Keutamaan Sabar

Bismillāhi walhamdulillāhi wash shalātu was salāmu ‘alā rasūlillāhi

Pembaca yang budiman, dalam mengarungi kehidupan, Allah ﷻ sejatinya telah menyediakan bagi kita seperangkat instrumen dan petunjuk guna memperoleh keselamatan dan kebaikan, baik ketika di dunia maupun di akhirat. Seperangkat instrumen dan petunjuk sebagai sebuah “peralatan hidup” tersebut sengaja diberikan oleh Allah ﷻ kepada kita untuk kita pergunakan dan ikuti, sebab hidup sungguh teramat rumit untuk dipahami dan sukar untuk dijalani dengan hanya mengandalkan daya dan intelegensia manusia semata, tanpa melibatkan petunjuk dari Allah ﷻ.

Apalagi dalam kondisi saat dunia dilanda pandemi seperti saat ini, satu-satunya tempat kita bergantung yang paling tepat, tidak mungkin ingkar janji dan maha benar atas segala firman-Nya adalah Allah ﷻ. Dalam situasi apapun, Allah ﷻ secara lugas mengingatkan kita untuk tidak berputus asa dari rahmat-Nya.

 

Kondisi Sabar

Salah satu dari petunjuk dan alat yang disediakan oleh Allah ﷻ untuk kehidupan kita adalah sabar. Menurut Dzun nun al-Misri ada 3 kondisi yang dapat mendefinisikan sabar.

Pertama, kesabaran adalah ketika kita menghindarkan diri dari hal-hal yang menyimpang, kedua berusaha untuk selalu tenang ketika ditimpa ujian, dan ketiga ketika kita tetap marasa diri kita cukup meski ditimpa kefakiran hidup. [1]

Sedangkan al-Jurjani dalam kitab at-Ta’rifat-nya menyebut sabar sebagai upaya untuk meninggalkan keluh kesa kepada selain Allah ﷻ saat sedang mendapatkan cobaan. Menurutnya, satu-satunya keluh kesah yang tidak bertentangan dengan konsep sabar adalah berkeluh-kesah kepada Allah subhanahu wata’ala.[2]

Lantas mengapa sabar itu penting bagi kehidupan kita dan apa keutamaan di balik penerapannya?

Keutamaan Sabar

Semua petunjuk dan perintah agama tentu tidak hadir begitu saja tanpa ada maksud di baliknya. Begitu juga dengan sabar sebagai salah satunya, yang kehadirannya tidak sekadar bertujuan melatih mental dan ketahanan diri menghadapi kesulitan saja, tetapi tentu lebih dari itu. Banyak alasan mengapa kita bukan hanya perlu untuk bersabar, tetapi bahkan harus menerapkannya di kehidupan kita. Salah satunya karena ia bisa menjadi sarana untuk menghapus dosa-dosa kita yang telah lampau.

Dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah, Nabi ﷺ bersabda, “Seorang muslim yang tertimpa kecelakaan, kemelaratan, kegundahan, kesedihan, kesakitan maupun duka cita sampai-sampai pada tertusuk duri. Niscaya Allah akan menebus dosanya dengan apa yang menimpanya itu.”(H.R. Bukhari dan Muslim)

Hadits di atas inheren dengan salah satu ayat di dalam al-Quran yaitu, “Sungguh kami akan berikan kepada kamu sekalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang bersabar.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 155)

Al-Maraghi menjelaskan, ayat di atas menggambarkan tentang bagaimana kualitas keimanan seseorang tidak ditentukan dari harta maupun keberaniannya, melainkan dari kesabaran ketika menghadapi kesulitan.[3] Menurut para mufasir, ayat 155 di atas memiliki korelasi dengan 2 ayat selanjutnya, yakni ayat 156 dan 157 yang menjelaskan tentang siapa yang dimaksud dengan orang sabar pada ayat 155 dan juga berkenaan dengan balasan dari Allah ﷻ terhadap mereka yang bersabar berupa ampunan dan rahmat-Nya, serta dikategorikan ke dalam orang-orang yang mendapat petunjuk.

Sabar seharusnya dapat menjadi karakter dari diri kita. Meskipun bersabar kadang tidak mudah dilakukan, tetapi ia perlu untuk terus dilatih. Salah satu caranya dengan senantiasa melihat sisi lain dari kesulitan yang tengah kita alami. Di balik ketidaknyamanan kondisi yang kita hadapi serta musibah dan ujian yang kita terima, sesungguhnya terdapat banyak hal lain di kehidupan kita yang sangat layak untuk kita syukuri. Selain melalui cara itu, memiliki keyakinan bahwa Allah ﷻ menitipkan cobaan kepada kita satu paket dengan solusinya serta cobaan hanya diberikan sesuai dengan kadar kemampuan kita juga akan membuat kita terlatih untuk menjadi pribadi yang selalu sabar dan tidak menyangsikan kasih sayang serta rahmat dari Allah ﷻ.

Sebagaimana Nabi ﷺ, figur yang paling dan akan terus relevan untuk kita jadikan teladan memberi contoh melalui sepanjang kisah hidup dan riwayat kenabiannya. Kita tentu ingat, bahkan sejak lahir Nabi ﷺ telah mendapatkan ujian dari Allah ﷻ melalui kematian ayahanya, yang kemudian disusul ibunda beliau pada usia 6 tahun. Ujian Nabi ﷺ terus berlanjut bahkan sampai sepanjang hidupnya, terutama ketika berada di fase dakwah yang bahkan beberapa kali nyaris dibunuh oleh musuh Islam kala itu. Belum lagi berbagai cacian, hinaan, fitnah, teror dan tugas-tugas kenabian yang sulit yang rasa-rasanya tak terbayang lagi betapa beratnya ujian yang dialami oleh beliau. Tetapi, Nabi ﷺ tidak pernah dendam, marah, menyerah apalagi murka dengan ketetapan Allah ﷻ dalam hidup beliau. Sebagai umatnya, sudah seharusnya kita senantiasa berusaha untuk meneladaninya.

Apalagi musibah dan cobaan sejatinya merupakan pertanda jika Allah ﷻ menginginkan kita untuk naik kelas dan sinyal bahwa Allah ﷻ menghendaki kebaikan bagi kita. Nabi ﷺ pernah bersabda dari Abu Hurairah,“Barang siapa yang dikehendaki oleh Allah menjadi orang baik, maka ditimpakan musibah (ujian) kepadanya.”(H.R. Bukhari)

Ujian dari Allah ﷻ juga merupakan cara Allah ﷻ dalam memberikan pahala kepada kita, sebagaimana disampaikan Rasulullah ﷺ, “Sesungguhnya besarnya pahala itu tergantung pada besarnya ujian. Dan sesungguhnya apabila Allah Ta’ala mencintai suatu bangsa maka Allah menguji mereka; barangsiapa yang ridha maka Allah akan meridhainya dan barangsiapa yang murka maka Allah akan memurkainya.”(H.R. Turmudzy)

Lebih jauh lagi, sabar kita perlukan, sebab persangkaan kita terhadap sesuatu yang terjadi kepada kita pun juga terbatas. Allah ﷻ berfirman, “…Tetapi boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui sedangkan kalian tidak mengetahui.”(Q.S. al-Baqarah [2]: 216)

Oleh karena itu, terhadap kondisi yang saat ini kita hadapi, ujian dan kesulitan yang datang bertubi-tubi dan dari berbagai hal di kehidupan kita seyogianya kita berusaha untuk menyikapinya dengan bijaksana, yaitu bersikap sabar, tenang, berpikir jernih dan menggali hikmah di baliknya, sehingga selalu bisa menemukan alasan untuk tetap bersyukur. Meyakini bahwa Allah ﷻ lah sebaik-baik pembuat rencana dan selalu berprasangka baik kepadaNya.[4]

Melatih kesabaran dapat dimulai dari hal-hal yang kecil sehingga membuat kita jauh lebih tangguh untuk menghadapi ujian pada tingkatan berikutnya, sebagaimana ujian-ujian di sekolah atau kuliah. Al-Ghazali bahkan mengatakan bahwa sabar adalah bagian dari agama, ia merupakan ciri khas manusia yang membedakannya dengan hewan dan malaikat.[5] Sabar ialah simbol dari kontrol diri.

Semoga kita semua senantiasa diberikan keteguhan hati dan kekuatan jiwa dan raga dalam menghadapi segala kondisi serta dijauhkan dari keinginan sekecil apapun untuk berputus asa dari rahmat Allah ﷻ. Wallāhul muwāffiq ilā aqwāmit-thāriq. Wallahu a’lam.

 

Penyusun:

Ghazian Luthfi Zulhaqqi

Alumni Program Studi Ahwal al-Syakhsiyah

FIAI UII tahun 2018

 

Marâji’:

[1] Amirulloh Syarbini dan Jumari Haryadi, Sabar,Syukur dan Ikhlas Muhammad, (Jakarta: Ruang Kata, 2010), hlm. 2-4

[2] Ahmad Hadi Yasin, Dahsyatnya Sabar, (Jakarta: Qultum Media. 2009), hlm. 11.

[3] Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsīr al-Maraghi, Juz II, (Mesir: Maktabah Mushtafa al-Bab al-Halabi, 1946), Cet I, hlm. 25.

[4] Ibn Taimiyyah, Gerak-Gerik Qalb, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2005), hlm.64.

[5] Media Zainul Bahri, Menembus Tirai Kesendiriannya, (Jakarta: Prenada Media, 2005), Cet.1, hlm. 69.

 

Mutiara Hikmah

Allah ﷻ berfirman,

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (Q.S. Az-Zumar [39]: 10).

Download Buletin klik disini

Bencana Alam Merupakan Peringatan Atau Pertolongan Allah?

Bismillāhi walhamdulillāhi wash shalātu was salāmu ‘alā rasūlillāhi,

Pembaca yang dirahmati Allah ﷻ, akhir-akhir ini bencana alam terjadi silih berganti di belahan bumi. Mulai dari banjir, longsor, gempa bumi semua adalah kehendak Allah ﷻ, orang beriman harus meyakininya dan menjadikannya peringatan agar lebih banyak bersyukur. Terjadinya bencana alam sudah kehendaki Allah ﷻ, apakah bencana alam ini  merupakan peringatan dari Allah ﷻ atau pertolongan dari Allah ﷻ?

Mushîbah

Bencana alam dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah sesuatu yang menimbulkan kesusahan, kerugian, atau penderitaan yang disebabkan oleh alam.[1] Dalam al-Qur’an bencana disebut dengan kata mushîbah, kata ini berasal dari kata bahasa Arab yang kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia yang mempunyai dua makna, yakni peristiwa menyedihkan yang menimpa dan kedua adalah malapetaka. Sebenarnya kata mushîbah dalam al-Qur’an memiliki arti yang luas tidak hanya mengacu pada bencana alam, karena kata mushîbah juga digunakan pada skala dan efek yang kecil.[2]

Bencana alam yang sering terjadi di Indonesia adalah banjir dan gempa bumi, seperti yang terjadi di suatu daerah beberapa hari terakhir ini. Banjir tentu bermula dari hujan yang terus menerus. Hujan yang diturunkan Allah ﷻ ke bumi merupakan rahmat, agar bumi menjadi hijau dan penduduk dapat mengambil manfaat darinya. Karena sesungguhnya, air yang diturunkan Allah ﷻ itu sebagai pembawa rezeki dan kebaikan.

Dari Anas bin Malik a berkata, Nabi ﷺ sedang memberikan khutbah pada hari jum’at, tiba-tiba bangun sekumpulan manusia dan berteriak, mereka berkata, “Wahai Rasulullah, hujan sudah berhenti, pokok semakin kering dan binatang ternak musnah, doakan kepada Allah untuk kami agar diturunkan hujan. Maka Rasulullah ﷺ berdoa, “Ya Allah, turunkanlah hujan ke atas kami”. Sebanyak dua kali, demi Allah kami tidak nampak sebarang gumpalan awan di langit, tiba-tiba awan terbentuk dan menurunkan hujan.(H.R. Bukhari)[3]

Dari hadits tersebut sudah jelas, bahwa hujan yang diturunkan Allah ﷻ itu merupakan pertolongan untuk hambanya yang beriman. Tak hanya itu, turunnya hujan merupakan rahmat dari Allah ﷻ yang nantinya juga menjadi pembawa rezeki dan kebaikan bagi hamba Allah ﷻ di bumi.

Hujan yang turun dengan lebat dapat menyebabkan banjir. Banjir ini juga dapat memusnahkan banyak hal yang ada di bumi, seperti kerusakan tanaman, tempat tinggal dan lainnya. Rasulullah ﷺ mengajarkan ummatnya agar senantiasa berdo’a agar dijauhkan dari banjir jika memang terjadi banjir. Karena hujan yang lebat hingga mengakibatkan banjir merupakan kuasa Allah l, sehingga hamba-Nya juga harus meminta pertolongan kepada  Allah ﷻ agar diselamatkan dari suatu hal yang berbahaya.[4]

Pandangan Takdir[5]

Takdir sudah Allah ﷻ tetapkan 50.000 tahun sebelum Allah ﷻ menciptakan langit dan bumi. Allah ﷻ sudah takdirkan akan terjadi bencana, akan terjadi musibah, akan terjadi petaka, akan terjadi wabah, akan terjadi penyakit. Ini wajib kita imani.

Nabi ﷺ bersabda, “Allah telah menncatat seluruh takdir makhluk 50.000 tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi.” (H.R. Muslim, Tirmidzi, Ahmad). Nabi ﷺ juga bersabda, “Yang pertama kali Allah ciptakan adalah qalam (pena). Lalu Allah berfirman kepadanya: ‘tulislah’, ia menjawab: ‘Wahai Rabbku, apa yang aku harus tulis?’, ‘Tulislah takdir segala sesuatu sampai terjadinya kiamat.‘” (H.R. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Abi Ashim dalam kitabnya As-Sunnah, Al-Ajurri, Ahmad, hadits ini shahih)

Tidaklah terjadi musibah kecuali dengan izin dan kehendak Allah ﷻ. Allah ﷻ berfirman, “Tidaklah menimpa sebuah musibah kecuali dengan izin Allah.” (Q.S at-Taghabun [64]:11). Jadi semua yang berjalan di langit dan di bumi ini tidak lepas dari pada kehendak Allah ﷻ. Tidak mungkin ada sesuatu yang terjadi di muka bumi yang Allah ﷻ tidak kehendaki. Semua berjalan dengan kehendak Allah ﷻ dan semua berjalan dengan izin Allah ﷻ.

 Penyebab Bencana

Tak hanya banjir, gempa bumi juga bencana alam yang terjadi akhir-akhir ini. Gempa bumi merupakan bencana alam yang terjadi atas izin Allah ﷻ dan hal ini menjadi bagi manusia. Gempa bumi juga bisa saja terjadi karena ulah tangan manusia yang melalui gejala alam. Misalnya, manusia yang sengaja membuat hutan gundul dan menebang pohon secara liar. Hal ini sudah dijelaskan dalam al-Qur’an.

Allah ﷻ berfirman, “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).(Q.S. Asy-Syura [42]: 30)[6]

Faktor lain yang dapat menyebabkan terjadinya gempa bumi adalah perbuatan dosa dan maksiat yag dilakukan oleh manusia. Seperti kisah kaum Nabi Luth yang mendapat azab dari Allah ﷻ karena dosa mereka.[7]

Terjadinya gempa bumi tentu membawa dampak pada alam dan isinya. Banyak korban jiwa atau banyak yang menderita kesakitan. Dan pasti ada kerusakan alam khususnya di daerah yang terjadi gempa bumi. Gempa bumi bukanlah bencana alam yang terjadi begitu saja dengan sendirinya, hal ini sudah kehendak Allah ﷻ. Gempa bumi juga merupakan peringatan dari Allah ﷻ, bahwa manusia itu tidak berdaya, dan tidak ada pelindung selain Allah ﷻ.

Dari gempa bumi ini, manusia diingatkan bahwa ini hanyalah sebagian kecil dari proses maha dahsyat yang bukan menghancurkan daerah tertentu, tetapi seluruh tata surya dan alam semesta, yakni hari kiamat. Gempa bumi juga bisa disebutkan sebagai balasan Allah ﷻ atas pelanggaran yang dilakukan manusia terhadap aturan yang telah ditetapkan Allah Subhanahu Wata’ala.[8]

Bencana Alam: Ujian atau siksa?

Berdasarkan semua penjelasan diatas, jadi bencana alam merupakan ujian atau siksa dari Allah ﷻ ? Bencana alam yang terjadi akibat kesalahan dari manusia yang tidak disengaja, maka itu merupakan ujian bagi manusia. Apabila bencana itu terjadi akibat perilaku manusia yang disengaja, seperti maksiat, zhalim dan tidak beriman secara sengaja maka bencana itu menjadi siksa bagi manusia.[9]

Dengan ini, maka bencana merupakan peringatan dari Allah ﷻ agar manusia kembali mengingat Allah ﷻ dan tidak melakukan pelanggaran atas aturan Allah ﷻ. Bencana alam juga bisa jadi pertolongan dari Allah ﷻ.

Hikmah Bencana Alam

Diantara hikmah bencana alam, yakni, pertama, agar yang diberi bencana tau bahwa Allah ﷻ mencintainya, seperti dalam sabda Nabi Muhammad ﷺ “Setiap kali Allah mencintai sekelompok orang, Allah pasti memberi cobaan kepada merek,.” (H.R Tirmidzi).

Kedua, bencana alam terjadi untuk mengangkat derajat manusia yang diberi bencana, seperti sabda Nabi Muhammad ﷺ  “Jika agamanya kuat, maka akan ditambahkan musibahnya,” (H.R. Tirmidzi).

Ketiga,agar manusia tidak takabbur dan tinggi hati, dan keempat untuk menumbuhkan solidaritas kolektif.[10]

Dapat disimpulkan, bahwa bencan alam yang terjadi di bumi ini bisa menjadi peringatan bagi mereka yang sengaja bermaksiat dan juga tidak beriman kepada Allah ﷻ, agar kembali mengingat bahwa Allah ﷻ Pemilik segalanya. Tetapi jika dilihat dari hikmah yang terkandung dibalik bencana alam ini, maka bencana dapat menjadi pertolongan Allah ﷻ untuk manusia, agar tau bahwa Allah ﷻ mencintainya dan untuk mengangkat derajat manusia karena kekuatan imannya.[]

 

Penyusun:

Qonitah Cahyaning Tyas

Prodi Pendidikan

 

Marâji’:

[1] Moch Syarif Hidayatullah. Tinjauan Islam Soal Bencana Alam dalam Jurnal Studi Al-Qur’an; Membangun Tradisi Berfikir Qur’ani, Vol. 5, No. 1 2009, hal. 15-28.

[2] Ibid

[3] Zuhelmi., Azman. Hujan dan Banjir dalam Hadis Nabi dalam Jurnal Pengurusan dan Penyelidikan Fatwa, Vol. 8, 2016, hal. 1-9.

[4] Ibid

[5] https://www.radiorodja.com/49684-sikap-seorang-muslim-menghadapi-musibah/

[6] Muhammad Makmun-Abha. Gempa Bumi dalam Al-Qur’an dalam Jurnal ESENSIA, Vol. XIV, NO. 1 April 2013, hal. 19-36

[7] Ibid

[8] Ibid

[9] Moch Syarif Hidayatullah. Tinjauan

[10] Ibid

 

Mutiara Hikmah

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, dia berkata, “Diantara doa Rasulullah ﷺ adalah,

اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ

Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari hilangnya kenikmatan yang telah Engkau berikan, dari berubahnya kesehatan yang telah Engkau anugerahkan, dari siksa-Mu yang datang secara tiba-tiba, dan dari segala kemurkaan-Mu

(H.R. Muslim no. 2739)

Download Buletin klik disini

 

Untukmu Yang Sedang Terjatuh Dalam Kubangan Dosa!

Bertobatlah Wahai Jiwa

Saudaraku, yang saat ini tergelincir oleh penyesata setan. Bertobatlah. Taubat haruslah dilakukan, tanpa menunda-nunda. Allah sungguh Maha Pengampun dan Maha Penerima taubat.

Dari Anas bin Mâlik radiallahu anha ia berkata, “Aku mendengar Rasûlullâh ﷺ bersabda, ‘Allâh ﷻ berfirman, ‘Hai anak Adam! Sesungguhnya selama engkau berdo’a dan berharap hanya kepada-Ku, niscaya Aku mengampuni dosa-dosa yang telah engkau lakukan dan Aku tidak peduli. Wahai anak Adam ! Seandainya dosa-dosamu setinggi langit, kemudian engkau minta ampunan kepada-Ku, niscaya Aku mengampunimu dan Aku tidak peduli. Wahai anak Adam ! Jika engkau datang kepadaku dengan membawa dosa-dosa yang hampir memenuhi bumi kemudian engkau bertemu dengan-Ku dalam keadaan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu pun, niscaya Aku datang kepadamu dengan memberikan ampunan sepenuh bumi.”  (H.R. at-Tirmidzi)

Saudaraku, bertaubatlah dengan kesungguhan dan penuh pengharapan. Berbaik sangkalah pada Allah ﷻ jika dosa dosamu akan diampuni . Jangan pernah ragu, maupun takut dosa kita tidak diampuni selama kita melakukanya dengan cara yang tepat. Jangan pernah berburuk sangka terhadap luasnya ampunan Allah ﷻ. sungguh, jika seandainya Fir’aun yang mengaku Tuhan sampai bertobat, maka Allah pasti akan mengampuni.

Nabi ﷺ melarang seseorang berdo’a dengan pesimis dan keraguan pada Allah dengan lafadz, “Ya Allâh, ampunilah aku jika Engkau berkehendak,” namun hendaklah ia serius dalam meminta karena Allâh tidak bisa dipaksa oleh apapun.(H.R. Bukhari)

Kita Punya Allah, yang Maha Penyayang

Kasih sayang terbesar di alam semesta adalah kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya. Terlebih lagi sebagaimana kondisi wanita yang disebutkan dalam hadits, dimana ia baru saja kehilangan anaknya lantas iapun mencari-cari sang anak. Akhirnya iapun bertemu dengan anaknya yang hilang tersebut, lalu iapun mendekapnya dan menyusuinya. Inilah kondisi kasih sayang terbesar dari seorang ibu terhadap anaknya.

Namun Rasulullah ﷺ, pernah bersabda jika ternyata kasih sayang Allah terhadap hambanya itu jauh lebih besar dibandingkan kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya.

Dari ‘Umar bin Al-Khattab ia berkata, “Tawanan perang didatangkan kepada Nabi ﷺ, tiba-tiba ada seorang wanita dari tawanan perang yang sedang mencari. Tatkala ia mendapatkan seorang anak di kalangan para tawanan maka iapun mengambil anak kecil tersebut lalu ia peluk dan menyusuinya. Maka Rasulullah ﷺ  kepada kami, “Apakah menurut kalian wanita ini akan melemparkan anaknya di api?”. Maka kami berkata, “Demi Allah, tentu tidak, sementara ia mampu untuk tidak melemparnya”. Maka Rasulullah ﷺ berkata, “Sungguh Allah lebih sayang kepada hamba-hambaNya daripada wanita ini terhadap anaknya” (H.R Al-Bukhari, no. 5999 )

Saudaraku, Jika ada seorang anak nakal, yang selalu menjadikan ibunya marah dengan kenakalanya lalu sang anak pergi dari rumah dengan waktu yang lama maka justru sang ibu akan sangat bersedih atas kepergian anaknya, ibunya akan menunggu-nunggu kepulangan buah hatinya dan melupakan semua kenakalan yang pernah ia lakukan. Sang ibu akan tetap menyayangi anaknya bagaimanapun kesalahannya. Apalagi sang anak, jika sesudah bersalah dia meminta maaf dengan bercucuran air mata. Maka pasti akan luluh hati sang ibunda untuk memafkannya.

Sungguh saudaraku, perumpamaan kasih sayang Allah itu jauh lebih tinggi dari pada kasih sayang ibu terhadap anaknya. Allah akan mencintai seorang hamba yang melakukan kesalahan lantas meminta maaf dan  memohon ampun pada Allah.

Ada seorang pemuda sahabat Dzun Nuun yang berkeliling dan menyeru, “Aduuuh…dimana hatiku?, siapakah yang menemukan hatiku?

Maka suatu hari ia melewati sebuah lorong lalu ia mendapati seorang anak kecil yang sedang menangis sementara ibunya memukulinya. Lalu ibunya mengeluarkan anak tersebut dari rumah dan mengunci pintu rumah. Jadilah sang anak melihat ke kanan dan ke kiri, ia tidak tahu harus kemana pergi, kemana ia harus menuju. Lalu iapun kembali ke pintu rumah, lalu ia menangis seraya berkata,

“Wahai ibu, siapakah yang akan membukakan pintu jika engkau telah menguncinya?”

“Siapa yang mendekatiku jika engkau telah mengusirku?”

“Siapakah yang mendekatiku jika engkau telah marah kepadaku?”

Maka ibunya pun menjadi iba kepadanya. Lalu sang ibu melihat dari celah-celah pintu, maka ia mendapati anaknya sedang mengalirkan derasnya air mata hingga membasahi pipinya sambil menghamparkannya ke tanah. Maka sang ibupun membukakan pintu lalu mengambil sang anak dan meletakannya di pangkuannya lalu menciumnya dan berkata,

“Wahai buah hatiku, wahai sayangku, engkaulah yang menjadikan ibu melakukan ini semua, engkau yang menyebabkan ini menimpamu. Kalau engkau taat kepadaku tentu engkau tidak mendapati dariku apa yang kau benci.”

Maka pemuda ini pun seperti mendapatkan sesuatu, lalu ia berdiri dan berteriak, “Sungguh aku telah menemukan hatiku, sungguh aku telah menemukan hatiku”

Allah Bergembira dengan Dosa yang Kita Taubati

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di menjelaskan bahwasanya firman Allah ﷻ, ”Dan Dialah Yang MahaPengampunlagiMahaPengasih” (Q.S al-Buruuj [2]: 14) adalah bantahan kepada orang-orang yang menganggap kalau seorang hamba yang bermaksiat kemudian bertaubat maka dia tidak akan dicintai oleh Allah ﷻ. Tetapi barangsiapa yang berdosa kemudian bertaubat kepada Allah l maka taubatnya akan diterima oleh Allah lalu Allah akan kembali mencintainya. Itulah rahasia digandengkannya antara al-ghafûr (Yang Maha Pengampun) dan al-wadûd (Yang Maha Mencintai)

Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya Allah sangat gembira dengan taubat hamba-Nya ketika ia bertaubat pada-Nya melebihi kegembiraan seseorang di antara kalian yang berada di atas kendaraannya dan berada di suatu tanah yang luas (padang pasir), kemudian hewan yang ditungganginya lari meninggalkannya. Padahal pada hewan tunggangannya itu ada perbekalan makan dan minumnya. Sehingga ia pun menjadi putus asa. Kemudian ia mendatangi sebuah pohon dan tidur berbaring di bawah naungannya dalam keadaan hati yang telah berputus asa. Tiba-tiba ketika ia dalam keadaan seperti itu, kendaraannya tampak berdiri di sisinya, lalu ia mengambil ikatnya. Karena sangat gembiranya, maka ia berkata, ‘Ya Allah, Engkau adalah hambaku dan aku adalah Rabb-Mu.’ Ia telah salah mengucapkan karena sangat gembiranya.” (H.R. Muslim no. 2747).

Mengenai hadits ini, Dr Firanda berkata, “Orang ini sangat gembira karena dia menyangka bahwasanya dirinya akan meninggal tetapi ternyata selamat. Namun Allah lebih gembira dengan taubatnya seorang hamba daripada gembiranya orang ini. Oleh karena itu, jika seseorang berdosa maka hendaknya segera bertaubat kepada Allah. Bahkan ketika dia kembali melakukan dosa yang dahulu juga pernah dilakukannya. Hendaknya dia tidak suudzan kepada Allah, ketika dia mulai ragu dan suudzan kepada Allah maka dia telah dimasuki oleh setan. Setan ingin agar dia meninggal dalam keadaan tidak bertaubat kepada Allah.”

 

Penyusun:

Yonatan Yolius Anggara

Santri Pondok Pesantren Mahasiswa

Nur Baiturrahman Yogyakarta

 

Marâji’

Abdurrahman, asy Syaikh bin Nashir as-Sa’di, 2006, Taisir al-Karimir Rahman Fi Tafsiri Kalamil Mannan, (Beirut: Mu’asasah ar-Risalah). hal. 918.

Imam Ibnu Rajab al-Hanbali. Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam. Muassasah Ar-Risalah. Cet.k-10.hal 44-45

Firanda Andiraja.Luasnya Rahmat Allah Bahkan Kepada Pelaku Maksiat.2018. https://firanda.com/1830-luasnya-rahmat-allah-bahkan-kepada-pelaku-maksiat.html

 

Mutiara Hikmah

Dari Abu Hurairah dari Nabi ﷺ beliau bersabda:
لَا يَسْتُرُ عَبْدٌ عَبْدًا فِي الدُّنْيَا إِلَّا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Tidaklah seorang hamba menutupi aib hamba lainnya di dunia, melainkan Allah akan menutupi aibnya di hari kiamat kelak.” (H.R. Muslim no. 2590)

 

Download Buletin klik disini

 

 

Percaya Zodiak Termasuk Perbuatan Syirik

Bismillah washalatu was salamu ‘ala rasulillah, wa ba’du.

Pembaca yang semoga dirahmati oleh Allah ﷻ, setiap tahun selalu marak tersebar berita-berita tentang ramalan masa depan, biasanya ramalan yang muncul dan menjadi topik hangat untuk diperbincangkan muncul di awal tahun yaitu ramalan tentang peristiwa apa saja yang akan terjadi di tahun tersebut. Salah satu ramalan yang paling sering dicari dan diminati kebanyakan orang adalah ramalan tentang zodiak.

Pengertian Zodiak

Zodiak merupakan bagian dari ilmu astrologi yang mengamati pergerakan benda-benda langit lalu dikait-kaitkan untuk mengetahui nasib manusia. Di dalam zodiak biasanya terdapat penjelasan tentang keadaan atau nasib kehidupan pribadi seseorang sesuai dengan tanggal ia dilahirkan. Pada ramalan zodiak biasanya dijelaskan bagaimana tentang karir dirinya, rezekinya, hubungan asmaranya, sifat dan karakter dirinya,atau hari-hari keberuntungannya.

Di dalam syariat Islam ilmu tentang perbintangan disebut juga dengan ilmu nujum yang terlarang. Ilmu nujum yaitu ilmu untuk mencari petunjuk pada keadaan-keadaan bintang untuk meramalkan kejadian-kejadian di bumi.[1] Zodiak termasuk kedalam ilmu nujum (perbintangan), akan tetapi ilmu tentang perbintangan ini hanya diperbolehkan dalam tiga keadaan, sebagai hiasan langit, pelempar setan, dan penunjuk arah.

Ilmu Nujum yang Diperbolehkan

Allah ﷻ berfirman, “Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang,dan Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar syaitan,”(Q.S. al-Mulk [67]: 5). Allah ﷻ juga berfirman, “Dan Dialah yang menjadikan bintang-bintang bagimu, agar kamu menjadikannya petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut.”(Q.S. al-An’am [6]: 97)

Imam Bukhari dalam kitab shahih-nya, bahwa Imam Qatadah mengatakan, “Allah ﷻ menciptakan bintang-bintang untuk tiga hal: sebagai hiasan bagi langit, sebagai alat untuk melempar setan, dan sebagai tanda untuk penunjuk arah. Barangsiapa yang meyakini selain itu dalam hal ini maka dia telah keliru, menyia-nyiakan bagiannya, dan memaksakan diri untuk mengetahui apa yang berada di luar batas pengetahuannya.” (H.R al-Bukhari secara Mu’allaq). Maka selain dari tiga hal yang disebutkan tersebut maka ilmu nujum dilarang.

Zodiak termasuk kedalam ilmu nujum yang dilarang syariat Islam karena di dalamnya terdapat perkara-perkara yang mana hal itu hanya Allah yang mampu melakukannya, diantaranya adalah pengakuan mengetahui perkara ghaib, padahal pengetahuan tentang hal-hal ghaib ini hanya kekuasaan Allah ﷻ semata, tidak ada makhluk di muka bumi ini yang dapat mengetahui perkara ghaib kecuali para nabi dan rasul-Nya yang Allah kehendaki.

Allah ﷻ berfirman, “Katakanlah: “Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”,” (Q.S. an-Naml [27]: 65)

Di ayat lain Allah ﷻ berfirman,“(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu.Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya.”(Q.S. al-Jin [72]: 26-27)

Pada ramalan zodiak juga terdapat keyakinan bahwa ada selain Allah yang dapat mengatur dan mengendalikan alam semesta ini, dimana sesungguhnya mengatur, mengurus dan mengendalikan seluruh alam semesta ini hanyalah Allah saja yang mampu[2], dan tidak ada satupun dari ciptaan-Nya yang mampu mengendalikan seluruh alam semesta ini.

Hukum Mendatangi Dukun

Zodiak pada hakikatnya sama seperti perdukunan yang dapat meramal untuk mengetahui perkara ghaib. Bagi seseorang yang membaca zodiak kemudian meyakini apa yang dijelaskan di dalam zodiak tersebut ataupun hanya sekedar iseng saja membaca zodiak tersebut maka hal itu tidak dibolehkan dan hukuman bagi yang membaca zodiak sangatlah berat[3]

Rasulullah ﷺ bersabda, “Siapa yang mendatangi dukun lalu membenarkan apa yang dikatakannya maka dia telah kafir (ingkar) terhadap wahyu yang diturunkan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (H.R. Abu Daud 3904 dan Ahmad 2/408, 429, dan 476)

Pada riwayat lain Rasulullah ﷻ bersabda, “Barang siapa yang mendatangi tukang ramal lalu dia bertanya kepadanya tentang sesuatu, lalu dia mempercayai apa yang dikatakannya, maka tidak diterima sholatnya selama empat puluh hari.” (H.R. Muslim 2230)

Selain itu bagi seseorang yang meyakini tentang ramalan pada zodiak, berarti ia telah menggantungkan nasibnya kepada sesuatu yang tidak pasti dan tidak memberikan dampak apapun terhadap dirinya[4]. Seperti saat seseorang membaca zodiak kemudian dia mengikuti arahan pada zodiak tersebut apa saja yang menguntungkan bagi dia dan dia juga takut apa saja yang dapat membawa keburukan bagi dirinya, maka hal ini termasuk kedalam tathayyur yaitu meramal suatu keburukan atau kebaikan dengan sesuatu yang dilihat atau didengar[5].

Pada tradisi orang Arab jahiliyyah dahulu tathayyur dilakukan dengan menggunakan burung, misalnya jika seorang ingin pergi kearah barat kemudian sebelum pergi dia menerbangkan seekor burung terlebih dahulu, jika burung itu juga terbang kearah barat maka dia akan mendapatkan keselamatan, akan tetapi jika terbangnya kearah sebaliknya yaitu kearah timur maka dia akan mendapatkan kecelakaan[6].

Rasulullah ﷺ menjelaskan bahwa thiyarah merupakan perbuatan kesyirikan, beliau bersabda, “Thiyarah adalah syirik, thiyarah adalah syirik, dan tidak seorang pun dari kita kecuali hanya saja Allah menghilangkannya dengan tawakal.” (H.R. Ahmad 3687, Abu Dawud 3910, at-Tirmidzi 1614, dan Ibnu Majah 3538)

Allah ﷻ juga menjelaskan bahwa segala sesuatu apa yang terjadi semuanya atas ketetapanNya, Allah ﷻ  berfirman,“Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (Q.S. al-A’raf [7]: 131)

Maka dari itu meyakini apa yang terkandung di dalam zodiak ini adalah perbuatan syirik. Zodiak tidak memberikan dampak apapun dan tidak sedikitpun memberikan manfaat ataupun menolak kemudharatan. Bahkan jika seseorang meyakini apa yang ada di dalam zodiak, maka pada dirinya terkandung sikap pesimis karena segala tindakannya mesti bergantung pada ketidakjelasan ramalan zodiak.

Ketahuilah bahwa apa yang terjadi pada seluruh alam semesta ini baik mengatur dan mengendalikan semuanya atas kehendak Allah ﷻ. Dialah yang telah menciptakan kebaikan dan keburukan, dan hanya Dialah yang dapat memberikan manfaat atau menolak kemudharatan.

Semoga Allah memberikan taufik dan menjaga kaum muslimin dimanapun mereka berada agar terhindar dari perbuatan-perbuatan yang dapat merusak keimanan seorang Muslim.

Wallahu ta’ala a’lam

 

Much Diki Mualimin

Mahasiswa Ahwal Syakhshiyah

Universitas Islam Indonesia

 

Marâji’:

[1] Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu asy-Syaikh. Fathul Majid. Jakarta:  Pustaka Sahifa. 2010. Cet. Ke-3. hal. 748

[2] Prof. Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Kitab Tauhid. Jakarta Timur: Ummul Qura. 2019. Cet. Ke-15. hal. 31-36

[3] https://youtu.be/HFOYIapwqog

[4] Asy-Shaikh Shalih bin Fauzan bin ‘Abdullah al-Fauzan. Ringkasan Syarah KitabTauhid. Yogyakarta: Pustaka Al Haura’. 1433 H. Cet. Ke-1. hal. 310

[5] Ibid. hal. 293

[6] https://youtu.be/un4R0f6jowM

Mutiara Hikmah

Nawas bin Sam’an, Nabi ﷺ bersabda,

الْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ وَالإِثْمُ مَا حَاكَ فِى نَفْسِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ

Kebaikan adalah dengan berakhlak yang mulia. Sedangkan kejelekan (dosa) adalah sesuatu yang menggelisahkan jiwa. Ketika kejelekan tersebut dilakukan, tentu engkau tidak suka hal itu nampak di tengah-tengah manusia.” (H.R. Muslim no. 2553)

Download Buletin klik disini

Maqashid Tuhan dan Ekologi Alam Semesta

Bismillāhi walhamdulillāhi wash shalātu was salāmu ‘alā rasūlillāhi,

Beberapa masalah lingkungan telah banyak bermunculan disekitar manusia. Tidak perlu menelisik jauh-jauh, di sekitar kita, lingkungan masih sangat rentan dengan ancaman adanya aktivitas manusia. Desas-desus pembangunan proyek Jurassic Park di Pulau Komodo hingga insiden kebakaran hutan di beberapa daerah di Indonesia dari sejak dulu hingga sekarang, pada era New Normal pandemi COVID-19 ini dinilai serupa dengan pemahaman kita sebagai manusia yang masih minim terhadap kelestarian ekologi alam. Paham antroposentrisme yang mungkin terasa samar terdengar, sebenarnya telah mendengung lebih dahulu di awal revolusi industri.

Antroposentrisme memberikan pemahaman bahwa di muka bumi ini hanya manusialah yang berkuasa. Dalil antroposentrisme yang muncul kemudian ditentang dengan paham ekosentrisme yang meliputi kemaslahatan dan integrasi umat seluruh alam. Sebagai agama yang menerapkan prinsip syariat yang rasional dengan perkembangan sains dan teknologi, Islam turut menjabarkan mengenai paham antroposentrisme dan ekosentrisme untuk menjawab perkembangan zaman yang terkait dengan individual manusia dan isu lingkungan.

Antroposentrisme sejatinya tidak lahir dari agama Islam. Pandangan terhadap paham antroposentrisme ini muncul dikarenakan adanya metode penafsiran yang parsial dan atomistik sehingga cenderung hanya terfokus pada aspek human being bukan terhadap integrasi ekologi. Namun ada beberapa ayat di dalam al-Qur’an yang antroposentris atau mengandung nilai dan paham antroposentrisme. Prinsip antroposentrsime di dalam Islam diduga sangat berelasi dengan konsep hakikat manusia yang merupakan makhluk istimewa, yang diberi akal, yang berkuasa atas alam dan konsep khalifah di bumi[i]. Nabi Muhammad ﷺ telah menganjurkan kita untuk senantiasa membantu sesama makhluk dan melestarikan lingkungan:

Dari Anas radiallahu anha, beliau mengatakan, Rasûlullâh ﷺ bersabda, ‘Ada tujuh hal yang pahalanya akan tetap mengalir bagi seorang hamba padahal dia sudah terbaring dalam kuburnya setelah wafatnya (yaitu): Orang yang yang mengajarkan suatu ilmu, mengalirkan sungai, menggali sumur, menanamkan kurma, membangun masjid, mewariskan mushaf atau meninggalkan anak yang memohonkan ampun buatnya setelah dia meninggal.” (H.R. al-Bazzar dalam Kasyful Astâr, hlm. 149. Hadits ini dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani dalam shahihul Jami’, no. 3602)

Ekosentrisme merupakan pemahaman yang menganggap bahwa manusia merupakan bagian dari keseluruhan ekosistem di alam semesta sehingga manusia tidak memiliki hak untuk merusak lingkungan dan makhluk disekitarnya. Ekosentrisme tentu sangat diperlukan untuk mengatasi krisis lingkungan hidup yang memerlukan kemampuan ekoliterasi yang bersumber dari kesadaran ekologis seseorang.

Beberapa ayat di dalam al-Qur’an menyampaikan mengenai pentingnya melestarikan alam. Misalkan dalam surah Ar-Rum ayat 41, Allah l menyindir manusia mengenai munculnya kerusakan yang ada di muka bumi. Allah ﷻ  berfirman, “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allâh merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. (Q.S ar-Rûm [30]:41)

Dari ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa kerusakan yang terjadi di muka bumi disebabkan oleh perbuatan manusia yang merugikan lingkungan dan makhluk hidup didalamnya. Selain itu disebabkan pula karena kekufuran dan kemaksiatan yang mereka lakukan di muka bumi.

 

Kerugian Sebagai Akibat dari Kerusakan Lingkungan

Sifat manusia yang membuat kerusakan pada lingkungan dapat dikatakan sebagai faktor penyebab kerusakan lingkungan secara makro seperti yang dijelaskan pada surah ar-Rum ayat 41 tersebut. Selain itu, manusia dapat pula menjadi faktor kerusakan secara mikro. Hal-hal yang bersifat mikro ini merupakan kondisi yang dialami manusia sehingga menimbulkan kecenderungan merusak lingkungannya[ii].

Adanya kerusakan lingkungan tentunya menimbulkan dampak pencemaran terhadap kehidupan manusia. Dampak ini dapat dirasakan melalui beberapa hal contohnya limitisasi terhadap sumber daya alam yang sangat dibutuhkan manusia yaitu air, udara dan lingkungan yang memadai. Tidak hanya itu, terjadi pula kepunahan dan kelangkaan bagi beberapa komunitas dalam suatu ekosistem.

Selain itu, industri yang tak mengindahkan aspek lingkungan tentunya dapat membawa dampak buruk terhadap keseimbangan ekosistem. Bagi industri yang membuang limbahnya secara ilegal tanpa proses pengelolaan limbah yang baik, maka tentu akan timbul pencemaran. Pencemaran ini dapat terbentuk sebagai senyawa berbahaya yang terlarut dan tersuspensi dalam air, udara dan tanah yang nantinya akan berdampak pula pada kesehatan manusia.

 

Penerapan Prinsip Ekologi Tuhan dalam Sistem Ganti Rugi

Kerusakan lingkungan tentunya memiliki dampak yang signifikan bagi kegiatan sosial di dalamnya. Kegiatan sosial yang paling memiliki dampak yang jelas yaitu  aktivitas masyarakat. Tidak hanya itu, bila terdapat berbagai ekosistem seperti biota laut, hewan darat dan tumbuhan secara langsung maupun tidak langsung akan terpengaruh pula oleh dampak akibat adanya kerusakan lingkungan. Singkatnya, seluruh kegiatan yang ada di dalam masyarakat atau suatu ekosistem tertentu mengalami kerugian.

Dalam Islam, dikenal istilah dhaman dalam adanya peristiwa ganti rugi yang bertujuan untuk memberikan ganti rugi pada korban yang terkena dampak dan juga menghilangkan kerugian yang diderita korban (raf’u al-dara wa izalatuha).  Ganti rugi yang diakibatkan dari kerusakan lingkungan mencakup dua hal[iii].

Yang pertama yaitu ganti rugi yang berhubungan dengan jiwa dan kehormatan seseorang yang terancam akibat adanya aktivitas yang berdampak buruk bagi lingkungan. Dapat dimisalkan apabila seseorang menjadi terenggut nyawanya, mengidap penyakit tertentu sehingga organ tubuhnya tidak dapat berfungsi atau merasa terganggu dengan adanya pencemaran lingkungan yang terjadi di kawasan tempat ia tinggal.

Kedua, ganti rugi yang berhubungan dengan harta (jawabir al-darar al-maliyah) yang berkaitan dengan hak-hak manusia seperti adanya perampasan lahan atau kawasan untuk kawasan industri atau pabrik dan perusakan terhadap lingkungan masyarakat. Segala kerugian ini harus dibayarkan dengan mengembalikan sama dengan nilai jual barang (jawabir naqdiyah) atau nilai lahan yang terkena dampak pencemaran dan kerusakan. Selain itu, dapat pula dibayarkan dengan mengembalikan barang itu sendiri atau dengan barang yang sama (jawabir ‘ainiyah).

Kedua aspek tersebut tentu merupakan hal yang perlu dipertimbangkan bagi pemrakarsa pembangunan industri. Setiap industri diwajibkan menelaah lebih lanjut mengenai dampak baik dan buruk munculnya pembangunan industri baik sebelum, saat maupun setelah pembangunan. Penelaahan ini diatur di dalam Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI (KLHK) Indonesia dengan sebutan AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) baik secara internal yaitu di kawasan masyarakat atau secara eksternal yaitu di luar kawasan masyarakat yang juga ikut mempengaruhi kawasan internal. Pembangunan industri tentu harus melibatkan partisipasi masyarakat yang terkena dampak dan menerapkan aspek lingkungan yang tepat sehingga tidak merusak ekosistem daerah setempat sehingga tercipta solusi terbaik antara pemrakarsa, pemangku jabatan, masyarakat dan juga lingkungannya.

 

Penyusun:

Shofi Latifah Nuha Anfaresi

Mahasiswi Jurusan Teknik Lingkungan

Santri Pondok Pesantren UII

Maraji’

[i] Iqbal, I. 2014. Dekonstruksi Tafsir Antroposentrsime. Kalam: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam Vol. 8 (1): hal. 65-86

[ii] Ghazali, B. 1996. Lingkungan Hidup Dalam Pemahaman Islam. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya

[iii] Asmuni, Mth. 2007. Teori Ganti Rugi (Dhaman) Perspektif Hukum Islam. Millah Vol. 6 (2): hal. 97-120

 

Mutiara Hikmah

Dari Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ bersabda,

الْمَرْءُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ

Seseorang akan mencocoki kebiasaan teman karibnya. Oleh karenanya, perhatikanlah siapa yang akan menjadi teman karib kalian.”

(H.R. Abu Daud, no. 4833; Tirmidzi, no. 2378; dan Ahmad, 2:344. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)

Download Buletin klik disini

Anak Shalih, Investasi Dunia Akhirat

Bismillāhi walhamdulillāhi wash shalātu was salāmu ‘alā rasūlillāhi,

Pembaca yang dirahmati Allah ﷻ, ketika kita mendengar kata investasi, pasti yang pertama terbesit dalam benak kita adalah tabungan uang dalam sebuah perusahaan untuk mendapatkan laba dalam waktu tertentu. Namun nyatanya invesasi tak hanya tentang uang, memiliki anak shalih shalihah merupakan investasi yang sangat didambakan oleh orang tua sebagai tabungan di dunia mapun di akhirat kelak. Memiliki keturunan yang shalih dapat menyelamatkan kehidupan orang tua baik di dunia maupun di akhirat.

Secara etimologi kata shalih berasal dari kata shalaha-yashluhu-shalahan yang artinya baik, tidak rusak dan patut. Sedangkan shalih merupakan  ism fa’il yang berarti orang yang baik, orang yang tidak rusak, serta orang yang patut.[1] Dari Abu Hurairah a, ia berkata bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh” (H.R. Muslim no. 1631)

Bagi orang tua, anak akan menjadi tumpuannya di masa yang akan datang. Bahkan setelah kematiannya pun doa dari anak sangat berharga baginya. Jika orang tua memiliki andil dalam mendidik anaknya, mengajarkan ibadah, mengajarkan amalan-amalan baik kepada anak-anaknya, maka orang tua akan terus mendapatkan pahala dari setiap perilaku dan perbuatan baik dari anaknya. Begitu juga sebaliknya, jika orang tua tidak memiliki andil dalam keshalihan anaknya, maka orang tua tidak akan mendapatkan pahala atas amal shalih anaknya. Karena sejatinya yang membentuk diri sang anak adalah orang tuanya.

Seperti sabda Rasul ﷺ yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, “Setiap manusia dilahirkan oleh ibunya di atas fitrah. Kedua orang tuanya yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” Dengan demikian anak merupakan cerminan dari orang tuanya. Apakah sang anak akan diajarkan amalan yang bermanfaat baginya dan orang tua di dunia maupun diakhirat kelak, atau dibiarkan saja? Semua tergantung pilihan dan didikan dari orang tua kepada anak anaknya.

Semua orang pasti menginginkan untuk memiliki anak shalih shalihah. Maka, setiap kali memanjatkan doa, baik pagi maupun petang, bahkan di setiap kesempatan pasti menyelipkan doa supaya diberikan keturunan yang shalih shalihah. Namun perlu diingat bahwa usaha tanpa doa sama dengan sombong dan  doa tanpa usaha sama dengan bohong. Tak cukup dengan doa, para orang tua pasti menginginkan yang terbaik, salah satu usaha yang dilakukan adalah mengirimkan anaknya ke lembaga pendidikan Islam seperti madrasah atau pondok pesantren dengan harapan setelah sang anak mendapatkan bimbingan dari pada pengajar yang ada, akan bertambah keshalihan sang anak.

Keteladanan Orang Tua

Ada kalanya jika anak di rumah, orang tua harus ikut andil dalam mendidiknya, dengan memberi contoh yang baik dalam segala aktivitas karena childern see children do. Bila anak melihat orang tua yang bertaqwa kepada Allah, maka anak pun akan bertaqwa kepada Allah. Apabila orang tua tekun mendirikan shalat, membaca al-Qur’an, maka sang anak akan tekun shalat serta membaca al-Qur’an. Dengan demikian sang anak akan terpola kehidupannya menjadi anak pilihan yang shalih

Selain dengan mencontohkan hal-hal yang baik, hendaklah orang tua memberikan arahan serta bimbingan dengan kata kata yang membekas dalam hatinyauntuk selalu berada di jalan Allah. Seperti ketika Luqman mengambil hati sang buah hati supaya selalu mengingat kepada sang khaliq, ia mengajarkan tauhid serta ibadah lainnya hanya kepada Allah ﷻ. Sebagai orang tua hendaklah membimbing serta menasihati dalam kebaikan untuk mencintai Allah ﷻ dan Rasul-Nya. Betapa dahsyatnya kekuatan dari nasihat orang tua kepada buah hatinya yang akan selalu diingat sepanjang hayat.

Anak shalih merupakan aset di dunia maupun di akhirat yang tak ternilai harganya yang pastinya diharapkan oleh semua orang, orang tua mana yang tak ingin memiliki anak yang shalih shalihah? Dengan anak shalihlah doa dan pahala tak akan terputus meskipun telah meninggal dunia. Demikian ketika seorang hamba telah meninggal dunia, maka ia akan terheran-heran, mengapa derajatnya di akhirat menjadi setinggi ini, padahal ia bukan seorang yang sempurna, tidak selalu beribadah tepat waktu, masih tetap melakukan perbuatan yang berdosa. Maka jawabannya adalah doa anak shalihmu lah yang tak pernah terputus supaya Allah ﷻ mengampuni dosa dosa mu.

Anak merupakan sebuah anugerah yang Allah ﷻ berikan kepada kita. Harta dan anak merupakan sebuah perhiasan dunia, perhiasan merupakan susuatu yang sangat indah, sangat bernilai, dan sangat berharga. Ketika orang tua menyadari bahwa sang anak merupakan perhiasan yang sangat berharga, maka ia akan senantiasa merawat, mengasuh, serta mendidik dengan ajaran yang benar. Karena ia yakin anaklah yang akan mengurus dan menggantikannya ketika orang tua telah tiada. Apalagi jika sang anak memiliki prestasi yang membanggakan, maka ia akan menjadi penyejuk dan penyenang di hati orang tuanya. Tapi yang perlu diingat prestasi bukan hanya diukur dari prestasinya dalam memenangkan olimpiade, berapa banyak mendali dan piala yang dimilikinya, berapa tinggi nilai raport yang di peroleh. Tetapi prestasi yang sesungguhnya adalah ketika sang anak jauh dari narkoba, minuman keras, pergaulan bebas, berakhlak baik, bertaqwa kepada Allah ﷻ, serta yang berbakti kepada orangtuanya. Prestasi-prestasi ini dapat diraih dengan sebuah pembiasaan, memberikan pendidikan yang baik, serta menunjukkan contoh yang baik.

Ciri-Ciri Orang Shalih[2]

Ciri ciri orang shalih digambarkan oleh Allah ﷻ dalam al-Qur’an surah ‘Âli Imrân ayat 113-114 yakni, ”Mereka itu tidak sama; di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang). Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan, mereka menyuruh kepada yang ma´ruf, dan mencegah dari yang munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang shalih” (Q.S. ‘Âli Imrân [3]: 113-114)

Dari firman diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa ciri-ciri orang shalihah antara lain

  1. Membaca al-qur’an diwaktu malam. Membaca al-Qur’an pada waktu pagi atau siang merupakan hal yang biasa, namin membaca pada pertengahan malam adalah hal yang luar biasa. Yatlûna âyatillâhi ânâ al-laili menurut tafsir ibnu katsir yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah membaca al-qur’an saat melaksanankan shalat malam (shalat tahajjud).
  2. Mengerjakan qiyâmullail. Hal ini pun diperkuat dengan sabda nabi ﷺ “Hendaklah kamu sekalian melaksanakan qiyamul laill, karena yang demikian itu telah menjadi kebiasaan orang-orang shalih (nabi dan rasul) (H. Muslim)
  3. Beriman dan beramal shalilh
  4. Menganjurkan berbuat baik. Namun sebelum menganjurkan kepada orang lai, maka dirinya sendiri harus sudah mengerjakan kebaikan.
  5. Mencegah kemunkaran. Selain menganjurkan kepada kebaikan, orang shalih juga mempunyai tugas lainnya yaitu mencegah kemunkaran. Mencegah orang lain untuk berbuat munkar biasanya lebih mudah daripada mencegah diri sendiri berbuat kemunkaran. Ibarat peribahasa “kuman di sebrang lautan tampak, tapi gajah di pelupuk mata tak nampak
  6. Bersegera dalam berbuat kebajikan.

Semoga kita semua termasuk golongan orang shalih shalihah yang diharapkan oleh orang tua. Âmîn ya mujiibas-sâilîn

Penyusun:

Nurul Kharismawati

Prodi Pendidikan Agama Islam
FIAI UII

Marâji’

[1] https://beritalangitan.com/fakta-opini/shalih-menurut-al-quran/

[2] Ibid

Download Buletin klik disini

Hewan Kecil Yang Diabadikan Dalam Al-Quran

Hewan Kecil Yang Diabadikan Dalam Al-Quran

Hamdan laka yâ Allâh, Shalatan wa Taslîman ‘alaika yâ Rasûlullâh.
Pembaca yang dirahmati Allah ﷻ, kita ketahui bersama bahwa al-Qur’an adalah mukjizat terbesar yang diturunkan kepada nabi Muhammad ﷺ `kita sebagai umat Islam tentunya diwajibkan untuk membaca dan mempelajari al-Qur’an, syukur-syukur kalau bisa dihafalkan. Dan juga pastinya kita tahu bahwa al-Qur’an itu tidak hanya berisi tentang syariat-syariat Islam, melainkan ada kisah-kisah umat terdahulu, bahkan sampai dengan dasar-dasar ilmu pengetahuan sains.

Tahukah kita bahwa dalam al-Qur’an terdapat 5 surah yang mana mempunyai makna-makna hewan? Sebut saja al-Baqarah (Sapi Betina), ataupun al-Fîl (Gajah). Namun disini akan dibahas tiga surah yang sangat unik kalau dicermati dari namanya, yaitu surah an-Naml (Semut), al-’Ankabut (Laba-laba), dan an-Nahl (Lebah). Ketiga surah tersebut secara harfiah mempunyai beberapa persamaan, yaitu sama-sama hewan spesies serangga, dan sama-sama bertubuh mungil. Namun sebenarnya, dari ketiga hewan tersebut mempunyai hikmah tersendiri, yang apabila dikorelasikan perilaku umat manusia sangatlah relevan. Apa sajakah itu? Marilah kita simak bersama-sama.

Surah An-Naml (Semut)
Dimulai dari surah yang pertama an-Naml, yang berarti semut. Ada apa dengan semut? Apa yang istimewa dari semut sehingga Allah ﷻ menjadikannya sebagai nama surah dalam al-Quran? Ternyata semut mempunyai hikmah yang sangat unik, jika teman-teman tahu, karakter semut itu pada dasarnya adalah suka menghimpun makanan sedikit demi sedikit dan tanpa henti. Bahkan menurut suatu penelitian makanan tersebut dapat menjadi persediaan atau cadangan hingga bertahun-tahun, sedangkan faktanya mengatakan bahwa usia semut rata-rata tidak lebih dari 1 tahun. Bahkan, semut itu bisa mengangkat benda apapun yang sedemikian besarnya secara bersama-sama, dan seringkali berhasil. Padahal benda yang dibawanya pun kadangkala tidak berguna bagi kelangsungan hidupnya.
Dari semut kita dapat mengambil hikmah yang tersirat, yaitu sifat dasar semut yang ‘suka menghimpun’ jangan dijadikan pedoman hidup. Kalau kita korelasikan kepada umat manusia, bisa dicontohkan bahwa umat manusia tidak boleh menghimpun mulai dari ilmu, harta, benda dan segala macam materi yang bersifat duniawi.

Menghimpun itu artinya hanya mengumpulkan tanpa mengolahnya, dan yang tak kalah penting dari penghimpunan benda-benda tadi adalah tidak disesuaikan dengan kebutuhannya. Sifat ‘suka menghimpun’ tentunya juga akan membuat barang yang seharusnya bermanfaat menjadi mubadzir. Pemborosan adalah salah satu contoh dari budaya menghimpun ini yang mendorong hadirnya benda-benda baru yang tidak dibutuhkan dan tersingkirnya benda-benda lama yang masih layak untuk dimanfaatkan. Padahal kita semuanya tahu sebagaimana Firman-Nya, “Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara syaiton” (Q.S al-Isrâ’ [17]: 27). Namun bukan berarti semut tidak bisa diambil filosofi yang baiknya. Semut juga mempunyai filosofi yang patut dicontoh oleh umat manusia. Sebagaimana yang telah disinggung dalam ayat 18-19 surah ini, dikisahkan bahwa Nabi Sulaiman beserta bala tentaranya yang terdiri dari jin, burung-burung, dan hewan-hewan lainnya ingin melintasi suatu lembah yang ternyata disitu ada penghuninya. Lalu siapakah penghuni yang dimaksud? Jawabannya adalah semut. Ketika Nabi Sulaiman hendak melintasi lembahnya, ada seekor raja semut yang dalam ayat disebutkan bahwa dia mengomandokan kepada seluruh anak buahnya yaitu semua semut yang ada ditempat itu agar masuk ke sarang-sarang mereka yang berada dilembah tersebut. Dan pasukan semut bersama rajanya akhirnya masuk sarang masing-masing. Fatabassama Dhahika! Seketika itu Nabi Sulaiman tersenyum dan takjub dengan keteraturan semut beserta seluruh pasukannya. Dari peristiwa tersebut kita dapat mengambil hikmah tentang ketaatan terhadap pemimpin. Sebagaimana kita sebagai umat Islam telah diperintahkan untuk taat kepada Ulil Amri.

Surah al-’Ankabut (Laba-laba)
Selanjutnya ada surah al-’Ankabut yang bermakna laba-laba. Tentunya kita semua pernah mendengar cerita bahwa dulu laba-laba pernah menyelamatkan Nabi ﷺ ` dari kejaran kaum kafir Quraisy dengan cara membuat sarang yang begitu banyak sehingga menutupi pintu masuk goa. Sehingga dengan adanya kejadian tersebut maka sudah wajar bahwasanya Allah ﷻ mengistimewakan laba-laba sebagai salah satu nama surah dalam al-Quran. Namun sebenarnya ada filosofi tersendiri tentang laba-laba yang perlu kita ketahui. Apa itu? Jadi laba-laba itu mempunyai sarang yang sangat rapuh. Sarang laba-laba bukanlah tempat yang aman, apa pun yang berlindung di sana akan binasa. Jangankan serangga yang lain jenis, jantannya pun setelah kawin akan disergap untuk dimusnahkan oleh betinanya. Telur-telurnya yang menetas saling berdesakan sehingga dapat saling memusnahkan. Demikianlah kata sebagian ahli. Sebagaimana firman Allah ﷻ, “Perumpamaan orang yang mengambil pelindung selain Allah ﷻ adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba”.( Q.S. al-Ankabut [29]: 41)
Namun, laba- laba bukan berarti hanya menghasilkan sesuatu yang negatif. Yang perlu diketahui laba-laba juga memiliki sisi positif yaitu mempunyai sumber dayanya sendiri. Hanya laba-labalah satu-satunya makhluk di dunia yang bisa mengeluarkan sesuatu dari dalam dirinya yang sangat bermanfaat bagi kehidupannya, sehingga untuk membuat rumah atau sarang ia tak membutuhkan benda lain dari yang ia punyai sendiri. Dari sini kita seharusnya bisa mengambil pelajaran yang sangat berharga ini, kita harus bisa menemukan dan menggali potensi yang ada pada diri kita, sehingga dengan potensi itu kita akan bisa meraih kesuksesan tanpa harus bergantung pada orang lain.

Surah an-Nahl (Lebah)
Lalu yang terakhir ada surah An-Nahl yang bermakna lebah. Lebah sebagaimana kita ketahui memiliki manfaat dari apapun tindakan yang dilakukannya. Perlu teman-teman ketahui bahwa Nabi Muhammad ﷺ  ` mengibaratkan perilaku umat Islam yang paling ideal adalah dengan mencontoh filosofi lebah. Sebagaimana sabdanya, “Perumpamaan seorang mukmin yang baik ialah seperti lebah. Ia tidak makan kecuali yang baik dan tidak memberi kecuali yang baik” (H.R. Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Lebih rinci lagi, lebah setidaknya memiliki tiga keistimewaan yang dapat menjadi analogi tentang karakter ideal manusia.
Pertama, lebah tak merusak ranting yang ia hinggapi, sekecil apa pun pohon tersebut. Hal ini memberi pelajaran manusia agar menghindari berlaku yang menimbulkan mudharat atau kerugian terhadap orang lain. Lebah memang datang untuk makan, tapi ia tak ingin merusak untuk kepentingannya pribadinya itu. Bahkan kerap kali lebah justru berjasa dalam proses penyerbukan sebuah bunga yang ia hinggapi.
Kedua, lebah makan sesuatu yang baik-baik, yakni saripati bunga. Sama halnya dengan seorang muslim yang diperintahkan untuk hanya memakan makanan yang halalan thayyiban.
Dan yang ketiga lebah hanya mengeluarkan sesuatu yang baik yaitu madu. Ini yang seharusnya dimiliki oleh seorang muslim sejati. Dengan memakan makanan yang halal, makasetiap perbuatan akan dihitung sebagai ibadah yang bernilai berkah. Wallâhu a’lam bis shawâb.

Penyusun:
Muhammad Salman Alfarisi
Prodi Hubungan Internasional
FPSB UII
Mutiara Hikmah

Rasulullah ﷺ ` bersabda,
أُحِلَّتْ لَكُمْ مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ فَالْحُوتُ وَالْجَرَادُ وَأَمَّا الدَّمَانِ فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالُ
“Dihalalkan bagu kalian dua bangkai dan dua darah. Adapun dua bangkai tersebut adalah ikan dan belalang. Sedangkan dua darah tersebut adalah hati (lever) dan limpa.
(H.R. Ibnu Majah no. 3314)

Download Buletin klik disini

Menyatakan Bertauhid Belum Cukup

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Suatu keyakinan yang wajib dimiliki oleh kaum muslimin adalah tauhid. Tauhid merupakan asas, pokok, dan pondasi dalam agama. Jika tauhid seseorang benar maka akan kuat pula agamanya, dan jika tauhid seseorang rusak maka rusak pula agamanya.

Tauhid yang menjadi letak pembeda antara orang-orang muslim dan orang-orang kafir, karena orang-orang kafir mereka memberikan penyembahan peribadatannya kepada selain Allah ﷻ, dimana tidak ada Rabb di alam semesta ini kecuali hanya Allah ﷻ semata, karena hanya dengan keyakinan inilah yang dapat membawa seseorang selamat di dunia dan di akhirat.

Tauhid berasal dari bahasa Arab yang berarti “Mengesakan” yaitu menjadikannya satu. Secara istilah ialah mengesakan Allah dengan sesuatu yang menjadi kekhususan yang hanya dimiliki oleh Allah S.W.T. [1] .

Para ulama menjelaskan Tauhid kedalam beberapa macam diantaranya, keyakinan tentang keesaan Allah ﷻ dalam perbuatan-perbuatan-Nya[2] seperti meyakini hanya Allah yang mampu menciptakan, mengatur alam semesta, memberikan manfaat, mengabulkan doa, menolak kemudharatan, menghidupkan, mematikan dan sebagainya, tauhid ini disebut tauhid rububiyyah, Allah ﷻ berfirman, “Allah menciptakan segala sesuatu.” (Q.S. az-Zumar [39]: 62).

Allah ﷻ berfirman, “Dan tidak ada sesuatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya. (Q.S. Hud [11]: 6).

Allah ﷻ berfirman, “Sesungguhnya Rabb kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptkanNya pula) matahari, bulan, dan bintang (masing-masing) tunduk pada perintahNya. Ingatlah, menciptkan dan memerintahkan hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah Rabb semesta alam.” (Q.S. al-A’raf: 54)

Kemudian Tauhid dalam pengikhlaskan ibadah hanya ditujukan untuk Allah ﷻ semata bukan untuk makhluk-makhluk ciptaan-Nya[3]. Seperti ibadah berdoa, menyembelih kurban, bernadzar, rasa takut, pengharapan, tawakal dan lain-lain, tauhid ini disebut juga tauhid uluhiyyah.

Allah ﷻ berfirman, “Dan sesembahanmu adalah sesembahan Yang Maha Esa, tidak ada sesembahan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (Q.S. al-Baqarah [2]: 163)

Allah ﷻ berfirman, Janganlah kamu menyembah dua sesembahan. Sesungguhnya Dialah sesembahan Yang Maha Esa, maka hendaklah kepadaKu saja kamu takut’.” (Q.S. an-Nahl [16]: 51)

Lalu yang terakhir adalah tauhid dengan menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah ﷻ dengan kesempurnaan yang mutlak[4], tauhid ini disebut tauhid asma’ wa shifat.

Allah ﷻ berfirman, “Hanya milik Allah al-Asma’ al-Husna (nama-nama yang terbaik), maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asma’ Husna itu”.(Q.S. al-A’raf [7]: 180).

Allah ﷻ berfirman, “Bagi-Nya al-Asma’ al-Husna. Bertasbih kepadanya apa yang di langit dan di bumi, dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. al-Hasyr [59]: 24)

Dalam tauhid ini seseorang hanya perlu meyakini saja nama-nama dan sifat-sifat Allah ﷻ sesuai dengan apa yang Allah ﷻ tetapkan untuk diri-Nya, tanpa meniadakan atau menolaknya, tidak mengubah maknanya, tidak menyerupakannya dengan makhluk, dan tidak membagaimanakan hakikatnya.[5]

Seperti meyakini Allah ﷻ Maha Mendengar dan Maha Melihat yang pendengaran dan penglihatannya tidak sama seperti makhluk-makhluk-Nya, tidak menolak sifat tersebut, tidak mengubah maknanya, ataupun membagaimanakan hakikatnya, seseorang hanya perlu meyakini saja sifat tersebut ada pada Allah ﷻ yang telah Allah ﷻ tetapkan untuk diri-Nya, Allah ﷻ berfirman, “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar dan Melihat”. (Q.S. asy-Syura [42]: 11)

Setelah mengetahui hakikat dari tauhid maka seseorang perlu untuk mengetahui lawan dari tauhid itu yaitu syirik. Syirik adalah suatu bentuk perbuatan mensejajarkan (mengadakan tandingan) kepada selain Allah ﷻ dalam hal-hal yang menjadi kekhususan bagi Allah ﷻ yang mana hal itu hanya mampu dilakukan oleh Allah ﷻ semata, dimana kekhususan bagi Allah ﷻ ini meliputi tiga hal yang disebutkan diatas yaitu dalam rububiyyah, uluhiyyah, dan asma’ wa shifat[6].

Allah ﷻ berfirman, “Maka janganlah kalian menjadikan bagi Allah tandingan-tandingan.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 22)

Ketika seorang sahabat berkata kepada Rasulullah ﷺ, “Berdasarkan kehendak Allah dan kehendakmu”kemudian Rasulullah  ﷺ ` bersabda,“Apakah engkau menjadikan aku tandingan bagi Allah?”[7]

Tauhid seseorang tidak akan sempurna sampai ia menjauhi segala sesuatu bentuk perbuatan kesyirikan. Jika seseorang telah mengetahui tauhid tapi tidak mengetahui apa saja bentuk-bentuk perbuatan syirik, dikhawatirkan ia akan terjatuh kepada perbuatan kesyirikan tersebut[8]. Allah ﷻ selalu mengatakan di dalam al-Qur’an setelah memerintahkan beribadah hanya untuk diri-Nya, Allah ﷻ juga memerintahkan untuk menjauhi perbuatan syirik,

Allah ﷻ berfirman, “Beribadahlah kepada Allah dan janganlah kamu mempersekutukanNya dengan sesuatu apapun.” (Q.S. an-Nisâ’ [4]: 36). Allah subhânahu wa ta’âlâ berfirman, “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), ‘Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thagut (sesembahan selain Allah) itu’.” (Q.S. an-Nahl [16]: 36)

Dan juga dijelaskan dalam hadits ketika Muadz bin Jabal a dibonceng oleh Nabi ﷺ` dan beliau berkata kepada Muadz, “Wahai Muadz, tahukah kamu apakah hak Allah yang harus dipenuhi hamba-hambaNya, dan apa hak hamba-hamba-Nya yang pasti dipenuhi oleh Allah?”, aku menjawab “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”, kemudian beliau bersabda, “Hak Allah yang harus dipenuhi oleh hamba-hamba-Nya ialah hendaknya mereka beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, sedangkan hak hamba yang pasti dipenuhi oleh Allah tidak akan menyiksa orang-orang yang tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.”[9]

Demikian hendaklah seorang hamba bersungguh-sungguh untuk menanamkan keihklasan di hatinya dalam beribadah, dengan cara menyempurkan sekuat mungkin ketergantungan dirinya hanya kepada Allah ﷻ serta mencari keridhoan dan pahalanya. Dan takutlah dari perbuatan syirik dengan mencoba menjauhi dari segala jalan atau wasilah-wasilah yang dapat mengantarkan seseorang kepada kesyirikan. Senantiasa mohonlah kepada Allahﷻ agar Allah ﷻ  selalu melindungi dari perbuatan syirik. Wallâhu ta’ala a’lam.[]

Penyusun:

Much Diki Mualimin

Mahasiswa Ahwal Syakhshiyah

Universitas Islam Indonesia

Marâji’

[1] Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin – Penjelasan Inti Ajaran Islam – Solo – Pustaka Arafah – 2010 – Cetakan Pertama – Hal. 135

[2] Abu ‘Isa Abdullah bin Salam – Mutiara Faidah Kitab Tauhid – Yogyakarta – Pustaka Muslim Yogyakarta – 2011 – Cetakan keempat – Hal. 13

[3] Abu ‘Isa Abdullah bin Salam – Mutiara Faidah Kitab Tauhid – Yogyakarta – Pustaka Muslim Yogyakarta – 2011 – Cetakan keempat – Hal. 18

[4] Dr. Firanda Andirja, Lc., MA. – Syarah Kitab Tauhid – Jakarta – 2019 – Cetakan Pertama – Hal. 6

[5] Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan – Kitab Tauhid – Jakarta Timur – Ummul Qura – 2019 – Cetakan Lima Belas – Hal. 96

[6] Abu ‘Isa Abdullah bin Salam – Mutiara Faidah Kitab Tauhid – Yogyakarta – Pustaka Muslim Yogyakarta – 2011 – Cetakan keempat – Hal. 40

[7] H.R. al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad no. 783

[8] Dr. Firanda Andirja, Lc., MA. – Syarah Kitab Tauhid – Jakarta – 2019 – Cetakan Pertama – Hal. 69

[9] H.R. al-Bukhari no. 2856, 5967, 6267, 6500, 7373 dan Muslim no.

Download Buletin klik disini

Bahaya Dusta

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Pembaca yang semoga dirahmati Allah ﷻ, Islam adalah agama yang sempurna. Hal ini sebagaimana firman Allah ﷻ, “…Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu…” (Q.S. al-Maidah [5]: 3). Syari’at Islam begitu rapi dalam mengatur kehidupan manusia mulai dari bangun tidur hingga tidur lagi. Termasuk di dalam syari’at Islam adalah kita diwajibkan menjaga lisan dari hal-hal yang diharamkan. Allah ﷻ berfirman, “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya” (Q.S. al-Isra’ [17]: 36). Dalam ayat lain Allah ﷻ berfirman, “Dan jauhilah perkataan-perkataan dusta” (Q.S. al-Hajj [22]: 30).

Kedua ayat ini menunjukkan bahwa kita sebagai manusia diharamkan untuk mengatakan hal-hal yang dusta. Begitu banyak sekarang ini kita melihat di berbagai media orang-orang yang berbicara tanpa disertai ilmu. Bahkan di media sosial kita bisa melihat sendiri bahwa banyak orang berkomentar tentang agama tetapi tidak disertai ilmu yang mapan apalagi berkaitan dengan hukum-hukum di dalam agama.

Syari’at Islam sangat sempurna dalam mengatur kehidupan sehingga ada pengharaman yang berkaitan dengan berkata dusta. Baik itu dusta dalam hal agama maupun dusta dalam hal dunia. Oleh karena itu, ingatlah firman Allah ﷻ, “Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (Q.S. Qaf [50]: 18). Segala hal yang kita ucapkan selalu diawasi dan dicatat oleh malaikat yang Allah ﷻ tugaskan untuk mencatat amal perbuatan kita.

Perkataan dusta itu mengarah kepada tindak kejahatan dan masuk dalam kategori pembohong. Hal ini sebagaimana hadis dari Ibnu Umar k, ia berkata, Nabi ﷺ bersabda,  “Sejahat-jahat dusta adalah apabila seseorang mengaku kedua matanya melihat apa yang tidak dilihatnya.” (H.R. Bukhari).

Juga terdapat dalam hadits dari Ibnu Mas’ud a, ia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya berkata benar itu membawa kepada kebajikan, dan kebajikan bisa menyampaikan ke surga. Sungguh, orang yang benar itu dapat dicatat di sisi Allah sebagai shiddiq (pembenar) dan dusta itu mengarah kepada tindak kejahatan, dan tindak kejahatan bisa membawa ke neraka. Sesungguhnya orang yang berdusta pada akhirnya akan dicatat di sisi Allah sebagai pembohong.” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Perkataan dusta juga bisa menjerumuskan ke dalam kategori munafik. Hal ini sebagaimana hadits dari Abdullah bin Amr bin Ash k bahwa Nabi ﷺ bersabda, “Ada empat sifat yang barangsiapa jatuh ke dalamnya berarti ia orang munafik sejati. Dan barangsiapa terjerumus pada salah satu dari empat sifat itu, berarti dalam dirinya terdapat salah satu sifat kemunafikan, sampai ia mau meninggalkan sifat tersebut. Empat sifat itu adalah apabila ia dipercaya, ia khianat, apabila berbicara, ia dusta, apabila berjanji, ia ingkar. Dan apabila bermusuhan, ia berbuat keji.” (H.R. Bukhari dan Muslim). Tentu hadits ini menjadi pedoman bagi kita untuk selalu menjaga lisan kita dari perkataan-perkataan yang diharamkan oleh Allah ﷻ dan Rasul-Nya.

Perkataan dusta tidak dilihat dari besar atau kecilnya dusta yang diucapkan. Hal ini sebagaimana hadits dari Ibnu Abbas k dari Nabi ﷺ beliau bersabda, “Barangsiapa mengaku bermimpi dengan sesuatu impian padahal yang sebenarnya ia tidak memimpikannya, maka ia nanti akan dituntut untuk menyambung dua biji gandum, padahal tidak mungkin ia akan dapat melakukannya. Barangsiapa mendengarkan pembicaraan sekelompok orang dimana sebenarnya yang bersangkutan tidak senang apabila pembicaraannya itu didengar, maka nanti pada hari kiamat akan dituangkan ke dalam telinganya cor-coran timah. Dan barangsiapa menggambar suatu benda hidup, maka nanti ia akan disiksa dan dituntut untuk meniupkan roh ke dalam gambar itu padahal ia tidak akan mampu untuk meniupkannya.” (H.R. Bukhari). Padahal dalam hadits tadi hanya dusta yang berkaitan dengan mimpi, namun hal tersebut tetap diharamkan dalam Islam karena efek dari dusta amat sangat berbahaya sebagaimana hadits-hadits yang telah disebutkan di atas.

Jika dusta yang berkaitan dengan mimpi saja diharamkan, apalagi berdusta yang berkaitan dengan Nabi ﷺ. Hal ini sebagaimana hadits dari Samurah a, ia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, “Barangsiapa menceritakan dariku suatu hadis yang ia ketahui hadis itu bohong, maka ia adalah salah seorang pembohong.” (H.R. Muslim). Bahkan akan dibangunkan rumah di neraka jahannam bagi yang berdusta atas nama Nabi ﷺ. Hal ini sebagaimana Nabi ﷺ bersabda, “Barangsiapa berdusta atas namaku, maka akan dibangunkan baginya rumah di (neraka) jahannam.” (H.R. Thabrani).

Berdusta atas nama Nabi ﷺ jauh lebih berbahaya daripada berdusta atas nama orang-orang yang lainnya. Hal ini sebagaimana hadits dari al-Mughirah, ia mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya berdusta atas namaku tidaklah sama dengan berdusta pada selainku. Barangsiapa yang berdusta atas namaku secara sengaja, maka hendaklah dia menempati tempat duduknya di neraka.” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Mengapa berdusta atas nama Nabi ﷺ jauh lebih berbahaya daripada berdusta atas nama orang-orang yang lainnya? Karena jika yang disampaikan itu adalah kedustaan atas nama Nabi ﷺ, maka orang yang tidak mengetahui akan mengira bahwa itu merupakan bagian dari agama. Oleh karena itu, ada ancaman yang berat jika berdusta atas nama Nabi ﷺ sebagaimana hadits-hadits yang telah disebutkan di atas.

Dusta adalah perkataan yang diharamkan. Meskipun demikian, ada dusta yang diperbolehkan di dalam Islam. Perkataan adalah sarana untuk menyampaikan maksud. Apabila maksud tujuannya itu baik dan dapat dicapai dengan tanpa berdusta, maka menyampaikan dengan berdusta itu hukumnya haram. tetapi apabila tidak bisa disampaikan kecuali harus berdusta, maka berdusta dalam hal ini diperbolehkan. Bahkan dalam hal ini ada dusta yang diwajibkan, misalnya ada orang Islam bersembunyi dari orang yang menganiayanya dimana ia akan membunuhnya atau akan merampas hartanya, maka bagi orang yang ditanya tentang orang Islam tersebut wajib ia berdusta, misalnya dengan mengatakan “tidak tahu” walaupun sebenarnya ia mengetahuinya. Begitu pula apabila seseorang dititipi sesuatu kemudian ada seseorang yang bermaksud merampoknya, maka ia wajib berdusta.

Dari Ummu Kultsum i bahwasanya ia mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, “Tidaklah dinamakan berbohong , orang yang mendamaikan sengketa diantara manusia. Ia menyampaikan kebaikan atau mengucapkan perkataan yang mendatangkan kebaikan.” (H.R. Bukhari dan Muslim). Dalam riwayat Muslim terdapat tambahan, bahwasanya Ummu Kultsum i berkata, “Saya tidak pernah mendengar Rasulullah ﷺ memberikan kemurahan dalam masalah ucapan manusia (kaum muslimin), kecuali dalam tiga hal, yaitu dalam keadaan perang, mendamaikan sengketa manusia serta omongan lelaki kepada isterinya, dan omongan perempuan kepada suaminya.”

Kita sebagai orang Islam wajib menjaga lisan kita dari berkata dusta, baik itu berdusta dalam perkara besar maupun kecil kecuali pada perkara-perkara yang diperbolehkan seperti yang disebutkan dalam hadis di atas.

Penyusun:

Hendi Oktohiba

Alumni FIAI UII

Mutiara Hikmah

Al-Hasan al-Bashri mengatakan,

مِنَ النِّفَاقِ اِخْتِلاَفُ القَلْبِ وَاللِّسَانِ ، وَاخْتِلاَفُ السِّرِّ وَالعَلاَنِيَّةِ ، وَاخْتِلاَفُ الدُّخُوْلِ وَالخُرُوْجِ

Di antara tanda kemunafikan adalah berbeda antara hati dan lisan, berbeda antara sesuatu yang tersembunyi dan sesuatu yang nampak, berbeda antara yang masuk dan yang keluar.”

(Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam, 2: 490)

Download Buletin klik disini

Bahagia Dengan Bersyukur

Bahagia Dengan Bersyukur

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Pembaca yang dirahmati Allah ﷻ, setiap manusia tentunya menghendaki kehidupan yang bahagia. Tidak ada satupun dari kita yang menginginkan hidup penuh dengan kesedihan, kesulitan, gelisah, dan merasa tidak tentram. Standar dalam mengukur kebahagiaan dalam tiap individu pun beragam. Tidak jarang, sebagai manusia kita belum begitu faham akan ukuran kebahagiaan. Apalagi, kita hidup di dunia yang menyerukan ketidakpuasan.

Kerap kali, ada saja rasa kurang atau tidak ideal yang kita rasakan dalam kehidupan. Kita selalu membandingkan hidup kita dengan orang lain. Misal dari segi harta, keturunan, fisik, penampilan, pencapaian atau prestasi dan masih banyak lagi. Ya, memang tidak masalah jika dijadikan motivasi untuk bisa meraih lebih. Akan tetapi, jika kita membandingkan hanya dapat merusak kesehatan mental dan menghalangi kita untuk bersyukur atas nikmat-Nya, apakah baik?[1]

Padahal, jika kita mau merenungkan, banyak sekali nikmat yang telah Allah berikan kepada kita. Nikmat Islam, iman, sehat, keluarga dan lingkungan yang baik, dan masih banyak nikmat-nikmat lain yang tidak dapat kita hitung. Biasanya, awal dari ketidakbahagiaan hidup ialah karena kurangnya rasa syukur atas apa yang kita miliki, dan hal ini karena kita membandingkan hidup kita dengan orang lain.

Apakah dengan memiliki harta yang melimpah, keturunan yang banyak, pencapaian dan karir yang melejit merupakan standar kebahagiaan? Tentunya tidak menjamin, tidak sedikit orang yang bergelimang harta akan tetapi hidup masih diselimuti dengan kesedihan dan rasa kurang. Tidak sedikit orang yang karirnya melejit tetap merasa ada yang kurang dalam hidupnya. Lantas, sebenarnya dari mana bahagia itu didapatkan?[2]

Sejatinya, kebahagiaan bukanlah didapatkan, melainkan diciptakan. Bahagia diciptakan oleh hati dan fikiran yang terus bersyukur akan nikmat yang diberikan oleh-Nya. Allah ﷻ berfirman, “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih” (Q.S. Ibrahim [14]: 7).

Dibalik perintah bersyukur kepada Allah ﷻ, tentu mengindikasikan nilai-nilai yang juga memberi dampak baik kepada hamba-Nya. Jika kita sadari, hikmah dibalik perintah Allah ﷻ untuk senantiasa bersyukur, selain akan Allah tambahkan nikmat-Nya, ternyata hal ini juga berpengaruh kepada kesehatan mental kita. Sebenarnya apa yang dimaksud dengan bersyukur?

Makna Syukur

Secara bahasa, syukur berasal dari kata “syakara” yang memiliki arti pujian atas kebaikan dan penuhnya sesuatu. syukur juga berarti menampakkan sesuatu ke permukaan, yakni menampakkan nikmat Allah. Sedangkan menurut istilah syariat syukur merupakan pengakuan nikmat yang telah dikaruniai oleh Allah ﷻ sesuai dengan kehendak Allah ﷻ. Dalam studi Al-Qur’an syukur merupakan lawan dari kufur. Kufur dimaknai menutup diri, sedangkan syukur diartikan membuka atau mengakui diri.[3]

Menurut Ibnu Qoyyim, syukur berarti menunjukkan adanya nikmat yang Allah ﷻ berikan pada dirinya, dengan lisan berupa pujian kepada Allah, dengan hati melalui saksi dan cinta kepada Allah ﷻ, dan dengan anggota badan berupa ketaatan dan kepatuhan kepada Allah ﷻ.

Upaya untuk Bersyukur

Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa cara bersyukur kepada Allah ﷻ terdiri dari empat komponen, yakni:

  1. Syukur dengan hati

Menyadari sepenuhnya bahwa nikmat yang kita peroleh baik besar maupun kecil, banyak ataupun dikit semata-mata karena anugerah dan kemurahan Allah ﷻ merupakan upaya wujud bersyukur kepada Allah dengan hati. Allah berfirman dalam al-Qur’an surah an-Nahl ayat 53, “Segala nikmat yang ada pada kamu (berasal) dari Allah” (Q.S. an-Nahl [16]: 53)

  1. Syukur dengan lisan

Setiap nikmat yang dirasakan oleh manusia bersumber dari Allah ﷻ, serta dengan spontan kita mengucapkan Alhamdulillâh merupakan salah satu bentuk wujud syukur dengan lisan. Karena meskipun kita memperoleh nikmat dari seseorang, lisan kita tetap memuji Allah ﷻ. Sebab kita perlu yakin dan sadar bahwa orang tersebut hanyalah perantara yang Allah ﷻ kehendaki untuk “menyampaikan” nikmat itu kepadanya.

  1. Syukur dengan perbuatan

Syukur dengan perbuatan berarti bahwa seluruh nikmat dan kebaikan yang kita terima harus dipergunakan di jalan yang diridhai-Nya. Misalnya, untuk beribadah kepada Allah ﷻ, membantu orang lain dari kesulitan, dan perbuatan baik lainnya.

  1. Menjaga nikmat dari kerusakan

Ketika kita mendapatkan nikmat dan karunia, sebaiknya kita menggunakan nikmat dengan sebaik-baiknya. Kemudian berusaha untuk menjaga nikmat tersebut dari kerusakan. Misalnya, ketika kita dianugerahi kesehatan, selayaknya kita menjaga tubuh untuk tetap sehat dan bugar agar terhindar dari sakit. Begitu pula nikmat iman dan Islam, kita harus senantiasa memupuk iman dan Islam diantaranya dengan sholat, membaca al-Qur’an, menghadiri majelis-majelis taklim, berdzikir dan berdo’a.[4]

Selain itu, terdapat upaya agar menjadi hamba-Nya yang terus bersyukur salah satunya ialah dengan berdo’a memohon kepada Allah ﷻ seperti yang telah dilakukan oleh Nabi Sulaiman ketikan melihat pasukan semut yang menyambut pasukannya. Dikisahkan dalam al-Qur’an surat an-Naml ayat 6,  “Ya Tuhanku berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang soleh”. (Q.S. an-Naml [27]: 19)

Dengan berdo’a agar dimudahkan untuk bersyukur, kita bisa melihat apa yang sebelumnya belum tampak. Kita bisa menghargai apa yang ada dan bisa menemukan kenikmatan bahkan dari hal-hal yang selama ini terlihat begitu sederhana. Begitu banyak waktu yang kita habiskan untuk memikirkan apa yang kurang dan belum kita miliki, hingga kita lupa bagaimana untuk mensyukuri apa yang telah kita miliki selama ini.[5] “Bukan bahagia yang membuat kita bersyukur, tetapi rasa syukurlah yang membuat kita bahagia”. Semoga kita selalu menjadi hamba Allah yang pandai bersyukur dan bahagia di dunia maupun di akhirat. Âmîn.[]

Penyusun:

Ikke Pradima Sari

NIM: 17422171

Pendidikan Agama Islam FIAI UII

Marâji’

[1] https://republika.co.id/berita/mx5g4h/belajar-qanaah

[2] https://greatmind.id/article/bersyukur-dengan-merasa-cukup

[3] Choirul Mahfud/the Power of Syukur/Surabaya/LKAS/Jurnal Episteme Vo. 9 No.2 Desemner2013

[4] https://www.islampos.com/4-cara-bersyukur-pada-allah-swt-86327/

[5] https://muslim.or.id/30031-jadilah-hamba-allah-yang-bersyukur.html

Mutiara Hikmah

رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَىٰ وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَدْخِلْنِي بِرَحْمَتِكَ فِي عِبَادِكَ الصَّالِحِينَ

Ya Tuhanku berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang soleh”. (Q.S. an-Naml [27]: 19)

Download Buletin klik disini