MEREKA GENERASI PENERUS KITA

MEREKA GENERASI PENERUS KITA

Oleh: Ahkam Aulia Rahman

*Mahasiswa Psikologi 2020 FPSB UII

 

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu was-salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Allah ﷻ berfirman,

وَلْيَخْشَ الَّذِيْنَ لَوْ تَرَكُوْا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعٰفًا خَافُوْا عَلَيْهِمْۖ فَلْيَتَّقُوا اللّٰهَ وَلْيَقُوْلُوْا قَوْلًا سَدِيْدًا

Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar” (Q.S an-Nisâ’ [4]: 9)

Tidak jarang saya mendengar perkataan anak-anak di lingkungan sekitar dengan kata-kata yang tidak pantas diucapkan. Nama binatang dan kata kotor keluar dari mulut mereka nampak fasih diucapkan disaat bercanda dengan kawannya. Berita-berita tentang perilaku mereka yang membuat saya mengelus dada. Pemikiran mereka yang masih polos disusupi hal-hal yang sepatutnya tidak mereka dapati diusianya. Pernah beberapa kali saya tanya darimana mereka mengetahui atau mendapat kosa kata tersebut dan rata-rata jawabannya hampir sama, yaitu media sosial dan contoh dari orang dewasa sekitarnya. Keresahan saya (dan mungkin anda) terhadap persoalan ini semakin membesar.

Jika fenomena ini dibiarkan oleh kita sebagai muslim begitu saja, maka hakikatnya kita sudah menyerahkan masa depan Islam pada kehancuran. Selain itu, kita juga secara jelas tidak mengindahkan peringatan dari Allah ﷻ yang difirmankan-Nya dalam al-Qur’an surat an-Nisâ’ ayat 9 sebagaimana telah dicantumkan diatas. Berdasarkan tafsir ibnu katsir[1], ayat 9 surat An-Nisa ini konteks utamanya menjelaskan masalah harta waris yang mesti disisakan untuk anak keturunan agar mereka tidak ditinggalkan dalam keadaan kurang harta/miskin. Namun, menurut imam An-Nawawi[2], kalimat dzurriyyatan dhi’afan (keturunan yang lemah) ini tidak hanya dimaknai sebagai lemah ekonomi/harta saja, namun juga termasuk lemah akhlak dan pengetahuan. Pasalya, harta itu bisa dibilang dapat datang kapan dan dimana saja. Berbeda halnya dengan akhlak dan pengetahuan yang mesti dibina sejak kecil.

Lantas, bagaimana caranya agar kehawatiran ini diatasi? Jawabannya sudah Allah sampaikan  pada kalimat terakhir ayat tersebut, “Fattaqullâha wal yaqûlû qawlan sadîdan“. Dua cara utama yang dapat dilakukan, bertaqwa kepada Allah dan berbicara dengan tutur kata yang benar.

  1. Bertaqwa kepada Allah

Pada tulisan ini, saya sendiri tidak akan membahas definisi taqwa dan turunannya karena mungkin anda sekalian sudah sering mendengar definisinya. Yang saya bahas yaitu bagaimana bisa dengan bertaqwa kepada Allah ﷻ, anak-anak kita akan terhindar dari kemunduran akhlak dan pengetahuan.

Pertama, kita tahu orang yang bertaqwa itu pastinya akan hidup berlandaskan al-Qur’an dan Hadits. Ketika bangun tidur hingga tidur kembali perilakunya dijaga oleh landasannya itu. Kalaupun dia berbuat khilaf, maka dia akan langsung taubat dan berusaha kembali ke landasannya.

Kedua, dalam mendidik anak tentunya orang yang bertaqwa akan mencontoh pola pendidikan yang diajarkan dalam al-Quran dan Hadits. Pola pendidikan ini bisa kita pelajari dari kisah para nabi dan orang shalih terdahulu ataupun sejarah Nabi Muhammad ﷺ. Kita bisa melihat bagaimana lembutnya cara memberi nasihat Luqman Al-hakim kepada anaknya, bagaimana besar harapan dan perasaan cintanya Nabi Nuh u untuk anaknya, bagaimana perjuangan Siti Hajar berkeliling di bukit mencari air untuk menyusui anaknya, dan banyak lagi kisah-kisah orang shalih lain yang tidak mungkin saya sebut satu persatu disini.

  1. Berbicara dengan tutur kata yang benar

Qaulan sadidan menurut Hamka[3] merupakan ucapan yang timbul dari hati bersih. Ucapan merupakan gambaran hatinya. Menurut At-Thabari[4], makna qaulan sadidan adalah ucapan yang adil. Sedangkan menurut Rahmat[5], yaitu pembicaraan yang benar, jujur, lurus, tidak berbelit-belit. Memahami beberapa pandangan ahli tafsir tersebut dapat dimaknai bahwa qaulan sadidan  ini merupakan pembicaraan yang timbul dari hati bersih sehingga digambarkan melalui ucapan yang adil, benar, jujur, serta lugas. Pembicaraan ini kita aplikasikan saat berinteraksi dengan anak-anak sehingga timbul rasa kepercayaan dalam diri anak bahwa ucapan orang tuanya/gurunya adalah sesuatu yang benar (mesti dilakukan atau ditinggalkan).

Aplikasi

Dari Abu Hurairah, Nabi ﷺ  bersabda: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia” (H.R Bukhari)[6]. Rasulullah ﷺ merupakan teladan bagi kita selaku umat muslim dalam berbagai aspek kehidupan, salah satunya mendidik generasi muda. Adalah Rasulullah ﷺ ketika membiarkan cucunya Husain menaiki punggung beliau saat sedang sujud dalam shalat dengan alasan agar cucunya ini tidak merasa terganggu ketika bermain. Di waktu lain, ketika Al-Hasan kecil memakan sebiji kurma tiba-tiba Nabi ﷺ menyontohkan agar cucunya tersebut memuntahkan apa yang dia makan dan dengan tegas berkata “tahukah kau bocah, bisa jadi kurma tadi adalah bagian dari zakat, sedangkan keluarga kita dilarang memakan apapun dari shadaqah”[7].

Sementara itu, perilaku Rasulullah ﷺ ini nampak berbanding terbalik dengan kita. Kebanyakan dari kita malah menjadi sosok yang mengerikan bagi anak-anak saat menjalankan shalat atau ibadah lain namun seakan-akan persoalan halal-haram dari makanan, kesukaan dan permainan cenderung abai. Padahal hakikatnya halal itu merupakan akar dari kebaikan. Langkah selanjutnya yaitu memberi contoh berperilaku baik pada anak karena sebaik-baiknya pendidikan anak adalah memberinya contoh/teladan. Jika anak sudah menjadikan orang tuanya teladan kebaikan, maka pengaruh buruk dari luar dapat diminimalisir.

Terakhir, Rasulullah mendefinisikan seorang muslim bukan orang yang suka shalat ataupun ibadah lainnya. Beliau menyatakan bahwa muslim itu orang yang mampu menjaga keburukan lisan dan tangan(kuasa)nya terhadap orang lain, pun terhadap anak-anak. Karena itu, beri mereka contoh tutur kata yang baik dengan lemah lembut[8]. Rasulullah ﷺ bersabda: “Muslim sejati adalah orang yang menyelamatkan muslim lainnya dari lisan dan tangannya” (H.R. Bukhari).

Jika ternyata anak terlanjur mengetahu ucapan yang tidak semestinya dilontarkan maka beritahu mereka dengan lemah lembut juga. Berat? Tentu, karenanya kita dilatih bersabar menghadapi mereka bukan. Memang perubahan perilaku mereka boleh jadi tidak secepat yang dibayangkan, namun setidaknya jika sejak kecil anak terus diingatkan maka akan terbentuk pola pikir bahwa memang ucapan yang tidak pantas tersebut mesti ditinggalkan.

Penutup

              Kita mesti punya pemikiran bahwa anak-anak itu merupakan penerus dakwah Islam dan penerus perjuangan bangsa. Maka dari itu, mendidik anak ini hakikatnya merupakan tugas bersama seluruh umat muslim, tidak hanya orang tua bersangkutan saja. Bagaimana jadinya Islam dan negara indonesia jika generasi penerusnya banyak mengalami kerusakan moral. Ajarkan mereka cara menuhankan Allah ﷻ serta memanusiakan manusia karena kedua aspek ini penting. Jangan hanya salah satunya atau bahkan tidak keduanya. Wallahu a’lam bisshawwâb.[]

Marâji’:

[1] Ibnu Katsir. Tafsir Ibnu Katsir. Jilid 2 (terjemahan). Bogor: Pustaka Imam Syafi’i. 2003 M. Cet.1. hal 241-243

[2] Abdul Chaer. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta. 1994

[3] Hamka. Tafsir Al-Azhar. Jakarta: Bulan Bintang. 1987

[4] Thabari, Abu ja’far bin jarir. Jami’ul Bayan fi ta’wili ayyil Quran. Beirut: Darul Fikr. 1988

[5] Abdul Chaer. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta. 1994

[6] Al Bukhari. Al-Adabul Mufrad no. 273 (Shahiihul Adabil Mufrad no. 207), Ahmad (II/381), dan al-Hakim (II/613), dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 45).

[7] Salim A. Fillah. Lapis-Lapis Keberkahan. Yogyakarta: Pro-U Media. 2014

[8] Awy’ A. Qolawun. Rasulullah ; Guru Paling Kreatif, Inovatif, & Sukses Mengajar. Yogyakarta: DIVA Press. 2012

Download Buletin klik disini

BAGAIMANA SHALAT BISA MEMPENGARUHI STRESS?

BAGAIMANA SHALAT BISA MEMPENGARUHI STRESS?

Oleh: Farah Adibah Kamilia

*Mahasiswi Psikologi Universitas Islam Indonesia

 

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu was-salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Dalam keseharian, telinga kita seringnya akrab dengan kalimat keluhan seperti, “Duh, jujur aku capek banget sama semuanya, stress banget rasanya kalau begini … kalau begitu …” atau kalimat-kalimat lainnya yang serupa dengan yang telah dimisalkan. Perasaan lelah, kacau, stress, dan semacamnya sering kali dirasakan seseorang usai ia menjalankan suatu aktivitas tertentu yang dirasa berat baginya. Banyaknya tekanan dan tuntutan dari berbagai sisi sering kali membebani pikiran mereka yang merasakan. Bahkan, hal tersebut bisa menimbulkan keputusasaan yang berujung pada hal-hal yang tidak diharapkan dan diinginkan. Lantas jika seperti itu, bagaimana caranya agar kita dapat mengupayakan agar hal-hal seperti demikian tak terjadi?

Baik, sebelum beranjak pada pokok pikiran yang telah disinggung secara singkat, ada baiknya bila kita berkenalan terlebih dahulu tentang segala hal yang berkaitan dengan stress dan shalat itu sendiri. Kira-kira, apa yang pertama kali terlintas di pikiran anda sekalian ketika mendengar kata “Stress”?

Menurut KBBI online, stress merupakan gangguan atau permasalahan mental dan emosional dengan faktor luar sebagai penyebabnya[1]. Tak jarang juga stress sering disebut dengan ketegangan. World Health Organization (WHO) mengungkap bahwa stress merupakan respon tubuh terhadap tekanan batin, mental dan kehidupan. Selaras dengan hal tersebut, Barseli et al. mengutarakan pendapat mereka perihal definisi stress, yakni represi yang muncul karena adanya ketidaksesuaian antara situasi yang diinginkan individu dengan harapan pihak luar, juga banyaknya tuntutan dari lingkungan kepada individu tertentu yang mana ia tidak mampu untuk memenuhinya sehingga menimbulkan ketimpangan yang berpotensi membahayakan, mengancam, ataupun mengganggu dirinya[2]. Singkatnya menurut Hidayati dan Harsono, stress merupakan respon yang timbul dari diri individu terhadap situasi yang berubah atau mengancam bagi dirinya[3].

Dalam Islam disebutkan bahwa keadaan stress dan gangguan psikologis yang menyertai manusia tergolong ke dalam sebuah penyakit hati. Perihal tentang penyakit hati tersebut tertulis dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 10 yang berbunyi: “Dalam hati mereka ada penyakit, lalu Allah menambah penyakitnya itu; dan mereka mendapat azab yang pedih, karena mereka berdusta.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 10).

Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) telah melakukan penelitian pada lima bulan pertama semenjak ditetapkan pandemi Covid-19 di Indonesia dan memperoleh hasil persentase orang yang mengalami masalah psikologis sebesar 64,8%, dan dari total persentase tersebut salah satu masalah psikologis yang banyak ditemui yaitu stress[4]. Lalu, dari banyaknya kasus yang menyertakan stress sebagai salah satu permasalahan yang sering ditemui tersebut, apakah kiranya yang menyebabkannya dapat terjadi?

Ada banyak faktor yang dapat memicu timbulnya stress, yakni faktor internal seperti kondisi fisik, perilaku, minat, kecerdasan emosi, kecerdasan intelektual, dan kecerdasan spiritual, serta faktor eksternal seperti tugas, lingkungan sosial, dan lingkungan fisik baik di lingkungan keluarga maupun lingkungan lembaga pendidikan (Sudarya et al., 2014)[5]. Selain yang telah disebutkan, penilaian diri, konflik interpersonal, kurangnya kontrol diri, tuntutan mental dan dukungan sosial[6], self efficacy, hardiness, dan motivasi[7] juga ditambahkan sebagai faktor-faktor yang mampu menimbulkan stress.

Dalam al-Qur’an disebutkan bahwa hal-hal yang dapat memunculkan stress di antaranya adalah rasa takut, kekurangan makan, kemiskinan, dan kehilangan harta dapat menjadi cobaan yang berat. Hal tersebut tertulis pada surat al-Baqarah ayat 155, yang berbunyi: “Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan …” (Q.S. al-Baqarah [2]: 155).

Sehubungan dengan apa yang telah disampaikan, ternyata stress banyak berefek bagi kehidupan seseorang di antaranya dapat menurunkan daya tahan tubuh (Martin et al., 2014)[8], mempengaruhi prestasi belajar seseorang secara parsial[9], mempengaruhi siklus menstruasi pada remaja putri[10], menyumbang risiko untuk mengalami sleep paralysis sebesar 4.6 kali lipat dibanding dengan yang tidak mengalami stress[11], mempengaruhi kemampuan menyesuaikan diri suatu individu[12], dan lain sebagainya.

Dari penjabaran di atas mengenai definisi, faktor-faktor yang dapat menyebabkan timbulnya stress, dan efek yang terjadi karena stress, maka diperlukan solusi agar kiranya hal tersebut berkurang intensitasnya atau bahkan tak terjadi. Lantas apa sajakah yang dapat menyelesaikan permasalahan tersebut?

Menurut Darmawanti, semakin tinggi tingkat religiusitas seseorang, semakin baik pula coping stress-nya[13], dan salah satu cara untuk meninggikan tingkat religiusitas seseorang adalah dengan melaksanakan ibadah yang sering kita laksanakan sehari-hari, yakni shalat. Shalat memberikan efek psikologi yang baik bagi individu[14]. Shalat mempunyai peranan penting bagi kesehatan yang di dalamnya terdapat aspek-aspek terapeutik aspek olahraga, aspek relaksasi, aspek meditasi, aspek auto-sugesti/self-hipnosis, dan aspek pengakuan dan penyaluran[15]. Hasil penelitian yang dilakukan Pratama menunjukkan bahwa mahasiswa yang teratur melaksanakan shalat mampu menekan stress atau depresi yang dirasakan[16]. Kamalin mengungkap dari penelitiannya tentang besarnya pengaruh terapi shalat sebanyak 76% dapat menurunkan stres pada remaja, sedangkan sisanya sebesar 24% dipengaruhi oleh faktor lain diluar penelitian[17].

Pernyataan-pernyataan tersebut membuktikan bahwa shalat memang memberi efek yang signifikan dalam penurunan stress. Bukan hanya itu, ternyata shalat juga mampu mengatasi masalah kesehatan lainnya baik dari segi fisik maupun mental. Itulah pentingnya seorang individu mendirikan shalat, sebab bukan hanya karena shalat adalah suatu kewajiban yang mesti dilaksanakan tiap umat manusia, tetapi juga shalat mampu memberikan banyak manfaat bagi kehidupan kita semua.[]

MARÂJI’:

[1] Setiawan, E. (2012). Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online. KBBI Indonesia.

[2] Barseli, M., Ifdil, I., & Nikmarijal, N. (2017). Konsep stres akademik siswa. Jurnal konseling dan pendidikan, 5(3), 143-148.

[3] Hidayati, L. N., & Harsono, M. (2021). Tinjauan literatur mengenai stres dalam organisasi. Jurnal Ilmu Manajemen, 18(1), 20-30. https://jurnal.ugm.ac.id/jpsi/article/view/765 4/5934.

[4] Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran jiwa Indonesia (PDSKJI) 2020, Masalah Psikologis Di Era Pandemi Covid-19. Diakses dari http://www.pdskji.org/home

[5] Sudarya, I. W., Bagia, I. W., & Suwendra, I. W. (2014). Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi stres pada mahasiswa dalam penyusunan skripsi jurusan manajemen undiksha angkatan 2009. Jurnal Manajemen Indonesia, 2(1).

[6] Lady, L., Susihono, W., & Muslihati, A. (2017). Analisis tingkat stres kerja dan faktor-faktor penyebab stres kerja pada pegawai BPBD Kota Cilegon. Journal Industrial Servicess, 3(1b).

[7] Oktavia, W. K., Fitroh, R., Wulandari, H., & Feliana, F. (2019, November). Faktor-faktor yang mempengaruhi stres akademik. In Prosiding Seminar Nasional Magister Psikologi Universitas Ahmad Dahlan (pp. 142-149).

[8] Martin, R., Mulyati, S., & Fratidhina, Y. (2014). Pengaruh stres terhadap disminore primer pada mahasiswa kebidanan di Jakarta. Jurnal ilmu dan teknologi kesehatan, 1(2), 135-140.

[9] Harwanasari, D. (2012). Analisis Pengaruh Stress Mahasiswa Dan Kinerja Dosen Terhadap Prestasi Belajar Mahasiswa Fakultas Sains Dan Teknologi Universitas Airlangga Surabaya Dengan Structural Equation Modelling (SEM) (Doctoral dissertation, Universitas Airlangga).

[10] Mayasari, B., Arismawati, D. F., & Wardani, R. A. (2021). Pengaruh Stress Terhadap Siklus Menstruasi pada Remaja Putri. Surya: Jurnal Media Komunikasi Ilmu Kesehatan, 13(3), 247-252.

[11] Tjang, Y. S., & Arista, M. (2017). Pengaruh Stress Terhadap Kejadian Sleep Paralysis Pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran. Jurnal Psikologi Pendidikan dan Konseling: Jurnal Kajian Psikologi Pendidikan dan Bimbingan Konseling, 41-45.

[12] Widyastuti, W. (2020). Self compassion, stress akademik dan penyesuaian diri pada mahasiswa baru. Jurnal Psikologi Talenta, 3(1), 6.

[13] Darmawanti, I. (2012). Hubungan antara tingkat religiusitas dengan kemampuan dalam mengatasi stres (coping stress). Jurnal psikologi teori dan terapan, 2(2), 102-107.

[14] Annatagia, L., Trimulyaningsih, N., & Sari, E. P. (2017). Psychophysiogical aspects of shalat: A chronobiology measurement. Jurnal Psikologi Islam, 4(2), 223-234.

[15] Zulkarnain, Z. (2020). Psychotherapy Shalat Sebagai Mengatasi Stress dalam Meningkatkan Kesehatan Jiwa. Tawshiyah: Jurnal Sosial Keagaman dan Pendidikan Islam, 15(1).

[16] Pratama, M. R. Y. (2020). Analisis Pengaruh Keteraturan Frekuensi Shalat Terhadap Tingkat Stress Pada Mahasiswa Muslim Dengan Menggunakan Pendekatan Konseling (Studi Pada Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel). Nathiqiyyah, 3(1), 27-38.

[17] KAMALIN, L. F. N. (2018). Pengaruh Terapi Shalat Tahajud Dalam Menurunkan Stres Pada Remaja Di Upt Pelayanan Sosial Bina Remaja Blitar.

Download Buletin klik disini

MENGENAL BAHAYA ‘ISTIDRAJ’

MENGENAL BAHAYA ‘ISTIDRAJ’

Oleh: Nur Laelatul Qodariyah

*Mahasiswi Prodi  Ahwal Al-Syakhshiyah FIAI UII

 

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu was-salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Saudaraku kaum muslimin yang dirahmati Allah ﷻ. Berbicara terkait kenikmatan tentu fokus paham kita pada rezeki, nikmat dunia, uang yang banyak, harta dan tahta yang berlimpah. betul sekali, semua yang disebutkan memang masuk dalam kategori nikmat. Namun nikmat bisa beribadah kepada Allah ﷻ , bisa berpuasa dengan lancar, berdzikir dengan khusu’, hal tersebut merupakan nikmat terbesar   yang patut kita syukuri.

Makna Istidraj

Mengenal istilah ‘Istidraj’, orang awam pasti belum memahami dengan terperinci terkait istilah tersebut. Istidraj secara bahasa diambil dari kata da-ra-ja (Arab: درج ) yang artinya naik dari satu tingkatan ke tingkatan selanjutnya. Sementara istidraj dari Allah kepada hamba dipahami sebagai ‘hukuman’ yang diberikan sedikit demi sedikit dan tidak diberikan langsung. Allah biarkan orang ini dan tidak disegerakan adzabnya. Allah ﷻ berfirman, “Nanti Kami akan menghukum mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui.” (Q.S. al-Qalam [68]: 44)[1]

Dapat dipahami bahwa, sebuah kenikmatan yang diberikan Allah ﷻ tidak akan lekang pada kasih sayangnya. Namun jika seseorang telah diberikan kenikmatan tetapi ia terus berbuat maksiat dan malah sering melalaikan perintahnya maka bisa jadi kenikmatan-kenikmatan yang terus bertambah itu merupakan salah satu murka Allah ﷻ, dan termasuk dalam kategori ‘Istidraj’.[2]

Sebagaimana kutipan dari Fadhullah al-Haa’iri dalam kalimat Ali Bin Abi Thalib, “Barangsiapa yang bersenang-senang dengan maksiat kepada Allah , niscaya Allah akan memberikan kepadanya kehinaan.[3]

Menurut Asy-Syaukani dalam kitabnya tafsir fathul qadir menyatakan bahwa, al istidraj berasal dari kata sanastadrijuhum yang berarti bertahap atau menerik secara berangsur-angsur. Sedangkan makna al-istidraj adalah melangkah sedikit demi sedikit sehingga dapat mencapai tujuan.

Semua tindakan maksiat yang Allah balas dengan nikmat, dan Allah membuat dia lupa untuk beristighfar, sehingga dia semakin dekat dengan adzab sedikit demi sedikit, selanjutnya Allah berikan semua hukumannya, itulah istidraj.[4]

Berdasarkan hadis dari Uqbah bin Amir dari Nabi ﷺ, beliau bersabda, “ Jika kalian melihat Allah memberikan dunia kepada seorang hamba pelaku maksiat dengan sesuatu yang ia sukai, maka sesungguhnya itu hanyalah merupakan istidraj” (H.R. Ahmad no.16673). Hasan menurut Syu’aib al-Arna’uth.

Sebagai seorang muslim, patutlah kita bersyukur jika mendapatkan musibah seperti rasa sakit, menderita, patah hati  dll.  Karena hal itu merupakan sebuah pertanda  bahwa kasih sayang Allah ﷻ kepada kita sangat besar. Sehingga kita menyadari bahwa mungkin saja karena dosa yang terlalu banyak hal itu dapat mengugurkan dosa-dosa dengan musibah yang kita terima jika sabar dan rendah hati dalam  menjalani ujian.

Tanda-Tanda ‘Istidraj

Salah satu tanda seseorang mendapatkan ‘istidraj adalah memperoleh kelancaran, kenyaman, ketenangan dalam hidup, tetapi nyatanya lalai dalam beribadah. Pasti kita sering menemukan beberapa contoh dari  orang yang mendapatkan kesenangan, kelancaran, kenyaman dan ketenangan  dalam hidup padahal jarang sekali melakukan ibadah atau bahkan tidak sama sekali melaksanakan ibadah. Maka dari hal tersebut perlu diwaspadai dan dicermati bahwa hal tersebut merupakan tanda-tanda ‘istidraj’. Karena dia tidak akan pernah tahu kesenangan dan kenyamanan itu sebagai bentuk nikmat ataukah azab yang nantinya pasti mendapatkan balasan yang seadil-adilnya.

Allah ﷻ berfirman: “ Maka ketika mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, kami pun membukakan semua pintu (kesenangan) untuk mereka. Sehingga ketika mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, kami siksa mereka secara tiba-tiba, maka ketika itu mereka terdiam putus asa”. (Q.S. al-Anam [6]: 44).

Dari ayat diatas dapat memberikan kita gambaran yang nyata bahwa, orang yang melupakan sebuah peringatan dari sebab dan akibat seperti menolak nasihat dari sebuah kesengsaraan maupun ancaman, serta melalaikan ibadah, maka daripada itu Allah ﷻ akan membuka sebuah pintu kesenangan dan kebahagiaan sebagai pintu ‘istidraj’. Jika seseorang ketika mendapatkan kebahagiaan kemudian ia sombong, dengan tersebut Allah ﷻ akan mengazabnya sesegera mungkin.[5]

Mendapatkan Kemewahan, Padahal Kikir dan Pelit

Harta, tahta dan segala kemewahan dunia bukanlah milik kita, segala sesuatu yang ada di bumi terutama dalam bentuk fisik pasti akan lenyap di dunia ini. Karena sejatinya hanya Allah ﷻ yang maha kekal abadi selama-lamanya. Untuk itu jika seseorang memperoleh harta yang berlimpah, kedudukan yang tinggi semua itu tidak berarti, jika masih mempunyai sifat kikir dan pelit dalam menggunakan hartanya untuk orang lain. Dunia dan isinya itu hanyalah sementara, ibaratnya sebuah tempat persinggahan sesaat, untuk itu manusia di dunia hakikatnya mencari bekal untuk hidup di akhirat. Karena di akhirat waktu lebih panjang daripada dunia ini yang sementara.

Rasulullah ﷺ mengingatkan, “Jika kamu melihat Allah memberikan kemewahan dunia kepada seseorang yang suka melanggar perintah-Nya, maka itu adalah istidraj.” (HR. Ahamd).[6] Dapat dipahami bahwa, kadang masyarakat awam cenderung ambigu untuk mengenal apa itu ‘istidraj’, dengan hal tersebut banyak manusia yang mengalami hal tersebut tidak sadar dan akhirnya tersesat dengan kenikmatan-kenikmatan yang terus berdatangan.[7]

‘Istidraj’ Menurut Tafsir Al-Misbah

Tafsir al-Misbah yang ditulis oleh M.Quraish Shihab menjelaskan konsep ‘istidraj’ adalah pemberian dari Allah ﷻ kepada manusia berupa kemudahan dalam segala urusan dunia, termasuk harta dan tahta serta kesehatan. Dengan hal tersebut hakikatnya ‘istidraj itu ialah azab yang diberikan Allah ﷻ kepada hambanya dengan segala bentuk  kenikmatan-kenikmatan dunia, serta kesenangan  lainnya sehingga semakin diberikan nikmat, maka seorang hamba tersebut akan semakin lalai dalam beribadah sehingga adanya jarak terhadap hubungan  seorang hamba dengan Allah ﷻ.

Jika kita mengenal kata murka merupakan sebuah hal bencana, kesengsaraan hidup, siksa. Hal itu berbanding dengan konsep ‘istidraj’, jadi yang dimaksud kenikmatan disini adalah bagaimana seorang hamba bisa menyadari dalam bentuk kesenangan, kenikmatan, kemudahan padahal sering melalaikan perintah Allah ﷻ sebagai ujian. Karena manusia ketika diberikan kesenangan dan kenikamatan dunia akan cenderung melalaikan dan melupakan siapa yang memberikan nikmat.[8] Dengan hal tersebut patut lah kita bersyukur jika masih diberikan cobaan yang sekiranya itu merupakan tanda-tanda yang bisa kita kenali bahwa itu merupakan dosa yang perlu kita perbaiki dan memohon ampun kepada Allah ﷻ karena sering melalaikan perintahnya.

Marâji:

[1] Al-Mu’jam Al-Lughah Al-Arabiyah, kata: da-ra-ja, disebutkan dalam Ammi Nur Baits, Makna Istidraj, https://konsultasisyariah.com/10940-makna-istidraj.html

[2] Bayu Arif Bimantoro, ‘Istidraj dalam Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nur, Skripsi S1,  Surabaya: UIN Sunan Ampel Surabaya, 2021, 2

[3] Ibid. hal.2

[4] Ammi Nur Baits, Makna Istidraj, https://konsultasisyariah.com/10940-makna-istidraj.html

[5] Bayu Arif Bimantoro, ‘Istidraj dalam Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nur, hal 4

[6] Jalaluddin as-Suyuti, Jilid. I: 26

[7] Dina Fitri Febriani and Muhammad Zubir, “Istidraj Dalam Al-Quran Perspektif Imam Al-Qurthubi,” Istinarah: Riset Keagamaan, Sosial Dan Budaya 2, no. 1 (2020): 78, doi:10.31958/istinarah.v2i1.2101.

[8] Ali Muzamil, John Supriyanto, and Apriyanti, “Istidraj Dalam Al-Qur’an Menurut Penafsiran M. Quraish Shihab Dalam Tafsir Al-Misbah,” Al-Misykah: Jurnal Kajian Al-Quran Dan Tafsir 1, no. 2 (1902): 109.

Download Buletin klik disini

HIDUP INI UNTUK MENGHAMBA

HIDUP INI UNTUK MENGHAMBA

Oleh : Abdul Muis, S.Kom

*Alumni Informatika FTI UII 2017

 

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu was-salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Derasnya arus modernisasi di berbagai aspek, meningkatnya gaya hidup, tingginya persaingan status sosial membuat sebagian besar individu lupa akan hakikat kehidupan. Fenomena tersebut didukung dengan perkembangan teknologi informasi yang memberikan kemudahan dalam segala hal, baik dalam sudut pandang positif ataupun sebaliknya. Terkadang dengan kemudahan yang ada tidak sedikit yang terjerumus dalam hiruk pikuknya dunia teknologi terutama media sosial. Tanpa disadari kemudahan dan kemewahan tersebut menjadi bumerang tersendiri.

Munculnya paham-paham pemikiran yang berseberangan dengan Islam memperparah fenomena yang ada. Dampaknya Aqidah dan jati diri Islam terkoyakkan. Misalnya saja adanya paham pemikiran Islam liberal. Paham ini berawal dari pengaruh pandangan hidup barat dan peradabannya yang hegemoni dan mendominasi semua bidang kehidupan. Islam liberal mencoba memberikan tafsiran Islam yang sesuai modernity atau kemordenan. Sehingga Islam harus sesuai dengan kemordenan. Jika terjadi konflik antara ajaran Islam dan pencapaian modernitas, yang harus dilakukan menurut penganut paham ini adalah bukanlah menolak modernitas, tetapi menafsirkan kembali ajaran tersebut[1].

Paham Islam liberal kemudian dipopulerkan oleh satu kumpulan para pemuda dengan menumbuhkan satu rangkaian kerja sama di dalam dan di luar negeri, yang mereka namakan sebagai ‘Jaringan Islam Liberal’ (JIL). Terlihat jelas bahwa pemikiran-pemikiran liberal yang dilontarkan oleh kelompok ini merupakan penyerapan dan pengaruh dari isu-isu pemikiran yang berkembang di dunia barat. Selain itu, paham pemikiran ini hendak menjadikan Islam sama seperti Kristen atau paham Yahudi di barat yang tunduk dengan kehidupan duniawi, dengan cara membebaskan umat Islam dari ajaran-ajaran yang sesungguhnya supaya sesuai dengan selera dan agenda barat[2].

Fakta tersebut tentu sangat bertentangan dengan Islam yang menundukkan umatnya kepada kehidupan akhirat melalui ibadah dan syariat yang sudah ditetapkan dengan berlandaskan al-Qur’an dan Sunnah.

Akhirat sebagai Prioritas

Islam adalah agama yang memprioritaskan segala sesuatu untuk kehidupan akhirat yang lebih tinggi derajat kenikmatan dan karunianya, berdasarkan firman Allah ﷻ “Dan pasti kehidupan akhirat lebih tinggi tingkatnya dan lebih besar keutamaannya.” (Q.S Al Isra’[17]:21).

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di salah satu pakar ilmu tafsir abad ke-14 dalam kitab tafsirnya (Tafsir As-Sa’di) beliau menjelaskan maksud ayat tersebut bahwa kenikmatan dunia dan kenikmatan akhirat tidak bisa dibandingkan dalam segala sudut. Alangkah jauh perbedaan antara orang-orang yang berada di istana-istana yang tinggi, aneka kelezatan yang bermacam-macam, beragam jenis kebaikan, rangkaian kebahagiaan dengan orang yang menggelepar-gelepar di dalam neraka Jahim, tersiksa dengan azab yang pedih, dan kemurkaan Rabb yang Maha Penyayang yang sudah mengenainya. Dan masing-masing dua kampung itu (dunia dan akhirat) di hadapan para penghuninya mempunyai sisi-sisi perbedaan yang tidak terhitung jumlah oleh seseorang[3]. Ayat ini cukuplah menjadi bukti bahwa kemewahan dan kegemerlapan kehidupan dunia tidaklah sebanding dengan karunia dan kebahagiaan kehidupan akhirat.

Jika dibuka kembali lembaran sejarah Islam yang sebenarnya bahwa misi pertama diutusnya semua nabi dan rasul mulai nabi Nuh sampai dengan nabi Muhammad ﷺ ialah menerangkan dan mengingatkan kembali penghambaan pada Allah ﷻ. Oleh karena itu, untuk membuktikan penghambaan pada Allah ﷻ  diperintahkannya shalat sebagai salah satu turunan dari ibadah. Bukti penghambaan ini diperjelas ketika membacanya dalam pelaksanaan shalat,  Kalimat tersebut diulang sebanyak tujuh belas kali setiap harinya ketika melaksanakan kewajiban yang lima kali sehari, “Hanya kepadamulah kami menyembah dan hanya kepadamulah kami memohon pertolongan” (Q.S al-Fatihah [1]: 5).

Ayat tersebut menegaskan bahwa umat manusia khususnya umat Islam adalah hamba utusan Allah ﷻ. Para ahli tafsir menjelaskan makna penghambaan dari ayat tersebut ialah hanya menghususkan ibadah kepada Allah ﷻ dengan bertauhid dan memohon pertolongan hanya kepada Allah ﷻ untuk urusan lainnya[4].

Penegasan Menghamba

Penegasan derajat sebagai hamba salah satunya tercantum dalam al-Qur’an, Allah ﷻ berfirman “Tidaklah aku ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (Q.S Adh-Dhariyat [51]: 56). Para ahli tafsir menjelaskan bahwa makna ibadah di ayat tersebut yaitu merendah, tunduk, dan menyerahkan diri kepada Allah ﷻ. Sebab makna ibadah secara bahasa adalah tunduk dan patuh[5].

Tunduknya kita pada Allah ﷻ semata-semata sebagai bentuk syukur terhadap segala nikmat yang diberikan. Berkurangnya ketundukan ataupun tidak patuhnya kita kepada Allah ﷻ, sama sekali tindak merendahkan derajat Allah ﷻ yang Maha Tinggi, karena sejatinya seorang hamba yang membutuhkan Rabbnya, bukan sebaliknya. Di ayat berikutnya Allah ﷻ mempertegas bahwa Dia tidak menghendaki hambanya sebagaimana seorang tuan yang memanfaatkan budaknya, akan tetapi Dia Maha Kaya dan Maha Pemberi Rezeki, sebagaimana firman-Nya, “Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan aku tidak menghendaki agar mereka memberiku makan. Sunggu Allah, Dialah  pemberi rezeki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh” (Q.S Adh-Dhariyat [51]:57-58).

Penghambaan kita kepada Allah ﷻ bukanlah berarti bentuk larangan untuk meninggalkan dunia sepenuhnya. Tentu tidak. Islam tidak melarang untuk bekerja, tidak melarang untuk menjadi kaya, berkarier mencapai jabatan tertinggi, mempunyai kedudukan dan ilmu yang tinggi serta lain semisalnya. Akan tetapi ayat tersebut mengingatkan bahwa kedudukan kita di muka bumi adalah sebagai hamba dan tugasnya untuk menghamba yang senantiasa meniatkan segala sesuatu sebagai ibadah berorientasi akhirat. Silakan bekerja, berkarier setinggi-tinginya, akan tetapi jangan lupa status kita adalah sebagai hamba yang berkewajiban menghamba dan status kehambaannya akan dimintai pertanggung jawaban di hadapan-Nya.[]

MARÂJI’:

[1] Dr.Adian Hussaini, Islam liberal: sejarah, konsepsi, penyimpangan, dan jawabannya – Adian Husaini, Nuim Hidayat – Google Books.

[2] I. Dan and P. Untuk, “Isu-Isu Sentral Dalam Pemikiran Islam Liberal : Kes,” pp. 1–16, 1999, Accessed: Aug. 19, 2022. [Online]. Available: https://insists.id/isu-isu-sentral-dalam-pemikiran-islam-liberal/.

[3] “Surat Al-Isra Ayat 21: Arab-Latin dan Artinya.” https://www.tafsirweb.com/4625-surat-al-isra-ayat-21.html (accessed Aug. 19, 2022)

[4] M. A. Tuasikal, “Tafsir Surat Al-Fatihah (Ayat 5): Memahami Iyyaka Na’budu Wa Iyyaka Nasta’iin – Rumaysho.Com.” https://rumaysho.com/24478-tafsir-surat-al-fatihah-ayat-5-memahami-iyyaka-nabudu-wa-iyyaka-nastaiin.html (accessed Aug. 19, 2022)

[5] “Surat Az-Zariyat Ayat 56: Arab-Latin dan Artinya.” https://www.tafsirweb.com/9952-surat-az-zariyat-ayat-56.html (accessed Aug. 19, 2022)

Download Buletin klik disini

PEMUDA IDEAL DALAM PANDANGAN ISLAM

PEMUDA IDEAL DALAM PANDANGAN ISLAM

Oleh: Jaenal Sarifudin*

 

Bismillah, walhamdulillâh washshâlatu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh. Waba’du.

Ada kalimat hikmah menyebutkan, Syubbanul yaum rijalul ghad, pemuda hari ini adalah tokoh di masa depan. Demikian bunyi sebuah ungkapan dalam khazanah literatur Arab. Pemuda adalah harapan para orang tua. Bahkan harapan bangsa. Tempat melabuhkan dan menitipkan segenap asa, harapan dan cita-cita. Maka pemuda memiliki posisi yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Apa yang belum dapat dicapai oleh para orang tua dan generasi sebelumnya, para pemudalah yang diharapkan akan dapat memperjuangkan dan mampu untuk mewujudkannya. Bapak Proklamator RI, Ir. Soekarno pernah mengatakan; “Berilah aku sepuluh orang pemuda, niscaya akan kuguncang dunia”. Kalimat ini menggambarkan potensi dan kekuatan luar biasa yang ada pada diri para pemuda.

Memanfaatkan Masa Muda Untuk Hal yang Positif

Masa muda sering dikaitkan dengan kondisi fisik yang kuat dan prima. Juga semangat dan idealisme yang tinggi. Saat segala cita-cita dan keinginan masih membentang luas kesempatan untuk dapat mewujudkan dan menggapainya. Namun di sisi lain juga memiliki kerentanan dan tantangan yang menghadang pula. Tidak sedikit di antara mereka yang salah jalan karena kurangnya perhatian dan bimbingan. Juga kurangnya bekal ilmu dan lemahnya iman. Maka menjadi suatu hal yang niscaya dilakukan untuk membimbing mereka. Mengarahkan mereka dan menyalurkan semangat darah mudanya pada hal-hal yang positif dan bermanfaat. Sehingga masa muda benar-benar akan menjadi waktu yang produktif dan penuh kreativitas positif.

Salah satu pesan Nabi ﷺ dalam sabdanya adalah agar kita memanfaatkan masa muda sebelum datang masa tua. Pada masa muda lah seseorang akan dapat memaksimalkan potensi dirinya dengan sebaik-baiknya. Saat usia telah beranjak senja, tidak banyak hal yang dapat dilakukan karena berbagai keterbatasan. Nabi ﷺ bersabda:  “Manfaatkanlah lima perkara sebelum datang lima perkara, hidupmu sebelum matimu, waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, waktu sempatmu sebelum datang saat sibukmu, masa mudamu sebelum datang masa tuamu dan saat kecukupanmu sebelum datang saat kekuranganmu.” (HR. Al-Hakim)[1]

Teladan Ashabul Kahfi

Allah ﷻ mencintai para pemuda yang berjiwa idealis, penuh semangat daya juang dan tumbuh di dalam naungan keimanan dan ketakwaan kepada-Nya. Di dalam Al-Quran, di antaranya Allah ﷻ memberikan contoh pemuda yang memiliki karakter tersebut. Di antara mereka adalah Ashabul Kahfi, sekelompok pemuda shalih yang berani menentang tirani kezhaliman. Bahkan demi menyelamatkan iman dan tauhid, mereka rela meninggalkan kampung halaman dan bersembunyi di dalam sebuah goa. Ketika Allah ﷻ mengisahkan Ashabul Kahfi, Allah ﷻ memuji mereka dalam firman-Nya, Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambahkan untuk mereka petunjuk.” (QS. Al-Kahfi [18]: 13). Ashabul Kahfi adalah contoh citra pemuda bertakwa dan memiliki idealisme tinggi. Para pemuda yang rela berjuang dan berani menyuarakan kebenaran.

Dalam konteks semangat juang, sesungguhnya juga dapat kita kaitkan dengan sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Banyak pemuda pahlawan yang turut memperjuangkan kemerdekaan negeri ini. Mereka bahkan rela mengorbankan jiwa raga demi membela bangsa dari cengkeraman penindasan para penjajah. Sejarah mencatat, ribuan pemuda telah gugur menjadi syuhada dan kusuma bangsa yang harum namanya dikenang oleh generasi selanjutnya.

Pemuda yang Berada dalam Naungan Allah

Di dalam hadits riwayat Imam Al-Bukhari, Rasulullah ﷺ juga memuji pemuda yang beriman, taat beribadah dan memiliki semangat pengabdian tinggi. Nabi ﷺ menjanjikan bahwa kelak Allah ﷻ akan memberikan naungan pada hari kiamat bagi para pemuda yang tumbuh di dalam pengabdian dan ketaatan (syabb nasyaa fi ‘ibadatillah). Para pemuda yang selain memiliki karakter shalih, juga memiliki semangat pengabdian. Karena pada hakikatnya segala pengabdian, dedikasi, perjuangan dan kontribusi yang diberikan dengan ketulusan adalah bagian dari ibadah juga. Sehingga pemuda ideal menurut Islam adalah pemuda yang memiliki semangat beribadah dan juga semangat berjuang. Nabi ﷺ bersabda: “Ada tujuh golongan manusia yang akan mendapatkan naungan Allah pada hari di saat tidak ada naungan kecuali hanya naungan-Nya; Imam yang adil, pemuda yang tumbuh dalam pengabdian kepada Allah, orang yang hatinya selalu terpaut pada masjid, dua orang yang saling mencintai karena Allah, mereka berkumpul dan berpisah karena Allah, orang yang bersedekah sirri (dengan ikhlas) sehingga seolah tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya, seorang laki-laki yang dirayu oleh seorang perempuan yang terpandang lagi cantik jelita kemudian ia berkata sesungguhnya aku takut kepada Allah dan seseorang yang berdzikir menyebut nama Allah dalam keheningan seraya mengalir air matanya (karena takut kepada Allah).” (HR.  Al-Bukhari)[2]

Menjadi Pemuda yang Berilmu dan Beramal

Salah satu kunci untuk meraih kebahagiaan dan kesuksesan hidup adalah dengan ilmu. Imam Asy-Syafi’i menyatakan: “Barangsiapa menghendaki (kesuksesan) di dunia hendaklah ia membekali diri dengan ilmu. Dan barangsiapa menghendaki (kebahagiaan) di akhirat maka hendaklah ia membekali diri dengan ilmu.”[3] Idealnya, masa muda semestinya dimanfaatkan sebaik mungkin untuk belajar dengan sungguh-sungguh dalam mengarungi samudera ilmu pengetahuan. Pada masa muda, daya serap dan daya lekat ilmu jauh lebih kuat dibandingkan ketika seseorang belajar di saat usia sudah tidak muda lagi. Para ilmuwan, cendekiawan dan ulama pada umumnya adalah orang-orang yang mau berletih-letih dalam belajar di masa mudanya. Bahkan jika menengok sejarah hidup para ulama masa lampau, mereka sampai rela menempuh jarak perjalanan ratusan kilometer demi untuk mendapatkan ilmu dan riwayat.

Saat ini, kita telah mendapatkan banyak sekali fasilitas dan sarana yang memudahkan untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Lembaga pendidikan dan majlis-majlis ilmu begitu banyak. Khazanah pustaka juga begitu berlimpah, baik yang berwujud buku fisik maupun yang telah didigitalisasikan. Bahkan kita dapat dengan mudah mengakses beragam sumber pengetahuan tanpa harus keluar dari tempat tinggal kita dengan memanfaatkan fasilitas media. Kemudahan yang ditawarkan oleh kemajuan teknologi harus kita manfaatkan dengan baik. Bukan malah kemudian terseret dalam arus negatif akibat menggunakan fasilitas teknologi untuk hal-hal yang tidak bermanfaat dan sia-sia bahkan membawa dosa.

Kesungguhan dalam belajar (studi) dan menumbuhkan budaya literasi haruslah ditanamkan dalam kehidupan sehari-hari. Terlebih bagi para mahasiswa, itulah tugas utama yang harus ditunaikan dengan sebaik-baiknya. Belajar adalah amanah dari Allah l dan amanah dari para orang tua mereka. Orang yang tengah belajar dan menuntut ilmu pada hakikatnya tengah berjuang di jalan Allah ﷻ. Allah ﷻ niscaya akan memudahkan baginya meraih kesuksesan dan surga-Nya. Nabi bersabda; “Barangsiapa menempuh jalan dalam menuntut ilmu maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim).[1] Tentu setelah ilmu didapat, hal selanjutnya adalah mengaktualisasikan dan mengamalkan ilmu yang telah diperoleh. Citra pemuda ideal dalam Islam adalah pemuda yang berilmu dan juga beramal.[]

Marâji’:

* Mahasiswa FIAI Universitas Islam Indonesia

[1] Imam al-Hakim, Al-Mustadrak ‘ala Shahihain, Beirut, Darul Fikr, 2001.

[2] Muhammad  ibn Isma’il al-Bukhari, Sahih Bukhari, Beirut: Darul Fikr, t.t.

[3] Abi Zakariya an-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Juz I,  Beirut: Darul Fikr, 1996, hal. 36.

Download Buletin klik disini

HAKIKAT PERTEMANAN DALAM ISLAM

HAKIKAT PERTEMANAN DALAM ISLAM

Oleh : Awwahun Halim

*Ketua HAWASI & mahasiswa Akuntansi 2019

 

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu was-salâmu ‘alâ rasûlillâh,   

Setiap manusia pasti memiliki teman akrab yang senantiasa menemaninya baik itu dikala suka maupun duka, ada yang sudah berteman dari kecil hingga dewasa. Walaupun terkadang dalam pertemanan ada juga istilah seperti “menusuk dari belakang”. Akan tetapi hakikatnya setiap orang pasti memiliki teman akrab, atau biasa juga kita sebut dengan sahib karib. Sedangkan pada zaman serba digital ini kita sangat mudah sekali untuk mendapatkan teman dalam dunia maya, bahkan terkadang kita bisa lebih dekat dengan mereka dari pada dengan teman di sekitar kita.

Pertemanan dalam Al-Qur’an

Istilah pertemanan atau sahib ini sebenarnya sudah ada sejak zaman masa Jahiliyah. Jika membicarakan pertemanan pada masa jahiliyyah terdapat suatu kisah yang diabadikan dalam Al-Qur’an. Allah ﷻ berfirman: “Dan (ingatlah) pada hari (ketika) orang-orang zhalim menggigit dua jarinya, (menyesali perbuatannya) seraya berkata, “Wahai! Sekiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama Rasul. Wahai, celaka aku! Sekiranya (dulu) aku tidak menjadikan si fulan itu teman akrab(ku). Sungguh, dia telah menyesatkan aku dari peringatan (al-Qur’an) ketika (al-Qur’an) itu telah datang kepadaku, dan setan memang pengkhianat manusia.” (Q.S al-Furqân, [25]: 27-29)

Dimana asbabun nuzul dari ayat ini karena pada zaman jahiliyyah ada seorang dari orang Quraisy bernama Uqbah bin Abu Mu’aith, dimana dulu sering sekali mengikuti majelis Rasulullah ﷺ. Sehingga suatu saat berita bahwa Uqbah bin Abu Mu’aith yang sering ikut majelis Rasulullah ﷺ sampai ke teman dekat dari Uqbah bin Abu Mu’aith yaitu Ubay bin Khalaf yang saat itu sedang di Syam. Kemudian Ubay bin Khalaf pun langsung pulang ke Makkah untuk mengkonfirmasi berita tersebut. Kemudian setelah mengkonfirmasi berita tersebut Ubay bin Khalaf pun menyuruh Uqbah bin Abu Mu’aith untuk memilih apakah dia akan terus mengikuti dakwah Nabi atau memutuskan persahabatan antara mereka.

Setelah diberi pilihan tersebut maka Uqbah bin Abu Mu’aith lebih memberatkan pertemanan dari pada dakwah Rasulullah ﷺ sehingga untuk membuktikan pertemanannya Uqbah bin Abu Muaith pun sampai rela untuk melemparkan kotoran ke punggung Rasulﷺ. Akan tetapi di akhir hayatnya Uqbah bin Abu Muaith menyesali perbuatannya tersebut. Sebagaimana hal ini telah diabadikan di al-Qur’an, Allah ﷻ berfirman: “Dan (ingatlah) pada hari (ketika) orang-orang zhalim menggigit dua jarinya, (menyesali perbuatannya) seraya berkata, “Wahai! Sekiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama Rasul.” (Q.S. al-Furqan [25]: 27). Dimana pada akhirnya Uqbah bin Abu Muaith meninggal dunia dalam keadaan kafir di medan perang.[1]

Anjuran Nabi Untuk Memilah Dalam Pertemanan

Nabi Muhammad ﷺ telah mengajarkan kita bagaimana pertemanan yang baik itu. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Musa al-‘Asy’ari, Rasulullah ﷺ bersabda: “Permisalan teman duduk (berteman) dengan orang shalih dan orang yang buruk bagaikan berteman dengan pemilik minyak wangi dan pandai besi. Pemilik minyak wangi tidak akan merugikanmu; engkau bisa membeli (minyak wangi) darinya atau minimal engkau mendapat baunya. Adapun apabila engkau berteman dengan pandai besi, jika engkau tidak mendapati badan atau pakaianmu hangus terbakar, minimal engkau mendapat baunya yang tidak enak.” (HR. Bukhari no. 5534 dan Muslim, no.2628)[2]

Dimana Rasulullah ﷺ mengajarkan kepada kita supaya kita mencari teman yang baik. Imam An-Nawawi menjelaskan tentang hadits diatas bahwasanya hadits diatas menunjukkan keutamaan bergaul dengan teman yang shalih atau orang baik yang memiliki akhlak yang mulia, sikap wara’ (rendah hati). Dan hadits diatas juga terdapat larangan serta bahayanya bergaul dengan orang yang memiliki perilaku yang buruk dan yang memiliki sikap yang tercela.

Ibnu Hajar al-Asqalani juga menjelaskan tentang hadits diatas: “Hadits di ini menunjukkan larangan berteman dengan orang-orang yang dapat merusak agama maupun dunia kita. Hadits ini juga mendorong seseorang agar bergaul dengan orang-orang yang dapat memberikan manfaat dalam agama dan dunia.”

Berdasarkan hadits diatas dijelaskan juga beberapa manfaat dari berteman dengan orang baik diantaranya: 1) Kita diajak untuk melakukan kebaikan yang serupa. 2) Kita juga mendapatkan semangatnya dalam melakukan kebaikan. 3) Hal yang paling minim yaitu kita juga mendapatkan pujian dari berteman dengannya.

Selain itu kita juga dijelaskan bahayanya jika kita berteman dengan orang yang memiliki akhlak yang buruk semisal: 1) Kita jadi ikut ikutan melakukan keburukan yang serupa. 2) Kita mendapatkan getah dari apa yang dilakukan teman tersebut. 3) Hal yang paling minim yaitu kita mendapatkan sindiran dari masyarakat karena berteman dengannya.

Pribadi Rasulullah dalam Berteman

Dalam surah al-Qalam ayat 4 Allah ﷻ berfirman: “Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang luhur”. (Q.S. al-Qalam [68]: 4).  Rasulullah ` merupakan sosok panutan kita umat muslim seseorang yang memiliki setiap budi yang luhur. Bahkan setiap sahabat memiliki kesan yang sangat bagus dalam pergaulan beliau. Setiap pribadi Rasul dalam bergaul dengan para sahabat, kemudian para sahabat menceritakan kepada generasi selanjutnya, berikut contoh pribadi Rasulullah ﷺ salam dalam bergaul terdapat dalam suatu hadits Rasulullah ﷺ : “Hak seorang muslim terhadap sesama muslim ada enam, yaitu bila engkau berjumpa dengannya ucapkanlah salam; bila ia memanggilmu penuhilah; bila dia meminta nasehat kepadamu nasehatilah; bila dia bersin dan mengucapkan alhamdulillah bacalah yarhamukallah (artinya  semoga Allah memberikan rahmat kepadamu); bila dia sakit jenguklah; dan bila dia meninggal dunia hantarkanlah (jenazahnya)”. (H.R Muslim).[3]

Berdasarkan hadits diatas terdapat 6 dasar dalam bergaul yaitu: 1) Menjawab salam. 2) Menjenguk dan mendoakan teman yang sakit. 3) Memberi undangan dan menjawab undangan. 4) Memberi nasehat. 5) Mendoakan ketika ada teman yang bersin. 6) Mengantarkan jenazah.

Selain dari 6 dasar bergaul yang telah diajarkan oleh Rasulullah ﷺ, Beliau juga mengajarkan kita untuk selalu membantu setiap muslim yang sedang kesulitan dan menutup aib sesama muslim yang mana kita nanti juga akan dimudahkan dan ditutup aibnya oleh Allah ﷻ di dunia maupun di akhirat. Sebagaimana sabda Nabi `: “Barangsiapa yang melapangkan satu kesusahan dunia dari seorang Mukmin, maka Allâh melapangkan darinya satu kesusahan di hari Kiamat. Barangsiapa memudahkan (urusan) orang yang kesulitan (dalam masalah hutang), maka Allâh memudahkan baginya (dari kesulitan) di dunia dan akhirat. Barangsiapa menutupi (aib) seorang Muslim, maka Allâh akan menutup (aib)nya di dunia dan akhirat. Allâh senantiasa menolong seorang hamba selama hamba tersebut menolong saudaranya. Barangsiapa menempuh jalan untuk menuntut ilmu, maka Allâh akan mudahkan baginya jalan menuju Surga. Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allâh (masjid) untuk membaca Kitabullah dan mempelajarinya di antara mereka, melainkan ketenteraman akan turun atas mereka, rahmat meliputi mereka, Malaikat mengelilingi mereka, dan Allâh menyanjung mereka di tengah para Malaikat yang berada di sisi-Nya. Barangsiapa yang diperlambat oleh amalnya (dalam meraih derajat yang tinggi-red), maka garis keturunannya tidak bisa mempercepatnya.” (H.R Muslim no.2699)[4]

Oleh karena itu carilah untuk kalian teman yang baik yang senantiasa menasehati kita dikala sedang futur dalam beribadah, karena teman yang seperti ini lah yang dapat menuntun kita menuju surganya Allah ﷻ sebagaimana telah diriwayatkan oleh Imam Ibnul Mubarak: “Apabila penghuni surga telah masuk ke dalam Syurga, lalu mereka tidak menemukan Sahabat2 mereka yang selalu bersama mereka dahulu di dunia.Mereka bertanya tentang Sahabat mereka kepada Allah Ta’ala “Ya Rabb kami tidak melihat Sahabat Sahabat kami yang sewaktu di dunia shalat bersama kami, puasa bersama kami dan berjuang bersama kami?” Kemudian Allah Ta’ala berfirman “Pergilah ke neraka lalu keluarkan Sahabat-sahabatmu yang di dalam hatinya terdapat iman walaupun sebiji zarrah” (HR. Ibnul Mubarak dalam kitab ‘Az-Zuhd’)[5]

Marâji:

[1] Ibnu Katsir. Tafsir Ibnu Katsir. Bogor : Pustaka Imam Asy-Syafi’I, 2004. Jilid 6, hal. 108

[2] Imam Muslim, Shahih Muslim, No 2628

[3] Abu Zakariya Yahya bin Syaraf An-nawawi. Riyadhus Shalihin. Beirut, Maktabul Islami. hal.  143.

[4] Ibid. hal. 146.

[5] Sumber https://pundiamalhasanahumat.or.id/carilah-teman-yang-bisa-membawamu-ke-sorga/

Download Buletin klik disini

HAKIKAT KEMERDEKAAN

HAKIKAT KEMERDEKAAN

Oleh: Imaduddin Fadhlurrahman

*Santri Rumah Tahfidz Taruna Juara Yogyakarta.

 

Bismillâhi Walhamdulillâhi wash-shalâtu was-salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Bulan Agustus selalu lekat dengan hari kemerdekaan. Hal ini karena pada setiap tanggal 17 Agustus selalu diperingati sebagai peristiwa paling bersejerah bangsa ini, yakni hari kemerdekaan Negara Republik Indonesia sebagai peringatan karena telah merdeka dari belenggu penjajah. Semarak dan animo penyambutan hari kemerdekaan ditandai dengan bendera merah putih yang berkibar di sepanjang jalan dan spanduk dan umbul-umbul yang turut memenuhi ruas-ruas jalan. Ini adalah salah satu bukti masyarakat Indonesia dalam mengekspresikan cintanya kepada bangsa sekaligus menghormati jasa para pahlawan.

Islam sendiri mendorong umatnya untuk mencintai tanah air sebagai bentuk ketaatan kepada ulil amri dalam perakara kebaikan. Mencintai tanah air seperti halnya Rasulullah n mencintai Makkah dan Madinah karena kedua tempat tersebut adalah tanah airnya. Bentuk kecintaan tersebut ditunjukkan Rasulullah n dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh  Imam Bukhari yang berbunyi, “Ketika Rasulullah hendak datang dari bepergian, beliau mempercepat jalannya kendaraan yang ditunggangi setelah melihat dinding kota Madinah. Bahkan beliau sampai menggerak-gerakan binatang yang dikendarainya tersebut. Semua itu dilakukan sebagai bentuk kencintaan beliau terhadap tanah airnya.” (H.R. Bukhari)[1].

Hakekat Kemerdekaan Dalam Islam

Islam sesungguhnya memandang kemerdekaan sebagai sebuah bentuk kebebasan dari ketundukan kepada makhluk untuk bertindak sesuai dengan ajaran al-Quran dan Sunnah diatas pemahaman salafush shalih. Ini merupakan fitrah manusia sebagai makhluk yang diberikan kehendak bebas oleh Allah untuk menjadi khalifah, pemimpin di muka bumi.[2]

Konsep Islam terhadap kemerdekaan ialah perubahaan dari kegelapan menjadi terang-benderang, serta dari sesuatu yang buruk menuju ke arah yang lebih baik. Islam menjadikan konsep kemerdekaan menyentuh segala aspek kehidupan manusia, mencakup pula yang lahiriyah dan batiniyah. Artinya kemerdekaan akan diraih ketika seorang muslim mampu berada dalam fitrahnya, menjadi hamba Allah, khalifah di muka bumi.[3]

Beberapa contoh konsep kemerdekaan yang telah termaktub dalam al-Qur’an. Pertama, dapat dilihat dari kisah Nabi Ibrahim ketika membebaskan dirinya dari stereotip masyarakat yang keliru dalam kehidupan manusia. Pada surah al-Anam  ayat 76-79 dikisahkan tentang perjalanan spiritual Nabi Ibrahim yang mencari Tuhan sebagai upaya membebaskan hidupnya dari orientasi kehidupan yang keliru saat itu, namun tumbuh subur dalam lingkungan Nabi Ibrahim tinggal di mana masyarakat pada saat itu menyembah berhala sebagai tuhan. Bagi Nabi Ibrahim hal tersebut tidak sejalan dengan tali keimanannya karena telah melakukan bentuk pengahambaan yang justru menjatuhkan harkat dan martabat sebagai manusia.

Contoh kedua terkait memaknai kemerdekaan dapat pula dipetik pelajarannya dari kisah Nabi Musa ketika membebaskan bangsanya dari penindasan Firaun. Kekejiaan zaman pemerintaah Firaun membuatnya tidak segan membunuh dan memperbudak kaum laki-laki bangsa Isarel dan meninstakan kaum perempuan. Kezaliman inilah yang mendorong Nabi Musa untuk memimpin membebaskan bangsanya dari penindasan dan akhirnya meraih kemerdekaan sebagai bangsa yang mulia dan bermartabat sebagaimana tercantum dalam surah al-A’râf ayat 127, al-Baqarah ayat 59, dan Ibrahim ayat 6.[4]

Kisah Nabi Muhammad n adalah contoh berikutnya yang dapat dijadikan sumber yang tidak pernah habis untuk memaknai kemerdekaan bagi bangsa Indonesia baik secara holistik maupun secara integral. Bayangkan saja ketika Nabi Muhammad di utus 14 abad silam, beliau dihadapkan dengan zaman jahiliyah dengan kondisi masyarakat yang mengalami tiga bentuk penjajahan sekaligus mulai dari segi disorientasi kehidupan, penindasan ekonomi, dan kezaliman sosial.

Itu sebabnya Nabi Muhammad ﷺ sebagai utusan Allah ﷻ ditugaskan untuk membawa misi tauhid, yang tidak lain dan tidak bukan untuk memerdekakan dan membebaskan manusia dari segala bentuk penindasan manusia atas manusia yang lainnya. Sebagaimana dalam firmannya Allah ﷻ berfirman: “(inilah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari kegelapan cahaya yang terang benderang dengan izin Tuhan mereka.” (Q.S. Ibrahim [14]: 1).[5]

Memaknai Kemerdekaan Sebagai Sarana Mencintai Indonesia

Jika melihat definisi kemerdekaan dalam Islam baik secara historis dan terminologi, maka akan didapatkan satu benang merah bahwa pemaknaan atas kemerdekaan tersebut harus terwujud dalam tindakan-tindakan yang merepresentasikan tingkah laku kebaikan sehingga pada akhirnya akan melahirkan kecintaan terhadap bangsa Indonesia. Imam An-Nawawi menambahkan jika baik saja tidak cukup. Umat Islam harus pula mampu secara mandiri dan produktif di segala kebutuhan sehingga negara Indonesia yang merdeka akan terwujud dengan setiap warga negara yang mengusahakan sebaik mungkin di profesi yang digeluti masing-masing.[6]

Jika menjadi orang tua, maka menjadi orang tua yang bertanggwungjawab. Jika menjadi pejabat, maka menjadi pejabat yang jujur dan amanah. Jika menjadi pendidik, maka menjadi pendidik yang tulus dalam mengajar dan mangabdi terhadap masyarakat. Jika menjadi pelajar, maka menjadi pelajar yang rajin dalam menuntut ilmi di bidangnya masing-masing.

Maka buah dari kecintaan terhadap tanah air sejatinya akan tampak dari tingkah laku kita sebagai warga negara yang selalu berusaha baik dalam segala kondisi, tempat, dan berperilaku baik dengan akhlak yang mulia, serta senantiasa berusaha muntun bangsa Indonesia ke arah yang lebih baik. Oleh karena itu, sebagai pewaris kemerdekaan menjadi tugas bersama untuk memelihara semangat kemerdekaan dengan mengisinya dengan cita-cita kemerdekaan yaitu mewujudkan negara yang adil dan makmur sehingga mendapat limpahan dan rahmat dari Allah ﷻ dengan segala aktivitas yang kita lakukan.

Untuk menjadikan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang adil dan makmur, maka syarat yang harus dipenuhi ialah harus menjadi umat bertakwa, umat yang mau menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar. Dengan begitu, bangsa Indonesia akan berada jalurnya untuk menjadi negara yang aman dan tentram serta adil dan makmur. Sebagaimana Allah ﷻ berfirman “Jikalau sekiranga penduduk negeri beriman dan bertawa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.” (Q.S. al-A’râf [7]: 96).[7]

Marâji’:

[1] Takdir Ali Mukti, Membangun Moralitas Bangsa (Amar Ma’ruf Nah Munkar: dan Subyektif-Normatf ke Obyektif-Empiris), Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2000.

[2] Syu’bah Asa,  Dalam Cahaya Al-Qur’an (Tafsir Ayat-ayat Sosial-Politik), Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2000.

[3] Hilman Latief, dkk., Islam dan Urusan Kemanusiaan: Konflik, Perdamaiaan, dan Folantropi. Jakarta: Serambi, 2015

[4] Quraish Shihab,  Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1997.

[5] Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid IV, PT. Pustaka Panji Mas: Jakarta, 2004

[6] Aboebakar Atjeh,  Islam dan Kemerdekaan Beragama, Cirebon:  Toko Messir, 1970

[7] Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid IV, PT. Pustaka Panji Mas: Jakarta, 2004

Download Buletin klik disini

BAGAIMANA JIKA SELALU OVERTHINGKING?

BAGAIMANA JIKA SELALU OVERTHINGKING?

Penulis:

Hana Nabila Rizka, SE.

 

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh,

Kaum muslimin yang dimuliakan oleh Allah ﷻ, overthingking merupakan kondisi seseorang sering berfikir berlebihan. Seseorang yang sering berfikir berlebihan biasanya merisaukan keadaan yang akan terjadi, misalnya mempertimbangkan perkara tanpa henti. Ketika seseorang ingin memutuskan suatu tujuan, kemudian mempertanyakan keputusan tersebut, entah fikiran “bagaimana jika” atau “seharusnya” atau “jangan-jangan?” pasti sering mendominasi fikiran. Overthingking bagaikan hakim tak terlihat yang siap untuk menilai keputusan seseorang. Walaupun dilain sisi berfikir lebih dari satu kali itu baik, karena memutuskan sesuatu dengan matang, namun tidak dipungkiri ada dampak negatif dari overthingking karena membuang energi memikirkan secara berlebihan tanpa adanya tindakan nyata. Bahkan yang terburuk overthingking dapat menimbulkan kondisi kecemasan akut dimana berbagai macam emosional dalam diri kita muncul seperti rasa khawatir, marah, takut, was-was, cemas, dan sedih yang menimbulkan konflik internal di dalam diri seseorang baik fisik maupun mental.

Tanda-Tanda Overthingking

Beberapa gejala umum dapat ditandai bahwa individu tersebut adalah seorang overthinker diantaranya; Pertama, seseorang yang overthingking akan lebih banyak berfikir dibandingkan bertindak, sehingga orang yang overthingking akan selalu menganalisa, mengulang suatu pemikiran dan mengomentari hal yang akan dituju beserta dampaknya.

Kedua, sulit tidur dan jiwa terasa lelah, dalam tubuh manusia diantaranya memproduksi hormon kortisol ketika manusia terlalu banyak memikirkan sesuatu terlalu banyak dan membuat tertekan atau stres.1 Jika hormon ini terus diproduksi dapat mengakibatkan badan lelah.

Ketiga, merasa takut dengan masa depan dirinya, seseorang yang overthingking akan selalu berfikir skenario terburuk sehingga hal tersebut mampu mengembangkan pola pikir negatif. Keadaan itu terlalu mengkhawatirkan masa depan, takut untuk memulai atau jika sudah memulai ia tidak akan bisa menghargai segala sesuatu yang telah diraihnya.

Keempat, emosi yang naik turun, seseorang yang overthingking fikirannya mengalami ketegangan yang luar biasa, hal tersebut menjadikan dirinya mudah marah dan insecure. Bahkan dapat melampiaskan ketegangan berfikir itu untuk hal yang merugikan dirinya.

Islam dalam Memandang Overthingking

Dalam perspektif Islam, overthinking adalah fikiran-fikiran yang muncul dari perasaan takut. Ketakutan yang muncul akan berkembang menjadi lebih besar jika dibarengi dengan perasaan gelisah, cemas, adanya imajinasi dalam kondisi tertentu serta emosi. Overthinking bisa disebabkan karena adanya bisikan setan yang menjadikan manusia merasa buruk, selain itu juga disebabkan karena manusia belum sepenuhnya berserah diri (tawakkal) dan bergantung hanya kepada Allah ﷻ.  Sebagaimana yang dijelaskan pada tafsir al-Qur’an surah An-Nâs ayat 4 dan 5 yang artinya “Dari kejahatan (bisikan) setan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia”.2

Makna ayat tersebut menjelaskan bahwa dari kejahatan setan yang banyak bersembunyi berupa berbagai pikiran, angan-angan, dan khayalan yang tidak ada hakikatnya, yang dibisikkan pada hati manusia.3 Setan menjadikan perbuatan jahat tampak indah dalam pandangan manusia, sehingga manusia bersamangat untuk mengerjakannya.4 Setan berjalan pada peredaran darah manusia, sehingga terkadang bisikannya tidak dapat dirasakan oleh manusia. Begitu tersembunyinya godaan syaitan terhadap hati manusia, maka menjadi sangat lekat dengan prasangka.

Dalam Islam sendiri, terdapat konsep su’udzon yang bermakna berburuk sangka baik terhadap dirinya sendiri, orang lain dan Allah ﷻ. Sikap ini muncul karena sering terburu-buru menilai atau memikirkan suatu kejadian yang belum tentu jelas, dalam arti seseorang bersikap kurang tegas dan bijaksana dalam menyikapi suatu kejadian. Prasangka buruk yang terus berulang dapat menyebabkan ketidakbersyukuran terhadap dirinya sendiri ataupun lingkungannya, perilaku tersebut juga akan semakin menjauhkan diri dari akhlak terpuji yang telah diajarkan di dalam Islam, misalnya tidak bersegera dalam kebaikan hanya karena keraguan atau ketergantungannya kepada selain Allah ﷻ. Padahal Allah ﷻ memerintahkan kepada kita untuk menjauhi prasangka (Q.S. al-Hujurat [49] : 12).

Konsep Islam Dalam Menghadapi Overthingking

Kaum muslimin yang dimuliakan oleh Allah ﷻ, Islam adalah agama yang sempurna, menjadi sumber dari segala sumber syariat mengenai akhlak terpuji, baik hubungan dengan Allah ﷻ, sesama manusia, maupun dengan sesama makhluk hidup, dan juga alam yang diciptakan oleh Allah ﷻ. Dalam menghadapi overthingking Islam memberikan faidah:

Pertama, Islam mengajarkan kepada hamba-Nya untuk senantiasa berpikir husnudzon, bukan berpikir buruk kepada orang lain terutama kepada takdir yang telah Allah ﷻ  tetapkan. Prasangka baik kepada Allah ﷻ akan mendatangkan kemuliaan untuk diri kita di sisi-Nya. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits qudsi yang diriwayatkan oleh bukhari dan muslim sebagai berikut, “Dari Abu Hurairah z, Rasulullah bersabda “Allah berfirman; Aku sebagaimana prasangka hamba-Ku kepada-Ku, dan Aku akan bersamanya selama ia berdoa kepada-Ku. Jika ia mengingat-Ku dalam dirinya maka Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku, jika ia mengingat-Ku dalam sekumpulan orang maka Aku akan mengingatnya dalam sekumpulan yang lebih baik darinya. Jika ia mendekat kepada-Ku satu jengkal maka Aku akan mendekat kepada-Nya satu hasta, jika ia mendekat kepada-Ku satu hasta maka Aku akan mendekat kepadanya satu depa, dan jika ia mendatangi-Ku dengan berjalan maka Aku akan mendatanginya dengan berlari.” (HR Bukhari dan Muslim).5

Dalam hadits tersebut dijelaskan bahwa Allah ﷻ berkehendak atas segala sesuatu sebagaimana hamba-Nya berprasangka kepada-Nya. Allah ﷻ  juga bersama dengan siapa yang selalu mengingat-Nya. Apabila kita berprasangka buruk pada ketetapan Allah ﷻ maka keburukanlah yang akan kita rasakan, namun sebaliknya jika kita menerima segala ketetapan dan kemudian berprasangka baik kepada-Nya, maka sesungguhnya Allah ﷻ tidak pernah mengingkari janji. Allah ﷻ  telah menjamin kehidupan kita. Jika manusia sepenuhnya percaya akan hal tersebut, maka dia akan menjadi seorang yang optimis.

Kedua, overthingking dapat dihindari dengan cara membangun mindfulness. Dalam pengertiannya, mindfulness merupakan atensi yang diberikan individu terhadap pengalamannya disertai penerimaan yang menjadikan kesadaran hadir.6 Sehingga seseorang dapat menyikapi suatu permasalahan, mengontrol emosi pada suatu kondisi secara baik dan tidak menjadikan overthingking. Dengan izin Allah ﷻ mindfulness mampu meningkatkan kesehatan mental, seperti mengingat lebih baik dan mampu mengelola perasaan ataupu rasa sakit dengan berfokus pada emosi. Sehingga seseorang dapat mengembangkan pola pikir yang lebih positif. Dari hal itu, seseorang dapat khusyuk dalam melakukan ibadah dan bermuamalah karena bekerja lebih efisien untuk mencapai tujuan, dan menjadi lebih bahagia.

Marâji’

  1. Setiyono, et,al.Pengaruh Tingkat Stres dan Kadar Kortisol dengan Jumlah Folikel Dominan Pada Penderita Infertilitas yang Menjalani Fertilisasi Invitro. Jurnal:majalah Obstetri & Ginekologi.Vol 23. No 3. 2015.
  2. Karimah, Afifah Nurul.Overthingking Dalam Perspektif Psikologi dan Islam.2021.https://www.researchgate.net/publication/353428970
  3. Tafsir Juz ‘Amma, Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin.
  4. Taisirul Karimir Rahman fi Tafsir Kalamil Mannan, ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. 4/495.
  5. Shahih al-Bukhari, kitab at-Tauhid, bab qaul Allah Ta’ala {وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ}(Ali Imran: 28), No. hadits 7405, jilid 9, hal 121.
  6. Yusainy, Cleoputri, dkk. Mindfulness Sebagai Strategi Regulasi Emosi. Jurnal Psikologi. Vol 17. No 2. 2018. Hal 177

Download Buletin klik disini

MUHARRAM, BULAN YANG MULIA DAN MITOS-MITOSNYA

MUHARRAM, BULAN YANG MULIA DAN MITOS-MITOSNYA

Oleh: Siti Jamilah, MSI

* Penyuluh Agama Islam Kota Yogyakarta

 

Bismillâhi Walhamdulillâhi wash-shalâtu was-salâmu ‘alâ rasûlillâh,

         Dalam sistem kalender Hijriyah perhitungan tanggal, bulan dan tahun didasarkan pada peredaran bulan. Maka ia sering disebut sebagai kalender qamariyah. Sementara kalender Masehi didasarkan pada peredaran matahari, sehingga ia disebut kalender syamsiyah. Secara resmi, Islam menggunakan kalender Hijriyah, karena ia juga berkaitan dengan banyak ritual peribadatan umat Islam, seperti puasa dan ibadah haji. Allah ﷻ berfirman: “Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Ia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.“ (Q.S. Yunus [10]: 5).

Pada masa Nabi ﷺ, perhitungan tahun masih menggunakan tahun bi’tsah atau tahun nubuwwah (tahun kenabian) yang dihitung sejak Muhammad ﷺ diangkat sebagai Nabi. Baru pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab diinisiasi sistem kalender baru yang menjadi identitas umat Islam dengan mendasarkan pada hitungan hijrahnya Nabi ﷺ ke Madinah yang kemudian dikenal dengan kalender hijriyah. Kalender hijriyah diawali dengan bulan Muharram. Bulan yang memiliki arti tersendiri. Karena nama Muharram langsung diberikan oleh Allah melalui wahyu. Sehingga ia disebut dengan syahrullah (bulannya Allah). Sebelum itu Muharram bernama Shafar Awwal. Dan bulan Shafar yang kita kenal, dahulu disebut dengan Shafar Tsani.[1]

Beberapa Keutamaan Bulan Muharram

  1. Bulan haram adalah bulan yang dimuliakan Allah ﷻ. Nabi n bersabda: ”Zaman berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram. Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumada (akhir) dan Sya’ban.” (HR. Bukhari).[2]
  2. Muharram disebut dalam hadits dengan sebutan syahrullah (bulannya Allah). Muharram merupakan bulan yang dinisbatkan kepada dzat-Nya yang Maha Mulia. Ia disebut sebagai syahrullah (bulannya Allah) sebagaimana sabda Nabi; “Sebaik-baik puasa setelah puasa Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah, Muharram.” (HR. Muslim).[3]
  3. Di dalamnya terdapat hari Tanggal 10 Muharram dikenal dengan sebutan hari asyura. Asyura berasal dari kata ‘asyara yang bermakna hari kesepuluh bulan Muharram. Ia merupakan waktu yang agung dan mulia.
  4. Banyak peristiwa besar terjadi dalam sejarah di bulan Muharram, terutama pada hari asyura. Menurut beberapa sumber riwayat diceritakan bahwa hari asyura diselamatkanlah Nabi Musa dan pengikutnya dari kejaran Fir’aun, mendaratnya kapal Nabi Nuh di bukit Juud setelah sekian lama berlayar di tengah banjir, juga diselamatkannya Nabi Yunus dari perut ikan Nun raksasa yang menelannya.

Tathoyyur seputar Muharram

            Bulan Muharram yang disebut orang Jawa dengan bulan Suro adalah bulan yang sering dihubung-hubungkan dengan mitos dan hal-hal yang berbau klenik/mistis. Bahkan banyak orang menganggapnya sebagai bulan keramat yang dipercaya dapat membawa kesialan jika melanggar pantangan-pantangannya. Banyak orang meyakini, tidak boleh melangsungkan hajat tertentu di bulan Suro, seperti menikah (mantu), membangun rumah dan seterusnya. Hal itu diyakini akan membawa pada kesialan.

Sesungguhnya menghubungkan kesialan dengan bulan atau waktu tertentu merupakan hal yang keliru dan bertentangan dengan agama. Islam mengajarkan bahwa tidak ada yang dapat memberikan madharat kecuali atas izin-Nya. Apalagi Muharram sendiri artinya adalah bulan yang dimuliakan Allah ﷻ. Mengapa lalu dianggap sebagai bulan yang sial? Hal semacam ini dalam kajian ilmu tauhid sering disebut dengan tathoyyur.

            Tathoyyur secara bahasa artinya berita burung. Tathoyyur maksudnya adalah mengkait-kaitkan sesuatu dengan hal yang tidak memiliki hubungan logis. Termasuk menganggap diri akan terkena sial jika melakukan hal-hal tertentu. Contohnya menganggap diri akan celaka jika melangsungkan hajat di bulan Suro. Hal ini dapat mengotori kemurnian aqidah. Nabiﷺ  melarang seseorang mencela masa atau waktu.

Larangan Mencela Waktu atau Bulan

            Menganggap bulan Suro atau Muharram sebagai bulan yang membawa sial adalah bentuk tindakan mencela waktu. Apalagi yang dicela adalah bulan yang istimewa, yang disebut sebagai bulannya Allah. Orang yang mencela waktu pada hakikatnya telah mencela Allah yang Maha mengatur waktu. Di dalam hadits qudsi disebutkan; “Anak Adam telah menyakiti-Ku, ia mencela waktu, padahal Aku adalah (pencipta) waktu. Di tangan-Ku segala perkara. Aku memutar malam dan siang.” (HR. Bukhari).[4]

Termasuk perbuatan mencela waktu adalah menganggap adanya hari naas, hari jelek, bulan sial dan yang semisalnya. Nabi juga melarang kita mencela sesuatu yang merupakan bagian dari sunnatullah dan fenomena alam ciptaan-Nya. Misalnya mengumpat, “dasar batu sial”, “hujan sialan”, “dasar pembawa sial” dan sejenisnya. Nabi n mengajarkan jika kita bertemu hal yang tidak menyenangkan pun tetap memuji Allah l dengan dzikir. Misalnya dengan mengucapkan alhamdulillâh ‘alâ kulli hâl, astaghfirullâh, subhânallâh, dan sebagainya.

Dasar prinsip tauhid adalah membangun sebuah keyakinan bahwa tidak ada yang dapat mendatangkan manfaat dan madharat, melainkan atas izin dan kehendak Allah ﷻ. Dan juga mengikis hal-hal yang menciderai logika akal sehat. Manusia dimuliakan Allah ﷻ karena kemampuan menalar dan menggunakan akal fikirnya yang sehat dan lurus. Al-Qur’an berulangkali menegaskan hal tersebut dalam ayat-ayatnya.

Beberapa Amalan di bulan Muharram

Secara umum di bulan-bulan haram, termasuk Muharram, kita dianjurkan untuk lebih meningkatkan amal ibadah di dalamnya. Misalnya dengan memperbanyak tilawah, sedekah dan seterusnya. Amal ibadah di bulan-bulan haram akan mendapatkan keutamaan dan pahala yang lebih besar. Selain itu ada beberapa ibadah yang dituntunkan secara khusus oleh Nabi ﷺ di bulan Muharram. Di antaranya adalah menunaikan puasa sunnah pada tanggal 9 dan 10 Muharram.

Dalam sebuah hadits disebutkan: “Rasûlullâh berpuasa pada hari asyura dan memerintahkan umatnya untuk berpuasa. Para sahabat berkata: ”Ya Rasulallah, sesungguhnya hari itu (juga) diagungkan oleh orang-orang Yahudi.” Maka beliau bersabda: “Pada tahun depan insya Allah kita akan berpuasa juga  pada tanggal sembilan.” Tetapi sebelum datang tahun depan Rasulullah telah wafat.” (HR. Muslim). Secara khusus, Nabi mengabarkan agungnya pahala menunaikan puasa sunnah pada hari asyura. Beliau bersabda; “Puasa pada hari asyura akan menghapus dosa setahun yang telah lalu.” (HR. Muslim).[5]

Marâji’:

[1] Jalaluddin as-Suyuthi, Syarh Shahih Muslim, Beirut: Darul Fikr, t.t. Juz 3 hal. 252.

[2] Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, Beirut: Darul Fikr, 2003.

[3] Muslim ibn Hajjaj an-Naisaburi, Sahih Muslim, Beirut: Darul Fikr, t.t.

[4] Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, Beirut: Darul Fikr, 2003.

[5] Muslim ibn Hajjaj an-Naisaburi, Sahih Muslim, Beirut: Darul Fikr, t.t.

Download Buletin klik disini

MEMULAI TAHUN BARU 1444 H DENGAN KETAATAN

MEMULAI TAHUN BARU 1444 H DENGAN KETAATAN

Oleh: Retno Farida, A.Md

*Kaur Keuangan DPPM UII

 

Bismillâhi walhamdulillâh wash-shalâtu was-salâmu ‘ala rasûlillâh,

Muharram adalah salah satu dari empat bulan suci dalam Islam, ada Dzulqa’dah, Dzulhijah, Muharram dan Rajab. Sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah ﷻ:  “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram” (Q.S. At Taubah [9]: 36).

Diterangkan dalam hadis yang diriwayatkan dari sahabat Abu Bakrah, Nabi ﷺ bersabda: “Satu tahun ada 12 bulan. Empat bulan diantaranya adalah bulan haram (suci), tiga diantaranya beurutan, yaitu , Dzulhijah dan Muharram. Kemudian Rajab Mudhar yang diapit bulan Jumada (al akhir) dan Sya’ban” (HR. Bukhari dan Muslim).

Sungguh Bulan Muharram adalah salah satu bulan yang memiliki keutamaan di hadapan Allah, sehingga memasukinya termasuk memperoleh rahmat dari Allah yang perlu disyukuri, tentu saja wujud mensyukuri paling baik adalah dengan memperbanyak amal shalih di bulan haram. Memulai awal tahun dengan ketaatan, agar pasti dalam melangkah dan menatap masa depan dengan optimis.

Dalam kitab Kanzun Najah Was Surur karangan Asy-Syaikh Abdul Hamid Qudsi, disampaikan bahwa termasuk yang diminta dalam hari Asyura ialah melakukan berbagai amalan. Beberapa amalan yang tersebar dikalangan kaum muslimin ada yang berdasarkan hadits dha’if dan ada pula yang mungkar maudlu’, kecuali hadits puasa sebagaimana dikatakan oleh Al-Allamah Al­Ajhuri.[1]

Sejarah Amalan Puasa Muharram

Dalam sebuah hadits, Nabi Muhammad ` menyampaikan bahwa puasa Asyura adalah ibadah untuk merayakan kemenangan yang telah diberikan Allah kepada Nabi Musa dan kaum bani Israil dari Fir’aun yang biasanya dilakukan oleh orang Yahudi. Dari Ibnu ‘Abbas bahwa Nabi ﷺ ketika tiba di Madinah, Beliau mendapatkan mereka (orang Yahudi) malaksanakan shaum hari ‘Asyura (10  Muharam) dan mereka berkata; “Ini adalah hari raya, yaitu hari ketika Allah menyelamatkan Musa dan menenggelamkan Fir’aun. Lalu Nabi Musa mempuasainya sebagai wujud syukur kepada Allah”. Maka Beliau bersabda: “Akulah yang lebih utama (dekat) terhadap Musa dibanding mereka”. Maka Beliau berpuasa pada hari itu dan memerintahkan ummat Beliau untuk mempuasainya (HR. Bukhari).[2]

Rasulullah ` merasa bahwa umat Islam lebih berhak untuk merayakan kemenangan yang diberikan oleh Allah kepada Nabi Musa dan Bani Israil, kemudian dalam Hadits lain Nabi Muhammad ` memerintahkan untuk menyelisihi kebiasaan puasa yang dilakukan oleh kaum Yahudi, yaitu dengan menambah bilangan puasa menjadi dua hari. Selain tanggal 10 Muharram juga pada hari sebelumnya, yaitu tanggal sembilan Muharram, diperintahkan untuk berpuasa, yang kemudian dikenal dengan nama puasa Tasua. Sebagaimana tercantum dalam kitab Riyadhus Shalihin karangan Imam An-Nawawi.

Dari Ibnu Abbas berkata bahwa ketika Nabi ﷺ melakukan puasa hari ’Asyura dan memerintahkan kaum muslimin untuk melakukannya, pada saat itu ada yang berkata, “Wahai Rasulullah, hari ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashrani.” Lantas beliau mengatakan, “Apabila tiba tahun depan –insya Allah (jika Allah menghendaki)- kita akan berpuasa pula pada hari kesembilan.” Ibnu Abbas mengatakan, “Belum sampai tahun depan, Nabi ` sudah keburu meninggal dunia.” (HR. Muslim 4/1253)[3]

Keutamaan Puasa pada Bulan Muharram

Rasulullah ﷺ dalam sebuah hadits memerintahkan umatnya untuk berpuasa pada hari Asyura sebagaimana disebutkan dalam kitab Riyadhus Shalihin karangan Imam An-Nawawi yang diriwayatkan Imam Muslim. [4] Dari Ibnu Abbas a bahwasanya Rasulullah ﷺ berpuasa pada hari ‘Asyura (yaitu tanggal 10  bulan Muharram) dan memerintahkan umatnya untuk berpuasa pada hari itu pula. (HR Muttafaq ‘alaih 2/1251.)[5]

Masih dalam kitab yang sama, Imam An-Nawawi juga menyampaikan bahwa ibadah puasa Asyura pada bulan Muharram merupakan ibadah puasa yang diutamakan setelah ibadah puasa Bulan Ramadhan. Dari Abu Hurairah, katanya: “Rasulullah ﷺ bersabda: “Seutama-utama berpuasa sesudah bulan Ramadhan ialah dalam bulan Allah yang dimuliakan yakni Muharram dan seutama-utama shalat sesudah shalat wajib ialah shalatullail (yakni shalat sunnah di waktu malam).” (H.R Muslim 1/1246.)[6]

Sedangkan keutamaan puasa Asyura, disebutkan dalam kitab yang sama, bahwa jika puasa dimaksud dijalankan, akan menghapus kesalahan-kesalahan tahun yang lalu. Dari Abu Qatadah a bahwasanya Rasulullah ﷺ ditanya perihal berpuasa pada hari ‘Asyura (tanggal 10  Muharram), Beliau ` lalu bersabda: “Puasa pada hari itu dapat menutupi dosa tahun yang lampau.” (H.R Muslim 3/1252.)[7]

Resolusi Tahun Baru 1444 H

Setiap manusia yang dilahirkan di dunia ini mempunyai misi untuk sebanyak-banyaknya melakukan amalan ibadah kepada Allah ﷻ. Setiap hal yang dilakukan di dunia ini harus mempunyai maksud untuk beribadah kepada Allah ﷻ, baik itu belajar, bekerja, berorganisasi, bertukar pikiran dengan sesama manusia dan semua aktivitas lainnya tidak lain adalah diniatkan untuk beribadah kepada Allah ﷻ.

Melaksanakan ibadah kepada Allah ﷻ tentu harus terlebih dahulu memahami ilmu yang mendasarinya, ibadah tanpa berdasar ilmu dikhawatirkan akan berakhir dalam kesesatan. Allah ﷻ telah mengajarkan bagaimana ibadah kepadaNya dilakukan, baik yang tercantum dalam Al-Qur’an maupun dalam Hadits Rasulullah ﷺ, menjadi kewajiban kita semua untuk selalu belajar menyempurnakan tata cara beribadah yang kita lakukan.

Resolusi Tahun Baru 1444 H ini adalah dengan banyak melakukan ketaatan kepada Allah mulai dari puasa sunnah, sedekah, memperbanyak membaca al-Qur’an, dan amal shalihnya. Termasuk hal penting adalah meningkatkan pengetahuan atau ilmu dan pemahaman terhadap pelaksanaan ibadah kepada Allah ﷻ sesuai dengan sunnah Rasul-Nya dengan rajin menghadiri majelis ilmu.

Ilmu tidak akan diperoleh dengan sempurna dan baik tanpa hadir di majelis ilmu serta memperhatikan adab-adab dalam belajar. Bertambahnya pemahaman terhadap ilmu agama, akan meningkatkan kualitas dan kuantitas beribadah kepada Allah ﷻ. Sebagai pengejawantahan resolusi tahun baru 1444 H, diawali dengan pemahaman pengetahuan terhadap amal ibadah bulan muharram dan pelaksanaan ibadahnya. Wallahu A’lam bis Shawab.

Marâji’:

[1] Asy-Syaikh Abdul Hamid Qudsi, Terjemah Kanzun Najah Was Surur : Keberuntungan dan Kegembiraan yang Tersimpan dalam Doa-doa yang Melapangkan Dada, Penerjemah: Zaid Husein Al-Hamid, Surabaya: Mutiara Ilmu, 2017. hal 21

[2] Muhammad Fuad Abdul Baqi, Shahih Bukhari Muslim, judul kitab asli: Al-Lu’lu Wal Marjan, cet 24, Bandung: Penerbit Jabal, 2021.

[3] Faishal bin Abdul Aziz Alu Mubarak, Riyadhus Shalihin dan Penjelasannya, Alih Bahasa: Arif Mahmudi, Jakarta: Ummul Qura, 2014. Judul Asli: Tathriz Riyadhus Shalihin.  hal. 748

[4] Ibid. hal. 747-748

[5] Ibid. hal. 747-748

[6] Ibid. hal. 745-746

[7] Ibid, hal. 748

Download Buletin klik disini