Maqashid Tuhan dan Ekologi Alam Semesta
Bismillāhi walhamdulillāhi wash shalātu was salāmu ‘alā rasūlillāhi,
Beberapa masalah lingkungan telah banyak bermunculan disekitar manusia. Tidak perlu menelisik jauh-jauh, di sekitar kita, lingkungan masih sangat rentan dengan ancaman adanya aktivitas manusia. Desas-desus pembangunan proyek Jurassic Park di Pulau Komodo hingga insiden kebakaran hutan di beberapa daerah di Indonesia dari sejak dulu hingga sekarang, pada era New Normal pandemi COVID-19 ini dinilai serupa dengan pemahaman kita sebagai manusia yang masih minim terhadap kelestarian ekologi alam. Paham antroposentrisme yang mungkin terasa samar terdengar, sebenarnya telah mendengung lebih dahulu di awal revolusi industri.
Antroposentrisme memberikan pemahaman bahwa di muka bumi ini hanya manusialah yang berkuasa. Dalil antroposentrisme yang muncul kemudian ditentang dengan paham ekosentrisme yang meliputi kemaslahatan dan integrasi umat seluruh alam. Sebagai agama yang menerapkan prinsip syariat yang rasional dengan perkembangan sains dan teknologi, Islam turut menjabarkan mengenai paham antroposentrisme dan ekosentrisme untuk menjawab perkembangan zaman yang terkait dengan individual manusia dan isu lingkungan.
Antroposentrisme sejatinya tidak lahir dari agama Islam. Pandangan terhadap paham antroposentrisme ini muncul dikarenakan adanya metode penafsiran yang parsial dan atomistik sehingga cenderung hanya terfokus pada aspek human being bukan terhadap integrasi ekologi. Namun ada beberapa ayat di dalam al-Qur’an yang antroposentris atau mengandung nilai dan paham antroposentrisme. Prinsip antroposentrsime di dalam Islam diduga sangat berelasi dengan konsep hakikat manusia yang merupakan makhluk istimewa, yang diberi akal, yang berkuasa atas alam dan konsep khalifah di bumi[i]. Nabi Muhammad ﷺ telah menganjurkan kita untuk senantiasa membantu sesama makhluk dan melestarikan lingkungan:
Dari Anas radiallahu anha, beliau mengatakan, Rasûlullâh ﷺ bersabda, ‘Ada tujuh hal yang pahalanya akan tetap mengalir bagi seorang hamba padahal dia sudah terbaring dalam kuburnya setelah wafatnya (yaitu): Orang yang yang mengajarkan suatu ilmu, mengalirkan sungai, menggali sumur, menanamkan kurma, membangun masjid, mewariskan mushaf atau meninggalkan anak yang memohonkan ampun buatnya setelah dia meninggal.” (H.R. al-Bazzar dalam Kasyful Astâr, hlm. 149. Hadits ini dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani dalam shahihul Jami’, no. 3602)
Ekosentrisme merupakan pemahaman yang menganggap bahwa manusia merupakan bagian dari keseluruhan ekosistem di alam semesta sehingga manusia tidak memiliki hak untuk merusak lingkungan dan makhluk disekitarnya. Ekosentrisme tentu sangat diperlukan untuk mengatasi krisis lingkungan hidup yang memerlukan kemampuan ekoliterasi yang bersumber dari kesadaran ekologis seseorang.
Beberapa ayat di dalam al-Qur’an menyampaikan mengenai pentingnya melestarikan alam. Misalkan dalam surah Ar-Rum ayat 41, Allah l menyindir manusia mengenai munculnya kerusakan yang ada di muka bumi. Allah ﷻ berfirman, “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allâh merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. (Q.S ar-Rûm [30]:41)
Dari ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa kerusakan yang terjadi di muka bumi disebabkan oleh perbuatan manusia yang merugikan lingkungan dan makhluk hidup didalamnya. Selain itu disebabkan pula karena kekufuran dan kemaksiatan yang mereka lakukan di muka bumi.
Kerugian Sebagai Akibat dari Kerusakan Lingkungan
Sifat manusia yang membuat kerusakan pada lingkungan dapat dikatakan sebagai faktor penyebab kerusakan lingkungan secara makro seperti yang dijelaskan pada surah ar-Rum ayat 41 tersebut. Selain itu, manusia dapat pula menjadi faktor kerusakan secara mikro. Hal-hal yang bersifat mikro ini merupakan kondisi yang dialami manusia sehingga menimbulkan kecenderungan merusak lingkungannya[ii].
Adanya kerusakan lingkungan tentunya menimbulkan dampak pencemaran terhadap kehidupan manusia. Dampak ini dapat dirasakan melalui beberapa hal contohnya limitisasi terhadap sumber daya alam yang sangat dibutuhkan manusia yaitu air, udara dan lingkungan yang memadai. Tidak hanya itu, terjadi pula kepunahan dan kelangkaan bagi beberapa komunitas dalam suatu ekosistem.
Selain itu, industri yang tak mengindahkan aspek lingkungan tentunya dapat membawa dampak buruk terhadap keseimbangan ekosistem. Bagi industri yang membuang limbahnya secara ilegal tanpa proses pengelolaan limbah yang baik, maka tentu akan timbul pencemaran. Pencemaran ini dapat terbentuk sebagai senyawa berbahaya yang terlarut dan tersuspensi dalam air, udara dan tanah yang nantinya akan berdampak pula pada kesehatan manusia.
Penerapan Prinsip Ekologi Tuhan dalam Sistem Ganti Rugi
Kerusakan lingkungan tentunya memiliki dampak yang signifikan bagi kegiatan sosial di dalamnya. Kegiatan sosial yang paling memiliki dampak yang jelas yaitu aktivitas masyarakat. Tidak hanya itu, bila terdapat berbagai ekosistem seperti biota laut, hewan darat dan tumbuhan secara langsung maupun tidak langsung akan terpengaruh pula oleh dampak akibat adanya kerusakan lingkungan. Singkatnya, seluruh kegiatan yang ada di dalam masyarakat atau suatu ekosistem tertentu mengalami kerugian.
Dalam Islam, dikenal istilah dhaman dalam adanya peristiwa ganti rugi yang bertujuan untuk memberikan ganti rugi pada korban yang terkena dampak dan juga menghilangkan kerugian yang diderita korban (raf’u al-dara wa izalatuha). Ganti rugi yang diakibatkan dari kerusakan lingkungan mencakup dua hal[iii].
Yang pertama yaitu ganti rugi yang berhubungan dengan jiwa dan kehormatan seseorang yang terancam akibat adanya aktivitas yang berdampak buruk bagi lingkungan. Dapat dimisalkan apabila seseorang menjadi terenggut nyawanya, mengidap penyakit tertentu sehingga organ tubuhnya tidak dapat berfungsi atau merasa terganggu dengan adanya pencemaran lingkungan yang terjadi di kawasan tempat ia tinggal.
Kedua, ganti rugi yang berhubungan dengan harta (jawabir al-darar al-maliyah) yang berkaitan dengan hak-hak manusia seperti adanya perampasan lahan atau kawasan untuk kawasan industri atau pabrik dan perusakan terhadap lingkungan masyarakat. Segala kerugian ini harus dibayarkan dengan mengembalikan sama dengan nilai jual barang (jawabir naqdiyah) atau nilai lahan yang terkena dampak pencemaran dan kerusakan. Selain itu, dapat pula dibayarkan dengan mengembalikan barang itu sendiri atau dengan barang yang sama (jawabir ‘ainiyah).
Kedua aspek tersebut tentu merupakan hal yang perlu dipertimbangkan bagi pemrakarsa pembangunan industri. Setiap industri diwajibkan menelaah lebih lanjut mengenai dampak baik dan buruk munculnya pembangunan industri baik sebelum, saat maupun setelah pembangunan. Penelaahan ini diatur di dalam Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI (KLHK) Indonesia dengan sebutan AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) baik secara internal yaitu di kawasan masyarakat atau secara eksternal yaitu di luar kawasan masyarakat yang juga ikut mempengaruhi kawasan internal. Pembangunan industri tentu harus melibatkan partisipasi masyarakat yang terkena dampak dan menerapkan aspek lingkungan yang tepat sehingga tidak merusak ekosistem daerah setempat sehingga tercipta solusi terbaik antara pemrakarsa, pemangku jabatan, masyarakat dan juga lingkungannya.
Penyusun:
Shofi Latifah Nuha Anfaresi
Mahasiswi Jurusan Teknik Lingkungan
Santri Pondok Pesantren UII
Maraji’
[i] Iqbal, I. 2014. Dekonstruksi Tafsir Antroposentrsime. Kalam: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam Vol. 8 (1): hal. 65-86
[ii] Ghazali, B. 1996. Lingkungan Hidup Dalam Pemahaman Islam. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya
[iii] Asmuni, Mth. 2007. Teori Ganti Rugi (Dhaman) Perspektif Hukum Islam. Millah Vol. 6 (2): hal. 97-120
Mutiara Hikmah
Dari Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ bersabda,
الْمَرْءُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
“Seseorang akan mencocoki kebiasaan teman karibnya. Oleh karenanya, perhatikanlah siapa yang akan menjadi teman karib kalian.”
(H.R. Abu Daud, no. 4833; Tirmidzi, no. 2378; dan Ahmad, 2:344. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)