MEMBERSIHKAN PENYAKIT HATI DAN MERAIH SAKINAH

MEMBERSIHKAN PENYAKIT HATI DAN MERAIH SAKINAH

*Inats Tsuroyya Elbarr

Psikologi 2021

 

Penyakit Hati

Hati adalah cerminan dari perilaku manusia. Jika hati manusia itu baik, maka perilakunya akan baik. Begitu juga saat hati manusia tersebut kotor, perilakunya juga akan buruk. Hati yang kotor ini disebut juga dengan hati yang berpenyakit. Ibnu Taimiyah mendefinisikan penyakit hati sebagai nafsu syahwat yang termanifestasikan dalam bentuk iri, dengki, serakah, sombong, suka mencela, dan kufur ni’mat (tidak mensyukuri nikmat).[1] Hati yang kotor harus diobati agar kembali bersih dan dapat menuntun manusia kepada jalan keselamatan, yaitu jalan yang dipenuhi dengan cahaya Allah ﷻ.

Hasan Muhammad as-Syarqawi membagi penyakit hati menjadi sembilan bagian, yaitu riya’ (pamer), tama’ (rakus), al-was wasah (was-was), al-ya’s (frustasi), al-ghurur (terperdaya), al-ghadhab (marah), al-hasd wal hiqd (dengki dan iri hati), al-ujub (sombong), dan al-ghaflah wan nisyah (lalai dan lupa).[2]

Menurut Imam Abil Izz al-Hanafi, penyakit hati bisa disebabkan oleh dua hal, yaitu syahwat dan syubhat. Penyakit hati yang disebabkan oleh syahwat akan menjadikan manusia tersebut gemar berbuat maksiat dan ringan hati melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Allah ﷻ. Sedangkan penyakit hati yang disebabkan oleh syubhat akan menyebabkan ibadah yang dilakukan oleh manusia tersebut menjurus kepada kemusyrikan.[3] Apapun jenis dan penyebabnya, penyakit hati harus segera disembuhkan. Karena penyakit-penyakit hati tersebut akan menjerumuskan kita pada dosa dan laknat Allah ﷻ. Apabila manusia tidak segera mengobati penyakit hatinya, Allah ﷻ akan menurunkan penyakit lainnya pada hatinya.

Allah ﷻ berfirman,

فِيْ قُلُوْبِهِمْ مَّرَضٌۙ فَزَادَهُمُ اللّٰهُ مَرَضًاۚ وَلَهُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌ ۢ بِمَا كَانُوْا يَكْذِبُوْنَ

“Dalam hati mereka ada penyakit, lalu Allah menambah penyakitnya itu; dan mereka mendapat azab yang pedih, karena mereka berdusta.” (Q.S. al-Baqarah [02]: 10)

Penyakit hati juga akan menghilangkan ketenangan dan ketentraman dalam hati manusia. Dia tidak akan menemukan kebahagiaan yang hakiki dalam hidupnya. Rasa tenang dan bahagia yang dia rasakan sejatinya adalah perasaan yang semu. Selain itu, orang yang hatinya sakit akan kehilangan kenikmatan dalam beribadah kepada Allah ﷻ. Pikirannya selalu terfokus pada penyakit hati yang dia rasakan. Akibatnya, dia menjadi semakin jauh dari Allah ﷻ. Karena hubungannya dengan Allah ﷻ yang tidak baik, hubungannya dengan sesama manusia juga tidak akan baik. Penyakit hati tersebut akan menggerogoti rasa welas asih dan empati dalam hatinya. Naûdzubillâhi min dzalik.

Maraih Sakinah

Istilah sakinah sangat lekat dengan konteks keluarga ataupun pernikahan. Padahal, sakinah sendiri memiliki banyak definisi. Seorang ahli fiqh dan tafsir, Al-Isfahani mengartikan sakinah dengan tidak adanya rasa takut dalam mengahadi sesuatu. Sedangkan ahli bahasa, Al-Jurjani mendefinisikan sakinah sebagai adanya ketentraman dalam hati manusia saat mendapatkan sesuatu yang tidak terduga, disertai dengan adanya cahaya di dalam hati yang memberikan ketentraman pada siapapun yang melihatnya, dah hal tersebut merupakan keyakinan berdasarkan penglihatan.[4] Dalam Bahasa Indonesia, sakinah diartikan sebagai ketenangan, kedamaian, kebahagiaan, dan ketentraman. Sehingga, dalam konteks pembahasan kita saat ini sakinah diartikan sebagai rasa tenang, tentram, dan damai yang ada di dalam hati manusia, yang menciptakan kebagiaan dan kerelaan dalam menjalani keadaan apapun dalam hidupnya.

Manusia pasti mengalami dinamika dalam kehidupannya. Terkadang, hidup terasa begitu membahagiakan. Dikelilingi orang tersayang, memiliki harta melimpah, pekerjaan yang mapan, dan kenikmatan-kenikmatan lainnya. Banyak manusia yang sellau mensyukuri nikmat-nikmat yang dia miliki sekecil apapun bentuknya. Tetapi, tidak sedikit dari mereka yang menjadi riya’, serakah, dan kufur ni’mat. Disamping itu, tidak jarang manusia mendapatkan cobaa atau musibah dan persoalan-persoalan hidup yang berat sehingga hati terasa begitu hampa, sengsara, sepi, dan sedih. Ada yang menjadikan cobaan tersebut sebagai jalan untuk mendekat kepada Allah ﷻ, ada juga yang menjadikan musibah tersebut sebagai pembentang jarak antara dia dengan Allah ﷻ. Berbagai cobaan atau musibah tersebut menggoyahkan ketenangan dan ketentraman dalam hati dan jiwa kita hingga kebanyakan manusia lupa bahwa semua cobaan bersifat sementara dan selalu mengandung pelajaran dibaliknya.

Ketenangan Hati

Dalam Islam, semua ajarannya ditujukan agar manusia mendapatkan kebahagiaan di dunia maupun akhirat. Kebahagiaan di dunia tersebut bisa dirasakan saat ada ketenangan dan ketentraman dalam hati dan jiwa. Ketenangan hati dapat diraih saat kita mengingat Allah ﷻ. Salah satu cara mengingat Allah ﷻ adalah dengan membaca, mendengarkan, dan mempelajari al-Qur’an.

Allah ﷻ berfirman,

الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah Hati menjadi tentram” (Q.S. Ar-Ra’d [13]: 28)

Ahmad Van Denffer membagi pendekatan terhadap al-Qur’an menjadi tiga tahapan. Pertama adalah dengan membaca atau mendengar. Yang kedua adalah dengan memahami, menghayati, dan mengkaji makna serta pesan yang ada dalam al-Qur’an. Terakhir adalah dengan mengimplementasikan makna dan pesan yang ada dalam al-Qur’an ke dalam kehidupan.  Berdasarkan ketiga tahapan tersebut, seseorang harus memahami makna al-Qur’an terlebih dahulu sebelum bisa mengamalkannya. Selain itu, memahami dan mengamalkan al-Quran berarti memahami dan mengamalkan ajaran dan tuntunan Allah.[5]

Hati manusia merasa tidak tenang karena dipenuhi oleh noda dan dosa yang mengotorinya. Bisa karena prasangka, duka yang terlalu berlarut-larut, iri, dengki, dan penyakit hati lainnya. Hati tersebut dapat kembali jernih dan bersih dengan cara mengingat Allah ﷻ melalui amal ibadah yang telah diajarkan kepada kita melalui al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad n. Sehingga dengan begitu, akan tercapai sakinah dalam hati dan jiwa manusia.

Semoga Allah ﷻ menjauhkan kita dari berbagai penyakit hati, dan mendapatkan sakinah dalam kehidupan. Amîn yâ rabbal ‘âlamîn.[]

Mutiara Hikmah

Dari Abbas bin Abdul Mutahalib, Rasulullah ﷺ bersabda,

ذَاقَ طَعْمَ الْإِيمَانِ مَنْ رَضِيَ بِاللهِ رَبًّا، وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا، وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولًا

“Akan merasakan nikmatnya iman, orang yang ridha Allah sebagai Rabnya, islam sebagai agamanya, dan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagai rasulnya.” (H.R. Muslim)

Marâji’:

[1] Kholil Lul Rohman, Terapi Penyakit Hati Menurut Ibn Taimiyah Dalam Perspektif Bimbingan Konseling Islam, dalam Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Vol. 03 No. 02, Tahun 2009

[2] As-Syarqawi, Nahwa Ilm an-Nafsi al-Islami, Mesir, al-Hai’ah al-Misriyah, 1979.

[3] KH. Ali Mustafa Yaqub, Kalau Istiqomah Nggak Bakal Takut Nggak Bakal Sedih, Jakarta : Noura

[4] A. M. Ismatullah, Konsep Sakinah, Mawaddah, Dan Rahmah Dalam Al-Qur’an (Perspektif Penafsiran Al-Qur’an Dan Tafsirnya), Dalam Jurnal Pemikiran Hukum Islam, Vol. XIV No. 01, Tahun 2015

[5] Muhammad Roihan Daulay, Studi Pendekatan Al-Qur’an, dalam Jurnal Thariqah Ilmiah, Vol. 01 No. 01, Tahun 2014

Download Buletin klik disini

IDUL FITHRI DALAM KESEDERHANAAN

IDUL FITHRI DALAM KESEDERHANAAN

Fawwaz AR

 

Hari ini seluruh penjuru dunia mengumandangkan takbir sebagai wujud rasa syukur kepada Allah ﷻ atas segala anugerah hari raya ‘Idul Fithri, yang merupakan salah satu hari besar umat Islam selain hari raya ‘Idul Adha. Karenanya, agama ini membolehkan umatnya untuk mengungkapkan perasaan bahagia dan bersenang-senang pada hari itu. Sebagai bagian dari ritual agama, prosesi perayaan ‘Idul Fithri sebenarnya tak bisa lepas dari aturan syariat. Ia harus didudukkan sebagaimana keinginan syariat.

Perlu diketahui bahwa perayaan dalam Islam hanya ada dua macam yaitu ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha. Hal ini berdasarkan pada hadits Nabi n dari Anas bin Malik berkata, “Tatkala Nabi ﷺ datang ke kota Madinah, penduduk Madinah memiliki dua hari untuk bersenang-senang di waktu jahiliyah, lalu beliau bersabda, ‘Saya datang kepada kalian sedangkan kalian memiliki dua hari raya untuk bergembira di masa jahiliyah, dan sesungguhnya Allah telah mengganti keduanya dengan yang lebih baik: ‘Idul Adha dan ‘Idul Fithri.” (H.R. Ahmad 3/103, Abu Dawud, no. 1134 dan Nasa’I 3/179).[1]

Selain dua perayaan hari raya ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha adalah tradisi. Setiap tradisi itu hukum asalnya boleh dilakukan selama tidak bertentangan dengan syari’at dan selama tidak ada unsur ibadah di dalamnya. Misalnya, santun ketika berbincang-bincang dengan yang lebih tua, ini adalah tradisi yang bagus dan tidak bertentangan dengan syari’at.[2] Tradisi mudik lebaran sebagai bentuk kegiatan untuk memanfaatkan momentum dan kesempatan untuk menjernihkan suasana keruh dan hubungan yang retak sementara tidak ada kesempatan yang baik kecuali hanya waktu lebaran maka demikian itu boleh-boleh,[3] ini juga tradisi yang baik dan tidak bertentangan dengan syari’at.

 

Makna Idul Fithri

‘Idul fithri berasal dari dua kata; ‘id (arab: عِيْدُ) dan al-fithri (arab: الْفِطْرِ). ‘Id secara bahasa berasal dari kata ‘âda – ya’ûdu [arab: عَادَ – يَعُودُ], yang artinya kembali. Hari raya disebut ‘id karena hari raya terjadi secara berulang-ulang, dimeriahkan setiap tahun, pada waktu yang sama.[4] Ibnul A’rabi mengatakan,

سُمِيَ العِيدُ عِيْداً لِأَنَّهُ يَعُوْدُ كُلَّ سَنَةٍ بِفَرَحٍ مُجَدَّدٍ

Hari raya dinamakan id karena berulang setiap tahun dengan kegembiraan yang baru. (Lisan Al-Arab, 3/315).[5]

Selanjutnya kata fithri berasal dari kata afthara – yufthiru )arab: أَفْطَرَ – يُفْطِرُ), yang artinya berbuka atau tidak lagi berpuasa. Disebut ‘Idul Fithri, karena hari raya ini dimeriahkan bersamaan dengan keadaan kaum muslimin yang tidak lagi berpuasa Ramadhan. [6]

Pehatian. Banyak orang Indonesia menerjemahkan ‘Idul Fithri dengan ‘kembali suci’, ini terjemahan yang salah ditinjau dari segi bahasa dan syara’. Fithri dan fithrah adalah dua kata yang berbeda. Beda arti dan penggunaannya. Ibnul Jauzi menjelaskan makna fithrah,

الخِلْقَةُ الَّتِي خُلِقَ عَلَيهَا البَشَرُ

“Kondisi awal penciptaan, dimana manusia diciptakan pada kondisi tersebut.” (Zadul Masir, 3/422).[7]

Idul Fithri dalam Kesederhanaan

Kesederhaan dalam perayaan Idul Fithri tidak terlepas dari kebiasaan Rasulullah ﷺ dalam merayakan hari raya. Ada riwayat yang disebutkan dalam Bulughul Maram no. 533 diriwayatkan oleh Imam Bukhari bahwa Nabi ﷺ memiliki baju khusus di hari Jumat dan di saat beliau menyambut tamu.[8]

Ada juga riwayat dari Jabir, ia berkata,

كَانَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جُبَّةٌ يَلْبَسُهَا لِلْعِيْدَيْنِ وَيَوْمِ الجُمُعَةِ

“Nabi ﷺ memiliki jubah khusus yang beliau gunakan untuk Idul Fithri dan Idul Adha, juga untuk digunakan pada hari Jum’at.” (H. R. Ibnu Khuzaimah dalam kitab shahihnya, 1765)

Diriwayatkan pula dari Al-Baihaqi dengan sanad yang shahih bahwa Ibnu ‘Umar biasa memakai pakaian terbaik di hari ‘id.

Aturan berpenampilan menawan di hari ‘id berlaku bagi pria. Sedangkan bagi wanita, lebih aman baginya untuk tidak menampakkan kecantikannya di hadapan laki-laki lain. Kecantikan wanita hanya spesial untuk suami.[9]

Tuntunan Hari Raya Idul Fithri

Perayaan Idul Fithri merupakan salah satu bentuk ibadah kepada Allah. Karena ibadah maka tidak terlepas dari dua hal, yaitu: Ikhlas ditujukan hanya untuk Allah semata dan Ittiba’, sesuai dengan tuntunan Rasulullah. Berikut beberapa tuntunan Rasulullah dalam merayakan ‘Idul Fithri,[10]

  1. Sesaat setelah tenggelamnya matahari, tanggal 1 Syawwal disunnahkan memperbanyak dzikir dengan takbir dan tahlil (Q.S. al Baqarah [2]: 185).
  2. Memastikan diri bahwa telah membayar zakat Fithri.
  3. Makan terlebih dahulu sebelum shalat Idul Fithri.
  4. Mandi pada hari Idul Fithri sebelum berangkat ke tempat shalat Idul Fithri.
  5. Berpenampilan menarik namun tidak ber-tabarruj[11] sebelum berangkat shalat Idul Fithri.
  6. Menggunakan pakaian terbaik (tidak harus baru) pada Hari Raya Idul Fithri.
  7. Mengambil jalur berbeda saat berangkat dan pulang shalat idul Fithri.
  8. Dianjurkan memberi selamat dan mendo’akan saat bertemu satu sama lain, تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ
  9. Berkunjung dan menyambung silaturrahim dengan sanak saudara dan teman.
  10. Berbagi kebahagiaan dengan saudara, teman, tetangga, dan anak-anak yatim.
  11. Dalam menunjukkan kegembiraan di hari Idul Fithri, harus memperhatikan hak-hak orang lain, tidak mengganggu orang lain. Harus menjaga adab di jalan dan bergaul dengan orang lain.

Mutiara Hikmah

Dari An Nu’man bin Basyir, Nabi ﷺ bersabda,

مَنْ لَمْ يَشْكُرِ الْقَلِيلَ لَمْ يَشْكُرِ الْكَثِيرَ

“Barang siapa yang tidak mensyukuri yang sedikit, maka ia tidak akan mampu mensyukuri sesuatu yang banyak.” (H.R. Ahmad, 4/278)

 

Marâji’:

[1] Abu Abdillah Sayhrul Fatwa bin Luqman dan Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as Sidawi. Panduan Lengkap Puasa Ramadhan Menurut al Qur’an dan Sunnah. Gresik: Pustaka Al Furqon. 1431. Cet.Ke-1. h. 126.

[2] Muhammad Abduh Tuasikal. Selamatan Kematian Kan Sudah Menjadi Tradisi?. 2010 M. dalam  https://rumaysho.com/892-mengenal-bidah-7-selamatan-kematian-kan-sudah-jadi-tradisi.html. Diakses pada 18 Maret 2023.

[3] Zainal Abidin bin Syamsuddin. “Mudik Lebaran” dan Tradisi yang Keliru. 2010 M.  https://almanhaj.or.id/2830-mudik-lebaran-dan-tradisi-yang-keliru.html. Diakses pada 18 Maret 2023.

[4] Tim Ulama Fiqih. Al Fiqhu al Muyassar. Cairo Al Azhar: Darul Âlamiyah. 2011. Cet.Ke-1. h. 102

[5] Ammi Nur Baits. Idul Fithri bukan Kembali Suci. 2015 M. dalam https://konsultasisyariah.com/19817-istilah-salah-terkait-idul-Fithri-bagian-02.html. Diakses pada 18 Maret 2023.

[6] Ibid.

[7] Ibid.

[8] Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Adab Al-Mufrad.

[9] Muhammad Abduh Tuasikal. 6 Sunnah Nabi di Hari Raya Idul Fithri. 2016 M. Dalam  https://rumaysho.com/13875-6-sunnah-nabi-di-hari-idul-fithri.html. Diakses pada 18 Maret 2023.

[10] Disadur dari kitab Al-Îdu: Îdul Fithri dan Îdul Adha, Adab-adab dan hukum-hukumnya karya Khalid bin Abdurrahman As-Syayi’ (dalam berita satu)

[11] Tabarruj adalah perilaku wanita yang menampakkan perhiasan dan kecantikannya serta segala sesuatu yang mestinya ditutup karena hal itu dapat menggoda kaum lelaki.

Download Buletin klik disini

Anjuran Istiqamah

Anjuran Istiqamah

Abdurrahman Triadi Putro

*Alumni Ma’had al ‘Ilmi Yogyakarta

 

Segala puji bagi Allahﷻ, shalawat dan salam semoga tercurahkan atas Rasulullah ﷺ, beserta keluarga dan para sahabat beliau seluruhnya.

Para pembaca budiman yang semoga dirahmati Allah ﷻ.

Sesungguhnya kehidupan dunia ini adalah tempat untuk berlomba dan melakukan berbagai kebaikan. Sungguh Allah ﷻ telah memudahkan jalan-jalan kebaikan dan membuka pintu-pintunya. Allah ﷻ telah menyeru hamba-Nya agar berjalan di atasnya dan Allah pun telah mengabarkan tentang balasan yang akan diterima dari jalan-jalan kebaikan tersebut.

Diantara jalan-jalan kebaikan adalah shalat 5 waktu yang merupakan rukun Islam yang paling agung setelah 2 kalimat syahadat. Dengan mengerjakan shalat 5 waktu berjamaah dalam sehari semalam, Allah ﷻ akan melipatgandakan semisal dengan 50x shalat dalam timbangan dan balasan amal. Berikut diikuti dengan shalat sunnah rawatib yang mengiringi shalat wajib.

Barangsiapa yang mengerjakan shalat sunnah rawatib dalam sehari semalam maka Allah l akan bangunkan baginya rumah di surga. Sebagaimana hal ini terdapat dalam hadits, dari Ummu Habibah –istri Nabi n- Rasulullah ﷺ bersabda,

مَنْ صَلَّى اثْنَتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً فِى يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ بُنِىَ لَهُ بِهِنَّ بَيْتٌ فِى الْجَنَّةِ

“Barangsiapa mengerjakan shalat sunnah dalam sehari-semalam sebanyak 12 raka’at, maka karena sebab amalan tersebut, ia akan dibangun sebuah rumah di surga.” (H.R. Muslim).

Kebaikan berikutnya adalah shalat witir, yang merupakan sunnah Rasulullah ﷺ yang hampir tidak pernah ditinggalkannya. Inilah shalat-shalat sunnah (zikir-zikir) yang dapat dikerjakan setelah shalat wajib. Barangsiapa yang menjaga shalat-shalat sunnah tersebut, maka akan diampuni kesalahan-kesalahannya meskipun kesalahannya tersebut sebanyak buih di lautan.

Kebaikan berikutnya adalah wudhu (sebagai syarat sahnya shalat) untuk shalat-shalat yang memiliki keutamaan yang agung.

Kebaikan berikutnya adalah sedekah harta yang mana seorang muslim akan diberikan ganjaran atas sedekah yang dilakukannya, meskipun sedekah itu ia berikan untuk dirinya sendiri, istri ataupun anaknya, ketika dia berharap wajah Allah ﷻ dari sedekah yag dilakukan tersebut.

Sesungguhnya Allah ﷻ benar-benar ridha kepada seorang hamba yang makan sebuah makanan kemudian ia memuji Allah ﷻ atas makanan yang telah diberikan kepadanya tersebut, dan juga kepada seorang hamba yang minum sebuah minuman kemudian ia memuji Allah ﷻ atas minuman yang diberikan kepadanya tersebut. Dalam sebuah hadits Nabi ﷺ bersabda, dari Abu Hurairah, berkata, Rasulullah ﷺ bersabda,

السَّاعِي عَلَى اْلأَرْمَلَةِ وَالْمَسَاكِيْنِ، كَالْمُجَاهِدِ فِي سَبِيْلِ اللهِ، وَكَالَّذِي يَصُوْمُ النَّهَارَ وَيَقُوْمُ اللَّيْلَ

“Orang yang berusaha menghidupi para janda dan orang-orang miskin laksana orang yang berjuang di jalan Allah. Dia juga laksana orang yang berpuasa di siang hari dan menegakkan shalat di malam hari.”(H.R. Bukhari no. 5353 dan Muslim no. 2982)

Hadits di atas menunjukkan keutamaan seseorang yang ia berusaha mencari rezeki untuk dapat menolong janda dan orang-orang miskin, serta ia berusaha untuk memenuhi kebutuhan mereka. Termasuk juga orang-orang yang dibantu dalam hal ini dari anggota keluarga yaitu anak-anak yang masih kecil dan yang lainnya yang mana mereka belum mampu untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.

Oleh karena itu, kita mengetahui bahwasanya jalan-jalan kebaikan sangatlah banyak, maka manakah yang telah kita tempuh? Pintu-pintu kebaikan itu terbentang dengan luas, maka manakah yang sudah kita masuki? Sungguh jelas tidaklah seseorang itu berpaling dari kesempatan-kesempatan kebaikan tersebut, kecuali ia termasuk orang-orang yang merugi.

Sesungguhnya orang-orang yang telah memanfaatkan jalan-jalan dan pintu-pintu kebaikan tersebut di bulan Ramadhan, maka hendaklah ia bertakwa kepada Allah dan menjadikan dirinya berusaha terus menetapi jalan dan pintu amal saleh tersebut selepas Ramadhan. Sehingga boleh jadi juga diantara hikmah pensyariatan puasa 6 hari di Bulan Syawal adalah hal-hal berikut:

Pertama, sebagai bentuk rasa syukur hamba kepada Allah ﷻ.

Kedua, melatih jiwa agar terbiasa untuk mengikuti sebuah kebaikan dengan kebaikan.

Ketiga, mengabarkan bahwasanya amal saleh tidaklah terbatas hanya dilakukan di bulan Ramadhan, namun hendaknya terus meneru dilakukan pada setiap waktu. Allah ﷻ berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱرْكَعُوا۟ وَٱسْجُدُوا۟ وَٱعْبُدُوا۟ رَبَّكُمْ وَٱفْعَلُوا۟ ٱلْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Wahai orang-orang beriman, rukuklah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.” (Q.S. Al-Hajj [22]: 77).

Istiqamah dalam beramal saleh adalah bukti atas keimanan kepada Allah ﷻ. Allah l berfirman,

إِنَّ ٱلَّذِينَ قَالُوا۟ رَبُّنَا ٱللَّهُ ثُمَّ ٱسْتَقَٰمُوا۟ تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ ٱلْمَلَٰٓئِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا۟ وَلَا تَحْزَنُوا۟ وَأَبْشِرُوا۟ بِٱلْجَنَّةِ ٱلَّتِى كُنتُمْ تُوعَدُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuham kami adalah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: “Janganlah kamu takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah dengan surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu.” (Q.S. Fushshilat [41]: 30).

Dahulu, ada seorang laki-laki[1] bertanya kepada Nabi ﷺ, ia berkata,

قُلْتُ يَارَسُوْلَ اللهِ قُلْ لِيْ فِي الإِسْلامِ قَوْلاً لاَ أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَدَاً غَيْرَكَ؟ قَالَ: “قُلْ آمَنْتُ باللهِ ثُمَّ استَقِمْ” رَوَاهُ مُسْلِمٌ

“Aku berkata: “Wahai Rasulullah katakanlah kepadaku suatu perkataan dalam Islam yang aku tidak perlu bertanya tentangnya kepada seorang pun selainmu.” Beliau bersabda, “Katakanlah: aku beriman kepada Allah, kemudian istiqamahlah.” (H.R. Muslim, no. 38).

Maka hendaklah kita istiqamah pada waktu yang tersisa dari Bulan Ramadhan ini dan juga pada waktu setelahnya. Berhati-hatilah dari perusak dan pembatal amal-amal saleh yang telah kita lakukan. Berhatilah-hatilah dari keadaan dimana ada seorang perempuan yang tidak berilmu yang mana ia telah memintal benangnya dengan kuat kemudian ia uraikan benang tersebut sehingga menjadi tercerai-berai. Allah ﷻ berfirman,

وَلَا تَكُونُوا۟ كَٱلَّتِى نَقَضَتْ غَزْلَهَا مِنۢ بَعْدِ قُوَّةٍ أَنكَٰثًا

Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai-berai kembali.” (Q.S. An-Nahl [16]: 92).

Perempuan tersebut sudah memintal benangnya dengan kuat di siang hari, kemudian ia menguraikannya di malam hari.

Wahai orang yang telah bersunguh-sungguh bertaubat kepada Allah ﷻ dengan taubat nasuha, berhati-hatilah dari kembali kepada jeratan setan dan mengikuti langkah-langkahnya.

Ya Allah, berikanlah kepada kami karunia istiqamah, serta jalan-jalan agar dapat bersungguh-sungguh dalam kebaikan hingga kami berjumpa dengan-Mu. Kami berlindung kepada-Mu dari terjerembab kepada hukuman-hukuman-Mu, dan berlindung dari kehinaan setelah datangnya kemuliaan. Kami memohon kepada-Mu Ya Allah, ampunan dan keselamatan, serta pemaafan dari-Mu di dunia dan akhirat.

Semoga Allah ﷻ melimpahkan shalawat dan salam kepada Nabi kita, Muhammad ﷺ, beserta keluarga dan para sahabat beliau seluruhnya.[]

 

Marâji’:

Kitab Durus fi Ramadhan karya Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah Ar-Rajhi. h. 91-93,

Mutiara Hikmah

Dari sahabat Abu Ayyub Al Anshari, beliau ﷺ bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

“Barang siapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (H.R. Muslim)

[1] Laki-laki yang dimaksud adalah Abu ‘Amr—ada yang menyebut pula Abu ‘Amrah—Sufyan bin ‘Abdillah z, ia berkata, … (teks hadits)

Download Buletin klik disini

Raih Keberkahan Nuzulul Qur’an pada Lailatul Qadar

Raih Keberkahan Nuzulul Qur’an pada Lailatul Qadar

Uun Zahrotunnisa

*Mahasiswi Ahwal Syakhsiyyah Universitas Islam Indonesia

 

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Esensi Ramadhan dan Turunnya al-Qur’an

Ramadhan adalah bulan paling mulia di antara bulan-bulan lainnya. Mengingat pada bulan Ramadhan, al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam, pedoman hidup, dan panduan umat Islam dalam menjalani kehidupan di dunia di turunkan kepada Rasulullah ﷺ. Peristiwa tersebut dikenal dengan istilah Nuzulul Qur’an. Nuzulul Qur’an berasal dari 2 kata bahasa arab. Pertama kata “Nuzulul” berasal dari kata dasar “Nuzul” yang berarti turun dan Qur’an adalah kitab suci umat Islam.

Secara istilah dua kata tersebut disandarkan pada susunan kalimat mudhaf wa mudhaf ilaihi, Nuzulul Qur’an berarti turunnya al-Qur’an. Ramadhan merupakan momen dimana Allah ﷻ menurunkan al-Qur’an  kepada Rasulullah ﷺ. Disebutkan dalam al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 185, “Bulan Ramadhan , bulan yang didalamnya diturunkan al-Qur’an.” Maka sebagaimana umat Islam, seseorang harus mengetahui dan memaknai sejarah turunnya al-Qur’an sampai kepada kita semua sebagai umat akhir zaman. Memaknai sejarah turunnya al-Qur’an  merupakan sebagian dari menuntut ilmu.[1]

Peristiwa Nuzulul Qur’an

Al-Qur’an adalah kalamullâh yang diturunkan sekaligus di Baitul Izzah di langit dunia pada bulan Ramadhan pada malam Lailatul Qadar. Kemudian al-Qur’an akan turun secara berangsur-angsur sesuai peristiwa. Ibnu Abbas berkata, “Al-Qurán diturunkan pada bulan Ramadhan pada Lailatul Qadar di malam penuh berkah. Al-Qur’an tersebut turun sekaligus (jumlatan waahidatan). Kemudian al-Qur’an turun secara bertahap sesuai dengan peristiwa, pada bulan dan hari.”(H.R. Ibnu Abi Hatim, sanadnya hasan)

Ada juga riwayat dari Ibnu Abbas yang menyebutkan bahwa al-Qur’an itu diturunkan pada pertengahan Ramadhan ke langit dunia. Al-Qurán diletakkan di Baitul Izzah. Kemudian al-Qur‘an itu turun dalam kurun waktu 24 tahun untuk memberikan jawaban kepada manusia.”(H.R. Ath-Thabari, sanadnya saling menguatkan satu dan lainnya).[2]

Sebelum diangkat menjadi Rasul, Muhammad bin Abdullah mengalami mimpi yang menjadi nyata. Setelah beberapa kali mimpi, ia memiliki kebiasaan baru, menyendiri di Gua Hira. Di saat itulah ada yang menyerunya dengan perintah, “Iqra!” (bacalah!). Ia menjawab, “Aku tak bisa membaca”. Nabi ﷺ mengatakan, “Kemudian ia mendekapku, hingga aku merasa sesak. Barulah ia melepaskanku. Ia kembali memerintah, ‘Bacalah!’. ‘Aku tak bisa membaca’, jawabku. Ia mendekapku untuk yang kedua kali hingga aku merasa sesak. Lalu ia melepaskanku. Dan berkata, ‘Bacalah!’ ‘Aku tak bisa membaca’ jawabku. Ia pun mendekapku untuk kali ketiga. Kemudian melepaskanku dan mengatakan,

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ. خَلَقَ الإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ. اقْرَأْ وَرَبُّكَ الأَكْرَمُ. الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ. عَلَّمَ الإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ.

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (Q.S Al-‘Alaq []:1-5). (H.R. al-Bukhari Bab Kaifa Kana Bad’ul Wahyi Ila Rasululillah n).[3]

Petunjuk dalam Al-Qur’an  berisi perintah dan larangan dari Allah ﷻ. Secara fakta Al-Qur’an  memiliki 77.845 kata dalam 30 Juz, 114 surat, dan 6.236 ayat.[5] Fase diturunkannya Al-Qur’an  adalah selama 23 tahun, dimana 13 tahun surah-surah dalam Al-Qur’an  turun di Makkah dan sisanya di Madinah.[4]

Tanda-Tanda Lailatul Qadr dan Keistimewaannya

Beberapa hadits meriwayatkan tentang tanda-tanda lailatul qadar yang jatuh pada sepuluh malam terakhir Ramadhan.

Dari Abdullah bin ‘Umar sesungguhnya beberapa laki-laki dari sahabat Rasulullah ﷺ diperlihatkan lailatul Qodar di dalam mimpi mereka di malam 27 Ramadhan, maka Rasulullah ﷺ bersabda.

أَرَى رُؤْيَاكُمْ قَدْ تَوَاطَأَتْ فِي السَّبْعِ الأَوَاخِرِ، فَمَنْ كَانَ مُتَحَرِّيهَا فَلْيَتَحَرَّهَا فِي السَّبْعِ الأَوَاخِرِ

“Aku melihat (memandang) mimpi-mimpi kalian saling bertepatan di tujuh malam terakhir, maka barangsiapa yang ingin mencarinya maka hendaklah mencarinya di tujuh hari terakhir.”(H.R Muslim, no. 1985).

Dari ‘Aisyah, ia berkata,

كَانَ يَعْتَكِفُ اَلْعَشْرَ اَلْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ, حَتَّى تَوَفَّاهُ اَللَّهُ, ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

“Bahwasanya Nabi ﷺ biasa beri’tikaf di sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan hingga beliau diwafatkan oleh Allah. Lalu istri-istri beliau beri’tikaf setelah beliau wafat.” (H.R. Bukhari, no. 2026 dan Muslim, no. 1172).

Abu Sa’id Al Khudri di mana Nabi n bersabda,

إِنِّى اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوَّلَ أَلْتَمِسُ هَذِهِ اللَّيْلَةَ ثُمَّ اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوْسَطَ ثُمَّ أُتِيتُ فَقِيلَ لِى إِنَّهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ فَمَنْ أَحَبَّ مِنْكُمْ أَنْ يَعْتَكِفَ فَلْيَعْتَكِفْ. فَاعْتَكَفَ النَّاسُ مَعَهُ

“Aku pernah melakukan i’tikaf pada sepuluh hari Ramadhan yang pertama. Aku berkeinginan mencari malam lailatul qadar pada malam tersebut. Kemudian aku beri’tikaf di pertengahan bulan, aku datang dan ada yang mengatakan padaku bahwa lailatul qadar itu di sepuluh hari yang terakhir. Siapa saja yang ingin beri’tikaf di antara kalian, maka beri’tikaflah.” Lalu di antara para sahabat ada yang beri’tikaf bersama beliau. (H.R. Bukhari, no. 2018 dan Muslim, no. 1167).[5]

Amalan-amalan di Malam Lailatul Qadar  

Lailatul Qadar memiliki keistimewaan, yaitu seperti yang disebutkan dalam Al-Qur’an  surah Ad-Dukhan ayat 3-6, bahwa Allah ﷻ sebagai Tuhan semesta alam, Ia menurunkan lailatul qadar agar manusia dapat mengambil hikmah dari amalan-amalan selama hidupnya, bahwa Allah ﷻ akan mengurus tentang kapan Allah l akan memuliakan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih karena Ia Maha mengetahui atas segala sesuatu yang terjadi. Terlepas dari tanda-tanda dan hadits-hadits  yang meriwayatkan datangnya lailatul qadr, maka sebagai muslim kewajiban utamanya adalah mengimani hal tersebut dengan terus memperbanyak amalan-amalan baik yang mendatangkan keberkahan utamanya di bulan Ramadhan . Adapun amalan yang dapat dilakukan untuk memaksimalkan ibadah di bulan Ramadhan, diantaranya adalah  tadarus Al-Qur’an, berdzikir sepanjang hari sembari tetap beraktivitas, bershadaqah di hari jum’at dan waktu subuh, i’tikaf, qiyamu al-lail, saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran.[]

Mutiara Hikmah

Dari Abu Hurairah, ia berkata,

كَانَ النَّبِىُّ  ﷺ يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ عَشْرَةَ أَيَّامٍ ، فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِى قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا

“Nabi ﷺ biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan selama sepuluh hari. Namun pada tahun wafatnya, Beliau beri’tikaf selama dua puluh hari”. (H.R. Bukhari, no. 2044).

Maraji’

[1] W. Ilmiah, N. Sujanah, dan Ma’zumi, “Pendidikan Karakter dalam Puasa Ramadhan,” J. Pendidik. Karakter “Jawara,” vol. 7, no. 1, h. 51–60, 2021

[2] Lihat bahasan dalam Tafsir Al-Qurán Al-Ázhim, Jilid 2. h. 58.

[3] Alhafiz Kurniawan, “Sejarah Nuzulul Qur’an,” NU Online, 2021. https://islam.nu.or.id/ilmu-al-quran/sejarah-nuzulul-quran-EjrOA. Diakses 28 Maret 28 2023 M. dan https://kisahmuslim.com/5554-iqra-wahyu-yang-pertama-kali-turun.html. Diakses 28 Maret 28 2023 M.

[4] A. M. A. Mahmud, “Fase Turunnya Al-Qur′an Dan Urgensitasnya,” Mafhum, vol. 1, no. 1, hal. 11, 2016, [Daring]. Tersedia pada: https://jurnal.yudharta.ac.id/v2/index.php/mafhum/article/view/221.

[5] Muslim, “Puasa, Bab Keutamaan Malam Lailatulqadar”. [tanpa kota, Al-Alamiyah: tanpa tahun]

Download Buletin klik disini

Ketahuhilah Keutamaan-keutamaan Berpuasa

Ketahuhilah Keutamaan-keutamaan Berpuasa

Abdurrahman Triadi Putro

*Alumni Ma’had al ’Ilmi Yogyakarta

 

Segala puji bagi Allah, Dzat Yang Maha Lembut lagi Maha Pemberi, Maha Mulia lagi Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada sebaik-baik utusan, Nabi kita Muhammad ﷺ.

Sesungguhnya pada puasa yang tengah kita jalankan di siang hari Bulan Ramadhan ini memiliki keutamaan-keutamaan yang sangat banyak. Keutamaan-keutaaman tersebut terdapat dan dijelaskan oleh banyak dalil dalam agama kita.

Diantara keutamaan-keutamaan puasa yang paling penting adalah sebagai berikut:

Petama, Allah ﷻ telah mewajibkan puasa atas seluruh umat. Allah ﷻ berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183).

Seandainya puasa bukanlah merupakan ibadah yang agung, maka tidaklah mencukupi bagi hamba untuk menjadikan puasa tersebut sebagai ibadah kepada Allah ﷻ, namun puasa tersebut merupakan ibadah yang agung karena Allah ﷻ telah memilih amalan puasa sebagai bentuk ibadah hamba kepada-Nya. Allah pun telah jadikan amalan puasa ini sebagai salah satu rukun islam, dari rukun islam yang lima. Kemudian tentunya juga keagungan puasa ini dapat dilihat dari besarnya balasan-balasan yang didapat oleh orang yang berpuasa dan juga kewajiban puasa itu sendiri yang berlaku atas seluruh umat.

Kedua, Allah ﷻ mengkhususkan amalan puasa ini dibandingkan amal-amal ketaatan yang lainnya dengan balasan khusus langsung dari sisi-Nya sebagai balasan orang yang berpuasa. Sebagaimana hal ini diriwayatkan dalam ash-shahihain (hadis riwayat Imam Bukhari dan Muslim), dari sahabat Abu Hurairah beliau berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, “Allah berfirman: Setiap amal yang dilakukan anak adam (manusia) dilipatgandakan. 1 Kebaikan dilipatgandakan 10 kali lipat hingga 700 kali lipat. Allah ‘azza wa jalla berfirman: Kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya. Dia (seseorang yang berpuasa) telah meninggalkan syahwat dan makan minumnya karena-Ku.” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Allah ﷻ menjelaskan dalam hadits qudsi ini bahwasanya balasan puasa lansgung dari sisi-Nya. Terdapat sebuah kaedah bahwasanya sebuah pemberian itu tergantung dengan sesuatu yang memberikannya. Allah ﷻ adalah Dzat Yang Maha Mulia diantara yang mulia. Hal ini menunjukkan agungnya balasan puasa. Allah ﷻ telah khususkan amalan puasa ini dengan balasan langsung dari-Nya, maka hal ini menunjukkan bahwa amalan puasa merupakan sesuatu yang mulia di sisi-Nya dan dicintai oleh-Nya.

Ketiga, tampaknya keikhlasan orang yang berpuasa karena Allah ﷻ. Karena amalan puasa merupakan amalan yang tersembunyi antara hamba dengan Rabb-nya. Tidaklah ada yang mengetahui seseorang berpuasa kecuali hanya Allah ﷻ. Orang yang sedang berpuasa pada asalnya orang lain tidak mengetahuinya. Dimungkinkan pula orang tersebut melanggar larangan-larangan ketika berpuasa, akan tetapi tidaklah ia melakukannya. Karena sesungguhnya ia menyadari bahwasanya ia memiliki Rabb yang senantiasa mengawasinya meskipun dirinya bersendirian.

Allah ﷻ telah menetapkan hal-hal yang haram dilakukan ketika berpuasa, maka orang tersebut meninggalkannya karena Allah. Ia tinggalkan karena takut kepada hukuman Allah dan berharap balasan dari-Nya. Sehingga jadilah amalan puasa tersebut menjadi amalan yang lebih dekat kepada keikhlasan kepada Allah dibandingkan amal-amal yang lainnya.

Keempat, didalam ibadah puasa terdapat 3 jenis kesabaran. Yaitu kesabaran dengan menahan diri dari hal tidak menyenangkan dirinya yaitu berupa lapar dan haus. Selain itu, bersabar untuk taat kepada Allah dengan melazimi dan menjaga puasanya tersebut. Kemudian juga bersabar untuk tidak bermaksiat kepada Allah ﷻ selama menjalankan puasanya. Sehingga terkumpul 3 jenis kesabaran pada orang yang berpuasa. Allah ﷻ berfirman, “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az-Zumar [39]: 10).

Kelima, bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada harumnya bau kasturi (misk). Dalam ash-shahihain dari hadis Abu Hurairah, Nabi ﷺ bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada ditangan-Nya, sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih wangi di sisi Allah ta’ala dibandingkan bau wangi kasturi.” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Bau mulut orang yang berpuasa pada asalnya adalah bau yang tidak disukai yang berasal dari perut ketika perut sedang dalam keadaan kosong. Akan tetapi, bau mulut orang yang berpuasa menjadi sesuatu yang dicintai Allah ‘azza wa jalla. Karena bau mulut ini berasal dari sebuah ibadah yang agung, yaitu puasa. Sehingga bau mulut orang yang berpuasa adalah lebih wangi di sisi Allah ta’ala dibanding harumnya kasturi.

Keenam, puasa menjadi sebab terhapusnya dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan. Hal dijelaskan dalam ash-shahihain, dari hadits Abu Hurairah z beliau berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, “Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan karena iman dan berharap balasan (dari Allah), maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Maksud dari diampuni disini adalah diampuninya dosa-dosa kecil orang tersebut. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ, “Shalat 5 waktu, Hari Jum’at ke Jum’at berikutnya, Bulan Ramadhan ke Ramadhan berikutnya menjadi pengugur dosa diantara waktu-waktu tersebut, selama dia menjauhi dosa-dosa besar.” (H.R. Muslim).

Adapun untuk dosa-dosa besar, maka tidak boleh tidak, orang yang melakukannya harus bertaubat kepada Allah ﷻ.

Ketujuh, terdapat pintu khusus di surga Allah ﷻ yang disiapkan khusus bagi orang-orang yang berpuasa semasa hidupnya. Diriwayatkan dalam ash-shahihain, dari sahabat Sahl bin Sa’din radhiallahu ‘anhu, Nabi ﷺ bersabda, “Sesungguhnya didalam surga terdapat sebuah pintu yang dinamai Ar-Rayyan. Orang-orang yang berpuasa akan masuk dari pintu tersebut di hari kiamat nanti. Selain dari mereka tidak akan satupun dapat memasukinya. Kelak dikatakan: Dimana orang-orang yang berpuasa? Maka orang-orang yang berpuasa berdiri dan tidaklah ada yang memasuki pintu tersebut kecuali mereka. Apabila mereka semua telah masuk, maka ditutuplah pintu tersebut. Tidak akan pernah masuk lagi seorangpun.” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Kedelapan, puasa merupakan sebuah tameng. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ, “Puasa itu adalah tameng.” (HR. Bukhari dan Muslim). Artinya adalah puasa sebagai penghalang yang menghalangi pemiliknya dari hal yang sia-sia dan hal yang kotor/buruk. Sehingga Nabi ﷺ bersabda, “Apabila salah seorang kalian sedang berpuasa, maka janganlah ia berkata/berbuat kotor dan berteriak/bersuara keras. Lalu apabila ada orang yang mencela dirinya atau mengajaknya bertengkar, maka katakanlah pada orang tersebut: Saya sedang berpuasa.” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Pada hadis ini terdapat isyarat bagi orang yang berpuasa agar tidak menanggapi celaan dan yang semisalnya, serta juga agar tidak menanggapi orang yang suka mencela dan yang semisalnya, dalam rangka menghormati ibadah puasa yang sedang dijalankannya. Sehingga apabila ada orang yang berbuat buruk kepadanya dan ia sedang berpuasa, maka hendaklah ia berkata kepada orang tersebut: Saya sedang berpuasa.

Hal yang penting lainnya, puasa juga merupakan tameng dan pencegah dari api neraka. Sebagaimana sebuah hadis dari sahabat Jabir, Nabi ﷺ bersabda, “Rabb kita, Allah berfirman: Puasa adalah tameng yang mana hamba itu tertutup dengannya dari api neraka.” (H.R. Ahmad no. 14669, hasan).

Kesembilan, yang terakhir, bagi orang yang berpuasa terdapat 2 kegembiraan. Kegembiraan pertama yaitu kegembiraan ketika berbuka puasa. Yaitu dengan menyelesaikan puasa yang telah ia kerjakan dan menyempurnakan ibadah yang agung ini. Ketika orang yang berpuasa telah berbuka puasa, maka ia gembira dan bahagia karena Allah telah memberikan kenikmatan yang besar kepada dirinya berupa sempurnanya puasa yang telah ia kerjakan pada hari tersebut.

Kegembiraan kedua kedua yang didapat dari orang yang berpuasa adalah kegembiraan yang ia dapatkan ketika ia bertemu dengan Rabb-nya. Yaitu dengan mendapat ganjaran dari puasanya yang disimpan untuknya yang telah sangat ia nanti-nantikan. Orang yang berpuasa menjadi orang yang sangat berbahagia dengan 2 kegembiraan ini, yang tidaklah hal ini didapatkan kecuali oleh orang-orang yang berpuasa, atas landasan iman kepada Allah ﷻ dan juga berharap balasan dari sisi-Nya yang mulia.

Demikianlah diantara keutaman-keutamaan berpuasa yang dapat disampaikan. Semoga Allah ﷻ memberikan taufik bagi kita semua untuk menunaikan ibadah puasa di Bulan Ramadhan ini dan melaksanakannya sesuai dengan petunjuk dan keridhaan Allah ﷻ. Semoga Allah memberikan taufik bagi kita semua untuk mengerjakan hal-hal yang Dia cintai dan ridhai, baik berupa perkataan-perkataan maupun perbuatan-perbuatan. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam.

 

Marâji’:

Kitab ‘Uqudul Juman fi Durusi Syahri Ramadhan, h. 17-22, karya Syaikh Dr. Sa’ad bin Turkiy Al-Khtaslan hafizhahullahu ta’ala.

Download Buletin klik disini

Mengajarkan Puasa Pada Anak

Mengajarkan Puasa Pada Anak

Khusnul Khotimah, S.Pd

 

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâm ‘alâ rasûlillâh, amma ba’du!

Sahabat ar Rasikh yang dirahmati Allah ﷻ. Ada sebagian orang tua yang dengan mudah beralasan bahwa syariat Islam tidak mengajarkan anak-anak untuk berpuasa sejak dini. Sehingga tidak perlu tergesa-gesa untuk menyuruh mereka berpuasa sebelum waktunya atau pada usia baligh. Disatu sisi alasan ini memang terlihat benar, karena tidak ada kewajiban apapun begitu pula puasa baik itu puasa sunnah maupun puasa Ramadhan bagi mereka yang belum baligh.

Hal ini bisa dilihat pada riwayat dari Ali bin Abi Thalib, Nabi ﷺ bersabda,

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِىِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ

“Pena catatan amal diangkat dari tiga orang: dari anak kecil sampai dia baligh, dari orang gila sampai ia waras, dari orang yang tidur sampai ia bangun.” (H.R. Bukhari dan Abu Daud no. 4400).[1]

Lantas, apakah kemudian kita berdiam diri tidak mengenalkan dan melatih anak sejak dini untuk berpuasa?. Tentu tidak, ibadah dijalankan dengan ringan karena ada latihan dan pembiasaan. Begitu pula ibadah puasa yang sangat dominan mengandalkan kondisi fisik, karena harus menahan lapar dan haus selama berjam-jam lamanya. Jika tidak dibiasakan sejak dini, maka penundaan dari tahun ke tahun hanyalah mengakibatkan kesulitan bagi anak untuk terbiasa berpuasa.

Pepatah hikmah mengatakan bahwa, “Belajar diwaktu kecil bagaikan mengukir di atas batu, sedangkan belajar di waktu tua bagaikan mengukir di atas air” dari pepatah ini, kita dapat mengambil pelajaran bahwa hendaknya menanamkan kebiasaan-kebiasaan baik pada anak dimulai sejak usia dini.

Kewajiban Orang Tua

Sahabat ar Rasikh yang dirahmati Allah ﷻ. Jika kita mengatakan bahwa anak-anak belum wajib untuk berpuasa, sepertinya itu tidak berlebihan. Tetapi sesungguhnya orang tua memiliki kewajiban dalam mengenalkan dan melatih anak-anaknya untuk berpuasa. Kewajiban ini sudah diisyaratkan begitu jelas dalam Al-Qur’an, sebagai panduan bagi orang tua untuk melakukan langkah-langkah yang jelas dalam mengarahkan anaknya dalam beribadah.

Allah ﷻ berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ قُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka “(QS At-Tahrim []: 6).

Setiap orang tua yang men-tadabburi dan memahami ayat ini tentulah segera tergerak dan merasa bertanggung jawab untuk mengenalkan ibadah puasa kepada anak-anaknya. Adh-Dhahak dan Maqatil mengenai ayat di atas,

حَقُّ عَلَى المسْلِمِ أَنْ يُعَلِّمَ أَهْلَهُ، مِنْ قُرَابَتِهِ وَإِمَائِهِ وَعَبِيْدِهِ، مَا فَرَضَ اللهُ عَلَيْهِمْ، وَمَا نَهَاهُمُ اللهُ عَنْهُ

“Menjadi kewajiban seorang muslim untuk mengajari keluarganya, termasuk kerabat, sampai pada hamba sahaya laki-laki atau perempuannya. Ajarkanlah mereka perkara wajib yang Allah perintahkan dan larangan yang Allah larang.” (H.R. Ath-Thabari).[2]

Cara Melatih Kewajiban

Sahabat ar Rasikh yang dirahmati Allah ﷻ. Mungkin banyak yang bertanya tanya bagaimanakah cara kita untuk mengenalkan dan melatih anak kita berpuasa atau kewajiban yang lainnya?

  1. Mengenalkan dan melatih puasa secara bertahap kepada anak.

Mengenalkan dan melatih anak berpuasa bisa kita mulai pada usia 3 tahun, dimana anak mengalami fase perkembangan kognitif, orang tua memberikan pemahaman kepada anak bahwa puasa itu tidak makan dan tidak minum. Setiap anak memiliki kemampuan yang berbeda dalam menahan rasa lapar dan haus.

Cara ini bisa diawali dengan mengenalkan anak dengan suasana bulan Ramadhan. Jika sebelumnya si kecil  belum mengerti arti puasa maka sebagai orangtua dapat mengenalkan dan mengajak anak dengan berbagai kegiatan di Bulan Ramadhan, seperti adanya sahur, buka puasa, dan salat tarawih.

Latihan puasa hendaknya dilakukan secara bertahap sesuai dengan kemampuan anak, dari tahun ke tahun ditargetkan adanya peningkatan. Ketika memperkenalkan puasa ke anak, caranya dengan memberikan sedikit jarak waktu makan anak. Bisa mulai dengan beberapa jam, misalnya 3-4 jam maupun  puasa setengah hari. Diharapkan semakin lama mereka akan terbiasa dan beradaptasi dengan kegiatan tersebut.

  1. Memberikan pujian pada anak yang berpuasa.

Agar anak tetap semangat berpuasa, orangtua bisa memberikan pujian dan dukungan. Sebab, puasa merupakan tantangan baru yang harus dijalani, jangan memarahi anak jika belum bisa menyelesaikan puasa. Bahkan hal yang harus orangtua lakukan adalah memberikannya motivasi agar anak menjadi lebih semangat untuk berpuasa diesok harinya.

Selain memberikan pujian, orang tua juga bisa memberikan reward (penghargaan) berupa hadiah ke anak, seperti memberikan makanan dan minuman favorit mereka, saat berbuka puasa. Sebagai Orang tua juga bisa memberikan hadiah yang lain seperti; memberikan uang jajan, memberikan buku gambar dan crayon atau barang-barang yang mendukung hobby sang anak.

  1. Memperhatikan asupan gizi dan nutrisi anak.

Sebagai orang tua kita harus mengetahui bahwa di usia mereka anak-anak mengalami masa pertumbuhan yang sangat sensitif, mereka membutuhkan asupan gizi yang cukup. Sebagai orang tua juga harus memastikan bahwa kesehatan anak dalam kondisi yang baik dan prima. Selain itu Orang tua juga perlu menjaga asupan yang cukup selama anak mencoba untuk berpuasa, mempersiapkan makanan yang kaya nutrisi dan sehat, baik saat sahur maupun berbuka. Dengan kecupukan gizi dan nutrisi yang didapatkan oleh anak, akan menunjang mereka untuk menjalankan ibadah puasa Ramadhan.

  1. Membuat kegiatan atau kesibukan yang menyenangkan.

Berpuasa seharian bagi sebagian besar anak adalah sesuatu yang berat dan sangat melelahkan. Kita tidak bisa membiarkan mereka larut dalam kondisi sedemikian. Karenanya perlu membuat kegiatan untuk menyibukkan mereka agar lupa dari rasa lapar dan dahaga, seperti mengaji bersama, pergi ke masjid bersama, merancang menu buka dan sahur bersama, dan lain sebagainya.

Kesalahan yang Harus Diketahui.

Sahabat ar Rasikh yang dirahmati Allah ﷻ. Selain mengetahui cara untuk melatih anak berpuasa, sebaiknya sebagai orang tua, kita juga harus mengetahui kesalahan yang mungkin saja kita lakukan dalam mengenalkan anak berpuasa.

  1. Memaksa anak untuk berpuasa.

Sebaiknya kita sebagai orang tua tidak memaksa anak untuk berpuasa. Jika anak sudah mencoba dan anak tidak kuat, biarkan anak berbuka, karena di awal anak belajar berpuasa kita tidak bisa menyamakan anak dengan orang dewasa. Sebaiknya perkenalkan puasa ke anak secara progresif

  1. Membanding-bandingkan.

Ingatlah jika setiap anak memiliki kemampuan berbeda-beda. Puasa bukanlah suatu kompetisi. Jangan sampai membuat anak merasa kurang percaya diri jika dia tidak dapat menyelesaikan puasanya dan merasa dibandingkan dengan anak seusianya yang sudah dapat menyelesaikan puasa dengan penuh. Selalu ingat bahwa setiap anak memiliki kemampuan yang berbeda.

  1. Melakukan kegiatan yang berat.

Ketika baru belajar anak akan tampak lemas dan kurang bersemangat, jangan paksakan anak untuk beraktifitas seperti biasanya. Biarkan anak melakukan kegiatan sesuai dengan keinginannya terlebih dahulu dan beri semangat serta motivasi ke anak.

Sahabat ar Rasikh yang dirahmati Allah ﷻ. Sebagai orang tua, mari kita kenalkan dan ajarkan ajaran agama Islam sejak dini, dimasa-masa perkembangan mereka, mereka akan menirukan apa yang mereka lihat. Sebagai Orang tua harus mencontohkan hal-hal yang baik, agar mereka juga dapat menirukan apa yang orang tua lakukan.

Semoga Allah memberikan keistiqomahan kepada kita sebagai orang tua, untuk selalu konsisten mendidik anak yang dititipkan kepada kita, mengajarkan mereka tentang ajaran agama Islam. Âmîn.[]

Mutiara Hikmah

Dari Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ bersabda,

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta malah mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan.” (H.R. Bukhari, no. 1903).

[1] H.R. Bukhari secara mu’allaq, Abu Daud no. 4400, disahihkan Al-Albani dalam Al-Irwa’, jilid 2. h. 5.

[2] H.R. Ath-Thabari, dengan sanad shahih dari jalur Said bin Abi ‘Urubah, dari Qatadah. Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim. Jilid 7. h. 321.

Download Buletin klik disini

Ramadhan, Kesempatan Emas Seorang Muslim

Ramadhan, Kesempatan Emas Seorang Muslim

Oleh: Abdurrahman Triadi Putro

 

Segala puji bagi Allah ﷻ yang telah menyampaikan kita di Bulan Ramadhan. Shalawat dan salam semoga Allah  curahkan kepada sebaik-baik manusia, Nabi kita Muhammad ﷺ yang beliau merupakan sebaik-baik orang yang berpuasa dan shalat malam, serta atas keluarga dan sahabat beliau yang mulia lagi terpuji.

Nikmat Bertemu Ramadhan.

Para pembaca budiman yang semoga senantiasa dirahmati Allah ﷻ,

Allah ﷻ sebentar lagi in syâ Allâh akan menyampaikan kepada kita sebuah tamu yang mulia. Musim dari musim-musim perdagangan beramal shalih dengan Allah ﷻ dengan amal-amal kebaikan.

Allah ﷻ berfirman,

شَهْرُ رَمَضَانَ ٱلَّذِىٓ أُنزِلَ فِيهِ ٱلْقُرْءَانُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَٰتٍ مِّنَ ٱلْهُدَىٰ وَٱلْفُرْقَانِ ۚ

(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil).” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 185).

Pada bulan ini kebaikan-kebaikan akan dilipatgandakan, derajat-derajat hamba-hamba-Nya yang beriman akan ditinggikan, kesalahan-kesalahan dan keburukan-keburukan akan dimaafkan, dosa-dosa akan diampuni, serta terdapat pembebasan dari api neraka.

Sungguh beradanya kita nanti di Bulan Ramadhan ini merupakan diantara nikmat Allah ﷻ yang sangat besar kepada hamba-Nya. Sebagian orang tidaklah lagi dapat merasakan nikmat ini karena mereka telah menemui ajalnya. Mereka telah wafat, telah berpindah dari negeri beramal yaitu dunia, tempat kita saat ini, kepada negeri balasan dan pertanggungjawaban yaitu akhirat. Maka berapa banyak orang yang mereka dapat berpuasa di Bulan Ramadhan tahun lalu, namun tidaklah mendapati Bulan Ramadhan di tahun ini. Serta sekarang mereka berada di dalam kubur guna mempertanggungjawabkan amalannya.

Tidak terasa waktu berlalu begitu cepat. Rasanya tidak lama kemarin kita baru menjumpai Ramadhan pada tahun lalu, sekarang kita telah berjumpa lagi dengan Ramadhan tahun ini, Subhanallah.

Begitu cepat berlalunya malam-malam dan hari-hari. Begitulah bergulirnya kehidupan kita di dunia ini. Hari-hari dan malam-malamnya bergulir dengan cepat. Akan berlalu seluruhnya. Hingga yang pasti pada akhirnya akan ada perjumpaan dengan Rabb kita, Allah ﷻ.

Allah ﷻ berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلْإِنسَٰنُ إِنَّكَ كَادِحٌ إِلَىٰ رَبِّكَ كَدْحًا فَمُلَٰقِيهِ

Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya.” (Q.S. Al-Insyiqaq [84]: 6).

Kesempatan Emas Seorang Muslim

Para pembaca budiman yang semoga senantiasa dirahmati Allah ﷻ,

Sesungguhnya bulan Ramadhan adalah kesempatan emas agar kita bertaubat dan kembali kepada Allah ﷻ. Kesempatan yang mulia untuk mengintropeksi diri. Memperbaiki waktu yang tersisa dari umur kita. Berbekal dengan bekal ketakwaan. Maka hendaklah seorang muslim bersemangat untuk perhatian dalam mengatur waktunya di bulan ini. Hendaklah antusias untuk memacu dirinya dalam melalui hari demi harinya dengan berbekal ketakwaan, mengedepankan amal-amal salih yang dengannya menjadikan dirinya bergembira saat berjumpa dengan Rabb-nya kelak.

Kemudian hendaklah seorang muslim bersemangat untuk memperkecil kesibukan perkara dunianya dalam bulan yang diberkahi ini. Karena sesungguhnya kesibukan dunia tidak akan pernah selesai. Oleh karena itu, hendaknya seseorang memberikan waktu lebih untuk beribadah, khususnya di bulan ini. Sungguh Nabi kita ﷺ apabila bulan Ramadhan datang, maka berlipat-lipat gandalah kemurahan hati dan kedermawanannya.

Dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim, dari hadits Ibnu ‘Abbas, ia berkata,

كَانَ النَّبِىُّ ﷺ أَجْوَدَ النَّاسِ ، وَأَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِى رَمَضَانَ ، حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ ، وَكَانَ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ  يَلْقَاهُ فِى كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ ، فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ فَلَرَسُولُ اللَّهِ ﷺ أَجْوَدُ بِالْخَيْرِ مِنَ الرِّيحِ الْمُرْسَلَةِ

“Nabi ﷺ adalah orang yang paling gemar bersedekah. Semangat beliau dalam bersedekah lebih membara lagi ketika bulan Ramadhan tatkala itu Jibril menemui beliau. Jibril menemui beliau setiap malamnya di bulan Ramadhan. Jibril mengajarkan Al-Qur’an kala itu. Dan Rasul ﷺ adalah yang paling semangat dalam melakukan kebaikan bagai angin yang bertiup.” (HR. Bukhari no. 3554 dan Muslim no. 2307)

Sehingga bagi kita kaum muslimin bersama dengan masuknya kita pada bulan yang mulia ini, hendaknya kita meningkatkan semangat kita dalam beribadah kepada Allah ﷻ, dalam ketaatan, dan dalam amal-amal salih. Jadikanlah keadaan kita ketika berada di Bulan Ramadhan adalah lebih baik dibanding keadaan-kedaan kita sebelumnya. Bersungguh-sungguhlah dalam mewujudkannya dan mintalah pertolongan kepada Rabb kita, Allah Ar-Rahman Ar-Rahim.

Madrasah Seorang Mukmin

Sesungguhnya Bulan Ramadhan adalah madrasah pendidikan bagi seorang muslim. Seorang muslim terdidik agar berbudi pekerti yang baik dan mulia pada bulan ini, serta terdidik untuk menjauhi maksiat-maksiat dan amal-amal yang buruk. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ, dari Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ bersabda,

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan sia-sia malah mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan.” (HR. Bukhari no. 1903).

Berdasar hadits di atas, yang dimaksud dengan ‘perkataan yang sia-sia’ yaitu mencakup segala bentuk maksiat berupa perkataan. Serta yang dimaksud dengan ‘berbuat dengan hal tersebut’  adalah segala bentuk maskat berupa perbuatan. Sehingga makna hadits tersebut adalah bahwasanya seseorang yang tidak beradab dengan adab-adab yang dituntunkan ketika berpuasa serta dia banyak melakukan maksiat dari perkataan dan perbuatannya, dan dia tidak mengagungkan ibadah puasa sebagaimana mestinya, maka sesungguhnya dia akan mendapatkan kondisi seperti yang dikabarkan oleh Nabi ﷺ, yaitu dia tidak akan diberikan balasan ataupn ganjaran atas puasa yang telah dilakukannya, meskipun puasanya tersebut telah mengugurkan kewajibannya. Sangat disayangkan sekali seseorang yang mengalami kondisi seperti ini. Hal ini disebabkan oleh dirinya yang tidak mengindahkan rambu-rambu ketika berpuasa dan masih terjerumus dalam kemaksiatan-kemaksiatan padahal ia sedang berpuasa.

Para pembaca budiman yang semoga senantiasa dirahmati Allah ﷻ,

Maka wajib bagi kita semua sebagai seorang muslim, khususnya bagi orang yang berpuasa di bulan Ramadhan, untuk mengindahkan tuntunan-tuntunan ketika berpuasa dan menjauhi maksiat-maksiat sejauh mungkin dalam setiap kondisi, sehingga dengan hal-hal tersebut dapat menguatkan diri kita dalam mengagungkan syariat puasa. Serta pada akhirnya, puasa tersebut benar-benar dapat menjadi sebuah pendidikan bagi diri kita. Yaitu diri kita menjadi terdidik dan terbiasa untuk semakin menjauhkan diri dari maksiat dan juga agar semakin meningkatkan ketaatan kepada Rabb kita, Allah ﷻ. Kita tempu dan kita latih itu semua dari madrasah pendidikan Bulan Ramadhan.

Semoga Allah ﷻ berikan taufik dan kemudahan bagi kita untuk dapat mengisi bulan ini dengan sebaik-baiknya, dengan berbagai ibadah dan amal salih, serta juga meraih keutamaan malam lailatul qadr, malam yang lebih baik daripada 1000 bulan, hingga menjadi bekal terbaik kita kelak saat berhadapan dengan-Nya, di hari yang tidaklah bermanfaat harta dan anak keturunan, kecuali orang yang datang kepada-Nya dengan hati yang selamat.

Marâji’:

Syaikh Dr. Sa’ad bin Turkiy Al-Khtaslan hafizhahullahu ta’ala. ‘Uqudul Juman fi Durusi Syahri Ramadhan, h. 7-10,

Download Buletin klik disini

Bergembira dengan Hadirnya Ramadhan

Bergembira dengan Hadirnya Ramadhan

Fathurrahman Al Katitanji

 

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh, amma ba’du!

Saudaraku, bergembiralah dengan hadirnya Ramadhan, yang sebentar lagi akan tiba. Sudah seharusnya kita bergembira dengan hadirnya Ramadhan. Karena Ramadhan adalah bulan mulia yang diberkahi, banyak keutamaan di dalamnya, setiap amal shalih dilipatgandakan, pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup dan setan-setan diikat dan di sana terdapat malam yang lebih baik dari seribu bulan. subhânallâh!

Saudaraku, tidakkah kesempatan ini, menjadikan kita lebih bersemangat menyambut Ramadhan dengan gembira? Tidak sepantasnya seorang muslim melewatkan kegembiraan siang dan malamnya tanpa amal shalih. Selayaknyalah kaum muslimin dimotivasi untuk bergembira akan hadirnya Ramadhan dengan memperbanyak ibadah di bulan tersebut dengan berbagai amal shalih.

 

Kabar Gembira dari Rasulullah ﷺ.

Sahabat Abu Hurairah pernah bercerita, ketika datang Ramadhan, Rasulullah ﷺ memberi kabar gembira kepada para sahabat akan datangnya Ramadhan. Beliau bersabda,

قَدْ جَاءَكُمْ رَمَضَانُ، شَهْرٌ مُبَارَكٌ، افْتَرَضَ اللهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ، تُفْتَحُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ، وَتُغْلَقُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَحِيمِ، وَتُغَلُّ فِيهِ الشَّيَاطِينُ، فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ، مَنْ حُرِمَ خَيْرَهَا فَقَدْ حُرِمَ

“Telah datang kepada kalian bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi. Allah mewajibkan kalian untuk berpuasa. Di bulan ini, pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup dan setan-setan diikat; di sana terdapat malam yang lebih baik dari seribu bulan, barangsiapa terhalangi untuk mendapat kebaikannya, berarti dia telah terhalangi untuk mendapatkan kebaikan.” (HR. Ahmad dalam Al-Musnad (2/385).[1]

Ibnu Rajab Al-Hambali menjelaskan,

ﻛَﻴْﻒَ ﻻَ ﻳُﺒْﺸِﺮُ ﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻦُ ﺑِﻔَﺘْﺢِ ﺃَﺑْﻮَﺍﺏِ ﺍﻟْﺠِﻨَﺎﻥِ ﻛَﻴْﻒَ ﻻَ ﻳُﺒْﺸِﺮُ ﺍﻟﻤﺬﻧﺐ ﺑﻐﻠﻖ ﺃﺑﻮﺍﺏ ﺍﻟﻨﻴﺮﺍﻥ ﻛَﻴْﻒَ ﻻَ ﻳﺒﺸﺮ ﺍﻟﻌﺎﻗﻞ ﺑﻮﻗﺖ ﻳﻐﻞ ﻓﻴﻪ ﺍﻟﺸﻴﺎﻃﻴﻦ ﻣﻦ ﺃﻳﻦ ﻳﺸﺒﻪ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺰﻣﺎﻥ ﺯﻣﺎﻥ

“Bagaimana tidak gembira? seorang mukmin diberi kabar gembira dengan terbukanya pintu-pintu surga. Tertutupnya pintu-pintu neraka. Bagaimana mungkin seorang yang berakal tidak bergembira jika diberi kabar tentang sebuah waktu yang di dalamnya para setan dibelenggu. Dari sisi manakah ada suatu waktu menyamai waktu ini (Ramadhan).”[2]

Saudaraku yang berbalut kebahagiaan, pantaslah kita bergembira dan bersuka cita  karena setiap kebaikan yang dilakukan di bulan Ramadhan akan dilipatgandakan dengan kelipatan yang banyak. Dari Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ bersabda,

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِى لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ. وَلَخُلُوفُ فِيهِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ

Setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya. Disebabkan dia telah meninggalkan syahwat dan makanan karena-Ku. Bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan yaitu kebahagiaan ketika dia berbuka dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Rabbnya. Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah dari pada bau minyak kasturi.” (H.R. Bukhari no. 1904, 5927 dan Muslim no. 1151)[3]

Mempersiapkan Diri Menyambut Ramadhan.

Saudaraku, perhatikanlah bagaimana generasi salaf menyambut Ramadhan. Mereka mempersiapkan diri menyambut Ramadhan sejak enam bulan sebelumnya. Semakin dekat dengan Ramadhan mereka semakin gembira. Kegembiraan ini mereka ungkapkan dalam berbagai amal shalih yang dilakukan sebelum Ramadhan, termasuk doa yang mereka lantunkan agar dipertemukan dengan Ramadhan.

Al-Hafidz Ibnu Rajab menyebutkan satu riwayat yang menunjukkan semangat mereka dalam menyambut Ramadan.

Mu’alla bin Al-Fadhl – ulama tabi’ tabiin –,

كاَنُوا يَدْعُونَ اللهَ تَعَالَى سِتَّةَ أَشْهُرٍ أَنْ يُبَلِّغَهُمْ  شَهْرَ رَمَضَانَ ثُمَّ يَدْعُونَهُ سِتَّةَ أَشْهُرِ أَنْ يَتَقَبَّلَهُ مِنْهُمْ

Dulu para sahabat, selama enam bulan sebelum datang Ramadhan, mereka berdoa agar Allah mempertemukan mereka dengan bulan Ramadhan. Kemudian, selama enam bulan sesudah ramadhan, mereka berdoa agar Allah menerima amal mereka selama bulan Ramadhan.”[4]

Satu harapan yang luar biasa bagi para salaf, agar bertemu dengan Ramadhan. Karena mereka menilai Ramadhan adalah bulan yang sangat istimewa, sehingga mereka tidak akan menjadikannya kesempatan yang sia-sia.

Di antara perkataan ulama salaf yang menunjukan kerinduan akan datangnya Ramadhan adalah apa yang disebutkan oleh Al-Hafidz Ibnu Rajab Al Hambali. Beliau menyebutkan dari Yahya bin Abi Katsir – seorang ulama tabi’in –, mengatakan bagaimana doa sebagian sahabat ketika akan datang Ramadhan, bahwa beliau mengatakan:

اَللَّهُمَّ سَلِّمْنـِي إِلَى رَمَضَانَ وَسَلِّمْ لِـي رَمَضَانَ وَتَسَلَّمْهُ مِنِّي مُتَقَبَّلاً

“Ya Allah, antarkanlah aku hingga sampai Ramadhan, dan antarkanlah Ramadhan kepadaku, dan terimalah amal-amalku di bulan Ramadhan.”[5]

Saudaraku, janganlah risau! in syaa Allah tidaklah mengapa jika seorang muslim berdoa kepada Allah, selain doa yang disebutkan para salaf, agar dipertemukan dengan bulan Ramadhan, seraya meminta taufq kepada-Nya agar dapat melakukan ketaatan  dengan baik selama Ramadhan dan memberikan kemudahan untuk terus beramal dibulan setelahnya.

Ya Allah karuniakan kepada kami pertemuan yang indah dengan Ramadhan, rasa  bahagia, hati yang lapang, kesempatan beramal shalih selama Ramadhan dan terimalah amal-amal shalih kami selama Ramadhan. Âmîn.[]

 

Mutiara Hikmah

Dari Abu Hurairah berkata, “Rasulullah ﷺ bersabda,

رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الْجُوعُ وَالْعَطَشُ، وَرُبَّ قَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ قِيَامِهِ السَّهَرُ.

“Betapa banyak orang yang berpuasa, hanya mendapatkan dari puasanya rasa lapar dan haus saja, dan betapa banyak orang yang melakukan qiyamullail hanya mendapatkan dari qiyamullailnya terjaga (begadang) saja.” (HR. Ahmad: 8693 dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban: 8/257 dan Syeikh Albani dalam Shahih Targhib: 1/262)

Marâji’:

[1] Dinilai shahih oleh Al-Arna’uth dalam Takhrijul Musnad, no. 8991.

[2] Al Hafidz Ibnu Rajab al Hambali, Latha’if Al-Ma’arif h. 148.

[3] Abu Abdillah Syahrul Fatwa bin Luqman dan Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as Sidawi. Panduan Lengkap Puasa Ramadhan Menurut al Qur’an dan Sunnah. Gresik: Pustaka Al Furqan, 1431 H. Cet.ke-1. h. 18.

[4] Al Hafidz Ibnu Rajab al Hambali, Lathaif Al-Ma’arif, h. 264.

[5] Al Hafidz Ibnu Rajab al Hambali, Lathaif Al-Ma’arif, h. 264.

Download Buletin klik disini

BERSEGERA MENUJU AMPUNAN ALLAH

BERSEGERA MENUJU AMPUNAN ALLAH

Oleh: Fathurrahman Al Katitanji

 

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâm ‘alâ rasûlillâh, amma ba’du!

Bersegera Menuju Ampunan Allah ﷻ.

Allah ﷻ dengan kedermawanan dan kemurahan-Nya, membuka pintu taubat. Pasalnya, Dia telah memerintahkan untuk melakukannya, menganjurkannya, dan berjanji akan mengabulkannya, baik taubat tersebut dari orang kafir, musyrik, munafik, yang berpaling, yang melampaui batas, yang menyimpang, yang zhalim, maupun dari orang-orang yang selalu berbuat kemaksiatan dan lalai kepada-Nya.[1]

Oleh karenanya, bersegeralah menuju ampunan Allah, beristighfar dan bertaubat kepada-Nya dari segala bentuk dosa dan maksiat, baik dosa kecil maupun dosa besar. Selagi kesempatan itu masih terbuka lebar, maka jangan sia-siakan kesempatan itu.

Allah ﷻ berfirman,

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

“Dan bersegeralah menuju ampunan Tuhan kalian, dan surga yang lebarnya selebar langit dan bumi yang disediakan bagi orang yang bertakwa.” (Q.S Ali Imran [3]: 133).

Allah ﷻ juga berfirman,

وَهُوَ ٱلَّذِى يَقْبَلُ ٱلتَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِۦ وَيَعْفُوا۟ عَنِ ٱلسَّيِّـَٔاتِ وَيَعْلَمُ مَا تَفْعَلُونَ

“Dan Dialah yang menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan memaafkan kesalahan-kesalahan dan mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. asy Syûra [42]: 25).

4 Amalan Penghapus Dosa

Imam Ibnu Qayyim menyebutkan dalam Majmu’ Al Fatawa, beberapa amalan penghapus dosa.[2] Secara global setidaknya ada 4 amalan yang akan menghapuskan dosa-dosa seseorang atau akan mendatangkan ampunan Allah ﷻ.[3] Di antara 4 amalan tersebut adalah:

  1. Bertaubat kepada Allah dengan taubat nasuha.

Bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuha, taubat yang memenuhi 3 syarat yaitu 1) meninggalkan dosa karena takut kepada Allâh, 3) menyesali perbuatan maksiatnya, 3) bertekad kuat untuk tidak mengulanginya, dan memperbaiki apa yang mungkin bisa diperbaiki kembali dari amalnya.

Apabila dosa tersebut berkaitan dengan hak orang lain maka hendaklah segera menunaikan hak tersebut dan minta segera dihalalkan.  Apabila berupa harta maka segera dikembalikan dan apabila berupa kehormatan maka segera meminta maaf.

Allah ﷻ berfirman,

يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ تُوبُوٓاْ إِلَى ٱللَّهِ تَوۡبَةً۬ نَّصُوحًا عَسَىٰ رَبُّكُمۡ أَن يُكَفِّرَ عَنكُمۡ سَيِّـَٔاتِكُمۡ

“Wahai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kalian kepada Allah dengan taubat yang nasuha, semoga Rabb kalian menghapus dosa-dosa kalian”. (Q.S At-Tahrim [66]: 8)

Di ayat lain Allah ﷻ berfirman,

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ.

“Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Az Zumar [39]: 53).

Di antara 4 amalan penghapus dosa yang kedua adalah,

  1. Memperbanyak memohon ampun (maghfirah) kepada Allah ﷻ.

Makna memohon maghfirah yang pertama adalah memohon supaya ditutupi dosanya dari manusia, dan makna memohon maghfirah yang kedua adalah memohon supaya dosa-dosanya tersebut dihapus oleh Allah sehingga tidak diazab dengan dosa yang sudah dilakukan.

Rasulullah ﷺ bersabda :

وَاللَّهِ إِنِّي لأَسْتَغْفِرُاللَّهَ وَأَ تُوْبُ إِلَيْهِ فِي الْيوْمِ أَكْثَرَ مِنْ سَبْعِيْنَ مَرَّةً

“Demi Allah, aku beristgihfar kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya di dalam sehari lebih dari tujuh puluh hari” (HR. Bukhari)

Rasulullah ﷺ juga bersabda,

مَا أَصْبَحْتُ غَدَاةً قَطٌّ إِلاَّ اِسْتَغْفَرْتُ اللهَ مِائَةَ مَرَّةٍ

“Tidaklah aku berada di pagi hari (antara terbit fajar hingga terbit matahari) kecuali aku beristigfar pada Allah sebanyak 100 kali.” (HR. An Nasa’i).[4]

Di antara 4 amalan penghapus dosa yang ketiga adalah,

  1. Memperbanyak amal shalih.

Amal shalih yang dimaksud adalah perbuatan baik yang dapat membuat kebaikan dan dilakukan secara sengaja.[5] Semua bentuk amal shalih akan menghapuskan dosa-dosa seorang hamba, baik berupa amalan hati, anggota badan, lisan ataupun perbuatan. Semisal mentauhidkan Allah, bertaqwa, wudhu, shalat, zakat, sedekah, berkata yang baik, puasa dan qiyam Ramadhan, serta semua amal kebaikan.

Allah ﷻ berfirman,

إِنَّ ٱلْحَسَنَٰتِ يُذْهِبْنَ ٱلسَّيِّـَٔاتِ

“Sesungguhnya kebaikan-kebaikan itu akan menghilangkan kejelekan-kejelekan.” (Q.S. Hud [11]: 114)

Dari Abu Dzarr Jundub bin Junadah dan Abu ‘Abdirrahman Mu’adz bin Jabal, dari Rasulullah ﷺ, beliau bersabda,

وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الحَسَنَةَ تَمْحُهَا

‘Iringilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik, maka kebaikan akan menghapuskan keburukan itu; (HR. Tirmidzi, no. 1987.  ia mengatakan haditsnya itu hasan).[6]

Di antara 4 amalan penghapus dosa yang keempat adalah,

  1. Bersabar ketika tertimpa musibah.

Musibah yang dimaksud adalah segala sesuatu yang terasa menyakitkan berupa rasa gelisah, sedih dan rasa sakit yang menimpa harta, kehormatan, jasad atau yang lainnya. Namun musibah ini datang bukan atas kehendak hamba.[7]

Rasulullah ﷺ bersabda :

مَا مِنْ مُصِيبَةٍ تُصِيبُ الْمُؤْمِنَ إِلَّا كُفِّرَ بِهَا عَنْهُ حَتَّى الشَّوْكَةُ يُشَاكُهَا

“Tidaklah ada sebuah musibah yang menimpa seorang muslim, kecuali Allah akan menghapus dengan musibah tersebut dosanya sampai apabila dia terkena duri (H.R. Bukhari dan Muslim)

Dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah, mereka mendengar Rasulullah ﷺ bersabda,

مَا يُصِيبُ الْمُؤْمِنَ مِنْ وَصَبٍ وَلاَ نَصَبٍ وَلاَ سَقَمٍ وَلاَ حَزَنٍ حَتَّى الْهَمِّ يُهَمُّهُ إِلاَّ كُفِّرَ بِهِ مِنْ سَيِّئَاتِهِ

“Tidaklah seorang mukmin tertimpa suatu musibah berupa rasa sakit (yang tidak kunjung sembuh), rasa capek, rasa sakit, rasa sedih, dan kekhawatiran yang menerpa melainkan dosa-dosanya akan diampuni” (H.R. Muslim, no. 2573).

Oleh karena itu, janganlah seorang muslim berputus asa bagaimanapun besar dosa yang ia lakukan. Perbaikilah amal di sisa umur yang ada. Semoga Allah al-Ghaffururrahîm mengampuni dan menutupi dosa-dosa kita yang telah lalu. Wa Allâhu a’lam bish shawwâb.[]

Mutiara Hikmah

Dari Ibnu Umar, beliau mengatakan bahwa jika kami menghitung dzikir Rasulullah ﷺ dalam satu majelis, beliau mengucapkan,

رَبِّ اغْفِرْ لِى وَتُبْ عَلَىَّ إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ

‘Robbigfirliy wa tub ‘alayya, innaka antat tawwabur rohim’ [Ya Allah ampunilah aku dan terimalah taubatku, sesungguhnya Engkau Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang] sebanyak 100 kali. (H.R. Abu Daud. Dikatakan shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no. 556)

 

Marâji’:

[1] Muhmmad Ibrahim al Hammad. Taubat Surga Pertama Anda. Jakarta: Pustaka Asy Syafii. 1428 H/ 2007 M. Cet.ke-3. h.37

[2] Abul Abbas Ibnu Qayyim. Majmu’ Al Fatawa, jilid 10. h. 655,658.

[3] Abdullah Roy, [Catatan faidah dari] Silsilah Ilmiyyah Beriman Kepada Hari Akhir. Halaqah 6. Penghapus Dosa.  dengan beberapa tambahan.

[4] Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani di Silsilah Ash Shohihah no. 1600

[5] Zainuddin Abu Qushaiy. Makna Amal Shalih. 2022 M. Dalam  https://muslim.or.id/25433-makna-amal-shalih.html. Diakses pada tanggal 1 Maret 2022 M.

[6] dalam sebagian naskah disebutkan bahwa hadits ini hasan shahih) [HR. Tirmidzi, no. 1987 dan Ahmad, 5:153. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan

[7] Muhammad Abduh Tuasikal. 4 Amalan Penghapus Dosa. 2010 M. https://rumaysho.com/1305-4-penghapus-dosa.html.  Diakses pada tanggal 1 Maret 2022. Bersumber dari Ibnu Qayyim. Majmu’ Al Fatawa, 10/655,658.

Download Buletin klik disini

Merenungi Peristiwa Isra Mi’raj

Merenungi Peristiwa Isra Mi’raj

Oleh: Nur Laelatul Qodariyah

*Mahasiswa Prodi Ahwal Al-Syakhshiyah FIAI UII, NIM: 19421133

 

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu was-salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Saudaraku kamu muslimin yang dirahmati Allah ﷻ, peristiwa Isra mi’raj merupakan peristiwa yang langka dan unik. Dalam peristiwa ini Allah ﷻ, sedang menunjukan kekuasaannya kepada manusia bahwa tidak ada yang tidak bisa Allah ﷻ lakukan jika sudah berkehendak. maka apapun yang terjadi pasti akan terjadi. Pada zaman Rasulullah ﷺ, banyak orang yang tidak percaya dengan peristiwa Isra Mi’raj karena, menurut yang tidak mempercayai itu menganggap bahwa kejadian tersebut merupakan kejadian yang tidak masuk akal. Padahal di dalam Al-Qur’an dan Hadis sudah jelas-jelas bahwa, peristiwa tersebut merupakan peristiwa yang benar terjadi.

Allah ﷻ berfirman, “Maha Suci (Allah), yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidilharam ke Masjidilaqsa yang telah kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya Dia Maha mendengar, Maha Melihat”. (Q.S. Al-Isra [17] : (1).

Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa, peristiwa Isra Mi’raj merupakan salah satu mujizat yang dimiliki oleh Nabi Muhammad ﷺ, dimana peristiwa ini terjadi hanya semalam. Sedangkan hewan yang ditunggangi oleh Rasulullah ﷺ sendiri dinamai dengan buroq. Dalam sejarah Nabi ﷺ, sebelum peristiwa itu terjadi, Rasulullah ﷺ , sedang mengalami duka cita yang mendalam. Pasalnya beliau ﷺ telah ditinggalkan oleh istri tercintanya yaitu Khadijah yang selama itu telah menemani dan selalu menghibur dikala beliau masih dicemooh oleh orang-orang kafir. Lalu beliau juga ditinggal oleh pamannya sendiri yang selama itu telah mengasuhnya sejak kecil, sehingga tahun tersebut disebut dengan tahun ‘amul huzni (tahun kesedihan). Dengan hal tersebut orang-orang kafir yang mengetahui hal tersebut semakin menjadi-jadi. Sampai orang Quraish yang masih awam pun berani menaruh kotoran di pundak Rasulullah ﷺ. Dalam keadaan yang seperti itu menambah perasaan duka Rasulullah ﷺ. Sehingga untuk menghibur Rasulullah ﷺ, Allah ﷻ memerintahkan beliau melakukan perjalanan sampai pada langit ke tujuh.[1]

Persiapan Perjalanan Rasulullah

Perjalanan Rasulullah ﷺ, merupakan perjalanan yang bersifat spiritual. Sehingga sebelum peristiwa tersebut terjadi maka Allah ﷻ telah mempersiapkan sesuatu untuk kekasihnya itu. Dengan hal tersebut Allah ﷻ memerintahkan kepada Jibril, Mikail, Israfil untuk menemui Rasulullah ﷺ, pada malam itu dengan secepat kilat. Para  Malaikat mengajak Rasulullah ke sumur Zamzam di dekat Ka’bah. dengan penuh kelembutan dan kehati-hatian. Malaikat meminta izin Nabi ﷺ, untuk merentangkan tubuhnya agar melancarkan ritual yang dilakukan dengan cara membelah dada Rasulullah ﷺ. Kemudian Mikail datang membawa wadah yang terbuat dari emas isinya air Zamzam yang di mintakan Jibril. Selanjutnya Jibril menggunakan air Zamzam tersebut untuk membasuh hati dan dada Nabi ﷺ. Tidak lupa pula Jibril mengeluarkan air yang isinya adalah iman dan hikmah yang seluruhnya itu dimasukan kedalam dada beliau.  Setelah itu Jibril menyiapkan seekor binatang yang tubuhnya lebih besar daripada keledai dan lebih kecil daripada begal sebagai kendaraan yang akan ditunggang oleh Rasulullah ﷺ, dengan nama Buroq.[2]

Berdasarkan hadis dari Anas bahwa Nabi ﷺ, “ketika di Isra’kan, beliau diberi Buraq yang lengkap dengan tali (kendali) dan pelana, tetapi ia mempersulit beliau (tidak mau ditunggangi) lalu Jibril berkata padanya: Patutkah kamu lakukan ini pada Muhammad, padahal belum ada yang menunggangimu paling mulia di sisi Allah selain Muhammad? Beliau bersabda, lantas mengalirlah keringatnya.” ( H.R Tirmidzi, no.3056).[3]

Peristiwa Isra Mi’raj

Pengertian dari Isra’ dan Mi’raj merupakan terdiri dari dua kata yaitu, Isra’ yang artinya adalah berangkatnya Rasulullah ﷺ disuatu malam dari masjidil haram ke masjidil aqsa. Sedangkan yang dimaksud dengan kata Mi’raj merupakan berangkatnya Rasulullah ﷺ, dari masjidil aqsa ke langit lapisan ke tujuh (sidaratul muntaha). Menurut para ulama hadis menyatakan bahwa, sesampainya Rasulullah perjalanan dari masjidil haram ke baitul maqdis. Lalu beliau sholat. Selanjutnya setelah itu beliau naik kelangit.

Di langit lapisan pertama beliau bertemu dengan Nabi Adam, dan mengucapkan salam kepadanya. Lalu disambutlah Rasulullah ﷺ, lalu dijawablah salam oleh Nabi Adam. Dapat dipahami bahwa, Nabi Adam merupakan bapaknya manusia. Selanjutnya di langit pintu kedua, Nabi memberi salam kepada Nabi Yahya dan Nabi Isa dan kemudian dijawab salam dari Rasulullah ﷺ. Dan kemudian di langit ketiga bertemu dengan Nabi Yusuf dan langit keempat bertemu dengan Nabi Idris, langit ke lima bertemu Nabi Harun dan selanjutnya langit keenam bertemu dengan Nabi Musa dan langit ke tujuh bertemu dengan Nabi Ibrahim.

Setelah sampai pada langit ke tujuh Rasulullah ﷺ, tiba di Sidaratul Muntaha lalu ke Baitul Ma’mur. Dan dari tempat tersebut Rasulullah ﷺ bertemu langsung dengan Allah ﷻ, dengan memberi wahyuh kepada  Rasulullah ﷺ, untuk memerintahkan sholat fardhu lima puluh kali dalam sehari. Namun perintah tersebut diberi keringanan menjadi lima kali dalam sehari, setelah Rasulullah ﷺ diperintahkan Nabi Musa untuk meminta keringanan kepada Allah ﷻ dalam mengurangi jumlah sholatnya.

Banyak peristiwa yang telah terjadi ketika Rasulullah ﷺ sedang melakukan perjalanan kelangit. Beliau telah melihat Surga dan Neraka. Dijelaskan bahwa, pertama beliau ditawari minuman antara kamr dan susu. Lalu beliau memilih susu. Dan kemudian beliau melihat tanah surga dan dibawahnya terdapat dua sungai yaitu sungai nil dan eufrot. Selain itu juga Rasulullah ﷺ melihat penjaga Neraka yang tidak pernah tersenyum. Bagi pemakan harta anak yatim beliau melihat mereka sedang disuapi dari batu-batu Neraka yang kemudian keluar dari dubur mereka. Dan beliau juga melihat orang dengan perut yang membesar karena selama hidupnya memakan harta riba. Kemudian juga melihat wanita yang digantung karena melakukan zina sewaktu hidup di dunia.[4]

Allah ﷻ berfirman, “Dan (ingatlah) ketika kami wahyukan kepadamu. “Sungguh, (ilmu) Tuhanmu meliputi seluruh manusia. “Dan kami tidak menjadikan mimpi yang telah kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia dan (begitu pula) pohon yang terkutuk (zaqqum) dalam Al-Qur’an. Dan kami menakut-nakuti mereka, tetapi yang demikian itu hanyalah menambah besar kedurhakaan mereka” (Q.S. Al-Isra [17] : (60).

Dari pengalaman kisah perjalanan Rasulullah ﷺ, selama Isra’ Mi’raj dapat menjadi renungan bagi kita semua bahwa,  antara Surga dan Neraka itu nyata adanya. Betapa dahsyatnya siksa Neraka dan betapa nikmatnya para penghuni Surga. sehingga kita sebagai manusia harus menjaga ketaatan diri. Selain itu melalui peristiwa Isra’ Mi’raj kita melihat tanda-tanda kebesaran Allah ﷻ, mulai dari di perintahkannya Sholat fardhu, dan ancaman-ancaman bagi orang yang telah melanggar larangan Allah ﷻ, serta kenikmatan-kenikmatan di peroleh bagi hambanya yang taat kepada Allah ﷻ. Wa Allâhu a’lam bish shawwab.[]

 

Mutiara Hikmah

Rasulullah ﷺ  bersabda,

مَنْ يُحْرَمِ الرِّفْقَ يُحْرَمِ الْخَيْرَ

“Barangsiapa yang tidak memiliki sifat lembut, maka tidak akan mendapatkan kebaikan.” (H.R. Muslim, no. 2592 dari Jabir bin Abdullah).

 

Marâji’:

[1] Aceng Zakaria, “Isra Mi’Raj Sebagai Perjalanan Religi: Studi Analisis Peristiwa Isra Mi’Raj Nabi Muhammad Menurut Al Qur’an Dan Hadits,” Al – Tadabbur: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir 4, no. 01 (2019): 100.

[2] Miswari and Dzul Fahmi, “Historitas Dan Rasionalitas Isra’ Mi’raj,” Jurnal At-Tafkir XII, no. 2 (2019): 156, http://journal.iainlangsa.ac.id/index.php/at/article/view/1354.

[3] Ensiklopediahadi, H.R Tirmidzi no.3056, Shahihul isnad menurut Muhammad Nashiruddin Al-Albani.

[4] Yuyun Yunita, “Peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW Dan Pembelajarannya,” Dewantara 11, no. 1 (2021): 125–131.

Download Buletin klik disini