BIOGRAFI ABU HURAIRAH

Abu Hurairah dilahirkan tahun 19 sebelum Hijriyah. Nama Beliau sebelum memeluk Islam tidaklah diketahui dengan jelas, tetapi pendapat yang masyhur adalah Abdusy Syam. Sedangkan nama Islam nya yaitu Abdur-Rahman. Beliau berasal dari qabilah Al-dusi di Yaman. Beliau memeluk Islam pada tahun ke 7 Hijriyah ketika Rasulullah Berangkat menuju Khaibar. Ketika itu, ibunya belum menerima Islam bahkan menghina Rasulullah. Abu Hurairamenemui Rasulullah, meminta beliau berdo’a agar ibunya masuk Islam. Kemudian Abu Hurairah kembali menemui ibunya lalu mengajaknya masuk Islam. Ternyata ibunya telah berubah pikiran dan bersedia masuk Islam.

Setelah pulang dari Perang Khaibar, Rasulullah ingin memperluas masjid Nabawi ke arah barat dengan menambah ruang sebanyak tiga tiang lagi. Ketika Rasulullah mengangkat batu untuk pondasi tiang, Abu hurairah langsung meminta agar beliau menyerahkan batu tersebut tetapi Rasulullah menolak dan berkata “Tiada kehidupan sebenarnya melainkan kehidupan akhirat”.

Abu Hurairah sangat mencintai Rasulullah sehingga siapun yang Rasullah cintai, maka iapun ikut mencintainya. Misalnya, Abu Huraira suka menciumi Hasan dan Husein karena beliau melihat Rasulullah suka menciumi kedua cucunya. Beliau diberi gelar dengan nama “Abu Hurairah“ karena kegemarannya bermain dengan anak kucing. Diceritakan pada suatu hari ketika Abu Hurairah bertemu Rasulullah, beliau bertanya pada Abu Hurairah tentang apa yang ada di dalam lengan bajunya, lalu Abu Hurairah memperlihatkan bahwa di dalam lengan bajunya ada seekor anak kucing. Setelah itu beliau diberi gelar oleh Rasulullah` dengan nama “Abu Hurairah” dan semenjak itu beliau lebih suka di panggil nama gelar tersebut.

Abu Hurairaha pindah ke Madinah untuk bekerja. Disana, beliau bekerja sebagai pekerja kasar atau kita lebih sering sebut dengan buruh. Beliau sering mengikatkan batu di perutnya untuk menahan rasa lapar, Diceritakan bahwa beliau berbaring menghampar di mimbar masjid sehingga orang-orang menyangka beliau sudah tidak waras lagi. Ketika Rasulullah` mendengar kabar tersebut, beliau langsung menemui Abu Hurairah dan menjelaskan kepada orang-orang bahwa Abu Hurairah berbuat seperti itu karena lapar. Lalu Rasulullah memberinya makanan.

Abu Hurairaha adalah sahabat yang sangat dekat dengan Rasulullah. Beliau dikenal sebagai salah satu ahli shuffah, yaitu orang- orang miskin atau sedang menuntut ilmu yang tinggal di halaman masjid. Pada suatu hari beliau duduk di pinggir jalan dimana orang-orang berlalu-lalang. Waktu itu beliau melihat Abu Bakara berjalan, lalu beliau meminta agar dibacakan satu ayat Al-Qur’an. “Saya bertanya begitu supaya beliau mengajakku ikut dengannya dan memberiku pekerjaan”, kata Abu Hurairah. Akan tetapi Abu Bakara hanya membacakan ayat Al-Qur’an lalu kemudian pergi. Lalu melihat beliau melihat Umar ibn Khattaba dan berkata “ tolong ajari saya ayat Al-Qur’an”. Abu Hurairah kecewa lagi karena Umar melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan oleh Abu Bakar. Tak lama kemudian datanglah Rasulullah. Nabi tersenyum, Abu Hurairaha berkata dalam hatinya, “beliau tahu apa isi hati saya dengan tepat, beliau bisa membaca raut muka saya dengan tepat,” Nabi memanggil “ya aba Hurairah!” Abu Hurairah menjawab “Labbaik, ya Rasulullah!”. Lalu Rasulullah berkata, “ikutilah aku!” beliau mengajak ke rumahnya. Didalam rumah didapati ada semangkuk susu “darimana datangnya susu ini?” tanya Rasulullah. Beliau telah bahwa seseorang telah memberikan susu itu. Rasullah memanggil, “ya Aba Hurairah!”Abu Hurairah pun menjawab “Labbaik, ya Rasulullah!””tolong panggilkan ahli suffah,” kata Rasulullah. Susu tadi dibagikan kepada ahli suffah, termasuk Abu Hurairah. Sejak itulah, Abu Hurairah mengabdi kepada Rasulullah, bergabung dengan ahli suffah di masjid.

Abu Hurairah meriwayatkan banyak Hadits disebabkan karena beliau mendampingi Rasulullah selama tiga tahun, sejak Abu Hurairah memeluk Islam. Abu Hurairah berkata, “…….sesungguhnya saudara kami dari golongan muhajirin sibuk dengan urusan mereka dipasar dan orang-orang Anshar sibuk bekerja diladang mereka, sementara aku seorang yang miskin senantiasa bersama Rasulullah di mil’i batni. Aku hadir di majelis yang mereka tidak hadir dan aku hafal pada saat mereka lupa” (Hadits Riwayat Bukhari). Pada mulanya Abu Hurairah mempunyai ingatan yang lemah, lalu beliau mengadu kepada Rasulullah.  Rasulullah` lalu mendo’akan Abu Hurairah agar di beri dengan daya ingat yang kuat. Semenjak itu, Abu Hurairah memiliki daya ingat yang kuat sehingga Abu Hurairah mampu meriwayatkan banyak Hadits bahkan yang terbanyak di kalangan para sahabat.

Kisah Abu Hurairah menjaga Gudang Zakat

Abu Hurairah  pernah diberi tugas oleh Rasulullah untuk menjaga gudang hasil zakat. Pada suatu malam, Abu Hurairah melihat orang mengendap-ngendap akan mencuri, lalu ditangkapnya. Orang itupun akan dibawanya kepada Rasulullah, tetapi pencuri itu merayu minta dikasihani seraya menyatakan bahwa dia mencuri untuk memberi makan keluarganya yang kelaparan. Abu Hurairah merasa kasihan lalu melepas pencuri itu dengan syarat orang itu tidak mengulangi perbuatannya lagi. Keesokan harinya, peristiwa tersebut dilaporkan kepada Rasulullah` dan beliaupun tersenyum lalu menyatakan bahwa pencuri itu pasti akan kembali. Ternyata keesokan malamnya pencuri itu datang lagi. Sekali lagi Abu Hurairah menangkap pencuri itu lalu ingin diserahkannya kepada Rasullah`. Sekali lagi, pencuri tersebut merayu sehingga Abu Hurairah merasa kasihan lalu melepaskannya sekali lagi. Kesokan harinya beliau melaporkan kejadian tersebut kepada Rasulullah` dan Rasulullah` pun mengulagi sabda nya bahwa pencuri itu pasti kembali. Apabila pencuri itu ditangkap sekali lagi, Abu Hurairah mengancam akan membawanya kepada Rasulullah. Keesokan malamnya pencuri tersebut tertangkap lagi dan merayu agar dibebaskan sekali lagi. Ketika Abu Hurairah tidak mau membebaskan, pencuri tersebut menyatakan bahwa jika seseorang membaca ayat kursi sebelum tidur, syaitan tidak mengganggunya. Abu Hurairaha merasa tersentuh mendengar perkataan pencuri itu lalu melepaskannya. Keesokan harinya, beliau menceritakan peristiwa tersebut kepada Rasulullah` dan beliau bersabda “pencuri yang ditemuinya itu adalah pembohong besar, tetapi apa yang diajarkannya kepada Abu Hurairah itu adalah suatu perkara yang benar. Sebenarnya pencuri tersebut adalah Syaitan yang dilaknat.”

Sikap Abu Hurairah terhadap fitnah yang terjadi pada masanya.

Walaupun Abu Hurairah merupakan orang yang miskin, namun pada suatu hari beliau dipinang oleh salah seorang majikannya yang kaya untuk dinikahkan dengan putrinya, Bisrah binti Gazwan. Ini menunjukkan bahwa Islam tidak memandang status sosial seseorang tapi yang dipandang adalah ketaqwaannya. Abu Hurairah dipandang mulia karena ke’aliman dan kesalihannya. Sejak menikah, Abu Hurairah membagi malamnya kedalam tiga bagian yaitu membaca Al-qur’an, istirahat dan keluarga, dan untuk mengulang-ngulang hadits. Beliau dan keluarganya tetap hidup sederhana walaupun telah menjadi orang kaya. Abu Hurairah suka bersedekah, menjamu tamu, bahkan memberikan rumahnya di Madinah untuk pembantu-pembantunya.

Rasulullah pernah mengutus Abu Hurairah berdakwah ke Bahrain bersama Al-‘Ala ibnu Abdillah Alhadrami. Beliau juga pernah diutus bersama Quddamah untuk mengambil jizyah di Bahrain dengan membawa surat kepada Amir Al-munzir ibnu Sawa At-Tamimi. Kemudian Abu Hurairaha diangkat sebagai gubernur Bahrain ketika Umara menjadi Amirul Mu’minin. Tetapi pada 23 Hijriyah, Umara memberhentikannya karena Abu Hurairah di tuduh menyimpan uang sebanyak 10.000 dinar. Ketika diperiksa Abu Hurairah banyak memberikan bukti bahwa harta itu diperolehnya dari beternak kuda dan pemberian orang. Khalifah Umara menerima penjelasan itu dan memaafkannya. Lalu Abu Huraiarah diminta menerima jabatan gubernur kembali, tetapi beliau menolak. Khalifah Umar ibnu Khattaba penah melarang Abu Hurairah menyampaikan Hadits dan hanya boleh menyampaikan ayat Al-Qur’an. Ini disebabkan tersebar kabar Abu Hurairah banyak meriwayatkan Hadits palsu. Larangan khalifah kemudian dibatalkan setelah Abu Hurairah menjelaskan Hadits mengenai bahayanya Hadits palsu. “Barang siapa yang berdusta atas padaku (Nabi Muhammad`) secara sengaja, hendaklah mempersiapkan tempat duduknya dalam api neraka.”(Hadits Riwayat Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ad-Darimi, dan Ahmad).

Pada masa Amirul Mu’minin Ali bin Abi Thaliba, Abu Hurairah menolak tawaran menjadi gubernur Madinah. Ketika Mu’awiyah berkuasa, Abu Hurairah diangkat menjadi gubernur Madinah dengan asran dari Marwan ibn Hakam. Di kota yang penuh dengan cahaya (Al-Madinah A-Munawwarah) ini pula beliau menghembuskan nafas terakhirnya pada tahun 57 atau 58 Hijriyah(676-678 Masehi) dengan usia 78 tahun. Abu Hurairah meninggalkan Hadits sebanyak 5.374 Hadits. Hadits Abu Hurairah yang di sepakati oleh Imam Bukhari dan Muslim berjumlah 325 Hadits. Oleh Bukhari sendiri sebanyak 93 hadits dan oleh Muslim sendiri sebanyak 189 hadits. Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah juga banyak terdapat dalam kitab-kitab hadits lainnya.

 

Wahyu Ismail

Alumni Fakultas Ilmu Agama Islam UII

 

ADAB ORANG BERILMU

“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh berbuat yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah…”
(Q.S. Ali Imrân [3]: 110)

Menjadi umat pilihan yang mendapatkan keuntungan lebih banyak dari umat lain adalah suatu anugrah dari Allah. Umat Islam adalah umat yang paling istimewa, salah satunya adalah dengan disempurnakannya agama Islam sebagai agama samawi yang di-ridhai oleh Allah. Di sisi lain ada orang-orang Islam yang lebih baik dari orang-orang Islam itu sendiri yaitu orang-orang yang menyeru kepada kebaikan dan menjauhi kepada keburukan. Mereka adalah para alim ulama yang memiliki ilmu yang sangat mumpuni dan ke hujjah-annya tidak diragukan lagi. Kata-kata yang perlu digaris bawahi adalah ilmu, karena semua orang memiliki ilmu tapi tidak semua orang menjadikan ilmu tersebut bermanfaat bagi dirinya dan orang lain.
Ilmu ialah hal yang sangat berharga di dunia ini. Ilmu sebagai alat untuk menilai baik dan buruk, benar dan salah, halal dan haram. Allah zat yang ilmunya tidak ada sekutu dan ilmunya paling luas, Dia menunjukan tanda-tanda keluasan ilmunya dengan mengajarkan Nabi Adam berbagai macam nama-nama yang ada di jagad raya. Lalu disebutkannya nama-nama yang telah diajarkan oleh Allah kepada Malaikat. Yang mana kisahnya diceritakan dalam firman Allah,
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda) semuanya, kemudia Dia perlihatkan kepada malaikuat seraya berfirman, “Sebutkan kepada-Ku semua nama (benda) ini, jika kamu yang benar!”. Mereka menjawab “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain yang Engkau ajarkan kepada kami. Sungguh, Engkaulah Maha Pengetahui, Maha Bijaksana”. Dia (Allah) berfitman, “Wahai Adam! Beritahukanlah kepada mereka nama-nama itu!” Setalah dia (adam) menyebutkan nama-namanya, Dia berfirman, “Bukankah telah Aku katakan kepadamu bahwa Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan Aku mengetahui apa yang kamu nyatakan dan apa yang kamu sembunyikan””. (Q.S. al-Baqarah [2]: 31-33)
Dari kisah tersebut dapat diambil pelajaran bahwa menuntut ilmu adalah sebagian kewajiban dari tiap-tiap manusia khususnya orang yang beriman. Dan menuntut ilmu wajib dengan guru-guru yang sanad ilmunya sampai kepada Rasulullah `.
Kriteria orang berlimu dibagi menjadi tiga yaitu muqallid, muttabi’, mujtahid. Orang-orang ini merupakan orang-orang yang berilmu tetapi berbeda tingkatannya. Muqallid adalah orang yang ilmunya sedikit, dia adalah yang mengikuti ulama tanpa tahu dalil atau dasar dari suatu hujjah-nya itu. Sebagai orang yang muqallid dia harus belajar dan bila ada kerancuan hukum dia belum boleh berfatwa. Muttabi’ adalah orang yang berlimu dan masih menuntut ilmu. Kelebihan muttabi’ dia mengikuti ulama tetapi dia tahu dalil-dalil yang membuat dia tertuju kepada satu ulama tertentu dengan yakin. Mujtahid adalah orang yang mendalam ilmunya dan jika ada hukum yang masih rancu maka diharuskan seorang mujtahid ini mengeluarkan fatwanya.
Tidak menutup kemungkinan seorang yang muqollid mengeluarkan fatwa-fatwa jika ada suatu hukum yang baru. Muqallid tersebut harus menuntut ilmu dengan giat melalui guru-guru yang berkompeten di tiap-tiap bidangnya.
Seorang yang berilmu harusnya memiliki adab-adab yang secara dzahir mencerminkan ilmunya. Adab-adab tersebut adalah sebuah pantangan bagi seorang yang berilmu untuk dilanggarnya demi kesempurnaan ilmunya dan demi ke-Ridhaan Allah l atas ilmu yang dia miliki. Lantas apa saja adab-adab yang harus dimiliki oleh oang yang berilmu?
1. Jangan menyombongkan diri.
Seseorang yang menyombongkan diri karena keluasan ilmunya adalah salah besar. Allah berfirman:
“Dan janganlah engkau berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya engkau tidak akan bisa menembus bumi dan tidak akan mampu menjulang seperti gunung”. (Q.S. al-Isra [17]: 37)
Allah l memberikan sindiran kepada orang-orang yang sombong. Sombong dalam harta, tahta, ataupun dalam hal memiliki ilmu. Terbesit jelas apa yang tersirat dalam ayat tersebut, bahwa bagi orang-orang yang sombong dengan hal yang dimilikinya pasti ada yang lebih dari apa yang mereka sombongkan. Maka dari itu mereka yang menyombongkan ilmu yang mereka miliki, mereka tidak akan mampu menjulang seperti gunung.
2. Menjaga Ilmunya.
“Bencana orang berilmu adalah lupa, dan membicarakan dengan yang bukan ahlinya”(Ibnu Abu Syaibah)
Sungguh benar-benar merugi orang-orang yang tidak menjaga ilmunya. Itu menjadi sebuah bencana bagi para penuntut ilmu, mereka mencari ilmu dengan susah payah namun mereka lupa akan ilmu-ilmunya. Ada beberapa kiat-kiat untuk menjaga ilmunya, yaitu:
Pertama, Menulis. Ilmu yang tidak ditulis bagaikan unta di padang pasir, unta tersebut jika sudah lepas sangat mudah untuk hilang. Itulah ilmu yang diibaratkan dengan unta lepas. Dia akan mudah lupa jika tidak diikat dengan tulisan, dan setelah lupa tidak ada lagi yang harus di ingat karena tidak ada lagi yang membekas baik di fikiran maupun di tulisan. Maka sangat penting ilmu itu ditulis, sebagai bahan muroja’ah ataupun sebagai bahan untuk mengajarkannya kepada orang lain.
Kedua, Muroja’ah. Muroja’ah menjadi sangat penting sebagai kiat untuk menjadikan terjaganya ilmu yang dihafal. Muroja’ah juga bisa sebagai metode untuk mengkoreksi jika ada hal yang kurang dalam ilmu-ilmu yang didapat. Sedikit kisah tentang Imam Bukhari, ia seorang imam besar perawi hadist-hadist yang sahih. Setiap setelah beliau belajar dengan seorang guru, beliau selalu mencatat dan me-muroja’ah ilmunya di rumah. Ini adalah tanda keteladanan seorang yang berilmu. Dia giat dan selalu bersemangat dalam menuntut ilmu.
3. Mengamalkan.
Semaksimal tingkatan seorang yang berilmu adalah mengamalkannya. Sungguh orang yang menagamalkan ilmunya dia sungguh telah benar-benar menjaga ilmunya. Menjaga ilmunya dari kepunahan, karena akan dikaji oleh murid-muridnya. Sekaligus amal jariyah bagi yang mengamalkan ilmunya. Sebagaimana yang dikatakan dalam Hadist:
“Jika seseorang meninggal dunia maka terputuslah semua amalnya kecuali tiga perkara yaitu sodaqoh jariyah, ilmu yang diamalkan dan anak yang sholeh”. (H.R. Muslim no. 1631)
3. Amanah dalam menyampaikan.
Seorang yang berilmu dilihat dari cara menyampaikan ilmunya dia harus amanah. Sesuai dengan redaksi yang diterima dari guru-gurunya yang terdahulu. Bukan hanya dengan kepentingan hawa nafsunya saja. Dia menafsirkan sendiri dengan keterbatasan ilmunya dalam bidang tertentu.
Sifat amanah dalam menyampaikan ini menjadi tolak ukur para ulama dalam menentukan bahwa dia berilmu atau tidak berilmu. Sebagai contoh adalah bagaimana terciptanya hadist-hadist yang muttawatir dan sahih. Di mana para perawi hadist tersebut adalah orang-orang yang kesehariannya sangat amanah dan zuhud, maka terciptalah hadist yang bisa dijadikan hukum. Dan jika salah seorang dari perawi hadist tersebut tidak amanah maka bisa disimpulkan bahwa hadist yang redaksinya dari perawi tersebut tidak bisa dijadikan hujjah untuk menentukan hukum.
4. Lemah lembut dalam menyampaikan.
Sebagaimana yang terdapat dalam surat Ali Imrân ayat 159
“Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu…” (Q.S. Ali Imrân [3]: 159)
Dalam tafsir ibnu katsir menjelaskan bahwa Allah telah merahmatkan kepada Rasul-Nya hati yang lemah lembut sehingga umatnya menerima dengan apa yang dikatakan oleh Rasul-Nya. Maka umatnya tersebut menaatinya menjauhi yang mungkar dan mendekati yang ma’ruf. Allah juga menjadikan tutur kata Nabi Muhammad ` terasa sejuk dan lembut sehingga umatnya betah berlama-lama dengan Nabi Muhammad.
Apa yang disebutkan barusan adalah contoh bagi orang-orang yang berilmu jika ingin mengamalkan ilmunya dengan cara lemah-lembut. Itu sangat menentukan kualitas ilmu seseorang. Karena orang yang berilmu tahu lemah-lembut adalah cara bagaimana sampainya ilmu kepada penuntut ilmunya.
Demikianlah beberapa adab-adab seorang yang berilmu. Yang disebutkan barusan adalah hanya sebagian kecil saja yang dapat disebutkan. Masih banyak lagi adab-adab seorang yang berilmu jika mengkaji Alquran dan hadist-hadist Nabi. Oleh karena itu sebagai orang yang berilmu menjadi sebuah tantangan untuk menghadapi berbagai macam pembodohan yang dilakukan oleh misionaris. Dan orang berilmu setidaknya menguasai beberapa adab-adab yang disebutkan barusan agar ilmu yang dimilikinya menjadi berkah dan para penuntut ilmu memiliki akidah dan tauhid yang kuat demi menghadapi pembodohan kaum misionaris.
Semoga Allah l menguatkan umat Islam dengan memberikan orang-orang yang berilmu dan beramal Ahlissunnah Wal Jama’ah. Âmîn.[]

Arviyan Wisnu

CARA MUDAH MEMAHAMI TAUHID

Tauhid secara bahasa Arab merupakan bentuk masdar dari fi’il wahhada-yuwahhidu (dengan huruf ha di tasydid), yang artinya menjadikan sesuatu satu saja. Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin berkata, “Makna ini tidak tepat kecuali diikuti dengan penafian. Yaitu menafikan segala sesuatu selain sesuatu yang kita jadikan satu saja, kemudian baru menetapkannya” (Syarh Tsalatsatil Ushul, hal.39).

Secara istilah syar’i, makna tauhid adalah menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan yang benar dengan segala kekhususannya (Syarh Tsalatsatil Ushul, hal.39). Dari makna ini sesungguhnya dapat dipahami bahwa banyak hal yang dijadikan sesembahan oleh manusia, bisa jadi berupa Malaikat, para Nabi, orang-orang shalih atau bahkan makhluk Allah yang lain, namun seorang yang bertauhid hanya menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan saja. (Sumber: https://muslim.or.id/6615-makna-tauhid.html)

Pembagian tauhid ke dalam tiga bagian diambil dari penelitian terhadap nash-nash al-Qur’an. Dari ayat-ayat tersebut, disimpulkan bahwa tauhid itu terbagi menjadi tiga bagian. Oleh karena itu, pembagian ini merupakan hakikat syari’at yang diambil dari Kitabullah, bukan suatu istilah yang diada-adakan oleh sebagian ulama tanpa dalil.
Pembagian ini sangat memudahkan pemahaman kaum muslimin tentang tauhid. Dengan memahami tiga bagian tauhid ini, seorang muslim memiliki tolok ukur yang jelas dan mudah tentang tauhid, apakah ia sudah termasuk seorang muwahhid (yang mentauhidkan Allah l), atau belum. Seorang awam atau anak kecil yang belum baligh pun akan dengan mudah memahaminya. Dari berbagai dalil yang bertebaran dalam al-Qur’an, as-Sunnah, dan atsar Salafush Shalih, para ulama membagi tauhid ke dalam tiga bagian,

Tauhîd Rubûbiyyah
Pertama, tauhid rubûbiyyah (mengesakan Allah l dalam perbuatan-Nya) adalah i’tiqad (keyakinan) yang mantap bahwa hanya Allah yang mencipta, memberi rezeki, menghidupkan, mematikan dan mengatur semua urusan semua makhluk. Tidak ada sekutu bagi-Nya dalam semua itu. Hanya Allah Ta’ala saja yang mampu melakukannya.
Lawan dari tauhid rubûbiyyah adalah meyakini ada selain Allah l yang ikut mencipta, mengatur makhluk, atau melakukan perbuatan-perbuatan lainnya yang hanya dapat dilakukan oleh Allah l.
Di antara dalil-dalil tauhid rubûbiyyah adalah firman Allah l yang artinya,

“Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Mahasuci Allah, Rabb semesta alam.” (Q.S. al-A’râf [7]: 54)

Firman-Nya juga yang artinya,

“Katakanlah: ‘Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kalian mengetahui?’ Mereka akan menjawab: ‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah: ‘Maka apakah kalian tidak ingat?’ Katakanlah: ‘Siapakah yang empunya langit yang tujuh dan yang empunya ‘Arsy yang besar?’ Mereka akan menjawab: ‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah: ‘Maka mengapa kalian tidak bertaqwa?’ Katakanlah: ‘Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu, sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (adzab)-Nya, jika kalian mengetahui?’ Mereka akan menjawab: ‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah: ‘(Kalau demikian), maka mengapa kalian masih tertipu?’” (Q.S. al-Mu’minûn [23]: 84-89)

KUNCI SUKSES DUNIA DAN AKHIRAT

Sebagai seorang Muslim, seseorang meyakini bahwa kebahagian, ketentraman, dan kesuksesan hidup akan terasa apabila dapat memposisikan diri sesuai dengan kehendak Allah. Begitu juga dengan kesengsaraan, kesedihan, dan kegagalan akan terasa apabila seseorang menempatkan dirinya jauh dari kehendak Allah.  Dalam al-Qur’an dan Hadits dikatakan bahwa orang yang menempatkan dirinya sesuai dengan kehendak Allah maka dia akan beruntung dan sukses, sebaiknya orang yang menjauhkan diri dari Allah dan mengotori dirinya dengan kemaksiatan maka dia telah menghancurkan dirinya dan dia akan gagal bahkan rugi. Dalam firman-Nya dikatakan:

“Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”. (Q.S. Asy-Syam [91]: 9-10).

Seorang Muslim meyakini Firman Allah tersebut, bahwa yang dapat mengotori, menodai, dan merusak jiwa adalah segala bentuk perbuatan dosa dan maksiat kepada Allah. Begitu juga sebaliknya, bahwa yang dapat membersihkan dan mensucikan, dan mesukseskan jiwa adalah segala kebaikan, ketaatan, dan amal shaleh kepada Allah. Lalu bagaimanakah cara agar diri seseorang itu selalu terjaga dari segala bentuk kerusakan dan kerugian sehingga dapat dikatakan suskses dunia akhirat? Menurut Syekh Abu Bakar jabir al-Jaza’ri dalam kitabnya Minhajul Muslim, yaitu diikat dan dibarengi dengan adab. Seperti sebelumnya telah dibahas mengenai pentingnya adab sesama Muslim agar persatuan dan keharmonisan serta silaturrahim tetap terjaga. Namun begitu juga dengan diri, harus ada adab terhadap diri sendiri, agar kehidupan dan jiwa merasa selalu berada dalam pengaawasan Allah.

Adab seorang muslim terhadap dirinya yang perlu diketahui serta diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari agar mencapai kesuksesan dunia akhirat setidaknya ada empat poin, yaitu:

  • Taubat

Taubat secara etimologis memiliki pengertian kembali. Dalam terminologi syariat Islam yang dimaksud dengan kembali adalah kembali dari perbuatan menjauhi Allah kepada perbuatan yang mendekatkan diri kepada-Nya. kemudian dalam pengertian yang lain, kata taubat mendapat tambahan kata nasuha (at-taubata an-Nashuha) atau sering dikenal dengan istilah taubat nasuha. Kata ini menurut Anas Ismail Abu Daud dalam kitabnya Dalilu As-Sailina, memiliki pengertian berhenti melakukan dosa sekarang, menyesali dosa yang telah dilakukan kemarin, dan bertekad sungguh-sungguh untuk tidak melakukannya lagi di kemudian hari. pendapat ini dipertegas oleh firman Allah yaitu:

“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai”. (Q.S. At-Tahrim [66]: 8).

Firman Allah di atas menginformasikan kepada orang-orang yang beriman, kita ia berbuat kesalahan, hendaklah ia segera memohon ampun kepada Allah dan berjanji tidak akan mengulangi kesalahan atau perbuatan dosa tersebut. Rasulullah bertaubat seratus kali dalam sehari, sebagaimana sabdanya:

Wahai sekalian manusia. Taubatlah (beristigfar) kepada Allah karena aku selalu bertaubat kepada-Nya dalam sehari sebanyak 100 kali”. (H.R. Muslim, no. 2702).

  • Muraqabah (Merasa diawasi).

Seorang Muslim harus meyakini bahwa Allah selalu mengawasi manusia tak terbatas oleh ruang dan waktu. Dengan demikian itu seseorang harus berhati-hati dan takut bila terjatuh dalam gelombang kemaksiatan dan dosa. Baik dalam kesendirian maupun dalam keadaan ramai, bahwa semua perbuatan diri selalu dilihat oleh Allah. Karena merasa diawasi, maka seseorang berusaha dan mencoba mebuat dirinya selalu bersama Allah melalui amalan-amalan dan ibadah yang tertuju semata-mata kepada-Nya, merasa damai dengan beribadah kepada-Nya, dan merasa tertekan serta gelisah bila melakukan maksiat kepada-Nya. hal ini sesuai dengan penjelasan Allah dalam firmn-Nya:

“Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun:. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 235).

“Dan adalah Allah Maha Mengawasi segala sesuatu”. (Q.S. Al-Ahzab [33]: 52).

Oleh sebab itu siapapun di antara manusia, baik itu orang tua, anak, suami, istri, mahasiswa, dosen, tua dan muda, harus menyakini dan merasakan bahwa segala sesuatu yang ada di bumi ini selalu dalam pengawasan Allah, tak terkecuali juga diri kita. Maka dalam setiap perkataan, perbuatan, dan tingkah laku sehari-hari harus diatur dan dijaga sebaik mungkin supaya tidak mendatangkan murka Allah.

  • Muhasabah (Introspeksi diri).

Manusia hidup di dunia ini pada hakikatnya ingin hidup bahagia, baik bahagia dunia maupun bahagia akhirat. Banyak cara yang dilakukan untuk mendapatkan kebahagian, misalnya membina rumah tangga, mencari keturunan, dan bahkan juga berlomba-lomba mengumpulkan harta. Tetapi ada yang lebih penting dari semua itu, yakni meintrospeksi diri. Mengkaji dan menelaah sejauh mana perbuatan yang dilakukan dalm dunia fana ini, apakah bermanfaat untuk akhirat ataukah tidak sama sekali. Jika menjadi pengajar, harus intropeksi diri apakah sudah memberi teladan yang baik kepada para peserta didiknya? Jika menjadi pelajar, harus itropeksi diri apakah sudah menjadi pelajar sesungguhnya atau hanya pelajar mainan? Begitu juga dengan orang tua, harus intropeksi diri apakah sudah menjadi orang tua yang teladan bagi anak-anaknya ataukah belum? Untuk kehidupan akhirat, kita harus mengkaji ulang mengenai pembinaan terhadap diri apakah sudah banyak amal atau belum, semakin hari iman apakah semakin bertambah atau semakin berkurang. Begitu pentingnya untuk mengintrospeksi atau mengevaluasi diri, Allah I ingatkan dalam firman-Nya:

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan”. (Q.S. Al-Hasyr [59]: 18).

  • Mujahadah (melawan nafsu)

Seperti yang telah dibahas dalam ilmu filsafat, bahwa jiwa manusia dihiasi oleh tiga hal penting yang dengannya jasab dapat berfungsi. Tiga hal itu adalah hati, akal, dan nafsu. Hati menjadi pembenaran terhadap sesuatu yang bersifat naqliyah, kemudian akal menjadi motor dalam mencari kebenaran aqliyah. Kemudian nafsu adalah dorongan yang menghiasi jiwa manusia untuk terus melakukan sesuatu, jika yang diperbuat itu baik maka itulah nafsu al-Muthmainnah, dan apabila yang diperbuatkan itu buruk maka itulah nafsu mazhmumah. Namun kebanyakan nafsu hanya mendorong kepada kejelekan, keburukan, dan mengarah kepada dosa. Jika manusia melihat nafsu itu sangat membahayakan keberadaan diri, maka hendaklah membentengi dan dan melawannya.

Gangguan nafsu dalam jiwa terkadang hanya hal sepele, namun akibatnya sungguh merendahkan diri pelakunya. Sebuah contoh misalnya, nafsu malas, terlihat hanya hal biasa namun akibatnya sungguh luar biasa. Seorang kepala keluarga jika telah terkena nafsu malas maka tanggung jawabnya sebagai tulang punggung keluarga dalam mencari nafkah akan terbangkalai. Seorang pelajar apabila telah terjangkit nafsu malas maka proses pembeljarannya akan terganggu, jika telah terganggu maka akan membuat dirinya rugi dan jatuh dalam kebodohan. Nafsu memang cenderung kepada kesesatan kecuali yang telah diberi rahmat, dalam firman-Nya dikatakan:

“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang”. (Q.S. Yusuf [12]: 53).

Sebagai Muslim yang beriman kepada Allah I dan Rasul-Nya, hendaklah memiliki azam atau keingginan dan tekad yang kuat dalam menklukkan hawa nafsu agar tidak larut dalam tipu daya syaitan. Niat dan tekad yang kuat inilah adab yang mulia tehadap diri sendiri.

Mudah-mudahan kita semua dapat merealisasikan empat point adab terhadap diri sendiri tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Karena apabila adab-adab tersebut dapat terealissikan, maka yakinlah hidup ini akan tenang, tentram, dan sukses dunia akhirat. Manusia tidak bisa luput dari salah dan dosa, namun agar dosa dan salah itu lebur maka taubat adalah kuncinya. Kemudian dalam menjalankan kehidupan dunia ini, manusia selalu dihadapkan dengan fitnah-fitnah dunia. Untuk menangkal fitnah-ftnah itu, maka menghadirkan dan merasa diri selalu diawasi oleh Allah adalah bentengnya. Untuk mengetahui sudah baik atau buruknya diri kita, bukan dengan membandingkan dengan kehidupan orang lain. Namun yang perlu dilakukan adalah menilai, menghitung, dan menintrospeksi sendiri diri ini. Dan yang terakhir, tidaklah manusia dihadapkan dengan berbagai perperangan yang paling dahsyat, melainkan perang melawan hawa nafsu. Untuk itu, terus menerus bermujahadah melawannya merupakan perkara yang sangat mulia.

Cindra al-Fikali

 Mahasiswa PAI UII 14.

PETUNJUK AL-QUR’AN TENTANG DASAR-DASAR KEDOKTERAN

Segala puji bagi Allah  yang telah menunjukkan bagi manusia jalan keselamatan serta kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Dengan hikmah-Nya, Allah menurunkan petunjuk yang membimbing manusia dalam segala aspek kehidupannya. Begitu sempurnanya agama Islam ini sehingga bukan hanya ibadah ritual saja yang diatur. Namun, interaksi antar makhluk, bahkan kehidupan individual makhluk pun dibimbing sedemikian rupa untuk kemaslahatan manusia.
Salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia ialah aspek kesehatan. Gangguan kesehatan amat menurunkan kualitas hidup manusia. Untuk itulah dibutuhkan panduan menjaga kesehatan bagi populasi manusia.
Al-Qur’anul karim sebagai kitab suci panduan hidup muslimin telah memuat panduan umum menjaga kesehatan. Seorang ulama pakar tafsir, yaitu Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di mencantumkan bab “Petunjuk al-Qur’an tentang Dasar-Dasar Kedokteran” dalam kitab Qawaidul Hisan.
Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di menjelaskan,

“Menjaga kesehatan dilakukan dengan tiga langkah: melakukan aktivitas yang bermanfaat bagi kesehatan, menghindari aktivitas yang membahayakan kesehatan, dan menyingkirkan berbagai unsur yang dapat membahayakan kesehatan tubuh.”

Kemudian beliau menjelaskan beberapa dalil di dalam Al-Quran yang menunjukkan bimbingan dalam tiga langkah yang telah tercantum di atas.

Melakukan Aktivitas yang Bermanfaat Bagi Kesehatan
Allah berfirman (yang artinya),

“Makanlah dan minumlah oleh kalian, namun janganlah berlebih-lebihan,” (Q.S.al-A’râf [7]: 31). As-Sa’di menjelaskan bahwa Allah memberikan perintah bagi manusia untuk makan dan minum, dimana tubuh tidak dapat berfungsi dengan baik tanpanya. Perintah yang umum ini menjelaskan bahwa mengkonsumsi makanan dan minuman -yang sesuai untuk manusia- bermanfaat dalam segala waktu dan keadaan.

Jika kita perluas pembahasan ini, kita dapat mengambil pelajaran bahwa salah satu cara penting menjaga kesehatan ialah melakukan berbagai aktivitas yang bermanfaat bagi kesehatan. Selain makan dan minum, aktivitas penting lainnya misalnya olahraga dan istirahat sesuai kebutuhan.
Yang menarik, di akhir bab ini As-Sa’di menjelaskan,

“Demikianlah, segala amal yang Allah sebutkan di kitab-Nya, seperti jihad, shalat, puasa, haji, dan seluruh amalan termasuk berbuat baik kepada makhluk, meskipun tujuan terbesarnya ialah mencari ridha Allah mendekatkan diri kepada-Nya, mencari balasan-Nya, serta berbuat baik kepada hamba-Nya, sesungguhnya amal-amal tersebut dapat menyehatkan dan melatih tubuh, begitu pula melatih dan menenangkan jiwa, menyenangkan hati. Di dalam amal tersebut juga terdapat rahasia yang istimewa, yaitu menjaga dan meningkatkan kesehatan, serta menghilangkan sumber penyakit dari tubuh.”

Menghindari Aktivitas yang Membahayakan Kesehatan
Allah memperbolehkan orang yang sakit untuk bertayamum jika air wudhu membahayakan kesehatan. Allah juga melarang untuk “mencampakkan tangan kita ke dalam kebinasaan”. Termasuk di larangan ini ialah menggunakan segala zat yang membahayakan tubuh baik dari jenis makanan maupun obat-obatan tertentu. Di ayat ke 31 surat al-A’râf di atas terdapat larangan berlebih-lebihan dalam makan dan minum. Bentuk berlebih-lebihan bisa dalam hal jumlahnya, dalam memilih makan-minum, waktu makan-minum, dan ini merupakan bentuk menghindari hal-hal yang membahayakan diri. Contoh penerapan lain dari pelajaran ini di antaranya menghindari rokok, minuman keras, serta narkoba, menghindari aktivitas yang berisiko tinggi seperti kebut-kebutan di jalan umum, perilaku seks bebas, dan lain-lain.

MENGGAPAI KETENANGAN HATI

Bismillâhi walhamdulillâh wash shalâtu was salâmu ‘ala rasûlillâh

Di era modern saat ini, sangat mudah bagi seseorang untuk bisa mendapatkan apa yang menjadi kebutuhannya dan apa yang menjadi keinginannya. Hampir semua hal pada zaman ini sangat mudah untuk diakses, sangat mudah untuk diraih, dan sangat mudah untuk dimiliki. Segala fasilitas untuk memuaskan hati dan nafsu tersebut telah terbentang luas di zaman teknologi seperti sekarang ini. Namun, apakah dengan tersedianya segala fasilitas tersebut mampu membawa seseorang untuk meraih ketenangan hati? Kelapangan hati? Dan kebahagiaan hati?, tidak selalu, jawabnya.

Kita banyak melihat seseorang yang dapat dikatakan memilki segalanya, memiliki harta yang melimpah ruah, memiliki keluarga yang utuh, memiliki kedudukan yang tinggi dalam masyarakat, memiliki kendaraan yang mewah, tempat tinggal yang luas, tanah yang banyak, serta tabungan deposito di mana-mana, akan tetapi hatinya tidak tenang, dadanya sempit, jiwanya gusar, pikirannya terombang-ambing tak tentu arah. Seperti itulah hakekatnya dunia, ia akan terus membuat seseorang merasa cemas dan gelisah.

Ibnu Qoyyim dalam kitabnya yang berjudul “Liasbab syaroh Assodri” (sebab-sebab lapangnya hati) menyebutkan bahwa “siapa saja yang jatuh cinta kepada selain Allah swt, maka dia akan disiksa dengannya”.

Beliau menjelaskan bahwa siapa yang mencintai kepada selain Allah swt (boleh jadi berupa wanita/pria, harta, kendaraan, tempat tinggal, kedudukan, dan lain-lain), maka Allah swt akan menyiksanya sebanyak 3 kali di dunia ini. Adapun siksaan tersebut antara lain, 1. Seseorang akan disiksa dengan sesuatu yang dicintainya itu sebelum ia mendapatkannya. Semakin besar keinginannya untuk mendapatkannya maka hatinya akan semakin tersiksa. Semakin ia membayang-bayangkan dan semakin ia rindu dengan apa yang ia inginkan itu, maka akan semakin tersiksa hatinya, semakin sempit dadanya karena hatinya tengah dirundung kerinduan yang mendalam dengan sesuatu yang belum ia dapatkan dan belum ia miliki. Hal ini tentu saja menyiksa dan menyesakkan dada. 2. Seseorang akan disiksa dengan sesuatu yang dicintainya saat ia memilikinya, yakni seseorang itu akan merasa cemas, was-was, dan takut kehilangan sesuatu yang dicintainya tersebut. Semakin besar cintanya maka akan semakin besar cemas dan ketakutannya akan kehilangan atau ditinggalkan dengan sesuatu yang dicintainya tersebut. Bahkan tak sedikit seseorang yang tidak bisa tidur 24 jam lantaran memikirkan seuatu yang dimilikinya tersebut. Hal inipun sangatlah amat menyiksa. 3. Jika apa yang dicintainya tersebut telah dimilikinya dan kemudian benar-benar dihilangkan dari sisinya, maka inilah siksaan yang ketiga, siksaan yang teramat amat menyiksa. tidak sedikit seseorang yang menjadi depresi, stres, bahkan gila karena kehilangan sesuatu yang amat dicintainya itu. Bagaimana tidak tersiksa, jika sesuatu itu telah diimpi-impikan sejak lama, mendapatkannyapun perlu perjuangan yang sangat berat, lalu saat telah memilikinya dirawat dan dipelihara dengan baik, dan yang lebih dari itu sudah terlalu banyak kenangan indah dan manis yang telah dilewati bersama, namun kemudian ia hilang, maka sungguh inilah puncak kesedihan dan tersiksanya hati seseorang. Namun perlu diketahui oleh setiap mukmin, bahwa memiliki dunia bukanlah hal yang terlarang, bukanlah dosa, bukanlan aib di sisi Allah swt. Akan tetapi yang yang Allah benci adalah tatkala seseorang itu mencintai dunia, sehingga hatinya bahagia tatkala dunia itu mendatanginya dan bersedih tatkala dunia itu menjauh darinya. Jadikanlah dunia itu sebatas di tanganmu tapi tidak di hatimu. Sehingga apapun keadaan yang menimpamu, kamu tetap dalam keadaan bersyukur dan bersabar.

POLIGAMI: Dalam Islam dan Kehidupan Modern

Akhir-akhir ini generasi muda seringkali mendengar bahkan berdebat mengenai problematika pernikahan. Mulai dari pembahasan mencari pendamping hidup, kreteria pendamping idaman, dan tidak kalah penting mengenai status rumah tangga poligami. Para lelaki mendengar kata-kata poligami, mereka ada yang setuju, namun ada juga yang kurang sepakat. Dalam kalangan perempuan, ada yang menolak keras poligami dengan alasan mereka tidak siap dimadu, ada juga yang mengatakan setuju poligami asalkan yang poligami bukan suaminya namun suami orang lain, dan ada juga yang benar-benar setuju jika suaminya poligami.

Sebenarnya masalah ini sudah dikaji oleh ulama kita terdahulu, hukum-hukum poligami sudah disepakati oleh para mujtahid, dalam masa sekarang ini kita seharusnya memilih sikap hukum saja dari apa yang telah tertera. Namun sikap keras kita mengatakan, dasar dari poligami bukanlah suatu yang hina, namun ialah sunnah bagi mereka yang mampu dan memiliki sayarat untuk melakukan itu, tetapi juga akan menjadi haram jika dilakukan untuk memenuhi hawa nafsu saja dan membuat istri terlantar dan anak jadi korban.


Bagi kita semua terutama bagi ikhwan fillah, sebelum kita punya angan-angan untuk melakukan poligami, maka harus dan wajib mengetahui pengertian dan syarat-syarat dari paligami itu sendiri. Bagi saudari akhwat fillah, jika memang suami anda memiliki syarat untuk melakukan poligami, dan mampu menghindarnya dari fitnah dunia dan wanita, maka tidak ada salahnya memberikan izin untuk poligami. Tapi jika memang dengan satu istri surga terasa lebih dekat, mengapa harus mencari yang lain?


Pada hakikatnya yang perlu kita ketahui bersama, poligami itu kata umum yang bisa dilakukan oleh perempuan dan laki-laki (memiliki istri atau suami lebih dari satu). Sehingga istilah poligami dibagi dalam dua bagian yaitu poligini dan poliandri.
Poligini ialah lelaki-yang menikahi lebih dari satu perempuan, dan ini umum terjadi dan juga boleh dilakukan namun dengan syarat-syarat tertentu. Sedangkan poliandri ialah perempuan menikah dengan lebih dari satu laki-laki, dan ini secara mutlak (Islam) melarangnya.


Islam pada dasarnya berkonsep monogami (satu istri) dalam aturan pernikahan, tetapi memperbolehkan seorang pria beristri lebih dari satu (poligini). Islam memperbolehkan seorang pria beristri hingga empat orang istri dengan syarat sang suami harus dapat berbuat adil terhadap seluruh istrinya.
Sebagai pedoman hidup umat Islam, Al-Qur’an satu-satunya kitab yang menyatakan:

“Nikahlah Satu Saja”. Tidak ada kitab lain yang menyatakan kepada laki-laki untuk memiliki satu istri saja. Dalam kitab-kitab lain, seperti weda, mahabarata, injil dan talmud tidak ada yang memberikan batasan untuk jumlah istri. (Dr. Zakir Naik, 2016, Debat Islam VS non Islam: 45).

Namun walaupun ada kebolehan untuk melakukan poligami, catatan menarik dalam buku Dr. Zakir Naik yang membuktikan bahwa pada tahun 1975 orang-orang hindu di India lebih banyak melakukan poligami daripada orang Islam, 5,06% di kalangan Hindu dan 4,31% di kalangan Islam.
Dengan menganalisis serta mengamalkan ajaran kitab suci Al-Qur’an, maka bisa diatasi tindakan-tindakan poligami nafsu. Melalui surat An-Nisa: 3, maka inilah patokan poligami.

ESENSI DAN REFLEKSI PRINGATAN HARI KELAHIRAN NABI MUHAMMAD

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah“.
(QS. al. Ahzab [33]: 21).

Hakikat Memperingati Maulid Nabi SAW
Memperingati hari kelahiran nabi merupakan hal pokok mendasar yang dapat di ambil iktibar dari proses sejarah kehidupannya yang penuh dinamika. Diperingati sebagai bentuk mengenang atau mengingat kembali sejarah di utusnya nabi muhammad kemuka bumi ini yang mengembang visi dan misi bahwa Nabi Muhammad  sebagai Rohmatan Lilalamin (rahmat seluruh alam), selain itu juga terpenting dari Risalah kehidupan beliau yang harus di teladani, mengingat suatu pribadi yang agung untuk di jadikan contoh oleh para umatnya. Bagaimana kita meniru akhlak beliau dalam bertauhid, berumah tangga, bermasyarakat sesama muslim dan sesama manusia yang beda aqidah dan lain sebagainya.

Bentuk meneladani Nabi Muhammad  dalam berumah tangga adalah akhlak nabi dalam mengasihi, memuji, dan tidak pernah meyakiti isterinya. Sementara itu, meneladani Nabi Muhammad SAW dalam bermasyarakat. Pencerahan itu dilakukan dengan perilaku santun, seperti suka menolong, suka melayani, tak mau membicarakan kejelekan, menghormati musuh, suka memaafkan, sabar, suka beramal, tidak menyakiti orang, tidak emosi, dan begitu seterusnya.

Maulid Nabi ini merupakan momen Spiritual untuk mentahbiskan beliau sebagai figur teladan yang mengisi pikiran, hati dan pandangan hidup kita, untuk di aktualisasikan dalam kehidupan peribadi serta sosial bermasyarakat. Bukan sekedar serimonial, melainkan penuh isyarat dipetik hikma pengetahuan terutama dibidang akhlakul karimah beliau. Mengingat tidak lama lagi akan memperingati maulid nabi tepat 12 rabiul awal tahun Hijriyah bertepatan 24 Desember 2015.

Maka subtansi mendasar yang dapat dicontoh, diamalkan dalam kehidupan secara universal atau menyeluruh, Pertama yang harus dipahami tidak dari perspektif keislaman saja, melainkan harus dipahami dari berbagai perspektif yang menyangkut segala persoalan, misal, politik, budaya, ekonomi, maupun agama, karena nabi sukses mengatasi berbagai problema yang terjadi pada masanya salah satunya keluhuran budinya. Kedua, wadah untuk mengkaji kehidupan beliau untuk memperkenalkan beliau kepada generasi muda lebih jauh, serta sarana untuk lebih mencintai dan meneladani beliau. Pepatah mengatakan: “tak kenal maka tak sayang”. Sangat mungkin seorang muslim tidak banyak tahu tentang sejarah kehidupan Nabinya, lantas bagaimana mungkin ia akan meneladani nabinya, jika ia sendiri tidak mengenalnya.
Ketiga, keberhasilan Rasulullah  itu sejatinya tidak dapat dilepaskan dari keimanan Rasulullah yang bersifat implementatif. Agama diyakini olehnya sebagai sumber nilai etik yang harus diterjemahkan ke dalam realitas. Kesaksiannya tentang Tauhid (Monoteisme) mengantarkan beliau kepada penyikapan terhadap seluruh umat manusia sebagai mahluk Tuhan yang esensinya setara yang harus diperlakukan berdasar nilai-nilai kesetaraan itu. Oleh karena itu, pokok mendasar dari peringatan maulid nabi Muhammad yang agung tidak di lepas dari ketika faktor tersebut, untuk dijaikan rujukan teladan di kehidupan sosial, individu masyarakat guna mewujudkan masyarakat madani, (Civil Society) serta “Gemah Ripah Lo Jinawi” atau kata lainnya ”Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur” (tenteram dan makmur)

MENGENAL HIJAMAH: Sehat dengan Bekam

Rasulullah  bersabda:

“Sesungguhnya cara pengobatan yang paling ideal bagi kalian adalah alhijamah (bekam) dan fashdu (venesection).” (HR. Bukhari & Muslim)

 

“Barang siapa melakukan bekam padatanggal 17, 19 atau 21, akan sembuh dari setiap penyakitnya.” (HR. Abu Dawud)

 

Bekam adalah metode pengobatan dengan cara mengeluarkan darah statis yang mengandung toksin dari dalam tubuh manusia. Berbekam dengan cara melakukan pemvakuman di kulit dan pengeluaran darah darinya. Pengertian ini mencakup dua mekanisme pokok dari bekam, yaitu proses pemvakuman kulit dan dilanjutkan dengan pengeluaran darah dari kulit yang telah divakum sebelumnya. Dalam bahasa Jawa disebut cantuk atau kop. Di Sumbawa dan sekitarnya disebut tangkik atau batangkik. Dalam bahasa Arab disebut hijamah. Dalam bahasa Inggris disebut blood cupping atau blood letting atau cupping therapy atau blood cupping therapy atau cupping therapeutic. Dalam bahasa Mandarin disebut pa hou kuan. Di Asia tenggara (Malaysia dan Indonesia) dikenal dengan sebutan bekam. Terapi ini mengeluarkan toksin (racun) suhu dan angin serta bibit penyakit yang mengendap dan bersenyawa dalam darah melalui organ belakang tubuh atau organ lainnya. Kata al-Hijamah berasal dari istilah bahasa Arab hijâmah yang berarti pelepasan darah kotor.

Pengobatan dengan bekam sudah digunakan semenjak zaman Rasulullah . Nabi Muhammad  adalah manusia pertama yang dibekam oleh para Malaikat dengan perintah Allah  sebelum Isra dan Mi’raj. Penjelasan ini terdapat dalam hadits riwayat Ibnu Majah. Bekam atau hijamah memiliki banyak manfaat, diantaranya: mengamalkan sunnah Rasul dalam pengobatan, meningkatkan daya tahan tubuh (promotif), mencegah penyakit (preventif), menyembuhkan penyakit (kuratif), dan perawaan pasca sakit (rehabilitatif).

Hingga saat ini, penelitian medis telah dilakukan untuk mengetahui manfaat dari metode bekam. Salah satunya adalah yang dilakukan terhadap 60 orang gemuk yang rutin melakukan bekam. Ternyata bekam bisa menurunkan tekanan darah dan kolesterol jahat, serta meningkatkan kadar kolesterol baik. Hasil studi tersebut dimuat dalam BMC Medicine. Studi lain yang dimuat dalam Journal of the American Medical Association juga menyebutkan orang yang mendonasikan darahnya setiap 6 bulan sekali lebih jarang terkena serangan jantung dan stroke.

Dr. Wadda’ A. Umar mengungkapkan teori kedokteran bahwa saat pembekaman pada titik bekam, maka akan terjadi kerusakan mast cell dan lain-lain pada kulit, jaringan bawah kulit (sub kutis), fascia dan ototnya. Akibat kerusakan ini akan dilepaskan beberapa mediator seperti serotonin, histamine, bradikinin, slow reacting substance (SRS), serta zat-zat lain yang belum diketahui. Zat-zat ini menyebabkan terjadinya dilatasi (pelebaran atau peregangan) kapiler dan arteriol, serta flare reaction pada daerah yang dibekam. Dilatasi kapiler juga dapat terjadi di tempat yang jauh dari tempat pembekaman. Ini menyebabkan terjadinya perbaikan mikro-sirkulasi pembuluh darah. Akibatnya timbul efek relaksasi (pelemasan) otot-otot yang kaku serta akibat vasodilatasi (pelebaran diameter pembuluh darah) umum akan menurunkan tekanan darah secara stabil. Yang terpenting adalah dilepaskannya corticotrophin releasing factor (CRF), serta releasing factors lainnya. CRF adalah sinyal yang merespon tekanan-tekanan/ stress dalam otak yang bertugas mengatur dan melepaskan stress. CRF selanjutnya akan menyebabkan terbentuknya adrenocorticotropic releasing hormone (ACTH), corticotrophin dan corticosteroid yang mempunyai efek menyembuhkan peradangan serta menstabilkan sel.

Rekayasa Sosial Rasulullah di Era Kontemporer

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Apabila seseorang meninggal dunia maka terputuslah semua pahala amalnya kecuali 3 perkara: Amal jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shaleh yang mendoakan orangtuanya dengan doa yang baik.” (HR Muslim dan Abu Hurairah)

Hadis ini sangat popular dikalangan masyarakat yang membawa banyak gerakan perubahan, motivasi berbuat baik dan sandaran yang religius. Namun yang banyak kita saksikan hadis ini cenderung dimaknai secara tekstual terutama pada generasi belakangan ini. Misalnya, poin pertama, “Amal Jariyah” pesan Rasulullah ini masih sering berputar pada pemaknaan yang sempit, yaitu sekedar pembangunan masjid, panti asuhan dan sebagainya. Poin kedua ilmu yang bermanfaat, hanya sering dimaknai sekedar mengajarkan ilmu yang kita punya. Poin ketiga anak shaleh yang mendo’akan orangtunya, sering dimaknai sungguh sangat sempit hanya seputar mengangkat tangan berdo’a untuk keselamatan orangtua di akhirat yang sering dilakukan secara formalitas setelah menunaikan shalat. Banyakan Da’I, Muballig maupun akademisi memang menyampaikannya hanya sebatas itu, sehingga perlombaan hanya gencar membangun masjid, membangun lembaga keagamaan, membagi ilmunya dan mengangkat tangan untuk berdo’a.
1. Amal Jariyah (Gerakan  Sosial)
Amal jariyah sering disempitkan pembahasannya hanya sampai berbuat baik berupa materi, yang biasanya untuk memotivasi membangun masjid, membangun panti asuhan, dan semacamnya. Maka muncul berbagai interpretasi yang bias dalam memaknai teks pesan Rasulullah tersebut. Banyak kita jumpai ahli maksiat kemudian membantu atau membangun masjid, panti asuhan, lembaga keagamaan lainnya dengan harapan ketika meninggal maka pahala amalnya bisa menolongnya. Sebenarnya tindakan demikian mulia, ketika disertai dengan iman, yang dibuktikan berhenti pada kemaksiatannya untuk mensucikan dirinya. Justru yang banyak kita saksikan, baik secara  langsung di sekitar kita, maupun di media, sikapnya berperan ganda. Di sisi lain dia maksiat, di sisi lain berbuat baik.

Dalam al-Qur’an selalu kita jumpai ayat iman dan amal selalu bergandengan, karena kunci keselamatan dunia-akhirat adalah keterpaduan iman dan amal. Misalnya QS. An-Nahl [16]: 97.

مَنۡ عَمِلَ صَٰلِحٗا مِّن ذَكَرٍ أَوۡ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤۡمِنٞ فَلَنُحۡيِيَنَّهُۥ حَيَوٰةٗ طَيِّبَةٗۖ وَلَنَجۡزِيَنَّهُمۡ أَجۡرَهُم بِأَحۡسَنِ مَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ ٩٧

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”

Dalam ayat ini, Allah secara tegas membedakan antara amal dan iman kemudian merangkaikannya sebagai keterpaduan. Kenapa demikian? Karena manfaat iman itu ada pada amal, begitupun sebaliknya, amal (kebaikan sosial) yang dilakukan tanpa iman kepada Allah (mengikuti petunjuk-Nya), berpotensi membuat seseorang melakukan kesewenang-wenangan. Dalam negara kita, baik lembaga kenegaraan, keagamaan, maupun lembaga lainnya, sering kita jumpai pejabat yang memiskinkan ratusan bahkan ribuan orang yang dibunuh secara perlahan melalui tindakan korupsinya tanpa peduli, kemudian seolah-olah ingin mensucikan diri secara pintas melalui amal jariyah dengan cukup berpartisipasi maupun membangun lembaga keagamaan dengan materi. Tindakan demikian bertentangan dengan ajaran Islam yang memerintahkan kebaikan sosial yang didasari iman.

Pesan Rasulullah pada poin pertama ini yaitu amal jariyah, penulis lebih sepakat menekankan maknanya di era kontemporer ini yaitu “gerakan sosial”. Gerakan sosial ini contohnya membangun dan membentuk lembaga yang bergerak pada sosial masyarakat demi perubahan lebih baik, misalnya membentuk KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), lembaga pengawas untuk berbagai sektor, semua itu demi mengontrol, mencegah  dan mengatasi kemungkinan problem yang muncul demi kemaslahatan manusia. Tetapi ahir-ahir ini, jutru kita jumpai banyaknya pihak yang berusaha bahkan sudah menghancurkan lembaga-lembaga sosial ini dengan berbagai cara karena merasa terancam dan tidak bebas melakukan kejahatannya. Misalnya adanya usaha penghapusan KPK, merusak citra KPK, dan lembaga sosial lainnya yang bersifat mengontrol. Akhirnya, justru masjid berjamuran bahkan saling berdekatan dan megah, namun tidak mampu memberi efek positif pada masyarakat, dibuktikan semakin bertambahnya daftar kriminal dalam negeri ini. Pertanyaannya adalah, kenapa bisa demikian? Itu karena antusias iman yang tinggi, namun mengabaikan perhatian pada syarat utama yang membuktikan iman adalah kebaikan sosial, yang disebut amal.
2. Ilmu yang Bermanfaat (Gagasan)
Ilmu merupakan penopang terwujudnya amal yang merupakan buah dari iman. Sehingga kata Prof.Nurcholish Madjid,  bahwa hidup seorang muslim sejati itu, cukup iman, ilmu dan amal (Islam Doktrin dan Peradaban). Rekayasa Sosial Rasulullah pada langkah kedua ini mendorong umat manusia apalagi umat muslim untuk banyak berusaha belajar demi keluasan ilmunya. Memaksimalkan keseharian untuk banyak belajar dan membaca berbagai literature, buku serta berbagai sumber informasi pengetahuan lainnya. Begitupun juga memperbanyak dialektika pengalaman. Ilmu yang bermanfaat ini bukan sekedar mengajarkan seadanya yang kita miliki, namun lebih pada memberikan gagasan perubahan. Dorongan berilmu ini juga banyak kita jumpai dalam ayat al-Qur’an di antaranya QS. Al-Isra’ [17]: 36

وَلَا تَقۡفُ مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٌۚ إِنَّ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡبَصَرَ وَٱلۡفُؤَادَ كُلُّ أُوْلَٰٓئِكَ كَانَ عَنۡهُ مَسۡ‍ُٔولٗا ٣٦

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya”

Setidaknya dalam ayat ini bisa dimaknai larangan Allah untuk bertaqlid tanpa dasar dan ilmu.  Apalagi terhadap orang yang berpendidikan, maka ditekankan adanya pengetahuan dalam melakukan sesuatu supaya lebih bermanfaat. Memunculkan gagasan-gagasan baru yang segar dan mengalir merupakan hal yang dianjurkan dalam Islam. Gagasan baru dan inovatif bisa keluar dari pikiran-pikiran seseorang yang berilmu. Tanpa ilmu yang matang akan melahirkan gagasan-gagasan yang kopy paste, taqlid buta. Hidup apa kata orang, berpikir apa kata orang, dan mengajarkan ilmu juga apa kata orang. Takut dianggap melenceng dari pendapat yang umum, inilah yang menjadi penyakit parah umat muslim kontemporer ini. Padahal produk pemikiran tokoh masa lampau yang merupakan contoh awal dealektika mereka terhadap zamannya tentu mereka berharap ada pengembangan dilakukan generasi setelahnya karena juga berbeda zaman dan situasinya. Keberanian memberikan gagasan perubahan yang baru dan inovatif, akan menyumbang tumbuh pesatnya ilmu pengetahuan, yang mewujudkan perubahan dan peradaban.
3. Anak Shaleh yang mendo’akan orangtuanya (Tokoh Besar)

Tahap ketiga perubahan sosial yang diajarkan Nabi Muhammad SAW., ini yaitu lahirnya anak shaleh. Anak shaleh yang penulis maksud bukanlah yang sekedar mengangkat tangan berdo’a untuk keselamatan orang tuanya. Dalam era kontemporer ini, redaksi hadis tersebut harus dimaknai lebih dinamis demi hadirnya Islam yang segar dengan mewujudkan duta-duta pembaharu yaitu “Tokoh Besar”. Ketika Langkah pertama dan kedua di atas sudah ditempuh, maka langkah ketiga ini yang dianjurkan Rasulullah akan memunculkan tokoh besar. Tokoh besar yang diharapkan di sini yaitu yang peka terhadap situasi kemanusiaan, terus berupaya melakukan  amal jariyah (kebaikan sosial), karena itu buah dari iman. Kemudian berilmu, berwawasan luas, jadi ahli, professional, memperhatikan kebaikan lingkungan, mejaga harga diri. Maka kebaikan yang kita lakukan, manusia di sekeliling kita bertanya itu anak siapa? Siapa orangtuanya?. Orangtua kita yang disanjung, dikenang, diingat kebaikannnya, diperbincangkan serta diteladani oleh orang lain meskipun sudah tiada, merupakan do’a untuk orangtua kita. Itulah makna, “Anak shaleh yang mendo’akan orangtuanya”. Demikianlah tahap strategi dan  rekayasa sosial yang diajarkan Rasulullah, semoga bisa dimaknai lebih dari yang penulis uraikan.
B

Biodata Penulis
Nama:Muhammad Hamsah, S.Pd.I
Jurusan: Konsentrasi Pendidikan Islam, FIAI MSI UII Yogyakarta 2015

No Hp: 085299222096
Email: [email protected]
No. Rek BNI: 0354666794