Maqashid Tuhan dan Ekologi Alam Semesta

Bismillāhi walhamdulillāhi wash shalātu was salāmu ‘alā rasūlillāhi,

Beberapa masalah lingkungan telah banyak bermunculan disekitar manusia. Tidak perlu menelisik jauh-jauh, di sekitar kita, lingkungan masih sangat rentan dengan ancaman adanya aktivitas manusia. Desas-desus pembangunan proyek Jurassic Park di Pulau Komodo hingga insiden kebakaran hutan di beberapa daerah di Indonesia dari sejak dulu hingga sekarang, pada era New Normal pandemi COVID-19 ini dinilai serupa dengan pemahaman kita sebagai manusia yang masih minim terhadap kelestarian ekologi alam. Paham antroposentrisme yang mungkin terasa samar terdengar, sebenarnya telah mendengung lebih dahulu di awal revolusi industri.

Antroposentrisme memberikan pemahaman bahwa di muka bumi ini hanya manusialah yang berkuasa. Dalil antroposentrisme yang muncul kemudian ditentang dengan paham ekosentrisme yang meliputi kemaslahatan dan integrasi umat seluruh alam. Sebagai agama yang menerapkan prinsip syariat yang rasional dengan perkembangan sains dan teknologi, Islam turut menjabarkan mengenai paham antroposentrisme dan ekosentrisme untuk menjawab perkembangan zaman yang terkait dengan individual manusia dan isu lingkungan.

Antroposentrisme sejatinya tidak lahir dari agama Islam. Pandangan terhadap paham antroposentrisme ini muncul dikarenakan adanya metode penafsiran yang parsial dan atomistik sehingga cenderung hanya terfokus pada aspek human being bukan terhadap integrasi ekologi. Namun ada beberapa ayat di dalam al-Qur’an yang antroposentris atau mengandung nilai dan paham antroposentrisme. Prinsip antroposentrsime di dalam Islam diduga sangat berelasi dengan konsep hakikat manusia yang merupakan makhluk istimewa, yang diberi akal, yang berkuasa atas alam dan konsep khalifah di bumi[i]. Nabi Muhammad ﷺ telah menganjurkan kita untuk senantiasa membantu sesama makhluk dan melestarikan lingkungan:

Dari Anas radiallahu anha, beliau mengatakan, Rasûlullâh ﷺ bersabda, ‘Ada tujuh hal yang pahalanya akan tetap mengalir bagi seorang hamba padahal dia sudah terbaring dalam kuburnya setelah wafatnya (yaitu): Orang yang yang mengajarkan suatu ilmu, mengalirkan sungai, menggali sumur, menanamkan kurma, membangun masjid, mewariskan mushaf atau meninggalkan anak yang memohonkan ampun buatnya setelah dia meninggal.” (H.R. al-Bazzar dalam Kasyful Astâr, hlm. 149. Hadits ini dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani dalam shahihul Jami’, no. 3602)

Ekosentrisme merupakan pemahaman yang menganggap bahwa manusia merupakan bagian dari keseluruhan ekosistem di alam semesta sehingga manusia tidak memiliki hak untuk merusak lingkungan dan makhluk disekitarnya. Ekosentrisme tentu sangat diperlukan untuk mengatasi krisis lingkungan hidup yang memerlukan kemampuan ekoliterasi yang bersumber dari kesadaran ekologis seseorang.

Beberapa ayat di dalam al-Qur’an menyampaikan mengenai pentingnya melestarikan alam. Misalkan dalam surah Ar-Rum ayat 41, Allah l menyindir manusia mengenai munculnya kerusakan yang ada di muka bumi. Allah ﷻ  berfirman, “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allâh merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. (Q.S ar-Rûm [30]:41)

Dari ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa kerusakan yang terjadi di muka bumi disebabkan oleh perbuatan manusia yang merugikan lingkungan dan makhluk hidup didalamnya. Selain itu disebabkan pula karena kekufuran dan kemaksiatan yang mereka lakukan di muka bumi.

 

Kerugian Sebagai Akibat dari Kerusakan Lingkungan

Sifat manusia yang membuat kerusakan pada lingkungan dapat dikatakan sebagai faktor penyebab kerusakan lingkungan secara makro seperti yang dijelaskan pada surah ar-Rum ayat 41 tersebut. Selain itu, manusia dapat pula menjadi faktor kerusakan secara mikro. Hal-hal yang bersifat mikro ini merupakan kondisi yang dialami manusia sehingga menimbulkan kecenderungan merusak lingkungannya[ii].

Adanya kerusakan lingkungan tentunya menimbulkan dampak pencemaran terhadap kehidupan manusia. Dampak ini dapat dirasakan melalui beberapa hal contohnya limitisasi terhadap sumber daya alam yang sangat dibutuhkan manusia yaitu air, udara dan lingkungan yang memadai. Tidak hanya itu, terjadi pula kepunahan dan kelangkaan bagi beberapa komunitas dalam suatu ekosistem.

Selain itu, industri yang tak mengindahkan aspek lingkungan tentunya dapat membawa dampak buruk terhadap keseimbangan ekosistem. Bagi industri yang membuang limbahnya secara ilegal tanpa proses pengelolaan limbah yang baik, maka tentu akan timbul pencemaran. Pencemaran ini dapat terbentuk sebagai senyawa berbahaya yang terlarut dan tersuspensi dalam air, udara dan tanah yang nantinya akan berdampak pula pada kesehatan manusia.

 

Penerapan Prinsip Ekologi Tuhan dalam Sistem Ganti Rugi

Kerusakan lingkungan tentunya memiliki dampak yang signifikan bagi kegiatan sosial di dalamnya. Kegiatan sosial yang paling memiliki dampak yang jelas yaitu  aktivitas masyarakat. Tidak hanya itu, bila terdapat berbagai ekosistem seperti biota laut, hewan darat dan tumbuhan secara langsung maupun tidak langsung akan terpengaruh pula oleh dampak akibat adanya kerusakan lingkungan. Singkatnya, seluruh kegiatan yang ada di dalam masyarakat atau suatu ekosistem tertentu mengalami kerugian.

Dalam Islam, dikenal istilah dhaman dalam adanya peristiwa ganti rugi yang bertujuan untuk memberikan ganti rugi pada korban yang terkena dampak dan juga menghilangkan kerugian yang diderita korban (raf’u al-dara wa izalatuha).  Ganti rugi yang diakibatkan dari kerusakan lingkungan mencakup dua hal[iii].

Yang pertama yaitu ganti rugi yang berhubungan dengan jiwa dan kehormatan seseorang yang terancam akibat adanya aktivitas yang berdampak buruk bagi lingkungan. Dapat dimisalkan apabila seseorang menjadi terenggut nyawanya, mengidap penyakit tertentu sehingga organ tubuhnya tidak dapat berfungsi atau merasa terganggu dengan adanya pencemaran lingkungan yang terjadi di kawasan tempat ia tinggal.

Kedua, ganti rugi yang berhubungan dengan harta (jawabir al-darar al-maliyah) yang berkaitan dengan hak-hak manusia seperti adanya perampasan lahan atau kawasan untuk kawasan industri atau pabrik dan perusakan terhadap lingkungan masyarakat. Segala kerugian ini harus dibayarkan dengan mengembalikan sama dengan nilai jual barang (jawabir naqdiyah) atau nilai lahan yang terkena dampak pencemaran dan kerusakan. Selain itu, dapat pula dibayarkan dengan mengembalikan barang itu sendiri atau dengan barang yang sama (jawabir ‘ainiyah).

Kedua aspek tersebut tentu merupakan hal yang perlu dipertimbangkan bagi pemrakarsa pembangunan industri. Setiap industri diwajibkan menelaah lebih lanjut mengenai dampak baik dan buruk munculnya pembangunan industri baik sebelum, saat maupun setelah pembangunan. Penelaahan ini diatur di dalam Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI (KLHK) Indonesia dengan sebutan AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) baik secara internal yaitu di kawasan masyarakat atau secara eksternal yaitu di luar kawasan masyarakat yang juga ikut mempengaruhi kawasan internal. Pembangunan industri tentu harus melibatkan partisipasi masyarakat yang terkena dampak dan menerapkan aspek lingkungan yang tepat sehingga tidak merusak ekosistem daerah setempat sehingga tercipta solusi terbaik antara pemrakarsa, pemangku jabatan, masyarakat dan juga lingkungannya.

 

Penyusun:

Shofi Latifah Nuha Anfaresi

Mahasiswi Jurusan Teknik Lingkungan

Santri Pondok Pesantren UII

Maraji’

[i] Iqbal, I. 2014. Dekonstruksi Tafsir Antroposentrsime. Kalam: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam Vol. 8 (1): hal. 65-86

[ii] Ghazali, B. 1996. Lingkungan Hidup Dalam Pemahaman Islam. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya

[iii] Asmuni, Mth. 2007. Teori Ganti Rugi (Dhaman) Perspektif Hukum Islam. Millah Vol. 6 (2): hal. 97-120

 

Mutiara Hikmah

Dari Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ bersabda,

الْمَرْءُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ

Seseorang akan mencocoki kebiasaan teman karibnya. Oleh karenanya, perhatikanlah siapa yang akan menjadi teman karib kalian.”

(H.R. Abu Daud, no. 4833; Tirmidzi, no. 2378; dan Ahmad, 2:344. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)

Download Buletin klik disini

Anak Shalih, Investasi Dunia Akhirat

Bismillāhi walhamdulillāhi wash shalātu was salāmu ‘alā rasūlillāhi,

Pembaca yang dirahmati Allah ﷻ, ketika kita mendengar kata investasi, pasti yang pertama terbesit dalam benak kita adalah tabungan uang dalam sebuah perusahaan untuk mendapatkan laba dalam waktu tertentu. Namun nyatanya invesasi tak hanya tentang uang, memiliki anak shalih shalihah merupakan investasi yang sangat didambakan oleh orang tua sebagai tabungan di dunia mapun di akhirat kelak. Memiliki keturunan yang shalih dapat menyelamatkan kehidupan orang tua baik di dunia maupun di akhirat.

Secara etimologi kata shalih berasal dari kata shalaha-yashluhu-shalahan yang artinya baik, tidak rusak dan patut. Sedangkan shalih merupakan  ism fa’il yang berarti orang yang baik, orang yang tidak rusak, serta orang yang patut.[1] Dari Abu Hurairah a, ia berkata bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh” (H.R. Muslim no. 1631)

Bagi orang tua, anak akan menjadi tumpuannya di masa yang akan datang. Bahkan setelah kematiannya pun doa dari anak sangat berharga baginya. Jika orang tua memiliki andil dalam mendidik anaknya, mengajarkan ibadah, mengajarkan amalan-amalan baik kepada anak-anaknya, maka orang tua akan terus mendapatkan pahala dari setiap perilaku dan perbuatan baik dari anaknya. Begitu juga sebaliknya, jika orang tua tidak memiliki andil dalam keshalihan anaknya, maka orang tua tidak akan mendapatkan pahala atas amal shalih anaknya. Karena sejatinya yang membentuk diri sang anak adalah orang tuanya.

Seperti sabda Rasul ﷺ yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, “Setiap manusia dilahirkan oleh ibunya di atas fitrah. Kedua orang tuanya yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” Dengan demikian anak merupakan cerminan dari orang tuanya. Apakah sang anak akan diajarkan amalan yang bermanfaat baginya dan orang tua di dunia maupun diakhirat kelak, atau dibiarkan saja? Semua tergantung pilihan dan didikan dari orang tua kepada anak anaknya.

Semua orang pasti menginginkan untuk memiliki anak shalih shalihah. Maka, setiap kali memanjatkan doa, baik pagi maupun petang, bahkan di setiap kesempatan pasti menyelipkan doa supaya diberikan keturunan yang shalih shalihah. Namun perlu diingat bahwa usaha tanpa doa sama dengan sombong dan  doa tanpa usaha sama dengan bohong. Tak cukup dengan doa, para orang tua pasti menginginkan yang terbaik, salah satu usaha yang dilakukan adalah mengirimkan anaknya ke lembaga pendidikan Islam seperti madrasah atau pondok pesantren dengan harapan setelah sang anak mendapatkan bimbingan dari pada pengajar yang ada, akan bertambah keshalihan sang anak.

Keteladanan Orang Tua

Ada kalanya jika anak di rumah, orang tua harus ikut andil dalam mendidiknya, dengan memberi contoh yang baik dalam segala aktivitas karena childern see children do. Bila anak melihat orang tua yang bertaqwa kepada Allah, maka anak pun akan bertaqwa kepada Allah. Apabila orang tua tekun mendirikan shalat, membaca al-Qur’an, maka sang anak akan tekun shalat serta membaca al-Qur’an. Dengan demikian sang anak akan terpola kehidupannya menjadi anak pilihan yang shalih

Selain dengan mencontohkan hal-hal yang baik, hendaklah orang tua memberikan arahan serta bimbingan dengan kata kata yang membekas dalam hatinyauntuk selalu berada di jalan Allah. Seperti ketika Luqman mengambil hati sang buah hati supaya selalu mengingat kepada sang khaliq, ia mengajarkan tauhid serta ibadah lainnya hanya kepada Allah ﷻ. Sebagai orang tua hendaklah membimbing serta menasihati dalam kebaikan untuk mencintai Allah ﷻ dan Rasul-Nya. Betapa dahsyatnya kekuatan dari nasihat orang tua kepada buah hatinya yang akan selalu diingat sepanjang hayat.

Anak shalih merupakan aset di dunia maupun di akhirat yang tak ternilai harganya yang pastinya diharapkan oleh semua orang, orang tua mana yang tak ingin memiliki anak yang shalih shalihah? Dengan anak shalihlah doa dan pahala tak akan terputus meskipun telah meninggal dunia. Demikian ketika seorang hamba telah meninggal dunia, maka ia akan terheran-heran, mengapa derajatnya di akhirat menjadi setinggi ini, padahal ia bukan seorang yang sempurna, tidak selalu beribadah tepat waktu, masih tetap melakukan perbuatan yang berdosa. Maka jawabannya adalah doa anak shalihmu lah yang tak pernah terputus supaya Allah ﷻ mengampuni dosa dosa mu.

Anak merupakan sebuah anugerah yang Allah ﷻ berikan kepada kita. Harta dan anak merupakan sebuah perhiasan dunia, perhiasan merupakan susuatu yang sangat indah, sangat bernilai, dan sangat berharga. Ketika orang tua menyadari bahwa sang anak merupakan perhiasan yang sangat berharga, maka ia akan senantiasa merawat, mengasuh, serta mendidik dengan ajaran yang benar. Karena ia yakin anaklah yang akan mengurus dan menggantikannya ketika orang tua telah tiada. Apalagi jika sang anak memiliki prestasi yang membanggakan, maka ia akan menjadi penyejuk dan penyenang di hati orang tuanya. Tapi yang perlu diingat prestasi bukan hanya diukur dari prestasinya dalam memenangkan olimpiade, berapa banyak mendali dan piala yang dimilikinya, berapa tinggi nilai raport yang di peroleh. Tetapi prestasi yang sesungguhnya adalah ketika sang anak jauh dari narkoba, minuman keras, pergaulan bebas, berakhlak baik, bertaqwa kepada Allah ﷻ, serta yang berbakti kepada orangtuanya. Prestasi-prestasi ini dapat diraih dengan sebuah pembiasaan, memberikan pendidikan yang baik, serta menunjukkan contoh yang baik.

Ciri-Ciri Orang Shalih[2]

Ciri ciri orang shalih digambarkan oleh Allah ﷻ dalam al-Qur’an surah ‘Âli Imrân ayat 113-114 yakni, ”Mereka itu tidak sama; di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang). Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan, mereka menyuruh kepada yang ma´ruf, dan mencegah dari yang munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang shalih” (Q.S. ‘Âli Imrân [3]: 113-114)

Dari firman diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa ciri-ciri orang shalihah antara lain

  1. Membaca al-qur’an diwaktu malam. Membaca al-Qur’an pada waktu pagi atau siang merupakan hal yang biasa, namin membaca pada pertengahan malam adalah hal yang luar biasa. Yatlûna âyatillâhi ânâ al-laili menurut tafsir ibnu katsir yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah membaca al-qur’an saat melaksanankan shalat malam (shalat tahajjud).
  2. Mengerjakan qiyâmullail. Hal ini pun diperkuat dengan sabda nabi ﷺ “Hendaklah kamu sekalian melaksanakan qiyamul laill, karena yang demikian itu telah menjadi kebiasaan orang-orang shalih (nabi dan rasul) (H. Muslim)
  3. Beriman dan beramal shalilh
  4. Menganjurkan berbuat baik. Namun sebelum menganjurkan kepada orang lai, maka dirinya sendiri harus sudah mengerjakan kebaikan.
  5. Mencegah kemunkaran. Selain menganjurkan kepada kebaikan, orang shalih juga mempunyai tugas lainnya yaitu mencegah kemunkaran. Mencegah orang lain untuk berbuat munkar biasanya lebih mudah daripada mencegah diri sendiri berbuat kemunkaran. Ibarat peribahasa “kuman di sebrang lautan tampak, tapi gajah di pelupuk mata tak nampak
  6. Bersegera dalam berbuat kebajikan.

Semoga kita semua termasuk golongan orang shalih shalihah yang diharapkan oleh orang tua. Âmîn ya mujiibas-sâilîn

Penyusun:

Nurul Kharismawati

Prodi Pendidikan Agama Islam
FIAI UII

Marâji’

[1] https://beritalangitan.com/fakta-opini/shalih-menurut-al-quran/

[2] Ibid

Download Buletin klik disini

Hewan Kecil Yang Diabadikan Dalam Al-Quran

Hewan Kecil Yang Diabadikan Dalam Al-Quran

Hamdan laka yâ Allâh, Shalatan wa Taslîman ‘alaika yâ Rasûlullâh.
Pembaca yang dirahmati Allah ﷻ, kita ketahui bersama bahwa al-Qur’an adalah mukjizat terbesar yang diturunkan kepada nabi Muhammad ﷺ `kita sebagai umat Islam tentunya diwajibkan untuk membaca dan mempelajari al-Qur’an, syukur-syukur kalau bisa dihafalkan. Dan juga pastinya kita tahu bahwa al-Qur’an itu tidak hanya berisi tentang syariat-syariat Islam, melainkan ada kisah-kisah umat terdahulu, bahkan sampai dengan dasar-dasar ilmu pengetahuan sains.

Tahukah kita bahwa dalam al-Qur’an terdapat 5 surah yang mana mempunyai makna-makna hewan? Sebut saja al-Baqarah (Sapi Betina), ataupun al-Fîl (Gajah). Namun disini akan dibahas tiga surah yang sangat unik kalau dicermati dari namanya, yaitu surah an-Naml (Semut), al-’Ankabut (Laba-laba), dan an-Nahl (Lebah). Ketiga surah tersebut secara harfiah mempunyai beberapa persamaan, yaitu sama-sama hewan spesies serangga, dan sama-sama bertubuh mungil. Namun sebenarnya, dari ketiga hewan tersebut mempunyai hikmah tersendiri, yang apabila dikorelasikan perilaku umat manusia sangatlah relevan. Apa sajakah itu? Marilah kita simak bersama-sama.

Surah An-Naml (Semut)
Dimulai dari surah yang pertama an-Naml, yang berarti semut. Ada apa dengan semut? Apa yang istimewa dari semut sehingga Allah ﷻ menjadikannya sebagai nama surah dalam al-Quran? Ternyata semut mempunyai hikmah yang sangat unik, jika teman-teman tahu, karakter semut itu pada dasarnya adalah suka menghimpun makanan sedikit demi sedikit dan tanpa henti. Bahkan menurut suatu penelitian makanan tersebut dapat menjadi persediaan atau cadangan hingga bertahun-tahun, sedangkan faktanya mengatakan bahwa usia semut rata-rata tidak lebih dari 1 tahun. Bahkan, semut itu bisa mengangkat benda apapun yang sedemikian besarnya secara bersama-sama, dan seringkali berhasil. Padahal benda yang dibawanya pun kadangkala tidak berguna bagi kelangsungan hidupnya.
Dari semut kita dapat mengambil hikmah yang tersirat, yaitu sifat dasar semut yang ‘suka menghimpun’ jangan dijadikan pedoman hidup. Kalau kita korelasikan kepada umat manusia, bisa dicontohkan bahwa umat manusia tidak boleh menghimpun mulai dari ilmu, harta, benda dan segala macam materi yang bersifat duniawi.

Menghimpun itu artinya hanya mengumpulkan tanpa mengolahnya, dan yang tak kalah penting dari penghimpunan benda-benda tadi adalah tidak disesuaikan dengan kebutuhannya. Sifat ‘suka menghimpun’ tentunya juga akan membuat barang yang seharusnya bermanfaat menjadi mubadzir. Pemborosan adalah salah satu contoh dari budaya menghimpun ini yang mendorong hadirnya benda-benda baru yang tidak dibutuhkan dan tersingkirnya benda-benda lama yang masih layak untuk dimanfaatkan. Padahal kita semuanya tahu sebagaimana Firman-Nya, “Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara syaiton” (Q.S al-Isrâ’ [17]: 27). Namun bukan berarti semut tidak bisa diambil filosofi yang baiknya. Semut juga mempunyai filosofi yang patut dicontoh oleh umat manusia. Sebagaimana yang telah disinggung dalam ayat 18-19 surah ini, dikisahkan bahwa Nabi Sulaiman beserta bala tentaranya yang terdiri dari jin, burung-burung, dan hewan-hewan lainnya ingin melintasi suatu lembah yang ternyata disitu ada penghuninya. Lalu siapakah penghuni yang dimaksud? Jawabannya adalah semut. Ketika Nabi Sulaiman hendak melintasi lembahnya, ada seekor raja semut yang dalam ayat disebutkan bahwa dia mengomandokan kepada seluruh anak buahnya yaitu semua semut yang ada ditempat itu agar masuk ke sarang-sarang mereka yang berada dilembah tersebut. Dan pasukan semut bersama rajanya akhirnya masuk sarang masing-masing. Fatabassama Dhahika! Seketika itu Nabi Sulaiman tersenyum dan takjub dengan keteraturan semut beserta seluruh pasukannya. Dari peristiwa tersebut kita dapat mengambil hikmah tentang ketaatan terhadap pemimpin. Sebagaimana kita sebagai umat Islam telah diperintahkan untuk taat kepada Ulil Amri.

Surah al-’Ankabut (Laba-laba)
Selanjutnya ada surah al-’Ankabut yang bermakna laba-laba. Tentunya kita semua pernah mendengar cerita bahwa dulu laba-laba pernah menyelamatkan Nabi ﷺ ` dari kejaran kaum kafir Quraisy dengan cara membuat sarang yang begitu banyak sehingga menutupi pintu masuk goa. Sehingga dengan adanya kejadian tersebut maka sudah wajar bahwasanya Allah ﷻ mengistimewakan laba-laba sebagai salah satu nama surah dalam al-Quran. Namun sebenarnya ada filosofi tersendiri tentang laba-laba yang perlu kita ketahui. Apa itu? Jadi laba-laba itu mempunyai sarang yang sangat rapuh. Sarang laba-laba bukanlah tempat yang aman, apa pun yang berlindung di sana akan binasa. Jangankan serangga yang lain jenis, jantannya pun setelah kawin akan disergap untuk dimusnahkan oleh betinanya. Telur-telurnya yang menetas saling berdesakan sehingga dapat saling memusnahkan. Demikianlah kata sebagian ahli. Sebagaimana firman Allah ﷻ, “Perumpamaan orang yang mengambil pelindung selain Allah ﷻ adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba”.( Q.S. al-Ankabut [29]: 41)
Namun, laba- laba bukan berarti hanya menghasilkan sesuatu yang negatif. Yang perlu diketahui laba-laba juga memiliki sisi positif yaitu mempunyai sumber dayanya sendiri. Hanya laba-labalah satu-satunya makhluk di dunia yang bisa mengeluarkan sesuatu dari dalam dirinya yang sangat bermanfaat bagi kehidupannya, sehingga untuk membuat rumah atau sarang ia tak membutuhkan benda lain dari yang ia punyai sendiri. Dari sini kita seharusnya bisa mengambil pelajaran yang sangat berharga ini, kita harus bisa menemukan dan menggali potensi yang ada pada diri kita, sehingga dengan potensi itu kita akan bisa meraih kesuksesan tanpa harus bergantung pada orang lain.

Surah an-Nahl (Lebah)
Lalu yang terakhir ada surah An-Nahl yang bermakna lebah. Lebah sebagaimana kita ketahui memiliki manfaat dari apapun tindakan yang dilakukannya. Perlu teman-teman ketahui bahwa Nabi Muhammad ﷺ  ` mengibaratkan perilaku umat Islam yang paling ideal adalah dengan mencontoh filosofi lebah. Sebagaimana sabdanya, “Perumpamaan seorang mukmin yang baik ialah seperti lebah. Ia tidak makan kecuali yang baik dan tidak memberi kecuali yang baik” (H.R. Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Lebih rinci lagi, lebah setidaknya memiliki tiga keistimewaan yang dapat menjadi analogi tentang karakter ideal manusia.
Pertama, lebah tak merusak ranting yang ia hinggapi, sekecil apa pun pohon tersebut. Hal ini memberi pelajaran manusia agar menghindari berlaku yang menimbulkan mudharat atau kerugian terhadap orang lain. Lebah memang datang untuk makan, tapi ia tak ingin merusak untuk kepentingannya pribadinya itu. Bahkan kerap kali lebah justru berjasa dalam proses penyerbukan sebuah bunga yang ia hinggapi.
Kedua, lebah makan sesuatu yang baik-baik, yakni saripati bunga. Sama halnya dengan seorang muslim yang diperintahkan untuk hanya memakan makanan yang halalan thayyiban.
Dan yang ketiga lebah hanya mengeluarkan sesuatu yang baik yaitu madu. Ini yang seharusnya dimiliki oleh seorang muslim sejati. Dengan memakan makanan yang halal, makasetiap perbuatan akan dihitung sebagai ibadah yang bernilai berkah. Wallâhu a’lam bis shawâb.

Penyusun:
Muhammad Salman Alfarisi
Prodi Hubungan Internasional
FPSB UII
Mutiara Hikmah

Rasulullah ﷺ ` bersabda,
أُحِلَّتْ لَكُمْ مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ فَالْحُوتُ وَالْجَرَادُ وَأَمَّا الدَّمَانِ فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالُ
“Dihalalkan bagu kalian dua bangkai dan dua darah. Adapun dua bangkai tersebut adalah ikan dan belalang. Sedangkan dua darah tersebut adalah hati (lever) dan limpa.
(H.R. Ibnu Majah no. 3314)

Download Buletin klik disini

Menyatakan Bertauhid Belum Cukup

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Suatu keyakinan yang wajib dimiliki oleh kaum muslimin adalah tauhid. Tauhid merupakan asas, pokok, dan pondasi dalam agama. Jika tauhid seseorang benar maka akan kuat pula agamanya, dan jika tauhid seseorang rusak maka rusak pula agamanya.

Tauhid yang menjadi letak pembeda antara orang-orang muslim dan orang-orang kafir, karena orang-orang kafir mereka memberikan penyembahan peribadatannya kepada selain Allah ﷻ, dimana tidak ada Rabb di alam semesta ini kecuali hanya Allah ﷻ semata, karena hanya dengan keyakinan inilah yang dapat membawa seseorang selamat di dunia dan di akhirat.

Tauhid berasal dari bahasa Arab yang berarti “Mengesakan” yaitu menjadikannya satu. Secara istilah ialah mengesakan Allah dengan sesuatu yang menjadi kekhususan yang hanya dimiliki oleh Allah S.W.T. [1] .

Para ulama menjelaskan Tauhid kedalam beberapa macam diantaranya, keyakinan tentang keesaan Allah ﷻ dalam perbuatan-perbuatan-Nya[2] seperti meyakini hanya Allah yang mampu menciptakan, mengatur alam semesta, memberikan manfaat, mengabulkan doa, menolak kemudharatan, menghidupkan, mematikan dan sebagainya, tauhid ini disebut tauhid rububiyyah, Allah ﷻ berfirman, “Allah menciptakan segala sesuatu.” (Q.S. az-Zumar [39]: 62).

Allah ﷻ berfirman, “Dan tidak ada sesuatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya. (Q.S. Hud [11]: 6).

Allah ﷻ berfirman, “Sesungguhnya Rabb kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptkanNya pula) matahari, bulan, dan bintang (masing-masing) tunduk pada perintahNya. Ingatlah, menciptkan dan memerintahkan hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah Rabb semesta alam.” (Q.S. al-A’raf: 54)

Kemudian Tauhid dalam pengikhlaskan ibadah hanya ditujukan untuk Allah ﷻ semata bukan untuk makhluk-makhluk ciptaan-Nya[3]. Seperti ibadah berdoa, menyembelih kurban, bernadzar, rasa takut, pengharapan, tawakal dan lain-lain, tauhid ini disebut juga tauhid uluhiyyah.

Allah ﷻ berfirman, “Dan sesembahanmu adalah sesembahan Yang Maha Esa, tidak ada sesembahan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (Q.S. al-Baqarah [2]: 163)

Allah ﷻ berfirman, Janganlah kamu menyembah dua sesembahan. Sesungguhnya Dialah sesembahan Yang Maha Esa, maka hendaklah kepadaKu saja kamu takut’.” (Q.S. an-Nahl [16]: 51)

Lalu yang terakhir adalah tauhid dengan menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah ﷻ dengan kesempurnaan yang mutlak[4], tauhid ini disebut tauhid asma’ wa shifat.

Allah ﷻ berfirman, “Hanya milik Allah al-Asma’ al-Husna (nama-nama yang terbaik), maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asma’ Husna itu”.(Q.S. al-A’raf [7]: 180).

Allah ﷻ berfirman, “Bagi-Nya al-Asma’ al-Husna. Bertasbih kepadanya apa yang di langit dan di bumi, dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. al-Hasyr [59]: 24)

Dalam tauhid ini seseorang hanya perlu meyakini saja nama-nama dan sifat-sifat Allah ﷻ sesuai dengan apa yang Allah ﷻ tetapkan untuk diri-Nya, tanpa meniadakan atau menolaknya, tidak mengubah maknanya, tidak menyerupakannya dengan makhluk, dan tidak membagaimanakan hakikatnya.[5]

Seperti meyakini Allah ﷻ Maha Mendengar dan Maha Melihat yang pendengaran dan penglihatannya tidak sama seperti makhluk-makhluk-Nya, tidak menolak sifat tersebut, tidak mengubah maknanya, ataupun membagaimanakan hakikatnya, seseorang hanya perlu meyakini saja sifat tersebut ada pada Allah ﷻ yang telah Allah ﷻ tetapkan untuk diri-Nya, Allah ﷻ berfirman, “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar dan Melihat”. (Q.S. asy-Syura [42]: 11)

Setelah mengetahui hakikat dari tauhid maka seseorang perlu untuk mengetahui lawan dari tauhid itu yaitu syirik. Syirik adalah suatu bentuk perbuatan mensejajarkan (mengadakan tandingan) kepada selain Allah ﷻ dalam hal-hal yang menjadi kekhususan bagi Allah ﷻ yang mana hal itu hanya mampu dilakukan oleh Allah ﷻ semata, dimana kekhususan bagi Allah ﷻ ini meliputi tiga hal yang disebutkan diatas yaitu dalam rububiyyah, uluhiyyah, dan asma’ wa shifat[6].

Allah ﷻ berfirman, “Maka janganlah kalian menjadikan bagi Allah tandingan-tandingan.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 22)

Ketika seorang sahabat berkata kepada Rasulullah ﷺ, “Berdasarkan kehendak Allah dan kehendakmu”kemudian Rasulullah  ﷺ ` bersabda,“Apakah engkau menjadikan aku tandingan bagi Allah?”[7]

Tauhid seseorang tidak akan sempurna sampai ia menjauhi segala sesuatu bentuk perbuatan kesyirikan. Jika seseorang telah mengetahui tauhid tapi tidak mengetahui apa saja bentuk-bentuk perbuatan syirik, dikhawatirkan ia akan terjatuh kepada perbuatan kesyirikan tersebut[8]. Allah ﷻ selalu mengatakan di dalam al-Qur’an setelah memerintahkan beribadah hanya untuk diri-Nya, Allah ﷻ juga memerintahkan untuk menjauhi perbuatan syirik,

Allah ﷻ berfirman, “Beribadahlah kepada Allah dan janganlah kamu mempersekutukanNya dengan sesuatu apapun.” (Q.S. an-Nisâ’ [4]: 36). Allah subhânahu wa ta’âlâ berfirman, “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), ‘Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thagut (sesembahan selain Allah) itu’.” (Q.S. an-Nahl [16]: 36)

Dan juga dijelaskan dalam hadits ketika Muadz bin Jabal a dibonceng oleh Nabi ﷺ` dan beliau berkata kepada Muadz, “Wahai Muadz, tahukah kamu apakah hak Allah yang harus dipenuhi hamba-hambaNya, dan apa hak hamba-hamba-Nya yang pasti dipenuhi oleh Allah?”, aku menjawab “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”, kemudian beliau bersabda, “Hak Allah yang harus dipenuhi oleh hamba-hamba-Nya ialah hendaknya mereka beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, sedangkan hak hamba yang pasti dipenuhi oleh Allah tidak akan menyiksa orang-orang yang tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.”[9]

Demikian hendaklah seorang hamba bersungguh-sungguh untuk menanamkan keihklasan di hatinya dalam beribadah, dengan cara menyempurkan sekuat mungkin ketergantungan dirinya hanya kepada Allah ﷻ serta mencari keridhoan dan pahalanya. Dan takutlah dari perbuatan syirik dengan mencoba menjauhi dari segala jalan atau wasilah-wasilah yang dapat mengantarkan seseorang kepada kesyirikan. Senantiasa mohonlah kepada Allahﷻ agar Allah ﷻ  selalu melindungi dari perbuatan syirik. Wallâhu ta’ala a’lam.[]

Penyusun:

Much Diki Mualimin

Mahasiswa Ahwal Syakhshiyah

Universitas Islam Indonesia

Marâji’

[1] Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin – Penjelasan Inti Ajaran Islam – Solo – Pustaka Arafah – 2010 – Cetakan Pertama – Hal. 135

[2] Abu ‘Isa Abdullah bin Salam – Mutiara Faidah Kitab Tauhid – Yogyakarta – Pustaka Muslim Yogyakarta – 2011 – Cetakan keempat – Hal. 13

[3] Abu ‘Isa Abdullah bin Salam – Mutiara Faidah Kitab Tauhid – Yogyakarta – Pustaka Muslim Yogyakarta – 2011 – Cetakan keempat – Hal. 18

[4] Dr. Firanda Andirja, Lc., MA. – Syarah Kitab Tauhid – Jakarta – 2019 – Cetakan Pertama – Hal. 6

[5] Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan – Kitab Tauhid – Jakarta Timur – Ummul Qura – 2019 – Cetakan Lima Belas – Hal. 96

[6] Abu ‘Isa Abdullah bin Salam – Mutiara Faidah Kitab Tauhid – Yogyakarta – Pustaka Muslim Yogyakarta – 2011 – Cetakan keempat – Hal. 40

[7] H.R. al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad no. 783

[8] Dr. Firanda Andirja, Lc., MA. – Syarah Kitab Tauhid – Jakarta – 2019 – Cetakan Pertama – Hal. 69

[9] H.R. al-Bukhari no. 2856, 5967, 6267, 6500, 7373 dan Muslim no.

Download Buletin klik disini

Bahaya Dusta

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Pembaca yang semoga dirahmati Allah ﷻ, Islam adalah agama yang sempurna. Hal ini sebagaimana firman Allah ﷻ, “…Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu…” (Q.S. al-Maidah [5]: 3). Syari’at Islam begitu rapi dalam mengatur kehidupan manusia mulai dari bangun tidur hingga tidur lagi. Termasuk di dalam syari’at Islam adalah kita diwajibkan menjaga lisan dari hal-hal yang diharamkan. Allah ﷻ berfirman, “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya” (Q.S. al-Isra’ [17]: 36). Dalam ayat lain Allah ﷻ berfirman, “Dan jauhilah perkataan-perkataan dusta” (Q.S. al-Hajj [22]: 30).

Kedua ayat ini menunjukkan bahwa kita sebagai manusia diharamkan untuk mengatakan hal-hal yang dusta. Begitu banyak sekarang ini kita melihat di berbagai media orang-orang yang berbicara tanpa disertai ilmu. Bahkan di media sosial kita bisa melihat sendiri bahwa banyak orang berkomentar tentang agama tetapi tidak disertai ilmu yang mapan apalagi berkaitan dengan hukum-hukum di dalam agama.

Syari’at Islam sangat sempurna dalam mengatur kehidupan sehingga ada pengharaman yang berkaitan dengan berkata dusta. Baik itu dusta dalam hal agama maupun dusta dalam hal dunia. Oleh karena itu, ingatlah firman Allah ﷻ, “Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (Q.S. Qaf [50]: 18). Segala hal yang kita ucapkan selalu diawasi dan dicatat oleh malaikat yang Allah ﷻ tugaskan untuk mencatat amal perbuatan kita.

Perkataan dusta itu mengarah kepada tindak kejahatan dan masuk dalam kategori pembohong. Hal ini sebagaimana hadis dari Ibnu Umar k, ia berkata, Nabi ﷺ bersabda,  “Sejahat-jahat dusta adalah apabila seseorang mengaku kedua matanya melihat apa yang tidak dilihatnya.” (H.R. Bukhari).

Juga terdapat dalam hadits dari Ibnu Mas’ud a, ia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya berkata benar itu membawa kepada kebajikan, dan kebajikan bisa menyampaikan ke surga. Sungguh, orang yang benar itu dapat dicatat di sisi Allah sebagai shiddiq (pembenar) dan dusta itu mengarah kepada tindak kejahatan, dan tindak kejahatan bisa membawa ke neraka. Sesungguhnya orang yang berdusta pada akhirnya akan dicatat di sisi Allah sebagai pembohong.” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Perkataan dusta juga bisa menjerumuskan ke dalam kategori munafik. Hal ini sebagaimana hadits dari Abdullah bin Amr bin Ash k bahwa Nabi ﷺ bersabda, “Ada empat sifat yang barangsiapa jatuh ke dalamnya berarti ia orang munafik sejati. Dan barangsiapa terjerumus pada salah satu dari empat sifat itu, berarti dalam dirinya terdapat salah satu sifat kemunafikan, sampai ia mau meninggalkan sifat tersebut. Empat sifat itu adalah apabila ia dipercaya, ia khianat, apabila berbicara, ia dusta, apabila berjanji, ia ingkar. Dan apabila bermusuhan, ia berbuat keji.” (H.R. Bukhari dan Muslim). Tentu hadits ini menjadi pedoman bagi kita untuk selalu menjaga lisan kita dari perkataan-perkataan yang diharamkan oleh Allah ﷻ dan Rasul-Nya.

Perkataan dusta tidak dilihat dari besar atau kecilnya dusta yang diucapkan. Hal ini sebagaimana hadits dari Ibnu Abbas k dari Nabi ﷺ beliau bersabda, “Barangsiapa mengaku bermimpi dengan sesuatu impian padahal yang sebenarnya ia tidak memimpikannya, maka ia nanti akan dituntut untuk menyambung dua biji gandum, padahal tidak mungkin ia akan dapat melakukannya. Barangsiapa mendengarkan pembicaraan sekelompok orang dimana sebenarnya yang bersangkutan tidak senang apabila pembicaraannya itu didengar, maka nanti pada hari kiamat akan dituangkan ke dalam telinganya cor-coran timah. Dan barangsiapa menggambar suatu benda hidup, maka nanti ia akan disiksa dan dituntut untuk meniupkan roh ke dalam gambar itu padahal ia tidak akan mampu untuk meniupkannya.” (H.R. Bukhari). Padahal dalam hadits tadi hanya dusta yang berkaitan dengan mimpi, namun hal tersebut tetap diharamkan dalam Islam karena efek dari dusta amat sangat berbahaya sebagaimana hadits-hadits yang telah disebutkan di atas.

Jika dusta yang berkaitan dengan mimpi saja diharamkan, apalagi berdusta yang berkaitan dengan Nabi ﷺ. Hal ini sebagaimana hadits dari Samurah a, ia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, “Barangsiapa menceritakan dariku suatu hadis yang ia ketahui hadis itu bohong, maka ia adalah salah seorang pembohong.” (H.R. Muslim). Bahkan akan dibangunkan rumah di neraka jahannam bagi yang berdusta atas nama Nabi ﷺ. Hal ini sebagaimana Nabi ﷺ bersabda, “Barangsiapa berdusta atas namaku, maka akan dibangunkan baginya rumah di (neraka) jahannam.” (H.R. Thabrani).

Berdusta atas nama Nabi ﷺ jauh lebih berbahaya daripada berdusta atas nama orang-orang yang lainnya. Hal ini sebagaimana hadits dari al-Mughirah, ia mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya berdusta atas namaku tidaklah sama dengan berdusta pada selainku. Barangsiapa yang berdusta atas namaku secara sengaja, maka hendaklah dia menempati tempat duduknya di neraka.” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Mengapa berdusta atas nama Nabi ﷺ jauh lebih berbahaya daripada berdusta atas nama orang-orang yang lainnya? Karena jika yang disampaikan itu adalah kedustaan atas nama Nabi ﷺ, maka orang yang tidak mengetahui akan mengira bahwa itu merupakan bagian dari agama. Oleh karena itu, ada ancaman yang berat jika berdusta atas nama Nabi ﷺ sebagaimana hadits-hadits yang telah disebutkan di atas.

Dusta adalah perkataan yang diharamkan. Meskipun demikian, ada dusta yang diperbolehkan di dalam Islam. Perkataan adalah sarana untuk menyampaikan maksud. Apabila maksud tujuannya itu baik dan dapat dicapai dengan tanpa berdusta, maka menyampaikan dengan berdusta itu hukumnya haram. tetapi apabila tidak bisa disampaikan kecuali harus berdusta, maka berdusta dalam hal ini diperbolehkan. Bahkan dalam hal ini ada dusta yang diwajibkan, misalnya ada orang Islam bersembunyi dari orang yang menganiayanya dimana ia akan membunuhnya atau akan merampas hartanya, maka bagi orang yang ditanya tentang orang Islam tersebut wajib ia berdusta, misalnya dengan mengatakan “tidak tahu” walaupun sebenarnya ia mengetahuinya. Begitu pula apabila seseorang dititipi sesuatu kemudian ada seseorang yang bermaksud merampoknya, maka ia wajib berdusta.

Dari Ummu Kultsum i bahwasanya ia mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, “Tidaklah dinamakan berbohong , orang yang mendamaikan sengketa diantara manusia. Ia menyampaikan kebaikan atau mengucapkan perkataan yang mendatangkan kebaikan.” (H.R. Bukhari dan Muslim). Dalam riwayat Muslim terdapat tambahan, bahwasanya Ummu Kultsum i berkata, “Saya tidak pernah mendengar Rasulullah ﷺ memberikan kemurahan dalam masalah ucapan manusia (kaum muslimin), kecuali dalam tiga hal, yaitu dalam keadaan perang, mendamaikan sengketa manusia serta omongan lelaki kepada isterinya, dan omongan perempuan kepada suaminya.”

Kita sebagai orang Islam wajib menjaga lisan kita dari berkata dusta, baik itu berdusta dalam perkara besar maupun kecil kecuali pada perkara-perkara yang diperbolehkan seperti yang disebutkan dalam hadis di atas.

Penyusun:

Hendi Oktohiba

Alumni FIAI UII

Mutiara Hikmah

Al-Hasan al-Bashri mengatakan,

مِنَ النِّفَاقِ اِخْتِلاَفُ القَلْبِ وَاللِّسَانِ ، وَاخْتِلاَفُ السِّرِّ وَالعَلاَنِيَّةِ ، وَاخْتِلاَفُ الدُّخُوْلِ وَالخُرُوْجِ

Di antara tanda kemunafikan adalah berbeda antara hati dan lisan, berbeda antara sesuatu yang tersembunyi dan sesuatu yang nampak, berbeda antara yang masuk dan yang keluar.”

(Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam, 2: 490)

Download Buletin klik disini

Bahagia Dengan Bersyukur

Bahagia Dengan Bersyukur

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Pembaca yang dirahmati Allah ﷻ, setiap manusia tentunya menghendaki kehidupan yang bahagia. Tidak ada satupun dari kita yang menginginkan hidup penuh dengan kesedihan, kesulitan, gelisah, dan merasa tidak tentram. Standar dalam mengukur kebahagiaan dalam tiap individu pun beragam. Tidak jarang, sebagai manusia kita belum begitu faham akan ukuran kebahagiaan. Apalagi, kita hidup di dunia yang menyerukan ketidakpuasan.

Kerap kali, ada saja rasa kurang atau tidak ideal yang kita rasakan dalam kehidupan. Kita selalu membandingkan hidup kita dengan orang lain. Misal dari segi harta, keturunan, fisik, penampilan, pencapaian atau prestasi dan masih banyak lagi. Ya, memang tidak masalah jika dijadikan motivasi untuk bisa meraih lebih. Akan tetapi, jika kita membandingkan hanya dapat merusak kesehatan mental dan menghalangi kita untuk bersyukur atas nikmat-Nya, apakah baik?[1]

Padahal, jika kita mau merenungkan, banyak sekali nikmat yang telah Allah berikan kepada kita. Nikmat Islam, iman, sehat, keluarga dan lingkungan yang baik, dan masih banyak nikmat-nikmat lain yang tidak dapat kita hitung. Biasanya, awal dari ketidakbahagiaan hidup ialah karena kurangnya rasa syukur atas apa yang kita miliki, dan hal ini karena kita membandingkan hidup kita dengan orang lain.

Apakah dengan memiliki harta yang melimpah, keturunan yang banyak, pencapaian dan karir yang melejit merupakan standar kebahagiaan? Tentunya tidak menjamin, tidak sedikit orang yang bergelimang harta akan tetapi hidup masih diselimuti dengan kesedihan dan rasa kurang. Tidak sedikit orang yang karirnya melejit tetap merasa ada yang kurang dalam hidupnya. Lantas, sebenarnya dari mana bahagia itu didapatkan?[2]

Sejatinya, kebahagiaan bukanlah didapatkan, melainkan diciptakan. Bahagia diciptakan oleh hati dan fikiran yang terus bersyukur akan nikmat yang diberikan oleh-Nya. Allah ﷻ berfirman, “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih” (Q.S. Ibrahim [14]: 7).

Dibalik perintah bersyukur kepada Allah ﷻ, tentu mengindikasikan nilai-nilai yang juga memberi dampak baik kepada hamba-Nya. Jika kita sadari, hikmah dibalik perintah Allah ﷻ untuk senantiasa bersyukur, selain akan Allah tambahkan nikmat-Nya, ternyata hal ini juga berpengaruh kepada kesehatan mental kita. Sebenarnya apa yang dimaksud dengan bersyukur?

Makna Syukur

Secara bahasa, syukur berasal dari kata “syakara” yang memiliki arti pujian atas kebaikan dan penuhnya sesuatu. syukur juga berarti menampakkan sesuatu ke permukaan, yakni menampakkan nikmat Allah. Sedangkan menurut istilah syariat syukur merupakan pengakuan nikmat yang telah dikaruniai oleh Allah ﷻ sesuai dengan kehendak Allah ﷻ. Dalam studi Al-Qur’an syukur merupakan lawan dari kufur. Kufur dimaknai menutup diri, sedangkan syukur diartikan membuka atau mengakui diri.[3]

Menurut Ibnu Qoyyim, syukur berarti menunjukkan adanya nikmat yang Allah ﷻ berikan pada dirinya, dengan lisan berupa pujian kepada Allah, dengan hati melalui saksi dan cinta kepada Allah ﷻ, dan dengan anggota badan berupa ketaatan dan kepatuhan kepada Allah ﷻ.

Upaya untuk Bersyukur

Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa cara bersyukur kepada Allah ﷻ terdiri dari empat komponen, yakni:

  1. Syukur dengan hati

Menyadari sepenuhnya bahwa nikmat yang kita peroleh baik besar maupun kecil, banyak ataupun dikit semata-mata karena anugerah dan kemurahan Allah ﷻ merupakan upaya wujud bersyukur kepada Allah dengan hati. Allah berfirman dalam al-Qur’an surah an-Nahl ayat 53, “Segala nikmat yang ada pada kamu (berasal) dari Allah” (Q.S. an-Nahl [16]: 53)

  1. Syukur dengan lisan

Setiap nikmat yang dirasakan oleh manusia bersumber dari Allah ﷻ, serta dengan spontan kita mengucapkan Alhamdulillâh merupakan salah satu bentuk wujud syukur dengan lisan. Karena meskipun kita memperoleh nikmat dari seseorang, lisan kita tetap memuji Allah ﷻ. Sebab kita perlu yakin dan sadar bahwa orang tersebut hanyalah perantara yang Allah ﷻ kehendaki untuk “menyampaikan” nikmat itu kepadanya.

  1. Syukur dengan perbuatan

Syukur dengan perbuatan berarti bahwa seluruh nikmat dan kebaikan yang kita terima harus dipergunakan di jalan yang diridhai-Nya. Misalnya, untuk beribadah kepada Allah ﷻ, membantu orang lain dari kesulitan, dan perbuatan baik lainnya.

  1. Menjaga nikmat dari kerusakan

Ketika kita mendapatkan nikmat dan karunia, sebaiknya kita menggunakan nikmat dengan sebaik-baiknya. Kemudian berusaha untuk menjaga nikmat tersebut dari kerusakan. Misalnya, ketika kita dianugerahi kesehatan, selayaknya kita menjaga tubuh untuk tetap sehat dan bugar agar terhindar dari sakit. Begitu pula nikmat iman dan Islam, kita harus senantiasa memupuk iman dan Islam diantaranya dengan sholat, membaca al-Qur’an, menghadiri majelis-majelis taklim, berdzikir dan berdo’a.[4]

Selain itu, terdapat upaya agar menjadi hamba-Nya yang terus bersyukur salah satunya ialah dengan berdo’a memohon kepada Allah ﷻ seperti yang telah dilakukan oleh Nabi Sulaiman ketikan melihat pasukan semut yang menyambut pasukannya. Dikisahkan dalam al-Qur’an surat an-Naml ayat 6,  “Ya Tuhanku berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang soleh”. (Q.S. an-Naml [27]: 19)

Dengan berdo’a agar dimudahkan untuk bersyukur, kita bisa melihat apa yang sebelumnya belum tampak. Kita bisa menghargai apa yang ada dan bisa menemukan kenikmatan bahkan dari hal-hal yang selama ini terlihat begitu sederhana. Begitu banyak waktu yang kita habiskan untuk memikirkan apa yang kurang dan belum kita miliki, hingga kita lupa bagaimana untuk mensyukuri apa yang telah kita miliki selama ini.[5] “Bukan bahagia yang membuat kita bersyukur, tetapi rasa syukurlah yang membuat kita bahagia”. Semoga kita selalu menjadi hamba Allah yang pandai bersyukur dan bahagia di dunia maupun di akhirat. Âmîn.[]

Penyusun:

Ikke Pradima Sari

NIM: 17422171

Pendidikan Agama Islam FIAI UII

Marâji’

[1] https://republika.co.id/berita/mx5g4h/belajar-qanaah

[2] https://greatmind.id/article/bersyukur-dengan-merasa-cukup

[3] Choirul Mahfud/the Power of Syukur/Surabaya/LKAS/Jurnal Episteme Vo. 9 No.2 Desemner2013

[4] https://www.islampos.com/4-cara-bersyukur-pada-allah-swt-86327/

[5] https://muslim.or.id/30031-jadilah-hamba-allah-yang-bersyukur.html

Mutiara Hikmah

رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَىٰ وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَدْخِلْنِي بِرَحْمَتِكَ فِي عِبَادِكَ الصَّالِحِينَ

Ya Tuhanku berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang soleh”. (Q.S. an-Naml [27]: 19)

Download Buletin klik disini

Tidak Ada Paksaan Dalam Agama

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Pembaca budiman yang senantiasa dirahmati oleh Allah ﷻ, disebutkan dalam surat al-Baqarah ayat 256 Allahberfirman, “Tidak ada paksaan dalam memeluk agama. Sungguh telah jelas antara kebenaran dan kesesatan.(Q.S al-Baqarah[2]: 256)

Sebagian orang salah kaprah dalam menafsirkan ayat diatas sehingga berkesimpulan bahwa semua agama benar, dan Islam bukanlah satu-satunya agama yang benar hingga bermunculanlah istilah plularisme yang berpandangan bahwa semua agama adalah benar. Pandangan ini kian marak sehingga berbahaya jika ini merasuki jiwa kaum muslim.

Islam sebagai agama yang telah mengajarkan kepada ummatnya agar mengembalikan setiap permasalahan kepada ahlinya. Allah ﷻ  berfirman, “Bertanyalah kepada ahli ilmu jika engkau tidak tahu” (Q.S an-Nahl [16]: 43). Konsep tersebut tentu disetujui oleh banyak orang seperti halnya menanyakan obat suatu penyakit kepada dokter dan bukan kepada ahli matematika atau seorang teknisi lapangan.

Oleh karena itu marilah kita mencari hakikat makna surat al-Baqarah ayat 256 menurut para ahli tafsir. Seorang imam ahli tafsir yang terkemuka, Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya menjelaskan, “Para ulama berbeda pendapat tentang makna ayat ini dalam 6 pendapat:

  1. Ayat ini mansukh (dihapus) karena Nabi Muhammad ﷺ telah memaksa orang Arab untuk masuk Islam dan memerangi mereka.
  2. Ayat ini tidak mansukh (tidak dihapus), namun ayat ini ditujukan bagi ahli kitab saja.
  3. Berdasarkan yang diriwayatkan Abu Daud dari Ibnu Abbas, beliau berkata, “Ayat ini diturunkan kepada kaum Anshar. Ketika itu ada seorang wanita selama hidupnya tidak memiliki anak. Ia berjanji pada dirinya, jika ia memiliki anak, anak tersebut akan dijadikan beragama Yahudi. Sampai suatu ketika datanglah Bani Nadhir yang juga membawa beberapa anak dari kaum Anshar bersama mereka. Kaum Anshar berkata, “Kemudian terjadilah apa yang telah terjadi. Ketika itu kami (kaum Anshar) memandang agama yang mereka bawa (Yahudi) lebih baik. Namun ketika kami masuk Islam, kami ingin memaksa anak-anak kami”. Kemudian turunlah ayat ini. Ini adalah pendapat Sa’id bin Jubair, Asy Sya’bi dan Mujahid.
  4. As Sudiy berkata, “Ayat ini turun kepada seorang lelaki kaum Anshar yang bernama Abul Husain yang memiliki dua orang anak. Ketika itu datang para pedagang dari Syam yang membawa biji-bijian. Ketika mereka hendak pergi dari Madinah, mereka mengajak dua anak Abul Husain untuk memeluk agama Nashrani. Mereka berdua pun akhirnya menjadi Nashrani dan ikut para pedagang tersebut ke Syam. Maka Abul Husain pun datang kepada Rasulullah ﷺ sambil menangis dan memohon kepada Rasulullah ﷺ agar mengutus seseorang untuk mengambil mereka berdua. Lalu turunlah ayat ini.”
  5. Makna ayat ini, “Orang yang masuk Islam karena kalah perang tidak boleh mengatakan bahwa ia dipaksa masuk Islam”
  6. Ayat ini turun bagi tawanan yang berasal dari golongan ahli kitab yang sudah tua. Karena tawanan yang berasal dari golongan Majusi dan penyembah berhala, semua dipaksa masuk Islam baik yang tua maupun yang muda. Ini pendapat Asyhab.”

Pembaca budiman yang senantiasa dirahmati oleh Allah ﷻ,  toleransi biasanya hadir dalam kebebasan beragama. Bebas berarti merdeka, tidak terikat, tidak terpaksa dan dapat melakukan keinginannya. Sedangkan beragama adalah memeluk agama atau keyakinan tertentu. Dari pengertian ini, maka kebebasan beragama dapat diartikan sebagai suatu sikap yang tidak terikat atau merdeka untuk memeluk suatu agama atau keyakinan yang diinginkan. Hal ini tentu juga sesuai dengan ayat di atas yang menegaskan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama khususnya untuk memeluk agama Islam. Akan tetapi bukan berarti bermakna bahwa semua agama adalah benar.

Ibnu Katsir menyatakan, “Tidak ada yang dipaksa untuk memeluk agama Islam karena telah jelas dan tegas tanda dan bukti kebenaran Islam sehingga tidak perlu lagi memaksa seseorang untuk memeluk agama Islam. Orang yang diberi hidayah oleh Allah ﷻ untuk menerima Islam, lapang dadanya dan dicerahkan pandangannya sehinga ia memeluk Islam dengan alasan yang pasti. Namun orang yang hatinya dibutakan oleh Allah ﷻ dan ditutup hati serta pandangannya, tidak ada manfaatnya memaksa mereka untuk masuk islam” (Tafsir Ibnu Katsir.)

Dalam hadits yang diriwayatkan dalam Sunan Abi Daud kitab al-Jihad bab al-Asir Yukrahu ‘ala al-Islam menerangkan bahwa setiap pemeluk agama memiliki hak yang sama untuk memeluk dan melaksanakan ajaran agamanya masing-masing tanpa ada tekanan dan paksaan dari manapun. Hadist di atas memberi penjelasan kepada umat Muslim untuk menghargai dan menghormati setiap pemeluk agama meskipun berbeda. Hubungan antara sesama manusia (habl min al-nas) tidak dipandang dar perbedaan agama.

Lalu apa pandangan dari kaum yang memandang semua agama benar dan apa kata mereka. Menurut mereka semua agama itu benar asalkan berserah diri kepada Tuhan, tidak melukai hati sesama manusia, saling menghormati dan tidak fanatik. Hal ini terdengar sangat terpuji dan menyentuh relung hati, akan tetapi hal ini adalah jebakan. Sebagai mana sabda Rasulullah ﷺ, “Islam itu engkau bersaksi bahwa sesungguhnya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan sesungguhnya Muhammad itu utusan Allah ﷻ, engkau mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan dan mengerjakan ibadah haji ke Baitullah jika engkau mampu melakukannya” (H.R. Muslim no.8).

Kelemahan dari pandangan pluralis adalah tidak bisa mendefinisikan Tuhan sesembahannya itu siapa sebagaimana yang kita tahu bahwa Islam menganut tuhan tunggal yaitu Allah ﷻ, di agama Nashrani mengenal 3 tuhan, dan tentu di agama lain dengan tuhan yang berbeda yang mana jelas tuhan-tuhan itu berbeda di setiap agama. Dari segi peribadatan juga berbeda, kaum yang percaya bahwa disuatu tempat terdapat tuhan tertentu akan membakar dupa dan membaca beberapa kalimat mantra sedangkan di agama Nashrani peribadatannya dilaksanakan di hari minggu dan agama Islam sendiri melaksanakan ibadah sebanyak lima kali dalam sehari sehingga terdapat karakteristik berbeda dari perbedaan agama.

Allah ﷻ berfirman, “Agama yang diridhai oleh Allah adalah Islam”(Q.S. Ali Imran [3]: 19).  Allah ﷻ juga berfirman, “Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi”(Q.S Ali Imran [3] : 85).

Maka sudah jelaslah dari beberapa ayat al-Qur’an yang menjelaskan bahwa hanya agama Islamlah yang diridhai oleh Allah ﷻ. Islam adalah agama yang tidak memaksa orang lain untuk masuk dalam agama Islam. Akan tetapi untuk menyerukan kebenaran, agama yang haq, untuk mengakui bahwa pencipta langit, bumi dan isinya adalah Allah ﷻ, sehingga dengan keimanan yang kuat akan terbentuk akhlak karimah karena takwa kepada Allah ﷻ semata, sesuai dengan hadits Nabi ﷺ, “Aku tidak diutus, kecuali untuk menyempurnakan akhlak mulia”.

Kesimpulannya adalah jelas bahwa tidak memaksa orang kafir untuk memeluk Islam bukan berarti ridha terhadap kekafiran mereka, bukan membenarkan semua agama yang ada, dan bukan menghilangkan status ‘kafir’ dari diri mereka. Wallahu a’lam bisshawâb

Marâji’

Mulyosudarmo, S. (1999). Kebebasan Beragama dalam perspektif HAM, dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (Ed.)

Supriatna, E. (2019). Islam dan Kebudayaan (Tinjauan Penetrasi Budaya antara Ajaran Islam dan Budaya Lokal/Daerah). Jurnal Soshum Insentif, 2(2), hal.282-287

https://muslim.or.id/1851-tafsir-ayat-laa-ikraha-fiddiin.html

https://konsultasisyariah.com/34449-makna-ayat-laa-ikraaha-fid-diin-tidak-ada-paksaan-masuk-agama-islam.html

Penyusun:

Fatkhur Rohman Khakiki

Teknik Kimia

Fakultas Teknologi Industri UII

Mutiara Hikmah

Imam Syafi’i v berkata,

لَيْسَ العِلْمُ مَا حُفِظَ ، إِنَّمَا العِلْمُ مَا نَفَعَ

Ilmu bukanlah apa yang dihafaal, akan tetapi yang bermanfaat

Download Buletin klik disini

Khauf atau Raja’

Bismillâhi walhamdulillâh wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Setiap orang yang hidup di dunia tak dapat lepas dari segala rasa yang berkecamuk di dalam hatinya. Rasa bahagia, gembira, susah, senang, takut, khawatir, berani, berharap, dan semua rasa yang bersemayam dalam hati manusia yang hidup dan tinggal di dunia. Segala macam rasa tersebut dapat dengan seketika mengubah hidup manusia karena rasa tersebut dapat tetiba menggairahkan kehidupan dan begitu sebaliknya dapat menghancurkan kehidupan.

Bagaimana kita menyikapi rasa tersebut adalah bagian dari pilihan hidup kita. Layaknya kaum milenial yang memilih belajar di tanah rantau yang jauh dari keluarga atau tetap tinggal di kotanya dan dengan ilmu dan pengalaman yang hanya ada di kotanya saja. Antara berharap akan banyak ilmu yang dituai karena belajar di kota atau takut dengan segala apa yang akan terjadi ketika meninggalkan tempat tinggal dan tetap merantau tanpa ada sanak saudara satu pun. Berkecamuk menentukan pilihan adalah hal yang wajar, namun berlarut di antara dua rasa yaitu rasa takut dan rasa harap adalah kesia-sian, Lalu mana yang lebih dahulu, takut atau berharap?

Takut (khauf) dan harapan (raja’) adalah dua hal yang berkebalikan dalam konotasi. Takut berkonotasi negatif dan harapan berkonotasi positif. Meski berkebalikan dalam konotasi, bukan berarti berkonotasi positif itu lebih baik dan yang berkonotasi negatif tidak dapat lebih baik. Ibarat orang yang sedang lapar pasti tidak membutuhkan air, dan orang yang sedang haus tidak membutuhkan roti.

Sama halnya kaum milenial yang sedang menentukan pilihan, antara melanjutkan pendidikan di tanah rantau atau tetap di kotanya. Jika yang lebih dibutuhkan adalah ilmu kedokteran dan di kotanya tidak ada tempat untuk mencari ilmu tersebut, maka kota rantau dapat menjadi solusi yang tepat. Berbeda halnya jika ternyata orang tuanya tinggal sendiri dan tak mau ditinggalkan karena takut hidup sendiri, maka tetap menetap dan menuntut ilmu di kotanya bisa jadi adalah solusi yang tepat. Takut meninggalkan orang tua dan harapan dapat mencari ilmu kedokteran di kota rantau adalah dua sisi yang berbeda, namun sama-sama solusi untuk mengobati. Mengobati hati yang bimbang antara dua pilihan dan dua konsekuensi kehidupan. Meski milenial yang meninggalkan kota rantau tak ada jaminan terhindar dari rasa takut dan yang tetap tinggal terhindar dari rasa harap. Takut akan kehidupan rantau yang tak dapat diprediksi karena belum dijalani dan yang tetap tinggal tak ada jaminan mimiliki harapan akan pengalaman hidup sebanyak yang tinggal di kota rantau.

Dapat ditarik kesimpulan, bahwa takut dan harapan adalah saling berbarengan dan mustahil dipisahkan antara yang satu dari yang lainnya. Seperti dalam firman Allah ﷻ, “Mengapa kamu tidak berharap (takut) akan kebesaran Allah. (Q.S. Nuh [71]: 13). Dalam ayat tersebut kata “harap” berarti takut, beberapa dalam al-Qur’an ketika menyebutkan harapan tetapi maknanya adalah takut. Ini membuktikan bahwa takut dan harapan adalah bergan dengan. Maka jelas tak ada yang lebih diutamakan atau didahulukan antara takut dan harapan. Keduanya bergandengan tak dapat dipisahkan, keduanya berpotensi membuat manusia menangis, menangis karena hati merasa sangat takut atau menangis karena hati sangat berharap.

Dari kalimat tersebut, maka dapat dikatakan bahwa semua yang berkaitan dengan menangis adalah karena takut pada sesuatu adalah bukti kita sangat berharap akan sesuatu, karena menangis adalah buah dari harapan. Sama halnya kita menangis karena sangat takut akan harapan kita tidak Allah kabulkan, maka artinya kita sangat berharap sesuatu tersebut akan Allah kabulkan dan terjadi sesuai dengan kehendak kita (manusia).

Terlepas dari mana yang lebih diutamakan atara takut dan harapan.Dalam Islam takut (khauf) adalah mendorong untuk beramal, mengeruhkan syahwat-syahwat, mengingatkan hati dari bersandar pada dunia, mengajaknya untuk menjauh dari dunia yang penuh dengan tipuan. Inilah takut yang terpuji bukan takut karena nafsu dunia, dan bukan pula putus asa yang menyebabkan hilangnya harapan.Takut berbeda dengan putus asa, takut adalah penuh harap sedangkan putus asa adalah tak ada harap. Maka seseorang yang takut adalah orang yang senantiasa semangat untuk mewujudkan harapan, sedangkan orang yang putus asa adalah orang yang sudah pasrah dengan ketidakberdayaan diri dan memutus semangat akan mewujudkan harapan agar dapat terwujud.

Harapan (raja’) dan cinta, seseorang yang memiliki harapan akan melakukan semua hal yang dapat mewujudkan harapannya dengan cinta. Jika harapanmu tak ingin disebut harapan kosong maka harapanmu harus dibarengi dengan cinta. Harapan yang dilakukan dengan cinta akan menumbuhkan semangat mewujudkan. Dapat dikatakan, jika kita memiliki harapan, maka kita terhindar dari sikap shu’udzon (prasangka buruk), namun senantiasa terjaga dalam husnudzon (prasangka baik).

Berharap Allah ﷻ akan mengabulkan semua yang menjadi keinginan hati adalah bentuk husnudzon kita pada Allah ﷻ, hingga ada sebuah kisah dari Ahmad bin Hanbal yang berkata kepada anaknya ketika beliau menghadapi kematian “sebutkanlah untukku berita-berita tentang harapan dan husnudzon.” Maksud dari perkataan Ahmad bin Hanbal adalah agar Allah ﷻ lebih dicintai dari pada dirinya sendiri. Ketika kita memiliki harapan adalah bukan karena harapan dunia semata, namun harapan-harapan kita tertuju pada Allah ﷻ juga, karena harapan menimbulkan ketenangan hati dalam menanti apa yang ia senangi dan sukai. Akan tetapi apa yang disenangi atau disukai harus mempunyai sebab, sebab karena Allah ﷻ. Maka dapat dikatakan harapan ini baik, namun jika harapan kita disertai dengan kerusakan, maka harapan kita adalah bentuk kedunguan dan ketertipuan.

Dunia adalah tempat singgah, maka jangan sampai kita tertipu dengan dunia yang sementara. Allah ﷻ berfirman, “Kehidupan dunia adalah kesenangan yang menipu” (Q.S. Ali Imran [3] : 185). Dunia adalah kesenangan yang menipu, berlomba-lomba dalam kebaikan untuk beramal shalih adalah bekal untuk meraih kebahagiaan akhirat yang kekal.

Dari Ibnu Umar k Rasulullah ﷺ berkata “Jadilah engkau di dunia ini seakan-akan orang asing”, agar kita tak terlalu memikirkan dunia hingga semua takut dan harapan kita hanya karena dunia.Orang asing adalah orang yang tak mengenal jelas apa yang sedang kita lewati, ia hanya melihat indah yang sekilas dan tak berani terlarut dalam keindahan karena hanyalah sebagai orang asing. Selayaknya kita pada dunia dan segala isinya, kita hanya orang yang singgah dalam perjalanan dan menjadi orang asing, maka mengambil bekal sekedarnya agar dapat melanjutkan perjalanan, perjalanan ke negeri bernama akhirat.

Milenial yang memilih merantau atau milenial yang memilih untuk tetap tinggal di kotanya sembari menemani orang tua dan tetap menuntut ilmu adalah pilihan kehidupan dunia. Meski diantara pilihan tersebut selalu ada harapan dan rasa takut, karena takut dan harapan adalah tak dapat dipisahkan. Bagi yang merantau mencari ilmu akan selalu ada harapan bahwa akan menuai ilmu dan pengalaman yang tak didapatkan jika ia tidak merantau, begitu juga ada rasa takut karena tak dapat terus membersamai orang tuanya.

Berbeda dengan yang memilih menetap dan menuntut ilmu di kota tempat tinggalnya, pasti ada rasa takut dan rasa harap bahwa ia akan mendaptkan ilmu yang juga banyak sebanyak teman yang merantau. Tak dapat dikatakan bahwa milenial yang merantau lebih baik dari yang tidak merantau, begitu sebaliknya. Semuanya sesuai dengan kebutuhan masing-masing, sesuai kadarnya dan ketika semua dijalani karena Allah semoga kebaikan yang akan kita dapatkan. Khauf dan raja’ tak dapat dipisahkan, semoga segala sesuatu yang menjadi pilihan hidup mengandung keduanya, sebagai pengingat kita bahwa takut (khauf) dan harap (raja’) hanyalah kepada Allah.[]

Penyusun:

Wiwi Dwi Daniyarti

Alumni Magister Pendidikan Islam

Universitas Islam Indonesia

Maraji’

  1. Sa’idTazkiyatun Nafs.Solo:Era Adicitra Intermedia.2016 M.Cet.k-2.hal.406-417.
  2. http://www.islampos.com/jadilah-anda-orang-asing-dan-musafir-di-dunia-136404/

Mutiara Hikmah

Allah ﷻ berfirman,

يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا

 “Mereka berdoa kepada Tuhan mereka dengan harap dan takut”

(Q.S. As-Sajdah [32] : 16)

Download Buletin klik disini

Manajemen Waktu: Untuk Hidup Yang Lebih Baik

Bismillâhi walhamdulillâh wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Setiap dari kita memiliki 24 jam yang sama dalam sehari semalam untuk bisa digunakan dengan tepat dan efisien sesuai dengan kebutuhan masing-masing individu. Hanya saja tak sedikit yang memahami dan menggunakan waktu yang dimiliki dengan sebaik-baiknya. Manajemen waktu merupakan sebuah guideline atau panduan cara menggunakan terhadap berapa banyak waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan sebuah kegiatan atau aktivitas. Pengelolaan waktu yang baik dapat membantu meningkatkan kinerja dan karier individu, pengorganisasian setiap kegiatan dapat membantu menyelesaikan sebuah pekerjaan tepat waktu .

Waktu merupakan salah satu dari nikmat tertinggi yang diberikan Allah ﷻ kepada hamba-Nya. Dengan demikian, sudah sepantasnya waktu dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk menjalankan tugas sebagai makhluk Allah ﷻ di muka bumi ini. Bukankah Allah telah bersumpah dengan waktu, yang disebutkan dalam beberapa permulaan surat dengan menggunakan fase tertentu, seperti dalam surat al-Lail ayat 1-2 “Demi malam apabila menutupi (cahaya siang), dan siang apabila terang benderang)”. (Q.S. al-Lail [92]: 1-2)  Begitu pula pada surat al-Ashr ayat 1-3 “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran”. (Q.S. al-Ashri [103]: 1-3)[1]

Kata al-‘ashr terambil dari kata ‘ashara yang artinya menekan sesuatu sehingga apa yang terdapat pada bagian terdalam dari padanya nampak ke permukaan atau keluar. Pada surat al-Ashr Allah ﷻ bersumpah demi waktu dengan kata Ashr-bukan selainnya- untuk menyatakan bahwa demi waktu (masa) dimana manusia mencapai hasil setelah meremas tenaga nya, sesungguhnya ia merugi. Kecuali orang orang yang mendekatkan diri kepada sang pemberi waktu.[2]

Ayat diatas menjelaskan bahwa manusia benar-benar dalam kerugian apabila tidak mengoptimalkan penggunaan waktu untuk melakukan kegiatan-kegiatan baik. Seorang muslim memiliki kewajiban untuk mengelola waktu dengan baik. Ajaran Islam menganggap pemahaman terhadap hakikat menghargai waktu merupakan salah satu indikasi keimanan dan bukti ketaqwaan seseorag, seperti dalam firman Allah ﷻ dalam surat al-Furqan ayat 62 yang artinya. “Dan Dia (pula) yang menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin mengambil pelajaran atau orang yang ingin bersyukur (Q.S. al-Furqan [25]: 62)

Manusaia akan tetap berada dalam keugian kecuali orang orang yang memiliki empat kualifikasi dalam haidupnya, yakni iman, amal shalih, nasihat menasihati dalam kebenaran, dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran[3]

Sebagai seorang muslim, haruslah pandai dalam mengatur waktu untuk dapat melakukan amalan-amalan shalih baik secara vertikal maupun horizontal. Secara vertikal berarti langsung kepada sang khalik, menjadikan dirinya seorang ahli ibadah, puasa, serta taqarrub ilallah. Dan secara horizontal berarti mu’amalah ma’annas, menunaikkan dakwah di lingkungan masyarakat, bekerja, dll.

Waktu luang adalah salah satu nikmat yang sering dilalaikan oleh manusia, padahal Rasulullah ﷺ telah bersabda, “Gunakanlah lima perkara sebelum datang yang lima:masa mudamu sebelum datang masa tuamu, masa sehatmu sebelum datang masa sakitmu, waktu kayamu sebelum datang masa miskinmu, waktu luangmu sebelum datang masa sibukmu, dan masa hidupmu sebelum datang ajalmu”(H.R Hakim dishahihkan oleh Al-Albani)

Tips Untuk Hidup Lebih Baik

Berikut beberapa tips agar hidup lebih baik dan agar tidak menjadi orang yang merugi

  1. Hilangkan kebiasaan menunda-nunda!

Perbuatan suka menunda merupakan tindakan yang kurang baik, namun bila menunda pekerjaan guna melakukan suatu kewajiban kepada Allah maka hal tersebut diperbolehkan. Jangan sering menunda nunda sesuatu, terlebih jika yang ditunda adalah ibadah dan amalah baik lainnya, karena dikhawatirkan usia tidak sampai pada menit selanjutnya. Bukankah tidak ada yang tahu kapan Allah akan memanggil hambaNya untuk kembali?

  1. Dahulukan yang wajib

Allah menyukai dan mencintai hambanya yang bertakwa kepadaNya, untuk menjadi orang yang tidak merugi, alangkah baiknya mendahulukan sesuatu yang diwajibkan bagi umat muslim. Apabila amalan wajib telah dipenuhi, barulah mengerjakan amalan amalan sunnah dan mubah yang memberikan manfaat dan mendatangkan kebaikan.

  1. Selesaikan pekerjaan tepat waktu

Jika memiliki sebuah aktivitas atau pekerjaan yang dapat diselesaikan pada waktu yang telah ditentukan, maka hendaklah segera diselesaikan dan tidak mengulur ulur waktu supaya pekerjaan lain dapat terselesaikan juga

  1. Membuat batasan waktu

Untuk mengatur waktu agar tidak sia sia, sebaiknya membuat batasan waktu dari setiap kegiatan. Misalnya belajar dari jam sekian sampai jam sekian, shalat sekian jam, tidur sekian jam, dan lain sebagainya.

  1. Meninggalkan aktvitas yang tidak bermanfaat

Dari Abu Hurairah berkata bahwa :di antara kebaikan islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat baginya” (HR. Tirmidzi). Dalam hadits tersebut disebutkan bahwa seorang muslim dianjurkan untuk meninggalkan hal hal yang tidak bermanfaat, misalnya menonton tv berlebihan, bermain ponsel seharian, dll. Kebiasaan tersebut sebaiknya dikurangi karena masih banyak hal bermanfaat lainnya yang dapat dilakukan.

  1. Membuat jadwal kegiatan

Agar waktu dapat digunakan dengan baik dan terisi hal hal yang bermanfaat, hendaklah membuat jadwal kegiatan tentang hal apa saja yang akan dilakukan.

  1. Jangan terjebak dengan masa lalu

Jika seseorang ingin menjadi pribadi yang lebih baik, hendaklah selalu berjalan ke depan. Silahkan menengok kembali masa lalu jika untuk mengambil pelajaran dan hikmah dari sebuah kejadian yang telah dialami.

  1. Fokus pada tujuan

Banyak goal yang mungkin sudah ditetapkan sejak dini, namun jangan langsung berfokus pada semua tujuan, fokuslah pada satu tujuan supaya apa yang telah didapatkan tidak terlepas, dan waktu tidak terbuang sia sia.

  1. Niat untuk berubah menjadi yang lebih baik

Innamal a’mâlu binniyyah” segala sesuatu yang dikerjakaan pasti bergantu pada niat. Niat merupakan hal terpenting sebelum melakukan sesuatu, apabila tidak ada niat untuk berubah, maka bagaimana bisa seseorang mengatur waktunya untuk menjalankan hal hal yang bermanfaat?

Jadi, sebagai seorang muslim hendaklah senantiasa mempergunakan waktu dengan sebaik-baiknya agar kelak tidak masuk ke dalam golongan orang orang yang merugi.

Penyusun:

Nurul Kharismawati

NIM 17423137

Pendidikan Agama Islam

Mutiara Hikmah

Dari Abu Hurairah, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda,

مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ

Di antara kebaikan islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat.” (H.R. Tirmidzi, no. 2317; Ibnu Majah, no. 3976)

[1] Yusuf Al-Qardhawi, Al Waqtu fi Hayati al-Muslim terj Ali Imron, Waktu adalah kehidupan (Yogyakarta, Mardhiyah press, 2005) hal. 1

[2] Mohammad Zahid, Makna dan Pesan Penguat Sumpah Allah Dalam Surat-Surat Pendek, dalam jurnal Nuansa  vol 8, no.01, 2011, hal. 42

[3] Ibrahin al-Huwaimil, silsilah manahij Dawrat asy-syariah at-Tafsir fi ah an-Nasyiah hal. 462-463

Download Buletin klik disini

5 Kenikmatan Masuk Surga

Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah syurga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadanya. yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.” (Q.S. al-Bayyinah [98]: 8)

Saudaraku seiman, sering kita dalam kehidupan ini merasakan rasanya kekurangan dalam hidup dan kita dituntut untuk selalu bersyukur atas apa yang telah kita terima, dan memang hal itu wajib kita lakukan. Allah ﷻ memberikan kekurangan tersebut agar kita sadar bahwa kita masih membutuhkan-Nya dan tanda bahwa kita hanya bergantung kepada Tuhan Yang Maha Pengasih.

Ketika kita bekerja, merasakan lelah di cuaca yang panas dan ingin sekali minum minuman yang segar dengan buah-buahan yang manis merupakan sebuah kenikmatan yang mungkin pada saat itu dibayangan kita adalah hal yang paling nikmat. Ketika pakaian yang kita gunakan sudah usang, pasti ingin sekali mengganti pakaian tersebut agar terlihat lebih elegan. Hal tersebut walaupun sebuah kekurangan tetapi harus kita syukuri pemberian dari Allah ﷻ.

Namun tahukah kamu bahwa itu hanya di dunia saja, dan bagi orang-orang beriman dan beramal shalih maka mereka akan bersabar dalam menghadapinya. Bagi orang-orang beriman dan beramal shalih, setelah melewati gerbang kematian mereka akan mendapatkan balasan-balasan yang sangat diinginkan bahkan tidak dapat dibayangkan sebelumnya berupa kenikmatan surga. Tahukah kamu apa saja kenikmatan surga yang dijanjikan Allah ﷻ tersebut? Mari simak setidaknya ada 5 keutamaan surga yaitu:

  1. Sungai-Sungai yang Mengalir.

“…Tajrī min taḥtihal anhār, arti dari ayat tersebut kurang lebih adalah “…sungai-sungai yang mengalir di bawahnya…”

Buya Hamka dalam Tafsir al-Azhar menjelaskan bahwa kalimat tajrī min taḥtihal anhār merupakan lambang kiasan dari kesejukan yang membawa ketentraman, nikmat tentramnya tidak akan pernah kering[1].

Sungai yang disajikan oleh Allah ﷻ di surga nanti tidak akan pernah bisa dibayangkan oleh manusia, sebab dalam al-Qur’an Surat Muhammad [47]:15, Allah ﷻ akan memberikan pertama yaitu air sungai yang tidak akan berubah rasanya dan akan tetap segar, kemudian yang kedua sungai yang mana mengalir air susu, dan ketiga sungai yang mengalir berupa madu. Untuk yang alergi susu dan madu dijamin tetap bisa meminum air tersebut sepuas mungkin dan tidak akan pernah bosan.

  1. Buah-buahan dan Makanan yang Lezat.

Surga menawarkan air segar yang mengalir dan si peminum tidak akan merasakan bosan meminumnya. Dalam al-Qur’an surat Muhammad [47]:15, selain minuman yang segar juga lezat, di surga juga terdapat buah-buahan yang beragam. Tidak bisa dibayangkan pada saat ini bagaimana rasa dan harumnya buah di surga, walaupun rupanya sama dengan buah yang ada di dunia harumnya sangat menyengat hingga ingin sekali memakannya sedangkan rasanya jauh beda lezatnya dengan yang ada di dunia[2].

  1. Berbagai Macam Perhiasan yang Digunakan.

Pakaian yang saat ini kita syukuri keadaannya akan digantikan oleh Allah ﷻ dengan kain-kain dari sutra, dengan berbagai macam perhiasan yang diberikan[3]. Bahkan apabila anak yang dirawatnya menjadi seorang hafizh, dijanjikan oleh Allah ﷻ dia sebagai orang tua yang baik akan dikenakan pakaian terbaik di surga.

Bukan cuma pakaian dan perhiasan yang digunakan, tetapi juga tempat makan yang disediakan oleh Allah ﷻ untuk orang-orang yang beriman terbuat dari bahan-bahan yang tidak mungkin digunakan oleh kita di dunia ini. Pernahkah membayangkan tempat makan dari emas, perak, intan permata atau berlian dijadikan sebagai wadah makan? Itulah bagaimana istimewanya bagi orang yang dimasukan ke surganya Allah ﷻ.

  1. Melihat Wajah Allah .

Siapa yang tidak senang melihat wajah kekasihnya, kekasih bukan sembarang kekasih tetapi kekasih yang ”selalu” mengasihi. Kasih-Nya meliputi seluruh alam, kasih-Nya tidak terkira. Melihat wajah Sang Kekasih membuat mata kita syahdu sehingga kita hanya bisa terpana haru, senang semua tercampur aduk.

Mari kita renungkan hadits berikut, “Dari Suhaib, Rasulullah ﷺ membacakan ayat, “Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik dan tambahannya.” (Q.S. Yūnus[10]:26). Lalu bersabda, “Apabila penduduk surga telah masuk surga, dan penduduk neraka telah masuk neraka, maka ada malaikat yang berseru, “Hai penduduk surga, kamu akan memperolah apa yang akan dijanjikan oleh Allah dan hendak menepatinya kepadamu.” Mereka berkata, “Apakah itu? Bukankah Allah telah memberatkan timbangan kami, memutihkan wajah kami, memasukan kami ke surga dan menyelamatkan kami dari neraka?” Lalu tabir dibukakan, maka mereka melihat Allah. Mereka tidak diberikan sesuatu yang lebih mereka cintai daripada melihat-Nya. Itulah yang dimaksud dengan tambahan” (H.R. Muslim)[4].

  1. Bidadari Surga

Mungkin saat ini kita tidak dirindukan oleh penduduk bumi, tetapi semoga atas amal shalih yang kita perbuat maka kita bisa jadi sedang dirindukan penduduk langit. Bidadari surga merupakan salah satu penduduk langit. Disebutkan dalam al-Qur’an surat Ar-Rahman[55]: 56, bidadari surga belum pernah disentuh baik oleh manusia maupun oleh kalangan jin, matanya juga terbatas sudut pandangnya. Dalam tafsir bidadari yang dimaksud merupakan gadis-gadis perawan yang tersedia hanya untuk orang-orang yang senantiasa menahan hawa nafsunya saat di dunia sehingga balasannya berupa bidadari yang matanya tidak genit dan belum pernah disentuh sama sekali oleh kalangan manusia maupun jin[5].

Saudaraku seiman. Alangkah besarnya nikmat Allah ﷻ yang diberikan baik di dunia maupun di akhirat. Kesempatan yang dapat ditulis merupakan hanya sebagian kecil kenikmatan yang diberikan di surga nanti. Allah ﷻ Maha Luas karunia-Nya dan Allah ﷻ Maha Luas kasih sayang-Nya sehingga betapa ruginya kita dikala setelah melewati masa kehidupan ini kita tidak mendapatkan kenikmatan surga sedikitpun. Jangan harap saya menuliskan kenikmatan neraka karena tidak ada nikmatnya sama sekali masuk neraka. Semoga penulis dan pembaca bisa dipertemukan di surganya Allah ﷻ. Âmîn!

Penyusun:

Arviyan Wisnu Wijanarko

Alumni Ahwal Syakhshiyyah Fiai UII

Marâji’

[1] Buya Hamka. Tafsir Al-Azhar Jilid 9.Depok: Gema Insani. 2015 M. Cet.k-1. hal. 639.

[2] Buya Hamka. Tafsir Al-Azhar Jilid 10.Depok: Gema Insani. 2015 M. Cet.k-1. hal. 337.

[3] Nashih Nasrullah. Begini Gambaran Surga Yang Diabadikan Dalam Alquran. 2020 M. https://republika.co.id/berita/q96hrz320/begini-gambaran-surga-yang-diabadikan-dalam-alquran

[4] Muhammad Idrus Ramli. Akidah Ahlussunnah Wal-Jamaah, Penjelasan Sifat 50. Ponpes Al-Hujjah: Al-Hujjah Press. hal. 202-203

[5] Buya Hamka. Tafsir Al-Azhar Jilid 10.Depok: Gema Insani. 2015 M. Cet.k-1. hal. 616-620.

Mutiara Hikmah

Rasulullah ﷺ bersabda,

وَلَدُ آدَمَ كُلُّهُمْ تَحْتَ لِوَائِيْ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ، وَأَنَا أَوَّلُ مَنْ يُفتَحُ لَهُ بَابُ الَجنَّةِ

Dari Hudzaifah ia berkata, telah bersabda Rasulullah ﷺ, “Semua anak Adam di bawah benderaku/panjiku kelak di hari kiamat. Dan aku adalah orang yang pertama kali dibukakan pintu surga” (Shahîhul-Jâmi’ no. 6995)

Download Buletin klik disini