MEREKA GENERASI PENERUS KITA
MEREKA GENERASI PENERUS KITA
Oleh: Ahkam Aulia Rahman
*Mahasiswa Psikologi 2020 FPSB UII
Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu was-salâmu ‘alâ rasûlillâh,
Allah ﷻ berfirman,
وَلْيَخْشَ الَّذِيْنَ لَوْ تَرَكُوْا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعٰفًا خَافُوْا عَلَيْهِمْۖ فَلْيَتَّقُوا اللّٰهَ وَلْيَقُوْلُوْا قَوْلًا سَدِيْدًا
“Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar” (Q.S an-Nisâ’ [4]: 9)
Tidak jarang saya mendengar perkataan anak-anak di lingkungan sekitar dengan kata-kata yang tidak pantas diucapkan. Nama binatang dan kata kotor keluar dari mulut mereka nampak fasih diucapkan disaat bercanda dengan kawannya. Berita-berita tentang perilaku mereka yang membuat saya mengelus dada. Pemikiran mereka yang masih polos disusupi hal-hal yang sepatutnya tidak mereka dapati diusianya. Pernah beberapa kali saya tanya darimana mereka mengetahui atau mendapat kosa kata tersebut dan rata-rata jawabannya hampir sama, yaitu media sosial dan contoh dari orang dewasa sekitarnya. Keresahan saya (dan mungkin anda) terhadap persoalan ini semakin membesar.
Jika fenomena ini dibiarkan oleh kita sebagai muslim begitu saja, maka hakikatnya kita sudah menyerahkan masa depan Islam pada kehancuran. Selain itu, kita juga secara jelas tidak mengindahkan peringatan dari Allah ﷻ yang difirmankan-Nya dalam al-Qur’an surat an-Nisâ’ ayat 9 sebagaimana telah dicantumkan diatas. Berdasarkan tafsir ibnu katsir[1], ayat 9 surat An-Nisa ini konteks utamanya menjelaskan masalah harta waris yang mesti disisakan untuk anak keturunan agar mereka tidak ditinggalkan dalam keadaan kurang harta/miskin. Namun, menurut imam An-Nawawi[2], kalimat dzurriyyatan dhi’afan (keturunan yang lemah) ini tidak hanya dimaknai sebagai lemah ekonomi/harta saja, namun juga termasuk lemah akhlak dan pengetahuan. Pasalya, harta itu bisa dibilang dapat datang kapan dan dimana saja. Berbeda halnya dengan akhlak dan pengetahuan yang mesti dibina sejak kecil.
Lantas, bagaimana caranya agar kehawatiran ini diatasi? Jawabannya sudah Allah sampaikan pada kalimat terakhir ayat tersebut, “Fattaqullâha wal yaqûlû qawlan sadîdan“. Dua cara utama yang dapat dilakukan, bertaqwa kepada Allah dan berbicara dengan tutur kata yang benar.
- Bertaqwa kepada Allah
Pada tulisan ini, saya sendiri tidak akan membahas definisi taqwa dan turunannya karena mungkin anda sekalian sudah sering mendengar definisinya. Yang saya bahas yaitu bagaimana bisa dengan bertaqwa kepada Allah ﷻ, anak-anak kita akan terhindar dari kemunduran akhlak dan pengetahuan.
Pertama, kita tahu orang yang bertaqwa itu pastinya akan hidup berlandaskan al-Qur’an dan Hadits. Ketika bangun tidur hingga tidur kembali perilakunya dijaga oleh landasannya itu. Kalaupun dia berbuat khilaf, maka dia akan langsung taubat dan berusaha kembali ke landasannya.
Kedua, dalam mendidik anak tentunya orang yang bertaqwa akan mencontoh pola pendidikan yang diajarkan dalam al-Quran dan Hadits. Pola pendidikan ini bisa kita pelajari dari kisah para nabi dan orang shalih terdahulu ataupun sejarah Nabi Muhammad ﷺ. Kita bisa melihat bagaimana lembutnya cara memberi nasihat Luqman Al-hakim kepada anaknya, bagaimana besar harapan dan perasaan cintanya Nabi Nuh u untuk anaknya, bagaimana perjuangan Siti Hajar berkeliling di bukit mencari air untuk menyusui anaknya, dan banyak lagi kisah-kisah orang shalih lain yang tidak mungkin saya sebut satu persatu disini.
- Berbicara dengan tutur kata yang benar
Qaulan sadidan menurut Hamka[3] merupakan ucapan yang timbul dari hati bersih. Ucapan merupakan gambaran hatinya. Menurut At-Thabari[4], makna qaulan sadidan adalah ucapan yang adil. Sedangkan menurut Rahmat[5], yaitu pembicaraan yang benar, jujur, lurus, tidak berbelit-belit. Memahami beberapa pandangan ahli tafsir tersebut dapat dimaknai bahwa qaulan sadidan ini merupakan pembicaraan yang timbul dari hati bersih sehingga digambarkan melalui ucapan yang adil, benar, jujur, serta lugas. Pembicaraan ini kita aplikasikan saat berinteraksi dengan anak-anak sehingga timbul rasa kepercayaan dalam diri anak bahwa ucapan orang tuanya/gurunya adalah sesuatu yang benar (mesti dilakukan atau ditinggalkan).
Aplikasi
Dari Abu Hurairah, Nabi ﷺ bersabda: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia” (H.R Bukhari)[6]. Rasulullah ﷺ merupakan teladan bagi kita selaku umat muslim dalam berbagai aspek kehidupan, salah satunya mendidik generasi muda. Adalah Rasulullah ﷺ ketika membiarkan cucunya Husain menaiki punggung beliau saat sedang sujud dalam shalat dengan alasan agar cucunya ini tidak merasa terganggu ketika bermain. Di waktu lain, ketika Al-Hasan kecil memakan sebiji kurma tiba-tiba Nabi ﷺ menyontohkan agar cucunya tersebut memuntahkan apa yang dia makan dan dengan tegas berkata “tahukah kau bocah, bisa jadi kurma tadi adalah bagian dari zakat, sedangkan keluarga kita dilarang memakan apapun dari shadaqah”[7].
Sementara itu, perilaku Rasulullah ﷺ ini nampak berbanding terbalik dengan kita. Kebanyakan dari kita malah menjadi sosok yang mengerikan bagi anak-anak saat menjalankan shalat atau ibadah lain namun seakan-akan persoalan halal-haram dari makanan, kesukaan dan permainan cenderung abai. Padahal hakikatnya halal itu merupakan akar dari kebaikan. Langkah selanjutnya yaitu memberi contoh berperilaku baik pada anak karena sebaik-baiknya pendidikan anak adalah memberinya contoh/teladan. Jika anak sudah menjadikan orang tuanya teladan kebaikan, maka pengaruh buruk dari luar dapat diminimalisir.
Terakhir, Rasulullah mendefinisikan seorang muslim bukan orang yang suka shalat ataupun ibadah lainnya. Beliau menyatakan bahwa muslim itu orang yang mampu menjaga keburukan lisan dan tangan(kuasa)nya terhadap orang lain, pun terhadap anak-anak. Karena itu, beri mereka contoh tutur kata yang baik dengan lemah lembut[8]. Rasulullah ﷺ bersabda: “Muslim sejati adalah orang yang menyelamatkan muslim lainnya dari lisan dan tangannya” (H.R. Bukhari).
Jika ternyata anak terlanjur mengetahu ucapan yang tidak semestinya dilontarkan maka beritahu mereka dengan lemah lembut juga. Berat? Tentu, karenanya kita dilatih bersabar menghadapi mereka bukan. Memang perubahan perilaku mereka boleh jadi tidak secepat yang dibayangkan, namun setidaknya jika sejak kecil anak terus diingatkan maka akan terbentuk pola pikir bahwa memang ucapan yang tidak pantas tersebut mesti ditinggalkan.
Penutup
Kita mesti punya pemikiran bahwa anak-anak itu merupakan penerus dakwah Islam dan penerus perjuangan bangsa. Maka dari itu, mendidik anak ini hakikatnya merupakan tugas bersama seluruh umat muslim, tidak hanya orang tua bersangkutan saja. Bagaimana jadinya Islam dan negara indonesia jika generasi penerusnya banyak mengalami kerusakan moral. Ajarkan mereka cara menuhankan Allah ﷻ serta memanusiakan manusia karena kedua aspek ini penting. Jangan hanya salah satunya atau bahkan tidak keduanya. Wallahu a’lam bisshawwâb.[]
[1] Ibnu Katsir. Tafsir Ibnu Katsir. Jilid 2 (terjemahan). Bogor: Pustaka Imam Syafi’i. 2003 M. Cet.1. hal 241-243
[2] Abdul Chaer. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta. 1994
[3] Hamka. Tafsir Al-Azhar. Jakarta: Bulan Bintang. 1987
[4] Thabari, Abu ja’far bin jarir. Jami’ul Bayan fi ta’wili ayyil Quran. Beirut: Darul Fikr. 1988
[5] Abdul Chaer. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta. 1994
[6] Al Bukhari. Al-Adabul Mufrad no. 273 (Shahiihul Adabil Mufrad no. 207), Ahmad (II/381), dan al-Hakim (II/613), dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 45).
[7] Salim A. Fillah. Lapis-Lapis Keberkahan. Yogyakarta: Pro-U Media. 2014
[8] Awy’ A. Qolawun. Rasulullah ﷺ ; Guru Paling Kreatif, Inovatif, & Sukses Mengajar. Yogyakarta: DIVA Press. 2012