Mengharap Istiqomah Setelah Ramadhan Usai

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh,

Bulan Ramadhan yang penuh berkah dan sangat dirindukan oleh orang-orang beriman telah pergi meninggalkan kita. Setelah Ramadhan berlalu, tentu kita perlu untuk memperbanyak amal dan menjaga semangat beribadah di bulan Ramadhan secara kontinyu. Jangan sampai setelah Ramadhan usai, kita menjadi tidak bergairah lagi dalam melakukan amal shalih. Seorang mukmin sudah sepatutnya terus meminta keistiqomahan kepada Allah ﷻ, itulah yang kita minta dalam sholat minimal 17 kali dalam sehari lewat doa “ihdinâ ash-shirâthal mustaqîm” yang artinya “Tunjukkanlah kepada kami jalan yang lurus.” (Q.S. al-Fatihah [1]: 6)

Ketika bulan Ramadhan telah usai, kondisi tentu berubah. Yang semula gembong-gembong setan dipenjara oleh Allah ﷻ, sekarang dilepaskan kembali. Inilah ujian bagi kita semua agar senantiasa menjaga ketaqwaan serta istiqamah dalam menjalankan ibadah. Di bawah ini merupakan kiat-kiat menjaga amalan ibadah agar kita senantiasa tetap istiqomah walaupun Ramadlan telah usai,

  1. Selalu berdoa kepada Allah ﷻ karena istiqomah adalah hidayah dari-Nya

Ummu Salamah a pernah bertanya kepada Rasulullah ﷺ, “Wahai Rasulullah, kenapa engkau lebih sering berdoa dengan doa ‘yâ muqallibal qulûb tsabbit qolbî ‘alaa diinika’ (Wahai Dzat Yang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agamamu)? Nabi ` menjawab, “Wahai Ummu Salamah, yang namanya hati manusia selalu berada diantara jari jemari Allah ﷻ. Siapa saja yang Allah ﷻ kehendaki, maka Allah ﷻ akan memberikan keteguhan dalam iman, namun siapa saja yang dikehendaki, Allah ﷻ pun bisa menyesatkannya.” Setelah itu Mu’adz bin Mu’adz yang meriwayatkan hadits tersebut membacakan ayat ke-8 Surat Ali Imrân yang artinya “Ya Tuhan kami, janganlah engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah engkau beri petunjuk kepada kami.” (H.R. Tirmidzi dan Ahmad)

  1. Senantiasa menjaga ketaqwaan dalam diri

Secara spesifik  taqwa artinya meninggalkan kemaksiatan, karena kalau seseorang  melakukan kemaksiatan, berarti ia  telah menghilangkan penghalangnya dengan neraka. Lalu siapakah orang bertaqwa itu? Yaitu ia yang senantiasa menunaikan hak-hak Allah ﷻ dan hak manusia. Adapun hak Allah ﷻ yang perlu diperhatikan terdapat dua poin, pertama, seseorang yang sudah menjalankan ketaatan dan kewajiban, seperti shalat, zakat, puasa, naik haji. Kedua, seseorang yang sudah meninggalkan segala bentuk larangan-Nya.

Adapun yang berkaitan dengan hak manusia juga memiliki dua poin, pertama, seseorang yang sudah menunaikan hak orang-orang disekitarnya seperti ibu, bapak, anak, suami, istri, tetangga dan kerabat lainnya. Kedua, yaitu tidak berbuat dzolim kepada orang lain. Jika anda mampu menjalankan keempat poin diatas, maka anda adalah orang yang bertakwa kepada Allah ﷻ.

  1. Berusaha menjaga keikhlasan dalam beribadah

Amalan yang dilakukan ikhlas karena Allah ﷻ itulah yang diperintahkan sebagaimana disebutkan dalam ayat yang artinya, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan sholat dan menunaikan zakat dan yang demikian itulah agama yang lurus” (Q.S. al-Bayyinah [98]: 5). Tidak diragukan lagi bahwa keikhlasan membutuhkan kesungguhan yang tinggi hingga seorang hamba meraihnya dengan sempurna.

  1. Rutin beramal walau sedikit

Amal yang dilakukan secara kontinyu walaupun sedikit itu lebih dicintai Allah ﷻ dibanding amalan yang langsung banyak tetapi tidak konsisten. Disebutkan dalam hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha, beliau mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ. bersabda, “Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinyu walaupun sedikit.” (H.R. Bukhori no. 6465; Muslim, no. 783)

  1. Rajin koreksi diri atau muhasabah

Ketika kita rajin bermuhasabah, maka diri kita akan selalu berusaha menjadi lebih baik, bahkan Allah ﷻ memerintahkan kepada kita untuk rajin bermuhasabah atau introspeksi diri. Ibnu Katsir berkata, “Hisablah atau koreksilah diri kalian sebelum kalian dihisab. Siapkanlah amalan shalih kalian sebelum berjumpa dengan hari kiamat dimana harus berhadapan dengan Allah  subhanahu wata’ala[1] .” Barometer keimanan seorang mukmin sangat ditentukan oleh sejauh mana ia menerapkan muhasabah dalam kehidupannya. Keimanan tanpa muhasabah adalah hampa, bahkan dapat berbuah nestapa.

  1. Memilih teman bergaul yang baik

Manfaat bergaul dengan teman yang baik yaitu kita akan terus termotivasi untuk melakukan ketaatan bersamanya dan bisa saling ber-amar makruf nahi mungkar. Sehingga kita bisa terus beristiqomah untuk senantiasa melakukan amal shalih. Diriwayatkan dari Abu Musa, Nabi ﷺ bersabda, “Seseorang yang duduk atau berteman dengan orang shalih dan orang yang buruk, bagaikan bertemen dengan pemilik minyak wangi dan pandai besi, pemilik minyak wangi tidak akan merugikanmu, engkau bisa membeli minyak wangi darinya atau minimal engkau mendapat baunya. Adapun berteman dengan pandai besi, jika engkau tidak mendapati badan atau pakaianmu hangus terbakar, minimal engkau mendapat bau asapnya yang tidak sedap. (H.R. Bukhari 5534 dan Muslim 2628)

  1. Selalu mengingat bahwa ajal tidak tahu kapan akan datang

Ibnu Umar berkata, “Suatu hari aku duduk bersama Rasulullah ﷺ, tiba-tiba datang seorang lelaki dari kalangan Anshar, kemudian ia mengucapkan salam kepada Nabi ﷺ dan bertanya, ‘Wahai Rasulullah, siapakah orang mukmin yang paing utama?’ Rasulullah menjawab, ‘Yang paing baik akhlaknya.’ Kemudian ia bertanya lagi, ‘Siapakah orang mukmin yang paing cerdas?’ Rasulullah menjawab, ‘Yang paling banyak mengingat mati, kemudian yang paing baik dalam mempersiapkan kematian tersebut, itulah orang yang paing cerdas.” (H.R. Ibnu Majah, Thabrani, dan al-Haitsamy)

Orang yang cerdas adalah orang yang tahu persis tujuan hidupnya. Kemudian mempersiapkan sebaik-baiknya demi tercapainya tujuan tersebut. Tujuan manusia hidup di dunia adalah untuk beribadah kepada Allah ﷻ hingga akhir hayatnya. Seseorang dituntut untuk selalu memperbaiki amalannya, sehingga ketika ajal itu datang di waktu kapanpun dia sedang berada dalam kondisi yang baik.

Akhirnya kita memohon kepada Allah ﷻ agar senantiasa memberi kita petunjuk dan taufik untuk tetap beramal saleh selepas Ramadhan ini. Semoga amalan kita di bulan Ramadhan, seperti amalan puasa, sholat malam, tilawah al-Qur’an, bersedekah, dan lainnya diterima oleh Allah l dan semoga kita diberi keistiqomahan serta diberi keistimewaan untuk bertemu bulan Ramadhan berikutnya. Wa Allahu a’lam bish Shawwâb.[]

 

Marâji’

[1] Tafsir Ibnu Katsir Jilid 8, Vol. 7, Bogor: Pustaka Imam Syafi’i, 2004, hal. 123

 

Penyusun:

Ulfa Indriani, S.Pd

 

Mutiara Hikmah

 

Rasulullah  ﷺ bersabda,

إنَّ أَحَبَّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَدْوَمُهُ وَإِنْ قَلَّ

“Amal (ibadah) yang paling dicintai Allah Subhanahu wa ta’ala adalah amal yang paling terus-menerus dikerjakan meskipun sedikit.” (H.R. Al-Bukhari No. 6099 dan Muslim No. 783)

Download Buletin klik disini

 

Berbuat Baiklah Karena Allah Menyukai Orang Yang Berbuat Baik

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh,

Para pembaca yang semoga dirahmati oleh Allah ﷻ, ibadah kepada Allah ﷻ tidak akan sempurna apabila kita tidak memberikan pelayanan yang baik terhadap makhluk Allah ﷻ (terkhusus kepada manusia) baik yang besar maupun yang kecil karena sejatinya export dari penghambaan kita kepada Allah minimal lima waktu sehari adalah supaya manusia tercegah dari perbuatan keji dan mungkar (Q.S. al-Ankabut [29]: 45) pada akhirnya manusia berakhlak mulia dalam bergaul.

Berbuat baik terhadap makhluk Allah ﷻ wajib bagi setiap muslim. Ada banyak ayat al-Qur’an yang selain manusia dituntut untuk mengingat Allah ﷻ juga untuk berbuat baik terhadap makhluk lainnya. Perbuatan baik tersebut dapat berupa pemisahan harta yang telah kita kumpulkan maupun dalam bentuk toleransi. Allah ﷻ memerintahkan membayar zakat, berinfaq dan bershadaqah agar supaya saudara kita yang tidak memiliki kecukupan dalam hidupnya dapat melangsungkan hidup dan tenang beribadah kepada Tuhannya. Itu menjadi salah satu bentuk hubungan dengan sesama makhluk.

 

Amal Shalih

Percaya atau tidak, manusia cenderung kepada sifat yang tidak pernah puas akan pendapatannya dalam suatu hal. Manusia akan mencari lembah lain apabila lembah miliknya sudah penuh. Beruntungnya kita memeluk agama Islam yang mengatur mengenai kepemilikan.

Allah ﷻ tidak melarang manusia mengumpulkan harta benda akan tetapi Allah ﷻ melarang kita tamak terhadap harta benda yang dimiliki. Oleh karena itu agama Islam memberikan syariat mengeluarkan harta benda yang dimiliki di jalan Allah ﷻ. Ganjarannya bukan hanya di akhirat akan tetapi juga di dunia ini, Allah ﷻ telah berjanji harta yang dikeluarkan di jalan Allah ﷻ tidak akan berkurang.

Allah ﷻ berfirman, “Barangsiapa yang beramal shalih dari laki-laki dan perempuan, sedang dia beriman, maka akan Kami hidupkan dia dengan kehidupan yang baik…”(An-Nahl [16]: 97). Maksud ‘hidup yang baik’ banyak mufassir yang menjelaskan bahwa kehidupan tersebut akan tenang dan tentram (jiwa dan hartanya) walaupun banyak datang ujian.[1]

Percayalah apa-apa saja yang dikeluarkan di jalan Allah ﷻ berbeda dengan apa-apa saja yang hanya untuk kepentingan sendiri. Hal ini disebut juga sebagai amal shalih, di mana amalan inilah yang akan menemani kita di liang lahat nanti, bukan apa-apa saja yang kita sayangi saat ini. Rasulullah bersabda, “Apabila anak adam wafat, maka terputuslah pahalanya kecuali tiga yaitu shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, anak shalih yang mendoakannya” (HR. Muslim)

Mungkin kita bisa korelasikan hadits di atas dengan amal shalih (perbuatan baik) kita yang bisa menjadi bekal untuk melangsungkan kehidupan setelah kematian kita yang perantaranya adalah perbuatan baik terhadap makhluk Allah ﷻ.

Seperti seorang hamba yang mendedikasikan sedikit waktu luangnya untuk memberikan pelajaran Agama. Ketika ajaran Agama yang diajarkannya diamalkan oleh muridnya, maka bukan tidak mungkin amalan itu akan memberikan kita pahala yang terus mengalir sehingga perbuatan baik kita menjadi sedikit bermanfaat untuk kehidupan setelah kematian kita.

 

Panduan Allah Dalam Hubungan Dengan Manusia.[2]

Di dalam Al-Quran setidaknya Allah ﷻ telah memberikan tiga panduan dalam mencari keridhaan-Nya melalui perantara makhluk.

Pertama, menafkahkan harta yang dicintai di jalan Allah ﷻ kepada orang-orang yang membutuhkan. Bahwa sudah dijelaskan sebelumnya, sifat dasar manusia adalah tidak rela untuk mengeluarkan harta yang sudah dikumpulkannya susah payah (bakhil). Akan tetapi Allah ﷻ memberikan kita sebuah tuntutan agar mengeluarkan harta yang telah susah payah dicari siang dan malam tersebut. Tentu saja ini berat bukan? Namun inilah ujian Iman yang mana untuk menyempurnakan kebajikan.

Allah ﷻ mensyaratkan ini adalah agar manusia dapat merasakan indahnya berbagi, merasakan kebahagiaan dalam berbagi, dan merasakan kebahagiaan orang lain yang mendapatkan rezeki dari kita. Bukankah itu indah melihat seseorang yang kita berikan sebagian dari rezeki kita tersenyum kepada kita dan tak jarang kita juga didoakan olehnya?

Karena sifat kita yang bakhil, dan Allah ﷻ Maha Tahu atas keadaan hati kita, maka Allah Yang Maha Rahmah memberikan kemudahan dalam mengeluarkan harta kita, yaitu berikanlah kepada keluarga dekat yang membutuhkan. Bahkan ulama berpendapat bahwa  keluargalah yang paling berhak atas shadaqah kita sebelum orang lain. Maha besar Allah ﷻ dengan segala kasih sayangnya. (Q.S Al-Baqarah [2]: 177)

Kedua, bersedekah diam-diam tanpa ada perasaan riya. Sebagai manusia setidaknya ada perasaan ingin dipuji oleh orang lain. Tidak masalah apabila kita mendapatkan pujian tetapi jangan dijadikan pujian tersebut sebagai alasan kita besar kepala dan jangan mencari cara agar dapat pujian.

Berbeda apabila shadaqah yang dikeluarkan secara terang-terangan agar orang lain berlomba-lomba juga dapat bershadaqah. Hal demikian diperbolehkan, biasanya perbuatan demikian adalah cara berbuat baik untuk membantu memajukan lembaga sosial dan mengajak lainnya untuk mengikutinya seperti kita memberikan wakaf terhadap pembangunan sekolah Islam, dll.

Ada perbuatan yang lebih mulia lagi dari shadaqah secara terang-terangan tersebut. Yaitu secara diam-diam. Biasanya shadaqah ini diperuntukan apabila kita memberi kepada seseorang yang fakir dan miskin (shadaqah pribadi). Selain cara ini mulia, cara ini juga menjaga perasaan yang diberikan santunan, karena kadang walaupun niat kita ingin mengajak orang lain untuk bershadaqah dengan menunjukan kegiatan kita yang sedang bershadaqah tapi ada beberapa fakir miskin yang tersinggung apabila dirinya diposting. [3]

Dari berbuat baik tersebut di atas, hendaknya tinggalkan rasa riya karena akan menghilangkan pahalanya dan malahan bisa menyebabkan renggangnya hubungan bersosial.

Ketiga, mengubah struktural dan sistematis menuju tatanan kehidupan yang lebih baik demi kebaikan bersama. Amal ini juga bisa dijadikan patokan orang-orang memiliki jiwa kepemimpinan. Panduan ini terdapat pada Surat Al-Balad ayat 11-16. Dalam tafsir Al-Azhar karya Buya Hamka, di mana orang-orang yang menempuh jalan yang sukar ketika senantiasa kesukaran tersebut ditempuh dengan penuh ketabahan maka selamatlah jiwanya. Jalan kesukaran dalam surat tersebut adalah memerdekakan budak, memberi makan pada musim kelaparan, dan memberi makan anak yatim. [4]

Banyak Yayasan untuk membantu anak-anak yatim yang didirikan agar anak-anak yatim tersebut tidak sengsara di masa kedepannya. Inilah amal yang derajatnya tinggi, orang-orang ini menuju kedalam kesukaran dengan susah payah untuk membantu mengeluarkan orang lain dari kesengsaraan.

Barangkali akhir dari sebuah tulisan ini adalah muhasabah kita, sudah sejauh apa perbuatan kita untuk orang-orang sekitar, untuk lingkungan sekitar. Umat Nabi Muhammad ﷺ berumur paling pendek, selain itu umur juga tidak ada yang tahu, sehingga hendaknya mari manfaatkan kehidupan ini untuk banyak-banyak mencari investasi akhirat.

 

Marâji’:

[1] Buya Hamka.Tafsir Al-Azhar Juz 5. Depok: Gema Insani. 2020 M. Cet.k-3. hal. 214.

[2]Imam Jamal Rahman. Al-Hikam Al-Islamiyyah. 2013. Terj. Satrio Wahono,  Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta.2016 M. Cet.k-1. hal.190.

[3] Buya Hamka.Tafsir Al-Azhar Juz 1…hal. 542.

[4] Buya Hamka.Tafsir Al-Azhar Juz 9…hal. 584.

           

Penyusun:

Arviyan Wisnu Wijanarko

Alumni FIAI UII

 

Mutiara Hikmah

 

لَا تَحْسَبُوهُ شَرًّا لَّكُم ۖ بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ

“Jangan kalian mengira itu buruk bagi kalian, padahal itu baik bagi kalian” (Q.S. an Nûr [24]: 11).

Download Buletin klik disini

Keutamaan Puasa Syawal

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh,

Keutamaan puasa Syawwal disebutkan dari hadits Abû Ayyub al-Anshari radhiyallahu’anhu, bahwa Rasûlullâh ﷺ bersabda, “Barang siapa mengerjakan puasa Ramadhan, lalu dilanjutkan dengan puasa enam hari di bulan Syawwal, maka bagaikan berpuasa setahun penuh” (HR Muslim 3/169)[1]

Imâm Ahmad dan al-Nasâ’i, meriwayatkan dari Tsauban, Nabi ﷺ bersabda, “Puasa Ramadhan ganjarannya sebanding dengan (puasa) sepuluh bulan, sedangkan puasa enam hari (di bulan Syawwal, pahalanya) sebanding dengan (puasa) dua bulan, maka bagaikan berpuasa selama setahun penuh.” (H.R. Ibn Khuzaimah dan Ibn Hubban dalam “Shahih” mereka).

Dari Abû Hurairah radhiyallahu’anhu Nabi ﷺ bersabda, “Barangsiapa berpuasa Ramadhan lantas disambung dengan enam hari di bulan Syawwal, maka ia bagaikan telah berpuasa selama setahun.” (HR al-Bazzar).

Salah satu keutamaan puasa Syawwal yaitu dihitung seperti puasa setahun penuh, karena karena setiap hasanah (kebaikan) berkelipatan sepuluh. Satu bulan 30 hari x 10 = 10 bulan, dan enam hari 6 x 10 = 2 bulan. Jadi, jumlah seluruhnya 12 bulan = 1 tahun. Hal ini sangat jelas dalam riwayat Tsauban.

Para ulama menguraikan rahasia di balik ganjaran tersebut dengan menyampaikan analog bahwa setiap amalan kebaikan manusia akan diganjari sebanyak 10 kali lipat. Puasa 30 hari di bulan Ramadhan diganjari sebanyak 300 hari, sedangkan puasa enam hari di bulan Syawwal juga diganjari dengan 60 hari. Jika diperkirakan jumlahnya 360 hari, jumlah ini hampir menyamai jumlah hari di dalam setahun sebanyak 360-365! Subhânallâh. Sungguh Allâh-lah yang berhak untuk memberikan ganjaran sebanyak yang dikehendaki-Nya.

 

Cara Puasa Syawwal

Berdasarkan Fatâwa al-Lajnah al-Dâ’imah li al-Buhûts wa al-Ifta’ 10/391, bahwa puasa Syawwal tidak harus dilaksanakan berturut-turut, “Hari-hari ini (berpuasa Syawwal) tidak harus dilakukan langsung setelah Ramadhan. Boleh melakukannya satu hari atau lebih setelah ‘id, dan mereka boleh menjalankannya secara berurutan atau terpisah selama bulan Syawwal, dan ini (hukumnya) tidaklah wajib, melainkan sunnah.”

Sedangkan menurut Imâm Ahmad, puasa 6 hari pada bulan Syawwal itu dapat dilakukan berturut-turut atau tidak berturut-turut dan tidak ada kelebihan yang satu dari yang lain. Sedangkan menurut golongan Hanafî dan Syâfi’î lebih utama melakukannya berturut-turut yaitu setelah hari raya idul fitri.

Di sisi lain tidak boleh dilakukan jika masih tertinggal dalam Ramadhan, hal ini berdasarkan pada Fatâwa al-Lajnah al-Dâ’imah li al-Buhûts wa al-Ifta’ 10/392, “Jika seseorang tertinggal beberapa hari dalam Ramadhan, dia harus berpuasa terlebih dahulu, lalu baru boleh melanjutkannya dengan 6 hari puasa Syawwal, karena dia tidak bisa melanjutkan puasa Ramadhan dengan 6 hari puasa Syawwal, kecuali dia telah menyempurnakan Ramadhan-nya terlebih dahulu.”

Ada pendapat lain yaitu ‘bagi perempuan sah-sah saja jika hendak puasa Syawwal terlebih dahulu, baru melunasi hutang Ramadhan dengan pertimbangan karena waktu Syawwal hanya sebentar (hanya 1 bulan). Khawatirnya tidak cukup waktunya untuk puasa Syawwal karena perempuan tiap bulannya pasti akan kedatangan tamu (haid) rata-rata 7 sampai dengan 15 hari. Pendapat yang menyatakan bolehnya puasa sunah sebelum qadha karena waktu meng-qadha cukup longgar, dan mengatakan tidak boleh puasa sunnah sebelum qadha itu butuh dalil. Sementara, tidak ada dalil yang bisa dijadikan acuan dalam hal ini.”[2]

6 Hari Mencari Kesempurnaan 

Di dalam Risalah Ramadhan, buah karya Abdullah bin Jarullah bin Ibrahim al-Jarullah memberikan rincian keutamaan puasa di bulan Syawwal dan 6 hari mencari kesempurnaan pahala dari Allah ﷻ, di antaranya,[3]

Pertama, puasa enam hari di bulan Syawwal setelah Ramadhan, merupakan pelengkap dan penyempurna pahala dari puasa setahun penuh. Bisa dikatakan puasa Ramadhan adalah modal dan untungnya adalah puasa sunnah.

Kedua, puasa Syawwal dan puasa sunnah lainnya bagaikan shalat sunnah rawatib, berfungsi sebagai penyempurna dari kekurangan, karena pada hari kiamat nanti perbuatan-perbuatan fardhu akan disempurnakan (dilengkapi) dengan perbuatan-perbuatan sunnah.

Ketiga, membiasakan puasa setelah Ramadhan menandakan diterimanya puasa Ramadhan, karena apabila Allâh ﷻ menerima amal seseorang hamba, pasti Dia menolongnya dalam meningkatkan perbuatan baik setelahnya. Sebagian orang bijak mengatakan, “Pahala amal kebaikan adalah kebaikan yang ada sesudahnya.”

Keempat, puasa Ramadhan dapat mendatangkan maghfirahNya atas dosa-dosa masa lalu. Sesungguhnya tak ada nikmat yang lebih agung dari pengampunan dosa-dosa, karena termasuk ungkapan rasa syukur seorang hamba atas pertolongan dan ampuan yang telah dianugerahkan kepadanya adalah dengan berpuasa setelah Ramadhan. Tetapi jika ia justru mengggantinya dengan perbuatan maksiat, maka ia termasuk kelompok orang yang membalas kenikmatan dengan kekufuran.

Kelima, di antara keutamaan puasa 6 hari di bulan Syawwal adalah amal-amal yang dikerjakan seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya pada bulan Ramadhan tidak terputus dengan berlalunya bulan mulia ini, selama ia masih hidup. Orang yang setelah Ramadhan berpuasa bagaikan orang yang cepat-cepat kembali dari pelariannya, yakni orang yang baru lari dari peperangan fî sabilillâh lantas kembali lagi. Sebab tidak sedikit manusia yang berbahagia dengan berlalunya Ramadhan, sebab mereka merasa berat, jenuh dan lama berpuasa Ramadhan.

Keenam, -berdasarkan sumber lain- Puasa selama sebulan penuh di bulan Ramadhan antaranya menyebabkan sistem percernaan di dalam badan beristirahat seketika di waktu siang selama sebulan. Kedatangan bulan Syawwal menyebabkan seolah-olah ia mengalami kejutan dengan diberikan tugas mencerna pelbagai makanan pada hari raya dan hari-hari sesudahnya, Pada hari raya, ia mencerna pelbagai jenis makanan mulai dari ketupat rendang sampai nasi yang mengandung minyak. Oleh karena itulah, puasa enam ini memberikan ruang kembali kepada sistem pencernaan badan untuk beristirahat dan bertugas secara berangsur-angsur untuk kebaikan jasmani manusia itu sendiri.

Ketujuh, selain dari itu, sebagai manusia yang menjadi hamba Allâh ﷻ, alangkah baiknya apabila amalan puasa yang diwajibkan kepada kita di bulan Ramadhan itu kita teruskan juga di bulan Syawwal walaupun hanya enam hari. Ini seolah-olah menunjukkan bahwa kita tidak melakukan ibadah puasa semata-mata karena ia menjadi satu kewajiban tetapi karena rasa diri kita sebagai seorang hamba yang benar-benar bersungguh-sungguh untuk taqarrub kepada Tuhannya. Bukankah ibadah puasa ini menurut hadits sebenarnya mengekang nafsu syahwat?  Wa Allâhu A’lam bi al-Shawwâb.[]

Marâji:

[1] Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Bani, Mukhtashar Shahih Muslim, no. 39/ 622.

[2] https://konsultasisyariah.com/7313-tuntunan-puasa-syawal.html di kutip dari http://www.saaid.net/mktarat/12/10-2.htm

[3] http://belajarislam.com/fiqh/892-keutamaan-puasa-enam-hari-Syawwal.htm dari sumber Risalah Ramadhan, Abdullah bin Jarullah bin Ibrahim al-Jarullah. http://alsofwah.or.id/

 

Penyusun:

Aisyah Qosim

 

Mutiara Hikmah

Dari Abu Hurairah rahdiyallahu’anhu, Rasulullah ﷺ bersabda,

اِحْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعك وَاسْتَعِنْ بِاَللَّهِ وَلَا تَعْجِز

Bersungguh-sungguhlah dalam menuntut apa yang bermanfaat bagimu dan mohonlah pertolongan kepada Allah (dalam segala urusanmu) serta janganlah sekali-kali kamu bersikap lemah.” (H.R. Muslim, no: 6716)

Download Buletin klik disini

Mengambil Faidah Agung dari Hadist Puasa Ramadhan

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh,
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu , ia berkata, bahwasannya Rasulullah ﷺ bersabda,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa berpuasa Ramadhan atas dasar iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (H.R. Bukhari no. 38 dan Muslim no. 760).
Dari hadis tersebut, terdapat beberapa mutiara hikmah yang sangat agung yang bisa kita ambil faidahnya.

Pertama, berpuasa di bulan Ramadhan karena iman. Allah ﷻ berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. (Q.S. al-Baqarah [2]: 183).

Ayat ini dimulai dengan menyeru orang beriman untuk mengingatkan supaya memasang telinga karena akan disebut suatu beban hukum. Hukum yang dimaksudkan dalam ayat tersebut ditunjukkan pada orang mukmin secara khusus. “Kutiba ‘alaikum” dalam ayat tersebut menunjukkan akan wajibnya puasa Ramadhan [1].

Iman disebutkan dalam hadits ini memiliki makna yang luar biasa bagi ibadah puasa yang kita lakukan. Iman menjadi kunci utama agar semua ibadah yang kita lakukan diterima oleh Allah ﷻ. Iman adalah pembenaran dengan hati, perkataan dengan lisan, dan pengamalan dengan anggota tubuh [2].

Amal perbuatan merupakan bagian dari iman. Orang yang tidak beriman (kafir) tidak diterima amal kebaikan yang mereka lakukan karena tidak memenuhi dua syarat diterimanya amalan yaitu, (1) Semata-mata ikhlas kepada Allah ﷻ. Syarat ini adalah realisasi dari makna syahadat “Tidak ada sesembahan yang disembah selain Allah”. (2) Mengikuti sunnah Rasulullah ﷺ. Syarat ini adalah realisasi makna syahadat “Bahwa Muhammad adalah utusan Allah”. Orang kafir tidak memenuhi dua syarat tersebut sehingga amalan mereka bathil dan tertolak [3].

Jangan sampai kita terjerumus dalam hal-hal yang dapat merusak bahkan membatalkan keimanan sehingga ibadah puasa dan ibadah kita yang lainnya menjadi sia-sia. Hal ini menjadi penting karena di negeri yang kita
cintai ini sudah ada yang berani menyampaikan hal-hal yang dapat mengeluarkan seseorang dari keimanan seperti meyakini bahwa “semua agama itu sama dan masuk surga”. Meyakini hal tersebut adalah kekufuran yang dapat membatalkan keislaman seseorang. Seorang muslim yang tidak menghukumi kafir orang-orang Yahudi, Nasrani, para penyembah berhala, dan dari kalangan orang-orang musyrik lainnya, atau ragu akan kekafiran mereka atau membenarkan mazhab mereka, maka ia kafir karena telah menafikan, menentang, dan mendustakan hukum dalam kitab-Nya [4].

Allah ﷻ menghukumi kafir bagi orang-orang Yahudi, Nasrani, para penyembah berhala, dan dari kalangan orang-orang musyrik lainnya sebagaimana dalam firman-Nya, “Sesungguhnya orang-orang kafir yakni
ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya…” (Q.S. al-Bayyinah [98]:6). Jagalah diri dan keluarga kita dari hal-hal yang dapat merusak dan membatalkan keimanan, karena Allah ﷻ berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…” (Q.S. AtTahrim [66]: 6).

Kedua, mengharap pahala dari Allah ﷻ. Ini termasuk dalam raja’ (berharap). Ketahuilah bahwa raja’ yang terpuji itu hanya dimiliki oleh orang yang melakukan ketaatan kepada Allah c dan selalu mengharap pahala dari-Nya, atau hanya dimiliki oleh orang yang bertaubat dari kemaksiatan kepada Allah ﷻ dan mengharap taubatnya diterima oleh-Nya [5].

Ketiga, diampuni dosanya yang telah berlalu. Ini adalah bentuk kemurahan Allah ﷻ terhadap orang-orang yang beriman dengan melakukan puasa Ramadhan dan mengharap pahala dari Allah ﷻ, maka diampuni dosa-dosa kita yang telah berlalu. Namun, An-Nawawi di dalam al-Minhaj mengatakan bahwa pendapat yang populer di kalangan ulama ahli fikih  menyatakan bahwa dosa yang dimaksud dalam hadits ini adalah dosa-dosa kecil bukan dosa-dosa besar. Lalu bagaimana dengan dosa-dosa besar? Apakah bisa diampuni? Tentu saja bisa, karena semua hari di bulan Ramadhan dipenuhi rahmat, ampunan, dan pembebasan. Salah satu riwayat lemah yang tersebar luas di masyarakat adalah, “Awal bulan Ramadhan adalah rahmat, pertengahannya adalah ampunan, dan akhirnya adalah
pembebasan dari neraka.” Padahal di setiap hari pada bulan Ramadhan pintu-pintu rahmat akan dibuka dan di setiap malam Allah akan membebaskan orang-orang dari neraka. Maka, di sepanjang bulan Ramadhan akan dipenuhi rahmat, ampunan, dan pembebasan dari api neraka, tidak terbatas pada beberapa fase [6].

Rasulullah ﷺ bersabda, “Pada awal malam bulan Ramadhan, setansetan dan jin-jin jahat dibelenggu, pintu
neraka ditutup, tidak ada satu pintu pun yang dibuka. Pintu surga dibuka, tidak ada satu pintu pun yang ditutup. Kemudian Allah menyeru: ‘wahai  penggemar kebaikan, rauplah sebanyak mungkin, wahai penggemar
keburukan, tahanlah dirimu’. Allah pun memberikan pembebasan dari neraka bagi hamba-Nya. Dan itu terjadi setiap malam.” (HR. Tirmidzi).

Selain bersungguh-sungguh menjalankan puasa dan giat melakukan ibadah lainnya, manfaatkan juga waktu pada bulan Ramadhan ini untuk memohon ampunan kepada Allah ﷻ agar semua dosa baik dosa besar maupun dosa kecil yang telah kita lakukan diampuni oleh Allah ﷻ. Setiap manusia tidak terlepas dari kesalahan-kesalahan, pelanggaran-pelanggaran, danberbagai kemaksiatan. Akan tetapi, apabila dia senantiasa berbaik sangka kepada Allah ﷻ, diiringi dengan taubat dan tidak merasa putus asa dari rahmat-Nya kemudian senantiasa beristighfar dan memohon ampunan kepada-Nya, Maka Allah ﷻ akan mengampuni semua dosanya [7]. Allah ﷻ berfirman, “Katakanlah: Wahai para hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diridiri mereka, janganlah kalian merasa putus asa dari rahmat Allah, sesungguhnya Allah itu mengampuni semua dosa-dosa.” (Q.S. az-Zumar [39]: 53).

Semoga dengan mengamalkan hadis ini dosa-dosa kita yang telah berlalu diampuni oleh Allah ﷻ dan menjadi orang yang bertakwa sebagaimana dalam firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.(Q.S. al-Baqarah [2]: 183).

Marâji’

[1]. Muhammad Abduh Tuasikal. Untaian Faedah dari Ayat Puasa. Gunung Kidul: Rumaysho. 2020 M.Cet.k-1. hal. 9-10.
[2]. ‘Abdul ‘Aziz bin Fathil bin as-Sayyid ‘Aid Nada. al-Itmam Bisyarhi al-‘Aqidah ash-Shahihah wa
Nawaqid al-Islam, alih bahasa Ronny Mahmuddin. Syarah Aqidah ash-Shahihah. Jakarta: Pustaka
as-Sunnah. 2011 M. Cet.k-1. hal. 179
[3]. Ibid. 19.
[4]. Ibid. 294-295
[5]. Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin. Syarh al-Ushul ats-Tsalatsah. alih bahasa Nur Rahman.
Syarah Ushul Tsalatsah (Mengenal Allah, Rasul dan Dienul Islam). Surakarta: Insan Kamil Solo.
2018 M. Cet.k-1. hal. 112.
[6]. Muhammad Shalih al-Munajjid. Alih bahasa Tim Belajar Tauhid. Buku Pintar Ramadhan Kumpulan Twit Seputar Ramadhan Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid. Yogyakarta: Pustaka Muslim. hal. 20.
[7]. Shalih bin Fauzan bin Abdillah al-Fauzan. Al-Minhatu ar-Rabbaniyah fi Syarhi al-Arba’in anNawawiyah. Alih bahasa Abu Abdillah al-Watesi. Syarah Arba’in an-Nawawiyah Mendulang Faedah Ilmiyah dari Lautan Sunnah Nabawiyah. Yogyakarta: Pustaka al-Haura’. 1433 H. Cet.k-1. hal. 590.

Penyusun :

Hendi Oktohiba
Alumni FIAI UII

 

Mutiara Hikmah:

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi ﷺ bersabda,

ثَلاثَةٌ لا تُرَدُّ دَعْوَتُهُمْ الإِمَامُ الْعَادِلُ وَالصَّائِمُ حِينَ يُفْطِرُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ

“Tiga orang yang do’anya tidak tertolak: orang yang berpuasa sampai ia berbuka, pemimpin yang adil, dan do’a orang yang dizalimi.” (H.R. Ahmad 2: 305. Syaikh Syu’aib al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Download Buletin klik disini

Amalan Amalan di Akhir Ramadhan

Bismillâh walhamdulillâh washalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Tidak seperti sebagian orang yang terlalu sibuk memikirkan hari raya, mudik dan baju lebaran, Rasulullâh ﷺ malah lebih giat lagi untuk beribadah di akhir-akhir bulan Ramadhan. Bahkan beliau sampai bersengaja meninggalkan istri-istrinya demi konsentrasi dalam ibadah. Beliau lebih semangat beramal di akhir-akhir Ramadhan. Ada dua alasan kenapa bisa demikian. Pertama, karena setiap amalan dinilai dari akhirnya. Kedua, supaya mendapati lailatul qadar. Simak selengkapnya disini dan juga alasan semangat ibadah kala itu yaitu untuk menggapai lailatul qadar.

Kita sebentar lagi akan menjelang akhir-akhir Ramadhan. Apa saja amalan yang mesti kita lakukan? Ada beberapa amalan yang bisa kita fokus untuk melakukannya di akhir-akhir Ramadhan nanti.

 

Pertama, Lebih serius lagi dalam ibadah di akhir Ramadhan 

Lihatlah keseriusan Rasulullah ﷺ,“Rasulullah ﷺ sangat bersungguh-sungguh pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan melebihi kesungguhan beliau di waktu yang lainnya.” (H.R. Muslim, no. 1175)

Dikatakan oleh istri tercinta beliau, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Apabila Nabi ﷺ memasuki sepuluh hari terakhir (bulan Ramadhan), beliau mengencangkan sarungnya (untuk menjauhi para istri beliau dari berjima’), menghidupkan malam-malam tersebut dan membangunkan keluarganya.” (H.R. Bukhari, no. 2024; Muslim, no. 1174).

 

Kedua, Melakukan I’tikaf

I’tikaf maksudnya adalah berdiam di masjid beberapa waktu untuk lebih konsen melakukan ibadah. Lihatlah contoh Nabi kita Muhammad ﷺ, dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwasanya Nabi ﷺ biasa beri’tikaf di sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan hingga beliau diwafatkan oleh Allah. Lalu istri-istri beliau beri’tikaf setelah beliau wafat. (H.R. Bukhari, no. 2026; Muslim, no. 1172).

Hikmah beliau seperti itu disebutkan dalam hadits Abu Sa’id Al-Khudri berikut di mana Nabi ﷺ mengatakan, “Aku pernah melakukan i’tikaf pada sepuluh hari Ramadhan yang pertama. Aku berkeinginan mencari malam lailatul qadar pada malam tersebut. Kemudian aku beri’tikaf di pertengahan bulan, aku datang dan ada yang mengatakan padaku bahwa lailatul qadar itu di sepuluh hari yang terakhir. Siapa saja yang ingin beri’tikaf di antara kalian, maka beri’tikaflah.”Lalu di antara para sahabat ada yang beri’tikaf bersama beliau. (H.R. Bukhari, no. 2018; Muslim, no. 1167).

Jadi, beliau  melakukan i’tikaf supaya mudah mendapatkan malam lailatul qadar.

Lalu berapa lama waktu i’tikaf? al-Mardawi rahimahullah mengatakan, “Waktu minimal dikatakan i’tikaf pada i’tikaf yang sunnah atau i’tikaf yang mutlak adalah selama disebut berdiam di masjid (walaupun hanya sesaat).” (al-Inshaf, [6]: 17)

Karena Allah hanyalah menetapkan, “Sedang kamu beri’tikaf dalam masjid.” (QS. Al Baqarah [2]: 187).  Ibnu Hazm berkata, “Allah Ta’ala tidak mengkhususkan jangka waktu tertentu untuk beri’tikaf (dalam ayat ini). Dan Rabbmu tidaklah mungkin lupa.” (Lihat Al-Muhalla, 5: 180). Berarti beri’tikaf di siang atau malam hari dibolehkan walau hanya sesaat.

 

Ketiga, Qiyamul Lail 

Di antara amalan yang istimewa di 10 hari terakhir Ramadhan adalah bersungguh-sungguh dalam shalat malam, memperlama shalat dengan memperpanjang berdiri, ruku’, dan sujud. Demikian pula memperbanyak bacaan  al-Quran dan membangunkan keluarga dan anak-anak untuk bergabung melaksanakan shalat malam.

Rasulullah ﷺ bersabda, “Barangsiapa yang berdiri (untuk mengerjakan shalat) pada lailatul qadr karena keimanan dan hal mengharap pahala, akan diampuni untuknya segala dosanya yang telah berlalu.” (H.R. al-Bukhari no. 1901)

 

Keempat, Raih Lailatul Qadr

Lailatul Qadar itu terjadi pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan sebagaimana sabda Nabi ﷺ, “Carilah lailatul qadar pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan.” (H.R. Bukhari no. 2020 dan Muslim no. 1169)

Terjadinya lailatul qadar di malam-malam ganjil lebih memungkinkan daripada malam-malam genap, sebagaimana sabda Nabi ﷺ, “Carilah lailatul qadar di malam ganjil dari sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari no. 2017)

 

Pencuri di Akhir Ramadhan

Selain itu penulis juga mewanti-wanti para muslimah untuk mewaspadai Pencuri Ramadhan yang seringkali muncul di akhir Ramadhan. Diantara kegiatan yang semestinya diwaspadai oleh para muslimah adalah sebagai berikut:

  1. Sibuk Memasak di Dapur Menjelang lebaran

Umumnya wanita banyak pergi ke pasar dan berkutat di dapur untuk membuat kue dan menyiapkan hidangan untuk lebaran. Hal ini menyebabkan mereka lalai dari beribadah. Hendaknya seorang muslimah menyadari keistimewaan 10 hari terakhir Ramadhan sehingga ia tidak menghabiskan banyak waktu di pasar dan di dapur.

  1. Mengejar Diskon Lebaran Menjelang lebaran

Banyak toko, dan mall yang menawarkan potongan harga besar-besaran. Hal ini mendorong mayoritas kaum muslimin untuk berbondong-bondong belanja baju lebaran. Akibatnya, toko dan mall menjadi sangat ramai sebaliknya masjid menjadi sangat sepi. Sangat disayangkan ketika kaum muslimin lebih tergiur dengan diskon lebaran dibandingkan diskon pahala. Muslimah yang berakal tentu akan memilih untuk meraup pahala Ramadhan sehingga ia tidak akan sibuk memikirkan baju lebaran.

  1. Menghabiskan Waktu di Jalan

Di antara tradisi menjelang lebaran adalah mudik ke kampung halaman. Hendaknya seorang muslimah memilih waktu yang tepat dan transportasi yang efisien sehingga dapat menghemat waktu dan tidak berlama-lama di perjalanan. Hal ini sangat penting untuk dilakukan agar seorang muslimah tetap dapat beribadah secara maksimal di 10 hari terakhir bulan Ramadhan sekaligus dapat menyambung tali silaturahim dengan keluarga.

Semoga Allah ﷻ memberikan kita taufik dan memudahkan kita bersemangat untuk menghidupkan hari-hari terakhir bulan Ramadhan dengan ibadah, shalat malam dan menerima amal ibadah yang kita lakukan. Âmîn.

 

Penyusun:

Ardimas

Teknik Elektro 2019

 

Marâji’:

[1] https://muslim.or.id/17637-kajian-ramadhan-16-sepuluh-hari-terakhir-ramadhan.html

[2] https://muslimah.or.id/10267-muslimah-menyambut-10-hari-terakhir-ramadhan.html

[3]https://rumaysho.com/3502-lebih-semangat-ibadah-di-sepuluh-hari-terakhir-ramadhan.html

 

Mutiara Hikmah

 

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda,

لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الأَكْلِ وَالشَّرَبِ ، إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ ، فَإِنْ سَابَّكَ أَحَدٌ أَوْ جَهُلَ عَلَيْكَ فَلْتَقُلْ : إِنِّي صَائِمٌ ، إِنِّي صَائِمٌ

“Puasa bukanlah hanya menahan makan dan minum saja. Akan tetapi, puasa adalah dengan menahan diri dari perkataan lagwu dan rofats. Apabila ada seseorang yang mencelamu atau berbuat usil padamu, katakanlah padanya, “Aku sedang puasa, aku sedang puasa”.

(H.R. Ibnu Majah dan Hakim. Syaikh Al Albani dalam Shohih At Targib wa At Tarhib no. 1082 mengatakan bahwa hadits ini shahih)

 

Download Buletin klik disini

Penggunaan Obat Ketika Berpuasa

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh,

Allah ﷻ memberikan kesempatan untuk berpuasa pada bulan Ramadhan merupakan  kenikmatan terbesar bagi orang mukmin. Namun, tak sedikit orang yang bertemu bulan Ramadhan dalam kondisi sakit. Berdasarkan kemampuan fisik seseorang untuk berpuasa maka ada 2 macam kondisi sakit seseorang yakni a) tidak bisa berpuasa karena kondisi sakitnya misalnya tipus, pasca operasi, diare-muntaber, dan semisalnya; b) seseorang yang mampu berpuasa dalam kondisi sakit namun dengan menjalani pengobatan misalnya asma, diabetes, hipertensi, asam urat, infeksi atau luka kulit, dan semisalnya.

Kondisi seseorang yang mampu berpuasa dalam kondisi sakit namun dengan menjalani pengobatan itulah yang menyebabkan sebagian muslimin butuh akan ilmu tentang hukum dan panduan berobat ketika berpuasa. Oleh karena itu simaklah penjelasan berikut ini,

 

Hukum Berpuasa bagi Orang Sakit

Orang tidak diwajibkan atasnya puasa ialah orang yang sakit dan dalam perjalanan (musafir), sebagaimana Allah ﷻ berfirman bahwasanya “… Dan barangsiapa diantara kalian yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. …” (Q.S. al-Baqarah [2]: 184).

Orang sakit yang tidak diwajibkan puasa pada ayat diatas ialah orang dengan sakit parah  yang apabila ia berpuasa akan memperparah kondisinya atau memperlama kesembuhannya. Pada pembahasan fikih, kewajiban puasa pada orang yang sakit ada dua macam yakni sakit yang tidak dapat diharapkan kesembuhannya atau lemahnya kondisi untuk berpuasa yang terus-menerus maka bagi mereka tidak wajib puasa qadha namun menggantinya dengan fidyah; adapun orang sakit yang dapat diharapkan kesembuhannya, maka baginya wajib qadha pada hari lain[1],[2].

Pada pembahasan kali ini, penulis hanya akan merangkum hukum penggunaan sediaan obat pada orang sakit yang mampu berpuasa. Yuk kita simak penjelasanya,

 Sediaan Obat dan Hukum Menggunakannya

Hukum menggunakan sediaan obat saat berpuasa mengikuti keumuman dalil yakni tidak diperbolehkan makan dan minum saat berpuasa, karena hal tersebut termasuk pembatal puasa [1]. Sebagaimana firman Allah ﷻ, “Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam , yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam” (Q.S. al-Baqarah [2]: 187).

Secara umum  sediaan obat terbagi menjadi beberapa kelompok berdasarkan cara menggunakannya, yakni:

  1. Sediaan oral 

Sediaan obat yang dikonsumsi melalui saluran cerna dan sampai lambung. Misalnya tablet, kapsul, sirup, atau puyer/serbuk. Konsumsi obat sediaan oral pada saat berpuasa maka membatalkan puasanya karena sediaan obat ini sampai pada lambung dan diserupakan dengan makan atau minum sebagaimana dalil diatas.

Apabila anda ingin tetap berpuasa, maka penulis menyarankan yakni; pertama, konsultasikan pada dokter akan keinginan untuk tetap berpuasa. Kedua, anda dapat menyiasati penggunaan sediaan oral dengan jadwal sebagai berikut:

  1. Obat 1x dalam sehari dapat diminum antara waktu berbuka sampai sahur.
  2. Obat 2x dalam sehari dapat diminum saat anda berbuka dan saat sahur.
  3. Obat 3x dalam sehari dapat diminum segera setelah berbuka (±18.00 WIB), kedua pada pukul 23.00 WIB dan ketiga saat anda sahur ±04.00 WIB.
  4. Obat 4x dalam sehari dapat diminum segera setelah berbuka (±18.00 WIB), kedua pada pukul 22.00 WIB, ketiga pada pukul 01.00 WIB dan keempat saat anda sahur ±04.00 WIB.

Adapun obat yang dianjurkan diminum setelah makan, maka dapat anda siasati dengan berbuka terlebih dahulu menggunakan makanan atau minuman, kemudian setelah 5-10 menit anda minum obat.

  1. Sediaan Topikal 

Sediaan topikal ialah obat yang diaplikasikan pada permukaan luar tubuh, misalnya salep, krim, gel, param luka, atau sediaan transdermal. Sediaan topikal diaplikasikan pada kulit baik pada muka, kulit kepala, kulit tangan dan semisalnya. Para ulama berpendapat bahwa sediaan obat ini tidak dapat membatalkan puasa karena tidak dapat diserupakan dengan makan dan minum.

  1. Sediaan Inhaler dan Obat Tetes

Inhaler mengandung cairan obat yang disemprotkan menjadi partikel kecil dan diaplikasikan dengan dihirup melalui saluran nafas yang ditujukan untuk area paru-paru, misalnya inhaler untuk asma, dan inhaler untuk hidung tersumbat. Sedangkan obat tetes ialah obat yang diteteskan pada area tertentu misalnya mata, hidung atau telinga. Obat tetes umumnya diaplikasikan sebanyak 2-3 tetes.

Obat tetes yang diaplikasikan pada telinga dan mata tidak membatalkan puasa. Adapun sediaan inhaler dan tetes hidung maka para ulama berselisih pendapat karena adanya kemungkinan masuknya kedalam lambung.

Pendapat terkuat dalam hal ini ialah sediaan inhaler dan tetes hidung tidak membatalkan puasa[3], hal ini berdasarkan pada:

  1. Sediaan tersebut tidak dapat dianalogikan dengan makan dan minum, baik ditinjau dari bahasa maupun urf’, serta obat ditujukan pada  paru-paru, bukan lambung.
  2. Zat yang sampai kedalam perut sangatlah sedikit, itupun bukanlah makanan atau minuman yang menguatkan atau mengenyangkan. Adapun hadits “Masukkanlah air dengan benar-benar kecuali jika dalam keadaan berpuasa.” (H.R. Abu Daud no. 2366). Berkumur-kumur dan menghirup sedikit air ketika berwudhu diperbolehkan saat puasa namun tidak berlebihan. Begitu pula dengan siwak yang sering dilakukan oleh Nabi ﷺ saat puasa, padahal didalam siwak terdapat banyak sekali kandungan zat yang akan terlarut dalam air liur dan memungkinkan tertelan[4].

 

  1. Sediaan Obat Injeksi 

Sediaan injeksi diaplikasikan dengan memasukkan zat kedalam bagian tubuh (bawah kulit, otot, atau jaringan lemak) atau pembuluh darah. Semua jenis injeksi obat yang diaplikasikan pada area bawah kulit, otot, atau jaringan lemak tidaklah membatalkan puasa dan tidak terdapat khilaf dalam hal ini.

Adapun injeksi pada pembuluh darah umumnya adalah zat dextrose, NaCl 0.9%, glucose, dan semisalnya sebagai pengganti makanan dan minuman. Penggunaan injeksi tersebut membatalkan puasa karena dekatnya dengan aktivitas makan dan minum, dan diantara para ulama yang berpendapat demikian adalah Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, dan Syaikh Muhammad bin Sholih al-‘Utsaimin[5] [5].

Demikianlah sedikit pemaparan terkait penggunaan sediaan obat saat berpuasa, semoga menjadi hal yang bermanfaat dan bagi mereka yang sedang sakit menjadi penggugur dosanya dan diberikan kesembuhan atas penyakitnya.

 

Marâji’:

[1] Syaikh sholih Abdul aziz Ats-tsaighy. Al-fiqh-ul Muyassar fii Dhou-il Kitabi wa Sunnati. Beirut-libanon. Daar Nuurussunnah. 2017. Cetakan pertama. Hal. 154-155

[2] Syaikh Sholih ibn Fauzan ibn Abdl Fauzan. Al-mulakhos Al-fiqhy. Riyadh-Arab Saudi. Daar Ibnu Aljauzi. 2013. Cetakan kelima. Hal. 301

[3] Raehanul Bahraen.  Tetes Hidung dan Semprot Hidung Tidak Membatalkan Puasa. 2015. Muslim Afiyah. Dikutip dari laman: https://muslimafiyah.com/tetes-hidung-dan-semprot-hidung-tidak-membatalkan-puasa.html#_ftn1. Terakhir diakses pada 18 April 2021.

[4] Muhammad Abdul Tuasikal. Pembatal Puasa Kontemporer (4), Menggunakan Inhaler dan Obat Tetes pada Hidung. Rumaysho.Com. . Dikutip dari laman: https://rumaysho.com/2553-pembatal-puasa-kontemporer-4-menggunakan-inhaler-dan-obat-tetes-pada-hidung.html. Terakhir diakses pada 18 April 2021.

[5] Muhammad Abdul Tuasikal. Pembatal Puasa Kontemporer (8), Suntik Pengobatan. 2013. Dikutip dari laman: https://rumaysho.com/3410-pembatal-puasa-kontemporer-8-suntik-pengobatan.html. Terakhir diakses pada 18 April 2021.

 

Penyusun:

Rizki Awaludin, S.Farm., M.Biomed

Alumni FMIPA UII & Dosen UNIDA Gontor

 

Mutiara Hikmah

 Nabi ﷺ bersabda:

إِذَا أَصْبَحَ أَحَدُكُمْ يَوْمًا صَائِمًا فَلا يَرْفُثْ ، وَلا يَجْهَلْ ، فَإِنْ امْرُؤٌ شَاتَمَهُ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ : إِنِّي صَائِمٌ إِنِّي صَائِمٌ

“Barangsiapa salah satu di antara kalian di pagi hari dalam kondisi berpuasa, maka jangan berkata jorok dan jangan bersikap bodoh. Kalau ada seseorang yang menghardiknya atau menghinanya maka katakan kepadanya, sesungguhnya saya sedang puasa, sesungguhnya saya sedang puasa.”

(H.R. Bukhari, no. 1894 dan  Muslim, no. 1151)

 

Download Buletin klik disini

Mengatasi Prreferensi Konsumsi pada Bulan Ramadhan

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh,

Pada bulan Ramadhan pola konsumsi masyarakat khususnya masyarakat muslim mengalami perubahan drastis, sebab pada bulan tersebut terdapat perubahan aktivitas muslim, yakni mereka wajib melakukan ibadah puasa dimana harus menahan makan minum atau segala sesuatu yang membatalkan puasa dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari. Jika dilihat makna puasa akan sekilas terlihat bahwa konsumsi masyarakat muslim seharusnya menurun, akan tetapi beberapa penelitian menunjukkan bahwa pada bulan Ramadhan konsumsi masyarakat muslim malah mengalami kenaikan. Contohnya penelitian yang dilakukan oleh Ridwan, Syarifah, dan Hareastoma menunjukkan bahwa pada bulan Ramadhan konsumsi makanan dan minuman muslim meningkat sampai 80%.[1]

Jika seseorang tidak bisa mengontrol dan mengelola keuangan dengan baik, maka dapat dipastikan bulan Ramadhan bukan hanya menjadi bulan yang penuh keberkahan tetapi juga menjadi salah satu ajang menghabiskan dana untuk konsumsi. Secara umum pada bulan Ramdhan kegiatan konsumsi umat Islam terbagi menjadi empat (4) yakni;

  1. Sahur

Sahur merupakan kegiatan konsumsi sebelum terbitnya fajar, kegiatan ini sangat dianjurkan untuk dilaksanakan oleh umat Islam saat hendak berpuasa khususnya pada bulan Ramadhan sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah ﷺ, Anas bin Malik radhiyallahu’anhu berkata; Nabi ﷺ bersabda, “Bersahurlah kalian, karena didalam sahur ada barakah“. (HR. Bukhari).[2]

Berdasarkan hadits tersebut, bahwa sahur merupakan kegiatan yang sangat di anjurkan untuk dilaksanakan, sebab ia akan mengurangi rasa lapar dan dahaga saat berpuasa. Dengan sahur diharapkan umat Islam tetap melakukan aktivitas dan produktif, tidak jarang kegiatan sahur menjadi salah kegiatan konsumsi yang bermanifestasi menjadi sebuah motivasi untuk meningkatkan produksi seseorang dan bukan alasan untuk bermalas-malasan karena rasa lapar dan dahaga.

  1. Berbuka Puasa

Kegiatan berbuka puasa merupakan salah satu kegiatan konsumsi pada saat terbenamnya matahari, kegiatan ini sangat dianjurkan untuk disegerakan sebagaimana yang tertuang dalam salah satu hadits, dari Sahal bin Sa’ad  bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,  “Senantiasa manusia berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka”. (H.R. Bukhari).

Hadits di atas menjadi salah satu dalil agar menyegerakan berbuka puasa dan menjadi petunjuk bahwa kegiatan berbuka puasa merupakan kegiatan pembatalan puasa. Pada kegiatan ini akan terlihat pola konsumsi setiap individu atau rumah tangga.

  1. Persiapan Hari Raya

Hari raya merupakan salah satu hari besar atau kemenangan untuk umat Islam, sebab setelah sebulan penuh umat Islam berpuasa akhirnya ditutup dengan hari kemenangan atau lebih dikenal dengan hari raya Idul fitri. Salah satu tradisi atau budaya masyarakat muslim Indonesia selain memakai pakaian baru dan salah satu bentuk kebahagiaan mereka menyambut hari raya Idul Fitri adalah dengan menghiasi atau merenovasi rumah, memasak masakan khas yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

  1. Tradisi mudik ke kampung halaman

Mudik menjadi salah satu kegiatan yang “harus” dilakukan oleh masyarakat untuk melepas rindu, bersilaturarahim, dan berziarah dan lain sebagainya. Pada dasarnya mudik merupakan kegiatan yang secara implisit tidak ada dalilnya, sehingga dapat dikatakan kegiatan ini merupakan kearifan lokal sebab lebaran merupakan libur panjang yang dimanfaatkan oleh setiap elemen masyarakat gunakan sebagai sarana berkumpul dengan keluarga atau kegiatan lainnya yang telah disbeutkan sebelumnya. Untuk melakukan mudik tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit terlebih bagi mereka yang merantau jauh dan membutuhkan transportasi dengan biaya yang tidak sedikit.

Pada dasarnya Islam sudah memberikan panduan yang cukup jelas dalam al-Qur’an terkait konsumsi, dalam melakukan konsumsi umat Islam dituntut memperhatikan skala prioritas sebab tujuan dari setiap aktivitas yang dilakukan oleh umat Islam ialah falah (kesejahteraan). Kesejahteraan disini terikat dengan nilai-nilai Islam, hal ini tertuang dalam Q.S. al-A’raf ayat 31. Allah ﷻ berfirman, “Wahai anak cucu Adam! pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah tetapi jangan berlebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (Q.S. al-A’râf [7]: 31).

Dari ayat di atas, dapat dilihat jelas bahwa Islam memberikan kebebasan kepada umatnya agar bisa memenuhi kebutuhannya dengan catatan tidak melanggar aturan syariah. Di bulan penuh berkah ini, terdapat beberapa cara untuk mengelola keuangan agar kecenderungan konsumsi yang dilakukan selama Ramadhan tidak menjadi salah satu fase “israf” seorang muslim dalam melakukan konsumsi:

  1. Menyusun Anggaran yang Matang

Sebelum masuk bulan Ramadhan kita harus bisa mengatur post-post pengeluaran selama bulan Ramadhan khususnya untuk kegiatan konsumsi. Kegiatan konsumsi tidak boleh menjadi kegiatan dominan, sebab kebutuhan bulanan seperti zakat, biaya listrik dan lain-lainnya tidak libur selama bulan Ramadhan. Akan tetapi, anggran untuk bulan Ramadhan harus ditambahkan beberapa pos pengeluaran yang khusus seperti sedekah, zakat, buka bersama (bukber) dan mudik.

  1. Tentukan Skala Prioritas

Dalam Islam, tujuan setiap aktivitas ialah falah atau kesejahteraan, kesejahteraan yang dimaksud disini harus memperhatikan pos pengeluaran berdasarkan tingkat kebutuhannya. Menurut al-Syatibi dalam memenuhi kebutuhannya manusia harus memperhatikan beberapa tingkatan ini, yaitu: (a) Dharuriyat, merupakan sesuatu yang harus terpenuhi karena kebutuhan ini bertujuan mengokohkan maslahah kehidupan, pokok dari tingkat kebutuhan ini ialah penjagaan atau pemeliharaan terhadap lima hal antara lain; agama, jiwa, akal, kehormatan atau keturunan dan harta.[3] (b) Hajiyyat, tingkat kebutuhan ini bertujuan menguatkan dan mengokohkan maslahah yang ada pada tingkat dharuriyat. (c) Tahsiniyyat, tingkat ini hanya sebagai pelengkap, keberadaannya tidak urgen dan tidak harus terpenuhi, contohnya perhiasan.

  1. Mengurangi Berbuka bersama di Luar Rumah

Selama bulan Ramadhan kegiatan buka bersama merupakan salah satu kegiatan yang cenderung dilakukan oleh umat Islam, pada dasarnya kegiatan ini memberikan dampak yang positif yakni menjalin silaturahim, akan tetapi jika kegiatan ini berlangsung cukup sering tidak menutup kemungkinan akan mengganggu keuangan seseorang sebab sedikit banyak kegiatan ini membutuhkan dana yang rentan menguras kantong. Oleh karena itu, kegiatan buka bersama diminalisirkan sebisa mungkin.

  1. Alokasikan Dana THR untuk Mudik

Sebagaimana yang telah disampaikan sebelumnya bahwa salah satu kegiatan konsumsi yang bisa menyedot anggaran ialah mudik. Sebaiknya anggaran untuk kegiatan ini sudah dirancang dari beberapa bulan sebelum Ramadhan, jika memang tidak sempat bisa menggunakan Tunjangan Hari Raya (THR), jangan gunakan dana ini untuk kegiatan konsumsi lainnya kecuali jika dana untuk mudik sudah disediakan dari beberapa bulan yang lalu.

Cara yang penulis paparkan di atas tidak akan bisa berhasil jika seseorang tidak konsisten atau tidak berkomitmen penuh untuk menerapkan. Seorang muslim harus senantiasa berkomitmen dan tidak melampui batas dari setiap perbuatannya khususnya dalam kegiatan konsumsi pada bulan Ramadhan yang cenderung membuat seseorang berlebihan dalam melakukan konsumsi, hal ini senada dengan firman Allah ﷻ Q.S. Hud [11] ayat 112.

 

Penyusun:

Nafilatur Rohmah, S.E., MSI

 

Marâji’:

[1] Ridwan, Syarifah, dan Hareastoma “Analisis Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Prilaku Konsumsi Muslim Pada Bulan Ramadhan”, Jurnal IMARA, Vol3. No.1, (Juni, 2019).

[2] Abi Abdulah Al-Bukhari, Shahih Bukhari, Terj. Abid Bisri Musthofa. Semarang : CV. AsySyifa` 1992. Hadist 1958, hal. 365.

[3] Muhammad. “Ekonomi Mikro dalam Perspektif Islam”.  Yogyakarta: BPFE, 2005. hal. 20.

 

Mutiara Hikmah

Dari Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ bersabda,

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta malah mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan.” (H.R. Bukhari no. 1903).

Download Buletin klik disini

Lakukan 5 Hal Dalam Menyambut Ramadhan

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh,

Tidak terasa sebentar lagi kita akan memasuki bulan Ramadhan yang penuh keistimewaan. Diantara keistimewaannya adalah dimana bulan diturunkannya al-Qur’an didalamnya dan dibulan tersebut amal ibadah kita akan dilipat gandakan oleh Allah ﷻ. Oleh karenanya kita harus menyambut bulan yang mulia ini dengan persiapan yang serius agar ibadah kita nantinya menjadi pahala yang berlipat ganda. Umat Islam berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan, salah satunya dengan memberi orang lain makanan berbuka puasa dan juga berbagi makanan ketika sahur on the road. Namun sebagian yang lain hanya menyiapkan hal-hal yang bersifat materi seperti membeli pakaian baru. Terkadang kita melupakan bahwa menyambut Ramadhan tidak hanya meyiapkan hal-hal materi, akan tetapi persiapan secara batin dan jiwa yang bersih. Agar ibadah kita di bulan Ramadhan tidak sia-sia, maka lakukanlah 5 hal berikut ini dalam menyambut Ramadhan,

  1. Perbaiki Hubungan Dengan Allah dengan Bertaubat

Memperbaiki hubungan dengan Allah ﷻ yaitu dengan sebenar-benarnya taubat. Dalam keseharian kita sebagai manusia tentu tidak luput dengan yang namanya kesalahan dan dosa. Dengan bertaubat, hati kita akan lebih siap untuk menyambut bulan suci Ramadhan.

Syarat diterimanya taubat ialah a) Harus menghentikan maksiat. b) Harus menyesal atas perbuatan yang telah dilakukannya. c) Niat bersungguh-sungguh tidak akan mengulangi perbuatan itu kembali. Apabila dosa itu ada hubungannya dengan hak manusia maka taubatnya ditambah dengan syarat keempat. d) Menyelesaikan urusan dengan orang yang berhak dengan minta maaf atas kesalahannya atau mengembalikan yang harus dikembalikannya.[1]

Bertaubatlah agar menjadi orang yang beruntung sebagaimana Allah ﷻ berfirman, “Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS. an-Nûr [24]: 31)

  1. Memperbaiki Hubungan Baik Bersama Saudara Atau Keluarga

Banyak diantara kita memperbaiki hubungan dengan saudara atau keluarga Ketika momen hari raya, namun hendaknya dilakukan sebelum masuknya Ramadhan. Karena tidak harus menunggu hari raya kita bermaaf-maaafan. Ketika kita sudah saling memaafkan sebelum Ramadhan, kita melaksanakan ibadah jauh lebih tenang karena tidak ada pikiran yang mengganggu ibadah kita. Dan selain ibadah kita semakin tenang, keharmonisan dalam kekeluargaan akan bertambah. Sebagaimana Allah ﷻ berfirman, “Bertakwalah kepada Allah dan perbaiki hubungan diantara kalian”. (QS. al-Anfal [8]: 1)

  1. Bekali Diri Dengan Pengetahuan Fiqih Tentang Puasa

Berilmu sebelum berkata dan beramal. Ilmu merupakan syarat diterimanya amal yaitu mutaba’ah. Mutaba’ah ialah amal tersebut benar-benar sesuai dengan syariat. Itulah perlu dalam menyambut Ramadhan dibekali ilmu seputar fiqih puasa, shalat tarawih, zakat, dan ibadah lainnya.

Ilmu yang kita pelajari mengenai kewajiban yang harus dilakukan dan larangan yang harus ditinggalkan selama berpuasa di bulan Ramadhan.[2]  Selain itu, tambah dengan ilmu mengenai amalan-amalan utama di bulan Ramadhan dan ilmu mengenai zakat serta aktivitas seoang muslim menjelang idul fitri atau saat idul fitri.

Belajar ilmu mengenai fiqih puasa bisa dimana saja dan kapan saja. Jika kita tidak mengetahuinya maka langsung bertanya kepada orang berilmu. Allah ﷻ berfirman,Maka bertanyalah pada orang-orang yang berilmu jika kalian tidak mengetahui.” (Q.S. al-Anbiya [21]: 21).

  1. Mempersiapkan Fisik dan Mental

Persiapan secara fisik yaitu dengan menjaga kesehatan. Fisik yang sehat dan kuat di bulan Ramadhan sangatlah penting karena kita menahan lapar dan dahaga mulai dari terbitnya fajar sampai waktu maghrib. Jika badan kita sakit maka puasa yang kita jalankan bakal terasa berat dan terganggu. Karena itu, Kesehatan merupakan modal utama untuk ibadah di bulan Ramadhan. Badan yang sehat membuat kita melakukan ibadah dengan baik dan optimal.

Selain persiapan fisik, kita juga mempersiapkan jiwa dan mental dengan cara membiasakan diri melakukan ibadah sunah seperti shalat sunah dan banyak membaca al Qur’an dalam menyambut Ramadhan, agar ketika bulan Ramadhan tiba kita sudah terbiasa melakukan ibadah tersebut sehingga kita merasa lebih mudah dalam menjalankannya.

  1. Siapkan Uang Untuk Sedekah di bulan Ramadhan

Di bulan Ramadhan amal ibadah kita dilipat gandakan, tentu kita perlu mengalokasikan uang kita untuk memperbanyak sedekah, infaq dan memberi bukaan kepada orang lain. Momen Ramadhan sangat cocok memberi makanan kepada orang lain, misalnya kita bisa memberi makanan ke masjid yang menyelenggarakan buka bersama. Dengan kita melakukan hal tersebut pahala kita sama dengan orang yang berpuasa tersebut tanpa mengurangi pahala orang tersebut. Sebagaimana hadits Nabi berikut ini:

Dari Zaid bin Khalid Al-Juhani radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Siapa memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun juga.” (HR. Tirmidzi no. 807, Ibnu Majah no. 1746, dan Ahmad 5: 192. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Dalam hadits tersebut dijelaskan bahwa bagi orang yang memberi makan orang yang berpuasa akan mendapatkan pahala yag sama dengan orang yang berpuasa tersebut tanpa mengurangi pahala orang berpuasa tersebut. Semaki banyak kita memberi makan orang yang berpuasa semakin banyak pahala yang kita dapatkan.

Penutup

Demikian 5 hal yang perlu dipersiapkan seorang Muslim dalam menyambut Ramadhan. Sehingga kita mendapatkan keutamaan Ramadhan yang dijanjikan Allah ﷻ. Semoga kita yang menjalankan ibadah puasa menjadikan kita jadi insan yang bertaqwa, sebagaimana tujuan berpuasa agar menjadikan kita lebih bertaqwa kepada Allah ﷻ. Marilah kita sambut bulan Ramadhan yang sudah di depan mata dengan gembira dan senang hati. Dan marilah kita mempersiapkan diri untuk beribadah dengan optimal di bulan Ramadhan ini. Dengan harapan dan berdoa kepada Allah ﷻ  semoga ibadah kita selama ini dan di bulan Ramadhan nanti diterima. dan dapat meraih berbagai keutamaannya.

Penyusun:

Handal Pratama Putra

Magister Ilmu Agama Islam,

Konsentrasi Pendidikan Islam, UII 2021

 

Marâji’

[1] Muhammad Fadholi, Keutamaan Budi Dalam Islam, Surabaya: Al-Ikhlas, tt, hal. 387.

[2] Muhammad Abduh Tuasikal. Panduan Ramadhan Bekal Meraih Ramadhan Penuh Berkah. Yogyakarta: Pustaka Muslim, 2014. hal. 6.

 

Mutiara Hikmah

Memperbanyak Doa

اَللَّهُمَّ سَلِّمْنـِي إِلَى رَمَضَانَ وَسَلِّمْ لِـي رَمَضَانَ وَتَسَلَّمْهُ مِنِي مُتَقَبَّلاً

“Ya Allah, antarkanlah aku hingga sampai Ramadhan, dan antarkanlah Ramadhan kepadaku, dan terimalah amal-amalku di bulan Ramadhan.” (Lathaif Al-Ma’arif, hal. 264)

Download Buletin klik disini

Bekal Ramadhan

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh,

Saudaraku yang berbahagia, semoga Allah ﷻ  senantiasa merahmati kita, marilah kita senantiasa meningkatkan ketakwaan kepada Allâh ﷻ dan hendaklah senantiasa ingat, bahwa sebagai seorang muslim kita diwajibkan untuk senantiasa beribadah kepada Allâh ﷻ . Allâh ﷻ berfirman, “Dan beribadahlah kepada Rabbmu sampai datang kematian kepadamu.” (Q.S. al-Hijr [15]: 99) .

Ramadhan sudah tinggal beberapa hari lagi, sudah saatnya kita mempersiapkan bekal untuk menyambut Ramadhan mubarak dengan bekal terbaik. Sudah siapkah bekal Ramadhan kita? Mari kita persiapkan bekal kita tentang apa saja yang harus dipersiapkan dalam menyembut Ramadhan, agar amal shalih yang kita lakukan dibulan tersebut bernilai tinggi disisi Allâh ﷻ.

Bergembiralah dengan Datangnya Ramadhan

Bergembiralah dengan datangnya bulan Ramadhan karena sahabat yang mulia Abu Hurairah radhiyallahu’anhu pernah bercerita. Ketika datang bulan Ramadhan, Rasulullah  ﷺ memberi kabar gembira kepada para sahabat akan datangnya bulan Ramadhan. Beliau bersabda, “Telah datang kepada kalian bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi. Allah mewajibkan kalian untuk berpuasa. Di bulan ini, pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup dan setan-setan diikat; di sana terdapat malam yang lebih baik dari seribu bulan, barangsiapa terhalangi untuk mendapat kebaikannya, berarti dia telah terhalangi untuk mendapatkan kebaikan.” (H.R. Ahmad dalam Al-Musnad (2/385). Dinilai shahih oleh al-Arna’uth dalam Takhrijul Musnad no.8991)

Sekali lagi, bergembiralah dengan datangnya bulan Ramadhan dan harus lebih bersamangat lagi dalam beramal shalih karena amal kebaikan akan dilipatgandakan dengan kelipatan tujuh ratus kali lipat. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah ﷺ bersabda, “Setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya. Disebabkan dia telah meninggalkan syahwat dan makanan karena-Ku. Bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan yaitu kebahagiaan ketika dia berbuka dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Rabbnya. Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau minyak kasturi.” (HR. Bukhari no. 1904, 5927 dan Muslim no. 1151)

Ibnu Rajab al-Hambali mengatakan, “Sebagaimana pahala amalan puasa akan berlipat-lipat dibanding amalan lainnya, maka puasa di bulan Ramadhan lebih berlipat pahalanya dibanding puasa di bulan lainnya. Ini semua bisa terjadi karena mulianya bulan Ramadhan dan puasa yang dilakukan adalah puasa yang diwajibkan oleh Allah pada hamba-Nya. Allah pun menjadikan puasa di bulan Ramadhan sebagai bagian dari rukun Islam, tiang penegak Islam.” (Lathaif Al-Ma’arif, hal. 271)[1]

 

Bekal Menyambut Ramadhan

Ada banyak bekal dalam menyambut bulan Ramadhan, berikut beberapa bekal dalam menyambut bulan Ramadhan mubarak: [2]

  1. Ilmu tentang Ramadhan

Ilmu merupakan bekal utama dalam menyambut bulan Ramadhan. Ilmu apa saja yang mesti disiapkan sebelum puasa? Yang utama adalah ilmu yang membuat puasa kita sah, mulai dari, 1) Makna puasa, 2) Hukum puasa Ramadhan, 3) Keutamaan puasa, 4) Hikmah disyariatkannya puasa, 5) Rukun puasa, 6) Awal dan akhir bulan Ramadhan (bulan puasa) 7) Rentang waktu puasa, 8) Syarat sah puasa, 9) Sunnah-sunnah ketika puasa, 10) Orang-orang yang dibolehkan tidak berpuasa, 11) Pembatal-pembatal puasa, 12) Yang bukan merupakan pembatal puasa sehingga dibolehkan melakukannya, 13) Yang dimakruhkan ketika puasa, 14) Beberapa kesalah-pahaman dalam ibadah puasa. Lalu dilengkapi dengan ilmu tentang zakat, idul fitri dan amalan sunnah yang menyertainya. Semoga dengan mempelajarinya, bulan Ramadhan kita menjadi lebih berkah

Imam Bukhari  membuat bab dalam kitabnya, “Bab ‘Ilmu Sebelum Berkata dan Beramal’, dalilnya adalah firman Allah ﷻ, ‘Maka ketahuilah (berilmulah), bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu’.” (QS. Muhammad [47]: 19). Dalam ayat ini, Allah ﷻ memulai dengan berilmu lalu beramal.[3]

Dengan ilmu, orang memiliki panduan untuk bisa beramal dengan benar. Mu’adz bin Jabal a berkata,  “Ilmu adalah pemimpin amal, dan amal adalah pengikut ilmu” (al-Amru bil Ma’ruf wan nahyu anil munkar karya Ibnu Taimiyyah hal.15)

Umar bin Abdil Aziz berkata, “Barangsiapa yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu, maka ia lebih banyak merusak dibandingkan memperbaiki” (Majmu’ Fataawa Ibn Taimiyyah: 2/383).

  1. Memperbanyak doa

Doa merupakan amalan utama  dalam setiap hajat seorang hamba kepada Rabbnya. Kita tidak akan mampu beribadah, tanpa pertolongan dari-Nya. Berdoalah kepada Allah ﷻ, agar Allah ﷻ mempertemukan kita dengan Ramadhan, dalam kondisi sehat jasmani rohani. Sehingga bisa maksimal dalam beribadah ketika Ramadhan. Perbanyaklah berdoa sebelum dan saat bulan Ramadhan agar Allah ﷻ memberikan kemudahan untuk mendapatkan kebaikan di bulan Ramadhan yang penuh berkah.

Diantara doa yang bisa dipanjatkan  adalah yang diriwayatkan oleh Yahya bin Abi Katsir –seorang ulama tabi’in–, bahwa sebagian sahabat ketika mendekati datangnya Ramadhan mereka berdoa, “Ya Allah, antarkanlah aku hingga sampai Ramadhan, dan antarkanlah Ramadhan kepadaku, dan terimalah amal-amalku di bulan Ramadhan.” (Lathaif Al-Ma’arif, hal. 264)[4]

  1. Membiasakan diri dengan kebaikan

Sesuatu yang dilakukan dengan mendadak, biasanya hasilnya tidak masksimal. Karena manusia jadi baik, tidak bisa dilakukan secara instan. Semuanya butuh proses. Rasulullah ﷺ mengingatkan, “Siapa yang melatih diri menjaga kehormatan maka Allah akan jaga kehormatannya, siapa yang melatih diri untuk bersabar, Allah jadikan dia penyabar. Dan siapa yang merasa cukup, Allah akan memberikan kecukupan.” (H.R. Bukhari, Abu Daud, dan yang lainnya)

Umumnya, ketika kita memasuki Ramadhan, ada 3 amalan besar yang akan dirutinkan masyarakat, 1) Berpuasa di siang hari, 2) Qiyam Ramadhan (tarawih), dan 3) Membaca al-Quran (tadarusan), amalan ini butuh kesabaran[5] jadi harus dibiasakan agar terbiasa.

  1. Tekad untuk menjadikan Ramadhan kesempatan untuk berubah

Kita harus punya target. Ramadhan tahun ini harus mengubah diri kita menjadi lebih baik. Allah memberikan banyak kemudahan bagi hamba-Nya untuk beribadah selama Ramadhan. Dalam hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ bersabda, “Ketika datang Ramadhan, pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, dan setan-setan dibelenggu. (H.R. Muslim)

Pintu surga dibuka, artinya peluang besar bagi anda yang melakukan ketaatan, untuk diterima amalnya dan mengantarkannya ke dalam surga. Pintu neraka ditutup, artinya kita berharap semoga kemaksiatan yang kita lakukan, segera diampuni dan tidak mengantarkan kita ke neraka. Setan-setan dibelenggu, sehingga tidak mudah baginya untuk menggoda manusia. tidak sebagaimana ketika dia dalam kondisi lepas. Artinya, itu kesempatan terbesar bagi kita untuk berubah. Target ramadhan tahun ini menjadi lebih berkualitas. Jika sebelumnya hanya membaca setengah juz, targetkan agar yang dibaca lebih banyak.[6]

 

Penyusun:

Aisyah Qosim

Penghuni Griya Muslimah Istiqomah Bonjotan

 

Marâji’:

[1] Lathaif Al-Ma’arif. Cetakan pertama, tahun 1428 H. Ibnu Rajab Al-Hambali. Penerbit Al-Maktab Al-Islami.

[2] https://konsultasisyariah.com/27889-kultum-persiapan-menjelang-ramadhan.html

[3] https://rumaysho.com/18246-tsalatsatul-ushul-ilmu-sebelum-berkata-dan-beramal.html

[4] https://konsultasisyariah.com/27889-kultum-persiapan-menjelang-ramadhan.html

[5] Ibid

[6] Ibid

 

Mutiara Hikmah

 

اَللَّهُمَّ سَلِّمْنـِي إِلَى رَمَضَانَ وَسَلِّمْ لِـي رَمَضَانَ وَتَسَلَّمْهُ مِنِي مُتَقَبَّلاً

“Ya Allah, antarkanlah aku hingga sampai Ramadhan, dan antarkanlah Ramadhan kepadaku, dan terimalah amal-amalku di bulan Ramadhan.” (Lathaif Al-Ma’arif, hal. 264)

Download Buletin klik disini

Amanah Orang Tua Tak Kunjung Selesai?

Bismillâh walhamdulillâh washalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Tentang Rezeki

Allah ﷻ telah menetapkan rezeki pada setiap makhluk-Nya. Ada yang rezekinya didekatkan dengan jodohnya, ada yang rezekinya dimudahkan dalam menuntut ilmu, ada yang rezekinya diberi jalan untuk berkarir dan bekerja, ada yang rezekinya dicerahkan untuk berkarya, ada yang rezekinya punya uang banyak, ada yang rezekinya punya waktu luang, ada yang rezekinya punya energi penuh, sehat utuh. Diantara bentuk rezeki yang lainnya adalah menyelesaikan amanah orang tua dalam tugas belajar kuliah, seperti menyelesaikan skripsi dan wisuda.

Jika kita mengukur rezeki dengan apa yang sudah didapatkan orang lain kita akan selalu merasa tertinggal dan berada di bawah, padahal disaat yang sama ada orang lain yang berharap memiliki hidup seperti yang kita miliki saaat ini. Rezeki bukan hanya tentang harta saja, selama ini manusia memahami rezeki hanya uang dan harta saja, padahal tidak demikian. Syaikh Shalih al-Fauzan Menjelaskan, “Rezeki adalah semua (apa-apa) yang bermanfaat (dimanfaatkan) oleh makhluk (yang diberi rezeki).” (Hushulul Ma’mul hal. 31) 

Sesuatu yang Belum

Sesuatu yang belum terjadi itu tidak selalu sebagai cobaan apalagi musibah. Nabi Muhammad ﷺ belum diterima dakwahnya di Thaif. Hal ini ada hikmah yang tidak diketahui oleh manusia. Allah tunda dakwah Nabi Muhammad ﷺ untuk diterima di Thaif karena sebuah alasan yang menakjubkan, kelak para pejuang-pejuang Islam yang tangguh lahir dari tanah ini. Terdapat banyak hal di dunia ini yang tidak bisa kita pahami saat itu juga, namun hal yang harus selalu kita ingat adalah tidaklah Allah ﷻ menimpakan suatu hal kepada hamba kecuali itu pasti yang terbaik baginya.

Dari Shuhaib Radhiyallahu’anhu, ia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, “Sungguh menakjubkan keadaan seorang mukmin. Seluruhnya urusannya itu baik. Ini tidaklah didapati kecuali pada seorang mukmin. Jika mendapatkan kesenangan, maka ia bersyukur. Itu baik baginya. Jika mendapatkan kesusahan, maka ia bersabar. Itu pun baik baginya.” (H.R. Muslim, no. 2999)

Tertinggal itu bukan musibah, yang musibah adalah kita jika tidak bisa bersyukur. Kehilangan sesuatu  itu bukan musibah, yang musibah adalah kita jika tidak bisa mengikhlaskan. Belum terselesaikannya  urusan  itu bukan musibah, yang musibah adalah kita jika tidak bisa bersabar.

Tips Memperjuangkan Amanah Orang Tua

  1. Kuatkan tegad sebagai bentuk ketaatan pada orang tua

Salah satu hikmah perintah berbakti pada orang tua diletakkan oleh Allah ﷻ setelah perintah bertauhid adalah karena besarnya pahala berbakti pada orang tua. Mulai sekarang mari kita kuatkan tekad untuk menyelesaikan amanah orang tua, mulailah kerjakan, berjalan menyusuri ruang-ruang kelas, teriknya mentari saat mencari data, setiap evaluasi dari dosen yang terkadang membuat kita sedikit kecewa  adalah bentuk perjuangan kita untuk membahagiakan orang tua, adalah catatan amal kita untuk berbakti.

  1. Evaluasi diri 

Mari kita mengevaluasi lagi apakah terdapat maksiat yang sering kita kerjakan? Apakah ada pintu syariat yang dengan mudah kita dobrak? Apakah pernah kita berbuat maksiat saat sendirian? Siapa yang bermaksiat, Allah ﷻ akan mempersulit urusanya. Sebaliknya, siapa yang bertaqwa pada Allah ﷻ, akan dipermudah urusanya oleh Allah ﷻ. “Tidaklah seseorang melakukan dosa, kecuali menjadi sulitlah urusanya”. (Ibnu Qayyim)

  1. Berdoa kepada Allah

Selalu minta tolong pada Allah ﷻ, karena mustahil bagi Allah ﷻ untuk tidak mengabulkan permintaan hamba-Nya. Mintalah tolong kepada Allah ﷻ dengan sabar dan shalat. Merengeklah pada Allah ﷻ pada sepertiga malam, di tengah sujud panjang, pada setiap adzan dan iqomah. Sungguh jawaban dari setiap doa itu adalah “iya”. Serti merutinkan dzikir pagi dan petang.

  1. Ikhtiar  dan Tawakal

Terkait dengan Ikhtiar atau usaha, Sahl At Tusturi mengatakan, ”Barangsiapa mencela usaha (meninggalkan sebab) maka dia telah mencela sunnatullah (ketentuan yang Allah tetapkan). Barangsiapa mencela tawakkal (tidak mau bersandar pada Allah) maka dia telah meninggalkan keimanan.”. Dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Ukaim, Nabi ﷺ  bersabda, “Barangsiapa menggantung hati pada sesuatu, urusannya akan diserahkan padanya” (H.R. Tirmidzi no. 2072)

  1. Mencari lingkungan yang mendukung

Tinggalkanlah lingkungan yang tidak mendukung dalam mengerjakan skripsi, tinggalkan kesenderian disaat fikiran sudah buntu. Bertemulah dengan kawan-kawan yang shalih. Mintalah nasehat mereka, tataplah mata sendu penuh taqwa mereka. Sesungguhnya pada lingkungan yang Allah ﷻ selalu menjadi topik pembicaraannya terdapat cahaya yang akan menghidupkan kembali jiwa.

Akhirnya

Akhirnya kita tahu bahwa bersabar yang sesungguhnya bukan hanya menanti dalam ukuran waktu, melainkan menunggu dalam ukuran usaha. kita tidak berputus asa karena kita tahu bahwa Allah tidak menilai hasil namun proses. Kita tenang karena setiap niat yang tepat pasti menghasilkan sesuatu yang hebat.

Selamat berusaha. Semoga kini kita tak lagi menyebut yang belum kita peroleh sebagai ujian, ketertinggalan sebagai cobaan, dan kesulitan pada setiap urusan sebagai musibah, Sebab kita tahu bahwa rezeki kita lain, sebab kita tahu bahwa Allah Maha Adil, sebab kita tahu bahwa musibah yang sejati adalah saat kita tidak lagi mampu bersyukur dan bersabar.

 

Penyusun:

Yonatan Yolius Anggara

Santri Pesma Nur Baiturrahman Yogyakarta

Direktur Center of Excellent Student Yogyakarta 2019

 

Marâji’

  1. Ali bin Muhammad  Ad – Dihami. Al-Maajalis Al-maaniyah Min Kaalam Ibni Qyyim Al-Jauziyah.Surakarta : Shofa. 2009 M. Cet.k-1.hal. 42.
  2. Raehanul Bahraen. Tak akan Hasad Jika Paham Apa itu Rezeki .2018. https://muslimafiyah.com/tidak-akan-hasad-jika-paham-apa-itu-rezeki.html
  3. Muhammad Abduh Tuasikal. Kiat Meraih Sukses dengan Tawakkal .2010. https://rumaysho.com/847-kiat-meraih-sukses-dengan-tawakkal.html

 

Mutiara Hikmah

Dari Anas bin Malik Radhiyallahu’anhu, beliau berkata bahwa Nabi ﷺ bersabda (berdoa),

اللَّهُمَّ لاَ سَهْلَ إِلاَّ مَا جَعَلْتَهُ سَهْلاً وَأَنْتَ تَجْعَلُ الحَزْنَ إِذَا شِئْتَ سَهْلاً

“Ya Allah, tidak ada kemudahan kecuali yang Engkau buat mudah. Dan engkau menjadikan kesedihan (kesulitan), jika Engkau kehendaki pasti akan menjadi mudah”. (Jâmi’ul Ahadits, 6/257, Asy Syamilah)

Download Buletin klik disini