarnya. Apa pun yang dinikmati saat wisuda di dunia hanyalah bersifat fana.

Namun, akan ada masanya rasa bangga itu tak kunjung sirna, bahagia selama-lamanya. Momentum itu terjadi kala seseorang mendapatkan catatan amalnya di akhirat melalui tangan kanannya. Dengan bangga ia berkata,

إِنِّى ظَنَنتُ أَنِّى مُلَٰقٍ حِسَابِيَهْ

“Sesungguhnya aku yakin, bahwa (suatu saat) aku akan menerima perhitungan terhadap diriku” (Q.S. Al-Haqqah [69]: 20).

Allah pun gambarkan kebahagian mereka melalui firman-Nya,

وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَّاعِمَةٌ. لِّسَعْيِهَا رَاضِيَةٌ. فِى جَنَّةٍ عَالِيَةٍ

“Pada hari itu banyak (pula) wajah yang berseri-seri, merasa puas karena usahanya. (Mereka) dalam surga yang tinggi”. (Q.S. Al-Ghasyiah [88]: 8-10).

Dalam tafsir Jalalain dijelaskan maksud dari kata لِّسَعْيِهَا رَاضِيَةٌ yaitu kala di dunia ia melakukan ketaatan, sedang di akhirat ia menyaksikan balasan dari ketaatan tersebut.[6] Ketaatan di dunia dapat berupa amal-amal saleh dan berbuat baik kepada sesama. Maka, ia pun mendapatkan segala ketaatan yang dahulu telah ditabungnya kini berlipat ganda hingga mendapatkan kenikmatan mulia berupa surga yang tinggi.[7] Jika di dunia seseorang bersusah payah agar bahagia saat di wisuda yang bersifat fana, maka sudah sepatutnya seorang muslim lebih bersusah payah untuk dapat bahagia saat “wisuda” di akhirat yang kekal selamanya.

Disforia Wisuda

Sekalipun wisuda menjadi momen yang bahagia, namun tak jarang ada saja yang merasa disforia. Mulai dari yang nyaris DO (drop out), nilai ala kadarnya, belum lagi jadi bahan gunjingan sanak-keluarga. Mungkin terasa tidak menyenangkan, tapi perasaan itu tak sebanding dengan rasa hina di akhirat kelak. Itu bisa saja terjadi saat seseorang di akhirat mendapatkan catatan amalnya melalui tangan kirinya. Sambil menyesal ia berujar,

وَأَمَّا مَنْ أُوتِىَ كِتَٰبَهُۥ بِشِمَالِهِۦ فَيَقُولُ يَٰلَيْتَنِى لَمْ أُوتَ كِتَٰبِيَهْ

“Alangkah baiknya jika kitabku (ini) tidak diberikan kepadaku” (Q.S. Al-Haqqah [69]: 25).

Allah ﷻ firmankan tentang keadaan yang memilukan tersebut melalui firman-Nya,

وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ خَٰشِعَةٌ. عَامِلَةٌ نَّاصِبَةٌ. عَامِلَةٌ نَّاصِبَةٌ

“Pada hari itu banyak wajah yang tertunduk hina, (karena) berusaha keras (menghindari azab neraka) lagi kepayahan (karena dibelenggu). Mereka memasuki api (neraka) yang sangat panas”. (Q.S. Al-Ghasyiah [88]: 2-4).

Kondisi yang menyedihkan ini adalah gambaran penghuni neraka yang disforia. Wajah yang tertunduk nahas. Susah payah menghindari azab yang tak mungkin lepas. Hingga akhirnya masuk ke dalam neraka nan panas.

Ikhtitam

Sibuknya mempersiapkan wisuda kala di dunia yang sebentar, jangan sampai melalaikan diri dari menyiapkan “wisuda” yang sebenarnya di padang mahsyar. “Wisuda” di hadapan Sang Pencipta, disaksikan oleh semua makhluk-Nya. Saat wisuda di dunia, kendalikan euforia dan disforia sewajarnya, sebab euforia hakiki adalah kala berhasil memasuki surga yang tinggi, sedang disforia ternahas adalah saat tergelincir ke neraka yang panas. Semoga Allah memberikan kita kebaikan di dunia dan di akhirat. Sudah siap wisuda, kisanak?

Maraji’

[1] Surat Edaran Sekretaris Jenderal Kemendikbudristek Nomor 14 Tahun 2023 tentang Kegiatan Wisuda pada Satuan Pendidikan Anak Usia Dini, Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar, dan Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Menengah

[2] Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring

[3] Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Tafsir Jalalain Al-Muyassar, 2015

[4] Syaikh Abdurrahman bin Nashr As-Sa’di, Taisir Kalam Ar-Rahman fi Tafsir Kalam Al-Mannan, 2001

[5] Tafsir Al-Qurthubi 18/268

[6] Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Tafsir Jalalain Al-Muyassar, 2015

[7] Syaikh Abdurrahman bin Nashr As-Sa’di, Taisir Kalam Ar-Rahman fi Tafsir Kalam Al-Mannan, 2001

Download Buletin klik disini

Evaluasi Ibadah Kurban

Evaluasi Ibadah Kurban

Fathurrahman Juleha*

 

Bismillâhi wal hamdulillâh wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâhi, amma ba’d,

Kurban adalah ibadah harta paling mulia. Berkurban berarti mengeluarkan harta untuk mendekatkan diri kepada Allah ﷻ dan ini merupakan sebagus-bagus ibadah seorang hamba. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Ibadah harta yang paling mulia adalah kurban dan ibadah badan yang paling mulia adalah shalat.”[1]

Pentingnya melakukan evaluasi terhadap setiap amal ibadah yang kita lakukan termasuk ibadah kurban yang merupakan ibadah yang sifatnya tahunan. Apakah ibadah kurban kita sudah sesuai dengan syariat Islam atau semakin jauh dari ketentuan syariat. Jangan sampai harta yang kita keluarkan untuk membeli hewan kurban menjadi sia-sia atau tidak bernilai disisi Allah ﷻ lantaran kejahilan kita dalam mengejawantahkan ibadah mulia ini.

Evaluasi sebuah keniscayaan dalam setiap kegiatan, sebagai bahan pertimbangan dalam pelaksanaan ibadah kurban pada tahun yang akan datang, setidaknya yang perlu dievaluasi adalah (1) Evaluasi pengetahuan ilmu fikih kurban, (2) evaluasi persiapan kurban (3) evaluasi pelaksanaan kurban dan (4) evaluasi pendistribusian daging kurban.

Evaluasi Pengetahuan Ilmu Fikih Kurban

Di antara pengetahuan ilmu fikih kurban yang tidak banyak diketahui oleh kebanyakan orang adalah berkurban termasuk ibadah, memalingkan ibadah kurban kepada selain Allah adalah kesyirikan, dan daging sembelihannya adalah haram.[2] Maka tidak akan diterima ibadah seorang hamba hingga terpenuhi dua syarat yaitu (1) ikhlas karena Allah [3] dan (2) ittiba (sesuai dengan tuntunan Nabi n).[4] Maka ketika berkurban ingin mendapatkan pujian manusia, atau untuk berbangga diri dihadapan mereka, supaya dikatakan mampu dan dermawan atau niat-niat lain yang dapat merusak nilai ibadah itu sendiri.  

Ittiba’ tidak akan terwujud kecuali jika amalan sesuai dengan syariat di dalam enam perkara yaitu:

  • Jika seseorang beribadah kepada Allah Ta’ala dengan satu ibadah yang disertai dengan sebab yang tidak syar’i maka ibadah ini tertolak kepada pelakunya. Contohnya, ada orang yang acap kali sasi suro (masuk bulan Muharram) menyembelih hewan kurban supaya gunung tidak meletus atau melarungkan kepala kurban kelautan agar tidak terjadi sunami. Kurban pada asalnya adalah ibadah, namun jika dikaitkan dengan sebab ini maka menjadi amal kesyirikan, karena dibangun di atas sebab yang tidak ditetapkan secara syar’i.[5]
  • Jika seseorang beribadah kepada Allah Ta’ala dengan suatu ibadah yang jenisnya tidak disyariatkan, maka ibadah itu tidak diterima. Contohnya, menyembelih kuda sebagai hewan kurban. Karena hewan kurban hanya dari jenis binatang ternak onta, sapi dan kambing.
  • Seandainya ada seseorang yang ingin berkurban dengan ukuran hewan kurban yang sangat kurus nampak tulang rusuknya atau usianya belum sampai dikurbankan maka kurbannya tidak sah. Karena amalan (kurban) itu menyelisihi syari’at di dalam ukurannya.
  • Tata cara. Jika seseorang menyembelih kurban dengan cara menyetrum atau menusuk pada salah satu anggota badan hewan kurban maka kurbannya tidak akan sah dan menjadi bangkai. Karena amalannya menyelisihi syari’at di dalam kaifiyah (tatacara).
  • Seandainya seseorang menyembelih hewan kurban di bulan Rajab atau puasa Ramadhan di bulan syawwal atau wukuf di Arafah pada tanggal sembilan Dzulqa’idah, maka itu semua tidak akan sah karena menyelisihi syari’at di dalam waktu.
  • Jika seseorang melakukan i’tikaf di rumahnya, tidak di masjid atau dia wukuf pada tanggal sembilan Dzulhijjah di Muzdalifah, maka hal itu tidak sah karena menyelisihi syari’at di dalam tempat.[6]

Enam perkara ini dapat dijadikan sebagai batasan dalam setiap ibadah yang kita lakukan termasuk ibadah kurban. Tidak sedikit shahibul kurban yang belum memahami tentang fikih kurban, termasuk panitia kurban.

Di lapangan kita dapati hewan yang yang dikurbankan belum mencapai usia, cacat yang menyebabkan tidak sahnya kurban, kurus yang nampak tulang rusuknya[7] dan banyak lagi yang lainnya. Begitu pula kesalahan yang dilakukan panitia kurban sebagai wakil shahibul kurban, panitia menjual bagian hewan qurban karena kesulitan dalam pendistribusiannya, juru sembelih (jagal) dan juru kelet (skiner) mendapatkan upah berupa daging kurban dan persoalannya lainnya. Tindakan semacam ini menyelesihi syariat[8]. Sebagian ulama mengatakan kurbannya tidak sah[9]. Inilah pentingnya ilmu sebelum kita beramal saleh.

Evaluasi Persiapan dan Pelaksaaan Kurban

Persiapan kurban menjadi titik awal suksesnya pelaksanaan kurban. Pentingnya pengarahan sebelum mulai bertugas, koordinasi dan pembagian kerja (yang langsung terkait dengan hewan kurban dan daging). Ada banyak hal yang perlu dievaluasi pada persiapan kurban karena tidak sedikit panitia kurban yang abai dalam tugasnya dan terkadang tidak paham siapa melakukan apa.

Di antara kesalahan yang  nampak di lapangan adalah terlalu banyak panitia dan tidak jelas tugasnya sehingga lokasi kurban tidak kondusif, hal ini menyebabkan hewan kurban stress, lemahnya pengetahuan penanganan hewan kurban (handling) hingga banyak hewan kurban tidak terkendali menyebabkan kekacauan di lokasi kurban. Lemahnya panitia dalam pengetahuan fungsi peralatan sembelih. Belum lagi persoalan panitia kurban yang merokok di area lokasi kurban.

Yang tidak kalah penting adalah penataan lokasi kurban. Pisahkan lokasi zona merah meliputi; transit hewan kurban sebelum disembelih, lokasi penyembelihan, dan pengulitan. Zona hijau meliputi; pisah tulang, potong daging, pengepakan (packing). Petugas dari zona merah sebaiknya tidak masuk ke zona hijau tanpa membersihkan diri terlebih dahulu. Hal ini banyakan diabaikan oleh panitia kurban.

Evaluasi Pendistribusian Kurban

Karena lamanya proses mulai dari penyembelihan hewan kurban, pengulitan, pemisahan daging dari tulang, pencacahan daging dan tulang, pembersihan jeroan (brodot), penimbangan daging kurban sebelum didistribusikan dan distribusi daging kurban. Jika tidak dikoordinasikan dari awal akan lambat, yang seharusnya ini bisa dipercepat. Bukankah kita diperintahkan untuk bersegera menunaikan shalat ‘Idul Adha supaya dapat segera menyembelih hewan kurban kemudian menikmati hasil sembelihannya? Faktanya pendistribusian baru dibagikan setelah siang (ba’da zhuhur), bahkan tidak jarang waktu sudah sore (ashar) baru dibagikan.

Dari ‘Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya, ia berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ  nلاَ يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ وَلاَ يَأْكُلُ يَوْمَ الأَضْحَى حَتَّى يَرْجِعَ فَيَأْكُلَ مِنْ أُضْحِيَّتِهِ

“Rasulullah ﷺ biasa berangkat shalat ‘id pada hari Idul Fitri dan beliau makan terlebih dahulu. Sedangkan pada hari Idul Adha, beliau tidak makan lebih dulu kecuali setelah pulang dari shalat ‘id baru beliau menyantap hasil kurbannya.” (H.R. Ahmad 5: 352).[10]

Belum lagi distribusi daging kurban yang tidak mempertimbangkan antara jumlah hewan kurban dan jumlah mustahik. Jika ada kelebihan jumlah hewan kurban bisa didistribusikan pada mustahik lain sehingga memastikan daging kurban diberikan kepada yang berhak secara merata, tidak tumpang tindih serta mencerminkan kolektifitas dan kebersamaan. Bayangkan saja, bila ternyata satu kampung tertentu membutuhkan lima ekor kambing, dan dari warga setempat sudah terdapat dua ekor, maka hewan qurban yang dibutuhkan tinggal tiga ekor, sehingga hewan qurban dapat didistribusikan lebih luas dan lebih jauh kepada kampung yang selama ini kurang terjangkau.

Masih banyak lagi hal yang harus kita perbaiki dalam setiap ibadah kurban kita, maka teruslah belajar tanpa henti sampai ajal menjemput kita. Sebagai penutup, lakukan evaluasi secara bertahap dalam setiap kegiatan ibadah yang kita lakukan demi menyempurnakan ibadah yang sesuai dengan aturan syariat yang telah Allah tetapkan. Mulai dari pra pelaksanaan, saat pelaksanaan dan pasca pelaksanaan. Semoga Allah memberikan hidayah taufik kepada kita dan diberikan kesempatan untuk berkurban di tahun yang akan datang. Âmîn. Wa Allâhu a’lam bish shawwâb.[]

Marâji’:

* Juru Sembelih Halal Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta

[1] Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa 16/532 dalam Syahrul Fatwa bin Lukman, Fikih Praktis Ibadah Kurban berdasarkan al Qur’an dan as-Sunnah, Bekasi: Pustaka Syahrul Fatwa, 1442. h.13.

[2] Q.S. al Mâidah [5]: 3.

[3] Q.S. al-An’am [6]: 162-163.

[4] Dua syarat ini terangkum dalam firman Allah Q.S. al Kahfi [18]: 110.

[5] Contoh menyesuaikan dengan tema kurban.

[6] Syaikh Muhammad bin Shalihj al-Utsaimin, Syarh al Arbain an Nawawiyyah. (terj.) Syarah Hadits Imam Nawawi. Jakarta: Darul Haq, 2019. Cet.ke-1, h. 136-137

[7] HR. At-Tirmidzi no. 1417 dan Abu Dawud no. 2420. Hasan shahih

[8] Lihat pembahasan ini di dalam https://konsultasisyariah.com/8207-mengupah-penjagal-kurban-dengan-kulit-hewan-kurban.html

[9] Lihat pembahasan ini di dalam https://rumaysho.com/665-bolehkah-menjual-kulit-hasil-sembelihan-qurban.html

[10] Syaikh Syu’aib  Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan.

Download Buletin klik disini

SIKAP BIJAK DALAM MENYIKAPI PERBEDAAN PEMAHAMAN KEAGAMAAN UMAT

SIKAP BIJAK DALAM MENYIKAPI PERBEDAAN PEMAHAMAN KEAGAMAAN UMAT

Putri Jannatur Rohmah, S.H.

 

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Allah ﷻ menciptakan manusia lengkap dengan segala perbedaannya. Tak hanya dilihat dari segi kebangsaan, suku, dan juga agama. Bahkan, dalam satu agama saja, terdapat beragam pemahaman, kita ambil contoh Islam, dalam Islam terdapat Imam-imam madzhab yang bisa menjadi pilihan dalam menjalankan ibadah kepada Allah ﷻ atau dikenal dengan istilah sunnah tanawwu’.

Mari kita tengok kembali makna madzhab itu sendiri, sebagai istilah lazim dikalangan umat muslim. Madzhab secara bahasa berasal dari sighat mashdar mimy (kata sifat) dan isim makan (kata yang menunjukkan tempat) yang diambil dari fi’il madhi “dzahaba, yadzhabu, dzahaban, dzuhuban, madzhaban,” yang berarti pergi, ar-ra’yu (pendapat), pandangan, kepercayaan, ideologi, doktrin, ajaran, paham, dan aliran. Sementara makna madzhab menurut istilah merupakan fatwa atau pendapat seorang Imam Mujtahid tentang hukum suatu peristiwa dengan berlandaskan pada al-Qur’an dan Hadits.[1]

Sebab Perbedaan

Perbedaan tersebut muncul dengan beragam faktor, mulai dari metode pengambilan dalil, pemikiran, hingga latar belakang kultur dan sosial para Mujtahidnya. Seluruh umat Islam di dunia telah mengakui bahwa terdapat 4 Madzhab populer dalam bidang fiqih, yakni Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal. Ke-empat Imam tersebut telah memenuhi persyaratan sebagai Mujtahid, hal tersebut dikarenakan ilmu, amal, dan akhlak yang luar bisa dalam mengiringi setiap perkataan dan perbuatannya.[2]

Telah kita ketahui bersama, Imam Syafi’i berpendapat bahwa qunut merupakan sebuah kesunnahan dalam shalat Subuh. Namun pada suatu ketika, ia melaksanakan shalat Subuh tanpa membaca doa qunut (sebagaimana yang telah ia yakini bahwa hal tersebut merupakan kesunnahan). Apa sebab ia tidak membaca doa qunut? Bukan karena ia lupa dan kemudian melaksanakan sujud sahwi sebelum salam. Ia justru sengaja tidak membaca doa qunut karena pada saat itu Imam Syafi’i sedang shalat bersama dengan Imam Hanafi dan ia menghormati Imam Hanafi yang berkeyakinan tidak disunnahkan qunut dalam shalat Subuh.[3]

Kisah tersebut adalah sebuah cerminan dalam etika menghadapi perbedaan. Hal ini senada akan sebuah maqalah, al-adabu faqwal ‘ilmi, adab harus lebih tinggi daripada ilmu. Akhlak kita sebagai seorang muslim harus lebih didahulukam daripada pengetahuan yang kita miliki. Sebab, ilmu bukanlah tujuan utama, melainkan hanya sebagai wasilah untuk dapat diimplementasikan dengan penuh taqwa.

Bagaimana Cara Bijak dalam Menghadapi Perbedaan?

Di Indonesia, perbedaan cara memahami ajaran dibalut dalam sebuah organisasi keagamaan; Nahdhatul Ulama’, Muhammadiyah, PERSIS, Nahdhatul Wathan dan sebagainya. Ironisnya perbedaan tersebut bisa berpotensi menjadi ketegangan dan konflik. Oleh karennya, penting bagi kita untuk saling memahami dan menyikapinya dengan cara yang bijak. Islam menganjurkan umatnya untuk bijak dalam memandang perbedaan dalam masalah fikih.

Ada beberapa pokok pikiran yang harus kita tanam dalam menyikapi perbedaan;[4]

Pertama, harus dipahami dan dihayati bahwa perbedaan adalah kehendak dan hukum Allâh ﷻ (sunnatullâh). Sebagaimana firman Allâh ﷻ,

وَلَوْ شَآءَ ٱللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَٰحِدَةً وَلَٰكِن لِّيَبْلُوَكُمْ فِى مَآ ءَاتَىٰكُمْ ۖ

Seandainya Allâh menghendaki, niscaya Dia menjadikanmu satu umat (saja). Akan tetapi, Allâh hendak mengujimu tentang karunia yang telah Dia anugerahkan kepadamu.” (Q.S. al-Mâidah [5]: 48). Allâh l tidak menjadikan manusia seluruhnya seragam, karena Allâh ﷻ ingin menguji umatnya dalam perbedaan tersebut, siapakah yang mampu menunjukkan kebaikan-kebaikan.

Kedua, Selalu tumbuhkan pandangan, bahwa apa yang kita yakini belum tentu benar ada kemungkinan salah dan sebaliknya. “Kemungkinan benar atau salah” adalah upaya kita memberikan ruang bahwa upaya kita mencapai kebenaran tidak selalu menghasilkan yang benar. Pola pikir seperti ini akan terhindar dari merasa paling benar dan mudah menyalahka orang lain.

Hal tersebut sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Imam Syafi’i dalam ungkapannya: “Ijtihadku adalah benar, tapi mengandung kemungkinan keliru. Sedangkan ijtihad orang lain adalah keliru, tapi mengandung kemungkinan benar”.

Ketiga, dalam menghadapi perbedaan pemahaman, hendaklah kita lebih banyak mencari persamaan-persamaan, bukan justru mempertajam jurang perbedaan. Selalu tanamkan sikap bahwa kita semua sesama umat Islam dengan tujuan yang sama; beribadah kepada-Nya dan mencari Ridha-Nya.

Keempat, hilangkan prasangka-prasangka (prejudice) atau anggapan-anggapan buruk terhadap kelompok lain. Karena benih konflik adalah prasangka negatif yang kita tanamkan dalam pikiran kita sendiri.

Yang Benar Bersatu

Yang benar adalah bersatu itu tentu saja lebih baik dari pada mesti berbeda. Tetapi kita tidak bisa lepas dari perbedaan yang sudah jadi sunnatullâh. Tinggal tugas kita mengikuti manakah yang sesuai ajaran Islam atau ajaran Rasul ﷺ, yang jauh dari ajaran beliau, tentu kita tinggalkan.

Nabi ﷺ bersabda,

فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

Berpegang teguhlah dengan sunnahku dan sunnah khulafa’ur rasyidin yang mendapatkan petunjuk (dalam ilmu dan amal). Pegang teguhlah sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian.” (H.R. Abu Daud, no. 4607, At Tirmidzi, no. 2676, Ibnu Majah, no. 42. At Tirmidizi mengatakan hadits ini hasan shahih)

Imam Asy Syafi’i mengatakan,

أَجْمَعَ المُسْلِمُوْنَ عَلَى أَنَّ مَنِ اسْتَبَانَتْ لَهُ سُنَّةُ رَسُوْلِ اللهِ : لَمْ يَحِلَّ لَهُ أَنْ يَدَعَهَا لِقَوْلِ أَحَدٍ

Kaum muslimin telah sepakat bahwa siapa saja yang telah jelas baginya sunnah Rasulullah ﷺ, tidak halal baginya untuk meninggalkannya karena perkataan yang lainnya.”[5]

Pada akhirnya, mari kita bersatu dibawah naungan al-Qur’an dan Sunnah sesuai dengan pemahaman para ulama yang shalih, namun jika harus berbeda karena hasil ijtihad, maka perbedaan dalam menjalankan ibadah tidak perlu dibesar-besarkan sehingga menimbulkan pertikaian dan perpecahan. Marilah kita tetap menjaga dan melestarikan keindahan Islam dengan segala warna yang berbeda, semuanya benar atas ijtihad ulama masing- masing.

Sebagaimana sikap kampus kita tercinta, Universitas Islam Indonesia, acapkali memfasilitasi shalat dua hari raya sebanyak dua kali, hal ini merupakan bentuk manifestasi dari menghargai perbedaan dan mengakomodir perbedaan tersebut untuk kepentingan ummat. Wa Allâhu a’lam bish shawwâb.[]

Marâji’: 

[1] Nafiul Lubab Dan Novita Pancaningrum. “Mazhab: Keterkungkungan Intelektual Atau Kerangka Metodologis (Dinamika Hukum Islam)”. Jurnal YUDISIA, Vol. 6, No. 2, Desember 2015. h. 396.

[2] Nanang Abdillah. “Madzhab dan Faktor Penyebab Terjadinya Perbedaan”. Jurnal Fikroh. Vol.8 No. 1 Juli 2014. h. 24

[3] https://islam.nu.or.id/khutbah/khutbah-jumat-akhlak-dalam-menyikapi-perbedaan-mazhab-C2NGR. Diakses pada 19 Juni 2023.

[4] https://www.uin-antasari.ac.id/mengelola-perbedaan-menuai-rahmat/. Diakses pada 19 Juni 2023.

[5] I’lamul Muwaqi’in, 2/282. Dikutip dari sumber https://rumaysho.com/1750-perbedaan-itu-rahmat.html. Diakses pada 19 Juni 2023.

Download Buletin klik disini

KURBAN SEBAGAI WUJUD KETUNDUKAN HAMBA KEPADA ALLAH

KURBAN SEBAGAI WUJUD KETUNDUKAN HAMBA KEPADA ALLAH

Faisal Ahmad Ferdian Syah*

Keutamaan 10 Awal Dzulhijjah

Bulan Dzulhijjah adalah salah satu bulan haram yang di dalamnya terdapat banyak amal ibadah shalih. Terutama amalan di sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.

Dari Ibn Abbas, Nabi ﷺ bersabda,

مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ. يَعْنِى أَيَّامَ الْعَشْرِ. قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ:  وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَىْءٍ

“Tidak ada hari dimana suatu amal shaleh lebih dicintai Allah melebihi amal shaleh yang dilakukan di sepuluh hari ini (10 hari pertama Dzulhijjah, pen.).” Para sahabat bertanya: Wahai Rasulullah, termasuk lebih utama dari jihad fi sabilillah? Nabi  bersabda, “Termasuk lebih utama dibanding jihad fi sabilillah. Kecuali orang yang keluar dengan jiwa dan hartanya (ke medan jihad), dan tidak ada satupun yang kembali (mati dan hartanya diambil musuh, pen).” (H.R. Al Bukhari, Ahmad, Abu Daud, dan At Turmudzi)

Dalam hadits yang lain beliau bersabda, Dari Umar , dari Nabi ﷺ, beliau bersabda,

مَا مِنْ أَيَّامٍ أَعْظَمُ عِنْدَ اللَّهِ وَلَا أَحَبُّ إِلَيْهِ مِنْ الْعَمَلِ فِيهِنَّ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ الْعَشْرِ فَأَكْثِرُوا فِيهِنَّ مِنْ التَّهْلِيلِ وَالتَّكْبِيرِ وَالتَّحْمِيدِ.

Tidak ada hari yang paling agung dan amat dicintai Allah untuk berbuat kebajikan di dalamnya daripada sepuluh hari (Dzulhijjah) ini. Maka perbanyaklah pada saat itu tahlil, takbir dan tahmid“. (H.R. Ahmad)[1]

Ibnu Rajab al-Hanbali mengatakan, “Apabila sesuatu itu lebih dicintai oleh Allah, maka sesuatu tersebut lebih afdhal di sisi-Nya.” Sebab lain adalah karena di dalam bulan ini berkumpul amalan-amalan utama seperti: shalat, puasa, kurban, dan haji.

Makna dan Tujuan Kurban

Kurban berasal dari bahasa Arab Qurbânu yang berarti dekat. Qurban juga disebut dengan Udhiyyah, yaitu menyembelih hewan-hewan ternak sebagai pendekatan diri kepada Allah Ta’ala pada hari-hari tertentu dengan syarat-syarat khusus.[2] Kata Udhiyyah diambil dari kata adh-ha yang artinya adalah permulaan siang setelah terbitnya matahari atau waktu dhuha.[3] Sehingga kurban adalah jenis hewan tertentu yang disembelih mulai hari nahr (10 Dzulhijjah) sampai akhir hari Tasyriq (13 Dzulhijjah) dengan tujuan taqarrub (mendekatkan diri kepada Allah).[4]

Karena tujuan penciptaan manusia adalah untuk mengabdi dan mentauhidkan Allah ﷻ semata. Maka seluruh amal perbuatan kita harus kita tujukan untuk meraih ridha-Nya. Allah ﷻ berfirman,

قُلْ إِنَّ صَلَاتِى وَنُسُكِى وَمَحْيَاىَ وَمَمَاتِى لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِينَ

“Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (Q.S. al-An’am [6]: 162).

Kurban Wujud Ketundukan Kepada Allah

Momen perayaan Idul Adha identik dengan ibadah kurban atau menyembelih hewan ternak sebagai bentuk ketaatan kepada Allah ﷻ. Ritual kurban sendiri sudah ada sejak peristiwa Habil dan Qabil. Perintah kurban tersebut adalah untuk menentukan siapakah dari mereka berdua yang berhak menikahi iqlima (saudari kembaran Qabil). Hal tersebut Allah ﷻ abadikan di dalam al-Qur’an,

وَٱتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ٱبْنَىْ ءَادَمَ بِٱلْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ ٱلْءَاخَرِ قَالَ لَأَقْتُلَنَّكَ ۖ قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ ٱللَّهُ مِنَ ٱلْمُتَّقِينَ

“Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): “Aku pasti membunuhmu!”. Berkata Habil: “Sesungguhnya Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang bertakwa” (Q.S. al-Ma’idah [5]: 27).

Pada zaman Yunani dan Mesir kuno, manusia dijadikan objek kurban yang dipersembahkan kepada dewa-dewa. Kemudian Nabi Ibrahim yang diperintahkan untuk menyembelih anaknya tercinta Nabi Ismail kemudian berkat ketundukan beliau kepada perintah Allah ﷻ, maka Allah ﷻ ganti dengan hewan kurban berupa seekor domba. Hal itulah yang juga diterapkan oleh nabi kita Muhammad ﷺ. Namun keadaan yang kita jumpai di masyarakat kita, tak sedikit yang kurang memahami esensi dari ibadah kurban ini. Banyak dari mereka yang hanya sebatas ikut-ikutan saja, atau bahkan menganggap hari raya Idul Adha hanya makan-makan saja dan tidak mengetahui hakikat dari ibadah kurban ini.

Perbedaan yang paling mendasar antara daging kurban dan daging yang kita beli di pasar adalah pada nilainya. Pada daging kurban terdapat nilai pengorbanan, keikhlasan, dan keilahian. Pada daging kurban merupakan bagian dari ibadah yang terikat dengan masa penyembelihan, usia, jenis, dan ukuran (ketentuan) hewan yang dijadikan kurban dan telah diatur oleh syara’. Adapun waktu penyembelihan hewan kurban adalah dimulai setelah terbitnya matahari di hari raya Idul Adha dan dua khutbah ringan, dan berakhir saat terbenamnya matahari di hari ketiga hari tasyrik pada tanggal 13 Dzulhijjah.[5] Adapun kriteria hewan yang boleh dijadikan hewan kurban, unta umur 5-6 tahun, sapi berumur 2 tahun ke atas, kambing/domba berumur 1-2 tahun.[6] Sedangkan daging lauk-pauk atau biasa itu tidak terikat dengan hal-hal tersebut. Selain itu perintah berkurban juga diiringi dengan perintah melaksanakan shalat. hal tersebut adalah perwujudan nilai habluminallah (hubungan dengan Allah) dan habluminannas (hubungan dengan manusia).[7]

Cukuplah kisah keteguhan Nabi Ibrahim yang diuji Allah untuk menyembelih anaknya tercinta menjadi ibrah bagi kita. Karena terkadang setiap sesuatu yang dicintai manusia dan kecintaannya kepada sesuatu itu dapat membelenggu manusia untuk bertakwa kepada Allah ﷻ. Inilah makna hakiki dari kurban yaitu Ibadah qurban mengandung semangat untuk membebaskan manusia dari sifat-sifat yang memiliki potensi anti sosial. Sifat anti sosial yang sangat berbahaya dan mampu merusak kerukunan kehidupan bersama dalam masyarakat dan negara adalah dorongan serakah yang berujung pada perilaku korupsi.[8] Wa Allâhu a’lam.[]

Marâji’:

* Ahwal Syakhsiyah International Program Angkatan 2022


[1] Diriwayatkan oleh Ahmad dan di shahihkan oleh Al Mundziry dan Ahmad Syakir tetapi dilemahkan oleh Al Albani di dalam kitab Dha’ih At Targhib wa At Tarhib, 744

[2] Abu Abdillah Syahrul Fatwa bin Lukman. Fikih Praktis Ibadah Kurban. Bekasi: Pustaka Syahrul Fatwa. 1442. h. 11.

[3] Buya Yahya. Fiqih Qurban. Cirebon: Pustaka Al-Bahjah. Tanpa Tahun. h. 1.

[4] HM. Adibussholeh, dkk. Fikih Kurban Praktis. Kediri: LBM-NU Kota Kediri. 2017. h. 6.

[5] Buya Yahya. Fiqih Qurban. Cirebon: Pustaka Al-Bahjah. Tanpa Tahun. h. 10.

[6] Ibid., h. 14.

[7] Universitas Islam Indonesia. “Makna Mendalam di Balik Ibadah Kurban” https://www.uii.ac.id/makna-mendalam-di-balik-ibadah-kurban/. Diakses pada 18 Juni 2023.

[8] Syariful Bahri. “Mengimplementasikan Ibadah Qurban dalam Kehidupan” https://aceh.kemenag.go.id/berita/160872/mengimplementasikan-ibadah-qurban-dalam-kehidupan. Diakses pada 18 Juni 2023.

Download Buletin klik disini

MENGENALKAN DAN MENGAJARKAN ANAK UNTUK BERKURBAN

MENGENALKAN DAN MENGAJARKAN ANAK UNTUK BERKURBAN

Khusnul Khotimah, S.Pd*

 

Para pembaca yang dirahmati Allah ﷻ, tidak lama lagi kita akan memasuki bulan Dzulhijjah, di dalamnya ada ibadah yang agung yaitu berkurban. Dalam bahasa arab kurban disebut dengan udhiyyah ( (أُضْحِيَّةٌyaitu menyembelih hewan-hewan ternak sebagai pendekatan diri kepada Allah pada hari-hari tertentu dengan syarat-syarat khusus. Ada yang mengatakan, dinamakan udhiyyah karena kurban itu afdhalnya disembelih pada waktu dhuha, yaitu ketika matahari telah naik. [1]

Mengenalkan dan mengajarkann ibadah berkurban kepada anak-anak membutuhkan pendekatan yang berbeda dengan orang dewasa. Berikut beberapa uraian singkat untuk mengenalkan ibadah berkurban kepada anak-anak.

Mengenalkan Anak tentang Kurban

Manusia terlahir di muka bumi dengan keadaan fitrah (suci), seperti yang disebutkan dalam hadits dari Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Setiap anak dilahirkan dalam fitrahnya. Keduanya orang tuanya yang menjadikannya sebagai Yahudi, Nashrani atau Majusi.” (H.R. Bukhari dan Muslim) [2]

Menurut Hamka dalam buku Samsul Nizar setiap anak memiliki fitrah (potensi) yang dinamis. Fitrah tersebut merupakan kekuatan bagi anak untuk berkembang. Pada dasarnya, fitrah senantiasa menuntun manusia untuk berbuat kebajikan dan tunduk terhadap aturan Penciptanya. Masa kanak-kanak adalah masa yang sangat menentukan bagi perkembangan kejiwaan keagamaan anak nantinya.[3]

Pada masa kanak-kanak atau pada masa golden age,  anak mengalami perkembangan kecerdasan yang sangat pesat, dimana pada masa ini sangat cocok untuk kita sebagai orang tua maupun pendidik dalam memberikan stimulasi ataupun menanamkan nilai-nilai yang baik dan benar kepada anak, seperti mengenai ibadah berkurban.

Sebelum menjelaskan tentang makna berkurban, sebaiknya kita sebagai orang tua bisa mulai menjelaskan melalui cerita dari kisah Nabi Ibrahim saat diperintahkan oleh Allah ﷻ untuk mengorbankan putranya Nabi Ismail. Pada akhirnya kurban yang dipersembahkan diganti domba.  Apabila kita menceritakan secara lisan, mungkin anak akan susah mengerti dan merasa bosan, alangkah baiknya sebagai orang tua menceritakan kisah Nabi Ibrahim u tersebut dengan menggunakan media – media yang dapat membantu anak dalam mempelajarinya, seperti: media visual berupa gambar ataupun video, agar anak lebih mudah dalam mempelajarinya.

Pastinya akan muncul pertanyaan-pertanyaan anak mengenai kisah Nabi Ibrahim u dan Nabi Ismail. Disini kesempatan bagi kita (orang tua) untuk menjelaskan ke anak secara perlahan mengenai hari raya kurban dengan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti anak. Setelah anak mulai mengerti apa itu kurban dari kisah Nabi Ibrahim, kita bisa mengajak anak secara langsung untuk menyaksikan proses penyembelihan hewan kurban pada saat hari raya Idul Adha, dimana ada berbagai hewan kurban (unta, sapi / kerbau, dan kambing / domba). Nantinya anak juga dapat belajar bagaimana pembagian daging kurban, pendistribusian kepada  shahibul kurban, kaum muslimin dan non muslim sebagai hadiah.

Mengajarkan Anak Menabung untuk ber-Kurban

Pada masa kanak-kanak, kehidupan mereka banyak dilakukan dengan meniru. Anak-anak cenderung meneladani perilaku orang tuanya. Psikologis anak memang senang meniru, tidak saja dengan hal yang baik, hal yang jelek pun di tirunya. Tiruan yang baik akan membentuk ke arah yang baik, sementara tiruan yang jelek akan membentuk kepribadian yang jelek pula.[4] Anak memang senang kembali melakukan apa yang dilihatnya. Karena sifat anak pada dasarnya memang suka mencontoh apa yang dilihat. Berikan contoh dan teladan yang baik secara langsung atau nyata pada anak, karena perkembangan keagamaan pada anak bersifat imitatif dan dipengaruhi oleh lingkungan yang ada disekitarnya.

Orang tua dapat memberikan contoh, yaitu dengan menabung uang secara berkala yang ditujukan untuk berkurban di hari raya kurban berikutnya. Anak akan lebih mudah untuk diajak menabung karena sudah memiliki contoh nyata dari orang tuanya. Akan lebih mudah lagi ketika anak sudah paham pentingnya berkurban sebagai se-orang muslim. Jangan paksa anak, melainkan terus motivasi dan beri dukungan kepada anak.

Untuk menambah semangat anak dalam menabung, berikan fasilitas berupa celengan khusus untuk berkurban, agar anak lebih bersemangat menabung. Orang tua dapat membantu dengan memberikan hadiah berupa uang jika anak berhasil menyelesaikan tugas yang diberikan. beritahu ke anak jika tabungan sudah terkumpu, anak dapat ikut membeli hewan kurban dan bisa ikut memilih hewan kurban mana yang akan dibeli. Beritahu juga ke anak, jika dengan berkurban anak juga sudah berbagi kebahagiaan terhadap orang lain.

Kesimpulan

Lebih singkatnya, berikut tips bagi orang tua untuk mengajarkan anak menabung untuk berkurban:

  1. Pahami lalu kenalkan arti berkurban ke anak melalui kisah Nabi Ibrahim u dan anaknya Ismail.
  2. Jangan paksa anak, berikan motivasi dari nilai-nilai keteladanan dibalik kisah Nabi Ibrahim.
  3. Belikan celengan khusus untuk berkurban dan biarkan anak memasukkan sendiri uang ke celengannya.
  4. Motivasi anak dan terus berikan dukungan secara terus menerus, bisa dengan memberikan hadiah uang untuk menambah tabungan berkurban anak. Wa Allâhu a’lam bish shawwab.[]

* Penggiat dunia anak

[1] Abu Abdillah Syahrul Fatwa bin Lukman. Fikih Praktis Ibadah Kurban Berdasarkan Kepada Al Qur’an dan As Sunnah. Bekasi: Pustaka Syahrul Fatwa. 1442. h. 11.

[2] Yunahar Ilyas. Kuliah Aqidah Islam Yogyakarta: LPPI, 2011. h.11.

[3] Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka Tentang Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana, 2008. h. 126.

[4] Salmaini Yeli. Psikologi Agama. Riau: Zanafa Publishing, 2012. h. 46.

Download Buletin klik disini

KEUTAMAAN BULAN HARAM

KEUTAMAAN BULAN HARAM

Khairul Fahmi

Ramadhan telah berlalu, sungguh bergembira bagi seorang muslim yang mampu mengisi siang dan malamnya untuk membaca al-Qur’an, shalat malam, berinfak dan sadaqah, membantu orang lain, serta ibadah-ibadah lainnya. Setelah bulan Ramadhan berlalu, bukan berarti Allah ﷻ tidak memberikan waktu-waktu istimewa (diluar bulan Ramadhan) bagi hamba-Nya untuk memperbanyak beribadah kepada diri-Nya yang Maha Rahîm dan Penyayang. Allah menetapkan ada 4 waktu istimewa yang diberikan kepada hamba-Nya, sebagai sarana bagi mereka untuk semakin mendekatkan diri kepada sang Maha Pencipta. Allah ﷻ menyampaikan dalam firman-Nya tentang empat bulan istimewa tersebut, hal terukir jelas dalam Al-Qur’an surah At-Taubah ayat 36.

Allah ﷻ berfirman, “Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan (sebagaimana) ketetapan Allah (di Lauh Mahfuz) pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu padanya (empat bulan itu), dan perangilah orang-orang musyrik semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya. Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa. (Q.S. At-Taubah [9]: 36)

Rasulullah ﷺ kemudian menjelaskan dalam sabdanya tentang bulan-bulan apa saja yang termasuk dalam bulam haram yang dimaksudkan dalam surah At-Taubah ayat 36.

Dari Abu Bakroh, Nabi ﷺ bersabda, “Sesungguhnya zaman telah berputar seperti keadaannya semula sejak hari Allah menciptakan langit dan bumi. Dan sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan Langit dan bumi diantaranya empat  bulan haram (suci); tiga di antaranya berturut-turut, yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram, sedangkan lainnya ialah Rajab Mudar yang terletak di antara bulan Jumada dan bulan Sya’ban.” (H.R. Bukhari, no. 3197 dan Muslim, no. 1679).

Hadits tersebut menjelaskan bahwa ada empat bulan haram yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram yang posisinya berurutan, serta bulan Rajab. Itu adalah adalah empat bulan haram yang ditetapkan oleh Allah ﷻ.

Satu tahun dalam syariat Islam dihitung berdasarkan perputaran dan munculnya bulan, bukan dihitung berdasarkan perputaran matahari sebagaimana yang dilakukan oleh Ahli Kitab.”[1]

Mengapa Disebut Bulan Haram?

Syaikh Alamud Din As-Syakawi dalam kitab Al-Masyhur fi Asmail Ayyam wa As-Syuhur, sebagaimana dikutip dalam tafsir Ibnu Katsir menjelaskan makna-makna dari nama-nama bulan haram tersebut. Bulan Muharram, disebut bulan Muharram karena ia adalah bulan yang diharamkan (disucikan) dan untuk mengukuhkan keharamannya. Mengingat orang-orang Arab masa lalu berpandangan labil, terkadang dalam satu tahun mereka menghalalkannya, sedang di tahun yang lain mereka mengharamkannya. Bulan Rajab, kata Rajab berasal dari kata tarjib, artinya menghormat, bentuk jamaknya arjab, rajah, dan rajabat. Bulan Dzulqa’dah, disebut juga Al-Qi’dah. Dinamakan demikian karena mereka (orang-orang Arab) diam di tempatnya, tidak mengadakan peperangan dan tidak pula bepergian. Bulan Dzulhijjah, dinamakan demikian karena mereka (orang-orang Arab) melakukan haji di bulan tersebut.

Penetapan nam-nama bulan Qomariah seperti Muharram, Rajab, Dzulqa’dah, dan Dzulhijjah sudah ada jauh sebelum kedatangan Islam. Hampir seluruh masyarakat Arab sebelum datangnya Islam, sudah mengakui dan mengagungkan empat bulan tersebut. Sedemikian besar pengagungan mereka pada salah satu dari empat bulan tersebut, sampai walau seseorang menemukan pembunuh ayah, anak atau saudaranya, ia tidak akan mencederai musuhnya kecuali setelah berlalu bulan haram tersebut.

Setelah datangnya Islam, Allah ﷻ menegaskan kembali akan keharaman atau kesucian dari bulan haram yang empat itu. Hal ini ditegaskan Allah dalam surah At-Taubah [9]: 36.  Allah mengharamkan atau melarang hamba-hambanya untuk berbuat aniaya, baik aniaya kepada diri sendiri maupun kepada orang lain. Disebut bulan haram karena Allah ﷻ melarang hamba-Nya untuk menganiaya atau melakukan dosa pada empat bulan suci tersebut, tetapi bukan berarti pada bulan-bulan sisanya boleh melakukan dosa. Allah ﷻ memberikan penekanan khusus pada empat bulan haram tersebut karena bulan-bulan tersebut adalah bulan ibadah yang harus dijaga keagungan dan kesuciannya.

Keutamaan Bulan Haram

Selain bulan Ramadhan, Allah ﷻ juga mengistimewakan dan mengagungkan empat bulan lainnya yang disebut bulan haram, yaitu Muharram, Rajab, Dzulqa’dah, dan Dzulhijjah. Sebagai seorang hamba Allah ﷻ sepatutnya kita juga harus mengagungkan dan memuliakan empat bulan haram ini sebagaimana Allah ﷻ mengagungkannya. Ali Ibnu Abu[2] menyampaikan terkait firman Allah ﷻ surah At-Taubah [9]: 36, janganlah kalian menganiaya diri kalian sendiri dalam semua beluan. Kemudian dikecualikan dari semua bulan itu sebanyak empat bulan. Keempat bulan itu dijadikan sebagai bulan Haram (suci)  yang kesuciannya diagungkan, dan sanksi atas perbuatan dosa yang dilakukan pada bulan-bulan tersebut dilipatgandakan serta pahala amal ibadah setiap hamba akan dilipatgandakan pula.

Keutamaan yang ada pada bulan-bulan haram adalah Allah ﷻ akan melipatgandakan setiap amal ibadah yang dilakukan oleh setiap muslim. Sungguh merugi bagi seorang muslim yang waktunya di bulan-bulan Haram tidak diisi dengan kebaikan dan amal ibadah. Ada banyak hal yang dapat dilakukan untuk mengisi hari-hari di bulan haram, selain melaksankan ibadah mahdhah juga melakukan ibadah ghairu mahdhah, kesemuanya itu akan mendapatkan ganjaran yang berlipat ganda dari Allah ﷻ. Begitu juga sebaliknya, jika seorang muslim melakukan perbuatan dosa dan maksiat di bulan Haram, maka Allah ﷻ akan menjatuhkan sanksi yang lebih berat dibandingkan bulan-bulan lainnya.[3]

Puji syukur kepada Allah ﷻ, sampai saat ini masih memberi kesempatan untuk dipertemukan dengan bulan Haram, maka tidak ada kata lain yang harus dilakukan adalah memperbanyak ibadah di bulan-bulan Haram, sebagaimana giatnya kita dalam beribadah pada bulan Ramadhan karena ibadah di bulan Haram akan dilipatgandakan. Sebalikya kita selalu berupaya untuk menghindarkan diri untuk berbuat dosa dan maksiat karena perbuatan maksiat di bulan Haran akan disanksi lebih berat dibanding sanksi di bulan-bulan lainnya. Wa Allâhu a’lam.[]

Marâji’:

[1] Lathâ-if Al Ma’arif, h. 202.

[2] http://www.ibnukatsironline.com/2015/05/tafsir-surat-at-taubah-ayat-36.html. Diakses pada 05 Juni 2023.

[3] Quraish Shihabm Tafsir Al-Misbah Vol. 5, Jakarta: Lentera Hati, 2022.

Download Buletin klik disini