MERAIH KESUKSEKAN DALAM BERHAJI

MERAIH KESUKSEKAN DALAM BERHAJI

*Isna Yunita

Mahasiwa S2 UIN Sunan Kalijaga

 

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Sebagai seorang muslim tentulah haji bukan hal yang terdengar asing di telinga kita semua, haji terbilang sebagai ibadah yang memerlukan persiapan yang banyak, mulai dari tenaga, materi, serta prosedur yang panjang. Bahkan haji memiliki resiko yang cukup besar, namun meskipun demikian, kaum muslim tetap berbondong-bondong untuk dapat menunaikan ibadah haji di Mekkah. Tentu saja haji memiliki banyak faidah dan makna yang berbanding dengan pengorbanan yang dilakukan oleh masyakat muslim, salah satunya pengorbanan bagi mereka yang tidak mampu secara materi namun telah megorbankan harta yang cukup besar yang telah dikumpulkan sejak lama.

Simbol ke-Islaman seseorang ialah ketika seorang muslim telah melaksanakan kelima rukun Islam secara sempurna, sebagaimana melaksanakan haji merupakan salah satu rukun Islam, yang disyariatkan bagi seorang muslim yang mampu, baik kemampuan secara fisik maupun materi.

Pengertian dan Perintah Ibadah Haji

Pada istilah fikih haji dikenal dengan perjalanan seorang Muslim ke Ka’bah untuk menjalankan ritual ibadah haji berdasarkan ketentuan di dalam fikih. Secara lughawi makna haji diartikan dengan berziarah atau berwisata suci. Sehingga dapat disimpulkan bahwa haji merupakan suatu perjalanan ibadah ke Makkah pada periode tertentu atau pada bulan-bulan haji. Niat haji seseorang yang akan melaksanakan ibadah haji haruslah diniatkan pada bulan Syawal, Dzulqa’dah dan 10 hari pertama pada bulan Dzulhijjah. Sebagaimana menurut pendapat Imam Syafi’i niat yang tidak dilakukan pada bulan-bulan tersebut menjadi niat umrah bukanlah haji. Kewajiban haji merupakan kewajiban sekali seumur hidup, sehingga haji yang dilakukan kedua kali atau ketiga kali dan seterusnya dihukumi sebagai kesunnahan.

Perintah pelaksanaan haji telah tertulis di dalam Al-Qur’an:

وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلْبَيْتِ مَنِ ٱسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا

“mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (Q.S. Ali Imran [3]: 197).

Kenapa Berhaji?

Ada beberapa jawaban mengenai pertanyaan ini:

  1. Haji merupakan kewajiban ibadah kepada Allah ﷻ dalam bentuk ibadah yang penuh dengan ketawadhuan dan ketundukan dalam menjalankan perintah-Nya.
  2. Bertamu ke rumah Allah ﷻ Makkah al-Mukarramah memenuhi seruan Nabi Ibrahim berarti memenuhi undangan Allah ﷻ. Setelah Nabi Ibrāhim dan putranya Nabi Ismail selesai membangun Ka’bah, maka Allāh memerintahkan Nabi Ibrāhim untuk menyeru kepada manusia agar mereka datang melaksanakan ibadah haji.

Allah ﷻ berfirman,

وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَىٰ كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ

“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta, yang datang dari segenap penjuru yang jauh.” (Q.S. Al Hajj: [22]: 27)

  1. Agar para tamu Allah menyaksikan banyak manfaat dan mengingat Allah ﷻ. Allah ﷻ berfirman,

لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ

“Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allāh (mengingat  Allāh) pada hari yang telah ditentukan atas rejeki yang telah Allāh berikan kepada mereka berupa binatang ternak.” (Q.S. Al Hajj [22]: 28)

  1. Orang yang melaksanakan haji merupakan orang-orang yang diberi kesempatan dan dipanggil oleh Allah ﷻ untuk datang ke rumah-Nya, sehingga mereka dikenal dengan tamu-tamu Allah ﷻ. Dari Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ bersabda,

الْحُجَّاجُ وَالْعُمَّارُ وَفْدُ اللَّهِ إِنْ دَعَوْهُ أَجَابَهُمْ وَإِنْ اسْتَغْفَرُوهُ غَفَرَ لَهُمْ

“Jamaah haji dan umrah adalah tamu Allah, kalau mereka menyeru-Nya Dia menyambut mereka, kalau mereka minta ampun kepada-Nya Dia mengampuni mereka.” (H.R Ibnu Majah No. 2892, Thabarani dalam Mu’jam al-Kabir, al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 3949)

Kesuksesan dalam Berhaji

Untuk meraih kesuksesan dalam berhaji hal yang tidak kalah penting untuk dipersiapkan adalah bekal iman yang mantap dan badan yang sehat agar kita mampu untuk melakukan serangkaian prosesi  haji. Selain itu persiapan pengetahuan yang mencukupi agar pelaksanaan haji sesuai dengan Syariah Islam. Karena apabila bekal pengetahuan dan persiapan yang cukup maka haji yang mabrur dapat diraih.

Perhatikan sabda Rasulullah, “Siapa yang mengerjakan ibadah haji, tidak melakukan hal-hal yang rafats (yang bersifat seks)dan tidak melakukan pula fusuq (melanggar aturan haji) ia kembali suci dari dosa bagai ia lahir dari ibunya.” (H.R. Bukhari, Muslim, dan Nasa’i)

Adapun hal yang perlu dipersiapkan saat haji terbagi ke dalam dua macam, pertama adalah persiapan ruhiyah (bathiniyah) dan kedua persiapan fisik (zhahiriyah), beberapa hal yang perlu dipersiapkan secara ruhiyah ialah sebagai berikut:

1. Menyiapkan kondisi iman yang baik

Terkadang iman seseorang naik turun sebagaimana perkataan salah satu sahabat Nabi Abu Darda’ “iman itu bertambah dan berkurang” oleh karena itu sebagai calon jamaah haji hendaklah menguatkan azam untuk berhaji dan meningkatkan iman dengan menambah amalan-amalan ibadah seperti berdzikir, memperbanyak membaca al-Qur’an, shalat sunnah dll. Dengan hal ini maka saat melaksanakan haji nantinya tinggal meneruskan dan meningkatkan kualitas ibadah.

2. Membersihkan hati

Membersihkan hati dari perilaku sebelum melaksanakan haji sangatlah penting, karena keberangkatan seseorang untuk haji berpotensi untuk memiliki perasaan berbangga diri karena akan melaksanakan haji, oleh karena diperlukan untuk mensucikan hati agar terhindar dari perasaan riya’, ujub dan sombong.

3. Menyiapkan pengetahuan seputar fikih haji

Seseorang yang akan melaksanakan haji hendaklah membekali dirinya dengan pengetahuan seputar pelaksanaan haji agar ibadah kita sesuai dengan ketentuan syariat, jangan sampai pengetahuan yang minim menghambat pelaksanaan ibadah haji kita, untuk menambah pengetahuan dapat dilakukan dengan mengikuti manasik haji, membaca buku dan mendengarkan ceramah.

4. Menjelang keberangkatan ada baiknya minta maaf kepada para tetangga sanak saudara, mohon pamit, dan mohon doa restu agar diberi haji yang mabrur. Akan tetapi yang perlu diwaspadai dalam hal ini, jangan sampai kita terjebak pada kemubadziran, membuat acara “pamitan” yang besar-besar sehingga terkesan “wah” dan akhirnya mengarah kepada kesombongan.

Adapun persiapan fisik yang perlu diperhatikan adalah mempersiapkan dana, kesehatan badan, dan mempersipakan kebutuhan saat di kota Makkah.

wallâhu a’lam bish shawwâb.[]

 

Mutiara Hikmah

Rasūlullāh ﷺ bersabda,

لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى لاَ يُحَجَّ البَيْتُ

“Tidak akan tegak hari kiamat kecuali sudah tidak ada orang lagi yang berhaji (tidak ada lagi yang datang menuju Ka’bah Allāh).” (H.R Al-Bukhari, no. 1593).

Marâji’:

[1] Muh. Mu’inudinillah Bashri, dan Elly Damaiwati, Kuketuk Pintu Rumah-Mu Ya Allah, Indiva Pustaka: Surakarta, Agustus 2009. h. 11.

[2] Muhammad Sholikhin, Keajaiban Haji dan Umrah: mengungkap Kedahsyatan Pesona Ka’bah dan Tanah Suci (Jakarta: Erlangga, 2013), h. 2222.

[3] Azalia Mutammimatul Khusna, Hakekat Ritual Ibadah Haji dan Maknanya Berdasarkan Pemikiran William R. Roff, Jurnal UIN Sunan Kalijaga, Vol. 2 No. 1, Maret 2018. h.135.

[4] Istianah, Prosesi Haji dan Maknanya, Jurnal Esoterik Ahklak dan Tasawuf, Vol. 2 No. 1, 2016. h. 32.

Download Buletin klik disini

ADAB BERDAKWAH DAN MENASIHATI

ADAB BERDAKWAH DAN MENASIHATI

Siti Amarah*

 

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh.

Berdakwah dan menasihati merupakan aktivitas yang mulia untuk mengajak keluarga, sahabat karib, tetangga, atau orang yang tak dikenal untuk tetap konsisten pada jalan kebaikan. Berdakwah dan memberi nasihat bukan perkara yang biasa saja , namun membutuhkan ilmu, seni dan kepakaran khusus.

Berdakwah dan memberikan nasihat merupakan bagian dari kewajiban bagi sesama muslim agar kita dapat senantiasa meningkatkan kualitas kehidupan kita untuk menjadi lebih baik dan terhindar dari golongan orang yang merugi, sebagaimana firman Allah ﷻ,

وَٱلْعَصْرِ .إِنَّ ٱلْإِنسَٰنَ لَفِى خُسْرٍ .إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلْحَقِّ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلصَّبْرِ.

“Demi masa, Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih serta saling berwasiat (menasihati) untuk kebenaran dan saling berwasiat (menasihati) untuk bersabar”. (Q.S. Al-‘Ashr [103]: 1-3)[1]

Dalam berdakwah dan memberikan nasihat, ada beberapa hal yang harus kita perhatikan dengan baik agar pesan dapat diterima dengan baik. Sebagaimana dalam suatu kaidah pembelajaran juga dikenal istilah “Metode itu lebih penting dari pada Materi”. Yang berarti cara kita menyampaikan nasihat itu lebih penting dari pada nasihat yang sebenarnya ingin kita sampaikan, agar hal tersebut mudah dipahami, kemudian dipraktikkan dengan cara yang benar, tanpa ada kesalahpahaman dalam penyampaian, atau bahkan penolakan.

Allah ﷻ berfirman,

ٱدْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلْحِكْمَةِ وَٱلْمَوْعِظَةِ ٱلْحَسَنَةِ ۖ وَجَٰدِلْهُم بِٱلَّتِى هِىَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِۦ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِٱلْمُهْتَدِينَ

“Berserulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah, dan pengajaran yang baik, serta berdebatlah dengan mereka dengan cara yang terbaik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk”. (Q.S. An-Nahl [16]: 125)

Berdasarkan ayat ini, setidaknya ada beberapa poin yang harus diperhatikan dalam berdakwah dan memberikan nasihat diantaranya adalah:

Niat

Berdakwah dan memberikan nasihat haruslah untuk agama Allah, demi mendapatkan jalan menuju ridha-Nya semata, bukan untuk kepentingan pribadi ataupun golongan tertentu. Oleh karena itu, ketika kita menyerukan kebaikan harus benar-benar didasarkan pada keikhlasan. Sesuatu yang benar jika tidak dilandasi dengan yang benar pula, maka dapat mengubah ganjaran yang seharusnya kita dapatkan dari pahala menjadi sebuah dosa. Ikhlas adalah salah satu syarat di terimanya sebuah amal, termasuk dalam berdakwah dan saling menasihati.

Kita tidak boleh menasihati dengan niat mempermalukan orang lain dengan kesalahan yang mereka lakukan. Dalam berdakwah juga tidak boleh didasari niat untuk mencari harta semata, kedudukan ataupun popularitas, namun semata-mata karena keikhlasan mengharapkan ridha Allah l. Mendasari hati kita dengan keikhlasan, dapat menghindarkan diri kita dari sifat sombong, sehingga tidak merasa diri kita lebih baik dari orang yang kita nasihati dan juga terhindar dari riya’ (pamer agar dilihat orang), serta sum’ah (pamer agar didengar orang) bahwa kita memiliki ilmu yang lebih.

Berlandaskan Ilmu

Berdakwah harus dengan Hikmah. Hikmah disini mengandung beberapa arti. Pertama, pengetahuan tentang rahasia dan faedah segala sesuatu. Dengan pengetahuan itu maka diyakini kebenaraannya. Kedua, perkataan yang tepat dan benar yang menjadi dalil (argumen) untuk menjelaskan mana yang hak dan mana yang bathil  atau subhat (meragukan). Ketiga, mengetahui hukum-hukum al-Qur’an dan Hadits.[2]

Dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan maksud dari kata Hikmah adalah apa saja yang di syariatkan pada Nabi Muhammad melalui Qur’an dan Sunnah.[3]

Berdakwah dengan Hikmah adalah dakwah dengan ilmu pengetahuan yang berkenaan dengan rahasia, faedah, dan maksud dari wahyu Illahi serta Sunnah Rasul, dengan cara yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi, agar mudah dipahami ummat. Nasihat haruslah dilakukan dengan cara yang bijaksana, kita harus pandai melihat topik nasihat yang ingin kita sampaikan, serta kepada siapa kita akan menyampaikan nasihat tersebut. Nasihat kepada orang awam tentu berbeda dengan nasihat kepada penguasa.[4] Kita juga harus melihat apa inti nasihat yang akan kita berikan, kapan nasihat tersebut sebaiknya diberikan, dimana kita dapat memberikan nasihat tersebut dengan optimal, serta kenapa nasihat tersebut harus kita berikan.

Pengajaran (Nasihat) Yang Baik

Dalam menyampaikan kebenaran hendaklah diutarakan dengan kalimat yang baik, lemah lembut serta santun.[5] Kata-kata yang buruk dapat menimbulkan kesalah pahaman, serta nada tinggi ketika menasihati bisa saja hanya akan memperkeruh suasana tanpa menghasilkan solusi. Namun demikian menyampaikan peringatan dan ancaman juga dibolehkan, jika kondisinya memungkindan dan di perlukan, karena kadang nada yang terlampau lembut tidak akan berdampak pada sebagian orang yang hatinya bebal.

Pengutaraan yang menyenangkan dengan sisipan candaan juga diperlukan untuk membuka suasana hati seseorang agar lebih mudah menerima nasihat yang diberikan. Dengan hati yang gembira, maka seseorang cenderung lebih mudah menerima kebaikan dan kebenaran.

Pemilihan waktu dan tempat untuk memberikan nasihat pun tentu akan berpengaruh dengan bagaimana penerimaan orang terhadap nasihat yang kita berikan. Teguran yang diberikan khusus untuk satu orang tapi kita mengutarakannya di depan khalayak ramai tak ubahnya dengan menunjukkan aib saudara kita tersebut kepada semua orang, itu dapat menimbulkan rasa sakit hati.

Berdebat Dengan Cara Terbaik

Cara kita berinteraksi dengan orang lain tentu akan sangat berpengaruh dengan bagaimana kebenaran yang kita ucapkan dapat diterima oleh orang lain. Bila terjadi perdebatan, haruslah dilakukan dengan cara yang baik, tidak dengan kata-kata yang tajam sehingga menimbulkan suasana yang panas. Perdebatan yang baik hendaknya diciptakan dengan suasana yang santai dan nyaman disertai dengan argumen yang jelas dan cerdas. Dengan demikian lawan debat tidak akan merasa dirinya direndahkan, dan harga dirinya masih dihormati, sehingga tujuan dari perdebatan tersebut dapat tercapai dengan maksimal.

Mengamalkan Nasihat

Dalam surah al-Ashr, perintah untuk saling menasihati didahului dengan perintah untuk beriman dan beramal shalih. Karena memang sebelum memberikan nasihat, sudah seharusnya kita melaksanakan apa yang akan kita nasihati. Bagaimana mungkin dakwah serta nasihat kita akan didengarkan oleh orang lain jikalau perbuatan kita berbalik dengan apa yang kita utarakan. Allah ﷻ sendiri telah mencela orang-orang yang berbuat demikian dalam firman-Nya,

أَتَأْمُرُونَ ٱلنَّاسَ بِٱلْبِرِّ وَتَنسَوْنَ أَنفُسَكُمْ وَأَنتُمْ تَتْلُونَ ٱلْكِتَٰبَ ۚ أَفَلَا تَعْقِلُونَ

“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca alKitab? maka tidaklah kamu berpikir? (Q.S. al-Baqarah [2]: 44).[6]

Mengamalkan ilmu yang kita punya serta memberikan contoh perilaku dan budi pekerti yang baik juga merupakan dakwah secara tidak langsung. Ketika orang lain merasakan dampak manfaat dari perbuatan baik kita, maka mereka akan terdorong untuk berperilaku yang serupa dengan kita. Perbaikilah dirimu, maka orang lain akan memperbaiki diri mereka sendiri karena nasihat terbaik yang dapat diberikan adalah dengan memberikan contoh yang terbaik.

Kembalikan Pada Allah ﷻ

Di akhir ayat ke 125 surat An-Nahl, Allah ﷻ menegaskan bahwa tugas kita adalah semata menyampaikan kebenaran berdasarkan syari’at Allah ﷻ, sedangkan apakah dakwah serta nasihat kita dapat diterima oleh orang lain ataukah ditolak itu semata hanya Allah Yang Maha Mengetahui, dan semoga kita semua termasuk golongan dari orang-orang yang mendapatkan petunjuk-Nya. Wallâhu a’alamu bish shawâb.[]

* Tenaga Kependidikan Pusat Bantuan Sosial dan Kesehatan Direktorat Sumber Daya Manusia bagian UII.

[1] Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid 10, Widya Cahaya, Jakarta, 2011

[2] Ibid.

[3] Abdullah bin Muhammad Alu Syaikh, Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 5, , Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Jakarta, 2019

[4] Abdul Aziz bin Fathi as-Sayyid Nada, Ensiklopedi Adab Islam Menurut Al-Qur’an dan as-Sunnah, Jilid 1, Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Jakarta, 2019

[5] Muhammad Ibrahim Al Hifnawi, Tafsir Al Qurthubi, Pustaka Azzam, Jakarta 2008

[6] Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid 1, Widya Cahaya, Jakarta, 2011

Download Buletin klik disini

PEMBENTUKAN KARAKTER MELALUI PENDIDIKAN BERBASIS AL-QUR’ÂN

PEMBENTUKAN KARAKTER MELALUI PENDIDIKAN BERBASIS AL-QUR’ÂN

Shopia Nur Fauziah

 

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh, amma ba’du.

Pendidikan adalah hal yang penting bagi suatu pembentukan karakter seseorang. Menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.[1] Hal ini erat kaitannya dengan pendidikan karakter yang merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk membantu seseorang memahami nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Allah l, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.[2]

Makna Akhlak/ Karakter

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata akhlak berarti budi pekerti; kelakuan: krisis; Pendidikan. Secara etimologi, kata “akhlak” berasal dari bahasa arab, adalah bentuk jamak dari “khuluq” yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabiat. Ber-akar dari kata “khalaqa” yang berarti menciptakan. Se-akar dengan kata Khaliq (pencipta), makhluq (yang diciptakan) dan “khalq” (penciptaan) (Yasin, 2019).[3] Akhlak yang mulia menjadi sebab untuk mendapatkan kecintaan Allah dan Rasulnya karena orang yang menghiasi dirinya dengan akhlak yang mulia adalah orang sempurna keimanannya. Akhlak adalah keaadaan yang menetap dan bermula dalam jiwa individu.

Dari pemaparan pengertian yang telah disebutkan maka pendidikan karakter yang dikaitkan dengan pendidikan Islam, yakni menjadikan manusia mampu mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya sehingga berfungsi maksimal sesuai dengan aturan-aturan yang digariskan oleh Allah l dan Rasulullah n yang pada akhirnya akan terwujud manusia yang utuh (insan kamil). Fungsi pendidikan Islam merupakan salah satu bentuk manifestasi cita-cita hidup untuk melestarikan, menanamkan, dan mentransformasikan nilai-nilai Islam tersebut kepada generasi penerusnya sehingga nilai-nilai kultural religius yang dicita-citakan dapat tetap berfungsi dan berkembang sesuai dengan kemajuan zaman dan teknologi.

Pembentukan Karakter Berbasis Al-Qur’ân.

Konteks Pendidikan Islam dikaitkan dengan spesifikasinya disini adalah pembentukan akhlak yang berbasis terhadap Al-Qur’ân  atau mengacu pada al-Qur’ân . Selain itu, karakter seseorang sangat berpengaruh terhadap kemajuan nusa dan bangsa karena pemuda adalah tonggaknya negara. Pemuda-pemudi yang baik adalah tabungan masa depan bangsa untuk membawa kea arah yang lebih baik dan lebih maju.

Dalil al-Qur’ân  surah Al-Ahzab ayat 21 yang berbunyi,

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًاۗ

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al Ahzab [33]: 21).

Surah al-Mâidah ayat 83,

وَإِذَا سَمِعُوا۟ مَآ أُنزِلَ إِلَى ٱلرَّسُولِ تَرَىٰٓ أَعْيُنَهُمْ تَفِيضُ مِنَ ٱلدَّمْعِ مِمَّا عَرَفُوا۟ مِنَ ٱلْحَقِّ ۖ يَقُولُونَ رَبَّنَآ ءَامَنَّا فَٱكْتُبْنَا مَعَ ٱلشَّـٰهِدِينَ

“Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada rasul (Muhammad) kamu lihat mata mereka bercucuran air mata disebabkan kebenaran (Al-Qur’ân ) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri) seraya berkata,: Ya Tuhan kami! Kami telah beriman, maka catatkanlah kami bersama orang yang menjadi saksi atas kebenaran Al-Qur’ân  dan kenabian Muhammad.” (Q.S. Al-Maidah [5]: 83)

Karakter berbasis al-Qur’ân  yang dapat dibangun dapat dengan mentadaburi al-Qur’ân karena implikasi tadabbur al-Qur’ân  akan membentuk akhlak seorang insan yang berkualitas melalui sifat-sifat mahmudah tersebut. Sebagaimana Imam al-Ghazali (Arbain Fi Usuluddin) telah menggariskan sepuluh sifat mahmudah terpuji iaitu taubat, khauf (khauf), zuhud, sabar, syukur, ikhlas, tawakkal, mahabbah (kasih sayang), ridha dan dzikrul maut (mengingati mati). Seterusnya sifat-sifat mahmudah ini lah yang akan mendorong seseorang insan melaksanakan amalan-amalan soleh sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah dan meninggalkan segala laranganNya. Akhlak yang diterapkan berpedoman kepada akhlak Rasulullah n, yaitu suri teladan bagi seluruh umat Muslim di dunia seperti yang telah disebutkan pada ayat al-Qur’ân  diatas.[4]

Berkaitan dengan pembentukan akhlak berpengaruh terhadap keadaan bangsa dan negara. Syaikh Musthafa Al-Ghilayini menulis dalam Idzatun Nasyi’in :

إِنَّمَا اْلأُمَمُ اْلأَخْلاَقُ مَا بَقِيَتْ. فَإِنْ هُمْ ذَهَبَتْ أَخْلَاقُهُمْ ذَهَبُوا

“Maju dan mundurnya suatu bangsa, Tegak dan runtuhnya suatu negara, tergantung kepada akhlaknya, apabila akhlak suatu bangsa baik, maka baik-lah bangsa dan negara itu, tapi apabila akhlak suatu bangsa jelek dan bobrok, maka hancur-lah bangsa dan negara itu. (Musthafa Al-Ghilayini, Idzatun Nasyi’in)

Kemuliaan Peradaban haruslah dibangun dengan adab dan akhlak yang mulia, tidak cukup hanya dengan membangun infrastruktur. Kalau mental dan akhlak suatu bangsa bejat dan hancur, percayalah, bangsa dan negara itu berada di ambang kehancuran. Maka dari itu Pendidikan karakter anak bangsa adalah hal yang urgent.

Akhlak menurut Islam terbagi kepada dua yaitu akhlak mahmudah (akhlak terpuji) dan akhlak mazmumah (akhlak yang keji). Seseorang dapat memahami dan menghayati ayat-ayat al-Qur’ân  yang dibacanya sehingga timbullah hubungan dan persentuhan di antara hatinya dengan kalâmullâh yang dibaca. Maka akan terhasil perubahan di dalam dirinya yaitu akan melahirkan sifat-sifat mahmudah. Sifat-sifat ini akan memberi cahaya kepada kehidupan dan keperibadian seseorang.  Al-Qur’ân  telah dan akan terus membimbing manusia untuk mencapai kesempurnaan dalam kehidupan.

Penanama akhlaklah yang baik atau akhlak mahmudah dapat dimulai dari lingkungan terkecil seperti keluarga. Orang tua khususnya ibu sebagai madrasa pertama untuk anak-anaknya hendaknya mengenalkan sifat-sifat terpuji seperti tolong menolong, belajar ikhlas, bertanggung jawab, saling memberi, menghormati satu sama lain. Diajarkan mengenai surah-surah pendek Al-Qur’ân  dan intisarinya hikmah yang dapat diambil. Kisah-kisah Nabi dapat menjadi penunjang agar sifat-sifat umat terdahulu dapat menjadi pembelajaran.

Selain itu tempatkan pada lingkungan sekolah atau pendidikan yang baik. Ada baiknya ditempatkan pada pendidikan yang menjunjung tinggi nilai keislaman. Sekolah dan guru sebagai pembimbingnya juga lingkungan teman-temannya agar dapat membangun karakter seseorang. Karena lingkungan adalah hal yang penting, situasi, keadaan, juga kondisi. Semoga bangsa Indonesia mempunyai anak-anak bangsa yang berakhlak mulia dan terpuji dengan berbasis al-Qur’ân  yang dapat membawa bangsa ini ke arah “baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur”. Wa Allâhu a’alam.[]

 

Marâji’:

[1] Hakim, R. (2014). Pembentukan karakter peserta didik melalui pendidikan berbasis Al-Quran. Jurnal Pendidikan Karakter, 5(2).

[2] Fitri, A. (2018). Pendidikan karakter prespektif al-Quran hadits. TA’LIM: Jurnal Studi Pendidikan Islam, 1(2), 258-287.

[3] Yasin, H. (2019). Ayat-Ayat Akhlak Dalam Al-Qur’ân . Tahdzib Al-Akhlaq: Jurnal Pendidikan Islam, 2(2), 1-15.

[4] Zakaria, R. B., Fuad, Z., & Rasdi, M. N. A. (2014, December). Implikasi tadabbur Al-Qur’ân  dalam pembentukan insan yang berkualiti di sudut akhlak. In International Conference on Postgraduate Research.

Download Buletin klik disini

PENDIDIKAN ANAK DALAM KELUARGA

PENDIDIKAN ANAK DALAM KELUARGA

PERSPEKTIF AL-QURAN SURAH LUQMAN AYAT 12-19

Salwa Ashfiya

 

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh, amma ba’du.

Al-Qur’an adalah kalamullâh, yang berisi aturan ilahiyah yang lengkap dan abadi.  Diturunkan oleh Allah ﷻ sebagai pedoman dan petunjuk yang sangat sempurna. Petunjuk dan arahannya selalu sesuai dengan kondisi, tempat dan waktu, yang meliputi semua aspek kehidupan, termasuk masalah pendidikan. Tentu saja, penafsiran Al-Qur’an diperlukan untuk memahami petunjuk-petunjuk Al-Qur’an secara literal maupun implisit. Tafsir Al-Qur’an adalah penjelasan tentang makna firman Allah ﷻ sesuai dengan kemampuan akal manusia.

Penafsiran Al-Qur’an yang tepat dalam kaitannya dengan model pendidikan keluarga merupakan kontribusi penting tidak hanya untuk mempersiapkan gaya hidup Islam, tetapi juga untuk mempersiapkan keluarga, masyarakat dan bangsa untuk masa depan yang lebih baik. Upaya mengembangkan model pendidikan Islam di lingkungan rumah tidaklah mudah, terbukti banyak keluarga yang menghadapi disabilitas dalam hal memberikan pendidikan terbaik bagi anak-anak mereka, padahal keluarga adalah salah satu kelembagaan tempat berlangsungnya pendidikan.[1]

Keluarga Luqman

Dalam Al-Qur’an terdapat contoh keluarga yang perlu digali lebih pada konteksnya tentang pendidikan keluarga ideal, yaitu keluarga Luqman yg tergambar pada surah Luqman. Ada dua dasar yang menjadi kerangka acuan pendidikan Luqman kepada anak-anaknya, yaitu nilai-nilai ilahiyah dan sunnah para rasul.

Nilai ilahiyah merupakan ajaran-ajaran agama yang bersumber dari Allah ﷻ, sedangkan sunnah para nabi dan Rasul adalah segala bentuk ucapan dan tindakan mereka. Sebab, dasar pendidikan itu memiliki hubungan yang erat dengan hakikat anak sebagai objek dan subjek pendidikan. Luqman al-Hakim tentu memandang anaknya sebagai sosok manusia yang memiliki fitrah ketuhanan, sehingga tentu juga nilai-nilai ilahiyah dijadikan sebagai dasar dalam proses pendidikan.[2]

Menurut tafsir Ibnu Katsir, surah Luqman ayat 12 menjelaskan bahwa sesungguhnya Allah ﷻ, telah memberikan hikmah kepada Luqman yaitu ia selalu bersyukur dan memuji kepada-Nya atas apa yang telah diberikan kepadanya dari karunia-Nya, karena sesungguhnya hanya Dialah yang patut untuk mendapat puji dan syukur itu.

Pada ayat 13, Luqman menjelaskan kepada anaknya, bahwa perbuatan syirik merupakan kezhaliman yang besar. Dikatakan dosa besar karena perbuatan itu berarti menyamakan kedudukan Tuhan yang hanya dari Dia segala nikmat.

Pada ayat 14, merupakan perintah supaya berbakti kepada kedua orangtua. Ibu telah mengandungnya sedang ia dalam keadaan lemah yang kian bertambah disebabkan semakin membesarnya kandungan. Dan menyapihnya dari persusuan sesudah ia dilahirkan dalam jangka waktu dua tahun.

Pada ayat 15, Allah ﷻ, menyebutkan pesan dan perintah-Nya, yaitu berkaitan dengan berbakti kepada orangtua, dan setelah mengukuhkan hak-hak keduanya yang harus ditaati. Terkecuali memenuhi hak-hak orangtua yang akan membuat murka Allah.

Kemudian pada ayat ke-16, Allah ﷻ, kembali menyebutkan kelanjutan wasiat Luqman kepada anaknya, yang pada permulaanya Luqman melarang anaknya berbuat syirik. Hai anakku, sesungguhnya perbuatan baik dan perbuatan buruk itu sekalipun beratnya hanya sebiji sawi, para pelaku amal perbuatan akan mendapat balasan kelak di akhirat.

Pada ayat ke 17, Hai anakku, dirikanlah shalat, yakni kerjakanlah shalat dengan sempurna sesuai cara yang diridhai Rabb, sebab orang yang mengerjakannya berarti menghadap dan tunduk kepada-Nya. Dan di dalam shalat terkandung pula hikmat lainnya, yaitu dapat mencegah orang yang berssangkutan dari perbuatan keji dan mungkar. Maka apabila seseorang menunaikan hal itu dengan sempurna, niscaya bersihlah jiwanya dari berserah diri kepada Rabnya, baik dalam keadaan suka maupun duka.

Selanjutnya pada ayat ke-18, Luqman menasihati anaknya agar tidak memalingkan muka karena sombong. Lebih baik untuk menampakkan muka yang berseri. Lalu pada ayat ke-19 larangan agar tidak berjalan di muka bumi dengan sombong dan larangan bersuara keras layaknya suara keledai.

Tujuan Pendidikan

Berdasarkan tafsir tersebut, dapat kita simpulkan bahwa ada 4 tujuan pendidikan Luqman Al-Hakim, yaitu :

  1. Menanamkan akidah yang benar kepada anaknya seperti terdapat pada ayat 12.
  2. Menanamkan rasa syukur dan berbakti kepada Allah dan kedua orang tua.
  3. Menanamkan amal saleh.
  4. Menanamkan akhlak mulia dan sopan santun dalam berinteraksi sosial.1

Materi Pendidikan

Dapat kita ambil juga 4 materi Pendidikan yang disampaikan oleh Luqman Al-Hakim kepada anaknya dalam surah tersebut, yaitu :

  1. Akidah (Tauhid atau Keimanan) dalam ayat 13 dan 16.
  2. Syukur dan berbakti kepada Allah dan orang tua terdapat pada ayat 14-15.
  3. Ibadah dan amal saleh terdapat pada ayat 16 dan 17.
  4. Akhlak mulia dan sopan santun dalam berinteraksi dengan sesama terdapat dalam ayat 18-19.

Metode Pengajaran

Metode pengajaran yang diterapkan Luqman al-Hakim ketika mendidik anaknya dalam surah ini di antaranya adalah sebagai berikut :

  1. Metode Nasihat (Mau’izhah). Mau’izhah adalah nasihat bijaksana yang dapat diterima oleh pikiran dan perasaan orang yang menerimanya.
  2. Dialog (Hiwar). Metode dialog dikenal dalam bahasa Arab dengan istilah al-hiwar, yaitu percakapan timbal balik atau komunikasi dua arah antara dua pihak atau lebih mengenai suatu topik tertentu dan dengan sengaja diarahkan kepada suatu tujuan yang dikehendaki oleh pendidik.
  3. Keteladanan dalam pendidikan merupakan metode yang sangat efektif untuk membentuk kepribadian peserta didik, terutama pada aspek moral, spiritual maupun sosial.
  4. Pembiasaan menurut Muhammad Qutb merupakan metode yang sangat istimewa dalam kehidupan manusia, karena melalui pembiasaan inilah terjadi perubahan seluruh sifat dan menjadi kebiasaan yang terpuji pada diri seseorang.
  5. Perumpamaan (Matsal). Di antara cara Luqman al-Hakim menyampaikan materi pendidikan kepada anaknya, terutama berkaitan dengan tauhid dan akhlak atau perilaku seseorang adalah dengan gambaran yang logis rasional. Cara seperti ini memang tepat sekali untuk memperkuat keyakinan anaknya pada kebenaran ajaran yang disampaikan.

Lingkungan Pendidikan

Keluarga merupakan lingkungan pertama bagi setiap anak sebelum melangkah pada lingkungan yang lebih luas. Pendidikan dalam keluarga menjadi dasar bagi pembentukan kepribadian dan watak anak. Metode pendidikan berupa nasihat, keteladanan, dialog, pembiasaan, perumpamaan, dan lain-lain sangat efektif jika dapat dilaksanakan dalam keluarga. Oleh sebab itu pula, Al-Qur’an sangat menekankan adanya keluarga yang berkualitas. Apa yang dilakukan Luqman al-Hakim melalui nasihatnya sebagaimana diuraikan sebelumnya, memperlihatkan peranan keluarga dalam pendidikan keluarga.

 Evaluasi Pendidikan

Evaluasi pendidikan Islam adalah suatu kegiatan untuk menentukan taraf kemajuan suatu aktivitas di dalam pendidikan Islam.[3] Program evaluasi ini diterapkan dalam rangka mengetahui tingkat keberhasilan seorang pendidik dalam menyampaikan materi pelajaran, menemukan kelemahan-kelemahan yang dilakukan, baik berkaitan dengan materi, metode, fasilitas dan sebagainya.[4]

Marâji’:

[1] Abdul Basir. Model Pendidikan Keluarga Luqman dalam Perspektif Al-Quran Surah Luqman. Liang Anggang : CV. El Publisher, 2022. Cet.k-1. h. 2 dan 61-62

[2] Barsihannor. Belajar dari Lukman Al-Hakim. Yogyakarta : Kota Kembang, 2009. Cet.k-1. h. 30.

[3] Zuhairini, dkk. Metodik Khusus pendidikan Agama. Surabaya: Usaha Nasional, 1981. Cet,k-7. h. 139.

[4] Abdul Mujib & Jusuf Mudzakir. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana, 2008. Cet.k-2. h. 211.

Download Buletin klik disini

KANDUNGAN AL-QUR’ÂN

KANDUNGAN AL-QUR’ÂN

Putri Sholiha Pertiwi Abidin

*Jurusan Kimia FMIPA UII

 

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Pembaca yang dirahmati Allâh ﷻ, al-Qur’an adalah kitab suci terakhir yang diturunkan oleh Allah ﷻ kepada umat manusia melalui Nabi Muhammad ﷺ untuk dijadikan sebagai pedoman hidup. Petunjuk-petunjuk yang dibawanya pun dapat menyinari seluruh isi alam ini. Sebagai kitab hidayah sepanjang zaman, al-Qur’an memuat informasi-informasi dasar tentang berbagai masalah, baik informasi tentang aqidah, ibadah, akhlak, hukum, etika, kedokteran dan sebagainya.

Al-Qur’an berisi pesan-pesan ilahi (risalah illahiyah) untuk umat manusia yang disampaikan melalui Nabi Muhammad. Pesan-pesan tersebut tidaklah berbeda dengan risalah yang dibawa oleh Nabi Adam, Nuh, Nabi Ibrahim dan rasul-rasul lainnya sampai kepada Nabi Isa, risalah itu mentauhidkan Allah ﷻ.

Bila kita mencermati dan menghayati kandungannya, al-Qur’ân memiliki isi yang sangat komprehensif, semua persoalan dalam hidup, mulai dari keyakinan, sampai kisah-kisah dan muamalat terkandung dalam al-Qur’ân. Berikut adalah penjelasan dari isi atau inti sari al-Qur’ân:

  1. Akidah

Akidah dalam Islam bermakna masalah-masalah ilmiyah yang berasal dari Allah ﷻ dan Rasul-Nya, yang wajib bagi setiap muslim untuk meyakininya sebagai pembenaran terhadap Allâh ﷻ dan Rasul-Nya. Al-Qur’ân mengajarkan akidah atau tauhid kepada kita, yaitu menanamkan keyakinan terhadap Allâh ﷻ. Percaya kepada Allâh adalah salah satu butir rukun iman yang pertama. Orang yang tidak percaya terhadap rukun iman disebut sebagai orang-orang kafir.

Allah ﷻ menyebutkan dalam firman-Nya,

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ أُولَٰئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ

Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” (Q.S. al-Bayyinah [98]: 6)

  1. Ibadah

Ibadah adalah taat, tunduk atau ikut dari segi bahasa. Dari pengertian fuqaha ibadah adalah segala bentuk ketaatan yang dijalankan atau dikerjakan untuk mendapatkan ridha dari Allah ﷻ. Bentuk ibadah seperti yang termaktub dalam lima butir rukun Islam. Mengucapkan dua kalimah syahadat, shalat lima waktu, membayar zakat, puasa di bulan Ramadhan, dan beribadah haji bagi yang telah mampu menjalankannya.

Allah ﷻ menyebutkan dalam firman-Nya,

وَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتُوا الزَّكٰوةَ وَارْكَعُوْا مَعَ الرَّاكِعِيْنَ

Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’. (Q.S. al-Baqarah [2]: 43)

  1. Akhlak

Akhlak adalah perilaku yang dimiliki oleh manusia, baik akhlak yang terpuji atau maupun yang tercela. Allâh ﷻ mengutus Nabi Muhammad ﷺ untuk memperbaiki akhlak. Setiap manusia harus mengikuti apa yang diperintahkan Allâh dan menjauhi larangan-Nya.

Perintah berakhlak baik, disebutkan dalam firman Allah ﷻ,

وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَٰقَ بَنِىٓ إِسْرَٰٓءِيلَ لَا تَعْبُدُونَ إِلَّا ٱللَّهَ وَبِٱلْوَٰلِدَيْنِ إِحْسَانًا وَذِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْيَتَٰمَىٰ وَٱلْمَسَٰكِينِ وَقُولُوا۟ لِلنَّاسِ حُسْنًا وَأَقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَ ثُمَّ تَوَلَّيْتُمْ إِلَّا قَلِيلًا مِّنكُمْ وَأَنتُم مُّعْرِضُونَ

“Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji-janji dari Bani Israil (yaitu): Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapa, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 83)

  1. Hukum-hukum

Hukum yang ada di dalam al-Qur’ân adalah perintah kepada orang yang beriman untuk mengadili manusia yang terbukti bersalah. Hukum dalam Islam berdasarkan Al-Qur’ân ada beberapa jenis atau macam, seperti jinayat, mu’amalat, munakahat, faraidh, dan jihad.

Allah l menyebutkan dalam firman-Nya,

وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَآ أَنَّ ٱلنَّفْسَ بِٱلنَّفْسِ وَٱلْعَيْنَ بِٱلْعَيْنِ وَٱلْأَنفَ بِٱلْأَنفِ وَٱلْأُذُنَ بِٱلْأُذُنِ وَٱلسِّنَّ بِٱلسِّنِّ وَٱلْجُرُوحَ قِصَاصٌ ۚ فَمَن تَصَدَّقَ بِهِۦ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَّهُۥ ۚ وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ

“Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (at-Taurat) bahwasannya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka (pun) ada qishashnya. Barang siapa yang melepaskan (hak qishashnya), maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.  (Q.S. al-Maidah [5]: 45)

  1. Kisah-kisah

Kisah yang disebutkan dalam al-Qur’ân adalah kisah mengenai orang-orang yang terdahulu baik yang mendapatkan kejayaan akibat taat kepada Allâh serta ada juga yang mengalami kebinasaan akibat ingkar terhadap Allah ﷻ. Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari sebaiknya kita mengambil pelajaran yang baik-baik dari sejarah masa lalu atau dengan istilah lainnya i’tibar atau ‘ibrah.

Allah ﷻ berfirman,

وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّن قَبْلِكَ مِنْهُم مَّن قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُم مَّن لَّمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ ۗ

Dan sungguh Kami telah mengutus para Rasul sebelummu diantara mereka ada yang Kami kisahkan kepadamu dan diantara mereka ada yang tidak Kami kisahkan kepadamu” (Q.S. Ghafir [40]: 78]

Sebagian isi kandungan dalam Alquran kebanyakan memuat tentangqashas (sejarah) umat-umat terdahulu sebagai bahan pelajaran bagi umat sekarang (umat Islam).

  1. Dorongan untuk berpikir

Di dalam Al-Qur’ân banyak ayat-ayat yang mengulas suatu bahasan yang memerlukan pemikiran manusia untuk mendapatkan manfaat dan juga membuktikan kebenarannya, terutama mengenai alam semesta. Banyak ayat yang mendorong manusia untuk memperhatikan alam sekitar, salah satunya adalah dalam surah ar-Rahman ayat 19-20,

مَرَجَ ٱلْبَحْرَيْنِ يلْتَقِيَانِ . بينهُمَا برْزَخٌ لَّا يبْغِيَانِ

Dia membiarkan dua laut mengalir (yang) kemudian keduanya bertemu. Di antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui masing-masing. (Q.S. ar Rahmân [55]: 19-20).

 

Marâji’:

Syaikh Manna Al-Qaththan. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’ân. Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar. 2015.

Prof. DR. Mardan, M.Ag. Al-Qur’ân; Sebuah Pengantar Memahami Al-Qur’ân secara Utuh. Jakarta Selatan: Pustaka Mapan Jakarta. 2010.

Download Buletin klik disini

MEMBERSIHKAN PENYAKIT HATI DAN MERAIH SAKINAH

MEMBERSIHKAN PENYAKIT HATI DAN MERAIH SAKINAH

*Inats Tsuroyya Elbarr

Psikologi 2021

 

Penyakit Hati

Hati adalah cerminan dari perilaku manusia. Jika hati manusia itu baik, maka perilakunya akan baik. Begitu juga saat hati manusia tersebut kotor, perilakunya juga akan buruk. Hati yang kotor ini disebut juga dengan hati yang berpenyakit. Ibnu Taimiyah mendefinisikan penyakit hati sebagai nafsu syahwat yang termanifestasikan dalam bentuk iri, dengki, serakah, sombong, suka mencela, dan kufur ni’mat (tidak mensyukuri nikmat).[1] Hati yang kotor harus diobati agar kembali bersih dan dapat menuntun manusia kepada jalan keselamatan, yaitu jalan yang dipenuhi dengan cahaya Allah ﷻ.

Hasan Muhammad as-Syarqawi membagi penyakit hati menjadi sembilan bagian, yaitu riya’ (pamer), tama’ (rakus), al-was wasah (was-was), al-ya’s (frustasi), al-ghurur (terperdaya), al-ghadhab (marah), al-hasd wal hiqd (dengki dan iri hati), al-ujub (sombong), dan al-ghaflah wan nisyah (lalai dan lupa).[2]

Menurut Imam Abil Izz al-Hanafi, penyakit hati bisa disebabkan oleh dua hal, yaitu syahwat dan syubhat. Penyakit hati yang disebabkan oleh syahwat akan menjadikan manusia tersebut gemar berbuat maksiat dan ringan hati melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Allah ﷻ. Sedangkan penyakit hati yang disebabkan oleh syubhat akan menyebabkan ibadah yang dilakukan oleh manusia tersebut menjurus kepada kemusyrikan.[3] Apapun jenis dan penyebabnya, penyakit hati harus segera disembuhkan. Karena penyakit-penyakit hati tersebut akan menjerumuskan kita pada dosa dan laknat Allah ﷻ. Apabila manusia tidak segera mengobati penyakit hatinya, Allah ﷻ akan menurunkan penyakit lainnya pada hatinya.

Allah ﷻ berfirman,

فِيْ قُلُوْبِهِمْ مَّرَضٌۙ فَزَادَهُمُ اللّٰهُ مَرَضًاۚ وَلَهُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌ ۢ بِمَا كَانُوْا يَكْذِبُوْنَ

“Dalam hati mereka ada penyakit, lalu Allah menambah penyakitnya itu; dan mereka mendapat azab yang pedih, karena mereka berdusta.” (Q.S. al-Baqarah [02]: 10)

Penyakit hati juga akan menghilangkan ketenangan dan ketentraman dalam hati manusia. Dia tidak akan menemukan kebahagiaan yang hakiki dalam hidupnya. Rasa tenang dan bahagia yang dia rasakan sejatinya adalah perasaan yang semu. Selain itu, orang yang hatinya sakit akan kehilangan kenikmatan dalam beribadah kepada Allah ﷻ. Pikirannya selalu terfokus pada penyakit hati yang dia rasakan. Akibatnya, dia menjadi semakin jauh dari Allah ﷻ. Karena hubungannya dengan Allah ﷻ yang tidak baik, hubungannya dengan sesama manusia juga tidak akan baik. Penyakit hati tersebut akan menggerogoti rasa welas asih dan empati dalam hatinya. Naûdzubillâhi min dzalik.

Maraih Sakinah

Istilah sakinah sangat lekat dengan konteks keluarga ataupun pernikahan. Padahal, sakinah sendiri memiliki banyak definisi. Seorang ahli fiqh dan tafsir, Al-Isfahani mengartikan sakinah dengan tidak adanya rasa takut dalam mengahadi sesuatu. Sedangkan ahli bahasa, Al-Jurjani mendefinisikan sakinah sebagai adanya ketentraman dalam hati manusia saat mendapatkan sesuatu yang tidak terduga, disertai dengan adanya cahaya di dalam hati yang memberikan ketentraman pada siapapun yang melihatnya, dah hal tersebut merupakan keyakinan berdasarkan penglihatan.[4] Dalam Bahasa Indonesia, sakinah diartikan sebagai ketenangan, kedamaian, kebahagiaan, dan ketentraman. Sehingga, dalam konteks pembahasan kita saat ini sakinah diartikan sebagai rasa tenang, tentram, dan damai yang ada di dalam hati manusia, yang menciptakan kebagiaan dan kerelaan dalam menjalani keadaan apapun dalam hidupnya.

Manusia pasti mengalami dinamika dalam kehidupannya. Terkadang, hidup terasa begitu membahagiakan. Dikelilingi orang tersayang, memiliki harta melimpah, pekerjaan yang mapan, dan kenikmatan-kenikmatan lainnya. Banyak manusia yang sellau mensyukuri nikmat-nikmat yang dia miliki sekecil apapun bentuknya. Tetapi, tidak sedikit dari mereka yang menjadi riya’, serakah, dan kufur ni’mat. Disamping itu, tidak jarang manusia mendapatkan cobaa atau musibah dan persoalan-persoalan hidup yang berat sehingga hati terasa begitu hampa, sengsara, sepi, dan sedih. Ada yang menjadikan cobaan tersebut sebagai jalan untuk mendekat kepada Allah ﷻ, ada juga yang menjadikan musibah tersebut sebagai pembentang jarak antara dia dengan Allah ﷻ. Berbagai cobaan atau musibah tersebut menggoyahkan ketenangan dan ketentraman dalam hati dan jiwa kita hingga kebanyakan manusia lupa bahwa semua cobaan bersifat sementara dan selalu mengandung pelajaran dibaliknya.

Ketenangan Hati

Dalam Islam, semua ajarannya ditujukan agar manusia mendapatkan kebahagiaan di dunia maupun akhirat. Kebahagiaan di dunia tersebut bisa dirasakan saat ada ketenangan dan ketentraman dalam hati dan jiwa. Ketenangan hati dapat diraih saat kita mengingat Allah ﷻ. Salah satu cara mengingat Allah ﷻ adalah dengan membaca, mendengarkan, dan mempelajari al-Qur’an.

Allah ﷻ berfirman,

الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah Hati menjadi tentram” (Q.S. Ar-Ra’d [13]: 28)

Ahmad Van Denffer membagi pendekatan terhadap al-Qur’an menjadi tiga tahapan. Pertama adalah dengan membaca atau mendengar. Yang kedua adalah dengan memahami, menghayati, dan mengkaji makna serta pesan yang ada dalam al-Qur’an. Terakhir adalah dengan mengimplementasikan makna dan pesan yang ada dalam al-Qur’an ke dalam kehidupan.  Berdasarkan ketiga tahapan tersebut, seseorang harus memahami makna al-Qur’an terlebih dahulu sebelum bisa mengamalkannya. Selain itu, memahami dan mengamalkan al-Quran berarti memahami dan mengamalkan ajaran dan tuntunan Allah.[5]

Hati manusia merasa tidak tenang karena dipenuhi oleh noda dan dosa yang mengotorinya. Bisa karena prasangka, duka yang terlalu berlarut-larut, iri, dengki, dan penyakit hati lainnya. Hati tersebut dapat kembali jernih dan bersih dengan cara mengingat Allah ﷻ melalui amal ibadah yang telah diajarkan kepada kita melalui al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad n. Sehingga dengan begitu, akan tercapai sakinah dalam hati dan jiwa manusia.

Semoga Allah ﷻ menjauhkan kita dari berbagai penyakit hati, dan mendapatkan sakinah dalam kehidupan. Amîn yâ rabbal ‘âlamîn.[]

Mutiara Hikmah

Dari Abbas bin Abdul Mutahalib, Rasulullah ﷺ bersabda,

ذَاقَ طَعْمَ الْإِيمَانِ مَنْ رَضِيَ بِاللهِ رَبًّا، وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا، وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولًا

“Akan merasakan nikmatnya iman, orang yang ridha Allah sebagai Rabnya, islam sebagai agamanya, dan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagai rasulnya.” (H.R. Muslim)

Marâji’:

[1] Kholil Lul Rohman, Terapi Penyakit Hati Menurut Ibn Taimiyah Dalam Perspektif Bimbingan Konseling Islam, dalam Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Vol. 03 No. 02, Tahun 2009

[2] As-Syarqawi, Nahwa Ilm an-Nafsi al-Islami, Mesir, al-Hai’ah al-Misriyah, 1979.

[3] KH. Ali Mustafa Yaqub, Kalau Istiqomah Nggak Bakal Takut Nggak Bakal Sedih, Jakarta : Noura

[4] A. M. Ismatullah, Konsep Sakinah, Mawaddah, Dan Rahmah Dalam Al-Qur’an (Perspektif Penafsiran Al-Qur’an Dan Tafsirnya), Dalam Jurnal Pemikiran Hukum Islam, Vol. XIV No. 01, Tahun 2015

[5] Muhammad Roihan Daulay, Studi Pendekatan Al-Qur’an, dalam Jurnal Thariqah Ilmiah, Vol. 01 No. 01, Tahun 2014

Download Buletin klik disini

IDUL FITHRI DALAM KESEDERHANAAN

IDUL FITHRI DALAM KESEDERHANAAN

Fawwaz AR

 

Hari ini seluruh penjuru dunia mengumandangkan takbir sebagai wujud rasa syukur kepada Allah ﷻ atas segala anugerah hari raya ‘Idul Fithri, yang merupakan salah satu hari besar umat Islam selain hari raya ‘Idul Adha. Karenanya, agama ini membolehkan umatnya untuk mengungkapkan perasaan bahagia dan bersenang-senang pada hari itu. Sebagai bagian dari ritual agama, prosesi perayaan ‘Idul Fithri sebenarnya tak bisa lepas dari aturan syariat. Ia harus didudukkan sebagaimana keinginan syariat.

Perlu diketahui bahwa perayaan dalam Islam hanya ada dua macam yaitu ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha. Hal ini berdasarkan pada hadits Nabi n dari Anas bin Malik berkata, “Tatkala Nabi ﷺ datang ke kota Madinah, penduduk Madinah memiliki dua hari untuk bersenang-senang di waktu jahiliyah, lalu beliau bersabda, ‘Saya datang kepada kalian sedangkan kalian memiliki dua hari raya untuk bergembira di masa jahiliyah, dan sesungguhnya Allah telah mengganti keduanya dengan yang lebih baik: ‘Idul Adha dan ‘Idul Fithri.” (H.R. Ahmad 3/103, Abu Dawud, no. 1134 dan Nasa’I 3/179).[1]

Selain dua perayaan hari raya ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha adalah tradisi. Setiap tradisi itu hukum asalnya boleh dilakukan selama tidak bertentangan dengan syari’at dan selama tidak ada unsur ibadah di dalamnya. Misalnya, santun ketika berbincang-bincang dengan yang lebih tua, ini adalah tradisi yang bagus dan tidak bertentangan dengan syari’at.[2] Tradisi mudik lebaran sebagai bentuk kegiatan untuk memanfaatkan momentum dan kesempatan untuk menjernihkan suasana keruh dan hubungan yang retak sementara tidak ada kesempatan yang baik kecuali hanya waktu lebaran maka demikian itu boleh-boleh,[3] ini juga tradisi yang baik dan tidak bertentangan dengan syari’at.

 

Makna Idul Fithri

‘Idul fithri berasal dari dua kata; ‘id (arab: عِيْدُ) dan al-fithri (arab: الْفِطْرِ). ‘Id secara bahasa berasal dari kata ‘âda – ya’ûdu [arab: عَادَ – يَعُودُ], yang artinya kembali. Hari raya disebut ‘id karena hari raya terjadi secara berulang-ulang, dimeriahkan setiap tahun, pada waktu yang sama.[4] Ibnul A’rabi mengatakan,

سُمِيَ العِيدُ عِيْداً لِأَنَّهُ يَعُوْدُ كُلَّ سَنَةٍ بِفَرَحٍ مُجَدَّدٍ

Hari raya dinamakan id karena berulang setiap tahun dengan kegembiraan yang baru. (Lisan Al-Arab, 3/315).[5]

Selanjutnya kata fithri berasal dari kata afthara – yufthiru )arab: أَفْطَرَ – يُفْطِرُ), yang artinya berbuka atau tidak lagi berpuasa. Disebut ‘Idul Fithri, karena hari raya ini dimeriahkan bersamaan dengan keadaan kaum muslimin yang tidak lagi berpuasa Ramadhan. [6]

Pehatian. Banyak orang Indonesia menerjemahkan ‘Idul Fithri dengan ‘kembali suci’, ini terjemahan yang salah ditinjau dari segi bahasa dan syara’. Fithri dan fithrah adalah dua kata yang berbeda. Beda arti dan penggunaannya. Ibnul Jauzi menjelaskan makna fithrah,

الخِلْقَةُ الَّتِي خُلِقَ عَلَيهَا البَشَرُ

“Kondisi awal penciptaan, dimana manusia diciptakan pada kondisi tersebut.” (Zadul Masir, 3/422).[7]

Idul Fithri dalam Kesederhanaan

Kesederhaan dalam perayaan Idul Fithri tidak terlepas dari kebiasaan Rasulullah ﷺ dalam merayakan hari raya. Ada riwayat yang disebutkan dalam Bulughul Maram no. 533 diriwayatkan oleh Imam Bukhari bahwa Nabi ﷺ memiliki baju khusus di hari Jumat dan di saat beliau menyambut tamu.[8]

Ada juga riwayat dari Jabir, ia berkata,

كَانَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جُبَّةٌ يَلْبَسُهَا لِلْعِيْدَيْنِ وَيَوْمِ الجُمُعَةِ

“Nabi ﷺ memiliki jubah khusus yang beliau gunakan untuk Idul Fithri dan Idul Adha, juga untuk digunakan pada hari Jum’at.” (H. R. Ibnu Khuzaimah dalam kitab shahihnya, 1765)

Diriwayatkan pula dari Al-Baihaqi dengan sanad yang shahih bahwa Ibnu ‘Umar biasa memakai pakaian terbaik di hari ‘id.

Aturan berpenampilan menawan di hari ‘id berlaku bagi pria. Sedangkan bagi wanita, lebih aman baginya untuk tidak menampakkan kecantikannya di hadapan laki-laki lain. Kecantikan wanita hanya spesial untuk suami.[9]

Tuntunan Hari Raya Idul Fithri

Perayaan Idul Fithri merupakan salah satu bentuk ibadah kepada Allah. Karena ibadah maka tidak terlepas dari dua hal, yaitu: Ikhlas ditujukan hanya untuk Allah semata dan Ittiba’, sesuai dengan tuntunan Rasulullah. Berikut beberapa tuntunan Rasulullah dalam merayakan ‘Idul Fithri,[10]

  1. Sesaat setelah tenggelamnya matahari, tanggal 1 Syawwal disunnahkan memperbanyak dzikir dengan takbir dan tahlil (Q.S. al Baqarah [2]: 185).
  2. Memastikan diri bahwa telah membayar zakat Fithri.
  3. Makan terlebih dahulu sebelum shalat Idul Fithri.
  4. Mandi pada hari Idul Fithri sebelum berangkat ke tempat shalat Idul Fithri.
  5. Berpenampilan menarik namun tidak ber-tabarruj[11] sebelum berangkat shalat Idul Fithri.
  6. Menggunakan pakaian terbaik (tidak harus baru) pada Hari Raya Idul Fithri.
  7. Mengambil jalur berbeda saat berangkat dan pulang shalat idul Fithri.
  8. Dianjurkan memberi selamat dan mendo’akan saat bertemu satu sama lain, تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ
  9. Berkunjung dan menyambung silaturrahim dengan sanak saudara dan teman.
  10. Berbagi kebahagiaan dengan saudara, teman, tetangga, dan anak-anak yatim.
  11. Dalam menunjukkan kegembiraan di hari Idul Fithri, harus memperhatikan hak-hak orang lain, tidak mengganggu orang lain. Harus menjaga adab di jalan dan bergaul dengan orang lain.

Mutiara Hikmah

Dari An Nu’man bin Basyir, Nabi ﷺ bersabda,

مَنْ لَمْ يَشْكُرِ الْقَلِيلَ لَمْ يَشْكُرِ الْكَثِيرَ

“Barang siapa yang tidak mensyukuri yang sedikit, maka ia tidak akan mampu mensyukuri sesuatu yang banyak.” (H.R. Ahmad, 4/278)

 

Marâji’:

[1] Abu Abdillah Sayhrul Fatwa bin Luqman dan Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as Sidawi. Panduan Lengkap Puasa Ramadhan Menurut al Qur’an dan Sunnah. Gresik: Pustaka Al Furqon. 1431. Cet.Ke-1. h. 126.

[2] Muhammad Abduh Tuasikal. Selamatan Kematian Kan Sudah Menjadi Tradisi?. 2010 M. dalam  https://rumaysho.com/892-mengenal-bidah-7-selamatan-kematian-kan-sudah-jadi-tradisi.html. Diakses pada 18 Maret 2023.

[3] Zainal Abidin bin Syamsuddin. “Mudik Lebaran” dan Tradisi yang Keliru. 2010 M.  https://almanhaj.or.id/2830-mudik-lebaran-dan-tradisi-yang-keliru.html. Diakses pada 18 Maret 2023.

[4] Tim Ulama Fiqih. Al Fiqhu al Muyassar. Cairo Al Azhar: Darul Âlamiyah. 2011. Cet.Ke-1. h. 102

[5] Ammi Nur Baits. Idul Fithri bukan Kembali Suci. 2015 M. dalam https://konsultasisyariah.com/19817-istilah-salah-terkait-idul-Fithri-bagian-02.html. Diakses pada 18 Maret 2023.

[6] Ibid.

[7] Ibid.

[8] Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Adab Al-Mufrad.

[9] Muhammad Abduh Tuasikal. 6 Sunnah Nabi di Hari Raya Idul Fithri. 2016 M. Dalam  https://rumaysho.com/13875-6-sunnah-nabi-di-hari-idul-fithri.html. Diakses pada 18 Maret 2023.

[10] Disadur dari kitab Al-Îdu: Îdul Fithri dan Îdul Adha, Adab-adab dan hukum-hukumnya karya Khalid bin Abdurrahman As-Syayi’ (dalam berita satu)

[11] Tabarruj adalah perilaku wanita yang menampakkan perhiasan dan kecantikannya serta segala sesuatu yang mestinya ditutup karena hal itu dapat menggoda kaum lelaki.

Download Buletin klik disini

Anjuran Istiqamah

Anjuran Istiqamah

Abdurrahman Triadi Putro

*Alumni Ma’had al ‘Ilmi Yogyakarta

 

Segala puji bagi Allahﷻ, shalawat dan salam semoga tercurahkan atas Rasulullah ﷺ, beserta keluarga dan para sahabat beliau seluruhnya.

Para pembaca budiman yang semoga dirahmati Allah ﷻ.

Sesungguhnya kehidupan dunia ini adalah tempat untuk berlomba dan melakukan berbagai kebaikan. Sungguh Allah ﷻ telah memudahkan jalan-jalan kebaikan dan membuka pintu-pintunya. Allah ﷻ telah menyeru hamba-Nya agar berjalan di atasnya dan Allah pun telah mengabarkan tentang balasan yang akan diterima dari jalan-jalan kebaikan tersebut.

Diantara jalan-jalan kebaikan adalah shalat 5 waktu yang merupakan rukun Islam yang paling agung setelah 2 kalimat syahadat. Dengan mengerjakan shalat 5 waktu berjamaah dalam sehari semalam, Allah ﷻ akan melipatgandakan semisal dengan 50x shalat dalam timbangan dan balasan amal. Berikut diikuti dengan shalat sunnah rawatib yang mengiringi shalat wajib.

Barangsiapa yang mengerjakan shalat sunnah rawatib dalam sehari semalam maka Allah l akan bangunkan baginya rumah di surga. Sebagaimana hal ini terdapat dalam hadits, dari Ummu Habibah –istri Nabi n- Rasulullah ﷺ bersabda,

مَنْ صَلَّى اثْنَتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً فِى يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ بُنِىَ لَهُ بِهِنَّ بَيْتٌ فِى الْجَنَّةِ

“Barangsiapa mengerjakan shalat sunnah dalam sehari-semalam sebanyak 12 raka’at, maka karena sebab amalan tersebut, ia akan dibangun sebuah rumah di surga.” (H.R. Muslim).

Kebaikan berikutnya adalah shalat witir, yang merupakan sunnah Rasulullah ﷺ yang hampir tidak pernah ditinggalkannya. Inilah shalat-shalat sunnah (zikir-zikir) yang dapat dikerjakan setelah shalat wajib. Barangsiapa yang menjaga shalat-shalat sunnah tersebut, maka akan diampuni kesalahan-kesalahannya meskipun kesalahannya tersebut sebanyak buih di lautan.

Kebaikan berikutnya adalah wudhu (sebagai syarat sahnya shalat) untuk shalat-shalat yang memiliki keutamaan yang agung.

Kebaikan berikutnya adalah sedekah harta yang mana seorang muslim akan diberikan ganjaran atas sedekah yang dilakukannya, meskipun sedekah itu ia berikan untuk dirinya sendiri, istri ataupun anaknya, ketika dia berharap wajah Allah ﷻ dari sedekah yag dilakukan tersebut.

Sesungguhnya Allah ﷻ benar-benar ridha kepada seorang hamba yang makan sebuah makanan kemudian ia memuji Allah ﷻ atas makanan yang telah diberikan kepadanya tersebut, dan juga kepada seorang hamba yang minum sebuah minuman kemudian ia memuji Allah ﷻ atas minuman yang diberikan kepadanya tersebut. Dalam sebuah hadits Nabi ﷺ bersabda, dari Abu Hurairah, berkata, Rasulullah ﷺ bersabda,

السَّاعِي عَلَى اْلأَرْمَلَةِ وَالْمَسَاكِيْنِ، كَالْمُجَاهِدِ فِي سَبِيْلِ اللهِ، وَكَالَّذِي يَصُوْمُ النَّهَارَ وَيَقُوْمُ اللَّيْلَ

“Orang yang berusaha menghidupi para janda dan orang-orang miskin laksana orang yang berjuang di jalan Allah. Dia juga laksana orang yang berpuasa di siang hari dan menegakkan shalat di malam hari.”(H.R. Bukhari no. 5353 dan Muslim no. 2982)

Hadits di atas menunjukkan keutamaan seseorang yang ia berusaha mencari rezeki untuk dapat menolong janda dan orang-orang miskin, serta ia berusaha untuk memenuhi kebutuhan mereka. Termasuk juga orang-orang yang dibantu dalam hal ini dari anggota keluarga yaitu anak-anak yang masih kecil dan yang lainnya yang mana mereka belum mampu untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.

Oleh karena itu, kita mengetahui bahwasanya jalan-jalan kebaikan sangatlah banyak, maka manakah yang telah kita tempuh? Pintu-pintu kebaikan itu terbentang dengan luas, maka manakah yang sudah kita masuki? Sungguh jelas tidaklah seseorang itu berpaling dari kesempatan-kesempatan kebaikan tersebut, kecuali ia termasuk orang-orang yang merugi.

Sesungguhnya orang-orang yang telah memanfaatkan jalan-jalan dan pintu-pintu kebaikan tersebut di bulan Ramadhan, maka hendaklah ia bertakwa kepada Allah dan menjadikan dirinya berusaha terus menetapi jalan dan pintu amal saleh tersebut selepas Ramadhan. Sehingga boleh jadi juga diantara hikmah pensyariatan puasa 6 hari di Bulan Syawal adalah hal-hal berikut:

Pertama, sebagai bentuk rasa syukur hamba kepada Allah ﷻ.

Kedua, melatih jiwa agar terbiasa untuk mengikuti sebuah kebaikan dengan kebaikan.

Ketiga, mengabarkan bahwasanya amal saleh tidaklah terbatas hanya dilakukan di bulan Ramadhan, namun hendaknya terus meneru dilakukan pada setiap waktu. Allah ﷻ berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱرْكَعُوا۟ وَٱسْجُدُوا۟ وَٱعْبُدُوا۟ رَبَّكُمْ وَٱفْعَلُوا۟ ٱلْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Wahai orang-orang beriman, rukuklah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.” (Q.S. Al-Hajj [22]: 77).

Istiqamah dalam beramal saleh adalah bukti atas keimanan kepada Allah ﷻ. Allah l berfirman,

إِنَّ ٱلَّذِينَ قَالُوا۟ رَبُّنَا ٱللَّهُ ثُمَّ ٱسْتَقَٰمُوا۟ تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ ٱلْمَلَٰٓئِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا۟ وَلَا تَحْزَنُوا۟ وَأَبْشِرُوا۟ بِٱلْجَنَّةِ ٱلَّتِى كُنتُمْ تُوعَدُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuham kami adalah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: “Janganlah kamu takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah dengan surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu.” (Q.S. Fushshilat [41]: 30).

Dahulu, ada seorang laki-laki[1] bertanya kepada Nabi ﷺ, ia berkata,

قُلْتُ يَارَسُوْلَ اللهِ قُلْ لِيْ فِي الإِسْلامِ قَوْلاً لاَ أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَدَاً غَيْرَكَ؟ قَالَ: “قُلْ آمَنْتُ باللهِ ثُمَّ استَقِمْ” رَوَاهُ مُسْلِمٌ

“Aku berkata: “Wahai Rasulullah katakanlah kepadaku suatu perkataan dalam Islam yang aku tidak perlu bertanya tentangnya kepada seorang pun selainmu.” Beliau bersabda, “Katakanlah: aku beriman kepada Allah, kemudian istiqamahlah.” (H.R. Muslim, no. 38).

Maka hendaklah kita istiqamah pada waktu yang tersisa dari Bulan Ramadhan ini dan juga pada waktu setelahnya. Berhati-hatilah dari perusak dan pembatal amal-amal saleh yang telah kita lakukan. Berhatilah-hatilah dari keadaan dimana ada seorang perempuan yang tidak berilmu yang mana ia telah memintal benangnya dengan kuat kemudian ia uraikan benang tersebut sehingga menjadi tercerai-berai. Allah ﷻ berfirman,

وَلَا تَكُونُوا۟ كَٱلَّتِى نَقَضَتْ غَزْلَهَا مِنۢ بَعْدِ قُوَّةٍ أَنكَٰثًا

Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai-berai kembali.” (Q.S. An-Nahl [16]: 92).

Perempuan tersebut sudah memintal benangnya dengan kuat di siang hari, kemudian ia menguraikannya di malam hari.

Wahai orang yang telah bersunguh-sungguh bertaubat kepada Allah ﷻ dengan taubat nasuha, berhati-hatilah dari kembali kepada jeratan setan dan mengikuti langkah-langkahnya.

Ya Allah, berikanlah kepada kami karunia istiqamah, serta jalan-jalan agar dapat bersungguh-sungguh dalam kebaikan hingga kami berjumpa dengan-Mu. Kami berlindung kepada-Mu dari terjerembab kepada hukuman-hukuman-Mu, dan berlindung dari kehinaan setelah datangnya kemuliaan. Kami memohon kepada-Mu Ya Allah, ampunan dan keselamatan, serta pemaafan dari-Mu di dunia dan akhirat.

Semoga Allah ﷻ melimpahkan shalawat dan salam kepada Nabi kita, Muhammad ﷺ, beserta keluarga dan para sahabat beliau seluruhnya.[]

 

Marâji’:

Kitab Durus fi Ramadhan karya Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah Ar-Rajhi. h. 91-93,

Mutiara Hikmah

Dari sahabat Abu Ayyub Al Anshari, beliau ﷺ bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

“Barang siapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (H.R. Muslim)

[1] Laki-laki yang dimaksud adalah Abu ‘Amr—ada yang menyebut pula Abu ‘Amrah—Sufyan bin ‘Abdillah z, ia berkata, … (teks hadits)

Download Buletin klik disini

Raih Keberkahan Nuzulul Qur’an pada Lailatul Qadar

Raih Keberkahan Nuzulul Qur’an pada Lailatul Qadar

Uun Zahrotunnisa

*Mahasiswi Ahwal Syakhsiyyah Universitas Islam Indonesia

 

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Esensi Ramadhan dan Turunnya al-Qur’an

Ramadhan adalah bulan paling mulia di antara bulan-bulan lainnya. Mengingat pada bulan Ramadhan, al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam, pedoman hidup, dan panduan umat Islam dalam menjalani kehidupan di dunia di turunkan kepada Rasulullah ﷺ. Peristiwa tersebut dikenal dengan istilah Nuzulul Qur’an. Nuzulul Qur’an berasal dari 2 kata bahasa arab. Pertama kata “Nuzulul” berasal dari kata dasar “Nuzul” yang berarti turun dan Qur’an adalah kitab suci umat Islam.

Secara istilah dua kata tersebut disandarkan pada susunan kalimat mudhaf wa mudhaf ilaihi, Nuzulul Qur’an berarti turunnya al-Qur’an. Ramadhan merupakan momen dimana Allah ﷻ menurunkan al-Qur’an  kepada Rasulullah ﷺ. Disebutkan dalam al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 185, “Bulan Ramadhan , bulan yang didalamnya diturunkan al-Qur’an.” Maka sebagaimana umat Islam, seseorang harus mengetahui dan memaknai sejarah turunnya al-Qur’an sampai kepada kita semua sebagai umat akhir zaman. Memaknai sejarah turunnya al-Qur’an  merupakan sebagian dari menuntut ilmu.[1]

Peristiwa Nuzulul Qur’an

Al-Qur’an adalah kalamullâh yang diturunkan sekaligus di Baitul Izzah di langit dunia pada bulan Ramadhan pada malam Lailatul Qadar. Kemudian al-Qur’an akan turun secara berangsur-angsur sesuai peristiwa. Ibnu Abbas berkata, “Al-Qurán diturunkan pada bulan Ramadhan pada Lailatul Qadar di malam penuh berkah. Al-Qur’an tersebut turun sekaligus (jumlatan waahidatan). Kemudian al-Qur’an turun secara bertahap sesuai dengan peristiwa, pada bulan dan hari.”(H.R. Ibnu Abi Hatim, sanadnya hasan)

Ada juga riwayat dari Ibnu Abbas yang menyebutkan bahwa al-Qur’an itu diturunkan pada pertengahan Ramadhan ke langit dunia. Al-Qurán diletakkan di Baitul Izzah. Kemudian al-Qur‘an itu turun dalam kurun waktu 24 tahun untuk memberikan jawaban kepada manusia.”(H.R. Ath-Thabari, sanadnya saling menguatkan satu dan lainnya).[2]

Sebelum diangkat menjadi Rasul, Muhammad bin Abdullah mengalami mimpi yang menjadi nyata. Setelah beberapa kali mimpi, ia memiliki kebiasaan baru, menyendiri di Gua Hira. Di saat itulah ada yang menyerunya dengan perintah, “Iqra!” (bacalah!). Ia menjawab, “Aku tak bisa membaca”. Nabi ﷺ mengatakan, “Kemudian ia mendekapku, hingga aku merasa sesak. Barulah ia melepaskanku. Ia kembali memerintah, ‘Bacalah!’. ‘Aku tak bisa membaca’, jawabku. Ia mendekapku untuk yang kedua kali hingga aku merasa sesak. Lalu ia melepaskanku. Dan berkata, ‘Bacalah!’ ‘Aku tak bisa membaca’ jawabku. Ia pun mendekapku untuk kali ketiga. Kemudian melepaskanku dan mengatakan,

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ. خَلَقَ الإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ. اقْرَأْ وَرَبُّكَ الأَكْرَمُ. الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ. عَلَّمَ الإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ.

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (Q.S Al-‘Alaq []:1-5). (H.R. al-Bukhari Bab Kaifa Kana Bad’ul Wahyi Ila Rasululillah n).[3]

Petunjuk dalam Al-Qur’an  berisi perintah dan larangan dari Allah ﷻ. Secara fakta Al-Qur’an  memiliki 77.845 kata dalam 30 Juz, 114 surat, dan 6.236 ayat.[5] Fase diturunkannya Al-Qur’an  adalah selama 23 tahun, dimana 13 tahun surah-surah dalam Al-Qur’an  turun di Makkah dan sisanya di Madinah.[4]

Tanda-Tanda Lailatul Qadr dan Keistimewaannya

Beberapa hadits meriwayatkan tentang tanda-tanda lailatul qadar yang jatuh pada sepuluh malam terakhir Ramadhan.

Dari Abdullah bin ‘Umar sesungguhnya beberapa laki-laki dari sahabat Rasulullah ﷺ diperlihatkan lailatul Qodar di dalam mimpi mereka di malam 27 Ramadhan, maka Rasulullah ﷺ bersabda.

أَرَى رُؤْيَاكُمْ قَدْ تَوَاطَأَتْ فِي السَّبْعِ الأَوَاخِرِ، فَمَنْ كَانَ مُتَحَرِّيهَا فَلْيَتَحَرَّهَا فِي السَّبْعِ الأَوَاخِرِ

“Aku melihat (memandang) mimpi-mimpi kalian saling bertepatan di tujuh malam terakhir, maka barangsiapa yang ingin mencarinya maka hendaklah mencarinya di tujuh hari terakhir.”(H.R Muslim, no. 1985).

Dari ‘Aisyah, ia berkata,

كَانَ يَعْتَكِفُ اَلْعَشْرَ اَلْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ, حَتَّى تَوَفَّاهُ اَللَّهُ, ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

“Bahwasanya Nabi ﷺ biasa beri’tikaf di sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan hingga beliau diwafatkan oleh Allah. Lalu istri-istri beliau beri’tikaf setelah beliau wafat.” (H.R. Bukhari, no. 2026 dan Muslim, no. 1172).

Abu Sa’id Al Khudri di mana Nabi n bersabda,

إِنِّى اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوَّلَ أَلْتَمِسُ هَذِهِ اللَّيْلَةَ ثُمَّ اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوْسَطَ ثُمَّ أُتِيتُ فَقِيلَ لِى إِنَّهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ فَمَنْ أَحَبَّ مِنْكُمْ أَنْ يَعْتَكِفَ فَلْيَعْتَكِفْ. فَاعْتَكَفَ النَّاسُ مَعَهُ

“Aku pernah melakukan i’tikaf pada sepuluh hari Ramadhan yang pertama. Aku berkeinginan mencari malam lailatul qadar pada malam tersebut. Kemudian aku beri’tikaf di pertengahan bulan, aku datang dan ada yang mengatakan padaku bahwa lailatul qadar itu di sepuluh hari yang terakhir. Siapa saja yang ingin beri’tikaf di antara kalian, maka beri’tikaflah.” Lalu di antara para sahabat ada yang beri’tikaf bersama beliau. (H.R. Bukhari, no. 2018 dan Muslim, no. 1167).[5]

Amalan-amalan di Malam Lailatul Qadar  

Lailatul Qadar memiliki keistimewaan, yaitu seperti yang disebutkan dalam Al-Qur’an  surah Ad-Dukhan ayat 3-6, bahwa Allah ﷻ sebagai Tuhan semesta alam, Ia menurunkan lailatul qadar agar manusia dapat mengambil hikmah dari amalan-amalan selama hidupnya, bahwa Allah ﷻ akan mengurus tentang kapan Allah l akan memuliakan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih karena Ia Maha mengetahui atas segala sesuatu yang terjadi. Terlepas dari tanda-tanda dan hadits-hadits  yang meriwayatkan datangnya lailatul qadr, maka sebagai muslim kewajiban utamanya adalah mengimani hal tersebut dengan terus memperbanyak amalan-amalan baik yang mendatangkan keberkahan utamanya di bulan Ramadhan . Adapun amalan yang dapat dilakukan untuk memaksimalkan ibadah di bulan Ramadhan, diantaranya adalah  tadarus Al-Qur’an, berdzikir sepanjang hari sembari tetap beraktivitas, bershadaqah di hari jum’at dan waktu subuh, i’tikaf, qiyamu al-lail, saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran.[]

Mutiara Hikmah

Dari Abu Hurairah, ia berkata,

كَانَ النَّبِىُّ  ﷺ يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ عَشْرَةَ أَيَّامٍ ، فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِى قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا

“Nabi ﷺ biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan selama sepuluh hari. Namun pada tahun wafatnya, Beliau beri’tikaf selama dua puluh hari”. (H.R. Bukhari, no. 2044).

Maraji’

[1] W. Ilmiah, N. Sujanah, dan Ma’zumi, “Pendidikan Karakter dalam Puasa Ramadhan,” J. Pendidik. Karakter “Jawara,” vol. 7, no. 1, h. 51–60, 2021

[2] Lihat bahasan dalam Tafsir Al-Qurán Al-Ázhim, Jilid 2. h. 58.

[3] Alhafiz Kurniawan, “Sejarah Nuzulul Qur’an,” NU Online, 2021. https://islam.nu.or.id/ilmu-al-quran/sejarah-nuzulul-quran-EjrOA. Diakses 28 Maret 28 2023 M. dan https://kisahmuslim.com/5554-iqra-wahyu-yang-pertama-kali-turun.html. Diakses 28 Maret 28 2023 M.

[4] A. M. A. Mahmud, “Fase Turunnya Al-Qur′an Dan Urgensitasnya,” Mafhum, vol. 1, no. 1, hal. 11, 2016, [Daring]. Tersedia pada: https://jurnal.yudharta.ac.id/v2/index.php/mafhum/article/view/221.

[5] Muslim, “Puasa, Bab Keutamaan Malam Lailatulqadar”. [tanpa kota, Al-Alamiyah: tanpa tahun]

Download Buletin klik disini

Ketahuhilah Keutamaan-keutamaan Berpuasa

Ketahuhilah Keutamaan-keutamaan Berpuasa

Abdurrahman Triadi Putro

*Alumni Ma’had al ’Ilmi Yogyakarta

 

Segala puji bagi Allah, Dzat Yang Maha Lembut lagi Maha Pemberi, Maha Mulia lagi Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada sebaik-baik utusan, Nabi kita Muhammad ﷺ.

Sesungguhnya pada puasa yang tengah kita jalankan di siang hari Bulan Ramadhan ini memiliki keutamaan-keutamaan yang sangat banyak. Keutamaan-keutaaman tersebut terdapat dan dijelaskan oleh banyak dalil dalam agama kita.

Diantara keutamaan-keutamaan puasa yang paling penting adalah sebagai berikut:

Petama, Allah ﷻ telah mewajibkan puasa atas seluruh umat. Allah ﷻ berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183).

Seandainya puasa bukanlah merupakan ibadah yang agung, maka tidaklah mencukupi bagi hamba untuk menjadikan puasa tersebut sebagai ibadah kepada Allah ﷻ, namun puasa tersebut merupakan ibadah yang agung karena Allah ﷻ telah memilih amalan puasa sebagai bentuk ibadah hamba kepada-Nya. Allah pun telah jadikan amalan puasa ini sebagai salah satu rukun islam, dari rukun islam yang lima. Kemudian tentunya juga keagungan puasa ini dapat dilihat dari besarnya balasan-balasan yang didapat oleh orang yang berpuasa dan juga kewajiban puasa itu sendiri yang berlaku atas seluruh umat.

Kedua, Allah ﷻ mengkhususkan amalan puasa ini dibandingkan amal-amal ketaatan yang lainnya dengan balasan khusus langsung dari sisi-Nya sebagai balasan orang yang berpuasa. Sebagaimana hal ini diriwayatkan dalam ash-shahihain (hadis riwayat Imam Bukhari dan Muslim), dari sahabat Abu Hurairah beliau berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, “Allah berfirman: Setiap amal yang dilakukan anak adam (manusia) dilipatgandakan. 1 Kebaikan dilipatgandakan 10 kali lipat hingga 700 kali lipat. Allah ‘azza wa jalla berfirman: Kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya. Dia (seseorang yang berpuasa) telah meninggalkan syahwat dan makan minumnya karena-Ku.” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Allah ﷻ menjelaskan dalam hadits qudsi ini bahwasanya balasan puasa lansgung dari sisi-Nya. Terdapat sebuah kaedah bahwasanya sebuah pemberian itu tergantung dengan sesuatu yang memberikannya. Allah ﷻ adalah Dzat Yang Maha Mulia diantara yang mulia. Hal ini menunjukkan agungnya balasan puasa. Allah ﷻ telah khususkan amalan puasa ini dengan balasan langsung dari-Nya, maka hal ini menunjukkan bahwa amalan puasa merupakan sesuatu yang mulia di sisi-Nya dan dicintai oleh-Nya.

Ketiga, tampaknya keikhlasan orang yang berpuasa karena Allah ﷻ. Karena amalan puasa merupakan amalan yang tersembunyi antara hamba dengan Rabb-nya. Tidaklah ada yang mengetahui seseorang berpuasa kecuali hanya Allah ﷻ. Orang yang sedang berpuasa pada asalnya orang lain tidak mengetahuinya. Dimungkinkan pula orang tersebut melanggar larangan-larangan ketika berpuasa, akan tetapi tidaklah ia melakukannya. Karena sesungguhnya ia menyadari bahwasanya ia memiliki Rabb yang senantiasa mengawasinya meskipun dirinya bersendirian.

Allah ﷻ telah menetapkan hal-hal yang haram dilakukan ketika berpuasa, maka orang tersebut meninggalkannya karena Allah. Ia tinggalkan karena takut kepada hukuman Allah dan berharap balasan dari-Nya. Sehingga jadilah amalan puasa tersebut menjadi amalan yang lebih dekat kepada keikhlasan kepada Allah dibandingkan amal-amal yang lainnya.

Keempat, didalam ibadah puasa terdapat 3 jenis kesabaran. Yaitu kesabaran dengan menahan diri dari hal tidak menyenangkan dirinya yaitu berupa lapar dan haus. Selain itu, bersabar untuk taat kepada Allah dengan melazimi dan menjaga puasanya tersebut. Kemudian juga bersabar untuk tidak bermaksiat kepada Allah ﷻ selama menjalankan puasanya. Sehingga terkumpul 3 jenis kesabaran pada orang yang berpuasa. Allah ﷻ berfirman, “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az-Zumar [39]: 10).

Kelima, bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada harumnya bau kasturi (misk). Dalam ash-shahihain dari hadis Abu Hurairah, Nabi ﷺ bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada ditangan-Nya, sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih wangi di sisi Allah ta’ala dibandingkan bau wangi kasturi.” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Bau mulut orang yang berpuasa pada asalnya adalah bau yang tidak disukai yang berasal dari perut ketika perut sedang dalam keadaan kosong. Akan tetapi, bau mulut orang yang berpuasa menjadi sesuatu yang dicintai Allah ‘azza wa jalla. Karena bau mulut ini berasal dari sebuah ibadah yang agung, yaitu puasa. Sehingga bau mulut orang yang berpuasa adalah lebih wangi di sisi Allah ta’ala dibanding harumnya kasturi.

Keenam, puasa menjadi sebab terhapusnya dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan. Hal dijelaskan dalam ash-shahihain, dari hadits Abu Hurairah z beliau berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, “Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan karena iman dan berharap balasan (dari Allah), maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Maksud dari diampuni disini adalah diampuninya dosa-dosa kecil orang tersebut. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ, “Shalat 5 waktu, Hari Jum’at ke Jum’at berikutnya, Bulan Ramadhan ke Ramadhan berikutnya menjadi pengugur dosa diantara waktu-waktu tersebut, selama dia menjauhi dosa-dosa besar.” (H.R. Muslim).

Adapun untuk dosa-dosa besar, maka tidak boleh tidak, orang yang melakukannya harus bertaubat kepada Allah ﷻ.

Ketujuh, terdapat pintu khusus di surga Allah ﷻ yang disiapkan khusus bagi orang-orang yang berpuasa semasa hidupnya. Diriwayatkan dalam ash-shahihain, dari sahabat Sahl bin Sa’din radhiallahu ‘anhu, Nabi ﷺ bersabda, “Sesungguhnya didalam surga terdapat sebuah pintu yang dinamai Ar-Rayyan. Orang-orang yang berpuasa akan masuk dari pintu tersebut di hari kiamat nanti. Selain dari mereka tidak akan satupun dapat memasukinya. Kelak dikatakan: Dimana orang-orang yang berpuasa? Maka orang-orang yang berpuasa berdiri dan tidaklah ada yang memasuki pintu tersebut kecuali mereka. Apabila mereka semua telah masuk, maka ditutuplah pintu tersebut. Tidak akan pernah masuk lagi seorangpun.” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Kedelapan, puasa merupakan sebuah tameng. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ, “Puasa itu adalah tameng.” (HR. Bukhari dan Muslim). Artinya adalah puasa sebagai penghalang yang menghalangi pemiliknya dari hal yang sia-sia dan hal yang kotor/buruk. Sehingga Nabi ﷺ bersabda, “Apabila salah seorang kalian sedang berpuasa, maka janganlah ia berkata/berbuat kotor dan berteriak/bersuara keras. Lalu apabila ada orang yang mencela dirinya atau mengajaknya bertengkar, maka katakanlah pada orang tersebut: Saya sedang berpuasa.” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Pada hadis ini terdapat isyarat bagi orang yang berpuasa agar tidak menanggapi celaan dan yang semisalnya, serta juga agar tidak menanggapi orang yang suka mencela dan yang semisalnya, dalam rangka menghormati ibadah puasa yang sedang dijalankannya. Sehingga apabila ada orang yang berbuat buruk kepadanya dan ia sedang berpuasa, maka hendaklah ia berkata kepada orang tersebut: Saya sedang berpuasa.

Hal yang penting lainnya, puasa juga merupakan tameng dan pencegah dari api neraka. Sebagaimana sebuah hadis dari sahabat Jabir, Nabi ﷺ bersabda, “Rabb kita, Allah berfirman: Puasa adalah tameng yang mana hamba itu tertutup dengannya dari api neraka.” (H.R. Ahmad no. 14669, hasan).

Kesembilan, yang terakhir, bagi orang yang berpuasa terdapat 2 kegembiraan. Kegembiraan pertama yaitu kegembiraan ketika berbuka puasa. Yaitu dengan menyelesaikan puasa yang telah ia kerjakan dan menyempurnakan ibadah yang agung ini. Ketika orang yang berpuasa telah berbuka puasa, maka ia gembira dan bahagia karena Allah telah memberikan kenikmatan yang besar kepada dirinya berupa sempurnanya puasa yang telah ia kerjakan pada hari tersebut.

Kegembiraan kedua kedua yang didapat dari orang yang berpuasa adalah kegembiraan yang ia dapatkan ketika ia bertemu dengan Rabb-nya. Yaitu dengan mendapat ganjaran dari puasanya yang disimpan untuknya yang telah sangat ia nanti-nantikan. Orang yang berpuasa menjadi orang yang sangat berbahagia dengan 2 kegembiraan ini, yang tidaklah hal ini didapatkan kecuali oleh orang-orang yang berpuasa, atas landasan iman kepada Allah ﷻ dan juga berharap balasan dari sisi-Nya yang mulia.

Demikianlah diantara keutaman-keutamaan berpuasa yang dapat disampaikan. Semoga Allah ﷻ memberikan taufik bagi kita semua untuk menunaikan ibadah puasa di Bulan Ramadhan ini dan melaksanakannya sesuai dengan petunjuk dan keridhaan Allah ﷻ. Semoga Allah memberikan taufik bagi kita semua untuk mengerjakan hal-hal yang Dia cintai dan ridhai, baik berupa perkataan-perkataan maupun perbuatan-perbuatan. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam.

 

Marâji’:

Kitab ‘Uqudul Juman fi Durusi Syahri Ramadhan, h. 17-22, karya Syaikh Dr. Sa’ad bin Turkiy Al-Khtaslan hafizhahullahu ta’ala.

Download Buletin klik disini